Putusan Mkri 9331 1697427385
Putusan Mkri 9331 1697427385
Putusan Mkri 9331 1697427385
PUTUSAN
Nomor 55/PUU-XXI/2023
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus, yang masing-masing bertanggal 28
April 2023, 30 April 2023, dan 10 Mei 2023, memberi kuasa kepada M. Maulana
Bungaran, S.H., M.H. dan Munathsir Mustaman, S.H., M.H., yaitu advokat pada
Kantor Hukum Bungaran & Co, yang beralamat di Jalan Utan Kayu Raya Nomor 89,
Kecamatan Matraman, Kota Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta, baik bersama-
sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------------------- para Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
I. Kewenangan Mahkamah
Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa pengujian
Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar 1945 diatur dalam:
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur
dalam UUD 1945.
2. Bahwa, terkait kedudukan hukum dalam kaitannya dengan kerugian
konstitusional, Mahkamah telah membuat batasan dalam Putusan
Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007, yang
pada dasarnya mensyaratkan 5 (lima) hal, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan Konstitusional Para Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
6
(tiga puluh empat) tahun, Pemohon III Emil Elestianto Dardak berusia
38 (tiga puluh delapan) tahun, Pemohon IV Ahmad Muhdlor berusia 32
(tiga puluh dua) tahun, dan Pemohon V Muhammad Albarraa berusia
36 (tiga puluh enam) tahun. Oleh sebab itu, Para Pemohon dirugikan
oleh berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017.
c. Bahwa kerugian konstitusional Para Pemohon dimaksud bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi. Para Pemohon sebagai bagian dari penyelenggara negara
yang menjalankan fungsi eksekutif berkaitan dengan penyelenggaraan
negara potensial dirugikan hak konstitusionalnya karena terhalang
untuk maju menjadi calon Presiden dan calon wakil Presiden yang
mempersyaratkan berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
Padahal, jabatan Presiden dan Wakil Presiden pun merupakan puncak
daripada fungsi eksekutif, sehingga adalah wajar dan menjadi
beralasan apabila setiap perorangan warga negara yang menjalankan
fungsi eksekutif tingkat daerah provinsi, kabupaten, dan kota harus
diberikan perlindungan dan jaminan atas kepastian hukum yang adil
serta kesempatan yang sama (tidak diskrimintaif) dalam pemerintahan
untuk mencapai puncak fungsi eksekutif dengan cara satu diantaranya
mencalonkan diri menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Dengan demikian, pengalaman Para Pemohon sebagai
penyelenggara negara di tingkat daerah provinsi, kabupaten, dan kota
merupakan bekal yang penting bagi Para Pemohon untuk maju
menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden meskipun berusia di
bawah 40 (empat puluh) tahun.
d. Bahwa sebab keberlakuan ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017
yang mengatur persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon
Wakil Presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun
berakibat pada Para Pemohon sebagai penyelenggara negara yang
saat ini berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun dirugikan tidak dapat
maju menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden pada pemilu
selanjutnya karena terhalang pemenuhan syarat sebagaimana
dimaksud Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Oleh sebab itu, telah tampak
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
8
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Para
Pemohon sebagai bagian dari penyelenggara negara yang menjalankan
fungsi eksekutif berkaitan dengan penyelenggaraan negara potensial
dirugikan hak konstitusionalnya karena terhalang untuk maju menjadi
calon Presiden dan calon wakil Presiden yang mempersyaratkan berusia
paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Padahal, jabatan Presiden dan
Wakil Presiden pun merupakan puncak daripada fungsi eksekutif,
sehingga adalah wajar dan menjadi beralasan apabila setiap perorangan
warga negara yang menjalankan fungsi eksekutif tingkat daerah provinsi,
kabupaten, dan kota harus diberikan perlindungan dan jaminan atas
kepastian hukum yang adil serta kesempatan yang sama (tidak
diskrimintaif) dalam pemerintahan untuk mencapai puncak fungsi eksekutif
dengan cara satu diantaranya mencalonkan diri menjadi calon Presiden
dan calon Wakil Presiden. Dengan demikian, pengalaman Para Pemohon
sebagai penyelenggara negara di tingkat daerah provinsi, kabupaten, dan
kota merupakan bekal yang penting bagi Para Pemohon untuk maju
menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden meskipun berusia di
bawah 40 (empat puluh) tahun.
8. Bahwa sebab keberlakuan ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang
mengatur persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil
Presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun berakibat
pada Para Pemohon yang saat ini berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun
dirugikan tidak dapat maju menjadi calon Presiden dan calon Wakil
Presiden pada pemilu selanjutnya karena terhalang pemenuhan syarat
sebagaimana dimaksud Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Oleh sebab itu, telah
tampak adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian in casu Pasal
169 huruf q UU 7/2017.
9. Bahwa apabila Permohonan a quo dikabulkan dengan dinyatakannya
Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, maka potensial
kerugian konstitusional Para Pemohon tidak akan terjadi.
10. Bahwa demi hukum sudah sepatutnya syarat berusia paling rendah 40
(empat puluh) tahun sebagaimana dimaksud Pasal 169 huruf q UU 7/2017
19
fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif yang meliputi seluruh pejabat negara pada
lembaga tinggi negara (lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945),
menteri, gubernur, hakim, dan pejabat negara yang lain serta pejabat lain yang
memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara.
14. Bahwa definisi penyelenggara negara yang demikian sejalan juga dengan
definisi penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam beberapa
undang-undang yang lain yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
disebut UU 19/2019) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (selanjutnya disebut UU
40/2008). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 19/2019 disebutkan
bahwa, “penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan
kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi
dan tugas berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pun demikian dalam
ketentuan Pasal 1 angka 9 UU 40/2008 yang mengatur bahwa,
“penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
15. Bahwa penyelenggara negara menjalankan kekuasaan eksekutif, legislatif,
atau yudikatif dan memiliki fungsi dan tugas pokok yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Halmana menunjukan bahwa penyelenggara negara bersifat
universal dan tidak diskriminasi karena melingkupi seluruh pejabat negara
yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain
yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
negara.
16. Bahwa selain itu, penyelenggara negara memiliki kemampuan dan
pengetahuan bagaimana memegang kekuasaan dan menjalankan
amanah kekuasaan tersebut sesuai dengan hukum dan ketentuan yang
berlaku baik menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Pun
demikian kekuasaan atau jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam
21
18. Bahwa berdasarkan fakta data empiris tersebut di atas, maka Indonesia
kini sudah memasuki tahap awal bonus demografi dengan ciri-ciri jumlah
penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan usia
nonproduktif. Puncak bonus demografi diperkirakan terjadi pada tahun
2030. Oleh sebab itu, menjadi penting, beralasan hukum, dan memiliki
urgensi nyata untuk menyambut momentum bonus demografi tersebut,
maka penduduk usia produktif (15-64 tahun) khususnya generasi yang
lebih muda berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun untuk
mempersiapkan diri dan dipersiapkan menjadi agen-agen pembangunan
nasional sejak sekarang satu diantaranya dengan maju menjadi calon
Presiden dan calon Wakil Presiden agar bonus demografi tersebut tidak
menjadi bencana nasional.
19. Bahwa sebelumnya terkait dengan ketentuan syarat batas usia dalam
suatu undang-undang, Mahkamah telah beberapa kali memberikan
pertimbangan/ pendapat dan putusan, di antaranya:
- Putusan Nomor 58/PUU-XVII/2019:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan dalam permohonan a
quo adalah Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada, yang rumusannya
berbunyi sebagai berikut:
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon
Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. ...
e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur
dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan
Calon Wakil Walikota.
Bahwa para pemohon yang berusia di bawah 30 (tiga puluh) tahun dan
25 (dua puluh lima) tahun yang berkehendak menjadi calon Gubernur
dan calon Wakil Gubernur maupun calon Bupati dan calon Wakil Bupati
serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota dalam putusan a quo
mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada
bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3),
24
serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Namun demikian, berdasarkan
seluruh pertimbangan Mahkamah, Mahkamah berpendapat
permohonan para pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 7 ayat
(2) huruf e UU Pilkada adalah tidak beralasan menurut hukum.
Sehingga, Mahkamah memberikan amar putusan menolak permohonan
para pemohon.
- Putusan Nomor 6/PUU-XIV/2016:
Dalam pertimbangannya pada poin 3.13.2, Mahkamah menyatakan
sebagai berikut:
Bahwa Undang-Undang a quo mengatur pemberhentian dengan hormat
hakim pengadilan pajak (usia pensiun) yaitu 65 tahun, sedangkan bagi
hakim tinggi di lingkungan peradilan tata usaha negara maupun
peradilan umum serta peradilan agama diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya karena telah berusia 67 tahun (vide Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, dan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009). Adanya ketentuan yang
mengatur tentang perbedaan perlakuan antara hakim pengadilan pajak
dan hakim di lingkungan peradilan lain di bawah Mahkamah Agung
tersebut, telah secara nyata memberi perlakuan yang berbeda terhadap
hal yang sama sehingga secara esensi bertentangan dengan ketentuan
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan pada saat yang sama bertentangan
pula dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu menurut
Mahkamah ketentuan pemberhentian dengan hormat dari jabatan
hakim bagi hakim pada pengadilan pajak harus disamakan dengan
ketentuan yang mengatur hal yang sama bagi hakim tingkat banding
pada pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 6/PUU-XIV/2016 tersebut
memberikan amar putusan yang salah satunya menyatakan frasa “telah
berumur 65 (enam puluh lima) tahun” dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022 tentang Pengadilan Pajak
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai disamakan dengan usia
25
bawah 40 (empat puluh) tahun untuk maju menjadi calon Presiden dan
calon Wakil Presiden, sehingga persyaratan calon Presiden dan calon
Wakil Presiden tidak hanya berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun,
melainkan juga memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara
adalah syarat yang penting dan utama.
27. Bahwa katakanlah kebutuhan objektif dan ukuran yang menjadi tuntutan
bagi calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan
anggota DPD cukup telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih
dengan pertimbangan karena anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota, dan anggota DPD bersifat kolektif kolegial dalam
pengambilan keputusan melalui suatu forum rapat. Maka, menurut hemat
Para Pemohon kebutuhan objektif dan ukuran yang menjadi tuntutan
syarat usia bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah “berusia
paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau memiliki pengalaman sebagai
penyelenggara negara” dengan pertimbangan pengalaman sebagai
penyelenggara negara menjadi penting untuk menjadi bekal bagi calon
Presiden dan calon Wakil Presiden yang berusia dibawah 40 (empat puluh)
tahun sebagaimana halnya diri Para Pemohon. Terlebih, jabatan Presiden
dan Wakil Presiden pun dalam mengambil keputusan juga bersifat kolektif
kolegial melalui suatu forum rapat bersama dengan para menteri-menteri
yang membantu dalam pengurusan pemerintahan.
28. Bahwa UUD 1945 tidak menentukan perihal persyaratan usia minimum
bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Oleh sebab konstitusi tidak
mengaturnya, maka kewenangan tersebut diberikan kepada pembentuk
undang-undang untuk menentukannya dan hal yang demikian merupakan
open legal policy. Namun demikian, dalam pembentukan undang-undang
dimaksud harus berdasarkan prinsip “perlakuan yang sama dihadapan
hukum”, prinsip “kesempatan yang sama dalam pemerintahan” dan prinsip
“jaminan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif”. Perwujudan
negara hukum yang demokratis harus dilakukan secara berkeadilan
dengan memperlakukan segala sesuatu secara sama, tanpa membeda-
bedakan (diskriminasi) atau tanpa mengistimewakan (priviligasi).
29. Bahwa sehubungan dengan open legal policy dapat ditemukan dalam
beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi di antaranya Putusan Nomor
30
norma yang diatur dalam UUD 1945. Norma tersebut tidak sejalan dengan
prinsip “persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan” dan
aksiologi hukum “kepastian hukum yang adil.”
34. Bahwa menurut Ronald Dworkin, maksim hukum itu tidak bersandar pada
aturan-aturan (rules) saja, tetapi juga prinsip-prinsip (principles). Prinsip-
prinsip merupakan bagian dari hukum. Prinsip-prinsip, menurut Dworkin,
memiliki dimensi kadar. Dengan demikian, jika prinsip-prinsip
bertentangan, maka metode yang tepat untuk memecahkan suatu masalah
adalah dengan memilih prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat dan
mengabaikan prinsip yang kadarnya lemah. (Ronald Dworkin. Law’s
Empire. Massachusetts: Harvard University Press, 1988, hlm.21). Dalam
kaitannya dengan persyaratan usia minimal calon Presiden dan calon
Wakil Presiden sebagaimana menjadi pokok perkara dalam permohonan
uji materi ini, maka ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bertentangan
dengan prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat sebagaimana terdapat
dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) jo Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
35. Bahwa usia di bawah 40 (empat puluh) tahun tidak dapat didalilkan belum
memiliki kapasitas (kemampuan) intelektualitas, kecerdasan spiritual, dan
kecerdasan emosi, dan sebutan lainnya, sehingga belum layak untuk
dicalonkan sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presien. Demikian itu
tidak dapat menjadi dalil kebenaran. Sejarah mencatat, beberapa Kepala
Negara (Khalifah) dengan usia yang relatif muda. Kepemimpinan mereka
demikian berprestasi tinggi, mampu mewujudkan peradaban, ilmu
pengetahuan berkembang pesat, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
tercapai. Sampai dengan saat ini, belum ada satu pun Kepala Negara yang
mampu menyamai dan menandingi mereka. Khalifah dimaksud adalah;
Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah pada saat usianya 37 (tiga puluh
tujuh) tahun, Harun al-Rasyid menjadi menjabat Khalifah pada saat
usianya 23 (dua puluh tiga) tahun dan Muhammad al-Fatih diangkat
Khalifah pada saat usianya sangat muda yakni 17 (tujuh belas) tahun.
