Turniting Nurmia Wulandari

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 44

ANALISIS SIFAT KIMIA DAN SIFAT FISIK TANAH PADA

SAWAH IRIGASI DAN SAWAH TADAH HUJAN

Hasil Penelitian

Oleh:
NURMIA WULANDARI
216 160 021

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN, PETERNAKAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE
PAREPARE
2021
ANALISIS SIFAT KIMIA DAN SIFAT FISIK TANAH PADA SAWAH IRIGASI DAN SAWAH TADAH

HUJAN

1 2
Nurmia wulandari , Iradhatullah rahim , Muh.ikbal putera 3

1,2,3Fakultas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Universitas Muhammadiyah Parepare

ABSTRAK

Nurmia Wulandari (216 160 021) Analisis Sifat Kimia Dan Sifat Fisik Tanah Pada Sawah Irigasi Dan Sawah Tadah Hujan,

di bawah bimbingan Iradhatullah Rahim dan Muh.Ikbal Putera.

Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus menerus sepanjang tahun

maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Perubahan fisik dan kimia tanah sawah ini yang berkaitan dengan proses

oksidasi- reduksi yang menentukan tingkat ketersediaan hara dan produktivitas tanah sawah. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui perbedaan sifat fisik dan sifat kimia yang terdapat pada sawah irigasi dan sawah tadah hujan.

Penelitian ini menggunakan metode eksperiment dengan pengambilan sampel tanah pada dua jenis penggunaan lahan.

Sampel kemudian dikelompokkan menurut perlakuan di lahan yaitu SI1 : sawah irigasi sebelum pemupukan, SI2: sawah

irigasi setelah pemupukan, ST1 : sawah tadah hujan musim hujan dan ST2: sawah tadah hujan musim kemarau. Pada

lahan sawah tadah hujan kadar N, P, dan K meningkat pada musim kemarau, Sedangkan kadar C-Organik meningkat

pada saat musim hujan. Ratio C/N pada sawah tadah hujan terbaik pada saat musim kemarau. Pada lahan sawah irigasi

kadar N, P, K, dan C-Organik mengalami peningkatan setelan dilakukan pemupukan, sedangkan kadar ratio C/N

tertinggi pada saat sebelum pemupukan dibandingkan setelah pemupukan. Pada analisis sifat fisik tanah sawah tadah

hujan nilai Bulk Density, Particle density, dan kadar air tanah mengalami peningkatan pada musim hujan, Sedangkan nilai

Permeabilitas tanah dan porositas tanah mengalami peningkatan pada musim kemarau. Adapun analisis sifat fisik tanah

sawah irigasi nilai Bulk Density, dan Particle Density mengalamii peningkatan setelah pemupukan, Sedangkan

permeabilitas tanah, porositas tanah dan kadar air tanah memiliki nilai tertinggi sebelum pemupukan.

Kata kunci: Sawah irigasi, Sawah tadah hujan, Sifat kimia, dan Sifat fisik

BAB I. PENDAHULUAN
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui sifat

fisik, dan sifat kimia pada sawah irigasi dan sawah tadah hujan.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan sifat fisik, dan sifat kimia pada lahan sawah

irigasi dan sawah tadah hujan ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sifat fisik dan

sifat kimia yang terdapat pada sawah irigasi dan sawah tadah hujan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi bagi petani

dan masyarakat untuk mengetahui sifat fisik dan sifat kimia yang terdapat

pada sawah irigasi dan sawah tadah hujan.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah

Tanah merupakan salah satu komponen lahan yang mempunyai peranan

yang sangat penting terhadap pertumbuhan tanaman dan produksi tanaman,

selain sebagai media tumbuh tanaman, menahan dan menyediakan air bagi
tanaman, tanah juga berfungsi untuk menyediakan unsur hara yang

diperlukan tanaman untuk mendukung pertumbuhan tanaman tersebut.

Tanah sebagai media tumbuh tanaman dapat didefinisikan sebagai

lapisan permukaan bumi yang berfungsi sebagai tempat tumbuh dan

berkembangnya perakaran sebagai penopang tegak tumbuhnya tanaman,

selain itu juga dapat berfungsi sebagai habitat organisme yang berpartisipasi

aktif dalam penyediaan hara bagi tanaman serta sebagai penyuplai air dan

hara atau nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur unsur

esensial). Ketiga fungsi diatas secara integral mampu menunjang

produktifitas tanah. Sehingga dapat menghasilkan produksi yang optimal

(Hanafiah, 2012).

2.2. Sawah

Tanah sawah merupakan tanah yang digunakan untuk bertanam padi

sawah, baik terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan

tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi,

tetapi merupakan istilah umum seperti halnnya tanah hutan, tanah

perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya. Sawah yang airnya berasal

dari irigasi disebut sawah irigasi sedang yang menerima langsung dari air

hujan disebut sawah tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemukan sawah

pasang surut sedangkan yang dikembangkan daerah rawa-rawa lebak

disebut sawah lebak (Hardjowigeno dan Rayes, 2005).

Tanah sawah merupakan tanah yang dikelola sedemikian rupa untuk


budidaya tanaman padi sawah. Umumnya dilakukan penggenangan selama

atau sebahagian dari masa pertumbuhan padi. Tergolong sebagai tanah

tergenang ( wetland soil), namun agak berbeda dari tanah rawa (marsh soils)

atau tanah terendam ( waterlogged soils ) ataupun tanah subaquatik

( subaquatic soils ) dalam hal pengelolaannya karena tidak terus menerus

digenangi, disebut juga sebagai wetland rice soils (Musa dan Mukhlis,

2006).

2.3. Sawah Tadah Hujan

Sawah tadah hujan merupakan lahan sawah yang dalam setahunnya

minimal ditanami satu kali tanaman padi dengan pengairannya sangat

bergantung pada hujan. Saat musim hujan, penanaman padi di sawah tadah

hujan bisa dilakukan penggenangan, akan tetapi disaat musim kemarau,

penanaman padi harus digogokan (tidak dilakukan penggenangan) akibat

sangat terbatasnya air pada saat musim kemarau. Lahan sawah tadah hujan

umumnya tidak subur (miskin hara), sering mengalami kekeringan, dan

petaninya tidak memiliki modal yang cukup, sehingga agro ekosistem ini

disebut juga sebagai daerah miskin sumber daya (Toha dan Juanda, 1991).

Potensi sawah tadah hujan di Indonesia cukup besar yaitu 2,1 juta ha

yangtersebar di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung,

Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (Balitsereal 2002). Namun lahan

sawah tadah hujan umumnya memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah,

antara lain ditunjukkan oleh rendahnya ketersediaan hara esensial tanaman,


terutama N, P, K, dan kandungan bahan organik, serta rendahnya

produktivitas tanaman dengan agihan curah hujan yang tidak menentu. Hasil

padi sawah tadah hujan rata-rata 2-3 ton per hektar . Menurut Swain et al.

(2005) kendala umum yang dihadapi dalam bertani pada lahan sawah tadah

hujan di Asia adalah lahan tidak subur, dan kurangnya varietas yang dapat

beradaptasi dengan ekosistem tersebut.

2.4. Sawah Irigasi

Sawah irigasi dapat didefinisikan sebagai sistem pertanian dengan

pengairan teratur, tidak bergantung pada curah hujan. Sistem pengairan

tersebut bisa diperoleh dari sungai, waduk atau bendungan. Di Indonesia

terdapat kurang lebih 5 juta hektar sawah beirigasi. Sebagai pengguna air

terbesar, diperkirakan sebanyak 85%, sawah beririgasi masih dihadapkan

kepada masalah efisiensi,  yang  disebabkan  oleh  kehilangan air selama

proses penyaluran  air irigasi  (distribution  lossses)  dan  selama  proses 

pemakaian  (field  applicationlosses). Diperkirakan tingkat efisiensi di saluran

primer dan sekunder sebesar 70-87%, saluran tersier antara 77-81% dan apabila

digabungkan dengan kehilangan ditingkat petakan, maka efisiensi penggunaan air

secara keseluruhan baru berkisar antara 40-60% (Kurnia, 1977dalam Kurnia,  

2001).

