Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Wisata Di Wakatobi
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Wisata Di Wakatobi
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Wisata Di Wakatobi
Oleh
Dinis Cahyaningrum
NIM 091524253004
Oleh
Dinis Cahyaningrum
NIM 091524253004
i
TESIS
Oleh
Dinis Cahyaningrum
NIM 091524253004
ii
TESIS
Oleh:
Dinis Cahyaningrum
NIM 091524253004
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Pembimbing Ketua
Pembimbing
Dr. Sutinah,Dra.,M.S
NIP. 19580816 1982 032001
Mengetahui :
Koordinator Program Studi Magister Pengembangan Sumber Daya Manusia
Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Dr. Windijarto,SE.,MBA.
NIP. 19630414 1988 101001
iv
Tesis ini telah diuji dan dinilai
Oleh Panitia Penguji pada Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Pada tanggal : 26 Januari 2018
Dr. Sutinah,Dra.,M.Si
v
LEMBAR ORISINILITAS
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis saya ini adalah asli (hasil karya
sendiri) bukan merupakan hasil peniruan atau penjiplakan (Plagiarism) dari karya
orang lain.Tesis ini belum pemah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik.
Dalam tesis ini tidak terdapar pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan
orang lain,kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dengan
disebutkannama pengarang dan dicantumkan didalam daftar pustaka. Demikian,
pernyataan inidibuat tanpa adanya paksaan dari pihak manapun, apabila
pernyataan ini tidak benar,maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan
norma dan peraturan yang berlakudi Universitas Airlangga.
Dinis Cahyaningrum
091524253004
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis dengan
judul: Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal Pada Komunitas Suku
Bajo di Wakatobi dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Keberhasilan
dalam penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari dukungan dari berbagai pihak, oleh
sebab itu saya ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1.Dodi K. Wibowo dan Giandra Una Yagami, yang telah mendukung dan
memotivasi.
2.Bapak dan Ibu, terimakasih atas dukungan moral dan materil yang selalu
diberikan kepada saya.
3.Kakak dan Adik yang selalu menjadi motivator dan penghibur bagi saya.
4.Prof. Dr. Musta'in Mashud,Drs.,M.Si dan Dr. Sutinah,Dra.,M.S atas Sutinah
dorongan, bimbingan, dan saran yang membangun untuk terselesaikanya
penulisan tesis.
5.Purwati Ayu Rahmi dan Kholifatul Wanda yang menemani saya dalam suka
dan duka selama menempuh jenjang magister PSDM.
6.Teman-teman seperjuangan dalam menempuh studi magister PSDM.
7.Teman-teman di Wanci, khususnya Mbak Esti dan Mama Nurul yang telah
membantu saya dalam pengumpulan data.
8.Suluruh responden yang terkait dalam penulisian tesis ini.
9.Pihak-pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terkait dalam
penulisian tesis ini
Surabaya, 26 Januari 2018
Dinis Cahyaningrum
091524253004
vii
RINGKASAN
Dinis Cahyaningrum
Sektor pariwisata akan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang penting
dalam suatu negara. Pariwisata merupakan salah satu bidang yang memiliki peran
penting dalam pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, termasuk di negara
Indonesia. Pariwisata memiliki potensi untuk menciptakan lapangan pekerjaan
dan meningkatkan pendapatan bagi masyarakat lokal, dengan syarat masyarakat
lokal ikut terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata.
Pemberdayaan Masyarakat berbasis kearifan lokal dilakukan dengan melibatkan
masyarakat sehingga dapat memberi keberdayaan bagi masyarakat lokal dalam
kegiatan pariwisata. Studi ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh tentang
pemberdayaan Masyarakat berbasis kearifan lokal di Perkampungan Suku Bajo,
Wakatobi untuk meningkatkan keberdayaan komunitas suku bajo dalam bidang
pariwisata. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Pemberdayaan,
Teori Modal Sosial, Teori Komodifikasi. Pendekatan konsep yang digunakan
adalah pendekatan kearifan lokal, partisipasi masyarakat dan jaringan sosial.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menggunakan data primer serta
data sekunder melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis
viii
Terdapat beberapa hambatan yang dihadapi dalam pemberdayaan
masyarakat dalam bidang pariwisata antara lain, (1) Kebiasaan membuang
sampah sembarangan. (2) Anggapan suku Bajo bahwa uang masih menjadi hal
utama yang dapat memberikan hasil yang memuaskan. (3) Pelatihan yang tidak
tepat sasaran. (4) Ketergantungan masyarakat Bajo terhadap pihak lain dalam
pengembangan pariwisata. (5) Kurang sadarnya masyarakat Bajo akan potensi
pariwisata yang mereka miliki. (6) Adanya operator tour dari luar yang tidak
menganggap keberadaan pengelola pariwisata di perkampungan Bajo.
ix
SUMMARY
Dinis Cahyaningrum
The tourism sector will be one of the important economic activities within
a country. Tourism is one area that has an important role in economic growth in
developing countries, including in Indonesia. Tourism has the potential to create
jobs and increase income for local communities, provided that local communities
are involved in tourism development and management. Community empowerment
based on local wisdom is done by involving the community so as to provide
empowerment for local people in tourism activities. This study was conducted to
find out more about the community empowerment based on local wisdom in Bajo
village, Wakatobi to improve the empowerment of Bajo community in the field of
tourism. The theory used in this research is Empowerment Theory, Social Capital
Theory, Commodification Theory. The concept approach used is the approach of
local wisdom, community participation and social networking. This research uses
qualitative approach, using primary data and secondary data through observation,
interview and documentation. Data analysis technique used in this research is
qualitative.
The result of this research is Bajo in Wakatobi has some local wisdom
which become tourism attraction among them, they are (1) Traditional Medication
(Maduai Kakka, Maduai Tuli, Maduai Kutta, Kadilaok Kadara, Duata), (2) Bajo
Traditional Food (Kasuami, Parede, Titta, Lowar), (3) Menyuluh, (4) Meti (look
for Tetehe/sea urchin), (5) Bedak Pupur (Pupur Powder), (6) Bajo Traditional
Boats (body batang, lepa kaloko, lepa dibura, soppe, and lambo), (7) Carumeng
(Bajo’s Gogles), (8) Bajo Settlements, (9) Bajo Traditional Woven Fabrics (Ledja
and Kasopa).
Efforts are made to maintain local wisdom possessed by Bajo community,
they are (1) Recollect and rearrange Bajo cultures. (2) The introduction of culture
to the generation of the Bajo tribe as early as possible. (3) Carrying the local
wisdom of Bajo Tribe in the village of Mola as a leading tourist package in the
village of Bajo.
In Community Empowerment towards independence conducted in Bajo
village, they are (1) Bajo Presidency, (2) Provision of Access to Bajo Community
in Tourism, (3) SME Establishment and Training for Bajo Community, (4)
Establishment of Institution which facilitate the tourism of the Bajo tribe, (5)
Cooperation and network expansion in the field of tourism.
x
There are several obstacles faced in community empowerment in the field
of tourism, they are (1) The habit of littering, (2) Bajo tribe assumption that
money is still the main thing that can give satisfying results. (3) Training that is
not on target. (4) Bajo community dependency on other party in tourism
development. (5) Bajo’s lack of awareness of the tourism potential they have. (6)
The presence of tour operators from outside who do not consider the existence of
tourism managers in the village of Bajo.
xi
ABSTRAK
Dinis Cahyaningrum
Sektor pariwisata akan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang penting
dalam suatu negara. Pariwisata merupakan salah satu bidang yang memiliki peran
penting dalam pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, termasuk di negara
Indonesia. Pariwisata memiliki potensi untuk menciptakan lapangan pekerjaan
dan meningkatkan pendapatan bagi masyarakat lokal, dengan syarat masyarakat
lokal ikut terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata.
Pemberdayaan Masyarakat berbasis kearifan lokal dilakukan dengan melibatkan
masyarakat sehingga dapat memberi keberdayaan bagi masyarakat lokal dalam
kegiatan pariwisata. Studi ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh tentang
pemberdayaan Masyarakat berbasis kearifan lokal di Perkampungan Suku Bajo,
Wakatobi untuk meningkatkan keberdayaan komunitas suku bajo dalam bidang
pariwisata. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Pemberdayaan,
Teori Modal Sosial, Teori Komodifikasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif, menggunakan data primer serta data sekunder melalui observasi,
wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam
xii
ABSTRACT
Dinis Cahyaningrum
The tourism sector will be one of the important economic activities within
a country. Tourism is one area that has an important role in economic growth in
developing countries, including in Indonesia. Tourism has the potential to create
jobs and increase income for local communities, provided that local people are
involved in tourism development and management. Community empowerment
based on local wisdom is done by involving the community so as to give
empowerment for the community in tourism activities. This study was conducted
to find out more about the Community empowerment based on local wisdom in
Bajo Village, Wakatobi to improve the empowerment of Bajo community in the
field of tourism. The theories used in this research are Empowerment Theory,
Social Capital Theory, Commodification Theory. This research uses qualitative
approach, using primary data and secondary data through observation, interview
and documentation. Data analysis technique used in this research is qualitative.
The result of this research is Bajo tradition that has been strengthened
from generation to generation can be used as an economical tourism object to
improve the economy of Bajo whose livelihood is mostly as traditional fisherman.
There are several efforts in the empowerment of Bajo society in the field of
tourism. Local wisdom possessed by the Bajo can be a social capital to empower
its people to blend in tourism activities. With such natural resources, culture,
industry, local wisdom, and local resources owned by local communities that can
be used as objects and tourism attractions are maintained its sustainability. Bajo
Community also gets the economic benefits used to improve the welfare of people
living around the tourism area.
xiii
DAFTAR ISI
Sampul Depan...........................................................................................................i
Sampul Dalam...........................................................................................................ii
Prasyarat Gelar.........................................................................................................iii
Lembar Pengesahan..................................................................................................iv
Panitia Penguji Thesis...............................................................................................v
Lembar Orisinalitas..................................................................................................vi
Ucapan Terima Kasih..............................................................................................vii
Ringkasan ...............................................................................................................viii
Summary ..................................................................................................................x
Abstrak.....................................................................................................................xii
Abstract...................................................................................................................xiii
Daftar isi..................................................................................................................xiv
Daftar Tabel.............................................................................................................xvi
Daftar Gambar........................................................................................................xvii
Daftar Lampiran.....................................................................................................xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1...................................................................................................... Latar Belakang Masalah
........................................................................................................................1
1.2.......................................................................................................... Rumusan Masalah
.......................................................................................................................11
1.3........................................................................................................... Tujuan Penelitian
.......................................................................................................................12
1.4.......................................................................................................... Manfaat Penelitian
.......................................................................................................................12
1.4.1 Manfaat Akademik...............................................................................12
1.4.2 Manfaat Praktis....................................................................................12
xiv
3.3.2. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal........................48
3.3. Lokasi Penelitian..........................................................................................50
3.4. Teknik Penentuan Informan/Subjek............................................................50
3.5. Metode Pengumpulan Data..........................................................................51
3.6. Teknik Analisa Data....................................................................................53
xv
BAB V Kesimpulan & Saran
5.1. Kesimpulan.................................................................................................146
5.2. Saran dan Rekomendasi...........................................................................147
Daftar Pustaka.........................................................................................................150
Lampiran ................................................................................................................158
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Peta Persebaran Suku Bajo di Kabupaten Wakatobi...........................5
Gambar 4.1. Pemukiman Suku Bajo di Desa Mola.................................................56
Gambar 4.2. Pemukiman Suku Bajo di Desa Samabahari.......................................57
Gambar 4.3. Prosesi Pengobatan Duata...................................................................77
Gambar 4.2. Kasuami, Makanan Khas Suku Bajo...................................................80
Gambar 4.3. Suku Bajo, Menyuluh dan Berjalan di Bawah Laut............................82
Gambar 4.4 Anak Bajo Mencari Tetehe (Meti)......................................................84
Gambar 4.5. Penjual Tetehe.....................................................................................84
Gambar 4.6. Perempuan Bajo memakai Bedak Pupur.............................................85
Gambar 4.7. Pembuat Carumeng.............................................................................89
Gambar 4.8. Pemukiman Suku Bajo........................................................................90
Gambar 4.9. Pusat Informasi Pariwisata LEPA – MOLA .....................................129
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xviii
BAB 1
PENDAHULUAN
Pariwisata merupakan salah satu bidang yang memiliki peran penting dalam
dan melestarikan sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat. Namun,
tanpa keterlibatan dan partisipasi masyarakat lokal maka akan menjadi bumerang
bagi masyarakat lokal dan pariwisata tersebut. Hal ini dapat merugikan
era otonomi daerah, keragaman budaya ini dapat menjadi sumber pendapatan
APBD melalui sektor pariwisata. Sektor pariwisata akan menjadi salah satu
secara berencana dan terpadu maka peran sektor parwisata akan melebihi sektor
1
2
kepariwisataan nasional pada periode tahun 2015 – 2019 yakni (1) Danau Toba
(Sumatera Utara), (2) Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), (3) Kepulauan Seribu
(DKI Jakarta), (4) Tanjung Lesung (Banten), (5) Borobudur (Jawa Tengah), (6)
Bromo Tengger Semeru (Jawa Timur), (7) Mandalika (Nusa Tenggara Barat), (8)
Wakatobi (Sulawesi Tenggara), (9) Pulau Morotai (Maluku Utara), (10) Labuan
Operator, sering kali tidak diringi dengan sumber daya manusia yang mamadai
dari masyarakat lokal. Orang lokal sering tidak dianggap sebagai pemangku
yang cepat di suatu daerah dan kurangnya sumber daya yang memadai dalam
2012).
4
daya alam, budaya, industri, kearifan lokal, dan sumber daya lokal yang dimiliki
oleh masyarakat lokal yang dapat dijadikan sebagai objek dan daya tarik wisata
Salah satu etnis masyarakat yang memiliki keunikan adat budaya adalah suku
nomaden di atas perahu. Mereka tinggal dan beraktivitas di atas perahu yang
disebut dengan soppe secara berkelompok dalam setiap keluarga. Perahu bagi
suku Bajo ibarat rumah dan merupakan kebutuhan utama yang sangat berharga.
Di perahu segala aktivitas di lakukan, mulai dari makan, tidur, ritual keagamaan,
perahu. Mereka menetap di dekat pantai hanya pada musim-musim tertentu ketika
ikan serta hasil laut lainnya, mengadakan kegiatan sosial seperti perkawinan,
sekitar. Sudah banyak suku Bajo yang menyebar di sepanjang pantai dan
Bajo yang telah menetap dengan jumlah populasi yang cukup besar ditemukan di
5
dianut para Suku Bajo yaitu lao denakangku yang berarti lautan adalah saudaraku.
Mereka percaya bahwa dengan menjaga lautan maka lautan juga akan menjaga
mendirikan rumah panggung di atas air pada kawasan pantai. Saat ini,
salah satu permukiman dengan jumlah populasi suku Bajo terbesar di nusantara.
6
sebanyak 9.282 orang yang tersebar di beberapa desa. Desa Mola yang terletak di
penduduknya 6.363 orang (Data BPS, 2015 & Data Desa, 2015).
7
Mata pencaharian utama suku Bajo adalah mencari ikan dengan cara yang
Ikan-ikan tersebut nantinya dijual kepada penduduk sekitar pesisir atau pulau
terdekat. Suku Bajo juga dikenal sebagai penyelam ulung, mereka mampu
ikan dengan tombaknya yang berkait dan senjata buatan sendiri. Selain ikan,
mereka juga mencari kerang mutiara dan juga mengumpulkan rumput laut,
teripang, dan sirip ikan hiu yang memiliki harga cukup tinggi (Suryanegara,
2015).
