Trauma Kepala
Trauma Kepala
Trauma Kepala
TRAUMA KEPALA
OLEH :
PEMBIMBING :
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan nikmat dan
karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini. Shalawat dan
salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad shalallahu alaihiwasallam, yang
telah membawa manusia dari zaman jahiliah ke alam yang penuh ilmu pengetahuan ini.
Dalam penyusunan referat ini, penulis mendapatkan beberapa hambatan serta
kesulitan. Akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak hal tersebut dapat teratasi. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan referat ini, terutama kepada dr. Ahmad Brata Rosa, Sp.BS, selaku
pembimbing. Adapun penulisan tugas referat ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Deli
Serdang.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang ditujukan
untuk membangun.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
DAFTAR ISI........................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................................. 1
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
146,8 juta, dimana satu tahun sebelumnya yaitu tahun 2017 tercatat 137,2 juta,
dan tahun 2016 tercatat 129,2 juta (Badan Pusat Statistika, 2019). Peningkatan
Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab utama cedera dan
kematian di seluruh dunia. Saat ini, lebih dari 1,2 juta orang setiap tahun
juta lainnya cedera akibat kecelakaan lalu lintas (Sabet et al., 2016).
Cedera, kematian, dan kecacatan akibat kecelakaan lalu lintas dianggap sebagai
masalah kesehatan masyarakat utama yang sejauh ini tidak cukup diperhatikan
Cedera yang paling banyak terjadi pada saat kecelakaan lalu lintas
and Prevention (CDC), cedera kepala disebabkan oleh benturan, pukulan atau
sentakan ke kepala atau cedera yang menembus dan mengganggu fungsi normal
Pada tahun 2014, di Amerika Serikat terdapat sekitar 2,87 juta kunjungan
Instalansi Gawat Darurat (IGD) terkait cedera kepala, 288.000 orang berobat
inap di rumah sakit dan 56.800 orang meninggal. Beberapa tahun terakhir angka
sebesar 54%, namun rawat inap menurun 8% dan kematian menurun 6%.
Banyak studi menunjukkan bahwa laki-laki yang paling mungkin terkena cedera
usia 15-44 tahun (CDC, 2019). Tingkat keparahan bervariasi dari cedera kepala
ringan (termasuk gegar otak) hingga sedang dan cedera kepala parah (Senapathi,
et al., 2017).
Setiap tahun, Amerika Serikat didapatkan 1,7 juta terjadi cedera kepala
(di semua kelompok umur), dan penyebab sekitar sepertiga (30,5%) dari semua
kematian adalah karena cedera. Remaja yang lebih tua (usia 15 sampai 19
tahun), orang dewasa yang lebih tua (usia 65 tahun dan lebih tua), dan laki-laki
di semua kelompok umur yang paling mungkin untuk mengalami cedera kepala
(ASHA, 2017). Di Eropa, secara keseluruhan tingkat kejadian sebanyak 262 per
pada tahun 2017 didapatkan 38 kasus kecelakaan lalu lintas dan 53 kasus cedera
kepala dengan usia terbanyak 26-35 tahun (Kepel & Mallo, 2019). Sedangkan
data epidemiologi di Medan, diperoleh dari RSUP H. Adam Malik Medan pada
tahun 2016-2017 didapatkan 216 kasus kecelakaan lalu lintas, rawat jalan
berjumlah 60 orang dan 264 kasus cedera kepala dengan usia terbanyak 17-25
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 sebesar 11,9% dan cedera kepala
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyebut ada 11,9%, cedera kepala
disebabkan kecelakaan lalu lintas sebesar 1,7% dengan usia terbanyak 15-24
tahun sebesar 4,9% dan sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebesar 2,9%
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek pada bulan Januari-Maret 2017 terdapat 160
pasien, sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebesar 80,6% dengan usia
terbanyak 25-44 tahun dan penyebab cedera kepala tertinggi pada pasien adalah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
permanen atau sementara fungsi kognitif, fisik, dan psikososial, serta dapat
menurunkan tingkat kesadaran (Amyot F., et al., 2015). Menurut The Centers
for Disease Control and Prevention (CDC), cedera yang mengganggu fungsi
normal otak yang bisa disebabkan oleh benturan, pukulan, atau sentakan pada
kepala atau cedera kepala yang menembus (Frieden, T. R., et al., 2015).
