Hasil Studi Penelitian Lahan Gambut Di Kabupaten Balangan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 80

PEMERINTAH KABUPATEN BALANGAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH


Jalan Jend. A. Yani Paringin Selatan Kab.B alangan

PEKERJAAN :

STUDI PENELITIAN LAHAN GAMBUT DI KABUPATEN


BALANGAN

LAPORAN AKHIR

CV. DAYA UTAMA KONSULTAN


DESIGN ENGINEERING, CONSTRUCTION MANAGEMEN & ENVIRONTMENT CONSULTAN
Jln. Kuin Selatan No.07 RT. 13 Telp. (0511) 3358351, 081251291811 Banjarmasin. 70128
Studi Penelitian Lahan Gambut Di Kabupaten Balangan

Laporan Akhir ini merupakan tahapan akhir dari seluruh rangkaian laporan yang
telah diselesaikan dalam pekerjaan Studi Lahan Gambut Di Kabupaten Balangan.
Laporan ini merupakan hasil kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah Kab. Balangan dengan CV. DAYA UTAMA KONSULTAN Banjarmasin.
Dalam Laporan akhir ini terdiri dari Pendahuluan, Gambaran Umum Lokasi Studi
Kabupaten Balangan, Metode Pelaksanaan Pekerjaan, Teori Lahan Gambut, Hasil
Survey Dan Analisis Kawasan Gambut Kabupaten Balangan Dan Kesimpulan dan
Rekomendasi.
Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam kelancaran
penyusunan Laporan Akhir ini kami sampaikan terima kasih.

CV. DAYA UTAMA KONSULTAN

Laporan Akhir
1
Studi Penelitian Lahan Gambut Di Kabupaten Balangan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang I-1
1.2 Maksud, Tujuan dan sasaran I-3
1.3 Lokasi Pekerjaan I-4
1.4 Referensi Hukum I-4
1.5 Susunan Bab Laporan Akhir I-5

BAB 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI KABUPATEN BALANGAN


2.1. Gambaran Umum II-1
2.2 Kondisi Fisik II-4
2.2.1. Kondisi Topografi II-4
2.2.2. Hidrologi II-6
2.2.3. Klimatologi II-6
2.2.4. Geomorfologi II-7
2.2.5 Sifat Fisik Tanah II-8
2.3. Pola Pemanfaatan Ruang II-10
2.4. Kependudukan II-10
2.4.1 Jumlah dan Perkembangan Penduduk II-11
2.4.2 Kepadatan Penduduk II-13
2.4.3 Struktur Penduduk II-14
2.5 Fasilitas Layanan II-15
2.5.1 Pendidikan II-15
2.5.2 Kesehatan II-15
2.5.3 Peribadatan II-16
2.6 Perekonomian II-16
2.6.1 Pertanian II-16
2.6.2 Peternakan dan Perikanan II-17
2.6.3 Pertambangan II-18
2.6.4 Kehutanan II-18
2.6.5 Perdagangan dan Jasa II-19
2.6.6 Pertumbuhan Ekonomi II-19

Laporan Akhir
2
Studi Penelitian Lahan Gambut Di Kabupaten Balangan

BAB 3 METODE PELAKSANAAN PEKERJAAN


3.1. Lingkup Pekerjaan dan Analisis Kegiatan Menurut KAK III-1
3.2. Metode Pelaksanaan Pekerjaan oleh Konsultan III-2
3.3. Metode Kegiatan III-3
3.4 Metode Penyusunan Studi penelitian Lahan Gambut III-5

BAB 4 TEORI LAHAN GAMBUT


4.1 Pembentukan Gambut IV-1
4.2 Klasifikasi Gambut IV-3
4.2.1 Karakteristik Fisik IV-5
4.2.2 Karakteristik Kimia IV-6
4.3 Potensi dan pengelolaan Lahan gambut Untuk Tanaman IV-9
Pangan
4.3.1 Potensi Lahan gambut Untuk Tanaman Pangan IV-9
Semusim
4.3.2 Pengelolaan Air IV-9
4.3.3 Pengelolaan Kesuburan Tanah IV-9
4.3.4 Potensi Lahan gambut Untuk Tanaman Pangan IV-12
Tahunan
4.3.4.1 Potensi Lahan gambut Untuk Tanaman IV-12
Pangan Tahunan
4.3.4.2 Pengelolaan Air IV-12
4.3.4.3 Pengelolaan Kesuburan Tanah IV-13
4.4 Aspek Lingkungan Lahan Gambut IV-13
4.4.1 Lahan Gambut Sebagai Penambat dan Penyimpanan IV-13
Karbon
4.4.2 Emisi Gas Rumah Kaca IV-14
4.4.3 Emisi Dari Kebakaran Biomassa Tanaman IV-16
4.4.4 Kebakaran Lapisan Gambut IV-17
4.4.5 Emisi Dari Dekomposisi Gambut IV-17
4.4.6 Penambatan C Oleh Tanaman IV-18
4.4.7 Subsiden IV-19
4.5 Konservasi Lahan Gambut IV-21
4.5.1 Umum IV-21
4.5.2 Menanggulangi Kebakaran Hutan Dan Lahan IV-23
Gambut
4.5.3 Penanaman Kembali Dengan Tanaman Penambat IV-24
Karbon
4.5.4 Pengaturan Tinggi Muka Air Tanah Gambut IV-24
4.5.5 Memanfaatkan Lahan Semak Belukar Yang Terlantar IV-24

BAB 5 HASIL SURVEY DAN ANALISIS KAWASAN GAMBUT


KABUPATEN BALANGAN
5.1 Sebaran Lahan Gambut, Tipologi, Kedalaman serta V-1
Klasifikasi
5.1.1 Sebaran Lahan Gambut V-1
5.1.2 Tipologi Dan Kedalaman Lahan Gambut V-8
5.1.3 Klasifikasi Gambut V-8
5.1.4 Karakteristik Fisik Gambut V-13

Laporan Akhir
3
Studi Penelitian Lahan Gambut Di Kabupaten Balangan

5.2 Potensi serta Terindentifikasinya Kawasan Lindung/High V-15


Consevation Value Forest ("HCVF") di Lahan Gambut
5.3 Dampak Deforestasi Terhadap Emisi Gas Rumah Kaca V-16
(GRK)
5.4 Teknologi Pencegahan Dan Pengendalian Kebakaran Lahan V-20
Gambut
5.4.1 Teknik Peningkatan Kesadaran Masyarakat (Public V-21
Awareness)
5.4.2 Teknik Pembentukan Tim Pengendali Kebakaran V-22
Tingkat Masyarakat (Fire Brigade)
5.4.3 Teknik Pembakaran Terkendali/Controlled Burning V-23
5.4.4 Pemanfaatan Beje dan Parit sebagai Sekat Bakar V-26
5.4.5 Teknik Tanpa Bakar/Zero Burning di Lahan Gambut V-32
5.4.6 Teknik Mengikutsertakan Masyarakat Dalam V-37
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
5.5 Kelembagaan pengelolaan lahan gambut dengan pola V-39
partisipatif
5.6 Saran dan Rekomendasi untuk Pengelolaan serta Pola V-43
Budidaya pada Lahan Gambut.
5.7 Teknik Rehabilitasi dan remediasi lahan gambut V-45

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


6.1 Kesimpulan VI-1
6.2 Rekomendasi VI-1

LAMPIRAN HASIL SURVEY LAHAN GAMBUT DI KABUPATEN


BALANGAN
LAMPIRAN HASIL SURVEY WAWANCARA LAHAN GAMBUT DI
KABUPATEN BALANGAN
LAMPIRAN HASIL SURVEY LABORATORIUM KUALITAS AIR DAN
KUALITAS TANAH
LAMPIRAN HASIL EKSPOSE AWAL
LAMPIRAN HASIL EKSPOSE AKHIR

Laporan Akhir
4
Studi Penelitian Lahan Gambut Di Kabupaten Balangan

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Luas Administrasi tiap Kecamatan Kab. Balangan II-3


Tabel 2.2 Curah Hujan dan Hari hujan Menurut Stasiun II-7
Pengamamatan Tahun 2013
Tabel 2.3 Luas Wilayah Menurut Satuan Geomorfologi Dirinci Tiap II-8
Kecamatan Kabupaten Balangan Tahun 2008
Tabel 2.4 Jenis dan Luasan Formasi Lahan (Stratigrafi) Kabupaten II-9
Balangan
Tabel 2.5 Rekapitulasi Hasil Boring dan Test Pit II-10
Tabel 2.6 Luas Wilayah Kabupaten Balangan Menurut Jenis II-11
Penggunaan Tanah
Tabel 2.7 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan II-12
Tabel 2.8 Jumlah Penduduk, Jumlah Desa, dan Kepadatan II-12
Penduduk Per Desa
Tabel 2.9 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 2013-2016 II-13
Tabel 3.1 Proses Pelaksanan Pekerjaan III-3
Tabel 3.2 Ringkasan Analisis III-12
Tabel 4.1 Dosis Anjuran Dan Manfaat Pemberian Ameliorran Pada IV-11
Tanah Gambut
Tabel 4.2 Kandungan Karbon Di Atas Permukaan Tanah (Dalam IV-14
Biomassa Tanaman) Dan Di Bawah Permukaan Tanah
Pada Hutan Gambut Dan Hutan Tanah Mineral (T/Ha).
Tabel 4.3 Emisi Karbon Dari Permukaan Hutan Gambut IV-15
Terdegradasi Dan Dari Lahan Pertanian Gambut Terlantar
Di Kalimantan Tengah (Jauhiainen Et Al., 2004 Dalam
Rieley Et Al., 2008).
Tabel 5.1 Peta-Peta Terkait Lahan Gambut Di Balangan V-1
Tabel 5.2 Luas Gambut Dirinci Per Desa V-6
Tabel 5.3 Tipologi Lahan Gambut V-8
Tabel 5.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Komposisi Lahan V-9
Gambut
Tabel 5.5 Kematangan Gambut V-10
Tabel 5.6 Karakteristik Air Gambut Kab. Balangan V-14
Tabel 5.7 Fungsi Ekosistem Gambut Menurut SK MENLHK No 130 V-15
Tahun 2017
Tabel 5.8 Tahapan Dan Kegiatan Pengendalian Kebakaran Hutan V-20
Tabel 5.9 Ringkasan Hasil Wawancara dengan Masyarakat V-41

Laporan Akhir
5
Studi Penelitian Lahan Gambut Di Kabupaten Balangan

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Wilayah Administrasi Kab. Balangan II-2


Gambar 2.2 Prosentase Luas Tiap Kecamatan Di Kab. Balangan II-3
Gambar 2.3 Kemiringan Lereng Kabupaten Balangan (Sumber: II-5
Rencana Induk Transportasi Kab. Balangan)
Gambar 2.4 Ketinggian Kabupaten Balangan (Sumber: Rencana II-6
Induk Transportasi Kab. Balangan)
Gambar 2.5 Prosentasi Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan II-14

Gambar 3.1 Hubungan Kegiatan Pengumpulan Data, Analisis Dan III-2


Keluaran
Gambar 4.1 Proses Pembentukan Gambut Di Daerah Cekungan IV-3
Lahan Basah: A. Pengisian Danau Dangkal Oleh
Vegetasi Lahan Basah, B. Pembentukan Gambut
Topogen, Dan C. Pembentukan Gambut Ombrogen Di
Atas Gambut Topogen (Noor, 2001 Mengutip Van De
Meene, 1982).
Gambar 4.2 Skema Proses Emisi Dan Penambatan Karbon Yang IV-16
Berhubungan Dengan Pembukaan Hutan Gambut
Menjadi Lahan Perkebunan.
Gambar 5.1 Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas Dan Kandungan V-2
Karbon 2000-2002 (Sumber: Wetlands International –
Indonesia Programme, 2003)
Gambar 5.2 Peta Kesatuan Hidrologi Gambut Pulau Kalimantan V-3
(Sumber: Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut,
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran Dan
Kerusakan Lingkungan, Kemlhk, 2016
Gambar 5.3 Peta Indikatif Prioritas Restorasi Prov. Kalteng V-3
(Sumber: SK Ka Badan Restorasi Gambut No 5/2016
Tentang Penetapan Peta Indikatif Restorasi Gambut,
2016)
Gambar 5.4 Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional (Sumber: SK V-4
Menlhk No. 130/2017 Tentang Penetapan Peta Fungsi
Ekosistem Gambut Nasional, 2017)
Gambar 5.5 Peta Desa Peduli Gambut (Sumber: Badan Restorasi V-4
Gambut, 2017)
Gambar 5.6 Peta Batas Lahan Gambut Kab. Balangan Hasil V-5
Overlay Peta Dari Beberapa Sumber
Gambar 5.7 Batas Lahan Gambut Berdasar Peta Citra Satelit V-6
Gambar 5.8 Pemetaan Dengan Drone Untuk Pengecekan Hasil V-7
Peta Citra
Gambar 5.9 Batas Lahan Gambut Berdasar Batas Administrasi V-7

Laporan Akhir
6
Studi Penelitian Lahan Gambut Di Kabupaten Balangan

Gambar 5.10 Peta Pengambilan Sampel Lahan Gambut V-9


Gambar 5.11 Pelaksanaan Pengambilan Sampel Tanah V-10
Gambar 5.12 Peta Lahan Gambut Berdasar Klasifikasi Lahan V-12
Gambut
Gambar 5.14 Peta Lokasi Pengambilan Sampel Air V-14
Gambar 5.15 Pelaksanaan Pengambilan Sampel Air Di Lokasi Lahan V-15
Gambut
Gambar 5.16 Peta Fungsi Ekosistem Lahan Gambut V-16
Gambar 5.17 Teknik Penebangan Untuk Controlled Burning V-24
Gambar 5.18 Sketsa Pemanfaatan Beje Dan Parit Yang Telah V-32
Difungsikan Sebagai Sekat Bakar
Gambar 5.19 Pembasahan Lahan Gambut Untuk Pencegahan V-33
Kebakaran Melalui Pemompaan (Diadaptasikan Dari
Stoneman & Brooks, 1997)
Gambar 5.20 Kegiatan Wawancara Masysrakat Di Desa Batu Mandi V-41
Dan Habang Kanan
Gambar 5.21 Pemanfaatan Lahan Gambut Oleh Masyarakat Dalam V-42
Bentuk Tanaman Perkebunan Dan Peternakan
Gambar 5.21 Peta Tutupan Lahan V-43
Gambar 5.22 Overlay Peta Gambut Dengan Rtrw Prov. Kalimantan V-44
Selatan
Gambar 5.23 Overlay Peta Gambut Dengan Rtrw Balangan V-45
Gambar 5.24 Peta Sekat Kanal Lahan Gambut Kab. Balangan V-47

Laporan Akhir
7
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan I-1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Definisi tanah gambut oleh Subagyo dkk, (2000) tanah yang terbentuk dari
bahan organik, selanjutnya Wahyunto dkk, (2005) menyatakan bahwa tanah
gambut adalah tanah jenuh air yang tersusun dari bahan organik, yaitu sisa-
sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari
50 cm. Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik
dengan ketebalan >45 cm maupun terdapat secara berlapis bersama tanah
mineral pada ketebalanpenampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan
bahan organik >50 cm. Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam
kadar karbon 12-18% atau lebih. Makin tiinggi kadar karbon, bahan organik
dapat dikatakan masih segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan
organik makin lanjut pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar,
2001). Luasan lahan gambut berdasarkan data BB Litbang SDLP (2008) adalah
18.317,589 ha meliputi tiga pulau utama di Indonesia. Luasan gambut di Pulau
Sumatera 6.244,101 ha, luasan lahan gambut di Pulau kalimantan 5.072,249
ha, luasan lahan gambut di Papua 7.011,239 ha.