36. Bahwa ditinjau dari Teori Korespondensi (Correspondence Theory of
Truth) dalil yang menyatakan bahwa usia di bawah 40 (empat puluh) tahun
belum layak untuk dicalonkan sebagai calon Presiden dan calon Wakil
Presiden, tidak dapat diterima. Tidak ada kesesuaian dengan fakta yang
34
IV. Petitum
Berdasarkan seluruh uraian di atas, Para Pemohon memohon kepada
Mahkamah untuk memutus permohonan pengujian Pasal 169 huruf q Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6109) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dengan amar putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon;
39
Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai
Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945,
maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi;
42
pemilihan umum presiden dan wakil presiden untuk perseorangan WNI dan
hak untuk mengusung calon presiden atau calon wakil presiden bagi partai
politik yang dirugikan dengan adanya ketentuan batas usia minimal calon
presiden atau wakil presiden dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu
sebagaimana yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Para
Pemohon. Hal demikian terjadi karena adanya ketentuan norma yang
mengatur tentang batas usia minimal tersebut secara nyata telah
menghalangi, membatasi dan bahkan menghilangkan hak konstitusional
Para Pemohon sebagaimana dijamin dalam konstitusi;
5. Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka telah jelas adanya hubungan sebab
akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional (rights to vote and
to be candidates) yang dialami oleh Para Pemohon, baik Pemohon
perseorangan WNI maupun partai politik dengan berlakunya undang-undang
yang dimohonkan untuk diuji. Sehingga dengan dikabulkannya permohonan
Para Pemohon, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
6. Bahwa meskipun demikian, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang
Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-
V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional dalam pengujian suatu
undang-undang secara materiil.
Pertanyaan Yang Mulia Hakim Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra, S.H.
1. Pergeseran penetapan batas angka usia calon presiden dan wakil presiden
dari usia 35 (tiga puluh lima) tahun di dalam UU 23/2003 dan UU 42/2008
menjadi usia 40 (empat puluh) tahun di UU Pemilu. Bagaimana perdebatan
mengkonteskan dua penetapan usia ini? Dan bagaimana pembentuk
undang-undang menyandingkan kedua angka tersebut dengan/ke konstitusi?
Kenapa pada akhirnya tidak memilih usia 35 tahun? Atau usia 30 tahun, 25
tahun atau 18 tahun? Karena banyak negara-negara lain yang mengatur
syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden adalah dibawah 35
tahun, dibawah 30 tahun dan bahkan 18 tahun.
Jawaban:
Bahwa terhadap pertanyaan tersebut DPR RI menerangkan, dalam naskah
akademik dan RUU a quo diatur usia minimal bagi calon presiden dan wakil
presiden yaitu adalah 35 (tiga puluh lima) tahun dengan mengacu pada UU
23/2003 dan UU 42/2008. Kemudian dalam pembahasan RUU a quo terjadi
dinamika dan disepakati bahwa usia minimal calon presiden dan wakil
presiden ditentukan menjadi 40 (empat puluh tahun), dalam Rapat Kerja
Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum yang kemudian disepakati berjudul Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum pada 23 Maret 2017.
Berdasarkan Risalah pembahasan UU 42/2008, perdebatan mengenai batas
usia presiden dan wakil presiden sebagai berikut:
a. Risalah Rapat Raker Panitia Khusus RUU Tentang Pemilihan Umum
Presiden Dan Wakil Presiden (Hal. 212-213 PDF)
Sifat rapat: Terbuka
Rabu, 4 Juni 2008
Ketua Rapat:
“Dari sejumlah daftar persyaratan yang disampaikan oleh Pemerintah
melalui RUU nya, pada DIM 55-76 itu pendapat A-S saya kira menyangkut
usia, pendidikan dan sebagainya. Ada 3 kategori yang disampaikan oleh
53
Ketua Rapat
“Dan kemudian juga soal usia yang didalam naskah Rancangan Undang-
Undang juga ada usia 35 tahun. Kemudian ada usulan untuk
menambahkan bahwa tidak saja batas bawah tetapi juga usia maksimal
ketika mendaftarkan adalah 60 tahun. Begitu juga ketika bicara soal
pendidikan, pendidikan dinas dalam Rancangan Undang-Undang ini
diitem ini ada paling rendah SMA atau sederajat, ada usulan yang sifatnya
redaksional yaitu bagaimana pengertiannya dikonkordasikan dengan
Undang-undang No. 10. Yakni paling rendah tamat SMA, MA, SMK, MA
atau bentuk lain yang sederajat yang kemudian ada usulan untuk jenis
atau jenjang pendidikannya adalah S1. Dengan ada beberapa variasi PKS
menyampaikan kemarin ketentuan S1 tidak berlak bagi yang pemah
menjabat bagi Presiden kalau dia mencalonkan diri.”
Jadi maksud saya karena ini jabatan ukurannya adalah keterpilihan kan
itu Pak Menteri ukuran sebetulnya keterpilihan Pak Menteri bukan hebat-
hebatan jabatan, pinter terbuka bukan juga pinter-pinteran, tapi
keterpilihan dia mau Profesor nya 7 juga kalau enggak terpilih sebaliknya
begitu kalau dia Cuma lulusan Pesantren umpamanya SMA, Aliyah, tapi
dipilih ya jadi, lah betul Pesantren itu bisa lebih hebat dari Profesor wong
dia hafal al-quran kira-kira itu saya.”
2. Terkait pola yang digunakan untuk mengubah usia yang digunakan dalam 3
perkara a quo yaitu Perkara 29 yang memohon usia calon presiden dan wakil
presiden dikembalikan ke pengaturan dua undang-undang sebelumnya,
sedangkan Perkara 51 dan 55 memohon agar menambahkan syarat calon
presiden dan wakil presiden yaitu berpengalaman sebagai penyelenggara
negara.
a. Terkait dengan hal tersebut, apakah level jabatan gubernur, bupati,
walikota akan adil apabila disejajarkan dengan jabatan presiden dan wakil
presiden?
b. Perlu tidak menyandingkan level berpengalaman di bidang
pemerintahan? Apakah Presiden dapat disejajarkan dengan Menteri?
c. Dan kebutuhan politik seperti apa untuk mengubah batas usia minimum
persyaratan usia calon presiden dan wakil presiden tersebut?
Jawaban:
Bahwa terkait presiden sebagai pemimpin tertinggi penyelenggara negara
tentu selain persyaratan batasan usia, juga dibutuhkan juga syarat
kompetensi dan kebijaksanaan yang cukup dalam mengambil keputusan
yang penting bagi negara dan rakyat, mengingat banyaknya tantangan dan
kompleksitas yang harus dihadapi dalam memimpin negara dengan luas
wilayah dan jumlah penduduk yang demikian besar serta perkembangan
global yang dampaknya juga mempengaruhi kondisi nasional. Sehubungan
dengan hal tersebut, sejauh ini telah terpilih sebagai penyelenggara negara
di cabang kekuasaan eksekutif yang berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun
di antaranya:
58
Bahwa selain itu, DPR berpendapat bahwa levelling, baik pada jabatan di
rumpun eksekutif maupun legislatif tentunya tidak dapat digunakan untuk
menakar pengalaman seseorang serta besar kecilnya kontribusi yang
diberikan terhadap penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan
pemerintahan. Pengalaman pada semua level kepemimpinan, baik pusat
maupun daerah memiliki bobot yang sama.
3. Apakah putusan perkara a quo akan digunakan untuk Pemilu Tahun 2024
atau Pemilu Tahun 2029?
Jawaban:
Bahwa terkait dengan hal tersebut, DPR RI menerangkan semakin cepat hak
konstitusional warga negara mendapatkan keadilan maka akan semakin baik
bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini sebagaimana disampaikan Willian E.
Gladstone, "Justice delayed is justice denied”. Frederick Douglass pun
menyatakan “where justice is denied, where poverty is enforced, where
ignorance prevails, and where any one class is made to feel that society is an
organized to oppress, rob and degrade them, neither persons nor property
will be save”.
Jawaban:
Bahwa DPR RI dalam hal ini berkedudukan sebagai pemberi Keterangan
berdasarkan panggilan yang diterima oleh DPR RI dari MK, dan bukan
sebagai Pemohon perkara. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau
warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Sebagai bentuk
penghormatan kepada MK, maka DPR RI berkewajiban menyampaikan
Keterangan DPR. Dalam persidangan yang mulia ini, DPR RI pun baru
mengetahui bahwa Pemerintah memiliki pandangan yang senada terhadap
permasalahan tersebut.
Dalam hal usia calon presiden maupun calon wakil presiden, DPR RI
menyerahkan kepada kebijaksanaan Mahkamah Konstitusi untuk
mempertimbangkan secara bijak dan adil atas permasalahan a quo agar
pengaturan batas usia calon presiden maupun calon wakil presiden mampu
memenuhi hak konstitusional warga negara dan mampu membawa
kepemimpinan bangsa kearah yang lebih baik.
D. PETITUM
Bahwa berdasarkan Keterangan DPR RI tersebut di atas, DPR RI “menyerahkan
sepenuhnya kepada kebijaksanaan Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk
mempertimbangkan dan menilai konstitusionalitas Pasal a quo UU Pemilu
terhadap UUD NRI Tahun 1945.”
2. Bahwa dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baik, memiliki
integritas dan kapabilitas moral yang memadai, mendapatkan kepercayaan
dari masyarakat, maka diperlukan kriteria-kriteria dan ketentuan syarat-syarat
tertentu. Hal tersebut merupakan kebutuhan dan persyaratan standar bagi
seseorang yang ingin mencalonkan diri baik sebagai Presiden dan Wakil
Presiden maupun untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, menyatakan
“Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut
dengan undang-undang”, hal ini mengandung makna bahwa kebijakan terkait
persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden merupakan
kewenangan pembentuk Undang-Undang yaitu DPR dan Pemerintah.
Pilihan kebijakan yang dilaksanakan oleh pembentuk Undang-Undang tentu
dengan memperhatikan aspek-aspek kehidupan secara komprehensif serta
dinamika yang berkembang dalam penyelenggaraan ketatanegaraan dan
pemerintahan dengan berpedoman pada nilai-nilai dasar yang termuat dalam
Pancasila dan UUD 1945.
4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menyatakan
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, dapat diartikan bahwa
setiap warga negara memilki hak yang sama untuk diakui keberadaan dan
eksistensinya, dijamin hak-haknya sebagai warga negara, serta dilindungi
kepentingan berdasarkan asas kepastian hukum dan kesetaraan di hadapan
hukum (equality before the law). Dengan demikian, maka hukum harus dapat
mengakomodir hal-hal tersebut dengan memperhatikan asas-asas hukum
yang bersifat fundamental.
5. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan
"Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan", mengandung makna bahwa siapapun warga negara memiliki
hak yang sama untuk mengabdikan diri dalam penyelenggaraan
pemerintahan dengan memperhatikan penalaran logis atas kemampuan
dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
6. Bahwa atas objek permohonan yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah
Konstitusi pernah memutus perkara serupa yaitu:
64
persayaratan usia minimum calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam
Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 merupakan Open Legal Policy pembentuk
Undang-Undang.
7. Bahwa dengan memperhatikan aturan yang termuat dalam UUD 1945 dan
beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan wajib
berpedoman pada UUD 1945 dan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum.
Selain hal tersebut juga perlu dipertimbangkan perkembangan dinamika
kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan, salah
satunya terkait dengan kebijakan Batasan usia bagi calon Presiden dan calon
Wakil Presiden, sehingga dapat diartikan bahwa hal tersebut merupakan
suatu hal yang bersifat adaptif/fleksibel sesuai dengan perkembangan
dinamika kehidupan berbangsa/bernegara sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan ketatanegaraan. Bahwa tolok ukur batasan usia, dengan
memperhatikan dinamika perkembangan usia produktif penduduk perlu untuk
dipertimbangkan kembali.
8. Dalam pengkajian atas putusan Mahkamah Konstitusi, ditemukan kondisi-
kondisi yang menjadi dasar pembentukan dan/atau materi Undang-Undang
yang dinilai bersifat Open Legal Policy, yaitu:
a. UUD 1945 memberikan mandat kepada pembentuk Undang-Undang untuk
mengatur suatu materi lebih lanjut, namun tidak memberikan batasan
pengaturan materinya.
b. UUD 1945 tidak memberikan mandat kepada pembentuk Undang-Undang
untuk mengatur suatu materi lebih lanjut.
9. Bahwa Pemerintah menghargai usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat
dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran dalam
membangun pemahaman tentang ketatanegaraan. Pemikiran-pemikiran
masyarakat tersebut akan menjadi sebuah rujukan yang sangat berharga bagi
Pemerintah pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Atas
dasar pemikiran tersebut, Pemerintah berharap agar Pemohon nantinya dapat
ikut serta memberi masukan dan tanggapan terhadap penyempurnaan
Undang-Undang a quo di masa mendatang dalam bentuk partisipasi
masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Harapan
66
Pemerintah pula bahwa dialog antara masyarakat dan Pemerintah tetap terus
terjaga dengan satu tujuan bersama untuk membangun kehidupan berbangsa
dan bernegara demi masa depan Indonesia yang lebih baik dan
mengembangkan dirinya dalam kepemerintahan dengan tujuan ikut
berkontribusi positif mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
IV. PETITUM
Bahwa berdasarkan Keterangan tersebut di atas, Pemerintah menyerahkan
sepenuhnya kepada kebijaksanaan Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk mempertimbangkan dan menilai
konstitusionalitas Pasal a quo UU Pemilu terhadap UUD 1945.
Namun apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Presiden. Hal ini bertentangan dengan konstitusi Pasal 28D ayat (1) dan
ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:
- Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945:
1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.
