Buku Pengantar Filsafat Kebudayaan Amin
Buku Pengantar Filsafat Kebudayaan Amin
Buku Pengantar Filsafat Kebudayaan Amin
Filsafat
Kebudayaan
Buku pengantar filsafat kebudayaan memang sudah banyak ditulis orang, akan
tetapi masing-masing mereka memiliki pendekatan dan metode masing-
masing yang bisa saja berbeda dan berlawanan satu sama lain. Buku saya ini
adalah salah satu buku pengantar filsafat kebudayaan yang memiliki
pendekatan yang berbeda dari buku-buku pengantar serupa yang telah terbit.
Perbedaan kedua terletak pada obyek bahasan. Buku ini membahas pikiran-
pikiran filosofis mengenai kebudayaan yang diproduksi oleh filosof-filosof
kebudayaan di tanah air saja. Filosof-filosof Barat atau Eropa dan Amerika yang
memiliki pikiran-pikiran filosofis mengenai culture sengaja tidak kami
masukkan dalam buku ini. Mengenai mereka, cukuplah pembaca merujuk pada
buku-buku pengantar kebudayaan yang ditulis penulis-penulis lainnya. Itu
dikarenakan buku ini mengantarkan pembaca ke kajian tentang Filsafat
Kebudayaan, bukan Philosophy of Culture.
i
Sumardjo, Ferry Hidayat, Abdullah Wong, Hardiansyah Suteja, Abdul Hadi WM,
dan masih banyak lagi. Juga, para penerjemah buku filsafat kebudayaan dari
bahasa asing ke bahasa Indonesia, seperti Dick Hartoko, Arie Setyaningrum
Pamungkas, dan lain-lain. Semua filosof dan penerjemah buku memiliki
pemahaman dan pendekatan dalam mengkaji Filsafat Kebudayaan secara
berbeda-beda, dan ini sungguh sangat mengasyikkan. Ini sekaligus
menunjukkan betapa kebudayaan merupakan masalah penting, masalah serius,
yang menjadi kepedulian mereka semua.
Kategorisasi ini belum final; masih bisa direvisi. Dengan berjalannya waktu dan
adanya ketersediaan waktu, penulis akan merevisi buku pengantar filsafat
kebudayaan ini secara kontinyu, insyaAllah.
Akhirul kalam, selamat menikmati makanan akaliah ( food for thought) ini,
pembaca! Semoga buku ini menjadi wasilah penulis mendapat berkah Ilahi.
Ammin
Wassalam,
Desa Sidayu, Mei 2021
AKA.
ii
Daftar Isi
Hal.
Mukadimah __________________________________________________ i-ii
Daftar Isi ____________________________________________________ iii
Bab Satu: Apa itu Filsafat Kebudayaan? __________________ 1
Bab Dua: Mazhab Filsafat Kebudayaan ____________________ 2-3
* Filsafat Kebudayaan “Mazhab Profan” __________________ 3
Sutan Takdir Alisjahbana __________________________________ 3-4
Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan”_______________________________________________ 4-6
Konsep-Konsep Filosofis ___________________________________________________________ 6-19
Ikhtisar Filsafat _____________________________________________________________________ 19-20
Koentjaraningrat ___________________________________________ 20
Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan”________________________________________________ 20-22
Konsep-Konsep Filosofis ___________________________________________________________ 22-40
Ikhtisar Filsafat _____________________________________________________________________ 40-41
Soedjatmoko ______________________________________________ 42
Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan”_________________________________________________ 42-43
Konsep-Konsep Filosofis ___________________________________________________________ 44-63
Ikhtisar Filsafat _____________________________________________________________________ 63
Penerjemah-Penerjemah Buku _____________________________ 63-64
Dick Hartoko ________________________________________________________________________ 64-68
Arie Setyaningrum Pamungkas _____________________________________________________ 68-71
Daftar Pustaka _______________________________________________________________________ 71-72
* Filsafat Kebudayaan “Mazhab Sakral” ___________________ 72-73
Ferry Hidayat _______________________________________________ 73
Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan”_________________________________________________ 74-80
Konsep-Konsep Filosofis ___________________________________________________________ 80-102
Ikhtisar Filsafat _____________________________________________________________________ 102-103
iii
BAB SATU
Apa Itu Filsafat Kebudayaan?
Secara semantik, Filsafat Kebudayaan adalah suatu frasa yang terdiri dari dua
kata yakni filsafat dan kebudayaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), kata filsafat diartikan sebagai “pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya .”1
Sedangkan kata kebudayaan di sini sengaja tidak kami artikan, sebab di sinilah
terletak problematikanya; kata kebudayaan di sini justru menjadi obyek kajian
buku ini.
Filsafat Kebudayaan berbeda dengan suatu cabang dari Ilmu Filsafat yang
berkembang di Dunia Barat, yakni Philosophy of Culture. Philosophy of Culture
adalah “a branch of philosophy that examines the essence and meaning of
culture ” (suatu cabang dari filsafat yang mengkaji hakikat dan makna dari
culture).2 Kata culture dalam khazanah bahasa Inggris belum tentu memiliki
kesamaan arti dengan kata kebudayaan dalam khazanah bahasa Indonesia.
1
Lema “filsafat”, dalam KBBI Offline versi 1.5.1
2
“Philosophy of Culture”, dalam https://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Philosophy_of_culture&oldid=964716466
1
BAB DUA
Mazhab Filsafat Kebudayaan
3
maupun di luar negeri, yang jumlahnya tidak terhitung. Bahkan, komitmen dan
dedikasi beliau dalam dunia filsafat kebudayaan makin nampak jelas saat
beliau mendirikan satu yayasan yang bernama Yayasan Memajukan Ilmu dan
Kebudayaan di tahun 1946, yang bertujuan menyebarluaskan pemikiran
filosofis beliau tentang kebudayaan dan mewujudkannya dalam realitas.
3
Sutan Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai, Jakarta: Yayasan
Idayu, 1975, hal. 6
4
The appearance of man in the course of evolution has brought a great change in
the total process of life on our planet. While the animal lives on the basis of its
drives and instincts, in man through his upright position a change took place in the
form and structure of his brain, which enabled the emergence of new capacities
and potentialities in his psychological make-up which in the English language are
called mind and spirit. While the animal lives in nature as a part of nature, man
transcends his natural surrounding and creates new entities in which he lives his
life, and which we call culture. In the German language the combination of mind
and spirit is called Geist so that in the German language the
Geisteswissenschaften run paralel with the Kulturwissenschaften. In the
Indonesian language we have used for the concept of Geist, that is the combination
of mind and spirit, the word budi which characterized man as the enlightened
animal. It is thus especially in the Indonesian language that the relation between
the psychological make-up of man and his culture is the most clearly expressed
since from budi derives directly budidaya or kebudayaan which means the power
or result of the budi. It is in the great process of change created by budi and
budidaya that the concept of development…has its broadest basis…
In order to have a clear idea of the concept of development, that is the change
caused by human cultural behavior in socio-cultural life, we have to analyse the
process of the human budi and culture during human history. The difference
between the process of natural evolution in which animal lives its life and the new
evolution of culture created by man, is that the animal from its birth is already a
complete or finished being; it has already everything in its psychological make-up
for the further continuation of its life… Compared to this the newborn human infant
is in every aspect a helpless being but with a great potentiality to develop further
and further into a personality and a member of a certain society, which is not
predictable from the beginning…4
Dalam karangannya yang berbahasa Inggris ini, Takdir memaknai “budi” dalam
kaitannya dengan “kebudayaan”. Kata “budi” dimaknai Takdir secara serupa
dengan kata Jerman, “Geist”, yakni paduan antara “mind” dan “spirit” dalam
bahasa Inggris. Dengan “budi”, manusia membedakan dirinya dari bangsa
binatang. Jika binatang hidup sebagai bagian dari Alam, maka manusia
mengatasi lingkungan alamiahnya dan menciptakan entitas-entitas baru di
dalam Alam, yang disebut sebagai “culture”. Jika “budi” adalah “Geist” dan
“Geist” adalah “Kultur”, maka “Kultur” (Jerman) atau “Culture” (Inggris) adalah
sama dengan “kebudayaan” (Indonesia).
In contrast to Geist, the English concept of mind has more cognitive character.
It is in this sense that in the English language there is no direct relationship
between the concept of mind and the totality of culture, which includes the product
4
Sutan Takdir Alisjahbana, "Socio-Cultural Development in Global and National Perspective and Its Impact", dalam
Majalah Bulanan Ilmu dan Budaya, Tahun X, No. 10/Juli 1988, Jakarta: Universitas Nasional, 1988, hh. 721-722
5
of intuition, feeling and imagination as expressed in religious awe and the creation
of the arts. It was this more comprehensive German concept of Geist which
influenced me in the construction of my cultural philosophy. I have given to the
concept of budi in the Indonesian language, which is related to the word Buddha,
the Enlightened One, the meaning of Geist, since in the Indonesian language the
word culture (budidaya and kebudayaan) is directly related to the concept of budi,
from which it is derived. Indeed, in the Indonesian language the concept of budi
represents the most characteristic of the human psyche in contrast to the drives
and instincts in the animal psyche.5
14 Sutan Takdir Alisjahbana, Speech On the Occasion of the Bestowal to him of the Commander’s Cross of the Order of
Merit of the President of The Federal Republic of Germany (terjemahan dari bahasa Jerman), dalam Majalah Bulanan
‘’Ilmu dan Budaya’’, No. 2-3/Tahun XI/November-December 1988, Jakarta: Universitas Nasional, 1988, hal. 84
6
Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana,
suntingan Ignas Kleden et.al., Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1988, hh. 56-57
6
Lebih lanjut, Alisjahbana menjelaskan hukum retrogenese Jan Romein:
The ‘life’ of a culture that finds expression at any one time and place is no exception
to the laws that govern all living things. A culture begins to bud, when there grows
up within a society a conviction of the truth of a certain system of values. This
stimulates the heart, the mind and the hand to devote themselves to the realization
of these values in the life of the individual and of the community. In some places
the heritage of the former culture may be partially remoulded and translated into
new forms, and elsewhere entirely new conceptions may arise, but little by little
one can discern a new culture with a new structure developing, based on the new
value-system.
But the ability of a culture to develop is not unlimited, for every culture contains
within itself the dialectic of all growth. As the papaya seed, which sprouts in the
fertile soil and joyfully thrusts up through it to greet the beneficent rays of the sun,
must experience, the further it rises up out of the earth, an increasing remoteness
from the soil, from which its roots suck up the sap, that makes it grow, so every
culture that gives expression to a definite system of values, must eventually
experience the limits to the possibilities of its further development. Sooner or later
the time comes when its initiative decays, its creative power withers away, and the
robust vigour of its youthful maturity turns into the decrepitude of old age. 7
7
Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia in The Modern World, New Delhi: Prabhakar Padhye, 1961, hh. 3-4
7
Misalnya, evolusi kebudayaan Indonesia. Dengan analisa historis yang
digunakan STA, nampaklah bahwa kebudayaan Indonesia berevolusi dalam
empat “lapis kultural” (cultural layer), yakni:
a. Lapis kultur pribumi (indigenous Indonesian culture);
b. Lapis kultur Hindu-India (Indian-Hindu culture);
c. Lapis kultur Islam (Islamic culture);
d. Lapis kultur Eropa modern (modern European culture).8
Lapis kultur pribumi adalah kebudayaan orang asli Indonesia yang mendiami
kepulauan Indonesia; yakni kebudayaan yang masih bertahan di beberapa
daerah di Indonesia dan masih sangat dekat dengan kebudayaan asli, seperti
kebudayaan orang pedalaman hutan Kalimantan (Borneo). 9
Lapis kultur Hindu-India adalah lapis kultur yang berdiri di atas lapis kultur
pribumi; berasal dari kebudayaan Hindu-India, seperti kebudayaan Hindu-India
yang ada di pulau Bali.10
Lapis kultur Islam adalah lapis kultur yang berdiri di atas dua lapis kultur yang
lebih dulu ada (kultur pribumi dan kultur Hindu-India). Lapis kultur Islam
berasal dari kebudayaan Islam di Timur-Tengah, di Persia, dan di India. Lapis
kultur Islam nampak dalam kebudayaan Islam di Jawa dan di Sumatra di abad
14 dan abad 15 Masehi.11
Lapis kultur Eropa modern ialah kebudayaan yang hadir di hadapan tiga lapis
kultur yang lebih dulu ada (kultur pribumi, kultur Hindu-India, dan kultur Islam).
Kebudayaan Eropa modern datang bersama-sama dengan datangnya orang
Eropa ke Indonesia: orang Portugis dan Spanyol sejak abad 15 Masehi, dan
orang Belanda sejak pertengahan abad 19 Masehi dan awal abad 20 Masehi.
Kebudayaan ini menantang tiga lapis kultur yang telah lebih dulu ada di
Indonesia dan meninggalkan pengaruh atas ketiga lapis kultur tadi.12
Analisa kesejarahan juga dapat dipakai untuk menganalisa evolusi kebudayaan
di Indonesia yang berkenaan dengan etos ekonomi. Menurut analisa historis
atas lapis-lapis kultur tadi, STA menyimpulkan bahwa etos ekonomi dalam
kebudayaan Indonesia dapat dibagi dalam 4 (empat) kategori:
a. Etos ekonomi dalam lapis kultur asli pribumi
b. Etos ekonomi dalam lapis kultur Hindu-India
c. Etos ekonomi dalam lapis kultur Islam
8
Ibid., hh. 9-11
9
Ibid., hh. 9-10
10
Ibid., hal. 10
11
Ibid.
12
Ibid., hh. 10-11
8
d. Etos ekonomi dalam lapis kultur Eropa modern.13
Etos ekonomi dalam lapis kultur asli pribumi bersifat bersahaja. Orang hidup
sekedar untuk memenuhi keperluan hidup yang terbatas; mereka tidak punya
tujuan menumpuk-numpuk kekayaan dan tidak punya tujuan menjalankan
aktifitas ekonomis yang rasional dan efisien. “ Kalau keperluan hidup diperoleh,
biasanya orang yang berhenti bekerja. Waktu bukanlah uang .”14
Etos ekonomi dalam lapis kultur Hindu-India bersifat hirarkis berdasarkan
kasta-kasta. Kaum pengrajin, kaum petani dan kaum saudagar dari kasta
tingkat pertama dan tingkat kedua memanglah amat produktif dan kreatif
dalam ekonomi, tapi sebaliknya, kaum dari kasta ketiga (kasta waisya) dan
kasta keempat (kasta sudra) dilarang aktif dan produktif dalam ekonomi. 15
Etos ekonomi dalam lapis kultur Islam sungguh berbeda dengan lapis-lapis
kultur sebelumnya; dalam lapis kultur Islam, “masih kelihatan pengaruh etos
ekonominya”. Merekalah kaum santri pedagang, santri saudagar, santri pemilik
pabrik, santri pemilik perusahaan, santri milyuner-milyuner yang hidup di
sekitar langgar masjid dan pondok pesantren. “ Merekalah sebenarnya kaum
menengah atau kaum burjuis,…” ungkap STA, yang terinspirasi ajaran Al-Quran
‘…yang dengan berterus terang menganjurkan ummat Islam menjalankan
keaktifan di dalam dunia,” dan terinspirasi Hadits Nabi, “…bahwa kemiskinan
adalah hampir sama dengan kufur.”16
Etos ekonomi dalam lapis kultur Eropa modern lebih canggih dari etos
ekonomi dalam lapis kultur Islam; etos ekonomi dalam lapis kultur Eropa
modern memiliki “modernisasi dan rasionalisasi kegiatan ekonomi dan ilmu
dengan jalan mengambil unsur-unsur kemajuan dari dunia Eropah dan
Amerika…”17
13
Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana,
suntingan Ignas Kleden et.al., Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1988, hh. 76-109
14
Ibid., hal. 76
15
Ibid.
16
Ibid., hh. 79-104
17
Ibid., hh. 106-107
9
oleh bangsa tersebut. Untuk menjelaskan nilai-nilai dominan ini, STA mengutip
dan mengadopsi teori nilai yang dijelaskan oleh Eduard Spranger, seorang
filsuf Jerman, dalam bukunya Lebensformen.18
Menurut Eduard Spranger, terdapat 6 (enam) nilai paling dominan yang
dijunjung oleh semua bangsa di dunia, yakni:
a. Nilai teoritis (theoretical value);
b. Nilai ekonomis (economic value);
c. Nilai relijius (religious value);
d. Nilai estetik (aesthetic value);
e. Nilai kekuasaan (power value);
f. Nilai solidaritas (solidarity value).19
Alisjahbana menjelaskan apa yang dimaksud dengan enam nilai ( value)
dominan tersebut:
With the theoretical value man attempts to know objectively, i.e. to identify the
things and occurences around him. With the economic value he is facing his
surrounding in terms of utility, he attempts to use his surrounding in the most
efficient way for the maintenance and the comfort of his life. The religious value
brings him in relationship with the great mysterious all-embracing power around
him. He realizes, that he is only a small, meaningless being, in every aspect
dependent on the great mysterious universe, which expresses itself to him as
tremendum and fascinans. The religious value is usually called holiness. In the
aesthetic value the world around him expresses itself in the form of beauty.
But a man is also facing his fellowman in his daily life. When his ambition is to have
power over other people, he is aspiring at power. In the social relations between
men the power value manifests itself as a vertical force, while the value of solidarity
expresses itself as a horizontal force in the form of love, friendship, mutual help,
etc.20
Di atas, Alisjahbana menjelaskan bahwa nilai teoritis adalah nilai dominan yang
menekankan pentingnya pengetahuan obyektif untuk mengidentifikasi hal-hal
dan kejadian-kejadian di sekitar tempat hidup manusia.
Sedangkan nilai ekonomis adalah nilai dominan yang mengutamakan
pemanfaatan lingkungan dan efisiensi pemanfaatannya untuk melestarikan
dan menikmati hidup.
Adapun nilai relijius adalah nilai dominan yang menekankan keterhubungan
antara diri dan kekuatan misterius adi-alamiah yang menakjubkan, tapi
18
Sutan Takdir Alisjahbana, Speech On the Occasion of the Bestowal to him of the Commander’s Cross of the Order of
Merit of the President of The Federal Republic of Germany (terjemahan dari bahasa Jerman), dalam Majalah Bulanan
‘’Ilmu dan Budaya’’, No. 2-3/Tahun XI/November-December 1988, Jakarta: Universitas Nasional, 1988, hal. 84
19
Sutan Takdir Alisjahbana, “Socio-cultural Development in Global and National Perspective and Its Impacts”, dalam
Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 10/Juli 1988, Universitas Nasional, hal. 722
20
Ibid., hh. 722-723
10
sekaligus menegangkan di alam yang juga penuh misteri. Nilai relijius adalah
nilai dominan yang menekankan pentingnya eksistensi Sang Kudus (the
holiness).
Nilai estetik adalah nilai dominan yang menekankan pentingnya keindahan
yang mengungkap-diri dalam dunia sekitar manusia.
Nilai kekuasaan adalah nilai dominan yang menekankan keutamaan ambisi
menguasai orang lain dalam kuasa vertikal (hirarkis antara atasan-bawahan).
Terakhir, nilai solidaritas adalah nilai dominan yang menekankan keutamaan
percintaan, keutamaan persahabatan, dan keutamaan gotong-royong (mutual
help) dalam kuasa horisontal (sejajar antara kekasih, sahabat dan
warganegara).
Lebih lanjut, Alisjahbana menjelaskan:
… There is relation between the logic and reality of the theoretical and the
economic value; both are facing the surrounding nature and its laws and
potentialities. While the theoretical value wants to know, to identify these laws and
potentialities, the economic value wants to use the laws and potentialities for
human survival and comfort. A combination of both values forms the progressive
aspect of culture and it is in their cooperation that technology comes into being and
continuously develops.
There is also some similarity between the religious and the aesthetic value on
evaluating process. Both face the surrounding world not as a reality but as an
expression of another reality. For the religious value the surrounding world is the
expression of holiness, while for the aesthetic value as the expression of beauty.
There is also a similarity between the processes and logics of the religious and
aesthetic values; both proceed on the basis of intuition, feeling and imagination.
A culture dominated by these values or evaluating processes, I call the expressive
culture,…
A dominance of the power value in the progressive as well as in the expressive
culture represents a totalitarian social structure, while a dominance of the solidarity
value represents a democratic social structure.21
21
Sutan Takdir Alisjahbana, “Socio-cultural Development in Global and National Perspective and Its Impacts”, dalam
Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 10/Juli 1988, Universitas Nasional, hal. 723
11
a. Nilai seni dan nilai agama;
b. Nilai ilmu (sains), teknologi, dan ekonomi
c. Nilai kekuasaan (power) dan solidaritas.22
The most important epoch in human history until our time was the epoch of the fifth
century B.C. as indicated by various historians and philosopher. It was epoch when
in Asia and Europe great thinkers and religious builders lived and struggled:
Confucius, Lao-tse, Mo-Ti laid the foundation of the great Chinese culture. In India
emerged at the same time Mahavira, Buddha and the thinkers of the Upanishad.
In the Middle East lived the Jewish prophets, from whose thought and work later
the religion of Christianity and Islam derived.
22
Sutan Takdir Alisjahbana, Antropologi Baru, Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986, hal. 278 (catatan kaki).
23
Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana,
suntingan Ignas Kleden et.al., Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1988, hal. xxv
24
Ibid.
12
All these cultures were expressive cultures which means the life of the people was
dominated by religion and the arts on the basis of belief, feeling, intuition and
imagination.
The 5th century was the great epoch of Asia, which until our time still influences the
life and aspirations of millions of people, not only in Asia but in the whole world.
But during the same epoch emerged on the European Continent the cultural of
Greece which gradually left its prelogical and mythological character to become a
more secular and rational culture which laid the foundation for the development of
modern culture dominated by science, technology and economic progress; I call
such a culture a progressive culture, which proceeds on the basis of independent
secular rational thought in contrast to the Asiatic prelogical and mythological
expressive cultures.25
25
Sutan Takdir Alisjahbana, “Emerging Asia and The Future of Humanity”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA,
Tahun X, No. 3/Desember 1987, Universitas Nasional, hal. 162
26
Sutan Takdir Alisjahbana, “S. Takdir Alisjahbana Receives the Commander’s Cross of the Order of Merit from the
President of the Federal Republic of Germany”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 3/Desember
1987, Universitas Nasional, hal. 84
13
yang berwatak progresif. Kebudayaan bangsa Eropa di Abad Pertengahan
(sejak abad 5 hingga 15 Masehi) yang berwatak ekspresif bisa berubah menjadi
yang berwatak progresif di Abad Modern (sejak abad 15 hingga sekarang).
Apakah faktor-faktor yang menyebabkan perubahan watak kebudayaan dari
suatu watak khas ke suatu watak khas yang lain? Menurut Alisjahbana,
perubahan watak kebudayaan suatu bangsa dari suatu watak khas ke watak
khas yang lain disebabkan karena beberapa faktor:
a. Faktor budi (kombinasi jiwa dan semangat) manusia. Manusia memiliki
budi, sementara binatang tidak memilikinya. Budi inilah yang
membedakan (differentia) manusia dari semua species dari genus
binatang. Dengan eksistensi budi di dalam dirinya, manusia mampu
mengubah alam berdasarkan keinginannya sendiri, idenya sendiri, dan
berdasarkan pilihannya sendiri. Dengan eksistensi budi ini pula manusia
mampu mengubah nilai-nilai dominannya sendiri (6 [enam] nilai
dominan yang dijelaskan tadi di atas), yang pada gilirannya mendasari
watak kebudayaan yang ia ciptakan. Jika manusia memutuskan untuk
mengubah watak kebudayaannya sendiri, maka ia tidak memiliki
kesulitan untuk mengubahnya disebabkan keberadaan budinya yang
terus aktif mencipta dan yang aktif berubah itu.27
b. Faktor kolonialisme. Penjajahan suatu bangsa yang kuat atas bangsa
yang lemah juga dapat menjadi faktor utama perubahan watak
kebudayaan suatu bangsa. Misalnya, penjajahan bangsa Barat/Eropa
yang memiliki watak kebudayaan progresif (yang mementingkan nilai
sains, teknologi dan ekonomi) atas bangsa Asia, bangsa Afrika, bangsa
Amerika asli dan bangsa Australia asli yang memiliki watak kebudayaan
ekspresif (yang mementingkan nilai agama dan seni), memaksakan
bangsa-bangsa yang dijajahnya untuk mengubah watak kebudayaan dari
yang ekspresif ke yang progresif.28
c. Faktor rekayasa bahasa. Watak kebudayaan suatu bangsa dapat diubah
secara perlahan dan secara tersembunyi melalui rekayasa kebahasaan
(language engineering) atau perencanaan bahasa (language planning).
