Pelayanan Publik BKL

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 234

Pelayanan Publik Berbasis Kearifan Lokal

@Syakir Media Press


All right reserved

Penulis :
Dr. Husain As, M.Pd

Editor :
Dr. Patta Rapanna, SE., M.Si

Desain Sampul :
Fahmi Jalsan

Lay out
Kru Syakir

ISBN 978-623-97534-4-3
Cetakan I, Februari 2022
x,220 Halaman, 23 cm x 15,5 cm

CV. syakir Media Press

iii
PRAKATA

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah Rabbil Alamin, segala puji dan syukur


senantiasa penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, Allah Azza Waa
Jalla, atas kodrat dan iradat dari Allah Taala yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Tidak lupa pulah,
Sholawat dan salam kepada Nabiullah Muhammad, SAW. Mudah-
mudahan di tahun ini Bapak dan Ibu serta hadirin sekalian dapat
meraih sukses besar dan menjadi individu yang lebih baik dalam
menerima perbedaan.
Berbagai tantangan yang datang silih berganti selama dalam
penyelesaian buku ini, namun berkat prinsip nenek moyang kami
bahwa; kualleanngi tallanga natowalia, akhirnya buku ini dapat
terselesaikan. Oleh karena itu, dengan penuh hormat, penulis
mengucapkan terimakasih Kepada Bapak Prof.Dr.Jasruddin,M.Si, ,
Dr.Muh.Yunus,M.Pd, Ketua STKIP-PI dan Dr.H.Muh.Yahya, M.Pd,
Direktur Pps, serta dosen beserta Staf pengajar STKIP-PI, lainya yang
telah memberi semangat dan dukungan kepada Penulis.
Teristimewa kepada Ayahanda H.Abdullah Abbas, dan
Ibunda Hj.Saenab Taddewe, mertuaku Abdul Wahid Rahman dan Ibu
Norma Norbit, Adinda Bahtiar Abdullah, yang semuanya telah
berpulang kerahmatullah, karenanya mohon izin pada kesempatan ini
kami mengirimkan doa (Rabbighfir li, wa li walidayya, warham huma
kama rabbayani shaghira). Demikian pulah kepada Abang Drs.
Kaharuddin Abdullah, serta semua saudaraku, Kepada Istriku, Putra-
putriku tercinta: Santri, Aiminor, Binar, Satya, serta sibungsu Syafiq,
yang senantiasa menghibur dengan tingkahnya yang lucu.
Terimakasih juga, kepada Penerbit dan semua pihak yang telah
memberikan bantuan dan saran, semoga segalanya mendapat balasan
dari Allah SWT. Amin.

iii
Penulis menyadari bahwa buku ini belumlah sempurnah,
karena itu saran dan kritik membangun sangat diharapkan, agar buku
ini menjadi riferensi bagi upaya pembangunan sumber daya manusia
untuk kejayaan bangsa dan Negara Indonesia. Wassalam.
Makassar, februari 2022

Dr. Husain.As, M.Pd

iv
DAFTAR ISI

BAB 1 PELAYANAN PUBLIK DI DUNIA ............................... 01


A. Pelayanan Publik .......................................................... 01
B. Permasalahan Pelayanan Publik .................................. 02
C. Pemecahan Masalah Pelayanan Publik ....................... 04
BAB 2 STRATEGI PELAYANAN PUBLIK DI NEGARA
DUNIA KE TIGA …………………………………………09
A. Strategi Mewujudkan Transparansi dan Partisipasi
Dalam Pelayanan Publik .............................................. 09
B. Keterbukaan Informasi Publik dan Asas Transparansi 09
C. Indikator dalam Mengukur Transparansi ..................... 10
D. Transparansi dan Partisipasi ......................................... 11
E. Strategi dalam Muwujudkan Transparansi dan artisipasi
Dalam Pelayanan Publik .............................................. 12
F. Pelayanan Publik di Indonesia ..................................... 13
G. Pelayanan Publik : Beberapa Definisi .......................... 18
H. Pelayanan Publik Perspektif Islam ............................... 20
BAB 3 POTENSI SUMBER DAYA MANUSIA DI
INDONESIA………………………………………………………..23
A. Pengertian Sumber Daya Manusia ............................... 23
B. Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia .................. 23
C. Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Mineral Dan Geologi………31
D. Pengembangan Sumber Daya Manusia ........................ 33
BAB 4 KEARIFAN LOKAL ....................................................... 37
A. Definisi Kearifan Lokal ............................................... 37
B. Faktor Kearifan Lokal .................................................. 38
C. Pentingnya Kearifan Lokal Dalam Pembangunan ...... 39
D. Kearifan Lokal Dan Tantangan Zaman ........................ 42
E. Kearifan Lokal Dan Penguatan SDM .......................... 48
F. Mutu Kearifan Lokal Dalam System
Pembangunan Daerah .................................................. 54
v
G. SDM Masyarakat Adat Diperkuat Demi Memperkaya
Tradisi Lokal …………………………………………...57
H. Kearifan Lokal di Indonesia ......................................... 58
I. Kebudayaan Jawa ......................................................... 64
J. Kearifan Lokal Masyarakat Desa ................................. 72
K. Gotong Royong Dalam Perspektif Kearifan Lokal ...... 97
BAB 5 TANTANGAN PELAYANAN PUBLIK
DI DAERAH PELOSOK/PEDALAMAN ...................... 99
A. Tantangan Pelayanan Publik 2021 ............................... 99
B. Tiga tantangan .............................................................. 99
C. Tantangan 202 ............................................................... 102
BAB 6 PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT DI INDONESIA
103
A. Perilaku Sosial .............................................................. 103
B. Faktor-Faktor Pembentuk Perilaku Sosial ................... 104
C. Bentuk dan Jenis Perilaku Sosial ................................. 105
D. Interaksi Sosial ............................................................. 108
BAB 7 RAGAM PERSOALAN PELAYANAN
PUBLIK DI DESA DAN DI KOTA ................................ 113
A. Ruang Lingkup Pelayanan Publik ................................ 114
B. Tantangan Pelayanan Publik di Desa ........................... 115
BAB 8 GLOBALISASI DAN KEARIFAN LOKAL
DI NEGARA BERKEMBANG ........................................ 119
A. Defenisi Kearifan Lokal ............................................... 119
B. Defenisi Globalisasi ..................................................... 120
C. Macam-Macam Globalisasi ......................................... 121
D. Pengaruh Globalisasi terhadap Kearifan Lokal ........... 123
E. Cara Meredam Pengaruh Globalisasi terhadap Kearifan
Lokal…………………………………………………..125
BAB 9 PELAYANAN PUBLIK BERBASIS MASYARAKAT 127
BAB 10 SINERGITAS PEMBANGUNAN DI BALUTAN
KEARIFAN LOKAL ...................................................... 133

vi
A. Ancaman Ekologis dan Sosial Budaya Masyarakat Sumba
sekapur Sirih………………………………………… 133
B. Padang penggembalaan Ternak (Hilang) Vs Perkebunan
Tebu (Hadir)…………………………………………..134
C. Kearifan Lokal Masyarakat Di Dunia .......................... 137
D. Ragam Kearifan Lokal Di Indonesia ........................... 157
E. Kebijakan Pelestarian Kearifan Lokal ......................... 161
F. Manfaat Kearifan Lokal Dalam Konteks Pembangunan Di
Indonesia 167
G. Sinergitas Pembangunan Di Balutan Kearifan Lokal .. 177
BAB 11 KEPEMIMPINAN GLOBAL DI LAUTAN KEARIFAN
LOKAL …………………………………………………………..1 83
A. Latar Belakang .............................................................. 183
B. Pembahasan .................................................................. 185
C. Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal Daerah ......... 194
D. Kepemimpinan Berbasis Pelayanan ............................. 198
BAB 12 KEARIFAN LOKAL DAN TANTANGAN ZAMAN . 203
A. Berfikir Global Bertindak Lokal ................................... 206
BAB 13 PELAYANAN PUBLIK DALAM KEARIFAN LOKAL
……………………………………………………..... 211
A. Pelayanan Kesehatan Berbasis Kearifan Lokal
Pengalaman RSUP Dr.R.D.Kandou Manado................ 211
B. Percepat Reformasi Biirokrasi dengan Kearifan Lokal 212
C. Inovasi Pelayanan Publik Bergeliat,Ganjar : Kearifan
Lokal Jangan Ditinggal ................................................ 214
D. Ganjar : Inovasi Pelayanan Publik Harus Perhatikan
Kearifan Lokal ………………………………………..216
E. Sosialisasi Peningkatan Pelayanan Publik Berazaskan
Kearifan Lokal ………………………………………..217
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 219

vii
viii
BAB 1
PELAYANAN PUBLIK DI DUNIA
A. Pelayanan Publik
Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan
yang sangat luas dan juga merupakan salah satu unsur yang
mendorong perubahan kualitas Pemerintahan Daerah. Bagaimanapun
kecilnya suatu negara, negara tarsebut tetap akan membagi–bagi
pemerintahan menjadi sistem yang lebih kecil (Pemerintahan Daerah)
untuk memudahkan pelimpahan tugas dan wewenang. Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang–undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak–hak asal–usul dalam daerah yang
bersifat istimewa. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah
memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang
diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk
pengaturan atau pun pelayanan–pelayanan lain dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan,
kesehatan, utilitas dan lainnya.
Sejak diberlakukan penerapan UU No. 22 Tahun 1999 telah
terjadi pergeseran model pemerintahan daerah dari yang semula
menganut model efesiensi struktural ke arah model demokrasi.
Penerapan model demokrasi mengandung arti bahwa
penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah menuntut adanya
partisipasi dan kemandirian masyarakat daerah (lokal) tanpa
mengabaikan prinsip persatuan Negara bangsa. Desentralisasi
(devolusi) dan dekonsentrasi merupakan keniscayaan dalam
oraganisasi negara bangsa yang hubungannya bersifat kontinum,
artinya dianutnya desentralisasi tidak perlu meninggalkan sentralisasi.
Dengan demikian, pemerintah daerah dalam menjalankan
monopoli pelayanan publik, sebagai regulator (rule government)
harus mengubah pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan
tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan

1
meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk
terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik,
Pemerintah Daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada
warga dan masyarakat, untuk mendapatkan akses pelayanan publik,
berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, akuntabilitas dan
keadilan. Konsepsi Pelayanan Publik, berhubungan dengan
bagaimana meningkatkan kapasitas dan kemampuan pemerintah
dan/atau pemerintahan daerah menjalankan fungsi pelayanan, dalam
kontek pendekatan ekonomi, menyediakan kebutuhan pokok (dasar)
bagi seluruh masyarakat.
Bersamaan dengan arus globalisasi yang memberikan peluang
sekaligus tantangan bagi perbaikan ekonomi, mendorong pemerintah
untuk kembali memahami arti pentingnya suatu kualitas pelayanan
serta pentingnya dilakukan perbaikan mutu pelayanan. Penyediaan
pelayanan pemerintah yang berkualitas, akan memacu potensi sosial
ekonomi masyarakat yang merupakan bagian dari demokratisasi
ekonomi. Penyediaan pelayanan publik yang bermutu merupakan
salah satu alat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah yang semakin berkurang, akibat krisis ekonomi yang terus
menerus berkelanjutan pada saat ini. Hal tersebut menjadikan
pemberian pelayanan publik yang berkualitas kepada masayarakat
menjadi semakin penting untuk dilaksanakan.

B. Permasalahan Pelayanan Publik


Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah
berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri.
Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek,
yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan
sumber daya manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola
penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai
kelemahan antara lain:
a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada
hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan
petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan
2
penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan,
aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau
bahkan diabaikan sama sekali.
b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang
seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau
bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
c. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana
pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga
menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan
yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi.
Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan
kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi
pelayanan lain yang terkait.
e. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan
perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses
yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan
penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan
penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan
(front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat
kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu
dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka
menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan,
juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan
memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi
masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki
kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari
masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa
adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu
g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan
(khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan
dengan pelayanan yang diberikan.

3
Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan
utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi,
empathy dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu
dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem
kompensasi yang tepat.
Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada
disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka
pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang
membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak
terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi
sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih
sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan
pelayanan publik menjadi tidak efisien.
C. Pemecahan Masalah Pelayanan Publik
Tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap
pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh
karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh
kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga
mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal
yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Penetapan Standar Pelayanan.
Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam
pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen
penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu
kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-
harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan.
Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses
identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi
harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis
proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya

4
pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi
mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga
informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung
terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga
dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-
kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya
beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.
2. Pengembangan Standard Operating Procedures
(SOP).
Untuk memastikan Bahwa proses pelayanan dapat berjalan
secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures.
Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara
internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan
yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping itu
SOP juga bermanfaat dalam hal:
• Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan
uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas
yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan
hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena
itu proses pelayanan dapat berjalan terus;
• Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat
berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
• Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan
penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi
penyimpangan dalam pelayanan;
• Memberikan informasi yang akurat ketika akan
dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur
pelayanan;
• Memberikan informasi yang akurat dalam rangka
pengendalian pelayanan;
• Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan
kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang

5
akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan
kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses
pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas;
3. Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan.
Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu
dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas
pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat
dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia
pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh
karena itu, survey kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam
upaya peningkatan pelayanan publik;
4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan.
Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi
upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten
menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem
pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien
mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan
bagi perbaikan kualitas pelayanan; Sedangkan dari sisi makro,
peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui
pengembangan model-model pelayanan publik. Dalam hal-hal
tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya
dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang
baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain:
contracting out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh
swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah memegang peran
sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk
pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu
yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga
maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan
privatisasi.

6
Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga
perlu didukung adanya restrukturisasi birokrasi, yang akan
memangkas berbagai kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih
sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi tumbuhnya
KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.
➢ Strategi Wujudkan Pelayanan Publik Berkelas
Dunia
Peningkatan pelayanan publik dilakukan melalui berbagai
strategi. Strategi ini dilakukan secara bertahap hingga pada akhirnya
terwujud pelayanan publik berkelas dunia di tahun 2025. Deputi
bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Diah Natalisa
menyampaikan bahwa terdapat tiga tahap yang harus dilakukan.
“Tahap pertama penguatan regulasi dibidang pelayanan publik dengan
penetapan Undang-Undang No. 25/2009 dan berbagai peraturan
turunannya,” ujarnya dalam acara Talkshow Reformasi Birokrasi
Kementerian Dalam Negeri Tahun 2021, secara virtual, Rabu (14/04).
Kedua, implementasi UU No. 25/2009 tentang Pelayanan
Publik dilaksanakan secara konsisten hingga level penyelenggara
pelayanan, melalui berbagai diseminasi kebijakan, pendampingan,
dan monev pelaksanaan. Pada tahap ketiga, peningkatan pelayanan
publik dilaksanakan dengan mendorong berbagai terobosan.
“Terobosan ini antara lain integrasi pelayanan publik, replikasi atau
scaling-up inovasi, dan peningkatan partisipasi masyarakat,” jelasnya.
Kementerian PANRB sebagai pembina pelayanan publik
mendorong terwujudnya pelayanan publik berkelas dunia pada setiap
instansi pemerintah. Roadmap bidang pelayanan publik diperlukan
oleh Kementerian PANRB dan juga seluruh penyelenggara pelayanan
publik untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan kegiatan, dan
monitoring evaluasi pada berbagai tingkatan guna mewujudkan
pelayanan publik berkelas dunia pada 2020-2025.
Berbagai kebijakan dan upaya dilakukan Kementerian
PANRB untuk mempercepat peningkatan pelayanan publik. Salah
satunya dengan penguatan partisipasi masyarakat melalui aplikasi
7
SP4N-LAPOR!. Terobosan kanal pengaduan tersebut menjamin hak
masyarakat agar pengaduan dari manapun dan jenis apapun
disalurkan kepada penyelenggara pelayanan publik yang berwenang.
Dalam mendukung iklim investasi, Kementerian PANB juga
mendorong pemerintah daerah membangun mal pelayanan publik
(MPP). MPP mengintegrasikan layanan dalam satu gedung, baik yang
diberikan oleh instansi pusat, daerah, maupun BUMN/BUMD.
Kehadirannya diberbagai daerah diharapkan sebagai langkah untuk
meningkatkan nilai Ease of Doing Business (EoDB) di Indonesia.
Kehadiran MPP merupakan perwujudan birokrasi 4.0 yang
diharapkan mampu membentuk ASN modern yang memiliki pola
pikir untuk berkinerja tinggi yang mampu menghadirkan pelayanan
terbaik sehingga berdampak pada tumbuhnya minat investasi para
investor. “Selain itu, hadirnya MPP sebagai upaya untuk mengubah
pola pikir ego sektoral antar-institusi menjadi kerja bersama,”
jelasnya.
Pada kesempatan tersebut, Kepala Biro Organisasi dan Tata
Laksana Kemendagri Suprayitno menyatakan kesiapannya guna
mendukung program reformasi birokrasi di sektor pelayanan publik
terutama di daerah. Selain itu adanya masukan serta sharing session
perihal pelayanan publik diharapkan mempercepat perbaikan layanan
publik oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia.

8
BAB 2
STRATEGI PELAYANAN PUBLIK
DI NEGARA DUNIA KE TIGA
A. Strategi Mewujudkan Transparansi dan Partisipasi dalam
Pelayanan Publik
Pelayanan publik sangat berkaitan dengan kebutuhan
masyarakat. Bahkan tujuan negara yang tertuang dalam Undang-
Undang Dasar, salah satunya memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, secara tersirat menggambarkan
pentingnya negara memenuhi pelayanan publik. Seiring berkembang
dan bertambahnya kebutuhan masyarakat membuat pemerintah sadar
akan tanggung jawabnya dalam memenuhi pelayanan publik. Pada
sisi aturan misalnya, lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik merupakan salah satu wujud komitmen
pemerintah dalam hal tersebut.
Pada pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
dijelaskan mengenai asas-asas dari pelayanan publik yang apabila
dianalisis lebih mendalam sangat berkaitan dengan prinsip
transparansi dan partisipasi. Selain itu, dua prinsip tersebut sangat
penting dalam mewujudkan good governance dan mendukung
kebijakan maupun program yang dibuat oleh pemerintah. Apabila
dianalogikan, jika prinsip transparansi tidak dilaksanakan oleh
pemerintah, maka bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dalam
mengawasi pelayanan publik ? Sebaliknya, apabila masyarakat tidak
dapat mengawasi pelayanan publik, maka bagaimana prinsip
transparansi tersebut dapat terwujud ? Sampai pada akhirnya
berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat dan carut
marutnya penyelenggaraan negara.
B. Keterbukaan Informasi Publik dan Asas Transparansi
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah sebagai
penyelenggara dan pelaksana urusan negara dalam mewujudkan
transparansi ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pemerintah dapat
mewujudkannya melalui keterbukaan publik. Berdasarkan Undang-
9
Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
dijelaskan tentang pentingnya keterbukaan publik untuk mewujudkan
partisipasi dan penyelenggaraan negara yang transparan, efektif,
efisien, dan akuntabel. Kemudian, keterbukaan publik merupakan hak
asasi dari setiap warga negara. Maka dari itu, publik berhak
memperoleh informasi, salah satunya mengenai proses kebijakan
publik, anggaran, pengawasan dan evaluasinya. Dengan adanya
keterbukaan tersebut, masyarakat dapat mengetahui sejauh mana
kinerja pemerintah serta menilai kesesuaian harapan dan kepentingan
publik. Selain itu, masyarakat dapat mengetahui pula tentang
keberpihakan pemerintah terhadap pelayanan publik sehingga dapat
memberikan sikap terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Keterbukaan publik sejatinya merupakan bentuk transparansi
yang berimplikasi pada kemampuan pemerintah dalam mewujudkan
good governance. Sebagai contoh, pemerintah dapat memberikan
informasi mengenai aturan main serta rincian bentuk kegiatan
pelayanan publik secara jelas sehingga masyarakat dapat terlibat dan
mengawasi kegiatan pemerintah tersebut secara langsung. Selain itu,
dengan adanya keterbukaan publik dan transparansi dapat membentuk
suatu check and balance dan mempermudah masyarakat untuk
mengetahui tindakan yang rasional sebagai kontrol sosial dengan
membandingkan sistem nilai yang ada. Implikasi positif terbesar dari
transparansi adalah penegakan hukum yang mantap dan
pemberantasan praktik KKN. Mengapa ? Karena apabila transparansi
rendah akan memberikan peluang dan kesempatan para penegak
hukum dan pejabat publik untuk menyalahgunakan kekuasaan.
C. Indikator dalam Mengukur Transparansi
Pertanyaan selanjutnya, seberapa penting transparansi
terhadap pelayanan publik ? Transparansi dalam pelayanan publik
menunjukkan penyelenggaraan pelayanan bersifat terbuka sehingga
masyarakat dapat mengetahui proses pelayanan tersebut secara mudah
dan jelas. Terdapat tiga indikator dalam mengukur transparansi
pelayanan publik. Pertama, tingkat keterbukaan pada proses

10
penyelenggaraan publik. Kedua, transparansi pada peraturan dan
prosedur pelayanan yang mudah dipahami oleh pengguna. Ketiga,
transparansi pelayanan melalui kemudahan dalam memperoleh
informasi tentang berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik.
Melalui tiga indikator tersebut, maka dapat dilakukan pengukuran
tentang sejauh mana Indonesia menerapkan transparansi dalam
pelayanan publik. Pengukuran tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi
bagi transparansi pelayanan publik.
D. Transparansi dan Partisipasi
Merujuk pada penjelasan sebelumnya bahwa transparansi
sangat penting diwujudkan pada pelayanan publik. Ada satu asas lagi
yang saling berkaitan dengan transparansi atau dapat dipahami
sebagai implikasi positif dari transparansi, yaitu partisipasi. Pada era
modern ini, masyarakat memiliki kebebasan dalam bertindak dan
bernegara dengan keterbukaan informasi publik melalui berbagai
kanal. Positifnya adalah masyarakat saat ini dapat aktif dan kritis
dalam mengawasi perilaku pemerintah yang diwujudkan secara halus
dalam dialog publik maupun demontrasi. Meskipun, tidak serta merta
partisipasi harus dilakukan secara anarkis. Masyarakat perlu
memahami pula tentang sikap apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan dalam melakukan pengawasan pada pelayanan publik.
Namun, apakah semakin tinggi partisipasi masyarakat
menunjukkan semakin rendah transparansi publik ? Pertanyaan
tersebut seringkali menjadi polemik. Sehingga perlu dipahami
bersama bahwa transparansi dan partisipasi sangat berkaitan erat.
Namun, untuk mewujudkannya, perlu kerja sama yang baik antara
pemerintah sebagai penyelenggara negara (pelayan publik) dengan
masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik. Dengan kata lain,
belum tentu semakin tinggi partisipasi masyarakat menunjukkan
semakin rendah transparansi publik. Bahkan, apabila partisipasi
masyarakat tinggi, maka menunjukkan bahwa pemerintah
mewujudkan transparansi yang baik karena masyarakat dapat
menjalankan kewajibannya untuk terlibat dalam mengawasi dan

11
mengevaluasi pelayanan publik yang dirasa kurang optimal serta
terwujudnya welfare state. Untuk membentuk sinergitas tersebut,
maka perlu upaya pemberdayaan kepada masyarakat dan
membangkitkan kesadaran tentang pentingnya informasi dalam
mengawasi pelayanan publik. Kemudian, dari sisi pemerintah, perlu
dipahami bahwa pemerintah merupakan pelayan publik sehingga
segala aktivitasnya dilakukan demi kepentingan publik bukan
kepentingan elit birokrasi dan politik. Sehingga redefinisi antara
penyelenggara negara dengan masyarakat sebagai sentral pemegang
kekuasaan dan pengawas pelayanan publik perlu diwujudkan.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa pentingnya
transparansi dan partisipasi dalam pelayanan publik untuk melindungi
hak-hak politik, ekonomi, sosial, maupun bidang lainnya.
E. Strategi dalam Mewujudkan Transparansi dan
Partisipasi dalam Pelayanan Publik
Beberapa strategi agar transparansi dan partisipasi dalam
pelayanan publik dapat berjalan beriringan antara lain, pertama,
mengidentifikasi Peran Masyarakat. Aspek ini menjadi penting dalam
mewujudkan transparansi sebagai stimulus dalam mendorong
partisipasi publik. Menurut Korten dan Uphoff bahwa masyarakat
merupakan akar rumput yang harus diperhatikan hak dan
kewajibannya. Sebagai negara demokrasi, wajib bagi pemerintah
untuk mendorong partisipasi masyarakat sesuai dengan perannya
sehingga terwujud transparansi dalam meningkatkan kualitas
pelayanan publik.
Kedua, meningkatkan peran lembaga pengawas eksternal.
Ombudsman RI merupakan lembaga negara pengawas secara
eksternal yang memiliki tugas dan fungsi dalam mengawasi
pelayanan publik. Ombudsman juga dapat berfungsi sebagai perantara
masyarakat dalam menyampaikan keluhan dan evaluasi terhadap
pelayanan publik yang kurang optimal. Sehingga lembaga ini perlu
didukung penuh oleh pemerintah sehingga terwujud pelayanan publik
yang prima.

12
Ketiga, komitmen dari pemerintah. Komitmen pemerintah
terutama pejabat publik menjadi penting untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat. Komitmen dimaksudkan dalam mewujudkan
transparansi dengan adanya keterbukaan publik. Sehingga masyarakat
dapat dengan mudah mengakses informasi dan mampu mengawal
proses pelayanan publik. Selain itu, mengajak masyarakat, misalnya
dalam dialog publik untuk sama-sama mengevaluasi pelayanan publik
yang dirasa masih kurang optimal.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
tanpa adanya transparansi, maka partisipasi tidak dapat berjalan
begitu pun sebaliknya. Hal tersebut harus didukung pula oleh
komitmen antara pemerintah dengan pemangku kepentingan dalam
pelaksanaannya. Sehingga transparasi bukan hanya berfungsi untuk
memberikan informasi kepada masyarakat, namun juga suatu bentuk
upaya untuk meningkatkan keterlibatan atau partisipasi dan kesadaran
masyarakat pada penyelenggaraan negara khususnya pelayanan
publik.
F. Pelayanan Publik Di Indonesia
Birokrasi memiliki fungsi dan peran yang sangat penting di
dalam masyarakat, salah satunya adalah melaksanakan pelayanan
publik. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik mengatakan bahwa Pelayanan Publik adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara Pelayanan Publik.
Pelaksanaan birokrasi dalam hal Pelayanan Publik di setiap
negara tentunya berbeda, begitu juga di antara negara berkembang
dengan negara maju seperti Indonesia dan Jepang. Baik buruknya
kualitas Pelayanan Publik merupakan parameter yang paling
mendasar dalam mengukur efektivitas sebuah birokrasi pemerintahan.
Kualitas Pelayanan Publik di Indonesia masih sangat rendah baik
pada tingkat kebijakan maupun implementasi peraturan. Rendahnya

13
kualitas Pelayanan Publik dipengaruhi oleh rendahnya kualitas
kebijakan dan sumber daya manusia (SDM). Banyak masalah penting
yang terjadi di lapangan dalam praktek penyelenggaraan pelayanan
publik, misalnya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian biaya
dan waktu pelayanan, serta rendahnya tingkat kepuasan masyarakat
terhadap Pelayanan Publik itu sendiri.
Berdasarkan data Ombudsman RI tahun 2015, terdapat 6.859 laporan
masyarakat yang masuk terkait kinerja aparatur pemerintah, dan ada
sepuluh institusi yang banyak dilaporkan oleh masyarakat,
diantaranya pemerintah daerah, kepolisian, lembaga pendidikan
negeri, perbankan, dan kejaksaan. Untuk mengoptimalisasi Pelayanan
Publik oleh birokrasi pemerintahan bukan suatu perkerjaan yang
mudah, mengingat optimalisasi menyangkut banyak aspek yang telah
membudaya dalam birokrasi pemerintahan sejak dahulu. Dimana
salah satu aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang tidak kondusif.
Permasalahan utama Pelayanan Publik pada dasarnya berkaitan
dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang
berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, antara lain pola
penyelenggaraan, dukungan sumber daya manusia, kelembagaan serta
adanya konsep yang jelas.
Di Indonesia, pelayanan publik selama ini masih dinilai
masyarakat sangat rumit dan bertele-tele, karena dalam memberikan
pelayanan publik, birokrasi di Indonesia dibuat menjadi lebih sulit.
Bahkan sudah menjadi rahasia umum dalam pemberian pelayanan
publik di Indonesia terkadang disalahgunakan oleh para birokrat,
sebagian dari mereka menjadikan Pelayanan Publik sebagai sumber
pendapatannya dengan meminta bayaran kepada masyarakat yang
ingin urusannya di pemerintahan dapat diurus dengan cepat, sehingga
menciptakan biaya tinggi. Oleh karena itu, Pelayanan Publik di kantor
pemerintahan Indonesia masih terbilang buruk, walaupun saat ini, di
era Jokowi Pelayanan Publik mulai berbenah dan perlahan bertambah
baik dengan adanya Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli)
yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No.87 Tahun 2016
tanggal 20 Oktober 2016.
14
Sedikit bercerita tentang Pelayanan Publik di Jepang,
Pelayanan Publik dirasakan oleh masyarakatnya telah berada pada
tahap memuaskan. Pelayanan Publik yang ada baik di bidang
pelayanan secara langsung kepada masyarakat ataupun dalam peran
birokrasi dalam penyelenggaran pemerintahan telah berjalan secara
efektif dan efisien. Kualitas yang prima pada Pelayanan Publik di
Jepang dipengaruhi oleh SDM yang berkualitas, dimana aparatur
negara sebagai pelaksana Pelayanan Publik di Jepang berkedudukan
sebagai aparatur negara memiliki kapabilitas dan kualitas yang baik.
Proses seleksi untuk menjadi aparat negara dilakukan melalui
penyeleksian yang memiliki standar dan sistem evaluasi. Selain itu,
profesi aparat pemerintah dalam pandangan masyarakat Jepang
memiliki prestise yang tinggi, sehingga banyak dari lulusan
universitas-universitas terkenal di Jepang, terutama Universitas Tokyo
dan Universitas Kyoto memililh untuk mengikuti seleksi tersebut
untuk menjadi aparat pemerintah. Selain itu, sebagian masyarakat
Jepang telah menyadari secara menyeluruh perannya sebagai abdi
negara untuk memberikan kualitas terbaik dalam pelayanannya
kepada masyarakat. Ada suatu kebanggaan jika mereka bisa
memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Kondisi ini,
telah terjadi sejak lama dan membudaya dalam masyarakat Jepang.
Pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Jepang bukan
hanya sebatas penyediaan prasarana/sarana. Dari sisi administrasi dan
birokrasi pun diberikan pelayanan secara profesional dan memadai.
Saat mengurus surat atau dokumen pada instansi pemerintahan, kita
tak perlu khawatir akan keharusan menyediakan uang administrasi
agar surat atau dokumen yang kita butuhkan dapat selesai. Pelayanan
yang diberikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Para pegawai
pemerintahan akan tersinggung apabila kita memberikan uang terima
kasih atau tip atas pelayanan cepat yang telah mereka berikan.
Birokrasi yang ribet, lama dan berbelit-belit itulah yang
Penulis rasakan saat akan mengurus Kartu Keluarga (KK), Kartu
Tanda Penduduk (KTP) serta surat tanah di Kantor Kelurahan atau
Kecamatan di Indonesia. Tetapi, hal itu sangat berbeda dan tidak
15
Penulis rasakan pada saat Penulis mendapatkan kesempatan untuk
melanjutkan studi di Jepang. Di sana Penulis melihat bahwa
pelayanan yang optimal merupakan salah satu kunci keberhasilan
Jepang dalam membangun negaranya menjadi lebih maju. Selama
tinggal disana Penulis banyak dimanjakan oleh berbagai kemudahan
dan fasilitas Pelayanan Publik di Negeri Sakura, seperti pembuatan
residence card atau KTP istilahnya di Indonesia, kartu asuransi, dan
lain lain bisa langsung Penulis lakukan dan dapatkan surat-suratnya
pada saat Penulis sampai dan melaporkan diri di Kantor Kecamatan di
Jepang. Berdasarkan pengalaman Penulis selama tinggal di Jepang
sebagai muslim yang tergolong minoritas, perkembangan penyediaan
layanan bagi muslim yang tinggal di Jepang sangat baik. Dalam hal
ini pemerintah sangat cepat dalam menjawab dan memenuhi
kebutuhan masyarakat sebagai pendatang maupun penduduk asli yang
bermukim di Jepang. Banyak hal yang Penulis pelajari disini, bahwa
Pelayanan Publik dapat berjalan baik karena pemerintah yang cepat
melihat dan membaca kebutuhan masyarakatnya, serta peran aktif
masyarakat dalam membantu jalannya Pelayanan Publik.
Berdasarkan uraian di atas, kondisi Pelayanan Publik di
Indonesia masih sangat buruk dan masih banyak hal-hal yang perlu
diperbaiki terkait masalah pelayanan terhadap publik. Gambaran
umum pelayanan di Indonesia masih diwarnai dengan adanya
tindakan pungutan liar, pelayanan yang berbelit-belit, penyelenggara
pelayanan yang tidak ramah, serta praktek KKN yang masih sering
ditemukan.
Buruknya Pelayanan Publik juga diperparah oleh rendahnya
partisipasi masyarakat dalam mengingatkan para pejabat publik
termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) agar bekerja lebih
professional. Semoga kedepannya pemerintah dan masyarakat di
Indonesia dapat bekerja sama dalam menciptakan Pelayanan Publik
yang lebih baik. Mental ingin selalu dilayani harus dibuang jauh-jauh
oleh para pelaku penyedia fasilitas Pelayanan Publik di Indonesia.
Lakukan yang terbaik untuk masyarakat, karena sebagai petugas

16
Pelayanan Publik digaji dari masyarakat pengguna Pelayanan Publik
tersebut.
Hubungan pemerintah dengan masyarakat dalam suatu negara
sangatlah penting karena syarat berdirinya suatu negara adalah adanya
rakyat atau masyarakat, selain syarat adanya wilayah dan pengakuan
dari negara lain. Rakyat atau masyarakat vis a vis pemerintah
memiliki hak dan kewajiban demikian halnya pemerintah vis a vis
rakyat memiliki hal yang sama.
Dalam tata hubungan pemerintah dengan masyarakat dikenal
berbagai konsep seperti hukum administrasi negara, hukum tata
pemerintahan atau hukum tata negara maupun hukum pelayanan
publik. Hukum administrasi negara (administrative law) cabang ilmu
hukum yang mempelajari mengenai tindakan-tindakan dalam
menyelenggarakan sebuah Negara sehingga sering juga disebut
hukum tata usaha negara. Hukum administrasi negara diuji dan
dilaksanakan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.
Sedangkan Hukum Tata Pemerintahan menurut Faried Ali
(1997:17), terbagi dalam 2 (dua) pengertian yaitu Hukum Tata
Pemerintahan Heteronom yaitu semua aturan hukum yang mengatur
tentang organisasi pemerintahan negara. Hukum Tata Pemerintahan
yang merupakan bagian dari hukum Tata Negara. Yang kedua
Hukum Tata Pemerintahan Otonom adalah aturan-aturan hukum yang
dibuat oleh aparat pemerintah yang sifatnya istimewa, baik aturan
yang sifatnya sepihak maupun aturan yang bersifat dua pihak atau
hukum yang dibuat oleh aparatur pemerintah atau oleh para
administrasi negara.
Menurut Cornelis van Vollenhoven, Hukum Tata Negara
adalah hukum yang mengatur semua masyarakat hukum atasan dan
bawahan menurut tingkatannya dan menentukan organ-
organ/lembaga-lembaga dalam masyarakat hukum bersangkutan, dan
menentukan susunan dan wewenang organ-organ/lembaga-lembaga
yang dimaksud.
Sementara hukum pelayanan publik mengatur hak dan
kewajiban penyelenggara pelayanan publik dan terdapat sanksi bagi
17
pelanggarnya. Karena itu Hukum Pelayanan Publik memiliki sifat
memaksa, mengikat dan mengatur hubungan masyarakat sebagai
penerima manfaat pelayanan publik dengan pelaksana dan
penyelenggara pelayanan publik. Tujuan dibentuknya Hukum
Pelayanan Publik sama dengan pembentukan hukum pada umumnya
yaitu untuk menciptakan kebaikan, menjamin keadilan dan ketertiban
dalam kehidupan bermasyarakat. Kebaikan yang diinginkan dalam
hukum pelayanan publik adalah Good Governance dan Clean
Government. Hukum pelayanan publik sebagaimana hukum pada
umumnya juga dapat dijadikan sebagai sebuah alat menciptakan
tatanan masyarakat dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Putra, 2020).
G. Pelayanan Publik : Beberapa Definisi
Banyak pakar organisasi dan manajemen memberikan batasan
yang berbeda-beda tentang definisi Pelayanan Publik. Kata dasar
"Pelayanan" menurut Pasalong (2010:128), didefinisikan sebagai
aktivitas seseorang, sekelompok dan/atau organisasi baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan.
Sedangkan definisi "Pelayanan Publik" menurut Mahmudi
(2010:223), adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan
oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan publik dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Definisi lain Pelayanan publik menurut Harbani Pasolong
(2007:128) adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang
menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan
menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu
produk secara fisik. Sementara Sinambela dalam buku "Reformasi
Pelayanan Publik" (2014:5) menyatakan bahwa "Pelayanan publik
adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh
penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat)
tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan

18
masyarakat. Pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah
(birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan
tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh
masyarakat, misalnya kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan lain-
lain."
Sementara pakar luar negeri seperti Roth (1926: 1)
mendefenisikan sebagai layanan yang tersedia untuk masyarakat baik
secara umum (seperti museum) atau secara khusus (seperti di restoran
makanan). Sedangkan Lewis & Gilman (2005:22) mendefinisikan
pelayanan publik adalah kepercayaan publik. Warga negara berharap
pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan
sumber penghasilan secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik. Pelayanan publik yang adil dan dapat
dipertanggungjawabkan menghasilkan kepercayaan publik.
Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan
publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintah yang baik.
Sementara definisi menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Kata "barang, jasa
dan pelayanan administratif" dalam bagian penjelasan dianggap sudah
jelas, tetapi sebenarnya maksud "barang" bukanlah barang yang bisa
diperdagangkan oleh manusia sehari-hari tetapi yang dimaksud adalah
barang publik (public goods) yang penyediannya dilakukan oleh
pemerintah.
Pelaksanaan pelayanan publik di Indonesia diawasi oleh
sebuah lembaga independen yang terbebas dari wilayah eksekutif
bernama Ombudsman Republik Indonesia. Kewenangan Ombudsman
dalam mengawasi pelaksanaan pelayanan publik sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 bahwa
Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan
19
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan
termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD dan BHMN
serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD.
H. Pelayanan Publik Perspektif Islam
Pelayanan publik dalam pandangan Islam bisa merujuk pada
Al-Baqarah [2]: ayat 267: "Hai orang-orang yang beriman nafkanlah
(dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu menafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (Q.S. al-Baqarah [2]:
267.)
Menurut Rachmadi dan Muslim dalam Jurnal JURIS (Vol. 14
No. 2), dalam kandungan ayat tersebut, Islam telah mengajarkan
kepada seluruh umat manusia (bukan saja untuk umat Islam) untuk
senantiasa memberikan pelayanan yang berkualitas. Apabila kita tarik
ke ranah pelayanan, maka ayat tersebut dapat bermakna bahwa para
petugas pelayan, hendaknya seseorang dengan baik sebagaimana ia
memperlakukan dirinya sendiri (Rachmadi & Muslim, 2015).
Rujukan lain secara normatif Rasulullah bersabda: hayrunnash
anfauhum linnash yang artinya"sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia" (HR Ahmad, ath-Thabrani, ad-
Daruqutni) yang dihasankan oleh al-Albani didalam Shahihul Jami'
no: 3289. Pengertian "baik" dalam hadist diatas tentunya bukan saja
baik dalam pandangan manusia meskipun memiliki nilai relatif di
mata manusia, tetapi "baik" dalam menurut Allah dan Rasul-Nya yang
tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya yang bernilai
absolut. Dengan demikian hadist ini memiliki pengertian bahwa
ketika seseorang membantu sesama manusia sehingga dirinya

20
bermanfaat bagi manusia lainnya maka termasuk kepada golongan
"sebaik-baik manusia" dimata Allah Swt dan Rasul-Nya.
Jika seorang Muslim mengemban tugas sebagai pelayan
publik, maka kandungan Al Quran dan hadist yang sebutkan di atas
dapat menjadi inspirasi dalam melakukan aktivitasnya agar dapat
bermanfaat bagi orang, bukan hanya mencari manfaat dari orang lain,
apalagi memanfaatkan orang lain untuk kepentingan dirinya. Cara
untuk menjadi seseorang yang bermanfaat bagi orang lain, salah
satunya dengan memberikan bantuan sesuai kebutuhan orang tersebut
sepanjang sesuai dengan bidang tugas dan kewenangannya. Menolong
dan bermanfaat bagi orang lain adalah perbuatan baik dan terpuji,
baik di mata manusia maupun di mata Allah Swt dan Rasul-Nya.

21
22
BAB 3
POTENSI SUMBER DAYA MANUSIA DI INDONESIA
A. Pengertian Sumber Daya Manusia
Secara sederhana (secara objektif) sumber daya diartikan
sebagai alat untuk mencapai tujuan, atau kemampuan untuk
memperoleh keuntungan. Sedangakan secara subjektif , sumber daya
dapat diartikan segala sesuatu baik berupa benda maupun bukan
benda yang dibutuhkan manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Secara sederhana sumber daya manusia dapat diartikan
sebagai seluruh penduduk yang berada di suatu wilayah atau tempat
dengan ciri-ciri demografis dan sosial ekonomis.
Sumber daya manusia adalah semua potensi yang
berhubungan dengan data kependudukan yang dimiliki oleh suatu
daerah atau negara yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia. Manusia merupakan sumber daya terpenting dalam
suatu bangsa atau negara. Sumber daya manusia harus memadai, baik
dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas. Segi kuantitas bersangkut
paut dengan jumlah, kepadatan, dan mobilitas penduduk. Sedangkan
kualitas terutama terutama dilihat dari beberapa aspek, seperti tingkat
pendidikan, tingkat kesehatan, dan kualitas tenaga kerja yang tersedia.

B. Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia


Kualitas sumber daya manusia merupakan merupakan
komponen penting dalam setiap gerak pembangunan. Hanya dari
sumber daya manusia yang berkualitas tinggilah yang dapat
mempercepat pembangunan bangsa. Jumlah penduduk yang besar,
apabila tidak diikuti dengan kualitas yang memadai, hanyalah akan
menjadi beban pembangunan. Kualitas penduduk adalah keadaan
penduduk baik secara perorangan maupun kelompok berdasarkan
tingkat kemajuan yang telah dicapai.
Agar menjadi sumber daya manusia yang tangguh penduduk
harus mempunyai kualitas yang memadai sehinga dapat menjadi
modal pembangunan yang efektif. Tanpa adanya peningkatan

23
koalitas, jumlah penduduk yang besar akan menimbulkan berbagai
masalah dan menjadi beban pembangunan.
Analisis mengenai kualitas sumber daya manusia sering
dibedakan menjadi kualitas fisik dan kualitas non fisik. Indikator yang
dapat menggambarkan kualitas fisik penduduk meliputi tingkat
pendidikan, derajat kesehatan, dan indeks mutu hidup. Kualitas non
fisik meliputi kualitas spiritual keagamaan, kekaryan, etos kerja,
kualitas kepribadian bermasyarakat, dan kualitas hubungan selaras
dengan lingkungannya.
Sampai saat ini, baik kualitas fisik maupun non fisik sumbar
daya manusioa Indonesia masih belum sesuai dengan yang
diharapkan. Karena adanya kesulitan pengukuran kualitas non fisik,
sehingga yang sering di jadikan patokan adalah kualitas fisik.
Kualitas kehidupan fisik penduduk setiap negara berbeda satu
dengan yang lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh lingkungan, letak
geografis, dan ras genetiknya. Negara-negara yang berada disekitar
khatulistiwa, kualitas penduduknya tergolong rendahdan negara-
negara tersebut merupakan negara terbelakang di bidang ekonomi
dibandingkan dengan negara-negara yang berada di daerah subtropis.
Keadaan ini kemungkinan besar disebabkan karena daerah-daerah
disekitar khatulistiwa tidak mengenal pergantian musimseperti di
daerah sub tropis, sehingga mereka bisa hidup sepanjang tahun tanpa
mengalami kesulitan mencari perlindungan terutama di musim dingin.
Hal inilah yang mendidik penduduknya kurang berfikir untuk
menghadapi tantangan alam, dan akhirnya menyebabkan sifat malas.
Dengan keadaan yang demikian, maka penduduk disekitar
khatulistiwa hidupnya tetap miskin walaupun daerah-daerah tersebut
kaya akan sumber daya alam. Keadaan ini sangat berbeda dengan
keadaan penduduk di daerah subtropis walaupun daerahnya tidak
tersedia sumber daya alam yang banyak, namun mereka sanggup
menguasai teknologi, sehingga hasil penguasaan teknologi tersebut
membuat kualitas kehidupan mereka menjadi lebih baik.

24
Indonesia yang mengedepankan sektor ekonomi yang selama
ini menjadi prioritas pembangunan, ternyata tidak mampu
meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

➢ Tiga faktor utama penentu HDI (Human Development


Indeks) yang dikembangkan UNDP adalah :
i.Pendidikan
Kualitas penduduk dalam bidang pendidikan sangat penting
untuk diketahui, sebab dapat menggambarkan kemampuan penduduk
dalam menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di
bidang pendidikan salah satu masalah yang dihadapi Indonesia adalah
tingkat putus sekolah yang tingi. Walaupun putus sekolah itu sudah
terjadi jauh sebelum krisis moneter, namun semakin menjadi-jadi
setelah Indonesia mengalami krisis moneter.
Untuk mengukur tingkat pendidikan penduduk, dapat
dilakukan dengan cara memperhatikan data penduduk yang masih
buta huruf, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, dan tamat Universitas.
Semakin tinggi presentase penduduk yang yang masih berarti kualitas
penduduk di nagara yang bersangkutan dilihat dari aspek pendidikan
sangat rendah. Dan secara umum bahwa tingkat pendidikan penduduk
Indonesia masih relatif rendah bahkan ada yang masih buta huruf.
➢ Ada beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya
kondisi tersebut di Indonesia, antara lain :
1. Biaya pendidikan relatif mahal sehingga tidak dapat dijangkau
oleh semua penduduk terutama penduduk yang mempunyai
penghasilan rendah.
2. Minat menyekolahkan masih sangat rendah, terutama di
daerah-daerah pedesaan terpencil. Dikalangan masyarakat
pedesaan yang terpencil, seorang anak masih dianggap sebagai
salah satu komoditas atau unit ekonomi keluarga. Banyak anak
usia sekolah daripada disekolahkan lebih baik dipekerjakan
untuk membantu orang tuanya
3. Sarana dan prasarana pendidikan yang masih belum memadai
dan proporsional, terutama untuk sekolah lanjutan (SMP dan
25
SMA). Keterbatasan daya tampung di SMP dan SMA,
menyebabkn lulusan SD tidak tertampung semuanya di tingkat
yang lebih atas. Idealnya, kalau pemerintah telah menetapkan
kebijaksanan wajib belajar sembilan tahun, proporsi SD dan
SMP harus seimbang. Oleh karena itu, pemerintah harus terus
berusaha secara maksimal untuk menyediakan layanan
pendidikan yang murah dan berkualitas.
4. Rendahnya kualitas sarana fisik
Banyak sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang gedung-
gedungnya telah rusak, kepemilikan dan penggunaan media
belajar rendah, buku perpustakaan tidak legkap dan banyak
yang rusak, laboratorium tidak standart, serta pemakaian
teknologi informasi tidak memadai. Bahkan yang lebih parah
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,
tidak memiliki perpustakaan, dan tidak memiliki laboratorium.
5. Rendahnya kualitas guru.
Keadaan guru di Indonesia sangat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang
memadai untuk melaksanakan tugasnya sebagai mana tertuang
dalam pasal 39 UU No.20/2003, yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan bimbingan, melakukan pelatihan,
melakukan penelitian, dan pengabdian masyarakat. Sebagian
besar guru di Indonesia dikatakan tidak layak mengajar. Hal
ini jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu,
yang tingkat pendidikannya hanya sampai SPG (SMA) atau
berpendidikan D2 ke bawah.
6. Rendahnya kesejahteraan guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai andil dalam
membuat rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia. Menurut FGII (Federasi Guru Independen
Indonesia) pada pertengahan 2005, idealnya guru mempunyai
gaji bulanan sebesar Rp 3.000.000. Tetapi kenyataannya
sekarang rata-rata gaji guru PNS Rp 1.500.000, guru bantu Rp
26
460.000, dan guru honorer rata-rata Rp10.000 per
jam. Dengan pendapatan yang seperti itu, banyak guru yang
melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di
sekolah lain, memberi les p[ada sore hari, menjadi tukang
ojek, pedagang buku/LKS, pedagang ponsel dan pulsa, dan
sebagainya. Keadaan seperti ini juga mempunyai andil untuk
mempengaruhi kualitas seorang guru. Seandainya guru-guru di
Indonesia telah sejahtera, maka mereka akan benar-benar
memusatkan segala aktivitasnya untuk melaksanakan
tugasnya. Masih rendahnya tingkat pendidikan penduduk,
merupakan suatu masalah yangperlu diatasi. Apabila tidak
segera diatasi, persoalannya akan semakin berat dan kompleks.

➢ Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk


menangani masalah redahnya tingkat pendidikan, antara lain :
✓ Memperluas kesempatan belajar, baik melalui jalur pendidikan
sekolah maupun luar sekolah. Selain itu perlu dilakukan upaya
penyadaran terhadap masyarakat bahwa pendidikan
merupakan media strategis guna meningkatkan kualitas
sumber daya insaniah.
✓ Meringankan biaya pendidikan dan membebaskan biaya bagi
yang tidak mampu, serta memberikan beasiswa bagi siswa
yang berprestasi. Di dalam UUD juga dikatakan bahwa setiap
warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
Oleh karena itu sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk
menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas dan
harganya murah.
✓ Meningkatkan jumlah dan kualitas sarana serta prasarana
pendidikan, seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium,
perpustakaan, media pembelajaran dan pengangkatan guru
serta ahli kependidikan yang profesional.
ii.Kesehatan
Selain pendidikan, kesehatan penduduk merupakan faktor
penting yang perlu untuk ditingkatkatkan, sebab jika penduduk terus-
27
terusan sakit, akan berpengaruh terhadap tingkat produktivitas.
Artinya, semakin banyak penduduk yang sakit, maka akan semakin
rendah kualitas penduduk berdasarkan tingkat kesehatan.
Kondisi kesehatan dan gizi anak di Indonesia masih
memprihatinkan. Selain cakupan yang masih rendah, program yang
diselenggarakan itu masih masih terfragmentasi sehingga tidak
menyentuh kebutuhan tumbuh kembang anak secara holistik.
Rendahnya cakupan dan kualitas penyelenggaraan program
pengembangan anak usia dini mengakibatkan kondisi anak Indonesia
masih memprihatinkan yang ditunjukkan dengan rendahnya derajat
kesehatan dan gizi.
Masalah kurang gizi pada anak dapat ditunjukkan dari
kurangnya energi dan protein (gizi makro) dan gizi mikro (terutama
kurang vitamin A, anemia, kurang yodium). Sampai dengan tahun
2000, keadaan gizi masyarakat menunjukkan kemajuan, yaitu terlihat
dengan menurunnya penderita masalah gizi utama (protein,
karbohidrat) pada berbagai kelompok umur. Akan tetapi sejak tahun
2000 sampai saat ini kekurangan gizi pada anak balita meningkat,
diantaranya menderita gizi buruk.
Rendahnya derajat kesehatan dan gizi pada anak usia dini
lebih banyak terjadi pada anak yang berasal dari keluarga tidak
mampu dan yang tinggal di wilayah pedesaan, serta di wilayah
dengan penyediaan layanan social dasar yang tidak memadai.
Sedangkan untuk meningkatkan/meratakan kualitas dan kuantitas
pelayanan kesehatan yang terjangkau, diwujudkan melalui revitalisasi
sistim kesehatan dasar dengan memperluas jaringan yang efektif dan
efisien termasuk Posyandu dan Polindes, peningkatan jumlah dan
kualitas tenaga kesehatan/revitalisasi kader PKK, pembentukan
standar pelayanan kesehatan minimum untuk kinerja sistim kesehatan
yang komprehensif, serta memperbaiki sistim informasi pada semua
tingkatan pemerintah.
Upaya surveillance dan monitoring dilakukan melalui
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaporan hal-hal penting,
pengalokasian budget dan personil pada saat outbreak investigation,
28
control dan rapid response, peningkatan early warning
system/penunjang kedaruratan, serta pengaplikasian National
Pandemic Preparedness Plan.
Untuk pendanaan kesehatan, Depkes akan meningkatkan
anggaran sektor kesehatan nasional melalui APBN sebesar 5-15%,
meningkatkan anggaran kesehatan di daerah melalui APBD sebanyak
15%, melakukan penghapusan wajib setor hasil pelayanan kesehatan
di daerah, meningkatkan transfer dana dari pusat untuk sektor
kesehatan daerah melalui dana alokasi khusus (DAK), dana
dekonsentrasi (Dekon), meningkatkan anggaran untuk prevensi dan
promosi serta membentuk sistim jaminan kesehatan sosial nasional
(Askeskin).
Lebih lanjut Menkes menegaskan bahwa untuk melaksanakan
pembinaan pembangunan kesehatan diperlukan dukungan politis
dalam upaya penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka
kematian bayi (AKB). Selain itu semua desa harus memiliki tenaga
bidan yang berkualitas (capable) yang ditunjang dengan dukungan
operasional yang memadai. Sejauh ini semua desa telah memiliki
Pondok Persalinan Desa yang dilengkapi dengan sarana dan biaya
operasional yang memadai.
Semua Puskesmas telah memiliki tenaga dokter dengan
didukung tenaga paramedis dan non medis sesuai standar dan
dilengkapi dengan sarana dan biaya operasional yang memadai.
Semua Puskesmas juga mampu melaksanakan pelayanan obstetrik
dan neonatal dasar (PONED). Sedangkan semua rumah sakit di
kabupaten/kota mampu melaksanakan pelayanan obstetrik dan
neonatal komperehensif (PONEK). Pada akhirnya diperlukan
kemauan dan kesadaran penduduk dalam upaya meningkatkan derajat
kesehatan ibu dan anak.

iii.Ekonomi
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor dalam
perubahan perekonomian. Dalam artian bagaimana menciptakan
sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki keterampilan
29
serta berdaya saing tinggi. Dalam kaitannya dengan hal tersebut ada
hal yang penting yang menyangkut kondisi sumber daya manusia
Indonesia, yaitu :
Pertama adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja
dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis
ekonomi sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja
yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang, dan ada sekitar 5,06 juta
orang penganggur terbuka (open unemployment).Angka ini
meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8
juta.
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja ada yang masih
relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih
didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2%. Kedua masalah
tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan
rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor
ekonomi.
Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang
berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya
kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara
di sisi lain, jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus
meningkat. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan
tinggi menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran
sarjana di Indonesia'
Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana
seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggung jawab. Fenomena
pengangguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena
ketidakmampuannya menciptakan iklim pendidikan yang mendukung
kemampuan wirausaha mahasiswa.
Masalah sumber daya manusia ini menyebabkan proses
pembangunan yang berjalan selama ini kurang di dukung oleh
produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan
pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumber
daya alam intensif (hutan dan hasil tambang), arus modal asing
30
berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian bukan
berasal dari kemampuan produktivitas sumber daya manusia yang
tinggi.
Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga
kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya
kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi persaingan
ekonomi. Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa
Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pad masa lalu.
Rendahnya alokasi APDN untuk sektor pendidikan pada serius
dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas sumber daya
manusia (SDM). Padahal sudah saatnya perbaikan baik tingkat pusat
maupun daerah secara serius membangun sumber daya manusia
(SDM) yang berkualitas. Sekarang bukan saatnya lagi Indonesia
membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah
seharusnya bangsa Indonesia secara benar dan tepat memanfaatkan
potensi sumber daya yang dimiliki dengan kemampuan SDM yang
tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional.

C. Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia Dalam


Pengelolaan Sumber Daya Mineral Dan Geologi
Jumlah penduduk Indonesia yang sudah melebihi 200 juta
jiwa merupakan potensi sumber daya manusia yang sangat strategis
bagi pelaksanaan pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur
dan sejahtera. Dengan potensi sumber daya manusia sebanyak itu kita
tidak perlu cemas akan kekurangan tenaga yang melaksanakan
pembangunan bangsa dan mengelola sumber daya alam yang
berlimpah ini. Pengelolaan sumber daya alam dalam rangka
pelaksanaan pembangunan menuju masyarakat yang sejahtera masih
sangat membutuhkan sumber daya manusia dalam jumlah yang tidak
sedikit.
Namun di balik berlimpahnya sumber daya manusia tersebut
kita tidak dapat berpuas diri demikian saja. Karena sumber daya
manusia yang berlimpah tersebut sebagian besar dengan kualitas yang
sangat rendah. Dari lebih 210 juta jiwa penduduk lebih dari
31
separohnya termasuk penduduk usia kerja. Dari pendudukusia kerja
tersebut hanya kira-kira 65% saja yang bekerja. Dari jumlah
penduduk usia kerja terseut hanya sekitar 4% saja yang memiliki
pendidikan di atas SLTA (Diploma, Sarjana, dan Pascasarjana).
Sementara itu bagian terbesar bagi penduduk usia kerja adalah lulusan
Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Memperhatikan kondisi tersebut diatas ternyata kualitas
sumber daya manusia yang berada dalam usia kerja masih sangat
rendah. Demikian juga halnya dengan sumber daya manusia yang
mengelola bidang geologi dan sumber daya mineral yang baru
sebagian kecil dengan tingkat pendidikan Diploma atau Sarjana
keatas.
Pemanfaatan sumber daya mineral dan geologi sangat erat
hubungannya dengan sumber daya manusia. Pengelolaan sumber daya
mineral dan geologi diarahkan bagi peningkatan kesejahteraan sumber
daya manusia Indonesia. Sedangkan untuk pengelolaan sumber daya
alam dan geologi diperlikan keahlian dan keterampilan sumber daya
manusia.
Dalam pengelolaan sumber daya mineral dan geologi yang
diselenggarakan oleh kontraktor asing pada umumnya penggunaan
sumber daya manusia untuk posisi tenaga ahli atau terampil
mengandalkan bantuan dari sumber daya manusia negara asing.
Karena keterbatasan kemampuan negara baik dari segi permodalan,
teknologi maupun sumber daya manusia maka kekayaan sumber daya
mineral dan geologi tidak dapat dikelola sendiri. Pengelolaan sumber
daya mineral dan geologi yang masih mengandalkan tenaga asing ini
juga mempengaruhi terhadap hasil yang diterima. Pada umumnya
pengelolaan sumber daya mineral dan geologi dilakukan dengan
sistem bagi hasil dengan perusahaan asing, sehingga bagian yang
diperoleh negara lebih sedikit jika dibandingkan dengan pengelolaan
yang dilakukan sendiri.
Dengan kewenangan penglolaan sumber daya mineral dan
geologi yang berada di tangan pemerintah, selama ini mengakibtkan
daerah tidak mempunyai kesempatan untuk ikut secara langsung
32
dalam pengelolaan sumber daya mineral dan geologi tersebut. Daerah
hanya memperoleh bagian hasil dari pengelolaan sumber daya
mineral dan geologi

D. Pengembangan Sumber Daya Manusia


Pengembangan sumber daya manusia dapat diartikan sebagai
usaha mempersiapkan orang baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat dengan segala kedudukannya. Hal ini berarti
bahwa usaha itu tidak terbatas pada pembinaan kemampuan fisik
melainkan juga kemampuan mental sebagai pendukung suatu
kebudayaan. Dengan demikian maka pengembangan sumber daya
manusia itu harus dapat mempersiapkan keterampilan jasmaniah
seseorang agar ia dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya serta
tanggungannya.
Pengembangan sumberdaya manusia juga harus dapat
mempersiapkan seseorang untuk memainkan peranan sosial secara
mantap sesuai dengan kedudukan-kedudukannya di masyarakat. Oleh
karena itu praktek komunikasi atau interaksi sosial yang efektif itu
hanya mungkin terselenggara kalau ada pranata yang terwujud atas
dasar nilai-nilai, maka pengembangan sumberdaya manusia berarti
usaha aktif penanaman sikap dan keterampilan pada anggota
masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku sebagai pedoman
hidup yang mengembalikan pola tingkah laku sosial mereka.
Melalui proses enkulturasi sebagai pendidikan dalam arti luas,
pengembangan sumber daya manusia menjelang diharapkan akan
dapat menghasilkan manusia Indonesia yang tangguh baik sebagai
perorangan, sebagai anggota suatu masyarakat ataupun sebagai
pendukung suatu kebudayaan yang aktif. Dengan demikian manusia
Indonesia seutuhnya itu tidak hanya mampu berusaha memenuhi
kebutuhan pokok bagi diri sendiri ataupun tanggungannya semata,
akan tetapi bersama-sama dengan anggota masyarakat lainnya ia
mampu mencapai tujuan bersama secara efektif. Disamping itu,
sebagai pendukung kebudayaan ia harus mampu mengembangkan
gagasan kreativitas berkarya kearah pembaharuan kebudayaan atas
33
dasar tradisi setempat maupun secara selektif juga atas dasar pengaruh
kebudayaan asing yang akan memperkaya sisitem idea, sistem sosial,
maupun sistem teknologi yang diperlukan dalam menghadapi
tantangan hidup selanjutnya.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dari segi non fisik
di utamakan pada segi-segi yang berkaitan dengan pembentukan
manusia Indonesia seutuhnya. Yakni iman yang berkaitan dengan
keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan Maha Pencipta, budi
pekerti yang berkaitan dengan keselarasan hubungan sesama manusia
dan masyarakat, dan akal pikiran yang berkaitan dengan keselarasan
hubungan manusia dengan lingkungan alam.
➢ Ada beberapa masalah yang dihadapi dalam
pengembangan sumber daya manusia Indonesia dipandang dari segi
kebudayaan.
1. Kenyataan bahwa bangsa Indonesia ini hidup dalam
masyarakat yang majemuk terdiri dari banyak suku bangsa dan
golongan dengan latar belakang anekaragam kebudayaan yang
menjadi kerangka acuan dalam pergaulan sosial.
2. Berkaitan dengan pembangunan yang pada hakikatnya
merupakan usaha peningkatan kesejahteraan di segala bidang.
Dalam penyelenggaraannya dilakukan dalam tempo yang
relatif singkat, banyak teknologi dan ilmu pengetahuan asing
yang diadopsi untuk mempercepat proses. Akibatnya akan
menuntut adaptasi (penyerapan) ke dalam sistem budaya yang
ada dan bahkan tidak mungkin akan menggeser nilai-nilai
yang tidak sesuai lagi atau mengembangkan nilai-nilai yang
lebih cocok dengan tuntutan pembangunan.
3. Akibat kontak-kontak dengan kebudayaan asing yang
dipermudah oleh kemajuan teknologi pada akhir-akhir ini.

Hampir tidak mungkin bagi suatu masyarakat dewasa ini


untuk menghindarkan diri dari pergaulan antar bangsa dan intas
budaya. Peralatan komunikasi dan transportasi yang di dukung oleh
teknologi modern memperlancar dan menambah intensitas kontak-
34
kontak kebudayaan. Baik secara langsung ataupun tidak langsung,
orang dapat melakukan komunikasi tanpa mengenal batas lingkungan
geografis, politik maupun kebudayaan.
Untuk mengatasi masalah yang pertama, di perlukan sistem
sosial yang mampu mengendalikan pergaulan antara sesama
penduduk tanpa memandang asal kesukuan maupun golongan. Akan
tetapi untuk mengembangkan sistem sosial yang memadai diperlukan
landasan yang diterima sebagai kerangka acuan bersama, yaitu
kebudayaan sebagai sistem arti nilai, gagasan vital dan keyakinan,
Dalam hal ini, pemerintah telah berusaha untuk mengembangkan
kebudayaan nasional yang diharapkan akan mendominasi kehidupan
sosial bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Sistem-sistem sosial itu akan terwujud apabila orang telah
menghayati kebudayaan sebagai sistem nilai gagasan vital dan
keyakinan yang akan menjadi kerangka acuan yang akan
mendominasi pola tingkah laku angota masyarakat Indonesia
hendaknya diarahkan pada penanaman dan penghayatan nilai-nilai
gagasan dan keyakinan yang disepakati bersama sebagai pedoman
hidup bernegara dn bermasyarakat.
Enkulturasi juga berkaitan dengan proses pembangunan yang
pada hakikatnya merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan hidup
bersama. Akan tetapi upaya peningkatan kesejahteraan hidup
bersama. Akan tetapi usaha peningkatan kesejahteraan terencana dan
diselenggarakan dalam tempo yang relatif singkat sering kali
menimbulkan banyak masalah. Usaha peningkatan kesejahteraan itu
mendorong orang untuk dengan cepat mendatangkan ilmu dan
teknologi asing dan belum tentu sama dengan kebudayaan yang
mendominasi kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Dari sistem
teknologi yang di impor, akhirnya akan menuntut penyesuaian pada
sistem sosial atau pola interaksi penduduk setempat yang akhirnya
cepat atau lambat akan menggeser nilai-nilai budaya setempat.
Tidak semua teknologi dan ilmu pengetahuan yang diserap
akan menimbulkan perubahan pada sistem sosial dan sistem idea
setempat. Akan tetapi untuk mengatasi kemungkinan terjadinya
35
ketegangan, sudah sepatutnya kalau setiap warga negara Indonesia di
bekali dan diperkuat kesadaran mereka dengan pengetahuan
kebudayaan yang memadai sehingga mereka nantinya dapat secara
selektif dan aktif menyerap pengaruh kebudayaan asing. Disamping
itu dengan bekal pengetahuan kebudayaan yang memadai setiap
warga negara Indonesia akan dapat melihat, memahami dan memilih-
milih gejala dan tantangan yang dihadapi untuk kemudian
merencanakan serta menentukan sikap ataupun perbuatan sesuai
dengan nilai-nilai. Dengan bekal pengetahuan kebudayaan yang sama
diharapkan setiap warga negara Indonesia akan dapat menanggapi
segala tantangan yang timbul dari lingkungannya maupun
perkembangan sejarah tanpa memastikan daya kreativitas yang
inovatif dalam menanggapi dinamika kebudayaan baik karena
pengaruh sesama kebudayaan Indonesia yang tumbuh dan
berkembang di daerah maupun karena pengeruh ebudayan asing yang
akan memperkaya kebudayaan nasional.

➢ Sumber daya manusia harus dapat dibina dan


diarahkan secara tepat agar mampu mengembangkan potensinya,
antara lain :
1. Manusia yang profesional, yang memiliki keahlian dan
ketarampilan sehingga mampu bekerja lebih produktif.
2. Manusia yang berkembang kemampuan intelektualnya
sehingga mampu menjadi pelopor perubahan masyarakat.
3. Manusia yang berjiwa wiraswasta yang mampu menciptakan
lapangan kerja untuk dirinya sendiri, tidak tergantung pada
kesempatan kerja yang diciptakan pemerintah, tetapi juga
mampu menciptakan lapangan kerja bagi orang lain

36
BAB 4
KEARIFAN LOKAL
A. Definisi Kearifan Lokal
Kearifan berasal dari kata arif. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, arif memiliki dua arti, yaitu tahu atau mengetahui. Arti
kedua cerdik, pandai dan bijaksana. Kata arif yang jika ditambah
awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kearifan berarti kebijaksanaan,
kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam berinteraksi.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan
serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah
dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga
dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat local wisdom atau
pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat
local genious.
Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu budaya yang
diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang berulang-ulang,
melalui internalisasi dan interpretasi ajaran agama dan budaya yang
disosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman
dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat.
Menurut Edy Sedyawati “kearifan lokal” adalah berbagai pola
tindakan dan hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas itu maka
diartikan, “kearifan lokal” itu terjabar dalam seluruh warisan budaya,
baik yang tangible maupun yang intangible.
Menurut Wales, kearifan lokal dapat dilihat dari dua perspektif
yang saling bertolak belakang. Yakni extreme acculturation dan a less
extreme acculturation. Extreme acculturation memperlihatkan bentuk-
bentuk tiruan suatu budaya yang tanpa adanya proses evolusi budaya
dan akhirnya memusnahkan bentuk-bentuk budaya tradisional.
Less extreme acculturation adalah proses akulturasi yang
masih menyisakan dan memperlihatkan local genius adanya. Yakni
adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan
dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-

37
unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan
asli.
B. Faktor Kearifan Lokal
➢ Fungsi/Peran Kearifan Lokal
“ Peranan Kearifan Lokal Bangsa Indonesia dalam
Menghadapi Arus Globalisasi “
Seiring dengan bekembang pesatnya teknologi, informasi dan
ilmu pengetahuan yang disebabkan karena kemampuan yang
dianugerahi kepada manusia dalam melakukan sebuah inovasi,
sehingga dengan perkembangan tersebut membuat gaya hidup orang
berubah, termasuk bangsa Indonesia. Dikarenakan berkembangnya
dengan pesatnya suatu ilmu pengetahuan, maupun teknologi dan
informasi, menjadikan batas antar Negara di seluruh dunia tidaklah
llagi menjadi suatu hambatan ataupun kendala untuk suatu Negara
melakukan suatu hubungan, dan hubungan antar negarapun semakin
mudah dilakukan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
serta teknologi dan informasi, dan kondisi yang seperti inilah biasa
kita kenal dengan istilah Globalisasi.
Seiring dengan derasnya arus globalisasi, menyebabkan
banyak sekali hal-hal yang mencoba masuk ke dalam suatu Negara
termasuk ke dalam Negara Indonesia, baik hal-hal yang bersifat
positif maupun hal negative, tergantung bagaimana cara Negara
tersebut menyaring hal-hal yang masuk tersebut. Agar hal-hal yang
masuk ke dalam Negara Indonesia tersbut bisa dapat disaring tentunya
bangsa Indonesia sendiri mempunyai penjelasan mengenai peran
budaya loal di dalam masyarakat itu sendiri agar budaya local yang
dimiliki bangsa Indonesia tidak tercampur dan hilang karena budaya
luar.
Kemudian budaya local itu sendiri juga haruslah dapat
menyaring, menutup dan menanggulangi suatu moral bangsa
Indonesia yang perlahan mulai mengalami degradasi, dan nilai-nilai
luhur yang dimiliki bangsa ini haruslah tetap dipertahankan. Banyak
sekali nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa yang biasa dilakukan oleh
masyarakat dalam kesehariannya dan ada pula yang dapat dijadikan
38
suatu kebanggan bagi bangsa Indonesia di dunia Internasional, karena
masing-masing Negara memiliki suatu kerelatifan dari keunikan
masing-masing Negara, tak terkecuali bangsa Indonesia sendiri
seperti berupa tarian, kesenian, adat-istiadat, bahasa, lagu, naskah,
dan tradisi atau kebiasaan. Semua itu merupakan suatu hal yang bisa
ditonjolkan oleh bangsa Indonesia kepada dunia Internasional.
Sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan kearifan local
sendiri sekali lagi haruslah benar-banar menyaring hal-hal ataupun
budaya dari Negara lain, apalagi bangsa Indonesia merupakan Negara
timur berdasarkan letak geografisnya dimana nilai-nilai sosial dan
toleransi masing sangat dijunjung tinggi disini, berbeda dengan
budaya barat dimana nilai-nilai kebebasanlah yang diterapkan.Bukan
bermaksud menceritakan bahwa budaya barat itu buruk, tetapi kurang
tepatlah untuk dicampur adukkan dari budaya barat dengan nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia, karena perilaku meniru budaya barat tidaklah
selamanya tepat. Tetapi sebagai bangsayang berada ditengah dunia
globalisasi, Indonesia haruslah bergerak mengikuti perkembangan
zaman, tetapi tetap berdiri tegak dengan kearifan local yang dimilki
Indonesia yang tidak akan hilang oleh zaman. Dan sebagai
masyarakat Indonesia haruslah berfikir global dan bertindak local
untuk berkarya di negeri ini dan dapat memajukan bangsa di tengah
derasnya arus globalisasi.
C. Pentingnya Kearifan Lokal Dalam Pembangunan
➢ PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN
KEARIFAN LOKAL
1. Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup adalah merupakan terjemahan dari “suistainable development”,
konsep pembangunan yang dikenal sebelumnya lebih populer
digunakan istilah “pembangunan yang berwawasan
lingkungan” sebagai terjemahan dari “Eco-development”.
Penegasan tersebut diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan
pembangunan ber kelanjut an yang berwawasan lingkungan hidup

39
berkaitan erat dengan pendayagunaan/pemanfaatan sumberdaya alam
sebagai suatu aset mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Pembangunan pada dasarnya adalah menciptakan dan
meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat secara
berkesinambungan, dan ditandai adanya pertumbuhan ekonomi yang
positif. Pemanfaatan sumberdaya alam menjadi salah satu modal dari
proses pembangunan daerah. Pembangunan daerah akan sustainable
(berkelanjutan) jika sumber- sumber pertumbuhan terjaga sepanjang
waktu. Oleh karena itu, sangat penting menjaga kelestarian sumber
daya alam bagi kemaslahatan generasi sekarang maupun yang akan
datang (Soemarwoto Otto, 1986).
Bagi Indonesia kontribusi yang dapat diandalkan dalam
menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal
pembangunan adalah dari sumberdaya alam. Sumberdaya alam
mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia baik
pada masa lalu, saat ini maupun masa mendatang. Di lain pihak
keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan dan begitu juga
aturan yang mestinya ditaati sebagai landasan melaksanakan
pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan mendukung pembangunan
dari sektor ekonomi kurang diperhatikan. Kecenderungan terjadi
penurunan daya dukung lingkungan dan meni pisnya ketersediaan
sumberdaya alam serta penurunan kualitas lingkungan hidup sangat
dirasakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa seluruh jenis
sumberdaya alam dan komponen lingkungannya harus dikelola sesuai
dengan daya dukungnya.
2. Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Sumberdaya
Alam
Kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam harus memiliki visi
makro untuk menciptakan ekologi yang sustainable. Sedangkan visi
mikronya adalah menjaga jenis-jenis keanekaragaman yang
sustainable. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam juga harus
memiliki rasa keadilan intragenerasi (antarkelompok masyarakat)
saat ini dan keadilan antargenerasi. Kearifan lokal
menciptakan harmonisasi antara alam dengan masyarakat. Kearifan
40
lokal tumbuh dari karakter dan budaya masyarakat yang sudah
mengakar dan secara turun temurun telah dijalani sebagai jalan hidup
penyatuan kultur sosial dengan alam disekitarnya (Nurjaya I Nyoman,
2008). Bagi masyarakat adat menempatkan persoalan- persoalan alam
sebagai bentuk interaksi dalam merespon segala perilaku manusia
(masyarakat) yang memperlakukannya. Manusia diciptakan Tuhan
sebagai pemimpin dimuka bumi, untuk mengelola alam dengan segala
isinya dengan baik dan sempurna sehingga bermanfaat untuk manusia
secara terus menerus. Proses pengelolaan alam oleh manusia perlu
dilihat apakah perlakuannya dalam konteks kapatuhan atau
kemungkaran, sehingga alam akan menyeimbangkan dengan
kekuatannya, karena alam memiliki sifat kepatuhan yang absolut
terhadap Tuhan-Nya (sunnatullah). Pemanfaatan alam dalam
pandangan ini tidak hanya dari segi pengetahuan tentang alam raya
sebagai suatu sistem, tetapi juga fenomena sosial yang muncul dari
interaksi antarmanusia dengan berbagai masalah yang dihadapi
sebagai ayat-ayat kauniah.
Perilaku manusia dapat diamati, diperhatikan, dipahami dan
dihayati melahirkan kesadaran dan keyakinan akan kebenaran dalam
kaitannya dengan nilai-nilai normatif (hukum), bukan saja harus
ditaati sebagai suatu kewajiban tetapi juga kesadaran dan keyakinan
akan kemurahan atau kemurkaan alam yang selalu mengarahkan
manusia kearah keselamatan dan kesejahteraan atau sebaliknya
kepada kehancuran/ bencana.
Kearifan lokal mengandung pengertian sebagai bentuk
hubungan yang serasi antara manusia dengan alam ataupun
sebaliknya, masyarakat lokal memahami kearifan secara totalitas
dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Kepatuhan terhadap hukum
adat (ulayat) yang pada dasarnya adalah warisan dari generasi
sebelumnya harus dimanfaatkan secara baik dengan memperhatikan
dampak bagi generasi yang akan datang. Sumberdaya alam
dimanfaatkan secara optimal tetapi bukan untuk dihabiskan karena
didalamnya ada hak generasi selanjutnya. Oleh karena itu, penting
sekali agar sumberdaya alam dikelola secara optimal dan
41
bekesinambungan dalam proses jangka panjang sebagai modal dasar
bagi pembangunan yang berkelanjutan sehingga dapat diwariskan
kepada generasi yang akan datang.

D. Kearifan Lokal Dan Tantangan Zaman


Kearifan lokal merupakan suatu bentuk warisan budaya
Indonesia yang telah berkembang sejak lama. Kearifan lokal lahir dari
pemikiran dan nilai yang diyakini suatu masyarakat terhadap alam
dan lingkungannya. Di dalam kearifan lokal terkandung nilai-nilai,
norma-norma, sistem kepercayaan, dan ide-ide masyarakat setempat.
Oleh karena itu kearifan lokal di setiap daerah berbeda-beda. Kearifan
lokal berkaitan erat dengan pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan. Masyarakat memiliki sudut pandang tersendiri terhadap
alam dan lingkungannya. Masyarakat mengembangkan cara-cara
tersendiri untuk memelihara keseimbangan alam dan lingkungannya
guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan melalui pengembangan kearifan lokal memiliki
kelebihan tersendiri. Selain untuk memelihara keseimbangan
sumberdaya alam dan lingkungannya, kebudayaan masyarakat
setempat pun dapat dilestarikan.
Kearifan lokal memiliki banyak fungsi sebagaimana yang
diungkapkan oleh Aulia (2010), menjelaskan bahwa bentuk-bentuk
kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma,
kepercayaan, dan aturan-aturan khusus.
Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi
kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi tersebut antara
lain adalah:
1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian
sumberdaya alam.
2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya
manusia.
3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.

42
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan.

Namun, dewasa ini kearifan lokal menghadapi tantangan-


tantangan yang mengancam keberadaan dan kelestariannya. Kearifan
lokal yang telah terbentuk sejak lama kini mulai terkikis seiring
berkembangnya teknologi diikuti meningkatnya proses adopsi inovasi
serta difusi adopsi teknologi. Suhartini (2009) menyatakan bahwa
kearifan lokal-kearifan lokal ikut berperan dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungannya. Namun demikian kearifan lokal
juga tidak lepas dari berbagai tantangan seperti: bertambahnya terus
jumlah penduduk, teknologi modern dan budaya, modal besar serta
kemiskinan dan kesenjangan.
Berbagai teknologi yang berkembang saat ini pada dasarnya
memiliki potensi besar untuk merusak keseimbangan alam dan
lingkungan. Berbagai bentuk eksploitasi terhadap alam kini sudah
merupakan hal yang dianggap biasa. Begitu banyak elemen
masyarakat hingga pemerintah mengadopsi berbagai teknologi untuk
mengekploitasi alam secara besar-besaran, tanpa pernah
memperhatikan aspek kearifan lokal yang berkembang di masyarakat.
Salah satu contoh adalah penggunaan teknologi penangkapan ikan di
Maluku yang tidak memperhatikan kearifan lokal masayarakat.
Dampak yang ditimbulkan adalah rusaknya sumberdaya air dan
tersingkirkannya kearifan lokal masyarakat Maluku yang disebut
sasih1. Sehingga pada akhirnya secara perlahan-lahan kearifan-
kearifan lokal tersebut memudar bahkan menghilang di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Selain itu juga berakibat kepada terjadinya
ketidakseimbangan lingkungan yang dapat mengakibatkan terjadinya
berbagai bencana alam. Masuknya berbagai teknologi tersebut
menyingkirkan peran kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya
alam dan lingkungan adalah norma-norma yang didasarkan
pengetahuan lokal yang mengatur waktu pemanenan ikan.
Masayarakat memiliki pengetahuan pada bulan-bulan kapan
ikan bertelur. Masyarakat mulai meninggalkan pola pikir holistik2 dan
beralih kepada pola pikir mekanistik3 serta berorientasi komersil.
43
Sehingga melahirkan perilaku-perilaku yang ingin menaklukan alam
untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok.
Sehingga pada akhirnya banyak terjadi berbagai bencana alam akibat
keseimbangan alam diganggu.
Selain perkembangan teknologi, tantangan-tantangan lain
yang dihadapi kearifan lokal-kearifan lokal masyarakat adalah
pertambahan penduduk. Robert Malthus dalam Suhartini menyatakan
bahwa penduduk yang banyak merupakan penyebab kemiskinan, hal
ini terjadi karena laju pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret
ukur tidak akan pernah terkejar oleh pertambahan makanan dan
pakaian yang hanya mengikuti deret hitung (Soerjani dkk, 1997:99).
Adanya kebutuhan pangan yang tinggi menuntut orang untuk
meningkatkan produksinya guna mencukupi kebutuhan tersebut,
sehingga melakukan modernisasi pertanian dengan melakukan
revolusi hijau. Dalam Revolusi hijau dikembangkan penggunaan bibit
unggul, pemupukan kimia, pengendalian hama penyakit dengan obat-
obatan, pembangunan saluran irigasi secara besar-besaran untuk
pengairan dan penggunaan teknologi pertanian dengan traktor untuk
mempercepat pekerjaan. Sebagai akibat pelaksanaan revolusi hijau
yang menekankan pada tanaman padi secara monokultur dengan bibit
unggul maka akan mempengaruhi kehidupan petani lokal dalam
menggunakan bibit lokal yang sebenarnya mempunyai ketahanan
terhadap hama dan penyakit, pupuk kandang dan pupuk organik yang
digantikan dengan pupuk kimia, penggunaan hewan untuk membajak
yang digantikan traktor, penggunaan obat-obatan dari tanaman untuk
pertanian dengan obat-obatan kimia. Berikut dipaparkan salah satu
contoh persentase penggunaan berbagai pupuk di daerah Temanggu.
Tabel berikut menunjukkan bahwa semakin meningkatnya
ketergantungan petani terhadap penggunaan pupuk kimia
dibandingkan penggunaan pupuk organik.
Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, prospek kearifan
lokal di masa depan bergantung dari pemanfaatan dan pemberdayaan
kearifan lokal yang dimiliki masyarakat guna mengelola sumberdaya
alam dan lingkungan. Pengetahuan mengenai kearifan lokal yang
44
dimiliki masyarakat yang diturunkan secara turun temurun serta
inovasi dan teknologi juga mempengaruhi keberlangsungan kearifan
lokal di masa depan. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan sudah
saatnya memberlakukan kebijakan terkait adopsi teknologi
penggunaannya serta difusi teknologi yang melindungi sumberdaya
alam dan lingkungan melalui kearifan lokal. Berbagai kearifan lokal
yang masih bertahan adalah pranoto mongso4 di Jawa dan nyabuk
gunung5.
Sartini mengungkapkan bahwa ada banyak peluang untuk
pengembangan wacana kearifan lokal Nusantara. Di samping itu
kearifan lokal dapat didekati dari nila-inilai yang berkembang di
dalamnya seperti nilai religius, nilai etis, estetis, intelektual atau
bahkan nilai lain seperti ekonomi, teknologi dan lainnya. Maka
kekayaan kearifan lokal menjadi lahan yang cukup subur untuk digali,
diwacanakan dan dianalisis mengingat faktor perkembangan budaya
terjadi dengan begitu pesatnya.

1. Berfikir Global Bertindak Lokal


Globalisasi yang dikatakan menembus batas ruang dan waktu
menjadikan tema lokalitas hangat diperbincangkan. Sebuah upaya
dalam kesadaran berbagsa dan bernegara dimana warganya sudah,
saya rasa dan mungkin Anda rasakan, frustasi dengan penggerak roda
pemerintahan pusat. Wacana yang digulirkan dari berbagai forum
diskusi, seminar, ataupun kuliah hanya satu: Perlawanan. Paradigma
yang dibangun juga selalu sama, daya saing sebuah negara bangsa
dalam kancah dunia internasional. Industri massif untuk keperluan
global kini mulai dipertanyakan. Muncullah kemudian slogan-slogan
hingga gerakan legal dan non-legal berdiri atas nama menjunjung
tinggi nilai lokalitas. Ranah teknisi praktis bukan dikolaborasikan,
namun, justru dibenturkan dengan data-data sejarah. Sebuah niatan
luhur.
Kebangkitan gerakan lokal selalu memiliki tiga senjata, yaitu
tradisi, seni, dan makanan. Selain dari itu seringkali masih sulit untuk
diterima. Gerakan tersebut mengambil hati masyarakat luas dengan
45
sebuah harapan akan kesejahteraan, lagi-lagi menyentuh dimensi
ekonomis. Terkhusus untuk orang-orang yang memiliki latar belakang
Jawa, pengarsipan mengenai wilayah yang mereka tempati ini tersedia
dengan sangat banyak. Alhasil, acuan yang mereka gunakan dengan
mudah dicari dan tidak perlu sulit riset ataupun analisis yang
memakan waktu lama. Majapahit menjadi tonggak terpenting sejarah
kejayaan kelompok lokal atas pendudukan wilayah lain yang disebut
Nusantara. Gerakan bernafaskan lokal ini selalu memilih jalan untuk
kemudian ‘menduniakan’ unsur-unsur lokal mereka. Berbeda dengan
industri skala besar, mereka tetap membangun pola yang terpusat. Ini
merupakan sebuah strategi defensif secara spasial yang mencakup
berbagai macam sumber daya yang ada didalamnya. Kemudian yang
mereka junjung tinggi hanya berada pada satu kata, keaslian. Gerakan
ini dibuat seolah menjadi kesadaran komunal. Namun saya katakan
ini merupakan fiktif belaka.
Gerakan untuk membangkitkan unsur lokalitas tidak dibangun
atas dasar kesadaran komunal untuk menjadi sebuah wilayah yang
berdikari. Pendirian gerakan-gerakan yang bersifat lokal selalu rawan
ditunggangi berbagai kepentingan privatisasi. Isu pemberdayaan
masyarakat dengan mengembangkan tradisi, seni, dan makanan
sebagai pemicu ekonomi kreatif, tidaklah kemudian menjadi sebuah
perlawanan yang utuh. Pada saatnya, ketika senjata-senjata ini ampuh
untuk memicu perekonomian masyarakat, saat itu pula hukum alam
kapitalisme bermain. Hanya ada dua kemungkinan yang terjadi
selanjutnya. Pertama, terjadinya pemiskinan secara komunal; dan
kedua, terjadi jurang kesenjangan yang begitu besar. Dalam gerakan-
gerakan bernafaskan kebangkitan unsur lokal, mereka menempatkan
pasar sebagai salah satu tujuan utama selain penguatan identitas.
Gerakan lokal yang pendiriannya dikatakan sebagai kesadaran
komunal hanya mengantarkan kepada bentuk privatisasi lain.
Gerakan bernafaskan lokalitas, selalu memiliki sebuah strategi
yang mereka sebut sebagai strategi budaya. Mereka menolak untuk
menyamakannya sebagai strategi politik. Dasar dari argumen tersebut
berasal dari satu kalimat. Kekecewaan dan keputusasaan terhadap
46
negara. Dalih ini selalu muncul untuk ‘memurnikan’ setiap gerak-
gerik mereka dan mengatasnamakan kesadaran komunal dari orang-
orang yang peduli dengan budaya lokal. Legalitas mereka dapatkan
dari gerakan sejenis yang ada di kancah nasional, seperti kementrian
lalu turun ke dewan kesenian dan juga dinas pariwisata serta
kebudayaan, provinsi lalu kaderisasi hingga tingkat desa. Paradigma
yang dibangun tidak lagi diharuskan untuk bangga jika kemudian
mereka ‘ditanggap’ oleh para pejabat. Mereka diberikan dikotomi
untuk langsung menyasar tingkat global. Afiliasi yang paling dekat
dengan gerakan ini adalah sebagai bagian dari promosi wisata. Celah
mereka dapatkan dari wisata tidak kemudian menjadikan gerakan
mereka hanya sebagai sebuah distributor barang siap pakai yang
diambil dari etalase toko oleh pembeli.
Ketakutan nyata dari gerakan ini adalah hilangnya bentuk-
bentuk dari lokalitas itu sendiri. Nilai yang kemudian terkandung
didalamnya hanyalah sebagai ‘tempelan’, agar setidaknya ada
pelajaran hidup yang didapatkan selain nilai ekonomis semata. Tidak
berarti saya melihat tidak ada niatan baik untuk kemudian mengubah
paradigma pembagian wilayah adidaya di dunia. Ketika sebuah
perlawanan dengan senjata-senjata ini dikeluarkan, saya rasa pasar
bukanlah tujuan yang sebenarnya. Memang pada dasarnya gerakan
bernafaskan lokalitas ini memiliki niatan untuk melestarikan budaya
dan juga menolak bentuk-bentuk penyergaman atas globalisasi.
Sayangnya, gerakan-gerakan semacam ini seringkali mengkerdilkan
perbedaan-perbedaan. Pada satu kesempatan, dalam satu forum
diskusi mengkritisi habis-habisan tayangan MAHABARATA yang
sangat digandrungi. Kemudian segala yang menjadi catatan sejarah
mereka kuatkan dengan perbandingan yang seringkali sangat tidak
berbanding. Dan masih banyak lagi.
2. Pertaruhan identitas
Pernah dalam sejarah Indonesia, nilai-nilai lokal sangat
dipersempit ruang geraknya. Pemerintah meneriakkan nasionalisme
dengan praktik-praktik penguasaan di berbagai wilayah. Semboyan
Bhineka Tunggal Ika adalah mantra sakti bagi pemerintah saat itu.
47
Sampai hari ini semboyan itu tetap menjadi mantra sakti, namun
bertransfromasi. Identitas nasional bukan lagi dibentuk dan dibangun
oleh pemerintah. Hari ini kesadaran berbangsa tumbuh dari pojok-
pojok negeri ini.
Gerakan bernafaskan lokalitas dengan gagah menyatakan
identitas lokal mereka yang kemudian dibawah naungan semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Semangat untuk meningkatkan kesejahteraan
bukan hanya untuk masyarakat di wilayah tersebut, namun juga
diharapkan sebagai pemicu bagi daerah-daerah lainnya untuk
melakukan gerakan yang sama. Namun, kembali lagi, faktor
kesejarahan yang kemudian mendominasi bangsa ini untuk saya
menjadi sebuah kerisauan tersendiri. Bagaimana mungkin, ketika
sebuah wilayah di NTT membuat gerakan yang sama dengan landasan
sekuat di Jawa Timur. Ketimpangan terjadi. Ada yang menjadikan
gerakan-gerakan ini tidak kemudian mengambil faktor sejarah atas
dominasi, yaitu pasar. Ini menjadi sebuah ajang pertaruhan dari
kebangkitan gerakan-gerakan lokal yang kemudian menyasar pada
persaingan. Pada saat itulah kecerdikan dari aktor-aktor yang
mengerti sekali bahwa manusia adalah homo economicus bermain.
Ketimpangan ini akan menjadikan masyarakat di sebuah
wilayah tidak ingin dipersamakan dengan masyarakat di wilayah
lainnya. Pertarungan wacana dari setiap gerakan lokal akan
menjadikan identitas sebagai dalih pemersatu dan pada saatnya
menjadi terbelah-belah. Bagi saya, ini merupakan cerminan bahwa
negara ini sedang berada pada titik kegoyahan. Gerakan ini bukan
hanya merujuk pada kerinduan warga negara untuk terlahir dengan
identitas kultural. Lebih dari itu, gerakan ini merangsek masuk pada
nalar masyarakat bahwa negara hanya sebagai boneka dan alat
penindas bagi warganya.
E. Kearifan Lokal Dan Penguatan SDM
1. Kearifan Lokal sebagai Identitas dan Ideologi
Bangsa
Boni Hargens (2011) dalam tulisannya di Kompas menyatakan
bahwa arus modernisasi, liberalisasi, dan globalisasi semestinya tidak
48
meniadakan suatu negara jatuh dalam percaturan global asal saja
negara tersebut ditopang oleh identitas nasional yang kuat, tetapi juga
didukung oleh ideologi dan kepemimpinan politik yang kuat. Selain
etika moral yang bersumber pada agama, di Indonesia juga terdapat
kearifan lokal yang menuntun masyarakat kedalam hal pencapaian
kemajuan dan keunggulan, etos kerja, serta keseimbangan dan
keharmonisan alam dan sosial. Kita mengenal pepatah ”gantungkan
cita-citamu setinggi bintang di langit”, “bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian” yang mengimplikasikan ajakan untuk
membangun etos kerja dan semangat untuk meraih keunggulan.
Dalam hal keharmonisan sosial dan alam, hampir semua budaya di
Indonesia mengenal prinsip gotong royong dan toleransi. Dalam suku
tertentu yang bermukim di pedalaman juga dikenal kearifan lokal
yang bersifat menjaga dan melestarikan alam sehingga alam
(misalnya kayu di hutan) hanya dimanfaatkan seperlunya, tidak
dikuras habis.
Dengan sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya
manusia yang banyak, semestinya Indonesia telah menjadi negara
besar yang maju. Namun, di tingkat Asia Tenggara saja posisi kita di
bawah Singapura yang miskin sumber daya alam dengan luas wilayah
lebih kurang hanya seluas Jakarta. Sumber daya alam yang melimpah
di negeri ini kadang-kadang juga tidak menjadi berkah. Gas alam
diekspor ke luar negeri dengan harga jual yang lebih rendah daripada
harga jual untuk pasar dalam negeri. Hutan dieksploitasi secara luar
biasa untuk mengejar perolehan devisa yang pada akhirnya hanya
mendatangkan kerusakan ekosistem alam yang disusul dengan
bencana (banjir;longsor).
Kebijakan ekonomi pemerintah acap kali hanya berpihak pada
kepentingan pemodal kuat. Padahal, Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945 yang oleh para pendiri republik ini diciptakan untuk
mengakomodasi kearifan lokal yang ada di negeri ini (seperti gotong
royong dan kekeluargaan) dengan tegas mengamanatkan bahwa
perekonomian nasional disusun berdasarkan asas kekeluargaan dan
sumber daya alam yang ada dikuasai negara untuk kemakmuran
49
rakyat. Secara faktual, dapat kita saksikan pertumbuhan mini market
yang sangat subur yang mematikan warung rumah tangga.
Sementara itu, dalam masyarakat sendiri sering terjadi tindak
kekerasan yang mereduksi nilai toleransi. Dalam konteks perubahan
nilai sosiokultural juga terjadi pergeseran orientasi nilai. Masyarakat
cenderung makin pragmatis dan makin berorientasi pada budaya uang
serta terperangkap dalam gaya hidup konsumtif yang disodorkan
kekuatan global kapitalisme. Dalam realitas Indonesia kini, secara
ekstrem dapat dikatakan bahwa kearifan lokal yang kita miliki mirip
benda pusaka, yang kita warisi dari leluhur, kita simpan dan kita
pelihara, tetapi kita tidak mampu mengimplementasikannya dalam
kehidupan nyata sehingga pusaka tersebut sia-sia merespons
tantangan zaman yang telah berubah.
Dalam kaitannya dengan kearifan lokal dan realitas Indonesia
kini, Kompas edisi 20 April 2011 menampilkan dua tulisan yang
relevan, yakni “Saya Mohon Ampun” oleh Radhar Panca Dahana dan
“Pembangunan Gerus Kearifan Lokal” oleh Wasisto Raharjo Jati.
Dalam tulisannya, Radhar Panca Dahana mencemaskan perilaku para
elit negeri ini yang antara sadar dan tidak sadar telah menjadi agen
kepentingan dan keserakahan ekonomi dan politik negara maju
(sehingga Indonesia hanya dijadikan sekadar pasar sambil dikuras
habis sumber daya alamnya). Sementara itu, Wasisto Raharjo Jati
mengemukakan bahwa pembangunan di Indonesia yang terpaku pada
pertumbuhan ekonomi semata telah mengabaikan kearifan lokal dan
menimbulkan potensi konflik vertikal dan horizontal di kemudian
hari. Karena berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, secara tidak
langsung pemerintah juga telah menjejalkan “budaya uang” sehingga
cenderung mengurangi dan meniadakan kearifan dan budaya lokal.
Kearifan lokal dapat dipandang sebagai identitas bangsa,
terlebih dalam konteks Indonesia yang memungkinkan kearifan lokal
bertransformasi secara lintas budaya yang pada akhirnya melahirkan
nilai budaya nasional. Di Indonesia, kearifan lokal adalah filosofi dan
pandangan hidup yang mewujud dalam berbagai bidang kehidupan
(tata nilai sosial dan ekonomi, arsitektur, kesehatan, tata lingkungan,
50
dan sebagainya). Sekadar contoh, kearifan lokal yang bertumpu pada
keselarasan alam telah menghasilkan pendopo dalam arsitektur Jawa.
Pendopo dengan konsep ruang terbuka menjamin ventilasi dan
sirkulasi udara yang lancar tanpa perlu penyejuk udara.
Pendopo adalah salah satu contoh bagaimana kearifan lokal
warisan masa lampau telah memberikan kepada kita konsep arsitektur
yang lega, nyaman, dan hemat energi. Sekarang ini, kita
mempersoalkan krisis energi dan menyerukan hemat energi. Namun,
gedung dan rumah dibangun dengan konsep bangunan tertutup
sehingga memerlukan penyejuk udara yang boros energi. Kearifan
lokal dalam wujud gotong royong juga kita kenal di warung rakyat
(misalnya warteg). Di warung tersebut dipraktikkan penggiliran
pengelolaan warung sebagai implementasi nilai gotong royong dalam
tata sosial dan ekonomi: memberi peluang kerja dan peluang mencari
nafkah bagi kerabat dan warga sekampung; itu adalah salah satu
kearifan lokal warisan masa lampau yang masih diberlakukan oleh
sebagian masyarakat.
Di negeri ini, ada sesuatu yang aneh dan janggal: kearifan
lokal di tingkat akar rumput acap kali berhadapan dengan kebijakan
pemerintah yang pro pertumbuhan ekonomi (sehingga mengundang
investor asing dan memberikan banyak kemudahan, termasuk dalam
hal regulasi, sambil mengabaikan kearifan lokal yang tumbuh di akar
rumput (Radhar Panca Dahana dan Wasisto Raharjo Jati, 2011).
Pancasila sebagai ideologi negara pada dasarnya telah
mengakomodasi kearifan lokal yang hidup di Nusantara (antara lain
nilai gotong royong sehingga salah satu sila Pancasila adalah
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”). UUD 1945 (yang
dijiwai oleh Pancasila) juga mengamanatkan hal yang sama, terutama
dalam Pasal 33. Akan tetapi, saat ini Pancasila dapat dikatakan
menjadi sekadar aksesori politik belaka. Memaknai kearifan lokal
tampaknya tidak dapat dipisahkan dari konstelasi global. Indonesia
dengan kekayaan alam yang melimpah dan posisinya yang strategis
menjadikan Indonesia senantiasa menjadi incaran negara maju sejak
zaman kolonial Hindia Belanda. Hingga kini pun setelah
51
pemerintahan berganti beberapa kali, pemerintah tidak dapat
menunjukkan independensinya: banyak kebijakan pemerintah yang
lebih berpihak pada kepentingan kekuasaan ekonomi dan politik
global daripada berpihak pada kepentingan rakyat dalam negeri.
Tentang hal itu dapat dibaca tulisan Radhar Panca Dahana (2011)
yang secara satiris mengatakan bagaimana kekuasaan pemerintahan
telah menjadi kepanjangan tangan kepentingan ekonomi global.
Kearifan lokal (yang sesungguhnya dapat dipandang sebagai
identitas bangsa) tidak akan bermakna apa pun tanpa dukungan
ideologi yang berpihak kepadanya. Dalam konstelasi global, ketika
perang dingin telah berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet (dan
negara yang masih menganut Marxisme pun telah menerapkan sistem
ekonomi kapitalistik seperti Cina dan Vietnam), tanpa ideologi yang
berpihak pada kepentingan nasional, kita akan semakin kehilangan
identitas dalam percaturan global dan hanyut dalam arus globalisasi
yang “didikte” oleh negara maju.
2. Kearifan Lokal: antara Pusaka dan Senjata
Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari
leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra
lisan atau sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat penuturnya, tetapi
terdapat dalam berbagai bidang kehidupan nyata, seperti filosofi dan
pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur. Dalam dialektika hidup-
mati (sesuatu yang hidup akan mati), tanpa pelestarian dan
revitalisasi, kearifan lokal pun suatu saat akan mati. Bisa jadi, nasib
kearifan lokal mirip pusaka warisan leluhur, yang setelah sekian
generasi akan lapuk dimakan rayap. Sekarang pun tanda pelapukan
kearifan lokal makin kuat terbaca. Kearifan lokal acap kali
terkalahkan oleh sikap masyarakat yang makin pragmatis, yang
akhirnya lebih berpihak pada tekanan dan kebutuhan ekonomi.
Sebagai contoh, di salah satu wilayah hutan di Jawa Barat, mitos
pengeramatan hutan yang sesungguhnya bertujuan melestarikan
hutan/alam telah kehilangan tuahnya sehingga masyarakat sekitar
dengan masa bodoh membabat dan mengubahnya menjadi lahan

52
untuk berkebun sayur. Ungkapan Jawa tradisional mangan ora
mangan waton kumpul (biar tidak makan yang penting berkumpul
dengan keluarga) sekarang pun makin kehilangan maknanya: banyak
perempuan di pedesaan yang berbondong-bondong mendaftarkan diri
untuk bekerja di mancanegara dengan risiko terpisah dari keluarga
daripada hidup menanggung kemiskinan dan kelaparan.
Kearifan lokal hanya akan abadi kalau kearifan lokal
terimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari sehingga
mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah.
Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan
negara, misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang
berasaskan gotong royong dan kekeluargaan sebagai salah satu wujud
kearifan lokal kita. Untuk mencapai itu, perlu implementasi ideologi
negara (yakni Pancasila) dalam berbagai kebijakan negara. Dengan
demikian, kearifan lokal akan efektif berfungsi sebagai senjata tidak
sekadar pusaka yang membekali masyarakatnya dalam merespons dan
menjawab arus zaman.
Revitalisasi kearifan lokal dalam merespons berbagai
persoalan akut bangsa dan negara ini, seperti korupsi, kemiskinan,
dan kesenjangan sosial hanya akan berjalan dengan dukungan
kebijakan negara dan keteladanan. Tanpa itu, kearifan lokal hanya
merupakan aksesori budaya yang tidak bermakna. Kearifan lokal di
banyak daerah pada umumnya mengajarkan budaya malu (jika
berbuat salah). Akan tetapi, dalam realitas sekarang, budaya malu itu
telah luntur. Peraturan yang ada pun kadang-kadang memberi peluang
kepada seorang terpidana atau bekas terpidana untuk menduduki
jabatan publik. Jadi, budaya malu sebagai bagian dari kearifan lokal
semestinya dapat direvitalisasi untuk memerangi korupsi, apalagi
dalam agama pun dikenal konsep halal haram (uang yang diperoleh
dari korupsi adalah haram).
Di antara berbagai penggerusan kearifan lokal saat ini, di sisi
lain kita masih menyaksikan pemanfaatan kearifan lokal, misalnya di
dunia medis terjadi pengembangan obat herbal yang merupakan
warisan leluhur di bidang medis yang kemudian disempurnakan
53
dengan standar farmakologi yang berlaku. Jadi, itu adalah salah satu
wujud kearifan lokal yang telah memperoleh revitalisasi dalam
masyarakat.
Di tengah derasnya arus investasi asing di bidang kuliner yang
merambah ke negeri ini (seperti Kentucky Fried Chicken, Mc Donald,
dan Pizza Hut), kita masih dapat menyaksikan menu kuliner lokal
(masakan Sunda, Padang, dan Yogya) tetap eksis dan sebagian hadir
dalam tata kelola restoran modern. Itu adalah revitalisasi kearifan
lokal di bidang kuliner. Sementara itu, gotong royong sebagai wujud
kearifan lokal kita tampaknya belum terimplementasikan dalam
perekonomian nasional yang makin didominasi oleh asing dan
perusahaan multinasional dengan semangat neoliberalisme dan
neokapitalisme. Perekonomian nasional yang berpijak dan tumbuh
dari rakyat setidaknya mencerminkan identitas dan nasionalisme kita.
Ketergantungan ekonomi pada asing akan menyebabkan kita dengan
mudah didikte oleh kekuatan ekonomi dan politik asing dan hal itu
akan mencederai kedaulatan kita sebagai bangsa.
F. Mutu Kearifan Lokal Dalam System
Pembangunan Daerah
Negara Republik Indonesia merupakan Negara yang multi
kultur, beragam suku, etnis dan budaya yang mewarnai bangsa
Indonesia memberi kesan tersendiri bagi Negara-negara asing lainnya.
Namun meskipun masyarakat bangsa Indonesia terbelah atas beberapa
ras, suku dan budaya di kawasan masing-masing namun kerukunan
dan sikap saling mnghargai atas hak asasi sebagai sesama mahluk
ciptaan tuhan sangat terpelihara. Salah satu budaya yang menghormati
keberadaan sesama warga Negara tercermin dari masyarakat
Indonesia. Apabila berjumpa di jalan mereka cenderung menebar
senyum meskipun toh pada kenyataanya masih belum saling
mengenal satu sama lain, budaya ini dilestarikan turun temurun
sehingga kesan yang tergambar dari etika tersebut membuktikan
bahwa dengan tersenyum kepada seseorang kita telah menghargai
orang tersebut.

