Berkenaan Dengan Tujuan Hukum Pidana

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

Berkenaan dengan tujuan hukum pidana (Strafrechtscholen) dikenal dua aliran tujuan

dibentuknya peraturan hukum pidana, yaitu: 1. Aliran Klasik Menurut aliran klasik (de
klassieke school/de klassieke richting) tujuan susunan hukum pidana itu untuk
melindungi individu dari kekuasaan penguasa (Negara). Peletak dasarnya adalah
Markies van Beccaria yang menulis tentang “Dei delitte edelle pene” (1764).

Di dalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur dengan undang-undang
yang harus tertulis. Pada zaman sebelum pengaruh tulisan Beccaria itu, hukum pidana
yang ada sebagian besar tidak tertulis dan di samping itu kekuasaan raja Absolute dapat
menyelenggarakan pengadilan yang sewenang-wenang dengan menetapkan hukum
menurut perasaan dari hakim sendiri. Penduduk tidak tahu pasti perbuatan mana yang
diancamkan karena hukumnya tidak tetulis. Proses pengadilan berjalan tidak baik,
sampai terjadi peristiwa yang menggemparkan rakyat seperti di perancis dengan kasus
Jean Calas te Toulouse (1762) yang dituduh membunuh anaknya sendiri bernama
Mauriac Antoine Calas, karena anaknya itu terdapat mati di rumah ayahnya. Di dalam
pemeriksaan Calas tetap tidak mengaku dan oleh hakim tetap dinyatakan bersalah dan
dijatuhi pidana mati dan pelaksanaannya dengan guillotine. Masyarakat tidak puas, yang
menganggap Jean Calas tidak bersalah membunuh anaknya, sehingga Voltaire
mengecam putusan pengadilan itu, yang ternyata tuntutan untuk memeriksa kembali
perkara Calas itu dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang menyatakan Mauriac mati
dengan bunuh diri. Masyarakat menjadi gempar karena putusan itu, dan selanjutnya
pemuka-pemuka masyarakat seperti J.J. Rosseau dan Montesquieu turut menuntut agar
kekuasaan raja dan penguasa-penguasanya dibatasi oleh hukum tertulis atau undang-
undang. Semua peristiwa yang diabadikan itu adalah usaha untuk melindungi individu
guna kepentingan hukum perseorangan. Oleh karenanya mereka menghendaki agar
diadakan suatu peraturan tertulis supaya setiap orang mengetahui tindakan-tindakan
mana yang terlarang atau tidak, apa ancaman hukumannya dan lain sebagainya. Dengan
demikian diaharapakan akan terjamin hak-hak manusia dan kepentingan hukum
perseorangan. Peraturan tertulis itu akan menjadi pedoman bagi rakyat, akan melahirkan
kepastian hukum serta dapat menghindarkan masyarakat dari kesewenang-wenangan.
Pengikut-pengikut ajaran ini menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk
menjamin kepentingan hukum individu. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang (individu) yang oleh undang-undang hukum pidana dialrang dan diancam
dengan pidana harus dijatuhkan pidana. Menurut aliran klasik, penjatuhan pidana
dikenakan tanpa memperhatikan keadaan pribadi pembuat pelanggaran hukum,
mengenai sebab-sebab yang mendorong dilakukan kejahatan (etiologi kriminil) serta
pidana yang bermanfaat, baik bagi orang yang melakukan kejahatan maupun bagi
masyarakat sendiri (politik kriminil).
2. Aliran modern Aliran modern (de moderne school/de moderne richting) mengajarkan
tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan.
Sejalan dengan tujuan tersebut, perkembangan hukum pidana harus memperhatikan
kejahatan serta keadaan penjahat. Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain
adalah tingkah laku orang perseorangan dan atau masyarakat adalah salah satu ilmu
yang memperkaya ilmu pengetahuan hukum pidana. Pengaruh kriminologi sebagai
bagian dari social science menimbulkan suatu aliran baru yang menganggap bahwa
tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar terlindungi kepentingan
hukum masyarakat. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara
menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum dalam
mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, dilakukan oleh negara dengan
Tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan, tindakan yang justru melanggar
kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi pihak yang bersangkutan, misalnya
dengan dilakukan penangkapan, penahanan, pemeriksaan sampai kepada penjatuhan
sanksi pidana kepada pelakunya.
Kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu kekuasaan yang berupa hak untuk menjalankan
pidana dengan menjatuhkan pidana yang menyerang kepentingan hukum manusia atau
warganya ini hanya dimiliki oleh negara dan diatur di dalam hukum pidana itu sendiri
terutama di dalam hukum acara pidana, agar negara dapat menjalankan fungsi
menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana
dengan sebaik-baiknya. 3.
Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi
perlindungan atas kepentingan hukum. Kekuasaan negara yang sangat besar dalam
rangka menegakkan dan melindungi kepentingan hukum itu dapat membahayakan dan
menjadi bumerang bagi warganya, negara bisa bertindak sewenang-wenang jika tidak
diatur dan dibatasi sedemikian rupa, sehingga pengaturan hak dan kewajiban negara
mutlak diperlukan. Menurut Jan Remmelink hukum pidana (seharusnya) ditujukan
untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Manusia satu persatu
di masyarakat saling bergantung, kepentingan mereka dan relasi antar mereka
ditentukan dan dilindungi oleh norma-norma. Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian
terbesar sangat tergantung pada paksaan. Jika norma-norma tidak ditaati, akan muncul
sanksi, kadangkala yang berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh dan
kehilangan status atau penghargaan sosial. Namun jika menyangkut hal yang lebih
penting, sanksi (hukum), melalui tertib hukum negara yang melengkapi penataan sosial,
dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada pelanggar norma tersebut. Ini semua tidak
dikatakan dengan melupakan bahwa penjatuhan pidana dalam prakteknya masih juga
merupakan sarana kekuasaan negara yang tertajam yang dapat dikenakan kepada
pelanggar. Menjadi jelas bahwa dalam pemahaman di atas hukum pidana bukan
merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, namun memiliki fungsi pelayanan ataupun
fungsi sosial.
Menurut Van Bemmelen, hukum pidana itu membentuk norma-norma dan pengertian-
pengertian yang diarahkan kepada tujuannya sendiri, yaitu menilai tingkah laku para
pelaku yang dapat dipidana. Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu
sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan
peraturan untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam
satu segi, hukum pidana menyimpang dari bagian hukum lainnya, yaitu dalam hukum
pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana,
walaupun juga pidana itu mempunyai fungsi yang lain dari pada menambah
penderitaan. Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga 49 ketertiban,
ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja
menimbulkan penderitaan. Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum
pidana itu merupakan ultimum remedium(obat terakhir). Sedapat mungkin dibatasi,
artinya kalau bagian lain dari hukum itu sudah tidak cukup untuk menegakkan norma-
norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ia menunjuk pidato
Menteri Kehakiman Belanda Modderman yang antara lain menyatakan bahwa ancaman
pidana itu harus tetap merupakan suatu ultimum remedium. Setiap ancaman pidana ada
keberatannya, namun ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi
selalu harus mempertimbangkan untung dan rugi ancaman pidana itu, dan harus
menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit.