Merujuk penggunaan lahan menurut IPCC, ada 6 jenis penggunaan lahan. saat
ini, lahan yang dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat sebagai mata
pencaharian adalah lahan hutan dan lahan pertanian. Namun demikian, proses
pemanfaatan lahan hutan dan lahan pertanian oleh masyarakat tidak sebanding
dengan luasan yang dimanfaatkan oleh pengusaha dalam skala masif. Lahan
gambut dimanfaatkan untukkomoditas kayu (jati, sengon) dan perkebunan
(karet, damar, buah-buahan, sawit, karet, kopi, cokelat, teh). Pemerintah
sebagai regulator mengluarkan beberapa peraturan yang terus diperbaiki. Pada

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan I-2

tahun 2014 muncul Peraturan Pemerintah RI No. 71 Tahun 2014 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang kemudian diubah
dengan Peraturan pemerintah RI No. 57 tahun 2016 tentang perubahan diatas
PP No. 71/2014 tentang perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Pembukaan lahan oelh masyarakat yang tinggal di lahan gambut seringkali


dilakukan tanpa perencanaan yang baik. Hal ini menimbulkan potensi konflik
pemanfaatan dan potensi konflik pemanfaatan dan potensi konlik yang
mengganggu lingkungan. Lahan yang dibuka tanpa perencanaan yang baik
menyebabkan ketidakmerataan dalam pemanfaatan lahan. Selain itu dalam
pemanfaannya, lahan seringkali dibuka dengan penebangan liar dan
pembakaran. Akibatnya, lahan gambut mengalami degradasi karena turunnya
permukaan tanah yang menyebabkan kawasan di sekitar areal gambut rawan
banjir longsor. Hal lain adalah status kesehatan masyarakat yang rawan
gangguan pernafasan karena pencemaran udara. Hal ini kemudain diperparah
dengan menyusutnya sumber daya ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat di lahan gambut. Penyusutan ini akan membuat produktivitas
masyarakat menurun karena sulitnya mendapatkan sumberdaya ekonomi. Hal
ini mau tidak mau mebuat masyarakat menjadi rentan dengan kemiskinan.
Kerantanan akan kemiskinan menyebabkan masyarakat yang tinggal terdorong
kembalio untuk membuka lahan tanpa perencanaan yang baik. Ini adalah
putaran atau siklus yang digunakan oleh masyarakat dalam pemanfaatan lahan
gambut.Lahan gambut merupakan lahan yang sangat rentan dengan
kebakaran. Pemanfaatan lahan gambut seringkali mengabaikan kaidah
keamanan lahan dimana penebangan dan pembersihan lahan dilakukan
dengan melakukan pembakaran. Hal tersebut menyebabkan api mudah
merambat ke area lain dan menjadikan kebakaran hutan menjadi massif.

Beberapa hal di atas yang melatarbelakangi pentingnya studi lahan gambut di


Kabupaten Balangan.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan I-3

1.2 Maksud, Tujuan, dan Sasaran


Maksud, tujuan dan sasaran kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Maksud
Identifikasi potensi dan permaslahan lahan gambut di Kabupaten Balangan
serta menyusun strategi dan program kerja sebagai pedoman dalam
perencanaan,, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan lahan gambut
secara komprehensif dan terkoordinasi.
2. Tujuan
Studi Penelitian Lahan gambut di Kabupaten Balangan bertujuan sebagai
pedoman untuk:
1) Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik lahan gambut di
Kabupaten Balangan;
2) Mengidentifikasi dan manganalisis keragaman hayati pada lahan
gambut;
3) Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi sosioekonomi masyarakat di
sekitar Kawasan lahan Gambut;
4) Mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan lahan gambut untuk kegiatan
pada instansi yang berkompeten;
5) Mengidentifikasi potensi rehabilitasi sumberdaya lahan di sekitar
permukiman apabila terjadi kerusakan untuk kegiatan penghijauan.
6) Mengukur kedalaman/ketebalan lahan gambut pada masing-masing
kawasan

3. Sasaran
Sasaran Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan adalah
meliputi sebagai berikut :
1) Tersedianya data dan informasi mengenai tipr, klasifikasi tipologi,
kedalamn serta sebaran lahan gambut;
2) Tersedianya data informasi hasil uji coba inventarisasi karakteristik
gambut dengan telemetri;
3) Tersedianya data dan informasi serta paket teknologi rehabilitasi lahan
gambut;

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan I-4

4) Tersedianya data dan informasi serta paket teknologi pencegahab dan


pengendalian kebakaran lahan gambut;
5) Tersedianya data dan informasi mengenai pola perbungaan dan
pembuahan jenis-jenis pohon di lahan gambut;
6) Tersedianya data dan informasi mengenai kelembagaan pengelolaan
lahan gambut dengan pola partisiffatif;
7) tersedianya data dan informasi dampak deforestasi terhadap emisi Gas
Rumah Kaca (GRK);
8) Tersedianya data dan informasi Potensi serta terindentifikasinya kawasan
Lindung/High Consevation Value Forest ("HCVF") di lahan gambut;
9) Tersedianya saran dan rekomendasi untuk pengelolaan serta pola
budidaya pada lahan gambut.

1.3 Lokasi Pekerjaan


Lokasi pekerjaan meliputi seluruh wilayah administrasi Kabupaten Balangan
yang teridentikasi sebagai lahan gambut.

1.4 Referensi Hukum


Beberapa norma yang menjadi rujukan di dalam Studi ini adalah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5059);
3) Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 209, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5580) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 Tentang Perlindungan
dan Pengelolan Ekosistem Gambut;

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan I-5

4) Peraturan Daerah nomor 24 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang


Wilayah Kabupaten Balangan Tahun 2013-2032.

1.5 Susunan Bab Laporan Akhir


Laporan akhir berfokus pada analisis data dan rekomendasi arah dan kebijakan
lahan gambut di Kabupaten Balangan. Laporan Akhir terdiri atas enam bab,
dengan susunan:

Bab I - Berisi latar belakang, maksud, tujuan dan sasaran kegiatan dan
referensi hukum pekerjaan
Bab II - Berisi Gambaran Umum lokasi Studi, yaitu Kabupaten Balangan
Bab III - Berisi Matode Pelaksanaan Pekerjaan
Bab IV - Berisi tentang Teori Lahan gambut
Bab V - Berisi Hasil Pengumpulan data dan analisis
Bab VI - Berisi rekomendasi arah dan Kebijakan Lahan Gambut di
Kabupaten Balangan

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-1

BAB II
Gambaran Umum Lokasi Studi
Kabupaten Balangan

2.1 Gambaran Umum


Kabupaten Balangan yang beribukotakan Paringin merupakan salah satu
Kabupaten di Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, terletak pada koordinat 2°
01’37” sampai dengan 2° 35’58” Lintang Selatan dan 114° 50’24” sampai
dengan 115° 50’24” Bujur Timur.

Adapun batas-batas administratif Kabupaten Balangan sebagai berikut :


a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tabalong dan Kabupaten
Paser Provinsi Timur ;
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Paser Provinsi
Kalimantan Timur dan Kabupaten Kota Baru;
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Huu Sungai Tengah;
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Wilayah administrasi Kabupaten Balangan beserta batas

administrasinya ditunjukkan pada Gambar 2.1

Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2003 Tanggal 25 Februari 2003,


maka pada tanggal 8 April 2003 Kabupaten Balangan resmi terbentuk dengan
meliputi 6 Kecamatan yaitu Kecamatan Paringin, Lampihong, Batumandi,
Awayan, Juai, dan Halong kemudian pada tahun 2006 dibentuklah 2 kecamatan
baru hasil pemekaran kecamatan Paringin yaitu kecamatan Paringin Selatan
dan pemekaran Kecamatan Awayan yaitu Kecamatan Tebing Tinggi, sehari
kemudian dibentuk pula 3 (tiga) Kelurahan baru yaitu Kelurahan Batu Piring di
Kecamatan Paringin Selatan, Kelurahan Paringin Timur dan Kelurahan Paringin

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-2

Kota di Kecamatan Paringin. Dari 152 desa/kelurahan di Kabupaten Balangan


28 desa tergolong ke dalam klasifikasi desa swakarya dan 124 desa berstatus
swasembada, dan mengalami pemekaran desa di tahun 2012 menjadi 157
desa/kelurahan. Kabupaten Balangan memiliki luas 1.830,79 km2 atau hanya 5
persen dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.

Gambar 2.1 Wilayah Administrasi Kab. Balangan

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-3

Tabel 2.1 Luas Administrasi tiap Kecamatan Kab. Balangan


Jumlah Luas Daerah
No. Kecamatan
Desa/Kelurahan (km2)
1 Halong 24 659,84
2 Juai 21 386,88
3 Tebing Tinggi 12 257,25
4 Batu Mandi 18 147,96
5 Awayan 23 142,57
6 Paringin 16 100,04
7 Lampihong 27 96,96
8 Paringin Selatan 16 86,8
Total 157 1878,3

2.1. Tata Guna Tanah (Ha) di Kab.Banjar

Gambar 2.2 Prosentase luas tiap Kecamatan di Kab. Balangan

Pada konteks regional, Kota Paringin berada pada lokasi strategis jalan Trans
Kalimantan yang menghubungkan wilayah Provinsi Kalimantan Selatan -
Kalimantan Tengah – Kalimantan Timur, atau merupakan jalur utama menuju
wilayah Kabupaten Tabalong dari arah Kota Banjarmasin. Kota Paringin yang
berjarak 202 km dari Kota Banjarmasin dapat dicapai melalui:

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-4

1. Jalan darat dengan waktu tempuh sekitar 4 jam dari Kota Banjarmasin yang
dilayani oleh trayek angkutan umum mikro bis jurusan Banjarmasin-
Paringin-Tanjung atau trayek bis antar kota Banjarmasin-Balikpapan-
Samarinda.
2. Jalur udara dari bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin menuju Bandara
Warukin di Kabupaten Tabalong menggunakan maskapai Pelita Air
Services, Kalstar waktu tempuh sekitar 20 menit. Jarak antara Bandara
Warukin dengan Kota Paringin sekitar 30 km atau sekitar 30 menit melalui
jalan darat.

2.2 Kondisi Fisik


2.2.1. Kondisi Topografi
Secara morfologi, wilayah Kabupaten Balangan terdiri dari daerah pegunungan
di sisi Timur dan Utara serta dataran rendah hingga rawa di sisi Barat dan
Selatan. Wilayah Kabupaten Balangan dengan dominasi permukaan lahan
berupa kawasan hutan yang mencapai 48,11% dari luas wilayah kabupaten
atau seluas 90.383 ha, merupakan potensi besar sebagai kawasan tangkapan
air bagi DAS dibawahnya. Wilayah Kabupaten Balangan secara umum
merupakan dataran, perbukitan dan pegunungan (klasifikasi bentuk lahan
absolut Van Zuidam, 1985). Dari klasifikasi tersebut, dapat diketahui bahwa
wilayah Kabupaten Balangan mempunyai nilai kemiringan lereng berkisar
antara 2% sampai 30%. Kabupaten Balangan sebagian besar wilayahnya
berada pada kemiringan 0-2 meter, yaitu sebesar 130.298 km2. Artinya
sebagian besar wilayah Balangan berada pada daerah yang landai. Hanya
sebesar 29.970 km2 saja yang terletak pada kelas kemiringan di atas 40 meter.
Wilayah dengan kelas ketinggian di atas 40 meter ini hanya terdapat pada
Kecamatan Halong, Tebing Tinggi dan Awayan.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-5

Gambar 2.3 Kemiringan Lereng Kabupaten Balangan (Sumber: Rencana


Induk Transportasi Kab. Balangan)

Jika dilihat dari kelas ketinggian terhadap permukaan laut, rata-rata Kabupaten
Balangan terletak pada kelas 25-100 meter, yang mencapai 38 %, kemudian
disusul kelas 100-500 meter. Dan yang terkecil adalah pada kelas ketinggian 0-
7 meter, yaitu hanya terdapat pada Kecamatan Lampihong dan Batu Mandi.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-6

Gambar 2.4 Ketinggian Kabupaten Balangan (Sumber: Rencana Induk


Transportasi Kab. Balangan)

2.2.2. Hidrologi
Sungai-sungai utama yang mengalir di wilayah Kabupaten Balangan adalah
Sungai Pitap, Sungai Balangan, Sungai Mantuyan, Sungai Tabuan, Sungai
Galombang, Sungai Halong, Sungai Huren, Sungai Ninian, Sungai Jauk,
Sungai Batumandi, Sungai Lokbatu dan Sungai Juai. Berdasarkan pola
pengaliran sungai utama dan anak sungai, maka daerah penelitan dibagi
menjadi 4 pola pengaliran sungai, yaitu pola pengaliran anastomatik, pola
pengaliran dendritik, pola pengaliran rektangular, dan pola pengaliran
subdendritik.

2.2.3. Klimatologi
Keadaan iklim di Kalimantan Selatan menurut Sistem Koppen dapat
digolongkan ke dalam Iklim Hutan Tropika Humid dengan rata-rata curah hujan
tahunan berkisar antara 2000 mm hingga 3000 mm serta suhu udara rata-rata
harian 32,0°C dan minimal 133,3°C. Kelembaban udara relatif rata-rata harian
di wilayah ini pada tahun yang sama mencapai 201,5%. Curah hujan terendah

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-7

jatuh sekitar bulan Juni, Juli, Agustus, dan September. Sedangkan curah hujan
tertinggi jatuh sekitar bulan Desember, Januari, Februari, dan Maret.

Dalam lingkup wilayah Kabupaten Balangan, tinggi curah hujan antara 2.000
mm/tahun hingga 2.500 mm/tahun dialami oleh sebagian wilayah Kecamatan
Halong, Juai, Paringin, Batumandi, dan sebagian besar wilayah Kecamatan
Lampihong. Sebagian dari wilayah kecama
kecamatan-kecamatan
kecamatan tersebut dan seluruh
wilayah Kecamatan Awayan dan Tebing Tinggi memiliki tinggi curah hujan yang
berkisar antara 2.500 mm/tahun hingga 3.000 mm/tahun.

Berdasarkan Kabupaten Balangan Dalam Angka 2016, data dari tiga stasiun
pengamatan yang terdapat
erdapat di Kabupaten Balangan, yaitu Paringin, Batu Mandi
dan Juai, rata-rata
rata curah hujan per hari pada tahun 2013 adalah sebesar 16,5
mm dengan rata-rata
rata jumlah hari hujan sebanyak 117,7 hari atau sekitar lebih
dari 3 bulan. Hari hujan terbanyak selama tahun
tahun 2013 ini terpantau di stasiun
pengamatan Juai yaitu pada bulan Desember dengan 25 hari hujan dalam
sebulan.

