Bagi POST PARTUM ROTASI 2

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 94

LAPORAN KASUS POST PARTUM NORMAL HARI KE-2 PADA IBU J

DI RUANG KEBIDANAN RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

DOSEN PEMBIMBING : Ns. NETHA DAMAYANTIE, M.Kep


PEMBIMBING KLINIK:
Ns. ENDAH PRAMUKTI, S.Kep
NELIWATI, SST

DISUSUN OLEH KELOMPOK ROTASI 1:


DINI SEFI ZAMIRA
EVI MAILIANI
FEGGY STEFANI
INDO ABENG
INTAN PERMATA SARI
ILHAM RAMADHAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAMBI
PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan Laporan Kasus Post Partum Normal Hari ke 2 pada Ibu J di
Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher. Sholawat dan salam senantiasa tercurah
kepada kasih Allah, Nabi Muhammad SAW yang merupakan rahmatan lil ‘alamiin serta
teladan umat melalui akhlaknya yang mulia. Laporan kasus kelompok ini disusun guna
melengkapi nilai tugas mata kuliah Praktik Klinik Keperawatan Maternitas.

Penyusunan laporan kasus ini telah melibatkan berbagai pihak yang


menyumbangkan saran, pemikiran, bimbingan, maupun motivasi.Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ns. Netha
Damayantie,M.Kep, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing serta memberikan koreksi kepada kami dengan penuh perhatian, keikhlasan
serta kesabaran ditengah kesibukannya. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu
Ns. Endah Pramukti, S.Kep, Ibu Neliwati, SST dan Ibu Hj. Rozita Agvianti, SST, selaku
pembimbing klinik di Ruang VK dan Kebidanan RSUD Raden Mattaher yang telah
mengajarkan banyak ilmu selama praktik klinik maternitas, serta membimbing dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan ditengah kesibukannya di ruangan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
kritik dan saran sangat saya harapkan guna perbaikan Laporan Kasus ini. Selanjutnya,
semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak, amin.

Jambi, 15 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Konsep Medis Post Partum .................................................................... 4


1. Pengertian ....................................................................................... 4
2. Anatomi dan Fisiologi ...................................................................... 5
3. Fisiologi .......................................................................................... 11
4. Kebutuhan Dasar Ibu Nifas .............................................................. 11
5. Deteksi Dini Komplikasi Masa Nifas dan Penanganan...................... 21
6. Faktor-Faktor Pembekuan ............................................................... 25
B. Konsep Episiotomi ................................................................................. 29
1. Pengertian ....................................................................................... 29
2. Tujuan Episiotomi ........................................................................... 29
3. Etiologi ........................................................................................... 30
4. Jenis-jenis Episiotomi ...................................................................... 31
5. Patofisiologi .................................................................................... 32
6. Manifestasi Klinis ........................................................................... 32
7. Indikasi Episiotomi .......................................................................... 32
8. Kontraindikasi Episiotomi ............................................................... 33
9. Resiko Episiotomi ........................................................................... 33
10. Komplikasi ...................................................................................... 33
11. Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 34
12. Perawatan Postpartum Episiotomi.................................................... 35
C. Konsep Asuhan Keperawatan Post Partum Normal .............................. 35
1. Pengkajian ....................................................................................... 35
2. Diagnosis Keperawatan ................................................................... 38
3. Rencana Keperawatan ..................................................................... 38
D. Pathway Post Partum ............................................................................. 44

BAB III TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian ............................................................................................. 45
B. Analisa data ........................................................................................... 42
C. Diagnosis Keperawatan .......................................................................... 54
D. Intervensi Keperawatan .......................................................................... 55
ii
E. Implementasi Keperawatan .................................................................... 58
F. Evaluasi Keperawatan ............................................................................ 60

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................ 61
B. Saran...................................................................................................... 61

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN JURNAL

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehamilan merupakan suatu proses alamiah dan fisiologis. Selama kehamilan
kebanyakan wanita mengalami perubahan psikologis dan emosional. Banyak wanita
yang mengatakan betapa bahagia karena akan menjadi seorang ibu tetapi tidak jarang
ada wanita yang merasa khawatir jika terjadi masalah dalam kehamilannya (Fatimah,
2017).

Semua wanita hamil memiliki potensi atau kemungkinan terjadinya


komplikasi selama kehamilan. Menurut penelitian (Prahardani, 2019) penyebab
komplikasi pada kehamilan urutan penyebab dari yang terbanyak adalah pre eklamsia
(28,7%), pendarahan (22,42%), dan infeksi (3,45%).

Menurut World Health Organization (WHO) wanita yang meninggal akibat


komplikasi kehamilan dan persalinan sekitar 295.000 pada tahun 2017. Hampir 94%
kematian ini terjadi pada negara-negara yang berpenghasilan menengah, penyebab
utama kematian ibu yaitu pendarahan yang sebagian besar terjadi setelah persalinan,
hipertensi selama kehamilan yang dapat menyebabkan preeklamsia dan eklampsia,
infeksi serta penyebab tidak langsung seperti diabetes, malaria (WHO, 2019).

Untuk mencegah terjadinya komplikasi selama pada periode post partum


seperti perdarahan dan infeksi dengan cara memberikan asuhan keperawatan yang
komprehensif seperti penyuluhan perawatan masa post partum. 2 Penyuluhan kepada
ibu post partum merupakan intervensi keperawatan untuk memenuhi kebutuhan ibu
akan pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan perawatan diri, perawatan
bayi baru lahir, adaptasi keluarga dan pemulihan kesehatan. Penyuluhan yang
dilakukan seperti perawatan payudara, ambulasi dan teknik menyusui yang benar
(Reeder, 2011).

Menurut laporan World Health Organization (WHO, 2014)angka kematian


ibu (AKI) di dunia yaitu 289.000 jiwa Beberapa negara memiliki AKI cukup tinggi
seperti Afrika 179.000 jiwa Asia Selatan 69.000 jiwa dan Asia Tenggara yaitu
16.000 jiwa angka kematian ibu di Negara-negara Asia Tenggara yaitu 16.000 jiwa

1
2

angka kematian ibu di Negara Asia Tenggara yaitu Indonesia 190/100.000 kelahiran
hidupdanMalaysia 29/100.000 kelahiran hidup, Vietnam 49/100.000 kelahiran hidup

Periode postpartum adalah waktu mengenai penyembuhan perubahan besar


yangBerjangka pada periode dari puncak pengalaman melahirkanuntuk
menerima kebahagiaan dan kehidupan tanggung jawab dalam keluarga. Perawatan
postpartum yang terintegrasi dengan baik mempunyai peranan penting yang
digunakan dalam membangun transisi ini dan mengenalkan keluarganya pada
kehidupan baru merekabersama-sama.Selama masa postpartum sejumlah perubahan
fisiologis dan psikologis terjadi yaitu :

 Organ-organ kembali ke kondisi tidakhamil


 Perubahan fisiologi lain yang terjadi selama kehamilandikembalikan
 Laktasiterbentuk
 Dasar hubungan bayi dan orang tuanyadisiapkan
 Ibu pulih dari ketegangan pada waktu kehamilan danpersalinan

Asuhan keperawatan post partum dilakukan dengan tujuan menjaga kesehatan


ibu dan bayi serta mencegah atau mendeteksi komplikasi yang timbul pada waktu
pasca persalinan (Heryani, 2012). Dalam memberikan asuhan keperawatan pada ibu
post partum, perawat perlu mengembangkan ilmu dan kiat keperawatan yang salah
satunya adalah dapat mengintegrasikan model konseptual khususnya dalam
pemberian asuhan keperawatan maternitas (Apriyani, 2018)

B. Rumusan Masalah
Bagaimana landasan teoritis post partum normal dan asuhan keperawatan
pada pasien dengan post partum normal?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum:
a. Mengetahui asuhan keperawatan pada ibu post partum di ruang kebidanan
RSUD Raden Mattaher Jambi
2. Tujuan Khusus:
a. Mengetahui pengkajian pada ibu post partum di ruang kebidanan RSUD Raden
Mattaher Jambi
3

b. Mengetahui diagnosa keperawatan pada ibu post partum di ruang kebidanan


RSUD Raden Mattaher Jambi
c. Mengetahui Rencana tindakan keperawatan pada ibu post partum di ruang
kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi
d. Mengetahui pelaksanaan tindakan keperawatan pada ibu post partum di ruang
kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi
e. Mengetahui evaluasi keperawatan pada ibu post partum di ruang kebidanan
RSUD Raden Mattaher Jambi
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Post Partum


1. Pengertian
Post partum merupakan masa sesudah melahirkan atau persalinan. Masa
beberapa jam sesudah lahirnya plasenta atau tali pusat sampai minggu ke enam
setelah melahirkan, setelah kelahiran yang meliputi minggu-minggu berikutnya
pada waktu saluran reproduksi kembali keadaan yang normal pada saat sebelum
hamil (Marmi, 2012). Post partum adalah waktu penyembuhan dan perubahan,
waktu kembali pada keadaan tidak hamil, serta penyesuaian terhadap hadirnya
anggota keluarga baru. (Mitayani, 2011). Post Partum adalah masa setelah
keluarnya placenta sampai alat-alat reproduksi pulih seperti sebelum hamil dan
secara normal masa nifas berlangsung selama 6 minggu atau 40 hari (Ambarwati,
2010).
Episiotomi adalah insisi yang dibuat pada vagina dan perineum
untuk memperlebar bagian lunak jalan lahir sekaligus memperpendek jalan lahir.
Robekan perineum atau ruptur terjadi pada hampir setiap persalinan
pertamadan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Pada seorang primipara
atau orang yang baru pertama kali melahirkan terjadi ketika kepala janin keluar.
Luka-luka biasanya ringan tetapi juga terjadi luka yang luas dan berbahaya. Dari
jahitan perineum tadi pasti menimbulkan rasa nyeri. Nyeri dapat terjadi pada hari
pertama sampai hari ke empat post episiotomi karena proses inflamasi dan terjadi
pelepasan zat-zat kimia seperti prostaglandin yang dapat meningkatkan
transmisi nyeri (Rukiyah dkk, 2010)
Smeltzer dan Bare (2002) dalam buku Judha (2012) mendefinisikan nyeri
adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari
kerusakan jaringan yang actual dan potensial. Nyeri sangat menganggu dan
menyulitkan lebih banyak orang –orang dibanding suatu

4
5

penyakit manapun. Nyeri juga didefinisikan sebagai suatu keadaan yang


mempengaruhi seseorang dan ektensinya diketahui bila seseorang pernah
mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut Internasional association for study of
Pain (IASP), Nyeri adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadi kerusakan.
Post partum dengan episiotomi adalah suatu masa yang dimulai setelah
partus selesai dan berakhir kira-kira 6 minggu dimana pada waktu persalinan
dilakukan tindakan insisi pada perineum yang bertujuan untuk melebarkan jalan
lahir dan memudahkan kelahiran. Nyeri perineum (perineal pain) didefinisikan
sebagai nyeri yang terjadi pada badan perineum (perineal body), daerah otot dan
jaringan fibrosa yang menyebar dari simpisis pubis sampai ke coccyges oleh
krena adanya robekan yang terjadi baik di sengaja maupun yang ruptur spontan.
Kondisi nyeri ini dirasakan ibu berbeda dengan nyeri lainnya. Nyeri perineum
cenderung lebih jelas dirasakan oleh ibu dan bukan seperti rasa nyeri dialami saat
berhubungan (intercourse). Nyeri perineum akan dirasakan setelah persalinan
sampai beberapa hari pascasalin. Nyeri ini berbeda dengan dispareunia yaitu
nyeri atau rasa tidaknyaman yang terjadi selama hubungan seksual (sexual
intercourse), termasuk nyeri saat penetrasi. Dispareunia dapat dikategorikan
menjadi dyspareuniasuperfisial dan dalam.
2. Anatomi dan fisiologi
a. Organ Generatif Interna
6

Gambar Organ Reproduksi Interna Pada


Wanita(Sumber: Wiknjo Sastro, 2002).
Keterangan:
1) Vagina
Vagina merupakan jaringan membran muskulo membranosa
berbentuk tabung yang memanjang dari vulva ke uterus berada diantara
kandung kemih dianterior dan rectumdi posterior.
2) Uterus
Uterus adalah organ muskuler yang berongga dan berdinding
tebal yang sebagian tertutup oleh peritoneum atau serosa. Berfungsi
untuk implantasi, memberi perlindungan dan nutrisi pada janin,
mendorong keluar janin dan plasenta pada persalinan serta
mengendalikan pendarahan dari tempat perlekatan plasenta.
Bentuk uterus menyerupai buah pir yang gepeng dan terdiri
atas dua bagian yaitu bagian atas berbentuk segitiga yang merupakan
badan uterus yaitu korpus dan bagian bawah berbentuk silindris yang
merupakan bagian fusiformosis yaitu serviks. Saluran ovum atau tuba
falopi bermula dari kornus (tempat masuk tuba) uterus pada pertemuan
batas superior dan lateral. Bagian atas uterus yang berada diatas kornus
disebut fundus. Bagian uterus dibawah insersi tuba falopi tidak tertutup
langsung oleh peritoneum, namun merupakan tempat pelekatan dari
ligamentum latum. Titik semu serviks dengan korpus uteri disebut isthmus
uteri.
Bentuk dan ukuran bervariasi serta dipengaruhi usia dan
paritas seorang wanita. Sebelum pubertas panjangnya bervariasi antara
2,5-3,5 cm. Uterus wanita nulipara dewasa panjangnya antara 6-8 cm
sedang pada wanita multipara 9-10 cm. Berat uterus wanita yang pernah
melahirkan antara 50-70 gram, sedangkan pada wanita yang belum pernah
melahirkan 80 gram atau lebih. Pada wanita muda panjang korpus uteri
kurang lebih setengah panjang serviks, pada wanita nulipara panjang
keduanya kira-kirasama. Sedangkan pada wanita multipara, serviks hanya
sedikit lebih panjang dari sepertiga panjang total organ ini.
Bagian serviks yang berongga dan merupakan celah
7

sempit disebut dengan kanalis servikalis yang berbentuk fusiformis


dengan lubang kecil pada kedua ujungnya, yaitu ostium interna dan ostium
eksterna. Setelah menopause uterus mengecil sebagai akibat atropi
miometrium dan endometrim. Istmus uteri pada saat kehamilan diperlukan
untuk pembentukan segmen bawah rahim. Pada bagian inilah dinding
uterus dibuka jika mengerjakan section caesaria trans peritonealis
profunda.
Suplay vaskuler uterus terutama berasal dari uteri aterina
dan arteri ovarika. Arteri uterina yang merupakan cabang utama arteri
hipogastrika menurun masuk dasar ligamentum latum dan berjalan ke
medial menuju sisi uterus. Arteri uterina terbagi menjadi dua cabang
utama, yaitu arteri serviko vaginalis yang lebih kecil memperdarahi
bagian atas serviks dan bagian atas vagina. Cabang utama memperdarahi
bagian bawah serviks dan korpus uteri. Arteri ovarika yang merupakan
cabang aorta masuk dalam ligamentum latum melalui ligamentum
infundibulopelvikum. Sebagian darah dari bagian atas uterus, ovarium dan
bagian atas ligamentum latum.dikumpulkan melalui vena yang didalam
ligamentum latum, membentuk pleksus pampiniformis yang berukuran
besar, pembuluh darah darinya bernuara di vena ovarika. Vena
ovarika kanan bermuara ke vena cava, sedangkan vena ovarika kiri
bermuara ke vena renalis kiri.
Persyarafan terutama berasal dari sitem saraf simpatis, tapi
sebagian juga berasal dari sistem serebrospinal dan parasimpatis.
Cabang-cabang dari pleksus ini mensyarafi uterus, vesika urinaria serta
bagian atas vagina dan terdiri dari serabut dengan maupun tanpa myelin.
Uterus disangga oleh jaringan ikat pelvis yang terdiri atas ligamentum
latum, ligamentum infundibolupelvikum, ligamentum kardialis,
ligamentum rotundum dan ligamentum uterosarkum.
Ligamentum latum meliputi tuba, berjalan dari uterus ke arah
sisi, tidak banyak mengandung jaringan ikat. Ligamentum
infundibolupelvikum merupakan ligamentum yang menahan tuba falopi
yang berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya
ditemukan urat-urat saraf, saluran limfe, arteria dan vena ovarika.
8

Ligamentum kardinale mencegah supaya uterus tidak turun, terdiri atas


jaringan ikat yang tebal dan berjalan dari serviks dan puncak vagina ke
arah lateral dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan banyak pembuluh
darah antara lain vena dan arteria uterine. Ligamentum uterosakrum
menahan uterus supaya tidak bergerak, berjalan dari serviks bagian
belakang, kiri dan kanan ke arah os sacrum kiri dan kanan, sedang
ligamentum rotundum menahan uterus antefleksi dan berjalan dari sudut
fundus uteri kiri dan kanan ke daerah ingunal kiri dan kanan.
3) Serviks Uteri
Serviks merupakan bagian uterus yang terletak di bawah isthmus di
anterior batas atas serviks yaitu ostium interna, kurang lebih tingginya
sesuai dengan batas peritoneum pada kandung kemih. Ostium eksterna
terletak pada ujung bawah segmen vagina serviks yaitu portio vaginalis.
Serviks yang mengalami robekan yang dalam pada waktu persalinan
setelah sembuh bisa menjadi berbentuk tak beraturan, noduler, atau
menyerupai bintang.
Serviks memiliki serabut otot polos, namun terutama terdiri dari
jaringan kolagen, jaringan elastin serta pembuluh darah. Selama
kehamilan dan persalinan, kemampuan serviks untuk meregang
merupakan akibat pemecahan kolagen.Mukosa kanalis servikalis
merupakan kelanjutan endometrium. Mukosanya terdiri dari satu lapisan
epitel kolumner yang menempel pada membran basalis yang tipis.
4) Korpus Uteri
Dinding korpus uteri terdiri dari 3 lapisan, yaitu endometrium,
miometrium dan peritoneum.
a) Endometrium
Endometrium merupakan bagian terdalam dari uterus, berupa
lapisan mukosa yang melapisi rongga uterus pada wanita yang tidak
hamil. Endometrium berupa membran tipis berwarna merah muda,
menyerupai beludru, yang bila diamati dari dekat akan terlihat
ditembusi oleh banyak lubang-lubang kecil yaitu muara kelenjar
uterine. Tebal endometrium 0,5-5 mm. Endometrium terdiri dari epitel
permukaan, kelenjar dan jaringan mesenkim antar kelenjar yang
9

didalamnya terdapat banyak pembuluh darah. Kelenjar uterin


berbentuk tubuler dalam keadaan istirahat menyerupai jari jemari
dari sebuah sarung tangan. Sekresi kelenjar berupa suatu cairan alkalis
encer yang berfungsi menjaga rongga uterus tetap lembab.
b) Miometrium
Miometrium merupakan lapisan dinding uterus yang
merupakan lapisan muskuler. Miometrium merupakan jaringan
pembentuk sebagian besar uterus, terdiri kumpulan otot polos yang
disatukan jaringan ikat dengan banyak serabut elastin di dalamnya.
Selama kehamilan miometrium membesar namun tidak terjadi
perubahan berarti pada otot serviks. Dalam lapisan ini tersusun serabut
otot yang terdiri atas tunikla muskularis longitudinalis eksterna,oblique
media, sirkularis interna dan sedikit jaringan fibrosa.
c) Peritonium
Peritoneum merupakan lapisan serosa yang
menyelubungi uterus, dimana peritoneum melekat erat kecuali pada
daerah di atas kandung kemih dan pada tepi lateral dimana
peritoneum berubah arah sedemikian rupa membentuk ligamentum
latum.
b. Organ Generatif Eksterna

Gambar Organ Reproduksi Eksterna Pada


10

Wanita (Sumber: Wiknjo Sastro, 2002).


Keterangan :
1) Mons Veneris
Mons veneris adalah bagian menonjol diatas simfisis.Pada wanita
dewasa ditutupi oleh rambut kemaluan.pada wanita umumnya batas
atasnya melintang sampai pinggir atas simfisis, sedangkan ke bawah
sampai sekitar anus dan paha.
2) Labia Mayora (bibir-bibir besar)
Terdiri atas bagian kanan dan kiri, lonjong mengecil ke
bawah,terisi jaringan lemak serupa dengan yang ada di mons veneris. Ke
bawah dan belakang kedua labia mayora bertemu dan membentuk
kommisura posterior.
3) Labia Minora (bibir-bibir kecil)
Labia Minora adalah suatu lipatan tipis dari kulit sebelah dalam
bibir besar. Ke depan kedua bibir kecil bertemu dan membentuk diatas
klitoris preputium klitoridis dan dibawah klitoris frenulum klitoridis.Ke
belakang kedua bibir kecil bersatu dan membentuk fossa navikulare. Kulit
yang meliputi bibir kecil mengandung banyak glandula sebasea dan urat
saraf yang menyebabkan bibir kecil sangat sensitif dan dapat
mengembang.
4) Klitoris
Kira-kira sebesar kacang ijo tertutup oleh preputium
klitoridis, terdiri atas glans klitoridis , korpus klitoridis, dan dua krura
yang menggantungkan klitoris ke os pubis. Glans klitoridis terdiri atas
jaringan yang dapat mengembang , penuh urat saraf dan amat sensitif.
5) Vulva
Bentuk lonjong dengan ukuran panjang dari muka ke belakang
dan dibatasi dimuka oleh klitoris, kanan dan kiri oleh kedua bibir kecil
dan dibelakang oleh perineum; embriologik sesuai sinus urogenitalis. Di
vulva 1-1,5 cm di bawah klitoris ditemukan orifisium uretra eksternum
(lubang kemih) berbentuk membujur 4-5 mm dan .tidak jauh dari lubang
kemih di kiri dan kanan bawahnya dapat dilihat dua ostia skene.
Sedangkan di kiri dan bawah dekat fossa navikular terdapat kelenjar
11

bartholin, dengan ukuran diameter ± 1 cm terletak dibawah otot


konstriktor kunni dan mempunyai saluran kecil panjang 1,5-2 cm yang
bermuara di vulva. Pada koitus kelenjar bartolin mengeluarkan getah
lendir.
6) Bulbus Vestibuli Sinistra et Dekstra
Terletak di bawah selaput lendir vulva dekat ramus os pubis,
panjang 3-4 cm, lebar 1-2 cm dan tebal 0,51- 1cm; mengandung
pembuluh darah, sebagian tertutup oleh muskulus iskio kavernosus dan
muskulus konstriktor vagina. Saat persalinan kedua bulbus tertarik ke atas
ke bawah arkus pubis, tetapi bagian bawahnya yang melingkari vagina
sering mengalami cedera dan timbul hamatoma vulva atau perdarahan.
7) Introitus Vagina
Mempunyai bentuk dan ukuran berbeda , ditutupi selaput dara
(hymen). Himen mempunyai bentuk berbeda – beda.dari yang semilunar
(bulan sabit) sampai yang berlubang- lubang atau yang ada pemisahnya
(septum); konsistensi nya dari yang kaku sampai yang lunak sekali.
Hiatus himenalis (lubang selaput dara) berukuran dari yang seujung jari
sampai yang mudah dilalui oleh 2 jari. Umumnya himen robek pada
koitus robekan terjadi pada tempat jam 5 atau jam 7 dan sampai dasar
selaput dara. Sesudah persalinan himen robek pada beberapa tempat.
8) Perineum
Terletak antara vulva dan anus , panjangnya rata-rata 4 cm.
3. Fisiologi
Sistem reproduksi dan struktur terkait pasca partum :
a. Adaptasi Fisiologi Pada Post Partum
1) Proses Involusi
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah
melahirkan disebut involusi. Proses dimulai setelah plasenta keluar akibat
konstraksi otot-otot polos uterus. Pada akhir persalinan tahap III, uterus
berada digaris tengah, kira-kira 2 cm dibawah umbilikus dengan fundus
bersandar pada promontorium sakralis. Ukuran uterus saat kehamilan
enam minggu beratnya kira-kira 1000 gr. Dalam waktu 12 jam, tinggi
fundus kurang lebih 1 cm diatas umbilikus. Fundus turun kira-kira 1-2 cm
12

setiap 24 jam. Pada hari keenam fundus normal berada dipertengahan


antara umbilikus dan simfisis fubis. Seminggu setelah melahirkan uterus
berada didalam panggul sejati lagi, beratnya kira-kira 500 gr, dua minggu
beratnya 350 gr, enam minggu berikutnya mencapai 60 gr (Bobak,2004).
2) Konstraksi Uterus
Intensitas kontraksi uterus meningkat segera setelah bayi lahir,
diduga adanya penurunan volume intrauterin yang sangat besar.
Hemostatis pascapartum dicapai akibat kompresi pembuluh darah
intramiometrium, bukan oleh agregasi trombosit dan pembentukan
pembekuan. Hormon desigen dilepas dari kelenjar hipofisis untuk
memperkuat dan mengatur konstraksi. Selama 1-2 jam I
pascapartumintensitas konstraksi uterus bisa berkurang dan menjadi tidak
teratur, karena untuk mempertahankan kontraksi uterus biasanya
disuntikkan aksitosan secara intravena atau intramuscular diberikan
setelah plasenta lahir (Bobak, 2004).
3) Tempat Plasenta
Setelah plasenta dan ketuban dikeluarkan, kontriksi vaskuler dan
trombosis menurunkan tempat plasenta ke suatu area yang meninggi dan
bernodul tidak teratur. Pertumbuhan endometrium menyebabkan
pelepasan jaringan nekrotik dan mencegah pembentukan jaringan parut
yang menjadi karakteristik penyembuhan luka. Proses penyembuhan
memampukan endometrium menjalankan siklusnya seperti biasa dan
memungkinkan implantasi untuk kehamilan dimasa yang akan datang.
Regenerasi endometrium selesai pada akhir minggu ketiga pascapartum,
kecuali bekas tempat plasenta (Bobak, 2004).
4) Lochea
Lochea adalah rabas uterus yang keluar setelah bayi lahir, mula-
mula berwarna merah lalu menjadi merah tua atau merah coklat. Rabas
mengandung bekuan darah kecil. Selama 2 jam pertama setelah lahir,
jumlah cairan yang keluar dari uterus tidak boleh lebih dari jumlah
maksimal yang keluar selama menstruasi. Lochea rubra mengandung
darah dan debris desidua dan debris trofoblastik. Aliran menyembur
menjadi merah muda dan coklat setelah 3-4 hari (lochea serosa). lochea
13

serosa terdiri dari darah lama (old blood), serum, leukosit dan debris
jaringan. Sekitar 10 hari setelah bayi lahir, warna cairan ini menjadi
kuning sampai putih (lochea alba). Lochea alba mengandung leukosit,
desidua, sel epitel, mucus, serum dan bakteri. Lochea alba bertahan
selama 2-6 minggu setelah bayi lahir (Bobak, 2004).
5) Serviks
Serviks menjadi lunak setelah ibu malahirkan. 18 jam
pascapartum, serviks memendek dan konsistensinya lebih padat kembali
kebentuk semula. Muara serviks berdilatasi 10 cm, sewaktu melahirkan,
menutup bertahap 2 jari masih dapat dimasukkan. Muara serviks hari
keempat dan keenam pascapartum (Bobak, 2004).
6) Vagina dan Perinium
Estrogen pascapartum yang menurun berperan dalam penipisan
mucosa vagina dan hilangnya rugae. Vagina yang semula sangat teregang
akan kembali secara bertahap keukuran sebelum hamil, 6-8 minggu
setelah bayi lahir . Rugae akan kembali terlihat pada sekitar minggu
keempat (Bobak, 2004:495).
7) Payudara
Konsentrasi hormone yang menstimulasi perkembangan payudara
selama wanita hamil (estrogen, progesteron, human chrorionic
gonadotropin, prolaktin, dan insulin) menurun dengan cepat setelah bayi
lahir. Hari ketiga atau keempat pascapartum terjadi pembengkakan
(engorgement). Payudara bengkak, keras,nyeri bila ditekan, dan hangat
jika diraba (kongesti pembuluh darah menimbulkan rasa hangat).
Pembengkakan dapat hilang dengan sendirinya dan rasa tidak nyaman
berkurang dalam 24 jam sampai 36 jam. Apabila bayi belum menghisap
(atau dihentikan), laktasi berhenti dalam beberapa hari sampai satu
minggu. Ketika laktasi terbentuk, teraba suatu massa (benjolan), tetapi
kantong susu yang terisi berubah dari hari kehari. Sebelum laktasi
dimulai, payudara terasa lunak dan keluar cairan kekuningan, yakni
kolostrum, dikeluarkan dari payudara. Setelah laktasi dimulai, payudara
terasa hangat dan keras waktu disentuh. Rasa nyeri akan menetap selama
14