Cedera kepala didefinisikan sebagai perubahan fungsi otak, atau bukti
Consciousness/LOC).
dijumpai di hampir setiap rumah sakit. Kasus cedera kepala berperan dalam
3,4% dari total kasus yang ada di departemen gawat darurat. Setiap tahunnya di
Amerika Serikat 1,5-2 juta orang didiagnosis cedera kepala, 1,4 juta orang hanya
berobat di ruang gawat darurat dan dapat dipulangkan. Sedangkan 275.000 orang
kesehatan yang serius, cedera kepala juga menciptakan beban keuangan bagi
miliar dolar AS per tahunnya (A.J.Gardner, R.Zafonte, 2016). Pada tahun 2016
atau kejadian cedera kepala dari artikel atau jurnal di seluruh dunia. Data
epidemiologi yang didapat bersifat umum tanpa mengkhususkan usia dan subjek
militer atau tahanan. Dari total 7639 tulisan mereka memisahkan lagi hingga
cedera kepala adalah jatuh (34,4%). Persentase cedera kepala terkait olahraga
jauh lebih tinggi pada negara maju dibandingkan negara berkembang dengan
perbandingan 18,2:1. Tidak ada data cedera kepala terkait pekerjaan (Li, Zhao,
1,18:1 di Finlandia Tenggara dan 4,81:1 di Afrika Selatan. Usia tersering saat
cedera kepala antara 29-45 tahun. Negara dengan angka kejadian cedera kepala
tertinggi adalah Selandia Baru dengan 811/100.000 per tahun, sedangkan yang
data yang telah dikumpulkan negara-negara dengan kejadian cedera kepala dari
rendah ke tinggi adalah Belgia, Swiss, Iran, Cina, Finlandia, Portugal, Australia,
Di wilayah Asia sebagian besar negara tidak memiliki data epidemiologi cedera
kepala, namun dalam beberapa tahun terakhir jumlah studi tentang cedera kepala
berjumlah 29.472 jiwa, luka berat 13.315 orang, luka ringan 130.571 orang, dan
kerugian materi mencapai 213.866 juta rupiah (Badan Pusat Statistika, 2019).
telah dilakukan di berbagai rumah sakit. RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
pada tahun 2017 didapatkan 38 kasus kecelakaan lalu lintas dan 53 kasus cedera
kepala dengan usia terbanyak 26-35 tahun (Kepel & Mallo, 2019). Sedangkan
data epidemiologi di Medan, diperoleh dari RSUP H. Adam Malik Medan pada
tahun 2016-2017 didapatkan 216 kasus kecelakaan lalu lintas, rawat jalan
berjumlah 60 orang dan 264 kasus cedera kepala dengan usia terbanyak 17-25
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 sebesar 11,9% dan cedera kepala
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyebut ada 11,9%, cedera kepala
disebabkan kecelakaan lalu lintas sebesar 1,7% dengan usia terbanyak 15-24
tahun sebesar 4,9% dan sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebesar 2,9%
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek pada bulan Januari-Maret 2017 terdapat 160
pasien, sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebesar 80,6% dengan usia
terbanyak 25-44 tahun dan penyebab cedera kepala tertinggi pada pasien adalah
Meskipun volume jaringan rusak yang relatif kecil, cedera kepala dapat
mengubah fungsi pusat vital otak secara langsung dan dapat menyebabkan
komplikasi fatal di kemudian hari. Kerusakan awal pada kepala terjadi di tepat di
lokasi cedera, atau disebut dengan cedera primer. Kerusakan ini irreversible dan
dapat terjadi karena perfusi yang buruk dan pengiriman oksigen yang berkurang,
Tahap pertama cedera primer yaitu cedera setelah trauma kepala dicirikan
Blood Flow (CBF) dan metabolisme terganggu. Cedera ini dapat berasal dari
distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang
tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan
energi seluler, maka penyimpanan ATP terkuras dan terjadilah kegagalan energi
yang bergantung pada pompa ion membran (Frieden, T. R., et al., 2015).
lanjutan dari cedera primer yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi,
metil-4-isoksazol propionat, dan tegangan yang bergantung Ca2+ dan kanal Na+.
