Makalah Keperawatan Jiwa

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN JIWA

“ ISOLASI SOSIAL”

Disusun oleh :

Fita nur kholifah sari

201802107

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI HUSADA MULIA

MADIUN

2020
I. KASUS ( MASALAH UTAMA )
GANGGUAN INTERAKSI SOSIAL : ISOLASI SOSIAL

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Pengertian
Isolasi sosial merupakan suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena
orang lain menyatakan sikap negatif dan mengancam (Townsend, 1998 dikutip Nita
Fitria, 2009)
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau
merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang
lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak (Carpenito, 2008)
Isolasi sosial adalah keadaan ketika seorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. (keliat
dan kemat, 2009, hlm 93)

2. Rentang respon
Respon adaptif Respon maladaptive

Menyendiri Menarik diri


Merasa sendiri
Otonomi Ketergantungan
Depedensi
Bekerja sama Manipulasi
Bekerja sama
Interdependen Curiga

3. Penyebab
A. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Pada dasarnya kemampuan seseorang untuk berhubungan social berkembang
sesuai dengan proses tumbuh kembang mulai dari usia bayi sampai dewasa
lanjut untuk dapat mengembangkan hubungan sosial yang positif, diharapkan
setiap tahap perkembangan dilalui dengan sukses. Sistem keluarga yang
terganggu dapat menunjang perkembangan respon sosial maladaptive.
2) Faktor biologis
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptive

3) Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor utama dalam gangguan berhubungan. hal ini
diakibatkan oleh norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang
lain. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku dan sistem nilai
yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas.
4) Faktor dalam keluarga
komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam gangguan
berhubungan, bila keluarga hanya menginformasikan hal. hal yang negatif dan
mendorong anak mengembangkan harga diri rendah. adanya dua pesan yang
bertentangan disampaikan pada saat yang bersamaan, mengakibatkan anak
menjadi enggan berkomunikasi dengan orang lain.

B. Faktor presipitasi
1) Stress sosiokultural
Stressor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya
penurunan stabilitas keluarga seperti: perceraian, berpisah dengan orang yang
dicintai kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh,
dirawat dirumah sakit atau dipenjara.
2) Stress psikologi
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah
dengan orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tingkat tinggi.(Ernawati, dkk,
2009)
Kecemasan yang tertinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Ego pada klien psikotik
mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress.
3) Stressor biokimia
kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta traktus saraf
dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia

4. Tanda dan gejala


a) Gejala subjektif :
1) Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3) Klien merasa bosan
4) Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
5) Klien merasa tidak berguna
b) Gejala objektif :
1) Menjawab pertanyaan dengan singkat, yaitu “ya” atau “tidak” dengan pelan
2) Respon verbal kurang dan sangat singkat atau tidak ada
3) Berpikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri
4) Menyendiri dalam ruangan, sering melamun
5) Mondar-mandir atau sikap mematung atau melakukan gerakan secara
berulang-ulang
6) Apatis (kurang acuh terhadap lingkungan)
7) Ekspresi wajah tidak berseri
8) Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
9) Kontak mata kurang atau tidak ada dan sering menunduk
10) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya (Trimelia, 2011: 15)

5. Akibat
Perilaku isolasi sosial : menarik diri dapat berisiko terjadinya perubahan persepsi
sensori halusinasi. perubahan persepsi sensori halusinasi adalah persepsi sensori yang
salah (misalnya tanpa stimulus eksternal) atau persepsi sensori yang tidak sesuai
dengan realita/kenyataan seperti melihat bayangan atau mendengarkan suara-suara
yang sebenarnya tidak ada.

III.
A. POHON MASALAH

resiko gangguan persepsi sensori : halusinasi

ISOLASI SOSIAL

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

B. MASALAH KEPERAWATAN & DATA YG PERLU DIKAJI


1) MASALAH KEPERAWATAN
a) Resiko perubahan persepsi sensori : halusinasi
b) Isolasi social : menarik diri
c) Gangguan konsep diri : harga diri rendah
2) Data yang perlu dikaji
a) Resiko perubahan persepsi sensori : halusinasi
Data Subjektif :
1. Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan
stimulus nyata
2. Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata
3. Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus
4. Klien merasa makan sesuatu
5. Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya
6. Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan didengar
7. Klien ingin memukul/melempar barang-barang
Data Objektif :
1. Klien berbicara dan tertawa sendiri
2. Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu
3. Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu
4. Disorientasi