Misalnya, bangsa Indonesia yang berwatak kebudayaan ekspresif
memiliki bahasa, yakni bahasa Indonesia. Agar watak kebudayaan
progresif bisa mengganti dan mengubah watak kebudayaan ekspresif
yang selama ini dimiliki bangsa Indonesia, maka dalam bahasa Indonesia
dimasukkanlah terma-terma, istilah-istilah, dan kosakata-kosakata dari
bahasa-bahasa bangsa yang memiliki watak kebudayaan progresif, yakni
bahasa-bahasa Eropa/Barat (bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa
27
Sutan Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai, Jakarta: Yayasan
Idayu, 1975, hal. 6
28
Sutan Takdir Alisjahbana, “Emerging Asia and the Future of Humanity”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA,
Tahun X, No. 3/Desember 1987, Universitas Nasional, hh. 163-164
14
Belanda, dll.) ke dalam jantung bahasa Indonesia, sehingga lambat laun
kosakata-kosakata baru itu akan terus digunakan oleh lisan-lisan orang
Indonesia dari semua kalangan masyarakat, terus diulang-ulang dalam
novel dan cerpen-cerpen pujangganya, terus dihafal-hafal di kelas-kelas
kuliah di perguruan tingginya, sehingga akhirnya benar-benar
mengubah watak kebudayaan bangsa Indonesia dari yang ekspresif ke
yang progresif.29
29
Sutan Takdir Alisjahbana, “Politik Bahasa Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia”, dalam Amran Halim (ed.),
Politik Bahasa Nasional 1, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1980, hal. 42
30
Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia in the Modern World, New Delhi: Prabhakar Padhye, 1961, hal. 10
31
Sutan Takdir Alisjahbana, “Emerging Asia and the Future of Humanity”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA,
Tahun X, No. 3/Desember 1987, Universitas Nasional, hal. 162
32
Ibid., hal. 163
33
Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan sebagai Perjuangan: : Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana,
suntingan Ignas Kleden et.al., Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1988, hal. 21
15
… dalam perlombaannya di dunia modern dengan bangsa-bangsa yang
lain.”34 Sains, teknologi, dan ekonomi adalah syarat kemajuan yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi “… Dalam usaha untuk menyejajarkan bangsa kita
dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi sekarang ini …”35 agar bangsa
itu tidak “…tertinggal di belakang dalam persaingan internasional …”36
d. Bangsa yang masih berwatak kebudayaan ekspresif memiliki “…inferiority
of the knowledge … of the laws and potentialities of our surrounding
nature…”37 (keterbelakangan dalam hal pengetahuan mengenai hukum-
hukum alam dan mengenai potensi-potensi alam sekitar). Sebaliknya,
bangsa yang berwatak kebudayaan progresif “… By his knowledge of the
laws and potentialities of nature he continuously expanded his command
of nature which he utilized and exploited for his own well being, Through
the progress of his expanding knowledge he became so powerful that
Nietzsche called him Superman.”38 (Dengan pengetahuan mengenai
hukum-hukum alam dan potensi-potensi alam, bangsa itu terus-menerus
meluaskan penguasaannya atas alam yang digunakannya dan
dieksploitasinya demi kesejahteraannya sendiri. Dengan perkembangan
pengetahuannya yang kian luas, bangsa itu menjadi bangsa yang sangat
berkuasa sehingga Nietzsche menyebutnya dengan bangsa Superman).
40
Ibid., hal. 50-51
41
Ibid., hal. 51-52
42
Ibid., hal. xiv
43
Ibid., hal. xv
44
Sutan Takdir Alisjahbana, “Emerging Asia and the Future of Humanity”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA,
Tahun X, No. 3/Desember 1987, Universitas Nasional, hh. 167
17
Untuk mengatasi problem tersebut, harus dilakukan asimilasi kebudayaan atau
sintesis kebudayaan. Sintesis antara kebudayaan khas progresif yang
menekankan nilai sains, teknologi dan ekonomi dengan kebudayaan khas
ekspresif yang menekankan nilai agama dan seni. Dalam ungkapannya sendiri,
Alisjahbana menjelaskan:
…masyarakat dan kebudayaan modern itu mengalami krisis justru karena sifat-
sifat kemodernannya yang dikuasai rasio, individualisme, dan keduniaan.
Kedudukan rasio yang terlampau kuat dalam kehidupan masyarakat dan
kebudayaan telah mengancam membuat masyarakat dan kebudayaan modern
menjadi kering, kaku dan kasar; individualisme membuat perhubungan sesama
manusia kehilangan kemesraan, kerukunan dan tolong-menolong, dan menjadi
terpecah-pecah dan penuh kesepian pribadi. Kehidupan dan cita-cita yang
berlebih-lebihan akan harta dan nilai keduniaan membuat suasana masyarakat
dingin berhitung, malahan menimbulkan persaingan yang sering melampaui batas
kemanusiaan. Dalam krisis ini, yang makin lama makin meluas, terutama angkatan
muda di seluruh dunia mulai mencari nilai-nilai modern. Dalam hal ini kebudayaan
Indonesia yang lama, seperti yang masih banyak dijelmakan oleh bahasa-bahasa
daerah dalam rumusan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan, dapat memberi
sumbangan…45
45
Sutan Takdir Alisjahbana, ‘Politik Bahasa Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia”, dalam Amran Halim, Politik
Bahasa Nasional 1: Kumpulan Kertas Kerja Praseminar, Jakarta: Balai Pustaka, 1980, hal. 44
18
the history of the last 2,000 years has given evidence of its open-mindedness and
assimilative power by accepting in its total cultural make-up not only the elements
and traits of the great Chinese, Indian and Middle Age cultural tradition, but which
with its native creativity has also been able to create out of this elements and traits
great cultural monuments of lasting religious and aesthetic greatness…46
Ikhtisar Filsafat
Lantaran “kebudayaan” semakna dan searti dengan “Geist”, “culture”, dan
“Kultur ” dalam tradisi filosofis Eropa/Barat, maka implikasi-implikasinya adalah
sebagai berikut:
a. Kebudayaan adalah ciptaan khas manusia; binatang tidak bisa
menciptakan kebudayaan.
b. Kebudayaan lahir dari budi manusia; kebudayaan lahir dari insting,
perasaan, pikiran, kemauan, dan fantasi manusia. Binatang hanya
memiliki insting dan perasaan saja, dan karenanya, binatang tidak bisa
melahirkan kebudayaan.
c. Kebudayaan diciptakan manusia sebagai akibat dari transendensi
(pengatasan) manusia atas alam, sementara binatang tidak bisa
mengatasi alam; binatang hidup di alam sebagai bagian dari alam,
sehingga binatang tidak bisa menciptakan kebudayaan.
46
Sutan Takdir Alisjahbana, “Socio-cultural Development in Global and National Perspective and Its Impacts”, dalam
Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 10/Juli 1988, Universitas Nasional, hh. 730-731
47
Sutan Takdir Alisjahbana, “Bumantara Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan”, dalam dalam Majalah
Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 4/Januari 1988, Universitas Nasional, hal. 264
19
d. Budi manusia adalah alat manusia untuk menciptakan proses perubahan
terbesar dari alam atau alat untuk menciptakan kebudayaan. Dengan
budinya, manusia menciptakan evolusi baru, yakni evolusi kebudayaan.
e. Evolusi kebudayaan berarti kebudayaan kian berkembang dari satu
kondisi ke kondisi lain yang berubah dan berbeda dari kondisi
sebelumnya. Evolusi kebudayaan adalah perubahan yang disebabkan
oleh perilaku kebudayaan manusia dalam hidup sosio-kulturalnya;
evolusi kebudayaan bersifat niscaya, karena manusia memiliki budi, dan
budinya menghasilkan kebudayaan.
2. Koentjaraningrat
Koentjaraningrat (biasa dipanggil “Pak Koen” atau ‘Mas Koen”)
lahir di Yogyakarta, Jawa Tengah, pada 15 Juni 1923. Beliau
meninggal di Jakarta pada 23 Maret 1999 dalam usia 76 tahun.
Pak Koen dikenal sebagai begawan ilmu antropologi, penari,
pelukis, dan filsuf kebudayaan. Beliau dikenang sebagai Guru
Besar Antropologi di Universitas Indonesia.
Karya-karya filosofis beliau yang berkaitan dengan
kebudayaan terjalin berkelindan dalam karya-karya beliau di
bidang Ilmu Antropologi. Oleh sebab itu, peneliti filsafat kebudayaan yang
hendak meneliti unsur-unsur filsafat kebudayaan di dalam karya-karyanya
harus berhati-hati memilah dan memilih, sebab filsafat kebudayaan yang
dianut Pak Koen ada bersandingan dengan dan bersamaan dengan
pandangan-pandangan antropologisnya. Karya-karya beliau yang paling
terkenal, di antara lain, adalah: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1970);
Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (1974); Pengantar Ilmu Antropologi
(1980); Sejarah Teori Antropologi Jilid I (1982); Cultural Value Orientation and
Development in Indonesia (1984), berbahasa Inggris; Ritus Peralihan di
Indonesia (1985); Sejarah Teori Antropologi Jilid II (1990); Irian Jaya:
Membangun Masyarakat Majemuk (1994); dan berpuluh-puluh karangan lepas
yang diterbitkan di jurnal-jurnal dan majalah-majalah di dalam negeri maupun
di luar negeri.
48
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, cetakan ke-8, Jakarta: Gramedia, 1981, hal. 19
49
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, cetakan ke-3, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hh. 73-74
21
Penyamaan dan penyejajaran “kebudayaan” dengan kata-kata Latin dan Inggris
seperti “culture” dan “colere” oleh Pak Koen sungguh berdampak besar dan
berpengaruh luas atas konsep-konsep filosofis kebudayaannya.
Instrumen Kebudayaan
Ada dua hal yang mutlak dimiliki untuk memungkinkan seorang manusia
mempunyai kebudayaan, yakni:
a. Akal
b. Bahasa
Dengan penguasaannya yang baik mengenai Ilmu Paleoantropologi, Pak Koen
menerangkan 2 (dua) instrumen kebudayaan ini:
Dengan kemajuan-kemajuan di bidang paleoantropologi dan geologi, konsepsi
mengenai missing link itu telah berubah. Makhluk yang semula dianggap sebagai
perantara yang menghubungkan kera dan manusia itu kini diperkirakan sebagai
“makhluk induk” (precursor) adalah makhluk yang ada sebelum terjadinya
percabangan antara kera-kera besar (Pongid) dan manusia…
… makhluk induk.. dianggap sebagai makhluk yang menurunkan manusia dan
jenis-jenis kera besar, seperti orangutan, gorila, dan simpanse, … ditemukan fosil
rahang bawahnya di Saint-Gaudens (Perancis Selatan) pertengahan abad yang
lalu, yang diberi nama Dryopithecus…
… Dalam tahun 1898, seorang dokter Belanda, Eugene Du Bois menemukan
tulang-belulang berupa tengkorak atas, rahang bawah, dan sebuah tulang paha di
… lembah Sungai Bengawan Solo, dekat desa Kedung Brubus… Gigi-giginya pun
mirip gigi manusia, dan bentuk tulang pahanya menandakan bahwa makhluk itu
mampu berdiri tegak. Du Bois menamakan makhluk itu Pithecanthropus Erectus
(=manusia kera yang berjalan tegak), dan menganggapnya sebagai nenek
moyang manusia…
Fosil-fosil Pithecanthropus dari Jawa… tidak pernah ditemukan bersama artefak,
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa makhluk-makhluk tersebut belum
berkebudayaan…
Berdasarkan kenyataan bahwa fosil-fosil Pithecanthropus di Indonesia tidak
pernah ditemukan bersama bekas alat-alat, dan volume otaknya yang terlampau
kecil bagi suatu makhluk yang memiliki akal… dan terutama karena rongga
mulutnya menunjukkan bahwa ia belum dapat menggunakan bahasa, … makhluk
Pithecanthropus belum berkebudayaan… tanpa bahasa dan volume otak yang
kecil yang tidak memungkinkan aktivitas akal…
… makhluk itu belum dapat disebut memiliki kebudayaan, sehingga dengan
demikian ia belum pula dapat sepenuhnya dianggap sebagai manusia…
22
… kedua unsur dalam kehidupan manusia, yaitu akal dan bahasa, adalah hal-hal
yang mutlak dimiliki untuk memungkinkan seseorang mempunyai kebudayaan.
Apabila suatu makhluk telah memiliki suatu kebudayaan, maka barulah ia secara
utuh dapat disebut “manusia”.50
50
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, cet-3, 2005, hh. 52-59
51
Ibid., hal. 80
52
Ibid., hal. 67
53
Ibid., hal. 68
23
Unsur kebudayaan universal yang ketiga ialah organisasi sosial. Setiap
masyarakat yang berkebudayaan pasti memiliki organisasi sosial, semisal
sistem kekerabatan, sistem komunitas, sistem pelapisan sosial, sistem
kepemimpinan, sistem politik, dsb.54
Unsur kebudayaan universal yang keempat ialah sistem peralatan hidup dan
teknologi. Setiap masyarakat yang berkebudayaan pasti memiliki sistem
peralatan hidup dan teknologi. Misalnya, teknologi atau peralatan bercocok
tanam, teknologi atau peralatan menangkap ikan, teknologi atau peralatan
berburu, dsb.55
Unsur kebudayaan universal yang kelima adalah sistem mata pencaharian
hidup. Setiap masyarakat yang berkebudayaan pasti mempunyai sistem mata
pencaharian hidup, seperti perburuan, peladangan, perkebunan, pertanian,
peternakan, perdagangan, industri, kerajinan, industri pertambangan, industri
jasa, industri manufaktur, dsb.56
Unsur kebudayaan universal yang keenam adalah sistem religi. Setiap
masyarakat yang berkebudayaan memiliki sistem religi, yakni sistem keyakinan
dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, ruh-ruh halus, neraka,
surga, berbagai bentuk upacara, benda-benda yang disucikan, dsb.57
Unsur kebudayaan universal yang terakhir ialah sistem kesenian. Setiap
masyarakat yang berkebudayaan pasti memiliki sistem kesenian, yang
berwujud gagasan, ciptaan, pikiran, dongeng, atau syair yang indah, tindakan
interaksi berpola antara sesama seniman pencipta, penyelenggara, sponsor
kesenian, pendengar, penonton, peminat hasil kesenian, benda-benda seni
yang indah, candi, kain tenun yang indah, dsb. 58
Komponen-Komponen Religi
Religi atau sistem religi dapat dipecah-pecah lagi ke dalam beberapa
komponen, yaitu:
a. Emosi keagamaan;
b. Sistem keyakinan;
c. Sistem ritus dan upacara;
d. Peralatan ritus dan upacara;
54
Ibid., hal. 83
55
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 13
56
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, cet-3, 2005, hal. 83
57
Ibid., hal. 81
58
Ibid.
24
e. Umat agama.59
Komponen pertama dari religi adalah emosi keagamaan. Emosi keagamaan
adalah “…getaran yang menggerakkan jiwa manusia…” di saat “…jiwa manusia
dimasuki cahaya Tuhan.” Getaran jiwa ini dirasakan manusia ketika ia “…dalam
keadaan terhinggap oleh emosi keagamaan… ”60
Komponen kedua dari religi adalah sistem keyakinan atau sistem kepercayaan.
Sistem keyakinan mengandung kepercayaan “… serta bayangan manusia
tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib, tentang hakekat hidup
dan maut, dan tentang wujud dari dewa-dewa dan mahluk-mahluk halus
lainnya yang mendiami alam gaib.” 61
Komponen ketiga dari religi ialah sistem ritus dan upacara. Sistem ritus
“…melaksanakan dan melambangkan konsep-konsep yang terkandung dalam
sistem kepercayaan. Sistem upacara merupakan wujud kelakuan (behavioral
manifestation) dari religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri dari aneka macam
upacara yang bersifat harian, musiman,… Masing-masing upacara terdiri dari
kombinasi dari berbagai macam unsur upacara, seperti misalnya: berdoa,
bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi,
berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa, intoxikasi, bertapa, bersamadi.”62
Komponen keempat dari religi adalah peralatan ritus atau peralatan upacara.
“…peralatan dari upacara, seperti gedung pemujaan (masjid, gereja, pagoda,
stupa dsb.), patung-patung orang suci, patung-patung dewa, alat bunyi-
bunyian untuk membuat musik suci (orgel, genderang, gong, seruling suci)
dsb….”63
Komponen religi yang terakhir adalah umat agama atau kelompok keagamaan.
Umat agama adalah “…kelompok-kelompok religieus, kesatuan-kesatuan
sosial atau umat yang menganut sistem kepercayaan dan melakukan sistem
upacara-upacara yang merupakan komponen kedua dan ketiga terurai di atas…
organisasi-organisasi religieus seperti organisasi penyiaran agama, organisasi
sangha, organisasi gereja, partai politik yang berdasarkan ideologi religieus,
gerakan religieus, orde-orde rahasia dsb.”64
59
Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, cetakan ke-2, hal. 43
60
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 138
61
Ibid., hal. 139
62
Ibid., hh. 139-140
63
Ibid., hal. 140
64
Ibid.
25
Dua Sisi Religi
Religi memiliki dua sisi, yakni:
a. Sisi antropologis;
b. Sisi teologis
Religi dalam sisi antropologis merupakan unsur kebudayaan universal,
sedangkan religi dalam sisi teologis bukan merupakan unsur kebudayaan
universal. Religi dalam sisi teologis bukan ranah para antropolog; tapi ranah
para teolog. Religi dalam sisi antropologislah yang menjadi perhatian, kajian
dan bahasan para antropolog, dan mereka menganggapnya sebagai unsur
kebudayaan universal. “Di dalam buku tentang antropologi yang diuraikan
adalah agama sebagai bagian dari kebudayaan .”65
Religi dalam sisi antropologis kerap disebut Pak Koen dengan “religi” atau
“agama” secara bergantian (interchangably), sedangkan religi dalam sisi
teologis kerap disebut Pak Koen dengan “agama” saja.
Mengenai religi dalam sisi antropologis, Pak Koen menggunakan terma “religi”
dan “agama” secara bergantian di banyak tempat, misalnya:
a. “Berkat kegiatan para penyiar agama Kristen dari Rheinische Mission
Gesellchaft (RMG), maka sebagian besar dari orang Nias kini beragama
Kristen Protestan. Agama lain yang juga mempunyai umat di sana adalah
Islam, Katolik, Budha dan Pélébégu… Pélébégu adalah nama agama asli
diberikan oleh pendatang yang berarti “penyembah ruh”.”66
b. “Walaupun orang Batak untuk sebagian besar sudah beragama Kristen
atau Islam, namun banyak konsep-konsep yang asal dari agama aslinya
masih hidup, terutama di antara penduduk daerah pedesaan .”67
c. “Walaupun secara resmi orang penduduk Pantai Utara beragama Kristen,
namun tanggapan mengenai dunia gaib dan dunia akhirat masih banyak
berasal dari religi mereka yang asli.”68
d. “…penduduk Maluku Tengah…Walaupun sudah beragama Nasrani dan
Islam, sejak lama, namun sampai sekarangpun masih tampak adanya
banyak sisa-sisa religi mereka yang asli, dari zaman sebelum mereka
memeluk agama Nasrani dan Islam.”69
Di tempat lain, Pak Koen memahami religi dalam sisi antropologis dengan
terma “religi” dan “agama” secara bergantian dalam kaitannya dengan
pengakuan resmi negara:
65
Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, cet-15, 1995, hal. 323
66
Ibid., hal. 50
67
Ibid., hal. 113
68
Ibid., hal. 86
69
Ibid., hal. 186
26
… kepada saya pernah diajukan pertanyaan: “Apakah agama merupakan bagian
dari kebudayaan?” Menurut hemat saya, religi memang merupakan bagian dari
kebudayaan (Perhatikan bahwa saya sengaja menghindari istilah “agama”, dan
memakai istilah yang lebih netral, “religi”. Ada pendirian yang mengatakan bahwa
suatu sistem religi merupakan suatu agama, hanya bagi penganutnya. Sistem
religi Islam merupakan agama hanya bagi anggota umat Islam. Sistem religi Hindu
Darma merupakan suatu agama hanya bagi orang Bali. Ada juga pendirian lain,
ialah bahwa agama adalah semua sistem religi yang secara resmi diakui oleh
negara kita. Saya sendiri condong untuk mempergunakan istilah “agama” menurut
pendirian kedua)…
… Saya … membedakan akan adanya tiga konsep beserta istilahnya, ialah:
agama yang bisa kita pakai untuk menyebut semua agama yang diakui secara
resmi dalam negara kita, yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu-Dharma, Buddha-
Dharma dan; religi yang bisa kita pakai kalau kita bicara tentang sistem-sistem
yang tidak atau belum diakui secara resmi, seperti Konghucu, Seventh Day
Advent, Gereja Pinkster, Hindu, dan segala macam gerakan kebatinan, dsb.;
kepercayaan yang mempunyai arti yang khas, ialah komponen kedua dalam tiap
agama maupun religi.70
Sedangkan mengenai religi dalam sisi teologis, Pak Koen hanya menggunakan
terma “agama” saja di dalam tulisannya. Pak Koen menulis: ”Perhatikan bahwa
maut merupakan “salah satu sebab” saja dari timbulnya religi, jadi bukannya
“satu-satunya sebab”. Lagi pula, dalam hal ini saya menyebut “religi” dan bukan
“agama”, karena agama merupakan suatu gabungan dari rasa, akal, serta
tindakan manusia yang dijiwai oleh Tuhan.”71
Religi dalam sisi teologis ini tidak bisa dijelaskan oleh sains, termasuk oleh Ilmu
Antropologi. Ia merupakan hadiah Tuhan yang dimasukkan-Nya ke dalam jiwa
manusia; ia bukan hasil dan olahan akal dan bahasa manusia, jadi bukanlah
unsur kebudayaan universal.
Religi dalam sisi teologis ini bermanifestasi dalam bentuk emosi keagamaan
yang meluap-luap, yang hinggap di dalam jiwa manusia, menggetarkan
jiwanya dengan getaran jiwa yang tidak bisa dideskripsikan oleh bahasa
manusia.
Seorang yang beragama Katolik yang masuk gereja Katolik dan melihat
kemegahan altar dengan salib dan patung Jesus, bisa merasakan emosi tadi
dalam dirinya, padahal orang lain yang bukan Katolik bisa masuk gereja itu
berperasaan dingin tanpa emosi.72
70
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hh. 137, 141, 142.