Karakteristik sawah irigasi diantaranya yaitu:

1. Sistem pertanian irigasi cocok dari segi musim, disebabkan waktu

penanaman padi tidak bergantung pada air hujan, selama air di waduk
atau bendungan masih ada, maka budidaya beragam jenis padi bisa

dilakukan kapan saja tanpa harus menunggu musim hujan.

2. Pada sawah irigasi petani bisa panen 2-3 kali tanaman padi. Pada

saat-saat tertentu sawah tersebut ditanami dengan tanaman palawija,

seperti jagung, kacang hijau, kacang tanah, dan lain-lain.

2.5. Sifat Fisik Tanah

Selama proses pembentukan sawah, sifat fisik tanah mengalami banyak

perubahan. Proses reduksi dan oksidasi merupakan proses- proses utama

yang dapat mengakibatkan perubahan baik sifat mineral, kimia, fisika, dan

biologi tanah (Prasetyo et al. 2004). Perubahan sifat fisik tanah juga banyak

dipengaruhi oleh terjadinya iluviasi dan atau eluviasi bahan kimia atau

partikel tanah akibat proses pelumpuran dan perubahan drainase

(Hardjowigeno et al. 2004). Sifat fisika tanah adalah sifat-sifat yang berkaitan

dengan pergerakan dan gaya yang bersangkutan dengan tanah, diantaranya

menyimpan air, drainase,penetrasi, akar tanaman,tata udara, dan pengikatan

unsur hara (Hardjowigeno,2003). Sifat fisik tanah berperan penting dalam

mendukung pertumbuhan tanaman. Sifat fisik tanah, seperti kerapatan isi dan

kekuatan tanah sudah lama dikenal sebagai parameter utama dalam menilai

keberhasilan teknik pengolahan tanah (Arsyad,2006).

Sifat fisik tanah berhubungan dengan kondisi dan pergerakan benda

serta aliran energi dalam tanah. Sifat fisika tanah dibentuk oleh empat
komponen utama tanah yaitu: partikel-partikel mineral, bahan organik, air dan

udara. Perbandingan keempat komponen tersebut sangat bervariasi

berdasarkan jenis tanah, lokasi, dan kedalaman. Sifat fisik tanah terbentuk

akibat proses degradasi mineral batuan oleh asam-asam organik-anorganik.

Degradasi mineral batuan merupakan proses perubahan permukaan bumi

karena terjadi penyingkiran mineral batuan oleh proses fisika, kimia, dan

biologi. Proses ini termasuk dalam proses eksogenik yang terdiri dari

pelapukan, erosi, dan pergerakan massa. Pelapukan berperan menyediakan

bahan mentah tanah. Erosi berpengaruh dominan menghilangkan tanah yang

telah terbentuk, serta pergerakan massa mampu menjalankan fungsi

pelapukan dan erosi. Mineral yang paling banyak menyusun batuan di kerak

bumi adalah mineral primer (pembentuk batuan). (Arsyad,2006).

2.6. Sifat Kimia Tanah

Sifat kimia tanah didefinisikan sebagai keseluruhan reaksi kimia yang

berlangsung antar penyusun tanah serta bahan yang ditambahkan dalam

bentuk pupuk ataupun pembenah tanah dan bahan yang ditambahkan dalam

bentuk pupuk ataupun pembenah tanah lainnya. Faktor kecepatan semua

bentuk reaksi kimia yang berlangsung dalam tanah mempunyai kisaran agak

lebar, yakni sangat singkat dan luar biasa lamanya. Pada umumnya, reaksi-

reaksi yang terjadi didalam tanah diimbas oleh tindakan dan faktor

lingkungan tertentu (Sutanto, 2005).


Perubahan sifat kimia menyebabkan ketersediaan hara dalam tanah

menjadi lebih baik atau berada dalam kategori sedang. Keadaan ini

diharapkan memberikan pengaruh yang positif bagi pertumbuhan tanaman

(Puslittanak 2000). Perbaikan sifat kimia tanah memberikan petunjuk bahwa

jenis dan dosis pupuk yang diberikan dapat menjamin pasokan dan

ketersediaan hara bagi tanaman (Masganti et al. 2005).

Komponen kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri

tanah umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Bahan aktif dari

tanahyang berperan dalam menerap dan mempertukarkan ion adalah bahan

yang beradadalam bentuk koloidal, yaitu liat dan bahan organik. Kedua

bahan koloidal iniberperan langsung atau tidak langsung dalam mengatur

dan menyediakan harabagi tanaman. Pertumbuhan tanaman di pengaruhi

oleh macam-macam faktorantara lain : sinar matahari, suhu, udara, air dan

unsur-unsur hara tanah (N, P, K,dan lain-lain) (Hardjowigeno, 2003).

BAB III KERANGKA PIKIR

3.1. Kerangka Pikir

Kerangka pikir pada penelitian ini ditunjukkan pada gambar dibawah :


Sistem Penggunaan
Lahan Untuk Pertanian

Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan


Survei

Pengambilan Sampel

Pengamatan Sifat Fisik Anslisis Sifat Kimia

Informasi Kondisi Sifat Kimia


Dan Sifat Fisik Tanah

Gambar 1. Kerangka Pikir

BAB IV.METODE PENELITIAN

4.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Januari-Juli 2021. Pengambilan

sampel tanah dilakukan pada lahan sawah irigasi di desa Abbokongan

Kecamatan Kulo Kabupaten Sidrap dan lawan sawah tadah hujan di desa

Maddenra Kecamatan Kulo Kabupaten Sidrap. Analisis sifat kimia tanah


dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Jurusan Ilmu Tanah,

Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar. Sedangkan analisis

fisik tanah dilakukan di Laboratorium terpadu Fakultas Pertanian,

Peternakan, dan Perikanan Universitas Muhammadiyah Parepare.

4.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah plastik rekat, kertas

label, linggis,oven, kompor, timbangan, penggaris, pH meter, tabung reaksi,

erlenmeyer, pipet tetes, ayakan, ring, kamera, dan alat tulis menulis.

Sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel tanah, asam sulfat

salisilat, asam fosfat dan aquades.

4.3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperiment dengan pengambilan

sampel tanah pada dua jenis penggunaan lahan . Sampel kemudian

dikelompokkan menurut perlakuan di lahan yaitu SI1 : sawah irigasi sebelum

pemupukan, SI2: sawah irigasi setelah pemupukan, ST1 : sawah tadah hujan

musim hujan dan ST2: sawah tadah hujan musim kemarau.

4.4 Prosedur Penelitian

4.4.1. Survei Lapang

Penelitian ini dimulai dengan melakukan survei yang dilakukan untuk

melihat kondisi lahan pada berbagai sistem penggunaan lahan yang sesuai

dengan tujuan penelitian. Survei sawah irigasi dilakukan di Desa Maddenra,


Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap dan lahan sawah tadah hujan di Desa

Maddenra, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.

4.4.2. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel tanah dilakukan secara acak pada berbagai

sistem penggunaan lahan yaitu lahan sawah irigasi dan lahan sawah tadah

hujan. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada top soil tanah yaitu pada

kedalaman sekitar 25 cm. Pengambilan sampel kimia tanah pada sawah

irigasi dan sawah tadah hujan dilakukan dengan cara menggali tanah

kemudian mengambil sampel tanah lalu sampel dimasukkan kedalam

kantong plastik yang sudah disiapkan. Pengambilan sampel tanah pada

sawah tadah hujan dilakukan dua kali pengambilan sampel yaitu pada saat

musim hujan dan musim kemarau. Adapun pengambilan sampel tanah

sawah irigasi dilakukan pada saat sebelum pemupukan dan setelah

pemupukan, dimana pemupukan tersebut dilakukan pada umur enam minggu

setelah tanam. Adapun pupuk yang digunakan pada lahan sawah irigasi

setelah pemupukan yaitu Urea. Setiap sistem penggunaan lahan yang

dimana setiap sistem penggunaan lahan diambil 5 titik sampel kemudian di

kompositkan, sehingga diperoleh 1 sampel tanah komposit, setelah itu

sampel tanah dikering anginkan untuk dianalisis.

