E-Book Pemikiran Islam
E-Book Pemikiran Islam
E-Book Pemikiran Islam
PK
iijtihad di dalam Islam. Selain itu, supaya terbangun standar referensi yang
sama pada seluruh dosen PAI Unisba. Kesamaan rujukan akan
memudahkan proses evaluasi perkuliahan dalam keselarasannya dengan
kurikulum dan syllabi. Demikian juga, tatkala hendak dievaluasi capaian
mahasiswa dalam proses perkuliahaannya mudah dilakukan.
PEMIKIRAN ISLAM
terdorong oleh keinginan sebuah buku pedoman yang dapat dijadikan
pegangan bersama dan sesuai dengan bahan perkuliahan. Selain itu, sesuai
dengan Peraturan Presiden RI N0. 8 tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang mengatur perlunya penyediaan
materi pembelajaran, maka kehadiran buku ini merupakan wujud konkrit
untuk memenuhi target KKNI. Dalam kaitannya dengan pengabdian pada
masyarakat Tridharma Perguruan Tinggi, maka kami berharap agar buku ini
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas di dalam mendalami nilai-nilai ke-
Islaman.
ISBN: 978-602-50123-0-3
LSIPK
978- 602- 50123- 0- 3 UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
Seri Penerbitan Lembaga Studi Islam
dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK)
PEMIKIRAN ISLAM
BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI VI)
PEMIKIRAN ISLAM
BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
@ Tim Penyusun Buku Panduan PAI
Diterbitkan oleh:
Lembaga Studi Islam dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK) Universitas Islam Bandung
Anggota IKAPI Nomor: 219/JBA/2012
ISBN 978-602-50123-0-3
I. Buku Panduan – PAI 1 Judul
II. Seri.
PEMIKIRAN ISLAM
BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI VI)
vi
vii
Tim Penyusun
PEMIKIRAN ISLAM
BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
Anggota:
Wakil Rektor I (Ex Officio).
Wakil Rektor II (Ex Officio).
Wakil Rektor III (Ex Officio).
Penulis:
Koordinator Merangkap Penyunting:
Dr. H. M. Wildan Yahya, Drs., M.Pd
Anggota:
Dr. H. Irfan Safrudin, Drs., M.Ag
Dr. Hj. Rodliyah Khuza’i, Dra., M.Ag
A. Mujahid Rasyid, Drs., M.Ag
H. Agus Halimi, Drs., M.Ag
Ivan Chovyan, Ir., MT
Hj. N. Hendarsyah, Dra., MH
Dr. Teguh Ratmanto, MA.COMMS
Sekretariat:
Endang Kadarusman
Hendar, S.Sos
Rahmadi Huda, Amd
viii
ix
1 ء ` 16 ط th
2 ب b 17 ظ zh
4 ث ts 19 غ gh
5 ج j 20 ف f
6 ح h 21 ق q
7 خ kh 22 ك k
8 د d 23 ل l
9 ذ dz 24 م m
10 ر r 25 ن n
11 ز z 26 و w
12 س s 27 ه h
13 ش sy 28 ي y
14 ص sh 29 ة t
15 ض dh 30 ( ةwaqaf) h
Contoh:
KATA PENGANTAR
5
Segala puji hanya milik Allah Swt, Dzat Yang Maha Kasih Sayang, Penabur rahmat -
Pelimpah karunia kepada hamba-Nya. Setelah melalui pengerjaan yang tidak
sebentar, kesulitan yang tidak sedikit dan pengorbanan yang tidak kecil, pada
akhirnya dengan ungkapan alhamdulillâh Buku Pemikiran Islam yang merupakan
Panduan Pendidikan Agama Islam PAI VI Unisba pada akhirnya dapat diselesaikan
penulisannya.
Salam serta shalawat dipanjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw yang
telah berjuang penuh dengan pengorbanan mengantarkan ummatnya kepada jalan
hidup yang penuh hidayah dan taufiq Allah Swt. Hanya berkat perjuangan dan
pengorbanannyalah Islam dapat dinikmati hari ini dengan taburan rahmat-Nya.
Penulisan buku Pemikiran Islam sebagai Buku Panduan Pendidikan Agama Islam di
Universitas Islam Bandung ini, bertujuan untuk mewarisi khazanah pemikiran yang
telah dihasilkan dari ijtihad para ulama/kaum intelektual terdahulu dan untuk
mengetahui prinsip-prinsip iijtihad di dalam Islam. Selain itu, supaya terbangun
standar referensi yang sama pada seluruh dosen PAI Unisba. Kesamaan rujukan
akan memudahkan proses evaluasi perkuliahan dalam keselarasannya dengan
kurikulum dan syllabi. Demikian juga, tatkala hendak dievaluasi capaian mahasiswa
dalam proses perkuliahannya mudah dilakukan.
