Tradisi Mebanten Soroh Telu GD Mudita
Tradisi Mebanten Soroh Telu GD Mudita
Tradisi Mebanten Soroh Telu GD Mudita
PENDAHULUAN
Pulau Bali dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura yang menjadi corak
dan ciri khas keberadaan umat Hindu di Bali yang realita kehidupannya tidak
terlepas dari yang namanya Yadnya. Hampir setiap hari terlihat aktivitas-aktivitas
tercakup dalam Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Adapun bagian-bagian dari
Tiga Kerangka Dasar yang menjadi landasan pengamalan ajaran agama, yaitu:
(1) Tattwa, yaitu filsafat atau pengetahuan ajaran Agama Hindu yang
harus dipahami dan dimengerti agar apa yang dilaksanakan oleh
pemeluknya benar-benar sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Kitab
Suci Agama Hindu. (2) Susila, yaitu dharma atau etika merupakan suatu
ajaran yang menjadi landasan atau tolak ukur dalam bertingkah laku di
masyarakat dalam menjalankan ajaran agama. (3) Upacara, yaitu bentuk
pelaksanaan ajaran Agama Hindu dengan menggunakan media sebagai
sarana mewujudkan rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa yang terdiri dari bebantenan sebagai simbol
(Wiana,1997:15).
Yadnya dengan baik dan khidmat. Selain itu, demi keharmonisan dan
keseimbangan hidup umat Hindu di Bali sangat mengusung yang namanya konsep
Tri Hita Karana yaitu tiga hubungan yang harmonis. Unsur-unsur Tri Hita
1
Melalui implementasi Tri Hita Karana itu umat Hindu di Bali tetap
harmonis baik dengan Ida Sang Hyang Widhi, mereka mewujudkan bhaktinya
melaksanakan Yadnya, baik Yadnya setiap hari seperti Yadnya Sesa dan
mecaru, ngenteg linggih, dan Usabha. Harmonisasi dengan sesama manusia, umat
serta selalu menerapkan sikap toleransi terhadap perbedaan tradisi maupun adat di
baik di areal pura/palinggih, rumah maupun lingkungan sekitar dan secara sekala
Bali juga terkenal memiliki beragam tradisi yang turun-temurun yang lahir di
keberagaman budaya Bali. Tradisi itu sendiri erat kaitannya dengan pelaksanaan
Yadnya, baik itu Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya,
maupun Butha Yadnya sehingga tradisi dikatakan sebagai pelengkap Yadnya dan
sangat disakralkan. Namun dari sekian tradisi, ada pula tradisi yang dijadikan
sebagai sebuah pertontonan untuk orang banyak baik dari masyarakat daerah itu
2
sendiri, dari luar daerah bahkan tamu/ wisatawan/mancanegara. Dengan tradisi
daya tarik wisatawan lain untuk datang menyaksikan tradisi tersebut sehingga
Namun, dari sekian banyak tradisi yang ada masih banyak pula masyarakat
anaknya sejak dini agar mereka mengetahui setiap tradisi yang ada di daerahnya.
Hal itu dapat dijadikan sebagai upaya meneruskan tradisi dan mampu
dan kepada orang-orang luar daerah yang belum mengetahui tradisi yang dimiliki
tujuan dan maknanya oleh generasi muda Abiancanang dan kalangan masyarakat
luar. Padahal tradisi ini memiliki keunikan dan nilai-nilai agama yang tinggi salah
satunya tradisi Mebanten Soroh Telu yang dilaksanakan saat Upacara Usabha
Dalem. Tradisi ini sangat unik mengingat cara pembuatan bantennya tidak sama
seperti deaerah lainnya. Di sisi lain, masyarakat itu sendiri kurang mengetahui apa
tujuan dari melakukan tradisi Mebanten Soroh Telu, sehingga tradisi ini sangat
judul “Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha Dalem di Banjar
3
1.2 Identifikasi Masalah
1.2.2 Belum semua masyarakat mengetahui tradisi Mebanten Soroh Telu dalam
Usabha Dalem.
1.2.5
Generasi muda Hindu di Banjar Adat Abiancanang cenderung kurang
penelitian ini dibatasi hanya pada beberapa masalah pokok, yakni sebagai berikut.
1.3.1 Sarana yang digunakan pada tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara
Kabupaten Karangasem
1.3.2 Prosesi Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha Dalem di
4
Makna Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha Dalem di
1.4. Sarana apa saja yang digunakan dalam tradisi Mebanten Soroh Telu pada
Apa makna yang terkandung dalam tradisi Mebanten Soroh Telu saat
sebagai berikut:
5
1.5.3 Maggis Kabupaten Karangasem.
Manfaat penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan
khasanah ilmu pengetahuan, tentang tradisi secara umum dan tradisi Mebanten
tentang kebudayaan.
6
3) Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai ajang
Telu yang sarat dengan makna, sehingga dapat menggugah hati untuk
terus melestarikannya.
4) Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi
dengan ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
2.1 Tinjauan Tentang Tradisi
Kata tradisi berasal dari bahasa Latin traditio, sebuah nomina yang
dibentuk dari kata kerja traderere atau trader ‘mentransmisi, menyampaikan, dan
dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam waktu yang cukup lama sehingga
kebiasaan itu menjadi bagian dari kehidupan sosial komunitas. Ada tiga
materi, adat, dan ungkapan verbal sebagai milik bersama yang diteruskan untuk
terjadi proses kepemilikan tradisi, pada saat itulah tradisi itu menciptakan dan
mengukuhkan rasa identitas kelompok. Ketiga, tradisi itu merupakan sesuatu yang
dikenal dan diakui oleh kelompok itu sebagai tradisinya. Sisi lain menciptakan
dan mengukuhkan identitas dengan cara berpartisipasi dalam suatu tradisi adalah
bahwa tradisi itu sendiri harus dikenal dan diakui sebagai sesuatu yang bermakna
oleh kelompok itu. Sepanjang kelompok masyarakat mengklaim tradisi itu sebagai
miliknya dan berpartisipasi dalam tradisi itu, hal itu memperbolehkan mereka
berbagi bersama atas nilai dan keyakinan yang penting bagi mereka (Martha and
8
“Tradisi merupakan warisan budaya tidak tertulis, tetapi dipatuhi oleh
Selain itu, “tradisi juga dapat diartikan sebagai kebiasaan bersama dalam
masyarakat manusia, yang secara otomatis akan memengaruhi aksi dan reaksi
dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat itu” (Palguna, 2009: 6).
Tradisi adalah segala tindakan yang ajeg dilakukan di suatu daerah secara turun
temurun. Tradisi merupakan kesamaan benda material dan gagasan yang berasal
dari masa lalu namun masih ada sampai saat ini. Tradisi dapat didefinisikan
sebagai warisan yang benar atau warisan masa lalu (Sztompka, 2010: 69).
masa lalu dan masa kini. Hal itu ditunjukkan kepada sesuatu yang diwariskan oleh
masa lalu, tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa dewasa ini. Tradisi
kehidupan yang bersifat duniawi maupun rohani atau keagamaan. Pola perilaku
dalam tradisi diatur melalui pola hubungan manusia satu dengan manusia lain atau
sistem yang memiliki pola dan norma yang mengatur penggunaan hukuman dan
Sinkretisme hadir sebagai pencampuran antara dua tradisi atau lebih dan terjadi
9
lantaran masyarakat mengadopsi suatu kepercayaan dan berusaha untuk tidak
terjadi benturan dengan gagasan dan praktek budaya lama (Mulder, 1992:285).
suatu kebiasaan yang lahir di suatu daerah tertentu serta sudah turun-temurun dan
dilaksanakan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat yang otomatis dapat mempengaruhi aksi dan reaksi masyarakat dalam
berikutnya.
“Manusia tak mampu hidup tanpa tradisi meski mereka sering merasa tak puas
terhadap tradisi mereka”. Oleh karena itu ditegaskan bahwa suatu tradisi itu
dianut kini serta di dalam benda yang diciptakan di masa lalu. Tradisi pun
orang dalam tindakan kini dan untuk membangun masa depan. Oleh
masa kini.
10
2. Tradisi berfungsi memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup,
dilakukan karena orang lain melakukan hal yang sama di masa lalu atau
sebelumnya.
komunitas dan kelompok. Tradis daerah, kota, dan komunitas lokal sama
keyakinan, pranata, dan aturan yang sudah ada; (3) menyediakan simbol identitas
11
komunitas dan kelompok; dan (4) membantu menyediakan tempat pelarian dari
memiliki makna yang berbeda-besa sesuai tradisi tersebut. Makna tradisi yang
sebagai berikut.
1) Makna Religius
(Sri Adnyani dan Sudarsana, 2017: 228). Selain itu makna religius adalah
sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas segala kenikmatan yang
(Juni Ariyanti, 2016: 76). Oleh karena itu, makna religius ini bisa
2) Makna Sosial
Berbagai tradisi yang dilaksanakan umumnya tidak luput dari rasa sosial di
dibina dan dikembangkan. Oleh karena itu, makna sosial ini merupakan
12
makna yang melekat pada suatu tradisi yang melibatkan berbagai
perseorangan.
Yang Maha Esa yang telah menciptakan dan menguasai alam semesta
beserta isinya (Sri Adnyani dan Sudarsana, 2017: 229). Oleh karena itu,
semua makhluk yang ada di dunia bersujud syukur agar selalu diberikan
4) Makna Edukatif
keagamaan maupun lainnya (Juni Ariyanti, 2016 74). Oleh karena itu,
5) Makna Ekonomis
karena itu, suatu tradisi bisa saja juga mengandung makna ekonomis.
13
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa setidaknya suatu
tradisi itu memiliki makna religius, sosial, ungkapan rasa syukur, ekonomis, dan
edukatif. Bahkan makna-makna spesifik lainnya yang melekat pada setiap tradisi.
1. Persiapan
2. Prosesi inti
(Cahyana mandala Putra, 2017: 6). Prosesi inti ini menjadi kegiatan pokok
dalam sebuah tradisi yang dilakukan oleh semua masyarakat yang terlibat,
pada waktu dan tempat yang telah ditentukan sesuai dengan langkah-
3. Penutup
Penutup sama artinya dengan kata menutup dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia yang artinya menyudahi atau mengakhiri. Dalam hal ini setiap
14
kegiatan selalu ada acara penutup yang menandai bahwa perayaan acara
tradisi pada umumnya terdiri atas 3 (tiga) hal pokok, yakni persiapan,
Dalam Kamus Bahasa Bali, kata mebanten berawal dari kata banten
(bahasa Bali) mendapat awalan (pangater) ma-, menjadi kata mebanten (Budha
Gautama dan sariani: 534). Segala bentuk yadnya yang dilaksanakan di Bali
sesungguhnya berasal dari kata bang dan enten, suku kata bangi bisa diartikan
Brahma (Sang Hyang Widhi) sedangkan enten bisa diartikan ingatt atau sadar.