2
Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah menjatuhkan pidana terhadap
seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Dan pidana itu sendiri pada dasarnya
adalah merupakan suatu penderitaan atau nestapa yang sengaja dijatuhkan negara kepada
mereka atau seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Sehubungan dengan hal
tersebut timbullah suatu pernyataan apakah dasar pembenarannya penjatuhan pidana,
sedangkan undang-undang hukum pidana itu diadakan justru untuk melindungi kepentingan
hukumnya, maka dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa teori tujuan pemidanaan

1. Teori Retribusi Pidana itu merupakan suatu akibat hukum yang mutlak harus ada
sebagai seuatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi dasar
pembenaran pidana terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Oleh karena
kejahatan itu, mengakibatkan penderitaan kepada orang yang terkena kejahatan,
maka penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan yang berupa pidana
kepada orang yang melakukan kejahatan itu. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang
timbul dengan dijatuhinya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan
dirugikan.116 Dalam teori ini dipandang bahwa pemidanaan adalah akibat nyata/
mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada pelaku tindak pidana. Sanksi
pidana dideskripsikan sebagai suatu pemberian derita dan petugas dapat dinyatakan
gagal bila penderitaan ini tidak dirasakan oleh terpidana. Ajaran klasik mengenai teori
ini menggambarkan sebagai ajaran pembalasan melalui lex talionos (dalam kitab
perjanjian lama digambarkan sebagai eyes of eyes, life for life, tooth for tooth, hand
for hand, foot for foot, burn for burn, wound to wound, strife for strife).117 2. Teori
Deterrence Berbeda dengan pandanga retributif yang memandang penjatuhan sanksi
pidana hanya sebagai pembalasan semata, maka deterrence memandang adanya
tujuan lain yang lebih bermanfaat daripada sekedar pembalasan, yaitu tujuan yang
lebih bermanfaat.118 Sehubungan dengan hal tersebut ditegaskan oleh Muladi dan
Barda Nawawi Arif bahwa, pidana dijatuhkan bukan quai peccatum est
2. (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccatum (supaya orang jangan
melakukan kejahatan).119 3. Teori Rehabilitasi Konsep ini sering dimasukkan dalam
sub kelompok deterrence karena memiliki tujuan pemidanaan, meskipun dalam
pandangan Andrew Ashworth sesungguhnya rehabilitasi merupakan suatu alasan
penjatuhan pidana yang berbeda dengan pandangan deterrence. Bila tujuan utama
dari teori deterrence adalah melakukan tindakan preventif terhadap terjadinya
kejahatan, maka rehabilitasi lebih memfokuskan diri untuk mereformasi atau
memperbaiki pelaku.120 4. Teori Incapacitation Merupakan suatu teori pemidanaan
yang membatasi orang dari masyarakat selama waktu tertentu dengan tujuan
perlindungan terhadap masyarakat pada umumnya. Banyak sarjana yang memasukkan
teori ini dalam bagian dari deterrence akan tetapi bila dilihat dari pandangan dari
tujuan terhadap tujuan yang ingin dicapainya akan sangat berbeda dengan deterrence.
Teori ini ditujukan kepada jenis pidana yang sifat berbahayanya pada masyarakat
sedemikian besar seperti genosida atau terorisme, carier criminal, atau yang sifatnya
meresahkan masyarakat misalnya sodomi atau perkosaan yang dilakukan secara
berulang-ulang. Karena jenis pidana mati juga dapat dimasukkan dalam jenis pidana
dalam teori ini.121 5. Teori Resosialisasi Velinka dan Ute menyatakan bahwa
resosialisasi adalah proses yang mengakomodasi dan memenuhi kebutuhan
pelakutindak pidana akan kebutuhan sosialnya. Dalam dekade 30 tahun terakhir, teori
yang telah mengusung pelaku masuk dalam bentuk pemidanaan yang manusiawi dan
lebih menghargai hak asasi manusia, teori ini banyak
3. memperoleh kritik karena teori ini hanya dapat dipakai dan jelas terlihat sebagai
sarana diakhir masa hukuman untuk mempersipakan diri memasuki masa
kebebasan.122 6. Teori Reparasi, Restitusi dan Kompensasi. Reparasi dapat diartika
sebagai perbuatan untuk menggantikan kerugian akibat dari sesuatu yang tidak benar.
Semenatara restitusi dapat diartikan sebagai mengembalikan atau memperbaiki
beberapa hal yang khusus berkaitan dengan kepemilihan atau status. Kompensasi
sendiri diartikan sebagai pembayaran atas kerusakan atau perbuatan lain yang
diperintahkan oleh pengadilan kepada orang yang terbukti menyebabkan kerusakan
sebagai proses selanjutnya.123 7. Teori Intergratif Pallegrino Rossi, mengemukakan
teori gabungan yang dalam teori pemidanaan yang berkembang di dalam sistem Eropa
Kontinental disebut vereninging teorieen. Sekalipun ia menganggap retributif sebagai
asas dari utama dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan
yang adil, namun ia berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara
lain pencegahan, penjeraan dan perbaikan suatu yang rusak dalam masyarakat.124

Pengenaan derita atau sanksi pidana, sudah dikenal sejak lama, dan dianggap terberi oleh
masyarakat manapun. Dikaitkan dengan fakta, dalam hukum pidana, maka masyarakat tidak
mungkin dapat berjalan, tanpa ikut campurnya hukum pidana.1 Pemidanaan bukan
merupakan hal yang menyenangkan bagi seseorang yang dipidana. Pemidanaan menghabiskan
biaya yang relatif banyak, biaya proses dalam pengadilan, penjara, pembebasan bersyarat,
pusat-pusat konsultasi yang harus dihadiri, dan pengumpulan denda. Menurut teori utilitarian,
pemidanaan merupakan kejahatan (mischief) yang hanya dapat dijustifikasi jika kejahatan
tersebut mampu mencegah terjadinya kejahatan yang lebih besar dibandingkan dengan
pemidanaan bagi pelaku kejahatan.2 Pemikiran pemikiran yang mewarnai cita rasa keadilan
dalam pemidanaan memunculkan berbagai tujuan pemidanaan yang berkembang dari masa
lalu hingga kini yang lebih mengarah ke arah yang lebih rasional. Dimulai dari teori pembalasan
bertujuan untuk memuaskan semua pihak. Teori pembalasan hukum pidana, bersifat sangat
primitif tetapi masih dirasakan pengaruhnya pada zaman modern, karena unsur primitif dalam
hukum pidana paling sukar untuk dihilangkan. Berbeda dengan cabang hukum lainnya, tujuan
yang dipandang kuno, yaitu penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution).3
Penderitaan pidana merupakan penebusan dosa dari si pembuat, dan kesalahannya akan
dipulihkan melalui keseimbangan nilai pada diri si pembuat, serta merupakan kebutuhan
fundamental dari sifat moral kita.4 Pada akhir abad kedelapan belas, dalam praktik hukum
pidana, masih juga dipengaruhi oleh ide pembalasan yang secara bersama-sama dengan usaha
menakutnakuti telah dipandang sebagai tujuan dari pemidanaan. Sejak zaman klasik tujuan
pemidanaan itu telah menjadi perhatian. Simons dengan mengikuti pandangan Immanuel
Kant5 , mengemukakan bahwa perbuatan melanggar hukum yang telah terjadi itu mendapat
pembalasan. Demikian juga Hegel,6 mengemukakan bahwa perbuatan melanggar hukum
merupakan perbuatan yang tidak manusiawi. Hukum itu adalah pembalasan. Stahl
mengemukakan bahwa asas pembalasan bersumber pada ketuhanan dan merupakan undang-
undang yang bersifat abadi. Kejahatan harus dibalas oleh negara dan harus menderitakan
pelakunya. Selanjutnya Von Bar dalam hal pemidanaan, mengemukakan hukum harus
mendapatkan sifat kesusilaan yang dikehendaki oleh moral, tetapi dengan peradaban yang
semakin maju, maka bentuk-bentuknya harus semakin luas.7 Sebagai peletak dasar aliran
retributif, Immanuel Kant selalu berpangkal tolak bahwa pengenaan pidana atau pemidanaan
adalah membalas perbuatan pelaku. Pemikiran Kant selanjutnya diikuti oleh para ahli lainnya
dalam berbagai teori pembalasan.8 Pidana adalah tuntutan keadilan. Pidana sebagai suatu
keharusan logis sebagai konsekuensi dari kejahatan, karena kejahatan adalah suatu
pengingkaran terhadap ketertiban hukum dan negara yang merupakan perwujudan dari cita
susila.9 Pada masa lalu, pidana yang sangat kejam adalah suatu manifestasi dicelanya oleh
masyarakat maupun penguasa. Oleh karenanya pidana atau hukuman merupakan hak yang
terpenting dalam hukum pidana. Sekarang sanksi pidana dijatuhkan oleh penguasa untuk
suatu pembalasan terhadap pelaku yang melanggar suatu aturan, sehingga sanksi pidana
dimaksudkan, sebagai upaya menjaga ketentraman dan kontrol dari masyarakat sebagai
prevensi umum dan khusus.10 Mengenai tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pemidanaan,
ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat diantara para ahli, tetapi setidaknya ada tiga
pokok pemikiran tentang tujuan yang hendak dicapai dalam suatu pemidanaan. Hal yang sama
juga dapat diketahui dari para penulis bangsa Romawi, yakni, untuk memperbaiki pribadi diri
penjahat itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan, dan
untuk membuat penjahat-penjahat tertentu tidakmampu untuk melakukan kejahatan lain,
para penjahat yang dengan cara-cara lain, sudah tidak dapat diperbaiki lagi.1