54
Peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas merupakan tantangan yang cukup besar bagi
pembangunan insfrakstruktur bangsa ini. Karena ketika sumber daya
manusia di suatu kawasan melemah akan berakibat fatal bagi
perkembangan sumber daya alam di lingkungan tersebut. Akibatnya
terjadi pencemaran lingkungan, illegal logging, dan aksi-aksi lain
yang mengakibatkan kerusakan pada lingkungan sekitar, hal semacam
inilah yang mesti di perhatikan oleh pemerintah untuk meningkatkan
mutu yang lebih baik bagi kemajuan bangsa. Tanpa mencampur
adukkan birokrasi dalam hal pembangunan insfrakstruktur sumber
daya manusia dalam mengelola lingkungan sekitar. Salah satu metode
yang dapat di kembangkan secara mudah adalah dengan
meningkatkan budidaya berkearifan lokal atau semacam nilai-nilai
tradisi yang di yakini oleh masyarakat sekitar semisal dalam
memecahkan masalah, kebiasaan masyarakat lokal adalah dengan cara
bermusyawarah, berdiskusi secara terbuka dan ramah, sehingga
proses penyelesaian sebuah masalah tidak menimbulkan efek
kerugian baik bagi individu-individu lain maupun kerusakan pada
lingkungan sekitar karena dalam proses musyawarah tersebut terjadi
kemufakatan, saling menerima keputusan yang telah ditetapkan.
Kearifan lokal adalah segala sesuatu yang merupakan ciri
khas kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi, budaya, teknologi
informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain. Sumber lain
mengatakan bahwa Keunggulan lokal adalah hasil bumi, kreasi seni,
tradisi, budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya
manusia atau lainnya yang menjadi keunggulan suatu daerah
(Dedidwitagama, 2007). Di sini dapat kita tarik benag merah bahwa
dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan kearifan Lokal (KL)
adalah suatu proses dan realisasi peningkatan nilai dari suatu potensi
daerah sehingga menjadi produk/jasa atau karya lain yang bernilai
tinggi, bersifat unik dan memiliki keunggulan komparatif.
Budaya berbasis Kearifan lokal harus dikembangkan dari
potensi daerah. Potensi daerah adalah potensi sumber daya spesifik
yang dimiliki suatu daerah. Sebagai contoh potensi kota Batu Jawa
55
Timur Madura dan kawasan lain yang memiliki potensi budidaya apel
dan pariwisata. Pemerintah dan masyarakat kota Batu dapat
melakukan sejumlah upaya dan program, agar potensi tersebut dapat
diangkat menjadi keunggulan lokal kota Batu sehingga ekonomi di
wilayah kota Batu dan sekitarnya dapat berkembang dengan baik.
Kualitas dari proses dan realisasi keunggulan lokal tersebut sangat
dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia, yang lebih dikenal
dengan istilah 7 M, yaitu Man, Money, Machine, Material, Methode,
Marketing and Management (Pengantar Management 2012 up45
Yogyakarta). Jika sumber daya yang diperlukan bisa dipenuhi, maka
proses dan realisasi tersebut akan memberikan hasil yang bagus, dan
demikian sebaliknya. Di samping dipengaruhi oleh sumber daya yang
tersedia, proses dan realisasi keunggulan lokal juga harus
memperhatikan kondisi pasar, para pesaing, substitusi (bahan
pengganti) dan perkembangan IPTEK, khususnya perkembangan
teknologi. Proses dan realisasi tersebut akan menghasilkan produk
akhir sebagai keunggulan lokal yang mungkin berbentuk produk
(barang/jasa) dan atau budaya yang bernilai tinggi, memiliki
keunggulan komparatif, dan unik.
Dari pengertian kearifan lokal tersebut maka pembangunan
Berbasis kearifan Lokal (PBKL) di lingkungan masyarakat adalah
program peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) yang
diselenggarakan pada masyarakat, sesuai dengan kebutuhan daerah,
dengan memanfaatkan berbagai sumber daya alam, sumber daya
manusia, geografis, budaya, historis dan potensi daerah lainnya yang
bermanfaat dalam proses pengembangan kompetensi sesuai dengan
potensi, bakat dan minat masyarakat di lingkungan sekitar.
Proses pengembangan sumber daya manusia akan menjadi
lebih menarik, memberi kegairahan pada semangat masyarakat, jika
masyarakat bisa melihat kegunaan, manfaat, makna dari peningkatan
mutu sumber daya manusia guna menghadapi berbagai persoalan
kehidupan yang dihadapinya saat ini bahkan di masa depan. Proses
peningkatan mutu sumber daya alam sekalipun akan memberikan
suasana yang menyenangkan (joyful learning) jika berkaitan dengan
56
potensi, minat, hobi, bakat masyarakat dan penerimaan masyarakat,
bahwa apa yang lakukannya akan berguna bagi kehidupannya di masa
depan (contextual). Karena masyarakat merasa mendapatkan
keterampilan yang berharga untuk menghadapi hidup.
Salah satu prinsip contextual teaching and learning (CTL)
adalah prinsip saling ketergantungan (the principle of
interdependence). Prinsip saling ketergantungan menyadarkan
masyarakat tentang saling ketergantungannya satu sama lain kepada
masyarakat di sekitarnya dan dengan bumi tempatnya berpijak
(termasuk potensi lokal yang terkandung dalam bumi). Mereka berada
dalam suatu jaringan saling ketergantungan yang menciptakan
lingkungan ramah, santun dan terpelihara. Dalam suatu lingkungan
belajar dimana setiap orang menyadari keterikatannya, maka
pengembangan kontekstual mudah berkembang (Johnson, 2002). Di
samping itu bahkan pembahasan keunggulan lokal terkait dengan
teori konstruktivisme. Kontruktivisme menurut Bettencourt (dalam
Suparno, 1997) menyatakan bahwa kita tidak pernah mengerti realitas
yang sesungguhnya secara ontologism, yang kita mengerti adalah
struktur konstruksi kita akan sesuatu objek. Dalam konteks ini realitas
yang ada di sekeliling masyarakat sehari-hari, misalnya yang berupa
potensi daerah yang menjadi keunggulan lokal, akan membantu
mempercepat masyarakat untuk mengkonstruksi pemikirannya
menjadi suatu pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Potensi
daerah atau keunggulan lokal adalah potensi yang kontekstual yang
dapat diangkat sebagai bahan pembelajaran yang menarik di
lingkungan masyarakat. Maka dari itu untuk lebih meningkatkan
pembangunan serta kesejahteraan rakyat dalam hal otonomi daerah,
sudah semestinya kita semua bisa mengembangkan budidaya
berkearifan lokal sebagai embrio bangsa yang bermutu.
G. SDM Masyarakat Adat Diperkuat Demi
Memperkaya Tradisi Lokal
Penguatan sumber daya manusia (SDM) dinilai perlu
dilakukan untuk memperkaya tradisi lokal dan mempertahankan

57
eksistensi desa adat. Hal tersebut berkaitan dengan penguatan tradisi
dan budaya lokal, berikut pengembangan agar selaras dengan
perkembangan zaman. Desa adat membutuhkan perhatian khusus
untuk memperkecil kemungkinan terkikisnya budaya lokal.
Masyarakat di desa adat juga harus bisa mengikuti perkembangan
zaman, agar adat budaya Indonesia tetap terjaga eksistensinya.
Pelatihan dan pembinaan masyarakat adat pernah digelar di Bali
Bulan Juni 2016 lalu. Tema yang diambil adalah Mejejahitan, yakni
keterampilan dari dari dedaunan yang erat kaitannya dengan upacara
keagamaan di Bali. Mejejaitan ini khas sekali di Bali. Jangan sampai
ini terlupakan, karena ini adalah salah satu dari identitas bangsa kita.
Pelatihan dan pembinaan terhadap masyarakat adat tidak serta merta
hanya berkaitan dengan tradisi dan budaya saja. Pelatihan juga digelar
agar masyarakat adat dapat memanfaatkan potensi lokal untuk
kesejahteraan dan peningkatan ekonomi desa.
Misalnya di Kalimantan Selatan kemarin, kita latih
masyarakat adat di sana dalam hal ini suku dayak, untuk bagaimana
dapat mengelola dan memasarkan hasil pertanian dengan baik. Karena
bicara soal tradisi, mereka sudah sangat menguasai. Tinggal
bagaimana masyarakat adat di sana bisa bertahan hidup dan taraf
ekonominya meningkat.
H. Kearifan Lokal Di Indonesia
1. Definisi Kearifan Lokal
Menelisik pengertian kearifan lokal, hal pertama yang perlu
dilakukan adalah melihat pengertian kamus tentang istilah itu. Dalam
pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata:
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia
John M. Echols dan Hassan Shadily, local berarti setempat,
sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Kearifan
lokal secara sederhana dapat diartikan sebagai kebijaksanaan lokal.
Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem
pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge
systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena

58
hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang
terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena
seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem
pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari
(daily problem solving).
Dalam pengertian yang lebih luas, kearifan lokal dapat
dipahami sebagai berikut: “Local wisdom is the knowledge that
discovered or acquired by local people through the accumulation of
experiences in trials and integrated with the understanding of
surrounding nature and culture” (Naritoom, --)
Naritoom mengartikan kearifan lokal sebagai pengetahuan
yang terakumulasi karena pengalaman-pengalaman hidup, dipelajari
dari berbagai situasi di sekeliling kehidupan manusia dalam suatu
wilayah. Hal serupa dapat dilihat pada definisi yang dimunculkan
dalam situs Wikipedia.com:‘Traditional knowledge, indigenous
knowledge, and local knowledge generally refer to the matured long-
standing traditions and practices of certain regional, indigenous, or
local communities. Traditional knowledge also encompasses the local,
knowledge, and teachings of these communities. In many cases,
traditional knowledge has been orally passed for generations from
person to person. Some forms of traditional knowledge are expressed
through stories, legends, folklore, rituals, songs, and even laws. Other
forms of traditional knowledge are often expressed through different
means.” (Sitasi dari Wikipedia, 2010)
Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan
lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur
dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan
pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan
serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk
pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-
legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum
setempat.
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika
masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau
59
menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan
mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa
dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal
dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan
sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan
secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak
hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan
sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga
seperti bencana yang datang tiba-tiba.
Berangkat dari semua itu, kearifan lokal adalah persoalan
identitas. Sebagai sistem pengetahuan lokal, ia membedakan suatu
masyarakat lokal dengan masyarakat lokal yang lainnya. Perbedaan
itu dapat dilihat dari tipe-tipe kearifan lokal yang dapat ditelusuri:
a) Kearifan lokal dalam hubungan dengan makanan: khusus
berhubungan dengan lingkungan setempat, dicocokkan
dengan iklim dan bahan makanan pokok setempat. (Contoh:
Sasi laut di Maluku dan beberapa tempat lain sebagai bagian
dari kearifan lokal dengan tujuan agar sumber pangan
masyarakat dapat tetap terjaga).
b) Kearifan lokal dalam hubungan dengan pengobatan: untuk
pencegahan dan pengobatan. (Contoh: Masing-masing
daerah memiliki tanaman obat tradisional dengan khasiat
yang berbeda-beda).
c) Kearifan lokal dalam hubungan dengan sistem produksi:
Tentu saja berkaitan dengan sistem produksi lokal yang
tradisional, sebagai bagian upaya pemenuhan kebutuhan dan
manajemen tenaga kerja. (Contoh: Subak di Bali; di Maluku
ada Masohi untuk membuka lahan pertanian, dll.).
d) Kearifan lokal dalam hubungan dengan perumahan:
disesuaikan dengan iklim dan bahan bak u yang tersedia di
wilayah tersebut (Contoh: Rumah orang Eskimo; Rumah
yang terbuat dari gaba-gaba di Ambon, dll.).
e) Kearifan lokal dalam hubungan dengan pakaian: disesuaikan
dengan iklim dan bahan baku yang tersedia di wilayah itu.
60
f) Kearifan lokal dalam hubungan sesama manusia: sistem
pengetahuan lokal sebagai hasil interaksi terus menerus yang
terbangun karena kebutuhan-kebutuhan di atas. (Contoh:
Hubungan Pela di Maluku juga berhubungan dengan
kebutuhan-kebutuhan pangan, perumahan, sistem produksi
dan lain sebagainya).

2. Tantangan Terhadap Kearifan Lokal


Bila ada sistem pengetahuan lokal, maka ada juga sistem
pengetahuan global. Apabila sistem pengetahuan lokal merupakan
kategori pembeda antara suatu komunitas lokal dengan komunitas
lokal yang lain, maka sistem pengetahuan global berupaya mengatasi
semua pengetahuan lokal dan menjadikan semua masyarakat lokal
terintegrasi ke dalam satu sistem pengetahuan saja. Apabila sistem
pengetahuan lokal muncul dalam bentuk mitos-mitos tradisional,
maka sistem pengetahuan global muncul pula dalam mitos-mitos
modern. Salah satu mitos yang sangat terkenal, khususnya di negara-
negara berkembang dan bekas jajahan adalah “pembangunan”. Mitos
pembangunan muncul guna membungkus ideologi “ekonomi politik
pembangunan” negara-negara maju.
Definisi tentang pembangunan akan terus mengalami
perubahan, disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Tetapi pada
umumnya, pembangunan diartikan sebagai suatu proses perubahan
dari kondisi yang tidak baik menjadi yang lebih baik. Indikator-
indikator yang menunjukkan suatu kondisi tidak baik tidak ditentukan
begitu saja, tetapi ada prosesnya tersendiri. Dalam perspektif
pembangunan secara umum, pembangunan ekonomi mendapatkan
porsi yang lebih karena indikator kemajuan suatu negara adalah
pertumbuhan ekonomi yang baik. Namun, untuk memahami
pembangunan ekonomi, mesti melibatkan perspektif politik. Hal itu
disebabkan karena perumusan kebijakan pembangunan merupakan
proses politik yang melibatkan beragam aktor – mulai dari negara,
birokrat, politisi, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat hingga
masyarakat itu sendiri – dengan beragam kepentingan pula, yang
61
interaksinya bisa jadi saling berbenturan. Untuk mencapai hasil yang
maksimal dalam mengatasi konflik tersebut, para aktor dituntut
melakukan berbagai negosiasi dan kompromi. Dengan demikian
untuk memahami kebijakan pembangunan dengan benar perlu
ditelusuri secara cermat perilaku, motivasi atau pun preferensi para
aktornya sehingga diperoleh jawaban: siapa memperoleh apa, berapa
banyak, mengapa dan dengan cara bagaimana dari kebijakan
pembangunan yang berlangsung di suatu negara dalam kurun waktu
tertentu.
Dalam kerangka politik ekonomi pembangunan, kearifan lokal
tidak mendapatkan tempat sama sekali karena telah disingkirkan oleh
sistem pasar dan negara. Investasi demi pertumbuhan ekonomi negara
adalah lebih penting daripada suatu tindakan berkelanjutan bagi masa
depan manusia yang menjadi inti dari kearifan masyarakat lokal.
Dalam beberapa kasus, bukan saja sistem pengetahuan lokal
masyarakat yang terpinggirkan, tetapi juga masyarakat lokal secara
fisik dipinggirkan atau direlokasi dengan alasan pembangunan. Selain
itu, dengan alasan investasi pula, keamanan menjadi faktor penting
dalam pembangunan. Struktur pengamanan dibangun sampai ke
pelosok-pelosok negeri dengan melibatkan aparat-aparat negara yang
cenderung tidak memahami cara-cara masyarakat lokal
menyelesaikan sengketa di antara mereka
Masyarakat lokal yang terorganisir dengan baik dan
mendapatkan tempatnya dalam sistem pemerintahan negara Indonesia
adalah negeri (desa). Negeri telah lama menjadi basis pertempuran
antara masyarakat vs negara, sosialisme vs kapitalisme. Secara sosio-
historis, negeri-negeri pada umumnya berbasis ekonomi sosialis
(prakteknya mendahului istilah). Kepemilikan tanah dikelola secara
komunal dengan semangat egalitarian dan pemerataan. Hukum adat
tidak mengenal kepemilikan pribadi yang mutlak, yang dapat
menimbulkan ketimpangan dalam sistem masyarakat tradisional. Hak-
hak ulayat atau petuanan adat atas tanah menjadi contoh penting
bagaimana pengelolaan tanah itu dilakukan di negeri-negeri adat.

62
Masalah muncul ketika sistem desa di Jawa dipaksakan untuk
diberlakukan di luar Jawa. Di Jawa, telah lama terjadi penundukkan
kerajaan terhadap desa dan membuat ketimpangan ekonomi-politik.
Cerita-cerita lokal yang bisa diketahui melalui legenda atau sejarah
menunjukkan dengan jelas bahwa desa sebagai wilayah dan
komunitas lokal menjadi domain mutlak kerajaan. Raja di Jawa
adalah penguasa pribadi yang melakukan pengendalian dan pemilikan
atas desa beserta seluruh isinya, terutama tanah dan penduduknya
secara absolut. Raja memiliki hak penggunaan kekerasan dengan
aparat-aparat kerajaan yang terlatih untuk melakukan tindakan represi
terhadap desa. Para penguasa lokal tunduk kepada raja dan harus
memberikan upeti karena semua wilayah itu adalah milik raja. Ketika
sistem desa diperkenalkan ke luar Jawa, maka jiwa dan semangat
sebagai klien terhadap patron itu pun terbawa ke sana. Campur tangan
negara mulai nyata dan merubah hampir seluruh sistem pemerintahan
adat, dengan hukum-hukum adat yang berlaku.
Kondisi itu menjadi basis yang kuat bagi kolonialisme
mengembangkan sistem kapitalis dan mengeksploitasi tanah dan
penduduk desa. Kolonialismelah yang membawa sistem pengetahuan
modern ke negara-negara jajahan, memperkenalkan dan
mempraktekannya.
3. Posisi Kearifan Lokal Guna Pemecahan Masalah
Masa Kini
Tidak dapat dipungkiri, saat ini dunia mengalami
permasalahan yang belum pernah dialami sebelumnya. Setelah terjadi
dua kali perang dunia yang meluluhlantahkan segi-segi kemanusiaan,
maka sistem pengetahuan modern yang menjadikan manusia dengan
kemampuan rasionya sebagai tuan atas dirinya dan dunia pun mulai
dikritik. Kritik-kritik itu datang karena ketidakmampuan rasio modern
mengeliminasi kehancuran-kehancuran yang ditimbulkan akibat
kepentingan di balik setiap penemuan-penemuan di bidang ilmu dan
teknologi. Saat ini dunia kembali berhadapan dengan situasi lain,
yaitu perubahan iklim yang tidak lagi menentu. Sekali lagi rasio
modern yang menjadikan pembangunan sebagai salah satu proses
63
penting mendapat tantangannya. Dengan alasan pembangunan,
lingkungan tempat hidup manusia diobrak-abrik, kota-kota baru
dibangun, tambang-tambang baru dibuka, hanya untuk memenuhi
nafsu konsumsi manusia.
Pada tahap itulah, ketika manusia dengan rasio modernnya
telah bingung berhadapan dengan alam karena sudah tidak mampu
lagi menguasainya, kearifan lokal memperoleh tempatnya kembali.
Keharmonisan dengan lingkunganlah yang dapat menjamin masa
depan manusia. Hal itu tentu saja telah dibuktikan lewat proses
panjang kehidupan leluhur dalam komunitas-komunitas lokal dalam
mensiasati alam lewat budaya yang arif dan bijaksana. Dalam
beberapa kasus, konflik di Maluku misalnya, ketika kemampuan
pengetahuan ilmiah dalam hubungan dengan manajemen konflik
sepertinya sudah tidak mampu menemukan solusi terbaik, hanya
kearifan lokal yang menjadi titik balik semua itu.
I. Kebudayaan Jawa
1. Kearifan Lokal Di Mojokerto
Budaya Jawa mempunyai peranan penting dalam budaya
Indonesia, termasuk bahasanya. Bahasa Jawa menjadi salah satu
pendukung atau pemerkaya bahasa Indonesia. Tidak sedikit kosakata
bahasa Jawa menjadi warga bahasa Indonesia. Untuk itu, tidak
berlebihan jika bangunan bahasa Indonesia ditopang oleh bahasa
Jawa. Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom)
atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal
adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Menurut Gobyah nilai terpentingnya adalah kebenaran yang
telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Secara konseptual,
kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan
manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan
perilaku yang melembaga secara tradisional.
Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur
bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul

64
menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan
(arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan
sebuah bangsa. Dari penjelasan beliau dapat dilihat bahwa kearifan
lokal merupakan langkah penerapan dari tradisi yang diterjemahkan
dalam artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan lokal adalah proses
sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu nilai-nilai dari
alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana
‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi
yang diterima secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam
berarsitektur. Nilai tradisi untuk menselaraskan kehidupan manusia
dengan cara menghargai, memelihara dan melestarikan alam
lingkungan. Hal ini dapat dilihat bahwa semakin adanya
penyempurnaan arti dan saling mendukung, yang intinya adalah
memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup; dan
diwujudkannya sebagai tradisi.
Definisi kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai
budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti,
untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita
harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam
wilayah tersebut. Kalau mau jujur, sebenarnya nilai-nilai kearifan
lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita
kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling
menghormati dan tepa salira merupakan contoh kecil dari kearifan
lokal.
Ciri – ciri dari kearifan lokal yaitu :
a. Mampu bertahan terhadap budaya luar,
b. Memiliki kemampuan mengakomodasi budaya luar,
c. Memiliki kemampuan mengendalikan,
d. Mempunyai kemampuan mengintegrasi unsure budaya
luar ke dalam budaya asli,
e. Mampu member arah pada perkembangan budaya.
I Ketut Gobyah dalam “ Berpijak pada Kearifan lokal”
mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran
yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal
65
merupakan perpaduan antara nlai – nilai suci firman Tuhan dan
berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografi dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
terus- menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal
tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
S. Swarsi Geriya “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”
mengatakan bahwa secara konseptual kearifan lokal dan keunggulan
lokal merupakan kebijaksanaan manusia bersandar pada filosofi nilai-
nilai, etika. Cara-cara yang dianggap baik dan benar sehingga dapat
bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.

2. Kearifan Lokal Yang Ada Di Wonoploso Serta


Makna Dan Fungsinya “Upacara Tingkeban/
Mitoni (Nujuh Bulanan)”

Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat di


Wonoploso, upacara ini disebut juga mitoni berasal dari kata pitu
yang arti nya tujuh, upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan
tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali.Upacara ini bermakna
bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak
benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang
sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman dan di sertai
doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu
diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan
selamat dan sehat.
➢ Tata Cara pelaksanaan Upacara Tingkeban :
Siraman yang di lakukan oleh para sesepuh sebanyak 7 orang
termasuk ayah dan ibu wanita hamil serta suami dari calon ibu.
Siraman ini bermakna memohon doa restu agar proses persalinan
lancar dan anak yang akan dilahirkan selamat dan sehat jasmani dan
rohani.
Setelah siraman selesai, dilanjutkan dengan upacara
memasukan telur ayam dan cengkir gading. Calon ayah memasukan
66
telur ayam mentah ke dalam sarung/kain yang di kenakan oleh calon
ibu melalui perut sampai pecah kemudian menyusul kedua cengkir
gading di teroboskan dari atas ke dalam kain yang di pakai calon ibu
sambil di terima di bawah oleh calon nenek dan kelapa gading
tersebut di gendong oleh calon nenek dan di letak kan sementara di
kamar. Hal ini merupakan symbol harapan semoga bayi akan lahir
dengan mudah tanpa ada halangan.
➢ Upacara Mecah Kelapa
Kelapa gading yang tadi di bawa ke kamar, kembali di
gendong oleh calon nenek untuk di bawa keluar dan di letak kan
dalam posisi terbalik (gambar tidak terlihat) untuk di pecah, Kelapa
gading nya berjumlah 2 dan masing masing di gambari tokoh Wayang
Kamajaya dan Kamaratih. Calon ayah memilih salah satu dari kedua
kelapa tersebut. Apabila calon ayah memilih Kamajaya maka bayi
akan lahir Laki laki, sedangkan jika memilih Kamaratih akan lahir
perempuan ( hal ini hanya pengharapan saja, belum merupakan suatu
kesungguhan)
➢ Dodol Rujak
Pada upacara ini, calon ibu membuat rujak di dampingi oleh
calon ayah, para tamu yang hadir membeli nya dengan menggunakan
kereweng sebagai mata uang. Makna dari upacara ini agar kelak anak
yang di lahirkan mendapat banyak rejeki dan dapat menghidupi
keluarganya.
Selain itu ada makna lain yang tersirat dari upacara tingkeban
yaitu mempererat tali silahturohmi sesama masyarakat dan juga
mentradisikan budaya bangsa yang sudah ada sejak nenek moyang.
➢ Tradisi Ruwahan
Di desa Wonoploso juga ter dapat tradisi ruwahan berisi
kegiatan melaksanakan ritual yang dilakukan pada saat datangnya
bulan Ruwah atau bulan Arwah. Bagi masyarakat desa Wonoploso
khususnya bulan Arwah mempunyai makna penting sebagai
momentum bagi semua yang masih hidup untuk mengingat jasa dan
budi baik para leluhur, tidak hanya terbatas pada orang-orang yang
telah menurunkan kita, namun juga termasuk orang-orang terdekat,
67
para pahlawan, para perintis bangsa yang telah mendahului kita
pindah ke dalam dimensi kehidupan yang sesungguhnya. Bulan
Arwah juga merupakan saat di mana kita harus “sesirih” atau bersih-
bersih diri meliputi bersih lahir dan bersih batin. Membersihkan hati
dan pikiran sebagai bentuk pembersihan dimensi jagad kecil
(mikrokosmos) yakni diri pribadi kita meliputi unsur wadag dan alus,
raga dan jiwa.
Tidak hanya sebatas pembersihan level mikrokosmos,
selebihnya adalah bersih-bersih lingkungan alam di sekitar tempat
tinggal kita, membersihkan desa, kampung, kuburan, sungai, halaman
dan pekarangan di sekeliling rumah, tak lupa membersihkan semua
yang membuat kotor dan jorok dalam rumah tinggal kita. Bagi petani
tak luput pula bersih-bersih sawah dan ladang. Semua itu sebagai
bentuk pembersihan dimensi jagad besar (makrokosmos).
Selain makna tersebut, ritual ruwahan merupakan wujud bakti
dan rasa penghormatan kita sebagai generasi penerus kepada para
pendahulu yang kini telah disebut sebagai leluhur. Pelaksanaan ritual
ruwahan bukan tanpa konsep dan prinsip yang jelas. Ruwahan
didasari oleh kesadaran spiritual masyarakat kita secara turun-
temurun, di mana kita hidup saat ini telah berhutang jasa, berhutang
budi baik kepada alam dan para leluhur pendahulu yang telah
mendahului kita. Tak ada cara yang lebih tepat selain harus berbakti,
setia dan berbakti kepada para leluhurnya yang telah mewariskan ilmu
dan harta benda, termasuk bumi pertiwi, yang dapat dimanfaatkan
oleh anak turunnya hingga saat ini. Ritual tradisi Ruwahan sebagai
bukti kesetiaan dan sikap berbakti kepada lingkungan alam yang telah
memberikan berkah berupa rejeki, tempat berlindung, hasil bumi,
oksigen dan sebagainya. Karenanya hanya dengan kesetiaan serta
berbakti, kita menjadi generasi penerus yang tidak mengkhianati
leluhur, bangsa dan bumi pertiwinya. Berkhianat kepada para
leluhurnya sendiri, maupun kepada bumi pertiwi di mana tempat kita
menyandarkan hidup sudah pasti akan menyebabkan suatu akibat
buruk. Pengkhianatan (ketidaksetiaan) dan kedurhakaan (tidak
berbakti) yang dilakukan generasi penerus, akan menimbulkan
68
kesengsaraan pada diri pribadinya (mikrokosmos) dan sangat
memungkinkan tertransformasi ke dimensi makrokosmos lingkungan
alamnya. Sebaliknya, kesetiaan pada bumi pertiwi yakni bumi di
mana nyawa kita berpijak, kita hirup udara, kita mencari makan, dan
berbakti kepada para leluhur yang menurunkan kita, merupakan satu
rangkaian berupa kunci meraih kesuksesan hidup secara hakiki.
Ketenangan, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan lahir dan batin
akan berlimpah menghampiri kita setiap saat.

3. Makna Ritual dan Sajian


Hantaran tradisi Ruwahan berisi tiga sajian makanan yakni
ketan, kolak, dan apem yang ketiganya mempunyai makna masing-
masing:
▪ ketan, makanan ini merupakan simbol eratnya tali
silaturahmi, karena sifat dan bentuk ketan yang
lengket.
▪ kolak, makanan yang diolah dengan menggunakan
santan yang manis, melambangkan hubungan
kekeluargaan yang selalu harmonis dan bahagia, serta
mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan
barokah penuh kemanisan.
▪ apem, makanan yang mempunyai arti kesediaan untuk
saling memaafkan. Kata apem berasal dari bahasa arab
“afwan” yang bermakna maaf.

Doa dan makan bersama (kenduri) dalam ritus nisfu sya’ban


atau pada setiap malam hari selama seminggu sebelum ramadhan,
merupakan bentuk dari pengejawantahan dari kebersamaan, sikap
kekeluargaan, dan cara untuk memakmurkan masjid, serta
meningkatkan kualitas sujud syukurnya pada Allah.
Tabur bunga merupakan bentuk dari cara masyarakat untuk
selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari mereka yang
telah mendahului. Selain itu ada kepercayaan masyarakat bahwa
dengan adanya bunga di atas makam turut membantu aroma wangi
69
pada arwah di alam kubur dan malaikat tidak sungkan mendekat.
Bunga yang sering digunakan untuk nyekar adalah bunga kanthildan
telasih. Bunga kanthil bermakna mengikat rasa selalu terhubung
dengan para leluhur. Diharapkan dapat mencontoh perilaku baik para
leluhur semasa hidupnya. Bunga kanthil berarti tansah kumanthil.
Yang kumanthil adalah hatinya. Sukur-sukur berkahnya (safa’atnya)
dapat “kanthil” (mengikuti) sumrambah mengalir ke dalam jiwa raga
si peziarah. Bunga Telasih bermakna welas asih, dengan harapan
dapat kawelasan atau belas kasih dari Gusti Hyang Manon. Belas
kasih pula dari para leluhur yang akan njangkung dan njampangi
setiap langkah kita agar tidak salah langkah menjalani proses
kehidupan yang sangat pelik ini. Ziarah ke makam merupakan bentuk
interpretasi dari praktik hadis yang menyatakan baha salah satu amal
yang masih diterima dari orang yang sudahmeninggal adalah anak
sholeh dan sholehah yang selalu mendoakan. Selain itu, ziarah juga
memberikan tanda bahwa kita harus tetap mengingat leluhur kita dan
saudara-saudara kita serta mengingatkan kita akan adanya kematian.
Sehingga kita terangsang untuk berbuat baik.
1. Tradisi bersih kampong/desa memberikan gambaran
tentang kebersamaan dan kegotong-royongan.mengingatkan kita
untuk selalu saling tolong-menolong antarsesama. Selain itu bersih
desa juga mengisyaratkan kepada kita tentang pentingnya lingkungan
tempat di mana kita tinggal, sehingga membangun jiwa kita untuk
melestarikannya.
2. Pembacaan tahlil dan yasin merupakan tanda yang
menunjukkan ciri agama islam, sedangkan bentuk slametan
merupakan adaptasi dari adapt istiadat sekitar yang sudah ada
sebelum agama islam masuk. Slametan sendiri merupakan bentuk
adaptasi dari sesaji yang dilakukan oleh para wali untuk menyebarkan
agama islam di tanah jawa agar mudah diterima oleh masyarakat yang
pada saa titu masih beragama Hindu dan Budha bahkan kepercayaan
Animisme-Dinamisme.

70
4. Ruwatan Murwakala
➢ Makna Ruwatan
Ruwatan adalah salah satu upacara tradisional dengan tujuan
utama mendapatkan keselamatan supaya orang terbebas dari segala
macam kesialan hidup, nasib jelek dan selanjutnya agar dapat
mencapai kehidupan yang ayom ayem tentrem (aman, bahagia, damai
di hati). Lebih konkritnya ruwatan sebagai suatu upaya
membersihkan diri dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial) yang
diakibatkan dari perbuatannya sendiri, hasil perbuatan jahat orang lain
maupun, Ruwatan yang paling terkenal sejak zaman kuno
diselenggarakan oleh nenek moyang adalah ruwatan murwakala.
Dalam ruwatan ini dipergelarkan wayang kulit dengan cerita
Murwakala di mana orang-orang yang termasuk kategori sengkolo-
sukerto diruwat atau disucikan supaya terbebas dari hukuman Betara
Kala, gambaran raksasa menakutkan yang suka memangsa para
sukerto.

➢ Tradisi Ruwat
Ritual pangruwatan dalam masyarakat di Wonoploso yang
paling sering dan mudah dilakukan biasanya adalah pemagaran gaib
yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis sesaji dan
melakukan ritual khusus. Cara di atas bisa dilakukan apabila
sengkolo-sukerto yang ada masih termasuk jenis yang ringan dan
mudah dibersihkan. Sementara itu untuk sengkolo-sukerto kelas berat
pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah
dengan menggelar pentas wayang kulit yang melakonkan tentang
ruwatan itu sendiri. Sang dalang dalam menampilkan pagelarannya
menyajikan salah satu dari beberapa jenis lakon. Misalnya lakon
murwakala. Ruwatan dengan pagelaran wayang dilakukan sebagai
suatu bentuk mendapatkan dispensasi atau keringanan hukuman.
Dalam tradisi hukum positif (formal) sepadan dengan membayar
denda kepada negara atau memohon grasi kepada Presiden. Dalam hal
ruwatan, Bethara Kala posisinya sebagai Presiden dari bangsa

71
lelembut. Negosiasi tertuju pada Bethara Kala sebagai salah satu
eksekutor hukum alam.

Ruwatan yang paling sering dilakukan oleh masyarakat


Wonoploso adalah ruwatan pada diri sendiri yang memiliki fungsi
sebagai upaya membersihkan diri dari sengkala dan sukerta (dosa dan
sial agar mendapatkan kebersihan jiwa.
Ruwatan untuk diri sendiri dapat dilaksanakan dengan pakem
sederhana maupun dengan pakem standar yakni dengan pagelaran
wayang kulit dengan lakon dan uborampe khusus ruwatan. Semua itu
merupakan pilihan bagi siapa yang akan melaksanakan. Jika ruwatan
dilakukan oleh orang yang memang memiliki kemampuan ekonomi
yang memadai, biasanya ruwat murwakala dilakukan dengan
mengadakan pagelaran wayang kulit. Pagelaran wayang kulit ini
berbeda dengan pagelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran
wayang kulit dilaksanakan pada siang hari dan dilakukan oleh dalang
yang benar-benar mampu (bukan sekedar bisa) meruwat.

Dari beberapa tradisi di atas tersirat bahwa tradisi – tradisi


tersebut banyak memiliki fungsi dan manfaat bagi masyarakat
diantaranya masyarakat dapat membangun kebersamaan dengan
meningkatkan gotong – royong dalam melaksanakan kearifan lokal,
mempererat tali silahturohmi antar sesama masyarakat bahkan yang
lebih baik unsur kekeluargaan tidak akan pernah hilang. Sebagian
besar dari masyarakat telah mempercayai, bila tradisi ( kearifan local)
tidak dilakukan dengan benar sampai – sampai tidak dilaksanakan
akan terjadi suatu bencana besar, suatu misal bencana alam akan
melanda kampong mereka, wabah penyakit menyerang warga, bahkan
ketidaktentraman dalam diri masing – masing masyarakat

J. Kearifan Lokal Masyarakat Desa

Menurut Petrasa Wacana kearifan lokal merupakan


seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok
72
masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dan terangkum dari
pengalaman panjang manusia menggeluti alam dalam ikatan
hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia
dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang
harmonis. Kemudian kita lanjutkankan dengan kearifan lokal yang
spesifik mengenai lingkungan yaitu kearifan lingkungan.Kearifan
lingkungan (ecological wisdom) merupakan pengetahuan yang
diperoleh dari abstraksi pengalaman adaptasi aktif terhadap
lingkungannya yang khas. Pengetahuan tersebut diwujudkan dalam
bentuk ide, aktivitas dan peralatan. Kearifan lingkungan yang
diwujudkan ke dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan,
dipedomani dan diwariskan secara turun-temurun oleh komunitas
pendukungnya.Sikap dan perilaku menyimpang dari kearifan
lingkungan, dianggap penyimpangan (deviant), tidak arif, merusak,
mencemari, mengganggu dan lain-lain. Kemudian kita juga dapat
menggali lebih dalam lagi mengenai kearifan lingkungan. Kearifan
lingkungan dimaksudkan sebagai aktivitas dan proses berpikir,
bertindak dan bersikap secara arif dan bijaksana dalam mengamati,
mamanfaatkan dan mengolah alam sebagai suatu lingkungan hidup
dan kehidupan umat manusia secara timbal balik. Kesuksesan
kearifan lingkungan itu biasanya ditandai dengan produktivitas,
sustainabilitas dan equtablitas atau keputusan yang bijaksana, benar,
tepat, adil, serasi dan harmonis.
Menurut Munsi Lampe melalui artikelnya yang berjudul
“Kearifan Tradisional Lingkungan Belajar dari Kasus Komunitas-
Komunitas Petani dan Nelayan Tradisional” Kearifan lingkungan di
Indonesia menjadi topik perbincangan yang menarik, bahkan
mendesak kepentingannya sehubungan dengan isu program
rehabilitasi dan pengelolaan lingkungan, khususnya lingkungan
ekosistem laut (mangrof dan terumbu karang) yang mengalami
kerusakan pada hampir semua daerah perairan pantai dan pulau - pula,
yang menurut hasil penelitian, banyak diakibatkan oleh perilaku
pemanfaat, terutama komunitas-komunitas nelayan itu sendiri.

73
Haryati Soebadio berpendapat bahwa kearifan lokal adalah
suatu identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa
tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai
watak dan kemampuan sendiri.
Menurut Rahyono (2009:7) kearifan lokal merupakan
kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang
diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal
adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan
belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut
akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah
melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan
masyarakat tersebut.
Definisi kearifan lokal tersebut, paling tidak menyiratkan
beberapa konsep, yaitu:
a. Kearifan lokal adalah sebuah pengalaman panjang,
yang diendapkan sebagai petunjuk perilaku seseorang;
b. Kearifan lokal tidak lepas dari lingkungan pemiliknya;
c. Kearifan lokal itu bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan
senantiasa menyesuaikan dengan zamannya.

Menurut Wahyu dalam Mukti (2010) bahwa kearifan lokal,


dalam terminology budaya, dapat diinterpretasikan sebagai
pengetahuan lokal yang berasal dari budaya masyarakat, yang unik,
mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang panjang,
beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan
selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Secara lebih
spesifik, kearifan lokal dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan
lokal, yang unik yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat,
yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal
dalam bidang pertanian, kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan,
pengelolaan sumberdaya alam dan beragam kegiatan lainnya di dalam
komunitas-komunitas.
Jadi, dapat disimpulakan kearifan lokal adalah , kearifan lokal
dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan lokal, yang unik yang
74
berasal dari budaya atau masyarakat setempat, yang dapat dijadikan
dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang
pertanian, kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan, pengelolaan
sumberdaya alam dan beragam kegiatan lainnya di dalam komunitas-
komunitas.

1. Ruang Lingkup Kearifan Lokal


Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan
komprehensif. Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam
sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan tradisional dan kearifan
kini berbeda dengan kearifan lokal. Kearifan lokal lebih menekankan
pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut sehingga tidak harus
merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke
generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang belum lama
muncul dalam suatu komunitas sebagai hasil dari interaksinya
denganlingkungan alam dan interaksinya dengan masyarakat serta
budaya lain. Oleh karena itu, kearifan lokal tidak selalu bersifat
tradisional karena dia dapat mencakup kearifan masa kini dan karena
itu pula lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional.
Untuk membedakan kearifan lokal yang baru saja muncul
dengan kearifan lokal yang sudah lama dikenal komunitas tersebut,
dapat digunakan istilah: kearifan kini, kearifan baru, atau kearifan
kontemporer. Kearifan tradisional dapat disebut kearifan dulu atau
kearifan lama.

2. Fungsi Kearifan Lokal


Kearifan lokal merupakan salah satu warisan dari nenek
moyang, warisan tersebut bisa berupa tata nilai kehidupan yang
menyatu dalam bentuk religi, budaya ataupun adat istiadat (Basuni,
2012). Keberadaan kearifan lokal ini bukan tanpa fungsi. Kearifan
lokal sangat banyak fungsinya.
Seperti yang dituliskan Sartini (2006), bahwa fungsi kearifan
lokal adalah sebagai berikut:

75
• Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber
daya alam.
• Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia.
• Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
• Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan
pantangan.
• Bermakna sosial misalnya upacara integrasi
komunal/kerabat.
• Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian
• Bermakna etika dan moral.
• Bermakna politik,

kearifan lokal yang terkait dengan kebudayaan, memiliki arti


penting untuk menjaga keberlanjutan kebudayaan, sekaligus agar
selalu terjaga kelestariannya. Terlebih lagi, di tengah-tengah
modernisasi yang istilahnya saat ini lebih akrab dikenal sebagai
globalisasi. Yang dalam kenyataannya, globalisasi itu dapat
menggeser nilai-nilai budaya lokal oleh nilai budaya asing yang
berkembang begitu pesat di dalam kehidupan masyarakat di
Indonesia, baik yang hidup di perkotaan maupun perdesaan
(Puslitbangbud, 2011).
Pelestarian kearifan lokal dengan sendirinya akan dapat
melestarikan lingkungan perdesaan. Karena, nilai-nilai kearifan lokal
tersebut akan menjadikan masyarakat memiliki karakter kuat sesuai
dengan budaya dan norma yang berlaku di lingkungannya. Selain itu,
desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi akan
menjaga kelestarian kawasan konservasi karena biasanya kawasan
tersebut erat kaitannya dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dianut.
Kegiatan konservasi di suatu wilayah sebaiknya berasal dari
kesadaran masyarakat yang berada di wilayah yang bersangkutan.
Kesadaran akan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati sangat
diperlukan tidak saja untuk kepentingan bangsa Indonesia melainkan
juga untuk kepentingan masyarakat dunia secara keseluruhan dan
76
diarahkan untuk kepentingan jangka panjang (Aulia & Dharmawan,
2010)
Peranan kearifan lokal dalam kelestarian lingkungan
perdesaan dapat kita temukan contoh kasusnya pada kampung-
kampung adat seperti Baduy, Kampung Kuta, Kampung Naga, dsb.
Di daerah tersebut, lingkungan perdesaan dan hutan yang berbatasan
langsung sangat terjaga kelestariannya, masyarakat dapat
memanfaatkan hutan dan sumber daya yang terkandung di dalamnya
namun tetap dapat menjaga kelestarian dari hutan tersebut karena
terikat oleh nilai-nilai kearifan local

3. Pendekatan Kearifan Lokal


Dalam belajar kearifan lokal khususnya dan kearifan
lingkungan pada umumnya maka penting untuk mengerti :
a. Politik Ekologi (Political Ecology)
Politik ekologi sebagai suatu pendekatan, yaitu upaya untuk
mengkaji sebab akibat perubahan lingkungan yang lebih kompleks
daripada sekedar sistem biofisik yakni menyangkut distribusi
kekuasaan dalam satu masyarakat. Pendekatan ini didasarkan pada
pemikiran tentang beragamnya kelompok-kelompok kepentingan,
persepsi dan rencana yang berbeda terhadap lingkungan. Melalui
pendekatan politik ekologi dapat untuk melihat isu-isu pengelolaan
lingkungan khususnya menyangkut isu “right to environment dan
environment justice” dimana right merujuk pada kebutuhan
minimal/standarindividu terhadap obyek-obyek right seperti hak
untuk hidup, hak untuk bersuara, hak untuk lingkungan dan lain-lain.
Adapun justice menekankan alokasi pemilikan dan penguasaan atas
obyek-obyek right yaitu merujuk pada persoalan-persoalan relasional
antar individu dan antar kelompok (Bakti Setiawan, 2006).

Konsep right to environment dan environment justice harus


mempertimbangkan prinsipprinsip keadilan diantara generasi (intra-
generational justice) dan lintas generasi (inter-generational justice),

77
karena konsep pembangunan berkelanjutan menekankan baik dimensi
diantara generasi maupun lintas generasi.

b. Human Welfare Ecology


Pendekatan Human Welfare Ecology menurut Eckersley, 1992
dalam Bakti Setiawan, 2006 menekankan bahwa kelestarian
lingkungan tidak akan terwujud apabila tidak terjamin keadilan
lingkungan, khususnya terjaminnya kesejahteraan masyarakatnya.

Maka dari itu perlu strategi untuk dapat menerapkannya antara


lain :
• Strategi pertama, melakukan perubahan struktural kerangka
perundangan dan praktek politik pengelolaan sumberdaya
alam, khususnya yang lebih memberikan peluang dan kontrol
bagi daerah, masyarakat lokal dan petani untuk mengakses
sumberdaya alam (pertanahan, kehutanan, pertambangan,
kelautan). Dalam hal ini lebih memihak pada masyarakat lokal
dan petani dan membatasi kewenangan negara yang terlalu
berlebihan (hubungan negara kapital masyarakat sipil).
• Strategi kedua, menyangkut penguatan institusi masyarakat
lokal dan petani
• Pendekatan Ekosistemik
Pendekatan ekosistemik melihat komponen-komponen
manusia dan lingkungan sebagai satu kesatuan ekosistem yang
seimbang dan
• Pendekatan Aksi dan Konsekuensi (Model penjelasan
Konstekstual Progressif)
Model ini lebih aplikatif untuk menjelaskan dan memahami
fenomena-fenomena yang menjadi pokok masalahnya. Kelebihan dari
pendekatan ini adalah mempunyai asumsi dan model penjelasan yang
empirik, menyediakan tempat-tempat dan peluang bagi adopsi
asumsi-asumsi dan konsep-konsep tertentu yang sesuai.

78
Selanjutnya Vayda dalam Su Ritohardoyo (2006:25)
menjelaskan bahwa pendekatan kontekstual progressif lebih
menekankan pada obyek-obyek kajian tentang :
a. aktivitas manusia dalam hubungan dengan lingkungan
b. penyebab terjadinya aktivitas dan
c. akibat-akibat aktivitas baik terhadap lingkungan
maupun terhadap manusia sebagai pelaku aktivitas.

4. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan


Sejarah peradapan telah menunjukkan betapa usaha manusia
untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya telah menimbulkan
kesengsaraan berupa bencana alam yang disebabkan karena manusia
tidak mampu mengendalikan ketamakannya.Mengalami hal tersebut,
manusia mulai berfikir dan bekerja secara aktif untuk memahami
lingkungannya yang memberikan tantangan dan mengembangkan
cara-cara yang paling menguntungkan dalam upaya memenuhi
kebutuhan hidup yang terus cenderung meningkat dalam jumlahnya,
ragam dan mutunya.
Manusia berusaha memahami alam semesta beserta isinya,
memilah-milah gejala yang nampak nyata atau tidak nyata ke dalam
sejumlah kategori untuk mempermudah mereka dalam menghadapi
alam secara lebih efektif.Dengan kemampuan bekerja dan berfikir
secara metaforik, manusia tidak lagi mengandalkan naluri dalam
beradaptasi dengan lingkungan.Ia mulai secara aktif mengolah
sumberdaya alam dan mengelola lingkungan sesuai dengan resep-
resep budaya yang merupakan himpunan abstraksi pengalaman
mereka menghadapi tantangan. Manusia dalam beradaptasi,
mengembangkan kearifan lingkungan yang berwujud ideasional
berupa pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktifitas serta
peralatan, sebagai hasil abstraksi pengalaman yang dihayati oleh
segenap masyarakat pendukungnya dan yang menjadi pedoman atau
kerangka acuan untuk melihat, memahami, memilah-milah gejala
yang dihadapi serta memilih strategi bersikap maupun bertindak
dalam mengelola lingkungan.
79
Keanekaragaman pola-pola adaptasi manusia terhadap
lingkungan, terkadang tidak mudah dimengerti oleh pihak ketiga yang
mempunyai latar belakang sosial dan kebudayaan yang
berbeda.Namun demikian, keanekaragaman pola-pola adaptasi
terhadap lingkungan tersebut merupakan faktor yang harus
diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangungan
yang berkelanjutan.
Masyarakat Indonesia dengan ribuan komunitas
mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan karakterisktik
lingkungan yang khas. Secara suku bangsa terdapat lebih kurang 555
suku bangsa atau sub suku bangsa yang tersebar di wilayah
Kepulauan Nusantara. Dalam beradaptasi terhadap lingkungan,
kelompok-kelompok masyarakat tersebut mengembangkan kearifan
lingkungan sebagai hasil abstraksi pengalaman mengelola
lingkungan.Sering kali pengetahuan mereka tentang lingkungan
setempat sangat rinci dan menjadi pedoman yang akurat bagi
masyarakat yang mengembangkan kehidupan di lingkungan
pemukiman mereka.Pengetahuan rakyat itu biasanya berbentuk
kearifan yang sangat dalam maknanya dan sangat erat kaitannya
dengan pranata kebudayaan, terutama pranata kepercayaan (agama)
dan hukum adat yang kadang-kadang diwarnai dengan mantra-
mantra.Ia merupakan kumpulan abstraksi pengalaman yang dihayati
oleh segenap anggota masyarakat pendukungnya dan menjadi
pedoman atau kerangka acuan untuk melihat, memahami dan
memilah-milah gejala yang dihadapi serta memilih strategi dalam
bersikap maupun bertindak dalam mengelola lingkungan. Perbedaan
acuan, pandangan/penilaian, standar, ukuran atau kriteria tersebut,
dapat menimbulkan benturan atau konflik antara masyarakat lokal
dengan pengusaha maupun pemerintah.Padahal, pembangunan
berkelanjutan memungkinkan pemanfaatan kearifan dan sumber-
sumber daya sosial sebagai modal dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Kurangnya perlindungan atau penghormatan
terhadap kearifan lingkungan yang dikembangkan masyarakat lokal
dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya
80
alama, antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pihak
terkait (stakeholders) dan tidak bersedianya informasi mengenai
kearifan lingkungan. Sejumlah konflik yang muncul mengenai
lingkungan lebih banyak melibatkan masyarakat adat dengan
masyaralat lain yang tidak mengalami kearifan lokal dan adat suatu
masyarakat tentang bagaimana masyarakat tersebut mengelola
lingkungannya secara tradisional termasuk pelanggaran pemilikan
tanah secara adat. Karena itu, langkah yang tepat dalam usaha untuk
mewujudkan kearifan lingkungan adalah dengan mengkaji kembali
tragedi yang ada di masyarakat tentang usaha mereka untuk
mewujudkan keseimbangan kehidupannya dengan lingkungannya.
Tradisi dan aturan lokal yang tercipata dan diwariskan turun menurun
untuk mengelola lingkungan, dapat merupakan materi penting bagi
penyusunan kebijakan yang baru tentang lingkungan. Norma-norma
yang mengatur kelakuan manusia dalam berinteraksi dengan
lingkungannya, ditambah dengan kearifan ekologi tradisional yang
mereka miliki, merupakan etika lingkungan yang mempedomani
perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya.
Kriteria kearifan lokal yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup (Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup) terdiri dari:
a. Nilai-Nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat
b. Melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
lestari dan berkelanjutan.
Kriteria Pengetahuan Tradisional (PT) terkait Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Harry Alexander dan Miranda
Risang Ayu, 2011), secara garis-besar, adalah:
• Dihasilkan, direpresentasikan, dikembangkan,
dilestarikan, dan ditransmisikan dalam konteks
tradisional dan antargenerasional,
• Secara nyata dapat dibedakan, atau diakui menurut
kebiasaan, sebagai berasal dari suatu komunitas
masyarakat hukum adat, yang melestarikan dan
81
mentransmisikan Pengetahuan Tradisional (PT) tersebut
dari generasi ke generasi, dan terus menggunakan dan
mengembangkannya dalam konteks tradisional di dalam
komunitas itu sendiri,
• Merupakan bagian integral dari indentitas budaya suatu
masyarakat hukum adat, yang dikenal dan diakui sebagai
pemegang hak atas Pengetahuan Tradisional (PT) itu
melalui aktivitas pemangkuan, penjagaan, pemilikan
kolektif, maupun tanggung-jawab budaya. Kaitan antara
Pengetahuan Tradisional (PT) dan pemangkunya ini
dapat diungkapkan, baik secara formal atau informal,
melalui praktek-praktek kebiasaan atau praktek-praktek
tradisional, protokol, atau hukum nasional yang berlaku.
• Diwariskan dari generasi ke generasi, meski pun
pemakaiannya mungkin tidak terbatas lagi di dalam
komunitas terkait saja.

5. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya


Alam
Masyarakat setempat yang menerapkan cara hidup tradisional
di daerah pedesaan, yang nyaris tak tersentuh teknologi umumnya
dikenal sebagai masyarakat suku, komunitas asli atau masyarakat
hukum adat, penduduk asli atau masyarakat tradisional. Masyarakat
setempat seringkali menganggap diri mereka sebagai penghuni asli
kawasan terkait, dan mereka biasanya berhimpun dalam tingkat
komunitas atau desa. Kondisi demikian dapat menyebabkan
perbedaan rasa kepemilikan antara masyarakat asli/pribumi dengan
penghuni baru yang berasal dari luar, sehingga masyarakat setempat
seringkali menjadi rekan yang tepat dalam konservasi.
Di sebagian besar penjuru dunia, semakin banyak masyarakat
setempat telah berinteraksi dengan kehidupan modern, sehingga
sistem nilai mereka telah terpengaruh, dan diikuti penggunaan barang
dari luar. Pergeseran nilai akan beresiko melemahnya kedekatan
masyarakat asli dengan alam sekitar, serta melunturkan etika
82
konservasi setempat. Masyarakat tradisional pada umumnya sangat
mengenal dengan baik lingkungan di sekitarnya. Mereka hidup dalam
berbagai ekosistem alami yang ada di Indonesia, dan telah lama hidup
berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga mengenal
berbagai cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Masyarakat pedusunan memiliki keunikan khusus seperti
kesederhanaan, ikatan emosional tinggi, kesenian rakyat dan loyalitas
pada pimpinan kultural seperti halnya konsep-konsep yang
berkembang di pedusunan sebagai seluk beluk masyarakat jawa akan
pemahamannya pada : i) Gusti Allah, 2) Ingkang Akaryo jagad, 3)
Ingkang Murbeng Dumadi, 4) Hyang Suksma Adiluwih, 5) Hyang
maha Suci, 6) Sang Hyang Manon, 7) Agama Ageman Aji, dan 8)
Kodrat Wiradat. Semua itu menjadi pedoman bagi orang Jawa dalam
berperilaku, sehingga selalu mempertimbangkan pada besarnya
Kekuasaan Gusti Allah dan harus menjaga apa saja yang telah
diciptakannya. Di samping itu dalam berperilaku orang akan
berpedoman pada berbagai macam hal yang pada hakekatnya
mempunyai nilai baik dan buruk serta pada kegiatan yang didasarkan
pada benar dan salah.
Dalam kearifan lokal juga terwujud upaya pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan yang juga merupakan wujud dari
konservasi oleh masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, maka Nababan
dalam Suhartini (2009) mengemukakan prinsip-prinsip konservasi
dalam pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional sebagai
berikut :
• Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni)
hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini
masyarakat tradisional lebih condong memandang dirinya
sebagai bagian dari alam itu sendiri
• Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu
kawasan atau jenis sumberdaya alam tertentu sebagai hak
kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa
memiliki ini mengikat semua warga untuk menjaga dan
mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar.
83
• Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge
sistem) yang memberikan kemampuan kepada masyarakat
untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi
dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas.
• Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang
tepat guna dan hemat (input) energi sesuai dengan kondisi
alam setempat
• Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa
mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan
berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh
masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat
tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang
mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu
kesatuan sosial tertentu.
• Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber
daya milik bersama yang dapat mencegah munculnya
kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak
adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah
pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat
yang berlaku.

Contoh kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam


dari beberapa daerah yang ada di nusantara:
a. Kearifan lokal masyarakat Suku Bajo terkait
pemanfaatan sumber daya di laut Suku Bajo memiliki nilai-nilai dan
norma yang mengatur kehidupan mereka. Kearifan lokal tersebut
membuat Suku Bajo mampu bertahan hingga sekarang. Kearifan dan
pengetahuan lokal tersebut merupakan hasil dari proses yang sangat
panjang dari generasi ke generasi. Beberapa kearifan lokal Suku Bajo
dalam memperlakukan lingkungannya dapat dilihat padacontoh di
bawah ini.

84
Suku Bajo memiliki kegiatan yang dinamakan Bapongka atau
biasa juga disebut babangi. Bapongka merupakan istilah untuk
kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulan dengan
perahu berukuran kurang lebih 4 x 2 meter yang disebut Leppa
dengan mengikutsertakan anak istri (Alwiah dan Utina, 2013).