dirinya, suapaya selalu ingat dengan keberadaan Sang Hyang Widhi karena
belaiau adalah pencipta segala isi di dunia ini” (Sudarsana, 2003: 13-14).
sarana upacara lazim disebut Banten” (Putra, 1998: 23). Dengan demikian banten
diartikan sebagai visualisasi dari beberapa jenis bahan atau perlengkapan upacara
yang diatur sedemikian rupa sehingga indah sekali dilihat dan mempunyai arti
memiliki aspek supra empiris yang artinya bahwa banten itu memiliki suatu
kekuatan spritual unutk mendektkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Ida
15
Sang Hyang Widhi Wasa” (Wiana ,1997: 6-10). Dalam buku yang sama uraian
yang diambil pada lontar Yadnya Prakerti, dicantumkan arti dan makna banten
sebagai berikut:
merupakan gabungan dari beberapa jenis bahan atau perlengkapan upacara yang
diatur sedemikian rupa sehingga indah dilihat dan mempunyai arti, simbolis,
mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
Dalam aktivitas ritual Agama Hindu di Bali tidak pernah lepas dari
bhakti ke pada Tuhan. “Banten adalah persembahan dan sarana bagi umat Hindu
mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan merupakan wujud rasa
terima kasih, cinta dan bakti karena telah dilimpahi wara nugeraha” (Putra, 1998:
23).
Hindu juga adalah bahasa agama. Karena sesungguhnya, banten itu hanya salah
satu dari sekian banyak cara untuk berkomunikasi dengan sang pencipta. Bukan
16
berarti tidak penting, itu cukup penting hanya saja itu lebih seperti bahasa agama”
berasar dari dua suku kata, yakni; upa dan kara. Kata Upa dalam Kamus Bahasa
Sanskerta yang berarti; atas, kesini, tentang dan dekat. Sedangkan kata kara
berarti tangan (Team Penyusun, 1982: 32). Selanjutnya Sudarsana (2010: 12)
disebutkan berasal dari suku kata upa, re dan angga. Upa berarti perantara, re
berasal dari raditya yang diartikan pancaran sinar suci Sang Hyang Widhi, dan
angga diartikan wujud atau perwujudan Sang Hyang Widhi. Sehingga Uparengga
Demikianlah arti kata banten. Sedangkan kata soroh telu dalam Kamus
Bahasa Bali, kata soroh berarti jenis, sedangkan kata telu berarti tiga (Budha
Gautama dan sariani: 534). Jadi Mebanten Soroh Telu berarti prosesi
Secara etimologi, Upacara berasal dari kata Upa dan Cara. Upa berarti dekat,
sekitar, berhubungan. Cara berarti gerakan. Jadi upacara adalah: “Segala sesuatu
pelaksanaan sesuatu” (Putra, 2001: 6). Senada dengan pendapat di atas, dalam
17
kamus Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa: “Upacara mengandung arti tanda-
perbuatan yang terikat dengan aturan adat, perayaan yang dilakukan sehubungan
religi atau agama yang dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk
agama biasanya dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas
menggambarkan upacara sesaji sebagai suatu upacara yang gembira dan meriah.
Upacara adalah sebuah kata yag berasal dari bahasa Sansekerta yang
berarti mendekati disamping mendekati juga berarti penghormatan. Inti
upacara agama adalah tattwanya memang suatu aktivitas yang
mendekatkan manusia dengan alam lingkungan dengan tujuan untuk alam
yang Butahita artinya alam lingkungan yang sejahtera (Wiana, 1997: 38).
mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
yang harmonis antar sesama, lingkungan dengan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Manusia ingin mendekatkan diri dengan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena merasa bahwa dalam dirinya
bersemayam atman yang merupakan bagian dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa
18
ialah cara melakukan hubungan antara Atman dengan Paramatman, antara
manusia dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa serta semua
2001: 5).
Secara umum pelaksanaan yadnya dibagi menjadi dua jenis yaitu: yadnya
yang dilaksanakan setiap hari disebut dengan Nitya Karma, contohnya yadnya
sesa dan yadnya yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu yang disebut dengan
Karma, maka dapat diuraikan jenis-jenis pelaksanaan yadnya yang terdiri dari
lima bagian yang disebut dengan Panca Yadnya yang saling berkaitan satu dengan
1. Dewa Yadnya
Yadnya ini umumnya pada saat rerainan seperti halnya Galungan, Saraswati,
terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
persembahan yang ditunjukan kepada para Dewa yang dilaksanakan pada saat hari
19
2. Rsi Yadnya
“Rsi Yadnya berarti persembahan suci kepada Brahmana atau para Rsi atas
jasa beliau dalam membina umat dan mengembangkan ajaran agama” (Wiana,
2001: 6). Pendapat lain mengatakan bahwa: “Rsi Yadnya merupakan suatu
penghormatan atau pemujaan kepada para Rsi yang telah memberikan tuntunan
hidup menuju kebahagian lahir dan bathin didunia dan akhirat” (Putra, 1998: 72).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Rsi Yadnya merupakan suatu
korban suci yang tulus ikhlas yang ditujukan kehadapan Brahmana atau Maha
Rsi atas semua jasa-jasanya yang selalu memberikan tuntunan umat beragama
3. Pitra Yadnya
Dalam buku Catur Yadnya dijelaskan bahwa: Pitra Yadnya terdiri dari
kata pitra dan yadnya. Pitra berarti bapak/ibu, leluhur yang terhormat.
singkatnya Pitra Yadnya itu adalah suatu penyaluran tenaga (sikap, tingkah laku
untuk dan perberbuatan), atas dasar ketulus ikhlasan yang ditunjukan kepada
Dalam buku Panca Yadnya diuraikan Pitra Yadnya adalah “Penyucian dan
Agama Hindu” (Putra, 1998: 47). Pendapat lain menyebutkan: “Pitra atau pitara
Dari uraian di atas Pitra Yadnya berarti suatu korban suci yang tulus
ikhlas yang dilaksanakan dengan jalan dharma kepada leluhur atau roh nenek
20
moyang yang telah meninggal, dengan tujuan agar mendapat jalan yang terang di
alam keabadian dan sebagai ungkapan rasa terima kasih terhadap jasa-jasanya.