3 Pada masa Yunani, para filosofnya, telah membahas masalah maksud dan tujuan hukum
pidana, dan alasan pembenarnya. Selanjutnya pada abad pertengahan, dan memasuki abad
kedelapanbelas dan abad kesembilanbelas, diperbincangkan lebih mendalam, terutama di
Jerman. Teori-teori kehendak hukum kodrat dan perjanjian. Selanjutnya teori-teori absolut,
yang dikemukakan oleh Imanuel Kant dan Hegel, dengan keyakinan mutlak akan keniscayaan
pidana, dalam hal kejahatan, maka negara mendapatkan pembenaran untuk menjatuhkan
pidana. Teori-teori relatif. Mengajarkan bahwa pidana dipandang sebagai upaya atau sarana
pembelaan diri.14 Perkembangan pemidanaan pada masa lalu melahirkan pemikiran baru
tentang dasar pemidanaan pada akhir abad kesembilan belas dan permulaan abad 12 Syaiful
Bakhri, Pidana Denda dan Korupsi, Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 136-137. 13 Roeslan
Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, Karya Dunia Fikir, Jakarta, 1995,
hlm. 31-33. 14 Jan Remmelink, Op. Cit., hlm. 600-610. Syaiful Bakhri. Pengaruh Aliran-Aliran...
141 keduapuluh. Pemikiran baru ini muncul di Eropa Barat yang dipelopori A. Prins (Belgia),
G.A Van Hammel (Netherland), F. Von List (Jerman). Pada 1888 mereka mendirikan Union
Internationale de Droit Penale. Sebelumnya di Belanda (1886), setelah KUHP (WvS) terjadi
suatu gerakan menuju kemenangan rasional kriminalitas dengan mempergunakan hasil
pemikiran baru yang diperoleh dari sosiologi, antropologi dan psikologi. Dengan pokok-pokok
pikiran sebagai berikut: Pertama, tujuan pokok hukum pidana adalah pertentangan terhadap
perbuatan jahat dipandang sebagai gejala masyarakat; Kedua, pengetahuan hukum pidana dan
perundang-undangan pidana memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologi; Ketiga,
pidana merupakan salah satu alat ampuh yang dikuasai negara dalam penentangan kejahatan,
dan bukan satu-satunya alat, tidak dapat diterapkan tersendiri, tetapi dengan kombinasi,
melalui tindakan sosial, khususnya kombinasi dengan tindakan preventif.15 Pembuat undang-
undang bertugas untuk menetapkan apa yang diancam dengan pidana dalam bahasa yang
mudah dimengerti, dan menghilangkan apa yang tidak jelas dalam undang-undang. Beccaria
mengemukakan bahwa dalam mengadili setiap kejahatan hakim harus menarik kesimpulan
dari dua pertimbangan, yang pertama dibentuk oleh undangundang dengan batas berlakunya
dan yang kedua adalah apakah perbuatan konkrit yang akan diadili itu bertentangan dengan
undang-undang.16 Ketika itu hakim tidak leluasa untuk menuangkan pandangan dalam
putusannya dan tidak dapat menafsirkan hukum. Hakim hanya mematuhi dan menerapkan
kitab undangundang. Hal ini yang oleh para ahli hukum dilihat bahwa, pembentukan hukum
semata-mata melalui pembentukan undang-undang dan tidak ada lembaga lain yang
berwenang untuk itu. Dengan dimonopolinya pembentukan hukum oleh pembentuk undang-
undang, maka sekurang-kurangnya dalam teori tidaklah ada lagi ruang bergerak dan berkarya
bagi petugas hukum. Hakim pun dalam kemungkinan-kemungkinannya menafsirkan undang-
undang itu seakan-akan diprogramkan.17 Dalam sistem monarki, para pejabat peradilan dan
hakim hanya berfungsi untuk mengawasi kesewenang-wenangan dari kekuasaan. Hal ini telah
mendapatkan pengakuan sejak lama berlangsung. Pada masa kekuasaan monarki menjamin
berlakunya hukum lama dan membentuk hukum baru, sehingga code civil Perancis disusun
bukanlah atas dasar tindakan kekuasaan semata-mata, tetapi juga adalah merupakan tindakan
dan kebijaksanaan, keadilan dan suatu tindakan yang beralasan Kodifikasi hukum pidana pada
masa klasik merupakan suatu kenyataan dari hasil ajaran hukum, asas-asas hukum dan
sistematikanya dikerjakan oleh para ahli hukum di berbagai universitas, kemudian diserahkan
kepada lembaga berwenang hingga menjadi bahan-bahan para pembuat undang-undang
untuk menyusunnya secara rasional. Max Weber menyatakan bahwa sangatlah jelas dengan
adanya pengaruh tertentu dari ahli hukum terhadap bentuk dan penalaran hukum, di Eropa
Kontinental dominasi para ahli hukum terhadap hukum modern menjadikan aliran hukum dari
universitas untuk mendidik para calon sarjana-sarjana hukum untuk berpikir mengenai hukum
dalam pengertian abstrak dan menghubungkannya dengan berbagai konsep.

