KELOMPOK 2 GADAR - Algoritma Korban Tenggelam

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 13

TUGAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

ALGORITMA PENANGANAN KORBAN TENGGELAM

Diajukan sebagai syarat memenuhi tugas mata kuliah


Dosen Pengampu : Dr. Yulis Setiya Dewi, S.Kep., Ns., M.Kep.

Disusun Oleh :

Kelompok 2
Firda Alicia Rahma (131811133045)
Adila Rosyida (131811133047)
An Nisa’u Sholeha (131811133048)
Dony Megapratama (131811133049)
Wendi Genta Perkasa (131811133050)
Rizky Bagoes Alfian (131811133091)
Amalia Niswah Qonita Khoiriyah (131811133092)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
ALGORITMA PENANGANAN KORBAN TENGGELAM DI AIR TAWAR

 Tenggelam
Tenggelam merupakan suatu kegagalan nafas yang diakibatkan tertutupnya jalan nafas baik
tertutupnya hidung dan mulut ataupun keseluruhan (Dahlan, 2005). Istilah tersebut disebut asfiksia.
Air laut, air akan ditarik dari sirkulasi paru-paru ke dalam jaringan intersisial paru, sehingga
menyebabkan edma paru, hipovelemi, dan hemokonsentrasi (Zulkarnaen, 2008). Sedangkan air
tawar terkenal dengan hipotonik. Pada korban yang tenggelam di air tawar, air yang masuk kedalam
tubuh akan diserap kedalam sirkulasi kemudian di distribusikan ke seluruh tubuh, sehingga korban
yang mati tenggelam dalam air tawar akan mengalami absorbsi cairan yang masif (Santoso, 2010).
Karena perbedaan mekanisme inilah lama waktu kematian pada korban yang pada kasus tenggelam
di air tawar lebih cepat daripada di air laut (Dahlan, 2005).
 Pengertian Near Drowing
Cedera oleh karena perendaman (submersion/immersion) yang dapat mengakibatkan
kematian dalam waktu kurang dari 24 jam disebut tenggelam (drowning). Istilah near- drowning
digunakan apabila korban mampu bertahan hidup lebih dari 24 jam setelah peristiwa tenggelam.
 Patofisiologi
Ketika terbenam ke dalam air atau media cair lainnya, korban yang sadar akan menahan
nafas dan mungkin meronta untuk menyelamatkan diri atau bahkan panik. Kemudian dorongan
untuk bernafas (“air hunger”) akan menyebabkan terjadinya inspirasi spontan – terengah-engah. Hal
ini akan mengakibatkan terjadinya aspirasi cairan yang dapat menghalangi jalan nafas korban
sehingga dapat menghambat korban untuk bernafas, kemudian akan diikuti oleh kejang dan
kematian oleh karena hipoksemia. Proses ini dikenal juga dengan wet drowning. Pada beberapa
kejadian korban tidak meminum air, melainkan terjadi spasme laring yang juga dapat
mengakibatkan terjadi hipoksemia dan kematian yang dikenal dengan istilah dry drowning.
Meskipun aspirasi air tawar dan air laut pada dasarnya menimbulkan perubahan yang
berlawanan dalam volume darah dan elektrolit, hanya sebagian kecil korban yang meminum air
dalam jumlah yang cukup dari kedua jenis cairan tersebut dapat menyebabkan efek yang signifikan
secara klinis. Namun, aspirasi sejumlah cairan, baik itu air tawar maupun air laut, dapat
menyebabkan adanya kerusakan pulmonal yang dapat mengakibatkan edema paru non-kardiogenik.
Cedera paru yang terjadi dapat diperburuk oleh adanya kontaminan di dalam air seperti bakteri,
material kecil, berbagai bahan kimia dan muntahan. Hipoksia serebral juga dapat menyebabkan
edema paru non-kardiogenik.
Sebagian besar pasien akan menjadi acidemic. Pada awalnya, hal ini lebih berkaitan dengan
hipoventilasi dibandingkan lactic acidosis akibat adanya penurunan perfusi jaringan. Abnormalitas
elektrolit jarang memerlukan penanganan pada korban near drowning dan biasanya bersifat
sementara kecuali bila terdapat cedera ginjal yang signifikan oleh karena hipoksia, hemoglobinuria
atau myoglobinuria.
Faktor terpenting yang menentukan efek dari kejadian tenggelam adalah durasi dan tingkat
keparahan hipoksia yang ditimbulkan. Sebagian besar pasien yang tiba di rumah sakit dengan fungsi
kardiovaskular dan neurologis yang masih baik dapat bertahan hidup dengan kecacatan minimal,
sedangkan pada pasien yang tiba dengan fungsi kardiovaskular yang tidak stabil dan koma akan
lebih buruk oleh karena hipoksia dan iskemia sistem saraf pusat.
 Penanganan Korban Near Drowning Di Tempat Kejadian

Akibat yang paling penting dan merugikan dari tenggelam adalah hipoksia. Oleh karena itu,
oksigenasi, ventilasi dan perfusi harus dikembalikan sesegera mungkin. Untuk mencapainya akan
diperlukan pertolongan RJP dengan segera dan aktivasi sistem layanan kegawat-daruratan. Sesuai
dengan 2010 AHA Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cariovascular
Care, saat ini RJP dimulai kompresi dada dengan urutan C-A-B. Namun, pedoman tersebut juga
merekomendasikan individualisasi urutan berdasarkan etiologi dari henti jantung. RJP untuk korban
tenggelam sebaiknya tetap menggunakan pendekatan A-B-C mengingat sifat hipoksia dari henti
jantung tersebut. Korban hanya dengan henti nafas biasanya merespon setelah beberapa kali
pemberian nafas buatan.

 Menyelamatkan Korban Dari Air


Hal pertama yang dilakukan apabila menemukan kejadian near drowning adalah
menyelamatkan korban dari air. Untuk menyelamatkan korban tenggelam, penolong harus dapat
mencapai korban secepat mungkin, sebaiknya menggunakan alat angkut (perahu, rakit, papan
selancar atau alat bantu apung).5,7 Setidaknya diperlukan dua orang dewasa untuk mengangkat
korban dari dalam air ke perahu penyelamatan. Untuk menghindari terjadinya post-immersion
collapse, sebaiknya korban diangkat dari dalam air dengan posisi telungkup. Selain itu, penolong
juga harus memperhatikan keselamatan dirinya.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa stabilisasi tulang leher tidak perlu dilakukan kecuali
terdapat keadaan yang menyebabkan tenggelam menunjukkan adanya kemungkinan terjadi trauma.
Keadaan ini termasuk riwayat menyelam, adanya tandatanda cedera atau tanda-tanda intoksikasi
alkohol. Dengan tidak adanya indicator tersebut, cedera tulang belakang kemungkinan tidak terjadi.
Stabilisasi tulang leher secara manual dan alat stabilisasi mungkin menghambat pembukaan jalan
nafas yang adekuat, mempersulit dan mungkin memperlambat penghantaran nafas bantuan.
 Pemberian Nafas Bantuan

Hal yang pertama dan utama dalam menangani korban tenggelam adalah memberikan
ventilasi segera. Inisiasi segera nafas bantuan dapat meningkatkan peluang hidup korban. Bantuan
pernafasan biasanya diberikan ketika korban yang tidak responsive berada di air dangkal atau di
luar air. Ventilasi mulut ke hidung dapat digunakan sebagai alternatif ventilasi mulut ke mulut jika
penyelamat mengalami kesulitan dalam mencubit hidung korban, menyangga kepala korban, dan
membuka jalan nafas di dalam air. Penolong yang tidak terlatih sebaiknya tidak mencoba
memberikan pertolongan ketika korban masih berada di air yang dalam.

Manjemen jalan nafas dan pernafasan serupa dengan yang direkomendasikan untuk berbagai
korban henti jatung. Sebagian korban tidak mengaspirasi air karena terjadi spasme laring atau
mereka menahan nafas. Bahkan jika terjadi aspirasi cairan, tidak perlu dilakukan pembersihan jalan
nafas oleh karena pada sebagian besar korban hanya mengaspirasi cairan dalam jumlah sedikit dan
dapat diserap dengan cepat ke sirkulasi sentral, sehingga hal ini tidak menjadi obstruksi di trakea.
Tindakan pengeluaran cairan dari saluran pernafasan selain suction (misalnya abdominal thrust dan
maneuver Heimlich) tidak perlu dan berpontensi membahayakan korban sehingga Tindakan
tersebut tidak direkomendasikan.

 Kompresi Dada
Segera setelah korban yang tidak responsif dikeluarkan dari air, penolong sebaiknya
membuka jalan nafas, mengecek pernafasan dan jika korban tidak bernafas, berikan dua kali nafas
bantuan yang membuat dada terangkat (jika tidak dilakukan sebelumnya di air). Setelah pemberian
dua kali nafas bantuan, penolong harus segera memberikan kompresi dada dan melakukan siklus
kompresi-ventilasi sesuai pedoman bantuan hidup dasar dewasa. Kemudian, penolong harus
mengecek denyut nadi korban. Denyut nadi mungkin sulit untuk diraba pada korban tenggelam,
terutama jika korban kedinginan. Apabila dalam 10 detik denyut nadi tidak teraba, siklus kompresi-
ventilasi harus dilakukan kembali. Apablia penolong hanya sendiri, setidaknya memberikan 5 siklus
(sekitar 2 menit) sebelum meninggalkan korban untuk menghubungi nomor darurat untuk mendapat
pertolongan lebih lanjut. Hanya penolong yang terlatih yang sebaiknya memberikan kompresi dada
di air.
Ketika korban sudah dikeluarkan dari air, jika ia tidak merespon dan tidak bernafas setelah
dua kali nafas bantuan, penolong harus memasang Automated External Defibrillator (AED) jika
tersedia dan melakukan defibrilasi jika shockable rhythm teridentifikasi. Hanya perlu mengeringkan
daerah dada sebelum memasang bantalan defibrilasi dan menggunakan AED.
 Penanganan Muntah Saat Resusitasi
Korban mungkin akan muntah saat penolong melakukan kompresi dada atau bantuan nafas.
Sesuai dengan penelitian selama 10 tahun di Australia, dua per tiga dari korban yang mendapatkan
nafas bantuan dan 86% dari korban yang memerlukan kompresi- ventilasi muntah. Jika hal ini
terjadi, miringkan korban ke samping dan bersihkan muntahan menggunakan jari, pakaian atau
penyedot (suction). Jika terdapat kecurigaan cedera spinal cord, korban sebaiknya digulingkan
dimana kepala, leher dan badan digerakkan bersamaan untuk melindungi saraf tulang leher.
 Menghangatkan kembali
Berusaha untuk menghangatkan kembali pasien dengan hipotermia dalam di luar rumah
sakit adalah tidak tepat, tetapi langkah-langkah untuk mencegah kehilangan panas tubuh lebih lanjut
penting untuk dilakukan. Untuk mencegah kehilangan panas tubuh, pakaian yang basah sebaiknya
dilepaskan sebelum pasien dibungkus dengan selimut tebal. Minuman hangat tidak dapat membantu
dan sebaiknya dihindari. Menggigil merupakan tanda prognostik yang baik.
 Transportasi dan Indikasi Rujuk Ke Rumah Sakit
Korban near drowning sebaiknya segera dibawa ke unit gawat darurat terdekat untuk
evaluasi dan penanganan lebih lanjut sehingga dapat meminimalkan komplikasi atau kecacatan
yang mungkin ditimbulkan. Tidak dianjurkan menunda transportasi untuk pemeriksaan sekunder
kecuali korban benar-benar dapat dikategorikan “stabil”. Sebelum dirujuk korban (terutama pada
korban dengan penurunan kesadaran) harus diamankan di sebuah tandu (bila tersedia) dan
diposisikan dengan nyaman. Korban dengan fraktur, cedera kepala atau tulang belakang sebaiknya
diletakkan di papan dengan penyangga tulang belakang. Evaluasi terhadap kesadaran dan tanda-
tanda vital dilakukan secara berkala selama perjalanan.10 Semua pasien tenggelam yang mengalami
amnesia oleh karena kejadian tersebut, kehilangan atau depresi kesadaran, ditemukan adanya
periode apnea, atau mereka yang memerlukan nafas buatan harus dirujuk ke unit gawat darurat
terdekat, meskipun tanpa gejala di tempat kejadian.2 Selain itu, pertimbangan untuk merujuk korban
juga tergantung pada ada tidaknya aspirasi air, karena terdapat risiko terjadinya edema paru
ALGORITMA PERTOLONGAN KORBAN TENGGELAM

Periksa Respon klien terhadap


Tidak merespon rangsangan verbal dan taktil Merespon

Buka jalan napas dan periksa ventilasi (lihat. Jika Periksa respon batuk atau
Dengan dan rasakan pernapasan) bernapas busa di hidung/mulut

Jika tidak bernapas, berikan 5 napas Ada banyak sedikit busa Batuk tanpa Tidak ada
buatan dari mulut ke mulut dan periksa busa di di busa di batuk/ busa di
nadi karotis/ tanda tanda sirkulasi hidung/mulut hidung/mulut hidung/mulut hidung/mulut

Nadi tidak Nadi Nadi radial


teraba teraba teraba

Waktu tenggelam 1 jam/ Tidak Ya


buktikematian fisik jelas

Ya Tidak

Mati Grade 6 Grade 5 Grade 4 Grade 3 Grade 2 Grade 1 Selamatkan


100% 88-93% 31-44% 18-22% 4-5% 1% 0% 0%
Ada banyak
busa di
hidung/mulut

Jangan Mulai CPR 30:2 Pertahankan Berikan oksigen aliran Oksigenasi Biasanya Tidak ada
RJP, sampai fungsi kepatenan tinggi dengan face aliran tidak perlu
bawa cardiopulmonary jalan napas, mask atau tabung rendah, oksigenasi,
ke pulih hingga pantau orotrakeal dan hangatkan perhatikan
kamar ambulan datang pernapasan ventilasi mekanis dan tindakan
mayat atau penolong korban tenangkan medis
kelelahan. hingga korban. selanjutnya
Setelah CPR Pantau
napas Observasi
berhasil korban spontan, pernapasan, <6, 10,
harus diawasi henti napas
berikan 48jam
karena CPA bisa tratment masih bisa
saja terjadi terjadi, infus
sesuai grade
dalam 30 menit 4 kristaloid dan
pertama evaluasi
vasopresor

Evaluasi ED (emergency Jika ada kondisi


ICU
Forensik Departemen) penyerta, evaluasi lebih
lanjut
ALGORITMA PENANGANAN KORBAN TENGGELAM DI AIR ASIN
 Tenggelam di Air Asin

Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga air akan ditarik

dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan interstitial paru yang akan menimbulkan edema pulmoner,

hemokonsentrasi, hipovolemi, dan kenaikan kadar Magnesium dalam darah. Hemokonsentrasi akan

mengakibatkan sirkulasi menjadi lambat dan menyebabkan terjadinya payah jantung. Kematian terjadi

kira-kira dalam waktu 8-9 menit setelah tenggelam.

 Fisiologi Tenggelam

Ketika manusia masuk ke dalam air, reaksi dasar mereka adalah mempertahankan jalan napas. Ini

berlanjut sampai titik balik dicapai, yaitu pada saat seseorang akan menarik napas kembali. Titik balik

ini terjadi karena tingginya kadar CO2 dalam darah dibandingkan dengan kadar O2. Ketika mencapai

titik balik, korban tenggelam akan kemasukan sejumlah air, dan sebagian akan tertelan dan akan

ditemukan di dalam lambung. Selama interval ini, korban mungkin muntah dan mengaspirasi sejumlah

isi lambung. Setelah proses respirasi tidak mampu mengompensasi, terjadilah hipoksia otak yang

bersifat ireversibel dan merupakan penyebab kematian.

a. Mekanisme kematian pada korban tenggelam:

1. Asfiksia akibat spasme laring

2. Asfiksia karena gagging dan chocking

3. Refleks vagal

4. Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar)

5. Edema pulmoner (dalam air asin)

 Penatalaksanaan:

a. Prinsip pertolongan di air :

1. Raih (dengan atau tanpa alat).

2. Lempar (alat apung).

3. Dayung (atau menggunakan perahu mendekati penderita).

4. Renang (upaya terakhir harus terlatih dan menggunakan alat apung).


b. Penanganan pada korban tenggelam dibagi dalam tiga tahap, yaitu:

1. Bantuan Hidup Dasar

Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan fokus utama pada

perbaikan jalan napas dan oksigenasi buatan, terutama pada korban yang mengalami penurunan

kesadaran. Bantuan hidup dasar pada korban tenggelam dapat dilakukan pada saat korban masih

berada di dalam air. Prinsip utama dari setiap penyelamatan adalah mengamankan diri

penyelamat lalu korban, karena itu, sebisa mungkin penyelamat tidak perlu terjun ke dalam air

untuk menyelamatkan korban. Namun, jika tidak bisa, penyelamat harus terjun dengan alat

bantu apung, seperti ban penyelamat, untuk membawa korban ke daratan sambil melakukan

penyelamatan. Cedera servikal biasanya jarang pada korban tenggelam, namun imobilisasi

servikal perlu dipertimbangkan pada korban dengan luka yang berat.

2. Penilaian Pernapasan

Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan normal

setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu pemberian napas buatan dengan rasio

30:2. Terdapat tiga cara pemberian napas buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth

to mask, dan mouth to neck stoma.

Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian napas bantuan untuk

mengurangi hipoksemia. Pemberian napas buatan inisial yaitu sebanyak 5 kali. Melakukan

pernapasan buatan dari mulut ke hidung lebih disarankan karena sulit untuk menutup hidung

korban pada pemberian napas mulut ke mulut. Pemberian napas buatan dilanjutkan hingga 10

– 15 kali selama sekitar 1 menit. Jika korban tidak sadar dan tenggelam selama <5 menit,

pernapasan buatan dilanjutkan sambil menarik korban ke daratan. Namun, bila korban

tenggelam lebih dari 5 menit, pemberian napas buatan dilanjutkan selama 1 menit, kemudian

bawa korban langsung ke daratan tanpa diberikan napas buatan.

Kompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan

normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami henti jantung akibat dari hipoksia.

Pemberian kompresi ini dilakukan di atas tempat yang datar dan rata dengan rasio 30:2. Namun,
pemberian kompresi intrinsik untuk mengeluarkan cairan tidak disarankan, karena tidak

terbukti dapat mengeluarkan cairan dan dapat berisiko muntah dan aspirasi. Selama proses

pemberian napas, regurgitasi dapat terjadi, baik regurgitasi air dari paru maupun isi lambung.

Hal ini normal terjadi, namun jangan sampai menghalangi tindakan ventilasi buatan. Korban

dapat dimiringkan dan cairan regurgitasinya dikeluarkan.

3. Bantuan Hidup Lanjut

Tersedianya sarana bantuan hidup dasar dan lanjutan di tempat kejadian merupakan hal

yang sangat penting karena beratnya cedera pada sistem saraf pusat tidak dapat dikaji dengan

cermat pada saat pertolongan diberikan. Pastikan keadekuatan jalan napas, pernapasan dan

Sirkulasi. Cedera lain juga harus dipertimbangkan dan perlu tidaknya hospitalisasi ditentukan

berdasarkan keparahan kejadian dan evaluasi klinis. Pasien dengan gejala respiratori,

penurunan saturasi oksigen dan perubahan tingkat kesadaran perlu untuk dihospitalisasi.

perhatian harus difokuskan pada oksigenasi, ventilasi, dan fungsi jantung. Melindungi sistem

saraf pusat dan mengurangi edema serebri merupakan hal yang sangat penting dan berhubungan

langsung dengan hasil akhir.

Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen dengan tekanan

lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM (Bag Valve Mask) atau tabung Oksigen.

Oksigen yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika setelah pemberian oksigen ini, keadaan

korban belum membaik, dapat dilakukan intubasi trakeal.

c. Penanganan Rumah Sakit

Pengobatan dilakukan sesuai dengan kategori klinis. Korban pada pasien kategori A dan

B biasanya hanya membutuhkan perawatan medis supportif, sedangkan pasien kategori C

membutuhkan tindakan untuk mempertahankan kehidupan dan perawatan intensif. Penolong

juga harus mencari dan menangani trauma yang timbul seperti trauma kepala dan leher serta

mengatasi masalah yang melatarbelakanginya seperti masalah kejang.

1. Kategori A
Pertolongan dimulai dengan memberikan oksigen, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan PaO2 arteri, PaCO2, pH, jumlah sel darah, elektrolit, serta rontgen thorax.

Pada asidosis metabolik yang belum terkompensasi, dapat diberikan O2, pemanasan, dan

pemberian Bik-Nat. Infiltrat kecil pada paru tidak memerlukan pengobatan apabila cairan

yang terhisap tidak terkontaminasi. Sebagian korban yang tidak mempunyai masalah dapat

dipulangkan sedangkan sebagian lagi yang bermasalah dapat diobservasi dan diberi

pengobatan simptomatik di ruang perawatan sampai baik. Biasanya korban dirawat selama

12 sampai 24 jam.

2. Kategori B

Korban ini membutuhkan perawatan dan monitoring ketat terhadap sistem saraf dan

pernapasan. Masalah pernapasan biasanya lebih menonjol sehingga selain pemberian

oksigen perlu diberikan: Bik-Nat untuk asidosis metabolik yang tidak terkompensasi;

Furosemid untuk oedem paru; Aerosol B simptometik untuk bronchospasme; serta

Antibiotik untuk kasus teraspirasi air yang terkontaminasi. Pasien yang awalnya diintubasi

setelah menampakkan fungsi pernapasan dan neurologi yang baik dapat dilakukan

ekstubasi. Di sini steroid tidak diindikasikan. Sebagian kecil korban tenggelam mengalami

kegagalan pernapasan. Biasanya terjadi setelah aspirasi masif atau teraspirasi zat kimia

yang mengiritasi sehingga korban ini membutuhkan ventilasi mekanis.

Pemberian infus sering diberikan untuk meningkatkan fungsi hemodinamik. Cairan

yang biasanya digunakan adalah cairan isotonik (Ringer lactat, NaCl fisiologis) dan cairan

yang dipakai harus cukup panas (40-43oC) untuk pasien hipotermi. Bila cairannya seperti

suhu kamar (21oC) bisa memancing timbulnya hipotermi. NGT harus dipasang sejak

pertama pasien ditolong, yang berguna untuk mengosongkan lambung dari air yang

terhisap. Status neurologis biasanya membaik bila oksigenasi jaringan terjamin. Perawatan

biasanya memakan waktu beberapa hari dan sangat ditentukan oleh status paru.

3. Kategori C
Tindakan yang paling penting untuk kategori ini adalah intubasi dan ventilasi.

Vetilasi mekanis direkomendasikan paling tidak 24 sampai 48 jam pertama, termasuk

mereka yang usaha bernapasnya baik setelah resusitasi untuk mencegah kerusakan susunan

saraf pusat akibat hipoksia dari pernapasan yang tidak efektif. Pedoman ventilasi awal FiO 2

1,0 digunakan selama fase stabilisasi dan transfer. Kecepatan ventilasi awal 1,5 sampai 2

kali kecepatan pernapasan normal sesuai dengan usia korban, tekanan ekspirasi 4 sampai

6 Cm H2O. Penyesuaian ini harus dilakukan untuk mendapatkan nilai gas darah arteri

sebagai berikut: PaO2 100 mmHg atau 20--30 mmHg. Bik-Nat, bronchodilator, diuretik,

dan antibiotik diberikan apabila korban tenggelam. Penelitian membuktikan bahwa

mortalitas setelah 5 hari pengobatan menurun dari 50% menjadi 25% sampai 35%.

Surfactan yang sering digunakan adalah surfactan sintetik (Exosurf) dengan dosis 5

ml/kgBB diberikan melalui nebulizer terus-menerus selama periode pengobatan.

Disfungsi kardiovaskular harus dikoreksi dengan cepat untuk menjamin tranfer

oksigen yang adekuat ke jaringan. Resusitasi jantung paru perlu dilanjutkan pada korban

yang mengalami hipotensi dan syok setelah membaiknya ventilasi dan denyut nadi harus

diberikan bolus cairan kristaloid 20 ml/kgBB. Tindakan ini harus diulangi bila tidak

memberikan respons yang memuaskan. Apabila tekanan darah tetap rendah, obat inotropik

IV harus diberikan. Dopamin dan Dobutamin harus digunakan pada pasien yang

mengalami takikardi sedangkan epinefrin diberikan pada pasien bradikardi.

Pasien dengan suhu tubuh < 30oC harus segera dipanaskan untuk menjamin fungsi

jantung. Kejang diatasi secara konvensinal: pada awal diberikan benzodiazepin diikuti

dengan pemberian phenobarbital seperti Vecuronium atau Pancuronium 0,1--0,2 mg/kgBB

IV bisa digunakan untuk pasien yang gelisah agar pemberian ventilasi lebih efisien,

mengurangi kebutuhan metabolik, serta bisa menekan risiko atau ekstubasi yang tak

terencana akibat trauma jalan napas. Bila pasien tetap gelisah, diberikan morfin sulfat 0,1

mg/kgBB IV atau Benzodiazepin 0,1 mg/kgBB IB diberikan setiap 1--2 jam untuk sedasi.

Pasien kategori C3 dan C4 harus mendapat pengawasan dan tindakan untuk


mempertahankan sistem metabolik, ginjal, hematologi, gastrointestinal, dan neurologis

serta dievaluasi dengan ketat setelah pengobatan dimulai.


DAFTAR PUSTAKA
Berg RA et. al. Part 5: Adult Basic Life Support : 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Rescucitation and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation 2010;122;S685-S705

Gobel, A., Kumaat, L., & Mulyadi, N. (2014). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang
Penanganan Pertama Korban Tenggelam Air Laut Terhadap Peningkatan
Pengetahuan Masyarakat Nelayan Di Desa Bolang Itang Ii Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara. Jurnal Keperawatan UNSRAT, 2(2), 106098

Journal of American Heart Association. Part 3: Overview of CPR. Circulation 2005;112;IV-


12-IV-18

Journal of American Heart Association. Part 10.3: Drowning. Circulation 2005;112;IV-133-


IV-135

Suarjaya, P. P., Kedokteran, F., Udayana, U., Sakit, R., & Pusat, U. (2013). Adult Basic Life
Support on Near Drowning At the Scene. E-Jurnal Medika Udayana, 2(5), 840–
852.

Szpilman, D., & Morgan, P. (2020). Manajemen for the drowning patient. Chest.

Terhadap, P., Tenggelam, K., Laut, A. I. R., & Air, D. A. N. (n.d.). Cahyarani Wulansari*
Wahyu Hendarto**.

Vanden Hoek TL et. al. Part 12: Cardiac Arrest in Special Situations: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Rescucitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S829-S861

Anda mungkin juga menyukai