Trauma Kepala

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 44

REFERAT

TRAUMA KEPALA

OLEH :

Aprillya Indah PS 20360175


Arum Kartika P 20360239
Nillah Nur Cholillah 20360208
Riesfa Rizkia 20360217
Selfa Yunita 20360221

PEMBIMBING :

dr. Ahmad Brata Rosa, Sp.BS

SMF ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DELI SERDANG LUBUK PAKAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan nikmat dan
karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini. Shalawat dan
salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad shalallahu alaihiwasallam, yang
telah membawa manusia dari zaman jahiliah ke alam yang penuh ilmu pengetahuan ini.
Dalam penyusunan referat ini, penulis mendapatkan beberapa hambatan serta
kesulitan. Akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak hal tersebut dapat teratasi. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan referat ini, terutama kepada dr. Ahmad Brata Rosa, Sp.BS, selaku
pembimbing. Adapun penulisan tugas referat ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Deli
Serdang.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang ditujukan
untuk membangun.

Medan, 7 April 2021

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
DAFTAR ISI........................................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Kepala............................................................................................................7
2.2. Cedera Kepala.............................................................................................11

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


3.1. Kesimpulan.....................................................................................................................63

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia meningkat tiap tahunnya,

mengingat di era modern ini transportasi adalah kebutuhan pokok manusia.

Tercatat di tahun 2018 kendaraan bermotor di Indonesia berjumlah lebih dari

146,8 juta, dimana satu tahun sebelumnya yaitu tahun 2017 tercatat 137,2 juta,

dan tahun 2016 tercatat 129,2 juta (Badan Pusat Statistika, 2019). Peningkatan

populasi kendaraan bermotor mengakibatkan meningkatnya pula angka kejadian

kecelakaan lalu lintas di Indonesia (Zai et al, 2018).

Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab utama cedera dan

kematian di seluruh dunia. Saat ini, lebih dari 1,2 juta orang setiap tahun

terbunuh dalam kecelakaan lalu lintas diseluruh dunia, sementara 20 hingga 50

juta lainnya cedera akibat kecelakaan lalu lintas (Sabet et al., 2016).

Diperkirakan bahwa kecelakaan lalu lintas menempati urutan ke-9 pada

Disability Adjusted Life Year (DALY) dan diperkirakan akan meningkat

menjadi peringkat ke 3 di tahun 2020 (Riyadina, W. and Subik, I.P., 2016).

Cedera, kematian, dan kecacatan akibat kecelakaan lalu lintas dianggap sebagai

masalah kesehatan masyarakat utama yang sejauh ini tidak cukup diperhatikan

(Yousefzadeh et al, 2016).

Cedera yang paling banyak terjadi pada saat kecelakaan lalu lintas

adalah cedera kepala. Cedera kepala merupakan masalah non-degeneratif dan

non-genital ke otak dari kekuatan mekanik eksternal, kemungkinan

menyebabkan kerusakan permanen atau sementara terhadap fungsi kognitif,

fisik, dan psikososial, serta dapat menurunkan tingkat kesadaran (Amyot,


Arciniegas, Brazaitis, et al., 2015). Menurut The Centers for Disease Control

and Prevention (CDC), cedera kepala disebabkan oleh benturan, pukulan atau

sentakan ke kepala atau cedera yang menembus dan mengganggu fungsi normal

otak (Frieden, T. R., et al., 2015).

Pada tahun 2014, di Amerika Serikat terdapat sekitar 2,87 juta kunjungan

Instalansi Gawat Darurat (IGD) terkait cedera kepala, 288.000 orang berobat

inap di rumah sakit dan 56.800 orang meninggal. Beberapa tahun terakhir angka

kunjungan Instalansi Gawat Darurat (IGD) terkait cedera kepala meningkat

sebesar 54%, namun rawat inap menurun 8% dan kematian menurun 6%.

Banyak studi menunjukkan bahwa laki-laki yang paling mungkin terkena cedera

kepala daripada perempuan. Angka kejadian tertinggi cedera kepala terjadi di

usia 15-44 tahun (CDC, 2019). Tingkat keparahan bervariasi dari cedera kepala

ringan (termasuk gegar otak) hingga sedang dan cedera kepala parah (Senapathi,

et al., 2017).

Setiap tahun, Amerika Serikat didapatkan 1,7 juta terjadi cedera kepala

(di semua kelompok umur), dan penyebab sekitar sepertiga (30,5%) dari semua

kematian adalah karena cedera. Remaja yang lebih tua (usia 15 sampai 19

tahun), orang dewasa yang lebih tua (usia 65 tahun dan lebih tua), dan laki-laki

di semua kelompok umur yang paling mungkin untuk mengalami cedera kepala

(ASHA, 2017). Di Eropa, secara keseluruhan tingkat kejadian sebanyak 262 per

100.000 untuk kasus cedera (Peeters et al., 2015).

Di Indonesia, cedera kepala merupakan kasus yang sangat umum

dijumpai di setiap rumah sakit. Beberapa penelitian epidemiologi cedera kepala


telah dilakukan di berbagai rumah sakit. RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

pada tahun 2017 didapatkan 38 kasus kecelakaan lalu lintas dan 53 kasus cedera

kepala dengan usia terbanyak 26-35 tahun (Kepel & Mallo, 2019). Sedangkan

data epidemiologi di Medan, diperoleh dari RSUP H. Adam Malik Medan pada

tahun 2016-2017 didapatkan 216 kasus kecelakaan lalu lintas, rawat jalan

berjumlah 60 orang dan 264 kasus cedera kepala dengan usia terbanyak 17-25

tahun (Sigalingging, 2017). Proporsi cedera kepala di Indonesia menurut Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 sebesar 11,9% dan cedera kepala

disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas sebesar 2,2% (Riskesdas, 2018).

Angka kejadian cedera kepala di provinsi Lampung menurut data Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyebut ada 11,9%, cedera kepala

disebabkan kecelakaan lalu lintas sebesar 1,7% dengan usia terbanyak 15-24

tahun sebesar 4,9% dan sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebesar 2,9%

(Riskesdas, 2018). Sedangkan data epidemiologi di Lampung, diperoleh dari

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek pada bulan Januari-Maret 2017 terdapat 160

pasien, sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebesar 80,6% dengan usia

terbanyak 25-44 tahun dan penyebab cedera kepala tertinggi pada pasien adalah

kecelakaan lalu lintas sebesar 76,3% (Asyrofi, 2018).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Cedera Kepala

2.2.1. Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala merupakan masalah non-degeneratif dan non-genital ke

otak dari kekuatan mekanik eksternal, kemungkinan menyebabkan kerusakan

permanen atau sementara fungsi kognitif, fisik, dan psikososial, serta dapat

menurunkan tingkat kesadaran (Amyot F., et al., 2015). Menurut The Centers

for Disease Control and Prevention (CDC), cedera yang mengganggu fungsi

normal otak yang bisa disebabkan oleh benturan, pukulan, atau sentakan pada

kepala atau cedera kepala yang menembus (Frieden, T. R., et al., 2015).
Cedera kepala didefinisikan sebagai perubahan fungsi otak, atau bukti

patologi lainnya yang disebabkan oleh kekuatan eksternal. Perubahan fungsi

otak dapat diketahui dari satu tanda klinis berikut:

1) Setiap periode kehilangan atau penurunan kesadaran (Loss Of

Consciousness/LOC).

2) Kehilangan memori untuk kejadian sebelumnya (amnesia retrograde) atau

setelah cedera (Post-Traumatic Amnesia/PTA).

3) Defisit neurologis (kelemahan, kehilangan keseimbangan, perubahan

penglihatan, dispraksia paresis/plegia (paralisis), kehilangan sensoris, afasia,

dan lain-lain (Frieden, T. R., et al., 2015).

