Geologi Sejarah
Geologi Sejarah
Geologi Sejarah
NPM : 270110130016
Kelas : D
1) Tiga transgresi besar orde-kedua terjadi selama akhir Tersier: akhir Oligosen-Miosen
awal, Miosen tengah, Miosen akhir-Pliosen awal (Hardenbol dkk, 1998). Kondisi di
mana produksi karbonat mampu mengimbangi transgresi ini, sangat memungkinkan
terbentuknya suksesi karbonat yang tebal, berelief tinggi, dan backstepping.
3) Bersamaan dengan inisiasi event pendinginan besar (major cooling event) di Oligosen,
pergeseran kimia laut terjadi, yang mendukung pembentukan aragonit dan high-
magnesium calcite (HMC) yang mendominasi terumbu karang-alga (Tucker dan Wright,
1990). Aragonite dan HMC lebih rentan daripada low-magnesium calcite untuk terlarut
dan ter-rekristalisasi bila terpapar dengan air meteorik. Diagenesis meteorik memberikan
efek yang signifikan terhadap porositas sekunder dan sistem permeabilitas pada sedimen
tersebut.
4) Pada Miosen awal, perkembangan karang meningkat di seluruh dunia dan karang
scleractinian muncul sebagai komponen frame-building yang dominan (Perrin, 2002).
Karang ini dapat tumbuh dengan cepat hingga 24 cm/tahun dalam studi modern (Davies,
1983), dan memungkinkan untuk terjadinya karbonat build-up yang dapat mengimbangi
kenaikan muka air laut yang paling cepat. Hal ini memberikan konstruksi rangka robust
untuk citra karbonat berelief tinggi pada seismik dan ditemukan di banyak daerah tropis
dan subtropis saat ini.
Kondisi ini menawarkan skenario reefal build-up yang mampu mengimbangi transgresi
terbesar laut, dan menghasilkan akumulasi sedimen tebal yang umumnya secara
mineralogi bersifat metastabil, meningkatkan kerentanannya terhadap leaching selama
penurunan muka air laut, yang sering terjadi, karena terjadinya Icehouse. Perkembangan
reservoir dengan porositas yang sangat baik dan memiliki net to gross tinggi umum
terjadi.
Dengan melihat build-up Pulau Seribu saat ini, kita mendapatkan gambaran mengenai
build-up Oligo-Miosen. Meskipun koral scleractinian terus berkembang, bumi masih
berada pada kondisi Icehouse dan sedimen masih berpotensi menjadi aragonitik dan
HMC. Lapangan Arun khususnya, memiliki hubungan erat dengan Pulau Seribu di
Yordania, 1998. Jordan menemukan facies yang mirip dan pola facies di Arun seperti
yang diamati di Pulau Seribu saat ini dan bahkan didokumentasikan kesamaan karang
yang luar biasa (semua kecuali satu genus dari 20 genus dicatat dari Arun ditemukan hari
ini di Pulau Seribu).
Latar belakang untuk setiap diskusi tentang perkembangan pertumbuhan karang dan
facies di nusantara adalah peran tektonisme. Kolisi lempeng Australia dan lempeng India
terhadap lempeng Asia berperan penting dalam membangun rezim iklim musiman yang
khas di kawasan Asia Tenggara. Gerakan berkelanjutan dari Lempeng Australia dan
Lempeng Pasifik menghasilkan susunan fragmen yang membentuk kepulauan dan dalam
proses menghasilkan beberapa perubahan yang luar biasa dan cepat pada permukaan laut
relatif dan tidak diragukan lagi berperan besar dalam banyak siklus frekuensi tinggi yang
terbukti dalam catatan sedimentasi karbonat Miosen di seluruh daerah.
Stratigrafi Lembar Jakarta Dan Kepulauan Seribu dengan cekungan sedimentasi tersier di
Jawa Barat yang terdiri dari tiga mandala sedimentasi, yaitu Mandala Paparan benua,
Mandala sedimentasi Cekungan Bogor dan Mandala Sedimentasi Banten. Mandala
Paparan Benua dicirikan oleh endapan paparan berupa batupasir kuarsa, batugamping dan
batulempung yang diendapkan dalam lingkungan laut dangkal. Mandala Sedimentasi
Cekungan Bogor dicirikan oleh endapan aliran gravitasi yang terdiri dari komponen
batuan andesitan-basaltan, tufaa dan batugamping. Mandala ini meliputi Bandung, Bogor
dan Pegunungan Selatan. Mandala Sedimentasi Banten pada awal Miosen, endapan
sedimennya menyerupai endapan cekungan Bogor, sedangkan pada akhir Tersier
mendekati Paparan Benua.
