Tradisi Mebanten Soroh Telu GD Mudita

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pulau Bali dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura yang menjadi corak

dan ciri khas keberadaan umat Hindu di Bali yang realita kehidupannya tidak

terlepas dari yang namanya Yadnya. Hampir setiap hari terlihat aktivitas-aktivitas

kebudayaan yang dilandasi pengamalan terhadap ajaran agama Hindu yang

tercakup dalam Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Adapun bagian-bagian dari

Tiga Kerangka Dasar yang menjadi landasan pengamalan ajaran agama, yaitu:

(1) Tattwa, yaitu filsafat atau pengetahuan ajaran Agama Hindu yang
harus dipahami dan dimengerti agar apa yang dilaksanakan oleh
pemeluknya benar-benar sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Kitab
Suci Agama Hindu. (2) Susila, yaitu dharma atau etika merupakan suatu
ajaran yang menjadi landasan atau tolak ukur dalam bertingkah laku di
masyarakat dalam menjalankan ajaran agama. (3) Upacara, yaitu bentuk
pelaksanaan ajaran Agama Hindu dengan menggunakan media sebagai
sarana mewujudkan rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa yang terdiri dari bebantenan sebagai simbol
(Wiana,1997:15).

Dengan memahami ajaran tersebut, umat Hindu dapat melaksanakan

Yadnya dengan baik dan khidmat. Selain itu, demi keharmonisan dan

keseimbangan hidup umat Hindu di Bali sangat mengusung yang namanya konsep

Tri Hita Karana yaitu tiga hubungan yang harmonis. Unsur-unsur Tri Hita

Karana ada tiga, yaitu:

(a) Parhyangan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara manusia


dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. (b)
Pawongan yaitu membina hubungan harmonis antara manusia dengan
sesamanya sehingga tercipta keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
(c) Palemahan, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan
lingkungan (Hartono dkk, 2004: 33).

1
Melalui implementasi Tri Hita Karana itu umat Hindu di Bali tetap

harmonis baik dengan Ida Sang Hyang Widhi, mereka mewujudkan bhaktinya

dengan melaksanakan persembahyangan Tri Sandya dan Kramaning Sembah serta

melaksanakan Yadnya, baik Yadnya setiap hari seperti Yadnya Sesa dan

mempersembahkan canang maupun Yadnya pada hari–hari tertentu seperti

mecaru, ngenteg linggih, dan Usabha. Harmonisasi dengan sesama manusia, umat

Hindu di Bali mewujudkannya dengan saling mengormati, saling menghargai,

serta selalu menerapkan sikap toleransi terhadap perbedaan tradisi maupun adat di

daerahnya masing-masing maupun dengan masyarakat/umat yang berbeda

keyakinan agar hubungan selalu harmonis dan selaras. harmonis dengan

lingkungan diwujudkan dengan mereka selalu menjaga kebersihan lingkungan

baik di areal pura/palinggih, rumah maupun lingkungan sekitar dan secara sekala

dengan melaksanankan Butha Yadnya/Caru, serta tidak menyakiti tumbuh-

tumbuhan serta binatang.

Berbicara tentang sikap toleransi sebagai implementasi pawongan, Pulau

Bali juga terkenal memiliki beragam tradisi yang turun-temurun yang lahir di

daerah masing-masing yang memiliki makna dan filosofi yang berbeda-beda

sesuai dengan kepercayaan masyarakat setempat dan dilaksanakan pada hari-hari

raya tertentu sesuai dengan tradisi masing-masing sehingga menambah

keberagaman budaya Bali. Tradisi itu sendiri erat kaitannya dengan pelaksanaan

Yadnya, baik itu Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya,

maupun Butha Yadnya sehingga tradisi dikatakan sebagai pelengkap Yadnya dan

sangat disakralkan. Namun dari sekian tradisi, ada pula tradisi yang dijadikan

sebagai sebuah pertontonan untuk orang banyak baik dari masyarakat daerah itu

2
sendiri, dari luar daerah bahkan tamu/ wisatawan/mancanegara. Dengan tradisi

tersebut dipertunjukan kepada masyarakat luas akan semakin banyak menambah

daya tarik wisatawan lain untuk datang menyaksikan tradisi tersebut sehingga

tradisi Bali akan dikenal ke seluruh dunia.

Namun, dari sekian banyak tradisi yang ada masih banyak pula masyarakat

yang tidak mengetahui tradisi-tradisi di daerahnya masing-masing, sehingga

diharapkan kepada masyarakat agar memperkenalkan tradisinya kepada anak-

anaknya sejak dini agar mereka mengetahui setiap tradisi yang ada di daerahnya.

Hal itu dapat dijadikan sebagai upaya meneruskan tradisi dan mampu

melestarikan dan menjaga kesakralan tradisi tesebut serta mampu

memperkenalkan tradisi-tradisi yang dimiliki kepada generasi-generasi berikutnya

dan kepada orang-orang luar daerah yang belum mengetahui tradisi yang dimiliki

agar tradisi kita tidak terlupakan.

Begitu pula dengan tradisi di Desa Abiancanang yang belum diketahui

tujuan dan maknanya oleh generasi muda Abiancanang dan kalangan masyarakat

luar. Padahal tradisi ini memiliki keunikan dan nilai-nilai agama yang tinggi salah

satunya tradisi Mebanten Soroh Telu yang dilaksanakan saat Upacara Usabha

Dalem. Tradisi ini sangat unik mengingat cara pembuatan bantennya tidak sama

seperti deaerah lainnya. Di sisi lain, masyarakat itu sendiri kurang mengetahui apa

tujuan dari melakukan tradisi Mebanten Soroh Telu, sehingga tradisi ini sangat

menarik untuk diteliti generasi muda Desa Abiancanang.

Dengan demikian, muncul ketertarikan untuk menulis penelitian dengan

judul “Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha Dalem di Banjar

Adat Abiancanang Kecamatan Maggis Kabupaten Karangasem”.

3
1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan

masalahnya sebagai berikut.

1.2.1 Belum semua masyarakat di Banjar Adat Abiancanang mengetahui tradisi

yang ada di daerahnya .

1.2.2 Belum semua masyarakat mengetahui tradisi Mebanten Soroh Telu dalam

Upacara Usabha Dalem di Banjar Adat Abiancanang Kecamatan Maggis


1.2.3 Belum semua masyarakat Banjar Adat Abiancanang yang mengetahui

isi/bahan yang digunakan sebagai sarana tradisi Mebanten Soroh Telu.


1.2.4
Belum semua masyarakat di Banjar Adat Abiancanang mengetahui makna

yang terkandung pada tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara

Usabha Dalem.
1.2.5
Generasi muda Hindu di Banjar Adat Abiancanang cenderung kurang

mengenal dan kurang memahami tradisi Mebanten Soroh Telu dalam

Upacara Usabha Dalem ini.

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang begitu kompleks di atas, dalam

penelitian ini dibatasi hanya pada beberapa masalah pokok, yakni sebagai berikut.

1.3.1 Sarana yang digunakan pada tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara

Usabha Dalem di Banjar Adat Abiancanang Kecamatan Maggis

Kabupaten Karangasem
1.3.2 Prosesi Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha Dalem di

Banjar Adat Abiancanang Kecamatan Maggis Kabupaten Karangasem


1.3.3

4
Makna Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha Dalem di

Banjar Adat Abiancanang Kecamatan Maggis Kabupaten Karangasem

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dalam penelitian ini dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut.

1.4. Sarana apa saja yang digunakan dalam tradisi Mebanten Soroh Telu pada

1 saat Upacara Usabha Dalem di Banjar Adat Abiancanang Kecamatan

Maggis Kabupaten Karangasem?

Bagaimanakah proses pelaksanaan tradisi Mebanten Soroh Telu saat


1.4. Upacara Usabha Dalem di Banjar Adat Abiancanang Kecamatan Maggis
2 Kabupaten Karangasem?

Apa makna yang terkandung dalam tradisi Mebanten Soroh Telu saat

Upacara Usabha Dalem di Banjar Adat Abiancanang Kecamatan Maggis


1.4.
Kabupaten Karangasem?
3

1.5 Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian ini

sebagai berikut:

1.5.1 Untuk mendeskripsikan sarana yang digunakan dalam tradisi Mebanten

Soroh Telu saat Upacara Usabha Dalem di Banjar Adat Abiancanang

Kecamatan Maggis Kabupaten Karangasem.


1.5.2 Untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan tradisi Mebanten Soroh Telu

dalam Upacara Usabha Dalem di Banjar Adat Abiancanang Kecamatan

5
1.5.3 Maggis Kabupaten Karangasem.

Untuk mendeskripsikan makna yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi

Mebanten Soroh Telu saat Upacara Usabha Dalem di Banjar Adat

Abiancanang Kecamatan Maggis Kabupaten Karangasem.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan

manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut diuraikan sebagai berikut:

1.6.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya

khasanah ilmu pengetahuan, tentang tradisi secara umum dan tradisi Mebanten

Soroh Telu di Desa Abiancanang, Kecamatan Maggis, Kabupaten Karangasem

secara khusus. Bahkan, hasil penelitian ini dapat memperkaya literatur-literatur

tentang kebudayaan.

1.6.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pihak-pihak sebagai berikut.

1) Bagi masyarakat/umat Hindu di Abiancanang, hasil penelitian ini dapat

secara praktis digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan tradisi

Mebanten Soroh Telu pada tahun-tahun berikutnya.

2) Bagi Dinas Kebudayaan, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk

menambah literasi dan sekaligus sebagai dokumentasi pencatatan warisan

budaya tak benda berkaitan dengan tradisi yang ada di Karangasem.

6
3) Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai ajang

pembelajaran dan menimba pengalaman mengenai tradisi Mebanten Soroh

Telu yang sarat dengan makna, sehingga dapat menggugah hati untuk

terus melestarikannya.

4) Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi

atau bahan pembanding dalam melakukan kajian-kajian yang serupa

dengan ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

7
2.1 Tinjauan Tentang Tradisi

2.1.1 Pengertian Tradisi

Kata tradisi berasal dari bahasa Latin traditio, sebuah nomina yang

dibentuk dari kata kerja traderere atau trader ‘mentransmisi, menyampaikan, dan

mengamankan’.Sebagai nomina, kata traditio berarti kebiasaan yang disampaikan

dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam waktu yang cukup lama sehingga

kebiasaan itu menjadi bagian dari kehidupan sosial komunitas. Ada tiga

karakteristik tradisi. Pertama, tradisi itu merupakan kebiasaan dan sekaligus

proses kegiatan yang dimiliki bersama suatu komunitas. Pengertian ini

mengimplikasikan bahwa tradisi itu memiliki makna kontinuitas (keberlanjutan),

materi, adat, dan ungkapan verbal sebagai milik bersama yang diteruskan untuk

dipraktikkan dalam kelompok masyarakat tertentu. Kedua, tradisi itu merupakan

sesuatu yang menciptakan dan mengukuhkan identitas. Memilih tradisi

memperkuat nilai dan keyakinan pembentukan kelompok komunitas. Ketika

terjadi proses kepemilikan tradisi, pada saat itulah tradisi itu menciptakan dan

mengukuhkan rasa identitas kelompok. Ketiga, tradisi itu merupakan sesuatu yang

dikenal dan diakui oleh kelompok itu sebagai tradisinya. Sisi lain menciptakan

dan mengukuhkan identitas dengan cara berpartisipasi dalam suatu tradisi adalah

bahwa tradisi itu sendiri harus dikenal dan diakui sebagai sesuatu yang bermakna

oleh kelompok itu. Sepanjang kelompok masyarakat mengklaim tradisi itu sebagai

miliknya dan berpartisipasi dalam tradisi itu, hal itu memperbolehkan mereka

berbagi bersama atas nilai dan keyakinan yang penting bagi mereka (Martha and

Martine, 2005; Sibarani, 2014).

8
“Tradisi merupakan warisan budaya tidak tertulis, tetapi dipatuhi oleh

segenap lapisan masyarakat yang berdomisili di daerah itu” (Kusuma, 2003:1).

Selain itu, “tradisi juga dapat diartikan sebagai kebiasaan bersama dalam

masyarakat manusia, yang secara otomatis akan memengaruhi aksi dan reaksi

dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat itu” (Palguna, 2009: 6).

Tradisi adalah segala tindakan yang ajeg dilakukan di suatu daerah secara turun

temurun. Tradisi merupakan kesamaan benda material dan gagasan yang berasal

dari masa lalu namun masih ada sampai saat ini. Tradisi dapat didefinisikan

sebagai warisan yang benar atau warisan masa lalu (Sztompka, 2010: 69).

Pengertian tersebut berarti apapun yang dilakukan oleh manusia secara

turun-temurun dari setiap aspek kehidupannya yang merupakan upaya untuk

meringankan hidup manusia dan dapat dikatakan sebagai tradisi. Secara

terminologi tradisi mengandung pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan

masa lalu dan masa kini. Hal itu ditunjukkan kepada sesuatu yang diwariskan oleh

masa lalu, tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa dewasa ini. Tradisi

mempertontonkan aktivitas masyarakat dalam bertingkah laku baik dalam

kehidupan yang bersifat duniawi maupun rohani atau keagamaan. Pola perilaku

dalam tradisi diatur melalui pola hubungan manusia satu dengan manusia lain atau

kelompok lain, Bagaimana hal itu bertindak terhadap lingkungannya dan

berperilaku terhadap alam lain. Perilaku tersebut berkembang menjadi suatu

sistem yang memiliki pola dan norma yang mengatur penggunaan hukuman dan

ancaman terhadap penyimpangan sosial atau pelanggaran dari tradisi tersebut.

Sinkretisme hadir sebagai pencampuran antara dua tradisi atau lebih dan terjadi

9
lantaran masyarakat mengadopsi suatu kepercayaan dan berusaha untuk tidak

terjadi benturan dengan gagasan dan praktek budaya lama (Mulder, 1992:285).

Berdasarkan beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah

suatu kebiasaan yang lahir di suatu daerah tertentu serta sudah turun-temurun dan

dilaksanakan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok

masyarakat yang otomatis dapat mempengaruhi aksi dan reaksi masyarakat dalam

kehidupannya sehari-hari dan selanjutnya akan diteruskan ke generasi-generasi

berikutnya.

2.1.2 Fungsi Tradisi

Tradisi umumnya memiliki fungsi tersendiri sehingga keberadaannya tetap

dilestarikan secara turun-temurun, Menurut Shils (dalam Sztompka,2007: 74-76),

“Manusia tak mampu hidup tanpa tradisi meski mereka sering merasa tak puas

terhadap tradisi mereka”. Oleh karena itu ditegaskan bahwa suatu tradisi itu

memiliki fungsi bagi masyarakat, yakni sebagai berikut.

1. Dalam bahasa klise dinyatakan bahwa tradisi adalah kebijakan turun-

temurun.Tempatnya di dalam kesadaran, keyakinan norma dan nilai yang

dianut kini serta di dalam benda yang diciptakan di masa lalu. Tradisi pun

menyediakan fragmen warisan historis yang dipandang bermanfaat.

Tradisi seperti onggokan gagasan dan material yang dapat digunakan

orang dalam tindakan kini dan untuk membangun masa depan. Oleh

karena itu, tradisi berfungsi untuk merekam norma-norma dan nilai-nilai

di masa silam yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun hingga

masa kini.

10
2. Tradisi berfungsi memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup,

keyakinan, pranata, dan aturan yang sudah ada. Semuanya ini

memerlukan pembenaran agar dapat mengikat anggotanya. Salah satu

sumber legitimasi terdapat dalam tradisi. Biasa dikatakan: “selalu seperti

itu” atau orang selalu mempunyai keyakinan demikian” meski dengan

resiko yang paradoksal, yakni bahwa tindakan tertentu hanya akan

dilakukan karena orang lain melakukan hal yang sama di masa lalu atau

keyakinan tertentu diterima semata-mata karena mereka telah menerima

sebelumnya.

3. Tradisi berfungsi menyediakan simbol identitas kolektif yang

meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa,

komunitas dan kelompok. Tradis daerah, kota, dan komunitas lokal sama

perannya, yakni mengikat warga atau anggotanya dalam bidang tertentu.

4. Tradisi berfungsi membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan,

kekecewaan dan ketidakpuasan kehidupan modern. Tradisi yang

mengesankan masa lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber

pengganti kebanggaan bila masyarakat berada dalam krisis.

Berdasarkan uraian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan

tradisi di tengah-tengah masyarakat berfungsi (1) untuk merekam norma-norma

dan nilai-nilai di masa silam yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun

hingga masa kini; (2) memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup,

keyakinan, pranata, dan aturan yang sudah ada; (3) menyediakan simbol identitas

kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa,

11
komunitas dan kelompok; dan (4) membantu menyediakan tempat pelarian dari

keluhan, kekecewaan dan ketidakpuasan kehidupan modern.

2.1.3 Makna Tradisi

Secara umum, beberapa rujukan mengungkapkan bahwa setiap tradisi

memiliki makna yang berbeda-besa sesuai tradisi tersebut. Makna tradisi yang

dirangkum dari berbagai hasil penelitian tentang tradisi dapat diungkapkan

sebagai berikut.

1) Makna Religius

Makna religius pada hakikatnya memberikan sebuah pemahaman tentang

hakikat mendasar kegiataan keagamaan yang dilaksanakan berdasarkan

sistem keagamaan dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat

(Sri Adnyani dan Sudarsana, 2017: 228). Selain itu makna religius adalah

sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas segala kenikmatan yang

diberikan dengan berdoa memanjatkan syukur bersama akan

menumbuhkan jiwa kebersamaan dan nilai keagamaan

(Juni Ariyanti, 2016: 76). Oleh karena itu, makna religius ini bisa

terungkap dari perilaku-perilaku spiritual yang dilakukan melalui

penyelenggaraan tradisi tersebut.

2) Makna Sosial

Berbagai tradisi yang dilaksanakan umumnya tidak luput dari rasa sosial di

antara keluarga ataupun masyarakat sekitar (Sri Adnyani dan Sudarsana,

2017: 229). Hal itu dapat diwujudkan dengan kegiatang gotong-royong,

tolong-menolong, tenggang rasa, sehingga sikap-sikap seperti ini perlu

dibina dan dikembangkan. Oleh karena itu, makna sosial ini merupakan

12
makna yang melekat pada suatu tradisi yang melibatkan berbagai

komponen masyarakat sebagai penyelenggara tradisi tersebut karena pada

dasarnya setiap tradisi tidak dapat dilakukan secara individual ataupun

perseorangan.

3) Makna Ungkapan Rasa Syukur

Makna ungkapan rasa syukur ini dilakukan untuk menghormati Tuhan

Yang Maha Esa yang telah menciptakan dan menguasai alam semesta

beserta isinya (Sri Adnyani dan Sudarsana, 2017: 229). Oleh karena itu,

semua makhluk yang ada di dunia bersujud syukur agar selalu diberikan

kesejahteraan dan kedamaian dalam menjalankan hidup.

4) Makna Edukatif

Makna edukatif yaitu memberikan pengetahuan lebih kepada masyarakat

sekitar ataupun masyarakat luar tentang sebuah tradisi, baik tradisi

keagamaan maupun lainnya (Juni Ariyanti, 2016 74). Oleh karena itu,

suatu tradisi bisa menjadi penuntun bagi setiap umat/masyarakat pelaksana

tradisi tersebut. Nilai-nilai pendidikan terselubung dalam setiap tradisi

yang dilaksanakan untuk membawa kebaikan kepada umat masyarakat.

5) Makna Ekonomis

Makna ekonomis adalah suatu tradisi yang mampu menghasilakan sebuah

pemasukan ataupun keuntungan finansial bagi masyarakat di daerah

tersebut (Juni Ariyanti, 2016:75). Dalam penyelenggaraan sebuah tradisi

terkadang di dalamnya terselubung aspek ekonomis untuk tetap menjaga

perekonomian masyarakat melalui penyelenggaraan tradisi tersebut. Oleh

karena itu, suatu tradisi bisa saja juga mengandung makna ekonomis.

13
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa setidaknya suatu

tradisi itu memiliki makna religius, sosial, ungkapan rasa syukur, ekonomis, dan

edukatif. Bahkan makna-makna spesifik lainnya yang melekat pada setiap tradisi.

