Mu'tazilah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

MU’TAZILAH

Dosen Pengampu : Dr. Taufiqurrahman,


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ilmu Kalam

MAKALAH

Disusun Oleh :
WISNU GAUTAMA

FAKULTAS USHULUDDIN / JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN PRENDUAN
SUMENEP MADURA
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A.   Latar Belakang..............................................................................................1
B.   Rumusan Masalah.........................................................................................1
C.   Tujuan Penulisan...........................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................2
PEMBAHASAN.....................................................................................................2
A.   Pengertian......................................................................................................2
B.   Latar belakang munculnya Aliran Mu’tazilah...............................................2
C.   Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah...................................................................4
1.      Wasil bin Atha (80 – 131 H)...................................................................4
2.      Al-Allaf (135 – 235 H)............................................................................5
3.      Bisyir bin Al-Mu’tammir (Wafat 226 H)................................................6
4.      An-Nazzham (185  - 221 H)...................................................................6
5.      Al-jubbai (wafat 303 H)..........................................................................6
6.      Al-khayyat (wafat 300 H).......................................................................7
7.      Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024)......................................................7
8.      Az-Zamahsyari (467 – 538 H)................................................................7
D.   AJARAN-AJARAN POKOK ALIRAN MU’TAZILAH.............................7
BAB III..................................................................................................................15
PENUTUP.............................................................................................................15
A.   Kesimpulan.................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

ii
KATA PENGANTAR

Alhamduillah, tiada kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa syukur


kita atas semua karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya,
karna dari nikmat dan karunia-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalh tentang
“MU’TAZILAH” dengan lancar.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam dan
juga untuk memberikan tambahan wawasan bagi para pembaca, sehingga
bertambah luas pula wawasan kita.
Ucapan terimakasih tak lupa kami ucapkan untuk teman-teman yang rela
mengorbankan waktunya hanya untuk sekedar memberikan masukan dan
pemikirannya dalam menanggapi hasil makalah dari kami. Pekerjaan BESAR
adalah pekerjaan kecil yang dilakukan dengan CINTA yang BESAR.

Sumenep, 19 Februari 2020

Penulis

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Membaca perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus


menerus terjadi perpecahan mulai dari munculnya khawarij dan syiah kemudian
munculah aliran Jabariyah Qodariyah. Satu syiar yang menipu dan mengelabui
orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada
porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus
masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum
muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-
shahabatnya.
Akibat dari hal itu munculah bid’ah-bid’ah yang semakin banyak
dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka
serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan
dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu
mereka lebih mendahulukan akal. Oleh karena itu pemakalah akan sedikit
membahas tentang Pemikiran Teologi Mu’tazilah.
B.   Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian Mu’tazilah ?


2.     Bagaimana  Latar Belakang Aliran Mu’tazilah ?
3.      Siapakah Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah ?
4.      Bagaimana Ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah ?
C.   Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui Pengertian Mu’tazilah


2.      Mengetahui awal mula lahirnya aliran Mu’tazilah
3.      Mengenali Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah
4.      Memahami Ajaran-ajaran pokok dari aliran Mu’tazilah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian

Secara harfiah mu'tazilah berasal dari kata I'tazala berarti terpisah atau
memisahkan diri yang juga mempunyai arti menjauh atau menjauhkan diri atau
juga mengasingkan diri. Mu'tazilah adalah salah satu aliran teologi dalam islam
yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam, sedangkan arti dari
teologi itu sendiri adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tuhan.1

B.   Latar belakang munculnya Aliran Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah muncul kira-kira pada permulaan abad Kedua Hijriyah,


di kota Basrah ( Irak).
Basroh ketika itu menjadi kota pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan
islam. Selain itu, aneka kebudayaan asing dan bermacam-macm agama bertemu di
kota itu. Makin meluasnya dan makin banyaknya orang yang memeluk agama
islam menyebabkan adanya orang yang ingin menghancurkan islam, terutama dari
segi aqidah.2
            Orang-Orang yang ingin menghancurkan islam tidak hanya mereka yang
bukan beragama islam, akan tetapi juga datang dari orang-orang islam sendiri
karena masalah politik. Dari pada itu, golongan Khawarij yang pada mulanya
muncul lontara masalah politik, namun kemudian mereka mempersoalkan pula
masalah teologi (tentang masalah iman dan kufur). Menurut mereka, orang islam
yang berdosa besar adalah kafir, sedangkan menurut Murji’ah tidak. Selanjutnya