Satuan tertua yang tersingkap adalah Formasi Rengganis (Tmrs) yang berumur Miosen
Awal. Formasi ini ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Bojongmanik (Tmb) yang
berumur Miosen Tengah, sedangkan di bagian timur berkembang Formasi Klapanunggal
(Tmk). Formasi ini berhubungan menjemari dengan Formasi Jatiluhur (Tmj). Formasi-
formasi tersebut di atas ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Genteng (Tpg) yang
berumur berumur Pliosen Awal. Formasi Genteng ditindih Formasi Serpong (Tpss)
berumur Pliosen Akhir. Formasi Serpong ditindih secara tidak selaras oleh Tufa Banten
(QTvb) yang berumur Plio-Plistosen. Tufa Banten ditindih Batuan Gunungapi Muda (Qv)
dan Andesit Gunung Sudamanik (Qvas) yang berumur Plistosen. Batuan terobosan yang
dijumpai di Lembar ini adalah Basalt Gunung Dago (Tmpb) yang berumur Mio-Pliosen.
Endapan termuda permukaan di daerah ini terdiri dari batupasir tufaaan dan
konglomerat/Kipas Aluvium (Qav), Endapan Pematang Pantai (Qbr) dan Aluvium (Qa),
serta di lain tempat tumbuh Batugamping Koral (Ql).
Struktur yang terdapat pada lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu berupa lipatan, sesar
dan kelurusan. Lipatan, dijumpai di bagian tenggara, berupa antiklin, dengan sumbu
berarah baratlaut – tenggara, yang melipat Formasi Klapanunggal. Sesar yang dijumpai di
daerah ini ada 3 macam, yaitu sesar naik, dijumpai dibagian baratdaya, merupakan
kontak antara Formasi Bojongmanik dan Batuan Gunungapi Muda dengan arah baratlaut
– tenggara. Sesar geser mengiri dijumpai dibagian baratdaya Lembar yang menyesarkan
Formasi Bojongmanik. Sesar turun, dijumpai di bagian tenggara Lembar, berarah
baratlaut – tenggara dan memotong Formasi Klapanunggal. Kelurusan ini kemungkinan
merupakan zona lemah yang berupa sesar atau kekar. Struktur geologi tersebut di atas,
kemungkinan akibat gaya kompresi dengan arah timurlaut – baratdaya.
Sejarah geologi di mulai pada Miosen Awal. Pada Kala itu daerah ini merupakan tepian
selatan dari cekungan busur belakang tempat diendapkan Formasi Rengganis oleh arus
yang dipengaruhi gayaberat (gravity flows). Kemudian daerah ini mengalami
pengangkatan. Pada Miosen Tengah daerah ini merupakan cekungan laut dangkal di
bagian timur dan diendapkan Formasi Klapanunggal, yang menjemari dengan Formasi
Jatiluhur. Sedangkan dibagian barat berkembang sedimentasi Formasi Bojongmanik.
Formasi-formasi tersebut kemudian terangkat, terlipatkan, tersesarkan dan diterobos oleh
Basalt G. Dago pada Mio-Pliosen. Pada Pliosen Awal bagian utara daerah ini mengalami
penurunan dan berlingkungan laut dangkal (litoral), serta diendapkan Formasi Genteng.
Selanjutnya daerah ini terangkat kembali sehingga merupakan daratan, dan terbentuk
endapan sungai tua Formasi Serpong. Pengangkatan ini diikuti kegiatan gunungapi, yang
menghasilkan Tufa Banten yang terdiri dari batuan gunungapi yang berumur Plio-
Plistosen. Pada Plistosen awal terjadi kegiatan gunungapi yang menghasilkan Batuan
Gunungapi Muda dan terjadi parasit, yang menghasilkan Andesit Sudamanik. Sedangkan
ditempat lain terjadi genanglaut (atau mjungkin penurunan) sehingga memungkinkan
tumbuhnya batugamping koral yang terus tumbuh sampai sekarang. Hasil kegiatan
gunungapi di bagian selatan membentuk morfologi tinggi, akan tetapi akibat proses erosi
dan gerakantanah maka terbentuk endapan kipas aluvium. Sumber daya mineral yang ada
berupa batugamping, lempung, pasir, kerikil andesit basalt dan mungkin minyak bumi.
