Studi Kasus Farmasi RS

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 22

STUDI KASUS PRAKTIKUM FARMASI RUMAH SAKIT

“PENGELOLAAN OBAT DI RUMAH SAKIT”


“KASUS 3”

Dosen Pengampu :
Dr. apt. Tri Wijayanti, S.Farm., MPH.

Disusun oleh :
Kelompok C3 – 3
Sukron Muqoddim 2120414676
Syielly Neelam Purnama Putri 2120414677

PROGAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan yang dilakukan rumah sakit tidak terlepas dari
penggunaan perbekalan farmasi yang meliputi obat-obatan, bahan kimia, bahan
radiologi, alat kesehatan habis pakai, alat-alat kedokteran dan gas medik. Selain itu,
pemasukan rumah sakit yang berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi juga tidak
sedikit yaitu sekitar 50% dari seluruh pemasukan rumah sakit. Meningkatnya
pengetahuan dan ekonomi masyarakat menyebabkan makin meningkatnya kebutuhan
masyarakat terhadap pelayanan kefarmasian. Aspek terpenting dari pelayanan
kefarmasian adalah mengoptimalkan penggunaan obat dan mengoptimalkan
perencanaan untuk menjamin ketersediaan obat (Pebrianti, 2015).
Pengelolaan obat merupakan manajemen di rumah sakit, salah satunya yaitu
tahap distribusi diantara indikator adalah kecocokan antara obat dengan kartu stock,
turn over ratio, tingkat ketersediaan obat, persentase nilai obat yang kadaluarsa dan
rusak, persentase stock mati, ketidaklancaran distribusi obat berdampak negatif
terhadap rumah sakit baik secara medis, maupun secara ekonomis (Quick et al. 2012).
Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan pelayanan pengobatan yang
bertanggung jawab terhadap pasien, yang bermaksud untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien, pelayanan kefarmasian di rumah sakit menjadi pelayanan yang sangat
penting salah satu adalah dimulai dari seleksi, pengadaan, penyimpanan, permintaan
obat, penyalinan, pendistribusian, penyiapan, pemberian, dokumentasi, dan monitoring
terapi obat. Hal tersebut dalam menjalankan pengelolaan pelayanan kefarmasian di
rumah sakit wajib mematuhi peraturan perundangundangan, yang bertujuan untuk
menjamin keselamatan dan kepuasan pasien. Apabila suatu sistem tidak diterapkan
maka akan berpengaruh terhadap mutu pelayanan dan keselamatan pasien (KARS,
2017).
Manajemen pengelolaan obat dirumah sakit dilaksanakan oleh Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) merupakan suatu
unit pelaksana fungsional yang melakukan penyelenggaraan seluruh kegiatan
pelayanan kefarmasian di rumah sakit. IFRS dikepalai oleh seorang apoteker yang
bertanggungjawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi di rumah sakit dan yang
menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan sediaan farmasi (Kemenkes, 2016).
Kelancaran pelayanan di rumah sakit tergantung dari kontribusi yang
diberikan instalasi farmasi. Sumber Daya Manusia (SDM) yang bertanggung jawab
dalam kegiatan pengelolaan perbekalan farmasi akan menentukan kelancaran dan
keberhasilan kegiatan. Mengingat pentingnya peran IFRS dalam memberikan
pelayanan kefarmasian di rumah sakit, maka perlu adanya pengaturan standar
pelayanan kefarmasian yang dijadikan sebagai pedoman IFRS dalam melaksanakan
fungsinya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 mengenai
standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, standar pelayanan kefarmasian
merupakan tolak ukur yang digunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian
dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu
pelayanan yang dilakukan secara langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud untuk mencapai hasil yaitu
meningkatnya mutu kehidupan pasien (Kemenkes, 2016).