Tradisi lokal suku Bajo yang ada sejak turun-temurun diperkuat sehingga
dapat dijadikan sebagai objek wisata bernilai ekonomis tinggi guna meningkatkan
mengangkat kehidupan sosial ekonomi suku Bajo, terutama bagi masyarakat yang
bermukim dekat dengan kawasan wisata yang pada bulan-bulan tertentu selalu
ramai oleh kunjungan wisata mancanegara dalam rangka penelitian ataupun hanya
merupakan peluang bagi penduduk desa yang mayoritas etnik Bajo menambah
perikanan, serta membuat dan berjualan cinderamata khas Suku Bajo. Apabila
aktivitas nelayan suku Bajo ini berlangsung secara terus-menerus, aktivitas ini
keberdayaan bagi mereka dalam kegiatan pariwisata. Studi ini dilakukan untuk
3.
4.
5.
6.
Sumber : Data Dinas Pariwisata & Ekonomi Kreatif Kabupaten Wakatobi, 2016
yang berkunjung ke Wakatobi dari tahun ke tahun. Data diambil sejak Pemerintah
pada tahun 2011 mencapai 61,94 % dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan jumlah
9
kunjungan wisata ini selalu meningkat hingga akhir tahun 2016. Pemerintah
pariwisata olahraga air, dan kawasan pariwisata berbasis marina yang mampu
(kemepar.go.id).
negatif untuk Kabupaten Wakatobi. Seperti yang dijelaskan pada penelitian Udu
akan bersebrangan dengan tujuan TNW. Seperti halnya, adanya kebijakan tentang
penetapan situs sakral bagi suku Bajo menjadi daerah perlindungan laut yaitu
tempat tinggal penguasa laut oleh suku Bajo dan orang lokal sebagai Gurita yang
merupakan saudara dari penduduk setempat, akan tetapi saat ini tempat tersebut
tidak lagi dianggap sebagai situs keramat karena lokasi ini menjadi tempat diving
biota laut seperti lobster dan karang yang bernilai ekonomis tinggi. Suku Bajo pun
dianggap masih belum bisa memasarkan cinderamata khas Wakatobi dan juga
tidak kreatif dalam membudidayakan hasil laut. Selain itu, kekurangan air bersih
Kekurangan ini yang akan menjadi fokus Kemenko Maritim untuk melakukan
dengan cara penataan Kampung Adat Suku Bajo sebagai wisata budaya, dan
memberikan pembekalan pada masyarakat suku Bajo untuk ikut serta dalam
berfokus pada pengelolaan pariwisata yakni basic science of tourism, yakni cara
penyelamat daerah wisata, memelihara kebersihan pantai, ilmu tentang biota laut
berikut nama-nama latinnya dan menjadi wiraswasta yang bisa menjual budidaya
Kordinasi SDM, IPTEK dan Budaya Maritim pada Kemenko Maritim dan
Melihat potensi yang dimiliki oleh suku Bajo dan dampak negatif yang
pariwisata di daerah pemukiman suku Bajo. Hal ini sesuai dengan konteks
masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil
kemampuan atau daya (power) yang dimiliki objek. Secara garis besar, proses ini
kearifan lokal suku Bajo yang dapat dikembangkan menjadi modal sosial serta
Suatu penelitian akan berharga jika memberikan manfaat tidak hanya bagi
peneliti tetapi juga pihak lain. Manfaat dari hasil penelitian ini antara lain,
TINJAUAN PUSTAKA
terdahulu yang pernah dilakukan sebagai bahan perbandingan dan kajian. Adapun
Penelitian yang pertama adalah Syahrul Ibad (2016) yang berjudul “Kearifan
Metode penelitian yang digunakan oleh Ibad (2016) dalam penelitian ini yaitu
menggunakan model reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data. Teknik
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kearifan lokal,
bahwa ada tiga pola kearifan lokal yang terjadi di masyarakat Situbondo dalam
yang berkelanjutan yaitu pertama, kearifan lokal petik laut. Kedua, kearifan lokal
13
14
masyarakat pada saat mengelola sumberdaya yang ada disekitarnya. Hal tersebut
informasi.
Perbedaan dalam penelitian ini dan penelitian yang dilakukan Ibad (2016),
dalam penelitian yang dilakukan oleh Ibad (2016), fokus yang dikaji adalah
fokus yang dikaji adalah pemberdayaan masyarakat pada bidang pariwisata. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Ibad (2016) pendekatan yang digunakan adalah
deduktif dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh penyebaran
yang digunakan elemen modal sosial yaitu rasa saling percaya, jaringan kerjasama
dan norma.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2015) tersebut diperoleh hasil
(1) kondisi modal sosial masyarakat di Desa Wisata Pentingsari dan Sambi
berbeda. Tiga elemen modal sosial yaitu jaringan, kepercayaan dan norma yang
Sambi. Perbedaan mencolok terjadi pada modal sosial elemen jaringan. (2)
tinggi, kelembagaan tinggi, manfaat sangat tinggi dan obyek wisata sangat tinggi.
Sementara itu Desa Wisata Sambi dinilai tidak berhasil dalam pengembangan
desa wisata karena hasil penilaian menunjukkan peran serta rendah, kelembagaan
sangat rendah, manfaat rendah dan obyek wisata rendah. (3) Tingkat modal sosial
yang memiliki modal sosial yang tinggi lebih berhasil daripada yang memiliki
modal sosial rendah. Hal ini terjadi karena modal sosial yang terdiri dari elemen
serta sehingga kelembagaan desa wisata semakin kuat serta dipercaya masyarakat.
masyarakat untuk bersama menjaga obyek wisata agar siap untuk menerima
bridging, linking). Selain itu hasil penelitiannya akan jauh berbeda mengingat
lokasi penelitian yang berbeda dengan latar belakang yang sangat berbeda antara
Penelitian terdahulu yang terakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh Dian
melalui wawancara kepada key informan, studi dokumentasi dan observasi lapang.
potensi dan mengatasi permasalahan yang terjadi di Teluk Kiluan yang tertuang
2012-2031. Kawasan wisata Teluk Kiluan telah menjadi kawasan wisata unggulan
ada di kawasan Teluk Kiluan mulai di ekspose di media cetak dan elektronik.
yang ada di kawasan Teluk Kiluan mulai di ekspose di media cetak dan elektronik
18
penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Kagungan (2015) lebih
masyarakat berbasis kearifan lokal dalam bidang pariwisata, dilihat dari dimensi
yang bermanfaat kepada penulis dalam melakukan penelitian ini. Fokus pada
Masyarakat dalam mempertahankan kearifan lokal. Selain itu penelitian ini juga
2.2.Landasan Teori
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai teori dan konsep yang digunakan
etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan
dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh
kemampuan dari suatu individu atau kelompok yang sudah berdaya kepada
suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk
masyarakat tersebut.
tidak menyadari atau daya tersebut masih belum diketahui secara eksplisit. Oleh
karena itu daya harus digali dan kemudian dikembangkan. Jika asumsi ini
sebagai alat untuk membantu individu, kelompok dan masyarakat supaya mereka
bekerja dan membantu diri mereka dan orang lain untuk memaksimalkan kualitas
dilakukan agar Suku bajo mendapatkan kewenangan dan akses, sehingga Suku
Bajo dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk dapat dalam
individu dengan struktur sosial dan politik yang bertujuan untuk membantu
mereka dari perspektif sosial politik yang lebih luas. Hal ini dilakukan karena
21
terhadap mereka yang kurang berkuasa. Dalam upaya agar masyarakat mau dan
mau menjalin hubungan antara satu dan lainnya, hal ini menjadi tujuan awal dari
masayarakat untuk dapat melihat berbagai alternatif yang ada. Menurut Jim Ife
(1995) masyarakat tidaklah perlu hanya melihat kehidupan seperti apa adanya saat
ini karena dengan mau melihat dunia ini dari sudut pandang yang lain, sering kali
yang ada. Kemampuan untuk melihat dunia dari sisi yang berbeda tidak jarang
akan membuat masyarakat dapat melihat alternatif lain dari kehidupan yang ada
saat ini (Rukminto Adi, 2008). Dalam proses pemberdayaan masyarakat di Suku
Bajo, diupayakan untuk mendorong Suku Bajo untuk beralih kondisi yang ada
saat ini, dimana dalam perkembangan pariwisata yang ada mereka masih menjadi
Bajo dapat menjadi subjek yang dapat mengembangkan pariwisata yang ada di
lingkungan sekitarnya yakni perkampungan Suku Bajo. Hal ini terkait dengan
masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil
kemampuan atau daya (power) yang dimiliki objek. Secara garis besar, proses ini
yang tadinya objek menjadi subjek (Suparjan & Hempri, 2003). Pendekatan utama
dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari
menjadi objek pariwisata, dan diupayakan untuk beralih menjadi subjek yang
martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi saat ini tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, dengan kata lain
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi yakni
tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan
sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan
dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-
pembangunan sarana prasarana, baik fisik seperti irigasi, jalan, listrik, maupun
lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena
itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya
atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil
24
dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat
dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang
kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara
berkesinambungan.
subyek akan kemampuan atau daya (power) yang dimiliki obyek. Secara garis
upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut pemihakan. Upaya ini
untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Kedua, program ini harus
25
beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan
masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika
sehingga mampu menolong diri sendiri dan dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat.
26
memulihkan kemampuan suatu komunitas untuk menjadi lebih baik dan bertindak
keseimbangan dan keharmonisan antara lingkungan hidup dan sumber daya, serta
Dalam penelitian ini juga menggunakan Teori Modal Sosial dalam mengkaji
sebagai bagian dari kehidupan sosial jaringan, norma dan kepercayaan yang
gagasan inti dari teori modal sosial adalah bahwa jaringan memiliki nilai
Pengertian lain yakni oleh Fukuyama (2002) bahwa modal sosial adalah
bahwa modal sosial yang tumbuh pada suatu komunitas sangat membantu dan
menciptakan dan mentransfer ide dan pemikiran yang membuat suatu organisasi
bahwa modal sosial yang tinggi akan membawa dampak pada tingginya
yang memiliki modal sosial yang tinggi akan banyak membantu pemerintah dalam
pembangunan yang dilaksanakan akan jauh lebih efektif jika dilakukan pada
karakteristik organisasi sosial seperti trust (rasa saling percaya), norma, dan
tertentu dan agar tercipta hubungan sosial serta kelembagaan yang baik maka
yang mengikat semua orang yang ada di dalam masyarakat tersebut. Agar modal
sosial tumbuh baik dibutuhkan adanya nilai saling berbagi, kepercayaan, dan
(2006) menyatakan bahwa inti telah modal sosial terletak pada bagaimana
28
suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerja sama tersebut diwarnai oleh
suatu pola interelasi yang timbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun
di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang
ditengah masyarakat dan memperluas kesadaran bahwa banyak cara yang bisa
dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk memperbaiki kualitas hidup secara
bersama-sama. Masyarakat yang memiliki modal sosial yang kuat akan cenderung
Modal sisal yang kuat lebih memudahkan informasi dan ide dari luar merangsang
(2002) menyatakan bahwa modal sosial yang tumbuh pada suatu komunitas
penelitian ini menggunakan dimensi modal sosial (Woolcock, 2001 dalam Field,
2010) yakni, Bonding, Bridging, dan Linking. Yang pertama adalah Bonding
Social Capital, yaitu ikatan modal sosial yang menunjukkan hubungan orang-
Pada situasi ini, hubungannya sangat tertutup, kuat, dan interaksi hubungan
29
kepercayaan kuat, serta latar belakang sosial sama. Oleh karenanya, proses
interaksi akan berjalan dengan sangat mudah (Scheffert et al., 2008). Hubungan
ini dapat mewujudkan rasa empati /kebersamaan. Hubungan ini juga dapat
balik nilai kebudayaan yg mereka percaya (Woolcock, 2001 dalam Field, 2010).
Pada Bonding social capital adalah kerja sama yang dihasilkan dari hubungan
dalam kelompok homogen (Woolcock dan Sweetser, 2002). Jenis masyarakat atau
homogenius, misalnya seluruh anggota kelompok berasal dari suku yang sama.
Fokus perhatian pada upaya menjaga nilai-nilai yang turun-temurun telah diakui
dan dijalankan sebagai bagian dari tata perilaku (code of conduct) dan perilaku
moral (code of ethics) dari suku atau entitas tersebut. Mereka cenderung
konservatif dan lebih mengutamakan solidarity making dari pada hal-hal yang
lebih nyata untuk membangun diri dan kelompok sesuai dengan tuntutan nilai dan
orang dengan asal etnis yang sama didukung oleh proses manajemen organisasi
partisipatif yang formal. Hal ini didasarkan pada sistem pengambilan keputusan
kolektif tradisional dan keterlibatan institusi kesukuan (Dahal & Adhikari, 2008).
Bonding social capital ini menjadi perekat dan pengikat anggota komunitas
kelompok. Kekuatan ini memberi manfaat bagi setiap anggota kelompok untuk
menjadi bagian dari masalah kelompok, anggota merasa terayomi, terfasilitasi dan
memberi rasa aman dan nyaman. Komunitas dengan Bonding social capital ini
biasanya kontrol kelompok sangat kuat, kepedulian sangat tinggi, namun juga
stratifikasi sosial sangat rendah dalam arti simbol-simbol pelapisan tidak terlalu
nampak. Dan ciri lain diversifikasi dan diferensiasi sosial biasanya rendah oleh
suku bajo adalah kelompok satu etnik, mereka memiliki interaksi yang kuat sejak
zaman nenek moyang. Suku bajo memiliki tingkat kepercayaan, nilai sosial,
perasaan senasib dengan komunitas suku bajo lainnya. Sehingga mereka memiliki
bentuk aturan dapat berupa aturan formal dengan sanksi yang jelas seperti aturan
Undang-Undang. Namun ada juga aturan non-formal dengan sanksi yang akan
tidak hormat bahkan dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan komunitasnya.
2010). Suku bajo juga memiliki norma-norma adat yang kuat dalam mengatur
dipegang kuat dan menjadi kearifan lokal yang tidak dimiliki oleh komunitas suku
lain.
31
Dimensi modal sosial yang kedua adalah Bridging social capital, yaitu ikatan
modal sosial yang melibatkan hubungan diantara orang-orang yang tidak dekat
dan berbeda. Bentuk ikatan tersebut, seperti persahabatan yang tidak erat, dan
rekan kerja. Pada hubungan ini, kekuatan hubungan tidak terlalu kuat namun ada
mengacu pada hubungan dengan orang-orang yang tidak sama dalam pengertian
(Woolcock and Sweetser, 2002). Pada kelompok ini, kepercayaan harus dibangun
berbeda maka kegiatan dan pemecahan masalah harus dilakukan secara bersama-
potensi dan peluang eksternal dari suatu komunitas dapat diakses. Prinsip-prinsip
yang dianut pada pengelompokan bridging social capital ini adalah universal
berbeda identitas asal tersebut disebut bridging social capital. Relasi antar
kelompok yang berbeda identitas asal menurut Kearns tersebut dapat dimaknai
lebih luas seperti relasi antar sektor, seperti sektor pendidikan dan kesehatan,
sektor ekonomi dan sosial atau relasi antar organisasi, lembaga serta asosiasi.