Tingkat ketelitian dan nilai dari suatu peta geologi sangat tergantung pada informasi-
informasi pengamatan lapangan dan skala pengerjaan peta. Skala peta tersebut mewakili
intensitas dan kerapatan data singkapan yang diperoleh yang diperoleh. Tingkat ketelitian
peta geologi ini juga dipengaruhi oleh tahapan eksplorasi yang dilakukan. Pada tahap
eksplorasi awal, skala peta 1 : 25.000 mungkin sudah cukup memadai, namun pada tahap
prospeksi s/d penemuan, skala peta geologi sebaiknya 1 : 10.000 s/d 1 : 2.500.
Pada tahapan eksplorasi awal, pengumpulan data (informasi singkapan) dapat dilakukan
dengan menggunakan palu dan kompas geologi, serta penentuan posisi melalui orientasi
lapangan atau dengan cara tali-kompas.
Namun dalam tahapan eksplorasi lanjut s/d detail, pengamatan singkapan dapat diperluas
dengan menggunakan metode-metode lain seperti uji sumur, uji parit, maupun bor tangan atau
auger, sedangkan penentuan posisi dilakukan dengan menggunakan alat ukur permukaan seperti
pemetaan dengan plane table atau dengan teodolit. Sehingga dengan demikian dapat dilakukan
measure stratigrafi untuk mengetahui litologi dan pengendapan dari daerah measure section
secara lebih terperinci. Dimana measure stratigrafi atau stratigrafi terukur adalah suatu cara
untuk menerangkan urut-urutan lapisan batuan berdasarkan kedudukan dan ketebalannya. Kolom
stratigrafi terukur ini sendiri bertujuan untuk menjelasakan proses pengendapan, umur geologi
secara relatif maupun absolut (menggunakan mikrofosil) dan proses-proses yang terjadi setelah
pengendapan berlangsung. Mengukur suatu penampang stratigrafi dari singkapan mempunyai
arti penting dalam penelitian geologi dan pengukuran penampang stratigrafi merupakan salah
satu pekerjaan yang biasa dilakukan dalam pemetaan geologi lapangan. Secara umum tujuan
pengukuran penampang stratigrafi adalah:
a) Mendapatkan data litologi terperinci dari urut-urutan perlapisan suatu satuan stratigrafi
(formasi, kelompok, anggota dan sebagainya).
b) Mendapatkan ketebalan yang teliti dari tiap-tiap satuan stratigrafi.
c) Untuk mendapatkan dan mempelajari hubungan stratigrafi antar satuan batuan dan urut-
urutan sedimentasi dalam arah vertikal secara detil dan untuk menafsirkan lingkungan
pengendapan.
Pengukuran suatu penampang stratigrafi biasanya dilakukan terhadap singkapan singkapan yang
menerus, terutama yang meliputi satu atau lebih satuan satuan stratigrafi yang resmi.
Dalam pengaplikasian biozonasi dalam bidang geologi ialah dalam penentuan umur batuan
sedimen, penentuan kematangan suatu hidrokarbon, dan korelasi. Penentuan umur batuan dapat
menggunakan dua metode :
· penentuan umur absolut
· penentuan umur relatif
Penentuan umur absolut menggunakan waktu paruh dari unsur radioaktif yang ada dalam batuan
tersebut (DATING). Penentuan umur relatif dengan membandingkan umur batuan tersebut
dengan umur batuan lain yang sudah diketahui umurnya, dengan membandingkan posisi
stratigrafinya. Penentuan umur batuan dengan zonasi foraminifera termasuk penentuan umur
relatif batuan. Umumnya yang digunakan untuk penentuan biozonasi umur batuan adalah
foraminifera planktonik kecil. Penentuan zonasi umur batuan dengan menggunakan foraminifera,
merupakan prinsip dalam biostratigrafi. Biostratigrafi merupakan tubuh lapisan tubuh batuan
yang dipersatukan berdasarkan kandungan fosil atau ciri-ciri paleontologi sebagai sendi pembeda
terhadap batuan di sekitarnya. Banyak klasifikasi biozonasi yang diusulkan oleh beberapa
peneliti berdasarkan foraminifera plankton, diantaranya : Zonasi Bolli (1957, 1966), Blow
(1969), Postuma (1971), Bronnimann & Resig (1971), Berggren (1972, 1973),Kennet &
Srinivasan (1983) dan Bolli & Sanders (1985). Biozonasi Blow (1969) adalah yang paling sering
dipakai di Indonesia, untuk berbagai keperluan, baik penentuan umur batuan sedimen maupun
korelasi. Salah satu faktornya adalah karena sifat kesederhanaan pemakaiannya, dimana dalam
tatanama hanya menggunakan notasi huruf P (untuk Paleogen) dan N (untuk Neogen) dan angka
(1-22/23) untuk bagian yang lebih rinci dari zonanya.