2.2.2. Epidemiologi Cedera Kepala

Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering

dijumpai di hampir setiap rumah sakit. Kasus cedera kepala berperan dalam

3,4% dari total kasus yang ada di departemen gawat darurat. Setiap tahunnya di

Amerika Serikat 1,5-2 juta orang didiagnosis cedera kepala, 1,4 juta orang hanya

berobat di ruang gawat darurat dan dapat dipulangkan. Sedangkan 275.000 orang

berobat inap (A.J.Gardner, R.Zafonte, 2016). Selain menimbulkan masalah

kesehatan yang serius, cedera kepala juga menciptakan beban keuangan bagi

keluarga dan masyarakat.

Sebuah penelitian di AS menunjukkan bahwa kasus cedera kepala sangat

mempengaruhi perekonomian negara AS dengan pengeluaran sekitar 9 dan 10

miliar dolar AS per tahunnya (A.J.Gardner, R.Zafonte, 2016). Pada tahun 2016

Min Li et al., melakukan penelitian dengan mengumpulkan data epidemiologi

atau kejadian cedera kepala dari artikel atau jurnal di seluruh dunia. Data
epidemiologi yang didapat bersifat umum tanpa mengkhususkan usia dan subjek

militer atau tahanan. Dari total 7639 tulisan mereka memisahkan lagi hingga

pada akhirnya didapatkan 60 laporan dari 29 negara dengan data epidemiologi

cedera kepala (Li, Zhao, Yu, et al., 2016).

Penyebab utama cedera kepala berkaitan dengan kemajuan suatu negara.

Pada negara berkembang penyebab utama cedera kepala adalah kecelakaan

kendaraan bermotor (42,4%), sedangkan pada negara maju penyebab utama

cedera kepala adalah jatuh (34,4%). Persentase cedera kepala terkait olahraga

jauh lebih tinggi pada negara maju dibandingkan negara berkembang dengan

perbandingan 18,2:1. Tidak ada data cedera kepala terkait pekerjaan (Li, Zhao,

Yu, et al., 2016).

Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami cedera kepala

dibandingkan perempuan. Rasio jenis kelamin berbeda-beda di setiap negara,

1,18:1 di Finlandia Tenggara dan 4,81:1 di Afrika Selatan. Usia tersering saat

cedera kepala antara 29-45 tahun. Negara dengan angka kejadian cedera kepala

tertinggi adalah Selandia Baru dengan 811/100.000 per tahun, sedangkan yang

terendah terdapat di Eropa Barat dengan 7,3/100.000 per tahun. Berdasarkan

data yang telah dikumpulkan negara-negara dengan kejadian cedera kepala dari

rendah ke tinggi adalah Belgia, Swiss, Iran, Cina, Finlandia, Portugal, Australia,

Norwegia, Kanada, Jerman, Italia, Perancis, Austria, Afrika Selatan, Swedia,

Spanyol, Amerika Serikat dan Selandia Baru.

Untuk angka kematian tertinggi pasien cedera kepala terdapat di Afrika

Selatan dengan 80,73/100.000 per 10 tahun, sedangkan yang terendah di

Perancis dengan 5,2/100.000 per tahun. Beberapa artikel penelitian tentang


epidemiologi cedera kepala telah banyak dilakukan di Eropa dan Amerika Utara.

Di wilayah Asia sebagian besar negara tidak memiliki data epidemiologi cedera

kepala, namun dalam beberapa tahun terakhir jumlah studi tentang cedera kepala

mulai meningkat (Li, Zhao, Yu, et al., 2016).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistika, jumlah kecelakaan yang terjadi

Indonesia tahun 2018 sebanyak 109.215 kasus, dengan korban meninggal

berjumlah 29.472 jiwa, luka berat 13.315 orang, luka ringan 130.571 orang, dan

kerugian materi mencapai 213.866 juta rupiah (Badan Pusat Statistika, 2019).

Di Indonesia, cedera kepala merupakan kasus yang sangat umum

dijumpai di setiap rumah sakit. Beberapa penelitian epidemiologi cedera kepala

telah dilakukan di berbagai rumah sakit. RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

pada tahun 2017 didapatkan 38 kasus kecelakaan lalu lintas dan 53 kasus cedera

kepala dengan usia terbanyak 26-35 tahun (Kepel & Mallo, 2019). Sedangkan

data epidemiologi di Medan, diperoleh dari RSUP H. Adam Malik Medan pada

tahun 2016-2017 didapatkan 216 kasus kecelakaan lalu lintas, rawat jalan

berjumlah 60 orang dan 264 kasus cedera kepala dengan usia terbanyak 17-25

tahun (Sigalingging, 2017). Proporsi cedera kepala di Indonesia menurut Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 sebesar 11,9% dan cedera kepala

disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas sebesar 2,2% (Riskesdas, 2018).

Angka kejadian cedera kepala di provinsi Lampung menurut data Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyebut ada 11,9%, cedera kepala

disebabkan kecelakaan lalu lintas sebesar 1,7% dengan usia terbanyak 15-24

tahun sebesar 4,9% dan sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebesar 2,9%

(Riskesdas, 2018). Sedangkan data epidemiologi di Lampung, diperoleh dari

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek pada bulan Januari-Maret 2017 terdapat 160
pasien, sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebesar 80,6% dengan usia

terbanyak 25-44 tahun dan penyebab cedera kepala tertinggi pada pasien adalah

kecelakaan lalu lintas sebesar 76,3% (Asyrofi, 2018).

2.2.3. Patofisiologi Cedera Kepala

Meskipun volume jaringan rusak yang relatif kecil, cedera kepala dapat

mengubah fungsi pusat vital otak secara langsung dan dapat menyebabkan

komplikasi fatal di kemudian hari. Kerusakan awal pada kepala terjadi di tepat di

lokasi cedera, atau disebut dengan cedera primer. Kerusakan ini irreversible dan

tidak dapat diobati dengan intervensi terapeutik. Kemudian kerusakan tambahan

dapat terjadi karena perfusi yang buruk dan pengiriman oksigen yang berkurang,

dengan diikuti proses patologis berikutnya seperti aktivasi peradangan dan

koagulasi dengan perkembangan mikrotrombosis, apoptosis dan edema otak.

Proses ini akan menyebabkan kerusakan sekunder, yang merupakan kondisi

berpotensi terbuka terhadap intervensi terapeutik (Nekludov, 2016).

Patofisiologi cedera kepala secara umum terbagi menjadi dua tahap.

Tahap pertama cedera primer yaitu cedera setelah trauma kepala dicirikan

dengan adanya kerusakan jaringan secara langsung disertai regulasi Cerebral

Blood Flow (CBF) dan metabolisme terganggu. Cedera ini dapat berasal dari

berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan

distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang

tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan

dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus. Pola 'mirip


iskemia' ini menyebabkan akumulasi asam laktat karena glikolisis anaerob,

peningkatan permeabilitas membran, dan pembentukan edema berturut-turut.

Karena metabolisme anaerob tidak adekuat untuk mempertahankan keadaan

energi seluler, maka penyimpanan ATP terkuras dan terjadilah kegagalan energi

yang bergantung pada pompa ion membran (Frieden, T. R., et al., 2015).

Tahap kedua dari jalur patofisiologi ini cedera sekunder merupakan

lanjutan dari cedera primer yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi,

biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis

dan inokulasi bakteri. Ditandai dengan adanya depolarisasi membran terminal

bersamaan dengan pelepasan rangsang neurotransmitter yang berlebihan

(misalnya glutamat, aspartat), aktivasi N-metil-D-aspartat, α-amino-3-hidroksi-5-

metil-4-isoksazol propionat, dan tegangan yang bergantung Ca2+ dan kanal Na+.