48 jam, susu putih kebiruan (tampak seperti susu skim) dapat dikeluarkan
dari putting susu (Bobak, 2004).
8) Laktasi
Sejak kehamilan muda, sudah terdapat persiapan-persiapan pada
kelenjar-kelanjar untuk menghadapi masa laktasi. Proses ini timbul
setelah ari-ari atau plasenta lepas. Ari-ari mengandung hormon
penghambat prolaktin (hormon placenta) yang menghambat
pembentukan ASI. Setelah ari-ari lepas ,hormone placenta tak ada lagi
sehingga terjadi produksi ASI. Sempurnanya ASI keluar 2-3 hari setelah
melahirkan. Namun sebelumnya di payudara sudah terbentuk kolostrum
yang bagus sekali untuk bayi, karena mengandung zat kaya Gizi dan
antibodi pembunuh kuman.
9) Sistem Endokrin
Selama postpartum terjadi penurunan hormon human placenta
latogen (HPL), estrogen dan kortisol serta placental enzime insulinase
membalik efek diabetogenik kehamilan, sehingga kadar gula darah
menurun pada masa puerperium. Pada wanita yang tidak menyusui, kadar
estrogen meningkat pada minggu kedua setelah melahirkan dan lebih
tinggi dari wanita yang menyusui pascapartum hari ke-17 (Bobak, 2004).
10) Sistem Urinarius
Perubahan hormonal pada masa hamil (kadar steroid yang tinggi)
turut menyebabkan peningkatan fungís ginjal, sedangkan penurunan
kadar steroid setelah wanita melahirkan akan mengalami penurunan
fungsi ginjal selama masa pascapartum. Fungsi ginjal kembali normal
dalam waktu 1 bulan setelah wanita melahirkan. Trauma terjadi pada
uretra dan kandung kemih selama proses melahirkan, yakni sewaktu bayi
melewati hiperemis dan edema. Kontraksi kandung kemih biasanya akan
pulih dalam 5-7 hari setelah bayi lahir (Bobak, 2004).

11) Sistem Cerna


Ibu biasanya lapar setelah melahirkan sehingga ia boleh
mengkonsumsi makanan ringan. Penurunan tonus dan motilitas otot
traktus cerna menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir.
15

Buang air besar secara spontan bisa tertunda selama tiga hari setelah ibu
melahirkan yang disebabkan karena tonus otot usus menurun selama
proses persalinan dan pada awal masa pasca partum. Nyeri saat defekasi
karena nyeri diperinium akibat episiotomi, laserasi, atau hemoroid
(Bobak, 2004).
12) Sistem Kardiovaskuler
Pada minggu ke-3 dan 4 setelah bayi lahir, volume darah biasanya
turun sampai mencapai volume sebelum hamil. Denyut jantung, volume
sekuncup dan curah jantung meningkat sepanjang hamil. Setelah wanita
melahirkan meningkat tinggi selama 30-60 menit, karena darah melewati
sirkuit uteroplasenta kembali ke sirkulasi umum. Nilai curah jantung
normal ditemukan pemeriksaan dari 8-10 minggu setelah wanita
melahirkan(Bobak, 2004).
13) Sistem Neurologi
Perubahan neurologi selama puerperium kebalikan adaptasi
neourologis wanita hamil, disebabkan trauma wanita saat bersalin dan
melahirkan. Rasa baal dan kesemutan pada jari dialami 5% wanita hamil
biasanya hilang setelah anak lahir. Nyeri kepala pascapartum disebabkan
hipertensi akibat kehamilan , strees dan kebocoran cairan serebrospinalis.
Lama nyeri kepala 1-3 hari dan beberapa minggu tergantung penyebab
dan efek pengobatan.
14) Sistem Muskuloskeletal
Adaptasi sistem muskuloskeletal ibu terjadi selama hamil
berlangsung terbalik pada masa pascapartum. Adaptasi membantu
relaksasi dan hipermeabilitas sendi dan perubahan pusat berat ibu akibat
pembesaran rahim. Stabilisasi sendi lengkap pada minggu ke 6-8 setelah
wanita melahirkan (Bobak, 2004).

15) Sistem Integumen


Kloasma muncul pada masa hamil biasanya menghilang saat
kehamilan berakhir; hiperpigmentasi di aerola dan linea tidak menghilang
seluruhnya setelah bayi lahir. Kulit meregang pada payudara, abdomen,
16

paha, dan panggul mungkin memudar tapi tidak hilang seluruhnya.


Kelainan pembuluh darah seperti spider angioma (nevi), eritema palmar
dan epulis berkurang sebagai respon penurunan kadar estrogen.Pada
beberapa wanita spider nevi bersifat menetap (Bobak, 2004).
b. Adaptasi Psikologis Post Partum
Menurut Rubin dalam Varney (2007) adaptasi psikologis post
partum dibagi menjadibeberapa fase yaitu :
1) Fase Taking In ( dependent)
Fase ini dimulai pada hari kesatu dan kedua setelah melahirkan,
dimana ibu membutuhkan perlindungan dan pelayanan pada tahap ini
pasien sangat ketergantungan.
2) Fase Taking Hold (dependent- independent)
Fase ini dimulai pada hari ketiga setelah melahirkan dan berakhir
pada minggu keempat sampai kelima. Sampai hari ketiga ibu siap
menerima pesan barunya dan belajar tentang hal-hal baru, pada fase ini
ibu membutuhkan banyak sumber informasi.
3) Fase Letting Go (independent)
Fase dimulai minggu kelima sampai minggu keenam setelah
kelahiran, dimana ibu mampu menerima tanggung jawab normal.
4. Kebutuhan Dasar Ibu nifas
a. Nutrisi
Ibu nifas memerlukan nutrisi dan cairan untuk pemulihan kondisi
kesehatan setelah melahirkan, cadangan tenaga serta untuk memenuhi
produksi air susu. Zat-zat yang dibutuhkan ibu pasca persalinan antara lain:
b. Kalori
Kebutuhan kalori pada masa menyusui sekitar 400 -500 kalori.
Wanita dewasa memerlukan 1800 kalori per hari. Sebaliknya ibu nifas
jangan mengurangi kebutuhan kalori, karena akan megganggu proses
metabolisme tubuh dan menyebabkan ASI rusak. (Wiknjosastro, 2006).
c. Kalsium dan vitaminD
Kalsium dan vitamin D berguna untuk pembentukan tulang dan gigi,
kebutuhan kalsium dan vitamin D di dapat dari minum susu rendah kalori
atau berjemur di pagi hari. Konsumsi kalsium pada masa menyusui
17

meningkat menjadi 5 porsi per hari. Satu setara dengan 50-60 gram keju, satu
cangkir susu krim, 160 gram ikan salmon, 120 gram ikan sarden, atau 280
gram tahukalsium (Wiknjosastro, 2006).
d. Magnesium
Magnesium dibutuhkan sel tubuh untuk membantu gerak otot, fungsi
syaraf dan memperkuat tulang. Kebutuhan magnesium didapat pada gandum
dan kacang-kacangan (Wiknjosastro, 2006).
e. Sayuran hijau dan buah
Kebutuhan yang diperlukan setidaknya tiga porsi sehari. Satu porsi
setara dengan 1/8 semangka, ¼ mangga, ¾ cangkir brokoli, ½ wortel, ¼- ½
cangkir sayuran hijau yang telah dimasak, satu tomat (Wiknjosastro, 2006).
f. Karbohidrat
Selama menyusui, kebutuhan karboidrat kompleks diperlukanenam
porsi perhari. Satu porsi setara ddengan ½ cangkir nasi, ¼ cangkir jagung pipi,
satu porsi sereal atau oat, satu iris roti dari bijian utuh, ½ kue maffin dri bijian
utuh, 2-6 biskuit kering atau crackers, ½ cangkir kacang-kacangan, 2/3
cangkir kacang koro, atau 40 gram mi/pasta dari bijian utuh (Wiknjosastro,
2006).
g. Lemak
Rata-rata kebutuhan lemak orang dewasa adalah 41/2 porsi lemak (14
gram porsi) perharinya. Satu porsi lemak sama dengan 80 gram keju, tiga
sendok makan kacang tanah atau kenari, empat sendok makan krim, secangkir
es krim, ½ buah alpukat, 2 sendok makan selai kacang, 120-140 gram daging
tanpa lemak, Sembilan kentang goring, 2 iris cake, satu sendok makan
mayones atau mentega, atau 2 sendok makan salad (Wiknjosastro, 2006).

h. Garam
Selama periode nifas, hindari konsumsi garam berlebihan. Hindari makanan
asin.
i. Cairan
18

Konsumsi cairan sebanyak 8 gelas per hari. Minum sedikitnya 3 liter


tiap hari. Kebutuhan akan cairan diperoleh dari air putih, sari buah, susu dan
sup (Wiknjosastro, 2006).
j. Vitamin
Kebutuhan vitamin selama menyusui sangat dibutuhkan. Vitamin
yang diperlukan antara lain: Vitamin A yang berguna bagi kesehatan kulit,
kelenjar serta mata. Vitamin A terdapat dalam telur, hati dan keju. Jumlah
yang dibutuhkan adalah 1.300 mcg; Vitamin B6 membantu penyerapan
protein dan meningkatkan fungsi syaraf. Asupan vitamin B6 sebanyak 2,0 mg
per hari. Vitain B6 dapat ditemui didaging, hati, padi- padian, kacang polong
dan kentang; Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan, meningkatkan stamina
dan daya tahan tubuh. Terdapat dalam makanan berserat, kacang-kacangan,
minyak nabati dan gandum
k. Zinc (seng)
Berfungsi untuk kekebalan tubuh, penyembuh luka dan pertumbuhan.
Kebutuhan zinc di dapat dalam daging, telur dan gandum. Enzim dalam
pencernaan ddan metabolism memerlukan seng. Kebutuhan seng setiap hari
sekitar 12 mg. sumber seng terdapat pada seafood, hati dan daging
l. DHA
DHA penting untuk perkembangan daya lihat dan mental bayi, asupan
DHA berpengaruh langsung pada kandungan dalam ASI. Sumber DHA ada
pada telur, otak, hati dan ikan
m. Ambulasi
Setelah bersalin, ibu akan merasa lelah. Oleh karena itu, ibu harus
istirahat. Mobilisasi yang akan dilakukan pada komplikasi persalinan, nifas
dan sembuhannya luka. Ambulasi dini (early ambulation) adalah mobilisasi
segera seteelah ibu melahirkan dengan membimbing ibu untuk bangun dari
tempat tidurnya. Ibu post partum diperbolehkan bangun dari tempat tidurnya
24-48 jam seteelah melahirkan. Anjurkan ibu untuk memulai mobilisasi
dengan miring kanan/kiri, duduk kemudian berjalan. Keuntungan ambulasi
dini adalah (Yanti dan Sundawati, 2011): ibu merasa lebih sehat dan kuat;
19

fungsi usus, sirkulasi, paru-paru dan perkemihan lebih baik; memungkinkan


untuk mengajarkan perawatan bayi pada ibu; mencegah trombosit pada
pembuluh tungkai; sesuai dengan keadaan Indonesia (sosial ekonomis).

n. Eliminasi
1) Miksi
Buang air kecil sendiri sebaiknya dilakukan secepatnya. Miksi
normal bila dapat BAK spontan seetiap 3-4 jam. Kesulitan BAK dapat
disebabkan karena sfingter uretra tertekan oleh kepala janin dan spesmen
oleh iritasi muskulo spingter ani selama persalinan. Lakukan keteterisasi
apabila kandung kemih penih dan sulit berkemih (Yanti dan Sundawati,
2011).
2) Defekasi
Ibu diharapkan dapat BAB sekitar 3-4 hari post partum. Apabila
mengalami kesulitan BAB, lakukan diet teratur; cukup cairan, konsumsi
makanan berserat, olahraga, berikan obat perangsang per oral/ rectal atau
lakukan klisma bilamana perlu (Yanti dan Sundawati, 2011)
3) Kebersihan diri atau perineum
Kebutuhan diri berguna mengurangi infeksi dan meningkatkan
perasaan nyaman. Kebersihan diri meliputi kebersihan tubuh, pakaian,
tempat tidur maupun lingkungan. Beberapa hal yang dpat dilakukan ibu
post partum dalam menjaga kebersihan diri adalah sebagai berikut: mandi
teratur minimal 2 kali sehari, mengganti pakaian dan alas tempat tidur,
menjaga lingkungan sekitar tempat tinggal, melakukan perawatan
perineum, mengganti pembalut minimal 2 kali sehari, mencuci tangan
setiap membersihkan daerah genetalia (Yanti dan Sundawati, 2011).

o. Istirahat
Ibu nifas memerlukan istirahat yang cukup, istirahat tidur yang
dibutuhkan ibu nifas sekitar 8 jam pada malam hari dan 1 jam pada siang
hari. Hal-hal yang dapat dilakukan ibu dalam memenuhi kebutuhan
20

istirahatnya antara lain: anjurkan ibu untuk cukup istirahat, sarankan ibu
untuk melakukanmkegiatan rumah tangga secara perlahan, tidur siang
atau istirahat saat bayi tidur. Kurang istirahat dapat menyebabkan jumlah
ASI berkurang, memperlambat proses involusi uteri, menyebabkan
deperesi dan ketidak mampuan dalam merawat bayi (Yanti dan
Sundawati, 2011)
p. Seksual
Hubungan seksual aman dilakukan begitu darah brhenti. Namun
demikian hubungan seksual dilakukan tergantung suami istri tersebut.
Selama periode nifas, hubungan seksual juga dapat berkurang. Hal yang
dapat menyebabkan pola seksual selama masa nifas berkurang antara
lain: gangguan atau ketidak nyamanan fisik, kelelahan,
ketidakseimbangan berlebihan hormon, kecemasan berlebihan. Program
KB sebaiknya dilakukan ibu setelah masa nifas selesai atau 40 hari (6
minggu), dengan tujuan menjaga kesehatan ibu. Pada saat melakukan
hubungan seksual sebaiknya perhatikan waktu, penggunaan kontrasepsi,
dipareuni, kenikmatan dan kepuasan pasangan suami istri. Beberapa cara
yang dapat mengatassi kemesraan suami istri setelah periode nifas antara
lain: hindari menyebut ayah dan ibu, mencari pengasuh bayi, membantu
kesibukan istri, menyempatkan berkencan, meyakinkan diri, bersikap
terbuka, konsultasi dengan ahlinya (Saiffuddin, 2006).
21

q. Latihan atau senam nifas


Organ-organ tubuh wanita akan kembali seperti semula sekitar 6
minggu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara latihan senam nifas. Senam
nifas adalah senam yang dilakukan sejak hari pertama melahirkan
sampai dengan kesepuluh. Beberapa faktor yang menentukan kesiapan
ibu untuk memulai senam nifas antara lain: tingkat keberuntungan tubuh
ibu, riwayat persalinan, kemudahan bayi dalam peemberian asuhan,
kesulitan adaptasi post partum (Saiffuddin, 2006).
Tujuan senam nifas adalah sebagai berikut : membantu
mempercepat pemulihan kondisi ibu, mempercepat proses involusi uteri,
membantu memulihkan dan mengencangkan otot panggul, perut dan
perineum, memperlancar pengeluaran lochea, membantu mengurangi
rasa sakit, merelaksasikan otot-otot yang menunjang proses kehamilan
dan persalinan, mengurangi kelainan dan komplikassi masa nifas
(Saiffuddin, 2006).
Manfaat senam nifas antara lain: membantu memperbaiki
sirkulasi darah, memperbaiki sikap tubuh dengan punggung pasca salin,
memperbaiki dan memperkuat otot panggul, membantu ibu lebih relaks
dan segar pasca persalinan (Saiffuddin, 2006).
Senam nifas dilakukan saat ibu benar-benar pulih dan tidak ada
komplikasi dan penyulit pada masa nifas atau antara waktu makan.
Sebelum melakukan senam nifas, persiapan yang dapat dilakukan
adalah: mengenakan baju yang nyaman untuk olahraga, minum banyak
air putih, dapat dilakukan ddi tempat tidur, dapat diiringi musik,
perhatikan keadaan ibu (Saiffuddin, 2006).
5. Deteksi Dini Komplikasi Masa Nifas dan Penangan
a. Infeksi masa nifas
Infeksi nifas adalah infeksi yang dimulai pada dan melalui traktus
genetalis setelah persalinan. Suhu 38 0c atau lebih yang terjadi pada hari ke
2-10 post partum dan diukur peroral sedikitnya 4 kali sehari (Yanti dan
Sundawati, 2011).
22

Menurut Yanti dan Sundawati (2011) Penyebab dan cara terjadinya


infeksi nifas yaitu:
1) Penyebab infeksi nifas
Macam-macam jalan kuman masuk kea lat kandungan seperti
eksogen (kuman datang dari luar), autogen (kuman masuk dari tempat
lain dalam tubuh), dan endogen (dari jalan lahir sendiri). Penyebab
terbanyak adalah streptococcus anaerob yang sebenarnya tidak pathogen
sebagai penghuni normal jalan lahir.
2) Cara terjadinya infeksi nifas
Infeksi ini dapat terjadi sebagai berikut:
a) Tangan pemeriksa atau penolong
b) Droplet infection
c) Virus nosokomial
d) Koitus
3) Factor presdisposisi infeksi nifas: Semua keadaan yang menurunkan
daya tahan penderita seperti perdarahan banyak, diabetes, preeklamps,
malnutrisi, anemia. Kelelahan juga infeksi lain yaitu pneumonia,
penyakit jantung dan sebagainya, proses persalinan bermasalah seperti
partus lama/macet terutama dengan ketuban pecah lama,
korioamnionitis, persalinan traumatic, kurang baiknya proses
pencegahan infeksi dan manipulasi yang berlebihan, tindakan
obstetrikoperatif baik pervaginam maupun perabdominal, tertinggalnya
sisa plasenta, selaput ketuban, dan bekuan darah dalam rongga rahim,
episiotomy atau laserasi.
4) Pencegahan Infeksi Nifas
a) Masa kehamilan: mengurangi atau mencegah factor-faktor
b) Selama persalinan
(1) Hindari partus terlalu lama dan ketuban pecah lama/menjaga
supaya persalinan tidak berlarut-larut
(2) Menyelesaikan persalinan dengan trauma sedikit mungkin
23

(3) Perlukaann-perlukaan jalan lahir karena tindakan pervaginam


maupun perabddominan dibersihkan, dijahit sebaik-baiknya dan
menjaga sterilitas
(4) Mencegah terjadinya perdarahan banyak, bila terjadi darah yang
hilang harus segera diganti dengan tranfusi darah
(5) Semua petugas dalam kamar bersalin harus menutup hidung dan
mulut dengan masker
(6) Alat-alat dan kain yang dipakai dalam persalinan dalam keadaan
steril
(7) Hindari PD berulang-ulang
c) Selama masa nifas luka-luka dirawat.
b. Masalah payudara
Payudara berubah menjadi merah, panas dan terasa sakit disebabkan
oleh payudara yang tidak disuse secara adekuat, putting susu yang lecet, BH
yang terlalu ketat, ibu dengan diet jelek, kurang istirahat, anemia (Yanti dan
Sundawati, 2011).
1) Mastitis
Mastitis adalah peradangan pada payudara. Mastitis ini dapat
terjadi kapansaja sepanjang periode menyusui, tapi paling sering terjadi
pada hari ke 10 dan hari ke 28 setelah kelahiran.
a) Penyebab: payudara bengkak akibat tidak disusukan secara adekuat,
bra yang terlalu ketat, putting susu lecet yang menyebabkan infeksi,
asupan gizi kurang, anemi.
b) Gejala: bengkak dan nyeri, payudara tampak merah pada
keseluruhan atau di tempat tertentu, payudara terasa keras dan
benjol-benjol, ada demam dan rasa sakit umum Penanganan:
payudara dikompres dengan air hangat, untuk mengurangi rasa sakit
dapat diberikanpengobatan analgetik, untuk mengatasi infeksi
diberikan antibiotic, bayi mulai menyusui dari payudara yang
mengalami peradangan, anjurkan ibu untuk meyusui bayinya,
24

anjurkan ibu untuk mengonsumsi makanan yang bergizi dan istirahat


khusus

2) Abses payudara
Abses payudara berbeda dengan mastitis. Abses payudara terjadi
apabila mastitis tidah ditangani dengan baik, sehingga memperberat
infeksi (Yanti dan Sundawati, 2011).
a) Gejala: sakit pada payudara ibu tampak lebih parah, payudara lebih
mengkilap dan berwarna merah, benjolan terassa lunak karena berisi
nanah (Yanti dan Sundawati, 2011).
b) Penanganan: teknik menyusui yang benar kompres payudara dengan
air hangat dan air dingin secara bergantian, tetap menyusui bayi,
mulai menyusui pada payudara yang sehat, hentikan menyusui pada
payudara yang mengalami abses tetapi asi tetapi dikeluarkan, apabila
abses bertambah parah dan mengeluarkan nanah, berikan antibiotik,
rujuk apabila keadaan tidak membaik (Yanti dan Sundawati, 2011).
3) Putting susu lecet
Putting susu lecet dapat disebabkan trauma pada putting susu saat
menyusui, selain itu dapat pula terjadi rtak dan pembeentukan celah-
celah. Retakan pada putting susu bisa sembuh sendiri dalam waktu 48
jam (Yanti dan Sundawati, 2011).
a) Penyebab: teknik meyusui tidak benar, puting susu terpapar cairan
saat ibu membersihkan putting susu, moniliasis pada mulut bayi
yang menular pada putting susu ibu, bayi dengan tali lidah pendek,
cara menghentikan menyusui yang kurang tepat (Yanti dan
Sundawati, 2011).
b) Penatalaksanaan: cari penyebab susu lecet, bayi disusukan lebih
dahulu pada putting susu yang normal atau lecetnya sedikit, tidak
menggunakan sabun, krim atau alcohol untuk membersihkan putting
susu, menyusui lebih sering 8-12 kali dalam 24 jam, posisi menyusui
harus benar, bayi menyusui sampai ke kalang payudara, keluarkan
25

sedikit ASI dan oleskan ke putting yang lecet dan biarkan kering,
menggunakan BH yang menyangga, bila terasa sangat sakit, boleh
minum obat pengurang rasa sakit, jika penyebabnya monilia, diberi
pengobatan, saluran susu tersumbat (Yanti dan Sundawati, 2011).
c) Gejala: pada payudara terlihat jelas danlunak padaperabaan (pada
wanita kurus), payudara terasa nyeri dan bengkak pada payudara
yang tersumbat.
d) Penanganan: payudara dikompres dengan air hangat dan air dingin
setelah bergantian. Setelah itu bayi disusui, lakukan masase pada
payudara untuk mengurangi nyeri dan bengkak,menyusui bayi
sesering mungkin, bayi disusui mulai dengan pyudara yang
salurannya tersumbat, gunakan bra yang menyangga payudara,
posisi menyusui diubah- ubah untuk melancarkan aliran ASI (Yanti
dan Sundawati, 2011).
4) Hematoma
Hematoma terjadi karena kompresi yang kuat di sepanjang
traktus genitalia, dan tampak sebagai warna ungu pada mukosa vagina
atau perineum yang ekimotik. Hematoma yang kecil diatasi dengan es,
analgetik, dan pemantauan yang terus-menerus. Biasanya hematoma ini
dapat diserap secara alami. Hematoma yang lebih besar atau yang
ukurannya meningkat perlu diinsisi dan didrainase untuk mencapai
hemostasis. Pendarahan pembuluh diligasi (diikat). Jika diperlukan
dapat dilakukan dengan penyumbatan dengan pembalur vagina untuk
mencapai hemostasis. Karena tindakan insisi dan drainase bisa
meningkatkan kecenderungan ibu terinfeksi, perlu dipesankan antibiotik
spektrum luas. Jika dibutuhkan ,berikan transfusi darah.