3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
- Pasal 28I ayat (2) UUD 1945:
2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
15. Bahwa aspirasi rakyat agar dalam pemilu yang akan datang dan pemilu
setelahnya dapat mengakomodir generasi muda berusia di bawah 40
(empat puluh) tahun yang memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara
Negara untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden cukup
beralasan mengingat mayoritas pemilih dalam pemilu yang akan datang dan
pemilu setelahnya adalah pemilih dari generasi muda dan di sisi lain
Indonesia segera memasuki puncak bonus demografi pada tahun 2030
mendatang. Di masa itu, jumlah penduduk berusia produktif akan lebih
banyak dibandingkan penduduk non produktif (Optimalkan Bonus
Demografi, agar Tak Terjebak di Pendapatan Menengah,
https://www.kemenkopmk.go.id/optimalkan-bonus-demografi-agar-tak-
terjebak-di-pendapatan-menengah, diakses 3 Agustus 2023 dan Analisis
Profil Penduduk Indonesia,
https://www.bps.go.id/publication/2022/06/24/ea52f6a38d3913a5bc557c5f/
analisis-profil-penduduk-indonesia.html, diakses 3 Agustus 2023).
16. Bahwa sebagaimana dalil Para Pemohon dalam Permohonan a quo,
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 19/PUU-V/2007 telah
menyatakan bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan
menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara
objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau
aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur
73
III. Petitum
Berdasarkan seluruh uraian di atas, Pihak Terkait memohon kepada
Mahkamah untuk memutus Permohonan a quo, dengan amar putusan sebagai
berikut:
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik
Indonesia;
atau dalam Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono).
76
1. Pada prinsipnya generasi muda menempati posisi khusus dan utama bagi
Pihak Terkait, yakni mulai dari pendiriannya di tahun 2008 sampai dengan
perjalanan Pihak Terkait disaat ini sebagai Partai Politik. Adapun yang
sudah dilakukan Pihak Terkait bagi generasi muda dalam konteks alih
kepemimpinan dimaksud, maka yang terdokumentasi dan diketahui
masyarakat umum, secara garis besar adalah:
1) Pihak Terkait sebagai Partai Politik didirikan pada tanggal 6 Februari
2008, dan tidak lama kemudian pada tanggal 7 Juli 2008 pengurus-
pengurus pada Pihak Terkait mendirikan organisasi kepemudaan Tunas
Indonesia Raya (TIDAR) sebagai organisasi sayap dari Pihak Terkait,
yang dibentuk dan ditujukan sebagai wadah kaderisasi bagi anak-anak
muda berusia 17 tahun sampai dengan 35 tahun. Saat ini untuk
kepengurusan dan keanggotaan daripada TIDAR tersebut sudah
tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia;
(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tunas_Indonesia_Raya; diakses 14
Agustus 2023)
2) Pada tahun 2015, Ketua Umum Pihak Terkait mendirikan Gerindra
Masa Depan (GMD) dengan tujuan sebagai wadah “regenerasi” bagi
generasi muda guna melanjutkan ideolodi, cita-cita, dan perjuangan
Pihak Terkait sebagai Partai Politik. Hal mana para generasi muda ini
dididik dan dilatih agar berjiwa nasionalis dan patriotis, serta
dipersiapkan untuk menjadi pemimpin-pemimpin dimasa mendatang.
Saat ini untuk Gerindra Masa Depan (GMD) diketahui sudah ada 14
angkatan dengan anggota sekitar 5000 orang, dan sudah banyak pula
anggotanya yang menjadi kepala daerah ataupun pimpinan daerah
ditempat asalnya masing-masing. Seperti contoh salah satunya adalah
Ketua DPRD Cianjur yang merupakan Ketua DPRD termuda se
Indonesia;
(https://www.google.com/amp/s/jabar.tribunnews.com/amp/2023/01/24/
gerindra-masa-depan-bentukan-prabowo-subianto-siapkan-regenerasi-
perjuangan-partai-di-ciamis; diakses 14 Agustus 2023 )
3) Bahwa adapun atas pendirian dan pembentukan organisasi-organisasi
kepemudaan sebagai wadah atau sarana bagi generasi muda dalam hal
kaderisasi dan regenerasi pada Pihak Terkait tersebut, maka hal
78
dimaksud adalah tindakan nyata yang telah dilakukan Pihak Terkait bagi
generasi muda penerus bangsa, yakni sebagai komitmen semangat
nasionalisme Pihak Terkait untuk membentuk karakter anak-anak muda
yang berkualitas sebagai calon pemimpin bangsa dimasa depan, guna
menjaga dan meneruskan cita-cita luhur perjuangan para pendiri
bangsa, yakni mewujudkan kemakmuran dan keadilan demi tercapainya
Indonesia yang berdaulat.
4) Bahwa selanjutnya pada tahun 2019, di saat Pihak Terkait ikut dalam
kontestasi demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden Republik
Indonesia periode 2019 – 2024, di mana pada saat itu Ketua Umum
Pihak Terkait menjadi calon presiden, maka untuk calon wakil presiden
pilihannya adalah tokoh muda, dengan maksud dan tujuan bahwa sudah
saatnya bagi kaum muda untuk bangkit, bergerak, berkontribusi, dan
mengambil peran untuk Indonesia yang lebih baik. Oleh karena Pihak
Terkait tetap berkeyakinan bahwa generasi muda adalah kekuatan
bangsa;
(https://www.google.com/amp/s/kumparan.com/amp/kumparannews/sa
ndiaga-uno-prabowo-pilih-wapres-muda-agar-milenial-berperan-aktif-
1550745496890177348; diakses 14 Agustus 2023)
5) Bahwa demikian pula di tahun 2020, disaat calon presiden Pihak Terkait
tidak terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, maka harapan dan
keyakinan Pihak Terkait bahwa generasi muda adalah kekuatan utama
suatu bangsa, maka hal tersebut diwujudkan Pihak Terkait dengan
mengisi dan menempatkan para kaum muda untuk menjadi pengurus di
Dewan Pengurus Pusat (DPP) Pihak Terkait;
(https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1373856/prab
owo-bakal-isi-pengurus-pusat-gerindra-dengan-anak-muda; diakses 14
Agustus 2023)
6) Bahwa lebih lanjut, di tahun 2022 sampai dengan bulan April tahun
2023, Ketua Umum Pihak Terkait diberbagai kesempatan kerap kali
menyampaikan pesan bahwa, “anak muda harus mengambil peran dan
menjadi pemimpin yang dibutuhkan dilingkungannya”, serta
menjelaskan pula bahwa Pihak Terkait adalah Partainya anak muda;
79
(https://indonesiadefense.com/dorong-anak-muda-jadi-pemimpin-ini-
pesan-menhan-prabowo/; diakses 14 Agustus 2023) serta
(https://microsite.suar.com/kotaksuara/read/2023/04/28/160337/prabo
wo-subianto-gerindra-adalah-partainya-anak-muda; diakses 14
Agustus 2023)
2. Bahwa atas hal-hal yang telah diuraijelaskan Pihak Terkait yang sesuai
fakta, yang dapat diketahui dari berbagai pemberitaan nasional yang
terpercaya dan terdokumentasi diatas, maka dapat diketahui, kebangkitan
dan peranan generasi muda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
bagi Pihak Terkait adalah hal yang utama dan istimewa, sehingga Pihak
Terkait sejak awal berdirinya di tahun 2008 sampai dengan saat ini, dan
bahkan kedepannya akan selalu berperan aktif serta akan terus mendorong
dan memotivasi generasi muda untuk bangkit, bergerak, berkontribusi, serta
mengambil peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna
mewujudkan Indonesia yang lebih baik;
3. Bahwa oleh sebab generasi muda memiliki kedudukan yang utama dan
istimewa bagi Pihak Terkait, di mana Pihak Terkait berkeyakinan bahwa
kekuatannya ataupun kekuatan suatu bangsa ada pada generasi muda,
sehingga karenanya permohonan Pihak Terkait ini senyatanya bukan
manuver kekuasaan ataupun mengikuti momentum sebagaimana yang
banyak diberitakan. Melainkan komitmen dan dukungan Pihak Terkait sejak
awal didirikannya bagi kepentingan generasi muda. Khususnya dalam hal
ini kepada Para Pemohon dan generasi muda yang sedang
memperjuangkan haknya secara konstitusional dan berdasar hukum;
4. Bahwa selanjutnya, Pihak Terkait berpendapat terhadap Undang-Undang
Nomor 7 tahun 2017 tentang PEMILU senyatanya masih perlu adanya
perbaikan-perbaikan. Terutama pada pasal 169 huruf q, yang menentukan
persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden berusia paling rendah
40 (empat puluh) tahun sebagaimana permohonan ini. Memperhatikan
bahwa Pihak Terkait tidak ikut menyetujui pengesahan Undang-Undang
PEMILU tersebut. Hal mana fraksi Pihak Terkait di DPR kala itu di bulan Juli
tahun 2017 bersama-sama dengan fraksi-fraksi dari Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah
80
menyatakan sikap untuk tidak ikut voting, dan memilih untuk walk out dari
rapat paripurna Pengesahan Undang-Undang PEMILU dimaksud;
5. Bahwa akan tetapi dan pada pokoknya, berkenaan dengan dukungan Pihak
Terkait terhadap generasi muda, maka sikap Pihak Terkait adalah sama dan
konsisten serta tetap berkomitmen dengan apa yang telah
diperjuangkannya bagi generasi muda, yakni dengan mengakomodir dan
tetap mendukung generasi muda untuk dapat memenuhi hak-hak
konstitusionalnya, diantaranya untuk menjadi calon presiden atau calon
wakil presiden. Hal mana diiantaranya dengan menjadi Pihak Terkait dalam
perkara permohonan ini;
6. Bahwa atas dukungan Pihak Terkait dalam hal syarat batas usia bagi
generasi muda untuk memenuhi hak-hak konstitusionalnya, diantaranya
untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden tersebut, maka bagi Pihak
Terkait masih ada hal yang perlu dan tidak kalah penting, yakni diperlukan
juga adanya syarat “memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara”
untuk menjadi pengecualian bagi persyaratan batas usia minimal calon
presiden dan calon wakil presiden walaupun usianya dibawah 40 tahun.
Oleh sebab, adanya “pengalaman sebagai penyelenggara negara” bagi
calon presiden atau calon wakil presiden dimaksud, senyatanya sangat
bernilai dan sangat diperlukan, agar masyarakat pemilih dapat mengetahui
sebelumnya tentang kapasitas dan kemampuan dalam hal menjalankan
pemerintahan dari para calon presiden atau calon wakil presiden yang akan
dipilihnya;
Bahwa dengan mendasarkan pada hal-hal yang telah diuraijelaskan Pihak
Terkait diatas, yang senyatanya merupakan keadaan fakta dan keadaan hukum
sebenarnya, maka dalam hal ini, sangat beralasan hukum Permohonan Pihak
Terkait dikabulkan oleh Mahkamah.
III. Petitum
Berdasarkan seluruh uraian di atas, Pihak Terkait memohon kepada
Mahkamah untuk memutus Permohonan a quo, dengan amar putusan sebagai
berikut:
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik
Indonesia;
81
3) Bahwa oleh karena itu, Pihak Terkait menilai Pasal 169 huruf q Undang-
Undang Negara Republik Indonesia No. 7 Tahun 2017 tersebut
konstitusional dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik secara formil
pembentukannya maupun secara materil substansi isi dan norma hukum
yang tersirat maupun tersurat di dalam Undang-Undang a quo karena
Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menjadi
objek dalam perkara permohonan para Pemohon, telah dibentuk dan
diundangkan secara benar, sah dan menurut konstitusi sebagaimana
termaktub dalam pasal 5 jo. 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dengan memperhatikan perkembangan dan
kenyataan sosial yang ada saat itu.
4) Bahwa lagi pula menurut Pihak Terkait, pengujian Pasal 169 huruf q
Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bersifat open
legal policy yang berproses melalui politik hukum antara pembuat Undang-
Undang itu sendiri yakni Pemerintah Negara Republik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Rakyat Negara Republik Indonesia.
89
3. Jika usia 35 tahun berlaku menjadi batas minimum usia capres cawapres,
hal itu diberlakukkan pada tahun 2029 karena di tahun tersebut memiliki
waktu panjang untuk persiapan bagi warga negara yang ingin mencalonkan
diri. Upaya untuk memastikan bahwa mereka yang berminat mencalonkan
diri memiliki kualifikasi yang sesuai dengan kompleksitas tugas
kepemimpinan. Dengan memberikan waktu yang cukup bagi warga negara
untuk mempersiapkan diri, harapannya adalah bahwa calon-calon yang
potensial akan lebih siap untuk menghadapi tantangan dalam memimpin
negara. Keputusan untuk menetapkan usia 35 tahun sebagai batas
minimum usia capres dan cawapres pada tahun 2029 adalah langkah
penting menuju pemimpin yang lebih matang, berkualitas, dan siap
menghadapi tantangan masa depan. Dengan memberi kesempatan kepada
calon pemimpin untuk tumbuh, belajar, dan berkontribusi seiring waktu,
negara memastikan bahwa pemilihan pemimpin tidak hanya berdasarkan
kriteria usia semata, tetapi juga kualitas kepemimpinan, visi, dan dedikasi
untuk kemajuan bangsa. Dengan demikian, Indonesia bergerak menuju
masa depan yang cerah dan berdaya saing, di bawah kepemimpinan yang
teruji dan siap menghadapi dinamika global. Dan juga untuk memastikan
bahwa calon pemimpin memiliki landasan yang kokoh dalam pengalaman,
kematangan, dan pemahaman terhadap tugas dan tanggungjawab
kepemimpinan. Hal ini diharapkan dapat berkontribusi pada pembentukan
pemimpin yang kompeten dan siap menghadapi tantangan masa depan
D. Petitum
Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana tersebut di atas, para Pemohon
memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai
berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pihak Terkait untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sudah tepat dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan memiliki
kekuatan hukum mengikat; atau
3. Menyatakan menolak perubahan batas usia minimum capres cawapres
berusia 40 tahun menjadi 35 tahun yang diajukan pemohon perkara ini untuk
pemilu 2024.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono).