4. Manusa Yadnya
upacara yang dilaksanakan dari dalam kandungan sampai manusia lahir ke dunia
5. Bhuta Yadnya
“Upacara Bhuta Yadnya adalah salah satu pelaksanaan Tri Rna khususnya
Dewa Rna. “Bhuta” artinya “unsur yang diadakan” diciptakan oleh Yang Maha
Ada, dan Ida Hyang Widhi Wasa” (Putra, 1998: 15). Dalam buku pelajaran
Agama Hindu disebutkan bahwa: “Bhuta Yadnya adalah persembahan suci yang
ditunjukan pada Bhuta kala, dengan tujuan untuk memelihara, menyucikan dan
nyupat Bhuta kala agar tidak mengganggu kehidupan manusia” (Wiana, 2001:12).
21
Jadi upacara Bhuta Yadnya adalah suatu pelaksanaan Tri Rna khususnya Dewa
Rna berupa pengorbanan suci kepada semua makhluk yang nyata maupun yang
Agama Hindu merupakan jalan untuk melakukan hubungan dengan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan sebagai sumber
desa atau subak (Tim Penyusun Kamus, 2005: 841). Berdasarkan etimologi, kata
dalam upaya menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang
Maha Esa), dengan segenap manifestasi-Nya. Ngusabha berasal dari kata utsawa,
dalam bahasa Bali, Usabha (ngusabha) atau pengusabhan yang mempunyai arti
ganda diambil dari kata sabha (bahasa Jawa Kuno/Bali) berarti pertemuan (rapat).
Utsawa (Usabha) berarti pesta atau perjamuan. Sering didengar kata yang biasa
Sementara itu, kata desa berarti tempat atau wilayah. Dengan demikian,
kata upacara ngusabha desa berarti sidang atau pertemuan para dewata-dewati
beserta isinya. Arti lainnya yang terkandung dalam kata Usabha Desa adalah
22
pesta atau persembahan suci dalam satu wilayah yang ditujukan ke Ida Sang
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa pada sebuah tempat suci atau Pura, dan juga
diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasi-Nya. Upacara
Usabha ini dilaksanakan setahun sekali dan prosesinya sesuai dengan desa kala
antaranya "Bali adalah pulau dengan ribuan pura” (Bali the island of thousand
temples). Di samping itu, Pulau Bali juga disebut dengan nama Pulau Dewata (the
island of god). Pernyataan ini dihubungkan dengan adanya banyak pura di Bali
Menurut data tahun 1979 tercatat jumlah pura di Bali sebanyak 5.259
buahyang terdiri dari 9 buah Kahyangan Jagat Bali, Dang Kahyangan sebanyak
714 buah, Kahyangan Tiga 4.368 buah. Jumlah ini belum termasuk tempat suci
untuk pemujaan roh suci leluhur yang disebut Pura Kawitan atau Pura Dadya,
Adanya banyak pura di Bali bukanlah berarti Umat Hindu di Indonesia dan
monotheis, karena yang distanakan di pura-pura itu adalah Prabhawa dari Sang
23
Kata Pura dalam Bahasa Sansekerta berasal dari akar kata Pur yang
berarti kota atau benteng atau kota berbenteng. Ini berarti pula sesuatu tempat
yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi oleh tembok-tembok
Tabrani, (1992:18). Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam penjelasan Sudharta
& Atmaja, (2005: 77), bahwa Pura adalah benteng rohani, pengaman sraddha dan
bhakti. Pura adalah suatu tempat khusus yang disucikan dan dikelilingi oleh
Widhi Wasa dengan segala manifestasi-Nya. Istilah Pura dalam bahasa Latin
disebut Templum. Dalam Bahasa Inggris Temple, yaitu suatu bangunan, struktur
yang disucikan oleh sesuatu simbul yang khusus, keramat dan suci. Pura atau
Temple pada mulanya adalah berarti lahan yang dikelilingi pagar atau tembok
tempat memuliakan dan memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa beserta prabawa atau manifestasi-Nya sesuai dengan tugas dan fungsi-Nya.
Walaupun di Pulau Bali dijumpai banyak Pura atau Kahyangan tidaklah berarti
dan menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa, pura juga berfungsi untuk memuja dan menghubunkan diri dengan roh suci
leluhur. Pura adalah salah satu wujud budaya agama sebagai media penghayatan
terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Pura adalah
bangunan suci yang harus ditempatkan pada areal yang suci menurut pandangan
ajara Agama Hindu yang diterapkan di Bali. Areal suci itu adalah areal yang
24
mengarah ke matahari terbit dan ke arah gunung (Wiana, 2004:4). Sedangkan
menurut Pendit (1984:91), bahwa “ istilah Pura yang berasal dari kata Sansekerta,
mengandung arti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat
pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa”.Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, dijelaskan bahwa kata Pura memiliki arti sebagai tempat beribadat
yang senada juga dikemukakan oleh Gautama dan Sariani (2009:518), bahwa “
Pura memiliki arti sebagai tempat suci Umat Hindu Dharma”. Dalam bahasa Bali
dan juga dalam bahasa Indonesia, arti kata Pura mengkhusus sebagai tempat
Pura adalah bangunan suci yang ditempatkan pada areal suci sesuai dengan
petunjuk sastra agama yang berfungsi sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang
pura sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
dengan segala manifestasi-Nya, Pura juga berfungsi tempat memuja roh suci
leluhur.