2.1.4 Proses Pelaksanaan Suatu Tradisi

Pada umumnya, setiap tradisi memiliki prosesi yang berbeda-beda

tergantung pada tradisi tersebut. Namun, pada umumnya, prosesi umum

penyelenggaraan tradisi dapat diungkapkan mengenai 3 (tiga) hal, yakni:

persiapan, prosesi inti, dan penutup.

1. Persiapan

Setiap pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan harus ada persiapan

sebelum melasakanakan tradisi (Cahyana mandala Putra, 2017: 6).

Terlebih dahulu ada persiapan yang berkaitan dengan tradisi tersebut

terutama sarana dan prasarana yang membatu serta menjadi pelengkap

dalam sebuah tradisi. Penyiapan berbagai perlengkapan tersebut tentu

bertujuan untuk memperlanncar prosesi selanjutnya.

2. Prosesi inti

Pada dasarnya setiap tradisi memiliki prosesi inti

(Cahyana mandala Putra, 2017: 6). Prosesi inti ini menjadi kegiatan pokok

dalam sebuah tradisi yang dilakukan oleh semua masyarakat yang terlibat,

pada waktu dan tempat yang telah ditentukan sesuai dengan langkah-

langkah yang melekat pada setiap tradisi tersebut.

3. Penutup

Penutup sama artinya dengan kata menutup dalam kamus Besar Bahasa

Indonesia yang artinya menyudahi atau mengakhiri. Dalam hal ini setiap

14
kegiatan selalu ada acara penutup yang menandai bahwa perayaan acara

atau tradisi ini sudah diakhiri pada hari tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa prosesi pelaksanaan

tradisi pada umumnya terdiri atas 3 (tiga) hal pokok, yakni persiapan,

kegiatan/prosesi inti, dan penutup.

2.2 Mebanten Soroh Telu

Dalam Kamus Bahasa Bali, kata mebanten berawal dari kata banten

(bahasa Bali) mendapat awalan (pangater) ma-, menjadi kata mebanten (Budha

Gautama dan sariani: 534). Segala bentuk yadnya yang dilaksanakan di Bali

diaplikasikan dalam bentuk persembahan yang disebut dengan banten. Kata

banten juga memiliki pengertian yang sama dengan upakara. Banten

sesungguhnya berasal dari kata bang dan enten, suku kata bangi bisa diartikan

Brahma (Sang Hyang Widhi) sedangkan enten bisa diartikan ingatt atau sadar.

Jadi kata banten mengandung pengertian: “untuk mengingat, unutk mendidik

dirinya, suapaya selalu ingat dengan keberadaan Sang Hyang Widhi karena

belaiau adalah pencipta segala isi di dunia ini” (Sudarsana, 2003: 13-14).

Selanjutnya dijelaksan bahwa “Bagi umat Hindu di Bali, perlengakapan atau

sarana upacara lazim disebut Banten” (Putra, 1998: 23). Dengan demikian banten

diartikan sebagai visualisasi dari beberapa jenis bahan atau perlengkapan upacara

yang diatur sedemikian rupa sehingga indah sekali dilihat dan mempunyai arti

ismbolis keagamaan sesuai dengan fungsinya masing-masing.

“Banten adalah sarana kehidupan upacara Agama Hindu dan banten

memiliki aspek supra empiris yang artinya bahwa banten itu memiliki suatu

kekuatan spritual unutk mendektkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Ida

15
Sang Hyang Widhi Wasa” (Wiana ,1997: 6-10). Dalam buku yang sama uraian

yang diambil pada lontar Yadnya Prakerti, dicantumkan arti dan makna banten

sebagai berikut:

Salwaring banten pinaka raganta twi,


palawane pekayun suci sekarepinaka
ketulusan pikayun suci, jejahitan, reringgitan,
tetuwasan pinaka kelanggengan pekayun tuah macihna ring
saluwiring tetuasane sinah macihne ring saluwiring,
tetuasane ening pueknya irika sidha macihna.
Artinya:
Semua banten, lambang dirimu sebenarnya, daun – daunan sebagai
perwijudan pikiran yang hening. Bunga lambang ketulusikhlasan pikiran
suci, jejahitan, reringgitan dan tetuasan lambang kesunguhan pikiran.
Jernih dan keruhnya semua jelas tergambar di sana. (Wiana, 1997:6).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa banten atau upakara

merupakan gabungan dari beberapa jenis bahan atau perlengkapan upacara yang

diatur sedemikian rupa sehingga indah dilihat dan mempunyai arti, simbolis,

keagamaan sesuai dengan fungsinya, mempunyai kekuatan spritual untuk

mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa

Dalam aktivitas ritual Agama Hindu di Bali tidak pernah lepas dari

penggunaan banten. Banten dikatakan sebagai prasarana dalam mewujudkan

bhakti ke pada Tuhan. “Banten adalah persembahan dan sarana bagi umat Hindu

mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan merupakan wujud rasa

terima kasih, cinta dan bakti karena telah dilimpahi wara nugeraha” (Putra, 1998:

23).

Selanjutnya dikatakan bahwa "Secara mendasar banten dalam Agama

Hindu juga adalah bahasa agama. Karena sesungguhnya, banten itu hanya salah

satu dari sekian banyak cara untuk berkomunikasi dengan sang pencipta. Bukan

16
berarti tidak penting, itu cukup penting hanya saja itu lebih seperti bahasa agama”

(Surayin, 2003: 12).

Banten juga sering disebut upakara. Secara Etimologi, kata Upakara

berasar dari dua suku kata, yakni; upa dan kara. Kata Upa dalam Kamus Bahasa

Sanskerta yang berarti; atas, kesini, tentang dan dekat. Sedangkan kata kara

berarti tangan (Team Penyusun, 1982: 32). Selanjutnya Sudarsana (2010: 12)

menyebut istilah Upakara dengan sebutan Uparengga. Kata Uparengga

disebutkan berasal dari suku kata upa, re dan angga. Upa berarti perantara, re

berasal dari raditya yang diartikan pancaran sinar suci Sang Hyang Widhi, dan

angga diartikan wujud atau perwujudan Sang Hyang Widhi. Sehingga Uparengga

diartikan semua bentuk perangkat upacara adalah merupakan simbul perwujudan

Sang Hyang Widhi melalui kekuatan sinar sucinya.

Demikianlah arti kata banten. Sedangkan kata soroh telu dalam Kamus

Bahasa Bali, kata soroh berarti jenis, sedangkan kata telu berarti tiga (Budha

Gautama dan sariani: 534). Jadi Mebanten Soroh Telu berarti prosesi

mempersembahkan persembahan dengan tiga jenis yang dilakukan dalam

Upacara Usabha Dalem di Banjar Adat Abiancanang.

2.3 Tinjauan Upacara

2.3.1 Pengertian Upacara Menurut Agama Hindu

Upacara identik dengan perayaan atau peringatan terhadap hari-hari besar.

Secara etimologi, Upacara berasal dari kata Upa dan Cara. Upa berarti dekat,

sekitar, berhubungan. Cara berarti gerakan. Jadi upacara adalah: “Segala sesuatu

berhubungan dengan gerakan-gerakan dalam hal ini dapat ditafsirkan sebagai

pelaksanaan sesuatu” (Putra, 2001: 6). Senada dengan pendapat di atas, dalam

17
kamus Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa: “Upacara mengandung arti tanda-

tanda kebesaran kerajaan, peralatan menurut adat-istiadat, rangkaian tindakan atau

perbuatan yang terikat dengan aturan adat, perayaan yang dilakukan sehubungan

dengan peristiwa penting dalam acara keagamaan” (Poerwadarminta, 1984: 132).

Sementara Koentjaraningrat, (1987: 67) mengatakan bahwa: “Upacara

religi atau agama yang dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk

agama biasanya dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas

dengan Tuhan Yang Maha Esa” Pendapat Koentjaraningrat menekankan upacara

dilakukan berlandaskan atas kepercayaan dan solidaritas sosial masyarakat yang

menggambarkan upacara sesaji sebagai suatu upacara yang gembira dan meriah.

Berbicara tentang upacara, Agama Hindu khususnya di Bali dalam

mengamalkan ajaran agamanya sarat dengan upacara. Secara umum dikatakan

bahwa upacara menurut Agama Hindu mengandung pengertian:

Upacara adalah sebuah kata yag berasal dari bahasa Sansekerta yang
berarti mendekati disamping mendekati juga berarti penghormatan. Inti
upacara agama adalah tattwanya memang suatu aktivitas yang
mendekatkan manusia dengan alam lingkungan dengan tujuan untuk alam
yang Butahita artinya alam lingkungan yang sejahtera (Wiana, 1997: 38).

Upacara menurut Agama Hindu merupakan suatu jalan untuk

mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha

Esa, untuk mengadakan suatu penyatuan dengan menciptakan suatu hubungan

yang harmonis antar sesama, lingkungan dengan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Manusia ingin mendekatkan diri dengan Ida Sang

Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena merasa bahwa dalam dirinya

bersemayam atman yang merupakan bagian dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa

(Paramatman). Dalam buku Upadesa disebutkan dari sudut filsafatnya “Upacara

18
ialah cara melakukan hubungan antara Atman dengan Paramatman, antara

manusia dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa serta semua

manifestasi-Nya, dengan jalan yadnya untuk mancapai kesucian jiwa” (Atmaja,

2001: 5).

Secara umum pelaksanaan yadnya dibagi menjadi dua jenis yaitu: yadnya

yang dilaksanakan setiap hari disebut dengan Nitya Karma, contohnya yadnya

sesa dan yadnya yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu yang disebut dengan

Naimitika Karma, contohnya: Galungan, Kuningan, Purnama, Tilem dan Nyepi.

Berdasarkan pengertian jenis yadnya di atas yaitu Nitya dan Naimitika

Karma, maka dapat diuraikan jenis-jenis pelaksanaan yadnya yang terdiri dari

lima bagian yang disebut dengan Panca Yadnya yang saling berkaitan satu dengan

yang lainnya. Adapun bagian-bagian Panca Yadnya adalah:

1. Dewa Yadnya

“Dewa Yadnya adalah pemujaan atau persembahan kehadapan Ida Sang

Hyang Widhi Wasa beserta segala bentuk manifestasi-Nya. Pelaksanaan Dewa

Yadnya ini umumnya pada saat rerainan seperti halnya Galungan, Saraswati,

Purnama, Tilem dan lain-lainnya” (Putra, 1998: 1).