Tabel 2.2 Curah Hujan dan Hari hujan Menurut Stasiun Pengamamatan
Tahun 2013

2.2.4. Geomorfologi
Wilayah Kabupaten Balangan secara umum merupakan
merupakan dataran, perbukitan
dan pegunungan (klasifikasi bentuk lahan absolut Van Zuidam, 1985). Dari
klasifikasi tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Kabupaten Balangan
mempunyai nilai kemiringan lereng berkisar antara 2% sampai 30%.
Berdasarkan sebaran
n satuan geomorfologi pada tiap
tiap-tiap
tiap wilayah kecamatan,

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-8

Kecamatan Halong dan Juai tercatat sebagai wilayah kecamatan dengan


kondisi geomorfologi yang bervariatif. Sedangkan Kecamatan Tebing Tinggi
merupakan wilayah kecamatan yang memiliki kondisi geomorfologi
geomorfol dengan
satuan perbukitan relatif curam dan pegunungan curam. Wilayah Kecamatan
Paringin dan Paringin Selatan adalah wilayah kecamatan yang memiliki kondisi
landai. Luas wilayah Kabupaten Balangan berdasarkan satuan geomorfologi,
dapat dilihat pada tabell berikut:
Tabel 2.3 Luas Wilayah Menurut Satuan Geomorfologi Dirinci Tiap
Kecamatan Kabupaten Balangan Tahun 2008

2.2.5. Sifat Fisik Tanah


Formasi lahan wilayah Kabupaten Balangan yang dijelaskan dalam RTRW,
terdiri atas satu endapan aluvium dan 11 satuan formasi, dapat dilihat
dilih pada
Tabel 2.4.

Jenis batuan dan tanah di wilayah ini secara umum dapat dikelompokkan
menjadi tujuh kelompok, yaitu sebagai berikut :
a. Endapan Sungai (EQa)
b. Formasi Dahor (FTqd)

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-9

c. Formasi Warukin dan Formasi Tanjung (Ftomwp)


d. Formasi Berai dan Olistolit Batu gamping (Ftombkok)
e. Formasi Pitap (Fksp)
f. Kelompok Batuan Beku (Ftomp)

Tabel 2.4 Jenis, dan Luasan Formasi Lahan (Stratigrafi) Kabupaten


Balangan

Sedangkan kondisi lapisan tanah di daerah sekitar Sungai Balangan dapat


dideskripsikan sebagai berikut :
1. Sub lapisan tanah di wilayah Kabupaten Balangan rata
rata-rata
rata terdiri dari
lempung merah berbatu;
2. Dari hasil analisa saringan, lempung ini sedikit bercampur dengan kira
kira-kira
21,2% pasir. Rata-rata
rata harga koefisien kohesi (c) berkisar antara 0,80-0,85
0,80 -
18,5°; dan
3. Dari hasil sondir dapat diinterpretasika
diinterpretasikan
n bahwa tanah keras berada 8,2
meter di bawah permuk
permukaan tanah.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-10

Tabel 2.5 Rekapitulasi Hasil Boring dan Test Pit


No. Titik
Lokasi Kedalaman Jenis Lapisan Tanah
Lokasi

0,00-0,50 Lempung coklat lepas berpasir halus

0,50-1,75 Lempung agak teguh merah berbatu


B1 Balangan
1,75-4,25 Lempung agak teguh merah, abu-abu

4,25-6,50 Lempung agak teguh, merah

Sumber : RTRW Kabupaten Balangan

Kondisi tanah dari lapukan batu lempung di sepanjang daerah aliran Sungai
Balangan memiliki kekuatan daya dukung tanah yang rendah atau lemah,
sehingga diperlukan perencanaan yang baik untuk membangun suatu
infrastruktur di wilayah ini, seperti penggunaan pondasi yang dalam dengan
bahan baku beton.

2.3. Pola Pemanfaatan Ruang


Penggunaan Lahan Kabupaten Balangan sebagian besar digunakan untuk
Tanah Bukan Sawah, yaitu seluas 94.423 Ha atau 51% dari luas keseluruhan.
Sedangkan penggunaan lahan untuk rumah dan bangunan, hutan negara,
rawa- rawa, jalan, sungai, danau, dan lahan tandus lainnya (Tanah Bukan
Sawah) mengambil 30%, yaitu seluas 56.289 Ha. Sisa penggunaan lahan
seluas 34.273 Ha atau 18,5% adalah untuk Tanah Sawah (Wetland). (Tabel
2.6)

2.4. Kependudukan
Jumlah penduduk Kabupaten Balangan tahun 2013 berdasarkan hasil proyeksi
adalah 119.171 jiwa yang terdiri dari 58.876 laki-laki dan 59.295 perempuan.
Dengan luas wilayah 1.878,30 km2, Balangan memiliki kepadatan penduduk 63
orang per kilometer persegi.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-11

2.4.1. Jumlah dan Perkembangan Penduduk.


Jumlah penduduk Balangan 2013 mengalami pertumbuhan sebesar 1,78 %
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kecamatan Halong adalah
kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak dengan populasi 19.590 jiwa
dengan rata-rata penduduk per desa 816 orang. Kecamatan Paringin sebagai
kecamatan dengan populasi terbanyak kedua dengan populasi 18.368 orang
dan kepadatan 1.148 orang/desa.

Tabel 2.6 Luas Wilayah Kabupaten Balangan Menurut Jenis Penggunaan


Tanah

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-12

Tabel 2.7 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan

Tabel 2.8 Jumlah Penduduk, Jumlah Desa, dan Kepadatan Penduduk Per
Desa

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-13

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, laju pertumbuhan penduduk di


Kabupaten Balangan adalah 2,89 %. Laju pertumbuhan penduduk paling besar
adalah Kecamatan Paringin yaitu 4,5 %, sedangkan yang terkecil adalah
Kecamatan Lampihong yaitu 1,78 %. Perkembangan jumlah penduduk dan laju
pertumbuhannya menurut kecamatan selama lima tahun yang dirangkum dari
Badan Pusat Statistik Kabupaten Balangan, dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.9 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 2013-2016

2.4.2. Kepadatan Penduduk


Penyebaran penduduk Balangan relatif merata antar kecamatan, kecuali untuk
Kecamatan Tebing Tinggi yang populasinya 6.278 orang atau 5,27 % dari
jumlah seluruh penduduk Balangan. Seperti yang tertera pada Tabel 2.10, dua
kecamatan terpadat di Kabupaten Balangan antara lain Kecamatan Paringin
dan Lampihong dengan kepadatan penduduk masing-masing 184 dan 169
orang per km2. Sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat di

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-14

Kecamatan Tebing Tinggi, Halong, dan Juai dimana tingkat kepadatannya lebih
rendah daripada angka kepadatan rata-rata Kabupaten Balangan.

Gambar 2.5 Prosentasi Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan

2.4.3. Struktur Penduduk


Struktur penduduk meliputi tentang agama yang dianut masyarakat, aspek
pekerjaan, dan suku bangsa masyarakat yang ada di Kabupaten Balangan.

A. Agama
Masyarakat di Kabupaten Balangan mayoritas beragama Islam, yaitu sebanyak
114.027 orang, dan jumlah terkecil adalah pemeluk agama Katolik, yaitu
sebanyak 201 orang. Penganut agama lainnya hanya terdapat di Kecamatan
Tebing Tinggi, yaitu sebesar 1.584 orang.

B. Pekerjaan
Pada tahun 2013, penduduk usia muda sebesar 30,69 % (usia di bawah 15
tahun), penduduk usia produktif 65,96 % (15-64 tahun) dan penduduk usia tua
3,35 % (65 tahun ke atas). Tercatat sebanyak 77,24 % penduduk berumur di
atas 15 tahun merupakan angkatan kerja yang secara aktif terlibat dalam
kegiatan ekonomi dan 22,76 % sisanya bukan angkatan kerja.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-15

Ketenagakerjaan di Kabupaten Balangan adalah tiga perempat penduduk


bekerja pada lapangan pekerjaan utama di sektor primer. Sektor primer yang
terdiri dari sektor pertanian dan pertambangan ini mampu menyerap tenaga
kerja sebanyak 75,35 %.

Sementara sektor tersier dan sekunder menyerap tenaga kerja masing-masing


20,71 % dan 3,95 %. Proporsi penduduk laki-laki yang termasuk dalam
angkatan kerja lebih besar jika dibandingkan dengan proporsi penduduk
perempuan, yaitu 87,74 % laki-laki dan 66,74 % perempuan.

2.5 Fasilitas Layanan


2.5.1. Pendidikan
Fasilitas pendidikan di Kabupaten Balangan tahun 2013 yaitu TK sebanyak 97
buah, SD 167 buah, SLTP 24 buah, dan SLTA 10 buah. Sementara untuk
fasilitas pendidikan yang di bawah pembinaaan Kementerian Agama, terdiri dari
RA sebanyak 6 buah, MI 39 buah, MTs 16 buah, dan MA 6 buah. Dalam
perkembangannya selama satu dekade, terjadi peningkatan fasilitas pendidikan
yang cukup melayani seluruh wilayah kabupaten, yaitu untuk SLTA bertambah
5 unit (tahun 2005 = 5 unit), SLTP bertambah 11 unit (tahun 2005 = 13 unit),
dan SD bertambah 8 unit (tahun 2005 = 159 unit).

Angka Partisipasi Sekolah untuk kelompok umur 7-12 tahun pada tahun 2013
sangat tinggi, yaitu sebesar 98,71 %, sementara untuk kelompok umur 13-15
tahun sebesar 89,17 % dan untuk kelompok umur 16-18 tahun sebesar 47,11
%. Ditinjau dari jenjang pendidikannya, Angka Partisipasi Murni (APM) untuk
SD/MI sebesar 92,67 % dan Angka Partisipasi Kasar (APK) sebesar 105,79 %.
sementara itu untuk jenjang pendidikan SLTP/MTs dengan nilai APM 61,67 %
dan nilai APK 79,87 % serta untuk SLTA/MA dengan nilai APM 45,97 % dan
nilai APK 66,96 %.

2.5.2. Kesehatan
Fasilitas kesehatan di Kabupaten Balangan yaitu 1 unit rumah sakit, 11 unit
puskesmas, 23 unit puskesmas pembantu, 99 unit Polindes. Begitu juga untuk
tenaga kesehatan, di semua kecamatan sudah mempunyai tenaga medis,

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-16

tercatat ada 31 orang dokter, 238 orang perawat, dan 200 orang bidan.
Peningkatan fasilitas tersebut adalah dibangunnya sebuah Rumah Sakit Umum
Daerah Balangan di Kec. Paringin, yang sudah memiliki 6 dokter spesialis, 12
dokter umum dan satu dokter gigi. Serta bertambahnya Puskesmas sebanyak 2
unit (tahun 2005 = 9 unit).

Peningkatan jumlah tenaga kesehatan yang melayani seluruh wilayah


kabupaten yaitu dokter bertambah 16 orang (tahun 2005 = 5 orang), Perawat
bertambah 186 orang (tahun 2005 = 52 orang), dan Bidan bertambah 119
orang (tahun 2005 = 81 orang).

2.5.3. Peribadatan
Tempat peribadatan yang tersebar di setiap kecamatan yaitu Masjid sebanyak
128 buah, Musholla 360 buah, Gereja 10 buah, Pura 1 buah, Wihara 5 buah,
dan Balai Adat 17 buah. Selama satu dekade, peningkatan jumlah tempat
peribadatan adalah Masjid 1 buah (tahun 2005 = 127 buah), Musholla
bertambah 23 buah (tahun 2005 = 337 buah), Wihara bertambah 3 buah (tahun
2005 = 2 buah), dan Balai Adat bertambah 15 buah (tahun 2005 = 2 buah).
Peningkatan ini juga ditunjang dengan adanya sebaran 138 buah TPA/TPQ di
seluruh kecamatan, dengan jumlah guru 363 orang dan santri 4.191 orang.

2.6 Perekonomian
2.6.1. Pertanian
Selama tahun 2013, produksi padi Kabupaten Balangan mencapai 135.265,84
ton, turun sebesar 3,33 persen dari tahun sebelumnya. Kecamatan yang
menghasilkan produksi padi terbesar adalah Kecamatan Lampihong dengan
produksi sebesar 23.903,97 ton padi.
Sedangkan palawija yang potensi produksinya cukup besar adalah ubi kayu,
jagung dan ubi jalar dengan masing-masing sebesar 2.593,70 ton, 1.570,29
dan 935,94 ton. Pada tahun 2013, komoditi sayur dengan produksi cukup besar
adalah Kacang Panjang dan Cabe masing-masing dengan nilai produksi 910
ton dan 758 Ton. Adapun tanaman dengan area tanam terluas adalah Cabe

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-17

dan Kacang Panjang dengan masing- masing 141 Ha dan 127 Ha luas panen.

Untuk tanaman buah-buahan, produksi terbesar ditempati oleh cempedak


dengan nilai produksi 2.053,2 ton, diikuti oleh pisang, durian dan rambutan.
Nilai produksinya masing-masing sebesar 1.931,4 ton, 281,1 ton, dan 212,8
ton.

Dari seluruh lahan yang terdapat di Kabupaten Balangan, sebagian besar


merupakan wilayah perkebunan, dan sisanya adalah berupa tanah sawah,
hutan negara, tanah kering dan lainnya. Masing-masing lahan tersebut
diusahakan untuk 6 (enam) sektor pertanian yang terdiri dari:
1. Tanaman Bahan Makanan
2. Hortikultura
3. Tanaman Perkebunan
4. Peternakan
5. Perikanan
6. Kehutanan Hasil perkebunan utama dari Kabupaten Balangan adalah
Karet, Kelapa Sawit,

Aren/Enau, Kelapa, gaharu dan Sagu. Dengan produksi terbesar terdapat pada
komoditi karet, yaitu produksi tahun 2013 sebesar 25.107 ton. Produksi tersebut
meningkat pesat dibandingkan produksi tahun 2005 yang hanya sebesar
19.895 ton, nilanya meningkat 5.212 ton. Komoditi kelapa sawit pada tahun
2013 merupakan produksi kedua terbesar setelah karet, yaitu sebesar 7.113
ton yang dihasilkan dari 1.826 ha luas tanam. Berdasarkan wilayah
administratif, Kecamatan Juai merupakan penghasil kelapa sawit tertinggi yaitu
sebesar 6.109 ton. Komoditi khas lainnya yang dimiliki Kabupaten Balangan
dan sekarang sedang gencar dibudidayakan adalah pohon gaharu, yang
merupakan bahan baku untuk dupa dan wewangian.

2.6.2 Peternakan dan Perikanan


Budidaya peternakan di Kabupaten Balangan terdiri dari ternak besar (Sapi,
Kambing, Domba, Kerbau dan Babi) dan ternak unggas (ayam dan itik).
Budidaya terbesar berupa ternak sapi sebanyak 1.718 ekor dan ternak kambing

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-18

sebanyak 1.904 ekor di tahun 2013. Budidaya ternak Unggas sudah dilakukan
di setiap kecamatan di Kabupaten Balangan dengan jumlah produksi untuk
Ayam Ras Pedaging sebanyak 279.600 ekor, Ayam Buras sebanyak 83.416
ekor dan itik sebanyak 10.635 ekor pada tahun 2013.

Budidaya Perikanan di Kabupaten Balangan merupakan budidaya perairan


darat pada perariran rawa dan sungai, dengan melakukan pengembangan
menggunakan kolam/keramba di sepanjang aliran sungai dan pada beberapa
danau, terutama yang terbesar di Danau Baruh Bahinu. Dalam kurun waktu 10
tahun terakhir peningkatan produksi ikan sangat besar sekali hingga 4,5 kali
dari produksi tahun 2005 yaitu dari 360 ton ditahun 2005 menjadi 1.637 ton
pada tahun 2013. Jenis ikan yang dibudidayakan yang paling banyak adalah
Ikan Nila dengan produksi sebesar 244,7 ton pada tahun 2013.

2.6.3 Pertambangan
Sektor pertambangan berperan cukup besar dalam perekonomian suatu
wilayah.
Sektor ini merupakan salah satu sumber penerimaan devisa, terutama yang
datang dari pendapatan ekspor hasil tambang. Begitu pula di kabupaten
Balangan, sektor pertambangan memberikan sumbangan yang besar pada
pembentukan PDRB.