2+
mencerna diri sendiri (katabolik). Ca mengaktifkan lipid peroksidase, protease,
asam lemak bebas dan radikal bebas. Selain itu, aktivasi kaspase protein mirip
ini akan menyebabkan degradasi membran struktur vaskular dan seluler, lalu
diikuti kematian sel nekrotik atau terprogram (apoptosis) (Frieden, T. R., et al.,
2015).
2.2.4. Klasifikasi Cedera Kepala
2015).
cedera kepala tembus. Cedera kepala tembus memiliki outcome yang lebih buruk
paling utama pada cedera kepala tertutup untuk usia remaja dan dewasa muda.
Dapat juga disebabkan oleh tindak kekerasan dan terjatuh. Sedangkan cedera
kepala tembus umumnya disebabkan oleh luka tusukan dan luka tembak
secara cepat dan tepat. Penilaian tingkat kesadaran merupakan langkah penting
yang baik. Metode yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan dan
tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala antara lain Glasgow Coma Scale
(PTA). Namun yang umum digunakan yakni metode GCS, merupakan skala
mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15,
sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak
membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama
dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau
cedera kepala ringan (CKR), cedera kepala sedang (CKS), dan cedera kepala
Kapita Selekta Kedokteran dibagi menjadi ringan, sedang dan berat (Tanto
1) Cedera kepala ringan: pasien dengan skor GCS awal 13-15, tidak
2) Cedera kepala sedang: pasien dengan skor GCS awal 9-12, dengan
depresi kranium.
2.2.4.3. Morfologi Cedera Kepala
dengan cepat, karena hanya dengan benturan yang kuat yang dapat membuat
fraktur tengkorak. Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada tempurung kepala
atau dasar tengkorak. Jenis fraktur pada tempurung kepala bisa linier, stelata,
depressed atau non-depressed dan terbuka atau tertutup. Sedangkan pada fraktur
dasar tengkorak bisa dengan atau tanpa kebocoran Cerebrospinal Fluid (CSF)
serta dengan atau tanpa cedera saraf kranialis VII (American College of
Surgeons, 2018).
pada dasar tengkorak. Fraktur dasar tengkorak memiliki tanda khas yang dapat
dijadikan acuan oleh ahli radiologi agar lebih memperhatikan bagian dasar
Tanda klinis pada fraktur dasar tengkorak meliputi ekimosis periorbital (racoon
(rhinorrhea) atau telinga (otorrhea), dan gangguan saraf kranialis VII dan VIII
al., 2015). Fraktur dengan bentuk linier pada tempurung kepala meningkatkan
risiko terjadinya perdarahan intrakranial hingga 400 kali lipat (American College
of Surgeons, 2018).
2) Lesi Intrakranial
intrakranial difus terdiri dari kontusio ringan atau klasik, dan cedera aksonal
difus. Lesi intrakranial fokal terdiri dari hematoma epidural, hematoma subdural,
difus sering ditemani oleh cedera otak lain, dan ini telah menyebabkan pasien
mengalami kerusakan otak yang parah karena ditempatkan pada kondisi negatif
yang terus menerus. Menurut laporan, beberapa tahun terakhir, tingkat kematian
lesi intrakranial difus adalah 42% –62% (Ma, Zhang, Wang, et al., 2016).
1) Hematoma Epidural
dan nyeri berhubungan dengan fraktur linier pada 30-90% kasus. Dampak
cepat. Pada tahun 2017, dari 100 pasien hematoma epidural, 95 pasien
al., 2017).
perdarahan epidural biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea
kematian dapat terjadi cepat karena perdarahan berasal dari arteri (Tanto C.
et al., 2014).
