KELOMPOK 2 GADAR - Algoritma Korban Tenggelam
KELOMPOK 2 GADAR - Algoritma Korban Tenggelam
KELOMPOK 2 GADAR - Algoritma Korban Tenggelam
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Firda Alicia Rahma (131811133045)
Adila Rosyida (131811133047)
An Nisa’u Sholeha (131811133048)
Dony Megapratama (131811133049)
Wendi Genta Perkasa (131811133050)
Rizky Bagoes Alfian (131811133091)
Amalia Niswah Qonita Khoiriyah (131811133092)
Tenggelam
Tenggelam merupakan suatu kegagalan nafas yang diakibatkan tertutupnya jalan nafas baik
tertutupnya hidung dan mulut ataupun keseluruhan (Dahlan, 2005). Istilah tersebut disebut asfiksia.
Air laut, air akan ditarik dari sirkulasi paru-paru ke dalam jaringan intersisial paru, sehingga
menyebabkan edma paru, hipovelemi, dan hemokonsentrasi (Zulkarnaen, 2008). Sedangkan air
tawar terkenal dengan hipotonik. Pada korban yang tenggelam di air tawar, air yang masuk kedalam
tubuh akan diserap kedalam sirkulasi kemudian di distribusikan ke seluruh tubuh, sehingga korban
yang mati tenggelam dalam air tawar akan mengalami absorbsi cairan yang masif (Santoso, 2010).
Karena perbedaan mekanisme inilah lama waktu kematian pada korban yang pada kasus tenggelam
di air tawar lebih cepat daripada di air laut (Dahlan, 2005).
Pengertian Near Drowing
Cedera oleh karena perendaman (submersion/immersion) yang dapat mengakibatkan
kematian dalam waktu kurang dari 24 jam disebut tenggelam (drowning). Istilah near- drowning
digunakan apabila korban mampu bertahan hidup lebih dari 24 jam setelah peristiwa tenggelam.
Patofisiologi
Ketika terbenam ke dalam air atau media cair lainnya, korban yang sadar akan menahan
nafas dan mungkin meronta untuk menyelamatkan diri atau bahkan panik. Kemudian dorongan
untuk bernafas (“air hunger”) akan menyebabkan terjadinya inspirasi spontan – terengah-engah. Hal
ini akan mengakibatkan terjadinya aspirasi cairan yang dapat menghalangi jalan nafas korban
sehingga dapat menghambat korban untuk bernafas, kemudian akan diikuti oleh kejang dan
kematian oleh karena hipoksemia. Proses ini dikenal juga dengan wet drowning. Pada beberapa
kejadian korban tidak meminum air, melainkan terjadi spasme laring yang juga dapat
mengakibatkan terjadi hipoksemia dan kematian yang dikenal dengan istilah dry drowning.
Meskipun aspirasi air tawar dan air laut pada dasarnya menimbulkan perubahan yang
berlawanan dalam volume darah dan elektrolit, hanya sebagian kecil korban yang meminum air
dalam jumlah yang cukup dari kedua jenis cairan tersebut dapat menyebabkan efek yang signifikan
secara klinis. Namun, aspirasi sejumlah cairan, baik itu air tawar maupun air laut, dapat
menyebabkan adanya kerusakan pulmonal yang dapat mengakibatkan edema paru non-kardiogenik.
Cedera paru yang terjadi dapat diperburuk oleh adanya kontaminan di dalam air seperti bakteri,
material kecil, berbagai bahan kimia dan muntahan. Hipoksia serebral juga dapat menyebabkan
edema paru non-kardiogenik.
Sebagian besar pasien akan menjadi acidemic. Pada awalnya, hal ini lebih berkaitan dengan
hipoventilasi dibandingkan lactic acidosis akibat adanya penurunan perfusi jaringan. Abnormalitas
elektrolit jarang memerlukan penanganan pada korban near drowning dan biasanya bersifat
sementara kecuali bila terdapat cedera ginjal yang signifikan oleh karena hipoksia, hemoglobinuria
atau myoglobinuria.
Faktor terpenting yang menentukan efek dari kejadian tenggelam adalah durasi dan tingkat
keparahan hipoksia yang ditimbulkan. Sebagian besar pasien yang tiba di rumah sakit dengan fungsi
kardiovaskular dan neurologis yang masih baik dapat bertahan hidup dengan kecacatan minimal,
sedangkan pada pasien yang tiba dengan fungsi kardiovaskular yang tidak stabil dan koma akan
lebih buruk oleh karena hipoksia dan iskemia sistem saraf pusat.