Adapun tujuan pelaksanaan dari Dewa Yadnya adalah sebagai ucapan

terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa

beserta segala manifestasi-Nya karena telah memberikan perlindungan,

kesejahteraan dan kemakmuran serta telah memberkati alam beserta isinya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Dewa Yadnya adalah

persembahan yang ditunjukan kepada para Dewa yang dilaksanakan pada saat hari

raya sebagai ucapan rasa syukur atas semua berkahnya.

19
2. Rsi Yadnya

“Rsi Yadnya berarti persembahan suci kepada Brahmana atau para Rsi atas

jasa beliau dalam membina umat dan mengembangkan ajaran agama” (Wiana,

2001: 6). Pendapat lain mengatakan bahwa: “Rsi Yadnya merupakan suatu

penghormatan atau pemujaan kepada para Rsi yang telah memberikan tuntunan

hidup menuju kebahagian lahir dan bathin didunia dan akhirat” (Putra, 1998: 72).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Rsi Yadnya merupakan suatu

korban suci yang tulus ikhlas yang ditujukan kehadapan Brahmana atau Maha

Rsi atas semua jasa-jasanya yang selalu memberikan tuntunan umat beragama

khususnya Agama Hindu.

3. Pitra Yadnya

Dalam buku Catur Yadnya dijelaskan bahwa: Pitra Yadnya terdiri dari

kata pitra dan yadnya. Pitra berarti bapak/ibu, leluhur yang terhormat.

Sedangkan yadnya penyaluran tenaga suci untuk keselamatan bersama. “Jadi

singkatnya Pitra Yadnya itu adalah suatu penyaluran tenaga (sikap, tingkah laku

untuk dan perberbuatan), atas dasar ketulus ikhlasan yang ditunjukan kepada

leluhur untuk keselamatan bersama” (Putra, 1998: 79)

Dalam buku Panca Yadnya diuraikan Pitra Yadnya adalah “Penyucian dan

meralina serta penghormatan terhadap orang telah meninggal menurut ajaran

Agama Hindu” (Putra, 1998: 47). Pendapat lain menyebutkan: “Pitra atau pitara

berarti leluhur atau nenek moyang” (Wiana, 2004: 196).

Dari uraian di atas Pitra Yadnya berarti suatu korban suci yang tulus

ikhlas yang dilaksanakan dengan jalan dharma kepada leluhur atau roh nenek

20
moyang yang telah meninggal, dengan tujuan agar mendapat jalan yang terang di

alam keabadian dan sebagai ungkapan rasa terima kasih terhadap jasa-jasanya.

4. Manusa Yadnya

Disebutkan bahwa Manusa Yadnya adalah: “persembahan suci kehadapan

sesama, dengan tujuan untuk pembersihan lahir bathin” (Wiana, 2001:15).

Pendapat lain juga mengungkapkan “Manusa Yadnya adalah pemeliharaan,

pendidikan serta penyucian serta spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya

jasmani didalam kandungan sampai akhir hidupnya” (Putra,1998:30).

Dalam Cilakrama Weda Smerti disebutkan

Adbhir gatrani cudhayanti


Manah stena cudhayanti
Widyatapobhyam bhrtatma
Artinya:
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh
dibersihkan dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan,
(Tim, 2004: 194).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Manusa Yadnya adalah

upacara yang dilaksanakan dari dalam kandungan sampai manusia lahir ke dunia

sampai menginjak dewasa bertujuan membersihkan serta memohon keselamatan

jiwa manusia agar menjadi berguna bagi masyarakat dan keluarga.

5. Bhuta Yadnya

“Upacara Bhuta Yadnya adalah salah satu pelaksanaan Tri Rna khususnya

Dewa Rna. “Bhuta” artinya “unsur yang diadakan” diciptakan oleh Yang Maha

Ada, dan Ida Hyang Widhi Wasa” (Putra, 1998: 15). Dalam buku pelajaran

Agama Hindu disebutkan bahwa: “Bhuta Yadnya adalah persembahan suci yang

ditunjukan pada Bhuta kala, dengan tujuan untuk memelihara, menyucikan dan

nyupat Bhuta kala agar tidak mengganggu kehidupan manusia” (Wiana, 2001:12).

21
Jadi upacara Bhuta Yadnya adalah suatu pelaksanaan Tri Rna khususnya Dewa

Rna berupa pengorbanan suci kepada semua makhluk yang nyata maupun yang

tak nyata yang bersumber dari Panca Maha Bhuta.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa upacara dalam

Agama Hindu merupakan jalan untuk melakukan hubungan dengan Ida Sang

Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan sebagai sumber

kesucian. Untuk mendekatkan diri kepada-Nya diperlukan kesucian jiwa yang

dilakukan dengan Yadnya.

2.4 Pengertian Usabha

Kata Usabha dalam Kamus Bali-Indonsia merupakan upacara selamatan

desa atau subak (Tim Penyusun Kamus, 2005: 841). Berdasarkan etimologi, kata

ngusabha desa di dalamnya terkandung tiga kata, yakni upacara-ngusabha-desa.

Upacara adalah gerakan sekeliling kehidupan dan aktivitas-aktivitas manusia

dalam upaya menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang

Maha Esa), dengan segenap manifestasi-Nya. Ngusabha berasal dari kata utsawa,

dalam bahasa Bali, Usabha (ngusabha) atau pengusabhan yang mempunyai arti

ganda diambil dari kata sabha (bahasa Jawa Kuno/Bali) berarti pertemuan (rapat).

Utsawa (Usabha) berarti pesta atau perjamuan. Sering didengar kata yang biasa

digunakan di masyarakat, seperti Utsawa Dharma Gita yang mengandung maksud

pertemuan/sidang pelantunan ayat-ayat suci agama Hindu.

Sementara itu, kata desa berarti tempat atau wilayah. Dengan demikian,

kata upacara ngusabha desa berarti sidang atau pertemuan para dewata-dewati

berlokasi di Bale Agung yang bertemakan kesejahteraan wilayah desa pakraman

beserta isinya. Arti lainnya yang terkandung dalam kata Usabha Desa adalah

22
pesta atau persembahan suci dalam satu wilayah yang ditujukan ke Ida Sang

Hyang Widhi Wasa dengan segenap manifestasi-Nya (Mustika, 2018: 3-4)

Usabha merupakan rangkaian upacara Dewa Yadnya yang ditujukan

kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa pada sebuah tempat suci atau Pura, dan juga

dapat diartikan sebagai pelaksanaan Yadnya untuk mendekatkan/menghubungkan

diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasi-Nya. Upacara

Usabha ini dilaksanakan setahun sekali dan prosesinya sesuai dengan desa kala

patra di tempat tersebut.

2.5 Pura Dalem

2.5.1 Pengertian Pura

Pulau Bali dijuluki dengan berbagai nama oleh para wisatawan, di

antaranya "Bali adalah pulau dengan ribuan pura” (Bali the island of thousand

temples). Di samping itu, Pulau Bali juga disebut dengan nama Pulau Dewata (the

island of god). Pernyataan ini dihubungkan dengan adanya banyak pura di Bali

yangtersebar di seluruh wilayah.

Menurut data tahun 1979 tercatat jumlah pura di Bali sebanyak 5.259

buahyang terdiri dari 9 buah Kahyangan Jagat Bali, Dang Kahyangan sebanyak

714 buah, Kahyangan Tiga 4.368 buah. Jumlah ini belum termasuk tempat suci

untuk pemujaan roh suci leluhur yang disebut Pura Kawitan atau Pura Dadya,

Pura Pamaksan dan Pura Swagina.

Adanya banyak pura di Bali bukanlah berarti Umat Hindu di Indonesia dan

khususnya di Bali menganut paham politheis, melainkan tetap menganut paham

monotheis, karena yang distanakan di pura-pura itu adalah Prabhawa dari Sang

Hyang Widhi sesuai dengan manifestasi dan fungsinya.

23
Kata Pura dalam Bahasa Sansekerta berasal dari akar kata Pur yang

berarti kota atau benteng atau kota berbenteng. Ini berarti pula sesuatu tempat

yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi oleh tembok-tembok

Tabrani, (1992:18). Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam penjelasan Sudharta

& Atmaja, (2005: 77), bahwa Pura adalah benteng rohani, pengaman sraddha dan

bhakti. Pura adalah suatu tempat khusus yang disucikan dan dikelilingi oleh

tembok, tempat pelaksanaan persembahyangan untuk memuja Ida Sang Hyang

Widhi Wasa dengan segala manifestasi-Nya. Istilah Pura dalam bahasa Latin

disebut Templum. Dalam Bahasa Inggris Temple, yaitu suatu bangunan, struktur

yang disucikan oleh sesuatu simbul yang khusus, keramat dan suci. Pura atau

Temple pada mulanya adalah berarti lahan yang dikelilingi pagar atau tembok

yang dikeramatkan atau disucikan.

Menurut Pramadaksa(1984:18), bahwa Pura atau Kahyangan sebagai

tempat memuliakan dan memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha

Esa beserta prabawa atau manifestasi-Nya sesuai dengan tugas dan fungsi-Nya.

Walaupun di Pulau Bali dijumpai banyak Pura atau Kahyangan tidaklah berarti

bahwa umat Hindu menganut paham Politheisme, melainkan adalah penganut

Agama yang bersifat Monotheisme. Di samping sebagai tempat untuk memuja

dan menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha

Esa, pura juga berfungsi untuk memuja dan menghubunkan diri dengan roh suci

leluhur. Pura adalah salah satu wujud budaya agama sebagai media penghayatan

terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Pura adalah

bangunan suci yang harus ditempatkan pada areal yang suci menurut pandangan

ajara Agama Hindu yang diterapkan di Bali. Areal suci itu adalah areal yang

24
mengarah ke matahari terbit dan ke arah gunung (Wiana, 2004:4). Sedangkan

menurut Pendit (1984:91), bahwa “ istilah Pura yang berasal dari kata Sansekerta,

mengandung arti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat

pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa”.Di dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, dijelaskan bahwa kata Pura memiliki arti sebagai tempat beribadat

(bersembahyang) Umat Hindu Dharma, Tim Penyusun, (2005:909). Penjelasan

yang senada juga dikemukakan oleh Gautama dan Sariani (2009:518), bahwa “

Pura memiliki arti sebagai tempat suci Umat Hindu Dharma”. Dalam bahasa Bali

dan juga dalam bahasa Indonesia, arti kata Pura mengkhusus sebagai tempat

sembahyang umat Hindu (Tim Penyusun, 1991:37).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dijelaskan yang dimaksud dengan

Pura adalah bangunan suci yang ditempatkan pada areal suci sesuai dengan

petunjuk sastra agama yang berfungsi sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang

Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasi-Nya. Di samping

pura sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa

dengan segala manifestasi-Nya, Pura juga berfungsi tempat memuja roh suci

leluhur.