71
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, cet-3, 2005, hal. 69
72
Keontjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 139
27
Tuhan, dan cahaya Tuhan itu membuatnya sakral dan keramat. “ … ialah cahaya
Tuhan yang membuat suatu upacara itu suatu aktivitas yang keramat. ”73
Pada saat jiwa manusia dimasuki cahaya Tuhan terjadilah proses-proses
fisiologis dalam tubuhnya dan proses-proses psikologis dalam jiwanya yang
sulit dianalisa dan sulit dideskripsikan; itulah yang disebut Pak Koen dengan
“getaran jiwa”. “Getaran jiwa” inilah yang menggerakkan jiwa manusia saat ia
dihinggapi religi dalam sisi teologis ini.74
Mengenai emosi keagamaan yang meluap-luap saat manusia memiliki religi
dalam sisi teologis ini, Pak Koen menjelaskan lebih dalam:
Emosi keagamaan, yang menyebabkan bahwa manusia mempunyai sikap serba
religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Proses-proses
fisiologi serta psikologi apa yang terjadi bila seseorang dihinggapi emosi
keagamaan tadi, sepanjang pengetahuan saya belum pernah dianalisa maupun
dideskripsi oleh seorang ahli. Rudolf Otto malahan menghindari suatu analisa,
dengan suatu uraian yang mendalam bahwa emosi itu, yang berupa “sikap takut-
terpesona” terhadap “hal yang gaib serta keramat” itu, pada hakikatnya tak dapat
dijelaskan dengan akal manusia karena berada di luar jangkauan kemampuannya.
Söderblom hanya menyebutkan bahwa emosi keagamaan adalah sikap “takut
bercampur percaya” kepada hal yang gaib serta keramat, tanpa memberikan
penjelasan lebih lanjut.75
Meskipun sulit diungkap dengan bahasa manusia dan sulit dijelaskan oleh
sains, dalam suatu upacara agama, religi dalam sisi antropologis dan religi
dalam sisi teologis masih bisa dibedakan:
… peralatan dari upacara, seperti gedung pemujaan (masjid, gereja, pagoda,
stupa dsb.), patung-patung orang suci, patung-patung dewa, alat bunyi-bunyian
untuk membuat musik suci (orgel, genderang, gong, seruling suci) dsb., semuanya
adalah hasil akal manusia, dan karena itu merupakan bagian dari kebudayaan.
Walaupun demikian, upacara agama belum lengkap kalau tidak dihinggapi dan
dijiwai emosi keagamaan. Di sinilah masuk komponen pertama, ialah cahaya
Tuhan yang membuat suatu upacara itu suatu aktivitas yang keramat… Religi
sebagai suatu sistem merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi cahaya Tuhan
yang menjiwainya dan membuatnya keramat tentunya bukan bagian dari
kebudayaan.76
Modernisasi, Westernisasi,
dan Penggunaan Unsur Kebudayaan Barat
Ada perbedaan mendasar antara modernisasi, westernisasi, dan penggunaan
unsur-unsur kebudayaan Barat oleh bangsa-bangsa non-Barat.
73
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, cet-3, 2005, hal. 140
74
Ibid., hal. 138
75
Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, cetakan ke-2, hal. 43
76
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hh. 140-141
28
Modernisasi adalah “… berusaha menyesuaikan diri dengan konstelasi dunia
pada zaman bangsa itu hidup.”77 Atau, “usaha untuk hidup sesuai dengan
zaman dan konstelasi dunia sekarang.”78 Jika suatu bangsa hidup di zaman
kejayaan Kekaisaran Romawi dan bangsa itu berupaya untuk menyesuaikan diri
dengan tata-dunia yang dikuasai oleh Kekaisaran Romawi itu, maka upaya itu
disebut “modernisasi”. Atau, jika suatu bangsa hidup di zaman kejayaan Dinasti
Maurya di India dan bangsa itu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan tata-
dunia yang dikuasai oleh Dinasti Maurya itu, maka upaya itu disebut
“modernisasi”. Pak Koen menjelaskan lebih lanjut:
Apabila suatu bangsa dengan sadar memulai proses modernisasinya, maka
sebenarnya ia hanya mau berusaha menyesuaikan diri dengan konstelasi dunia
pada zaman bangsa itu hidup. Dalam arti itu, maka segala zaman, dan tidak hanya
abad ke-20 ini, pernah mengalami suatu usaha dan proses modernisasi…
Sudah barang tentu dalam hal menyesuaikan diri itu, tiap kerajaan menjaga sifat
kekhususannya masing-masing, dalam melaksanakan “modernisasi” itu… Itulah
sebabnya kebudayaan Kerajaan Sriwijaya atau Majapahit berbeda dengan
kebudayaan-kebudayaan di India; atau kebudayaan Vietnam, Jepang atau Korea
berbeda dengan kebudayaan Cina.79
77
Ibid., hal. 131
78
Ibid., 133
79
Ibid., 131
80
Ibid., hal. 133
29
kekuatan yang menentukan konstelasi dunia sekarang ini bukan hanya dunia
Barat, tetapi suatu kombinasi dari paling sedikit empat kekuatan. 81
Jadi, mengikuti alur logika Pak Koen, modernisasi berarti upaya dan usaha
menyesuaikan diri dengan tata-dunia dan konstelasi kebudayaan dari empat
kekuatan besar yang sekarang sedang berjaya di dunia, yakni negara-negara
Uni Eropa, negara Amerika, negara Jepang, dan negara Cina.
Sedangkan “westernisasi” adalah “usaha meniru gaya hidup orang Barat (orang
Eropa Barat atau Amerika).”82 Misalnya, meniru secara berlebihan gaya pakaian
orang Barat dengan cara mengikuti mode fashion terus menerus; meniru gaya
bicara dan tatakrama orang Barat dengan disertai sikap merendahkan bahasa
nasional dan tata kesopanan bangsa sendiri; meniru pola-pola pergaulan dan
pola-pola berpesta seperti orang Barat, dsb.
Orang yang melakukan westernisasi seperti itu jelas berbeda dengan orang
yang melakukan modernisasi.
Orang… seperti itu sebenarnya sama dengan sekali tidak mempunyai mentalitet
yang diperlukan untuk modernisasi, maka ia sebenarnya adalah orang yang amat
kolot…
… Sebaliknya, orang itu mentalitetnya feodal, ia tak berdisiplin dalam irama
hidupnya, tak berani bertanggung jawab dalam masa-masa kesulitan dalam
pekerjaannya, tak bermutu dalam karya-karyanya, tidak gigih dalam usahanya,…
… Lagipula orang… seperti itu biasanya tidak hemat dalam hidupnya, padahal sifat
hemat itu adalah suatu sifat yang sangat perlu bagi bangsa… untuk
pembangunan; artinya bagi bangsa… sekarang, hidup hemat merupakan suatu
sifat yang modern.83
81
Ibid, hh. 132-133
82
Ibid., hal. 135
83
Ibid., hal. 135
84
Ibid., hal. 134
30
Menurut Pak Koen, bangsa Indonesia harus banyak mengambil unsur-unsur
kebudayaan Barat yang positif berupa sifat-sifat mental untuk terus
membangun; tetapi bukannya dengan melaksanakan westernisasi:
Kita bangsa Indonesia harus mengembangkan sifat-sifat mental itu, untuk bisa
menjadi lebih makmur daripada sekarang, untuk lebih menyempurnakan
demokrasi kita, untuk bisa menghasilkan lebih banyak karya bermutu yang bisa
kita banggakan…
… kita bangsa Indonesia, bisa berusaha mengembangkan sifat-sifat mental itu,
tanpa hidup seperti orang Barat (orang Eropa Barat atau Amerika), tanpa
membiasakan diri suatu gaya hidup kebarat-baratan…
Dengan membedakan secara tajam antara konsep “modernisasi”, konsep
“mengadaptasi unsur-unsur kebudayaan Barat” dan konsep “westernisasi” seperti
apa yang terurai di atas, …jelaslah bahwa modernisasi tidak memerlukan
westernisasi.85
Pembangunan
Pembangunan adalah upaya bangsa-bangsa untuk mencapai kemajuan.
Biasanya kemajuan yang ingin dicapai bangsa-bangsa itu diasosiasikan dengan
kemajuan ekonomis. Pak Koen menjelaskan mengapa pembangunan menjadi
penting dilakukan oleh bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa-bangsa
bekas jajahan (post-colonial states):
Sesudah Perang Dunia II, yaitu antara tahun 1950 dan tahun 1960, sebagian besar
negara jajahan memperoleh kemerdekaan. Negara-negara baru yang umumnya
miskin itu semua ingin maju, dan kemajuan itu umumnya mereka konsepsikan
sebagai kemajuan ekonomi, yang berarti keluar dari kemiskinan. Upaya untuk
mencapainya adalah dengan melakukan pembangunan ekonomi. 86
85
Ibid., hh. 133-136
86
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid II, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 243
87
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 39
88
Ibid., hal. 84
31
demokrasi yang dipraktekkan dengan cara terlalu berlebihan, seperti yang
telah dicapai oleh bangsa-bangsa maju, justru malah memberi bahaya-bahaya
dan memberi ekses-ekses negatif bagi bangsa-bangsa maju itu.89
Bahaya-bahaya dan ekses-ekses negatif dari kemakmuran yang terlalu
berlebihan dan demokrasi yang terlampau berlebihan, di antaranya, ialah:
a. Individualisme yang ekstrem dan isolasi individu;
b. Keretakan prinsip-prinsip kekeluargaan;
c. Hilangnya nilai-nilai hidup rohaniah;
d. Over kemakmuran dan over waktu luang;
e. Polusi dan pencemaran lingkungan. 90
Individualisme yang ekstrem adalah kondisi manakala “… Hak milik individu
didewa-dewakan, nilai-nilai kemesraan hubungan antar-individu menjadi tak
penting…”91 Lebih lanjut Pak Koen mendeskripsikan individualisme ekstrem
yang diakibatkan oleh pembangunan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa
maju:
Individualisme extrem… juga menimbulkan pandangan hidup yang berpendirian
bahwa: “……. hidup itu milik individu, karena itu dia sendirilah yang berhak
menentukan dan berbuat dengan hidupnya itu menurut kemauannya sendiri.” Kita
bisa membayangkan bagaimana suatu pandangan hidup seperti itu bisa
mengisolasikan individu dari lingkungan sosialnyaa, dan bagaimana individu akan
kehilangan tempat berlindung apabila iaa sedang dikejar oleh masalah-masalah
yang menekan jiwanya. Ngeri juga membayangkan hidup di dunia ini sebatang
kara.92
89
Ibid.
90
Ibid., hh. 84-88
91
Ibid., hal. 85
92
Ibid., hh. 85-86
93
Ibid., hal. 86
32
jiwanya keselarasan antara komfort dan kehidupan rohaniah itu. Menjaga agar
keselarasan yang melandasi hidup bermutu itu tidak pecah itulah yang harus
menjadi perhatian kita pagi-pagi.94
Kalau kemakmuran sudah tiba, biasanya manusia tak bisa menyadari batas dari
kebutuhannya yang meningkat secara tak wajar. Terdorong oleh rasa bersaing
untuk meninggikan gengsi, maka kalau mereka sampai pada batas jumlah dan
frekwensi dari kemewahan, dari rumah, perabot, perhiasan, kendaraan dan pesta-
pesta, maka ia akan mencari penonjolan gengsinya dalam sifat keanehan dari
rumah, perabot, perhiasan, kendaraan, dan pesta-pesta itu. Kelebihan luang waktu
akan bersifat lebih berbahaya lagi; apalagi kalau hal itu bersamaan dengan rasa
kekosongan hidup akibat isolasi individu, atau akibat tak-adanya keselarasan
hidup, mutu hidup, dan arti hidup.95
Ekses negatif yang terakhir ialah polusi dan pencemaran lingkungan hidup.
Polusi dan pencemaran lingkungan hidup adalah “… akibat negatif dari ekses-
ekses pembangunan yang tak dikendalikan.”96
Orientasi nilai “hidup itu baik” yakni “…bahwa hidup adalah sumber
kesenangan maupun segala hal yang indah dan bermakna, dan bahwa manusia
wajib menjalani hidupnya dengan penuh kegairahan.”101
Sedangkan orientasi nilai “hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar
supaya hidup menjadi baik” yakni “... memandang hidup manusia itu pada
hakekatnya buruk, tetapi manusia dapat mengusahakan untuk menjadikan
hidup itu suatu hal yang baik dan menggembirakan.”102
Kemudian, terdapat 3 (tiga) orientasi nilai yang berkaitan dengan hakekat
karya, yakni:
1. Orientasi nilai “karya itu untuk nafkah hidup”
2. Orientasi nilai “karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dsb.”
3. Orientasi nilai “karya itu untuk menambah karya”103
Orientasi nilai “karya itu untuk nafkah hidup” maksudnya ialah “…banyak
kebudayaan menganggap bahwa manusia bekerja untuk mencari makan, sama
seperti semua kegiatan dan tingkah-laku binatang maupun makhluk-makhluk
lain dalam alam semesta adalah untuk makan, selain untuk bereproduksi. ”104
98
Ibid., hal. 37
99
Ibid.
100
Ibid., hal. 35
101
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 79
102
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 35
103
Ibid., hal. 37
104
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 81
34
Orientasi nilai “karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dsb.” maksudnya ialah
“…ada kebudayaan-kebudayaan yang telah mengembangkan konsepsi bahwa
kepuasan hidup terletak dalam bekerja dan kualitas dari hasil kerjanya .”105
Sedangkan orientasi nilai “karya itu untuk menambah karya” maksudnya ialah
“…bekerja untuk beramal menolong orang lain yang kurang beruntung atau
untuk menghasilkan karya-karya agung.”106
Selanjutnya, terdapat terdapat 3 (tiga) orientasi nilai yang berkaitan dengan
persepsi tentang waktu, yakni:
1. Orientasi nilai “masa kini”
2. Orientasi nilai “masa lalu”
3. Orientasi nilai “masa depan”.107
Orientasi nilai “masa kini” maksudnya ialah kebudayaan di mana orang “…tidak
akan memusingkan diri dengan memikirkan zaman yang lampau maupun masa
yang akan datang. Mereka hidup menurut keadaan yang ada pada masa
sekarang ini.”108
Orientasi nilai “masa lalu” maksudnya ialah kebudayaan di mana “…orang akan
lebih sering mengambil sebagai pedoman dalam kelakuannya contoh-contoh
dan kejadian-kejadian dalam masa yang lampau.”109
Sedangkan orientasi nilai “masa depan” maksudnya ialah kebudayaan yang
“…warganya biasanya ingat bahwa ada dua kemungkinan: masa depan yang
baik atau buruk. Karena itu manusia yang hidup dengan persepsi seperti itu
seringkali menyisihkan sebagian dari keperluan hidupnya untuk digunakan
apabila sewaktu-waktu ia mengalami masa yang sulit. Manusia seperti itu
biasanya hidupnya wajar dan hemat.”110
Adapun mengenai orientasi nilai yang berkenaan dengan pandangan terhadap
alam, terdapat 3 (tiga) orientasi nilai, yakni:
1. Orientasi nilai “manusia tunduk kepada alam”
2. Orientasi nilai “manusia menjaga keselarasan dengan alam”
3. Orientasi nilai “manusia menguasai alam”
Orientasi nilai “manusia tunduk pada alam” maksudnya ialah “… kebudayaan-
kebudayaan yang memandang alam itu suatu hal yang begitu dahsyat,
105
Ibid.
106
Ibid.
107
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 37
108
Ibid., hal. 36
109
Ibid., hh. 35-36
110
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 81
35
sehingga manusia itu pada hakekatnya hanya bisa menyerah saja tanpa ada
banyak yang dapat diusahakannya.”111
Orientasi nilai “manusia menjaga keselarasan dengan alam” maksudnya ialah
“…kebudayaan… yang menganggap bahwa manusia itu hanya bisa berusaha
mencari keselarasan dengan alam.”112
Sedangkan orientasi nilai “manusia menguasai alam” maksudnya ialah
“…kebudayaan yang mengajarkan kepada warganya sejak usia yang muda
sekali bahwa walaupun alam bersifat ganas dan sempurna, namun nalar
manusia harus mampu menjajagi rahasia-rahasianya dan akhirnya
menaklukkannya dan memanfaatkannya guna keperluannya (mastery over
nature). Suatu nilai budaya yang mempunyai orientasi seperti itu telah
memberi motivasi bagi berkembangnya sains dan teknologi, terutama dalam
kebudayaan bangsa-bangsa Eropa Barat dan Amerika.”113
Adapun mengenai orientasi nilai yang berkenaan dengan pandangan tentang
hakekat hubungan antara manusia dengan sesama manusia, terdapat 3 (tiga)
orientasi nilai, yakni:
1. Orientasi nilai “relasi kolateral/horizontal”
2. Orientasi nilai “relasi vertikal”
3. Orientasi nilai “relasi individualistik”114
Orientasi nilai “relasi kolateral/horizontal” maksudnya ialah kebudayaan yang
warganya menilai hubungan antara satu dengan sesamanya berdasarkan rasa
ketergantungan antar-sesama (berjiwa gotong-royong). “Orang dalam suatu
kebudayaan serupa itu akan amat merasa tergantung kepada sesamanya, dan
usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangganya dan sesamanya
merupakan suatu hal yang dianggap amat penting dalam hidup. ”115
“…kebudayaan yang sejak awal mengajarkan kepada warganya agar senantiasa
hidup bergotong-royong dan agar mereka selalu “duduk sama rendah berdiri
sama tinggi”. Kebudayaan-kebudayaan dengan variasi orientasi nilai budaya
seperti ini biasanya mementingkan konsensus untuk kerjasama. ”116
Sedangkan orientasi nilai “relasi vertikal” maksudnya ialah “…manusia yang
hidup dalam suatu kebudayaan serupa itu akan berpedoman kepada tokoh-
tokoh pemimpin, orang-orang senior, atau orang-orang atasan.”117 “… selalu
mengacu ke warga masyarakat yang senior, berpangkat tinggi, atau yang
111
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 36
112
Ibid.
113
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 79-81
114
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 37
115
Ibid., hal. 36
116
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 81
117
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 36
36
berasal dari golongan-golongan sosial yang tinggi. Warga-warga masyarakat
semacam itu biasanya menjadi acuan restu dan contoh bertindak bagi
sebagian besar warga kebudayaan bersangkutan (lineality).”118
Adapun orientasi nilai “relasi individualistik” maksudnya ialah “…kebudayaan
menekankan pada hak asasi dari setiap individu yang menjadi warganya, yang
tidak boleh diganggu-gugat oleh siapa pun. Dalam kebudayaan semacam ini
warganya biasanya sejak dini sudah diajarkan agar bersikap mandiri, karena
keberhasilannya dalam hidup harus diperoleh dengan upayanya sendiri tanpa
campur-tangan orang lain (individuality). Dalam kebudayaan semacam itu
berkembang berbagai aliran berpikir individualisme, dan dalam kebudayaan-
kebudayaan yang mempunyai orientasi nilai budaya seperti itu kedudukan
orang dalam masyarakat didasarkan atas mutu dari hasil karyanya dan tidak
atas senioritasnya, pangkatnya, atau golongan sosialnya. ”119
Mentalitet Pembangunan
Teori “orientasi nilai” (value orientation) yang diadopsi dari Clyde Kluckhohn
digunakan Pak Koen untuk membahas apa yang disebutnya “ mentalitet
pembangunan”. Mentalitet pembangunan adalah orientasi nilai yang bisa
menyukseskan pembangunan yang dilakukan suatu bangsa. Mentalitet
pembangunan ini harus menjadi orientasi nilai yang dianut, dibiasakan, dan
harus diinternalisasikan oleh sebagian besar warga suatu kebudayaan supaya
pembangunan yang dilakukan bangsanya dapat sukses mencapai tujuan-
tujuannya.120
Ada beberapa mentalitet pembangunan yang harus dijadikan orientasi nilai
oleh warga suatu bangsa yang sedang membangun ( the developing countries),
yakni:
a. Orientasi nilai “masa depan”. “… Suatu nilai budaya semacam itu akan
mendorong manusia untuk melihat dan merencanakan masa depannya
dengan lebih saksama dan teliti, dan oleh karena itu akan memaksa
manusia untuk hidup berhati-hati dan untuk berhemat. Kita semua tahu
bahwa sifat hemat yang meluas itu amat perlu untuk memungkinkan
suatu bangsa menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk
mengakumulasi modal.”121
b. Orientasi nilai “manusia menguasai alam”. “…Suatu nilai semacam itu
akan menambah kemungkinan inovasi, terutama inovasi dalam
118
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 82
119
Ibid.
120
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 40
121
Ibid.
37
teknologi. Pembangunan yang memerlukan usaha mengintensifkan
produksi tentu tak bisa tidak harus memanfaatkan teknologi yang makin
lama makin disempurnakan.”122
c. Orientasi nilai “karya itu untuk menambah karya”. Orientasi nilai ini
mementingkan mutu dan ketelitian, sementara mutu dan ketelitian
adalah dua hal yang diperlukan dalam mengadaptasi teknologi dari
bangsa asing.123
d. Orientasi nilai “relasi individualistik”. Dengan orientasi nilai ini, semua
orang akan menilai tinggi usaha individu dalam mencapai kesuksesan,
menumbuhkembangkan jiwa kemandiriaan dan kewirausahaan,
menimbulkan sikap percaya-diri, menumbuhkan disiplin-diri,
menumbuhkan keberanian untuk bertanggungjawab sendiri.124
Masalah-Masalah Pembangunan
Kebalikan dari “mentalitet pembangunan” adalah “masalah-masalah
pembangunan”. Masalah-masalah pembangunan adalah orientasi nilai yang
dianut, dihayati, dibiasakan, dan diinternalisasi oleh sebagian warga dari suatu
kebudayaan, yang justru menghambat kesuksesan pembangunan. Pak Koen
mendaftar beberapa masalah-masalah pembangunan yang harus dihindari
oleh suatu bangsa agar bangsanya sukses dalam pembangunan, yakni:
1. Orientasi nilai “relasi vertikal”. “… Nilai yang terlampau berorientasi
vertikal ke arah atasan akan mematikan jiwa yang ingin berdiri sendiri
dan berusaha sendiri, dan akan menyebabkan timbulnya sikap tidak
percaya kepada diri sendiri. Nilai seperti itu juga akan menghambat
tumbuhnya rasa disiplin pribadi yang murni, karena orang hanya akan
taat kalau ada pengawasan dari atas, tetapi akan merasa tak terikat lagi
kalau pengawasan tadi menjadi kendor atau pergi. Akhirnya nilai yang
terlampau berorientasi ke arah atasan akan juga mematikan rasa
tanggung jawab sendiri, tetapi akan membiakkan rasa yang condong
untuk selalu melemparkan tanggung jawab ke atas, atau kalau tidak bisa,
untuk selalu membagi rata tanggung jawab itu dengan orang lain
sehingga rasa tanggung jawab sendiri itu menjadi sekecil mungkin .”125
“…Mentalitet menunggu-restu-dari-atas jelas tidak cocok dengan jiwa
pembangunan.”126
122
Ibid.
123
Ibid., hal. 41
124
Ibid., hh. 41-42
125
Ibid.
126
Ibid., hal. 47
38
2. Orientasi nilai “relasi kolateral/horizontal”. Dalam kebudayaan Indonesia
ini tercermin dari kebudayaan “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”.
