Bahasa Jasmin
Bahasa Jasmin
Bahasa Jasmin
Mitos
Hakikat dan Kandungan Mitos. Mitos (myths) adalah salah satu jenis cerita lama yang sering
dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan super-natural yang Iain yang melebihi
batas-batas kemampuan manusia. Lukens (2003:26) mengemukakan bahwa mitos merupakan
sesuatu yang diyakini bangsa atau masyarakat tertentu yang pada intinya menghadirkan
kekuatankekuatan supranatural. Mitos berbicara tentang hubungan antara manusia dan dewa-
dewa, atau antardewa, dan itu merupakan suatu cara manusia menerima dan menjelaskan
keberadaan dirinya yang berada dalam perjuangan tarikmenarik antara kekuatan baik dan
jahat (Huck dkk., 1987:308). Mitos juga sering dikaitkan dengan cerita tentang berbagai
peristiwa dan kekuatan, asalusul tempat, tingkah laku manusia, atau sesuatu yang Iain. la
hadir dengan menampilkan cerita yang menarik, yang mengandung aksi, peristiwa,
bersuspense tinggi, dan juga berisi konflik kehidupan.
Persoalan yang menarik dapat dimunculkan, misalnya mengapa mitos hadir di tengah
masyarakat dan bersifat universal? Mitos muncul pada berbagai Pelosok masyarakat di dunia
dan/atau kultur berkaitan dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan untuk menjawab
berbagai persoalan yang tidak diketahuinya seperti fenomena alam atau praktik religius
(Saxby, 1991:121; Licciardi, 2015). Jadi, mitos hadir untuk memenuhi dan memuaskan rasa
ingin tahu, menjelaskan fenomena alam, dan memenuhi kebutuhan religi Yang dipergunakan
untuk mengatur kehidupan. Oleh karena itu, mitos, Paling tidak pada awalnya, dipandang
sebagai sesuatu yang keramat, dan bam kemudian menjadi cerita rakyat yang diwariskan
secara turun-temurun. Namun, bagaimanapun juga, mitos tetap saja dipandang sebagai
sebuah model tingkah laku yang dapat memberi makna dan nilai dalam kehidupan. Terlepa
dari adanya orang yang mempertanyakan atau menolak kebenarannya, mitos tetap saja
dijadikan sebagai tempat pencarian yang bersifat spiritual terhadap masalah kebenaran dan
kehidupan.
Mitos sering dikaitkan dengan cerita yang bersifat religius dan spiritual. Hal itu juga
dikemukakan oleh Hamilton (Mitchell, 2003:246) bahwa mitos merupakan sebuah
kebenaran, yaitu kebenaran yang diyakini oleh masyarakat. la memberikan semacam
tuntunan dan kekuatan spiritual kepada masyarakat. la sengaja dikreasikan masyarakat pada
waktu itu untuk memahami keajaiban dan keagungan semesta. Dalam "kesendirian"-nya
hidup di dunia, mereka melihat ke dalam diri sendiri dan kemudian mengkreasikan suatu
penemuan untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan seperti siapa dirinya, mengapa berada di
dunia, dari mana berasal, dari mana dunia berasal, dan lain-lain. Mitos sering menampilkan
tokoh hero yang melakukan petualangan.
Ford (Mitchell, 2003: 246) bahkan mengemukakan bahwa mitos memandang realitas
sebagaimana halnya dengan mimpi, ia berbicara tentang kejiwaan dan kehidupan kita. Hal itu
Jadi, berdasarkan kenyataan bahwa kehidupan masyarakat diikat Oleh keyakinannya terhadap
mitos, mitos tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan psikologis yang paling dalam. Hal
itu tidak saja berkaitan dengan pemahaman antarbudaya, tetapi juga berkaitan dengan
perspektif historis, kultural, estetis, dan spiritual (Saxby, 1991:122). ltu, misalnya, sesuatu
mitos
yang dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat Eropa terhadap Yunani klasik atau
(sebagian) masyarakat di Asia Tenggara terhadap sastra rakyat Melayu klasik (yang sebagian
di antaranya berupa mitos juga). Jadi, memiliki mitos dapat dipandang sebagai sebuah
kebanggaan, kebanggaan masyarakat bahwa mereka memunyai sejarah masa lalu yang dalam
banyak hal dipandang sebagai wujud kebesaran, dan kini dipandang sebagai salah satu bentuk
identitas bangsa yang penting.
Jenis Mitos. Mitos dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori berdasarkan sudut pandang
tertentu. Huck dkk. (1987:308—309) misalnya, membedakan mitos ke dalam tiga jenis
berdasarkan isi yang dikisahkan, yaitu (a) mitos penciptaan (creation myths), (b) mitos alam
(nature myths), dan (c) mitos kepahlawanan (hero myths). Di samping ketiga pembagian
menurut Huck tersebut ada juga mitos yang terkait dengan sejarah, maka kiranya perlu
ditambahkan satu jenis Iagi, yaitu mitos sejarah (historical myths). Di pihak lain, Mitchell
(2003:247—250) membedakan mitos berdasarkan organisasi yang terdapat dalam buku-buku
yang berisi kumpulan cerita itu. Namun demikian, pembedaan itu tetap saja tidak bersifat
eksak karena beberapa karakteristik yang berbeda dapat saja ditemukan dalam sebuah mitos.
Selain itu, yang penting bagi kita adalah memahami pesan apa yang dikandung dalam cerita
mitos itu,
Mitos Penciptaan.
Mitos penciptaan 'creation myths' atau disebut juga mitos asli 'origin myths' adalah
mitos yang menceritakan dan/atau menjelaskan awal mula kejadian sesuatu. Tiap
masyarakat yang berlatar belakang budaya tertentu pada umumnya memiliki mitos
Di masyarakat Jawa juga terdapat sebuah mitos yang mengisahkan terjadinya berbagai
tempat tertentu, misalnya mitos tentang terjadinya Gunung Merapi, kabut yang,mengelilingi
Gunung Merapi itu, kejadian binatang tertentu, dan lain-lain. Dalam mitos asal-usul kejadian
Gunung Merapi misalnya dikisahkan sebagai berikutl.
Setelah para dewa menciptakan Pulau Jawa, ternyata posisinya miring, dan untuk
menyeimbangkannya, di tengah-tengahnya harus diberi sebuah gunung yang didatangkan dari
laut selatan, yaitu Gunung Jamurdipa, Namun, di tempat yang sudah ditetapkan terdapat dua
orang empu yang sedang membuat keris, yaitu Empu Pamadi dan Empu Rama. Batara
Narada dan
Batara Panyarikan yang diutus oleh Batara Guru—yang raja para dewa iłu— meminta kepada
kedua orang empu iłu untuk pergi. Tetapi, kedua empu iłu menolak karena untuk membuat
keris pusaka tidak baik berpindah tempat, maka terjadilah peperangan. Para dewa dapat
dikalahkan, maka Batara Guru murka dan memerintahkan Bawa Bayu untuk meniup Gunung
Jamurdipa. Dałam sekejap gunung iłu telah berada di tempatnya dan menindih kedua orang
empu tersebut yang mati karenanya. Tetapi, perapiannya tidak mati dan berubah menjadi
kawah. Maka, gunung iłu kemudian diberi nama Gunung Merapi.
Miłos yang berasal dan hidup di Jawa banyak yang berkaitan dengan dewa-dewa tokoh
wayang. Wayang adalah cerita tradisional Jawa yang paling tua, bahkan telah ada sejak
zaman prasejarah, maka wajar jika tokoh-tokoh wayang iłu menjadi miłos dan legenda.
Contoh lain misalnya, miłos tentang Dewi Sri—yang dewi kesuburan iłu—yang turun ke
dunia dan dikejar-kejar oleh Kala Gumarang yang kemudian dikutuknya menjadi babi hutan,
dan babi hutan sampai kini suka merusak tanaman, khususnya padi, sebagai bentuk
pembalasan kepada Dewi Sri,
Miłos (atau legenda) lain yang berkaitan dengan cerita wayang adalah kisah kejadian Gua
Kiskenda di barat Yogyakarta, Gua iłu terjadi akibat pertarungan antara dua raja raksasa
kakak-beradik, yaitu Mahesa Sura dan Lembu Sora, yang menginginkan bidadari cantik,
Contoh miłos yang berasal dari Malayu di Semenanjung Malaya, kini Malaysia, misalnya,
cerita yang menerangkan mengapa di tepi-tepi sungał hutan rimba Malaya terdapat banyak
pohon yang tinggi (Fang, 2003)
Dikisahkan bahwa dahulu di hutan Malaya dihuni sebangsa raksasa, namanya kembali yang
bodoh tetapi jahat sehingga orang-orang merasa terancam.orang-orang bersiasat, misalnya
memotong bambu-bambu hidup dan membjarkannya tegak kembali dan meletakkan kakek
ompong di ayunan bayi. Kelembai merasa ketakutan karena mengira ada raksasa lain yang
tinggi beşar dan mampu memotong-motong bambu itü dan bahkan bayinya saja amat besar.
Maka, larilah ia ke kaki langit dengan mengajak semua orang dan yang tidak mau diajak
pergi disihir menjadi pohon-pohon. Itulah sebabnya di pinggir-pinggir sungai di Malaya
terdapat banyak pohon tinggi dan besar.
Mitos jenis ini juga banyak ditemukan di berbagai budaya masyarakat di dunia, misalnya dari
Yunani klasik, Jepang, Cina, dan lain-lain termasuk dari berbagai pelosok tanah air di
Indonesia.