Pemaknaan kelompok yang lebih luas tersebut menjadi kekuatan yang dapat
32
kebutuhan yang akan dicapai. Pola-pola interaksi dan jaringan yang terbentuk
dalam bridging sosial capital ini dengan pihak luar ditegakkan dengan semangat
potensi internalnya, oleh karena itu perlu membangun relasi keluar disamping
untuk mengoptimalkan potensinya juga untuk membuka peluang potensi yang ada
diluar komunitasnya. Modal sosial yang bersifat bridging inilah yang menjadi
kekuatan yang relevan untuk dikembangkan. Bridging social capital bukan hanya
Bridging social capital dapat menggerakkan identitas yang lebih luas dan
variatif dan akulturasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai
oleh suatu kelompok. Modal sosial ini biasanya mampu memberikan kontribusi
memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik SDM (sumber daya manusia)
dan SDA (sumber daya alam) dapat dicapai secara maksimal. Kapasitas modal
33
sosial memfasilitasi dan menjadi jembatan dalam hubungan antar warga, antar
kelompok yang berasal dari latar belakang berbeda, baik dari sudut etnis, agama,
bajo, pemerintah Waktobi melibatkan pihak diluar komunitas suku bajo untuk
Dimensi Modal sosial yang terakhir adalah Linking social capital, yaitu
ikatan modal sosial yang menjangkau orang-orang yang sangat berbeda, bahkan
yang ada di dalam atau luar masyarakat. Pada kelompok ini, kepercayaan terhadap
Linking social capital adalah hasil dari hubungan yang paling lemah namun
menghasilkan sesuatu yang berharga, karena hubungan ini menyediakan akses dan
koneksi ke struktur dan institusi kekuasaan. Tidak seperti Bonding social capital
dan Bridging social capital yang ditandai dengan paparan dan pengembangan
gagasan, nilai, dan perspektif baru (Woolcock, 2001). Menurut Woolcock and
Sweetser (2002), Linking social capital berkaitan dengan hubungan dengan orang-
orang yang berkuasa, apakah mereka berada dalam posisi yang berpengaruh
34
secara politis atau finansial. Linking social capital juga mencakup koneksi vertikal
dan norma-norma yang dimiliki oleh komunitas tersebut. Dimana inti dari
kekuatan modal sosial terletak pada tingginya kepercayaan dimiliki dan ketaatan
potensi yang dapat mensinergikan dan mengungkap potensi dan modal lainnya.
Potensi modal jaringan dan relasi menjadi inti dalam dinamika pembangunan
suatu komunitas. Kompleksitas jaringan dan relasi yang tercipta dalam suatu
dengan adanya hubungan diantara beberapa jenjang sosial, yang muncul dari
kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Masing-masing
perkampungan suku bajo mencakup jaringan yang lebih luas dari Bridging Social
Capital. Jaringan yang terbentuk tidak hanya antara suku bajo dengan suku bajo
35
lainnya, namun juga hubungan komunitas suku bajo dengan pemerintah, private
tour, LSM, serta pihak lain yang memiliki pengaruh. Untuk membentuk jaringan
di Wakatobi dengan mengandalkan ciri khas kearifan lokal yang dimiliki Suku
Bajo, mereka dapat mengembangkan potensi tersebut sebagai daya tarik wisata,
Perkampungan Suku Bajo, masyarakat setempat yakni Suku Bajo harus dilibatkan
secara aktif dan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi. Hal ini dilakukan
untuk memberikan komunitas Suku Bajo akses dalam mengelola sumber daya
pariwisata yang mereka miliki. Sehingga mereka dapat hidup mandiri dalam
sebagai suatu peluang untuk membuka lapangan pekerjaan baru sebagai suatu
kapasitas masyarakat untuk mempunyai akses yang lebih baik terhadap berbagai
bisa berfikir lebih kritis terhadap diri dan lingkungannya; dan (5) pengembangan
mengelola sumber daya lokal yang dimiliki, melalui collective action (tindakan
secara ekonomi, ekologi, dan sosial (Subejo dan Supriyanto, 2004). Dengan
berkelanjutan.
masyarakat. Dalam masyarakat suku Bajo, kearifan lokal merupakan suatu yang
digunakan sebagai daya tarik wisata. Untuk menganalisa kearifan lokal yang
menjadi komoditas. Komoditas memiliki fungsi sebagai nilai tukar yang dapat
memiliki artian yang luas, tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas
37
jual-beli barang dan jasa. Permasalahan lain yakni menyangkut bagaimana proses
distribusi dan konsumsi barang dan jasa juga termasuk di dalamnya. Lebih jauh
warisan budaya pun saat ini dapat dikomersilkan dengan tujuan untuk dijadikan
komodifikasi tentu sudah menjadi suatu ritual usaha ekonomi sempurna (Darmadi,
2006).
budaya inilah masyarakat memiliki sesuatu hal baru yang adapat dijual, di
pamerkan atau dilakukan untuk menarik para wisatwan yang datang. Disisi lain
komodifikasi terus berjalan dengan syarat tidak menghilangkan apa yang menjadi
kebudayaan asli dari masyarakat tersebut. Budaya secara umum disebut sebagai
38
hasil karya, rasa dan cipta manusia yang didasarkan pada karsa. Selama ini
pemahaman mengenai budaya pun juga di pahami secara umum sebagai sesuatu
yang baik dan dilakukan secara berulang-ulang hingga menjadi sebuah kebiasaan.
keberagaman semata. Proses pariwisata budaya yang besar dan berjalan begitu
sebuah pariwisata budaya yang ada. Keberadaan para wisatwan baik lokal maupun
amenitas, transportasi, fasilitas, dan jasa lainnya. Begitu juga dengan kesediaan
produk-produk kriya hanya digunakan untuk kalangan sendiri dengan makna dan
produk dan atraksi budaya. Melalui pengelolaan sumber daya, pihak pengelola
sebagai daya tarik wisata. Bisa dikatakan kemudian bahwa produk pariwisata
budaya dapat berubah menjadi suatu kebutuhan wisatawan sebagai akibat dari
lokal, partisipasi masyarakat, serta jaringan sosial. Kearifan lokal yang dimaksud
kehidupan yang berwujud aktivitas, yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
Rangga, 2015). Kearifan lokal juga dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal
arif atau bijaksana. Jadi, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai
sehingga dengan kearifan lokal sangat diperlukan untuk membantu masyarakat itu
akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan
yang dimiliki suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama
dianut dalam suatu daerah tertentu. Dilihat dari struktur dan tingkatannya,
kearifan lokal berada pada tingkat culture. Hal ini berdasarkan skema sosial
budaya masyarakat Indonesia dimana terdiri atas sosial, budaya, dan ekonomi
40
(2) Dimensi Nilai Lokal, setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai
lokal mengenai perbuatan atau tingkah laku yang ditaati dan disepakati bersama
nilai tersebut. Nilai tersebut antara satu kelompok dengan kelompok lainnya
belum tentu menjadi kesepakatan bersama karena apa yang menjadi nilai itu
masing atau disebut dengan ekonomi subsistensi. Hal ini merupakan cara
(4) Dimensi Sumber daya Lokal, setiap masyarakat memiliki prinsip tertentu
yang dianut dalam memanfaatkan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya
dengan aturan yang telah disepakati. (6) Dimensi Solidaritas Kelompok Lokal,
tertanam dengan baik dalam melakukan aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi
yang ada.
Prinsip dalam partisipasi adalah melibatkan atau peran serta masyarakat secara
langsung, dan hanya mungkin dicapai jika masyarakat sendiri ikut ambil bagian,
sejak dari awal, proses dan perumusan hasil. Keterlibatan masyarakat akan
menjadi penjamin bagi suatu proses yang baik dan benar. Berkaitan dengan hal ini
dan perlindungan pada masyarakat lokal. Termasuk dalam konteks ini adalah
42
dalam jumlah yang besar berarti dia telah berpartisipasi secara aktif dan
tahap perubahan yakni pemberdayaan masyarakat dan hanya memiliki peran pasif
dalam perubahan yang direncakan oleh pelaku perubahan (baik itu pihak lembaga
lebih dependent (tergantung) pada pelaku perubahan. Bila hal ini terjadi secara
menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang
memungkinkan kegiatan dapat berjalan secara efisien dan efektif (Lawang, 2005).
Lebih lanjut lagi jaringan sosial terbentuk berawal dari suatu interaksi sosial yang
kemudian berlanjut membentuk hubungan sosial, lalu dari hubungan sosial yang
sosial karena mendorong orang bekerja sama satu sama lain dan tidak sekedar
dengan orang yang mereka kenal secara langsung untuk memperoleh manfaat
43
timbal balik. Jaringan dalam konsep modal sosial memberikan akses pada sumber
pada efektifitas kerjasama atas tim dengan kepercayaan tinggi. Modal sosial
industri yang akan bisa diciptakan oleh masyarakat. Jika orang-orang yang bekerja
Modal sosial secara luas terdiri atas norma-norma sosial dan jaringan
hubungan antara individu dan kelompok. Dalam norma jaringan tersebut, terlihat
aksi sosial dan mitra yang saling mengukuhkan dan menguntungkan. Jaringan-
jaringan kerja dengan aturan tertentu biasanya berwujud sebuah lembaga sosial, di
dalamnya terjadi tindakan sosial dan interaksi antara individu dan kelompok untuk
berhasil atau gagal mencapai tujuan tentu disebabkan oleh berbagai kendala. Adi
yang muncul antara lain (1) Kestabilan (homeostasis), Tubuh manusia mempunyai
kestabilan yang terbentuk dalam jangka waktu cukup panjang. Stimulus yang
dihentikan maka kestabilan yang pernah ada sebelumnya dapat muncul kembali.
sedangkan contoh kebiasaan yang negatif antara lain adalah membuang sampah
sembarangan. 3) Hal yang utama (primacy), Hal yang utama yang dimaksudkan
(4) Seleksi ingatan dan persepsi, salah satu bentuk seleksi ingatan dan
superego yang terlalu kuat dalam diri seseorang cenderung membuat ia tidak mau
45
berlebihan dapat menimbulkan kepatuhan yang berlebihan pula. (7) Rasa tidak
percaya diri (self distrust), Rasa tidak percaya diri membuat seseorang tidak yakin
yang ada pada dirinya. Hal ini membuat orang menjadi sulit berkembang karena ia
sendiri tidak mau berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. (8) Rasa
tidak aman dan regresi (insecurity and regression), keberhasilan dan “masa-masa
“kenangan” terhadap keberhasilan tersebut dan tidak berani atau tidak mau
melakukan perubahan. Contoh regresi ini adalah : seseorang yang tidak mau
melimpah di waktu yang lalu. Rasa tidak aman berkaitan dengan keengganan
hidup dalam suatu kondisi yang dirasakan tidak membahayakan dan berlangsung
2.3.Kerangka Berpikir
berbaur dengan kegiatan pariwisata sehingga sumber daya alam, budaya, industri,
kearifan lokal, dan sumber daya lokal yang dimiliki oleh masyarakat lokal dapat
46
dijadikan sebagai objek dan daya tarik wisata pariwisata. Namun, suku Bajo di
dengan melihat potensi kearifan lokal sebagai modal sosial pada komunitas suku
Bajo sehingga dapat menjadi daya tarik wisata yang dapat diandalkan. Modal
sosial yang dimaksud berdasarkan dimensi yang dikemukan oleh Woolcock yakni
Bonding Social, Bridging Social, dan Linking Social. Penelitian ini juga
dimiliki oleh masyarakat suku Bajo, serta kearifan lokal yang didayagunakan
Modal Sosial
Pemberdayaan
Masyarakat
BAB 3
METODE PENELITIAN
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Metodologi kualitatif
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian
menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang
pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti dan kesemuanya tidak dapat diukur
Bajo, Wakatobi.
47
48
3.2.Isu-Isu Penelitian
wisata sebagai segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan
dilihat. Tanpa adanya daya tarik di suatu daerah atau tempat tertentu
dapat diandalkan untuk menarik minat wisatawan, daya tarik wisata dapat
manusia dll. Suku Bajo memiliki potensi daya tarik wisata berupa kearifan
potensi kearifan lokal yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata
untuk mengatasi masalah dan keputusan secara mandiri. Kearifan lokal yang
pemberdayaan masyarakat di komunitas Suku Bajo, pasti ada hal yang baru
yang dan perlu disesuaikan dengan kondisi yang ada pada saat ini. Sehingga
sosial. Jaringan mendorong orang bekerja sama satu sama lain dan tidak
sekedar dengan orang yang mereka kenal secara langsung untuk memperoleh
manfaat timbal balik. Jaringan dalam konsep modal sosial memberikan akses
pada sumber daya (Field, 2010). Jaringan akan mendorong komunitas suku
bajo untuk bekerja sama satu sama lain dan tidak sekedar dengan orang
50
didalam komunitas suku bajo yang mereka kenal secara langsung untuk
Wangi-wangi dan Pulau Kaledupa. Penulis memilih Komunitas Suku Bajo karena
mereka memiliki kearifan lokal yang sangat kuat dan dapat dikembangkan sebagai
daya tarik wisata di Wakatobi. Desa Mola menjadi lokasi penelitian di Pulau
Penelitian kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas sosial atau fenomena
sosial yang bersifat unik dan kompleks, maka pada penelitian kualitatif yang
orang yang diminta untuk memberikan keterangan atau pendapat tentang suatu
dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui
Kaledupa, Wakatobi
data, infomasi, atau berbagai hal yang berhubungan dan relevan dengan masalah
yang hendak diteliti (Sugiono, 2013). Menurut asal sumbernya data digolongkan
menjadi dua, yakni (1) data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek
yang diteliti. (2) data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari lembaga atau
institusi tertentu, seperti dokumen, Peraturan Pemerintah, surat kabar dan lainnya
yang dapat menunjang dan memperkuat data utama untuk dianalisis. Berikut cara
oleh peneliti yang memiliki relevansi dengan topik dan masalah yang
menjadi dua jenis, yaitu dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen
terbagi menjadi dua, yaitu dokumen internal dan dokumen eksternal. Yang
53
dimana penulis akan menganalisi segala informasi yang didapatkan dari data
dalam bentuk kalimat dan jika menggunakan analisis data berupa angka maka
Dalam teknik data kualitatif akan dijabarkan data-data yang diperoleh dalam kata-
Terdapat tiga tahapan analisis Miles & Huberman (1992 dalam Ulber, 2006)
dalam analisis data kualitatif yakni pereduksian data, penyajian data dan
Tahap berikutnya penyajian data dalam bentuk teks yang tersusun sedemikian
4.1. Gambaran Suku Bajo di Desa Mola dan Desa Samabahari, Wakatobi
Wakatobi. Luas wilayah Kampung Mola sebesar 8,3 Km2. Saat ini kampung Bajo
Mola terpecah menjadi lima desa, antara lain (1) Desa Mola Selatan, (2) Desa
Mola Utara , (3) Desa Mola Samaturu, (4) Desa Mola Nelayan Bakti, (5) Desa
Mola Bahari. Pada umumnya, mata pencaharian utama penduduk Kampung Mola
adalah sebagai nelayan. Desa Samabahari merupakan salah satu desa terapung di
Kecamatan Kaledupa yang terletak di perairan dangkal laut Banda. Semula Desa
Samabahari menjadi bagian dari Desa Laulua, dan sejak tahun 1997 terpisah
menjadi desa tersendiri dengan luas wilayah sekitar 60 km2. Desa Samabahari
Perahu ini juga merupakan alat untuk mencari nafkah sebagai nelayan tradisional.
pekerjaan sebagai nelayan yang telah berlangsung secara turun temurun. Bagi
55
56
bahkan mereka tidak bisa makan tanpa ikan segar, sehingga sulit untuk
memisahkan mereka dengan laut (Saad 2009). Namun bagi Suku Bajo menangkap
ikan bukan satu-satunya sumber mata pencaharian karena budidaya rumput laut,
kolong rumah berfungsi sebagai tempat parkir perahu dan tempat memancing
ikan. Untuk berkunjung dari satu rumah ke rumah lain hanya dapat di tempuh
terbuat dari beton dengan cara menimbun karang sebagai dasar bangunan rumah
rumah-rumah panggung, namun ada juga beberapa rumah telah menjadi rumah
57
beton. Akan tetapi, rumah-rumah panggung yang ada sebagian besar mulai terisi
Dahulu Suku Bajo masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten yang
untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarganya (Zacot, 2002). Seiring
Saat ini, dengan bermukim di sekitar masyarakat daratan maka akses terhadap
pendidikan juga menjadi semakin dekat dan mudah. Anak-anak Suku Bajo sudah
banyak yang bersekolah, bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. Hal ini
58
mulai terbangun. Banyak pemuda Bajo yang sekolah atau bekerja di luar daerah
Regenerasi adat istiadat khas Bajo berkurang drastis, sehingga tradisi khas Suku
Bajo seperti Ikiko dan pengobatan Duata bisa dibilang hampir punah dan jarang
dilakukan oleh masyarakat Bajo. Hal ini menyebabkan anak muda Bajo kurang
hidup yang konsumtif. Hal ini ditunjukkan dengan ada keinginan dan upaya orang
Selain itu terjadi juga perubahan pada model rumah yang mengarah pada rumah-
rumah modern minimalis sehingga mulai menghilangkan ciri khas Suku Bajo
yang memiliki rumah panggung yang terapung di lautan (Suryanegara, Ellen, dkk.