Ciri utama dari aliran klasik, yang selama lebih dari satu abad menguasai ilmu hukum pidana
dan meletakkan dasar bagi banyak hukum pidana yang berlaku, yaitu sifat dari aliran ini yang
paling tepat adalah perkataan abstrak.19

Aliran klasik yang dibangun oleh Beccaria membentangkan akhir dari zaman sistem
pemerintahan kuno sekaligus juga menyusun rencana untuk zaman yang akan datang. Beccaria
yang berhasil menyusun suatu konsep hukum kriminal yang lengkap yang lahir dari buah
pikiran liberalisme yang sedang berkembang.20 Beccaria dipengaruhi oleh mazhab hukum
alam yang berkembang pada masa itu yang mencari dasar pemidanaan dalam pengertian
hukum yang berlaku umum. Negara adalah suatu penjelmaan kehendak manusia yang telah
menjadi dasar pembenaran dari pemidanaan pada kehendak individu. Hugo de Groot yang
menggunakan penjelasan tentang sebab akibat menyatakan bahwa seorang pelaku itu harus
dipandang sebagai layak untuk menerima akibat dari perbuatannya telah melihat pada
kehendak alam. Para pengikut mahzab hukum alam, kemudian mencari dasar pembenaran
dari suatu pidana pada asas-asas hukum yang berlaku umum. Thomas Hobbes sebagai
pendukung utilitarian berpandangan bahwa hukum adalah perintah penguasa. Oleh
karenanya, hukum alam berupa keadilan, kesetaraan, kerendahan hati, tanpa paksaan dari
penguasa, menyebabkan tidak adanya keteraturan. Hukum yang dibuat oleh penguasa adalah
aturan perundangan yang berkaitan dengan pertimbangan manfaat kedamaian dan keamanan
publik.21 Beccaria mencari dasar pembenarannya pada kehendak yang bebas warga negara,
yakni yang telah mengorbankan sebagian kecil dari kebebasannya kepada negara, agar mereka
dengan memperoleh perlindungan dari negara dapat menikmati sebagian besar dari
kebebasan-kebebasannya.22 Hukum pidana pada bagian tertentu berisi tindakan yang
berkaitan dengan pelanggaran kaidah moral merupakan kesepakatan kelompok-kelompok
dalam masyarakat di mana secara moral menyusun kesepakatan seluruh kelompok untuk
menetapkan pemidanaan. Aliran hukum klasik melihat kejahatan adalah hasil dari perbuatan
berdasarkan kebebasan moral. Kejahatan adalah produk dari kebebasan pilihan moral pihak
pelanggar. Dengan mengasumsikan pada keinginan bebas yang ada, beberapa ahli teori klasik
menegaskan bahwa kejahatan merupakan kesalahan dan harus bertanggungjawab secara
moral, untuk itu pelanggar harus menerima hukuman yang sesuai dengan nilai moral yang
hidup di masyarakat sebagai suatu tindakan pembalasan atas tindakan kejahatan yang telah
dilakukannya.23 Hukum pidana dapat pula dipahami sebagai kejahatan terhadap ketertiban
umum dan terdapat hukuman yang sesuai. Penuntutan dilakukan oleh institusi pemerintah
yang berwenang terhadap seseorang yang telah melanggar aturan hukum tertentu. Aturan
mengenai hukuman diatur lebih lanjut melalui undangundang.24 Aliran hukum pidana klasik
adalah semangat pengembangan yang pada masa itu amat berpengaruh pada nilai-nilai
modern dan rasional. Aliran ini berkembang dalam ilmu pengetahuan hukum terhadap
kodifikasi hukum pidana. Pengaruh aliran ini terasa pada tiga asas hukum pidana klasik, salah
satunya adalah 21 Carl Joehim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Terjemahan Raisul
Muttaqien, Nusa Media, Bandung, 2004, hlm. 106-111. 22 P.A.F. Lamintang, Hukum
Penitensier Indonesia, CV. Armieo, Bandung, 1984, hlm. 23-25. Kodifikasi hukum pidana pada
masa klasik, adalah berisi hal-hal yang essensial dalam hukum yang selalu dijelaskan atau dikaji
lebih jauh oleh ilmu pengetahuan hukum. Hal ini terjadi karena pada masa itu kodifikasi hukum
pidana disusun sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan kenyataan sosial. 23 Paul
W. Tappen, Juvenile Deliguency, Mc. Graw Hill Book Company Inc, New York 1949, hlm. 30. 24
Henry J. Abraham, The Judicial Process: An Introductory Analysis of The Courts of The United
States, England and France, Third Edition, Oxford University Press, New York, 1975, hlm. 22.
144 JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 18 JANUARI 2010: 136 - 157 asas legalitas yang berarti bahwa
negara berkewajiban untuk menjelaskan perbuatan mana saja yang dapat dipidana. Ajaran
yang memisahkan antara moral dan hukum dijadikan sebagai alasan untuk mengeluarkan
bentuk kejahatan tradisional yang bersifat religious.25 Dari kodifikasi hukum pidana modern,
Durkheim menyatakan bahwa dalam masa modernisasi, delik terhadap agama kehilangan
nilainya sebagai suatu kejahatan, tetapi hanya dapat dipandang sebagai suatu perbuatan yang
dapat membahayakan kepentingan individu tertentu saja. Perbedaan antara hukum dan moral
tidak dapat mengaburkan perhatian dari hubungan yang terjadi antara moral sosial dan
norma-norma yang terkandung di dalam kodifikasi hukum pidana klasik. Sehubungan dengan
itu, Hayman Gross mengemukakan bahwa crime is morally wrong, and punishment for it is
morally right. 26

