Buku Jejak Peradaban Sad

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 186

Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

JEJAK PERADABAN
MASYARAKAT PEDALAMAN JAMBI
SUKU ANAK DALAM

(SUATU UPAYA PEMBINAAN DAN PEMBERDAYAAN)

DISUSUN OLEH
BUDHI VRIHASPATHI JAUHARI
DR. ARISLAN SAID, M.Pd.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Penulis:
Budhi Vrihaspathi Jauhari
Dr. Arislan Said, M.Pd

Nara sumber:
Drs. H. Junaidi T. Nur, M.M.
Drs. H. Fachrudin Saudagar, M.Pd
Drs.Joni Mardizal,MM
Dr.H.Solahuddin Lubis
H.A.Thalib,BA
Ir.Joko Susilo
Hendrianto, S.Sos.

Kurator:
Fadil Iskandar, S.E., M.M
Drs.Sarifudin,MM
Drs. H. Yuneldi Yunis Koto, M.Pd.
Antri Mariza Qadarsih,S.Sos
Zulefendi,S.Pd
Slamet Edi Sucipto, S.Pd.
Mursalin,S.Ag
Restu Riadi Fahmi
Antien Kurniawati,S.Stp
Muhammad Yani, A.Md.
H. M. Najmi, S.Pd.

Kerabat Kopsad :
Efrianto,S.Pd.M.Pd
Jufri Aziz,S.Ip
Kudus Samah,S.Ag
Asro al Murthawy
Sugimin
Feri Ferdian
Zulifianti,S.Pd
Jufri Aziz,S.Ip
Suhardi Sohan,SH
Savina
Ismawati
Aditya Maha Putra
Nurul Anggraini Pratiwi

Editor :
Indratno, S.Pd.
Antoni Pasaribu

Lembaga Swadaya Masyarakat

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Kelompok Peduli Suku Anak Dalam


LSM Kopsad
Sekretariat
Jl.Sultan Hasanuddin.Lrg Cenderawasih RT 15.No 99.Email [email protected]. HP 081281316234
Kelurahan Pematang Kandis Bangko- Merangin Jambi,37314
Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah Subhanahuwataala,


karena berkat Hidayah-Nyalah yang telah meneguhkan hati dan menguatkan pikiran untuk
terus merampungkan buku ini sampai menerbitkannya.Namun dengan keberanian untuk
menerbitkannya belum matang,karena semakin dibaca,semakin terasa banyak kekurangan
dan banyak pula yang harus di buang,dan atau ditambah dengan data dan pemikiran
baru.Sementara energi yang dimiliki terbatas,sehingga ide untuk menerbitkan buku “Jejak
Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi“ berhasil penulis rampungkan. Salah satu cita-cita besar
penulis sebagai aktifis pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam di Propinsi
Jambi adalah ”berobsesi” untuk menerbitkan buku tentang mereka dan kegiatan pembinaan dan
pemberdayaan yang penulis lakukan bersama kawan-kawan para relawan yang didukung dan
dibantu oleh pemerintah daerah dan dunia usaha.
Meskipun harus tertatih-tatih di antara banyak persoalan yang penulis hadapi, sebagai
aktifis yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan penulis merasa berhutang budi
kepada banyak pihak dan secara moral penulis merasa bertanggung jawab untuk
memaparkan kondisi objektif yang saat ini dirasakan oleh saudara-saudara kita Suku Anak
Dalam yang sebagian besar masih hidup mengelana di rimba yang kini semakin tak rimbun lagi
Buku ini ditulis untuk menggambarkan secara singkat tentang kehidupan mereka
yang dikenal masyarakat hanters gatheres yang tinggal di kawasan Taman Nasional Bukit
Dua Belas dan kantong pemukiman di kawasan pemukiman mereka di Kabupaten Sarolangun
dan di sejumlah pemukiman di wilayah Kabupaten Merangin.
Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin merupakan kabupaten yang
termasuk dalam wilayah Propinsi Jambi yang memiliki potensi kekayaan alam
yang besar termasuk potensi di bidang pariwisata, seni, dan budaya, bahkan di dalam
kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas Kabupaten Sarolangun dan di sejumlah

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

kawasan terpencil di Kabupaten Merangin, hingga saat ini masih memiliki kelompok
masyarakat peninggalan budaya masa lampau yang unik dan spesifik dengan pola budaya
hidup melangun (nomaden).
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir Pemerintah Propinsi Jambi melalui Dinas
Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jambi, Pemerintah Kabupaten Sarolangun dan
Pemerintah Kabupaten Merangin, Dunia Usaha, Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT
Kresna Duta Agro Indo (PT SMART Tbk.), PT Sari Aditya Loka I Tabir Selatan, dan sejumlah
perkebunan lainnya telah memiliki kesungguhan dan kepedulian terhadap masalah masyarakat
prasejahtera termasuk masyarakat terasing Suku Anak Dalam. Tak kalah pentingnya, perhatian dan
dukungan Gubernur Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. terhadap upaya pembinaan dan
pemberdayaan mereka cukup besar saat masih menjabat Bupati Sarolangun. Drs. H. Hasan Basri
Agus, M.M. telah menunjukkan keseriusannya. Salah satu terobosan besar saat masih menjabat
Bupati Sarolangun Drs. H. Hasan Basri Agus telah menggagas dan membentuk lembaga khusus
untuk menangani pendidikan mereka dengan membentuk seksi khusus atau Kasi Pendidikan Suku
Anak Dalam. Keseriusan lain yang dilakukan H. Hasan Basri Agus, M.M. adalah mengangkat
penyuluh agama honorer yang ditugaskan khusus untuk menangani pendidikan agama dengan
mendatangkan santri dari Pondok Pesantren Langitan Tuban Jawa Timur untuk membina
mental dan spiritual mereka yang sudah mualaf dan membantu insentif beberapa orang
pembina rohani. .
Bahan penyusunan dan penerbitan buku ini sebahagian diperoleh dari sejumlah bahan
bacaan tulisan dan liputan sejumlah wartawan media cetak dan elektronika nasional dan daerah.
Kegiatan action research atau penelitian dasar tentang Suku Anak Dalam hanya mengambil
sampel pada beberapa sampel lokasi kediaman mereka, antara lain di Desa Pematang Kabau Taman
Nasional Bukit Dua Belas Kecamatan Air Hitam dan masyarakat Suku Anak Dalam di Desa
Lubuk Bedorong Bukit Bulan Kecamatan Limun Kabupatern Sarolangun dan di sejumlah kantong
pemukiman mereka di Kabupaten Merangin. Kegiatan yang kami lakukan merupakan sumbangsih
pemikiran kami kepada pemerintah daerah dan dunia usaha terutama yang bergerak pada sektor
perkebunan untuk merumuskan kebijakan dan program penanganan Komunitas Adat Terpencil
Suku Anak Dalam di Kabupaten Merangin dan di Kabupaten Sarolangun baik untuk jangka
pendek maupun untuk jangka panjang.
Penulis sungguh sangat menyadari bahwa buku ini masih banyak memiliki
kekurangan, meskipun peninjauan ulang telah beberapa kali penulis lakukan. Oleh karena
itu, saran dan kritikan yang konstruktif dari Pakar Komunitas Adat Terpencil Suku Anak
Dalam, para pembaca, dan rekan-rekan sejawat sangat penulis harapkan demi peningkatan
kualitas buku ini dimasa mendatang. Mudah-mudahan buku ini akan bermanfaat bagi upaya
pembinaan dan pemberdayaan Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Akhirnya dengan tetap mengharapkan ridho dan rahmat dari Allah SWT,
perkenankanlah penulis dan dalam kapasitas selaku Direktur Eksekutif LSM-Kopsad
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus tulusnya kepada :
1. Menteri Sosial Republik Indonesia dan jajarannya
. 2. Menteri dan Deputi Kementerian PDT RI dan Jajarannya
3 Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi
4. Komisaris dan Direktur Utama PT.SMART.Tbk Jakarta
5. Bupati dan Wakil Bupati Merangin
6. Bupati dan Wakil Bupati Sarolangun
7. SMD Ops. dan CEO PT Kresna Duta Agro Indo Jakarta
8. Ketua Yayasan BAMUIS PT BNI 46 (Persero ) Tbk Jakarta
9. Ibu. Dra. Hj. Juniwati Masjchun Syofwan (Anggota DPD RI)
10. Bapak Nuzran Joher, S.Ag. ( Staf Ahli Ketua DPR RI)
11. RC PT KDA Region Jambi dan Bapak Manager PT SAL I Muara Delang
12. Para narasumber, para kurator, para sahabat wartawan/jurnalist media cetak dan
elektronika dalam dan luar negeri, rekan-rekan aktifis lingkungan dan pemberdayaan
masyarakat para dermawan, para donatur dan semua pihak yang telah memberikan doa
dukungan moral, bantuan serta kepedulian terhadap upaya pembinaan dan pemberdayaan
Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi. Semoga dukungan dan bantuan yang telah
diberikan akan bermanfaat bagi upaya pemberdayaan dan pembinaan umat khususnya
untuk mengangkat harkat dan martabat serta nilai-nilai manusia dan kemanusian sanak
saudara kita Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi
Kepada semua pembaca terimakasih telah meluangkan waktu untuk mengikuti alur
cara berpikir penulis, jika akan memberikan kritik dan saran sampaikan ke alamat e.mail
Budhivj@ yahoo.co.id. atas semua perhatian yang telah diberikan dalam bentuk apapun saya
mengucapkan terimakasih.
Bangko, 30 Maret 2012

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Direktur Eksekutif
DAFTAR ISI

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

1. Kata Pengantar 3
2. Daftar Isi 6
3. Daftar Lampiran 7
4. Kata Sambutan dari Gubernur Jambi 8
5. Kata Sambutan dari Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Propinsi Jambi 11
6. Kata Sambutan dari Direktur PT Kresna Duta Agro Indo 12
7. Kata Sambutan dari Pakar Komunitas Adat Terpencil Propinsi Jambi 13

BAB I Wilayah, Pengertian, dan Gambaran Umum 15

BAB II Sistem Pemerintahan dan Perkawinan Suku Anak Dalam 26

BAB III Upaya Pemberdayaan dan Karakteristik 42

BAB IV Sistem Kekerabatan dan Kondisi Lingkungan 49

BAB V Potensi yang dimiliki oleh Suku Anak Dalam 65

BAB VI Faktor Pendukung dan Penghambat 75

BAB VII Sekolah Halom PT Sari Aditya Loka I Muara Delang 79

BAB VIII Tantangan dan Peluang dalam Pemberdayaan Suku Anak Dalam 88

BAB IX Potret Wisata 95

BAB X Memahami Nilai-Nilai Kearifan Tradisioanl Suku Anak Dalam 98


BAB XI Suku Anak Dalam Mulai Melakukan Perubahan 111
BAB XII Pola Pembinaan Pendidikan Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam di
Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin 119
BAB XIII Penutup 132
Daftar Kepustakaan 135

Kata Sambutan
Gubernur Jambi

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Assallammuallaikum warohmatullohiwabarakatuh.
Selaku Gubernur Provinsi Jambi saya menyambut baik dan sangat menghargai buku
yang disusun oleh Sdr. Budhi Vrihaspathi Jauhari, ,DR. Arislan Said, M.Pd.Pepatah
mengatakan tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Ungkapan ini sangat
tepat jika kita kaitkan dengan penerbitan buku yang diprakarasai oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat Kelompok Peduli Suku Anak Dalam.
Dengan membaca buku ini setidak-tidaknya pembaca dapat memahami
keberadaan dan kearifan lokal yang dimiliki Komunitas Adat Terpencil Suku Anak
Dalam yang mendiami kawasan hutan di sepanjang hulu Sungai Batanghari.Mereka adalah
sanak kita juga, kehadiran mereka melengkapi khasanah budaya nusantara, masyarakat
yang termasuk masyarakat terpencil, tertutup, dan tertinggal, ini masih menyatu dengan
alam dan memegang teguh kearifan lokal yang mereka miliki.Kita semua memiliki kewajiban
yang sama untuk menghargai keberadaan mereka.
Apa yang dilakukan penulis Sdr. Budhi Vrihaspathi Jauhari dkk- merupakan salah
satu upaya untuk memperkenalkan kehidupan Komunitas Adat Terpencil Suku Anak
Dalam yang bermukim di belantara hutan Propinsi Jambi Dengan adanya buku ini diharapkan
dapat menjadi bahan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi tentang
mereka dan kegiatan pembinaan dan pemberdayannya yang dilakukan oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat Kelompok Peduli Anak Dalam (LSM Kopsad) bersama-sama
masyarakat dan dunia usaha.
Seperti yang telah ketahui bahwa saat ini kita sudah memasuki tahun 2012 dan telah
memasuki era milenium ketiga. Tantangan yang dihadapi tidak sedikit, kita bukan lagi hidup
dalam alam kehidupan tradisional dan kehidupan industri, tetapi menurut Futurolog Alvin
Toffler, kita sedang memasuki kehidupan dalam alam kehidupan komonikasi dan informasi.
Transparansi kehidupan yang global seolah-olah mengisyaratkan bahwa dunia sudah dapat
mengecil bagaikan ”Desa Dunia” nyaris tanpa batas disebabkan oleh derasnya arus
komonikasi dan informasi yang menyebar ke dalam denyut nadi kehidupan umat manusia.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Tugas kita yang paling berat adalah bagaimana kita mempersiapkan masyarakat
yang selalu hidup dalam lingkungan yang dinamis dan penuh kompetitif dengan perubahan
yang luar biasa akibat dampak komunikasi dan informasi yang tidak kenal waktu. Bagi
mereka dengan kemiskinan ilmu pengetahuan sangat sulit bagi mereka untuk beradaptasi
dan memahami perputaran roda zaman, membiarkan saudara-saudara kita tersebut terus
dalam keterasingan dan ketidakberdayaan adalah suatu sikap yang kurang arif dan tidak
bijaksana, justru tugas kita untuk membebaskan mereka dari belenggu isolasi dan
ketertingalan yang menyelimuti mereka sejak berabad-abad yang silam.
Sebagai manusia dan sebagai warga negara Indonesia, mereka juga berhak untuk
mendapat kesempatan dan hak yang sama untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah
di tengah masyarakat yang lain. Tuntutan zaman dan kondisi hutan dan habitat yang
semakin menyempit menghendaki mereka untuk berubah, namun perubahan yang dilakukan
hendaknya tidak meninggalkan dan tidak mencabut akar budaya mereka.
Seperti yang kita ketahui bahwa Suku Anak Dalam atau Suku Kubu
merupakan salah satu suku yang ada di Propinsi Jambi yang telah hidup sejak ratusan
silam yang lampau, komunitas ini hidup dan tersebar di berbagai kantong pemukiman di
belantara hutan dan pada beberapa kantong-kantong pemukiman yang tersebar pada 8
Kabupaten di Propinsi Jambi. Daerah penyebaran mereka terbanyak berada di kawasan
Taman Nasional Bukit Dua Belas antara lain terdapat di daerah Sungai Sorenggom, Sungai
Terab, Sungai Kejasung Besar atau Kejasung Kecil, Sungai Makekal dan Sungai Sukalado.
Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas secara administratif terletak di antara Kabupaten
Sarolangun, Kabupaten Tebo, dan Kabupaten Batanghari. Di samping ketiga daerah tersebut
mereka juga banyak mendiami hutan di kawasan Kabupaten Merangin, Bungo, dan
Kabupaten Muara Jambi.
Sejak ratusan tahun yang silam mereka hidup dengan damai di dalam hutan belantara
Jambi. Dampak dari perubahan zaman dan dampak dari pembangunan pemukiman dan
perkebunan membuat mereka mau tidak mau juga harus berubah. Untuk mempertahankan
dan memberdayakan mereka, Pemerintah dan berbagai elemen masyarakat termasuk
Lembaga Swadaya Masyarakat dan dunia usaha telah melakukan berbagai upaya pembinaan
dan pemberdayaan.
Upaya yang telah dilakukan belum sepenuhnya dapat mengatasi berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh mereka, namun dengan dukungan yang diberikan oleh
perusahaan perkebunan yang bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat perlahan
telah membawa perobahan yang cukup positif. Atas nama Pemerintah Propinsi Jambi

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

dan selaku pribadi saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setulus-tulusnya kepada Managemen PT Kresna Duta Agro Indo dan PT WKS (PT
SMART Tbk.) Jakarta, Yayasan BAMUIS, PT BNI 46 (Peresero) Jakarta, Managemen PT
Sari Aditya Loka I, dan sejumlah perusahaan di daerah ini yang telah melaksanakan
program CSR terutama bagi mereka yang berada di Kabupaten Sarolangun dan
Kabupaten Merangin. Secara keseluruhan buku yang disusun oleh Sdr. Budhi
Vrihaspathi Jauhari, dan DR. Arislan Said, M.Pd, ini sudah baik dengan segala
kekurangannya, topik-topik yang disajikan telah diupayakan untuk disesuaikan
dengan kondisi di lapangan, efektifitas buku ini akan semakin lebih lengkap jika pembaca
dengan rela hati meluangkan waktu untuk membaca bacaan yang relevan sebagai
bahan dan data pelengkap.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat
Kelompok Peduli Suku Anak Dalam (LSM Kopsad) yang dengan susah payah telah berperan
secara aktif membantu tugas pemerintah untuk membina dan memberdayakan mereka di
Kabupaten Sarolangun dan di Kabupaten Merangin. Saya sangat berharapan buku ini
dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh dinas instansi terkait tingkat
propinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota di Propinsi Jambi termasuk dunia usaha,
organisasi sosial masyarakat, dan dunia pendidikan.
Wassallammuallaikum warohmatullohiwabarakatuh.

Jambi, 30 Maret 2012


Gubernur Jambi

Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M.


Kata Sambutan
Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jambi
Assallammuallaikum warohmatullohiwabarakatuh.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jambi menyambut
positif terbitnya buku Jejak Peradaban Suku Anak Dalam dan sekilas kegiatan pembinaan
dan pemberdayaan merekaalam di Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin. Saya
berharap kehadiran buku ini dapat menjawab permintaan dan harapan banyak pihak yang
menginginkan informasi lansung tentang keberadaan mereka serta program pembinaan dan
Pemberdayaan yang telah dilakukan oleh Pemerintah, LSM, dan Dunia Usaha.
Buku yang ditulis dan disusun oleh Sdr. Budhi Vrihaspathi Jauhari , DR. Arislan
Said, M.Pd ini walaupun masih banyak yang perlu disempurnakan, namun informasi
awal yang disampaikan di dalam buku ini merupakan informasi yang sangat
berharga bagi jajaran Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jambi
dan Instansi Teknis di daerah/kabupaten/kota di Propinsi Jambi. Sebagaimana data yang ada
pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jambi saat ini di Propinsi Jambi
terdapat 6.773 KK atau 28.886 jiwa Komunitas Adat Terpencil sebagian besar adalah Suku
Anak Dalam yang tersebar di delapan Kabupaten. Dari jumlah tersebut masih terdapat 3.489 KK
atau 14.947 jiwa yang belum diberdayakan. Data itu sesungguhnya belum utuh dan valid
karena diperkirakan jumlah warga suku pedalaman di Propinsi Jambi jauh lebih banyak.
Pembinaan dan pemberdayaan terhadap mereka bukanlah tanggung jawab pemerintah
semata, tetapi juga merupakan tanggung jawab dunia usaha dan tokoh masyarakat. Dalam
arti yang mereka luas juga harus ikut peduli terhadap komunitas masyarakat yang masih
terpencil dan tertinggal dan perlu mendapatkan perhatian sehingga mereka dapat hidup
seperti komunitas masyarakat yang sudah lebih dulu maju.
Kepedulian dunia usaha terhadap mereka dapat diterapkan melalui program CSR
(Corporate Sosial Responsibility) dimana dunia usaha itu berada, sehingga mereka dapat
mengembangkan potensinya dan ketrampilannya dengan community developmen bagi
kehidupan mereka. Hal inilah yang disebut dengan wujud kesetiakawanan sosial yang
dilakukan dunia usaha yang peduli terhadap sesama, sehingga terjalin hubungan harmonis
antara corporate dengan komunitas sekitarnya.
Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Propinsi Jambi

Drs. H. A. Harris A.B., M.M.


Kata Sambutan
Direktur PT Kresna Duta Agroindo

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Puji syukur kita ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan
ridho-Nya kita semua telah diberi kesehatan dan kesempatan untuk tetap melanjutkan
perjuangan dalam mengisi pembangunan di tanah air yang sama-sama kita cintai ini
Atas nama managemen dan segenap keluarga besar PT Kresna Duta Agroindo, saya
menyambut baik ide dan gagasan Sdr. Budhi Vrihaspathi Jauhari, dkk. yang telah berupaya
untuk menerbitkan buku ini.
Seperti yang telah kita ketahui bersama masyarakat terasing atau sekarang secara
nasional lebih dikenal dengan sebutan Komunitas Adat Terepencil (KAT) dan di Propinsi
Jambi lebih populer disebut dengan Suku Anak Dalam dikenal sebagai masyarakat yang
memiliki pranata hukum adat tradisional secara harfiah dapat diartikan sebagai sekelompok
masyarakat suku atau subsuku yang tinggal di daerah terpencil, terasing, dan terpencar-
pencar sehingga sulit terjadinya interaksi sosial dengan masyarakat di luar mereka yang lebih
maju.
Pada umumnya sanak saudara kita Suku Anak Dalam mereka belum sepenuhnya
atau masih sangat sedikit yang terjangkau oleh fasilitas sosial pelayanan pembangunan,
sehingga berdampak keterbelakangan pada berbagai segi kehidupan dan penghidupan. Pada
umumnya keterbelakangan mereka dapat kita lihat dari ketidaklayakan kondisi pemukiman,
perumahan, pakaian, (sandang pangan), kesehatan, gizi, pendidikan, sistem religi, sistem
tekhologi dalam memenuhi kebutuhan hidup dan pada bidang-bidang lainnya.
PT Kresna Duta Agroindo sebagai perusahaan perkebunan yang berada di Propinsi
Jambi memiliki tanggung jawab moral untuk ikut berpartisipasi aktif membantu tugas
pemerintah dalam memberdayakan dan membina masyarakat luas termasuk sanak saudara
kita Suku Anak Dalam yang berada di sekitar wilayah atau lokasi perkebunan. Program
Corporate Social Responsibility (CSR) dan Comunity Developmen (CD) merupakan salah
satu wujud partisipasi dunia usaha dalam pembangunan berkelanjutan untuk mengembangkan
program kepedulian terhadap masyarakat sekitar melalui penciptaan dan pemeliharaan
keseimbangan antara mencetak keuntungan, fungsi-fungsi sosial dan pemeliharaan
lingkungan hidup. Dan perusahaan PT Kresna Duta Agroindo mempunyai tanggung jawab
sosial dan moral untuk konsisten melaksanakan program pembinaan dan pemberdayaan
terhadap masyarakat dan lingkungan melalui penerapan program CSR secata adil dan
berkelanjutan.
Atas nama Managemen perusahaan saya menyampaikan ucapan terimakasih dan
penghargaan yang setulus-tulusnya kepada Gubernur Jambi Bapak Drs. H. Hasan Basri
Agus, M.M. beserta jajaran pemerintah Propinsi Jambi dan Pemerintah Kabupaten dan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Kota yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk tetap berpartisipasi secara aktif
dalam mendukung pelaksanaan program pembangunan yang saat ini terus dipacu untuk
semakin ditingkatkan. Dan perusahaan perkebunan PT Kresna Duta Agroindo senantiasa
tetap berupaya untuk terus mendukung Program Bapak HBA dalam mewujudkan Visi dan
Misi menuju “Jambi Emas 2015” Ekonomi Maju Aman Adil dan Sejahtera.
Atas nama perusahaan PT Kresna Duta Agroindo saya juga menyampaikan
penghargaan dan ucapan terimakasih kepada seluruh aktifis dan relawan Lembaga Swadaya
Masyarakat Kelompok Peduli Suku Anak Dalam (LSM Kopsad) yang telah mencurahkan
waktu dan perhatiannya serta ketulusan hati dalam membina dan mengangkat nilai-nilai
kemanusia sanak saudara kita Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi.
Secara khusus saya dan segenap Managemen PT Kresna Duta Agroindon menyambut
baik ide dan gagasan Sdr. Budhi Vrihaspathi Jauhar,Dkk yang dengan susah payah telah
berupaya untuk menerbitkan buku ini, semoga buku ini dapat memberikan informasi yang
lebih lengkap dan mendalam mengenai kehidupan Suku Anak Dalam yang juga mempunyai
tradisi dan kearifan lokal serta kebudayaan yang perlu tetap untuk kita pelihara dan kita jaga
sebagai bagian khasanah kebudayaan nusantara. Harapan kami semoga kehadiran buku ini
juga dapat memperkaya literatur mengenai kehidupan indigenous people pada umumnya dan
kehidupan Suku Anak Dalam di Jambi pada khususnya, sehingga sangat memudahkan bagi
para peneliti/ilmuwan yang akan mempelajari kehidupan mereka.
Sebagai salah satu perusahaan perkebunan yang berinteraksi dengan berbagai
komunitas masyarakat luas, kami telah berupaya untuk memberikan kepedulian dan
kesetiakawanan sosial dengan masyarakat sekitar perkebunan dan memberi perhatian
khusus kepada kehidupan mereka.
Disisi lain, kami juga percaya bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal
memegang peranan penting sebagai agen pembangunan nasional melalui pelayanan serta
pendampingan kepada komunitas lokal berdasarkan asas kesukarelaan. Bersama LSM
Kopsad, kami banyak melaksanakan program yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
Suku Anak Dalam. Kami berharap program-program tersebut dapat membantu mereka
meningkatkan taraf hidup mereka sambil tetap menjaga dan melestarikan tradisi budaya yang
akan membantu mereka bertahan diera globalisasi ini.
Sesungguhnya kami merasa bahwa di balik segala keterbatasan yang dimiliki oleh
Suku Anak Dalam, ada kekayaan pengetahuan dan kearifan lokal yang belum terjamah oleh
dunia luas dan sangat menarik untuk kita simak. Oleh karena itu, kami berharap buku
mengenai kehidupan mereka ini dapat membuka sedikit tabir pengetahuan itu dan semoga

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

dapat menginspirasi kita untuk mengelola sumber daya alam yang diberikan oleh Tuhan
secara arif dan bijaksana demi keberlangsungan dan kehidupan yang lebih baik untuk anak
cucu kita dan kelestarian bumi kita tercinta ini.
Selamat membaca dan semoga terinspirasi.

Jakarta, 30 Maret 2012

Antonius Costan

Kata Sambutan
Pakar Komunitas Adat Terpencil Propinsi Jambi

Asaallammuallaikum Warrohmatullohiwabarakatuh.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Saya menyambut baik dan mendukung ide dan gagasan dari Lembaga Swadaya
Masyarakat Kelompok Peduli Suku Anak Dalam (LSM Kopsad) yang menerbitkan buku
tentang kegiatan dan upaya yang telah dilakukan dalam membina dan memberdayakan
Komunitas Adat Terpencil yang ada di Propinsi Jambi yang lebih di kenal dengan Suku Anak
Dalam atau Orang Kubu. Akhir-akhir ini sering diperbincangkan mengenai Komunitas Adat
Terpencil dan upaya advokasinya semakin terasa mendesak, hal ini antara lain disebabkan
kondisi hidup dan kehidupan mereka yang sangat terbelakang tidak seberuntung saudara-
saudaranya dari komunitas masyarakat lainnya yang hidup dalam sebuah negara dan beranak
pinak.
Kondisi mereka di Propinsi Jambi saat ini sangat memperihatinkan, mereka tersingkir
dari tanahnya sendiri, dari kekayaan hutannya sendiri, mereka juga terasing dari kehidupan
budaya, sistem ekonomi, dan religi. Secara politik mereka juga tidak memiliki nilai tawar
menawar. Keprihatinan dunia internasional terhadap permasalahan Komunitas Adat
Terpencil yang di dalamnya termasuk Suku Anak Dalam tidak terlepas dari berbagai
persoalan yang dihadapi oleh Komunitas Adat Terpencil yang ada di seluruh dunia.
Secara pribadi saya menghargai buku yang ditulis dan disusun oleh Sdr. Budhi
Vrihaspathi Jauhari , Sdr. DR. Arislan Said, M.Pd, dan Sdri.Antri Mariza Qadarsih,S.Sos.
meskipun masih banyak yang perlu diperbaiki, namun setidak-tidaknya ide atau gagasan
yang dicetuskan Lembaga Swadaya Masyarakat Kelompok Peduli Suku Anak Dalam
merupakan sebuah langkah maju di tengah keprihatinan kita terhadap langkanya buku-buku
yang mengungkapkan keberadaan dan kegiatan pembinaan dan pemberdayaan Suku Anak
Dalam di Propinsi Jambi. Harapan saya semoga buku ini dapat disempurnakan dan dilakukan
perbaikan sebagaimana mestinya.

Jambi, 30 Maret 2012


Peneliti/Pakar Komunitas Adat Terpencil
Suku Anak Dalam Propinsi Jambi,

Drs. Fachrudin Saudagar, M.Pd.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Dengan segenap jiwa dan raga penulis menyampaikan ucapan terima


kasih kepada istri tercinta, mantel jiwaku yang dengan sabar dan tulus telah
menemani penulis dalam menulis buku ini dan menemani penulis dalam meniti
dan menjalani kehidupan, terimakasih juga penulis sampaikan kepada kedua
belahan jiwaku Ananda tersayang Aditya Maha Putra dan Nurul Anggraini
Pratiwi yang telah memberi semangat kepada penulis untuk melanjutkan
perjuangan membebaskan sanak-saudara kita Suku Anak Dalam dari belenggu
isolasi yang selama berabad-abad mengungkung kehidupan mereka.

Bukit Dua Belas , 30 Maret 2012

BAB I
Wilayah, Pengertian, dan Gambaran Umum

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

A. Gambaran Singkat Propinsi Jambi


Propinsi Jambi merupakan bagian dari Pulau Sumatera yang tergolong sebagai
sebuah pulau terbesar di Indonesia, tepatya berada di bagian pinggang Pulau Sumatera atau
bagian Sumatera Tengah. Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah Propinsi Jambi memiliki
bentang alam yang unik dan spesifik, potensi sumber daya alam yang menjanjikan dan
keanekaragaman seni dan budaya merupakan anugerah Tuhan yang belum sepenuhnya
dapat dimanfaatkan.
Propinsi Jambi terletak di pinggang Pulau Sumatera dengan koordinat 0” 45” - 2”
45” lintang selatan dan 101” 11” – 104” 55 ” bujur timur. Total luas wilayah keseluruhan
53.435.720 ha. dan sekitar 5.100.000 ha. merupakan wilayah daratan dengan batas batas
wilayah adalah:
sebelah utara berbatasan dengan Propinsi Riau
sebelah selatan berbatasan dengan Propinsi Sumatera Selatan
sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Sumatera Barat
sebelah timur berbatasan dengan Laut China Selatan.

Sebelum menjadi propinsi pada tahun 1957 melalui Undang-undang Darurat Nomor:
19/1957, tanggal 9 Agustus 1957, daerah Jambi merupakan salah satu kerisedenan dalam
lingkungan wilayah Propinsi Sumatera Tengah yang ibukotanya pada waktu itu di Bukit
Tinggi.Sebagai suatu daerah kerisedenan, Jambi terbagi atas satu daerah kotapraja yang
disebut Kotapraja Jambi dengan ibunegeri Jambi, dan dua daerah kabupaten masing-masing
Kabupaten Merangin dengan ibunegeri Bangko, dan Kabupaten Batanghari dengan ibunegeri
Jambi.
Saat Jambi masih dalam bentuk Kerisedenan daerah Kerinci tidaklah termasuk dalam
Kerisedenan Jambi, Kerinci merupakan suatu kewedanaan yang berada dalam lingkungan
Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci (PSK). Setelah satu tahun berdirinya Daerah Tingkat I
Jambi melalui Undang-undang Darurat Nomor: 19/1957, maka lahir pula Undang-undang
lain yang memperbaharui undang-undang tersebut. Undang-undang dimaksud adalah UU
Nomor 81 yang menetapkan Jambi sebagai sebuah propinsi yang dimekarkan daerahnya atas
daerah swantara tingkat II yang meliputi:
- Kabupaten Tanjung Jabung dengan ibukota Kuala Tungkal
- Kabupaten Batanghari dengan ibukota Jambi dan dipindahkan ke Muara Bulian
- Kabupaten Bungo Tebo dengan ibukota Muara Bungo

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

- Kabupaten Sarolangun Bangko dengan ibukota Bangko


- Kabupaten Kerinci dengan ibukota Sungai Penuh
- Kotamadya Jambi dengan Ibukota Jambi.

Propinsi Daerah Tingkat I Jambi itu sendiri ibu kotanya adalah Jambi, yang dulunya
pernah diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. H. Soekarno untuk diganti dengan
nama Telanaipura, nama ini diambil dari nama seorang raja yang sangat termashur dari
Kerajaan Melayu Jambi pada masa dulu, yaitu Tun Telanai, dan nama ini hilang serta tidak
dipakai. Menghilangnya nama tersebut bukan tidak dipakai sama sekali, namun nama itu
diabadikan sebagai nama sebuah kecamatan dalam kota Jambi yakni Kecamatan
Telanaipura.
Kecamatan Telanaipura dijadikan sebagai Kawasan Pusat Perkantoran Pemerintah
Propinsi Jambi dan Pusat Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Pada tahun 1981 jumlah
penduduk Propinsi Jambi sebanyak 1.489.928 jiwa dengan kepadatan penduduk 28 jiwa/km2
dan berdasarkan data Hasil Penduduk Tahun 2011 Jumlah Penduduk Propinsi Jambi telah
mencapai 3.088.168 Jiwa
Jambi memiliki iklim tropis dengan curah hujan antara 2.000-3.500 mm dengan
jumlah hari hujan 116-154 hari pertahun, musim hujan terjadi pada bulan April sampai
dengan bulan September, suhu terendah rata-rata 21” C dan suhu paling tinggi 34,4”C.
Dampak positif gerakkan reformasi yang melanda tanah air juga berdampak bagi
Propinsi Jambi. Propinsi Jambi yang semula hanya memiliki lima kabupaten dan satu
kotamadya dan saat ini telah berkembang menjadi sembilan kabupaten dan dua kota
mulai dari kaki Gunung Kerinci hingga ombak yang berdebur di Selat Berhala Tanjung
Jabung Timur. Hasil Sensus Penduduk saat ini berjumlah 3,8 juta jiwa dihuni oleh berbagai
suku bangsa antara lain Suku Melayu Jambi, Suku Kerinci, Suku Kubu (Suku Anak Dalam)
Suku Minangkabau, Suku Banjar, Suku Jawa, Suku Keturunan China, Arab, Pakistan, dan
sejumlah suku lainnya yang ada di nusantara. Letak Propinsi Jambi sangat strategis,
berada di tengah-tengah Pulau Sumatera yang berhadapan dengan Batam, Singapura, dan
Malaysia, lautnya merupakan bagian dari alur pelayaran nasional Indonesia yang ramai.
Wawancara penulis dengan budayawan Jambi Drs. H. Junaidi. T. Nur, M.M.
mengungkapkan bahwa pada masa lampau sekitar abad VII sampai dengan abad XIII
Pelabuhan Jambi dan Kuala Tungkal merupakan tempat persinggahan kapal-kapal dari
pulau Jawa, Indonesia Bagian Timur, serta saudagar-saudagar dari Tiongkok, Gujarat India,
Timur Tengah, dan Eropa. Propinsi Jambi merupakan daerah yang memiliki akar

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

budaya yang tinggi dan luhur. Berbagai peninggalan budaya masa lalu hingga saat ini
masih dipelihara dan dijadikan sebagai salah satu aset potensi pariwisata seni dan
budaya. Peradaban masyarakat Propinsi Jambi dimasa lalu hingga saat ini masih banyak
yang penuh misteri dan dijadikan sebagai kawasan wisata dan kawasan penelitian.
Di antara peninggalan budaya di Propinsi Jambi adalah batu-batu menhir,
selindrik, batu bergambar yang banyak tersebar di Kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh,
dan Kabupaten Merangin. Dari peninggalan budaya tersebut menunjukkan bahwa
peradaban masyarakat asli Propinsi Jambi telah berkembang jauh sebelum zaman
prasejarah dimulai.
Beberapa dekade terakhir pembangunan di Propinsi Jambi telah menunjukkan hasil
yang cukup gemilang, pertumbuhan ekonomi masyarakat cenderung mengalami
peningkatan, berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah Propinsi Jambi bersama
pemerintah kabupaten dan kota yang ada di Propinsi Jambi. Sektor perkebunan,
pertambangan, pariwisata, terutama subsektor perkebunan kelapa sawit, karet, kopi,
casiavera, dan teh telah mampu memberikan sumbangan kontribusi untuk mempercepat
proses pembangunan. Masalah infrastruktur dan transportasi yang selama puluhan
tahun belum teratasi, saat ini mulai dilakukan pembenahan dan peningkatan, ruas
jalan dan jembatan propinsi yang berada di wilayah Bangko-Sungai Penuh (Kerinci).
Untuk transportasi udara saat ini Propinsi Jambi telah memiliki 3 bandar udara, satu di
antaranya dalam proses penyelesaian, sementara Bandara Depati Parbo Kerinci telah dapat
didarati oleh Pesawat Foker 50 dengan kapasitas 50 tempat duduk.
Gubernur Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. menyebutkan infrastruktur jalan
propinsi dan jalan nasional yang kondisinya layak dan baik hanya 31 persen, dan hampir 70
persen dalam kondisi rusak dan sedang. Diharapkan dengan Program Jambi EMAS
kondisi jalan menjelang akhir tahun 2015 akan mengalami peningkatan. Untuk memacu
pertumbuhan pembangunan di Propinsi Jambi selama kepemimpinannya telah menetapkan
Visi Pembangunan Provinsi Jambi yakni Jambi EMAS (Ekonomi Maju, Aman, Adil, dan
Sejahtera) 2015, dari visi tersebut telah tergambar kondisi seperti apa yang diharapkan.
Visi yang telah ditetapkan tersebut tidak akan mungkin dapat tercapai tanpa dukungan
dan partisipasi masyarakat Propinsi Jambi. Untuk mewujudkan Jambi EMAS 2015
diperlukan dukungan dari berbagai pihak dan masyarakat secara bersama-sama sebagaimana
prinsip yang terkandung dalam seloko adat yang mengatakan ”ke gunung samo mendaki,
ke lurah samo menurun, berat samo dipikul, ringan samo dijinjing”.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan menggalakkan


ekonomi kerakyatan. Tidak kalah pentingnya pemerintah Propinsi Jambi juga melakukan
pembenahan infrastruktur, pemanfaatan jalur transportasi sungai, pengerukan sungai
Batanghari, pengembangan Bandar Udara Sultan Thaha Syaifuddin, dan mengupayakan
adanya jalur kereta api di Propinsi Jambi termasuk pembangunan sarana dan prasarana
rumah swadaya dan rumah sederhana sehat. Menariknya, untuk mempercepat terwujudnya
Visi Jambi Emas 2015 telah diluncurkan program SAMISAKE (Satu Milyar Satu
Kecamatan). Salah satu kegiatan program samisake adalah program bedah rumah sebagai
upaya meningkatkan kualitas perumahan bagi masyarakat yang tidak mampu. Pemerintah
Propinsi Jambi dalam kurun waktu 5 tahun mengalokasikan anggaran untuk penanganan
25.000 rumah atau 5.000 unit rumah pertahun dengan target sasaran keluarga sangat miskin
sebanyak 34.180 KK.
Untuk mewujudkan program pemerintah, selain menggunakan dana APBD
diharapkan peran swasta untuk ikut ambil bagian di dalamnya. Dunia usaha termasuk
perusahaan perkebunan dan pertambangan yang ada di Propinsi Jambi, agar ikut ambil bagian
dan berpartisipasi secara aktif melalui mekanisme Corporate Sosial Responbility.
Gubernur Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. menyebutkan, banyak jalan untuk
membangun dan menyejahterakan masyarakat, salah satu upaya yang dapat dilakukan
melalui CSR (Corporate Sosial Responsibility). Program ini dapat dilakukan oleh
perusahaan untuk membantu pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota, namun
peruntukan itu harus jelas dan tepat sasaran. Program ini bila dilaksanakan secara serius
akan sangat membantu masyarakat menuju perubahan ke arah yang lebih baik.
Menurut Hasan Basri Agus, sejumlah perusahaan telah menunjukkan kepedulian
terhadap persoalan sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat, salah satu kepedulian telah
ditunjukkan oleh PT SMART Tbk. melalui kegiatan yang dilakukan oleh PT WKS yang
melakukan kegiatan pengobatan gratis terhadap masyarakat. Bantuan seperti ini sangat
dibutuhkan dan sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kegiatan serupa juga telah
dilaksanakan oleh PT Kresna Duta Agro Indo Region Jambi (PT SMART Tbk. ) dan PT Sari
Aditya Loka Tabir Selatan yang telah ikut serta memberikan bantuan Corporate Sosial
Rersponsiblity kepada masyarakat Suku Anak Dalam yang ada di Kabupaten Sarolangun
dan Kabupaten Merangin dan telah melakukan kegiatan pembinaan dan pemberdayaan
terhadap mereka dengan melakukan kerja sama dengan salah satu Lembaga Swadaya
Masyarakat.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

SMD Ops. PT Kresna Duta Agro Indo (PT SMART Tbk.) Drs. Daud Dharsono dan
CEO PT Kresna Duta Agro Indo Antonius Costan menyebutkan, bahwa PT Kresna Duta
Agro Indo sejak awal telah berkomitmen terhadap masyarakat sekitar kawasan perkebunan.
Berbagai upaya untuk menyejahterakan masyarakat telah dilakukan melalui program
Corporate Sosial Responnsibility dan pihak perusahaan secara rutin melakukan pengobatan
secara gratis kepada masyarakat di sekitar lokasi perkebunan PT Kresna Duta Agro Indo.

Khusus untuk membantu kegiatan pembinaan dan pemberdayaan Komunitas Adat


Terpencil (KAT) di Jambi dikenal dengan Suku Anak Dalam/Orang Rimba/Suku
Kubu/Sanak, pihak perusahaan bermitra dengan Lembaga Swadaya Masyarakat Kelompok
Peduli Suku Anak Dalam (LSM Kopsad) telah melaksanakan berbagai program Corporate
Sosial Responsibility. Program Corporate Sosial Responsibility yang dilakukan PT Kresna
Duta Agro Indo (PT SMART Tbk.) antara lain adalah kegiatan sosial berupa kegiatan
pembinaan dan pemberdayaan Suku Anak Dalam dengan melakukan kegiatan pembangunan
sarana ibadah Mushalla Jabbal Nur di lokasi pemukiman mereka di Desa Bukit Suban,
Bedah Rumah dan rehab Mushalla An Nur di perkampungan mereka di Desa Pematang
Kabau Kabupaten Sarolangun, pembangunan pemukiman dan ”rumah pintar” untuk
mereka di Desa Mentawak Kecamatan Nalo Tantan, pembangunan pondok singgah,
bedah rumah mereka di Desa Bukit Beringin Kabupaten Merangin, membantu sarana
dan prasarana ibadah dan sarana pendidikan PAUD Nurul Habib, membantu kegiatan sosial
berupa khitanan dan memfasilitasi pernikahan mereka, penyaluran sembako, dan sarana
ibadah.
Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Propinsi Jambi Dra. Hj. Juniwati Masjchun
Syofwan merespon positif upaya yang dilakukan oleh LSM Kopsad dalam membina dan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

memberdayakan Suku Anak Dalam di wilayah Kabupaten Merangin dan Kabupaten


Sarolangun dengan melibatkan dunia usaha dan masyarakat luas. Masalah kesejahteraan
sosial terutama kesejahteraan Suku Anak Dalam adalah persoalaan yang harus diselesaikan
secara bersama-sama dan upaya peningkatan kesejahteraan keluarga termasuk
pembinaan dan pemberdayaan mereka memerlukan partisipasi dari 3 pilar pembangunan
yakni Pemerintah, Swasta (dunia usaha), dan masyarakat termasuk partisipasi dari Lembaga
Swadaya Masyarakat.
Peranan dunia usaha terutama yang berhadapan dengan masyarakat banyak seperti
perkebunan kelapa sawit yang ada di Propinsi Jambi sangat strategis, kehadiran perusahaan
dalam pembangunan kebun plasma secara tidak lansung telah membantu perbaikan dan
peningkatan taraf hidup masyarakat di lingkungan perusahaan di samping mampu menyedot
tenaga kerja yang cukup banyak. Khusus untuk Komunitas Adat Terpencil Suku Anak
Dalam di Propinsi Jambi perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan perusahaan
perkebunan kelapa sawit.
Secara kasat mata terlihat kondisi hutan yang dulunya merupakan habitat dan sumber
kehidupan mereka sekarang telah mengalami degradasi akibat dampak dari pembangunan
pemukiman, pembukaan lahan secara besar-besaran.Kondisi seperti ini membuat kondisi
sosial budaya dan ekonomi mereka mengalami pergeseran. Banyak warga Suku Anak Dalam
yang mulai keluar hutan dan hidup berpindah-pindah di sepajang jalan dan lahan-lahan
perkebunan masyarakat maupun lahan perkebunan yang dikelola oleh perusahaan perkebunan
kelapa sawit.
Kondisi ekonomi, kemiskinan, dan pola budaya mereka yang berbeda dengan
masyarakat luar dapat memicu permasalahan sosial. Oleh sebab itu, sejak dini pemerintah
daerah dan dunia usaha harus berupaya melakukan terobosan dan mengambil langkah-
langkah kongkret untuk mengangkat potensi mereka dan membantu menyelamatkan mereka
dari himpitan ekonomi.
Dra. Hj. Juniwati Maschun Syofwan dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke lokasi
perkampungan Suku Anak Dalam Mualaf Desa Bukit Suban, Kabupaten Sarolangun bersama
Tarib (Muhammad Jailani) mantan Temenggung Suku Anak Dalam Air Hitam memberikan
bantuan sarana ibadah, sarana rumah tangga untuk mereka yang sudah menjadi mualaf, dan
melakukan dialog dengan Temenggung Suku Anak Dalam di wilayah Air Hitam, Kabupaten
Sarolangun.
B. Pengertian Komunitas Adat Terpencil

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah kelompok sosial budaya yang bersifat
lokal dan terpencar serta belum terlibat penuh dalam jaringan dan pelayanan baik sosial
maupun politik (Kepres 111/1999) ada 7 kriteria (nomor 1–7). Namun seiring dengan
rentang perjalanan waktu, pada pertemuan nasional tahun 2004 yang dihadiri propinsi
yang memiliki warga Kumunitas Adat Terpencil dikaji dan dielaborasi isi Kepres tersebut
sehingga akhirnya disepakati menjadi 15 kriteria. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
1. berbentuk komunitas relatif kecil, tertutup, dan homogeni,
2. organisasi social atau pranata sosialnya bertumpu pada hubungan kekerabatan (bersifat
informal dan kental dengan norma adat),
3. pada umumnya terpencil secara geografis dan secara sosial budaya tertinggal, dengan
masyarakat lain yang lebih luas,
4. pada umumnya masih hidup meramu dengan sistem ekonomi subsisten (berburu dan
meramu, peladang berpindah, nelayan subsisten, dan kombinasi di antara keduanya),
5. peralatan dan tekhnologi sangat sederhana,
6. ketergantungan pada lingkungan hidup dan SDA relatif tinggi,
7. terbatasnya akses pelayanan sosial dasar,
8. pada umumnya belum ada sarana transportasi umum, dan hanya dapat ditempuh melalui
jalur transportasi tertentu,
9. pengaruh kepemimpinan adat masih kuat dalam berbagai aspek kehidupan,
10. kepemilikan diperoleh dari warisan atau berdasarkan ketentuan adat,
11. kehidupan masih diwarnai oleh tradisi/kebiasaaan turun temurun dan telah mengenal
keyakinan (agama),
12. pranata kesehatan masih mengandalkan kemampuan tradisional, seperti dukun atau
obat-obatan tradisonal lainnya,
13. pengetahuan diperoleh secara turun temurun dari orang tua, tokoh adat atau dari
mereka yang dianggap ahli,
14. pada umumnya hidup dalam satu garis keturunan suku atau subsuku,
15. hubungan dengan komunitas lain didasarkan pada kepentingan terbatas seperti urusan
adat istiadat, mata pencarian hidup, dan perkawinan.

Secara nasional Komunitas Adat Terpencil terdapat pada 30 propinsi, hasil pemetaan
secara nasional pada tahun 2005 berjumlah 267.550 jiwa, hingga tahun 2005 baru sekitar
61.488 jiwa yang telah diberdayakan, 13.177 jiwa sedang dalam pemberdayaan dan 193.185

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

jiwa belum diberdayakan. Di Propinsi Jambi Komunitas Adat Terpencil dikenal dengan
sebutan Suku Anak Dalam atau Orang Rimbo atau Suku Kubu atau Sanak
Prof. Dr. S. Budhi Santoso Guru besar dan Kapuslit Pranata Pembangunan
Universitas Indonesia dalam percakapannya dengan Direktur Eksekutif LSM Kopsad
Propinsi Jambi di Gedung Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial
Republik Indonesia di Jakarta (Oktober 2008) mengemukakan dalam rangka melaksanakan
program pembinaan dan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Jambi disebut
Suku Anak Dalam ada baiknya kalau dikembangkan cara dan pendekatan budaya dengan
prinsip bukan memberikan ikan melainkan memberikan pancing. Dengan demikian cara cara
lama yang cenderung menyebabkan ketergantungan warga terhadap uluran tangan bantuan
pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat lain lebih baik ditinggalkan.
Program pemberdayaan menurut Prof. Dr. S. Budhi Santoso harus dapat menciptakan
kondisi yang merangsang masyarakat (penduduk) untuk mengembangkan kreatifitas yang
bertumpu pada potensi sosial, budaya, dan lingkungan yang mereka miliki. Karena selain
pengakuan terhadap hak komunitas terpencil atas sumber penghidupan harus diimbangi
dengan pengakuan hak budaya komunitas untuk mengembangkan sistem pengelolaan yang
sehat. Pengakuan hak komunitas atas sumber pencarian hidup itu hanya memikirkan materi
yang pada dasarnya, cepat atau lambat akan habis dikonsumsi dengan berbagai cara. Apa
yang diperlukan masyarakat komunitas adat terpencil justru pengakuan budaya mereka untuk
menghadapi tantangan zaman. Program program pembangunan yang mengabaikan minat,
kebutuhan dan kemampuan sosial maupun budaya komunitas harus di evaluasi kembali untuk
menghindarkan beban modernisasi yang harus mereka tanggung.
Karena itu libatkanlah komunitas terkait dalam proses perencanaan maupun
pelaksanaan program,agar mereka dapat menyalurkan harapan dan memenuhi harapan dan
memenuhi kebutuhan yang dirasakan bukan dipaksakan dari atas. Secara berjenjang,
perencanaan lokal itu diteliti ditingkat regional untuk menghindarkan masalah baru yang
mungkin timbul akibat kesenjangan kemajuan di daerah. Sementara itu perencanaan ditingkat
nasional yang menjadi bagian hak negara untuk menata kehidupan berbangsa tidak boleh
dilupakan. Dengan demikian lembaga perencanaan regional dapat bertindak sebagai
koordinator di daerahnya dan menjadi jembatan antara kepentingan lokal dengan
kepentingan nasional.
Menurut Prof. Dr. S. Budhi Santoso untuk merubah kedudukan Komunitas Adat
Terpencil atau di Propinsi Jambi disebut Suku Anak Dalam yang selama ini diperlukan
sebagai obyek obyek pembangunan menjadi subyek diperlukan 3 (tiga) persyaratan yakni:

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

- pertama menegakkan keadilan sosial (social justice),


- kedua penataan demokrasi (political democracy),
- ketiga kebebasan budaya (cultural freedom).
Dengan memenuhi ketiga persyaratan tersebut, niscaya kepercayaan masyarakat
khususnya KAT/SAD terhadap pemerintah dapat dipulihkan dan bersedia mengambil bagian
secara aktif dan yang tidak kalah pentingnya karena pemerintah memiliki keterbatasan
sumber daya manusia dan keterbatasan dana yang diperlukan, sebaiknya menurut Prof. Dr. S.
Budhi Santoso sebaiknya dikembangkan kebijaksanaan untuk melibatkan masyarakat luas
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
atau di Propinsi Jambi disebut Suku Anak Dalam sebagai mitra.
Masyarakat secara perorangan atau kelembagaan dapat diikut sertakan dan dilibatkan
sejak awal perencanaan ditingkat lokal,regional maupun nasional.Disamping itu mereka juga
dapat dikut sertakan dalam proses pelaksanaan baik sebagai pemrakarsa maupun sebagai
pendamping yang bertindak sebagai fasilitator,ataupun motivator,akan tetapi tidak sebagai
diktator.hal yang terakhir ini perlu diwaspadai karena ada kecenderungan pendampingan
yang bertindak arogan dan etnosentrik dalam melakukan pembinaan dan pemberdayaan
komunitas adat terpencil.Pendamping seperti itu seringkali berpandangan evolusionistik kuno
yang beranggapan bahwa kebudayaan masyarakatnya yang terbaik dank arena itu harus harus
diberlakukan,sebaiknya disarankan agar mereka mendapatkan penataran/pemahaman dan
dillat sebelum mereka turun kelapangan.
Hasil dialog penulis dengan Drs. H.A. Harris A.B., M.M. Kepala Dinas Sosial
Tenaga Kerja Propinsi Jambi dan Drs. Syarifudin, M.M. Kepala Bidang Pemberdayaan
Sosial Dinas Sosial dan Nakertrans Propinsi Jambi tanggal 16 Desember 2011,
menyebutkan bahwa hingga saat ini data terakhir jumlah Komunitas Adat Terpencil di
Propinsi Jambi sampai dengan akhir tahun 2011 berjumlah 6.773 KK atau 28.886 jiwa yang
tersebar pada 8 Kabupaten. Dari jumlah tersebut sebanyak 3.489 KK atau 14.947 jiwa
belum tersentuh pembinaan dan pemberdayaan. Dilain pihak diakui bahwa pembinaan dan
pemberdayaan yang telah dilakukan selama ini belum membuahkan hasil yang optimal.
Persoalan budaya melangun atau nomaden merupakan salah satu pemicu yang menyebabkan
upaya memukimkan dan memasyarakatkan Komunitas Adat Terpencil di Propinsi Jambi
terkendala.
Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial Drs. Syarifudin, M.M. membenarkan jumlah
kepala keluarga Suku Anak Dalam yang telah didata ini diperkirakan jauh lebih besar,
kondisi bentang alam lokasi yang terpencil, sulit dijangkau, dan kebudayaan mereka yang

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

bersifat nomaden (melangun) membuat belum semua mereka terdata. Kedepan untuk
percepatan program pembinaan dan pemberdayaan termasuk program pembangunan
infrastruktur pada semua lokasi pemukiman mereka maka pendayagunaan sumber dan
potensi peran aktif dari berbagai unsur dan komponen masyarakat sangat dibutuhkan
seperti LSM, Dunia Usaha, Media Masa, Perguruan Tinggi, dan Lembaga atau Instasi
Pemerintah terkait perlu sinergi antarinstitusi dan lembaga.

