Makalah Hukum Perlindungan Anak
Makalah Hukum Perlindungan Anak
Makalah Hukum Perlindungan Anak
“Disusun untuk memenuhi tugas kelompok dari Dosen mata kuliah Hukum Perlindungan
Anak dan Perempuan ”
OLEH KELOMPOK 3 :
FAKULTAS HUKUM
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah swt., karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kemampuan, kesempatan, dan pengetahuan sehingga makalah
ini bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah Hukum
Perlindungan Perempuan & Anak yang telah memberikan tugas kelompok ini, serta teman-teman
lain yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah yang berjudul
“Kekerasan Terhadap Anak” ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan bagi pembaca. Namun,
terlepas dari itu kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik yang konstruktif dan juga saran yang membangun dengan
maksud agar kedepannya makalah yang dibuat akan semakin lebih baik lagi.
Penyusun,
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di Indonesia salah satu masalah besar yang marak diperbincangkan adalah tindak
kriminal terhadap anak. Mulai dari kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan bentuk tindakan
kriminal lainnya yang berpengaruh negatif bagi kejiwaan anak.
Seharusnya seorang anak diberi pendidikan yang tinggi, serta didukung dengan kasih
sayang keluarga agar jiwanya tidak terganggu.hal ini terjadi karena Banyak orangtua
menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah
bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling
bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan
kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat
pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Kekerasan terhadap anak dapat diartikan sebagai perilaku yang sengaja maupun tidak
sengaja yang ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan fisik
maupun mental.Dalam menyiapkan generasi penerus bangsa anak merupakan asset utama.
Tumbuh kembang anak sejak dini adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara.
Namun dalam proses tumbuh kembang anak banyak dipengaruhi oleh berbagai factor baik
biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun kultural yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak –
hak anak.
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi anak telah disahkan Undang - Undang
(UU) Perlindungan Anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak – hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas berakhlak mulia
dan sejahtera.
Akibat kehilangan hak – haknya, banyak anak – anak menjalani hidup mereka sendiri.
Oleh karena tidak memiliki arah yang tepat, maka banyak pula anak - anak mulai bersinggungan
dengan hukum. Tindakan yang melawan hukum seperti pencurian, perkelahian dan narkoba
sangat sering dilakukan oleh anak. Hal ini terjadi karena mereka sudah kehilangan hak-hak yang
seharusnya mereka miliki.
Pasal 13 (1) Undang – undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan
setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain yang bertanggung jawab
atas pengasuhan.Selanjutnya dalam Pasal 11 UU No. 23 tahun 2002 disebutkan pula bahwa
setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri. Anak adalah pemimpin masa depan siapapun yang berbicara tentang masa
yang akan datang, harus berbicara tentang anak-anak.
Menyiapkan Indonesia kedepan tidak cukup kalau hanya berbicara soal income per kapita,
pertumbuhan ekonomi, nilai investasi, atau indikator makro lainnya. Sesuatu yang paling dasar
adalah sejauh mana kondisi anak disiapkan oleh keluarga, masyarakat dan negara. Anak – anak
yang karena ketidakmampuan, ketergantungan dan ketidakmatangan baik fisik mental maupun
intelektualnya perlu mendapat perlindungan, perawatan dan bimbingan dari orang tua
(dewasa).Perawatan, pengasuhan serta pendidikan anak merupakan kewajiban agama dan
kemanusiaan yang harus dilaksanakan mulai dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang senantiasa harus kita jaga karena
dalam dirinya melekat pula harkat, martabat dan hak – hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-
cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Orangtua,
keluarga dan masyarakat bertanggungjawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut
sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Kekerasan Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum ?
2. Bagaimana Perlindungan Hukum Kekerasan Terhadap Anak Sebagai Korban ?
3. Bagaimana Kebijakan Terhadap Perlindungan Anak ?
BAB II
PEMBAHASAN
Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasaan kemerdekaan secara melawan hukum. Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau
suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya atau keluarga sedarah
dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai dengan derajat ketiga. Anak terlantar adalah anak
yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun social.
Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua,
wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau
lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan dan kesehatan karena
orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara
wajar. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara,
membina, melindungi dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya
dan sesuai dengan kemampuan, bakat serta minatnya. Dari keterangan di atas bisa ditarik
kesimpulan bahwa kekerasan terhadap anak adalah perbuatan menyakiti badan anak tetapi tidak
sampai menimbulkan kematian. Kekerasan yang terjadi terhadap anak seperti memukul,
mencambak rambut, menyulut benda panas, mendorong, menarik dan kekerasan lainnya.
Terry E. Lawson, psikiater anak yang dikutip rakhmat dalam baihaqi mengklarifikasikan
kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat bentuk, yaitu emotional abuse, verbal
abuse, physical abuse, dan sexual abuse. Sementara itu, Suharto mengelompokkan child abuse
menjadi: physical abuse (kekerasan secara fisik), psychological abuse (kekerasan secara
psikologis), sexual abuse (kekerasan secara seksual), dan social abuse (kekerasan secara sosial).
Keempat bentuk child abuse ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara
anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual,
exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan
orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Yang tergolong dalam kekerasan
seksual terhadap anak di antaranya adalah: mempertontonkan anak kepada hal-hal
pornografi misalnya situs/gambar/ film/bacaan porno, mempertontonkan anak kepada
aktivitas seksual misalnya intercourse, mengarahkan anak kepada tindakan/gerakan
seksual, mempertontonkan alat kelamin kepada anak (exhibitionism), berhubungan
seksual dengan anak, meraba-raba atau memainkan organ vital anak, melakukan sodomi
terhadap anak, mengintip dan memata-matai anak ketika sedang mandi (voyeurism),
memandikan anak di atas usia 5 tahun sehingga anak tidak pernah merasa malu,
memotret anak dalam keadaan telanjang, menyebarkan potret anak dalam keadaan
telanjang, mengajarkan anak masturbasi, memaksa anak meraba alat kelamin pelaku dan
semua tindakan yang bertujuan mengeksploitasi anak secara seksual.
Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi
anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan
perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan,
diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan layak.
Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang
terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak
untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa
memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan
perkembangan fisik, psikis, dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di
pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah
dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata atau dipaksa
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
Penelantaran anak jangan sampai terjadi apalagi dalam masalah pendidikan, berilah
kesempatan pada anak untuk bersekolah, jadikan sekolah sebagai lingkungan yang ramah
terhadap anak sehingga bisa memperoleh pendidikan dengan baik, berproses diri untuk
merubah sikap dan prilaku ke arah lebih baik serta tumbuh berkembang potensi yang
dimilikinya, jauh dari segala bentuk tindak kekerasan, apalagi sampai dilakukan oleh
sang guru.
Menurut Tammi Prastowo, bentuk kekerasan terhadap anak yang lazim ditemukan
sebagai berikut:
Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak dapat terjadi karena faktor
pada anak, seperti: anak yang mengalami kelahiran prematur, anak yang mengalami sakit
sehingga mendatangkan masalah, hubungan yang tidak harmonis sehingga memengaruhi
watak, adanya proses kehamilan atau kelahiran yang sulit, kehadiran anak yang tidak
dikehendaki, anak yang mengalami cacat baik mental maupun fisik, anak yang sulit
diatur sikapnya dan anak yang meminta perhatian khusus.
Faktor pada orang tua meliputi: pernah tidak orang tua mengalami kekerasan atau
penganiayaan sewaktu kecil, menganggur atau karena pendapatan tidak mencukupi,
pecandu narkotika atau peminum alkohol, pengasingan sosial atau dikucilkan, waktu
senggang yang terbatas, karakter pribadi yang belum matang, mengalami gangguan
emosi atau kekacauan urat saraf yang lain, mengidap penyakit jiwa, sering kali menderita
gangguan kepribadian, berusia terlalu muda sehingga belum matang, terutama sekali
mereka yang mendapatkan anak sebelum usia 20 tahun. Kebanyakan orang tua dari
kelompok ini kurang memahami kebutuhan anak dan mengira bahwa anak dapat
memenuhi perasaannya sendiri dan latar belakang pendidikan orang tua yang rendah.
