Laporan Prinsip 1
Laporan Prinsip 1
Laporan Prinsip 1
PRAKTIKUM STRATIGRAFI
ACARA 1 : PENAMPANG STRATIGRAFI TERUKUR
OLEH :
URIP CAHYADI
D061201011
MAKASSAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN
relatif serta distribusi perlapisan batuan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk
menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antar lapisan yang berbeda
dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil
(biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). stratigrafi kita pelajari
Dalam stratigrafi analisis mengacu pada dua pokok bahasan utama yaitu lingkungan
pengendapan dan dinamika sedimentasi. Dari lingkungan pengendapan akan dihasilkan fasies
Urutan lapisan batuan yang relatif selaras, yang berhubungan secara genetis, pada
bagian atas dan bawah dibatasi oleh ketidakselarasan atau keselarasan. Rekaman stratigrafi
merupakan suatu hasil pencatatan dan pemerian secara obyektif dan lengkap suatu tubuh
batuan terutama batuan sedimen serta korelasinya dengan tubuh batuan yang lain baik secara
Rekaman stratigrafi ini sangat penting bagi interpretasi geologi selanjutnya. Oleh
karena itu, data-data yang direkam harus obyektif, lengkap dan jelas
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dari praktikum ini yaitu agar praktikan dapat mengetahui tentang
litostratigrafi dengan hasil berupa peta geologi dan dapat membuat kolom litostratigrafi
perlapisan dan kata “grafi” yang berasal dari kata “graphic/graphos” yang berarti gambar
atau lukisan. Dalam arti sempit Stratigrafi adalah ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan.
Dalam arti luas Stratigrafi adalah ilmu yang mempelajari tentang, aturan, hubungan dan
Ilmu stratigrafi muncul pertama kali di Britania Raya pada abad ke-19. Perintisnya
adalah William Smith. Ketika itu dia mengamati beberapa perlapisan batuan yang tersingkap
yang memiliki urutan perlapisan yang sama (superposisi). Dari hasil pengamatannya,
kemudian ditarik kesimpulan bahwalapisan batuan yang tebawah merupakan lapisan yang
kesinambungan yang utuh ke tempat yang berbeda-beda maka dapat dibuat perbandingan
antara satu tempat ke tempat yang lainnya pada suatu wilayah yang sangat luas. Berdasakan
hasil pengamatan ini maka kemudian William Smith membuat suatu system yang berlaku
umum untuk periode-periode geologi tertentu walaupun pada waktu itu belum ada penamaan
waktunya. Berawal dari hasil pengamatan William Smith dan kemudian berkembang menjadi
pengetahuan tentang susunan, hubungan dan genesa batuan yang kemudian dikenal dengan
Stratigrafi.
1. Aturan: Tatanama stratigrafi diatur dalam “Sandi Stratigrafi”. Sandi stratigrafi adalah
aturan penamaan satuan-satuan stratigrafi, baik resmi ataupun tidak resmi, sehingga terdapat
keseragaman dalam nama maupun pengertian nama-nama tersebut seperti misalnya:
2. Hubungan: Pengertian hubungan dalam stratigrafi adalah bahwa setiap lapis batuan
dengan batuan lainnya, baik diatas ataupun dibawah lapisan batuan tersebut. Hubungan
antara satu lapis batuan dengan lapisan lainnya adalah “selaras” (conformity) atau “tidak
selaras” (unconformity).
genesa pembentukan batuan tersendiri. Sebagai contoh, Facies sedimen marin, Facies
4. Ruang: Mempunyai pengertian tempat, yaitu setiap batuan terbentuk atau diendapkan
pada lingkungan geologi tertentu. Sebagai contoh, genesa batuan sedimen: Darat (Fluviatil,
Gurun, Glacial), Transisi (Pasang-surut/Tides, Lagoon, Delta), atau Laut (Marine: Lithoral,
5. Waktu: Memiliki pengertian tentang umur pembentukan batuan tersebut dan biasanya
pada kala Miosen Awal; Batupasir kuarsa formasi Bayah terbentuk pada kala Eosen Akhir
seperti reservoir batupasir atau caprock dari serpih.Penampang juga sangat penting dalam mengetahui
waktu dari suatu deformasi dengan menunjukan sedimen yang penutup setelah pembentukan
lipatan atau penyempitan suatu lapisan setelah terbentuk patahan. Bagian dari penampang
penampang atau kolom yang menggambarkan kondisi stratigrafi suatu jalur, yang secara
sengaja telah dipilih dan telah diukur untuk mewakili daerah tempat dilakukannya
pengukuran tersebut. Jalur yang diukur tersebut dapat meliputi satu formasi batuan atau lebih.