Kejahatan secara moral merupakan hal yang salah, dan pemidanaan untuk setiap kejahatan
merupakan suatu hal benar secara moral. Pemidanaan merupakan hal yang benar dapat
dipahami dalam dua arti. Pemidanaan mendapatkan pembenaran dalam praktik-praktik sosial,
dapat pula berarti bahwa kegagalan untuk menghukum suatu kejahatan merupakan suatu
kesalahan dan bahwa masyarakat yang tidak menghukum para penjahatnya merupakan
masyarakat yang telah meninggalkan kewajiban moralnya.27 Asas mens rea atau asas
kesalahan individu yang menyebabkan tidak seorang pun dapat dipidana untuk hal-hal yang
tidak dikehendaki. Asas keseimbangan dalam pemidanaan berarti bahwa sanksi pidana harus
dijatuhkan secara proporsional, pemidanaan terhadap delik tidak boleh berlebihan. Sanksi
pidana diberikan oleh tata hukum, dari perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh pembuat
undang-undang, sehingga sanksi memiliki karakter memaksa. Pada mulanya hanya ada sanksi
pidana, kemudian sanksi lain seperti perdata, ganti kerugian sebagai akibat perbuatan
melawan hukum. Hukum perdata tumbuh di samping hukum pidana. Jika sanksi hukum pidana
ditujukan kepada retribusi atau pencegahan, maka sanksi perdata ditujukan kepada ganti
rugi.28 Semua undang-undang atau hukum positif harus diumumkan, sehingga semua warga
negara mengetahuinya. Suatu hukuman yang diberikan yang penting bukan kerasnya, tetapi
ketegasan, 25 Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara. Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai Ilmu Hukum DeskriptifEmpiri, Op. Cit., hlm. 16-20. 26 Hyman Gross, A Theory
of Criminal Justice, Oxford University Press, New York, 1979, hlm. 13. 27 Ibid. 28 Hans Kelsen,
Op. Cit., hlm. 61-62. Syaiful Bakhri. Pengaruh Aliran-Aliran... 145 ketepatan, dan mempunyai
efek preventif. Penggunaan pidana penjara harus lebih banyak dan penjara-penjara harus
diperbaiki. Konsep keadilan menurut aliran klasik adalah suatu hukum yang pasti untuk
perbuatan-perbuatan yang sama tanpa memperhatikan sifat dari si pembuat dan tanpa
memperhatikan peristiwa-peristiwa tertentu yang memaksa terjadinya perbuatan-perbuatan
tersebut.29 Menurut aliran klasik, manusia itu dapat dikatakan sama dan setelah manusia itu
diketahui tidaklah perlu untuk dipelajari secara tersendiri menurut kejadian demi kejadian.
Dengan ini diketahui bahwa aliran klasik itu hampir tidak pernah menyebut tentang diri
pembuat, walaupun masih memerlukan tempat kepadanya dalam hukum pidana.30 Menurut
pandangan klasik, penguasa tidak boleh terlalu banyak mencampuri kehidupan pribadi
warganya. Ahli hukum pidana klasik memberikan tempat utama kepada manusia dalam arti
abstrak. Mereka tidak banyak mengadakan penyelidikan mengenai penjahat secara individual.
Pikiran Beccaria dan Lambroso masih berpengaruh dalam hukum pidana masa kini, pikiran-
pikiran yang senantiasa mempunyai pengaruh terhadap ahli hukum pidana, baik dalam praktik
maupun teori.31 Tokoh lain dari aliran klasik adalah Jeremy Bentham (1745-1832). Idenya
adalah kebaikan yang terbesar harus untuk jumlah orang yang terbesar. Manusia merupakan
ciptaan, makhluk yang rasional memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan.
Oleh karenanya suatu pidana harus ditetapkan pada setiap kejahatan sedemikian rupa
sehingga kesusahan akan lebih berat daripada kesenangan yang ditimbulkan oleh kejahatan.32
Bentham membagi empat antara penderitaan dan kesenangan, yang berhubungan dengan
sanksi hukum yakni; penderitaan dan kesenangan fisik, moral, politis dan religius. Oleh
karenanya sanksi yang dibedakan kesenangan dan penderitaan yang mungkin diharapkan
secara wajar tanpa intervensi manusia menghasilkan sanksi alamiah. Selanjutnya sanksi moral
adalah kesenangan dan penderitaan, yang diakibatkan oleh tindakan sesama manusia.
Kesenangan dan penderitaan dari tindakan penegak hukum, berdasarkan hukum yang berlaku
atau disebut sebagai sanksi politis, serta kesenangan dan 29 Purniati dan Moh. Kamal
Darmawan, Mazhab dan Penggolongan Teori dalam Kriminologi, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1994, hlm. 47- 48. 30 Roeslan Saleh, Dari Lembaran, Op. Cit., hlm. 92. 31 Roeslan Saleh, Hukum
Pidana sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 33-34.
32 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 31. 146 JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 18 JANUARI 2010: 136 - 157
penderitaan yang berdasarkan pada orientasi keagamaan, disebut sebagai sanksi pidana.33

Pada masa aliran klasik lahir KUHP Perancis (1791) yang banyak dipengaruhi oleh pikiran
Beccaria. Dalam praktiknya, code penal Perancis perlu perubahan-perubahan terutama
pengaruh aliran neo classical school. Aliran klasik yang tumbuh sebagai reaksi ancient regime
yang arbiter pada abad kedelapan belas di Perancis. Selanjutnya aliran ini sangat mewarnai
KUHP Belanda pada saat pembentukannya, sebagai pengaruh KUHP Perancis, tentunya dengan
beberapa modifikasi sebagai akibat pengaruh aliran modern. Hukum pidana dalam kerangka
aliran klasik disebut daadstrafrecht atau tatsstrafrecht yakni hukum pidana yang berorientasi
pada perbuatan (offense oriented).34 Aliran Neo Klasik Peranannya terhadap Perkembangan
Pemidanaan M. P Rossi (1787-1844) dengan memperhatikan keadaan individu maupun
masyarakat, melalui teori absolut, maupun aliran klasik, yang mencirikan penerapan hukum
pidana sejalan undang-undang, metode, asumsi, posisi pidana adalah tetap. Pandangan ini,
mengawali era hukum pidana neo-klasik. Penjatuhan pidana, terutama penerapan pembalasan
adalah menjalankan keadilan. Hidup dalam masyarakat yang tidak sempurna, sehingga tidak
mungkin untuk menuntut keadilan yang absolut. Pemidanaan dilandaskan pada tertib sosial
dan etika yang tidak sempurna. Penerapan hukum pidana yang manusiawi dibatasi oleh syarat-
syarat yang dituntut oleh masyarakat. Oleh karenanya, hakim diberi kebebasan yang luas
dalam menjatuhkan pidana. Pembalasan dalam hukum pidana tidak boleh melampaui apa
yang selayaknya diterima oleh pelaku kejahatan.35 Ciri khas dari aliran Neo Klasik adalah
adanya pelunakan atau perubahan pada doktrin kehendak bebas. Kebebasan kehendak untuk
memilih dapat dipengaruhi patologi (ketidakmampuan untuk bertindak), premeditasi (niat
yang dijadikan ukuran kebebasan kehendak), pengakuan tentang situasi, lingkungan, dan
keadaan mental individu. Perubahan doktrin tanggung jawab sempurna, menjadi tanggung
jawab 33 Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan, Prinsip-Prinsip Legislasi Hukum
Perdata dan Hukum Pidana, Terjemahan: Nurhadi, Nusamedia Nuansa, Bandung, 2006, hlm. 4-
6. 34 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 253. a).definisi hukum kejahatan; b). bentuk hukuman
sesuai dengan kejahatannya; c). doktrin kehendak bebas; d). hukuman mati untuk beberapa
pelanggaran; e). metode anekdotal tanpa penelitian empiris research; f). pemberian hukuman
yang pasti. 35 Jan Remmelink, Op. Cit., hlm. 611-612. Syaiful Bakhri. Pengaruh Aliran-Aliran...
147 sebagian, seperti kegilaan, kedunguan, usia, juga dimasukkannya persaksian, dan
keterangan ahli di dalam acara pengadilan untuk menentukan besarnya tanggung jawab
terhadap terdakwa, untuk mampu memilih antara benar dan yang salah.36 Aliran Neo Klasik,
berkembang bersamaan dengan aliran modern dan berdasarkan pada doctrine of free will.
Aliran ini juga memperhatikan perbuatan maupun pelaku (offence-offender oriented) sebagai
karakteristiknya.37 Pandangan baru dalam perkembangan hukum pidana, menempatkan
hukum pidana sebagai suatu alat untuk melindungi masyarakat, dari para pembuat delik.
Persoalan yang utama berkembang ialah bagaimana melakukan pembaharuan hukum pidana,
sehingga tercapai suatu pola baru dalam pembinaan terhadap narapidana. Dengan itu
diharapkan hukum pidana menjadi lebih efektif sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan
perlindungan sosial. Perkembangan ilmu kemasyarakatan telah juga turut mengembangkan
kriminologi yang objek penelitiannya adalah tingkah laku orang perseorangan dan atau
masyarakat. Pengaruh kriminologi sebagai bagian dari perubahan sosial menimbulkan aliran
baru yang menganggap tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar
terlindungi kepentingan hukum masyarakat, disebut juga suatu mazhab modern (modern
school).