2.5.2 Struktur Pura Menurut Pengider Bhuana

Pemahaman Weda bahwa yang satu (Tuhan) ada pada semua dan yang

semua ada yang satu (Tuhan), membawa konsekuensi interpretasi munculnya

konsep Padma Bhuana di Bali. Tuhan (Siwa) yang meliputi dan karenanya ada di

mana-mana, dipuja dalam personofikasikan dalam Dewa Nawa Sanga.

25
Kepercayaan akan Tuhan sebagai penguasa kiblat, telah disinggung

bahkan sejak zaman Rg Weda. Di sana, pada Mandala X, Adyaya 36. Sloka 14

diterangkan adanya delapan Dewa penguasa arah mata angin, yakni:

Savia pascatat savita purastat


Savito uttaratat savitodharattat
Savita nah suvatu sarvatatim,
Savita no rasatam dirgham ayuh

Artinya

Dewa dari Barat, Dewa dari Timur, Dewa dari Utara, Dewa dari Selatan
Semoga ia melimpahkan umur yang panjang (Maswinara, 2004: 127).

Sebutan Dewa di kepala (Dewa penjaga kiblat), yaitu: (1) Indra di Timur,

(2) Yama di Selatan, (3) Waruna di Barat, (4) Kwera di Utara, (5) Agni di

Tenggara, (6) Surya di Barat Daya (7) Marut/Wayu di Barat Laut dan Isana/Siwa

di Timur Laut.

Di Bali ajaran tentang adanya Tuhan sebagai penguasa arah, telah

mengakar sebagai salah satu aspek ajaran Widhitattwa yang mewarnai Agama

Hindu di daerah ini. Oleh karena Dewa Siwa adalah sebutan Tuhan yang

digunakan, maka Dewa Siwa sebagai Dewa tertinggi dalam Siwaisme ini,

dimengerti mewujudkan ke dalam Sembilan Dewa (Nawa Dewata) bahkan

sebelas Dewa (Eka Dasa Rudra). Berikut dikutip keterangan dari Lontar Bhuana

Sangksepa,(11.14) ,berikut ini:

Ika ta Dewata magawe idep ring purwa, Mahesore ring


Agneya, Brahma ring Daksna, Rudra ring Neriti, mahadewa ring
Adah, Sadasiwa ring madya paramasiwa ring urdah

Artinya:

Demikianlah Dewa yang membuat hidup dalam hati, Isa di Timur,


Mahesora di Tenggara, Brahma di Selatan, Ludra di Barat Daya,
Mahadewa di Barat, Sangkara di Barat Laut, Wisnu di Utara, Sambhu di

26
Timur Laut, Siwatma di bawah, Sadasiwa di Tegah, Paramasiwa di atas
(Tim Penyusun, 1991: 41)

Demikian di Bali dikenal adanya pengertian bahwa Dewa Siwa, Dewa

tertinggi dalam Siwaisma, diwujudkan sebagai penguasa kiblat, yang dikenal

sebagai Dewa Nawa Sanga. Iswara (Timur), Mahesora (Tenggara), Brahma

(Selatan), Rudra (Barat Daya), Mahadewa (Barat), Sangkara (Barat Laut), Wisnu

(Utara), Sambhu (Timur Laut) dan Siwa (Tengah). Tetapi, sebelas perwujudan

Siwa seperti dipaparkan dalam ayat yang dikutip, berhubungan dengan konsepsi

Siwa dalam Ekadasa Rudra. Sedangkan hubunganya dengan penelitian ini, hanya

dibahas sembilam Dewa, yang dikenal sebagai Nawa Dewata atau Dewata Nawa

Sanga. Kesembilan Dewa perwujudan Siwa ini digambarkan dengan wujud

tertentu, termasuk wahana dan senjatanya, dilukiskan dalam Padma Asta Dala

(bunga teratai berdaun bunga delapan helai).

Dalam Aji Kawesesan, Dewa-dewa ini dilambangkan dengan warna dan

aksara-aksara (bijaksara) masing-masing. Sejumlah mantra Sansekerta yang

menguraikan tentang symbol warna dan aksara menurut Dewata Nawa Sanga

adalah sebagai berikut.

Om sam namah (purwa), Om bam namah (daksina), Om iam namah


(pascima), Om am namah (uttara), Om im namah (madhya), Om sim
namah (vayabhya), Om vam namah (airsanya), Om yam namah (adhya)
(Veda Parikrama)

Artinya:

(Om sujud kepada sam di Timur,Om sujud kepada bam di Selatan, Om


sujud kepada tam di Barat, Om sujud kepada am di Utara, Om sujud Im di
Tengah, Om sujud kepada nam di Tenggara, Om sujud kepada mam di
Tarat Daya, Om sujud kepada sim di Barat Laut, Om sujud kepada vam di
Timur Laut, Om sujud kepada yam di Tengah (Puja, 2005: 124).

27
Demikian jenis aksara suci yang merupakan simbol kekuatan Dewa Nawa

Sanga yang digunakan dalam Aji Kawisesan di Bali. Mengenai lambang warna

yang dimiliki oleh masing-masing Dewa dalam konsep Dewata Nawa Sanga,

dapat disimak sloka berikut.

(Stuti-stava)
Om isvara purvadesa ca, tejo maya sveta rupam
Brahma daksina desa ca teja rakta maha ghoram
Mahadeva pascima iingam, tejo pita rupam dewam
Sivo madhyo murti deva,sarvo tejo maha viryam
Artinya:

(Isvara di Timur, berwarna putih, Brahma di Selatan berwarna merah,


Mahadewa di Barat berwarna kuning, Visnu di Utara berwarna hitam dan
Siwa di Tengah berwarna semua warna/campuran) (Kadjeng, 1991:239)

Pramadaksa (1984:136) menegaskan bahwa masing-masing Dewa

penguasa kiblat itu memiliki energi (kekutan) yang dilambangkan dengan Dewi

atau Sakti. Demikian, Sakti itu adalah: Uma (Iswara),Laksmi (Maheswara),

Saraswati (Brahma). Camuda (Rudra), Sati (Mahadewa), Randri (Sankara), Sri

(Wisnu), Mahadewi (Sambhu), dan Uma (Siwa). Maka dengan demikian, dalam

Agama Hindu di Bali, pemujaan kepada para Dewa dengan tujuan untuk

mendapatkan anugrah kekuatan dariNya, ternyata menjadi landasan penting bagi

pendirian Pura, tempat menstanakan Dewa-dewa itu bagi kepentingan pemujaan.

PHDI (2001:48) menguraikan adanya Sembilan Pura tergolong kahyangan

jagat, sebagai tempat suci pemujaan Dewa Nawa Dewata di Bali. Kesembilan

Pura itu adalah: Lempuyang (Iswara,di timur), Andakasa (Brahma,di selatan),

Batukaru (Mahadewa, di barat), Ulundanu Batur (Wisnu,di utara), Goa Lawah

(Maheswara,di tenggara), Uluwatu (Rudra, di barat daya), Bukit Pangelengan

(Sangkara di barat laut), danPura Besakih (Siwa di tengah).

28
Pemahaman tentang Siwa sebagai Nawa Dewata ini, menjadi landasan

konseptual bukan saja dalam wilayah Bali, namun melandasi pula pendirian Pura

di setiap Desa Adat di Bali.

Menurut Gorda (1996:8), Struktur Pura adalah Struktur secara pisik dan

bukan Struktur secara fungsional. Pembagian halaman Pura sangat berpariasi.Ada

Pura yang terdiri dari satu halaman, dua halaman, tiga halaman dan tujuh

halaman. Yang lumrah adalah Pura yang terdiri dari tiga halaman yaitu Nistha

Mandala (jaba sisi), Madya Mandala (jaba tengah), Utama Mandala

(jeroan). Pura merupakan simbul cosmos yaitu Bhuana Agung

(Mikrokosmos). Itulah sebabnya Pura senantiasa di kelilingi oleh tembok

pembatas, untuk membedakan areal Pura sebagai areal suci dengan areal di luar

tembok Pura secara profan. Sebagai suatu kosmis, Pura terbagi menjadi tiga

halaman makin kedalam,makin tinggi nilai kesuciannya. Pembagian halaman ini

adalah suatu proyeksi dari Tri Bhuana yaitu Bhur,Bhawah dan swah.

Demikian pula Pura yang terdiri satu halaman adalah proyeksi dari Eka

Bhuana. Pura yang terdiri dari dua halaman adalah proyeksi dari alam atas

(Urdhah) dan alam bawah (Adhah) atau Pritiwi dan Akasa, sedangkan Pura yang

terdiri tujuh halaman adalah proyeksi dari Sapta Loka.

Struktur letak halaman Pura dapat dibedakan menjadi dua yaitu ada Pura

yang struktur halamannya turun dan naik. Pura dengan struktur halaman naik

mencapai pada konsep Sapta Loka dan Pura struktur halaman turun mengacu

pada konsep Sapta Patala (Kitab Andha Bhuana). Pada mulanya Pura didirikan di

gunung gunung, di pinggir laut, di pinggir danau dan di pinggir sungai. Namun

29
perkembangan selanjutnya Pura didirikan di mana saja asalkan dipandang layak

ditinjau dari nilai kesuciannya dan suasana lingkungannya.