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu indikator distribusi obat di Rumah Sakit?
2. Bagaimana alur distribusi obat di Rumah Sakit?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui idikator distribusi obat di Rumah Sakit.
2. Untuk mengetahui alur distribusi obat di Rumah Sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Rumah Sakit
Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah suatu
organisasi sosial yang berintegrasi menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu
dengan melakukan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit
(kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Serta rumah sakit
suatu bagian dari pelatihan bagi tenaga kesehatan serta pusat penelitian medik (Satibi,
2014).
Menurut dari Surat Keputusan Menteri kesehatan RI No.
983/Menkes/SK/XI/1992 menyatakan bahwa rumah sakit umum yaitu rumah sakit
yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan sub
spesialistik. untuk memberikan suatu pelayanan yang bermutu dan terjangkau terhadap
masyarakat dalam upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan dengan
terpadu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Aditama, 2010).
B. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah bagian dari suatu unit, satuan
dari fasilitas di rumah sakit, dan tempat untuk menjalankan kegiatan kefarmasian
terhadap keperluhan aktivitas rumah sakit. Pekerjaan kefarmasian merupakan
pelayanan kefarmasian yang bekerja dari perencanaan, pengadaan, permbuatan,
penyimpanan dan distribusi obat, pengamanan, termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pelayanan obat atas resep dokter, pengembangan obat, serta pelayanan
informasi obat, bahan obat dan obat tradisional.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah bagian yang bertanggung jawab
terhadap pengelolaan perbekalan farmasi, sedangkan Komite Farmasi dan Terapi
adalah bagian yang bertanggung jawab dalam penetapan formularium. Agar
pengelolaan perbekalan farmasi dan penyusunan formularium di rumah sakit dapat
sesuai dengan aturan yang berlaku, maka diperlukan adanya tenaga yang profesional
di bidang tersebut. Untuk menyiapkan tenaga profesional tersebut diperlukan berbagai
masukan diantaranya adalah tersedianya pedoman yang dapat digunakan dalam
pengelolaan perbekalan farmasi di IFRS.
IFRS adalah fasilitas pelayanan penunjang medis, di bawah pimpinan seorang
Apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan kompeten secara profesional, yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta
pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup perencanaan;
pengadaan; produksi; penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan farmasi; dispensing
obat berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat jalan; pengendalian mutu
dan pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah
sakit; serta pelayanan farmasi klinis (Siregar dan Amalia, 2004).
a. Tugass IFRS
Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan
kesehatan. Sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang dimaksud adalah obat,
bahan obat, gas medis dan alat kesehatan, mulai dari pemilihan, perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian,
penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi
kegiatan pelayanan rawat jalan dan rawat inap. IFRS berperan sangat sentral
terhadap pelayanan di rumah sakit terutama pengelolaan dan pengendalian sediaan
farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan.
b. Tanggung jawab IFRS
Mengembangkan pelayanan farmasi yang luas dan terkoordinasi dengan baik dan
tepat untuk memenuhi kebutuhan unit pelayanan yang bersifat diagnosis dan terapi
untuk kepentingan pasien yang lebih baik.
C. Pengelolaan Sediaan Farmasi
Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan merupakan suatu
siklus kegiatan dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit dalam menyediakan obat, bahan
obat, alat kesehatan, gas medis, yang dimulai dari:
1. Pemilihan.
Pemilihan merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan
yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis,
menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi
sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan pemilihan obat
merupakan peran aktif tenga farmasi yang berada dalam organisasi panitia farmasi
dan terapi untuk menetapkan kualitas dan efektivitas, serta jaminan purna transaksi
pembelian.
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai ini berdasarkan:
- Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi.
- Standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang
telah ditetapkan.
- Pola penyakit.
- Efektivitas dan keamanan.
- Pengobatan berbasis bukti.
- Mutu.
- Harga.
- Ketersediaan di pasaran.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap Formularium Rumah Sakit,
maka rumah sakit harus mempunyai kebijakan terkait dengan penambahan atau
pengurangan obat dalam Formularium Rumah Sakit dengan mempertimbangkan
indikasi penggunaan, efektivitas, risiko, dan biaya.
2. Perencanaan.
Proses kegiatan perencanaan dilakukan dengan memilih jenis, jumlah, dan
harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran; untuk
menghindari kekosongan obat atau kekurangan stok; untuk meningkatkan
penggunaan obat secara efektif dan efisien dengan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia
(Kemenkes, 2004)
Ada 2 pendekatan yang lazim dipergunakan untuk membuat sebuah
perencanaan, yaitu pendekatan secara Epidemiologi dan pendekatan konsumsi.
Pendekatan secara Epidemiologi adalah perhitungan tingkat kebutuhan
berdasarkan pola penyakit, perkiraan tingkat kunjungan pasien dan waktu tunggu
(lead time). Langkah yang umumnya dilakukan jika menggunakan metode ini,
yaitu menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani; menentukan jumlah
kunjungan pasien berdasarkan frekuensi penyakit; persiapan standar pengobatan
yang diperlukan pasien; menghitung perkiraan kebutuhan pasien.