1
Mashfiatus Fia, “Mengenal Aliran Mu’tazilah” diakses dari
https://www.kompasiana.com/mashfiatusfia1575/5ba661d412ae9474b60503a4/mengenal-apa-itu-
aliran-mu-tazilah pada 22 September 2018 pukul 23 : 28.
2
Mar’i Muhammad Haikal, “ Mu’tazilah” diakses dari,
https://maktabahmahasiswa.blogspot.com/2019/03/mutazilah-diajukan-untuk-memenuhi-
tugas.html pada 22 Maret 2019

2
3

orang islam yang demikian itu, menurut Wasil Bin Atha bukan mukmin dan
bukan pula kafir, lalu ia dikenal sebagai Mu’tazilah karena ia berbeda pendapat
dengan gurunya dan memisahkan diri dari padanya.3
 Mengenai arti dan asal-usul kata Mu’tazilah terdapat beberap versi yang
ditemukan oleh para ahli ilmu kalam.Yaitu:
1.      Versi Almas’udi, sebutan Mu’tazilah berasal dari pendapat mereka yang
mengatakan bahwa orang yang membuat dosa besar bukan mukmin,juga bukan
kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya (Al-manzilah bainal
manzilatain). Jadi menurut versi ini kemu’tazilahan itu mula-mula menjadi sifat
orang yang berbuat dosa besar kemudian menjadi sifat atau nama golongan yang
berpendapat tentang posisi orang yang berdosa besar. Golongan yang berpendapat
itu di sebut Mu’tazilah karena mereka membuat orang yang berbuat dosa besar
jauh dari golongan mukmin dan kafir.4
2.      Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu hari Qatadah Ibnu Da’amah masuk
kemesjid basrah dan duduk pada majlis Amr bin Ubaid yang disangkanya majlis
hasan Basri. Setelah menyadari bahwa ia salah masuk, ia bediri dan meninggalkan
tempat itu sambil berkata,”ini kamu Mu’tazilah”.Sejak itu mereka di sebut kaum
Mu’tazilah.5
3.      Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada kurang lebih 100 tahun
sebelum terjadinya perselisihan pendapat Wasil bin Atha dengan Hasan Basri di
mesjid basrah. Golongan yang disebut Mu’tazilah pada waktu itu adalah mereka
yang tidak ikut melibatkan diri dalam pertikaian. Golongan yang tidak ikut
pertikaian itu mengatan,”Kebenaran tidak mesti berada pada salah satu pihak
yang bertikai, melainkan kedua-duanya bisa salah, sekurang-kurangnya tidak
jelas siapa yang benar. Sedangkan agama hanya memerintahkan memerangi
orang-orang yang menyeleweng. kalau kedua golongan menyeleweng, maka kami
harus menjauhkan diri (I’tazalna).6

3
Mar’i Muhammad Haikal dkk, “ Mu’tazilah” diakses dari,
https://maktabahmahasiswa.blogspot.com/2019/03/mutazilah-diajukan-untuk-memenuhi-
tugas.html pada 22 Maret 2019
4
Ibid
5
ibid
6
Ibid
4

Demikianlah beberapa versi tentang asal-usul sebutan Mu’tazilah.