Arus masuk Ca2+ dan Na+ berturut-turut menyebabkan proses intraseluler

2+
mencerna diri sendiri (katabolik). Ca mengaktifkan lipid peroksidase, protease,

dan fosfolipase yang pada akhirnya akan meningkatkan konsentrasi intraselular

asam lemak bebas dan radikal bebas. Selain itu, aktivasi kaspase protein mirip

Interleukin-1-Beta Converting Enzyme (ICE), translokasi, dan endonuklease

memulai perubahan struktural progresif membran biologis dan DNA nukleosom

(fragmentasi DNA dan penghambatan perbaikan DNA). Pada akhirnya, proses

ini akan menyebabkan degradasi membran struktur vaskular dan seluler, lalu

diikuti kematian sel nekrotik atau terprogram (apoptosis) (Frieden, T. R., et al.,

2015).
2.2.4. Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala dapat dikategorikan dalam berbagai cara, yaitu menurut

mekanisme cedera, tingkat keparahan cedera, dan morfologi (Simanjuntak F.,

2015).

2.2.4.1. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera kepala dapat dibedakan menjadi cedera kepala tertutup dan

cedera kepala tembus. Cedera kepala tembus memiliki outcome yang lebih buruk

daripada cedera kepala tertutup. Tabrakan kendaraan bermotor adalah penyebab

paling utama pada cedera kepala tertutup untuk usia remaja dan dewasa muda.

Dapat juga disebabkan oleh tindak kekerasan dan terjatuh. Sedangkan cedera

kepala tembus umumnya disebabkan oleh luka tusukan dan luka tembak

(Simanjuntak F., 2015).

2.2.4.2. Tingkat Keparahan Cedera Kepala

Dalam penanganan cedera kepala dibutuhkan penilaian status neurologis

secara cepat dan tepat. Penilaian tingkat kesadaran merupakan langkah penting

untuk menentukan keputusan intervensi yang tepat sehingga didapatkan outcome

yang baik. Metode yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan dan

tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala antara lain Glasgow Coma Scale

(GCS), durasi Loss of Consciousness (LOC) dan Post-Traumatic Amnesia

(PTA). Namun yang umum digunakan yakni metode GCS, merupakan skala

universal untuk mengelompokkan cedera kepala dan faktor patologis yang

menyebabkan penurunan kesadaran.


Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan,

mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15,

sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak

membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama

dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau

cedera kepala berat.

Tingkat keparahan cedera kepala umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu

cedera kepala ringan (CKR), cedera kepala sedang (CKS), dan cedera kepala

berat (CKB) (Senapathi, et al., 2017). Klasifikasi cedera kepala berdasarkan

Kapita Selekta Kedokteran dibagi menjadi ringan, sedang dan berat (Tanto

Chris, et al., 2014).

1) Cedera kepala ringan: pasien dengan skor GCS awal 13-15, tidak

ada kehilangan kesadaran, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat

terlarang, nyeri kepala dan pusing, dapat menderita abrasi, laserasi,

atau hematoma kulit kepala.

2) Cedera kepala sedang: pasien dengan skor GCS awal 9-12, dengan

konkusi, amnesia pasca-trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur

kranium dan kejang.

3) Cedera kepala berat: pasien dengan skor GCS 8 atau di bawahnya,

dengan penurunan derajat kesadaran secara progresif, tanda

neurologis fokal dan cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur

depresi kranium.
2.2.4.3. Morfologi Cedera Kepala

Secara morfologi, cedera kepala dibagi menjadi fraktur tulang tengkorak,

lesi intrakranial fokal dan lesi intrakranial difus.

1) Fraktur Tulang Tengkorak

Fraktur tulang tengkorak merupakan masalah serius yang harus ditangani

dengan cepat, karena hanya dengan benturan yang kuat yang dapat membuat

fraktur tengkorak. Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada tempurung kepala

atau dasar tengkorak. Jenis fraktur pada tempurung kepala bisa linier, stelata,

depressed atau non-depressed dan terbuka atau tertutup. Sedangkan pada fraktur

dasar tengkorak bisa dengan atau tanpa kebocoran Cerebrospinal Fluid (CSF)

serta dengan atau tanpa cedera saraf kranialis VII (American College of

Surgeons, 2018).

Fraktur dasar tengkorak merupakan luka serius akibat patahnya tulang

pada dasar tengkorak. Fraktur dasar tengkorak memiliki tanda khas yang dapat

dijadikan acuan oleh ahli radiologi agar lebih memperhatikan bagian dasar

tengkorak dan memberikan rincian fraktur kepada dokter yang menangani.

Tanda klinis pada fraktur dasar tengkorak meliputi ekimosis periorbital (racoon

eyes), ekimosis retroaurikuler (battle’s sign), keluarnya CSF dari hidung

(rhinorrhea) atau telinga (otorrhea), dan gangguan saraf kranialis VII dan VIII

yaitu paralisis fasialis dan gangguan pendengaran (Olabinri, Ogbole, Malomo, et

al., 2015). Fraktur dengan bentuk linier pada tempurung kepala meningkatkan

risiko terjadinya perdarahan intrakranial hingga 400 kali lipat (American College

of Surgeons, 2018).
2) Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial diklasifikasikan menjadi difus dan fokal. Lesi

intrakranial difus terdiri dari kontusio ringan atau klasik, dan cedera aksonal

difus. Lesi intrakranial fokal terdiri dari hematoma epidural, hematoma subdural,

kontusio, hematoma intraserebral serta hematoma subarachnoid.

1. Lesi Intrakranial Difus

Pada umumnya lesi intrakranial difus berhubungan dengan cedera

aksonal difus. Cedera aksonal difus merupakan cedera otak yang

dikarakteristikkan sebagai cedera aksonal pada white matter. Lesi intrakranial

difus sering ditemani oleh cedera otak lain, dan ini telah menyebabkan pasien

mengalami kerusakan otak yang parah karena ditempatkan pada kondisi negatif

yang terus menerus. Menurut laporan, beberapa tahun terakhir, tingkat kematian

lesi intrakranial difus adalah 42% –62% (Ma, Zhang, Wang, et al., 2016).

2. Lesi Intrakranial Fokal

1) Hematoma Epidural

Hematoma epidural berkontribusi 1-4% dari semua kasus cedera kepala.

Hematoma epidural merupakan cedera akibat trauma tumpul pada tengkorak

dan nyeri berhubungan dengan fraktur linier pada 30-90% kasus. Dampak

awal dari hematoma epidural yaitu terjadinya deformasi atau patahan

tengkorak yang menghasilkan pelepasan dura tepat di bawah lokasi trauma

sehingga melukai pembuluh darah (tersering arteri meningea media).

Sebagian besar hematoma epidural menunjukkan gejala simtomatik yang

cepat. Pada tahun 2017, dari 100 pasien hematoma epidural, 95 pasien

menunjukkan loss of conscioussness (LOC) (Kumar, Prasad, Rajasekhar, et

al., 2017).
perdarahan epidural biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea

media. Sekitar 75% kasus demikian berkaitan dengan fraktur kranium.

Perjalanan klinis klasik (pada sepertiga kasus), mula-mula kehilangan

kesadaran sejenak (konkusi) kemudian melalui interval bebas gejala (lusid),

yang diikuti oleh penurunan kesadaran sekunder ketika hematoma epidural

membesar. Darah dalam rongga epidural akan menggelembung keluar

(konveks) pada CT Scan karena keterbatasan rongga akibat perlekatan yang

erat dengan durameter pada sutura kranium. Progresi ke herniasi dan

kematian dapat terjadi cepat karena perdarahan berasal dari arteri (Tanto C.

et al., 2014).