C. Gambaran Umum Suku Anak Dalam


Menurut Drs. H. Junaidi T. Nur, M.M. masyarakat yang mendiami Propinsi Jambi
dapat dibedakan atas dua kelompok besar, yakni kelompok penduduk asli dan kelompok
masyarakat pendatang. Penduduk asli sudah lama menetap dan bermukim di Jambi sejak
zaman nenek moyangnya sampai saat ini. Masyarakat asli Propinsi Jambi terdiri dari Suku
Weddoid, Suku Melayu (Suku Melayu terbagi dua yakni Proto Melayu dan Dentro Melayu),
Suku Kerinci, Suku Bajau, dan Orang Batin adalah kelompok Melayu Tua. Sedangkan
Suku Melayu Jambi, orang penghulu dan suku pindah termasuk ras Dentro Melayu. Untuk
suku pendatang yang berada di Propinsi Jambi berasal dari beragam etnis dan suku-suku yang
ada di Indonesia seperti Suku Minangkabau, Suku Batak, Suku Bugis. Suku pendatang
berikutnya adalah suku-suku yang berasal dari luar Indonesia terutama dari kawasan
Benua Asia seperti Suku Bangsa India, Suku Bangsa Arab, Suku Bangsa China.
Di Propinsi Jambi dewasa ini masih terdapat suku atau kelompok masyarakat
yang belum berakulturasi dengan masyarakat pascatradisional, mereka dikenal dengan
nama umum Suku Anak Dalam, dan sebagian menyebut diri sebagai Orang Rimbo. Nama
lain disebut juga Suku Kubu. Penyebutan Suku Kubu atau Orang Kubu dikalangan
warga Suku Anak Dalam berkonotasi kurang menyenangkan, penyebutan istilah
kubu dinilai tidak tepat, Kubu kerap diidentikan dengan manusia bodoh,
kumuh, jorok, terkebelakang, dan acuh tak acuh. Istilah penyebutan Kubu oleh mereka
dianggap sebuah pandangan dan sebutan sinis yang diucapkan oleh masyarakat diluar
komunitas mereka. Mereka lebih menyukai sebutan “Sanak”, kata sanak sama dengan
sebutan kata saudara atau teman (sahabat).
Pendapat penulis asal usul Suku Anak Dalam hingga saat ini secara ilmiah belum
diketahui secara pasti, informasi-informasi yang tertulis dalam sejumlah hasil penelitian
dan penuturan yang disampaikan oleh masyarakat luar termasuk dari kalangan mereka
belum dapat memastikan secara jelas asal usul keturunan mereka. Beberapa keterangan dan
sumber bacaan yang penulis peroleh menyebutkan bahwa mereka merupakan hasil

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

percampuran antara Suku Weda dengan Suku Negrito yang dalam perjalanan sejarah
kemudian disebut Suku Weddoid.
Alasan yang menunjukkan Suku Kubu (Suku Anak Dalam) berasal dari Suku
Weddoid karena ciri fisik yang ada mereka memiliki banyak kesamaan dengan Suku
Weddoid. Adapun ciri-ciri Suku Weddoid adalah rambut keriting, kulit sawo matang,
mata terletak agak menjorok ke dalam, badan kecil, dan kepala berbentuk sedang. Ciri-ciri
ini sebagian besar memiliki kesamaan dengan Suku Anak Dalam yang ada di sekitar
kawasan Taman Nasonal Bukit Dua Belas dan hutan-hutan lindung dan di daerah jelajah
mereka yang berada di Kabupaten Merangin, Bungo, Tebo, dan Sarolangun.
Informasi lain menyebutkan suku pedalaman Jambi itu berasal dari prajurit-prajurit
tentara Pagaruyung Sumatera Barat yang pada waktu itu bermaksud ke Jambi, tetapi di
tengah perjalanannya menuju Jambi, prajurit-prajurit itu kehabisan bekal, dan mereka
terpaksa tidak dapat melanjutkan perjalanan menuju Jambi. Untuk kembali ke Pagaruyung
mereka merasa takut, dan akhirnya tentara tentara asal Pagaruyung itu sepakat untuk
bertahan di dalam hutan dan menjadi pengembara di hutan belantara Jambi yang saat itu
masih sangat lebat. Informasi menarik lainnya yang tidak ada hubungan dengan cerita di
atas adalah bahwa Suku Kubu itu berasal dari prajurit Kerajaan Jambi. Dalam
pertempuran yang sengit, tentara Kerajaan Jambi kewalahan dalam menghadapi pertempuan
dengan tentara Belanda yang dikenal licik dengan politik devide it amperanya, persenjataan
tentara Belanda yang moderen membuat tentara Kerajaan Jambi kewalahan dan sebagian
menyerah kepada Belanda, sebagian prajurit yang pantang menyerah kepada penjajah
Belanda memutuskan untuk lari menyelamatkan diri ke dalam hutan belantara Jambi.
Menurut kalangan ahli sejarah, Suku Kubu adalah salah satu suku tertua yang ada
di daerah Jambi, karena mereka telah menetap sejak nenek moyangnya ratusan tahun yang
lalu. Pada dasarnya saat ini komunitas Suku Kubu atau sekarang lebih dipopulerkan dengan
sebutan Suku Anak Dalam terbagi dua kategori yakni, Suku Anak Dalam (Kubu) yang telah
diberdayakan dan Suku Anak Dalam (Kubu) Tradisional yang masih mengembara dan
belum mau beradaptasi dengan dunia luar. Suku Anak Dalam yang telah dimasyarakatkan
oleh pemerintah dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan sejumlah perusahaan saat
ini sebagian telah hidup menetap di kawasan pemukiman, kebudayaan mereka mulai berubah,
hal-hal baru secara perlahan-lahan telah memasuki kehidupan mereka. Mereka telah
berinteraksi dengan masyarakat luar yang mereka sebut Orang Terang. Suku Anak Dalam
yang masih mengembara dan hidup dengan kebudaayaan masa lampau saat ini hidup
mengembara dari satu kawasan hutan ke kawasan hutan yang lain. Untuk berlindung dari

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

terik matahari dan hujan mereka mendirikan pondok-pondok yang sangat sederhana yang
disebut sudung. Kelompok ini sebagian besar belum mengenal cara bercocok tanam
sebagaima mereka yang telah diberdayakan, mereka masih sangat tertutup dan relatif
sulit untuk ditemui. Kelompok ini masih sangat primitif sebagian masih menggunakan kulit
kayu terap untuk menutupi alat tubuh vital mereka. Kondisi ini dapat kita lihat pada
kelompok Kubu Aria di Kabupaten Merangin yang masih hidup sangat terbelakang.
Secara umum, Suku Anak Dalam hidup dengan budaya berburu dan meramu,
mereka sangat terampil berburu dengan menggunakan alat tradisional seperti tombak,
kujur, dan anak panah. Sejak ratusan tahun suku primitif ini disebut Suku Kubu.
Belakangan ini untuk lebih memperindah sebutan Suku Kubu diganti dengan sebutan Suku
Anak Dalam. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan pengertian anak dalam ada
hubungannya dengan istilah “peranakan” dalam bahasa Melayu Palembang Lama berarti
“rakyat”, sedangkan dalam artinya ”pedalaman”, jadi anak dalam berarti “rakyat
pedalaman” (*Tim Penyusun Monografi Jambi,1976:47).
Di samping Suku Kubu atau Suku Anak Dalam, di Propinsi Jambi juga terdapat Suku
”Bajau“ yang masih hidup sangat tradisional, mereka hidup di tepi pantai di sekitar
Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur, mereka hidup di pinggiran
laut. Suku ini tidak hanya ada di Jambi, akan tetapi suku ini juga terdapat di Kalimantan
dan Sulawesi, hingga saat ini belum ada data sejarah yang menjelaskan bila kehadiran Suku
Bajau ini ada di Jambi. Beberapa cerita menyebutkan suku ini berasal dari para pelaut
Johor Malaysia dan cerita lain menyebutkan mereka adalah budak-budak bajak laut
dari Moro, dan ada juga yang menyebutkan Suku Bajau ini pada zaman dulu juga
termasuk Bajak Laut yang dikemudian hari hidup bermukim di tepi-tepi laut/tepi pantai.
Suku Bajau ini dikategorikan kedalam Proto Melayu atau Melayu Tua, kelompok ini
termasuk bagian dari suku tua yang ada di jambi, namun kehadiran mereka pada periode
terakhir Proto Melayu.
Di Propinsi Jambi juga terdapat Suku Pindah, mereka merupakan bagian dari ras
Dentro Melayu atau Melayu Muda. Mereka bermukim di sekitar daerah Pauh, Mandiangin,
Singkut, Kabupaten Sarolangun dan sebagian kecil nomaden dan bermukim di Kabupaten
Merangin. Daerah-daerah tersebut berdekatan dengan Daerah Rupit dan Rawas Sumatera
Selatan Karakter, bentuk fisik dan gaya kehidupan keseharian suku pindah ini menyerupai
tempat asal usul mereka. Untuk lebih mengenal suku-suku asli yang ada di daerah Jambi
dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

 Suku Kerinci
2. Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin
 Orang Batin
 Orang Penghulu
 Orang Kubu (Suku Anak Dalam)
 Orang Pindah

3. Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Muara Jambi


 Suku Melayu
 Suku Kubu (Suku Anak Dalam)
4. Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur
 Suku Melayu
 Suku Bajau
5. Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo
 Suku Melayu
 Suku Batin
 Suku Kubu (Suku Anak Dalam)
6. Kota Jambi
 Suku Melayu

Beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan terhadap Suku Anak Dalam.
Sejumlah mereka telah melakukan pernikahan silang antara Suku Anak Dalam dengan warga
di luar mereka. Perkawinan antara Suku Anak Dalam dengan warga diluar kelompok
mereka telah melahirkan generasi baru. Perpaduan antara dua kebudayaan yang berbeda
melahirkan anak-anak yang lebih tangguh dan cerdas. Diharapkan generasi hasil pernikahan
silang antaretnis yang berbeda latar belakang budaya akan melahirkan generasi yang lebih
modern, terdidik, dan berkualitas yang pada gilirannya mereka akan membawa
pembaharuan dan akan memberi warna kehidupan bagi saudara-audaranya yang masih di
hutan.

BAB II
Sistem Pemerintahan dan Perkawinan Suku Anak Dalam

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

A. Sistem Pemerintahan Adat Suku Anak Dalam

Dewasa ini didaerah pedalaman Propinsi Jambi terdapat puluhan Kelompok Suku
Anak Dalam. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang tetua adat atau ketua kelompok yang
disebut Temenggung. Dalam menjalankan roda pemerintahan adat, Temenggung dibantu oleh
Depati, Menti, Mangku, dan Dubalang Bathin.
Pakar Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam Propinsi Jambi dan Dosen FKIP
Universitas Negeri Jambi Drs. Fachruddin Saudagar, M.Pd. kepada penulis menyebutkan
masyarakat tradisional Suku Anak Dalam hidup secara mengelompok, namun warga tidak
dibatasi oleh wilayah tempat tinggal. Warga Suku Anak Dalam dapat tinggal bersama
kelompok mereka yang lain, namun warga tidak mudah berganti-ganti kelompok.
Komunitas ini secara turun-temurun telah memiliki hukum adat yang mereka
hormati dengan sepenuhnya.
Jika terjadi perkawinan antarkelompok, ada kecenderungan pihak mempelai laki-laki
akan mengikuti kelompok mempelai wanita. Mereka dalam sangat patuh kepada pemimpin
yang mereka..
Untuk menjaga keharmonisasian dan untuk mempertahankan kebudayaan, komunitas
ini sejak awal telah memiliki sistem pemerintahan secara adat. Organisasi sosial yang telah
membudaya di komunitas ini terdiri dari:
1. Temenggung, yang berperan sebagai tokoh adat dan pemimpin kelompok,
2. Wakil Temenggung, yang mewakili temenggung bila berhalangan,
3. Depati, pengawas terhadap kepemimpinan temenggung,
4. Menti, sosok figur yang memimpin persidangan secara adat,
5. Mangku, figur yang mempertimbangkan keputusan dalam sidang adat,
6. Anak Dalam, orang yang menjemput temenggung untuk datang ke tempat sidang adat,
7. Dubalang Bathin, pengawal temenggung,
8. Tengganas atau Tengganai, pemegang keputusaan tertinggi sidang adat. Sosok tengganas
atau tengganai dapat membatalkan keputusan adat yang telah diputuskan.

Proses pengambilan keputusan dan proses pengangkatan pimpinan adat dilakukan


secara demokratis. Dari berbagai cerita dan tulisan yang berhasil penulis himpun. Setiap
Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam memikili mitos sejarah dan budaya yang
berbeda, kendati mereka dikualifikasikan sebagai hunters and gathering, Suku
pedalaman di Jambi dikenal sebagai masyarakat nomaden di Propinsi Jambi. Sejak

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

dasawarsa terakhir puluhan kepala keluarga warga primitif melakukan eksodus keluar dari
lingkungan dan habitat asli di hutan Belantara Jambi. Hal ini merupakan dampak dari
degradasi hutan, ilegal loging, dan pembangunan pemukiman, serta pembukan lahan
perkebunan, sehingga kehidupan warga mengalami pergeseran.

Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi, khususnya yang bermukim di kawasan Taman
Nasional Bukit Dua Belas, bekas Marga Bukit Bulan, Kecamatan Bathin VIII, Sarolangun
dan warga Suku Anak Dalam yang mendiami kawasan Pamenang, Bangko, Tabir, Muara
Delang Hitam Ulu, Kabupaten Merangin merupakan masyarakat yang masih teguh
mempertahankan hukum-hukum adat. Semua wewenang untuk mengambil dan
melaksanakan keputusan adat dilakukan oleh Temenggung dibantu oleh Depati, Menti,
Mangku, Dubalang Batin. Pokok-pokok hukum adat mereka sebut pucuk undang nan delapan
yakni, mencerak telur (mengawini anak sendiri), melebung dalam (mengawini saudara
kandung sendiri), menikam bumi (mengawini ibu kandung sendiri), mandi di pancuran
gading (mandi bersama laki-laki atau perempuan atau istri orang lain). Sedangkan 4 di
bawah adalah: dilarang membunuh (amogram), tidak boleh membakar pondok orang lain
(siobaka), dilarang menantang berkelahi (tantangan pahamu), tidak boleh meracun orang
(tabung racun). Pelanggaran hukum tersebut adalah hukum mati bila perbuataan tertangkap
tangan,bila tidak pelaku dihukum denda 500 helai kain.
Pelaku yang telah dijatuhi hukum adat dihukum mati dengan menggunakan “tekalak
unak“ yakni, terhukum dibuang ke dalam sungai setelah sebelumnya sekujur tubuhnya
dililiti tekalak unak (rotan atau onak yang berduri) dan terhukum dibekali pisau kecil
sejenis alumunium yang mudah patah atau tidak tajam. Setelah sekujur tubuh dililiti

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

tekalak unak yang mirip perangkap ikan (lukah) terhukum diceburkan ke dalam sungai dan
dibiarkan hanyut. Keputusan ini berlaku untuk semua warga Suku Anak Dalam.
Menyempitnya areal hutan di wilayah Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun,
dan kondisi hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas yang telah dijadikan Taman Nasional
(hutan lindung) serta semakin menipisnya populasi flora dan fauna (kalaupun masih
ada flora dan fauna, saat ini dilindungi undang-undang) membuat sebagian besar mereka
hidup mengelana di hutan yang kian tak rimbun lagi. Mereka hidup dan menetap
sementara di pondok-pondok atau sudung darurat di bawah pohon-pohon karet
dalam kebun masyarakat atau di bawah pohon kelapa sawit di lahan plasma milik
masyarakat atau lahan inti milik perusahaan perkebunan. Dan sebagian besar mereka
yang masih melakukan nomaden di luar hutan atau di luar habitat asli saat ini hidup
bagaikan antara dua dunia.
Ada beberapa mitos serta catatan tertulis tentang sejarah Suku Anak Dalam, pertama
sekali sejarah ditulis oleh orang Tiongkok (Cina). Dahulu ada orang Tiongkok yang
berkunjung ke Sumatera Tengah dengan alasan berniaga dan mempelajari bahasa Sumatera
(Melayu). Mereka melakukan perdagangan atau membeli hasil usaha mereka di hilir sungai
dengan sistem barter. Biasanya barang yang dibeli oleh orang Tiongkok atau masyarakat
lain pada waktu itu adalah komoditi kemenyan, beberapa jenis getah, tanaman obat
alami. Jenis barang tersebut antara lain pasak bumi dan akar selusuh. Bukti dan temuan
yang pernah disaksikan oleh relawan Kopsad adalah ditemukan beberapa pecahan
benda keramik dan porselin yang diduga dibawa oleh orang Tiongkok, beberapa keramik
ditemukan masih utuh dan disimpan oleh warga. Bukti ini menunjukkan bahwa sejak ratusan
tahun yang lalu telah ada kontak perdagangan antara Suku Anak Dalam dengan orang luar,
khususnya dengan pedagang dari Tiongkok.
Sebagai hunters and gathering juga terlihat ada proses jual beli dengan sistem
barter seperti alat-alat dapur, tombak, parang, dan pisau. Dan saat ini terlihat mereka
sangat mahir dalam membuat senjata api rakitan yang disebut kecepet.
Para peneliti dari luar negeri menggambarkan, bahwa Suku Anak Dalam sebagai
masyarakat polos, lugu, tanpa beban dosa, dan tanpa beban hidup. Dan kebudayaan
yang mereka jalani tergolong unik dan spesifik. Sebagian kebudayaan mereka sangat
tertutup. Proses pernikahan dan kematian bagi warga tidak dapat dimasuki oleh pihak lain di
luar komintas mereka.
B. Sistem Perkawinan Suku Anak Dalam

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Hasil survey, data, dan pengamatan di lapangan, serta catatan yang dirangkum
mengungkapkan masyarakat Suku Anak Dalam menganut sistem kekerabatan matrilineal,
artinya saudara wanita harus tinggal dalam kelompoknya kendati telah bersuami,
sementara saudara laki-laki harus ikut dalam kelompok istrinya. Pengamatan dan
wawancara dengan beberapa tokoh Suku Anak Dalam, Temenggung Kitab,
Temenggung Betaring, Temenggung Jawat menyebutkan menikah dengan beberapa wanita
atau lebih dikenal dengan istilah poligami dalam kelompok mereka tidak diharamkan,
sang pria (suami) diperbolehkan memiliki lebih dari seorang atau lebih dari dua orang
istri, alasannya setiap perempuan subur atau perawan harus memiliki suami, perempuan
janda dan mandul harus dilindungi sebagai sumber dan mata air kehidupan.
Dari hasil pengamatan yang penulis lakukan di sejumlah lokasi ditemui beberapa
pria dewasa Suku Anak Dalam seperti Temenggung Kitab, Temenggung Birin,
Temenggung Betaring, Meti, Meci, Wahab, Bujang Laman, Meruncing, dan beberapa
warga Suku Anak Dalam di wilayah Kecamatan Bathin VIII dan Taman Nasional Bukit Dua
Belas Sarolangun, beberapa pria Suku Anak Dalam di kawasan Pamenang, Sungai Manau,
Muara Delang, dan Tabir Kabupaten Merangin memiliki lebih dari dua istri, dan kehidupan
mereka berjalan normal. Antara satu istri dengan istri yang lain hidup berdampingan,
mereka sangat akur, jarang terdengar konflik rumah tangga antaristri dan sang pria
dengan disiplin mengatur jadwal pertemuan antara satu dengan yang lain. Hanya pada
waktu malam masing-masing istri tidur di sudung-sudung (pondok) masing-masing.
Hasil pantauan terlihat usia harapan hidup wanita lebih tinggi dibandingkan dengan usia
harapan hidup pria.
Kondisi saat ini telah terjadi perobahan yang cukup signifikan terhadap mereka,
khusus untuk mereka dalam binaan LSM Kopsad telah terjadi perobahan yang cukup
menggembirakan. Sebagai gambaran dapat dipaparkan sejak tahun 1999/2000 hingga saat
ini puluhan Kepala Keluarga Suku Anak Dalam telah mulai hidup sebagaimana
masyarakat luar yang mereka sebut ”Orang Terang”. Sebagiannya lagi telah memiliki
rumah yang layak huni, telah memiliki sarana informasi hiburan (TV, parabola, radio tape
recorder, sepeda motor, sarana rumah tangga yang lainnya), mereka juga sudah ada yang
mulai menabung. Dan sebagian kecilnya lagi telah memiliki lahan perkebunan karet dan
sawit walaupun dengan jumlah yang terbatas.
Pengamatan di lapangan menunjukkan pola kehidupan masyarakat tradisional Suku
Anak Dalam sangat tradisional. Umumnya mereka masih hidup mengembara di sisa-sisa

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

belantara hutan Jambi dan masih jauh dari standar hidup normal. Komunitas yang tergolong
unik dan spesifik ini pola kehidupan keseharian bagaikan hidup pada masa lampau.
Mereka tinggal di pondok-pondok yang sangat sederhana. Sudung terbuat dari
rangkaian anak-anak kayu tanpa dinding, atap terbuat dari dedaunan ukuran tidak lebih dari
2,5 meter, tinggi lantai sudung sekitar 50 centimeter dari tanah. Di sudung sedehana inilah
mereka hidup bersama keluarga dan hewan peliharaan seperti anjing yang mereka gunakan
sebagai alat untuk mengejar dan menangkap hewan buruan, beberapa satwa yang telah
mereka jinakkan, terkadang ikut tidur dan bermain bersama di sudung. Warga tidur hanya
berbantal lengan, berselimut embun, beratap langit.
Bagi warga Suku Anak Dalam Tradisional makanan pokok mereka adalah jenis
umbi-umbian yang tumbuh di hutan seperti ubi kayu, umbi banar, keladi, gadung, buah
tampoi, buah duku, durian hutan. Cempedak merupakan buah-buahan yang paling mereka
sukai.
Hewan buruan yang dijadikan sebagai makanan paling digemari adalah labi-labi
yang mereka sebut ikan bulan, kura-kura, babi, tenuk, kancil, biawak, ular, kijang, napuh,
landak, dan hewan melata lainnya. Binatang buas seperti harimau dan beruang nyaris
tidak pernah mereka konsumsi. Uniknya, mereka berpantang memakan hewan ternak
yang dipelihara oleh masyarakat luar, misalnya, ternak kerbau, sapi, kambing, biri-biri, ayam
kampung, bebek, kucing, haram bagi mereka untuk mengonsumsinya. Beberapa jenis
burung mereka keramatkan seperti, burung pungguk dan burung elang. Hewan ungko dan
siamang termasuk jenis primata yang dibiarkan hidup bebas dan mereka sakralkan.
Masyarakat primitif Suku Anak Dalam terutama pria nyaris tidak berpakaian, mereka
hanya menggunakan cawat dari kain untuk sekedar menutup organ vital tubuh. Pada
dekade tahun 1950-an hingga 1970-an mereka masih menggunakan kulit kayu terap yang
telah diolah untuk menjadi cawat. Bagi wanita, umumnya hanya menggunakan kain pendek
untuk menutupi perut (pusar). Bagian tubuh di atas lutut tanpa CD dan bra dan bagian atas
(dada) dibiarkan terbuka.
Pengaruh dan tantangan alam membuat ketahanan pisik warga mereka yang sudah
dewasa menjadi tangguh dan teruji. Setiap hari mereka tidak pernah memakai busana
lengkap, berjalan dalam hutan dan perkampungan tanpa menggunakan alas kaki. Diakui
oleh warga Suku Anak Dalam angka kematian balita dan wanita dewasa cukup
tinggi. Kebanyakan mereka dapat bertahan hidup setelah mengalami seleksi
ketat alam. Kaum wanita mengalami kematian karena proses persalinan yang tidak wajar.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Bagi mereka yang masih mengembara di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua
Belas mereka merasa nyaman dan bahagia, alam dan isi alam di dalam hutan telah
menyediakan segala-galanya untuk mereka hidup. Belakangan persoalan menjadi lain, hutan
kian lama kian binasa. Sangat sedikit hutan yang dapat mereka selamatkan dan hewan
buruan semakin sulit diperoleh.
Degradasi hutan, illegal loging, pembangunan subsektor perkebunan, dan
pemukiman membuat hutan semakin tak nyaman bahkan mengancam masa masa depan dan
kehidupan anak cucu mereka. Dilain pihak upaya pembinaan dan pemberdayaan masih
dilakukan belum dengan setulus hati. Pembinaan kebanyakkan hanya bersifat mencapai
target dan pencapaian fisik program, bahkan terkesan sepotong-sepotong.
Contoh nyata perumahan Suku Anak Dalam di kawasan Sesap Kubu Desa Tanjung
Kecamatan Bathin VIII, Sarolangun, perumahan dibangun di tengah areal kebun karet
dan kebun sawit milik pengusaha dan masyarakat. Jaminan hidup diberikan untuk
paling lama 9 bulan. Pemerintah dimasa itu tidak menyediakan lahan untuk sumber
ekonomi, akibatnya setelah masa pembinan habis, warga kembali mengembara mencari
suasana dan kehidupan yang baru. Tahun- tahun selanjutnya ada yang kembali dibina dan
diberdayakan akhirnya hal serupa kembali terjadi, rumah berpindah tangan atau
ditingggal pergi penghuni, selama ini kita hanya memberikan ikan, tetapi kita lupa
memberikan kail.
Contoh kecil lainnya terjadi di kawasan Desa Bukit Suban, Pemerintah Kabupaten
Sarolangun Bangko pada saat itu dan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT Sari Aditya
Loka memberikan lahan perkebunan kelapa sawit untuk 50 KK warga Suku Anak Dalam,
Pemerintah juga membangun sarana perumahan di lokasi Transmigrasi Swakarsa
Mandiri (TSM) di kawasan Senapui Desa Bukit Suban, hasilnya kebun kelapa sawit
berpindah tangan kepada pihak ketiga, sebagian besar rumah mereka juga ikut beralih ke
tangan ketiga. Persoalan ini terjadi antara lain disebabkan, mereka kala itu belum memahami
teknik dan manfaat secara ekonomi kebun kelapa sawit, warga tidak mendapat
pendampingan secara berkelanjutan. Pembinaan hanya dilakukan sekitar 1-2 tahun dan
pemberian jaminan hidup hanya diberikan untuk jangka waktu 9 bulan.
Penyebab lain, Kantor Wilayah Departemen Sosial pada saat itu menyatukan dua
kelompok besar Suku Anak Dalam yakni, kelompok Temenggung Basiring dan Kelompok
Temenggung Birin. Kedua kelompok ini secara budaya tidak bisa direlokasi dalam satu
wilayah. Kelompok Basiring berasal dari Air Panas Senapui masih satu kelompok dengan
Tarib, sedangkan Temenggung Birin berasal dari kelompok yang bermukim di kawasan Aek

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Ban. Kedua kelompok ini secara budaya memiliki daerah teritorial masing-masing.
Penggabugan dua kelompok yang berbeda temenggung terbukti tidak dapat menyelaraskan
dan mengharmonisasikan mereka. Dampaknya kelompok Temenggung Birin memisahkan
diri dan membuat pemukiman baru di daerah ujung jalan Singosari. Dan kelompok
Temenggung Basiring kembali ke dalam habitatnya semula.
Beberapa bangunan rumah dan sebagian besar kebun sawit berpindah tangan kepada
pihak ketiga. Kurangnya pembinaan, pendampingan, dan pengawasan tuntutan kebutuhan
hidup dan bujuk rayu oknum anggota masyarakat di luar komunitas mereka merupakan
pemicu alih kepemilikan lahan sawit dan perumahan mereka, dan instansi terkait terkesan
melakukan pembiaran. Persoalan lain adalah etos kerja dan sifat pemalas mereka merupakan
kendala yang tidak dapat diabaikan, sebagai masyarakat primitif mereka tidak terbiasa
bekerja keras, mereka bekerja hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok, jika hewan
buruan sudah berhasil diburu mereka mengonsumsi sampai habis, jika sudah habis baru
mereka kembali bekerja, kehidupan sehari-hari bagi sebagian mereka berlansung tanpa
beban, kebutuhan mereka hanya bertahan untuk hidup.
Melihat kondisi objektif yang dialami oleh warga Suku Anak Dalam maka pada
tahun 1998-1999 LSM Kopsad mencoba membuat strategi baru. Pembinaan diawali
dengan pendekatan budaya, warga Suku Anak Dalam diajak untuk melihat peradaban dan
dunia baru yang belum mereka hadapi. Pembinaan spiritual dan pendekatan moral agama
merupakan landasan untuk berpijak. Sepanjang mereka menganut budaya animisme dengan
kebiasaan melangun yang dilakukan secara turun-temurun, maka jangan pernah berharap
mereka akan hidup menetap. Pendekatan kerohanian dengan memasuki kebudayaan baru
diyakini akan mampu membuka mata hati dan mengubah cakrawala berpikir mereka, hanya
dengan iman dan amallah yang dapat mengugah kesadaran warga pedalaman untuk hidup
secara wajar, adil, dan pantas.

Melalui berbagai kegiatan dan upaya pembinaan dan pemberdayaan yang dilakukan
oleh LSM Kopsad dengan bantuan dan kerja sama dengan Perusahaan Perkebunan
Kelapa Sawit PT Kresna Duta Agro Indo ( PT SMART Tbk.) Region Jambi, PT Sari
Aditya Loka, Yayasan BAMUIS PT BNI 46 Persero Jakarta, dan bantuan dari
sejumlah donatur, serta perhatian yang diberikan oleh Gubernur Jambi, Bupati
Merangin, dan Bupati Sarolangun telah dilakukan berbagai upaya, kegiatan dan
memfasilitasi mereka dengan dunia luar. Ratusan warga telah dikhitankan, menjadi mualaf,
dan dinikah ulang. Sekitar 15-20 pasangan muda telah melakukan pernikahan dengan warga

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

di luar komunitas mereka, percampuran budaya ini telah membawa dampak perobahan
cukup besar bagi perkembangan kemajuan mereka

.
Contoh nyata pernikahan campuran tersebut dapat di lihat pada rumah tangga Naim
(pria Suku Anak Dalam) menikah dengan Romiati (wanita asal Banjar Negara Jawa Tengah),
Mandum alias A. Kodir (pria Suku Anak Dalam) dengan Rudiana (wanita warga desa
Semurung), Siti Aminah (wanita Suku Anak Dalam) dengan Andy (pria Jawa), Efendi
(pria Suku Anak Dalam) dengan wanita asal Sunda, Abdurahman (pria Madura) dengan Siti
Penato (wanita Suku Anak Dalam), Alia Jusak (pria Suku Anak Dalam) dengan Juniawati
(wanita desa Tanjung Sarolangun ), Megawati janda Helmi menikah dengan pria desa, Abdul
Malik (pria Suku Anak Dalam) dengan Neti (wanita asal Jawa), Rasyid (pria Suku Anak
Dalam) dengan wanita desa, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Acara peng-Islam-an dan pernikahan ulang secara Islam tokoh Suku Anak Dalam Taman Nasional Bukit Dua
Belas Temenggung Tarib dan istrinya Puti Jijasanggul (Muhammad Jailani-Siti Khadijah)
di Pondok Pesantren AL-Hidayah Sarolangun, November 2009

Harus diakui bahwa upaya pembinaan dan pemberdayaan yang dilakukan selama ini
tidak semata-mata dilakukan hanya oleh LSM Kopsad, beberapa LSM lain, Kelompok
Swadaya Masyarakat, Misionaris juga ikut serta melakukan proses pembelajaran dan
pemberdayaan terhadap mereka, walaupun dengan beragam corak dan warna kegiatan.
Namun pada muaranya tetap bertujuan sama yaitu unyuk menyelamatkan masa depan
mereka serta mempertahan nilai-nilai budaya mereka dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indosnesia.
Kesimpulan LSM Kopsad dalam mengangkat nilai-nilai kemanusiaan mereka serta
untuk mempertahankan nilai-nilai kearifan budaya mereka dan untuk memperbaiki satus
sosial dan untuk memperbaiki ekonomi mereka adalah melalui pendekatan ilmu dan
pengetahuan (knowledge) yang relevan dang disesuaikan dengan kondisi habitat
keberadaan mereka itu sendiri. Pola pembinaan dan pendidikan serta pembelajaran yang
dilakukan terhadap mereka yang hidup menetap di perkampungan atau kantong pemukiman
yang dibangun oleh pemerintah atau masyarakat sangat berbeda dengan pola dan
pendekatan yang dilakukan terhadap mereka yang masih nomaden di belantara hutan.
Dalam pandangan Lembaga Swadaya Masyarakat, persoalan sosial yang dihadapi
oleh warga Suku Anak Dalam terutama mereka yang sudah mulai keluar hutan merupakan
tugas bersama. Pemerintah dan dunia usaha harus ikut bertanggung jawab terhadap
perubahan dan yang terjadi di lingkungan mereka. Jangan sampai mereka menjadi duri

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

dalam daging di tengah-tengah modernisasi yang melanda dunia, penyelesaian


permasalahan sosial mereka alami harus dilihat dari hulu dengan mengkaji akar persoalan.
Ada kecenderungan mereka sering dijadikan sebagai objek dengan menjual
kekubuan Kubu kedunia internasional dan sering terjadi adanya oknum yang membonceng
dan mengatas namakan perjuangan nasib Kubu, ketika perjuangan tidak menuai empati akan
melahirkan Suku Anak Dalam yang prustasi dan patah hati. Sangat bijaksana jika mereka
dibiarkan untuk menentukan apapun bentuk pilihannya dengan tidak melakukan intervensi
yang berlebihan. Lembaga yang mengaku menjadi pendamping Suku Anak Dalam
diharapkan untuk menjadi fasilitator dan mediator dalam menjawab berbagai persoalan
mereka dan tidak menjadi komporator yang memprovokasi agar mereka untuk berbuat
negatif. Kekhawatiran dan pengalaman menunjukkan, bahwa mereka memiliki tempramen
keras, mereka ibarat rumput-rumput kering yang mudah terbakar, pengalaman dan
pemahaman yang kita berikan kepada mereka diterima dengan serta merta tanpa filter
penyaring.
Kondisi saat ini ada dua kelompok Kubu yang berada di persimpangan jalan, satu
kelompok ingin memasuki dunia baru, kelompok lain ingin tetap mempertahankan budaya
dan kearifan tradisional yang mereka warisi secara turun-temurun. Kedua kelompok ini
harus difasilitasi dan pemerintah wajib untuk membantu mereka menjalani kehidupan di alam
masing-masing dengan melakukan pembinaan dan pemberdayaan sesuai dengan pola yang
mereka anut.
Ke depan mengingat kondisi mereka yang berada di wilayah terpencil dan saling
berjauhan, sudah selayaknya pemerintah mempertimbangkan untuk membangun
sekolah keliling untuk mereka yang masih nomaden dengan kurikulum yang
disesuaikan dengan kondisi kehidupan mereka itu sendiri. Bagi mereka yang
sudah beragama Islam, misalnya, pemuda dan remaja usia sekolah dikirim untuk
belajar dan magang di Pondok Pesantren, Balai Latihan Kerja, Sanggar Kegiatan
Belajar (SKB), dan ke tempat lainnya yang mempunyai relevansi untuk perkembangan
kehidupan mereka.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Penyerahan Bantuan Material Bangunan


oleh RC PT KDA Ir. H. Dwi Prasetyo
kepada tokoh Suku Anak Dalam Temenggung Kitab Kabupaten Merangin

Program lain yang dapat dilakukan melalui program Paket A dan khusus bagi
balita (anak usia 2-6 tahun) untuk menumbuhkan sikap mental dan perilaku serta untuk
mengembangkan kemampuan dan bakat anak-anak perlu dirintis sejak dini dengan
membangun lembaga pendidikan nonformal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta
program kesetaraan Paket A di setiap lokasi pemukiman Suku Anak Dalam. Sejak awal
tahun 2011, LSM Kopsad dan relawan dibantu Kepala Desa Mentawak, Kecamatan Nalo
Tantan melakukan riset dan uji coba dengan merintis kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini,
khusus untuk balita dan anak-anak yang berada di lokasi pemukiman Mentawak Baru,
Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin.
Dengan kondisi yang sungguh sangat sederhana bocah-bocah Suku Anak Dalam
diarahkan untuk mengenal dunia luar melalui pendekatan bermain sambil belajar di alam
terbuka. Hanya dengan bermodal tenda plastik (terpal) dan sarana belajar yang sangat
minim dan itu pun diperoleh dari sumbangan Toko Buku Singgalan Bangko, para relawan 3
kali seminggu melakukan pendampingan. Dari uji coba yang dilakukan, ternyata animo anak-
anak pedalaman ini sangat besar, tanpa alat belajar yang lengkap dan dengan memanfaatkan
alat peraga yang diperoleh di sekitar alam dan pemukiman mereka terlihat antusias belajar.
Upaya yang dilakukan relawan yakin, Zulfianti, S.Pd., Safina, Ismawati, dan
Eliwarti mulai memperlihatkan titik terang, tanpa insentif para relawan membimbing anak-
anak untuk memasuki dunia baru yang selama ini dirasakan sebagai sesuatu yang asing.
Kaum wanita “indouk–indouk” ikut tertarik. Dampak secara tidak lansung para ibu-ibu

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

mulai belajar hidup bersih dan sehat. Mereka diarahkan untuk mengenal pola rumah tangga
masyarakat kebanyakkan diluar lingkungan mereka.
Hasilnya, ketika rumah mereka dibangun oleh Perusahaan Perkebunan Kelapa
Sawit PT Kresna Duta Agro Indo bekerja sama dengan LSM Kopsad dan Kepala Desa
Mentawak kini terlihat jauh lebih baik. Warga telah mulai belajar hidup seperti gaya orang
desa (dusun). Ibu-ibu telah memiliki sarana rumah tangga (periuk, kuali, piring,
kompor, gelas, termos. dll.) yang layak. Beberapa rumah tangga telah memiliki lemari
pakaian, lemari untuk menyimpan sarana rumah tangga, dan mereka telah menata rumah
layaknya rumah tangga masyarakat kebanyakkan. Meskipun lantai rumah belum dilantai
semen, mereka membeli karpet plastik dan membeli tempat tidur.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT Sari
Aditya Loka I Muara Delang Kabupaten Merangin. Perusahaan PT Sari Aditya Loka yang
juga memiliki lahan perkebunan di wilayah Desa Bukit Suban dan Desa Pematang Kabau,
Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Dua
Belas dan secara otomatis juga berhadapan dengan Komunitas Adat Terpencil Suku Anak
Dalam, khuhusnya dengan kelompok Temenggung Betaring, Tarib Aek Hitam, kelompok
Aek Ban, dan kelompok Punti Kayu. Sejak beberapa tahun terakhir perusahaan PT Sari
Aditya Loka I Muara Delang melaksanakan program CSR bagi mereka di kawasan Taman
Nasional Bukit Dua Belas, Kecamatan Air Hitam, Sarolangun dan pada beberapa lokasi di
daerah Kecamatan Tabir Selatan, dan Kabupaten Merangin.
Mencermati perkembangan budaya yang terjadi kedepan tidak kalah penting mulai
saat ini pemerintah perlu menata ulang program dan kegiatan secara terpadu dengan
melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, dunia usaha, tokoh agama, tokoh adat, LSM, dan
masyarakat luas yang mau peduli terhadap persoalan mereka. Program hendaknya tidak
dilakukan sendiri-sendiri dan tidak setengah-tengah atau dalam bentuk seremonial, akan
tetapi melaksanakan program pembinaan dan pemberdayaan secara berkelanjutan sampai
mereka benar-benar dapat hidup mandiri. Pembangunan sarana perumahan dan pendidikan
akan menjadi sia-sia manakala pembangunan sarana pendidikan formal atau nonformal,
sarana ekonomi, dan insfrastruktur sosial tidak dibangun. Pemerintah dan dunia usaha
khususnya perusahaan perkebunan perlu mempertimbangkan dan memikirkan untuk
memberi kesempatan setiap warga untuk ikut dalam program KKPA yang dibangun oleh
perusahaan dan pemerintah dan diawasi secara bersama-sama dengan melibatkan banyak
pihak.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Perusahaan perkebunan dan perusahaan lainnya yang melakukan kegiatan di sekitar


kawasan pemukiman atau daerah jelajah Suku Anak Dalam perlu untuk memikirkan dan
merekrut mereka terutama warga yang dewasa untuk menjadi tenaga kerja yang disesuaikan
dengan kemampuan sumber daya manusia yang mereka miliki. Pihak manapun yang terlibat
di dalam upaya pembinaan dan pemberdayaan mereka diharapkan untuk tidak menciptakan
tingkat ketergantungan yang tinggi pada mereka terhadap orang lain. Budaya mereka yang
relatif malas bekerja keras dan bersifat cepat bosan secara perlahan harus diubah. Pola pikir
mereka harus dibersihkan dari pengaruh luar yang dapat merusak tatanan mereka.
Memberikan sembako dan sumbangan materi untuk jangka panjang dirasakan tidak akan
membawa perobahan, melainkan akan menciptakan manusia-manusia yang tergantung pada
belas kasihan orang lain. Mereka harus diberi keterampilan dan kecakapan hidup serta
diberikan kesempatan untuk ikut menjadi petani dan pekebun karet atau sawit sebagaimana
yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga bekas unit pemukiman transmigrasi.
Saat ini terjadi dilema dikalangan mereka, disatu sisi mereka ingin berubah dan ingin
hidup menetap. Persoalannya ketika pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit ingin
membantu membangun rumah mereka di Kecamatan Tabir Selatan, Kabupaten Merangin,
Pemerintah Kecamatan dan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Merangin tidak dapat menyediakan tanah. Dilain pihak masyarakat keberatan menjual tanah
kepada mereka dengan alasan kebiasan oknum warga Suku Anak Dalam terkadang kurang
bersahabat. Akibatnya sekitar 25 KK Suku Anak Dalam di Kecamatan Tabir Selatan hingga
saat ini masih bermukim di sudung dalam kebun kelapa sawit.
Beberapa tahun yang lalu pihak Dinas KSPM Propinsi Jambi saat itu pernah
membangun rumah Suku Anak Dalam di zona penyangga Taman Nasional Bukit Dua Belas
di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, perbedaan persepsi antara Dinas KSPM dan
warga Suku Anak Dalam dan adanya pembiaran yang dilakukan sekelompok masyarakat
berdampak pada pemberdayaan mereka. Sebagian warga kembali ke dalam hutan dan
sebagian yang lain mencoba bertahan.
Agar warga Suku Anak Dalam dapat mengikuti arus perputaran zaman, pemerintah
dan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan itu perlu memberdayakan
mereka secara serius dengan melaksanakan program live skill yang disesuaikan dengan
kemauan mereka. Mereka juga dapat dimanfaatkan untuk menjadi tenaga penjaga kebun,
membantu melakukan panen kelapa sawit, dan mereka juga dapat dimanfaatkan untuk
menjadi pemburu hewan babi hutan yang banyak terdapat di lahan-lahan perkebunan. Pada
satu sisi hama babi hutan dapat teratasi dan pada sisi lain warga Suku Anak Dalam dapat

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

menjual dan mengonsumsi hasil buruan mereka. Dan untuk itu pihak perkebunan dapat
pula memberikan imbalan yang wajar dan pantas kepada mereka dengan cara menghitung
jumlah ekor babi hutan yang berhasil mereka musnahkan. Misalnya, setiap satu ekor babi
hutan dewasa diberi imbalan Rp50. 000,00. Babi hutan uang berukuran sedang dan kecil
mendapat imbalan Rp25.000,00. Semakin banyak mereka mendapatkan hewan buruan dan
semakin banyak pula mereka memperoleh pendapatan. Dengan adanya sumber pendapatan
kehidupan mereka akan lebih baik dan mereka akan lebih mudah untuk dibina dan
diberdayakan. Disisi lain pihak perusaahan mendapat keuntungan dengan terbebasnya
tanaman mereka dari ancaman hama babi hutan. Warga pun merasa ikut bertanggung
jawab karena mereka dilibatkan dalam proses pembangunan.