Orientasi nilai ini menjadi masalah pembangunan karena “… mencegah
bakat dan keistimewaan dari individu untuk berkembang dan menonjol
atas yang lain.”127
3. Orientasi nilai “karya itu untuk nafkah hidup”. Orientasi nilai ini biasanya
ada dalam kebudayaan kaum petani. Kaum petani jika ditanya apa
hakekat dari karya dan hakekat dari hasil karyanya, maka mereka akan
menjawab bahwa manusia itu bekerja keras untuk dapat makan. Orientasi
nilai ini jadi masalah pembangunan, karena “… tidak cocok dengan jiwa
pembangunan… yang berorientasi terhadap hasil dari karya manusia itu
sendiri (tidak achievement oriented).”128
4. Orientasi nilai “masa lalu”. Orientasi nilai ini biasanya ada di kebudayaan
kaum feodal (di Indonesia, misalnya, pada kaum priyayi Jawa). “… Rutin
kehidupan kantor dan rumah tangga priyayi yang rata serupa dari hari ke
hari, diisi dengan suatu rasa sentimen yang agak berlebih-lebih untuk
benda-benda pusaka dari nenek moyangnya, dengan perhatian terhadap
mitologi, silsilah, dan karya-karya pujangga-pujangga kuno, serta
diselingi dengan upacara-upacara rumit untuk memelihara benda-benda
pusaka… suatu orientasi yang terlampau banyak terarah ke zaman yang
lampau akan melemahkan kemampuan seseorang untuk melihat ke masa
depan… Unsur mentalitet… inilah, yang kurang cocok dengan keperluan
pembangunan.”129
5. Orientasi nilai “manusia menjaga keselarasan dengan alam”. Orientasi
nilai ini ada pada kebudayaan kaum petani dan kebudayaan kaum feodal.
Kaum petani amat bergantung pada kemurahan alam. Mereka memang
tidak tunduk sepenuhnya pada alam, tapi juga tidak merasa mampu
menguasainya secara penuh. Mereka akhirnya memandang bahwa
manusia harus hidup selaras dengan alam. “… mentalitet seperti itu tidak
amat cocok dengan jiwa pembangunan .”130
Kebudayaan Nasional
“Kebudayaan nasional” adalah kebudayaan kesatuan yang merepresentasikan
kepribadian nasional dan identitas nasional dari suatu bangsa. Bangsa yang
memiliki “kebudayaan nasional” berarti bangsa itu memiliki kepribadian
nasional dan identitas nasional yang keduanya dicerminkan dalam
127
Ibid., hal. 66
128
Ibid., hal. 44
129
Ibid., hal. 45
130
Ibid., hh. 45-46
39
kebudayaannya. Menurut Pak Koen, “kebudayaan nasional” harus bercirikan
sebagai berikut:
1. Bersifat khas. Maksudnya, kebudayaan itu “…bisa memberi identitas
kepada warga dari negaranya… sebagian besar orang… mau dan bisa
mengidentifikasikan diri...”131 Kebudayaan itu bersifat khas karena
dimanifestasikan dalam bahasa nasional bangsa itu, dalam kesenian
bangsa itu, dan dalam upacara-upacara yang tradisional dan yang baru
yang dimiliki bangsa itu.132
2. Harus dapat dibanggakan oleh warganegara yang mendukungnya.
Maksudnya, kebudayaan itu “…harus bisa menimbulkan rasa kebanggaan
kepada mereka…”133
3. Harus bermutu tinggi.134
Asalkan suatu hasil karya anak bangsa dari suku bangsa apapun bisa
memenuhi tiga kriteria di atas, maka hasil karya tersebut dapat diakui sebagai
“kebudayaan nasional” dari suatu bangsa. Mengenai ini, Pak Koen
mencontohkan bagaimana suatu hasil karya putra dan putri bangsa Indonesia
dapat diakui sebagai “Kebudayaan Nasional Indonesia”:
Apabila ada suatu gaya pakaian wanita yang khas sifatnya tetapi toh indah,
sehingga kita bangga mempertontonkannya, maka itulah suatu unsur dalam
Kebudayaan Nasional kita. Soal apakah gaya pakaian itu berasal dari kebudayaan
Bugis, Minangkabau, Jawa, Bali ataupun Maluku, menjadi tidak penting lagi.
Demikian juga kalau ada suatu pementasan gamelan yang khas sifat-sifatnya dan
juga indah serta bermutu tinggi, maka gamelan itulah suatu unsur lagi dalam
Kebudayaan Nasional Indonesia. Soal apakah permainan gamelan itu berasal dari
kebudayaan Bali, Sunda atau lain, hal itu menjadi tidak penting lagi… Demikian,
kalau orkes Simfoni Jakarta bisa mengembangkan sifat-sifat yang khas dan
mencapai mutu tinggi sehingga menjadi terkenal di dunia, maka bangsa Indonesia
akan bangga dan sudi mengakui Orkes Simfoni itu tadi sebagai unsur dalam
Kebudayaan Nasionalnya. Soal bahwa Orkes Simfoni itu berasal dari kebudayaan
Barat, dan bahwa seniman-seniman dalam Orkes tersebut orang Sunda, orang
Jawa, orang keturunan Cina serta orang Indo, tidak menjadi penting lagi. 135
Ikhtisar Filsafat
Lantaran “kebudayaan” semakna dan searti dengan kata Latin “colere” dan kata
Inggris “culture”, serta penyerapan Pak Koen yang menyeluruh di semesta Ilmu
Antropologi di Amerika Serikat, maka implikasi-implikasinya adalah sebagai
berikut:
131
Ibid., hh. 104-105
132
Ibid.
133
Ibid., hal. 105
134
Ibid.
135
Ibid., hh. 105-106
40
a. Kebudayaan dipahami Pak Koen seluruhnya secara antropologis; Pak
Koen menguasai semua cabang dari Ilmu Antropologi, sehingga semua
pengertiannya tentang kebudayaan berasal dari semua cabang Ilmu
Antropologi yang amat dikuasainya: Paleoantropologi (Antropologi
Fosil), Antropologi Fisik, Antropologi Kultural, dan Antropologi Sosial,
dsb.
b. Culture dalam bahasa Inggris berarti kebudayaan dalam bahasa
Indonesia; tidak ada perbedaan apapun di antara keduanya; keduanya
serupa dan sama.
c. Cultural Anthropology diterjemahkan Pak Koen dengan “Antropologi
Budaya”.136
d. Pak Koen menerjemahkan semua derivasi dari culture (semisal cultural,
cultural sociology, cultural patterns, dsb.) dengan kebudayaan.
e. Semua konsep-konsep filosofisnya yang terkait kebudayaan berasal dari
Ilmu Antropologi, yang dipelajarinya secara intensif di Yale University di
bawah asuhan antropolog terkenal G.P. Murdock, semisal “Empat Wujud
Kebudayaan”, “Unsur-Unsur Kebudayaan”, “Integrasi Kebudayaan”,
“Kebudayaan dan Kerangka Teori Nilai”, “Proses Belajar Kebudayaan
Sendiri”, “Proses Evolusi Sosial”, “Proses Difusi”, “Akulturasi”, “Asimilasi”,
“Pembaruan (Inovasi)”, “Konsep Suku Bangsa”, “Konsep Daerah
Kebudayaan”, “Pola Penyebaran Kebudayaan”, dsb.
f. Pak Koen mengintegrasikan konsep antropologis Eropa/Barat (yakni,
konsep culture) dengan konsep-konsep lokal tanah air seperti konsep
adat, adat-istiadat, peradaban, agama, gotong-royong, dan
kepercayaan,137 sehingga konsep-konsep tersebut terintegrasi dalam
pemahaman antropologis yang bulat, meskipun konsep-konsep tersebut
terkesan diintegrasikan “secara paksa”.
136
Pak Koen berkata: “Universitas Indonesia secara resmi memakai istilah “antropologi budaya” untuk menggantikan
istilah G.J. Held, “ilmu kebudayaan” “. Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, cet-3,
2005, hal. 8
137
Perhatikan dengan seksama bagaimana Pak Koen mengintegrasikan semua konsep-konsep tadi ke dalam
pemahaman antropologisnya di dalam bukunya yang amat klasik, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta:
Gramedia, cet-8, 1981, hh. 19, 27, 59, dan 64.
41
3. Soedjatmoko
Soedjatmoko (yang juga dikenal dengan sebutan “Bung
Koko”) lahir di Sawahlunto, Sumatra Barat pada tanggal 10
Januari 1922. Beliau wafat di Yogyakarta pada tanggal 21
Desember 1989, saat beliau berumur 67 tahun. Beliau
dikenal dan dikenang sebagai seorang seorang politikus,
diplomat, dan pemikir problem-problem di Dunia Ketiga
(The Third World affairs). Pada tahun 1947, Presiden
Soekarno menunjuk beliau untuk mewakili Indonesia di PBB;
di tahun 1971, beliau diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi Penasihat
Khusus Urusan Budaya dan Sosial untuk Kepala BAPPENAS; tahun 1978, beliau
menerima Ramón Magsaysay Award di bidang Hubungan Internasional; dan di
tahun 1980, beliau diangkat sebagai rektor the United Nations University
(UNU) di Tokyo, Jepang.
Karya-karya beliau yang menyangkut Filsafat Kebudayaan sungguh banyak
sekali, tapi yang paling masyhur ialah: Introduction to Indonesian
Historiography (1965), berbahasa Inggris; Reconstituting the Human
Community (1972), berbahasa Inggris; Development and Freedom (1980),
berbahasa Inggris; kumpulan tulisan-tulisan beliau yang disunting oleh Ignas
Kleden berjudul Etika Pembebasan: Pilihan Karangan Tentang: Agama,
Kebudayaan, Sejarah, dan Ilmu Pengetahuan (1984); Principles and Ideals
(1985), berbahasa Inggris; kumpulan tulisan-tulisan beliau yang disunting oleh
Penerbit Tiara Wacana Yogya berjudul Soedjatmoko dan Keprihatinan Masa
Depan (1991); kumpulan tulisan-tulisan beliau yang disunting oleh Penerbit
Gramedia berjudul Menjelajah Cakrawala: Kumpulan Karya Visioner
Soedjatmoko (1994); Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Pilihan Karangan
(1995); kumpulan tulisan-tulisan beliau yang disunting oleh Muhidin M. Dahlan
berjudul Kebudayaan Sosialis (2001); dan karangan-karangan lepas beliau yang
tersebar di prosiding seminar, prosiding konferensi, jurnal ilmiah, baik di dalam
negeri maupun luar negeri, artikel-artikel beliau dalam buku-buku penulis
mancanegara, dan ceramah-ceramah beliau yang didokumentasikan, dalam
kapasitas beliau sebagai dosen tamu, pemakalah, rektor UNU Tokyo, Dubes RI
untuk AS, dan pengamat kebijakan politik Dunia Ketiga, yang tak terhitung
banyaknya.
42
Koko menganggap para pembaca karya-karyanya sudah mengerti dan paham
dengan apa yang dimaksudnya dengan “kebudayaan”, atau beliau
mempersilahkan setiap pembaca karya-karyanya untuk mendefinisikan kata
“kebudayaan” dengan implikasi-implikasi mereka sendiri.
Dalam satu karangannya—ini satu-satunya karangan dimana Bung Koko
mendefinisikan kata “kebudayaan”—Bung Koko menjelaskan bahwa
kebudayaan adalah:
…sesuatu yang meliputi keseluruhan dari pengetahuan, ilmu, kecakapan, alat-alat,
adat kebiasaan, lembaga-lembaga pengalaman dan perasaan yang telah terjelma
menjadi cara hidup tertentu, yang diwariskan secara turun-temurun dari yang tua
kepada yang muda…138
Dengan kata lain, “kebudayaan” adalah warisan cara hidup suatu masyarakat,
yang diwariskan oleh generasi tua ke generasi muda dari bangsa itu.
Akan halnya dengan karangan-karangan Bung Koko dalam bahasa Inggris dan
bahasa Belanda, beliau menggunakan kata Belanda “ cultuur” dan kata Inggris
“culture” untuk menerjemahkan kata Indonesia “kebudayaan”. Beliau tidak
membedakan maknanya; beliau menyejajarkan kata Indonesia “kebudayaan”
dengan kata Belanda “cultuur” dan kata Inggris “culture” secara taken for
granted, secara lumrah.139
Dalam karangan-karangannya yang berbahasa Belanda dan Inggris pun, Bung
Koko tidak pernah mendefinisikannya secara semantis maupun secara
terminologis kata Belanda “cultuur” dan kata Inggris “culture” yang dipakainya.
Ini menunjukkan bahwa Bung Koko lebih mementingkan tesis-tesis yang
disampaikan daripada semantika an sich.
Penyejajaran beliau antara kata “kebudayaan” dengan kata “cultuur” dalam
bahasa Belanda dan kata “culture” dalam bahasa Inggris berimplikasi pada
pandangan-pandangan dan konsepsi filosofis beliau mengenai kebudayaan.
138
Soedjatmoko, ‘”Masa Lalu yang (tidak) Membunuh Masa Depan: Tentang Kesusastraan dan Konfrontasi Budaya”,
dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 178
139
Bung Koko menggunakan kata Belanda “cultuur” yang berarti “kebudayaan” dalam karangannya yang berjudul “De
Crisis in de Indonesische Cultuur”dalam jurnal De Nieuwe Stem (1955); dan menggunakan kata Inggris “culture” yang
berarti “kebudayaan” dalam karangan-karangannya yang antara lain adalah: An Introduction to Indonesian
Historiography (1965), “Indonesia: Problems and Opportunities” (1967), “Religions and Development Process in Asia”
(1970), “The Role of Major Powers in the East Asian-Pacific Region” (1972), “Communications and Cultural Identity”
(1979), “Education for Peace: The Role of Religion” (1981), “Global Transformation: Search for New Understanding”
(1981), “The Future and the Learning Capacity of Nations: The Role of Communications” (1981), “Managing the Global
Commons” (1982), “The Humanities and Development” (1986), “The United Nations University: A New Kind of
University” (1987), dan “Education Relevant to People’s Needs” (1989).
43
3.b. Konsep-Konsep Filosofis
Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi sungguh penting dilakukan oleh semua bangsa di
dunia, terlebih lagi oleh bangsa-bangsa bekas jajahan (the post-colonial states)
seperti Indonesia.
Tujuan-tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia, antara lain adalah:
1. Memenuhi “Harapan bangsa kita akan kehidupan yang lebih luas dan
lebih baik…”140
2. “…tingkat produksi yang lebih tinggi dengan pembagian penghasilan
yang lebih merata.”141
3. “…mengatasi masalah kemelaratan di negeri kita… ”142
4. Memberikan “Jaminan yang mutlak bagi asas menentukan nasib kita
sendiri.”143
5. “…memulihkan keadaan ekonomi… pada tingkat sebelum perang
[maksudnya Perang Dunia II—penulis.], malahan tingkat itu dapat
dilalui...”144
6. “…mencapai kembali atau melebihi penghasilan nasional sebelum
perang…”145
7. Mengejar ketertinggalan dan menyamai tingkat ekonomi negara-negara
yang sudah lebih maju. Jika tidak segera dilakukan pembangunan
ekonomi di Indonesia, maka “… negara-negara yang terbelakang
ekonominya makin lama makin jauh perbedaan tingkat ekonominya
dengan negara-negara yang sudah lebih maju dan makin sukarlah bagi
negara-negara yang terbelakang ekonominya itu untuk menyamai
pesatnya kenaikan tingkat ekonomi itu.”146
Yang perlu diperhatikan oleh bangsa-bangsa yang menjalankan pembangunan
ekonomi adalah bahwa pembangunan ekonomi tidak menjadikan manusia
semata-mata obyek yang bisa dimanipulasi, tapi pembangunan ekonomi justru
bertujuan meninggikan harkat dan martabat manusia. Kata Bung Koko:
140
Soedjatmoko, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan
Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 131
141
Ibid., hal. 132
142
Ibid.
143
Ibid.
144
Ibid.
145
Ibid., hal. 133
146
Ibid.
44
daripada teknologi dan lembaga-lembaga…, melainkan … dapat menjinakkannya
untuk melayani tujuan-tujuan ethis daripada pembangunan dan perjuangan
bangsa…147
150
Ibid.
151
Soedjatmoko, “Menjelang Suatu Politik Kebudayaan”, Ceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM) 22 Mei 1972, dalam
Agus R. Sarjono, Pembebasan Budaya-Budaya Kita: Sejumlah Gagasan di Tengah Taman Ismail Marzuki, Jakarta:
Gramedia, 1999, hal. 53
152
Soedjatmoko, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan
Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 143
153
Ibid., hal. 146
154
Ibid., hal. 150
155
Ibid., hal. 152
46
Sikap aktif terhadap alam maksudnya ialah “… paham bahwa penguasaan alam
oleh manusia merupakan suatu hal yang mungkin dan yang patut dikejar. ”156
Sikap ini merupakan “akar dinamika” dari pembangunan ekonomi karena
dengan paham ini manusia menjadi aktif menyelidiki alam, mempelajari dan
menemukan hukum-hukum alamiah, menggunakan hukum-hukum alamiah itu
untuk menguasai alam, menaklukkan alam, serta mengeksploitasi alam untuk
kepentingan pembangunan ekonomi suatu bangsa.157
Sikap positif terhadap kerja maksudnya ialah sikap selalu ingin “…menambah
pengetahuan serta kejuruan yang diperlukan oleh perkembangan
industrialisasi…”163 Sikap ini harus dimiliki oleh semua pekerja di suatu bangsa.
Sikap selalu mengembangkan diri secara profesional, karena semakin suatu
bangsa maju dalam pembangunan ekonominya, semakin pekerjanya dituntut
selalu mengembangkan kejuruannya, keahliannya, dan profesionalismenya.
166
Ibid., hh. 161-162
167
Ibid., hh. 162-163
168
Ibid., hal. 165
169
Ibid., hal. 164
170
Ibid., hal. 163
49
Daya ke Arah Perubahan
dan Daya Penentang Perubahan
Ketika suatu kebudayaan dalam suatu masyarakat berhadapan dengan suatu
perubahan, maka kebudayaan itu memiliki dua kekuatan, atau dua dorongan,
atau dua daya yang saling bertolak belakang, yakni:
1. Daya ke arah perubahan, yakni dorongan kuat untuk menyesuaikan
dengan perubahan-perubahan kapan pun kebudayaan itu menghadapi
perubahan-perubahan.
2. Daya penentang perubahan, yakni dorongan kuat untuk
mempertahankan sifat-sifat dan kepribadian kebudayaan itu dengan
sedapat-dapatnya menolak perubahan-perubahan dari luar yang akan
mengubah sifat dan kepribadian kebudayaan.171
Vitalitas suatu kebudayaan nampak dan terlihat jelas apabila daya ke arah
perubahan lebih kuat daripada daya penentang perubahan. Sebaliknya,
integritas suatu kebudayaan nampak dan terlihat jelas apabila daya penentang
perubahannya lebih kuat daripada daya ke arah perubahan. Dua daya yang
bertolak belakang ini dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia selalu bentrok
satu sama lain, berbenturan satu sama lain. Benturan itu justru menunjukkan
bahwa kebudayaan itu memiliki vitalitas dan integritas.172
Misalnya, dalam kebudayaan masyarakat Indonesia di zaman revolusi (tahun
1950-an), terdapat dua daya yang masing-masing menunjukkan vitalitas dan
integritas. Vitalitas kebudayaan masyarakat Indonesia di zaman itu
diindikasikan dengan adanya kehendak untuk menjalankan pembangunan
ekonomi dan pengadopsian sains dan teknologi dalam kehidupan. Tapi
vitalitas ini berhadapan langsung dengan daya penentang perubahan yang
menghendaki integritas kebudayaan terus terjaga dan bertahan dari serbuan
perubahan-perubahan, yakni skeptisisme sebagian besar golongan pegawai
negeri dan sebagian besar pemimpin politik era tersebut yang tidak
menghendaki pembangunan ekonomi dan pengadopsian sains dan
teknologi.173
Karena daya penentang perubahan lebih kuat daripada daya ke arah
perubahan, maka akibatnya ialah pembangunan ekonomi Indonesia di era
1950-an “…setengah-setengah saja dikerjakan, seperti tak bisa berangkat dan
macet.”174
171
Ibid., hal. 146
172
Ibid.
173
Ibid., hh. 146-147
174
Ibid., hh. 134-135
50
Contoh lain dari fenomena benturan dua daya ini adalah yang terjadi di India
di era Mahatma Gandhi. Mahatma Gandhi mewakili pemimpin-pemimpin India
yang lebih mengutamakan integritas kebudayaan India dengan cara menolak
kehidupan industrial, sedangkan Jawaharlal Nehru mewakili pemimpin-
pemimpin India yang lebih mengutamakan vitalitas kebudayaan India dengan
cara menyesuaikan kebudayaan India yang telah ada dengan menerima unsur
baru dari industrialisme Barat/Eropa. Gandhi pun “…tidak mengikuti jalan
industrialisasi Barat, dan kembali kepada alat-alat pemintal yang sederhana…”
Sayangnya, dengan cara itu Gandhi tidak bisa bertahan menghadapi masalah
kemiskinan dan kemelaratan masyarakat India pada umumnya dan ia pun tidak
bisa bertahan dari kekuatan-kekuatan bangsa Barat/Eropa yang mendesaknya
dari luar, sehingga Gandhi pun gagal mengatasi masalah ekonomi India, dan
rakyat India pun memilih Nehru untuk mengatasi masalah ekonomi. Ini
menunjukkan bahwa daya vitalitas kebudayaan India yang diwakili Nehru di
era itu lebih kuat daripada daya integritas kebudayaan yang diwakili Gandhi.175
Modernisasi Kebudayaan
Modernisasi adalah membuat modern “…kebudayaan-kebudayaan… yang
dianggap pra-modern, tradisional, dan yang dianggap perlu disesuaikan atau
menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan jaman dan tanggungjawab-
tanggungjawab baru yang menjadi konsekwensi dari kemerdekaan
bangsa…”176 Modernisasi diperlukan oleh bangsa-bangsa bekas jajahan (post-
colonial states), yang terdiri dari suku-suku etnis yang telah lebih dulu memiliki
“kebudayaan regional” sebelum bentuk persekutuan baru yang menjelma
“negara bangsa” (nation-state) muncul. “Kebudayaan regional” adalah
kebudayaan tradisional yang belum modern ( pra-modern). Berdirinya suatu
negara bangsa membutuhkan dibentuknya “kebudayaan nasional” yang
modern. Untuk itu, negara bangsa itu melakukan “modernisasi kebudayaan”,
yakni memoderenkan “kebudayaan regional” yang masih pra-modern itu.
Menurut Bung Koko, terdapat tiga faktor yang dapat mempercepat proses
“modernisasi kebudayaan” tadi, yakni:
175
Ibid., hh. 148-149
176
Soedjatmoko, “Menjelang Suatu Politik Kebudayaan”, Ceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM) 22 Mei 1972, dalam
Agus R. Sarjono, Pembebasan Budaya-Budaya Kita: Sejumlah Gagasan di Tengah Taman Ismail Marzuki, Jakarta:
Gramedia, 1999, hal. 46
51
1. Faktor pendidikan
2. Faktor pembangunan
3. Faktor keterbukaan negara.177
Pendidikan, sistem pendidikan, orientasi pendidikan dan kurikulum pendidikan
suatu bangsa bisa mempercepat “modernisasi kebudayaan” di dalam bangsa
itu. Dalam sistem pendidikan dimasukkan orientasi pendidikan dan kurikulum
pendidikan yang mengajarkan, mendidik, dan membiasakan murid-murid
berperilaku dengan perilaku-perilaku yang merupakan “akar dinamika
kebudayaan” yang telah dijelaskan di atas.