2) Hematoma Subdural

Hematoma subdural akut merupakan tipe hematoma intrakranial

traumatik yang paling umum, terhitung 24% kasus dari cedera kepala berat

dan memiliki angka mortalitas tertinggi berkisar antara 30-90%. Hematoma

ini dapat terjadi melalui tiga mekanisme yaitu kerusakan pada permukaan

pembuluh korteks, perdarahan luka parenkim dan robeknya jembatan vena

dari korteks ke sinus vena dural. Presentasi klinis dari hematoma subdural

akut adalah perubahan tingkat kesadaran yang memburuk secara bertahap,

meningkatnya kegelisahan, perubahan pupil dan hemiparesis menunjukkan

sisi lesi (Prahaladu, Prasad, Rajasekhar, et al., 2017).

3) Hematoma Intraserebral

Hematoma intraserebral terjadi pada 13-35% pasien setelah cedera

kepala. Lokasi paling sering terkena pada lobus frontal dan temporal. Pasien

dengan kontusio serebri perlu menjalani CT scan ulang setelah 24 jam dari

CT scan awal, hal ini bertujuan untuk mengevaluasi perubahan cederanya.

Karena pada 20% pasien dengan hematoma intraserebral, didapatkan bahwa


hasil CT scan awalnya adalah kontusio serebri. Bahkan kontusio serebri dan

hematoma intraserebral dapat terjadi bersamaan sehingga perlu tindakan

operasi segera (American College of Surgeons, 2018).

4) Hematoma Subarachnoid

Perdarahan subarachnoid traumatik adalah salah satu penyebab utama

morbiditas dan kerusakan fungsional. Insidensi perdarahan ini bervariasi dari

26% sampai 53% pada pasien TBI. Trauma merupakan penyebab paling

umum perdarahan subarachnoid. Eisenberg mengevaluasi hasil CT scan dari

753 pasien dengan cedera kepala parah. Dia menemukan bahwa hasil CT

scan yang paling sering yaitu tekanan intrakranial abnormal dan kematian

disebabkan pergeseran garis tengah, kompresi, atau penghancuran tangki

mesencephalic yang signifikan, dan adanya darah subarachnoid. Pergeseran

struktur garis tengah tidak ditemukan sebagai variabel yang signifikan.

Vasospasme yang disebabkan oleh perdarahan ini kelenjar di bawah otak

atau disfungsi hipotalamus, serta hidrosefalus mungkin merupakan penyebab

hasil buruk pada pasien ini (Modi, Agrawal, Sinha., 2016).

2.2.5. Faktor Risiko Cedera Kepala

Cedera kepala memang dapat terjadi pada siapa saja dan setiap orang

dari berbagai golongan usia, jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan. Faktor

risiko yang dapat memicu terjadinya cedera kepala adalah :

2.2.5.1. Faktor Risiko Cedera Kepala Berdasarkan Usia

Usia pekerja beranjak naik maka tingkat produktivitas akan meningkat

karena pekerja tersebut berada dalam posisi usia produktif dan apabila usia

pekerja menjelang tua maka tingkat produktivitas kerja pun akan semakin

menurun karena keterbatasan faktor fisik dan kesehatan yang mempengaruhi


(Kumbadewi L.S. et al., 2016). Prevalensi data terkait cedera disebabkan

kecelakaan lalu lintas tahun 2018 dilaporkan kasus cedera kepala terbanyak

adalah pada usia sangat muda (0-4 tahun) dan usia muda (15-24 tahun), selain

itu juga pada usia tua (di atas 65 tahun) (Riskesdas, 2018). Usia muda

merupakan kelompok usia yang produktif dimana mempunyai mobilitas yang

lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok umur lain (Riandini et al, 2015).

2.2.5.2. Faktor Risiko Cedera Kepala Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin sebagai istilah yang mengacu pada perbedaan biologis

antara perempuan dan laki-laki. Prevalensi data terkait cedera disebabkan

kecelakaan lalu lintas tahun 2018 dilaporkan insidensi cedera kepala secara

signifikan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, dengan

rasio sekitar 2,9% banding 1,6% (Riskesdas, 2018). Distribusi korban

kecelakaan lalu lintas lebih didominasi kaum laki–laki, hal ini disebabkan

karena laki–laki mayoritas lebih banyak beraktivitas di luar rumah untuk

bekerja sehingga mempunyai resiko lebih tinggi mengalami cedera akibat

kecelakaan lalu lintas (Riandini et al, 2015).

2.2.5.3. Faktor Risiko Cedera Kepala Berdasarkan Pekerjaan

Prevalensi data terkait cedera disebabkan kecelakaan lalu lintas tahun

2018 dilaporkan sebesar 13% pada pelajar/mahasiswa dan 10,1% pada

buruh/sopir/pembantu ruta (Riskesdas, 2018). Aktifitas yang tinggi dan

pergaulan masa remaja membuat kelompok pelajar memiliki mobilitas yang

tinggi, kurangnya kesadaran terhadap ketertiban lalu lintas juga dapat dikaitkan

dengan tingginya angka cedera kepala yaitu kecelakaan lalu lintas (Simanjuntak

et al, 2015).
2.2.5.4. Faktor Risiko Cedera Kepala Berdasarkan Pendidikan

Distribusi frekuensi menurut pendidikan terakhir yaitu SD, SMP, SMA

dan perguruan tinggi. Korban kecelakaan lalu lintas lebih tinggi pada kelompok

pendidikan SMA. Hal ini juga terkait dengan mobilitas pada kelompok ini yang

tinggi. Pengetahuan, sikap dan perilaku pelajar SMA dalam berkendara masih

sangat buruk, misalnya menggunakan telepon genggam saat berkendara, tidak

menyalakan lampu kendaraan dan masih mengonsumsi obat-obatan saat

mengendarai motor (Mariana, A.T. and Dewi, F.S.T., 2018).

2.2.6. Penatalaksanaan Cedera Kepala

2.2.6.1. Pedoman Resusitasi dan Penilaian Awal

Secara umum, setiap pasien dengan cedera kepala ditangani dengan

prinsip-prinsip berikut :

1. Primary Survey

Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama

pasien dengan penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan

penatalaksanaan (Iskandar, M.K., 2017) :

A = Airway (menilai jalan napas): bersihkan jalan napas dari debris dan

muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan

badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir.

Jika cedera orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus diintubasi

(Tanto Chris, et al., 2014).

B = Breathing (menilai pernapasan): tentukan apakah pasien bernapas

spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika

pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti

pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter


nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%.

Jika jalan napas pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh

oksigen yang adekuat (PaO2>95 mmHg dan PaCO2<40 mmHg serta saturasi

O2>95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh

ahli anestesi (Tanto Chris, et al., 2014).

C = Circulation (menilai sirkulasi): otak yang rusak tidak mentolerir

hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan

secara khusus adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat

frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG

bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk

pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa dan analisis

gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid

(dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edema otak

pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia

memperburuk cedera kepala (Tanto Chris, et al., 2014).

D = Disability (level kesadaran dan status neurologis lain). Pada primary

survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis dasar yang disebut

AVPU (Alert, Verbal stimuli response, Painful stimuli response or

Unresponsive). Evaluasi neurologis yang cepat dan berulang dilakukan

setelah selesai primary survey, meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi

pupil, tanda-tanda lateralisasi dan gejala cedera spinal. GCS adalah metode

yang cepat untuk menentukan level kesadaran dan dapat memprediksi

outcome pasien (Iskandar, M.K., 2017).


E = Exposure. Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan

penanganan menyeluruh, dengan memperhatikan faktor suhu dan lingkungan

(Iskandar, M.K., 2017).

1. Obat kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus

diobati. Mula-mula Berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan

dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat

diberikan 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan

tidak melebihi 50 mg/menit (Tanto Chris, et al., 2014).

2. Menilai tingkat keparahan

1) Cedera kepala ringan

Glasgow coma scale 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif),

tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi), tidak ada intoksikasi

alkohol atau obat terlarang, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan

pusing, pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit

kepala, tidak adanya kriteria cedera sedang-berat (Tanto Chris, et al.,

2014).