PT. ADARO INDONESIA sebagai salah satu perusahaan pertambangan yang


berlokasi di Kabupaten Balangan dan Tabalong berhasil memproduksi batu
bara sebanyak 52,26 juta MT pada tahun 2013. Jumlah ini mengalami
peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut 52,04
persen dialokasikan ke kabupaten Tabalong sedangkan sisanya untuk
kabupaten Balangan.

2.6.4 Kehutanan
Luas wilayah hutan di Kabupaten Balangan mencapai 90.383 ha yang
merupakan 48,12 % dari wilayah Kabupaten Balangan tersebar di sisi timur.
Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan lindung (65.791 ha), hutan produksi
tetap (24.568 ha), dan hutan produksi terbatas (2.400 ha).

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-19

Subsektor kehutanan di wilayah ini, selain menghasilkan produksi utama kayu-


kayuan berupa kayu rimba campuran bagi kebutuhan masyarakat, juga
menghasilkan hutan non-kayu, seperti rotan, gaharu, madu dan lain-lain. Dilihat
dari jenis, keanekaragaman dan diversitas jenis tumbuhan berkayu, setidaknya
terdapat puluhan jenis kayu yang tersebar di berbagai kelompok hutan di
Kabupaten Balangan. Misalnya kayu jenis Ulin, Meranti, Kamper, Binuang,
Nyatoh, Bintungan dan lain-lain.

2.6.5 Perdagangan dan Jasa


Kegiatan perdagangan skala kabupaten terpusat di Kota Paringin dan
sepanjang koridor jalan utama kota, berupa pasar Paringin, pasar modern,
pertokoan, kuliner dan aneka usaha perdagangan lainnya. Pasar Modern
Paringin sebagai ikon Kabupaten Balangan merupakan upaya Pemerintah
daerah mengangkat harkat pedagang kecil dan tradisional dengan
menyediakan tempat berjualan yang bersih, tertata dan nyaman, yang
pembangunannya diresmikan oleh Gubernur Provinsi Kalsel pada tahun 2014.

Kegiatan usaha perdagangan mengalami peningkatan yang cukup signifikan,


dimana pada tahun 2005 hanya terdapat 4 pedagang menengah dan 28
pedagang kecil, saat ini berdasarkan data tahun 2013 meningkat menjadi 52
pedagang besar, 81 pedagang menengah, dan 159 pedagang kecil. Saat ini
telah terdapat 2 buah pasar kecamatan diluar pasar Paringin, yang beroperasi
dan berfungsi setiap hari melayani transaksi jual beli masyarakat, yang cukup
refresentatif dan permanen yaitu Pasar Kecamatan Batumandi dan Pasar
Kecamatan Halong, yang mengindikasikan tumbuh dan berkembangnya
ekonomi lokal di kedua kecamatan tersebut.

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kegiatan


perdagangan dan ekonomi Kabupaten Balangan, memicu tumbuhnya sektor
jasa yang melayani seluruh kebutuhan pelaku usaha dan masyarakat, antara
lain dibukanya beberapa kantor cabang perbankan dengan fasilitas penunjang
mesin ATM, yaitu Bank Kalsel, BNI 46, BRI dan BPR. Sektor jasa lainnya yang
berkembang antara lain jasa perhotelan, asuransi, servis dan dealer kendaraan.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan II-20

Jumlah hotel di Kabupaten Balangan sebanyak 3 buah terdapat di Kecamatan


Paringin dan Kecamatan Paringin Selatan.

2.6.6 Pertumbuhan Ekonomi


Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Balangan pada tahun 2013 mengalami
pertumbuhan yang melambat dibanding tahun sebelumnya. Berdasarkan
perhitungan PDRB tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Balangan
adalah sebesar 4,22 % (tanpa minyak bumi dan pertambangan). Nilai PDRB
atas dasar harga konstan 2000 dengan minyak bumi dan pertambangan pada
tahun 2013 adalah 1.745,7 miliar rupiah. Nilai tersebut meningkat sebesar 5,88
% dari tahun sebelumnya.

Struktur ekonomi Balangan masih dikuasai oleh sektor primer yakni sektor
pertanian dan sektor pertambangan & penggalian. Sektor ini mampu
memberikan kontribusi sampai dengan 85,49 %, dimana andil terbesar
didominasi oleh sektor pertambangan & penggalian (68,76 %). Kontribusi
terkecil diberikan oleh sektor listrik & air bersih dimana hanya mampu
menyumbangkan 0,12 % terhadap total PDRB.

Proporsi peranan PDRB terhadap jumlah penduduk dapat dilihat dari angka
PDRB per kapita. Jika dihitung dengan minyak bumi dan pertambangan, nilai
PDRB per kapita sebesar Rp. 35.780.821. Namun jika perhitungan tanpa
minyak bumi dan pertambangan, nilai PDRB per kapita pada tahun 2032 hanya
sebesar Rp. 14.648.800.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-1

BAB III
METODE PELAKSANAAN
PEKERJAAN

3.1 Lingkup Pekerjaan dan Analisis Kegiatan Menurut KAK


Sesuai dengan KAK, maka kegiatan pengumpulan data dan analisis kegiatan
adalah sebagai berikut. Kegiatan pengumpulan data meliputi data-data terkait
dengan: Kebijakan, Data Sekunder dan Data Primer, Peta, Survey pengambilan
Data Sampel Tanah, Data Sampel udara, Sampel Air serta Pengukuran
ketebalan lahan gambut pada masing-masing kawasan gambut.

Sedangkan analisis dan kegiatan meliputi


1) Review tipe, kalsifikasi tipologi dan sebaran lahan gambut;
2) Uji coba inventarisasi karakteristik gambut dengan telemetri;
3) Uji coba teknik bioremediasi berbagai kondisi alam rawa gambut (penyiapan
lahan, uji coba jenis, pola penanaman, penggunaan mikroba, pemilihan jenis
asli setempat, pengayaan, hidrologi)
4) Teknik pencegahan dan pengendalian kebakaran lahan gambut
5) kajian phenologi jenis-jenis pohon rawa gambut : adaptasi terhadap
perubahan iklim
6) Kajian kelembagaan pengelolaan laahn gambut dengan pola partisipatif
7) Kajian deforestasi rawa gambut dalam upaya realisasi target penurunan
emisi 26%
8) Identifikasi Potensi Kawasan Lindung (HCVF) pada ekosistem lahan
gambut.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-2

Hubungan
ubungan antara tujuan, analisis, metode,
m dan keluaran dapat dilihat pada
Gambar 3.1

Gambar 3.1 Hubungan Kegiatan Pengumpulan Data, Analisis Dan


Keluaran

Terkait dengan kondisi tersebut, makadisusunlah metode pekerjaan yang lebih


rinci oleh konsultan sebagaimana dijelaskan pada sub bab berikut ini.

3.2 Metode Pelaksanaan Pekerjaan oleh Konsultan


Kegiatan
giatan pertama yang akan dilakukan oleh Konsultan adalah melakukan
persiapan dengan menyiapkan hal
hal-hal sebagai berikut :
(1) Konsolidasi Team
(2) Penyusunan rencana kerja
(3) Penyusunan Jadwal pelaksanaan pekerjaan
(4) Penyiapan surat jalan/survey dan koordinasi dengan pemberi tugas.
Pada tahap ini, Konsultan akan melakukan koordinasi dengan Pemberi
tugas guna memperoleh kesepakatan terhadap rencana kerja yang sudah
disusun.
(5) Penyiapan peralatan Survey (Alat Ukur, GPS, Kamera)

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-3

3.3 Metode Kegiatan


Untuk menyelesaikan pekerjaan ini tahapan pekerjaan yang direncanakan
meliputi :
 Perencanaan survey Studi Penelitian Lahan Gambut
 Survey wilayah area untuk Studi Penelitian Lahan Gambut
 Evaluasi Hasil Survey Studi Penelitian Lahan Gambut
 Penyusunan Studi Penelitian Lahan Gambut
 Analisa Data
 Finalisasi Pekerjaan

Proses Pelaksanaan pekerjaan dengan rincian kegiatan dapat dilihat pada


Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Proses Pelaksanaan Pekerjaan

Rincian Kegiatan Pelaksanaan


Tahapan Proses Pekerjaan
Pekerjaan
Perencanaan Survey o Perencanaan Survey Lahan
Gambut
o Perancangan penentuan Lahan
Gambut
Survey o Survey literatur
o Survey instansi
o Survey kondisi eksisting
o Pemetaan situasi Lahan
Gambut
Evaluasi Hasil Survey o Kajian Lahan Gambut
o Kajian Multimedia Interaktif
o Data dan informasi lingkungan
hidup
Finalisasi Pekerjaan o Penyempurnaan analisis data
spasial dan data non spasial
(numerik atau grafis)
o Penyempurnaan Studi
Penelitian Lahan Gambut

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-4

a. Tahap Persiapan
Tahap ini meliputi studi kepustakaan, persiapan teknik survei, dan
mobilisasi. Studi kepustakaan berdasarkan hasil penelitian atau hasil kajian
terdahulu, buku-buku, jurnal, atau dokumen lain yang dapat memberikan
data dan informasi lingkungan hidup. Data dan informasi lingkungan hidup
yang diperlukan meliputi :
• Potensi, ketersediaan dan sebaran sumber daya alam
• Jenis sumber daya alam yang dimanfaatkan
• Bentuk penguasaan sumber daya alam
• Pengetahuan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam
• Bentuk pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
• Gas rumah kaca
• Kerentanan terhadap perubahan iklim
• Jasa ekosistem
• Keragaman karakter dan fungsi ekologis
• Aspek lain yang terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup;

b. Tahap Pelaksanaan ;
Berdasarkan data dan informasi lingkungan hidup yang tersedia (sekunder),
kemudian dipelajari dan dilakukan observasi atau orientasi lapangan
berdasarkan peta dasar. Survei lapangan dilakukan secara mendalam, baik
survei instansional terhadap data yang terdapat pada setiap instansi atau
lembaga terkait, maupun survei lapangan dalam rangka pengumpulan data
secara mendetail dan menyeluruh dari seluruh komponen data dan
informasi lingkungan hidup agar sesuai dengan tujuan dan sasaran sebagai
berikut :
 Mengidentifikasi, menganalisis, dan mendeskripsikan karakteristik
komponen lingkungan pada setiap satuan ekosistem, meliputi:
 karakteristik komponen abiotik atau fisik, baik dalam aspek klimatologi,
geologi, geomorfologi, hidrologi, tanah, dan penggunaan lahan;
 karakteristik komponen biotik atau hayati, baik aspek jenis dan
persebaran flora maupun fauna, khususnya yang menunjukkan

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-5

kekhasan daerah;
 karakteristik komponen kultural atau manusia dan perilakunya, baik
mencakup aspek kependudukan, sosial ekonomi, social budaya, dan
infrastruktur wilayah.
 Mengidentifikasi, menganalisis dan mendeskripsikan berbagai
permasalahan lingkungan yang telah terjadi pada setiap satuan
ekosistem.
 Menyajikan setiap karakteristik dan permasalahan lingkungan secara
keruangan (spasial) dalam bentukpeta yang lebih akurat, bersifat
sistematik, informatif dan komunikatif, agar lebih mudah dipahami oleh
setiap pengguna data, dalam bentuk Sistem informasi Geografis dan
multimedia Interaktif.
 Deskripsi umum wilayah kajian; Karakteristik lingkungan fisik;
Karakteristik lingkungan hayati; Karakteristik lingkungan cultural,
Karakteristik infrastruktur wilayah; dan Permasalahan lingkungan secara
umum, baik permasalahan lingkungan fisik, hayati, kultural, maupun
infrastruktur.

c. Tahap Analisis ;
Tahap ini meliputi kegiatan analisis data spasial dan data non spasial
(numerik atau grafis). Data yang sudah dilakukan kompilasi dan ditabulasi
kemudian dilakukan analisis melalui kegiatan :
 Tumpang susun informasi geospasial tematik
 Pengolahan data statistik
 Pengukuran indeks kualitas lingkungan
 Analisis lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
 Pelaporan ;

3.4 Metode Penyusunan Studi Penelitian Lahan Gambut


Penyusunan Studi Penelitian Lahan Gambut ini merupakan salah satu
pendukung Kebijakan yang dicanangkan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Konsep penyusunan Studi Penelitian Lahan Gambut tampaknya

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-6

bisa menjadi jawaban dan jembatan yang mengkaitkan antara perencanaan


pembangunan, penataan ruang, dan pertimbangan lingkungan hidup”. Dengan
menggunakan pendekatan penyusunan Studi Penelitian Lahan Gambut,
dimungkinkan untuk mengintegrasikan berbagai ekosistem yang kini cenderung
dikelola secara terpisah, termasuk menyatukan dan mengintegrasikan antara
perencanaan berbasis darat dan laut. Kehidupan masyarakat senantiasa
berkait erat dengan tatanan alami Lingkungan Hidup, maka kehidupan ekonomi
masyarakat perlu didasarkan pada batasan-batasan daya dukung alam yang
ada di wilayahnya. Pendekatan lingkungan hidup akan memberi ruang bagi
tumbuhnya hukum lokal yang sesuai dengan karakteristik daerah, menyediakan
proses-proses komunikasi di dalam masyarakat (lokal) untuk mendorong
terselesaikannya masalah open access sumber daya alam melalui kepastian
hak atas sumber daya alam.

Keunikan dan daya dukung lingkungan dalam suatu lingkungan hidup perlu
digunakan sebagai dasar perencanaan LH dan pembangunan wilayah, yang
mungkin memiliki keragaman etnis. Oleh karena itu kewenangan tertentu dalam
suatu batas administrasi harus menyesuaikan dengan batasan-batasan dalam
perencanaan wilayah yang telah ditetapkan dalam suatu lingkungan hidup.

Penetapan Lingkungan hidup ditujukan untuk dapat dimanfaatkan sebagai :


1. Unit analisis dalam menetapkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan.
2. Dasar dalam memberikan arah untuk penetapan rencana perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup bahkan untuk perencanaan
pembangunan yang disesuaikan dengan karakter wilayah.
3. Memperkuat kerjasama dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan
hidup yang mengandung persoalan pemanfaatan, pencadangan Sumber
Daya Alam maupun permasalahan Lingkungan Hidup yang sifatnya
lintas batas administrasi.
4. Acuan untuk pengendalian dan pelestarian jasa ekosistem/lingkungan
yang mempertimbangkan keterkaitan antar ekosistem yang satu dengan
ekosistem yang lain dalam suatu lingkungan hidup, sehingga dapat

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-7

dicapai produktivitas optimal untuk mendukung pembangunan yang


berkelanjutan.