Pendekatan tingkat konsumsi adalah pendekatan yang mengandalkan analisa
penggunaan obat tahun sebelumnya dengan menggunakan kartu stok di gudang
penyimpanan obat. Langkah yang umumnya dilakukan jika menggunakan metode
ini, yaitu pengumpulan dan pengolahan data; analisa data untuk informasi dan
evaluasi; perhitungan perkiraan kebutuhan obat; penyesuaian dengan alokasi dana
yang tersedia.
3. Pengadaan.
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar
mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari
pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan
dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi
kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran.
Untuk memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika proses
pengadaan dilaksanakan oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi harus
melibatkan tenaga kefarmasian. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai antara lain:
- Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa.
- Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS).
- Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus
mempunyai Nomor Izin Edar.
- Expired date minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-
lain).
4. Penerimaan.
Kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai
dengan aturan kefarmasian melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau
sumbangan disebut penerimaan. Pedoman dalam menerima perbekalan farmasi
yaitu pabrik harus mempunyai sertifikat analisa, barang harus bersumber dari
distributor utama, harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS), khusus
untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai certificate of origin dan expire
date minimal 2 tahun (Kemenkes, 2004).
5. Penyimpanan.
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan
sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas
dan keamanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan sesuai dengan
persyaratan kefarmasian.
Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan
keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis
sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan. Komponen yang harus diperhatikan
antara lain:
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat diberi label
yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka,
tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus.
b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk
kebutuhan klinis yang penting.
c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien
dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada
area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang
kurang hati-hati.
d. Sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang dibawa oleh pasien harus
disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi.
Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa obat disimpan secara benar dan
diinspeksi secara periodik. Sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang harus
disimpan terpisah yaitu:
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi tanda
khusus bahan berbahaya.
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaan untuk
menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas
medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan
tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan, dan jenis sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan dan disusun secara
alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO), First In First
Out (FIFO) atau Last In First Out (LIFO) disertai sistem informasi
manajemen.Penyimpanan sediaan Farmasi dan perbekalan kesehatan, yang
penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike/NORUM
(Nama Obat Rupa Ucapan Mirip) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi
penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat.
6. Pendistribusian.
Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap merupakan
kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat inap di rumah sakit, yang
diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem
persediaan lengkap di ruangan, sistem unit dosis dan sistem kombinasi oleh Satelit
Farmasi. Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat jalan merupakan
kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat jalan di rumah sakit yang
diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem resep
perorangan oleh apotek rumah sakit (Kemenkes, 2004).
Sentralisasi adalah pendistribusian obat secara langsung dari bagian distribusi
farmasi (IFRS) ke ruang perawatan, sedangkan desentralisasi adalah
pendistribusian obat dari bagian obat distribusi farmasi (IFRS) ke ruang perawatan
melalui satelit farmasi. Sistem pelayanan distribusi obat digolongkan menjadi 3
macam yaitu sistem Floor Stock (persediaan lengkap ruangan), sistem Individual
Prescribing (resep perorangan) dan Unit Dose Dispensing (UDD).
Individual Prescribing (resep perorangan) adalah resep obat yang ditulis
dokter untuk setiap pasien. Dalam sistem ini, semua obat yang dibutuhkan oleh
pasien di-dispensing dari IFRS. Unit Dose Dispensing (UDD) adalah obat yang
diresepkan dokter untuk pasien dalam bentuk satuan unit dosis yang berisi obat
dalam jumlah yang telah ditentukan dan untuk satu kali pemakaian. Sistem Floor
Stock adalah semua obat yang dibutuhkan pasien tersedia dalam ruang
penyimpanan obat di ruang perawatan, kecuali obat yang jarang digunakan atau
obat yang sangat mahal.
7. Pencatatan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor
transaksi perbekalan farmasi yang keluar dan masuk di lingkungan IFRS. Adanya
pencatatan akan memudahkan petugas untuk melakukan penelusuran bila terjadi
adanya mutu obat yang sub standar dan harus ditarik dari peredaran.pencatatan
dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk digital maupun manual. Kartu yang
umum digunakan untuk melakukan pencatatan adalah Kartu Stok dan Kartu Stok
Induk.
BAB III
KASUS