1. Perlindungan Hukum
Perlindungan adalah adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik
maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, ganguan, teror, dan kekerasa
dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengertian Anak adalah setiap manusia yang
berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Pengertian anak menurut
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak adalah orang yang
dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan menurut perspektif
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Korban adalah orang atau kelompok orang yang mengalami penderitaan
secara fisik, mental, maupun emosional serta mengalami kerugian ekonomi, atau
mengalami pengabaian, pengurangan dan perampasan hak – hak dasarnya sebagai akibat
s.d. Pasal 90
Perlindungan Terhadap anak juga dilakukan dengan menerbitkan peraturan-peraturan sebagai
berikut:
3) Undang – undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
4) Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3886)
5) Undang – undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10, Pasal 12
6) Undang – undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 Ayat (1),
7) Keppres Nomor 40 Tahun 2004 tentang Pertahanan Keamanan 2004 – 2009 tentang
Perdagangan Anak, Pornografi Anak, dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional
Konvensi Hak Anak entang Kterlibatan Anak dalam Konflik Senjata (2006)
8) Keppres Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk – bentuk
9) Keppres Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksplotasi
Perempuan dan Anak (RAN P3A). Peraturan hukum ini dapat digolongkan sebagai aturan
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam
penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait
dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu
yang harus diperoleh. Hak asasi manusia merupakan obyek yang sering dibahas dalam
era reformasi. Hak asasi manusia lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era
merupakan masalah yang cukup kompleks, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah terjadinya praktik perdagangan manusia.
Secara normatif, aturan hukum telah diciptakan guna mencegah dan mengatasi
Protokol Persatuan Bangsa-Bangsa atau United Nations (UN) Tahun 2000 dalam
perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas
2. Meskipun trafficking dilakukan atas persetujuan tenaga kerja yang bersangkutan, namun
persetujuan tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan trafficking
tersebut apabila terjadi penyalahgunaan atau korban berada dalam posisi tidak berdaya,
seperti terjerat hutang, terdesak oleh kebutuhan ekonomi, ditipu, atau diperdaya.
eksploitasi seksual
“Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer,
pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk
pengunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan
tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja
yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau dalam kondisi
perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu
penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali.”
a. Ancaman dan pemaksaan, umumnya dilakukan oleh pelaku yang telah dikenal oleh
korban. Dalam hal tersebut pelaku menggunakan kedekatannya dan kedudukannya yang
lebih superioritas dibanding korban, sehingga membuat korban berada dalam tekanan dan
kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak dapat menolak keinginan
pelaku.
b. Penculikan; umumnya korban diculik secara paksa atau melalui hipnotis melalui
anggota sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa atau disodomi terlebih dahulu oleh
paling sering dilakukan oleh sindikat trafficking. Korban ditipu oleh anggota sindikat
yang biasanya mengaku sebagai pencari tenaga kerja dengan menjanjikan gaji dan
fasilitas yang meyenangkan sehingga korban tertarik utuk mengikuti tanpa mengetahui
Kelompok yang rentan menjadi korban trafficking adalah orang-orang yang pada
umumnya berada dalam kondisi rentan seperti keluarga miskin, mereka yang
berpendidikan dan berpengetahuan terbatas, yang terlibat masalah ekonomi, politik dan
sosial yang serius; anggota keluarga yang mengalami krisis ekonomi, putus sekolah,
korban kekerasan, para pencari kerja, perempuan dan anak jalanan, korban penculikan,
janda cerai akibat pernikahan dini, mereka yang mendapat tekanan dari orang tua atau
lingkungannya untuk bekerja, bahkan pekerja seks yang menganggap bahwa bekerja di
Terjadinya human trafficking tidak disebabkan oleh satu hal. Human trafficking
disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang
berbeda-beda, antara lain :
a) Kemiskinan
untuk mendapatkan keterampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Seks komersial
kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi masalah pembiayaan hidup.
Kemiskinan pula yang mendorong kepergian ibu sebagai tenaga kerja wanita yang dapat
menyebabkan anak terlantar tanpa perlindungan sehingga beresiko menjadi korban perdagangan
manusia.
Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan kemampuan yang minim dan kurang
mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan masyarakat terjebak dalam utang para
penyalur tenaga kerja. Hal tersebut mendorong masyarakat khususnya perempuan masuk
Budaya pernikahan di usia muda yang sangat rentan terhadap perceraian, yang
diizinkan untuk menikah pada usia 16 (enam belas) tahun atau lebih muda jika mendapat
izin dari pengadilan. Meskipun begitu, dewasa ini pernikahan dini masih berlanjut
Budaya pernikahan dini menciptakan masalah sosioekonomi untuk pihak lelaki maupun
perempuan dalam perkawinan tersebut. Akan tetapi, dampak lebih besar diderita oleh perempuan.
Masalah-masalah yang mungkin muncul bagi perempuan dan gadis yang melakukan pernikahan
dini antara lain dampak buruk pada kesehatan (kehamilan prematur, penyebaran HIV/AIDS),
Anak dan orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak memiliki akta kelahiran amat rentan
terhadap eksploitasi. Subyek orang yang tidak dapat memiliki akta kelahiran sering
kehilangan perlindungan yang diberi hukum karena secara teknis berdasarkan ketentuan
Negara, orang tersebut tidak pernah ada. Rendahnya registrasi kelahiran khususnya di
dan anak-anak. Pelaku human trafficking memanfaatkan ketiadaan akta kelahiran asli untuk
Korupsi menjadi suatu yang hal yang dianggap wajar dalam kehidupan sehari-hari, karena
hampir seluruh lapisan masyarakat melakukan praktik korupsi. Atas hal tersebut, korupsi
memiliki peran integral dalam memfasilitasi perdagangan perempuan dan anak. Praktik
korupsi dimulai dari biaya illegal dan pemalsuan dokumen hingga menghalangi proses
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus perdagangan manusia.
yang lengkap tentang human trafficking. Media massa belum memberikan kontribusi yang
Bahkan sebaliknya, media massa sering memberikan informasi yang kurang mendidik dan
bersifat pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking dan kejahatan susila
lainnya.
h) Orang dengan pendidikan yang terbatas atau buta aksara memiliki risiko besar menderita
kontrak dan kondisi kerja mereka. Selain itu, mereka akan mengalami kesulitan untuk
mencari bantuan hukum ketika mereka kesulitan saat berimigrasi atau mencari pekerjaan.
Mereka mengalami kesulitan dalam mengakses sumber daya yang tersedia, tidak dapat
membaca atau mengerti brosur iklan layanan masyarakat lain mengenai rumah singgah
sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan
yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional,
namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai diantara aparat
penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang
terkait yaitu lembaga Pemerintah dan lembaga non Pemerintah (LSM), baik lokal maupun
internasional.
Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan
masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan
kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan
penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan
Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat memaksimalkan
jaringan kerjasama dengan sesama aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah negara,
untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan aparat penegak
hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual
legal assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara.
Masyarakat dapat ikut berperan serta dalam pencegahan trafficking dengan meminta
dukungan ILO, dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program
Prevention of Child Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program ini
adalah :
1. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah
Atas untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan;
2. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus Sekolah
Dasar;
5. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak dan
perempuan.
Dalam kejahatan human trafficking, hak dasar manusia tidak dihargai karena obyek
kejahatan trafficking dideterminasi secara ekstrim. Korban kejahatan human trafficking
diperlakukan secara tidak adil. Untuk menanggulangi aksi human trafficking, negara
berkewajiban melakukan beberapa hal, yaitu :
wajib diberikan kepada pelaku human trafficking. Proses penegakan hukum dijalankan
Upaya Pemerintah dalam upaya pencegahan dan memberikan penindakkan tegas atas praktik
undangkan yaitu :