Selain itu Pihak Terkait KIPP dan JPPR juga mengajukan seorang ahli
bernama Otong Rosadi yang menyampaikan keterangan tertulis bertanggal 5
September 2023, selengkapnya sebagai berikut:
98
ditemukan alat kelengkapan Negara yang lain di luar dari ketiga lembaga yang
disebutkan diatas, seperti lembaga eksaminatif atau inspektif yang dilaksanakan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Selain itu, amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 juga telah merubah pola supremasi
Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi supremasi hukum (konstitusi). MPR
bukan lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, karena semua lembaga negara
didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and balances. Boleh jadi
konsep klasik trias politica mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap
tidak lagi, pasca amanademen UUD 1945 namun baik UUD 1945 asli maupun
setelah empat kali diubah, maka pembagian kekuasaan tetap memberikan
pengaruh yang kuat.
Pemberian kewenangan konstitutif kepada lembaga pembentuk undang-
undang yakni DPR dan Presiden (termasuk DPD), kekuasaan pemerintahan
kepada Presiden dan para pembantunya (baik di tingkat pemerintahan pusat
dan di daerah) serta adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang
dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menunjukkan
pengaruh yang kuat konsep trias politika ini.
Wewenang yang diberikan oleh UUD 1945 kepada MahkamahKonstitusi untuk
melakukan Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 merupakan bentuk
checks and balances system dalam penataan sistem hukum nasional. Kepada
Mahkamah Konstitusi diberi wewenang pengawasan (review) terhadap undang-
undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden (termasuk DPD). Artinya bahwa
pengujian undang-undang merupakan pengujian mengenai konstitusionalitas
dari norma hukum yang sedang diuji (judicial review on the constitutionality of
law), yang pengujiannya dilakukan dengan menggunakan alat ukur konstitusi.
Mengenai hal ini almarhum M. Fajrul Falaakh menyebut sebagai sebagai
constitutional review, artinya produk- produk dan perbuatan hukum harus sesuai
dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam konteks ini lah maka MK layak
disebut sebagai “the guardian of constitution and the sole interpreter of
constitution”, atau sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam
memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan
konstitusi atau tidak.
Kembali lagi kepada mekanisme saling periksa (awasi) dan saling ingatkan
(seimbang) atau check and balances system. Maka Mahkamah Konstitusi harus
102
dengan tidak ada kecualinya”. b. Pasal 28C ayat (2) berbunyi: “Setiap orang
berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. c. Pasal 28D ayat (1)
berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. d.
Pasal 28D ayat (3) berbunyi: “Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Mahkamah Konstitusi mengambil Putusan Menolak. Dan salah satu
pertimbangan hukumnya disebutkan bahwa sepanjang pilihan kebijakan
demikian tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-
undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-
nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, maka pilihan kebijakan
demikian tidak dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah. Lagi pula
pembatasan-pembatasan dalam bentuk mekanisme dan prosedur dalam
pelaksanaan hak-hak tersebut dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Bagi saya konsistensi Mahkamah Konstitusi menolak mengabulkan
permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia Tahun 1945 dengan “alasan” sebagian atau seluruh norma
yang dimuat dalam Undang-undang sebagai “Open Legal Policy” dari
Pembentuk Undang-undang ini menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi selaras dengan checks and balances system yang dianut Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan catatan kedua inilah maka “Majelis Hakim Konstitusi yang
memeriksa Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-
XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023. Harus juga berpandangan
bahwa norma “Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum, yang menyatakan, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil
presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” merupakan
104
2024 momentum sangat penting yang menyita semua kita, berdasarkan pada
amanah UUD 1945, melaksanakan juga Putusan MKRI terkait Pemilu Serentak,
menunaikan perintah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum dan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya. Peraturan KPU
Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan
Umum tahun 2024, yang merupakan perintah dari Pasal 167 ayat (8) UU Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah menyusun tahapan dan jadwal
Pemilu, kemudian dipertengahan jalan (tahapan sedang berlangsung) muncul
gagasan, harapan, hasrat dari Warga Negara dan Partai Politik untuk mengubah
norma “persyaratan usia minimum untuk calon presiden dan calon wakil
presiden”.
Sebagai pengejawantahan hak warga negara, permohonan uji ‘norma
persyaratan usia calon usia minimum untuk calon presiden dan calon wakil
presiden ini, boleh-boleh saja. Ini menunjukkan bahwa setiap warga negara
dilindungi haknya untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Thun 1945 adalah ekspresi berkonstitusi Indonesia.
Namun demikian saya, berpendapat momentum pengujian norma: “usia
minimum untuk calon presiden dan calon wakil presiden” yang dilakukan pada
saat tahapan sedang dijalankan tidak hanya kurang tepat namun berpotensi
mengganggu tahapan, atau sekurang-kurangnya cukup membuat ‘wacana usia
minimum untuk calon presiden dan calon wakil presiden’ menyita perhatian
warga bangsa. Meski Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden baru akan
dimulai Kamis, 19 Oktober 2023 hingga Sabtu 25 November 2023. Namun
perubahan yang mendadak akan ‘merepotkan’ Penyelenggara Pemilu dengan
mengubah Peraturan KPU terkait syarat pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden. Dari berbagai media beberapa hari terakhir ini (akhir Agustus dan awal
September), KPU RI tengah melakukan FGD perubahan Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pecalonan Peserta Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Sebagai ahli yang dihadirkan oleh Pihak Terkait tentu relevan jika saya juga
menyampaikan beberapa alasan mengapa perubahan tersebut tidak tepat jika
harus dilakukan sekarang. Pada saat tahapan sudah berjalan. Hal ini paling
106
Kesimpulan:
Pertama. Saya berkeyakinan bahwa Majelis Hakim Konstitusi akan konsisten
dengan model penalaran yang digunakan MKRI bahwa penentuan batas usia itu
adalah open legal policy dari pembentuk Undang-undang.
Kedua, karena itu adanya atau munculnya gagasan, harapan, hasrat dari Warga
Negara dan partai politik untuk mengubah norma “persyaratan usia minimum untuk
calon presiden dan calon wakil presiden”. Haruslah disalurkan kepada Lembaga
Pembentuk Undang-undang.
Ketiga, DPR dan Presiden (bersama DPD) dapat melakukan reformulasi regulasi
penataan batas usia minimal untuk mengisi jabatan politik (penyelenggara negara)
secara matang, arif, komprehensi, koheren, dan berkepastian yang adil di jangka
waktu yang leluasa nanti setelah Pemilu Serentak 2024, untuk menjalankan
kebijakan hukum (terbuka)nya.
calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Selanjutnya, dalam Pasal 6 ayat
(2) UUD 1945 diatur bahwa syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan
Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
6. Bahwa syarat-syarat untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil
Presiden diatur lebih lanjut dalam UU 7/2017 khususnya dalam ketentuan
Pasal 169, yang berbunyi:
Persyaratan menjadi calon Presiden dan ca/on Wakil Presiden adalah:
1945).
10. Bahwa potensi kerugian konstitusional Para Pemohon sebagai
perorangan warga negara Indonesia yang memperjuangkan hak
konstitusional (vide Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) jo Pasal 281ayat (2)
UUD 1945) serta memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara
yaitu sebagai Wali Kota, Bupati, Wakil Gubemur, dan Wakil Bupati, untuk
maju sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden menjadi terhambat
dengan keberlakuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 mengingat Para
Pemohon berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun. Padahal jabatan Para
Pemohon saat ini dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah
sama-sama sebagai penyelenggara negara dan sama-sama menjalankan
fungsi eksekutif. Oleh sebab itu, Para Pemohon memiliki bekal dan
pengetahuan yang cukup dalam penyelenggaraan negara dan fungsi
eksekutif untuk maju sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden
meskipun Para Pemohon berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun.
11. Sebagai perbandingan dimana penyelenggara negara adalah tidak hanya
pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, melainkan juga pejabat
negara yang menjalankan fungsi legislatif (vide Pasal 1 angka 1 UU Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ), maka terdapat perlakuan yang tidak
adil dan diskriminatif dimana syarat calon Presiden dan calon Wakil
Presiden (fungsi eksekutif) berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun,
sedartgkan syarat calon anggota DPR (fungsi legislatif) berusia di bawah
40 (empat puluh) tahun. Padahal, DPR adalah mitra penting Presiden dan
Wakil Presiden dalam menjalankan pemerintahan dan khususnya
menjaga stabilitas politik dan bangsa. Tidak sedikit anggota DPR periode
2019-2024 yang dilantik berusia dibawah 40 (empat puluh) tahun bahkan
di bawah usia 30 (tiga puluh) tahun diantaranya yaitu Hillary Brigitta Lasut
berusia 23 tahun dari Partai Nasdem, Muhammad Rahul berusia 23 tahun
dari Partai Gerindra, Farah Puteri Nahlia berusia 23 tahun dari PAN, Rizki
Aulia Rahman Natakusumah berusia 25 tahun dari Partai Demokrat,
Adrian Jopie Paruntu berusia 25 tahun dari Partai Golkar, Marthen Douw
berusia 29 tahun dari PKB, Rojih Ubab Maemoen berusia 30 tahun dari
PPP, dan Paramitha Widya Kusuma berusia 31 tahun dari PDIP.
118
08 Januari 2019;
- Pemohon IV Ahmad Muhdlor Bupati Sidoarjo Periode 2021-2026.
Disahkan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
131.35-312 Tahun 2021 tentang Pengesahan Pengangkatan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Hasil Pemilihan Kepala Daerah
Serentak Tahun 2020 di Kabupaten dan Kota pada Provinsi Jawa
Timur tanggal 23 Februari 2021; dan
- Pemohon V Muhammad Albarraa Wakil Bupati Mojokerto Periode
2021-2026. Disahkan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 131.35-368 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 131.35-312 Tahun 2021 tentang.
Pengesahan Pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Hasil Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020 di Kabupaten
dan Kota Pada Provinsi Jawa Timur tanggal 24 Februari 2021.
2. Bahwa Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia
sebagai penyelenggara negara dan saat ini berusia di bawah 40 (empat
puluh) tahun yaitu Pemohon I Erman Safar berusia 36 (tiga puluh enam)
tahun, Pemohon II Pandu Kesuma Dewangsa berusia 34 (tiga puluh
empat) tahun, Pemohon ill Emil Elestianto Dardak berusia 38 (tiga puluh
delapan) tahun, Pemohon IV Ahmad Muhdlor berusia 32 (tiga puluh dua)
tahun, dan Pemohon V Muhammad Albarraa berusia 36 (tiga puluh enam)
tahun.
3. Bahwa Para Pemohon telah memenuhi persyaratan untuk maju sebagai
calon Presiden dan calon Wakil Presiden dimana persyaratan tersebut
termuat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yaitu harus seorang
warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pemah
mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
4. Bahwa Para Pemohon adalah benar perorangan warga negara Indonesia
sebagai penyelenggara negara dan karenanya memiliki hak konstitusional
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum serta sebagai warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (vide
121
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945). Selain itu, Para Pemohon pun
memiliki hak konstitusional atas ·perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281
ayat (2) UUD 1945.
5. Bahwa hak konstitusional Para Pemohon telah dirugikan oleh keberlakuan
ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang mengatur persyaratan untuk
menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah berusia paling
rendah 40 (empat puluh) tahun. Selengkapnya ketentuan Pasal 169 Huruf
q UU 7/2017 berbunyi sebagai berikut:
Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:
q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
6. Bahwa Para Pemohon sebagai penyelenggara negara saat ini masih
berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun dimana Pemohon I Erman Safar
berusia 36 (tiga puluh enarn) tahun, Pemohon II Pandu Kesuma
Dewangsa berusia 34 (tiga puluh empat) tahun, Pemohon III Emil
Elestianto Dardak berusia 38 (tiga puluh delapan) tahun, Pemohon IV
Ahmad Muhdlor berusia 32 (tiga puluh dua) tahun, dan Pemohon V
Muhammad Albarraa berusia 36 (tiga puluh enam) tahun. Oleh sebab itu,
Para Pemohon dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q UU
7/2017.
7. Bahwa kerugian konstitusional Para Pemohon dimaksud bersifat potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Para
Pemohon sebagai bagian dari penyelenggara negara yang menjalankan
fungsi eksekutif berkaitan dengan penyelenggaraan negara potensial
dirugikan hak konstitusionalnya karena terhalang untuk maju menjadi
calon Presiden dan calon wakil Presiden yang mempersyaratkan berusia
paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Padahal, jabatan Presiden dan
Wakil Presiden pun merupakan puncak daripada fungsi eksekutif,
sehingga adalah wajar dan menjadi beralasan apabila setiap perorangan
warga negara yang menjalankan fungsi eksekutif tingkat daerah provinsi,
kabupaten, dan kota harus diberikan perlindungan dan jaminan atas
kepastian hukum yang adil serta kesempatan yang sama (tidak
diskrimintaif) dalam pemerintahan untuk mencapai puncak fungsi eksekutif
122
17. Bahwa secara empiris, usia di bawah 40 (empat puluh) tahun pun sejalan
dan mengakomodir momentum bonus demografi di Indonesia
sebagaimana telah dikemukan oleh beberapa lembaga Kementerian
ataupun lembaga negara lainnya, sebagai berikut:
Melalui Siaran Pers Nomor HM.4.6/614/SET.M.EKON.3/10/2022 tanggal
30 Oktober 2022, Kementerian Koordinatr Bidang Perekonomian Republik
Indonesia menyampaikan bahwa:
"... Indonesia kini sudah memasuki tahap awal bonus demografi atau
demographic dividend, dengan ciri-ciri jumlah penduduk usia produktif (15-
64 tahun) lebih banyak dibandingkan usia nonproduktif. Puncak bonus
demografi diperkirakan terjadi pada 2030. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik {BPS), per tahun 2020 sajajumlah penduduk usiaproduktif
sebanyak 140juta jiwa dari total 270,20 juta jiwa penduduk Indonesia....