6. Faktor-faktor pembekuan (Wulandari, 2009).


a. Hemoragia postpartum
Menurut Yanti dan Sundawati (2011) perdarahan pervaginam yang
melebihi 500 mililiter setelah persalinan didefinisikan sebagai perdarahan
26

pasca prsalinan. Perdarahan pasca persalinan dapat dikatagorikan menjadi 2,


yaitu (Mansyur N, 2014) :
1) Perdarahan post partum primer (early post partum hemorrhage) yang
terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.
2) Perdarahan post partum sekunder (late post partum hemorrhage) yang
terjadi setelah 24 jam sampai, biasanya antara dari ke-5 sampai hari ke-
15 post partum.
3) Perdarahan post partum dapat terjadi akibat terjadinya Antonia uteri dan
adanya sisa plasenta atau selaput ketuban, subinvolusi,laserasi jalan lahir
dan kegagalan pembekuan darah (MansyurN, 2014).
b. Subinvolusi
Subinvolusi adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal
involusi, dan keadaan ini merupakan satu dari penyebab umum perdarahan
pasca partum. Biasanya tanda dan gejala sub involusi tidak tampak, sampai
kira-kira 4 hingga 6 minggun pasca partum. Fundus letaknya tetap tinggi di
dalam abdomen/pelvis dari yang diperkirakan. Kemajuan lochea seringkali
gagal berubah dari bentuk rubra ke bentuk serosa, lalu ke bentuk lochea alba.
Lochea ini bisa tetap dalam bentuk rubra, atau kembali ke bentuk rubra
dalam beberapa hari pasca partum. Jumlah lochea bisa lebih banyak daripada
yang diperkirakan. Leukore, sakit punggung, dan lochea barbau menyengat,
bisa terjadi jika ada infeksi (Ramona dan Patricia 2013),.
Terapi klinis yang dilakukan adalah pemeriksaan uterus, dimana
hasilnya memperlihatkan suatu pembesaran uterus yang lebih lembut dari
uterus normal. Terapi obat-obatan, seperti metilergonovin 0,2 mg atau
ergonovine 0,2 mg per oral setiap 3-4 jam, selama 24-48 jam diberikan untuk
menstimulasi kontraktilitas uterus. Diberikan antibiotik per oral, jika
terdapat metritis (infeksi) atau dilakukan prosedur invasif. Kuretasi uterus
dapat dilakukan jika terapi tidak efektif atau jika penyebabnya fragmen
plasenta yang tertahan dan poli (Mansyur N, 2014).
c. Trombophabilitis
27

Trombophabilitis terjadi karena perluasan infeksi atau invasi


mikroorganisme patogen yang mengikuti aliran darah sepanjang vena
dengan cabang-cabangnya (Mansyur N, 2014). Adapun tanda dan gejala
yang terjadi pada penderita adalah (Mansyur N, 2014) :
1) Suhu mendadak naik kira-kira pada hari ke 10-20, yang disertai dengan
menggigil dan nyeri sekali.
2) Biasanya hanya 1 kaki yang terkena dengan tanda-tanda: kaki sedikit
dalam keadaan fleksi, sukar bergerak, salah satu vena pada kaki terasa
tegang dank eras pada paha bagian atas, nyeri betis, yang dapat terjadi
secara spontan atau dengan memijat betis atau meregangkan tendon
akhiles. Kaki yang sakit biasanya lebih panas, nyeri hebat pada daerah
paha dan lipatan paha, edema kadang terjadi sebelum atau setelah nyeri.
d. Sisa placenta
Adanya sisa placenta dan selaput ketuban yang melekat dapat
menyebabkan perdarahan karena tidak dapat berkontraksi secara efktif.
Penanganan yang dapat dilakukan dari adanya sisa placenta dan sisa selaput
ketuban adalah (Mansyur N, 2014) :
1) Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan
pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah
2) dilahirkan. Pada kasus sisa plassenta dengan perdarahan kasus pasca-
persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempaat
bersalin dengan keluhan perdarahan selama 6-10 hari pulang kerumah
dan subinvolusio uterus.
3) Lakukan eksplorasi digital (bila servik terbuka) dan mengeluarkan
bekuan darah dan jaringan bila servik hanya dapat dilalui oleh
instrument, keluarkan sisa plasenta ddengan cunan vacuum atau kuret
besar.
4) Berikan antibiotic.
e. Inversio uteri
Invesio uteri pada waktu persalinan disebabkan oleh kesalahan
dalam memberi pertolongan pada kala III. Kejadian inversio uteri sering
28

disertai dengan adanya syok. Perdarahan merupakan faktor terjadinya syok,


tetapi tanpa perdarahan syok tetap dapat terjadi karena tarikan kuat pada
peritoneum, kedua ligamentum infundibulo-pelvikum, serta ligamentum
rotundum. Syok dalam hal ini lebih banyak bersifat neurogenik. Pada kasus
ini, tindakan operasi biasanya lebih dipertimbangkan, meskipun tidak
menutup kemingkinan dilakukan reposisi uteri terlebih dahulu (Sulistyawati,
2009).
f. Masalah psikologis
Pada minggu-minggu pertama setelah persalinan kurang lebih 1
tahun ibu postpartum cenderung akan mengalami perasaan- perasaan yang
tidak pada umumnya seperti meraa sedih, tidak mampu mengasuh
dirinya sendiri dan bayinya. Faktor penyebab yaitu kekecewaan emosional
yang mengikuti kegiatan bercampur rasa takut yang dialami kebanyakan
wanita selama hamil dan melahirkan, rasa nyeri pada awal masa nifas,
kelelahan akibat kurang tidur selama persalinan dan telah melahirkan
kebanyakan di rumah sakit, kecemasan akan kemampuannya untuk merawat
bayinya setelah meninggalkan rumah sakit (Nugroho, dkk 2014).
Merasa sedih tidak mampu mengasuh sendiri bayinya dan dirinya sendiri.
Menurut Marmi (2012) faktor penyebab yaitu:
1) Kekecewaan emosional yang mengikuti kegiatan bercampur rasa takut
yang dialami kebanyakan wanita selama hamil dan melahirkan.
2) Rasa nyeri pada awal masa nifas
3) Kelelahan akibat kurang tidur selama persalinan dan telah melahirkan
kebanyakan di rumah sakit.
4) Kecemasan akan kemampuannya untuk merawat bayinya setelah
meninggalkan rumah sakit.
5) Ketakutan akan menjadi tidak menarik lagi.
29

B. Konsep Episiotomi
1. Pengertian
Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum untuk
memperlebar jalan lahir menurut alur waktu tertentu, insisi dilakukan
pada saat kontraksi, ketika jaringan sedang merentang, agar mudah
terlihat dearahnya, dan perdarahan dengan kemungkinan tidak terlalu
parah (Nurasiah Ai dkk,2014). Pendapat selanjutnya mengatakan
bahwa
Episiotomi adalah suatu tindakan insisi bedah yang dilakukan pada
perineum untuk memudahkan kelahiran pada bagian presentase janin ,
praktik ini harus dibatasi sesuai kebutuhan klinis (Baston Hellen dkk,
2016).
2. Tujuan Episiotomi
1. Fasilitas untuk persalinan dengan tindakan atau menggunakan
instrument
2. Mencegah robekan perineum yang baku atau diperkirakan tidak
mampu beradaptasi terhadap regangan yang berlebihan (misalnya
bayi yang sangat besar atau makrosomnia)
3. Mencegah kerusakan jaringan pada ibu dan bayi pada kasus
presentase upnormal (bokong, muka, ubun-ubun kecil di belakang)
dengan menyediakan tempat lebih luas untuk persalinan yang aman
(Pudiastuti Ratna Dewi, 2012).
3. Etiologi
1. Etiologi yang berasal dari janin menurut (Damayanti dkk, 2014)
a. Janin prematur
b. Janin letak sungsang, letak defleksi
c. Bayi yang besar
Berat seorang bayi normal adalah antara 2.500-4.000 gram. Bayi
besar (makrosomia) adalah bayi dengan berat badan diatas 4
kilogram (Andalas. 2014)
2. Etiologi yang berasal dari ibu
30

a. Primagravida, khusus pada primagravida, laserisasi jalan lahir


sulit dihindari sehingga untuk keamanan dan memudahkan
menjahit laserisasi kembali dilakukan Episiotomi, selain itu
Episiotomi dipertimbangkan pada multigravida dengan
intoroitus vaginae yang sempit.
b. Ada bekas Episiotomi yang sudah diperbaiki (Mutmainah dkk.,
2017).
c. Perineum kaku dan riwayat robekan perineum pada persalinan
lalu.
d. Terjadi peregangan perineum yang berlebihan misalnya
persalinan sungsang, persalinan cunam dan ektraksi vakum.

4. Jenis-jenis Episiotomi
1. Episiotomi Mediolateralis menurut (Oxorn, 2010)
a) Pemotongan dimulai dari garis tengah fossa vestibula vagina ke
posterior ditengah antara spina ishiadica dan anus10
b) Dilakukan pada ibu yang memiliki perineum pendek dan
pernah rupture grade
c) Kemungkinan perluasan laserisasi ke sphincter ani akan semakin
kecil
d) Penyembuhan terasa lebih sakit dan lama
e) Mungkin ibu merasakan kehilangan darah yang lebih banyak
f) Sulit dijahit
g) Bekas luka parut kurang baik.
h) Intritus vagina melebar
i) Biasanya luka Episiotomi diikuti dengan rasa nyeri karena
berhubungan dengan dyspareunia
2. Episiotomi Medialis
a) Tindakan Episiotomi medialis penyembuhannya tidak terlalu
sakit karena menghindari pembuluh-pembuluh darah dan
syaraf
31

b) Secara anatomis lebih alamiah


c) Dengan anatomis yang lebih muda menjadikan penjahitan luka lebih
mudah
d) Kehilangan darah lebih sedikit
e) Jika meluas bisa lebih memanjang sampai ke spinchter ani
yang mengakibatkan kehilangan darah lebih banyak, lebih sulit
dijahit dan jika sampai sphincter ani harus dirujuk (Tando
Naomy Marie, 2013).

5. Patofisiologi
Ibu dengan persalinan Episiotomi disebabkan adanya pesalinan
yang lama karena ditemukan janin yang prematur, letak sungsang,
janin dengan ukuran besar, selain itu tindakan ini dilakukan karena
kondisi ibu dengan perineum yang kaku, ataupun adanya riwayat
robekan perineum dimasa lalu. Persalinan Episiotomi mengakibatkan
terputusnya jaringan yang dapat menyebabkan penekanan pembuluh
syaraf sehingga timbul rasa nyeri, pada kondisi seperti ini ibu pasti
akan merasa cemas bahkan untuk BAB pun takut, kondisi seperti ini
menyebabkan resti kontipasi. Selain itu terputusnya jaringan juga
menyebabkan rusaknya pembuluh darah dan timbul resiko defisit
volume cairan, apabila tidak dirawat dengan baik ibu akan mengalami
resiko infeksi pada insisi Episiotomi karena kuman akan mudah
berkembang. Pada saat masa nifas setelah 6 minggu persalinan ibu
akan mengalami perubahan fisiologis dan psikologis. Perubahan
fisiologisnya uterus pada ibu berkontaksi kondisi ini menyebabkan ibu
mengeluhkan nyeri. Pada perubahan psikologis ibu mengalami Taking
In, Taking Hold, dan Letting Go. pada fase Taking In biasanya ibu
mengalami kondisi yang lemah terfokus pada diri sendiri sehingga ibu
sangat membutuhkan bantuan dari orang lain yang mengakibatkan
defisit perawatan diri, sedangkan pada fase Taking Hold ibu akan
menjumpai hal baru sehingga ibu membutuhkan banyak informasi dari
32

orang lain, setelah itu perlahan ibu mampu menyesuaikan diri dengan
keluarga sehingga ibu disebut madiri, menerima tanggung jawab dan
peran baru sebagai orang tua fase ini disebut Letting Go.

6. Manifestasi Klinis
1. Laserisasi perineum
Biasanya terjadi sewaktu kepala janin dilahirkan, luas robekan
didefinisikan berdasarkan kedalam robekan :
1) Derajat pertama (robekan mencapai kulit dan jaringan)
2) Derajat kedua (robekan mencapai otot-otot perineum)
3) Derajat ketiga (robekan berlanjut ke otot sfringer ari)
4) Derajat empat (robekan mencapai dinding rectum anterior)
2. Cedera Serviks
Terjadi jika serviks beretraksi melalui kepala janin yang keluar,
laserisasi serviks akibat persalinan terjadi pada sudut lateral ostium
eksterna, kebanyakan dangkal dan perdarahan minimal.
3. Laserasi Vagina
Sering menyertai robekan perineum, robekan vagina cenderung
mencapai dinding lateral (sulsi) dan jika cukup dalam, dapat
mencapai lavetor ani.

7. Indikasi Episiotomi
1. Gawat janin, untuk menolong keselamatan janin, maka persalinan
harus segera diakhiri.
2. Persalinan pervaginium dengan penyulit, misalnya presbo, distokia
bahu, akan dilakukan ekstraksi forcep, ektraksi vacum.
3. Jaringan parut pada perineum ataupun pada vagina
4. Perinium kaku dan pendek
5. Adanya rupture yang membakat pada perineum
6. Premature untuk mengurangi teknan pada kepala janin (Nurasiah Ai
dkk, 2014).
33

8. Kontraindikasi Episiotomi
1. Bila persalinan tidak berlangsung pervaginium
2. Bila terdapat kondisi untuk tejadinya perdarahan yang banyak
seperti penyakit kelainan darah maupun terdapatnya varises yang
luas pada vulva dan vagina

9. Resiko Episiotomi
Tindakan Episiotomi sering kali mengakibatkan ibu mengalami
inkontinensia urine hal ini disebabkan adanya sayatan yang dilakukan
dengan memotong jaringan otot dan kulit, selain itu Episiotomi juga
berkaitan dengan timbulnya trauma pada perineum yang robek. Ibu
yang mengalami tindakan ini memerlukan penjahitan untuk menutup
sayatan dan waktu yang lebih lama untuk pulih, sayatannya juga
memberikan ketidaknyamanan yang dirasakan, ibu juga cenderung
takut untuk bergerak karena merasakan nyeri pada sayatan. Anastesi
lokal yang diberikan kepada ibu sebelum tindakan dilakukan juga
menyebabkan edema, penurunan fleksibilitas dan peningkatan robekan
area sayatan. Pemulihan area perineum yang robek secara alami
menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan sayatan buatan
(Pratami, 2016).
10. Komplikasi
1. Kehilangan Darah
Karena tindakan Episotomi mengakibatkan terputusnya jaringan
sehingga merusak pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan
selain itu juga bisa disebakan karena tindakan Episiotomi terlalu
dini, sedangkan persalinan masih jauh, jika perdarahan merembes
yang tidak diketahui akan menimbulkan hematoma lokal.
2. Dispareunia
Mungkin hanya bersifat sementara, kerena takut, tetapi sekitar 5%
dapat menjadi permanen.
3. Infeksi
34

Terputusnya jaringan pada tindakan Episiotomi jika tidak dilakukan


perawatan luka yang benar maka akan menyebabkan kuman mudah
berkembang, selain itu resiko infeski juga berhubungan dengan
ketidaksterilan alat-alat yang digunakan dan adanya jahitan terbuka
kembali.
4. Gangguan Psikososial
Ibu pasca lahiran akan mengalami perubahan psikososial yang
dapat Ibu pasca lahiran akan mengalami perubahan psikososial yang
dapat berpengaruh pada integritas keluarga dan menghambat ikatan
emosional antara bayi dan ibu, beberapa kondisi menunjukkan
keamanan dan kesejahteraan ibu terancam.
5. Hematoma lokal
1) Perdarahan merembes yang tidak didasari dapat
menimbulkan hematoma
15
2) Hematoma dapat menjadi sumber : infeksi sekunder dan
menyebabkan terjadi luka terbuka kembali.

11. Pemeriksaan Penunjang


Menurut (Tucker, Susan martin, 1998. Dalam buku Aplikasi nanda
2015)
1. Pemantauan janin kesehatan janin
2. Pemantauan EKG
3. JDL dengan diferensial
4. Elektrolit
5. Hemoglobin/Hematokrit
6. Golongan Darah
7. Urinalis
8. Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi
9. Ultasound sesuai pesanan.
35

12. Perawatan Postpartum Episiotomi


Pada ibu pasca melahirkan biasanya mengalami komplikasi
obstetric ataupun medis membutuhkan observasi secara ketat setelah
resiko Episiotomi. Ibu sangat memerlukan perawatan intensif, bagi tim
kesehatan harus siap sedia dalam memberikan asuhan keperawatan.
Perawatan yang umum dilakukan kepada ibu, diantaranya :
1. Pengkajian tanda-tanda vital dengan interval diatas (15menit).
Pastikan ibu dalam kondisi stabil.
2. Ukur tinggi fundus uteri (TFU), adanya perdarahan dari luka
sayatan dan jumlah lokea.
3. Cairan pada ibu harus seimbang.
4. Pastikan ibu diberikan anelgesa yang adekuat.
5. Anjurkan fisioterapi dada dan ambulasi dini jika tidak ada
kontraindikasi.
6. Sebelum pemulangan berikan adukasi ringan seputar hal yang
ibu belum ketahui, beri kesempatan ibu untuk bertanya dan
jawab pertanyaan-pertanyaan ibu dengan tepat.
7. Berikan jadwal bagi ibu untuk melakukan pengkajian ulang
pasca persalinan guna memastikan penyembuhan akan
berlangsung cepat, diskusikan perihal kehamilan berikutnya
dan juga tindak lanjut perawatan untuk kondisi medisnya
(Fraser, 2012).

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Menurut Bobak, Lowdermilk, Jense (2004) pengkajian pada ibu dengan post
partum adalah sebagai berikut.
a. Identitas pasien (nama, umur, alamat, agama, pekerjaan, suku,bangsa
suami/istri).
b. Riwayat Haid (apakah haid teratur, siklusnya berapa haari, apakah ada
keluhan selama haid, HPHT/HPMT).
36

c. Riwayat perkawinan (menikah, belum menikah, berapa lama menikah,


beraapa kali).
d. Riwaya obsterti
e. Riwayat kehamilan
1) Berapa kali dilakukan pemeriksaan ANC, Hasil laboratorium;
USG,Darah, Urine, keluhan selama kehamilan termasuk situasi,
emosional dan impresi, upaya mengatasi keluhan, tindakan dan
pengobaatan yang diperoleh.
2) Riwayat Persalinan
a) Riwayat persalinan lalu : Jumlah Gravida, jumlah partal, dan jumlah
abortus, umur kehamilan, saat bersalin, jenis persalinan , penolong
persalinan, BB bayi, kelaianan fisik, kondisi anak saat ini.
b) Riwayaat nifas pada persalinan lau (masalah nifas dan laktasi yang
pernah dialami, masalah bayi yang pernah dialami, keaadaan aanak.0
c) Riwayat KB; Jenis kontsepsi yang pernah digunakan setelah
persalinan, jumlah anak yang direncanakaan.
f. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita paada masa lalu , bagaimana cara
pengobatan yang dijalani, dimana mendapat pertolongan. Apakahpenyakit
tersebut pernaah diderita sampai saat ini ataau kambuh berulang-ulang.
g. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga yang menderitaa penyakit yang diturunkn
secara genetic, menular, kelaianan, congenital aatau gangguan kejiwaan
yang pernah diderita olh keluarga.
h. Profil Keluarga.
i. Pola Nutrisi
Pola menu maakanan yang di komsumsi, jumlah, jenis makanan, dan
frekuensi.
j. Pola istirahat tidur
37

Lamanya, kapan, (malam, siang), rasa tidak nyaman yang


mengganggu istirahat, penggunaan selimut, lampu atau remang-remaang
aatau gelaap,apakah mudah tergaanggu dengaan suara- suara.
k. Pola eliminasi
Apakah terjadi dieresis setelah melahirkan, setelah melahirkan
adakaah inkontinesia, hilangnya control blas,Pola BAK, frekuensi dan
warnah.
l. Pola BAB, frekuensi, konsitensi, rasaa takut BAB karena luka perineum.
m. Personal Higine
Pola mandi, kebersihan mulut dan gigi, penggunaan pembalut dan
kebersihan genetalia, pola berpakian, tata rias rambut dan wajah.
n. Aktifitas
Kemampuan mobilisasi beberapa saat setelah melaahirkan,
kemampuan merawat diri dan melakukan eliminasi , kemampuan bekerja
dan menyusui.
o. Konsep Diri
Sikap enerimaan ibu terhadap tubuhnya, keinginan ibu menyusui,
persepsi ibu tentang tubuhnya terutama perubahan-perubahan selama
kehamilan
p. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : Tingkat kesadaran
2) BB,TB,LL,Tanda- tanda vital : TD,S,RR,N.
3) Kepala : Rambut, Wajah, mata (Conjungtiva), hidung, mulut, fungsi
pengecapan, pendengaran dan leher.
4) Breast : Kebesaran, simetris, pigmentasi, warna kulit, keadaan arieola,
dan putting susu.Kepenuhan atau pembengkakan, benjolan, nyeri,
produksi, laktasi,/ kolostrum. Perabaan pembesaran getah bening di
ketiak.
5) Abdomen ; Teraba lembut, Tekstur Doughi (kenyal), musculas rectus,
abdominal utuh (intact) atau terdapat diastasis, distensi, striae. Tinggi
38

fundus uterus, konsistensi (keras lunak, boggy), lokasi, kontraksi, uterus,


nyeri, perabaan distensi bilas.
6) Anogenital : Lihat struktur, ragangan, udema vagina, keadaan liang
vagina, (licin, kendur lemah) adakah hematom, nyeri, tegang perineum ;
Keadaan luka episiotomy, ochimosis, edema, kemerahan, eritema,
drainage. Lochia (Warna, jumlah, bau, bekuan daraah atau konsistensi,1-
3 hr rubra, 4-10 hr serosa ≥ 10 hr alba), Anus: Hemoroid dan thrombosis
padaa anus.
7) Muskuloskeletal : Tanda human, edema, tekstur kulit, nyeri bila
dipalpasi,, kekuatan otot.
q. Pemeriksaan Laboratorium
1) Darah : Hemoglobin dan hematocrit 12-24 jam post partum (jika Hb ≤
10 g% dibutuhkan suplemen FE), eritrosit, leukosit, Trombosit.
2) Klien dengan Dower kateter diperlukan culture urine.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa Keperawatan yang di peroleh untuk post partum normal
menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) (2017)adalah :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
b. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan proses melahirkan
c. Resiko infeksi berhubungan dengan laserasi dan proses persalinan.
d. Resiko hipovolemia dibuktikan dengan faktor resiko kehilangan cairan
secara aktif
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan respon hormonal
psikologis,proses persalinan dan proses melelahkan.
f. Defisit pengetahuan tentang perawatan bayi baru lahir berhubungan dengan
kurang terpapar informasi

3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
39

SLKI :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam


diharapkan tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil :
1) Keluhan nyeri menurun
2) Meringis menurun
3) Gelisah menurun
4) Kesulitan tidur menurun
5) Frekuensi nadi membaik
SIKI :
Manajemen Nyeri (I. 08238)
1) Observasi
 lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
2) Terapeutik
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
 Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
3) Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
40

 Jelaskan strategi meredakan nyeri


 Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
4) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
b. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan proses melahirkan
SLKI : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam
diharapkan integritas kulit dan jaringan meningkat dengan kriteria hasil :
1) Kerusakan jaringan menurun
2) Kerusakan lapisan kulit menurun
3) Nyeri menurun
SIKI:
Perawatan Luka ( I.14564 )
1) Observasi
 Monitor karakteristik luka (mis: drainase,warna,ukuran,bau
 Monitor tanda –tanda inveksi
2) Terapiutik
 lepaskan balutan dan plester secara perlahan
 Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
 Bersihkan dengan cairan NACL atau pembersih non toksik,sesuai
kebutuhan
 Bersihkan jaringan nekrotik
 Berika salep yang sesuai di kulit /lesi, jika perlu
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahan kan teknik seteril saaat perawatan luka
 Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
 Jadwalkan perubahan posisi setiap dua jam atau sesuai kondisi
pasien
 Berika diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari dan protein1,25-1,5
g/kgBB/hari
41

 Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis vitamin A,vitamin


C,Zinc,Asam amino),sesuai indikasi
 Berikan terapi TENS(Stimulasi syaraf transkutaneous), jika perlu
3) Edukasi
 Jelaskan tandan dan gejala infeksi
 Anjurkan mengonsumsi makan tinggi kalium dan protein
 Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
4) Kolaborasi
 Kolaborasi prosedur debridement(mis: enzimatik biologis
mekanis,autolotik), jika perlu
 Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
c. Resiko infeksi berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang cara
perawatan vulva.
SLKI: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam
diharapkan tingkat infeksi menurun dengan kriteria hasil:
1) Nyeri menurun
2) Bengkak menurun
3) Demam menurun
4) Kemerahan menurun
SIKI:
Pencegahan Infeksi (I.14539)
1) Observasi
 Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat alergi
 Identifikasi kontraindikasi pemberian imunisasi
 Identifikasi status imunisasi setiap kunjungan ke pelayanan
kesehatan
2) Terapeutik
 Berikan suntikan pada pada bayi dibagian paha anterolateral
 Dokumentasikan informasi vaksinasi
 Jadwalkan imunisasi pada interval waktu yang tepat
3) Edukasi
42

 Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang terjadi, jadwal dan efek


samping
 Informasikan imunisasi yang diwajibkan pemerintah
 Informasikan imunisasi yang melindungiterhadap penyakit namun
saat ini tidak diwajibkan pemerintah
 Informasikan vaksinasi untuk kejadian khusus
 Informasikan penundaan pemberian imunisasi tidak berarti
mengulang jadwal imunisasi kembali
 Informasikan penyedia layanan pekan imunisasi nasional yang
menyediakan vaksin gratis
d. Resiko hipovolemia dibuktikan dengan faktor resiko kehilangan cairan
secara aktif
SLKI :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam
diharapkan status cairan membaik dengan kriteria hasil :
1) Kekuatan nadi meningkat
2) Output urine meningkat
3) Membrane mukosa lembab meningkat
4) Tekanan nadi membaik
5) Turgor kulit membaik
SIKI :
Manajemen Hipovolemia (I.03116)
1) Observasi
 Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. frekuensi nadi
meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan
nadi menyempit,turgor kulit menurun, membrane mukosa kering,
volume urine menurun, hematokrit meningkat, haus dan lemah)
 Monitor intake dan output cairan
2) Terapeutik
 Hitung kebutuhan cairan
 Berikan posisi modified trendelenburg
 Berikan asupan cairan oral
43