2) Hematoma Subdural
traumatik yang paling umum, terhitung 24% kasus dari cedera kepala berat
ini dapat terjadi melalui tiga mekanisme yaitu kerusakan pada permukaan
dari korteks ke sinus vena dural. Presentasi klinis dari hematoma subdural
3) Hematoma Intraserebral
kepala. Lokasi paling sering terkena pada lobus frontal dan temporal. Pasien
dengan kontusio serebri perlu menjalani CT scan ulang setelah 24 jam dari
4) Hematoma Subarachnoid
26% sampai 53% pada pasien TBI. Trauma merupakan penyebab paling
753 pasien dengan cedera kepala parah. Dia menemukan bahwa hasil CT
scan yang paling sering yaitu tekanan intrakranial abnormal dan kematian
Cedera kepala memang dapat terjadi pada siapa saja dan setiap orang
dari berbagai golongan usia, jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan. Faktor
karena pekerja tersebut berada dalam posisi usia produktif dan apabila usia
pekerja menjelang tua maka tingkat produktivitas kerja pun akan semakin
kecelakaan lalu lintas tahun 2018 dilaporkan kasus cedera kepala terbanyak
adalah pada usia sangat muda (0-4 tahun) dan usia muda (15-24 tahun), selain
itu juga pada usia tua (di atas 65 tahun) (Riskesdas, 2018). Usia muda
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok umur lain (Riandini et al, 2015).
kecelakaan lalu lintas tahun 2018 dilaporkan insidensi cedera kepala secara
kecelakaan lalu lintas lebih didominasi kaum laki–laki, hal ini disebabkan
tinggi, kurangnya kesadaran terhadap ketertiban lalu lintas juga dapat dikaitkan
dengan tingginya angka cedera kepala yaitu kecelakaan lalu lintas (Simanjuntak
et al, 2015).
2.2.5.4. Faktor Risiko Cedera Kepala Berdasarkan Pendidikan
dan perguruan tinggi. Korban kecelakaan lalu lintas lebih tinggi pada kelompok
pendidikan SMA. Hal ini juga terkait dengan mobilitas pada kelompok ini yang
tinggi. Pengetahuan, sikap dan perilaku pelajar SMA dalam berkendara masih
prinsip-prinsip berikut :
1. Primary Survey
A = Airway (menilai jalan napas): bersihkan jalan napas dari debris dan
badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir.
Jika cedera orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus diintubasi
spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika
pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti
Jika jalan napas pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh
oksigen yang adekuat (PaO2>95 mmHg dan PaCO2<40 mmHg serta saturasi
O2>95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh
secara khusus adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat
frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG
bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk
setelah selesai primary survey, meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil, tanda-tanda lateralisasi dan gejala cedera spinal. GCS adalah metode
1. Obat kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus
dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat
alkohol atau obat terlarang, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan
2014).
TEST SKOR
Respon membuka mata (Eye)
• Terbuka secara spontan 4
• Terhadap perintah verbal 3
• Terhadap stimulus nyeri 2
• Tidak membuka 1
Respon verbal (Verbal)
1) Percakapan berorientasi normal 5
2) Bingung 4
3) Tidak sesuai/ hanya kata-kata 3
4) Hanya suara 2
5) Tidak ada suara 1
2. Secondary Survey
Setelah primary survey selesai, tanda vital pasien sudah normal, maka
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan
4. Pada pasien yang koma (skor GCS <8) atau pasien dengan tanda-
2014) :
Atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg. Hipokapnia berat (pCO 2<25
iskemia serebri.
3) Berikan manitol 20% 1 g/kg intravena dalam 20-30 menit.
pertama.
2014).
(terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal,
perburukan.
adanya tanda atau gejala neurologis fokal, intoksikasi obat atau alkohol,
adanya penyakit medis komorbid yang nyata, tidak adanya orang yang
2014).
2. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak
hipermetabolisme fenitoin.
8) Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan
virulen.
12) CT Scan lanjutan: umumnya, scan otak lanjutan harus
kendala penghambat.