Mitos Alam. Mitos alam 'nature myths' adalah cerita yang menjelaskan fenomena alam atau
hal-hal yang bersifat alamiah seperti formasi bumi, pergerakan matahari dan bumi,
perbintangan, perubahan cuaca, karakteristik binatang, dan lain-lain. Selain ditemukan di
Jawa, mitos jenis ini juga banyak terdapat di berbagai budaya di pelosok dunja, misalnya
mitos yang berasal dari Yunani klasik.
Cerita wayang dari Jawa banyak menampilkan mitos jenis ini. Hal itü mirip dengan kisah
dewa-dewi yang berasal dari Yunani klasik yang masingmasing memunyai ”wilayah”
kekuasaan tersendiri, misalnya Poseidon (Romawi: Neptunus) adalah dewa laut, Ares (Mars)
dewa perang, Athena (Minerva) dewi kebijaksanaan, Apollo (Apollo) dewa kebenaran dan
Di tangan para dewa penguasa alam tersebut, wilayah alam tertentu akan tunduk. Misalnya,
api akan tunduk kepada Batara Brama, angin akan menurut apa perintah Batara Bayu, dan
sebagainya. Cerita tentang Nyai Rara Kidul (Ratu Laut Selatan) yang mampu menaklukkan
laut yang terkenal dengan gelombangnya yang ganas dalam mitos masyarakat Jawa dapat
dimasukkan ke dalam mitos jenis ini. Dalam mitos ini diceritakan antara lain Nyai Rara Kidul
mampu memerintah gelombang sebagaimana yang dikehendakinya, berjalan
atau naik kereta di atas gelombang laut, dan memiliki istana di dasar laut. Selain itu, Nyai
Rara Kidul juga menguasai dan merajai ular. Para pernbantu dan dayang setianya juga terlihat
dalam wujud ular, misalnya sebagaimana yang ditampilkan dalam berbagai film dan sinetron.
Mitos Kepahlawanan. Mitos kepahlawanan 'hero myths' adalah mitos yang mengisahkan
seorang tokoh yang menjadi pahlawan karena kualifikasi dirinya yang memiliki keajaiban
tertentu di luar nalar kemanusiaan. Jadi, tokoh cerita yang ditampilkan adalah tokoh yang
memiliki kekuatan supranatural, keajaiban, atau kualifikasi Iain sebagaimana yang dimiliki
dewa-dewa, atau manusia setengah dewa, yang dikisahkan dalam perjalanan hidupnya yang
luar biasa. Di cerita Yunani klasik dikenal adanya nama Hercules, putra Zeus, raja para dewa,
dengan perempuan bukan dewa, yang memiliki kesaktian luar biasa yang berjuang melawan
kejahatan.
Kisah hidup Nyai Rara Kidul atau Ratu Laut Selatan kiranya dapat dikategorikan sebagai
mitos jenis ini. Kisah hidup Nyai Rara Kidul adalah sebagai berikut2. Raja Munding Wangi
memunyai seorang putri yang amat cantik, yaitu Kadita atau disebut Dewi Srengenge. Raja
masih bersedih karena tidak memunyai anak laki-laki yang bakal menggantikannya sebaga i
raja, maka ia kawin lagi dengan Dewi Mutiara, dan lahirlah seorang ana k laki-laki. Tetapi,
kemudian Dewi Mutiara yang berwatak dengki menggunagunai Kadita sehingga menjadi
perempuan kudisan dan kurapan. Dengan berat hati raja terpaksa membuang putrinya agar
tidak membawa aib. Kadita pun pergi dari istana dengan bersikap pasrah kepada Sang Maha
Pencipta dan tidak mendendam dan akhirnya sampailah di tepi Laut Selatan. la mendengar
suara yang seolah-olah memanggilnya untuk menceburkan diri ke laut. Begitu tubuhnya
Hal yang mirip dengan mitos Ratu Laut Selatan itü adalah mitos Sunan Lawu di puncak
Gunung Lawu yang cerita singkatnya adalah sebagai berikut. Pada waktu Majapahit jatuh,
salah seorang anak Prabu Brawijaya VII, Bondan Gugur, melarikan diri ke selatan karena
dikejar-kejar musuh, la pun naik ke Gunung Lawu dan di sana ia diangkat murid oleh seorang
pertapa, Ki Jamba Leka. Sebagai seorang yang jujur dan rendah hati, Bondan cepat menjadi
siswa pilihan. Pada suatu malam Ki Jamba Leka memberitahukan bahwa kedatangannya ke
Gunung Lawu sudah dibisikkan oleh dewa, yaitu bahwa Kerajaan Majapahit di dunia akan
berakhir dan dipindah ke alam lain di puncak Gunung Lawu. Ki Jamba Leka kemudian
menyatukan diri ke tubuh Bondan Gugur yang kemudian menjadi raja dengan sebutan Sunan
Lawu, namun sebagaimana kerajaan Nyai Rara Kidul, kerajaan Sunan Lawu juga tidak
tampak. la kemudian kawin dengan Dewi Angin-Angin yang berasal dari Kerajaan Laut
Selatan.
(4) Mitos Sejarah. Mitos sejarah 'historical myths' merupakan mitos yang berhubungan
dengan peristiwa sejarah, peristiwa dan tokoh yang benar-benar ada dan terjadi. Jadi, ia
merupakan gabungan antara cerita mitos dengan tokoh dan peristiwa sejarah. Tokoh dan
sebagian peristiwanya dapat ditemukan dalam sejarah, namun sebagian peristiwa yang lain
sulit dibuktikan kebenarannya dan bahkan kurang dapat diterima logika biasa. Mitos ini
menceritakan tokoh sejarah yang memiliki kualifikasi luar biasa yang mengundang
kekaguman orang lain, dan karenanya diciptakanlah mitos yang dimaksudkan untuk
menceritakan kehebatan tokoh tersebut. Jadi, mitos sejarah pada umumnya hadir dengan
maksud untuk mendewakan tokoh sejarah yang bersangkutan tentang kesaktian, kemampuan,
kebijakan, atau kualifikasi kepribadian yang lain. Contoh mitos kepahlawanan dengan tokoh
Sunan Lawu di atas juga dapat dipandang memiliki unsur sejarah karena tokoh yang
dikisahkan memunyai kaitan dengan sejarah.
Panembahan Senapati, pendiri dan raja pertama Kerajaan Mataram, merupakan salah satu
tokoh sejarah yang banyak dikaitkan mitos karena kemampuan, kesaktian, dan kebijakannya
dilakukan, Panembahan Senapati sering meminta bantuan kepada Nyai Rara Kidul, dan Nyai
Rara Kidul pun akan dengan senang hati membantunya. Tokoh Panembahan Senapati dengan
kerajaannya adalah tokoh dan fakta sejarah, tetapi Nyai Rara Kidul adalah tokoh mitos yang
keberadaannya tidak dapat dibuktikan secara akal sejarah. Raja Mataram ke-3, yaitu Sultan
Agung, juga dikisahkan sering berhubungan dengan Nyai Rara Kidul.
Misalnya, ketika Panembahan Senapati bermaksud melepaskan diri dari kekuasaan Raja
Pajang, Sultan Hadiwijaya, yang adalah ayah angkatnya sendiri, Panembahan Senapati
meminta bantuan Nyai Rara Kidul, sedang pamannya, Ki Juru Mertani, meminta bantuan
kepada kekuatan halus lain di Gunung Merapi. Peristiwa itu terjadi ketika Sultan Pajang
memerangi Mataram karena dituduh mau memberontak. Ketika Sultan Pajang beserta
prajuritnya tiba di Prambanan, tiba-tiba Gunung Merapi meletus dan menewaskan ribuan
prajurit Pajang. Sultan Pajang sendiri dikisahkan dadanya seperti digodam walau tidak ada
sesuatu yang dapat diindra, maka ia memutuskan untuk kembali ke Pajang sambil mengusung
kekalahan yang memalukan. Jadi, dalam mitos ini Panembahan Senapati, raja baru yang
belum memiliki kekuatan sehebat Pajang, mampu mengalahkan Raja Pajang karena adanya
bantuan Nyai Rara Kidul dan penguasa Gunung Merapi. Mitos ini paling tidak menawarkan
pesan moral bahwa kita harus bersabar untuk menginginkan sesuatu, tidak bertindak
membabi buta, dan tidak suka membalas dendam. Mitos ini juga memberikan pesan moral
bahwa keikhlasan menerima sesuatu yang menimpa diri, kesungguhan belajar, dan kejujuran
serta rendah hati akan membawa hikmah.
Seleksi Buku Bacaan Mitos. Cerita tradisional yang dapat dikategorika n sebagai mitos, baik
yang berasal dari masyarakat sendiri, dari berbagai kelompok etnis dan budaya di berbagai
pelosok tanah air, maupun dari mancanegara jumlahnya amat banyak. Jika bermaksud
memilihkan mitos sebagai salah satu bacaan sastra untuk anak, kita perlu melakukan an alisis
dkan
terhadap berbagai cerita mitos yang bersangkutan. Hal itu dimaksu untuk dapat
memberikan bacaan yang terbaik buat anak-anak. Aspek yang dipertimbangkan antara lain
meliputi tema, pesan moral, kualifikasi tokoh, misalnya segi baik dan tidak baiknya, alur
baik
cerita, dan lain-lain• Namun, sebenarnya telah banyak buku yang berisi cerita tradisional,
yang termasuk mitos, legenda, fabel, maupun yang lain yang dimaksudkan sebagai bacaan
sastra anak. Jadi, kita tinggal memilih buku-buku bacaan yang tersedia tersebut.