Sebenarnya kaum Mu’tazilah itu sendiri tidak senang dengan sebutan itu, karena
sebutan itu agaknya  bersifat merendahkan dan ejekan oleh lawan-lawannya. Akan
tetapi karena sebutan itu sudah terlanjur sering disebu-sebut, maka mereka
berusaha mencari alasan-alasan yang menunjukan bahwa sebuat Mu’tazilah itu
adalah sebutan yang baik.7
Dalam bukunya “Almunayat wal amal” Ahmad Bin Al-murtadha  menulis,
bahwa aliran M’tazilah itu sendiri yang memberikan nama tersebut untuk dirinya,
dan mereka tidak menyalahi ijma, bahwa memakai apa yang telah di ijmakan pada
masa pertama islam. Kalau mereka menjauhi sesuatu, maka pendapat-pendapat
yang baru dan Bid’ah-bid’ah itulah yang mereka jauhi. Kemudian sebutan
Mu’tazilah itu disandarkan pada ayat Al-Qur’an Antara lain :8
Surat Al-Mujammil ayat 10:
“dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka
dengan cara yang baik.”
Sebutan yang lebih disenangi oleh kaum Mu’tazilah sebenarnya dalah Ahlul
Adli wat tauhid (golongan keadilan dan tauhid). Golongan Ahlu
Sunnah  menyebutkan Aliran Mu’tazilah dengan sebutan Al-Mu’attilah. Mula-
mula sebutan itu diberikan kepada aliran Jahamiah, karena aliran ini
mengosongkan tuhan dari sifat-sifatnya. Karena sifat-sifat Tuhan dipersoalkan
keberadaannya oleh aliran Mu’tazilah, maka mereka juga disebut Mu’attilah.9

C.   Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah

1.      Wasil bin Atha (80 – 131 H)

Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar
ajaran Mu’tazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-
Manzilah baina al-Manzilatain, paham Qadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad
7
Mar’i Muhammad Haikal dkk, “ Mu’tazilah” diakses dari,
https://maktabahmahasiswa.blogspot.com/2019/03/mutazilah-diajukan-untuk-memenuhi-
tugas.html pada 22 Maret 2019
8
Ibid
9
Ibid
5

dan Gailan, dua tokoh aliran Qadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.
Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al-
Manzilah baina al-Manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.10

2.      Al-Allaf (135 – 235 H)

Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan
pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.11
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun
(Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara.
Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi
ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam
Islam ini.12
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak
falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai
pengertian Nafy al-Sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan
pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya;
Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya
dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari
adanya yang Qadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti
sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu Qadim. Ini akan
membawa kepada kemusyrikan.13
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada
manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia
wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya

10
Ahmad Mustaniruddin, “Tokoh-tokoh mu’tazilah”, diakses dari ;
https://dataislam.com/1007/tokoh-tokoh-mutazilah/, pada 30 Januari 2019
11
Ibid
12
Ibid
13
Ibid
6

Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.14
3.      Bisyir bin Al-Mu’tammir (Wafat 226 H)

Ia adalah pemimpin aliran Mu’tazilah di Baghdad.Ia adalah seorang tokoh


aliran ini yang membahas konsep “tawallud” yaitu batas-batas pertanggung
jawaban manusia atas perbuatannya. Bisyir mempunyai murid-murid yang besar
pengaruhnya dalam penyebaran paham Mu’tazilah, khususnya di Baghdad.15
4.      An-Nazzham (185  - 221 H)

Nama sebenarnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin  Hani An-Nazzham.Ia adalah


murid Abdul Huzail Al-Allaf. Ia juga banyak bergaul dengan para Filosof.
Pendapatnya banyak berbeda dengan aliran Mu’tazilah lainnya.An-Nazzham
memiliki ketajaman berpikir yang luar biasa, antara lain tentang metode
keraguan  dan metode empiraka (percobaan-percobaan) yang merupakan cikal
bakal pembaharuan di Eropa.16
5.      Al-jubbai (wafat 303 H)

Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai. Sebutan
Al-Jubbai dari nama tempat kelahirannya, yaitu satu temapt bernama Jubba, di
Iran. Al-Jubbai adalah guru Imam Al-Asy’ari,tokoh utama aliran Ahlusunnah.
Ketika Al-Asy’ari keluar dari barisan Mu’tazilah dan menyerang pendapatnya, ia
membalas Tafsiran Al-Qur’an banyak di ambil oleh Az-Zamahsyari. Al-Jubba’I
dan anaknya yaitu Abu Hasyim Al-Jubba’I mencerminkan akhir masa kejayaan
aliran Mu’tazilah.17