Pendekatan ini dikenal sebagai aliran modern38 atau kriminologi dengan suatu ciri khas
individualisasi pemidanaan. Posisi Aliran Modern dalam Pemidanaan Aliran modern yang
timbul pada abad kesembilan belas, dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat
delik (offender oriented) atau disebut juga aliran positif karena dalam mencari sebab
kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan
mempengaruhi penjahat secara positif sejauh masih dapat diperbaiki.

Karakteristik aliran modern39 menyatakan bahwa perbuatan seseorang tidak dapat dilihat
secara abstrak dari sudut yuridis sematamata, tetapi juga harus dilihat secara konkrit. Dalam
kenyataannya perbuatan seseorang, dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor biologis dan,
lingkungan masyarakatnya. Aliran ini berpandangan pada pangkal tolak determinisme, karena
36 Purniati dan M.Kamal, Op. Cit., hlm. 50. 37 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan
Reformasi Hukum di Indonesia, Op. Cit., hlm. 253-254 38 Jan Remmelink, Op. Cit., hlm 33. 39
Muladi, Op. Cit., hlm. 253. 148 JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 18 JANUARI 2010: 136 - 157
manusia dipandang tidak bebas berkehendak dan dipengaruhi oleh watak dan lingkungan.
Oleh karena itu, manusia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan
dipidana. Aliran ini mengubah pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang
subjektif. Aliran modern dengan senjata ilmu pengetahuan dengan berbagai karakteristiknya
(kejahatan natural, hukuman yang tidak pasti, doktrin determinisme, bentuk hukuman harus
sesuai dengan kejahatan yang dilakukan, adanya diskresi yudisial, daderstrafrecht, medical
model, hukuman dan perlakuan yang individual, dan sanksi yang bersifat mendidik)
menunjukkan pula kelemahan, yakni terlalu memanjakan penjahat dan apabila diterapkan
sungguh-sungguh terlalu mahal.40

Pelopor aliran modern adalah Lombroso, Lasagne, dan Ferri. Pada 1888, mereka mempelopori
berdirinya International Union of Penal Law. Lembaga ini mengembangkan gagasan yang
melihat kejahatan sebagai suatu ancaman sosial dan mencoba untuk memecahkannya dengan
bantuan the new science of criminology. Pusat perhatian dari aliran ini adalah pembuat delik,
dengan perlindungan sosial, perlindungan pengamanan masyarakat. Aliran ini mempelopori
penggunaan metode ilmu alam dan ilmu sosial dalam mencari penyebab kejahatan. Salah satu
perhatian dari hukum pidana modern adalah perhatian yang lebih dikhususkan kepada diri
pembuat delik, dengan itu maka dimulailah gerakan-gerakan aliran modern.

Lombroso memberi judul bukunya L’uamo Deliquento, buku inilah yang mencanangkan aliran
baru. Gejala itu tidak hanya mempunyai arti teoritis, tetapi dalam praktiknya pembuat undang-
undang lebih banyak memperhatikan diri kepada pembuat delik.41 Sasaran aliran klasik adalah
untuk menata pelaksanaan peradilan pidana melalui usaha untuk memperlunak kekuasaan
penguasa. Adapun aliran modern dibentuk untuk membuat kekuasaan tersebut lebih efektif
dan merumuskan suatu teori sekuler terhadap kejahatan yang bertentangan dengan berbagai
kepentingan. Peters menyebutkan sebagai suatu ideologi yang melebihi segala-segalanya.42

Aliran klasik yang menitikberatkan kodifikasi hukum pidana sebagai alat untuk melindungi
kepentingan-kepentingan penguasa. Pergeseran perhatian dalam perkembangan hukum
pidana melalui aliran modern 40 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP.Undip,
Semarang, 1995, hlm. 52. 41 Roeslan Saleh, Dari Lembaran, Op. Cit., hlm. 89-90. 42 Peters, Op.
Cit., hlm. 27.

Aliran Modern dalam mempelajari hukum berkecenderungan dogmatisme dan konservatisme,


bahwa hakim sebenarnya dapat mengikuti cara kerja ahli medis dalam menentukan putusan
pemidanaan terhadap terdakwa. Syaiful Bakhri. Pengaruh Aliran-Aliran... 149 yakni
memfokuskan pada kepentingan-kepentingan para pembuat delik, bahwa kejahatan dapat
dicegah dengan baik melalui kepastian dan bukan melalui kerasnya hukuman yang
diberikan.43

Aliran modern memecahkan kebekuan di mana tingkah laku manusia tidak lagi dibiarkan dan
dikuasai oleh pemikiran-pemikiran abstrak mengenai hukum. Perkembangan kriminologi
menyebabkan perubahan terhadap perkembangan modern, walaupun terjadi penyangkalan
karena antara kriminologi dan hukum pidana telah lebih bersifat mengindividualisasi. Di
negara tertentu hakim dapat menyatakan bersalahnya terdakwa tanpa dijatuhkan hukuman.
Pandangan hukum pidana modern telah mengarah kepada sikap membuka kemungkinan
berdasarkan undang-undang yang ada untuk menyatakan kesalahan tanpa diterapkan sanksi
pidana kepadanya. Keyakinan seperti ini semakin tumbuh.44

Aliran modern menitikberatkan perhatiannya kepada orang yang melakukan tindak pidana dan
pemberian pidana antara tindakan yang dimaksud untuk melindungi masyarakat terhadap
bahaya yang ditimbulkan oleh pembuat. Dalam aliran modern kebebasan pembentuk undang-
undang untuk menentukan jenis pidana, ukuran pidana, dan cara pelaksanaan pidana
(strafsoert, strafmaat, dan strafmodus). Apakah seseorang dimasukkan ke dalam penjara atau
diserahkan kepada probation service untuk diberi bentuk pemidanaan atau pengawasan
ringan memperhatikan akibat perbuatan pelaku terhadap masyarakat, menjadi ukuran penting
dalam pengambilan keputusan di peradilan pidana.45

Aliran modern, pada masanya mempengaruhi perkembangan hukum pidana dan diakui juga
sebagai suatu kepercayaan yang bersifat universal, yaitu pemahaman ilmiah yang menguasai
dunia kejahatan para penjahatnya. Masih dapat dicatat di sini aliran-aliran lain seperti aliran
perlindungan masyarakat, aliran perlindungan masyarakat baru dari Mazhab Utrecht yang
menganggap kejahatan sebagai suatu gejala manusiawi dan pernyataan seluruh kepribadian
pelaku, sesudah diadili kemudian dipidana atau diperbaiki, selanjutnya harus dipupuk dan
dikembangkan, kepada para penjahat. Aliran perlindungan masyarakat ingin memberikan
kekuatan mengekang diri sendiri dan memupuk perasaan tanggung jawab penjahat.46 43
George Goldwin, Criminal Man, George Braziller Inc, New York, 1957, hlm. 79. 44 Roeslan
Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 20. 45 Karl Menninger,
“Love Against Hate,” dalam Stanley E. Grupp ed, Theories of Punishment, Indiana University
Press, London, 1977, hlm. 250. 46 Muladi, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Op. Cit., hlm.
254. 150 JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 18 JANUARI 2010: 136 - 157

