Tugas Individu Sarfina Kartika Sari

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

KEPERAWATAN ANAK

BRONKOPNUMONIA DAN ASUHAN KEPERAWATANNYA

Disusun Oleh:

Sarfina Kartika Sari

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
A. DEFINISI
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi (Bennete, 2013) :
1.      Pneumonia lobaris
2.      Pneumonia interstisial (bronkiolitis)
3.      Bronkopneumonia
Bronkopneumonia merupakan peradangan yang terjadi pada parenkim paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, atau pun benda asing yang ditandai oleh
gejala panas yang tinggi, dispnea, gelisah, napas cepat dan dangkal, muntah, diare,
serta batuk kering dan produktif (Hidayat, 2008).
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan
pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga
mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang
disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada
juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan.Bronkopneumonia
lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang
melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya
kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa.
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan
bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution) (Bennete, 2013).Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada
paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan
oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011)

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di
bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011)
C. ETIOLOGI
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Bradley et.al., 2011) :
1.      Faktor Infeksi
a. Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus
(RSV).
b. Pada bayi :
1) Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus,
RSV,Cytomegalovirus.
2) Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
3) Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus
influenza,Mycobacterium tuberculosa, Bordetella pertusis.
c. Pada anak-anak :
1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV
2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
3) Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
d. Pada anak besar – dewasa muda :
1) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi
a. Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung
(zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b. Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara
intranasal, termasuk jeli petroleum.Setiap keadaan yang mengganggu
mekanisme menelan seperti palatoskizis,pemberian makanan dengan posisi
horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada
anak yang sedang menangis.Keparahan penyakit tergantung pada jenis
minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam
lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
bronkopneumonia.Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit
yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada
bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

D. KLASIFIKASI
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan
pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara
klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru
a. Pneumonia lobaris
b. Pneumonia interstitialis
c. Bronkopneumonia
2. Berdasarkan asal infeksi
a. Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia =
CAP)
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
a. Pneumonia bakteri
b. Pneumonia virus
c. Pneumonia mikoplasma
d. Pneumonia jamur
4. Berdasarkan karakteristik penyakit
a. Pneumonia tipikal
b. Pneumonia atipikal
5. Berdasarkan lama penyakit
a. Pneumonia akut
b. Pneumonia persisten
E. PATOGENESIS
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim
paru.Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan
anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.Mekanisme pertahanan
awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus.Mekanisme
pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang
diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah.Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah
melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang
melalui hematogen.Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi
saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan
respon imun.Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului
dengan infeksi virus.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan
ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial.Pneumonia
bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah,
eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang
dikenal dengan stadium hepatisasi merah.Konsolidasi jaringan menyebabkan
penurunan compliance paru dan kapasitas vital.Peningkatan aliran darah yamg
melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis
(ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya
hipoksemia.  Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan
disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu).Pada kebanyakan
kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara
enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk.Apabila
infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura
menyebabkan terjadinya empyema.Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung
secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan
pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1.    Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel
imun dan cedera jaringan.Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin.Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan
otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen
dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2.    Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan
pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
3.    Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
4.    Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
F. MANIFESTASI KLINIK
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi
saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak
sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi.Anak sangat
gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan
sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal
penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya
berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia
ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):
1. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah
retraksi dinding dada;penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping
hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan
intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi
jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada
dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae
supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang
melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin
positif.Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat
interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan
fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat
dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini
terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak
beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital.
Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”,
adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya
distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara
abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung
memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas
atas dan keseluruhan.Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas
dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.    
2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan
getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi
perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi
akan berkurang.
3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
4. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek
dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya).
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui
sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

G. KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al., 2011):
1. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada
2. Panas badan
3. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
4. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

H. KOMPLIKASI
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam
rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi (Bradley et.al., 2011).
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri
dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et.al.,
2011)
1. Penatalaksaan Umum
a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau
PaO2pada analisis gas darah ≥ 60 torr.
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan
pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti
awal.
b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung
c. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi
klinis. Pneumonia ringan  amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah
dengan angka resistensi  penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90
mg/kgBB/hari).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
2. Berat ringan penyakit
3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan
corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir
lapang paru.Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete,
2013).
2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit.Hitung
leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.Infeksi virus
leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan limfosit
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm 3 dengan
neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri
serta peningkatan LED.Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.Isolasi
mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak
rutin dilakukan (Bennete, 2013).
Kasus
Bayi perempuan (10 bulan) dirawat di ruang perawatan dengan diagnosis medis bhroncopneumonia. Bayi K hanya mau minum ASI sedikit-
sedikit. Pada saat dilakukan pengkajian bayi sesak napas, pernapasan 50 x/ menit, T = 37 0C, terpasang O2 2 l/menit, dengan nasal kanul. Suara
napas rhonki diseluruh lapang paru, sering batuk. Perawat memberikan posisi kepala lebih tinggi.

