DILEMA CINTAKU Karya Susilawaty

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

DILEMA CINTAKU

Karya: Susilawaty

Pintu kamarku di ketuk dari luar. Dengan malas kulangkahkan kakiku menuju suara

itu. Daun pintu kubuka perlahan. Di sana kudapati seraut wajah yang cantik. Wajah itu

kelihatan sedih. Wajah itu milik Ica, adikku yang paling bungsu. Aku menatapnya sekilas.

“Knapa Ica sayang, tumben siang begini mukanya lemes banget. Ada apa ya!”tanyaku

penuh selidik.

Ica masuk ke kamarku. Lalu meletakkan tasnya di atas meja kerjaku. Dia menarik

nafas perlahan. “Sebel Mas,”ucapnya dengan ketus.

Aku hanya tersenyum melihat sikapnya. Menatapnya lagi. “Loh .., pulang sekolah kok

pake sebel. Sebel sama siapa. Nuri, Tia, Rara .., atau siapa!”gumanku lagi.

“Mas sih engga tahu! Sebel sama seseorang. Jumpa di toko buku, ngatain Ica itu

manis dengan kacamata yang tebal. Kok bisa tebal. Sering baca buku ya. Begitu

katanya ..,”cerita Ica padaku.

Aku tersenyum mendengarkannya. Dalam hati, pasti yang diceritain Ica ini adalah

seorang cowok. “Kan engga pa-pa Ca. Berarti dia perhatian tuh. Ngapain sampe sesebel ini.

Mas kira dia minta nomor telepon, mau datang ke rumah ini, atau mau berkenalan,”ujarku

lagi.

Ica membeliakkan matanya ke arahku. Aku masih tersenyum melihatnya. “Sudahlah

Ica sayang, adik Mas yang cantik. Engga usah sebel lagi ya. Itu wajar kok kalau cowok itu

ngomong kayak gitu. Apa engga ditanya namanya ..,”bisikku pelan.

Ica mengambil tasnya, lalu pergi meninggalkan diriku. “Mas, payah deh. Kok malah

disuruh nanya namanya,”omelnya lagi sambil berlalu.


Aku tertawa saat dia beranjak meninggalkan diriku. “Besok Mas, kepingen kenal ama

cowok itu ya. Biar dia jaga adik Mas yang imut-imut,”jeritku dengan tertawa lebar.

Ica menutup pintu kamarku dengan wajah cemberut. Aku tersenyum melihatnya

seraya menuju pembaringan.

# # # # # #

Siang ini dengan tergesa-gesa aku pamit sama mama untuk ke kampus. Kukatakan

sama mama, pulang kuliah seperti biasa akan membantu Pakde jualan di cafenya. Tapi

langkahku terhenti, ketika di pintu gerbang ada sesosok yang berdiri menatapku. Aku

terkejut.

“Zul, pa kabarnya. Sudah sembuh?”tanya suara itu. Sosok itu miliknya Dea sahabatku

di kampusku.

Aku mengangguk pelan. “Alhamdulillah. Lihat sendirikan?”jawabku pelan.

Kulihat Dea menarik nafas perlahan. “Syukurlah, kalau kamu sudah sehat. Ini mau

pergi ke mana!“tanya Dea lagi.

“Mau ke kampus. Ada apa Dea. Apa engga kuliah ? Kita dah telat nih. Kalau engga

kita barengan perginya,”tukasku cepat. Kulihat Dea mengiayakan ucapanku dan duduk di

belakangku untuk sama-sama kami pergi ke kampus. Pamit lagi sama mama dan pergi

menuju kampus.

Dalam perjalanan menuju kampus, Dea banyak berdiam diri. Sesekali ku lirik dia dari

kaca spion kereta. “Sungguh sempurna. Dengan balutan busana yang dikenakkannya dan

hijab yang sama dengan busananya menambah cantik dan serasi. Aku tersenyum dalam hati.