2015).
Profil Informan dalam penelitian ini sebanyak sepuluh orang. Disini akan
Bajo.
59
Bapak Samran merupakan penduduk asli Desa Mola. Saat ini, beliau
menjabat sebagai ketua LEPA – MOLA yang diresmikan pada tahun 2015.
melakukan tahap persiapan pada tahun 2013. Beliau telah bergabung dan
diresmikan pada tahun 2015, hingga dilepas secara mandiri oleh British
Samran merupakan salah satu orang yang tetap konsisten menjadi pengurus
Selain menjadi Guru, beliau juga menjadi salah satu pengurus LEPA –
MOLA dan menjadi Guide Walking Tour. Menurut beliau, selalu terjadi pro
adat istiadat khas Suku Bajo yang sudah hampir punah. Melalui workshop
Suku Bajo untuk lebih mengenal dan melestarikan kearifan lokal Suku Bajo,
seperti budaya Starkling khas Suku Bajo. Beliau sadar dengan melestarikan
perkampungan Suku Bajo, Desa Mola sejak menikah dengan orang Bajo. Saat
ini beliau menjadi Ketua Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan Perikanan Bajo
Mandiri. Beliau memulai usaha pengolahan hasil laut sejak tahun 2007.
Bajo dan menjadi Ketua Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan Perikanan Bajo
Mandiri.
beliau sisa ikan hasil tangkapan tidak ada yang terbuang sia-sia karena dapat
diolah menjadi makanan yang tahan lama. Dari usaha pengolahan ikan pula ia
Sampah di desa Mola. Beliau merupakan keturunan asli Suku Bajo yang saat
ini berumur 70 tahun. Meskipun usia yang sudah tidak lagi muda dan hanya
lulusan Sekolah Rakyat, beliau tetap memiliki semangat untuk terus belajar
seperti apa yang diminati oleh wisatawan baik dalam maupun luar negeri.
mendapatkan produk khas Suku Bajo. Jika musim liburan dan banyak
pesanan kerajinan berupa kain tenun dari berbagai instansi pemerintah untuk
keturunan asli Bajo di desa Mola. Pekerjaan sehari-hari beliau adalah ibu
masakan khas Bajo kepada wisatawan. Selain LEPA – MOLA, beliau juga
bagi ibu-ibu kuliner Bajo. Dengan banyaknya wisatawan yang datang di desa
Mola, semakin banyak pesanan yang didapatkan oleh ibu-ibu kuliner untuk
mengikuti pelatihan kuliner tentang cara penyajian dan variasi menu untuk
keturunan asli Bajo, saat ini berusia 42 tahun. Beliau merupakan anggota
dengan LEPA – MOLA sejak tahun 2015, dan mengikuti beberapa pelatihan
meminta bantuan ibu-ibu kuliner untuk menyajikan makanan khas Bajo bagi
wisatawan.
Menurut Bapak Rustam, kebudayaan Khas Bajo merupakan daya tarik yang
wisatawan.
menjalani usaha dalam bidang pariwisata, beliau tidak sering melaut. Bapak
kerjasama usaha wisata dengan Will Be The Dragon, beliau dapat membantu
64
homestay. Menurut beliau, kebudayaan Bajo menjadi daya tarik yang diminati
oleh wisatawan.
melaut, jika musim liburan tiba dan banyak tamu yang berkunjung di desa
serta hotel di Pulau Hoga. Sama halnya dengan Bapak Iskandar, Bapak
Pekerjaan beliau adalah seorang nelayan, selain itu beliau juga seorang
Samabahari dan Pulau Hoga, beliau lebih banyak menghabiskan waktu untuk
yang banyak sejak tahun 2009. Beliau mendapatkan pesanan Carumeng dari
65
Suku Bajo merupakan suku yang tersebar di seluruh penjuru dunia, mulai dari
daerah Indonesia seperti Sulawesi, Papua, Jawa, Nusa Tenggara, hingga luar
negeri seperti Filipina, Malaysia, bahkan sampai Afrika. Meskipun berada dalam
jarak yang saling berjauhan, Suku Bajo di seluruh dunia memiliki cara hidup yang
sama, budaya yang sama, termasuk bahasa yang sama. Bahasa Bajo di berbagai
tempat hanya berbeda di dialek dan beberapa perbedaan kata yang tidak signifikan
Kearifan lokal merupakan bentuk dari Bonding social capital yaitu ikatan
etnik, kelompok keagamaan, teman dekat dan tetangga. Pada situasi ini,
kuat, serta latar belakang sosial sama. Oleh karenanya, proses interaksi akan
berjalan dengan sangat mudah (Scheffert et al., 2008). Ini adalah kerja sama yang
2002). Jenis masyarakat atau individu yang menjadi anggota kelompok Bonding
dari suku yang sama. Fokus perhatian pada upaya menjaga nilai-nilai yang turun-
66
temurun telah diakui dan dijalankan sebagai bagian dari tata perilaku (code of
conduct) dan perilaku moral (code of ethics) dari suku atau entitas tersebut.
daripada hal-hal yang lebih nyata untuk membangun diri dan kelompok sesuai
Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai
kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya, dan adat istiadat. Undang-
undang No. 32 Tahun 2009 memberikan pengertian tentang kearifan, yaitu nilai-
nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
kearifan yang ada dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan
dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun
pola perilaku manusia sehari-hari (Keraf, 2002). Komunitas Suku Bajo memiliki
kearifan berupa tradisi, aturan atau pantangan turun temurun yang dipraktikkan,
dipelihara dan ditaati masyarakat Bajo dalam menjaga dan memanfaatkan wilayah
ekosistem perairan laut dan pesisir. Keunikan Suku Bajo seperti yang dituturkan
Hamzah (2008), memiliki seperangkat kearifan dalam pengelolaan pesisir dan laut
karena kaitannya yang sangat erat yang menjadikan laut sebagai tempat keramat
dan dimiliki nenek moyang mereka dengan suku lain seperti Bugis-Makassar yang
mereka miliki, masyarakat Suku Bajo menjaga kelestarian ekosistem dan SDA
Tradisi yang diwarisi turun temurun, kebiasaan atau perilaku ini tumbuh
dipandang sebagai tindakan dan sikap manusia terhadap sesuatu objek atau
sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan
sosiokultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Pandangan ini
sejalan dengan dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 yang
berdasarkan asal-usul secara turun temurun atas satu wilayah adat, yang diatur
oleh adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan
soaial budaya yang diatur oleh adat, dan lembaga adat yang mengelola
tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur. Orang tua melarang
anggota keluarga menangkap ikan dan biota lain di sekitar gugusan karang,
kecuali terlebih dahulu melakukan ritual tertentu dengan menyiapkan sajian bagi
68
leluhur (Utina, 2012). Norma lain yang berlaku adalah menghormati laut. Suku
Suku Bajo, adalah pamali untuk mengucapkan kata-kata yang tidak pantas atau
menghargai laut. Suku Bajo sangat takut melanggar pamali. Mereka beranggapan
Malapetaka atau musibah tersebut dapat datang dalam berbagai bentuk seperti
Indonesia memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat dan
laun membuat masyarakat sadar akan potensi budaya unggulan yang dimilikinya
sebagai salah satu faktor penarik jumlah wisatawan. Sisi kearifan lokal disini
memiliki artian bahwasanya beberapa komunitas etnis di Wakatobi saat ini sudah
tergerak untuk menawarkan budayanya sebagai komoditas yang menjual bagi para
melihat potensi adat dan budaya membuat masyarakat Suku Bajo mulai terbuka
dalam mengenalkan berbagai kearifan lokal yang mereka miliki untuk semakin
menarik potensi wisata di Wakatobi. Suku Bajo menjadi komunitas etnis terbesar
beberapa kearifan lokal Suku Bajo yang menjadi potensi pariwisata dalam
69
bentuk ritual yang sangat menarik minat wisatawan, tak jarang beberapa
dapat dilihat dari mulai ritual yang diberikan kepada bayi. Ketika seorang
bayi Suku Bajo lahir, ari-ari sang bayi akan dibuang ke laut. Orang Bajo
mempercayai bahwa ari-ari bayi adalah saudara sang bayi, dalam bahasa bajo
disebut kaka yang berarti kakak, atau dalam istilah lain disebut kagumbarang
yang berarti kembaran. Orang Bajo percaya bahwa dalam rahim ibu, Allah
SWT selalu melakukan penjagaan terhadap sang bayi. Ada beberapa jenis
“Disini kan ada susunan pengobatan nya komunitas bajo yang pertama
itu kasih roh itu kalau menurut versi kita orang bajo itu penyakit yang
popoh penyakit setelah itu ada sang roh yang dipanggil,...” (Wawancara
dengan Bapak Rustam, 06 Juni 2017).
70
dipotong, ari-ari ini dilihat jatuhnya. Jika menghadap keatas, orang Bajo
karakter sang bapak yang keras dan tegas. Bayi ini kagumbarangnya adalah
Tuli, dalam bahasa Bajo berarti buaya, sifatnya menerkam dan menyergap,
sejalan dengan keras dan tegas. Kelak jika sang bayi sakit atau membutuhkan
seperti ibunya lembut dan menjaga. Kagumbarang bayi ini adallah Kutta,
yang berarti gurita. Gurita bersifat memeluk (lembut dan menjaga). Jika sang
UGM, 2015).
Ada beberapa jenis pengobatan tradisi Suku Bajo yakni Kaka, Tuli,
pengobatan) akan meraba bagian tubuh (telapak kaki, telinga, kepala) dari
orang yang sakit lalu menentukan jenis pengobatan yang akan dilakukan.
mengetahui tentang orang yang sakit tersebut. Orang lain hanya bisa
mengetahui sebatas penentuan dasar jenis pengobatan yang dilihat dari arah
ari-ari sang pasien saat bayi dulu. Dasar penentuan pengobatan dengan ari-ari
ini pun tidak mutlak dan bisa berubah seiring berjalannya waktu (KKN-PPM
UGM, 2015).
71
Suku Bajo yakni dimensi pengetahuan lokal dan dimensi nilai lokal, berbeda
meskipun beberapa Sanro saat ini tidak jarang memiliki kapasitas pendidikan
oleh adanya gangguan dari kagumbarang mereka yang ada di laut. Sehingga
memohon dan memberi sesajen bagi saudara si sakit yang ada di laut untuk
Ritual pengobatan menjadi salah satu bentuk kearifan lokal Suku Bajo
yang menjadi daya tarik wisata yang menarik minat wistawan untuk
(tanah, air, api, angin). Hawa nafsu manusia digambarkan sebagai unsur api,
72
Sebagai gambaran tentang jenis pengobatan pasien, jika pasien terasa dingin,
dapat dikatakan bahwa unsur air sang pasien sedang sakit. Pengobatan dapat
menggunakan Maduai Kaka, Tuli, maupun Kutta. Jika unsur api yang sakit,
yang dilakukan oleh tiap-tiap orang di Suku Bajo. Kaka dilakukan untuk
Bajo sekarang hanya melakukan ritual (pengobatan) ini jika orang sakit.
kenur, cangkir, kendi, lilin kain, kelapa, beras, janur kelapa, sirih.
Keseluruhan alat dan bahan tersebut kurang lebih seharga Rp. 40.000-,.
sesajen disusun. Saat ini di sebagian besar tempat di Mola Raya, laut
laut dan airnya juga asin. Proses penurunan sesajen ini menggunakan
sesajen dari atas sampan, kemudian membuang air yang ada di kendi, dan
mengisinya kembali dengan air laut. Setelah itu cangkir berisi tali
Kepala dan tubuh orang yang sakit akan diusapi dengan air laut yang
Selanjutnya pasien memilih salah satu dari tiga sarung yang ada dan
tampah yang diisi diantaranya pisang, telor, dan nasi empat warna (hitam,
putih, kuning, dan merah). Warna nasi melambangkan empat unsur bumi
versi Suku Bajo yakni tanah, air, angin dan api. Sesajen Tuli diturunkan di
pengobatan Maduai Kaka dilakukan tetapi orang yang sakit belum sembuh
juga, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Rustam sebagai Kepala Desa
“..., setelah itu Madui Tuli karena ada kaitannya kita kan pekerjaan
orang bajo ada kaitannya ada dewa dilaut,...” (Wawancara dengan
Bapak Rustam, 06 Juni 2017).
bahan diantaranya daun sirih, kapur, pisang dan nasi. Kutta juga
(kembaran) orang bajo yang sakit. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak
Pulau Kaledupa,
“..., Madui Kakka setelah itu berangsur panasnya, setalah itu Madui
Kutta kan dia berjenjang pengobatannya tradisi orang bajo,..”
(Wawancara dengan Bapak Rustam, 06 Juni 2017).
Suku Bajo yang dilakukan kepada orang yang dianggap kemasukan jin
UGM, 2015).
pengobatan Maduai Tuli dan Kutta dilakukan tetapi orang yang sakit
Kaledupa,
“..., setelah Madui Tuli dia tidak lekas sembuh kemudian kinakang
(nasi), kadilaok (laut), kadarak (darat).” (Wawancara dengan Bapak
Rustam, 06 Juni 2017)
pengobatan tradisional suku Bajo. Tradisi ini dilakukan jika ada salah satu
diantara mereka mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan
"..., Tapi ada pengobatan yang paling besar itu sudah masal itu
Duata itu terakhir Duata. Duata itu sudah masal ongkosnya besar.”
(Wawancara dengan Bapak Rustam, 06 Juni 2017).
Dalam keyakinan masyarakat Bajo, duata adalah dewa yang turun dari
masyarakat Bajo saat ini pelaksanaan tradisi duata tidak terbatas pada
prosesi pengobatan tetapi juga dapat dilakukan dalam acara syukuran dan
hajatan sebagai bentuk penghargaan pada penguasa laut yang mereka sebut
persiapan alat dan bahan, sesajen, hingga untuk kebutuhan penari dan
ditambah dengan tari-tari dan musik gendang, gong, dan bonang (KKN-
lambang kebesaran Suku Bajo yang diyakini membawa berkah. Tetua adat
77
yang didominasi perempuan lanjut usia itu meramu berbagai jenis sesaji
akan diobati digiring menuju laut. Sepanjang perjalanan lagu Lilligo tak
terdepan, ada delapan orang gadis cantik berpakaian adat yang tak
juga ada yang menari Ngigal untuk menyemangati orang yang diobati agar
Jika salah satu diantara mereka menderita sakit keras, dipercaya bahwa
78
sebagian semangat hidup orang itu telah diambil oleh saudara kembarnya
yang disebut kaka dan dibawa ke laut. Sebagian lagi diambil oleh dewa
dan dibawa naik di langit ke tujuh. Sehingga prosesi ini dilakukan untuk
meminta kembali semangat hidup yang dibawa ke laut dan ke langit. Usai
pelarungan, si sakit dan tetua adat kembali di tempat semula. Orang yang
penyakit yang ada dalam tubuhnya dan mengusir roh jahat yang
sakit sebagai obat. Konon benang ini berasal dari langit ke tujuh yang
dibawa turun oleh 7 bidadari sebagai obat bagi si sakit. Dari benang yang
tersimpan dalam cangkir, tetua adat dapat mengetahui apakah yang sakit
mengitari si orang sakit itu beberapa kali. Ini dilakukan untuk menguji
dilakukan dengan cara mengadu dua ekor ayam jantan. Jika ayam si sakit
menang maka itu berarti si sakit telah sembuh. Selanjutnya si sakit akan
2015).
hari. Kasuami menjadi bekal yang sering dibawa oleh para nelayan karena
dapat bertahan hingga 3 hari. Kausami terbuat dari singkong sehingga dapat
biasanya dibentuk dalam bentuk kerucut. Suku Bajo sendiri juga memiliki
makanan khas yang sama, namun Kasuami khas suku Bajo dibentuk dalam
bentuk bulat pipih (KKN-PPM UGM, 2015). Makanan khas orang Bajo
lainnya adalah Parede, orang darat (sebutan untuk orang diluar suku Bajo)
bumbu sederhana yakni garam, jeruk dan tomat. Seperti pada hasil kutipan
“Kalau dari makanannya itu sama saja dengan orang darat, kasuami
juga tapi kita juga yang ciri khasnya itu kalau yang anu gitu, nasi
jagung. ..., parede, orang darat bilang paredek. Tapi kalau kita orang
Bajo bilang parede. Ikan yang dimasak biasa saja, bumbunya sederhana
cuma jeruk dan tomat. Kalau makanan Bajo ini rata-rata praktis dan
minim bumbu. ..., kalau bumbunya itu kelapa yang sudah disangrai
sama bawang putih, lada, dengan jeruk, garam” (Wawancara dengan
Ibu Royani, 03 Juni 2017).