Sebelum Mpu Kuturan datang ke Bali umat hindu di Bali telah memiliki

konsep Rwa Bhineda yang diproyeksikan kedalam konsep hulu teben, atau atas

bawah, muka belakang dan hidup mati. Berdasarkan konsep itu Pura dibangun di

hulu desa yang biasanya disebut Pura Penataran (fungsinya sebagai pelindung

kehidupan) dan Pura di teben yang biasa disebut Pura Setra (fungsinya sebagai

tempat pralina). Setelah Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad XI, Pura

dibangun didasarkan atas proyeksi konsep Tri Murti, dalam wujud Pura Desa di

tengah Desa, Pura Puseh di hulu Desa dan Pura Dalem di tebenan Desa.

Pada tahap awalnya Pura Penataran di jadikan Pura Desa dan Puseh

dengan mengisi pelinggih Gedong Artha untuk pelinggih Betara Brahma dan

Pelinggih Meru untuk Betara Wisnu. Bagi desa yang di bangun sejak datangnya

Mpu Kuturan di desa desa di bangunlah Kahyangan Tiga yaitu Pura Desa, Pura

Puseh dan Pura Dalem. Mpu Kuturan juga membangun Sad Kahyangan Jagat

Bali dan Kahyangan Jagat lainnya. Pura-pura yang sudah ada sebelum Mpu

Kuturan, masih tetap dipelihara dan masih tetap ada pada sekarang di Bali.

2.5.3 Fungsi Pura

Fungsi memiliki arti yang hampir sama dengan kegunaan. Fungsi yang

dimaksud disini adalah fungsi dari bangunan suci (Pura) yang dipakai tempat

sembahyang bagi Umat Hindu. Setiap Pura yang dibangun disuatu tempat

memiliki fungsi yang berbeda dari Pura-pura yang lainnya. Hal ini sangat terkait

dari keyakinan Umat Hindu yang membangun Pura tersebut. Ditinjau dari fungsi

serta perkembangannya secara garis besarnya, jenis Pura dapat di bedakan

30
menjadi dua bagian yaitu: (1) Pura sebagai penyungsungan umat, yaitu tempat

sembahyang untuk memuliakan dan memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi

Wasa bagi Umat Hindu di Bali tanpa melihat asal usul warga, dan (2) Pura

sebagai penyungsungan khusus yaitu tempat suci untuk memuliakan dan memuja

arwah suci dari para leluhur yaitu Bhatara Bhatari dari satu warga kelompok

keturuan yang tersusun secara vertikal dimulai dari Paibon, Panti Dadia dan

Dadia Agung atau Merajan dan Merajan Agung sampai kepada Pura Kawitan

(Wijayananda, 2004: 2)

Lebih lanjut Pramadaksa, (1984: 95) menjelaskan bahwa dari berbagai

jenis Pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat Suci untuk memuja Ida Sang

Hyang Widhi Wasa/Dewa dan Bhatara, dapat dikelompokan berdasarkan

fungsinya, yaitu (1) Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja Ida Sang

Hyang Widhi Wasa, para Dewata, dan (2) Pura yang berfungsi sebagai tempat

untuk memuja Bhatara, yaitu roh suci leluhur yang sudah diupacarai sesuai

dengan kitab suci Weda. Mengenai pembagian jenis Pura di Bali secara sistematis

amatlah sulit, akan tetapi secara garis besarnya, Pura dapat dirinci lebih jauh

berdasarkan adanya kelompok masyarakat kedalam berbagai ikatan seperti: ikatan

sosial, politik, ekonomis dan geneologis (garis kelahiran). Ikatan sosial antara lain

berdasarkan tempat tinggal (Teritorial), ikatan pergaulan atas jasa seseorang guru

suci (Dang acarya), sedangankan ikatan politik di masa lampau antara lain

berdasarkan kepentigan penguasa dalam upaya menyatukan masyarakat dan

wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain di bedakan atas dasar

kepintingan sistem mata pencaharian hidup seperti: bertani, nelayan, pedagang

dan lain sebagainya. Ikatan geonologis atas dasar garis kelahiran. Hal senada di

31
sampaikan oleh Surayin, (2005:11), bahwa fungsi Pura yang ada di Bali dan di

Indonesia dapat di bagi menjadi dua yaitu: (1) sebagai tempat suci untuk memuja

Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi) dan Manifestasi-Nya. Jenis Pura ini

dikelompokan ke dalam Pura umum, (2) Sebagai tempat suci untuk memuja

Bhatara Kawitan atau roh suci leluhur. Jenis Pura ini dikelompokkan ke dalam

Pura Kawitan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa fungsi Pura di Bali

meliputi dua hal yaitu: (1) Dewa Pratisha adalah Pura yang berfungsi untuk

memuja Tuhan sebagai jiwa alam semesta (macrocosmos) dengan segala aspek

kemahakuasaan-Nya. Tuhan seagai alam semesta Bhuana Agung disebut

Brahmana, dan (2) Atma Pratistha, yaitu Pura yan memuja Tuhan dalam

fungsinya sebagai jiwa yan suci dari manusia (microcosmos). Tuhan sebagai jiwa

mahluk hidup (Bhuawa Alit) disebut Atman.

2.5.4 Pura Dalem

Sudarsana (1998: 9), menyebutkan bahwa kata pura berasal dari bahasa

Sansekerta yang berasal dari urat kata pur artinya kubu, benteng atau pagar. Dari

arti kata pura di atas sekarang berubah makna menjadi tempat pemujaan Ida Sang

Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.

Pura adalah tempat pemujaan bagi Umat Hindu, istilah Pura berasal dari

bahasa Sansekerta yang artinya kota atau benteng,tapi sekarang berubah arti

menjadi tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.

Sebelum digunakan istilah pura sebagai tempat pemujaan atau tempat suci disebut

dengan istilah “Kahyangan atau Hyang”

32
Pura merupakan tempat sembahyang bagi pemeluk agama Hindu. Jenis

dan fungsinya pun beragam, seperti halnya Pura Dalem yang erat kaitannya

dengan urusan kanuragan, termasuk bagi penekun ilmu Pangleakan. Pura berasal

dari bahasa Sansekerta, yang berarti benteng yang berhubungan dengan kerajaan

(Kanduksuparta,2015). Namun di Indonesia, khususnya di Bali, Pura

dikonotasikan sebagai tempat ibadah. Untuk pusat kerajaan, Pura cenderung

disebut Puri.

Karena banyaknya Pura yang ada, Bali kemudian dijuluki sebagai Pulau

Seribu Pura. Selain banyak jumlahnya, pura juga beragam jenisnya. Salah satu

jenis atau golongannya adalah Pura Kahyangan Tiga. Sesuai penyebutannya, Pura

Kahyangan Tiga terdiri atas tiga Pura, yakni Pura Desa, Puseh, dan Dalem. Sesuai

konsep Tri Murti, Pura Desa adalah stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang

bermanifestasi sebagai Dewa Brahma dengan kekuatan penciptaan. Selanjutnya,

Pura Puseh sebagai stana Dewa Wisnu dengan kuasa pemelihara. Sementara Pura

Dalem merupakan stana Dewa Siwa dengan kuasa pelebur.

Pura Dalem cenderung di selatan desa adata atau desa pakraman karena

menurut pangideran Panca Brahma, Dewa Brahma sebagai penguasa arah selatan.

Hal ini kembali terkait dengan Siwa Brahma Prajapati. Dengan demikian,

umumnya masyarakat Hindu di Bali saat meninggal, jazadnya akan dibakar di

Setra. Sesuai ajaran Siwaistik, ketika seseorang meninggal, diharapkan atmanya

bisa menyatu dengan Siwa.

Berbeda dengan hal tersebut, Pura Dalem Puri berbeda dengan Pura

Dalam Kahyangan, sehingga letaknya tidak berdekatan dengan Setra dan

Prajapati. Pura Dalem Puri ini adalah hulunya Pura Dalem Kahyangan Tiga,

33
yang ada di setiap Desa Adat di Bali. Dengan demikian, dikatakan bahwa jika

melangsungkan upacara menuntun dewa pitara ke pura pemujaan keluarga, yang

biasa disebut Merajan, tidak harus ke Dalam Puri.

Pura Dalem Puri Besakih tergolong Pura yang merupakan stana saktinya

atau kekuatan magis religiusnya dari Dewa Siwa yang disebut dengan Uma Dewi

atau Dewi Durga. “Karena itu, pintu masuk Pura Dalem Puri ini berhadap-

hadapan dengan pintu masuk Pura Penataran Agung Besakih yang berbentuk

Candi Bentar. Umat Hindu di Bali yang cenderung menonjolkan Siwa Siddhanta,

percaya bahwa roh orang yang telah meninggal itu semua disimbolkan menuju

alam gaib yang disebut Para Loka.

34
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pengertian Metode Penelitian

Setiap kegiatan penelitian pasti memiliki tujuan tertentu. Untuk mencapai

tujuan tersebut diperlukan cara atau metode. Metode dalam penelitian sangat

berperan penting karena dengan menggunakan metode yang tepat, bisa diperoleh

data yang tepat pula untuk menjawab masalah penelitian. Subagyo (2004: 24)

mengatakan bahwa, “metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos yang

berarti cara atau jalan”. Pendapat lain juga mengatakan bahwa “Metode artinya

cara yang tepat untuk melakukan sesuatu” (Narbuko dan Acmadi, 2001:1).

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Husman dan Akbar (2003:42) yang

menyatakan bahwa, “metode ialah suatu prosedur atau suatu cara untuk

mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis”.

Jadi, berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan yang dimaksud

metode adalah suatu jalan atau suatu cara yang dilalui untuk mencapai sasaran

atau tujuan pemecahan masalah dan suatu cara yang digunakan di dalam suatu

penelitian untuk mendapatkan data yang sesuai.

Para ilmuan telah banyak mengemukakan tentang pengertian penelitian,

menurut Narbuko dan Achmadi (2001: 1), “Penelitian adalah suatu kegiatan untuk

mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai penyususnan laporan”.

Sedangkan menurut Subagyo (2004: 2) research yang berarti “Usaha atau

pekerjaan atau mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dan

35
dengan hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan sehingga dapat

digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab masalahnya”.

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian adalah suatu

rangkaian ilmiah yang dilakukan secara sistematis dan objektif serta dengan

menggunakan metode tertentu dalam rangka pemecahan suatu masalah yang dapat

diuji kebenarannya secara ilmiah.