Tindak lanjut penyusunan Studi Penelitian Lahan Gambut dilaksanakan melalui


langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menyusun pedoman penyusunan Studi Penelitian Lahan Gambut
2. Menyusun Kebutuhan Data Geospasial Untuk Pengelolaan Lingkungan
hidup;
3. Pendetilan peta lingkungan hidup
4. Pemanfaatan peta lingkungan hidup untuk basis perencanaan dan
pengelolaan lingkungan hidup

Konsep Dasar penyusunan Studi Penelitian Lahan Gambut Dalam Rencana


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
 Keberlanjutan(sustainability), konsep keberlanjutan yang digunakan disini
berasosiasi dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang diperkenalkan
oleh World Commission on Environment and Development Partidario (2007)
mendefinisikan keberlanjutan sebagai suatu proses atau kondisi tertentu
yang dicapai sebagai hasil pembangunan berkelanjutan yang berlangsung
dalam jangka panjang waktu yang panjang. Lebih lanjut dalam Undang-
Undang No 32 Tahun 2009 mendefinisikan pembangunan berkelanjutan
adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan
hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin
keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan,
dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
 Penetapan lingkungan hidup dimaksudkan untuk melakukan perencanaan
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sehingga
dapatmenjamin: a) perlindungan terhadap hak setiap orang untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat; b) perlindungan
terhadap keseluruhan ekosistem.
 Penetapan wilayah lingkungan hidup dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kesamaan karakteristik bentang alam, iklim, daerah
aliran sungai, flora dan fauna, social budaya, ekonomi, kelembagaan

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-8

masyarakat, dan hasil inventarisasi lingkungan (pasal 7 ayat (2)).


 Lingkungan hidup mempunyai fungsi pengelolaan, menentukan daya dukung
dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam. Batas lingkungan
hidup tidak bergantung pada batas wilayah administrasi.

Kegiatan pengumpulan data sekunder akan dilakukan dengan mengumpulkan


laporan hasil studi, kebijakan, yang terkait dengan permasalahan lingkungan
serta peta yang tersedia dari berbagai instansi Pemerintah atau swasta terkait.
Pengumpulan data terdiri atas data-data yang bersifat data dasar diantaranya
peta topografi yang akan dipakai sebagai dasar perhitungan besaran-besaran
yang menyangkut luasan, arah dan posisi. Data sekunder lainnya didapatkan
dengan melakukan koordinasi terhadap instansi terkait, seperti : Bappeda,
BPN, Dinas Kehutanan, BMG, Dep. Pekerjaan Umum, Dep. Pertanian, Dinas
Pengairan dan Instansi Terkait lainnya. Data-data yang dikumpulkan antara lain
adalah :
 Peta Topografi skala 1: 50.000
 Peta RDTRK
 Peta Kesesuaian Lahan skala 1 : 50.000
 Peta Tata Guna Lahan
 Data Kualitas Air
 Data Hidrologi dan Klimatologi
 Data Agronomi
 Data Lingkungan
 Data Potensi Hutan
 Data Potensi SDA

Disamping data-data tersebut di atas juga dikumpulkan data :


 Data Sosial Ekonomi & Kependudukan.
Meliputi data jumlah dan distribusi penduduk disetiap kecamatan, fasilitas
infrastrukstur, perekonomian penduduk, pola penggunaan lahan, sarana
dan prasarana penyediaan air bersih dan lain-lain. Data didasarkan kepada
data statistik kecamatan yang diperoleh dari Kantor Kecamatan dan Biro

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-9

Pusat Statistik.
 Data & Peta Tata Guna Tanah, RTRW & RUTR.
Informasi pola penggunaan lahan eksisting selain didasarkan kepada data
penggunaan tanah dari kantor kecamatan juga dikonfirmasikan dengan peta
tata guna tanah yang diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional.
Sedangkan rencana pemanfaatan lahan dimasa mendatang didasarkan
kepada RTRW Kabupaten serta Rencana Umum Tata Ruang (RUTR)
Kecamatan di tiap Kabupaten/Kota.
 Data Kegiatan Perekonomian.
Meliputi data yang erat kaitannya dengan kegiatan industri dan
perdagangan, pelabuhan pertambangan, dan lain-lain.

A. Orientasi Lapangan
Orientasi Lapangan dilakukan untuk melakukan konfirmasi data terdahulu
dengan kenyataan kondisi lapangan yang sesungguhnya dan identifikasi
permasalahan yang ada dilapangan. Orientasi lapangan meliputi aspek :
kelayakan peta dasar, kondisi fisik & sosial ekonomi serta gambaran umum
potensi sumber daya alam. Hasil kunjungan lapangan ini dijadikan masukan
dalam menyusun rencana kerja pelaksanaan survey dan metoda kerja yang
akan dilaksanakan.
B. Identifikasi dan Inventarisasi Studi Penelitian Lahan Gambut
Secara rinci peta-peta yang dikumpulkan untuk melakukan perhitungan
ketersediaan dan kebutuhan Lahan Gambut meliputi :
1. Peta Topografi
Peta topografi dapat diperoleh dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei
dan Pemetaan Nasional). Ada 2 macam peta topografi yang diperoleh.
Yangpertama adalah peta dengan skala 1 : 250.000 dalam format digital,
sedangkan yang kedua adalah peta dengan skala 1 : 25.000 dalam format
cetakan/hard copy. Peta ini menjadi peta dasar dalam pekerjaan ini.
2. Peta Prasarana

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-10

Peta prasarana diperoleh dari Departemen Permukiman dan


PrasaranaWilayah. Berhasil diperoleh peta prasarana dalam tingkat
kabupaten
3. Peta Tata Guna Lahan dan Penutupan Lahan
Data tata guna lahan dan penutupan lahan sangat penting sifatnya
dalammelakukan analisis terhadap kejadian banjir dan kekeringan. Agar
data tataguna lahan dan penutupan lahan ini benar-benar sesuai dengan
keadaansaat ini maka data ini dianalisis dari citra satelit Landsat ETM-7
yang diperoleh dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN) maupun dari Badan Planologi Kehutanan (BAPLAN) Departemen
Kehutanan. Citra satelit tersebut diinterpretasi sehingga dihasilkan peta tata
guna lahan dan penutupan lahan.
4. Peta Administrasi
Peta batas-batas wilayah administrasi diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS). Dengan peta ini maka diperoleh batas-batas wilayah yang
administrasi sesuai dengan perkembangannya sampai dengan tahun
2003.Batas-batas ini sangat berguna karena kebijakan biasanya lebih
mudah dilaksanakan apabila dibuat sesuai dengan wilayah administrasi
yang jelas
5. Data Kependudukan
Untuk dapat melakukan proyeksi pertumbuhan penduduk untuk masing-
masing daerah data Potensi Desa digunakan data statistik dari Kabupaten
Dalam Angka yang juga oleh dikeluarkan Badan Pusat Statistk (BPS). Buku
Kabupaten dalam Angka menyajikan data statistik dari berbagai sektor yang
berasal dari instansi pemerintah maupun swasta kabupaten yang terkait
serta beberapa data dari sensus dan survei yang dilakukan oleh BPS. Data
Kabupaten dalam Angka yang dipergunakan adalah tahun terkini

C. Inventarisasi Data Sekunder Lainnya


Selain data-data sekunder diatas ada beberapa data lain yang diperoleh
dandigunakan dalam pekerjaan. Data-data tersebut sangat membantu
dalammengadakan analisis atas permasalahan yang ada di wilayah. Data-data

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-11

sekunder penunjanglain tersebut secara umum diperoleh dariinstansi-instansi


pemerintah yang terkait, oleh karena itu dalam pencarian datadiperlukan surat
resmi. Untuk keperluan itu Konsultan mengadakankorespondensi dengan
instansi-instansi tersebut atas nama Pemilik Pekerjaandengan mengirimkan
surat-surat permohonan data. Sudah banyak surat-suratpermohonan data yang
telah terkirim dan macam-macam respon yang telahdidapatkan.Data-data
pendukung tersebut secara lebih rinci meliputi data-data sebagai berikut :
1. Data Statistik: SLHD Dalam Angka, Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), Penyusunan Data Sosial Ekonomi Daerah (Suseda), Ikthisar Data
Pembangunan, Monografi
2. Rencana Wilayah: Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, Program
Pembangunan Daerah, Pola Dasar Pembangunan Jangka Panjang,
Rencana Strategis Daerah
3. Data Bencana: Prakiraan Musim Kemarau di Indonesia per tahun penerbitan
(+digital) dari B M , Daftar Inventarisasi Kerusakan dan Penanganan
Lingkungan, Laporan Kekeringan, Pelaporan dan Evaluasi Kejadian Banjir
Musim Hujan, Daftar Lokasi Kritis Bangunan Air dan RawanGenangan,
Laporan Daerah Banjir dan Kekeringan Wilayah, Laporan Bencana
Kebakaran
4. Daerah Aliran Sungai: Peta Hidrogeologi (1:100.000) Dalam dan
Permukaan, Laporan Pemantauan Kuantitas dan Kualitas Air, Data Kualitas
Air,
5. Data Lain yang Terkait: Statistik Lingkungan Hidup (BPS), Urutan DAS
Prioritas dan Lahan Kritis 2002 (Dephut), Pola Pengembangan,
Pengusahaan, dan Pemanfaatan Prasarana (Dinas PSDA), Rencana
Strategis, Data Uji Emisi/Polusi Udara Akibat Aktivitas Industri di Kabupaten
Balangan.

Ringkasan Analisis yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-12

Tabel 3.2 Ringkasan Analisis

Tujuan Sasaran Analisis/Kegiatan Metode


Pengambilan Data

Mengidentifikasi dan 1. Tersedianya 1. Review tipe, 1. Review tipe,


menganalisis data dan klasifikasi klasifikasi
karakteristik lahan informasi tipologi dan tipologi dan
gambut di Kabupaten mengenai sebaran lahan sebaran
Balangan; tipe, gambut; lahan
klasifikasi 2. Kajian gambut;
tipologi, deforestasi rawa 2. Kajian
kedalaman gambut deforestasi rawa
serta sebaran gambut
lahan gambut;
2. Tersedianya
data dan
informasi
dampak
deforestasi
terhadap
emisi Gas
Rumah Kaca
(GRK);
Mengidentifikasi dan 1. Tersedianya 3. Kajian 1. Kajian phenologi
manganalisis data dan phenologi jenis- jenis-jenis
keragaman hayati informasi jenis pohon pohon rawa
pada lahan gambut; mengenai rawa gambut gambut
pola 4. Identifikasi 2. Identifikasi
perbungaan Potensi Potensi Kawasan
dan Kawasan Lindung (HCVF)
pembuahan Lindung pada ekosistem
jenis-jenis (HCVF) pada lahan gambut.
pohon di ekosistem
lahan gambut; lahan gambut.
2. Tersedianya
data dan
informasi
Potensi serta
terindentifikasi
nya kawasan
Lindung/High
Consevation
Value Forest
("HCVF") di
lahan gambut;

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan III-13

Mengidentifikasi dan Tersedianya data Kajian Kajian kelembagaan


menganalisis kondisi dan informasi kelembagaan pengelolaan lahan
sosioekonomi mengenai pengelolaan lahan gambut
masyarakat di sekitar kelembagaan gambut
Kawasan lahan pengelolaan
Gambut; lahan gambut
dengan pola
partisiffatif;
Mengidentifikasi Tersedianya Kajian phenologi Kajian phenologi
potensi sumberdaya saran dan jenis-jenis pohon jenis-jenis pohon
lahan lahan gambut rekomendasi rawa gambut rawa gambut
untuk kegiatan pada untuk
instansi yang pengelolaan serta
berkompeten; pola budidaya
pada lahan
gambut.
Mengidentifikasi 1. Tersedianya 3. Uji coba teknik 1. Uji coba teknik
potensi rehabilitasi data dan bioremediasi bioremediasiberba
sumberdaya lahan di informasi 4. Teknik gai kondisi alam
sekitar permukiman serta paket pencegahan rawa gambut
apabila terjadi teknologi dan (penyiapan lahan,
kerusakan untuk pencegahan pengendalian uji coba jenis, pola
kegiatan dan kebakaran penanaman,
penghijauan. pengendalian lahan gambut penggunaan
kebakaran mikroba, pemilihan
lahan jenis asli setempat,
gambut; pengayaan,
2. Tersedianya hidrologi)
data dan 2. Teknik
informasi pencegahan dan
serta paket pengendalian
teknologi kebakaran lahan
rehabilitasi gambut
lahan
gambut;
Mengukur Tersedianya data Uji coba
kedalaman/ketebalan informasi hasil uji inventarisasi
lahan gambut pada coba inventarisasi karakteristik
masing-masing karakteristik gambut dengan
kawasan gambut dengan telemetri;
telemetri;

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-1

BAB IV
TEORI LAHAN GAMBUT

Ada berbagai referensi tentang lahan Gambut. Penjelasan berikut ini disarikan
dari Agus, F. dan I.G. M. Subiksa (2008), Lahan Gambut: Potensi untuk
Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World
Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia.
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik
(C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik
penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk
sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya
lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau
daerah cekungan yang drainasenya buruk.

4.1. Pembentukan Gambut


Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang
sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan
lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses
pedogenik (Hardjowigeno, 1986).
Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang lalu (pada
periode Holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun
yang lalu (Andriesse, 1994). Gambut di Serawak yang berada di dasar kubah
terbentuk 4.300 tahun yang lalu (Tie and Esterle, 1991), sedangkan gambut di
Muara Kaman Kalimantan Timur umurnya antara 3.850 sampai 4.400 tahun

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-2

(Diemont and Pons, 1991). Siefermann et al. (1988) menunjukkan bahwa


berdasarkan carbon dating (penelusuran umur gambut menggunakan teknik
radio isotop) umur gambut di Kalimantan Tengah lebih tua lagi yaitu 6.230
tahun pada kedalaman 100 cm sampai 8.260 tahun pada kedalaman 5 m. Dari
salah satu lokasi di Kalimantan Tengah, Page et al. (2002) menampilkan
sebaran umur gambut sekitar 140 tahun pada kedalaman 0-100 cm, 500-5.400
tahun pada kedalaman 100-200 cm, 5.400-7.900 tahun pada kedalaman 200-
300 cm, 7.900-9.400 tahun pada kedalaman 300-400 cm, 9.400-13.000 tahun
pada kedalaman 400-800 cm dan 13.000-26.000 tahun pada kedalaman 800-
1.000 cm.
Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa pembentukan gambut
memerlukan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan
antara 0-3 mm/tahun. Di Barambai Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan laju
pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm dalam satu tahun, sedangkan di
Pontianak sekitar 0,13 mm/tahun. Di Sarawak Malaysia, laju pertumbuhan
berjalan lebih cepat yaitu sekitar 0,22 –0,48 mm per tahun (Noor, 2001 dari
berbagai sumber).
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara
perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang
mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi
lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di
bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian
yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-
lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 1a dan 1b).
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan
gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi
daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena
adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada
banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut
tersebut.
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil
pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-3

memberntuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar


1c). Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut
ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen
lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena
hampir tidak ada pengkayaan mineral.

Gambar 4.1. Proses Pembentukan Gambut Di Daerah Cekungan Lahan


Basah: A. Pengisian Danau Dangkal Oleh Vegetasi Lahan Basah, B.
Pembentukan Gambut Topogen, Dan C. Pembentukan Gambut Ombrogen
Di Atas Gambut Topogen (Noor, 2001 Mengutip Van De Meene, 1982).

4.2. Klasifikasi Gambut


Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol
atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-4

jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g/cm3dengan tebal > 60 cm atau
lapisan organik dengan BD > 0,1 g/cm3dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff,
2003).
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang
berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi
pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan
menjadi:
• Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila
diremas kandungan seratnya < 15%.
• Gambut hemik (setengah matang) (Gambar 2, bawah) adalah gambut
setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma
coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%.
• Gambut fibrik (mentah) (Gambar 2, atas) adalah gambut yang belum
melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila
diremas >75% seratnya masih tersisa.