14
Ahmad Mustaniruddin, “Tokoh-tokoh mu’tazilah”, diakses dari ;
https://dataislam.com/1007/tokoh-tokoh-mutazilah/, pada 30 Januari 2019
15
Mar’i Muhammad Haikal dkk, “ Mu’tazilah” diakses dari,
https://maktabahmahasiswa.blogspot.com/2019/03/mutazilah-diajukan-untuk-memenuhi-
tugas.html pada 22 Maret 2019
16
Ibid
17
Ibid
7

6.      Al-khayyat (wafat 300 H)

Abu Husain Al-Khayyat termasuk tokoh Mu’tazilah Baghdad. Bukunya


yang berjudul “Al-Intisar” berisi tentang pembeelaan aliran Mu’tazilah dari
serangan Ibnu Ar-Rawandi. Ia hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah.18
7.      Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024)

Ia diangkat menjadi kepala hakim oleh Ibnu Abad. Diantara karyanya yang
besar adalah ulasan tentang pokok-pokok ajaran Mu’tazilah.Al-Qadhi
Abdul  Jabar termasuk tokoh yang hidup pada masa kemunduran aliran
Mu’tazilah, namun ia mampu berprestasi baik dalam bidang ilmu maupun dalam
jabatan kenegaraan19.
8.      Az-Zamahsyari (467 – 538 H)

Nama lengkapnya adalah Jarullah Abdul Qasim Muhmmad bin Umar.Ia


dilahirkan di Desa Zamaksyar ,Iran. Ia terkenal sebagai tokoh dalam ilmu tafsir,
nahwu dan paramasastra. Dalam Karangannya ia dengan terang-terangan
menonjolkan paham Mu’tazilah, misalanya dalam kitab Tafsiran” Al-Kassyaf “ Ia
berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an bedasarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah,
terutama lima prisip ajarannya.20

D.   AJARAN-AJARAN POKOK ALIRAN MU’TAZILAH


1. at-Tauhid (Ke Maha Esaan Tuhan)
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini
bukan milik golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian
rupa dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut
diri mereka dengan Ahl al-Tauhid.21
Mu’tazilah berpendapat  bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-
Nya hadits (baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada
18
Mar’i Muhammad Haikal dkk, “ Mu’tazilah” diakses dari,
https://maktabahmahasiswa.blogspot.com/2019/03/mutazilah-diajukan-untuk-memenuhi-
tugas.html pada 22 Maret 2019
19
Ibid
20
Ibid
21
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
8

tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja –
bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga dengan inti
ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka,
melahirkan ide-ide berikut :
a. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim,
al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang
terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut.
Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori:
Pertama, sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut Shifah Dzatiyah, dan
Kedua, sifat yang berkenaan dengan tindakan Allah dan berkaitan dengan
makhluk, dikategorikan Shifah Fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah tidak mengakui
eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah
‘ala al-dzat) atau berada di luar Dzat (wara’ al-dzat) sebagaimana pandangan
Asya’irah.22
Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-
dzat). Karena jika sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan
akan menyebabkan banyaknya jumlah yang Qadim (ta’addud al-qudama’) [9],
yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah, Kehendak
Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya
yang Qadim itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka
mengatakan:23

‫ و قادر بذاته ال بقدرته و مريد بذاته ال بارادته‬,‫هللا عالم بذاته ال بعلمه‬

“Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan Ilmu-Nya, Berkuasa dengan


Dzat-Nya bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan
dengan Kehendak-Nya”.
b. Mengatakan al-Qur’an makhluk.

22
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
23
Ibid
9

Mu’tazilah mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan


sifat Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah
huruf-huruf yang teratur dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun
ghaib. Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah
sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah
SWT sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu.24
Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka
mengatakan bahwa kalam itu adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak
bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an sebagai Kalamullah adalah
sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.25
Namun timbul banyak kerancuan dan kekacauan ketika mereka mencoba
menjawab “bagaimana Allah menciptakan Kalam itu?”. Inti kekacauan itu dapat
dilihat ketika mereka berhadapan dengan firman Allah QS Al-Nisa’ ayat 164:

]١٦٤:‫وكلم هللا موسى تكليما [النساء‬

“dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.”