Jika ini dilakukan, penulis yakin akan terjadi sinergi dan kolaborasi yang
saling diuntungkan. Dan alangkah lebih baiknya lagi jika perusahaan dengan dukungan
pemerintah daerah membangun perkebunan kelapa sawit atau karet untuk mereka dengan
memanfaatkan sisa-sisa tanah atau lahan bekas HGU, HTI, dan lahan ngantuk di kaki hutan
Bukit Dua Belas yang kini tidak rimbun lagi.
Bagi warga Suku Anak Dalam, lahan atau kebun untuk ukuran 1 kavling atau 1
hektar dapat mencukupi dan dapat membiayai kehidupan mereka. Kenyataan yang telah
terjadi dibanyak belahan dunia. Persoalan ekonomi merupakan sebuah ancaman serius setiap
masyarakat. Masalah isi perut merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar oleh setiap
makhluk. Rasa lapar sering menjadi pemicu orang untuk berbuat negatif bahkan terkadang
dapat menjadi anarkis.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Ketimpangan ekonomi dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengatasi beban


kehidupan dan adanya jurang pemisah yang dalam antara masyarakat dengan pihak lain yang
lebih beruntung dan tertutupnya akses pelayanan sering membuat mereka patah hati dan ini
akan membuat mereka prustasi. Amuk masa dan tuntutan perubahan yang disampaikan
melalui berbagai cara dan saluran merupakan bukti kongkret, bahwa beban hidup mereka
semakin berat, tantangan semakin banyak, peluang kerja dan usaha semakin sulit untuk
mereka gapai. Dampak terburuk adalah terjadi perbuataan demoralisasi dan tak jarang
berujung pada tindakan anarkis yang tidak menguntungkan bagi semua pihak. Persoalan
sosial ini jika tidak segera diantisipasi akan menjadi api dalam sekam yang sewaktu-waktu
dapat menjadi nyala api yang membara.
Untuk mengatasi dampak buruk seperti itu, sudah selayaknya pemerintah dan dunia
usaha yang ada di sekitar perkebunan untuk bersama-sama mencari solusi terbaik.
Mengantsipasi sejak dini lebih baik dibandingkan dengan menyelesaikan setelah persoalan
terjadi. Nilai kerugian yang timbul terhadap masalah yang berhubungan dengan sosial lebih
besar dan tidak sebanding dengan nilai kerugian secara material.
Mulai dari hal-hal yang paling sederhana dan kecil LSM Kopsad mencoba untuk ikut
berperan membantu tugas pemerintah dalam membina dan memberdayakan mereka melalui
pendekatan “Cinta”. Para relawan LSM Kopsad membimbing warga ke arah kehidupan dan
penghidupan yang lebih baik, adil, dan bermartabat meskipun rintangan kerap datang
menimpa, namun kegiatan pemberdayaan tidak pernah berhenti. Kita tidak akan pernah
berhasil menggapai mimpi jika kita tidak pernah memulai untuk berbuat sesuatu yang lebih
baik bagi pencerahan peradaban umat manusia.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Usaha dan upaya yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan Dunia
Usaha khususnya pengusaha perkebunan (PT Kresna Duta Agro Indo) dan program yang
dilaksanakan oleh PT Sari Aditya Loka, Yayasan BAMUIS PT BNI46 (Persero) Jakarta,
dan para donatur sekecil apapun bentuknya telah berdampak pada perubahan budaya dan
perilaku mereka. Tugas kita adalah “meng-orang-kan orang“. Dan ini perlu ditindaklanjuti
dengan membuat program lebih nyata dan menyentuh ke akar permasalahan tidak dengan
retorika atau seremonial belaka.
Contoh nyata dapat dilihat pada sosok Temenggung Tarib (Mohd. Jailani),
Tekilip, Jusak, Meranting, Mincang, Nago, Betaring yang memiliki lahan perkebunan
pribadi walaupun tidak luas. Lahan kelapa sawit atau karet seluas 1 kavling (+/- 2
hektar) sangat berarti untuk memperbaiki nilai-nilai manusia dan kemanusiaan di samping
untuk mempertahankan hidup. Tidak dapat dibayangkan dalam kurun waktu satu dasa
warsa yang akan datang apa yang akan terjadi ketika hutan sudah semakin menipis, dan
warga melakukan eksodus keluar hutan tanpa bekal dan tanpa kesiapan untuk menghadapi
dunia luar yang multikomplek.
Disatu sisi hutan wajib diselamatkan untuk mempertahankan ekosistem alam, hutan
merupakan paru paru dunia, dan menjadi salah satu sumber kehidupan umat manusia.
Namun, persoalan kehidupan mereka tidak kalah pentingnya untuk menjadi bahan kajian dan
pertimbangan bagi kita untuk membuat kebijakkan dan menjaga keseimbangan alam dan
Suku Anak Dalam.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sarolangun Ir.Joko Susilo,
kepada penulis di Jambi 02 Januari 2012 menyebutkan kawasan hutan Bukit Dua Belas
ditunjuk sebagai kawasan Taman Nasional berdasar Surat Keputusan Menteri Kehutanan
dan Perkebunan Nomor 258/Kpts-II/2000, tanggal 23 Agustus 2000 dengan luas 60.500 ha.
merupakan perubahan fungsi hutan produksi. Terbatas Serengam Hulu (20.700 ha), hutan
produksi tetap Serengam Hilir (11.400 ha), Cagar Biosfer Bukit Dua Belas (27.200 ha), dan
areal penggunaan lain (1.200 ha).
Kawasan Bukit Dua Belas secara administratif terletak di Kabupaten Batanghari
(Kecamatan Maro Sebo Ulu dan Batin XXIV), Kabupaten Sarolangun (Kecamatan Air
Hitam), dan Kabupaten Tebo (Kecamatan Muaro Tabir). Letak Astronomis 01’ 44’ 35”-02’
03’ 15” LS dan 102’ 31’ 37”-102’ 48’ 27” BT. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson
kawasan ini termasuk dalam tipe A dengan curah hujan terendah 3.294 mm dan tertinggi
3.669 mm, suhu terendah 32’C dan tertinggi 40’C, sedangkan kelembapan udara
terendah 80% dan tertinggi 94%. Kawasan ini dikenal dengan nama Bukit Dua Belas, karena

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

terdapat dua belas bukit yang memanjang dari timur ke barat. Bukit yang tertinggi adalah
Bukit Kuran dengan ketinggian 438 m dpl. Dalam kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas
terdapat beberapa sungai dengan anak sungai yang nampak seperti serabut akar.
Letak geografis kawasan yang berada dibagian tengah wilayah Propinsi Jambi ini
memberikan kemudahan pencapaian melalui jalur perhubungan darat lintas tengah Sumatera.
Jalur ini terhubung lansung dengan sejumlah pintu masuk regional l atau internasional
perhubungan laut dan udara. Belahan bagian utara Sumatera yang meliputi Banda Aceh,
Medan, Padang, dan Pekan baru, sedangkan belahan bagian selatan Sumatera meliputi
Bakauheni, Lampung, dan Palembang. Belahan kawasan perwilayah kabupaten dapat diakses
dari masing-masing ibukota kabupaten yang meliputi:
 Wilayah Kabupaten Sarolangun
- Sarolangunà75 km à Bangkoà62 km à Air Hitam (Pematang Kabau)
- Sarolangunà24 km à Pauh à45 km àAir Hitam (Pematang Kabau)
 Wilayah Kabupaten Tebo
- Muaro Teboà75 km à Muara Tabir à20 km à Sungai Jernih
 Wilayah Kabupaten Batanghari
- Muara Bulianà84 km à Pauh à45 km à Air Hitam (Pematang Kabau)

Penyangga kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas meliputi areal transmigrasi,
areal perkebunan, dan HTI. Desa-desa di sekitar kawasan yang berintegrasi langsung dengan
kawasan meliputi 25 desa. Keberadaan Suku Anak Dalam yang sangat tergantung dengan
keberadaan sumber daya alam yang ada di kawasan taman nasional lainnya. Kehidupannya
secara berpindah dengan melakukan perburuan dan berladang. Taman nasional merupakan
kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli yang dikelola dengan sistem
zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi.
Ditempat terpisah Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Jambi Drs.Hasvia
Hasyimi,M.Tp mejelaskan bahwa fungsi penting keberadaan Taman Nasional Bukit Dua
Belas, merupakan perwakilan contoh ekosistem hutan hujan dataran rendah yang tersisa di
Jambi. Merupakan habitat flora dan fauna langka yang mempunyai tingkat keanekaragaman
hayati tinggi. Merupakan daerah tangkapan air (catcment area) yaitu Daerah Aliran Sungai
Batanghari. Merupakan tempat hidup dan sumber penghidupan masyarakat tradisional.
Merupakan paru-paru dunia sebagai penghasil oksigen. Merupakan salah satu objek wisata
alam yang potensial dimasa yang akan datang. Merupakan laboraturium alam untuk

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan budaya. Merupakan sumber plasma nutfah
seperti kayu, getah, lebah madu, rotan, jenang, dan obat-obatan.
Penetapan atau penunjukan kawasan hutan Bukit Dua Belas sebagai zona kawasan
taman nasional memiliki dua tujuan yakni, tujuan umum, untuk melindungi proses
ekologis yang menunjang kehidupan, mengawetkan keanekaragaman ekosistem, spesies,
dan genetik yang terdapat dalam taman nasional serta memanfaatkan sumber daya alam
hayati dan ekosistem yang ada untuk kepentingan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan
alam, rekreasi, wisata alam, dan jasa lingkungan, serta kegiatan penunjang budidaya. Tujuan
khusus, melindungi, memelihara, memperbaiki, dan melestarikan kawasan hujan tropika
dataran rendah yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna dan ekosistem yang tinggi
yang sudah terancam punah. Melindungi dan melestarikan tempat kehidupan dan budaya
Suku Anak Dalam yang sejak lama berada di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas.
Melindungi dan melestarikan serta mengembangkan tanaman obat-obatan yang merupkan
sumber daya penghidupan.
Kedepan pihak Dinas Kehutanan dan Balai Taman Nasional Bukit Dua Belas akan
lebih mengoptimalkan pengawasan terhadap hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas,khusus
untuk masyarakat pedalaman Suku Anak Dalam akan memberikan pelatihan dan bantuan
serta melibatkan mereka secara lansung dalam pengawasan dan pemeliharaan hutan
dikawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

BAB III
Upaya Pemberdayaan dan Karakteristik

A. Sekilas Upaya Pembinaan dan Pemberdayaan Suku Anak Dalam

Komunitas Adat Terpencil, sebuah istilah yang diberikan pemerintah pusat terhadap
masyarakat terasing di tanah air yang tersebar pada 30 propinsi di Indonesia. Di Propinsi
Jambi Komonitas Adat Terpencil disebut Suku Anak Dalam atau Orang Kubu atau Orang
Kelam. Bagi masyarakat di Popinsi Jambi lebih mengenal dengan sebutan Orang Kubu
atau Orang Rimbo.
Direktur Komunitas Adat Terpencil Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial
Hartono Laras kepada penulis di Jakarta beberapa waktu yang lalu mengemukakan secara
nasional, selama ini program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam
pada Departemen Sosial RI diletakkan paling bawah dalam tata urut struktur program di
lingkungan Direktorat Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial RI, kini ditempatkan paling
atas dalam tata urut. Perubahan dapat dilihat sebagai pergesaran paradigma baru dalam
pemberdayaan komunitas adat terpencil dari yang selama ini dilakukan. pergeseran
paradigma ini sebagai hasil dari pemikiran kritis, bahwa penyandang masalah kesejahteraan
sosial terutama yang bersifat keterlantaran, seperti balita dan anak terlantar, perempuan
rawan sosial ekonomi, perumahan tidak layak huni, lanjut usia terlantar, dan keluarga rentan
dapat ditemukan pada komunitas adat terpencil.
Berdasarkan alur pikiran di atas, maka pemberdayaan Komonitas Adat Terpencil
Suku Anak Dalam sekaligus sudah menyelesaikan berbagai permasalahan sosial.
Pemberdayan Komunitas Adat Tterpencil merupakan salah satu program strategis untuk
menyelesikan permasalahan sosial.
Isu global mengenai indigenius peoples (komunitas adat) yang di dalamnya termasuk
Komunitas Adat Terpencil di Propinsi Jambi. Pada tahun 1994, PBB mengeluarkan
“Declaration on the right of indogenous people”. Oleh PBB pada tanggal 9 Agustus 2004
ditetapkannya sebagai hari “Internasional Days of the World’s indigenoud people”.
Di dalam Keputusan Presiden RI Nomor 111 Tahun 1999, diuraikan karateristrik
Komunitas Adat Terpencil, yaitu berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogeni. Pranata
sosial bertumpu pada kekerabatan, terpencil secara geografis, relatif sulit dijngkau, hidup
dengan sistem ekonomi subsistem, menggunakan peralatan dan teknologi sederhana,
ketergantungan pada lingkungan alam setempat relatif tinggi, dan terbatasnya akses
pelayanan sosial, ekonomi, dan politik. Pengertian tersebut cukup lengkap karena di

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

dalamnya mencakup aspek lingkungan, fisik, sosial, dan budaya. Pelayanan sosial, teknologi,
ekonomi, politik, dan perlindungan sosial.
Meskipun demikian, keterpencilan lingkungan fisik bukan menjadi ciri mutlak
Komonitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam karena pada kenyataannya banyak masyarakat
yang mendiami lingkungan fisik yang tidak terpencil tetapi mereka secara sosial budaya dan
ekonomi menjalani kehidupan yang jauh tertinggal dari tata kehidupan yang manusiawi. Oleh
karena itu, menurut hemat kami ciri-ciri terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau
tidak relevan lagi.
Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Tebo Drs.Alfi
Rinaldi,MM kepada penulis di Jambi 25 Februari 2012 mengungkapkan menurut para pakar
KAT ( Komonitas Adat Terpencil) Suku Anak Dalam bukan persoalan terpencil dan tidak
terpencil secara fisik dan geografis tetapi terpencil dalam pengertian bagaimana mereka dapat
menjangkau pelayanan sosial dasar.Komunitas Adat Terpencil sebagai bagian dari
masyarakat dalam bangsa yang besar ini, maka sumber daya manusia.Komunitas Adat
Terpencil harus memperoleh pemberdayaan serta lingkungan fisik tempat tinggal mereka
harus dibangun agar suatu saat kelak mereka bisa memperoleh kehidupan yang layak.
Dengan demikian, maka starting point atau titik masuk untuk memajukan Komunitas
Adat Terpencil adalah membangun manusia dan membangun lingkungan melalui berbagai
kegiatan sesuai kebutuhan riil warga. Data terakhir menyebutkan saat ini jumlah Komunitas
Adat Terpencil di Propinsi Jambi terdapat sekitar 6.773 KK atau 28.886 jiwa, tersebar di
8 kabupaten dalam Propinsi Jambi masing-masing di Kabupaten Sarolangun, Kabupaten
Merangin, Kabupaten Muara Bungo, Kabupaten Muara Tebo, Kabupaten Batanghari,
Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dan Kabupaten Tanjung Jabung
Timur.
Menurut Alfi Rinaldi kawasan Kecamatan Muaro Tabir Kabupaten Tebo juga
termasuk kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas dengan jumlah Populasi yang cukup
banyak,disamping Kecamatan Muara Tabir pada beberapa lokasi terdapat pemukiman Suku
Anak Dalam Tradisional yang tersebar dan terpencil,sebagian besar masih membutuhkan
upaya pembinaan dan pemberdayaan dari pemerintah,dunia usaha dan pihak pihak yang
peduli terhadap persoalan sosial warga Suku Anak Dalam yang masih sangat tertutup dan
terpencil.
Data terakhir menunjukkan di Kabupaten Tebo hingga saat wilayah sebaran Suku
Anak Dalam berada pada titik penyebaran yakni di lokasi Pengambiran Desa

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Kunangan Tebo Ilir sebanyak 75 KK ( 327 Jiwa) di Kecamatan Ma.Tabir tersebar di


lokasi desa Teluk Rendah 83 KK (439 Jiwa) untuk wilayah sebaran desa Tanah Garo
berada di lokasi Sei Makekal 100 KK( 560 jiwa) Makekal ulu 54 KK( 238 jiwa) Makekal
tengah 61 KK ( 238 jiwa) Makekal Ilir 48 KK ( 196 Jiwa).
Di wilayah Sei Alai terdapat 49 KK ( 147 jiwa ).Simpang Inoman 50 KK ( 205 jiwa )
wilayah Sungai Keruh terdapat di Alai Ilir 29 KK (145 Jiwa) Sungai Keruh 16 KK (64 jiwa)
Simarantihan 63 KK ( 232 jiwa ). di Kecamatan Sumai wilayah sebaran terdapat di Semabu
15 KK (60 jiwa) Teluk Langkap 60 KK ( 263 Jiwa). di Kecamatan Rimbo Bujang wilayah
sebaran di sekitar ex UPT unit VIII sebanyak 11KK ( 34 jiwa) diwilayah Kecamatan VII
Koto Ilir di sungai Serut terdapat 62 KK (248 jiwa)
Dari 15 lokasi sebaran yang telah di petakan 10 wilayah lokasi belum diberdayakan
oleh pemerintah maupun oleh dunia usaha. Jumlah populasi warga Suku Anak Dalam di
wilayah Kabupaten Tebo belum terdata seutuhnya, medan lokasi yang terpencil.sulit
dijangkau dan kebudayaan nomaden (melangun) merupakan faktor penyebab sulitnya
pendataan dilakukan

Mengingat kehidupan mereka yang nomaden,maka untuk menentukan posisi wilayah


pemukiman mereka relative agak sulit,akan tetapi bila melihat luas wilayah yang dijadikan
zona melangun atau nomaden kita dapat mengetahui keberadaan kehidupan yang sangat
sederhana dan serba terkebelakang, kehidupan warga Suku Anak Dalam di wilayah
Kabupaten Tebo sangat terikat dengan aturan adat hukum adat tradisional /norma,sedangkan
kepercayaan dan upacara ritual sangat klasik dan uniek, sentuhan agama sangat sedikit yang
menyentuh kehidupan mereka.
Dikabupaten Tebo secara umum Suku Anak Dalam mendiami kantong kantong
pemukiman yang masih terisolir dan sulit dijangkau,mereka hidup berkelompok dalam
jumlah kecil antara 5 KK - 10KK ( Pesaken) setiap Pesaken terdiri kedua orang tua,anak

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

anak,menantu dan cucu, gabugan beberapa pesaken terjadi satu wilayah territorial
kepemimpinan adat yang disebut Temenggung .kondisi daerah sebaran mereka yang
terpencar sehingga sulit mendapat pemberdayaan dan perlindungan baik kepada manusianya
maupun sumber daya alamnya, keterbatasan dan ketertutupan yang meng kungkung mereka
sejak berabad abad yang silam meng akibatkan mereka dalam kondisi yang memperihatinkan,
terpuruk dan semakin terpencil dalam pengertian segala bentuk sarana dan prasarana yang
tersedia.
Menurut Alfi Rinaldi dalam rangka melaksanakan kegiatan Pemberdayaan Suku Anak
Dalam memiliki nilai strategis dalam mendorong percepatan otonomi daerah ,bagaimanapun,
globalisasi merupakan fenomena yang tidak terbendung.Selain disiasati secara kritis dengan
mengambil inisiatif dalam mematahkan berbagai problem yang membelengu komunitas
masyarakat adat.Untuk mencapai harapan tersebut,maka pembinaan Suku Anak dalam
hendaknya didasarkan pada beberapa pertimbangan diantaranya adalah:
- Pertama pemberdayaan Suku Anak dalam hendaknya didasarkan pada sistim nilai
budaya yang berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat,hal ini dimaksud agar
upaya pemberdayaan tersebut bisa lansung menjawab kebutuhan rill
mereka.pemikiran ini sejalan dengan gagasan otonomi daerah yang menekankan
pentingnya meng – akomodasi nilai nilai lokal dalam merencanakan dan
melaksanakan pembangunan.
- Kedua pembinaan Suku Anak dalam perlu dilaksanakan secara partisipatif,mereka
tidak lagi menjadi objek,tetapi menjadi subjek pembangunan,kekuatan pemberdayaan
Suku Anak Dalam bertumpu pada masyarakat setempat,sementara negara lebih
berperan sebagai fasilitator,masyarakat harus terlibat aktif dalam seluruh proses
pengambilan keputusan,sebab merekalah yang paling paham dengan kondisi
setempat,problem problem yang dihadapi serta solusi alternatif pemecahannya.
- Ketiga,Pembinaan dan pemberdayaan Suku Anak dalam perlu lebih difokuskan pada
upaya peningkatan kualitas pendidikan,baik jalur pendidikan formal maupun
informal,Pendidikan sangat berperan untuk membantu Suku Anak Dalam dalam
memahami persoalan hidupnya,mampu berpikir mandiri,kreatif menciptakan peluang
usaha dan peka terhadap tuntutan keremajuan zaman,dengan kasatmata kita dapat
melihat bahwa di kantong kantong pemukiman Suku Anak dalam kita melihat
lemahnya kemampuan kritis masyarakat Suku Anak Dalam. dan kurangnya jumlah
kaum terdidik dikalangan komunitas mereka.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Jika ketiga langkah tersebut dilaksanakan secara terencana dan konsisten menurut
Drs.Alfi Rinaldi,MM akan mampu mendorong terwujudnya pemberdayaan Suku Anak dalam
sehingga mereka secara aktif dapat berperan secara aktif dalam membangun dirinya secara
kritis,kreatif dan mandiri.
Sejak beberapa tahun terakhir,perhatian Gubernur Jambi dan kalangan dunia usaha dan
lembaga swadaya masyarakat telah menampakkan hasil yang cukup menggembirakan,hal ini
ditandai dengan semakin banyaknya jumlah warga Suku Anak Dalam yang telah membuka
diri dan sebagian telah bersedia untuk hidup menetap layaknya masyarakay kebanyakkan
disekitar mereka.

B. KARATERISTIK SUKU ANAK DALAM


Spesifikasi Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam ini tinggal di hulu sungai-
sungai kecil dan sebagian hidup di hutan-hutan dan berdekatan dengan desa orang Melayu
(penduduk asli) atau di kawasan bekas unit pemukiman transmigrasi. Suku Anak Dalam
merupakan salah satu Komunitas Adat Terpencil yang yang ada di nusantara, Muclas (1975)
menyebutkan tentang kehidupan Suku Anak Dalam yakni, anak dalam artinya rakyat
pedalaman, Kubu artinya bertahan atau pertahanan, maka Orang Kubu artinya orang yang
mengasingkan diri atau orang yang bertahan.

Hutan (rimbo) bagi mereka merupakan kawasan perkampungan, daerah jelajah,


tempat berburu, tempat beraktifitas dan beranak pinak dengan arti kata lain hutan adalah
segala-galanya bagi mereka. Hutan bagi mereka adalah “genah bapenghidupon” artinya
adalah tempat mempertahankan hidup. Mereka menjaga hutan adalah merupakan sebuah
kewajiban yang diwariskan secara turun-temurun. Mereka hidup dalam tatanan hukum adat
yang kuat dengan budaya yang sangat tertutup.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Mereka ini hidup berkelompok antara 3-10 rumah tangga, antara satu kelompok
dengan kelompok lain hidup berpencar-pencar, dalam satu wilayah adat atau kepemimpinan
yang disebut Temenggung. Biasanya antara satu kelompok rumah tangga dengan
kelompok rumah tangga yang lain dalam satu kawasan ada hubungan kekerabatan karena
dasar pembentukkan kelompok adalah adat uxorilokal, dimana pasangan yang baru
berumah tangga (kawin) menetap di dekat kerabat istrinya.
Secara umum mata pencarian mereka adalah berburu, meramu, dan berladang. Akhir-
akhir ini sejumlah warga mulai belajar hidup menetap dan membuka ladang atau kebun karet.
Perburuan labi-labi (ikan bulan) merupakan salah satu mata pencarian yang cukup penting
sejak kurun waktu 15-20 tahun yang lampau. Di samping itu, mereka juga melakukan
perburuan terhadap binatang liar lainnya, seperti babi, ular, biawak, napuh, rusa, dll.
Hewan babi bagi orang kampung (desa) merupakan hama, namun mereka merupakan
penghasilan untuk dikonsumsikan (kaki, isi perut, dan kepalanya), sedangkan dagingnya saat
ini ditampung oleh sejumlah pedagang pengumpul bahkan dijadikan komoditas ekspor.
Komonitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi umumnya sulit diatur,
mereka terbiasa hidup bebas di hutan belantara, mereka terbiasa hidup nomaden (berpindah-
pindah) dan bila ada salah anggota keluarga meninggal dunia, maka kelompok
tersebut akan berpindah ke wilayah hutan lain. Kebiasaan ini disebut dengan ”melangun”.
Secara umum mereka ini masih berpakaian minim, bagi laki-laki hanya memakai cawat
penutup alat kelamin, sedangkan wanita hanya memakai kain seadanya, mereka terlihat
kumuh, sehingga terkadang tampak tidak dianggap manusia, meraka tidak ubahnya bagaikan
sisa-sisa peradaban manusia masa lampau.
C.J. Van Dongen dalam bukunya mengungkapkan, watak Orang Kubu (Suku Anak
Dalam) adalah tidak menyukai pekerjaan, mereka sulit untuk diatur, mereka mempunyai
kencenderungan untuk mengembara dan meramu hasil hutan. Pada masa imperealisme Suku
Kubu enggan bekerja teratur. Sangat jarang dan hampir tidak pernah ada mereka yang
menyewakan diri (menjadi buruh), menjadi kuli di perusahaan atau pekerbunan. Menurut
pandangan mereka jika bekerja menjadi kuli akan lekas mati karena orang yang bermandi
keringat oleh pekerjaan berat seperti bekerja di perusahaan minyak akan hilang kuat.
Kencenderungan mereka adalah selalu ingin dekat dengan hutan, mereka lebih suka
hidup bebas di hutan, mereka mendirikan pondok di hutan, dan dengan persiapan sedikit
beras mereka memasak nasi, sementara untuk lauk-pauknya mereka memancing dan
menangkap ikan kecil dan udang dengan sebuah bubu kecil yang terbuat dari bahan
sederhana yang diperoleh dari hutan. Ikan-ikan yang mereka tangkap itu dibelah membujur

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

dan dijepit berderet antara dua bilah bambu lalu dipanggang sebentar di atas api. Setelah
cukup masak mereka menyantap makanan dengan lahap. Mereka yang nyaris tanpa busana
menikmati makanan sambil menikmati hembusan semilir angin sepoi di tepi sebuah sungai
atau dekat sudung tempat mereka tinggal.
Jika ada pohon yang berbuah, mereka akan mengambil, mengumpulkan, dan
menyantapnya. Selesai makan mereka menggulungkan sebatang rokok, menyalakannya,
sambil tidur-tiduran mereka menghisap rokok dan menghisap asap rokok. Jika ada orang
yang melewati lokasi itu sertamerta mereka bangun untuk menunjukkan bahwa mereka
sudah kenyang dan makanan yang baru selesai disantap terasa nikmat dan enak betul serta
sengaja memperlihatkan diri betul-betul senang dan bahagia.
Dalam tulisnnya C.J. Van Dongen menyebutkan Orang Kubu (Suku Anak Dalam)
memiliki bentuk dasar tubuh yang agak berbeda dengan warga pribumi lainnya diluar
komunitas mereka. Pada umumnya kulit mereka berwarna agak lebih gelap. Sebagian besar
di antara mereka menderita penyakit kulit (penyakit loksong atau bersisik halus) atau sejenis
penyakit kurap yang sudah kronis. Kepala dan wajah mereka agak lebih panjang, tidak bulat
seperti kebanyakan orang dusun (desa) masyarakat pribumi lainnya. Tubuh mereka
sebagian besar lebih langsing, lebih kurus, dan terlihat kurang kuat. Penampilan terlihat agak
lemah seperti kekurangan makan atau setengah kelaparan karena mereka tidak mendapatkan
makanan yang berimbang, sehingga terlihat seperti kekurangan gizi. Mereka mempunyai
roman wajah yang agak lembut, sorotan mata agak liar. Terhadap orang asing mereka
cenderung menghindar dan menyendiri, namun di antara sesama mereka selalu ceria riang
gembira. Telapak kaki mereka lebih lebar dan besar dibandingkan masyarakat lain, datar, dan
antara jari-jemari kaki terpisah lebar. Sikap tubuh membungkuk ke depan.
Postur tubuh wanita tampak lebih ramping dan kecil. Paras wajahnya tidak jelek
dan bila sudah memiliki anak wajahnya tampak semakin lebih tua. Pakaian mereka berupa
cawat sekedar untuk menutup alat vital tubuh, rambut terlihat hitam legam dan dibiarkan
terurai. Anak-anak yang belum dewasa atau perempuan yang belum dapat dipersuamikan
tidak menggunakan pakaian, mereka menggunakan cawat. Payudara perempuan dibiarkan
terbuka tanpa penutup.
Masyarakat pedalaman Jambi ini di samping memiliki adat yang kuat juga
memiliki banyak pantangan yang tidak boleh dilakukan, dilihat, dan diiucapkan, jika ini
dilanggar akan mendatangkan malapetaka. Pantangan yang masih berkembang di dalam
komunitas ini antara lain adalah, sangat dilarang bagi seorang wanita hamil atau seorang
anak kecil melihat jenazah (mayat). Jika ini dilanggar mereka meyakini anak yang

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

dilahirkan atau anak kecil itu akan disambar penyakit ”nyeladang bangkai” atau semacam
peyakit lumpuh yang membuat dia tidak bisa berjalan atau tidak bisa duduk, penderita hanya
mampu tidur terbaring, terbujur, dan tidak mampu bergerak.
Seorang pria dilarang dekat dengan perempuan hamil dan berbicara dengan
menggunakan kata siamang atau ungko. Jika ini dilanggar maka akan terjadi musibah, yakni
bila perempuan itu melahirkan akan terjadi peristiwa kematian berdarah atau bayi yang
dilahirkan oleh perempuan tersebut akan menyerupai kera atau ungko. Sebenarnya masih
banyak lagi pantangan lainnya yang tidak boleh mereka dilanggar.
Di mata sebagian orang luar yang mereka sebut Orang Terang, kehidupan Suku
Anak Dalam diselimuti dengan berbagai mitos dan misteri. Mereka dianggap menyimpan
mantra dan jimat atau disebut ”bebesel“. Mereka beranggapan bahwa bebesel tersebut dapat
menjadi pelindung bagi keberadaan diri mereka dan dapat pula digunakan untuk mengobati
berbagai macam penyakit serta menolak bala.
Hampir sebagian besar mereka yang sudah dewasa memiliki jimat atau bebesel.
Biasanya jimat itu terbuat dari sepotong ranting kayu atau benda-benda lain yang
mengandung unsur logam dan batu serta diyakini memiliki kekuataan tertentu. Oleh
sebagian masyarakat luar, mereka sangat mempercayai bahwa masyarakat primitif jambi
yakni Suku Anak Dalam memiliki minyak pelet yang konon dapat membuat seorang wanita
jatuh cinta secara tiba-tiba. Minyak pelet tersebut konon dibuat dari air sperma gajah
(mani gajah) yang dicampur dengan minyak kelapa hijau dan kemenyan putih atau sejenis
getah yang berbau harum (gaharu). Bahan-bahan tersebut dimasak di tengah-tengah jalan
setapak dalam rimba yang bersimpang tiga. Sebelum dipergunakan ramuan pelet itu harus
dijampi-jampi oleh seorang dukun atau malin. Kemudian minyak yang sudah di jampi itu
sudah bisa dimanfaatkan. Misalnya, dioles pada bagian tubuh perempuan yang ditaksir. Di
samping pelet itu, seorang pemakai juga diberikan jimat pengasih dari sang dukun dan
mantera-mantera. Jimat itu disebut dengan istilah “taruh nikmat”.
Bahan pelet pengasih juga dapat terbuat dari sarang burung cinta kasih. Sarang
burung cinta kasih diambil di ujung ranting pohon besar di tengah hutan belantara. Sarang
burung cinta kasih berbentuk kapas sebesar dua kali ibu jari. Sarang burung cinta kasih
diberikan kepada peminat dan dibawa ke mana pergi.
Jimat lain adalah “giginyaru” sebuah batu yang berwarna kecoklatan yang sudah
diasah dan dijadikan batu cincin. Jimat ini mereka yakini dapat menangkal marabahaya dan
menjadi tangkal penolak jin brail atau roh-roh jahat yang bersemayam di dalam jantung

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

manusia. Selain itu, tali pusat bayi yang telah dikeringkan dan dibungkus dengan kulit kayu
atau kain putih dijadikan kalung dan dipakai.
Suku Anak Dalam dikenal sebagai masyarakat primitif dan merupakan sisa peradaban
masa lampau, ketergantungan mereka terhadap alam sangat besar. Potensi hutan dengan
hewan-hewan buruan merupakan aset yang harus dijaga dan nanti dapat dimanfaatkan oleh
generasi penerus untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Sejak ratusan tahun
yang lalu mereka memanfaatkan potensi hutan untuk mengatasi permasalahan kesehatan.
Bermacam jenis tanaman dan akar-akaran dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengatasi
gangguan kesehatan. Di samping tanaman, sejumlah organ penting hewan juga mereka
manfaatkan untuk pengobatan secara tradisional, daging dan bagian lain dari tubuh hewan
setelah diramu dijadikan sebagai obat yang memiliki banyak khasiat. Hati dan daging
harimau dapat menyembuhkan penyakit kulit rubah terbang atau kubung. Kulit yang
berbintik-bintik indah dan cakar yang runcing digunakan sebagai bahan obat, hati beruang
dan organ vital (kemaluan) berbagai jenis binatang memiliki khasiat untuk penyakit lemah
syahwat, kikisan email kerang/bekicot dapat mengobati penyakit gusi dan gigi.
Akibat degradasi hutan, perambahan hutan, pembangunan perkebunan kelapa sawit
dalam skala besar, dan pembangunan pemukiman transmigrasi membuat komunitas ini
cenderung mengalami depresi mental. Kehidupan mereka semakin terdesak, bahkan saat ini
mereka terutama yang hidup di luar kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas hidup tak
menentu dan kerap menjadi persoalan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Degradasi hutan dan illegal loging merupakan ancaman serius bagi mereka. Jika hutan
rusak itu berarti bencana dan kiamat telah terjadi. Mantan temenggung Air Hitam Tarib
(Muhammad Jailani) menyebutkan ”Dulu tanah kami ado, kinilah hopy, awak mohon kepado
rajo, supayo rimbo godong nio dipertahonkan untuk penghidupon anak cucung kami.”
Akhir-akhir ini akibat kerusakan hutan dan pengaruh budaya luar serta adanya
pemberdayaan yang dilakukan Pemerintah, LSM Kopsad, sejumlah Lembaga Swadaya
Masyarakaat yang didanai oleh negara donor dan sekelompok misionaris, maka sejumlah
warga Suku Anak Dalam mulai hidup bermasyarakat dan bermukim secara tetap. Sebagian
diantaranya mulai membuat kebun karet dan beberapa puluh kepala keluarga sudah
meninggalkan kepercayaan nenek moyang mereka dengan memeluk salah satu Agama.
Secara umum, mereka di kawasan Makekal Taman Nasional Bukit Dua Belas dan hutan
adat Bukit Bulan, Kecamatan Limun masih sangat tergantung dengan alam dan persediaan
hasil hutan. Mereka mengonsumsi makanan jenis umbi-umbian, seperti tubo ubi, gadung,
jenggot, kona, ubi kusut, umbi banar, dan ubi bayas.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Potret kehidupan sehari-hari kaum wanita Suku Anak Dalam

Semua bahan makanan tersebut mereka olah di tempat mereka tinggal atau di sudung
yang mereka huni. Bahan makanan itu mereka peroleh dari dalam hutan. Apabila persediaan
makanan di tempat mereka mendirikan sudung-sudung tersebut habis maka mereka akan
pindah ke kawasan hutan lain yang masih memiliki persediaan hasil hutan yang memadai.
Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lainnya selalu se arah dari timur ke barat
atau dari barat ke timur, mereka menyebutnya dari arah matahari hidup (matahari terbit) ke
matahari mati (matahari terbenam) dan sebaliknya jarang dan bahkan tidak pernah
mereka pindah dari arah yang berlawanan. Keadaan ini terjadi karena menurut
kepercayaan yang diyakini, mereka tidak akan mendapat rezeki atau sumber bahan pangan
jika mereka ”melintang purbo “ (menentang arah).
Untuk mengolah bahan makanan sampai dikonsumsi, mereka menggunakan peralatan
yang biasa digunakan untuk pengolah bahan makanan, antara lain, parang, ambung,
lantingan, pisau, kuali, dan periuk. Semua alat ini adalah alat yang mereka terima dari nenek
moyang, kendatipun saat ini akibat dari pengaruh luar alat-alat memasak telah mereka beli
dari masyarakat luar (Orang Desa).

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

BAB IV
Sistem Kekerabatan dan Kondisi Lingkungan

A. Sistem Kekerabatan Suku Anak Dalam

Warga Suku Anak Dalam yang baru menikah atau kawin atau berkeluarga mereka
wajib tinggal minimal sampai memiliki satu orang anak di sudung (kediaman) orang tua
pihak wanita dengan maksud bila pasangan baru ini menegakkan sudung (pondok hunian)
sendiri yang berarti status keluarga penuh sudah mempunyai pengalaman dan persiapan baik
fisik maupun mental. Persiapan pisik misalnya, mereka sudah memiliki peralatan berburu dan
peralatan rumah tangga, sedangkan persiapan mental misalnya, berupa pengalaman dalam
membina rumah tangga seperti pengalaman istri hamil, menyusui, berhubungan antara satu
keluarga dengan keluarga yang, hubungan antara anak dengan menantu, hubungan dengan
saudara ipar, dll.
Setelah pasangan baru memiliki pengalaman tersebut mereka diperkenankan membuat
rumah (sudung) sendiri di dekat orang tua pihak istri. Aturan ini tampaknya tidak bisa
ditawar-tawar seperti seloko adatnya ”bila sudah dapat menanam batu jelupung tumbuh”
baru boleh membuat rumah jauh dari rumah orang tua istri. Makna dari Seloko ini adalah
larangan atau tidak boleh sama sekali membuat rumah jauh dari rumah orang tua istri (tidak
mungkin menanam batu yang mungkin tumbuh tunas dan berdaun). Selain itu, hal ini juga
berguna untuk penyiapan tenaga kerja dalam mengolah ladang. Setelah pasangan baru
mempunyai sudung sendiri maka sahlah pasangan tersebut berdiri sebagai sebuah keluarga
yang sebenarnya sebagai kesatuan ekonomi rumah tangga yang utuh.

Budhi Vrihaspathi Jauhari bersama dua orang warga asing


sedang berkomunikasi dengan Warga Suku Anak Dalam

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Dalam sebuah keluarga yang berkaitan dengan hak dan kewajiban diatur seperti
dalam seloko ”bini sekato laki, anak sekato bapak, adik sekato kakok”. Bini sekato laki
artinya seorang istri harus mengikuti apa yang diperintahkan suami, namun suami harus tahu
apa yang tidak bisa atau tidak boleh dikerjakan oleh seorang istri. Jadi, seorang suami tidak
boleh memerintahkan istrinya untuk menebang pohon dengan beliung, karena pekerjaan itu
bukan pekerjaan perempuan. Anak sekato Bapak artinya seorang anak tidak boleh
melawan atau menolak perintah orang tuanya, sebab kalau menolak anak tersebut akan
terkena ”burut/hernia” bagi anak laki-laki dan ”tumbung“ bagi anak wanita. Kedua penyakit
itu adalah penyakit yang sangat ditakuti oleh warga Suku Anak Dalam, mengingat penyakit
tersebut secara tradisional belum ditemui obat dan pencegahnya. Adik sekato kakok
bermakna seorang adik tidak boleh melawan kakaknya, karena sang kakak sudah dianggap
berjasa membina atau mengasuh adik-adiknya.
Dalam satu rumah tangga ada semacam hak dan kewajiban yang sudah dipahami oleh
masing-masing anggota keluarga seperti, istri wajib menjaga rumah ketika suami mencari
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Contoh lain, seorang ibu berkewajiban
menyosialisasikan nilai-nilai keibuan kepada si anak perempuan. Secara langsung anak
perempuan mengikuti dan membantu apa yang dikerjakan ibunya, demikian juga anak laki-
laki terhadap bapaknya.
Kelompok Temenggung Jawat tediri dari 47 kepala keluarga, 157 jiwa termasuk
janda, remaja, putra/putri usia subur yang diperkirakan dalam jangka waktu 2-3 tahun akan
melakukan pernikahan. Sebelum memeluk Agama Islam kelompok ini dipimpin oleh
Temenggung Birin. Temenggung Birin adalah putra kedua Temenggung Gemembak atau
lebih dikenal dengan nama Temenggung Pimpin yang dikenal sebagai pemimpin dari semua
temenggung yang ada di Taman Nasional Bukit Dua Belas. Setelah memeluk Agama Islam
sejak 7 tahun yang lalu bersama sejumlah keluarganya, Temenggung Birin berganti nama
menjadi Helmi, dan pada tahun 2007, atas bantuan Gubernur Jambi dan Bupati Sarolangun,
Helmi diberangkatkan ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Haji Helmi, sejak memeluk Agama Islam memilih untuk hidup menetap di luar hutan
di sebuah perkampungan kecil yang digagas oleh LSM Kopsad. Saat ini terdapat 25-30 KK
warga Suku Anak Dalam yang sudah menjadi mualaf. Sebagian telah hidup menetap dan
tinggal di rumah layak huni yang dibangun oleh LSM Kopsad dengan bantuan Kementerian
Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia dan beberapa rumah sederhana
yang dibangun oleh LSM Kopsad. Saat ini juga telah dilakukan bedah rumah termasuk rehab
mushalla yang dibantu oleh Management PT Kresna Duta Agro Indo (PT SMART Tbk.).

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Pertama kali Birin alias Helmi memeluk Agama Islam bersama kedua orang istrinya
dan anak-anaknya. Kemudian secara berangsur-angsur keputusan Birin (Helmi) untuk hidup
menetap dan memeluk Agama Islam diikuti oleh Penguak dan Ngimbai (orang tua istri
Birin/Helmi) dan sejumlah keluarga serta kerabat dekatnya. Belakangan beberapa orang
saudara Birin lain ibu kembali keluar dari hutan dan menyatakan diri menjadi masyarakat
kebanyakkan serta memeluk Agama Islam. Beberapa diantaranya, misalmya, Benyanyi
(Syaidina Ali), Afrizal, Ahmad, dan Muhammad mengikuti kegiatan Majelis Tablik dan
mulai belajar menjadi DAI Suku Anak Dalam untuk kalangan mereka sendiri. Setelah
memeluk Agama Islam Temenggung Birin berganti nama menjadi Helmi, sementara istri
berganti nama menjadi Megawati dan Siti Aisyah, demikian juga dengan keluarganya yang
lain juga berganti nama. Ini menunjukkan bahwa status mereka dari tradisional atau
terasing menjadi beragama dan beradab.
Institusi atau tata pemerintahan adat dalam kelompok Birin (Helmi) adalah
Temenggung Birin, Depati Merepuk, Mangku Nggerak, Menti Perusik, Debalang Bathin
Dayung. Mengingat Temenggung Birin telah memeluk Agama Islam dan menetap diluar
komunitas mereka, maka mereka merencanakan akan mencari pengganti temenggung yang
mampu hidup bersama-sama di tengah-tengah komunitas mereka, namun peran Temenggung
Birin masih tetap mereka perlukan sebagai pengayom atau orang tua dan dalam adat disebut
sebagai tengganai.
Sekitar 2,5 km dari perkampungan mereka yang sudah mulaf di Desa Pematang
Kabau juga masih terdapat kelompok Suku Anak Dalam Tradisional yang masih
mempertahankan tradisi masa lampau. Kelompok ini dipimpin oleh seorang Temenggung,
yang dikenal dengan Temenggung Tarib. Temenggung Tarif merupakan pimpinan Suku
Anak Dalam yang pernah menerima anugrah KE HATI AWARD dari Wakil Presiden RI
Megawati. Kelompok Tarib hingga saat ini masih tetap bertahan dengan tradisi nenek
moyang dan sejak tahun 2007 kelompok Temenggung Tarip mulai hidup dalam pemukiman
yang dibangun oleh pemerintah melalui Kementrian Negara Perumahan Rakyat RI. Sampai
saat ini telah dibangun 18 unit rumah sederhana untuk mereka.
Catatan terakhir, sebelum Tarib diangkat menjadi temenggung, kelompok ini
dipimpin oleh Temenggung Basiring. Setelah Basiring hidup menetap di pinggir hutan dan
menyatakan memeluk Agama Islam, maka jabatan temenggung dialihkan kepada Tarib.
Awalnya saat mulai diberdayakan kelompok ini terdiri dari 50-75 KK yang menyebar di
sekitar Senapui Bukit Suban hingga Paku Aji Desa Pematang Kabau, sebagian besar dari
kelompok ini pernah diberdayakan oleh Dinas KSPM Propinsi Jambi melalui Proyek

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

PKAT, namun upaya pembinaan belum memenuhi sasaran yang diharapkan. Berbagai misi
yang berseberangan dengan berbagai kepentingan membuat kelompok ini bagaikan hidup
antara dua dunia, yakni kepentingan pemberdayaan dan upaya pelestarian lingkungan
(konservasi) membuat pembinaan yang dilakukan instansi teknis belum mencapai sasaran
pemberdayan mereka.
Tahun 2009 Temenggung Tarib beserta keluarganya secara mengejutkan
menyatakan keluar dari hutan dan menyatakan memeluk Agama Islam dan hidup di
rumah pribadi yang dibangun di lokasi pemukiman Suku Anak Dalam Mualaf Desa Bukit
Suban. Tarib akhirnya berganti nama menjadi Muhammad Jailani dan istrinya Putri Jija
Sanggul berganti nama menjadi Siti Chadijah. Seorang putranya Mandum juga
menyatakan memeluk Agama Islam dan berganti nama menjadi Abdul Qodir. Abdul
Qodir akhirnya menikah dengan Rudiana orang dusun di luar komunitas mereka. Rudiana
adalah putri Ustadz Salik pembina Rohani Suku Anak Dalam Mualaf di Desa Pematang
Kabau. Sebelum menikah dengan Abdul Qodir, Rudiana menetap di pemukiman Suku Anak
Dalam Mualaf dan aktif mengajar anak-anak mengaji di TPA AL Zaitun atau Mushalla An
Nur yang dibangun LSM Kopsad di Pematang Kabau.

Potret seorang warga Suku Anak Dalam yang sudah menjadi mualaf
siap untuk dinikahkan

Mengingat Temenggung Tarib telah memeluk Agama Islam, maka jabatannya sebagai
temenggung (Pimpinan Adat Suku Anak Dalam Tradisional) diserahkan kepada seorang
anggota keluarganya Betaring. Sejak Nopember 2009 jabatan pimpinan adat dikendalikan
oleh Temenggung Betaring.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Masuknya Temenggung Tarib kelingkungan masyarakat desa dan bermukim di luar


lingkungan aslinya membawa dampak positif bagi upaya pembinaan dan pemberdayaan
mereka di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Ketokohan Temenggung Tarib dan
kondisi ekonomi yang jauh memadai dibandingkan dengan mereka yang lainnya membawa
dampak perubahan terhadap mereka yang sudah mualaf dan mereka lainnya yang sudah
lebih dahulu masuk ke lingkungan masyarakat desa. Mantan temenggung kelompok Suku
Anak Dalam Air Hitam merupakan sosok panutan bagi warga. Menurut Tarib, ia saat ini
tengah mengumpulkan dana untuk membiayai dirinya menunaikan ibadah haji ke tanah susi
Mekah. Entah kapan akan terwujud, yang penting sekarang awak lagi belajar ilmu Agamo
Islam dan mencari biaya awak nak naik haji. Niat untuk menunaikan rukun Islam kelima itu
disampaikan Temenggung Tarib melalui telepon seluler kepada Direktur Eksekutif LSM
Kopsad tanggal 12 dan 15 Desember 2011.
Pimpinan Komunitas Adat Tradisional Suku Anak Dalam Air Hitam Taman Nasional
Bukit Dua Belas Sarolangun, Temenggung Betaring dan Ketua Suku Anak Dalam Senapui
Desa Pematang Kabau Haji Helmi mengakui, saat ini warga mulai mengeluhkan dengan
berbagai kondisi keprihatinan dan tantangan kedepan yang bakal mereka hadapi. Mereka
menyadari bahwa kondisi hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas kian hari semakin rawan
terhadap kegiatan perambahan hutan oleh masyarakat dan oknum yang tidak bertanggung
jawab. Persoalan ini persediaan bahan pangan seperti, hewan buruan dan makanan pokok
tidak mencukupi.
Pelaksana Tugas Sekretaris Eksekutif LSM Kopsad Slamet Edi Sucipto, S.Pd. dan
Koordinator Devisi Pemberdayaan Sosbud Muhammad Yani mengemukakan, LSM Kopsad
dengan visi dan misinya berupaya untuk mengangkat harkat dan martabat warga Suku Anak
Dalam layaknya seperti manusia-manusia yang lain, apalagi hutan Taman Nasional Bukit
Dua Belas tidak dapat menjamin seutuhnya masa depan mereka. Kita tidak ingin
mengesploitasi dan menjual kemiskinan serta ketidakberdayaan mereka ke negara lain. Dari
sudut manusia dan kemanusiaan tidak ada alasan bagi kita untuk melestarikan dan
membiarkan mereka terus dalam keterasingan, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Kopsad tidak ingin memaksakan mereka untuk keluar dari hutan, jika mereka tetap
ingin menjadi pengembara dan terus hidup melangun itu merupakan hak asasi mereka. Yang
jelas, bagaimana kedepan pemerintah, dunia usaha, serta masyarakat secara konsisten terus
memelihara sisa-sisa hutan yang masih tertinggal dan membantu mereka agar tetap manpu
bertahan hidup di lingkungannya seperti yang dilakukan oleh masyarakat Badui dalam di
Propinsi Banten.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Dilain pihak, saat ini terdapat 50-75 KK warga Suku Anak Dalam di Kabupaten
Merangin dan 30-40 KK warga Suku Anak Dalam di kawasan Air Hitam Taman Nasional
Bukit Dua Belas menyatakan diri siap untuk dimukimkan dan bersedia dilakukan pembinaan
dan pemberdayaan. Layang dan Roni pria separuh baya dan tokoh Suku Anak Dalam
Tradisional di kawasan pemukiman daerah aliran Sungai Rasau dan Desa Nalo yang
tengah nomaden di kawasan Desa Kungkai, Kecamatan Bangko menyebutkan, sedikitnya
terdapat 50 KK warga Suku Anak Dalam yang siap dimukimkan. Kehidupan kami sejak 5
tahun terakhir semakin sulit, kalau sekedar membuat pondok kecil mungkin sebagian warga
mampu, namun persoalan yang dihadapi oleh warga mereka tidak memiliki lokasi lahan
untuk pembangunan rumah dan tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam.
Walaupun kami saat ini hidup di negeri sendiri dan nenek moyang kami sudah
beranak-pinak di belantara Merangin, namun sebagian besar dari warga kami tidak memiliki
lahan karena selama ini kami bebas mandiri hidup nomaden di hutan belantara, itu dulu.
Sekarang hutan kami sudah semakin habis dan suatu saat cerita tentang hutan kami akan
menjadi kenangan dan saksi bisu sejarah peradaban kami, “Kami dan saudara-saudara kami
saat ini hidup bagaikan menumpang di negeri sendiri. Dari dahulu hingga saat ini kelompok
kami belum mendapat sentuhan, bantuan, dan pembinaan dari pemerintah maupun dari
perusahaan yang ada di sekitar kami. Dulu warga kami pernah 2 - 3 kali dibantu oleh LSM
dan pemerintah, setelah itu tak ada lagi yang mau membantu, jangankan membantu
menolehpun tidak”, kata Layang dan Roni.
Puluhan kepala keluarga warga Suku Anak Dalam di kawasan Taman Nasional
Bukit Dua Belas Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam dan di kawasan Bukit Bulan,
Kecamatan Limun yang diwawancarai, lebih separuh dari jumlah responden menginginkan
hidup yang layak. Persoalannya ketika mereka hendak dimukimkan di luar kawasan hutan,
mereka tidak memiliki lahan. Warga berharap agar pemerintah dan LSM Kopsad membangun
sarana perumahan di dalam kawasan kebun milik mereka dalam kawasan hutan Taman
Nasional Bukit Dua Belas dan di kawasan Lubuk Bedorong Bukit Bulan, Kecamatan Limun.
Mereka sangat mengharapkan pemerintah (Menteri Sosial, Menteri Negara PDT RI,
Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten untuk menempatkan fasilitas sosial dan
perumahan dekat dengan lokasi tempat mereka mencari hidup. Persoalannya adalah apakah
pemerintah atau pihak Taman Nasional mengizinkan wilayah usaha Suku Anak Dalam yang
termasuk dalam kawasan taman untuk dimanfaatkan bagi pembangunan fasilitas perumahan
dan fasilitas sosial lainnya. Di sini diperlukan kebijakkan dan kearifan dari pengambil
kebijaksanaan.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Warga Suku Anak Dalam di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas Pematang
Kabau, Kecamatan Air Hitam dan di kawasan Lubuk Bedorong Bukit Bulan, Kecamatan
Limun mengharapkan agar pemerintah melalui instansi teknis terkait untuk memberikan
bantuan stimulan berupa bibit tanaman holtikultura, sayur mayor, dan bibit ternak, termasuk
bibit karet unggul, bibit karet, dan sarana produksi pertanian lainnya. Di samping itu,
pemerintah dalam hal ini dinas instansi terkait perlu terlibat aktif dalam memberikan
penyuluhan dan pembinaan sosial, ekonomi, dan kerohaniaan bagi komunitas ini dengan
tetap memperhatikan tradisi dan budaya yang telah berurat berakar di tengah-tengah
kehidupan mereka.

B. Kondisi Lingkungan Hidup

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi Ir. Didi Wurjanto, M.Sc.
ketika menerima kunjungan Direktur Eksekutif LSM Kopsad di Jambi, Senin, 12-2011
mengemukakan, bahwa pada awalnya Suku Anak Dalam tinggal jauh di pedalaman yang
sangat sulit untuk dijangkau, mereka bermukim secara turun-temurun di dalam hutan
belantara. Belakangan ini sejak 20 tahun terakhir secara pelan-pelan sifat ketertutupan
mereka dengan dunia luar mulai tersibak. Dampak pembangunan pemukiman baru yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui program transmigrasi, pembukaan lahan
perkebunan dalam skala besar, dan akibat perambahan hutan, disatu sisi mengusik
kehidupan mereka dan dilain pihak telah membuka mata mereka untuk mengetahui dunia
luar yang berperadaban modern.
Sejak pemerintah daerah mengeluarkan izin prinsip bagi perusahaan swasta nasional
untuk usaha perkebunan kelapa sawit di wilayah Kabupaten Sarolangun, terutama di wilayah
Kecamatan Bathin VIII, Kecamatan Air Hitam, Kecamatan Pauh sejak 20 tahun yang lalu
sangat berdampak bagi mereka. Warga merasa kehidupan masa depan mereka suram karena
hutan yang selama ini tempat mereka hidup dan beranak-pinak mengalami degradasi, tidak
hanya karena pembukaan lahan perkebunan tetapi juga disebabkan perambahan hutan dan
pembukaan pemukiman-pemukiman baru. Akibatnya saat ini banyak ditemui mereka yang
hidup di luar habitat kawasan hutan.
Belakangan puluhan kepala keluarga Suku Anak Dalam menjalankan ritual nomaden
atau melangun antara satu kawasan kebun kelapa sawit atau karet ke kebun kelapa sawit dan
karet lainnya. Ironisnya, kehadiran mereka di sekitar lokasi perkebunan dan pemukiman
masyarakat sering menjadi duri dalam daging di tengah-tengah masyarakat. Hanya untuk

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

sekedar bisa mempertahankan nafas kehidupan banyak warga terpaksa mereka mengambil
berondolan buah kelapa sawit yang tercecer, mengambil buah pinang, kemiri, jengkol petai
dari lahan masyarakat. Beberapa orang di antara mereka terlihat menjadi pemulung dan
pengemis di tengah kota Sarolangun. Hingga saat ini belum ada satu wadah pun yang mampu
menjembatani kepentingan mereka. Kedepan dipandang perlu memberi peran yang lebih luas
kepada pimpinan tradisional Suku Anak Dalam (Temenggung, Depati, Mangku, Menti, dan
Dubalang Bathin) dalam berbagai kegiatan pembangunan.
Dalam pandangan kebudayaan dan pariwisata, pemerintah perlu melegimitasi dan
memberi pengakuan hak-hak adat dan memberikan pengakuan terhadap institusi dan adat
Suku Anak Dalam. Dan kedepan pemerintah perlu mengangkat tenaga pendamping yang
profesional dari aktifis atau akademisi untuk mengangkat kehidupan mereka ke arah masa
depan yang lebih baik.
Untuk keterpaduan dan untuk menyinergikan upaya pemberdayaan mereka,
pemerintah daerah kedepan perlu merealisasikan secara nyata sistem zonasi. Menurut
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propijsi Jambi, .dalam perspektif kebudayaan dan
pariwisata, keberadaan mereka perlu dipelihara dan dipertahankan. Warga Suku Anak Dalam
Tradisional dikenal sebagai masyarakat yang mencintai keberadaan hutannya. Hutan bagi
mereka adalah segala-galanya, tanpa hutan mereka tidak mampu untuk mempertahankan
keberlangsungan kehidupan mereka.

Potret jalan buruk dan berlumpur harus dilalui untuk menuju


Kantong pemukiman SAD di belantara hutan Propinsi Jambi

Kebudayaan mereka dan sistem kehidupan yang mereka lakukan merupakan potensi
pariwisata yang memiliki daya tarik tersendiri dan manakala atraksi budaya dan potensi
mereka kita angkat dan kita tumbuh kembangkan akan membantu pembangunan subsektor

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

pariwisata di Propinsi Jambi. Dalam kehidupan mereka terdapat banyak potensi kebudayaan
masa lampau yang masih dipegang teguh oleh warga. Misalnya, tradisi kelahiran, tradisi
perkawinan, tradisi pengobatan, dan tradisi kematian. Tradisi-tradisi seperti ini masih
diselimuti misteri yang perlu dikaji dan diangkat ke permukaan.
Gambaran yang unik dalam kehidupan mereka adalah sesuatu yang eksotik. Banyak
hal yang aneh, mencengangkan, langka, dan mengejutkan di tengah kemajuan peradadan dan
modernisasi yang melaju cepat ternyata masih ada masyarakat yang hidup dengan
kebudayaan masa lampau. Mereka memiliki keyakinan bahwa merubah alam adalah
pembangkangan terhadap kehendak Tuhan dan jika ini terjadi merupakan pelanggaran
terhadap adat istiadat.
Selama ratusan tahun mereka ini hidup di keteduhan hutan penuh dengan kedamaian.
Mereka dengan nyaman hidup dalam tradisi budaya nenek moyang yang berpusat pada hutan
atau alam. Sebagian besar mereka ini masih mempertahankan kegiatan berburu, meramu hasil
hutan, berkebun, dan masih mempertahankan budaya melangun (nomaden). Hutan bagi
mereka merupakan sumber kehidupan. Dengan kearifan lokal yang tertanam sejak usia dini
mereka mampu hidup bersama di dalam hutan secara damai dan mereka mampu melestarikan
hutan dan menjaga lingkungan sehinga mereka dapat mempertahankan hidup secara turun-
temurun. Karena perjalanan waktu dan pesatnya pembangunan yang menyentuh berbagai
aspek kehidupan masyarakat Jambi, dampaknya sangat dirasakan oleh warga Suku Anak
Dalam. Di berbagai kawasan hidup dan sumber penghidupan mereka mulai tergerus atau
terkuras. Dampaknya mereka semakin terdesak dan sebagian dari mereka tidak lagi
melangun di dalam hutan, tetapi mereka melangun dan hidup terpencar di tengah kawasan
perkebunan masyarakat dan perkebunan kelapa sawit milik perusahaan tertentu.