Pemahaman Weda bahwa yang satu (Tuhan) ada pada semua dan yang
konsep Padma Bhuana di Bali. Tuhan (Siwa) yang meliputi dan karenanya ada di
25
Kepercayaan akan Tuhan sebagai penguasa kiblat, telah disinggung
bahkan sejak zaman Rg Weda. Di sana, pada Mandala X, Adyaya 36. Sloka 14
Artinya
Dewa dari Barat, Dewa dari Timur, Dewa dari Utara, Dewa dari Selatan
Semoga ia melimpahkan umur yang panjang (Maswinara, 2004: 127).
Sebutan Dewa di kepala (Dewa penjaga kiblat), yaitu: (1) Indra di Timur,
(2) Yama di Selatan, (3) Waruna di Barat, (4) Kwera di Utara, (5) Agni di
Tenggara, (6) Surya di Barat Daya (7) Marut/Wayu di Barat Laut dan Isana/Siwa
di Timur Laut.
mengakar sebagai salah satu aspek ajaran Widhitattwa yang mewarnai Agama
Hindu di daerah ini. Oleh karena Dewa Siwa adalah sebutan Tuhan yang
digunakan, maka Dewa Siwa sebagai Dewa tertinggi dalam Siwaisme ini,
sebelas Dewa (Eka Dasa Rudra). Berikut dikutip keterangan dari Lontar Bhuana
Artinya:
26
Timur Laut, Siwatma di bawah, Sadasiwa di Tegah, Paramasiwa di atas
(Tim Penyusun, 1991: 41)
(Selatan), Rudra (Barat Daya), Mahadewa (Barat), Sangkara (Barat Laut), Wisnu
(Utara), Sambhu (Timur Laut) dan Siwa (Tengah). Tetapi, sebelas perwujudan
Siwa seperti dipaparkan dalam ayat yang dikutip, berhubungan dengan konsepsi
Siwa dalam Ekadasa Rudra. Sedangkan hubunganya dengan penelitian ini, hanya
dibahas sembilam Dewa, yang dikenal sebagai Nawa Dewata atau Dewata Nawa
tertentu, termasuk wahana dan senjatanya, dilukiskan dalam Padma Asta Dala
menguraikan tentang symbol warna dan aksara menurut Dewata Nawa Sanga
Artinya:
27
Demikian jenis aksara suci yang merupakan simbol kekuatan Dewa Nawa
Sanga yang digunakan dalam Aji Kawisesan di Bali. Mengenai lambang warna
yang dimiliki oleh masing-masing Dewa dalam konsep Dewata Nawa Sanga,
(Stuti-stava)
Om isvara purvadesa ca, tejo maya sveta rupam
Brahma daksina desa ca teja rakta maha ghoram
Mahadeva pascima iingam, tejo pita rupam dewam
Sivo madhyo murti deva,sarvo tejo maha viryam
Artinya:
penguasa kiblat itu memiliki energi (kekutan) yang dilambangkan dengan Dewi
(Wisnu), Mahadewi (Sambhu), dan Uma (Siwa). Maka dengan demikian, dalam
Agama Hindu di Bali, pemujaan kepada para Dewa dengan tujuan untuk
jagat, sebagai tempat suci pemujaan Dewa Nawa Dewata di Bali. Kesembilan
28
Pemahaman tentang Siwa sebagai Nawa Dewata ini, menjadi landasan
konseptual bukan saja dalam wilayah Bali, namun melandasi pula pendirian Pura
Menurut Gorda (1996:8), Struktur Pura adalah Struktur secara pisik dan
Pura yang terdiri dari satu halaman, dua halaman, tiga halaman dan tujuh
halaman. Yang lumrah adalah Pura yang terdiri dari tiga halaman yaitu Nistha
pembatas, untuk membedakan areal Pura sebagai areal suci dengan areal di luar
tembok Pura secara profan. Sebagai suatu kosmis, Pura terbagi menjadi tiga
adalah suatu proyeksi dari Tri Bhuana yaitu Bhur,Bhawah dan swah.
Demikian pula Pura yang terdiri satu halaman adalah proyeksi dari Eka
Bhuana. Pura yang terdiri dari dua halaman adalah proyeksi dari alam atas
(Urdhah) dan alam bawah (Adhah) atau Pritiwi dan Akasa, sedangkan Pura yang
Struktur letak halaman Pura dapat dibedakan menjadi dua yaitu ada Pura
yang struktur halamannya turun dan naik. Pura dengan struktur halaman naik
mencapai pada konsep Sapta Loka dan Pura struktur halaman turun mengacu
pada konsep Sapta Patala (Kitab Andha Bhuana). Pada mulanya Pura didirikan di
gunung gunung, di pinggir laut, di pinggir danau dan di pinggir sungai. Namun
29
perkembangan selanjutnya Pura didirikan di mana saja asalkan dipandang layak
Sebelum Mpu Kuturan datang ke Bali umat hindu di Bali telah memiliki
konsep Rwa Bhineda yang diproyeksikan kedalam konsep hulu teben, atau atas
bawah, muka belakang dan hidup mati. Berdasarkan konsep itu Pura dibangun di
hulu desa yang biasanya disebut Pura Penataran (fungsinya sebagai pelindung
kehidupan) dan Pura di teben yang biasa disebut Pura Setra (fungsinya sebagai
tempat pralina). Setelah Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad XI, Pura
dibangun didasarkan atas proyeksi konsep Tri Murti, dalam wujud Pura Desa di
tengah Desa, Pura Puseh di hulu Desa dan Pura Dalem di tebenan Desa.