3. Peratuuran Pemerintah nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Dan Mekanisme
4. Keputusan Presiden nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Perdagangan Anak.
5. Peraturan Presiden nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan TPPO
merupakan salah satu solusi dalam mencegah terjadinya praktik perdagangan orang. Apabila
kesadaran masyarakat akan bahaya dari perdagangan manusia sudah muncul, maka diharapkan
Upaya pencegahan human trafficking selanjutnya yaitu dengan memperluas tenaga kerja,
fokus pada program Usaha Kecil Menengah (UKM), serta pemberdayaan perempuan. Apabila
lapangan kerja sudah cukup memenuhi kebutuhan masyarakat, maka keinginan untuk bermigrasi
dan bekerja di luar negeri akan berkurang dan resiko perdagangan manusia pun akan semakin
meningkatkan kinerja para aparat penegak hokum dapat meminimalisir potensi peningkatan dan
timbulnya trafficking.Kemungkinan untuk terjadi akan semakin besar apabila tidak ada
pengawasan yang ketat oleh aparat yang terkait. Apabila pengawasan sudah ketat dan hukum
sudah ditegakkan, maka kasus perdagangan manusia dapat berkurang. Upaya berikutnya adalah
Diperlukan penyuluhan dan sosialisasi rutin mengenai perdagangan manusia kepada masyarakat.
Melalui sosialisasi yang dilakukan secara berkelanjutan, masyarakat akan mengetahui bahaya
masalah ini dan bagaimana solusinya. Pendidikan tidak hanya diberikan kepada masyarakat
golongan menengah ke atas namun justru diberikan kepada kaum kelas bawah karena
masyarakat dengan ketahanan ekonomi rendah rentan menjadi korban praktik perdagangan
manusia. perdagangan
Upaya lainnya adalah berperan aktif melaporkan kasus perdagangan manusia yang
diketahui kepada pihak yang berwajib. Masyarakat juga bisa mengarahkan keluarganya untuk
lebih berhati-hati terhadap orang lain, baik yang tidak dikenal maupun yang sudah dikenal.
Mungkin hal yang dilakukan hanyalah sesuatu yang kecil dan sederhana, namun apabila semua
orang bergerak untuk turut melakukannya, bukan tidak mungkin masalah ini akan teratasi.
Asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) yang tercantum
dalam KHA, kemudian dijabarkan dalam beberapa asas yang melindungi anak sebagai
pelaku tindak pidana dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 mewujudkannya dalam
norma-norma. Pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana dalam peradilan pidana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
sebagai berikut:
1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
menentukan Adanya pembatasan umur anak sebagai pelaku tindak pidana.
2. Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, 3 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
menentukan Pengadilan anak merupakan kompetensi absolut dari peradilan umum.
3. Pasal 1 ayat (5, 6, 7) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan perkara anak
ditangani oleh pejabat khusus
4. Pasal 42 ayat (1), Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan
Pengadilan Anak memeriksa anak dalam suasana kekeluargaan.
5. Pasal 7 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan Pengadilan
Anak mengharuskan adanya ”Splitsing Perkara”
6. Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 menentukan Bersidang dengan Hakim tunggal dan Hakim anak ditetapkan
oleh Ketua Mahkamah Agung RI.
7. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan Pemeriksaan perkara
anak di sidang anak dilakukan dalam sidang tertutup
8. Pasal 22, Pasal 23 ayat (1, 2, 3) dan Pasal 24 ayat (1) huruf a, b, dan c Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 menentukan Penjatuhan pidana anak yang lebih ringan daripada
orang dewasa
9. Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan Diperlukan
kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh serta diakuinya pembimbing
kemasyarakatan. Pasal 57 ayat (1 dan 2), Pasal 58 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 menentukan Adanya kehadiran penasehat hukum 11. Pasal 44 sampai
dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan Penahanan terhadap
anak lebih singkat dari orang dewasa.
Hal yang sangat mendasar yang merupakan reformasi pengaturan perlindungan hukum
bagi anak sebagai pelaku tindak pidana ada 4 poin yaitu:
a. Pengaturan tentang batasan umur anak yang terdiri dari batasan usia anak yang
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan batasan usia anak yang bisa
dilakukan penahanan terhadapnya dalam proses peradilan.