C.SekilasPotret Suku Anak Dalam Desa Mentawak Kabupaten Merangin

Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam kelompok Temenggung Kitab, konon
berasal dari keturunan Kerajaan Paguruyung Minangkabau. Menurut Temenggung Kitab
umumnya mereka yang berada di Kabupaten Merangin, dan sebagian mereka yang berada di
daerah Air Hitam kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas berasal dari Minangkabau.
Nenek moyang mereka datang ke Jambi untuk membantu Kerajaan Jambi yang saat itu
mendapat serangan. Dalam perjalanan yang melewati hutan belantara Jambi mereka
kehabisan bekal. Nenek moyang mereka berpikir untuk melanjutkan perjalanan ke Jambi
masih membutuhkan waktu yang cukup lama, sementara untuk kembali ke Minangkabau

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

mereka merasa malu. Lagi pula, perjalanan kembali ke Minangkabau terlalu jauh. Jika tetap
kembali ke Pagaruyung mereka takut akan mendapat hukuman dari Kerajaan Pagaruyung.
Akhirnya, mereka sepakat untuk tetap bertahan di hutan Jambi. Nenek moyang mereka telah
bersumpah dan jika melanggar sumpah mereka akan mendapat kutukan. Sumpah mereka
yang hingga saat ini masih dipegang oleh sebagian besar masyarakat adalah ”Ke mudik
dikutuk Rajo Minangkabau, ke hilir keno kutuk oleh Rajo Jambi, ke atas tidak berpucuk, ke
bawah tidak berurat, di tengah digirik kumbang dan ditimpo kayu punggur.”
Budayawan Jambi Drs. H. Junaidi T. Nur dalam tulisannya mengungkapkan, bahwa
menurut beberapa orang ahli antropologi dan sejarahwan Suku Anak Dalam adalah sisa-sisa
dari Suku Bangsa Proto Melayu (Melayu Tua). Mereka sudah berada di Jambi sejak tahun
2.500-1.500 Sebelum Masehi (SM). Sebagian lainnya menyebutkan, bahwa nenek moyang
mereka berasal dari Suku Bangsa Deutro Melayu (Melayu muda) yang datang sekitar 300
tahun SM. Populasi mereka saat ini berada di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas,
Bukit Tiga Puluh dan di sejumlah kantong-kantong pemukiman yang tersebar di Kabupaten
Sarolangun, Kabupaten Merangin, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten
Batanghari, dan Kabupaten Muara Jambi.
Kelompok Temenggung Kitab secara turun-temurun mendiami kawasan hutan di
Kabupaten Merangin, daerah jelajah mereka di sekitar kawasan Sungai Rasau hingga
Empang Benao Pamenang, namun belakangan sejak 15-20 tahun terakhir daerah jelajah
kelompok Temenggung Kitab semakin sempit. Sempitnya daerah jelajah dan kawasan
melangun memaksakan kelompok ini untuk hidup mengembara di lokasi kawasan bekas
HTI, kawasan HGU, dan di lokasi perkebunan kelapa sawit yang ada di daerah Pamenang,
Hitam Ulu hingga ke Kuamang Kuning.
Kondisi hutan yang terus menyempit dan hewan buruan yang semakin langka
membuat kelompok ini tidak memiliki arah kehidupan yang jelas. Kelompok ini sebelum
tahun 2011 hidup mengelana dan membuat sudung-sudung tempat tinggal sementara di
dalam kebun karet milik masyarakat dusun (desa) dan di berbagai kawasan perkebunan
kelapa sawit. Kondisi hutan yang terus menipis dan faktor ekonomi terkadang memaksa
kelompok ini untuk melakukan tindakan kurang baik. Pada musim berbuah, oknum warga
Suku Anak Dalam melakukan tindakan memetik dan mengambil buah kemiri, buah pinang,
dan buah rambutan, buah durian milik masyarakat dusun atau milik warga bekas Unit
Pemukiman Transmigrasi. Dampaknya, sering terjadi konflik antara kelompok mereka
dengan warga di luar komunitas mereka. Oknum warga Suku Anak Dalam ketika dilarang

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

mengambil hasil tanaman selalu mengatakan, ”Mereka mengambil hasil tanaman milik
Dewo (Tuhan) tanah ini milik Dewo yang boleh dimanfaatkan oleh manusia”.
Persoalan lain kelompok Temenggung Kitab dan hampir sebagian besar warga Suku
Anak Dalam selalu membawa senjata api rakitan jenis kecepek untuk melakukan kegiatan
perburuan. Mereka beralasan hewan buruan saat ini sulit diburu dengan senjata tradisional.
Lagipula, jumlah dan jenis hewan buruan di hutan Merangin terus berkurang.
Pada awalnya kelompok ini terdiri dari 40-50 KK. Belakangan kelompok ini
terpecah-belah dalam beberapa rombongan karena perbedaan prinsip. Temenggung Kitab
bersama istri-istrinya, anak-anak, menantu, dan kerabat dekat berjumlah 17 kepala keluarga
membentuk kelompok sendiri. Sejak 25 Juli 2011 Temenggung Kitab telah mendiami rumah
layak huni yang dibangun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Kelompok Peduli Suku Anak
Dalam bekerja sama dengan Kepala Desa Mentawak, Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten
Merangin.
Sementara di lokasi pemukiman yang dibangun oleh PT Kresna Duta Agro Indo
terdapat 17 KK (89 jiwa) Suku Anak Dalam. Sebagian besar anak-anak mereka dalam
kelompok Temenggung Kitab mulai mengenal proses kegiatan belajar yang dibimbing para
relawan yang terdiri dari guru Pendidikan Anak Usia Dini.
Untuk kegiatan belajar dan bermain yang diselenggarakan oleh PAUD Nurul Habib
pihak LSM Kopsad dan para relawan telah membuat akta notaris dan untuk legalitas Dinas
Pendidikan Kabupaten Merangin telah menerbitkan izin operasionalnya. Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten Merangin Drs. Ali Busro dan Kepala Bidang PNF Dinas Pendidikan
Kabupaten Merangin mendukung dan menyambut baik ide dan gagasan LSM Kopsad dan
perusahaan perkebunan PT Kresna Duta Agro Indo Region Jambi yang mendirikan Rumah
Pintar dan PAUD Nurul Habib.
Pada tahun 2011 Dinas Pendidikan telah membantu insentif dan dana transportasi
untuk guru PAUD dan guru Program Paket A. Untuk menunjang kegiatan operasional Dinas
Pendidikan juga telah membantu pengadaan Alat Peraga Edukatif (APE). Selain itu, untuk
memperkuat jati diri dan dan sebagai bukti kependudukan Pemerintah Kabupaten Merangin
telah menerbitkan Kartu Penduduk bagi warga kelompok Temenggung Kitab.
Sejak hidup menetap di pemukiman dan perumahan yang dibangun melalui dana
CSR, telah terjadi perubahan yang cukup mendasar dikalangan warga kelompok
Temenggung Kitab. Pola kehidupan mereka mulai tampak teratur. Hampir sebagian besar
warga telah menggunakan busana lengkap dan pola kehidupan berumah tangga telah
mengalami perubahan besar. Sebagian besar wanita di kawasan ini telah mengonsumsi

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

makanan yang telah dimasak, ”Kami sekarang telah hidup menetap dan mulai memasuki
dunia baru. Kami telah mempunyai rumah sendiri dan sarana pendidikan yang cukup untuk
anak cucu kami. Kami juga sedang berupaya mengikuti pola hidup benar dan sehat,” kata
istri pertama Temenggung Kitab.
Ketua pemuda Suku Anak Dalam Mentawak, Meruncing, mengakui saat ini yang
menjadi persoalan bagi sebagian besar warga adalah masalah ekonomi, hutan kami kini
sudah hilang, meskipun kehidupan berburu dan meramu masih kami jalani akan tetapi hasil
yang diperoleh tidak sebanding dengan kerja keras dan risiko yang kami hadapi. Kedepan,
kami memohon kepada Bapak Rajo (pemerintah) untuk memperhatikan dengan sungguh
sungguh sumber penghidupan kami. Kami khawatir jika persoalan ekonomi warga tidak
diperhatikan rumah-rumah dan sarana pendidikan yang telah dibangun akan ditinggalkan
warga seperti kejadian di sejumlah lokasi pemukiman lainnya.
“Untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan mereka kedepan, pemerintah
dan dunia usaha perlu memikirkan untuk menciptakan sumber ekonomi dan kehidupan
warga dengan cara membangun kebun kelapa sawit atau kebun karet sebagaimana layaknya
yang telah diberikan pemerintah kepada warga bekas pemukiman transmigrasi dan warga
desa lainnya,” kata Meruncing. Untuk jangka pendek, Meruncing mengharapkan pemerintah
melalui instansi teknis terkait untuk membantu sembako, bibit sayur mayur, bibit ternak,
sarana belajar anak-anak, dan terus adanya upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan
dan proses pembelajaran bagi warga kami.

C. Sekilas Potret Suku Anak Dalam Lubuk Bedorong Bukit Bulan


Kabupaten Sarolangun
Secara kekerabatan Suku Anak Dalam Batang Sipar, Desa Lubuk Bedorong,
Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun termasuk dalam kategori kekerabatan kelompok
istri yang meliputi hubungan sepupu, keponakan, saudara dan hubungan kedekatan teritorial.
Meskipun demikian, jika warga telah dianggap mampu mengurus kehidupan keluarganya,
maka mereka dibolehkan untuk memilih lokasi yang baru. Dalam arti lain, boleh berdiri
sendiri terpisah dari mertua. Hubungan perkawinan antara kelompok Suku Anak Dalam
Batang Sipar Lubuk Bedorong berlaku kekerabatan istri. Dalam hal ini, suami harus menetap
di dekat kerabat istrinya. Misalnya, Temenggung Mantap (45 tahun) berasal dari Batang
Rebah menikah dengan Lirin (40 tahun). Lirin kelompok Suku Anak Dalam Batang Sipar
Lubuk Bedorong. Dan hingga saat ini Temenggung Mantap masih menetap di tempat istrinya
di Batang Sipar Lubuk Bedorong.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Suku Anak Dalam Batang Sipar Lubuk Bedorong bekas Marga Bukit Bulan hingga
saat ini masih melakukan perburuan, baik untuk dikonsumsi maupun untuk dikomersialkan.
Sampai saat ini hewan babi, merupakan hewan buruan yang relatif mudah diperoleh di
sekitar lokasi pemukiman. Peralatan yang mereka gunakan sebagian masih berbentuk
senjata tradisional. Misalnya, kujur, branjang, anjing, dan senjata rakitan kecepek. Perburuan
dilaksanakan hampir setiap hari. Hewan labi-labi dan kura-kura merupakan hewan buruan
yang bersifat komersil dengan harga berkisar antara Rp45.000, sampai dengan Rp60.000,.
Di samping labi-labi dan kura-kura, mereka juga melakukan perburuan terhadap
biawak. Kulit biawak dijual, sementara dagingnya dikonsumsi dan dijadikan sebagai umpan
jerat biawak atau umpan memancing labi-labi. Ular sawo juga merupakan hewan tangkapan.
Biasanya mereka menangkap ular ini setelah hujan lebat dan air sungai meluap serta diikuti
dengan hari panas. Kulit ular sawo memiliki nilai ekonomis, rata-rata kulit ular sawo dijual
antara Rp35.000, hingga Rp50.000, untuk ukuran sekitar 3-5 meter.
Hewan langka trenggiling juga merupakan hewan buruan yang cukup mahal, rata-rata
harga sisik setiap kg trenggiling mencapai Rp100.000,. Sisik trenggiling dimanfaatkan
untuk industri ramuan obat-obatan tradisional. Hingga saat ini Suku Anak Dalam di Batang
Sipar Lubuk Bedorong bekas Marga Bukit Bulan Kecamatan Limun masih ada
kecenderungan melakukn aktifits meramu dan mengumpulkan hasil-hasil hutan. Seperti,
damar, rotan, getah jenang, bigah sejenis kapur. Dan beberapa orang lainnya masih
melakukan aktifitas menebang kayu.
Di lokasi pemukiman Suku Anak Dalam Batang Sipar terdapat 16 KK atau sekitar
110 jiwa warga. Mereka sudah hampir 15 tahun hidup bermukim di lokasi itu. Beberapa
warga telah mendirikan bangunan rumah sederhana dari kayu atap seng. Umumnya, warga
sudah memiliki lahan perkebunan yang ditanami dengan tanaman karet lokal. Rata-rata
warga memiliki lahan sekitar 2-2,5 hektar. Mereka menanami lahan tersebut pohon karet
yang bisa disadap untuk diambil getahnya. Dan yang lainnya juga mulai menanam pohon
kelapa sawit.
Untuk menuju lokasi ini pengunjung dapat menggunakan kenderaan roda dua dan
roda empat. Dapat ditempuh sekitar 1,5 jam dari Kota Sarolangun atau 1 jam perjalanan dari
Pulau Pandan ibukota Kecamatan Limun ke arah Maribung Bukit Bulan. Sekitar 3 km
menjelang Desa Lubuk Bedorong pengunjung harus berjalan kaki sepanjang 1.200 meter
sambil menuruni jurang dan lurah yang cukup terjal. Bila musim panas, ruas jalan ini dapat
dilalui dengan kenderaan roda dua. Kondisi jalan tanah dengan kemiringan yang terjal
menyulitkan mereka untuk melakukan akses ke luar perkampungan.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Sejak 3-5 tahun terakhir warga Suku Anak Dalam kelompok Temenggung Mantap di
bina oleh sejumlah misionari. Pengakuan warga, selama ini mereka belum tersentuh oleh
pembinaan mental dan spritual dari masyarakat lokal di sekitar pemukiman mereka. Perhatian
dan pembinaan dari instansi teknis dan LSM Kopsad terhadap mereka nyaris tak terdengar.
Di samping itu, pandangan dan stereotip dari masyarakat lokal terhadap mereka terlanjur
bernada minor atau jelek.
Warga Suku Anak Dalam kelompok Temenggung Mantap telah mengenal kehidupan
modern. Mereka telah menggunakan busana lengkap, dan beberapa warga telah memiliki
sepeda motor dan HP. Untuk bidang kesehatan mereka telah memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan pada Pustu, Puskesmas, dan RSUD.

D. Pembangunan Posdaya Suku Anak Dalam


Untuk mempercepat proses kegiatan pemberdayaan mereka dan sebagai Visitor
Center Pemberdayaan Suku Anak Dalam di kawasan pemukiman mereka, Lembaga Swadaya
Masyarakat Kelompok Peduli Suku Anak Dalam merintis pendirian pos pemberdayaan
mereka yang selanjutnya dinamai dengan Posdaya Suku Anak Dalam (Posdaya SAD).
Tahap awal posdaya dirintis di perkampungan Desa Mentawak, Kabupaten Merangin dan
Posdaya di perkampungan Desa Bukit Suban dan Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air
Hitam, Kabupaten Sarolangun.

Wakil Gubernur Jambi Drs.H.Fachrori Umar,M.Hum , Bupati Merangin Drs.H.Nalim, SH , Wakil Bupati
Drs.H.Hasan Basri Harun , RC PT KDA Ir.H.Dwi Prasetio –Ir.Adat Ginting
Meninjau proses pembelajaran di PAUD Nurul Habib Suku Anak Dalam
Di desa Mentawak Kabupaten Merangin.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Posdaya SAD dijadikan sebagai pusat kegiatan pemberdayaan pendidikan, kesehatan,


dan ekonomi termasuk untuk pengembangan live skill (kecapakan hidup). Pelaksanaan
kegiatan posdaya melibatkan instansi teknis, kepala desa, tim penggerak PKK desa
relawan, guru PAUD, Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), petugas kesehatan, penyuluh
pertanian lapangan, dan tokoh-tokoh agama.
Program Posdaya meliputi kegiatan pembelajaran, penyuluhan sosial, kesehatan,
keluarga berencana, dan pertanian terpadu dengan skema pengelola adalah sebagai berikut:
Penasehat Pelindung : LSM Kopsad
: Instansi Teknis terkait
: Dunia Usaha
Pelaksana Program :
1. Ketua : Kepala Desa
Sekretaris : Pengelola PAUD SAD
Bendahara : Pengelola Rumah Pintar
2. Bidang Pemberdayaan
Pemberdayaan PerempuanSAD : Ketua Tim Penggerak PKK Desa
3. Bidang Kesehatan : Bidan Desa
4. Bidang Pendidikan : Guru-guru PAUD SAD
5. Bidang pertanian terpadu : PPL Desa
6. Bidang Rohani : Penyuluh Agama Honorer
Kegiatan posdaya untuk sementara memanfaatkan fasilitas bangunan PAUD atau
rumah singgah yang telah dibangun oleh LSM Kopsad di lokasi pemukiman Desa Bukit
Suban dan Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun dan di
Desa Mentawak, Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin. Pemanfaatan ini seadanya
sambil menunggu relawan lainnya yang berkenan melibatkan diri dalam pemberdayaan ini.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

BAB V
POTENSI YANG DIMILIKI SUKU ANAK DALAM

Pada dasarnya penduduk di Propinsi Jambi dapat dibedakan atas dua kelompok,yaitu
penduduk asli dan penduduk pendatang.Penduduk asli adalah penduduk yang telah hidup
menetap secara turun temurun sejak ratusan ribu tahun yang lalu hingga saat ini.Penduduk
asli terdiri dari Suku Weddoid dan Suku Melayu.
Suku Melayu terbagi dua. yakni Proto Melayu dan Dentro Melayu. Yang termasuk
Proto Melayu adalah Suku Kerinci, Suku Batin, dan Suku Bajau, sedangkan yang termasuk
Dentro Melayu adalah Suku Melayu Jambi, Orang Penghulu, dan Orang Pindah. Untuk suku
pendatang, yakni mereka yang datang ke daerah Jambi, mereka berasal dari suku-suku bangsa
yang ada di nusantara termasuk orang asing yang berasal dari berbagai Negara. Suku
pendatang itu dapat kita kelompokan menjadi suku pendatang dari berbagai suku di nusantara
dan orang asing yang menetap di Propinsi Jambi, diantaranya telah melakukan pernikahan
dengan penduduk Propinsi Jambi.
Suku Anak Dalam merupakan salah satu suku asli yang ada di Propinsi Jambi.
Keterangan yang pasti, asal usul kedatangan nenek moyang mereka belum ditemui secara
tertulis. Para ahli dan sejarahwan ada yang menyebutkan, bahwa suku ini berasal dari
percampuran antara Suku Wedda dan Suku Negrito yang kemudian disebut Suku Weddoid.
Pendapat ini didasarkan pada cirri-ciri pisik mereka yang memiliki kesamaan dengan Suku
Negrito dan Suku Weddoid. Ciri-ciri yang yang memiliki kesamaan itu antara lain, kepala
berbentuk sedang (kecil), posisi mata agak menjorok ke belakang, kulit sawo matang, dan
berambut keriting (ikal, berombak, dan hitam legam).

Direktur LSM Kopsad bersama Anggota DPR.RI / Artis Nasional Nurul Arifin dan
Frangky Sahilatua (Alm) di Taman Nasional Bukit Dua Belas Sarolangun

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Salah satu suku tertua yang ada di Jambi adalah Suku Anak Dalam. Dewasa ini,
mereka terbagi atas dua kelompok besar, yakni mereka yang masih mengembara (nomaden)
dan mereka yang telah diberdayakan dan hidup menetap di berbagai kawasan pemukiman
yang dibangun oleh pemerintah dan sejumlah organisasi masyarakat termasuk lembaga
swadaya masyarakat. Bagi mereka yang menetap telah mengalami perubahan pola hidup.
Mereka tidak lagi melaksanakan ritual besale, tidak lagi melangun (nomaden). Mereka telah
mengenal kebudayaan luar seperti, bercocok tanam, berpakaian, dan beragama.
Dulu Suku Anak Dalam disebut sebagai Suku Kubu dan untuk memperhalus
penyebutan panggilan Kubu diubah menjadi Suku Anak Dalam. Sebagian yang lain
menyebut diri sebagai Orang Rimbo. Pengertian Suku Anak Dalam awalnya berasal dari
istilah ”peranakan” dalam bahasa Melayu Palembang berarti rakyat, sedangkan kata
“dalam” merupakan kata dasar dari pedalaman. Jika kedua kata ini disatukan maka akan
berarti “rakyat pedalaman”.
Mereka hingga saat ini masih banyak kita jumpai di daerah Bungo, Tebo,
Sarolangun, Merangin, Batanghari, Muara Jambi. Khusus untuk mereka yang berada di
Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin mereka banyak bermukim di lokasi Pangkal
Bulian, Kejasung Besar, Makekal, Air Ban, Air Hitam, Teleh, Serampas, Telentam, Air Liki,
Rantau Kermas, Tanjung, Limbur Tembesi, Menelang, Sipintun, Sungai Rasau, Singkut,
Arai, dan Lubuk Bedorong.
Kondisi sosial dan kebudayaan mereka yang hidup di luar hutan saat ini telah
mengalami perubahan dan pergeseran dari kebudayaan tradisional memasuki peradaban
baru. Beberapa warga telah menikah dengan masyarakat di luar kelompok mereka. Mereka
juga telah mengenal dunia modern dan teknoligi informasi. Mereka memiliki potensi
kebudayaan dan seni yang unik dan spesik. Mereka memiliki kesenian dan kebudayaan
tradisional dan memiliki bahasa sendiri yang disebut dengan bahasa Kubu.

A. Besale
Upacara ritual “besale” merupakan upacara ritual yang dilakukan oleh Komunitas
Adat Terpencil Suku Anak Dalam yang hidup di berbagai kawasan hutan di Propinsi Jambi.
Upacara ini merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya dan
kelestariannya dimungkinkan oleh fungsinya dalam kehidupan masyarakat. Seperti upacara-
upacara ritual lainnya yang ada di Indonesia akan mengalami kepunahan bila tidak memiliki
fungsi sama sekali.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Masyarakat Suku Anak Dalam Tradisional merupakan suku terpencil yang masih
sedikit mengalami perubahan sosial. Mereka masih kuat memegang tradisi leluhur mereka.
Mereka masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Mereka masih
mempercayai roh-roh sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan yang gaib dan dewa istilah
etnik mereka Dewo. Mereka mempercayai kekuatan yang tersembunyi. Menurut Pandangan
mereka, Dewo ada yang mendatangkan kebaikkan dan ada yang mendatangkan kejahatan.
Hampir seluruh kehidupan sosial budaya mereka khususnya yang berada di kantong-kantong
pemukiman di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas dan hutan-hutan belantara yang ada
di Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin selalu dekat dengan alam dan kehidupan
kebudayaan tradisional.
Sistem kehidupan, pernikahan, melahirkan, pengobatan, dan kematian selalu
dikaitkan dengan kehadiran roh-roh atau Dewo-Dewo. Upacara ritual pengobatan dan
penyampaikan permohonan kepada roh-roh dan Dewo dilakukan melalui proses ritual
“besale”. Kegiatan ini dilakukan secara bersama-sama dipimpin oleh temenggung dan
seorang dukun yang disebut Malin.
Sebelum ritual besale dilakukan, mereka terlebih dahulu mempersiapkan sesajian
berupa berbagai macam hasil meramu, kemenyan, dan sejumlah hewan buruan. Kegiatan ini
biasanya dilakukan menjalang dini hari. Ada juga sebagian kelompok yang melakukan ritual
besale ketika menjelang bulan purnama.
Setelah semua kelengkapan besale disiapkan, temenggung dan malin memimpin
ritual dengan membaca mantera-mantera. Pembacaan mantera dilakukan secara khusuk.
Menjelang acara pokok dimulai, anak-anak mereka menari, seperti tari lalak gendang dan
tari elang yang diiringi dengan bunyi-bunyian yang bernuansa alam. Bunyi-bunyian tersebut
seakan-akan membelah keheningan malam.
Saat malin memimpin acara pengobatan, semua warga tidak boleh bersuara. Orang
luar dari komunitas mereka dilarang berada di lokasi besale, bahkan suara binatang hutan
termasuk kucing dan anjing dilarang mendekat lokasi. Bila terdengar suara anjing, kucing,
dan suara burung malam, maka si malim akan jatuh pingsan. Jika si malim pingsan, acara
dihentikan sampai kembali siuman. Upacara dapat dilanjutkan kembali hingga menjelang
fajar menyingsing di ufuk timur.
Hasil pemantauan penulis dan wawancara dengan seniman Jambi Azhar Mj. dan
Harun Nahri, bahwa dalam Komunitas Adat Suku Kerinci, Suku Batin, dan Suku Pindah
ditemui banyak persamaannya dengan kebudayaan Suku Anak Dalam. Suku Kerinci dan
Suku Batin pada zaman dahulu juga menganut kepercayaaan animisme dan dinamisme,

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

mereka mempercayaai kekuatan roh-roh gaib. Dalam tata cara pengobatan mereka juga
melakukan acara ritual dan membaca mantera-mantera.
Saat ini karena derasnya arus informasi dan komunikasi dan pengaruh ajaran Agama
Islam, kepercayaan animisme pada Suku kerinci dan Suku Batin telah bergeser. Agama Islam
dengan tegas telah melarang melakukan pemujaan terhadap roh-roh termasuk memuja
pohon-pohon dan binatang yang sebelumnya diyakini sebagai tempat bersemayamnya para
roh-roh gaib dan jin.
Namun peninggalan kebudayaan masa lampau itu hingga saat ini sebagian masih
tetap dipertahankan oleh masyarakatnya setelah sebelumnya dilakukan seleksi. Sebagai
contoh, Suku Kerinci sampai saat ini masih menggunakan tarian ritual, asyek, tari ngagah
harimau, upacara nanak ulu tahun, dan upacara ngayun luci. Upacara baselang nuai pada
masyarakat Suku Melayu Jambi, upacara turun ke sawah pada masyarakat Suku Batin
Kabupaten Sarolangun dan sebagian Kabupaten Merangin. Sebelum upacara dilaksanakan
juga dilakukan acara meletakkan sesajian yang dibuat khusus oleh dukun.
Sejak masuknya pengaruh Agama Islam, upacara ritual tersebut mulai berkurang.
Sekarang hanya dilakukan untuk atraksi kebudayaan yang digelar pada kegiatan festival atau
sewaktu nyambut kunjungan tamu-tamu kehormatan. Dan mantra-mantra yang digunakan
untuk mengiringi pertunjukan tersebut juga telah mendapat pengaruh dari Agama Islam.
Bagi Suku Anak Dalam sampai sekarang masih melakukan tradisi melangun. Bila ada
salah seorang dari anggota masyarakat yang meninggal dunia atau mengalami sakit parah
yang tidak dapat diobati lagi, maka mereka akan meninggalkan jenazah atau anggotanya
yang sedang sakit parah tersebut di tempatnya. Sementara anggota yang lainnya akan
berpindah tempat atau melakukan nomaden. Mereka beranggapan daerah itu adalah daerah
yang membawa sial. Para wanita menangis sejadi-jadinya sambil berjalan meninggalkan
tempat tersebut, mereka meraung-raung meratapi kematian angggota keluarganya, mereka
tidak akan pernah menoleh ke belakang, mereka pergi meninggalkan si jenazah, dan untuk
mengurus penyemayaman jenazah dilakukan oleh Suku Anak Dalam di luar kelompok
mereka.
Jenazah yang ditinggalkan oleh kelompoknya akan diurus oleh kelompok lain yang
menemukannya. Jenazah akan dibawa warga masuk ke dalam hutan belantara. Mereka
membuat bale-bale sekitar 1,5-2 meter dari tanah. Jenazah diletakkan di atas bale-bale lalu
ditutupi dengan atap daun atau plastik. Jenazah mereka tidak pernah dikuburkan, konon
jenazah itu dijadikan santapan bagi binatang-binatang liar.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

B. Potensi Olah raga


Pepatah Cina mengatakan, ”Sebuah pohon yang besar bermula dari sebuah biji yang
kecil”, Sukendro, Dosen Pendidikan Olah Raga Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP)
Universitas Negeri Jambi dalam disertasi yang dipertahankan di hadapan sidang terbuka
Senat Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (2011) untuk memperoleh gelar Doktor. Ia juga
menyebutkan, bahwa Suku Anak Dalam memiliki potensi sebagai atlet atau sebagai
olahragawan.
Belakangan ini prestasi olahraga di Indonesaia mengalami penurunan. Hal ini antara
lain disebabkan oleh faktor kebugaran jasmani anak dan masyarakat sangat rendah,
kehidupan sehari-hari masyarakat yang serba instan, dan pengaruh kehidupan sosial yang
serbaglobal dan transparan, sehingga orang enggan melakukan aktifitas fisik dan akhirnya
mempengaruhi gerak yang serbaterbatas. Untuk menjaga kebugaran tubuh perlu dilakukan
kegiatan fisik dengan kembali pada aktifitas masa lalu back to natural dan perilaku serta
kehidupan yang alami. Hal ini dapat kita lihat pada Suku Anak Dalam yang memiliki
kekuataan fisik dan kebugaran tubuh yang lebih baik. Mereka sejak dari dalam kandungan
telah dilatih untuk mempertahankan hidup.
Setiap mereka yang lahir selalu dihadapkan pada kondisi alam yang serbamenantang,
tanpa bantuan medis, tanpa perawatan, dan tanpa makanan yang cukup. Catatan dan
pengamatan penulis, terlihat angka kematian ibu dan bayi cukup tinggi. Bayi yang dilahirkan
akan mampu bertahan hidup hingga dewasa setelah menjalani seleksi alam yang ketat. Saat
balita dan anak-anak jika dapat mereka lewati maka anak itu akan tumbuh dan berkembang
serta mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap alam dan lingkungan.
Ketri Freeman, seorang suku minoritas suku terasing dari Aborigin Australia setelah
dilakukan sedikit pembinaan dan pelatihan pada akhirnya mampu menjadi juara lomba
Atletik Putri Olimpiade Sidney tahun 2000. Ketri Freeman mampu meraih medali emas 400
meter, padahal sebelumnya Ketri Freeman belum pernah merasakan teknologi maju. Ia
masih alami dan belum terkontaminasi dengan kebudayaan modern.
Untuk mempertahankan hidup mereka harus berjuang mendapatkan hewan buruan
yang hidup bebas dan dilepas di hutan belantar. Berburu merupakan mata pencarian mereka
di samping melakukan kegiatan mengumpulkan hasil hutan yang mereka sebut dengan istilah
meramu. Pada waktu melakukan kegiatan perburuan, mereka hanya mengandalkan tombak,
kujur, parang, dan jerat alami untuk menangkap hewan. Tanpa menggunakan teknologi yang
tinggi dan dengan peralatan sederhana mereka mahir menangkap hewan buruan.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Seorang anak Suku Anak Dalam berusia 13-15 tahun mampu menangkap ular sawo
dengan mudah. Mereka menjelajah hutan, menelusuri lembah, dan mendaki bukit hanya
dengan memakai cawat dan tanpa alas kaki. Mereka tidak gentar dalam menghadapi
marabahaya dan selalu berupaya menghindar dari marabahaya tersebut.
Memperhatikan pola hidup dan cara mereka bertahan hidup, dipastikan jika mereka
diberdayakan, dididik, dan dilatih akan mampu menjadi seorang atlet atau olahragawan
sejati. mereka sangat mahir dalam menempuh lintas alam dengan kondisi medan yang berat,
mereka mahir dalam memainkan senjata tombak dan kujur, mereka mampu menghadapi
hewan buruan, dan mereka telah terbiasa berlari dan berjalan kaki puluhan kilo meter dalam
satu hari tanpa persiadan makanan yang cukup.
Penelitian Dr. Sukendro menyebutkan, bahwa mereka mempunyai potensi yang
sangat besar dalam olahraga air, lompat tinggi, sprint running long and triple jump,
gymnastik, dan trompoling. Mereka juga mempunyai potensi untuk menjadi olahragawan
tenis meja, bola tangan, voli bal, dan takraw, namun sejauh ini belum ada satupun pengurus
cabang olahraga atau KONI yang melakukan pembinaan terhadap mereka. Lembaga
Swadaya Masyarakat beberapa tahun terakhir telah memperkenalkan beberapa cabang
olahraga seperti voli bal, takraw, bola kaki kepada mereka di Desa Pematang Kabau, Desa
Bukit Suban, dan Desa Mentawak.

C. Bahasa dan Sastra Suku Anak Dalam

Suku Anak Dalam memiliki bahasa sendiri yang termasuk ke dalam rumpun bahasa
Austronesia Barat dan bagian dari bahasa-bahasa Hesporenesia yang menurunkan bahasa
Melayu, selanjutnya menurunkan bahasa Suku Anak Dalam atau bahasa Kubu, Keraf
(1996:209). Bahasa dan dialeg mereka memiliki banyak kesamaan dengan bahasa
Palembang, bahasa penduduk Jambi, dan bahasa Minangkabau. Ada beberapa kata yang
mereka gunakan memiliki kesamaan arti dan kesamaan pelafalan dengan bahasa Palembang
dan bahasa Jambi. Misalnya, kata “kulup“ yang berarti anak laki-laki, “galak” yang berarti
ganas, “sering” yang berarti selalu, dan “iyo“ yang berarti ya. Kemiripan dengan bahasa
Minangkabau, misalnya, “litak“ yang berarti letih, ”indouk“ yang berarti ibu, ”alah“ yang
berarti sudah, “sanak” yang berarti saudara.
Bahasa Suku Anak Dalam adalah bahasa daerah yang digunakan sebagai media
komunikasi. Bahasa Suku Anak Dalam digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama
komunitas mereka dan untuk berinteraksi dengan kelompoknya. Bahasa ini masih tetap

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

dipertahankan sampai sekarang sebagai bentuk eksistensi kebudayaan mereka. Berikut ini ada
beberapa contoh bahasa Suku Anak Dalam:

a.dum/.adUm > zat yang dapat menyebabkan sakit atau mati bila dimakan atau di hirup
a.keh /akEh > aku atau saya > ake suko nian beburu bebi (aku suka sekali berburu babi)
a.poi/apOy > penyakit sering buang air besar dengan tinja berbentuk cairan
a.oh/aO > kata untuk mengatakan setuju atau ya
ba.gao/bagaw > menangisi keluarga-keluarga yang meninggal dari jarak jauh
ba.he.lo/bahelo > yang dipercayai sebagai manusia halus atau dewa
ba.mir/bamiR > akar lebar-lebar berbentuk sayap pohon besar
ba.nar/banaR > bahan makanan yang didapatkan dengan cara penggali atau dalam tanah
ba.ning/baniG > binatang melata berkaki empat hidup di air dan di darat (kura-kura dan labi-labi)
be.ba.lai/b/ballay > pesta untuk merayakan pernikahan
be.be.la.ngon/ b/b/.laloGOn > cerai, bubar, pisah
be.bep/ bEbEp > katak besar
be.bu.juk/b/bujU > menidurkan anak sambil menyanyikan lagu nina bobok
be.pak.b/pa > orang tua kandung laki-laki (ayah/bapak)
be,ra.jau/ b/Rajaw > berjalan-jalan atau mengembara
be.ri.kin/b Rikin > menghitung, menambah, mengurangi, membagi, dll.
ber.kin.tang/ b/RkintaG > pencarian hasil hasil hutan
de.wo/dEwo > makhluk halus yang bermukim di suatu tempat dan dapat menolong manusia
dengan perantaraan malim (dukun)
la.ki/laki > pria yang sudah menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita
lu.tung/lotoG > kera hitam berekor panjang
pe.ma.kon/p/makOn > barang makanan kebutuhan sehari-hari seperti, ubi kayu, beras, kopi,
gula, garam, dll.
se.ge.lo/ s/gElo > sekalian, semuanya.
si.be.lik sum.pah/sibelik sumpa > aksesori kalung atau gelang yang terbuat dari rangkaian
bibit buah sibelik sumpah (menurut kepercayaan orang rimba siapa yang memakainya akan
terhindar dari bencana dan malapetaka
si.di/sidi > sebutan untuk sesorang yang bertindak sebagai pemantra roh dalam upacara ritual
kematian.
so.ko.la./sokola > bangunan atau lembaga untuk belajar-mengajar.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Contoh kalimat percakapan Suku Anak Dalam:


Akeh ado di sokola. > Saya hadir di sekolah.
Ay samo be guding, todo sudah nio juga nye bunuh + ah. > Sama saja teman, nanti setelah ini
juga akan dia bunuh.
Budak bujang tu balok di rimbo. > Anak laki-laki itu mencuri kayu di hutan.
Tolong bagih duit tu. > Tolong berikan uang itu.
Lup betiklah awak mencari. > Nak sering seringlah engkau bekeja.

Selain itu, mereka juga memiliki karya sastra yang mereka sebut mantera. Dan
mantera ini diucapkan pada saat melakukan kegiatan besale. Di samping mantera-mantera
mereka juga memiliki seloko adat. Pembacaan mantra lazimnya dilakukan oleh temenggung
dan malin atau dukun yang melaksanakan acara ritual besale atau pada saat menuntut ilmu
kebatinan.
Sastrawan/pujangga Jambi Indratno,S.pd. kepada penulis menyebutkan pada masa
purbakala masyarakat suku asli Jambi termasuk Suku Anak Dalam (sanak) telah memiliki
sastra lisan termasuk cerita lisan. Sastra lisan kerap mereka sebut mantra atau mantera yang
telah menjadi tradisi bagi mereka untuk melakukan pemujaan terhadap roh roh nenek moyang
atau Dewo sekaligus dijadikan sebagai sarana pengobatan untuk menghindarkan diri dari
gangguan roh roh halus.Sastra lisan dikalangan suku suku asli telah tumbuh dan berkembang
sejak berabad abad dan dijadikan sebagai dasar komunikasi antara yang dicipta dengan sang
pencipta .
Sastra lisan pada dasarnya adalah sastra hidup dan berkembang ditengah tengah
masyarakat dengan penuturan lisan yang mengandung daya cipta bahasa yang tinggi,sehingga
eksistensinya tetap dihargai di zamannya dan berguna bagi generasi generasi berikutnya.
Dikalangan masyarakat Suku Anak Dalam, sama halnya dengan suku asli Alam
Kerinci dan suku Batin sejak zaman purbakala telah dikenal mantra atau mantera.Mantera
disebut juga dengan jampi jampi yang dipergunakan oleh seseorang termasuk Suku Anak
Dalam yang hidup dalam masyarakatnya yang digunakan untuk sesuatu maksud dan tujuan
tertentu baik untuk pengobatan secara tradisional atau untuk keperluan individual.
Menurut Temenggung Betaring dan Mantan Temenggung Tarib( Mohd.Jailani)
Mantra atau mantera di ucapkan pada keadaan keadaan tertentu yang disesuaikan dengan
keperluan atau keadaan yang sedang terjadi dilingkungan masyarakatnya.Dilihat dari
pengertian mantra itu sendiri berhubungan dengan suasana gaib dan mistik yang berada diluar
jangkauan dan penguasaan pikiran sadar manusia,lebih tegasnya hubungan dengan alam yang

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

bersifat abstrak karena mantra berhubungan dengan alam atau suasana ke gaiban maka
penggunan mantera harus didasarkan kepada keyakinan dari orang orang yang
mempergunakan mantera tersebut.
Keyakinan itu dituntut untuk memperoleh efek kemujarabannya atau efek keampuhan
dari mantera yang dipergunakan.pada masa lampau terutama pada masa pra sejarah mantera
Itu dipergunakan untuk pemujaan terhadap roh roh gaib atau arwah leluhur yang
keberadaannya dianggapm keramat.Mantera selanjutnya digunakan sebagai salah satu bentuk
sastra lisan,karena mempergunakan bahasa sebagai media utamanya dan dilafalkan dengan
berirama,keberadaan ditengah tengah komunitasnya di sampaikan dari mukut kemulut lewat
tutur,bersifat tradisional dan anonim ( tidak diketahui siapa pencipta/pengaranagnya).Kata
kataa atau kalimat yang adadalaam mantera disusun secara teratur,sehingga dapat
menimbulkan rasa indah,dapat memunculkan efek kegaiban,dan mempunyai daya tarik
tersendiri.Apabila semakin yakin atau semakin baik dan yakin seseorang mempergunakan
mantera ini,maka akan semakin ampuhlah kemujaraban dari mantera tersebut.
Bagi suku suku asli termasuk Suku Anak Dalam Mantera digunakan untuk
pengobatan ,keperluan adat,keperluan pemujaan terhadap arwah arwah nenek moyang atau
para Dewo yang menguasai alam raya.dalam mempergunakannya mantera untuk keperluan
tersebut diperguanakn alat alat media khusus sesuai dengan keperluan serta dilakukan
upacara upacara tertentu.
Belakangan mantera dikalangan Suku Anak Dalam mendapat pengaruh kebudayaan
Islam yang dianut oleh komunitas masyrakat di luar mereka,pergeseran ini dapat terlihat pada
Perubahan kata kata dan kalimat dengan disusupi kata kata atau kalimat yang bernuansa
islamis,kata kata itu misalnya berupa asma Tuhan atau petikan ayat suci al Qur’an yang
bertujuan untuk menambah kemujaraban mantera atau jampi jambi tersebut. Di bawah ini
penulis tampilkan contoh mantra pada saat besale yang dipimpin dukun atau malin, dikutip
dari CJ. Van Dongen.

Saleh Selman
(saleh dari roh Seleman roh dari rambut-rambut yang halus mulia)
Ooh-ooh, Seleman kuning makan di kening
Seleman itam makau di kaki nyadalah tuan
Nyadalah nyawee

Artinya: ooh-ooh, Seleman kuning


(rambut-rambut kuning yang terdapat pada pelipis dekat alias mata)
seleman hitam (rambut halus yang hitam)
Terdapat pada kaki-kaki mereka adalah lambing dari tubuh dan dari roh

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Saleh Bujang Kiwas


(saleh dari roh hantu)
Eh, bujang kiwas mempukik tinjak
Mendaki menunggang tinjak menurun
Bujang kiwas *) berjalan malam
Eh, Bujang kiwas datang cepat dan lansung ketujuannya
Melancar ke bawah sambil bersandar pada jari kaki (naik bukit)
Berkenderaan di atas udara seperti melintasi udara
Dibawa oleh angin bersandar pada tumit menurun bukit
“Bujang Kiwas” berjalan-jalan malam hari (pergi hanya malam hari)
*) Bujang Kiwas digambarkan sebagaai seekor harimau

Saleh Gilo Semambang


Gilo-gilo semambang gilo
Gilo ayat gilo isim
Gilo Quran tiga puluh
Niat hati menjadi wali diuntung menjadi belom
Apa ikan di dalam taman puyuh bersisik emas
Ikan palo berjambul perak
Itu mainan semambang gilo

Saleh Serampau Keck


(saleh dari antu serampu kecik)
Serampu kecik tinting di langit
Pisang sesikat dikemudi kasih
Utang boleh dibayar badan terikat karna budi

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Saleh Gajah Bandung


(saleh dari roh gajah bandung roh dari pembiakan)
Bandung ikuk bandung kepalo
Bandung gadung kadowonyo
Sebesak gading sebesak cemat
Ujung gading penggirik beras
Bujang kecik datang di talang
Bawak daun segulungan
Bakal makanan gajah bandung

Saleh Dendam Seni


(saleh dari roh baik yang digambarkan sebagai gadis cantik)
Alangkah baik dendam seni
Lagi berarik tangga panjang
Lagi berkata bakung serarik
Atapnyo cikai dindingnyo banir
Hendak mandi ke sungai kasai
Tiap mandi bersenggayut
Hendak jadi yang panjang lampai
Cacat sedikit kramonyo sayuo

D. Potensi obat-obatan alami


Di dalam kehidupan masyarakat modern dan semakin berkembangnya industri
makanan yang serbainstan serta obat-obatan yang kimiawi merupakan dampak dari
pembangunan dan kemajuan peradaban. Suku Anak Dalam Tradisional hingga saat ini
masih dikenal sebagai sosok yang dekat dengan alam. Mereka mengandalkan potensi alam
untuk sumber kehidupan termasuk untuk pengobatan secara tradisional dengan
memanfaatkan potensi alam yang ada di sekitar mereka.
Di samping melakukan ritual besale untuk meminta kesembuhan dan menolak bala,
mereka juga menggunakan ramuan hasil alam untuk membantu mengatasi masalah
kesehatan, meskipun tanaman dan tumbuhan tersebut belum diuji secara klinis, akan tetapi
khasiat obat-obat tradisional itu telah mereka manfaatkan sejak nenek moyang mereka.

Obat-obatan tradisional itu ada yang berbentuk dedaunan, akar, dan ada juga yang
berasal dari binatang. Untuk jenis binatang biasanya mereka menggunakan empedu
beruang dan hewan babi. Jenis tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan baku
obat-obatan tradisional tersebut antara lain adalah pasak bumi di manfaatkan sebagai
penyubur kandungan, obat penyakit malaria, obat cacing, dan untuk menjaga kebugaran
tubuh. Kayu dan akar selusuh digunakan untuk membantu proses kelahiran, divretik,
antireptik, aprodis, Kemenyan hitam untuk meringankan rasa sakit,dapat digunakan untuk

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

obat cacingan. Pulai berkhasiat menurunkan panas badan, penyubur rambut, obat sakit gigi,
untuk mengatasi perut kembung. Mera jakane dimanfaatkan untuk memperlancar proses
bersalin. Berapa tanaman atau tumbuh-tubuhan lainnya yang dimanfaatkan sebagai bahan
obat-obatan tradisional adalah jenis tumbuh-tumbuhan bedaro putih, kayu bengkak, kayu
obat kepala.

Wanita Suku Anak Dalam Tradisional membawa hasil buruan

Pengobatan dikalangan mereka melalui media besale, pengucapan mantera-mantera


dan dengan memanfatkan berbagai jenis tumbuhan dan binatang liar. Kelihatannya berbau
magis, padahal sebenarnya tidak. Secara ilmiah dan secara medis beberapa jenis tumbuh-
tumbuhan tersebut telah dilakukan penelitian oleh Tim Peneliti Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor (IPB) tahun 2000.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

BAB VI
Faktor Pendukung dan Penghambat

Akhir-akhir ini Suku Anak Dalam mulai membuka diri dengan dunia luar, sejumlah
warga telah dan dalam tahap menuju perubahan. Beberapa puluh kepala keluarga telah
memeluk Agama dan hidup menetap. warga mulai berkeinginan untuk menerima pengaruh
dari luar yang tidak merusak adat dan tradisi mereka.
Untuk itu, kedepan dalam membina dan memberdayakan mereka dapat di
laksanakan pendekatan insitu dengan del entry point (celah masuk) yang berlandaskan pada
potensi SDA, SDM, daya dukung lingkungan, dan budaya setempat. Pendekatan secara insitu
dengan model entry point pada prinsipnya adalah model entry point dengan pendekatan initu
yang memiliki tujuan utama adalah menuju proses sikap dan perilaku sosial. Pendekatan
selanjutnya dengan mendekatkan fasilitas kehidupan sosial ke tengah-tengah lingkungan asli.
Tidak melakukan pemindahan warga ke tempat lain di luar habitatnya. Entry point yang
dikembangkan bertitik tolak pada dari system, nilai budaya, tidak merubah dan merusak
budaya lokal yang dianut mereka dan memberi peluang kepada dunia usaha, masyarakat
luas, LSM, akademisi, dan institusi terkait untuk ikut ambil bagian dalam melakukan
pembinaan dan pemberdayaan di bawah koordinasi pemerintah daerah. Model entry point
yang akan dikembangkan akan mencapai sasaran jika adanya significan atau kesesuaian
antara entry point yang dikembangkan dengan kondisi sosial, budaya, SDA, SDM, daya
dukung lingkungan, tenaga pendamping profesional, dan tak kalah pentingnya adalah
program harus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan selama 15-20 tahun. Selain itu,
diperlukan adanya prinsisip saling bersinergi dan bermitra dalam melaksanakan program
kegiatan dan monitoring.
Model entry point harus memiliki karateristik tidak bertolak belakang dengan budaya
lokal. Budaya lokal akan tumbuh dan berkembang dengan baik dan memberi peran lebih
besar pada kepemimpinan tradisional. Antara program yang satu dengan program yang
lainnya harus koheren dan tidak tumpang tindih.
Hak-hak politik mereka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 perlu diwujudkan melalui
perluasan lokasi areal desa terdekat yang mencakup lokasi pemukiman mereka dan legalisasi
kawasan pemukiman mereka ke dalam penambahan rukun tetangga dari desa terdekat. Untuk
saat ini, khusus untuk Suku Anak Dalam kelompok H. Helmi dan kelompok Tarib di
Taman Nasional Bukit Dua Belas telah mendapat perlakuan yang sama dengan warga

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

lainnya dan sebagian besar telah terdata dalam kependukukan Desa Pematang Kabau,
Kecamatan Air Hitam.

A. Budaya curiga Suku Anak Dalam


Umumnya Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam, terutama yang masiht
tradisional atau melangun belum mengenal tulis baca. Pengetahuan mereka terhadap dunia di
luar komunitas mereka sangat terbatas. Namun mereka memiliki daya ingat yang cukup baik.
Informasi dan pembaharuan yang datang dari luar sangat sulit untuk mereka terima.
Lamban dan sulitnya perubahan mereka terima tidak lepas dari budaya curiga yang
selama ini mereka anut. Faktor kecurigaan mereka terhadap masyarakat luar sangat tinggi.
Mereka hanya mau percaya pada orang yang sudah mereka kenal dan mereka meyakini tidak
akan membohongi mereka. Bagi mereka sebuah janji harus ditepati, jika ingkar janji sulit
bagi mereka untuk mempercayai untuk selanjutnya. Bila mereka merasa dibohongi tanpa
alasan yang jelas dan dapat diterima di akal sehat maka mereka untuk selamanya tidak akan
mempercayai orang tersebut. Hal seperti ini akan menyulitkan pendekatan untuk
pemberdayaan.
Berbohong dikalangan mereka merupakan sebuah sikap yang paling tidak mereka
sukai. Hal lain yang melekat pada mereka adalah lamban menerima perubahan dan sikap
apatis atau cuek bebek bila mereka tidak menyukai sesuatu. Penyebab semua ini karena
budaya curiga yang berlebihan dalam kehidupan mereka.
Mereka akan menerima orang di luar lingkungannya, jika mereka yakin tidak akan di
bohongi. Kecurigaan akan hilang manakala jika kehadiran orang lain di lingkungan mereka
tidak akan mencelakai mereka. Jika sikap ini timbul maka mereka dengan perlahan-lahan
akan menerima orang lain bila terbukti akan bermanfaat. Selain sifat curiga, mereka juga
memiliki tabiat pantang diberi sesuatu oleh seorang. Bila salah seorang dari mereka diberikan
sesuatu, maka yang lain juga harus diberikan.

