C10 Kps 1

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 87

MEMPELAJARI PENERAPAN SANITASI DAN MUTU

KEAMANAN PENGOLAHAN PINDANG IKAN TONGKOL


(Euthynnus affinis) STUDI KASUS DI PENGOLAHAN HASIL
PERIKANAN TRADISIONAL (PHPT) MUARA ANGKE
JAKARTA UTARA

KURNIANTO PUDJI SANTOSO


C340734001

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
MEMPELAJARI PENERAPAN SANITASI DAN MUTU
KEAMANAN PENGOLAHAN PINDANG IKAN TONGKOL
(Euthynnus affinis) STUDI KASUS DI PENGOLAHAN HASIL
PERIKANAN TRADISIONAL (PHPT) MUARA ANGKE
JAKARTA UTARA

Oleh:

Kurnianto Pudji Santoso

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Judul Penelitian : MEMPELAJARI PENERAPAN SANITASI DAN
MUTU KEAMANAN PENGOLAHAN PINDANG
IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) STUDI KASUS
DI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN
TRADISIONAL (PHPT) MUARA ANGKE
JAKARTA UTARA.
Nama Mahasiswa : KURNIANTO PUDJI SANTOSO
Nomor Pokok : C34074001

Menyetujui :
Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi., M.Si.
NIP. 195911271986011005 NIP. 197008071996032002

Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M.Phil


NIP. 195805111985031002

Tanggal pengesahan :
RINGKASAN

KURNIANTO PUDJI SANTOSO. C34074001. Mempelajari Penerapan


Sanitasi dan Mutu Keamanan Pengolahan Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus
affinis) Studi Kasus di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT)
Muara Angke Jakarta Utara. Dibimbing oleh AGOES M. JACOEB dan
TATI NURHAYATI.

Wilayah Muara angke merupakan pusat kegiatan perikanan terpadu yang


dikelola oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Di wilayah tersebut terdapat
Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) yang merupakan merupakan
kawasan untuk para pengolahan tradisional. Pemindangan ikan merupakan upaya
pengolahan sekaligus pengawetan yang menggunakan metode penggaraman dan
perebusan. Pengolahan tersebut dilakukan dengan merebus atau memanaskan
ikan dalam suasana bergaram selama waktu tertentu di dalam suatu wadah.
Kendala yang dihadapi para pengolah, yaitu: usaha dalam skala kecil, teknologi
tradisional, sanitasi dan higiene kurang diperhatikan, sehingga mutu dan daya
tahan ikan pindang menjadi kurang baik. Penelitian ini bertujuan mempelajari
penerapan sanitasi pada produk pindang ikan tongkol di Muara Angke dan
mempelajari mutu serta keamanan bahan baku dan produk pindang ikan tongkol
dari Muara angke.
Penerapan standar sanitasi yang dikaji pada penelitian ini meliputi: sanitasi
bangunan, pintu, saluran pembuangan, keamanan air, es, garam, sanitasi
permukaan yang kontak dengan produk, pencegahan kontaminasi silang,
penanganan limbah, higiene pekerja, sanitasi peralatan dan perlengkapan,
penyediaan dan pemeliharaan fasilitas sanitasi, cuci tangan, dan toilet, dan sanitasi
pengendalian hama. Penelitian ini mengkaji aspek mutu serta keamanan produk
pindang ikan tongkol baik secara mikrobiologi, fisik dan kimia. Proses
pembuatan produk pindang ikan tongkol dari mulai penerimaan bahan baku
hingga disribusi.
Hasil Analisis yang dilakukan terhadap penerapan sanitasi, terjadi berbagai
penyimpangan, yaitu: penyimpangan kritis sebanyak 10, penyimpangan serius 1,
mayor 3 dan minor 2. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahan baku yang
digunakan memiliki nilai sebesar 6,50-6,84 di bawah standar baku. Hasil uji TPC
pada bahan baku dan produk ikan pindang masih ditemukan nilai TPC yang
melebihi ambang batas yaitu sebesar 10,5 x 105 (bahan baku) dan nilai TPC pada
produk ikan pindang semua melebihi ambang batas Selain itu, berdasarkan
pengujian formalin masih ditemukan formalin pada bahan baku dan produk ikan
pindang sebanyak 25% dari total sampel yang diuji.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Mempelajari Penerapan


Sanitasi dan Mutu Keamanan Pengolahan Pindang Ikan Tongkol
(Euthynnus affinis) Studi Kasus di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional
(PHPT) Muara Angke Jakarta Utara” adalah benar merupakan karya saya
sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2010

Kurnianto Pudji Santoso


C34074001
RIWAYAT HIDUP

Kurnianto Pudji Santoso dilahirkan di Kota Klaten,


Jawa Tengah pada tanggal 11 Juli 1974 sebagai anak kedua
dari enam bersaudara, putra pasangan Bapak Suwarto, BA
(Alm.) dan Ibu Kantini.
Penulis lulus dari Akademi Penyuluhan Pertanian
Jurusan Penyuluhan Perikanan Bogor. Penulis diangkat
sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Pertanian pada
tahun 1994, dan pada saat ini bertugas di Balai Pengujian Mutu Hasil Perikanan
dan Kelautan (BPMPHPK) Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta.
Pada tahun 2007 diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Alih Jenjang.
Penulis melakukan penelitian yang berjudul “Mempelajari Penerapan
Sanitasi dan Mutu Keamanan Pengolahan Pindang Ikan Tongkol
(Euthynnus affinis) Studi Kasus di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional
(PHPT) Muara Angke Jakarta Utara”. Penelitian yang dilakukan merupakan
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, dibawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb,
Dipl,-Biol dan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Mempelajari Penerapan Sanitasi dan Mutu Keamanan Pengolahan Pindang
Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Studi Kasus di Pengolahan Hasil
Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke Jakarta Utara”. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan di
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
(1) Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl.-Biol. selaku dosen pembimbing
pertama atas pengarahan, perhatian dan masukan serta kesabarannya untuk
membimbing penulis selama ini hingga mampu menyelesaikan skripsi ini.
(2) Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing kedua atas
bimbingan, arahan, perhatian, nasehat, motivasi serta kesabarannya untuk
membimbing penulis selama ini.
(3) Ir. Djoko Poernomo selaku dosen penguji atas kritikan, masukan dan
perbaikannya sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
(4) Istriku Indrayani atas segala sesuatu yang diberikan kepada penulis, doa
restu dan semangat hidup yang selalu mengiringi langkah-langkah
perjuangan. Anak-anak ku tercinta Aulia Rahma Fauzia dan Akmal Dzaki
Khairullah atas semangat dan doa kepada penulis.
(5) Bapak dan Ibu tercinta, yang telah memberikan doa tulus, kasih sayang,
cinta, motivasi, dan nasehat kepada penulis selama ini. Semoga Allah
memberkahi dan membalas lebih dari segala kebaikan tersebut.
(6) Seluruh staf dan dosen-dosen THP terima kasih atas bimbingan dan
ilmu-ilmu yang diberikan.
(7) Teman seperjuangan Bayu, Irfan, Fu’ad dan Ale terima kasih atas
kerjasama, saran, dan motivasi selama penelitian.
(8) Teman-teman THP 41, THP 42, THP 43 dan THP 44 terima kasih atas
bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.
(9) Teman-teman di Wisma Villa Taman Cibanteng khususnya untuk Pak
Jamili, M.Si dan Ibu Ari atas kebersamaannya dan kesehariaan selama di
Bogor.
(10) Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi.
Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2010

Penulis
DAFTAR ISI

Hal
DAFTAR ISI ................................................................................................... i
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. iv
1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ................................................................................. 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tongkol (Ethynus affinis) .................. 4
2.2. Ikan Pindang ........................................................................................ 5
2.3. Kelayakan Dasar (Pre Requisite Programe) ....................................... 7
3. METODOLOGI ........................................................................................ 11
3.1. Waktu dan Tempat .............................................................................. 11
3.2. Bahan dan Alat .................................................................................... 11
3.3. Prosedur Penelitian ............................................................................. 12
3.4. Analisis ................................................................................................ 13
3.4.1. Uji Organoleptik (SNI 01-4110.1-2006) .................................... 13
3.4.2. Uji Kimia .................................................................................... 14
(1) Pengujian kadar histamin (SNI 235.10.2009) ....................... 14
(2) Pengujian kadar TVB (SNI 01-4495-1998) .......................... 15
(3) Pengujian formalin (Formaldehyde Test-Aquamerck) ......... 16
3.4.3. Uji mikrobiologi ......................................................................... 16
(1) Pengujian TPC atau penentuan angka lempeng total
(ALT) pada produk perikanan (SNI 01-2332.3-2006) ........... 16
(2) Pengujian bakteri E. coli (SNI 01-2332.1- 2006) .................. 17
(3) Pengujian bakteri Salmonella (SNI 01-2332.2-2006) ............ 20
3.5. Pengambilan Sampel ........................................................................... 26
3.6. Analisis Data ....................................................................................... 26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 27
4.1. Keadaan Umum Pengolahan Tradisional ............................................ 27
4.1.1. Lokasi Unit Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional
(PHPT) Muara Angke ................................................................. 27
4.1.2. Sejarah dan Perkembangan Unit Pengolahan Hasil
Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke ............................. 27
4.1.3. Kondisi Pengolah Pindang Ikan Tongkol di Unit Pengolahan
Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke ................... 28
4.1.4. Fasilitas Pengolahan Pindang UPT PHPT Muara Angke ........... 29
4.2. Penerapan Sanitasi Pada Pengolahan Produk Pindang di PHPT
Muara Angke ...................................................................................... 32
4.2.1. Sanitasi bangunan ................................................................. 32
4.2.2. Pintu ...................................................................................... 34
4.2.3. Saluran pembuangan ............................................................. 35
4.2.4. Kemanan air .......................................................................... 36
4.2.5. Es ........................................................................................... 36
4.2.6. Garam .................................................................................... 37
4.2.7. Sanitasi permukaan yang kontak dengan produk ................... 38
4.2.8. Pencegahan kontaminasi silang ............................................. 38
4.2.9. Penanganan limbah ................................................................ 38
4.2.10. Higiene pekerja ...................................................................... 39
4.2.11. Sanitasi peralatan dan perlengkapan ...................................... 40
4.2.12. Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas sanitasi, cuci
tangan dan toilet ..................................................................... 40
4.2.13. Sanitasi pengendalian hama ................................................... 41
4.3. Mutu dan Keamanan Proses Pengolahan Pindang Ikan Tongkol
(Euthynnus affinis) .............................................................................. 42
4.3.1. Penerimaan bahan baku ......................................................... 42
4.3.2. Pencucian .............................................................................. 50
4.3.3. Perebusan ............................................................................. 50
4.3.4. Pengemasan ........................................................................... 53
4.3.5. Penyimpanan ........................................................................ 54
4.3.6. Distribusi .............................................................................. 54
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 55
5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 55
5.2. Saran .................................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 56
LAMPIRAN ............................................................................................... 60
DAFTAR TABEL
 

No. Teks Hal

1. Persyaratan mutu dan keamanan bahan baku ikan (SNI 1-4110.1-2006) .... 6
2. Persyaratan mutu ikan pindang(SNI 01-2717-1992) ................................... 6
3. Interpetasi hasil pengujian Bakteri Escherichia coli.................................... 20
4. Daftar pengambilan padat dalam karung/peti ............................................. 26
5. Karakteristik pengolah dan kondisi usaha pindang ikan tongkol
di PHPT Muara Angke ............................................................................... 28
6. Hasil analisis mikrobiologi dan kimia pada pengolahan ikan A, B, C, D ... 47
7. Kandungan formalin yang terdapat pada bahan baku ikan tongkol ............. 49
8. Hasil analisis mikrobiologi dan kimia produk pindang pada pengolahan
ikan A, B, C, D............................................................................................. 52
9. Kandungan formalin yang terdapat produk pindang pada pengolahan
ikan A, B, C, D............................................................................................ 53
DAFTAR GAMBAR
 

No. Teks Hal

1. Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) ......................................................... 4


2. Diagram alir pengolahan pindang ikan tongkol ................................... 7
3. Diagram alir prosedur penelitian ......................................................... 13
4. Proses pengujian Salmonella (SNI 01-2332.2-2006) .......................... 25
5. Alat perebusan pindang ........................................................................ 30
6. Keranjang ............................................................................................. 30
7. Bak fibre glass ...................................................................................... 31
8. Naya ..................................................................................................... 31
9. Bangunan unit pengolahan ikan pindang ............................................ 33
10. Dinding ruang pengolahan ................................................................. 33
11. Lantai ruang pengolahan .................................................................... 34
12. Pintu ruang pengolahan ....................................................................... 35
13. Air untuk proses produksi ................................................................... 36
14. Garam untuk proses pemindangan ...................................................... 37
15. Karyawan yang bekerja di ruang pengolahan ..................................... 39
16. Toilet (kamar mandi) karyawan ........................................................... 41
17. Bahan baku ikan tongkol ...................................................................... 43
18. Hasil uji organoleptik ikan tongkol pada tiap unit pengolahan
pindang di UPT PHPT........................................................................ 44
19. Produk pindang ikan tongkol ............................................................... 51
DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Hal


1. Daftar penilaian/check list unit pengolahan ikan (UPI) ......................... 61
2. Daftar penilaian/check list unit pengolahan ikan (UPI) Modifikasi....... 67
3. Daftar kuesioner ..................................................................................... 71
4. Analisa Usaha Pengolahan Ikan Pindang Tongkol
(Euthynnus affinis) ................................................................................. 74
 
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan salah satu daerah
penghasil produk perikanan yang cukup besar. Produksi perikanan DKI Jakarta
pada tahun 2005 terdiri dari perikanan laut 132.033,8 ton, perikanan darat
8.880,37 ton, ikan hias 49.002.044 ekor, dan kemungkinan akan terus meningkat
di masa datang (Anonima 2010). Produk perikanan laut pada umumnya sebagai
bahan baku industri pengolahan modern dan tradisional. Sentra pengolahan hasil
perikanan tradisional di pesisir utara Jakarta terdapat di daerah Kamal Muara,
Muara Angke, Muara Baru, Kalibaru dan Cilincing.
Karakteristik kehidupan sosial masyarakat pesisir di wilayah DKI Jakarta
yang memiliki profesi sebagai nelayan dan pengolah tradisional pada umumnya
masih tertinggal. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya pendidikan,
produktivitas yang sangat tergantung pada musim, terbatasnya modal usaha,
kurangnya sarana penunjang, buruknya mekanisme pasar dan lamanya transfer
teknologi dan komunikasi, sehingga mengakibatkan pendapatan masyarakat
pesisir, khususnya nelayan pengolah menjadi tidak menentu (Faiza 2004).
Wilayah Muara angke merupakan pusat kegiatan perikanan terpadu yang
dikelola oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Di wilayah tersebut terdapat
Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI), Tempat Pelelangan Ikan (TPI), cold storage,
pabrik es, unit perbaikan kapal (Dok), Syahbandar, Pengolahan Hasil Perikanan
Tradisional (PHPT) dan rumah susun untuk nelayan. PHPT adalah suatu tempat
yang khusus dibuat untuk menampung para pengolah tradisional produk
perikanan, di tempat tersebut dapat dijumpai masyarakat nelayan yang melakukan
aktifitas pengolahan produk perikanan secara tradisional. Menurut laporan
tahunan UPT PHPT Muara Angke (2008) jenis pengolahan tradisional dan
jumlahnya adalah sebagai berikut: pengasinan ikan 133 unit, pemindangan dan
pengolahan lainnya 20 unit, pembuatan kerupuk ikan 20 unit, pembuatan terasi
13 unit, dan pengolahan kulit ikan pari sebanyak 10 unit. Jumlah keseluruhan
pengolah tradisional di PHPT Muara Angke adalah 196 unit.
2

Salah satu usaha pengolahan tradisional yang dilakukan para nelayan


di wilayah Muara angke Jakarta Utara adalah pembuatan pindang tongkol dengan
bahan baku utama ikan tongkol (Euthynnus affinis). Pemindangan ikan
merupakan upaya pengawetan sekaligus pengolahan yang menggunakan metode
penggaraman dan perebusan. Pengolahan tersebut dilakukan dengan merebus
atau memanaskan ikan dalam suasana bergaram selama waktu tertentu di dalam
suatu wadah (Adawyah 2007).
Bahan baku pindang tongkol di PHPT Muara Angke berasal dari dua
tempat pelelangan ikan yaitu TPI Muara Angke dan TPI Muara Baru Jakarta
Utara. Kapasitas produksi pindang tongkol (Cue) di PHPT Muara angke antara
2.400-4.000 kg per hari, dan jumlah pengolahan sebanyak 4 unit.
Kendala yang dihadapi para pengolah antara lain usaha pemindangan pada
umumnya hanya dilakukan dalam skala kecil (industri rumah tangga), teknologi
yang dilakukan didapat secara turun temurun, sanitasi dan higiene kurang
diperhatikan terutama oleh indutri rumah tangga, sehingga mutu dan daya tahan
ikan pindang menjadi kurang baik.
Penerapan kelayakan dasar berupa sanitasi perlu dilakukan pada semua jenis
usaha perikanan baik yang modern maupun tradisional. Pada pengolahan pangan
sistem manajemen mutu yang efektif dapat menjamin mutu dan keamanan produk.
Penerapan sanitasi penting bagi pengolahan tradisional. Menurut Winarno dan
Surono (2004) penerapan sanitasi membahas pemeliharaan umum bangunan atau
fasilitas usaha, bahan yang digunakan untuk pembersihan atau sanitasi,
pengendalian hama, sanitasi permukaan, penyimpanan dan penanganan peralatan
serta tempat pembuangan (isi perut dan kotoran). Dengan mengkaji kelayakan
dasar pengolahan pindang yang beroperasi di Muara Angke, maka akan diperoleh
data tentang kelayakan para pengolah tersebut dan bisa dijadikan sebagai masukan
untuk pembuat kebijakan di daerah.
3

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk :
(1) Mempelajari penerapan sanitasi pada produk pindang ikan tongkol di Muara
Angke.
(2) Mempelajari mutu dan keamanan bahan baku dan produk pindang ikan
tongkol dari Muara angke.
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)


Ikan tongkol (Euthynnus affinis) termasuk dalam famili scombridae
terdapat di seluruh perairan hangat Indo-Pasifik Barat, termasuk laut kepulauan
dan laut nusantara. Klasifikasi Ikan Tongkol Menurut Saanin (1986), adalah
sebagai berikut:
Phylum : Animalia
Sub Phylum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Perchomorphi
Sub Ordo : Scombrina
Famili : Scombridae
Genus : Euthynnus
Spesies : Euthynnus affinis
Ciri-ciri ikan tongkol (Euthynnus affinis), badan berukuran sedang,
memanjang seperti torpedo, mempunyai dua sirip punggung yang dipisahkan oleh
celah sempit, sirip punggung pertama diikuti oleh celah sempit, sirip punggung
kedua diikuti oleh 8-10 sirip tambahan, tidak memiliki gelembung renang, warna
tubuh pada bagian punggung gelap kebiruan dan terdapat tanda garis-garis miring
terpecah dan tersusun rapi (Collete dan Nauen 1983). Bentuk ikan tongkol dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan Tongkol (Ethynnus affinis)


(Sumber: Anonimb 2010 )

Ikan tongkol memiliki sifat cenderung membentuk kelompok (school)


multi spesies berdasarkan ukuran. Satu kelompok umumnya terdiri dari
5

100-5000 individu. Habitat ikan ini berada di perairan epipelagik, merupakan


spesies neuritik yang mendiami perairan dengan kisaran suhu antara 18-29 °C.
Ikan tongkol (Euthynnus affinis) merupakan predator yang rakus memakan
berbagai ikan kecil, udang, dan cepalopoda, sebaliknya juga merupakan mangsa
dari hiu dan marlin. Panjang baku maksimum 100 cm dengan berat 13,6 kg,
umumnya 60 cm, di Samudera Hindia usia 3 tahun panjang bakunya mencapai
50-65 cm (Collete dan Nauen 1983).