Dalam biozonasi foraminifera dikenal adanya istilah ZONA, yaitu suatu lapisan atau tubuh
batuan yang dicirikan oleh satu takson fosil atau lebih. Ada beberapa macam zona dalam
biostratigrafi :
a. Zona kumpulan
b. Zona kisaran
c. Zona Puncak
d. Zona selang
e. Zona rombakan
f. Zona padat
4.
5. Rangkaian pegunungan muda dunia seperti Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediteran
merupakan hasil pengangkatan dari geosinklin utama yang terbentuk pada era Paleozoikum
muda. Jadi siklus pembentukan pegunungan muda dimulai dari pembentukan geosinklin utama
pada era Paleozoikum muda. Pada era Mesozoikum bawah/tua, Indonesia masih bersambung
dengan Eropa lewat laut yang dikenal dengan nama Latu Tethys. Fosil-fosil yang terbentuk pada
masa yang sama di kedua bagian dunia tersebut menunjukkan kesamaan. Oleh karena itu
penelitian-penelitian geologi di Indonesia masih dapat menggunakan Tarikh Geologi Eropa
untuk menentukan umur batuan sampai dengan pra tersier. Akan tetapi untuk batuan yang
terbentuk pada era prakambrium di Indonesia, sulit ditentukan umumnya karena tidak
diketemukan fosil yang berasal dari era tersebut.Kalaupun sudah ada kehidupan pada
prakambrium, fosil yang terbentuk pada masa itu sudah mengalami kerusakan akibat proses-
prose endogen yang sangat aktif di Indonesia. Di samping itu endapan prakambrium telah
tertimbun jauh di bawah lapisan endapan yang lebih muda. Pada akhir Sekunder-Awal Tersier,
terjadilah peristiwa geologi hebat yang dikenal sebagai Revolusi Alam I di Indonesia, yaitu
dasara laut Tethys mengalami pengangkatan membentuk pegunungan Sirkum Mediteran.
Pengangkatan dari geosinklin utama ini digolongkan Geo Undasi oleh Van Bemmelen atau
General Undation oleh Stille. Akibatnya, hubungan antara Indonesia dengan Eropa terputus,
organisme di Indonesia dan Eropa berkembang menurut lingkungannya sendiri-sendiri,
menghasilkan fosil yang berbeda pula. Dengan demikian penelitian-penelitian geologi di
Indonesia madih mengalami kesulitan untuk menentukan umur lapisan batuan, karena Tarikh
Geologi Eropa tidak bisa digunakan lagi akibat perbedaan kandungan fosilnya. Untuk mengatasi
masalah tersebut maka Verbeek dan Fennema berusaha menyusun Tarikh Geologi
Indonesia berdasarkan litologi pada tahun 1938. Sebenarnya penyusunan Tarikh Geologi
Indonesia harus didasarkan pada penelitian Paleontologi, tidak dibenarkan menyusun Tarikh
Geologi atas dasar litologi, sebab umur lapisan batuan tidak dapat ditafsirkan dari jenis
batuannya.
Dasar pemikiran Verbeek dan Fennema menyusun Tarikh Geologi Indonesia atas dasara litologi
adalah:
1. Secara sadar mereka mengambil pendirian yang bertentangan dengan dalil yang melarang
penyusunan Tarikh Geologi atas dasar litologi, mengingat tidak adanya petunjuk lain
yang dapat digunakan untuk menentukan umur lapisan batuan. Dengan kata lain terpaksa
mereka lakukan mengingat kebutuhan yang sangat mendesak, bukan tidak tahu kalau
Tarikh Geologi mestinya disusun atas dasar hasil penelitian Paleontologi.
2. Mereka berpendirian bahwa dimana-mana di pulau Jawa khususnya dalam periode
Neogen dimulai dengan aktivitas vulkanisme yang sangat dahsyat, menghasilkan batuan
andesit dan basal.