Jika generasi muda tidak dipersiapkan menjadi agen-agen pembangunan
nasional sejak sekarang, bonus demografi bisa menjadi bencana nasional
saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaannya
(https:/lwww.mpr.go.id/berita/Peringati-94-Tahun-Sumpah-Pemuda,-
Ahmad-Basarah-Harap-Bonus-Demografi-Generasi-Muda-Tidak-Jadi-
Bencana-Indonesia)
18. Bahwa berdasarkan fakta data empiris tersebut di atas, maka Indonesia
kini sudah memasuki tahap awal bonus demografi dengan ciri-ciri jumlah
penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan usia
nonproduktif Puncak bonus demografi diperkirakan terjadi pada tahun
2030. Oleh sebab itu, menjadi penting, beralasan hukum, dan memiliki
urgensi nyata untuk menyambut momentum bonus demografi tersebut,
maka penduduk usia produktif (15-64 tahun) khususnya generasi yang
lebih muda berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun untuk
mempersiapkan diri dan dipersiapkan menjadi agen-agen pembangunan
nasional sejak sekarang satu diantaranya dengan maju menjadi calon
127
Presiden dan calon Wakil Presiden agar bonus demografi tersebut tidak
menjadi bencana nasional.
19. Bahwa sebelumnya terkait dengan ketentuan syarat batas usia dalam
suatu undang- undang, Mahkamah telah beberapa kali memberikan
pertimbangan/ pendapat dan putusan, diantaranya:
- Putusan Nomor 58/PUU-XVII/2019:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan dalam permohonan
a quo adalah Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada, yang rumusannya
berbunyi sebagai berikut:
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon
Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (I) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. …
Bahwa para pemohon yang berusia di bawah 30 (tiga puluh) tahun dan
25 (dua puluh lima) tahun yang berkehendak menjadi calon Gubernur
dan calon Wakil Gubernur maupun calon Bupati dan calon Wakil
Bupati serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota dalam putusan a
quo mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf e UU
Pilkada bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 28D ayat (1)
dan ayat (3), serta Pasal 281ayat (2) UUD 1945. Namun demikian,
berdasarkan seluruh pertimbangan Mahkamah, Mahkamah
berpendapat permohonan para pemohon mengenai
inkonstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada adalah tidak
beralasan menurut hukum. Sehingga, Mahkamah memberikan amar
putusan menolak permohonan para pemohon.
20. Bahwa oleh sebab itu, ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang
mempersyaratkan batas usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun untuk
menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) jo Pasal 281 ayat (2) UUD 1945. Para
Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia sekaligus sebagai
penyelenggara negara yang berusia dibawah 40 (empat puluh) tahun
memiliki hak konstitusional menjadi calon Presiden dan calon Wakil
Presiden pada pemilihan umum selanjutnya yang dijamin dan dilindungi
oleh konstitusi serta memiliki hak atas kepastian hukum yang adil dan
kesempatan yang sama dalam pemerintahan (vide Pasal 28D ayat (1) dan
ayat (3) UUD 1945) dalam ruang lingkup hak-hak sipil dan politik (civil and
political rights) yaitu pemilihan umurn serta berhak bebas atas perlakuan
yang bersifat diskriminatif (vide Pasal 28I ayat (2) UUD 1945).
21. Bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-V/2007 telah
menyatakan bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan
menentukan syarat- syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara
objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau
aktivitas ·pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur
diskriminasi. Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan sehubungan
130
34. Bahwa menurut Ronald Dworkin, maksim hukum itu tidak bersandar pada
aturan-aturan (rules) saja, tetapi juga prinsip-prinsip (principles). Prinsip-
prinsip merupakan bagian dari hukum. Prinsip-prinsip, menurut Dworkin,
memiliki dimensi kadar. Dengan demikian, jika prinsip-prinsip
bertentangan, maka metode yang tepat untuk memecahkari suatu
masalah adalah dengan memilih prinsip yang memiliki kadar yang lebih
kuat dan mengabaikan prinsip yang kadamya lemah. (Ronald Dworkin.
Law's Empire. Massachusetts: Harvard University Press, 1988, hlm.21).
Dalam kaitannya dengan persyaratan usia minimal calon Presiden dan
calon Wakil Presiden sebagaimana menjadi pokok perkara dalam
permohonan uji materi ini, maka ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017
bertentangan dengan prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat
sebagaimana terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) jo Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945.
35. Bahwa usia di bawah 40 (empat puluh) tahun tidak dapat didalilkan belum
memiliki kapasitas (kemampuan) intelektualitas, kecerdasan spiritual, dan
kecerdasan emosi, dan sebutan lainnya, sehingga belum layak untuk
dicalonkan sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presien. Demikian itu
tidak dapat menjadi dalil kebenaran. Sejarah mencatat, beberapa Kepala
Negara (Khalifah) dengan usia yang relatif muda. Kepemimpinan mereka
demikian berprestasi tinggi, mampu mewujudkan peradaban, ilmu
pengetahuan berkembang pesat, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
tercapai. Sampai dengan saat ini, belum ada satu pun Kepala Negara yang
mampu menyamai dan menandingi mereka. Khalifah dimaksud adalah
Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah pada saat usianya 37 (tiga puluh
tujuh) tahun, Harun al-Rasyid menjadi menjabat Khalifah pada saat
usianya 23 (dua puluh tiga) tahun dan Muhammad al-Fatih diangkat
Khalifah pada saat usianya sangat muda yakni 17 (tujuh belas) tahun.
36. Bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata penentuan
dewasa adalah di atas 21 (dua puluh satu) tahun. Pasal 330 menyatakan:
“Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.” Secara argumentum
a contrario, seorang dikatakan telah dewasa ketika memasuki usia 21 (dua
puluh satu) tahun atau telah menikah. Pasal 330 Kitab Undang-Undang
138
45. Bahwa pada prinsipnya pengaturan distribusi hak yang dilakukan secara
berbeda dapat dibenarkan, sepanjang hal itu tidak menimbulkan kerugian.
Demikian itu dapat dikatakan adil. Dalam kaitannya dengan norma Pasal
169 huruf q UU 7/2017 yang didalamnya tidak ada pengecualian telah
menimbulkan ketimpangan distribusi hak. Pembatasan usia tanpa adanya
pengecualian sebagaimana yang dimaksudkan, tidak mencerminkan
kondisi yang menguntungkan guna kepentingan pencalonan sebagai
calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
46. Bahwa keadilan dinilai dari aspek kecocokan antara tindakan dengan
hukum positif terutama (undang-undang). Dalam kaitan ini makna adil
adalah kata lain "benar". Kebenaran dan keadilan merupakan dwitunggal,
satu terhadap yang lain saling memberikan legitimasi. Kebenaran dan
keadilan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perbuatan
yang adil adalah suatu tindakan yang berdasar pada kebenaran.
Penerapan hukum akan dikatakan tidak adil, jika suatu norma diadakan
pada pada suatu undang-undang, namun tidak diterapkan pada undang-
undang lain yang memiliki persamaan.
47. Bahwa perihal pengecualian terkait dengan ''persamaan kedudukan di
dalam hukum dan pemerintahan" adalah sejalan dengan perimbangan
(proporsi) sebagaimana disampaikan oleh Aristoteles. Disini pembebanan
sesuatu sesuai kemampuan dan memberikan sesuatu yang memang
menjadi haknya sesuai dengan kadar yang seimbang (proporsional).
48. Bahwa UUD 1945 memang tidak menentukan perihal persyaratan usia
minimum calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Oleh sebab konstitusi
tidak mengatumya, maka kewenangan tersebut diberikan kepada
pembentuk undang-undang untuk menentukannya (open legal policy).
Namun demikian dalam pembentukan undang- undang dimaksud harus
berdasarkan prinsip “perlakuan yang sama di hadapan hukum”, prinsip
“kesempatan yang sama dalam pemerintahan” dan prinsip “jaminan
perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif”.
49. Bahwa perihal persyaratan usia minimal bagi calon Presiden dan calon
Wakil Presiden dimaksudkan guna mewujudkan keteraturan dan jaminan
kepastian hukum. Kepastian hukum sangat terkait dengan konsepsi
negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-
141
Petitum DPR RI
Petitum Pemerintah
7. Selain itu, syarat ketat yang berkaitan dengan apa yang diatur
di dalam Pasal 6 ayat (2) dan pasal 28J ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 ini sangat berkaitan dengan syarat ketat
yang kemudian harus diterapkan pada pencalonan pejabat
yang dipilih melalui pemilu atau elected official. Mahkamah
bahkan telah beberapa kali mengajukan logika syarat bagi
156
10. Bahwa aspirasi dalarn pemilu yang akan datang dan pemilu
setelahnya dapat mengakomodir generasi muda berusia di
bawah 40 tahun yang memiliki pengalarnan sebagai
164
Petitum
1. Bahwa dalil Para Pemohon pada perkara a quo tidak jelas dan
kabur, serta merugikan hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pihak Terkait. Hal tersebut dibuktikan dengan
Posita Pemohon yang menyatakan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 Pasal 169 huruf q yang berbunyi, "Persyaratan
menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah q.
Berusia paling rendah 40 tahun." Telah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1)
dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (3). Namun
anehnya, pada Petitum perkara a quo, Pemohon meminta
Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia untuk menyatakan bahwa materi Pasal 169 huruf q
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai “berusia sekurang-kurangnya 35 tahun” dan
seterusnya. Dengan tidak adanya kesesuaian antara Posita
dan Petitum Permohonan Pemohon tersebut membuktikan
adanya ketidakjelasan dan kekaburan Permohonan Pemohon.
Selain itu, Permohonan Pemohon sama halnya dengan
meminta Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
memberikan putusan yang membuat warga negara Indonesia
dengan usia kurang dari 35 tahun terdiskriminasi dan dirugikan
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, sehingga
Permohonan Pemohon dalam perkara a quo telah jelas-jelas
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3).
2. Bahwa dalil Pemohon pada huruf I angka 2 pada pokoknya
menyatakan bahwa keberadaan obyek Permohonan jelas-
jelas merupakan suatu bentuk pelanggaran moral yang
memiliki makna nilai yang berhubungan dengan yang baik dan
yang buruk. Sebab hal ini berhubungan erat dengan
168
Dalam Petitum
tahun dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Kita ketahui bahwa dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden
Dan Wakil Presiden, disebutkan bahwa persyaratan menjadi Calon Presiden
dan Calon Wakil Presiden berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima)
tahun. Begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, berusia sekurang-kurangnya
35 (tiga puluh lima) tahun. Terjadinya peningkatan batas usia dalam Pasal
169 huruf q UU Pemilu inilah yang kemudian melahirkan pertanyaan-
pertanyaan serius terkait dengan objektifitas pembentuk undang-undang.
Selanjutnya, jika dibandingkan dengan persyaratan usia Calon Anggota DPR,
DPD, dan DPRD ditemui pula adanya ketidaksamaan dengan persyaratan
usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD maupun Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
mempersyaratkan usia minimal 21 (dua puluh satu) tahun. Dapat dikatakan
kondisi demikian, tidak mencerminkan kesamaan pengaturan dan sekaligus
tidak mencerminkan kepastian hukum.
Tercapainya keadilan, salah satunya adalah dibukanya peluang agar posisi-
posisi atau jabatan-jabatan secara proporsional berlaku untuk semua orang,
sehingga ada kesempatan yang adil. Dalam kaitannya dengan usia di bawah
empat puluh tahun untuk dapat dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil
Presiden, maka kedua undang-undang sebelumnya dipandang lebih
membuka peluang yang lebih besar dan lebih menjangkau prinsip kesamaan
atas kesempatan yang adil.
Hasil Sensus Penduduk 2020 mencatat mayoritas penduduk Indonesia
didominasi oleh Generasi Z dan Generasi Milenial. Generasi Z lahir tahun
1997-2012, perkiraan usia sekarang 8-23 tahun. Milenial lahir tahun 1981-
1996, perkiraan usia sekarang 24-39 tahun.
Proporsi Generasi Z sebanyak 27,94 persen dari total populasi dan Generasi
Milenial sebanyak 25,87 persen dari total populasi Indonesia. 10 Keberadaan
mereka khususnya Generasi Milenial tentunya harus diakomodasi. Sejalan
dengan hal ini, terdapat kaidah fiqh yang berbunyi "maa laa yudroku kulluhu
laa yutroku kulluhu", artinya jika tidak dapat seluruhnya, maka jangan
194
jika suatu norma diadakan pada pada suatu undang-undang, namun tidak
diterapkan pada undang-undang lain yang memiliki persamaan.
Perihal pengecualian terkait dengan "persamaan kedudukan di dalam hukum
dan pemerintahan" dan ini sejalan dengan perimbangan (proporsi)
sebagaimana disampaikan oleh Aristoteles. Disini pembebanan sesuatu
sesuai kemampuan dan memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya
sesuai dengan kadar yang seimbang (proporsional). Aristoteles rnengatakan
hukum menjadi indikator guna menentukan apakah sesuatu norma dalam
peraturan perundang-undangan adil atau tidak. Dalam kaitan ini, aturan yang
benar adalah penjaga apa yang adil yang mampu menjaga keseimbangan
dan keadilan.
Pengaturan batasan usia minimal dalam pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden sejatinya harus mengedepankan kemanfaatan. Kemanfaatan selalu
dikaitkan dengan teori utilitarianisme Jeremy Bentham. Bentham
mengemukakan, "the greatest happiness of the greatest number". Prinsip
kegunaan ini menjadi norma untuk menilai kebijakan pemerintah dalam
pembentukan hukum. Dengan demikian, undang-undang yang banyak
memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai
sebagai undang-undang yang baik. ·Karena itu tugas hukum adalah
memelihara kegunaan.20 Pandangan utilitarianisme pada dasarnya
merupakan suatu paham etis-etika yang menempatkan tindakan-tindakan
yang dapat dikatakan baik adalah yang berguna, memberikan manfaat, dan
menguntungkan, sedangkan tindakan-tindakan yang tidak baik adalah yang
memberikan penderitaan dan kerugian.