Adapun pengambilan sampel fisik tanah pada sawah irigasi dan sawah

tadah hujan yaitu dengan cara menggali tanah ( pada bagian top soil )
kemudian mengambil sampel tanah dengan cara menggunakan ring sampel.

Pada saat pengambilan sampel harus dengan cara hati-hati karena tanah

benar-benar tidak boleh terganggu dan pengambilan sampel tanahnya harus

rata.

4.4.3. Analisis Kimia

Sampel tanah yang telah diperoleh dari berbagai sistem penggunaan

lahan yang telah dikompositkan kemudian dibawa ke laboratorium untuk

dianalisis kimia untuk memperoleh sifat kimia tanah dari masing-masing

sampel tanah.

4.4.4 . Pengamatan Sifat Fisik Tanah

Pengamatan sifat fisik tanah dilakukan dengan cara mengamati bentuk

atau kondisi tanah asli yang termasuk diantaranya adalah Permeabilitas, BD

(bulk dencity), Particle Dencity, porositas, penetapan kadar air tanah, dan

tekstur tanah.

4.5. Paramater Pengamatan

4.5.1. Analisis Kimia

Analisis sifat kimia tanah mencakup pH, N (Nitrogen), P (fospor), K

(kalium) dan Ratio C/N. Metode analisis sifat kimia diatas adalah sebagai

berikut :

1. Reaksi tanah (pH) yang diukur adalah pH H2O dengan 15 perbandingan

tanah/larutan 1 : 2,5 dengan menggunakan elektroda kaca. Cara


kerjanya yaitu contoh tanah ditimbang sebanyak 2,5 gr dan ditambahkan

10,5 ml aquades, larutan tersebut kemudian dikocok sampai homogen.

Setelah larutan didiamkan selama 24 jam lalu pH-nya diukur dengan pH

meter setelah terlebih dahulu elektroda dikalibrasi pada pH 4 dan pH 7.

(Rayment and Higginson. 1992).

2. Penentuan Nitrogen menggunakan cara Kjeldahl yang melalui 3 langkah

kerja yaitu destruksi, destilasi dan titrasi asam basa. Cara kerjanya yaitu

menimbang 1 gr tanah kering angin dengan gelas arloji bersih dan kering,

masukkan kedalam labu Kjeldahl dan tambahkan 25 ml asam sulfat

salisilat. Diamkan 30 menit, sesudah itu masukkan 0,5 g Na 2S2O35H2O,

kocok selama 15 menit. Kemudian tambahkan 200-300 mg katalisator

lalu pindahkan ke alat destruksi. Kemudian panaskan dengan hati-hati

dan suhu dinaikkan sedikit demi sedikit, destruksi selesai apabila asap

telah ilang dan warna larutan menjadi jernih. Biarkan dingin lalu lanjutkan

dengan didestilasi, tambahkan 25 ml NaOH 40 %.Destilat dikumpulkan

kedalam erlenmeyer berisi 10 ml lrutan borat indikator.Setelah didestilasi

dengan borat indikator warna larutan menjadi hijau muda. Larutan ini

akan dititrasi dengan HCl 0,1 N dan titik akhir akan berubah dari warna

hijau muda menjadi merah muda. (Johan Kjeldahl, 1883).

3. Penetapan C-organik menggunakan metode Black dan Walkley dengan

cara titrasi dengan ferro sulfat. Cara kerjanya yaitu menimbang 0,5 gr

contoh tanah lolos ayakan 0,5 mm, lalu dimasukkan kedalam labu ukur
250 ml. Tambahkan 5 ml K2Cr2O7 1 N dan 10 ml H2SO4 pekat

kemudian didiamkan selama 30 menit lalu ditambahkan dengan

Aquades100 ml, 5 ml asam posfat (H3PO4) 85% dan 5 ml NaF lalu

ditambahkan 15 tetes indikator difeniamin kemudian dititrasi dengan

ferosulfat 1 N. Titrasi dihentikan jika warna berubah menjadi warna hijau.

Selanjutnya mencatat hasil volume titrasi.

4. Penentuan KTK (kapasitas tukar kation) tanah menggunakan metode

pencucian dengan amonium asetat. Cara kerjanya yaitu menimbang 5 g

tanah kering angin dan dilarutkan kedalam 20 ml amonium asetat 1 N

sebanyak 2 kali lalu didiamkan selama 1 malam setelah dikocok.

Selanjutnya larutan disaring dengan kertas saring dan filtratnya

ditampung dalam erlenmeyer, usahakan agar semua tanah berpindah ke

kertas saring.Tanah tersebut disemprot dengan alkohol 20 ml sebanyak 2

kali sampai mendrainase sempurna.Tanah pada kertas saring

selanjutnya dimasukkan kedalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 10 ml

aquades serta 2 tetes H3BO3. Larutan yang ada dalam labu Kjeldahl kita

hubungkan dengan alat destilasi lalu ditambahkan NaOH 40 % sebanyak

20 ml dan aquades 25ml. Destilasi dihentikan setelah volume destilat

yang ditampung mencapai 15 ml, namun sebelum ditampung didalam

alat penampung, destilat dimasukkan asam burat 40 % sebanyak 10 ml

dan beberapa tetes indikator BCG. Larutan destilat akhirnya dititrasi

dengan menggunakan HCl 0,1 N (volume titrasi dicatat). (Burt, 2004).


5. Penentuan ratio C/N dilakukan dengan perbandingan nilai Total C organik

dan Nitrogen total yang diperoleh dari data hasil analisis (Thom dan

Utomo, 1991).

Perhitungan :Ratio C/N = Nilai C-organik


Nilai N total
4.5.2. Pengamatan Sifat Fisik Tanah

Pengamatan sifat fisik tanah mencakup tekstur, BD (bulk dencity),

Particle dencity, Porositas, penetapan kadar air tanah, dan pH tanah.

Pengamatan sifat fisik diatas adalah sebagai berikut :

1) Permeabilitas tanah

Pengamatan permeabilitas tanah dilakukan dengan cara menyiapkan

sampel tanah yang telah di ambil dari lahan sawah tadah hujan dan sawah

irigasi, kemudian sampel tanah dengan ring nya direndam dengan air sampai

setinggi 3 cm selama 24 jam. Maksud perendaman adalah untuk

mengeluarkan udara yang ada didalam pori-pori tanah sehingga tanah

menjadi jenuh. Setelah perendaman selesai, sampel tanah disambung

dengan satu ring sampel lagi. Tabung kemudian dipindahkan kealat

penetapan permeabilitas, Setelah itu tambahkan air secara hati-hati setinggi

ring sampel dan dipertahankan tinggi air tersebut. Lakukan pengukuran

volume air yang mengalir melalui alat penetapan permeabilitas tanah tersebut

dalam waktu tertentu misalnya 3 menit, 5 menit, atau 10 menit, Kemudian

lakukan pengukuran volume air tersebut sebanyak 5 kali, kemudian hasilnya


dirata-ratakan.

Untuk menghitung nilai permeabilitas tanah dirumuskan dalam hukum


Darcy (Hubbert, 1957), yaitu:
Q L 1
K= X X
t h A
Keterangan :

K = Permeabiltas tanah (cm/jam)

Q = Banyak air yang mengalir setiap pengukuran (ml)

t = Waktu pengukuran (jam)

L = Tebal contoh tanah (cm)

h = Tinggi permukaan air dari permukaan sampel tanah (cm)

A = Luas permukaan sampel tanah (cm2)

2) Bulk Dencity (BD)

Pengamatan Bulk Density dilakukan dengan cara menyiapkan sampel

tanah kemudian timbang sampel tanah utuh dengan ring . kemudian timbang

berat tabung dan juga timbang berat tanah. Kemudian hitung berat jenis

tanah .