2) Cedera kepala sedang

Glasgow coma scale 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor), konkusi,

amnesia pasca-trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur kranium

(tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan

serebrospinal), dan kejang (Tanto Chris, et al., 2014).

3) Cedera kepala berat

Glasgow coma scale 3-8 (koma), penurunan derajat kesadaran

secara progresif, tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau

teraba fraktur depresi kranium (Tanto Chris, et al., 2014).


Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale (Swales C & Bulstrode C, 2015)

TEST SKOR
Respon membuka mata (Eye)
• Terbuka secara spontan 4
• Terhadap perintah verbal 3
• Terhadap stimulus nyeri 2
• Tidak membuka 1
Respon verbal (Verbal)
1) Percakapan berorientasi normal 5
2) Bingung 4
3) Tidak sesuai/ hanya kata-kata 3
4) Hanya suara 2
5) Tidak ada suara 1

Respon motorik (Motorik)


• Mematuhi perintah 6
• Terbatas pada nyeri 5
• Menarik diri/ fleksi 4
• Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
• Ekstensi (deserebrasi) 2
6) Tidak ada respons motorik 1
Nilai sadar penuh = 15; Nilai minimum = 3.

2. Secondary Survey

Setelah primary survey selesai, tanda vital pasien sudah normal, maka

dimulai secondary survey, mengevaluasi head to toe (seluruh tubuh pasien),

meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang

dibutuhkan (Iskandar, M.K., 2017).

2.2.6.2. Pedoman Penatalaksanaan

1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan

foto tulang belakang servikal (proyeksi antero-posterior, lateral, dan

odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa

seluruh tulang servikal C1-C7 normal (Tanto Chris, et al., 2014).

2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan

prosedur berikut (Tanto Chris, et al., 2014) :


1) Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl

0,9%) atau larutan ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif

mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis, dan

larutan ini tidak menambah edema serebri.

2) Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer

lengkap, trombosit, kimia darah: glukosa, ureum, dan

kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial,

skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.

3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepala tidak

diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif

untuk mendeteksi faktur. Pasien dengan cedera kepala ringan,

sedang ,atau berat, harus dievaluasi adanya: hematoma epidural,

darah dalam subaraknoid dan intraventrikel, kontusio dan

perdarahan jaringan otot, edema serebri, obliterasi sisterna

perimesensefalik, pergeseran garis tengah, fraktur cranium, cairan

dalam sinus, dan pneumosefalus (Tanto Chris, et al., 2014).

4. Pada pasien yang koma (skor GCS <8) atau pasien dengan tanda-

tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini (Tanto Chris, et al.,

2014) :

1) Elevasi kepala 30°

2) Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten

dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg.

Atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg. Hipokapnia berat (pCO 2<25

mmHg) harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan

iskemia serebri.
3) Berikan manitol 20% 1 g/kg intravena dalam 20-30 menit.

Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar

1/4 dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam

pertama.

4) Pasang kateter Foley

5) Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma

epidural yang besar, hematoma subdural, cedera kepala

terbuka, dan fraktur impresi >1 diploe) (Tanto Chris, et al.,

2014).

2.2.6.3. Penatalaksanaan Khusus

1. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya

dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT

Scan bila memenuhi kriteria berikut: hasil pemeriksaan neurologis

(terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal,

foto servikal jelas normal, adanya orang yang bertanggung jawab

untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi

untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala

perburukan.

Kriteria perawatan di rumah sakit: adanya darah intrakranial atau fraktur

yang tampak pada CT Scan, konfusi, agitasi atau kesadaran menurun,

adanya tanda atau gejala neurologis fokal, intoksikasi obat atau alkohol,

adanya penyakit medis komorbid yang nyata, tidak adanya orang yang

dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah (Tanto Chris, et al.,

2014).
2. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak

(komosio otak), dengan Glasgow Coma Scale 15 (sadar penuh,

orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak

perlu berobat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di

rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau

amnesia. Risiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna

pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal (Tanto

Chris, et al., 2014).

3. Cedera kepala berat: setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda

vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat

indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang

besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf

untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat

seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit

sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera,

tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat

hipoksia, hipotensi, atau tekanan intrakranial yang meningkat

(Tanto Chris, et al., 2014).

1) Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien

dengan stupor atau koma (tidak dapat mengikuti perintah

karena derajat kesadaran menurun) harus diintubasi untuk

proteksi jalan napas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial

meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai pCO 2 40

mmHg dan pO2 90-100 mmHg.


2) Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda

ketidakstabilan hemodinamik (hipotensi atau hipertensi),

pemantauan paling baik dilakukan dengan kateter arteri.

Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut,

maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk

menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan hipertensi (>130

mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak

sedangkan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.

3) Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien

dengan skor GCS <8, bila memungkinkan.

4) Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal

atau larutan ringer laktat) yang diberikan kepada pasien

dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin

0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan

eksaserbasi edema serebri.

5) Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons

hipermetabolik dan katabolic, dengan keperluan 50-100%

lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui

pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera

mungkin (biasanya hari ke-2 perawatan).

6) Temperatur badan: demam (temperatur >101°F)

mengeksaserbasi cedera kepala dan harus diobati secara agresif

dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan

penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu.


7) Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kg BB bolus intravena,

kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang

pascatrauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada

pasien dengan perdarahan intrakranial traumatic. Pemberian

fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di

kemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin

harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar Fenitoin harus

dipantau ketat karena kadar subterapi sering disebabkan

hipermetabolisme fenitoin.
8) Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan

pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko

infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid

hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi

serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam

selama 48-72 jam).

9) Profilaksis trombosis vena dalam: sepatu bot kompresif

pneumatik dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk

mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada ekstremitas

bawah dan risiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru.

Heparin 5.000 unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72

jam setelah cedera pada pasien dengan imobilisasi lama,

bahkan dengan adanya perdarahan intrakranial.

10) profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau

koagulopati memiliki risiko ulserasi stres gastrik yang

meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena

setiap 8 jam atau sukralfat 1 gr/oral setiap 6 jam atau H 2

antagonis lain atau inhibitor proton.

11) Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada

pasien dengan cedera kepala terbuka masih kontroversial.

Golongan penisilin dapat mengurangi risiko meningitis

pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan

serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat

meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih

virulen.
12) CT Scan lanjutan: umumnya, scan otak lanjutan harus

dilakukan 24 jam setelah cedera awal pada pasien dengan

perdarahan intrakranial untuk menilai perdarahan yang progresif

atau yang timbul belakangan. Namun,biaya menjadi

kendala penghambat.

2.2.7. Diagnosis Cedera Kepala

2.2.7.1. Anamnesa

Setelah resusitasi awal dan penanganan ABCDE (Airway, Breathing,

Circulation, Disability, Exposure), menanyakan riwayat pasien harus dilakukan

pada setiap pasien dengan cedera kepala atau penyebab status mental yang tidak

diketahui. Penjelasan rinci tentang kejadian cedera harus diminta dari pasien,

anggota keluarga, penolong pertama, atau polisi. Saksi atau individu yang

mengetahui pasien mungkin sangat membantu dalam memastikan rincian

kejadian dan lingkungan saat cedera. Penting untuk membuat diagnosis banding

agar tidak membuat kesalahan diagnosa pasti. Riwayat pasien harus mencakup

hal berikut :

1. Mekanisme cedera dan deskripsi mendetail tentang cedera.

1) Kehilangan kesadaran, amnesia, lucid periods.

2) Kejang, kebingungan, penurunan dalam status mental.

3) Muntah atau sakit kepala (Tanto Chris, et al., 2014).