Selain pendidikan, pembangunan suatu bangsa juga bisa mempercepat
“modernisasi kebudayaan”. Pembangunan “…mau tak mau memaksakan
semua yang terlibat di dalamnya, untuk menjadi lebih sadar mengenai tujuan
dari proyek yang dikerjakannya…”178 Pembangunan di dalam suatu negara
bangsa yang baru merdeka memiliki program-program, proyek-proyek, dan
tujuan-tujuan yang baru yang sungguh berbeda dari kebutuhan-kebutuhan
dalam kebudayaan tradisional atau “kebudayaan regional” sebelum
kemerdekaan. Maka, agar tujuan-tujuan itu berhasil dicapai dan proyek-proyek
pembangunan tercapai, semua yang terlibat dalam pembangunan mau tidak
mau setidaknya harus mengadaptasikan diri pada program-program
pembangunan yang sepenuhnya baru dan sepenuhnya berbeda daripada
kebutuhan dan kepentingan dalam “kebudayaan regional” yang dulu.
Selain dua faktor di atas, faktor keterbukaan negara terhadap turis-turis asing,
peneliti-peneliti asing, dan pengaruh kebudayaan asing dari mancanegara juga
sungguh signifikan dalam mempercepat proses “modernisasi kebudayaan”.
Dengan dibukanya saluran-saluran bagi orang-orang asing untuk memasuki
wilayah suatu bangsa, “kebudayaan regional” justru jadi menggeliat lagi. Orang
asing membawa kebudayaan asing, sedangkan warga asli bangsa itu memiliki
“kebudayaan regional”. Dua pihak ini akan bersitegang. Dengan ketegangan di
dua belah pihak, justru “kebudayaan regional” akan kian mempertahankan diri
sekaligus mencari saluran lain yang kreatif agar integrasi kebudayaannya terus
terjaga. Bung Koko menganggap positif “ketegangan antar-kebudayaan” ini.
Tanpa ketegangan yang kreatif antara “kebudayaan asing” dan “kebudayaan
regional”, ujar Bung Koko, “… saya yakin dinamika perkembangan kehidupan
kebudayaan… akan berkurang…”179
177
Ibid., hal. 51
178
Ibid.
179
Ibid., hal. 50
52
Kebudayaan Nasional
Bagi suatu bangsa yang mempunyai penduduk yang terdiri dari banyak suku-
suku bangsa, seperti halnya Indonesia, masalah “kebudayaan nasional” adalah
masalah krusial. Suku-suku bangsa yang banyak itu masing-masing memiliki
kebudayaan-kebudayaan khas yang telah mereka hayati bertahun-tahun
sebelum mereka menggabungkan diri dalam persekutuan politik baru, yang
disebut “republik”. Kebudayaan-kebudayaan ini disebut “kebudayaan regional”
atau “kebudayaan daerah”. Masalahnya ialah apakah “kebudayaan regional”
yang banyak itu harus dihapuskan karena republik itu sedang membangun
“kebudayaan nasional” ataukah tidak? Persoalan ini dipikirkan secara serius
oleh Bung Koko, sebab jika tidak segera diselesaikan, maka persoalan ini justru
menghambat pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh suatu bangsa.
Menurut Bung Koko, “kebudayaan nasional” dari suatu bangsa bersifat lentur,
fleksibel, liquid, cair; tidak statis; ia dalam kondisi “… masih dalam
kandungan…,”180 belum menjadi. Bahkan, walaupun sudah ada “kebudayaan
regional” yang dimiliki suku-suku bangsa yang mendiami suatu bangsa,
“kebudayaan nasional” tidak terwujud “… dengan hanya menjumlahkan
kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada…”181
“Kebudayaan nasional” justru akan berujud manakala pembangunan ekonomi
dijalankan oleh suatu bangsa. Pembangunan ekonomi yang dijalankan suatu
bangsalah yang menentukan sifat, corak, karakter dari “kebudayaan nasional”
suatu bangsa. Selama suatu bangsa tidak menjalankan pembangunan
ekonomi, maka “kebudayaan nasional” bangsa itu tidak berwujud; atau “masih
dalam kandungan”. Bung Koko menyontohkan bagaimana “kebudayaan
nasional Indonesia” belum berwujud sepanjang bangsa Indonesia belum
menjalankan pembangunan ekonomi:
…soal apakah sifat dan corak kebudayaan Indonesia, yaitu kebudayaan bangsa
Indonesia yang modern tidak usah menjadi soal yang harus kita jawab lebih dahulu
sebelum kita mulai melakukan pembangunan ekonomi kita. Kebudayaan
Indonesia akan merupakan penjelmaan jiwa bangsa Indonesia baru yang telah
terbebaskan dari kungkungan kemiskinan dan yang telah menemukan dan
menyadari inti pribadinya sendiri dalam kesanggupannya serta kepercayaannya
kepada diri sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri. Tak usah kita sangsikan
bahwa pangkal sifat Indonesia dari kebudayaan kita tidak akan dapat menyatakan
satu jawaban terhadap masalah pembangunan…182
180
Soedjatmoko, ‘”Masa Lalu yang (tidak) Membunuh Masa Depan: Tentang Kesusastraan dan Konfrontasi Budaya”,
dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 179
181
Ibid.
182
Soedjatmoko, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan
Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 159
53
…sikap kita terhadap pembangunan ekonomi, merupakan masalah kebudayaan,
oleh sebab cara bertindak ekonomis suatu masyarakat tak lain merupakan satu
wajah kebudayaannya sendiri.
Maka bisa kita katakan, bahwa kebudayaan Indonesia masih dalam kandungan,
dan bahwa kebudayaan Indonesia itu tidak tercapai dengan hanya menjumlahkan
kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada pada waktu-waktu sekarang ini…183
Pertanyaan corak-corak mana yang akan dimiliki oleh kebudayaan Indonesia,
akan ditentukan jawabnya, oleh cara-cara kita menghadapi soal-soal
pembangunan ekonomi, oleh cara-cara kita mengerahkan tenaga-tenaga yang
terkandung dalam masyarakat kita dan oleh cara-cara kita menyalurkan dan
menggunakannya, pada umumnya oleh cara-cara kita mendinamiskan
masyarakat kita serta cara mempertinggi tempo kehidupan. Artinya, oleh cara-cara
kita mencapai kesanggupan mengembangkan kekuatan ekonomi dan politik di
atas tingkatan yang lebih tinggi…184
183
Soedjatmoko, ‘”Masa Lalu yang (tidak) Membunuh Masa Depan: Tentang Kesusastraan dan Konfrontasi Budaya”,
dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 179
184
Ibid., hal. 182
185
Soedjatmoko, “Prakata”, dalam C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Dick
Hartoko, Jakarta: Kanisius & BPK Gunung Mulia, 1976, hal. 5
54
yang baru, atau agar semua rakyatnya lebih berdaya ke arah perubahan
daripada berdaya penentang perubahan, yakni:
1. Politik kebudayaan yang evolusioner
2. Politik kebudayaan yang revolusioner
Politik kebudayaan yang evolusioner adalah politik kebudayaan yang
diarahkan, diatur, dibiasakan secara sadar dan dilakukan oleh pemerintah
secara bertahap-tahap dalam jangka waktu yang perlahan-lahan. Pemerintah
yang menjalankan politik kebudayaan yang evolusioner melakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan lembaga-lembaga sosial dan lembaga-
lembaga kebudayaan yang telah ada di dalam masyarakatnya sehingga semua
rakyatnya siap lahir dan batin untuk menerima perubahan kebudayaan yang
dikehendaki pemerintah dari atas.186
Sedangkan politik kebudayaan yang revolusioner adalah politik kebudayaan
yang diarahkan, diatur, dan dibiasakan secara sadar dan dijalankan dengan
sepenuh hati oleh pemerintah secara segera, tidak ditunda-tunda, cepat
sekejap, dalam jangka waktu yang relatif singkat. Pemerintah yang
menjalankan politik kebudayaan yang revolusioner, seperti yang dilakukan
oleh Uni Soviet misalnya, tidak mau melakukan penyesuaian-penyesuaian
dengan lembaga-lembaga kebudayaan yang telah ada di masyarakatnya, tapi
malah memusnahkan lembaga-lembaga kebudayaan itu dengan paksaan dan
kekerasan, lalu mengintegrasikan kembali kebudayaannya dengan susunan-
susunan yang baru, dengan campuran paksaan dari atas, antusiasme ideologis
yang sengaja ditinggikan, dan patriotisme yang sengaja dielu-elukan oleh
pemerintah.187
Politik kebudayaan yang revolusioner tidak mesti dijalankan oleh suatu
pemerintah dengan cara paksaan dan kekerasan dari atas; ia bisa juga
dijalankan dengan cara penyadaran dan cara bimbingan ke bawah. Masyarakat
yang kebudayaannya akan diubah ke kebudayaan yang baru disadarkan betul-
betul oleh pemerintah dan dibimbing betul-betul oleh pemerintah akan betapa
pentingnya politik kebudayaan yang revolusioner itu demi kebahagiaan
rakyatnya. Jika kesadaran dan pencerahan jiwa rakyat telah berhasil, maka
politik kebudayaan yang revolusioner dijalankan oleh pemerintah bukan hanya
diterima baik oleh rakyat, tapi malah akan berhasil memajukan kehidupan
rakyat. Pemerintah yang berhasil menjalankan politik kebudayaan revolusioner
tanpa paksaan dan kekerasan dari atas ialah pemerintah Yugoslavia dan
pemerintah Israel. Pemerintah Yugoslavia menjalankan politik kebudayaan
revolusioner dengan dukungan rakyat yang penuh dan berhasil melepaskan
186
Soedjatmoko, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan
Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 154
187
Ibid., hal. 157
55
diri dari kekuasaan Rusia secara penuh, sedangkan pemerintah Israel
menjalankan politik kebudayaan revolusioner dengan dukungan penuh
rakyatnya dan berhasil menjalankan pembangunan ekonomis bangsanya
dengan mendirikan koperasi-koperasi rakyat (kibutzin).188
Agama
Agama dibagi menjadi tiga kategori, yakni:
1. “Agama dalam kitab suci”
2. “Agama historis”
3. “Agama instrumental”
Agama dalam kitab suci ialah “… kekayaan khasanah, pikiran, dan kaedah-
kaedah agama yang ada di dalam kitab suci atau di dalam buku-buku
agama…”189 Mengenai ini, Bung Koko tidak pernah membincang dan
membahasnya. Sementara agama historis dan agama instrumental maksudnya
ialah agama yang dipraktekkan oleh “… orang-orang dan lembaga-lembaganya
untuk memegang peranan di masa depan…”190 Bung Koko selalu membahas
dua jenis agama ini dalam pemikiran beliau.
Agama historis ialah agama yang berfungsi memberikan pelajaran historis
kepada umat manusia. Ialah agama yang menyejarah; agama sebagai
fenomena sejarah; agama yang diteropong dan dinilai lewat pendekatan
historis; agama yang dinilai dan dievaluasi dengan pengadilan sejarah. Agama
yang menyejarah adalah agama yang pernah dipraktekkan oleh generasi
terdahulu, yang bernilai sejarah bagi generasi sekarang. Generasi sekarang
dapat menimba pengalaman dari agama yang telah dipraktekkan oleh generasi
terdahulu lewat penelitian sejarah. Misalnya, Bung Koko menyebutkan agama
historis dengan ungkapan-ungkapannya sebagai berikut:
“bila di masa lampau agama menghindari diri dari berurusan dengan
problem dalam rumusan struktural itu, dengan semata-mata
memperhatikan manusia secara pribadi dan mengurus kerohanian
pribadi saja, maka dengan pengertian struktural ini, sekarang agama
secara langsung berhadapan dengan persoalan kekuasaan dan
ketegangan abadi antara kekuasaan dan moralitas. ”191
188
Ibid., hal. 158
189
Soedjatmoko, “Tanggung Jawab Agama terhadap Masa Depan Umat Manusia”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.),
Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 215
190
Ibid.
191
Soedjatmoko, “Perdamaian, Keamanan, dan Martabat Kebangsaan”, prosiding Konferensi Asia “Agama dan
Perdamaian” di Singapura, 25 November 1976, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit
MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 106
56
“Dalam masa lampau setiap agama besar menyediakan konsep-
konsep…” simpati pada orang lain, rasa kemanusiaan dalam dunia yang
sesak dan kompetitif, dan mencintai satu sama lain. “Sekarang, untuk
pertama kali dalam sejarah, menjadi suatu keharusan bahwa semua
agama harus mengambil bagian,…dari sebuah visi dan dalam konsep
manusia mengenai dirinya sendiri, mengenai sesamanya, bahkan dengan
orang-orang yang menyatakan dirinya tidak beragama sekalipun.”192
“Saya kira kita harus melihat dahulu sejarah agama pada umumnya, yakni
pada agama dan lembaga-lembaganya… perpecahan dalam semua
agama itu ada, artinya dialami oleh semua agama. Kita bisa melihat pada
waktu adanya perang-perang agama di Eropa itu yang lamanya kira-kira
30 tahunan, dan hampir tak ada habisnya… ”193
“Most religions have at one point or another in history played one of
these roles and usually both - at different times - and it would be folly to
ignore the potential that religions have to facilitate or to hamper the
process of development and nation building.”194
As claimants to ultimate truth and reality, all religions have had difficulty
in their relationship to history and social change. While both history and
social change inevitably bear the stamp of the prevailing religion, both
at the same time continue to escape the precepts, norms and injunctions
of religion. Of course, the tension between religion on the one hand and
society with its own autonomy so to speak, on the other is a basic and
permanent one. Mostly, that tension is a creative one. It is from this
tension that many of man's cultural and artistic achievements flow. Rapid
social change, however, disproportionately aggravates the already
difficult relationship between religion and society.”195
Sedangkan “agama instrumental” ialah agama yang berfungsi sebagai alat atau
sarana untuk mencapai suatu tujuan atau untuk melayani kepentingan dan
keuntungan umat manusia. Ialah agama yang berfungsi sebagai alat atau
agama yang bertugas sebagai sarana (means) untuk mencapai suatu tujuan
(ends) tertentu; agama sebagai pemicu atau penyebab atau penggerak atau
motivator eksternal bagi kesuksesan dan keberhasilan suatu proyek
kemanusiaan. Contoh agama instrumental yang disebut dalam karangan-
karangan Bung Koko ialah sebagai berikut:
192
Ibid., 113
193
Soedjatmoko, “Tanggung Jawab Agama terhadap Masa Depan Umat Manusia”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.),
Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 222
194
Soedjatmoko, “Religions and the Development Process in Asia”, ceramah di Asian Ecumenical Conference for
Development, Tokyo Jepang, Juli 1970, dimuat di Occasional Bulletin from The Missionary Research Library, New York,
dalam http://www.internationalbulletin.org/issues/1971-00/1971-02-001-soedjatmoko.pdf, hal. 6
195
Ibid., hal. 8
57
Kemampuan “…untuk menginterpretasikan ketentuan-ketentuan
agama…” Islam oleh para mahasiswa-mahasiswi Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sungguh amat diperlukan sebagai
alat untuk menghadapi “…masalah dan perkembangan baru… ” yang
terjadi di tingkat nasional dan global di abad ke-21, yakni masalah
kependudukan, masalah tenaga kerja, masalah kemiskinan, masalah
ekonomi internasional, masalah dampak IPTEK, dan masalah pemanasan
bumi.196
Agama berfungsi sebagai alat untuk “… memobilisir sumber-sumber
spiritual…” agar kemampuan manusia menangani persoalan-persoalan
perdamaian internasional, masalah keamanan dalam negeri, dan masalah
pembangunan kian baik.197
Agama berfungsi sebagai pembantu dalam “…mengembangkan
kepekaan serta kepercayaan terhadap orang-orang yang berbeda
dengan kelompok sendiri…” minimal secara internal dalam tradisi
agamanya sendiri.198
Agama-agama di Asia ikut mengurus perubahan sosial dan politik dan
skala persoalan yang menyertai Asia.199
Agama ikut menangani ketegangan-ketegangan dalam proses
pembangunan dan transformasi sosial.200
Agama ikut bertanggung jawab dalam “… berusaha mengurangi
sebanyak mungkin biaya sosial dan biaya manusia untuk mencapai
perubahan, dan sebanyak mungkin pula berusaha memanusiakan proses
perubahan…” sosial.201
Agama menyiapkan dan menyediakan suatu “…struktur pengertian yang
pencapaiannya melampaui politik, untuk menghubungkan arah peristiwa
umat manusia dan tanggung jawab manusia dengan tujuan-tujuan
moral…”202
Agama mengurangi usaha mengajak orang-orang beragama lain pindah
ke agamanya, dan “…mensubordinasikan usaha pemindahan agama ini
kepada kebutuhan akan solidaritas yang lebih besar dalam usaha
bersama untuk menjamin kebutuhan minimum bagi terselenggaranya
kesantunan dan martabat manusia di bawah tekanan-tekanan yang
196
Soedjatmoko, “Manusia Indonesia Menjelang Abad Ke-21 dan Persiapannya”, dalam Tim Tiara Wacana Yogya,
Soedjatmoko dan Keprihatinan Masa Depan, Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya, 1991, hh. 87-104
197
Soedjatmoko, “Perdamaian, Keamanan, dan Martabat Kebangsaan”, prosiding Konferensi Asia “Agama dan
Perdamaian” di Singapura, 25 November 1976, dalam dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta:
Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hh. 94-95
198
Ibid., hal. 102
199
Ibid., hal. 106
200
Ibid., hal. 108
201
Ibid., hal. 110
202
Ibid., hal. 111
58
makin meningkat, bagi pembatasan konflik, pengurangan kekerasan, dan
bagi ikhtiar memanusiawikan perubahan sosial… ”203
Agama-agama membantu “…menjamin perdamaian dengan martabat
manusia dalam warsa-warsa mendatang dan memelihara dan mengasuh
di antara bangsanya masing-masing, keberanian dan kehendak politik
untuk membangun masyarakat-masyarakat… menjadi masyarakat-
masyarakat yang lebih manusiawi, melalui cara-cara yang lebih
manusiawi, meskipun dengan resiko yang lebih besar… ”204
Agama “…membantu manusia mengadakan pilihan-pilihan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara moril dalam menghadapi hari
depan…”205
“The system of social organization in most of our traditional Asian
societies was shaped by religion. The most meaningful language of large
parts of Asia's masses is still the language of religion. We cannot
therefore begin to understand their social dynamics, nor can we develop
ways of utilizing or circumventing them in the development process
unless we understand how religion meshes into social relations and into
collective as well as individual human behavior. These religions can be a
strong motivating and integrative force.”206
“If, however, the prevailing religion in a society in the process of social
transformation develops, through its leaders, an adequate
comprehension of the process of social change, of the urgency of
development, the social factors impelling it and the requirements that
will have to be met as a pre-condition for civility and for the viability of
any political system, religion can play an important reintegrative role.”207
“Be that as it may, one thing seems to be certain. The attainment of, or
failure to attain, the goals of development could very much be
determined by whether the religions of Asia will be able to absorb and
digest the new elements and perspectives that come with social change,
without loss of their own integrity. Insofar as this comes about, they will
be able to play the essentially reintegrative and motivating role described
here . Further, the manner in which the religions of Asia position
themselves relative to the development process is bound to have a
profound impact on the political systems that will emerge and on the
political process that will develop. In other words, unless the religions in
203
Ibid.
204
Ibid., hal. 114
205
Soedjatmoko, “Tanggung Jawab Agama terhadap Masa Depan Umat Manusia”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.),
Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 225
206
Soedjatmoko, “Religions and the Development Process in Asia”, ceramah di Asian Ecumenical Conference for
Development, Tokyo Jepang, Juli 1970, dimuat di Occasional Bulletin from The Missionary Research Library, New York,
dalam http://www.internationalbulletin.org/issues/1971-00/1971-02-001-soedjatmoko.pdf, hal. 6
207
Ibid., hal. 8
59
Asia are capable of formulating their own development ideology, and
learn to use their tremendous influence on the masses toward the
attainment of development goals, they may in the end be shunted aside,
and it may well be the secular counter-religions which will shape the
political systems through which these goals will be achieved.”208
“Such an involvement of all religions in the country and their
organizations will therefore be an important step towards the building of
a transcommunal consensus for development, and in this way contribute
to the decommunalization and depolitization of development. All
religions within a single society thus have a common interest in
developing among themselves the understanding, accommodations and
self-restraints, as well as modes of explicit and implicit cooperation which
will ensure the continued participation of all religions in the
developmental efforts at all levels. They also have a common stake in
strengthening the capacity of the nation as a whole to deal with conflicts
- political, social, cultural as well as interreligious or intercommunal
conflicts - peacefully, with full regard of the basic human rights. While
many of our nations are committed to these basic rights, the social pre-
conditions for their effective application are on the whole quite fragile.
And this is bound to remain so unless an effective and militant
constituency is forged - out of elements drawn from all religions - on
which civility and tolerance could rest.”209
“Should not the religions in Asia raise the question of the desirability and
possibility of alternative social systems, of an alternative civilization
capable of coping with the problems of the 20th and 21st centuries, that
could be maintained at a lower human and ecological cost. The religions
of Asia cannot escape the responsibility while playing out their
constructive role in the development process itself, of raising these
fundamental issues in order that each step, each choice in the course of
development is made in full awareness of the options that become open
to man as soon as he refuses blindly to follow the steps in economic
development already taken by the industrially advanced nations. In order
to be able to play this creative role it will be necessary for the leaders of
these religions not only to speak to the problems of development in
terms of the formal precepts or in terms of the general moral values of
their religions, but in terms that make sense to their followers in their
efforts towards material, intellectual and spiritual improvement.”210
208
Ibid., hh. 8-9
209
Ibid., hal. 9
210
Ibid., hal. 11
60
“In order to guarantee peaceful co-existence among differing peoples,
cultures and social systems, thereby fostering global co-operation in
solving the many problems that confront today's increasingly perilous,
insecure and fragile world, the participation of the world's major religions
is essential. They could be a major force in the shaping of a sense of
shared humanity and solidarity across the globe and with future
generations.”211
211
Soedjatmoko, “Education for Peace: The Role of Religion”, pidato pembukaan the 2 nd Asian Conference on Peace
and Religion, New Delhi, India, 7-11 November 1981, tidak dipublikasikan, dari
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/19104-[_Konten_]-Konten%2098.pdf, hal. 1,
212
Soedjatmoko, “Mobilisasi Mental dalam Sukma Kebudayaan”, dalam dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan
Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hh. 73-74
213
Ibid., hal. 74
214
Ibid., hal. 77
61
Semua kebudayaan-kebudayaan itu tidak pasif saja menerima pengaruh-
pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan asing yang mendatanginya
“…melainkan mencari celah kekuatan bagi berkembangnya kreatifitas yang
lebih besar…” di pihak kebudayaan-kebudayaan itu.215
Contoh lain dari “penyesuaian kreatif” ialah masuknya teknologi mesin
(misalnya, traktor) ke dalam kebudayaan suatu desa. Ketika traktor masuk
dalam hidup warga desa, maka warga desa akan melakukan penyesuaian-
penyesuaian: warga mulai belajar menggunakannya, belajar memeliharanya,
cara-cara kerja para petani dalam menggarap sawah pun disesuaikan dengan
traktor. Lama-kelamaan, para petani menganggap traktor seperti halnya
paculnya; traktor sudah menjadi bagian kebudayaan warga desa itu; warga
desa itu “…mencernakan mesin tadi dalam tubuh kehidupan masyarakat… ” di
desa,216 sehingga traktor itu “…menjadi darah daging… menjadi alat-alat dan
cara-cara…memenuhi kebutuhan…” mereka sendiri. 217 Akan tetapi, mereka
tidak berhenti di sini saja; dalam diri mereka malah “… timbul keinginan dan
kesanggupan, tidak saja untuk memelihara mesin itu, melainkan juga untuk
membuatnya sendiri, dan untuk senantiasa menciptakan mesin-mesin yang
lebih baik dari yang sudah-sudah, yang lebih sesuai lagi dengan kebutuhan… ”
riel dalam hidup warga desa.218 Inilah hakikat dari “penyesuaian kreatif dari
kebudayaan” yang dimaksud Bung Koko.219
Apabila “penyesuaian” tidak bersifat “kreatif”, tapi “pasif”, maka menurut Bung
Koko, penyesuaian itu “…tidak akan dapat melampaui taraf imitasi, taraf tiruan
belaka…” Kebudayaan yang hanya melakukan “penyesuaian pasif” seperti ini
“…hanya akan meningkat dari tingkat statis yang satu ke tingkat statis yang
lain, dan … senantiasa akan terbelakang. ”220
Kebudayaan yang tidak melakukan “penyesuaian kreatif”, tapi justru senantiasa
meniru dan mengopi kebudayaan asing akan menjadi tergantung pada
kebudayaan asing. Ketergantungan pada kebudayaan asing bukannya
menstabilkan kebudayaan itu, tapi justru malah menggoncangnya,
mengubahnya dan pada akhirnya mematikannya.