Untuk menghitung Bulk Density (BD) digunakan rumus sebagai

berikut :

Berat tanah kering oven


BD = gr/cm 3
Volume tanah
(Hillel, 1980).
3) Particle Density (PD)

Pengamatan Particle Density dilakukan dengan cara menyiapkan


sampel tanah, kemudian tambahkan sejumlah tanah (40 gr) dan aduk dengan

baik untuk menghilangkan udaranya. Setelah itu bilas gelas pengaduk dan

dinding slinder dengan sejumlah volume air (10 ml), Selanjutnya diankan

campuran selama 5 menit untuk dapat melepaskan udaranya dan catat

volumenya, setelah itu hitung nilai Particle Density.

Untuk menghitung Particle density (PD) digunakan rumus sebagai berikut :


Berat tanah kering oven (gr)
PD =
Volume partikel padat (cm3)
(Hillel, 1980).
4) Porositas

Pengamatan porositas tanah dilakukan dengan cara catat hasil

perhitungan Bulk Density dan Particle Density kemudian hitung nilai porositas

tanah dengan rumus yang telah ditentukan.

Untuk menghitung porositas tanah digunakan rumus sebagai berikut:


Berat jenis tanah (Bulk Density)
%Pori = 100%- gr/cm 3 x 100
Kerapatan Partikel (Particle Density)
(Hillel, 1980)
5) Penetapan Kadar Air Tanah

Pengamatan kadar air tanah dilakukan dengan cara menyiapkan

sampel tanah terganggu , setelah itu timbang tanah tersebut. Setelah

ditimbang keringkan didalam oven 105 0C selama 2 jam. Keluarkan sampel

tanah terganggu dari dalam oven, kemudian timbang kembali untuk

mengetahui kadar airnya. Selanjutnya untuk mengetahui kadar air tanah,


hasil yang telah diperoleh dimasukkan kedalam rumus.

Untuk menghitung kandungan air tanah digunakan rumus sebagai


berikut :

Berat basah – berat kering


Kandungan air tanah (%) = x 100%
Berat kering
(LPT, 1979)

6) Tekstur

Pengamatan tekstur tanah dilakukan dengan cara keringkan sampel

tanah, kemudian timbang sampel tanah dengan berat 10 gr, setelah itu

haluskan tanah. Tanah yang telah dihaluskan kemudian dimasukkan kedalam

tabung reaksi lalu tambahkan air, setelah itu tabung reaksi dikocok selama

beberapa menit sampai sampel tanah dan air tercampur rata. Apabila sampel

tanah dan air sudah tercampur, diamkan selama 1 x 24 jam sehingga tanah

mengendap. Ukur fraksi liat, debu, dan pasir menggunakan rumus (LPT,

1979) :

P L D
Pasir= X 100 % Liat= X 100 % Pasir= X 100 %
X X X
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1. Sifat Fisik Tanah

Hasil analisis sifat fisik tanah pada sawah irigasi dan sawah tadah

hujan dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Sifat Fisik tanah pada sawah irigasi sebelum dan setelah
pemupukan.

Sifat Fisik Tanah Sebelum Pemupukan Setelah Pemupukan

Permeabilitas Tanah 11,26 cm/jam 8,6 cm/jam


Bulk Density 1,82 gr/cm3 2,01 gr/cm3
Partikel Density 3,16 gr/cm3 4,56 gr/cm3
Porositas Tanah 61 % 37 %

Kadar Air Tanah 12% 9%


Tekstur Lempung Berliat Liat

Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa parameter permeabilitas tanah,

Bulk Density, Partikel Density, porositas tanah, dan kadar air tanah pada

sawah irigasi mengalami kenaikan setelah dilakukan pemupukan. Selisih

Permeabilitas tanah sebelum dan setelah pemupukan yaitu 0,23 cm/jam,

Bulk Density 0,9 gr/cm3 , Partikel Density 0,30 gr/cm3 , porositas tanah 0,39

%, dan kadar air tanah 0,2 5%. Adapun tekstur tanah pada sawah irigasi

sebelum pemupukan yaitu lempung berliat, sedangkan setelah pemupukan

tekstur tanahnya yaitu liat.

Tabel 2. Sifat Fisik tanah pada sawah tadah hujan pada musim hujan dan
musim kemarau .

Sifat Fisik Tanah Musim kemarau Musim hujan


Permeabilitas tanah 6,71 cm/jam 4,83 cm/jam
Bulk Density 2,05 gr/cm3 2,85 gr/cm3
Partikel Density 2,37 gr/cm3 4,6 gr/cm3
Porositas Tanah 39% 14%
Kadar Air Tanah 1,4% 3,1%
Tekstur Liat Liat

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 2, diperoleh nilai

Permeabilitas tanah sawah tadah hujan musim kemarau 6,71cm/jam, sawah


tadah hujan musim hujan 4,83cm/jam. Adapun Bulk Density pada sawah

Tadah hujan musim kemarau 2,05 gr/cm 3 , sawah tadah hujan musim hujan

2,85 gr/cm3 . Sedangkan pada Partikel Density sawah tadah hujan musim

kemarau sebesar 2,37 gr/cm3 , sawah tadah hujan musim hujan 4,6 gr/cm 3 .

Begitupun dengan Porositas Tanah, sawah tadah hujan musim kemarau

39%, sawah tadah hujan musim hujan 14%, dan Penetapan Kadar Air Tanah

sawah tadah hujan musim kemarau memiliki kandungan air sebesar 1,4%

sedangkan pada sawah tadah hujan musim hujan memiliki nilai kadar air

sebesar 3,1%. Tekstur tanah pada sawah tadah hujan musim hujan dan

musim kemarau memiliki tekstur yang sama yaitu Liat.

5.1.2. Sifat Kimia Tanah

a) Reaksi Tanah (pH)

Hasil analisis reaksi tanah (pH) pada berbagai sistem penggunaan

lahan di sajikan pada gambar 2.

Reaksi Tanah (PH)


6.8
6.62
6.6
6.38
6.4

6.2
6.08
6
5.85
5.8

5.6

5.4
SI 1 SI 2 ST 1 ST 2

Perlakuan

Gambar 2. Hasil analisis pH tanah pada berbagai sistem


penggunaan lahan.

Berdasarkan hasil analisis pH H2O pada berbagai sistem penggunaan

lahan yang berbeda (Gambar 2), menunjukkan bahwa nilai pH H2O tertinggi

diperoleh dari sawah irigasi sebelum pemupukan (SI2) yaitu 6,62, sedangkan

nilai pH H2O terendah diperoleh dari lahan sawah tadah hujan musim

kemarau (ST2) yaitu 5,85. Adapun nilai pH H2O pada tipe penggunaan

lahan lainnya adalah lahan sawah irigasi setelah pemupukan (SI1) 6,08

lahan sawah tadah hujan musim hujan (ST1)sebesar 6,38.

b) Analisis Hara Tanah

Hasil analisis hara N,P,K,C-Organik pada berbagai sistem penggunaan

lahan disajikan pada tabel 3.

Analisis Hara Tanah (%)

Tabel 3. Hasil analisis hara tanah pada berbagai sistem penggunaan lahan.
Sistem
Penggunaan N P K C-Organik
Perlakuan
Lahan
(%)
Sebelum Pemupukan 0,20 14,26 0,26 2,40
Sawah Irigasi
Setelah Pemupukan 0,25 17,58 0,41 2,66

Sawah Tadah Musim Hujan 0,11 12,18 0,19 1,40


Hujan
Musim Kemarau 0,14 12,87 0,23 1,16

Berdasarkan hasil analisis kandungan nitrogen (N) dari berbagai

sistem penggunaan lahan yang berbeda (Tabel 3), menunjukkan bahwa nilai

nitrogen (N) tertinggi diperoleh dari lahan sawah irigasi setelah pemupukan

(SI1) yaitu 0,25%, sedangkan nilai nitrogen (N) terendah diperoleh dari lahan

sawah tadah hujan musim hujan (ST1) yaitu 0,11%. Adapun nilai nitrogen

(N) pada tipe penggunaan lahan lainnya adalah lahan sawah irigasi sebelum

pemupukan (SI2) yaitu 0,20% lahan sawah tadah hujan musim kemarau

(ST2) sebesar 0,14%.