Pelayanan Farmasi Rumah Sakit (FRS) merupakan salah satu dari kegiatan di
rumah sakit yang menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberikan pelayaan
kesehatan yang bermutu. Dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh pihak manjemen
IFRS diketahui menurut beberapa indikator, distribusi obat rawat inap sebagian belum
dan sudah efisien. Ketidakefisienan indikator pengelolaan obat pada tahap distribusi
terjadi pada kecocokan antara jumlah fisik dengan kartu stok yaitu 93,27%. Obat
kadaluwarsa dan / atau rusak tahun 2008 adalah 0,23% tahun 2009 adalah 0,48%.
Resep tidak terlayani tahun 2008 adalah 1,52%, tahun 2009 adalah 2,28%. TOR tahun
2008 adalah 6 kali dan tahun 2009 adalah 6,9 kali. Distribusi obat sudah efisien pada
lama waktu pelayanan resep dan tingkat ketersediaan obat.

Pertanyaan :
1. Jelaskan kajian anda terhadap indikator distribusi di RS M.
2. Sebutkan standar batas indicator serta cara perhitungan masing masing
indicator?
3. Bagaimana upaya perbaikan yang dapat dilakukan?
4. Berikan alur distribusi obat di instalasi rawat inap, serta waktu kunjungan
apoteker ke pasien.
PEMBAHASAN
1. Kajian terhadap indikator distribusi di RS M
Jenis Indikator Hasil Kajian
Tingkat kecocokan antara jumlah fisik dengan
kartu stok di RS M sudah cukup baik. Namun
Kecocokan antara jumlah
93,27% seharusnya hasil kecocokan mendekati 100%
fisik dengan kartu stok
atau 100%, karena hal ini akan mempengaruhi
saat perencanaan dan pengadaan obat.
Pada tahun 2009 mengalami peningkatan obat
kadaluarsa, kejadian seperti ini mencerminkan
ketidak tepatan perencanaan dan atau krang
baiknya sistem distribusi atau kurangnya
Obat kadaluarsa dan/ Tahun 2008 : 0,23 %
pengamatan mutu dalam penyimpanan obat dan
atau rusak Tahun 2009 : 0,48 %
atau terjadinya perubahan pola penyakit atau
pola peresepan dokter. Hal ini nanti akan
mempengaruhi banyaknya kerugian rumah
sakit karena obat kadaluarsa tersebut.

Peningkatan jumlah persentase resep tidak di


layani di rumah sakit M dapat terjadi karena
obat yang tertera dalam resep tersebut tidak
Tahun 2008 : 1,52 % tersedia di instalasi farmasi rumah sakit yang
Resep tidak terlayani
Tahun 2009 : 2,28 % disebabkan adanya perubahan peresepan dokter
atau pola penyakit yang telah disesuaikan
dengan Formularium rumah sakit M
sebelumnya.
Nilai TOR berpengaruh pada ketersediaan obat.
Tahun 2008 : 6x
TOR (Turn Over Ratio) TOR yang tinggi berarti mempunyai
Tahun 2009 : 6,9x
pengendalian persediaan yang baik, demikian
pula sebaliknya sehingga biaya penyimpanan
akan menjadi minimal.

2. Standar batas indikator dan perhitungan indikator

Indikator Tujuan Standar

Kecocokan antara obat dengan


Untuk mengetahui ketelitian petugas gudang 100%
kartu stok (Pudjaningsih, 1996)

Untuk mengetahai berapa kali perputaran modal


Turn Over Ratio 10-23x/tahun
dalam 1 tahun (Pudjaningsih, 1996)

Tingkat ketersedian obat Untuk mengetahui kisaran kecukupan obat 12-18 bulan
(Depkes, 2008)

Persentase nilai obat yang Untuk mengetahui besarnya kerugian rumah


0 – 0,25%
kadaluarsa dan rusak sakit (Pudjaningsih, 1996)

Untuk mengetahui item obat selama 3 bulan


Persentase stock mati 0%
yang tidak terpakai (Depkes, 2008)

a) Menghitung nilai kecocokan antara obat dengan kartu stock . Hitung jumlah item
obat yang sesuai dengan kartu stock (x) dan jumlah kartu stock yang diambil (y).
𝑥
Persentase(z) z = 𝑦 × 100% . Standart yang di gunakan sebesar 100%.

b) Menghitung nilai turn over ratio komponen nilai yang tercantum. HPP (Harga
Pokok Penjualan) (x) rata-rata nilai persediaan obat (y).
𝑥
Persentase TOR = 𝑦 , Standart indikator yang digunakan 10-23 kali.

c) Menghitung nilai presentase nilai obat yang kadaluarsa dan rusak. Nilai normatif
didapatkan dengan menghitung dari catatan obat yang kadaluarsa dalam 1 tahun,
hitung nilai (x) dan nilai stock opname (y).
𝑥
Persentase (𝑧) z = 𝑦 × 100%. Standart yang digunakan sebesar 0 – 0,25%.

d) Menghitung tingkat ketersediaan obat komponen yang diambil.