Aku hanya menyimpan rasa pada Dea. Aku tidak ingin mengorbankan persahabatan kami

dengan cinta. Padahal, sungguh. Aku suka Dea. Aku sayang Dea, dan aku menyintai Dea
dengan setulus hatiku. Tapi aku tidak punya keberanian untuk mengutarakannya. “Mungkin

nunggu saat yang Aku tersentak ketika Dea menepuk pundakku. “Dah sampe

Zul,”ujarnya ke telingaku. Aku mengangguk pelan seraya memarkirkan motorku ke tempat

parkir. Begitu juga Dea. Dia menjajari langkah kakiku bersama menuju ruang kampus.

# # # # # #

Seperti biasa, pulang kuliah membantu Pakde di cafenya lalu pulang ke rumah.

Sampai di rumah kulihat mama duduk termenung di teras. Kutatap mama sekilas. Setelah

mama pisah dengan papa, mama banyak termenung dan menangis. Mama hanya berdiam diri

menyalahkan dirinya. Mama sangat berdosa atas keteledoran sikapnya sampai papa

mengalami kecelakaan. Mama tidak bisa mengendalikan dirinya dari kecepatan tangan serta

kakinya saat mama belajar mengenderai mobil. Mama mengalami kecelakaan. Sementara

papa, papa mengalami amputasi kakinya. Akhirnya papa harus duduk di atas kursi roda dan

kehilangan kakinya. Dan mama tidak apa-apa hanya luka lecet sedikit. Itu yang membuat

papa marah dengan keluarga besarnya, dan pergi meninggalkan mama. Keluarga besar

mamapun tak mau ketinggalan. Merekapun tak kalah marahnya dengan perlakuan sikap papa

bersama keluarganya.

Aku menatap mama sedih. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, aku langsung

ikut bertanggung jawab dengan semuanya. Aku yang dulu tidak pernah bekerja selain kuliah,

akhirnya turut membantu perekonomian keluarga dengan membantu Pakde berjualan di

cafenya. Awalnya aku ingin menangis. Sedih. Dulu yang berkecukupan harta, tapi sekarang

harus membanting tulang demi keluarga. Semuanya kujalani dengan ikhlas dan tabah. Aku

ingin menguwudkan mimpi mama. Aku ingin membahagiakannya dengan impiannya yang

mengharapkan diriku menjadi sarjana begitu juga dengan Ica adikku yang masih sekolah di
kelas X. Walau semua peristiwa terjadi tanpa kami sadari, tapi semua sudah terjadi. Harus

dijalani. Sapa yang mau disalahkan. Mungkin ini semua ada hikma di balik rahasia Allah

memberikan musibah.

Kudekati mama. “Ma ..!”panggilku pelan. Mama menoleh. Dia tersenyum menatapku.

“Sudah pulang Zul?”tanyanya.

“Ngapain mama duduk di sini. Sudah malam ma. Ayo kita masuk ke dalam,”ajakku

lagi.

“Zul, mama mau ngomong,”ucap mama. Aku menatap mama sekilas. “Ada apa ma.

Apa yang mau mama omongin?”gumanku pelan. Lalu aku duduk di sampingnya. Siap

mendengarkan apa yang akan dikatakan mama.

“Zul. Mama merasa bersalah kepada papa. Kepada kalian berdua, dan diri

sendiri,”ujarnya memulai pembicaraan. Aku mendengarkannya. “Mama selama ini sudah

egois. Mama larut dalam kesedihan. Seharusnya, mama bisa menerima kenyataan. Apa yang

sudah terjadi ini semua sudah takdir Allah, dan mama harus menjalaninya. Kalau toh papamu

tidak memperdulikan mama, juga kalian berdua .., yah sudahlah. Mungkin ini sudah suratan

jalan hidup mama dan perkawinan mama. Mama harus bangkit dari keterpurukan yang

melanda mama. Mama masih punya dua anak yang siap mama lindungi. Mama sudah

bersalah. Seandainya waktu itu mama tidak ngotot mengajak papa belajar nyetir mobil,

barangkali papa ada di tengah-tengah kita. Ya Allah, sudahlah. Mama menerima cobaan ini

dengan ikhlas ..,”isak tangis mama dalam kesedihan.