Hasil analisis Posfor (P) dari berbagai sistem penggunaan lahan yang

berbeda (Tabel 3), menunjukkan bahwa nilai Posfor (P) tertinggi diperoleh

dari lahan sawah irigasi setelah pemupukan (SI1) yaitu 17,58 sedangkan nilai

Posfor (P) terendah diperoleh dari lahan sawah tadah hujan musim hujan

(ST1) yaitu 12,18. Adapun nilai Posfor (P) pada tipe penggunaan

lahan lainnya adalah lahan sawah irigasi sebelum pemupukan (SI2) yaitu


14,26 lahan sawah tadah hujan musim kemarau (ST2) sebesar 12,87.

Hasil analisis Kalium (K) dari berbagai sistem penggunaan lahan yang

berbeda (Tabel 3), menunjukkan bahwa nilai Kalium (K) tertinggi diperoleh

dari lahan sawah irigasi setelah pemupukan (SI1) yaitu 0,41 sedangkan nilai

Kalium (K) terendah diperoleh dari lahan sawah tadah hujan musim hujan

(ST1) yaitu 0,19. Adapun nilai Kalium (K) pada tipe penggunaan

lahan lainnya adalah lahan sawah irigasi sebelum pemupukan (SI2) yaitu

0,26 lahan sawah tadah hujan musim kemarau (ST2) sebesar 0,23.

Hasil analisis kandungan C-Organik dari berbagai sistem penggunaan

lahan yang berbeda (Tabel 3), menunjukkan bahwa nilai C-Organik tertinggi

diperoleh dari lahan sawah irigasi setelah pemupukan (SI1) yaitu 2,66%

sedangkan nilai C-Organik terendah diperoleh dari lahan sawah tadah hujan

musim kemarau (ST2) yaitu 1,16%. Adapun nilai C-Organik pada tipe

penggunaan lahan lainnya adalah lahan sawah irigasi sebelum pemupukan

(SI2) 2,40%, lahan sawah tadah hujan musim hujan (ST1) 1,40%.

c) Ratio C/N

Hasil analisis ratio C/N pada berbagai sistem penggunaan lahan

disajikan pada gambar 3.


14 13
12
12
10
10 9
8
6
4
2
0
SI 1 SI 2 ST 1 ST 2

Perlakuan

Gambar 3. Hasil analisis ratio C/N pada berbagai sistem


penggunaan lahan.

Berdasarkan hasil analisis kandungan ratio C/N dari berbagai sistem

penggunaan lahan yang berbeda (Gambar 3), menunjukkan bahwa nilai ratio

C/N tertinggi diperoleh dari lahan sawah sawah tadah hujan musim hujan

musim hujan (ST1) yaitu 13, sedangkan nilai ratio C/N terendah diperoleh

dari lahan sawah tadah hujan musim kemarau (ST2) yaitu 9. Adapun nilai

ratio C/N pada tipe penggunaan lahan lainnya lahan sawah irigasi seblum

pemupukan (SI2) sebesar 12 dan lahan sawah irigasi setelah pemupukan

(SI1) sebesar 10.

5.2. PEMBAHASAN

5.2.1. Analisis Sifat Fisik Tanah


a. Permeabilitas Tanah

Berdasarkan hasil pengamatan sifat fisik tanah pada tabel 1,

permeabilitas tanah menunjukkan hasil tertinggi pada Sawah irigasi sebelum

pemupukan 11,26 cm/jam sedangkan setelah pemupukan yaitu 8,6 cm/jam.

Adapun hasil pengamatan sifat fisik tanah pada tabel 2 memperoleh nilai

permeabilitas tertinggi pada sawah tadah hujan musim kemarau 6,71 cm/jam

sedangkan musim hujan yaitu 4,83 cm/jam. Seperti yang dikatakan Dariah

dkk, (2006) ukuran pori pada tanah bertekstur liat memiliki ruang pori yang

kecil, ukuran pori dan adanya hubungan antar pori-pori sangat menentukan apakah

tanah mempunyai permeabilitas rendah atau tinggi dimana permeabilitas juga

mungkin mendekati nol apabila pori-pori tanah sangat kecil, seperti pada tanah liat.

b. Bulk Density

Berdasarkan hasil pengamatan sifat fisik tanah pada tabel 1, Bulk

Density menunjukkan hasil tertinggi pada Sawah irigasi setelah pemupukan

dibandingkan dengan sebelum pemupukan. Nilai Bulk Density yang diperoleh

pada sawah irigasi setelah pemupukan yaitu 2,01 g/cm 3 sedangkan sebelum

pemupukan yaitu 1,82 g/cm3. Adapun hasil pengamatan sifat fisik tanah pada

tabel 2 memperoleh nilai Bulk Density tertinggi pada sawah tadah hujan

musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau. Nilai Bulk Density pada

sawah tadah hujan musim hujan adalah 2,85 g/cm 3 sedangkan musim
kemarau yaitu 2,05 g/cm3. Seperti yang dikatakan oleh Hakim, dkk (1986)

bahwa tanah yang padat mempunyai nilai Bulk Density yang lebih besar dari

tanah yang mengalami pengolahan.

Banyak hal yang dapat mempengaruhi bilai Bulk Density yang rendah

termasuk padatan dan porositas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pairunan,

dkk (1997) bahwa berat isi ditentukan oleh padatan tanah dan porositas.

Padatan tanah sangat berpengaruh, dimana tanah yang lebih padat

mempunyai nilai Bulk Density yang lebih besar daripada tanah yang kurang

padat.

c. Particle Density

Berdasarkan hasil pengamatan sifat fisik tanah pada tabel 1, Particle

Density menunjukkan hasil tertinggi pada Sawah irigasi setelah pemupukan

dibandingkan dengan sebelum pemupukan. Nilai Particle Density yang

diperoleh pada sawah irigasi setelah pemupukan yaitu 4,56 gr/cm 3

sedangkan sebelum pemupukan yaitu 3,16 gr/cm 3 . Adapun hasil

pengamatan sifat fisik tanah pada tabel 2 memperoleh nilai Particle Density

tertinggi pada sawah tadah hujan musim hujan dibandingkan dengan musim

kemarau. Nilai Particle Density pada sawah tadah hujan musim hujan adalah

4,6 gr/cm3 sedangkan musim kemarau yaitu 2,37 gr/cm 3 . Seperti yang

dikemukakan oleh Hardjowigeno, (1992) bahwa faktor-faktor yang


mempengaruhi Particle Density adalah Bulk Density dan bahan organic,

semakin tinggi Bulk Density tanah dan bahan organik tanah makah Particle

Density dalam tanah tersebut akan semakin rendah.

d. Porositas Tanah

Berdasarkan hasil pengamatan sifat fisik tanah pada tabel 1, Porositas

Tanah menunjukkan hasil tertinggi pada Sawah irigasi sebelum pemupukan

dibandingkan dengan setelah pemupukan. Nilai porositas tanah yang

diperoleh pada sawah irigasi sebelum pemupukan yaitu 61% sedangkan

setelah pemupukan yaitu 37%. Adapun hasil pengamatan sifat fisik tanah

pada tabel 2 memperoleh nilai Porositas Tanah tertinggi pada sawah tadah

hujan musim Kemarau dibandingkan dengan musim hujan. Nilai porositas

tanah pada sawah tadah hujan musim kemarau adalah 39% ml sedangkan

musim hujan yaitu 14%. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardjowigeno, S.