Selama Bapongka terdapat suatu kearifan yang sangat


bermanfaat bagi kelestarian lingkungan perairan yaitu berupa
larangan atau pamali untuk:
• Tidak boleh membuang air bekas cucian beras
• Arang kayu bekas memasak,
• Ampas kopi,
• Air cabe,
• Air jahe,
• Kulit jeruk, dan
• Abu dapu

Suku bajo dari sejak jaman dahulu sudah mulai memiliki


pemahaman jika membuang sampah dapat mencemari lingkungan.
Meskipun, sampah yang dibuang merupakan sampah organik dan
tidak terlalu memberikan dampak negatif bagi perairan, namun nilai-
nilai tersebut perlu dilestarikan dan mungkin direvitalisasi dengan
penguatan dan penambahan pemahaman agar larangan membuang
limbah berlaku tidak hanya kepada ketujuh benda yang telah
disebutkan di atas, namun juga terhadap seluruh limbah dari produk
modern yang dibawa ketika Bapongka.

Selain larangan dalam membuang tujuh jenis limbah ketika


yang telah disebutkan pada poin sebelumnya, terdapat pamali lain
yang ternyata juga memiliki nilai kelestarian lingkungan. Pamali
tersebut adalah larangan untuk menangkap ikan yang berukuran kecil
dan memakannya Mereka hanya boleh mengkonsumsi ikan yang
memiliki ukuran besar atau layak panen. Norma lain yang berlaku
adalah menghormati laut. Suku Bajo sangat menghormati laut karena
85
merupakan sumber penghidupannya. Bagi Suku bajo pamali untuk
mengucapkan kata-kata yang tidak pantas atau mengumpat di laut. hal
tersebut menunjukkan betapa Suku Bajo sangat menghargai laut.
Suku Bajo sangat takut melanggar pamali. Mereka beranggapan akan
mendatangkan malapetaka dan musibah apabila melanggar pamali.
Malapetaka atau musibah tersebut dapat datang dalam berbagai
bentuk seperti tidak memperoleh ikan, badai, ombak besar, dsb

b. Kearifan lokal masyarakat di Desa Rumbio Kecamatan


Kampar
Kearifan lokal suatu daerah atau tempat berbeda-beda.
Misalnya untuk menjaga kelestarian hutan di Desa Rumbio
Kecamatan Kampar Propinsi Riau dengan cara membuat hutan
larangan adat, yaitu melestarikan hutan bersama-sama di dalam
masyarakat tersebut dan masyarakat dilarang menebang di hutan
larangan adat tersebut. Jika dilanggar akan dikenakan denda seperti,
beras 100 kg atau berupa uang sebanyak Rp 6 juta.

c. Kearifan lokal masyarakat Desa Claket


Berbeda dengan desa Claket, Kecamatan Pacet, Kabupaten
Mojokerto ada kearifan lokal dalam melestarikan sumber air yaitu
dengan upacara “bersih desa”, yaitu berjalan bersama-sama seluruh
warga desa sambil membawa makanan menuju sumber mata air
Claket. Setelah sampai pada sumber mata air, diadakan acara
“Selamatan” seluruh warga sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Tuhan atas karunia-Nya berupa sumber air sehingga dapat memberi
penghidupan seluruh warga yang sehari sebelumnya tempat tersebut
dibersihkan terlebih dahulu dan ditanami pohon.

Hampir sama seperti di Jawa, untuk menjaga kelestarian hutan


di bali khususnya di Desa Penglipuran bentuk kearifan lokal
masarakat setempat yaitu adanya konsep “Hutan Due” yang telah
disahkan pada awig-awig (peraturan) desa. Konsep “Hutan Due” yang
berarti hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Kayu atau
86
pun hasil hutan yang ada di hutan itu hanya bisa digunakan untuk
keperluan upacara adat. Jika ada orang yang mengambil hasil hutan
pada hutan tersebut untuk kepentingan pribadi tanpa sepengetahuan
aparat desa, maka akan dikenakan sangsi sesuai awig-awig yang telah
disepakati.

d. Kearifan lokal masyarakat Bali


Sedangkan untuk masarakat bali pada umumnya untuk
melestarikan hutan dengan cara mengadakan perayaan hari Tumpek
Pengatag yang diadakan setiap 210 hari sekali. Pada upacara ini
mengajarkan pada umat manusia bahwa kita wajib bersyukur atas
harmoni yang membantu kita tinggal dalam alam kehidupan kini.
Menghormati dan menghargai bumi dan seisinya, khususnya tanaman
yang ada, memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia
mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa
menopang hidup dan penghidupannya

Kalau kita pandang dari segi sosial masyarakat bahwa kearifan


lokal itu merupakan media pembelajaran bagi masyarakat untuk
belajar saling menghormati dan saling menyayangi. Baik sesama
manusia maupun terhadap lingkungan.

e. Kearifan lokal masyarakat Minangkabau


Di Propinsi Sumatera Barat yang sering juga disebut dengan
Ranah Minang, juga terdapat beberapa jenis Kearifan Lokal yang
berkaitan dengan pengelolaan Hutan Tanah dan Air diantaranya
Rimbo Larangan, Banda Larangan, Tabek Larangan, Mamutiah
Durian, Parak, Menanam Tanaman Keras sebelum Nikah, Goro
Basamo dan masih banyak lagi yang lainnya.
• Rimbo Larangan (Hutan Larangan )
Yaitu hutan yang menurut aturan adat tidak boleh ditebang
karena fungsinya yang sangat vital sekali sebagai persediaan air
sepanjang waktu untuk keperluan masyarakat, selain itu kayu yang
tumbuh dihutan juga dipandang sebagai perisai untuk melindungi
87
segenap masyarakat yang bermukim disekitar hutan dari bahaya tanah
longsor. Apabila ada terdapat diantara warga yang akan membuat
rumah yang membutuhkan kayu, maka harus minta izin lebih dulu
kepada aparat Nagari melalui para pemangku adat untuk menebang
kayu yang dibutuhkan dengan peralatan Kapak dan Gergaji tangan.
• Banda Larangan ( Sungai, Anak Sungai / Kali
Larangan )
Merupakan suatu aliran sungai yang tetap dijaga agar tidak
tercemar dari bahan atau benda yang bersifat dapat memusnahkan
segenap binatang dan biota lainnya yang ada di aliran sungai sehingga
tidak menjadi punah, seperti halnya warga masyarakat tidak boleh
menangkap ikan dengan cara Pengeboman, memakai racun, memakai
aliran listrik dan lain sebagainya. Untuk panen Ikan dari Banda
Larangan tersebut, pihak Pemangku Adat dan Aparat Nagari
melaksanakan dengan cara membuka larangan secara bersama-sama
masyarakat untuk kepentingan bersama dan hasilnya selain untu
masyarakat juga sebahagian untuk KAS Nagari. Biasanya Banda
Larangan ini dibuka sekali setahun atau sekali dua tahun tergantung
kesepakatan Para Pemangku Adat.
• Tabek Larangan ( tebat larangan )
Yaitu Kolam air yang dibuat secara bersama oleh masyarakat
pada zaman dulu dengan tujuan untuk persediaan air bagi kepentingan
masyarakat dan didalam Tabek tersebut juga dipelihara berbagai jenis
ikan, saat untuk membuka Tabek Larangan tersebut sama dengan
seperti di Banda Larangan.
• Mamutiah durian ( memutih durian )
Yaitu kegiatan menguliti pohon durian apabila kedapatan
salah seorang warga masyarakat pemilik pohon durian yang memanjat
dan memetik buah durian sebelum durian itu matang, hal itu
dilakukan sebagai sanksi moral bagi masyarakat yang melakukannya
karena dipandang tidak mempunyai rasa sosial antar sesama. Setelah
pohon Durian dikuliti maka secara berangsur pohon itu akan mati.
Biasanya pemilik pohon durian akan mendapatkan hasil semenjak

88
matahari terbit sampai terbenam, sedangkan disaat malam hari buah
durian yang jatuh telah menjadi milik bersama.

• Parak
yaitu suatu lahan tempat masyarakat berusaha tani dimana
terdapat keberagaman jenis tanaman yang dapat dipanen sepanjang
waktu secara bergiliran, sehingga pada lahan parak ini terdapat nilai
ekonomi yang yang berkelanjutan. Apabila dilihat dari jauh, parak di
pandang seolah-olah seperti hutan dan juga berfungsi sebagai
penyangga bagi daerah dibawahnya

f. Kearifan lokal masyarakat Desa Ciomas, Jawa Barat


Masyarakat di Desa ini memiliki satu kearifan lokal warisan
nenek moyang mereka mengenai pelestarian lingkungan yang sampai
saat ini masih dengan teguh mereka jaga. Salah satunya adalah
dengan masih menetapkannya Leuweung Larangan (hutan larangan)
di kawasan Gunung Sawal sebagai tempat yang harus betul-betul
dijaga kelestariannya.

Di samping itu, ada pula beberapa tahapan dalam adat


masyarakat Ciomas yang mengedepankan pola-pola sistematis dan
bertahap dalam hal pelestarian hutan di lingkungan mereka. Tahapan
adat itu terbagi dalam tiga tahap yang begitu sistematis dan penuh
perhitungan.

Inilah tahap-tahap dalam adat Masyarakat Ciomas dalam hal


menjaga lingkungan hutan agar tetap lestari:
• Kabarataan
Kabarataan adalah sebuah adat yang mengedepankan pada
analisis yang mendalam terhadap kerusakan-kerusakan hutan yang
terdapat dalam tata wilayah mereka. Dalam adat Kabarataan ini
meliputi menghitung berbagai kerusakan hutan, menetapkan waktu
pemulihan kerusakan tersebut (Tata Wayah) dan juga rancangan kerja
tentang apa-apa saja yang harus dilakukan untuk memulihkan
89
kerusakan (Tata Lampah). Tidak hanya itu, dalam adat Kabarataan ini
juga diadakan upacara penanaman pohon panayogian atau penanda
yang disebut dengan nama Ki Pasang, mengingat pohon yang di
tanam adalah dua jenis pohon yang sama dan berdampingan. Dalam
prosesi adat menanam pohon panayogian biasanya dilakukan pada
akhir menjelang rangkaian adat Kabarataan berakhir. Yang membuat
saya terkesan adalah, untuk pohon yang di tanam dalam Panayogian
ini masyarakat adat mewajibkan untuk hanya menanam jenis pohon
yang tumbuh di wilayah itu dan sama sekali tidak dibolehkan untuk
menanam pohon yang berasal dari luar daerah tersebut. Hal itu tentu
saja dilakukan bukan dengan tanpa alasan sama sekali.

Tujuan utama dari penanaman pohon yang harus dari wilayah


tersebut dengan perhitungan bahwa adaftasi sebuah tanaman dengan
tanah dan lingkungan baru adakalanya memakan proses yang tidak
selamanya berjalan mulus. Jika pohon yang ditanam merupakan
tanaman asli dari wilayah tersebut maka diharapkan proses adaptasi
dan pertumbuhan dari sang pohon yang baru di tanam bisa lebih
mudah dilalui
• Kadewaan
Untuk tahapan berikutnya setelah prosesi adat Kabarataan
berakhir maka dilanjutkan dengan tahapan selanjutnya yakni
melaksanakan adat Kadewaan. Kadewaan sendiri pada prinsipnya
adalah awal dimulainya proses pemulihan hutan dan lingkungan
termasuk mata air, sungai, dan aneka tumbuhan di sekitar wilayah
tersebut yang pada saat adat Kabarataan dianggap sudah waktunya
dipulihkan dari kerusakan-kerusakan. Maka, jika dalam adat
Kabarataan adalah berupa analisis yang mendalam untuk mendeteksi
kerusakan-kerusakan lingkungan berikut dengan pola-pola apa saja
yang akan diambil dalam upaya penyembuhan lingkungan yang rusak
tersebut, maka dalam adat Kadewaan ini adalah upaya pelaksanaan
dari pemulihan itu sendiri. Dalam Kadewaan ini, masyarakat
diwajibkan untuk menanam pohon di tempat-tempat yang dianggap
telah rusak. Dan seperti pada adat Kabarataan, pohon-pohon yang
90
ditanam di sini pun harus berasal dari jenis pohon yang ada di wilayah
tersebut.
• Karatuan
Untuk tahapan terakhir dari rangkaian adat ini adalah
pelaksanaan adat karatuan. Adat Karatuan adalah sebuah proses
berkesinambungan antara terus memulihkan lingkungan dan juga
menjaga keberlangsungan pemulihan itu sendiri hingga tercapai
sebuah tata lingkungan yang benar-benar subur, bersahabat dan tentu
saja bisa diambil manfaatnya oleh penduduk setempat. Maka dari itu,
dalam adat karatuan ini sifatnya jangka panjang dan oleh karenanya
waktu yang ditetapkan pun adakalanya hingga ratusan tahun.

g. Kearifan lokal masyarakat Krui-Lampung Barat


Repong Damar atau hutan damar, merupakan model
pengelolaan lahan bekas lading dalam bentuk wanatani yang
dikembangkan oleh masyarakat Krui di Lampung Barat, yaitu
menanami lahan bekas lading dengan berbagai jenis tanaman, antara
lain damar, kopi, karet, durian.

h. Kearifan lokal masyarakat Orang Rimba-Jambi


Hompongan merupakan hutan belukar yang melingkupi
kawasan inti pemukiman Orang Rimba (di kawasan Taman Nasional
Bukit Dua Belas, Jambi) yang sengaja dijaga keberadaannya yang
berfungsi sebagai benteng pertahanan dari gangguan pihak luar.

i. Kearifan lokal masyarakat Dayak Iban-Kalimantan


Barat
Tembawai merupakan hutan rakyat yang dikembangkan oleh
masyarakat Dayak Iban di Kalimantan Barat, yang didalamnya
terdapat tanaman produktif, seperti durian.

j. Kearifan lokal masyarakat Maluku

91
Sasi merupakan aturan adat yang menjadi pedoman setiap
warga masyarakat Maluku dalam mengelola lingkungan termasuk
pedoman pemanfaatan sumber daya alam.

k. Kearifan lokal masyarakat Maluku


Mamancing Ikan merupakan aturan adat yaitu larangan atau
boboso. Pamali Mamancing Ikab ini secara yurisdiksi terbatas pada
nilai-nilai adat, dan agama, tetapi konsep property right ini terbentuk
dari pranata sosial masyarakat yang telah berlangsung sejak lama
dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.

l. Kearifan lokal masyarakat Dayak Benuaq-Kalimantan


Timur
Simpuk Munan atau lembo bangkak merupakan hutan
tanaman buah-buahan (agroforestry) yang dikembangkan oleh
masyarakat Dayak Benuaq di Kalimantan Timur.

m. Kearifan lokal masyarakat To Bentong-Sulawesi


Selatan
Koko dan tattakeng sebelum mengenal pertanian padi sawah,
orang To Bentong mewariskan lahan bagi keturunannya berupa kebun
(Koko) dan lading yang ditinggalkan (Tattakeng). Koko adalah lahan
perladangan yang diolah secara berpindah, sedangkan Tattakeng
adalah lahan bekas perladangan yang sedang diberakan.

n. Kearifan lokal masyarakat Minahasa-Sulawesi Utara


Mapalus pada masyarakat Minahasa, merupakan pranata
tolong menolong yang melandasi setiap kegiatan sehari-hari orang
Minahasa, baik dalam kegiatan pertanian, yang berhubungan dengan
sekitar rumah tangga, maupun untuk kegiatan yang berkaitan dengan
kepentingan umum.

o. Kearifan lokal masyarakat Bolaang Mongondow-


Sulawesi Selatan
92
Moposad dan Moduduran merupakan pranata tolong
menolong yang penting untuk menjaga keserasian lingkungan sosial.

p. Kearifan lokal masyarakat Banjar – Kalimantan


Selatan
Kapamalian merupakan aturan-aturan (pantangan) dalam
pengelolaan lingkungan, misalnya larangan membuka hutan keramat.

q. Kearifan lokal masyarakat Sumba Timur- Nusa


Tengara Timur
Gugus hutan yang disebut Pahomba, terlarang keras untuk
dimasuki apalagi untuk diambil hasil hutanya. Pada hakekatnya
pohon-pohon di setiap pahomba itu berfungsi sebagai pohon-pohon
induk yang dapat menyebarkan benih ke padang-padang rumput yang
relatif luas.Karena itu, jika api tidak menghangus matikan anakan
pepohonan itu, proses perluasan hutan secara alamiah dapat
berlangsung. Pepohonan di pahomba disekitar batang sungai
berfungsi sebagai riparian atau tumbuhan tepain sungai yang
berfungsi sebagai filter terhadap materi erosi, dan sekaligus berfungsi
sebagai sempadan alamiah sungai dan untuk pelestarian air sungai.

r. Kearifan lokal masyarakat Bali


Salah satu teknologi tradisional pemakaian air secara efisien
dalam pertanian dilakukan dengan cara Subak. Lewat saluran
pengairan yang ada pembagian aliran berdasarkan luas areal sawah
dan masa pertumbuhan padi dilakukan dengan menggunakan alat bagi
yang terdiri dari batang pohon kelapa atau kayu tahan air lainnya.
Kayu ini dibentuk sedemikian rupa dengan cekukan atau pahatan
dengan kedalaman berbeda sehingga debit air yang mengalir di satu
bagian berbeda dengan debit air yang mengalir di bagian lainnya.
Kayu pembagi air ini dapat dipindah-pindah dan dipasang diselokan
sesuai dengan keperluan, yang pengaturannya ditentukan oleh
Kelihan Yeh atau petugas pengatur pembagian air.

93
s. Kearifan lokal masyarakat Bali
Tri Hita Karana, suatu konsep yang ada dalam kebudayaan
Hindu-Bali yang berintikan keharmonisan hubungan antara Manusia-
Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam merupakan tiga
penyebab kesejahteraan jasmani dan rohani. Ini berarti bahwa nilai
keharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan
merupakan suatu kearifan ekologi pada masyarakat dan kebudayaan
Bali.

t. Kearifan lokal masyarakat Desa Gasang-Jawa Timur


Bersih Deso (bersih desa) adalah suatu acara adat dan
sekaligus tradisi pelestarian lingkungan yang masih dilaksanakan
masyarakat Desa Gasang sampai sekarang. Dilakukan setiap tahun
pada bulan Jawa Selo (Longkang) dipilih dari hari Jumat Pahing.
Masyarakat secara berkelompok membersihkan lingkungan masing-
masing seperti jalan, selokan umum dan sungai. Setelah selesai
melaksanakan bersih deso secara berkelompok mereka
menyelenggarakan upacara semacam “sedekah bumi” dengan sajian
satu buah buceng besar, satu buceng kecil, sayur tanpa bumbu lombok
tanpa daging, berbagai macam hasil bumi yang biasa disebut “pala
kependhem” dan “pala gumantung”.

u. Kearifan lokal masyarakat Desa Bendosewu-Jawa


Timur
Tradisi bersih desa di Desa Bendosewu dikenal dengan
wewaler yang merupakan pesan dari leluhur yang babad desa. Isi
pesan adalah “jika desa sudah rejo (damai, sejahtera) maka hendaknya
setiap tahun diadakan upacara bersih desa.” Tradisi bersih desa
disertai kegiatan kebersihan lingkungan secara serentak, yaitu
membersihkan jalan-jalan, rumah-rumah, pekarangan, tempat-tempat
ibadah, makam dan sebagainya. Kegiatan ini disebut pula dengan
“tata gelar” atau hal yang sifatnya lahiriah. Hal yang berkaitan dengan
“tata gelar” dalam bersih desa bagi masyarakat Bendosewu sudah
menjadi bagian hidupnya, sehingga tidak perlu diperintah lagi.
94
v. Kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Sirnaresmi-Jawa
Barat
Seren Taun memiliki banyak arti bagi masyarakat kasepuhan
diantaranya adalah puncak prosesi ritual pertanian yang bermakna
hubungan manusia, alam, dan pencipta-Nya. Seren Taun adalah
perayaan adat pertanian kasepuhan sebagai ungkapan rasa syukur
setelah mengolah lahan pertanian sengan segala hambatan dan
perjuangannya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Seren Taun
adalah pesta masyarakat adat Kasepuhan sebagai ungkapan rasa
gembira ketika panen datang. Seren Taun juga merupakan
pertunjukan kesenian-kesenian tradisional yang ada di masyarakat
Kasepuhan. Adat istiadat yang berlaku di dalam Kasepuhan ini
mengatur pola kehidupan masyarakat dalam berhubungan dengan
sang pencipta (Hablum minallah), hubungan antar manusia (Hablum
minan naas) dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya
(Hablum minal alam).

w. Kearifan lokal masyarakat Kampung Dukuh-Jawa


Barat
Bentuk kearifan dalam pengelolaan SDA dan lingkungan
hidup yang dikembangkan masyarakat Kasepuhan Pancer
Pangawinan diwujudkan dalam penataan ruang hutan, pelestarian dan
pengelolaan air, pengelolaan lahan dengan pengembangan talun.
Selain itu juga diwujudkan dalam pengetahuan tradisional tentang
berbagai jenis sumber daya alam, seperti padi varitas lokal. Nilai yang
menekankan pentingnya melestarikan lingkungan itu dikuatkan lewat
berbagai upacara tradisional, mitos dan tabu. Menurut warga
Kasepuhan, hutan digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu: Leuweung
Kolot atau Leuweung Geledegan atau hutan tua, yaitu hutan yang
masih lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon dengan kerapatan yang
tinggi, dan masih banyak ditemukan binatang liar hidup di dalamnya.
Hutan ini masih ada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun. Leuweung Titipan atau hutan keramat. Hutan ini tidak boleh
dimasuki apalagi dieksploitasi oleh siapa pun, kecuali ada izin dari
95
Abah Anom. Hutan ini akan dimasuki apabila Abah Anom menerima
wangsit atau ilapat dari nenek moyang yang memerlukan sesuatu dari
kawasan gunung tersebut. Kawasan hutan keramat adalah kawasan
Gunung Ciwitali dan Gunung Girang Cibareno; Leuweung Sampalan
atau Leuweung bukaan, yaitu hutan yang dapat digunakan dan
dieksploitasi serta dibuka oleh warga Kasepuhan. Di sini warga boleh
membuka lading, kebun sawah, menggembala ternak, mengambil
kayu bakar dan hasil hutan lainnya yang ada. Yang termasuk lahan
bukaan adalah lahan di sekitar tempat pemukiman penduduk. Bekas
lahan lading ataupun sawah yang sudah dipanen lalu ditanami dengan
tanaman musiman dan tanaman keras sehingga membentuk hutan
buatan disebut Talun. Tanaman buah-buahan sering digunakan seperti
duren, rambutan, atau tanaman lainnya seperti petai, cengkeh, dan
sebagainya. Setelan Talun ditanami biasanya akan ditinggal begitu
saja. Artinya pemeliharaannya tidak begitu intrnsif disbanding dengan
kebun.

x. Kearifan lokal masyarakat Lampung


Piil Pasenggiri merupakan falsafah hidup atau pedoman dalam
bertindak bagi setiap warga masyarakat Lampung, yakni: menemui
muimah (ramah lingkungan), nengah nyappur (keseimbangan
lingkungan), sakai sambayan (pemanfaatan lingkungan), dan juluk
adek (pertumbuhan lingkungan).

y. Kearifan lokal masyarakat Lahat – Sumatera Selatan)


Undang-Undang Simbur Cahaya yang sebagian substansinya
mengatur tentang pentingnya pelestarian lingkungan.

z. Kearifan lokal masyarakat Sumatra Selatan


Pengetahuan Ke-Kean adalah perhitungan waktu yang tepat
untuk menanam jenis tanaman tertentu yang dikaitkan dengan ilmu
perbintangan.

96
K. Gotong Royong Dalam Perspektif Kearifan Lokal
Metode gotong royong merupakan salah satu alternatif pilihan
yang dapat dijalankan dalam rangka upaya meningkatkan taraf
pendidikan masyarakat, terutama masyarakat yang berdomisili di
pedalaman. Kesulitan bersama akan akses pendidikan sudah
seharusnya dijawab dengan kekompakan dan persatuan masyarakat,
yakni pembangunan pendidikan berbasis swadaya masyarakat
sehingga tercipta suatu lembaga pendidikan di masyarakat setempat.
Metode gotong royong sebagaimana tersebut merupakan suatu kerja
yang dilakukan secara bersama-sama dengan tertata dan teratur,
semua anggota masyarakat berdiri pada kewajiban yang sama untuk
tujuan bersama.
Metode gotong royong sendiri sudah lama melekat dalam
kehidupan masyarakat Indonesia secara umum. keberadaan gotong
royong tidak dapat dilepaskan akan adanya persamaan keperluan dan
kebutuhan masyarakat yang tidak mungkin dapat diselesaikan dengan
secara individualis.
Segala sesuatunya dikerjakan dengan mengandalkan
kebersamaan, persatuan dan tentunya semua itu diwujudkan dalam
bentuk gotong royong. Kegiatan bergotong royong sebenarnya sudah
menjadi tradisi disemua daerah di Indonesia. Kegiatan ini sudah
diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang bangsa
Indonesia. Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan
bergotong royong. Hal ini sebagaimana kata pepatah yang
mengatakan berat sama diangkat, ringan sama dijinjing. Artinya
masalah seberat apapun itu tentu saja dapat diselesaikan dengan
bersama-sama dan akan terasa lebih ringan. Berbanding terbalik bila
segala sesuatu dijalankan dengan secara indivudualisme.
Sebagaimana analogi yang penulis gambarkan sebagai berikut,
misalkan ibarat menyapu dengan sebatang lidi, tentu akan berbeda
hasilnya bila dilakukan dengan seikat lidi. Sebatang lidi tidak akan
mampu menyelesaikan apapun melainkan hanya sedikit dari
potensinya, tetapi dengan seikat lidi ia akan lebih berguna untuk
kepentingan yang lebih urgen lagi.
97
Menurut kamus bahasa Indonesia (2008: 498): gotong royong
adalah bekerja bersama-sama (tolong-menolong, bantu membantu).
Manusia adalah mahluk sosial, oleh karena itu kebersamaan,
persatuan dan saling membantu merupakan kebutuhan manusia untuk
tetap eksis.
Mengingat pentingnya gotong royong dalam masyarakat,
Gurniwan Kamil (1987) menjelaskan secara eksplisit bahwa : Gotong
royong sudah tidak dapat dipungkiri lagi sebagai ciri bangsa
Indonesia yang turun temurun, sehingga keberadaannya harus
dipertahankan. Pola seperti ini merupakan bentuk nyata dari
solidaritas mekanik yang terdapat dalam kehidupan masyarakat,
sehingga setiap warga yang terlibat di dalamnya memiliki hak untuk
dibantu dan berkewajiban untuk membantu, dengan kata lain di
dalamnya terdapat azas timbal balik.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dianalis bahwa setiap
masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
kelompoknya. Dalam konteks kewajiban, setiap anggota masyarakat
Memiliki kewajiban untuk bersama-sama mengerjakan sesuatu atau
terlibat dalam suatu pekerjaan baik untuk kepentingan umum
(bersama) maupun saling membantu diantara anggota masyarakat.
Setelah turut serta mengerjakan kewajiban barulah memiliki hak
untuk diperhatikan, dibantu berdasarkan ketentuan gotong royong
yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Rochmadi (2012) menjelaskan bahwa: Gotong royong adalah
bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, dan merupakan warisan
budaya bangsa. Nilai dan perilaku gotong royong bagi masyarakat Indonesia
sudah menjadi pandangan hidup, sehingga tidak bisa dipisahkan dari
aktivitas kehidupannya sehari-hari. Pola hidup yang seperti ini merupakan
bentuk nyata dari solidaritas mekanik yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Implementasi nilai dan perilaku gotong royong pada
masyarakat Indonesia merupakan bagian esensial dari revitalisasi nilai sosio
budaya dan adat istiadat pada masyarakat yang memiliki budaya beragam
agar terbebas dari dominasi sosial, ekonomi, politik, pertahanan dan
keamanan, serta ideologi lain yang tidak mensejahterahkan

98
BAB 5
TANTANGAN PELAYANAN PUBLIK DI DAERAH
PELOSOK/PEDALAMAN
A. Tantangan Pelayanan Publik 2021
Inti dari seluruh proses berpemerintahan itu adalah pelayanan
publik. Entah berupa jasa publik, barang publik hingga layanan
administratif. Semua itu menjadi tanda dari hadirnya negara (state in
practice) dalam kehidupan masyarakat.
Pandangan demikian bertolak dari dua rasionalitas. Pertama,
pelayanan publik itu politik, soal relasi rakyat sebagai warga dengan
pemerintah. Pihak pertama memberikan mandat (suara dalam pemilu,
pajak dalam ekonomi); pihak kedua mengonversi mandat itu ke dalam
akuntabilitas kinerja. Relasi mandat dan akuntabilitas terlihat nyata
pada pemenuhan layanan negara pada warga.
Kedua, pelayanan publik, terutama skala dasar, adalah hak
konstitusional warga bagi kualitas keberlangsungan hidup secara
individual dan sosial. Sebegitu fundamentalnya, negara tak saja
berkewajiban tetapi juga bisa ditagih dan bahkan digugat tanggung
jawab dalam pemenuhannya.
Bagaimana realisasinya di Indonesia, khususnya di daerah
sebagai garda depan pelayanan publik? Pengalaman 2020
memberikan sketsa jawaban. Dan, sebagian kelemahan/kegagalan
niscaya berulang kita alami pada 2021 jika unjuk kerja birokrasi tak
berubah secara mendasar. Cara kita merespons akan jadi batu uji
lantaran konteks tantangan strategis masih sama, bahkan pada 2021
bertambah satu lagi yang diyakini secara signifikan menghadirkan
lingkungan persoalan baru. Apa tantangan-tantangan krusial ke depan
dan antisipasi yang diperlukan sebagai implikasi dari pilihan
kebijakan yang kita ambil?
B. Tiga tantangan
Konteks lingkungan pertama yang amat memengaruhi
ekosistem dan tata kelola layanan publik tahun ini adalah lanjutan dan
pendalaman dari dampak struktural pandemi Covid-19. Kita tahu,

99
pagebluk ini sungguh telah menguji ketangguhan atau kerapuhan
sistem kesehatan, governabilitas sektor publik, fundamen ekonomi
dan modal sosial yang ada. Kita lulus bersyarat dalam ujian solidaritas
kewargaan dan kapabilitas sosial, namun keteteran dalam ujian
ekonomi dan kinerja pemerintahan, serta bagai membuka kotak
pandora ketika ujian yang sama kita lakukan atas sistem layanan
kesehatan.
Selain faktor kepemimpinan dan strategi komunikasi yang
sudah disorot banyak pihak, cara kita merespons juga erat terkait
dasar kewenangan penanganan pandemi, dukungan dan ruang fiskal,
hingga kapasitas pelaksanaan di lapangan. Status bencana nasional
membuat otoritas pemda terbatas dan tak leluasa lantaran harus
menunggu delegasi (penugasan) pusat. Ketika pola respons pandemi
makin berbasis lokal bahkan komunitas, delegasi mestinya dibarengi
dosis desentralisasi.
Pemda yang biasa bekerja leluasa-mandiri (otonom) tampak
gagap melangkah ketika delegasi itu mengalir dalam wujud perintah
realokasi anggaran, refocusing program, hingga realisasi kegiatan.
Pada sisi lain, prakondisi dasar seperti kerangka kebijakan hingga
satuan data terpadu tidak lekas tersedia ketika layanan esensial berupa
jaring pengaman atau bantuan sosial hendak diberikan sebagai
bantalan bagi warga terdampak pandemi. Hari ini, kebijakan nasional
sudah relatif solid, namun basis data belum benar-benar “duduk”.
Untuk distribusi bantuan sosial (bansos), tak cukup mengubah
bentuk natura ke tunai tetapi juga mesti mengeliminasi
maladministrasi dan mengintegrasikan data Program Keluarga
Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Data Terpadu
Kesejahteraan Sosial (DTKS) hingga bansos daerah/desa. Bahkan
reintegrasi dan soliditas data bisa menjadi awal bagi penyatuan skema
bantuan jamak-fragmentatif ke skema tunggal-terkonsolidasi.
Kedua, tantangan baru datang dari pemberlakuan Omnibus
Law Cipta Kerja yang telah disahkan akhir 2020 tahun lalu lewat UU
No 11 Tahun 2020. Beleid ini memang masih menjadi “kitab terbuka”
lantaran belum ada respon tunggal atas keberadaannya. Sebagian
100
elemen masyarakat menempuh jalur yudisial (uji formil dan/atau uji
materil) ke Mahkamah Konstitusi. Sebagian lain mendesak
ditempuhnya jalur legislatif berupa revisi parsial atas teknis legal-
drafting dan materi muatan.
Pada sisi lain, pemerintah memilih berfokus menyusun 44
regulasi turunan, baik peraturan pemerintah maupun peraturan
presiden. Beberapa waktu ke depan kita akan menyaksikan bagaimana
semua itu berproses dan ke mana ujung akhirnya. Terlepas dari
berbagai langkah ini, sudah pasti bahwa UU tersebut akan masuk ke
fase pelaksanaan. Persiapan operasional dan strategi implementasi
menjadi krusial dalam mengantisipasi ekses perubahan maupun
mengeksekusi arah baru kebijakan. Selain tata perizinan dan segala
aspek di hulu yang mewarnai diskursus kebijakan, soal tata kelola
layanan usaha dan pengawasan atas pemenuhannya mesti menjadi
bagian dari rencana besar guna dipersiapkan sejak sekarang.
Transformasi perizinan berbasis risiko, misalnya,
mensyaratkan cara kerja baru dan perubahan pola relasi pusat dengan
daerah maupun pemerintah dengan warga dalam layanan birokrasi
ke depan. Pada sisi lain, relaksasi pada ranah hulu (perizinan)
menuntut efektivitas ranah hilir (pengawasan). Ketika legalitas usaha
tak lagi semuanya berbasis izin tetapi standar dan registrasi, potensi
konflik di masyarakat menjadi terbuka. Pada sisi lain, mekanisme
keberatan berjenjang mungkin tak banyak ditempuh lantaran pemda
tutup mata atas masalah usaha yang izinnya diberikan pusat.
Peran Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas pelayanan
publik harus kian kuat guna merespons “lompatan” pengaduan
masyarakat maupun imbas bergesernya rezim pidana ke sanksi
administrasi atas kisruh perizinan. Ketiga, internal pemerintahan juga
menyimpan dinamika tersendiri. Dua situasi yang patut disebut adalah
agenda reformasi birokrasi dan kepemimpinan baru di daerah
(pilkada). Reformasi birokrasi jelas imperatif. Namun, musim puncak
reformasi (pemangkasan eselon, penyetaraan jabatan) terjadi pada
2020-2021 ketika momentumnya justru menghendaki “kapal“ yang
stabil. Tentu tak boleh surut, namun mesti diperkuat orkestrasi dan
101
kepemimpinan perubahan dalam mengelola agenda makro, meso dan
mikro sektor publik.
Pada level daerah, hasil pilkada memunculkan sejumlah
kemenangan para penantang atau pendatang baru. Energi segar
diharapkan bertuah bagi pemulihan ekonomi, pelayanan kesehatan
dan perlindungan sosial. Namun, tak ada masa berbulan madu,
mereka mesti lekas menguasai arena (politik dan birokrasi),
membuang jauh-jauh niat balas dendam atau balas budi dalam
pengisian jabatan, apalagi membancak program layanan warga
sebagai ladang berburu rente dan korupsi.
Di masa krisis, ujian kepemimpinan persis terletak pada
kemampuan untuk membangun moral kerja tim, merajut kolaborasi
dan inovasi, bermental sebagai pelayan rakyat. Tidak gampang,
namun demi itu semualah rakyat telah berani bertaruh nyawa hadir di
bilik-bilik suara 9 Desember 2020 lalu.
C. Tantangan 2021
Ekosistem pelayanan publik dan cara pemerintah merespons
permintaan layanan dari warga memang tidak lagi sama seperti masa
manapun dalam sejarah sektor publik kita. Birokrasi sendiri mesti
bertransformasi menjadi learning organization, para kepala daerah wajib
membangun diri sebagai pemimpin perubahan. Kepada mereka nasib warga
dalam mengakses perlindungan dan pelayanan negara digantungkan.
Pusat berperan membingkai peran para garda depan itu melalui
kebijakan solid, ruang yang kian otonom guna merangsang diskresi dan
inovasi, serta pengawasan yang berorientasi preventif, protektif dan berbasis
aturan main (sistem integritas) yang efektif. Saat masa pelik, negara tak
boleh hadir biasa-biasa saja (business as usual) lantaran kesulitan hidup
rakyat sungguh berkarakter lain. Krisis mestinya menjadi ruang lahirnya
cara baru berpemerintahan. Kesengsaraan hidup jelas memburuk jika
pemerintah alih-alih melayani tapi malah menjadi benalu perusak tubuh
negara itu sendiri. Kala itu berulang terjadi, maka jika lanskap tata kelola
2020 dan 2021 dibuat relatif longgar demi lancarnya percepatan layanan dan
penyerapan anggaran, tahun-tahun mendatang niscaya diisi berbagai tagihan
akan tanggung gugat secara hukum dan administrasi. Kita sungguh tak
menghendaki itu.

102
BAB 6
PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT DI INDONESIA
A. Perilaku Sosial
Perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang
merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan manusia (Rusli
Ibrahim, 2001). Sebagai bukti bahwa manusia dalam memnuhi
kebutuhan hidup sebagai diri pribadi tidak dapat melakukannya
sendiri melainkan memerlukan bantuan dari orang lain.Ada ikatan
saling ketergantungan diantara satu orang dengan yang lainnya.
Artinya bahwa kelangsungan hidup manusia berlangsung dalam
suasana saling mendukung dalam kebersamaan. Untuk itu manusia
dituntut mampu bekerja sama, saling menghormati, tidak menggangu
hak orang lain, toleran dalam hidup bermasyarakat.
Menurut Krech, Crutchfield dan Ballachey (1982) dalam
Rusli Ibrahim (2001), perilaku sosial seseorang itu tampak dalam
pola respons antar orang yang dinyatakan dengan hubungan timbal
balik antar pribadi. Perilaku sosial juga identik dengan reaksi
seseorang terhadap orang lain (Baron & Byrne, 1991 dalam Rusli
Ibrahim, 2001). Perilaku itu ditunjukkan dengan perasaan, tindakan,
sikap keyakinan, kenangan, atau rasa hormat terhadap orang lain.
Perilaku sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi
orang lain dengan cara-cara yang berbeda-beda. Misalnya dalam
melakukan kerja sama, ada orang yang melakukannya dengan tekun,
sabar dan selalu mementingkan kepentingan bersama diatas
kepentingan pribadinya. Sementara di pihak lain, ada orang yang
bermalas-malasan, tidak sabaran dan hanya ingin mencari untung
sendiri.
Sesungguhnya yang menjadi dasar dari uraian di atas adalah
bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial (W.A.
Gerungan, 1978:28). Sejak dilahirkan manusia membutuhkan
pergaulan dengan orang lain untuk memuhi kebutuhan biologisnya.
Pada perkembangan menuju kedewasaan, interaksi social diantara
manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara individual. Hal
ini dikarenakan jika tidak ada timbal balik dari interaksi sosial maka
103
manusia tidak dapat merealisasikan potensi-potensinya sebagai sosok
individu yang utuh sebagai hasil interaksi sosial. Potensi-potensi itu
pada awalnya dapat diketahui dari perilaku kesehariannya. Pada saat
bersosialisasi maka yang ditunjukkannya adalah perilaku sosial.
Pembentukan perialku sosial seseorang dipengaruhi oleh berbagai
faktor baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal.
Pada aspek eksternal situasi sosial memegang pernana yang cukup
penting. Situasi sosial diartikan sebagai tiap-tiap situasi di mana
terdapat saling hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain
(W.A. Gerungan,1978:77). Dengan kata lain setiap situasi yang
menyebabkan terjadinya interaksi social dapatlah dikatakan sebagai
situasi sosial. Contoh situasi sosial misalnya di lingkungan pasar,
pada saat rapat, atau dalam lingkungan pembelajaran pendidikan
jasmani.
B. Faktor-Faktor Pembentuk Perilaku Sosial
Baron dan Byrne berpendapat bahwa ada empat kategori
utama yang dapat membentuk perilaku sosial seseorang, yaitu :
▪ Perilaku dan karakteristik orang lain
Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang yang
memiliki karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan berperilaku
seperti kebanyakan orang-orang berkarakter santun dalam lingkungan
pergaulannya. Sebaliknya, jika ia bergaul dengan orang-orang
berkarakter sombong, maka ia akan terpengaruh oleh perilaku seperti
itu. Pada aspek ini guru memegang peranan penting sebagai sosok
yang akan dapat mempengaruhi pembentukan perilaku sosial siswa
karena ia akan emberikan pengaruh yang cukup besar dalam
mengarahkan siswa untuk melakukan sesuatu perbuatan.
▪ Proses kognitif
Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan
pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan
berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Misalnya seorang calon
pelatih yang terus berpikir agar kelak dikemudian hari menjadi
pelatih yang baik, menjadi idola bagi atletnya dan orang lain akan
terus berupaya dan berproses mengembangkan dan memperbaiki
104
dirinya dalam perilaku sosialnya. Contoh lain misalnya seorang siswa
karena selalu memperoleh tantangan dan pengalaman sukses dalam
pembelajaran penjas maka ia memiliki sikap positif terhadap aktivitas
jasmani yang ditunjukkan oleh perilaku sosialnya yang akan
mendukung teman-temannya untuk beraktivitas jasmani dengan
benar.
▪ Faktor lingkungan
Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku
sosial seseorang.Misalnya orang yang berasal dari daerah pantai atau
pegunungan yang terbiasa berkata dengan keras, maka perilaku
sosialnya seolah keras pula, ketika berada di lingkungan masyarakat
yang terbiasa lembut dan halus dalambertutur kata.
▪ Latar Budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran
sosial itu terjadi
Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu
mungkin akanterasa berperilaku sosial aneh ketika berada dalam
lingkungan masyarakat yang beretnis budaya lain atau berbeda.
Dalam konteks pembelajaran pendidikan jasmani yang terpenting
adalah untuk saling menghargai perbedaan yang dimiliki oleh setiap
anak.
C. Bentuk dan Jenis Perilaku Sosial
Bentuk dan perilaku sosial seseorang dapat pula ditunjukkan
oleh sikap sosialnya. Sikap menurut Akyas Azhari (2004:161) adalah
“suatu cara bereaksiterhadap suatu perangsang tertentu. Sedangkan
sikap sosial dinyatakan oleh cara-cara kegiatan yang sama dan
berulang-ulang terhadap obyek sosial yang menyebabkan terjadinya
cara-cara tingkah laku yang dinyatakan berulang-ulang terhadap salah
satu obyek sosial (W.A. Gerungan, 1978:151-152).
Berbagai bentuk dan jenis perilaku sosial seseorang pada
dasarnya merupakan karakter atau ciri kepribadian yang dapat
teramati ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Seperti
dalam kehidupan berkelompok, kecenderungan perilaku sosial
seseorang yang menjadi anggota kelompok akanakan terlihat jelas

105
diantara anggota kelompok yang lainnya. Perilaku sosial dapat dilihat
melalui sifat-sifat dan pola respon antarpribadi, yaitu :
1. Kecenderungan Perilaku Peran
✓ Sifat pemberani dan pengecut secara sosial
Orang yang memiliki sifat pemberani secara sosial, biasanya
dia sukamempertahankan dan membela haknya, tidak malu-malu atau
tidak seganmelakukan sesuatu perbuatan yang sesuai norma di
masyarakat dalam mengedepankan kepentingan diri sendiri sekuat
tenaga. Sedangkan sifatpengecut menunjukkan perilaku atau keadaan
sebaliknya, seperti kurang suka mempertahankan haknya, malu dan
segan berbuat untukmengedepankan kepentingannya.
✓ Sifat berkuasa dan sifat patuh
Orang yang memiliki sifat sok berkuasa dalam perilaku
sosial biasanya ditunjukkan oleh perilaku seperti bertindak tegas,
berorientasi kepada kekuatan, percaya diri, berkemauan keras, suka
memberi perintah dan memimpin langsung. Sedangkan sifat yang
patuh atau penyerah menunjukkan perilaku sosial yang sebaliknya,
misalnya kurang tegas dalam bertindak, tidak suka memberi
perintah dan tidak berorientasikepada kekuatan dan kekerasan.
✓ Sifat inisiatif secara sosial dan pasif
Orang yang memiliki sifat inisiatif biasanya suka
mengorganisasi kelompok, tidak sauka mempersoalkan latar
belakang, suka memberi masukan atau saran-saran dalam berbagai
pertemuan, dan biasanya suka mengambil alih kepemimpinan.
Sedangkan sifat orang yang pasif secara sosial ditunjukkan oleh
perilaku yang bertentangan dengan sifat orang yang aktif, misalnya
perilakunya yang dominan diam, kurang berinisiatif, tidak suka
memberi saran atau masukan.
✓ Sifat mandiri dan tergantung
Orang yang memiliki sifat mandiri biasanya membuat segala
sesuatunya dilakukan oleh dirinya sendiri, seperti membuat rencana
sendiri, melakukan sesuatu dengan cara-cara sendiri, tidak suak
berusaha mencari nasihat atau dukungan dari orang lain, dan secara
emosiaonal cukup stabil. Sedangkan sifat orang yang
106
ketergantungan cenderung menunjukkan perilaku sosial sebaliknya
dari sifat orang mandiri, misalnya membuat rencana dan melakukan
segala sesuatu harus selalu mendapat saran dan dukungan orang lain,
dan keadaan emosionalnya relatif labil.
2. Kecenderungan perilaku dalam hubungan sosial
✓ Dapat diterima atau ditolak oleh orang lain
Orang yang memiliki sifat dapat diterima oleh orang lain
biasanya tidak berprasangka buruk terhadap orang lain, loyal,
dipercaya, pemaaf dan tulus menghargai kelebihan orang lain.
Sementara sifat orang yang ditolak biasanya suka mencari kesalahan
dan tidak mengakui kelebihan orang lain.
✓ Suka bergaul dan tidak suka bergaul
Orang yang suka bergaul biasanya memiliki hubungan sosial
yang baik, senang bersama dengan yang lain dan senang bepergian.
Sedangkan orang yang tidak suak bergaul menunjukkan sifat dan
perilaku yang sebaliknya.
✓ Sifat ramah dan tidak ramah
Orang yang ramah biasanya periang, hangat, terbuka, mudah
didekati orang,dan suka bersosialisasi. Sedang orang yang tidak
ramah cenderung bersifat sebaliknya.
✓ Simpatik atau tidak simpatik
Orang yang memiliki sifat simpatik biasanya peduli terhadap
perasaan dan keinginan orang lain, murah hati dan suka membela
orang tertindas.Sedangkan orang yang tidak simpatik menunjukkna
sifat-sifat yang sebaliknya.

3. Kecenderungan perilaku ekspresif


a. Sifat suka bersaing (tidak kooperatif) dan tidak suka
bersaing (suka bekerjasama)
Orang yang suka bersaing biasanya menganggap hubungan
sosial sebagai perlombaan, lawan adalah saingan yang harus
dikalahkan, memperkaya dirisendiri. Sedangkan orang yang tidak
suka bersaing menunjukkan sifat-sifatyang sebaliknya
b. Sifat agresif dan tidak agresif
107
Orang yang agresif biasanya suka menyerang orang lain baik
langsungataupun tidak langsung, pendendam, menentang atau tidak
patuh padapenguasa, suka bertengkar dan suka menyangkal. Sifat
orang yang tidak agresif menunjukkan perilaku yang sebaliknya.
c. Sifat kalem atau tenang secara sosial
Orang yang kalem biasanya tidak nyaman jika berbeda
dengan orang lain, mengalami kegugupan, malu, ragu-ragu, dan
merasa terganggu jika ditontonorang.
d. Sifat suka pamer atau menonjolkan diri
Orang yang suka pamer biasanya berperilaku berlebihan, suka
mencari pengakuan, berperilaku aneh untuk mencari perhatian orang
lain.
D. Interaksi Sosial
Interaksi sosial ialah hubungan-hubungan sosial yang dinamis
dan bersifat timbal balik antara individu dengan individu, kelompok
dengan kelompok, maupun individu dengan kelompok. Apabila dua
orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Walaupun
orang-orang yang bertemu muka tidak saling berbicara atau menukar
tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi sebab masing-masing sadar
akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan
dalam perasaan maupun syaraf orang-orang yang bersangkutan.
Interaksi sosial antar kelompok manusia terjadi antara kelompok
tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi
anggota-anggotanya. Proses interaksi berlangsung karena adanya
berbagai faktor, yaitu faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.
Faktor-faktor tersebut dapat bergerak secara sendiri-sendiri dalam
keadaan terpisah maupun dalam keadaan tergabung. Interaksi sosial
pun terjadi apabila memenuhi syarat adanya kontak sosial dan
komunikasi. Bentuk-bentuk interaksi sosial pun beermacam-macam,
terbagi dua yaitu proses yang sifatnya asosiatif dan proses yang
sifatnya disosiatif.
➢ Pengaruh Sosial dan Kontrol Personal
1. Teori-Teori Perilaku Sosial

108
a. Teori konformitas: Konformitas adalah Suatu jenis
pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku
mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Faktor-faktor yang
mempengaruhi konformitas (Sarwono, 2005) :
3. Besarnya kelompok
4. Banyaknya suara
5. Keterpaduan (kohesivitas)
➢ Contoh : remaja akan lebih mendengarkan
mendengarkan perkataan teman sekelompoknya dibanding orang
tuanya.
1. Status
Contoh : Model rambut tertentu pada selebriti akan lebih
banyak diikuti orang lain dibanding orang biasa dengan model rambut
yang sama.
2. Tanggapan umum
Contoh : seseorang akan lebih bebas menjawab dalam
kuesioner jika tidak diberi nama.
3. Komitmen umum
Contoh : individu individu akan mengikuti
mengikuti/bertingkah bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah ia
katakan.
b. Teori kepatuhan: Kepatuhan merupakan suatu bentuk
pengaruh sosial dimana seseorang hanya perlu memerintahkan satu
orang lain atau lebih untuk melakukan satu atau beberapa tindakan.
c. Teori learned helplessness: menjelaskan bahwa ketika
seseorang dihadapkan pada tantangan hidup ada banyak orang yang
menyerah atau gagal. Learned helplessnesstersebut dapat
menghilangkan kemampuan seseorang untuk mengendalikan
peristiwa-peristiwa yang sulit, dan memberikan keyakinan bahwa
segala usaha itu tidak berguna dalam menghadapi permasalahan
(Stoltz, 2000). Menurut Stoltz (2000), learned
helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari) berhubungan secara
negatif dengan pemberdayaan diri. Individu yang tidak dapat
diberdayakan secara optimal (individu yang mengalami learned
109
helplessness) tidak dapat mengaktualisasikan diri secara optimal pula.
Oleh karena itu ketidakberdayaan yang dipelajari merupakan
hambatan tetap bagi pemberdayaan (Stoltz, 2000). Meskipun begitu
menurut Stoltz (2000), beberapa orang dapat saja kebal terhadap
ketidakberdayaan. Berdasarkan penelitian Seligman (Stoltz, 2000)
individu yang menjadi kebal terhadap ketidakberdayaan dan
keputusasaan telah diajarkan sebelumnya tentang tindakan-tindakan
“untuk terus berusaha” (imunisasi terhadap ketidakberdayaan dan
keputusasaan), yang merupakan karakteristik seorang climber, yang
dapat membentengi dari ketidakberdayaan dan keputusasaan.
d. Teori self-fulfilling prophecy: prediksi yang secara
langsung atau tidak langsung membuatnya terwujud sendiri akibat
umpan balik positif antara keyakinan dan kelakuan. Sebagai contoh,
kalau kita memberikan optimisme kepada orang lain, kinerjanya akan
melebihi kapasitas biasanya. Sementara kalau kita memberikan
pesimisme, yang terjadi memang akan lebih buruk dari yang
seharusnya.

➢ Perilaku Prososial
Perilaku prososial didefinisikan sebagai tindakan yang
dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau manfaat kepada
individu atau sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Dalam hal ini,
perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan well
being orang lain. Meskipun tindakan prososial dimaksudkan untuk
memberi manfaat kepada orang lain, namun perilaku ini dilakukan
dengan berbagai alasan. Misalnya, ingin mendapat keuntungan juga
berupa imbalan, agar dapat diterima orang lain, sayang dengan
seseorang, atau karena memang dengan tulus membantu.
Perilaku prososial ini sering disamakan dengan altruisme,
padahal berbeda. Perilaku prososial mempunyai motif-motif tertentu
di balik tindakannya. Di dalamnya terdapat altruisme yang merupakan
tindakan sukarela yang dilakukan individu atau sekelompok orang
untuk menolong orang lain dengan simpati tinggi tanpa

110
mengharapkan imbalan apapun. Jadi altruisme adalah salah satu motif
spesifik dari perilaku prososial.
➢ Eissenberg dan Mussen (dalam Dayakisni, 2009)
mengemukakan bahwa perilaku prososial mencakup pada tindakan
sebagai berikut:
1. Membagi (sharing)
Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk dapat
merasakan sesuatu yang dimilikinya. Misalnya keahlian dan
pengetahuan.
2. Kerjasama (cooperative)
Melakukan kegiatan bersama dengan orang lain untuk
mencapai tujuan bersama, termasuk mempertimbangkan dan
menghargai pendapat orang lain dalam berdiskusi.
3. Menyumbang (donating)
Memberikan secara materil kepada seseorang atau kelompok
untuk kepentingan umum yang berdasarkan pada permintaan,
kejadian dan kegiatan.
4. Menolong (helping)
Membantu orang lain secara fisik untuk mengurangi beban
yang sedang dikerjakan.
5. Kejujuran (honesty)
Tindakan dan ucapan yang sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
6. Kedermawanan (generousity)
Memberikan sesuatu (biasanya berupa uang dan barang)
kepada orang lain atas dasar kesadaran diri.
7. Mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain
Melakukan suatu hal untuk kepentingan pribadi yang
berhubungan dengan orang lain tanpa mengganggu dan melanggar
hak dan kesejahteraan orang lain.

111
.