Hakikat Legenda. Sama halnya dengan mitos, legenda juga termasuk bagian dari cerita
rakyat. Perbedaan antara mitos dan legenda tidak pernah jelas. Keduanya sama-sama
menampilkan cerita yang menarik dengan tokohtokoh yang hebat yang berada di luar batas-
batas kemampuan manusia lumrah. Hal yang membedakannya adalah bahwa mitos sering
dikaitkan dewa-dewa dan/atau kekuatan-kekuatan supernatural yang di luar jangkauan
manusia. Sebaliknya, walau sama-sama menghadirkan tokoh-tokoh yang hebat, legenda tidak
mengaitkan tokoh-tokoh itu dengan atau sebagai dewa-dewa atau yang berkekuatan
supernatural, melainkan dengan tokoh, peristiwa, atau tempattempat nyata yang memunyai
kebenaran sejarah (Lukens, 2003:27).
Legenda 'legends' dapat dipahami sebagai cerita magis yang sering dikaitkan dengan tokoh,
peristiwa, dan tempat-tempat yang nyata (Mitchell, 2003:238). Oleh karena itu, orang sering
menganggap legenda sebagai cerita yang bersifat historis walau fakta yang dianggap sebagai
fakta itu kadar kesejarahannya masih sering dipertanyakan. Berbagai cerita yang diangkat
menjadi legenda adalah tokoh dan peristiwa yang memang nyata ada dan terjadi di dalam
sejarah. Misalnya, cerita Robin Hood, yang sudah difilmkan dalam beberapa versi itu, adalah
tokoh sejarah yang hidup semasa pemerintahan Raja Arthur (King Arthur) di Inggris. Atau,
peristiwa tenggelamnya kapal Titanic pada awal abad ke-20, sebuah kapal pesiar mewah
yangjuga sudah difilmkan, kini juga dipandang sebagai sebuah legenda.
Demikian juga halnya dengan legenda yang berkaitan dengan tempattempat tertentu, banyak
sekali cerita yang berkisah tentang asal-usul suatu nama, misalnya asal-usul Gunung
Kendeng, Gunung Tangkuban Perahu, Rawa Pening, Telaga Ngebel, Candi Prambanan,
Banyuwangi, Pabelan, Surakarta, Yogyakarta, dan lain-lain. Cerita tentang asal-usul nama-
nama tempat tersebut, baik nama gunung, daerah, sungai, maupun yang lain pada umumnya
dipandang sebagai sebuah legenda. Cerita-cerita tersebut ada juga yang melibatkan kekuatan-
kekuatan supranatural, dan karenanya di dalamnya
juga terkandung unsur mitos, misalnya cerita tentang asal-usul Goa Kiskenda yang telah
dibicarakan sebelumnya.
Jenis Legenda. Legenda dapat dibedakan ke dalam legenda tokoh, tempat, dan peristiwa.
Pembedaan itu tidak pilah karena cerita yang mana pun pasti akan menghadirkan ketiganya,
dan kesemuanya akan saling mengait dan memengaruhi. Jadi, pembedaan itu hanya
berdasarkan pertimbangan aspek mana yang terlihat dominan—selain juga dimaksudkan
(1)Legenda Tokoh. Legenda tokoh dimaksudkan sebagai sebuah cerita legenda yang
mengisahkan ketokohan seorang tokoh. la mirip dengan mitos kepahlawanan yang juga sama-
sama mengisahkan perjalanan hidup dan/ atau kepahlawanan seseorang. Dengan kata lain,
tokoh itulah yang menjadi legenda dan/atau dilegendakan karena kehebatan, kesaktian,
kebijakan, atau, kualifikasi jati dirinya yang lain yang menyebabkan kekaguman orang
atasnya. Tokoh-tokoh yang dilegendakan adalah tokoh yang dapat ditemukan dalam sejarah
atau dianggap pernah ada dalam sejarah. Namun, sesuai dengan hakikat legenda, kehebatan
tokoh tersebut kadang-kadang tidak masuk akal dan masih dapat dipertanyakan. Pendewaan
kualifikasi terhadap seseorang yang dikagumi oleh orang-orang yang mengagumi selalu saja
terjadi bahkan hingga kini. Tokoh-tokoh hebat yang hidup dewasa ini, bukannya tidak
mungkin, kelak pun akan menjadi legenda, yaitu dengan menceritakan sisi-sisi kehebatannya.
Di berbagai pelosok tanah air di Indonesia banyak ditemukan tokoh hebat yang kehebatannya
menjadi kisah dalam legenda. Misalnya, kisah Jaka Tingkir—kelak menjadi raja di Kerajaan
Pajang dan bergelar Sultan Hadiwijaya—yang mampu mengalahkan sejumlah buaya.
Dikisahkan, sewaktu Jaka Tingkir bermaksud pergi ke Demak ia harus melewati su ngai yang
ternyata dihuni banyak buaya, dan buaya-buaya itu menyerang getek (perahu) yang
dinaikinya. Maka, terjadilah pertempuran yang seru ant ara Jaka Tingkir dengan buaya-buaya
tersebut dan dapat dimenangkan oleh Jaka Tingkir. Buaya-buaya yang dikalahkan itu akhirnya
menjadi penyangga getek yang dinaiki Jaka Tingkir. Cerita Jaka Tingkir ini mengandung
pesan moral
antara lain perlunya keberanian dan rasa percaya diri untuk menghadapi musuh atau
penghalang tujuan.
Di Betawi juga terdapat sebuah legenda seorang tokoh yang terkenal, juga sudah difilmkan,
yaitu Si Pitung. Si Pitung adalah nama julukan bagi seorang pemuda yang secara gagah
berani berjuang melawan penjajah Belanda yang sering berbuat semena-mena kepada rakyat
yang tidak berdaya. Perjuangan Si Pitung akhirnya kandas justru karena pengkhianatan orang
yang telah dikenalnya karena tidak tahan untuk memperoleh imbalan dari Belanda. Namun,
setelah kematian Si Pitung api perjuangan terhadap penjajah tidak pernah surut. Si Pitung
Contoh lain adalah legenda Pangeran Samodra yang jenazahnya dimakamkan di Bukit
Kemukus yang hingga kini masih ramai dikunjungi orang untuk meminta sesuatu4 . Legenda
itu mengisahkan bahwa Pangeran Samodra adalah seorang pangeran dari Majapahit yang
diminta oleh Raden Patah untuk menghubungi kerabatnya yang berpencar setelah Majapahit
jatuh. Ia berhasil melakukan tugas itu. Tetapi dalam perjalanan pulang ke Demak, ketika
sampai di Dukuh Barong, ia jatuh sakit. Dua orang pengawalnya diminta melaporkan kepada
Raden Patah. Sakitnya semakin parah dan ia berpesan jika meninggal untuk dimakamkan di
Bukit Kemukus. Ibu tirinya, Dewi Ontrowulan, yang tinggal di Demak, yang tidak kuat
menahan rindu kepada anaknya, segera menyusul ke Dukuh Barong, dan ternyata Pangeran
Samodra sudah meninggal dan jenazahnya baru dibawa ke Bukit Kemukus untuk
dimakamkan. Setelah mandi di telaga yang semula dipakai untuk memandikan putranya, ia
menyusul ke atas. Karena tidak kuat melihat putranya terbujur kaku di dalam liang Iahat, ia
jatuh ke dalam lubang itu dan meninggal. Ia dimakamkan satu lubang bersama anaknya.
Legenda ini paling tidak menawarkan pesan moral bahwa kepercayaan seseorang harus
dilakukan dengan sebaik-baiknya, bahkan dengan mengorbankan diri, dan kecintaan seorang
ibu, walau hanya ibu tiri, kepada anaknya yang begitu besar.
Masih banyak legenda yang mengangkat kehebatan seorang tokoh. Misalnya, legenda yang
berdasarkan cerita para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus, Syekh Siti
Jenar, dan lain-lain. Atau, legenda yang berdasarkan kisah raja-raja seperti Panembahan
Senapati, Sultan Agung, Hamengku Buwana I, Raden Mas Said, dan lain-lain. Atau, legenda
yang berdasarkan cerita tokoh dari masyarakat kebanyakan seperti, Jaka Budug 5, Ki
Jogosimo dan Putri Sewidak Lor06, Kisah Saridin yang Sakti dan Kisah Cinta Nawangsih dan
Rinengku7, Bang Melong dari Maruga, Murtado dari Kemayoran, dan Kaiin Bapa Kayah8,
dan lain-lain. Tiap legenda tersebut menawarkan pesan-pesan moral yang baik untuk
dipahami dan diapresiasi.
Legenda tentang asal-usul terjadinya suatu tempat tersebut misalnya asal-usul terjadinya
Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat9. Tersebutlah seorang putri cantik yang bernama
Dayang Sumbi, Putri Prabu sungging Perbangkara dari Kerajaan Parahiyangan, memilih
bertapa di hutan. Seharihari ia menenun kain dengan ditemani Si Tumang, seekor anjing
jantan, yang sebenarnya adalah titisan dewa. Ketika sedang menenun, alat tenunnya jatuh9
dan ia mengatakan siapa yang mengambilkan alat itü jika perempuan djjadikan saudara,
sedang jika laki-laki dijadikan suami. Si Tumang mendengarnyaj
maka alat iłu digigitnya dan diberikan tuannya. Kemudian, Dayang Sumbi tertidur dan
bemimpi bercinta dengan Si Tumang, dan ia pun mengandung.
la melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama sangkuriang. Suatu ketika
saat Sangkuriang kira-kira berusia sepuluh tahun, Dayang Sumbi ingin makan hati menjangan
dan menyuruh anaknya untuk berburu dengan ditemani Si Tumang. Di hutan karena Si
Tumang menolak mengejar buruan, Sangkuriang marah dan membunuhnya. Hatinya diambil
dan dibawa pulang, dimasak, dan kemudian dimakan ibunya. Karena Dayang Sumbi
menanyakan anjingnya, Sangkuriang menceritakannya. Dayang Sumbi marah sekali dan
memukul anaknya iłu dengan centong, maka pergilah Sangkuriang untuk mengembara.
