Lomba Esai Vidhafest 2021
Lomba Esai Vidhafest 2021
Lomba Esai Vidhafest 2021
Disusun Oleh :
I Wayan Krisnanda
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2021
SAGU LUKA (SAGILIK-SAGULUK SALUNGLUNG
SABAYANTAKA) SEBAGAI PERWUJUDAN KONSEP MENYAMA BRAYA
PADA MASYARAKAT KOTA DENPASAR
Oleh : I Wayan Krisnanda
Pulau Bali adalah pulau yang terkenal dengan banyak julukan. Salah
satunya, yaitu Pulau Bertaburkan Adat dan Budaya yang dikenal sejak dahulu
kala. Berbagai macam adat dan budaya yang dimiliki Bali menjadi daya tarik baik
wisatawan domestik maupun mancanegara. Banyak wisatawan asing yang
berkunjung ke Indonesia merasa kurang lengkap jika belum berlabuh di pulau
Bali.
Masyarakat Bali dalam mengikuti pertumbuhan dan perkembangan
pariwisata, selalu berusaha menjaga tradisi, budaya, dan adat istiadat karena
tradisi, budaya, dan adat istiadat suatu daerah merupakan identitas dari daerah itu
sendiri. Salah satu tradisi Bali yang sampai saat ini masih dijaga adalah Menyama
Braya.
Konsep Menyama Braya di Bali sebagai kekayaan yang utama dalam
hidup merupakan jalan untuk menggapai kebahagiaan dan keharmonisan hidup
(Dharma Santhi) dan kearifan lokal (Local Wisdom) yang dipahami dan diyakini
secara luas sebagai sebuah kearifan yang cukup efektif dalam menjaga integrasi
sosial. Hal ini karena di dalamnya semua manusia tanpa kecuali, sesungguhnya
semua adalah bersaudara. Menyama Braya merupakan salah satu implementasi
dari ajaran Tri Hita Karana. Melalui nilai-nilai kemanusiaanya yang universal,
yakni asah, asih, dan asuh (saling belajar, saling mengasihi, dan saling menjaga)
makin mengukuhkan betapa pentingnya Menyama Braya dalam dinamika dan
interaksi masyarakat Bali guna terciptanya integrasi sosial di tengah pluralitas
agama, etnis, dan budaya.
Tri Hita Karana merupakan suatu istilah Hindu yang pertama kali muncul
pada tanggal 11 November 1966, pada Konferensi Daerah I badan Perjuangan
Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi
tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk
berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil, dan
makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian, istilah Tri Hita Karana ini
berkembang luas di masyarakat. Tri Hita Karana terdiri atas tiga kata, yaitu Tri
yang berarti tiga, Hita yang berarti kebahagiaan atau kesejahteraan, dan Karana
yang berarti sebab. Jadi, Tri Hita Karana berarti tiga komponen atau unsur yang
menyebabkan kesejahteraan atau kebahagiaan.
Sumber lain menyebutkan Tri Hita Karana berasal dari Bahasa
Sansekerta, yaitu dari kata Tri yang berarti tiga, Hita yang berarti sejahtera dan
Karana yang berarti penyebab. Pengertian Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok
yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia (Wirawan,
2015: 2). Ketiga komponen Tri Hita Karana ini berkaitan erat antara yang satu
dengan yang lainnya. Ketiga komponen Tri Hita Karana tersebut meliputi
hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Parhyangan),
hubungan harmonis antara manusia dengan manusia (Pawongan), dan hubungan
harmonis antara manusia dengan lingkungan alam (Palemahan) (Sudarta,
2008:84).
Tri Hita Karana merupakan bagian dari budaya Bali. Oleh karenanya, ada
analogi yang relevan antara sistem kebudayaan dengan Tri Hita Karana tersebut.
Koentjaraningrat (1993) menyebutkan bahwa kebudayaan sebagai suatu sistem
memiliki elemen atau subsistem antara lain pola pikir/konsep/nilai, sosial, dan
artefak. Sementara itu, Tri Hita Karana memiliki elemen/subsistem Parhyangan,
Pawongan, dan Palemahan. Pada dasarnya, elemen tersebut adalah sama dengan
Parhyangan, elemen sosial sama dengan Pawongan, dan elemen artefak sama
dengan Palemahan.
Tri Hita Karana sangat penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan
manusia guna mewujudkan keharmonisan hidup. Bentuk-bentuk
pengimplementasian Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai
berikut.
1. Hubungan Manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Parhyangan)
Hakekat beragama adalah percaya dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Karena itu salah satu unsur terpenting Tri Hita Karana adalah membangun
hubungan yang harmonis dengan Tuhan dengan cara percaya dan bhakti. Agar
berbhakti kepada Tuhan itu dapat berjalan bagi kehidupan ini, hendaknya
percaya dan bhakti kepada Tuhan sebagai ciri utama kehidupan beragama
diarahkan pada tiga sasaran yaitu kepercayaan dan bhakti kepada Tuhan itu
ditujukan untuk membenahi diri sendiri (Swa Artha), ditujukan untuk
mengabdi pada sesama (Para Artha), dan yang tertinggi ditujukan untuk
konsisten memelihara kepercayaan dan bhakti pada Tuhan itu sendiri (Parama
Artha). Dalam praktik agama Hindu di Bali, ada tradisi ngayah, yaitu suatu
kegiatan untuk mengabdi secara utuh, tulus ikhlas dengan penuh rasa bhakti.
2. Hubungan Manusia dengan Lingkungan (Palemahan)
Alam ini sesungguhnya sebagai sthana dari Tuhan yang sebenarnya. Tidak
ada bagian dari alam ini tanpa kehadiran Tuhan. Alam semesta atau Bhuwana
Agung ini sesungguhnya badan nyata dari Tuhan. Dalam mantra Yajurveda
XXXX, 1 dan juga diulang dalam Upanisad I. 1, dinyatakan
Isavasyam idam sarvam
Yat kinca jagatyam jagat,
Artinya
Tuhan berstana di alam semesta yang bergerak maupun tidak
bergerak.
Dibia, I Wayan. 2013. Mengungkap Konsep Tri Hita Karana dalam Gegendingan
Bali sebagai Kontribusi Pendidikan Karakter Bangsa. Jurnal Segara Widya.
1(1):233-234.
Merdeka.com. 2020. Kasus Kriminal di Bali Capai 1.967 Selama Tahun 2020.
Tersedia pada: https://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-kriminal-di-bali-capai-
2967-selama-tahun-2020.html. Diakses pada 6 Juli 2021.
I Wayan Krisnanda