80
Selain itu, orang Bajo juga memakan ikan mentah tanpa bumbu, mereka
merasa aneh menyantap hasil laut seperti ikan, teripang, cumi, gurita ataupun
membuang bagian yang tidak dapat dimakan dan menyantap daging hasil laut
tersebut apa adanya tanpa diolah. Kadang ikan hanya dibumbui dengan jeruk
nipis dan kecap saja. Menu-menu ini menjadi warna dalam kehidupan melaut
Suku Bajo. Lowar merupakan makanan khas bajo, Lowar merupakan bumbu
yang digunakan untuk memasak yakni kelapa yang disangrai, bawang putih,
lada, jeruk, dan garam. Berbagai olahan laut yang dapat dijadikan Lowar
antara lain, ikan, siput-siput kecil dan besar, serta tetehe (bulu babi).
“Satu lagi, yang dimakan mentah itu kita bilang disini kalau orang Bajo
bilang Titta’. Kalau orang darat bilang Terange, kalau kita orang bajo
bilang Titta’. Titta atau sashimi. Untuk lauk itu banyak ada juga kita
bilang tetehe rakumba, bulu babi. Kalau untuk bulu babi itu tergantung,
kalau juga yang suka rasa aslinya itu tidak di bumbui. Tinggal direbus
aja atau dimakan mentah. Iya, lebih umumnya dimakan mentah, lebih
enak dari pada direbus. Diambil dari laut langsung dimakan”
(Wawancara dengan Ibu Royani, 03 Juni 2017).
81
pribadi suku Bajo, saat ini telah menjadi daya tarik wisata. Pengunjung
tertarik untuk mencoba makanan khas suku Bajo. Seperti Kasuami yang
menjadi bekal yang sering dibawa oleh para nelayan karena dapat bertahan
hingga 3 hari, saat ini diproduksi lebih banyak karena tidak hanya menjadi
konsumsi suku Bajo saja, tapi juga diminati oleh ’bagai’ (sebutan penduduk
darat oleh suku Bajo). Selain itu Kasuami juga diminati oleh wisatawan, baik
dari anak-anak yang mencari ikan karang pada sore hari. Hal tersebut
membantu anak-anak Bajo untuk mendapat uang saku tambahan. Selain itu
4.3.3. Menyuluh
Bagi Suku Bajo, anugerah Tuhan yang diberikan kepada meraka adalah
lautan yang luas dengan segala isinya. Lautan yang kaya itu dalam alam
dalam alam pikiran suku Bajo dari generasi ke generasi ini mengandung
perekonomian pada Sumber daya laut, dalam hal ini perikanan. Masyarakat
suku Bajo, berfokus pada budaya pemanfaatan dan pengelolaan Sumber Daya
menyuluh, salah satu kegiatan yang biasa dilakukan di malam hari oleh Suku
laut. Kegiatan ini disebut menyuluh karena kegiatan ini biasanya dilakukan di
unsur dimensi sumber daya lokal, suku Bajo yang memandang laut sebagai
hasil laut secara maksimal namun tetap sesuai kebutuhan dan tidak
atraksi pariwisata yang diminati oleh wisatawan dan para peneliti. Wisatawan
Meti dalam bahasa Bajo artinya surut. Ketika air laut sedang surut,
babi). Meti dapat diartikan pula sebagai kegiatan mencari tetehe (bulu babi)
saat laut sedang surut. Di laut sekitar perkampungan Bajo, berkedalaman 20-
50 cm, akan mudah ditemukan tetehe (bulu babi) tersebar di antara tumbuhan
laut dasar. Teripang dan bintang laut berukuran kecil hingga besar akan
orang Bajo mendayung 100 m menggunakan lepa dibura atau lepa kaloko
masyarakat bajo, saat ini juga diminati oleh masyarakat darat dan wisatawan.
Sebagian orang juga menjualnya ke pasar, tidak sedikit juga orang darat yang
.
85
suku Bajo. Bedak Pupur bisa digunakan oleh siapa saja. Saat ini bedak pupur
sering digunakan oleh para perempuan suku Bajo. Kadang orang menyebut
bedak pupur ini sebagai bedak dingin. Bedak ini memang dapat melindungi
pemakainya dari sengatan panas matahari. Menurut Suku Bajo, bedak ini
bentuk bulat-bulatan seperti kacang atom, dengan harga 5 ribu rupiah per tiga
harus diberi air dan ditumbuk agar merata, kemudian baru dioleskan di bagian
tubuh yang diinginkan, biasanya di wajah. Bedak pupur terbuat dari beras,
gula, daun mangkok, kunyit, dan berbagai jenis bahan dasar lainnya. Ada dua
jenis bedak pupur, jenis yang pertama adalah bedak pupur yang digunakan
untuk aktivitas luar rumah. Bedak pupur jenis ini menggunakan campuran
86
daun mangkok. Jenis yang kedua adalah bedak pupur yang digunakan untuk
Banyak wanita suku Bajo memakai bedak pupur ini, membuat Bedak
pupur menjadi daya tarik wisata yang diminati oleh wisatawan. Bedak pupur
merupakan salah satu tujuan walking tour yang diadakan oleh LEPA –
MOLA. Bedak pupur yang dulunya hanya menjadi konsumsi pribadi oleh
wanita suku bajo, saat ini bernilai ekonomi yang dapat dijual kepada
wisatawan.
“Lalu pembuatan bedak pupur, itu juga ketika mereka (tamu) mencoba,
pasti meraka beli.” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31 Mei 2017)
body batang, lepa kaloko, lepa dibura, soppe, dan lambo. Masing-masing
perahu memiliki bentuk yang khas dan digunakan untuk keperluan yang
berbeda-beda. Perahu tradisional Suku Bajo dibuat dari kayu Katali dan kayu
bergantung jenis perahunya. Perahu kecil secara umum lebih simpel dan
Perahu Jenis Body Batang biasa digunakan untuk menangkap ikan tuna
berukuran sedang yang muat untuk delapan orang. Sampan ini digunakan
untuk memancing di karang selama satu sampai dua hari. Selain itu Lepa
Dibura juga digunakan sebagai alat transportasi antar pulau yang berdeketan.
sebagai alat transportasi jarak dekat dan untuk mencari ikan tuna maupun
cakalang pada jarak yang tidak terlalu jauh. Jolor merupakan jenis perahu
yang biasa digunakan untuk menangkap ikan sulur, kerapu, atau gurita. Soppe
yang jauh. Lambo merupakan jenis perahu berukuran besar yang dahulu
masyarakat Bajo untuk transportasi antar rumah. Perahu ini menjadi daya
“Malah kalau tamu banyak kami ambil dari luar pendayungnya itu.
Tidak dari kami lagi, kami jadi guide saja. Cuma guide, nanti yang
dayung masyarakat” (Wawancara dengan Bapak Mukmin, 03 Juni
2017)
yang ditumpangi oleh wisatawan, anak-anak suku Bajo juga sering diminta
88
4.3.7. Carumeng
Bajo. Carumeng juga biasa disebut cermin kaca. Bentuknya cukup unik
karena framenya terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa agar bisa
sesuai dengan kontur mata kita. Frame tersebut kemudian dilengkapi dengan
cermin kaca yang direkatkan dengan lem agar tidak tertembus oleh air.
Terakhir karet disambungkan di dua ujung frame kayu dan jadilah kacamata
“..., oh bukan ini khusus orang bule itu untuk orang bajo sendiri jarang
ada yang beli, kan bikin sendiri. ..., ya tidak begitu laris tapi kalau
musim turis ya laris, kalau ini kita kejar bulan 6 nanti musim turis lagi”
(Wawancara dengan Bapak Jabira, 07 Juni 2017).
Carumeng menjadi benda khas suku Bajo yang saat ini memiliki nilai
ekonomi, karena dapat dijual kepada wisatawan yang tertarik pada kearifan
panggung, bertiang kayu, berdinding dan berlantai papan, serta atap rumbia.
bagian wilayah dan terpisah dari komunitas etnik lainnya. Hal ini disebabkan
komunitas Suku Bajo menutup diri dari pergaulan dengan komunitas lainnya.
(Saad, 2009).
Meski pemukiman Suku Bajo sebagian berada diatas laut, namun tetap
anggota masyarakat. Koridor untuk lalu lintas perahu ini pun tetap
karang. Koridor ini tak ubahnya seperti gang atau jalan kecil berupa jembatan
Rumah panggung suku Bajo yang berada di atas laut merupakan daya
merasakan tinggal di rumah suku Bajo. Beberapa rumah suku Bajo di desa
wistawan tanpa merubah kearifan lokal dari pemukiman suku Bajo yang telah
ada.
sebagai kegiatan ekonomi mereka. Kain Ledja dan Kasopa ditenun dengan
alat-alat tradisional dengan berbagai motif khas suku Bajo. Suku Bajo
Wakatobi, 2013).
Menurut Ibu Hapsah, saat wawancara dengan peneliti, kain tenun Khas
Suku Bajo ini merupakan warisan nenek moyang yang sangat diminati oleh
tamu yang datang dan mengunjungi perkampungan Suku Bajo. Tidak hanya
dijual berupa lembaran, kain tenun tersebut juga dikreasikan Ibu-ibu Bajo
menjadi Tas, Tempat pensil, dan Syal. Biasanya Syal dipesan oleh Dinas
“Kalo saya membuat ini (kain) sudah lama, dari Ibu, dari orang dulu-
dulu.Kalo yang daur ulang pertama dari WWF. Kalo kainnya kreasi
dompet, tas belajar juga dari jogja, dari bali, pergi ke pasar-pasar studi
banding. ...pesanan dari Pariwisata, itu biasanya syal yang dikalungkan.
92
bentuk usaha yang dilakukan para kaum ibu untuk mengembangkan potensi
yang mereka miliki. Mereka sadar akan tingginya nilai seni yang terkandung
pada setiap motif tenun yang mereka buat yang menjadi yang menjadi salah
kearifan lokal tersebut sebagai upaya meningkatkan daya tarik wisata sekaligus
melestarikan adat dan tradisi Suku Bajo yang sulit dilepaskan dari laut. Program
yang ada di daerah ini sehingga mereka bisa merasakan dampaknya (Ashdiana,
2015).
“Tidak hanya bertumpu pada keindahan alam laut, tapi juga memperkenalkan
kepada wisatawan berbagai kekayaan budaya suku bajo (Cultur Walking
Tour), kesempatan untuk mengamati dan membaca bintang (star-telling) yang
merupakan keahlian suku bajo. ..., Selain itu wisatawan akan diajak
bersampan di perkampungan Suku Bajo Mola, mengamati lumba-lumba dan
memperkenalkan kuliner Bajo” (Tonggo Marbun, Deputi Regional CEO
Sulawesi dan Maluku Bank Mandiri dalam Ashdiana, 2015).
93
tukar yang dapat memberikan keuntungan yang lebih banyak dari yang
Suku Bajo adalah melalui pengemasan pariwisata yang disuguhkan bagi para
wisatawan melalui kearifan lokal yang ada. Seperti contoh pengobatan tradisional
Suku Bajo yang dilakukan ketika hanya ada orang Bajo yang sakit. Bagi wisatwan
yang ingin melihat pengobatan tradisional tidak harus menunggu ada orang Bajo
menyangkut bagaimana proses distribusi dan konsumsi barang dan jasa juga
bidang kesenian tradisional dan warisan budaya pun saat ini dapat dikomersilkan
Kegiatan wisata budaya berbasis kearifan lokal pada Suku Bajo telah
diupayakan dikemas dalam bentuk pariwisata yang dinaungi oleh salah satu
yang menghubungkan antara wisatawan dan masyarakat Suku Bajo. Organisasi ini
94
wisata yang ada di daerah ini sehingga mereka bisa merasakan dampaknya.
Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Samran sebagai ketua LEPA – MOLA,
“Karena dalam paket kami, kami sengaja jalan ke tempat pembuatan alat
tangkap. Ada salah satu kelompok, ketika kami lewat tamu pasti beli untuk
kenang-kenangan. Lalu pembuatan bedak pupur, itu juga ketika mereka
(tamu) mencoba, pasti meraka beli. Dampak pariwisata yang ada ini juga
mereka dapatkan, kelompok ibu-ibu. Ditempat olahan ikan, jadi abon dari
ikan tuna, kelompok itu juga dapatkan secara langsung manfaatnya. Nah
artinya lewat ini semua kami promosikan. Ketika kami buka paket wisata dan
mengunjungi tempat-tempat itu, pasti mereka dapatkan manfaatnya.
Kerumah-rumah tancap, disana banyak yang menjual makanan-makanan
cemilan, mereka juga dapatkan manfaatnya. Nah, yang ditempat kerajinan
sovenir, oleh-oleh itu juga mereka juga dapatkan manfaatnya. Nah ini salah
satu tujaun paket kami. ..., Artinya masyarakat juga sadar. Jadi mereka
menganggap LEPA – MOLA berkontribusi, dan banyak teman-teman yang
diberdayakan, dan bermanfaat bagi semua” (Wawancara dengan Bapak
Samran, 31 Mei 2017)
masyarakat setempat.
Nenek moyang suku Bajo dikenal sebagai masyarakat laut, hidup secara
nomaden (berpindah-pindah) atau manusia perahu (sea nomedic atau sea gypsies)
Karang‟, yaitu permukiman yang terletak di atas laut. Suku Bajo merupakan
Mereka menempati lahan di sepanjang pesisir pantai bahkan hingga ke arah lautan
bebas, sehingga permukimannya pun berada diatas air, tempat mereka mencari
tempat tinggal. Perkampungan berada jauh menjorok ke arah laut bebas, karena
berfungsi sebagai tempat mencari penghidupan. Laut adalah tempat utama dalam
kehidupannya, dan hasil laut diperoleh secara tradisional. Walaupun saat ini Suku
Bajo tidak hidup secara nomaden lagi diatas perahu, namun mereka masih
kebiasaan mereka dari luar yang berbeda dengan budaya Bajo. Hal ini
diungkapkan oleh Bapak Rosman, guru sekaligus anggota LEPA – MOLA dalam
terjadi ke depannya.