... authentic modernization—which does not lead to a loss of identity, self-respect,
and creativity—is possible only if tradition is recognized as a resource of great
significance and power. Cultural continuity, in combination with rigorous self-
criticism and constant reinterpretation, is therefore an essential requisite for the
creative adjustment that modernization demands. Modernization that is fueled by
215
Ibid.
216
Soedjatmoko, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan, dalam dalam Muhidin M. Dahlan (ed.),
Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 140
217
Ibid., hal. 145
218
Ibid., hal. 140
219
Ibid., hal. 141
220
Ibid.
62
outside forces or models is possible, at least for a time, but it leads to dependence
rather than autonomy, to instability rather than social resilience.221
Ikhtisar Filsafat
Karena “kebudayaan” bermakna sama, bermakna serupa, dan sejajar dengan
kata Belanda “cultuur” dan kata Inggris “culture”, maka implikasi-implikasinya
adalah sebagai berikut:
a. Kebudayaan dipahami Pak Koen seluruhnya secara politik-pembangunan
(developmentalist politics) dan etika-pembangunan (developmentalist
ethics); sehingga semua pengertiannya tentang kebudayaan diwarnai
oleh kajian-kajian beliau tentang politik pembangunan dan etika
pembangunan.
b. Culture dalam bahasa Inggris dan cultuur dalam bahasa Belanda berarti
kebudayaan dalam bahasa Indonesia; tidak ada perbedaan apapun di
antara kata-kata tersebut; baik cultuur, culture, dan kebudayaan serupa
dan sama.
c. The Humanities dalam bahasa Inggris diterjemahkan Bung Koko dengan
“Ilmu-Ilmu Humaniora”, dimana kebudayaan masuk dalam obyek
kajiannya.222
d. Bung Koko menerjemahkan semua derivasi dari culture (semisal cultural
identity, cultural aspect of development, cultural element, dsb.) dengan
kebudayaan.
4. Penerjemah-Penerjemah Buku
Pembahasan mengenai Filsafat Kebudayaan “Mazhab Profan” diakhiri dengan
pembahasan mengenai penerjemah-penerjemah buku tentang kebudayaan.
Setiap penerjemah pasti membawa asumsi-asumsi bawaan ke dalam
terjemahannya; tak terkecuali para penerjemah buku tentang kebudayaan;
mereka membawa-serta asumsi-asumsi bawaan tentang kebudayaan yang
amat dikuasai dan yang amat dihayatinya, lalu memasukkannya secara
tersadari maupun tak-tersadari ke dalam terjemahannya. Asumsi-asumsi
kebudayaan bawaan ini berakar pada bacaan mereka tentang kebudayaan di
221
Soedjatmoko, “The Humanities and Development”, pidato pada The 4th National Science Congress of the Indonesian
Council of Sciences, 9 September 1986, Jakarta, tidak dipublikasikan, dari
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/17948-[_Konten_]-Konten%206550.pdf, hal. 9
222
Soedjatmoko, “The Humanities and Development”, pidato berbahasa Inggris dalam Kongres Ilmu Pengetahuan
Nasional ke-4 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tanggal 9 September 1986, tidak dipublikasikan, hal. 4
63
waktu lampau, yang menginternalisasi jauh ke alam bawah-sadar mereka. Jika
bacaan mereka tentang kebudayaan adalah bacaan kebudayaan ala “Mazhab
Profan”, maka pastilah keluaran terjemahan mereka pun ala “Mazhab Profan”;
begitu pun sebaliknya. Jika bacaan mereka tentang kebudayaan adalah bacaan
kebudayaan ala “Mazhab Sakral”, maka terjemahan yang dihasilkan pun ala
“Mazhab Sakral”. Jadi, terjemahan mereka merepresentasikan betul-betul
bacaan kebudayaan mereka di jauh-jauh hari, yang menginternalisasi menjadi
super-ego saat mereka menghasilkan terjemahan.
Walaupun tidak memiliki pandangan-pandangan filosofis tersendiri, para
penerjemah buku kebudayaan di bawah ini turut menggencarkan masifnya
signifikansi profan dari kebudayaan; mereka menerjemahkan pikiran-pikiran
filosofis dari pemikir-pemikir Eropa/Barat dalam bingkai makna kebudayaan
khas Indonesia.
225
Ibid., hal. 11
226
Ibid., hal. 13
227
Ibid., hh. 13-14
228
Ibid., hal. 13
229
Ibid., hal. 16
65
isolemennya, melainkan bahwa kita mengeluarkan kepala kita, berani
menghadapi situasi tertentu lalu menyusun sebuah evaluasi. Kebudayaan
menyerupai gerak pasang surut antara manusia dan kekuasaan-
kekuasaan itu, ketegangan antara imanensi dan transendensi,
kebijaksanaan atau strategi yang mengatur pasang surut, memberi dan
mengambil itu. Bila kebudayaan dipandang sebagai sekolah umat
manusia, maka dapat juga dinamakan “pendidikan terus-menerus”;
pendidikan di sekolah ini tak ada tamatnya dan sepanjang sejarah
hubungan antara manusia dan kekuasaan-kekuasaan itu diatur oleh
rencana-rencana baru…”230
“… filsafat kebudayaan bukan lagi suatu tujuan tersendiri, melainkan
sebuah alat atau sarana: merenungkan tentang kebudayaan kita bukan
pertama-tama merupakan suatu usaha teoritis, melainkan menyediakan
sarana-sarana yang dapat membantu kita memaparkan suatu strategi
kebudayaan untuk hari depan. Manusia modern hendaklah dijadikan
sadar tentang kebudayaannya, dan ini berarti bahwa ia secara aktif harap
turut memikirkan dan merencanakan arah yang akan ditempuh oleh
kebudayaan manusiawi.”231
“… setiap kebudayaan dapat dipandang sebagai suatu rencana tertentu,
suatu policy atau kebijaksanaan tertentu… ”232
“Kini para sarjana tidak lagi sibuk membeberkan kebudayaan itu secara
teoritis; tidak, secara praktis mereka ingin menyusun semacam policy
kebudayaan, suatu strategi kebudayaan. ”233
“Kebudayaan merupakan suatu strategi atau rencana yang dibuat oleh
manusia dan yang diarahkan kepada hari depan. ”234
“Di dalam suatu strategi kebudayaan dapat ditemukan jalan-jalan baru
yang sebelumnya tidak kita sadari, metode-metode berpikir yang baru;
dirubah organisasi dalam bidang penelitian dan angket, dibuat
pertimbangan-pertimbangan yang lebih halus dan disusun suatu policy
yang lebih kreatif, itu semua dapat dikembangkan—asal proses belajar
manusia itu dapat berlangsung dengan bebas dalam bidang rasa
tanggung jawab moril.”235
Ada tiga “strategi kebudayaan” yang dapat dilakukan oleh semua
manusia untuk mengarahkan kebudayaannya, mengevaluasi jalan
kebudayaannya selama ini, memperalat kebudayaannya untuk kemajuan
masa depannya, untuk menyusun suatu policy tertentu mengenai
230
Ibid., hal. 24
231
Ibid., hal. 10
232
Ibid., hal. 17
233
Ibid., hal. 9
234
Ibid., hal. 216
235
Ibid., hh. 225-226
66
kebudayaannya, dan untuk mengubah dan membelokkan arah
kebudayaannya, yakni: “strategi kebudayaan mitis”, “strategi kebudayaan
ontologis”, dan “strategi kebudayaan fungsional”.236
Tiga “strategi kebudayaan” ini dapat diterapkan ke hampir semua
masalah-masalah kebudayaan manusia. Misalnya, dalam hal manajemen
perusahaan (bagaimana kepemimpinan dalam perusahaan itu
menampakkan diri dalam “strategi mitis”, “strategi ontologis”, dan
“strategi fungsional”) atau dalam hal mentalitas kerja karyawan-karyawan
dalam suatu perusahaan (bagaimana cara kerja mereka menurut “strategi
mitis”, “strategi ontologis”, dan “strategi fungsional”), bahkan dalam
masalah keberagamaan manusia (bagaimana keterlibatan sosial orang
yang beragama kadang bertentangan dengan penghambaannya
terhadap Tuhan ditinjau menurut “strategi mitis”, “strategi ontologis” dan
“strategi fungsional” yang ia lakukan), dsb. 237
“Strategi kebudayaan mitis” ialah strategi yang dilakukan manusia
dengan cara pertama-tama ia membenamkan dirinya di tengah-tengah
dunia sekitarnya, lalu kemudian ia berupaya untuk mengontrolnya
dengan cara-cara magis.238 Dunia di sekitarnya dirasakan manusia seperti
mengepung dirinya, punya kekuatan yang melebihi dirinya, punya
keajaiban yang mengatasi dirinya; dan manusia tidak punya cara lain
untuk menguasai dunia di sekitarnya itu kecuali dengan berpartisipasi di
dalamnya; melebur di dalamnya. Akan tetapi, manusia tidak meleburkan
dirinya terus-menerus; manusia perlahan-lahan berusaha menguasai
dunia di sekitarnya itu dengan cara-cara magis, yakni mempengaruhi
dunia di sekitarnya dengan doa-doa, dengan antisipasi-antisipasi,
dengan kepandaian-kepandaiannya, dengan obat-obat penenang.
Tujuan melakukan “strategi kebudayaan mitis” ialah “mencari aman”
dalam kebudayaan yang sulit dikendalikannya.239
“Strategi kebudayaan ontologis” ialah strategi yang dilakukan manusia
ketika ia telah mengatasi ketakutannya terhadap dunia sekitar yang tadi
mengepungnya dan mengelilinya, dengan cara mengambil jarak antara
dirinya dengan dunia sekitarnya itu, lalu meneliti dunia sekitarnya
dengan penuh keberanian, mempelajari dunia sekitarnya itu sebagai
obyek pengetahuannya, dan menjelaskannya dalam bentuk teori-teori,
ajaran-ajaran, hukum-hukum, menurut perincian ilmu-ilmu dan sains
buatannya.240 Dunia di sekitarnya dikuasai manusia dengan cara
memahami seluk-beluknya lewat rasionya yang dingin. Tujuan
236
Ibid., hal. 18
237
Ibid., hal. 235
238
Ibid., hal. 233
239
Ibid., hh. 38-52
240
Ibid., hal. 18
67
melakukan “strategi kebudayaan ontologis” ialah menjaga jarak dengan
kebudayaan supaya bisa mengontrol kebudayaan itu dengan
pengetahuan-pengetahuan, pengertian-pengertian rasional, atau sains-
sains buatannya.241
“Strategi kebudayaan fungsional” ialah strategi yang dilakukan manusia
ketika ia merasa tidak terkungkung dan tidak dikepung lagi dengan
lingkungannya, tapi juga ia tidak lagi mengambil jarak dengan kepala
dingin terhadap obyek-obyek penyelidikannya; ia memandang dunia
sekitarnya dan dirinya sendiri sebagai dua kekuatan yang fungsional satu
sama lain; “…ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan
yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya …”242 Dirinya
dan dunia sekitarnya saling berpartisipasi dan turut serta dalam
membangun arti dan makna; “…tak lagi ada sesuatu yang mempunyai
arti, bila dipandang lepas dari dunia sekitarnya …”243 Tujuan “strategi
kebudayaan fungsional” ialah memberi arti dan memberi makna bagi
kebudayaannya, dan sekaligus mengambil arti dan mengambil makna
dari kebudayaannya.244
Manusia modern memandang kebudayaan sebagai sesuatu “… yang
dilukiskan secara “fungsionil”, yaitu sebagai suatu relasi terhadap
rencana hidup…” manusia modern itu sendiri.245 Mereka memandang
kebudayaan bukan lagi sebagai sesuatu yang mengepung dan
melingkari mereka dengan segala keangkeran dan kesakralan yang
dimilikinya, tapi juga bukan sebagai sesuatu yang diberjaraki oleh
mereka untuk dijadikan obyek-obyek penyelidikan ilmiahnya, melainkan
kebudayaan dipahami sebagai sesuatu yang dimaknai oleh mereka
sekaligus memaknai mereka; sesuatu yang memberi arti bagi mereka,
sekaligus diberi arti oleh mereka dalam bingkai fungsi-fungsi.
241
Ibid., hh. 63-84
242
Ibid., hal. 18
243
Ibid., hal. 87
244
Ibid., hh. 87-109
245
Ibid., hal. 233
246
Chris Jenks adalah seorang Dosen Senior Bidang Sosiologi di Goldsmiths’ College, University of London. Buku-buku
yang beliau karang antara lain adalah Culture (Key Ideas), Cultural Reproduction, Visual Culture, dll. Buku beliau yang
berjudul Culture (Key Ideas) dijadikan rujukan dalam matakuliah Sosiologi Kultural di Jurusan Sosiologi UGM Yogyakarta.
68
ini diterjemahkannya menjadi Culture (Konsep Budaya).247 Di dalam buku ini,
Tia Pamungkas (sapaan akrab beliau), menerjemahkan kata Inggris “ culture”
dengan kata Indonesia “kebudayaan” di seluruh halaman buku tersebut.
Banyak terjemahan beliau yang layak ditelaah, akan tetapi yang paling menarik
dari terjemahan Doktor Tia ini adalah terjemahan beliau mengenai Cultural
Studies.248 Doktor Tia menerjemahkan kata bahasa Inggris “Cultural Studies”
dengan kata bahasa Indonesia “Kajian Budaya”.
“…‘kajian budaya’ (cultural studies)… meng-klaim dirinya sebagai suatu
pendekatan yang ‘paling kontemporer’ dan mewakili fenomena budaya
kekinian yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan sebelumnya
dalam studi mengenai kebudayaan.”249
“Kajian budaya (cultural studies) muncul dalam diskursus akademik kira-
kira tigapuluh tahun yang lalu, dimulai di Inggris, dan kemudian
menyebar ke Amerika Utara dan Australia... Dalam periode selama
tigapuluh tahun itu, kajian budaya memperoleh legitimasi dan
popularitas baik di dalam maupun diluar dunia akademik. Popularitas
yang diperoleh kajian budaya (cultural studies) mengindikasikan bahwa
wacana yang mereka sebarkan telah menjadi suatu daya tarik tersendiri
dalam masalah-masalah sosial kontemporer yang terkini. Berbagai pusat
studi didirikan untuk merespon perkembangan intelektual yang muncul
lewat pembahasan ‘kajian budaya’ ini… Berbagai program studi untuk
strata S1 dan S2 didirikan, serta penerbitan jurnal-jurnal khusus yang
merespon dan mempromosikan perkembangan wacana dalam ‘kajian
budaya’ (cultural studies) itu.”250
“… posisi politik ‘kajian budaya’ berada pada wilayah ‘merah-jambu’
(pink), yakni tidak sungguh-sungguh membawa ideologi Marxis, tetapi
tetap berbasis pada ideologi sosialisme, atau setidaknya ideologi sosial-
demokratis dimana ada komitmen untuk menanggalkan nilai-nilai lama
seperti konflik dan radikalisme, dan lebih berpihak pada nilai-nilai yang
mendukung reformasi sistem sosial dan demokratisasi. ”251
“Kajian ini menolak asumsi-asumsi dibalik perdebatan mengenai ‘apa itu
kebudayaan’, dan karenanya menolak konsep yang memisahkan ‘budaya
tinggi’ (high culture) dengan ‘budaya rendah’ (low culture). Lebih jauh,
kajian ini berupaya untuk membangun kembali landasan-landasan bagi
stratifikasi kultural.”252
247
Dapat diunduh di https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/chris-jenks-culture-konsep-budaya.pdf.
248
Chris Jenks, Culture (Konsep Budaya), terjemahan Bahasa Indonesia oleh Arie Setyaningrum Pamungkas, dari
https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/chris-jenks-culture-konsep-budaya.pdf, hh. 140-147
249
Ibid., hal. 140
250
Ibid.
251
Ibid., hal. 141
252
Ibid., hal. 146
69
“… ‘kajian budaya’ melegitimasi, menjustifikasi, merayakan, dan
mempolitisasi berbagai aspek dalam budaya populer. Kajian ini
memandang budaya populer sebagai sesuatu yang berharga bagi hak
kelangsungannya sendiri, dan bukanlah suatu fenomena bayangan, atau
secara sederhana hanya sebuah kendaraan bagi kepentingan mistifikasi
ideologis.”253
“Kebudayaan dipandang bukan sebagai sesuatu yang ‘tetap’, ‘pasti’, atau
sebuah ‘sistem yang tertutup’. Kajian budaya memandang ‘kebudayaan’
sebagai sesuatu yang ‘mendesak’, dinamis, dan memiliki kelangsungan
untuk terus-menerus mengalami pembaharuan. Kebudayaan bukanlah
suatu rangkaian artefak, atau simbol-simbol yang beku, melainkan
sebuah proses.”254
“Kajian budaya menegaskan perbincangan tentang ‘konflik’ daripada
‘tatanan’. Kajian ini melacak dan mengantisipasi konflik yang terjadi, baik
pada level interaksi dua-mata (orang yang saling berhadapan secara
langsung), maupun interaksi yang secara signifikan berpengaruh pada
pembentukan makna. Kebudayaan tidak dapat dilihat hanya sebagai
prinsip yang seragam, kebudayaan merupakan suatu sumber yang dibagi
bersama melalui pengertian atau mekanisme untuk melegitimasi ikatan-
ikatan sosial.”255
“Kajian budaya bersifat imperialistik secara “demokratis”. Seluruh aspek
dari kehidupan sosial yang saat ini adalah ‘berbudaya’, sehingga
karenanya tidak ada satupun bagian dari kehidupan sosial yang tidak
memiliki kepentingan, misalnya seperti pertunjukan opera, fashion,
kelompok gang jalanan, kekerasan, perbincangan di kafe, belanja, film
horor, dan lain sebagainya... kesemua itu tidak lagi dibawah kekuasaan,
dan ditundukkan hanya oleh satu sistem makna yang sentral saja. ”256
“Representasi-representasi budaya pada setiap level, dipandang oleh
‘kajian budaya’ sebagai suatu kelahiran (awal mula), mediasi
(perantaraan) dan penerimaan, atau produksi, distribusi, dan
konsumsi.”257
“Kajian budaya merupakan suatu studi inter-disipliner, yang
mengumandangkan tidak pentingnya asal-usul latar belakang disiplin
keilmuan dalam mengklaim unit analisisnya. Kajian ini mendorong
penelitian yang mempertemukan berbagai minat dalam disiplin ilmu
253
Ibid.
254
Ibid.
255
Ibid., hh. 146-147
256
Ibid., hal. 147
257
Ibid.
70
yang beragam, kajian ini juga memperkenalkan penjelasan tentang suatu
peralihan situasi ‘bisu’.”258
“Kajian budaya menolak nilai-nilai absolut—kajian ini juga menolak apa
yang diinginkannya (meskipun kadangkala kajian ini juga menunjukkan
apa yang diinginkannya!).”259
Daftar Pustaka
Selain dari pemikiran kebudayaan dari Sutan Takdir Alisjahbana,
Koentjaraningrat, Soedjatmoko, dan para penerjemah buku-buku kebudayaan
yang dijelaskan di atas, sebenarnya masih banyak pemikiran kebudayaan dari
filosof-filosof kebudayaan kita yang layak untuk dibahas, seperti Fuad Hassan,
Edi Sedyawati, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, serta Yusuf Bilyarta
Mangunwijaya. Demi keringkasan, pemikiran kebudayaan yang tidak dibahas
di sini akan diberikan daftar rujukan supaya para pembaca bisa membacanya
sendiri.
Fuad Hassan
Kita dan Kami: Suatu Analisa tentang Modus Kebersamaan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Berkenalan dengan Eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989).
Renungan Budaya (Jakarta: Balai Pustaka, 1991).
Manusia dan Citranya (Jakarta: Aries Lima, 1991).
Heteronomia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1992), cet-2.
Dimensi Budaya dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995).
Studium Generale (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998).
Edi Sedyawati
Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
Kumpulan Makalah (1993-1995), (Jakarta: Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1995-1996).
Kumpulan Makalah dan Sambutan (Jakarta: Dirjen Kebudayaan Depdiknas, 2001).
Warisan Budaya Takbenda: Masalahnya Kini di Indonesia (Depok: PPKBUI, 2003).
Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 & 2 (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008).
Budaya Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2010).
Kebudayaan di Nusantara (Depok: Komunitas Bambu, 2014).
Laut dan Kebudayaan (Bogor: Roda Bahari, 2014).
258
Ibid.
259
Ibid.
71
Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno & Hendar Putranto
Manusia dalam Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
Filsafat, Sastra, dan Budaya (Jakarta: Yayasan Obor, 1995).
Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2005).
Cultural Studies: Tantangan bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan (Jakarta: Koekoesan, 2008).
Ranah-Ranah Kebudayaan (Dalam Esai), (Yogyakarta: Kanisius, 2009).
Ranah Filsafat dan Kunci Kebudayaan (Yogyakarta: Galang Press, 2010).
Krisis Peradaban (Yogyakarta: Kanisius, 2013).
Membaca Rupa Wajah Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2014).
72
yang menteoritisasikan hal tersebut dalam suatu teoritisasi filosofis dalam
bingkai-kerja Filsafat Kebudayaan; Ferry Hidayat ikhlas berbakti untuk mengisi
“kekosongan teoritis” itu. Beliau yakin di masa depan akan banyak teoritisi-
teoritisi “Mazhab Sakral” yang lebih canggih dan lebih filosofis lagi darinya.
Untuk mereka itu, Ferry Hidayat hanyalah berfungsi tak lebih sebagai
“perambah jalan”.
Ferry Hidayat
Ferry Hidayat lahir di Kayu Manis, Jakarta Pusat pada 8
Desember 1973. Kini beliau berusia 48 tahun. Pernah
menjadi peneliti (researcher) pada lembaga kajian
Filsafat Perenialisme bernama Institute for Perennial
Studies (IPS) Ciputat, Jakarta Selatan, dari tahun 2004
hingga 2008. Pernah pula menjadi Dosen pada
matakuliah Pengantar Teori-Teori Filsafat, Filsafat
Estetika, Filsafat Etika, dan matakuliah Filsafat
Modernisme di Barat di Sekolah Tinggi Bahasa Asing
(STBA) Pertiwi, Bekasi, pada tahun 2015 hingga 2017.
Kini beliau adalah seorang pendidik ( ustadz) di Pondok
Modern Tazakka, Batang, Jawa Tengah.