2.2.7.1. Anamnesa
pada setiap pasien dengan cedera kepala atau penyebab status mental yang tidak
diketahui. Penjelasan rinci tentang kejadian cedera harus diminta dari pasien,
anggota keluarga, penolong pertama, atau polisi. Saksi atau individu yang
kejadian dan lingkungan saat cedera. Penting untuk membuat diagnosis banding
agar tidak membuat kesalahan diagnosa pasti. Riwayat pasien harus mencakup
hal berikut :
5. Usia: cedera kepala di usia yang lebih tua memiliki hasil yang lebih buruk di
1. Nilai GCS dan pemeriksaan pupil harus dilakukan setiap 15 menit sampai
6) Benda asing yang jelas atau objek yang tertusuk tidak boleh
al., 2017).
kerusakan sekunder otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah
bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan
sel tersebut dapat pulih dan kembali ke fungsi normal. Terapi medikamentosa
antara lain cairan intravena, hiperventilasi, manitol, dan antikejang (Iskandar,
2017).
1) Cairan Intravena
pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan untuk resusitasi
adalah larutan ringer laktat atau garam fisiologis. Kadar natrium serum perlu
2) Hiperventilasi
Perlakuan hiperventilasi yang agresif dan lama akan menurunkan kadar PaCO2
menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PaCO2
dilakukan secara selektif dan hanya dalam batas waktu tertentu. Umumnya,
(PaCO2 antara 25-30 mmHg) dapat dilakukan jika diperlukan pada keadaan
meningkat. Sediaan yang tersedia cairan manitol dengan konsentrasi 20% (20
gram setiap 100 ml larutan). Dosis yang diberikan 0.25 – 1 g/kg BB diberikan
secara bolus intravena. Manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi,
g/kgBB) harus diberikan secara cepat (dalam waktu lebih dari 5 menit) dan
pasien segera di bawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar operasi bila lesi
4) Anti Kejang
cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang
berkaitan dengan insiden epilepsi: (1) Kejang awal yang terjadi dalam minggu
cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang biasa
diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang diberikan
mg/menit.
Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk
memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan
segera karena kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat
Kejang merupakan salah satu masalah yang dapat timbul setelah terjadi
trauma kepala. Gejala kejang antara lain bagian tubuh kaku atau gemetar, tidak
responsif dan menatap, kelelahan atau pusing tiba-tiba, dan tidak bisa berbicara
atau mengerti orang lain. Kejang pada minggu pertama setelah cedera kepala
disebut kejang pasca-trauma awal. Sekitar 25% orang yang mengalami kejang
pasca trauma awal akan mengalami kejang dalam satu bulan atau bertahun-tahun
kemudian. Kejang lebih dari tujuh hari setelah cedera otak disebut kejang pasca
trauma akhir. Sekitar 80% orang yang mengalami kejang pasca trauma akhir
akan mengalami kejang lain (epilepsi). Memiliki lebih dari satu kejang disebut
seberapa besar kemungkinan mengalami kejang. Sekitar 65% orang dengan luka
otak akibat luka peluru mengalami kejang. Pendarahan antara otak dan
Lebih dari 60% orang yang membutuhkan 2 atau lebih operasi otak setelah
mengalami cedera otak dan mengalami kejang (Englander, Cifu, Diaz-Arrastia,
2015).
2) Stroke Iskemik
sebagai prognosis yang buruk terhadap cedera kepala. Stroke dikenal dengan
kecacatan menetap.
3) Hidrosefalus
lapisan ventrikel otak pecah oleh tekanan intraventrikular yang meningkat. Hal
terganggu dan terjadi kejang (edema sitotoksik oleh karena terganggunya ATP
fraktur kranium, dan derajat kesadaran yang rendah (GCS <10) (Asyrofi,
M.Z.A., 2018). Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala,
cepat, dimulai sejak satu minggu setelah cedera. Spastisitas secara klinis telah
meningkat pada gerakan pasif. Gejala spastisitas meliputi peningkatan tonus otot
kekakuan otot ringan sampai kejang otot yang sangat tidak terkendali (Kobeissy,
2015).