112
BAB 7
RAGAM PERSOALAN PELAYANAN PUBLIK
DI DESA DAN DI KOTA
➢ Potret Pelayanan Publik Pemerintah Desa
Desa memiliki hak otonomi, namun dalam melaksanakan
kewenangannya harus berpedoman pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Bahkan terhadap hak dalam mengambil
kebijakan/tindakan maupun keputusan tidak boleh bertentangan
dengan regulasi. Otonomi diberikan karena negara kita memberi
ruang untuk eksistensi budaya tradisional dan adat yang berlaku di
desa
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa dan Undang-Undagn Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah, secara eksplisit dijelaskan bahwa desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terhadap
pelaksanaan pengaturan desa tersebut dilakukan oleh pemerintah desa
yang dipimpin oleh kepala desa.
Maka desa dengan hak otonomi khusus bisa mengatur sendiri
urusan pemerintah dan kepentingan masyarakatnya termasuk terhadap
proses penyelenggaraan pelayanan publik di wilayah administratif
desa. Karena dengan pemberian hak otonomi tentu juga melekat
kewajiban yang harus dilakukan oleh pejabat desa dan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Tidak serta merta desa "seolah-olah" terlepas dari
pengawasaan dan pembinaan pemerintah kabupaten/provinsi maupun
lembaga pengawas pemerintah lainnya.
Sama hal nya dengan instansi pemerintah lain, maka
pemerintah desa merupakan instansi penyelenggara layanan untuk
masyarakat desa yang dalam pengelolaan layanan juga wajib

113
berpedoman pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
A. Ruang Lingkup Pelayanan Publik
Sekalipun memiliki otonomi desa namun dalam melakukan
tugas pelayanan, pemerintah desa juga melakukan layanan yang
lingkupnya meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta
pelayanan administratif. Pengertian masing-masing lingkup secara
eksplisit telah disebutkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Pelayanan barang publik meliputi pengadaan/penyaluran
barang publik, termasuk sarana/prasarana yang ada di desa dengan
menggunakan sebagian atau seluruhnya anggaran yang bersumber
dari APBN dan/atau APBD maupun APBDes. Adapun contoh untuk
barang publik di desa adalah pembangunan jalan desa, jembatan,
bangunan gedung serba guna desa, sarana poskamling desa, bangunan
perpustakaan desa dan lain sebagainya.
Pelayanan jasa publik meliputi penyediaan jasa layanan oleh
pemerintah desa yang pelaksanaanya menggunakan APBN dan/atau
APBD maupun APBDes sebagian atau seluruhnya. Misalnya,
pendampingan masyarakat desa untuk pengembangan UMKM,
penyediaan pemeriksaan kesehatan masyarakat kurang mampu di desa
yang difasilitasi pemerintah desa, serta kegiatan pendampingan yang
dilakukan oleh aparat desa dalam rangka meningkatkan kualitas SDM
masyarakat di wilayahnya.
Sedangkan pelayanan administratif adalah pelayanan
pemerintah desa yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam
peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan
perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta
benda. Adapun contohnya, surat pernyataan penguasaan fisik tanah
yang di tanda tangani dan diregister kepala desa hingga camat
setempat, surat keterangan desa sebagai pengantar untuk persyaratan
administrasi kependudukan, administrasi pelaporan penggunaan dana
desa yang secara terbuka juga harus diumumkan pemerintah desa,

114
pembuatan surat keputusan pengangkatan maupun pemberhentian
perangkat desa dan lain-lain.
Terkhusus dalam pelayanan administratif, pemerintah desa
memiliki peranan penting hampir untuk setiap sektor. Tidak saja
kepengurusan adminduk yang memerlukan pengantar atau surat
keterangan dari kantor desa bahkan sering ditemui untuk pengurusan
dokumen perizinan, pengurusan administrasi pertanahan, pengurusan
administrasi kesehatan dan pendidikan juga harus dilengkapi
persyaratan tersebut.
B. Tantangan Pelayanan Publik di Desa
Sebagai instansi penyelenggaran layanan, tentu pemerintah
desa juga harus bersiap diri. Maka pemerintah desa juga wajib
menyusun dan menetapkan standar pelayanan, membuat maklumat
pelayanan, menempatkan petugas/pelaksana layanan yang mumpuni
atau berkompeten, menyediakan sarana/prasaran dan/atau fasilitas
pelayanan publik, membantu masyarakat dalam memahami hak dan
tanggung jawabnya sebagai pengguna layanan dan tentu saja juga
harus memberika pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas
penyelenggaraan pelayanan publik.
Tentu tidak mudah dalam sekejap memenuhi kewajiban
tersebut. Dengan segala keterbatasan tentu akan banyak tantangannya,
mulai dari mindset masyarakat yang cenderung konservatif, akses
informasi yang masih terbatas, pengembangan kompetensi petugas
kadang sulit dilakukan karena kondisi teknis dan lain-lain.
Maka dari itu perlu adaptasi yang cepat dan reformasi
birokrasi komperehensif untuk bisa menundukkan tantangan tersebut.
Dan peran kepala desa menjadi sangat vital untuk bisa mewujudkan
pemerintah desa sebagai penyelenggara layanan yang visioner dan
inovatif. Sebagai bentuk atensi maka pemerintah pusat
menganggarkan pembiayaan berupa dana desa, melakukan
pengawasan dan pembinaan secara berjenjang dari pemerintah daerah
hingga kementerian, bahkan pemerintah daerah hingga pusat sering
mengadakan lomba desa dengan beragam kategori dan pelabelan

115
sebagai pemantik setiap desa di Indonesia bisa menunjukkan
eksistensi dan peranan penting dalam pembangunan bangsa.
Lalu, apa tantangan utama penyelenggaraan pelayanan publik
pemdes? Dari banyak tantangan dan kendala maka berdasarkan
pengalaman Ombudsman Babel dalam menangani laporan untuk
wilayah desa, tantangan utamanya adalah kompetensi SDM pada
pemerintah desa. Regulasi yang makin beragam dan perkembangan
teknologi informasi menjadikan ekspektasi masyarakat desa terhadap
pelayanan juga kian tinggi. Atas dasar inilah kemudian para petugas
pelayanan di desa, mulai dari kepala desa, perangkat desa yang terdiri
dari kepala seksi dan kepala lingkungan hingga ketua RT juga wajib
memahami tugas dan fungsinya sebagai pelayan publik dan
memahami segala regulasi terkait terutama dalam hal pengambilan
keputusan/tindakan maupun kebijakan di desa. Sebab jika tidak sesuai
regulasi maka tidak saja pelayanan yang berpotensi maladministrasi
namun bisa saja digugat hingga pengadilan.
➢ Potret Permasalahan Pelayanan Publik di Desa
Peran pemerintah desa sebagai instansi penyelenggara layanan
sangat sentral maka harus pula diimbangi dengan pengembangan
kompetensi para petugas layanannya. Para pengguna layanan juga
akan terpenuhi hak-haknya untuk pelayanan berkualitas dengan
adanya petugas yang berkompeten. Rasanya tidak mungkin kewajiban
membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya
sebagai pengguna layanan bisa dilakukan jika petugas layanan sendiri
tidak tahu aturan terkait pelayanan publik.
Namun perlu juga dipahami bahwa masyarakat sebagai
pengguna layanan pun punya peran sebagai pengawas layanan.
Bentuk peran masyarakat adalah dengan membuat laporan melalui
kanal aduan internal penyelenggara yang tersedia atau melalui
lembaga pengawas seperti Ombudsman. Maka dari itu, pemerintah
desa juga diharapkan tidak memandang aduan masyarakat sebagai
sesuatu yang buruk atau negatif dan hanya mengganggu. Justru
dengan aduan tersebut maka kontrol dan evaluasi penyelenggaraan
pelayanan bisa dilakukan.
116
Menurut data Ombudsman RI pada tahun 2020, permasalahan
desa yang diadukan ke mencapai 286 aduan dan untuk sebaran di
wilayah Babel ada sekitar 24 aduan yang masuk sampai tahap
pemeriksaan, dengan instansi terlapor meliputi pemerintah desa dan
BPD. Dari data juga terlihat bahwa laporan terkait pelayanan desa
dalam tiga tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan. Terhadap
lingkup layanan yang dilaporkan didominasi lingkup layanan
administratif.
Laporan yang sering disampaikan ke Ombudsman meliputi
dugaan penyalahgunaan wewenang pemberhentian dan pengangkatan
perangkat desa (sekretaris desa, kepala seksi dan kepala dusun) serta
Lembaga Kemasyarakatan Desa yaitu ketua RT. Jenis permasalahan
ini cenderung dilaporkan pasca pilkades selesai dilaksanakan dan
bergantinya kepala desa. Sama halnya juga dengan pemilihan anggota
BPD yang dilaporkan karena diduga proses pemilihannya tidak sesuai
prosedur.
Untuk permasalahan lainnya yaitu, dugaan tidak memberikan
layanan kepada masyarakat berupa permohonan informasi terkait
proyek tertentu yang menggunakan dana desa, dugaan adanya konflik
kepentingan pemerintah desa dan BPD terhadap masuknya investor
ke desa dengan membuat kesepakatan tanpa musyawarah dengan
masyarakat, dugaan permintaan imbalan berupa uang terhadap
pelayanan surat pernyataan penguasaan fisik tanpa ada regulasi jelas
yang mendasarinya, dugaan petugas yang tidak berkompeten terhadap
pemberian penjelasan ke masyarakat terhadap produk layanan
tertentu, dugaan penyalahgunaan wewenang aparat desa atau BPD
terhadap pemberian suatu bantuan tertentu kepada masyarakat yang
cenderung berpihak maupun diskriminatif, dugaan perbuatan tidak
patut pejabat desa baik pada pemerintah desa maupun BPD dalam
melayani masyarakat dan lain sebagainya.
Terhadap ragamnya laporan di wilayah Babel ada beberapa
faktor yang kemudian membuat masyarakat desa merasa pelayanan di
desa kurang maksimal, yaitu sering ditemukan bahwa belum utuhnya
pemahaman penyelenggara layanan di desa terhadap regulasi yang
117
ada, merasa superior karena menjadi pejabat di desa sehingga
pelaksanaan kewenangan tidak mempertimbangkan AUPB dan asas-
asas penyelenggaraan layanan publik dan tidak dilakukan
pengadministrsian yang baik terhadap proses pelayanan.
Perlu atensi khusus untuk meminimalisir maladministrasi
pelayanan di desa. Tanggung jawab tersebut tidak saja melekat
kepada pejabat desa sebagai petugas layanan. Namun optimalisasi
peran pembinaan dari pemerintah kabupaten hingga pusat sangat
penting untuk mengupgrade kompetensi para petugas layanan di desa.
Tentu saja terhadap teknisnya harus tetap memperhatikan adat
istiadat, kearifan lokal dan kondisi desa tersebut.
Dan perlu dijadikan catatan, semakin meningkatnya aduan
layanan oleh masyarakat desa maka belum tentu pelayanan di desa
juga buruk karena bisa jadi ini indikator bahwa masyarakatnya sudah
mulai memahami bahwa peran aktif masyarakat sangat penting demi
peningkatan layanan publik. Harapan kita tentu adalah bagaimana
penyelengaran pelayanan dan pengguna layanan di desa bisa sama-
sama memahami tugas dan fungsinya sebagaimana Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Makin baik layanan
di desa maka akan menunjukkan kualitas desanya. (MA)

118
BAB 8
GLOBALISASI DAN KEARIFAN LOKAL DI NEGARA
BERKEMBANG
A. Defenisi Kearifan Lokal
Kearifan lokal (local wisdom) dalam dekade belakangan ini
sangat banyak diperbincangkan. Perbincangan tentang kearifan lokal
sering dikaitkan dengan masyarakat lokal dan dengan pengertian yang
bervariasi.
Secara Etimologi Kearifan Lokal terdiri dari 2 kata yaitu
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Lokal berarti setempat
dan kearifan sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain
maka kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-
nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal merupakan gagasan-
gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Menurut rumusan yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial
kearifan lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan
serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah
dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Sistem pemenuhan kebutuhan mereka pasti meliputi seluruh
unsur kehidupan, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi,
organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Pengertian
lain namun senada tentang kearifan lokal juga diungkapkan oleh
Zulkarnain dan Febriamansyah berupa prinsip-prinsip dan cara-cara
tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh
masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi
dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem
nilai dan norma adat. [3]
Dengan demikian kearifan lokal merupakan pandangan dan
pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku dan

119
telah dipraktikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan
dan tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal
berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam
pelestarian sumber daya alam dan manusia, pemertahanan adat
dan budaya, serta bermanfaat untuk kehidupan.
B. Defenisi Globalisasi
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya
ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan,
kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga
tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang
memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau
proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di
dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan
kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan
batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Dan
Globalisasi juga merupakan suatu proses yang mencakup keseluruhan
dalam berbagai bidang kehidupan sehingga tidak tampak lagi adanya
batas-batas yang mengikat secara nyata, sehingga sulit untuk disaring
atau dikontrol.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah
proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja
orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari
sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam
bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya
praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil
makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi
cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan
berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.
Salah satu ciri yang menandakan semakin berkembangnya
fenomena globalisasi di dunia adalah Pasar dan produksi ekonomi di
negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat
dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh

120
perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam WTO
(World Trade Organization).
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini
telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan
pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan
bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut
ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali
yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama,
perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi.
Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai
zaman transformasi sosial.
Sementara itu Erhard Eppler mengatakan bahwa globalisasi
menyebabkan kekuasaan pemerintah terbatas. Gerakan modal global
adalah kekuatan yang membatasi kekuasaan pemerintah untuk
mengambil tindakan dan memaksanya untuk menganut suatu
kebijakan yang tidak tercantum dalam manifesto setiap partai politik.
gerakan modal global memaksa seluruh negara, tidak peduli siapa
yang memerintah, untuk terlibat dalam suatu persaingan menarik
penanaman modal ke dalam negari.
C. Macam-M acam Globalisasi
1. Globalisasi Perekonomian
Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses
kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh
dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan
tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian
mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap
arus modal, barang dan jasa. Menurut Tanri Abeng, perwujudan nyata
dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk
berikut:
▪ Globalisasi Produksi
▪ Globalisasi pembiayaan
▪ Globalisasi tenaga kerja
▪ Globalisasi jaringan informasi

121
▪ Globalisasi Perdagangan
Thompson mencatat bahwa kaum globalis mengklaim saat ini
telah terjadi sebuah intensifikasi secara cepat dalam investasi dan
perdagangan internasional. Misalnya, secara nyata perekonomian
nasional telah menjadi bagian dari perekonomian global yang
ditengarai dengan adanya kekuatan pasar dunia. Dibawah ini ada
beberapa kebijakan dan keburukan globalisasi ekonomi, diantaranya:
1. kebijakan globalisasi ekonomi
✓ Produksi global dapat ditingkatkan
✓ Meningkatkan kemakmuran masyarakat dalam suatu
Negara
✓ Meluaskan pasar untuk produk dalam negeri
✓ Dapat memperoleh lebih banyak modal dan teknologi
yang lebih bai
✓ Menyediakan dana tambahan untuk pembangunan
ekonomi
2. keburukan globalisasi ekonomi
· Menghambat pertumbuhan sektor industri
· Memperburuk neraca pembayaran
· Sektor keuangan semakin tidak stabil
· memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi jangka
panjang

➢ Globalisasi Kebudayaan
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada
di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan
dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh
masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat
terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan
dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat
dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting
artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat
dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang
bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan
122
seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem
dari kebudayaan.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-
nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya
dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Namun,
perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada
awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak
melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama
komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi
antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin
cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
1. Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
2. Penyebaran prinsip multikebudayaan
(multiculturalism), dan kemudahan akses suatu
individu terhadap kebudayaan lain di luar
kebudayaannya.
3. Berkembangnya turisme dan pariwisata.
4. Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke
negara lain.
5. Berkembangnya mode yang berskala global, seperti
pakaian, film dan lain lain.
6. Bertambah banyaknya event-event berskala global

D. Pengaruh Globalisasi terhadap Kearifan Lokal


Suatu kenyataan yang sudah dinikmati manusia di era
globalisasi adalah kemakmuran, kemudahan dan kenyamanan. Namun
demikian era yang serba mudah dan nyaman menimbulkan pengaruh
positif dan juga hal negatif yang akan mengancam dan sulit untuk
dihindari. Globalisasi menyebabkan segala aspek kehidupan
terpenaruhi, misalnya sistem ekonomi, budaya dan lingkungan hidup
manusia.
Era globalisasi dalam hal ini perkambangan terkhnologi dan
informasi memberi andil yang besar dalam pertumbuhan ekonomi
dunia, bahkan tekhnologi juga menjadi indicator kamajuan suatu
123
negara. Perkembangan ekonomi akan menjadi lebih cepat apabila
didukung oleh faktor kamajuan tekhnologi. Tekhnologi merupakan
langkah lanjut dari peranan, modal dan jasa untuk perkembangan
ekonomi. Makin cangggih tekhnologi berarti makin tinggi efesiensi
pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Namun demikian kemajuan tekhnologi tidak hanya
memberikan dampak-dampak positif pada sistem ekonomi, dampak
negatif juga muncul secara bersamaan. Hal ini juga dapat menjurus
kepada pemborosan sumber daya alam, meningkatkan kriminalitas
dan timbulnya berbagai masalah akibat semakin makmurnya dan
sejahteranya ekonomi suatu negara, sementara di daerah atau negara
lain.
Selain dampak terhadap perekonomian globalisasi juga
berdampak terhadap sosial budaya masyarakat (kearifan lokal).
Globalisasi telah mendorong terjadinya pergeseran atau perubahan
terhadap sistem atau aturan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat.
Perkembangan tekhnologi memiliki andil yang sangat besar
dalam menggiring remaja-remaja kita kearah dekandensi moral.
Rusaknya mental dan akhlak remaja kita diakibatkan oleh gaya hidup
yang kapitalis,materialistik dan individualistik. Selain itu
menjamurnya situs-situs internet yang menyajikan gambar-gambar
vulgar yang bisa diakses secara bebas semakin menambah deretan
kerusakan remaja.
Hal tersebut di atas menyebabkan kearifan-kearifan yang
berlaku dalam masyarakat mulai terkikis. Masyarakat memiliki adat
yang dikenal sebagai ada kedaerahan (kerifan lokal) yang merupakan
symbol kebangsaan, namun saat ini, hampir tidak lagi makna yang
berarti di era globalisasi. Kita sulit memberikan batasan-batasan yang
jelas antara budaya lokal dan budaya barat.
➢ Berikut dampak globalisasi terhadap kaarifan lokal:
1. Persegaran dan pergantian manusia;
2. Kebebasan terkekang;
3. Kepribadian terhimpit;
124
4. Obyektivitas manusia;
5. Mentalitas tekhnologi;
6. Krisis tekhnologi dan
7. Nilai etika dan moral ditinggalkan (bergeser).

E. Cara Meredam Pengaruh Globalisasi terhadap


Kearifan Lokal
Dari uraian di halaman-halaman sebelumnya, maka jelas
betapa besar pengaruh globalisasi terhadap berbagai aspek kehidupan,
termasuk kearifan lokal. Olehnya itu, yang perlu kita pikirkan adalah
cara-caya yang dapat dilakukan untuk meredam pengaruh globalisasi
terhadap kearifan lokal:
1. Rehumanisasi
Mengembalikan martabat manusia di era globalisasi
sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan adaptasi populasi yang
bersangkutan. Perkembangan nilai-nilai agama, etika, hukum, dan
kebijakan lebih lambat jika dibandingkan dengan perkembangan
informasi dan tekhnologi. Olehnya itu masalah tersebut harus segera
ditangani. Artinya lebih jauh manusia harus dipandang secara utuh
baik lahir maupun batin, sehingga pembangunan selalu harus
mengarah kepada terwujudnya peningkatan kesejahteraan manusia
seutuhnya antara lahiriah dan batinia. Apabila ini tidak diperhatikan
maka laju kehancuran peradaban manusia tidak akan dapat diimbangi
oleh laju rehumanisasi oleh karena semuanya pihak harus mengambil
bagian dan kontribusi positif.

2. Kemampuan Memilih
Dengan semakin banyaknya pilihan di era globalisasi,maka
akibat yang timbul adalah kesulitan dalam memilih. Pendidikan pada
umumnya diarahkan pada cara produksi bukan pada cara konsumsi.
Ini menyebabkan nilai-nilai kearifan lokal terkikis dan berefek pada
menurunnya antara yang mungkin dan yang terjadi, bahkan mana
yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang
buruk sudah sangat susah untuk dibedakan.[8]
125
Segala yang teknis mungkin akan dikerjakan, tidak
dipertentangkan dan disaring berdasarkan nilai-nilai kamanusiaan.
Artinya yang didukung oleh aspek moral keagamaan, sosial, dan
aspek-aspek yang terkait seharusnya menentukan apa yang mungkin
diteliti dan dikembangkan kemudian tidak dilakukan jika tidak sesuai
dengan kearifan lokal yang berlaku.
3. Revitalisasi
Perlunya upaya positif untuk mencegah distorsi biokultural
yang berkelanjutan. Pembuangunan akan menuju ke suatu
kebudayaan baru di masa depan, sehingga dipersiapkan persiapan-
persiapan menyeluruh. Usaha-usaha revitalisasi akan banyak
dipengaruhi baik secara positif mauoun negatif oleh faktor-faktor
dalam maupun luar negeri.

126
BAB 9
PELAYANAN PUBLIK BERBASIS MASYARAKAT
Otonomi daerah yang bermakna kewenangan daerah dalam hal
pengelolaan rumahtangga daerahnya, maka penyelenggaraan urusan
pemerintahan daerah harus diatur oleh pemerintah daerah dan DPRD.
DPRD sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah
diharapkan mampu mengawal terselenggaranya otonomi daerah
sejalan dan mengarah pada tercapainya tujuan pemberian otonomi
tersebut.
Fokus utama kebijakan publik dalam Negara modern adalah
pelayanan publik, yang merupakan segala bentuk jasa pelayanan, baik
dalam bentuk barang maupun jasa publik yang pada prinsipnya
menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh negara untuk
mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak
(Wikipedia, 2008). Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus
diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis yang berlaku internal dalam birokrasi.
Dari perspektif masyarakat, hal penting dari pelayanan publik
adalah adalah adanya suatu standar pelayanan public yang jelas: apa
pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya,
apa persyaratannya, dan bagaimana bentuk pelayanan itu.
➢ Agar kebijakan tersebut terwujud secara efektif, maka
diperlukan setidaknya 3 hal:
1. Adanya perangkat hukum (peraturan perundang-
undangan) sehingga produk keputusan dapat diketahui
publik.
2. Struktur pelaksana dan pembiayaan yang jelas.
3. Kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan
public mengetahui apakah kebijakan ini dalam
pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak
(Wikipedia, 2008).
Perubahan global ini telah mengubah lingkungan dimana
pemerintahan beroperasi, menantang peran tradisional negara, dan
memperkenalkan aktor-aktor baru pada proses pembangunan dan
127
kepemerintahan (governance). Transformasi global ini juga menuntut
reformulasi peran dan tanggung jawab para pegawai negeri sebagai
pengelola sumber-sumber publik dan penjaga mandat kepercayaan
masyarakat. Eskalasi perubahan global ini juga telah menimbulkan
isu-isu moral seperti penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, crony
capitalism, “sweatheart deal” privatization, dan perilaku pemerintah
yang tidak profesional dan etis lainnya (UNDESA, 2000).
➢ Pergeseran Paradigma Pelayanan Publik
Sebagai bagian dari respon terhadap tantangan global di atas,
telah terjadi pergeseran paradigma dalam pelayanan publik.
1. Dari problems-based services ke rights-based services.
Pelayanan sosial yang dahulunya diberikan sekadar untuk merespon
masalah atau kebutuhan masyarakat, kini diselenggarakan guna
memenuhi hak-hak sosial masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh
konstitusi nasional dan konvensi internasional.
2. Dari rules-based approaches ke outcome-oriented
approaches. Pendekatan pelayanan publik cenderung bergeser dari
yang semata didasari peraturan normatif menjadi pendekatan yang
berorientasi kepada hasil. Akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi
menjadi kata kunci yang semakin penting.
3. Dari public management ke public governance.
Menurut Bovaird dan Loffler (2003), dalam konsep manajemen
publik, masyarakat dianggap sebagai klien, pelanggan atau sekadar
pengguna layanan sehingga merupakan bagian dari market contract.
Sedangkan dalam konsep kepemerintahan publik, masyarakat
dipandang sebagai warga negara yang merupakan bagian dari social
contract.
➢ Ruang Lingkup (Menata) Pelayanan Publik
Dasar:
1. UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
2. UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi.
3. UU No.31 Tahun 1999 j.o. UU No.20 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
128
4. PP No.71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan
dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPK.
5. Inpres No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi.
6. SK Men PAN No:63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
7. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
No:SE/10/M.PAN/07/2005 tentang Prioritas
Peningkatan Pelayanan Publik.
Pelayanan publik menurut Surat Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara No: 63/Kep/M.PAN/7/2003 adalah
segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
layanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
layanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Menteri Pendayagunaan Aparat Negara dalam Keputusan
No. 6 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik, menyatakan bahwa “Hakikat layanan publik
adalah pemberian layanan prima kepada masyarakat yang
merupakan perwujudan dari kewajiban aparatur pemerintah sebagai
abdi masyarakat”.
Pernyataan ini menegaskan bahwa pemerintah melalui
instansi-instansi penyedia layanan publiknya bertanggung jawab
memberikan layanan prima kepada masyarakat. Pernyataan layanan
prima perlu digarisbawahi karena ini menyangkut standar kualitas
layanan yang harus dipenuhi oleh penyedia layanan publik haruslah
berkategori “prima”. Karena pada dasarnya masyarakat adalah warga
negara yang harus dipenuhi hak-haknya oleh pemerintah. Dengan
demikian kata “prima” ini haruslah menjadi misi yang akan menjiwai
setiap unit layanan publik. Konsekuensinya, apabila kualitas layanan
yang diberikan kepada masyarakat dirasakan tidak prima, maka pada
dasarnya penyedia layanan publik dianggap tidak mempunyai kinerja.

129
➢ Kata ‘publik’ itu sendiri secara garis besar dapat
digolongkan dalam dua bentuk:
1. Publik yang berada di wilayah ekstern, yaitu publik di luar
lembaga, organisasi, instansi, perusahaan yang memiliki
kepentingan dengan lembaga tersebut.
2. Publik yang berada di wilayah intern, yaitu publik yang
berada dalam lingkungan suatu lembaga, organisasi, instansi
atau perusahaan. Misalnya seluruh karyawan dalam lembaga
tersebut adalah merupakan publik intern dari lembaga
tersebut.
Ruang lingkup layanan publik meliputi segala aktivitas
layanan untuk pemenuhan hak-hak dasar masyarakat sebagaimana
yang tercantum dalam Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya yang diratifikasi dengan UU No. 11/2005, pada 28
Oktober 2005.
Terminologi layanan publik sekarang ini pun sudah
mengalami perluasan makna. Manajemen pelayanan pada sektor
publik umumnya dipahami sebagai keseluruhan kegiatan pengelolaan
pelayanan yang dilakukan pemerintah yang secara operasional
dilaksanakan oleh instansi-instansi pemerintah atau badan-badan
hukum lain milik pemerintah (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik:
2007). Layanan publik dimaknai sebagai dua pengertian:
1. Pelayanan oleh negara kepada masyarakat, baik
diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintah maupun
badan hukum lain milik pemerintah.
2. Pelayanan yang diberikan oleh swasta kepada masyarakat
sebagai customer-nya.
3. Pengertian kedua ini seringkali tidak dikategorikan sebagai
layanan publik, tetapi dimaknai sebagai layanan pada sektor
swasta. Kepuasan masyarakat atau pengguna layanan publik
akan berkorelasi positif dengan derajat pelayanan yang mereka
peroleh. Suatu layanan akan dianggap bernilai jika konsumen
merasakan kepuasan (Fitzsimmons dan Fitzsimmons: 2006).
Tingkat kepuasan ini dipengaruhi oleh 5 variabel, yakni (1)
130
service quality (kualitas pelayanan), (2) product quality
(kualitas produk), (3) price (harga), (4) situation (situasi), dan
(5) personality (sikap personil pelayanan) (Subroto dan
Natalisa: 2004).
Pada dimensi kulitas pelayanan persepsi konsumen terhadap
pelayanan terkait dengan lima aspek yang spesifik yaitu: reliability
(kemampuan dan keandalan dalam menyediakan layanan publik),
responsiveness (kesanggupan untuk membantu dan menyediakan
layanan yang cepat, tepat serta tanggap terhadap keinginan
masyarakat/pelanggan/konsumen), assurance (kemampuan,
keramahan, dan sopan santun dalam meyakinkan kepercayaan
masyarakat/ konsumen/pelanggan), empathy (sikap tegas tetapi ramah
dalam memberikan pelayanan), dan tangible (kualitas pelayanan yang
terukur secara fisik berupa sarana perkantoran, komputerisasi
administrasi, ruang tunggu, tempat informasi), dan lain-lain
(Parasuraman. et al. dalam Zeithaml et al., 2006).

131
132
BAB 10
SINERGITAS PEMBANGUNAN DI BALUTAN
KEARIFAN LOKAL
A. Ancaman Ekologis dan Sosial Budaya Masyarakat
Sumba ekapur Sirih
Pulau Sumba terletak di Barat-Daya Provinsi Nusa Tenggara
Timur, sekitar 96 KM di sebelah selatan pulau Flores 295 di sebelah
barat daya pulau Timor dan 1.125 km di sebelah barat laut Darwin,
Australia. Pulau Sumba berada pada busur luar kepulauan Nusa
Tenggara Timur dan pada busur tersebut pulau Sumba terletak antara
pulau Sumbawa dan Pulau Timor. Secara astronomis Sumba Timur
membentang antara 119̊45’-120̊ BT dan 9̊16’-10̊20’ LS.
Luas Kabupaten Sumba Timur adalah 7000,5 km2 atau 7000,
500 Ha, dengan bagian terbesar adalah daratan bagian Timur Pulau
Sumba, dan empat pulau kecil yaitu Pulau Salura (03,50 km2), Pulau
Mengkudu (0,2 km2), Pulau Kotak (01,00 km2), dan Pulau Nusa
(0,55 km2). (Sumber; pemda kab. Sumba Timur).
Kabupatan Sumba Timur seperti daerah lainnya di NTT terus
bergerak- berubah- berkembang dengan irama sendiri. Bumi belahan
Timur marapu, Sumba Timur adalah fakta, adalah masalah, adalah
harapan.
Sebagai fakta dan masalah, betapa perjalanan sangat panjang
telah dilalui dengan berjuta kendala pembangunan. Sebagai harapan
justru di tengah berjuta kendala pembangunan itulah berbagai kiat dan
upaya maksimal terus dipacu demi Sumba Timur yang makmur-
sejahtera, bahagia seperti dipaterikan baitan adatnya ; Matawai
Amahu Pada Njara Hamu.
Baitan adat yang sangat filosofis sungguh mencambuk secara
konstruktif, bagaimana karakter geografis jadi pijakan tuntutan.
Betapa bumi air Sumba Timur itu sendiri menurut Dr. Robert Lawang
adalah sumber energi sosial positif, seperti juga daerah lain di NTT.
Sumba Timur dengan sungai-sungainya, dengan perairan laut
yang mengitari bagian utara selatan dan timur plus sejumlah pulau-

133
pulau kecilnya, dengan daratan yang berbukit – bergelombang atau
daratan yang luas membentang adalah sumber energi sosial positif itu.
Pelajaran dari masa lalu, Catur Program Pembangunan Sumba
Timur dengan pola pendekatan Humanis dituaskan sebagai kiat
operasional fungsional, penajamannya dengan penjabarannya, dengan
sangat memperhatikan kearifan lokal. Sumba Timur ternyata tidak
hanya melekat dengan kebudayaan marapu yang begitu mengakar
tetapi juga dengan ramuan-menu kebudayaan dari luar/seberang
seperti Arab, Cina, Jawa, Bima, Sabu, Ende/Flores. Sumba Timur
telah terbuka sudah sejak dahulu kala dan akan terus terbuka, semakin
menganga-melebar dan menantang. Sejarah pembangunan Sumba
Timur tidak lagi dalam balutan budaya dan filosofi “Matawai Amahu
Pada Njara Hamu”, catatan punulis kali ini coba melihat dari sudut
pandang yang berbeda tentang bagaimana penataan pembangunan
Sumba Timur berbasis pada nilai budaya dan kearifan lokal yang
semakin tergerus arus perkembangan teknologi.
Fakta dan masalah seperti pada catatan di atas menunjukan
bahwa pemimpin terdahulu sudah jauh memikirkan bagaimana
membangun Sumba Timur dengan pendekatan berbasis humanis-
kearifan lokal. Namun, fakta hari ini jauh keluar dari jalan menuju
Matawai Amahu Pada Njara Hamu.
Semaraknya peternakan yang menjadi karakter Sumba Timur
tidak lagi dirasakan hingga generasi saat ini, bagaimanapun sejarah
Sumba Timur dalam dunia perternakan dahulu kala mendapat pujian
yang luar biasa. Masih teringat ketika orang-orang Sumba dulu
menyebut nama rerumputan di padang sabana mereka dengan sebutan
khas seperti Mapoe mbelar pingi, Mapoe rara, Mapoe bara, Roemba
mini, Mapoe pendji, Kamala litap dan masih banyak lagi sebutan
budayanya.
B. Padang penggembalaan Ternak (Hilang) Vs
Perkebunan Tebu (Hadir)
Sebagai bumi peternakan, Sumba Timur mempunyai lahan
penggembalaan yang sangat karakteristik, Sumba Timur adalah
daerah padang penggembalaan yang membukit-mengelombang
134
dengan hamparan daratan di berbagai tempat. Sejauh-jauh mata
memandang. Sumba Timur memiliki luas padang penggembalaan
215.797 Ha yang dialiri sekitar 88 buah sungai utama. Tanah tandus
12.521 Ha, semak/padang/alang 592,152,14 Ha. Yang lainnya hutan
66.199,86 Ha, Kebun 21.391, 76 Ha, sawah 2.982,74 Ha dan
desa/kota 4.796, 5 Ha. Dan memiliki 33 jenis rumput yang sangat
berguna bagi ternak. (Sumber : Dinas Peternakan Kab. Sumba Timur,
2002)
Dalam beberapa tahun terakhir sektor peternakan di kabupaten
Sumba Timur semakin berkurang. Banyak faktor yang mempengaruhi
sektor ini salah satunya akibat adanya alih fungsi lahan padang
penggembalaan ternak menjadi ladang perkebunan tebu yang sampai
saat ini masih terus dipertanyakan kehadirannya oleh masyarakat
Sumba Timur.
Dalam pengamatan penulis ruang wilayah kelola rakyat hari
ini semakin sempit akibat adanya alih fungsi lahan oleh PT. MSM.
Dahulunya padang difungsikan sebagai tempat penggembalaan ternak
kini tidak lagi bisa diakses secara baik oleh peternak. Belum lagi
persoalan daya dukung lingkungan yang tentu saja mengalami
dampak dari alih fungsi lahan tersebut.
➢ Potret Buruh Perkebunan Tebu
Dembi Tamar (45) seorang perempuan yang berprofesi
sebagai buruh harian lepas perkebunan tebu PT. Muria Sumba Manis
di Desa Matawai Maringu, Kabupaten Sumba Timur adalah potret
nyata betapa ironisnya kehidupan buruh yang hak-haknya diabaikan
oleh p erusahaan. (Baca; “Bau Amis” dibalik manisnya Gula ).
Dembi Tamar dahulunya seorang patani yang kini beralih profesi
menjadi buruh diperkebunan tebu harus menahan penderitaan selama
21 bulan di rumahnya.
Kasus kecelakaan yang dialami Dembi Tamar saat sedang
bekerja di kebun tebu yang kemudian tidak mendapatkan perhatian
dan akses dari perusahaan menjadi catatan buruk sejarah investasi di
kabupaten Sumba Timur. Inilah gambaran umum kasus yang terjadi
di perkebunan tebu. Dan masih banyak lagi kasus baik itu
135
pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, hilangnya situs-situs
budaya Sumba.
➢ Peternak yang Kehilangan Padang Penggembalaan
Ekspansi perkebunan tebu PT. Muria Sumba Manis 52.000 Ha
menjadi ancaman serius keberlanjutan ekologis dan ruang wilayah
kelola rakyat. Di atas penulis sudah menggambarkan secara umum
sektor-sektor unggulan yang seharusnya tidak diganggu dengan
berbagai model pendekatan pembangunan yang baru (bukan dalam
arti menolak) yang bila dilihat secara detail, strategi pembangunan
(investasi perkebunan) ini belum disiapkan secara matang oleh pihak
pemerintah terkait dampak dari kebijakan tersebut.
Tiga tahun terakhir di Sumba Timur begitu maraknya investasi
perkebunan monokultur seperti tebu dan lain-lain menjadi salah satu
faktor utama munculnya berbagai konflik antara masyarakat,
pemerintah dan perusahaan. Bahkan bisa dianalisa alih fungsi lahan
ini menjadi biang kerok berkurangnya lahan dan ternak di kabupaten
Sumba Timur.
Data Dirjen Planologi kehutanan merilis jumlah hutan primer
di Sumba Timur pada tahun 2009 hanya 4,5 persen dari total luas
daratan. Perkebunan tebu PT. MSM di kabupaten Sumba Timur-NTT
memilki wilayah konsesi seluas 52.000 Ha konsesi perusahaan ini
berada di 30 Desa di 6 Kecamatan di Sumba Timur.
Potret masyarakat peternak Sumba Timur kini tidak bisa kita
temui seperti dahulu kala, ada perubahan dan pergeseran yang begitu
besar terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Tersingkirnya
petani/peternak dari tanahnya untuk digiring menjadi buruh industri
yang murah menjadi persoalan besar yang dihadapi oleh masyarakat
Sumba saat ini.
Berawal dari sinilah konflik agraria dan kemiskinan terus
berakumulasi menjadi bibit-bibit lahirnya gejolak sosial yang lebih
luas. (perjalanan yang belum berakhir). Krisis ekologis yang
dirasakan saat ini dari kehadiran perkebunan tebu sudah semakin
masif, daya dukung lingkungan yang seharusnya menjadi prioritas
tidak lagi menjadi refrensi dari industri perkebunan di pulau Sumba.
136
Banyak kerusakan lingkungan yang terjadi, seperti ketika perusahaan
memakai hutan lindung Mbula di Desa Wanga lewat dinas Kehutanan
melalui mekanisme Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Hutan lindung Mbula merupakan sumber kehidupan
masyarakat sekitar pesisir, bukan saja manfaat ekonomi dan ekologis,
namun manfaat sosial budaya pun kian terancam hilang akibat konsesi
lahan perkebunan. Inilah fakta dimana pemerintah daerah pun
mengaminkan keinginan perusahaan tanpa memikirkan dampak sosial
bagi masyarakat yang bergantung pada alam.
Air yang terdapat dalam hutan Mbula dimanfaatkan oleh
perusahaan untuk mengairi perkebunan tebu, disisi lain daya dukung
lingkungan tidaklah cukup seperti data yang dirilis oleh sebuah
lembaga akademis menyatakan bahwa kebutuhan air untuk
perkebunan tebu rata-rata dalam sehari mencapai 7.500 meter kubik.
Ini jumlah yang sangat besar. Kondisi pulau Sumba yang rentan
dengan perubahan iklim kini menjadi perhatian serius untuk
memulihkan tanah ini dengan cara yang bijaksana.
Keseimbangan manusia dengan alam perlu dijaga dengan
perilaku dan karakter pembangunan yang ramah terhadap lingkungan
sekitar. Pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
haruslah berpijak pada nilai dan budaya pelestarian. Kelestarian
budaya, nilai dan lingkungan di Sumba tentu membutuhkan sentuhan
kebijakan dari Gubernur dan Wakil Gubernur baru NTT.
C. Kearifan Lokal Masyarakat Di Dunia
1. Pengetahuan Kearifan Lokal Berperan Pecahkan
Masalah Global
Aspek kearifan lokal ternyata tidak hanya menjadi suatu
tinggalan kebudayaan atau yang bersifat tradisional. Kearifan lokal
ternyata dapat menunjang berbagai ilmu pengetahuan dalam
mengatasi berbagai permasalahan di masyarakat. Demikian
disampaikan Guru Besar Emeritus Leiden University, Belanda Prof.
Dr. L. Jan Slikkerveer saat menjadi pembicara kunci dalam seminar
internasional “Indigenous Knowledge for Sustainable Development”
yang digelar Universitas Padjadjaran secara virtual, Kamis (10/12).
137
Ahli Etnobotani ini menjelaskan, modernisasi ternyata
memberikan dampak pada menguatnya permasalahan sosial.
Modernisasi menurutnya tidak menjadikan situasi ekonomi dan sosial
budaya masyarakat membaik. Kesenjangan sosial justru semakin
meningkat.
Dari studi yang sudah dilakukan, Prof. Jan menunjukkan
bahwa bentuk praktik dan kelembagaan kearifan lokal di tingkat akar
rumput ternyata berperan dalam mengatasi kesenjangan sosial.
Sayangnya, dominasi pengetahuan modern kerap mengalahkan
eksistensi pengetahuan lokal. “Dominasi pengetahuan global yang
membuat pengetahuan lokal terpinggirkan, meskipun memiliki
potensi besar,” ujar peneliti di Leiden Ethnosystem and Development
Programme (LEAD) Leiden University ini.
Peran kearifan lokal tidak hanya untuk pembangunan sosial
ekonomi. Sektor pertanian, pengelolaan lingkungan, serta
pengembangan kesehatan masyarakat juga perlu sentuhan kearifan
lokal. “Meski sering diabaikan, kearifan lokal nyatanya memberikan
kunci bagi banyak solusi berkelanjutan,” ucapnya.
2. Pelopor Kajian Kearifan Lokal
Guru Besar penerima Doktor Honoris Causa dari Unpad tahun
2005 silam ini telah banyak berkecimpung meneliti di bidang
etnossins. Beberapa risetnya juga banyak yang berkolaborasi dengan
akademisi Unpad. Salah satu kiprahnya bersama Guru Besar FISIP
Unpad (alm) Prof. Kusnaka Admiharja adalah mengembangkan pusat
kajian etnosains bernama “Indonesian Resource Center for Indigenous
Knowledge (Inrik)” di Unpad pada 1994. Pendirian pusat kajian ini
juga difasilitasi penuh oleh Rektor ke-8 Unpad Prof. Maman P.
Rukmana.
Inrik Unpad berfokus pada kajian tentang pengetahuan, adat
istiadat, hingga kultur dari masyarakat Indonesia. Pusat kajian
tersebut pada saat itu menjadi pusat kajian pertama yang berfokus
pada pengembangan kajian budaya lokal di Indonesia. “Semua karya
rintisan kajian peneliti Inrik Unpad di bidang etnosains memberikan
kontribusi sebagai studi pertama dari kearifan lokal di Indonesia,”
138
kata Prof. Jan. Kepala Pusat Pengelolaan Pengetahuan Unpad Wina
Erwina, PhD mengatakan, aktivitas Inrik Unpad terus bertahan hingga
kini. Eksistensi kajian etnosains di Unpad terus dipertahankan oleh
para Rektor Unpad.
Guna mempertahankan eksistensi kajian etnosains, Unpad
mulai menerbitkan “Indigenous Knowledge (IK) Journal” pada
Januari 2021 mendatang. IK Journal yang dikelola oleh Pusat
Pengelolaan Pengetahuan Unpad bersama Inrik Unpad merupakan
jurnal internasional open access yang menerbitkan laporan penelitian
empiris, tinjauan sistematis, evaluasi program, dan laporan kasus yang
berfokus pada komunitas di kawasan budaya.
3. Kearifan Lokal
Kearifan lokal menjadi bahan wacana dalam berbagai dimensi
kehidupan manusia. Berikut ini bebrapa contoh tentang bangkitan
kesadaran terhadap pentingnya kearifan lokal. Akibat industrialisasi
yang terus berekspansi secara cepat, terjadilah kerusakan lingkungan.
Polusi, banjir, tanah longsor dan pemanasan global (global warning)
merupakan byproduct dari industrialisasi, yang bahkan sampai
sekarang diyakini oleh para penganut developmentalisme sebagai
satu-satunya jalan menuju kemajuan dan kesejahteraan umat manusia.
Pengunaan bahan bakar, konversi lahan produktif menjadi real estat
dan pabrik menyebabkan kesusakan lingkungan. Eksploitasi sumber
daya alam atas nama pembangunan ternyata menimbulkan
penderitaan di banyak tempat. Itu semua menggambarkan bagaimana
parahnya kerusakan lingkungan yang menimbulkan penderitaan
masyarakat lokal akibat pembangunan yang tidak berorientasi pada
kearifan lokal.
Contoh lainnya bisa dilihat dalm dimensi hubungan
antarmanusia. Dalam tradisi Jawa yang sesungguhnya diwarnai oleh
ajaran Islam, manusia diharuskan untuk menjalin silaturrahim. Orang
bertemu muka, bercanda, berbincang-bincang dengan keakraban.
Mereka memiliki waktu yang longgar untuk bercengkerama sehingga
hubungan batin menjadi kuat karena bisa melihat ekspresi teman atau
tetangganya. Tetapi, dalam kehidupan modern, akibat teknologi
139
informasi, orang merasa cukup berkomunikasi dengan teknologi
informasi, misalnya telepun. Manusia modern telah kehilangan
sentuhan-sentuhan keakraban sesama. Tradisi gotong royong di
kampung-kampung tradisional sesungguhnya merupakan instituasi
untuk menguatkan keakraban dan tanggung jawab sosial. Ada nilai-
nilai (values) yang tidak bisa digantikan oleh sistem baru, misalnya
dengan urunan untuk membayar tenaga orang lain untuk mengerjakan
tugas-tugas kolektif di suatu komunitas tertentu.
➢ Keadaban
Menyadari pentingnya kearifan lokal. Maka tugas kita
sekarang ialah menemukan kearifan lokal dan memfungsikannya
untuk mengembangkan kehidupan masyarakat yang berkeadaban.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kehidupan masyarakat
semacam itu, dalam bahasa rakyat Indonesia, adalah kehidupan yang
sejahtera lahir dan batin dan berada bi bawah naungan keampunan
Allah (wa rabb ghafur); juga masyarakat yang diberkahi oleh Allah
(barakat min al-sama’ wa al-ardl); masyarakat yang aman damai
(aminan muthma’innan). Masyarakat seperti itu tidak akan lahir
secara tiba-tiba, tetapi dari proses yang melibatkan usaha manusia,
yang salah satunya ialah pertimbangan terhadap pentingnya kearifan
lokal.
Pada masyarakat Jawa, misalnya, kearifan lokal bisa
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari baik terhadap sesama
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam dalam pengertian yang
lebih luas. Dalam hubungan manusia, kita masih menemukan budaya
kewajaran (ngono yo ojo ngono), toleransi (tepo seliro), gotong
royong, ketulusan, penghormatan terhadap yang lebih tua, termasuk
orang tua, guru dan lain-lain. Dalam hubungan dengan hewan, kita
menemukan betapa akrabnya manusia denga makhluk Allah itu,
misalnya tradisi angon wedus (kambing), memelihara sapi di kandang
yang dekat dengan rumah. Ini berbeda dengan ternak ayam dalam
masyarakat modern yang penuh dengan kekejaman karena ingin
memperbesar produksi untuk memenuhi konsumsi masyarakat
modern. Dalam hubungnnannya denga alam, masyarakat masih
140
memelihara hubungan yang akrab sehingga tidak melakukan
eksploitasi sumber daya alam secara sembrono. Industrialisasi yang
tidak memperhatikan kearifan lokal mengakibatkan malapetaka baik
bagi masyarakat yang tinggal di sekitar maupun bagi warga dunia
dalam jangka panjang.
4. Budaya dan Kearifan Lokal di Era Global:
Pentingnya Pendidikan Bahasa dan Seni Suminto
A. Sayuti
1. Sebagai bangsa, kita memiliki kosa-budaya yang
begitu melimpah ruah. Apapun bentuk dan wujudnya, budaya bangsa
tersebut merupakan dan menjadi modal dan identitas, benteng, serta
sekaligus sebagai “paspor utama,” terlebih lagi, dalam tata pergaulan
dan tegur-sapa global. Menjadi modal dan identitas karena dengan
dan melalui budaya kita dikenal oleh dan memperkenalkan diri
kepada bangsa-bangsa lain. Budaya merupakan modal dan identitas
kita dalam berelasi dan berinteraksi dengan “yang lain,” yang bukan
kita, liyan, the others.
Pengakuan bangsa-bangsa lain atas tingginya nilai-nilai
budaya yang kita miliki, misalnya saja, merupakan “paspor,” yang
melegitimasi bahwa secara kultural kita sah bergaul dan berposisi
setara dengan mereka. Sementara itu, proses berelasi dan berinteraksi
dengan “yang lain” itu juga meniscayakan masuknya beragam nilai
secara tak terhindarkan, yang dalam sejumlah hal acapkali
bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah lama terinternalisasi dan
diyakini. Dalam konteks inilah, nilai-nilai yang inheren dalam kosa-
budaya bangsa berfungsi sebagai benteng. Akan tetapi, yang menjadi
persoalan mengapa kecenderungan materialistik dan hedonik makin
hari makin mengedepan di tengah kehidupan masyarakat, dan
bersamaan dengannya: nilai-nilai dan karakter kebangsaan kita juga
terasa kian pudar (untuk tidak mengatakan dalam proses “mulai
dilupakan”), padahal kita memiliki modal dan identitas, paspor, serta
benteng budaya yang kokoh. Adakah yang salah dalam mengelola
sistem dan mekanisme kebudayaan dalam konteks kebangsaan kita,
dan sederet pertanyaan kultural lain.
141
Dalam konstelasi seperti dikemukakan di atas, posisi
pendidikan bahasa dan seni sebagai “proses pembudayaan” pun layak
dipertanyakan: sudahkah ia menunaikan imperatif ideologis, edukatif,
dan kultural sebagai fungsi-fungsi utama dalam praksisnya. Terdapat
paling tidak empat alasan yang dapat dikemukakan dalam kaitan ini.
Pertama, dalam keseluruhan dan keutuhannya, kebudayaan
merupakan lahan dan habitat utama bagi persemaian benih-benih
karakter, tempat identitas dan kepribadian tumbuh dan berkembang.
Kedua, kebudayaan memerlukan upaya pemeliharaan,
pengembangan, dan pemberdayaan melalui, antara lain, pendidikan,
utamanya dalam mencerahkan pentingnya norma/nilai, perilaku, dan
benda-benda budaya kepada masyarakat. Ketiga, nilai-nilai luhur
budaya bangsa akan menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat
apabila praksis pendidikan bahasa dan seni dilepaskan dari bingkai
dan orien¬tasi budaya. Keempat, fungsi kebudayaan sebagai sumber
nilai bisa saja lama-kelamaan akan hilang apabila tidak didukung oleh
masyarakat yang sadar dan terdidik. Butir-butir ini menunjukkan
adanya hubungan resiprokal dan dialektis antara pendidikan bahasa
dan seni di satu sisi, dan kebudayaan pada sisi yang lain: sebuah relasi
yang penting bagi upaya penggalian dan pengembangan kearifan
lokal dalam konteks nation and character building di era global.
2. Masuknya beragam nilai yang berasal dari “luar”
(sebagai “pusat”) melalui beragam piranti modern, sebagai akibat
yang tak terhindarkan dari proses global, telah memberi warna dan
corak tersendiri pada sendi-sendi kehidupan budaya bangsa. Derasnya
arus global dari pusat ke “pinggiran” antara lain mengakibatkan
munculnya situasi “ketertinggalan budaya,” dan sangat mungkin,
“longsor budaya.” Ketertinggalan budaya melanda sebagian besar
masyarakat negara berkembang (sebagai “pinggiran”) dalam
upayanya mencapai strata modernis bersamaan dengan membanjirnya
informasi.
Simbol budaya baru, kadang-kadang, diberi makna tidak pada
tempatnya. Teknologi yang berkembang begitu pesat dan canggihnya
juga menyebabkan pola komunikasi masyarakat berubah dengan
142
cepat. Pengetahuan dan pengalaman manusia dibentuk oleh berbagai
informasi yang dapat disimpan dan ditransmisikan dengan kecepatan
yang begitu dahsyat dan dapat menjangkau kawasan yang begitu luas.
Bahasa lisan digantikan peranannya oleh citra-citra visual. Sikap
utilitarian, materialis, dan hedonis mengedepan berbarengan dengan
munculnya pergeseran yang terus-menerus. Akibatnya, pandangan
dunia masyarakat pun pecah, tercabik, dan salah-tempat (dislokasi).
Ini semua bisa diperhitungkan sebagai tantangan sekaligus ancaman
bagi nilai-nilai, karakter, dan identitas bangsa.
Proses persemukaan, persinggungan, dan “persetubuhan” budaya
yang tengah dan akan terus terjadi tersebut benar-benar akan menjadi
sesuatu yang membahayakan apabila di dalam sistem dan mekanisme
kebudayaan dalam konteks kebangsaan tidak disediakan ruang,
peluang, atau kemungkinan perubahan. Karena apa? Sesuatu akan
menjadi langgeng bilamana dirinya terbuka bagi perubahan dan
pembaharuan. Dalam hubungan ini, berpikir dan bertindak strategis
pun menjadi penting dan mendesak. Perancangan dan pelaksanaan
berbagai upaya yang muara akhirnya pada terciptanya kekenyalan
identitas bangsa dalam menghadapi dan memasuki berbagai proses
tersebut perlu segera dilakukan agar nilai-nilai budaya dapat dirawat
selayaknya dan yang mulai pudar akan dapat dicahayakan kembali.
Ketika muncul kesadaran bahwa yang lokal selalu menjadi
korban marginalisasi sehingga terpinggirkan, seluruh masyarakat
(etnik) yang ada merasa perlu meredefinisi diri sendiri dan
budayanya. Memasuki “kandang” budaya lokal, di satu sisi, dapat
diperhitungkan sebagai dasar bagi upaya menciptakan situasi sadar
budaya bangsa. Hanya saja, tindakan ini bisa saja memunculkan
paradoks di sisi lainnya, yakni ketika ia ditafsirkan secara linear
bahwa kita akan hidup di masa depan, bukan di masa lalu. Bahkan,
ketika proses ini menjadi eksklusif, ia menjadi tantangan tersendiri
karena yang tercipta bukan lagi kesadaran bersama dalam konteks
nation state, melainkan semangat etno-nasionalisme.
Oleh karena itu, orientasinya harus diarahkan pada kesejatian
fitrah manusia sebagai pelaku yang sadar untuk bertindak mengatasi
143
dunia dan realitas yang (mungkin bisa) memusuhi dan menindasnya,
yang secara keseluruhan berada dalam bingkai kebersamaan dengan
liyan (“yang lain,” the other). Konsekuensinya, sistem dan mekanisme
budaya lokal dan translokal tetap harus dipelihara, dikembangkan,
dan diberdayakan bersama.
Persilangan dialektis antara liyan dan dorongan untuk
mencipta dan mencipta ulang identitas lokal yang independen dalam
suatu proses transformasi yang berkesinambungan menjadi imperatif
untuk dilaksanakan. Tujuannya adalah menyiapkan sebuah habitat
agar figur-figur yang terlibat di dalamnya mampu menghayati nilai
lokal, dan sekaligus mampu membuka ruang tegur-sapa dengan liyan
dalam dirinya: untuk menjadi lokal sekaligus translokal dan global.
Pendek kata, agar masyarakat memiliki kekenyalan budaya yang
memadai.
Persoalan nilai lokal dan translokal tersebut memang memunculkan
dilema: apakah nilai-nilai yang ada itu diolah secara kreatif (dalam
arti didialogkan dengan nilai “yang lain”) melalui rekonsiliasi yang
seimbang, atau ia dimanfaatkan begitu saja sehingga terjadi
homogenisasi nilai dan sekaligus dominasi atas nilai yang lain melalui
melalui rekonsiliasi subordinasi.
Yang jelas, upaya apapun yang dipilih dan dilakukan
hendaknya tidak terjebak menjadi upaya penghapusan melalui
rekonsiliasi eliminasi. Kebijakan apapun yang diambil dan
mengatasnamakan kepentingan publik, karenanya, kebijakan itu harus
selalu didasarkan pada wawasan kultural. Situasi polifonik dan
multikultural harus menjadi dasar utamanya. Implikasinya, habitat
budaya kewargaan yang sehat harus disiapkan, yakni suatu habitat
yang meniscayakan tersedianya ruang dan peluang bagi partisipasi
penuh dan interaksi yang terbuka bagi semua unsur masyarakat yang
beragam.
Hal tersebut penting karena mereka yang tetap menghayati
nilai-nilai budaya lokalnya dikhawatirkan akan menjadi kaum
marginal yang kurang dimunculkan dalam konstelasi informasi
translokal dan global, dan seringkali kurang diuntungkan secara
144
material. Oleh karena itu, upaya membangun kesadaran terhadap
adanya kearifan lokal sebagai sebuah realitas budaya, yang juga
berfungsi dalam memposisikan identitas budaya, bagi masyarakat
tertentu sebagai pencirinya, pada akhirnya harus menjadi spirit yang
tidak boleh diabaikan dalam konteks menjaga nilai-nilai kebangsaan
agar tidak pudar dan agar nilai-nilai itu tetap dihayati dalam situasi
apapun.
Sebagai bangsa yang bhineka, Indonesia memiliki dua macam
sistem budaya yang keduanya harus dipelihara, dikembangkan, dan
diberdayakan yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya etnik
lokal. Sistem budaya nasional adalah sesuatu yang hingga kini masih
berproses terus. Sistem ini berlaku secara umum untuk seluruh bangsa
Indonesia, tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal
yang manapun. Nilai-nilai budaya yang terbentuk dalam sistem
budaya nasional itu bersifat menyongsong masa depan.
Dalam hubungan ini, kenyataannya, nilai-nilai tersebut
hakikatnya merupakan “serat-serat irisan” yang terbentuk tatkala dua
atau lebih budaya etnik lokal bersemuka, bersinggungan, dan saling
memperkaya atas dasar persamaan-persamaan yang ada di antaranya.
Jadi, nilai-nilai budaya lokal tertentu menjadi bercitra
translokal/nasional karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang
sesungguhnya diderivasikan dari nilai-nilai budaya lama yang
terdapat dalam berbagai sistem budaya etnik lokal.
Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang
sebagai landasan bagi pembentukan jatidiri bangsa secara translokal
(nasional). Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat budaya
bangsa memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai
sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, misalnya dalam
bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya, yang
kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintasbudaya. Karenanya,
upaya penggalian kearifan lokal pada dasarnya untuk mencari, dan
akhirnya untuk menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang
karena proses persilangan dialektis, atau karena akulturasi dan
transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu
145
yang tak terelakkan. Upaya menemukan identitas bangsa yang baru
atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan
budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara. Jadi,
ujung akhir situasi sadar budaya yang ingin dicapai bukanlah situasi
nekrofili, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang
bendawi/wujudiyah yang tidak berjiwa kehidupan, melainkan situasi
biofili, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang maknawiah
yang berjiwa kehidupan. Dengan cara demikian, seluruh warga
bangsa diharapkan memiliki kekenyalan budaya yang memadai dalam
menghadapi tantangan global.
3. Budaya Barat yang sudah maju secara ekonomis dan
teknologis secara tak terhindarkan telah melanda kita dengan begitu
kuat sehingga kita merasa kehilangan (sebagian) identitas tradisional
bangsa. Munculnya keinginan untuk membangun kembali identitas
bangsa, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu
sarana yang penting untuk menyeleksi, dan bukannya melawan,
pengaruh budaya “lain.” Gerakan nativisme bisa saja dipandang naif,
akan tetapi ia merupakan suatu reaksi logis apabila diletakkan dalam
perspektif budaya yang berubah sangat cepat.
Dengan selalu memperhitungkan kearifan lokal lewat dan
dalam proses budaya, keniscayaan masyarakat terperangkap dalam
situasi menjadi masyarakat yang terasing dari realitas dirinya, yang
“menjadi ada” dalam pengertian “menjadi seperti liyan dan bukannya
dirinya sendiri,” dapat dihindari. Jadi, penempatan hasil upaya
penggalian kearifan-kearifan lokal dalam proses budaya harus selalu
dimaknai dalam konteks upaya menyiapkan masyarakat memiliki
kekenyalan budaya, dan bukannya sebagai domestikasi atau
penjinakkan sosial budaya. Dikatakan demikian karena upaya
menggali dan menyadari kembali kearifan lokal dapat dikatakan
sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri
sebagai bagian upaya membangun identitas, dan sebagai semacam
filter dalam menyeleksi pengaruh budaya liyan.
Nilai-nilai kearifan lokal tersebut meniscayakan fungsi yang
strategis bagi pembentukan karakter dan identitas, yang pada
146
gilirannya akan memunculkan sikap budaya yang mandiri, penuh
inisiatif, dan kreatif. Perawatan, pengembangan, dan pemberdayaan
kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti
penting bagi berkembangannya suatu masyarakat, terutama jika
dilihat dari sudut kekenyalan budaya, di samping juga mempunyai arti
penting bagi identitas daerah yang bersangkutan. Karya-karya seni
budaya yang menempatkan nilai-nilai lokalnya sebagai sumber
inspirasi kreatif, bagi daerah yang bersangkutan akan mendorong
munculnya sikap bangga terhadap budaya dan daerahnya. Karya-
karya kreatif itu bisa saja ditampilkan dalam wajah atau wacana
translokal sehingga memiliki sumbangan yang besar bagi terciptanya
identitas baru bagi bangsa secara keseluruhan.
Kearifan lokal, yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa
lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan
pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan
masa sekarang. Anggapan bahwa yang relevan dengan kehidupan
hanyalah “masa kini dan di sini” juga dapat dihindari. Kearifan lokal
dapat dijadikan semacam jembatan yang menghubungkan masa lalu
dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang,
demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada
gilirannya, ia pun dapat dijadikan semacam simpai perekat budaya
antargenerasi, dan menghindarkan diri dari situasi ahistoris.
Dalam konteks tersebut, pemosisian pendidikan bahasa dan
seni secara strategis menjadi penting. Pendekatan multikultural --yang
menghindari sifat satu arah, kognitif, dan eksklusif; juga menghindari
superioritas, primordialisme, dan eksklusivisme nilai tertentu--
merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh. Melaluinya,
pemahaman nilai-nilai bersama dan upaya kolaboratif mengatasi
masalah-masalah bersama diupayakan, potensi nilai yang bersifat
trans- dicahayakan. Nilai tenggang rasa antarsesama dijadikan dasar
utama, di samping keserbanekaan keyakinan, tradisi, adat, dan serat-
serat budaya lainnya ditempatkan sewajar-wajarnya melalui tegur-
sapa yang ramah. Semua itu dapat terlaksana apabila materi dalam