2.2 Ikan Pindang


Pemindangan merupakan pengolahan sekaligus pengawetan ikan yang
menggunakan metode penggaraman dan pemanasan. Pengolahan tersebut
dilakukan dengan merebus atau memanaskan ikan dalam suasana bergaram
selama waktu tertentu di dalam suatu wadah (Adawyah 2007).
Jenis pindang di Indonesia ada beberapa macam. Pengelompokan pindang
tergantung proses pembuatan, wadah yang digunakan, jenis ikan, bumbu, dan asal
daerah ikan pindang tersebut. Beberapa istilah ikan pindang telah dikenal
di masyarakat, dan digolongkan berdasarkan jenis ikan serta daerah asal
pengolahannya. Istilah pindang berdasarkan jenis ikannya, misalnya pindang
tongkol, pindang bandeng, pindang kembung, pindang cue, pindang presto,
pindang naya, dan pindang besek. Sedangkan istilah pindang sesuai dengan
daerah asal pengolahannya, misalnya pindang Muncar, pindang Bawean, pindang
Pekalongan, dan pindang Tuban (Adawyah 2007). Persyaratan baku mutu untuk
bahan baku ikan pindang tercantum dalam Tabel 1, dan untuk persyaratan mutu
pindang menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 2.
6

Tabel 1 Persyaratan mutu dan keamanan pangan bahan baku ikan


(SNI 01-4110.1-2006)
Jenis uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik angka (1-9) minimal 7
b. Cemaran mikroba
- ALT koloni/g maksimal 5,0 x 105
- Escherichia coli APM/g maksimal < 2
- Salmonella per 25 g negatif
- Vibrio cholerae per 25 g negatif
c. Cemaran kimia*
- Raksa (Hg) mg/kg maksimal 1
- Timbal (Pb) mg/kg maksimal 0,4
- Histamin mg/kg maksimal 100
- Cadmium (Cd) mg/kg maksimal 0,1
d. Fisika
o
- Suhu pusat C maksimal -18
e. Parasit Ekor maksimal 0
*) Bila diperlukan
Tabel 2 Persyaratan mutu ikan pindang (SNI 01-2717-1992 Ikan pindang)
Persyaratan Mutu
Jenis uji
Pindang air garam Pindang garam
a. Organoleptik
- Nilai minimum 7 6
- Kapang Negatif Negatif
b. Mikrobiologi
- TPC per gram, maks 1 x 105 1 x 105
- Escherecia coli MPN per gram, 3 3
maks
- Salmonella Negative Negative
- Vibrio cholera Negative Negative
- Staphylococcus aureus 1 x 103 1 x 103
c. Kimia
- Air, % bobot/bobot, maks 70 70
- Garam, % bobot/bobot, maks 10 10

Menurut Adawyah (2007), proses pembuatan ikan pindang cue dengan


bahan baku ikan tongkol (Euthynnus affinis) adalah sebagai berikut: mula – mula
pemilihan bahan baku dengan kondisi yang masih bagus, kondisi baik, segar dan
tidak ada bagian tubuh yang terluka. Selanjutnya ikan tongkol disiangi, dibuang
bagian insang dan isi perut, kemudian dicuci bersih dan ditiriskan. Setelah
ditiriskan, ikan direndam dalam larutan garam 3% selama 15 menit untuk
membersihkan sisa-sisa darah dan kotoran yang ada. Ikan disusun di atas naya
7

atau besek. Naya atau besek yang berisi ikan disusun dalam langseng kemudian
dicelupkan ke dalam dandangan atau drum berisi larutan garam jenuh yang
mendidih selama 30-60 menit. Setelah perebusan selesai naya atau besek
diangkat, disiram dengan air panas untuk menghilangkan kotoran yang dibawa
dari air perebus. Naya atau besek diletakkan di atas rak-rak untuk didinginkan.
Diagram alir pengolahan ikan pindang cue dapat dilihat pada Gambar 2.

Ikan tongkol

Disiangi
Disangi dan
dan dicuci
dicuci

Ditiriskan

Disusun di wadah naya atau besek

Direbus

Diangkat dari perebusan

Disiram dengan air panas

Didinginkan

Pindang ikan
tongkol

Gambar 2. Diagram alir pengolahan pindang ikan tongkol (Adawyah 2007)

2.3 Kelayakan Dasar (Pre Requisite Programe)


Kelayakan dasar (Pre Requisite Programe) merupakan prasyarat yang
harus dipenuhi oleh suatu unit pengolahan perikanan sebelum menerapkan
program Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), sehingga penerapan
HACCP dapat berjalan dengan efektif. Langkah-langkah dalam persyaratan
8

kelayakan dasar antara lain, Good Manufacturing Practices (GMP), Prosedur


operasi standar tentang sanitasi (Sanitatios Standard Operation Procedure/SSOP)
dan identifikasi, penelusuran serta penarikan kembali produk (Gasperz 2002
diacu dalam Erungan et.al. 2008).
Menurut Direktorat Jenderal PPHP (2007) adanya kendala teknis dalam
penerapan program kelayakan dasar, mengakibatkan ketidaksesuaian dengan
peraturan yang ada atau penyimpangan. Oleh karena itu disusun klasifikasi
penyimpangan sebagai berikut:
(a) Penyimpangan minor (minor deficiency). Penyimpangan yang apabila tidak
dilakukan tindakan koreksi mempengaruhi mutu pangan
(b) Penyimpangan mayor (mayor deficiency). Penyimpangan yang apabila tidak
dilakukan koreksi akan mempunyai potensi mempengaruhi keamanan
pangan.
(c) Penyimpangan serius (serious deficiency). Penyimpangan yang apabila tidak
dilakukan koreksi akan mempengaruhi keamanan pangan.
(d) Penyimpangan kritis (critical deficiency). Penyimpangan yang apabila tidak
dilakukan tindakan koreksi akan segera mempengaruhi keamanan pangan.
Good Manufacturing Practices (GMP) adalah suatu prosedur yang
mengatur cara berproduksi yang baik dan benar yang merupakan penilaian dari
status kelayakan dasar (pre-requisite), dimana semua proses produksi harus
memenuhi persyaratan standar mutu (Winarno dan Surono 2004).
Menurut Thaheer (2005) tujuan spesifik dari penerapan GMP dalam
industri pangan adalah memberikan prinsip-prinsip dasar makanan yang
diterapkan dalam memproduksi makanan sepanjang rantai dan jalur makanan
(dimulai dari produk primer hingga produk siap konsumsi). Selain itu
mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi,
persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi dan karyawan.
Sanitasi dalam bidang industri pangan merupakan dasar pengetahuan
dalam memelihara kondisi yang higiene dan sehat untuk menciptakan makanan
yang aman. Secara umum sanitasi dan higiene mencakup kegiatan secara aseptik
dalam persiapan pengolahan dan pengemasan produk pangan, pembersihan dan
sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik dan kesehatan pekerja. Sanitasi pangan
9

adalah suatu kondisi yang bebas dari zat-zat yang menjadi penyebab penyakit dan
juga harus bebas dari bahan asing yang tidak bisa diterima. Tujuan penerapan
sanitasi ini adalah untuk mencegah kontaminasi mikroorganisme penyebab
penyakit dan meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme penyebab kebusukan
(Marriott dan Robert 2006 diacu dalam Darmo 2008).
Sanitasi dan higiene dari suatu pabrik pengolahan hasil perikanan
mempunyai hubungan erat dengan mutu hasil produk akhir. Sanitasi yang buruk,
yang tidak mampu menghindari terjadinya kontak makanan dengan serangga atau
mikroorganisme lain umumnya akan berujung pada suatu masalah mikrobiologis.
Hal tersebut memberikan peluang mikroba yang masuk ke dalam makanan
semakin banyak. Sistem pengendalian sanitasi dan higiene sangat dibutuhkan
agar keamanan pangan dapat terjamin baik. Sanitasi sangat berkaitan dengan
kondisi lingkungan perusahaan tempat proses pengolahan dilakukan. Higiene
berkaitan dengan kondisi para pekerja dalam melakukan proses pengolahan.
Sanitasi dan higiene ini akan berhubungan atau erat kaitannya dengan keamanan
pangan dan kesehatan masyarakat (Jenie 1988).
Operasional sanitasi meliputi semua aspek yang berhubungan dengan
kegiatan dan kondisi lingkungan yang dilaksanakan dalam SSOP, sedangkan
higiene berhubungan dengan kondisi pekerja dalam melakukan proses pengolahan
(Thaheer 2005). Menurut FDA (1995) diacu dalam Thaheer (2005) SSOP terdiri
dari delapan aspek kunci:
(a) Keamanan air dan es yang digunakan dalam proses produksi.
Air yang digunakan untuk seluruh proses produksi, baik yang digunakan
untuk pengolahan maupun untuk para pekerja harus air yang bersih dan aman atau
mengalami proses perlakuan (treatment), sehingga memenuhi standar baku mutu
(b) Kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan termasuk
peralatan , sarung tangan dan seragam produksi.
Kebersihan berhubungan dengan kegiatan sanitasi, sanitasi dalam proses
pengolahan pangan bertujuan:
- Menghilangkan sisa bahan baku atau produk pangan yang banyak
mengandung nutrisi yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme.
10

- Desinfeksi yang bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroba sehingga


menekan kontaminasi pada produk yang menyentuh permukaan secara
langsung.
(c) Pencegahan kontaminasi silang dari obyek yang tidak saniter misalnya
makanan, material kemasan dari permukaan yang kontak dengan bahan
pangan seperti peralatan, sarung tangan, seragam produksi dan kontaminasi
silang bahan baku.
(d) Pengelolaan fasilitas untuk kebersihan pekerja.
- Meliputi fasilitas cuci tangan, sanitasi tangan dan toilet yang digunakan.
- Kebersihan pekerja harus selalu diperhatikan, fasilitas cuci pakaian
sebaiknya disediakan. Terutama untuk pekerja yang kontak langsung
dengan produk akhir.
- Perilaku yang bersih dan sehat dari pekerja sangat menunjang kebersihan
produk yang dihasilkan.
(e) Pencegahan adulterasi
Bahan pangan atau produk akhir atau bahan yang kontak dengan bahan
pangan harus terhindar dari bahan nonpangan dan cemaran kimia, fisik serta
biologis. Bahan- bahan nonpangan tersebut antara lain pelumas, bahan bakar,
senyawa pembersih, dan sanitizer
(f) Penggunaan labeling dan penyimpanan yang tepat
Pelabelan dan penyimpanan bahan pangan dan nonpangan, yaitu bahan-
bahan kimia yang tepat dapat meminimalisir kontaminasi silang. Komponen yang
toksik harus dalam kemasan yang tertutup rapat dan terpisah penempatannya.
(g) Mengontrol kesehatan pekerja.
Pengendalian kesehatan pekerja supaya tidak menjadi sumber kontaminasi
terhadap produk, kemasan atau permukaan yang kontak langsung dengan
makanan.
(h) Pencegahan hama pabrik.
Ruang produksi, gudang dan ruangan lainnya dalam pabrik pabrik harus
bebas hama. Hama tersebut misal tikus, serangga dan lainnya.
 
11

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2010,
bertempat di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke
Jakarta Utara. Pengujian Mutu bahan baku dan produknya dilakukan di
Laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan
Kelautan (BPMPHPK) Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta.

3.2 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan tongkol
(Euthynnus affinis), sebagai bahan baku dan pindang tongkol sebagai produk jadi.
Bahan- bahan kimia yang digunakan analisis histamine adalah Resin penukar ion-
50-100 mesh, asam fosfat-3,57 N, orto-ptalatdikarboksialdehid (OPT) 1%.
Selanjutnya bahan kimia yang digunakan untuk analisis TVB antara lain: larutan
asam borat 2 %, indikator : campuran 1 bagian volume bromecresol 0,1 % dalam
alkohol, larutan asam klorida (HCl) 0,02 N, larutan Trichloracetic acid (TCA)
7 %, larutan kalium karbonat (K2CO3) jenuh (1:1), larutan formalin 40 %, dan
vaselin.
Bahan-bahan untuk uji mikrobiologi antara lain Brilliant Green Lactose Bile
(BGLB), 2 % Broth, Lauryl Triptose Broth (LTB), EC Broth, Levine’s Eosin
Methilen Blue (L-EMB) agar, Tryptone (tryptophane) broth (TB), MR-VP Broth,
Simmon Citrate Agar, Plate Count Agar, larutan butterfield’s phospahat buffered,
pereaksi kovacs, pereaksi VP, indikator MR, pereaksi pewarnaan gram. Bismuth
Sulfite Agar (BSA), Brain Heart Infusion Broth, Hectoen Enteric (HE), Lactose
Broth, Lysine Decarboxylase Broth, Lysine Iron Agar (LIA), Malonate Broth,
Motility Test Medium, MR-VP Broth, Phenol Red Carbohydrate Broth, Potasium
Cyanide (KCN) Broth, Purple Carbohydrate Broth, Rappaport-Vassiliadis (RV)
Medium, Selenite Cystine Broth (SCB), Simmon Citrate Agar, Tetrathionate Broth
(TTB).
Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia, kolom kromatografi ukuran
200x7 (diameter dalam) mm, Spektrofluorometer, Rapipiet-1 dan 5 ml, timbangan
analitik, blender, blender jar stainless steel kapasitas 100 ml, erlenmeyer 25 ml,
12

stop watch, corong, kertas saring diameter 15 cm, gelas ukur 100 ml, pipet,
cawan conway beserta tutupnya, inkubator, buret 2 ml berskala 0,05 ml.
Waterbath, stomacher, botol pengencer, tabung durham, cawan Petri ukuran
15 mm x 90 mm, tabung reaksi ukuran 16 mm x 150 mm dan 13 mm x 100 mm,
mikroskop.

3.3 Prosedur Penelitian


Rancangan penelitian untuk mengkaji dan mempelajari penerapan sanitasi
pengolahan pindang ikan tongkol (Euthynnus Affinis) serta mutu keamanannya,
dilakukan dengan wawancara (interview), pengamatan (observasi), dan analisis
mutu pindang ikan tongkol. Pengamatan adalah mengumpulkan data dengan
melihat langsung ke lapangan. Wawancara adalah pengumpulan data dengan
langsung mengadakan tanya jawab kepada objek yang diteliti atau kepada
perantara yang mengetahui persoalan dari objek yang sedang diteliti. Analisis
adalah pengujian sampel yang dilakukan di laboratorium mutu.
Penilaian sanitasi pada pengolahan tradisional pindang ikan tongkol
dilakukan dengan mengamati penerapan sanitasi pada proses pengolahan pindang
ikan tongkol. Pada umumnya pengolahan tradisional tidak memiliki prosedur
standar operasional sanitasi, sehingga terlebih dahulu dibuat lembar penilaian
tersebut yang mengacu pada Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perikanan (2007) yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan (Lampiran 1).
Aspek-aspek yang dinilai, dihitung jumlah penyimpangannya yang meliputi
penyimpangan Minor (MN), Mayor (MY), Serius (SR) maupun Kritis (KR) sesuai
dengan yang telah ditentukan dalam daftar tersebut. Analisis mutu dilakukan
untuk mengetahui mutu bahan baku dan produk pindang tongkol yang dikaitkan
dengan proses pengolahan yang dilakukan oleh para pengolah.
Analisis mutu terdiri dari uji organoleptik, uji kimia, dan uji mikrobiologi .
Uji kimia meliputi uji kadar histamine, TVB dan Formalin. Uji mikrobiologi,
yaitu TPC (Total Plate Count), Escherechia coli, dan uji Salmonella. Prosedur
penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
13

Pengolahan pindang
ikan tongkol

Penilaian pengolahan pindang


ikan tongkol

wawancara Penilaian Analisis mutu


penerapan Sanitasi pindang ikan tongkol

‐ Keadaan umum ‐ Penyimpangan


pengolahan Minor
pindang ikan ‐ Penyimpangan Mutu bahan baku Mutu produk
mayor
tongkol
‐ Penyimpangan
‐ Kapasitas kritis
produksi ‐ Penyimpangan
‐ Asal bahan baku serius
‐ Proses ‐ Uji organoleptik
‐ Kadar histamin
pengolahan
‐ Kadar TVB
‐ Uji formalin
‐ Uji TPC
‐ Uji bakteri
E. coli
‐ Uji Bakteri
Salmonella

Gambar 3 Diagram alir prosedur penelitian

3.4 Analisis
3.4.1 Uji organoleptik (SNI 01-4110.1-2006)
Metode yang digunakan untuk uji organoleptik ikan tongkol ini berdasarkan
SNI 01-4110.1-2006 ikan beku. Metode ini menggunakan angka yang berkisar
antara 1 sampai 9 dengan penilaian dalam keadaan beku dan setelah
pelelehan(thawing). Penilaian dalam keadaan beku antara lain lapisan es,
dehidrasi, dan diskolorasi. Pengukuran organoleptik merupakan cara penilaian
mutu ikan tongkol yang bersifat subyektif dengan menggunakan indera manusia.
Jumlah panelis yang digunakan adalah 6 orang dengan kategori panelis expert.
14

3.4.2 Uji kimia


Pengujian kimia dilakukan untuk mengetahui karakteristik kimia ikan
pindang meliputi uji kadar histamin, Total Volatile Base (TVB), dan pengujian
formalin.