2. Penggunaan narkoba atau alkohol.

1) Keracunan : terbukti meningkatkan kejadian cedera intrakranial yang

terdeteksi pada CT (Scheenen, M.E, et al., 2016).

2) Kronis : berhubungan dengan atrofi serebral, diperkirakan dapat

meningkatkan risiko pemecahan bridging vein.


3. Riwayat medis sebelumnya, termasuk operasi SSP, trauma kepala masa lalu,

hemofilia, atau kejang.

4. Pengobatan saat ini termasuk antikoagulan.

5. Usia: cedera kepala di usia yang lebih tua memiliki hasil yang lebih buruk di

semua sub kelompok.

2.2.7.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik menyeluruh harus dilakukan setelah ABCDE awal

ditangani (Tanto Chris, et al., 2014).:

1. Nilai GCS dan pemeriksaan pupil harus dilakukan setiap 15 menit sampai

pasien stabil, untuk segera mengidentifikasi penurunan fungsi neurologis.

2. Kepala dan leher.

1) Pemeriksaan defisit saraf kranial, ekimosis periorbital atau

postaurikular, rhinorrhoea CSF atau otorrhoea, haemotympanum

(tanda- tanda fraktur basis kranii).

2) Pemeriksaan fundoskopik untuk perdarahan retina (tanda abuse) dan

papilloedema (tanda peningkatan ICP) (Hansen, J.B. et al., 2018).

3) Palpasi kulit kepala untuk hematoma, krepitasi, laserasi, dan

deformitas tulang (penanda fraktur tengkorak).

4) Auskultasi untuk bruit karotid (tanda diseksi karotid).

5) Evaluasi untuk nyeri leher rahim, parestesia, inkontinensia, kelemahan


ekstremitas, priapisme (tanda-tanda cedera tulang belakang).

6) Benda asing yang jelas atau objek yang tertusuk tidak boleh

dilepas sampai dura dibuka di ruang operasi dan prosedurnya

dapat dilakukan dengan visualisasi langsung.


7) Status kardiovaskular memerlukan pemeriksaan jantung

selanjutnya dan pemantauan tekanan darah. Setiap episode

hipotensi harus segera ditangani (Spaite, D.W. et al., 2017).

8) Status pernafasan memerlukan puls oksimetri terus menerus dan

pada pasien intubasi, capnografi CO2 end-tidal berkelanjutan.

Setiap episode hipoksia harus segera ditangani (Spaite, D.W. et

al., 2017).

3. Ekstremitas harus dilakukan pemeriksaan motor dan sensorik (untuk

tanda- tanda cedera tulang belakang).

2.2.7.3. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien

tiba di rumah sakit.

2. Pemeriksaan tulang belakang: deformitas, pembengkakan, nyeri

tekan, gangguan gerakan (terutama leher). Jangan banyak

manipulasi tulang belakang.

3. Pemeriksaan radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada

servikal diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid). Bila

hasil meragukan, lakukan CT Scan. Bila terdapat defisit neurologis,

harus dilakukan MRI atau CT mielografi.

2.2.8. Terapi Medikamentosa Untuk Cedera Kepala

Tujuan utama protokol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya

kerusakan sekunder otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah

bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan

sel tersebut dapat pulih dan kembali ke fungsi normal. Terapi medikamentosa
antara lain cairan intravena, hiperventilasi, manitol, dan antikejang (Iskandar,

2017).

1) Cairan Intravena

Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi dan

mempertahanakan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah

berbahaya. Namun, perlu juga diperhatikan untuk tidak memberikan cairan

berlebihan. Jangan diberikan cairan hipotonik. Juga, penggunaan cairan yang

mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk

pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan untuk resusitasi

adalah larutan ringer laktat atau garam fisiologis. Kadar natrium serum perlu

dimonitor pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat

berkaitan dengan endema otak sehingga harus dicegah (Iskandar, 2017).

2) Hiperventilasi

Untuk sebagian besar pasien, keadaan normokarbia lebih diinginkan.

Perlakuan hiperventilasi yang agresif dan lama akan menurunkan kadar PaCO2

yang menyebabkan vasokonstriksi berat pembuluh darah serebral sehingga

menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PaCO2

dibiarkan turun sampai di bawah 30 mm Hg (4,0 kPa) Hiperventilasi sebaiknya

dilakukan secara selektif dan hanya dalam batas waktu tertentu. Umumnya,

PaCO2 dipertahankan pada 35 mmH. Hiperventilasi dalam waktu singkat

(PaCO2 antara 25-30 mmHg) dapat dilakukan jika diperlukan pada keadaan

perburukan neurologis akut, sementara pengobatan lainnya baru dimulai.

Hiperventilasi akan mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan

perburukan neurologis akibat hematoma intrakranial yang membesar, sampai

operasi kraniotomi emergensi dapat dilakukan (Iskandar, 2017).


3) Manitol

Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK) yang

meningkat. Sediaan yang tersedia cairan manitol dengan konsentrasi 20% (20

gram setiap 100 ml larutan). Dosis yang diberikan 0.25 – 1 g/kg BB diberikan

secara bolus intravena. Manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi,

karena manitol tidak mengurangi tekanan intrakranial pada kondisi hipovolemik

dan manitol merupakan diuretic osmotic yang potensial. Adanya perburukan

neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis maupun

kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi merupakan indikasi kuat

untuk diberikan manitol. Pada keadaan tersebut pemberian bolus manitol (1

g/kgBB) harus diberikan secara cepat (dalam waktu lebih dari 5 menit) dan

pasien segera di bawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar operasi bila lesi

penyebabnya sudah diketahui (Iskandar, 2017).

4) Anti Kejang

Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang berobat di RS dengan

cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang

berkaitan dengan insiden epilepsi: (1) Kejang awal yang terjadi dalam minggu

pertama, (2) Perdarahan Intrakranial, atau (3) Fraktur depresi. Penelitian

tersamar ganda / double blind menunjukkan bahwa fenitoin sebagai profilaksis

bermanfaat untuk menurunkan angka insidensi kejang dalam minggu pertama

cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang biasa

diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang diberikan

secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50

mg/menit.
Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk

mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang berkepanjangan,

diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan selain fenitoin sampai

kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus menerus kadang

memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan

segera karena kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat

menyebabkan cedera otak (Iskandar, 2017).

2.2.9. Komplikasi Cedera Kepala

1) Kejang Pasca Trauma

Kejang merupakan salah satu masalah yang dapat timbul setelah terjadi

trauma kepala. Gejala kejang antara lain bagian tubuh kaku atau gemetar, tidak

responsif dan menatap, kelelahan atau pusing tiba-tiba, dan tidak bisa berbicara

atau mengerti orang lain. Kejang pada minggu pertama setelah cedera kepala

disebut kejang pasca-trauma awal. Sekitar 25% orang yang mengalami kejang

pasca trauma awal akan mengalami kejang dalam satu bulan atau bertahun-tahun

kemudian. Kejang lebih dari tujuh hari setelah cedera otak disebut kejang pasca

trauma akhir. Sekitar 80% orang yang mengalami kejang pasca trauma akhir

akan mengalami kejang lain (epilepsi). Memiliki lebih dari satu kejang disebut

epilepsi (Englander, Cifu, Diaz-Arrastia, 2015).

Penyebab cedera kepala pasien dapat membantu dokter mengetahui

seberapa besar kemungkinan mengalami kejang. Sekitar 65% orang dengan luka

otak akibat luka peluru mengalami kejang. Pendarahan antara otak dan

tengkorak, yang disebut hematoma subdural, juga bisa menyebabkan kejang.

Lebih dari 60% orang yang membutuhkan 2 atau lebih operasi otak setelah
mengalami cedera otak dan mengalami kejang (Englander, Cifu, Diaz-Arrastia,

2015).