Penanganan Korban Near Drowning Di Tempat Kejadian
Akibat yang paling penting dan merugikan dari tenggelam adalah hipoksia. Oleh karena itu,
oksigenasi, ventilasi dan perfusi harus dikembalikan sesegera mungkin. Untuk mencapainya akan
diperlukan pertolongan RJP dengan segera dan aktivasi sistem layanan kegawat-daruratan. Sesuai
dengan 2010 AHA Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cariovascular
Care, saat ini RJP dimulai kompresi dada dengan urutan C-A-B. Namun, pedoman tersebut juga
merekomendasikan individualisasi urutan berdasarkan etiologi dari henti jantung. RJP untuk korban
tenggelam sebaiknya tetap menggunakan pendekatan A-B-C mengingat sifat hipoksia dari henti
jantung tersebut. Korban hanya dengan henti nafas biasanya merespon setelah beberapa kali
pemberian nafas buatan.
Hal yang pertama dan utama dalam menangani korban tenggelam adalah memberikan
ventilasi segera. Inisiasi segera nafas bantuan dapat meningkatkan peluang hidup korban. Bantuan
pernafasan biasanya diberikan ketika korban yang tidak responsive berada di air dangkal atau di
luar air. Ventilasi mulut ke hidung dapat digunakan sebagai alternatif ventilasi mulut ke mulut jika
penyelamat mengalami kesulitan dalam mencubit hidung korban, menyangga kepala korban, dan
membuka jalan nafas di dalam air. Penolong yang tidak terlatih sebaiknya tidak mencoba
memberikan pertolongan ketika korban masih berada di air yang dalam.
Manjemen jalan nafas dan pernafasan serupa dengan yang direkomendasikan untuk berbagai
korban henti jatung. Sebagian korban tidak mengaspirasi air karena terjadi spasme laring atau
mereka menahan nafas. Bahkan jika terjadi aspirasi cairan, tidak perlu dilakukan pembersihan jalan
nafas oleh karena pada sebagian besar korban hanya mengaspirasi cairan dalam jumlah sedikit dan
dapat diserap dengan cepat ke sirkulasi sentral, sehingga hal ini tidak menjadi obstruksi di trakea.
Tindakan pengeluaran cairan dari saluran pernafasan selain suction (misalnya abdominal thrust dan
maneuver Heimlich) tidak perlu dan berpontensi membahayakan korban sehingga Tindakan
tersebut tidak direkomendasikan.
Kompresi Dada
Segera setelah korban yang tidak responsif dikeluarkan dari air, penolong sebaiknya
membuka jalan nafas, mengecek pernafasan dan jika korban tidak bernafas, berikan dua kali nafas
bantuan yang membuat dada terangkat (jika tidak dilakukan sebelumnya di air). Setelah pemberian
dua kali nafas bantuan, penolong harus segera memberikan kompresi dada dan melakukan siklus
kompresi-ventilasi sesuai pedoman bantuan hidup dasar dewasa. Kemudian, penolong harus
mengecek denyut nadi korban. Denyut nadi mungkin sulit untuk diraba pada korban tenggelam,
terutama jika korban kedinginan. Apabila dalam 10 detik denyut nadi tidak teraba, siklus kompresi-
ventilasi harus dilakukan kembali. Apablia penolong hanya sendiri, setidaknya memberikan 5 siklus
(sekitar 2 menit) sebelum meninggalkan korban untuk menghubungi nomor darurat untuk mendapat
pertolongan lebih lanjut. Hanya penolong yang terlatih yang sebaiknya memberikan kompresi dada
di air.
Ketika korban sudah dikeluarkan dari air, jika ia tidak merespon dan tidak bernafas setelah
dua kali nafas bantuan, penolong harus memasang Automated External Defibrillator (AED) jika
tersedia dan melakukan defibrilasi jika shockable rhythm teridentifikasi. Hanya perlu mengeringkan
daerah dada sebelum memasang bantalan defibrilasi dan menggunakan AED.
Penanganan Muntah Saat Resusitasi
Korban mungkin akan muntah saat penolong melakukan kompresi dada atau bantuan nafas.