3. Kalau harus melakukan penelitan paleontologi terlibeh dahulu untuk menyusun Tarikh
Geologi Indonesia, akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan biaya yang sangat
banyak, disamping merka bukan ahli paleontologi.
4. Mereka menuyusun Tarikh Geologi Indoenesia berdasarkan litologi, sambil berusaha
pula mencari hubungan/petunjuk yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam
melakukan korelasi atau penasabahan dengan Eropa. Dengan kata lain Tarikh Geologi
yang dibuat dimaksudkan untuk sementar saja, kalau Tarikh Geologi Eropa bisa
digunakan atau sudah ada Tarikh Geologi yang disusun berdasarkan penelitian
paleontologi maka tidak usah menggunakan Tarikh Geologi atas dasar litologi yang
dibuatnya. Dengan demikian maka stratigrafi di Indonesia untuk periode Tersier dan
Kuarter menggunakan Tarikh Geologi buatan Verbeek dan Fennema walaupun banyak
kelemahan dan kekurangannya. Akan tetapi meskipun banyak kekurangannya, Tarikh
Geologi tersebut masih digunakan sampai sekarang, sebab belum ada tarikh lain yang
lebih baik.
Tarikh Geologi yang disusun berdasarkan litologi sangat bermanfaat bagi ilmu tanah
karena langsung menunjukkan bahan asal/batuan induk tanah dan mencerminkan sifat-
sifat tanah yang dihasilkan. Yang terpenting dari Tarikh Geologi Indonesia buatan
Verbeek dan fennema adalah perlapisan batuan pada periode Miosen yang diberi kode
M1, M2, dan M3.
1. Etage M1 (tingkatan Breksi), yaitu perlapisan batuan yang terbentuk sesudah
terbentuknya gunung api tua di Indonesia. Tanah yang berasl dari batuan ini umumnya
kaya mineral bahan vulkanik sehingga dianggap baik atau potensi kesuburannya tinggi.
2. Etage M2 (tingkatan Mergel), yaitu batuan yang terbentuk setelah lapisan M1. Tanah
yang berasla dari batuan ini umunya berupa tanah margalit, suatu campuran antara
lempung dan kapur. Sifatnya kurang baik karena pekat, sulit merembeskan air sehingga
tata air tanah menjadi kurang baik.
3. Etage M3 (tingkatan Kapur), yaitu batuan yang terbentuk setelah lapisan M2. Tanah yang
berasal dari batuan ini berupa tanah-tanah kapur yang mempunyai sifat minerla-
mineralnya cepat tercuci ke lapisan bawah dan tata air kurang baik.
Dalam berbagai literatur keilmuan, disebutkan bahwa jumlah pulau yang dimiliki Indonesia
sekitar 17.500 pulau. Dari sekian banyak pulau itu, pernahkah anda berpikir untuk mengetahui
bagaimana proses pembentukannya? Mengapa kita bisa memiliki penampang alam yang
sedemikian uniknya ini, yang jarang dimiliki oleh banyak negara lain? Untuk itu kali ini saya
akan mengajak anda belajar bersama tentang proses terbentuknya "Zamrud Khatulistiwa".
Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia
belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara yang bertabrakan
dengan lempeng bumi bagian utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan
Gunung Himalaya. Konon proses yang terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam itu
menyebabkan sebagian anak benua di selatan terendam air laut, sehingga yang muncul di
permukaan adalah gugusan-gugusan pulau (nusantara) yang merupakan mata rantai gunung
berapi.
Lalu bagaimana menurut teori geologi modern? Menurut ilmu kebumian yang lazim saat ini,
pembentukan kepualuan Indonesia terkait dengan teori tektonik lempeng. Teori tektonik
lempeng (tectonic plate) adalah teori yang menjelaskan pergerakan di kulit bumi sehingga
memunculkan bentuk permukaan bumi seperti yang sekarang kita diami.
Pergerakan diawali dengan menunjamnya lempeng dasar samudera yang disebabkan oleh
desakan lempeng benua yang lebih tebal dan keras dan di tempat inilah terbentuk palung laut
(dasar laut yang dalam dan memanjang). Dampak dari pergerakan lempeng terhadap wilayah
Indonesia membuat wilayah Indonesia rawan akan gempa bumi (namun juga kaya sumber daya
mineral). Padahal Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng besar dunia (Lempeng
Eurasia, Indo-Australia, Filipina dan Pasifik).