Jadi metode penelitian adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh untuk

mengadakan kegiatan ilmiah agar tercapai tujuan yang diharapkan. Penggunaan

metode sangat besar pengaruhnya dalam keberhasilan suatu penelitian, karena

kevalidan suatu data sangat penting sehingga hasil penelitian dapat dipertanggung

jawabkan secara ilmiah.

3.2 Jenis Penelitian

Dalam melakukan penelitian, ada berbagai jenis penelitian yang dapat

dipilih oleh peneliti. Dwija (2006: 9-10) mengklasifikasikan penelitian atas

berbagai jenis, antara lain: (1) menurut bidangnya, penelitian terdiri atas berbagai

jenis sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan. Ada penelitian sejarah, pendidikan,

bahasa, teknik, biologi, pertanian, dan penelitian lainnya sesuai dengan jumlah

ilmu pengetahuan. (2) Menurut tempatnya, penelitian meliputi penelitian

laboratorium, perpustakaan dan penelitian lapangan. (3) Menurut pemakaiannya,

penelitian terbagi atas penelitian murni (pure reseach) dan penelitian terpakai

(applied reseach). (4) Menurut tujuannya, penelitian terdiri atas penelitian yang

bertujuan menemukan pengetahuan yang baru (explorative reseach), penelitian

yang bertujuan mengembangkan pengetahuan yang telah ada (developemental

36
reseach), dan penelitian yang dilakukan dengan tujuan menguji kebenaran ilmiah

(verifikatif reseach). (5) Menurut tarafnya, penelitian terdiri atas penelitian

deskriptif dan penelitian inferensial. (6) Menurut filosofinya, penelitian terbagi

atas penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. (7) Menurut jenis gejala yang

diteliti, penelitian terdiri atas penelitian expost facto dan penelitian eksperimen.

Berdasarkan pendapat Subagyo (2004: 94) jenis-jenis penelitian dibedakan

menjadi sebagai berikut.

Penelitian kualititatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mencari


informasi yang bersifat menerangkan dalam bentuk uraian, tidak
diwujudkan dalam bentuk angka-angka, melainkan dalam bentuk suatu
penjelasan yang menggambarkan keadaan, proses, peristiwa tertentu.
Sedangkan penelitian kuantitatif adalah penelitian bertujuan untuk
memperoleh relatif ketepatan atau lebih mendekati eksak dan data ini
penyajiannya dalam bentuk angka yang secara sepintas lebih mudah untuk
diketahui mau pun untuk membandingkan satu dengan lainnya.

Berdasarkan jenis penelitian yang telah diuraikan di atas, penelitian ini

merupakan penelitian kualitatif karena dalam penelitian ini tidak menggunakan

rumus-rumus statistik atau tidak melalui proses penghitungan melainkan

menunjukkan penggambaran keadaan, proses dan peristiwa tentang bentuk, fungsi

dari Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha Dalem di Banjar Adat

Abiancanang Kecamatan Maggis Kabupaten Karangasem.

3.3 Metode Pendekatan Subjek Penelitian

Metode pendekatan adalah suatu cara yang khusus digunakan untuk

mengadakan pendekatan (Approach) terhadap subjek penelitian. Lebih lanjut

Nasution (2003: 47) mengatakan bahwa: “Metode pendekatan subjek penelitian

dilakukan karena gejala yang akan diteliti sifatnya atau keadaannya berbeda-beda,

maka cara pendekatannya juga harus berbeda”. Ada tiga klasifikasi gejala dalam

37
penelitian, yaitu gejala empiris, gejala buatan dan gejala yang bersifat khusus.

Atas dasar jenis gejala tersebut, terdapat pula tiga jenis metode pendekatan, yakni:

(1) Pendekatan empiris (empirical approach), metode pendekatan semacam ini

digunakan terhadap gejala-gejala yang telah ada secara alami (natural

phenomena). (2) Pendekataan eksperimental (eksperimental approch), metode

pendekatan ini digunakan untuk meneliti gejala buatan yang dirancang sesuai

dengan kebutuhannya. (3) Metode klinis (clinical method) adalah suatu cara

pendekatan terhadap gejala yang mempunyai sifat-sifat khusus (typical

phenomena) (Dwija, 2006: 39-40).

Sehubungan dengan pernyataan di atas, dalam penelitian ini penentuan

subjek penelitian menggunakan metode pendekatan penelitian empiris (empirical

approach), karena gejala yang diteliti sudah ada secara wajar, dengan jalan

meneliti sarana, prosesi, dan makna Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara

Usabha Dalem di Banjar Adat Abiancanang Kecamatan Maggis Kabupaten

Karangasem yang ada dari dulu dan masih ada sampai kini.

3.4 Metode Penentuan Subjek Penelitian

Metode penentuan subjek penelitian sangat perlu dilakukan guna untuk

menentukan siapa saja yang menjadi subjek penelitian sebagai sumber data. Dwija

(2006 : 14) mengatakan bahwa “subjek penelitian adalah setiap individu yang

mendukung gejala penelitian, kedalam pengertian individu termasuk manusia,

hewan, tumbuh -tumbuhan, dan benda-benda anorganis”.

38
Sedangkan yang dimaksud dengan metode penentuan subjek penelitian

adalah metode yang khusus digunakan dalam rangka penentuan subjek penelitian

(Dwija, 2006 : 14).

Kemudian Sugiono (2006: 20-22).menerangkan untuk menetukan jumlah

individu yang akan dikaji maka metode penentuan subjek penelitian dibedakan

menjadi empat: (1) Metode Longitudinal (longitudinal method)adalah suatu cara

pengambilan subjek penelitian yang subjeknya hanya berjumlah satu individu.

(2) Metode Krosseksional (crosseksional method) adalah suatu cara pengambilan

subjek penelitian terdiri dari beberapa individu yang jumlahnya terbatas, misalnya

dua, tiga, empat dan paling banyak lima. (3) Studi Populasi dalah penelitian yang

melibatkan individu secara keseluruhan. (4) Metode Sampling (sampling method)

adalah suatu cara penentu subjek penelitian terdiri dari sebagian individu yang

mewakili jumlah individu yang lebih besar atau sering disebut populasi.

Sehubungan dengan pernyataan di atas, maka dalam penelitian ini

penentuan subjek penelitian menggunakan metode sampling, Kemudian Dwija

(2006: 28-38) menyatakan Teknik penarikan sampel dibedakan menjadi dua jenis

yaitu: (1) probability sampling dan non probability sampling. Probability

sampling adalah metode penentuan sampel yang didasarkan atas teori probabilitas,

dengan ciri adanya proses pemilihan sampel secara acak atau random. (2) Non

probability sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel yang tidak

menggunakan teori-teori probabilitas, dengan ciri tidak semua anggota populasi

mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Dalam non

probability sampling ada empat teknik sampling, yaitu: (1) convinience sampling

adalah pengambilan sampel didasarkan atas ketersediaan elemen dan kemudahan

39
untuk mendapatkannya. (2) Purposive sampling adalah suatu teknik pengambilan

sampel terhadap anggota populasi yang bersifat khusus dan mempunyai

kompetens:i tertentu. (3) Quota sampling adalah teknik pengambilan sampel

dengan jalan mengambil sejumlah anggota populasi berdasarkan ciri tertentu. (4)

Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang dimulai dari ukuran

sampel kecil dan makin lama makin membesar seperti bola salju yang

mengelinding dari puncak gunung.

Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan non probability

sampling dengan teknik purposive sampling dalam hal ini yaitu Kelian Banjar

Adat Abiancanang, Jero Mangku Pura Dalem, Para Pengayah Desa, para tukang

banten,dan para Senior desa yang mengetahui seluk beluk Tradisi Mebanten

Soroh Telu Dalam Upacara Usabha Dalem. Pemilihan sampel ini didasarkan

atas pertimbangan yang bersangkutan memiliki kemampuan dan pengetahuan

tentang masalah yang diteliti sehingga informasi yang didapat sesuai dengan

tujuan penelitian.

3.5 Jenis dan Sumber Data

3.5.1 Jenis Data

Ridwan (20004: 20) memberikan penjelasan tentang jenis data sebagai

berikut:

Berdasarkan jenisnya, data dapat dikategorikan kedalam dua kelompok


yaitu : (1) Data kualitatif, adalah data yang berhubungan dengan
karakteristik, katagorisasi, yang berhubungan dengan pernyataan atau
berupa kata-kata dan (2) Data kuantitatif, adalah data yang berhubungan
dengan karakteristik, kategori yang berwujud angka-angka.

40
Hadi (1997: 66) mengungkapkan bahwa: “Data kualitatif adalah data yang

diukur secara tidak langsung, sedangkan data kuantitatif adalah data yang dapat

diukur dan dihitung secara langsung dan berupa angka-angka”.

Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data kualitatif yang

berupa keterangan-keterangan informan dan sumber tertulis yang mendukung

penulisan tentang Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha Dalem di

Banjar Adat Abiancanang Kecamatan Maggis Kabupaten Karangasem ini.

3.5.2 Sumber Data

Menurut sumbernya, data penelitian digolongkan menjadi dua, yaitu data

primer dan data sekunder. Menurut Subagyo, (2004: 88), data primer adalah data

yang diperoleh secara langsung dari masyarakat baik yang dilakukan melalui

wawancara, observasi dan alat lainnya”. Data primer dapat diperoleh dan digali

dari sumber utamanya (sumber asli) baik berupa data kualitatif maupun

kuantitatif. Sementara itu, menurut Azwar, (1997: 91), “Data primer atau data

tangan pertama adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan

menggunakan alat pengukuran dan pengambilan data langsung pada subjek

sebagai sumber informasi yang dicari”.

Dalam penelitian ini yang termasuk data primer adalah data yang

diperoleh dari informan yang mengetahui tentang objek yang dijadikan penelitian

ini, yaitu data mengenai tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha Dalem

di Banjar Adat Abiancanang Kecamatan Maggis Kabupaten Karangasem.

Menurut Subagyo, (2004: 88), ”Data sekunder adalah data yang diperoleh

dari perpustakaan, data ini biasanya digunakan untuk melengkapi data primer”.

Azwar (1997: 91) mengemukakan bahwa data sekunder adalah data yang

41
diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya. Data ini berwujud data

dokumentasi, atau data laporan yang telah tersedia.