(1987), yang mengemukakan bahwa porositas tanah tinggi jika bahan

organiknya tinggi pula, tanah dengan struktur yang berisi butiran-butiran dan

gembur mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada struktur tanah

dengan struktur pasir mempunyai pori-pori mikro sehingga sulit menahan air.

e. Kadar Air Tanah

Berdasarkan hasil pengamatan sifat fisik tanah pada tabel 1, Kadar Air

Tanah menunjukkan hasil tertinggi pada Sawah irigasi sebelum pemupukan


dibandingkan dengan setelah pemupukan. Nilai kadar air tanah yang

diperoleh pada sawah irigasi sebelum pemupukan yaitu 12% sedangkan

setelah pemupukan yaitu 9%. Adapun hasil pengamatan sifat fisik tanah pada

tabel 2 memperoleh nilai kadar air tanah tertinggi pada sawah tadah hujan

musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau. Nilai kadar air tanah

pada sawah tadah hujan musim hujan adalah 3,1% sedangkan musim

kemarau yaitu 1,4%.

Penentuan kandungan air dalam tanah dapat ditentukan dengan istilah

nisbi, seperti basah dan kering, dan istilah jenuh atau tidak jenuh. Seperti

yang dikemukakan oleh Madi, (2012) bahwa jumlah air yang ditahan oleh

tanah dapat dinyatakan atas dasar berat atau isi. Hal ini menunjukkan bahwa

permeabilitas tanah menunjukkan kemampuan tanah dalam meloloskan air

ke lapisan bawah profil. Struktur dan tekstur serta unsur organik lainnya

berperan dalam menaikkan laju Permeabilitas tanah. Lubih.K (2007) dalam

penelitiannya yang berjudul keterhantaran hidrolik dan permeabilitas

menyatakan bahwa ilmu tanah permeabilitas tanah didefinisikan secara

kualitatif sebagai pengurangan gas-gas, cairan-cairan atau penetrasi akar

tanaman atau lewat melalui suatu massa tanah atau lapisan tanah.

f. Tekstur

Berdasarkan hasil pengamatan sifat fisik tanah pada tabel 1 dan 2,


menunjukkan tekstur tanah pada sawah irigasi sebelum pemupukan yaitu

lempung berliat, sedangkan setelah pemupukan tekstur tanahnya liat.

Adapun tektur tanah pada sawah tadah hujan musim hujan dan musim

kemarau sama-sama memiliki tekstur tanah liat. Hal ini sejalan dengan pendapat

(Hakim, dkk. 1986) yang menjelaskan bahwa luas permukaan debu jauh lebih besar

dari permukaan pasir per gram, tingkat pelapukan debu dan pemesaran unsur hara

lebih besar dripada pasir yang sangat berpengaruh terhadap tekstur tanah.

5.2.2. Analisis Sifat Kimia

a. pH Tanah

Berdasarkan hasil analisis pH H2O pada berbagai system penggunaan

lahan yang berbeda (Gambar 2), menunjukkan bahwa nilai pH H2O tertinggi

diperoleh dari sawah irigasi sebelum pemupukan (SI2) yaitu 6,62 (Netral),

sedangkan nilai pH H2O terendah diperoleh dari lahan sawah tadah hujan

musim kemarau (ST2) yaitu 5,85 (Agak masam). Adapun nilai pH H2O pada

tipe penggunaan lahan lainnya adalah lahan sawah

irigasi setelah pemupukan (SI1) 6,08 (agak masam) lahan sawah tadah hujan

musim hujan (ST1) sebesar 6,38 (Agak masam).

Nilai pH H2O yang terdapat pada sawah irigasi sebelum pemupukan

dan setelah pemupukan adalah berkisar antara 6,08 sampai 6,62. sedangkan

nilai pH H2O yang terdapat pada sawah tadah hujan musim kemarau dan
musim hujan adalah berkisar antara 5,85 sampai 6,38. Menurut Pairunan dkk,

(1985) bahwa naik turunnya pH tanah merupakan fungsi ion H+ dan OH-. Jika

konsentrasi ion H+ dalam larutan tanah naik, maka pH akan turun dan jika

konsentrasi ion OH- naik, maka pH akan naik. Selanjutnya Tan (1998)

menyatakan bahwa pH H2O (kemasaman aktif) menyebabkan terjadinya

peningkatan pH KCl (kemasaman potensial). Jika konsentrasi ion H+ bebas

(ion H dalam larutan tanah) dinetralkan maka kemasaman potensial akan

melepaskan ion H+ tertukar dalam larutan tanah.

b. Nitrogen (N)

Berdasarkan hasil analisis kandungan nitrogen (N) dari berbagai

sistem penggunaan lahan yang berbeda (Tabel 3), menunjukkan bahwa nilai

nitrogen (N) tertinggi diperoleh dari lahan sawah irigasi setelah pemupukan

(SI1) yaitu 0,25% (Sedang), sedangkan nilai nitrogen (N) terendah diperoleh

dari lahan sawah tadah hujan musim hujan (ST1) yaitu 0,11% (Rendah).

Adapun nilai nitrogen (N) pada tipe penggunaan

lahan lainnya adalah lahan sawah irigasi sebelum pemupukan (SI2) yaitu

0,20% (Sedang) lahan sawah tadah hujan musim kemarau (ST2) sebesar

0,14% (Rendah).

Pengaruh penggunaan pupuk urea yang digunakan oleh petani

mempengaruhi peningkatan unsur N pada sawah irigasi sebelum dan setelah

pemupukan. Nilai N yang terdapat pada sawah irigasi sebelum pemupukan


dan setelah pemupukan adalah berkisar antara 0,20 sampai 0,25 . Nilai N

yang terdapat pada sawah tadah hujan musim kemarau dan musim hujan

adalah berkisar antara 0,14 sampai 0,11. Umumnya tanah yang dialiri air

secara terus menerus mengakibatkan unsur hara berkurang akibat

mengalami pencucian dan mengalir bersama air. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Novizan (2002) bahwa ketersediaan N di dalam tanah

dapat berkurang karena 3 hal yaitu pengambilan N oleh tanaman,

pencucian N oleh air, dan erosi.

c. Fosfor (P)

hasil analisis Fosfor (P) dari berbagai sistem penggunaan lahan yang

berbeda (Tabel 3), menunjukkan bahwa nilai Fosfor (P) tertinggi diperoleh

dari lahan sawah irigasi setelah pemupukan (SI1) yaitu 17,58 (Tinggi)

sedangkan nilai Fosfor (P) terendah diperoleh dari lahan sawah tadah hujan

musim hujan (ST1) yaitu 12,18 (Sedang). Adapun nilai Fosfor (P) pada tipe

penggunaan lahan lainnya adalah lahan sawah irigasi sebelum pemupukan

(SI2) yaitu 14,26 (Sedang) lahan sawah tadah hujan musim kemarau (ST2)

sebesar 12,87 (Sedang). Dari tabel 3 dapat dilihat peningkatan nilai P terjadi

pada sawah irigasi setelah Pemupukan, nilai N yang terdapat pada sawah

irigasi sebelum dan setelah pemupukan adalah berkisar antara 14,26 sampai

17,58 hal tersebut dikarenakan adanya pemupukan yang dilakukan oleh

petani. Seperti yang dikatakan oleh Ismunadji, dkk (1991) dalam Kaya (2012)

peningkatan kandungan P tersedia tanah disebabkan oleh adanya pengaruh


langsung dari pupuk fosfor karena pemupukan fosfor meningkatkan kadar P

tersedia dalam tanah melalui mekanisme pelepasan fosfor dari kompleks

adsorpsi (Chien, dkk 1996 dalam Kaya, 2012). Pemberian pupuk fosfor juga

berpengaruh terhadap berkurangnya retensi karena tempat adsorpsi dijenuhi

oleh fosfat sehingga ketersediaan unsur fosfor meningkat (Fox dan Searle,

1996 dalam Kaya 2012).