147
proses pendidikan bahasa dan seni diperhitungkan sebagai “rumah”
pengalaman kemanusiaan kita.
Dalam dan melalui proses semacam itu, kita “merumahkan”
pengalaman-pengalaman kita yang tidak pernah singular. Jika butir-
butir tersebut mampu kita implementasikan dalam rangka nation and
character building, niscaya histeria sosial, situasi yang rentan terhadap
sawan budaya, atau schizofrenia kultural, dapat dihindari. Pendidikan
karakter niscaya menghindari terbentuknya manusia-manusia yang
berwajah garang, yang wataknya dan perilakunya keras, brutal, dan
agresif, yang salah satu kehendak besarnya adalah memusuhi yang
lain, yang satu ingin menguasai dan menindas yang lain.
Pendidikan karakter niscaya berupaya membentuk manusia
yang mampu menghargai harkat dan hak-hak azasi, dan bukannya
membentuk manusia yang hanya menjadi pendusta bagi hati nurani
diri mereka sendiri. Pengembangan pendidikan karakter berbasis
kearifan lokal, dengan demikian, hakikatnya merupakan upaya
menyiapkan dan membentuk sebuah masyarakat yang
keberlangsungannya didasarkan pada prinsip-prinsip moral. Untuk
mewujudkannya, “angan-angan” segelintir manusia (yang kebetulan
sedang “berkuasa,” misalnya saja), tidak boleh mengalahkan
konvensi, common sense, dan kesepakatan-kesepakatan yang sudah
ada, apalagi yang sudah terwujud dalam kaidah hukum; pertumbuhan
organisasi-organisasi kewargaan juga perlu disemai, bukan malah
ditekan; perbedaan pendapat juga tidak boleh dibungkam. Dengan
demikian, upaya pengembangan yang dilaksanakan sudah seharusnya
mampu pula menemukan, menghidupkan, dan menyegarkan kembali
semangat kebebasan, individualitas, kemanusiaan, dan toleransi dalam
jiwa. Untuk itu, keutamaan kecendekiawanan dan pengayaan kultural
merupakan keniscayaan, yaitu keniscayaan untuk menanamkan ke
dalam dirinya prinsip-prinsip etika dan kebenaran moral yang berasal
dari cita-cita peradaban dan warisan intelektual yang benar-benar
berakar pada kultur sendiri.
4. Pengintegrasian nilai-nilai budaya dan kearifan lokal
dalam proses pendidikan bahasa dan seni mengandaikan bahwa
148
siswa/mahasiswa akan mengkonstruksikan pengetahuan atau
menyemaikan benih-benih nilai positif dalam dirinya sebagai hasil
“pemikiran” dan interaksinya dalam konteks sosial-budaya yang
mengepung dan mengkondisikannya. Siswa/mahasiswa diharapkan
mampu menciptakan makna yang saheh bagi dirinya berdasarkan
interaksi antara pengetahuan yang telah dimiliki, diketahui, dan
dipercayai; dengan gejala, gagasan, atau informasi baru yang
diperoleh di dalam proses pendidikan yang ditempuhnya. Oleh
karena itu, nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang dimaksud harus
dihadirkan dalam kelas pembelajaran/perkuliahan.
Penempatan nilai-nilai kearifan lokal sebagai konteks
pendidikan bahasa dan seni berpotensi mendekatkan dan
menyadarkan peserta-didik terhadap lingkungan kehidupannya: dari
adat istiadat dan benda-benda budaya tempat nilai-nilai itu melekat
dan bersemayam di dalamnya. Dengan demikian, strategi penghadiran
lingkungan budaya merupakan bagian dari proses penebaran benih
dan pembumian nilai. Ketika siswa/mahasiswa berinteraksi dan
beradaptasi dengan lingkungan (budaya), sesungguhnya mereka
sedang berada dalam periswa belajar. Lingkungan budaya merupakan
sebuah “lokus” untuk mendapatkan pengalaman (-pengalaman baru).
Kearifan lokal yang diintegrasikan dalam praksis pendidikan bahasa
dan seni akan menciptakan medan eksplorasi bagi siswa/mahasiswa
dalam memahami dan menghayati nilai tertentu. Mereka tidak hanya
ngerti, tetapi juga nglakoni dan ngrasakke, berinteraksi dengannya
melalui beragam proses: knowing, doing, dan being pun terintegrasi.
Ketika hasil penggalian dan pengembangan nilai-nilai budaya
dan kearifan lokal ditautkan dengan, dan diintegrasikan dalam
pendidikan bahasa dan seni, terdapat tiga alternatif yang
dimungkinkan. Pertama, pendidikan tentang nilai-nilai budaya dan
kearifan lokal tertentu. Alternatif ini menempatkan nilai-nilai budaya
dan kearifan lokal sebagai subjek dan objek kajian. Nilai-nilai budaya
dan kearifan lokal tertentu dipelajari dalam satu program studi
khusus: tentang budaya dan untuk budaya. Dalam hal ini, nilai-nilai
budaya dan kearifan lokal tidak terintegrasi dengan disiplin keilmuan
149
lain. Kedua, pendidikan dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal
terjadi pada saat nilai-nilai budaya dan kearifan lokal tertentu
diperkenalkan kepada siswa/mahasiswa sebagai cara atau metode
untuk mempelajari suatu konsep tertentu. Belajar dengan nilai-nilai
budaya dan kearifan lokal meliputi pemanfaatan beragam hal yang
inheren di dalamnya: menjadi media pembelajaran dalam proses
belajar, menjadi konteks dari contoh-contoh tentang konsep atau
prinsip, serta menjadi konteks penerapan prinsip atau prosedur
tertentu. Ketiga, pendidikan melalui nilai-nilai budaya dan kearifan
lokal merupakan strategi yang memberikan kesempatan kepada
siswa/mahasiswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau
makna yang diciptakannya melalui beragam perwujudan budaya yang
berbasis nilai-nilai budaya dan kearifan lokal tertentu. “Produk-
produk” budaya yang diwujudkan siswa/mahasiswa, misalnya saja
poster, karangan, lukisan, lagu, ataupun puisi yang bertema nilai-nilai
budaya dan kearifan lokal tertentu, dapat diperhitungkan untuk
melihat seberapa jauh peserta-didik memperoleh pemahaman proses
tertentu, dan seberapa besar kreativitasnya dalam rangka pencapaian
kompetensi tertentu.
5. Akhirnya, ketika etnisitas dipahami sebagai sebuah
konsep kultural yang berpusat pada pembagian norma-norma, nilai-
nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik-praktik kultural, maka
kearifan lokal sesungguhnya menjadi sarana yang utama dalam
mengikat keutuhan etinisitas itu. Oleh karena itu, ketika kearifan
lokal diintegrasikan dalam praksis pendidikan bahasa dan seni,
model-model pembelajaran yang dipilih dan dikembangkan perlu
dilakukan secara cermat. Dalam hubungan ini, paling tidak terdapat 6
(enam) model yang perlu dicermati, yakni model pohon, model
kristal, model sangkar burung, model jamur, model amuba, dan model
DNA.
Dalam “model pohon,” akar proses pengembangan yang
dilakukan berada dalam nilai-nilai lokal dan tradisi, tetapi menyerap
sumber-sumber eksternal yang relevan dan berguna untuk tumbuh
keluar. Dalam kaitan ini, pengembangan pembelajaran kearifan lokal
150
dalam konstelasi pendidikan translokal (nasional) dan global tetap
mengedepankan, karena memerlukan, akar-akar budaya lokal. Tujuan
utamanya adalah menyiapkan pribadi lokal yang berwawasan
internasional, yakni individu yang utamanya bertindak pada tataran
lokal, tetap ia/mereka berkembang secara global.
Dengan demikian, pengembangan kurikulum pembelajaran
kearifan lokal harus didasarkan pada nilai-nilai dan aset budaya lokal
itu sendiri, tetapi sekaligus menyerap teknologi dan wawasan global
yang cocok untuk mendukung pengembangan komunitas berikut
individu-individunya sebagai warga lokal. Model ini diharapkan
mampu mendorong komunitas lokal untuk memelihara nilai-nilai
tradisional, identitas kultural, dan akumulasi pengetahuan lokalnya
karena tumbuh, berkembang, dan berinteraksi dengan asupan energi
dari sumber-sumber eksternal. Pertumbuhan komunitas lokal yang
berhasil akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan komunitas
dan pengetahuan global.
Akan tetapi, jika akar kulturalnya sempit dan miskin,
pertumbuhan komunitas dan individu lokal akan menjadi begitu
terikat dan menyakitkan. Untuk menghindari hal itu, juga untuk
menghindari jebakan pertumbuhan dan perkembangan yang hanya
bersifat teknis jangka pendek, dinamisasi kultural harus dilakukan
juga secara berbarengan. Dengan cara demikian, pengetahuan global
yang dikonversikan ke dalam pengetahuan lokal tidak terbatas pada
bias kultural, yang seringkali berkedok sikap “selektif.”
Kunci proses pengembangan “model kristal” terletak pada
kesadaran bahwa pemekaran kearifan lokal berfungsi untuk
mengkristalisasikan dan mengakumulasi pengetahuan eksternal
(translokal dan global) yang cocok dengan bentuk-bentuk yang sudah
ada. Dalam kaitan ini, pengembangan lebih diarahkan untuk
mengakumulasi pengetahuan eksternal yang ada di sekitar yang lokal.
Implikasinya, desain kurikulum dan pembelajaran
diorientasikan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan nilai-nilai
kelokalan yang paling mendasar sebagai landasan fundamental untuk
mengakumulasi sumber-sumber pengetahuan eksternal yang relevan
151
dan signifikan bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan. Yang
pertama dan utama adalah pemahaman terhadap struktur pengetahuan
kelokalan sebagai dasar ketika pengetahuan dan kearifan yang bersifat
eksternal diakumulasi. Model ini diharapkan mampu menyiapkan
manusia lokal yang memiliki sejumlah pengetahuan global, yakni
pribadi-pribadi yang mampu berpikir dan bertindak lokal dengan
memunculkan teknik-teknik global. Dalam model ini, konflik antara
kebutuhan lokal dan pengetahuan global yang diserap dan
diakumulasi dalam pengembangan komunitas dan individu lokal,
dapat diminimalkan.
Karena, asupan global hal-hal yang dikehendaki dan yang
tidak dikehendaki lebih mudah untuk diidentifikasi. Eksternalisasi
yang berlebihan juga lebih mudah dikendalikan. Hanya saja, tidak
mudah untuk mendapat seperangkat nilai atau hasil-hasil lokal yang
baik yang dapat digunakan untuk mengkristalisasikan dan
melokalisasikan pengetahuan dan kearifan lokal yang berdaya guna
dan membuahkan hasil secara penuh. Tipe-tipe dan hakikat yang asli
lokal itu sendiri bisa saja hanya mengkristalkan hal-hal sama saja
dengan yang sudah ada.\
Proses pengembangan “model sangkar burung” terbuka bagi
kehadiran sumber-sumber dan pengetahuan global, tetapi membatasi
perkembangan lokal dan interaksi yang bersifat eksternal untuk
menetapkan suatu kerangka kerja. Pengembangan pembelajaran
kearifan lokal sebagai bagian dari budaya lokal dalam keseluruhannya
dalam konstelasi yang lebih luas memerlukan kerangka kerja lokal
yang berfungsi protektif dan selektif. Dalam kaitan ini, desain
kurikulum hendaknya memiliki kerangka kerja lokal dengan batas-
batas ideologis dan norma-norma sosial yang jelas. Harapannya,
semua aktivitas edukasional memiliki fokus lokal yang jelas ketika
bersemuka dengan pengetahuan dan masukan global. Perhatian dan
kesetiaan lokal hendaknya menjadi bagian utama pendidikan.
Model ini diharapkan mampu menyiapkan manusia lokal
dengan wawasan global yang terbatasi, yakni pribadi-pribadi yang
bertindak lokal dengan pengetahuan global yang sudah disaring.
152
Kerangka kerja yang disiapkan diharapkan mampu menjamin
relevansi lokal, membantu menghindari hilangnya identitas lokal, dan
memproteksi interes lokal dari globalisasi yang berlebihan. Hanya
saja, penetapan batas-batas sosial dan kultural yang tepat untuk
menyaring dampak global dan untuk menjamin relevansi lokal bukan
hal yang mudah dilakukan. Karena, batas-batas tersebut bisa saja
terlampau ketat dan tertutup, sehingga interaksi penting dengan dunia
luar menjadi terkendala, di samping pertumbuhan pengetahuan lokal
juga cenderung terhambat.
Dalam prosesnya, “model DNA” mengidentifikasi dan
mencangkok elemen-elemen kunci yang lebih baik yang berasal dari
pengetahuan global untuk menggantikan komponen-komponen lokal
yang sudah tidak lagi berdaya dalam rangka pengembangan.
Implikasinya, desain kurikulum hendaknya sangat selektif, baik
terhadap pengetahuan lokal maupun global.Tujuannya untuk memilih
elemen-elemen yang terbaik dari keduanya. Pemahaman terhadap
kelemahan dan kekuatan elemen, baik pengetahun lokal maupun
global, merupakan hal yang penting dalam rangka menumbuhkan
sikap terbuka bagi pencangkokan elemen-elemen apapun yang baik
dalam konteks lokal.
Cara ini diharapkan mampu menyiapkan manusia dengan
elemen campuran antara yang lokal dan global, yakni pribadi-pribadi
yang mampu bertindak dan berpikir dengan pengetahuan campuran
lokal dan global. Dalam model ini, investigasi rasional dan
transplantasi elemen dan pengetahuan yang valid terbuka lebar
hampir tanpa kendala lokal dan kultural. Dalam rangka mempelajari
dan memperbaiki perkembangan dan pratik-praktik lokal, model ini
lebih efisien. Akan tetapi, identifikasi terhadap kelemahan dan
kekuatan elemen-elemen tertentu belum tentu benar, baik secara
kultural maupun sosial.
Di samping itu, asumsi yang menyatakan pencangkokan dan
penggantian dapat dilakukan dengan mudah tanpa resistensi kultural
dan tanpa dampak sosial yang negatif terhadap perkembangan
individu dan komunitas lokal, merupakan asumsi yang terlampau
153
mekanistik. Yang diutamakan dalam “model jamur” adalah proses
pencernaan tipe-tipe pengetahuan global sebagai nutrisi bagi individu
dan perkembangan lokal.
Artinya, pengetahuan lokal berfungsi untuk mencerna
sejumlah pengetahuan global dan mengkonversikannya menjadi
nutrisi lokal demi pengembangan individu dan komunitas lokal.
Implikasinya, kurikulum dan pembelajaran diarahkan pada
kemampuan mengidentifikasi dan mempelajari apakah pengetahuan
global itu bernilai dan penting. Aktivitas pendidikan didesain untuk
mencerna pengetahuan global yang kompleks ke dalam bentuk-bentuk
yang tepat sehinggai dapat disuap oleh individu-individu lokal demi
pertumbuhan yang diperlukan.
Model ini diharapkan mampu menyiapkan manusia yang
dilengkapi dengan tipe pengetahuan global tertentu, yakni pribadi-
pribadi yang dalam hal bertindak dan berpikir bergantung pada
pengetahuan global yang relevan. Dalam model ini, pencernaan dan
penyerapan elemen-elemen pengetahuan global yang berguna lebih
mudah disiapkan daripada menghasilkan pengetahuan lokal dari
awal. Akar demi pertumbuhan dan pengembangan didasarkan pada
pengetahuan global sebagai alternatif nilai-nilai atau budaya lokal.
Akan tetapi, model ini mengutamakan proses pencernaan dan
penyerapan satu-arah terhadap pengetahuan eksternal.
Dalam prosesnya, “model amuba” membuat pengetahuan
global benar-benar berguna dengan hambatan lokal yang paling
minimal. Artinya, pengetahuan lokal difungsikan untuk
mendayagunakan dan mengakumulasi secara maksimal pengetahuan
global dalam konteks lokal. Implikasinya, kurikulum hendaknya
memasukkan rentangan pengetahuan dan perspektif global secara
penuh. Hambatan kultural dan nilai-nilai lokal dapat diminimalkan
dalam desain kurikulum dan pembelajaran agar sikap terbuka secara
total terhadap pembelajaran global dapat ditumbuhkan. Model ini
diharapkan mampu menyiapkan manusia yang terbuka dan flkesibel
tanpa identitas lokal apapun, yakni bertindak dan berpikir global dan

154
cair. Kekuatan model ini terletak pada keterbukaan dan
fleksibilitasnya terhadap seluruh eksposur global.
Dalam mengakumulasi sumber-sumber dan pengetahuan
global, hambatan lokal dan kultural sedikit, sehingga perkembangan
individu dan komunitas lokal memiliki kesempatan menguntungkan
yang lebih luas. Akan tetapi, model ini berpotensi menghilangkan
nilai-nilai lokal dan identitas kultural. Sangat dimungkinkan
komunitas lokal akan kehilangan panduan dan solidaritas sosial
sepanjang proses globaliasasi.
6. Keenam model pengembangan yang dikemukakan di
atas dapat dijadikan alternatif pengembangan pembelajaran kearifan
lokal. Pilihan terhadapnya lebih ditentukan arah orientasi
pembelajaran kearifan lokal sebagai bagian penting budaya lokal
dalam keseluruhannya.
Berdasarkan luasnya dependensi pengetahuan global dan
orientasi nilai dan kultur lokal, tampak bahwa model amuba dan
jamur kurang relevan dan kurang signifikan karena dependensi
globalnya sangat kuat. Model pohon, kristal, dan sangkar burung
memiliki orientasi lokal lebih kuat, sedangkan model DNA terletak di
antara dua kelompok tersebut. Dengan demikian, terdapat dua
orientasi utama. Pertama, orientasi pengembangan pembelajaran
kearifan lokal bisa saja secara total menolak pengetahuan dan
keterlibatan global, tetapi secara kuat menekankan relevansi dan
keterlibatan komunitas lokal dalam merancang dan melaksanakan
pendidikan.
Nilai-nilai lokal yang ada, identitas kultural, pegalaman
komunitas, dan pengetahuan lokal merupakan bagian-bagian inti
pendidikan. Kedua, orientasinya adalah pendidikan yang terikat oleh
tempat secara tradisional, yang diisolasikan dari komunitas lokal dan
jagat luar. Tujuan pendidikan, isi kurikulum, dan praktik pedagogis
dipelihara agar tidak berubah untuk kurun waktu yang lama dan
sangat kecil relevansinya dengan pengalaman komunitas keseharian.
Terdapat kesenjangan besar antara pendidikan yang diberikan dengan
realitas global dan lokal.
155
Dua titik ekstrem tersebut niscaya tidak menguntungkan ketika
pembelajaran kearifan lokal diperhitungkan sebagai komponen
strategis kebudayaan dalam fungsi ideologis, pedagogis, dan
kulturalnya.
Perkembangan individu dan komunitas lokal sering
kehilangan tradisionalitasnya ini pada saat berhadapan dengan
tantangan serius dalam era baru transformasi dan globalisasi. Oleh
karena itu, ke depan, pengembangan hendaknya diorientasikan
pelokalan dan pengglobalan sekaligus. Ini merupakan skenario yang
ideal, yang menekankan baik lokalisasi mapun globalisasi dalam
pendidikan bahasa dan seni. Pengintegrasian keduanya dapat
dilakukan melalui model pohon, kristal, sangkar burung, dan DNA.
Skenario ini bertujuan melokalkan pengetahuan dan sumber-sumber
global dan membuatnya valid dan relevan dengan konteks lokal.
Di samping itu juga bertujuan untuk mengglobalkan
kesempatan dan pengalaman edukasional bagi para siswa dan
meluaskan wawasan internasional mereka. Apabila orientasi
pengembangan pembelajaran kearifan lokal diarahkan pada lokalisasi
dan globalisasi sekaligus, konsepsi belajar dan pembelajaran tentang,
melalui, dan dengan kearifan lokal menjadi penting untuk
dipertimbangkan dalam praktik pelaksanaannya.
Proses pembelajaran yang cenderung menekankan pencapaian
kurikulum dan penyampaian materi secara tekstual semata harus
segera ditinggalkan dan diganti dengan pengembangan kemampuan
belajar, kreativitas, dan logika berpikir siswa. Situasi dan posisi
siswa/mahasiswa sebagai penerima pasif semua informasi yang
disampaikan guru/dosen, juga harus segera didinamisasikan sehingga
dominasi guru/dosen, ketergantungan pada pada buku teks, dan
kebenaran tunggal dalam proses pembelajaran sedikit demi sedikit
dapat ditinggalkan. Dalam kaitan ini, pembelajaran bermakna harus
diciptakan dan dirancang secara kreatif, sehingga memungkinkan
terjadi interaksi dan negosiasi untuk penciptaan arti dan konstruksi
makna dalam diri setiap siswa/mahasiswa dan guru/dosen, termasuk
pemanfaatan kearifan lokal sebagai budaya lokal dalam pembelajaran.
156
Hal ini penting untuk diperhitungkan karena secara konstruktivistik,
siswa mengkonstruksikan pengetahuan atau menciptakan makna
sebagai hasil dari pemikiran dan interaksinya dalam suatu konteks
sosial. Bukankah setiap individu menciptakan makna dan pengertian
baru, berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui,
dan dipercayai, dengan fenomena, ide, atau informasi baru yang
dipelajari.
Karena kearifan lokal juga merupakan “rumah pengalaman
kemanusiaan,” keterlibatan dan “persinggahan” siswa/mahasiswa
dengannya dalam pembelajaran memungkinkan mereka belajar lebih
banyak dari apa yang seharusnya. Dengan cara demikian,
siswa/mahasiswa pun belajar tentang budaya komunitasnya –
termasuk miskonsepsi yang inheren dalam budaya tersebut.
Persentuhan siswa/mahasiswa dengan beragam bentuk budaya dalam
proses pembelajaran sekaligus berarti terbukanya ruang dan peluang
bagi mereka untuk secara bebas menggali prinsip-prinsip “keilmuan”
berdasarkan konteks yang sudah dikenalnya, menemukan hal-hal
yang bermakna di sekelilingnya (dalam komunitas budayanya), dan
mendorongnya untuk membuka dan menemukan hal-hal yang baru.
Pada akhirnya, mereka pun diharapkan mampu menjadi pribadi-
pribadi yang berkarakter, yang memiliki kedaultan penuh atas dirinya.
D. Ragam Kearifan Lokal Di Indonesia
1. Pengertian Kearifan Lokal
Pengertian dari kearifan lokal yaitu nilai, gagasan, atau
pandangan yang bersumber dari sebuah tempat dan didalamnya juga
terdapat sifat bijaksana. Tidak hanya itu, adanya nilai-nilai yang baik
yang nantinya dapat diikuti dan kemudian dipercayai oleh sejumlah
masyarakat di suatu tempat serta sudah diikuti dengan cara turun
temurun. Berikut ini adalah beberapa contoh dari kearifan lokal.
a. Awig-Awig diLombok Barat dan Bali
Awig-Awig merupakan sebuah aturan adat yang dapat
dijadikan suatu pedoman agar bisa bertindak dan juga bersikap
terutama didalam hal berinteraksi. Dan juga didalam hal seperti

157
mengolah sumber daya alam dan juga lingkungannya. Dan kearifan
lokal tersebut terdapat di daerah Bali dan Lombok Barat.
b. Bebie di Sumatera Selatan
Bebie merupakan suatu tradisi didalam menanam dan
kemudian menanam padi secara bersama-sama, hal tersebut memiliki
tujuan yaitu untuk agar suatu proses permanenan dapat dengan cepat
terselesaikan. Apabila panennya tersebut telah selesai, maka akan
adaperayaan yang menjadi suatu bentuk dari rasa syukur atas proses
panen yang berhasil dan juga sukses. Kearifan lokal Bebie ini terdapat
di Muara Enim, lebih tepatnya berada di Sumatera Selatan.
c. Hutan Larang Adat di Riau
Kearifan lokal mempunyai suatu tujuan agar masyarakat yang
berada disekitarnya dapat dengan bersama-sama melestarikan hutan
yang berada disana. Seperti contohnya yaitu adanya suatu peraturan
mengenai tak diperbolehkannya menebang hutan secara sembarangan.
Apabila hal tersebut dilakukan, maka pelakunya akan dikenakan
denda yaitu sebesar 100 kg beras ataupun bisa berbentuk uang yang
jumlahnya sebesar Rp 6.000.000.
d. Cingcowong di Jawa Barat
Cingcowong merupakan sebuah jenis upacara yang berguna
untuk meminta hujan, tradisi cingcowong ini juga sudah dilakukan
dengan turun temurun oleh masyarakat Luragung untuk bisa
melestarikan budayanya. Dan tradisi ini juga bisa menunjukkan suatu
permintaan kepada Yang Maha Kuasa apabila tak ada kepatuhan di
tiap perintah-Nya.
e. Repong Damar di Lampung Barat
Repong Damar merupakan salah satu kearifan lokal yang
sering disebut juga dengan hutan damar. Repong Damar ini adalah
model dari pengelolaan pada suatu lahan bekas lading didalam suatu
bentuk wanatani yang kemudian dapat dikembangkan oleh
masyarakat Lampung Barat di Krui. Tradisi ini menanami lahan bekas
lading dengan berbagai macam jenis tanaman, contohnya yaitu seperti
karet, damar, durian dan juga kopi.

158
f. Tembawai di Kalimantan Barat
Tembawai adalah sebuah hutan rakyat yang juga
dikembangkan oleh rakyat Dayak Iban yang terletak di Kalimantan
Barat. Didalam hutan tersebut juga memiliki berbagai jenis tumbuhan
yang produktif seperti pohon durian.
g. Pamali memancing ikan di Maluku Utara
Pamali memancing ikan adalah suatu aturan adat yakni berupa
larangan maupun boboso. Dan pamali memancing ikan ini juga secara
yurisdiksi sangat terbatas kepada adat, nilai-nilai dan juga agama.
Akan tetapi konsep dari property right itu terbentuk dari pranata sosial
pada masyarakat yang sudah berlangsung sangat lama didalam
mengatur suatu pemanfaatan sumberdaya laut dan juga pesisir.
Kearifan lokal ini terdapat didaerah Desa Bobaneigo yang ada di
Maluku Utara.
h. Koko dan Tattakeng di Sulawesi Selatan
Sebelum diperkenalkannya pertanian seperti padi sawah,
rakyat To Bentong sudah mewariskan lahan untuk para keturunannya
berbentuk kebun atau Koko dan juga lading yang sudah ditinggalkan
atau Tattakeng. Koko merupakan suatu lahan perladangan yang bisa
diolah dengan cara berpindah. Sementara Tattakeng merupakan suatu
lahan bekas perladangan yang tengah diberakan. Kearifan lokal ini
terletak di Minahasa provinsi Sulawesi Utara.
i. Moposad Dan Moduduran di Sulawesi Selatan
Moposad dan Moduduran adalah suatu pranata mengenai
tolong menolong yang sangat penting untuk dapat menjaga sebuah
keserasian dari lingkungan sosial. Kearifan lokal ini terletak di
Bolaang Mongondow, provinsi Sulawesi Selatan.
j. Pahomba di Nusa Tenggara Timur
Pahomba atau yang biasa disebut juga dengan gugus hutan
merupakan suatu tempat yang dilarang keras untuk dimasuki, terlebih
lagi dengan niatan untuk mengambil hasil hutannya. Dan pada
hakikatnya, pohon-pohon di tiap pahomba tersebut memiliki fungsi
menjadi pohon-pohon induk yang bisa menyebarkan benih kedalam
padang rumput yang cukup luas.
159
Oleh sebab itu, Apabila api tak menghangus dan mematikan
anakan dari pepohonan tersebut, proses dari perluasan hutan yang
secara alamiah bisa berlangsung. Pepohonan yang ada dipahomba dan
disekitaran batang sungai memiliki fungsi menjadi suatu filter
terhadap materi erosi dan juga secara sekaligus menjadi sempadan
alamiah sungan yang berguna untuk pelestarian air sungai.
k. Ke-kean di Sumatera Selatan
Pengetahuan mengenai kekean merupakan suatu perhitungan
waktu yang sesuai untuk bisa menanam berbagai jenis tumbuhan
tertentu yang berkaitan dengan ilmu perbintangan.
l. Balingkea di Sulawesi Tengah
Balingkea adalah suatu kategori dari pandangan mengenai
hutan menurut pendapat dari orang Toro. Balingkea merupakan bekas
kebun yang umurnya mulai dari 6 bulan sampai dengan 1 tahun.
Seringnya balingkea diolah untuk tumbuhan palawija yang berbentuk
ubi kayu, jagung, rica, kacang-kacangan dan juga sayur-sayuran.
m. Rimba Kepungan Sialang di Riau
Para masyarakat melayu telah mengenal suatu pembagian
hutan tanah yang juga terdiri atas 3 bagian, yaitu tanah perladangan,
rimba larangan dan juga rimba kepungan sialang.
n. Hompongan di Jambi
Hompongan adalah suatu hutan belukar yang juga melingkupi
suatu kawasan inti dari pemukiman Orang Rimba, atau lebih tepatnya
dikawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas di provinsi Jambi. Hal
tersebut dengan sengaja dijaga ketat keberadaaannya karena memiliki
fungsi menjadi suatu banteng pertahanan dari gangguan pihak dari
luar.
o. Sasi dari Maluku
Sasi adalah suatu adat yang menjadisuatu pedoman dari tiap
warga masyarakat Maluku didalam mengelola lingkungan yang
termasuk pedoman dari pemanfaatan dari sumber daya alam.

160
E. Kebijakan Pelestarian Kearifan Lokal
1. Kearifan Lokal Dalam Mewujudkan Lingkungan
Yang Produktif
Kearifan lokal adalah pandangan dari suatu tempat yang
bersifat bijaksana dan bernilai, baik yang diikuti dan dipercayai oleh
masyarakat di suatu tempat tersebut dan sudah diikuti secara turun
temurun. Kearifan lokal tersebut menjadi penting dan bermanfaat
hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu
mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan
mereka.
Dengan cara mewarisi pengetahuan scara turun temurun,
kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu
dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari
karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Setiap bagian dari
kehidupan masyarakat local tersebut akan selalu berhubungan dengan
lingkungan hidup. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Kearifan lokal akan selalu terhubung pada kehidupan manusia
yang hidup di lingkungan hidup yang arif. Karena lingkungan hidup
merupakan kesatuan ruang dengan semua benda yang berada
didalamnya baik itu makhluk hidup maupun benda mati. Dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang
ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup dinyatakan
bahwa lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia, dan
perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, segala aktivitas yang dilakukan
oleh manusia secara perlahan akan membawa pengaruh terhadap
lingkungan disekitarnya, baik itu membawa pengaruh yang positif
maupun negatif. Oleh sebab itu, manusia harus menyadari bahwa
161
segala aktivitas yang dilakukan harus dapat memberikan pengaruh
yang positif terhadap lingkungannya dengan menjaga dan
melestarikan daya dukung lingkungan tersebut.
Lingkungan memiliki unsur-unsur didalamnya, yaitu biotik,
abiotik dan sosial budaya. Biotik merupakan unsur-unsur lingkungan
hidup yang terdiri dari segala jenis makhluk hidup, mulai dari
manusia, hewan, tumbuhan, maupun organisme atau jasad renik
lainnya. Sedangkan, abiotik merupakan segala unsur lingkungan yang
terdiri dari benda-benda mati seperti air, udara, dan lain-lain. Dan
sosial budaya terdiri dari unsur lingkungan yang diciptakan manusia
yang di dalamnya terdapat nilai, gagasan, norma, keyakinan, serta
perilaku manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk yang tidak
dapat hidup sendiri.
Lingkungan hidup yang serasi dan seimbang sangat diperlukan
sebagai penentu kehidupan suatu bangsa. Idealnya, pemanfaatan
lingkungan hidup harus memperhatikan pemeliharaan dan kelestarian
lingkungan sehingga dapat diwariskan kepada generasi yang akan
datang. Setiap pemanfaatan lingkungan hidup harus bertujuan, seperti
tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara
manusia dan lingkungan hidup; terwujudnya manusia Indonesia
sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindakan
melindungi serta membina lingkungan hidup; terjaminnya
kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; tercapainya
kelestarian fungsi lingkungan hidup; terkendalinya pemanfaatan
sumber daya secara bijaksana; terlindunginya Indonesia terhadap
dampak dari luar yang dapat menyebabkan pencemaran atau
kerusakan lingkungan.
Kelestarian lingkungan dipengaruhi oleh lingkungan yang
didominasi dengan struktur buatan manusia yang merupakan
lingkungan binaan. Bangunan dan infrastruktur buatan manusia
bertanggung jawab untuk sebagian besar penggunaan energi,
penggunaan banyak air, dan menghasilkan sejumlah besar limbah.
Idealnya, sebuah bangunan harus beroperasi seefisien mungkin.
Efisiensi merupakan salah satu dasar dari desain yang berkelanjutan,
162
yang memengaruhi semua aspek proyek, mulai dari penentuan lokasi,
perencanaan ruang, penggunaan material, dan sistem. Oleh sebab itu,
para perencana dan perancang bangunan selain menciptakan
bangunan yang indah harus juga memperhatikan efisiensi,
kenyamanan serta pengaruh keberadaan bangunan tersebjut terhadap
lingkungan disekitarnya. Efisiensi energi merupakan inti praktik
desain hijau saat ini.
Pembangunan-pembangunan tersebut yang memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa harus mengurangi kemampuannya untuk
memenuhi kebutuhan dari generasi yang akan datang merupakan
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan harus
memerhatikan pemanfaatan lingkungan hidup dan kelestarian
lingkungannya agar kualitas lingkungan tetap terjaga. Kelestarian
lingkungan yang tidak dijaga akan menyebabkan daya dukung
lingkungan berkurang, atau bahkan akan hilang. Pembangunan
berkelanjutan mengandung arti sudah tercapainya keadilan sosial dari
generasi ke generasi. Dilihat dari pengertian lainnya, pembangunan
berkelanjutan sebagai pembangunan nasional yang melestarikan
fungsi dan kemampuan ekosistem.
Pengukuran atas pemanfaatan sumber daya pada ekosistem
yang dilakukan secara seminimal mungkin guna menghasilkan
produksi semaksimal mungkin dan juga merupakan suatu kegiatan yg
menghasilkan sesuatu, berupa hal baru yg di dapat dari membaca,
benda, tulisan, dan hal baik lainnya disebut produktif . Terdapat dua
cara pandang produktivitas, yaitu cara pandang tradisional dan cara
pandang modern. Cara pandang Tradisional membandingkan antara
output fisik dengan input sumber daya yang digunakan sedangkan
cara pandang modern membandingkan antara output fisik dengan
kualitas yang dihasilkan.
Prinsip dalam manajemen produktivitas adalah efektif dalam
mencapai tujuan dan efisien dalam menggunakan sumber daya.
Unsur-unsur yang terdapat dalam produktivitas diantaranya efesiensi,
efektivitas, dan kualitas. Efesiensi merupakan suatu ukuran dalam
membandingkan penggunaan masukan (input) yang direncanakan
163
dengan penggunaaan masukan yang sebenarnya terlaksana.
Pengertian efisiensi beriorientasi kepada masukan. Sedangkan,
efektivitas merupaka suatu ukuran yang memberikan gambaran
seberapa jauh targer yang dapat tercapai baik secara kuatitas maupun
waktu. Makin besar persentase target tercapai,makin tinggi tingkat
efektivitasnya. Dan kualitas merupakan salah satu ukuran
produktivitas. Meskipun kualitas sulit diukur secara matematis
melalui rasio output/input, namun jelas bahwa kualitas input dan
kualitas proses akan meningkatkan kualitas output.
Peningkatan produktivitas perlu dilakukan pada seluruh sektor
mulai dari peningkatan produktivitas masyarakat, pemerintah hingga
sektor swasta. Peningkatan produktivitas pada sektor swasta berarti
meningkatkan produktivitas perusahaan. Hasil peningkatan
produktivitas perusahaan terbukti telah memberikan manfaat kepada
seluruh pemangku kepentingan mulai dari para pekerja perusahaan itu
sendiri sampai dengan konsumen. Peningkatan produktivitas
perusahaan juga memberikan manfaat besar kepada pemerintah dalam
hal peningkatan dayasaing dan perluasan kesempatan kerja yang
sangat dibutuhkan seiring dangan berkembangnya tuntutan pasar
kerja. Oleh karena itu pemerintah berupaya secara terus menerus
untuk mendorong dan memfasilitasi peningkatan produktivitas
perusahaan.
Peningkatan produktivitas perlu dilakukan pada seluruh sektor
mulai dari peningkatan produktivitas masyarakat, pemerintah hingga
sektor swasta. Peningkatan produktivitas pada sektor swasta berarti
meningkatkan produktivitas perusahaan. Hasil peningkatan
produktivitas perusahaan terbukti telah memberikan manfaat kepada
seluruh pemangku kepentingan mulai dari para pekerja perusahaan itu
sendiri sampai dengan konsumen. Peningkatan produktivitas
perusahaan juga memberikan manfaat besar kepada pemerintah dalam
hal peningkatan dayasaing dan perluasan kesempatan kerja yang
sangat dibutuhkan seiring dangan berkembangnya tuntutan pasar
kerja. Oleh karena itu pemerintah berupaya secara terus menerus

164
untuk mendorong dan memfasilitasi peningkatan produktivitas
perusahaan.
Peningkatan produktivitas pada sektor masyarakat
meningkatkan produktivitas lingkungan. Peningkatan pada sektor
pemerintah meningkatkan produktivitas lembaga dan pada sektor
swasta meningkatkan produktivitas perusahaan. Hasil peningkatan
produktivitas perusahaan terbukti telah memberikan manfaat kepada
seluruh pemangku kepentingan mulai dari para pekerja perusahaan itu
sendiri sampai dengan konsumen. Peningkatan produktivitas
perusahaan juga memberikan manfaat besar kepada pemerintah dalam
hal peningkatan dayasaing dan perluasan kesempatan kerja yang
sangat dibutuhkan seiring dangan berkembangnya tuntutan pasar
kerja. Oleh karena itu pemerintah berupaya secara terus menerus
untuk mendorong dan memfasilitasi peningkatan produktivitas swasta
seperti perusahaan,produktivitas pemerintah seperti lembaga, dan
produktivitas masyarakat seperti lingkungan.
Produktivitas masyarakat pada lingkungan hidup dapat
dilakukan secara lokal. Dengan memanfaatkan sumber daya alam
pada ekosistem secara produktif dan melakukan pelestarian
lingkungan secara arif, maka dapat mewujudkan lingkungan yang
produktif dengan kearifan lokal yang berkelanjutan.
2. DPD RI Akan Perjuangkan Pelestarian Kearifan
Lokal
Ketua DPD RI mengatakan DPD RI akan menjalin kerjasama
kemitraan dengan daerah-daerah lain pada sektor budaya. Terutama
dalam rangka optimalisasi pelestarian nilai-nilai budaya kedaerahan.
“DPD RI senantiasa akan memperjuangkan kebijakan yang
mendukung pelestarian nilai-nilai budaya serta kearifan lokal dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ungkapnya
saat membuka acara Gebyar Budaya Betawi di Nusantara V Komplek
Parlemen, Jakarta (10/10).
Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti mengajak
seluruh stakeholder untuk menyadari betapa pentingnya membangun

165
kebudayaan di daerah-daerah Indonesia. Karena budaya menjadi
cerminan jati diri bangsa dalam memperkuat pondasi Pancasila.
“Tujuannya bukan semata-mata memunculkan simbol tetapi dapat
diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkup
individual, sosial maupun dalam lingkup institusi negara,” ucapnya.
Menurut Lanyalla, Pancasila yang sudah ada harus diperkuat
baik secara sistematis dan metodelogi. Salah satunya dalam penguatan
budaya bangsa sehingga bisa berfungsi bagi kerja sosial sekaligus
menopang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Ketua DPD RI mengatakan DPD RI akan menjalin kerjasama
kemitraan dengan daerah-daerah lain pada sektor budaya. Terutama
dalam rangka optimalisasi pelestarian nilai-nilai budaya kedaerahan.
“DPD RI senantiasa akan memperjuangkan kebijakan yang
mendukung pelestarian nilai-nilai budaya serta kearifan lokal dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ungkapnya
saat membuka acara Gebyar Budaya Betawi di Nusantara V Komplek
Parlemen, Jakarta (10/10).
Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti mengajak
seluruh stakeholder untuk menyadari betapa pentingnya membangun
kebudayaan di daerah-daerah Indonesia. Karena budaya menjadi
cerminan jati diri bangsa dalam memperkuat pondasi Pancasila.
“Tujuannya bukan semata-mata memunculkan simbol tetapi dapat
diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkup
individual, sosial maupun dalam lingkup institusi negara,” ucapnya.
Menurut Lanyalla, Pancasila yang sudah ada harus diperkuat
baik secara sistematis dan metodelogi. Salah satunya dalam penguatan
budaya bangsa sehingga bisa berfungsi bagi kerja sosial sekaligus
menopang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
“Salah satunya Gebyar Budaya Betawi ini yang bertujuan
penguatan bangsa. Bahkan, budaya juga mampu meningkatkan
promosi pariwisata, budaya, serta meningkatkan pemberdayaan
masyarakat lokal. Harapan saya nanti acara ini bisa juga dilaksanakan
di setiap provinsi,” ujar Lanyalla.