(1) Pengujian kadar histamin (SNI 2534-10.2009)


Tahapan prosedur kerja yang dilakukan dalam pengujian histamin adalah
sebagai berikut:
a) Tahap ekstraksi
Sebanyak 10 gram sampel ditimbang dan ditambah 50 ml metanol,
selanjutnya dihomogenkan dengan homogenizer (blender) selama 1-2 menit.
Larutan sampel yang sudah dihomogenkan dipanaskan dalam waterbath pada
suhu 60 0C selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam suhu ruang. Sampel
yang sudah dingin dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan
metanol sampai tanda tera serta dikocok agar homogen. Larutan sampel disaring
dengan kertas saring dan dimasukkan dalam erlenmeyer. Sampel siap untuk
di clean-up.
b) Tahap clean-up/elusi
Tahap ini disiapkan kolom kromatografi (panjang 20 cm diameter 7 mm),
sebelum digunakan kolom tersebut di isi dengan glass woll secukupnya
(tinggi 1 cm) dan aquadest. Kemudian dimasukkan resin penukar ion (dowex 1-
x800-100-mesh) ke dalam kolom sampai tingginya kurang lebih 8 cm. Pada saat
digunakan, diusahakan kolom jangan sampai kering hingga kebagian resinnya,
karena akan mempengaruhi daya kerja penukar ion tersebut. Supaya tidak kering
dibilas dengan akuades. Kemudian sampel dilewatkan sebanyak 1 ml ke dalam
kolom yang telah diberi aquadest dan tampung hasilnya dalam labu ukur 50 ml
yang telah diberi 5 ml HCl 1 N.
c) Tahap pembentukan
Beberapa tabung reaksi disiapkan, sebanyak 10 ml HCl 0,1 N dimasukkan
ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 5 ml sampel (hasil elusi), 5 ml
standar histamin (sebagai larutan standar) dan 5 ml HCl 0,1 N (sebagai blanko).
Setelah itu ditambahkan 3 ml NaOH 1 N lalu dihomogenkan dan dibiarkan selama
5 menit. Kemudian ditambahkan lagi sebanyak 1 ml OPT (O-phtalaldehid) 1%
15

lalu dihomogenkan dan didiamkan selama 4 menit. Setelah itu ditambahkan 3 ml


H3PO4 3,57 N lalu homogenkan. Setelah selesai sampel siap untuk dibaca dengan
Spetroflourometer pada panjang gelombang 450 nm. Perhitungan nilai histamin
dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan :
y : fluresensi contoh
a : intersep
b : slope
x : konsentrasi contoh yang akan dihitung
volume akhir ml X fp
konsentrasi histamin µg/g contoh Ax X
gram contoh
Keterangan :
A = konsentrasi (x) yang didapat dalam perhitungan ( /

(2) Pengujian TVB (SNI 01-4495-1998)


Sampel ditimbang sebanyak 25 gram, kemudian ditambahkan 75 ml
TCA 7% dan diblender sampai homogen, lalu disaring dengan kertas saring dan
ditampung dalam erlenmeyer. Selanjutnya diambil 1 ml ekstrak dimasukkan
ke dalam cekungan luar pinggir kiri dari cawan conway, dipipet sebanyak 1 ml
K2CO3 dan dimasukkan ke dalam cekungan luar pinggir kanan. Setelah itu
sebanyak 2 ml asam borat dipipet dan masukkan ke dalam cekungan tengah
cawan conway lalu tetesi dengan indikator conway sebanyak 2 tetes menggunakan
pipet tetes. Kemudian cawan ditutup, sedikit digoyangkan untuk mencampur
ketiga larutan tersebut. Setelah selesai inkubasi titrasi larutan borat pada bagian
dalam (inner chamber) cawan conway blanko dengan larutan HCl 0,02 N
sehingga warna larutan asam borat berubah menjadi merah muda (pink),
selanjutnya berturut-turut titrasi larutan asam borat pada cawan conway contoh
sampai diperoleh warna merah yang sama dengan blanko. Perhitungan nilai TVB
dapat dihitung dengan rumus:
16

mgN i j x N HCl x 14,007 x Fp x 100


TVB
100 g Berat sampel g

Keterangan:
i = volume titrasi sampel (ml)
j = ml titrasi HCl blanko
Fp = faktor pengenceran

(3) Pengujian formalin (formaldehyde test-aquamerck®)


Pengujian kandungan formalin pada ikan tongkol menggunakan metode
kualitatif, dengan indikator warna setelah dilakukan reaksi. Prosedurnya sebagai
berikut: contoh ditimbang sebanyak 10 gram, kemudian ditambah akuades
sebanyak 100 ml, dihomogenkan dengan stomacher. Contoh diambil sebanyak
50 ml dan disentrifuse selama 5 menit. Sebanyak 5 ml sampel yang telah
dihomogenkan ditempatkan dalam dua botol sampel. Kemudian ke dalam salah
satu botol sampel tersebut diteteskan sebanyak lima tetes larutan sodium
hidroksida (reagent 1). Nilai pH harus diatas 13, dilakukan pengecekan dengan
kertas pH. Selanjutnya ditambahkan sebanyak satu sendok mikro reagent 2.
Botol sampel ditutup dan dikocok sampai larut dengan sempurna. Sampel
didiamkan selama 5 menit dan dilakukan perbandingan warna pada kartu warna.
Apabila terdapat warna ungu maka positif (+) mengandung formalin. Jika
warnanya kuning maka negatif (-).

3.4.3 Uji mikrobiologi


Uji mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui cemaran biologis pada
bahan baku dan pindang ikan tongkol. Uji mikrobiologi terdiri dari pengujian
Total Plate Count (TPC), bakteri Escherichia coli, dan Salmonella.

(1) Pengujian Total Plate Count (TPC) atau penentuan angka lempeng total
(ALT) pada produk perikanan (SNI 01-2332.3-2006).
a) Preparasi Contoh
Sampel diambil secara acak dan dipotong kecil – kecil hingga beratnya
300 gram, kemudian dimasukkan dalam wadah atau plastik steril. Selanjutnya
ditambahkan 225 ml larutan Bufferfield’s phosphate buffered dan dihomogenkan
selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran10-1, kemudian
17

dengan pipet steril diambil 1 ml homogenat diatas dan dimasukkan ke dalam 9 ml


larutan bufferfield’s phosphate buffered untuk mendapatkan pengenceran 10-2.
Pengenceran selanjutnya (10-3), dilakukan dengan mengambil 1 ml sampel dari
pengenceran 10-2 dimasukkan kedalam 9 ml larutan bufferfield’s phosphate
buffered. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25 kali.
Selanjutnya dilakukan hal yang sama untuk pengenceran 10-4, 10-5 dan seterusnya
sesuai kondisi sampel.
b) Metode agar tuang/pour plate method
Sampel yang telah dienceran 10-1, 10-2 dan seterusnya, dipipet masing-
masing 1 ml dan dimasukan ke dalam cawan petri steril. Prosedur tersebut
dilakukan secara duplo untuk setiap pengenceran.
Media Plate Count Agar (PCA) yang telah didinginkan dalam waterbath
hingga mencapai suhu 45 oC, dituangkan sebanyak 12-15 ml ke dalam masing-
masing cawan yang sudah berisi sampel. Cawan yang telah terisi sampel dan
media PCA digerakkan ke depan ke belakang ke kiri dan ke kanan supaya
tercampur sempurna. Setelah agar menjadi padat, untuk penentuan
mikroorganisme aerob cawan-cawan tersebut diinkubasi dalam posisi terbalik
dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 22 oC (psikrofilik), 35 oC(mesofilik),
o
dan 45 C (termofilik). Mikroorganisme anaerob ditentukan dengan
anaerobic jar, dengan cara cawan-cawan tersebut diinkubasikan dalam anaerobic
jar dengan posisi terbalik dan dimasukkan ke dalam inkubator selama 48 jam
pada suhu 22 oC (psikrofilik), 35 oC (mesofilik), dan 45 oC (thermofilik).
Pengenceran yang digunakan dicatat dan dilakukan penghitungan jumlah
total koloni. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang
mengandung koloni bakteri antara 25 koloni-250 koloni dan bebas spreader.

(2) Pengujian Bakteri Escherichia coli (SNI 01-2332.1-2006)


Pengujian bakteri Escherichia coli dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap
uji tersebut adalah uji pendugaan, uji penegasan, uji morfologi, dan uji biokimia.
a) Tahap analisis
Pengenceran 10-2 disiapkan dengan cara melarutkan 1 ml larutan 10-1
ke dalam 9 ml larutan pengencer Butterfield’s Phosphate Buffered. Pengenceran
selanjutnya dilakukan sesuai dengan pendugaan kepadatan populasi contoh.
18

Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25 kali. Sebanyak 1 ml


larutan dipindahkan dari setiap pengenceran ke dalam 3 seri atau 5 seri tabung
Lauryl Ttryptose Broth (LTB) yang berisi tabung durham. Tabung-tabung
tersebut diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 oC. Selanjutnya diperhatikan gas
yang terbentuk setelah inkubasi 24 jam dan diinkubasikan kembali tabung-tabung
negatif selama 24 jam. Tabung positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam
tabung durham.
b) Uji pendugaan Escherichia coli (presumptive Escherichia coli)
Setiap tabung LTB yang positif diinokulasi dengan jarum ose ke tabung-
tabung yang berisi larutan EC Broth dan tabung durham. Selanjutnya tabung-
tabung tersebut diinkubasi dalam waterbath sirculation selama 48 jam pada
o
suhu 45 C. Waterbath harus dalam keadaan bersih, air di dalamnya harus lebih
tinggi dari cairan yang ada dalam tabung yang diinkubasi. Tabung-tabung
tersebut diperiksa setelah 24 jam diinkubasi, untuk menguji timbulnya gas.
Apabila tidak menghasilkan gas atau negatif, diinkubasi kembali sampai 48 jam.
Tabung yang positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham.
Selanjutnya ditentukan nilai angka paling memungkinkan (APM) berdasarkan
jumlah tabung-tabung EC yang positif dengan menggunakan Angka Paling
Memungkinkan (APM). Nilainya dinyatakan sebagai “APM/g faecal coliform”.
c) Uji penegasan Escherichia coli (confirmed Escherichia coli)
Tabung-tabung EC Broth positif diambil dan digoreskan ke LEMB agar
dengan menggunakan jarum ose, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu
35 oC. Koloni Escherichia coli akan memberikan ciri yang khas, yaitu terdapat
warna hitam pada bagian tengah dengan atau tanpa hijau metalik. Beberapa
koloni (typical) Escherichia coli diambil dari masing-masing cawan LEMB dan
digoreskan ke media PCA miring dengan jarum tanam, kemudian diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 35 oC. Jika tidak ada koloni yang khas (typical),
pindahkan satu atau lebih koloni yang tidak khas (typical) Escherichia coli
ke media PCA miring.
d) Uji morfologi
Prosedur uji morfologi dilakukan dengan pewarnaan gram dari setiap koloni
Escherichia coli terduga. Biakan diambil dari PCA yang telah diinkubasi selama
19

24 jam. Dengan menggunakan mikroskop, bakteri Escherichia coli termasuk


bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek atau coccus.
e) Uji biokimia
1. Produksi indol ( I )
Sebanyak satu ose koloni E. coli dari PCA miring yang diduga positif
diambil dan dilakukan inokulasi kedalam tryptone Broth serta diinkubasi selama
24 jam pada suhu 35 oC. Uji Indol dilakukan dengan menambahkan 0,2 ml-0,3 ml
pereaksi Kovacs. Reaksi menunjukkan positif jika terbentuk cincin merah pada
lapisan bagian atas media dan negatif jika terbentuk cincin warna kuning.
2. Uji voges proskauer (VP)
Sebanyak satu ose koloni E. coli dari PCA miring yang diduga positif
diambil dan dilakukan inokulasi kedalam MRVP Broth serta diinkubasi selama
48 jam pada suhu 35 0C. Dipindahkan 1 ml dari setiap MRVP Broth yang
tumbuh ke tabung reaksi ukuran 13 mm x 100 mm steril dan ditambahkan 0,6 ml
larutan alpha naphtol dan 0,2 ml 40 % KOH, dan dikocok. Untuk mempercepat
reaksi ditambahkan sedikit kristal kreatin. Selanjutnya dikocok kembali dan
didiamkan selama 2 jam. Reaksi menunjukkan positif jika terbentuk warna merah
muda eosin sampai merah mirah delima (ruby).
3. Uji methyl red (MR)
Media MRVP Broth di atas diinkubasi kembali selama 48 jam pada suhu
35 0C. Selanjutnya diambahkan 5 tetes indikator Methyl red pada setiap MRVP
Broth. Reaksi positif jika terbentuk warna merah dan negatif jika terbentuk warna
kuning.
4. Uji sitrat (C)
Sebanyak 1 ose dari PCA miring digoreskan ke permukaan simmon citrat
agar. diinkubasi selama 96 jam pada suhu 35 0C. Reaksi positif jika terjadi
pertumbuhan dan media berubah warna menjadi biru, reaksi negatif jika tidak ada
pertumbuhan dan media tetap hijau.
5. Produksi gas dari laktosa
Sebanyak 1 ose dari PCA miring diinokulasikan kedalam LTB, dan
diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 35 0C. Reaksi positif jika menghasilkan
20

gas pada tabung durham. Interpetasi hasil pengujian bakteri Escherichia coli dapat
dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Interpetasi Hasil Pengujian Bakteri Escherichia coli


(SNI 01-2332.1-2006)
Kriteria Biotipe 1 Biotipe 2
Gas pada tabung LTB + +
Indol + -
MR + +
VP - -
Citrat - -
Uji Morfologi Gram negatif, bentuk Gram negatif, bentuk batang
batang pendek berspora pendek tidak berspora

(3) Pengujian Bakteri Salmonella (SNI –01-2332.2-2006)


Prinsip dasar uji bakteri Salmonella adalah dengan menumbuhkan terlebih
dahulu koloni Salmonella dari sampel yang diuji pada media pengkayaan,
kemudian dideteksi dengan menumbuhkannya pada media agar selektif. Koloni-
koloni yang diduga Salmonella (suspected colonies) pada media selektif diisolasi
dan dilanjutkan dengan konfirmasi melalui uji biokimia dan uji serologi untuk
meyakinkan ada atau tidaknya bakteri Salmonella.
Sampel ditimbang sebanyak 25 g, kemudian dimasukkan ke dalam wadah
atau plastik steril dan ditambahkan 225 ml larutan Lactose Broth. Sampel yang
akan dianalisis dihomogenkan selama 2 menit dan dikocok hingga rata serta
dikendurkan tutup wadah secukupnya. Selanjutnya sampel diinkubasi selama
24 jam pada suhu 35 oC. Sebanyak 0,1 ml larutan sampel dipindahkan ke dalam
10 ml Rappaport-Vassiliadis (RV) medium dan 1 ml larutan sampel ke dalam
10 ml Tetrathionate Broth (TTB). Selanjutnya 1 ml larutan sampel dipindahkan
ke dalam masing-masing 10 ml TTB. RV medium diinkubasi selama 24 jam pada
suhu 42 oC (Waterbath) dan inkubasi TTB selama 24 jam pada suhu 43 oC
(Waterbath).
Tabung dikocok menggunakan vortex dan digoreskan TTB yang telah
diinkubasi ke dalam media Hectoen Enteric (HE), Xylose Lysine Desoxycholate
(XLD) agar, dan Bismuth sulfite Agar (BSA). Media BSA disiapkan sehari
sebelum digunakan untuk analisis, dan simpan di tempat gelap pada suhu ruang.
Tahap berikutnya digoreskan ke dalam media yang sama dari RV Broth. Cawan
21

HE, XLD, dan BSA diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 oC, kemudian
dilakukan pengamatan akan kemungkinan adanya koloni Salmonella.
Koloni Salmonella diambil 2 atau lebih dari masing-masing media agar
selektif setelah 24 jam inkubasi. Kriteria koloni-koloni Salmonella yang khas
(typical) pada masing-masing media adalah sebagai berikut :
1) HE Agar, koloni hijau kebiruan sampai biru dengan atau tanpa inti hitam.
Umumnya kultur Salmonella membentuk koloni besar, inti hitam mengkilat
atau hampir seluruh koloni terlihat berwarna hitam.
2) XLD Agar, koloni merah jambu (pink) dengan atau tanpa inti hitam.
Umumnya kultur Salmonella membentuk koloni besar, inti hitam mengkilat
atau hampir seluruh koloni terlihat berwarna hitam.
3) BSA, koloni coklat, abu-abu atau hitam, kadang-kadang metalik. Biasanya
media di sekitar koloni pada awalnya berwarna cokelat, kemudian berubah
menjadi hitam (halo effect) dengan semakin lamanya waktu inkubasi.
Apabila koloni yang khas (typical) tumbuh pada BSA setelah 24 jam
inkubasi, diambil 2 koloni atau lebih, kemudian diinkubasikan kembali
media BSA selama 24 jam. Setelah 48 jam inkubasi, diambil 2 atau lebih
koloni yang khas (typical) yang tumbuh pada media BSA. Pengambilan ini
dilakukan jika hanya koloni yang tumbuh pada media BSA yang diinkubasi
selama 24 jam memberi reaksi yang tidak sesuai pada Triple Sugar Iron
(TSI) dan Lysine Iron Agar (LIA), yang menjadikan kultur ini dinyatakan
sebagai bukan Salmonella.