Pada tahap awalnya Pura Penataran di jadikan Pura Desa dan Puseh
dengan mengisi pelinggih Gedong Artha untuk pelinggih Betara Brahma dan
Pelinggih Meru untuk Betara Wisnu. Bagi desa yang di bangun sejak datangnya
Mpu Kuturan di desa desa di bangunlah Kahyangan Tiga yaitu Pura Desa, Pura
Puseh dan Pura Dalem. Mpu Kuturan juga membangun Sad Kahyangan Jagat
Bali dan Kahyangan Jagat lainnya. Pura-pura yang sudah ada sebelum Mpu
Kuturan, masih tetap dipelihara dan masih tetap ada pada sekarang di Bali.
Fungsi memiliki arti yang hampir sama dengan kegunaan. Fungsi yang
dimaksud disini adalah fungsi dari bangunan suci (Pura) yang dipakai tempat
sembahyang bagi Umat Hindu. Setiap Pura yang dibangun disuatu tempat
memiliki fungsi yang berbeda dari Pura-pura yang lainnya. Hal ini sangat terkait
dari keyakinan Umat Hindu yang membangun Pura tersebut. Ditinjau dari fungsi
30
menjadi dua bagian yaitu: (1) Pura sebagai penyungsungan umat, yaitu tempat
sembahyang untuk memuliakan dan memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi
Wasa bagi Umat Hindu di Bali tanpa melihat asal usul warga, dan (2) Pura
sebagai penyungsungan khusus yaitu tempat suci untuk memuliakan dan memuja
arwah suci dari para leluhur yaitu Bhatara Bhatari dari satu warga kelompok
keturuan yang tersusun secara vertikal dimulai dari Paibon, Panti Dadia dan
Dadia Agung atau Merajan dan Merajan Agung sampai kepada Pura Kawitan
(Wijayananda, 2004: 2)
jenis Pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat Suci untuk memuja Ida Sang
fungsinya, yaitu (1) Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, para Dewata, dan (2) Pura yang berfungsi sebagai tempat
untuk memuja Bhatara, yaitu roh suci leluhur yang sudah diupacarai sesuai
dengan kitab suci Weda. Mengenai pembagian jenis Pura di Bali secara sistematis
amatlah sulit, akan tetapi secara garis besarnya, Pura dapat dirinci lebih jauh
sosial, politik, ekonomis dan geneologis (garis kelahiran). Ikatan sosial antara lain
berdasarkan tempat tinggal (Teritorial), ikatan pergaulan atas jasa seseorang guru
suci (Dang acarya), sedangankan ikatan politik di masa lampau antara lain
dan lain sebagainya. Ikatan geonologis atas dasar garis kelahiran. Hal senada di
31
sampaikan oleh Surayin, (2005:11), bahwa fungsi Pura yang ada di Bali dan di
Indonesia dapat di bagi menjadi dua yaitu: (1) sebagai tempat suci untuk memuja
Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi) dan Manifestasi-Nya. Jenis Pura ini
dikelompokan ke dalam Pura umum, (2) Sebagai tempat suci untuk memuja
Bhatara Kawitan atau roh suci leluhur. Jenis Pura ini dikelompokkan ke dalam
Pura Kawitan.
meliputi dua hal yaitu: (1) Dewa Pratisha adalah Pura yang berfungsi untuk
memuja Tuhan sebagai jiwa alam semesta (macrocosmos) dengan segala aspek
Brahmana, dan (2) Atma Pratistha, yaitu Pura yan memuja Tuhan dalam
fungsinya sebagai jiwa yan suci dari manusia (microcosmos). Tuhan sebagai jiwa
Sudarsana (1998: 9), menyebutkan bahwa kata pura berasal dari bahasa
Sansekerta yang berasal dari urat kata pur artinya kubu, benteng atau pagar. Dari
arti kata pura di atas sekarang berubah makna menjadi tempat pemujaan Ida Sang
Pura adalah tempat pemujaan bagi Umat Hindu, istilah Pura berasal dari
bahasa Sansekerta yang artinya kota atau benteng,tapi sekarang berubah arti
menjadi tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Sebelum digunakan istilah pura sebagai tempat pemujaan atau tempat suci disebut
32
Pura merupakan tempat sembahyang bagi pemeluk agama Hindu. Jenis
dan fungsinya pun beragam, seperti halnya Pura Dalem yang erat kaitannya
dengan urusan kanuragan, termasuk bagi penekun ilmu Pangleakan. Pura berasal
dari bahasa Sansekerta, yang berarti benteng yang berhubungan dengan kerajaan
disebut Puri.
Karena banyaknya Pura yang ada, Bali kemudian dijuluki sebagai Pulau
Seribu Pura. Selain banyak jumlahnya, pura juga beragam jenisnya. Salah satu
jenis atau golongannya adalah Pura Kahyangan Tiga. Sesuai penyebutannya, Pura
Kahyangan Tiga terdiri atas tiga Pura, yakni Pura Desa, Puseh, dan Dalem. Sesuai
konsep Tri Murti, Pura Desa adalah stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang
Pura Puseh sebagai stana Dewa Wisnu dengan kuasa pemelihara. Sementara Pura
Pura Dalem cenderung di selatan desa adata atau desa pakraman karena
menurut pangideran Panca Brahma, Dewa Brahma sebagai penguasa arah selatan.