166
Senator dari Jawa Timur itu menyatakan bahwa penyelesaian
dari semua masalah kebangsaan dan kenegaraan haruslah menyentuh
aspek mendasar yaitu kebudayaan. Artinya, upaya pembangunan
nasional dan sosial hanya upaya tambal sulam jika gagal menyentuh
aspek mendasar. “Untuk itu kita harus memperkuat nilai-nilai
kebangsaan dari dasar yaitu kebudayaan,” terang Lanyalla.
Sementara itu, Anggota DPD RI Provinsi Jakarta Sylviana
Murni mengatakan tujuan kegiatan ini mencermikan bahwa DPD RI
menjadi Rumah Kebangsaan, alhasil kegiatan ini disambut baik oleh
masyarakat. Kedepan, DPD RI akan mengadakan event-event
kebudayaan dari 34 provinsi yang ditampilkan di parlemen. “Jadi saya
merasa bangga, Jakarta bisa menjadi pionir dari seluruh kebudayaan
di setiap provinsi. Kita berencana akan mengadakannya di sini,”
tuturnya.
Anggota Komite III berharap kedepan DPD RI harus terus
memberikan penguatan kebangsaan agar terwujudnya tujuan nasional.
Selain itu, dengan hadirnya kebudayaan dari setiap provinsi maka
otomatis akan memperkuat NKRI.
“Tentu saja basisnya adalah penguatan daerah itu sendiri, dengan
kearifan lokalnya. Jika kita mampu melestarikan kearifan lokalnya
seperti di Jakarta. Artinya, penguatan pilar-pilar dari bawah (budaya)
maka NKRI memiki kekuatan pondasi,” kata Sylviana.
F. Manfaat Kearifan Lokal Dalam Konteks
Pembangunan Di Indonesia
1. Kearifan Lokal
Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan
budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup
(way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan
hidup. Di Indonesia—yang kita kenal sebagai Nusantara—kearifan
lokal itu tidak hanya berlaku secara lokal pada budaya atau etnik
tertentu, tetapi dapat dikatakan bersifat lintas budaya atau lintas etnik
sehingga membentuk nilai budaya yang bersifat nasional. Sebagai
contoh, hampir di setiap budaya lokal di Nusantara dikenal kearifan
lokal yang mengajarkan gotong royong, toleransi, etos kerja, dan
167
seterusnya. Pada umumnya etika dan nilai moral yang terkandung
dalam kearifan lokal diajarkan turun-temurun, diwariskan dari
generasi ke generasi melalui sastra lisan (antara lain dalam bentuk
pepatah dan peribahasa, folklore), dan manuskrip.
Walaupun ada upaya pewarisan kearifan lokal dari generasi ke
generasi, tidak ada jaminan bahwa kearifan lokal akan tetap kukuh
menghadapi globalisasi yang menawarkan gaya hidup yang makin
pragmatis dan konsumtif. Secara faktual dapat kita saksikan
bagaimana kearifan lokal yang sarat kebijakan dan filosofi hidup
nyaris tidak terimplementasikan dalam praktik hidup yang makin
pragmatis. Korupsi yang merajalela hampir di semua level adalah
bukti nyata pengingkaran terhadap kearifan lokal yang mengajarkan
“bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”; “hemat pangkal
kaya”.
2. Kearifan Lokal sebagai Identitas dan Ideologi
Bangsa
Boni Hargens (2011) dalam tulisannya di Kompas menyatakan
bahwa arus modernisasi, liberalisasi, dan globalisasi semestinya tidak
meniadakan suatu negara jatuh dalam percaturan global asal saja
negara tersebut ditopang oleh identitas nasional yang kuat, tetapi juga
didukung oleh ideologi dan kepemimpinan politik yang kuat.
Selain etika moral yang bersumber pada agama, di Indonesia
juga terdapat kearifan lokal yang menuntun masyarakat kedalam hal
pencapaian kemajuan dan keunggulan, etos kerja, serta keseimbangan
dan keharmonisan alam dan sosial. Kita mengenal pepatah
”gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit”, “bersakit-sakit
dahulu bersenang-senang kemudian” yang mengimplikasikan ajakan
untuk membangun etos kerja dan semangat untuk meraih keunggulan.
Dalam hal keharmonisan sosial dan alam, hampir semua budaya di
Indonesia mengenal prinsip gotong royong dan toleransi. Dalam suku
tertentu yang bermukim di pedalaman juga dikenal kearifan lokal
yang bersifat menjaga dan melestarikan alam sehingga alam
(misalnya kayu di hutan) hanya dimanfaatkan seperlunya, tidak
dikuras habis.
168
Dengan sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya
manusia yang banyak, semestinya Indonesia telah menjadi negara
besar yang maju. Namun, di tingkat Asia Tenggara saja posisi kita di
bawah Singapura yang miskin sumber daya alam dengan luas wilayah
lebih kurang hanya seluas Jakarta. Sumber daya alam yang melimpah
di negeri ini kadang-kadang juga tidak menjadi berkah. Gas alam
diekspor ke luar negeri dengan harga jual yang lebih rendah daripada
harga jual untuk pasar dalam negeri. Hutan dieksploitasi secara luar
biasa untuk mengejar perolehan devisa yang pada akhirnya hanya
mendatangkan kerusakan ekosistem alam yang disusul dengan
bencana (banjir;longsor).
Kebijakan ekonomi pemerintah acap kali hanya berpihak pada
kepentingan pemodal kuat. Padahal, Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945—yang oleh para pendiri republik ini diciptakan untuk
mengakomodasi kearifan lokal yang ada di negeri ini (seperti gotong
royong dan kekeluargaan)—dengan tegas mengamanatkan bahwa
perekonomian nasional disusun berdasarkan asas kekeluargaan dan
sumber daya alam yang ada dikuasai negara untuk kemakmuran
rakyat. Secara faktual, dapat kita saksikan pertumbuhan mini market
yang sangat subur yang mematikan warung rumah tangga.
Sementara itu, dalam masyarakat sendiri sering terjadi tindak
kekerasan yang mereduksi nilai toleransi. Dalam konteks perubahan
nilai sosiokultural juga terjadi pergeseran orientasi nilai. Masyarakat
cenderung makin pragmatis dan makin berorientasi pada budaya uang
serta terperangkap dalam gaya hidup konsumtif yang disodorkan
kekuatan global kapitalisme.
Dalam realitas Indonesia kini, secara ekstrem dapat dikatakan
bahwa kearifan lokal yang kita miliki mirip benda pusaka, yang kita
warisi dari leluhur, kita simpan dan kita pelihara, tetapi kita tidak
mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata sehingga
pusaka tersebut sia-sia merespons tantangan zaman yang telah
berubah.
Dalam kaitannya dengan kearifan lokal dan realitas Indonesia
kini, Kompas edisi 20 April 2011 menampilkan dua tulisan yang
169
relevan, yakni “Saya Mohon Ampun” oleh Radhar Panca Dahana dan
“Pembangunan Gerus Kearifan Lokal” oleh Wasisto Raharjo Jati.
Dalam tulisannya, Radhar Panca Dahana mencemaskan perilaku para
elit negeri ini yang antara sadar dan tidak sadar telah menjadi agen
kepentingan dan keserakahan ekonomi dan politik negara maju
(sehingga Indonesia hanya dijadikan sekadar pasar sambil dikuras
habis sumber daya alamnya). Sementara itu, Wasisto Raharjo Jati
mengemukakan bahwa pembangunan di Indonesia yang terpaku pada
pertumbuhan ekonomi semata telah mengabaikan kearifan lokal dan
menimbulkan potensi konflik vertikal dan horizontal di kemudian
hari. Karena berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, secara tidak
langsung pemerintah juga telah menjejalkan “budaya uang” sehingga
cenderung mengurangi dan meniadakan kearifan dan budaya lokal.
Kearifan lokal dapat dipandang sebagai identitas bangsa,
terlebih dalam konteks Indonesia yang memungkinkan kearifan lokal
bertransformasi secara lintas budaya yang pada akhirnya melahirkan
nilai budaya nasional. Di Indonesia, kearifan lokal adalah filosofi dan
pandangan hidup yang mewujud dalam berbagai bidang kehidupan
(tata nilai sosial dan ekonomi, arsitektur, kesehatan, tata lingkungan,
dan sebagainya). Sekadar contoh, kearifan lokal yang bertumpu pada
keselarasan alam telah menghasilkan pendopo dalam arsitektur Jawa.
Pendopo dengan konsep ruang terbuka menjamin ventilasi dan
sirkulasi udara yang lancar tanpa perlu penyejuk udara.
Pendopo adalah salah satu contoh bagaimana kearifan lokal
warisan masa lampau telah memberikan kepada kita konsep arsitektur
yang lega, nyaman, dan hemat energi. Sekarang ini, kita
mempersoalkan krisis energi dan menyerukan hemat energi. Namun,
gedung dan rumah dibangun dengan konsep bangunan tertutup
sehingga memerlukan penyejuk udara yang boros energi.
Kearifan lokal dalam wujud gotong royong juga kita kenal di
warung rakyat (misalnya warteg). Di warung tersebut dipraktikkan
penggiliran pengelolaan warung sebagai implementasi nilai gotong
royong dalam tata sosial dan ekonomi: memberi peluang kerja dan
peluang mencari nafkah bagi kerabat dan warga sekampung; itu
170
adalah salah satu kearifan lokal warisan masa lampau yang masih
diberlakukan oleh sebagian masyarakat.
Di negeri ini, ada sesuatu yang aneh dan janggal: kearifan
lokal di tingkat akar rumput acap kali berhadapan dengan kebijakan
pemerintah yang pro pertumbuhan ekonomi (sehingga mengundang
investor asing dan memberikan banyak kemudahan, termasuk dalam
hal regulasi, sambil mengabaikan kearifan lokal yang tumbuh di akar
rumput (Radhar Panca Dahana dan Wasisto Raharjo Jati, 2011).
Pancasila sebagai ideologi negara pada dasarnya telah
mengakomodasi kearifan lokal yang hidup di Nusantara (antara lain
nilai gotong royong sehingga salah satu sila Pancasila adalah
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”). UUD 1945 (yang
dijiwai oleh Pancasila) juga mengamanatkan hal yang sama, terutama
dalam Pasal 33. Akan tetapi, saat ini Pancasila dapat dikatakan
menjadi sekadar aksesori politik belaka.
Memaknai kearifan lokal tampaknya tidak dapat dipisahkan
dari konstelasi global. Indonesia dengan kekayaan alam yang
melimpah dan posisinya yang strategis menjadikan Indonesia
senantiasa menjadi incaran negara maju sejak zaman kolonial Hindia
Belanda. Hingga kini pun setelah pemerintahan berganti beberapa
kali, pemerintah tidak dapat menunjukkan independensinya: banyak
kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada kepentingan
kekuasaan ekonomi dan politik global daripada berpihak pada
kepentingan rakyat dalam negeri. Tentang hal itu dapat dibaca tulisan
Radhar Panca Dahana (2011) yang secara satiris mengatakan
bagaimana kekuasaan pemerintahan telah menjadi kepanjangan
tangan kepentingan ekonomi global.
Kearifan lokal (yang sesungguhnya dapat dipandang sebagai
identitas bangsa) tidak akan bermakna apa pun tanpa dukungan
ideologi yang berpihak kepadanya. Dalam konstelasi global, ketika
perang dingin telah berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet (dan
negara yang masih menganut Marxisme pun telah menerapkan sistem
ekonomi kapitalistik seperti Cina dan Vietnam), tanpa ideologi yang
berpihak pada kepentingan nasional, kita akan semakin kehilangan
171
identitas dalam percaturan global dan hanyut dalam arus globalisasi
yang “didikte” oleh negara maju.
3. Kearifan Lokal: antara Pusaka dan Senjata
Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari
leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra
lisan atau sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat penuturnya, tetapi
terdapat dalam berbagai bidang kehidupan nyata, seperti filosofi dan
pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur. Dalam dialektika hidup-
mati (sesuatu yang hidup akan mati), tanpa pelestarian dan
revitalisasi, kearifan lokal pun suatu saat akan mati. Bisa jadi, nasib
kearifan lokal mirip pusaka warisan leluhur, yang setelah sekian
generasi akan lapuk dimakan rayap. Sekarang pun tanda pelapukan
kearifan lokal makin kuat terbaca.
Kearifan lokal acap kali terkalahkan oleh sikap masyarakat
yang makin pragmatis, yang akhirnya lebih berpihak pada tekanan
dan kebutuhan ekonomi. Sebagai contoh, di salah satu wilayah hutan
di Jawa Barat, mitos pengeramatan hutan yang sesungguhnya
bertujuan melestarikan hutan/alam telah kehilangan tuahnya sehingga
masyarakat sekitar dengan masa bodoh membabat dan mengubahnya
menjadi lahan untuk berkebun sayur (Kompas, 23 April 2011).
Ungkapan Jawa tradisional mangan ora mangan waton kumpul (‘biar
tidak makan yang penting berkumpul [dengan keluarga]’) sekarang
pun makin kehilangan maknanya: banyak perempuan di pedesaan
yang berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk bekerja di
mancanegara dengan risiko terpisah dari keluarga daripada hidup
menanggung kemiskinan dan kelaparan.
Kearifan lokal hanya akan abadi kalau kearifan lokal
terimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari sehingga
mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah.
Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan
negara, misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang
berasaskan gotong royong dan kekeluargaan sebagai salah satu wujud
kearifan lokal kita. Untuk mencapai itu, perlu implementasi ideologi
negara (yakni Pancasila) dalam berbagai kebijakan negara. Dengan
172
demikian, kearifan lokal akan efektif berfungsi sebagai senjata—tidak
sekadar pusaka—yang membekali masyarakatnya dalam merespons
dan menjawab arus zaman.
Revitalisasi kearifan lokal dalam merespons berbagai
persoalan akut bangsa dan negara ini, seperti korupsi, kemiskinan,
dan kesenjangan sosial hanya akan berjalan dengan dukungan
kebijakan negara dan keteladanan. Tanpa itu, kearifan lokal hanya
merupakan aksesori budaya yang tidak bermakna. Kearifan lokal di
banyak daerah pada umumnya mengajarkan budaya malu (jika
berbuat salah). Akan tetapi, dalam realitas sekarang, budaya malu itu
telah luntur. Peraturan yang ada pun kadang-kadang memberi peluang
kepada seorang terpidana atau bekas terpidana untuk menduduki
jabatan publik. Jadi, budaya malu sebagai bagian dari kearifan lokal
semestinya dapat direvitalisasi untuk memerangi korupsi, apalagi
dalam agama pun dikenal konsep halal—haram (uang yang diperoleh
dari korupsi adalah haram).
Di antara berbagai penggerusan kearifan lokal saat ini, di sisi
lain kita masih menyaksikan pemanfaatan kearifan lokal, misalnya di
dunia medis terjadi pengembangan obat herbal yang merupakan
warisan leluhur di bidang medis yang kemudian disempurnakan
dengan standar farmakologi yang berlaku. Jadi, itu adalah salah satu
wujud kearifan lokal yang telah memperoleh revitalisasi dalam
masyarakat.
Di tengah derasnya arus investasi asing di bidang kuliner yang
merambah ke negeri ini (seperti Kentucky Fried Chicken, Mc Donald,
dan Pizza Hut), kita masih dapat menyaksikan menu kuliner lokal
(masakan Sunda, Padang, dan Yogya) tetap eksis dan sebagian hadir
dalam tata kelola restoran modern. Itu adalah revitalisasi kearifan
lokal di bidang kuliner.
Sementara itu, gotong royong sebagai wujud kearifan lokal
kita tampaknya belum terimplementasikan dalam perekonomian
nasional yang makin didominasi oleh asing dan perusahaan
multinasional dengan semangat neoliberalisme dan neokapitalisme.
Perekonomian nasional yang berpijak dan tumbuh dari rakyat
173
setidaknya mencerminkan identitas dan nasionalisme kita.
Ketergantungan ekonomi pada asing akan menyebabkan kita dengan
mudah didikte oleh kekuatan ekonomi dan politik asing dan hal itu
akan mencederai kedaulatan kita sebagai bangsa.
4. Kebudayaan sebagai Pendorong Pembangunan
Nasional
Indonesia memiliki tradisi dan sumber pengetahuan lokal
yang sangat kaya dan hidup. Kedua hal tersebut dapat menjadi
dasar yang kuat untuk membantu melaksanakan rencana
pembangunan nasional”, ujar Bambang Brodjonegoro, Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dalam
sambutannya di seminar nasional pada tanggal 4 April 2017 tentang
“Peran Kebudayaan dalam Pembangunan Nasional”, yang
diselenggarakan oleh Bappenas dan didukung oleh KSI.
Kebudayaan harus dianggap sebagai aset penting yang
berkontribusi terhadap pembangunan nasional. Bapak Menteri
menggarisbawahi bahwa Indonesia hanya dapat menjadi bangsa yang
besar apabila mampu mengejawantahkan kebudayaan ke dalam
pembangunan nasional.
Seminar tersebut diselenggarakan untuk mewujudkan
pembuatan kebijakan yang lebih baik dalam pembangunan nasional,
yang tidak meninggalkan kearifan lokal, dimana hal tersebut telah
diperoleh dan dikumpulkan selama bertahun-tahun melalui
pengalaman langsung, dan tercermin dalam ekspresi kebudayaan.
Kearifan lokal dapat memberikan masukan yang signifikan untuk
menjamin keberhasilan pelaksanaan pembangunan nasional tanpa
memicu perlawanan lokal.
Pembangunan nasional bukanlah hanya terkait dengan
peningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, tapi juga
peningkatan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Untuk itu,
memahami kebudayaan lokal merupakan sesuatu yang penting bagi
pembangunan nasional. Dalam sektor pendidikan, misalnya,
kurikulum nasional belum tentu cocok untuk diterapkan di komunitas

174
atau suku lokal tertentu. Saur “Butet” Marlina Manurung adalah
seorang antropolog dan ahli pendidikan, dan dalam presentasinya
mengatakan bahwa bagi anak-anak dari suku terpencil, pendidikan
bukanlah untuk mengejar nilai yang tinggi. Pendidikan bagi mereka
berarti memperoleh dan menguasai hal-hal untuk membela diri dan
lingkungan mereka agar tidak dieksploitasi. Sokola Rimba yang
didirikannya merupakan organisasi nirlaba yang bertujuan untuk
memberikan program literasi dan advokasi bagi Masyarakat Adat dan
Terpinggirkan di seluruh nusantara. Melalui pendidikan dari sudut
pandang berbeda, mereka dapat mewariskan kebudayaan dan kearifan
mereka ke generasi berikutnya. Lagu daerah, serta norma dan nilai
tradisional, dapat ditulis dan didokumentasikan dalam bahasa ibu
mereka sendiri.
Melestarikan dan mendayagunakan kebudayaan dapat menjadi
hal yang efektif dalam mendorong ekonomi, sebagaimana dibuktikan
oleh Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dalam lima tahun terakhir,
Banyuwangi telah berhasil mendorong perekonomiannya dengan
memanfaatkan kebudayaan, melalui berbagai acara dan perayaan.
Pada 2012, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah
menyelenggarakan 12 acara kebudayaan, sedangkan di tahun 2017,
jumlah tersebut meningkat menjadi lebih dari 70 acara kebudayaan
kepada turis lokal dan asing. Peningkatan pariwisata ini telah
membuat pendapatan asli daerah Banyuwangi melonjak, sehingga
meningkatkan perekonomian setempat, dari salah satu PDB per kapita
terendah di Jawa Timur, menjadi tiga teratas hanya dalam lima tahun.
Contoh lain bagaimana kebudayaan dapat mendongkrak
perekonomian ke arah yang lebih baik dapat dilihat di Bali, yang
sudah sangat terkenal di dunia, kebudayaan batik Jawa, dan Karnaval
Busana Jember atau Jember Fashion Carnival (JFC), yang telah
menelurkan puluhan Karnaval lain di seluruh negeri. Pimpinan
karismatik JFC, Dynand Fariz, membawakan presentasi penuh warna
terkait bagaimana kebudayaan dapat digunakan untuk menyokong
pariwisata dan sektor usaha.

175
Kisah keberhasilan Banyuwangi dan Jember dapat diadaptasi
dan direplikasi di daerah lain di Indonesia, dalam rangka membantu
mewujudkan pembangunan nasional lewat kebudayaan. Karena setiap
daerah memiliki kebudayaan uniknya masing-masing, replikasi ini
sebaiknya difokuskan pada metodenya, seperti penggunaan teknologi
informasi. Misalnya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tidak
memperbolehkan pengembang untuk membangun pusat perbelanjaan
modern dalam Kabupaten. Sebaliknya, pemerinteh daerah telah
membangun mal daring yang menjual berbagai produk lokal. Hal ini
menarik tidak hanya pembeli domestik, tapi juga internasional.
Di tingkat nasional, tantangan untuk menggabungkan
kebudayaan ke dalam pembangunan nasional berada pada aspek
koordinasi antara berbagai kementerian dan lembaga yang terlibat
dalam isu-isu terkait kebudayaan. Ini adalah salah satu isu penting
yang dibahas dalam seminar tersebut. Hilmar Farid, Direktur Jenderal
Kekebudayaanan, Kementerian Pendidikan dan Kekebudayaanan,
mengatakan bahwa pemerintah harus juga memberikan perhatian
kepada praktisi kebudayaan di wilayah terpencil, dan tidak hanya
fokus pada mereka yang tinggal di kota-kota besar.
Pemerintah harus berperan aktif dalam melindungi,
mengelola, dan memberikan arahan dan strategi untuk memanfaatkan
kebudayaan sebagai aset pembangunan nasional. Menurut Melani
Budianta, Profesor Kajian Kebudayaan Universitas Indonesia,
pemerintah juga harus mampu menentukan sasaran dari pembangunan
nasional berbasis kebudayaan. Prinsip dasarnya, ujar Budianta, adalah
melalui kebijakan inklusif yang non-diskriminatif, berdasarkan
partisipasi masyarakat lokal. Kebijakan yang demikian menjamin
tidak seorang pun yang tertinggal dalam proses pembangunan. Ia juga
mendorong agar setiap daerah mengembangkan potensi
kebudayaannya sendiri dan membangun sinergi kebudayaan antar
warga masyarakat yang dapat memberikan wawasan berharga kepada
pemerintah terkait arah dari pembangunan nasional. Menggabungkan
kebudayaan ke dalam pembangunan merupakan cara untuk

176
membentuk dan melestarikan identitas Indonesia sebagai bangsa
dengan kebudayaan yang kaya raya
G. Sinergitas Pembangunan Di Balutan Kearifan
Lokal
1. Ancaman Ekologis dan Sosial Budaya Masyarakat
Sumba ekapur Sirih
Pulau Sumba terletak di Barat-Daya Provinsi Nusa Tenggara
Timur, sekitar 96 KM di sebelah selatan pulau Flores 295 di sebelah
barat daya pulau Timor dan 1.125 km di sebelah barat laut Darwin,
Australia. Pulau Sumba berada pada busur luar kepulauan Nusa
Tenggara Timur dan pada busur tersebut pulau Sumba terletak antara
pulau Sumbawa dan Pulau Timor. Secara astronomis Sumba Timur
membentang antara 119̊45’-120̊ BT dan 9̊16’-10̊20’ LS.
Luas Kabupaten Sumba Timur adalah 7000,5 km2 atau 7000,
500 Ha, dengan bagian terbesar adalah daratan bagian Timur Pulau
Sumba, dan empat pulau kecil yaitu Pulau Salura (03,50 km2), Pulau
Mengkudu (0,2 km2), Pulau Kotak (01,00 km2), dan Pulau Nusa
(0,55 km2). (Sumber; pemda kab. Sumba Timur).
Kabupatan Sumba Timur seperti daerah lainnya di NTT terus
bergerak- berubah- berkembang dengan irama sendiri. Bumi belahan
Timur marapu, Sumba Timur adalah fakta, adalah masalah, adalah
harapan.
Sebagai fakta dan masalah, betapa perjalanan sangat panjang
telah dilalui dengan berjuta kendala pembangunan. Sebagai harapan
justru di tengah berjuta kendala pembangunan itulah berbagai kiat dan
upaya maksimal terus dipacu demi Sumba Timur yang makmur-
sejahtera, bahagia seperti dipaterikan baitan adatnya ; Matawai
Amahu Pada Njara Hamu.
Baitan adat yang sangat filosofis sungguh mencambuk secara
konstruktif, bagaimana karakter geografis jadi pijakan tuntutan.
Betapa bumi air Sumba Timur itu sendiri menurut Dr. Robert Lawang
adalah sumber energi sosial positif, seperti juga daerah lain di NTT.
Sumba Timur dengan sungai-sungainya, dengan perairan laut
yang mengitari bagian utara selatan dan timur plus sejumlah pulau-
177
pulau kecilnya, dengan daratan yang berbukit – bergelombang atau
daratan yang luas membentang adalah sumber energi sosial positif itu.
Pelajaran dari masa lalu, Catur Program Pembangunan Sumba
Timur dengan pola pendekatan Humanis dituaskan sebagai kiat
operasional fungsional, penajamannya dengan penjabarannya, dengan
sangat memperhatikan kearifan lokal. Sumba Timur ternyata tidak
hanya melekat dengan kebudayaan marapu yang begitu mengakar
tetapi juga dengan ramuan-menu kebudayaan dari luar/seberang
seperti Arab, Cina, Jawa, Bima, Sabu, Ende/Flores. Sumba Timur
telah terbuka sudah sejak dahulu kala dan akan terus terbuka, semakin
menganga-melebar dan menantang. Sejarah pembangunan Sumba
Timur tidak lagi dalam balutan budaya dan filosofi “Matawai Amahu
Pada Njara Hamu”, catatan punulis kali ini coba melihat dari sudut
pandang yang berbeda tentang bagaimana penataan pembangunan
Sumba Timur berbasis pada nilai budaya dan kearifan lokal yang
semakin tergerus arus perkembangan teknologi.
Fakta dan masalah seperti pada catatan di atas menunjukan
bahwa pemimpin terdahulu sudah jauh memikirkan bagaimana
membangun Sumba Timur dengan pendekatan berbasis humanis-
kearifan lokal. Namun, fakta hari ini jauh keluar dari jalan menuju
Matawai Amahu Pada Njara Hamu.
Semaraknya peternakan yang menjadi karakter Sumba Timur
tidak lagi dirasakan hingga generasi saat ini, bagaimanapun sejarah
Sumba Timur dalam dunia perternakan dahulu kala mendapat pujian
yang luar biasa. Masih teringat ketika orang-orang Sumba dulu
menyebut nama rerumputan di padang sabana mereka dengan sebutan
khas seperti Mapoe mbelar pingi, Mapoe rara, Mapoe bara, Roemba
mini, Mapoe pendji, Kamala litap dan masih banyak lagi sebutan
budayanya.
2. Padang penggembalaan Ternak (Hilang) Vs
Perkebunan Tebu (Hadir)
Sebagai bumi peternakan, Sumba Timur mempunyai lahan
penggembalaan yang sangat karakteristik, Sumba Timur adalah
daerah padang penggembalaan yang membukit-mengelombang
178
dengan hamparan daratan di berbagai tempat. Sejauh-jauh mata
memandang. Sumba Timur memiliki luas padang penggembalaan
215.797 Ha yang dialiri sekitar 88 buah sungai utama. Tanah tandus
12.521 Ha, semak/padang/alang 592,152,14 Ha. Yang lainnya hutan
66.199,86 Ha, Kebun 21.391, 76 Ha, sawah 2.982,74 Ha dan
desa/kota 4.796, 5 Ha. Dan memiliki 33 jenis rumput yang sangat
berguna bagi ternak. (Sumber : Dinas Peternakan Kab. Sumba Timur,
2002)
Dalam beberapa tahun terakhir sektor peternakan di kabupaten
Sumba Timur semakin berkurang. Banyak faktor yang mempengaruhi
sektor ini salah satunya akibat adanya alih fungsi lahan padang
penggembalaan ternak menjadi ladang perkebunan tebu yang sampai
saat ini masih terus dipertanyakan kehadirannya oleh masyarakat
Sumba Timur.
Dalam pengamatan penulis ruang wilayah kelola rakyat hari
ini semakin sempit akibat adanya alih fungsi lahan oleh PT. MSM.
Dahulunya padang difungsikan sebagai tempat penggembalaan ternak
kini tidak lagi bisa diakses secara baik oleh peternak. Belum lagi
persoalan daya dukung lingkungan yang tentu saja mengalami
dampak dari alih fungsi lahan tersebut.
➢ Potret Buruh Perkebunan Tebu
Dembi Tamar (45) seorang perempuan yang berprofesi
sebagai buruh harian lepas perkebunan tebu PT. Muria Sumba Manis
di Desa Matawai Maringu, Kabupaten Sumba Timur adalah potret
nyata betapa ironisnya kehidupan buruh yang hak-haknya diabaikan
oleh p erusahaan. (Baca; “Bau Amis” dibalik manisnya Gula ).
Dembi Tamar dahulunya seorang patani yang kini beralih profesi
menjadi buruh diperkebunan tebu harus menahan penderitaan selama
21 bulan di rumahnya.
Kasus kecelakaan yang dialami Dembi Tamar saat sedang
bekerja di kebun tebu yang kemudian tidak mendapatkan perhatian
dan akses dari perusahaan menjadi catatan buruk sejarah investasi di
kabupaten Sumba Timur. Inilah gambaran umum kasus yang terjadi
di perkebunan tebu. Dan masih banyak lagi kasus baik itu
179
pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, hilangnya situs-situs
budaya Sumba.
➢ Peternak yang Kehilangan Padang Penggembalaan
Ekspansi perkebunan tebu PT. Muria Sumba Manis 52.000 Ha
menjadi ancaman serius keberlanjutan ekologis dan ruang wilayah
kelola rakyat. Di atas penulis sudah menggambarkan secara umum
sektor-sektor unggulan yang seharusnya tidak diganggu dengan
berbagai model pendekatan pembangunan yang baru (bukan dalam
arti menolak) yang bila dilihat secara detail, strategi pembangunan
(investasi perkebunan) ini belum disiapkan secara matang oleh pihak
pemerintah terkait dampak dari kebijakan tersebut.
Tiga tahun terakhir di Sumba Timur begitu maraknya investasi
perkebunan monokultur seperti tebu dan lain-lain menjadi salah satu
faktor utama munculnya berbagai konflik antara masyarakat,
pemerintah dan perusahaan. Bahkan bisa dianalisa alih fungsi lahan
ini menjadi biang kerok berkurangnya lahan dan ternak di kabupaten
Sumba Timur.
Data Dirjen Planologi kehutanan merilis jumlah hutan primer
di Sumba Timur pada tahun 2009 hanya 4,5 persen dari total luas
daratan. Perkebunan tebu PT. MSM di kabupaten Sumba Timur-NTT
memilki wilayah konsesi seluas 52.000 Ha konsesi perusahaan ini
berada di 30 Desa di 6 Kecamatan di Sumba Timur.
Potret masyarakat peternak Sumba Timur kini tidak bisa kita
temui seperti dahulu kala, ada perubahan dan pergeseran yang begitu
besar terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Tersingkirnya
petani/peternak dari tanahnya untuk digiring menjadi buruh industri
yang murah menjadi persoalan besar yang dihadapi oleh masyarakat
Sumba saat ini.
Berawal dari sinilah konflik agraria dan kemiskinan terus
berakumulasi menjadi bibit-bibit lahirnya gejolak sosial yang lebih
luas. (perjalanan yang belum berakhir). Krisis ekologis yang
dirasakan saat ini dari kehadiran perkebunan tebu sudah semakin
masif, daya dukung lingkungan yang seharusnya menjadi prioritas
tidak lagi menjadi refrensi dari industri perkebunan di pulau Sumba.
180
Banyak kerusakan lingkungan yang terjadi, seperti ketika perusahaan
memakai hutan lindung Mbula di Desa Wanga lewat dinas Kehutanan
melalui mekanisme Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Hutan lindung Mbula merupakan sumber kehidupan
masyarakat sekitar pesisir, bukan saja manfaat ekonomi dan ekologis,
namun manfaat sosial budaya pun kian terancam hilang akibat konsesi
lahan perkebunan. Inilah fakta dimana pemerintah daerah pun
mengaminkan keinginan perusahaan tanpa memikirkan dampak sosial
bagi masyarakat yang bergantung pada alam.
Air yang terdapat dalam hutan Mbula dimanfaatkan oleh
perusahaan untuk mengairi perkebunan tebu, disisi lain daya dukung
lingkungan tidaklah cukup seperti data yang dirilis oleh sebuah
lembaga akademis menyatakan bahwa kebutuhan air untuk
perkebunan tebu rata-rata dalam sehari mencapai 7.500 meter kubik.
Ini jumlah yang sangat besar. Kondisi pulau Sumba yang rentan
dengan perubahan iklim kini menjadi perhatian serius untuk
memulihkan tanah ini dengan cara yang bijaksana.
Keseimbangan manusia dengan alam perlu dijaga dengan
perilaku dan karakter pembangunan yang ramah terhadap lingkungan
sekitar. Pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
haruslah berpijak pada nilai dan budaya pelestarian. Kelestarian
budaya, nilai dan lingkungan di Sumba tentu membutuhkan sentuhan
kebijakan dari Gubernur dan Wakil Gubernur baru NTT.

181
182
BAB 11
KEPEMIMPINAN GLOBAL DI LAUTAN KEARIFAN LOKAL
A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi global yang semakin meningkat
dewasa ini menuntut perusahaan atau organisasi untuk mampu
menangkap peluang bisnis baik secara lokal maupun internasional.
Perekonomian global dengan segala pernak-perniknya banyak
menawarkan dampak yang positif terutama terjadinya interaksi antara
negara dengan perekonomian yang telah maju dengan negara-negara
dengan perekonomian yang sedang berkembang. Interaksi tersebut
dapat diwujudkan dalam bentuk kerjasama ekonomi sehingga mampu
membawa manfaat seperti pengenalan teknologi baru, adanya akses
ke pasar baru dan terjadinya penciptaan industri baru.
Kunci utama untuk memenangkan persaingan di pasar global
dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan adalah dengan
menciptakan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Selain
itu juga dalam era globalisasi suatu perusahaan juga dituntut untuk
mampu melakukan praktek-praktek manajemen yang berorientasi
pada keterbukaan (transparancy), fokus pada perubahan, berinovasi
secara terus menerus dan mampu mengembangkan kepemimpinan
yang bersifat kolektif. Untuk mencapai keunggulan kompetitif dan
mampu menerapkan praktek-praktek manajemen yang berorientasi
pada keterbukaan dan terciptanya sistem tata kelola yang baik (good
corporate governance) maka diperlukan sistem pengelolaan
perusahaan yang melibatkan seluruh komponen perusahaan
khususnya komponen sumber daya manusia (human resources). Peran
sumber daya manusia sebagai aset berharga (valuable asset) dan
sebagai motor penggerak perusahaan sangat diperlukan. Peran dan
fungsi yang dituntut dari sumber daya manusia bukan pada peran-
peran yang bersifat mendasar dan tradisional seperti recruitment dan
staffing namun lebih kepada peran dan fungsi yang bersifat bisnis dan
strategis seperti sebagai partner bisnis (business partner) dan bagian
dari anggota team manajemen (management team member).

183
Kepemimpinan merupakan faktor penting yang mempengaruhi
inovasi organisasi. Inovasi melalui kreativitas merupakan faktor
penting bagi keberhasilan dan keunggulan kompetitif organisasi.
Kepemimpinan telah menjadi diakui sebagai adanya kepatuhan.
Kepemimpinan memberikan makna bagi mereka dalam institusi
dengan mendefinisikan dan yang mendukung nilai-nilai organisasi.
Organisasi yang sukses memerlukan kepemimpinan dan manajemen,
tetapi ini tidak perlu selalu digabungkan dalam satu pribadi. Kedua
kepemimpinan dan manajemen dapat tersebar dalam sebuah
organisasi. Ada bukti bahwa kepemimpinan suportif secara positif
terkait dengan pembelajaran organisasi dan inovasi. Hal ini
memungkinkan dukungan kepemimpinan pembangunan tim dan
memberikan mereka arah, energi, dan dukungan untuk proses
perubahan serta kohesi meningkat (Hsio, H. C., and Jen-Chiang
Chang, 2011).
Menurut Kauppinen, Kepemimpinan dan kekuasaan terkait
satu sama lain dalam berbagai cara. Kepemimpinan mengacu pada
kekuasaan publik, yaitu posisi orang dalam organisasi dan masyarakat
yang memberikan mereka berarti untuk menggunakan kekuasaan atas
individu lain, kelompok, dan organisasi. Kepemimpinan didefinisikan
sebagai pengaruh pribadi atas orang lain, yaitu yang berpengaruh
pada perilaku mereka dengan tujuan hasil yang lebih baik dalam
pekerjaan mereka. Kekuasaan dapat didefinisikan sebagai
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain.
Kepemimpinan adalah kegiatan yang bermuatan nilai, sedangkan
manajemen lebih berorientasi praktis. Manajemen lebih lanjut tentang
pengendalian dan administrasi, sedangkan kepemimpinan adalah
tentang inovasi dan inspirasi. Perbedaan utama antara keduanya
adalah bahwa orang pemimpin memimpin, sedangkan manajer
mengelola tugas. Namun, dua melakukan tumpang tindih, dan sering
sulit untuk kepemimpinan yang terpisah dari manajemen. Tidak ada
manajemen tanpa kepemimpinan dan begitu pula sebaliknya
Konsep kepemimpinan telah di teliti pada berbagai disiplin
ilmu, seperti pendidikan untuk pengembangan organisasi, dan para
184
pemimpin telah mempelajari hal yang berhubungan dengan kualitas,
kompetensi, serta perilaku yang membuat mereka'' besar''. Diskusi
tentang kepemimpinan telah membuat perbedaan antara pendekatan
transaksional dan transformasional. Pandangan transaksional berfokus
pada pertukaran antara pemimpin dan yang dipimpin. Pandangan ini
sesuai dengan teori sifat perspektif yang berargumen bahwa
kepemimpinan hanya berdasarkan karakteristik individu orang
tersebut. Perspektif ini telah ditolak dan sifat-sifat sendiri telah
terbukti menjadi prediktor buruk dari munculnya pemimpin dan
kinerja organisasi. Kepemimpinan transformasional adalah perspektif
yang lebih inklusif dan memfokuskan perhatian pada proses''
menjadi'' seorang pemimpin, namun masih tetap fokus pada
perpindahan individu dari pengikut menjadi pemimpin (Hoyt, M.A et
al, 2008).
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar
seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya,
tapi dari kekuatan pribadinya. Beberapa isu penting dalam 20 tahun
terakhir adalah proliferasi dari metode pengembangan kepemimpinan
dan pentingnya resonansi emosional seorang pemimpin dengan atau
dampak pada orang lain. Pemimpin berwawasan global mampu
menjaga dan memberdayakan kearifan lokal dan nilai-nilai luhur
lokal.

B. Pembahasan
Menurut Anonim (2008), Kepemimpinan adalah sebuah
keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter
atau tranformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan
bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses
panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang
menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam
diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh,
ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh
kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong
perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir
185
menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau
jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan
berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari
proses internal (leadership from the inside out ).
Kepemimpinan tidak ditentukan oleh pangkat atau jabatan
seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam
dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi
pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarga, bagi lingkungan
pekerjaan, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya.
“I don’t think you have to be waering stars on your shoulders or a
title to be leadar. Anybody who want to raise his hand can be a leader
any time”,dikatakan dengan lugas oleh General Ronal
Fogleman,Jenderal Angkatan Udara Amerika Serikat.
Seorang pemimpin sejati tidak diketahui keberadaannya oleh
mereka yang dipimpinnya. Bahkan ketika misi atau tugas
terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa
merekalah yang melakukannya sendiri. Pemimpin sejati adalah
seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator, dam
maximizer.
Konsep pemikiran seperti ini adalah sesuatu yang baru dan
mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin konvensional yang
justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor & praise) dari
mereka yang dipimpinnya. Kepemimpinan sejati adalah
kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble).
Pelajaran mengenai kerendahan hati dan kepemimpinan sejati dapat
kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang pemimpin
besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang
rasialis menjadi negara yang demokratis dan merdeka.Selama
penderitaan 27 tahun penjara pemerintah Apartheid, justru melahirkan
perubahan dalam diri Beliau. Sehingga Beliau menjadi manusia yang
rendah hati dan mau memaafkan mereka yang telah membuatnya
menderita selam bertahun – tahun.
Kenneth Blanchard mengatakan bahwa kepemimpinan dimulai
dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya.
186
Perubahan karakter adalah segala – galanya bagi seorang pemimpin
sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa
kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya tahan
menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas,
seseorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati.
Menurut Anonim (2008), sebuah jenis kepemimpinan yaitu Q
Leader memiliki 4 makna terkait dengan kepemimpinan sejati, yaitu:
1. Q berarti kecerdasan atau intelligence. Seperti dalam
IQ berarti kecerdasan intelektual,EQ berarti kecerdasan
emosional, dan SQ berarti kecerdasan spiritual. Q
leader berarti seorang pemimpin yang memiliki
kecerdasan IQ,EQ,SQ yang cukup tinggi.
2. Q leader berarti kepemimpinan yang memiliki kualitas
(quality), baik dari aspek visioner maupun aspek
manajerial.
3. Q leader berarti seorang pemimpin yang memiliki qi (
dibaca ‘chi’ dalam bahasa Mandarin yang berarti
kehidupan).
4. Q qolbu atau inner self. Seorang pemimpin sejati
adalah seseorang yang sungguh– sungguh mengenali
dirinya (qolbunya) dan dapat mengelola dan
mengendalikannya (self management).
Seorang pemimpin Q berarti menjadi seorang pemimpin yang
selalu belajar dan bertumbuh senantiasa untuk mencapai tingkat atau
kadar Q (intelligence-quality-qi-qolbu) yang lebih tinggi dalam upaya
pencapaian misi dan tujuan organisasi maupun pencapaian makna
kehidupan setiap pribadi seorang pemimpin.
Rangkuman kepemimpinan Q dalam 3 aspek penting yang
disingkat menajadi 3C, yaitu:
1. Perubahan karakter dari dalam diri (character chage).
2. Visi yang jelas (clear vision).
3. Kemampuan atau kompetensi yang tinggi
(competence).

187
Ketiga hal tersebut dilandasi oleh suatu sikap disiplin yang
tinggi untuk senantiasa bertumbuh, belajar dan berkembang baik
secara internal (pengembangan kemampuan intrapersonal,
kemampuan teknis, pengetahuan,dll) maupun dalam hubungannya
dengan orang lain (pengembangan kemampuan interpersonal dan
metode kepemimpinan). Seperti yang dikatakan oleh John Maxwell,
“The only way that I can keep leading is to keep growing. The the day
I stop growing, somebody else takes the leadership baton. That is way
it always it.”
Menurut Broome et al., kepemimpinan menawarkan dukungan
kinerja dan aplikasi keterampilan melalui suatu metode seperti
program pelatihan, coaching dan mentoring, pembelajaran tindakan,
dan tugas perkembangan. Menggabungkan instruksi dengan
pengaturan bisnis yang nyata membantu orang mendapatkan
keterampilan penting dan memungkinkan organisasi untuk menyerang
yang relevan, penting, real-time isu. Tujuan dari pengembangan
kepemimpinan akhirnya melibatkan pengetahuan. Oleh karena itu,
pengembangan berarti memberikan kesempatan orang untuk belajar
dari pekerjaan mereka daripada membawa mereka dari pekerjaan
mereka untuk belajar. Hal tersebut penting untuk mengintegrasikan
pengalaman satu sama lain dan dengan metode yang berkembang
lainnya. Negara pengembangan kepemimpinan seni sekarang terjadi
dalam konteks pekerjaan yang sedang berlangsung inisiatif yang
terkait dengan imperatif bisnis strategis. Program pelatihan tak lagi
ada penekanan dari manajemen senior. Rancangan program
melibatkan kelompok-kelompok kerja (horisontal) atau beberapa
organisasi (vertikal).
Beberapa kecenderungan terjadi memiliki peran utama dalam
memahami masa depan, praktek kepemimpinan dan pengembangan
kepemimpinan. Peran kritis perubahan konteks dalam pengembangan
kepemimpinan adalah
1. Kompetensi kepemimpinan.
2. Globalisasi / internasionalisasi kepemimpinan konsep,
konstruksi, dan pengembangan metode
188
3. Peran teknologi
4. Meningkatkan minat dalam integritas dan karakter
pemimpin;
5. Tekanan untuk menunjukkan laba atas investasi;
6. Cara berpikir tentang sifat kepemimpinan dan
pengembangan kepemimpinan.

Pemimpin didefinisikan sebagai karisma ketika orang


mengikuti seseorang karena dia dianggap luar biasa atau berkualitas.
Menurut Ruyadi, Y (2010). Karisma muncul dari pancaran kualitas
kepribadian yang sangat dikagumi oleh kebanyakan orang, seperti
jujur, dapat dipercaya, tegas, konsisten, pemberani, dan cerdas.
“Semua ini dapat membangkitkan lahirnya ‘pesona gaib’, yakni
kekuatan-kekuatan yang bersifat gaib dan luar biasa yang diberikan
hanya kepada segelintir manusia untuk memilikinya
Menurut Carmeli, A et al. (2011), kekuasaan pemimpin
bertujuan untuk mengembangkan sebuah tim untuk memimpin tanpa
kehadiran pemimpin formal dan untuk mendukung otonomi tim
tersebut. Hal tersebut mirip dengan kepemimpinan partisipatif, yang
"melibatkan penggunaan prosedur pengambilan keputusan, orang lain
dapat memungkinkan terpengaruh atas keputusan pemimpin". Salah
satu bentuk partisipatif kepemimpinan adalah partisipasi konsultatif
yang hanya untuk demokrasi di tempat kerja, kekuasaan pimpinan
muncul ketika CEO mendorong anggota The Top Management Team
(TMT) melakukan kontrol terhadap proses keputusan dan
memfasilitasi mereka melaksanakan keputusannya. Pelaksanaan
kontrol tidak melibatkan konsultasi saja, tetapi berbagi kewenangan
keputusan dengan anggota dan mendorong mereka untuk
mempengaruhi satu sama lain, biasanya melalui pengambilan
keputusan dalam interaksi kelompok, tetapi juga di luar konteks
pertemuan TMT.
CEO yang secara konsisten menunjukkan memberdayakan
kepemimpinan memfasilitasi integrasi perilaku TMT dan dengan cara
ini mereka secara tidak langsung mengembangkan keyakinan potensi
189
tim yang menguntungkan di antara anggota. Potensi tim didefinisikan
sebagai anggota "keyakinan umum tentang kemampuan tim pada
seluruh tugas dan konteksnya". Potensi tim bukan tentang
kemampuan kelompok yang sebenarnya, melainkan mengacu pada
persepsi kelompok tentang kemampuannya untuk keberhasilan
mengatasi tantangan dan melakukan tugas. Pemimpin memainkan
peran utama dalam menanamkan efektivitas pada karyawan dan
menginspirasi mereka untuk percaya pada kemampuan untuk berhasil
melaksanakan tugas pekerjaan.
Integrasi perilaku merupakan variabel antara yang membantu
untuk menjelaskan keefektifan yang relatif dari TMT untuk
mempengaruhi kinerja perusahaan. Pertama, pemimpin
memanfaatkan komunikasi untuk keyakinan bahwa tim dapat
mencapai tujuan utama kolektif. Kepercayaan dari pemimpin
mendorong anggota untuk lebih percaya sepenuhnya pada
kemampuan tim. Kedua, memberdayakan perilaku pemimpin model
kolaboratif dan mendorong pengikut secara bersama berkomitmen
untuk tujuan kelompok. Ketiga, para pemimpin memperkuat
peningkatan perilaku kerja sama antara anggota tim melalui
pembujukan verbal dan permohonan persisten atas kolaborasi.
Anggota tim berwenang mengembangkan kepercayaan diri bahwa
mereka dapat berkolaborasi dengan sukses tanpa tergelincir oleh
destruktif intra-tim konflik. Hasil dari berbagai pengaruh positif pada
perilaku kolaboratif tim adalah keberhasilan kerjasama tersebut
meningkatkan potensi kepercayaan tim.
Sementara itu zaman telah berubah, tantangan kehidupan
global sudah terasa dampaknya bagi kehidupan masyarakat Indonesia.
Tidak jarang globalisasi juga melahirkan ekses negatif terhadap
melemahnya kearifan budaya lokal. Globalisasi yang ditandai dengan
kecanggihan di bidang teknologi komunikasi, informasi, dan
transportasi membawa negara-negara di dunia masuk ke dalam sistem
jaringan global, satu dunia telah mengubah menuju peradaban dunia
baru. Globalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan
budaya dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi
190
bangsa Indonesia sebab dengan kecanggihan teknologi itu seluruh
informasi yang datang dari berbagai belahan dunia dapat diakses
langsung di mana saja dan kapan saja. Apabila tidak diantisipasi
dengan memperkuat filter budaya dan agama, maka globalisasi akan
dapat merugikan terhadap eksistensi nilai-nilai budaya bangsa.
Nilai-nilai luhur budaya yang dimiliki kelompok masyarakat
di Indonesia sudah merupakan miliki bangsa sebagai potensi yang tak
ternilai harganya untuk pembangunan dan kemajuan bangsa
Indonesia. Menurut Anonim (2008), kearifan lokal yaitu spirit local
genius yang disepadankan maknanya dengan pengetahuan,
kecerdikan, kepandaian, kilmuan, dan kebijaksanaan dalam
pengambilan keputusan dan berkenaan dengan penyelesaian masalah
yang relative pelik dan rumit. Dalam suatu local (daerah) tentunya
selalu diharapkan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang
(harmonis). Kehidupan yang penuh kedamaian dan suka cita.
Kehidupan yang dipimpin oleh pimpinan yang dihormati
bawahannya. Kehidupan yang teratur dan terarah yang dipimpin oleh
pimpinan yang mampu menciptakan suasana kondusif. Kehidupan
manusia tidak lepas dari masalah. Serangkaian masalah tidaklah boleh
didiamkan. Setiap masalah yang muncul haruslah diselesaikan. Jiwa
kepemimpinan akan mampu menanggulangi setiap masalah yang
muncul. Tiga hal untuk mengembangkan jiwa kepemimpinan:
1. Kepemimpinan dapat dibina, seperti pembangunan
ekonomi. Dengan kata lain, kita dapat memupuk kondisi-kondisi yang
menimbulkan kepemimpinan adat, khususnya nilai pemikiran
kemandirian. Alasan utama mengapa globalisasi adalah disfungsional
bagi negara berkembang adalah bahwa hal itu menumbuhkan
semacam ketergantungan antitesis terhadap munculnya
kepemimpinan adat. Pembinaan kepemimpinan tergantung secara
signifikan pada konteks: itu adalah orang yang dalam situasi tersebut
membangkitkan kepemimpinan.
2. Orang dapat dikembangkan. Bukan sebagai pemimpin,
tetapi sebagai manusia, dalam keyakinan dan perilaku mereka,
perhatian mereka dan menghormati diri sendiri.
191
3. Kita dapat mengembangkan praktek manajerial, tidak
terpisah dari kepemimpinan tetapi intrinsik untuk itu. Pemisahan Itu
hanya mendorong pandangan heroik kepemimpinan, naik di atas alas,
terputus dari fungsi sehari-hari organisasi. Pemimpin sejati adalah
berhubungan, di lapangan: mereka harus mengelola, hanya sebagai
manajer harus memimpin. Kita dapat mendorong pengembangan
manajemen di kelas manajer yang membawa bersama-sama dengan
rekan-rekan mereka untuk mencerminkan berpikir tentang
pengalaman mereka sendiri.

Kepemimpinan tradisional yang mencerminkan gaya


kepemimpinan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kepatuhan dan
loyalitas, mengedepankan kepentingan orang lain (masyarakat) serta
nilai toleransi yang tinggi, serta memberikan contoh yang baik kepada
yang dipimpinnya dengan mengutamakan nilai-nilai moral di dalam
masyarakat serta memberikan perlindungan kepada masyarakatnya.
Akan tetapi, tipe ini mencerminkan proses penguasaan, terlepas dari
hal ini tipe kepemimpinan ini lebih mengutamakan aspek moral
karena aspek moral sangat menentukan berjayanya dan tidak
berjayanya seorang pemimpinan karena moral merupakan landasan
dan kriteria utama dari masyarakat, maka tidak diragukan lagi bahwa
proses kepemimpinan ini mendapat simpati dari masyarakatnya. Tipe
pemimpin seperti ini harus rela mengorbankan harta bahkan jiwanya
untuk kepentingan masyarakat, tipe pemimpin ini harus bertindak
sebijaksana mungkin dalam rangka mengayomi, menuntun dan
mensejahterakan.
Mentransformasikan nilai, pemikiran atau ajaran di masa lalu
untuk ditarik ke masa kini, memang sulit, tapi bukan berarti tidak
bisa. Hal tersebut dikarenakan budaya luhur (kearifan lokal) menjadi
diskursus. Ketika menjadi pemimpin, orang Jawa memiliki beberapa
semboyan dan pandangan hidup yang selalu harus dilaksanakan agar
kepemimpinannya dapat berjalan dengan baik karena diiringi dengan
sikap-sikap yang arif dan bijaksana. Sikap dan pandangan itu antara
lain ialah seorang pemimpin harus dapat hamangku, hamengku,
192
hamengkoni. Hamangku diartikan sebagai sikap dan pandangan yang
harus berani bertanggung jawab terhadap kewajibannya, hamengku
diartikan sebagai sikap dan pandangan yang harus berani ngrengkuh
(mengaku sebagai kewajibannya dan hamengkoni dalam arti selalu
bersikap berani melindungi dalam segala situasi. Jadi, seorang
pemimpin dalam pandangan masyarakat Jawa itu harus selalu berani
bertanggung jawab, mengakui rakyatnya sebagai bagian dari
hidupnya dan setiap saat harus selalu melindungi dalam segala
kondisi dan situasi.
Ungkapan yang paling populer dalam dunia pendidikan
adalah ing arsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani. Ungkapan ini juga berasal dari bahasa Jawa dan
mengandung nilai-nilai yang sangat baik untuk panutan seorang
pemimpin. Apabila seseorang benar-benar ingin disebut sebagai
seorang pemimpin, dia harus selalu berada di depan untuk
memberikan contoh yang baik dalam bentuk sikap, ucapan, dan
tindakan yang selalu konsisten. Manakala seorang pemimpin berada
di tengah tengah rakyatnya, dia harus mangun karsa (memberi
semangat) agar rakyat tidak mudah putus asa jika menghadapi segala
macam cobaan. Ketika dia ada di belakang dia harus selalu tut wuri
handayani (mau mendorong) agar rakyatnya selalu maju.
Ketika seorang pemimpin memiliki sikap dan pandangan
hidup yang baik rakyat akan selalu melu handarbeni, melu
hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani dalam arti segala prestasi
yang dicapai dalam suatu tempat atau negara akan selalu dijaga oleh
rakyatnya dengan baik karena rakyat merasa ikut memiliki melu
handarbeni, dan jika ada orang lain yang akan merusak tatanan yang
sudah mapan, rakyat juga akan ikut membela melu hangrungkebi.
Namun, semua itu dilakukan setelah mengetahui secara pasti duduk
persoalan mana yang benar dan mana yang salah dengan mulat sarira
hangrasa wani (mawas diri).
Berdasarkan pandangan di atas, seorang pemimpin akan
semakin berwibawa dan dapat menyelesaikan segala persoalan tanpa
menimbulkan persoalan baru. Karena kewibaannya itulah seorang
193
pemimpin memiliki kekuatan sehingga akan berani nglurug tanpa
bala, menang tanpa ngasorake, artinya segala persoalan dapat
diselesaikan sendiri dengan baik tanpa harus merendahkan martabat
orang lain yang bermasalah dengan dirinya. Karena kewibaan itu
pulalah. Seorang pemimpin harus selalu bersikap dermawan kepada
orang lain yang kekurangan. Seorang pemimpin sejati memiliki sikap
dan pandangan weweh tanpa kelangan (memberi tanpa harus
kehilangan sesuatu) karena seorang pemimpin sugih tanpa bandha
(kaya tanpa harta). Itulah beberapa ungkapan yang merupakan
kearifan lokal dalam budaya Jawa yang penuh dengan nilai-nilai luhur
untuk seorang pemimpin. Sebaiknya ungkapan-ungkapan seperti
mulai diajarkan dan dikenalkan pada generasi muda saat ini agar ke
depan ketika mereka memimpin memiliki dasar nilai dan moral yang
kuat. Untuk seorang pemimpin kearifan-kearifan lokal dalam budaya
tersebut patut diterapkan dan dihayati karena mengandung nilai-nilai
yang sangat luhur. Apabila semua pemimpin eling ’ingat’ semua
pepatah, ungkapan dan nilai-nilai budaya niscaya selama memimpin
akan selalu didukung oleh rakyatnya

C. Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal Daerah


Ditengah era globalisasi dewasa ini, melirik sejarah dan
kearifan lokal budaya masa lampau merupakan sikap yang cukup
bijaksana. Mengapa? Ternyata, tanpa kita sadari, banyak manfaat
serta informasi budaya hasil kreativitas dan warisan karuhun (warisan
leluhur) yng bisa digali dan diungkap dimasa kini.
Salah satu sumber informasi budaya masa lampau yang sangat
penting adalah naskah, yang dapat dipandang sebagai dokumen
budaya, karena berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran,
perasaan, dan pengetahuan sejarah serta budaya dari suatu bangsa
atau kelompok sosial budaya masyarakat tertentu. Sebagai sumber
informasi, dapat dipastikan bahwa naskah-naskah buhun (kuno)
termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan
kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan

194
mendukungnya, tertulis pada kertas, daun lontar, kulit kayu, bilahan
bambu, atau rotan, dll.
Naskah-naskah tersebut secara umum isinya mengungkapkan
peristiwa masa lampau yang menyiratkan aspek kehidupan
masyarakat, terutama tentang keadaan sosial dan budaya, yang
meliputi: sistem religi/keagamaan, teknologi dan benda materiil, mata
pencaharian hidup/ekonomi, kemasyarakatan, ilmu
pengetahuan/pendidikan, bahasa, dan seni (Koentjaraningrat, 187;
Suryani NS., 2010: 48).
Seberapa penting sebuah ‘naskah kuno’ bagi peradaban dan
perkembangan budaya dan kehidupan masyarakat masa kini? Naskah
sebagai dokumen budaya sudah tidak dikenal lagi. Meskipun
sebenarnya masih menarik untuk digali, ungkap, dan bahkan dapat
dijadikan sekadar tuntunan moral dalam kehidupan saat ini dan yang
akan datang.
Penggalian teks naskah-naskah baik Sunda, Jawa, Bugis,
Makassar, Batak, dan lain-lain dapat membantu mengungkap kearifan
lokal budaya bangsa dimasa silam yang berkaitan dengan masalah
“konsep dan pola kepemimpinan”. Dengan mengacu pada kearifan
bangsa sendiri pasti akan lebih membumi, sebab sudah menjadi
filosofi, tradisi, dan budaya yang mengakar dan teruji ratusan dan
bahkan ribuan tahun sesuai dengan geografis, situasi dan karakter
masyarakat itu sendiri, di mana saat ini cenderung -- untuk tidak
mengatakan terlalu sering -- berorientasi pada konsep kepemimpinan
model Eropa/Barat yang belum tentu sesuai dengan budaya bangsa.
Tetapi, bukan berarti kemudian anti dengang konsep Barat.
Konsep yang baik dari Barat tetap bisa digunakan sebagai referensi,
namun tidak abai terhadap kearifan lokal dengan mengutamakan dan
melakukan penggalian konsep-konsep kearifan lokal yang sudah
teruji. Adapun konsep Barat bisa berperan sebagai pendukung dari
konsep kearifan lokal sehingga konsep-konsep, ilmu, dan filosofi
lokal bisa menjadi Tuan di rumah sendiri.
Untuk itu, selayaknya kita mau bercermin terhadap
kebudayaan bangsa sendiri. Mencerna kearifan lokal yang terpendam
195
dalam khazanah budaya peninggalan nenek moyang. Khususnya yang
tercermin dalam naskah dan berhubungan dengan masalah
kepemimpinan.
Sejatinya, bangsa ini kaya dengan kearifan lokal rupa-rupa
kepemimpinan. Kearifan lokal kepemimpinan itu, diantaranya
dikenal dengan istilah “parigeuing” (mengingatkan, menyadarkan,
eling), sebagaimana tertuang dalam naskah Sunda buhun abad 16
(1518 M), berkenaan tuntunan moral atau pedoman bagi pemimpin
dalam melaksanakan tugas dan kepemimpinannya agar berhasil dan
dicintai, baik oleh rakyat maupun bawahan. Di dalamnya berkaitan
erat dengan segala aspek kehidupan antara pemimpin dengan yang
dipimpinnya serta aspek ‘real’ yang terjadi di masyarakat kini.
Masalah kepemimpinan terungkap dalam naskah Sunda Abad
ke-16 sebagaimana disebutkan dalam naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian (SSK), Fragmen Carita Parahiyangan (FCP),
Amanat Galunggung (AG), dan Sanghyang Hayu (SH). Naskah-
naskah tersebut berupa daun lontar, beraksara serta berbahasa Sunda
buhun (kuno) yang bisa jadi kurang dikenali dan dipahami lagi oleh
sebagian masyarakat dimasa kini.
Seorang pemimpin menurut naskah SSK, harus menjiwai
konsep ‘tiga rahasia’ sebagai peneguh alam buana agar berhasil
mencapai kejayaan atau lebih dikenal dengan konsep Tri Tangtu
Dibuana yang dikemas dalam konsep ‘trigeuing’ (tiga peringatan)
yakni: sebagai Prabu, Hulun, Palanka (Pemimpin, Abdi, Negara) atau
lebih spesifik parigeiung, geuing, upageuing (Pemimpin, Sandang,
Papan). Ada pun yang tertulis dalam naskah SH, ketiga rahasia
tersebut dibagi menjadi lima bagian sehingga jumlahnya menjadi lima
belas karakter yang harus mendarah daging dalam diri pemimpin,
yaitu:
1. Budi (bijak)-Guna (arif)-Pradana (saleh/utama/mulya)
2. Kaya (sehat)-Wak (bersabda)-Cita (hati)
3. Pratiwi (membumi)-Akasa (angkasa)-Antara (madya)
4. Mata (penglihatan)-Tutuk (ucapan)-Talinga
(pendengaran)
196
5. Bayu (ucapan/angin)-Sabda (itikad/perbuatan)-Hedap
(kalbu/pikiran).
Disamping itu, seorang pemimpin dalam naskah ini juga harus
berpegang teguah kepada prinsip astaguna (delapan kearifan), yaitu:
Animan (lemah lembut, santun); Ahiman (tegas); Mahiman (cerdas,
berwawasan luas); Lagiman (terampil, cekatan); Prapti (tepat
sasaran); Prakamya (ulet dan tekun);Isitwa (jujur,benar); dan Wasitwa
(terbuka).
Salah satu prasyarat untuk menjadi pemimpin yang sempurna,
ebelum seseorang menjadi pimpinan ia harus bisa menjadi seorang
abdi yang setia dulu (satya dikahulanan), yakni harus mempunyai
sifat-sifat tidak pernah mengeluh, tidak mudah kecewa, tidak sulit
diperintah, tidak pernah iri dengki, tidak pernah goyah kesetiaannya,
tidak pernah melanggar pantangan, tidak mencelakakan sesama
(Mulah luhya, Mulah kuciwa, Mulah ngontong dipiwarang, Mulah
nyetnyot tineung urang, deungdeungeun sakahulunan). Disamping itu
sebagai seorang Abdi juga harus memiliki kepribadian opat larangan
(empat larangan), tidak mudah tersinggung, merajuk, menggerutu,
menyerah (mulah babarian, mulah pundungan, mulah kukulutus,
mulah humandeouar).
Pemimpin yang legendaris atau namanya harum mewangi
menurut SSK adalah pemimpin yang memiliki sifat Dasa Prasanta,
yaitu sepuluh cara memberi perintah yang baik yang mampu
menenangkan hati. Berdasarkan SSK, seorang pemimpin digelar
sebagai tokoh, jika pribadinya sudah melekat karakter
kepepmimpinan yang disebut Pangimbuhing Twah atau pelengkap
untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor.
Seorang pemimpin yang baik harus memiliki sikap positif,
mampu berpantang/menjauhi kesalahan-kesalahan yang negatif agar
kepemimpinannya berkharisma sehingga akan mampu mewujudkan
pemimpin sebagai ‘Master’ yang melegenda. Maka harus menjauhi
watak manusia yang membuat kerusakan di dunia yang disebut Catur
Buta, Burangkak (kasar), Marimis (menjijikan), Marende (sadis), dan
Wirang (licik).
197
Konsep kepemimpinan Sunda menurut SSK, FCP, SH, AG
setidaknya harus mampu berperan sebagai leader, manajer,
entertainer, entrepreneur, commander, designer, father, servicer, dan
teacher. Kesembilan kriteria tersebut selayaknya bisa diejawantahkan
dan dicerminkan dalam diri dan sikap seorang pemimpin dan
kepemimpinannya, menuju pemimpin ideal. Sehingga apabila
seseorang telah memiliki kesembilan kriteria tersebut maka ia akan
menjelma sebagai Master Leadership atau ‘tokoh’ yang legendaris,
yang harum mewangi namanya sebagaimana gelar raja-raja di Sunda-
Galuh dan Pajajaran yang lebih dikenal sebagai “Prabu Siliwangi”
yakni seorang raja yang dicintai, dikagumi, dan disegani
masyarakatnya, serta mampu memberdayakan dan menyesjahterakan
orang banyak, masyarakat yang (ngertaken jalma rea) Tata Tentrem
Kerta Raharja.