Sangkuriang tumbuh menjadi laki-laki tampan dan perkasa.
Dałam pengembaraannya iłu ia menemukan seorang perempuan cantik yang tak lain adalah
Dayang Sumbi, ibunya, yang awet muda. Keduanya tidak lagi saling mengenal dan saling
jatuh cinta. Ketika melihat bekas luka di kepala Sangkuriang, Dayang Sumbi menanyakan
perihal luka iłu. la sangat terkejut, maka sengaja meminta sesuatu yang mustahil untuk
menggagalkan keinginan Sangkuriang. la minta dibuatkan sebuah perahu dałam waktu satu
malam, dan Sangkuriang menyanggupinya. Melihat Sangkuriang akan mampu memenuhi
Contoh legenda tentang asal-usul yang lain misalnya asal-usul terjadinya Telaga Ngebe110.
Dikisahkan bahwa ada sebuah desa di kaki Gunung Wilis, di Jawa Timur, yang biasa
melakukan tradisi bersih desa. Untuk melakukan kegiatan iłu semua warga harus
menyetorkan hasil panen kepada kepala desa. Salah seorang warga desa iłu, Nyai Lantung
yang sudah amat tua, tidak mampu memberikan hasil panennya karena miskin. Maka, ketika
pesta bersih desa berlangsung, Nyai Lantung ditolak masuk ke balai desa. Selain makan
daging binatang buruan, warga desa juga makan daging ular yang dibunuhnya sementara iłu,
tempat berłemunya Honggowoso dengan prajurit yang mencegatnya kemudian sampai kini
diberi nama Kampung Honggowoso. Legenda ini memberikan pesan morał bahwa sikap
tenang dapat mengalahkan niatjahat, dan sikap berjiwa besar untuk menempatkan
kepentingan yang lebih besar di atas kepentingan sendiri.
(3) Legenda Peristiwa. Legenda peristiwa adalah adanya peristiwaperistiwa besar tertentu
yang kemudian menjadi legenda karenanya. Legenda yang berkaitan dengan peristiwa besar
tersebut tidak dapat dipisahkan dengan tokoh-tokoh besar yang dilegendakan. Artinya, tokoh-
tokoh besar yang melegenda itulah yang sering menjadi pelaku peristiwa besar yang
dimaksud. Atau, dapat juga dibalik, tokoh iłu menjadi legenda karena mampu melakukan
peristiwa-peristiwa besar. Namun, demikian, peristiwa besar iłu tidak harus dilakukan oleh
tokoh, melainkan juga karena alam atau kehendak Yang Maha Kuasa.
Misalnya, tenggelamnya kapał pesiar supermewah Titanic pada awal abad ke-20 bukan
merupakan peristiwa buatan manusia, tetapi karena kecelakaan. Peristiwa iłu menjadi legenda
karena pada waktu iłu orang beranggapan bahwa tidak mungkin kapał sehebat dan semodern
iłu dapat tenggelam, tetapi nyatanya tenggelam karena menabrak gundukan es di lautan.
Atau, ketika Sułtan Hadiwijaya dari Pajang akan memerangi Panembahan Senapati di
Mataram yang ketika iłu sampai di Prambanan, tiba-tiba Gunung Merapi meletus dan
membunuh ribuan prajuritnya. Sułtan Hadiwijaya terpaksa mengurungkan niatnya dan
kembali pulang ke Pajang. Peristiwa meletusnya Gunung Merapi tersebut, karena diyakini
Contoh lain misalnya kisah Malin Kundang dari Sumatra Barat, di Pantai Air Manis,
yang amat terkenal iłu, yang kisahnya adalah sebagai berikut13. Dikisahkan
hiduplah seorang janda miskin yang memunyai seorang anak bernama Malin, dan
karena ke mana-mana dibawa serta (dikundang-kundang), namanya menjadi Malin
Kundang. Suatu ketika Malin jatuh dan meninggalkan bekas luka. Setelah dewasa
Malin Kundang berpamitan kepada ibunya untuk Pergi merantau, dan dengan berat
hati si ibu melepaskanya. Bertahun-tahun Malin tidak ada kabar beritanya, sampai
pada suatu ketika berlabuhlah sebuah kapał mewah ke pantai. Orang-orang kampung
berebut untuk melihat kapał.
3. Cerita Binatang
Hakikat Cerita Binatang. Cerita binatang (fables, fabel) adalah salah satu bentuk
cerita (tradisional) yang menampilkan binatang sebagai tokoh cerita. Binatang-
binatang tersebut dapat berpikir dan berinteraksi layaknya komunitas manusia, juga
dengan permasalahan hidup layaknya manusia. Mereka dapat berpikir, berlogika,
berperasaan, berbicara, bersikap, bertingkah laku, dan lain-lain sebagaimana halnya
manusia dengan bahasa manusia. Cerita binatang seolah-olah tidak berbeda halnya
dengan cerita yang lain, dalam arti cerita dengan tokoh manusia, selain bahwa cerita
itu menampilkan tokoh binatang.
Karena cerita berkaitan dengan dunia binatang dan tidak secara langsung menunjuk
manusia, dan karenanya bersifat impersonal, pesan moral atau kritik yang ingin
disampaikan menjadi lebih bersifat tidak langsung. Hal itu menyebabkan pembaca
menjadi lebih senang dan menikmati, dan kalaupun termasuk yang terkena kritik,
menjadi tidak terasa serta-merta karena baik yang memberikan kritik dan pesan
maupun yang dituju adalah sama-sama binatang. Hal itu pula yang menyebabkan
Anehnya pula, ada beberapa cerita binatang yang mirip di antara ceritacerita
binatang di dunia (Fang, 2011:5). Misalnya, cerita kancil berlomba lari dengan siput
ditemukan di Jawa, Melayu, India, dan Eropa, sedang yang berbeda adalah tokoh
binatangnya. Di India perlombaan itu terjadi antara kura-kura dan burung garuda,
sedang di Eropa antara kura-kura dan kelinci. Contoh lain misalnya perihal binatang
yang tidak tahu membalas budi yang dapat ditemukan di Melayu, Jawa, Cina, dan
lain-lain, dan yang berbeda juga adalah tokoh binatang yang menjadi pelakunya. Hal
itu menunjukkan bahwa inti ajaran moral di balik cerita tersebut merupakan sesuatu
yang dipandang penting dalam budaya manusia di manapun berada.
Binatang adalah makhluk yang ada di sekeliling kita, maka mereka menjadi familier
bagi kita dan anak-anak terutama binatang-binatang jinak Seperti kucing, ayam,
kelinci, dan anjing. Kita sering menjumpai anak-anak berbicara dengan binatang
piaraannya itu, atau boneka tiruannya, seolah-olah binatang itu dapat berbicara.
Bahkan, terhadap binatang-binatang buas pun kita, anak-anak itu, juga “akrab”
karena terlalu sering diperlihatkan lewat media massa beberapa televisi swasta yang
dewasa ini gencar menayangkan berbagai program dunia satwa.
Pada umumnya cerita binatang bentuknya singkat dengan alur yang sederhana
sehingga mudah diikuti. Dalam sebuah cerita biasanya hanya ditampilkan beberapa
binatang saja, misalnya hanya kancil dengan kera, kancil dengan buaya, kera dengan
harimau, dan lain-lain. Tokoh binatang yang penting akan muncul dalam cerita-
cerita yang lain, baik dengan “lawan main” binatang jenis yang sama atau jenis lain.
Namun, karakter dan personifikas' yang disandangkan kepada binatang-binatang
tersebut kurang lebih masih sama, termasuk di dalamnya peran sebagai tokoh
protagonis atau antagonis, Ajaran moral yang ingin disampaikan tidak saja terdapat
dalam karakter tokohtokoh binatang itu, tetapi juga pada alur cerita yang berisi
gagasan-gagasan Abstrak tertentu yang berkaitan dengan persoalan kehidupan
manusia. Ajaran
poral yang ingin disampaikan itu sendiri dapat bersifat implisit atau eksplisiy walau
secara umum ia dapat dikenali dengan mudah.
Fabel Klasik dan Modern. Dilihat dari waktu kemunculannya, cerita binatang dapat
dikategorikan ke dalam cerita klasik dan modern. Cerita binatang klasik
dirnaksudkan sebagai cerita yang telah ada sejak zaman dahulu, namun tidak
diketahui persis kapan munculnya, yang diwariskan secara turun-temurun terutama
lewat sarana lisan. Di pihak lain, cerita binatang modern (fabel modern)
dimaksudkan sebagai cerita yang muncul dalam waktu yang relatif belum lama dan
sengaja ditulis oleh pengarang tertentu sebagai ekspresi kesastraan. Jadi, berbeda
halnya dengan cerita binatang lama yang hadir sernata-mata karena dipakai sebagai
sarana mengajarkan Inoral tertentu, cerita binatang modern hadir sebagai manifestasi
kreatif penulisan karya sastra. Penulisan karya sastra yang bergenre ini terbukti amat
Dewasa ini banyak cerita binatang yang dapat dibaca lewat buku, majalah, dan surat
kabar harian, baik yang merupakan modifikasi dan perluasan cerita lama maupun
terlebih yang merupakan fabel modern. Tokoh binatang yang dimunculkan dan
ceritanya bervariasi, tidak terbatas pada tokoh-tokoh tertentu sebagaimana yang
ditemukan dalam cerita klasik. Satu
hal yang masih kurang lebih sama, yaitu adanya tujuan untuk memberikan pelajaran
moral lewat tokoh dan alur cerita itu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk keperluan penyediaan bacaan sastra bagi anak, kita tidak perlu berpusing
memikirkan apakah cerita itu merupakan fabel klasik atau modern, yang diutamakan
adalah kandungan isi yang bermanfaat.