3) Edukasi
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
4) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan IV issotonis (mis. cairan NaCl, RL)
 Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. glukosa 2,5%,
NaCl 0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. albumin, plasmanate)
 Kolaborasi pemberian produk darah.
44
PATHWAYS POST PARTUM

Post Partum

Perubahan Fisiologi Perubahan Psikologi

Sistem reproduksi Sistem urinary Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem


Gastrointestinal endokrin cardiovaskuler muskula integumen
Involusi - “kapasitas blast skuler
- “tonus otot “Mobilitas usus Hipotalamus volume darah MSH “
- udema, trauma menurun Tonus otot
Uterus Endometrium Servik - “sensitifikasi Gangguan Hipotise menurun Hiper
vagina - “keinginan BAK eliminasi BAB Dehidrasi pigmentasi
Bekas melekatnya rerineum (konstipasi) eloasma stria
placenta Distensi bladder Arterior Pasterior Henokon gravidarum “
- Laserasi sentrasi
Potensial Perdarahan - Trauma Perubahan Prolactin Oksitoin
kekurangan - Udema pola BAK
volume darah Lochea - Luka Konstraksi
- Jahitan myopitel
Bakteri mudah Talking in period Talking hold Talking on new
berkembang Sinus lakti of dependent behavior role repensibilities
ferus Keletihan (letting go)
Potensial infeksi Cemas
Sekresi Asi mengulang Perubahan keluarga
pengalaman (Bonding)
Gangguan rasa nyaman Breast melahirkan
Gangguan istirahat (tidur) angorgement

Sumber : ARLENE BURROUGH


BAB III
TINJAUAN KASUS
KEMENTERIAN KESEHATAN R.I
POLITEKNIK KESEHATAN JAMBI – JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI NERS
Jl. Dr. Tazar No. 05 Kel. BuluranKenali Jambi – 36123 Telp. 0741 65816

PENGKAJIAN KEPERAWATAN KLIEN DALAM MASA NIFAS


TANGGAL PENGKAJIAN : 11 Oktober 2021
JAM PENGKAJIAN : 09.00 WIB
TANGGAL MASUK : 9 Oktober 2021
JAM MASUK : 15.15 WIB
RUANGAN/KELAS : Kebidanan/kelas 3
NOMOR KAMAR : Obstetric 2
NOMOR REGISTRASI : 97****
DIAGNOSA MEDIS : P1A0 Post Partum hari 2
NAMA MAHASISWA : Kelompok rotasi 2 Kebidanan Senin Selasa Rabu
NIM

TANDA TANGAN :

45
46

I. BIODATA
a. Nama Ibu : Ibu J
b. Umur : 24 tahun
c. Agama : Islam
d. Pendidikan : SMA
e. Pekerjaan : IRT
f. Suku/Bangsa : Jambi/Indonesia
g. Alamat Rumah : Desa Bukit Baling KM 39 RT 14
h. Nama Suami : Bapak E
i. Umur : 27 th
j. Agama : Islam
k. Pendidikan : SMA
l. Pekerjaan : Petani
m. Alamat Rumah : Desa Bukit Baling KM 39RT 14

II. KELUHAN UTAMA / ALASAN MASUK RUMAH SAKIT


Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan terasa ingin meneran, perut mules, dan keluar
lendir bercampur darah

III. RIWAYAT KESEHATAN SEKARANG (PQRST)


Ibu J datang kerumah sakit tanggal 9 Oktober 2021 pada pukul 15.15 WIB, pada pukul
16.30 WIB dorongan meneran semakin kuat dan didapatkan pembukaan lengkap dengan
kontraksi 4 kali dalam 10 menit selama 40 detik. Ibu J melahirkan anak pertama pada
pukul 17.00 WIB, bayi lahir secara spontan dengan jenis kelamin laki-laki, berat badan
bayi 1800gr, panjang badan 41 cm, anus ada, cacat tidak ada, dengan apgar score 5/7 bayi
dirawat di ruang PRT karena berat badan bayi rendah. Perawat melakukan pengkajian
post partum pada tanggal 11 oktober 2021. Pada saat pengkajian pasien mengeluh nyeri
pada daerah perineum, nyeri seperti tersayat, nyeri bertambah ketika melakukan aktivitas,
skala nyeri 4, nyeri terus menerus. Pasien mengatakan terdapat luka pada area perineum
dan dilakukan jahitan karena melahirkan. Terdapat laserasi perineum derajat 1, pasien
dilakukan episitomi HC IV. Pasien tampak meringis menahan nyeri. Pasien mengatakan
tidak mengetahui tentang bagaimana cara merawat bayinya, karena ini adalah anak
47

pertama pasien. Pasien banyak bertanya dengan perawat mengenai apa saja yang harus
dilakukan terhadap bayinya.

MasalahKeperawatan : Nyeri Akut, Gangguan integritas kulit/jaringan

IV. RIWAYAT KEHAMILAN


1. Gravida 1 Para: 0 AB: 0
2. Umur Kehamilan : 32-33 Minggu
3. TaksiranKehamilan : 27 November 2021
4. ANC (Ya / Tidak) : Ya Frekuensi 4 kali di bidan dekat rumah
5. Masalah Kesehatan Umum : Tidak ada
6. Penyakit Kehamilan : Tidak ada
7. Hasil Kehamilan Yang Lain : Tidak ada

MasalahKeperawatan :Tidak ada


V. RIWAYAT PERSALINAN
1. Tanggal Persalinan : 09 Oktober 2021 Pukul 17.00 WIB
2. Type Persalinan : Persalinan Spontan
3. Lama Persalinan : 30 menit
4. JumlahPerdarahan : 150 cc
5. Perawatan dan Pengobatan yang
Diberikan? : Ibu dilakukan episiotomi lalu terdapat 4 jahitan,
ibu diberikan perawatan post partum, dan diberi obat seperti cefixime 2x500 mg,
asam mefenamat 3x1, vitamin B kompleks 2x1, ivfd RL 20 tpm
6. Penyulit Persalinan :
7. Jenis Bayi : Laki-laki BB Lahir 1800 gr
8. Apgar Score : 1/5 5/7

VI. KEADAAN POST PARTUM


48

1. KeadaanUmum : Lemah
2. Tanda-tanda Vital
a. Tekanan Darah : 110/ 70 mmHg
b. Nadi : 85 x/menit
c. Suhu : 36,70C
d. Pernafasan : 20 x/menit
3. Buah Dada
a. Konsistensi : Tegang
b. Putting Susu : Menonjol
c. ASI / Colostrum : Sudah Keluar
d. Kelainan : Tidak ada
4. Uterus
a. Kontraksi : Keras
b. Posisi : Antefleksi
c. Tinggi Fundus Uteri : TFU 2 Jari di bawah pusat
5. Lochea
a. Warna / Jenis : Merah/ Lokhea Rubra
b. Banyak : pada hari pengkajian pasien mengatakan baru
sekali ganti softex, pada saat pagi hari setelah lap badan
c. Bau : Khas (amis)
6. Vulva
a. Oedema : Tidak ada
b. Luka : Tidak ada
7. Perineum
a. Efisiotomi : Ada
b. Jenis efisiotomi : insisi mediolateral
c. Jahitan : 4 jahitan
d. Tanda-tandaInfeksi : tidak ada
49

8. Haemorrhoid ( Ya / Tidak ) : Tidak ada


9. Ekstremitas bawah 9 Ya / Tidak ) : oedema : Tidak Varices : Tidak
10. Ambulasi : Pasien sudah dapat berjalan dengan pelan
11. Diet / Nafsu Makan : Diet tidak ada, nafsu makan baik, seperti
biasanya tidak mengalami penurunan
12. Vesica Urania : Kosong Penuh / Kosong
13. Eleminasi BAK
a. Frekuensi : 4-5 kali sehari
b. Kesulitan : Pasien takut untuk pipis pada saat setelah
melahirkan karena nyeri dan juga terdapat luka jahitan
c. Upaya Mengatasinya : perawat memberikan edukasi kepada pasien untuk
tetap buang air kecil dengan hati-hati
14. Eliminasi BAB
a. Frekuensi : 1 kali sehari
b. Kesulitan : Tidak ada
c. Upaya Mengatasinya : Tidak ada
15. Section Caesaria : Tidak ada
16. Keadaan Luka Operasi
a. Tanda-tandaInfeksi : Tidak ada
Masalah Keperawatan: Tidak ada
VII. DATA PSIKOLOGIS
a. Sedih Tidak Cemas Tidak
b. Konsep diri :
Gambaran diri : Pasien bersyukur akhirnya anaknya dapat lahir secara spontan
walaupun anaknya harus dirawat di rumah sakit yang berbeda karena berat badan
yang kurang karena lahir secara prematur. Pasien merasa senang sudah
melahirkan dengan selamat
Identittas Diri: Pasien merupakan seorang perempuan yang berusia 24 tahun,
pasien merasa lengkap dan sempurna kebahagiaannya karena sudah mempunyai
seorang anak
50

Peran Diri: Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Selama pasien dirawat,
pasien tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang istri karena pasca
melahirkan pasien masih dirawat dan saat ini kondisi pasien masih lemah dan
masih dirawat di RS
Ideal Diri: pasien berharap agar cepat pulih dan dapat menjalankan tugasnya
sebagai seorang istri dan ibu yang baik bagi anaknya nanti
Harga diri: orang-orang terdekat merasa bangga akhirnya pasien dapat melahirkan
secara spontan. Pasien juga merasa bersyukur atas kebahagiaan yang telah
diberikan AllahSWT kepada dirinya.
c. Hubungan dengan Bayi : Pasien sangat senang dengan kehadiran sang buah
hati
d. Hubungan dengan Keluarga : Suami pasien tidak berada didekat pasien karena
sedang bekerja, pasien di jaga oleh ibunya.
e. Self Care :
i. Perawatanbuah dada : Mengerjakan : pasien sudah melakukan
perawatan payudara
Memahami : pasien mengatakan sudah
mengetahui cara perawatan payudara, perawat sudah mengajarkan saat
setelah selesai melahirkan
ii. Perawatan Perineum : Mengerjakan : pasien mengatakan sudah
melakukan perawtan perineum
Memahami : pasien mengatakan sudah
mengetahui cara perawatan perineum, karena perawat sudah mengajarkan
juga sebelumnya
iii. Perawatan Bayi : Mengerjakan : pasien belum melakukan
perawatan pada bayi karena bayi langsung dibawa ke ruang perinatologi
setelah lahir untuk diberikan perawatan
Memahami : Pasien mengatakan ini adalah
anak pertamanya jadi pasien belum memahami bagaimana cara merawat
bayi, terlebih bayinya harus langsung dibawa ke ruang perinatologi, dan
pasien belum ada berinteraksi dengan bayinya.

Masalah Keperawatan : Tidak ada


VIII. KELUHAN – KELUHAN
Pasien merasa nyeri pada bagian perineum, nyeri seperti tersayat, nyeri bertambah ketika
melakukan aktivitas, skala nyeri 4, nyeri terus menerus.
IX. DATA PENUNJANG
51

a. Diagnose Medis : Post Partum Spontan hari 2


b. Obat-obatan : (tanggal 9-11 Oktober 2021) IVFD RL 20 TPM,
Cefixime tab 2 x 500 mg, Asam Mefenamat tab 3x1, Vit B complex tab 2x1
c. Pemeriksaan Khusus :
EKG : Tidak Dilakukan Pemariksaan EKG
USG : Tidak Dilakukan Pemeriksaan USG
Laboraturium : (Tanggal 9 Oktober 2021) Hemoglobin 10,8 g/dL,
Hematokrit 31,2%, Eritrosit 3,96 x106/uL, MCV 78,8 fL, Leukosit 18,4 x 103/uL,
Trombosit 242 x 103/uL, PCT
Tidak ada pemeriksaan laboraturium pada tanggal 10 dan 11 Oktober 2021

Yang melakukan Pengkajian

Kelompok
52

ANALISA DATA

Nama : Ibu J Ruang : Kebidanan


Umur : 24 th No.RM: 97****

KEMUNGKINAN
NO DATA MASALAH
PENYEBAB

1 Data Subjektif :
pasien mengeluh nyeri pada
daerah perineum, nyeri seperti Agen cidera fisik Nyeri Akut
tersayat, nyeri bertambah
ketika melakukan aktivitas,
skala nyeri 4, nyeri terus
menerus. Pasien mengatakan
terdapat luka pada area
perineum dan dilakukan jahitan
karena melahirkan

Data Objektif:
Terdapat laserasi perineum
derajat 1, pasien dilakukan
episitomi HC IV. Pasien
tampak meringis menahan
nyeri

2 Data Subjektif :
Pasien mengatakan terdapat
luka pada area perineum dan
dilakukan jahitan karena
melahirkan
Luka episiotomi Gangguan integritas
kulit/jaringan
Data Objektif:
Terdapat laserasi perineum
derajat 1, pasien dilakukan
episitomi HC IV
53

3 Data Subjektif: Kurang terpapar informasi Defisit pengetahuan tentang


Pasien mengatakan ini adalah perawatan bayi
anak pertamanya jadi pasien
belum memahami bagaimana
cara merawat bayi, terlebih
bayinya harus langsung dibawa
ke ruang perinatologi, dan
pasien belum ada berinteraksi
dengan bayinya.

Data Objektif:
Pasien banyak bertanya dengan
perawat mengenai apa saja
yang harus dilakukan terhadap
bayinya.

4 Data Subjektif: Kerusakan integrias kulit Resiko infeksi


-

Data Objektif:
Leukosit 18,4x103/uL
54

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Nama : Ibu J Ruang : Kebidanan


Umur : 24 th No.RM: 97****

NO TGL/JAM DIAGNOSA KEPERAWATAN PARAF

1 11 Oktober Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik dibuktikan dengan
2021 pasien mengeluh nyeri pada daerah perineum, nyeri seperti tersayat,
09.15 WIB nyeri bertambah ketika melakukan aktivitas, skala nyeri 4, nyeri terus
menerus. Pasien mengatakan terdapat luka pada area perineum dan
dilakukan jahitan karena melahirkan. Terdapat laserasi perineum
derajat 1, pasien dilakukan episitomi HC IV. Pasien tampak meringis
menahan nyeri Kelompok
rotasi 2
senin selasa
rabu

2 11 Oktober Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan luka


2021 episiotomi dibuktikan dengan Pasien mengatakan terdapat luka pada
09.15 WIB area perineum dan dilakukan jahitan karena melahirkan. Terdapat
laserasi perineum derajat 1, pasien dilakukan episitomi HC IV
Kelompok
rotasi 2
senin selasa
rabu

3 11 Oktober Defisit pengetahuan tentang perawatan bayi berhubungan dengan


2021 kurang terpapar informasi dibuktikan dengan Pasien mengatakan ini
09.15 WIB adalah anak pertamanya jadi pasien belum memahami bagaimana
cara merawat bayi, terlebih bayinya harus langsung dibawa ke ruang
perinatologi, dan pasien belum ada berinteraksi dengan bayinya.
Pasien banyak bertanya dengan perawat mengenai apa saja yang
harus dilakukan terhadap bayinya. Kelompok
rotasi 2
senin selasa
rabu
55

4 11 Oktober Resiko infeksi dibuktikan dengan kerusakan integrias kulit


2021
09.15 WIB

Kelompok
rotasi 2
senin selasa
rabu

RENCANA KEPERAWATAN

Nama : Ibu J Ruang : Kebidanan


Umur : 24 th No.RM: 97****

NO TGL/JAM DIAGNOSA TUJUAN DAN RENCANA


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL KEPERAWATAN
1 11 Oktober Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Kaji lokasi, karakteristik,
2021 berhubungan dengan tindakan keperawatan durasi, frekuensi,
09.25 WIB agen cidera fisik selama 1x24 jam, tingkat kualitas, intensitas nyeri
dibuktikan dengan nyeri menurun dengan 2. Identifikasi skala nyeri
pasien mengeluh nyeri kriteria hasil: 3. Identifikasi respon nyeri
pada daerah perineum, 1. Keluhan nyeri non verbal
nyeri seperti tersayat, menurun 4. Identifikasi faktor yang
nyeri bertambah ketika 2. Meringis menurun memperberat dan
melakukan aktivitas, 3. Gelisah menurun memperingan nyeri
skala nyeri 4, nyeri 5. Pertimbangkan jenis dan
terus menerus. Pasien sumber nyeri dalam
mengatakan terdapat pemilihan strategi
luka pada area perineum meredakan nyeri
dan dilakukan jahitan 6. Anjurkan menggunakan
karena melahirkan. analgetik secara tepat
Terdapat laserasi 7. Ajarkan teknik
perineum derajat 1, nonfarmakologis untuk
pasien dilakukan mengurangi rasa nyeri
episitomi HC IV. Pasien 8. Kolaborasi pemberian
tampak meringis analgetik, jika perlu
menahan nyeri

2 11 Oktober Gangguan integritas Setelah dilakukan 1. Monitor karakteristik


56

2021 kulit/jaringan intervensi keperawatan luka (mis:


09.25 WIB berhubungan dengan selama 1x24 jam jam drainase,warna,ukuran,ba
luka episiotomi integritas kulit dan u)
dibuktikan dengan jaringan meningkat 2. Monitor tanda –tanda
Pasien mengatakan dengan kriteria hasil: infeksi
terdapat luka pada area 1. Kerusakan jaringan 3. lepaskan balutan dan
perineum dan dilakukan menurun plester secara perlahan
jahitan karena 2. Kerusakan lapisan 4. Bersihkan dengan cairan
melahirkan. Terdapat kulit menurun NACL atau pembersih
laserasi perineum 3. Suhu kulit membaik non toksik,sesuai
derajat 1, pasien kebutuhan
dilakukan episitomi HC 5. Berikan salep yang sesuai
IV di kulit /lesi, jika perlu
6. Pasang balutan sesuai
jenis luka
7. Pertahan kan teknik
seteril saat perawatan
luka
8. Berika diet dengan kalori
30-35 kkal/kgBB/hari
dan protein1,25-1,5
g/kgBB/hari
9. Berikan suplemen
vitamin dan mineral (mis
vitamin A,vitamin
C,Zinc,Asam
amino),sesuai indikasi
10. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
11. Anjurkan
mengonsumsi makan
tinggi kalium dan protein
12. Ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri

3 11 Oktober Defisit pengetahuan Setelah dilakukan 1. Identifikasi kesiapan dan


2021 tentang perawatan bayi intervensi keperawatan kemampuan menerima
09.25 WIB berhubungan dengan selama 1x24 jam jam informasi
kurang terpapar tingkat pengetahuan 2. Jelaskan manfaat
informasi dibuktikan meningkat dengan perawatan bayi
dengan Pasien kriteria hasil: 3. Ajarkan memandikan
mengatakan ini adalah 1. Perilaku sesuai bayi dengan
anak pertamanya jadi anjuran meningkat memperhatikan suhu
pasien belum 2. Verbalisasi minat ruangan 21-240C dan
memahami bagaimana dalam belajar dalam waktu 5-10 menit,
57

cara merawat bayi, meningkat sehari 2 kali


terlebih bayinya harus 3. Kemampuan 4. Ajarkan perawatan tali
langsung dibawa ke menjelaskan pusat
ruang perinatologi, dan pengetahuan tentang 5. Anjurkan memantau
pasien belum ada suatu topic tanda vital bayi terutama
berinteraksi dengan meningkat suhu tubuh 36,5-37,50C
bayinya. Pasien banyak 6. Anjurkan untuk
bertanya dengan menjemur bayi sebelum
perawat mengenai apa jam 9 pagi
saja yang harus 7. Ajarkan pijat bayi
dilakukan terhadap 8. Anjurkan segera
bayinya. mengganti popok jika
basah
9. Anjurkan penggunaan
pakaian bayi dan bahan
katun
10. Anjurkan menyusui
sesuai kebutuhan bayi
4 11 Oktober Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Monitor tanda dan gejala
2021 dibuktikan dengan intervensi keperawatan infeksi local dan sistemik
09.25 WIB kerusakan integrias selama 1x24 jam jam 2. Batasi pengunjung
kulit tingkat infeksi menurun 3. Berikan perawatan kulit
dengan kriteria hasil: pada daerah luka
1. Demam menurun 4. Cuci tangan sebelum dan
2. Kemerahan menurun sesudah kontak dengan
3. Nyeri menurun pasien dan lingkungan
4. Bengkak menurun pasien
5. Pertahankan teknik
aseptic pada pasien
6. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
7. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
8. Anjurkan meningkatkan
nutrisi dan cairan
58

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Nama : Ibu J Ruang : Kebidanan


Umur : 24 th No.RM: 97****

NO TGL/JAM TINDAKAN KEPERAWATAN PARAF


DX

DX 11 Oktober
1 2021
09.45 WIB 1. Mengkaji lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri, skala nyeri
P: Pasien mengeluh nyeri
Q: Nyeri seperti tersayat
R: Nyeri pada area vagina (perineum)
S: Skala nyeri 4
T: Nyeri bertambah ketika melakukan aktivitasnyeri
terus menerus.
09.45 WIB 2. Mengidentifikasi respon nyeri non verbal
Pasien tampak meringis Kelompok rotasi
09.45 WIB 3. Mengidentifikasi faktor yang memperberat dan 2 senin selasa
memperingan nyeri rabu
Nyeri bertambah ketika melakukan aktivitas
12.30 WIB 4. Menganjurkan menggunakan analgetik secara tepat
12.30 WIB 5. Mengajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam
12.30 WIB 6. Mengkolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Asam Mefenamat 3x1

DX 11 Oktober
2 2021
09.45 WIB 1. Memonitor karakteristik luka
Luka bersih, tidak ada kemerahan pada luka, tidak ada
bengkak pada luka, area sekitar luka tidak teraba
hangat
10.00 WIB 2. Memonitor tanda–tanda infeksi
Leukosit 18,4x103/uL
10.00 WIB 3. Melepaskan balutan dan plester secara perlahan
10.00 WIB 4. Membersihkan dengan cairan NACL atau pembersih
non toksik,sesuai kebutuhan Kelompok rotasi
10.10 WIB 5. Memasang balutan sesuai jenis luka 2 senin selasa
10.10 WIB 6. Mengajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri rabu
10.10 WIB 7. Mempertahankan teknik seteril saat perawatan luka
12.00 WIB 8. Memberikan diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari
59

dan protein1,25-1,5 g/kgBB/hari


12.00 WIB 9. Memberikan suplemen vitamin dan mineral (mis
vitamin A, vitamin C, Zinc, Asam amino), sesuai
indikasi
12.10 WIB 10. Menjelaskan tanda dan gejala infeksi
12.10 WIB 11. Menganjurkan mengonsumsi makan tinggi kalium dan
protein

DX 11 Oktober
3 2021
11.20WIB 1. Mengidentifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
11.20 WIB 2. Menjelaskan manfaat perawatan bayi
11.20 WIB 3. Mengajarkan memandikan bayi dengan
memperhatikan suhu ruangan 21-240C dan dalam
waktu 5-10 menit, sehari 2 kali
11.20 WIB 4. Mengajarkan perawatan tali pusat
11.35 WIB 5. Menganjurkan memantau tanda vital bayi terutama
suhu tubuh 36,5-37,50C
11.35 WIB 6. Menganjurkan untuk menjemur bayi sebelum jam 9 Kelompok rotasi
pagi 2 senin selasa
11.35 WIB 7. Menganjurkan segera mengganti popok jika basah rabu
11.40 WIB 8. Menganjurkan penggunaan pakaian bayi dan bahan
katun
11.40 WIB 9. Menganjurkan menyusui sesuai kebutuhan bayi

DX 11 Oktober
4. 2021
09.45 WIB 1. Memonitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
2. Membatasi pengunjung
10.00 WIB 3. Memberikan perawatan kulit pada daerah luka
10.00 WIB 4. Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan pasien
10.00 WIB 5. Mempertahankan teknik aseptic pada pasien
12.10 WIB 6. Menjelaskan tanda dan gejala infeksi Kelompok rotasi
12.10 WIB 7. Mengajarkan cara mencuci tangan dengan benar 2 senin selasa
12.10 WIB 8. Menganjurkan meningkatkan nutrisi dan cairan rabu
60

EVALUASI

Nama : Ibu J Ruang : Kebidanan


Umur : 24 th No.RM: 97****

MASALAH
TGL/JAM CATATAN PERKEMBANGAN PARAF
KEPERAWATAN

Nyeri akut 11 Oktober S:


berhubungan dengan 2021
agen cidera fisik 12.45 WIB  Ibu J mengatakan jika meminum obat
penghilang nyeri yang diberikan, nyeri
akan berkurang tapi jika sudah lama
nanti efeknya habis nyeri dapat timbul
kembali
O:

 Pasien tampak tenang, pada saat


berjalan ke kamar mandi baru wajah
pasien tampak meringis
A: Nyeri akut Kelompok
rotasi 2
P : Lanjutkan Intervensi yang dapat dilakukan
senin selasa
dirumah (pasien acc pulang)
rabu

angguan integritas 11 Oktober S:


kulit/jaringan 2021
berhubungan dengan 12.45 WIB  Ibu J mengatakan pada saat melahirkan
laserasi perineum terdapat luka pada area perineum dan
dijahit dengan 4 jahitan, luka masih
terasa nyeri seperti tersayat
O:

 Terdapat laserasi perineum derajat 1,


pasien dilakukan episitomi HC IV Kelompok
rotasi 2
A : Gangguan integritas kulit/jaringan
senin selasa
P : Lanjutkan Intervensi yang dapat dilakukan rabu
dirumah (pasien acc pulang)
61

Defisit pengetahuan 11 Oktober S: Pasien mengatakan apa yang dijelaskan


tentang perawatan bayi 2021 perawat sangat membantunya, pasien senang
berhubungan dengan 12.45 WIB sekali sudah dibantu perawat dengan
kurang terpapar
menjelaskan bagaimana perawatan pada bayi
informasi
baru lahir

O: Pasien tampak mendengarkan penjelasan


perawat dengan serius dan antusias

Kelompok
rotasi 2
A: Defisit pengetahuan tentang perawatan
senin selasa
bayi
rabu
P: Lanjutkan intervensi/anjuran dan apa yang
diajarkan perawat tentang perawatan bayi baru
lahir dirumah(pasien acc pulang)

Resiko infeksi 11 Oktober S:-


dibuktikan dengan 2021
kerusakan integrias kulit 12.45 WIB O : Terdapat laserasi perineum derajat 1,
pasien dilakukan episitomi HC IV, Leukosit
18,4x103/uL
A: Resiko Infeksi

P : Lanjutkan Intervensi yang dapat dilakukan


dirumah (pasien acc pulang)

1. Berikan edukasi pentingnya menjaga Kelompok


kebersihan pada area sekitar luka rotasi 2
2. Berikan edukasi tentang nutrisi dapat senin selasa
membantu untuk proses penyembuhan rabu
luka
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan kasus post partum hari ke 2 Ibu J di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher
Jambi dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Pada saat pengkajian ditemukan data Ibu J dengan G1P0A0 Hamil 32-33 minggu.
Pengkajian post partum hari 2, persalinan spontan, anak segera menangis. Pada saat
pengkajian pasien mengeluh nyeri pada daerah perineum, nyeri seperti tersayat, nyeri
bertambah ketika melakukan aktivitas, skala nyeri 4, nyeri terus menerus. Pasien
mengatakan terdapat luka pada area vagina dan dilakukan jahitan karena melahirkan.
Terdapat laserasi perineum derajat 1, pasien dilakukan episitomi HC IV. Pasien tampak
meringis menahan nyeri Pasien mengatakan tidak mengetahui tentang bagaimana cara
merawat bayinya, karena ini adalah anak pertama pasien. Pasien banyak bertanya dengan
perawat mengenai apa saja yang harus dilakukan terhadap bayinya.