Berdasarkan penjelasan di atas yang dimaksud data sekunder adalah data

yang diperoleh secara tidak langsung, berupa dokumentasi, laporan, kutipan-

kutipan dari buku, surat kabar, maupun prasasti. Beberapa sumber tertulis yang

memberikan informasi tentang tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara Usabha

Dalem di Banjar Adat Abiancanang Kecamatan Maggis Kabupaten Karangasem,

seperti dokumentasi foto-foto pelaksanaannya, awig-awig Banjar Adat Abiancanang.

3.6 Metode Pengumpulan Data

Subagyo (1997:39) mengatakan bahwa: “Metode pengumpulan data

merupakan suatu cara digunakan dalam memperoleh data terkait dengan objek

penelitian”. Cara atau teknis pengumpulan data sangat menentukan kualitas dan

kevalidan data yang diperoleh dalam suatu penelitian. Apabila teknis penentuan

data memenuhi persyaratan, maka sudah barang tentu data yang didapatkan akan

memiliki kualitas dan kevalidan cukup memadai.

Ada beberapa metode pengumpulan data yang umum digunakan. Dwija

(2006: 41) menyatakan bahwa: “Metode pengumpulan data adalah suatu cara

yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian. Ada enam metode

pengumpulan data yaitu tes, wawancara, observasi, angket, sosiometri dan

pencatatan dokumen”.

Dalam penelitian ini digunakan metode pengumpulan data, yakni

observasi, wawancara, dan studi dokumen

3.6.1 Observasi

42
Subagyo (2004: 62) mengatakan bahwa: “Metode observasi adalah suatu

cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan pengamatan secara

langsung”. Senada dengan pendapat tersebut dikatakan bahwa: “Metode observasi

adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan

pengamatan dari pengamatan sistematis atas fenomen-fenomena diteliti secara

langsung dan tidak langsung” (Hadi, 2004: 151).

Berdasarkan orang yang mengadakan observasi, dalam proses observasi

dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

(1) Observasi partisipasi yaitu orang-orang yang melakukan observasi ikut


mengambil bagian dalam situasi yang diteliti. (2) Observasi non partisipasi
yaitu orang yang melakukan obsevasi berada di luar situasi yang diselidiki
atau di luar orang-orang yang diselidiki. (3) Observasi kuali-partisipasi
yaitu obsevasi yang dilakukan hanya terbatas pada beberapa situasi
tertentu saja. Observasi berada di luar situasi dari orang-orang yang
diselidiki. (Narbuko, 2001: 7).

Berdasarkan jenis observasi di atas, dalam penelitian ini menggunakan

observasi partisipasi, yaitu dengan melakukan observasi secara langsung ke dalam

situasi yang diteliti, yaitu tentang Tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Upacara

Usabha Dalem di Banjar Adat Abiancanang Kecamatan Maggis Kabupaten

Karangasem.

3.6.2 Wawancara

Hadi (2004:218) menyatakan bahwa, “Wawancara atau Interview

merupakan suatu kegiatantanya jawab sepihak dengan tujuan memperoleh data

yang diinginkan”. Nasir (2003: 193) mendefinisikan wawancara adalah proses

memperoleh keterangan untuk tujuan dengan cara tanya jawab, sambil bertatap

muka dengan penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden

dengan menggunakan alat interview guide (panduan wawancara)

43
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode interview atau

wawancara. Metode wawancara adalah suatu cara untuk memperoleh data secara

sistematis dengan mengadakan tanya jawab secara lisan dengan informan. Dalam

penelitian tradisi Mebanten Soroh Telu dalam Usabha Pura Dalem ini, wawancara

dilakukan kepada informan, yakni Kelian Banjar Adat Abiancanang, Jero

Mangku Pura Dalem dan sumber-sumber terkait.

3.6.3 Pencatatan Dokumen

“Metode dokumentasi adalah pengumpulan data dengan cara mencatat

data-data yang sudah ada” (Riyanto, 2001:102). Menurut Hajar (1999:70),

“Metode dokumentasi adalah mencari pengumpulan data dari berbagai sumber

seperti buku, surat kabar, catatan transkrip, notulen, prasasti, agenda dan

sebagainya”.

Dari pendapat di atas, pencatatan dokumen adalah suatu cara pengumpulan

data dari berbagai sumber tertulis yang telah ada sebelumnya, seperti buku, surat

kabar, catatan transkrip, notulen, prasasti, agenda dan sebagainya dengan cara

melakukan pencatatan secara sistematis yang nantinya dapat mendukung

penelitian. Dari metode pencatatan dokumen diperoleh data sekunder kemudian

digabungkan secara sistematis dengan data yang diperoleh dari wawancara.

Dokumen-dokumen yang digunakan dalam pengumpulan data ini berupa

awig-awig ataupun dokumen-dokumen milik Desa Abiancanang ataupun milik

pribadi warga berkaitan dengan pelaksanaan tradisi Mebanten Soroh Telu pada

tahun-tahun sebelumnya.

44
3.7 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian data masih mentah yang belum

berarti apa-apa. Untuk dapat memberi gambaran sesuai dengan tujuan penelitian,

maka data yang terkumpul perlu diolah dengan metode yang relevan.

Menurut Riyanto (2001: 105) analisa data menurut jenisnya dibedakan

menjadi tiga jenis yaitu :

(1) Metode deskriptif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan
dengan cara menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu
kesimpulan umum. (2) Metode komperatif adalah suatu cara pengolahan
data dengan jalan mengadakan bandingan secara sistematis serta terus
menerus sehingga diperoleh kesimpulan umum, dan (3) Metode analisa
adalah suatu cara pengolahan data yang dilakuakan dengan jalan
mempergunakan suatu teknik analisa tertentu sehingga dieroleh tes.

Dari uraian di atas maka dalam penelitian ini menggunakan metode

deskriptif yaitu data yang diperoleh dan diolah dengan jalan menyusun data yang

secara sistematis sehingga diperoleh kesimpulan umum. Buku metode penelitian

memberikan penjelasan mengenai teknik pengolahan data yang menggunkan

metode deskriptif yaitu :

(1) Teknik induksi, kita akan terlebih dahulu mengemukakan fakta-fakta


yang terlalu khusus atas dasar ini ditarik kesimpulan. (2) Teknk
argumentasi, kita memberikan komentar-komentar atau alasan-alasan
padaa setiap lita menarik suatu kesimpuln, dan (3) Teknik Spekulasi, kita
semata-mata mempergunakan ketajaman rasio atau pada setiap kita
menarik suatu kesimpulan (Azwar, 1997: 99).

Dari pernyataaan di atas, teknik yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teknik induksi dan teknik argumentasi yaitu dengan cara terlebih dahulu

mengemukakan fakta-fakta yang berlaku khusus pada masalah yaang diteliti

kemudian diatrik kesimpulan dan memberikan komentar-komentar dan alasan-

alasan pada setiap simpulan.

45
DAFTAR PUSTAKA

Ariyanti, Juni. 2016. Bentuk Makna Simbolis dan Fungsi Tradisi Nyandran di
Desa Kedunglon Kecamatan Kemiri Kabupaten Purwerejo.

Azwar,S. 1997. Metode Penelitian. Jakarta: Pustaka Belajar

Cahyana Mandala Putra, I Made. 2017. Tradisi Masuryak Pada Hari Raya
Kuningan di Desa Pakraman Bongan gede desa Bongan Tabanan Bali dan
Potensi Sebagai Sumber Belajar Sejarah di SMA.

Dinas Kebudayaaan Kabupaten Karangasem. 2018. Usabha Dimel. Amlapura:


UD. Kirana

Dunia, I Wayan. 2008. Nama – Nama Sedodol. Surabaya: Paramita

Dwija, Iwayan. 2006. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Amlapura: Sekolah


Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Hindu Amlapura.

Gautama Budha dan Sariani, Niwayan. Kamus Bahasa Bali. Surabaya: Paramita

Hadi, Sutriano. 1997. Statistik II. Yogyakarta: YDEP UGM.

______. 2004. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi

Hajar, Ibnu. 1999. Dasar-Dasar Metodologi Pendiddikan. Jakarta: Raja grafindo

Hartono, dkk. 2004, Tri Hita Karana, Tiga Konsep Menuju Hidup yang
Seimbang. Denpasar: Upada Sastra.

https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/09/07/12129/menguak-misteri-pura-
dalem-bagi-umat-hindu-bali

Husman dan Setiadi Akbar. 2003. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Ghalia
Indonesia

Kusuma, Artha, 2003. Mempertimbangkan Tradisi. Mataram: Yayasan Dwi


Saraswati

Mardalis. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Mulder, Niels. 1992. “Sinkretisme Agama atau Agama Asia Tenggara?” Basis,
Agustus

Narbuko, 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara

Narbuko, Cholid dan H. Abu. Achmadi. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi
Aksara

46
Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito

Palguna. 2009. 16 Agustus. Jauhi Hukum Adat Jadi Pembahasan. Radar Bali.

Tim Penyusun . 2005. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

P.Ztompka. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta : Prenada Media Grup

______. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta : Prenada

Riyanto, Yatim. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: SIC

Sanjaya, Putu. 2010. Sedodol Lan Tetebesan. Surabaya: Paramita

Sibarani, Robert. 2014. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik dan Linguistik


Antropologi. Medan: Poda.

Sri Adnyani, Ni Komang dan Sudarsana, I Ketut. 2017 Tradisi Makincang-


kincung Pada Pura Batu Sari Dusun Munduk Tumpeng di Desa Brangbang
kecamatan Negara Kabupaten Jembrana.

Subagyo, P. J. 1997. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

______.2004. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Renika Cipta

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Sudarsana, Ida Bagus Putu. 2010. Himpunan Tetandingan Upakara Yadnya.


Depasar: Yayasan Dharma Acarya.

Wiana, I Ketut. 1997. Beragama Bukan Hanya di Pura. Denpasar: Yayasan


Dharma Naradha.

Wijayananda, Mpu Jaya. 2003. Tetandingan Lan Sorohan Bebanten. Surabaya:


Paramitha.

______. 2006. Tetaning Tetandingan Banten Sedodol. Surabaya: Paramita

47

Anda mungkin juga menyukai