5) Agitasi
mengikuti cedera awal, juga disebut amnesia pasca-trauma, dan ditandai dengan
pemikiran yang tidak teratur atau disinhibisi, dan agresi. Faktor risiko yang
usia, nyeri, infeksi, pola tidur terganggu, dan kerusakan lobus frontal
6) Gangguan Psikiatri
Beberapa jenis gangguan psikiatri yang terjadi seperti depresi, mania, Obsessive-
2016)
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
permanen atau sementara fungsi kognitif, fisik, dan psikososial, serta dapat
menurunkan tingkat kesadaran (Amyot F., et al., 2015). Menurut The Centers
for Disease Control and Prevention (CDC), cedera yang mengganggu fungsi
normal otak yang bisa disebabkan oleh benturan, pukulan, atau sentakan pada
kepala atau cedera kepala yang menembus (Frieden, T. R., et al., 2015). Cedera
kepala didefinisikan sebagai perubahan fungsi otak, atau bukti patologi lainnya
yang disebabkan oleh kekuatan eksternal. Perubahan fungsi otak dapat diketahui
dari satu tanda klinis berikut: Setiap periode kehilangan atau penurunan
cedera kepala ringan (CKR), cedera kepala sedang (CKS), dan cedera kepala
berat (CKB) (Senapathi, et al., 2017). Klasifikasi cedera kepala berdasarkan
Kapita Selekta Kedokteran dibagi menjadi ringan, sedang dan berat (Tanto
American College of Surgeons. 2018. Advanced Trauma Life Support Student Course
Manual (Tenth Edition): Head Injury. Chicago. USA.
American Speech Language Hearing Association. 2017. Traumatic brain injury in
adults: Overview, ASHA.
Amyot, F., Arciniegas, D.B., Brazaitis, M.P., Curley, K.C., Diaz-Arrastia, R.,
Gandjbakhche, A., Herscovitch, P., Hinds, S.R., Manley, G.T., Pacifico, A. and
Razumovsky, A., 2015. A review of the effectiveness of neuroimaging modalities
for the detection of traumatic brain injury. Journal of neurotrauma, 32(22), pp.1693-
1721.
Asyrofi, M.Z.A., 2018. “Hubungan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) Dengan Jumlah
Trombosit Pada Pasien Cedera Kepala Di IGD RSUD Dr. H. Abdul Moeloek”.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Badan Pusat Statistik. 2019. “Jumlah Kecelakaan, Korban Mati, Luka Berat, Luka
Ringan, dan Kerugian Materi Yang Diderita Tahun 1992-2018”,
https://www.bps.go.id/dynamictable/2016/02/09/1134/jumlah-kecelakaan-koban-
mati-luka-berat-luka-ringan-dan-kerugian-materi-yang-diderita-tahun-1992-
2015.html, diakses pada 23 Januari 2020 pukul 22.24.
Ma, J., Zhang, K., Wang, Z. and Chen, G., 2016. Progress of research on diffuse axonal
injury after traumatic brain injury. Neural plasticity, 2016.
Mariana, A.T. and Dewi, F.S.T., 2018. Cedera akibat kecelakaan lalu lintas di Sleman:
data HDSS 2015 dan 2016. Berita Kedokteran Masyarakat, 34(6), pp.230-235.
Modi, N.J., Agrawal, M. and Sinha, V.D., 2016. Post-traumatic subarachnoid
hemorrhage: A review. Neurology India, 64(7), p.8.
Moore KL., Agur AMR. 2015. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta.
Moore, K.L. and Daelly Athur, F., 2013. Anatomi berorientasi klinis edisi 5 Jilid
3. Jakarta.: Erlangga.
Nekludov, M., 2016. Abnormal coagulation and platelet function in patients with severe
traumatic brain injury.
Notoatmodjo, S., 2014. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Penerbit PT. Rineka
Cipta.
Olabinri, E.O., Ogbole, G.I., Adeleye, A.O., Dairo, D.M., Malomo, A.O. and
Ogunseyinde, A.O., 2015. Comparative analysis of clinical and computed
tomography features of basal skull fractures in head injury in southwestern
Nigeria. Journal of neurosciences in rural practice, 6(2), p.139.
Paulsen F & Waschke J. 2015. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jilid 3. Edisi 23. EGC:
Jakarta.
Peeters, W., Brande, R. V., Polinder, S., Brazinova, A., Steyerberg, E. W., Lingsma, H.