Kehadiran buku PAI semacam ini sesungguhnya sudah lama diharapkan oleh
mahasiswa dan fakultas di lingkungan Unisba. Harapan tersebut terdorong oleh
keinginan sebuah buku pedoman yang dapat dijadikan pegangan bersama dan sesuai
dengan bahan perkuliahan. Selain itu, sesuai dengan Peraturan Presiden RI N0. 8
tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang mengatur
perlunya penyediaan materi pembelajaran, maka kehadiran buku ini merupakan
wujud konkrit untuk memenuhi target KKNI. Dalam kaitannya dengan pengabdian
pada masyarakat Tridharma Perguruan Tinggi, maka kami berharap agar buku ini
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas di dalam mendalami nilai-nilai ke-Islaman.
Seperti kata pepatah: ‘Tiada gading yang tidak retak’, demikian juga buku ini tidak
menutup kemungkinan masih perlu disempurnakan. Untuk itu, sumbang saran dan
kritik yang membangun demi kesempurnaan buku ini kami buka selebar-lebarnya.
Pada kesempatan yang baik ini, kami sampaikan ungkapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah ikut membantu dan mendorong
terbitnya buku ini. Secara khusus ungkapan terimakasih dan penghargaan kami
sampaikan kepada jajaran pimpinan Unisba dan Fakultas, Ketua LSIPK dan
xii
jajarannya, serta para penulis Buku Panduan PAI VI Pemikiran Islam yang dengan
penuh ketekunannya dapat menerbitkan buku ini. Mudah-mudahan dengan terbitnya
buku ini menjadi “ilmun yuntafa’u bihi”, ilmu yang bermanfaat dan menjadi amal
jariyyah
DAFTAR ISI
A. Pendahuluan
Latar belakang munculnya aliran teologi dalam Islam awal mulanya, disebabkan
karena masalah politik, bukan dalam masalah teologi. Permasalahan theologi
tumbuh dan menguat justru dimulai dari permasalahan politik. Hal ini semakin
terang apabila disusur dari sejarahnya yang bersumber dari sejarah Islam, yaitu
awal mula pertumbuhan Islam setelah Nabi wafat.
1
pemerintahan di tangan mereka. Tata pemerintahan dikendalikan oleh Majelis
Suku yang terdiri dari para kepala suku, dipilih berdasarkan kekayaan dan
pengaruhnya di masyarakat.
Pada waktu pemimpin kedua suku Aus dan Khajraj berziarah haji ke Mekah,
mereka tahu kedudukan Nabi Muhammad Saw dalam satu pertemuan dengan
beliau, dan memohon agar beliau pindah ke Yatsrib. Begitu kerasnya perlawanan
yang dilakukan para pedagang Mekah, Nabi Saw akhirnya berhijrah ke Yatsrib.
Setelah Nabi Saw pindah ke Yatsrib, maka kota ini diberi nama Madinah Nabi.
Beliau sebagai penengah antara suku Aus dan Khajraj yang berselisih itu. Secara
bertahap kehadiran Nab Saw dapat mempersatukan kedua suku tersebut, lebih-
lebih setelah mereka masuk Islam, kecuali bangsa Yahudi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa posisi Nabi Muhammad Saw
ketika di Mekah bagi para pengikutnya, hanya sebagai pemimpin agama, bukan
sebagai pemimpin politik (kepala pemerintahan). Sebaliknya, di Madinah fungsi
2
Nabi Saw mempunyai dua posisi, pertama sebagai pemimpin keagamaan sebagai
nabi, kedua adalah sebagai pemimpin kenegaraan, kepala pemerintahan. Nabi
Saw lah yang memulai menegakkan kekuasaan pilitik yang berkuasa di Madinah.
Sebelum itu, tidak ada kesatuan pemerintahan yang mengatur politik di kota itu.
Tatkala beliau meninggal dunia pada tahun 632 M, wilayah kekuasaan Madinah
meliputi daerah yang luas, yaitu hampir seluruh Semenanjung Arabia.
Pemerintahan Islam ketika itu, sebagaimana yang digambarkan oleh W.M. Watt,
meliputi kumpulan suku-suku bangsa Arab, berada di bawah ikatan dan
persekutuan dengan Nabi Saw dalam berbagai bidang. Ikatan itu bukan saja
dengan masyarakat Madinah, tetapi juga lebih inti lagi dengan masyarakat Mekah.
(Muhammad Propeht and Statesmen, Oxford University Press, 1986: 222).
Oleh karena itu, sepeninggalnya Nabi Saw pada masyarakat Madinah harus
memikirkan pengganti beliau sebagai kepala pemerintahan yang baru terbentuk
di kota itu. Perhatian utama mereka adalah memikirkan penggantinya, sebelum
jenazah Nabi Saw dikuburkan. Kemudian muncullah permasalahan tentang
pengganti Nabi Saw sebagai kepala pemerintahan, yaitu persoalan khilafah.
Fungsinya sebagai Nabi dan Rasul, tidak bisa digantikan, tetapi sebagai kepala
Negara mesti segera di gantikan untuk menjaga keutuhan Negara Madinah.