96
“Mungkin kalo dampak yang signifikan belum kita rasakan. Itu juga yang kita
khawatirkan. Dengan adanya pariwisata tentu ada dampak positif dan
negatifnya. Sisi negatifnya tentu dengan adanya kunjungan yangg lebih
banyak pergeseran budaya akan terjadi. ..., Kami mencoba untuk melestarikan
budaya kita yang memang tidak kelihatan, karena ada perkembangan zaman,
anak-anak sekarang untuk mencintai budaya mereka kadang tergeser. Nah, itu
yang kita coba pertahankan (kearifan lokal), banyak sekali yang mesti kita
pertahankan” (Wawancara dengan Bapak Rosman, 01 Juni 2017).
Atas kekhawatiran yang muncul akan pergeseran budaya yang nantinya akan
dilakukan untuk menggali kembali budaya yang hampir hilang, karena budaya
tersebut jarang lagi dilakukan oleh masyarakat Bajo. Seperti yang diungkapkan
“Ada juga ini pariwisata kami mau kembalikan tentang budaya yang hampir
tenggelam itu. ..., Macam Ikiko. Ikiko kan hampir tidak dikenali itu. Ikiko
itu semacam nyinden. Yang menyanyi tentang khas bajo. ..., Pemuda itu
tidak tertarik. Kakek-kakek itu yang suka cerita. Kalau disitu ada sejarah-
sejarah, cerita orang Bajo. Semacam dongeng-dongeng tentang Bajo”
(Wawancara dengan Bapak Mukmin, 03 Juni 2017).
Hal tentang penggalian budaya suku Bajo yang hampir tenggelam juga
penggalian ini juga bertujuan untuk menyamakan informasi tentang budaya Bajo,
sehingga informasi tentang budaya Bajo tidak berbeda antara satu dengan yang
lainnya.
generasi suku Bajo sedini mungkin. Pengenalan tersebut dilakukan dengan cara
Bajo. Bapak Samran melalui LEPA – MOLA (lembaga pariwisata di Desa Mola,
“Lalu masalah budaya, karena anak-anak saat ini sudah banyak yang tidak
mengetahuinya. Setelah selesai kami gali sejarah ini, kami masuk ke
sekolah-sekolah untuk bercerita tentang Suku Bajo untuk menguatkan
kembali budaya yang ada disini” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31
Mei 2017)
Bapak Rosman sebagai guru di salah satu Sekolah Dasar di Desa Mola,
sekaligus anggota LEPA – MOLA juga merasa bahwa sosialisasi budaya untuk
memperkuat dan melestarikan budaya kepada generasi muda Bajo merupakan hal
yang penting.
“Kalau kami, kegiatan kemarin masih sebatas sederhana yang kami lakukan.
Kami memperkenalkan budaya Starkling, memperkenalkan menggunakan
bintang, bagaimana sejarah menghargai lingkungan melalui starkling itu
98
lembaga yang mengelola pariwisata yakni bernama LEPA – MOLA (rincian lebih
detail tentang lembaga ini dibahas pada 4.5.4 Pembentukan Lembaga suku Bajo
dalam bidang Pariwisata). LEPA –MOLA mengusung kearifan lokal Suku Bajo di
desa Mola sebagai paket wisata unggulan di perkampungan Bajo, Desa Mola,
yakni Star Telling, Canoeing, Dolphin Watching, Kuliner Khas Bajo, Walking
Tour. Dari kelima paket tersebut merupakan cerminan identitas suku Bajo.
masyarakat luas.
“Memang kita ini adalah suku bajo. Yang kita kembangkan adalah budaya
Suku Bajo, khususnya yang ada di Mola. ..., Justru dengan adanya lembaga
pariwisata ini, kita berfikir kesitu, karena ini adalah tour budaya. Lewat ini
kita kembangkan budaya yang ada” (Wawancara dengan Bapak Rosman,
01 Juni 2017).
Bapak Rosman menambahkan, bahwa paket wisata yang diusung oleh LEPA
yang berbicara tentang navigasi suku bajo, bagaimana caranya melaut, bagai
caranya membaca bintang” (Wawancara dengan Bapak Rosman, 01 Juni
2017).
Berbeda dengan LEPA – MOLA, menurut Kepala Desa Desa Samabahari, Bapak
lokal Bajo.
“Kalau usahanya untuk mempertahankan kearifan lokal itu disini kan ada
organisasi seperti organisasi Sanro, ada orang tua yang nama nya disini
Sanro lah orang itulah yang mempertahankan kearifan lokal” (Wawancara
dengan Bapak Rustam, 06 Juni 2017).
mencintai dan peduli terhadap kebudayaan Bajo. Karena kebudayan yang mereka
adalah rasa bangga akan budaya yang orang bajo miliki, baik di Desa Mola
khas Bajo, karena dapat menjadi daya tarik wisata bagi wisatawan. Bahkan,
yang ada disana. Hal tersebut membantu masyarakat Bajo untuk mempertahankan
kearifan lokal yang mereka miliki dari kemungkinan pergeseran budaya dengan
100
adanya perkembangan pariwisata yang ada. Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak
“Malah mereka itu ada apa di nasehati kalau ada yang pakaian minim itu
disuruh pakai sarung. Jadi kami simpan sarung. Masyarakat tidak suka
melihat ada tamu seksi katanya memakai celana pendek, kasih tahu dia
jangan pakai celana begitu karena disini kan jarang orang gadis-gadis kita
kan pakai celana begitu, dianggap tidak sopan” (Wawancara dengan Bapak
Mukmin, 03 Juni 2017).
Hal serupa diungkapkan juga oleh Bapak Rustam, masyarakat Bajo di desa
Samabahari merasa bangga akan kebudayaan yang mereka miliki hingga menjadi
“Kalau datang wisata itu artinya tidak juga berpengaruh malah mereka
senang dengan kearifan lokal disini.” (Wawancara dengan Bapak Rustam,
06 Juni 2017)
kebanggaan terhadap kebudayaan Suku Bajo yang menjadi daya tarik pariwisata,
“..., tidak malah bangga ada orang lain ada orang luar yang tertarik
keberadaan mereka itu membuat percaya diri mereka keberadaan nya
orang bajo meningkat. ..., iya mempertahankan kebudayaan nya, yang
dianggap orang lain itu kehidupan yang rendah yang kelas ketiga kalau di
depan turis dia sesuatu yang besar. ..., kita sudah punya aturan-aturan
tertentu seperti tidak boleh pakai pakaian pendek, tidak boleh pakai bikini
di depan umum. Belum ada dampak negatif. ya harus ada mungkin kita di
desa ini harus membuat aturan harus membuat kesepakatan bersama apa
yang boleh apa yang tida boleh dilakukan kalau bule-bule datang kesini.
Disini hanya minuman keras saja dia bersembunyi biar tidak kelihatan
mabok di depan umum. Harus ada aturan bersama yang dibuat oleh
masyarakat. saya pikir cukup seperti ini saja cukup mempertahankan
kebudayaan saja sudah menjadi nilai daya tarik” (Wawancara dengan
Bapak Iskandar, 06 Juni 2017).
101
bahwa telah terjadi pergeseran budaya akibat dari perkembangan zaman dan
bajo. Atas kekhawatiran yang muncul akan pergeseran budaya yang nantinya akan
Upaya-upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang sadar bahwa budaya suku
Bajo merupakan daya tarik dan menjadi aset penting dalam mengembangkan
dilakukan untuk menggali kembali budaya yang hampir hilang, karena budaya
tersebut jarang lagi dilakukan oleh masyarakat Bajo. Selain itu, pengumpulan
sehingga informasi tentang budaya Bajo tidak berbeda antara satu dengan yang
lainnya. (2) Pengenalan budaya kepada generasi suku Bajo sedini mungkin.
pariwisata diharapkan generasi muda dapat lebih mencintai dan peduli terhadap
kebudayaan Bajo. Karena kebudayan yang mereka miliki merupakan salah satu
aset untuk memperbaiki kehidupan mereka. (3) Mengusung kearifan lokal Suku
Bajo di desa Mola sebagai paket wisata unggulan di perkampungan Bajo. Paket
bangga akan budaya yang orang bajo miliki, baik di desa Mola dan desa
Bajo, karena dapat menjadi daya tarik wisata bagi wisatawan. Bahkan, wisatawan
lokal yang mereka miliki dari kemungkinan pergeseran budaya dengan adanya
Pariwisata
daya/kekuatan/ kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang
kemampuan dari suatu individu atau kelompok yang sudah berdaya kepada
individu atau masyarakat agar menjadi berdaya. Setiap masyarakat pasti memiliki
daya, akan tetapi kadang-kadang mereka tidak menyadari atau daya tersebut
sehingga bebas dan mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil keputusan
103
pengambil keputusan, manajerial hingga garda depan), dan di berbagai aspek yang
mengambil manfaat dari pariwisata. (3) Akses yang terbuka sehingga lebih sulit
Suku Bajo agar mereka mendapatkan kewenangan dan akses, sehingga Suku Bajo
bernilai tinggi membutuhkan peran dari semua pihak. Terutama karena banyak
dibutuhkan untuk pembangunan itu sendiri. Kemitraan dengan multi pihak dapat
(comparative advantages) sebagai nilai lebih (added value) agar dapat bersaing
termasuk upaya peningkatan kapasitas dan pengelolaan daya tarik atau usaha
konservasi lingkungan dan memberikan nilai lebih dari konservasi itu sendiri bagi
komunitas Bajo adalah berbasis kearifan lokal, karena kearifan lokal yang dimiliki
suku Bajo tersebutlah yang menjadi daya tarik wisata. Sehingga diharapkan suku
105
perkampungan suku Bajo dan dapat mempertahankan kearifan lokal yang mereka
miliki.
persatuan Suku Bajo dalam Kepresidenan Suku Bajo. Bonding social capital
ini menjadi perekat dan pengikat anggota komunitas karena adanya kesamaan
memberi rasa aman dan nyaman. Tingginya hubungan ikatan antara orang-
orang dengan asal etnis yang sama didukung oleh proses manajemen
capital ini biasanya kontrol kelompok sangat kuat, kepedulian sangat tinggi,
pelapisan tidak terlalu nampak. Dan ciri lain diversifikasi dan diferensiasi
Suku Bajo juga memiliki seorang Presiden. Presiden Suku Bajo Indonesia
itu dibentuk pula organisasi bersama masyarakat Suku Bajo yang disebut
organisasi ini diharapkan dapat membawa Suku Bajo untuk menjadi suku
yang tidak lagi terbelakang, namun tetap memegang teguh tradisi budaya
dan mediator untuk isu dan permasalahan yang ada di tengah masyarakat
Bjao, dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat Suku Bajo itu sendiri.
atau harapan besar, agar KEKAR BAJO dapat melakukan penguatan dan
tetap menjalin silahturahmi antar semua wilayah lokal hingga lintas negara di
aman dan nyaman. Dengan adanya organisasi ini diharapkan dapat membawa
Bajo. Partisipasi masyarakat dapat dilihat dari peran serta masyarakat dalam
wisatawan yang datang di luar komunitas suku mereka agar merasa nyaman
dengan wisata yang ada. Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak Rosman dalam
Karena tidak hanya dari pengurus LEPA – MOLA tapi juga dari masyarakat
Suku Bajo merupakan daya tarik yang diminati oleh wisatawan maka antar
masyarakat suku Bajo saling memberikan manfaat bagi komunitasnya. Hal ini
ikatan antara orang-orang dengan asal etnis yang sama didukung oleh proses
kesukuan (Dahal & Adhikari, 2008). Bonding social capital ini menjadi
110
memberi rasa aman dan nyaman. Saling memberikan manfaat antar sesama
suku Bajo dilakukan oleh seseorang dalam komunitas suku Bajo yang
suku Bajo dengan memberikan peran kepada mereka untuk turut membantu
dalam pelayanan wisatawan yang datang di desa Mola. Misalnya saja, ketika
banyak wisatawan yang datang dan guide LEPA – MOLA yang aktif tidak
Bajo yang memilki keahlian untuk ikut melayani tamu, seperti membantu
Mukmin,
“Malah kalau tamu banyak kami ambil dari luar pendayungnya itu.
Tidak dari kami lagi, kami jadi guide saja. Cuma guide, nanti yang
dayung masyarakat” (Wawancara dengan Bapak Mukmin, 03 Juni
2017)
111
Ibu-ibu kuliner juga diminta untuk menyajikan makanan khas Bajo bagi
dikelola oleh perorangan, yakni oleh Pak Iskandar dan Pak Pondang. Mereka
yang memilki akses untuk mengatur aktivitas tamu yang berkunjung ke desa
yakni rumah pribadi masayarakat Suku Bajo dan menjadi induk semang
Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Pondang bahwa setiap kali
tatacara hidup suku Bajo, ikut melaut dan menjual ikan dipasar bersama
orang tua asuh mereka selama di Samabahari, membuat kelas tentang budaya
suku Bajo dan mengundang nelayan untuk tanya jawab, juga menyaksikan
112
prosesi pengobatan khas Bajo hal tersebut diungkapkan oleh Bapak Kepala
Desa Samabahari,
salah satu masyarakat yang aktif dalam bidang pariwisata di desa Samabahari,
Pulau Kaledupa,
“..., jadi pakai bajo experience, mereka pake ikut orang luar pergi
mancing, pergi ke pasar terus mereka juga membuat kelas mereka
berjalan sambil belajar mereka datang dengan instruktur ada guru-guru
dalam satu tim itu. Jadi mereka membuat kelas, kelas tentang budaya
kelas tentang lingkungan tentang laut. ..., ada grup yang macam-macam
ada tentang kepercayaan orang bajo. ..., terus tentang perikanan yang di
kelola ada mengundang beberapa nelayan tanya jawab seperti itu untuk
dikelola. ..., kita sering nonton kalau ada opening ceremony
pengobatan. ..., yang menarik tinggal di rumah orang itu merasakan
menjadi orang bajo. ..., iya menjadi orang bajo seperti apa keseharian
orang bajo seprti apa dan karena makanan yang dibuat di rumah tangga
tidak standart jadi kita buat mereka makan disini buat dapur umum
untuk mereka semua. ..., jadi mereka mencari penggalaman lah dengan
orang bajo sekitar 1 – 2 minggu” (Wawancara dengan Bapak Iskandar,
06 Juni 2017).
Selain Bapak Iskandar, Bapak Pondang yang juga aktif dalam pariwisata
lokal suku Bajo merupakan daya tarik wisata yang menarik minat wistawan
Dengan adanya kesadaran bahwa kearifan lokal yang dimiliki oleh Suku
Bajo merupakan daya tarik yang diminati oleh wisatawan maka antar
Desa Mola, pemberian akses tersebut dilakukan oleh LEPA – MOLA sebagai
lembaga pengelola wisata di desa Mola kepada masayarakat suku Bajo dengan
Kaledupa, pariwisata masih dikelola oleh perorangan, yakni oleh Pak Iskandar
dan Pak Pondang. Mereka yang memilki akses untuk mengatur aktivitas tamu
berbagai pelatihan yang diadakan oleh instansi pemerintah serta LSM yang
masyakat Bajo.
luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan
bantuan pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM) serta (4) kelompok
ini bukanlah berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan
sebaliknya, telah terbukti pula bahwa pengetahuan modern dan inovasi dari
luar yang diperkenalkan oleh orang luar tidak juga dapat memecahkan
masalah mereka. Bahkan dalam banyak hal, pengetahuan modern dan inovasi
dari luar malah menciptakan masalah yang lebih besar lagi. Karenanya
pengetahuan lokal masyarakat dan pengetahuan dari luar atau inovasi, harus
dipilih secara arif dan atau saling melengkapi satu sama lainnya (Karsidi,
2007).
tidak dekat dan berbeda. Bentuk ikatan tersebut, seperti persahabatan yang
tidak erat, dan rekan kerja. Pada hubungan ini, kekuatan hubungan tidak
terlalu kuat namun ada kesempatan untuk dapat menjalin keeratan hubungan.
tidak sama dalam pengertian demografis (Woolcock and Sweetser, 2002), dan
sehingga potensi dan peluang eksternal dari suatu komunitas dapat diakses.
dan jaringan yang terbentuk dalam bridging sosial capital ini dengan pihak
yang dilakukan oleh komunitas Bajo, mereka mulai membuka diri kepada
Beberapa UKM yang ada dalam perkampungan Bajo, antara lain UKM
Kelompok Bajo Mandiri yang sudah mulai berdiri sejak tahun 2007 dengan
Bajo Mandiri, 2015). Ketersediaan bahan baku olahan ikan yang masih sangat
melimpah dipasaran menjadi daya dukung yang sangat potensial. Fungsi dan
dengan BPPP Ambon sebagi salah satu Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan
oleh masyarakat Bajo dari beberapa instansi negeri maupun swasta, seperti
ketua Kelompok Bajo Mandiri yang sebelumnya hanyalah seorang ibu rumah
anaknya ke Jawa.