F., Maas, A. I. 2015, „Epidemiology of traumatic brain injury in Europe‟, Acta
Neurochirurgica, vol.157,no.10,1683–1696.
Prahaladu, P., Satyavara Prasad, K., Rajasekhar, B. and Satyanarayana Reddy, K., 2017.
Clinical Study of Acute Subdural Haematoma—A Level I Trauma Care Centre
Experience. International Journal of Research in Medical Sciences, 5, pp.857-862.
Riandini, I.L., Susanti, R. and Yanis, A., 2015. baran Luka Korban Kecelakaan Lalu
Lintas yang Dilakukan Pemeriksaan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, 4(2).
Riyadina, W. and Subik, I.P., 2016. Profil keparahan cedera pada korban kecelakaan
sepeda motor di Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati. Universa Medicina,
26(2), pp.64-72.
Rofi'i, A. 2019. “Gambaran Karakteristik Pasien Cedera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu
Lintas di Rumah Sakit Daerah dr Soebandi Kabupaten Jember”. Fakultas
Keperawatan Universitas Jember. Jember.
Sabet, F.P., Tabrizi, K.N., Khankeh, H.R., Saadat, S., Abedi, H.A. and Bastami, A.,
2016. Road traffic accident victims’ experiences of return to normal life: A
qualitative study. Iranian Red Crescent Medical Journal, 18(4).
Scheenen, M.E., de Koning, M.E., van der Horn, H.J., Roks, G., Yilmaz, T., van der
Naalt, J. and Spikman, J.M., 2016. Acute alcohol intoxication in patients with mild
traumatic brain injury: characteristics, recovery, and outcome. Journal of
neurotrauma, 33(4), pp.339-345.
Senapathi, T.G.A., Wiryana, M., Aribawa, I.G.N.M. and Ryalino, C., 2017. Bispectral
index value correlates with Glasgow Coma Scale in traumatic brain injury patients.
Open access emergency medicine: OAEM, 9, p.43.
Sigalingging, Y.E., 2017. Karakteristik Cedera Kepala di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan Tahun 2016-2017. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan.
Simanjuntak, F., Ngantung, D.J. and Mahama, C.N., 2015. Gambaran Pasien Cedera
Kepala di RSUP. Prof. Dr. RD Kandou Manado Periode Januari 2013–Desember
2013. e-CliniC, 3(1).
Spaite, D.W., Hu, C., Bobrow, B.J., Chikani, V., Barnhart, B., Gaither, J.B.,
Denninghoff, K.R., Adelson, P.D., Keim, S.M., Viscusi, C. and Mullins, T., 2017.
Association of out-of-hospital hypotension depth and duration with traumatic brain
injury mortality. Annals of emergency medicine, 70(4), pp.522-530.
Swales, C. and Bulstrode, C. 2015. At a Glance Reumatologi, Ortopedi, dan Trauma
Edisi Kedua. Penerbit Erlangga.
Tanto C, Liwang F, Hanifati S, and Pradipta EA. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi
Keempat Jilid Kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Media
Aesculapius.
Taufiqurrohman, Sari MI. 2016. Manfaat pemberian sitikoline pada pasien stroke non
hemoragik (snh). J Medulla Unila. 6(1):165–71.
Williamson, D.R., Frenette, A.J., Burry, L., Perreault, M.M., Charbonney, E.,
Lamontagne, F., Potvin, M.J., Giguère, J.F., Mehta, S. and Bernard, F., 2016.
Pharmacological interventions for agitation in patients with traumatic brain injury:
protocol for a systematic review and meta-analysis. Systematic reviews, 5(1), p.193.
Yousefzadeh-Chabok, S., Ranjbar-Taklimie, F., Malekpouri, R. and Razzaghi, A., 2016.
A time series model for assessing the trend and forecasting the road traffic accident
mortality. Archives of trauma research, 5(3).
Zai, P.C., Wagiu, A. and Rawung, R., 2018. Profil Pasien Trauma akibat Kecelakaan
Lalu Lintas yang Dirawat di Instalasi Rawat Darurat Bedah RSUP Prof. Dr. RD
Kandou Manado Periode 1 Januari–31 Desember 2017. e-CliniC, 6(2).