ASUHAN KEPERAWATAN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bayi K
Usia : 10 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Diagnosa Medis : Bronkopneumonia
II. KELUHAN UTAMA
Keluarga klien mengatakan bahwa klien sesak napas dan sering batuk
III. PENGKAJIAN
Analisa Data
NO HARI/ DATA MASALAH ETIOLOGI DIAGNOSA TTD
TGL
1 Senin, DO : Ketidakefektifan Infeksi bakteri Ketidakefektifan
06  Dari hasil auskultasi paru terdengar suara bersihan jalan bronkopneumonia bersihan jalan napas
April ronkhi diseluruh lapang paru napas b.d Infeksi bakteri
2015  Bayi terpasang O2 2 l/menit dengan nasal bronkopneumonia
kanul
DS :
 Ibu bayi mengatakan anaknya hanya minum
sedikit ASI.
 Ibu bayi mengatakan anaknya sesak napas
 Ibu bayi mengatakan anaknya sering batuk
2 Senin, DO: Resiko Usaha napas Resiko kekurangan
6 April  Bayi sesak napas. kekurangan volume cairan b.d
2015  RR 50 x/menit volume cairan kehilangan cairan
DS: dampak dari usaha

 Ibu bayi mengatakan anaknya hanya napas

minum sedikit ASI


IV. DIAGNOSA
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d infeksi bakteri bronkopneumonia
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan dampak dari usaha napas.
V. INTERVENSI
HARI/ TUJUAN DAN KRITERIA
NO DIAGNOSA INTERVENSI RASIONALISASI TTD
TGL HASIL
1 Senin, Ketidakefektifan Setelah dilakukan intervensi - Mengkaji frekuensi, - Untuk mengetahui
06 bersihan jalan selama 2 hari 24 jam klien kedalaman dan ekspansi kondisi lapang paru.
April napas b.d infeksi menunjukan tidak sesak napas dada melalui pengkajian
2015 bakteri atau sesak IPPA
bronkopneumonia napas berkurang dengan - Klien diposisikan semi - Untuk memfasilitasi
kriteria hasil : fowler dengan durasi 15 klien dalam
 Keluarga klien menit mempermudah proses
mengatakan bahwa klien bernapas klien.
tidak menunjukan sesak - Memberikan Terapi O2 2 - Untuk mengencerkan
napas liter/menit sekret, dan
 Klien tidak membutuhkan memperlebar jalan
nasal kanul napas sehingga sekret
 Hasil auskultasi tidak mudah dikeluarkan
menunjukan suara ronkhi - Berikan fisioterapi dada - Untuk memfasilitasi
pada seluruh lapang paru untuk membantu klien dalam
 Keluarga klien pengeluaran sekret pengeluaran sekret.
mengatakan klien tidak
batuk
2 Senin, Resiko kekurangan Setelah dilakukan intervensi - Meningkatkan frekwensi - Membantu
6 April volume cairan selama 2 hari 24 jam klien pemasukan cairan mengencerkan sekresi
2015 berhubungan menunjukan melalui oral pernafasan dan
dengan kehilangan kriteria hasil : mencegah status
cairan dampak dari cairan tubuh.
usaha napas - Libatkan orang tua
dalam menemukan cara
untuk memenuhi
kebutuhan cairan.
- Monitor pengeluaran Mengetahui
urine tiap 8 jam perbandingan antara
pemasukan dan
pengeluaran cairan
- Berikan cairan infus Memenuhi kebutuhan
sesuai program dokter cairan dan elektrolit
- Kolaborasi tentang Mencegah timbulnya
pemberian antipiretik demam
DAFTAR PUSTAKA
1. Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia.
http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview. (9 Marert 2013)
2. Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan
S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011. The Management of
Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the
Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630
3. Hidayat, A. A. (2008). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit            IDAI Posted by dr.
Ahimsa Yoga Anindita at 8:15 AM

Anda mungkin juga menyukai