“..., bisa nyekolahkan anak ke Jogja, bisa bikin ini (bangunan rumah
permanen)” (Wawancara dengan Ibu Sartini, 01 Juni 2017).
118
juga terdapat perkumpulan Ibu-Ibu Kerajinan Tangan yang diketuai oleh Ibu
keahlian dasar menenun kain khas Suku Bajo yakni Ledja dan Kasopa.
Namun beliau memilki kesempatan untuk belajar membuat barang daur ulang
dan mengkreasikan kain khas Bajo menjadi beberapa barang yang menarik
seperti dompet, tas, tempat pensil, dan barang lainnya. Keahlian tersebut
“Dari Ibu, dari orang dulu-dulu. kalo yang daur ulang pertama dari
WWF. Kalo kainnya kreasi dompet, tas belajar juga dari jogja, dari bali,
pergi ke pasar-pasar studi banding, ...Biasanya dari utusan-utusan desa
pasti ada yang belajar. Kadang saya dipanggil juga untuk mengajar. ...,
Misalnya dari Perindag, dari Sosial, dari Pariwisata, dari Kebersihan.
kalo dari kebersihan termasuk limbah ini” (Wawancara dengan Ibu
Hapsah, 03 Juni 2017).
merupakan salah satu ciri khas yang dapat dijual kepada wisatawan sebagai
beberapa resort dan swalayan yang ada di Wakatobi. LEPA – MOLA juga
Hal tersebut juga didukung oleh Ibu Royani, sebagai ketua Kelompok
“Iya kalau ada tamu LEPA – MOLA sini. Kalau ada tamu, mereka pesan
kuliner untuk makanan makan malam, makan siang. Jadi kita tinggal
menyesuaikan. ..., mereka pesan, tapi tamunya LEPA-MOLA juga
kadang gitu. Ada yang menelpon minta pesankan ini. ..., Ke mereka dulu
nanti anggotanya LEPA-MOLA. Pak Mukmin yang sering menghubungi
saya” (Wawancara dengan Ibu Royani, 03 Juni 2017).
kedepannya.
“Berjalan mulai 2014 bulan April mulai kami dilatih, ada beberapa
pelatihan, beberapa workshop tentang kepariwisataan, ilmu-ilmu dasar
kepariwisataan, peningkatan kapasitas. Kemudian dilatih menjadi
guide, menjadi pemandu. ..., proses kerja mulai april 2014 tetrkait
dengan kesiapan pelibatan awal termasuk pelatihan pemahaman situasi,
perencanaan, pembagian, uji coba sebelum itu steering commite dan
resident team kan berubah itu dari beberapa orang itu 30 itu yang tersisa
sampai selesai kemudian diagendakan pelatihan dasar-dasar
kepariwisataan” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31 Mei 2017)
bergiliran kepada anggota-anggota UKM dan lembaga lokal suku Bajo yang
pelatihan yang didapatkan oleh masyarakat suku Bajo antara lain, (1)
Pelatihan dalam bidang pengolahan hasil laut, (2) Pelatihan dalam bidang
daur ulang dan kreasi kain khas Bajo, (3) Pelatihan dalam bidang melayani
tamu.
Beberapa UKM yang sudah terbentuk antara lain (1) UKM Bajo Mandiri,
melimpah. UKM ini menghasilkan produk olahan ikan yang dapat dipasarkan
kreatifitas mereka dalam membuat kerajinan tangan daur ulang dan kreasi
kain khas Bajo. Perkumpulan ibu-ibu kerajinan tangan ini memasarkan hasil
dihasilkan, merupakan salah satu ciri khas yang dapat dijual ke wisatawan
mempromosikan produk hasil UKM masyarakat Bajo, selain itu mereka juga
“Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang sadar akan potensi yang mereka miliki dalam bidang pariwisata dalam
Bentuk ini biasanya memberikan akses kepada organisasi atau sistem yang
al., 2008).
Dalam lembaga dalam bidang pariwata oleh komunitas suku Bajo, tidak
serta merta berdiri begitu saja. Masyarakat Bajo memiliki kesadaran akan
potensi yang mereka miliki dalam bidang pariwisata. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Bapak Samran (Ketua LEPA – MOLA), dahulu desa Mola
gambar dan kemudian pergi. Hingga Pak Samran sadar akan potensi
pariwisata yang mereka miliki. Masayarakat Bajo di desa Mola sadar bahwa
mereka menjadi salah satu objek Pariwisata di Wakatobi, namun mereka tidak
“.., dulu Mola ini kan menjadi objek. Orang datang 3,4,5 mobil, turun
ambil foto, gambar atau semua, pulang. Kami tidak pernah menanyakan
ada apa mereka? Namun, kesadaran itu kemudian muncul. Mereka
mengambil gambar ngambil foto anak-anak yang berenang, ibu-ibu
yang menjual ikan ke pasar, orang yang membuat alat tangkap,
memperbaiki kapal. Apa sebenarnya ini? Nah itu kemudian muncul
kesadaran ini. Ini munculnya setelah saya masuk di WWF, itu 2010, eh
2011. WWF melihat sebenarnya disini ada kegiatan yang berhubungan
dengan pariwisata. Nah, ternyata itu wisatawan. nah, dampak apa yang
kemudian yang berhubungan dengan saya? Apa yang bermanfaat bagi
kami? Mereka datang, ternyata ada yang yang mengelola, ada kemudian
orang-orang yang mengelola. Ternyata mereka sudah jadikan kami
paket wisata. Oh, ini kami baru sadar, bagaimana bisa? Muncul dalam
benak saya untuk mengajak teman-teman bagaimana punya seperti ini?
Dengan khayalan ini kami memiliki cita-cita” (Wawancara dengan
Bapak Samran, 31 Mei 2017)
Masayarakat Bajo di desa Mola sadar bahwa mereka menjadi salah satu
keinginan dan cita-cita untuk mengelola potensi yang mereka miliki dalam
bidang pariwisata.
“Nah kaitannya tentang mereka sadar atau tidak sadar, mereka sudah
dimasuki wisatawan yang berkunjung ke mereka. Awalnya dulu,
kadang mereka malu, ketika ada yang pegang kamera mereka lari
bersembunyi dirumah, tidak mau berbaur. Namun saat ini, mereka
santai saja, oh, itu wisatawan ya mereka santai saja. Datang mereka,
lewat mereka paling menyapa, mereak tersenyum. Kami sadari juga
harus bersih, nyaman, yang punya kenangan” (Wawancara dengan
Bapak Samran, 31 Mei 2017).
desa Bajo dapat mereka wujudkan. British Council dan Bank Mandiri
pengembara laut Bajo di Mola Raya. Kawasan wisata budaya ini dibangun di
5 desa suku Bajo masing-masing Mola Bahari, Mola Utara, Mola Samaturu,
Bajo di Mola sendiri sudah ada dan menetap di Wangi-wangi sejak tahun
1958, mereka tinggal di atas karang dan disebut sebagai manusia laut (Rivai,
2015).
Sebagai Badan Usaha Milik Negara yang memiliki peran untuk turut
sebagai perwujudan dari BUMN Hadir Untuk Negeri. Tidak hanya menyasar
pariwisata yang bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Institusi terkait
tangga 07 Agustus 2015, oleh Deputi Regional CEO Sulawesi dan Maluku
Goggin, dan disaksikan oleh Bupati Wakatobi, Ir. Hugua, di Desa Mola
Utara, Wakatobi. Menurut Deputi Regional CEO Sulawesi dan Maluku Bank
Mola Raya). Lembaga ini merupakan bentukan dari Bank Mandiri yang pada
kawasan wisata Mola tersebut dilakukan pada hari Jumat, tangga 07 Agustus
menjadi ciri khas suku Bajo seperti Dolphin Watch, Bajo Cultural Walking
Tour, hingga lokasi untuk menikmati kuliner khas Suku Bajo (Kementrian
BUMN, 2017).
129
“Awalnya kami pilih sebelum terbentuk ini prosesnya itu mulai dari
mereka datang sosialisasi kesalah satu desa yang paling ujung sana desa
Nelayan Bakti sana tentang program MBPB (Mandiri Bersama
Pariwisata Berkelanjutan) sosialisasi tentang itu dulu, setelah itu pindah
lagi ke desa Mola Selatan dan Utara gabung disitu sosialisasinya setelah
itu membentu yang direkomendasikan untuk ke 5 orang yang di
rekomendasikan ada dari kepala desa, tokoh yang ada di desa,
masyarakat yang ada di desa sekitar 5 oarang sampai 6 orang kemudian
dibentuk ada yang jadi steering commite sebagai pengarah, yang masuk
disitu pemerintah desa, kepala desa dan tokoh-tokoh kemudian yang 3
orang itu masyarakat sendiri itu resident team tim kerja dia proses kerja
mulai april 2014 tetrkait dengan kesiapan pelibatan awal termasuk
pelatihan pemahaman situasi, perencanaan, pembagian, uji coba
sebelum itu steering commite dan resident team kan berubah itu dari
beberapa orang itu 30 itu yang tersisa sampai selesai kemudian
diagendakan pelatihan dasar-dasar kepariwisataan. ..., Sosialisasi kami
lakukan ke 5 desa. Kami masuk ke kepala-kepala desa. Tiap tahapan-
130
mendukung kegiatan kepariwisataan yang ada di desa Mola. Pada bulan Mei
snorkeling dari dan 2 buah peralatan diving dari PT Antam yang diserahkan
“Dari Spot-spot yang kami lalui minimal ada kontribusi dari kami.
Walaupun tidak kesuluruhan dari masyarakat yang mendapatkan
131
dampak dari pariwisata ini. Minimal yang kami usahakan, spot yang
kami lalui mendapatkan dampak dari pariwisata itu” (Wawancara
dengan Bapak Rosman, 01 Juni 2017).
masyarakat yang sadar akan potensi yang mereka miliki dalam bidang
lembaga ini didukung oleh pemerintah dan LSM sebagai penyandang dana.
di desa Mola sadar bahwa mereka menjadi salah satu objek Pariwisata di
keinginan dan cita-cita untuk mengelola potensi yang mereka miliki dalam
bidang pariwisata.
mengelola potensi wisata yang ada di daerah ini sehingga mereka bisa
Mola.
kontribusi terhadap kegiatan pelestarian sumber daya alam dan budaya sangat
keuangan dan pemberian mikro kredit dengan suku bunga rendah juga sangat
dalam posisi yang berpengaruh secara politis atau finansial. Linking social
hierarkhis disebut linking sosial capital. Modal sosial yang bersifat linking
oleh komunitas tersebut. Dimana inti dari kekuatan modal sosial terletak pada
potensi dan sumberdaya baik secara internal maupun eksternal. Modal sosial
dengan cara membuka diri untuk bekerjasama dengan British Council dan
Tourism, 2015).
pariwisata masih dipegang oleh perorangan yakni oleh Bapak Iskandar dan
mendapatkan tamu dan dapat memberikan manfaat kepada orang Bajo di desa
Samabahari. Operator wisata tersebut tidak hanya dari dalam negeri, namun
juga memiliki jaringan di luar negeri. Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak
Kepala Desa Samabahari, dan bapak Iskandar, orang Bajo yang aktif dalam
bidang pariwisata:
“Tamu Dragon (nama provider wisata), tamu malaysia, ada juga tamu
lepas. ..., kalau Dragon yang kordinir ada 3 pulau masyarakat juga,
diambil dari malang, kalau tamu Dragon itu banyak anak-anak semua
mahasiswa kaitannya kadang yang dia ini yang dia teliti di Samabahari
tentang kehidupan orang bajo. ..., kalau Dragon cabangnya kantornya
di Bau-Bau tapi ada penggurusnya di Samabahari ada guide disini tapi
ada kantornya dibawah pengurusnya juga ada disini. Kalau ada tamu
dari luar negeri melalui ada kantornya mungkin Bau-Bau tapi untuk
yang, untuk yang cabangnya disini yang mengurus mereka itu terutama
fasilitasnya” (Wawancara dengan Bapak Rustam, 06 Juni 2017).
135
“Orang dari luar yang buat lembaga, yaa tidak ada lembaga formal
disini. ..., iya kerja sama dengan mereka saja yang paling sering itu 3x
setahun datang itu namanya will be the dragon” (Wawancara dengan
Bapak Iskandar, 06 Juni 2017).
dengan orang luar karena aktif dalam pariwisata di Samabahari, Bapak Jabira,
jaringan dengan wisatawan asing yang sering membeli produk khas suku
“Sejak masuknya turis, pas waktu itu ada teman saya dari inggris
memberikan saya petunjuk katanya harus begini-begini orang-orang
barat itu juga suka yang terbuat dari kain-kain. ..., tapi sebenarnya tidak
terbatas itu kan yang datang di wakatobi, jadi semua negara yang masuk
pasti dia cari anu apa ehhh cari oleh-oleh dari samabahari. ..., kemudian
ini mungkin sudah disebar luaskan ke luar negeri karena ada teman saya
itu nama siapa itu nama perempuan terus waktu itu saya di foto terus
dikirim di negara-negara tetangganya terus itu nama anda terus itu ada
arahan ke sini. ..., tidak banyak kadang 10 kadang 20 tapi kadang tidak
pesan langsung datang sendiri kesini, karena sudah itu diarahkan jadi
orang bule sendiri yang datang kesini karena itu saya tidak bisa bahasa
inggris yaa begitu pakai isyarat saja begitu saja main bahasa isyarat
saja” (Wawancara dengan Bapak Jabira, 07 Juni 2017).
wisata seperti resort Hoga di Pulau Hoga yang lokasinya berhadapan dengan
untuk tujuan penelitian kelautan. Sebagian dari kegiatan, tidak sedikit dari
eksploitasi sumber daya laut secara berlebihan (Saad, 2009). Hal tersebut
kepada wisatawan:
dengan cara membuka diri untuk bekerjasama dengan British Council dan
masih dipegang oleh perorangan yakni oleh Bapak Iskandar dan Bapak
137
wisata diluar Wakatobi. Dari operator wisata inilah mereka mendapatkan tamu
Kestabilan, (2) Kebiasaan, (3) Hal yang utama, (4) Seleksi Ingatan dan Persepsi,
(5) Ketergantungan, (6) Super Ego, (7) Rasa tidak percaya diri, (8) Rasa Tidak
menjadi hal utama yang dapat memberikan hasil yang memuaskan. Ketika
waktu yang lain dengan situasi yang sama. Masyarakat bajo masih memiliki
pemikiran, bahwa apa yang mereka kerjakan secara otomatis akan menghasilkan
uang. Uang hasil kerja mereka didapatkan setelah mereka melakukan pekerjaan.
ibu kerajinan tangan, mereka membuat kerajinan tangan yang nantinya akan
tidak mendapatkan langsung hasil kerja mereka. Mereka harus bersabar sampai
139
barang hasil kerjinan tangannya laku untuk dijual. Seperti yang diungkapkan oleh
Ibu Hapsah:
tidak tepat sasaran. Untuk memilih orang yang ikut dalam pelatihan seharusnya
bekerja. Sedangkan selama ini orang-orang Bajo yang mengikuti pelatihan hanya
“Itu (pelatihan) biasanya ditunjuk. Seharusnya kalo ada pelatihan seperti itu,
harusnya dicari yang punya bakat. Asal tunjuk, asal ada yang pergi. Kalo
saya yang ditunjuk harus orang yang mau bekerja. Kalau hanya tunjuk saja,
ya percuma. Karena pelatihan itu biasanya orang cari uang saku. Mereka
mengejar uang saku, terus terang saja. melalui Kepala Desa” (Wawancara
dengan Ibu Hapsah, 03 Juni 2017).
Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak Samran, ketika merintis LEPA –
adanya insentif dari pelatihan yang mereka ikuti, banyak dari mereka yang gugur.
“Dasar-dasar itu mulai kita diberkan informasi selama 3 hari pelatihan, tidak
ada insentifnya banyak yang gugur akhirnya mencari orang yang
menggantikan ini masih bertahap” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31
Mei 2017).
mereka. Mereka masih mengharapkan adanya bantuan dari pemerintah atau pihak
lain untuk mendukung kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Seperti yang
“.., kami tidak mampu karena tidak ada biaya, tidak ada kemampuan, tidak
ada dasar untuk membuka usaha seperti ini kan. Pemerintah pun tidak
pernah memberikan pelatihan program-program seperti ini (tentang
pariwisata)” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31 Mei 2017).
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibu Hapsah, beliau masih mengharapkan
usaha.
“Ya kalau saya, kalo (pemerintah) daerah mau pamer (pameran) jangan
hanya menampung hanya disimpan, hanya sebagai promosi saja. Misalnya
kalo mereka langsung beli kita senang. Buat masyarakat juga bisa dapat
gaji” (Wawancara dengan Ibu Hapsah, 03 Juni 2017).
“Tamu semakin banyak. Diperhatikan kita ini juga, diberi ilmu atau apa dari
pemerintah, supaya kita ini berkembang. Mereka pantau kita terus, supaya
kita semangat juga. Misal juga mereka ajar bagaimana kalau mau sukses”
(Wawancara dengan Ibu Hapsah, 03 Juni 2017).
Ketergantungan ini diakibatkan karena adanya kurang rasa percaya diri pada
sehingga sulit untuk menggali dan memunculkan potensi yang ada pada dirinya.
Hal ini membuat orang menjadi sulit berkembang karena ia sendiri tidak mau
Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Rosman, setelah dilepas oleh Bank
Mandiri dan British Council, promosi wisata perkampungan Bajo menurun. Hal
141
Selain itu, rasa tidak percaya diri juga dirasakan Bu Sartini sebagai ketua
UKM Bajo Mandiri, ia merasa kurangnya usaha pemasaran akan produk yang
mereka hasilkan.
“..., kendala UKM disini rata-rata ya tentang pemasarannya. ..., Karena ini
tidak musim tamu, jadi kita tidak berani bikin banyak-banyak. Pernah juga
kita rugi 20 juta - 30 juta, karena tidak tau keadaan tamu. Jadi kita bikin
terus sampai rugi kita” (Wawancara dengan Ibu Sartini, 01 Juni 2017).
menjadi kendala bagi bapak Iskandar dan Bapak Pondang, sebagai pelaku wisata
di desa Samabahari,
“Ya itu dari pemerintah sendiri. ..., yak karena mereka komplain harus ini
harus ini bikin ini. bikin pelapor ya kan kita didesa ini seperti polisi cek
kesana ke kepala desa jadi seharusnya kita melapor ke kepala desa tidak bisa
jaga polisi karena dia tinggal didesa” (Wawancara dengan Bapak Pondang,
07 Juni 2017).
pariwisata. Seperti yang diungkapkan oleh bapak Rosman dan Ibu Royani dalam
“Kadang ada juga yang berfikir, pariwisata yang kita bangun hanya untuk
kepentingan pengurus, hanya untuk kepentingan lembaga. Kadang ada juga
yang berfikir dengan menjual budayanya kita ke orang tapi tidak ada
manfaatnya bagi mereka. Karena masih tahap sosialisasi karena kita baru”
(Wawancara dengan Bapak Rosman, 01 Juni 2017).
“Mengganggu sih tidak, tapi mungkin ada ih kenapa setiap ada tamu atau
kenapa itu ibu terus. Mungkin ada begitu itu” (Wawancara dengan Ibu
Royani, 03 Juni 2017).
Hal ini dipengaruhi oleh rasa superego yang terlalu kuat dalam diri
seseorang cenderung membuat ia tidak mau atau sulit menerima perubahan atau
“Tapi yang repotnya masyarakat juga tidak mau proaktif begitu. Semacam
untuk penyambutan tamu macam kuliner, macam apa itu masih jarang. Atau
kerajinan-kerajinan itu masih kurang sekali. Kendala pertama itu, iya masih
masyarakat lah masih kurang pemahannya tentang pariwisata. Masih ada
anggapan kalau pariwisata itu mengubah pola hidup, tradisi itu mereka
anggap begitu. Pemahaman masyarakat begitu” (Wawancara dengan Bapak
Mukmin, 03 Juni 2017).
Hambatan yang terakhir adalah adanya operator dari luar yang tidak
bapak Samran, sebagai ketua LEPA – MOLA diharapkan operator dari luar dapat
kemajuan pariwisata.
“Ya, ada juga yang merasa pariwisata ini tidak bermanfaat. Selain itu,
masih ada pihak yang mereka tidak sadar betul bahwa kami (LEPA -
MOLA) komunitas yang punya usaha, ketika meraka (private tour) masuk,
mereka tidak menghiraukan kami, mereka tidak memakai guide kami. Jadi
dalam bentuk mitra, kami ngasih tau mereka, kalau kalian punya tamu, ya
ini perkenalkan kami sebagai pengelola wisata di Perkampungan Bajo.
Kami sudah punya paket, maka berdayakan kami juga. Dan kami pun
sudah ada berapa persen yang akan kami berikan ketika mereka (Private
tour) membawa tamu kesini. Tetapi jika mereka sudah masuk ya sudah
masuk saja, kami tidak melarang. Yang penting mereka tanggung sendiri
keaman mereka, karena jika tamu tidak melewati kami, kami tidak
tanggung keamanannya” (Wawancara dengan Bapak Samran, 31 Mei
2017).
ini menjadi fokus penting Bagi LEPA – MOLA, diadakan sosialisasi untuk
ini sampah yang ada di perkampungan Bajo sudah banyak berkurang. Hal ini juga
pengembangan pariwisata. (2) Anggapan suku Bajo bahwa uang masih menjadi
hal utama yang dapat memberikan hasil yang memuaskan. Suku Bajo yang
mereka untuk mendapatkan uang secara langsung setelah mereka melaut, dengan
144
alternatif yang ada dalam bidang pariwisata, hasilnya tidak dapat mereka dapatkan
secara langsung. Sehingga mereka kembali lagi ke mata pencaharian awal mereka
sebagai nelayan. (3) Pelatihan yang tidak tepat sasaran. Untuk memilih orang
pelatihan ditunjuk oleh Kepala Desa, dan beberapa dari mereka yang mengikuti
mereka. Mereka masih mengharapkan adanya bantuan dari pemerintah atau pihak
ini diakibatkan karena adanya kurang rasa percaya diri pada masyarakat suku bajo
menggali dan memunculkan potensi yang ada pada dirinya.(5) Kurang sadarnya
superego yang terlalu kuat dalam diri seseorang cenderung membuat ia tidak mau
masyarakat suku Bajo masih kurang dalam hal tersebut. (5) Adanya operator tour
perkampungan Bajo. Operator tour dari luar diharapkan dapat bermitra dengan
Bajo.
BAB V
5.1. Kesimpulan
Suku Bajo di desa Mola dan desa Samabahari, kearifan lokal telah dikemas
sebagai daya tarik pariwisata yang berpotensi untuk menjadi komoditi pariwisata.
yang telah. Komodifikasi ini bertujuan untuk memberikan fasilitas sarana dan
prasaran kepada pengunjung agar mereka merasa aman dan nyaman dalam
Suku Bajo di Wakatobi memiliki beberapa kearifan lokal yang menjadi daya
Maduai Tuli, Maduai Kutta, Kadilaok Kadara, Duata), (2) Makanan Khas Suku
Bajo (Kasuami, Parede, Titta, Lowar), (3) Menyuluh, (4) Meti (Mencari
Tetehe/Bulu Babi), (5) Bedak Pupur, (6) Perahu Suku Bajo (body batang, lepa
kaloko, lepa dibura, soppe, dan lambo), (7) Carumeng, (8) Pemukiman Suku
Bajo, (9) Kain tenun Khas Bajo (Kain Ledja dan Kasopa).
oleh masyarakat suku Bajo antara lain, (1) Mengumpulkan dan menyusun kembali
budaya-budaya suku Bajo. (2) Pengenalan budaya kepada generasi suku Bajo
sedini mungkin. (3) Mengusung kearifan lokal Suku Bajo di desa Mola sebagai
146
147
perkampungan Bajo antara lain, (1) Pemberian Akses kepada Komunitas Bajo
dalam Bidang Pariwisata, (2) Pembentukan UKM dan Pelatihan – Pelatihan bagi
memfasilitasi pariwisata suku Bajo, (5) Kerjasama dan perluasan jaringan dalam
bidang paeiwisata.
sembarangan. (2) Anggapan suku Bajo bahwa uang masih menjadi hal utama
yang dapat memberikan hasil yang memuaskan. (3) Pelatihan yang tidak tepat
pariwisata yang mereka miliki. (6) Adanya operator tour dari luar yang tidak
sembarangan.
148
2. Memperkuat kearifan lokal suku Bajo yang berpotensi menjadi daya tarik
perkembangan pariwisata.
Bajo yang telah terbentuk (LEPA MOLA) yang dapat berperan sebagai
pariwisata.
dalam bidang pariwisata agar LEPA MOLA lebih dikenal dan memiliki
jaringan yang lebih luas. Dengan luasnya jaringan, promosi akan lebih
mudah dilakukan dan kerjasama dengan lembaga lain juga akan menambah
miliki.
dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Sehingga potensi yang dimiliki
149
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
KKN PPM UGM. 2015. Harmoni Pulau Karang : Pulau Wangi-Wangi Wakatobi.
Yogyakarta : UGM
Scheffert, D. R., Horntvedt, J., & Chazdon, S. .2008. Social capital and our
community. St. Paul, MN: University of Minnesota Extension Center for
Community Vitality.
JURNAL
Adams, Robert. 2003. Social Work and Empowerment. 3rd ed. New York:
Palgrave Macmillan
Dahal, Ram Gangga & Krishna Prasad Adhikari. Bridging, Linking & Bonding
Social Capital In Collective Action : The Case of Kalahan Forest Reserve in
the Philippines, USA : CGIAR Systemwide Program on Collective Action
and Property Rights (CAPRi)
154
Kearns, P. 2004, VET and SOCIAL Capital: A Paper on the Contiribution of the
VET sector to SOSIAL Capital in the Communities. [Online] tersedia pada
http/www.never.edu.au/publications/ (diakses pada 27 Februari 2017)
Suanda, I Gusti Gede. 2013. Partisipasi Masyarakat Desa Adat Kuta Dalam
Pengelolaan Pantai Kuta Sebagai Daya Tarik Wisata Yang Berkelanjutan
(tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Suryanegara, Ellen, dkk. 2015. Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo :
Studi Kasus Di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Syahyuti. 2008. Peran Modal Sosial (Social Capital) dalam Perdagangan Hasil
Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 26 No.1, Juli 2008.
WEBSITE
Ashdiana, I Made. 2015. Menyusuri Kanal, Mengenal Kehidupan Suku Bajo Mola
[Online] tersedia dalam
http://travel.kompas.com/read/2015/08/23/203614927/Menyusuri.Kanal.Me
ngenal.Kehidupan.Suku.Bajo.Mola diakses pada 19 September 2017
Firdaus, Ivan. 2010. Anak Bajo Pulau Rajuni [Online] tersedia dalam
https://www.kompasiana.com/ivanfirdaus/anak-bajo-pulau-
rajuni_550049cca3331153735 10664 diakses pada19 Agustus 2017
Phro, Preston. 2014. The Beautiful Underwater Hunting of The Bajau Nomands
[Online] tersedia dalam https://en.rocketnews24.com/2014/03/18/the-
beautiful-underwater-hunting-of-the-bajau-ocean-nomads/ (diakses pada 24
Agustus 2017)
Rahman, Arif. 2015. Kuliner khas Buton dan Wakatobi Sederhana tapi
Mengundang Selera. [Online] tersedia dalam
157
https://www.kompasiana.com/architectur034/kuliner-khas-buton-dan-
wakatobi-sederhana-tapi-mengundang-selera_552a94186ea8340c4c552d23
(diakses pada 29 Agustus 2017)
Rivai, Bahtiar. 2015. Asyik, Sekarang Ada Wisata Budaya Suku Bajo di
Wakatobi [Online] tersedia dalam https://travel.detik.com/travel-news/d-
2987417/asyik-sekarang-ada-wisata-budaya-suku-bajo-di-wakatobi diakses
pada 06 September 2017
Rivai, Bahtiar. 2015. Masker Kecantikan Tradisional ala Suku Bajo [Online]
tersedia dalam
https://travel.detik.com/domestic-destination/d-2988048/masker-kecantikan-
tradisional-ala-suku-bajo diakses pada 27 Agustus 2017
Udu, Sumiman. 2015. Tradisi Duata dan Keberlangsungan Kehidupan Suku Bajo
Di Wakatobi [Online] tersedia dalam
http://www.wakatobicenter.com/2015/10/tradisi-duata-dan-
keberlangsungan.html (diakses pada 20 Agustus 2017)
Wakatobi Tourism. 2015. British Council dan Mandiri Kembangkan Wisata Bajo
Mola [Online] tersedia dalam
http://www.wakatobikab.go.id/newsview/459/british.council.dan.mandiri.ke
mbangkan.wisata.bajo.mola.wakatobi.html diakses pada 06 September 2017
P2MKP Bajo Mandiri. 2015 Laporan Pelatihan P2MKP Angkatan CVI Bidang-
bidang Pengolahan Hasil Perikanan. Wangi-wangi : P2MKP Bajo Mandiri
158
LAMPIRAN I
Rencana Panduan Wawancara Penelitian
1. Siapakah Nama anda?
2. Berapakah Umur anda?
3. Sudah berapa lama anda menetap di Perkampuan Bajo di Wakatobi?
4. Apakah pekerjaan anda?
5. Apakah Bapak/Ibu terlibat dalam kegiatan pariwisata di Perkampungan
Bajo?
6. Sudah berapa lama kegiatan pariwisatadi perkampungan Bajo
dilaksanakan?
7. Apakah anda ikut terlibat dalam program tersebut?
8. Apasaja kegiatan/aktivitas pariwisata di Perkampungan Bajo?
9. Siapasaja yang terlibat dalam perkembangan pariwisata tersebut?
10. Bagaimana keterlibatan masyarakat Bajo dalam pelaksanaan pariwisata di
perkampungan Bajo?
11. Kearifan lokal apa saja yang diangkat sebagai daya tarik wisata di
perkampungan Bajo?
12. Apakah kearifan lokal tersebut masih dapat dipertahankan dengan
masuknya wisatawan ?
13. Bagaimana usaha masyarakat Bajo mempertahankan kearifan lokal
tersebut?
14. Bagaimana tanggapan anda tentang pemberdayaan masyarakat dalam
bidang pariwisata?
15. Apasaja upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan?
16. Dalam pandangan Anda, bagaimana Anda menggambarkan dampak
pariwisata bagimasyarakat Bajo? (Positif danpandangan negatif)
17. Apa kendala yang muncul dalam pengembangan pariwisata berbasis
kearifan lokal di perkampungan Bajo?
18. Apakah harapan anda dalam mempertahankan kearifan lokal?
19. Apakah harapan anda dalam pengembangan pariwisata di perkampungan
Bajo?