b) Isolasi social : menarik diri


Data Subjektif : sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang
hanya dijawab iya atau tidak.
Data Objektif : apatis, ekspesi sedih afek tumpul, menyendiri, berdiam
dikamar, banyak diam, kontak mata kurang ( menunduk), menoak
berhubungan dengan orang lain, perawatan diri kurang, posisi menekur
c) Gangguan konsep diri : harga diri rendah
Data Subjektif : klien mengatakan tidak bisa, tidak mampu, bodoh/tidak
tahu apa-apa, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap
diri.
Data Objektif : klien tampak suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternative tindakan, ingin menciderai diri.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Isolasi social : menarik diri b.d harga diri rendah

V. RENCANA KEPERAWATAN
Isolasi social : menarik diri b.d harga diri rendah
TUM : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
TUK :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien mampu menyebutkan penyebab menarik diri
3. Klien mampu menyebutkan keuntungan berhubungan sosial dan kerugian menarik
diri
4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap
5. Klien mampu menjelaskan perasaannya setelah berhubungan social
6. Klien mendapat dukungan keluarga dalam memperluas hubungan social
7. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

VI. STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN


A. Proses Keperawatan
1. Kondisi
a) Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
b) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c) Klien merasa bosan
d) Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
2. Diagnose Keperawatan
Isolasi social : menarik diri b.d harga diri rendah
3. Tujuan
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya
b) Klien mampu menyebutkan penyebab menarik diri
c) Klien mampu menyebutkan keuntungan berhubungan sosial dan kerugian
menarik diri
d) Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap
e) Klien mampu menjelaskan perasaannya setelah berhubungan social
SP 1 : Membina hubungan saling percaya, membantu klien mengenali
penyebab isolasi sosial, membantu klien mengenal keuntungan berhubungan
dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain dan mengajarkan pasien
berkenalan

A. Fase Orientasi
1. Salam terapeutik
“ Selamat pagi ibu, perkenalkan nama saya Rini Widiastuti, saya perawat
yang akan merawat ibu pagi ini. Nama ibu siapa dan senang dipanggil siapa?”
2. Evaluasi/validasi
“Bagaimana perasaan ibu S saat ini?”
“Masih ingat ada kejadian apa sampai ibu S dibawa kerumah sakit ini?”
“Apa keluhan ibu S hari ini ? Dari tadi saya perhatikan ibu S duduk
menyendiri, ibu S duduk menyendiri, ibu S tidak tampak ngobrol dengan
teman-teman yang lain ? Ibu S sudah mengenal teman-teman yang ada
disini?”
3. Kontrak
a) Topic
“Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga dan teman-teman
ibu S?”
“Juga tentang apa yang menyebabkan ibu S tidak mau ngobrol dengan
teman-teman?”
b) Waktu
“ Ibu mau berapa lama bercakap-cakap?”
“Bagaimana kalau 25 menit.”
c) Tempat
“Dimana enaknya kita duduk untuk berbincang-bincang ibu S?”
“Bagaimana kalau disini saja ?”

B. Fase Kerja
“Siapa saja yang tinggal satu rumah dengan ibu S?”
“siapa yang paling dekat dengan ibu S?”
“siapa yang jarang bercakap-cakap dengan ibu S?”
“Apa yang membuat ibu S jarang bercakap-cakap denganya?”
“Apa yang ibu S rasakan selama dirawat disini?”
“O... ibu S merasa sendirian?”
“Siapa saja yang ibu S kenal diruangan ini?”
“O... belum ada ?”
“Apa yang menyebabkan ibu S tidak mempunyai teman disini dan tidak mau
bergabung atau ngobrol dengan teman-teman yang ada disini ?”
“Kalau ibu S tidak mau bergaul dengan teman-teman atau orang lain, tanda-
tandanya apa saja?”
“mungkin ibu S selalu menyendiri ya... terus apalagi bu...”
“Ibu S tahu keuntungan kalau kita mempunyai banyak teman ? coba sebutkan apa
saja?”
“Nah kalau kerugian dari tidak mempunyai banyak teman ibu S tahu tidak ? coba
sebutkan apa saja ?”
“Jadi banyak juga ruginya ya kalau kita tidak punya banyak teman. Kalau begitu
inginkan ibu S berkenalan dan bergaul dengan orang lain ?”
“Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita belajar berkenalan dengan orang lain.”
“Begini lo ibu S, untuk berkenalan dengan orang lain caranya adalah : pertama
kita mengucapkan salam sambil berjabat tangan, terus bilang “ perkenalkan nama
lengkap, terus bilang “ perkenalkan nama lengkap, terus nama panggilan yang
disukai, asal kita dan hobby kita. Contohnya seperti ini “ assalamualaikum,
perkenalkan nama saya Febriana, saya lebih senang dipanggil Febri, asal saya
dari Bandung dan hobby nya membaca.”
“Selanjutnya ibu S menanyakan nama lengkap orang yang diajak kenalan, nama
panggilan yang disukai, menanyakan juga asal dan hobbynya. Contohnya seperti
ini nama ibu siapa? Senang dipanggil apa ? asalnya dari mana dan hobbynya
apa ?”
“Ayo ibu S dicoba”
“misalnya saya belum kenal dengan ibu S. Coba berkenalan dengan saya”
“ ya bagus sekali, coba sekali lagi bu S. Bagus sekali !”
“Setelah ibu S berkenalan dengan orang tersebut, ibu S bisa melanjutkan
percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan misalkan tentang cuaca, hobi,
keluarga, pekerjaan dan sebagainya”