Mu’tazilah mencoba mentakwil ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah


SWT menciptakan Kalam pada sebatang pohon yang kemudian kalam itu keluar
dari pohon tersebut, lalu Musa as. mendengarnya, atau dengan bahasa lain Allah
menciptakan kemampuan bagi pohon untuk mengeluarkan kalam yang akan
disampaikan-Nya kepada Musa, lalu Musa as. mendengar Kalamullah melalui
perantaraan pohon itu.26
Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar
mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim
seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur
dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
c. Mengingkari bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
24
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
25
Ibid
26
Ibid
10

Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat


dilihat dengan mata telanjang di akhirat, membawa pada ide yang sangat
bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan
makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar
(ittishal syu’a’) antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka
memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media),
dan ru’yah tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah
SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu
mustahil terjadi pada Allah SWT.27
Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap
ayat yang menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:

‫ نا ضرة – إلى ربها ناظره‬z‫وجوه يوميذ‬

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada


Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. al-Qiyamah: 22-23)
Mereka mengatakan bahwa kata (‫ )ناظرة‬di sana tidak berarti melihat (‫)رؤية‬
malainkan menunggu (‫ )انتظر‬dan kata (‫ )إلى‬bukanlah huruf jar melainkan musytaq
(pecahan kata) dari kata (‫ )اآلالء‬yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah:
“Wajah-wajah itu menanti nikmat dari Tuhannya”. 28
Mereka juga mentakwil ayat:

‫هللا نور السموت و االرض‬

“Allah cahaya langit dan bumi.” (QS. Al-Nur: 35)


Dengan mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang
bisa dilihat, melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi.
Sedangkan terhadap hadits yang menyatakan orang mukmin di surga bisa melihat
Allah bahkan kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan purnama,

27
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
28
Ibid
11

hadits ini tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada
Sanad-nya. 29     
d. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT,
yaitu: “Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas
maupun belakang dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan
atau membatasi jihat bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada
suatu tempat dan tubuh (jism).30
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam
al-Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan
ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan
lain sebagainya.31
e. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan
Tuhan dengan manusia.
Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah
juga memiliki anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil
Wajah Allah dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan,
Kekuatan dan Nikmat Allah dan lain sebagainya.
Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan atas pertimbangan
akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al Quran. Mereka
berpegang pada ayat:
[١١:‫…]الشورى‬..‫……ليس كمثله شئ‬

“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia….” (QS. Asy Syura; 11)
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah
memberi takwil terhadap ayat-ayat secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan,
yaitu dengan cara memalingkan arti kata-kata tersebut ke arti yang lain sehingga
hilang kejisiman Tuhan. Misalnya kata tangan (QS. Shad:75) di artikan kekuasaan

29
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
30
Ibid
31
Ibid
12

dan pada kontek yang lain tangan (QS. Al Maidah: 64) diartikan nikmat. Kata
wajah (QS. Ar Rahman:27) diartikan esensi dan zat, sedangkan al arsy (QS.
Thaha: 5) diartikan kekuasaan.
2. Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Kalau dengan al-Tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri tuhan dari
persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘Adl kaum Mu’tazilah ingin
mensucikan perbuatan-perbuatan makhluk. Hanya Tuhan yang dapat berbuat adil.
Tuhan tidak dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya makhluk dapat berbuat
dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka menyebut diri
mereka dengan ahl al-Tauhid wa al-‘Adl.
Dengan dasar itu mereka menolak pendapat Jabariyah yang mengatakan
bahwa manusia dalam semua perbuatannya tidak mempunyai kebebasan. Bertolak
dari ajaran keadilan Tuhan ini maka Tuhan mesti memberikan hak-hak seseorang,
dengan demikian Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban seperti memberikan
rizqi bagi manusia, mengirimkan Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada
manusia, untuk membantu manusia dari kelemahan-kelemahan dan sebagainya.
Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, maka harus diutus Rasul. 32
3. al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘Adl Golongan
Mu’tazilah yakni  bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi
orang yang berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang
berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan.
Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk syurga bagi yang berbuat baik (al-
Muthi’) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-‘Ashi)
pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan pada orang yang
bertaubat nasuha pasti benar adanya33.
4. al-Manzilah bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi)