Aku yang mendengarnya jadi terharu. Aku sangat bahagia. Di satu sisi, mama

menyadari kesalahannya dan tidak larut dalam rasa salah yang begitu besar pada dirinya. Dan

satu lagi, mama sudah betul-betul melihat kami, ada dua anak masih membutuhkan kasih

sayang dengan usia kami yang sudah dewasa.


“Zul, besok mama akan membuka usaha penjualan kue-kue yang akan mama titip ke

toko-toko, seperti dulu yang mama lakukan sama papamu sebelum kalian lahir. Mama juga

akan mendengar cerita anak mama. Ada Ica, ada dirimu, yang hampir tidak mama perdulikan.

Mama akan lakukan itu demi anak-anak mama. Mama akan berusaha dengan kedua tangan

mama ini. Semoga Allah meridhoinya ..,”ucap mama penuh harap dengan suara terbata-bata.

Kuhapus air mata mama. “Zul yakin mama sanggup menerima cobaan ini. Zul

bahagia, mama mau berubah. Ya Allah, terima kasih atas nikmat yang Engkau beri. Aku

sayang mama,”gumanku pelan. Mama memelukku dengan kesedihan yang ada pada dirinya.

Lalu kuajak mama masuk ke dalam rumah. Aku takut kesedihan yang menimpa sama

mama mempengaruhi kesehatannya. Mama ikut masuk ke dalam rumah sambil menyeka air

matanya.

# # # # # #

Setelah kejadian malam itu, esok harinya mama sudah bangun sangat pagi-pagi sekali.

Mama sudah asyik dengan kegiatannya meramu olahan kue basah. Aku kagum dengan

kelincahan tangan mama dalam mengolah makanan berbentuk kue.

Ica pun kaget. Dipandanginya wajah mama seakan tak percaya. Mama yang dilihat

sebelumnya hanya betah di kamar, dan sekarang ada di hadapannya dengan kesibukan

meramu adonan menjadi beberapa kue. Mama dengan cekatan mencetak beberapa adonan

kue tersebut. Apalagi kami lihat, sudah ada tiga macam kue di atas meja dengan bentuk dan

struktur yang memikat. “Mama .., sudah berubah. Luar biasa ..!”bisik batinku.

“Loh, anak mama berdua sudah bangun. Tuh sudah mama siapin sarapan juga buat

kalian. Nanti Ica diantar Mas Zul ya. Mama mau pake keretanya ngantar kue-kue ini ke toko

langganan mama yang lalu. Bolehkan sayang ?”ujar mama pada Ica.
Ica tersenyum. “Iya ma. Ndak pa-pa. Ica senang kok diantar Mas Zul. Biar sekalian

pulang sekolah singgah ke perpustakaan ada yang mau dicari bahan tugas sekolah,”jawab Ica

gembira.

Ku lihat mama tersenyum. Di ciumnya pipi Ica dengan kasih sayang sambil mengucapkan

terima kasih pada Ica.

# # # # # #

Saat langkah kaki menuju rumah. Di teras kulihat Dea sudah menungguku bareng

mama. Dia tersenyum melihatku datang. Tatapannya sendu memandangku. Dengan ditatap

seperti itu, diriku menjadi jengah. Aku duduk di hadapan mereka. “Tumben datang. Tadi

engga kuliah. Ada apa!”tanyaku penuh selidik. Dea mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan

memberikannya padaku. Aku menerimanya. “Apa ini!”ujarku bertanya.

“Bacalah nanti saat Dea pulang. Sekarang pamit pulang ya !”gumannya seraya

bersalaman dengan mama dengan diriku. Aku mengeryitkan kening. Heran. Ada apa ini.

“Surat apa ini,”tanyaku lagi sambil menatap kepergian Dea berjalan menuju mobil yang

diparkirkan di depan rumah. Kukejar Dea. Kutarik pergelangan tangan Dea dengan lembut.

Lalu aku menanyakan tentang sikapnya yang berubah padaku. Kutanyakan pada Dea, arti

semuanya. Tapi Dea menepiskan tanganku dengan tetesan air matanya. Aku menjadi gusar.