Karya-karya filosofis beliau yang berkaitan dengan kebudayaan terdiri dari dua
buku mengenai kebudayaan dan sejumlah artikel-artikel kebudayaan dalam
jurnal-jurnal nasional dan internasional. Buku-buku beliau yang mengenai
kebudayaan berjudul Antropologi Sakral: Revitalisasi Tradisi Metafisik
Masyarakat Indigenous Indonesia (IPS Press, 2010) dan Budi: Suatu Studi Kritis
atas Definisi-Definisi (2006, manuskrip). Sedangkan artikel-artikel kebudayaan
beliau yang terbit di jurnal nasional dan internasional adalah: “Return to The
Cosmic Adat to Solve The Chaotic Present” (Majalah Ilmiah BINA WIDYA, Vol.16,
No. 3, Desember 2005, Universitas UPN "Veteran", Jakarta, hh. 249-260); “Adat”,
“Adat Babuhul Mati”, dan “Adat Babuhul Sentak” dalam Ensiklopedi Filsafat
Indonesia (https://sites.google.com/site/filsafatindonesia/Home/a); “Towards
Islamic Anthropology in an Indonesian Context: A Perennialist Epistemological
Perspective”, “Memahami Adat Nusantara Secara Paling Benar dengan Metode
Perenial”, “Adat: Sophia Perennis Suku-Suku Asli Indonesia”, “Tentang Budi,
Nur Muhammad, ‘Jiwa Dunia, ‘Intelek’, dan al-‘Aql al-Awwal”, “Antropologi
Sakral, Antropologi Profan”, “Budaya dalam Makna Sakral dan Makna Profan”,
“Adat Abadi, Adat Perennis” (semua di http://stba.academia.edu/FerryHidayat);
dan “On Budaya and The Re-sacralization of Indonesian Cultural Anthropology”
(Journal of Philosophy and Religion “PRAJNA VIHARA”, Vol.21, No.2, July –
December 2020, Assumption University of Thailand).
73
a. Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan”
Sebelum memaknai kata “kebudayaan”, Ferry Hidayat menekankan pentingnya
memahami kata “budi” terlebih dulu; karena pemahaman yang benar
mengenai “budi” berimplikasi langsung dan berdampak besar atas
pemahaman mengenai makna “kebudayaan”.
Kata “budi” terdapat dalam khazanah kebudayaan tanah air, yakni dalam Serat
Centhini 260 dan Serat Wirid Hidayat Djati.261 Dalam Serat Centhini, kata “budi”
berarti sesuatu yang memperantarai “wujud tanpa kahanan” (Formless Being)
dengan “kak sajati” (Reality); ialah manifestasi dari “Hyang Suksma” atau Tuhan:
Wujud tanpa kahanan puniki
Ing dalem kak sajati lantaran
Inggih budi lantarané
Sarupa wujud ing hu
Pan jumeneng Muhammad latip
Mustakik ing Hyang Suksma
Kenyatanipun
Budi wujud ing Hyang Suksma
Inggih budi inggih Hyang kang Mahasuci
Budi tatabonira.262
Sedangkan dalam Serat Wirid Hidayat Djati, kata “budi” berarti lapisan dalam
ke-2 setelah “manik” yang terletak di kepala manusia dan lapisan dalam ke-2
setelah “jantung” yang terletak di dada manusia. Mengenai “budi”,
Ranggawarsita menjelaskan:
Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Baitul Makmur, iku omah enggoneng
parameyaningsun, jemeneng ana sirahing Adam, kang ana sajroning sirah iku
dimak, iya iku utek, kang ana antaraning utek iku manik, sajroning manik iku budi,
sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa,
260
Banyak sekali penerbit yang menerjemahkan buku yang dikarang oleh Raja Pakubuwana V beserta pujangga-
pujangga istananya (Ranggasutrasna, Ranggawarsita I, dan Sastradipura) di abad ke-19 Masehi ini dari Bahasa Jawa ke
Bahasa Indonesia. Dalam buku ini, kami merujuk pada terjemahan P.J. Zoetmulder, dalam bukunya Pantheïsme en
Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur, berbahasa Belanda, terjemahan Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit
Gramedia, 1998, cet-3.
261
Buku karangan Ranggawarsita (1803-1875), pujangga istana Kasunanan Surakarta, cucu dari pujangga istana yang
bernama Yasadipura II di abad ke-19 Masehi.
262 Kutipan Serat Centhini dalam P.J. Zoetmulder, Pantheïsme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur,
terjemahan Dick Hartoko, Jakarta: Penerbit Gramedia, 1998, cet-3.
74
sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, ananging Ingsun Dzat kang
anglimputi ing kahanan jati…263
Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Baitul Muharram, iku omah enggoneng
lelaranganingsun, jemeneng ana ing dhadhaning Adam, kang ana ing sajroning
dhadha iku ati, kang ana ing antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi,
sajroning budi iku jinem, iya iku angen-angen, sajroning angen-angen iku suksma,
sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran,
ananging Ingsun Dzat kang anglimputi ing kahanan jati…264
(Sesungguhnya Aku [Tuhan] mempersiapkan sebuah mahligai dalam Baitul
Makmur, yaitu rumah tempat keramaianKu, terdiri dalam kepala manusia. Dalam
kepala ada dimagh, yaitu otak; di antara otak ada manik, di dalam manik ada budi,
di dalam budi ada napsu, di dalam napsu ada sukma, di dalam suksma ada rasa,
di dalam rasa ada Aku. Tak ada Tuhan kecuali Aku, Zat yang meliputi keadaan
yang sesungguhnya…
Sesungguhnya Aku [Tuhan] mempersiapkan sebuah mahligai dalam Baitul
Muharram, yaitu rumah tempat laranganKu, terdirikan dalam dada manusia.
Dalam dada ada hati, di antara hati ada jantung, di dalam jantung ada budi. Di
dalam budi ada jinem yakni angan-angan (imajinasi). Dalam angan-angan
(imajinasi) ada sukma, dalam sukma ada rasa, dalam rasa ada Aku. Tidak ada
Tuhan selain Aku, Zat yang meliputi keadaan yang sesungguhnya…)
263
Ranggawarsita, Serat Wirid Hidayat Djati, dari https://alangalangkumitir.files.wordpress.com/2011/05/serat-wirid-
hidayat-jati.pdf, hal. 4
264
Ibid.
265
Psikologi Tradisional adalah ilmu psikologi pra-modern, yakni psikologi spekulatif dan teoritis; psikologi yang belum
mewajibkan penyelidikan laboratoris sebagaimana diwajibkan oleh Wilhelm Wundt (1832-1920). Psikologi Tradisional
berisi teori-teori tentang intelek atau akal dalam buku-buku seperti De Anima karangan Aristoteles, Liber De Anima
karangan Tertullianus, Ratio Studiorum karangan santo-santo dalam Ordo Serikat Yesus, atau yang dijelaskan dalam
Opera Omnia karangan Franciscus Suárez, dsb.
266
Yakni intellectus, yang dipahami oleh Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae, atau al-‘aql sebagaimana dipahami
oleh Al-Farabi dalam Risalah fi’l-‘Aql.
75
"Budi makrokosmik" dalam Serat Centhini menyerupai "Buddhi" dalam
kosmologi aliran Samkhya dalam tradisi filosofis India. Dalam buku Bhagavad-
Gita disebutkan:
([Krisna menjawab Arjuna:] Secara ringkas aku sebutkan: pertama, Prakriti yaitu
alam semesta yang sebabnya tak nampak tapi karakternya terlihat; lalu lahirlah
Intelek [Buddhi], lalu lahirlah Ahamkara [keakuan]; lalu lahirlah [mahabhuta:]
tanah, air, dan eter, udara dan api;
Dan organ-organ pengetahuan [buddhindriya] dan organ-organ kerja
[karmendriya], serta jiwa manusia [manas]; dan lima obyek indria [tanmatra] yaitu
esensi suara, esensi bau, esensi sentuhan, esensi pengecap rasa;
Dan keinginan, rasa benci, kebahagiaan dan dukacita; terakhir adalah kesadaran
dan resolusi;
Gabungan itu bercampur dalam tubuh [mikrokosmik] ini. Semua unsur itu
merupakan aktifitas "Tubuh Besar" [Makrokosmos] dengan semua keterbatasan
dan perubahannya.)267
267
The Song of God: Bhagavad-Gita, terjemahan bahasa Inggris oleh Swami Prabhavananda & Christopher Isherwood,
New York: Mentor Books, 1960, cet-7, hh. 100-101
76
77
(Ayat 92: Telinga, kulit, mata, hidung, dan lidah adalah organ pengetahuan
[buddhindriya], karena ia membantu kita mengenali obyek-obyek; organ-organ
vokal, tangan, kaki, dsb., adalah organ kerja [karmendriya], karena
kecenderungannya untuk kerja.
Ayat 93-94: Organ psikis [Antahkarana] adalah Jiwa [Manas], Intelek [Buddhi],
Keakuan [Ahamkara] atau Hasrat Kesenangan [Chitta], menurut fungsinya
masing-masing. Jiwa [Manas] berfungsi menimbang-nimbang sisi positif-negatif
dari sesuatu; Intelek [Buddhi] berfungsi menentukan benar-palsunya obyek-obyek.
Keakuan [Ahamkara] berfungsi mengidentifikasi tubuh dengan diri seseorang,
sedangkan Hasrat Kesenangan [Chitta] berfungsi mencari obyek-obyek yang
menyenangkan.
Ayat 96: Lima organ kerja [karmendriya] seperti organ vokal dsb., juga lima organ
pengetahuan [buddhindriya] seperti telinga dsb., ... Intelek [Buddhi] dsb.
[Antahkarana], serta Kejahilan [Avidya], nafsu dan kerja--semua itu adalah
delapan "daerah" yang bersusun menjadi tubuh yang subtil.
Ayat 103: Organ psikis tadi [Antahkarana] memiliki tempat bersemayam di dalam
organ pengetahuan seperti mata, juga di dalam tubuh manusia, yang
menyesuaikan diri dengan organ-organ tersebut dan yang dilengkapi dengan sinar
dari Sang Wujud Kosmik [Atman].)268
268
Shankara, Viveka-Chudamani of Sri Sankaracharya: Text with English Translation, Notes and an Index, terjemahan
Bahasa Inggris oleh Swami Madhavananda, Dt. Almora: the Prabuddha Bharata Press, 1921, hh. 38-43
78
anagogis menaiknya "budi" di dunia menuju "Budi" di langit ( Ascension).
"Kebudayaan" adalah segala ciptaan manusia yang memungkinkannya kembali
dari Paran menuju Sangkan; dari Omega menuju Alpha.
Pahatan Mbis adalah produk budi orang Asmat di Papua yang sengaja
diciptakan untuk membangun hubungan sakral antara ‘budi mikrokosmik’ dan
‘Budi Makrokosmik’.
Karya-karya sastra Jawa yang tantristik dan siwaistik seperti tercermin dalam
kitab-kitab sastra spiritual Gatholoco, Darmoghandul, Centhini, dan Serat Wirid
Hidayat Jati adalah kebudayaan orang Jawa yang juga dibuat untuk
memperingati sejarah kosmik antara Bumi dan Langit; sejarah kosmik antara
‘budi mikrokosmik’ dan ‘Budi Makrokosmik’.
Tarian Tortor Tunggal Penaluan adalah kebudayaan yang dibuat orang Batak
yang ditarikan dengan hasrat cinta membara agar dapat terbang dan menaik
secara anagogis tuk berjumpa kembali dengan Batara Guru—Tuhan yang telah
terpisah darinya di era penciptaan alam semesta.
269
Secara kebahasaan, kata ‘adat’ hanya dikenal dalam budaya suku-suku asli yang dipengaruhi Islam. Orang Riau, orang
Minangkabau, orang Aceh dan orang Ambon menyebutnya ‘adat’; orang Bugis menyebutnya ‘ade’; orang Rembong di
Flores Barat dan orang Makasar di Sulawesi menyebutnya ‘adak’.
79
Manusia primitif yang hidup di Babakan Bali di abad 35 SM membuat
genderang perunggu (nekara) yang dilukisi dengan gambar bangau Cina.
Genderang itu ditabuh dan dipukul dengan penuh rasa kesakralan pada saat
mereka melakukan upacara ‘minta hujan’. Simbol ‘bangau Cina’ yang dilukis di
genderang adalah kebudayaan orang Bali Kuno yang berfungsi sebagai sarana
menaik secara anagogis menuju ‘Budi’ di langit.
b. Konsep-Konsep Filosofis
Walaupun telah tinggal di dunia dalam waktu lama, “masyarakat dunia” tidak
pernah melupakan asal-muasal mereka yang dari langit.270 “Masyarakat langit”
turun, memenuhi dunia, lalu menaik kembali ke langit. Turun sebagai "budi"
untuk menaik sebagai "kebudayaan".
270
Mitos turunnya Adam dan Eva dari Surga ke dunia dalam kebudayaan Semitik juga menegaskan asalmula manusia
dari suatu tempat teragung di atas dunia, yang terus jadi dambaan tempat pulang manusia.
80
…sebelum segalanya ada, terdapat suatu ruang kosong yang sangat luas yang
gelapnya lebih pekat daripada malam. Di dalam ruang ini terdapat suatu sarang
burung raksasa, yang melayang kesana-kemari, ditiup angin sepoi-sepoi. Di dalam
sarang itu terdapat ‘Elang Raksasa Langit’ (Beniak Lajang Langit). Di atas pundak
elang itu terdapat suatu ruh yang disebut Wook Ngesok. Wook Ngesok memiliki
dua lengan berupa batu karang; lengan kanannya disebut Batuq Rangkang Bulau
dan lengan kirinya disebut Batuq Ding Dingkikng. Di bahu sebelah kiri Wook
Ngesok terdapat suatu tempat yang disebut ‘segenggam bumi’ (Belikutn Tana) dan
‘segundukan langit’ (Bengkolokng Langit), sedangkan di bahu sebelah kanannya
terdapat tempat yang disebut ‘tanah kekuasaan’ (Tana kuasa) dan ‘segundukan
bumi’ (Bengkolokng Tana). Di tempat yang disebut ‘segenggam bumi dan
segundukan langit’, tumbuhlah delapan batang pohon Potukng Reyus. Di dekat
pepohonan itu, hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari delapan generasi;
semuanya hidup dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan di tempat yang
disebut ‘tanah kekuasaan dan segundukan bumi’, tumbuhlah delapan batang
pohon Nancang Suyatn. Di dekat pepohonan itu, hidup pulalah sebuah keluarga
yang terdiri dari delapan generasi; semuanya juga hidup dalam waktu yang
bersamaan. Generasi kedelapan dari keluarga yang hidup di bahu kiri Wook
Ngesok adalah seorang lelaki bernama Imang Mengkelayakng, sementara yang
hidup di bahu kanannya ialah seorang perempuan yang bernama Lolang Kintang.
Mereka berdua menikah dan membangun sebuah rumah besar yang luasnya
sebatas Batuq Rangkang Bulau dan Batuq Ding Dingkikng…271
Mitos kosmologis Suku Batak pun menjelaskan asalmula manusia yang dari
langit:
Pada mulanya tidak ada apa-apa. Di atas sana, di suatu ruang yang amat jauh,
yang tidak nampak oleh penglihatan dan tidak disangka-sangka manusia,
duduklah Debata, ‘Mula jadi na bolon’, sang dewa pencipta. Pada mulanya tidak
ada apa-apa di bawah tempat Debata, ‘Mula jadi na bolon’, duduk itu. Yang ada
hanya kehampaan yang sangat, yang diliputi oleh lautan luas dan alam arwah
(netherworld), hanya ada kehitaman yang pekat, kesunyian yang amat senyap,
tidak ada suara manusia, tidak ada suara binatang, apalagi suara desir angin yang
berhembus. Ombak di lautan bergulung-gulung tanpa suara; tidak ada pantai yang
dapat mencegah gulungannya. Hanya ada satu makhluk hidup yang
diperkenankan untuk menemani kesunyian sang keabadian yang Maha Kuasa—
manuk-manuk, yaitu ayam berbulu biru. Manuk-manuk ini, sang isteri dewa,
menetaskan tiga telur dan dari ketiganya lahirlah tiga dewa: Batara Guru,
Soripada, dan Mangala Bulan. Batara Guru pun menciptakan dunia dan
manusia…272
271
Michael Hopes, Madras & Karaakng, Temputn: Myths of The Benuaq and Tunjung Dayak, Jakarta: Puspa Swara & Rio
Tinto Foundation, 1997, h. 20
272
Mochtar Lubis, Indonesia: Land under the Rainbow, Oxford, New York, Singapore: Oxford University Press, 1990, h.
xiii
81
mengakibatkan o api menjadi oleo (matahari). O ombu memandang kepada oleo,
yang mengakibatkan oleo bergerak. Gerakan oleo inilah kemudian yang
menimbulkan o pua (angin). Selanjutnya o ombu menutup mata maka terjadilah
gelap segala yang terang. Gelap inilah yang menjadikan o wingi (malam).
Terjadilah siang dan malam. Kemudian o ombu mengupas dakinya dan
menggulungnya menjadi gumpalan dan dilemparkannya ke bawah dan itulah yang
kemudian menjadi wuta’aha (tanah yang luas, bumi). O ombu mencabut beberapa
lembar rambut dan bulunya dan dilemparkannya ke wuta’aha dan itulah yang
kemudian menjadikan tumbuh-tumbuhan di wuta’aha; sesudah itu o ombu
mengeluarkan beberapa kutunya dan dilemparkannya ke atas wuta’aha dan itulah
yang kemudian menjadikan hewan-hewan di wuta’aha. Agar tumbuh-tumbuhan
dan hewan-hewan dapat hidup di atas wuta’aha, o ombu membuang kencingnya
dan itulah yang kemudian menjadikan hujan. Segala peristiwa kilat dan guntur
serta apa yang dinamakan o lelu (gempa bumi) adalah wujud dari o ombu yang
menggerakkan dirinya.273
Kosmologi suku Jawa diterangkan dalam Serat Centhini dan Serat Wirid
Hidayat Djati, sebagaimana berikut:
... jumeneng sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono wahananing alam ahadiyat,
alam wahdat, alam wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil, dadining
manungsa sampurna...276
273
Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), cet-2, hh. 217-218
274
sebagaimana dikutip P.J. Zoetmulder dalam bukunya, Pantheïsme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur,
terj. Indonesia oleh Dick Hartoko, Jakarta: Penerbit Gramedia, 1998, cet-3, hh. 108-110
275
Ibid., hh. 249-253
276
Ranggawarsita, Serat Wirid Hidayat Djati, dari https://alangalangkumitir.files.wordpress.com/2011/05/serat-wirid-
hidayat-jati.pdf, hh. 4-5
82
Wujud tanpa keberadaan itu
di tengah-tengah kenyataan sejati
memiliki perantara ialah budi
yang serupa dengan wujud Dia
adapun budi itu Muhammad yang rohani
perwujudan Hyang Suksma
serta manifestasiNya
Budi itu wujudnya Hyang Suksma
Budi itu ialah Yang Mahasuci
Budi ialah tempat kedamaiannya.
... maka mula-mula sebagai nukat (titik) gaib, kemudian turun menjadi johar awwal. Di situlah
adanya Alam Ahadiyat, Alam Arwah, Alam Wahidiyat, Alam Misal, Alam Ajsam, dan Alam Insan
kamil, yakni manusia yang sempurna...)
Ado pun
tatkalo bumi
akan takambang,
tatkalo Adam
akan ditampo;
Akan manunggui
isi bumi dunia
anak-cucu Adam alaihissalam,
dan yang jadi rajo
iyolah anak Adam
yang bungsu...
Mako,
sagalo malaikat itu
paragi kepado
anak Adam itu.
Mako,
samo-samo mamapat
tangannyo dan kainnyo.
Mako,
mamandang Adam
sarato Hawa anak-beranak
kapado langit...
Mako,
maminta doa iyo
Kepada Allah,
"Yo, Allah;
Yo, Rabbul alamin,
partamukan juo ambo
sarato anak-cucu ambo."
Mako,
ampirlah turun
83
ka dunia...
Mako,
bargarak bumi
samoanyo
--antarah-barantah
rasonyo alam.
Sabab,
itulah banamo
Tanah Rum.
Mako,
berkato sagalo
anak Adam yang tinggal
sarato ibu-bapaknyo...
Mako,
malaikat itu pun
manurun anak Adam itu
ka bumi yang suci.277
(Ada pun
tatkala bumi
akan diciptakan,
tatkala Adam
akan ditempa;
Akan menunggui
isi bumi dunia
anak-cucu Adam alaihissalam,
dan yang jadi raja
ialah anak Adam
yang bungsu...
Maka,
semua malaikat pun
pergi kepada
anak Adam itu.
Maka,
sama-sama memepat
tangannya dan kainnya.
Maka,
memandanglah Adam
serta Hawa anak-beranak
kepada langit...
Maka,
meminta doa ia [Adam]
kepada Allah:
"Ya, Allah;
277
Tambo Minangkabau, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Darman Moenir & Boestami, dimuat dalam Subagio
Sastrowardoyo & A. Kasim Achmad, Anthology of Asean Literature: The Islamic Period in Indonesian Literature, Volume
III, Jakarta: The ASEAN Committee on Culture and Information, 1989, hh. 122-131
84
Ya, Rabbul Alamin,
pertemukan juga hamba
serta anak-cucu hamba."
Maka,
diturunkan ia
ke dunia...
Maka,
bergoncanglah bumi
semuanya
--tak keruan
alam terasa.
Akibatnya,
muncul tanah yang bernama
Tanah Rum.
Maka,
semua anak Adam tinggal
bersama ibu-bapaknya...
Maka,
malaikat pun
menurunkan anak Adam
ke bumi [Tanah Rum] yang suci itu.)
Fitnah Kebudayaan
Fitnah kebudayaan adalah pandangan palsu mengenai suatu kebudayaan yang
dibuat oleh pihak luar yang membenci kebudayaan itu. Tujuannya ialah (1) agar
orang-orang ikut membenci kebudayaan itu, dan (2) agar anggota masyarakat
yang kebudayaannya difitnah itu terpengaruh dengan fitnah itu dan akhirnya
ikut membenci kebudayaannya sendiri.
Adat yang oleh agama baru [Kristen] disebut kekafiran dan jahiliyah masih
berkuasa kuat dalam jiwa. Ayah sendiri tetap melaksanakan rukun kepercayaan
aslinya...
Lembah Silindung adalah pangkalan zaman baru untuk Tanah Batak. Di sanalah
misionaris Nommensen mendirikan gereja pertama di pertengahan abad ke-19,
sebelum ke daerah Toba-Balige di akhir abad itu. Sekolah-sekolah pertama,
pendidikan pendeta dan guru agama didirikan di situ pula. Juga pangkalan
kekuasaan Belanda.
Penduduk lembah masih memakai sistem marga, yang disesuaikan dengan
tatacara gereja: pemujaan arwah nenek moyang berikut segala ritual dan
keseniannya sudah dilarang dan hapus. Di seluruh lembah tidak ada satu pun lagi
rumah arsitektur tradisional...
278
N. Graafland, De Minahasa: Haar verleden en haar tegenwoordige toestand, terj. Indonesia oleh Lucy R. Montolalu,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal. 119
86
Di samping sarana pendidikan dan pengobatan modernnya yang diterima oleh
penduduk sebagai kemajuan, gereja menciptakan suasana ambivalen oleh
prasangka pendeta dengan kebudayaan asingnya. 279
Fitnah kebudayaan yang juga populer ialah fitnah bahwa masyarakat pribumi
tidak beradab atau tidak berkebudayaan. Dalam konteks Indonesia, fitnah ini
disebarluaskan oleh penjajah Belanda. Mereka menilai bahwa level peradaban
masyarakat pribumi terjajah berada pada level yang paling rendah, sehingga
mereka pun membangun lembaga sosial baru yang disebut "School" (yang
disesuaikan penyebutannya jadi "Sekolah") untuk meninggikan peradabannya
supaya setara dengan peradaban sang penjajah.