Sebaliknya pengukuran dapat pula dilakukan hanya pada sebagian dari suatu formasi,
sehingga hanya meliputi satu atau lebih satuan lithostratigrafi yang lebih kecil dari formasi,
maka lapisan batuan yang terletak di bawah umurnya relatif lebih tua dibanding lapisan
yang terjadi pada masa geologi lampau dikontrol oleh hukum-hukum alam yang
mengendalikan peristiwa pada masa kini. Hukum ini lebih dikenal dengan semboyannya
yaitu “The Present is the key to the past.” Maksudnya adalah bahwa proses-proses geologi
alam yang terlihat sekarang ini dipergunakan sebagai dasar pembahasan proses geologi masa
lampau.
berbeda umur geologinya akan ditemukan fosil yang berbeda pula. Secara sederhana bisa
juga dikatakan Fosil yang berada pada lapisan bawah akan berbeda dengan fosil di lapisan
atasnya. Fosil yang hidup pada masa sebelumnya akan digantikan (terlindih) dengan fosil
yang ada sesudahnya, dengan kenampakan fisik yang berbeda (karena evolusi). Perbedaan
fosil ini bisa dijadikan sebagai pembatas satuan formasi dalam lithostratigrafi atau dalam
koreksi stratigrafi.
6. Strata Identified by Fossils (Smith, 1816) : Perlapisan batuan dapat dibedakan satu
7. Facies Sedimenter (Selley, 1978): Suatu kelompok litologi dengan ciri-ciri yang khas
yang merupakan hasil dari suatu lingkungan pengendapan yang tertentu. Aspek fisik, kimia
atau biologi suatu endapan dalam kesamaan waktu. Dua tubuh batuan yang diendapakan pada
waktu yang sama dikatakan berbeda fsies apabila kedua batuan tersebut berbeda fisik, kimia
penyebaran lap. Batuan (satuan lapisan batuan), dimana salah satu dari lapisan tersebut
memotong lapisan yang lain, maka satuan batuan yang memotong umurnya relatif lebih muda
9. Law of Inclusion: Inklusi terjadi bila magma bergerak keatas menembus kerak,
menelan fragmen2 besar disekitarnya yang tetap sebagai inklusi asing yang tidak meleleh.
Jadi jika ada fragmen batuan yang terinklusi dalam suatu perlapisan batuan, maka perlapisan
batuan itu terbentuk setelah fragmen batuan. Dengan kata lain batuan/lapisan batuan yang
mengandung fragmen inklusi, lebih muda dari batuan/lapisan batuan yang menghasilkan
fragmen tersebut
salah satu cara yang sering digunakan di lapangan adalah pengukuran dengan memakai pita
ukur dan kompas. Sedapat mungkin diusahakan agar arah pengukuran tegak lurus pada jurus
2. Tentukan satuan-satuan litologi yang akan diukur. Berilah patok-patok atau tanda
3. Bila jurus dan kemiringan dari tiap satuan berubah-ubah sepanjang penampang,
sebaiknya pengukuran jurus dan kemiringan dilakukan pada alas dan atap dari satuan
4. Tentukan arah pengukuran (arah bentangan pita ukur) dan besarnya sudut lereng
(“slope”).
5. Baca jarak terukur (tebal semu) dari satuan yang sedang diukur dalam pita ukur.
6. Kenalilah litologinya, keadaan perlapisan dan struktur sedimen dari satuan yang sedang
diukur.
8. Jika satuan litologi yang akan diukur tebal semunya 5 meter atau lebih ambilah
pengukuran satuan demi satuan dengan membentangkan pita ukuran dari alas satuan
9. Jika satuan-satuan litologi tersebut tebal semunya kurang 5 meter, lebih praktis bila pita
Jarak terpendek antara bidang alas (bottom) dan bidang atap (top) merupakan tebal
lapisan. Oleh karena itu perhitungan tebalnya yang tepat harus dilakukan dalam bidang yang
tegak lurus jurus lapisan.Bila tidak tegak lurus maka jarak terukur yang diperoleh harus
dikoreksi terlebih dahulu dengan rumus sebagai berikut : d = Jarak terukur x cosinus batuan
1. Kalkulator
2. Kertas grafik
3. Kertas A0
4. Penggaris
5. Busur 360°
6. Double tip
7. Pensil warna
8. Cutter
9. ATK
Metode yang digunakan ialah metode pengolahan data berdasarkan problem set dengan
1. Tugas Pendahuluan
Pemberian tugas pendahuluan ini bertujuan agar praktikan memahami acara yang akan
di praktikumkan.
2. Praktikum
3. Analisis Data
Dengan melihat data litologi yang telah diolah, dapat diketahui ketebalan dan urutan
4. Penyusunan Laporan
Setelah analisis data selesai, maka praktikan menyusun laporan berdasarkan hasil
praktikum.
Tugas
Pendahuluan
Praktikum
Analisis Data
Laporan
Anonim, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Komisi Sandi Statigrafi Indonesia, Jakarta.
Anthony, J.W., Bideaux, R.A., Bladh, K.W. and Nichols, M.C., 2001, Handbook of
Affandi, A.K., Idarwati dan Hastuti, E.W.D., 2015, Penentuan Kawasan Rawan Gempa Bumi
Untuk Mitigasi Bencana Geologi di Wilayah Sumatera Bagian Selatan, Laporan Akhir
Sriwijaya, Palembang.