Nilai P yang terdapat pada sawah tadah hujan musim kemarau dan

musim hujan adalah berkisar antara 12,18 sampai 12,87. Menurut

Novizan (2002) tanah yang diaIiri air secara terus menerus mengakibatkan

unsur hara berkurang akibat mengaIami pencucian dan mengaIir bersama

air.

d. Kalium (K)

Hasil analisis Kalium (K) dari berbagai sistem penggunaan lahan yang

berbeda (Tabel 3), menunjukkan bahwa nilai Kalium (K) tertinggi diperoleh

dari lahan sawah irigasi setelah pemupukan (SI1) yaitu 0,41 (Sedang)

sedangkan nilai Kalium (K) terendah diperoleh dari lahan sawah tadah hujan

musim hujan (ST1) yaitu 0,19 (Rendah). Adapun nilai Kalium (K) pada tipe

penggunaan lahan lainnya adalah lahan sawah irigasi sebelum pemupukan

(SI2) yaitu 0,26 (Rendah) lahan sawah tadah hujan musim kemarau (ST2)

sebesar 0,23 (Rendah).

Nilai K yang terdapat pada sawah irigasi sebelum dan setelah

pemupukan adalah berkisar antara 0,26 sampai 0,41. Kenaikan yang terjadi
pada sawah irigasi setelah pemupukan disebabkan oleh pemberian pupuk

pada sawah tersebut, seperti yang dikatakan oleh Hermawan, (2002; dalam

Rachman dan Idris, 2008) bahwa pemberian bahan organik dan pupuk

anorganik dapat meningkatkan N-totaI dan P-tersedia dan K-tersedia di

daIam tanah.

Nilai K yang terdapat pada sawah tadah hujan musim hujan dan

musim kemarau adalah berkisar antara 0,19 sampai 0,23. Hal ini

menunjukkan bahwa unsur K lebih tinggi pada sawah tadah hujan musim

kemarau dibandingkan dengan sawah tadah hujan musim hujan yang

disebabkan oleh adanya pencucian unsur hara pada musim hujan. Seperti

yang dijelaskan oleh Susanto, (2005) bahwa kekurangan kaIium disebabkan

oleh rendahnya kapasitas pasok kaIium tanah, ketidak-cukupan pemberian

pupuk kaIium anorganik, keciInya masukan kaIium daIam air, dan rendahnya

efisiensi penyerapan pupuk kaIium yang diberikan karena tingginya kapasitas

pengikatan atau pencucian kaIium.

e. C-Organik

Hasil analisis kandungan C-Organik dari berbagai sistem penggunaan

lahan yang berbeda (Tabel 3), menunjukkan bahwa nilai C-Organik tertinggi

diperoleh dari lahan sawah irigasi setelah pemupukan (SI1) yaitu 2,66%

(Sedang) sedangkan nilai C-Organik terendah diperoleh dari lahan sawah

tadah hujan musim kemarau (ST2) yaitu 1,16% (Rendah). Adapun nilai C-

Organik pada tipe penggunaan lahan lainnya adalah lahan sawah irigasi
sebelum pemupukan (SI2) 2,40% (Sedang), lahan sawah tadah hujan musim

hujan (ST1) 1,40% (Rendah).

Nilai C-Organik yang terdapat pada sawah irigasi sebelum dan setelah

pemupukan adalah berkisar antara 2,40% sampai 2,66%. Kenaikan yang

terjadi setelah pemupukan pada sawah irigasi sejalan dengan pendapat

Sudirja et. al. (2007) yang menyatakan bahwa kesuburan dan sifat kimia

dapat ditingkatkan dengan penanganan dan teknoIogi yang tepat, yaitu

dengan melakukan pemupukan berimbang. Hal ini sangat penting diIakukan

karena unsur hara merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan

produktivitas padi.

Nilai C-Organik yang terdapat pada sawah tadah hujan musim

kemarau dan musim hujan adalah berkisar antara 1,16% sampai 1,40%. Hai

ini dapat dilihat bahwa sawah tadah hujan musim hujan lebih tinggi daripada

musim kemarau karena dipengaruhi oleh sifat fisik tanah. Perbedaan status

organic yang tersedia didalam tanah dapat disebabkan oleh beberapa jenis

faktor seperti jenis tanah dan ciri fisik tanah. Darmawijaya, (1990)

menjelaskan bahwa cirri fisik tanah dapat mempengaruhi cirri kimia dan

biologi dalam tanah. Salah satu faktor lain adalah kebiasaan dari petani

setempat ialah membakar jerami dan sisa sisa limbah panen sehingga terjadi

proses dekomposisi yang akibatnya dapat menurunkan C-Organik tanah.

f. Ratio C/N

Berdasarkan hasil analisis kandungan ratio C/N dari berbagai sistem


penggunaan lahan yang berbeda (Gambar 3), menunjukkan bahwa nilai ratio

C/N tertinggi diperoleh dari lahan sawah sawah tadah hujan musim hujan

musim hujan (ST1) yaitu 13 (Sedang), sedangkan nilai ratio C/N terendah

diperoleh dari lahan sawah tadah hujan musim kemarau (ST2) yaitu 9

(Rendah). Adapun nilai ratio C/N pada tipe penggunaan lahan lainnya lahan

sawah irigasi seblum pemupukan (SI2) sebesar 12(Sedang) dan lahan sawah

irigasi setelah pemupukan (SI1) sebesar 10 (Rendah).

Nilai C/N yang terdapat pada sawah irigasi sebelum dan setelah

pemupukan adalah berkisar antara 12 (sedang) sampai 10 (rendah). dapat

dilihat bahwa nilai ratio C/N lebih tinggi pada sawah irigasi sebelum

pemupukan dibandingkan dengan setelah pemupukan. hal ini disebabkan

karena pemberian pupuk kimia yang tidak sesuai dengan anjuran sehingga

nilai ratio C/N menurun setelah dilakukan pemupukan. Ichriani et all (2013)

Penggunaan pupuk kimia secara terus menerus dapat menyebabkan

kandungan C/N tanah menurun.

Nilai ratio C/N yang terdapat pada sawah tadah hujan musim kemarau

dan musim hujan adalah berkisar antara 9 (rendah) sampai 13 (sedang).

Keadaan ini dapat dilihat bahwa nilai ratio C/N pada sawah tadah hujan

musim hujan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau . Menurut

Poerwowidodo (1993) menyatakan bahwa C/N ratio yang tinggi

menyebabkan tersedianya energi yang melimpah bagi organisme tanah,


sehingga dapat berkembang dengan pesat. Senyawa N anorganik yang

tersedia dalam tanah dengan cepat diubah menjadi bentuk N organik dalam

tubuh organisme tanah, pada tahap ini maka laju dekomposisi bahan organik

berada pada titik terendah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hakim at

all (1986) bahwa nilai C/N bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah

akan menentukan reaksi/kecepatan dekomposisnya dalam tanah, C/N ratio

yang tinggi menunjukkan bahwa dekomposisi belum lanjut atau baru dimulai.
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

.1 Kesimpulan

Pada lahan sawah tadah hujan kadar N, P, dan K meningkat pada

musim kemarau, Sedangkan kadar C-Organik meningkat pada saat musim

hujan. Ratio C/N pada sawah tadah hujan terbaik pada saat musim kemarau.

Pada lahan sawah irigasi kadar N, P, K, dan C-Organik mengalami

peningkatan setelan dilakukan pemupukan, sedangkan kadar ratio C/N

tertinggi pada saat sebelum pemupukan dibandingkan setelah pemupukan.