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:


• Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral
dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya
adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
• Mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan
mineral dan basa-basa sedang
• Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari
pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik

Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan


oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan
umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai.
Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan
basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-5

Gambut di Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di


Kalimantan.
Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:
• Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang
hanya dipengaruhi oleh air hujan.
• Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat
pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya
mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.
Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:
 Gambut Dangkal (50 – 100 Cm),
 Gambut Sedang (100 – 200 Cm),
 Gambut Dalam (200 – 300 Cm), Dan
 Gambut Sangat Dalam (> 300 Cm)
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:
 Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan
mendapat pengayaan mineral dari air laut
 Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak
dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan
 Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah
tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.

4.2.1. Karakteristik fisik


Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian
meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing
capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik
(irriversible drying).
Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya
(Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13
kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu
mengalirkan air ke areal sekelilingnya (Gambar 3). Kadar air yang tinggi
menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan
bebannya rendah (Nugroho, et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BD tanah gambut

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-6

lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat
dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah

memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur

aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya
pengaruh tanah mineral.
Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi
penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume,
subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2
tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai

50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1


tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya
subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung.
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban
(bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya
peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa
menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan
seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh.
Pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena memudahkan bagi
petani untuk memanen sawit.
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut
yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa
menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama
dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar
dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut yang terbakar
menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut
yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah
permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.

4.2.2. Karakteristik kimia


Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh
kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar
gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-7

Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi
organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan
sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin,
tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.
Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi
dengan kisaran pH 3 - 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir
kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75
(Halim, 1987; Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan
Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1
sampai 4,3 (Hartatik et al., 2004).
Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai
kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama
pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya
semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan
Suhardjo, 1976). Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong
tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut
Pertanian Bogor (1974) melaporkan bahwa tanah gambut pedalaman di
Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10%,
demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).
Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah
muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila pH
gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi
hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK
menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK
yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida
(pada pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi
menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun
kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan
Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.
Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena
kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam
organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-8

asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan


kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam
organik ini akan menentukan sifat kimia gambut.
Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat
dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung
kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk
ikatan koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat.
Oleh karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa
dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et al., 1997; Saragih,
1996).
Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat
cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman.
Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro
direduksi ke bentuk yang tidak dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro
pada tanah gambut dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral
atau menambahkan pupuk mikro.
Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan
lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah
beriklim sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan (Driessen dan Suhardjo,
1976). Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan
terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat (Kononova, 1968).
Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan
menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson,
1994; Rachim, 1995). Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-
asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat
pertumbuhan akar dan serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman menjadi
kerdil, daun mengalami klorosis (menguning) dan pada akhirnya tanaman akan
mati. Turunan asam fenolat yang bersifat fitotoksik antara lain adalah asam
ferulat, siringat , p-hidroksibenzoat, vanilat, p-kumarat, sinapat, suksinat,
propionat, butirat, dan tartrat (Dr. Wiwik Hartatik dan Dr. Diah Setyorini,
komunikasi pribadi).

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-9

4.3. Potensi dan pengelolaan lahan gambut untuk tanaman pangan


4.3.1. Potensi lahan gambut untuk tanaman pangan semusim
Sesuai dengan arahan Departemen Pertanian (BB Litbang SDLP, 2008), lahan
gambut yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada
gambut dangkal (< 100 cm). Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal
memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan memiliki risiko lingkungan
lebih rendah dibandingkan gambut dalam.
Lahan gambut dengan kedalaman 1,4 - 2 m tergolong sesuai marjinal (kelas
kesesuaian S3) untuk berbagai jenis tanaman pangan. Faktor pembatas utama
adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung
pertumbuhan tanaman. Tanaman pangan yang mampu beradaptasi antara lain
padi, jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran
lainnya (Gambar 6).

4.3.2 Pengelolaan air


Budidaya tanaman pangan di lahan gambut harus menerapkan teknologi
pengelolaan air, yang disesuaikan dengan karakteristik gambut dan jenis
tanaman. Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10 - 50 cm diperlukan
untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada lahan gambut.
Tanaman padi sawah pada lahan gambut hanya memerlukan parit sedalam 10-
30 cm. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan
keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian
asam-asam organik. Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase maka
hasil tanaman semakin tinggi. Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan
tanaman, namun semakin dalam saluran drainase akan semakin cepat laju
subsiden dan dekomposisi gambut (akan diuraikan lebih lanjut dalam Bagian
5.2).

4.3.3. Pengelolaan kesuburan tanah


Tanah gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan upaya ameliorasi
untuk meningkatkan pH sehingga memperbaiki media perakaran tanaman.
Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-10

diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa


tanah (Subiksa et al, 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999; Tabel 2).
Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai pH 5
saja karena gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH
sampai tidak lebih dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut.
Pengaruh buruk asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan
menambahkan bahan-bahan amelioran yang banyak mengandung kation
polivalen seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak,
1999; Sabiham et al, 1997). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi
dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario, 2002;
Salampak, 1999; Suastika, 2004; Subiksa et al., 1997).

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-11

Tabel 4.1. Dosis Anjuran Dan Manfaat Pemberian Amelioran Pada Tanah
Gambut.

Jenis amelioran Dosis Manfaat


(t ha-1 tahun-1)
Kapur 1–2 Meningkatkan basa-basa dan pH
tanah
Pupuk kandang 5 – 10 Memperkaya unsur hara makro/mikro
Terak baja 2–5 Mengurangi fitotoksik asam organik,
meningkatkan efisiensi pupuk P
Tanah mineral 10 – 20 Mengurangi fitotoksik asam organik,
meningkatkan kadar hara makro/mikro
Abu 10 – 20 Meningkatkan basa-basa, dan pH
tanah
Lumpur sungai 10 – 20 Mengurangi fitotoksik asam organik,
meningkatkan basa-basa, unsur hara
Keterangan: Bebarapa amelioran dapat menggantikan fungsi amelioran lainnya. Misalnya,
dengan pemberian kapur, pemberian abu dapat dikurangi dan sebaliknya.

Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut sangat rendah.


Jenis pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan Mg.
Walaupun KTK gambut tinggi, namun daya pegangnya rendah terhadap kation
yang dapat dipertukarkan sehingga pemupukan harus dilakukan beberapa kali
(split application) dengan dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci.
Penggunaan pupuk yang tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik
dibandingkan dengan SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan
dapat meningkatkan pH tanah (Subiksa et al., 1991). Penambahan kation
polivalen seperti Fe dan Al akan menciptakan tapak jerapan bagi ion fosfat
sehingga bisa mengurangi kehilangan hara P melalui pencucian (Rachim,
1995)
Tanah gambut juga kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat) oleh bahan
organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan pemupukan unsur mikro

seperti terusi, magnesium sulfat dan seng sulfat masing-masing 15 kg ha-1

tahun-1, mangan sulfat 7 kg ha-1 tahun-1, sodium molibdat dan borax masing-

masing 0,5 kg ha-1 tahun-1. Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-12

kehampaan pada tanaman padi, tongkol kosong pada jagung atau polong
hampa pada kacang tanah.

4.3.4 Potensi dan pengelolaan lahan gambut untuk tanaman tahunan


4.3.4.1. Potensi lahan gambut untuk tanaman tahunan
Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong sesuai marjinal
(kelas kesesuaian S3) untuk beberapa tanaman tahunan seperti karet dan
kelapa sawit, sedangkan gambut yang tipis termasuk agak sesuai (kelas
kesesuaian S2). Gambut dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman
tahunan kecuali jika ada sisipan/pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral
(Djainudin et al., 2003). Gambut dengan ketebalan >3m diperuntukkan sebagai
kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32/1990. Hal ini
disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh (fragile) apabila
dikonversi menjadi lahan pertanian.

4.3.4.2. Pengelolaan air


Reklamasi gambut untuk pertanian tanaman tahunan memerlukan jaringan
drainase makro yang dapat mengendalikan tata air dalam satu wilayah dan
drainase mikro untuk mengendalikan tata air di tingkat lahan. Sistem drainase
yang tepat dan benar sangat diperlukan pada lahan gambut, baik untuk
tanaman pangan maupun perkebunan. Sistem drainase yang tidak tepat akan
mempercepat kerusakan lahan gambut.
Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah
bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi
untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu
dalam.
Tanaman tahunan memerlukan saluran drainase dengan kedalaman berbeda-
beda. Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro sekitar 20 cm,
tanaman kelapa sedalam 30-50 cm, sedangkan tanaman kelapa sawit
memerlukan saluran drainase sedalam 50-80 cm. Gambut yang relatif tipis
(<100 cm) dan subur juga dapat ditanami dengan tanaman kopi dan kakao
dengan saluran drainase sedalam 30-50 cm.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-13

Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunan permukaan


(subsiden) dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan gambut akan cepat
berkurang dan daya sangganya terhadap air menjadi menurun.
Jika lahan gambut digunakan untuk perkebunan sagu (Gambar 7) atau nipah,
pembuatan saluran drainase tidak diperlukan karena kedua jenis tanaman ini
merupakan tanaman rawa yang toleran terhadap genangan. Sagu dapat
menjadi alternatif tanaman sumber karbohidrat selain beras. Tanaman nipah
menghasilkan nira, bahan baku gula dengan rendemen tinggi dan kualitas yang
tidak kalah dibandingkan gula aren.

4.3.4.3. Pengelolaan kesuburan tanah


Unsur hara utama yang perlu ditambahkan untuk berbagai tanaman tahunan di
lahan gambut terutama adalah unsur P dan K. Tanpa unsur tersebut
pertumbuhan tanaman sangat merana dan hasil tanaman yang diperoleh
sangat rendah. Sedangkan unsur hara lainnya seperti N dibutuhkan dalam
jumlah yang relatif rendah karena bisa tersedia dari proses dekomposisi
gambut.

4.4. Aspek Lingkungan Lahan Gambut


4.4.1 Lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon
Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun
menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari
seluruh karbon atmosfir, setara dengan seluruh karbon yang dikandung
biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali
simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007). Lahan gambut
menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah hutan gambut,
lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dari
berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman
menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi.
Lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada
lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-14

tanaman pada tanah mineral (Tabel 4.2).


Tabel 4.2. Kandungan Karbon Di Atas Permukaan Tanah (Dalam Biomassa
Tanaman) Dan Di Bawah Permukaan Tanah Pada Hutan Gambut Dan
Hutan Tanah Mineral (T/Ha).

4.4.2. Emisi Gas Rumah Kaca


Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara
simultan, namun besaran masing-masingnya tergantung keadaan alam dan
campur tangan manusia. Dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya
jenuh air (suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung
lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi. Karena itu gambut tumbuh

dengan kecepatan antara 0-3 mm tahun-1 (Parish et al., 2007). Pada tahun-
tahun di mana terjadi kemarau panjang, misalnya tahun El-Niño, kemungkinan
besar gambut tumbuh negatif (menipis) disebabkan lapisan permukaannya
berada dalam keadaan tidak jenuh (aerob) dalam waktu yang cukup lama
sehingga emisi karbon lebih cepat dari penambatan.
Gas rumah kaca (GRK) utama yang keluar dari lahan gambut adalah CO 2, CH4
dan N2O. Emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4
(walaupun dikalikan dengan global warming potentialnya setinggi 23 kali CO2)
(Tabel 4) dan emisi N2O. Dengan demikian data emisi CO2 sudah cukup kuat
untuk merepresentasikan emisi dari lahan gambut, apabila pengukuran GRK
lainnya seperti CH4 dan N2O sulit dilakukan.
Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang berhubungan
dengan drainase dan pembakaran, merubah fungsi lahan gambut dari
penambat karbon menjadi sumber emisi GRK. Lahan hutan yang terganggu
(yang kayunya baru ditebang secara selektif) dan terpengaruh drainase,
emisinya meningkat tajam, bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan emisi dari
lahan pertanian yang juga didrainase (Tabel 4). Hal ini disebabkan oleh

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-15

banyaknya bahan organik segar yang mudah terdekomposisi pada hutan


terganggu.
Emisi CH4 cukup signifikan pada lahan hutan gambut yang tergenang atau
yang muka air tanahnya dangkal (<40 cm). Dengan bertambahnya kedalaman
muka air tanah, emisi CH4 menjadi tidak nyata. Emisi CH4 pada lahan
pertanian relatif kecil karena rendahnya pasokan bahan organik segar yang
siap terdekomposisi secara anaerob (Jauhiainen et al., 2004).
Bentuk intervensi manusia yang sangat mempengaruhi fungsi lingkungan lahan
gambut adalah penebangan hutan gambut, pembakaran hutan gambut dan
drainase (Gambar 8) untuk berbagai tujuan; baik untuk pertanian, kehutanan
(hutan tanaman industri), maupun untuk pemukiman.

Tabel 4.3 Emisi Karbon Dari Permukaan Hutan Gambut Terdegradasi Dan
Dari Lahan Pertanian Gambut Terlantar Di Kalimantan Tengah (Jauhiainen
Et Al., 2004 Dalam Rieley Et Al., 2008).
Penggunaan lahan Emisi CO2 Emisi CH4
t ha-1 tahun -1
Hutan gambut tidak didrainase 38,9 0,014
Hutan gambut yang terpengaruh drainase 40,0 0,013
Hutan gambut sekunder, bekas tebang bersih 34,0 0,001
Lahan pertanian berdrainase, dalam keadaan 19,28 0,001
tidak dikelola

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-16

Gambar 4.2. Skema Proses Emisi Dan Penambatan Karbon Yang


Berhubungan Dengan Pembukaan Hutan Gambut Menjadi Lahan
Perkebunan.

4.4.3. Emisi Dari Kebakaran Biomassa Tanaman

Biomassa tanaman pada hutan lahan basah menyimpan sekitar 200 t C ha -1


(Rahayu et al., 2005). Karbon yang tersimpan tersebut akan hilang dengan
cepat apabila hutan ditebang. Penebangan yang diikuti dengan pembakaran
mempercepat proses emisi dari biomassa hutan gambut.

Sekitar 50% dari kayu penebangan hutan dipanen untuk dijadikan berbagai
bahan perabotan dan perumahan. Karbon di dalamnya akan tersimpan dalam
waktu cukup lama (10-25 tahun) sehingga bisa dianggap menjadi bagian dari
karbon tersimpan satu sampai tiga dekade sesudah hutan dibuka, tergantung
kualitas kayunya. Sisa pohon yang tertinggal di atas permukaan tanah akan
teremisi dalam waktu yang relatif singkat, baik karena terbakarnya biomassa
kayu-kayuan tersebut, maupun karena pelapukan secara biologis. Dari 100 t C

ha-1 biomassa tanaman yang tidak digunakan sebagai produk kayu hasil hutan,

akan menjelma menjadi sekitar 367 t CO2 ha-1 bila teroksidasi secara
sempurna.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-17

4.4.4. Kebakaran Lapisan Gambut


Apabila biomassa tanaman hutan gambut terbakar maka tidak hanya biomassa
tanaman saja yang akan terbakar, tetapi juga beberapa centimeter lapisan
gambut bagian atas yang berada dalam keadaan kering. Lapisan gambut ini
akan rentan kebakaran apabila muka air tanah lebih dalam dari 30 cm. Pada
tahun El Nino seperti tahun 1997, muka air tanah menjadi lebih dalam karena
penguapan sehingga lapisan atas gambut menjadi sangat kering. Dalam
keadaan demikian kebakaran gambut dapat mencapai ketebalan 50 cm (Page
et al., 2002). Dalam keadaan ekstrim ini bara api pada tanah gambut dapat
bertahan berminggu-minggu. Untuk tahun normal Hatano (2004)
memperkirakan kedalaman gambut yang terbakar sewaktu pembukaan hutan

sedalam 15 cm. Apabila kandungan karbon gambut rata- rata adalah 50 kg m -3

(berkisar antara 30 sampai 60 kg m-3; Gambar 8) maka dengan terbakarnya 15


cm lapisan gambut akan teremisi sebanyak 75 t C/haatau ekivalen dengan 275
t CO2/ha.