2. Diagnosis keperawatan yang ditegakkan pada Ibu J pada adalah nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera fisik, gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan laserasi
perineum, defisit pengetahuan tentang perawatan bayi baru lahir berhubungan dengan
kurang terpapar informasi dan risiko infeksi dibuktikan dengan faktor risiko kerusakan
integritas kulit.
3. Implementasi keperawatan yang dilakukan perawat dilakukan berdasarkan rencana
keperawatan yang telah disusun yaitu manajemen nyeri, perawatan luka, dan pencegahan
infeksi.

B. Saran
1. Bagi Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher
Saran bagi Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher, untuk dapat meningkatkan kegiatan
bagaimana cara perawatan bayi baru lahir, breast care dan dan vulva hygiene/perawatan
perineum kepada ibu post partum di Ruang Kebidanan.

61
62

2. Bagi Mahasiswa
Saran bagi mahasiswa, semoga makalah ini dapat dijadikan referensi yang dapat
menambah pengetahuan bagi kita tentang bagaimana asuhan keperawatan pada ibu
dengan post partum
63

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari Saifuddin. (2011).Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal.
Jakarta; PT Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo
AiYeyeh,Rukiyah,dkk.etal.(2010). Asuhan Kebidanan1.Jakarta:CV.Trans Info Media.

Ambarwati, E,R,Diah, W. (2010). Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Nuha Medika

Anggraini, Yetti. (2010). Asuhan kebidanan Masa Nifas.Yogyakarta:Pustaka

Rihama APN, (2014). Buku Acuan Persalinan Normal. JNPK-KR: Jakarta

Ari Sulistyawati. (2009).Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas.Yogyakarta:ANDI

Bobak, Lowdermilk, Jense. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas.Jakarta: EGC

Dessy, T., dkk. (2009). Perubahan Fisiologi Masa Nifas. Surakarta : Akademi Kebidanan
Mamba‟ul Ulum
Estiwidani dkk. (2008).Konsep Kebidanan.Yogjakarta:Fitramaya.

Henderson C, dan jone K. (2005). Buku Ajar Konsep Kebidanan (Edisi Bahasa Indonesia). Ed.
Yulianti. Jakarta: EGC
Manuaba, IAC., IBagus, dan IGede.(2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk
Pendidikan Bidan. Edisi kedua. Jakarta: EGC
Marmi.(2012).Asuan Kebidanan Pada Masa Nifas“PeurperiumCare”. Yogyakarta: pustaka
pelajar.

Morison, M. J. (2004). Manajemen Luka. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi I. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan,Edisi 1.Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI
Prawirohardjo, Sarwono (2005). Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Prawirohardjo. (2005).Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,


Edisi1.Jakarta: Bina Pustaka.
64

Pusdik neke (2001).Panduan Pengajar Asuhan Kebidanan Fisiologi Bagi dosen Dipolma III
Kebidanan. Jakarta: pusdiknes.
Vivian, Nanny, Lia, Dewi, Tri Sunarsih. (2011). Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Jakarta:
Salemba Medika
Varney H, et al.(2007). Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika
Open Access Research

Postpartum management of
hypertensive disorders of pregnancy: a
systematic review
Alexandra E Cairns,1 Louise Pealing,1 James M N Duffy,1 Nia Roberts,2
Katherine L Tucker,1 Paul Leeson,3 Lucy H MacKillop,4 Richard J McManus1

To cite: Cairns AE, Pealing L, Abstract


Duffy JMN, et al. Postpartum Strengths and limitations of this study
Objectives  Hypertensive disorders of pregnancy (HDP)
management of hypertensive affect one in ten pregnancies and often persist postpartum
disorders of pregnancy: a ►► All types of intervention for the management of
when complications can occur. We aimed to determine the postpartum hypertension—medical, surgical and
systematic review. BMJ Open
2017;7:e018696. doi:10.1136/ effectiveness and safety of pharmacological interventions, organisation of care—were eligible for inclusion in
bmjopen-2017-018696 other interventions and different care models for this review.
postpartum hypertension management. ►► Randomised controlled studies plus other
►► Prepublication history and
Design  A systematic review was undertaken. Nine experimental study designs (cohort studies, case–
additional material for this
paper are available online. To
electronic databases, including Medline, were searched control studies and quasi-randomised studies)
view these files, please visit from inception to 16 March 2017. After duplicate removal, were included, and no limitations were imposed in
the journal online (http://​dx.​doi.​ 4561 records were screened. Two authors independently terms of language or publication date, resulting in a
org/​10.​1136/​bmjopen-​2017-​ selected studies, extracted study characteristics and data, comprehensive review.
018696). and assessed methodological quality. ►► This review highlights significant evidence gaps,
Setting  Randomised controlled trials, case–control demonstrating that further comparative research
Received 14 July 2017
studies and cohort studies from any country and is required, particularly to clarify postpartum
Revised 2 October 2017
healthcare setting. antihypertensive selection.
Accepted 6 October 2017
Participants  Postnatal women with HDP. ►► Although 39 studies were included, the majority had
Interventions  Therapeutic intervention for management a high risk of bias such that the evidence provided
of hypertension, compared with another intervention, by this review is of low quality.
placebo or no intervention. ►► The 39 studies reported a broad range of
Primary and secondary outcome measures Outcome heterogeneous outcomes, limiting meaningful
data were collected for maternal mortality and severe comparison.
morbidity; systolic, diastolic and mean arterial blood
pressure (BP) control; and safety data. Secondary outcome
data collected included the length of postnatal hospital Introduction
stay and laboratory values. Hypertensive disorders of pregnancy (HDP)
Results  39 studies were included (n=2901). Results often persist following delivery,1 and some-
were heterogeneous in terms of intervention, comparison
times arise de novo postpartum.2 In both
and outcome requiring a narrative approach. There were
scenarios adverse events can occur during
insufficient data to recommend any single pharmacological
this period. Approximately one-third of
intervention. 18 studies reported calcium-channel
blockers, vasodilators and beta-blockers lowered BP eclampsia occurs postpartum, nearly half
postpartum. 12 of these reported safety data. Limited data beyond 48 hours after childbirth.3–5 Half of the
1
Nuffield Department of Primary women who sustain an intracerebral haemor-
Care Health Sciences, University existed regarding management in the weeks following
of Oxford, Oxford, UK hospital discharge. Neither loop diuretics (three studies) rhage in association with pre-eclampsia do so
2
Knowledge Centre, Bodleian nor corticosteroids (one study) produced clinical benefit. following birth.6 Women may enter the post-
Libraries, University of Oxford, Uterine curettage significantly reduced BP over the first natal period requiring large doses of anti-
Oxford, UK 48 hours postpartum (range 6–13 mm Hg) compared hypertensive medication, but the majority
3
Cardiovascular Clinical with standard care (eight studies), with safety data only will be treatment-free by 3–6 months.1 7 This
Research Facility, Division reported by four of eight studies.
of Cardiovascular Medicine,
rapidly changing blood pressure (BP) poses a
Conclusion  There was insufficient evidence to challenge in terms of appropriate antihyper-
University of Oxford, Oxford, UK
4
Nuffield Department of recommend a particular BP threshold, agent or model tensive selection and dose adjustment.
Obstetrics and Gynaecology, of care, but three classes of antihypertensive appeared The National Institute for Health and Care
University of Oxford, Oxford, UK variably effective. Further comparative research, including Excellence (NICE) recommends frequent
robust safety data, is required. Curettage reduced BP, but
Correspondence to postnatal BP monitoring for women with
without adequate reporting of harms, so it cannot currently
Dr Alexandra E Cairns; both pre-eclampsia (every 1–2  days for
be recommended.
​alexandra.​cairns@​phc.​ox.​ac.​uk 2 weeks) and gestational hypertension (at

Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696 1


Open Access

least once between days 3 and 5).8 The guideline stip- of Reviews of Effects and Cochrane Central Register of
ulates thresholds for the increase or commencement Controlled Trials, Cumulative Index to Nursing and
(≥150/100  mm Hg) and the reduction or cessation Allied Health Literature, Embase, Medline, PsycINFO,
(consider <140/90 mm Hg and reduce <130/80 mm Hg) Science Citation Index, Science (Web of Science Core
of antihypertensive medication after birth. However, Collection), Social Science Citation Index and Confer-
little detail is provided about frequency or proportion of ence Proceedings Citation Index. We hand-searched
dose reduction or how to manage multiple medications.8 reference lists and contacted relevant experts for poten-
The American College of Obstetricians and Gynecolo- tially relevant studies, which might have been missed by
gists recommends that BP be monitored in hospital (or electronic searches.12
with an equivalent level of outpatient surveillance) for We included RCTs, quasi-randomised studies, case–
72 hours after birth, and checked again 7–10 days post- control studies, and prospective and retrospective cohort
partum (sooner if a woman is symptomatic).9 In line with studies assessing interventions for hypertension manage-
NICE, they propose treating BP when ≥150/100 mm Hg, ment postpartum in women with HDP (gestational
but add this should be on two measures, 4–6 hours apart. hypertension, pre-eclampsia, chronic hypertension and
They make no suggestion regarding BP thresholds for superimposed pre-eclampsia) arising both during preg-
medication reduction, implying uncertainty about when nancy and de novo in the postnatal period. Consistent
to decrease or stop treatment. with guidance from Cochrane, conference abstracts were
A Cochrane review (search date January 2013) eval- included.5
uated medical interventions for prevention and treat- Two reviewers (AEC/LP) independently screened
ment of postnatal hypertension. This was limited to the titles and abstracts, and then critically reviewed the
randomised controlled trials (RCTs) and included only full text of selected studies to assess eligibility. Discrep-
nine studies.10 Given the paucity of evidence available, ancies were resolved by discussion before independent
due to Cochrane’s restriction to randomised trials alone, extraction of relevant data by the two reviewers. For trials
we have undertaken an updated systematic review of the with multiple intervention arms, we extracted data from
postpartum management of hypertension in women with eligible comparison arms. Data were extracted for the
HDP with a broader scope, including the full range of primary and secondary outcomes outlined in table 1. Due
interventions studied, and incorporating cohort and to the heterogeneous nature of these studies, a narrative
case–control studies, alongside RCTs. The following were synthesis was undertaken.
our specific questions: (1) How should BP be monitored Two reviewers (AEC/LP) independently assessed each
in women with HDP postpartum? (2) What BP thresholds trial’s methodological quality using the Cochrane Collab-
should be used for antihypertensive treatment initiation, oration’s tool for assessing the risk of bias in RCTs,13 and
adjustment and cessation postpartum? (3) Which antihy- the Newcastle-Ottawa Scale for case–control and cohort
pertensive medication(s) should be used in postpartum studies.14 A global assessment of bias across trials was
in women with HDP? (4) What are the benefits and harms made.
of other therapeutic interventions for women with HDP
postpartum?
Results
Our searches yielded 7105 records, and after excluding
Materials and methods duplicates 4561 titles and abstracts were screened
A protocol, with explicitly defined objectives, study (figure 1). Eighty full-text articles were assessed: 35 arti-
selection criteria, and approaches to assessing study cles were excluded (online supplementary appendix S3).
quality, outcomes and statistical methods, was developed Forty-five articles, representing 39 studies (32 randomised
(online supplementary appendix S1). This was registered trials, 2 prospective cohort studies and 5 retrospective
with PROSPERO: International Prospective Register cohort studies) reporting data from 2901 postnatal partic-
of Systematic Reviews (CRD42015015527) and is avail- ipants, met our inclusion criteria (online supplementary
able online (http://www.​crd.​york.​ac.​uk/​PROSPERO/​ appendix S4). Of the 39 studies, 9 (23%) were published
display_​record.​asp?​ID=​CRD42015015527). We followed only as conference abstracts. No further details were
the guidelines for meta-analyses and systematic reviews made available following author contact.
outlined by the Preferred Reporting Items for Systematic A range of interventions were assessed, including antihy-
Reviews and Meta-Analyses statement (online supplemen- pertensive medications (18 studies, n=982), loop diuretics
tary appendix S2).11 (4 studies, n=503), parenteral steroids (1 study, n=157),
A systematic literature review was undertaken to capture other medications (6 studies, n=188), uterine curettage
evidence from human studies regarding postpartum (8 studies, n=837) and novel models of care (2 studies,
hypertension management in women with HDP, without n=234). Of the 39 studies, 9 (23%) included ≥100 partic-
restriction by language or publication date (online ipants, and only 2 studies included ≥200 participants.15 16
supplementary appendix S1). We searched the following Four were from lower middle-income settings15 17–19 (clas-
databases, from inception to 16 March 2017: Cochrane sified according to the United Nations20), and 13/39
Database of Systematic Reviews, Database of Abstracts (33%) studies had follow-up periods longer than 7 days

2 Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696


Open Access

Table 1  Outcome measures


Outcome measures Timing
Primary outcome(s) Maternal mortality Direct maternal deaths up
Maternal morbidity (ischaemic stroke, intracranial haemorrhage, to day 42 postpartum; late
eclamptic seizure; development of pre-eclampsia with severe features; maternal deaths up to 1 year
postnatal complication requiring intervention) postpartum
Systolic blood pressure control
Diastolic blood pressure control
Mean arterial pressure control
Safety data (adverse events or maternal side effects)
Secondary outcome(s) Critical care admission
Length of hospital stay following delivery
Postnatal readmission to secondary care
Antihypertensive medication requirement
Urine output
Laboratory values
Other as defined by study

(online supplementary appendix S4). Only 5/39 (13%) telephone contact, and reported no significant difference
and 7/39 (18%) studies, respectively, reported maternal in the postnatal readmission rate compared with standard
mortality or major maternal morbidity, and while the care.26
majority of studies did report some measure of BP
control, three did not (table 2A,B). Of the 39 studies, 19 What BP thresholds should be used for antihypertensive
(49%) reported safety data (table 2A,B). treatment initiation, adjustment and cessation postpartum?
Of the 39 studies, 5 (13%) studies (all evaluating anti- No relevant studies identified.
hypertensive medications) involved mixed antenatal and
postnatal populations.17 21–24 Authors were contacted to Which antihypertensive medication(s) should be used
request their data set for the postnatal participants, but postpartum in women with HDP?
no data were made available. Of the 39 studies, 6 (15%) Fourteen randomised trials (n=645), one quasi-ran-
included participants with chronic hypertension along- domised trial (n=15) and three retrospective cohort
side women with de novo HDP (gestational hypertension studies (n=322) evaluated antihypertensive medications
or pre-eclampsia).22 23 25–31 Twelve of 39 (31%) included (online supplementary appendix S4). Only three studies
women with eclampsia—in one, all participants were reported maternal mortality,29–31 34 35 and three reported
eclamptic (online supplementary appendix S5).17 maternal morbidity; no differences between groups were
Thirty of 32 (94%) included RCTs were judged to be at reported (table 2A).29–31 35 36 Twelve studies reported
high overall risk of bias, by both reviewers, according to safety data, in comparisons between multiple classes of
the Cochrane tool, 23/32 (72%) for multiple domains. antihypertensive agents (table 2A); no clear differences
Only 2 of 32 (6%) were thought to be clearly at low risk of were established, although one study found a greater
bias.29–32 All included cohort studies were deemed to have number of minor side effects reported with oral nifed-
a high risk of bias in at least one domain of the Newcas- ipine than with oral labetalol.27 28
tle-Ottawa Scale (online supplementary appendix S6). The vast majority of included studies evaluated either
acute control of severe hypertension (7/18, 39%) or BP
How should BP be monitored postpartum in women with HDP? control in the few days after delivery and while women
No studies specifically addressed the frequency or method remained hospital inpatients (8/18, 44%). Only three
of postnatal BP monitoring. Two evaluated the impact of studies, two published only as conference abstracts, eval-
postpartum care organisation (n=234), using the post- uated BP control in the weeks and months following
natal readmission rate as their primary outcome (online hospital discharge.25 27 28 37
supplementary appendix S4). Neither reported maternal
mortality or morbidity, safety data nor any measure of BP Calcium-channel blockers
control (table 2B).26 33 Three small studies examined oral nifedipine (n=135);
One assessed introduction of a specialised postpartum nifedipine resulted in a greater decrease in mean arterial
clinic (no further details were given) and demonstrated pressure (MAP) 18–24 hours after childbirth than placebo
an increased postnatal readmission and triage visit rate (intervention group 93.9±1.6  mm Hg, control group
(22% intervention group, 9% control group: difference 100.2±2.6 mm Hg: difference 6.3 mm Hg, P<0.05), but not
13%, P<0.04), although 86% occurred before a partici- at other time points to 48 hours (one RCT, n=31).32 Nifed-
pant was seen in the clinic.33 The second study evaluated ipine controlled severe hypertension to <160/100 mm
specialist nurse follow-up, including home visits and Hg more quickly than labetalol (intervention group

Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696 3


Open Access

Figure 1  Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses flow chart. BP, blood pressure.

25.1±13.6 min, control group 43.6±25.4 min: difference Bolus intravenous hydralazine controlled severe hyperten-
18.5 min, P=0.002; one RCT, n=21).21 A single RCT (n=83) sion more quickly than continuous infusion (intervention
reported no significant difference in time taken to control group 65.23±23.38 min, control group 186.36±79.77 min:
BP to <150/100 mm Hg when comparing nifedipine with difference −121.13 min, P<0.001; one quasi-randomised
methyldopa.34 study, n=15 (postnatal)).17 Intramuscular hydralazine
produced a more significant improvement in MAP at
Vasodilators 6 hours than intravenous methyldopa (intervention
Six studies looked at the use of vasodilators (n=252). All group 104.5 mm Hg, control group 112 mm Hg: differ-
used hydralazine via a range of administration routes. ence −7.5 mm Hg, P=0.0057) but not at other time points

4 Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696


Table 2  Primary outcome and safety data reporting in included studies
Primary outcome assessment
Safety
Maternal Maternal SBP DBP MAP data
Study ID Intervention Control mortality morbidity control control control reporting Results (for reported outcomes)
(A) Antihypertensive medications, 18 studies
Calcium-channel blockers (three studies)
Barton et al32 Nifedipine (oral) Placebo SBP control: no significant difference
DBP control: no significant difference
MAP control: improved in intervention group
(difference 6.3 mm Hg, P<0.05)
Vermillion et al21 Nifedipine (oral) Labetalol SBP control: improved in intervention group
(intravenous bolus) (difference in time to target BP 18.5 min, P=0.002)
DBP control: improved in intervention group
(difference in time to target BP 18.5 min, P=0.002)
Safety: no significant difference; 1/25 intervention
group became hypotensive
Sayin et al34 Nifedipine (oral) Methyldopa (oral) Maternal mortality: no significant difference
SBP control: no significant difference
DBP control: no significant difference

Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696


Vasodilators (6 studies)
Palot et al36 Hydralazine Clonidine Maternal morbidity: no statistical analysis
(intravenous (intravenous)
infusion) plus plus furosemide
furosemide (intravenous bolus)
(intravenous bolus)
Griffis et al38 39 Hydralazine Methyldopa MAP control: no significant difference
(intramuscular) (intravenous bolus) Safety: no significant difference; no side effects
reported in either group
Walss Rodríguez et al40 Hydralazine (oral) Nifedipine (oral, as SBP control: no significant difference
plus nifedipine required) DBP control: no significant difference
(oral, as required)
Begum et al17 Hydralazine Hydralazine DBP control: improved in intervention group
(intravenous bolus) (intravenous (difference in time to target DBP 121.1 min, P<0.001)
infusion) Safety: no significant difference; no side effects
reported in either group
Vigil-De Gracia et al35 Hydralazine Labetalol Maternal mortality: no significant difference
(intravenous bolus) (intravenous bolus) Maternal morbidity: no significant difference
SBP control: no significant difference
DBP control: no significant difference
Safety: no significant difference; small numbers of
side effects reported in both groups

Continued
Open Access

5
6
Table 2  Continued 
Primary outcome assessment
Safety
Maternal Maternal SBP DBP MAP data
Study ID Intervention Control mortality morbidity control control control reporting Results (for reported outcomes)
23
Hennessy et al Diazoxide Hydralazine SBP control: improved in intervention group
(intravenous bolus) (intravenous bolus) (difference in percentage achieving target BP 23%,
Open Access

P<0.01)
DBP control: improved in intervention group
(difference in percentage achieving target BP 23%,
P<0.01)
Beta-blockers (5 studies)
Garden et al24 Labetalol Dihydralazine DBP control: no statistical analysis
(intravenous (intravenous Safety: no statistical analysis; 1/6 intervention
infusion) infusion) group developed bronchospasm; 4/6 control group
developed tachycardia and 1/6 developed oliguria;
4/6 control group, drug stopped due to a precipitous
fall of DBP to 40–50 mm Hg
Fidler et al42 Timolol (oral) Methyldopa (oral) SBP control: improved in intervention group
(difference 5.1 mm Hg, P<0.05)
DBP control: no significant difference
Safety: no statistical analysis; 1/40 intervention group
became disorientated; 1/40 control group became
hypotensive and 1/40 became drowsy
Mabie et al22 Labetalol Hydralazine MAP control: improved in control group (difference
(intravenous bolus) (intravenous bolus) 7.8 mm Hg, P=0.02)
Safety: no statistical analysis; 1/40 intervention
group developed scalp tingling; 2/20 control group
developed headaches
Shumard et al41 Labetalol (oral) Nifedipine (oral) SBP control: improved in control group (difference in
time to achieve target BP 1 day, P=0.0031)
DBP control: improved in control group (difference in
time to achieve target BP 1 day, P=0.0031)
Sharma et al27 28 Labetalol (oral) Nifedipine (oral) SBP: no significant difference
DBP: no significant difference
Safety: no major side effects reported in either group;
minor side effects more commonly reported in control
group (20% intervention, 48% control, P=0.04)
Thiazides (2 studies)
Gaisin et al25 Indapamide (oral) Methyldopa (oral) SBP control: no significant difference
DBP control: no significant difference
Safety: no statistical analysis, no details reported
Ilshat Gaisin et al37 Indapamide Methyldopa (oral) SBP control: no significant difference
(oral) plus DBP control: no significant difference
ursodeoxycholic Safety: no significant difference; no adverse events
acid (oral) reported in either group

Indole alkaloids (1 study)

Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696


Continued
Table 2  Continued 
Primary outcome assessment
Safety
Maternal Maternal SBP DBP MAP data
Study ID Intervention Control mortality morbidity control control control reporting Results (for reported outcomes)
Krebs43 44 Reserpine (oral or Phenobarbital SBP control: no statistical analysis
intramuscular) DBP control: no statistical analysis
Safety: no statistical analysis; no adverse events
reported in intervention group, no comment on
control
Centrally acting alpha agonists (1 study)
Noronha Neto et al29–31 Clonidine (oral) Captopril (oral) Maternal mortality: no significant difference
Maternal morbidity: no significant difference
SBP control: improved in intervention group
(difference in number of episodes of high BP (1.4,
P<0.08)
DBP: improved in intervention group (difference in
number of episodes of high BP (1.4, P<0.08)
Safety: no significant difference; adverse reactions
18.6% intervention, 28.8% control, P=NS

Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696


(B) Loop diuretics, other drugs, uterine curettage and organisation of care, 21 studies
Loop diuretics (4 studies)
Matthews et al46 Furosemide (oral) Placebo MAP control: no significant difference
16
Ascarelli et al Furosemide (oral) No intervention Maternal morbidity: no significant difference
SBP control: no significant difference
DBP control: no significant difference
Amorim et al45 Furosemide (oral) Placebo SBP control: improved in intervention group
(difference not stated, P<0.001)
DBP control: improved in intervention group
(difference not stated, P<0.001)
MAP control: improved in intervention group
(difference not stated, P<0.001)
Veena et al19 Furosemide Nifedipine (oral) Maternal morbidity: no significant difference
(oral)+nifedipine SBP control: no significant difference
(oral) DBP control: no significant difference
MAP control: no significant difference
Other drugs (7 studies)
Selective 5-HT antagonists
Weiner48 R41468 Placebo MAP control: improved in intervention group
(intravenous (difference 25.6 mm Hg, P<0.001)
infusion)

Continued
Open Access

7
8
Table 2  Continued 
Primary outcome assessment
Safety
Maternal Maternal SBP DBP MAP data
Study ID Intervention Control mortality morbidity control control control reporting Results (for reported outcomes)
Open Access