Pada analisis sifat fisik tanah sawah tadah hujan nilai Bulk Density,

Particle density, dan kadar air tanah mengalami peningkatan pada musim

hujan, Sedangkan nilai Permeabilitas tanah dan porositas tanah mengalami

peningkatan pada musim kemarau Pada sawah irigasi sebelum pemupukan

memiliki tektur tanah lempung berliat, sedangkan setelah pemupukan tekstur

tanahnya liat. Adapun analisis sifat fisik tanah sawah irigasi nilai Bulk

Density, dan Particle Density mengalamii peningkatan setelah pemupukan,

Sedangkan permeabilitas tanah, porositas tanah dan kadar air tanah memiliki

nilai tertinggi sebelum pemupukan. Analisis sifat fisik tanah sawah tadah

hujan musim hujan dan musim kemarau sama-sama memiliki tekstur liat.
16.2 Saran

Disarankan agar dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap sifat fisik

maupun sifat kimia tanah sebagai bahan acuan yang lebih lengkap sehingga

perencanaan pengolahan lahan dan konservasi tanah dan air dapat berjalan dengan

baik.
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press:
Bogor.

Balitsereal. 2002 dalam Faesal dan Syuryawati. 2009. Kendala Dan Prospek
Pengembangan JagungPada Lahan Sawah Tadah Hujan Di Sulawesi
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009. Balai Penelitian
Tanaman Serealia.

BSN, 2010. SNI 7645 – 2010 Tentang Klasfikasi Penutup Lahan. Jakarta:
Badan Standarisasi Nasional.

Burt, R. ed. 2004. Soil survey laboratory method manual. Soil Survey
Investigation Report No. 42. Version 4. USDA Natural Res. Conserv.
Service. National Survey Center.

Dariah, A., Yusrial, dan Mazwar. 2006. Penetapan Kondukstivitas Hidrolik


Tanah dalam Keadaan Jenuh: Metode Laboratorium: Sifat Fisik Tanah
dan Metode Analisisnya. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian.

Darmawijaya, M. Isa. 1990. Klasifikasi Tanah : Dasar Teori Bagi Peneliti


Tanah Dan Pelaksana Pertanian Di Indonesia. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.

Fox, R.L, and P.G.E. Searle. 1996. Phosphate Adsorption by Soil of The
Tropics. In Strategis Research in Intergated Nutrient Management
course. Int. Rice Ress. Int. Rice Res Inst Los Banos, Philippines.

Hakim, et al..1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung; Penerbit Universitas


Lampung.

Hakim, N., Nyakpa, M.Y., Lubis, A.M., Nugroho, S.G., Diha, M.A., Hong,
G.B.,Bailey, H.H. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.
488 hal.

Hanafiah, K. A. 2012. Dasar–Dasar Ilmu Tanah. PT Raja Grafindo Persada.


Jakarta

Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.


237 hal.

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana


Perkasa. Jakarta. 233 hal.
Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta :
Akademika Pressindo.

Hardjowigeno, S. dan M. L. Rayes. 2005. Tanah Sawah Karakteristik, Kondisi


dan Permasalahan Tanah Sawah di Indonesia. Bayumedia Publishing.
Malang.

Hardjowigeno, S., Subagyo, H., dan Luthfi, R.M. 2004. Morfologi dan
Klasifikasi Tanah Sawah. Di dalam: Tanah Sawah dan Teknologi
pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Departemen
Pertanian: Bogor

Hardjowigeno, Sarwono. 1995. Imu Tanah. Jakarta: Akademika Presindo.

Hillel, D. 1980. Dasar-dasar Fisika Tanah. New York : Department of Plant


and Soil Sciences University of Massachusetts Amherst,
Massachusetts. Hal 413.

Hubbert, M.K. “Darcy's Law And The Field Equations Of The Flow Of
Underground Fluids”. Hydrological Sciences Journal. vol. 2, no. 1, 1957,
pp. 23-59.

Ichriani, G.I., T.A Atikah., S Zubaidah dan R Fatmawati. 2012. Kompos


tandan kosong kelapa sawit untuk perbaikan daya simpan air tanah
kapasitas lapangan. Journal Agroscientiae, volume 9 (3) : 160-164.

Ismunadji, M., Partohardjono.S., Syam.M., Widjono. A. 1988. Hara dan


Mineral Tanaman Padi. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Hal
31.

Kaya, E. 2012. Perilaku Fosfat dalam Tanah, Serapan Fosfat, dan Hasil
Jagung (Zea mays L.) akibat Pemberian Pupuk Fosfat Dengan
Amelioran Pada Typic Dystrudepts. [Disertasi] Universitas Padjadjaran.
Bandung.

 Kjeldahl,J. (1883) (New method for the determination of nitrogen in organic


substances), Zeitschrift für analytische Chemie

Kurnia et al. 2001. Dalam Simanungkalit, R.D.M., Didi Ardi Suriadikarta, Rasti
Saraswati, Diah Setyorini, dan Wiwik Hartatik. 2012. Pupuk Organik dan
Pupuk Hayati. Badan penelitian dan pengembangan Pertanian.

Kurnia, G. 2001.Efisiensi air irigasi untuk memperluas areal tanam.hlm. 137-


142 dalam Agus, F., Kurnia, U. dan Nurmanaf, A.R. (Eds.). Prosiding
Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei 2001.Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1979. Penuntun Analisa Fisika Tanah.


Lembaga Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.

Masganti. 2005. Hidrofobisitas dan hasil analisis sifat kimia bahan gambut. J.
Tanah dan Air

Musa, L dan Mukhlis, 2006. Diktat Kuliah Dasar Ilmu Tanah. USU Press,
Medan

Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Jakarta : Agromedia


Pustaka

Pairunan, A.K, L. Nanere, Arifin, Solo, S.R. Tangkaisari, J. L. Lalopua, B.


Ibrahim dan H. Asmadi. 1997. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Badan
Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Bagian Timur. Makassar

Pairunan. A. K. et.al. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Ujung Pandang: BKPT


INTIM. 375 hal.

Poerwowidodo, 1993. Telaah Kesuburan Tanah. Penerbit Angkasa. Bandung

Prasetyo, H.P., J.S. Adiningsih, K. Subagyono, dan R. D.M. Simanungkalit.


2004. Mineralogi, Kimia, Fisika, dan Biologi Lahan Sawah. dalam Tanah
Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang
Pertanian.Saptana., I.W. Rusastra., H.P. Saliem.,

Puslittanak. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1 :


1.000.000. Puslittanak, Badan Litbang Pertanian, Bogor

Rachman, Idris Abd. Sri Djuniwati dan Romarudin Idris. 2008. Pengaruh
bahan organik dan pupuk NPK terhadap serapan hara dan produksi
jagung di Inceptisol Ternate. Jurnal Tanah dan Lingkungan, Vol. 10, No.
1
Rayment, G.E. and F.R. Higginson. 1992. Australian laboratory handbook of
soil and water chemical methods. Australian soil and land survey
handbook. Inkata Press, Melbourne, Sydney.

Sudirja R. 2007. Respons beberapa sifat Kimia Inceptisol asal rajamandala


dan hasil bibit Kakao melalui pemberian pupuk organik dan pupuk
hayati. lembaga penelitian Universitas Padjadjaran.Bandung

Susanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.Kanisius. Jakarta.

Susanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.Kanisius. Jakarta. 67 hal

Swain, D.K., S. Herath, A. Pathirane and B.N. Mittra. 2005. Rainfed lowland
and flood prone rice: A critical review on ecology and management
technology improving the productivity in Asia. Role of Water Sciences in
Transboundary River Basin Management. Thailand.

Tan, K.H. 1998. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta. 489 hal

Thom, W.O., Utomo, M. 1991. Manajemen Laboratorium dan Metode Analisis


Tanah dan Tanaman. Penerbit Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Toha, H.M., dan D. Juanda. 1991. Pola tanam tanaman pangan di lahan
kering dan sawah tadah hujan (Kasus Desa Ngumbul dan Sonokulon,
Kabupaten Blora). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Pertanian Lahan
Kering dan Konservasi Tanah di Lahan Sedimen dan Vulkanik DAS
Bagian Hulu. Proyek penelitian penyelamatan hutan tanah dan air.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Anda mungkin juga menyukai