D. Kepemimpinan Berbasis Pelayanan


Kepemimpinan Berbasis Pelayanan Dalam konteks
administrasi publik, paradigma baru kepemimpinan aparatur negara
yang perlu dikembangkan adalah kepemimpinan berdasarkan
pelayanan. Mengapa pelayanan yang menjadi pertimbangan sebagai
dasar paradigma baru kepemimpinan aparatur negara? Ada beberapa
pertimbangan, yaitu: Pertama, bahwa pelayanan publik selama ini
menjadi ranah dimana negara yang diwakili oleh pemerintah
berinteraksi dengan lembaga-lembaga non-pemerintah. Maknanya,
buruknya praktik governance sebagai akibat kepemimpinan aparatur
negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik, sangat dirasakan
oleh warga dan masyarakat luas. Ini berarti, jika terjadi perubahan
yang signifikan pada ranah kepemimpinan yang berbasis pelayanan
publik dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung
oleh warga dan masyarakat luas. Dengan menjadikan pelayanan
publik sebagai nilai dan jiwa kepemimpinan aparatur negara, maka
diharapkan good governance akan secepatnya terwujud dan toleransi
terhadap bad governance akan dapat dihentikan. Kedua, bahwa salah
satu makna penting dari governance yang membedakan dengan
198
government adalah keterlibatan aktor-aktor di luar negara dalam
merespon masalah-masalah publik. Governance lebih luas
government karena dalam praktik governance melibatkan unsurunsur
masyarakat sipil dan mekanisme pasar. Selain itu, mewujudkan nilai-
nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance seperti
efisien, nondiskriminatif, berkeadilan, berdaya tanggap tinggi, dan
memiliki akuntabilitas tinggi dengan mudah dikembangkan
parameternya di dalam ranah pelayanan publik. Ketiga, pelayanan
publik melibatkan kepentingan semua unsur governance. Pemerintah
sebagai representasi Negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar
memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini.
Pelayanan publik memiliki high stake dan menjadi pertaruhan yang
penting bagi ketiga unsur governance, karena baik buruknya praktik
pelayanan publik sangat berpengaruh terhadap ketiganya. Nasib
sebuah pemerintahan, baik pusat maupun daerah, akan sangat
dipengaruhi oleh keberha-silan para pemimpin dalam mewujudkan
pelayanan publik.
Keberhasilan sebuah rezim dan penguasa dalam membangun
legitimasi kekuasaan sering dipengaruhi oleh kemampuan mereka
dalam menyelenggarakan pelayan-an publik yang baik dan
memuaskan masyarakat. Dengan memperhatikan berba-gai hal di
atas, para pimpinan di jajaran aparatur negara memiliki kepentingan
untuk melakukan pembaharuan dalam praktik penyelenggaraan
pelayanan publik. Nasib mereka, apakah dapat mempertahankan
jabatannya atau tidak dipengaruhi kualitas pelayan-an publik yang
diberikan. Pertimbangan tersebut memperkuat niat membangun
paradigma baru kepemimpinan yang berbasis pelayanan. Pelayanan
sebagai sebuah konsep dasar paradigma baru kepemimpin, berangkat
dari pemikiran bahwa, nilai dasar dari ajaran administrasi publik
adalah ”memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa
membedakan siapa yang dilayani”. Melayani bermakna memberikan
sesuatu jasa atau dalam bentuk lain secara ikhlas kepada orang lain
(masyarakat) atau pelayanan berdasarkan hati nurani. Sikap ikhlas
menuntut suatu komitmen yang kuat terhadap diri sendiri, institusi
199
dan masyarakat yang dilayani serta pengorbanan. Komitmen
bermakna sikap keberpihakan yang tinggi terhadap masyarakat yang
dilayani. Sebagai sebuah proses, komitmen menuntut konsistensi dari
para pemimpin. Sikap ini menjadi penting, karena konsistensi akan
memberikan kenyamanan dan ketenangan serta keamanan bagi
masyarakat. Sedangkan sikap pengorbanan menunjuk pada sikap
menempatkan kepen-tingan orang lain (masyarakat yang dilayani)
dibandingkan dengan kepentingan pribadi atau golongan/
kelompoknya. Selain nilai-nilai dasar tersebut, nilai-nilai
kepemimpinan transformasional, transaksasional dan kepemimpinan
primal yang berbasis resonansi, juga merupakan indikator- indikator
yang dimasuk-kan dalam mengukur kepemim-pinan berbasis
pelayanan. Berda-sarkan hasil kajian dan pengalaman empirik,
membuktikan bahwa organisasiorganisasi yang menda-sarkan diri
pada konsep pelayanan akan lebih langgeng dibandingkan dengan
pendekatan lain.
Pasaruraman, Heskett, Groon-ros, Normann dan para pakar
service management lainnya, yang mengembangkan model kualitas
pelayanan(dalam Jan Hendrik Peters, 2006), menemukan bahwa
faktor kepemimpinan merupakan faktor yang sangat dominan dalam
manajemen pelayanan. Dari konsep-konsep yang dikembangkan,
keterlibatan para pemimpin sangat tinggi dan menentukan
keberhasilan pelayanan yang dilakukan organisasi. Bahkan dalam
model pelayanan yang dikembangkannya, secara tegas menempatkan
kepemimpinan sebagai faktor utama dalam kualitas manajemen pela-
yanan. Kajian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
(2000), dan hasil kajian Lembaga Administrasi Negara (2005, 2006),
walaupun secara eksplisit tidak dikemukakan namun hasilnya
menunjukkan bahwa faktor kepemim25 pinan aparatur pemerintah
menjadi variabel yang perlu diperhitungkan dalam pelayanan. Pada
tingkat lokal daerah, memperlihatkan bahwa daerahdaerah yang
unggul dan berkembang pesat, karena daerah tersebut dipimpin oleh
pemimpin yang memiliki kecerdasan pelayanan yang prima. Beberapa
daerah yang dapat dikemukakan antara lain, Provinsi Gorontalo,
200
Kabupaten Sragen, Kabupaten Solok, Kabupaten Karangayar,
Kotamadya Tarakan, dan Kabupaten Jembrana, dan daerah lainnya
dengan ciri khas jenis pelayanan masing-masing daerah. Kemajuan
yang dicapai masing-masing daerah apabila dicermati lebih
disebabkan peran kepemimpinan pelayanan. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah bagaimana kalau terjadi penggantian
kepemimpinan? Apakah pemimpin berikutnya minimal sama atau
lebih baik masih belum dapat dijawab. Hal ini oleh karena sistem
politik kita menghendaki hanya paling banyak 2(dua) kali masa
jabatan untuk Bupati/Walikota dan Gubernur. Padahal untuk
membangun suatu daerah tidak cukup dalam 10 tahun. Lebih dari itu,
pendekatan yang digunakan dalam memilih pimpinan daerah adalah
pada pendekatan kekuasaan. Pada tingkat nasional, kepemimpinan
Bung Karno dan Bung Hatta dan para pemimpin nasional lainnya
mampu memotivasi, menggerakkan seluruh kekuatan bangsa
Indonesia untuk merdeka, karena dilandasi sikap ikhlas berkorban
untuk kepentingan yang lebih besar.
Demikian juga kepemimpinan orde berikutnya yang dengan
kelebihannya telah membawa perubahan besar kemajuan bangsa
Indonesia. Hanya memang disayangkan, antar periode kepemimpinan
sering ditemukan inkonsistensi kebijakan, sehingga rakyatlah yang
harus menanggung akibatnya. Kerusakan sumber daya alam,
rendahnya daya saing sumber daya manusia Indonesia lebih sebagai
akibat inkosistensi kebijakan, dan lebih dari itu masih rendahnya
kepemimpinan berbasis pelayanan yang dimiliki para pemimpin.
Kepemimpinan berbasis pelayanan hakikatnya adalah sikap
kepemimpinan yang selalu berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Kemenangan beberapa Gubernur atau Bupati yang mencalonkan
kembali dan mendapat kemenangan mutlak, lebih disebabkan kualitas
kepemimpinan pelayanan yang dinilai sangat baik oleh
masyarakatnya. Konsep kepemimpinan berbasis pelayanan menjadi
sangat penting, sebagai konsekuensi logis dalam sistem demokrasi,
dimana rakyat atau masyarakat adalah yang berkuasa. Dalam konsep
demokrasi, masyarakat bukan didudukan sebagai obyek kekuasaan
201
tetapi sebagai subyek dan sekaligus obyek penyelenggaraan
pemerintahan negara. Hal ini bermakna sumber kekuasaan berada di
tangan masyarakat. Kepemimpinan dalam sistem politik demokratis,
hakikat-nya adalah kepemimpinan yang memiliki kemampuan
partisipatif, kecerdasan multikultural dan sosial dan bahkan
kecerdasan spiritual. Kemampuan partisipatif dimaknai, sebagai sikap
kepemimpinan yang selalu mendengar keluhan dan kebutuhan
masyarakat dan bukan hanya mau didengar saja. Kecerdasan
multikultural sebagai konsep dasar kepemimpinan pela-yanan, dengan
asumsi dasar bahwa kepemimpinan yang berhasil adalah
kepemimpinan yang mengenal, memahami, mendalami dan
menghargai nilainilai budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat.
Selanjutnya, konsep kecerdasan sosial sebagai konsep
kepemimpinan pelayanan menunjuk pada suatu kemampuan seorang
pemimpin terhadap aspirasi masyarakat yang dilayani. Adapun
kecerdasan spiritual sebagai dasar dan landasan kepemimpinan
pelayanan, bahwa dipercaya sentuhan spiritual akan lebih efektif
dibandingkan pendekatan lain. Sentuhan spiritual bukan permasalahan
agama, tetapi lebih pada suatu model pelayanan yang selalu dikaitkan
hubungannya dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Melayani. Semua
konsep dasar dari kepemimpinan berbasis pelayanan, menunjukkan
bahwa diperlukan suatu proses yang cukup panjang untuk
mempersiapkannya.
Seperti telah dikemukakan, negara Singapura memerlukan waktu 40
tahun lebih untuk menghasilkan kepemimpinan berbasis pelayanan.
Singapura yang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah dapat
survive dan memiliki daya saing tinggi, hal ini oleh karena para pemimpin
aparatur negaranya memiliki daya saing tinggi di bidang kepemimpinan
berbasis pelayanan. Dengan demikian, model kepemimpinan yang melayani
membutuhkan suatu perubahan dalam sikap mental lebih daripada sekedar
perubahan struktural. Untuk beroperasi di dalam model ini, para pemimpin
harus menyisihkan ego mereka dan merangkul secara mendalam keyakinan
bahwa orangorang akan melakukan kinerja terbaik mereka dalam suatu
atmosfer kebebasan dan kepercayaan
202
BAB 12
KEARIFAN LOKAL DAN TANTANGAN ZAMAN
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk warisan budaya
Indonesia yang telah berkembang sejak lama. Kearifan lokal lahir dari
pemikiran dan nilai yang diyakini suatu masyarakat terhadap alam
dan lingkungannya. Di dalam kearifan lokal terkandung nilai-nilai,
norma-norma, sistem kepercayaan, dan ide-ide masyarakat setempat.
Oleh karena itu kearifan lokal di setiap daerah berbeda-beda. Kearifan
lokal berkaitan erat dengan pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan. Masyarakat memiliki sudut pandAang tersendiri terhadap
alam dan lingkungannya. Masyarakat mengembangkan cara-cara
tersendiri untuk memelihara keseimbangan alam dan lingkungannya
guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan melalui pengembangan kearifan lokal memiliki
kelebihan tersendiri. Selain untuk memelihara keseimbangan
sumberdaya alam dan lingkungannya, kebudayaan masyarakat
setempat pun dapat dilestarikan.
Kearifan lokal memiliki banyak fungsi sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini
(2004) sebagaimana dikutip oleh Aulia (2010), menjelaskan bahwa
bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat
berupa: nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus.
Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi
kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi tersebut antara
lain adalah:
1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan
pelestarian sumberdaya alam.
2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan
sumber daya manusia.
3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan
pantangan.

203
Namun, dewasa ini kearifan lokal menghadapi tantangan-
tantangan yang mengancam keberadaan dan kelestariannya. Kearifan
lokal yang telah terbentuk sejak lama kini mulai terkikis seiring
berkembangnya teknologi diikuti meningkatnya proses adopsi inovasi
serta difusi adopsi teknologi. Suhartini (2009) menyatakan bahwa
kearifan lokal-kearifan lokal ikut berperan dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungannya. Namun demikian kearifan lokal
juga tidak lepas dari berbagai tantangan seperti: bertambahnya terus
jumlah penduduk, teknologi modern dan budaya, modal besar serta
kemiskinan dan kesenjangan.
Berbagai teknologi yang berkembang saat ini pada dasarnya
memiliki potensi besar untuk merusak keseimbangan alam dan
lingkungan. Berbagai bentuk eksploitasi terhadap alam kini sudah
merupakan hal yang dianggap biasa. Begitu banyak elemen
masyarakat hingga pemerintah mengadopsi berbagai teknologi untuk
mengekploitasi alam secara besar-besaran, tanpa pernah
memperhatikan aspek kearifan lokal yang berkembang di masyarakat.
Salah satu contoh adalah penggunaan teknologi penangkapan ikan di
Maluku yang tidak memperhatikan kearifan lokal masayarakat.
Dampak yang ditimbulkan adalah rusaknya sumberdaya air dan
tersingkirkannya kearifan lokal masyarakat Maluku yang disebut
sasih1. Sehingga pada akhirnya secara perlahan-lahan kearifan-
kearifan lokal tersebut memudar bahkan menghilang di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Selain itu juga berakibat kepada terjadinya
ketidakseimbangan lingkungan yang dapat mengakibatkan terjadinya
berbagai bencana alam. Masuknya berbagai teknologi tersebut
menyingkirkan peran kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya
alam dan lingkungan adalah norma-norma yang didasarkan
pengetahuan lokal yang mengatur waktu pemanenan ikan.
Masayarakat memiliki pengetahuan pada bulan-bulan kapan
ikan bertelur. Masyarakat mulai meninggalkan pola pikir holistik2 dan
beralih kepada pola pikir mekanistik3 serta berorientasi komersil.
Sehingga melahirkan perilaku-perilaku yang ingin menaklukan alam
204
untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok.
Sehingga pada akhirnya banyak terjadi berbagai bencana alam akibat
keseimbangan alam diganggu.
Selain perkembangan teknologi, tantangan-tantangan lain
yang dihadapi kearifan lokal-kearifan lokal masyarakat adalah
pertambahan penduduk. Robert Malthus dalam Suhartini menyatakan
bahwa penduduk yang banyak merupakan penyebab kemiskinan, hal
ini terjadi karena laju pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret
ukur tidak akan pernah terkejar oleh pertambahan makanan dan
pakaian yang hanya mengikuti deret hitung (Soerjani dkk, 1997:99).
Adanya kebutuhan pangan yang tinggi menuntut orang untuk
meningkatkan produksinya guna mencukupi kebutuhan tersebut,
sehingga melakukan modernisasi pertanian dengan melakukan
revolusi hijau. Dalam Revolusi hijau dikembangkan penggunaan bibit
unggul, pemupukan kimia, pengendalian hama penyakit dengan obat-
obatan, pembangunan saluran irigasi secara besar-besaran untuk
pengairan dan penggunaan teknologi pertanian dengan traktor untuk
mempercepat pekerjaan. Sebagai akibat pelaksanaan revolusi hijau
yang menekankan pada tanaman padi secara monokultur dengan bibit
unggul maka akan mempengaruhi kehidupan petani lokal dalam
menggunakan bibit lokal yang sebenarnya mempunyai ketahanan
terhadap hama dan penyakit, pupuk kandang dan pupuk organik yang
digantikan dengan pupuk kimia, penggunaan hewan untuk membajak
yang digantikan traktor, penggunaan obat-obatan dari tanaman untuk
pertanian dengan obat-obatan kimia. Berikut dipaparkan salah satu
contoh persentase penggunaan berbagai pupuk di daerah Temanggu.
Tabel berikut menunjukkan bahwa semakin meningkatnya
ketergantungan petani terhadap penggunaan pupuk kimia
dibandingkan penggunaan pupuk organik.
Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, prospek kearifan
lokal di masa depan bergantung dari pemanfaatan dan pemberdayaan
kearifan lokal yang dimiliki masyarakat guna mengelola sumberdaya
alam dan lingkungan. Pengetahuan mengenai kearifan lokal yang
dimiliki masyarakat yang diturunkan secara turun temurun serta
205
inovasi dan teknologi juga mempengaruhi keberlangsungan kearifan
lokal di masa depan. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan sudah
saatnya memberlakukan kebijakan terkait adopsi teknologi
penggunaannya serta difusi teknologi yang melindungi sumberdaya
alam dan lingkungan melalui kearifan lokal. Berbagai kearifan lokal
yang masih bertahan adalah pranoto mongso4 di Jawa dan nyabuk
gunung5.
Sartini mengungkapkan bahwa ada banyak peluang untuk
pengembangan wacana kearifan lokal Nusantara. Di samping itu
kearifan lokal dapat didekati dari nila-inilai yang berkembang di
dalamnya seperti nilai religius, nilai etis, estetis, intelektual atau
bahkan nilai lain seperti ekonomi, teknologi dan lainnya. Maka
kekayaan kearifan lokal menjadi lahan yang cukup subur untuk digali,
diwacanakan dan dianalisis mengingat faktor perkembangan budaya
terjadi dengan begitu pesatnya.

A. Berfikir Global Bertindak Lokal

KENYATAAN globalisasi yang dikatakan menembus batas


ruang dan waktu menjadikan tema lokalitas hangat diperbincangkan.
Sebuah upaya dalam kesadaran berbagsa dan bernegara dimana
warganya sudah, saya rasa dan mungkin Anda rasakan, frustasi
dengan penggerak roda pemerintahan pusat. Wacana yang digulirkan
dari berbagai forum diskusi, seminar, ataupun kuliah hanya satu:
Perlawanan. Paradigma yang dibangun juga selalu sama, daya saing
sebuah negara bangsa dalam kancah dunia internasional. Industri
massif untuk keperluan global kini mulai dipertanyakan. Muncullah
kemudian slogan-slogan hingga gerakan legal dan non-legal berdiri
atas nama menjunjung tinggi nilai lokalitas. Ranah teknisi praktis
bukan dikolaborasikan, namun, justru dibenturkan dengan data-data
sejarah. Sebuah niatan luhur.
Kebangkitan gerakan lokal selalu memiliki tiga senjata, yaitu
tradisi, seni, dan makanan. Selain dari itu seringkali masih sulit untuk
diterima. Gerakan tersebut mengambil hati masyarakat luas dengan
206
sebuah harapan akan kesejahteraan, lagi-lagi menyentuh dimensi
ekonomis. Terkhusus untuk orang-orang yang memiliki latar belakang
Jawa, pengarsipan mengenai wilayah yang mereka tempati ini tersedia
dengan sangat banyak. Alhasil, acuan yang mereka gunakan dengan
mudah dicari dan tidak perlu sulit riset ataupun analisis yang
memakan waktu lama. Majapahit menjadi tonggak terpenting sejarah
kejayaan kelompok lokal atas pendudukan wilayah lain yang disebut
Nusantara. Gerakan bernafaskan lokal ini selalu memilih jalan untuk
kemudian ‘menduniakan’ unsur-unsur lokal mereka. Berbeda dengan
industri skala besar, mereka tetap membangun pola yang terpusat. Ini
merupakan sebuah strategi defensif secara spasial yang mencakup
berbagai macam sumber daya yang ada didalamnya. Kemudian yang
mereka junjung tinggi hanya berada pada satu kata, keaslian. Gerakan
ini dibuat seolah menjadi kesadaran komunal. Namun saya katakan
ini merupakan fiktif belaka.
Gerakan untuk membangkitkan unsur lokalitas tidak dibangun
atas dasar kesadaran komunal untuk menjadi sebuah wilayah yang
berdikari. Pendirian gerakan-gerakan yang bersifat lokal selalu rawan
ditunggangi berbagai kepentingan privatisasi. Isu pemberdayaan
masyarakat dengan mengembangkan tradisi, seni, dan makanan
sebagai pemicu ekonomi kreatif, tidaklah kemudian menjadi sebuah
perlawanan yang utuh. Pada saatnya, ketika senjata-senjata ini ampuh
untuk memicu perekonomian masyarakat, saat itu pula hukum alam
kapitalisme bermain. Hanya ada dua kemungkinan yang terjadi
selanjutnya. Pertama, terjadinya pemiskinan secara komunal; dan
kedua, terjadi jurang kesenjangan yang begitu besar. Dalam gerakan-
gerakan bernafaskan kebangkitan unsur lokal, mereka menempatkan
pasar sebagai salah satu tujuan utama selain penguatan identitas.
Gerakan lokal yang pendiriannya dikatakan sebagai kesadaran
komunal hanya mengantarkan kepada bentuk privatisasi lain.

207
“Defensif lalu ofensif”
Gerakan bernafaskan lokalitas, selalu memiliki sebuah strategi
yang mereka sebut sebagai strategi budaya. Mereka menolak untuk
menyamakannya sebagai strategi politik. Dasar dari argumen tersebut
berasal dari satu kalimat. Kekecewaan dan keputusasaan terhadap
negara. Dalih ini selalu muncul untuk ‘memurnikan’ setiap gerak-
gerik mereka dan mengatasnamakan kesadaran komunal dari orang-
orang yang peduli dengan budaya lokal. Legalitas mereka dapatkan
dari gerakan sejenis yang ada di kancah nasional, seperti kementrian
lalu turun ke dewan kesenian dan juga dinas pariwisata serta
kebudayaan, provinsi lalu kaderisasi hingga tingkat desa. Paradigma
yang dibangun tidak lagi diharuskan untuk bangga jika kemudian
mereka ‘ditanggap’ oleh para pejabat. Mereka diberikan dikotomi
untuk langsung menyasar tingkat global. Afiliasi yang paling dekat
dengan gerakan ini adalah sebagai bagian dari promosi wisata. Celah
mereka dapatkan dari wisata tidak kemudian menjadikan gerakan
mereka hanya sebagai sebuah distributor barang siap pakai yang
diambil dari etalase toko oleh pembeli.
Ketakutan nyata dari gerakan ini adalah hilangnya bentuk-
bentuk dari lokalitas itu sendiri. Nilai yang kemudian terkandung
didalamnya hanyalah sebagai ‘tempelan’, agar setidaknya ada
pelajaran hidup yang didapatkan selain nilai ekonomis semata. Tidak
berarti saya melihat tidak ada niatan baik untuk kemudian mengubah
paradigma pembagian wilayah adidaya di dunia. Ketika sebuah
perlawanan dengan senjata-senjata ini dikeluarkan, saya rasa pasar
bukanlah tujuan yang sebenarnya. Memang pada dasarnya gerakan
bernafaskan lokalitas ini memiliki niatan untuk melestarikan budaya
dan juga menolak bentuk-bentuk penyergaman atas globalisasi.
Sayangnya, gerakan-gerakan semacam ini seringkali mengkerdilkan
perbedaan-perbedaan. Pada satu kesempatan, dalam satu forum
diskusi menghajar habis-habisan tayangan MAHABARATA yang
akhir-akhirnya sangat digandrungi. Kemudian segala yang menjadi
catatan sejarah mereka kuatkan dengan perbandingan yang seringkali
sangat tidak berbanding. Dan masih banyak lagi.
208
“Pertaruhan identitas”
Pernah dalam sejarah Indonesia, nilai-nilai lokal sangat
dipersempit ruang geraknya. Pemerintah meneriakkan nasionalisme
dengan praktik-praktik penguasaan di berbagai wilayah. Semboyan
Bhineka Tunggal Ika adalah mantra sakti bagi pemerintah saat itu.
Sampai hari ini semboyan itu tetap menjadi mantra sakti, namun
bertransfromasi. Identitas nasional bukan lagi dibentuk dan dibangun
oleh pemerintah. Hari ini kesadaran berbangsa tumbuh dari pojok-
pojok negeri ini.
Gerakan bernafaskan lokalitas degan gagah menyatakan
identitas lokal mereka yang kemudian dibawah naungan semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Semangat untuk meningkatkan kesejahteraan
bukan hanya untuk masyarakat di wilayah tersebut, namun juga
diharapkan sebagai pemicu bagi daerah-daerah lainnya untuk
melakukan gerakan yang sama. Namun, kembali lagi, faktor
kesejarahan yang kemudian mendominasi bangsa ini untuk saya
menjadi sebuah kerisauan tersendiri. Bagaimana mungkin, ketika
sebuah wilayah di NTT membuat gerakan yang sama dengan landasan
sekuat di Jawa Timur. Ketimpangan terjadi. Ada yang menjadikan
gerakan-gerakan ini tidak kemudian mengambil faktor sejarah atas
dominasi, yaitu pasar. Ini menjadi sebuah ajang pertaruhan dari
kebangkitan gerakan-gerakan lokal yang kemudian menyasar pada
persaingan. Pada saat itulah kecerdikan dari aktor-aktor yang
mengerti sekali bahwa manusia adalah homo economicus bermain.
Ketimpangan ini akan menjadikan masyarakat di sebuah
wilayah tidak ingin dipersamakan dengan masyarakat di wilayah
lainnya. Pertarungan wacana dari setiap gerakan lokal akan
menjadikan identitas sebagai dalih pemersatu dan pada saatnya
menjadi terbelah-belah. Bagi saya, ini merupakan cerminan bahwa
negara ini sedang berada pada titik kegoyahan. Gerakan ini bukan
hanya merujuk pada kerinduan warga negara untuk terlahir dengan
identitas kultural. Lebih dari itu, gerakan ini merangsek masuk pada

209
nalar masyarakat bahwa negara hanya sebagai boneka dan alat
penindas bagi warganya.

210
BAB 13
PELAYANAN PUBLIK DALAM KEARIFAN LOKAL
A. Pelayanan Kesehatan Berbasis Kearifan Lokal:
Pengalaman RSUP Dr. R. D. Kandou Manado
Jaminan Kesehatan Nasional menjamin pelayanan kesehatan
secara menyeluruh, peningkatan kesehatan, pencegahan sakit,
pengobatan penyakit, pemulihan kesehatan termasuk obat-obatan dan
bahan medis habis pakai.Penulisan resep dalam sistem Jaminan
Kesehatan Nasional menggunakan acuan, yaitu daftar obat
Formularium Nasional atau disingkat Fornas yang disusun
berdasarkan bukti ilmiah mutakhir oleh Komite Nasional Penyusunan
Fornas.RSUP Dr. R. D. Kandou Manado merupakan salah satu dari 3
rumah sakit di wilayah Indonesia Timur yang menjadi rumah sakit
rujukan nasional. Sebagai salah satu rumah sakit rujukan nasional di
era Jaminan Kesehatan Nasional dengan sistem pembayaran sesuai
tarif INA-CBGs, RSUP Dr. R. D. Kandou telah memiliki pelayanan
operasi jantung terpadu, pelayanan endoscopy, pusat pelayanan
kanker terpadu dan mulai mengembangkan pelayanan untuk
transplantasi ginjal. Di samping memberikan pelayanan di bidang
pengobatan dan perawatan, pihak RSUP Dr. R. D. Kandou juga
mengembangkan promosi kesehatan baik secara internal maupun
eksternal rumah sakit oleh dokter-dokter spesialis.
Pada sesi ini, dr. Maxi Rein Rondonuwu DHSM. MARS
menjelaskan salah satu permasalahan di era Jaminan Kesehatan
Nasional yang hingga kini masih belum teratasi yaitu mutu rumah
sakit yang sering tak sejalan dengan kebijakan BPJS. Potret
permasalahan yang diangkat yaitu pelayanan sistem rujukan,
perbedaan signifikan tarif paket INA CBGs dan rumah sakit,
pelayanan klaim program JKN di RSUP Dr. R. D. Kandou Manado,
serta berkas pasien PBJS yang masih pending yang pada Juni 2016
mencapai angka 12.209.835.045 klaim. Kebijakan dari BPJS
terkadang justru mempersulit pihak rumah sakit sehingga menambah
beban subsidi yang dikeluarkan. Misalnya pada kasus di mana pasien

211
rujukan dari faskes 1 melalui UGD dalam keadaan sakit berat,
meninggal <8 jam, penggunaan fasilitas rumah sakit dan biaya besar,
namun diklaim menjadi pasien rawat jalan oleh BPJS. Sehingga
menyebabkan biaya subsidi rumah sakit cenderung membengkak.
Kebijakan dan peraturan BPJS sangat berpengaruh dalam
peningkatan mutu dan kestabilan pelayanan peserta BPJS. Di era
JKN, upaya peningkatan mutu pelayanan di RSUP Dr. R. D. Kandou
harus sejalan dengan kebijakan dan implementasi program yang
efisien seperti penggunaan clinical pathway, termasuk penggunaan
obat yang rasional dan sesuai dengan Fornas. Selain itu, upaya
peningkatan mutu rumah sakit juga dilakukan melalui program
peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta kegiatan teknis
pengawasan mutu pelayanan medis.Penjelasan mengenai upaya
pengingkatan mutu ini, memunculkan sebuah pertanyaan menarik,
yang tidak hanya menitiberatkan perbedaan mutu pelayanan dan
kebijakan BPJS tetapi juga upaya peningkatan mutu yang di lakukan
dalam hal keadaan fisik serta suasana lingkungan rumah
sakit."Apakah Green Hosiptal sudah dilaksanakan di RS Kandou?"
demikian pertanyaan singkat dari Pak Audi, perwakilan dari Rumah
Sakit dan Klinik Trinita.Menjawab pertanyaan ini, dr Maxi
menjelaskan bahwa ada dua pengertian Green Hospital. Untuk
pengertian sederhananya, pihak RSUP Dr. R. D. Kandou sudah
melakukan tindakan penghijauan dan kerja bakti setiap hari rabu,
pemisahan dan pemilahan sampah, serta pengadaan taman. Sedangkan
untuk pengertian yang lebih luas, seperti penggunaan AC, lampu dan
sebagainya, masih dalam tahap persiapan untuk penerapannya.Pada
dasarnya, pihak RSUP Dr. R. D. Kandou sudah mengupayakan
meningkatkan mutu pelayanan di berbagai aspek demi tercapainya
kepuasan pelanggan terhadap pelayanan rumah sakit.
B. Percepat Reformasi Birokrasi dengan Kearifan
Lokal
Nilai budaya unggul dan kearifan lokal berdasarkan di
beberapa daerah terbukti mampu mendorong pertumbuhan demokrasi,
dan hal itu bisa dimanfaatkan untuk mempercepat reformasi birokrasi.
212
"Pemerintah kota Denpasar dengan moto “sewaka dharma”
yang mengandung nilai prinsip melayani sebagai suatu kewajiban.
Nilai ini sangat baik untuk diterapkan dalam pelayanan publik,” ujar
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Eko Prasojo pada pembukaan seminar internasional dengan
tema Akselerasi Reformasi Berbasis Kearifan Lokal dan budaya
Unggul, di Denpasar, 20/2.
Ditambahkan, kearifan lokal nilai budaya setempat banyak yang bisa
menjadi inspirasi dan prinsip dalam birokrasi pemerintahan.Untuk itu
harus digali terus. Selain Bali, beberapa daerah lain juga telah
menerapkan kearifan local dalam reformasi birokrasi antara lain Jawa
Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan lain-lain.
Eko Prasojo mengungkapkan, target reformasi birokrasi yang
kita lakukan yaitu menciptakan birokrasi yang bersih, kompeten dan
melayani. Secara teori dan implementasi reformasi birokrasi
mencakup dua hal yaitu reformasi struktur dan reformasi budaya.
Reformasi struktur menyangkut proses, mekanisme dan
sebagainya yang dibangun dalam sistem. Sedangkan reformasi
budaya terkait diantaranya mental dan perilaku.“Jika kesadaran untuk
melayani ini bisa diinternalisasikan kepada pejabat dan birokrat, saya
yakin, reformasi birokrasi akan berjalan sangat cepat, Oleh karena itu,
kita berharap nilai budaya dapat menjadi kepentingan politik bersama
sehingga mampu mendongkrak budaya dalam birokrasi,” ujarnya.
Wamen menambahkan, untuk tingkat nasional telah dilakukan
perubahan kerangka birokrasi, perubahan manajemen sumber daya
dan manajemen kinerja. Pada saat yang bersamaan, kemenetrian
PAN-RB juga menetapkan pilot project kepada 33 provinsi, 33
kabupaten dan 33 kota di seluruh Indonesia.
Diakuinya, di bidang sumber daya aparatur, banyak yang
harus dipecahkan, mulai dari persoalan budaya melayani serta
mengubah mental, model dan perilaku aparatur yang merupakan
pekerjaan sulit yang harus diselesaikan. Saat ini, Kemenpan RB telah
melakukan 9 program percepatan reformasi birokrasi, di antaranya
penataan struktur birokrasi, penataan jumlah, distribusi dan kualitas
213
PNS, pengembangan sistem elektronik pemerintah (e-government),
penyederhanaan perizinan usaha, serta efisiensi penggunaan fasilitas
sarana dan prasarana kerja pegawai negeri.
''Memang kita menghadapi masalah SDM yang mau tidak mau
harus mengubah SDM aparatur kita dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.Kerusakan moral bukanlah persoalan individual,
tetapi kerusakan sistem. Individu yang baik ketika masuk dalam
sistem yang korup akan menjadi individu yang korup,'' ujarnya
Seminar yang dilaksanakan Pemerintah Kota Denpasar dengan
Universitas Udayana ini juga menghadirkan nara sumber Peter Mc
Cawlay dari USAID, Yusharto Huntoyungo dari Kemendagri,
Keokam Kraisoraphong dari Chulalongkorn University Thailand,
Peneliti LIPI Siti Zuhro, Wali Kota Denpasar I.B. Rai Dharmawijaya
Mantra, Rektor Universitas udayana I Made Bakta.
C. Inovasi Pelayanan Publik Bergeliat, Ganjar:
Kearifan Lokal Jangan Ditinggal
Kemajuan Teknologi Informasi membuat kepala daerah di
Jawa Tengah berlomba-lomba membuat inovasi pelayanan
publik.Berbagai aplikasi dimunculkan untuk mempermudah akses
pelayanan kepada masyarakat.Meski begitu, Gubernur Jawa Tengah
Ganjar Pranowo meminta kepala daerah dan instansi terkait tidak
melupakan kearifan lokal dalam inovasi pelayanan publik tersebut.
Menurutnya, sebagus apapun platform yang dibuat, jika tidak sampai
kepada masyarakat maka akan sia-sia.
"Kearifan lokal harus benar-benar diperhatikan dalam
pembuatan inovasi pelayanan publik.Sebab saat orang berlomba-
lomba membicarakan teknologi, pertanyaannya adalah sampai kepada
masyarakat atau tidak," kata Ganjar saat menjadi narasumber
talkshow Pameran Inovasi Kepemimpinan di Auditorium Sasana
Widya Praja BPSDMD Jateng, Rabu (12/12/2018).
Menurut Ganjar, tidak dipungkiri bahwa tidak semua
masyarakat saat ini melek teknologi. Untuk itu, jika inovasi pelayanan
tidak terjangkau, diperlukan penyampai pesan kepada
masyarakat."Siapapun harus dilibatkan, bisa kelompok pengajian,
214
PKK, Karangtaruna, Sekolah, Babinsa, Hansip dan semuanya yang
bisa menyosialisasikan kepada masyarakat," tegasnya
Inovasi pelayanan lanjut Politisi PDI Perjuangan itu harus
betul-betul berbasis pada kebutuhan masyarakat.Kearifan baik lokal
maupun sosial harus diperhitungkan agar inovasi yang dibuat tersebut
benar-benar berfungsi baik.Ganjar juga menegaskan, bahwa inovasi
pelayanan kepada masyarakat tidak harus melulu menggunakan
kemajuan teknologi.Inovasi pelayanan lanjut dia juga dapat
diterapkan dalam berbagai program pemerintahan.
"Misalnya persoalan sampah, harus ada inovasi pelayanan
kepada masyarakat, cara buang sampah yang benar seperti apa,
pengelolaannya seperti apa, cara pemilahannya seperti apa dan
sebagainya," tegasnya. Penerapan kearifan lokal lanjut dia juga dapat
diberlakukan terkait sanksi atas pelanggaran yang dilakukan
masyarakat."Misalnya saya pernah melihat ada tulisan, Ya Allah,
tolong cabut nyawa orang yang buang sampah di sini. Sebenarnya itu
kejam, tapi hal-hal semacam itu diperlukan untuk mengurangi
maraknya sampah di sebuah daerah," tambah dia.
Lebih lanjut Ganjar menerangkan, penerapan inovasi
pelayanan publik di Provinsi Jawa Tengah sudah sangat baik.Banyak
inovasi pelayanan publik bermunculan yang semakin memudahkan
masyarakat.
"Saya berharap semua inovasi pelayanan publik di Jateng ini
semakin membuat masyarakat mendapat pelayanan mudah, murah,
cepat. Saya pesen, selain membantu masyarakat, penggunaan inovasi
ini juga harus mencegah pungli ataupun korupsi," pungkasnya. Dalam
talkshow tersebut, hadir pula Plh Kepala Lembaga Administrasi
Negara (LAN), Muhammad Taufiq.Pada kesempatan itu, Taufiq
menegaskan jika inovasi pelayanan publik mutlak diperlukan di
zaman kemajuan saat ini.
"Meski begitu, kemajuan IT ini juga menimbulkan digital gap,
di mana masih banyak masyarakat yang belum melek teknologi.Di
sinilah sentuhan-sentuhan manusia berperan.Dengan kearifan lokal,

215
tentu akan sangat bagus dalam mendukung suksesnya program
pemerintahan," ucapnya.(Bowo/Puji/Humas Jateng).
D. Ganjar: Inovasi Pelayanan Publik Harus
Perhatikan Kearifan Lokal
Kemajuan Teknologi Informasi (TI) membuat pelayanan
publik meningkat. Berbagai inovasi dilakukan kepala daerah dengan
membuat aplikasi untuk mempermudah akses pelayanan publik.
Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo, saat menjadi
narasumber talk show Pameran Inovasi Kepemimpinan, di
Auditorium Sasana Widya Praja BPSDMD Jateng, Rabu (12/12),
meminta kepala daerah dan instansi terkait tidak melupakan kearifan
lokal dalam inovasi pelayanan publik tersebut. Menurutnya, sebagus
apapun platform yang dibuat, jika tidak sampai kepada masyarakat
maka akan sia-sia
"Kearifan lokal harus benar-benar diperhatikan dalam
pembuatan inovasi pelayanan publik.Sebab saat orang berlomba-
lomba membicarakan teknologi, pertanyaannya adalah sampai kepada
masyarakat atau tidak," kata Ganjar.
Menurut Ganjar, tidak dipungkiri bahwa tidak semua
masyarakat saat ini melek teknologi. Untuk itu, jika inovasi pelayanan
tidak terjangkau, diperlukan penyampai pesan kepada
masyarakat.Menurutnya, inovasi pelayanan harus betul-betul berbasis
pada kebutuhan masyarakat.Kearifan baik lokal maupun sosial harus
diperhitungkan agar inovasi yang dibuat tersebut benar-benar
berfungsi baik.Ditambahkan, inovasi pelayanan kepada masyarakat
tidak harus melulu menggunakan kemajuan teknologi.Inovasi
pelayanan, juga dapat diterapkan dalam berbagai program pemerintah.
"Misalnya persoalan sampah, harus ada inovasi pelayanan
kepada masyarakat, cara buang sampah yang benar seperti apa,
pengelolaannya seperti apa, cara pemilahannya seperti apa dan
sebagainya," tegasnya.
Plh Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN),
Muhammad Taufiq, menegaskan, inovasi pelayanan publik mutlak
diperlukan di zaman kemajuan saat ini. "Meski begitu, kemajuan TI
216
juga menimbulkan digital gap, dimana masih banyak masyarakat
yang belum melek teknologi. Disinilah sentuhan-sentuhan manusia
berperan. Dengan kearifan lokal, tentu akan sangat bagus dalam
mendukung suksesnya program pemerintahan," ujarnya.
E. Sosialisasi Peningkatan Pelayanan Publik
Berazaskan Kearifan Lokal
Staf Ahli Walikota Bidang Hukum Politik dan Pemerintahan
Jamaluddin Badar menghadiri Launching dan Sosialisasi Peningkatan
Pelayanan Publik Berasaskan Kearifan Lokal dengan Slogan Gogahi
Malaha Te Ona Masyarakat, Kamis (7/12).
Sosialisasi Peningkatan Pelayanan Publik Berasaskan Kearifan
Lokal, yang dilaksanakan oleh Reformer Umar Yahya yang juga
Sekretaris Pengadilan Agama Soasio tersebut, berlangsung di
Pengadilan Agama Soasio dalam rangka Diklat PIM IV.
Jamaluddin Badar dalam sambutannya, menyampaikan
penghargaan atas niat baik dan upaya Ketua Pengadilan Agama
Soasio untuk ikut ambil bagian dalam mensosialisasikan dan
menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal dengan tata cara
budaya Tidore, dalam kegiatan pelayan publik di lingkungan
Pengadilan Agama Soasio.
Saat ini, pemerintah Kota Tidore Kepulauan bersama
Kesultanan Tidore, terus bekerja keras dan bersenergi, untuk
menjadikan budaya Tidore sebagai roh dari perilaku kehidupan
aparatur sipil negara dan masyarakat, kapan dan dimanapun berada.
Dengan mulai diberlakukannya pelayan publik berasaskan
nilai kearifan lokal dengan tata cara budaya Tidore di lingkungan
pengadilan Agama Soasio nanti, diharapkan dapat menjadi contoh
yang baik untuk diikuti oleh instansi lainnya di daerah ini.
Sementara ketua Pengadilan Soasio Djabir Sasole
mengatakan, apa yang dilaksanakan oleh Reformer Yahya Umar
merupakan suatu proses pendidikan.
Jauh sebelum pengadilan terbentuk, maka dahulu masyarakat
senantiasa meenyelesaikan perkara dengan mengedepankan

217
penyelesaian secara adat atau penyelesaian tersebut berusaha
diselesaikan dengan mengedepanka kearifan lokal seperti budaya.
Dikatakannya, Kesultanan Tidore merupakan induk dari
Pengadilan Agama Soasio dan untuk kedepannya Kesultanan Tidore
menjadi patner dari Pengadilan Soasio sebagai mediator karna
kedepannya persoalan-persolan semakin komplek dan pihak Kesultan
sangat bisa meminimalisir kejadian-kejadin di lapangan. “Untuk itu,
simbol-simbol yang akan dihadirkan membawa simbol Kesultanan
Tidore yaitu dengan memakai kostum Kesultanan di hari yang telah
ditentukan untuk pelayanan publik, “ katanya.
Sementara Reformer Umar Yahya mengatakan bahwa tujuan
proyek perubahan ini adalah terwujudnya peningkatan Pengelolaan
Pelayan Publik berazaskan Kearifan Lokal di Pengadilan Agama dan
di seluruh Instansi di Kota Tidore Kepulauan. Diharapkan nantinya
membangkitkan kembali nilai budaya dalam setiap pemberian layanan
kepada masyarakat, sehingga nilai kearifan lokal ini akan mampu
memberikan nilai kepuasan tersendiri bagi masyarakat pencari
keadilan dan menjadi solusi terbaik dalam setiap penyelesaian
masalah.

218
DAFTAR PUSTAKA
Arep, Ishak dan Hendri Tanjung. (2003). Manajemen Motivasi.
Penerbit PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Adisasmita, R. 1989. Beberapa Dimensi Ekonomi Regional. Ujung
Pandang: Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

Arsyad, L. 2009. Fakultas Ekonomi. Pengantar Perencanaan dan


Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: Balai Penerbit

Aziz, Iwan., Jaya. (1994). Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa


Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Artikel Wikipedia Ensiklopedia Bebas mengenai tenaga kerja

Atep Adya Brata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta:


Gramedia.
Brief. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Atep Adya
Brata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Gramedia.

Departemen Sosial RI. (2006). MemberdayakanKearifan Lokal bagi


Komunitas Adat Terpencil
Erhard, Eppler. (2009). Melindungi Negara dari Ancaman
Neoliberal., Forumprees, United kingdom.
Harley David. (2009). Neoliberalism dan Restorasi Kelas Kapital.,
Resist Book, Yogyakarta
Kadir, Mardjan dan Umar Ma'sum. Pendidikan Di Negara Sedang
Berkembang . 1982. Surabaya:Usaha Nasional.
Kartono, Kartini. (1998). Pemimpin dan Kepemimpinan : Apakah
Pemimpinan Abnormal Itu ? PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Kernaghan, Kenneth, 2001. International Comparison in Resource
Management Reform, Kanada: Canadian Centre for
Management Development
219
Lembaga Administrasi Negara. 2003. Jakarta: Penyusunan Standar
Pelayanan Publik. LAN.
Lembaga Administrasi Negara. 2003. Jakarta: Penyusunan Standar
Pelayanan Publik. LAN. Seemoreat:
Masruri, Muhsinatun Siasah,dkk. Pendidikan Kependudukan Dan
Lingkungan Hidup. 2002. Yogyakarta: UPT MKU UNY
Muthahhari, Murtada. (2012). Masyarakat dan Sejarah., Rausyan
Fikr Institute, Yogyakarta
Menheere, Sebastian C.M and Spiro N. Pollalis. 1996. Case Studies
On Build Operate Transfer. The Netherlands: Delft University
of Technology, Faculty of Architecture, Project Management
and Real Estate Development.
Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1997). Commitment in the worplace
theory research and application. California: Sage
Publications.
Mingst, Karen A. and Jack L. Snyder. Essential Readings in World
Politics 2nd Edition. New York: W. W. Norton & Company,
Inc.
Pandur, Servas. (2011). Testimoni Antasari Azhar (Untuk Hukum dan
Keadilan)., PT. Laras Indra Semesta, Jakarta
Pollitt, Christopher, & Geert Bouckaert, 2000. Publik Management
Reform: A Comparative Analysis, London: Oxford University
Press.
Publik Service Department, 1993. Publik Officers (Conduct and
Discipline) Regulations, Malaysia.
Publik Service Department, 1993. Upholding the Integrity of the
Malaysian Civil Service, Malaysia.
Rakhmat, Jalaluddin.(1999). Rekayasa Sosial., Remaja Yosdakarya,
Devisi Buku Umum, Bandung.
Rachmawati, Iva. 2012. Memahami Perkembangan Studi; Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

220
Robbins, S. P. (2003). Organizational behavior (10th ed). New Jersey
: Prentice Hall.
Sandi, I Made. Geografi Regional Republik Indonesia. 1985.
Jakarta:Jurusan Geografi FMIPA UI
Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian
Filsafat., Jurnal Filsafat
Shadr, Ayatullah Muhammad Baqir. (2013). Falsafatuna., Rausyan
Fikr Institute, Yogyakarta
Soerjani, Moh,dkk. Lingkungan Sumber Daya Alam Dan
Kependudukan Dalam Pembangunan. 1987. Jakarta:UI-
PRESS.
Simanjuntak P. J. 2009. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.

Soedjadi, F. X. 2008. Organisasi dan Metode Penunjang Berhasilnya


Proses Manjemen. Jakarta: PT Toko Gunung Agung.

Soepono, p. 1993. Analisis Soifft Share, Perkembangan dan


Penerapan Jurnal Ekonomi dan Bisnis 2 (1), 43-45.

Sukirno, S. 2011. Ekonomi Pembangunan, Proses Masalah dan


Dasar Kebijakan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.

Suryana. 2012. Ekonomi Pembangunan, Problematika dan


pendekatan. Bandung: Salemba Empat.

Sali Susiana (2009). Jurnal “Integrasi Anggaran Responsif Gender


(Gebder Budgeting) Dalam Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Negara”.

Sarah maddison and Richard Denniss, (2009) an introduction to


Australian Public Policy, theory and practice

221
Tim Dosen UPT-MKU Unhas. (2009/2010)., Wawasan ipteks
Tjokroamidjojo, B. 2009. Pengantar Administrasi Pembangunan.
Jakarta: LP3ES.

Todaro, P. M. 2000 Economic Deveploment Sixth Edition. Eidenburg


Gate Harlow.

Trias Aditya (2009). Jurnal “Perencanaan Dan Penyelesaian


Masalah Infrastruktur Perkotaan Melalui Integrasi Sig
Kolaboratif Dan Sig Partisipasi Publik”,

Tedi Sudrajat (2009). Jurnal “Perwujudan Good Governance Melalui


Format Reformasi Birokrasi Publik Dalam Perspektif
Hukum Administrasi Negara”, oleh:

Tahlim Sudaryanto dan I Wayan Rusastra (2006). Jurnal “Kebijakan


Strategi Usaha Pertanian Dalam Rangka Peningkatan
Produksi Dan Pengentasan Kemiskinan”.
Tony Braind and Elle hoffer, 2009, Public management and
goufermance, New –York and Canada, Roultdage
William N. DUNN. 2005. Pengantar Analisis Kebijakan Public.
University of D, Yogyakarta, Gajah Mada university Press.

Wayan Rusastra dan M. Suryadi (2004). Jurnal “Ekonomi Tenaga


Kerja Pertanian Dan Implikasinya Dalam Peningkatan
Produksi Dan Kesejahteraan Buruh Tani”.
Wahono,dkk. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber
Daya Manusia. 1995. Semarang:Departeman Pendidikan Dan
Kebudayaan
Yanto, Subari & Arifin Zainal. (2007/2008). Filsafat Ilmu (Pengantar
Kuliah Umum Di Perguruan tinggi)., Anugerah Mandiri,
Makassar
Zulkarnain, A.Ag., & Febriamansyah, R. (2008).Kearifan Lokal dan
Pemanfaatan dan Pesisir., Jurnal Agribisnis Kerakyatan, 1

222

Anda mungkin juga menyukai