Aku menghalangi langkah kakinya. Kutatap dengan penuh selidik. Tapi Dea hanya

tersenyum sekilas. Dea pamit dari hadapanku dan pergi bersama mobil yang membawanya.

“Ma, ada apa ma,”tanyaku ke mama. Mama hanya menggeleng pelan.Matanya

berkaca-kaca. Kulihat mama meninggalkan diriku seorang diri. Aku terkesima dengan

semuanya. Dengan perasaan was-was, kubuka amplop berwarna kuning. Apa isinya. Knapa
Dea membuat tanda tanya besar tentang semuanya. “Aneh! Mamapun ditanya langsung pergi.

Ada apa ya,”pikirku lagi.

Aku terkejut tatkala amplop kuning kubaca. Mataku terbeliak. Kaget. Tertulis nama

Dea dengan tulisan jelas yang tertera.

Dear Zul ..!

Maafkan aku. Aku tak sanggup untuk mengungkapkannya. Ada perasaan malu untuk

berkata. Bahwa sejujurnya aku punya perasaan yang lain dengan dirimu. Apakah itu cinta?

Rasa itu terungkap dalam balutan kasih sayang yang tulus dari hatiku yang paling dalam.

Tapi aku sadar. Aku tak pantas menerima cintamu. Sungguh. Aku tak kuasa menepis

perasaan itu.

Zul yang kusayang ..!

Maafkan aku. Aku sudah divonis dokter mengidap penyakit kanker. Tubuhku sudah rapuh

dalam penyakit yang kuderita. Aku mencoba bertahan untuk tegar dan mencintaimu. Tapi aku

kan berusaha untuk meraihnya, walau aku tertatih-tatih dalam mengapainya. Aku tak tahu apa

yang kuraih itu sama dengan perasaan dirimu kepadaku?

Setelah kau baca surat ini, aku dalam perjalanan untuk operasi yang akan kujalani.

Doaku, tetaplah menjadi Zul yang kukenal. Zul yang punya semangat dan cita-cita. Zul yang

sayang buat keluarga. Doaku untuk semuanya, bersama jawaban cintamu.

Salam cinta,

Dea Puspita

Tubuhku bergetar kencang. Kulihat nama Dea dalam tulisan yang tertera dengan

penyakit yang dideritanya. Aku diam. Tak sanggup untuk berkata-kata. Hatiku perih,

merasakan betapa sakit dan menderitanya Dea selama ini. Tanpa terasa hatiku kosong.

Hampa. Dea yang kukenal selama ini dengan keceriaannya, semangatnya, dan rasa pedulinya
pada diriku juga keluargaku. Dea dengan tulus selalu membantu dirinya saat duka dan duka.

Tapi sekarang, Dea dengan sendirinya berjuang melawan penyakitnya untuk sembuh. “Ya

Allah, kenapa aku seperti ini. Aku yang tak berani mengungkapkan perasaanku untuk Dea

dalam cintanya, dalam hati kami sudah bersama. Biar Dea mampu untuk melawan rasa

sakitnya dan sembuh ..,”ucapku dengan suara tercekat.

Tanpa kusadari mama sudah di sampingku. “Ma. Zul mencintai Dea, ma! Zul

menyayanginya. Zul .., engga tahu penyakit yang diderita Dea ..,”tukasku dipelukan mama.

Mama membelai rambutku. “Iya. Mama tahu Zul. Semua ini Dea yang merahasiakan

agar tidak perlu engkau ketahui. Dea takut, dirimu terlalu banyak memikirkan semua

persoalan yang dihadapi. Maafkan mama. Mama juga bersalah,”komentar mama dengan

suara lirih.

“Sabar ya Mas ..!”sebuah suara di sampingku. Kulihat Ica dengan tulus berkata. Aku

menjadi sedih. Diantara kedua orang yang kucintai, mereka turut merasakan apa yang

kualami. Dalam kesedihan diriku dengan dilema cintaku, mungkinkah berakhir bahagia atau

penuh luka?”bisikku berkata pelan dalam hati. Semuanya kupasrahkan kepada Sang Illahi.

Semoga mendengar dan menjawab doa hambanya.

Anda mungkin juga menyukai