32
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
33
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
13

Prinsip ini snagat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan


awal persoalan yagn timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan
Mu’tazilah. Yaitu persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum sempat
bertobat, orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq, suatu
posisi diantara dua posisi.
Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang tersebut menjadi kafir dan
akan kekal di neraka. Golongan Murjiah berpendapat bahwa orang tersebut tetap
mukmin, tidak kekal di neraka dan mengharapkan rahmat dan ampunan dari
Allah. Dan golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa orang tersebut tidak mukmin
dan tidak kafir tetapi fasiq dan akan kekal di neraka, tetapi siksanya lebih ringan
dari orang kafir. Pendapat ini merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij
dan pendapat Murjiah.34
5. al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahi ‘an al-Munkar (Perintah untuk berbuat
baik dan larangan berbuat jahat)
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah
saja, tetapi juga dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu
pelaksanaan ajaran tersebut menurut Mu’tazilah, bila perlu harus diwujudkan atau
dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan
penjelasan saja.
Ajaran dasar tentang amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat
kaitannya dengan usaha pembinaan akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang
untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi
bukti bahwa Mu’tazilah amat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sebagai
bukti konsep Iman dalam pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan
tashdiq (pembenaran) di hati, melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.35
Bagi Mu’tazilah, prinsip ini harus dilaksanakan oleh semua orang mukmin
dengan seluruh daya upaya, baik berupa lisan, tangan maupun dengan pedang
sekalipun, sebagaimana yang telah diajarkan Nabi SAW dalam sabdanya.
34
Ibid
Ahmad Mustaniruddin , “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari
35

https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.


14

Perbedaan paham mu’tazilah dengan yang lainnya mengenai ajaran kelima


ini terletak pada tatana pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang
diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.36

36
Ibid
BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan

1. mu'tazilah berasal dari kata I'tazala berarti terpisah atau


memisahkan diri.. Mu'tazilah adalah salah satu aliran teologi dalam
islam yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam,.
2. Salah seorang murid dari Imam Hasan al-bashri yang bernama
Washil bin Atha memilih untuk memisahkan diri dari gurunya karna
berbeda pendapat mengenai status pelaku dosa besar.
3. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah :
a. Washil bin Atha (80-131 H)
b. Al- Allaf (135-235 H)
c. Bisyir bin Al-Mu’tammir (Wafat 226 H)
d. An Nazzam (185-221 H)
e. Al-Jubbai (Wafat 303 H)
f. Al- Khayyat ( Wafat 300 H)
g. Al- Qadhi Abdul Jabbar (Wafat 1024 )
h. Az- Zamakhsyari (467-538 H)
4. Pokok-Pokok Ajaran Aliran Mu’tazilah :
a. At-Tauhid (Ke Maha Esaan Tuhan)
b. Al- Adl ( Keadilan Tuhan)
c. Al-Wa’d dan Al-Wa’id ( Janji dan Ancaman )
d. Manzilah Bain Al-Manzilataini (Posisi diantara 2 Posisi)
e. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahi ‘an al-Munkar (Perintah
untuk berbuat baik dan larangan berbuat jahat)

15
DAFTAR PUSTAKA

Mustaniruddin Ahmad, “ Ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah “, diakses dari


https://dataislam.com/1001/ajaran-ajaran-dasar-mutazilah/ pada 28 Januari 2019.
Muhammad Haikal Mar’i dkk, “ Mu’tazilah” diakses dari,
https://maktabahmahasiswa.blogspot.com/2019/03/mutazilah-diajukan-untuk-
memenuhi-tugas.html pada 22 Maret 2019
Fia Mashfiatus, “Mengenal Aliran Mu’tazilah” diakses dari
https://www.kompasiana.com/mashfiatusfia1575/5ba661d412ae9474b60503a4/
mengenal-apa-itu-aliran-mu-tazilah pada 22 September 2018

16

Anda mungkin juga menyukai