Sesuai dengan penelitian selama 10 tahun di Australia, dua per tiga dari korban yang mendapatkan
nafas bantuan dan 86% dari korban yang memerlukan kompresi- ventilasi muntah. Jika hal ini
terjadi, miringkan korban ke samping dan bersihkan muntahan menggunakan jari, pakaian atau
penyedot (suction). Jika terdapat kecurigaan cedera spinal cord, korban sebaiknya digulingkan
dimana kepala, leher dan badan digerakkan bersamaan untuk melindungi saraf tulang leher.
Menghangatkan kembali
Berusaha untuk menghangatkan kembali pasien dengan hipotermia dalam di luar rumah
sakit adalah tidak tepat, tetapi langkah-langkah untuk mencegah kehilangan panas tubuh lebih lanjut
penting untuk dilakukan. Untuk mencegah kehilangan panas tubuh, pakaian yang basah sebaiknya
dilepaskan sebelum pasien dibungkus dengan selimut tebal. Minuman hangat tidak dapat membantu
dan sebaiknya dihindari. Menggigil merupakan tanda prognostik yang baik.
Transportasi dan Indikasi Rujuk Ke Rumah Sakit
Korban near drowning sebaiknya segera dibawa ke unit gawat darurat terdekat untuk
evaluasi dan penanganan lebih lanjut sehingga dapat meminimalkan komplikasi atau kecacatan
yang mungkin ditimbulkan. Tidak dianjurkan menunda transportasi untuk pemeriksaan sekunder
kecuali korban benar-benar dapat dikategorikan “stabil”. Sebelum dirujuk korban (terutama pada
korban dengan penurunan kesadaran) harus diamankan di sebuah tandu (bila tersedia) dan
diposisikan dengan nyaman. Korban dengan fraktur, cedera kepala atau tulang belakang sebaiknya
diletakkan di papan dengan penyangga tulang belakang. Evaluasi terhadap kesadaran dan tanda-
tanda vital dilakukan secara berkala selama perjalanan.10 Semua pasien tenggelam yang mengalami
amnesia oleh karena kejadian tersebut, kehilangan atau depresi kesadaran, ditemukan adanya
periode apnea, atau mereka yang memerlukan nafas buatan harus dirujuk ke unit gawat darurat
terdekat, meskipun tanpa gejala di tempat kejadian.2 Selain itu, pertimbangan untuk merujuk korban
juga tergantung pada ada tidaknya aspirasi air, karena terdapat risiko terjadinya edema paru
ALGORITMA PERTOLONGAN KORBAN TENGGELAM
Buka jalan napas dan periksa ventilasi (lihat. Jika Periksa respon batuk atau
Dengan dan rasakan pernapasan) bernapas busa di hidung/mulut
Jika tidak bernapas, berikan 5 napas Ada banyak sedikit busa Batuk tanpa Tidak ada
buatan dari mulut ke mulut dan periksa busa di di busa di batuk/ busa di
nadi karotis/ tanda tanda sirkulasi hidung/mulut hidung/mulut hidung/mulut hidung/mulut
Ya Tidak
Jangan Mulai CPR 30:2 Pertahankan Berikan oksigen aliran Oksigenasi Biasanya Tidak ada
RJP, sampai fungsi kepatenan tinggi dengan face aliran tidak perlu
bawa cardiopulmonary jalan napas, mask atau tabung rendah, oksigenasi,
ke pulih hingga pantau orotrakeal dan hangatkan perhatikan
kamar ambulan datang pernapasan ventilasi mekanis dan tindakan
mayat atau penolong korban tenangkan medis
kelelahan. hingga korban. selanjutnya
Setelah CPR Pantau
napas Observasi
berhasil korban spontan, pernapasan, <6, 10,
harus diawasi henti napas
berikan 48jam
karena CPA bisa tratment masih bisa
saja terjadi terjadi, infus
sesuai grade
dalam 30 menit 4 kristaloid dan
pertama evaluasi
vasopresor
Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga air akan ditarik
dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan interstitial paru yang akan menimbulkan edema pulmoner,
hemokonsentrasi, hipovolemi, dan kenaikan kadar Magnesium dalam darah. Hemokonsentrasi akan
mengakibatkan sirkulasi menjadi lambat dan menyebabkan terjadinya payah jantung. Kematian terjadi
Fisiologi Tenggelam
Ketika manusia masuk ke dalam air, reaksi dasar mereka adalah mempertahankan jalan napas. Ini
berlanjut sampai titik balik dicapai, yaitu pada saat seseorang akan menarik napas kembali. Titik balik
ini terjadi karena tingginya kadar CO2 dalam darah dibandingkan dengan kadar O2. Ketika mencapai
titik balik, korban tenggelam akan kemasukan sejumlah air, dan sebagian akan tertelan dan akan
ditemukan di dalam lambung. Selama interval ini, korban mungkin muntah dan mengaspirasi sejumlah