B. Masalah Kesehatan Suku Anak Dalam


Suku Anak Dalam memiliki kultur kebudayan yang sangat jauh berbeda
dibandingkan dengan kondisi masyarakat terasing lainnya di nusantra. Kebudayaan mereka
masih sangat rendah. Mereka hanya menggunakan cawat sekedar penutup organ vital tubuh.
Sebagian besar (+/- 90-95 %) yang belum terbina masih hidup dengan budaya masa lampau
dengan ciri khas melangun atau nomaden dan hidup di lokasi terpencil yang sulit terjangkau.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Dampak dari berkurangnya luas hutan menyebabkan saat ini puluhan kepala keluarga
warga melakukan nomaden ke pinggiran desa Kota Sarolangun. Mereka mendirikan sudung
dan menetap sementara di sudung tersebut. Sudung yang mereka dirikan itu sangat
sederhana, terbuat dari dahan kayu dengan atap daun atau plastik tanpa dinding. Biasanya
mereka mendirikan sudung itu di bawah pohon karet atau kelapa sawit milik warga dan
perusahaan. Atau di sela-sela semak belukar atau padang ilalang dengan kondisi yang
memperihatinkan tetap dengan budaya primitifnya.
Dari pengamatan lapangan dan informasi yang disampaikan Dr. H. Solahuddin Lubis,
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kolonel Abundjani Bangko, belakangan ini kesadaran
untuk berobat dikalangan mereka cukup positif. Sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu
sangat jarang terdengar warga pedalaman jambi menggunakan fasilitas kesahatan untuk
menangani masalah kesehatan mereka. Sejak 5-10 tahun terakhir, perhatian Dinas Kesehatan
Kabupaten Merangin dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun terhadap permasalahan
kesehatan mereka mulai menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Terutama
terhadap warga yang telah hidup menetap. Melalui kerjasama dengan LSM Kopsad,
Perusahaan Perkebunan, masyarakat, pihak Dinas Kesehatan bersama Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) melakukan bimbingan dan penyuluhan kesehatan, pelatihan dukun beranak,
pemberian makanan tambahan MP ASI bagi balita, imunisasi, pelayanan kesehatan gratis,
pemberian Jamkesmas, khitanan masal, pembuatan posyandu khusus bagi Suku Anak Dalam
di perkampungan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Pematang Kabau, dan Desa Bukit
Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun serta di sejumlah kantong-kantong
pemukiman mereka di wilayah Kabupaten Merangin. Seluruh pusat pelayanan kesehatan
masyarakat (Pustu, Puskesmas, RSUD) telah melakukan pelayanan kesehatan atau
pengobatan terhadap mereka.
Buruknya kondisi sanitasi lingkungan pemukiman, pasokan makanan yang tidak
seimbang dengan kebutuhan gizi, dan miskinya pengetahuan warga terhadap ilmu kesehatan
berdampak pada kesehatan warga. Berdasarkan pengamatan di lapangan angka kematian ibu
dan balita cukup tinggi. Para bayi mampu bertahan karena proses seleksi alam. Hanya
sebagian kecil pasangan warga yang telah memanfaatkan alat kontrasepsi.
Angka kesakitan cukup tinggi. Masalah gizi buruk diderita hampir semua warga,
umumnya balita dan anak-anak. Rata-rata anak-anak mereka mengalami keterlambatan
pertumbuhan. Hal ini disebabkan kurangnya pasokan gizi dan kondisi lingkungan
pemukiman yang kumuh.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Dr. H. Solahuddin Lubis menyebutkan, bahwa umumnya pasien yang berobat dan
dirawat di rumah sakit adalah masalah kesehatan umum, diantaranya penyakit ISPA, penyakit
kulit, diare, dan demam malaria. Dalam beberapa kasus, pihak rumah sakit beberapa kali
menangani warga suku anak dalam korban serudukan babi hutan dan serangan hewan buas,
seperti beruang yang lepas perangkap atau lolos dari perburuan, juga banyak korban
kecelakaan. Beberapa diantaranya di rujuk ke rumah sakit lain di luar Kabupaten Merangin.
Semuanya mendapatkan pelayanan tanpa membedakan asal wilayah habitat tempat tinggal
mereka. Yang namanya Suku Anak Dalam tanpa kecuali kita layani secara gratis dan secara
khusus. Mereka semua mendapat pelayanan jamkesmas dan memiliki ruangan tersendiri
untuk penanganan penyakit mereka.
Kedepan untuk melaksanakan program bina kesehatan bagi Suku Anak Dalam,
diharapkan agar Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Propinsi serta Kabupaten untuk
memberikan anggaran yang cukup untuk penanganan kesehatan warga. Perlu dipikirkan
untuk mengangkat dokter kunjung atau paramedis kunjung yang khusus untuk menangani
kesehatan mereka dengan cara melengkapi sarana dan prasarana, seperti sarana kenderaan
operasinal khusus untuk medan jalan yang buruk, membangun sarana MCK, sumur air
minum, Posyandu terpadu, dan pemberian jamkesmas dengan perlakuan khusus.
Untuk mempermudah pelayanan kesehatan bagi warga disarankan agar pelayanan
kesehatan mereka di beberapa lokasi seperti di Pematang Kabau, Desa Bukit Suban kawasan
Taman Nasional Bukit Dua Belas Sarolangun, lokasi pemukiman mereka di Desa Mentawak,
Desa Lantak Seribu, Desa Bukit Beringin Kabupaten Merangin yang mudah terjangkau di
integrasikan dengan Puskesmas terdekat.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

BAB VII
Sekolah Halom PT Sari Aditya Loka I Muara Delang

Gagasan dan upaya yang dirintis oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Kelompok
Peduli Suku Anak Dalam (LSM Kopsad) sejak tahun 1998 secara perlahan-lahan mulai
membuahkan hasil. Berbagai perubahan dan pembaharuan terus dilakukan oleh LSM Kopsad
Jambi yang berpusat di Bangko, Merangin, Jambi. Upaya yang semula mendapat tantangan
dari banyak pihak terutama dari kalangan Komunitas Suku Anak Dalam dan kelompok
konservasi saat ini secara langsung dan tidak langsung telah dirasakan oleh warga dan
masyarakat di sekitar lokasi pemukiman mereka.
Awalnya, kegiatan para relawan LSM Kopsad memusatkan kegiatan di kawasan
Taman Nasional Bukit Dua Belas yang saat itu daerah ini merupakan bagian dari Kabupaten
Sarolangun Bangko. Seiring dengan perputan waktu Kabupaten Sarolangun Bangko di
mekarkan menjadi dua daerah otonom yakni Kabupaten Merangin sebagai kabupaten induk
dan Kabupaten Sarolangun sebagai daerah pemekaran baru. Meskipun Kabupaten Sarolangun
merupakan kabupaten baru hasil pemekaran, akan tetapi derap laju pembangunan di daerah
ini berjalan cepat. Berbagai perubahan telah dilakukan Kabupaten Sarolangun.
Perubahan dan pesatnya pembangunan di Kabupaten Sarolangun tidak lepas dari
peran Bupati Sarolangun Drs. H. Muhammad Madel merupakan tokoh yang ikut membidani
kelahiran Kabupaten Sarolangun. Pembangunan Kabupaten Sarolangun dilanjutkan oleh Drs.
H. Maryadi Syarief yang menjabat bupati hingga terpilihnya bupati depenitif. Melalui proses
demokrasi kepemimpinan selanjutnya dijabat oleh Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M.
(Mantan Sekda Kota Jambi). Di bawah kepemimpinan Drs. Hasan Basri Agus, M.M. yang
akrab dipanggil Bang HBA pembangunan Kabupaten Sarolangun semakin dipercepat dengan
Visi Sarolangun Emas. Pasangan Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. dan Drs. H. Cek Endra
melakukan berbagai terobosan dan gebrakan.
Kabupaten yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal kini banyak mengalami
perubahan. Pembangunan sarana infrastruktur jalan, pembangunan sektor pertanian dan
perkebunan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan perlahan-lahan namun pasti hasilnya telah
dinikmati masyarakat. Wajah Kota Sarolangun lima tahun terakhir semakin tertata dengan
apik.
Masyarakat Suku Anak Dalam tidak lepas dari perhatian Drs. Hasan Basri Agus,
M.M. Selama kurun waktu 3 tahun memimpin Sarolangun, HBA telah berupaya untuk
mengangkat dan memberdayakan mereka. HBA merupakan satu-satunya bupati saat itu yang

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

menggagas pembentukan jabatan struktural yang khusus menangani pendidikan Suku Anak
Dalam dan pejabat yang mengelola pendidikan tersebut diangkat dengan jabatan setingkat
eselon empat. Secara struktural bidang tersebut berada di dalam lingkup Bidang Pendidikan
Nonformal Dinas Pendidikan Kabupaten Sarolangun.
Untuk memberdayakan Suku Anak Dalam, HBA tidak hanya menggandalkan dana
dari APBD tingkat II, akan tetapi melakukan upaya dengan melobi pemerintah pusat
kementerian terkait termasuk perusahaan perkebunan. Secara tegas HBA menyerukan
kepada perusahaan-perusahaan terutama perusahan perkebunan yang berusaha di daerahnya
untuk menyisihkan sisa rezeki untuk membantu program pembinaan dan pemberdayaan
masyarakat termasuk Suku Anak Dalam melalui program CSR.
Melalui pesta demokrasi PILKADA Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. dan Drs. H.
Fachrori Umar, M.Hum. diberi mandat untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi
menggantikan Drs. H. Zulkifli Nurdin yang habis masa baktinya. Dan kepempinan HBA
selaku Bupati Sarolangun dilanjutkan oleh Drs. H. Cek Endra dan Wakil Bupati Drs.
Fachrurozi, M.M.
Bagaikan gayung bersambut dan menjawab seruan Pemerintah Kabupaten
Sarolangun yang meminta perusahaan untuk melaksanakan program CSR dan untuk
menjawab persoalan dan tuntutan warga Suku Anak Dalam di kawasan Taman Nasional
Bukit Dua Belas, pihak perusahaan perkebunan PT Sari Aditya Loka I Tabir Selatan
Kabupaten Merangin melakukan berbagai kegiatan dengan perioritas menangani masalah
pendidikan. PT Sari Aditya Loka I Tabir Selatan Kabupaten Merangin juga memiliki lahan
areal perkebunan plasma dan inti di sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas, Kecamatan
Air Hitam, Kabupaten Sarolangun.
Di samping PT Sari Aditya Loka I yang memiliki lahan di daerah itu, perhatian yang
sama juga diberikan oleh PT Kresna Duta Agro Indo (PT SMART Tbk.). Perusahaan PT
Kresna Duta Agro Indo memang tidak memiliki lahan lokasi perkebunan kelapa sawit di
daerah itu, namun dalam aspek solidaritas dan kemanusiaan PT Kresna Duta Agro Indo
memberikan perhatian yang cukup besar terhadap warga Suku Anak Dalam di kawasan
Taman Nasional Bukit Dua Belas. Perusahaan perkebunan PT Kresna Duta Agro Indo sejak
awal telah membantu program pembinaan dan membantu pembangunan sarana ibadah
pertama Suku Anak Dalam yang sudah menjadi mualaf, pembangunan beberapa rumah
sederhana, bedah rumah, dan penyaluran berbagai paket kemanusiaan untuk Suku Anak
Dalam dikawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas Sarolangun.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Administratur PT Sari Aditya Loka I, Cahyo Kurniawan, S.P., dan Humas PT Sari
Aditya Loka I Tabir Selatan, Bambang Yumardi menjelaskan, bahwa pihak perusahan
perkebunan kelapa sawit PT Sari Aditya Loka bekerja sama dengan berbagai pihak dan
lembaga swadaya masyarakat terus berupaya untuk melakukan kegiatan pembinaan dan
pemberdayaan terhadap Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam. Program yang
diperioritaskan adalah upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia mereka dengan
pola pendekatan pendikan melalui “Sekolah Halom”. Pendidikan mereka yang disebut
Sekolah Halom Putri Tijah adalah Pendidikan “BaLisTung“.
Program ini merupakan program lanjutan dari program pembinaan dan
pemberdayaan Suku Anak Dalam yang dilaksanakan ditahun 2008 yang diawali dengan
program kegiatan pelayanan kesehatan, pelatihan dukun beranak, pelatihan montir. Sekolah
Halom digagas bersama para tokoh-tokoh masyarakat, pemimpin adat tradisional Suku Anak
Dalam, yakni Temenggung, Menti, Depati, Mangku, serta warga Suku Anak Dalam lainnya
bersama aparat pemerintah terkait.
Sekolah Halom merupakan kegiatan pendidikan alternatif nonformal yang
diperuntukkan khusus bagi anak-anak warga pedalaman Suku Anak Dalam yang bemukim di
kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Kecamatan Air Hitam. Dengan program
Sekolah Halom ini diharapkan agar anak-anak mereka usia sekolah memiliki kemampuan
membaca, menulis, dan berhitung, sehingga tercipta kader-kader pendidik yang mempunyai
kemampuan untuk mendidik anak-anak mereka yang lainnya.
Sekolah Halom didirikan pertama kali pada bulan Februari 2009 dalam Kelompok
Sikar, Desa Muara Delang, Kecamatan Tabir Selatan, Kabupaten Merangin dengan jumlah
siswa sebanyak 9 orang dan pada bulan Juni 2009 Sekolah Halom dikembangkan di
Kelompok Tarib di Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun.
Sekolah Halom Putri Tijah ini tepatnya berlokasi di penyangga Taman Nasional Bukit Dua
Belas.
Kelompok Temenggung Betaring terdiri dari 23 KK. Sekolah Halom pada kelompok
ini tahun ajaran 2009-2010 mempunyai 22 orang murid, pada tahun ajaran 2010/2011
mempunyai 17 orang murid, dan pada tahun ajaran 2011/2012 jumlah murid menjadi 28
orang. Pada tahun ajaran 2011/2012 ini jumlah murid Sekolah Halom meningkat tajam.
Suku Anak Dalam yang dibina dan diberdayakan dalam di wilayah Kecamatan Air
Hitam Sarolangun. Sebagian besar dari mereka menetap di lokasi engclave atau
penyangga Taman Nasional Bukit Dua Belas, di Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air
Hitam, Kabupaten Sarolangun.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Di sekitar areal kawasan HGU PT SAL I terdapat 5 kelompok Suku Anak Dalam.
Hampir semua anak-anak mereka tidak tersentuh oleh dunia pendidikan. Mereka hanya
belajar dengan alam. Mereka belum mengenal aksara dan angka hidup. Kehidupan mereka
sangat tergantung pada alam dan hutan. Dalam pandangan orang luar kehidupan mereka
sangat tertinggal. Mereka menyandarkan hidup hanya pada kemurahan alam yang bersahaja.
Kondisi ini menggugah perusahaan PT Sari Aditya Loka I untuk memberikan
kepedulian terhadap warga minoritas yang saat ini hidup bagaikan antara dua dunia. Melalui
dana CSR perusahaan PT Sari Aditya Loka sejak tahun 2009 telah memulai program
pendidikan luar sekolah (informal) di kelompok Tumenggung Tarip dan Betaring. Kegiatan
ini untuk tahun yang akan datang akan ditingkatkan. Sebab melalui pendidikan kita telah
membuka jendela dunia baru untuk kehidupan Suku Anak Dalam sehingga kehidupan mereka
untuk masa-masa yang akan datang akan menjadi yang lebih baik.
Diperlukan program pendidikan yang berkelanjutan dan sesuai kebutuhan mereka
agar mereka dapat berinteraksi dengan masyarakat modern, sehingga orang terang (kaum
pendatang) tidak mengancam masa depan mereka. Menurut Humas PT Sari Aditya Loka I
Bambang Yumardin, Sekolah Halom Putri Tijah didirikan sebagai wadah bagi generasi
muda Suku Anak Dalam untuk memperoleh pengetahuan. Tujuan akhir dari semua itu
adalah untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam beradaptasi dan hidup bersama secara
damai dengan masyarakat lain di luar kelompok mereka.
Hasil yang dicapai menurut Cahyo Kurniawan dan Bambang Yumardi dapat kita
lihat, bahwa pada tahun ajaran 2009/2010 jumlah siswa 22 orang, 5 orang alumni dan 17
siswa melanjutkan ke tahun ajaran berikutnya. Tahun ajaran 2010/2011 jumlah siswa 17
orang, 4 orang alumni dan 11 orang melanjutkan ke tahun ajaran berikutnya serta 2 orang
siswa masuk ke Sekolah Dasar Negeri Nomor 191 Desa Pematang Kabau. Tahun ajaran
2011/2012 jumlah siswa 28 orang yang terdiri dari Tingkat Dasar 24 orang dan Tingkat
Menengah 4 orang.
Kegiatan dan program yang dilaksanakan mengalami peningkatan dan kemajuan
yang cukup berarti. Para murid telah mampu mengenal dan menggunakan aksara dan angka
secara benar. Di bidang kesehatan mereka telah mengenal pola hidup bersih dan sehat,
mereka telah rela mandi pada waktunya, mereka telah mengenal tata cara menggosok gigi,
memotong rambut, dan memotong kuku. Siswa lebih tertib dan mampu berinteraksi dengan
pendatang dalam kehidupannya sehari-hari.
Dampak pelaksanaan program pemberdayaan ini cukup bagus. Apresiasi dan
dukungan pemerintah serta masyarakat terhadap kegiatan Sekolah Halom Putri Tijah ini

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

sangat positif. Mereka cukup bangga kepada beberapa alumni dari Sekolah Halom Putri Tijah
yang kini sudah dapat diterima di sekolah negeri karena kemampuan mereka dalam
membaca, menulis, berhitung, dan bernyanyi sudah hampir sama dengan kemampuan siswa
lainnya.
Warga Suku Anak Dalam dikenal sebagai masyarakat peniru, mereka akan meniru
orang lain jika mereka beranggapan sesuatu yang ditiru itu baik. Kebiasaan meniru tersebut
memiliki dampak positif anggota kelompok lainnya. Hal ini terlihat pada beberapa kelompok
Suku Anak Dalam lainnya yang ada di daerah ini mendesak perusahaan untuk melakukan hal
yang sama kepada mereka seperti yang sudah dilakukan kepada teman-teman mereka.

Foto dokumentasi kegiatan pemberdayaan Suku Anak Dalam


di kawasan Engclave Taman Nasional Bukit Dua Belas, Kecamatan Air Hitam
Kabupaten Sarolangun yang dilakukan melalui Program CSR PT Sari Aditya Loka I ,
Kabupaten Merangin, Jambi.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Kami ini Suku Anak Dalam,


orang rimba yang hidupnya pantang menyerah,
dan juga berjiwa gotong royong.
Kami hidup di sudung dan melangun di tengah hutan dan rimba.
Kami hidup terisolasi dari sanak saudara yang lain
karena budaya kami
dan kini kami butuhkan uluran tangan sesama.
Hutan dan rimba kami telah hancur binasa
ditikam belatimu yang tak pernah diam.
Wajai sanak saudara di alam yang terang
kami ingin bersama di tengah persaudaraan.
Kasih sayang
(inilah sepenggal lagu Suku Anak Dalam ciptaan LSM Kopsad yang selalu dikumandangkan
anak-anak Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Dua Belas
saat mendapat kunjungan)

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

BAB VIII
Tantangan dan Peluang dalam Pemberdayaan
Suku Anak Dalam

Suku Anak Dalam sebagaimana telah dikemukakan, sejak dini mereka telah mengenal
dan akrab dengan alam dan lingkungan. Bagi mereka hutan (halom) adalah segala-galanya.
Jika hutan rusak maka kehidupan dan masa depan mereka menjadi terancam. Sejak dua
dasawarsa terakhir kehidupan mereka mulai terjadi pergeseran dan perubahan. Ratusan jiwa
warga mulai melakukan interaksi dengan dunia luar. Dampak dari pembinaan,
pemberdayaan, dan pengaruh lingkungan membuat mereka mengalami perubahan pesat.
Mereka perlahan-lahan telah mulai memasuki ruang kebudayaan dan kehidupan baru dan
meninggalkan kebudayaan dan kehidupan yang sudah ratusan tahun mereka pertahankan.
Hasil berburu dan meramu saat ini mereka jual sendiri kepada pedagang pengumpul.
Dana yang mereka dapatkan dimanfaatkan untuk kepentingan konsumsi dan kebutuhan lain,
sehingga tak lagi aneh jika kita melihat sebagian dari mereka mulai mengenal dunia luar.
Saat ini hampir jarang ditemukan lagi mereka yang menggunakan cawat ke pasar. Dalam
berburu mereka tidak lagi menggunakan tombak dan anjing pemburu, akan tetapi telah
diganti dengan senjata api rakitan (kecepek) yang mereka rakit dan mereka produksi
sendiri. Puluhan rumah tangga dalam kelompok mereka telah menggunakan teknologi maju.
Sebagian warga telah mampu membeli dan menggunakan sendiri sarana transportasi
kenderaan roda dua (sepeda motor).
Uniknya, kehidupan mereka tersebut bagaikan dua dunia. Jika di luar habitat mereka
meniru dan berpenampilan seperti masyarakat kebanyakkan dan saat kembali ke hutan
mereka kembali menggunakan cawat dan hidup bagaikan manusia purba.
Hambatan yang dirasakan selama proses pembinaan dan pemberdayaan yang
dilakukan antara lain adalah hambatan struktural. Hambatan ini terkait dengan sistem yang
berlaku umum dan tidak dapat mengakses mereka secara keseluruhan. Hampir semua tatanan
dan lembaga yang mereka miliki bersifat otonom dan sebaliknya hampir semua sistem yang
dari luar kelompok mereka tidak berlaku dalam kehidupan mereka.
Hambatan lain adalah hambatan cultural. Hhambatan ini meyangkut sistem nilai-
nilai budaya, seperti jati diri, kepercayaan, ritual, norma norma, pantang larang. Hambatan ini
sulit untuk diubah. Perubahan terhadap sistem nilai dianggap sebagai perubahan yang sangat
radikal dan taruhannya adalah jati diri atau eksistensi mereka. Jika kita paksakan akan
menimbulkan guncangan pada mereka dan bila ini terjadi akan merusak pranata dan
tatanan yang ada.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Perlahan-lahan, berbagai perubahan mulai terjadi sejak beberapa tahun terakhir.


Kehadiran LSM, organisasi keagamaan, dan misionaris telah mendorong warga untuk
melakukan agenda perubahan. Perobahan-perubahan itu terjadi tidak selalu berjalan mulus.
Berbagai kendala menjadi salah satu penghalang untuk melakukan perubahan.
Faktor yang menghambat perubahan itu antara lain adalah kurangnya interaksi timbal
balik antara warga Suku Anak Dalam dengan warga di luar mereka, intensitas pembinaan
yang dilakukan dinas terkait belum optimal, keterbatasan anggaran merupakan jawaban
klasik yang masih bertahan, dan sudut pandang (streotip) negatif masyarakat dalam melihat
keberadaan mereka belum sepenuhnya hilang. Faktor lain menyangkut perkembangan ilmu
pengetahuan dan informasi yang terjadi dikalangan warga masih sangat lamban. Selama ini
mereka takut berhubugan dengan masyarakat luar yang tidak mereka kenal, mereka takut
dibohongi, dan takut di perdayai.

Penyerahan ternak kambing untuk Suku Anak Dalam Mualaf Abdul Kadir

Meskipun saat ini ada beberapa anak-anak mereka yang telah mengenal baca dan
tulis, namun belum mampu mengubah sudut pandang mereka terhadap dunia luar. Budaya
curiga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan lambannya ilmu pengetahuan,
tekhnologi, dan informasi masuk ke dalam lingkungan mereka. Mereka sangat curiga pada
sesuatu yang bersifat asing masuk ke dalam lingkungan mereka. Mereka hanya mau percaya
pada orang luar yang telah mereka kenal dengan baik dan mereka yakini orang itu tidak akan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

merugikan mereka. Jika mereka merasa ditipu, dibohongi dengan janji-janji palsu maka
jangan harap mereka akan percaya. Sebaliknya, jika orang luar datang bermaksud baik dan
ikhlas bersahabat tanpa mengharapkan sesuatu maka mereka tidak segan-segang bersahabat
dan tak jarang mereka menyebut orang luar yang mereka sukai dengan panggilan ”rajo”.
Suku Anak Dalam yang masih hidup tradisional dan tidak mengenal tulis, baca, dan
hitung sangat sulit menerima hal-hal yang baru dan mereka lebih memilih sikap
mempertahankan ketradisionalan mereka, bersikap apatis dan cuek, dalam arti mereka
menjadi lamban dalam menerima perubahan. Inti dari semua itu adalah prasangka buruk
terhadap sesuatu yang datangnya dari luar dan asing.
Kecurigaan dan prasangka akan hilang bila warga melihat sesuatu yang baru itu jelas-
jelas dengan kasat mata tidak untuk mencelakakan mereka, tidak untuk menipu mereka, tidak
untuk membohongi mereka. Jika curiga dan prasangka itu hilang maka sebaliknya mereka
perlahan-lahan akan meniru dan mencoba untuk melakukan sesuatu yang baru. Jika mereka
merasakan yang baru itu baik maka mereka akan melakukan perubahan secara evolusi.
Pengalaman melakukan pendekatan dan pemberdayaan terhadap Suku Anak Dalam
di Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun oleh LSM Kopsad sejak tahun 1997
sampai dengan tahun 1999 dan hingga saat ini dapat disimpulkan, ada beberapa strategi dan
rekomendasi yang layak untuk dijadikan bahan pertimbangan dan masukan dalam rangka
menindaklanjuti program pembinaan dan pemberdayaan mereka. Strategi dan rekomendasi
program yang layak untuk dipertimbangkan bagi pengambil kebijakan (pemerintah dan dunia
usaha) antara lain adalah menyinergikan antarprogram, Pemerintah Kabupaten Merangin dan
Pemerintah Kabupaten Sarolangun perlu segera membentuk forum pokja pemberdayaan
mereka dengan melibatkan seluruh instansi teknis pemerintah kabupaten, anggota DPRD
yang membidangi masalah kesejahteraan sosial, Ilmuawan atau akademisi, tokoh-tokoh
masyarakat, dunia usaha, aktifis, LSM, Ormas, OKP, dan masyarakat yang ada di daerah
tersebut. Khusus bagi mereka yang bermukim harus tetap dilakukan pembinaan mental
secara terpadu, penyuluhan dan bimbingan sosial budaya, penyuluhan dan pelayanan
kesehatan secara berkelanjutan, pelatihan pertanian terpadu, dan laoin-lainnya.
Perlu dikembangkan hak-hak sipil terhadap mereka yang telah bermukim tetap,
dengan melakukan pengembangan rukun tetangga di lingkungan perkampungan mereka yang
berinduk pada desa terdekat, pendataan dan pemberian hak pilih dalam Pemilu, Pilpres,
Pilkada, dan Pilkades, mengikutsertaan mereka dalam struktur BPD, pemberian BLT,
jamkesmas, KTP, dan akta kelahiran secara gratis dengan sistem jemput bola. Pemerintah
dan dunia usaha ke depan perlu membangun rumah dan bedah rumah mereka (insitu),

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

pengadaan sarana pendidikan kelas atau lokal jauh, mengangkat guru kunjung khusus, dan
mendirikan sarana agama untuk pembinaan rohani.
Untuk menggali dan mengembangkan potensi ekonomi serta meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia ke depan perlu dipikirkan upaya-upaya tertentu. Misalnya, upaya
pengadaan sarana untuk perburuan, pembangunan kolam ikan, kolam budidaya labi-labi, dan
sarana peternakan lainnya, serta pembangunan rumah singgah atau balai pertemuan dan
posyandu khusus untuk mereka. Selain itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Merangin, Dinas
Pendidikan Kabupaten Sarolangun, Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), dan pihak Kantor
Kementerian Agama Kabupaten secara khusus diharapkan ke depan dapat membangun
fasilitas pendidikan umum dan agama di tengah-tengah kehidupan mereka secara insitu.
Harus diupayakan anak-anak mereka belajar sendiri secara khusus dengan guru kunjung atau
pamong atau pembina rohani khusus, karena anak-anak mereka cenderung minder bila
dikumpulkan bersama anak-anak warga di luar komunitas mereka. Selain itu, mereka juga
sulit untuk berpisah dari orang tua. Dinas Pendidikan diharapkan dapat mengangkat guru
kunjung di lokasi pemukiman mereka yang telah menetap dan memberikan bantuan stimulan
yang bersifat merangsang kemauan warga binaan untuk mau belajar dan membentuk KUBE
di lokasi perkampungan mereka.
Untuk meningkatkan dan menjaga ketahanan ekonomi di samping memberikan
bantuan sarana produksi pertanian, bibit-bibit holtikultura, palawija, dan ternak, pihak Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Sarolangun perlu juga untuk merealisasikan program replating
karet khusus kepada mereka. Hal ini lebih bertujuan untuk mempertahankan dan melestarikan
ekosistem alam. Dinas Perkebunan dan Kehutanan perlu juga membantu penyediaaan bibit
tanaman langka, seperti jernang, rotan, dan lain-lainnya untuk mereka budidayakan.
Khusus bagi kawasan perkampungan Suku Anak Dalam di Batang Sipar Desa Lubuk
Bedorong dapat dikembangkan potensi pariwisata alam dan kebudayaaan. Mengingat lokasi
ini termasuk dalam kawasan hutan adat yang masih banyak menyimpan aneka flora dan,
fauna langka, termasuk berbagai jenis spesies anggrek hutan alam. Untuk mendukung
Program Jambi Emas, Merangin Makmur, dan Sarolangun Emas diharapkan Dinas
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga dapat membuat konsep dan program
ekowisata di kawasan Bukit Bulan Resor termasuk membangun sudung-sudung tradisional
di sejumlah lokasi Pemukiman mereka.
Generasi muda Suku Anak Dalam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
generasi muda Indonesia. Untuk itu, potensi dan bakat yang mereka miliki harus terus
dipupuk dan ditumbuhkembangkan. Diharapkan Dinas Budparpora kedepan dapat

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

memberikan bantuan sarana olah raga dan pelatihan keterampilan live skill dengan
melakukan kerja sama dengan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dunia usaha
(perusahaan perkebunan dan pertambangan ) melalui program community development.
Masalah infrastruktur merupakan persoalan utama bagi mereka kedepan. Diharapkan
Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk membuka isolasi fisik dengan
melakukan perbaikan jalan ke lokasi pemukiman mereka di kawasan Lubuk Bedorong,
Kecamatan Limun dan Singosari, Paku Aji, Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam,
Kabupaten Sarolangun, pemukiman mereka di Desa Mentawak, Desa Bukit Beringin, Desa
Lantak Seribu dan lokasi pemukiman mereka yang lainnya di Kabupaten Merangin. Selain
itu, diharapkan pemerintah juga dapat membangun fasilitas listrik tenaga surya, fasilitas
sosial lainnya, dan MCK. Pemerintah juga dapat melakukan kemitraan dengan instansi lain
untuk melakukan program bedah rumah mereka yang sudah mualaf di Desa Pematang Kabau,
Kecamatan Air Hitam, pemukiman mereka di Bukit Bulan, Kecamatan Limun, dan di
sejumlah kantong pemukiman mereka yang sudah dibangun oleh LSM Kopsad di wilayah
Merangin melalui kerja sama dengan Dinas Spanakertrans Propinsi Jambi, dan secara
bertahap membangun rumah-rumah mereka di lokasi lain dengan melakukan lobi dana pusat
(Kementerian Negara PDT RI, Kementerian Negara Perumahan Rakyat, dan Menteri Sosial
RI) termasuk pihak pengusaha yang ada di wilayah Kabupaten Merangin dan Kabupaten
Sarolangun.

Murid PAUD dan Paket A Suku Anak Dalam Tradisional Desa Mentawak
setelah dilakukan pembinaan selama 6 bulan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Dinas Sosial dan Nakertrans Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun


Sarolangun, selaku dinas yang paling bertanggung jawab terhadap masalah kesejahteraan
sosial masyarakat termasuk Suku Anak Dalam perlu terus didorong untuk bertanggung jawab
dalam membina dan memberdayakan mereka dengan memberikan pelayanan sosial,
pemberian jaminan hidup (jadup, sembako), pelatihan live skill bagi warga, dan lebih
proaktif dalam memperjuangkan dana pemberdayaan Suku Anak Dalam baik melalui
APBN, APBD I , APBD II, maupun sumber-sumber pendanaan lainnya dari sektor swasta
dan donor.
Dunia usaha terutama perusahaan perkebunan dan pertambangan swasta nasional
yang mendulang rezeki di atas Bumi Merangin dan Bumi Sarolangun secara sadar perlu
memberikan perhatian melalui program community development. Dan perhatian dan bantuan
yang diberikan hendaknya tidak bersifat seremonial dan harus berkelanjutan.
Untuk mempercepat proses pemberdayaan dan pengentasan isolasi fisik warga Suku
Anak Dalam, dan untuk pembelajaran hukum, kedepan pihak aparat penegak hukum, TNI,
Polisi, dan Jaksa perlu memberikan penyuluhan hukum dengan pendekatan khusus terhadap
mereka. Secara organisasi Babinsa dan Babinkamtibmas yang ada di desa terdekat perlu terus
memberikan pembinaan dan penyuluhan, agar mereka dapat memahani norma-norma hukum
yang berlaku secara nasional.

Direktur Eksekutif LSM Kopsad


bersama Bupati Merangin,
Sekda Merangin, dan warga Suku Anak Dalam

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Untuk menggali potensi SDM, mengisi mental dan akidah mereka, peran Departemen
Agama sungguh sangat menentukan. Selama ini Departemen Agama terkesan kurang
menaruh perhatian terhadap persoalan mental dan akidah mereka. Upaya yang belakangan ini
diberikan hanya bersifat alakadar. Kedepan diharapkan pihak Departemen Agama di daerah
untuk memberikan perhatian yang lebih serius terhadap pembinaan mental dan akidah
mereka dengan mengirimkan dan menempatkan DAI atau pembina rohani khusus untuk Suku
Anak Dalam serta menyediakan anggaran yang cukup untuk kegiatan pembinaan dan
pengadaan sarana dan prasarana ibadah. Kantor Departemen Agama perlu mengajak dan
melibatkan Ormas Islam, MUI, dan DAI untuk bersama-sama melakukan dakwah atau
pembinaan secara langsung dan berkesinambungan bagi mereka.
Untuk meningkatkan kualitas kesehatan ibu-ibu dan anak-anak mereka, Dinas
Kesehatan Kabupaten Merangin dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun perlu membuat
program khusus penanganan kesehatan mereka dengan mendekatkan fasilits pelayanan
kesehatan ke tengah-tengah pemukiman mereka. Para pimpinan Puskesmas dan Pustu perlu
membangun fasilitas kesehatan dasar dan memberikan bimbingan kesehatan serta
memberikan bantuan makanan tambahan MP ASI bagi setiap balita Suku Anak Dalam. Jika
memungkinkan Dinas Kesehatan menempatkan petugas medis atau dokter kunjung yang
secara berkala mengunjungi dan memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada mereka.
Pengangkatan dokter kunjung hendaknya diiringi dengan melengkapi sarana penunjang
pelayanan kesehatan.
Untuk membantu tugas pemerintah dalam membina dan memberdayakan Suku Anak
Dalam di wilayah Kabupaten Merangin dan di Kabupaten Sarolangun, Lembaga Swadaya
Masyarakat Kelompok Peduli Suku Anak Dalam (LSM Kopsad ) untuk tahun 2009-2015
akan melaksanakan berbagai aktifitas kegiatan antara lain: menyerahkan anugrah Traditional
Society Award, membangun pondok singgah bagi mereka yang sudah mualaf Merangin dan
Sarolangun. Propinsi Jambi secara bertahap akan melengkapi sarana dan prasarana ATK,
sarana transportasi roda dua bagi relawan pendataan mereka di wilayah Kabupaten Merangin
dan Kabupaten Sarolangun, melaksanakan Seminar Nasional Pemberdayaan Suku Anak
Dalam, melakukan aktifitas rutin pembinaan dan pemberdayaan di lokasi binaan, dan akan
memperjuangkan pembangunan rumah-rumah serta sarana dan prasarana mereka kepada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Dunia Usaha Swasta dan Nasional, dan Negara
Donor yang peduli terhadap upaya pemberdayaan mereka.
Sebelumnya, warga Suku Anak Dalam sudah memiliki tempat dan posisi yang
strategis bagi struktur kepemimpinan dan kekerabatan keluarga mereka di kawasan Taman

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Nasional Bukit Dua Belas, namun sejak beberapa tahun terakhir sudah mulai rapuh, apalagi
sejak wafatnya jenang Baharuddin. Kedepan Pemerintah perlu memfasilitasi mereka dalam
proses pemilihan Jenang. Pemerintah diharapkan dapat memberikan perhatian kepada jenang
terpilih nantinya dengan memberikan penghargaan dan atau insentif.

Bocah Suku Anak Dalam belajar dan bermain di alam terbuka

Untuk menumbuhkembangkan semangat Cinta Tanah Air dan untuk


menyosialisasikan tatanan hidup berbangsa dan bernegara, kedepan Kantor Kesbanglinmas
Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun, aparat keamanan dan penegak hukum, dan
dinas terkait perlu melakukan penyuluhan atau bimbingan belanegara dan cinta tanah air
kepada mereka dengan melibatkan aktifis, LSM, KNPI, OKP. Pelibatan beberapa organisasi
ini lebih ditujukan untuk pengoptimalan dan pengorganisasian program yang dilaksanakan.
Selain itu, sebagai wadah pengontrol dan pengawas dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan
tersebut. Untuk memberdayakan perempuan Suku Anak Dalam dan menumbuhkembangkan
budaya hidup bersih dan sehat, kedepan peran PKK Kabupaten, Kecamatan, Desa, kader-
kader PKK, dan Posyandu harus ikut ambil bagian dengan melibatkan dinas terkait dan
kader-kader PKK dan aktifis dan LSM pendamping.
Untuk mewujudkan kebersamaan dan menciptakan saling sinergi, kedepan
pemerintah perlu memfasilitasi temu dialog antar-LSM sesama peduli Suku Anak Dalam dan
para pengambil kebijakkan. Kegunaannya adalah untuk menyelaraskan program dan kegiatan
yang akan dilaksanakan di lapangan.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

BAB IX
Potret Wisata

1. Taman Nasional Bukit Dua Belas Dan Bukit Bulan


Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Kecamatan Air Hitam dan di kawasan
hutan Bukit Bulan, Kecamatan Limun memiliki potensi pariwisata alam yang cukup
menakjubkan, meskipun kawasan hutan Bukit Bulan dikelola oleh masyarakat adat. Namun
kawasan ini memiliki aset pariwisata yang memiliki prospek yang cukup cerah jika terus
dikembangkan.
Dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas dan di kawasan Bukit Bulan
menyimpan beraneka ragam flora dan fauna langka serta pemandangan alam yang menawan.
Kawasan kedua hutan ini masih tergolong lestari dan asri dan merupakan apotek alam yang
menyimpan berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan obat-obatan tradisional. Tercatat 128
jenis tumbuhan obat-obatan dan 27 jenis cendawan obat. Sebagian besar jenis tanaman obat-
obatan alami ini secara turun-temurun telah dimanfaatkan oleh masyarakat lokal khususnya
masyarakat Suku Anak Dalam untuk mencegah dan mengobati berbagai macam penyakit.
Sebagian besar jenis obat-obatan alami itu merupakan jenis langka yang belum
dibudidayakan.
Dalam kawasan hutan ini juga terdapat berbagai jenis tanaman bunga anggrek alami.
Tercatat tidak kurang dari 40 jenis anggrek dari 18 marga yang hidup di kawasan hutan.
Jenis anggrek itu antara lain jenis bullbophylum odoratum, cloderia viridiflora, dendrobium
leonois, bullbophylum vaginatum, dan dendrobium cruminatum.
Di belantara hutan ini terdapat pohon penghasil getah yakni jelutung, jenis pohon
yang disadap untuk diambil getahnya. Berbagai jenis tanaman buah-buahan hutan hingga saat
ini sebagian masih tumbuh sumbur dan dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Anak Dalam
seperti buah tengguli yang harum dan manis bagaikan perpaduan antara aroma buah apel dan
buah pisang. Pohon buah durian daun dan pohon buah tampui.
Jenis tanaman lain yang masih tumbuh dengan baik adalah pohon bengkal berdaun
lebar. Tumbuhan ini daunnya dimanfaatkan oleh warga sebagai atap sudung pengganti
rumbia yang dapat tahan 4-5 tahun. Pohon rotan, manau, getah jernang, dan berbagai jenis
pohon palem. Di samping itu, hutan ini juga menyimpan kekayaan alam berupa flora langka
dan masih terdapat hewan-hewan langka jenis mamalia, primata, aves, reptilian, amphibia,
insecta, ikan yang membentuk kehidupan satwa liar di kawasan hutan tersebut. Beberapa
jenis hewan langka itu telah tercatat dan masuk dalam Red Data Book (IUCN) sebagai

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

satwa yang terancam punah. Jenis-jenis satwa yang masih mendiami hutan ini antara lain:
harimau Sumatera, beruang madu, rusa sambar, tapir, enggang gading, kuau, ayam hutan,
babi hutan, landak Sumatera , trenggiling, tupai tanah., musang, kera berekor panjang, beruk,
biawak, dab berbagai jenis ular.

2. Potret wisata Kabupaten Merangin

Kabupaten Merangin dengan ibukota Bangko terletak +/260 km dari kota Jambi via
Sarolangun. Dari Kota Jambi dapat ditempuh 3-4 jam perjalanan (340 mm). Sebelum
dilakukan pemekaran daerah, wilayah kabupaten ini merupakan satu kesatuan dengan
Kabupaten Sarolangunm. Kedua kabupaten yang bertetangga ini sebelumnya disebut dengan
Kabupaten Sarko (Sarolangun Bangko). Sejak dimekarkan menjadi dua daerah otonom yaitu,
Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun..
Kabupaten Merangin memiliki berbagai potensi panorama alam yang sungguh
aduhai. Di kawasan hutan TNKS yang sebagian termasuk Kabupaten Merangin memiliki
keanekaragaman floara, fauna, dan plasmanutfah. Menariknya, di berbagai kawasan hutan
yang ada di Merangin terdapat etnik Suku Anak Dalam..
Kebudayaan dan kondisi sosial budaya masyarakat Suku Anak Dalam yang ada di
Merangin tidak jauh berbeda dengan masyarakat Suku Anak Dalam yang ada di Taman
Nasional Bukit Dua Belas Sarolangun dan di kantong-kantong pemukiman mereka di wilayah
ini.
Hasil pengamatan di lapangan disimpulkan, bahwa Suku Anak Dalam di Merangin
memiliki hubungan kekerabatan dengan Suku Anak Dalam yang ada di Sarolangun.
Hubungan kedekatan itu dapat dilihat pada komunitas mereka yang ada di sekitar kawasan
Pamenang dan Kubang Ujo (Merangin) dengan komunitas mereka yang ada di kawasan
Tanjung, Kecamatan Bathin VIII, Singkut, dan Lubuk Bedorong, Kecamatan Limun,
Kabupaten Sarolangun.
Kabupaten yang memiliki julukan Bumi Tali Undang Tambang Teliti ini menyimpan
banyak misteri. Sejumlah goa batu di Kecamatan Sungai Manau disebut sebagai tempat
kediaman manusia purba. Kawasan ini juga memiliki daerah pegunungan yang berhawa sejuk
dengan gunung tertinggi bernama Gunung Masurai. Dalam kawasan ini juga terdapat hutan
TNKS, Air panas Bumi (Grao), Danau Pauh, Danau Depati Empat, serta Arung Jeram Sungai
Batang Merangin yang berarus deras yang penuh dengan bebatuan dan sebuah teluk yang
dipenuhi misteri. Teluk tersebut dinamai dengan Teluk Wang.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Beberapa tahun terakhir hasil temuan para ilmuwan disepanjang hulu Sungai Batang
Merangin di daerah Teluk Wang dan Biuku Tanjung terdapat bagian dari geopark (taman
bumi), beberapa artefak dan fosil tanaman purba yang sudah berusia lebih dari 2.500 juta
tahun.
Di Kabupaten Merangin juga terdapat perkampungan dan rumah tua yang berusia
lebih dari 500 tahun dengan arsitektur rumah terbuat dari kayu yang dipenuhi ukiran.
Menariknya, di kawasan ini juga terdapat puluhan lubuk larangan tempat penangkaran dan
budidaya ikan spesifik lokal Merangin yang dilakukan secara alami.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

BAB X
Memahami Nilai-Nilai Kearifan Tradisional Suku Anak Dalam

Sistem nilai budaya merupakan konsepsi abstraksi, yaitu pembentukan metalika


yang dirumuskan dari tingkah laku manusia sehingga menjadi sejumlah anggapan yang
hakiki, baik dan perlu dihargai sebagaimana mestinya. Kepala Taman Budaya Jambi Jafar
Rasuh dalam wawancaranya dengan penulis 20/12-2011 menyebutkan, nilai-nilai yang
menyediakan prinsip dan yang menjadi aturan dan tolok ukur standar dalam membuat
keputusan, pilihan, tindakan, dan tujuan tertentu bagi para anggota suatu masyarakat.
Nilai-nilai itu adalah gabungan semua unsur kebudayaan yang dianggap baik dalam
suatu masyarakatnya yang bersifat ideal. Nilai budaya cenderung bersifat abadi, dalam
pengertian sulit berubah dalam fungsinya sebagi pedoman standar yang mengatur sejumlah
tingkah laku dan pola pikir dalam kerangka totalitas kehidupan masyarakat yang
bersangkutan.
Menurut Antri Mariza Qadarsih,S.Sos, secara teoritis sistem nilai budaya merupakan
bagian yang esensial bagi eksistensi suatu masyarakat. Kedudukan sistem nilai budaya
bersifat sentral dan berperan bagaikan titik api (fokus) yang menyinari keseluruhan unsur
dan aspek-aspek lain dalam kerangka kebudayaan masyarakat (kerangka kebudayaan:
Koentjaraningrat: 1996). Dengan kata lain, pemahaman tentang kebudayaan suatu
masyarakat secara utuh sebagai mana yang mereka sendiri maksudkan, tidak akan dapat
terpenuhi dengan benar tanpa memasuki aspek sistem nilai budaya mereka. Dalam hal ini,
nilai-nilai kearifan tradisional Suku Anak Dalam. Melangun dan besale merupakan salah
satu cara bagi mereka dalam mempertahankan dan menjunjung tinggi nila-nilai budaya
leluhur mereka.
Bagi masyarakat Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi, khususnya yang bermukim di
kawasan hutan dan kawasan perkampungan Suku Anak Dalam wilayah Kabupaten Merangin
dan Kabupaten Sarolangun, terutama bagi mereka yang masih tinggal di hutan-hutan alami,
hendaknya segera mendefenisi ulang dan menyusun sebuah strategi baru untuk
beradaptasi secara efektif dan bersosialisasi dengan masyarakat suku lainnya. Hal ini
diperlukan agar mereka tetap bisa bertahan hidup di tengah tekanan berat yang mereka
rasakan saat ini, terutama tekanan terhadap hilangnya habitat dan sumber daya alam yang
sudah lama mereka miliki dan mereka manfaatkan.
Selain itu, juga diperlukan strategi baru untuk bersosialisasi terutama dari lembaga
teknis yang khusus menangani Suku Anak Dalam di Kabupaten Merangin dan Kabupaten

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Sarolangun. Disadari atau tidak saat ini kawasan hutan tempat mereka menjalani hidup
dan kehidupan semakin menipis, bahkan dalam kurun 20-25 tahun kedepan rimbo
(hutan) tidak lagi bisa banyak menjanjikan harapan bagi mereka dalam menghadapi
persaingan hidup yang semakin keras dengan masyarakat modern. Meskipun hutan
lindung dan taman nasional masih bertahan, namun potensi yang terkandung di dalamnya
terutama flora dan fauna tidak dapat lagi mereka manfaatkan secara optimal mengingat
potensi hutan dengan flora dan fauna yang ada di dalamnya sudah diharamkan untuk dijamah
dan dimanfaatkan karena sudah dilindungi oleh undang-undang.
Tak kalah pentingnya menurut Jafar Rasuh Tokoh dan Budayawan Jambi kedepan
perlu dibangun dan dihidupkan kembali peranan dan sistem kepemimpinan lokal yang riil
yang berakar serta diberdayakan kembali pranata-pranata sosial yang selama ini terkesan
kurang dipedulikan. Sistem kepemimpinan dan peranan jenang serta temenggung dan
perangkatnya yang lain perlu terus dipertahankan dan ditumbuhkembangkan.
Masuknya pengaruh globalisasi dan konstelasi budaya luar ke berbagai daerah
termasuk di tengah komunitas Suku Anak Dalam semakin tidak terbendung. Kondisi
ini merupakan tantangan bagi perkembangan kebudayaan lokal terutama dalam hal ini
budaya mereka, sehingga perlu dijawab dengan pewarisan nila-niali budaya yang luhur.
Upaya pewarisan nilai-nilai budaya terutama bagi generasi muda mereka dapat dilakukan
melalui proses pendidikan formal dan informal termasuk pendidikan keanekaragaman
budaya.

Direktur Kopsad pembina rohani Suku Anak Dalam bersama Suku Anak Dalam Mualaf Taman Nasional Bukit
Dua Belas Sarolangun

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Upaya berikutnya adalah program kontak budaya yang terencana untuk menghindari
timbulnya “etno sentrime” perlu dilakukan temu dialog antarbudaya dan antarsuku yang ada
di Kabupaten Merangin dan di Kabupaten Sarolangun. Tak kalah pentingnya, perlu dilakukan
upaya industrialisasi yang berimbang antara industri hasil budaya luar dengan budaya-
budaya yang dianggap baru.
Secara umum menurut Jafar Rasuh, tidak semua Suku Anak Dalam merupakan etnis
atau suku asli. Sebagian komunitas ini juga terdiri dari suku pendatang. Hal ini dapat
dibuktikan dengan pengakuan beberapa tokoh atau Temenggung Suku Anak Dalam yang
menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari Pagaruyung Minangkabau dan sebagian
lain menyatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Kerajaan Sriwijaya.
Suku asli Orang Kubu memang ada di pedalaman Jambi dan kepastian asal usul
mereka yang sebenarnya masih perlu dilakukan pengkajian dan penelitian yang lebih
cermat. Cukup unik, mereka memiliki kebudayaan basale, mantera, dan seloko. Tata cara
pengobatan dan pengetahuan mereka tentang alam merupakan sebuah khasanah kebudayaan
yang bernilai tinggi. Setiap proses kehidupan mulai dari tata cara proses kelahiran,
perkawinan, hingga ritual melangun berlangsung unik dan spesifik. Kebudayaan suku ini bila
ditata dan ditumbuhkembangkan dapat menjadi atraksi budaya yang dapat mendukung
pengembangan sektor pariwisata seni dan budaya di Propinsi Jambi.
Dalam perspektif kemanusiaan Suku Anak Dalam perlu diberdayakan sesuai dengan
kemauan mereka dan tuntutan perkembangan zaman, namun upaya pemberdayaan
hendaknya tidak dipaksakan, akan tetapi disesuaikan dengan keinginan mereka. Bagi
mereka yang ingin hidup bermasyarakat dan menyatu dengan masyarakat luar di luar hutan,
pemerintah dan masyarakat harus menjembatani keinginan mereka agar perubahan yang
terjadi tidak merusak tatanan dan kebudayaan mereka. Disisi lain, bagi mereka yang masih
ingin mempertahankan sistem budaya dan kehidupan tradisional di belantara hutan, pihak
pemerintah dan masyarakat juga harus membantu dengan cara ikut menjaga dan menghargai
kearifan lokal yang mereka kehendaki, akan tetapi perubahan dan modernisasi yang kita
lakukan hendaknya tidak meninggalkan akar budaya mereka atau sesuai dengan tradisi
yang telah mereka warisi secara turun-temurun.
Populasi dan persebaran pemberdayaan Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi pada
tahun 2005 dari hasil pemetaan berjumlah 4.573 jiwa. Sudah dibudayakan berjumlah 3.427
jiwa. Sedangkan yang sudah diberdayakan berjumlah 446 jiwa dan belum diberdayakan
berjumlah 700 jiwa.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Hingga saat ini baru sekitar 40%-45% dari jumlah warga Suku Anak Dalam yang
terdata di Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun yang sudah direlokasi di
pemukiman yang dibangun pemerintah. Pada periode Repelita VI jumlah mereka yang
sudah dibina di Propinsi Jambi dan telah dialihkan pembinaan kepemerintah daerah
berjumlah 317 KK dengan perincian sebagai berikut:
1. Muaro Tembesi lokasi Bukit Tembesu 1 sebanyak 45 KK, Bukit tembesu 2 sebanyak 40
KK, bunut 62 KK,
2. Batin XXIV lokasi Alu Jangga 70 KK,
3. Tebo Ilir lokasi Sungai Mangkekal 100 KK.
Khusus untuk wilayah Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun (dulu Sarko)
lokasi pembinaan dilakukan di Desa Pulau Lintang dengan lokasi Sesap Kubu I, II
dengan jumlah warga yang dibina 75 KK. Desa lubuk Sepuh dengan lokasi Sungai Pinggai
dengan jumlah warga 78 KK. Pada tahun 2003 LSM Kopsad dengan bantuan Menteri Sosial
RI dan Pemerintah Daerah memberdayakan 62 KK di Kabupaten Merangin dan pada tahun
2011 melalui bantuan PT Kresna Duta Agro Indo Region Jambi melakukan program
pembinaan dan pemberdayaan 17 KK di Desa Mentawak, Kecamatan Nalo Tantan,
Kabupaten Merangin.
Khusus untuk mereka di Desa Bukit Suban dan Pematang Kabau hingga saat ini
terdapat 125 KK yang telah diberdayakan 75 KK. Mereka telah hidup secara menetap di
pinggir hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Bagi mereka yang berada di Desa Bukit
Suban dan Desa Pematang Kabau belum memiliki sarana perumahan. Sebagian besar mereka
telah memeluk agama dan telah mengenal kehidupan modern. Lebih kurang 50 KK Suku
Anak Dalam di kawasan ini mulai hidup menetap di pinggir hutan Taman Nasional Bukit
Dua Belas dan di kebun karet atau kelapa sawit dalam pondok atau sudung yang terbuat dari
anak-anak kayu dengan atap plastik.
Upaya pembinaan dan pemukiman mereka (relokasi) yang dibangun pemerintah
telah berlangsung sejak awal orde baru. Tetapi, sebagian besar mereka masih mengembara di
hutan. Pemerintah orde baru telah gagal mengintegrasikan mereka ke dalam kelompok
masyarakat lainnya. Hasil pembinaan tidak sebanding dengan hasil yang dihabiskan untuk
membangun proyek pembangunan (relokasi). Hanya sedikit warga yang bisa bersosialisasi
dengan masyarakat di luar komunitas mereka. Hanya beberapa orang yang dapat
dikategorikan hidup mandiri dalam usaha ekonomi produktif.
Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010 di Propinsi Jambi, bahwa jumlah penduduk
Propinsi Jambi 3.088.168 jiwa meliputi berbagai suku dan ras. Sementara jumlah warga

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Suku Anak Dalam yang telah terdata sebanyak 26.886 jiwa yang tersebar pada 8 kabupaten
di Propinsi Jambi. Kabupaten Sarolangun terdapat 1.095 jiwa yang terdiri dari pria 537 jiwa
dan wanita 558 jiwa. Kabupaten Merangin 858 jiwa yang terdiri dari pria 439 jiwa dan wanita
419 jiwa.