2) Stroke Iskemik

Stroke iskemik merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi

sebagai prognosis yang buruk terhadap cedera kepala. Stroke dikenal dengan

istilah gangguan peredaran darah otak (GPDO), ditandai adanya penurunan

mendadak aliran darah ke otak (iskemik) dengan fungsi neurologis yang

terganggu. Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan jenis SNH sebagai

peringatan tanda stroke awal yang mungkin akan terjadi berulang

(Taufiqurrohman, 2016). Hal tersebut telah membuktikan bahwa trauma dapat

menimbulkan prognosis buruk bagi suatu penyakit berupa kematian ataupun

kecacatan menetap.

3) Hidrosefalus

Edema serebral merupakan komplikasi tersering pada setiap kejadian

cedera kepala. Edema interstitial atau biasa disebut sebagai hidrosefalus

disebabkan karena adanya perpindahan LCS transependimal ditimbulkan karena

lapisan ventrikel otak pecah oleh tekanan intraventrikular yang meningkat. Hal

ini dapat menyebabkan terjadinya permeabilitas endotel sawar darah otak

terganggu dan terjadi kejang (edema sitotoksik oleh karena terganggunya ATP

dependen transmembran natrium kalium) (Husna, 2017). Terjadinya kejang yang

dialami pasien pasca cedera kepala merupakan komplikasi serius. Faktor

risikonya adalah hematom (epidural, subdural, intraserebral), kontusio serebral,

fraktur kranium, dan derajat kesadaran yang rendah (GCS <10) (Asyrofi,

M.Z.A., 2018). Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala,

papil edema, demensia, ataksia dan gangguan miksi.


4) Spastisitas

Setelah trauma kepala, onset spastisitas dan sekuele ortopedi berlangsung

cepat, dimulai sejak satu minggu setelah cedera. Spastisitas secara klinis telah

didefinisikan sebagai peningkatan resistensi perpanjangan otot-otot skeletal yang

meningkat pada gerakan pasif. Gejala spastisitas meliputi peningkatan tonus otot

(hipertonisitas), kejang otot, refleks tendon yang dalam, bentuk ekstremitas

seperti menggunting dan persendian tetap. Tingkat kejang bervariasi dari

kekakuan otot ringan sampai kejang otot yang sangat tidak terkendali (Kobeissy,

2015).

5) Agitasi

Agitasi merupakan masalah perilaku yang sering dijumpai.

Ketidakpercayaan, defisit memori, dan disorientasi adalah konsekuensi dari

cedera kepala yang dapat menyebabkan agitasi. Agitasi telah didefinisikan

sebagai keadaan kebingungan selama periode gangguan kesadaran yang

mengikuti cedera awal, juga disebut amnesia pasca-trauma, dan ditandai dengan

perilaku yang berlebihan seperti kerusuhan emosional, akognisia, impulsif,

pemikiran yang tidak teratur atau disinhibisi, dan agresi. Faktor risiko yang

diduga untuk agitasi mengikuti cedera kepala meliputi rangsangan lingkungan,

usia, nyeri, infeksi, pola tidur terganggu, dan kerusakan lobus frontal

(Williamson et al, 2016).

6) Gangguan Psikiatri

Gangguan psikiatri pasca cedera kepala merupakan kejadian yang sering.

Beberapa jenis gangguan psikiatri yang terjadi seperti depresi, mania, Obsessive-

Compulsive Disorder (OCD), Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), psikosis,

dan perubahan kepribadian. Perubahan kepribadian yang dapat terjadi yaitu


apatis pada cedera kepala berat, afektif yang labil dan agresif (Emery, C.A.,

2016)
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

Cedera kepala merupakan masalah non-degeneratif dan non-genital ke

otak dari kekuatan mekanik eksternal, kemungkinan menyebabkan kerusakan

permanen atau sementara fungsi kognitif, fisik, dan psikososial, serta dapat

menurunkan tingkat kesadaran (Amyot F., et al., 2015). Menurut The Centers

for Disease Control and Prevention (CDC), cedera yang mengganggu fungsi

normal otak yang bisa disebabkan oleh benturan, pukulan, atau sentakan pada

kepala atau cedera kepala yang menembus (Frieden, T. R., et al., 2015). Cedera

kepala didefinisikan sebagai perubahan fungsi otak, atau bukti patologi lainnya

yang disebabkan oleh kekuatan eksternal. Perubahan fungsi otak dapat diketahui

dari satu tanda klinis berikut: Setiap periode kehilangan atau penurunan

kesadaran (Loss Of Consciousness/LOC). Kehilangan memori untuk kejadian

sebelumnya (amnesia retrograde) atau setelah cedera (Post-Traumatic

Amnesia/PTA). Defisit neurologis (kelemahan, kehilangan keseimbangan,

perubahan penglihatan, dispraksia paresis/plegia (paralisis), kehilangan sensoris,

afasia, dan lain-lain (Frieden, T. R., et al., 2015).

Tingkat keparahan cedera kepala umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu

cedera kepala ringan (CKR), cedera kepala sedang (CKS), dan cedera kepala
berat (CKB) (Senapathi, et al., 2017). Klasifikasi cedera kepala berdasarkan

Kapita Selekta Kedokteran dibagi menjadi ringan, sedang dan berat (Tanto

Chris, et al., 2014).


DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. 2018. Advanced Trauma Life Support Student Course
Manual (Tenth Edition): Head Injury. Chicago. USA.
American Speech Language Hearing Association. 2017. Traumatic brain injury in
adults: Overview, ASHA.
Amyot, F., Arciniegas, D.B., Brazaitis, M.P., Curley, K.C., Diaz-Arrastia, R.,
Gandjbakhche, A., Herscovitch, P., Hinds, S.R., Manley, G.T., Pacifico, A. and
Razumovsky, A., 2015. A review of the effectiveness of neuroimaging modalities
for the detection of traumatic brain injury. Journal of neurotrauma, 32(22), pp.1693-
1721.
Asyrofi, M.Z.A., 2018. “Hubungan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) Dengan Jumlah
Trombosit Pada Pasien Cedera Kepala Di IGD RSUD Dr. H. Abdul Moeloek”.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Badan Pusat Statistik. 2019. “Jumlah Kecelakaan, Korban Mati, Luka Berat, Luka
Ringan, dan Kerugian Materi Yang Diderita Tahun 1992-2018”,
https://www.bps.go.id/dynamictable/2016/02/09/1134/jumlah-kecelakaan-koban-
mati-luka-berat-luka-ringan-dan-kerugian-materi-yang-diderita-tahun-1992-
2015.html, diakses pada 23 Januari 2020 pukul 22.24.

Badan Pusat Statistik. 2019. “Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut


Jenis, 1949-2018”, https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1133, diakses
pada 23 Januari 2020 pukul 22.30.
Centers for Disease Control and Prevention. 2019. Get the Facts of Traumatic Brain
Injury and Concussion-United States, 2014,
https://www.cdc.gov/traumaticbraininjury/get_the_facts.html, diakses pada 10
Oktober 2019 pukul 14.45.
Emery, C.A., Barlow, K.M., Brooks, B.L., Max, J.E., Villavicencio-Requis, A.,
Gnanakumar, V., Robertson, H.L., Schneider, K. and Yeates, K.O., 2016. A
systematic review of psychiatric, psychological, and behavioural outcomes
following mild traumatic brain injury in children and adolescents. The Canadian
Journal of Psychiatry, 61(5), pp.259-269.
Englander, J., Cifu, D.X., Diaz-Arrastia, R. and Center, M.S.K.T., 2015. Seizures after
traumatic brain injury. Archives of physical medicine and rehabilitation, 95(6),
p.1223.
Frieden, T. R., Houry, D., Baldwin, G. 2015. Traumatic brain injury in the United States:
Epidemiology and rehabilitation, CDC and NIH Report to Congress, 1–74.
Gardner, A.J. and Zafonte, R., 2016. Neuroepidemiology of traumatic brain injury.
In Handbook of clinical neurology (Vol. 138, pp. 207-223). Elsevier.
Gould, Douglas J. 2012. Buku Saku Anatomi Klinis. Jakarta: EGC.
Hansen, J.B., Killough, E.F., Moffatt, M.E. and Knapp, J.F., 2018. Retinal hemorrhages:
abusive head trauma or not?. Pediatric emergency care, 34(9), pp.665-670.