isi lambung. Setelah proses respirasi tidak mampu mengompensasi, terjadilah hipoksia otak yang
3. Refleks vagal
Penatalaksanaan:
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan fokus utama pada
perbaikan jalan napas dan oksigenasi buatan, terutama pada korban yang mengalami penurunan
kesadaran. Bantuan hidup dasar pada korban tenggelam dapat dilakukan pada saat korban masih
berada di dalam air. Prinsip utama dari setiap penyelamatan adalah mengamankan diri
penyelamat lalu korban, karena itu, sebisa mungkin penyelamat tidak perlu terjun ke dalam air
untuk menyelamatkan korban. Namun, jika tidak bisa, penyelamat harus terjun dengan alat
bantu apung, seperti ban penyelamat, untuk membawa korban ke daratan sambil melakukan
penyelamatan. Cedera servikal biasanya jarang pada korban tenggelam, namun imobilisasi
2. Penilaian Pernapasan
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan normal
setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu pemberian napas buatan dengan rasio
30:2. Terdapat tiga cara pemberian napas buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian napas bantuan untuk
mengurangi hipoksemia. Pemberian napas buatan inisial yaitu sebanyak 5 kali. Melakukan
pernapasan buatan dari mulut ke hidung lebih disarankan karena sulit untuk menutup hidung
korban pada pemberian napas mulut ke mulut. Pemberian napas buatan dilanjutkan hingga 10
– 15 kali selama sekitar 1 menit. Jika korban tidak sadar dan tenggelam selama <5 menit,
pernapasan buatan dilanjutkan sambil menarik korban ke daratan. Namun, bila korban
tenggelam lebih dari 5 menit, pemberian napas buatan dilanjutkan selama 1 menit, kemudian
Kompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan
normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami henti jantung akibat dari hipoksia.
Pemberian kompresi ini dilakukan di atas tempat yang datar dan rata dengan rasio 30:2. Namun,
pemberian kompresi intrinsik untuk mengeluarkan cairan tidak disarankan, karena tidak
terbukti dapat mengeluarkan cairan dan dapat berisiko muntah dan aspirasi. Selama proses
pemberian napas, regurgitasi dapat terjadi, baik regurgitasi air dari paru maupun isi lambung.
Hal ini normal terjadi, namun jangan sampai menghalangi tindakan ventilasi buatan. Korban
Tersedianya sarana bantuan hidup dasar dan lanjutan di tempat kejadian merupakan hal
yang sangat penting karena beratnya cedera pada sistem saraf pusat tidak dapat dikaji dengan
cermat pada saat pertolongan diberikan. Pastikan keadekuatan jalan napas, pernapasan dan
Sirkulasi. Cedera lain juga harus dipertimbangkan dan perlu tidaknya hospitalisasi ditentukan
berdasarkan keparahan kejadian dan evaluasi klinis. Pasien dengan gejala respiratori,
penurunan saturasi oksigen dan perubahan tingkat kesadaran perlu untuk dihospitalisasi.
perhatian harus difokuskan pada oksigenasi, ventilasi, dan fungsi jantung. Melindungi sistem
saraf pusat dan mengurangi edema serebri merupakan hal yang sangat penting dan berhubungan
Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen dengan tekanan
lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM (Bag Valve Mask) atau tabung Oksigen.
Oksigen yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika setelah pemberian oksigen ini, keadaan
Pengobatan dilakukan sesuai dengan kategori klinis. Korban pada pasien kategori A dan
juga harus mencari dan menangani trauma yang timbul seperti trauma kepala dan leher serta
1. Kategori A
Pertolongan dimulai dengan memberikan oksigen, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan PaO2 arteri, PaCO2, pH, jumlah sel darah, elektrolit, serta rontgen thorax.
Pada asidosis metabolik yang belum terkompensasi, dapat diberikan O2, pemanasan, dan
pemberian Bik-Nat. Infiltrat kecil pada paru tidak memerlukan pengobatan apabila cairan
yang terhisap tidak terkontaminasi. Sebagian korban yang tidak mempunyai masalah dapat
dipulangkan sedangkan sebagian lagi yang bermasalah dapat diobservasi dan diberi
pengobatan simptomatik di ruang perawatan sampai baik. Biasanya korban dirawat selama
12 sampai 24 jam.