C. Fase Terminasi
a. Evaluasi Respon
Evaluasi Subjektif : “Bagaimana perasaan ibu S setelah berbincang-bincang
tentang penyebab ibu S tidak mau bergaul dengan orang lain dan berlatih cara
berkenalan ?”
Evaluasi Objektif :
“Coba ibu S ibu sebutkan kembali penyebab ibu S tidak mau bergaul dengan
orang lain ? apa saja tanda-tandanya bu ? terus keuntungan dan kerugianya
apa saja ?”
“Coba ibu S sebutkan cara berkenalan dengan orang lain, yaitu... ya bagus”
“Nah sekarang coba ibu S praktikkan lagi cara berkenalan dengan saya. Iya
bagus”

b. Rencana Tindak Lanjut (RTL)


1. Selanjutnya ibu S dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi.
Sehingga ibu S lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain. Ibu S bisa
praktikkan pasien pasien lain
2. Sekarang kita buat jadwal latihannya ya bu, berapa kali sehari ibu mau
berlatih berkenalan dengan orang lain, jam berapa saja bu ? coba tulis
disini. Oh jadi mau tiga kali ya bu
3. Ya bagus bu S dan jangan lupa dilatih terus ya bu sesuai jadwal latihanya
dan ibu S bisa berkenalan dengan teman-teman yang ada di ruangan ini
c. Kontrak
a) Topic : “Baik bu S sekarang bincang-bincangnya sudah selesai, bagaimana
kalau 2 jam lagi sekitar jam 11 saya akan datang kesini lagi untuk melatih
ibu S berkenalan dengan perawat lain yaitu teman saya perawat N”
b) Waktu : “ibu mau bertemu lagi jam berapa ? bagaimana kalau jam 9 ?”
c) Tempat : “ ibu mau bercakap-cakap dimana ?”

DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Nita.2010.Aplikasi Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika

Aziz R, dkk. 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gondoutomo

Keliat BA.1999. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi I. Jakarta : EGC

Stuart, GW, Sundeen SJ. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC

Townsed, Mary C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri :
Pedoman untuk pembuatan renana keperawatan. Edisi ketiga. Alih Bahasa: Novi Helera C. D.
Jakarta : EGC
Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta:  Nuha
Medika.

Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012).  Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN JIWA

“ RESIKO BUNUH DIRI”

Disusun oleh :

Fita nur kholifah sari

201802107

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI HUSADA MULIA

MADIUN

2020
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Resiko Bunuh Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Pengertian
Bunuh diri menurut Gail W. Stuart (2007) dalam buku “Keperawatan
Jiwa”dinyatakan sebagai suatu aktivitas yang jika tidak dicegah, dimana aktivitas
ini dapat mengarah pada kematian.
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan.Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dariindividu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008)
Bunuh diri juga merupakan kedaruratan  psikiatri karena pasien berada
dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif.
Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat ide bunuh diri timbul secara berulang
tanpa rencana yang spesifik atau  percobaan bunuh diri atau rencana yang spesifik
untuk bunuh diri. (Yusuf, Fitryasari, & Endang, 2015, hal. 140)