49
Weiner et al Ketanserin Placebo SBP control: improved in intervention group
(intravenous (difference in SBP decline 34 mm Hg, P<0.001)
infusion) DBP control: improved in intervention group
(difference in DBP decline 27 mm Hg, P<0.001)
MAP control: improved in intervention group
(difference not stated, P<0.001)
Safety: no statistical analysis; 3/20 intervention
group experienced blurred vision, 1 of these
was hypotensive (responded to hydration); 1/20
intervention group experienced mild euphoria
Montenegro et al 50 Ketanserin Placebo SBP control: improved in intervention group (absolute
(intravenous difference not stated, P<0.001)
bolus+/− infusion) DBP control: improved in intervention group (absolute
difference not stated, P<0.001)
MAP control: improved in intervention group (absolute
difference not stated, P<0.001)
Alternative therapies
Hladunewich et al 51 L-arginine (oral or Placebo SBP control: no significant difference
intravenous bolus) DBP control: no significant difference
MAP control: no significant difference
Safety: no significant difference; no adverse events
reported in either group
Liu et al52 Shengkangbao No intervention SBP control: no significant difference
(oral or intravenous DBP control: no significant difference
bolus)
Steroids
Barrilleaux et al53 54 Dexamethasone Placebo MAP control: no significant difference
(intravenous bolus)
Atrial natriuretic peptide
Shigemitsu et al47 Carperitide (route No intervention Maternal mortality: no significant difference
not specified) MAP control: no significant difference
Safety: no significant difference; no adverse events
reported in either group
Uterine curettage (8 studies)
Salvatore et al58 Uterine curettage No intervention Maternal morbidity: no statistical analysis
SBP control: no statistical analysis
DBP control: no statistical analysis

Continued

Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696


Table 2  Continued 
Primary outcome assessment
Safety
Maternal Maternal SBP DBP MAP data
Study ID Intervention Control mortality morbidity control control control reporting Results (for reported outcomes)
59
Magann et al Uterine curettage No intervention MAP control: improved in intervention group
(difference at different time points to 24 hours
postpartum 6–10 mm Hg, P<0.05)
Safety: no significant difference; no complications
reported from intervention (follow-up to 7 weeks
postpartum)
Magann et al60 Uterine curettage Nifedipine (oral) or MAP control: no significant difference between
no intervention intervention and oral nifedipine; improved in
intervention group compared with no intervention
(difference at 8–48 hour postpartum 9–13 mm Hg,
P=0.0017)
Safety: no significant difference; no complications/
side effects reported from interventions (follow-up to
7 weeks postpartum)
Gocmen et al57 Uterine curettage No intervention MAP control: improved in intervention group
(difference not stated, P=0.01)

Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696


Gomez et al61 Uterine curettage No intervention MAP control: improved in intervention group
(difference not stated, P<0.001)
Safety: no significant difference; no complications
reported from intervention
Alkan et al62 Uterine curettage No intervention MAP control: improved in intervention group
(difference 6.8 mm Hg, P<0.05)
Safety: no significant difference; no complications
reported from intervention
Ragab et al15 Uterine curettage No intervention Maternal mortality: no significant difference
Maternal morbidity: no statistical analysis
MAP control: improved in intervention group
(difference at 6 hour postpartum 12.3 mm Hg, P=0.02;
difference at 24 hours postpartum, 9.2 mm Hg,
P=0.01)
Mallapur et al18 Uterine curettage No intervention MAP control: improved in intervention group
(difference at 4 hour postpartum 7.6 mm Hg, P<0.001).
Organisation of care (2 studies)
York et al26 Nurse specialist No intervention NA
follow-up
Bibbo et al33 Specialist No intervention NA
postpartum clinic

For primary outcome assessment where there was a significant difference between groups, the magnitude of the difference is reported; where any adverse events or side effects were
reported, this is presented.
=improved in intervention group; =no significant difference; =improved in control group; =unclear.
5-HT, 5-hydroxytryptamine; BP, blood pressure; DBP, diastolic blood pressure; MAP, mean arterial pressure; NA, not applicable; NS, non-significant; SBP, systolic blood pressure.
Open Access

9
Open Access

to 24 hours (one RCT, n=26).38 39 There was no difference One RCT (n=120) reported significant improvement in
in BP control when comparing oral hydralazine with oral the primary outcome of mean systolic and diastolic BP with
nifedipine (one RCT, n=38) or intravenous labetalol (one oral furosemide versus placebo (magnitude of difference
RCT, n=82).35 40 or time points of measurements not stated, P<0.001).45
Bolus diazoxide was significantly more effective in This was not the case in the other placebo-controlled
achieving a target BP of ≤140/90 mm Hg than intra- RCT, which found no significant difference (n=19).46 Two
venous hydralazine (intervention group 67%, control further RCTs (n=364) found no significant difference in
group 43%; relative risk (RR) 0.64, 95% CI 0.46 to 0.89; BP control with oral furosemide versus usual care.16 19
one RCT, n=37 (postnatal)).23 One retrospective cohort In one of these, subgroup analysis of women with severe
study did not present any statistical analysis.36 pre-eclampsia (n=70) found women who received oral
furosemide had a significantly lower systolic BP at day 2
Beta-blockers postpartum (intervention group 142±13 mm Hg, control
Five studies assessed the efficacy of beta-blockers (four group 153±19 mm Hg: difference −11 mm Hg, P<0.004),
RCTs and one retrospective cohort study, n=305). Two but not at other time points.16 In the other trial (n=100),
RCTs compared intravenous labetalol with intravenous furosemide reduced the need for additional antihyper-
hydralazine/dihydralazine; one involved only six post- tensive treatment during the 3 days of therapy (interven-
natal women and presented no statistical analysis of the tion group 8.0%, control group 26.0%: difference 18%,
data.24 The other found a significantly greater mean P=0.017), but this difference did not persist to hospital
maximal decrease in MAP with intravenous labetalol discharge.19
(intervention group 25.5±11.2 mm Hg, control group
33.3±13.2 mm Hg: difference −7.8 mm Hg, P=0.02; one Other drugs
RCT, n=32 (postnatal)).22 Results conflicted regarding Five RCTs, one quasi-randomised study and one retro-
whether oral labetalol was more or less effective than spective cohort study investigated the utility of different
oral nifedipine; a cohort study reported that labetalol drug classes in HDP postpartum (online supplementary
controlled BP less rapidly than nifedipine (intervention appendix S5). Three studies reported safety data, but
group 2.7 days, control group 1.7 days: difference 1.0 only one reported maternal mortality, demonstrating no
days, P=0.0031; one retrospective cohort study, n=128).41 difference between groups,47 and none reported major
However, this result was not replicated by an RCT, where maternal morbidity (table 2B).
the time to BP control was similar in the two groups Three small, crossover RCTs examined the use of selec-
(n=50).27 28 Neither study demonstrated a difference in tive serotonin receptor inhibitors (SSRIs) compared with
the postnatal length of stay (n=178). Timolol was effec- placebo (n=55). All studies showed a significant reduc-
tive in decreasing diastolic BP on the first day postnatal tion in BP with SSRIs compared with placebo (range
when compared with methyldopa (intervention group 25.6–34 mm  Hg).48–50 These data suggest efficacy for
88.7 mm Hg, control group 93.8  mm Hg: difference this drug class in hypertension management but do not
−5.1 mm Hg, P<0.05; one RCT, n=80).42 provide any information regarding relative effectiveness
compared with standard antihypertensive drugs. Only
Other antihypertensive medications one study reported safety data; although no statistical
No statistically significant difference was found between analysis was performed, there were a number of side
oral clonidine and oral captopril in the incidence of effects reported in the intervention group.49
episodes of severe hypertension postpartum (one RCT, Two studies evaluated alternative therapies (n=117);
n=90).29–31 Two RCTs evaluating indapamide versus there was no difference in BP control with L-arginine
methyldopa found no difference in BP control over 6–12 supplementation compared with placebo (one RCT,
months postpartum (n=60).25 37 One retrospective cohort n=45).51 One reported accelerated recovery of albumin-
study (n=140) compared reserpine with phenobarbital; uria with the administration of shengkangbao (Chinese
the results suggested that reserpine might achieve faster herbal medicine) versus placebo (one quasi-randomised
and greater BP reduction (data extracted from graphs; study, n=72). However, the clinical relevance of this
no statistical analysis). No adverse events were reported outcome is uncertain; there was no difference between
in the intervention group.43 44 groups in the secondary outcomes of systolic BP, diastolic
BP or serum creatinine, and no safety data were reported.52
What are the benefits and harms of other therapeutic A single RCT assessed corticosteroids in the manage-
interventions for women with HDP postpartum? ment of severe pre-eclampsia postpartum (n=157).53 54
Loop diuretics No difference was demonstrated between groups in the
Four RCTs (n=503) examined loop diuretics versus placebo primary outcome of antihypertensive medication require-
or usual care in postpartum hypertension management in ment, or in the secondary outcomes of MAP or need for
women with HDP. None reported maternal mortality or critical care admission, and no safety data were reported.
safety data. Only two reported major maternal morbidity, There were small, statistically significant differences
neither demonstrating a difference between groups found in some laboratory values (platelet count, lactate
(table 2B).16 19 dehydrogenase and aspartate transaminase). However,

10 Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696


Open Access

the authors acknowledged that the absolute differences One study demonstrated that a greater proportion
were too small to be clinically relevant.53 of the intervention group attained the target BP of
A very small retrospective cohort study suggested an <140/90 mm Hg at 24 (intervention group 9/20 (45%),
improvement in MAP with the addition of carperitide control group 3/28 (11%): difference 34%, no P value
(atrial natriuretic peptide) to standard therapy (n=16), quoted) and 48 hours postpartum (intervention group
and no adverse effects related to the intervention were 14/20 (70%), control group 8/28 (29%): difference
reported.47 However, the magnitude of the difference was 41%, no P value quoted).58 Two studies did not present
not published, and the study was too small to draw any the size of the difference between groups.57 61
firm conclusions.

Uterine curettage Discussion


Six RCTs and two prospective cohort studies (n=837) This review found evidence demonstrating that calci-
have explored the role of uterine curettage in post- um-channel blockers, vasodilators and beta-blockers
partum hypertension management. Uterine curettage is lower BP postpartum, but no clear answer to which was
a similar process to that used in the surgical management most effective and should, therefore, be preferentially
of miscarriage; the lining of the uterus is scraped after prescribed. All but two studies examined the acute
completion of the third stage of labour in order to maxi- control of severe hypertension or short-term BP control
mise placental tissue removal. This may be under direct while women remained in hospital postpartum,25 37 and
vision following caesarean section, or via the transcervical so provide little guidance about prescription in the weeks
route following vaginal birth. The latter approach may be after discharge. Moreover these both examined thiazide
ultrasound-guided and necessitates some form of anaes- diuretics, not recommended in the UK for use while
thesia. The theory underlying this intervention is that breast feeding.8 Complete safety data were limited across
gestational hypertension and pre-eclampsia are placen- trials, as were data regarding objective clinical outcomes,
ta-mediated, and therefore ensuring complete evacua- and two further studies examined antihypertensive agents
tion of the uterus following childbirth may accelerate not recommended for use postpartum in the UK (meth-
recovery.55 56 yldopa and reserpine).63 64 One trial evaluated captopril
Seven studies explicitly stated they included both at a much higher daily dose than the UK recommended
participants who delivered vaginally and those delivered daily starting dose.64
by caesarean; four reported numbers undergoing vaginal Uterine curettage is not currently recommended, due
delivery (n=248) and caesarean (n=321). One made no to safety concerns regarding additional anaesthetic and
comment about the mode of birth.57 Only one study operative risks, and the availability of alternative treat-
reported maternal mortality, and there was no differ- ments to lower BP, particularly in the context of vaginal
ence between groups.15 Two reported major maternal birth.65 However, the included studies consistently demon-
morbidity, but neither performed any statistical analysis strated that uterine curettage improved BP control versus
(table 2B). However, both studies did suggest a reduc- standard care,15 18 57–62 with one reporting an equivalent
tion in the absolute number of eclamptic seizures in the effect to oral nifedipine.60 Among the limited safety data,
curettage group compared with no intervention.15 58 In none reported an excess complication rate (infection or
one, however, there was a relevant difference between the uterine damage) with curettage, but given the low inci-
study groups; 28/28 (100%) in the control group were dence of operative complications, the total population
eclamptic at enrolment, compared with 9/20 (45%) in (n=837) was likely insufficient to adequately address
the intervention group.58 Four studies reported safety potential competing risks. Furthermore, these studies did
data, with none reporting any complications related to not demonstrate any impact from curettage on maternal
the intervention (table 2B).59–62 mortality or severe morbidity, and concerns exist about
All eight studies compared curettage with standard some studies’ methodology. The evidence reviewed is
care (ie, no additional intervention), and all suggested insufficient to recommend incorporation of this interven-
that uterine curettage resulted in a significantly lower tion into routine clinical practice.
BP.15 18 57–62 One of these had two control groups: stan- Four trials evaluating loop diuretics failed to provide
dard care and oral nifedipine; when compared with oral conclusive evidence of benefit. Three produced non-sig-
nifedipine, no difference was noted with curettage.60 nificant results in their main analysis,16 19 46 and the single
Five studies reported the magnitude of the difference conference abstract, which did suggest better BP control
in MAP between curettage and standard care: range with oral furosemide, did not publish the magnitude of
6–13 mm  Hg.15 18 59 60 62 Only two of these reported BP the difference, rendering it difficult to assess the clin-
data beyond 24 hours postpartum; one RCT reported a ical relevance.45 In contrast to the Cochrane review, we
significantly lower MAP at 48 hours with curettage (inter- conclude that, at present, there is no evidence to support
vention group 104 mm Hg, control group 113 mm Hg: the routine use of diuretics postpartum.10
difference 9 mm Hg, P=0.0017; n=45),60 but the other We found no adequate evidence to support alternative
RCT demonstrated no significant difference in MAP at medications or a particular care model in the manage-
48 hours (n=420).15 ment of HDP postpartum. SSRIs substantially reduced BP

Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696 11


Open Access

versus placebo,48–50 but no published data were identified further limiting the comparability of trials. Increasingly,
comparing their efficacy with standard antihypertensive core outcome sets are being produced, with a view to
treatment, making it difficult to draw meaningful conclu- trials reporting as standard a minimum set of outcomes
sions about their clinical application. Neither study eval- that are clinically meaningful and important to patients.68
uating postpartum care organisation reported maternal We hope in the future that this would enhance our ability
mortality or morbidity, or any measure of BP control, to synthesise results from different studies to produce
with both selecting postnatal readmissions as their high-quality evidence. There is consensus about trying to
primary outcome. An increased postnatal readmission move away from surrogate outcomes, for example time
rate, however, may not necessarily reflect harm; it might to BP control, as they cannot effectively substitute for
instead suggest that a particular model of care can better clinically important outcomes. An important and clini-
detect problems in the community and admit appropri- cally meaningful end point should measure how a patient
ately, ultimately resulting in a lower risk to patients. feels, functions or survives .
In light of the heterogeneous nature of research in this The Cochrane review included only nine randomised
field, when designing this review, we included all inter- trials (author names in bold in online supplementary
ventions targeting hypertension management, but not appendix S4). We believe our review adds to this, as an addi-
end-organ complications, including eclampsia. There- tional 30 studies are included (19 predating the Cochrane
fore, trials evaluating magnesium sulfate were outside the search, and 11 subsequent to it), providing a current and
scope of this review. We acknowledge the relevance of this complete summary of all available research in the field.
therapy in women with severe pre-eclampsia, especially in The contrast between the scales of the two reviews high-
the immediate postnatal period, and a Cochrane review lights a lack of high-quality evidence, despite a reason-
suggests there is no uncertainty regarding the effective- ably high number of research studies being conducted
ness of this therapy.66 to answer the question about how hypertension should
A strength of this review is that cohort studies, case– be managed postpartum in women with HDP. In future,
control studies and quasi-randomised studies were studies need to be more robust and better designed to
eligible in addition to RCTs, and no language or date address the research questions adequately. Furthermore,
restrictions were imposed, resulting in a comprehen- in spite of these extensions, the body of evidence iden-
sive review that provides evidence suggesting significant tified was substantially smaller than that underpinning
research gaps, consistent with the findings from the antenatal hypertension management; 18 studies (n=982),
Cochrane review (2013).10 The applicability of the find- not restricted to RCTs, evaluated antihypertensive medi-
ings and recommendations from this review is restricted cations postpartum. Furthermore, the size of all but a few
by the low quality of included studies; both reviewers individual studies was small. In comparison, a Cochrane
judged the vast majority to be at high overall risk of bias. review (2014) evaluating antihypertensive medication for
Nearly a quarter of the included studies were published mild to moderate hypertension in pregnancy included 49
only as conference abstracts, and therefore not subjected RCTs (n=4723).69 Moreover, the quantity and quality of
to peer review. Data extraction was restricted to the infor- evidence supporting the management of HDP are vastly
mation provided in the abstracts (no authors provided less than that available for essential hypertension outside
additional data on request). These were limiting factors pregnancy, where individual RCTs commonly involve
in our analysis, but we nonetheless felt it was important to several thousand participants.70
include these studies for completeness, especially given This review demonstrates a lack of good-quality evidence
the paucity of evidence that exists in this field. A further for postpartum hypertension management, emphasising
justification for their inclusion is that half of the trials the need for further RCTs directly comparing different
reported in conference abstracts never reach full publi- antihypertensive agents, BP thresholds for medication
cation, and positive trials are more likely to be published adjustment and different models of care, with outcome
than negative ones,67 which has the potential to skew the measures other than postnatal readmissions. We believe
results of a review if they are omitted. the studies examining uterine curettage justify further
A further limitation of this review is that the majority research to evaluate clinically meaningful outcomes and
of identified studies did not report substantive clin- procedural risks. It might be pragmatic to confine this to
ical outcomes such as maternal mortality, morbidity or curettage at caesarean section, given concerns regarding
harms. Without these, it is difficult to define properly surgical intervention after vaginal birth; an additional
the potential role of proposed interventions in clin- anaesthetic is not required; infection risk is lowered
ical practice. The incidence of adverse maternal and within a sterile surgical field compared with the transcer-
neonatal outcomes, particularly in high-resource settings, vical route; and curettage under direct vision limits perfo-
is low, meaning adequately powering studies for real ration risk. This might be beneficial in women with severe
outcomes of interest is financially demanding. There- pre-eclampsia, where BP control during pregnancy has
fore researchers often employ surrogate outcomes. Addi- been challenging despite multiple medications.55
tionally, the range of outcomes reported in included
studies was broad and inconsistent, with BP changes in Acknowledgements  The authors would like to thank Dr Ly-Mee Yu, Dr Helen
particular being measured in a variety of different ways, Cotton and Dr Victoria E Cairns for their assistance with translation.

12 Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696


Open Access

Contributors  AEC drafted the protocol with JMND, and drafted and piloted the data 17. Begum MR, Quadir E, Begum A, et al. Management of hypertensive
extraction sheet. These were reviewed by RJMcM, LP, KLT, LHM and PL. NR and AEC emergencies of pregnancy by hydralazine bolus injection vs
wrote the search strategy, and the online searches were conducted by NR. AEC and continuous drip–a comparative study. Medscape Womens Health
LP reviewed the search results independently and carried out the data extraction. 2002;7:1.
18. Mallapur A, Renuka B, Katageri G, et al. Role of postpartum
This manuscript was drafted by AEC and reviewed by RJMcM, JMND, LP, NR, KLT, curettage in recovery of severe preeclampsia and eclampsia
LHM and PL. AEC will be the guarantor. patients-a randomised controlled trial. Int J Gynaecol Obstet
Funding  The research was funded by the National Institute for Health Research 2015;131:E191.
(NIHR) Collaboration for Leadership in Applied Health Research and Care Oxford at 19. Veena P, Perivela L, Raghavan SS. Furosemide in postpartum
management of severe preeclampsia: a randomized controlled trial.
Oxford Health NHS Foundation Trust, and via a Research Professorship awarded to
Hypertens Pregnancy 2017;36:84–9.
RJMcM (NIHR-RP-02-12-015). The views expressed are those of the author(s) and 20. United Nations Department of Economic and Social Affairs. World
not necessarily those of the NHS, the NIHR or the Department of Health. economic situation and prospects. New York, United States of
Competing interests  None declared. America: United Nations, 2016.
21. Vermillion ST, Scardo JA, Newman RB, et al. A randomized, double-
Provenance and peer review  Not commissioned; externally peer reviewed. blind trial of oral nifedipine and intravenous labetalol in hypertensive
emergencies of pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1999;181:858–61.
Data sharing statement  Extra data can be accessed via the Dryad data repository
22. Mabie WC, Gonzalez AR, Sibai BM, et al. A comparative
at http://​datadryad.​org/ with the doi:10.5061/dryad.pb6f2. trial of labetalol and hydralazine in the acute management of
Open Access This is an Open Access article distributed in accordance with the severe hypertension complicating pregnancy. Obstet Gynecol
terms of the Creative Commons Attribution (CC BY 4.0) license, which permits 1987;70:328–33.
23. Hennessy A, Thornton CE, Makris A, et al. A randomised
others to distribute, remix, adapt and build upon this work, for commercial use,
comparison of hydralazine and mini-bolus diazoxide for hypertensive
provided the original work is properly cited. See: http://​creativecommons.​org/​ emergencies in pregnancy: the PIVOT trial. Aust N Z J Obstet
licenses/​by/​4.​0/ Gynaecol 2007;47:279–85.
© Article author(s) (or their employer(s) unless otherwise stated in the text of the 24. Garden A, Davey DA, Dommisse J. Intravenous labetalol and
article) 2017. All rights reserved. No commercial use is permitted unless otherwise intravenous dihydralazine in severe hypertension in pregnancy. Clin
Exp Hypertens B 1982;1:371–83.
expressly granted. 25. Gaisin IR, Iskchakova AS, Shilina LV. Indapamide in the management
of post-partum hypertension: a randomized, case-control study. Eur
Heart J 2013;34:P1426.
26. York R, Brown LP, Samuels P, et al. A randomized trial of early
discharge and nurse specialist transitional follow-up care of high-risk
References childbearing women. Nurs Res 1997;46:254–61.
1. Podymow T, August P. Postpartum course of gestational 27. Sharma KJ, Greene N, Kilpatrick SJ. 40: Oral labetalol compared
hypertension and preeclampsia. Hypertens Pregnancy to oral extended release nifedipine for persistent postpartum
2010;29:294–300. hypertension: a randomized controlled trial. Am J Obstet Gynecol
2. Goel A, Maski MR, Bajracharya S, et al. Epidemiology and 2016;214:S27–8.
mechanisms of De Novo and persistent hypertension in the 28. Sharma KJ, Greene N, Kilpatrick SJ. Oral labetalol compared to oral
postpartum period. Circulation 2015;132:1726–33. nifedipine for postpartum hypertension: a randomized controlled trial.
3. Chames MC, Livingston JC, Ivester TS, et al. Late postpartum Hypertens Pregnancy 2017;36:44–7.
eclampsia: a preventable disease? Am J Obstet Gynecol 29. Noronha Neto C C, Maia SS, Katz L, et al. Clonidine versus captopril
2002;186:1174–7. for severe postpartum hypertension: a randomized controlled trial.
4. Kayem G, Kurinczuk JJ, Spark P, et al. Maternal and obstetric factors PLoS One 2017;12:e0168124.
associated with delayed postpartum eclampsia: a national study 30. Amorim MMR, Noronha-Neto C, Maia SB, et al. Clonidine compared
population. Acta Obstet Gynecol Scand 2011;90:1017–23. with captopril for severepostpartum hypertension. Obstet Gynecol
5. Watson DL, Sibai BM, Shaver DC, et al. Late postpartum eclampsia: 2015;125:42S.
an update. South Med J 1983;76:1487–9. 31. Katz L, Noronha Neto C, Maia S, et al. Clonidine versus captopril
6. Martin JN, Thigpen BD, Moore RC, et al. Stroke and severe for severe postpartum hypertension: a randomized controlled trial.
preeclampsia and eclampsia: a paradigm shift focusing on systolic Pregnancy Hypertens 2015;5:29–30.
blood pressure. Obstet Gynecol 2005;105:246–54. 32. Barton JR, Hiett AK, Conover WB. The use of nifedipine during the
7. Berks D, Steegers EA, Molas M, et al. Resolution of hypertension and postpartum period in patients with severe preeclampsia. Am J Obstet
proteinuria after preeclampsia. Obstet Gynecol 2009;114:1307–14. Gynecol 1990;162:788–92.
8. National Institute for Health and Care Excellence. NICE clinical 33. Bibbo C, Celi A, Thomas AM, et al. Does the addition of a specialized
guideline 107: hypertension in pregnancy: the management of postpartum clinic improvethe care of women with preeclampsia?
hypertensive disorders during pregnancy, 2011. Obstet Gynecol 2014;123:39S.
9. ACOG Task Force on Hypertension in Pregnancy. Hypertension in 34. Sayin NC, Altundag G, Varol FG. Efficacy of alpha-methyldopa and
pregnancy: American college of obstetricians and gynecologists, nifedipine in the treatment of postpartum hypertension. [Turkish]
2013. Postpartum hipertansiyon tedavisinde alfametildopa ve nifedipinin
10. Magee L, von Dadelszen P. Prevention and treatment of postpartum etkinligi. J Turk Ger Gynecol Assoc 2005;6:118–22.
hypertension. Cochrane Database Syst Rev 2013;4. 35. Vigil-De Gracia P, Ruiz E, López JC, et al. Management of severe
11. Moher D, Shamseer L, Clarke M, et al. Preferred reporting items for hypertension in the postpartum period with intravenous hydralazine
systematic review and meta-analysis protocols (PRISMA-P) 2015 or labetalol: a randomized clinical trial. Hypertens Pregnancy
statement. Syst Rev 2015:4:1. 2007;26:163–71.
12. McManus RJ, Wilson S, Delaney BC, et al. Review of the usefulness 36. Palot M, Jakob L, Decaux J. Arterial hypertensions of labor and the
of contacting other experts when conducting a literature search for post-partum period. [French] Les Hypertensions Arterielles Du Travail
systematic reviews. BMJ 1998;317:1562–3. Et Du Post-Partum. Rev Fr Gynecol Obstet 1979;74:173–6.
13. Higgins JP, Altman DG, Gøtzsche PC, et al. The Cochrane 37. Ilshat Gaisin IR, Iskchakova AS, Shilina LV. Control of
Collaboration’s tool for assessing risk of bias in randomised trials. cardiovascular risk factors with ursodeoxycholic acid and
BMJ 2011;343:d5928. indapamide in postpreeclamptic nursing mothers: Results from
14. Wells GA, Shea B, O'Connell D, et al. The Newcastle-Ottawa Scale a randomized, case-control 1-year study. Eur J Prev Cardiol
(NOS) for assessing the quality of nonrandomised studies in meta- 2014;21:S120.
analyses. 2017 http://www.​ohri.​ca/​programs/​clinical_​epidemiology/​ 38. Griffis KR, Martin JN, Palmer SM, et al. Utilization of hydralazine
oxford.​htm (accessed 14 Jul 2017). or alpha-methyldopa for the management of early puerperal
15. Ragab A, Goda H, Raghib M, et al. Does immediate postpartum hypertension. Am J Perinatol 1989;6:437–41.
curettage of the endometrium accelerate recovery from 39. Martin JN, Griffis KR, Martin RW, et al. Early puerperal hypertension
preeclampsia-eclampsia? A randomized controlled trial. Arch management: hydralazine vs methyldopa. Clin Exp Hypertens B
Gynecol Obstet 2013;288:1035–8. 1988;8:431.
16. Ascarelli MH, Johnson V, McCreary H, et al. Postpartum 40. Walss Rodríguez RJ, Villarreal Ordaz F. [Management of severe
preeclampsia management with furosemide: a randomized clinical pre-eclampsia in the puerperium. Comparative study of sublingual
trial. Obstet Gynecol 2005;105:29–33. nifedipine and hydralazine]. Ginecol Obstet Mex 1991;59:207–10.

Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696 13


Open Access

41. Shumard K, Yoon J, Huang C, et al. 718: Peripartum anti- Preeclampsia–Eclampsia? A Randomized Controlled Trial. Obstet
hypertensive choice affects time to blood pressure control in Gynecol Surv 2014;69:121–2.
treating hypertensive disorders of pregnancy. Am J Obstet Gynecol 56. HUNTER CA, Howard WF, McCORMICK CO. Amelioration of the
2016;214:S378. hypertension of toxemia by postpartum curettage. Am J Obstet
42. Fidler J, Smith V, De Swiet M. A randomized study comparing timolol Gynecol 1961;81:884–9.
and methyldopa in hospital treatment of puerperal hypertension. Br J 57. Gocmen A, Yayla M, Ceylan Erden A, et al. The effect of postpartum
Obstet Gynaecol 1982;89:1031–4. curettage in severe preeclampsia and eclampsia in recovery (Ağır
43. Krebs A. [Experience with serpasil and luminal in the management of preeklampsı ve eklampsi in iyileşmesinde postpartum kuretajin etkisi).
pregnancy-and puerperal toxemias]. Gynaecologia 1956;141:255–60. Perinatoloji Dergisi 1996;4:24.
44. Krebs A. [Tests of reserpine and phenobarbital in therapy of 58. Salvatore CA, Carduz E, Ciccivizzo E, et al. [“Postpartum curettage
toxicosis of pregnancy and puerperium]. Geburtshilfe Frauenheilkd in severe toxemia with and without premature loosening of the
1956;16:410–22. placenta”]. Matern Infanc 1967;26:275–86.
45. Amorim M, Katz L, Cursino T, et al. Postpartum furosemide for 59. Magann EF, Martin JN, Isaacs JD, et al. Immediate postpartum
accelerating recovery in women with severe preeclampsia: A curettage: accelerated recovery from severe preeclampsia. Obstet
randomized clinical trial. Int J Gynaecol Obstet 2015;131:E195. Gynecol 1993;81:502–6.
46. Matthews G, Gornall R, Saunders NJ. A randomised placebo 60. Magann EF, Bass JD, Chauhan SP, et al. Accelerated recovery from
controlled trial of loop diuretics in moderate/severe pre-eclampsia, severe preeclampsia: uterine curettage versus nifedipine. J Soc
following delivery. J Obstet Gynaecol 1997;17:30–2. Gynecol Investig 1994;1:210–4.
47. Shigemitsu A, Akasaka J, Shigetomi H, et al. Use of carperitide for 61. Gomez LM, De la Vega GA, Ludmir J, et al. Immediate postpartum
postpartum diuresis of severe preeclampsia. Pregnancy Hypertens curettage accelerates clinical recovery in severe preeclampsia.
2015;5:145.
Obstet Gynecol 2005;105:111S.
48. Weiner CP, Serotonin SML. 5HT) receptor blockade in puerperal pre-
62. Alkan A, Tugrul S, Oral O, et al. Effects of postpartum uterine
eclampsia. Clin Exp Hypertens B 1982;1:195.
curettage on maternal well-being in severe preeclamptic patients.
49. Weiner CP, Socol ML, Vaisrub N. Control of preeclamptic
Clin Exp Obstet Gynecol 2006;33:55–8.
hypertension by ketanserin, a new serotonin receptor antagonist. Am
63. Webster J, Koch HF. Aspects of tolerability of centrally acting
J Obstet Gynecol 1984;149:496–500.
50. Montenegro R, Knuppel RA, Shah D, et al. The effect of serotonergic antihypertensive drugs. J Cardiovasc Pharmacol 1996;27:S49–54.
blockade in postpartum preeclamptic patients. Am J Obstet Gynecol 64. Committee JF. British National Formulary (BNF). 71st edn. BMJ
1985;153:130–3. Publishing Group Ltd and Royal Pharmaceutical Society, 2016.
51. Hladunewich MA, Derby GC, Lafayette RA, et al. Effect of L-arginine 65. Tan LK, de Swiet M. The management of postpartum hypertension.
therapy on the glomerular injury of preeclampsia: a randomized BJOG 2002;109:733–6.
controlled trial. Obstet Gynecol 2006;107:886–95. 66. Duley L, Gulmezoglu AM, Henderson-Smart DJ, et al. Magnesium
52. Liu Z, Wang XY, Yan NN. [Treatment of albuminuria in gestational sulphate and other anticonvulsants for women with pre-eclampsia.
hypertension puerpera in the severe preeclampeia stage by TCM Cochrane Database Syst Rev 2010;11.
therapy for stasis-removing and diuresis]. Zhongguo Zhong Xi Yi Jie 67. Scherer RW, Langenberg P, von Elm E. Full publication of results
He Za Zhi 2009;29:222–4. initially presented in abstracts. Cochrane Database Syst Rev
53. Barrilleaux PS, Martin JN, Klauser CK, et al. Postpartum intravenous 2007;2:MR000005.
dexamethasone for severely preeclamptic patients without 68. Khan K. The CROWN Initiative: journal editors invite researchers to
hemolysis, elevated liver enzymes, low platelets (HELLP) syndrome: develop core outcomes in women's health. Br J Obstet Gynaecol
a randomized trial. Obstet Gynecol 2005;105:843–8. 2014;121:1181–2.
54. Barrilleaux PS, Martin J, Klauser C, et al. Adjunctive intravenous 69. Abalos E, Duley L, Steyn DW. Antihypertensive drug therapy for mild
dexamethasone in patients with severe preeclampsia not to moderate hypertension during pregnancy. Cochrane Database
complicated by HELLP syndrome. Am J Obstet Gynecol Syst Rev 2014;2.
2003;189:S94. 70. National Institute for Health and Care Excellence. NICE clinical
55. Caughey AB. Editorial Comment: Does Immediate Postpartum guideline 127: hypertension in adults: diagnosis and management,
Curettage of the Endometrium Accelerate Recovery From 2011.

14 Cairns AE, et al. BMJ Open 2017;7:e018696. doi:10.1136/bmjopen-2017-018696


Kejang Post Partum di Rumah Sakit Tipe B: sebuah Manajemen Kasus Multidisiplin

Ketut Mahendera Barata1, Mariza Fitriati2, Hisbullah3, Faisal3, Haizah Nurdin3


Peserta program Sp2 Konsultan Intensive Care, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
1

Kedokteran Universitas Hassanudin – RSUP dr.Wahidin Sudirohusodo, Ujungpadang, 2Staf pengajar


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD dr.Soetomo,
Surabaya, 3Staf pengajar Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Hassanudin – RSUP dr.Wahidin Sudirohusodo, Ujungpadang

Abstrak

Kejang post partum masih merupakan kasus utama penyebab morbiditas dan mortalitas maternal diseluruh
dunia. Diagnosis banding penyebab kejang antara lain kejang akut, gangguan metabolik, hipoglikemi dan hipo/
hipernatremia, jejas otak traumatik, iskemia otak sesaat ataupun cerebrovasculair accident, perdarahan intrakranial,
perdarahan subarachnoid, meningitis, ensefalitis, eklampsia, gejala akut kecanduan alkohol, gejala akut kecanduan
benzodiazepine atau barbiturate, dural puncture, dan posterior reversible encephalopathy syndrome (PRES). Pada
pasien ini terjadi kejang pada hari kedelapan post partum, dengan penyebab utama kejang berasal dari masalah
kardiovaskular. Manajemen kejang pada pasien ini dimulai dengan upaya resusitasi cairan, dilanjutkan pengelolaan
dukungan airway-breathing-circulation, dan kemudian penyingkiran kandidat diagnosis terhadap infeksi Covid-19,
Mendelson syndrome, infeksi lain, gangguan keseimbangan elektrolit, dll. Kerjasama multidisiplin dokter spesialis
sangat membantu pencapaian kesembuhan, meskipun masih perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan terutama bila
ada perencanaan kehamilan berikutnya.

Kata kunci: kejang post partum, kardiomiopati post partum, desaturasi

Post Partum Seizures in Type B Hospital: A Multidisciplinary Case Management

Abstract

Post partum seizures are still the leading cases of maternal morbidity and mortality worldwide. The differential
diagnosis of the causes of seizures are acute seizures, metabolic disorders, hypoglycemia and hypo/hypernatremia,
traumatic brain stroke, temporary brain ischemia or cerebrovascular accident, intracranial hemorrhage, subarachnoid
hemorrhage, meningitis, encephalitis, eclampsia, acute symptoms of alcohol addiction, acute symptoms of
benzodiazepine or barbiturate addiction, dural puncture, dan posterior reversible encephalopathy syndrome
(PRES). In this patients there is a seizure on the eighth day of post partum, with the main cause coming from
cardiovasculair problems. Seizure management in these patients begins with fluid resuscitation efforts, continued
with airway-breathing-circulation support, and then removal of diagnosis candidates : Covid-19 infection,
Mendelson syndrome, other infections, electrolyte balance disorders, etc. Multidisciplinary cooperation of the
specialist doctors is very helpful in achieving recovery, although it still needs follow-up examination especially
when there is planning for the next pregnancy

Key words: post partum seizure, post partum cardiomyopathy, desaturation

This article is licensed under a


Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
JAOI 2021;4(2): 117–26
©Ketut Mahendera, Mariza Fitriati, Hisbullah, Faisal, Haisah Nurdin
(2021) under the CC-BY-NC-SA license
117
118 Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia

I. Pendahuluan tipe C (berjarak ±2 jam perjalanan darat) dengan


diagnosis rujukan : pneumonia dan kardiomegali.
Kejang post partum masih merupakan kasus utama Diketahui juga bahwa pasien kejang sekitar 18
penyebab morbiditas dan mortalitas maternal jam sebelum tiba di UGD rumah sakit tujuan
diseluruh dunia. Karena itu pengenalan individu rujukan (tipe B). Kejang terjadi dua kali dengan
dengan risiko tinggi sangat penting.1 Diagnosis durasi lebih kurang 2 menit dan 10 menit, lidah
banding kejang amat beragam antara lain pasien sempat tergigit dua kali, disertai batuk
kejang akut, gangguan metabolik, hipoglikemi dengan keluar darah merah segar 3 kali, namun
dan hipo/hipernatremia, jejas otak traumatik, tidak ada demam. Pasien juga merasa mual
iskemia otak sesaat ataupun cerebrovasculair dan beberapa kali muntah. Sebelumnya pasien
accident, perdarahan intrakranial, perdarahan menjalani operasi seksio sesarea pada 21 April
subarachnoid, meningitis, ensefalitis, eklampsia, 2021 dengan indikasi G1P1, umur kehamilan 39
gejala akut kecanduan alkohol, dan gejala akut minggu, lilitan tali pusat. Riwayat preeklampsia,
kecanduan benzodiazepine atau barbiturate.2 hipertensi, kejang sebelumnya, diabetes, dan
asma bronchiale disangkal.
Terdapat laporan kasus kejang pada hari ketujuh
post partum yang mendahului kardiomiopati Pemeriksaan Fisis
pada pasien akibat gangguan hipertensi. Pada pemeriksaan fisik di UGD rumah sakit tujuan
Gangguan hipertensi pada kehamilan seperti rujukan didapatkan pasien dengan skala kesadaran
pada preeklampsia dan eklampsia, banyak Glasgow Coma Scale (GCS) 15, E4M6V5, jalan
dihubungkan dengan peripartum kardiomiopati. nafas bebas, tekanan darah 140/88 mmHg, nadi
Karena preeklampsia dan eklampsia dapat 130 kali per menit, frekuensi nafas 40 kali per
terjadi pada masa post partum lanjut, maka menit pada pemberian O2 lewat masker NRM
diagnosis ini sering mendapat perhatian klinisi.3 tersambung Jackson-Rees 15 lpm, namun SpO2
Kejadian kejang post partum lanjut juga pernah hanya tercapai 90%. Suhu tubuh 36oC, konjungtiva
terjadi pada hari kesembilan, yang kemudian tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak terlihat
dilaporkan disebabkan oleh posterior reversible sianosis, tapi terlihat sesak. Pemeriksaan paru-
encephalopathy syndrome (PRES).4 Diagnosis paru terdengar ronchi di kedua lapang paru tanpa
PRES membutuhkan piranti canggih CT-scan wheezing. Akral dingin, kering, tidak edema.
atau MRI.4-7 PRES dapat merupakan kondisi Pemeriksaan suara jantung normal, perut dalam
tersendiri, maupun terkait eklampsia.6,7 Penyebab batas normal dengan luka pasca seksio sesarea.
kejang post partum yang lain yang patut
mendapat perhatian adalah dural puncture.8-10 Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus ini, pasien mengalami kejang pada Hasil pemeriksaan penunjang di RS perujuk
hari kedelapan post partum seksio sesarea tanpa yang dibawakan pada pasien didapatkan kadar
gejala pre-eklampsia atau eklampsia (kecuali hemoglobin 12,6 gr/dL, hematokrit 39,8%,
proteinuria), dan tanpa gejala neurologis. Kondisi leukosit 17,05 x103/µl, dengan hitung jenis
X-foto paru dengan gambaran perselubungan eosinofil 3%, basofil 0,10%, neutrofil 69%,
bilateral membuat kecurigaan infeksi Covid-19 limfosit 22%, monosit 5%, sehingga Netrofil to
dan Mendelson syndrome sempat mengemuka. Limfosit Ratio (NLR) didapatkan 3,13, sedangkan
trombosit 515 x103/µl. Laju endap darah 25 mm/
II. Kasus jam, pemeriksaan antigen SARS Cov-2 negatif.
Pemeriksaan protein urine positif 3 (+3). Foto
Riwayat Penyakit thorax di RS perujuk tanggal 29 April 2021
Pasien seorang wanita, usia 28 tahun, gravida didapatkan pembesaran cardiac to thoracic ratio
0 para 2 abortus 0 post partum dengan seksio (CTR) yaitu 62%, disertai bercak infiltrat pada
sesarea 8 hari, berat badan 80 kg, dan tinggi badan kedua lapang paru dengan sinus costophrenicus
165 cm. datang di UGD pada tanggal 29 April masih terlihat tajam. Kesimpulan ahli radiologi
2021 sebagai pasien rujukan dari rumah sakit adalah gambaran pneumonia dan kardiomegali.
Kejang Post Partum di Rumah Sakit Tipe B: 119
sebuah Manajemen Kasus Multidisiplin

bantuan obat midazolam 3 mg dan rocuronium


50 mg dan disambungkan pada ventilator dengan
pengaturan BPAP, Pins 27, Pasb 16, rate 29,
PEEP 11, trigger 2, FIO2 100%, didapatkan hasil
luaran Vte 400–470 ml, laju napas 29x/m, SpO2
83–85%, terlihat pink froothy sputum pada pipa
endotrakeal. Tekanan darah menjadi 100-130 / 70
mmHg, mean arterial pressure (MAP) 80 mmHg,
laju nadi 160 x/m, kuat angkat, akral dingin
kering, terpasang norepinephrine 100 µg/kgBB/
jam. Kesadaran dalam pengaruh sedasi E1VxM1,
dengan pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+. Urine
terukur lewat kateter sejumlah 200 ml, terkesan
hematuria. Abdomen soeffel, datar, terlihat luka
bekas seksio sesarea, bising usus masih terdengar.
Pasien masih terlihat cyanosis dan ada edema.
Pipa nasogastrik dipasang setelah intubasi,
dari pipa nasogastrik keluar cairan 300 ml
hijau kecoklatan. Kateter vena sentral (CVC)
dipasang di vena femoralis kanan, Untuk masalah
Gambar 1. Thorax foto dari RS perujuk
takikardia (supraventricular takikardia) diberikan
injeksi amiodarone 150 mg dalam 1 jam, diikuti
Pasien didiagnosis oleh dokter jaga UGD 300 mg dalam 3 jam. Untuk membantu kendali
dengan observasi dyspnea, pneumonia, probable pernapasan diberikan rocuronium 20 mg/jam,
Covid-19, dan seizure post partum. Dokter jaga morfin 1 mg/jam, dan midazolam 5 mg/jam.
UGD kemudian melakukan konsultasi ke DPJP Masalah retensi (cairan di pipa nasogastrik)
SpOG dan mendapat petunjuk untuk mengikuti diupayakan diatasi dengan pantoprazole 2 x 40 mg
saran terapi dokter anestesi. Konsultasi kepada dan prokinetik gastrointestinal metoclopramide 2
dokter anestesi menghasilkan rencana terapi x 10 mg.
infus RL, mempertahankan oksigenasi, transport
ke ICU, dan rencana diintubasi di ICU. Beberapa pemeriksaan penunjang kemudian
ditambahkan : analisa gas darah, fungsi hati,
Pengelolaan di ICU fungsi ginjal, faal pembekuan darah, d-dimer,
Sesuai rencana, kemudian pasien dipindahkan laktat, c-reactive protein (CRP), procalcitonin,
ke ICU, namun sesaat pasien tiba di ICU terjadi polymerase chain rection (PCR) Covid-19,
perubahan kondisi. Tekanan darah menjadi 66/50 interleukin-6, kultur darah dan sputum. Hasil
mmHg, laju nadi 150–160 kali permenit, tidak pemeriksaan penunjang menunjukkan pH 7,21,
kuat angkat, akral dingin dan basah. Oksigen pCO2 43 mmHg, pO2 56 mmHg, HCO3–17,6
telah diberikan dengan O2 masker tersambung mmHg, BE -10,4 meq/L, SaO2 83%, AaDO2
Jackson-Rees 15 lpm, nafas spontan 35-40 kali 603 mmHg, dan GDS 109 mg/dL. Pemeriksaan
permenit, dan SpO2 menurun menjadi 87%. elektrolit natrium 133 meq/L, Kalium 4,7 meq/L,
Terdengar ronchi tanpa wheezing. Kesadaran dan Cl 100 meq/L. Kadar SGOT 36 IU/L dan SGPT
menurun menjadi E3V4M5, dan pasien terlihat 16 IU/L, bilirubin 0,94 mg/dl, dan albumin 2,6 g/
cyanosis. dL. PPT 17,0 detik, APTT 38,8 detik, INR 1,68,
laktat 3,3 mg/dL dan procalcitonin >200 ng/mL.
Kondisi ini segera direspon dengan pemberian
ekstra 500 ml gelofusin secara cepat, sembari Perawatan Hari ke-1
dilakukan persiapan intubasi sesuai protokol Oksigen diberikan lewat pipa endotrakeal,
Covid-19. Pasien kemudian diintubasi dengan disambungkan ventilator dengan pengaturan
120 Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia

BPAP, Pins 27, Pasb 16, rate 29, PEEP 11, trigger tablet ivabradine 2 x 5 mg. Dokter spesialis paru
2, FIO2 100% memberikan hasil volume ekspirasi dalam konsultasi juga memberikan tambahan
tidal 400–470 ml, laju napas 29 x/m, SpO2 83– terapi (sesuai dengan persangkaan telah terjadi
85%, dan masih didapatkan pink froothy sputum. Mendelson syndrome) obat steroid indexon 2x6
Tekanan darah 100–120/70–80 mmHg, MAP 110 mg, bisolvon 3x4 mg, dan antibiotika profilaksis
mmHg, laju nadi 160–170 x/m, teraba nadi kuat meropenem 3x1 gram. Karena terjadi peningkatan
angkat, terpasang norepinephrine 100 µg/kgBB/ suhu tubuh pasien yang dicurigai terjadi akibat
menit. Suhu tubuh 39,5oC. Kesadaran masih mastitis, maka hal ini dikonsultasikan kepada
dalam pengaruh sedasi, dengan GCS E1VxM1, dokter spesialis Kebidanan dan Kandungan
pupil bulat isokor dan reflek cahaya positif. dengan usulan diberikan bromocriptine, namun
Produksi urine lebih kurang 60 ml/jam. Abdomen diputuskan ditunda oleh dokter tersebut karena
tampak luka pasca seksio sesarea, bising usus
ada. Didapatkan edema ekstremitas tanpa
sianosis. Assessment: pasca kejang + penurunan
kesadaran (pasca seksio sesarea 8 hari), disertai
desaturasi, pneumonia, kardiomegali, takikardia
(dengan gambaran supraventriculair tachycardia,
SVT), hipertermia, dan proteinuria (+3). Pasien
mendapat terapi sonde D5% 6x 50 ml, cairan
intravena RL 500 cc/24jam, pelumpuh otot
rocuronium 20 mg/jam, analgesik morfin 1 mg/
jam, sedasi midazolam 2 mg/jam. Posisi head-up
30o, anti-ulcer pantoprazole 2x40 mg, prokinetik
gastrointestinal metoclopramide 2x10 mg,
antibiotika profilaksis levofloxacine 1x750 mg,
paracetamol intravena 4 x I gram, KCl intravena
50 meq/24 jam, dan ivabradine oral/sonde 2x5
mg. Injeksi amiodarone dilanjutkan dengan 300
mg/6 jam untuk terapi SVT.
Gambar 2. Mastitis.
Pemeriksaan penunjang, baik pemeriksaan ulang
maupun baru, yang telah dimintakan sebelumnya
memberikan hasil sebagai berikut : Natrium 146
meq/L, Kalium 2,8 meq/L, Cl 111 meq/L, Ca 9,9
meq/L, P 5,1 meq/L, Mg 2,5 meq/L. Kadar SGOT
36 IU/L dan SGPT 18 IU/L, dan albumin 3,95 g/
dL. Ureum 25,2 mg/dL dan kreatinin 0.95 mg/dL.
PPT 15,4 detik, APTT 30,4 detik, BT 3 detik, CT
13 detik, INR 1,27, d-dimer 13,02 ng/ml , IL-6
297,3 pg/mL, CRP 77,2 mg/L dan procalcitonin
>200 ng/mL. PCR Covid-19 negatif. Karena
d-dimer meningkat, maka ditambahkan heparin
5000 IU bolus, diteruskan dengan 500 IU/jam.