Hal ini kembali terkait dengan Siwa Brahma Prajapati. Dengan demikian,
Berbeda dengan hal tersebut, Pura Dalem Puri berbeda dengan Pura
Prajapati. Pura Dalem Puri ini adalah hulunya Pura Dalem Kahyangan Tiga,
33
yang ada di setiap Desa Adat di Bali. Dengan demikian, dikatakan bahwa jika
Pura Dalem Puri Besakih tergolong Pura yang merupakan stana saktinya
atau kekuatan magis religiusnya dari Dewa Siwa yang disebut dengan Uma Dewi
atau Dewi Durga. “Karena itu, pintu masuk Pura Dalem Puri ini berhadap-
hadapan dengan pintu masuk Pura Penataran Agung Besakih yang berbentuk
Candi Bentar. Umat Hindu di Bali yang cenderung menonjolkan Siwa Siddhanta,
percaya bahwa roh orang yang telah meninggal itu semua disimbolkan menuju
34
BAB III
METODE PENELITIAN
tujuan tersebut diperlukan cara atau metode. Metode dalam penelitian sangat
berperan penting karena dengan menggunakan metode yang tepat, bisa diperoleh
data yang tepat pula untuk menjawab masalah penelitian. Subagyo (2004: 24)
mengatakan bahwa, “metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos yang
berarti cara atau jalan”. Pendapat lain juga mengatakan bahwa “Metode artinya
cara yang tepat untuk melakukan sesuatu” (Narbuko dan Acmadi, 2001:1).
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Husman dan Akbar (2003:42) yang
menyatakan bahwa, “metode ialah suatu prosedur atau suatu cara untuk
metode adalah suatu jalan atau suatu cara yang dilalui untuk mencapai sasaran
atau tujuan pemecahan masalah dan suatu cara yang digunakan di dalam suatu
menurut Narbuko dan Achmadi (2001: 1), “Penelitian adalah suatu kegiatan untuk
pekerjaan atau mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dan
35
dengan hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan sehingga dapat
rangkaian ilmiah yang dilakukan secara sistematis dan objektif serta dengan
menggunakan metode tertentu dalam rangka pemecahan suatu masalah yang dapat
Jadi metode penelitian adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh untuk
kevalidan suatu data sangat penting sehingga hasil penelitian dapat dipertanggung
berbagai jenis, antara lain: (1) menurut bidangnya, penelitian terdiri atas berbagai
jenis sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan. Ada penelitian sejarah, pendidikan,
bahasa, teknik, biologi, pertanian, dan penelitian lainnya sesuai dengan jumlah
penelitian terbagi atas penelitian murni (pure reseach) dan penelitian terpakai
(applied reseach). (4) Menurut tujuannya, penelitian terdiri atas penelitian yang
36
reseach), dan penelitian yang dilakukan dengan tujuan menguji kebenaran ilmiah
atas penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. (7) Menurut jenis gejala yang
diteliti, penelitian terdiri atas penelitian expost facto dan penelitian eksperimen.
dari Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha Dalem di Banjar Adat
dilakukan karena gejala yang akan diteliti sifatnya atau keadaannya berbeda-beda,
maka cara pendekatannya juga harus berbeda”. Ada tiga klasifikasi gejala dalam
37
penelitian, yaitu gejala empiris, gejala buatan dan gejala yang bersifat khusus.
Atas dasar jenis gejala tersebut, terdapat pula tiga jenis metode pendekatan, yakni:
pendekatan ini digunakan untuk meneliti gejala buatan yang dirancang sesuai
dengan kebutuhannya. (3) Metode klinis (clinical method) adalah suatu cara
approach), karena gejala yang diteliti sudah ada secara wajar, dengan jalan
meneliti sarana, prosesi, dan makna Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara
Karangasem yang ada dari dulu dan masih ada sampai kini.
menentukan siapa saja yang menjadi subjek penelitian sebagai sumber data. Dwija
(2006 : 14) mengatakan bahwa “subjek penelitian adalah setiap individu yang
38
Sedangkan yang dimaksud dengan metode penentuan subjek penelitian
adalah metode yang khusus digunakan dalam rangka penentuan subjek penelitian
individu yang akan dikaji maka metode penentuan subjek penelitian dibedakan
subjek penelitian terdiri dari beberapa individu yang jumlahnya terbatas, misalnya
dua, tiga, empat dan paling banyak lima. (3) Studi Populasi dalah penelitian yang
adalah suatu cara penentu subjek penelitian terdiri dari sebagian individu yang
mewakili jumlah individu yang lebih besar atau sering disebut populasi.