Fabel Klasik. Cerita binatang sudah ada sejak zaman Yunani klasik dan India kuno
misalnya cerita yang berjudul Jataka dan Pancatantra. Di Indonesia cerita itu juga
ditemukan di Melayu, Jawa, Sunda, Toraja, dan lain-lain. Dalam cerita itu selalu
ditampilkan binatang yang menjadi peran utama, kecil, lemah, tetapi cerdas sehingga
dapat menundukkan binatangbinatang yang besar dan kuat. Pada sastra Melayu dan
Jawa tokoh binatang itu adalah kancil, sedang pada sastra Sunda kera, dan di Toraja
kerahantu. Fang (2011:5—11) mengemukakan bahwa adanya berbagai cerita
binatang yang menampilkan tokoh kancil itu di berbagai daerah dan kemudian
mengelompokkannya ke dalam cerita versi Melayu dan Jawa yang masingmasing
terdiri atas sejumlah cerita, serta dari daerah-daerah lain.
Cerita kancil versi Melayu terkenal dengan nama Hikayat Pelanduk Jenaka. Dalam
salah satu terbitan versi itu dikisahkan bahwa Kancil memperoleh kekuatan setelah
menggosokkan badannya ke getah pohon ara. Setelah Kancil mendamaikan
Kambing dengan Harimau, ia menjadi termasyhur. Apalagi setelah mampu
membunuh raksasa dengan tipu dayanya, binatang-binatang yang lain takluk
kepadanya. Namun, Kera tidak mau takluk dan minta bantuan Gajah, Singa, dan
Buaya. Ketiganya pun dapat dimatikan oleh Kancil. Kancil kemudian menghukum
Kera dengan menipunya, menyuruhnya menerjang sarang lebah sehingga tubuhnya
bengkak-bengkak. Kancil mengumumkan bahwa siapa pun yang tidak mau tunduk
kepadanya akan dihukum, maka tetaplah Kancil duduk di atas singgasana
kebesarannya.
Dalam versi Jawa juga ditemukan beberapa buku cerita kancil. Dalam salah satu
buku versi Jawa itu misalnya, dikisahkan bahwa Kancil adalah anak manusia, yaitu
Dewi Sungkawa, anak seorang pandita yang meninggal ketika melahirkannya.
Kancil kemudian tampil sebagai tokoh penting dar berjasa, misalnya menjadi hakim,
melepaskan Kambing yang akan dimakan Harimau, melerai pertengkaran Burung
Beluk dan Burung Daris, dan akhirnya Kancil pergi ke Mesir untuk melamar putri
Dalam cerita yang berjudul Sang Pelari misalnya, dikisahkan bahwa sejumlah
binatang berkumpul untuk membicarakan lomba lari yang ada hadiahnya untuk dua
pemenang. Kelinci yakin mampu menjadi pemenang karena jurinya adalah keluarga
dan teman-temannya. Siput dan Angsa tidak mau kalah karena merekalah yang
bersemangat untuk mengikuti lomba itu, sementara Tonggak Kayu menentukan
pemenangnya diatur sesuai dengan abjad. Di pihak lain, Mawar Liar mengemukakan
bahwa yang pantas menjadi pemenang adalah Matahari yang tidak pernah mengeluh
menjalankan tugasnya. Cerita ini antara lain menantang sikap kritis untuk menilai
sikap para binatang yang mengajukan syarat sebagai pemenang sesuai dengan
kepentingan pribadinya yang tentu saja tidak adil.
Fabel Modern. Secara prinsipial tidak ada perbedaan antara fabel klasik dan fabel
modern kecuali bahwa yang disebut belakangan ditulis relatif belum lama dan
sengaja dimaksudkan sebagai bahan bacaan sastra. Namun, bahwa cerita binatang
dipergunakan untuk memberikan pesan moral kepada pembaca, terutama anak-anak,
merupakan tujuan lain hadirnya Cerita itu baik dalam cerita binatang klasik maupun
modern. Bahkan, ceritaCerita modern itu tidak jarang hanya merupakan penceritaan
kembali dari cerita lama sebagaimana dicontohkan dalam cerita Sang Pelari karya
H.GC. Andersen di atas.
Dilihat jumlahnya, fabel modern jauh lebih banyak daripada fabel klasik karena
setiap saat selalu saja bermunculan lewat berbagai media massa, Misalnya,
Kedaulatan Rakyat selalu menyajikan satu fabel modern setiap terbit. Atau, hadirnya
buku-buku baru tentang cerita binatang itu, baik yang asli ditulis dalam bahasa
Indonesia maupun terjemahan dari berbagai bahasa lain di dunia yang kesemuanya
dengan mudah ditemukan di toko-toko buku, Tokoh dan ceritanya juga bervariasi.
Tokoh-tokoh binatang yang dimunculkan amat beragam meliputi berbagai jenis
binatang seperti bermacam burung, ikan, binatang hutan, binatang rumahan, dan
lain-lain yang jauh lebih beragam daripada dalam fabel klasik. Penyajiannya dalam
Misalnya, dalam buku yang berjudul Keledai yang Dungu'? yang pada halaman
sampul dan tiap halaman dalam disertai gambar-gambar seperti manusia dengan
kepala tokoh binatang-binatang yang bersangkutan. Isi cerita mengisahkan keledai
yang selalu dapat ditipu binatang-binatang lain karena kebodohannya. Mula-mula
Kambing menipu Keledai agar menghadap Harimau karena ingin memakan rumput,
kemudian Beruang menyuruhnya mengambilkan madu di pohon dan Keledai
dikeroyok Lebah. Setelah itu, datang Tupai minta tolong mengambilkan bola di
sungai, dan ketika Keledai masuk sungai, ia dikejar-kejar Buaya. Keesokan harinya
ia ditipu Rubah dengan menunjukkan tempat rumput yang hijau, tetapi dipasangi
perangkap, maka terjebaklah Keledai. Setelah itu, Keledai bertemu Kucing yang
meminta tolong mengambilkan layang-layang di pohon, dan ketika memanjat ia
terjatuh dan kesakitan, sedang kucing hanya menertawakannya. Akhirnya, Keledai
menyadari karena kebodohannya. Maka, ia bertekad untuk belajar agar tidak mudah
diperdayai kawan-kawannya. Pesan moral cerita ini jelas ditunjukkan pada akhir
cerita, yaitu agar tidak mudah ditipu oleh orang lain, kita harus giat belajar agar
pandai.
Contoh lain adalah cerita Gendon Kembali ke Sekolah'$ yang juga menampilkan
tokoh-tokoh manusia, juga disertai gambar-gambar menarik yang sesuai pada tiap
halaman. Isi cerita mengisahkan Gendon, seekor anak
gajah dari Sekolah Gajah, mengamuk karena orang tuanya dibunuh pemburu. Ketika
melihat dua orang yang membawa bedil langsung diserang karena dianggapnya
sebagai pemburu, padahal mereka adalah petugas penyelamat gajah di hutan dari
kejaran pemburu. Sementara itu, Samba, anak tukang serati gajah, mengendarai
Sambo, anak gajah yang sudah dijinakkan di Sekolah Gajah, sampai di kampung dan
dikagumi anak-anak sekampung. Tiba-tiba, datang Gendon yang sengaja mengamuk
untuk memancing si pemburu yang telah menembak orang tuanya. Gendon hampir
saja tertembak oleh pemburu itu, tetapi dapat diselamatkan Samba. Akhirnya
Gendon mau dibujuk Sambo agar mau kembali ke Sekolah Gajah sambil diberi es
lilin. Di sekolah, Sambo diberi hadiah karena dapat menyelamatkan Gendon. Pesan
moral yang ingin disampaikan tidak baik marah-marah karena dapat merugikan,
usaha penyelamatan binatang gajah yang dilindungi, dan kata-kata akhir yang
berbunyi: “Kalau gajah saja dididik agar pintar dan berguna bagi manusia, kau pun
harus giat belajar agar kelak berguna bagi nusa dan bangsa, Nak.”
Contoh lain fabel modern misalnya Bebe dan Penghuni Hutan Hijau (Cucu
Nurhasanah, 2016) yang mengisahkan dua ekor beruang muda dan berbagai
binatang lain yang menghuni dan menjaga kelestarian hutan. Fabel ini tampak
Jika dibandingkan dengan fabel klasik, fabel modern lebih kontekstual Uengan
keadaan dewasa ini. Hal itu mudah dipahami karena cerita itu diciptakan pada masa
kini dan untuk bacaan anak masa kini sehingga alur Ceritanya juga disesuaikan
dengan kondisi kehidupan masa kini. Dengan cara Itu, anak lebih mudah masuk dan
terlibat secara emosional ke dalam alur cerita.