Hasil pendataan ini belum mampu mendata jumlah riil Suku Anak Dalam yang
tersebar di pelosok kantong pemukiman dan kawasan hutan yang sulit dijangkau dan
terpencil. Diprediksi jumlah mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil sensus
penduduk 2010. Khusus pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM Kopsad di Kabupaten
Merangin baru berjumlah 79 KK yang sudah berhasil dimukimkan dan diberdayakan. Sekitar
50 KK lainnya masih nomaden. Untuk Kabupaten Sarolangun telah diberdayakan 125 KK
dan 75 KK lainnya telah dimukimkan. Sekitar 150 KK masih dalam tahap pendekatan awal.
Umumnya tingkat mobilitas mereka yang belum diberdayakan cukup tinggi.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

BAB XI
Suku Anak Dalam Mulai Melakukan Perubahan

Sebuah ungkapan filosofis mengingatkan kita, kuat dugaan bahwa perubahan


merupakan hukum sejarah yang universal. Semua kehidupan yang terjadi di permukaan bumi
ini pasti akan mengalami perubahan, tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu
sendiri. Hukum sejarah ini selalu berlaku disetiap ruang dan waktu, juga menjadi bagian
waktu yang tidak bisa dihindari oleh umat manusia. Diruang dan waktu manapun
perubahan pasti akan datang. Perubahan akan memberikan pilihan, terlindas oleh perubahan
atau mengelola perubahan.
Cepat atau lambat dunia dan kehidupan akan mengalami perubahan. Dalam era
globalisasi perubahan akan merambah ke berbagai arah, mengisi ruang, waktu, dan
kehidupan. Disadari atau tidak perkembangan kebudayaan dan dinamika sosial akan terjadi
hingga disetiap pelosok kehidupan. Tanpa terkecuali perubahan pasti juga akan melanda
kehidupan Komonitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam yang hidup mengembara di hutan
atau di kantong-kantong pemukiman mereka.
Pada dekade pertengahan abad ke XXI diyakini masyarakat pedalaman Suku Anak
Dalam tidak akan ada lagi yang hidup terasing dengan pola hidup meramu dan berburu
(hunting and gathering). Diprediski, mereka ini tidak akan bertahan dalam beberapa
dasawarsa yang akan datang. Pada pertengahan abad XXI atau pada awal abad ke XXII
cara hidup meramu dan berburu diperkirakan akan menjadi peninggalan sejarah dan
kebudayaan masa lampau.
Hingga awal abad ke XXI di Propinsi Jambi khususnya di Kabupaten Merangin dan
di Kabupaten Sarolangun masih banyak ditemui warga pedalaman Suku Anak Dalam yang
melakukan akktivitas berburu dan meramu. Sungguh sangat ironis, di tengah kemajuan
zaman dan di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin modern
ternyata tipe masyarakat yang sangat bersahaja dan terbelakang ini masih mampu bertahan
dan hidup bersama komunitas masyarakat yang hidup di muka bumi ini.
Tak dapat dipungkiri dan harus diakui saat ini sebagian mereka hidup di luar habitat
hutan yang semakin menipis dan fungsi hutan yang sudah berubah fungsi menjadi hutan
taman nasional atau hutan lindung mempersempit ruang dan gerak mereka. Hutan dengan
segenap flora dan fauna yang selama ini dengan mudah mereka dapatkan kini sudah sangat
terbatas untuk dimanfaatkan karena status yang sudah dillindungi.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Wanita Suku Anak Dalam Tradisional yang sedang diberdayakan


Banyak kita temui di kawasan kaki Taman Nasional Bukit Dua Belas,
Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun ratusan warga Suku Anak Dalam
mendirikan sudung di bawah hutan pohon karet (HTI) dan di bawah pepohonan kelapa
sawit yang notabene merupakan HGU perusahaan perkebunan swasta dan milik
masyarakat luar. Meskipun total jumlah mereka hanya sekitar 1,5 % dari total
masyarakat di Propinsi Jambi, namun mereka tetap memiliki hak dan kesempatan yang
sama untuk tetap eksis. Mereka memiliki hak untuk mengikuti perubahan ke arah kehidupan
yang lebih baik dan lebih maju sebagaimana yang dialami oleh masyarakat lainnya.

SAD berburu biawak SAD berburu labi-labi

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Warga Suku Anak Dalam menikmati hasil buruan

Suku Anak Dalam merupakan masyarakat yang terbiasa hidup dengan alam,
mereka sangat menggantungkan hidup pada hasil alam dengan tingkat kebudayaan yang
masih sangat sederhana, tertutup dengan dunia luar, hidup terpencil, dan
memisahkan diri dengan masyarakat luar, serta sulit bagi mereka untuk mengikuti pola
hidup masyarakat di luar mereka. Dalam kalangan masyarakat di luar komunitas mereka,
mereka sering dilihat atau dipandang dengan sebelah mata. Mereka sering disebut sebagai
masyarakat primitif yang secara sosial, ekonomi, dan budaya sangat terbelakang.
Peneliti Suku Anak Dalam, Dosen Universitas Negeri Jambi Drs. Fachruddin
Saudagar menyebutkan, walaupun dianggap primitif, terbelakang, dan hidup mengembara
(nomaden) ternyata mereka memiliki pranata budaya, struktur sosial, dan norna-norna
hukum yang mereka taati bersama, kearifan lokal dan kebudayaan yang mereka terima
secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Sampai sekarang semuanya itu masih tetap
dipegang teguh dan dijadikan sebagai pandangan hidup serta sebagai sarana untuk menjaga
keseimbangan alam dan keseimbangan kehidupan.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Wakil Gubernur Jambi Drs. H. Fachrori Umar, M.Hum., Bupati Merangin Drs. H. Nalim, S.H.,
Wakil Bupati Merangin Drs. H. Hasan Basri Harun di lokasi pemukiman Suku Anak Dalam Desa Mentawak,
Kecamatan Nalo Tantan

Komunitas masyarakat ini dikenal luas oleh masyarakat luar. Mereka memiliki seloko
dan mantera. Kehidupan kesehari-hari mereka sangat dipengaruhi oleh adat dan aturan
hukum sendiri, meskipun tidak tertulis mereka telah paham dan hafal betul seloko dan
norma-norma adat yang berlaku umum di kalangan mereka. Seloko ini dijadikan pedoman
dan dasar hukum oleh pemangku pemerintahan adat di kalangan warga. Setiap temenggung
harus mampu mengejawantahkan norma hukum adat dan seloko kepada komonitasnya.
Dalam bertutur kata atau berhubungan dengan budaya luar dan bertingkah laku,
seorang temenggung dan perangkat pimpinan adat harus mampu memahami seloko dan
mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Seloko yang selalu mereka pedomani tersebut
berbunyi, antara lain:
- bini sekato laki
- dimano biawak terjun di situ anjing telulung, dimano kito berbuat salah di situ adat yang
dipakai,
- banyak daun tempat berteduh
- yang tersurat yang tersirat
- bak tali berpintal tigo

Seloko-seloko atau kata-kata adat tersebut tidak akan sirna walau ditelan zaman.
Dari pengamatan terhadap beberapa mantera yang mereka tuturkan pada beberapa bagian
terlihat telah mengalami pengaruh dan sentuhan Agama Islam. Hal ini dapat kita lihat bahwa

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

pada waktu mengucapkan mantera selalu diawali ucapan Bismilahirrohmanirrohim dan


terdapat nama nabi di mantera mereka. Misalnya, nama Nabi Adam A.S.
Menurut penuturan mantan pimpinan Suku Anak Dalam kawasan Taman Nasional
Bukit Dua Belas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Haji Helmi (Birin mantan
temenggung) dan Muhamad Jailani (Tarib mantan temenggung) yang saat ini telah menetap
dan memeluk Agama Islam, dan tokoh Suku Anak Dalam Tradisional atau yang masih
berkepercayaan animisme yang menetap di Desa Mentawak, Kecamatan Nalo Tantan,
Kabupoaten Merangin, Temenggung Kitab dan tokoh pemuda di Desa Mentawak,
Meruncing, “Walau dulu kami hidup berpindah atau melangun di hutan belantara di dan
hidup apa adanya, namun kami juga dapat membedakan segala perbuataan yang baik
dan yang buruk. Kami sangat menghargai masyarakat luar yang merupakan sanak
(saudara) kami. Dulu ketika hutan masih rimbun dan hewan buruan masih mudah di
peroleh, kami sangat bahagia. Kami sangat mengharapkan hutan (halom) kami tetap
lestari. Bagi kami hutan adalah sumber dan mata air kehidupan kami, hutan tempat kami
hidup dan tempat kami beranak-pinak. Jika hutan rusak dan hewan buruan semakin sulit
diperoleh itu merupakan pertanda kiamat atau mala petaka bagi kami. Dan kehidupan kami
pun tentunya akan berakhir pula. Hutan atau rimbo bukan hanya kekayaan alam, tetapi
sebuah dunia kehidupan bagi kami. Jika hutan (halom) rusak itu sebuah pertanda lonceng
kematian bagi kami.”
Khusus bagi warga Suku Anak Dalam kelompok Haji Helmi, kelompok mantan
Temenggung Basiring (Muhammad Ali yang sudah almarhum), Temenggung Tarib
(Muhammad Jailani), Nitin, Gantap, Meranting, Kitab, Leman, Pilip, Ngelam, Nginjung,
Becayo, Nyerinai, dan beberapa kelompok lainnya yang dibina melalui LSM Kopsad,
sebagian besar telah hidup menetap, namun pola hidup meramu dan berburu masih
belum ditinggalkan sepenuhnya. Kendatipun mereka mulai bersentuhan dengan budaya dan
kehidupan luar atau telah mengenal kehidupan modern, budaya mereka masih tetap
dipertahankan.
Di lokasi yang dibangun oleh LSM Kopsad melalui kerja sama dengan PT Kresna
Duta Agro Indo (PT SMART Tbk.), dukungan dari Kemenerian PDT RI, dukungan dari
Gubernur Jambi, dukungan dari Bupati Merangin dan Bupati Sarolangun serta bantuan dari
Yayasan BAMUIS PT BNI 46 Jakarta warga yang telah diberdayakan saat ini mulai
mengenal budidaya pertanian, perkebunan, dan peternakan, budidaya tanaman pangan,
penanaman tanaman pangan dan buah-buahan, walaupun masih dalam tahap
pembelajaran dan pengenalan. Namun tetap harus kita ajukan jempol. Karena pembinaan dan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

pemberdayaan terhadap mereka dapat membuahkan hasil walaupun belum secara


keseluruhan dan sepenuhnya.
Pada dasarnya upaya pembinaan dan pemberdayaan dilakukan tidak hanya oleh
LSM Kopsad semata. Akan tetapi juga melibatkan masyarakat luas, seperti Ormas
Pemuda KNPI, HMI, PMII, Muhamadiyah, Nahdattul Ulama, Tim Penggerak PKK, GOW,
TNI, Polri, Dunia Usaha, dan Dinas Instansi terkait, serta masyarakat di sekitar pemukiman
mereka.
Pada dasarnya Suku Anak Dalam hidup dengan kebudayaan yang sangat tertutup.
Mereka sangat tidak menyukai konflik. Jika terjadi perselisihan mereka lebih memilih untuk
menghindar. Mereka juga dikenal sebagai masyarakat yang pemalu dan sangat memegang
teguh hukum adat. Bila terjadi pelanggaran hukum adat, sangsi yang akan mereka terima dari
Jenang atau Temenggung sangat berat. Hingga dekade tahun 1990-an sangat jarang terdengar
adanya konflik antarwarga atau konflik antara mereka dengan masyarakat di luar komunitas
mereka.
Rusaknya hutan dan pembinaan yang salah kaprah, menyebabkan terjadinya
degradasi budaya. Beberapa peristiwa konflik mulai terdengar. Persoalan yang mereka
hadapi lebih banyak muncul dari dunia luar. Persoalan yang paling besar mereka rasakan
adalah semakin menyempitnya areal hutan tempat mereka bertahan hidup dan beranak
pinak. Perambahan hutan yang dilakukan oleh oknum masyarakat, ilegal loging, dan
pembukaan areal perkebunan dalam skala besar berdampak dengan berkurangnya lahan
untuk sumber kehiduan mereka. Peneliti Suku Anak Dalam Jambi Drs. Fachruddin Saudagar,
M.Pd. membenarkan, bahwa dampak yang dirasakan oleh mereka adalah kemiskinan.
Mereka masuk ke tengah kota menjadi pengemis dan sering menggangu pengguna jalan raya.
Mereka membangun pondok atau sudung di bawah pohon sawit atau pohon karet
masyarakat. Kehadiran mereka dianggap mengganggu masyarakat atau pihak
perusahaan perkebunan. Beberapa kejadian terlihat sekelompok oknum Suku Anak Dalam
menghadang kenderaan di jalan raya dengan membentangkan tali meminta uang dengan
logat dan gaya memaksa. Biasanya hal ini mereka lakukan dengan alasan bahwa anjing
hewan kesayangan mereka ditabrak kenderaan.
Sering dijumpai di banyak lokasi oknum warga Suku Anak Dalam mengganggu
tanaman milik masyarakat. Mereka sering mengambil buah kemiri, durian, pinang, kelapa,
sukun, jengkol, petai, dll. Milik masyarakat. Dan beberapa oknum lainnya sering mendodos
atau memungut brondolan buah kelapa sawit di kebun-kebun masayarakat atau dalam lahan
inti perkebunan kelapa sawit. Keadaan ini sering memicu konflik antara mereka dengan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

masyarakat di luar komunitas mereka. Manakala hal ini tidak segera diantisipasi dengan
pembinaan dan pemberdayaan, dikhwatirkan mereka akan menjadi duri dalam daging di
tengah-tengah masyarakat luas.
Mengutip pernyataan ahli secara teoritis, perubahan sosial bisa terjadi secara
perlahan dan lamban (evolusi) atau secara cepat dan drastis (revolusi). Perubahan sosial
juga bisa didesain berdasarkan modal sosial dan modal kultural suatu masyarakat atau hanya
dengan menggunakan nilai-nilai dari luar yang dianggap lebih baik. Perbedaan cara dan
model perubahan itu pula yang akan melahirkan reaksi atau respon yang tidak sama dari
komunitas masyarakat yang ingin diajak berubah.
Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jambi Drs. H. A.
Harris A.B., M.M. dan Kepala Bidang Pemberdayan Sosial Dinas Sosnakertrans Propinsi
Jambi Drs. Syarifufin, M.M. mengakui dalam berbagai temuan di lapangan, dalam upaya
pemberdayaan Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi banyak mengalami tantangan
dan hambatan. Tantangan tersebut berkaitan dengan masalah sosial budaya, psikologi,
ekonomi, dll. Memang harus diakui bahwa untuk melakukan perubahan di tengah-tengah
komunitas mereka sangatlah sulit, mengingat jauh sebelum kita menggagas agenda
perubahan tersebut mereka telah memiliki sistem pranata sosial dan budaya, pandangan
hidup, dan pola konsumsi sendiri. Maka dari itu, sangat tidak mudah membawa mereka
untuk mengikuti agenda perubahan yang dibawa oleh masyarakat di luar komunitas
mereka. Apalagi jika cara pandang yang kita gunakan bertentangan dengan cara pandang
mereka.
Pengamatan yang dilakukan penulis di banyak lokasi pemukiman, bahwa banyak
kegagalan yang telah dilakukan dimasa lalu. Pemberdayaan dan pembinaan yang
dilakukan sejak tahun 1970-an belum banyak membuahkan hasil. Hal ini terbukti dengan
banyaknya lokasi pembinaan dan pemberdayaan ditinggalkan oleh warganya.
Pengalaman yang diperoleh selama melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan di
berbagai kantong pemukiman mereka di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas,
Kabupaten Sarolangun, Desa Tanjung, Kecamatan Bathin VIII dan Bukit Bulan, Kecamatan
Limun dan di pemukiman mereka di wilayah Bukit Bungkul, Pauh, Pemenang, Bukit
Beringin, Sungai Putih, Pematang Kancil, Kabupaten Merangin selama ini terkesan
dipaksakan. Perumahan dibangun tanpa memikirkan dan mempersiapkan sarana dan
prasarana ekonomi serta tanpa pembinaan yang berkesinambungan. Persoalan lain, banyak
lembaga swadaya memiliki program yang saling berseberangan. Satu sisi ada yang
menginginkan mereka untuk berubah mengikuti perubahan zaman, dilain pihak ada yang

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

menginginkan mereka tetap hidup apa adanya dengan mengatasnamakan untuk kepentingan
konservasi dan membiarkan mereka untuk tetap hidup dengan tradisi yang sudah mereka
lakukan secara turun-temurun.
Kesimpulan yang dapat dicatat dalam usaha yang dilakukan oleh LSM Kopsad adalah
perubahan terhadap mereka tidak dapat dilakukan secara paksa atau bujukan semata. Akan
tetapi harus muncul dari kesadaran warga itu sendiri. Jika ingin campur tangan kita perlu
melakukan desain secara empati humanis, sehingga menimbulkan kebutuhan dari kalangan
mereka sendiri untuk melakukan perubahan.
Perubahan secara partisipatoris dan emansipatoris yang melibatkan keberadaan
mereka dan memberdayakan potensi mereka secara bermartabat, maka salah satu
medianya adalah pendidikan alternatif bagi mereka yang masih mendiami hutan
belantara, seperti yang dilakukan oleh aktifis Butet Manurung. Metode yang dilakukan
oleh Butet Manurung adalah dengan masuk dan terlibat lansung dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Bersama dengan para relawan Butet Manurung menyelenggarakan
pendidikan alternatif yang diberi nama Sokola Rimba. Hasil dan upaya yang dilakukan
oleh Butet Manurung patut untuk diacungkan jempol. Gagasan dedikasi yang telah ia
lakukan telah mampu membangun kesadaran hidup yang lebih besar lagi pada diri Suku
Anak Dalam. Bahwa mereka tidak boleh menyerah dengan tekanan dan ancaman dari
luar yang kerap mengganggu dan merusak hutan dan kehidupan mereka.
Namun persoalan yang dihadapi oleh warga pedalaman tersebut yang hidup di luar
kawasan hutan belantara akan sangat jauh berbeda. Khusus bagi mereka yang hidup menetap
dan yang masih nomaden di pinggir hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas dan disepanjang
areal perekebunan kelapa sawit dan karet milik masyarakat dan pengusaha perekebunan
sangat berbeda. Kondisi warga yang hidup di luar habitat hutan cukup memperihatinklan.
Sebagian dari mereka melakukan berburu dan meramu di tengah semak belukar atau di
kebun-kebun karet dan kebun kelapa sawit dengan hasil yang jauh dari memadai.
Konon, dulu kebun kelapa sawit dan kebun karet terutama yang dibangun oleh pihak
perusahaan merupakan daerah jelajah dan tempat mereka bertahan hidup. Kondisi dan
keprihatinan hidup yang dirasakan oleh mereka saat ini adalah semakin memuncak. Apabila
persoalan ini tidak dicari solusi alternatif dikhawatirkan kehadiran mereka akan menjadi hal
yang tidak mengenakkan.
Untuk mengantisipasi dan meminimalisasi kondisi yang dihadapi oleh warga Suku
Anak Dalam yang hidup di luar habitat hutan termasuk mengantisipasi persoalan sosial
mereka, sudah selayaknya pemerintah dan dunia usaha berkolaborasi bersama-sama mencari

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

solusi alternatif dalam melakukan pembinaan dengan melibatkan masyarakat termasuk LSM
yang peduli terhadap persoalan yang mereka hadapi. Sebenarnya upaya pembinaan dan
pemberdayaan mereka merupakan tugas dan tanggung jawab bersama, pemerintah, dunia
usaha, dan masyarakat dalam arti luas termasuk LSM harus ikut ambil bagian dalam upaya
pemberdayaan mereka. Sehingga pada gilirannya warga dapat hidup sejajar dengan
komunitas masyarakat luar yang lebih maju. Contoh kongkret, kepedulian dunia usaha
terhadap upaya pembinaan dan pemberdayaan telah dilakukan oleh perusahaan perkebunan
PT Kresna Duta Agro Indo Region (PT SMART Tbk.) dengan menerapkan program CSR
(Corporate Sosial Responsibility) melalui Program Comunity Development.
Berbagai upaya telah digagas dan dilakukan oleh LSM Kopsad dengan dukungan dan
bantuan pihak perusahaan perkebunan PT Kresna Duta Agro Indo merupakan wujud dari
kesetiakawanan sosial. PT Kresna Duta Agro Indo sangat peduli terhadap persoalan Suku
Anak Dalam dan masyarakat lokal di sekitar perkebunan di lingkungan perusahaan. Sehingga
terjalin hubungan antarcoporate dengan komunitas sekitar. Program pembinaan dan
pemberdayaan ini telah dilakukan sejak tahun 1999 hingga saat ini.
Upaya yang dilakukan tidak hanya dalam bentuk memberikan bantuan dalam bentuk
pendanaan. Lebih dari itu, termasuk bantuan yang bersifat stimulan dari hal yang paling
kecil hingga bantuan dalam bentuk CSR. Misalnya, menyalurkan paket pakaian layak pakai,
sarana dan prasarana Ibadah, sembako, bibit tanaman dan sarana pertanian, bedah rumah,
pembangunan rumah, pembangunan sarana Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) khususnya
untuk balita dan anak anak, paket yang berupa insentif bagi pembina rohani dan guru
(relawan) PAUD, pemberangkatan 4 orang pemuda ke pondok pesantren di Jakarta dan ikut
membantu mempersiapkan sarana dan prasarana bagi 2 orang putri ke pondok pesantren di
Sarolangun, membantu dana dan sarana memberangkatkan khafilah peninjau MTQ Tingkat
Propinsi Jambi di Kabupaten Kerinci dan di Kabupaten Merangin, membantu sarana
prasarana khitanan dan nikah masal bagi mereka termasuk membantu sarana prasarana
peng-Islam-an dan pernikahan Temenggung Helmi, Datuk Penguak dan istrinya Ngimbai (75
tahun), Temenggung Tarib, dan puluhan pasangan warga lainnya.
Harus diakui, berbagai program dan upaya yang telah dilakukan belum membuahkan
hasil yang optimal. Berbagai persoalan dan tantangan membuat banyak cita-cita yang belum
terwujud. Budaya yang tertutup dan kehidupan yang nomaden merupakan kendala utama
yang harus di hadapi dalam upaya pembinaan dan pemberdayaan mereka.
Belakangan ini, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sari Aditya Loka di
Muara Delang Hitam Ulu juga telah melakukan pembinaan dan pemberdayaan. Bentuk

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

pembinaan dan pemberdayaan tersebut antara lain, melakukan pelatihan dukun beranak,
pelatihan montir untuk menunjang kegiatan PT Sari Aditya Loka, juga membangun balai
pertemuan yang multifungsi di lokasi pemukiman mereka. Tepatnya dalam pemukiman
kelompok Temenggung Betaring.
Sejumlah tokoh Jambi, antara lain Dr. H. Rizal Djalil, M.M. mantan anggota DPR RI
(sekarang anggota BPK RI), Dra. Hj. Juniwati Maschun Syofwan (anggota DPD RI), Nuzran
Joher, S.Ag. mantan anggota DPD RI (sekarang staf ahli Ketua DPR RI) pernah mendatangi
Pemukiman Suku Anak Dalam. Termasuk juga beberapa tokoh nasional, seperti Prof. Dr. H.
Amien Rais, M.A. (tokoh feformasi, mantan Ketua MPR RI) pernah mengunjungi mereka
di kawasan Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin. Kedatangan tokoh-tokoh tersebut
telah menunjukkan bahwa mereka ikut peduli dan ikut prihatin melihat pesoalan sosial yang
dihadapi oleh anak-anak bangsa khususnya dari kelompok Suku Anak Dalam.

Gubernur Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. dan Direktur LSM Kopsad
bersama warga Suku Anak Dalam Mualaf di Taman Nasional Bukit Dua Belas

Mantan Gubernur Jambi H. .Zulkifli Nurdin dan Mantan Bupati Sarko/ Mantan
Bupati Merangin H.Rotani Yutaka, SH dan Mantan Bupati Sarolangun Pertama era
Reformasi termasuk pejabat yang sangat sering mengunjungi mereka di kawasan belantara
Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun. Selain berkunjung beliau juga memberikan
berbagai bentuk bantuan stimulan dan bantuan emergency program . Dan tidak kalah
pentingnya, perhatian Gubernur Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. terhadap masalah
sosial yang dihadapi Suku Anak dalam sangat tinggi. Saat menjabat Bupati Sarolangun Drs.
H. Hasan Basri Agus, M.M. tidak segan-segan turun tangan secara langsung dalam
mengatasi masalah Suku Anak Dalam di daerah Sarolangun. Wujud perhatian mantan Bupati

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Sarolangun itu terlihat jelas dan sangat mempengaruhi proses pembinaan dan pemberdayaan
mereka, sehingga menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi pada diri warga dan menambah
besar kepercayaan mereka kepada pemerintah.

Dimasa menjabat sebagai Bupati Sarolangun, Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. telah
mengajak dan mengundang beberapa tokoh dan menteri untuk melihat masyarakat
pedalaman di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Menteri PDT RI, Menteri
Kehutanan RI, Menteri Sosial RI, Artis Nasional atau Anggota DPR RI Nurul Arifin, dan
Almarhum Frangky Sahilatua telah melihat secara langsung kondisi objektif suku pedalaman
Jambi. Pak Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. tidak pernah merasa malu mengatakan
daerahnya termasuk daerah tertinggal dan masih memiliki masyarakat yang tertinggal pula.
Pernyataan Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. dan kerja nyata serta bukti yang ia berikan
membuat tingkat kepercayaan masyarakat kepada penggagas Sarolangun Emas dan Jambi
Emas semakin tinggi.
Ketika menjadi Bupati Sarolangun, Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. memberikan
dukungan dan perhatian besar terhadap warga Suku Anak Dalam. Seorang tokoh yang
bernama Helmi sudah diberangkatkan untuk menunai ibadah haji. Beberapa guru atau
pembina rohani mendapatkan insentif yang memadai dan dimasa jabatannya sebagai bupati
berhasil membangun 50 unit rumah bagi Suku Anak Dalam yang diperoleh dari bantuan
Kementerian Negara PDT RI dan Kementerian Negara Perumahan Rakyat.
Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. juga membangun sarana belajar permanen untuk
murid TPA Suku Anak Dalam di Pematang Kabau. Pada bidang ekonomi melalui dinas
terkait telah membantu berbagai sarana dan prasarana ekonomi dan rumah tangga mereka
termasuk membantu pendanaan untuk kegiatan khitanan, peng-Islam-an, dan pernikahan.
Pada Pilkada lalu mantan Bupati Sarolangun itu mendapat mandat mayoritas dari
masyarakat Priopinsi Jambi untuk menjadi Gubernur Jambi menggantikan Drs. H. Zulkifli
Nurdin yang telah habis masa jabatannya. Kepada penulis, beliau mengemukakan, bahwa
persoalan sosial terutama persoalan sosial yang dihadapi oleh warga Suku Anak Dalam bukan
semata-mata tugas pemerintah. Tugas untuk mengangkat nilai-nilai kemanusiaan mereka
adalah tugas bersama. Tokoh masyarakat, dunia usaha dalam hal ini perusahaan perkebunan,
dan LSM, merupakan mitra pemerintah untuk melakukan upaya percepatan pengentasan
kemiskinan dan keterasingan bagi mereka.
Selama ini kawasaan hutan merupakan tempat bagi mereka untuk bertahan hidup,
akan tetapi karena dampak dari proses pembangunan perkebunan dan pemukiman membuat

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

daerah jelajah mereka semakin sempit. Semua program pembangunan itu pada prinsipnya
adalah untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, termasuk pembangunan perkebunan
kelapa sawit. Meskipun hal itu berdampak bagi masyarakat luas, namun kita harus
meminimalisasi dampak buruk yang bakal terjadi dan secara bersama-sama berupaya
mencari jalan keluar.
Upaya pembinaan dan pemberdayaan terhadap mereka perlu terus dilakukan secara
nyata. Kedepan perlu dipikirkan oleh pihak perusahaan untuk merekrut mereka sebagai
tenaga kerja perusahaan. Pekerjaan yang diserahkan kepada mereka tentu disesuaikan
dengan kemampuan Sumber Daya Manusia mereka.
Sebagai pemerintah daerah Gubernur Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. sangat
menghargai pemberian CSR dan CD oleh perusahaan perkebunan PT Krena Duta Agro Indo,
PT Sari Aditya Loka, dan perusahaan lainnya. Ke depan diharapkan pihak perusahaan untuk
memikirkan langkah-langkah untuk penguatan ekonomi dan pendidikan Suku Anak Dalam.
Beliau mengatakan, upaya yang dilakukan oleh jajaran pemerintah Propinsi Jambi harus
diakui belum dapat sepenuhnya memenuhi harapan dan belum mampu menuntaskan
berbagai problema dan dilema kehidupan sebagian besar Suku Anak Dalam, namun paling
tidak sudah ada usaha dan gerakan moral yang dilakukan oleh pemerintah dan dunia usaha.
Selama ini program pembinan dan pemberdayaan mereka sangat tergantung pada
program dan dana dari Kementerian Sosial. Dan program pemukiman (relokasi) bagi mereka
dilakukan dalam bentuk penyeragaman, pada hal kebudayaan dan sistem kehidupan mereka
sangat jauh berbeda dengan Komunitas Adat Terepencil yang ada di berbagai lokasi
pemukiman lain yang ada di nusantara ini. Dilain pihak, pemerintah kabupaten belum
sepenuhnya menganggarkan dana pembinaan bagi mereka di dalam APBD. Upaya dan
anggaran yang disediakan oleh pemerintah propinsi dan kabupaten untuk penanganan
mereka seperti iklan mobil fanther ”nyaris tidak terdengar.”
Instansi teknis tidak mampu berbuat banyak, alasannya keterbatasan dana dan tidak
ada sumber pendanaan dalam APBD. Kalaupun ada jumlahnya sangat tidak realistis. Dilain
pihak kesungguhan anggota DPRD dalam menjawab tantangan dan harapan mereka ibarat
angin malam yang berhembus. Ironinya, masih ada yang melihat mereka tidak dengan kedua
belah mata.
Persoalan lain, selama ini pembinaan dan pemberdayaan terhadap mereka terkesan
diproyekkan. Upaya pembinaan dan pembangunan pemukiman terkesan diseragamkan.
Padahal kebudayaan suatu suku dengan suku yang lainnya saling berbeda. Menurut hemat
penulis, dalam melakukan pembinaan dan pemberdayaan kita harus menggunakan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

pendekatan budaya dengan mengedepankan hati dan cinta. Sebab dengan pendekatan hati
dan cinta, kita dapat mengubah keadaan, bukan keadaan yang membuat kita berubah.
Pengalaman di lapangan menunjukkan, berapapun dana dan bantuan yang dikucurkan
untuk membina dan pemberdayaan mereka tidak akan dapat menyelesaikan persoalan
sepanjang kita masih mengedepankan kemauan kita bukan karena kemauan mereka. Hemat
penulis, kedepan untuk memberdayakan mereka yang berada di luar habitat hutan sentuhan
pertama yang harus dilakukan adalah dengan menanamkan keyakinan (agama) terhadap
mereka. Sepanjang mereka belum memiliki keyakinan terhadap agama yang turun dari
langit, maka budaya melangun tidak akan dapat dicegah. Karena melangun adalah tradisi
turun-temurun.
Pengalaman di lapangan menunjukan banyak lokasi perumahan yang ditinggalkan
oleh warga karena warga masih tetap melakukan tradisi melangun. Mereka masih percaya
bahwa apabila ada salah satu keluarga mereka yang meninggalkan itu pertanda sial. Maka
dari itu mereka harus meninggalkan perkampungan tersebut. Untuk warga yang masih hidup
nomaden dan masih memiliki hutan, harus diupayakan pembinaan dan pemberdayaan sesuai
dengan corak budaya mereka dan menjadikan kawasan tempat tinggal mereka sebagai
kawasan wisata alam dan budaya mereka.
Untuk mendorong terwujudnya visi Jambi EMAS 2015, semua pihak hendaknya
melakukan kolaborasi dan secara bersama-sama sesuai dengan kemampuan untuk melakukan
aksi nyata. Terpilihnya Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M. sebagai pucuk pimpinan di Negeri Jambi
Sembilan Lurah merupakan pilihan masyarakat, termasuk masyarakat Suku Anak Dalam.
Kedepan pemerintah tidak perlu mendirikan rumah-rumah bagi mereka yang masih
nomaden atau mereka yang hidup di kawasan hutan seperti yang dilakukan terhadap warga
yang telah beragama dan bermukim tetap. Pemerintah dan dunia usaha cukup
memberikan rumah keliling dalam bentuk tenda yang didesain sesuai dengan pola rumah
sudung yang mereka tempati. Pondok keliling atau sudung keliling dapat mereka bawa
kemanapun mereka mengembara atau melangun. Kalaupun ingin membangun pondok
hunian hendaknya mengikuti budaya mereka. Bangunan sebaiknya menggunakan atap
daun, dinding tidak perlu utuh, dan lantai rumah dari papan. Hal ini dimaksud agar udara
segar dapat masuk leluasa ke dalam rumah atau pondok mereka.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

A. Pendekatan Pendidikan Humanis bagi Generasi Muda Suku Anak


Dalam

Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mengubah budaya dan sifat asli warga Suku
Anak Dalam harus melalui pendekatan pendidikan. Sebab perubahan yang paling cepat
terjadi adalah melalui proses pendidikan terutama dalam lingkungan balita dan anak-anak.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang dilakukan selama kurun waktu 5-7
tahun dapat disimpulkan, bahwa memberikan bantuan makanan atau stimulan tidak dapat
menyelesaikan persoalan dasar. Bantuan makanan dalam waktu jangka panjang hanya
akan membuat mereka semakin tergantung kepada orang lain. Dilain pihak pemerintah
dan masyarakat tidak akan mungkin selalu memberikan subsidi terhadap mereka secara terus-
menerus. Agar mereka dapat hidup mandiri maka sejak dini perlu diberikan bekal pendidikan,
pengetahuan, dan pengalaman (live skill) kepada mereka.
Dengan dukungan dan bantuan Menteri Sosial RI, Gubernur Jambi, Bupati Sarolangun,
Kanwil Departemen Agama, PT Kresna Duta Agro Indo, Yayasan BAMUIS PT BNI 46 Jakarta,
serta sumbangan donatur LSM Kopsad telah membangun 2 unit sarana ibadah, yaitu Mushalla Jabbal
Nur dan Mushalla An Nur serta ditambah dengan pembangunan TPA At Tin, TPA Al Zaitun, pondok
singgah, rumah singgah, Madrasah Takmiliyah, PAUD, termasuk usaha budidaya ternak kambing
dan budidaya tanaman buah untuk pangan. Untuk pembinaan rohani diangkat 4 orang relawan
guru mengaji di lokasi pemukiman mereka di Desa Pematang Kabau dan di pemukiman mereka di
Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Sarolangun.
Untuk pertama kali Gubernur Jambi dan Bupati Merangin melakukan peresmian
rumah pintar dan PAUD Nurul Habib di lokasi pemukiman mereka di Desa Mentawak,
Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin. Pihak perusahaan perkebunan PT Kresna
Duta Agro Indo membangun 1 unit bangunan sederhana yang dimanfaatkan untuk sarana
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang dapat di fungsikan sebagai visitor senter
pemberdayaan Suku Anak Dalam Kabupaten Merangin. Sejak tahun 2010 pemerintah telah
menetapkan kebijakkan pengembangan PAUD melalui pendekatan “holistik integratif ”
yaitu PAUD yang tidak hanya menekankan aspek pendidikan semata, tetapi mencakup
aspek pelayanan gizi, pelayanan kesehatan, pengasuhan, dan perlindungan anak.

B. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Khusus Suku Anak Dalam

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang


Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 1 Butir 14) adalah upaya
pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan


perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan
lebih lanjut. Latar belakang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai strategi
pembangunan Sumber Daya Manusia haruslah dipandang sebagai titik sentral dan sangat
fundamental serta strategis mengingat, bahwa usia dini merupakan masa keemasan (the
golden age), namun sekaligus periode yang sangat kritis dalam tahap perkembangan manusia.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa sampai usia 4 tahun tingkat kapabilitas kecerdasan
anak telah mencapai 50%. Pada usia 8 tahun mencapai 80%, dan sisanya sekitar 20%
diperoleh pada saat anak berusia 8 tahun ke atas. Pertumbuhan dan perkembangan anak pada
usia dini, bahkan sejak dalam kandungan sangat menentukan derajat kualitas kesehatan,
intelegasi, kematangan emosional, dan produktivitas manusia pada tahap berikutnya. Dengan
demikian, investasi pengembangan anak usia dini merupakan investasi yang sangat penting
bagi Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Selanjutnya pada pasal 28 dinyatakan, bahwa
Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal. Pendidikan Anak Usia Dini pada jalur pendidikan nonformal dapat
berupa kelompok bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang
sederajat.

Relawan atau guru PAUD Nurul Habib Suku Anak Dalam Desa Mentawak sedang melakukan proses KBM

Kelompok bermain adalah salah satu bentuk Pendidikan Anak Usia Dini
jalur pendidikan nonformal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak usia 2-6 tahun,
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak, agar kelak siap memasuki
pendidikan lebih lanjut. Kelompok bermain merupakan salah satu bentuk Pendidikan Anak
Usia Dini dengan mengutamakan kegiatan bermain sambil belajar. Prinsip-prinsip pendidikan
dalam kelompok bermain adalah setiap anak itu unik. Mereka tumbuh dan berkembang dari

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

kemampuan, kebutuhan, keinginan, pengalaman, dan latar belakang keluarga yang berbeda.
Anak usia 2-6 tahun adalah anak yang senang bermain. Bagi mereka bermain adalah cara
mereka belajar. Untuk kegiatan bermain harus dapat difasilitasi keberagaman cara belajar
dalam suasana senang, sukarela, dan kasih sayang dengan memanfaatkan kondisi lingkungan
sekitar.
Tenaga pendidik yang bertugas dalam kegiatan bermain adalah pendidik yang
memiliki kemauan dan kemampuan mendidik, memahami anak, penuh kasih sayang dan
kehangatan, serta bersedia bermain dengan anak. Ruang lingkup program kegiatan kelompok
bermain mencakup bidang pengembangan pembentukan perilaku dan bidang pengembangan
kemampuan dasar melalui kegiatan bermain dan pembinaan, yang meliput: (1) nilai-nilai
agama dan moral, (2) fisik, ( 3 ) kognitif, ( 4 ) bahasa, (5) sosial emosional, dan (6) seni.
Kegiatan pengembangan suatu aspek dilakukan secara terpadu dengan aspek yang lain
dengan menggunakan pendekatan tematik.
Secara umum, tujuan pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini merupakan sebuah
upaya pembelajaran bertujuan mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai
persiapan untuk masa depannya dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Secara
khusus, program Pendidikan Anak Usia Dini bertujuan agar anak mampu mengenal dan
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, melakukan ibadah, mengenal ciptaan Tuhan,
mencintai sesama, memilki nilai moral, sikap, dan budi pekerti yang baik. Selain itu, anak
diupayakan mampu mengelola dan mengontrol keterampil tubuh, termasuk gerakan halus dan
gerakan kasar, serta mampu menerima rangsangan sensorik (pancainderta). Diupayakan anak
mampu menggunakan bahasa untuk pemahaman dan dapat berkomunikasi secara efektif yang
bermanfaat untuk kemampuan berfikir dan belajar mereka. Diupayakan anak mampu berfikir
kreatif, logis, kritis, serta mampu memberikan alasan, memecahkan, dan menemukan sebab
akibat. Dupayakan anak memiliki keterampilan hidup (life skill) untuk membetuk
kemandiriannya. Diupayakan anak mampu mengenal lingkungan alam, lingkungan sosial
masyarakat, menghargai keragaman sosial dan budaya, mampu mengembangkan konsep diri,
rasa memiliki, dan sikap positif terhadap belajar. Diupayakan anak memiliki kepekaan
terhadap irama, nada, birama dari berbagai bunyi, bertepuk tangan, serta menghargai hasil
karya yang kreatif.
Kegiatan penyelenggaran PAUD telah dirintis oleh para relawan dan mendapat
dukungan dari Kepala Desa Mentawak, Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin.
Kegiatan dimulai sejak awal April 2011. Dan pada saat itu kondisi warga Suku Anak Dalam

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

kelompok Temenggung Kitab yang dulu masih hidup dengan pola berburu dan meramu, kini
telah hidup menetap. Mereka tinggal di sudung atau pondok tradisional.
Dengan kesadaran sendiri kelompok Temenggung Kitab membeli 17 kavling
lahan lerumahan milik warga setempat, namun untuk pembangunan sarana perumahan
warga mengharapkan LSM Kopsad untuk memperjuangkan pembangunan perumahan bagi
mereka. Berdasarkan permohonan yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Lembaga
Swadaya Masyarakat Kelompok Peduli Suku Anak Dalam yang disampaikan kepada
Managemen PT Kresna Duta Agro Indo (PT SMART Tbk.) akhirnya pada awal bulan Mei
2011 SMD Ops. dan CEO PT Kresna Duta Agro Indo mengabulkan permohonan tersebut.
Awal bulan Mei 2011, Regional Controler PT Kresna Duta Agro Indo Region Jambi
Ir. H. Dwi Prasetio bersama staf melakukan pemancangan tiang pertama pembangunan 17
unit rumah layakhuni bagi warga Suku Anak Dalam dan 1 unit rumah pintar (PAUD Nurul
Habib) untuk kelompok Temenggung Kitab di Desa Mentawak, Kecamatan Nalo Tantan,
Kabupaten Merangin. Pada tanggal 25 Juli 2011 pembangunan tersebut telah berhasil
diselesaikan lebih cepat dari jadwal. Dan pada tanggal 27 Juli 2011 Gubernur Jambi Drs. H.
Hasan Basri Agus, M.M. diwakili oleh Wakil Gubernur Jambi Drs. H. Fachrori Umar,
M.Hum. didampingi Bupati Merangin Drs. H. Nalim, S.H., Wakil Bupati Drs. H. Hasan
Basri Agus, M.M., Regional Controller PT Kresna Duta Agro Indo Region Jambi Ir. H. Dwi
Prasetio dan Ir. Adat Ginting melakukan peresmian pemanfaatan perumahan tersebut. Pada
saat ini terdapat 35 murid PAUD dan murid yang mengikuti program Paket A, dengan tenaga
pendamping pengajar atau tutor sebanyak 4 orang dan secara hukum PAUD ini telah di-
aktanotaris-kan.
Awal pembelajaran kondisi PAUD sangat sederhana. Warga belajar di bawah pohon
dengan ruang belajar tanpa dinding dan tanpa atap. Anak-anak dibawa belajar di bawah
rindangnya pepohonan. Kegiatan belajar seperti ini hanya berlangsung 2 bulan dan
selanjutnya dibangun gedung belajar layakhuni ukuran 8 meter X 8 meter.
Meskipun kondisi dan suasana proses bermain dan belajar masih sangat sederhana,
namun peserta didik cukup antusias. Secara bertahap PT Kresna Duta Agro Indo
menyediakan honor atau insentif untuk 4 orang relawan atau guru PAUD Nurul Habib.
Belakangan ini Dinas Pendidikan Kabupaten Merangin menyerahkan bantuan APE untuk
PAUD Nurul Habib. Bantuan Dinas Pendidikan berupa ayunan, perosotan, jungkat-jungkit,
dan bola dunia (globe). Bantuan lain yang berupa sarana alat tulis diberikan oleh Toko Buku
Singgalang,dealermotor Yamaha Bangko,pengusaha H.Syahrul,H.Zamzamir,dr.H.Solahhudin
Lubis,Dra.Hj.Emie Minarsih Khafid Moein, UPTD Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Rantau

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Panjang Tabir Merangin,Kahono Kepala Desa Mentawak dan sejumlah dermawan.


Pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Merangin juga telah menyediakan tambahan
dana insentif untuk membantu dana transportasi tutor dan guru PAUD Suku Anak
Dalam.Dinas Pendidikan Kabupaten Merangin kedepan akan memprogramkan
pembangunan gedung yang refresentatif, dan kegiatan live skil (usaha cetak batako,
perbengkelan, dan budidaya ternak).
Perkembangan terakhir kegiatan PAUD masih berjalan sesuai dengan program,
para relawan dengan sukarela menempuh jarak lebih kurang 20 km dari Rantau Panjang
menuju lokasi. Kendatipun jauh semangat relawan cukup tinggi. ”Kami mau datang
membina anak-anak pedalaman semata-mata karena kami merasa terpanggil untuk
mengangkat martabat dan nilai-nilai kemanusia mereka”, kata pengelola PAUD Nurul Habib
Zulfianti, S.Pd.,Safina dan Ismawati. “Waktu dan jarak serta keterbatasan tidaklah
menjadi rintangan bagi kami untuk tetap mengabdi di ladang amal dan ladang kemanusiaan.
Harapan kami hanya satu, yakni membantu proses memanusiakan warga Suku Anak Dalam
agar mereka dapat hidup lebih manusiawi di tengah perkembangan zaman”, lanjut Safina.
Jauh sebelumnya, LSM Kopsad melalui Lembaga PIKAT yang didirikan juga telah
merintis kegiatan PAUD Suku Anak Dalam di Desa Bukit Suban dan di Desa Pematang
Kabau. Kegiatan tersebut dibimbing oleh 3 orang relawan dan dikoordinasi oleh Siti
Aminah seorang warga Desa Bukit Suban yang peduli terhadap persoalan pendidikan Suku
Anak Dalam. Namun perjalanan kegiatan tidak semulus seperti yang direncanakan,
keterbatasan sarana, prasarana, dan kurangnya biaya operasional membuat proses kegiatan
PAUD terkendala. Bangunan PAUD masih menggunakan salah satu ruangan rumah milik
warga Suku Anak Dalam. Dilain pihak, sarana APE yang sangat minim saat ini sudah tidak
dapat dimanfaatkan secara optimal. Didua lokasi PAUD yang berberbeda terdapat sekitar 75-
100 anak, termasuk anak anak usia 7-12 tahun dan pemuda usia 7-18 tahun yang tidak
pernah tersentuh oleh lembaga pendidikan sama sekali.
Untuk mengantisipasi hal ini, LSM Kopsad menggerakkan dan mengoptimalkan
kegiatan demonstrasi, pembinaan rohani, mengaktifkan TPA, dan pemberdayaan lansung
terjun ke akar masalah dengan mengirimkan beberapa relawan. Dalam beberapa kegiatan
LSM Kopsad juga meminta bantuan sejumlah aktifis, ormas, HMI, PMII, dan KNPI
setempat, termasuk siswa SMA, anggota pramuka, dan sejumlah mahasiswa STKIP YPM
Bangko.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

BAB XII
Pola Pembinaan Pendidikan Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam
di Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin

Jika diamati kehidupan Suku Anak Dalam yang ada sekarang, sekilas orang
memandang mereka dengan sebelah mata. Artinya, bahwa keberadaan mereka sebagai
manusia yang tidak perlu mendapat perhatian dan pelayanan seperti layaknya manusia
biasa. Mereka memiliki suatu sifat yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, seperti tertutup,
keras kepala, fanatik terhadap adat yang sudah using, dan sebagainya. Akan tetapi tidaklah
demikian karena secara kodrati, Suku Anak Dalam di Kabupaten Merangin merupakan
manusia biasa yang perlu makan, minum, tempat tinggal, berketurunan, sehat, aman, tertib,
mencintai sesama, dan sama saja dengan manusia biasa. Hanya saja mereka terlambat
beradaptasi dengan lingkungannya.

A. Kategori Pola Hidup Suku Anak Dalam


Suku Anak Dalam yang ada di Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin pada
saat ini masih dapat dikategorikan kepada tiga golongan, yaitu Suku Anak Dalam yang sudah
menetap, Suku Anak Dalam yang menetap sementara, dan Suku Anak Dalam masih
berpindah-pindah. Simaklah pembahasan berikut ini!
1. Suku Anak Dalam yang sudah menetap
Suku Anak Dalam yang sudah memiliki rumah dan menempatinya baik yang
dibuat sendiri maupun yang dibangun oleh pemerintah, LSM, dan sebagainya. Sebagian
diantaranya sudah berasimilasi dengan penduduk setempat, seperti di Pematang Kancil,
Mentawak Baru, Lantak Seribu, dan di lokasi pemukiman lainnya. Bagi mereka yang
sudah menetap ada yang sudah memiliki lahan perkebunan sendiri dan tempat usaha
sendiri. Ada juga yang masih menjadi tenaga upahan pada perkebunan kelapa sawit dan
perkebunan karet milik warga lain. Mereka ini sudah menjalin ikatan batin dengan warga
masyarakat biasa dan lebih jauh lagi, mereka sudah memeluk suatu agama yang resmi
diakui pemerintah seperti Agama Islam dan agama lainnya. Mereka ini juga sudah
berangsur-angsur meninggalkan kepercayaan lama yang animisme, mereka sudah
berperilaku sebagaimana rakyat biasa, dan mereka juga sudah mengerti tentang
peraturan dan undang-undang yang berlaku.
2. Suku Anak Dalam yang menetap sementara
Yang dimaksud dengan menetap sementara adalah tinggal untuk jangka waktu
tertentu, setelah itu pergi melangun dan kemudian kembali lagi ke tempat tinggal mereka

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

tersebut. Terhadap Suku Anak Dalam yang menetap sementara ini sebenarnya mereka
sudah memiliki tempat tinggal tetap, tetapi jarang ditempati. Hal ini dikarenakan tempat
mereka mencari nafkah jauh sekali dari tempat tinggal mereka. Usaha mencari nafkah
seperti mendodos kelapa sawit, memotong karet, berburu babi, berburu labi-labi,
meramu, dan sebagainya berlokasi jauh dari tempat tinggal mereka. Untuk itu, mereka
”ngekem” (istilah Suku Anak Dalam) yang berarti tinggal di tempat usaha dan setelah itu
kembali lagi ke tempat tinggal semula.
3. Suku Anak Dalam yang masih berpindah-pindah atau liar
Suku Anak Dalam yang masih berpindah-pindah dan hidup secara liar di tengah
hutan belantara. Komunitas mereka ini terdapat di Sungai Arai, Kecamatan Muara Siau,
Sungai Tiaring, Muara Sungai Pering, Kecamatan Batang Nalo Tantan, Batang Asai,
Tanjung, Kecamatan Bathin VIII, dan sebagian kecil di daerah Pamenang, Bukit
Beringin, Lantak Seribu, Tabir Ulu.