Abu Bakar-lah yang disetujui masyarakat Islam waktu itu pengganti atau khalifah
Nabi Saw sebagai pemimpin Negara. Secara berturut-turut kemudian Abu Bakar
digantikan oleh Umar bin Khathab dan Umar bin Khathab digantikan oleh Utsman
bin Affan.
Latar belakang Utsman adalah seorang pedagang Quraisy yang kaya raya.
Kerabat Utsman adalah kaum bangsawan yang kaya di Mekah, sebab pengalaman
mereka dalam berdagang. Mereka ahli di bidang administrasi. Pada saat menjadi
3
khalifah pengetahuan mereka sangat berguna untuk mengatur administrasi
daerah-daerah di luar Arabia di bawah kekuasaan Islam yang bertambah luas.
Karakter Utsman menurut ahli sejarah adalah lemah, kurang tegas dan tidak
mampu menentang ambisi keluarganya. Lebih-lebih mereka pada umumnya kaya
dan berpengaruh. Beberapa wilayah diangkat gubernur dari keluarganya, yang
tunduk pada kekuasaan Islam. Para gubernur yang diangkat oleh Umar bin Al-
Khathab yang dikenal kuat dan tidak mendahulukan kepentingan keluarganya,
diganti oleh Utsman bin Affan.
4
ikut campur tangan dalam soal pembunuhan tersebut. Menurut Al-Thabari dalam
Tarikh al-Thabari (1963: 7) salah seorang pemuka pemberontak dari Mesir yang
datang ke Madinah adalah Muhammad Ibnu Abi Bakar, adalah anak angkat Ali bin
Abi Thalib, yang kemudian diduga mempunyai andil yang besar terhadap
terbunuhnya Utsman bin ‘Affan. Ali bin Abi Thalib tidak mengambil tindakan tegas
terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad ibnu Abi Bakar
diangkat menjadi Gubernur Mesir.
Pertempuran pun terjadi antara dua golongan ini di Siffin. Tentara Ali bin Abi
Thalib dapat mematahkan kekuatan tentara Mu’awiyah sehingga lari dari medan
tempur. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah, Amr bin ‘Ash yang terkenal sebagai
orang yang licik, minta berdamai dengan mengangkatkan Al-Quran ke atas.
Qurra` yang berada di pihak Ali mendesak Ali, supaya menerima tawaran itu, dan
dicarilah jalan damai dengan mengadakan arbitrase. Jalan yang dipilih untuk
melaksanakan arbitrase (usaha perantara dalam menyelesaikan sengketa) adalah
mengutus dua orang perwakilan dari masing-masing pihak yang bersengketa, Amr
bin ‘Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali bin Abi
Thalib. Dalam pertemuan keduanya, kelicikan Amr bin ‘Ash mengalahkan
keshalehan Abu Musa Al-Asy’ari.
Peristiwa ini, bagaimanapun merugikan pihak Ali bin Abi Thalib dan
menguntungkan bagi Mu’awiyah. Sebenarnya, yang legal sebagai Khalifah,
5
hanyalah Ali bin Abi Thalib, sedangkan Mu’awiyah bukanlah Khalifah, tetapi
Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah.
Kesepakatan tersebut seakan-akan mendudukkan Mu’awiyah sebagai Khalifah
yang sah, setingkat dengan kedudukan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang
sah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukan Mu’awiyah telah menjadi Khalifah
yang resmi menggantikan kedudukan Ali bin Abi Thalib. Keputusan arbitrase ini
tidak mengherankan, kalau ditolak oleh Ali bin Abi Thalib, bahkan beliau tidak mau
meletakkan jabatan sampai mati terbunuh di tahun 661M.
Sikap Ali bin Abi Thalib untuk menerima arbitrase merupakan “kelicikan” Amr bin
‘Ash. Dalam kondisi terpaksa dan tidak disetujui, sebagian dari tentara Ali bin Abi
Thalib menyetujuinya. Mereka yang tidak setuju berpendapat bahwa kekhalifahan
tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah
dengan hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran. Semboyan mereka lâ hukma
illâ lillâh (tidak ada hukum kecuali dari hukum Allah Swt), atau lâ hakama illâ l-llâh
(tidak ada perantara selain dari Allah Swt).
B. Aliran Khawarij
Kaum Khawarij adalah terdiri dari pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang
meninggalkan barisannya. Sebab, tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib
yang menerima arbitrase, sebagai jalan untuk menyelesaikan sengketa
kekhalifahan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Nama Khawarij berasal
dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu disandangkan kepada mereka,
karena mereka keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Sekalipun demikian, ada yang
berpendapat bahwa pemberian nama itu didasarkan pada ayat 100 QS. Al-
Nisa`(4), yang menyebutkan: “… keluar dari rumah lari kepada Allah Swt dan
rasul-Nya…”. Oleh karena itu, kaum Khawarij memandang diri mereka, sebagai
orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya, untuk mengabdikan
diri kepada Allah Swt dan rasul-Nya. (Harun Nasution, 1986: 11).
