Mu'tazilah
Mu'tazilah
Mu'tazilah
MAKALAH
Disusun Oleh :
WISNU GAUTAMA
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................2
PEMBAHASAN.....................................................................................................2
A. Pengertian......................................................................................................2
B. Latar belakang munculnya Aliran Mu’tazilah...............................................2
C. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah...................................................................4
1. Wasil bin Atha (80 – 131 H)...................................................................4
2. Al-Allaf (135 – 235 H)............................................................................5
3. Bisyir bin Al-Mu’tammir (Wafat 226 H)................................................6
4. An-Nazzham (185 - 221 H)...................................................................6
5. Al-jubbai (wafat 303 H)..........................................................................6
6. Al-khayyat (wafat 300 H).......................................................................7
7. Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024)......................................................7
8. Az-Zamahsyari (467 – 538 H)................................................................7
D. AJARAN-AJARAN POKOK ALIRAN MU’TAZILAH.............................7
BAB III..................................................................................................................15
PENUTUP.............................................................................................................15
A. Kesimpulan.................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara harfiah mu'tazilah berasal dari kata I'tazala berarti terpisah atau
memisahkan diri yang juga mempunyai arti menjauh atau menjauhkan diri atau
juga mengasingkan diri. Mu'tazilah adalah salah satu aliran teologi dalam islam
yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam, sedangkan arti dari
teologi itu sendiri adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tuhan.1
1
Mashfiatus Fia, “Mengenal Aliran Mu’tazilah” diakses dari
https://www.kompasiana.com/mashfiatusfia1575/5ba661d412ae9474b60503a4/mengenal-apa-itu-
aliran-mu-tazilah pada 22 September 2018 pukul 23 : 28.
2
Mar’i Muhammad Haikal, “ Mu’tazilah” diakses dari,
https://maktabahmahasiswa.blogspot.com/2019/03/mutazilah-diajukan-untuk-memenuhi-
tugas.html pada 22 Maret 2019
2
3
orang islam yang demikian itu, menurut Wasil Bin Atha bukan mukmin dan
bukan pula kafir, lalu ia dikenal sebagai Mu’tazilah karena ia berbeda pendapat
dengan gurunya dan memisahkan diri dari padanya.3
Mengenai arti dan asal-usul kata Mu’tazilah terdapat beberap versi yang
ditemukan oleh para ahli ilmu kalam.Yaitu:
1. Versi Almas’udi, sebutan Mu’tazilah berasal dari pendapat mereka yang
mengatakan bahwa orang yang membuat dosa besar bukan mukmin,juga bukan
kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya (Al-manzilah bainal
manzilatain). Jadi menurut versi ini kemu’tazilahan itu mula-mula menjadi sifat
orang yang berbuat dosa besar kemudian menjadi sifat atau nama golongan yang
berpendapat tentang posisi orang yang berdosa besar. Golongan yang berpendapat
itu di sebut Mu’tazilah karena mereka membuat orang yang berbuat dosa besar
jauh dari golongan mukmin dan kafir.4
2. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu hari Qatadah Ibnu Da’amah masuk
kemesjid basrah dan duduk pada majlis Amr bin Ubaid yang disangkanya majlis
hasan Basri. Setelah menyadari bahwa ia salah masuk, ia bediri dan meninggalkan
tempat itu sambil berkata,”ini kamu Mu’tazilah”.Sejak itu mereka di sebut kaum
Mu’tazilah.5
3. Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada kurang lebih 100 tahun
sebelum terjadinya perselisihan pendapat Wasil bin Atha dengan Hasan Basri di
mesjid basrah. Golongan yang disebut Mu’tazilah pada waktu itu adalah mereka
yang tidak ikut melibatkan diri dalam pertikaian. Golongan yang tidak ikut
pertikaian itu mengatan,”Kebenaran tidak mesti berada pada salah satu pihak
yang bertikai, melainkan kedua-duanya bisa salah, sekurang-kurangnya tidak
jelas siapa yang benar. Sedangkan agama hanya memerintahkan memerangi
orang-orang yang menyeleweng. kalau kedua golongan menyeleweng, maka kami
harus menjauhkan diri (I’tazalna).6
3
Mar’i Muhammad Haikal dkk, “ Mu’tazilah” diakses dari,
https://maktabahmahasiswa.blogspot.com/2019/03/mutazilah-diajukan-untuk-memenuhi-
tugas.html pada 22 Maret 2019
4
Ibid
5
ibid
6
Ibid
4
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar
ajaran Mu’tazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-
Manzilah baina al-Manzilatain, paham Qadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad
7
Mar’i Muhammad Haikal dkk, “ Mu’tazilah” diakses dari,
https://maktabahmahasiswa.blogspot.com/2019/03/mutazilah-diajukan-untuk-memenuhi-
tugas.html pada 22 Maret 2019
8
Ibid
9
Ibid
5
dan Gailan, dua tokoh aliran Qadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.
Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al-
Manzilah baina al-Manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.10
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan
pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.11
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun
(Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara.
Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi
ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam
Islam ini.12
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak
falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai
pengertian Nafy al-Sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan
pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya;
Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya
dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari
adanya yang Qadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti
sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu Qadim. Ini akan
membawa kepada kemusyrikan.13
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada
manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia
wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya
10
Ahmad Mustaniruddin, “Tokoh-tokoh mu’tazilah”, diakses dari ;
https://dataislam.com/1007/tokoh-tokoh-mutazilah/, pada 30 Januari 2019
11
Ibid
12
Ibid
13
Ibid
6
Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.14
3. Bisyir bin Al-Mu’tammir (Wafat 226 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai. Sebutan
Al-Jubbai dari nama tempat kelahirannya, yaitu satu temapt bernama Jubba, di
Iran. Al-Jubbai adalah guru Imam Al-Asy’ari,tokoh utama aliran Ahlusunnah.
Ketika Al-Asy’ari keluar dari barisan Mu’tazilah dan menyerang pendapatnya, ia
membalas Tafsiran Al-Qur’an banyak di ambil oleh Az-Zamahsyari. Al-Jubba’I
dan anaknya yaitu Abu Hasyim Al-Jubba’I mencerminkan akhir masa kejayaan
aliran Mu’tazilah.17
14
Ahmad Mustaniruddin, “Tokoh-tokoh mu’tazilah”, diakses dari ;
https://dataislam.com/1007/tokoh-tokoh-mutazilah/, pada 30 Januari 2019
15
Mar’i Muhammad Haikal dkk, “ Mu’tazilah” diakses dari,
https://maktabahmahasiswa.blogspot.com/2019/03/mutazilah-diajukan-untuk-memenuhi-
tugas.html pada 22 Maret 2019
16
Ibid
17
Ibid
7
Ia diangkat menjadi kepala hakim oleh Ibnu Abad. Diantara karyanya yang
besar adalah ulasan tentang pokok-pokok ajaran Mu’tazilah.Al-Qadhi
Abdul Jabar termasuk tokoh yang hidup pada masa kemunduran aliran
Mu’tazilah, namun ia mampu berprestasi baik dalam bidang ilmu maupun dalam
jabatan kenegaraan19.
8. Az-Zamahsyari (467 – 538 H)
tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja –
bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga dengan inti
ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka,
melahirkan ide-ide berikut :
a. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim,
al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang
terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut.
Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori:
Pertama, sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut Shifah Dzatiyah, dan
Kedua, sifat yang berkenaan dengan tindakan Allah dan berkaitan dengan
makhluk, dikategorikan Shifah Fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah tidak mengakui
eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah
‘ala al-dzat) atau berada di luar Dzat (wara’ al-dzat) sebagaimana pandangan
Asya’irah.22
Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-
dzat). Karena jika sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan
akan menyebabkan banyaknya jumlah yang Qadim (ta’addud al-qudama’) [9],
yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah, Kehendak
Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya
yang Qadim itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka
mengatakan:23
22
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
23
Ibid
9
27
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
28
Ibid
11
hadits ini tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada
Sanad-nya. 29
d. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT,
yaitu: “Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas
maupun belakang dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan
atau membatasi jihat bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada
suatu tempat dan tubuh (jism).30
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam
al-Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan
ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan
lain sebagainya.31
e. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan
Tuhan dengan manusia.
Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah
juga memiliki anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil
Wajah Allah dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan,
Kekuatan dan Nikmat Allah dan lain sebagainya.
Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan atas pertimbangan
akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al Quran. Mereka
berpegang pada ayat:
[١١:…]الشورى..……ليس كمثله شئ
“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia….” (QS. Asy Syura; 11)
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah
memberi takwil terhadap ayat-ayat secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan,
yaitu dengan cara memalingkan arti kata-kata tersebut ke arti yang lain sehingga
hilang kejisiman Tuhan. Misalnya kata tangan (QS. Shad:75) di artikan kekuasaan
29
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
30
Ibid
31
Ibid
12
dan pada kontek yang lain tangan (QS. Al Maidah: 64) diartikan nikmat. Kata
wajah (QS. Ar Rahman:27) diartikan esensi dan zat, sedangkan al arsy (QS.
Thaha: 5) diartikan kekuasaan.
2. Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Kalau dengan al-Tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri tuhan dari
persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘Adl kaum Mu’tazilah ingin
mensucikan perbuatan-perbuatan makhluk. Hanya Tuhan yang dapat berbuat adil.
Tuhan tidak dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya makhluk dapat berbuat
dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka menyebut diri
mereka dengan ahl al-Tauhid wa al-‘Adl.
Dengan dasar itu mereka menolak pendapat Jabariyah yang mengatakan
bahwa manusia dalam semua perbuatannya tidak mempunyai kebebasan. Bertolak
dari ajaran keadilan Tuhan ini maka Tuhan mesti memberikan hak-hak seseorang,
dengan demikian Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban seperti memberikan
rizqi bagi manusia, mengirimkan Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada
manusia, untuk membantu manusia dari kelemahan-kelemahan dan sebagainya.
Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, maka harus diutus Rasul. 32
3. al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘Adl Golongan
Mu’tazilah yakni bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi
orang yang berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang
berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan.
Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk syurga bagi yang berbuat baik (al-
Muthi’) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-‘Ashi)
pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan pada orang yang
bertaubat nasuha pasti benar adanya33.
4. al-Manzilah bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
32
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
33
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
13
36
Ibid
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
15
DAFTAR PUSTAKA
16