Batasan umur anak yang berkonflik dengan hukum ini sudah mengacu pada
instrumen Internasional yang member batasan usia anak pidana adalah diatas 12 (dua belas)
tahun. Memperhatikan usia perkembangan anak dari aspek psikologis, seorang anak usia
dibawah 12 (dua belas) tahun masih berada dalam kondisi yang belum stabil. Dengan melihat
berbagai ketentuan batas usia minimum baik yang berlaku di berbagai Negara maupun
pedoman sebagaimana diatur dalam instrument Internasional dan mengingat pula kondisi
objektif Negara Indonesia yang tergolong Negara berkembang, maka perkembangan
masyarakat pada umumnya relatif masih rendah. Baik secara langsung maupun tidak
langsung hal tersebut memberikan dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak
pada umumnya. Oleh karena itu, batas usia minimum 8 (delapan) tahun bagi anak yang dapat
diminta pertanggungjawaban pidana dirasakan masih terlalu rendah.
Penetapan usia minimum 12 (dua belas) tahun sejalan dengan konsep hukum Islam,
dia tidak dikatagorikan mumayiz (anak nakal) namun ia pun belum dikatagorikan baligh
walaupun sudah memiliki tanda tanda baligh yaitu laki-laki yang sudah mimpi basah dan
wanita yang sudah haid. Kondisi demikian masuk katagori remaja yaitu perubahan dari masa
kanak-kanak memasuki masa dewasa antara usia 12 (dua belas) tahun sampai 21 (dua puluh
satu) tahun.
- Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Syarat telah diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7
(tujuh) tahun tersebut adalah tepat, mengingat. ancaman pidana 7 (tujuh) tahun penjara
ditujukan terhadap pengklasifikasian tindak pidana berat.
b. Hal baru yang sangat mendasar dan perlu mendapat perhatian dalam kebijakan
ke depan adalah masalah “Diversi”.
a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan berdasarkan kasih sayang baik
dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh kembang dengan wajar.
b. Orang tua yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik
secara rohani, jasmani maupun sosial.
c. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan
menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan
perkembangannya. Pelayanan dan asuhan juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan
bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.
d. Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan dan
rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
Konsep diversi juga senada dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yaitu:
Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk
kekerasan fisik, mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual selama dalam
pengasuhan orangtua atau walinya atau pihak lainnya yang bertanggungjawab atas pengasuhan
anak tersebut. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual termasuk
perkosaan dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus
dikenakan pemberatan hukuman.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini tampak bahwa
perlakuan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, ditentukan sebagai berikut:
1. Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orangtuanya, kecuali jika ada alasan dan
aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak.
2. Hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan
orang tuanya tetap dijamin oleh undang-undang.
3. Berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan
hukuman yang tidak manusiawi.
4. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak
pidana yang masih anak.
5. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan
hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara
manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan
usianya dan harus dipisahkan dengan orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.
Prinsip-prinsip tersebut tampak selaras dengan tujuan dan bentuk diversi sebagaimana
diatur dalam UUSPPA. Konsep diversi juga terdapat dalam pasal 64 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak, yaitu pemberian perlindungan khusus bagi anak yang
berhadapan dengan hukum, dalam bentuk:
a. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan harkat dan martabat anak.
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan
dengan hukum
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi.
c. Jenis Pidana dan Tindakan Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum
Dalam penetapan jenis pidana dan tindakan bagi anak yang berkonflik dengan
hukum (anak sebagai pelaku tindak pidana) tidak terlepas dari tujuan dan pedoman
pemidanaan. Pada umumnya, penjatuhan sanksi pidana terhadap pelanggar hukum
seringkali dianggap sebagai tujuan dari hukum pidana. Oleh karena itu apabila si pelaku
sudah dijatuhi pidana, maka perkara pelanggaran hukum dianggap telah berakhir.
Dalam praktek saat ini, filosofi pemidanaan tidak sejalan dengan filosofi
dilaksanakannya peradilan pidana anak. Tujuan pemidanaan anak, perhatian diarahkan
atas dasar pemikiran dilaksanakannya peradilan anak tidak lain untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak sebagai bagian
integral dari kesejahteraan sosial.