6
Lebih lanjut mereka menyebut kelompoknya dengan nama “Surah”. Nama ini
berasal dari kata yasri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-
Baqarah (2): 207, yang artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang
mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah...”. Maksudnya, mereka
adalah orang yang bersedia mengorbankan diri untuk Allah Swt. Kemudian nama
lain yang disandarkan kepada mereka ialah Haruriyah, dari kata Harura, suatu
desa yang berada di dekat kota Kufah, di Irak. Di lokasi inilah, mereka memilih
Abdullah Ibnu Abi Wahb Al-Rasibi menjadi imam mereka sebagai ganti dari Ali bin
Ibn Abi Thalib. Orang-orang yang pada waktu itu berkumpul untuk memilih
pimpinan mereka berjumlah dua belas ribu orang. Kekuatan mereka tatkala
bertempur dengan kekuatan Ali, mengalami kekalahan besar. Akan tetapi akhirnya
seorang khawarij bernama Abdur Rahman Ibn Muljam dapat membunuh Ali.
Dalam aspek politik mereka mempunyai faham yang berlawanan dengan faham
yang berkembang pada waktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, sebab
menurut mereka kepala negara, imam atau khalifah harus dipilih secara bebas
oleh seluruh ummat Islam. Orang yang berhak menjadi khalifah, imam atau
kepala negara, bukanlah anggota suku bangsa Quraisy saja, bahkan bukan hanya
orang Arab saja, tetapi siapa saja yang memiliki kemampuan asal orang Islam,
meskipun ia hamba sahaya yang berasal dari Afrika. Pemimpin atau khalifah yang
terpilih mengemban terus jabatannya selama ia bersikap adil dan menjalankan
syari’at Islam. Akan tetapi, andaikata ia menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, ia
wajib dijatuhkan atau dibunuh.
7
C. Aliran Murji`ah
Allah Swt adalah pencipta dan pengatur alam semesta, termasuk di dalamnya
manusia. Selanjutnya Allah Swt bersifat Mahakuasa dan memiliki Kehendak yang
8
bersifat mutlak. Kemudian timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai
ciptaan Allah Swt, bergantung pada kehendak dan kekuasaan-Nya yang mutlak
dalam menentukan perjalanan hidupnya ? Ataukah menusia terikat sepenuhnya
pada kehendak dan kekuasaan-Nya yang mutlak ?
Aliran Qadariyah tidak dapat diketahui dengan pasti kapan timbul dalam sejarah
dan teologi Islam. Akan tetapi menurut keterangan ahli teologi Islam, faham
Qadariyah tampaknya dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhaini. Ia terbunuh dalam
pertempuran dengan Al-Hajaj pada tahun 80 H.
9
manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa, manusia tidak
mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai
pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada
kekuasan, kemauan, dan pilihan sendiri. Pada masa Bani Umayah perlawanan
Jahm dipatahkan, ditangkap dan kemudian dihukum mati pada tahun 131 H.
10
Al-Mas’ud memberikan keterangan lain yaitu Mu’tazilah mengambil
posisi antara kedua posisi itu (mukmin dan kafir) yakni Al-Manzilah bainal
Manzilatain. (Ibid,76)
karena kaum Mu’tazilah membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam
arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir. (fajr al-Islam, hlm. 290 )
Jadi kata “I’tazala” dan “Mu’tazilah” telah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum
peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri, dalam arti golongan yang tidak mau
ikut campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka. (golongan
Murji’ah. supra, hlm. 20)
C.A.Nallino, seorang orientalias Italia mempunyai pendapat bahwa golongan
Mu’tazilah kedua memiliki hubungan erat dengan golongan Mu’tazilah pertama.
(‘Adb al-Rahman Badawi, 1965 :185)
Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang
sulit. Berbagai pendapat diajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat
antara meraka. Yang jelas ialah bahwa nama Mu’tazilah,
sebagai designate bagi aliran teologi rasional dan liberal Islam timbul sesudah
peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri di Basrah dan bahwa lama sebelum
terjadinya peristiwa Basrah itu, telah pula terdapat kata-kata I’tazala al-
Mu’tazilah. Tetapi kalau kita kembali ke ucapan-ucapan kaum Mu’tazilah itu
sendiri, akan kita jumpai keterangan-keterangan yang dapat memberi
kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada
golongan mereka. (Nasy’ah, hlm. 430/6)
Selanjutnya mereka menerangkan adanya hadist Nabi yang mengatakan
bahwa umat akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan
terbaik seluruhnya dari golongan Mu’tazilah. Bahkan menurut Al-Murtada kaum
Mu’tazilah sendirilah, dan bukan orang yang memberikan nama itu kepada
golongan mereka. (fi ‘ilm al-kalam, 75/6)
11
dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau menjadi kafir. Persoalan tersebut
kemudian muncul pula di majelis taklim yang dipimpin oleh Hasan Al-Basri
(21-110 H/642-728 M) di masjid Basrah.