2. Kategori B
Korban ini membutuhkan perawatan dan monitoring ketat terhadap sistem saraf dan
oksigen perlu diberikan: Bik-Nat untuk asidosis metabolik yang tidak terkompensasi;
Antibiotik untuk kasus teraspirasi air yang terkontaminasi. Pasien yang awalnya diintubasi
setelah menampakkan fungsi pernapasan dan neurologi yang baik dapat dilakukan
ekstubasi. Di sini steroid tidak diindikasikan. Sebagian kecil korban tenggelam mengalami
kegagalan pernapasan. Biasanya terjadi setelah aspirasi masif atau teraspirasi zat kimia
yang biasanya digunakan adalah cairan isotonik (Ringer lactat, NaCl fisiologis) dan cairan
yang dipakai harus cukup panas (40-43oC) untuk pasien hipotermi. Bila cairannya seperti
suhu kamar (21oC) bisa memancing timbulnya hipotermi. NGT harus dipasang sejak
pertama pasien ditolong, yang berguna untuk mengosongkan lambung dari air yang
terhisap. Status neurologis biasanya membaik bila oksigenasi jaringan terjamin. Perawatan
biasanya memakan waktu beberapa hari dan sangat ditentukan oleh status paru.
3. Kategori C
Tindakan yang paling penting untuk kategori ini adalah intubasi dan ventilasi.
mereka yang usaha bernapasnya baik setelah resusitasi untuk mencegah kerusakan susunan
saraf pusat akibat hipoksia dari pernapasan yang tidak efektif. Pedoman ventilasi awal FiO 2
1,0 digunakan selama fase stabilisasi dan transfer. Kecepatan ventilasi awal 1,5 sampai 2
kali kecepatan pernapasan normal sesuai dengan usia korban, tekanan ekspirasi 4 sampai
6 Cm H2O. Penyesuaian ini harus dilakukan untuk mendapatkan nilai gas darah arteri
sebagai berikut: PaO2 100 mmHg atau 20--30 mmHg. Bik-Nat, bronchodilator, diuretik,
mortalitas setelah 5 hari pengobatan menurun dari 50% menjadi 25% sampai 35%.
Surfactan yang sering digunakan adalah surfactan sintetik (Exosurf) dengan dosis 5
oksigen yang adekuat ke jaringan. Resusitasi jantung paru perlu dilanjutkan pada korban
yang mengalami hipotensi dan syok setelah membaiknya ventilasi dan denyut nadi harus
diberikan bolus cairan kristaloid 20 ml/kgBB. Tindakan ini harus diulangi bila tidak
memberikan respons yang memuaskan. Apabila tekanan darah tetap rendah, obat inotropik
IV harus diberikan. Dopamin dan Dobutamin harus digunakan pada pasien yang
Pasien dengan suhu tubuh < 30oC harus segera dipanaskan untuk menjamin fungsi
jantung. Kejang diatasi secara konvensinal: pada awal diberikan benzodiazepin diikuti
IV bisa digunakan untuk pasien yang gelisah agar pemberian ventilasi lebih efisien,
mengurangi kebutuhan metabolik, serta bisa menekan risiko atau ekstubasi yang tak
terencana akibat trauma jalan napas. Bila pasien tetap gelisah, diberikan morfin sulfat 0,1
mg/kgBB IV atau Benzodiazepin 0,1 mg/kgBB IB diberikan setiap 1--2 jam untuk sedasi.
Gobel, A., Kumaat, L., & Mulyadi, N. (2014). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang
Penanganan Pertama Korban Tenggelam Air Laut Terhadap Peningkatan
Pengetahuan Masyarakat Nelayan Di Desa Bolang Itang Ii Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara. Jurnal Keperawatan UNSRAT, 2(2), 106098
Suarjaya, P. P., Kedokteran, F., Udayana, U., Sakit, R., & Pusat, U. (2013). Adult Basic Life
Support on Near Drowning At the Scene. E-Jurnal Medika Udayana, 2(5), 840–
852.
Szpilman, D., & Morgan, P. (2020). Manajemen for the drowning patient. Chest.
Terhadap, P., Tenggelam, K., Laut, A. I. R., & Air, D. A. N. (n.d.). Cahyarani Wulansari*
Wahyu Hendarto**.
Vanden Hoek TL et. al. Part 12: Cardiac Arrest in Special Situations: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Rescucitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S829-S861