B. Beberpa Alternatif Pola Pembinaan Pendidikan warga Suku Anak Dalam


Sebelum membahas bagaimana alternatif pola pembinaan warga Suku Anak Dalam,
maka berikut ini akan dikemukakan terlebih dahulu beberapa pandangan terhadap mereka
dari sudut pandang ilmu psikologi sosial dan kompleksitas pemberdayaan.
1. Suku Anak Dalam dilihat dari faktor psikologi sosial
Suku Anak Dalam merupakan manusia biasa, karena yang mencirikan manusia
sebagaimana diungkapkan oleh Gordon W. Allport, 1965 (dalam Ahmadi, 1991:4), bahwa
mereka juga memiliki pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang dipengaruhi oleh kenyataan,
imajinasi, atau kehadiran orang lain. Dilihat dari ilmu psikologi maupun ilmu-ilmu social
lainnya, bahwa manusia itu dipandang sebagai: (a) makhluk individu; (b) makhluk sosial; dan
(c) makhluk berketuhanan. (Ahmadi, 1991: 17).
Dari pandangan di atas, jelas bahwa Suku Anak Dalam itu memiliki beberapa
kesamaan dengan warga masyarakat biasa. Mereka juga mempunyai prinsip ingin
mempertahankan dirinya dan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut
baik secara individu maupun secara berkelompok. Namun apapun bentuknya, baik norma,
sikap, nilai-nilai, dan sebagainya dapat saja berubah dan atau diubah.
Ada suatu hal yang perlu diingat bahwa antara Suku Anak Dalam dengan warga
masyarakat biasa telah lama terjadi suatu prasangka. Prasangka ini merupakan ciptaan dari
kolonial untuk memecah belah negara kita. Prasangka tersebut berupa salah sangka, salah

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

informasi, salah komunikasi, dan salah interpretasi. Sebagai contoh kecil, seperti terlihat pada
bagan 1 berikut ini.

Bagan 1

Prasangka Masyarakata terhadap Prasangka Komuintas Suku Anak


Komuitas Suku Anak Dalam Dalam terhadap Masyarakat Luar

- pemalas - mau menang sendiri


- bodoh - suka menjajah
- tak tahu kesusilaan - kasar
- kotor - pelit
- fanatik (animism) - kikir
- tertutup - otoriter
- dsb. - dsb.

Ada beberpa faktor yang menyebabkan timbulnya prasangka:


a. ingin mencari kambing hitam,
b. karena sudah dipersiapkan di dalam lingkungnnya atau kelompoknya untuk
berprasangka,
c. karena adanya perbedaan di mana perbedaan ini menimbulkan perasaan superior, seperti
perbedaan fisik atau biologis, ras, lingkungan atau geografis, kaya dan miskin, status
sosial, kepercayaan atau agama, norma sosial, dsb.,
d. kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tak menyenangkan,
e. karena adanya anggapan yang sudah menjadi pendapat umum atau kebiasan di dalam
lingkungan tertentu.
Prasangka sosial dapat dikurangi atau diatasi dengan cara:
a. dimulai dengan pendidikan anah-anak di rumah dan di sekolah oleh orang tua dan
gurunya,
b. hindari pengajaran-pengajaran yang dapat menimbulkan prasangka-prasangka social,
c. peranan besar yang diharapkan dari alat-alat komunikasi massa, seperti surat kabar,
radio, film, televisi, majalah, dan sebagainya,
d. menjalin interaksi antargolongan secara intensif.

Secara singkat, usaha untuk menghilangkan atau mengurangi prasangka sosial adalah:
a. usaha preventif: usaha jangan sampai orang (kelompok) terkena prasangka,
b. usaha curatif: usaha menyembuhkan orang yang sudah terkena prasangka.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

2. Kompleksitas Pembinaan dan Pemberdayaan Suku Anak Dalam

Pembinaan dan Pemberdayaan warga Suku Anak Dalam tidak dapat dipisahkan
dengan pembinaan dan pemberdayaan segi-segi kehidupan lain dan berjalan sinergi
sebagaimana yang dialami oleh manusia normal umumnya. Pembinaan dan pemberdayaan
bidang pendidikan harus sejalan dengan pembinaan dan pemberdayaan bidang yang lainnya,
seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, dan
sebagainya. Bagaimana mereka bisa belajar kalau ideologinya bukan ideologi pancasila atau
paham yang dianut lain dan tidak berlaku di Indonesia (ideologi), bagaimana mereka bisa
belajar kalau mereka tidak diakui hak-haknya sebagai manusia biasa (politik), bagaimana
mereka bisa belajar kalau perutnya keroncongan (ekonomi), bagaimana mereka bisa belajar
kalau mereka tidak memiliki rasa kebersamaan dengan warga desa sekitarnya (social
budaya), bagaimana mereka bisa belajar kalau mereka terpecah dan tidak mau bersatu dengan
warga masyarakat sekitarnya (pertahanan), dan bagaimana mereka bisa belajar kalau mereka
tidak aman tinggal di mana saja (keamanan), dan sebagainya. Kaitan ini terlihat pada bagan
2 berikut:

Bagan 2

PEMBINAAN BIDANG LAIN


(IPOLEKSOSBUDHANKAM)

PEMBINAAN T
PEND. SAD
P

PEMBINAAN BIDANG PENDIDIKAN

Atau dapat pula digambarkan sinerginya seperti terdapat dalam Keputusan Presiden RI
Nomor: 111 Tahun 1999 Pasal 15, Ayat (1). Pasal 5 ayat 2 menyatakan, bahwa proses
pembinaan dan pemberdayaan tersebut dapat dilakukan melalui: (1) penyuluhan; (2)
Bimbingan; (3) Pelayanan; dan (4) bantuan. Untuk lebih jelasnya lihat bagan berikut ini!

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Bagan 3

Kesehatan Permukiman

Pendidikan Kehidupan Beragama

Pemberdayaan

Administrasi
Kependudukan

Bidang lainnya
Pertanian

Dilihat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, pada Bab VI Pasal 13, Ayat (1)
bahwa ada tiga jalur pendidikan, yaitu pendidikan formal, nonformal, dan informal. Menurut
Coombs (dalam Sudjana, 1991: 20), Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis,
berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan
tinggi dan yang setaraf dengannya, termasuk ke dalamnya ialah kegiatan studi yang
berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional yang
dilaksanakan dalam waktu yang terus-menerus. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi
warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat. Pendidikan informal dilakkukan oleh keluarga dan lingkungan yang
berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Memperhatikan keadaan dan perkembangan warga Suku Anak Dalam saat ini, maka
ketiga bentuk pendidikan tersebut sudah dapat diterapkan. Pendidikan formal dapat
diterapkan bagi mereka yang secara administrasi kependudukan sudah terdaftar sebagai
warga desa, atau bagi mereka yang sudah berasimilasi dengan warga setempat. Lain lagi
dengan pendidikan informal dan nonformal, inilah sesungguhnya yang lebih cocok
diterapkan sebagai langkah awal terhadap mereka dengan pertimbangan kondisi mereka yang
pada umumnya masih labil. Kelabilan ini menurut hemat penulis terletak pada kepemilikan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

lahan sebagai tempat usaha yang konon menurut sebagian mereka adalah tanah nenek
moyang mereka, tetapi sekarang sudah menjadi milik pemerintah yang dikelola oleh PT dan
disisi lain lagi adalah milik warga desa yang secara sah menurut kebiasaan dapat pula diakui
oleh pemerintah sebagai kepemilikannya.
Dengan demikian, terjadi ketumpangtindihan pengakuan terhadap hak kepemilikan
tanah antara warga Suku Anak Dalam dengan warga desa dan pemerintah. Konflik
pengakuan antara tiga unsur tersebut akhirnya dimenangkan oleh warga desa dan atau
pemerintah.

Murid PAUD Suku Anak Dalam sedang bermain sambil belajar

Dilihat dari sejarah perkembangan pendidikan di dunia, pada awalnya manusia belum
mengenal adanya pendidikan formal. Malah diawali dari pendidikan informal, baru
nonformal, dan formal (Sudjana, 1991: 53-59). Terhadap Suku Anak Dalam terlihat
bervariasi, baik dilihat dari segi tempat tinggalnya (menetap, menetap sementara, dan
berpindah-pindah), dari perilakunya, maupun dari segi pekerjaan dan sebagainya. Maka
sangat tepat diterapkan pendidikan informal dan nonformal. Penulis mengungkapkan ini
berdasarkan hasil survey ke beberapa lokasi Suku Anak Dalam (Pematang Kancil, Pauh,
Menang, Lantak Seribu, dan Bukit Beringin), kebanyakan mereka sudah menyadari bahwa
pengetahuan, keterampilan, dan atau pendidikan itu sangat penting tetapi terkendala pada
kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Kebutuhan pokok mereka tersebut sangat sulit

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

terpenuhi. Untuk itu, pendidikan yang dilakukan menjadi tanggung jawab tiga lembaga, yaitu
pemerintah, masyarakat, dan keluarga.
Terhadap pemerintah diharapkan serbuan dari berbagai instansi terkait yang
umumnya memiliki program pendidikan nonformal diperhatikan atau dipertimbangkan.
Terhadap warga masyarakat sebagai pengusaha, LSM, organisasi keagamaan, organisasi
kepemudaan, dan sebagainya dapat pula memberikan sumbangan terhadap pembinaan dan
pemberdayaan mereka. Begitu pula dengan keluarga dan lingkungan, terutama bagi kepala
keluarga yang sudah banyak tahu dan sudah mengerti sekali terhadap tatanan kehidupan
pemerintah kita sekarang dan sudah paham serta sadar akan pentingnya pendidikan
diharapkan perlu pula memberikan sumbang sih untuk pembinaan dan pemberdayaan
mereka. Perlu juga diketahui, bahwa mereka sudah waktunya hidup layak seperti layaknya
warga desa lainnya. Hubungan dan tanggung jawab pembinaan dan pemberdayaan tersebut
seperti terlihat pada bagan berikut ini.

Bagan 4

Gambaran Hubungan dan Tanggung Jawab Pembinaan Pendidikan


Warga Suku Anak Dalam di Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi

PEMERINTAH
Peternakan

WARGA
SUKU ANAK DALAM

MASYARAKA
KELUARGA

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Bagan 5

Gambaran Hubungan dan Tanggung Jawab Pembinaan Pendidikan


Warga Suku Anak Dalam dari Sisi Pemerintah

Inst.
Inst. Pertanian dan Perkebunan

Inst. Inst. Agama

Suku
Suku Anak Dalam
Anak Inst.
Dalam

Inst. Perindag

Inst. BKKBN

Inst. Statistik dan


Inst. lainnya Adm. Kependudukan

Bagan 6
Gambaran Hubungan dan Tanggung Jawab Pembinaan Pendidikan
Warga Suku Anak Dalam dari Sisi Keluarga dan Lingkungan

LINGKUNGAN
ORANG TUA
SUKU ANAK
DALAM

ANAK-ANAK KELUARGA
SUKU ANAK DEKAT
DALAM SUKU ANAK

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

3. Beberapa alternatif pola pembinaan pendidikan warga Suku Anak Dalam

Berikut ini beberapa alternatif pola pembinaan pendidikan warga Suku Anak Dalam
di Kabuapten Merangin, Propinsi Jambi:
a. kopleksitas pembinaan
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah dengan serbuan dari berbagai segi
kehidupan dan penghidupan warga Suku Anak Dalam. Kekompleksitasan ini terlihat
pada bagan berikut ini.

Bagan 7

Program
pendidikan Segi kehidupan
dari dan
masing- penghidupan
masing warga Suku
instansi Anak Dalam

Dilakukan dengan langkah-langkah persiapan, pelaksanaan, dan evasluasi, serta


tindak lanjut.

b. action research

Action research (penelitian tindakan) dapat dilakukan tidak hanya oleh


pemerintah tetapi juga oleh siapa saja yang peduli terhadap Suku Anak Dalam. Misalnya,
tokoh masyarakat, LSM, organisasi pemuda, dan sebagainya. Action Research
merupakan suatu aksi pemberdayaan warga Suku Anak Dalam melalui pendidikan
dengan mempersiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan itu. Unsur-unsur yang
terkait dengan program action research bidang pendidikan adalah tujuan yang
diinginkan, materi atau bidang pembelajaran, tempat atau lokasi pelaksanaan, jangka
waktu pelaksanaan, organisasi pelaksana, dana, evaluasi, follow up, dan sebagainya.
Unsur-unsur ini dapat dituangkan secara singkat dalam tiga tahap, yaitu tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Hal ini dapat digambarkan dalam bagan sebagai
berikut ini.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Bagan 8

PERENCANAAN:
P
- Tujuan E E F
- Materi L V O
- Tempat A A L
- Waktu K L L
- Organoisasi Pelaksana S U O
- Dana A A W
- Evaluasi N S U
- Follow up A I P
(Bagan 4) A
N

Feed Back

Keterangan:
1. Pada tahap perencanaan ini ditempuh pula langkah-langkah sebagai berikut:
a. identifikasi kebutuhan dan sumber belajar masyarakat,
b. menatapkan waktu, materi, tenaga, dana, pelaksana, rencana evaluasi,
c. melaksanakan pelatihan atau pembekalan bagi tenaga lapangan.
2. Pada tahap pelaksanaan dilakukan pula evaluasi, supervisi, monitoring, dan
pelaporan,
3. Pada tahap foloow up dilakukan pengkajian dari hasil-hasil yang telah dicapai bagi
pengkajian tindakan selanjutnya.
c. pemberian bantuan fasilitas kepada Suku Anak Dalam yang mampu dan mau
melaksanakannya
Suku Anak Dalam yang sudah mulai sadar terhadap pentingnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, perlu dilayani dengan harapan mereka dapat memotivasi dan
mempengaruhi teman-temannya yang masih berpegang pada pendirian lama. Hasil
survey menunjukkan bahwa:
1) sudah banyak warga Suku Anak Dalam yang mau sekolah,
2) sudah banyak warga Suku Anak Dalam yang sadar akan pentingnya kesehatan dan
sudah mau memanfaatkan Puskesmas untuk berobat,

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

3) sudah banyak warga Suku Anak Dalam yang mau bekerja seperti di kebun kelapa
sawit, karet, dan sebagainya,
4) sudah banyak warga Suku Anak Dalam yang mau dan mampu bercocok tanam,
seperti menanam padi, kelapa sawit, karet, dan tanaman lainnya,
5) sudah banyak warga Suku Anak Dalam yang mau beternak, seperti beternak ayam,
kambing, labi-labi, babi, dan sebagainya,
6) sudah banyak warga Suku Anak Dalam yang mahir menyadap atau memotong karet,
7) sudah banyak warga Suku Anak Dalam yang sudah ingin mengubah kepercayaan
mereka dari animisme ke memeluk suatu agama.

Beberapa alternatif solusi yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan


tersebut di atas adalah:
1) membuat tempat belajar bagi mereka, dan perlu keterlibatan pemerintah, dunia
usaha, tokoh masyarakat, LSM, dan unsur lainya,
2) perlu bantuan dari pihak Dinas Kesehatan, misalnya dengan memberi kartu sehat
dan penyuluhan kesehatan,
3) perusahaan mau menerima mereka untuk bekerja di kebun kelapa sawit, karet, dan
sebagainya,
8) perlu pemikiran dari semua pihak untuk pengadaan lahan tempat pertanian bagi
mereka,
9) kesediaan semua unsur membantu bibit dan bimbingan teknis peternakan,
10) bagi warga yang mahir memotong karet perlu bimbingan dan motivasi lebih lanjut
untuk bisa memertahankan karetnya sehingga tidak dijual kepada masyarakat biasa,
11) perlu adanya DAI yang mengajak dan membimbing dan menjelaskan bahwa agama
itu penting dan sudah waktunya untuk tidak animisme lagi.
d. pola pemagangan
Magang merupakan proses belajar dimana seseorang memperoleh dan menguasai
keterampilan dengan jalan melibatkan diri dalam proses pekerjaan tanpa atau dengan
petunjuk orang yang sudah terampil dalam pekerjaan itu. Terhadap warga Suku Anak
Dalam yang memiliki kemauan keras untuk belajar, maka dapat dilaksanakan melalui
magang yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Bagan 9

IDENTIFIKASI
(Sifat dan jenis mata
pencaharian,
kebutuhan belajar,
minat/bakat, calon
pemagang dan sumber
magang/ pemagang)

PENYUSUNAN
PROGRAM
KEGIATAN

PEMANTAUAN PELAKSANAAN
DAN PEMBINAAN KEGIATAN

PENILAIAN
KEGIATAN

TINDAK LANJUT
KEGIATAN

PENERAPAN PENINGKATA

Unsur-unsur magang adalah:


(a) pemagang (orang yang belajar bekerja),
(b) sumber magang (orang yang dimagangi atau sumber magang),
(c) dana magang,
(d) waktu magang,
(e) tujuan magang.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

e. pola evolusi distrukturisasi

Evolusi distrukturisasi (ED) merupakan suatu upaya pendidikan dimana warga Suku
Anak Dalam secara berangsur-angsur melepaskan keterikatan secara struktural kelembagaan
mereka. Upaya ini dimaksudkan agar mereka tidak lagi melakukan kegiatan yang sifatnya
dikomandoi oleh atasannya berdasarkan struktur kekuasaan yang ada pada mereka. Kalau
masih bertahan pada sifat struktur kesukuan, ras, agama atau kepercayaan, maka tetaplah
mereka seperti biasa apalagi yang menjadi pimpinannya tidak mau tunduk kepada aturan
yang berlaku secara nasional.

Wakil Gubernur Jambi dan Temenggung Suku Anak Dalam Mentawak meresmikan PAUD bantuan PT Kresna
Duta Agro Indo Kerja sama LSM Kopsad

Berdasakan wawancara penulis dengan salah seorang warga Suku Anak Dalam di
Desa Lantak Seribu, bahwa mereka sesunguhnya tidak bisa lagi bertahan dengan struktur
mereka yang disebabkan tidak adanya kekuatan yang ada pada pimpinan suku. Mereka sudah
lama tidak memakai istilah pimpinan suku dan tidak kenal atau tidak mau tahu terhadap
pimpinan suku, karena pimpinan suku tidak dapat membantu memperjuangkan nasip mereka.
Meraka lebih baik menjaga diri masing-masing. Dengan dasar ini pula muncul alternatif
pemberdayaan mereka dengan tidak memotivasi untuk terbentuknya struktur organisasi yang
tunduk kepada kepala suku. Artinya, usahakan tidak menyinggung-nyinggung siapa
Temenggung, Depati, Dubalang Batin, Tengganai, Menti, dan sebagainya. Lebih baik
mereka diupayakan untuk menjadi warga desa di mana mereka tinggal. “Ingat, kita sedang

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

berusaha untuk memberdayakan mereka dengan tujuan agar mereka hidup seperti warga
biasa”. Untuk itu, langkah-langkah yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
1) memotivasi mereka untuk menjadi warga desa di mana mereka berada,
2) memotivasi mereka untuk tunduk dan patuh kepada aturan dan piminan yang ada di
desa tempat ia tinggal mereka,
3) peningkatan intensitas interaksi dalam segala bidang kehidupan dan penghidupan,
4) pengakuan hak atas lahan yang dimilikinya (legalitas),
5) mengadakan bimbingan dan penuluhan pertanian dan perkebunan,
6) bimbingan dan penyuluhan kerohanian sesuai agama yang dianutnya,
7) program bantuan sarana dan prasarana

Sebagai konsekuensinya secara tidak langsung, evolusi sudah mendidik meraka ke


arah kehidupan yang lebih baik seperti yang dialami oleh warga desa di mana mereka tinggal.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
(1) memberikan fasilitas kepada Suku Anak Dalam secara selektif,
(2) memfasilitasi mereka dalam kegiatan pemagangan,
(3) berupaya melepaskan mereka dari evolusi distrukturisasi.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

BAB XIII
Penutup

A. Kesimpulan

Masyarakat Suku Anak Dalam atau sering disebut Orang Kubu atau Orang Rimbo
khususnya yang berada di Kabuaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin secara bertahap
mulai tumbuh dan berkembang. Beberapa orang warga telah memiliki lahan usaha
perkebunan dan pertanian yang masih dikelola secara tradisional dan alami, beberapa orang
generasi muda sudah banyak yang mulai bebas buta huruf.
Umumnya warga Suku Anak Dalam terutama yang masih mengembara atau nomaden
masih mempertahankan adat dan kebiasaan nenek moyang mereka sebagai wujud dari suatu
tradisi dan budaya yang mereka jaga. Seperti tradisi melangun, menegakkan pucuk undang
nan delapan, serta etika hukum adat yang masih mereka pertahankan.
Bagi pria dewasa Suku Anak Dalam berburu merupakan sebuah keharusan untuk
menafkahi keluarga. Hewan burun sebagian dikonsumsi sendiri dan sebagian lagi dijual.
Peralatan berburu mereka masih sangat sederhana yang berupa tombak, kujur dengan
ditemani anjing buruan. Selain itu ada sejumlah warga yang sudah menggunakan senjata
api rakitan untuk menangkap hewan buruan mereka.
Kegiatan perburuan yang dilakukan, di samping secara ekonomi menguntungkan
mereka, namun dipihak lain masyarakat petani lokal dan pihak perusahaan perkebunan
merasa terbantu dengan kegiatan berburu mereka. Hama babi dan binatang lainnya perusak
tanaman menjadi berkurang.
Disejumlah lokasi seperti di permukiman mereka di Pematang Kabau dan Bukit
Suban Kecamatan Air Hitam sejumlah wanita dewasa sudah memiliki ketrampilan dalam
menganyam tikar, membuat kiding, ambung, bubu, tengkalah, bahkan untuk membangun
sudung (pondok sederhana), dan pekerjaan rumah tangga termasuk kegiatan perladangan
dipahami oleh wanita Suku Anak Dalam.
Bagi Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam di Kabupaten Sarolangun
khususnya di wilayah Taman Nasional Bukit Dua Belas, Kecamatan Air Hitam dan Bukit
Bulan, Kecamatan Limun dan beberapa kantong pemukiman di Desa Bukit Beringin, Desa
Lantak Seribu, Desa Nalo Tantan, Kecamatan Merangin sangat mematuhi etika. Mereka
masih taat terhadap hukum adat dan sangat mempercayai hal-hal yang bersifat mistik dan
gaib. Mereka yang masih bersifat tradisional. Mereka sangat mempercayai akan kekuatan
roh-roh dan kekuatan dewa. Roh-roh menurut kepercayaan mereka bersemayam di rimba

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

raya dalam pohon pohon, sungai-sungai, batu-batu, dan benda-benda lainnya yang mereka
anggap sakral. Secara umum tingkat kemampuan intelektual mereka masih sangat rendah,
namun mereka memiliki daya ingat yang cukup cemerlang.
Meskipun sebagian telah mengenal kesehatan, namun sebagian lainnya tidak kenal
sama sekali. Mereka masih sangat tergantung pada pengobatan secara alamiah dan tradisional
melalui perantara dukum. Sebagian yang bermukim di Bukit Suban, Pematang Kabau, dan
Lubuk Bedorong (Sarolangun) dan di pemukiman di Desa Mentawak, Bukit Bungkul, Bukit
Beringin, Lantak Seribu, Pauh, Pemenang, dan Pematang Kancil, Kabupaten Merangin
sudah mengenal ilmu pengobatan modern melalui dokter dan paramedis. Budaya melangun
atau nomaden merupakan tradisi dan ciri utama mereka. Faktor kebiasaan melangun inilah
yang membuat pembinaan sulit untuk dilakukan.
Sering dengan kemajuan peradaban dan pengaruh lingkungan serta semakin
menyempitnya areal jelajah dan meningkatnya tingkat kerusakan hutan setiap tahun
dipastikan akan berdampak bagi mereka. Solusi dan langkah tepat untuk memutuskan
belenggu isolasi fisik dan keterasingan mereka adalah membangun komonikasi dan sinergi
serta kemitraan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi atau Kabupaten, Dunia
Usaha, Akademisi, Ormas, LSM, dan segenap komponen masyarakat yang mau ambil peduli
terhadap persoalan nasib sesama.
Dalam mewujudkan strategi dan pembangunan Suku Anak Dalam dilakukan atas
dasar adanya komitmen pemerintah dengan masyarakat, bahwa kegiatan tidak akan dapat
berjalan sendiri tanpa dukungan sektor lainnya. Maka fokus pembangunan bagi mereka
dilaksanakan secara sinergi dan terpadu dalam advokasi dan perlindungan sosial. Tak kalah
pentingnya adalah mengembalikan elemen modal sosial, kearifan lokal, sistem jaringan,
keperangkatan pelayanan sosial dengan mendorong pengutamaan manajemen jaringan
berbasis lokalitas. Strategi yang dapat dilakukan melalui cara pembinaan dan pemberdayaan
dengan menghimpun potensi daya dan dana masyarakat serta didukung sepenuhnya oleh
Pemerintah Kabupaten termasuk DPRD Kabupaten Sarolangun. Dan sangat mustahil
program akan terlasana dengan sempurna jika tidak tersedia dana dan sumber pendanaan
yang cukup dan memadai untuk kegiatan pembinaan dan pemberdayaan.

B. Saran
Pada era globalisasi saat ini tidak ada isu yang lebih sentral mengenai good
governance selain konsep akuntabilitas, khususnya yang menyangkut akuntabilitas terhadap
warganya. Karena tidak ada isu yang lebih penting dalam diskusi mengenai tantangan-

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

tantangan yang dihadapi pemerintah dan pegawai negeri dewasa ini selain mengenai
komitmen untuk mencapai akuntabilitas yang tinggi. Konsekuensi dari pernyataan tersebut
adalah bahwa setiap agenda pemerintah baik yang menyangkut kebijakan, program, dan
kegiatan pembangunan harus memperhatikan akuntabilitas.
Secara harfiah konsep akuntabilitas (accountability) berasal dari dua kata, yaitu
“account” yang dapat diartikan rekening, laporan, catatan, sedangkan kata kedua “ability”
yang berati kemampuan. Dengan demikian, apabila dari konsep akuntabilitas tersebut
diterapkan pada pembinaan dan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam
maka titik sentral yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana target atau sasaran fungsional
pembinaan dan pemberdayaan dapat dihitung serta laporan atau pelaporan dilakukan secara
aktual berdasarkan fakta di lapangan dan adanya catatan-catatan yang dibuat memiliki nilai
otentik dari kemampuan Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam sejak upaya
pembinaan dan pemberdayaan dilaksanakan.
Tidaklah akuntabel apabila keluaran (output) dan hasil akhir (outcome) pembinaan
dan pemberdayaan secara nyata tidak dapat dihitung dan tidak ada peningkatan kemampuan
Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam sebagai sasaran program dan kegiatan. Untuk
mendapatkan upaya pembinaan dan pemberdayaan yang semakin baik dan akuntabel,
diperlukan suatu restrukturisasi program dan kegiatan, aliansi kemitraan, monitoring, dan
evaluasi terhadap pelaksanaan program dan kegiatan secara realistis pada sasaran pembinaan
dan pemberdayaan yang hasilnya perlu di catat, dihitung, dianalisis, dan disusun sebagai
laporan untuk umpan balik penyusunan perencanan progarm dan penentuan kebijakan.
Catatan-catatan pembinaan dan pemberdayaan terhadap mereka perlu dipetakan dalam suatu
data yang akurat pada Suku Anak Dalam Center sebagai bukti otentik dan bahan informasi
yang dapat dipergunakan secara terus-menerus.
Harus diakui perhatian dan dukungan nyata yang telah diberikan oleh Gubernur
Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M., PT Kresna Duta Agro Indo (PT SMART Tbk.),
Yayasan BAMUIS PT BNI 46 Persero Jakarta,PT.Sari Aditya Loka dan dukungan dari
Bupati Sarolangun dan Bupati Merangin sejak beberapa tahun terakhir. Meskipun belum
terbilang cukup, namun mampu untuk memupus dahaga di tengah padang pasir. Langkah,
perhatian, dan kebijakkan yang dilakukan Gubernur Jambi, Bupati Sarolangun, dan Bupati
Merangin saat ini setidak-tidaknya akan menjadi darah segar dan motivasi untuk terus
melakukan kegiatan pembinaan, pemberdayaan, dan pencerahan umat, khususnya Suku
Anak Dalam.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Daftar Kepustakaan
Ahmadi, Abu. 1991. Psikologi Sosial (Edisi Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Arief, Zainuddin. 1987. Materi Pokok Supervisi, Evaluasi, Monitoring, dan Pelaporan PLS.
Jakarta: Karunika.
Bahan Sosialisasi Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Ditpembkat,
Dirjend. PemSos, Depsos RI.
BPKB Jaya Giri Lembang. 1990. Magang Suatu Kegiatan Belajar Pendidikan Luar Sekolah.
Bandung: BPKB Jaya Giri.
Ditjen Bina Masayarakat Terasing, Dirjen Bin Kesos, Depsos RI. 1999/2000. Data dan
Informasi Pembinaan Masyarakat Terasing. Jakarta: Ditjen Bina Masayarakat
Terasing.
Facione, Peter A., dkk. 1978. Values and Society an Introduction to Ethics and Social
Philosopy. New Jersey: Prentice-Hall, INC., Englewood Cliffs.
Weintre, Johan. 2003. Organisasi Sosial dan Kebudayaan Kelompok Minorotas Indonesia:
Studi Kasus Masyarakat Orang Rimba di Sumatera (Orang Kubu Nomaden).
Yogyakarta: UGM.
Bruce Joyce dan Weil Marsha. Model of Teaching. Third Edition. New Jersey: Englewood
Cliffs.
Kerinci Sebelat Integrated Concervation and Development Project, Propinsi Jambi Kerjasama
dengan Pusat Penelitian IAIN Sultan Thaha Syaifuddin Jambi. 1999. Laporan Akhir
“Kubu Development Study” Kerinci Sebelat-ICDP< Part B (Area/Village
Development Component). Jambi: Bappeda Propinsi Jambi.
Kepres RI Nomor: 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial KAT dan
KEPMENSOS RI Nomor: 06/PEGHUK/2002 tantang Pedoman Pelaksanaan
Pemberdayaan KAT. Jakarta: Ditpemkat Dirjen Pemsos.
Knowles, Malcolm S. 1980. Modern Practice of Eduld Education from Pedagogy to
Andragogy, Revised, and Updated. Chicago: Follett Publishing Company.
Sharan B Merriam dan Phyllis M. Cunningham. 1989. Handbook of Adult and Continuing
Education. San Francisco: Jossey Bass Publisher.
Sihombing, Umberto. 2000. Pendidikan Luar Sekolah, Manajemen Strategi (Konsep, Kiat,
dan Pelaksanaan). Jakarta: PD Mahkota.
Sudjana, D. 1991. Pendidikan Luar Sekolah (Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafa,h
dan Teori Pendukung, Asas. Bandung: Nusantara Press.
Siagian, S.P. 1988. Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan. Jakarta: CV Haji Masagung.
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tantang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional).
Bandung: Fokus Media.
Zaltman, Gerald, dkk. 1972. Creating Social Change. New York: Ho , Rinehart and
Winston, IncSosnakertrans Propinsi Jambi 2010 Propil KAT Program
Pemberdayaan KAT Jambi.
Musium Negeri Jambi. 2010. Sekilas Kehidupan Orang Rimba di DAS Batanghari.
Keputusan Presiden RI Nomor 111 Tahun 1999.
Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 06/Peg.Huk/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pemberdayaan KAT.
Penelitian-Penelitian dasar SAD Merangin.
Laporan Akhir Kubu Development Study Bappeda 1999.
Budhi Vrihaspathi Jauhari. Surat Cinta dari Bukit 12.
Sikat edisi tahun 2006. Jurnal Informasi KAT Depsos RI
Majalah Bisnis Internasional Vol. VII edisi 56/2007.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Profil Potensi Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Sarolangun, Disporada 2005.
Gema Sarolangun EMAS, bagian Humas Setda Kabupaten Sarolangun 2007.
Budhi, Surat Cinta dari Bukit Dua Belas, Kompas 22 Januari 2007.
Keprihatinan di Perkampungan Suku Anak Dalam Mualaf Jambi, Variasari 2006.
Left Plate Pesona TNB 12, Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam BTNBD Dipa 29 tahun 2007.
Drs. Arislan Said, M.Pd. Makalah Seminar Nasional KAT 2003.
Profil Keberhasilan Pemberdayaan KAT pada 8 Propinsi, Direktorat PKAT, Dirjen Daya
Sosial Departemen Sosial RI 2005.
Pedoman Teknis Penyelenggaran PAUD Direktorat PAUD 2010.

Lampiran 1

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

PUISI-PUISI PENYAIR

Surat Cinta dari Bukit Dua Belas


Budhi Vrihaspathi Jauhari
Ini lah sebuah persembahan manis
Bagi sebuah keabadian cinta
Yang dengan keringat dan susah payah dibangun
Dengan penuh keberanian
Dan ketulusan jiwa
Kala mimpi mimpi dialam maya
Menjadi kenyataan
Ketika keinginan merenda di sudut jiwa
Kami telah mencoba untuk memulai
Jalan kehidupan yang semakin berliku
Maka saat itulah
Sujud syukur dan pinta kami pohonkan kepadaNya
Karena hanya Dia yang mampu menegarkan
Tekat kami untuk menapaki onak
Disepanjang belantara bukit dua belas
Dan ketika perjalanan mulai menepi
Dan senja merayap sepi
Sebuah asa mulai membara
Dan kembara muda menatap jauh jauh
Dan sekali sekali ia berseru!!!
Oiiiiiiiiiiiiiiii sanak-sanak………….!!!
Bangkitlah asamu
Tataplah langit dalam dalam
Dan ,pandanglah satu demi Satu
Pepohonan kian merangas
Dan cam kan lah
Duniamu bukan hanya selebar bukit dua belas!

Bukit Dua Belas, Januari 2008


LAGU MARS.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Kami Ini Suku Anak Dalam


Budhi Vrihaspathi Jauhari

Kami ini Suku Anak Dalam


Orang Rimba yang hidupnya pantang menyerah
Dan juga berjiwa gotong royong
Kami hidup di Sudung dan Melangun
Ditengah hutan dan rimba
Kami hidup terisolasi dari sanak saudara yang lain
Karna budaya kami, dan kini kami butuhkan
Uluran tangan sesama
Hutan dan Rimba kami telah hancur binasa
Ditikam belatimu yang tak pernah diam…
Wahai sanak saudara dialam yang terang
Kami ingin hidup bersama ditengah persaudaraan
Dan kasih sayang,…
Karma budaya kami dan kini kami butuhkan
Uluran tangan sesama.
Terimakasih oh Tuhan,…
Terimakasih, ntuk semuanya……….
Kami ini Suku Anak Dalam
Kami ini Suku Anak Dalam
Kami ini Suku Anak Dalam……….

Bukit Dua Belas, 2005

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Belantara Bukit Dua Belas


Ali Thaib

Sementara hutan masih tersenyum


Pucuk pucuk pohon
Meninggi menguak
Gamang meningkah rasa
Kapan lagi hutan ini
Bebas dari racun asap sinso
Cukup…………
Cukup sudah derita menghimpit
Padahal disini
Tersimpan cerita zaman
Pada semua keaguangan
Tubuh tubuh telanjang
Menunggu dalam nafas yang terisak
Adalah pewaris hati baja
Yang menentang kezoliman
Ikhlas menyatu pada hutan hijau
Siap merentang rantai kehidupan
Belantara bukit dua belas
Menyeretu dunia bicara panjang
Orang berkata paru dunia
Menghela nafas
Kehidupan lanjut
Bocah bocah kumal
Riang berusik disela batang
Terbaring hitam
Hari hari mereka
Terbaca dalam situs kehidupan
Mereka milik kita
Mereka milik dunia.

SUDUNG

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

DafnediI, S.Sn
Disudung ini
Dingin menusuk tulang
Memandang telanjang
Tanpa penutup antara

Disudung ini
Kami tidak dapat kata kepastian
Merajut benang-benang sutra kerapuhan
Mengais masa depan nan kelabu

Disudung ini
Kami hanya bisa melantunkan syair-syair sakral
Tentang alam …
Tentang cinta …
Tentang kerinduan …
Tentang ambisi …
Tentang kegelisahan …

Disudung ini
Kami menghitung hari-hari pengharapan
Dan memahat cita-cita
Untuk menggapaai sebuah keberadaan

Sebuah Kenangan
Budhi Vrihaspathi Jauhari

Kita bersama telah menelusuri


Hutan dipinggiran Senapui
Bukit dua belas
Dibawah jembatan
Air mengalir bening
Kita saling berpegang tangan
Dan
Dipuncak bukit itu
Kita duduk memandang awan awan
Dan
Kala kita memandang jauh jauh
Hamparan sawit menghijau
Dan pekikkan siamang.kuau
Serta nyanyian burung burung
Semakin jarang terdengar
Dan sayup terdengar
Suara raungan mesin
Merambah belantara bukit 12
Akhirnya
Dipelupuk mata ini
Ada air mata yang tak mampu mengalir
MENGEJA BUNGKU

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Asro Al Murthawy

Kueja Bungku: rimbunan resam tiba-tiba menyerbu tujuh


penjuru
duaratus tujuhpuluh tubuh tak berbaju memamahkan matanya
tepat di jantung
aku kian terperangkap dalam gigil
O peradaban, manakah sampai di pintu
ribuan kubu, asmat, sakai dan badui melangun
menyajikan bangkai sejarah
~Ciciplah!~ katamu
Ah, mustikah kusantap daging sendiri ?

Muara Bulian, 1418 H

KUBUKA BUKU LUKA KUBUKU


Asro Al Murthawy
Kubuka buku buku, kubuka
terbaca luka lukaku
terluka tubuh tubuhku terluka
menganga luka lukaku menganga

luka di tubuh tubuh, lukaku


duka di bukubuku, dukaku
kubu di bukubuku, tubuhku

Buku Kubu, bukuku


Luka Kubu, lukaku
Duka Kubu, Dukaku

Sanggar IMAJI Bangko, 1418 H

Muning
Nening Tyas

Bumi Rimba
Pernah bertasbih di sini
Dipucuk bumi
Lebar bertuah keriangan
Kesehajaan dalam bungkusan suara alam
Ini tentang muning,
Narasi kecil yang lahir dari matanya
Ketika bersitatap,
Aku tahu,
Aku takkan pernah tahu apa apa
Tentna kesahajaannya

Februari 2009

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Merangin Rumah Kita


Budhi Vrihaspathi Jauhari

Marilah labuh-Labuh di Ujung Tanjung


Muara Mesumai , singgah sesaat di kota Bangko
Empat titian

“Sapalah ia,-Selamat malam Bumi Merangin “


Lihat riak riak berlarian
Kecipaknya mendendangkan rindu rindu
Berhenti sesaat di muara Merangin
Menampar,nampar bunyi denting krinok
Mengimbau imbau
Wahai sanak, sianak hilang
Masuklah dalam dekap rinduku

Bangko, Maret 2003

MANA KUAUKU, MAK ?


Asro al muthawy

“Mano kuauku, Mak?”

Maak ! Beribu kuau mati diburu, beribu lirung mati dikurung


beribu jalak mati ditembak beribu belibis mati habis

“Mano napuhku, Mak?”

Maak ! Beribu napuh mati dipupuh, beribu babi mati


dibasmi, beribu kijang mati dicincang, beribu rusa mati
binasa

“Mano tampoiku, Mak?”

Maak ! Beribu tampoi mati dibantai, beribu cempedak mati


dibajak, beribu embacang ditebang, beribu bidara mati
sengsara

“Mano kuauku, Mak ? Mano napuhku, Mak? Mano


tampoiku, Mak ?

Beribu Kubu serak berteriak, beribu Kubu sendu tergugu

LAGU BOCAH KUBU

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Asro al Murthawy

Tanah Garo belumlah lelap benar malam itu


masih ada yang mencangkung di atas batu
lugu tak berbaju
terus melagu

tanahku o tanahku
tak ada hijau rumput lagi
hutanku o hutanku
tak ada harum umbut lagi
burungku o burungku
tak ada salam menyambut pagi
jiwaku o jiwaku
siapa hendak kusebut lagi ?

Tanah Garo belumlah lelap benar malam itu


Seorang bocah lugu tak berbaju terus melagu
Aku. Bocah Kubu

Tanah Garo, 1415 H

PROKLAMASI KUBU
Asro al Murtawy

Kami Bangsa Kubu


Dengan ini menyatakan keprihatinan warga kubu
Hal-hal yang mengenai penindasan dan eksploitasi
para kubu harap diselesaikan dengan cara seksama
dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya

Tanah Garo, Akhir Musim Duku


Atas nama Warga Kubu
Asro al Murthawy Kubu

KUBU IN COPULATION

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Asro Al Murthawy

Kubu ru
jejak Kubu tujuh penjuru
Kubu mbun
air mata Kubu jadi embun
Kubu nyi
jerit pekik Kubu tinggal sunyi
Kubu ai
lagu Kubu sayup sampai
Kubu ka
tubuh Kubu penuh luka

Kubuku Aku Kubu


Aku Kubu Kubuku
Aku Kubu – Kubu aku – Aku Kubu – Kubu Aku – Aku Kubu
Kubu Aku – Aku Kubu – Kubu Aku – Aku Kubu – nuju –
Ranku.

Tanah Garo, Pauh 1418 H.

OBITUARI BURAM BUAT NEK NO


Nek No Tanah Garo

Nek No, Mno nak gih ?


Usahlah keburu kau putuskan langun itu
aku yang senantiasa gagap berucap
kau menyandar susupkan kepala
di sebenar-benar ringkih dadamu
mencari peluk hangat rangkum senyum Selero Pinang
Masak
Lihat Nek No, lihat !
matahari membakar-beranguskan rerumput daun
mengasap, menuba pada tiap-tiap nafas kita
bunga durian gugur, kuau hilang telur

Nek No, Mno nak gih ?


usahlah keburu kau hasratkan diam
aku yang senantiasa gagu tuli
kan menyebur-renangkan jiwa
di sedalam genang lagumu
mencari riak rangkum gerak Rang Kayo Hitam
Dengarlah Nek No, dengar !
raung singso membising-pekakkan sudung babi ternuk
memberai

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

mencekik pada tiap-tiap leher kita


napuh rusa binasa, kera hilang bidara

Nek No, mno nak gih ?


Usahlah keburu kau tebar mantera kutuk maut itu
aku yang senantiasa memendam kesumat dendam
kan mencemas-harapkan rasa
pada setinggi-tinggi cemas kata-katamu
mencari sumpah serapah kata-kata besorak
Si Pahit Lidah
ludahlah Nek No. ludahlah !
limbah sawit mengotor-keruhkan sesarang patin semah
membuih, membusakan racun ditiap-tiap lidah
ikan tapah

Nek No, Mno nak gih ?


Usahlah keburu kau sajikan basak
dan prosesi asyiek itu
aku yang senantiasa kumuh dosa
kan menyenandung-lantunkan puji do`a ku
di sesungguh-sungguh damba rindu
menari jejak tapak Dewo Agung
di hutan rimba larangan
tunduklah Nek No, tunduklah !
disabda Yang Maha Diam
diamlah Nek No, diamlah menunggu
murka kasih-Nya

Sanggar IMAJI Bangko, 1418 H.


Asro Al Murthawy

Oiii.....
Nurmaita Saragih

Di antara rerimbun sawit


Kami melangkah berlari-lari
Mencoba menghalau rasa gundah di hati
Ini anak-anak kami
Merengek-rengek dan menggigil
Dingin menusuk tulang
Lihat bayi kami dak ba beju
Dari malam hingga malam lagi
Oii…sanak lihat kami, kami terlahir dari rimbo ini
Di rimbo ini kami pa poang
Di rimbo kami mencari makon
Di hutan ini dulu cucu kami berayun-ayun
Pada akar pohon yang menjuntai ke jurang
Walau terjal kami tak pernah takut

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Oiii…Sanak dengar tangis kami apolagi nak kami makon


Untuk merajut hari esok, rotan manau tak terlihat lagi
Petai dan getah damarpun tak ada lagi
Oiii….sanak kami tak pernah marah
Kami minta sedikit hutan tanaman baru untuk cucuk kami
Kau ganti hutan manau dengan kelapa sawit
Petai durian diganti kemiri,burunug-burung dengan ayam
Oiii….sanak jangan memandang curiga dengan kami
Saat kami bajelon di lorong desa
Bukankah ini juga negeri kami ?
Bukankah cucu kami tak boleh punah ?
Oii…sanak kami ingin juga
mencicipi gurihnya minyak kelapa sawit
Hasil hutan ini

Sungai Kapas, 5 Agustus 2004

(Asro Al Murtawy adalah sosok Penyair Jambi yang dinamis dalam kesehariannya. Pria
kelahiran Temanggung ini telah banyak melahirkan karya sastra. Kumpulan puisi tentang
Suku Anak Dalam ( SAD= KUBU=Sanak ) telah mampu mengugah empati dunia terhadap
berbagai persoalan sosial yang dihadapi oleh Suku Anak Dalam. ia juga pendiri Sanggar
IMAJI Bangko dan Anggota Presedium LSM Kopsad menetap di Bangko)

LAMPIRAN 2

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Tabel 1. Jenis Tumbuhan yang Bermanfaat bagi Orang Rimba

No Tumbuhan Konsumsi Ekonomis Obat Bagian yang


Bermanfaat
1 Gadung √ Umbi

2 Tubo ubi √ Umbi

3 Keladi √ Umbi

4 Buah kasai √ Buah

5 Buah tampui √ Buah

6 Kuduk biawak √ Buah

7 Kaki nyamuk √ Buah

8 Duku √ Buah

9 Durian √ Buah

10 Embacong √ Buah

11 Cupak √ Buah

12 Manggis √ Buah

13 Bedaro √ Buah

14 Puar √ Buah

15 Aren √ Buah

16 Kemang √ Buah

17 Petai √ Buah

18 Bayih √ Batang

19 Manau √ Batang

20 Rotan sabut √ Batang

21 Rotan sego √ Batang

22 Rotan semut √ Batang

23 Rotan cacing √ Batang

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

24 Rotan tebu-tebu √ Batang

25 Rotan gelang √ Batang

26 Rotan suto √ Batang

27 Rotan jeruang √ Batang

28 Rotan cincin √ Batang

29 Rotan balam √ Batang

30 Bedaro putuh √ Akar

31 Selasih √ Akar

32 Sirih hutan √ Daun

33 Ketepeng √ Daun

34 Tebu punggak √ Batang

35 K. Sakit √ Kulit
pinggang
36 Pisang-pisang √ Batang

37 Damar K. √ Daun
badak
38 Selusuh √ Batang
bangkai
39 Keduduk √ Buah

40 Kayu pengasih √ Batang

Tabel 2. Jenis (species) Buah-buahan yang Dimanfaatkan


No Nama Lokal Nama Latin Familia Status Keberadaan
(Stock)
1 Durian Durio Zebetinus L Bombacaceae Banyak
2 Cempedak Arthocarpus Mitegra Sedang
3 Tungau - Jarang

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

4 Rambutan Nephelium Lapchium Banyak


5 Tampui Phobia SP Jarang
6 Salak Hutan Zalacca Sumatraesis Jarang
7 Macang - Banyak
Rimbo
8 Duku Lancium Domesticium Sedang
9 Langset Lansiun SP Sedang
10 Air-Air Lansiun SP Sedang
11 Rambai - Sedang
12 Ketimun Culumis Sativus Jarang

Tabel 3. Jenis (species) Tumbuhan Konsiae (getah) yang Dieksploitasi


No Species Familia Nama Lokal Status Keberadaan
(Stock)
1 Calamus SPP Palmae Getah Jernang Sulit
2 Calamus SPP - Getah Balam Sulit
3 Hevea Brasiliensis Rabiacere Karet Banyak

Tabel 4. Kelompok Tumbuhan Tesie Hutan Komersil yang Dieksplotasi


No Nama Lokal Species Familia Status Keberadaan
(Stock)
1 Rotan Getah Calamus SP Palmae Jarang
2 Rotan Sego Arthocarphus Mitegra Palmae Jarang
3 Rotan Jeruang Palmae Jarang
4 Rotan Manau Palmae Jarang
5 Rotan Suni Palmae Jarang
6 Rotan Jati Palmae Sulit

Tabel 5. Kelompok Species Tumbuhan Papan (bangunan)


yang Dimanfaatkan untuk Rumah

No Nama Lokal Species Familia Bagian Di Status


Ambil Stock

1 Kulit Terap Doshocarpus SPP Kulit, Batang


2 Rambutan Nephilium

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Lapian
3 Serdang Nephilium Palmae Dapur untuk Sedang
Lapian atap
4 Aro Sedang
5 Cempedak Anthogarfus Palmae Sedang
Intersa
6 Kelat Zalacca Sedang
Sumatraesis
7 Balam
8 Meranti

Tabel 6. Jenis Species Tumbuhan yang Dimanfaatkan


untuk Sumber Pangan

No Nama Lokal Nama Latin Familia Status Keberadaan


(Stock)
1 Padi Pauh Oriza Sativa Poacere Jarang
2 Jagung Zea Mays Poacere Jarang
3 Ubi Kayu Menihot Uthilissima Rubiacere Banyak
4 Ubi Jalar Hamoea Batatas Jarang
5 Gadung Phobia SP Orang Dusun
6 Tebu Saccerum SP Graminae Jarang
7 Pepaya
8 Cabe Rawit Capsiae
9 Ketimun Cucumis SP
10 Keladi Calocisi SP Jarang

Tabel 7. Jenis Species Fauna Terestrial yang Dimanfaatkan


Melalui Perburuan dan Perjeratan

No Nama Lokal Species Kegunaan Status Keberadaan


(Stock)
1 Babi Hutan Makan/Jual Banyak
2 Tenuk Makan Jarang
3 Rusa Makan/Jual Jarang
4 Kancil Makan Jarang

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

5 Tangue Makan Jarang


6 Napul Makan Jarang
7 Kijang Makan Jarang
8 Kera Dijual Jarang
9 Monyet Dijual Jarang
10 Kucing Hitam Dijual Sedang

Tabel 8. Jenis Species Fauna Reptika dan Ampibie


yang Dimanfaatkan dan Dieksploitasi

No Nama Lokal Species Kegunaan Status Keberadaan


(Stock)
1 Biawak Makan/Kulit Jual Jarang
2 Labi-Labi Jual/Makan Sulit
3 Landak Makan Sedang
4 Babak Makan Sedang
5 Ular Sawo Makan/Kulit Sedang
6 Kura-Kura Jual Sedang

Tabel 9. Jenis Species Fauna Burung yang Dipikat dan Dimanfaatkan

No Nama Loakal Nama Latin Kegunaan Status


Keberadaan
Stock
1 Engang Dimakan Sedang
2 Kuao
3 Dugang
4 Ayam Hutan Ayam-Ayam
5 Bubut
6 Punai
Tabel 10a. Jenis (species) Tumbuhan Obat-obatan yang Dimanfaatkan
Orang Rimbo Sungai Keruh dan Sungai Serdang
No Nama Lokal Nama Latin Famili Status
Keberadaan
(Stock)
1 Bedaro Putih Euracum Equesitifilia - Jarang
2 Kayu Bengkak Belum Terindentifikasi - Jarang
3 Kayu Obat Kepala Belum Terindentifikasi - Jarang
4 Akar Selusuh Jarang

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Tabel 1 s.d. 10a adalah hasil Penelitian Kerinci Seblat Integrated Conservation and
Development Project Kerjasama Pusat Penelitian IAIN Sulthan Thaha Syaufuddin
Jambi Tahun 1999.