Masalah status mukmin yang berdosa besar tersebut muncul di forum ketika
dipertanyakan oleh seorang peserta kepada Hasan Al-Basri di pengajiannya. Di
saat Hasan Al-Basri masih berfikir untuk menjawab, secara spontan salah
seorang peserta pengajian yang bernama Washil ibn Atha (80-131 H/699-749
M) memberikan jawaban. Menurut pendapat saya katanya, orang mukmin
yang berbuat dosa besar, maka statusnya tidak lagi mukmin sempurna, namun
juga tidak kafir sempurna. Dia berada di antara dua posisi yang disebutnya al-
Manzilah bain al-Manzilatain (tempat di antara dua tempat). Sesudah
mengemukakan pendapat tersebut, Wasil ibn Atha langsung meninggalkan
forum pengajian Hasan Al-Basri dan diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr
ibn Ubaid. Mereka langsung menuju salah satu tempat lain di dalam masjid
tersebut.
Melihat tindakan Wasil dan temannya itu, Hasan Al-Basri pun berkomentar
dengan kata : I’tazala ‘Anna Washil, (Wasil telah memisahkan diri dari kita).
Semenjak itulah Wasil dan kawannya-kawannya dinamai dengan sebutan
Mu’tazilah. Peristiwa yang diceritakan di atas, dinilai oleh banyak ahli sejarah
sebagai faktor utama penyebab lahirnya aliran Mu’tazilah. (Al-Syahrastani,
1961:48).
Ada pula versi lain, sebagaimana dijelaskan oleh al-Baghdadi bahwa Wasil dan
temannya ‘Amr ibn ‘Ubaid diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya, karena
adanya perbedaan pendapat antara mereka tentang masalah qadar dan orang
mukmin yang berdosa besar. Keduanya kemudian menjauhkan diri dari Hasan
Al-Basri dan mereka pun disebut Aliran Mu’tazilah. karena pendapat mereka
memisahkan diri dari pendapat umat Islam pada umumnya tentang mukmin
yang berdosa besar. (Al-Baghdadi, tt.:20).
Istilah Mu’tazilah sebenarnya sudah pernah muncul satu abad sebelum
munculnya Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil ibn Atha. Sebutan Mu’tazilah
ketika itu merupakan julukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat dengan
12
urusan politik, dan hanya menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata.
(Ahmad Amin, 1975:7).
Secara khusus sebutan Mu’tazilah itu ditujukan kepada mereka yang tidak mau
ikut peperangan, baik perang Jamal antara pasukan Khalifah Ali ibn Abi Thalib
dengan pasukan Siti Aisyah, maupun perang Siffin antara pasukan Khalifah Ali
ibn Abi Thalib melawan pasukan Mu’awiyah. Kedua peperangan ini terjadi
karena persoalan politik. (Ahmad Amin, 1969:290).
Mengenai sebab-sebab dinamakan Mu’tazilah, Ahmad Amin mengemukakan
tiga pendapat yaitu :
a. Dinamakan Mu’tazilah karena Wasil ibn Atha dan Amr ibn Ubaid
memisahkan diri dari majelis taklim yang dipimpin oleh Hasan Al-Basri di
masjid Basrah. Wasil ibn Atha memisahkan diri secara fisik (I’tazala) dari
pengajian Hasan Al-Basri. Orang yang memisahkan diri dinamakan
Mu’tazilah.
b. Dinamakan Mu’tazilah karena pendapat mereka menjauhi pendapat lain
yang berkembang waktu itu. Pendapat Wasil ibn Atha, bahwa pelaku dosa
besar tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir (al-manzilah bain al-
manzilatain) telah menjauhi atau memisahkan dengan pendapat golongan-
golongan lainnya. Jumhur ulama mengatakan tetap mukmin, Khawarij
mengatakan kafir, dan Hasan Al-Basri berpendapat tetap mukmin, namun
fasik. (Ilmu Ushuluddin Vol. 12, No. 1 92)
c. Dinamakan Mu’tazilah adalah karena pelaku dosa besar berada antara
mukmin dan kafir, sama halnya memisahkan diri atau menjauhkan diri dari
orang mukmin yang sempurna.
Ketiga pendapat di atas mengacu kepada sebuah peristiwa yang melibatkan
Wasil ibn Atha dan Hasan Al-Basri dalam pengajian di masjid Basrah. Peristiwa
tersebut menurut Ahmad Amin semata-mata bertema agama, bukan bertema
politik. (Ahmad Amin, 288-289).