Contohnya ialah fitnah kebudayaan yang disebarluaskan oleh N. Graafland di
tengah-tengah masyarakat Minahasa di abad 19 Masehi:
Penganiayaan Kebudayaan
Penganiayaan kebudayaan ialah tindakan fisik atau aktifitas fisik yang
bertujuan untuk menghinakan kebudayaan suatu masyarakat, menyudutkan
keberadaan masyarakat yang berkebudayaan tertentu, bahkan untuk
menghapus keberadaan mereka melalui pembunuhan. Penganiayaan
kebudayaan adalah tindakan lebih lanjut dan akumulasi kebencian paling akhir
dari fitnah kebudayaan.
279
Sitor Situmorang, Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hh.
25-46
280
N. Graafland, De Minahasa: Haar verleden en haar tegenwoordige toestand, terj. Indonesia oleh Lucy R. Montolalu,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, hh. 303-304
87
Penganiayaan kebudayaan jenis pertama ialah kompetisi; mempermalukan
dengan cara duel. Pihak yang membenci kebudayaan tertentu berduel dengan
anggota masyarakat dari kebudayaan yang dibencinya, dan apabila anggota
masyarakat itu kalah dalam kompetisi itu, maka semua anggota masyarakat
dari kebudayaan itu dipaksa mengikuti kebudayaan si pemenang duel.
Contohnya ialah duel seorang da’i (pendakwah Muslim), Dato’ di Tiro, dengan
ketua masyarakat Kajang bernama Ammatoa. Ammatoa kalah dalam duel
tersebut, maka Ammatoa dan seluruh anggota masyarakat Kajang pun dipaksa
konversi ke kebudayaan Islam.281
285
Asman Aziz, “Multikulturalisme Wawasan Alternatif Mengelola Kemajemukan Bangsa”, dalam Jurnal Dialog
Peradaban TITIK-TEMU, Vol.2, No.1, Juli-Desember 2009, Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), hh. 101-102 (f.20).
286
“Towani-Tolotan, Nasibmu Kini”, dalam Majalah Kebudayaan DESANTARA, Dialog Agama dan Kebudayaan, Edisi 03,
Tahun II, Depok: Desantara Utama, 2002, hh. 17-18
89
Maka pecahlah perang antara raja-raja Tanah Datar dengan pihak Pidari. Banyak
pula terbunuh dan raja lari menyelamatkan diri ke daerah lain…287
Pembebasan Kebudayaan
Pembebasan kebudayaan ialah kondisi terbebasnya suatu masyarakat
kebudayaan dari fitnah-fitnah kebudayaan dan penganiayaan-penganiayaan
kebudayaan dari pihak yang membencinya.
Pluralisme Kebudayaan
Semua kebudayaan berasal dari Sang Sumber; maka, tak boleh ada fitnah
kebudayaan dalam bentuk apapun dan tidak boleh ada penganiayaan
kebudayaan dalam bentuk apapun; semua kebudayaan layak hidup dan semua
287
Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hh. 394-395
90
kebudayaan bebas hidup di dunia, karena semua kebudayaan adalah
manifestasi “Budi makrokosmik” di langit.
Kesadaran bahwa kebudayaan itu plural ditegaskan pula dalam peribahasa kita:
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya (suku Melayu)
Ciri sabumi, aturan sadesa (suku Sunda)
Peribahasa “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” maksudnya ialah
setiap tempat (“ladang” dan “lubuk”) memiliki kebudayaan tersendiri
(“belalang” dan “ikan”), yang harus dihormati, diketahui, dilindungi, dijamin
kebebasannya dari segala jenis fitnah kebudayaan dan penganiayaan
kebudayaan.
Peribahasa “ciri sabumi, aturan sadesa” maksudnya ialah kebudayaan (“ciri” dan
“cara”) sungguh plural; pluralitasnya selebar desa dan seluas bumi ini. Maka,
setiap anggota kebudayaan mesti menghormati, mesti mengetahui, mesti
toleransi, dan tidak boleh menyebarkan fitnah kebudayaan dan penganiayaan
kebudayaan atas kebudayaan-kebudayaan lainnya.
Peribahasa “misa kada dipotuo, pantan kada dipomate” berarti “satu kata kita
hidup, banyak kata kita mati”. Maksudnya ialah kebudayaan yang plural harus
bersatu; jika bercerai-berai, kebudayaan yang plural akan mengalami kerugian.
91
Peribahasa “tasdow iwud, ne itnem ra’ad” berarti “kita merundingkan perut,
kita mempersatukan hati”. Maksudnya ialah masyarakat kebudayaan yang
plural mesti disatukan hatinya agar bisa toleransi, bisa mengerti, dan bisa
menghormati satu sama lain.
Peribahasa “mai tamanatol pia-pia lotayana hai do jafai” artinya “mari bersama-
sama melihat bangsa baik-baik dan bersatu membangunnya”. Maksudnya ialah
peribahasa ini mengajak seluruh kebudayaan untuk menyadari pentingnya
suatu bangsa dan pentingnya bersatu untuk membangun bangsa itu.
Keabadian Kebudayaan
dan Perubahan Kebudayaan
Kebudayaan terbagi menjadi dua: (1) kebudayaan yang tetap, tidak boleh
berubah, dan tidak boleh diubah (abadi); dan (2) kebudayaan yang boleh
diubah dan boleh berubah (temporer).
Adat tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan (suku Melayu)
Adat dipakai baru, pakaian dipakai usang (suku Melayu)
Rusak taro datuk, tenrusak taro ade’ (suku Bugis)
Adat lama, pusaka usang (suku Melayu)
Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah (suku Melayu)
Adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung (suku Melayu)
Peribahasa “adat tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan” maksudnya ialah
kebudayaan atau adat dari suatu masyarakat berkarakter abadi; tidak mengenai
92
perubahan aksidental, seperti perubahan musim, perubahan waktu, perubahan
rezim politik, dsb.
Peribahasa “rusak taro datuk, tenrusak taro ade’” maksudnya ialah kebudayaan
atau adat dari suatu masyarakat bersifat eternal; tidak berubah walau raja
berubah-ubah; tidak berubah walau opini legal berubah-ubah.
Peribahasa “adat lama, pusaka usang“ maksudnya ialah kebudayaan atau adat
dari suatu masyarakat bersifat abadi. Keabadian kebudayaan dibandingkan
dengan harta pusaka; kebudayaan tidak pernah usang, sedangkan harta pusaka
bisa usang, bisa rusak, bisa berkarat, dan bisa hancur.
Suku Minangkabau membagi kebudayaan ke dalam dua jenis: (1) adat babuhul
mati; dan (2) adat babuhul sentak. “Adat babuhul mati” adalah kebudayaan
yang tidak boleh berubah dan tidak boleh diubah; tetap dan abadi. Sedangkan
“adat babuhul sentak” adalah kebudayaan yang tidak tetap, boleh berubah dan
boleh diubah, disesuaikan dengan keperluan-keperluan temporer.
"Adat babuhul mati" adalah adat atau kebudayaan yang disimpul dengan
simpul mati, sebagaimana benda yang diikat tali dengan simpul mati: susah
diubah, sulit diurai, tak bisa dilepas dengan mudah. Ialah adat yang diikat kaku,
93
yang tak boleh lepas ikatannya dalam kondisi dan situasi apapun. Seperti "adat
sebenar adat" dalam suku Riau, ‘adat babuhul mati’ dalam suku Minang inipun
tidak boleh berubah dan diubah, karena ia berasal dari Ilahi yang telah
mengutus semua nabi-nabiNya untuk mengajarkannya kepada manusia. "Adat
babuhul mati" bermula dari nabi Adam yang diteruskan keberlakuannya
hingga kepada generasi sekarang. Karena berasal dari nabi Adam dan tidak
boleh diubah, maka “adat babuhul mati” merupakan mata-rantai risalah
profetik yang sengaja dilestarikan ketersambungannya hingga akhir zaman.
Ialah adat atau kebudayaan dari "Budi makrokosmik" di langit.
Kebalikan dari ‘adat babuhul mati’ adalah ‘adat babuhul sentak’, yaitu adat atau
kebudayaan yang disimpul dengan ikatan yang gampang terbuka hanya
dengan sekali sentak atau sekali gerak. Ialah adat atau kebudayaan yang diikat
dengan ikatan yang longgar dan gampang terbuka. Karena disimpul dengan
simpul tali yang longgar, maka kebudayaan jenis ini dapat diubah-ubah,
disesuaikan dengan kebutuhan lokal, dan diperbarui demi mengikuti
perkembangan sosio-historis. Ialah kebudayaan dari "budi mikrokosmik" di
bumi.
Bedanya dengan "adat babuhul mati", "adat babuhul sentak" ini merupakan
manifestasi sosial-historis atau ekspresi sosial-historis di bumi dari ‘adat
babuhul mati’ yang di langit; ia merupakan interpretasi sosial-historis dari
‘Hukum Kosmik’ yang kekal. Sebagai interpretasi sosial-historis "budi
mikrokosmik" di bumi, maka "adat babuhul sentak” dapat berubah melalui
mekanisme musyawarah.
Sedangkan suku Riau membagi kebudayaan ke dalam tiga jenis: (1) adat
sebenar adat; (2) adat yang teradat; dan (3) adat yang diadatkan.
“Adat sebenar adat” adalah kebudayaan yang abadi, yang tidak boleh berubah
dan tidak boleh berubah, sedangkan dua kebudayaan lainnya (“adat yang
diadatkan” dan “adat yang teradat”) bersifat tidak tetap, boleh berubah dan
boleh diubah.
"Adat sebenar adat" ialah adat atau kebudayaan yang tidak berubah oleh
kondisi dan situasi apapun, karena berasal dari Yang Ilahi. Ialah kebudayaan
dari "Budi makrokosmik" di langit. Sedangkan dua jenis kebudayaan yang
lainnya ("adat yang teradat" dan "adat yang diadatkan") dapat berubah, karena
dibuat untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Ialah kebudayaan yang
diciptakan dari "budi mikrokosmik" di bumi.
94
"Adat sebenar adat" ialah tata-kosmik dari "Budi makrokosmik" di langit. Ialah
adat atau kebudayaan yang sejati yang tidak boleh berubah dan diubah, karena
ia berasal dari Ilahi yang telah mengutus semua nabi-nabiNya untuk
mengajarkannya kepada manusia. "Adat sebenar adat" bermula dari nabi Adam
yang diteruskan keberlakuannya hingga kepada generasi sekarang. Karena
berasal dari nabi Adam dan tidak boleh diubah, maka “adat sebenar adat”
merupakan mata-rantai risalah profetik yang sengaja dilestarikan
ketersambungannya hingga akhir zaman.
Sedangkan "Adat yang teradat" adalah adat atau kebudayaan yang spontan
ada; berasal dari inovasi seseorang yang munculnya tiba-tiba; saat ia
diperlukan maka mendadak muncullah ia. Ia timbul dari kejeniusan seseorang.
Ialah berasal dari "budi mikrokosmik" di bumi. "Adat yang teradat" dijelaskan
dalam peribahasa suku Riau sbb:
Adat yang teradat
Datang tidak bercerita
Pergi tidak berkabar;
Adat disarung tidak berjahit
Adat berkelindan tidak berjahit
Adat berjarum tidak berbenang
Yang terbawa burung lalu
Yang tumbuh tidak ditanam…
"Adat yang diadatkan" adalah adat atau kebudayaan yang dihasilkan dari
musyawarah komunal suatu suku. Jika ada keperluan sosial yang mendesak,
maka anggota suku etnis akan bermusyawarah segera; hasil musyawarah
tersebut jadi keputusan yang mengikat semua anggota suku tersebut; jadi
kebudayaan suku tersebut yang harus dipatuhi bersama-sama. Ialah adat atau
kebudayaan yang diciptakan oleh "budi mikrokosmik" di bumi. "Adat yang
diadatkan" diterangkan dalam peribahasa suku Riau sbb:
Adat yang turun dari raja,
Adat yang tumbuh dari datuk,
Adat yang cucur dari penghulu,
Adat yang lahir dari mufakat,
Putus mufakat ia berobah.
95
Contoh perubahan kebudayaan ialah dalam tarian dan pahatan. Umpamanya,
tari kecak di Bali. Gerakan-gerakan tarinya, format duduknya penari, dan
teriakan yang keluar dari mulut penarinya boleh saja diubah, karena ia hanya
merupakan "kebudayaan yang dikebudayaankan"; akan tetapi komunikasi dan
penyatuan (communion) dengan Yang Ilahi yang merupakan tujuan ultimat tari
kecak adalah "kebudayaan sebenar kebudayaan" yang tidak boleh diubah-
ubah; itulah "adat sebenar adat" yang abadi.
Contoh lainnya ialah tari Tunggal Penaluan suku Batak. Gerakan tarinya, format
barisan penarinya, tongkat yang dipakai penari, dan mantera yang dikomat-
kamitkan penarinya boleh saja berubah atau diganti-ganti, karena ia hanyalah
"kebudayaan yang dikebudayaankan"; akan tetapi komunikasi dan penyatuan
dengan Yang Ilahilah yang merupakan "kebudayaan sebenar kebudayaan"
abadi yang tak pernah diubah dan tak pernah diganti.
Contoh lainnya ialah patung mbis suku Asmat di Papua. Motif ukirannya,
simbolisme motifnya, dan posisi vertikal patungnya boleh diganti dan diubah
karena ia adalah "kebudayaan yang dikebudayaankan", tapi komunikasi dan
penyatuan dengan Yang Sakrallah yang merupakan "kebudayaan sebenar
kebudayaan" abadi yang tidak boleh berubah dan tidak boleh diubah.
Jika seumpama tari saman dari Aceh rupanya tidak menyebabkan penarinya
serta penontonnya mengalami ‘kesadaran kosmik’ sedangkan tari whirling
dervishes dari Persia dan tari belly dance dari Mesir bisa, maka tidak ada
salahnya tari saman digantikan oleh dua tari yang disebut terakhir itu. Tarian
hanyalah sekadar "kebudayaan yang dikebudayaankan", sedangkan
komunikasi dan penyatuan dengan Sang Kosmos adalah "kebudayaan sebenar
kebudayaan" yang tidak boleh diubah-ubah.
Contoh perubahan kebudayaan yang lain adalah dalam hal upacara adat.
Misalnya, upacara cabut gigi di Bali. Seumpama makna sakral-spiritual upacara
cabut gigi di Bali telah hilang dalam ingatan manusia Bali Modern dan yang
tinggal dipahami hanyalah upacara glamor dengan atribut-atributnya yang
profan demi keuntungan material bidang pariwisata, maka upacara tersebut
dapat diganti dengan upacara lain yang sedianya dapat membangkitkan
kembali makna spiritualnya yang abadi, walaupun upacara itu harus berubah
bentuk secara drastis dan dramatis. Upacara-upacara hanyalah "kebudayaan
yang dikebudayaankan", sedangkan tujuan ultimat dari upacara itulah (yakni,
kepatuhan akan tata-kosmik) yang merupakan "kebudayaan sebenar
kebudayaan", yang tak boleh berubah dan diubah.
96
Demikian pula jika seumpamanya mitologi dan legenda telah kehilangan
makna kebijaksanaannya, maka dapatlah dibuat mitologi dan legenda baru
untuk mengembalikan makna kebijaksanaannya yang abadi. Itu pernah
dilakukan oleh pencipta legenda ‘Bubukshah dan Gagang Aking’ dalam
kebudayaan Sunda. Pencipta legenda ini melakukan perubahan fundamental
terhadap kebudayaan yang mengajarkan vegetarianisme, ketika makna
vegetarianisme dipahami secara profan oleh masyarakat di zamannya. Dalam
legendanya, ia secara implisit mengritik seorang veggie (Gagang Aking) yang
mempraktekkan vegetarianisme tapi tak lagi mengenali makna sakral dari
praktek itu, dengan cara menampilkan sosok seorang rakus-pemakan-segala-
daging (Bubukshah) yang justru memahami makna sakral-esensial dari praktek
itu, sehingga si rakuslah yang berhasil masuk Nirwana, bukannya veggie itu.
Dengan pembuatan mitos-mitos baru seperti itu, mitologi dan legenda bisa
terus-menerus dihidupkan kembali dari kematian maknanya.
“Adat sebenar adat” atau “adat babuhul mati” yang diterangkan di atas tidak
boleh diubah-diubah dan tak boleh berubah-ubah, apapun alasannya dan
apapun kondisinya. Larangan mengubah “adat sebenar adat” atau “adat
babuhul mati” ditegaskan dalam peribahasa-peribahasa suku etnis kita:
Ojo dhemen anyar (suku Jawa)
Meunyoe ka ta’uet bek le toule. Ranueb na seupah jimita (suku Aceh)
Kalau hidup tiada beradat, disitulah tanda Kiamat (suku Melayu)
Imbaca jida kawa, ilingkang jida tau (suku Bakumpai)
Enda tau belangit kedihe’ (suku Daya Suhaid)
Cupak ‘lah tatagak, surilah takambang (suku Minangkabau)
Peribahasa “ojo dhemen anyar” (‘jangan suka hal-hal yang baru’) maksudnya
suku Jawa melarang generasi mudanya untuk mengubah “adat sebenar adat”
mereka dengan adat atau kebudayaan yang baru.
Peribahasa “meunyoe ka ta’uet bek le toule” (‘kalau sudah ditelan, jangan lagi
dimuntahkan’) maksudnya suku Aceh melarang generasi mudanya untuk
membuang atau menolak “adat sebenar adat” yang sudah lestasi sejak dulu.
Sedangkan peribahasa “ranueb na seupah jimita” (‘sirih ada, sepah dicari’)
maksudnya suku Aceh melarang generasi mudanya untuk mengubah-ubah
“adat sebenar adat” yang sudah lestari sejak lama dengan adat atau
kebudayaan asing.
97
Peribahasa “imbaca jida kawa, ilingkang jida tau’” (‘dibaca tidak bisa, tapi
dilangkahi tidak boleh’) maksudnya suku Bakumpai di Kalimantan Selatan
melarang generasi mudanya untuk membuang “adat sebenar adat” suku
tersebut, meskipun mereka sudah tidak mengerti dan mengenali “adat sebenar
adat” suku itu.
Peribahasa “enda tau belangit kedihe’” (‘tidak bisa hidup dengan langit sendiri’)
maksudnya suku Daya Suhaid di Kalimantan Barat melarang generasi mudanya
untuk membuat “adat sebenar adat” seenaknya sendiri dan seenaknya rasa
sendiri, serta tidak boleh mengubahnya dengan seenaknya saja.
Peribahasa “cupak ‘lah tatagak, surilah takambang” (‘adat telah tertegak, suri
telah terkembang’) maksudnya suku Minangkabau menegaskan kepada
generasi mudanya bahwa “adat sebenar adat” sudah ada lestari dan
penerapannya pun sudah dilakukan oleh semua orang, maka tidak ada alasan
bagi mereka untuk membuangnya, menolaknya, atau mengubah-ubahnya.
Dengan kategorisasi kebudayaan ala suku Minangkabau dan suku Riau seperti
di atas, di samping menjaga kebudayaan secara ketat dan hati-hati, semua
masyarakat kebudayaan juga bisa menerima pembaruan-pembaruan
kebudayaan, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keperluan temporer
masyarakat itu.
Pembedaan Kebudayaan
Pembedaan kebudayaan ialah segala upaya yang dilakukan untuk
membedakan mana paham kebudayaan yang bersifat sakral dan mana paham
kebudayaan yang bersifat profan/antisakral.
98
Di bawah ini adalah beberapa pembedaan kebudayaan yang harus dilakukan
oleh setiap masyarakat kebudayaan:
1. Pembedaan antara “budi” yang dipahami “Mazhab Profan” dan “budi”
yang dipahami “Mazhab Sakral”.
2. Pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami “Mazhab Sakral”
dengan “kebudayaan” yang dipahami “Mazhab Profan”.
3. Pembedaan antara “budi” dengan “rasio” atau “nalar”.
4. Pembedaan antara “kebudayaan” dengan “culture”, “kultuur”, atau
“cultuur”.
5. Pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami oleh khazanah
kebudayaan kita dan “kebudayaan” yang dipahami oleh “Humanities”.
6. Pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami “Cultural
Anthropology” dengan “kebudayaan” yang dipahami khazanah
kebudayaan kita.
7. Pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami oleh “Cultural Studies”
dengan “kebudayaan” yang dipahami oleh khazanah kebudayaan kita.
8. Pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami oleh “Ilmu Budaya
Dasar” dan “kebudayaan” yang dipahami khazanah kebudayaan kita.
9. Pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami seorang “budayawan”
dengan “kebudayaan” yang dipahami oleh seorang “cultural thinker”.
10. Pembedaan antara “Kebudayaan Daerah” dan “Kebudayaan Nasional”.
99
adalah sekaligus intelek yang Tuhan imanenkan dalam kepala dan dada
manusia (“budi mikrokosmik”).
“Budi makrokosmik” dan “budi mikrokosmik” ini terus berhubungan satu sama
lain dengan keterhubungan yang abadi, karena “manusia bumi” berasal-mula
dari “manusia langit”, dan “budi mikrokosmik” berfungsi mengantar manusia
secara anagogis dari bumi ke “Budi makrokosmik” di langit; dari Paran ke
Sangkan atau dari Omega ke Alpha.
100
Pembedaan kebudayaan yang keenam ialah pembedaan antara “kebudayaan”
yang dipahami oleh “Cultural Anthropology” dengan “kebudayaan” yang
dipahami oleh khazanah kebudayaan kita. Sebagaimana “Humanities”,
“Cultural Anthropology” memahami “kebudayaan” sebagai fenomena
kemanusiaan; ia adalah produk nalar manusia yang ditujukan untuk
menaklukkan alam demi kejayaan dan kemakmuran manusia. Sedangkan
khazanah kebudayaan kita tidaklah sama sekali memahami “kebudayaan”
sebagai alat menaklukkan alam demi kejayaan duniawi manusia lantaran
kejayaan duniawi bukanlah kejayaan hakiki yang dituju oleh “kebudayaan”;
kejayaan hakiki adalah menaik secara anagogis ke langit ke pangkuan “Budi
makrokosmik”. Khazanah kebudayaan kita memahami kebudayaan sebagai
satu-satunya transportasi bagi “budi mikrokosmik” untuk terbang secara
anagogis ke “Budi makrokosmik” di langit.
Ikhtisar Filsafat
Karena “budi” dalam khazanah kebudayaan kita disamakan artinya dengan
“adat” dan “buddhi”, maka implikasi-implikasinya adalah sebagai berikut:
a) “Kebudayaan” dipahami Ferry Hidayat seluruhnya dalam konteks
kosmologis dan psikologis “budi” dalam khazanah budaya negeri sendiri;
b) “Kebudayaan” dipahaminya dalam konteks kosmologis dan psikologis
“buddhi” dalam khazanah filosofis India;
c) “Budi” dalam khazanah kebudayaan kita dan tradisi filosofis India adalah
berbeda jauh dengan “akal”, “rasio”, “akal budi”, dsb. dalam bahasa
Indonesia populer.
d) Makna “kebudayaan” dan makna “kultur” tidak serupa dan tidak sekali-
kali sama.
e) Makna “kebudayaan” dalam “Mazhab Sakral” tidak bisa dikaitkan dengan
makna “culture”, “kultuur” dan “cultuur” dalam “Mazhab Profan”.
f) Semua kajian-kajian mengenai budaya dalam khazanah kebudayaan kita
pun tidak bisa diterjemahkan dengan Cultural Studies.
102
g) Arti “budayawan” berbeda jauh dari arti “cultural thinker”.
h) “Antropologi Budaya” berbeda jauh dari Cultural Anthropology.
i) Semua hal yang mengenai kebudayaan dalam “Ilmu Budaya Dasar”
tidaklah sama dan tidak serupa dengan semua hal yang mengenai
budaya dalam khazanah kebudayaan kita.
103