𝑓
Persentase (i) i = ℎ × 100%. Standart kecukupan bulan yaitu 12-18 bulan.

e) Menghitung nilai persentase stock mati. Menghitung jumlah item obat selama 3
bulan tidak terpakai (x) dan jumlah item obat yang ada stock (y).
𝑥
Persentase(z) z = 𝑦 × 100%. Standart presentase stock mati 0%.

3. Bagaimana upaya perbaikan yang dapat dilakukan?


a) Kecocokan antara obat dengan kartu stock pada Rumah Sakit M belum efisien.
• Mendisiplinkan semua petugas dalam melakukan pemasukan dan
pengeluaran obat.
• Melakukan pendataan secara komputerisasi agar meminimalisir kesalahan
dalam pendataan
• Diadakan pelatihan atau kursus atau sekolah mengenai standar kompetensi
yang dipakai di gudang.
• Membuat SOP (standard operating procedure) bagi tenaga gudang.
• Melakukan pengukuran kepatuhan akan SOP
• Melakukan review SOP
b) Adanya obat yang rusak atau kadaluarsa merupakan kerugian bagi rumah sakit.
• Upaya yang dilakukan pihak rumah sakit dalam menangani obat yang
hampir kadaluarsa dari pihak instalasi farmasi rumah sakit akan memberikan
rekomendasi kepada para dokter untuk meresepkan daftar obat hampir
kadaluarsa terlebih dahulu.
• Perlu diperhatikan prinsip distribusi obat berdasarkan FIFO dan FEFO
dimana obat-obat yang lebih duluan masuk dan memiliki tanggal kadaluarsa
yang paling dekat dikeluarkan terlebih dahulu.
• Membuat evaluasi yang berkesinambungan, misalnya evaluasi pelaksanaan
prosedur tetap penyimpanan dengan pelaksanaan di lapangan.
• Pembinaan, pelatihan, pendidikan untuk meningkatkan kemampuan dan
ketrampilan SDM
c) Resep tidak terlayani hal ini disebabkan karena kurang tepatnya perencanaan
obat, dokter tidak taat terhadap formularium rumah sakit, serta bisa terjadi
karena perubahan pola penyakit. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
hal tersebut adalah dengan mengevaluasi dan melakukan sistem perencanaan
dan pengadaan obat dengan selektif disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit
serta mengacu pada prinsip efektif, aman, ekonomis, dan rasional.
d) TOR rendah, berarti masih banyak stok obat yang belum terjual sehingga
mengakibatkan obat menumpuk dan berpengaruh terhadap keuntungan Untuk
mengatasi TOR yang rendah dapat dilakukan upaya sebagai berikut : Rumah
Sakit harus mengelola persediaan dengan optimal sehingga tidak timbul biaya-
biaya lain seperti biaya penyimpanan, biaya penanganan persediaan dan lain-
lain.

4. Berikan alur distribusi obat di instalasi rawat inap, serta waktu kunjungan apoteker
ke pasien.
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati
kondisi klinis pasien secara langsung. . Tujuannya adalah :
• untuk pemilihan obat
• menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik
• menilai kemajuan pasien
• bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain.
• memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki
• meningkatkan terapi obat yang rasional
• menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan
lainnya
Pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang
terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai
indikasi, efektif, aman, dan terjangkau oleh pasien (Aslam, 2003). Visite juga dapat
dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit atas permintaan pasien yang biasa
disebut dengan pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care). Sebelum
melakukan kegiatan visite apoteker harus mempersiapkan diri dengan mengumpulkan
informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medis atau
sumber lain.
Alur distribusi obat ke pasien rawat inap secara umum.

Ada beberapa cara sistem distribusi obat dirumah sakit.