Selanjutnya pengaturan atau reformasi tentang jenis sanksi bagi anak yang
berkonflik dengan hukum sudah dilandasi filosofis pemidanaan restoratif, Selanjutnya
pengaturan atau reformasi tentang jenis sanksi bagi anak yang berkonflik dengan hukum
sudah dilandasi filosofis pemidanaan restoratif, yaitu:
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
3) pengawasan.
c. pelatihan kerja;
e. penjara.
3. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana
denda diganti dengan pelatihan kerja.
.4. Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan
tindakan terhadap anak diatur dalam Pasal 82 UUSPPA, yang menyebutkan:
e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah
atau badan swasta;
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling
lama 1 (satu) tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam
tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Apabila dicermati formulasi jenis pidana dan tindakan pada UUSPPA tersebut
diatas sudah mencerminkan kepentingan dan kesejahteraan anak, dengan dirumuskannya
jenis-jenis pidana pokok yang bersifat non custodial (tidak bersifat perampasan
kemerdekaan). Ditegaskan dalam UUSPPA bahwa anak yang belum berusia 14 (empat
belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan
perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk
tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi
keadilan dan kemanusiaan.
Dalam Pengadilan Anak wewenang penuntutan terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana, ada pada jaksa Penuntut Umum Anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Jaksa Agung dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 sebagai berikut: a. telah berpengalaman sebagai Penuntut Umum
tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi
dan memahami masalah anak. Dalam h al Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian, ternyata terjadi tindak pidana yang dilakukan
oleh anak, maka Jaksa selaku Penuntut Umum dalam waktu secepatnya membuat surat
dakwaan dan kemudian melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Wewenang penuntutan
diatur dalm Pasal 53 dan 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
Hakim Anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas
usulKetua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi (Pasal 9
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997), dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 sebagai berikut: a. telah berpengalaman
sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan b. mempunyai minat,
perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Kedepannya “berpengalaman” harus
dijelaskan tenggang waktunya, berapa lama. Selanjutnya tingkat pendidikan untuk penyidik
anak minimal S1.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak adalah aset paling penting masa depan bangsa Indonesia. Oleh karena itu
melindungi anak berarti mempersiapkan masa depan negara. Negara telah mengatur berbagai
Human trafficking merupakan permasalahan yang sudah ada sejak kebudayaan manusia
itu ada dan terus terjadi sampai dengan hari ini. Penyebab utama terjadinya human trafficking
adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan serta keterampilan yang dimiliki oleh
masyarakat terutama mereka yang berada di pedesaan, sulitnya lapangan pekerjaan selain itu
juga masih lemahnya pelaksanaan hukum di Indonesia tentang perdagangan orang. Upaya
hukum dalam penanggulangan permasalahan tindak pidana human trafficking adalah melalui
penegakan hukum oleh aparat hukum dan pemberian sanksi yang berat terhadap pelaku human
sebagaimana diatur dalam UUSPPA adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi
B. Saran
Setelah mmenyusun makalah ini, maka kami menyarankan agar sistem perlindungan
anak di Indonesia harus ditingkatkan lagi, mengingat banyaknya resiko yang akan terjadi pada
anak-anak di Indonesia karena kesalahan penggunaan Sistem perlindungan anak di Indonesia ini.
Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan permasalahan yang harus segera
diselesaikan oleh seluruh Negara, termasuk Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan:
Buku-buku :
Gatot Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak,Cet. ketiga, Djambatan, Jakarta.
Hadi Setia T, 2003, UU RI No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Harvarindo, Jakarta.
Hesel Nogi S. Tangkilisan, 2003, Kebijakan Publik Yang Membumi, Konsep, Strategi dan Kasus,
Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta.
Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Paul SinlaEloe, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Setara Press, Jakarta, 2017
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Refika Aditama, Bandung.
Moch. Faisal Salam, 2005, Hukum Acara Peradila di Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
Nandang Tambah, 2010, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia,
cetakan I, Graha Ilmu, Jakarta. Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi
Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Cetakan 1,
Yogyakarta.
Sumber Lain :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak
http://www.poskotanews.com/2013/03/25/kekerasan-terhadap-anak-dan-perempuan-meningkat/
http://www.voaindonesia.com/content/tindak-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-semakin-
parah/1625738.html