Dari paparan di atas, jika Mu’tazilah pertama muncul berkaitan dengan
masalah politik, maka Mu’tazilah yang kedua, yang muncul satu abad
13
kemudian, lebih disebabkan karena persoalan agama. Mu’tazilah inilah yang
kemudian menjadi salah satu aliran Kalam dalam pemikiran Islam.
14
b. Abu al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H/912 M). Ia pemuka yang
mengarang buku Al-Intishar yang berisi pembelaan terhadap serangan ibn
Al-Rawandy.
c. Jarullah Abul Qasim Muhammad ibn Umar (467-538 H/1075-1144 M).
Ia lebih dikenal dengan panggilan al-Zamakhsyari. Ia lahir di Khawarazm
(sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Ia tokoh yang telah menelorkan
karya tulis yang monumental yaitu Tafsir Al-Kasysyaf.
d. Abul Hasan Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn Abdullah al-Hamazani al-
Asadi. (325-425 H). Ia lahir di Hamazan Khurasan dan wafat di Ray
Teheran. Ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Qadi Abdul Jabbar. Ia hidup
pada masa kemunduran Mu’tazilah. Kendati demikian ia tetap berusaha
mengembangkan dan menghidupkan faham-faham Mu’tazilah melalui karya
tulisnya yang sangat banyak. Di antaranya yang cukup populer dan
berpengaruh adalah Syarah Ushul al-Khamsah dan Al-Mughni fi Ahwali Wa
al-Tauhid..
Menurut analisis Yoesoef Sou’yb, antara kedua daerah tersebut terdapat
beberapa perbedaan karakteristik, yaitu :
a. Pemuka Mu’tazilah di Basrah cenderung menghindari jabatan birokrasi di
pemerintahan maupun di pengadilan. Dengan demikian mereka dapat lebih
fokus pada bidang agama dan keilmuan dan dapat mengemukakan
pemikiran secara leluasa, tanpa terikat dengan kepentingan pemerintah
atau pihak lainnya. Sedangkan di Bagdad, mereka menggunakan
kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan dengan tujuan untuk
mendapat dukungan sekaligus perlindungan.
b. Pemuka di Basrah menyebarkan faham tanpa pemaksaan dan kekerasan,
melainkan lebih banyak menanti kesadaran umat untuk mengikutinya.
Sedangkan di Bagdad, terkadang berusaha secara sungguh-sungguh dan
melakukan kekerasan agar masyarakat mengikuti aliran Mu’tazilah. (Joesoef
Sou’yb, 1982:265).
15
c. Pemuka di Basrah tidak begitu dipengaruhi oleh filsafat. Sedangkan pemuka
di Bagdad lebih banyak dipengaruhi filsafat, sehingga mempengaruhi pola
pikir mereka ke arah rasional dan liberal. (A. Hanafi:70).
Walaupun terdapat perbedaan karakteristik antara kedua daerah tersebut,
namun secara umum, teologi Mu’tazilah telah memperlihatkan corak rasional
dan liberal. Hal ini tidak terlepas dari metode pemikiran yang mereka gunakan
dalam memahami serta memecahkan masalah-masalah teologi.
4. Doktrin-Doktrin Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah mempunyai lima doktrin pokok yang populer dengan sebutan
al-Ushul al-Khamsah. Kelima doktrin itu adalah al-Tauhid, al-Adl, al-Wa’d wa al-
Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an
al-Munkar.
a. Al-Tauhid (Kemaha Esa-an Tuhan).
Tuhan dalam faham mereka, akan betul-betul Maha Esa, hanya kalau
Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia.
Oleh karena itu mereka menolak faham anthropomorphisme. Seperti yang
diketahui faham ini menggambarkan Tuhan dekat menyerupai Mahluk-Nya.
(‘Abd al-Jabbar Ahmad, tt. : 196). Karena sifat ini yang betul-betul hanya
ada pada tuhan, maka ‘Abdul al-Jabbar senantiasa memakai kata al-Qodim,
dan bukan kata-kata lain separti designatie Tuhan).
Faham ini mendorong kaum Mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan,
yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiri diluar zat Tuhan. Ini tidak
berarti bahwa Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh kaum Mu’tazilah. Kemudian
kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan kedalam 2 golongan :
1) Sifat-sifat yang merupakan Esensi Tuhan dan disebut sifat Zatiah. Sifat-
sifat ini seperti wujud, kekekalan dimasa lampau (Al-qidam), hidup (al-
hayat), kekuasaan (al-qudroh).
2) Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan yang disebut sifat
fi’liyah. sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti
16
hubungan antara Tuhan dengan Mahluk-Nya, seperti kehendak (Al-
Iradah), sabda (kalam), keadilan (Al-‘Adl), dst.
b. Al-‘Adl (keadilan Tuhan)
ada hubungannya dengan At-Tauhid, kalau dengan At-Tauhid kaum
Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan dengan mahluk,
maka dengan Al-‘Adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari
persamaan dengan perbuatan mahluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil,
Tuhan tidak bisa berbuat Zalim. Pada mahluk terdapat perbuatan zalim.
c. Al-Wa’d wa Al-Wai’d (Janji dan Ancaman)
Tuhan dapat disebut adil, jika Dia tidak memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik dan tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan
menghendaki supaya orang yang berbuat salah diberi hukuman dan orang
yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan tuhan.
d. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain
Posisi diantara dua posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini,
orang yang berdosa besar bukan kafir, bukan pula mukmin. Kata mukmin
dalam pendapat Wasil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak
dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat
kafir, tidak pula dapat diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besar, dia
masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik.