Tabel 10b. Jenis Tanaman Potensial di Taman Nasional Bukit Dua Belas
sebagai Bahan Baku Obat-obatan
(Hasil Penelitian Tim Fakultas Kehutanan IPB Tahun 2000)

Jenis Tumbuhan Khasiat


Pulai (Alstonia scholaris) Obat demam, tonikum, perut kembung,
malaria/penyubur rambut, sakit gigi/mules/sesak
nafas.
Pinang (Areca catechu) Sakit kuning, rheumatik, patah tulang,
pemacu enzim pencernaan seluruh
badan, penurun panas, menambah nafsu
makan.
Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) Memperkecil pupi mata, obat cacing,
penyubur kandungan, tonikum.
Kayu Selusuh (Fircus latifolia) Divretik, antipiretik, malaria,aprodis.
Merajakane (Fircus deltoidea) Memperlancar kelahiran
Petaling (Ochanostachys Keputihan
amentacea)
Akar Kunyit (Arcangelisia Flave) Demam, pembersih badan, setelah
melahirkan/sesak nafas
Potoi (Parkia roxburghii) Kaminatif, anti diare/penahan kencing
Akar Penyegar (Smilax zeylanica) Antivacum, frambusia, monorrhagia,
obat kuat, penyubur kandungan.
Kemenyan Hitam (Styrax benzoin) Obat pereda sakit, cacingan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Peta 1. Sumatera

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Peta 2. Sumatera Tengah

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Peta 3. Teori Transmigrasi Prasejarah menurut Peter Bellwood

LAMPIRAN 3

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Kami ini Suku Anak Dalam

(Sebuah catatan kecil rangkuman hasil kunjungan dan liputan TV Indosiar ke lokasi
pemukiman Suku Anak Dalam Taman Nasional Bukit Dua Belas Sarolangun )

Boedhi Vrihaspathi Jauhari *)


Direktur Eksekutif LSM-Kopsad Jambi

Selama 3 hari reporter TV Indosiar Jakarta Tingka Adiaty, Cameraman Rudi


Asmoro, dan wartawan atau fotograffer Harian Umum Republika, Bachtiar Pada di pandu
aktifis atau relawan LSM Kopsad beberapa waktu yang lalu mengunjungi perkampungan
Suku Anak Dalam Mualaf di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas Desa Pematang
Kabau, Kecamatan Air Hitam. Hasil kunjungan dan liputan dirangkum penulis dalam tulisan
singkat.
Suku Anak Dalam atau Orang Kubu atau Orang Kelam atau ada yang menyebutnya
Kelompok Komunitas Adat Terpencil dengan sebutan Orang Rimba. Demikian masyarakat
Propinsi Jambi menyebut masyarakat pedalaman/kelompok komunitas/etnis yang hingga saat
ini menurut data terakhir LSM Kopsad menyebutkan terdapat sekitar 4.507 KK, tersebar di
5 Kabupaten dalam Propinsi Jambi masing-masing di Kabupaten Merangin, Kabupaten
Sarolangun, Kabupaten Muara Bungo, Kabupaten Muara Tebo, Kabupaten Batanghari, dan
Kabupaten Muara Jambi. Spesifikasi Komunitas Suku Anak Dalam ini tinggal di hulu-hulu
sungai kecil dan sebagian hidup di hutan-hutan dan berdekatan dengan desa Orang Melayu
atau di kawasan bekas unit pemukiman transmigrasi. Hutan (rimbo) bagi warga Suku Anak
Dalam merupakan kawasan perkampungan, daerah jelajah, tempat berburu, tempat
beraktifitas, tempat beranak-pinak. Dengan arti lain, hutan adalah segala-galanya bagi
Komunitas Suku Anak Dalam.
Suku Anak Dalam ini hidup berkelompok antara 3-10 rumah tangga, antara satu
kelompok dengan kelompok lain hidup berpencar-pencar. Dalam satu wilayah adat atau
kepemimpinan yang disebut temenggung. Biasanya antara satu kelompok rumah tangga
dengan kelompok rumah tangga yang lain dalam satu kawasan ada hubungan kekerabatan,
karena dasar pembentukan kelompok adalah adat uxorilokal, di mana pasangan yang baru
berumah tangga (kawin) menetap di dekat kerabat istrinya.
Secara umum mata pencarian Suku Anak Dalam adalah berburu, meramu, berladang,
dan akhir akhir ini sejumlah warga Suku Anak Dalam mulai belajar hidup menetap dan
membuka ladang atau kebun karet. Perburuan labi-labi atau mereka sebut dengan ”ikan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

bulan“ merupakan salah satu mata pencarian yang cukup penting sejak kurun waktu 15-20
tahun yang lampau, di samping melakukan perburuan terhadap binatang liar lainnya seperti
babi, ular, biawak, napuh, rusa, dll. Hewan babi yang bagi orang kampung (desa) merupakan
hama, namun bagi warga Suku Anak Dalam merupakan penghasilan untuk konsumsi (kaki,
isi perut, dan kepala) sedangkan daging saat ini ditampung oleh sejumlah pedagang
pengumpul bahkan dijadikan komoditas eksport.
Komonitas Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Merangin sulit
diatur, mereka terbiasa hidup bebas di hutan belantara, mereka terbiasa hidup nomaden
(berpindah-pindah), dan apabila ada salah seorang anggota keluarga meninggal dunia, maka
kelompok tersebut akan berpindah ke wilayah hutan lain, kebiasaan ini disebut dengan istilah
melangun.
Secara umum warga Suku Anak Dalam ini masih berpakaian minim, bagi laki-laki
hanya memakai cawat penutup alat kelamin, sedangkan wanita hanya memakai kain
seadanya, mereka terlihat kumuh, dan dekil. Sehingga terkadang tampak tidak dianggap
manusia. Meraka tidak ubahnya bagaikan sisa-sisa peradaban manusia masa lampau. Akibat
dari degradasi hutan, illegal loging, pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar
dan pembangunan pemukiman transmigrasi membuat komunitas ini cenderung mengalami
depresi mental. Kehidupan mereka semakin terdesak, bahkan saat ini mereka yang hidup di
luar Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas hidup tak menentu dan kerap menjadi
persoalan sosial di tengah masyarakat.
Akhir-akhir ini, akibat dari kerusakan hutan dan pengaruh budaya luar dan adanya
pemberdayaan yang dilakukan LSM Kopsad, sejumlah warga Suku Anak Dalam mulai hidup
bermasyarakat dan bermukim secara tetap. Sebagian diantaranya mulai membuat kebun karet.
Dan beberapa puluh kepala keluarga sudah meninggalkan kepercayaan nenek moyang
mereka dan memeluk Agama Islam.
Secara Umum Komunitas Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi termasuk Suku Anak
Dalam wilayah Merangin dan Makekal Tengah Taman Nasional Bukit Dua Belas masih
sangat tergantung dengan alam/persediaan hasil hutan, warga Suku Anak Dalam
mengonsumsi makanan jenis umbi-umbian seperti tubo ubi, gadung, jenggot, kona, ubi kusut,
umbi banar, dan ubi bayas. Semua bahan makanan tersebut mereka olah di tempat mereka
tinggal yang disebut sudung. Apabila persediaan bahan makanan habis maka mereka akan
pindah ke kawasan hutan lain yang masih memiliki persediaan hasil hutan, Perpindahan
mereka dari satu tempat ke tempat lainnya selalu searah, yakni dari timur ke barat atau dari
barat ke timur. Mereka menyebutnya dari arah matahari hidup (matahari terbit) ke matahari

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

mati (matahari terbenam) dan sebaliknya. Jarang dan bahkan tidak pernah mereka pindah dari
arah yang berlawanan. Keadaan ini terjadi karena menurut kepercayaan yang mereka yakini,
mereka tidak akan mendapat rezeki atau sumber bahan pangan jika mereka ”melintang
purbo” (menentang arah).
Untuk mengolah bahan makanan sampai dikonsumsi, Suku Anak Dalam
menggunakan peralatan yang biasa digunakan untuk pengolah bahan makanan antara
lain, parang, ambung, lantingan, pisau, kuali, dan periuk. Semua alat ini adalah alat yang
mereka terima dari nenek moyang, kendatipun saat ini akibat pengaruh luar alat-alat
memasak telah mereka beli dari masyarakat luar (orang desa).
Sistem kekerabatan mereka, apabila ada salah seorang di anatara mereka menikah
maka pasangan tersebut wajib tinggal minimal sampai memiliki satu orang anak di sudung
(kediaman) orang tua pihak wanita. Hal ini dilakukan dengan maksud bila pasangan baru ini
menegakkan sudung (rumah) sendiri yang berarti status keluarga penuh sudah mempunyai
pengalaman dan persiapan baik fisik maupun mental. Persiapan fisik, misalnya mereka sudah
memiliki peralatan berburu dan peralatan rumah tangga. Sedangkan persiapan mental,
misalnya berupa pengalaman dalam membina rumah tangga seperti pengalaman istri hamil,
menyusui, berhubungan antara satu keluarga dengan keluarga yang, hubungan antara anak
dengan menantu, hubungan dengan saudara ipar, dll.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Setelah pasangan baru memiliki pengalaman tersebut mereka diperkenankan membuat


rumah (sudung) sendiri di dekat sudung orang tua pihak istri. Aturan ini tampaknya tidak bisa
ditawar-tawar seperti seloko adatnya ”bila sudah dapat menanam batu jelupung tumbuh”
baru boleh membuat rumah jauh dari rumah orang tua istri. Makna dari Seloko ini adalah
larangan atau tidak boleh sama sekali membuat rumah jauh dari rumah orang tua istri (tidak
mungkin menanam batu yang mungkin tumbuh tunas dan berdaun) tampaknya hal ini juga
berguna untuk penyiapan tenaga kerja dalam mengolah ladang. Setelah pasangan baru
mempunyai sudung sendiri maka sahlah pasangan tersebut berdiri sebagai sebuah keluarga
yang sebenarnya sebagai kesatuan ekonomi rumah tangga yang utuh.
Dalam sebuah keluarga yang berkaitan dengan hak dan kewajiban diatur seperti
dalam seloko ”bini sekato laki, anak sekatok bapak, adik sekato kakok”. Bini sekato laki
artinya seorang istri harus mengikuti apa yang diperintahkan suami, namun suami juga harus
tahu apa yang tidak bisa atau tidak boleh dikerjakan oleh seorang istri. Jadi seorang Suami
tidak boleh memerintahkan istrinya untuk menebang pohon dengan beliung, karena
pekerjaan itu bukan pekerjaan perempuan. Anak sekato bapak, artinya seorang anak tidak
boleh melawan atau menolak perintah orang tua, sebab kalau menolak anak tersebut akan
terkena ”burut/hernia” bagi anak laki-laki dan ”tumbung“ bagi anak wanita. Kedua penyakit
itu adalah penyakit yang sangat ditakuti oleh warga Suku Anak Dalam. Mengingat penyakit
tersebut secara tradisional belum ditemui obat dan pencegahnya. Adik sekato kakok,
bermakna seorang adik tidak boleh melawan kakaknya, karena sang kakak sudah dianggap
berjasa membina atau mengasuh adik-adiknya.
Dalam satu rumah tangga ada semacam hak dan kewajiban yang sudah dipahami oleh
masing-masing anggota keluarga seperti, istri wajib menjaga rumah ketika suami mencari
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Contoh lain seorang ibu berkewajiban
menyosialisasikan nilai-nilai keibuan kepada si anak perempuan dengan cara secara lansung
anak perempuan mengikuti dan membantu apa yang dikerjakan ibunya, demikian juga anak
anak laki-laki terhadap bapaknya.
Komunitas Suku Anak Dalam kelompok Temenggung Birin terdiri dari 42 kepala
keluarga, 145 jiwa termasuk janda, remaja putra/putri pasangan usia subur yang diperkirakan
dalam waktu 2-3 tahun akan melakukan pernikahan. Temenggung Birin adalah putra kedua
Temengung Gemembak atau lebih dikenal dengan nama Temenggung Pimpin yang dikenal
sebagai pemimpin dari semua temenggung yang ada di Taman Nasional Bukit Dua Belas.
Temenggung Birin sejak 4 tahun yang lalu bersama keluarganya menyatakan memeluk
Agama Islam dan membuat perkampungan baru serta menetap di luar kawasan taman. Saat

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

ini terdapat sekitar 21 KK kelompok Birin yang menyatakan memeluk Agama Islam yang
terdiri mertua, istri, anak, adik, dan sejumlah kemenakan.
Setelah memeluk Agama Islam, Temenggung Birin berganti nama menjadi Helmi,
sementara istrinya berganti nama menjadi Megawati dan Siti Aisyah, demikian juga dengan
keluarganya yang lain juga berganti nama. Ini menunjukkan bahwa status mereka sudah
berubah dari orang yang primitif atau tradisional atau terasing menjadi orang yang beragama
dan berbudaya.
Institusi atau tata pemerintahan adat dalam kelompok Birin (Helmi) adalah
Temenggung Birin, Depati Merepuk, Mangku Nggerak, Menti Perusik, Debalang Bathin
Dayung. Mengingat Temenggung Birin telah memeluk Agama Islam dan menetap di luar
komunitas mereka, maka mereka merencanakan akan mencari pengganti temenggung yang
mampu hidup bersama di tengah-tengah komunitas mereka, namun peran Temenggung Birin
masih tetap mereka perlukan sebagai pengayom atau orang tua atau dalam adat disebut
sebagai tengganai.
Di perkampungan Suku Anak Dalam Mualaf ini, tim bertemu dengan Temenggung
Tarib, seorang tokoh Suku Anak Dalam kelompok Air Hitam Paku Aji. Tarib merupakan
salah satu pimpinan Suku Anak Dalam yang pernah mendapat Ke hati Award dari Wakil
Presiden RI. Kelompok Tarib hingga saat ini masih tetap bertahan dengan tradisi nenek
moyang dan belum dapat dimukimkan kendatipun pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial
Jambi telah melakukan upaya ke arah itu.
Hasil dialog LSM Kopsad dengan pimpinan dan warga Suku Anak Dalam wilayah
Makekal Tengah atau Kelompok Suku Anak Dalam Singosari, secara umum mereka mulai
memahami tantangan dan persoalan kedepan yang bakal mereka hadapi. Mereka menyadari
bahwa kondisi hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas semakin hari semakin rawan terhadap
kegiatan perambahan hutan oleh masyarakat dan oknum yang tidak bertanggung jawab.
Persoalan ini menyangkut persediaan bahan pangan mereka
Dilain pihak sebuah LSM yang peduli dengan alam dan konservasi mengangap warga
Suku Anak Dalam merupakan bagian dari alam atau bagian dari Taman Nasional Bukit Dua
Belas, sehingga mereka digolongkan termasuk sebuah ekosistem yang harus dilestarikan
dalam habitatnya. Namun LSM Kopsad secara tegas berupaya untuk memberdayakan mereka
di semua sector. LSM Kopsad dengan visi dan misinya berupaya untuk mengangkat harkat
dan martabat mereka selayaknya, seperti harkat dan martabat manusia-manusia yang lainnya.
Apalagi hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas tidak lagi dapat mejamin seutuhnya masa
depan mereka. Kita tidak ingin mengesploitasi dan menjual kemiskinan serta

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

ketidakberdayaan mereka ke negara lain. Dari sudut manusia dan kemanusiaan tidak ada
alasan bagi kita untuk melestarikan dan membiarkan mereka dalam keterasingan, kemiskinan,
dan kebodohan,” kata Direktur Eksekutif LSM Kopsad pada kunjungan Menteri Sosial RI di
Jambi beberapa waktu yang lalu.
Dari jumlah 42 KK lebih separuh dari jumlah mereka menginginkan hidup yang
layak. Persoalannya ketika mereka hendak dimukimkan di luar kawasan hutan, mereka tidak
memiliki lahan. Sementara lahan di pinggir hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas telah di
garap masyarakat.
Warga berharap agar pemerintah dan LSM Kopsad membangun sarana perumahan di
dalam kawasan kebun milik mereka dalam hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas. “Kami
minta pemerintah mendekatkan fasilitas sosial dan perumahan dengan lokasi tempat kami
mencari hidup,” kata Perusik dan Jawat. “Kalaupun ingin dimukimkan jangan di luar
kawasan,” lanjut keduanya.
Persoalannya adalah apakah pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan Propinsi dan
pihak Taman Nasional Bukit Dua Belas mengizinkan wilayah usaha Suku Anak Dalam yang
termasuk dalam kawasan taman untuk dimanfaatkan bagi pembangunan fasilitas perumahan
dan fasilitas sosial lainnya. Di sini diperlukan kebijakkan dan kearifan dari pengambil
kebijaksanaan.
Warga Suku Anak Dalam kelompok ini mengharapkan agar pemerintah dan LSM
Kopsad memberikan bibit holtikultura, antara lain bibit karet unggul, bibit kemiri, dan bibit
pohon buah-buahan, di samping bibit sayur mayur dan ternak. Di samping itu pemerintah
dalam hal ini dinas instansi terkait perlu terlibat aktif dalam memberikan penyuluhan dan
pembinaan sosial, ekonomi, dan kerohanian bagi komunitas ini dengan tetap memperhatikan
tradisi dan budaya yang telah berurat berakar di tengah-tengah kehidupan mereka.
Dipihak lain warga Suku Anak Dalam Mualaf baik kelompok Birin maupun
keluarganya yang lain yang telah bermukim juga mengharapkan kepada Gubernur Jambi dan
masyarakat luas, termasuk dunia usaha untuk membangun sarana perumahan yang layakhuni
serta memberikan fasilitas modal kerja dan sarana produksi pertanian terpadu kepada mereka.
Usai melakukan ekspedisi ke belantara Taman Nasional Bukit Dua Belas rombongan
melanjutkan perjalanan kembali menuju Kota Bangko, Kabupaten Merangin. Dengan tatapan
haru dan wajah-wajah yang lugu warga Suku Anak Dalam melambaikan tangan melepas
keberangkatan rombongan tersebut. Ada secercah harapan yang terpancar dari sorotan mata
mereka. Adakah kita semua bersedia menyapa dan mengangkat keterasingan mereka?

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Jawabannya adalah marilah kita tanyakan pada diri kita masing-masing. Semoga masih ada
matahari buat mereka.***

Bukit Dua Belas Sarolangun


Penulis,

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Direktur Eksekutif LSM Kopsad

Biografi
Budhi Vrihaspathi Jauhari
Budhi Vrihaspathi Jauhari, lahir di Jambi 1 Januari 1966, putra sulung dari 6
bersaudara lahir dari buah cinta kasih Ayahanda Mohd. R. Fahmi Kadir (alm) dan Ibunda
Asmanizar Rivai (alm). Masa kecil dijalaninya di Kota Jambi dan Kerinci. Pada usia 15
tahun melanglang buana di belantara Kota Jakarta dan sejak tahun 1986 meniti kehidupan
di Bumi Sarolangun dan Bangko. Pendidikan terakhir SMA Negeri dan pernah ikut-ikutan
melanjutkan pendidikan di Institut Abu Zall Jakarta dan STKIP YPM Bangko. Jiwa
mengembara dan darah seni membuat pendidikan yang ia jalani tak pernah dapat
diselesaikan. Masa kecil yang kehilangan kasih sayang membuat ia mencurahkan cinta
dan kasihnya kepada anak-anak di pedalaman belantara Taman Nasional Bukit Dua Belas
Sarolangun dan di Pedalaman Kabupaten Merangin.
Sejak usia remaja aktif menjadi penulis dan wartawan disejumlah media massa
antara lain sebagai wartawan atau korespondence SKM Ampera Jambi, Independent,
Harian Umum Haluan Padang, Sumatera Ekspres, Mimbar Post, Kontributor TVRI, dan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Korespondence LKBN antara Biro Jambi. Saat ini aktif menjadi wartawan media on line
Mimbar Post, dan menjadi penulis lepas disejumlah koran lokal
Tahun 2001 ia mendirikan sekaligus menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi
Tabloid Mingguan Sarko Post, satu-satunya koran lokal Jambi yang terbit di wilayah barat
Propinsi Jambi kala itu.
Hobi mengembara dan cinta kasihnya kepada warga pedalaman (Suku Anak Dalam)
ia menggagas sebuah ide untuk mendirikan sebuah Yayasan Lembaga Swadaya Masyarakat
Kelompok Peduli Suku Anak Dalam (LSM Kopsad) dalam organisasi ini ia menjadi
Presedium merangkap Direktur Eksekutif Yayasan LSM yang ia dirikan bersama kawan-
kawannya. Kecintaannya terhadap dunia sastra dan pariwisata di negeri moyangnya di
Bumi Alam Kerinci membuat ia menggagas dan membentuk sebuah Yayasan LSM Bina
Potensia Aditya Mahatva Yodha Kerinci sebuah Yayasan yang bergerak di bidang seni
budaya, pariwisata, dan pertanian terpadu yang berpusat di Kota Sungai Penuh dan di
Kabupaten Kerinci.
Sebagai sosok aktifis yang agak kontraversi ia pernah mengirimkan surat pribadi
kepada Mantan Presiden RI K.H. Abdurahman Wahid, kala itu ia ingin menyumbangkan
salah satu kornea matanya untuk Presiden ke-4 RI. Suatu hari ia pernah berkata
”kesempatan untuk hidup di dunia ini hanya diberikan satu kali oleh sang Illahi, untuk itu
kehidupan ini harus memiliki arti”.
Budhi Vrihaspathi Jauhari merupakan pengagum cinta, karena cinta menurutnya
adalah sebuah anugerah yang harus tetap dijaga. Dengan cinta kita bisa hidup dengan damai,
tanpa cinta kehidupan tak memiliki makna. Karena cinta itulah ia rela mewakafkan
sebagian sisa umurnya untuk orang - orang pedalalam Suku Anak Dalam di berbagai
kawasan belantara hutan di Propinsi Jambi.
Perjuangan yang ia lakukan tak selamanya berjalan mulus, berbagai persoalan
dan kebijakkan yang ia lakukan kerap menuai protes dari pihak-pihak yang berseberangan
dengan cara berpikirnya. Sebagai sosok aktifis ia tidak hanya pandai bicara tapi sepak
terjangnya justru di bicarakan tidak hanya oleh masyarakat lokal tetapi dibahas oleh
berbagai media dan kalangan intelektual /peneliti dalam dan luar negeri termasuk pemerhati
Suku Anak Dalam.
Menulis ,membaca dan jalan jalan keluar masuk hutan merupakan tiga hobi yang
dengan setia dijalaninya, karena cara pandang dan gayanya yang kontraversi membuat ia
kerap menjadi nara sumber berbagai media massa lokal dan nasional. Sebagai wartawan
atau penulis ia tidak hanya membuat berita, tapi dijadikan bahan berita, berbagai tulisan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

tentang aktifitasnya telah dimuat di Harian Kompas, LKBN Antara ,Majalah Islam,
Variasari dan Hidayah , Harian Republika, Media Indonesia, Jawa Post Group (Jambi
Ekspres, Independent, Radar Sarko, Sareks, dan disejumlah media on line lainnya, l.).
Berbagai artikel, esai, karya sastra, dan opini telah dirangkumnya dalam kumpulan
tulisan antara lain ”Surat Cinta dari Bukit Dua Belas”, “Katakan Sejujurnya Aku Cinta
Padamu”, “Makna Cinta dalam kehidupan”.
Aktifitas sosial LSM Kopsad yang ia pimpin ternyata mendapat perhatian dari
Media Elektronika, TVRI, SCTV, Trans TV, TV One, RCTI,Metro TV . TV Taiwan dan
sejumlah media lainnya. Ia berharap dengan buku yang ia terbitkan bersama relawan LSM
Kopsad ini dapat menjadi salah satu usaha untuk lebih memperkenalkan Suku Anak Dalam
ke dunia luar, sekaligus untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia Suku Anak
Dalam di Propinsi Jambi khusnya di Kabupaten Sarolangun dan Merangin . (Indratno)

Biografi
DR ARISLAN SAID,M.Pd..
Dr. Arislan Said, M.Pd. lahir di Simpang Sungai Tutup, Kecamatan Siulak,
Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi tanggal 6 Juni 1959. Ia anak kelima dari pasangan
Bapak Said (alm) dan ibu Baiman (alm).
Masa kecilnya dilalui di tanah kelahirannya tak jauh dari kaki Gunung Kerinci,
pendidikannya diawali di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di Siulak Gedang (1973)
PGAN 4 tahun di Sungai Penuh (1977), PGAN 6 Tahun di Sungai Penuh (1980).
Tahun 1984 Arislan Said berhasil menyelesaikan pendidikan Sarjana Jurusan PLS
pada FKIP Padang. Tahun 1996 Menyelesaikan Program Magister (S2) jurusan PLS PPS
IKIP Bandung. Pada tahun 2011 menyelesaikan pendidikan S3 pada UPI Bandung dengan
Konsentrasi PLS.
Dr. Arislan Said, M.Pd. mengawali karirnya sebagai tenaga honorer di STKIP YPM
Bangko dan guru Honor di SMEA YPM Bangko. Ia juga pernah mengajardi SPP SPMA
Lubuk Gaung Bangko (1985-1987). Tahun 1987 Arislan Said diterima sebagai Pegawai

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Negeri Sipil. Ia mengawali karis PNS-nya dari bawah, ia telah malang melintang
berkecimpung dalam dunia pendidikan.
Ketekunannya dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan khususnya Perguruan
Tinggi mengantarkannya pada posisi sebagai Ketua STKIP YPM Bangko periode 2003-
2007 dan periode ke II tahun 2007-2008.
Ketika masih menjabat Ketua STKIP YPM Bangko Periode ke II ia melanjutkan
pendidkan S3 di Bandung. Saat ini Arislan Said kembali mendapat kepercayaan untuk
kembali memimpin Lembaga Perguruan Tinggi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (STKIP) YPM Bangko Kabupaten Merangin.
Di luar tugasnya sebagai Ketua STKIP YPM Bangko, Arislan Said giat menulis dan
menerbitkan buku diseputar dunia pendidikan yang digelutinya. Selaku Dosen ia sangat
tertarik dan memiliki perhatian terhadap persoalan social. Bersama kawan-kawannya, ia
terlibat aktif dalam kegiatan pembinaan dan pemberdayaan Suku Anak Dalam di Kabupaten
Merangin dan Sarolangun, ia juga ikut membidani kelahiran Lembaga Swadaya Masyarakat
Kelompok Peduli Suku Anak Dalam (LSM Kopsad).
Dari hasil pernikahannya dengan istri tercinta Asriati, ia dikaruniai 2 orang putra dan
1 orang putrid, yakni Alfred Okmilan (22), Bangi Febri (20), dan Intan Suci Mayasari (14).
Ia kini menetap di Kota Bangko, Kabupaten Merangin (*)
1. Berita Berita Internet

Rumah Pintar dan Pemukiman SAD di Resmikan Wagub


MERANGIN- Pembinaan Komintas Adat Terpencil-Suku Anak Dalam yang saat ini tengah
dilakukan merupakan tugas dan tanggung jawab semua pihak, Pemerintah, Dunia Usaha,
Masyarakat harus bersinergi dan berkolaborasi dalam melakukan Pembinaan terhadap warga
Suku Anak Dalam.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif LSM-KOPSAD Jambi Budhi.VJ.Rio
Temenggung dalam laporannya pada acara Peresmian Pemanfaatan 17 Unit sarana
Perumahan dan 1 Unit sarana Belajar Rumah Pintar/PAUD Nurul Habib Bantuan PT.Kresna
Duta Agro Indo( PT.SMART.Tbk)
Rumah Pintar dan PAUD Nurul Habib serta Pos Yandu Selusuh yang digagas oleh
LSM KOPSAD merupakan salah satu Program yang dirintis oleh LSM Kopsad dan
mendapat dukungan penuh dari PT.Kresna Duta Agro Indo dan Bupati Merangin H.Nalim
serta dukungan dari Dinas Pendidikan,Dinas Kesehatan dan Tim Penggerak PKK
Merangin”Kata Budhi VJ.Rio Temenggung”
Sementara itu untuk pengelolaan PAUD Nurul Habib/Rumah Pintar SAD di kelola
oleh 4 orang Relawan Guru PAUD masing masing Zulfianti,Safina,Ismawati dan Nurmis,
keempat relawan membimbing anak anak SAD secara sukarela”Imbuh BudhiVJ.Rio
Temenggung”
Kedepan Kopsad menghimbau agar Pihak Dinas Sosial Nakertrans Merangin untuk
lebih Pro aktif dalam memberdayakan SAD, Dinas Sosial perlu menjemput bola dan

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

melakukan terobosan bukan menunggu Program yang jatuh dari langit, apalagi saat ini sekitar
30-50 KK Warga SAD kelompok Roni CS dan Kelompok Carak dan setampung yang masih
berkelana menunggu perhatian Dinas Sosial Merangin”Ujar Budhi VJ Rio Temenggung
Direktur PT.Kresna Duta Agro Indo yang diwakili Ir.H.Dwi Prasetio dalam
sambutannya menyebutkan Pembangunan Perumahan dan Rumah Pintar yang dilakukan oleh
PT.KDA merupakan Program CSR yang dilakukan melalui kerja sama dengan LSM-
KOPSAD dengan melibatkan masyarakat setempat warga Suku Anak Dalam.
Tahun ini KDA Membangun 17 Unit rumah dan 1 Unit rumah Pintar di Kawasan
Desa Mentawak Kecamatan Nalo Tantan, sebelumnya secara berkala PT.KDA juga
membantu kegiatan Bedah Rumah, Pembangunan sarana Ibadah bagi warga SAD di TNB12,
Pelayanan Kesehatan dan bhakti sosial Peduli SAD serta membantu masyarakat disekitar
kawasan Perkebunan PT.KDA.
Berbagai Program CSR yang dilakukan oleh PT.KDA merupakan tanggung jawab
moral perusahaan terhadap masyarakat disekitar perkebunan,, dan kedepan Pihak PT KDA
bekerja sama dengan LSM Kopsad kembali akan membuat Program yang menyentuh
kebutuhan dasar warga SAD,Saya akan pertimbangkan usul LSM Kopsad untuk
memukimkan kembali warga SAD yang masih mengelana “ kata Dwi Prasetio.
Bupati Merangin.Drs. M.Nalim ,SH,MM menyambut baik dan memberikan apresiasi
terhadap perusahaan PT.KDA yang konsen dan terhadap masyarakat terutama terhadap
warga SAD.
Kegiatan yang dilakukan oleh PT.KDA yang bermitra dengan LSM-KOPSAD patut
untuk di contoh oleh perusahaan perusahaan lain yang berusaha di Merangin.
Dan kedepan upaya pembinaan dan pemberdayaan SAD perlu terus kita kembangkan
sehingga pada gilirannya Warga SAD dapat hidup lebih baik sebagaimana masyarakat lainny,
“ kata Nalim.
Wakil Gubernur Jambi H.Fachrori Umar mengharapkan agar warga SAD untuk hidup
menyatu dengan masyarakat kebanyakan, Pemerintah selalu akan memperhatikan nasib dan
persoalan yang dihadapi warga SAD dalam rangka mewujudkan Jambi Emas 2015 dan
Merangin Makmur 2013. “Dengan kemampuan yang ada Pemerintah Propinsi bersama
Pemerintah Kabupaten terus berupaya untuk mengangkat nilai nilai kemanusiaan warga
SAD”kata Wagub.
Kondisi Hutan yang saat ini semakin menipis merupakan tantangan alam yang
dihadapi warga SAD, untuk itu kita menghimbau agar warga SAD dapat hidup secara
menetap sehingga Memudahkan bagi Pemerintah untuk melakukan Pembinaan dan
Pemberdayaan bagi warga SAD,”Imbuh Wagub.
Saya mendukung dan menyambut baik ide dan gagasan LSM- KOPSAD yang bekerja
sama dengan PT.KDA yang melakukan Pendekatan melalui pendidikan anak Usia Dini,Saya
Minta agar Pemerintah Kabupaten dan SKPD terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas KSPM,
Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten untuk memperhatikan dengan sungguh sungguh
program Pendidikan, Kesehatan dan kesejahteraa Sosial warga SAD.
Pemerintah Propinsi menyambut baik upaya LSM.KOPSAD dan PT.KDA, dalam
membina SAD, Pemerintah tetap memberikan dukungan dan Bantuan bagi upaya Pembinaan
SAD di Propinsi Jambi termasuk di Merangin.
Usai meresmikan Rumah Pintardan Rumah Layak Huni,Wagub didampingi Bupati,
Wakil Bupati, Direktur PT.KDA dan Direktur Eksekutif LSM KOPSAD meninjau Proses
KBM Rumah Pintar.
Pada kesempatan itu Wagub menyerahkan Paket Sembako untuk 17 KK Warga SAD,
Bupati dan Wakil Bupati menyerahkan Sarana Rumah tangga, sementara Direktur PT.KDA
menyerahkan Paket Bantuan Alat Peraga Edukatif bagi Rumah Pintar SAD.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Tokoh SAD Temenggung Kitab dan Meruncing kepada wartawan menyampaikan


ucapan terimakasih kepada PT.KDA Pemerintah Daerah,LSM.KOPSAD dan Dinas terkait
yang telah memperhatikan warga SAD di Mentawak.”Awak kini lah sadar, hutan lah habiy,
hewan buruan semakin sulit diperoleh, awak iko seperti hidup antaro Duo Dunio,” kata
Temenggung Kitab .
Menurut Temenggung Kitab dan Meruncing, saat ini sekitar 50 KK Warga SAD
Kelompok Roni yang masih hidup melangun meminta agar Pak Rajo
(Gubernur,Bupati,KDA) untuk membangun rumah layak huni, dio lah semakin sulit hidup
dan sudah lelah hidup berpindah(Nomaden), ”kata Meruncing. ( Depi )

Wanita Orang Rimba Tidak Lagi Melahirkan di Hutan


Senin, 26 Mei 2008 13:57
Kapanlagi.com - Para wanita Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) yang bermukim di
beberapa kabupaten di Provinsi Jambi, tidak lagi melahirkan anaknya di dalam hutan atau
dibantu oleh dukun beranak.

Seperti yang terjadi pada Minggu (25/5) seorang wanita SAD yang sudah memiliki suami,
saat akan melahirkan dibawa ke Puskesmas dan mendapat bantuan dari bidan atau perawat,
kata Direktur Eksekutif Kelompok Peduli SAD (KOPSAD) Jambi, Budhi VJ, Senin.

Selanjutnya wanita SAD bernama Ny. Nginjung yang tinggal di Kabupaten Merangin
tersebut, dibawa dengan mobil ambulance ke RSUD Bangko, ibukota Kabupaten Merangin
dan melahirkan di dalam mobil sebelum sampai di rumah sakit.

Perawat yang menemani wanita SAD itu membantu kelahiran di dalam mobil ambulance, dan
bayi laki-laki yang baru lahir dengan berat 4,5 kg dalam keadaan sehat.Seorang wanita SAD
lainnya yang hamil muda, menurut Direktur KOPSAD tersebut mengalami keguguran saat
akan dibawa ke rumah sakit dan ini sebagai kemajuan dari komunitas Orang Rimba yang akan
melahirkan minta bantuan tenaga medis.

Budhi mengatakan, selama ini wanita Orang Rimba melahirkan lebih banyak minta bantuan
dukun beranak atau secara alami, karena mereka tidak memiliki uang untuk melahirkan di
rumah sakit. (*/cax)

Jumat, 27 Februari 2009


Sidang Perkara Suku Kubu Diwarnai Bugil Dada
Sarolangun, Batak Pos

Sidang perdana perkara pembunuhan Suku Anak Dalam (SAD) atau lebih sdikenal degan
sebutan Suku Kubu di Pengadilan Negeri (PN) Sarolangun, Provinsi Jambi diwarnai tangisan
histeris keluarga terdakwa, Jumat (27/2). Sidang kasus bentrok berdarah SAD yang terjadi di
Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun pada
12 Desember 2008 lalu, di PN Sarolangun sempat ricuh.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Kericuhan terjadi saat sidang dengan agenda mendengarkan tuntutan JPU ini didatangi
belasan keluarga kedua terdakwa yang datang dengan menangis histeris dengan meraung-
raung meminta kedua terdakwa dibebaskan.

Saat sidang, seorang terdakwa Mata Gunung (40) dibawa petugas memasuki ruang sidang.
Tiba-tiba diserbu belasan keluarga terdakwa yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak, dengan
menjerit-jerit sambil memeluk Mata Gunung, meminta agar dibebaskan.

Puluhan petugas kepolisian yang sudah berjaga-jaga sejak pagi dengan kedatang keluarga
terdakwa jadi kewalahan. Para keluarga terdakwa yang sebagian besar ibu-ibu dating dengan
pakaian tradisionil mereka yakni dengan telanjang dada.

Ibu-ubi SAD tersebut mengejar-ngejar petugas, baik aparat kepolisian maupun Pengadilan.
Bahkan pengunjung sidang termasuk wartawan juga menjadi sasaran pengejaran. Bagi yang
tertangkap para ibu-ibu SAD tersebut langsung memeluk dan menciuminya, sambil menangis
mengucapkan “Rajo bebaskan keluarga kami, dio dak besalah,”ujar ibu-ibu tersebut.

Melihat aksi itu, para petugas, dan pengunjung sidang lari terbirit-birit dikejar-kejar ibu-ibu
SAD itu. Akibat dari kejadian tersebut, sidang yang dimulai sekitar pukul 13.00, sempat
ditunda sekitar 1,5 jam.

Namun setelah dibujuk petugas, baik dari kejaksaan dan pengadilan dengan bersusah payah,
akhirnya para keluarga korban bisa tertib, dan terdakwa Mata Gunung disidangkan.

Sebelum kejadian heboh tersebut, terdakwa yang lain yakni Temenggung Jelitai sudah sempat
disidang dengan agenda mendengarkan dakwaan JPU, dan sidang berjalan lancar.

Demikian keterangan Direktur Eksekutif LSM Kopsad, Budi Variaspati kepada wartawan di
Sarolangun, Jumat (27/2). Menurutnya, sidang kedua terdakwa dipimpin Hakim Ketua
Perman Toni SH, didampingi dua hakim anggota. Sidang akan dilanjutkan pada 5 Maret 2009
dengan menghadirkan 3 orang saksi.

Jelitai ketika dimintai keterangannya mengatakan, bahwa dirinya bersama Mata Gunung telah
ditahan sekitar 2 bulan di LP Kabupaten Merangin. Dan mengaku tidak bersalah karena tidak
berada di lokasi baku tembak.

“Sayo dak bersalah, kareno tak ikut dalam masalah kejadian itu dan tidak ikut rombongan
perkelahian. Sariman rajo sayo, sudah sayo kasih tahu bahwa sayo tidak menembak dalam
keributan yang membuat tigo orang meninggal dari SAD Kecamatan Air Hitam Kabupaten
Sarolangun,”ujar Jelitai.

Usai sidang, sekitar pukul 15.00 WIB, kedua terdakwa diangkut secara paksa dengan mobil
tahanan kembali ke LP Bangko.

Sementara itu Kapolres Sarolangun AKBP Drs Irawan David Syah SH saat dimintai
keterangannya usai sidang mengatakan, kejadian untuk pertama kali persidangan SAD
tersebut, untuk sidang lanjutan nantinya tidak akan terulang lagi seperti aksi tangisan dan
kejaran.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

“Kita telah menghargai para SAD, seperti memberi kesempatan untuk bertemu dengan kedua
orang SAD yang terdakwa. Namun ketika persidangan tetap harus dijalankan. Oleh sebab itu,
aparat kita siagakan dan terlibat dalam melancarkan jalannya persidangan,’’katanya.

Dikatakan, pihaknya tetap menghargai hukum adat dalam SAD yang telah menyelesaikan
sengketa itu, namun sebagai warga Negara Indonesia warga SAD juga tetap harus tunduk
pada UU yang berlaku di Indonesia.

“Waraga SAD mempunyai hak yang sama dengan warga lain. Jadi peraturan dan UU yang
berlaku di Indonesia wajib mereka patuhi,”katanya.

Bertahan di PN Sarolangun

Sementara itu, puluhan Suku Kubu, hingga Jumat (27/02) siang masih bertahan di halaman
Kantor Pengadilan Negeri Sarolangun. Mereka berupaya merayu berbagai pihak untuk
membebaskan dua warga Suku Kubu Jelitai dan Mata Gunung terdakwa kasus penembakan
terhadap tiga Suku Kubu lainnya beberapa waktu lalu.

"Mereka akan tetap bertahan, hingga Jelitai dan Mata Gunung dibebaskan. Saat ini mereka
sudah kehabisan makanan, dan mereka meminta-minta kepada orang yang lewat." ujar Budi
Variaspati.

Menurut Budi, kedatangan puluhan suku kubu ke Pengadilan Negeri Sarolangun untuk
menyaksikan sidang terhadap Jelitai dan Mata Gunung. Keduanya disidangkan didakwa
menembak tiga Suku Kubu lainnya dalam bentrok berdarah beberapa bulan lalu.

Budi sangat menyayangkan tidak ada kepedulian dari LSM Warsi dan LSM Sukola Pimpinan
Butet Manurung yang selama ini mengaku paling memperhatikan nasib Suku Kubu ini.

"Saat ini Suku Kubu sangat memerlukan bantuan baik moril maupun materil. Namun
sejumlah LSM yang selama ini peduli terhadap Suku Kubu terkesan tutup mata terhadap
kasus yang menimpa SAD saat ini,”kata Budi.

Sementara itu, Humas KKI Warsi Jambi, Reni mengatakan, pihaknya tetap berkomitmen
untuk mendampingi Suku Kubu ini, dari awal penyelidikan hingga sampai ke pengadilan,
KKI Warsi menyediakan tiga pengacara.

“Dari awal kita sudah mendorong bahwa hukum tetap ditegakkan, untuk itu kita sudah
sediakan pengacara. Kami sangat membantah peryataan Budi tersebut bahwa KKI Warsi tidak
ada kepedulian,”ujarnya.

Sejak Kamis (26/2) KKI Warsi sudah memberikan bantuan makanan, bahkan sudah mengajak
mereka untuk masuk hutan kembali. “Kemarin orang rimba yang tinggal di Sarolangun telah
diberi roti, gula dan kopi. Warsi sudah menawarkan untuk mengantar mereka pulang ke
hutan, tapi mereka tolak,”katanya.

Seperti diketahui kasus bentrokan ini terjadi Jumat (12/12/2008) pagi di jalan Doho Desa
Pematang Kebau Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Tiga SAD Singosari tewas
karena ditembak dengan kecepek.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Korban tewas yakni Nunas (30), Basilang (28) dan Melinting Laman (35). Selain itu, tiga
SAD lainnya saat ini masih disandera adalah Melame, Doa dan Meletu. Sedangkan satu orang
SAD luka berat, yakni Melantai.

Kasus bentrok SAD Kadasung dengan Singosari ini diduga dipicu masalah hutang piutang.
Jenazah ketiganya sempat divisum sekitar pukul 18.15 WIB, di Puskemas Air Hitam. Setelah
divisum, sesuai kesepakatan Temenggung, jenazah ketiganya dibawa pulang untuk
dikuburkan.

Dandim Sarko, Letkol Inf Arief Buchori melalui Pasintel, Yusnedy mengatakan, pertikaian
tersebut diduga masalah hutang piutang dari dua kelompok SAD antara SAD Kabupaten
Batanghari dengan SAD Sarolangun yang berada di Taman Nasional Bukit Dua Belas.

Kedua tersangka Jelitai dan Mata Gunung telah menjalani rekontruksi kasus bentrok sesama
Suku Anak Dalam yang digelar Polres Sarolangun, Minggu (11/1) lalu di kebun karet, pinggir
Jalan Lintas Sumatera, Kelurahan Aur gading, Kabupaten Sarolangun.

Namun kedua tersangka agak ragu-ragu memperagakan saat terjadi baku hantam dengan
kelompok Suku Anak Dalam Singosari yang menyebabkan tiga warga SAD di Bukit 12
Kecamatan Air Hitam beberapa waktu lalu tewas. ruk

Amien Pecat Kader PAN yang KKN dan Amoral


Bangko, 8 Maret 2004 1526
Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais menegaskan, pihaknya akan memecat
anggota, kader atau anggota legislatif dan eksekutif dari partainya yang mbalelo, terlibat KKN
dan amoral.

"Pasalnya, di era reformasi saat ini, sangat diperlukan figur pemimpin yang bersih dan bebas
dari KKN, serta mampu mencegah supremasi hukum," kata mantan Ketua PP
Muhammadiyah itu, pada acara silaturrahmi dengan masyarakat, di lapangan terbuka Pasar
Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi, 260 Km dari Kota Jambi, Minggu petang.

Menurut Amien, untuk menegakkan dan meneruskan perjuangan reformasi sangat diperlukan
figur pimpinan yang bersih dan tak hanya bicara sebatas retorika, sedangkan realisasinya nol
besar.

"Jangan sempat terulang, yang salah justru dibebaskan, supremasi hukum harus kita
kedepankan" katanya.

Menyikapi kondisi yang ada saat ini, dimana reformasi telah berlangsung sejak 1999 namun
ternyata penyakit KKN masih belum sepenuhnya teratasi, katanya, salah satu cara untuk
mengatasinya diperlukan pemimpin yang lebih memperhatikan aspirasi, suara hati nurani
masyarakat dan tidak hanya mengedepankan kepentingan dan ambisi pribadi atau kelompok.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Dewasa ini, pengangguran di Indonesia telah mencapai 42 juta lebih, dan tingkat
pengangguran ini merupakan sebuah ancaman dan persoalan serius yang perlu segera dicari
jalan keluarnya jika tidak segera ditangani maka akan mengancam keutuhan bangsa.

"Jika ekonomi terpuruk, akan banyak orang yang kelaparan. Dengan lapar akan cepat
menimbulkan kemarahan. Apabila kemarahan merasuk ke dalam jiwa, maka akan
menimbulkan gejolak sosial dan orang akan mudah terprovokasi ke arah yang negatif," kata
Amien Rais menegaskan.

Dalam kesempatan kunjungan itu, Amien Rais juga memberikan bantuan Rp5 juta masing-
masing untuk pembangunan Masjid Pasar Pamenang, Ponpes Pamenang dan untuk Panitia
MTQ tingkat Kabupaten Merangin.

Sementara itu, PKK Kecamatan Pamenang, majelis ta`lim, drum band serta group kesenian
Jawa dari Pauh Menang, masing-masing juga mendapat bantuan sebesar Rp2,5 juta.

Padatnya kegiatan Ketua MPR RI itu, membuat waktu untuk bersilaturrahmi dengan warga
Pamenang juga terbatas.

Direktur Eksekutif LSM-Kopsad Jambi, Budi Vrihaspathi Jauhari, selaku salah satu
penggagas pertemuan (Tabligh) tersebut, beberapa truk yang dijubeli warga transmigrasi di
Kecamatan Pamenang dan sekitarnya tidak bisa menghadiri langsung acara tabliq dan tatap
muka dengan Amin.

Hal itu selain karena ruas jalan yang dilewatinya rusak dan juga cuaca hari itu hujan, juga
akibat mereka terlambat mendapat informasi.

"Penyebab keterlambatan karena adanya informasi yang mengatakan acara tersebut di lokasi
Perkampungan Suku Anak Dalam (SAD) atau Kubu di Desa Pauh Menang, dan bukan di
Pasar Pamenang," kata Budhi Vrihaspathi Jauhari. [Tma, Ant]

Wanita “Pemberontak” dari Suku Anak Dalam


4-01- 2009
Kini Umi Kalsum namanya, dulunya Ngimbai usianya merangkak 70 tahun, dari
wajah dan pakaiannya tidak menyangka dia Suku Anak Dalam, yang selama ini kita kenal
berpakaian primitif. Tinggal di hutan belantara Taman Nasional Bukit dua belas.
Umi Kalsum merupakan generasi pertama dari Suku Anak Dalam yang memutuskan
hidup di luar hutan serta menerima kebudayaan luar. Menurut Umi Kalsum dua belas tahun
yang lalu, dia beserta suami dan anak-anaknya memutuskan keluar dari hutan, walau pada
saat itu tantangan dari kelompoknya sangat kuat, apalagi suaminya seorang Tumenggung.”
Umi Kalsum, generasi pertama yang keluar dari habitatnya, serta bersosialisasi dengan
masyarakat desa sekitar,” ujar Budi, dari LSM Kopsad.
Awalnya memang sangat susah untuk merubah kebiasaan, tapi setelah memeluk
agama Islam, perlahan tapi pasti, dia mulailah hidup seperti orang luar, tinggal di rumah,
berpakaian –malahan saat ini pakai jilbab— dan memakan makanan yang halal dari memasak
hingga jenis makanannya.
Dulunya dalam hutan, dia adalah seorang biduan, kalau ada upacara kematian
perkawinan dan upacara adat lainnya. Umi Kalsum sebagai penari dan penyanyinya. Upacara-

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

upacara ini sangat rahasia dan tertutup bagi orang luar. Sampai sekarang tradisi itu masih
dipegang erat-erat Suku Anak Dalam yang masih tinggal dalam hutan.
Ketika Umi Kalsum tidak lagi hidup di dalam hutan, kegatalan tangan dan kakinya
untuk menari tidak pernah punah. Ketika kami menyambanginya beberapa waktu lalu, Umi
Kalsum sangat bersemangat untuk mempertontonkan gerakan tarian suku Anak Dalam yang
sangat dikuasainya, seperti Tari Elang, Tari Tao dan Tari Layang.
Di sebuah balai-balai yang berada di pinggir taman Nasional Bukit Dua Belas, Desa
Sungai keruh, Kabupaten Sarolangun Umi kalsum mengumpulkan anak-anak dari
kelompoknya untuk mengajarkan tarian dan nyanyian. Di sekitar itu ada 5 rumah, satu balai
pertemuan dan sebuah mushalla. yang bermukim di sana anak/ kerabat Umi kalsum, semua
telah memeluk agama islam..
Dengan tubuh yang kurus dibalut pakaian muslin, Umi kalsum menari dengan ekspresi
yang sangat dalam, letik tangan dan gerakan kaki yang licah membuat tarian yang
dibawakannya, sangat khusuk dan mistis. Suasana semakin mencekam dan hening ketika
lengkingan suara Umi kalsum melantunkan nyanyian dengan bahasa Suku Anak Dalam.
Anak-anak perempuan dan laki-laki yang diajarnya sangat serius mengikuti gerakan
tangan serta kaki Umi kalsum. Sesekali, Umi kalsum mengulangi gerakannya, ketika anak-
anak kepayahan untuk mencontohnya.
Kenapa Umi Kalsum begitu gigih mengajarkan tarian dan nyanyian Suku Anak Dalam
kepada anak-anak yang berada di kelompoknya. Salah satu alasannya kelompoknya telah
berbaur dengan dunia luar. Begitu banyak benturan budaya dan kebiasaan. Umi Kalsum tidak
mau anak cucunya kehilangan identitas sebagai Suku Anak Dalam, yang juga memiliki tarian
dan nyanyian.
Pasalnya anak-anak suku Anak Dalam yang hidup di luar, sudah menikmati tontotan
televisi, memiliki hanphone, bersekolah dan memeluk agama. “Boleh yang lain berubah tapi
jangan tinggalkan tarian dan nyanyian, hanya itulah yang kita miliki,” ucapnya.
Saat ini Suku Anak Dalam yang hidup di luar, tidak ada lagi yang bisa menari dan
bernyanyi, mereka sudah tergilas dengan budaya luar. Umi kalsum, di usia senjanya masih
berharap, kepandaiaanya menari dan bernyanyi bisa ditularkan kepada anak cucunya.
Prinsipnya, tarian dan nyanyian merupakan sebuah ekspresi jiwa, yang seharusnya
bisa ditonton dan dinikmati banyak orang. Maka ada kewajibannya untuk melestarikan dan
menularkannya kepada generasi berikutnya. Sebagai sebuah karya seni yang universal.

Di usia uzurnya, Umi Kalsuim tetap mengawal tradisi leluhurnya itu. (Mursyid Sonsang)

Life expectancy low for Kubu people

Jon Afrizal , The Jakarta Post , Jambi | Wed, 11/05/2008 10:33 AM | The Archipelago

The life expectancy of the isolated Kubu Rimba tribe, who live in the Bukit Duabelas
and Bukit Tigapuluh national parks, in Jambi is low, given their disadvantages and lack of
access to modern medicine.
"They don't know how to treat themselves when they're sick, such as when infected by
diarrhea, measles, typhoid fever, malaria or lung infections," said Mutholib, a sociologist
concerned with the life of the Kubu tribespeople.
The professor at the Sultan Syaifuddin State Islamic Institute (IAIN) in Jambi
considers the life of the Kubu tribespeople unique. They have remained in the same condition
for centuries and lack access to formal education; they can not read, write or count.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

"However, they are well aware of the value of money," he said. When a woman from
the Kubu tribe gives birth, her infant usually has a full chance of surviving, as the tribe have
their own medicinal concoction, which is usually accompanied by a mantra. But many of
them ignore medical conditions the moment they enter adulthood.
However, Mutholib said, the Kubu tribespeople were nowadays somewhat more
tolerant of doctors; they don't mind being touched by them.
"But a warning to those who come from outside the area, don't ever try to touch their
bodies, because they would become very furious," Mutholib said.
Their average life expectancy rate is low due to their disadvantages, especially since
the forest they live in has been damaged by illegal logging and converted into plantation
areas. Based on a survey conducted by a number of institutions in Jambi, Mutholib said that
the average life expectance of a person from the Kubu tribe was below 50-years-old.
"This is due to their unhygienic lifestyle and infection from various illnesses," said
Mutholib.The government should pay more attention to raising their life expectancy and
provide proper housing and free medical care.
The provision of 25 houses for the Kubu tribespeople in Sarolangun regency,
promised by the former state minister for the development of disadvantaged regions,
Syaifullah Yusuf, would not likely come to fruition any time soon.
"They have been postponed because the Bukit Duabelas National Park management
has not yet issued permission," said executive director of the Kopsad non-governmental
group, Budhi Vrihaspathi Jauhari
The government had planned to build as many as 15 housing units in Pematang village
and 10 in Bukit Suban village in Air Hitam for the tribespeople, who are also known as the
Suku Dalam.
The two villages -- home to Kubu tribespeople who have converted into Islam -- are
part of the areas in the Bukit Duabelas National Park that is supposed to be free of squatters.
Illegal logging and forest conversion activities are rampant in the areas. "We appeal to
the park management to reconsider its decision, because the Anak Dalam tribespeople need
proper homes to live in, after a large part of the park -- thus far their traditional forest -- has
been converted into large-scale plantations," Budi said.
He added that the park had never before prohibited tribespeople from building homes
in the two villages, where a number of homes and small mosques have emerged now.
The Bukit Duabelas National Park continues to face obstacles operating the park, as some of
its areas are inhabited by squatters and many of its boundary markers are missing.

Budhi Vrihaspathi Jauhari


Jejak Peradaban Masyarakat Pedalaman Jambi Suku Anak Dalam

Budhi Vrihaspathi Jauhari

Anda mungkin juga menyukai