Aliran Kontrol Sosial dan Pemidanaan Humanistis Aliran ini, semula adalah bagian dari
pandangan Prins, setelah perang dunia ke dua. Dikembangkan lebih lanjut oleh Marc Ancel,
yang kemudian menstimulasi Defence Sosiale Nouvelle. Pemikiran yang berkembang dalam
konteks aliran ini, dengan memperhatikan kritikan yang diajukannya terhadap ajaran lama,
sesungguhnya sebagai face lift dari ajaran yang lama. Aliran ini memandang tujuan hukum
pidana dalam konteks melindungi tatanan masyarakat, sekalipun mereka memberikan tekanan
pada resosialisasi pemasyarakatan, dan perlunya metode penegakan hukum pidana, yang tidak
sepenuhnya juridis-formil, namun sebaliknya lebih bernuansa sosial. Pentingnya individualisasi
dalam pemidanaan, sehingga fokusnya pada manusia, sebagai makhluk sosial, dalam
mempertanggungjawabkan perbuatannya.47

Dalam aliran kontrol sosial, hukum pidana mengalami perkembangan baru, yang ditandai
dengan berbagai macam perhatian, khususnya pada abad terakhir memasuki milenium
berikutnya dari zaman baru. Pemahaman terhadap hukum pidana pada abad ini tidak lagi
berpangkal tolak pada hukum pidana saja, namun lebih jauh meliputi perhatian yang
mengglobal, terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akan berpengaruh pula terhadap
gejala-gejala kejahatan, sehingga mempengaruhi pula cara kerja hukum pidana dalam hal
menangani atau menanggulangi kejahatan. Perkembangan teknologi kerap kali membawa
dampak yang paling pesat terhadap perkembangan hukum pidana, bahwa dalam banyak segi
perkembangan hukum adalah karena perkembangan teknologi”.48

Dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat mendorong pula lahirnya kejahatan-kejahatan
profesional dengan cara yang semakin mudah, misalnya pemalsuan uang sebagai suatu
kejahatan tradisional menjadi lebih mudah dilakukan setelah ditemukannya lasser scanner
oleh Quick Response Multicolor Printers pada 1980-an, yang dapat membuat warna hijau uang
kertas dollar Amerika Serikat.49 Adanya fenomena kejahatan sangat berkaitan erat dengan
terjadinya dipersonalisasi kehidupan dan keterasingan individu-individu tertentu, akibat
adanya komputerisasi, komersialisasi dan internasionalisasi di berbagai sektor perdagangan
dan industri sebagai penyebab terjadinya peningkatan angka 47 Jan Remmelink, Op. Cit, hlm.
614-615. 48 Roeslan Saleh, Hukum Informatika, Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah
Jakarta, Jakarta 1996, hlm. 30. 49 Michael Levi, Regulating Fraud: White Collar Crime and
Criminal Justice, Tavistock Publications, London, 1987, hlm. 2. Syaiful Bakhri. Pengaruh Aliran-
Aliran... 151 pengangguran yang luar biasa.

Hal inilah yang menyebabkan ketidakserasian di antara pribadi-pribadi dengan sistim sosial
yang ada.50 Dengan adanya perubahanperubahan yang terjadi dalam masyarakat akibat
globalisasi, maka mengharuskan pula pengkajian-pengkajian ulang terhadap cara bekerjanya
hukum. Hal ini bertujuan agar penegakan hukum pidana dapat diimbangi dengan
perhitunganperhitungan yang menyeluruh, sehingga dapat terlihat keuntungan dan kerugian
dalam menggunakan sistem pidana. Globalisasi yang terjadi di bidang ekonomi melahirkan
organisasi kriminal dengan jaringan global, infrastuktur, komunikasi dan hubungan hubungan
internasional dalam kegiatan kejahatannya. Hubungan melalui jaringan internasional ini,
memungkinkannya untuk membuka pasar-pasar baru untuk barang dan jasa ilegal, melalui
perusahaan-perusahaan transnasional, melahirkan organisasi kriminal mempergunakan high-
speed modems and encerypted faxes. 51 Sejumlah strategi yang pada dasarnya persuasif dan
pencegahan, seperti strategi pemberian nasehat dan pendidikan hukum, peringatan, sanksi
administratif, perdamaian di luar pengadilan, serta negosiasi tentang penggantian kerugian.52

Terjadinya perubahan-perubahan di berbagai bidang itu sesungguhnya juga adalah akibat


perkembangan dari proses masyarakat yang liberal menuju proses masyarakat
berkesejahteraan. Oleh karenanya masalah kejahatan pada mulanya adalah masalah utama
dari hukum pidana menjadi bergeser dan menjadi perhatian pula bagi masalah dari negara
kesejahteraan. Dalam hal penanganan kejahatan di mana tidak lagi sematamata urusan hukum
pidana, tetapi harus selalu dikaitkan dengan penanganan terhadap masalah-masalah sosial.
Dalam negara kesejahteraan di mana hukum pidana tidak hanya sebagai kekuatan moral di
dalam masyarakat semata-mata, tetapi juga bagian menyeluruh dari suatu alat pertahanan
sosial (social defence). Upaya tersebut merupakan penanggulangan kejahatan yang pada
hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan sosial.53

Penanganan masalah kejahatan harus dapat dikaitkan dengan perhatian terhadap kehidupan
keluarga, penyelenggaraan pendidikan, aktivitas pemuda, tenaga kerja, kesehatan dan 50
Constantin Kelk, Criminal Justice in The Netherlands, dalam Phil Fennel ed. Criminal Justice in
Europe: A Comparative Study, Clarendon Press, London, 1995, hlm. 5. 51 Mardjono
Reksodiputro, “Multikulturalisme dan Negara-Negara Nation serta Kejahatan Transnasional
dan Hukum Pidana Internasional.” Disampaikan dalam Seminar Nasional Pengaruh Globalisasi
terhadap Hukum Pidana dan Kriminologi Menghadapi Kejahatan Transnasional, Bandung, 17
Maret 2008, hlm. 1-8. 52 Hazel Croal, White Collar Crime, Open University Press, Buckingham,
1992, hlm. 78. 53Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Adytia
Bakti, Bandung, 2003, hlm. 2. 152 JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 18 JANUARI 2010: 136 - 157
penataan kependudukan.54

Penanganan kejahatan harus dibarengi pula dengan penanganan di bidang sosial lainnya. Ada
pandangan yang sering dilupakan orang adalah seolah-olah terjadi pemisahan yang absolut
antara penegakan hukum pidana, penegakan hukum administrasi, dan penegakan hukum
perdata. Padahal dilihat dari sistem hukum nasional, ketiga-tiganya mempunyai kedudukan
sebagai subsistem yang membawa konsekuensi tidak boleh bertentangan satu sama lain
bahkan harus saling mendukung.55 Hukum pidana telah bergeser fungsinya dengan berbagai
macam penyesuaian-penyesuaian, yakni menjadi salah satu bagian antara bagian lain dari
kontrol sosial, sehingga membawa dampak yang luas terhadap pelaksanaan peradilan pidana
itu sendiri. Dengan demikian, hal itu membawa pula semangat terhadap tujuan peradilan
pidana, sehingga menjadikan hukum pidana menjadi bagian atau perhatian serius dari
kebijakan sosial dan akhirnya berkembang pandangan-pandangan tentang kebijakan pidana
serta politik kriminal yang merupakan keseluruhan dari tanggapan yang rasional terhadap
kejahatan, bahwa politik kriminal sebagai organisasi pengendalian kejahatan sebenarnya
dilakukan oleh masyarakat.56