2. Rentang Respon

Respon adaptif Respon maladaptif

Peningkatan Pertumbuhan Perilaku destruktif Pencederaan diri Bunuh diri

Diri Peningkatan tak langsung

beresiko

Keterangan Rentang respons, Yosep, Iyus (2009) yaitu :


1) Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri
secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri. Sebagai
contoh seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda
mengenai loyalitas terhadap pimpinan ditempat kerjanya.
2) Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami  perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi
yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah
semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan
padahal sudah melakukan  pekerjaan secara optimal.
3) Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang kurang
tepat(maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk
mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan pimpinan terhadap
kerjanya tidak loyal, maka seorang karyawan menjadi tidak masuk kantor atau
bekerja seenaknya dan tidak optimal.
4) Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5) Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang

3. Penyebab
1) Faktor Predisposisi Lima faktor predisposisi yang menunjang pada
pemahaman perilaku destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah
sebagai berikut:
Sifat Kepribadian
a) Diagnosis Psikiatrik Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri
hidupnya dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga
gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan
tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan
skizofrenia.
b) Tiga kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko bunuh
diri adalah antipati, impulsif, dan depresi
c) Lingkungan Psikososial Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri,
diantaranya adalah  pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial,
kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau
bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab maslah, respon seseorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain.
d) Riwayat keluarga Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan faktor  penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
e) Faktor biokimia Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko
bunuh diri terjadi  peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak
seperti serotinin dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat
melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).

2) Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi
sangat rentan.

4. Tanda dan gejala


Tanda dan gejala menurut Fitria, Nita (2009):
a) Mempunyai ide untuk bunuh diri.
b) Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c) Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusan.
d) Impulsive
e) Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh)
f) Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
g) Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosis mematikan)
h) Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah dan
mengasingkan diri)
i) Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis dan menyalahgunakan alkohol)
j) Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal
k) Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karier)
l) Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun.
m) Status perkawinan(mengalami kegagalan dalam perkawinan)
n) Pekerjaan
o) Konflik interpersonal
p) Latar belakang keluarga
q) Orientasi seksual
r) Sumber-sumber personal
s) Sumber-sumber social
t) Menjadikan korban perilaku kekerasan saat kecil

5. Akibat
Resiko bunuh diri dapat mengakibatkan sebagai berikut : keputusasaan,
menyalahkan diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berharga, perasaan tertekan,
insomnia yang menetap, penurunan berat badan, berbicara lamban, keletihan,
menarik diri dan lingkungan social, pikiran dan rencana bunuh diri, percobaan/
ancaman verbal.

III.
A. POHON MASALAH
Resiko menciderai diri, orang lain, dan lingkungan

RESIKO BUNUH DIRI

Harga diri rendah

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. MASALAH KEPERAWATAN
a. Resiko bunuh diri
2. Data yang perlu dikaji
a. Resiko bunuh diri
Data Subjektif :
a) Klien mengungkapkan merasa dirinya tidak berguna lagi
b) Klien mengatakan ingin mati
c) Klien mengungkapkan pernah mau mencoba bunuh diri
d) Klien mengatakan mengancam bunuh diri
e) Klien mengatakan merasa bersalah, sedih, marah, putus asa, tidak
berdaya

Data Objektif :

a) Ekspresi murung
b) Tak bergairah
c) Banyak diam
d) Ada bekas percobaan bunuh diri

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Resiko Bunuh Diri

V. RENCANA KEPERAWATAN
Resiko Bunuh Diri
TUM : Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri
TUK :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri
3. Klien dapat mengekspresikan perasaannya
4. Klien dapat meningkatkan harga diri
5. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN


A. Proses Keperawatan
1. Kondisi
Klien mengatakan lebih baik mati saja, sudah bosan hidup, ekspresi murung,
tak bergairah, ada bekas percobaan bunuh diri, menyendiri
2. Diagnose Keperawatan
Resiko Bunuh Diri
3. Tujuan
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya
b) Klien dapat mengidentifikasi beratnya masalah resiko bunuh diri.
c) Klien dapat mengidentifikasi benda benda berbahaya dan
mengamankannya
d) Klien dapat melatih cara mengendalikan dari dorongan bunuh diri :
menyebutkan daftar aspek positif dan berlatih berpikir aspek positif
SP 1
A. Fase Orientasi
1. Salam terapeutik
“Assalamualaikum..!!! Selamat pagi… perkenalkan nama saya Perawat X,
saya senang dipanggil X. Saya mahasiswa praktek dari STIKes Bhamada
Slawi yang akan merawat Bapak selama 2 minggu. Nama Bapak siapa?
Senangnya dipanggil siapa?”
2. Evaluasi/validasi
“Bagaimana perasaan Bapak hari ini ? Apa ada masalah sampai Bapak
begini ?”
3. Kontrak
a) Topic
“Baiklah Pak bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang
masalah Bapak ? Tujuananya agar saya dapat membantu mengatasi
masalah tersebut.”
b) Waktu
“Berapa lama mau berbincang-bincang? Bagaimana kalau 20 menit ?”
c) Tempat
“Mau dimana kita berbincang – bincang ? Bagaimana kalau di sini
saja?”