4. Dongeng
Hakikat Dongeng. Dongeng merupakan salah satu cerita rakyat (folktale) Yang
cukup beragam cakupannya. Bahkan, untuk memudahkan penyebutan, Semua cerita
lama, termasuk ketiga jenis cerita yang telah dibicarakan, sering begitu saja disebut
sebagai dongeng. Misalnya dongeng Kancil Mencuri Ketimun, Kancil dengan
Buaya, Asal-Usul Terjadinya Gunung Tangkuban Perahu, Ciung Wanara, Bawang
Merah dan Bawang Putih, Timun Emas, dan sebagainya. Dongeng berasal dari
berbagai kelompok etnis, masyarakat, atau daerah tertentu di berbagai belahan
dunia, baik yang berasal dari tradisi lisan maupun yang sejak semula diciptakan
secara tertulis.
Istilah dongeng dapat dipahami sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi dan
dalam banyak hal sering tidak masuk akal. Dari sudut pandang ini ia dapat
dipandang sebagai cerita fantasi, cerita yang mengikuti daya fantasi walau terkesan
aneh-aneh, walau secara logika sebenarnya tidak dapat diterima. Karena dongeng
berisi cerita yang tidak benar-benar terjadi itu, kemudian berkembang makna
dongeng secara metaforis: berita atau sesuatu yang lain yang dikatakan orang yang
tidak memiliki kebenaran faktual dianggap sebagai dongeng belaka, atau sebagai
cerita fiktif. Dongeng sebagai salah satu genre cerita anak tampaknya dapat
dikategorikan sebagai salah satu cerita fantasi dan dilihat dari segi panjang cerita
biasanya relatif pendek.
Selain itu, pada umumnya dongeng juga tidak terikat oleh waktu dan tempat, dapat
terjadi di mana saja dan kapan saja tanpa perlu harus ada semacam
pertanggungjawaban pelataran. Kekurangjelasan latar tersebut sudah terlihat sejak
cerita dongeng dimulai, yaitu sering mempergunakan kata-kata pembuka penunjuk
waktu seperti: “Pada zaman dahulu kala”, “Syahdan pada zaman dahulu”, “Nun
pada waktu itu”, “Pada zaman dahulu ketika binatang rnasih bisa bercakap-cakap
seperti halnya manusia”, dan lain-lain. Demikian juga mengenai penunjuk latar
Isi dongeng pun sebenarnya bukannya tanpa unsur kebenaran dalam arti hal-hal
yang dikisahkan itu berangkat dari tokoh dan peristiwa yang benarpenar ada dan
terjadi. Tokoh dan peristiwa sejarah itu tidak jarang dijadikan semacam model
dan/atau acuan untuk membuat cerita, dan itu adalah hal yang jumrah terjadi hingga
kini. Dilihat dari sudut pandang ini dongeng menjadi sedikit bertumpang-tindih
dengan legenda. Namun, juga tidak mudah dikenali unsur mana yang merupakan
cerita fantasi dan mana yang benar-benar ada dan terjadi. Yang jelas sebagaimana
halnya sastra dewasa ini, dongeng pun
Dilihat dari segi penokohan, tokoh-tokoh dongeng pada umumnya terbelah menjadi
dua macam, yaitu tokoh berkarakter baik dan buruk. Hal itu adalah yang lumrah
untuk cerita lama yang memunyai misi untuk memberikan pelajaran moral. Selain
itu, dilihat dari unsur karakter tersebut, tokoh-tokoh dongeng umumnya lebih
berkarakter sederhana. Hal itu berarti bahwa seorang tokoh yang telah dipasang
sebagai tokoh berkarakter baik, maka baik selamanya. Demikian pula sebaliknya
dengan tokoh yang berkarakter buruk.
Kemunculan dongeng sebagai bagian dari cerita rakyat, selain berfungsi untuk
memberikan hiburan, juga sebagai sarana untuk mewariskan nilainilai yang diyakini
kebenarannya oleh masyarakat pada waktu itu. Dongeng dan berbagai cerita rakyat
yang lain dipandang sebagai sarana ampuh untuk mewariskan nilai-nilai, dan untuk
masyarakat larmna itu dapat dipandang sebagai Satu-satunya cara. Karena
memunyai misi tersebut, dongeng mengandung ajaran moral. Dongeng sering
mengisahkan penderitaan tokoh, namun karena kejujuran dan ketahanujiannya,
tokoh tersebut mendapat imbalan yang menyenangkan. Sebaliknya, tokoh jahat pasti
mendapat hukuman. Jadi,
moral dongeng dapat juga berwujud peringatan dan/atau sindiran bagi orang yang
berbuat jahat.
Dongeng juga merupakan suatu bentuk cerita rakyat yang bersifat Universal yang
dapat ditemukan di berbagai pelosok masyarakat dunia, Sebagian dari dongeng-
Dongeng Klasik dan Modern. Sama halnya dengan cerita binatang, dilihat dari
waktu kemunculannya, dongeng juga dapat dibedakan ke dalam dongeng klasik dan
dongeng modern. Sesuai dengan pembedaan yang dilakukan Stewig (1980:160—
161), dongeng klasik termasuk dalam sastra tradisional (traditional literature),
sedang dongeng modern ke dalam sastra rekaan (composed literature). Dongeng
klasik itulah yang sering disebut sebagai dongeng. Atau, jika orang berbicara tentang
dongeng, konotasinya adalah dongeng klasik. Dongeng klasik adalah cerita dongeng
yang telah muncul sejak zaman dahulu yang telah mewaris secara turun-temurun
lewat tradisi lisan. Di pihak lain, dongeng modern adalah cerita dongeng yang
sengaja ditulis untuk maksud bercerita dan agar tulisannya itu dibaca oleh orang
lain. Jadi, dongeng modern sengaja ditulis sebagai salah satu bentuk karya sastra,
maka secara jelas ditunjukkan pengarang, penerbit, kota penerbit, dan tahun. Sebagai
sebuah teks sastra modern, ia beredar lewat sarana tulisan. Sebaliknya, dongeng
klasik pada umumnya tidak dikenal pengarang dan waktu pembuatannya, serta
mernasyarakat lewat sarana lisan.
Dongeng Klasik. Pada mulanya dongeng-dongeng jenis ini hanya dikenal oleh
masyarakat empunya dongeng. Kalaupun menyebar ke masyarakat Jain, pada
umumnya ia hanya terbatas pada masyarakat yang -: pernah bersentuhan secara
budaya saja, dan itu pun membutuhkan waktu yang relatif lama. Namun, dewasa ini
dapat dengan mudah diperoleh berbagai dongeng klasik dari berbagai penjuru tanah
air dan dunia karena banyak di antara dongeng-dongeng tersebut yang telah
diterbitkan dalam bentuk buku. Dengan adanya buku-buku tersebut penyebaran
dongeng beralih dari yang semula lebih banyak secara lisan ke tulisan. Lewat buku-
buku itu pula kini dapat dengan mudah diakses berbagai dongeng dari berbagai
pelosok tanah sir dan dunia. Hal itu berarti khazanah buku bacaan sastra anak
menjadi bertambah banyak dan beragam, baik untuk dibaca anak sendiri maupun
untuk diceritakan atau dibacakan oleh orang tua.
Buku-buku yang berisi dongeng dari berbagai pelosok tanah air di Indonesia itu,
termasuk di dalamnya mitos dan legenda, antara lain adalah Cerita Rakyat dari
Yogyakarta, Cerita Rakyat dari Surakarta (Bakdi Soemanto), Cerita Rakyat dari
Contoh kumpulan dongeng yang berasal dari berbagai pelosok masyarakat di dunia
adalah buku Kumpulan Dongeng Sedunia (Gramedia, 2002, cetakan ketujuh)
terjemahan dari buku Deans Big Book of Fairy Stories (terjemahan oleh Widya
Kirana). Buku ini berisi 46 buah cerita dongeng yang amat menarik, tetapi tidak
jelas berasal dari cerita masyarakat (negara) mana karena tidak pernah disebutkan.
Namun demikian, lewat nama-nama tempat dan tokoh dalam dongeng-dongeng yang
bersangkutan dapat diketahui atau diperkirakan dari negara mana asal cerita itu.
Misalnya, dongeng yang berjudul “Raja Midas” diceritakan sebagai raja Yunani
Kuno dengan tokoh-tokoh seperti Raja Midas dan dewa-dewa seperti Bacchus dan
Apollo. Jadi, dongeng ini ada kaitannya dengan mitos karena juga berurusan dengan
dewa-dewa. Dongeng ini mengisahkan Raja Midas yang suka menjamu para dewa,
dan karena puas salah satu dewa itu, Bacchus, berjanji akan mengabulkan semua
permintaan raja. Raja Midas meminta segala yang disentuhnya berubah menjadi
emas, dan itu dikabulkan. Tetapi, Raja tidak dapat makan karena semua makanan
yang disentuhnya pun berubah menjadi @mas, dan demikian pula halnya dengan
anak perempuannya. Dewa Bacchus pun kasihan, maka semua dikembalikannya ke
sediakala, sedang Raja Midas menyadari bahaya akan keserakahannya. Raja Midas
kembali menjamu para dewa dan mengadakan lomba seni suara. Namun, ia lupa
memberikan hadiah pertama kepada Apollo, Dewa Matahari, maka ia dikutuk
memunyai telinga keledai, dan telinga itu terus saja memanjang. Raja Midas
bersembunyi Udak berani keluar karena malu. Namun, tukang cukurnya yang
dilarang menyebarkan berita itu tidak kuat menahan rahasia, maka ia berbisik ke
dalam lubang. Dan lubang itu kemudian tumbuh rumput yang kemudian mendesah
mengabarkan rahasia itu sehingga seluruh negeri tahu. Setelah Raja Midas merrunta
maaf, Dewa Apollo mengampuni dan membuang telinga keledainya,
Contoh berikutnya misalnya 100 Cerita Klasik (alih bahasa Septina Yuda
Purnamasari, 2012) dari buku asli 100 Classic Stories (Miles Kelly Publishing,
2007). Buku cerita ini terdiri atas dua bagian yang masing memiliki subjudul dan
sub-subjudul cerita. Tiap subjudul memiliki sub-subjudul cerita lagi yang berjumlah
antara 8—11 judul yang tampak disatukan oleh tema atau karakteristik cerita.
Misalnya, Bagian I, subjudul pertama “Dongeng Ajaib” memiliki sembilan cerita
antara lain “Pangeran Katak”, “Cinderella”, “Putri Kacang Polong”, dan lain-lain.
Cerita-cerita tersebut tampak disatukan oleh Sesuatu yang ajaib yang dialami oleh
tokoh utama cerita yang berakibat menyenangkan.
sebabkan banyak adegan seksual, baik secara terselubung atau agak ngga kuta dapat
menyensornya sewaktu menceritakannya kepada. Namun, bahwa kisah-kisah yang
disampaikan banyak menawarkan ral yang berharga, selain juga bernilai literer
tinggi, hal itu tidak dapat Fkal. Kisah Seribu Satu Malam mengisahkan seorang raja,
Syahrayar, yang bersumpah untuk membunuh semua istri yang baru dikawini malam
hari sebelumnya pada pagi harinya. Tindakan itu dilakukan karena permaisuri yang
amat dipercayai ternyata berlaku serong. Wazir kerajaan itu bertugas mencarikan
perempuan-perempuan cantik setiap hari untuk dikawini raja dan membunuhnya
esok harinya. Hal itu terus berlangsung sampai akhirnya putri wazir sendiri,
Syahrazad, meminta untuk dikawinkan dengan Raja Syahrayar, Setiap malam
setelah selesai melayani sang raja, Syahrazad mengisahkan berbagai cerita yang
menarik perhatian raja dan selalu dihentikan ketika cerita belum rampung. Maka,
hukuman pancung terhadapnya selalu juga ditangguhkan, dan hal itu berlangsung
sampai bertahun-tahun. Cerita-cerita yang dikisahkan Syahrazad kepada suaminya,
Raja Syahrayar, itulah yang menjadi kisah-kisah bersambung yang tidak habis-
habisnya yang kemudian disebut sebagai kisah seribu satu malam.
Ada banyak ajaran moral yang terkandung dalam kisah-kisah yang diceritakan
Syahrazad karena itulah tekanan utama kehadiran cerita-cerita klasik. Akan tetapi,
cerita tentang Syahrazad sendiri juga ingin menyampaikan moral tertentu. Cerita itu
tampaknya ingin menyampaikan ajaran moral bahwa kekejaman yang diperagakan
oleh seorang laki-laki, raja yang berkuasa, dapat ditundukkan oleh sikap kasih
sayang, lemah lembut, dan dengan perasaan cinta lewat hiburan cerita yang menarik.
Contoh Dua Dongeng Klasik Indonesia. Dongeng klasik dari tanah air yang terkenal
di Indonesia antara lain adalah Bawang Merah dan Bawang Putih dan Timun Emas.
Dongeng Timun Emas (MB. Rahimsyah. AR, 2003) mengisahkan perjuangan Timun
Emas dan ibunya, Mbok Rondo, lolos dari ancaman raksasa, atau cerita yang
berintikan perjuangan orang lemah terhadap kekuatan besar yang mengancam
keselammatannya. Dongeng itu berkisah tentang Mbok Rondo yang kesepian karena
tidak memiliki anak, maka ia pun berdoa agar dikaruniai anak. Doanya terkabul
dengan kehadiran raksasa yang mau memberikan anak, tetapi dengan syarat kelak
Raksasa memberikan biji timun untuk ditanam. Hanya dalam waktu dua minggu
tanaman itu telah membuahkan banyak timun dan salah satu buah itu terlihat besar
berwarna kuning keemasan. Buah itu kemudian dipetik dan dibelah oleh Mbok
Rondo dan terlihat seorang bayi perempuan yang kemudian diberi nama Timun
Emas. Ketika Timun Emas berusia 16 tahun, raksasa itu
bun datang menagih janji, tetapi Mbok Rondo meminta waktu dua tahun lagi agar
Timun Emas lebih besar, Mbok Rondo mendapat petunjuk agar minta bantuan
seorang pertapa untuk menyelamatkan Timun Emas. Oleh Sang Pertapa, ia diberi
empat macam barang, yaitu buah timun, jarum, garam, dan terasi sebagai senjata.
Ketika raksasa itu datang lagi, Timun Emas lari dengan membawa keempat barang
tersebut.
Raksasa pun mengejar Timun Emas. Ketika sudah dekat, Timun Emas melempar biji
timun dan seketika berubah menjadi buah timun ranum yang banyak dan Raksasa
berhenti untuk memakannya. Begitulah dengan ketiga senjata yang lain ketika
dilemparkan oleh Timun Emas untuk menghambat pengejaran raksasa itu, jarum
berubah menjadi bambu, garam berubah menjadi lautan, dan terasi berubah menjadi
lautan lumpur. Jika ketiga rintangan sebelumnya dapat dilewati oleh raksasa itu,
rintangan keempat tidak berhasil dilaluinya, maka raksasa itu pun tenggelam. Timun
Emas kemudian kembali hidup damai dengan emaknya, Mbok Rondo. Jadi, mirip
dengan dongengdongeng yang lain, cerita dongeng ini pun memberikan pesan moral
kepada pernbaca, yaitu bahwa orang berkarakter baik dan mau berusaha gigih pada
akhirnya akan dapat mengalahkan ancaman dari orang jahat dan lebih kuat.
Cerita yang berbeda ditemukan dalam dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih.
Selain ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, cerita ini juga memiliki banyak
versi. Dalam penelitiannya, Bunanta (1998:75) paling tidak menemukan adanya 29
versi, termasuk di dalamnya yang berbahasa Jawa, Indonesia, Belanda, dan Inggris.
Pada intinya dongeng ini mengisahkan ketidakadilan dan kekejaman seorang ibu tiri
terhadap anak tiri karena selalu ingin memenangkan anak kandungnya. Karena ingin
menyampaikan moral baik-buruk, akhir cerita dapat diduga, yaitu perbuatan jahat itu
pasti mendapat hukuman.
Salah satu versi cerita itu mengisahkan bahwa Bawang Putih, seorang gadis remaja
yang amat cantik, hidup bersama ibu tiri yang memunyai anak perempuan, yaitu
Bawang Merah yang kurang cantik. Bawang Putih dikisahkan amat rajin, sedang
Bawang Merah bersifat manja, malas, dan jahat, tetapi selalu saja dibela ibunya.
Suatu ketika, kain cucian dan beruk (penakar kedelai, beras, dan sebagainya, terbuat
dari tempurung kelapa) Bawang Putih hanyut dan ia dipaksa ibunya untuk
menemukannya kembali. Bawang Putih menelusuri sungai dan bertanya kepada
Sesampainya di rumah ibunya, waluh itu dibelah dan ternyata isinya adalah harta
emas dan berlian yang banyak sekali. Ibunya senang sekali. Karena serakah, Bawang
Merah kini disuruhnya mengikuti jejak Bawang Putih. Namun, ketika berada di
rumah Nini Buto Ijo, Bawang Merah merasa jijik dan tidak mau memasakkannya.
Tetapi, ia juga diberi waluh oleh Nini Buto Ijo. Ketika sampai di rumah dan waluh
itu dibelah, ternyata isinya ular, kelabang, dan kalajengking berbisa yang merayap-
rayap dan kemudian menggigit Bawang Merah dan ibunya sehingga keduanya mati.
Hal itu merupakan hukuman bagi kecurangan dan ketamakan mereka.
Dalam cerita dongeng terdapat mitos bahwa ibu tiri pasti jahat, dan hal itu masih
sering terbawa hingga kini walau secara faktual kadang-kadang justru sebaliknya.
Mitos itu juga terdapat dalam cerita Cinderella. Cinderella yang diperlakukan secara
tidak adil oleh ibu tirinya, bahkan akhirnya mampu memenangkan cinta Sang
Pangeran yang sangat didambakan untuk memperistri anak kandungnya sendiri.
Karena ada kesamaan motif antara dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih
tersebut, Danandjaja (Bunanta, 1998:74) mengatakan bahwa Bawang Merah dan
Bawang Putih merupakan Versi dongeng Cinderella dari Eropa tersebut.
karena 1tu, dongeng amat layak untuk disediakan sebagai salah satu bacaan buah
hau kita.
Dongeng Modern. Dongeng modern (modern fairy stortes) adalah Cerita fantasi
modern (modern fantasy stories). Jadi, ia dapat dikategorikan sebagai genre cerita
fantasi. Sebagai sebuah dongeng modern, cerita-cerita itu sengaja dikreasikan oleh
pengarang yang mencantumkan namanya. Ia sengaja sadar ditulis sebagai salah satu
bentuk karya sastra. Oleh karena itu, selain dimaksudkan untuk memberikan cerita
menarik dan ajaran moral tertentu, ia juga tampil sebagai sebuah karya seni yang
memiliki unsur-unsur keindahan, yang antara lain dicapai lewat kemenarikan cerita,
penokohan, bengaluran, dan stile.
5. Cerita Wayang
Cerita wayang tidak hanya milik etnis Jawa, melainkan juga milik sejumlah daerah
di Nusantara (Indonesia, misalnya Bali dan Sunda), bahkan kemudian menjadi milik
bangsa secara nasional. Keberadaan budaya wayang kini bahkan sudah diakui
eksistensinya di dunia internasional. Bahkan, dewasa ini cerita wayang telah diakui
dunia sebagai salah satu karya agung mternasional. Pada tahun 2003 di Paris,
wayang Indonesia diumumkan oleh UNESCO sebagai karya agung dunia, sebagai
Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity (Wibisono, 2009,
Sudjarwo dkk., 2010). Hal jtu sekali lagi menunjukkan bahwa cerita wayang diakui
dunia internasional sebagai sebuah warisan budaya sarat nilai yang berperan besar
dalam pembentukan dan pengembangan jati diri bangsa. Oleh karena itu, wajar jika
cerita wayang banyak dijadikan sumber rujukan bagi penulisan karya sastra di
Indonesia modern bahkan hingga abad ke-21.
Wayang adalah sebuah wiracarita yang berpakem pada dua karya besar, yaitu
Ramayana dan Mahabarata. Teks asli kedua cerita itu ditulis dalam bahasa
Sanskerta, dan setelah rnasuk ke Jawa kemudian disadur dan disunting ke dalam
bahasa Jawa Kuno, sekaligus ditambah dan disesuaikan dengan Cerita dan legenda
yang telah merakyat pada waktu itu, maka jadilah cerita Mahabarata dan Ramayana
yang memiliki ciri kesastraan yang dominan, yaitu ciri estetik. Cerita wayang
menganut prinsip-prinsip estetika Timur seperti prinsip keseimbangan, n,
keteraturan, fokus, variasi, pola karakterisasi, tidak membedakan
Sesuai dengan pakem cerita, pola karakter tokoh wayang sudah pasti, dan itu
memudahkan penikmat mengenalinya karena karakter akan menjadi familier,
Namun demikian, kadang-kadang juga dapat berubah tergantung pada ceritanya,
yang pada umumnya berupa lakon-lakon carangan, sehingga karakter tokoh itu tidak
lagi terlalu datar (flat character). Selain itu, sesuatu yang juga dapat dipandang
sebagai kelebihan cerita wayang yang lain adalah bahwa hampir semua masalah
manusia terdapat di dalamnya dan kemampuannya menyerap berbagai cerita dan
kondisi zaman tanpa merusak pakem cerita sehingga wayang dapat dikatakan
sebagai ensiklopedi hidup. Dalam setiap periode sejarah perkembangannya, wayang
menyerap kebudayaan yang berasal dari mitos, legenda, cerita rakyat, kitab sastra,
dan lain-lain. Cerita lama masih dipertahankan, namun ditambah dengan ceritacerita
baru yang disesuaikan.
Nilai Cerita Wayang. Nilai cerita wayang dapat ditemukan dalam berbagai aspek
pewayangan, baik yang menyangkut unsur-unsur cerita wayang maupun yang
melibatkan aspek pementasannya sebagaimana terlihat dalam pentas wayang kulit.
Unsur cerita wayang yang dimaksud antara lain dan terutama dapat dilihat dari aspek
ajaran moral yang dikandung, alur cerita, dan karakter tokoh. Aspek pementasan
wayang kulit itu misalnya yang menyangkut kelir, gedebok pisang, kotak penyimpan
wayang, lampu blencong, anak wayang, dan lain-lain, semuanya memunyai
simbolisasi dan filosofi terhadap proses kehidupan manusia. Dalam kaitannya
Cerita wayang pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak
baik dalam menghadapi dan menumpas tokoh yang berwatak jahat. Cerita wayang
jumlahnya tidak terhitung, apalagi jika ditambah dengan ferita-cerita carangan yang
terus saja bermunculan itu. Namun, semua ferita tersebut, hebatnya, memunyai inti
ajaran moral yang kurang lebih sama: tokoh berkarakter baik menghadapi dan
menumpas tokoh berkarakter jahat, atau kebaikan versus kejahatan, dan pasti
dimenangkan oleh kebaikan. Ajaran moral ini telah menjadi sesuatu yang klasik dan
telah menjadi tradisi
yang turun-temurun. Itulah sebabnya cerita-cerita yang menampilkan tema dan/atau
moral yang berkaitan dengan kebaikan versus kejahatan dan pasui dimenangkan oleh
kebaikan dikenal sebagai menampilkan tema klasik.
Dengan demikian, plot cerita wayang juga sudah memiliki pola alur yang sudah
pasti sesuai dengan ajaran moral yang ingin disampaikannya. Apa pun cerita wayang
yang dipilih di dalamnya pasti menampilkan pertentangan antara kedua karakter
yang berlawanan tersebut dengan akhir kisah yang juga sudah pasti: tokoh
berkarakter jahat dikalahkan, mati, bertobat, atau menyadari kesalahannya. Artinya,
bagaimanapun juga kebaikan pasti mengalahkan kejahatan. Pola alur cerita ini pun
secara ketat dipertahankan, apalagi dalam cerita-cerita wayang yang masih setia
mengikuti pakem.
Ajaran moral dan pola alur yang sudah pasti terkandung dalam cerita wayang dapat
terjadi karena didukung oleh pola karakter yang juga sudah pasti. Tokoh-tokoh cerita
wayang masing-masing telah memiliki pola karakter yang tetap. Sebagian tokoh
sudah diplot memunyai karakter baik, dan sebagian yang lain berkarakter jahat.
Dalam cerita Mahabarata tokoh-tokoh yang berkarakter baik itu direpresentasikan
lewat tokoh-tokoh Pandawa dan sekutunya, sedang tokoh-tokoh jahat
direpresentasikan lewat tokoh-tokoh Kurawa dan sekutunya. Pertentangan antara
kedua kelompok inilah yang menjadi dasar utama cerita wayang, yaitu tentang
perebutan negara. Negara Astina yang sejatinya milik keluarga Pandawa dikuasai
keluarga Kurawa, dan untuk merebutnya kembali harus dilakukan lewat perang
besar yang disebut sebagai Perang Baratayuda. Artinya, perang di antara sesama
keturunan Barata. Keluarga Pandawa dan Kurawa sejatinya masih bersaudara dan
sama-sama keturunan Raja Barata. Akhir kisah pun sudah pasti: keluarga Pandawa
yang merupakan representasi kebaikan itu pasti dan harus memenangkan
pertempuran, karena di situlah inti hakikat ajaran moral yang ingin disampaikan.
Para penggemar cerita sudah paham betul dengan karakter masingmasing tokoh
wayang, baik yang bersifat baik maupun jahat. Misalnya, sulung dari Pandawa yang
lima orang itu, Yudistira, berkarakter amat jujur dan tidak pernah berbohong kepada
Dalam era globalisasi dewasa ini adanya unsur kekhasan suatu wilayah (negara)
yang berbeda dengan yang ada di wilayah-wilavah lain justru merupakan sesuatu
yang bakal dicari orang. Kekhasan itu antara lain adalah kesenian tradisional yang
masih hidup dan dipertahankan kelestariannya. Di berbagai negara dan/atau wilayah
yang ramai dikunjungi oleh wisatawan, domestik dan mancanegara, biasanya tidak
semata-mata karena keindahan alamnya, melainkan juga antara lain didukung oleh
seni-budaya tradisionalnya yang khas. Sebagai contoh, Bali yang terkenal dengan
Selain penulisan ulang dan penyediaan buku cerita wayang, pelestarian cerita
wayang juga dapat ditempuh lewat cara-cara tradisional dan alarni. Cara yang
dimaksud adalah mengisahkan cerita wayang itu kepada anak-anak secara lisan
sebagaimana kalau bercerita tentang berbagai cerita yang lain seperti cerita binatang.
Artinya, si ibu, atau kita para dewasa yang perlu menyadari pentingnya cerita
wayang bagi pembentukan kepribadian, juga menempatkan cerita wayang sebagai
salah satu bahan cerita buat si buah hati. Namun, untuk itu kita mesti terlebih dahulu
mernahami cerita wayang itu sendiri di samping juga tertanam kesadaran akan
pentingnya pelestarian cerita itu agar tetap bereksistensi di masa mendatang.
6. Nyanyian rakyat
(folksong) merupakan salah bentuk sastra tradisiona yang banyak dikenal dan
dinyanyikan hingga kini. Sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, pada
umumnya nyanyian rakyat tidak diketahuipenciptanya karena saat nyanyian itu
diciptakan, rasa kebersamaan masih jauh lebih dipentingkan daripada kepentingan
individual. Nyanyian rakyat juga tidak dituliskan, maka ia juga mewaris secara
turun-temurun secara lisan dengan dinyanyikan secara langsung. Keadaan seperti itu
bersifat universal dan hampir di semua kelompok masyarakat atau etnis di dunia.
Pada umumnya anggota masyarakat pemilik nyanyian-nyanyian itu mempunyai
perasaan memiliki (sense of belonging) yang amat dalam terhadap berbagai
nyanyian daerahnya. Oleh karena itu, nyanyian rakyat juga dipandang sebagai salah
satu identitas masyarakat pendukungnya.
Nyanyian rakyat dapat begitu meresap amat dalam di hati sanubari anggota
masyarakat pendukungnya antara lain disebabkan mereka telah terbiasa
mendengarkan nyanyian itu sejak masih bayi, masih kanak-kanak, dan kemudian
juga ikut menyanyikannya. Nyanyian rakyat merupakan salah satu jenis nyanyian
yang biasa dinyanyikan oleh para ibu atau orang tua kepada anak-anaknya. Dengan
demikian, nyanyian-nyanyian itu akan terinternalisasikan oleh anak ke dalam dirinya
sebagaimana halnya mereka menginternalisasikan bahasa pertamanya (mother
tongue).