Orang serupa ini jika meninggal tanpa tobat, akan kekal dalam neraka,
hanya siksaan yang di terimanya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
e. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap sebagai
kewajiban, bukan hanya oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi oleh golongan
umat Islam lainnya. Perbedaan yang terdapat antara golongan-golongan itu
adalah pelaksanaannya. Kaum Mu’tazilah berpendapat, kalau dapat, cukup
dengan seruan, tetapi kalau tidak dapat dengan seruan, dengan
menggunakan kekerasan. Sejarah membuktikan, bahwa Mu’tazilah pernah
memakai kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka.
17
Ahmad Amin sendiri berpendapat, bahwa kaum Mu’tazilah adalah golongan
Islam yang pertama, memakai senjata (argumentasi logika) yang dipergunakan
lawan-lawan Islam dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan materialistis,
dalam menangkis serangan-serangan terhadap Islam pada awal pemerintahan
kerajaan Daulah Abbasiyah.
Ahmad Amin mengatakan, bahwa sebenarnya hanya merekalah yang memikul
beban itu. (Jilid III. Tt.:206).
Hanya Allah yang mengetahui bahaya apa yang akan menimpa umat Islam,
jika sekiranya kaum Mu’tazilah tidak membela Islam diwaktu itu dan
malapetaka terbesar yang menimpa umat Islam adalah lenyapnya Kaum
Mu’tazilah.
Menurut Al-Khayyat, orang yang diakui menjadi pengikut Mu’tazilah, hanyalah
orang yang mengakui dan menerima kelima dasar itu. Orang yang menerima
hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang
Mu’tazilah.
5. Perkembangan Mu’tazilah
Menurut Al-Malatti, Wasil mempunyai dua murid penting yaitu Bisyr Ibn Sa’id
dan Abu Usman Al-Za’farani. Dari kedua murid inilah dua pemimpin lainnya,
Abu Al-Huzail Al-‘Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar menerima ajaran-ajaran Wasil.
Bisyr sendiri kemudian menjadi pemimpim Mu’tazilah cabang Bagdad.
Al-Huzail tetap di Basrah dan menjadi pemimpin ke-2 dari cabang Basrah
setelah Wasil. Ia lahir pada tahun 135 H dan wafat pada tahun 235 H dan
banyak berhubungan dengan filsafat Yunani. Pengetahuannya tentang filsafat
melapangkan jalan baginya untuk menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara
teratur. (lihat al-milal, 1/46)
Salah seorang dari murid Al-Huzail, yang kemudian menjadi pemuka
Mu’tazilah, bernama Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani Al-Nazzam. Literatur
mengenai beliau, memberikan gambaran tentang dirinya yang memiliki
kecerdasan yang lebih tinggi daripada gurunya Abu Al-Huzail. (Al-Milal, 1/54)
18
di zaman modern dan kemajuan Ilmu pengetahuan serta teknologi sekarang,
ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional itu telah, mulai timbul kembali
di kalangan umat Islam, terutama di kalangan kaum terpelajar. Secara tidak
sadar, mereka telah mempunyai faham-faham yang sama atau dekat dengan
ajaran-ajaran Mu’tazilah. Mempunyai faham-faham yang demikian, tidaklah
membuat mereka keluar dari Islam.
Aliran Mu’tazilah masih dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari Islam,
dan dengan demikian, tidak disenangi oleh sebagian umat Islam terutama di
Indonesia. Pandangan tersebut timbul, karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak
percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh dengan
perantara rasio (akal).
19
dari mereka menganggap, bahwa secara mutlak tidak harus ada seorang
imam, sehingga apabila umat sendiri dapat menegakkan dasar-dasar
keadilan, maka penunjukkan seorang imam adalah perbuatan yang sia-sia
dan tidak perlu.
b. Pemilihan umum diserahkan kepada umat, dan imamah tidak sah kecuali
dengan pemilihan umat.
c. Umat dapat memilih seseorang dari kalangan kaum muslimin yang
dianggap paling baik dan paling memiliki keahlian, tanpa terikat dengan
persyaratan, apakah ia seorang Quraisy atau bukan, atau apakah ia
seorang Arab atau seorang Ajam.
d. Tidak dibolehkan bershalat di belakang seorang imam yang fajir (yang
melakukan dosa keji terutama zina)
e. Amr bil-ma’ruf dan nahi ‘anil munkar termasuk diantara prinsip-prinsip asasi
mereka juga. ( Abul A’la Al-Maududi, 1916: 281-283).