B. Fase Kerja
“Bagaimana perasaan Bapak setelah bencana ini terjadi?”
“Apakah dengan bencana ini Bapak merasa paling menderita di dunia ini?”
“Apakah Bapak kehilangan kepercayaan diri?”
“ Apakah Bapak merasa tak berharga atau bahkan lebih rendah daripada orang
lain?”
“Apakah Bapak merasa bersalah atau mempersalahkan diri sendiri?”
“Apakah Bapak sering mengalami kesulitan berkonsentrasi?”
“Apakah Bapak berniat untuk menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau
berharap bahwa Bapak mati?
“Apakah Bapak pernah mencoba untuk bunuh diri?”
“Apa sebabnya, bagaimana caranya?”
“Apa yang Bapak rasakan ?”
“Baiklah, tampaknya Bapak membutuhkan pertolongan segera karena ada
keinginan untuk mengakhiri hidup. Saya tidak akan membiarkan Bapak
sendiri. Saya akan memeriksa seluruh isi kamar Bapak ini untuk memastikan
tidak ada benda – benda yang membahayakan Bapak.”
“Bapak, apakah Bapak tahu benda-benda yang dapat membahayakan diri
bapak?”
“Coba sebutkan apa saja benda-benda tersebut. Bagus sekali Bapak, Bapak
tahu benda-benda yang dapat membahayakan diri Bapak.”
“Apakah salah satu benda tersebut ada dikamar Bapak?”
“Kalau ada benda tersebut jangan Bapak dekati atau pegang ya Pak”
“Pak, apa yang Bapak lakukan kalau keinginan bunuh diri muncul?”
“Kalau keinginan itu muncul, maka untuk mengatasinya Bapak harus
langsung minta bantuan kepada perawat di ruangan ini dan juga keluarga atau
teman yang sedang besuk. Jadi Bapak jangan sendirian ya, katakan pada
perawat, keluarga atau teman jika ada dorongan untuk mengakhiri kehidupan.
Paham Pak ? Saya percaya Bapak dapat mengatasi masalah Bapak”

C. Fase Terminasi
a) Evaluasi Respon
Evaluasi Subjektif : “Bagaimana perasaan Bapak setelah apa yang kita
bicarakan tadi?”
Evaluasi Objektif : “Coba Pak jelaskan lagi bagaimana jika Bapak
mulai mempunyai keinginan untuk mengakhiri hidup. Bagus, Bapak minta
perawat atau orang lain untuk minta bantuan yaa”
b) Rencana Tindak Lanjut (RTL)
“Bapak, selama kita tidak bertemu, bila Bapak melihat benda-benda yang
dapat membahayakan Bapak, segera jauhi, dan Bapak segera minta
bantuan pada orang orang disekitar jika keinginan untuk mengakhiri hidup
mulai muncul lagi”
c) Kontrak
1) Topic
“Baiklah sekarang Bapak saya tinggal dulu. Bagaimana kalau besok
bertemu lagi untuk bercakap cakap tentang berpikir positif pada diri
sendiri?”
2) Waktu
“Jam berapa Pak ? Bagaimana kalau jam 09.00?”
3) Tempat
“Tempatnya mau dimana Pak ? Bagaimana kalau di taman Pak?”
“Baiklah Pak selamat beristirahat”
DAFTAR PUSTAKA

Stuart GW, Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa , Jakarta: EGC, 1995.

Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosis  Keperawatan Jiwa Berat bagi
Program S1 Keperawatan . Jakarta: Salemba Medika.

Yosep, Iyus. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Yusuf, A., Fitryasari, R., & Endang, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. (A. Suslia, & F.
Ganiajri, Eds.) Jakarta: Salemba Medika.

Captain, C. (2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume 6(3).

Anda mungkin juga menyukai