1) Sistem floor stock lengkap
Sistem pengelolaan dan distribusi obat sesuai dengan yang ditulis dokter pada resep
obat yang disiapkan oleh perawat dan persediaan obatnya juga berada di ruang
perawat dan langsung diberikan kepada pasien di ruang rawat inap tersebut.
2) Sistem resep individual/permintaan resep
Sistem ini merupakan sistem pengelolaan dan distribusi obat oleh IFRS sentral
sesuai dengan yang tertulis pada resep yang ditulis dokter untuk pasien. Dalam
sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di dispensing dari IFRS.
Resep asli dikirim ke IFRS oleh perawat, kemudian resep diproses sesuai dengan
cara dispensing yang baik.
Sistem distribusi obat ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu:
a. Semua resep individual di kaji langsung oleh Apoteker
b. Adanya kesempatan berinteraksi profesional antara Apoteker-Dokter-
Perawat-Pasien
c. Pengendalian perbekalan yang mudah
d. Mempermudah penagihan biaya pada pasien
e. Beban IFRS dapat berkurang
3) Kombinasi sistem resep individu dan floor stock lengkap
Sistem kombinasi ini biasanya diadakan untuk mengurangi beban IFRS. Obat yang
disediakan di ruang perawat adalah obat yang diperlukan oleh banyak pasien,
setiap hari diperlukan dan biasanya adalah obat yang harganya relatif murah. Jenis
dan jumlah obat yang tersedia di ruangan ditetapkan oleh PFT dengan masukan
dari IFRS dan pelayanan keperawatan.
Sistem distribusi obat ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu:
a. Semua resep individual di kaji langsung oleh Apoteker
b. Adanya kesempatan berinteraksi profesional antara Apoteker-Dokter-
Perawat-Pasien
c. Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi penderita (obat persediaan di
ruang)
d. Beban IFRS dapat berkurang
4) Sistem distribusi obat dosis unit/unit dose drug distribution (UDDD)
Sistem distribusi obat dosis unit adalah obat yang diorder oleh dokter untuk pasien
yang terdiri dari satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasan
dosis unit tunggal dalam jumlah persediaan yang cukup untuk suatu waktu
tertentu. Pada sistem ini pasien membayar hanya obat yang dikonsumsi saja.
Walaupun distribusi obat dosis unit adalah tanggung jawab IFRS, hal tersebut
tidak dapat dilakukan di rumah sakit tanpa kerja sama dengan staf medik, perawat,
pimpinan rumah sakit dan staf administrasi.
Pada sistem distribusi obat ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan
salah satu metode di bawah ini yang pilihannya tergantung pada kebijakan dan
kondisi suatu rumah sakit :
1. Sistem distribusi obat unit dapat diselenggarakan secara sentralisasi.
Sentralisasi dilakukan oleh IFRS sentral ke semua daerah perawatan pasien
rawat inap di rumah sakit secara keseluruhan artinya di rumah sakit itu
mungkin hanya mempunyai satu IFRS tanpa adanya depo farmasi di beberapa
area perawatan pasien.

2. Sistem distribusi obat dosis unit desentralisasi dilakukan oleh beberapa


cabang IFRS di sebuah rumah sakit. Pada dasarnya sistem distribusi obat
desentralisasi ini sama dengan sistem distribusi obat persediaan lengkap di
ruang, hanya saja sistem distribusiini dikelola seluruhnya oleh Apoteker yang
sama dengan pengelolaan dan pengendalian oleh IFRS sentral.
3. Dalam sistem distribusi obat dosis unit kombinasi sentralisasi dan
desentralisasi biasanya hanya dosis mula dan dosis keadaan darurat dilayani
depo farmasi. Dosis selanjutnya dilayani oleh IFRS sentral.
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y. 2010. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Edisi kedua. Jakarta: UI
Press.
KARS. 2017. STANDAR NASIONAL AKREDITASI RUMAH SAKIT Edisi 1.
Kementerian Kesehatan, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas,Departemen Kesehatan
RI, Jakarta
Pebrianti. 2015. Manajemen Logistik pada Gudang Farmasi Rumah Sakit Umum
Daerah Kabelota Kabupaten Donggala. Program Studi Magister Administrasi
Publik Universitas Tadulako.
Quick, J.P., Rankin, J.R., Laing, R.O., O’Cornor, R.W. 2012. Managing Drug Supply,
The Selection, Procurrement, Distribution and Use of Pharmaceutical, third
edition. USA: Kumarin Press. Conectius.
Satibi. 2014. Manajemen Obat di Rumah Sakit. Yogyakarta: Farmasi UGM.
Siregar, C. J. P dan Amalia, L., 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapannya.
Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai