Putusan Mkri 8265 1639542713
Putusan Mkri 8265 1639542713
Putusan Mkri 8265 1639542713
PUTUSAN
Nomor 23/PUU-XIX/2021
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
2. DUDUK PERKARA
PKPU) selain Lie Tek Hok, yaitu: (1) Totok Marjono, (2) Ng. A Thiam
Al Kasim, (3) Iwa Dinata alias Robin, (4) A Lim Al A Boi, (5) Ngang
King, serta (6) Jefry Ong, yang tidak diperhitungkan oleh Majelis
Hakim perkara a quo serta bertentangan juga dengan 3 (tiga) Perkara
sebelumnya yang telah mengadili pokok materi perkara yang sama,
yakni (1) Putusan Perkara Nomor 30/Pdt.Sus-
PKPU/2019/PN.NIAGA.Medan; (2) Putusan Perkara Nomor
8/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.NIAGA.Medan; dan (3) Putusan Perkara
Nomor 18/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.NIAGA.Medan, sehingga
menyebabkan PT. Sarana Yeoman Sembada/Pemohon, kini berada
dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya, dan hal
tersebut sangatlah bertentangan dengan salah satu tujuan bernegara
Republik Indonesia sebagaimana yang termuat dalam, Pembukaan
UUD NRI 1945, yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”,
khususnya hak untuk mendapatkan kepastian, perlakuan yang sama
dan rasa keadilan dihadapan hukum Negara, sehingga ketiadaan
akses keadilan untuk melakukan upaya hukum telah menyebabkan
kerugian konsitusional Pemohon dengan terlanggarnya hak
konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945, yang berbunyi:
D. Alasan Permohonan
Bahwa oleh karena Pemohon merupakan pihak yang mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) dalam mengajukan Permohonan Uji Materiil a quo karena
mengalami kerugian konstitusional Pemohon atas diberlakukannya Pasal 235
ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
16
5. Bahwa jadi jelas, modus mempailitkan perusahaan atau badan usaha yang
masih solven sangat dimungkinkan dengan keberadaan Pasal 222 ayat (1)
dan (3) UU Nomor 37 Tahun 2004 dan telah menjadi isu umum dan menjadi
agenda progam legislasi nasional untuk diubah. Padahal hal ini
bertentangan dengan Asas “Putusan Pernyataan Pailit Tidak Dapat
Dijatuhkan terhadap Debitor yang Solven” sebagaimana disampaikan Prof.
Dr. Sutan Remy Sjahdeneini, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum
Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan, Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, Cet. IV, Jakarta 2010,
halaman 39-41;
18
b. Bahwa selanjutnya pada tahun 2020 Pemohon kembali digugat oleh Lie
Tek Hok dan Totok Marjono serta Ng A Thiam Al Kasim mengajukan
perkara PKPU yang ke 2 (dua) yang teregister dalam perkara Nomor
19
itu, menurut Pemohon sendiri bahwa sdr. Lie Tek Hok yang memiliki
hubungan dengan Pemohon. Kalau umpamanya benar demikian jelas
bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon sebagaimana dalam posita
permohonan Pemohon Pihak yang menjadi Kreditur dalam perkara ini
seharusnya bukanlah para Pemohon melainkan hanya Pemohon I
yaitu Lie Tek Hok namun faktanya pun tidak ada lagi hutang Termohon
kepada Pemohon I karena sudah dibayar bahkan sebagaimana
Termohon uraikan pada sebelumnya Lie Tek Hok yang berhutang
kepada anak Termohon Hermawan”;
c. Bahwa Pemohon kemudian digugat PKPU untuk yang ke 3 (tiga) oleh Lie
Tek Hok dan Totok Marjono serta Ng. A Thiam Al Kasim yang
mengajukan perkara PKPU yang ke 3 (tiga) yang teregister dalam
Perkara Nomor 18/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.NIAGA.Medan., diputus
tanggal 27 Juli 2020, yang amar putusannya Menolak Permohonan
PKPU, dalam pertimbangan hukumnya sebagai berikut:
21
- “Bahwa mengenai Bilyet Giro yang dibuat atas nama para Pemohon
dalam kesimpulannya Termohon PKPU menyatakan bahwa Bilyet
Giro sebagaimana dalam bukti P-7 sampai dengan bukti P-16 ada
perbedan isi Bilyet Giro dengan saat diajukan sebagai bukti pada
Perkara Perdata Nomor 30/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Mdn, yang
mana pada saat diajukan sebagai bukti pada Perkara Perdata Nomor
30/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga Mdn, tidak tercantum nama Penarik
yaitu PEMOHON PKPU, namun pada Perkara Nomor 8/Pdt.Sus-
PKPU/2020/PN.Niaga Mdn, jadi ada nama Penarik yaitu Pemohon
PKPU dan dalam Perkara a quo juga dimajukan sebagai bukti para
Pemohon PKPU”;
- Bahwa Cek yang juga digunakan sebagai alat bukti yang diajukan
dalam Perkara Nomor 42/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.NIAGA.Medan.,
oleh Lie Tek Hok dan A Lim Al A Boi serta Jefry Ong juga telah terbukti
melanggar Pasal 178 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH
Dagang) karena penetapan dimana tempat pembayaran harus
dilakukan dan tanggal dan tempat cek ditariknya; dan Pasal 206 KUH
Dagang karena melewati masa penarikan 70 (tujuh puluh) hari;
e. Bahwa akibat Pemohon dinyatakan pailit melalui PKPU oleh karena itu
menurut ketentuan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, tidak ada upaya hukum apapun bagi
Pemohon untuk memperoleh keadilan, padahal dengan adanya
ketidaktelitian Majelis Hakim dalam memeriksa, mengadili serta memutus
suatu perkara mengakibatkan Pemohon merasa dirugikan dan merasa
hak hukumnya telah dirampas oleh ketentuan Pasal tersebut, Pemohon
dapat adanya penerapan hukum yang keliru dan mencederai rasa
keadilan jika diberikan kesempatan upaya hukum kasasi atau peninjauan
kembali.
f. Bahwa akibat putusan tersebut Pemohon mencoba mengajukan upaya
hukum yaitu Kasasi pada tanggal 18 Februari 2021 , dan kemudian juga
Peninjauan Kembali pada tanggal 23 Februari 2021 akan tetapi ditolak
oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan di mana Panitera
Penggantinya mengatakan alasan penolakannya berdasarkan Pasal 235
ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU yang menyatakan ”Terhadap putusan PKPU tidak
dapat diupayakan hukum apapun”, dan juga berdasarkan Angka 5.4.1
dan 5.4.3 Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor:
109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman
Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, yang menyatakan baik PKPU Sementara dan PKPU
Tetap tidak tersedia upaya hukum apapun dan apabila ada pihak yang
tetap memaksakan mengajukan upaya hukum, panitera membuat Surat
25
E. Petitum
Bahwa oleh karena Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1) dan Pasal 295 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang tersebut, terbukti tidak mencerminkan asas
"Keadilan" dan bertentangan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka telah
menimbulkan kerugian secara konstitusional baik bagi Pemohon Uji Materiil,
maka dengan adanya pembatasan Upaya Hukum tersebut, tidak tertutup
kemungkinan celah-celah tersebut akan dimanfaatkan untuk merekayasa suatu
persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan menjatuhkan dan
menghentikan bisnis melalui Peradilan Niaga, dan ini harus dicegah tidak boleh
terjadi, karena Indonesia sangat membutuhkan Putusan Hakim yang konsisten
dan Putusan Hakim yang tidak bertentangan satu dengan yang lain, sehingga
terciptanya suatu keadilan yang hasilnya tentu diharapkan dapat dinikmati dan
mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Maka sudah sepatutnya Mahkamah
Konstitusi haruslah melakukan Uji Materiil (Judicial Review) terhadap ketentuan
Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1) dan Pasal 295 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, agar dapat diajukan Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan
Kembali kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia demi Kepastian Hukum
Yang Berkeadilan.
Berdasarkan atas hal-hal sebagaimana diuraikan tersebut di atas, maka
Pemohon dengan ini memohon kepada Mahkamah Konstitusi R.I., agar
berkenan memeriksa Permohonan a quo dan memberikan putusan sebagai
berikut:
kepada kreditor tepat pada waktu yang telah disepakati bersama, dan pada
saat debitor tidak mampu menyelesaikan utangnya sesuai jatuh tempo maka
dapat diberikan PKPU untuk memberikan waktu bagi debitor meningkatkan
ekonomi/usahanya guna mampu menyelesaikan utangnya kepada kreditor.
Bahwa dalil Pemohon yang menjelaskan alasan diputuskan status
pailit kepada Pemohon dikarenakan kekeliruan yang nyata dan kekhilafan
Majelis Hakim yaitu mengabaikan fakta-fakta hukum 3 (tiga) perkara
sebelumnya bukanlah merupakan tugas Mahkamah Konstitusi untuk
mengawasi putusan Pengadilan Niaga. Kekeliruan dari Putusan Majelis
Hakim Pengadilan Niaga yang didalilkan oleh Pemohon tidak ada kaitannya
dengan kerugian atas hak dan/atau kerugian konstitusional Pemohon,
sehingga perlu dibuktikan lebih jelas lagi di hadapan Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi kaitan antara pertimbangan-pertimbangan Majelis
Hakim yang memutus dan mengadili perkara Pemohon di Pengadilan Niaga
dengan kerugian konstitusional yang diderita oleh Pemohon. Selain itu, dalil
Pemohon tersebut tidak dapat dinyatakan inkonstitusional atau merugikan
hak konstitusional Pemohon karena yang diuraikan oleh Pemohon
merupakan kasus konkret.
c. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa
ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para
pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan
pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak
memedulikan kreditor lainnya.
d. Asas Integrasi
Asas integrasi dalam UU 37/2004 mengandung pengertian bahwa sistem
hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh
dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
4. Bahwa terdapat faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang: Pertama, untuk menghindari
perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa
Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor. Kedua, untuk menghindari
adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya
dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan
Debitor atau para Kreditor lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya
kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau
Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan
kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor
lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk
melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan
tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.
5. Bahwa PKPU adalah suatu masa tertentu yang diberikan oleh pengadilan
niaga kepada Debitor yang tidak akan dapat melanjutkan membayar utang
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, untuk menegosiasikan cara
pembayarannya kepada Kreditor, baik sebagian maupun seluruhnya,
termasuk merestrukturisasikannya apabila dianggap perlu, dengan
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran
sebagian atau seluruh utangnya kepada Kreditor. Dengan adanya PKPU
akan memberikan waktu kepada Debitor untuk menunda pelaksanaan
pembayaran utang dan membuka peluang bagi Debitor untuk dapat melunasi
utang. Dengan memberikan kesempatan kepada Debitor untuk
38
pasal yang dijadikan batu uji, yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun
1945. Mahkamah Konstitusi telah menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan
Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945 dalam Putusan Nomor 17/PUU-XVIII/2020,
dengan demikian DPR berpandangan permohonan pengujian Undang-
Undang a quo yang diajukan oleh Pemohon tidak dapat diajukan kembali
(ne bis in idem) sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (1) UU No. 8
Tahun 2011 yaitu Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “terhadap materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali.”
b. Bahwa dalam perbaikan permohonannya Pemohon menambahkan Pasal
295 ayat (1) UU 37/2004 untuk dilakukan judicial review namun terhadap
Pasal a quo tidak dijelaskan oleh Pemohon mengenai kerugian
konstitusional yang dialami Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal
a quo. Pemohon menambahkan Pasal a quo hanya untuk memberikan
perbedaan terhadap Putusan 17/PUU-XVIII/2020.
c. Pemohon mendalilkan terdapat argumen perbedaan alasan antara
Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 dan Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021.
Terhadap perbedaan perkara tersebut DPR berpandangan meskipun
terdapat dua nomor registrasi perkara yang berbeda tetapi memiliki
substansi pasal-pasal dengan muatan yang sama dan saling berkaitan.
d. Bahwa dalam pemeriksaan pendahuluan, Majelis Hakim Konstitusi
menanyakan kepada Pemohon apa permasalahan yang terjadi sehingga
Majelis Hakim perlu mengubah pendiriannya (vide Risalah Sidang
Pendahuluan hal 16). Namun di dalam perbaikan permohonan, Pemohon
tidak memberikan dalil yang jelas atas permasalahan yang dapat dijadikan
argumen bagi Mahkamah untuk mengubah pendirian sebelumnya yang
menyatakan bahwa tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma
Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004. Sesuai
pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-
XVII/2019:
“Menimbang bahwa secara doktriner maupun praktik, dalam pengujian
konstitusionalitas undang-undang, perubahan pendirian Mahkamah
bukanlah sesuatu yang tanpa dasar.
40
dimediasi oleh badan peradilan. Dengan demikian, jika hasil dari putusan
PKPU tersebut dipersoalkan kembali oleh salah satu pihak dengan jalan
melakukan upaya hukum, maka hal tersebut akan membuat musyawarah
antara kedua belah pihak yang telah ditempuh melalui jalur pengadilan
yakni PKPU dan sudah memakan waktu yang cukup lama justru akan
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi permohonan PKPU itu sendiri,
karena persoalan utang piutang antara kreditor dan debitor tidak juga
kunjung selesai sehingga tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya. Hal
demikian menegaskan bahwa di samping perkara PKPU tidak dapat
diajukan untuk kedua kalinya karena akan menimbulkan ketidakpastian
hukum terhadap upaya perdamaian yang telah dicapai, hal tersebut juga
jelas bertentangan dengan sifat dari perkara PKPU itu sendiri maupun
asas peradilan yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan.
13. Bahwa berdasarkan seluruh penjelasan di atas maka seluruh dalil Pemohon
Perkara 23 yang menyatakan Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan
Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945 adalah tidak berdasar.
karena persoalan utang piutang antara kreditor dan debitor tidak juga
kunjung selesai sehingga tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya. Hal
demikian menegaskan bahwa di samping perkara PKPU tidak dapat
diajukan untuk kedua kalinya karena akan menimbulkan ketidakpastian
hukum terhadap upaya perdamaian yang telah dicapai, hal tersebut juga
jelas bertentangan dengan sifat dari perkara PKPU itu sendiri maupun
asas peradilan yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan.
membuat rasa aman dan kepastian hukum bagi pelaku bisnis baik
dalam negeri maupun luar negeri.”
Pendapat Akhir Fraksi Partai Bulan Bintang Mawardi Abdullah SE, MM:
“Pada dasarnya kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
hutang sebagaimana diatur dalam RUU ini merupakan dua proses
insolvensi yang memiliki tujuan berbeda yaitu: di satu pihak,
kepailitan bersangkutan dengan kekayaan debitor dilikuidasi untuk
membayar tuntutan kreditor dan di pihak lain penundaan pembayaran
memberikan kepada debitor penyelesaian sementara terhadap
tuntutan kreditor agar melakukan reorganisasi dan meneruskan
kegiatan usaha yang pada akhirnya untuk memuaskan tuntutan
kreditor. Karena itu menurut Fraksi PBB dengan adanya UU tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang ini tentu
nantinya menjadi dasar hukum bagi proses peradilan yang
transparan, sehingga dapat menjamin adanya keadilan, kepastian
hukum dan perlindungan hukum dalam penyelesaian sengketa utang
piutang antara debitor dan kreditor, sehingga pada gilirannya akan
semakin mempertinggi kepercayaan investor (kreditor) untuk
berinvestasi di Indonesia.”
F. Petitum DPR
Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya,
Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan
sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard);
2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
3. Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;
4. Menyatakan Pasal 31 ayat (1), Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1) dan
Pasal 295 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4443) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum
mengikat.
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita negara republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
51
Apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat
lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
II. PENGUJIAN MATERllL KETENTUAN PASAL 235 AYAT (1), PASAL 293
AYAT (1) DAN PASAL 295 AYAT (1) UU KPKPU TERHADAP PASAL 280
AYAT (1) UUD SUDAH PERNAH DILAKUKAN PENGUJIAN
1. Pengujian materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-
Undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 78 ayat (1) dan (2)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021);
54
2. Pengujian Materiil Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU
terhadap Pasal 280 ayat (1) UUD 1945 sudah pemah diajukan permohonan
uji materiil oleh PT Korea World Center Indonesia yang diwakili oleh Mr. Gi
Man Song yang tercatat dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
dengan register perkara Nomor 17/PUU-XVlll/2020 tentang tidak adanya
upaya hukum apapun terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran
utang;
3. Terhadap Permohonan dalam perkara perkara nomor 17/PUU-XVlll/2020
telah diputus oleh Majelis Hakim Konstitusi pada tanggal 23 Juni 2020 yang
amar pada pokoknya menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
4. Adapun pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara tersebut adalah:
a. Bahwa Lembaga PKPU pada dasamya adalah bagian dari upaya hukum
yang mempunyai fungsi yang salah satunya untuk membantu pengusaha
khususnya Debitor yang terganggu akibat macetnya usaha yang
dijalaninya sehingga menyebabkan kesulitan untuk memenuhi kewajiban
kepada para Kreditor dalam menyelesaikan utang-piutangnya. Dengan
melihat keadaan seperti itu maka sangatlah tepat jika permasalahan
antara Debitor dan Kreditor dapat diselesaikan dengan jalan damai
sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU KPKPU yang
antara lain menyatakan bahwa "Untuk kepentingan dunia usaha dalam
menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan
efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya".
b. Bahwa dalam hal sebuah perusahaan yang mengalami kesulitan
mengenai kewajiban pembayaran utang kepada Kreditor tidaklah serta
merta dapat dinyatakan pailit. UU KPKPU telah memberikan mekanisme
hukum yang jelas yaitu dapat melalui PKPU dengan tujuan untuk
mengadakan rencana perdamaian antara para Kreditor dan Debitor
mengenai restrukturisasi utang Debitor kepada para Kreditor yang
diharapkan Debitor dapat melakukan pembayaran utang dengan jalan
perdamaian. Dengan adanya pengaturan jangka waktu untuk melakukan
tahapan-tahapan PKPU termasuk di dalamnya adalah perdamaian antara
Debitor dan Kreditor sebagaimana diatur dalam UU KPKPU, hal demikian
memberikan kesempatan atau waktu yang cukup bagi Debitor untuk
melunasi utang-piutangnya kepada para Kreditor secara keseluruhan
55
antara Debitor dan Kreditor agar Debitor tidak perlu dipailitkan (Pasal 222 jo.
Pasal 228 ayat (5) UU KPKPU).
Tujuan yang dimaksud dengan penundaan pembayaran utang Suspension
of Payment atau Surseance van Betaling adalah suatu masa yang diberikan
oleh undang-undang melalui putusan Hakim Niaga di mana dalam masa
tersebut kepada pihak Kreditor dan Debitor diberikan kesempatan untuk
memusyawarahkan cara- cara pembayaran seluruh atau sebagian utangnya,
termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut. PKPU
dapat dimohonkan baik Debitor maupun Kreditor, Kreditor sebagai Pemohon
PKPU biasanya sudah melakukan penagihan dengan berbagai cara
termasuk somasi. Karena Kreditor menganggap Debitor gagal bayar
sehingga memerlukan kekuatan hukum agar pinjaman bisa dikembalikan.
Dari pengajuan penundaan pembayaran inilah, pihak Kreditor mendapatkan
kepastian mengenai kapan mereka bisa menerima piutang yang sudah
diberikan kepada Debitor. Selain itu, prosedur ini juga bisa memberikan jalan
keluar bagi peminjam untuk melakukan restrukturisasi utang mereka
sehingga proses pembayaran menjadi lebih mudah. Sedangkan PKPU yang
dimohonkan oleh Debitor apabila Debitor tidak dapat atau memperkirakan
tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih dengan maksud untuk mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruhnya
kepada Kreditor. PKPU dilakukan sebagai upaya agar pihak peminjam tetap
bisa melunasi utangnya meski melebihi batas waktu yang sudah ditetapkan.
Untuk bisa mengajukan permohonan PKPU baik Debitor atau Kreditor harus
memenuhi beberapa alasan berikut:
a. Utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, tapi pihak peminjam belum
dapat menyelesaikan kewajibannya;
b. Peminjam atau Debitor memiliki lebih dari satu Kreditor;
c. Proses pengajuan utang dilakukan tanpa adanya jaminan. Kreditor
konkuren (yang memberikan p1nJaman tanpa agunan) biasanya
mengandalkan kepercayaan saja saat memberikan piutang. Karena tidak
ada jaminan, gagal bayar yang terjadi tentu akan merugikan mereka.
Adanya PKPU akan meminimalisir kerugian semacam ini menimpa
Kreditor konkuren.
58
sita umum atas seluruh harta Debitor membagi harta tersebut secara adil
kepada para Kreditor. Pembagian setidaknya didasarkan pada 3 (tiga)
prinsip yang ada dalam ranah hukum harta kekayaan, yaitu prinsip paritas
creditorium, prinsip pari passu prorate parte dan prinsip structured
creditors.
1) Prinsip paritas creditorium berarti semua kekayaan Debitor baik
bergerak maupun tidak bergerak, yang sekarang ada maupun barang-
barang yang di kemudian hari akan dimiliki Debitor terikat kepada
penyelesaian kewajiban Debitor. Prinsip ini sejalan dengan aturan
Pasal 1131 KUHPerdata. Berdasarkan prinsip ini segala harta
kekayaan Debitor akan menjadi jaminan bagiperutangannya dengan
semua Kreditor;
2) Prinsip pari passu prorate berarti bahwa kekayaan tersebut merupakan
jaminan bersama untuk para Kreditor dan hasilnya harus dibagikan
secara proposional antara mereka, kecuali apabila antara para
Kreditor ada yang harus didahulukan. Prinsip pari passu prorata parte
terdapat dalam Pasal 1132 KUHPerdata;
3) Prinsip structured creditors berkaitan dengan Kreditor yang harus
didahulukan dalam kepailitan. Kreditor dikelompokkan dalam 3 jenis
yaitu separatis, preferen, dan konkuren. Kreditor separatis merupakan
Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan seperti gadai, fidusia
dan hak tanggungan . Kreditor separatis diberikan kesempatan oleh
UU KPKPU untuk mengeksekusi sendiri jaminan seolah-olah tidak
terjadi kepailitan hanya saja jangka waktunya terbatas. Kreditor
preferen adalah Kreditor yang mempunyai hak mendahului karena
sifat piutangnya yang oleh undang-undang diberikan kedudukan
istimewa seperti biaya perkara, upah buruh terhutang dan tagihan
pajak. Oleh karena itu pembayaran utangnya didahulukan daripada
Kreditor konkuren. Sedangkan Kreditor konkuren merupakan kreditur
biasa yang tidak memegang jaminan kebendaan maupun memiliki
kedudukan istimewa. Kreditor konkuren akan mendapat bagian
pembayaran utang setelah Kreditor sepratis dan preferen.
b. Tujuan utama kepailitan adalah untuk menyelesaikan perkara utang
piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif . Kepailitan juga bertujuan
60
l. Salah satu tujuan dari UU KPKPU adalah perlindungan nilai dari boedel
pailit terhadap tindakan-tindakan merugikan dari berbagai pihak terhadap
proses kepailitan dan memfasilitasi pengurusan kepailitan ini secara adil
dan teratur.
m. Terhadap para Kreditor, prinsip fundamental dari UU KPKPU adalah
bahwa kepailitan adalah suatu collective proceedings, yang
mengharuskan adanya perlindungan kepentingan semua Kreditor
terhadap tindakan individual dari salah satu diantara mereka. Hal ini
termasuk pencegahan Kreditor untuk memulai tindakan penagihan
selama sebagian atau seluruh periode pengurusan dan likuidasi dan juga
menunda tindakan-tindakan yang telah be alan terhadap Debitor.
Tindakan tersebut disebut sebagai moratorium, penundaan, atau stay.
n. Lingkup stay haruslah luas berlaku untuk semua upaya penagihan dan
proses gugatan terhadap Debitor dan harta kekayaannya, baik
adminsitratif, penagihan melalui pengadilan maupun penagihan sendiri,
dan menahan Debitor untuk melakukan tindakan tertentu sehubungan
dengan kekayaannya, Kreditor konkuren dan Kreditor Separatis dari
melaksanakan hak-hak mereka, serta hak-hak Pemerintah untuk
melaksanakan hak prioritas yang mereka miliki.
o. Pengecualian terhadap Stay ini harus dinyatakan secara jelas , hal-hal
yang Pengecualian dapat termasuk hak untuk melakukan set off, netting
atas kontrak finansial , tindakan untuk melindungi kerusakan lingkungan
atau tindakan yang membahayakan kesehatan dan keamanan
masyarakat, tindakan untuk menghindari penyalahgunaan, seperti
penggunaan kepailitan sebagai perlindungan atas kegiatan illegal,
tindakan yang dimulai untuk menjaga tagihan terhadap Debitor dan
tindakan terhadap Debitor dan tindakan terhadap Debitor untuk kerugian
pribadi atau gugatan dalam hukum keluarga.
p. Dengan adanya materi muatan dalam Pasal 31 ayat (1) UU a quo,
regulator justru ingin memberikan jaminan kepastian hukum, keadilan
dan kemanfaatan bagi Kreditor secara umum dalam perspektif
kepentingan publik pada proses kepailitan. Adapun tujuan dari Pasal a
quo adalah agar tidak ada yang dapat menarik harta Debitor secara
sendiri-sendiri dan harus melalui boedel pailit. Bahwa tidak tepat jika
64
IV. PETITUM
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang
Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan pengujian (constitutional review)
ketentuan Pasal a quo Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan
putusan sebagai berikut:
69
maka terhadap putusan PKPU yang memiliki sifat yang sama dengan putusan
perdamaian tersebut seharusnya berlaku pula ketentuan yang sama.
8. Apabila terdapat kegagalan dalam proses PKPU sehingga menyebabkan
debitur pailit, maka debitur memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum
kasasi karena keadaan pailit diputuskan oleh Pengadilan Niaga (kasasi karena
keberatan atas putusan pailit Pengadilan Niaga).
9. Ketiadaan upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU pada hakekatnya
sesuai dengan asas keseimbangan yang dianut dalam UU KPKPU antara
Debitor dan Kreditor. Dalam hal permohonan PKPU ditolak, maka pengadilan
harus menyatakan Debitor pailit. Seimbang dengan hal tersebut, apabila
permohonan PKPU dikabulkan, Kreditor yang tidak menyetujuinya juga tidak
lagi dapat mengajukan upaya hukum. Selain itu, tidak adanya upaya hukum
dalam PKPU adalah untuk membedakan forum Kepailitan dan forum PKPU.
Mengingat sejatinya forum PKPU merupakan forum Kreditor dan Debitor untuk
melakukan restrukturisasi utang guna mendapatkan kepastian hukum kepada
kedua belah pihak dan mendorong adanya keberlangsungan usaha (going
concern) Debitur. Apabila upaya hukum setelah PKPU dibuka, maka justru
akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena semakin membutuhkan
waktu yang sangat lama dan tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya serta
tidak lagi memenuhi asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan
sebagaimana sifat dari PKPU itu sendiri.
10. Sita Umum pada prinsipnya adalah dalam rangka melindungi kepentingan
Kreditur terhadap tindakan Debitur yang dapat merugikan harta pailit atau
dengan cara-cara tertentu tidak memenuhi pembayaran utang-utangnya
kepada seluruh Kreditur baik konkuren, preferen dan separatis secara
proporsional. Disamping itu, Sita Umum juga mencegah Kreditur untuk
memaksakan melaksanakan eksekusi secara sendiri-sendiri atas harta Debitur.
Hingga saat ini belum ada aturan pelaksana dari UU KPKPU yang mengatur
tentang kedudukan Sita Umum terhadap sita lainnya termasuk sita pidana.
Namun demikian, dalam rangka harmonisasi pelaksanaan sita baik yang
dibawah sita umum kepailitan dan sita lainnya termasuk sita pidana, ke depan
diperlukan pengaturan yang memperhatikan aspek-aspek kepentingan publik
secara luas serta manfaat dari dilakukannya sita tersebut. Oleh karenanya,
substansi terkait dengan kedudukan Sita Umum dan Sita lainnya termasuk Sita
72
sendiri pengajuan permohonan hampir dua kali lipat dari 2019 hingga 2020
dan terus meningkat. Dari Januari hingga Juli 2021, jumlah permohonannya
mencapai 68% dari total pengajuan permohonan PKPU pada tahun 2020,
sehingga dengan pertimbangan tersebut, prediksi permohonan PKPU tahun
ini akan lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Dalam mengkaji opsi kebijakan yang terbaik, Pemerintah mendengar
berbagai pandangan dan aspirasi termasuk dari para pelaku usaha yang
menyatakan sedang kewalahan dan membutuhkan solusi segera. Terlebih
dengan adanya kasus-kasus perusahaan solven yang masuk dalam PKPU
bahkan berujung pailit. Ini menunjukkan bahwa masih ada oknum yang
memanfaatkan pandemi ini untuk kepentingan pribadi bahkan memperkaya
diri sendiri secara tidak sah. Selain itu, dari perspektif kreditur, Pemerintah
juga mendengar berbagai pandangan dan sepakat bahwa kebijakan yang
akan diambil harus menjaga keseimbangan hak antara debitur dan kreditur.
Opsi penundaan (moratorium) permohonan kepailitan dan PKPU dalam
jangka waktu tertentu (misalnya 6 bulan) sebagai langkah kebijakan darurat
(temporary measures) dipandang lebih efektif untuk menghentikan
peningkatan jumlah kepailitan pada masa pandemi. Hal ini
mempertimbangkan bahwa pandemi Covid-19 merupakan kondisi force
majeure yang telah menimbulkan dampak terhadap perekonomian dalam
hal ini terkait menurunnya kemampuan debitur untuk memenuhi kewajiban
pembayaran utang kepada krediturnya, dimana dampak tersebut dialami
dan dirasakan oleh hampir seluruh sektor meliputi usaha mikro, kecil,
menengah, dan besar.
Moratorium atau penundaan permohonan kepailitan dan PKPU dalam kurun
waktu tertentu merupakan breathing space bagi dunia usaha untuk
mengatur kembali posisinya, menyiapkan strategi dalam penyelesaian
utang-utangnya, serta meningkatkan cash flow untuk memastikan usahanya
tetap dapat berjalan dan mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja.
Pelaksanaan kebijakan moratorium tersebut juga tidak menutup peluang
tercapainya kesepakatan antara kreditur dan debitur mengenai
penyelesaian utang. Kreditur memiliki forum untuk penyelesaian utang,
antara lain melalui negosiasi bilateral di luar pengadilan (out of court debt
settlement), melakukan eksekusi jaminan secara langsung, dan pilihan
74
yang meliputi
tawaran
pembayaran
seluruh atau
sebagian
utang kepada
kreditur
konkuren
[Pasal
212]
2. Upaya hukum BISA DILAKUKAN TIDAK BISA TIDAK BISA
terhadap UPAYA HUKUM DILAKUKAN DILAKUKAN UPAYA
permohonan UPAYA HUKUM HUKUM
PKPU
“Selama delapan Pasal 218 “(1) Terhadap
hari setelah dicabut. putusan
diucapkannya penundaan
putusan, maka, kewajiban
dalam halnya Sehingga tidak pembayaran
permohonan itu dapat utang tidak dapat
ditolak, berhaklah dilakukan diajukan upaya
si berutang, dan upaya hukum hukum apapun.”
dalam halnya terhadap [Pasal 235 (1)]
permohonan permohonan “(1) Terhadap
dikabulkan, PKPU. putusan
bolehlah setiap Pengadilan
berpiutang yang berdasarkan
tidak telah ketentuan dalam
menyatakan Bab III ini [PKPU]
menyokong tidak terbuka upaya
pemberian hukum, kecuali
pengunduran ditentukan lain
memajukan dalam Undang-
permohonan Undang ini.”
banding terhadap
putusan tersebut.” [Pasal 293 (1)]
[Pasal 218]
Dengan
pengecualian
“Upaya hukum
kasasi dapat
diajukan oleh
Jaksa Agung
84
demi kepentingan
hukum.”
[Pasal 293
ayat (2)]
3. Upaya hukum BISA DILAKUKAN BISA BISA DILAKUKAN
terhadap UPAYA HUKUM DILAKUKAN UPAYA HUKUM
permohonan UPAYA HUKUM
pencabutan
PKPU
DAN
Upaya hukum
terhadap
pengakhiran
PKPU
“Selama delapan “Ketentuan “Ketentuan
hari setelah hari sebagaimana sebagaimana
ketetapan, maka, dimaksud dimaksud dalam
dalam halnya dalam Pasal 8, Pasal 11, Pasal
pengunduran itu Pasal 9, Pasal 12, Pasal 13, dan
dicabut, berhaklah 10 dan Pasal 11 Pasal 14 berlaku
si berutang, dan berlaku mutatis mutatis mutandis
dalam halnya mutandis terhadap putusan
permohonan akan terhadap pernyataan pailit
pencabutan itu putusan sebagai akibat
ditolak, berhaklah pengakhiran putusan
si yang penundaan pengakhiran
memajukan kewajiban penundaan
permohonan akan pembayaran kewajiban
pencabutan itu utang." pembayaran utang.”
untuk memajukan [Pasal 241] [Pasal 256]
permohonan
banding terhadap
ketetapan
Pengadilan
tersebut.”
[Pasal 241 ayat 1]
4. Upaya Hukum BISA DILAKUKAN BISA BISA DILAKUKAN
Terhadap UPAYA HUKUM DILAKUKAN UPAYA HUKUM
Penegasahan UPAYA HUKUM TERHADAP
Perdamaian PENGESAHAN
PERDAMAIAN,
NAMUN TIDAK
TERHADAP
PENOLAKAN
PERDAMAIAN
85
Bahwa menurut IKAPI, penyamaan upaya hukum yang dapat diajukan oleh Debitor
dalam PKPU maupun Kepailitan dapat memenuhi asas keseimbangan, asas
kelangsungan usaha, dan asas keadilan bagi Debitor, dengan tujuan agar Putusan
PKPU, dapat diperiksa dan diputus kembali oleh Majelis Hakim dalam Badan
Peradilan yang lebih tinggi, sehingga jika terjadi kekeliruan ataupun kekhilafan atas
Putusan tersebut, dapat diperbaiki, sebagaimana layaknya upaya hukum terhadap
Putusan Pernyataan Pailit atas Permohonan yang diajukan oleh Kreditor.
5. Bahwa dalam praktik dan realitas keseharian, tidak semua debitor mau
bertindak gentlemen dan bersedia mengakui utangnya, apalagi secara sukarela
serta memiliki good will mau mengajukan PKPU, padahal sudah ditagih oleh
kreditornya dengan baik dan sesuai prosedur. Situasi faktual ini yang membuat
relasi hukum debitor dan kreditor serta pelaksanaan hukum perjanjian utang
piutang berpotensi mengalami kemandegan. Jika hanya mengedepankan
mekanisme hukum perdata biasa, maka akan terjadi penumpukan perkara
sengketa utang piutang yang banyak dan berkepanjangan yang secara jangka
panjang akan rnengakibatkan kondisi perekonomian nasional memburuk akibat
tidak berjalannya bisnis dan perekonomian secara cepat dan pasti. Mengatasi
masalah ini, ijtihad hukum baru dilakukan oleh pembentuk UU dengan membuka
ruang bagi kreditor untuk mengajukan PKPU kepada debitomya, tentu dengan
tujuan yang sama saat Debitor mengajukan PKPU bagi dirinya sendiri, yakni
memungkinan Debitor mengajukan rencana perdamaian (Pasal 222 ayat (3) UU
Kepailitan dan PKPU)
6. Bahwa dalam rangka memverifikasi permohonan PKPU yang dimohonkan
Kreditor, Pengadilan diwajibkan untuk memanggil Debitor (Pasal 224 ayat (3)),
dan diberikan waktu paling lambat 20 hari untuk memutus permohonan, waktu
yang lebih lama dibandingkan memutus permohonan PKPU yang dimohonkan
sendiri oleh Debitor yang hanya dibatasi paling lambat 3 hari [Pasal 225 ayat (2)
dan (3))
7. Bahwa dalam praktik, Pengadilan Niaga tidak serta merta mengabulkan seluruh
permohonan PKPV yang diajukan Kreditor, jika tidak ditemukan alasan hukum
yang cukup untuk itu. Hal ini sebagaimana diakui sendiri oleh Pemohon di mana
Pemohon telah dimohonkan 4 kali untuk PKPU oleh Kreditornya, di mana pada
3 permohonan sebelumnya permohonan PKPU oleh Kreditornya ditolak oleh
Pengadilan Niaga. Baru pada permohonan terakhir, Pemohon diputus dalarn
PKPU dengan putusan Nomor 42/Pdt.Sus.PKPU/2020/PN.NIAGA.Mdn
(Permohonan Hal. 8 dan 18).
8. Bahwa putusan PKPU bukanlah bersifat penghukuman atau sentencing
terhadap debitor, melainkan hanya perubahan status debitor menjadi dalam
keadaan PKPU untuk memberikan waktu atau penangguhan untuk membayar
kewajiban kepada para kreditornya agar dapat mencapai suatu restrukturisasi
sehingga dirinya terhindar dari kepailitan. Bahwa dalam praktiknya, jika memang
94
debitor masih dalam kondisi mampu untuk membayar dan memiliki iktikad baik
untuk menyelesaikan kewajibannya kepada kreditor, mekanisme PKPU menjadi
jalan ishlah yang baik bagi debitor maupun kreditor karena perdamaian terjadi
dan bisnis dapat berjalan kembali. Akan tetapi, jika memang Iaktanya debitor
sudah berada dalam kondisi insolvent namun tidak mau mengakui kondisinya
sendiri meskipun tetap ingin melanjutkan bisnisnya, maka PKPV yang diajukan
kreditor dapat menyelesaikan ego debitor tersebut.
9. Bahwa pembagian PKPU yang terdiri dari PKPU Sementara dan Tetap dengan
batas waktu yang jelas, yakni hingga hari ke-45 sejak putusan PKPU Sementara
diucapkan (Pasal 225 ayat (4)) untuk PKPU Sementara dan hingga 270 hari
selelah putusan PKPU Sementara diucapkan untuk PKPU Tetap (Pasal 228
ayat (6)), adalah waktu yang sangat cukup untuk mencapai perdamaian antara
debitor dan kreditor. Tentu, jika debitor punya iktikad baik untuk mengajukan
proposal perdamaian yang rasional dan realistis. Dan dalam pengalaman
anggota AKPI, tidak selalu PKPU berakhir dengan kepailitan, banyak PKPU
yang menghasilkan perdamaian dan keberlanjutan kerjasama dan bisnis para
pihak
10. Bahwa mekanisme PKPU yang dibuat secara sistematis dengan batasan waktu
yang jelas dalam praktik tclah memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan
upaya penyelesaian utang-piutang melalui skema PKPU. Adanya pintu upaya
hukum di tengah proses perdamaian yang sedang diupayakan baik dalam PKPU
Sementara atau Tetap akan merusak seluruh upaya yang telah ditempuh. Tidak
saja upaya hukum yang terbuka terhadap putusan PKPU membuat insecure
proses, tapi pada akhirnya akan menciptakan ketidakadilan bagi para yang
beriktikad baik. Bagaimana misalnya jika perdamaian berhasil dibuat, namun
ternyata karena masih adanya upaya hukum terhadap putusan PKPU dan
ternyata isinya rnernbatalkan putusan PKPU, tentu hal ini akan melahirkan
situasi ketidakpastian dan ketidakadilan bagi para pihak yang telah berhasil
dengan iktikad baik membuat perdamaian. Dus, jika masih terbuka ruang untuk
melakukan perlawanan hukum terhadap PKPU, maka hampir bisa dipastikan
upaya dan tujuan untuk mencapai perdamaian tidak akan pernah berhasil,
karena pihak yang memang sejak awal tidak menginginkan PKPU (baca: debitor)
pasti akan meminta untuk menunggu putusan final. Atas dasar inilah,
memberikan ruang bagi terbukanya mekanisme perlawanan hukum, apapun
95
14. Bahwa AKPI merupakan pihak yang aktif dalam mengawal perubahan UU ini
dan telah mengajukan berbagai masukan agar UU ini menjadi lebih baik dan
sesuai dengan kebutuhan saat ini. AKPI berharap perubahan UU ini tidak
96
KESIMPULAN
1. Pihak Terkait AKPI berpandangan bahwa jika terhadap PKPU dapat diajukan
upaya hukurn maka hal ini menjadi sesuatu yang bertentangan dengan tujuan
dari PKPU itu sendiri yaitu kesempatan untuk mencapai perdamaian dengan
para kreditornya. Meski PKPU itu mungkin diajukan oleh kreditornya, tetap tidak
merubah ruh serta tujuan dari PKPU itu sendiri.
2. Upaya hukum yang selayaknya menjadi hak hukum dalam suatu
perkaratersebut dikompensasi dengan adanya waktu paling lama 270 (dua ratus
tujuh puluh) hari bagi debitor untuk mencapai perdamaian dengan para
kreditornya. Jika memang debitor berhasil mencapai perdamaian dengan para
kreditornya dalam jangka waktu yang diberikan (cat: bahkan beberapa debitor
berhasil mencapai perdamaian dalam waktu 45 hari meskipun PKPU diajukan
oleh kreditomya) tersebut, tentunya menjadi pembuktian bahwa kegiatan usaha
debitor ini masih sanggup dan layak untuk beroperasi tanpa harus ada upaya
hukum terhadap putusan PKPU-nya. Sebaliknya, jika debitor gagal dalam
mencapai perdamaian, maka hal tersebut juga menjadi pembuktian bahwa
memang debitor tidak sanggup lagi melaksanakan kewajibannya sehingga
harus pailit
PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana tersebut di atas, Pihak Terkait AKPI,
memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk
menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya
menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
2. Menerima keterangan terkait Pihak terkait AKPI untuk seluruhnya;
3. Menyatakan Pasal 235 ayat (1), 293 ayat (1) dan 295 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat;
97
[2.9] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan,
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
dan berwenang bertindak untuk dan atas nama PT Sarana Yeoman Sembada
selaku Pemohon dalam permohonan a quo;
3. Bahwa dengan berlakunya norma Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan
Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 menyebabkan Pemohon tidak dapat mengajukan
upaya hukum apapun yang berakibat tidak dapatnya Pemohon mengelola harta
kekayaannya akibat status pailit dari Putusan Nomor 42/Pdt.Sus-
PKPU/2020/PN.NIAGA.Mdn bertanggal 15 Desember 2020. Ketiadaan akses
keadilan untuk melakukan upaya hukum telah menyebabkan kerugian hak
konstitusional Pemohon, khususnya hak untuk mendapatkan kepastian,
perlakuan yang sama dan rasa keadilan di hadapan hukum sebagaimana
dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
4. Bahwa selain itu, dengan ditutupnya upaya hukum apapun terhadap putusan
kepailitan yang didahului oleh atau berasal dari putusan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) potensial dimanfaatkan untuk merekayasa suatu
persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan menjatuhkan dan
menghentikan bisnis kompetitornya melalui Peradilan Niaga, bahkan juga
berniat jahat menghentikan atau mematikan kegiatan suatu badan usaha yang
justru dapat merugikan kepentingan perekonomian negara, seperti yang dialami
Pemohon;
5. Bahwa meskipun terdapat ketentuan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004, akan tetapi
upaya hukum dalam pasal tersebut hanya untuk perkara yang langsung diajukan
permohonan pailit, bukan yang berasal dari permohonan PKPU yang telah
ditentukan oleh Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 tidak
terbuka upaya hukum, sehingga dengan berlakunya ketetuan-ketentuan
tersebut menyebabkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi Pemohon;
6. Bahwa menurut Pemohon apabila permohonan pengujian Pasal 235 ayat (1),
Pasal 293 ayat (1) dan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 dikabulkan maka hak
konstitusional Pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta persamaan yang sama di hadapan hukum tidak lagi akan
dirugikan.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon
telah dapat menerangkan kualifikasinya sebagai badan hukum privat yang diwakili
oleh Direktur. Dalam kualifikasi demikian, Pemohon juga telah menguraikan secara
101
Pokok Permohonan
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 235 ayat (1), Pasal 293
ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut (dalil atau
argumentasi Pemohon selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara):
1. Bahwa menurut Pemohon, masalah sebenarnya dimulai dari keberadaan Pasal
222 ayat (1) dan ayat (3) UU 37/2004 yang memberikan kesempatan kepada
pihak kreditor untuk mengajukan permohonan PKPU;
2. Bahwa menurut Pemohon, modus mempailitkan perusahaan atau badan usaha
yang masih solven sangat dimungkinkan dengan keberadaan Pasal 222 ayat
(1) dan ayat (3) UU 37/2004, sehingga telah menjadi isu umum dan menjadi
agenda progam legislasi nasional untuk diubah. Hal ini juga bertentangan
dengan Asas “Putusan Pernyataan Pailit Tidak Dapat Dijatuhkan terhadap
Debitor yang Solven”;
3. Bahwa menurut Pemohon, dikarenakan Pemohon dinyatakan dalam PKPU
sementara oleh karena itu dengan sangat terpaksa Pemohon mengajukan
102
proposal perdamaian, akan tetapi ditolak oleh Pemohon PKPU dan kreditor
lainnya, sehingga mengakibatkan Pemohon berstatus pailit berdasarkan
Putusan Nomor 42/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.NIAGA.Medan, bertanggal 15
Februari 2021;
4. Bahwa menurut Pemohon, mekanisme proposal perdamaian sama sekali bukan
digunakan untuk mencari solusi tetapi justru legitimasi agar dipailitkan,
sementara itu tidak ada upaya hukum apapun;
5. Bahwa menurut Pemohon, berlakunya Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1),
dan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 mengakibatkan tidak ada upaya hukum
apapun bagi Pemohon untuk memperoleh keadilan, padahal dengan adanya
ketidaktelitian Majelis Hakim dalam memeriksa, mengadili serta memutus suatu
perkara mengakibatkan Pemohon merasa dirugikan dan merasa hak hukumnya
telah dirampas oleh ketentuan pasal tersebut. Pemohon mendapati adanya
penerapan hukum yang keliru dan mencederai rasa keadilan jika tidak diberikan
kesempatan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali;
6. Bahwa menurut Pemohon, seharusnya atas putusan PKPU yang bermasalah,
khususnya putusan PKPU sementara dan status pailit yang berawal dari
permohonan PKPU tetap terbuka diajukan upaya hukum agar kebenaran
sesungguhnya atas keberadaan adanya utang atau tidak, dapat dibuktikan
terlebih dahulu sebelum berujung pada dijatuhkannya putusan pailit karena
modus operandi yang mengingkari semangat perdamaian. Di sisi lain, dalam
undang-undang yang sama, perkara permohonan pailit yang juga berujung
dijatuhkannya putusan pailit diberikan akses keadilan untuk mendapatkan
upaya hukum, baik kasasi maupun peninjauan kembali. Hal ini tentu
menunjukkan adanya nilai diskriminatif.
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”
[3.8.1] Bahwa Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 pernah
diajukan pengujiannya kepada Mahkamah dalam Perkara Nomor 17/PUU-
XVIII/2020 dan telah diputus pada 23 Juni 2020, dengan amar putusan, “Menolak
permohonan Pemohon untuk seluruhnya”;
[3.17.1] Bahwa berkenaan dengan permohonan PKPU tidak dapat dilepaskan dari
keadaan keuangan seorang debitor yang mengalami kesulitan, sehingga berpotensi
adanya ketidakmampuan membayar utang-utangnya dan oleh karenanya
diperlukan beberapa upaya antara lain:
1. mengadakan perdamaian di luar pengadilan dengan para kreditornya atau di
dalam pengadilan apabila debitor digugat secara perdata;
2. mengajukan permohonan PKPU termasuk mengajukan perdamaian dalam
PKPU;
3. mengajukan permohonan agar debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan
termasuk mengajukan perdamaian dalam kepailitan.
222 ayat (1) UU 37/2004 permohonan PKPU tidak hanya diajukan debitor, akan
tetapi juga dapat diajukan oleh kreditor. Hal demikian yang kemudian menimbulkan
persoalan yang disebabkan adanya ketidaksesuaian antara tujuan permohonan
PKPU, yang semula adalah menjadi instrumen bagi debitor di dalam menghindari
adanya kepailitan dengan mengajukan permohonan PKPU, namun pada
kenyataannya akibat pailit tersebut tidak dapat dihindari apabila permohonan PKPU
diajukan oleh kreditor dan tidak diperoleh adanya perdamaian.
[3.17.3] Bahwa berkaitan dengan permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor
secara terminologi adalah hak yang diberikan kepada kreditor untuk mengajukan
permohonan dengan alasan kreditor memperkirakan bahwa debitor tidak dapat
melanjutkan pembayaran utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dengan memohon agar debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang,
untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya [vide Pasal
222 ayat (3) UU 37/2004]. Lebih lanjut, secara doktriner dapat dijelaskan, hak untuk
mengajukan permohonan PKPU oleh kreditor didasarkan pada pertimbangan salah
satunya penerapan asas keseimbangan dan asas keadilan. Artinya, apabila debitor
benar-benar mengalami kesulitan untuk melakukan rencana pembayaran atas
108
utangnya terhadap kreditor maka kepada kreditor diberi hak untuk mengajukan
permohonan PKPU agar debitor tidak dalam keadaan yang semakin sulit di dalam
menyelesaikan utang-utangnya, sehingga dapat dihindari adanya kepailitan. Oleh
karena itu, “niat baik” dari kreditor seharusnya tidak boleh tercederai oleh tujuan lain
yang justru akan menghadapkan debitor dalam posisi dapat kehilangan kesempatan
untuk melanjutkan kelangsungan usahanya dan “terjebak” dalam keadaan pailit.
harus menyesuaikan dengan putusan perkara ini. Demikian halnya, guna mengatur
lebih lanjut berkenaan dengan mekanisme pengajuan upaya hukum kasasi
sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, maka Mahkamah Agung
secepatnya membuat regulasi berkaitan dengan tatacara pengajuan upaya hukum
kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor di mana tawaran
perdamaian dari debitor telah ditolak oleh kreditor.
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil
Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.22] Menimbang bahwa terhadap dalil dan hal-hal lain dari permohonan
dipandang tidak relevan, oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
KETUA,
ttd.
Anwar Usman
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
Aswanto Suhartoyo
113
ttd. ttd.
Enny Nurbaningsih Arief Hidayat
ttd. ttd.
Daniel Yusmic P. Foekh Manahan M.P. Sitompul
ttd. ttd.
Saldi Isra Wahiduddin Adams
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Syukri Asy’ari