Kedudukan pengecualian lebih ditujukan pada kemanfaatan. Aturan
pengecualian yang mendatangkan kemanfaatan justru dianjurkan untuk
diterapkan. Kemanfaatan menunjuk pada dibukanya peluang agar posisi-
posisi atau jabatan jabatan dibuka untuk semua orang, sehingga ada
kesempatan yang adil. Pengecualian terkait dengan "persamaan kedudukan
di dalam hukum dan pemerintahan" dan demikian itu harus diberikan secara
sama. Hal ini penting dalam rangka perlindungan terhadap perlakuan
diskriminatif. Dengan demikian, seharusnya perihal pengecualian juga
berlaku juga bagi Penyelenggara Negara untuk kepentingan pencalonan
dirinya sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden.
198
Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengandung adanya perlakuan yang tidak adil
(injustice). Oleh karena itu memerlukan upaya koreksi. Upaya koreksi
dimaksud dengan menerapkan pengecualian. Pengecualian tersebut sebagai
wujud keadilan korektif guna pemenuhan jaminan "persamaan kedudukan di
dalam hukum dan pemerintahan" dan sejalan dengan aksiologi hukum
199
ada seorang senator di Amerika Serikat yang terdiam selagi pidato juga
karena usia yang terlalu tua. Nah, jadi memang menarik waktu saya telusuri
kata atau istilah 'ageism' itu pertama kali dikatakan oleh Robert Neil Butler
dari tahun cukup lama, ya, ini dari tahun 1969, tapi baru hits lagi sekarang ini
karena sedang banyak kritik yang digunakan oleh memang anak-anak muda.
Tapi kritik itu maupun istilah ageism dan segala discourse-nya itu muncul
dalam situasi yang di luar wilayah konstitusional. Karena memang
pembatasan usia minimum maupun maksimum untuk politikus bukan isu
yang lazim diatur ketat. Karena kapasitas politikus umumnya diukur dari
rekam jejaknya, bukan umur. Berbagai negara karena itu menerapkan usia
yang berbeda-beda mengenai batas umur karena sejauh ini memang tidak
ada pembuktian secara ilmiah mengenai pengaruh usia pada kapasitas politik
dan bahkan kinerja. Saya ingat salah satu perkara, dimana saya juga menjadi
ahli, waktu itu bersama seorang ahli psikologi forensik, saya ngobrol juga
dengan beliau dan waktu itu perkara usia pensiun jaksa di Mahkamah juga,
tapi bukan soal usianya itu sendiri yang diperkarakan. Tapi obrolannya waktu
itu adalah ada tidak dari aspek psikologi sebenarnya, usia yang bisa
disandingkan dengan kinerja? Jadi, isu-isu di dunia kesehatan mengenai
kaitan usia dengan kebugaran itu banyak sekali. Tetapi izinkan saya
mengingatkan bahwa kapasitas politik dan kemampuan berpikir tidak bisa
disamakan dengan kebugaran. Kita paham seorang begawan seperti Prof.
Emil Salim, misalnya, yang usianya sudah 93 tahun, kalau saya tidak salah,
sangat tajam, saya masih sering WA-an dengan beliau untuk berdiskusi soal
hukum.
Jadi karena perkembangan dunia kedokteran dan sains yang cepat dan tidak
dapat diperkirakan, lazimnya batas usia ditentukan sebagai sebuah policy,
bukan isu yang fix yang tidak dapat diubah. Karena kemampuan beragam
jenis jabatan juga bisa ditentukan secara berbeda dan biasanya dilakukan
dengan kajian tersendiri oleh ilmuwanilmuwan terkait yang pada umumnya
tidak ada kaitannya dengan hukum, misalnya psikologi, sosiologi, politik, dan
lain sebagainya. Di sinilah nantinya pembuat kebijakan bisa berdebat dalam
memberikan argumentasi dan data mengenai usia yang dianggap layak
dalam konteks pembentukan kebijakan berdasarkan bukti atau evidence
based policy making. Yang bisa digali itu misalnya kemampuan mengelola
201
informasi dan emosi, dampak sosiologis dan politis mengenai umur dalam
jabatan tertentu, dan seterusnya. Tapi intinya dari aspek hukum itu satu-
satunya keterkaitan hanya soal hak, yang lainnya aspek non hukum, maka
juga nonkonstitusional. Mengapa keterkaitan satusatunya dengan hak? Kita
paham ada soal batas usia dewasa yang dalam konteks kepemiluan juga ada,
yaitu inilah yang dijadikan batas usia minimum memilih. Nah, karena itulah,
maka seharusnya bukan model usia yang perlu dibangun. Karena memang
ada asumsi mengenai masih belum matangnya kultur politik di Indonesia dan
budaya feodalisme yang bisa membuat rekam jejak politik tenggelam di dalam
menterengnya latar belakang keluarga dan gelar. Kita semua paham gelar-
gelar juga sekarang dengan mudah bisa dibeli. Sehingga usia oleh para
pembentuk hukum memang sering dijadikan filter untuk mencegah orang-
orang yang tidak berpengalaman menjadi politisi. Tapi, Yang Mulia, misalnya
saja suatu buku yang sedang saya baca, belum selesai. Karena menarik
sekali. Buku karangan Soren Kaplan baru tahun 2023 mengenai Experiential
Intelligence. Bahkan dalam konteks bisnis, dia dari Harvard Business Law ...
eh, maksud saya Business School, itu mengatakan soal sekarang juga harus
ada untuk melihat pengalaman dalam melihat kemampuan seseorang.
Karena itu, Yang Mulia, perdebatan mengenai batas usia minimum untuk
dipilih harus dibiarkan berada dalam wilayah kebijakan, bukan dipindah ke
wilayah konstitusional. Harapannya nanti kalau perkembangan tingkat
pendidikan dan kedewasan dalam berpolitik, hal ini kemudian kitajuga
semakin berkembang, kita semua berharap seperti itu, kita semakin baik
peradaban politiknya, maka nanti hal ini bisa diatur berkembang lagi secara
kontekstual. Sedangkan jika Mahkamah yang mengaturnya dalam arti
memberikan putusan, fleksibilitas yang mengikuti kontekstualitas ini akan
hilang. Karena nanti batas usia akan selalu menjadi isu konstitusional yang
kembali harus diperiksa Mahkamah dengan logika yang sangat mungkin akan
inkonsisten. Inkonsistensi ini sudah terlihat dalam Permohonan a quo yang
bila diadopsi oleh Mahkamah, menurut saya akan membuka inkonsistensi
putusan Mahkamah. Pemohon mengemukakan argumen tentang
ketidakadilan dan diskriminasi. Jika proposisi utamanya dalam konteks logika,
atau inferensi, atau penyimpulan, atau silogisme, jika proposisi utamanya
adalah pembatasan umur menimbulkan diskriminasi bagi sebagian Warga
202
setuju dengan putusan itu, usia minimum untuk laki-laki dan perempuan
sama, 19 tahun.
ibarat "dua sisi mata uang yang sama" dapat dibedakan, namun tidak
dapat dipisahkan. Kepastian hukum dan keadilan merupakan aksiologi
hukum yang disebutkan secara jelas dan tegas dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 dengan frasa "kepastian hukum yang adil". Dapat dikatakan
bahwa konstitusi mengikuti aliran Hukum Alam/Kodrat dengan mengacu
kepada nilai-nilai keadilan yang bersifat mendasar (fundamental) dan
aliran Postivisme Hukum dengan mengacu kepada nilai kepastian hukum
yang menunjuk pada hukum formal (peraturan perundang-undangan).
Dalam kaitan ini, peraturan perundang-undangan baik secara formil
(procedural) maupun materil harus mengandung kepastian dan keadilan.
(Dewa Gede Atmadja. Filsafat Hukum, Dimensi Tematis dan Historis.
Malang: Setara Press, 2013, hlm.76-78).
20. Bahwa ditinjau dari aspek validitas, pembatasan usia dalam Pasal 169
huruf q UU 7/2017 tidak memiliki validitas. Dalam kaitan ini Kelsen
mengatakan, validitas suatu norma akan menciptakan apa yang disebut
sebagai hirarki norma (stufenbau theory). Setiap norma agar menjadi
sebagai sebuah norma yang valid, tidak boleh betentangan dengan
norma yang di atasnya. Norma yang paling tinggi adalah grundnorm.
Hans Kelsen mengatakan, keadilan adalah legalitas. Suatu peraturan
disebut adil jika benar-benar diterapkan kepada semua kasus yang
menurut isinya, peraturan demikian hams diterapkan. Suatu peraturan
menjadi tidak adil jika diterapkan kepada satu kasus dan tidak diterapkan
kepada kasus lain yang sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu
kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tata hukum positif,
melainkan pada penerapannya. Keadilan berarti pemeliharaan tata
hukum positif melalui penerapannya yang benar-benar sesuai dengan
jiwa dari tata hukum positif tersebut. Keadilan ini adalah keadilan
berdasarkan hukum. (Hans Kelsen. Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar llmu
Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif. Judul Asli:
General Theory of Law and Sate. Alih Bahasa: Somardi. Cet.I. Jakarta:
Rimdi Press, 1995, hlm.11-12). Dalam kaitannya dengan norma Pasal
169 huruf q UU 7/2017, menurut Pernohon Pasal 169 huruf q UU 7/2017
betentangan dengan norma yang diatur dalam UUD 1945. Norma
tersebut tidak sejalan dengan prinsip "persamaan kedudukan di dalam
214
lima) tahun.
24. Bahwa Mahkamah Konstitusi pernah juga memutuskan perkara terkait
batasan usia, walaupun MK tidak memutus soal batasan usianya namun
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan soal pengalaman dalam
bidang tertentu untuk jabatan tertentu yang tujuan dan sifatnya sama
untuk penempatan jabatan tersebut. Hal ini bermakna bahwa pengalaman
adalah kunci terpenting yang adapat mengesampingkan batasan usia
minimaluntuk menempati jabatan tertentu.
25. Hal ini bisa dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-
XX/2022 yang menyatakan Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang
semula berbunyi, "Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling
tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan",bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat
sepanjang tidak dimaknai, "berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun
atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam
puluh lima) tahun pada proses pemilihan". Dengan demikian, walaupun
belum mencapai batas usia sebagaimana dimaksudkan, sepanjang
berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, maka yang bersangkutan
dianggap telah memenuhi persyaratan batas usia minimal.
26. Bahwa pengalaman sebagai penyelenggara negara seharusnya menjadi
pengecualian persyaratan batas usia minimal calon Presiden dan calon
Wakil Presiden. Sepanjang memiliki pengalaman sebagai penyelenggara
negara walaupun usianya di bawah 40 (empat puluh) tahun, sehingga
sudah sepatutnya dipersamakan dengan usia minimal sebagaimana yang
dipersyaratkan.
27. Bahwa hukum lahir dan diadakan untuk mencapai kemanfaatan setinggi-
tingginya. Jeremy Bentham mengemukakan, "kebahagiaan terbesar dari
jumlah orang terbesar" (the greatest happiness of the greatest number).
Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk menilai kebijakan pemerintah
216
32. Bahwa perihal persyaratan usia minimal bagi calon Presiden dan calon
Wakil Presiden dimaksudkan guna mewujudkan keteraturan dan jaminan
kepastian hukum. Kepastian hukum sangat terkait dengan konsepsi
negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-
lllldangan. Namllll demikian, kepastian hukum tidak berdiri sendiri.
Kepastian hukum memerlukan pula keadilan. Keduanya ibarat "dua sisi
mata uang yang sama" dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan.
Kepastian hukum dan keadilan merupakan aksiologi hukum yang
disebutkan secara jelas dan tegas dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
dengan frasa "kepastian hukum yang adil".
33. Bahwa meskipun pengaturan mengenai persyaratan usia minimal bagi
calon Presiden dan calon Wakil Presiden merupakan kebijakan hukum
dari pembentuk undang-undang, akan tetapi prinsip kebijakan hukum
atau dikenal sebagai open legal policy dapat dikesampingkan apabila
bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan
ketidakadilan. Dengan demikian pada pengujian Pasal 169 huruf q UU
7/2017 terkait dengan kebijakan hukum terbuka tidak dapat diserahkan
penentuannya kepada pembentuk undang-undang. Pasal 169 huruf q UU
7/2017 mengandung adanya perlakuan yang tidak adil (injustice) yang
seharusnya diperlakukan sama sesuai dengan prinsip keadilan (justice
principle).
34. Bahwa dapat diformulasikan terhadap calon Presiden dan calon Wakil
Presiden yang berusia dibawah 40 (empat puluh) tahun, namun yang
bersangkutan memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara,
maka dianggap telah memenuhi persyaratan usia minimal sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Disini pembebanan
sesuatu sesuai dengan kemampuan dan memberikan sesuatu yang
memang menjadi haknya sesuai dengan kadar yang seimbang
(proporsional).
35. Bahwa terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 telah menimbulkan
kerugian atas hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon,
maka diperlukan pembetulan terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang
dilakukan dengan menerapkan pengecualian. Pengecualian tersebut
sebagai wujud keadilan korektif guna pemenuhan jaminan "persamaan
218
IX. Petitum
Berdasarkan seluruh uraian di atas, Para Pemohon memohon kepada
Mahkamah untuk memutus permohonan pengujian Pasal 169 huruf q Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6109) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dengan amar putusan sebagai berikut:
• Mengabulkan permohonan Para Pemohon
• Menyatakan bahwa frasa "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun"
dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40
(empat puluh) tahun atau memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara
Negara”.
• Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
I. Pendahuluan
Kedudukan Hukum Dan Keterkaitan Atau Kepentingan Pihak Terkait
1. Bahwa Pihak Terkait adalah Badan Hukum Partai Politik yang didirikan
menurut Hukum Negara Republik Indonesia berdasarkan Akta Pendirian
Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) Nomor 1 tanggal 6 Februari
2008, yang dibuat dihadapan Liena Latief, SH, Notaris di Jakarta dan
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor: M.HH-26.AH.11.01 TAHUN 2008 tentang Pengesahan Partai
Gerakan Indonesia Raya sebagai Badan Hukum, tertanggal 3 April 2008;
2. Bahwa dalam hal ini, Ketua Harian DPP Partai GERINDRA dan Sekretaris
Jenderal DPP Partai GERINDRA berhak bertindak untuk dan atas nama
DPP Partai GERINDRA untuk melakukan perbuatan hukum terkait DPP
Partai GERINDRA di pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Dewan
Pimpinan Pusat Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) Nomor: 09-
0002/Kpts/DPP-GERINDRA/2020 tentang Pejabat Ketua Harian dan Wakil
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerakan Indonesia Raya
tanggal 10 September 2020 dan Akta Notaris Nomor 25 tanggal 30
September 2020 tentang Akta Perubahan Dewan Pembina, Dewan
Penasehat, Dewan Pakar dan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerakan
Indonesia Raya (Partai GERINDRA), yang dibuat di hadapan Ilmiawan
Dekrit S., S.H., M.H., Notaris berkedudukan di Jakarta Barat. Dengan
demikian, Pihak Terkait berwenang untuk mewakili DPP Partai GERINDRA
sebagai Badan Hukum Partai Politik dalam mengajukan Keterangan Pihak
Terkait dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) a quo
(selanjutnya disebut Permohonan);
3. Bahwa Pihak Terkait sebagai Partai Politik peserta Pemilihan Umum
(PEMILU) sebelumnya yaitu tahun 2019 dan saat ini kembali menjadi Partai
Politik peserta Pemilu Tahun 2024 dengan nomor urut 2 (dua), sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan KPU Nomor 518 Tahun 2022 tentang
Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik
Lokal Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
220
Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten / Kota Tahun 2024, dan
Keputusan KPU Nomor 519 Tahun 2022 tentang Penetapan Nomor Urut
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik Lokal Aceh Peserta
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota Tahun 2024;
4. Bahwa diketahui, Permohonan a quo terkait dengan ketentuan Pasal 169
huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
(selanjutnya cukup disebut “UU Pemilu”) yang menyatakan:
Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:
q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
5. Bahwa Pihak Terkait berkepentingan secara langsung atas Permohonan a
quo mengingat saat ini Pihak Terkait (Partai GERINDRA) adalah Partai
Politik peserta Pemilu Tahun 2024 dengan nomor urut 2 (dua) yang memilik
hak konstitusional untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan calon
Wakil Presiden dalam Pemilu yang akan datang yang mana hal ini
bersinggungan langsung terhadap substansi Permohonan PUU a quo
terkait dengan syarat menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden;
6. Bahwa Pihak Terkait sebagai Partai Politik peserta Pemilu Tahun 2024
memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan Pemilu sebagaimana dimaksud
ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum.
7. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka Pihak Terkait adalah Badan
Hukum Partai Politik yang memiliki hak konstitusional berdasarkan UUD
1945 jo. UU Pemilu sebagai peserta Pemilu Tahun 2024 untuk mengusulkan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, sehingga dengan demikian
dan guna melindungi kepentingan hukum serta hak konstitusionalnya, maka
Pihak Terkait berkepentingan langsung atas Permohonan a quo;
sebagai arah kebijakan politik partai, maka dalam konteks Pemilu Tahun
2024 pun Pihak Terkait telah menghimpun aspirasi rakyat dan kader yang
memiliki aspirasi kepada Pihak Terkait agar Pihak Terkait menetapkan calon
Wakil Presiden 2024 dari generasi muda berusia di bawah 40 (empat puluh)
tahun yang memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara Negara untuk
berpasangan dengan Bapak Prabowo Subianto sebagai calon Presiden
2024. Penggabungan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lintas
generasi ini diharapkan menjadi kombinasi pasangan ideal yang juga
mengakomodir dan mempersiapkan generasi muda sebagai pemimpin
politik bangsa dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, kapabilitas,
integritas dan akseptabilitas. Oleh sebab itu, pengalaman sebagai
Penyelenggara Negara untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil
Presiden adalah penting yang akan menjadi bekal dan bukti bahwa
pemimpin politik bangsa harus tetap memperhatikan kompetensi, kapasitas,
kapabilitas, integritas dan akseptabilitas;
7. Bahwa aspirasi rakyat dan kader kepada Pihak Terkait berkaitan dengan
kontestasi Pemilihan Umum (PEMILU) di tahun 2024 ini, pada pokoknya
adalah agar Pihak Terkait menetapkan calon Wakil Presiden 2024 dari
generasi muda berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun yang memiliki
pengalaman sebagai Penyelenggara Negara adalah penting dan beralasan
hukum;
8. Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo sama sekali tidak
menyinggung atau mendalilkan perubahan angka batas usia syarat menjadi
calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia paling rendah sekian dan
sekian. Namun demikian, Para Pemohon mendalilkan syarat menjadi calon
Presiden dan calon Wakil Presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat
puluh) tahun sebagaimana dimaksud Pasal 169 huruf q UU Pemilu, dengan
penambahan frasa “atau memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara
Negara”.
9. Bahwa oleh sebab itu, menurut Pihak Terkait mengenai pokok Permohonan
a quo yakni agar frasa “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam
Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang
Pemilihan Umum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak
223
mengenai batas usia persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Hal ini berakibat pada dimungkinkannya suatu saat terdapat permohonan uji
materiil yang menyatakan agar batas usia persyaratan calon Presiden dan
calon Wakil Presiden adalah sekian, sekian, dan sekian;
13. Bahwa sebaliknya rasionalitas open legal policy dalam Pasal 169 huruf q
UU Pemilu menjadi terpenuhi apabila frasa “berusia paling rendah 40
(empat puluh) tahun” dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh)
tahun atau memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara Negara”.
Rasionalitas mengapa memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara
Negara adalah hal yang utama dan menjadi penting dikarenakan
pengalaman tersebut membuktikan bahwa pemimpin politik bangsa harus
tetap memperhatikan kompetensi, kapasitas, kapabilitas, integritas dan
akseptabilitas yang kesemuanya tersebut dapat diwujudkan, dibuktikan, dan
bersumber dari memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara Pemerintahan
ataupun Penyelenggara Negara;
14. Bahwa selanjutnya ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu jelas-jelas
melanggar ketidakadilan yang intolerable karena tidak berpihak dan
menimbulkan diskriminasi bagi generasi muda yang berusia di bawah 40
(empat puluh) tahun untuk dapat menjadi calon Presiden atau calon Wakil
Presiden. Hal ini bertentangan dengan konstitusi Pasal 28D ayat (1) dan
ayat (3) serta Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:
Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
Pasal 28D ayat (3)
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan
Pasal 28I ayat (2)
Hak untuk bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan hak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
diskriminatif itu
225
15. Bahwa aspirasi rakyat dan kader kepada Pihak Terkait agar Pihak Terkait
menetapkan calon Wakil Presiden 2024 dari generasi muda berusia di
bawah 40 (empat puluh) tahun yang memiliki pengalaman sebagai
Penyelenggara Negara cukup beralasan mengingat mayoritas pemilih
dalam Pemilu tahun 2024 nantinya adalah generasi muda dan di sisi lain
Indonesia segera memasuki puncak bonus demografi pada tahun 2030
mendatang. Di masa itu, jumlah penduduk berusia produktif akan lebih
banyak dibandingkan penduduk non produktif;
16. Bahwa sebagaimana dalil Para Pemohon dalam Permohonan a quo,
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 19/PUU-V/2007 telah
menyatakan bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan
menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara
objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau
aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur
diskriminasi. Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan sehubungan
dengan Permohonan a quo adalah apakah persyaratan berusia paling
rendah 40 (empat puluh) tahun bagi calon Presiden dan calon Wakil
Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017
merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
17. Bahwa dalam hubungan ini, Mahkamah dalam putusan lain yakni Putusan
Nomor 15/PUU-V/2007 menegaskan bahwa jabatan maupun aktivitas
pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan
ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-
macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Oleh sebab itu,
merujuk pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 15/PUU-V/2007
tersebut dimana jabatan pemerintahan banyak macam ragamnya, maka
ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang mempersyaratkan calon
Presiden dan calon Wakil Presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh)
tahun adalah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 karena
tidak memberikan kesempatan yang sama bagi Para Pemohon yang berusia
dibawah 40 (empat puluh) tahun untuk maju menjadi calon Presiden dan
calon Wakil Presiden;
226
18. Bahwa oleh sebab itu, menurut Pihak Terkait kebutuhan objektif bagi
jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah tidak terpaku pada batasan
usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Akan tetapi, bagi setiap
perorangan warga negara Indonesia yang memiliki pengalaman sebagai
penyelenggara negara meskipun berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun
sudah sepatutnya demi hukum dan beralasan hukum untuk diberikan
kesempatan yang sama untuk maju menjadi calon Presiden dan calon Wakil
Presiden. Dengan demikian, bagi Pihak Terkait untuk syarat usia calon
Presiden dan calon Wakil Presiden tidak serta merta berusia paling rendah
40 (empat puluh) tahun. Namun, bersifat alternatif apabila memiliki
pengalaman sebagai Penyelenggara Negara dapat menjadi calon Presiden
dan calon Wakil Presiden mengingat kebutuhan dan ukuran yang menjadi
tuntutan antara jabatan atau aktivitas pemerintahan berbeda. Hal mana
sejalan dengan pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 15/PUU-
V/2007 bahwa jabatan pemerintahan banyak macam ragamnya, sehingga
kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda.
Terlebih dalam konteks Indonesia saat ini sudah memasuki tahap awal
bonus demografi, sehingga generasi muda sangat perlu dipersiapkan untuk
menjadi agen-agen pembangunan nasional dan pemimpin bangsa;
19. Bahwa oleh karenanya, berdasarkan seluruh uraian keterangan Pihak
Terkait tersebut di atas, maka permohonan Para Pemohon a quo
senyatanya beralasan menurut hukum, sehingga sudah sepatutnya jika
Mahkamah demi hukum mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk
seluruhnya.
III. Pembahasan
Pihak Terkait Partai Gerindra Pada Prinsipnya Mendukung Permohonan
Para Pemohon Dikarenakan Bersesuaian Dengan Keadaan Hukum Dan
Keadaan Fakta Yang Sebenarnya
1. Bahwa permohonan Para Pemohon sebagaimana perkara Nomor 55/ PUU-
XXI/ 2023 perihal Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar 1945 a quo, bagi
Pihak Terkait senyatanya memiliki hubungan dan arti khusus, yakni:
1) Permohonan Pihak Terkait ini merupakan komitmen Partai Gerindra
kepada setiap warga negara Indonesia termasuk generasi muda, guna
227
menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia paling rendah
sekian dan sekian;
- Bahwa Para Pemohon didalam permohonannya secara jelas hanya
mendalilkan untuk syarat menjadi calon Presiden dan calon Wakil
Presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun
sebagaimana dimaksud Pasal 169 huruf q UU Pemilu, dengan
penambahan frasa “ATAU memiliki pengalaman sebagai
Penyelenggara Negara”;
15. Bahwa selanjutnya, berkenaan dengan keberatan Para Pihak Terkait selain
Pihak Terkait Partai GERINDRA atas permohonan Para Pemohon, yang
mempermasalahkan penambahan frasa “ATAU memiliki pengalaman
sebagai Penyelenggara Negara”, maka atas hal tersebut, Pihak Terkait
Partai GERINDRA dengan tegas membantah dan menolaknya, dikarenakan
Para Pihak Terkait selain Pihak Terkait Partai GERINDRA secara nyata
telah salah memaknai permohonan Para Pemohon, sehingga keterangan
penolakannya hanya mendasarkan pada dugaan dan prasangka dengan
tanpa mendasarkan pada keadaan hukum dan keadaan fakta yang
sebenarnya. Hal mana dengan memperhatikan keadaan hukum dan
keadaan fakta:
- Bahwa untuk syarat usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak
serta merta berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Namun,
bersifat alternatif apabila memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara
Negara dapat menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden,
mengingat kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutan antara jabatan
atau aktivitas pemerintahan berbeda. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 15/PUU-V/ 2007 bahwa
jabatan pemerintahan banyak macam ragamnya, sehingga kebutuhan
dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda;
- Bahwa rasionalitas mengapa memiliki pengalaman sebagai
Penyelenggara Negara adalah hal yang utama dan menjadi penting
dikarenakan pengalaman tersebut membuktikan bahwa pemimpin
politik bangsa harus tetap memperhatikan kompetensi, kapasitas,
kapabilitas, integritas dan akseptabilitas yang kesemuanya tersebut
237
IV. Kesimpulan
1. Bahwa Pihak Terkait Partai GERINDRA adalah Badan Hukum Partai Politik
yang memiliki hak konstitusional berdasarkan UUD 1945 jo. UU Pemilu
sebagai peserta Pemilu tahun 2024 untuk mengusulkan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden, sehingga dengan demikian dan guna
melindungi kepentingan hukum serta hak konstitusionalnya, maka Pihak
Terkait berkepentingan langsung atas Permohonan a quo;
238
V. Petitum
Berdasarkan seluruh uraian di atas, Pihak Terkait Partai GERINDRA
memohon kepada Mahkamah untuk memutus Permohonan a quo, dengan amar
putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik
Indonesia;
atau apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono).
dan tahapan yang telah dijalani oleh calon-calon serta menjaga integritas
proses pemilihan adalah langkah penting dalam mendukung sistem
demokrasi yang transparan dan berkeadilan.
Petitum
Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana tersebut di atas, para Pihak
Terkait memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan
sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan pihak terkait untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sudah tepat
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
memiliki kekuatan hukum mengikat; atau
3. Menyatakan menolak perubahan batas usia minimum capres cawapres
berusia 40 tahun menjadi 35 tahun yang diajukan pemohon perkara ini.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
Adapun lebih jauh dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai
penyelenggara negara, in casu sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah,
menurut Mahkamah mempunyai dua konsekuensi hukum yang berbeda dalam
konteks pengujian undang-undang. Hal ini tidak lain karena dalam sistem hukum
kepemiluan, pasangan calon kepala daerah dapat diajukan melalui dua jalur, yaitu
melalui jalur partai politik/gabungan partai politik, atau melalui jalur independen
(bukan partai politik). Berdasarkan pertimbangan hukum demikian Mahkamah
berpendapat para Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang telah dewasa
dan berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun serta mempunyai hak pilih serta hak
dipilih, berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 169 huruf
q UU 7/2017.