Bagian tengah koloni diambil menggunakan jarum inokulasi steril dan


digoreskan ke permukaan media TSI agar, dilanjutkan dengan menggoreskan
jarum tersebut pada media LIA dengan cara menusuk agar tegak lebih dahulu,
setelah itu goreskan pada media agar miring. Kedua media tersebut diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 35 oC dengan membiarkan tutup sedikit kendur untuk
mencegah terbentuknya H2S. Pengamatan dilakukan untuk kengetahui adanya
koloni salmonella.
Sebanyak satu ose dari media TSI diambil menggunakan jarum inokulasi
steril, dimasukkan kedalam Indol, MR-VP, Simmon Citrat Agar, Dulcit, Lactose,
Sukrose,Urea Broth dan LDB. Media-media tersebut diinkubasi selama 24 jam
22

pada suhu 35 oC. Media indol yang telah diinkubasi 24 jam, dilanjutkan dengan
uji KCN, malonat, dan uji indol menggunakan pereaksi Kovaks.
Pengujian Methyl Red dilakukan dengan memindahkan satu ml MR-VP
Broth yang telah diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 °C ke dalam tabung
reaksi steril dan diinkubasikan kembali MR-VP Broth selama 48 jam pada suhu
35°C. Sebanyak 0,6 ml alpha naphtol ditambahkan dan dikocok, ditambahkan
lagi 0,2 ml larutan 40 % KOH dan kocok kembali. Kristal keratin ditambahkan
sedikit untuk mempercepat reaksi dan hasilnya dapat diamati setelah 4 jam.
Pengujian Methyl red (MR) ditambahkan 5-6 tetes indikator Methyl Red kedalam
media MR-VP yang telah diinkubasi selama 96 jam. Umumnya, Salmonella
memberikan reaksi positif, ditandai dengan terjadinya difusi warna merah pada
media. Reaksi positif ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna menjadi
merah muda eosin sampai merah delima (ruby) pada media. Terjadinya warna
kuning menunjukan reaksi negatif. Salmonella memberikan reaksi VP negatif.
Uji serologi Polyvalent Flagellar (H) dapat dilakukan setelah uji biokimia.
Sebanyak satu ose dari masing-masing TSI Agar yang memberikan reaksi negatif
dipindahkan ke dalam 5 ml BHI Broth, dan diinkubasi selama 4-6 jam pada suhu
sampai terlihat pertumbuhan. Sebanyak 2,5 ml larutan Formanilized Physiological
Saline ditambahkan ke dalam BHI Broth (untuk uji pada hari yang sama) atau
5 ml Trypticase Soy-Tryptose Broth (TSTB) dan inkubasi selama 24 jam pada
suhu 35oC, 2,5 ml larutan Formanilized Physiological Saline ke dalam TSTB
(untuk uji pada hari berikutnya).
Sebanyak 2 kultur dari TSI (contoh dan control) yang telah diberi
Formanilized Physiological Saline dan uji dengan Salmonella Polyvalent
Flagellar (H) disiapkan, kemudian dimasukkan 0,5 ml larutan Salmonella
Polyvalent Flagellar (H) antisera dalam tabung serologi 10 x 75 mm atau
13 x 100 mm. Selanjutnya ditambahkan 0,5 ml antigen yang akan diuji.
Disiapkan kontrol saline dengan mencampur 0,5 ml Formanilized Physiological
Saline dengan 0,5 ml formalinized antigen. Inkubasi campuran tersebut dalam
waterbath pada suhu 48-50 oC. Pengamatan dilakukan pada setiap interval waktu
15 menit dan diamati juga hasilnya selama 1 jam. Reaksi positif apabila terjadi
penggumpalan dalam uji campuran dan tidak ada penggumpalan dalam kontrol.
23

Reaksi negatif apabila tidak ada penggumpalan dalam uji campuran dan tidak ada
penggumpalan dalam kontrol.
Perlakuan terhadap kultur yang memberikan hasil uji serologi flagellar (H)
negatif maka menunjukkan bahwa kultur tersebut adalah Salmonella.
Penggumpalan flagellar (H) negatif mungkin disebabkan karena organisme non
motil atau karena antigen flagellar tidak berkembang. Pembuatan kultur dilakukan
dengan diinokulasi Motility Test Medium dalam petridish menggunakan koloni
yang tumbuh pada TSI miring. Media diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 oC.
Bila organisme berpindah sejauh 40 mm atau lebih maka dilakukan uji ulang
dengan cara diinokulasi sejumlah pertumbuhan terjauh ke dalam Trypticase Soy-
Trytose Broth.
Pengulangan pengujian Polyvalent Flagellar (H) dilakukan apabila tidak
terjadi pergerakan setelah 24 jam pertama, diinkubasikan kembali selama 24 jam
pada suhu 35 oC, dan apabila masih tidak bergerak diinkubasi sampai 5 hari pada
suhu 25 oC. Kultur yang tidak bergerak (non motile) pada semua uji diatas
menunjukkan hasil uji yang negatif. Selanjutnya, bila kultur memberikan reaksi
flagellar (H) negatif tetapi memberikan reaksi biokomia positif, maka kultur perlu
untuk diuji serologi.
Uji serologi Polyvalent Somatic (O) dilakukan dengan mengambil 1 ose
kultur dari TSI yang telah diinkubasi selama 24-48 jam dan diletakkan diatas
gelas preparat. Gelas preparat yang telah diberi kultur ditetesi dengan larutan
saline 0,85% steril dan diemulsikan. Koloni Antiserum dicampurkan sedikit demi
sedikit dengan suspensi koloni sampai tercampur sempurna. Pembuatan kontrol
dengan menggunakan larutan saline dan Antiserum. Hasil uji positif apabila
terjadi penggumpalan pada larutan kultur dan tidak terjadi penggumpalan pada
larutan kontrol, dan hasil uji negatif apabila tidak terjadi penggumpalan buih pada
larutan kultur maupun larutan kontrol.
24

 
25

PROSES PENGUJIAN
SALMONELLA (2)

C E D F

Positif Koloni T Positif Koloni T


Samonella ? Samonella ?

Y Y

Ambil Koloni & Ambil Koloni &


Teteskan Serum Teteskan Serum

Positif Koloni T Positif Koloni T


Samonella ? Samonella ?

Y Y

Laporan
Salmonella

END

Gambar 4 Proses pengujian Salmonella (SNI 01-2332.2-2006)


26

3.5 Pengambilan Sampel


Cara pengambilan contoh disesuaikan dengan metode sampling, peralatan
yang digunakan untuk pengambilan contoh ini harus bersih, kering, tidak bocor,
steril dan ukurannya harus sesuai dengan contoh yang diambil. Pengambilan
contoh dilakukan pada bahan baku dan produk jadi (pindang tongkol), dengan
menggunakan cool box, supaya suhu dapat dipertahankan. Sampel produk jadi
(pindang tongkol) diletakkan dalam wadah plastik dengan menggunakan tutup
yang aman.
Pengambilan sampel dengan metode tak acak (nonprobability sampling),
yaitu purposive sampling (perkiraan) dimana penarikan sampel dilakukan dengan
perkiraan yang dapat dianggap mewakili populasi. Pengambilan jumlah sampel
untuk bahan baku dan produk jadi (pindang tongkol) mengacu pada pengambilan
sampel padat atau curah dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Daftar pengambilan sampel padat dalam karung/peti

Jumlah contoh per lot Jumlah sampel yang diambil


Karung/peti Karung/peti
1 – 10 Semua karung atau peti harus diambil
11 – 25 5
26 – 50 7
51 – 100 10
> 100 Akar pangkat dua dari jumlah karung atau peti
Sumber: Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. : 2897.a/PD.670.320/L/10/07.

3.6 Analisis Data


Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif, yaitu
analisis data dengan cara menggambarkan keadaan dan kondisi pengolahan ikan
pindang. Data disajikan dalam bentuk histogram, tabel atau gambar kemudian
diinterpretasikan. Statistik deskriptif atau statistik deduktif adalah bagian dari
statistik yang mempelajari cara pengumpulan dan penyajian data sehingga mudah
dipahami (Hasan 2008).
27 
 

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Pengolahan Tradisional


Pengolahan tradisional merupakan unit pengolahan produk tradisional melalui
proses pengeringan atau penggaraman, dan pengawetan dengan cara pemindangan,
peragian, fermentasi serta pengasapan (Heruwati 2002). Produk olahan tradisional
sangat digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Produk olahan ini
mempunyai daya awet dan kualitas yang berbeda tergantung cara pengolahan,
penyimpanan serta aspek sanitasi yang diterapkan.

4.1.1 Lokasi unit pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT) Muara Angke
Unit pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT) berlokasi di Kawasan
Perikanan Terpadu Muara Angke, Jakarta Utara. Muara Angke secara administratif
termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Kawasan ini berbatasan dengan Kali Angke di sebelah Barat dan Selatan, Jalan
Karang Pluit di sebelah Timur, serta Laut Jawa di sebelah Utara. Lokasi Muara
Angke cukup strategis dengan aksesibilitas yang sangat baik. Kondisi jalan beraspal
dengan sarana transportasi yang memadai.
Jarak PHPT dari Balai Kota Jakarta Utara sekitar 15 km dan berada satu
lokasi dengan pendaratan ikan Muara Angke sehingga memudahkan memperoleh
bahan baku. Lokasi PHPT bagian timur berbatasan dengan Perumahan Pluit Permai
dan PLTU Muara Karang, sebelah barat berbatasan dengan Perumahan Pantai Indah
Kapuk, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah selatan berbatasan
dengan Pantai Indah Kapuk. PHPT memiliki luas tanah ± 40.000 m2.

4.1.2 Sejarah dan perkembangan unit pengolahan hasil perikanan tradisional


(PHPT) Muara Angke
Unit pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT) Muara Angke didirikan
oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta pada tahun 1982 dengan SK Gubernur DKI
Nomor 184 tahun 1982. Unit pengolahan tradisional PHPT ini didirikan atas dasar
pertimbangan bahwa daerah Muara Angke merupakan daerah yang strategis,
28 
 

dimana di daerah ini tersedia bahan baku berupa hasil tangkapan laut yang melimpah
dan untuk merelokasi unit-unit pengolahan tradisional yang sebelumnya tersebar di
sepanjang Pantai Utara Jakarta. Pada awalnya lokasi tersebut di bawah tanggung
jawab Badan Pengelola Lingkungan (BPL), kemudian diserahkan pengelolaannya
kepada Dinas Perikanan Provinsi DKI Jakarta.

4.1.3 Kondisi pengolah pindang ikan tongkol di unit pengolahan hasil perikanan
tradisional (PHPT) Muara Angke.
Karakteristik pengolah pindang ikan tongkol di PHPT Muara Angke dapat
diketahui setelah dilakukan wawancara dan pengisian kuesioner. Kuesioner
merupakan sekumpulan pertanyaan yang dirancang untuk mendapatkan data yang
diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian. Kriteria kuesioner yang baik, yaitu:
mudah dimengerti oleh responden, mudah diproses oleh peneliti, dan mudah
ditanyakan oleh petugas pengumpul data (data collector) (Anonimc 2008). Hasil
pengisian kuesioner disajikan pada Tabel 4.

Tabel 5 Karakteristik pengolah dan kondisi usaha pindang ikan tongkol di PHPT
Muara Angke
Pengolah
A B C D
Karakteristik
dan kondisi usaha
I. Karateristik responden
1 Usia 47 tahun 50 tahun 50 tahun 52 tahun
2 Jenis kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
3 Pendidikan terakhir SD SD SD SD
4 Pengalaman berusaha 17 tahun 20 tahun 20 tahun 20 tahun
5 Jumlah keluaraga 7 orang 6 orang 5 orang 6 orang
II. Karakteristik usaha
6 Jenis usaha Pengolahan Pengolahan Pengolahan Pengolahan
pindang ikan pindang ikan pindang ikan pindang ikan
tongkol tongkol tongkol tongkol
7 Bahan baku Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol
8 Kebutuhan bahan baku 1000-1600 kg/hari 1000-1600 kg/hari 1000-1600 kg/hari 1000-1600 kg/hari
9 Kapasitas produksi 600-1000 kg/hari 600-1000 kg/hari 600-1000 kg/hari 600-1000 kg/hari
10 Asal bahan baku TPI Muara Angke TPI Muara Angke TPI Muara Angke TPI Muara Angke
TPI Muara Baru TPI Muara Baru TPI Muara Baru TPI Muara Baru
11 Jumlah tenaga kerja 10 orang 10 orang 9 orang 10 orang
12 Tingkat pendidikan Tidak tamat SD Tidak tamat SD Tidak tamat SD Tidak tamat SD
tenaga kerja dan tamat SD dan tamat SD dan tamat SD dan tamat SD
13 Pemasaran produk Pasar lokal Pasar lokal Pasar lokal Pasar lokal
29 
 

Karakteristik pengolah dan kondisi usaha berdasarkan Tabel 5 menunjukkan


pada umumnya pemilik dan tenaga kerja berpendidikan rendah atau hanya lulusan
Sekolah Dasar (SD). Namun demikian pengalaman usaha yang dimiliki rata-rata
di atas 10 tahun, sehingga pengalaman berusaha tersebut sangat mendukung
kelancaran usaha pengolahan ikan pindang.
Kebutuhan bahan baku per hari untuk setiap pengolah adalah 1000-1600 kg
atau 4000-6400 kg per hari untuk semua pengolah. Kapasitas produksi per hari untuk
setiap pengolah antara 600-1000 kg, sehingga total produksi yang dihasilkan setiap
hari rata-rata 2400-4000 kg. Bahan baku berasal dari dua tempat pelelangan yang
cukup besar yaitu TPI Muara Angke dan Muara Baru Jakarta Utara, dengan demikian
para pengolah tersebut tidak menemui kesulitan dalam pengadaan bahan baku ikan
tongkol. Pemasaran produk pindang ikan tongkol saat ini baru menjangkau pasar
lokal, mengingat pasar lokal dapat menyerap semua produk ikan pindang yang
dihasilkan oleh para pengolah pindang ikan tongkol dari Muara Angke.

4.1.4 Fasilitas pengolahan pindang UPT PHPT Muara Angke


1 Fasilitas Produksi
Pengolahan pindang di PHPT Muara Angke memiliki fasilitas produksi
mencakup air, listrik, peralatan pengolahan pindang dan penyimpanan produk.
Air yang digunakan berasal dari air bersih yang berasal dari para penjual air eceran.
Air digunakan untuk mencuci bahan baku pindang ikan tongkol, dan pada proses
pemasakan pindang. Pemenuhan tenaga listrik disuplai dari PLN dengan kapasitas
1300 watt. Listrik dimanfaatkan sebagai penerangan ruang pengolahan.
Peralatan pengolahan pindang pada UPT PHPT Muara Angke terdiri dari :
(a) Alat perebusan
Peralatan perebusan terdiri dari tungku perebusan dan drum perebusan.
Tungku perebusan dibuat sederhana yang berasal dari tumpukan bata sedangkan
drum yang digunakan memiliki kapasitas 25 kg bahan baku. Jumlah tungku
perebusan dan drum sebanyak 2 unit tiap unit pengolahan pindang ikan tongkol. Alat
perebusan pindang disajikan pada Gambar 5.
30 
 

Gambar 5 Alat perebusan pindang

(b) Penyimpanan produk


Tempat penyimpanan produk terbuat dari rak kayu yang disatukan dengan
ruang pengolahan pindang. Rak kayu mampu menampung sekitar 30-40 naya.
2 Sarana dan Prasarana Penunjang
Sarana dan prasarana penunjang yang terdapat di Pengolahan Pindang UPT
PHPT Muaran Angke yang menunjang proses produksi meliputi :
(a) Keranjang
Keranjang yang digunakan sebagai wadah ikan tongkol, memiliki kapasitas
25-50 Kg. Keranjang berfungsi sebagai wadah bahan baku baik pada saat
penerimaan bahan baku maupun setelah proses pencucian serta sebagai wadah produk
olahan pindang yang siap dikemas. Keranjang yang digunakan pada proses produksi
disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Keranjang
31 
 

(b) Bak fiber glass


Bak fiber glass digunakan untuk menampung bahan baku sementara, serta
untuk menampung es dengan kapasitas 1000 L. Kapasitas bak untuk bahan baku
sebesar 500 Kg. Gambar 7 menunjukkan fiber glass yang digunakan untuk
menampung bahan baku.

Gambar 7 Bak fibre glass


(c) Timbangan
Timbangan digunakan untuk menimbang bahan baku. Timbangan yang
digunakan yaitu timbangan gantung dengan kapasitas 50 Kg untuk menimbang
tongkol per keranjang.
(d) Kemasan produk
Bahan pengemas yang digunakan adalah naya yang merupakan wadah
anyaman bambu untuk menyimpan produk pindang yang siap dipasarkan. Kapasitas
naya yang digunakan sekitar 10 ekor ikan. Naya yang digunakan sebagai wadah
penyimpanan ikan pada saat perebusan dan produk akhir disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Naya
32 
 

4.2 Penerapan Sanitasi Pada Pengolahan Produk Pindang di PHPT Muara


Angke
Sanitasi pangan ditujukan untuk mencapai kebersihan yang prima dari tempat
produksi, persiapan, penyimpanan, dan penyajian makanan serta air sanitasi pangan.
Hal ini merupakan aspek yang sangat esensial dalam setiap kegiatan menyiapkan
makanan, khususnya dalam cara penanganan pangan. Program sanitasi dijalankan
bukan untuk mengatasi masalah kotornya lingkungan atau kotornya pemrosesan
bahan, tetapi untuk menghilangkan kontaminan pada makanan dan mesin pengolahan
makanan serta mencegah kontaminasi kembali maupun kontaminasi silang. (Winarno
dan Surono 2004).
Standar baku sanitasi yang diterapkan di pengolahan pindang UPT PHPT
Muara Angke meliputi bagian-bagian sebagai berikut lokasi dan lingkungan,
konstruksi bangunan, keamanan air, es, garam, penanganan limbah, toilet, ruang
pemeliharaan peralatan, wadah dan alat lain, kontrol sanitasi, perlengkapan anti
serangga dan binatang pengganggu lainnya.

4.2.1 Sanitasi bangunan


Sanitasi bangunan harus diperhatikan mencakup lay-out desain arsitektur,
lantai, dinding, langit-langit, ventilasi, dan penerangan. Lay-out tempat pengolahan
pindang ikan tongkol berada di kawasan industri yang telah disetujui. Ruangan
produksi tidak disekat sehingga tidak dapat mencegah terjadinya konstaminasi silang.
Selain itu, area pengolahan tidak memungkinkan pekerja untuk melakukan pekerjaan
secara saniter dan higiene. Hal itu berpotensi terjadinya penyimpangan kritis. Tata
letak ruangan produksi dengan ruangan penerimaan bahan baku serta penyimpanan
berdasarkan prosedur sanitasi yang baik harus terpisah sehingga mencegah terjadinya
kontaminasi silang dan pekerja dapat melakukan pekerjaan secara saniter dan higiene
(Lisyanti et al. 2009). Bangunan unit pengolahan dapat disajikan pada Gambar 9.
33 
 

Gambar 9 Bangunan unit pengolahan ikan pindang

Dinding pada bagian pengolahan pindang di UPT PHPT Muara Angke tidak
halus, retak, kusam serta tidak mudah dibersihkan dan didesinfeksi. Pertemuan
antara lantai dan dinding serta dinding dan dinding sulit dibersihkan. Dinding dalam
ruangan produksi tidak disekat dengan ruang penerimaan bahan baku dan ruangan
penyimpanan produk pindang. Selain itu, permukaan dalam dinding tidak kedap air
dan tidak tahan lama. Pertemuan antara dinding dengan dinding dan antara dinding
dengan lantai tidak boleh membentuk sudut mati dan harus melengkung serta rapat
air (Depkes RI 1978). Penyimpangan-penyimpangan tersebut merupakan
penyimpangan kritis. Dinding ruang pengolahan disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Dinding ruang pengolahan

Langit-langit pada pengolahan pindang di UPT PHPT Muara Angke tidak


dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, mengurangi kondensasi dan
pertumbuhan jamur serta pengelupasan. Selain itu, terdapat retak dan celah serta
tidak mudah dibersihkan. Hal ini dapat berpotensi terjadinya kontaminasi silang serta
mengganggu proses produksi. Munurut Lisyanti et. al. (2009), langit-langit dalam
34 
 

ruang proses harus dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, kondensasi,


pertumbuhan jamur dan pengelupasan. Konstruksi jendela dan bagian yang dapat
dibuka pada bangunan dirancang untuk dapat mencegah akumulasi kotoran atau debu
serta dilengkapi dengan kasa pencegah masuknya serangga dan mudah dilepas untuk
dibersihkan. Permukaan bagian dalam harus halus, rata, berwarna terang, tahan lama,
tidak mudah mengelupas dan mudah dibersihkan, permukaan rata, halus, berwarna
terang dan mudah dibersihkan (Depkes RI 1978)
Lantai unit pengolahan di UPT PHPT Muara Angke memiliki permukaan kasar,
retak, sulit dibersihkan dan didesinfeksi serta lembab. Lantai pengolahan terbuat dari
tanah yang tidak kedap air, licin, mudah pecah dan tidak memiliki kemiringan lantai
yang sesuai dan menyebabkan air tergenang. Konstruksi lantai tidak dibuat
miring 5 ˚. Menurut Winarno dan Surono (2004), lantai harus berbentuk sudut di
bagian tengah dan masing-masing ke bagian pinggir kiri dan kanan dengan
kemiringan 5º terhadap horizontal. Terjadi penyimpangan kritis pada bagian lantai,
yaitu lantai ruang produksi yang jarang dilakukan pengujian laboratorium serta
permukaan lantai yang tidak mendukung proses produksi yang saniter. Gambar 11
menunjukkan lantai ruang pengolahan.