(2006: 28-38) menyatakan Teknik penarikan sampel dibedakan menjadi dua jenis
sampling adalah metode penentuan sampel yang didasarkan atas teori probabilitas,
dengan ciri adanya proses pemilihan sampel secara acak atau random. (2) Non
mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Dalam non
probability sampling ada empat teknik sampling, yaitu: (1) convinience sampling
39
untuk mendapatkannya. (2) Purposive sampling adalah suatu teknik pengambilan
dengan jalan mengambil sejumlah anggota populasi berdasarkan ciri tertentu. (4)
Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang dimulai dari ukuran
sampel kecil dan makin lama makin membesar seperti bola salju yang
sampling dengan teknik purposive sampling dalam hal ini yaitu Kelian Banjar
Adat Abiancanang, Jero Mangku Pura Dalem, Para Pengayah Desa, para tukang
banten,dan para Senior desa yang mengetahui seluk beluk Tradisi Mebanten
Soroh Telu Dalam Upacara Usabha Dalem. Pemilihan sampel ini didasarkan
tentang masalah yang diteliti sehingga informasi yang didapat sesuai dengan
tujuan penelitian.
berikut:
40
Hadi (1997: 66) mengungkapkan bahwa: “Data kualitatif adalah data yang
diukur secara tidak langsung, sedangkan data kuantitatif adalah data yang dapat
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data kualitatif yang
penulisan tentang Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha Dalem di
primer dan data sekunder. Menurut Subagyo, (2004: 88), data primer adalah data
yang diperoleh secara langsung dari masyarakat baik yang dilakukan melalui
wawancara, observasi dan alat lainnya”. Data primer dapat diperoleh dan digali
dari sumber utamanya (sumber asli) baik berupa data kualitatif maupun
kuantitatif. Sementara itu, menurut Azwar, (1997: 91), “Data primer atau data
tangan pertama adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan
Dalam penelitian ini yang termasuk data primer adalah data yang
diperoleh dari informan yang mengetahui tentang objek yang dijadikan penelitian
ini, yaitu data mengenai tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha Dalem
Menurut Subagyo, (2004: 88), ”Data sekunder adalah data yang diperoleh
dari perpustakaan, data ini biasanya digunakan untuk melengkapi data primer”.
Azwar (1997: 91) mengemukakan bahwa data sekunder adalah data yang
41
diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya. Data ini berwujud data
kutipan dari buku, surat kabar, maupun prasasti. Beberapa sumber tertulis yang
memberikan informasi tentang tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha
merupakan suatu cara digunakan dalam memperoleh data terkait dengan objek
penelitian”. Cara atau teknis pengumpulan data sangat menentukan kualitas dan
kevalidan data yang diperoleh dalam suatu penelitian. Apabila teknis penentuan
data memenuhi persyaratan, maka sudah barang tentu data yang didapatkan akan
(2006: 41) menyatakan bahwa: “Metode pengumpulan data adalah suatu cara
pencatatan dokumen”.
3.6.1 Observasi
42
Subagyo (2004: 62) mengatakan bahwa: “Metode observasi adalah suatu
situasi yang diteliti, yaitu tentang Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara
Karangasem.
3.6.2 Wawancara
memperoleh keterangan untuk tujuan dengan cara tanya jawab, sambil bertatap
43
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode interview atau
wawancara. Metode wawancara adalah suatu cara untuk memperoleh data secara
sistematis dengan mengadakan tanya jawab secara lisan dengan informan. Dalam
penelitian tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Usabha Pura Dalem ini, wawancara
seperti buku, surat kabar, catatan transkrip, notulen, prasasti, agenda dan
sebagainya”.
data dari berbagai sumber tertulis yang telah ada sebelumnya, seperti buku, surat
kabar, catatan transkrip, notulen, prasasti, agenda dan sebagainya dengan cara
pribadi warga berkaitan dengan pelaksanaan tradisi Mebanten Soroh Telu pada
tahun-tahun sebelumnya.
44
3.7 Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian data masih mentah yang belum
berarti apa-apa. Untuk dapat memberi gambaran sesuai dengan tujuan penelitian,
maka data yang terkumpul perlu diolah dengan metode yang relevan.
(1) Metode deskriptif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan
dengan cara menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu
kesimpulan umum. (2) Metode komperatif adalah suatu cara pengolahan
data dengan jalan mengadakan bandingan secara sistematis serta terus
menerus sehingga diperoleh kesimpulan umum, dan (3) Metode analisa
adalah suatu cara pengolahan data yang dilakuakan dengan jalan
mempergunakan suatu teknik analisa tertentu sehingga dieroleh tes.
deskriptif yaitu data yang diperoleh dan diolah dengan jalan menyusun data yang
adalah teknik induksi dan teknik argumentasi yaitu dengan cara terlebih dahulu
45
DAFTAR PUSTAKA
Ariyanti, Juni. 2016. Bentuk Makna Simbolis dan Fungsi Tradisi Nyandran di
Desa Kedunglon Kecamatan Kemiri Kabupaten Purwerejo.
Cahyana Mandala Putra, I Made. 2017. Tradisi Masuryak Pada Hari Raya
Kuningan di Desa Pakraman Bongan gede desa Bongan Tabanan Bali dan
Potensi Sebagai Sumber Belajar Sejarah di SMA.
Gautama Budha dan Sariani, Niwayan. Kamus Bahasa Bali. Surabaya: Paramita
Hartono, dkk. 2004, Tri Hita Karana, Tiga Konsep Menuju Hidup yang
Seimbang. Denpasar: Upada Sastra.
https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/09/07/12129/menguak-misteri-pura-
dalem-bagi-umat-hindu-bali
Husman dan Setiadi Akbar. 2003. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Mulder, Niels. 1992. “Sinkretisme Agama atau Agama Asia Tenggara?” Basis,
Agustus
Narbuko, Cholid dan H. Abu. Achmadi. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi
Aksara
46
Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito
Palguna. 2009. 16 Agustus. Jauhi Hukum Adat Jadi Pembahasan. Radar Bali.
Tim Penyusun . 2005. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
______.2004. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Renika Cipta
47