Pokok Permohonan
karena telah melewati batas waktu penyampaian keterangan tertulis yakni pada
tanggal 6 September 2023.
[3.13] Menimbang bahwa Pihak Terkait KIPP dan JPPR telah menyampaikan
keterangan tertulis bertanggal 24 Agustus 2023 dan keterangan lisan dalam
persidangan 29 Agustus 2023, yang pada pokoknya Pihak Terkait KIPP dan JPPR
tidak sependapat (berlawanan) dengan permohonan para Pemohon.
(tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin
[vide Pasal 198 ayat (1) UU 7/2017]. Oleh karena itu, dalam hal ini,
Mahkamah tidak dapat menentukan batas usia minimal bagi calon
Presiden dan calon Wakil Presiden karena dimungkinkan adanya
dinamika di kemudian hari. Selain itu, jika Mahkamah menentukannya
maka fleksibilitasnya menjadi hilang dan dapat memicu munculnya
berbagai permohonan terkait dengan persyaratan batas minimal usia
jabatan publik lainnya ke Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, norma pengaturan persyaratan batas minimal usia calon
Presiden dan calon Wakil Presiden dalam perkembangannya
sebagaimana telah diuraikan dalam Sub-Paragraf [3.18.1] di atas
berbeda-beda pengaturannya dalam pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden dari waktu ke waktu terutama sejak dilakukan pemilihan secara
langsung oleh rakyat. Sebelum perubahan UUD 1945 atau pada waktu
dipilih MPR, syarat usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden
ditentukan harus telah berusia 40 (empat puluh tahun), sedangkan
setelah perubahan UUD 1945 untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden tahun 2004, tahun 2009, dan tahun 2014 ditentukan sekurang-
kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Sementara itu, pada pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019, syarat usia bagi
calon Presiden dan calon Wakil Presiden ditentukan menjadi paling
rendah 40 (empat puluh) tahun. Namun demikian, terlepas dari perbedaan
batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam
beberapa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pilihan
kebijakan lembaga yang berwenang menentukan batas usia calon
Presiden dan calon Wakil Presiden tidak pernah menimbulkan
problematika kelembagaan kepresidenan. Artinya, pemilihan umum calon
Presiden dan calon Wakil Presiden tetap dapat dilaksanakan, tidak terjadi
kebuntuan hukum, dan menghambat pelaksanaan kinerja lembaga
kepresidenan hingga menimbulkan kerugian konstitusional warga negara.
Keempat, tidak ada ketentuan mengenai persyaratan usia yang dapat
dipersamakan atau disetarakan dengan persyaratan usia calon Presiden
dan calon Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam norma Pasal 169
huruf q UU 7/2017. Dalam hal ini, misalnya tidak dapat dipersamakan
dengan persyaratan batas minimal usia pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) karena perubahan norma batas minimal usia calon
pimpinan KPK telah ternyata menimbulkan persoalan ketidakadilan dan
bersifat diskriminatif terhadap seseorang yang pernah atau sedang
menjabat sebagai pimpinan KPK, sehingga Mahkamah dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 memberi alternatif
persyaratan lain, yakni “atau berpengalaman” dengan
mempertimbangkan bahwa subyek dan jabatan yang akan diikuti dalam
proses seleksi nantinya berada dalam jabatan yang sama. Oleh
karenanya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-
XX/2022, Mahkamah memutuskan secara alternatif tanpa mengubah
ketentuan syarat usia yang merupakan kebijakan terbuka pembentuk
undang-undang. Dalam hal ini, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 juga
tidak dapat dikatakan sebagai norma yang bersifat diskriminatif
sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian diskriminasi menurut Pasal
1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
254
dalam UU 28/1999. Sedangkan, Pejabat Negara yang lain yang dimaksudkan dalam
UU 28/1999 adalah misalnya Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil
Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya [vide Penjelasan Pasal 2 angka 6 UU
28/1999].
Sementara itu, yang dimaksud dengan "pejabat lain yang memiliki fungsi
stategis" dalam Pasal 2 angka 7 UU 28/1999 adalah pejabat yang tugas dan
wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap
praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi: 1. Direksi, Komisaris, dan
pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah; 2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional; 3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; 4. Pejabat Eselon I dan pejabat lain
yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia; 5. Jaksa; 6. Penyidik; 7. Panitera Pengadilan; dan 8. Pemimpin dan
bendaharawan proyek [vide Penjelasan Pasal 2 angka 7 UU 28/1999]. Dengan
demikian cakupan pengertian penyelenggara negara dalam UU 28/1999 sangat
luas.
Dalam kaitan ini, sejauh mana batasan yang dimaksud dengan “usia di
bawah 40 (empat puluh) tahun” pun, sebagaimana konstruksi permohonan para
Pemohon, tidak diuraikan lebih mendalam oleh para Pemohon. Artinya, jika logika
para Pemohon diikuti maka batas usia minimal untuk dicalonkan sebagai calon
Presiden dan calon Wakil Presiden, bagi bakal calon Presiden dan bakal calon Wakil
Presiden yang berstatus penyelenggara negara akan beraneka ragam tergantung
jabatan yang sedang/pernah diemban. Hal demikian karena kategori penyelenggara
negara meliputi aneka jenis jabatan yang masing-masingnya mempunyai batasan
usia minimal yang berbeda.
[3.18] Menimbang bahwa hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena
dinilai tidak ada relevansinya.
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
---------------------------------------------------------------------------
kekuasaan tersebut sesuai dengan hukum dan ketentuan yang berlaku baik
dalam menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun
demikian, khusus presiden dan wakil presiden dalam menjalankan kekuasaan
atau jabatannya dalam lingkup menjalankan fungsi eksekutif memiliki cakupan
yang lebih luas mengingat Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
menurut UUD 1945 dan oleh karenanya itulah dalam menjalankan kewajibannya
Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden (vide Pasal 4 UUD 1945).
Dengan demikian, mengingat beban tugas, fungsi, dan wewenang jabatan
Presiden dan Wakil Presiden lebih luas dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahan atau fungsi eksekutif, maka adalah wajar apabila memiliki
pengalaman sebagai penyelenggara negara dapat menjadi bekal yang bersifat
fundamental guna menjadi pelengkap keterpenuhan syarat untuk menjadi calon
Presiden dan calon Wakil Presiden.
6. Bahwa di samping pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan tersebut di
atas, tata cara pengisian jabatan calon presiden dan calon wakil presiden adalah
dengan cara atau menggunakan sistem pemilihan (elected official), oleh karena
itu hakikat yang terkandung dalam pengertian jabatan yang dipilih mengandung
konsekuensi baik yuridis maupun politis bahwa kapabilitas yang berkaitan
dengan keterpenuhan syarat sebagaimana pada point angka 2 (dua) bagi calon
presiden dan calon wakil presiden ditentukan oleh pemilik suara yang
memberikan penilaian atas kecakapan dan kemampuan bagi calon presiden dan
calon wakil presiden yang bersangkutan. Oleh karena itu, pemilih dapat secara
cermat dan mempertimbangkan dengan teliti nilai-nilai serta aspirasi pribadi
pemilih itu sendiri, yang tentu dipandang paling sesuai dengan harapan dan
kebutuhan bangsa dan negara. Dengan demikian, berkaitan dengan syarat
formal calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang menentukan batas minimal usia 40
(empat puluh) tahun, seharusnya tidak selalu berkorespondensi dengan
parameter kemampuan atau kecakapan seseorang. Terlebih dalam perkara a
quo, tidak ditemukannya rasio legis dan original intens dari pembentuk undang-
undang ketika dilakukan perubahan syarat menjadi calon presiden dan calon
wakil presiden dari undang-undang sebelumnya yang mensyaratkan semula
batas minimal 35 (tiga puluh lima) tahun menjadi 40 (empat puluh) tahun (vide
Pasal 5 huruf o UU 42/2008 jo Pasal 169 huruf q UU 7/2017).
263
7. Bahwa secara faktual berkenaan dengan usia calon presiden dan calon wakil
presiden a quo, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi dalam perkara yang
berbeda, baik Pemerintah/Presiden maupun DPR sebagai lembaga pembentuk
undang-undang berkaitan dengan syarat usia minimal calon presiden dan calon
wakil presiden menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk
menentukan penilai konstitusionalitasnya. Oleh karena itu, hal ini membuktikan
bahwa penilaian konstitusionalitas sebuah norma undang-undang yang secara
konstitusional kewenangannya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi tidak
mungkin kemudian dikembalikan kepada pembentuk undang-undang yang
secara tegas telah menyerahkan sepenuhnya atas penilaian konstitusionalitas
norma dimaksud kepada pembentuk undang-undang lagi. Bahkan dengan kata
lain, hal demikian bisa diartikan Mahkamah Konstitusi mendistorsi
kewenangannya sendiri yang telah diberikan oleh UUD 1945.
8. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya meyakini
bahwa memperluas pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dengan
melekatkan syarat pengganti atau pilihan sepanjang yang bersangkutan pernah
menjabat sebagai penyelenggara negara dengan reputasi yang baik, maka hal
tersebut mencerminkan bahwa pengalaman sebagai penyelenggara dimaksud
mempunyai bobot nilai yang lebih substansial dibanding dengan penentuan
syarat usia minimal 40 (empat puluh) tahun yang hanya berdasarkan perkiraan
atau anggapan semata bahwa seseorang yang telah berusia 40 (empat puluh)
tahun tersebut dianggap sudah mempunyai kemampuan atau kecakapan
seseorang untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Bahkan
dengan kata lain lagi, fakta-fakta hukum dimaksud dapat dijadikan bukti bahwa
berkaitan dengan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dimaksud, seandainya
pun dianggap merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk
menentukan (open legal policy), namun hal ini dapat dikatakan telah melanggar
moralitas, rasionalitas atau ketidakadilan yang intolerable.
sebagai alternatif dari syarat usia minimal karena figur yang pernah terpilih
dalam pemilihan umum artinya adalah figur yang pernah terbukti mendapat
kepercayaan dari pemilih (rakyat). Oleh karena itu, pembatasan usia minimal 40
(empat puluh) tahun tidak saja menghambat atau menghalangi perkembangan
dan kemajuan generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional namun juga
berpotensi mendegradasi peluang tokoh/figur muda yang menjadi dambaan
generasi muda milenial. Seharusnya, usia dibawah 40 tahun sepanjang pernah
menjabat jabatan elected office dapat berpartisipasi dalam kontestasi calon
Presiden dan Wakil Presiden yang selanjutnya tergantung pada preferensi partai
politik atau gabungan partai politik pengusung dan pada akhirnya ditentukan
oleh pemilih (rakyat). Jabatan-jabatan dimaksud merupakan jabatan yang
bersifat elected office, sehingga dalam batas penalaran yang wajar jabatan
elected office telah diakui dan mendapatkan legitimasi dari rakyat bahwa
figur/orang tersebut mampu menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik in
casu presiden atau wakil presiden.
7. Terkait dengan apakah perkara a quo termasuk ataukah bukan termasuk open
legal policy, menurut keyakinan saya, perkara a quo bukan termasuk open legal
policy. Meskipun keberadaan open legal policy diakui keberadaanya dalam
praktik ketatanegaraan, namun dalam perkembangannya, Mahkamah dapat
memberi tafsir ulang terhadap keberadaan open legal policy dimaksud bahkan
dapat menjadikannya inkonstitusional atau tetap konstitusional, atau pun
bahkan konstitusional/inkonstitusional bersyarat sebagian atau seluruhnya.
Secara konseptual, open legal policy tetap berlaku sepanjang pasal, norma,
atau undang-undang tidak atau belum diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah
Konstitusi. Manakala suatu pasal, norma, atau undang-undang dimintakan
pengujian konstitusionalitasnya di hadapan Mahkamah Konstitusi, maka legal
policy pembentuk undang-undang berdasarkan asas presumption of
constitutionality tetap konstitusional sampai dengan Mahkamah memutus
sebaliknya. Artinya, open legal policy dimaksud seharusnya berhenti
(exhausted), sebab menjadi domain Mahkamah untuk menilai dan mengkaji
ulang dengan bersandar pada Pancasila, UUD 1945, nilai-nilai keadilan, dan
HAM. Dalam hal ini Mahkamah dapat menilai konsep open legal policy apakah
masih relevan ataukah tidak relevan sehingga menyebabkan adanya penafsiran
baru terhadap pasal, norma, frasa, atau undang-undang yang sedang diuji
268
keadilan sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian,
sekali lagi, sense of justice saya mengatakan bahwa Permohonan para
Pemohon seharusnya dikabulkan untuk sebagian sehingga Pasal 169 huruf q
UU 7/2017 dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional)
sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau
pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum
termasuk pemilihan kepala daerah”.
***
Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan
Hakim Konstitusi, yaitu Saldi Isra selaku Ketua merangkap Anggota, Wahiduddin
Adams, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P.
Sitompul, M. Guntur Hamzah, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota,
pada hari Selasa, tanggal sembilan belas, bulan September, tahun dua ribu dua
puluh tiga yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum pada hari Senin, tanggal enam belas, bulan Oktober, tahun dua ribu dua
puluh tiga, selesai diucapkan pukul 12.50 WIB oleh sembilan Hakim Konstitusi,
yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Wahiduddin
Adams, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P.
Sitompul, M. Guntur Hamzah, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota,
dengan dibantu oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri
oleh para Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili,
dan Presiden atau yang mewakili, serta para Pihak Terkait atau kuasanya.
KETUA,
ttd.
Anwar Usman
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Mardian Wibowo