Gambar 11 Lantai ruang pengolahan

4.2.2 Pintu
Pintu ruangan pengolahan terbuat dari bambu dan terbuka. Pintu tidak
dirancang dengan baik untuk mencegah kontaminasi dari luar ruang pengolahan.
Pembatas ruangan tidak dilengkapi dengan alat pencegah serangga yaitu berupa
35 
 

lampu penarik serangga (insect killer). Terjadi penyimpangan kritis disebabkan


ruangan tidak dilengkapi pintu dengan desain yang baik. Menurut (Swastawati et al.
2007) ruangan unit pengolahan harus terdapat pintu yang terbuat dari bahan yang
tahan lama dan tahan korosi serta menutup secara otomatis serta mudah dibersihkan
dan dalam kondisi baik serta dilengkapi dengan alat pencegah lalat. Pintu ruang
produksi disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Pintu ruang pengolahan

4.2.3 Saluran pembuangan


Instalasi saluran pembuangan di ruang proses terbuat dari bahan yang tahan
karat, halus, rata dan tidak membentuk sudut. Saluran ini terbenam ± ½ meter dari
permukaan lantai dilengkapi dengan penutup berlubang yang terbuat dari bahan yang
tahan karat. Sistem pembuangan air atau saluran kotor dan pembuangan yang tidak
lancar sehingga memungkinkan arus balik ke dalam ruang pengolahan. Selain itu,
terdapat tumpukan sampah di dalam saluran pembuangan di luar unit pengolahan
yang dapat menghambat aliran sistem pembuangan limbah. Penyimpangan-
penyimpangan tersebut termasuk penyimpangan serius. Saluran pembuangan yang
ke luar melalui dinding ruangan pengolahan harus dilengkapi dengan alat pelindung,
misalnya jeruji besi yang dapat diangkat sehingga mempermudah pembersihan dan
mencegah masuknya tikus dan binatang lainnya ke dalam ruang pengolahan
(Winarno dan Surono 2004).
36 
 

4.2.4 Keamanan air


Air yang digunakan pada proses produksi berupa air bersih dari PDAM dengan
kualitas air minum, serta pasokan air untuk proses produksi mencukupi. Air tersebut
digunakan untuk proses pencucian bahan baku dan proses perebusan pindang. Selain
itu dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi para pekerja. Air yang digunakan dalam
sehari untuk keperluan produksi mencapai 400 liter. Air untuk ke produksi dan untuk
air minum tidak dilakukan proses filter terlebih dahulu, selain itu tidak dilakukan
proses pengendapan, karena air yang diterima oleh unit pengolahan digunakan
langsung untuk proses produksi. Unit pengolahan tersebut tidak memiliki tandon air
untuk memisahkan air proses produksi dan air minum. Kran dan outlet distribusi air
tidak diberi nomor seri. Hal tersebut menyebabkan penyimpangan mayor pada unit
pengolahan. Unit pengolahan harus memiliki tandon khusus untuk menampung air
yang digunakan dalam proses produksi serta memiliki sistem pembagian air yang
jelas antara air untuk proses produksi, air minum serta air untuk keperluan lain (DKP
2007). Air yang digunakan pada proses produksi disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13 Air untuk proses produksi

4.2.5 Es
Es yang digunakan oleh unit pengolahan berasal dari es yang dibeli dari pabrik
es yang berada disekitar lokasi unit pengolahan. Es yang digunakan merupakan es
curai yang berfungsi untuk mendinginkan bahan baku yang belum digunakan untuk
proses produksi. Es digunakan untuk mendinginkan kelebihan bahan baku yang tidak
37 
 

terpakai pada saat produksi. Pengawasan mutu air dan es tidak dilakukan oleh
mereka disebabkan kurangnya pengetahuan pengolah dalam menerapkan standar
keamanan air dan es. Terjadi penyimpangan mayor pada penanganan es yang
digunakan sebagai pendingin bahan baku. Es yang tidak disimpan dengan baik dapat
berpotensi menjadi sumber kontaminasi bagi bahan baku. Menurut DKP (2008) es
curai berkualitas baik memberikan penyimpanan yang bersih, lembab, tidak
berbahaya, dapat dipindahkan, tidak mahal, dan mencair pada tingkat tertentu. Es
juga memainkan peran penting dalam mencegah dehidrasi ikan selama penyimpanan.

4.2.6 Garam
Garam terdiri dari 34,39% Na dan 60, 69% Cl, garam biasa digunakan dalam
pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet, pada proses pembuatan
pindang, garam sangat berperan sebagai pemberi rasa (DKP 2008). Pemberian garam
pada proses perebusan pindang pada unit pengolahan pindang di UPT PHTPT Muara
Angke sebesar 25% atau 6-7 kg dari total 25 kg bahan baku yang diolah. Foto garam
yang digunakan pada proses produksi disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14 Garam untuk proses pemindangan


Mutu garam yang digunakan pada proses pemindangan tidak diawasi dan
disimpan dengan baik. Garam diletakkan di lantai tanpa adanya wadah untuk
menjaga kualitas dan kebersihan garam yang digunakan. Hal ini menyebabkan garam
mengalami penurunan mutu yang ditandai dengan kondisi garam yang lembab
(basah). Terjadi penyimpanan minor pada proses penyimpanan garam ini, karena
garam digunakan dalam proses produksi tidak disimpan pada tempat yang kering dan
bersih.
38 
 

4.2.7 Sanitasi permukaan yang kontak dengan produk


Permukaan yang kontak dengan produk antara lain keranjang, naya, alat
perebusan, tangan pekerja dan rak penyimpanan. Peralatan tersebut dicuci dengan
menggunakan air biasa tanpa penambahan disinfektan yang dianjurkan, sehingga
terjadi penyimpangan kritis. Selain itu, tidak dilakukan pengujian laboratorium untuk
mengetahui cemaran atau kontaminasi pada peralatan yang digunakan. Menurut DKP
(2007) pemukaan bahan yang kontak dengan produk di unit pengolahan harus terbuat
dari bahan yang tahan karat, kedap air dengan permukaan yang halus sehingga mudah
dibersihkan dan didesinfeksi.

4.2.8 Pencegahan kontaminasi silang


Peralatan dan perlengkapan di unit pengolahan ini belum ditata secara baik
untuk mencegah kontaminasi dan menjamin kelancaran proses. Proses pembersihan
peralatan kotor dilakukan diarea yang sama dengan ruang produksi. Selain itu, bagian
penerimaan bahan baku, penyimpanan dan ruang produksi berada dalam ruang yang
sama tanpa adanya dinding pembatas sehingga potensi terjadinya kontaminasi silang
sangat besar. Peralatan yang digunakan pada tiap tahapan produksi tidak diberi tanda
sehingga meningkatkan peluang terjadinya kontaminasi silang. Penyimpangan
tersebut berpotensi terjadinya penyimpangan kritis.
Kontruksi bangunan didesain tanpa memperhatikan upaya pencegahan
perpindahan kontaminan dari area yang kotor ke area yang bersih. Sehingga,
peralatan yang berasal dari bagian reciever berpotensi digunakan pada area produksi.
Misalkan penggunaan keranjang yang sama dibagian reciever dan produksi.
Peralatan dan perlengkapan unit pengolahan harus ditata sedemikian rupa sehingga
terlihat jelas tahap-tahap proses yang menjamin kelancaran pengolahan, mencegah
kontaminasi silang dan mudah dibersihkan (DKP 2007).

4.2.9 Penanganan limbah


Limbah yang dihasilkan oleh unit pengolahan pindang berupa limbah padat
yang berupa potongan kepala dan jeroan ikan tongkol. Limbah padat ini akan
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pakan ternak sehingga tidak ada
39 
 

perlakukan khusus untuk penanganan limbah padat. Wadah pembuangan limbah


yang digunakan merupakan keranjang yang digunakan untuk menampung bahan baku
ikan tongkol. Hal ini merupakan penyimpangan kritis yang dapat meningkatkan
kontaminasi silang dari limbah padat ke bahan baku ikan tongkol yang digunakan.
Selain itu, wadah yang digunakan tidak dicuci dengan menggunakan disinfektan yang
menyebabkan akumulasi kontaminan pada wadah tersebut. Menurut DKP (2007)
area pembuangan limbah terpisah, tempat limbah tahan karat dan dilengkapi dengan
tutup, tempat limbah dibersihkan dengan benar, limbah dipindahkan minimal sekali
dalam sehari serta tempat penyimpanan limbah tidak berpotensi menyebabkan
kontaminasi.

4.2.10 Higiene pekerja


Karyawan yang bekerja di pengolahan pindang ikan tongkol tidak
menggunakan pakaian khusus bahkan tidak diberlakukan proses pergantian pakaian
tiap tahapan pengolahan produksi. Selain itu, pakaian karyawan tidak dicuci oleh
unit pengolahan. Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan kritis yang
berpotensi menyebabkan kontaminasi silang yang berasal dari pakaian karyawan
yang bekerja dibagian penerimaan bahan baku ke bagian produksi. Foto kondisi
hygiene pekerja disajikan pada gambar 15.

Gambar 15 Karyawan yang bekerja di ruang pengolahan

Ruangan unit pengolahan pindang tidak terdapat tanda-tanda yang jelas untuk
pelarangan merokok, makan, meludah dan lainnya, baik di ruang pengolahan maupun
40 
 

di tempat penyimpanan. Karyawan tidak mendapatkan pelayanan pengecekan


kesehatan yang dilakukan secara berkala. Selain itu, pada tiap tahapan produksi tidak
ada instruksi khusus untuk melakukan cuci tangan. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya penyimpangan kritis yaitu terjadinya kontaminasi dari karyawan ke produk
yang dihasilkan.

4.2.11 Sanitasi peralatan dan perlengkapan


Peralatan yang digunakan selama proses dibersihkan sesudah proses oleh para
pekerja. Keranjang, baskom, dan peralatan yang lain dibersihkan dengan cara disikat
menggunakan sabun, kemudian dibilas dengan air biasa dan ditiriskan. Peralatan-
peralatan lain misalnya pisau yang terbuat dari stainlees steel dibersihkan dengan air
biasa yang dilakukan sesudah proses. Potensi penyimpangan yang terjadi adalah
penyimpangan minor. Proses pencucian seharusnya menggunakan air klorin untuk
mencegah terjadinya kontaminasi dari peralatan ke produk pindang yang dihasilkan.
Air pencucian yang digunakan untuk mencuci peralatan mengandung maksimal
200 mg/l. Untuk peralatan yang memiliki sifat korosif pencucian dilakukan dengan
menggunakan konsentrasi klorin yang rendah, yaitu sebesar 50-100 mg/l dalam
waktu 10-20 menit selama digunakan (Huss et al. 2004).
Desain bangunan unit pengolahan pindang terbuka tanpa adanya pintu serta
lantai yang terbuat dari tanah menghambat proses sanitasi pada saat pengolahan
pindang. Selain itu, tempat pencucian peralatan yang berada dalam satu ruangan
dengan ruang produksi dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang pada
produk pindang.

4.2.12 Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas sanitasi, cuci tangan dan toilet
Selama proses produksi pekerja tidak mencuci tangannya setiap akan
melakukan proses produksi secara berkala. Pekerja melakukan cuci tangan hanya
pada awal produksi dengan menggunakan air biasa tanpa penambahan disinfektan.
Ruang pengolahan (proses) tidak dilengkapi dengan bak cuci tangan khusus.
Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan kritis. Menurut Winarno dan
Surono (2004) ruang pengolahan (proses) harus dilengkapi dengan bak cuci tangan
41 
 

minimal satu untuk setiap 10 orang karyawan. Para pekerja wajib mencuci tangannya
dengan air klorin 10 mg/l setiap 1 jam (Huss et al. 2004). Gambar 16 menunjukkan
toilet pada ruang produksi.

Gambar 16 Toilet (kamar mandi) karyawan

Sarana toilet di unit pengolahan pindang letaknya terbuka langsung dengan


ruang proses pengolahan karena terletak satu tempat dengan ruang produksi. Toilet
karyawan yang berjumlah sekitar 10 orang. Menurut Winarno dan Surono (2004),
untuk 50-100 karyawan harus disediakan minimal 3 buah toilet dan setiap
penambahan 50 karyawan ditambahkan 1 toilet. Ini berarti unit pengolahan pindang
minimal harus menyediakan 1 toilet untuk 10 orang pekerja. Secara umum kondisi
toilet pabrik kotor, ini disebabkan oleh tidak dijaganya kebersihan toilet oleh petugas
khusus seperti petugas pembersih. Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan
mayor.

4.2.13 Sanitasi pengendalian hama


Upaya pengawasan, pencegahan dan pembasmian hama tidak dilakukan oleh
unit pengolahan pindang. Hal ini dibuktikan dengan ruangan yang terbuka dan pintu
hanya terbuat dari bambu, tidak adanya lampu insect kill pada ruangan pengolahan
serta tidak dilakukan proses pembasmian hama secara berkala. Selain itu, unit
pengolahan tidak menerapkan prosedur pest control untuk mencegah adanya hama
pengganggu. Pengendalian hama seperti hama tikus dapat diatasi dengan
menggunakan perangkap tikus yang diletakkan di sekitar lokasi pengolahan.
Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan kritis.
42 
 

4.3 Mutu dan Keamanan Proses Pengolahan Pindang Ikan Tongkol


(Euthynnus affinis)
Menurut Tjiptono dan Diana (1995) mutu secara umum mengandung unsur-
unsur yang dapat diterima secara universal, yaitu: meliputi usaha memenuhi atau
melebihi harapan pelanggan, mencakup produk, jasa manusia, proses, dan
lingkungan, serta merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya yang dianggap
merupakan bermutu saat ini mungkin dianggap kurang bermutu pada masa
mendatang). Mutu produk pangan yang baik harus menjamin keamanan produk
tersebut untuk dikonsumsi oleh manusia, baik dilihat dari aspek miokrobiologi
maupun aspek fisika-kimia dari produk tersebut. Oleh karena itu terdapat dua aspek
utama dalam mengartikan mutu (Tjiptono dan Diana 1995):
1. Ciri-ciri produk yang memenuhi permintaan pelanggan. Mutu yang lebih tinggi
memungkinkan perusahaan meningkatkan kepuasan pelanggan, membuat produk
laku terjual, dapat bersaing dengan pesaing, meningkatkan pangsa pasar dan
volume penjualan, serta memenuhi aspek keamanan produk yang sesuai.
2. Bebas dari kekurangan. Mutu yang tinggi menyebabkan perusahaan dapat
mengurangi tingkat kesalahan, mengurangi pengerjaan kembali dan pemborosan,
mengurangi biaya garansi, mengurangi ketidakpuasan pelanggan, mengurangi
inspeksi dan pengujian, memperpendek waktu pengiriman produk ke pasar,
meningkatkan hasil dan kapasitas, dan memperbaiki kinerja penyampaian produk
atau jasa.
Proses produksi pindang ikan tongkol yang diterapkan pada unit pengolahan pindang
di PHPT Muara Angke meliputi penerimaan bahan baku, pencucian, penyiangan,
perebusan, pengemasan, dan distribusi.

4.3.1 Penerimaan bahan baku


Penerimaan bahan baku ikan tongkol yang digunakan pada pengolahan ikan
pindang telah menerapkan sistem FIFO (First In First Out), yaitu bahan baku yang
datang lebih awal akan diproses terlebih dahulu, namun apabila bahan baku yang
diperoleh melebihi kapasitas produksi maka dilakukan penyimpanan. Selama proses
pengolahan bahan baku sudah ditangani dengan prinsip rantai dingin (cold chain),
43 
 

namun tidak dalam kondisi yang saniter. Dalam penanganannya di lapang suhu ikan
tongkol beku dipertahankan suhu pusatnya tetap sebesar <5 ˚C. Hal ini sangat
berbeda dengan prosedur GMP (Good manufacturing Practices) yaitu dalam setiap
tahap proses produksi suhu pusat tongkol dipertahankan sebesar <3 ˚C (Winarno dan
Surono 2004). Jika melihat fakta di lapang maka hal ini sangat sulit diterapkan
karena para pekerja yang kurang memperhatikan kondisi sanitasi tempat pengolahan.
Selain itu, peran pemilik unit pengolahan sebagai pengawas pada setiap unit produksi
belum cukup efektif untuk mengatasi masalah ini.
Bahan baku yang digunakan merupakan ikan tongkol dalam bentuk beku.
Bahan baku yang akan diolah harus melalui proses thawing agar mempermudah
proses pembuatan pindang tongkol. Prosedur penanganan bahan baku pada
pengolahan pindang tradisional di UPT PHPT Muara Angke kurang memenuhi
persyaratan seperti penanganan yang tidak hati-hati sehingga menyebabkan
kerusakan fisik pada bahan baku yang akan diolah serta proses sortasi yang tidak
spesifik (disesuaikan dengan ketersediaan bahan baku). Menurut Junianto (2003)
prosedur yang dilakukan untuk mendapatkan bahan baku yang baik antara lain
penanganan bahan baku yang diterima dari bagian penerimaan dengan hati-hati untuk
mencegah terjadinya kerusakan fisik pada bahan baku, kualitas serta size dari bahan
baku yang diterima, serta sortasi dan penimbangan agar sesuai dengan spesifikasi.
Bahan baku yang digunakan pada pengolahan ikan pindang ditunjukkan pada
Gambar 17.

Gambar 17 Bahan baku ikan tongkol


44 
 

Bahan baku ikan tongkol yang digunakan pada pembuatan pindang dilakukan
uji organoleptik, analisis mikrobiologi dan analisis kimia untuk menilai kualitas
bahan baku yang digunakan. Produk pindang dipengaruhi oleh kualitas bahan baku
yang digunakan. Hasil uji organoleptik bahan baku tongkol yang digunakan pada
pengolahan pindang disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18 Hasil uji organoleptik ikan tongkol pada tiap unit pengolahan
pindang di UPT PHPT

Parameter uji organoleptik ikan tongkol yang digunakan sebagai bahan baku
ikan pindang mencakup lapisan es, dehidrasi, diskolorisasi, penampakan, bau dan
daging (SNI 2006). Berdasarkan Gambar 18 menunjukkan bahwa pada parameter
lapisan es nilai organoleptik ikan tongkol beku sebesar 6,5-6,78. Lapisan es pada
ikan memiliki fungsi untuk mendinginkan ikan hingga ke suhu yang tepat di atas
beku (0-2 °C) dan memperlambat proses pembusukan oleh aktivitas bakteri dan
enzim (DKP 2008). Peningkatan suhu pada bahan baku akan menyebabkan proses
pengrusakan mutu ikan tongkol baik secara kimia maupun secara mikrobiologis.
Dehidrasi merupakan suatu kondisi hilangnya kandungan air di dalam ikan,
dapat mengakibatkan terjadinya freezer burn. Berdasarkan pada Gambar 1 nilai uji
organoleptik dehidrasi berkisar sebesar 6,72-6,84. Dehidrasi mengakibatkan
turunnya berat, sifat fisik produk berubah, dan jaringan menjadi kering dan keras
45 
 

(Hui et. al, 2004). Pada produk berlemak, dehidrasi yang diikuti dengan terbukanya
struktur jaringan dapat mempercepat proses oksidasi.  
Perubahan warna (diskolorisasi) merupakan proses penurunan mutu pada bahan
baku hasil perikanan. Warna dadu atau merah pada kulit sebagian besar ikan
memudar selama penyimpanan dingin atau beku yang disebabkan oleh oksidasi
pigmen carotenoid. Berdasarkan pada Gambar 18 nilai diskolorisasi sebesar
6,78-6,83. Tingkat pudarnya warna kulit ikan bergantung pada ikan, ketersediaan
oksigen, dan suhu ruang penyimpanan. Memudarnya warna carotenoid dapat terjadi
karena (i) oksidasi ikatan ganda yang terkonjugasi, (ii) radikal bebas yang terlepas
selama oksidasi lemak yang bergabung bersama carotenoid untuk membentuk lemak
hidroperoksida, dan (iii) aktivitas enzim. Oksidasi mioglobin yang berwarna merah
terang menjadi metmyoglobin yang berwana coklat dapat terjadi melalui jalur
nonenzimatis dan enzimatis (DKP 2008).
Bau  pada  daging ikan merupakan salah satu parameter untuk menetukan
kesegaran bahan baku ikan. Berdasarkan pada Gambar 18 nilai organoleptik untuk
bau sebesar 6,46-6,73. Spesies laut pada umumnya mengandung senyawa
trimethylamine oksida (TMAO) yang tidak berbau. Namun suatu reaksi mengubah
senyawa tersebut menjadi TMA. Reaksi tersebut dicirikan dengan adanya bau seperti
amonia, dalam kombinasi dengan senyawa lainnya dapat menimbulkan bau amis.
Pengurangan bertahap pada TMAO dan peningkatan yang bersamaan pada TMA
telah digunakan sebagai ukuran pembusukan secara kimia pada beberapa ikan laut
dan secara organoleptik bau yang ditimbulkan digunakan sebagai ukuran kesegaran
ikan (DKP 2008).
Tekstur (daging) merupakan parameter yang penting dalam mengukur mutu
makanan berbahan daging termasuk ikan. Pada umumnya, ikan memiliki tekstur
daging yang lebih lembut dari daging merah karena mengandung jaringan
penghubung (connective tissue) yang rendah dan jaringan silang (cross-linking) yang
lebih rendah. Hasil uji organoleptik tekstur (daging) ikan tongkol pada Gambar 18
sekitar 6,56. Perubahan tekstur daging ikan terjadi terutama karena berubahnya
jaringan penghubung oleh protease endogen. Pelunakan dan pelembutan daging
46 
 

dikaitkan dengan hilangnya piringan-piringan Z pada sel otot dengan terlepasnya


α-actinin, pemisahan actomiosin kompleks, penghancuran dan denaturisasi total
jaringan penghubung (DKP 2008).
Berdasarkan SNI 01-4110.1-2006, ikan beku (frozen) memiliki nilai
organoleptik 7-9. Fase rigor mortis ikan tongkol memiliki nilai organoleptik sekitar
6-8. Ikan ini memiliki ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-
abuan, kornea agak keruh. Insangnya berwarna merah agak kusam tanpa lendir.
Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. Sayatan
daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang
tulang belakang, dinding perut utuh, dan baunya netral. Tekstur agak padat, agak
elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang
(SNI 2006).
Fase post rigor ikan tongkol memiliki nilai organoleptik sekitar 6-5. Nilai
organoleptik 6-5 ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik untuk dimakan
sebelum ikan tersebut busuk. Pada skala 1-9, nilai organoleptik 7 merupakan batas
akhir dimana ikan dalam kondisi terbaik untuk dimakan (SNI 2006). Adapun ciri-
cirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak
keruh. Mulai adanya perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir. Lapisan
lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan. Sayatan daging
mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, serta dinding perutnya
lunak. Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. Tekstur agak lunak, kurang
elastis bila ditekan dengan jari, serta agak mudah menyobek daging dari tulang
belakang. Menurut SNI 01-4110.1-2006, nilai organoleptik 5-6 tergolog ikan yang
agak segar (SNI 2006).
Parameter mutu bahan baku hasil perikanan selain uji organoleptik adalah
analisis mikrobiologi dan kimia. Analisis mikrobiologi yang digunakan pada
penelitian ini mencakup analisis TPC, E. coli, dan Salmonella. Parameter kimia yang
diuji adalah TVBN, histamin, dan formalin. Hasil analisis mikrobiologi bahan baku
ikan (TPC, E. coli, Salmonella) dan kimia (Histamin, TVBN, Formalin) disajikan
pada Tabel 6.
47 
 

Tabel 6 Hasil analisis mikrobiologi dan kimia pada bahan baku ikan tongkol
di pengolahan A, B, C, D

Parameter Mutu Satuan Jumlah


A B C D
a. Mikrobiologi
- TPC koloni/g 2,67 x 105 4,17 x 105 2,76 x 105 10,5 x 105
- Escherichia coli APM/g <2 <2 <2 <2
- Salmonella per 25 g Negatif Negatif Negatif Negatif
b. Kimia
- Histamin (mg/kg) 3,79 2,55 9,34 4,06
- TVBN (N-mg/100 gr) 8,14 5,02 9,97 8,01

Nilai TPC dapat dijadikan sebagai indikator keberadaan bakteri pembusuk pada
ikan (Huss 1995). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa jumlah koloni yang
muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah mikroorganisme yang dapat
tumbuh dalam sampel. Nilai TPC disajikan dalam log TPC, yaitu jumlah bakteri
secara logaritmik. Ikan yang masih hidup memiliki sistem kekebalan yang
melindunginya dari pertumbuhan bakteri. Ketika ikan mati, sistem kekebalan
berhenti bekerja sehingga bakteri mulai tumbuh pada ikan. Berbagai macam bakteri
akan tumbuh pada ikan dan menurunkan mutu ikan hingga akhirnya ikan menjadi
busuk dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi.
Berdasarkan Tabel 6 diperoleh data hasil analisis mikrobiologi bahan baku ikan
tongkol untuk TPC pada tiap unit pengolahan (A, B, dan C) sebesar 2,67 x 105;
4,17 x 105; dan 2,67 x 105. Nilai TPC tersebut masih dibawah ambang batas yang
masih diperbolehkan, sedangkan nilai TPC pada unit pengolahan D sebesar
10,5 x 105 melebihi ambang batas. Standar baku mutu TPC ikan beku sebesar 5 x 105
(SNI 2006).
Mikroba merupakan penyebab pembusukan pada ikan yang didinginkan. Oleh
sebab itu, analisis mikrobiologi diperlukan untuk mengetahui kualitas serta keamanan
pangan pada bahan baku ikan yang digunakan. Ada beberapa jenis mikroorganisme
yang dapat menyebabkan pembusukan, namun salah satu mikroorganisme yang
48 
 

menjadi perhatian utama adalah bakteri (DKP 2008). Sebagian besar bakteri
biasanya terdapat pada lendir permukaan, pada insang, dan usus ikan yang masih
hidup. Bakteri yang hidup pada bagian tubuh ikan serta mempengaruhi kualitas mutu
ikan antara lain Escherichia coli dan Salmonella. Tabel 6 menunjukkan jumlah
Escherichia coli yang terdapat pada bahan baku ikan beku di setiap unit pengolahan
sebesar <2, jumlah ini sesuai dengan standar baku E. coli ikan beku yaitu sebesar <2
(SNI 2006). Pada setiap bahan baku ikan beku yang digunakan pada pengolahan
ikan pindang tidak ditemukan Salmonella di dalamnya.
Salmonella merupakan bakteri pathogen yang dapat menyerang pencernaan
(gastrointestinal). Bakteri tersebut ditemukan disetiap tempat perairan ya g tercemar,
misalnya kolam, daerah pantai dalam dalam tubuh ikan yang perairannya tercemar,
walaupun dalam jumlah yang rendah (Mol et al. 2010)
Pengujian menggunakan metode TVB adalah salah satu indikator untuk
menentukan tingkat kesegaran ikan (SNI 1998). Menurut Siagian (2002) senyawa
volatile yang digunakan sebagai indikator kebusukan ikan antara lain TVBN (Total
Volatile Base Nitrogen), TVA (Total Volatile Acids), TVS (Total Volatile Substance)
dan TVN (Total Volatile Nitrogen). Berdasarkan Tabel 6 nilai TVBN ikan tongkol
beku yang digunakan masing-masing unit pengolahan (A, B, C dan D) sebesar
8,14 N-mg/100 g, 5,02 N-mg/100 g, 9,97 N-mg/100 g dan 8,01 N-mg/100 g. Nilai
TVBN ikan tongkol beku yang digunakan masih di bawah standar baku yang
ditentukan oleh SNI yaitu sebesar 30 N-mg/100 gr. Oleh sebab itu, ikan tongkol beku
yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pindang masih layak untuk
dikonsumsi. Nilai TVB meningkat seiring dengan kemunduran mutu ikan. Kenaikan
nilai TVB pada ikan selama kemunduran mutu berhubungan dengan autolisis oleh
enzim dan aktivitas bakteri (Huss 1995).
Histamin adalah komponen yang menyebabkan keracunan scombroid, yaitu
sejenis alergi yang diakibatkan karena memakan racun ikan yang sebagian besar
adalah scrombroidea, yang terdapat dalam ikan-ikan: tuna, bonito, kingfish, dan
mackerel. Kadar histamin dalam ikan penting untuk digunakan sebagai indikator
tingkat kebusukan dan indikator terhadap substansi yang memenuhi syarat kesehatan
49 
 

masyarakat (SNI 2006). Berdasarkan Tabel 6 kadar histamin pada ikan tongkol beku
yang digunakan pada masing-masing unit pengolahan (A, B, C dan D) sebesar
3,79 mg/kg, 2,55 mg/kg, 9,34 mg/kg dan 4,06 mg/kg. Standar kadar histamin pada
bahan baku yang aman dikonsumsi adalah kurang dari 100 mg/kg (SNI 2009).
Konsumsi makanan yang mengandung sedikit histamin akan menimbulkan efek yang
tidak berbahaya bagi manusia, namun jika histamin yang dikonsumsi melebihi
standar baku dapat bersifat toksik bagi manusia (Keer et al. 2002).
Formalin adalah nama dagang larutan formaldehid dalam air dengan kadar
30-40 %. Formalin ini biasanya digunakan sebagai bahan baku industri lem,
playwood dan resin; disinfektan untuk pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian;
germisida dan fungisida pada tanaman sayuran; serta pembasmi lalat dan serangga
lainnya. Larutan dari formaldehida sering dipakai membalsem atau mematikan
bakteri serta mengawetkan bangkai (Nuryasin 2006). Hasil uji formalin terhadap
bahan baku ikan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kandungan formalin yang terdapat pada bahan baku ikan tongkol

Parameter Formalin
Unit
Pengolah Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5 Sampel 6

A
Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
B
Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif
C
Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif
D
Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa beberapa sampel yang diuji masih


mengandung formalin. Hasil pengamatan pada proses pembuatan pindang ikan
tongkol tidak dilakukan penambahan formalin sebagai bahan pengawet, karena proses
perebusan pada pembuatan pindang dapat mempertahankan mutu ikan pindang yang
dihasilkan. Formalin yang ditemukan pada hasil analisis diduga berasal dari para
nelayan yang menggunakan formalin untuk mengawetkan hasil tangkapannya selama
di laut.
50 
 

Formalin menurut Peraturan Menteri Kesehatan (MenKes) Nomor


1168/MenKes/PER/X/1999, merupakan bahan kimia yang penggunaannya dilarang
untuk produk makanan (Nuryasin 2006). Formalin jika termakan, dalam jangka
pendek tidak menyebabkan keracunan, tetapi jika tertimbun di atas ambang batas
dapat mengganggu kesehatan. Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat
mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah) dan
haematomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian. Injeksi formalin
dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam jangka waktu 3 jam
(Winarno 1997).

4.3.2 Pencucian
Proses pencucian dilakukan setelah ikan ditimbang. Ikan tongkol yang berasal
dari bagian penerimaan bahan baku diterima di ruang produksi. Sebelum dilakukan
proses perebusan dilakukan pencucian dengan cara menyiramkan ikan tongkol
dengan air bersih tanpa penambahan klorin. Air yang digunakan dalam proses
produksi harus memenuhi standar kualitas dan sanitasi air yang baik. Menurut WHO
(1993) dalam Huss et al. (2004) air yang digunakan harus melewati proses filtrasi dan
disinfeksi sebelum digunakan dalam proses industri pengolahan. Kualitas air tersebut
harus sama dengan kualitas air minum. Huss et al. (2004) menjelaskan air
pencucian yang digunakan merupakan air dingin berklorin 5 mg/l. Pencucian ini
bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang ada pada ikan tongkol.

4.3.3 Perebusan
Proses pengolahan pindang tongkol yang dilakukan di UPT PHPT Muara
Angke mengikuti diagram alir proses yang ditetapkan (Adawyah 2007). Ikan tongkol
dilakukan proses penyiangan untuk membersihkan insang dan jeroan. Kemudian
proses pencucian dan penirisan. Ikan yang telah bersih dilakuan proses penyusunan
pada wadah perebusan (naya), sebelum ikan disusun dasar wadah atau naya
dimasukkan angsang anyaman bambu untuk mencegah ikan menempel langsung di
dasar wadah. Hal ini bertujuan agar ikan tidak lengket pada wadah perebusan yang
mengakibatkan kerusakan fisik pada ikan. Setelah wadah siap, ikan disortir lagi dan
51 
 

disusun secara horizontal. Di atas tiap lapis ikan ditaburkan garam dan pada lapisan
paling atas ditaburkan garam hingga semua lapisan ikan tertutup oleh garam.
Kemudian air dimasukkan ke dalam wadah perebusan hingga hampir menyentuh ikan
pada lapisan paling bawah.
Pemanasan dilakukan dalam dua tahap yaitu pemanasan untuk mematangkan
ikan dan pemanasan untuk menguapkan sebagian air pada ikan. Pada pemanasan
pertama ikan dipanaskan pada nyala api besar selama 1-2 jam. Air dalam wadah
ditiriskan melalui lubang penirisan pada bagian bawah, kemudian ditutup kembali
dengan lapisan garam dan dilakukan kembali proses pemanasan. Pemanasan kedua
dilakukan dengan nyala api kecil hingga lapisan garam penutup sudah tidah
membentuk kristal tetapi mengeras membentuk gumpalan. Pada tahap tersebut
terjadi proses pengeringan yaitu terjadi penguapan air di dasar wadah dan di sekitar
ikan serta penguapan sebagian kecil air dari dalam ikan. Namun untuk mencegah
tekstur daging menjadi keras dilakukan penyiraman dengan air panas, Sehingga ikan
pindang menjadi lebih kering dan lebih awet. Setelah proses perebusan selesai
dilakukan proses pendinginan. Kemudian dilakukan proses sortasi untuk
memisahkan ikan yang mengalami kerusakan pada saat proses perebusan. Proses
sortasi dilakukan dengan hati-hati karena ikan pindang cukup rapuh jika diangkat.
Produk pindang yang dihasilkan disajikan pada Gambar 19.

Gambar 19 Produk pindang ikan tongkol


52 
 

Produk pindang yang telah disortasi kemudian disimpan di rak-rak


penyimpanan. Produk pindang yang dihasilkan dari unit pengolahan pindang di UPT
PHPT memiliki karakteristik mikrobiologi dan kimia yang disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil analisis mikrobiologi dan kimia produk pindang pada pengolahan ikan
A, B, C, D

Parameter Mutu Satuan Jumlah


A B C D
a. Mikrobiologi
- TPC koloni/g 20,1 x 105 2,78 x 105 13,67 x 105 3,05 x 105
- Escherichia coli APM/g <2 <2 <2 <2
- Salmonella per 25 g Negatif Negatif Negatif Negatif
b. Kimia
- Histamin (mg/kg) 20,47 52,93 24,67 21,13
- TVBN (N-mg/100 gr) 13,97 15,21 13,50 9,87

Tabel 8 menunjukkan data hasil analisis mikrobiologi produk pindang ikan


tongkol, untuk TPC pada tiap unit pengolahan melebihi ambang batas mutu yang
disyaratkan. Standar ambang batas mutu TPC pada ikan pindang sebesar 1 x 105
(SNI 1992). Peningkatan nilai TPC pada produk pindang diduga disebabkan oleh
penyimpanan produk akhir yang tidak higiene pada ruang yang terbuka pada waktu
yang lama sehingga terjadi kontaminasi silang. Menurut Winarno dan Surono
(2004), kontaminasi silang pada produk akhir dapat berasal dari ruangan
penyimpangan yang tidak bersih, adanya kontak langsung dengan pekerja dan
kemasan produk yang tidak higiene. Sedangkan untuk parameter mikrobiologi yang
lain, yakni nilai kandungan E. coli dan Salmonella, masih di bawah ambang baku
mutu produk ikan pindang. Standar ambang baku kandungan E. coli dan Salmonella
adalah <2 dan negatif (SNI 1992). Hasil analisis kandungan formalin pada produk
pindang ditunjukkan pada Tabel 8.
53 
 

Tabel 9 Kandungan formalin yang terdapat produk pindang pada pengolahan ikan
A, B, C, D
Parameter Formalin
Unit
Pengolah Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5 Sampel 6

A
Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
B
Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif
C
Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif
D
Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif

Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa pada produk pindang yang telah


diproses, terdapat beberapa sampel yang masih mengadung formalin. Sebanyak 6
sampel atau sebesar 25% dari total sampel produk pindang yang diuji masih positif
mengandung formalin. Kandungan formalin diduga tidak hilang seluruhnya selama
proses pengolahan, namun masih tersisa walupun dalam jumlah sedikit.
Proses pengolahan tidak dapat menghilangkan formalin dalam bahan pangan
secara keseluruhan, akan tetapi perendaman dalam air selama 60 menit mampu
menurunkan kadar formalin sampai 61,25%, air leri mencapai 66,03%, dan pada air
garam hingga 89,53% (Anonimd 2009). Bahan baku ikan yang mengandung formalin
direndam dalam air hangat selama 90 menit, dapat mengurangi kadar formalin lebih
dari 57,28% (Zahro et. al. 2008). Tiga metode penanganan dapat dilakukan untuk
mengurangi kadar formalin dalam bahan baku, yaitu: direndam dalam air biasa,
dalam air panas, direbus dalam air mendidih, dikukus kemudian direbus dalam air
mendidih dan diikuti dengan proses penggorengan (Anonimd 2009).

4.3.4 Pengemasan
Proses pengemasan untuk produk akhir ikan pindang UPT PHPT Muara Angke
dilakukan setelah proses sortasi produk akhir pindang dilakukan. Pindang dikemas
dalam kardus agar lebih aman dan menghindari kontaminasi kotoran dari luar selama
proses transportasi serta menambah daya tarik dari produk ikan pindang.
54 
 

4.3.5 Penyimpanan
Setiap produk akhir yang dikemas langsung disimpan di dalam ruang
sederhana. Proses penyimpanan hanya dilakukan sementara untuk menghindari
kemunduran mutu ikan pindang karena tempat penyimpanan yang kurang saniter,
tidak tertutup dan tidak dilengkapi dengan alat pendingin. Umumnya produk pindang
segera didistribusikan kepada pembeli setelah semua proses produksi selesai.

4.3.6 Distribusi
Distribusi produk pindang ikan tongkol di UPT PHPT Muara Angke telah
dilakukan dengan baik. Produk ikan pindang tongkol tersebut dipasarkan oleh pekerja
unit pengolahan yang khusus memasarkan produk tersebut. Sasaran dan lokasi
pemasaran ikan pindang olahan UPT PHPT Muara Angke, yaitu pasar tradisional
yang berada di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat.
55

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap kondisi unit pengolahan
di lapangan, terdapat berbagai penyimpangan, yaitu: penyimpangan kritis
sebanyak 10, penyimpangan serius 1, mayor 3 dan minor 2. Sehingga unit
pengolahan pindang dikatakan tidak layak digunakan sebagai unit pengolahan
produk perikanan yang sesuai dengan standar baku yang baik.
Parameter analisis organoleptik bahan baku ikan tongkol yang digunakan
untuk pembuatan pindang ikan tongkol mencakup lapisan es, dehidrasi,
diskolorisasi, kenampakan, bau dan daging (tekstur). Hasil uji organoleptik
menunjukkan bahwa bahan baku pada setiap unit pengolahan yang digunakan
memiliki nilai rata-rata sebesar 6,33-6,83 di bawah standar baku, sehingga bahan
baku yang digunakan tidak layak sebagai produk ikan pindang. Hasil uji TPC
pada bahan baku masih ditemukan nilai TPC yang melebihi ambang batas yaitu
sebesar 10,5 x 105 (pada unit pengolahan D). Hasil analisis TPC pada produk
ikan pindang semua melebihi ambang batas yang disyaratkan. Selain itu,
berdasarkan pengujian formalin masih ditemukan kandungan formalin pada bahan
baku dan produk ikan pindang sebanyak 25% dari total sampel yang diuji.
Analisis yang dilakukan terhadap penerapan sanitasi, karakteristik mikrobiologi-
kimia serta uji organoleptik bahan baku dan produk pindang di unit pengolahan
pindang UPT PHPT Muara Angke secara umum tidak memenuhi syarat standar
baku mutu produk hasil perikanan yang baik.

5.2 Saran
Perlu dilakukannya pembinaan dan penyuluhan oleh pemerintah
DKI Jakarta sebagai stakeholder akan penerapan GMP dan SSOP yang baik
sebagai prasyarat menghasilkan produk pangan yang aman bagi konsumen.
Pemerintah pusat wajib menyusun dan membuat regulasi standar GMP dan SSOP
khusus untuk pengolahan produk tradisional. Perlu diadakan suatu contoh model
industri pengolahan pindang oleh pemerintah yang memenuhi syarat
kelayakan dasar.
56 
 

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Anonima. 2010. Sumber Daya Alam Provinsi DKI Jakarta.


http://worldfriend.web.id/indonesia/provinsi-dki-jakarta [30 April
2010].

Anonimb. 2010. Euthynnus affinis. Food and Agriculture Organization of the


United Nations. http://www.fao.org/fishery/species/3294/en. [10 Mei
2010].

Anonimc. 2008. Metode dan Intrumen Pengumpulan data


http://tesis08.blogspot.com/2008/11/ [11 Agustus 2010].

Anonimd. 2009. Formalin pada Makanan-Tips Mengurang Kadar Formalin pada


Makan. http://www.davidhartanto.com [ 11 Agustus 2010].

Badan Karantina Pertanian. 2007. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian


Nomor: 2897.a/PD.670.320/L/10/07, Tentang Pedoman Pengambilan
Sampel dalam rangka Monitoring Hama dan Penyakit Hewan
Karantina pada Hewan dan Bahan Asal Hewan serta Hasil Bahan asal
Hewan di daerah pemasukan/pengeluaran dan daerah penyebaran eks
pemasukan. Jakarta: Departemen Pertanian.

Badan Standarisasi Nasional [BSN]. 1992. Ikan pindang: SNI 01-2717-1992.


Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

. 1998. Metode Pengujian Produk Perikanan,


Penentuan Total Volatile Base (TVB): SNI 01-2360-1998. Jakarta: Badan
Standarisasi Nasional.

. 2006. Ikan beku - Bagian 1: Spesifikasi SNI:


SNI 01-4110.1-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

. 2006. Cara uji mikrobiologi - bagian 1:


Penentuan coliform dan Escherichia coli pada produk perikanan: SNI
01-2332.1-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

. 2006. Cara uji mikrobiologi - Bagian 2:


Penentuan Salmonella pada produk perikanan: SNI 01-2332.2-2006.
Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
57 
 

. 2006. Cara uji mikrobiologi - Bagian 3:


Penentuan angka lempeng total (ALT) pada produk perikanan: SNI 01-
2339-1991. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

. 2006. Uji Organolaeptik pada ikan beku:


SNI 01-4110.1-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

. 2009. Cara uji kimia - Bagian 10: Penentuan


kadar histamine dengan Spektroflorometri dan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT) pada produk perikanan: SNI 2354.10:2009.
Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Collete BB, Nauen CE. 1983. Scombrids of the World: An Introduction and
Illustrated Catalogue of Tunas, Mackerel, Bonetos, and related species
unkown to date. Species Catalogue 2, hal 287.

Darmo JP. 2008. Evaluasi resiko kadar histamine selama proses pengolahan tuna
loin beku. [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Departemen Kelautan dan Perikanan [DKP]. 2008. Bantuan Teknis untuk


Industri Ikan dan Udang Skala Kecil dan Menengah di Indonesia
(Teknik Pasca Panen dan Produk Perikanan). Jakarta: DKP.

Departemen kesehatan Republik Indonesia [Depkes RI]. 1978. Keputusan menteri


kesehatan RI nomor 23/MEN.KES/SK/I/1978 tanggal 24 Januari 1978
tentang cara produksi yang baik untuk makanan. Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kelautan dan Perikanan [DKP]. 2007. Keputusan Menteri Kelautan


dan Perikanan Republik Indonesia No. Kep. 01/Men/2007 Tentang
Penrsyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada
Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi. Jakarta: DKP.

Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. 2008. Laporan Tahunan UPT
PHPT Muara Angke, Jakarta. Jakarta: Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi DKI Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan [Ditjen PPHP].


2007. Peraturan No. PER.011/DJ-P2HP/2007 tentang Pedoman Teknis
Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Erungan AC, Bustami I, Josephin W. 2008. Pengantar Hazard Analysis Critical


Control Point (HACCP) pada industri perikanan. [Diktat Kuliah].
Bogor: Direktorat Program Diploma dan Departemen Teknologi Hasil
Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
58 
 

Faiza R. 2004. Kajian beberapa aspek program pemberdayaan masyarakat pesisir


nelayan pengolah Muara Angke. Makalah Sains Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor (PPS 702), hal 2.

Hasan MI. 2008. Pokok-Pokok Materi Statistik 1 (Statistik Deskripsi), Edisi


Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.

Heruwati ES. 2002. Pengolahan ikan secara tradisional: prospek dan peluang
pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian 21(3) : 1-6.

Hui YH, Cornillon P, Legaretta IG, Miang H. Lim KD, Murrel, Wai-Kit Nip.
2004. Handbook of Frozen Foods. New York: Macell Dekker.

Huss HH, Ababoutch L, Gram L. 2004. Assessment and Management of Seafood


Safety and Quality. Roma : FAO.

Huss RH. 1995. Fisheries Technical Paper: Quality and quality changes in fresh
fish. Roma: FAO.

Jeanie BSL. 1988. Sanitasi dalam Industri Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi
Institut Pertanian Bogor.

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Keer M, Paul L, Sylvia A, Carl R. 2002. Effect of storage condition on histamine


formation in fresh and canned tuna. Commision by Food Safety Unit.
http://www.foodsafety.vic.gov.au [20 Mei 2010].

Lisyanti, Palupi NS, Kadarisman D. 2009. Evaluasi penerapan cara produksi yang
baik (Good Manufacturing Practices) dan penyusunan SSOP industri
lidah buaya di PT. Libe Bumi Abadi. Jurnal Magister Profesional
Industri Kecil Menengah 4(1) : hlm 1-7.

Mol S, Cosansu S, Alakavuk DU, Ozturan S. 2010. Survival of Salmonella


Enteritidis during salting and drying of horse mackerel (Trachurus
trachurus) fillets. International Journal of Food Microbiology, 139: 36–
40.

Nuryasin, A. 2006. Bahaya Formalin. http://ikap=kdk.com/arpan/content/view/III


[25 Mei 2010].

Saanin H. 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bandung: Bina Cipta.

Swastawati F, Winarni TA, Fahmi AS. 2007. Kajian penerapan GMP dan SSOP
pada industri pengasapan tradisional sebagai upaya peningkatan mutu
ikan asap menuju kualitas ekspor di Pemalang. Jurnal Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro 16(2) : hlm 1-12.
59 
 

Thaheer H. 2005. Sistem Manajemen HACCP. Jakarta: Bumi Aksara.

Tjiptono dan Diana. 1995. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi Offset.

Winarno FG. 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Winarno FG, Surono. 2004. GMP: Cara Pengolahan Pangan yang Baik, cetakan
ke 2. Bogor: M-BRIO Press.

Zahro SN, Endang S, Nuralimin. 2008. Pengaruh perendaman dan proses


pengolahan panas terhadap pengurangan kadar formalin pada ikan
bandeng (Chanos-Chanos). Jurnal Penelitian Sekolah Tinggi
Perikanan 17(1) : hlm 1-8.
60 
 
61

Lampiran 1 Daftar Penilaian/Check List Unit Pengolahan Ikan (UPI)

Dasar
No. Aspek Yang Dinilai OK Mn My Sr Kr Keterangan
Hukum
1 Lay-out Desain Arsitektur
1.1 Area UPI memadai untuk KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
melakukan pekerjaan dalam 2007, BAB V,
kondisi saniter dan higienis. B, 2
1.2 Area UPI terdapat di daerah Sama [ ]
industri yang telah disetujui
1.3 Area bersih terpisah dari area Sama [ ] [ ]
kotor
1.4 Lay out dapat mencegah Sama [ ] [ ]
kontaminasi
2 Lokasi dan Lingkungan
2.1 Kondisi lingkungan bersih dan KEP.01/MEN/ [ ]
selalu dijaga kebersihannya 2007, BAB V,
B, 9
2.2 Sistem pembuangan Sama [ ]
air/saluran bersih dan tidak
memungkinkan arus balik ke
dalam ruang pengolahan
Kondisi tanah memungkinkan [ ]
terjadinya kontaminasi ke
dalam fasilitas
3 Ruang Penerimaan
3.1 Ruang penerimaan bersih dan KEP.01/MEN/ [ ]
mudah diperbaiki 2007, BAB V,
B, 3
3.2 Lantai, dinding, langit-langit Sama [ ]
terbuat dari bahan yang mudah
dibersihkan
3.3 Tersedia cukup air bersih yang SK Menkes [ ]
sesuai dengan ketentuan 907/02
3.4 Saluran pembuangan tepat dan KEP.01/MEN/ [ ]
bersih 2007, BAB V,
B, 9
3.5 Ruang penerimaan tertutup KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
dari lingkungan luar 2007, BAB V,
B, 1.b
4 Ruang Penanganan dan
Pengolahan
4.1 Lantai
4.1.1 Lantai terbuat dari bahan yang KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
mudah dibersihkan dan 2007, BAB V,
didisinfeksi B, 3
4.1.2 Terbuat dari bahan yang kedap KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
air, tidak beracun, tidak 2007, BAB V,
menyerap, tidak licin, tidak B, 3
retak
4.1.3 Kemiringan lantai sesuai KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
62

ketentuan dan tidak 2007, BAB V,


menyebabkan lantai tergenang B, 3
4.2 Dinding
4.2.1 Permukaan bagian dalam KEP.01/MEN/ [ ]
kedap air dan tidak menyerap 2007, BAB V,
B, 3
4.2.2 Permukaan dinding halus, Sama [ ] [ ] [ ]
tanpa retak, celah atau lubang
serta mudah dibersihkan dan
didisinfeksi
4.2.3 Permukaan tahan lama dan Sama [ ]
kedap air
4.2.4 Bebas dari penonjolan dan Sama [ ]
seluruh pipa dan kabel ditutup
dengan baik
4.2.5 Pertemuan antara dinding dan Sama [ ] [ ]
lantai serta dinding dan
dinding mudah dibersihkan
4.3 Langit-langit / Ceilings
4.3.1 Bebas dari retak dan celah KEP.01/MEN/ [√ ] [ ]
2007, BAB V,
B, 3
4.3.2 Permukaannya halus, mudah Sama [ ]
dicuci dan berwarna terang
untuk menjamin
kebersihannya
4.3.3 Dirancang untuk mencegah Sama [ ] [ ]
akumulasi kotoran,
mengurangi kondensasi dan
pertumbuhan jamur dan
pengelupasan
4.4 Pintu / Doors
4.4.1 Terbuat dari bahan yang tahan KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
lama dan tahan korosi serta 2007, BAB V,
menutup secara otomatis B, 12
4.4.2 Mudah dibersihkan dan dalam Sama [ ] [ ] [ ]
kondisi baik serta dilengkapi
dengan alat pencegah lalat
4.4.3 Lampu menggunakan [ ] [ ]
pelindung dan aman
4.5 Ventilasi / Ventilation
4.5.1 Vemtilasi mencukupi KEP.01/MEN/ [ ] [ ] [ ]
2007, BAB V,
B, 3
4.5.2 Memungkinkan untuk Sama [ ]
menyaring uap air
4.6 Penerangan
4.6.1 Penerangan ruang pengolahan [ ]
dan ruang inspeksi memadai
Lampu menggunakan
4.6.2 pelindung dan aman

4.7 Fasilitas Pencucian Tangan


63

dan Desinfeksi
4.7.1 Semua pintu masuk ke area KEP.01/MEN/ [ ]
pengolahan dilengkapi dengan 2007, BAB V,
bak cuci kaki dengan ukuran B, 12
yang sesuai
4.7.2 Bak cuci kaki menggunakan Sama [ ]
air bersih dan desinfektan
4.7.3 Semua pintu masuk ke ruang Sama [ ] [ ]
pengolahan dilengkapi dengan
fasilitas cuci tangan dan
desinfeksi yang cukup
4.7.4 Kran air tidak dioperasikan Sama [ ]
dengan tangan
4.7.5 Menggunakan sabun dan Sama [ ]
desinfektan yang disetujui
4.7.6 Fasilitas cuci tangan Sama [ ]
dilengkapi dengan pengering
sekali pakai
5 Perlengkapan dan Peralatan
5.1 Terbuat dari bahan tahan KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
karat, kedap air dengan 2007, BAB V,
permukaan yang halus B, 6
5.2 Terbuat dari bahan yang Sama [ ] [ ]
mudah dibersihkan dan
didesinfeksi
5.3 Selalu terjaga dalam kondisi Sama [ ]
yang bersih
5.4 Binatang pengganggu secara KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
sistematis dicegah agar tidak 2007, BAB V,
bisa masuk B, 11
5.5 Fasilitas dan peralatan KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
dibersihkan minimal satu kali 2007, BAB V,
dalam satu hari B, 8
5.6 Mempunyai tempat pencucian KEP.01/MEN/ [ ]
alat yang terpisah 2007, BAB V,
B, 1.b
5.7 Tempat pencucian mempunyai Sama [ ]
pintu masuk dan keluar yang
terpisah
5.8 Mempunyai saluran KEP.01/MEN/ [ ]
pembuangan air yang baik 2007, BAB V,
B, 9
5.9 Peralatan diberi tanda untuk KEP.01/MEN/ [ ]
setiap area kerja yang berbeda 2007, BAB V,
B, 7
Pengawasan Binatang Pengerat
6
(Pest Control)
Tersedia dengan jumlah yang KEP.01/MEN/2 [ ] [ ]
6.1 cukup fasilitas pencegah binatang 007, BAB V, B,
pengerat 11
Tersedia prosedur dan frekuensi KEP.01/MEN/2 [ ]
6.2 pest control serta bahan kimia 007, BAB V, B,
yang disetujui 10
64

Tersedia peta penempatan KEP.01/MEN/2 [ ]


6.3 perangkap dan umpan (verifikasi 007, BAB V, B,
harus dilakukan) 11
Tersedia prosedur pembuangan Sama [ ]
6.4
binatang pengganggu yang mati
Tersedia prosedur program Sama [ ]
6.5
pembersihan setelah fumigasi
Pemberian nomor dan Sama [ ]
6.6
penempatan penangkapan lalat
Pembasmi tikus, pembasmi KEP.01/MEN/2 [ ]
serangga, disinfektan dan racun 007, BAB V, B,
6.7
lainnya tersimpan dalam lemari 10
yang dapat dikunci
Tidak terdapat [ ] [ ]
barang/benda/tempat yang
6.8
menarik kehadiran hewan
pengerat/serangga
Upaya pengawasan pencegahan [ ]
6.9
dan pembasmian
7 Pasokan Air (Potable Water) [ ]
Tersedia air dengan kualitas air Permenkes 907- [ ]
7.1
minum 2001
7.2 Pasokan dan tekanan air cukup [ ]
Penandaan yang jelas antar pipa- [ ]
7.3 pipa air minum dan bukan air
minum
Mempunyai peta distribusi air [ ]
7.4 dengan outlet dan kran yang
diberi nomor seri
Ruang Ganti, Kamar Mandi
8
dan Toilet
Tersedia ruang ganti dengan KEP.01/MEN/2 [ ] [ ]
8.1 jumlah yang cukup 007, BAB V, C,
5.b.3
Dinding dan lantai ruang ganti Sama [ ] [ ]
8.2 halus, kedap air dan mudah
dibersihkan
Tersedia tempat cuci tangan Sama [ ]
dengan jumlah yang cukup dan
8.3 dilengkapi dengan sabun dan
desinfektan dan pengering sekali
pakai
Tersedia toilet dengan jumlah Sama [ ]
yang cukup dan dilengkapi
8.4
dengan sabun dan desinfektan dan
pengering sekali pakai
Pintu toilet tidak berhubungan KEP.01/MEN/2 [ ]
8.5 langsung dengan ruang 007, BAB V, C,
penanganan dan pengolahan ikan 5.b.1, b
Toilet dilengkapi dengan sistem KEP.01/MEN/2 [ ]
8.6 menyiram air (water flushing 007, BAB V, C,
system) dan masih berfungsi 5.b.3
Kran pada tempat cuci tangan Sama [ ]
8.7
tidak dioperasikan dengan tangan
KEP.01/MEN/2 [ ]
Tersedia sarana bak cuci tangan
8.8 007, BAB V, B,
dan penyuci hama
12
8.9 Tersedia loker untuk menyimpan KEP.01/MEN/2 [ ] [ ]
65

barang karyawan 007, BAB V, B,


3
Barang karyawan tidak disimpan Sama [ ] [ ]
8.10 di area tempat penanganan
pangan
9 Kebersihan Karyawan
Semua karyawan mengenakan KEP.01/MEN/2 [ ]
pakaian yang sesuai dan bersih 007, BAB V, B,
9.1 (jumlah pakaian seragam per 15
karyawan dan frekuensi ganti
pakaian di cek)
Karyawan mencuci sebelum KEP.01/MEN/2 [ ]
9.2 mulai bekerja atau setiap waktu 007, BAB V, B,
yang ditentukan 13
Setiap karyawan mendapat KEP.01/MEN/2 [ ]
pengecekan kesehatan dan 007, BAB V, B,
9.3
dilakukan secara berkala (cek 14
record dan verifikasi)
Terdapat tanda-tanda yang jelas KEP.01/MEN/2 [ ]
untuk pelarangan merokok, 007, BAB V, B,
9.4 makan, meludah dan lainnya di 13
ruang pengolahan dan tempat
penyimpanan
KEP.01/MEN/2 [ ]
Pakaian kerja karyawan dicuci
9.5 007, BAB V, B,
oleh UPI
15
Ada karyawan yang dapat KEP.01/MEN/2 [ ]
9.6 mengkontaminasi produk ketika 007, BAB V, B,
menangani ikan 13
Karyawan menggunakan tutup KEP.01/MEN/2 [ ]
9.7 kepala yang dapat menutupi 007, BAB V, B,
rambut secara keseluruhan 15
KEP.01/MEN/2 [ ] [ ]
Luka ditutup dengan perban yang
9.8 007, BAB V, B,
tahan air
13
Tersedia sarana pertolongan KEP.01/MEN/2 [ ]
9.9 pertama 007, BAB V, B,
14
10 Penanganan Limbah
Area pembuangan limbah terpisah KEP.01/MEN/2
10.1 007, BAB V, B,
9
Tempat limbah tahan karat dan Sama [ ]
10.2
dilengkapi dengan tutup
Tempat limbah dibersihkan Sama [ ] [ ]
10.3
dengan benar
Limbah dipindahkan minimal Sama [ ] [ ]
10.4
sekali dalam sehari
Wadah dan tempat penyimpanan Sama [ ] [ ]
10.5 limbah segera dibersihkan setelah
digunakan
Tempat penyimpanan limbah Sama [ ] [ ]
10.6
tidak dapat mengkontaminasi
11 Penggaraman Ikan *)
Mutu garam diawasi dan KEP.01/MEN/2 [ ]
11.1 disimpan dengan baik 007, BAB V,
C.7.b
11.2 Garam tidak digunakan kembali Sama [ ] [ ]
66

dan hanya digunakan sekali pakai


Wadah penggaraman dicuci dan KEP.01/MEN/2 [ ] [ ]
11.3 didisinfeksi sebelum dan sesudah 007, BAB V,
digunakan C.7.d
*) Bila tersedia

D. HASIL PENILAIAN
1. KETIDAKSESUAIAN (NON CONFORMANCE)
a. Minor ……. ( …..)
b. Mayor ……. (….. )
c. Serius ……. (….. )
d. Kritis ……. (….. )
..........
2. TINGKAT (GRADE) NILAI

Keterangan :
1. Grade A adalah tingkat sertifikat paling tinggi yang menyatakan hasil penilaian
terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT tidak terdapat criteria serius dan
kritis serta minor maks. 0 dan mayor maks. 5. Dengan grade A, UPI dapat
melakukan ekspor ke negara yang mempunyai persyaratan tertentu termasuk Uni
Eropa.

2. Grade B adalah tingkat sertifikat menengah yang menyatakan hasil penilaian


terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT terdapat kriteria serius maks. 2.
Dengan grade B, UPI dapat melakukan ekspor ke negara mana saja kecuali negara
yang mempunyai persyaratan harus grade A.

3. Grade C adalah tingkat sertifikat paling rendah yang menyatakan hasil penilaian
terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT terdapat kriteria serius > 2 tetapi
maks. 4 dengan catatan total mayor + serius tidak lebih dari 10. Dengan grade C,
UPI dapat melakukan ekspor ke negara mana saja kecuali ke negara yang
mempersyaratkan grade A dan B.

4. Grade D adalah hasil penilaian yang dinyatakan gagal dan tidak diberi sertifikat.
67

Lampiran 2 Daftar Penilaian/Check List Unit Pengolahan Ikan (UPI) (Modifikasi)

Dasar
No. Aspek Yang Dinilai OK Mn My Sr Kr Keterangan
Hukum
1 Lay-out Desain Arsitektur
1.1 Area UPI memadai untuk KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
melakukan pekerjaan dalam 2007, BAB V,
kondisi saniter dan higienis. B, 2
1.2 Area UPI terdapat di daerah Sama [ ]
industri yang telah disetujui
2 Lokasi dan Lingkungan
2.1 Sistem pembuangan Sama [ ]
air/saluran bersih dan tidak
memungkinkan arus balik ke
dalam ruang pengolahan
3 Ruang Penanganan dan
Pengolahan
3.1 Lantai
3.1.1 Lantai terbuat dari bahan yang KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
mudah dibersihkan dan 2007, BAB V,
didisinfeksi B, 3
3.1.2 Terbuat dari bahan yang kedap KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
air, tidak beracun, tidak 2007, BAB V,
menyerap, tidak licin, tidak B, 3
retak
3.1.3 Kemiringan lantai sesuai KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
ketentuan dan tidak 2007, BAB V,
menyebabkan lantai tergenang B, 3
3.2 Dinding
3.2.1 Permukaan bagian dalam KEP.01/MEN/ [ ]
kedap air dan tidak menyerap 2007, BAB V,
B, 3
3.2.2 Permukaan dinding halus, Sama [ ] [ ] [ ]
tanpa retak, celah atau lubang
serta mudah dibersihkan dan
didisinfeksi
3.2.3 Permukaan tahan lama dan Sama [ ]
kedap air
4.2.4 Pertemuan antara dinding dan Sama [ ] [ ]
lantai serta dinding dan
dinding mudah dibersihkan
3.3 Langit-langit / Ceilings
3.3.1 Bebas dari retak dan celah KEP.01/MEN/ [√ ] [ ]
2007, BAB V,
B, 3
3.3.3 Dirancang untuk mencegah Sama [ ] [ ]
akumulasi kotoran,
mengurangi kondensasi dan
pertumbuhan jamur dan
pengelupasan
3.4 Pintu / Doors
68

3.4.1 Terbuat dari bahan yang tahan KEP.01/MEN/ [ ] [ ]


lama dan tahan korosi serta 2007, BAB V,
menutup secara otomatis B, 12
3.4.2 Mudah dibersihkan dan dalam Sama [ ] [ ] [ ]
kondisi baik serta dilengkapi
dengan alat pencegah lalat
3.7 Fasilitas Pencucian Tangan
dan Desinfeksi
3.7.1 Semua pintu masuk ke area KEP.01/MEN/ [ ]
pengolahan dilengkapi dengan 2007, BAB V,
bak cuci kaki dengan ukuran B, 12
yang sesuai
3.7.2 Bak cuci kaki menggunakan Sama [ ]
air bersih dan desinfektan
3.7.3 Semua pintu masuk ke ruang Sama [ ] [ ]
pengolahan dilengkapi dengan
fasilitas cuci tangan dan
desinfeksi yang cukup
3.7.4 Menggunakan sabun dan Sama [ ]
desinfektan yang disetujui
4 Perlengkapan dan Peralatan
4.1 Terbuat dari bahan tahan KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
karat, kedap air dengan 2007, BAB V,
permukaan yang halus B, 6
4.2 Terbuat dari bahan yang Sama [ ] [ ]
mudah dibersihkan dan
didesinfeksi
4.3 Selalu terjaga dalam kondisi Sama [ ]
yang bersih
4.4 Binatang pengganggu secara KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
sistematis dicegah agar tidak 2007, BAB V,
bisa masuk B, 11
4.5 Fasilitas dan peralatan KEP.01/MEN/ [ ] [ ]
dibersihkan minimal satu kali 2007, BAB V,
dalam satu hari B, 8
4.6 Mempunyai tempat pencucian KEP.01/MEN/ [ ]
alat yang terpisah 2007, BAB V,
B, 1.b
4.9 Peralatan diberi tanda untuk KEP.01/MEN/ [ ]
setiap area kerja yang berbeda 2007, BAB V,
B, 7
Pengawasan Binatang
5
Pengerat (Pest Control)
Tersedia dengan jumlah yang KEP.01/MEN/2 [ ] [ ]
5.1 cukup fasilitas pencegah binatang 007, BAB V, B,
pengerat 11
Tersedia prosedur pembuangan Sama [ ]
5.2
binatang pengganggu yang mati
Pembasmi tikus, pembasmi KEP.01/MEN/2 [ ]
serangga, disinfektan dan racun 007, BAB V, B,
5.3
lainnya tersimpan dalam lemari 10
yang dapat dikunci
Upaya pengawasan pencegahan [ ]
5.4
dan pembasmian
69

6 Pasokan Air (Potable Water) [ ]


Tersedia air dengan kualitas air Permenkes 907- [ ]
6.1
minum 2001
Penandaan yang jelas antar pipa- [ ]
6.2 pipa air minum dan bukan air
minum
Ruang Ganti, Kamar Mandi
7
dan Toilet
Tersedia tempat cuci tangan Sama [ ]
dengan jumlah yang cukup dan
7.1 dilengkapi dengan sabun dan
desinfektan dan pengering sekali
pakai
Tersedia toilet dengan jumlah Sama [ ]
yang cukup dan dilengkapi
7.2
dengan sabun dan desinfektan dan
pengering sekali pakai
Pintu toilet tidak berhubungan KEP.01/MEN/2 [ ]
7.3 langsung dengan ruang 007, BAB V, C,
penanganan dan pengolahan ikan 5.b.1, b
KEP.01/MEN/2 [ ]
Tersedia sarana bak cuci tangan
7.4 007, BAB V, B,
dan penyuci hama
12
KEP.01/MEN/2 [ ] [ ]
Tersedia loker untuk menyimpan
7.5 007, BAB V, B,
barang karyawan
3
8 Kebersihan Karyawan
Semua karyawan mengenakan KEP.01/MEN/2 [ ]
pakaian yang sesuai dan bersih 007, BAB V, B,
8.1 (jumlah pakaian seragam per 15
karyawan dan frekuensi ganti
pakaian di cek)
Karyawan mencuci sebelum KEP.01/MEN/2 [ ]
8.2 mulai bekerja atau setiap waktu 007, BAB V, B,
yang ditentukan 13
Setiap karyawan mendapat KEP.01/MEN/2 [ ]
pengecekan kesehatan dan 007, BAB V, B,
8.3
dilakukan secara berkala (cek 14
record dan verifikasi)
Terdapat tanda-tanda yang jelas KEP.01/MEN/2 [ ]
untuk pelarangan merokok, 007, BAB V, B,
8.4 makan, meludah dan lainnya di 13
ruang pengolahan dan tempat
penyimpanan
KEP.01/MEN/2 [ ]
Pakaian kerja karyawan dicuci
8.5 007, BAB V, B,
oleh UPI
15
9 Penanganan Limbah
Area pembuangan limbah terpisah KEP.01/MEN/2
9.1 007, BAB V, B,
9
Tempat limbah tahan karat dan Sama [ ]
9.2
dilengkapi dengan tutup
Tempat limbah dibersihkan Sama [ ] [ ]
9.3
dengan benar
Limbah dipindahkan minimal Sama [ ] [ ]
9.4
sekali dalam sehari
9.5 Wadah dan tempat penyimpanan Sama [ ] [ ]
70

limbah segera dibersihkan setelah


digunakan
10 Penggaraman Ikan *)
Mutu garam diawasi dan KEP.01/MEN/2 [ ]
10.1 disimpan dengan baik 007, BAB V,
C.7.b
Garam tidak digunakan kembali Sama [ ] [ ]
10.2
dan hanya digunakan sekali pakai
Wadah penggaraman dicuci dan KEP.01/MEN/2 [ ] [ ]
10.3 didisinfeksi sebelum dan sesudah 007, BAB V,
digunakan C.7.d
*) Bila tersedia

D. HASIL PENILAIAN
1. KETIDAKSESUAIAN (NON CONFORMANCE)
a. Minor ……. ( …..)
b. Mayor ……. (….. )
c. Serius ……. (….. )
d. Kritis ……. (….. )
..........
2. TINGKAT (GRADE) NILAI

Keterangan :
1. Grade A adalah tingkat sertifikat paling tinggi yang menyatakan hasil penilaian
terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT tidak terdapat criteria serius dan
kritis serta minor maks. 0 dan mayor maks. 5. Dengan grade A, UPI dapat
melakukan ekspor ke negara yang mempunyai persyaratan tertentu termasuk Uni
Eropa.

2. Grade B adalah tingkat sertifikat menengah yang menyatakan hasil penilaian


terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT terdapat kriteria serius maks. 2.
Dengan grade B, UPI dapat melakukan ekspor ke negara mana saja kecuali negara
yang mempunyai persyaratan harus grade A.

3. Grade C adalah tingkat sertifikat paling rendah yang menyatakan hasil penilaian
terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT terdapat kriteria serius > 2 tetapi
maks. 4 dengan catatan total mayor + serius tidak lebih dari 10. Dengan grade C,
UPI dapat melakukan ekspor ke negara mana saja kecuali ke negara yang
mempersyaratkan grade A dan B.

4. Grade D adalah hasil penilaian yang dinyatakan gagal dan tidak diberi sertifikat.
71 
 

Lampiran 3 Daftar Kuisioner

I Karakteristik Responden
1. Nama pengolah : ……………………………………………
2. Umur : …………. tahun
3. Jenis Kelamin : L/P
4. Pendidikan terakhir : (lingkari jawaban yang sesuai)
1. Tidak tamat/sekolah SD
2. SD
3. SMP
4. SMU
5. Perguruan tinggi
5. Pengalaman berusaha : ……………………………………. tahun
6. Jumlah keluarga : ……………………………………. orang

II Karakterisitk Usaha
7. Jenis Usaha : (lingkari jawaban yang sesuai)
1. Pengasin Ikan
2. Pengolahan ikan pindang
3. Pengolahan ikan asap
4. Pembuatan kerupuk
5. Pembuatan terasi
6. Pembuatan kulit ikan pari
8. Bahan baku yang digunakan : (lingkari jawaban yang sesuai)
1. Ikan kembung
2. Ikan tongkol
3. Ikan tenggiri
4. Ikan bandeng
9. Kebutuhan bahan baku : …………………………………. kg/hari
10. Kapasitas produksi : …………………………………. kg/hari
11. Asal bahan baku : ……………………………………………..
……………………………………………..
12. Harga produk ikan pindang : ……………………………………………..
72 
 

13. Jumlah tenaga kerja : (lingkari jawaban yang sesuai)


1. 6 orang
2. 7 orang
3. 8 orang
4. 9 orang
5. 10 orang
14. Tingkat pendidikan tenaga kerja : (lingkari jawaban yang sesuai)
1. Tidak tamat/sekolah SD
2. SD
3. SMP
4. SMU
5. Perguruan tinggi
15. Pemasaran produk : (lingkari jawaban yang sesuai)
1. Pasar lokal
2. Antar kabupaten/kotamadya
3. Antar propinsi
4. Luar negeri

III Penerapan prosedur standar operasional sanitasi oleh responden


16. Apakah responden telah mengetahui tentang prosedur standar operasional
sanitasi pada usaha pegolahan produk perikanan ?
a. tahu b. tidak tahu
17. Apakah responden telah menerapkan prosedur standar operasional sanitasi
pada usaha pegolahan produk perikanannya ?
a. sudah b. belum
18. Apakah responden sudah pernah mendapatkan penyuluhan tentang
prosedur standar operasional sanitasi bagi usaha pengolahannya ?
a. sudah pernah b. belum pernah
73 
 

19. Lembaga atau instansi apa saja yang pernah memberikan penyuluhan
tentang prosedur standar operasional sanitasi bagi usaha pengolahannya ?
a. Kementrian Kelautan dan Perikanan b. Dinas Perikanan dan
Kelautan
c. LSM ………………………………. d. belum ada
20. Apakah responden setuju dengan adanya penerapan prosedur standar
operasional sanitasi bagi usaha pengolahannya ?
a. Setuju b. tidak setuju c. tidak tahu
21. Apakah masih diperlukan bantuan teknis dan permodalan untuk penerapan
prosedur standar operasional sanitasi bagi usaha pengolahannya ?
a. masih diperlukan b. tidak diperlukan lagi
74

Lampiran 4 Analisa Usaha Pengolahan Ikan Pindang Tongkol (Euthynnus affinis )

A. Pengeluaran
1. Biaya produksi berkala (per satuan bulan)
a. Tungku 2 buah x Rp25,000.00 = Rp50,000.00 / 12 Rp4,166.67
b. Drum 2 buah x Rp200,000.00 = Rp400,000.00 / 12 Rp33,333.33
c. Naya 250 buah x Rp1,500.00 = Rp375,000.00 / 12 Rp31,250.00
d. Pisau 5 buah x Rp25,000.00 = Rp125,000.00 / 12 Rp10,416.67
e. Sendok 10 buah x Rp5,000.00 = Rp50,000.00 / 12 Rp4,166.67
f. Tali bambu 10 m x Rp200.00 = Rp2,000.00 / 12 Rp166.67
g. Tongkat bambu 5 buah x Rp5,000.00 = Rp25,000.00 / 12 Rp2,083.33
h. Biaya lisrik Rp150,000.00
Jumlah Rp235,583.33

2. Biaya produksi habis pakai


a. Ikan tongkol 25 x 1,000 kg 25,000 kg x Rp4,500.00 = Rp112,500,000.00
b. Garam 25 x 150 kg 3,750 kg x Rp450.00 = Rp1,687,500.00
c. Es 25 x 100 kg 2,500 kg x Rp500.00 = Rp1,250,000.00
d. Air bersih 25 x 200 lt 5,000 lt x Rp125.00 = Rp625,000.00
e. Kayu bakar 25 x 10 ikt 250 ikt x Rp2,000.00 = Rp500,000.00
f. Minyak tanah 25 x 2 lt 50 lt x Rp8,300.00 = Rp415,000.00
g. Biaya tenaga kerja 10 org x Rp900,000.00 = Rp9,000,000.00
Jumlah Rp125,977,500.00

Jumlah Total Rp126,213,083.33


B. Pemasukan
Hasil penjualan ikan pindang per bulan
600 kg x 25 x Rp9,000.00 = Rp135,000,000.00

C. Keuntungan
a. Pemasukan Rp135,000,000.00
b. Pengeluaran Rp126,977,500.00
c. Keuntungan per bulan Rp8,022,500.00

Anda mungkin juga menyukai