Hukum pidana yang oleh para ahli telah dicarikan alternatif lain yakni hukum tindakan dan
usahausaha itu mulai diwujudkan melalui defence sociale nouvelle. Pemukanya adalah Marc
Ancel. Gerakan ini tumbuh setelah perang dunia kedua. Pada 1945 pikiran orang terhadap
kebebasan manusia dan pertanggungjawaban manusia memang berubah dari sebelumnya
terutama ahli kriminologi dari Italia. Gramatika mendirikan suatu gerakan yang dinamakan Ia
defence sociale. Gerakan ini mendapatkan perhatian oleh Marc Ancel dan para ahli lainnya
yang menyarankan agar bersikap menahan diri di samping teliti dalam menggunakan hukum
pidana.57

Pandangan aliran kontrol sosial, yang berbeda dengan aliran klasik di mana perhatian pada
rumusan perbuatan pidana yang dilarang dalam kodifikasi hukum pidana dan aliran modern
ditikberatkan pada perbuatan individual dari pembuat delik serta diarahkan pada pembinaan
terhadap pembuat delik tersebut. Dengan demikian, aliran kontrol sosial menitikberatkan pada
pembentukan sistem sanksi terhadap kejahatan, dan pemidanaan yang merupakan instrumen
kebijakan, perencanaan dan organisasi. 54 John Graham, Crime Prevention Strategies in
Europe and North America, Helsinki Institute for Crime Prevention and Control Affiliated Eight
the United Nations, Helsinki, 1990, hlm. 18-60. 55 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan
Pidana. Op. Cit., hlm. 41. 56 Marc Ancel, Social Defence: A Modern Approach to Criminal
Problem, Routige and Paul Kegan, London, 1965, hlm. 209. 57 Roeslan Saleh, Dari Lembaran
Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hlm. 37-39. Syaiful Bakhri. Pengaruh
Aliran-Aliran... 153 Hal ini dapat dikenali dengan adanya berbagai ciri tertentu yakni adanya
pendekatan terpadu terhadap pelaksanaan sistem peradilan pidana, yaitu dengan berperannya
para pembentuk hukum dan para penegak hukum, berperan seperti dalam suatu perusahaan
dan departemen pemerintahan pusat dan lokal. Pencegahan kejahatan melibatkan berbagai
agen penegakan hukum yang berada di luar sistem peradilan pidana.58

Aliran kontrol sosial mempunyai ciri khas yang menonjol yakni pertama, adanya pendekatan
terpadu terhadap pelaksanaan terpadu pelaksanaan sistem peradilan pidana. Kedua, bahwa
hukum pidana dilihat hanya sebagai salah satu bagian dari bentuk alternatif kontrol sosial.
Ketiga, pendekatan yang dilakukan dengan cara yang amat efisien.

Hukum pidana menurut aliran modern adalah sebagai satu sarana untuk mencapai tujuan
perlindungan sosial. Aliran kontrol sosial hukum pidana tidak hanya menentukan apakah yang
dapat di pidana, dan bagaimanakah hal itu dilakukan, namun menentukan pula siapakah yang
secara formal berwenang dalam penegakan hukum itu. Oleh karenanya menjadi salah satu
aliran pilar utama tentang diskresi atau kebebasan untuk diperhatikan dan terus-menerus
ditingkatkan penggunaannya. Dalam hal ini amat berbeda dengan aliran modern. Dalam aliran
kontrol sosial, posisi lembaga untuk menerapkan hukum menjadi lebih bebas dan diskresi
semakin berkembang. Para hakim dapat melakukan definisi hukum melalui penemuan hukum
yang selama ini menjadi garapan pembentuk undang-undang. Dengan peranannya yang baru
tentang hukum pidana yang merupakan bagian dari kebijakan sosial, sehingga hukum pidana
harus dikonstruksi ulang sebagai suatu bentuk sarana yang berisi aturan-aturan dalam
mewujudkan kesejahteraan sosial. Akibat dari itu, maka akan menimbulkan berbagai dampak
sosial, yaitu hukum pidana menjadi suatu masalah kehendak yang berisi tentang kebijakan
mengenai aturan-aturan untuk menyeleksi penegak hukum yang dapat dilakukan pada
akhirnya membawa pula pada masalah-masalah kebijakan.59 Reaksi terhadap perbuatan anti
sosial dalam aliran kontrol sosial justru dipusatkan pada konsepsi pertanggungjawaban moral
secara murni, berbeda pula dengan positivisme yang mengartikannya sebagai
pertanggungjawaban menurut hukum atau pertanggungjawaban objektif.
Pertanggungjawaban pribadi menekankan pada perasaan kewajiban moral pada diri individu
dan oleh karena 58 John Graham, Op. Cit., hlm. 7. 59 Ibid., hlm. 7. 154 JURNAL HUKUM NO. 1
VOL. 18 JANUARI 2010: 136 - 157 itu mencoba untuk merangsang ide tanggung jawab atau
kewajiban sosial terhadap anggota masyarakat yang lain dan juga mendorong untuk
menyadari moralitas sosial.60 Konsep hukum pidana menurut aliran kontrol sosial, yakni
masalah moralitas mengalami suatu perubahan-perubahan secara cepat, sehingga mempunyai
dampak pula dalam kenyataan praktiknya, sebagai contoh peningkatan yang terus-menerus
dalam pengaturan hukum pidana yang tentunya berdampak pula terhadap sistem lainnya. Hal
lain yang dapat dilihat dari aliran kontrol sosial ini adalah terjadinya pengawasan di antara
anggota masyarakat. Bila diperhatikan hal ini menjadi suatu pengawasan dengan
menggunakan hukum pidana, sehingga akan berwujud dalam suatu pertanggungjawaban
individual. Aliran kontrol sosial membawa suatu perkembangan baru dalam hukum pidana,
yang hingga kini telah banyak menguasai prinsip-prinsip dalam sistem peradilan pidana dan
pelaksanaan praktiknya.61 Pembaharuan hukum pidana, dimulai sejak UU No. 1 Tahun 1946,
tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana, dengan pelbagai penyesuaian alam
kemerdekaan. Maka ketika itulah dimulai beberapa hal, mengenai kriminalisasi, serta
berkembangnya hukum pidana di luar KUHP, maupun penggunaan hukum pidana dalam
undang-undang administratif.

Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa aliran hukum pidana (strafrechtscholen) yang
menentukan tujuan hukum pidana, yaitu:

1. Aliran Klasik (klassieke richting); Menurut aliran klasik tujuan hukum pidana itu adalah
untuk melindungi kepentingan perseorangan (individu) terhadap kekuasaan negara.
Peletak dasar aliran ini adalah Beccaria melalui bukunya yang berjudul “Dei delitti e
dellepene“.
2. Aliran Modern atau Aliran Kriminologi (criminologische richting) atau aliran positif;
Tujuan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Aliran ini
sangat dipengaruhi oleh perkembangan kriminologi. Aliran ini mempelajari sebab-sebab
penjahat melakukan kejahatannya (etiologi kriminal) dan pidana apakah yang dapat
dijatuhkan yang paling efektif, baik bagi penjahat maupun bagi masyarakat agar
kejahatan tidak terulang lagi (politik kriminal).
3. Aliran Ketiga (derde richting) atau aliran sosiologis (sosiologische richting); Peletak
dasar aliran ini adalah Enrico Ferri. Aliran ini menerima dari aliran klasik sistem pidana
dan hukum pidana yang didasarkan atas kesalahan, dan dari aliran modern menerima
sistem tindakan yang bertujuan melindungi masyarakat terhadap kejahatan.

Anda mungkin juga menyukai