4.4.5. Emisi Dari Dekomposisi Gambut


Proses emisi pada lahan gambut tidak berhenti sesudah pembukaan hutan.
Selama masa budidaya tanaman pertanian, emisi dalam jumlah tinggi tetap
terjadi disebabkan dekomposisi gambut oleh mikroorganisme. Tingkat
dekomposisi gambut sangat dipengaruhi oleh kedalaman drainase; semakin
dalam drainase, semakin cepat terjadinya dekomposisi gambut.
Hooijer et al. (2006) dari review sejumlah literatur mengemukakan bahwa, untuk
kedalaman drainase antara 30 sampai 120 cm, emisi akan meningkat setinggi

0,91 t CO2 ha-1 tahun-1 untuk setiap penambahan kedalaman drainase


sedalam 1 cm. Apabila untuk kelapa sawit drainase rata-ratanya diasumsikan
sedalam 60 cm, dengan menggunakan hubungan tersebut maka emisi tahunan

adalah sekitar 54,6 t CO2 ha-1.


Akan tetapi nilai emisi sangat bervariasi antar berbagai penelitian. Misalnya,
penelitian Murayama dan Bakar (1996a dan 1996b), pada perkebunan kelapa

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-18

sawit dengan kedalaman drainase 80 cm menemukan tingkat emisi setinggi 54

t CO2 ha-1 tahun-1, namun Hadi et al. (2001) dari pengukuran emisi di hutan

gambut sekunder menemukan emisi setinggi 127 t CO 2 ha-1 tahun-1.


Selanjutnya Barchia dan Sabiham (2002) mendapatkan emisi dari sawah

gambut di Kalimantan Tengah setinggi 4 t CO2 ha-1 tahun-1, sedangkan Hadi


et al. (2001) menemukan emisi dari sawah gambut di Kalimantan Selatan

setinggi 88 t CO2 ha-1 tahun-1. Germer dan Sauerborn (2008) mengusulkan


angka perkiraan emisi dari dekomposisi gambut yang ditanami kelapa sawit

setinggi 31.4 ± 14.1 t CO2 ha-1 tahun-1. Dalam buku ini digunakan angka
perkiraan emisi berdasarkan persamaan Hooijer et al. (2006), yaitu sebesar

54.6 t CO2 ha-1 tahun-1 untuk perkebunan kelapa sawit yang kedalaman
drainasenya sekitar 60 cm. Nilai ini setara dengan hasil pengukuran Melling et

al. (2005) sebesar 55 t CO2 ha-1 tahun-1 dan angka hasil pengukuran

Murayama dan Bakar (1996a dan 1996b) sebesar 54 t CO2 ha-1 tahun-1.
Untuk perkebunan karet diasumsi nilai emisi dari dekomposisi gambut sebesar

18 t CO2 ha-1 tahun-1. Walaupun persamaan Hooijer et al. (2008) berlaku


untuk kisaran kedalaman drainase antara 30-120 cm, namun tingkat emisi

setinggi 18 t CO2 ha-1 tahun-1 berdasarkan persamaan ini sebanding dengan


hasil pengukuran Jauhiainen et al., (2004) sebesar 19 t CO2 (ha.tahun).
Berbagai faktor seperti kadar air tanah, pemupukan, dan suhu tanah, sangat
mempengaruhi jumlah emisi selain kedalaman muka air tanah gambut.
Informasi tentang berbagai faktor ini diperlukan untuk menyertai data emisi.
Selain itu, data pengukuran emisi GRK seperti yang dikutip terdahulu
kebanyakan berasal dari pengukuran jangka pendek sehingga memberikan
gambaran emisi sesaat yang bisa jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari
nilai emisi tahunan yang sebenarnya. Pengukuran emisi GRK jangka panjang
dan berulang, diperlukan untuk meningkatkan keyakinan tentang dugaan emisi
tahunan yang berasal dari proses dekomposisi gambut ini.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-19

4.4.6 Penambatan C Oleh Tanaman


Selama masa pertumbuhan tanaman akan terjadi penambatan karbon yang
jumlahnya sangat ditentukan oleh jumlah biomassa tanaman. Tanaman jagung,

misalnya, hanya mampu mengumpulkan sekitar 2-4 t ha-1 karbon dalam


biomassa keringnya pada puncak pertumbuhan vegetatif. Akan tetapi jumlah
karbon yang di simpan tanaman dihitung bukan berdasarkan jumlah
maksimum, melainkan berdasarkan rata-rata waktu (time average carbon).
Artinya, jumlah karbon tersimpan harus dirata-ratakan sejak tanah mengalami
masa bera (tidak ada tanaman) sampai tanaman mencapai puncak
pertumbuhan. Dengan demikian, jumlah karbon rata-rata waktu yang disimpan

dalam biomassa tanaman jagung hanya berkisar antara 1-3 t ha-1. Kelapa

sawit mampu menyimpan lebih dari 80 ton C ha-1. Akan tetapi jumlah tersebut
dicapai setelah 10-15 tahun pertumbuhan sehingga jumlah karbon rata-rata

waktu yang ditambat oleh tanaman kelapa sawit sekitar 60.4 t ha-1 (Rogi, 2002)

atau rata-rata sekitar 2,44 t C ha-1 tahun-1 dan ekivalen dengan 8,95 t CO2 ha-
1 tahun-1.

4.4.7. Subsiden
Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) terjadi segera sesudah lahan
gambut didrainase. Pada umumnya subsiden yang berlebihan bersifat tidak
dapat balik. Hanya melalui penjenuhan yang sempurna dan dalam waktu yang
lama masalah subsiden dapat diatasi secara perlahan.
Kecepatan subsiden tergantung pada banyak faktor, antara lain tingkat
kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan
ketebalan gambut, kedalaman drainase, iklim, serta penggunaan lahan
(Stewart, 1991; Salmah et al., 1994, Wösten et al., 1997).
Proses subsiden gambut dapat dibagi menjadi empat komponen:
• Konsolidasi yaitu pemadatan gambut karena pengaruh drainase. Dengan
menurunnya muka air tanah, maka terjadi peningkatan tekanan dari lapisan
gambut di atas permukaan air tanah terhadap gambut yang berada di
bawah muka air tanah sehingga gambut terkonsolidasi (menjadi padat).

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-20

• Pengkerutan yaitu pengurangan volume gambut di atas muka air tanah


karena proses drainase/pengeringan.
• Dekomposisi/oksidasi yaitu menyusutnya massa gambut akibat terjadinya
dekomposisi gambut yang berada dalam keadaan aerobik.
• Kebakaran yang menyebabkan menurunnya volume gambut. Kedalaman
muka air tanah merupakan faktor utama penentu kecepatan subsiden
karena sangat mempengaruhi keempat proses di atas. Faktor lain yang ikut
mempengaruhi adalah penggunaan alat-alat berat. dan pemupukan.

Proses subsiden berlangsung sangat cepat; bisa mencapai 20-50 cm tahun-1


pada awal dibangunnya saluran drainase (Welch dan Nor, 1989), terutama
disebabkan besarnya komponen konsolidasi dan pengkerutan. Dengan
berjalannya waktu maka subsiden mengalami kestabilan. Pada kasus di
Sarawak, seperti diperlihatkan pada Gambar 9, subsiden mencapai kestabilan

pada tingkat 2±1,5 cm tahun-1 sesudah sekitar 28 tahun semenjak lahan


didrainase. Kedalaman muka air tanah rata-rata mempunyai hubungan linear
dengan tingkat subsiden. Untuk Sarawak, Malaysia, dengan kedalaman air

tanah rata-rata 100 cm, subsiden bisa mencapai 8 cm tahun-1 dan untuk

kedalaman muka air tanah rata-rata 25 cm, subsiden sekitar 2 cm tahun-1


(Wösten et al., 1997).
Dengan tingkat subsiden, misalnya 4 cm/tahun, maka dalam 25 tahun (satu
siklus tanaman tahunan) permukaan gambut akan turun sekitar 100 cm. Untuk
tanah gambut sulfat masam potensial (dengan lapisan pirit dangkal) maka
subsiden ini akan menyingkap lapisan pirit sehingga pirit teroksidasi
membentuk H2SO4 dan menjadikan tanah sangat masam dan tidak bisa
ditanami lagi.
Penurunan permukaan gambut juga menyebabkan menurunnya kemampuan
gambut menahan air. Apabila kubah gambut sudah mengalami penciutan
setebal satu meter, maka lahan gambut tersebut akan kehilangan
kemampuannya dalam menyangga air sampai 90 cm atau ekivalen dengan

9.000 m3 ha-1. Dengan kata lain lahan disekitarnya akan menerima 9.000 m3
air lebih banyak bila terjadi hujan deras. Sebaliknya karena sedikitnya

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-21

cadangan air yang tersimpan selama musim hujan, maka cadangan air yang
dapat diterima oleh daerah sekelilingnya menjadi lebih sedikit dan daerah
sekitarnya akan rentan kekeringan pada musim kemarau.

4.5 Konservasi Lahan Gambut


4.5.1 Umum
Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, ekosistem gambut merupakan
penyangga hidrologi dan cadangan karbon yang sangat penting bagi
lingkungan hidup. Oleh karenanya, ekosistem ini harus dilindungi agar
fungsinya dapat dipertahankan sampai generasi mendatang.
Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut diatur dalam Keputusan
Presiden No. 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung. Perlindungan terhadap
kawasan gambut dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang
berfungsi sebagai penyimpan air dan pencegah banjir, serta melindungi
ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan. Konservasi lahan gambut
juga dimaksudkan untuk meminimalkan teremisinya karbon tersimpan yang
jumlahnya sangat besar.
Konservasi kawasan gambut sangat penting karena hasil penelitian
menunjukkan bahwa telah terjadi penyusutan luasan gambut di beberapa
tempat di Indonesia. Di kawasan Delta Pulau Petak pada tahun 1952 masih
tercatat sekitar 51.360 ha lahan gambut. Pada tahun 1972 kawasan gambut di
daerah tersebut menyusut menjadi 26.400 ha dan selanjutnya pada tahun 1992
menyusut lagi menjadi 9.600 ha (Sarwani dan Widjaja-Adhi, 1994). Hal ini
menunjukkan bahwa laju kerusakan gambut berjalan sangat cepat. Selain
hilangnya fungsi hidrologis lahan gambut, ada bahaya lain bila tanah mineral di
bawah lapisan gambut adalah tanah mineral berpirit. Saat ini sebagian besar
dari bekas kawasan gambut tersebut menjadi lahan sulfat masam aktual
terlantar dan menjadi sumber pencemaran lingkungan perairan di daerah
sekitarnya.
Semakin tebal gambut, semakin penting fungsinya dalam memberikan
perlindungan terhadap lingkungan, dan sebaliknya semakin ringkih (fragile) jika
dijadikan lahan pertanian. Pertanian di lahan gambut tebal lebih sulit

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-22

pengelolaannya dan mahal biayanya karena kesuburannya rendah dan daya


dukung (bearing capacity) tanahnya rendah sehingga sulit dilalui kendaraan
pengangkut sarana pertanian dan hasil panen. Gambut tipis, tetapi berpotensi
sulfat masam (mempunyai lapisan pirit relatif dangkal), juga sangat berbahaya
kalau dikonversi menjadi lahan pertanian.
Gambut dengan ketebalan <3 m masih bisa digunakan untuk budidaya
tanaman dengan syarat tidak masuk dalam kawasan lindung, substratumnya
bukan pasir kuarsa dan tingkat kematangannya tidak saprik atau hemik (BB
Litbang SDLP, 2008) serta tidak berpotensi sulfat masam. Untuk kawasan yang
memenuhi syarat tersebut, dalam pemanfaatannya juga harus tetap
berdasarkan pendekatan konservasi.
Widjaja-Adhi (1997) menyarankan agar wilayah ekosistem lahan gambut dibagi
menjadi 2 kawasan yaitu: kawasan non-budidaya dan kawasan budidaya.
Kawasan non-budidaya terdiri dari (a) jalur hijau sepanjang pantai dan tanggul
sungai dan (b) areal tampung hujan yang luasnya minimal 1/3 dari seluruh
kawasan.
Kawasan yang dijadikan sebagai areal tampung hujan adalah bagian kubah
gambut (peat dome) sehingga harus menjadi kawasan konservasi. Kubah
gambut berfungsi sebagai penyimpan air (resevoir) yang bisa mensuplai air
bagi wilayah di sekitarnya, terutama pada musim kemarau, baik untuk air
minum maupun usaha tani. Pada musim hujan kawasan ini berfungsi sebagai
penampung air yang berlebihan sehingga mengurangi risiko banjir bagi wilayah
di sekitarnya. Hal ini dimungkinkan karena gambut memiliki daya memegang air
sangat besar yaitu sampai 13 kali bobot keringnya. Perlindungan terhadap
kawasan tampung hujan akan menjamin kawasan sekitarnya menjadi lebih
produktif.
Dengan mempertahankan kawasan lindung gambut petani mampu bertahan
hidup dari usahatani di lahan gambut sejak puluhan tahun yang lalu. Namun
kecenderungan membuka lahan gambut secara berlebihan sangat mengancam
kehidupan tidak saja masyarakat yang hidup di lahan gambut tersebut, tetapi
juga masyarakat di lingkungan yang lebih luas.
Apabila dikelola dengan baik dan benar lahan gambut bisa mendatangkan

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-23

keuntungan ekonomi dan sekaligus mempertahankan karbon yang tersimpan


serta memelihara keanekaragaman hayati. Pemanfaatan lahan gambut dengan
merubah ekosistemnya tidak menjamin keuntungan ekonomi, bahkan seringkali
mendatangkan kerugian bagi masyarakat, seperti yang terjadi pada lahan
bekas PLG di Kalimantan Selatan. Untuk mendapatkan keuntungan ekonomi
dan lingkungan sekaligus dari lahan gambut diperlukan keseimbangan antara
pemanfaatan dan perlindungan.
Ada beberapa pendekatan yang dapat ditempuh dalam rangka konservasi
lahan gambut: (i) menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut, (ii)
penanaman kembali dengan tanaman penambat karbon tinggi (tanaman pohon-
pohonan), (iii) pengaturan tinggi muka air tanah, (iv) memanfaatkan lahan
semak belukar yang terlantar, (v) penguatan peraturan perundang-undangan
dan pengawasan penggunaan dan pengelolaan lahan gambut, dan (vi)
pemberian insentif dalam konservasi gambut.

4.5.2. Menanggulangi Kebakaran Hutan Dan Lahan Gambut


Hutan dan lahan gambut dapat terbakar karena kesengajaan atau
ketidaksengajaan. Faktor pemicu parahnya kebakaran hutan dan lahan gambut
adalah kemarau yang ekstrim (misalnya pada tahun El-Nino) dan/atau
penggalian drainase lahan gambut secara berlebihan.
Api dapat dicegah melalui perbaikan sistem pengelolaan air (meninggikan muka
air tanah), peningkatan kewaspadaan terhadap api serta pengendalian api
apabila terjadi kebakaran. Salah satu bentuk pengendalian kebakaran adalah
dengan cara memblok saluran drainase yang sudah terlanjur digali, terutama
pada lahan terlantar seperti di daerah eks Pengelolaan Lahan Gambut (PLG)
sejuta ha, sehingga muka air tanah lebih dangkal.
Sistem pertanian tradisional di beberapa tempat di lahan gambut melakukan
praktek pembakaran sebagai salah satu cara untuk menyuburkan tanah (lihat
Bagian 4.1.4). Sistem ini dapat menyebabkan emisi dan subsiden relatif tinggi.
Praktek tersebut dilakukan karena petani tidak mempunyai sarana untuk
mendapatkan pupuk dan/atau amelioran (lihat Tabel 2) untuk meningkatkan
kesuburan tanah. Oleh karena itu petani perlu dibantu untuk menerapkan

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-24

sistem alternatif yang tidak melibatkan pembakaran gambut.