Husna U, Dalhar M. 2017. Patofisiologi dan penatalaksanaan edema serebri. MNJ.


3(2):94-107.
Iskandar, M.K., 2017, September. Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah
Rural. In Aceh Surgery Update 2.
Kepel, F.R. and Mallo, J.F., 2019. Pola Luka pada Kasus Kecelakaan Lalu Lintas di
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUP Prof. Dr. RD Kandou
Manado Periode Tahun 2017. Jurnal Biomedik, 11(1), pp.23-28.
Kesehatan, K., Penelitian, B. and Kesehatan, P., 2018. Hasil Utama RISKESDAS 2018.
Jakarta [ID]: Balitbangkes Kementerian Kesehatan.

Kobeissy, F.H., 2015. Brain neurotrauma: molecular, neuropsychological, and


rehabilitation aspects. Crc Press.
Kumar CS, Prasad KS, Rajasekhar B, Raman BVS. 2017. A study on various clinical
presentations of extradural hemorrhage , factors affecting treatment and early
outcome. International Journal of Research in Medical Sciences, 5(4), 1288–1293.
Kumbadewi, L.S., Suwendra, I.W., Susila, G.P.A.J. and SE, M., 2016. Pengaruh Umur,
Pengalaman Kerja, Upah, Teknologi Dan Lingkungan Kerja Terhadap Produktivitas
Karyawan. Jurnal Manajemen Indonesia, 4(1).
Li M, Zhao Z, Yu G, Zhang J. 2016. ‘Epidemiology of Traumatic Brain Injury over the
World: A Systematic Review’. Austin Neurolgy & Neurosciences, 1(2):1007–1020.

Ma, J., Zhang, K., Wang, Z. and Chen, G., 2016. Progress of research on diffuse axonal
injury after traumatic brain injury. Neural plasticity, 2016.
Mariana, A.T. and Dewi, F.S.T., 2018. Cedera akibat kecelakaan lalu lintas di Sleman:
data HDSS 2015 dan 2016. Berita Kedokteran Masyarakat, 34(6), pp.230-235.
Modi, N.J., Agrawal, M. and Sinha, V.D., 2016. Post-traumatic subarachnoid
hemorrhage: A review. Neurology India, 64(7), p.8.
Moore KL., Agur AMR. 2015. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta.
Moore, K.L. and Daelly Athur, F., 2013. Anatomi berorientasi klinis edisi 5 Jilid
3. Jakarta.: Erlangga.
Nekludov, M., 2016. Abnormal coagulation and platelet function in patients with severe
traumatic brain injury.
Notoatmodjo, S., 2014. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Penerbit PT. Rineka
Cipta.
Olabinri, E.O., Ogbole, G.I., Adeleye, A.O., Dairo, D.M., Malomo, A.O. and
Ogunseyinde, A.O., 2015. Comparative analysis of clinical and computed
tomography features of basal skull fractures in head injury in southwestern
Nigeria. Journal of neurosciences in rural practice, 6(2), p.139.
Paulsen F & Waschke J. 2015. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jilid 3. Edisi 23. EGC:
Jakarta.
Peeters, W., Brande, R. V., Polinder, S., Brazinova, A., Steyerberg, E. W., Lingsma, H.
F., Maas, A. I. 2015, „Epidemiology of traumatic brain injury in Europe‟, Acta
Neurochirurgica, vol.157,no.10,1683–1696.
Prahaladu, P., Satyavara Prasad, K., Rajasekhar, B. and Satyanarayana Reddy, K., 2017.
Clinical Study of Acute Subdural Haematoma—A Level I Trauma Care Centre
Experience. International Journal of Research in Medical Sciences, 5, pp.857-862.
Riandini, I.L., Susanti, R. and Yanis, A., 2015. baran Luka Korban Kecelakaan Lalu
Lintas yang Dilakukan Pemeriksaan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, 4(2).
Riyadina, W. and Subik, I.P., 2016. Profil keparahan cedera pada korban kecelakaan
sepeda motor di Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati. Universa Medicina,
26(2), pp.64-72.
Rofi'i, A. 2019. “Gambaran Karakteristik Pasien Cedera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu
Lintas di Rumah Sakit Daerah dr Soebandi Kabupaten Jember”. Fakultas
Keperawatan Universitas Jember. Jember.
Sabet, F.P., Tabrizi, K.N., Khankeh, H.R., Saadat, S., Abedi, H.A. and Bastami, A.,
2016. Road traffic accident victims’ experiences of return to normal life: A
qualitative study. Iranian Red Crescent Medical Journal, 18(4).
Scheenen, M.E., de Koning, M.E., van der Horn, H.J., Roks, G., Yilmaz, T., van der
Naalt, J. and Spikman, J.M., 2016. Acute alcohol intoxication in patients with mild
traumatic brain injury: characteristics, recovery, and outcome. Journal of
neurotrauma, 33(4), pp.339-345.
Senapathi, T.G.A., Wiryana, M., Aribawa, I.G.N.M. and Ryalino, C., 2017. Bispectral
index value correlates with Glasgow Coma Scale in traumatic brain injury patients.
Open access emergency medicine: OAEM, 9, p.43.
Sigalingging, Y.E., 2017. Karakteristik Cedera Kepala di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan Tahun 2016-2017. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan.
Simanjuntak, F., Ngantung, D.J. and Mahama, C.N., 2015. Gambaran Pasien Cedera
Kepala di RSUP. Prof. Dr. RD Kandou Manado Periode Januari 2013–Desember
2013. e-CliniC, 3(1).
Spaite, D.W., Hu, C., Bobrow, B.J., Chikani, V., Barnhart, B., Gaither, J.B.,
Denninghoff, K.R., Adelson, P.D., Keim, S.M., Viscusi, C. and Mullins, T., 2017.
Association of out-of-hospital hypotension depth and duration with traumatic brain
injury mortality. Annals of emergency medicine, 70(4), pp.522-530.
Swales, C. and Bulstrode, C. 2015. At a Glance Reumatologi, Ortopedi, dan Trauma
Edisi Kedua. Penerbit Erlangga.
Tanto C, Liwang F, Hanifati S, and Pradipta EA. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi
Keempat Jilid Kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Media
Aesculapius.
Taufiqurrohman, Sari MI. 2016. Manfaat pemberian sitikoline pada pasien stroke non
hemoragik (snh). J Medulla Unila. 6(1):165–71.
Williamson, D.R., Frenette, A.J., Burry, L., Perreault, M.M., Charbonney, E.,
Lamontagne, F., Potvin, M.J., Giguère, J.F., Mehta, S. and Bernard, F., 2016.
Pharmacological interventions for agitation in patients with traumatic brain injury:
protocol for a systematic review and meta-analysis. Systematic reviews, 5(1), p.193.
Yousefzadeh-Chabok, S., Ranjbar-Taklimie, F., Malekpouri, R. and Razzaghi, A., 2016.
A time series model for assessing the trend and forecasting the road traffic accident
mortality. Archives of trauma research, 5(3).
Zai, P.C., Wagiu, A. and Rawung, R., 2018. Profil Pasien Trauma akibat Kecelakaan
Lalu Lintas yang Dirawat di Instalasi Rawat Darurat Bedah RSUP Prof. Dr. RD
Kandou Manado Periode 1 Januari–31 Desember 2017. e-CliniC, 6(2).

Anda mungkin juga menyukai