Beberapa konsultasi dilakukan untuk membantu


evaluasi pasien. Dokter spesialis jantung yang
dikonsultasikan untuk evaluasi kinerja jantung
dengan echocardiography, memberikan saran Gambar 3. Thorax Foto hari Perawatan Pertama
melanjutkan terapi amiodarone dan ditambahkan (Pasca Intubasi)
Kejang Post Partum di Rumah Sakit Tipe B: 121
sebuah Manajemen Kasus Multidisiplin

masih belum dapat disingkirkan kemungkinan menunjukkan penurunan fungsi sistolik


permasalahan intrakranial. ventrikel kiri menjadi 36%, relaksasi abnormal
fungsi diastolik, dan penurunan fungsi sistolik
Perawatan Hari ke-2 ventrikel kanan. Analisa segmental ventrikel
Oksigen masih diberikan lewat pipa endotrakeal, kiri akinetik inferoseptal (B-M), segmen lain
dengan pengaturan ventilator BPAP, Pins 26, hipokinetik global. Terdapat left ventrikel
Pasb 15, rate 25, PEEP 11, trigger 2, FIO2 100% hyperthrophy. Kesimpulan echocardiography
memberikan hasil volume ekspirasi tidal 433–455 adalah cardiomyopathy, dan dokter spesialis
ml, laju napas 25 x/m, SpO2 100%. Didapatkan jantung menyarankan lanjutan terapi ivabradine
sputum mukopurulen disertai garis-garis darah. disamping terapi lain yang telah dilakukan.
Tekanan darah 118–135/70–80 mmHg, laju nadi
122–134 x/m, dengan terpasang Norepinephrine Perawatan Hari ke-3
100 µg/kg BB/menit, teraba nadi kuat angkat. Oksigen lewat pipa endotrakeal dengan ventilator
Suhu 38–40oC. Kesadaran masih dalam pengaruh pengaturan BPAP, Pins 26, Pasb 15, rate 25,
sedasi, GCS E1VxM1, pupil bulat isokor dan reflek PEEP 11, trigger 2, FIO2 90% memberikan hasil
cahaya positif. Produksi urine 50 ml/jam. Pada volume ekspirasi tidal 416–525 ml, laju napas
abdomen tampak luka pasca seksio sesarea, bising 25 x/m, SpO2 97–99%, masih terdapat sputum
usus positif. Didapatkan edema ekstremitas tanpa mukopurulen. Tekanan darah 100-130/70–80
sianosis. Assessment: pasca kejang + penurunan mmHg, laju nadi 100–118 x/m, teraba nadi kuat
kesadaran (pasca seksio sesarea 9 hari), disertai angkat, dengan terpasang norepinephrine 50 µg/
pneumonia, kardiomegali, takikardia (gambaran kg BB/menit, dobutamin 3 µg/kgBB/jam, dan
EKG supraventrikular takikardia), hipertermia, amiodarone 450 mg/12 jam. Suhu 38–38,5oC,
dan proteinuria (+3). Terapi : sonde dingin D5% Kesadaran masih dalam pengaruh sedasi, dengan
6x200 ml, cairan intravena RL 500 cc/24jam, GCS E1VxM1, pupil bulat isokor dan reflek
pelumpuh otot rocuronium 20 mg/jam, analgesik cahaya positif. Produksi urine lebih kurang 60
morfin dihentikan, sedasi midazolam 2 mg/jam. ml/jam. Abdomen tampak luka post SC, bising
Posisi head-up 30o, anti-ulcer pantoprazole 2x40 usus ada. Didapatkan edema ekstremitas tanpa
mg, prokinetik gastrointestinal metoclopramide sianosis.
2x10 mg, antibiotika profilaksis levofloxacine
1x750 mg kombinasi dengan meropenem 3 Assessment: pasca kejang + penurunan kesadaran
x 1 g, indexon 2 x 6 mg, bisolvon 3x4 mg, (pasca seksio sesarea hari ke 10), disertai
paracetamol intravena 4 x I gram, KCl intravena pneumonia, kardiomegali, takikardia (dengan
50 meq/ 24 jam, dan ivabradine oral/sonde 2x5 gambaran EKG takikardia supraventrikular),
mg. Norepinephrine direncanakan diturunkan hipernatremi, hipokalemi, dan proteinuria (+3).
bertahap, dikombinasikan dengan dobutamine Terapi sonde dingin D5% 6x200 ml, cairan
3 µg/kgBB/jam. Heparin diberikan 500 IU/jam. intravena RL 500 cc/24jam, pelumpuh otot
Suhu tubuh mulai terkendali dan dokter spesialis rocuronium 20 mg/jam, sedasi midazolam
Kebidanan dan Kandungan setelah melakukan 2 mg/jam. Posisi head-up 30o, anti-ulcer
evaluasi menemukan bahwa tidak didapatkan pantoprazole 2x40 mg, prokinetik gastrointestinal
tanda-tanda masalah intrakranial, setuju metoclopramide 2x10 mg, antibiotika profilaksis
pemberian bromocriptine (cripsa) tablet sebesar levofloxacine 1x750 mg dan meropenem 3x1 g,
1 x 2,5 mg. indexon 2x6 mg, bisolvon 3 x 4 mg, paracetamol
intravena 4xI gram, metamizole 3x500 mg,
Pemeriksaan penunjang ulangan memberikan KCl intravena 50 meq/ 24 jam, ivabradine oral/
hasil pH 7,29, pCO2 54 mmHg, pO2 128 mmHg, sonde 2x5 mg, dan tablet peroral cripsa 1x2,5 mg
HCO3–25,3 mmHg, BE -1,1 mEq/L, SaO2 98%, Norepinephrine diturunkan bertahap, kombinasi
dan AaDO2 51,8 mmHg, natrium 146 meq/L, dengan dobutamine 3 µg/kgBB/jam. Heparin
kalium 3,2 meq/L, dan Ca 0,98 meq/L, dan diberikan 500 IU/jam, injeksi furosemide 3 mg/jam.
laktat 2,9 mg/dL. Pemeriksaan echocardiography Pemeriksaan penunjang ulangan memberikan
122 Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia

hasil pH 7,42, pCO2 37 mmHg, pO2 250 mmHg, hasil: pH 7,53, pCO2 33 mmHg, pO2 251
HCO3- 23,8 mmHg, BE 0 mEq/L, SaO2 100%, mmHg, HCO3 27,4 mmHg, BE 4,9 mEq/L,
dan AaDO2 345 mmHg. Natrium 148 meq/L, SaO2 100%, dan AaDO2 243 mmHg, natrium
kalium 3,1 meq/L, Ca 0,46 meq/L, Cl 114 148 meq/L, kalium 3,1 meq/L, dan laktat 2,5
meq/L dan laktat 2,3 mg/dL. Albumin 3,38 g/ mg/dL. Albumin 3,38 g/dL, BUN 41,2 mg/dL,
dL, BUN 41,2 mg/dL, dan kreatinin 1,31 mg/ dan kreatinin 1,31 mg/dL. Pemeriksaan PCR
dL. Pemeriksaan mikrobiologi memberikan hasil Covid-19 ulang memberikan hasil negatif. Hasil
bahwa pewarnaan BTA terhadap sputum negatif,
kultur urine tidak didapatkan pertumbuhan kuman,
pewarnaan KOH sputum negatif, pewarnaan gram
terhadap sputum juga tidak didapatkan kuman.

Perawatan Hari ke-4


Oksigen masih lewat pipa endotrakeal,
disambungkan ventilator dengan mode BPAP,
Pins 26, Pasb 15, rate 25, PEEP 11, trigger 2,
FIO2 65% mendapat hasil volume ekspirasi
tidal 480–641 ml, laju napas 25 x/m, SpO2
92–100%. Sputum mukopurulen berkurang.
Tekanan darah 105–145/65–80 mmHg, laju
nadi 75–110 x/m, teraba nadi kuat angkat,
terpasang norepinephrine 25 µg/kgBB/menit
dan dobutamin 3 µg/kgBB/jam. Suhu tubuh
37–37,5oC. Kesadaran mulai meningkat karena
pengaruh sedasi dikurangi, GCS E4VxM6, pupil
bulat isokor dan reflek cahaya positif. Produksi
urine lebih kurang 80 ml/jam. Abdomen tampak Gambar 4. Thorax Foto hari Perawatan ke-4
luka post SC, bising usus ada. Didapatkan edema
ekstremitas tanpa sianosis. Assessment : pasca
kejang + penurunan kesadaran (pasca seksio
sesarea hari ke 11), pneumonia, kardiomegali,
takikardia, hipernatremi, dan proteinuria (+3).
Terapi : sonde D5% bergantian dengan enterasole
6x200 ml, cairan intravena D5% 500 cc/24jam,
pelumpuh otot rocuronium 10 mg/jam (saat
habis dihentikan, dipersiapkan weaning), sedasi
midazolam 2 mg/jam. Posisi head-up 30o,
anti-ulcer pantoprazole 2 x 40 mg, prokinetik
gastrointestinal metoclopramide 2 x 10 mg,
antibiotika profilaksis levofloxacine 1 x 750 mg
kombinasi dengan meropenem 3 x 1 g, indexon 2
x 6 mg, bisolvon 3 x 4 mg, paracetamol intravena
4 x I gram, metamizole 3 x 500 mg, dan ivabradine
oral/sonde 2 x 5 mg. Norepinephrine diturunkan
bertahap. KCL 25 mEq/24 jam, heparin diberikan
500 IU/jam, dan furosemide 3 mg/jam. Tablet
peroral cripsa 1 x 2,5 mg, dan digoxin 2 x 0,25 mg.
Gambar 5. Elektrokardiografi hari Perawatan
Pemeriksaan penunjang ulangan memberikan ke-4
Kejang Post Partum di Rumah Sakit Tipe B: 123
sebuah Manajemen Kasus Multidisiplin

kultur sputum tidak ada pertumbuhan kuman. 85–100 x/m, teraba nadi kuat angkat, tanpa
norepinephrine dan dobutamin. Suhu 37–37,3 oC.
Perawatan Hari ke-5 Kesadaran GCS E4V5M6, pupil bulat isokor dan
Oksigen diberikan lewat non rebreathing mask reflek cahaya positif. Produksi urine lebih kurang
(NRM) tersambung pada Jackson Rees 8 lpm, 100 ml/jam. Abdomen tampak luka pasca seksio
laju napas 12–20 x/m, SpO2 96-98%, sputum sesarea, bising usus ada. Didapatkan edema
mukopurulen minimal. Tekanan darah 95-125/50- ekstremitas tanpa sianosis. Diagnosis kerja adalah
65 mmHg, laju nadi 90-107 x/m, teraba nadi kuat pasca kejang + penurunan kesadaran (pasca seksio
angkat, dengan terpasang norepinephrine 25 µg/ sesarea hari ke 13), pneumonia, kardiomegali,
kgBB/menit dan dobutamin 3 µg/kgBB/jam. dan proteinuria (+3). Diberikan terapi sonde
Suhu 37–37,3oC. Kesadaran GCS E4V5M6, pupil enterasole 6x200 ml, diet ditingkatkan ke bubur
bulat isokor dan reflek cahaya positif. Produksi kasar, cairan intravena D5% 500 cc/24 jam. Posisi
urine lebih kurang 110 ml/jam. Abdomen tampak head-up 30o, anti-ulcer pantoprazole 2 x 40 mg,
luka post SC, bising usus ada. Didapatkan edema prokinetik gastrointestinal metoclopramide 2 x 10
ekstremitas tanpa sianosis. Assessment: pasca mg, antibiotika profilaksis levofloxacine 1x750
kejang + penurunan kesadaran (pasca seksio mg dan meropenem 3x1 g, indexon dihentikan,
sesarea hari ke 12), pneumonia, kardiomegali, bisolvon 3x4 mg, paracetamol intravena 4xI
takikardia, dan proteinuria (+3). Terapi: sonde gram, KCL dihentikan dan diganti KSR 3x1 tab,
enterasole 6x200 ml ditambahkan diet bubur heparin dihentikan dan diganti aspilet 1x80 mg.
halus, cairan intravena D5% 500 cc/24jam. Injeksi furosemide dihentikan. Tablet peroral
Dobutamin dan norepinephrine diturunkan cripsa 1x2,5 mg, dan digoxin 2x0,25 mg.
bertahap. Posisi head-up 30o, anti-ulcer
pantoprazole 2x40 mg, prokinetik gastrointestinal Pemeriksaan mikrobiologi terhadap darah (kultur
metoclopramide 2x10 mg, antibiotika profilaksis darah aerob maupun anaerob) memberikan
levofloxacine 1x750 mg dan meropenem 3x1 g, hasil negatif (tidak ada pertumbuhan kuman).
indexon 2 x 6 mg, bisolvon 3 x 4 mg, paracetamol Pemeriksaan ulang echocardiography
intravena 4xI gram. Metamizole dihentikan. memberikan hasil perbaikan kondisi: katup-katup
KCL diberikan 25 mEq/24 jam, heparin 500 tak tampak kelainan, dimensi ruang jantung
IU/jam, injeksi furosemide 3 mg/jam. Tablet normal, fungsi sistolik LV menurun (50%), fungsi
peroral cripsa 1x2,5 mg, dan digoxin 2x0,25 mg. sistolik RV normal, fungsi diastolik normal,
analisa segmental LV normokinetik, terdapat
Pasien mulai dipersiapkan untuk pindah ke LVH, dan tampak efusi perikardial minimal
ruang perawatan biasa. Beberapa pemeriksaan
penunjang diulangi dan didapatkan kadar Perawatan Hari ke-7
hemoglobin 12,7 gr/dL, hematokrit 39,2%, Oksigen diberikan lewat kateter nasal 2-4 lpm,
leukosit 15,87 x103/µl. Pemeriksaan gas darah laju napas 12–20 x/m, SpO2 99-100%, sputum
: pH 7,49, pCO2 37 mmHg, pO2 116 mmHg, tidak ada. Tekanan darah 105–120/55–60 mmHg,
HCO3- 28,2 mmHg, BE 4,7 mEq/L, SaO2 99%, laju nadi 70–95 x/m, teraba nadi kuat angka. Suhu
dan AaDO2 265 mmHg. Pemeriksaan Natrium tubuh 37–37,3oC. Kesadaran GCS E4V5M6, pupil
143 meq/L, Kalium 3,0 meq/L, dan Cl 110 meq/L. bulat isokor dan reflek cahaya positif. Produksi
Albumin 3,42 g/dL, BUN 22,8 mg/dL, dan urine lebih kurang 100 ml/jam. Abdomen tampak
kreatinin 0,79 mg/dL. APTT 28,5 detik, d-dimer luka pasca seksio sesarea, bising usus ada.
11,19 ng/ml, laktat 3,3 mg/dL dan procalcitonin Didapatkan edema ekstremitas tanpa sianosis.
0,72 ng/mL. Assessment: pasca kejang + penurunan kesadaran
(pasca seksio sesarea hari ke 14), disertai
Perawatan Hari ke-6 pneumonia, kardiomegali, dan proteinuria (+3).
Oksigen lewat kateter nasal 2-4 lpm, laju napas Terapi: sonde enterasole 6x200 ml dan bubur
12–20 x/m, SpO2 98–100%, sputum tidak ada. kasar, cairan intravena D5% 500 cc/24 jam. Posisi
Tekanan darah 90–115/50–65 mmHg, laju nadi head-up 30o, anti-ulcer pantoprazole 2 x 40 mg,
124 Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia

prokinetik gastrointestinal metoclopramide 2 x diputuskan dilakukan lebih dahulu tindakan


10 mg, antibiotika profilaksis levofloxacine 1 x resusitasi. Langkah awal terapi pada pasien ini
750 mg dan meropenem 3x1 g, bisolvon 3x4 mg, adalah dukungan airway-breathing-circulation.
sdangkan paracetamol dihentikan. Tablet peroral Pasien di-intubasi, diberikan ventilasi mekanik,
KSR 3x1 tab, aspilet 1x80 mg, cripsa 1x2,5 dan dukungan kardiovaskuler.
mg, dan digoxin 2x0,25 mg. Sebelum pasien
dipindahkan ke ruang perawatan biasa, dilakukan Dalam upaya pengendalian airway-breathing
beberapa pemeriksaan penunjang ulangan : kadar pasien ini terdapat penyulit. Pengaturan ventilasi
hemoglobin 9,0 gr/dL, hematokrit 27,1%, leukosit mekanik yang diperkirakan seharusnya cukup
3,1 x103/µl, trombosit 174 x103/µl. Pemeriksaan adekuat untuk memberikan hasil oksigenasi yang
gas darah : pH 7,11, pCO2 17,8 mmHg, pO2 78 baik, ternyata tidak tercapai. SpO2 tidak lebih
mmHg, HCO3- 9,2 mmHg, BE -10,3 mEq/L, dan dari 88% pada FIO2 100%. Sayang sekali, tehnik
SaO2 89,9%. Pemeriksaan elektrolit natrium 140 recruitment paru sangat berisiko dikerjakan
meq/L, Kalium 4,5 meq/L, dan Cl 101 meq/L. karena kondisi hemodinamik yang cukup kritis,
BUN 72 mg/dL, kreatinin 2,8 mg/dL, dan laktat yaitu laju nadi 160-180 x/m pada tekanan
6,2 mg/dL darah 100–120/70–80 mmHg (sudah terpasang
norepinephrine 0,1 µg/kgBB/jam), serta pernah
III. Pembahasan terjadi episode shock, yang meskipun telah
dilakukan pemberian cairan resusitasi, masih
Kasus ini diawali dengan kondisi kejang pada belum meyakinkan kestabilannya. Terlebih ketika
pasien yang terjadi 2 kali (pertama 2 menit, didapatkan sputum pink-froothy yang makin
beberapa menit kemudian terjadi lagi selama 10 mengarah ke kondisi kemungkinan edema paru
menit) pada hari ke-8 pasca seksio sesarea. Tidak / overload cairan, maka timbul pertimbangan
diketahui riwayat preeklampsia/preeklampsia bahwa masalah pada oksigenasi pasien ini dapat
berat/eclampsia baik pada kelahiran ini maupun terkait langsung dengan masalah kardiovaskular
sebelumnya, tetapi pada hasil pemeriksaan (preload, contractility, atau afterload).
laboratorium saat admisi ke UGD didapatkan Kemudian diberikan heparin sejalan dengan
proteinuria (+3). Secara visual didapatkan sesak hasil pemeriksaan d-dimer yang mengarah ke
(RR meningkat >36 x/m), dengan X-foto toraks prokoagulasi, untuk membantu mengurangi
terlihat perselubungan dikedua lapang paru, kemungkinan gangguan sirkulasi darah paru
dan SpO2 hanya mencapai 87% meskipun telah akibat koagulasi (yang juga dapat menyebabkan
diberikan O2 NRM dengan Jackson Rees 15 desaturasi). Untuk upaya optimalisasi oksigenasi,
lpm. Akral dingin, basah, sianosis, dan tingkat pernapasan pasien dikendalikan dengan
kesadaran menurun. ventilator yang disertai pemberian relaksan otot,
sedasi midazolam, dan morfin. Morfin berfungsi
Secara umum, kondisi kejang pada pasien post juga sebagai vasodilator pembuluh darah paru,
partum akan mengarahkan pola diagnosis kita ke berpotensi mengurangi edema yang diakibatkan
eklampsia3, terlebih pada pasien ini didapatkan tekanan kapiler paru yang tinggi.
proteinuria (+3), dan kejadian kejang diikuti
penurunan kesadaran. Kejadian dural puncture Upaya lebih jauh dalam melakukan evaluasi
juga berpotensi menyebabkan kejang8,9,10. kardiovaskuler dengan cara invasif, yaitu
Tetapi pada pasien ini kedua diagnosis tersebut pemasangan CVC di subclavicula, terhalang
tidak terdukung secara nyata. Tidak ada hipertensi risiko pneumothorax yang akan memperburuk
/riwayat hipertensi, dan tidak ada riwayat yang oksigenasi. Evaluasi kardiovaskular dengan
jelas akan adanya preeklampsia/preeklampsia pemasangan arterial line tidak dimungkinkan
berat/eklampsia, serta tidak ada kejelasan tentang karena fasilitas tidak tersedia. Evaluasi
prosedur anestesi yang telah dilakukan. Karena kardiovaskuler kemudian dilakukan dengan
kondisi desaturasi pasien yang terjadi meskipun echocardiography oleh spesialis jantung.
telah mendapat terapi oksigen kadar tinggi, maka Dokter spesialis jantung sebelum melaksanakan
Kejang Post Partum di Rumah Sakit Tipe B: 125
sebuah Manajemen Kasus Multidisiplin

echocardiography, memberikan obat ivabradine menunjukkan perselubungan kedua paru. Dokter


untuk memperbaiki irama jantung, membantu spesialis paru menyimpulkan bahwa Mendelson
amiodarone yang telah diberikan lebih awal. syndrome belum dapat disingkirkan, sehingga
CVC kemudian tetap dipasang, bukan sebagai menambahkan antibiotika lain berkombinasi
alat monitoring/diagnostik, tetapi untuk jalur terhadap levofloxacine, yaitu Meropenem 3x
intravena yang lebih adekuat, dan ditempatkan di 1 gram, dan diberikan juga indexon 2 x 6 mg,
arteri femoralis. Pemasangan CVC ini dikerjakan bisolvon 3x4 mg, dan furosemide 3 mg/jam.
setelah selesai intubasi, sekaligus diambil Suhu tubuh membaik selama 3 jam pertama
pula spesimen pemeriksaan darah dan sputum. di hari perawatan kedua, tetapi kemudian
beranjak naik, sehingga diputuskan paracetamol
Untuk tetap menjaga kestabilan hemodinamik dikombinasikan dengan metamizole 2 x 500 mg.
sekaligus mempertahankan fungsi ginjal Obat ini dipertahankan sejalan dengan makin
yang diduga mulai terganggu (produksi urine menurunnya suhu tubuh pasien secara bertahap
sempat menurun), diberikan dobutamine. Efek ke suhu normal. Selanjutnya, meskipun belum
inotropiknya diharapkan membuat tekanan dapat dilakukan evaluasi CT-scan terhadap
darah cukup untuk kerja glomerulus, dan kemungkinan edema cerebri, berdasarkan
dikombinasikan dengan kerja norepinephrine penilaian gejala dan tanda fisik, DPJP spesialis
sebagai kendali terhadap vasodilatasi berlebihan Kebidanan dan Kandungan memutuskan
akan membantu filtrasi glomerulus dengan efek memberikan bromocriptine untuk menyingkirkan
vasokonstriksi glomerulus post capilair. Upaya ini kemungkinan bahwa kenaikan suhu bersumber
menunjukkan hasil yang cukup memuaskan yang dari mastitis. Pemeriksaan CT-scan dan MRI
terlihat dari volume urine yang lebih baik dan pada beberapa kasus kejang post partum dapat
tekanan darah yang lebih stabil setelah pemberian membantu menegakkan diagnosis,4-6 tetapi karena
obat-obat tersebut. Gangguan aliran darah pada tidak didapatkan tanda maupun gejala gangguan
sistem gastrointestinal dapat menyebabkan neurologis maka pemeriksaan CT-scan dan MRI
gangguan peristaltik dan ini diduga mulai terjadi ini menjadi pertimbangan untuk tidak dilakukan.
karena terdapat retensi di pipa nasogastrik. Untuk
membantu masalah ini diberikan pantoprazole Pemeriksaan echocardiography kemudian
dan metoclopramide. Evaluasi lanjutan terhadap menyimpulkan adanya cardiomyopathy, yang
retensi tersebut menunjukkan tidak ada lagi karena telah diberikan ivabradine dan dengan
retensi cairan lambung. makin terkendalinya suhu tubuh, nadi, dan tekanan
darah, maka mulai dilakukan tappering-off :
Saat pemeriksaan luar menyeluruh didapatkan dosis norepinephrine diturunkan secara bertahap,
juga masalah berupa lesi di daerah payudara, amiodarone diselesaikan sesuai program,
yang dicurigai sebagai mastitis. Karena ivabradine direncanakan dihentikan untuk
terjadi hipertermia, diusulkan kepada DPJP berganti ke digoxin, rocuronium diturunkan dan
spesialis Kebidanan dan Kandungan untuk dihentikan, FIO2 dikurangi, dan feeding enteral
diberikan bromocriptine terkait kondisi mastitis dengan enterasol dimulai. Kelainan kondisi
tersebut. Dengan pertimbangan bahwa riwayat elektrolit diupayakan diperbaiki. Sempat terjadi
kejang pasien belum dapat disingkirkan dari takikardia kembali, tetapi langsung diantisipasi
kemungkinan proses intrakranial, sedangkan dengan pemberian digoxin, dan kemudian nadi
bromocriptine berisiko efek samping terjadi terjaga kembali kearah normal. Pemeriksaan
edema cerebri, maka DPJP menunda sementara mikrobiologi kemudian menunjukkan tidak
pemberian bromocriptine. Evaluasi kondisi ada kuman/pertumbuhan kuman pada spesimen
pasien menjadi lebih terbantu pula oleh peran sputum maupun darah yang telah diambil
dokter spesialis paru. Evaluasi ini diperlukan pada saat pasien masuk ICU dihari pertama.
karena oksigenasi yang belum juga ada perbaikan Selanjutnya karena kondisi pasien dinilai telah
sekalipun hemodinamik membaik, namun suhu cukup baik dan oksigenasi telah adekuat, maka
tubuh masih cenderung tinggi, dan X-foto paru dimulailah proses weaning ventilator pada hari
126 Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia

ke-4. Secara bertahap rencana tappering off obat 2. Hunt D, Crane D, Brown S. Postpartum
dilanjutkan, dan sebagian dikonversi ke bentuk Seizures. 2018 [cited 2021 Aug 14]. Tersedia
tablet. Secara ringkas bahwa pada pasien ini yang dari https://www.emra.org/emresident/
semula diduga terjadi eklampsia, tetapi karena article/postpartum-seizures/
perubahan hemodinamik yang tidak mengarah
ke diagnostik eklampsia, maka terjadi kesulitan 3. Bin Idu M, Wei Chieh Tan J. Rare case of late
dalam menegakkan diagnosis definitif. Dengan post-partum seizure preceding peri-partum
tetap memperhatikan beberapa kemungkinan cardiomyopathy presentation. Ann Cardiol
yang bisa menyebabkan kejang, baik intrakranial Cardiovasc Med. 2020; 4(1): 1034
maupun ekstrakranial, maka dilakukan upaya-
upaya supportive dan terapi simptomatis mulai dari 4. James J, Jose J. Postpartum Woman with
terapi terhadap kondisi desaturasi, terapi terhadap seizures. Images In Emergency Medicine.
gangguan irama jantung (takikardia, SVT) dan 2017;69(1): 151.
kardiomiopati, terapi terhadap kemungkinan
Mendelson syndrome, terapi terhadap hipertermia 5. El Ameen NA, Amin MF, Kotb A. MRI
(ada mastitis), terapi elektrolit, maupun supportif of the brain in postpartum convulsions;
terhadap kerja gastrointestinal dan fungsi ginjal. pose diagnostic dilemmas. The Egyptian
Dengan mengerjakan terapi-terapi supportif dan Journal of Radiology and Nuclear Medicine.
simptomatis diatas, sekaligus mengupayakan 2017;48(4): 999–1004
ekslusi satu demi satu kandidat diagnosis, pasien
ini ternyata dapat terbantu dan pulih ke kondisi 6. Reynaud Q, Killian M, Tardy B. An
yang baik dan stabil. uncommon case of post partum seizures.
Internal medicine flashcard. 2015;26(9):
IV. Simpulan E41-2.

Pada pasien ini kami menarik kesimpulan bahwa 7. Chhabra A, Jagtap S. Postpartum seizures
penyebab utama kejang berasal dari masalah with posterior reversible encephalopathy
kardiovaskular, yang kemudian mengganggu syndrome following cesarean delivery for
fungsi kerja otak, dan menyebabkan terjadi triplets. Journal of Obstetric Anaesthesia and
kejang. Kesimpulan ini kami ambil mengingat Critical Care. 2014;4(1): 50–2.
bahwa dalam rangkaian terapi terhadap pasien
ini, terapi kardiovaskular secara menonjol 8. Jamadarkhana S, Law RC. Seizures in
memberikan pengaruh positif terhadap disfungsi the early post-partum period: A diagnostic
organ pasien, dan bahwa lama terapi/perawatan dilemma. Indian J Anaesth. 2012; 56(2):
pasien cukup pendek yang sering menjadi ciri 183–5
dari perawatan pasien kritis dengan gangguan
kardiovaskuler sesaat. Untuk pasien ini masih 9. Ng MD, Manikappa S. Postpartum seizure
perlu dilakukan assessment lanjutan terutama and ischaemic stroke following dural
bila ada perencanaan kehamilan berikutnya. puncture and epidural blood patch. Anaesth
Intensive Care 2012; 40: 347–51
Daftar Pustaka
10. Dogani R, Horasanlf B, Ozcimen EE,
1. Tantillo GB, Jetté N, Yoo JY, Stone J, Basarani B, Kaya Y. A case of postpartum
Egerman M, Dhamoon MS. Pregnancy- seizures following spinal anesthesia an
related complications and risk of postpartum epidural blood patch. Gynecol Obstet Reprod
readmission for seizures and epilepsy: A Med. 2011;17(2):110–2
national study. Epilepsia, 2020; 61(9):1990–8

Anda mungkin juga menyukai