Lempeng-lempeng itu selalu bergerak 5-9 cm per tahun dan karena massa batuan yang bergerak
besar maka energi yang dihasilkan besar pula. Hal tersebut berdampak bukan hanya pada
banyaknya aktivitas vulkanis dan tektonis di Indonesia, tapi juga tenaga besar yang terjadi pada
fenomena-fenomena tersebut.
Adanya pergerakan subduksi antara dua lempeng kemudian menyebabkan terbentuknya deretan
gunung berapi dan parit samudera. Demikian pula subduksi antara lempeng Indo-Australia dan
lempeng Eurasia menyebabkan terbentuknya deretan gunung berapi yang tak lain adalah Bukit
Barisan di Pulau Sumatera dan deretan gunung berapi di sepanjang pulau Jawa, Bali dan
Lombok, serta parit samudera yang tak lain adalah Parit Jawa (Sunda).
Lempeng tektonik terus bergerak hingga suatu saat gerakannya mengalami gesekan atau
benturan yang cukup keras. Fenomena seperti inilah yang dapat menimbulkan gempa, tsunami
dan meningkatnya kenaikan magma ke permukaan bumi. Dari tiga tipe batas lempeng yang
dikenal (konvergen, divergen dan shear), terbentuknya kepulauan Indonesia dapat dijelaskan
sebagai batas lempeng konvergen dimana terjadi tumbukan antara lempeng Indo-Australia dari
selatan, lempeng Pasifik dari timur dan lempeng Asia dari utara. Setelah dijelaskan panjang lebar
tentang dasar keilmuannya, selanjutnya mari kita masuk ke pembahasan inti. Indonesia terdiri
dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Rangkaian pulau-
pulau ini menjadi bagian utama dari kepulauan Nusantara. Di dalamnya terdapat lebih dari 400
gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi
itu terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari permukaan laut (bahkan Indonesia merupakan
tempat pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif/Ring of Fire, sehingga terdapat puluhan
patahan aktif yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia). Lalu bagaimana proses pembentukan
pulau-pulau utama ini?
Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok hingga kepulauan Nusa Tenggara :
Pulau-pulau tersebut terbentuk karena adanya aktivitas vulkanisme di bawah permukaan bumi,
hasil yang dapat dirasakan di permukaan bumi adalah adanya lava (cairan larutan magma pijar
yang mengalir keluar dari dalam bumi). Lama kelamaan lava tersebut memadat bertambah besar
membentuk sebuah busur pulau. Proses seperti ini dikenal sebagai Island Arc.
Pulau Sulawesi :
Pulau Sulawesi terbentuk akibat pertemuan lempeng Filipina, Indo-Australia, Eurasia dan
lempeng mikro lain di daerah tersebut.
Pulau Papua dan Kalimantan :
Keduanya terbentuk dari pecahan super benua pada awal terbentuknya permukaan bumi. Teori
tektonik lempeng menyebutkan bahwa dahulu seluruh daratan di muka bumi ini adalah satu
daratan yang sangat luas bernama Pangea, kemudian induk benua ini terpecah menjadi dua yaitu
Godwana (di Utara) dan Laurasia (di Selatan). Seiring berjalannya waktu kedua lempeng besar
tersebut terpecah-pecah kembali menjadi benua-benua seperti sekarang.
Pulau-pulau kecil :
Proses terbentuknya pulau-pulau ini lebih sederhana dibanding yang lain. Mereka berasal dari
endapan pecahan kerang, koral dan binatang laut lainnya. Semakin lama semakin besar dan
akhirnya terbentuklah sebuah pulau baru.
Demikianlah pembelajaran singkat kita mengenai proses terbentuknya kepulauan Indonesia. Hal
yang dapat dipetik adalah bagaimana kita dapat menjaga keindahan alam yang ada ini sebagai
sebuah warisan agung proses pembentukan muka bumi. Kekayaan mineral yang ada di dalamnya
bukanlah benda tak berharga yang dapat digunakan tanpa pertimbangan keseimbangan
kehidupan. Selain itu semoga proses yang telah dijelaskan di atas menyadarkan kita untuk
senantiasa siap menghadapi berbagai bencana alam yang memang menjadi bagian tak
terpisahkan dari kepulauan nusantara.