4.5.3. Penanaman Kembali Dengan Tanaman Penambat Karbon


Tanaman pohon-pohonan menyumbangkan karbon lebih tinggi dibandingkan
dengan tanaman semusim. Penambatan karbon mendekati nol pada sistem

padi dan sekitar 9 t CO2 ha-1 tahun-1 untuk tanaman sagu, karet atau sawit..
Namun karena sawit memerlukan drainase yang relatif dalam, maka
penambatan karbon oleh tanaman sawit jauh lebih rendah dibandingkan
dengan emisi karena terdekomposisinya gambut. Dengan demikian, gabungan
dari tanaman yang menambat CO 2 dalam jumlah banyak serta yang toleran
dengan drainase dangkal atau tanpa drainase, seperti sagu dan karet,
merupakan pilihan utama dalam konservasi lahan gambut.

4.5.4. Pengaturan Tinggi Muka Air Tanah Gambut


Seperti diuraikan pada Bagian 4.2.2 tentang pengelolaan air tanah gambut,
penggunaan lahan yang memerlukan drainase dangkal seperti perkebunan
karet, sagu, atau sawah dapat mengurangi jumlah emisi dibandingkan dengan
sistem yang memerlukan drainase dalam. Selain itu lahan yang sudah terlanjur
didrainase, apalagi lahan gambut yang terlantar, perlu dinaikkan kembali muka
air tanahnya, misalnya dengan membuat pintu air (Gambar 10) sehingga
proses dekomposisi aerob dapat dikurangi.
Drainase sebidang lahan gambut tidak hanya berpengaruh pada bidang lahan
yang didrainase saja, tetapi juga terhadap lahan dan hutan gambut di
sekitarnya. Semakin dalam saluran drainase semakin besar dan luas pula
pengaruhnya dalam menurunkan muka air lahan gambut sekitarnya, yang
selanjutnya mempercepat emisi GRK. Oleh sebab itu konservasi lahan gambut
melalui pendekatan hidrologi harus diterapkan pada seluruh hamparan (kubah)
gambut.

4.5.5. Memanfaatkan Lahan Semak Belukar Yang Terlantar


Tidak semua lahan yang mendapatkan konsesi penanaman sawit benar- benar
digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, sehingga berubah menjadi lahan

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan IV-25

terlantar. Lahan terlantar ini perlu diprioritaskan untuk perluasan areal


pertanian. Dengan penggunaan semak belukar yang cadangan karbonnya

sekitar 15 t C ha-1, akan dapat dikurangi emisi dari kebakaran dan dekomposisi

biomassa sebanyak 85 t C ha-1 atau 312 t CO2 ha-1. Selain itu karena
rendahnya jumlah biomassa yang dapat terbakar, maka ketebalan gambut yang
terbakar sewaktu pembukaan lahan semak belukar juga dapat dikurangi.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan V-1

BAB V
HASIL SURVEY DAN ANALISIS KAWASAN GAMBUT
KABUPATEN BALANGAN

5.1 Sebaran Lahan Gambut, Tipologi, Kedalaman serta Klasifikasi


5.1.1 Sebaran lahan gambut
Pendekatan untuk menentukan sebaran lahan gambut dilakukan dengan pendekatan
analisis data sekunder dan observasi untuk mendapatkan data primer. Data skunder yang
digunakan dalam penentuan sebaran lahan gambut di kabupaten balangan berupa data
peta seperti dalam tabel berikut.
Tabel V.1. Peta-Peta terkait Lahan Gambut di Balangan
No Judul Peta Tahun Sumber
1 Peta sebaran lahan 2003 Wetlands International – Indonesia
gambut, luas dan Programme
kandungan karbon 2000-
2002
2 Peta Kesatuan Hidrologi 2016 Direktorat Pengendalian Kerusakan
Gambut Pulau Kalimantan Gambut, Direktur Jenderal Pengendalian
Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan, KemLHK
3 Peta Indikatif Prioritas 2016 SK Ka Badan Restorasi Gambut No
Restorasi Prov. Kalteng 5/2016 tentang Penetapan Peta Indikatif
Restorasi Gambut
4 Peta Fungsi Ekosistem 2017 SK MENLHK No. 130/2017
Gambut Nasional tentang PENETAPAN PETA FUNGSI
EKOSISTEM GAMBUT NASIONAL
5 Peta Desa Peduli Gambut 2017 Badan Restorasi Gambut

6. Peta Lahan Gambut 2010 Badan Planologi Kementerian


Kehutanan
7. Peta Sebaran Lahan 2017 Balai Besar Sumber Daya Lahan
Gambut Pertanian

Sebaran lahan gambut di Kabupaten Balangan setelah dilakukan analisis data serta
observasi lapangan berada di kecamatan Lampihong meliputi Desa Kandang Jaya, Tanah
Habang Kanan, dan Desa Teluk Karya. Serta Kecamatan Batumandi meliputi Desa Banua
Hanyar, Mantimin, Batumandi,Teluk Mesjid, Timbun Tulang dan Hamparaya. Luas
sebaran gambut ditiap desa dapat dilihat pada tabel berikut.

Laporan Akhir
V-
2 Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan

Tabel V.2 Luas Gambut Dirinci per Desa


Kecamatan Desa Luas (ha) Persentase
(%)
Lampihong Teluk Karya 1075,86 35,54

Kandang Jaya 386,90 12,78

Tanah Habang Kanan 829,28 27,39

Jumlah 2.292,04 75,71

Batu mandi Banua Hanyar 58,72 1,94

Timbun Tulang 79,35 2,62

Hamparaya 31,10 1,03

Mantimin 36,85 1,22

Batu Mandi 416,05 13,74

Teluk Mesjid 113,43 3,75

Jumlah 735,50 24,29

Total 3.027,55

5.1.2 Tipologi dan Kedalaman Lahan Gambut


Lahan gambut di kabupaten Balangan memiliki sebuah keunikan dibanding lahan-lahan
gambut didaerah lain. Letak lahan gambut yang berbatasan langsung dengan daerah-
daerah berbukit sehingga mengalami proses sedimentasi di lahan gambut. Sedimentasi
terjadi melalui proses aliran air sungai maupun terlarutnya partikel tanah pada saat aliran
permukaan (Run off). Tipologi lahan gambut Kabupaten Balangan dikategorikan menjadi
tiga yaitu gambut alami, gambut alami terbuka dan gambut tertutup sedimen tanah.
Gambut alami adalah lahan gambut yang belum terusik oleh kegiatan budidaya maupun
kegiatan lain. Gambut terbuka adalah lahan gambut yang mengalami proses pembukaan
lahan untuk kegiatan budidaya terlihat dengan adanya kanal-kanal. Lahan gambut tertutup
sedimen tanah merupakan lahan gambut yang ditemukan dibawah permukaan tanah

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan V-3

mineral. Tanah mineral merupakan hasil dari sedimentasi run off maupun aliran sungai.
Luasan tipologi lahan gabut tersaji dalam tabel berikut.

Tabel V.3 Tipologi lahan gambut


Tipologi Gambut Kedalaman Luas (ha) Persentase (%)

Gambut alami >4 718,56 23,73

Gambut alami <4 11,21 0,37

Gambut terbuka >4 1.456,12 48,10

Gambut tertutup sedimen tanah >4 841,66 27,80

5.1.3 Klasifikasi Gambut


Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari
tingkat kematangan, kesuburan dan posisi pembentukannya.
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi :
 Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya
tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya
< 15%.
 Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan
asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 –
75%.
 Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa
dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa.

Tingkat Kematangan Gambut pada lokasi studi tergolong setengah matang (hemik) dan
matang (saprik) dengan luas sebagai berikut.

Tabel V.4 Kematangan gambut


Tingkat Kematangan Luas (ha) Persentase (%)

Hemik 2185,89 72,20

Saprik 841,66 27,80

Laporan Akhir
V-
4 Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi :


 Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-
basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut yang
tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
 Mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan
basa-basa
 Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-
basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai
biasanya tergolong gambut oligotrofik

Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik. Gambut
eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan di
sepanjang jalur aliran sungai.
Gambut pada lokasi studi tergolong agak subur dengan tingkat keasaman 4,48 hingga
5,61. yang relatif lebih tinggi dibanding lahan-lahan gambut dearah lain di wilayah
Kalimantan selatan yang berkisar kurang dari 4. Hal ini dipengaruhi oleh adanya mineral-
mineral terlarut dari lahan-lahan disekitar lahan gambut. Kapasitas tukar kation tergolong
tinggi yakni lebih dari 24,92 me/100g. Kandungan N total sebesar 0,29 – 0,66 % tergolong
sedang hingga tinggi. Kandungan P total bervariasi dari rendah hingga sangat tinggi yakni
11,48 – 169,90 me/100g dan K total juga bervariasi dari sangat rendah hingga sangat
tinggi dengan kandungan 5,29 – 105,64 me/100g.

Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas :


 Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya
dipengaruhi oleh air hujan
 gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat pengayaan
air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur
dibandingkan dengan gambut ombrogen.

Gambut pada lokasi studi terkategorikan ombrogen dan diperkaya mineral dari lahan-
lahan yang lebih tinggi disekitarnya.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan V-5

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi :


 Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan mendapat
pengayaan mineral dari air laut
 Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak dipengaruhi
oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan
 Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah tersebut, yang
secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.
Dalam hal ini gambut di kabupaten balangan merupakan gambut pedalaman.

5.1.4 Karakteristik Fisik Gambut


Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi
kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden
(penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying). Kadar air tanah
gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya, artinya bahwa gambut mampu
menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah
gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi
menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya
rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g/cm 3 tergantung
pada tingkat dekomposisinya. Berat Isi lahan gambut di kabupaten balangan berkisar 0,18
hingga 0,41 g/cm3.
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing
capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi
karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan
untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa
seringkali doyong atau bahkan roboh.
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah
mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi
kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang
mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering. Gambut yang
terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut
yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat dibawah permukaan
sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.

Laporan Akhir
V-
6 Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan

5.2 Potensi serta Terindentifikasinya Kawasan Lindung/High Consevation Value


Forest ("HCVF") di Lahan Gambut
Pemerintah Pusat tengah giat mencanangkan program perlindungan dan pengelolaan
ekosistem gambut. Pada tahun 2017 kementerian lingkunagn hidup dan kehutanan
menetapkan peraturan tentang Fungsi Ekosistem Gambut Nasional. Fungsi Ekosistem
Gambut terdiri dari fungsi lindung dan fungsi budidaya. Fungsi ekosistem gambut di Pulau
Kalimantan dalam peraturan tersebut adalah fungsi lindung seluas 4.094.203 (empat juta
sembilan empat ribu dua ratus tiga) hektar dan fungsi budidaya seluas 4.310.614 (empat
juta tiga ratus sepuluh ribu enam ratus empat belas) hektar. Lahan gambut di kabupaten
balangan termasuk sebagai bagian dari kawasan hidrologi gambut dan memiliki fungsi
ekosistem lindung dan budidaya. Luas fungsi ekosistem lahan gambut Kabupaten
Balangan dalam Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah
sebagai berikut.
Tabel V. 5 Fungsi ekosistem gambut menurut SK MENLHK No 130 tahun 2017
Fungsi Ekosistem Luas (ha)
Lindung 2.109,57
Budidaya 917,98

5.3 Saran dan Rekomendasi untuk Pengelolaan serta Pola Budidaya pada Lahan
Gambut.
Berdasarkan tipologi lahan gambut, gambut yang berupa lahan alami dengan kedalama
lebih dari empat meter meskipun dalam peraturan kementerian berfungsi sebagai
kawasan budidaya wajib menjadi prioritas kawasan lindung, sedangkan lahan yang sudah
mengalami pembukaan lahan selanjutnya diprioritaskan untuk direstorasi sesuai peraturan
kementerian dan program badan restorasi gambut.
Lahan gambut yang tertimbun sedimen tanah diluar kawasan lindung dapat dilakukan
untuk pengembangan lahan budidaya pertanian. Budidaya pertanian yang dapat dilakukan
pada lahan tersebut meliputi tanaman-tanaman pangan dan hortikultura. Sedangkan
tanaman keras maupun perkebunan tidak disarankan pada lahan tersebut mengingat
ketebalan solum tanah yang tidak optimal dalam menopang perakaran tanah. Yang akan

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan V-7

berdampak tanaman mudah rebah saat terjadi angin kencang maupun saat tanaman
mengalami fase pertembuhan tetentu.
Sebagai lahan budidaya tanaman pangan dan hortikultura maka perlu dilakukan kajian
lebih lanjut terkait penentuan kesesuaian lahan serta teknologi yang tepat mengingat
rendahnya kandungan mineral liat berdampak pada rendahnya tanah menyimpan hara
dalam waktu yang lama.

Laporan Akhir
Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan VI-1

BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 Kesimpulan
Dari hasil studi, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Jenis Gambut di Kab. Balangan adalah didominasi gambut setengah
matang (hemik), dengan tingkat kesuburan gambut mesotrofik, pada lokasi
pedalaman.
2. Luas lahan gambut di Balangan adalah 3022,35 Ha dengan rincian 2180,69
Ha adalah lahan gambut dengan kedalaman 20->400 cm, dan 841,66 ha
adalah lahan gambut dengan ketebalan sedimen tanah 20-200 cm
3. Mengacu pada RTRW Provinsi Kalimantan Selatan dan RTRW Kab.
Balangan, tidak terdapat kawasan lindung di Lahan Gambut. Apabila
mengacu pada SK MENLHK No 130 tahun 2017, maka luas lindung gambut
di Kab. Balangan adalah 2.109,57 Ha dan luas budidaya 917,98 Ha.
4. Kondisi saat ini lahan gambut didominasi oleh semak belukar dan lahan
pertanian kering
5. Pengembangan lahan gambut di Kab. Balangan harus berorientasi pada
konservasi lahan gambut dan rehabilitasi lahan gambut. Di Kab. Balangan
kedua pola tersebut dialkukan terutama dengan mengembangkan sekat-
sekat kanal pada lahan gambut, dan memulihkan aliran air di lahan gambut
6. Cadangan Karbon di Lahan Gambut Balangan sebesar 5.345,475 juta ton

6.2 Rekomendasi
Rekomendasi sementara terkait pemanfaatan lahan gambut di Balangan:
1. Lahan gambut diarahkan untuk pertanian

Laporan Akhir
VI-2 Studi Penelitian Lahan Gambut di Kabupaten Balangan

2. Perlunya studi lebih lanjut terkait dengan pertanian yang cocok di lahan
gambut Balangan
3. Kelembagaan pengelola lahan gambut perlu melibatkan instansi yang
terkait dengan pemfungsian lahan gambut sebagai lahan pertanian dengan
pengawasan dari dinas yang diberikan tupoksi pengawasan penggunaan
lahan gambut
4. Perlunya pelibatan masyarakat lebih luas dalam konservasi lahan gambut,
terutama pada bahaya kebakaran

Laporan Akhir

Anda mungkin juga menyukai