20
Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Beliau dilahirkan di Basrah, Irak pada tahun
260 H/875 M. Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad dan
wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn ‘Asakir (w. 571 H), ayah Al-Asy’ari adalah seorang berfaham
Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum
wafat ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria
bin Yahya As-Saji untuk mendidik anaknya. Ibunya menikah lagi dengan
seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w. 303 H/915 M),
ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i.
Pada suatu waktu Abu Hasan Al-Asy’ari berdialog dengan gurunya, Al-Jubba’i,
seorang tokoh Mu’tazilah sebagai berikut:
Al-Asy’ari: Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut, mukmin, kafir, dan anak
kecil di akhirat?
Al-Jubba’i: Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surge, yang kafir masuk
neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari: Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di
surga, mungkinkah itu?
Al-Jubba’i: Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena
kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai
kepatuhan yang serupa itu.
Al-Asy’ari: Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan, itu bukanlah
salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan
orang mukmin itu.
Al-Jubba’i: Allah akan menjawab, “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup,
engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu, akan kena
hukuman. Maka, untuk kepentinganmu, Aku cabut nyawamu
sebelum engkau sampai kepada umur tanggungjawab”.
Al-Asy’ari: Sekiranya yang kafir mengatakan, “Engkau ketahui masa depanku,
sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya
Engkau tidak jaga kepentinganku?
21
Di sini Al-Jubba’i terpaksa diam. (Harun Nasution, 1986:66-67).
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu,
secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid Basrah, bahwa
dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan akan menunjukkan
keburukan-keburukannya.
Penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari Mu’tazilah antara lain:
a. Pengakuan Al-Asy’ari yang telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW
sebanyak 3 kali yakni pada malam ke-10, 20, dan 30 pada bulan
Ramadhan. Dalam mimpinya Rasulullah mengingatkannya agar beliau
meninggalkan Mu’tazilah;
b. Al-Asy’ari merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran Mu’tazilah dalam soal
“Al-Salah wa Al-Aslah” yang artinya Tuhan wajib mewujudkan yang baik,
bahkan terbaik untuk kemaslahatan manusia;
c. Menurut Ahmad Mahmud Subhi yang mendorong Al-Asy’ari meninggalkan
Mu’tazilah, disebabkan karena Al-Asy’ari menganut madzhab Imam Syafi’i,
yang konsep teologinya berlainan dengan ajaran Mu’tazilah;
d. Kalau seandainya Al-Asy’ari tidak meninggalkan aliran tersebut, maka akan
terjadi perpecahan di kalangan muslimin yang bisa melemahkan mereka
dan ia khawatir, kalau Al-Qur’an dan Hadits-hadits nabi menjadi korban
faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya itu tidak dibenarkan,
karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran.
Maka melihat keadaan seperti itu, Al-‘Asy’ari mengambil jalan tengah antara
golongan rasionalis dan tekstualis yang ternyata bisa diterima oleh mayoritas
kaum muslimin. Secara ringkas, penggambaran perkembangan aliran Asy’ariah,
setelah abad ke-3 dan ke-4 Hijriah, Mu’tazilah semakin melemah. Maka, ketika
itulah Al-‘Asy’ari dalam waktu singkat mendapat kepercayaan dari kaum
muslimin dengan memiliki banyak pengikut. (Bashori dan Mulyono, 2010:114)
2. Ajaran-Ajaran Pokok
a. Tentang pelaku dosa besar tidak menjadi kafir, ia tetap mukmin.
22
Sebagai orang berdosa masih terbuka baginya pintu tobat untuk
memperoleh ampunan dari Allah.
b. Soal Imamah.
Tidak jauh berbeda dengan Khawarij dan Mu’tazilah. Karena Islam sesudah
Rasulullah, maka menunjuk imam, harus didasarkan azas musyawarah dan
pilihan sah.
c. Al-Qur’an bukan diciptakan.
Al-Qur’an sebagai kalamullah adalah Qadim bukan Hadis atau diciptakan.
Sedangkan Al-Qur’an yang terdiri dari huruf-huruf dan suara adalah baru.
d. Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat.
Dasarnya firman Allah surat Al-Qiyamah ayat 22-23 yang artinya “Wajah-
wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-Nyalah
mereka melihat”.
e. Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan Tuhan.
Menurut Al-Asy’ari Tuhan adalah pencipta alam raya ini, termasuk manusia
dengan segala perbuatannya. Seperti contoh, patung hasil pahatan tukang
pahat. Kerja mereka memahat itu, Allahlah yang menciptakan. Adapun batu
atau kayu yang menjadi bahan pembuatan itu jelas ciptaan Allah, bukan
hasil dari tukang tersebut. (Nukman Abbas, 2002 :125)
f. Semua yang diperintahkan adalah baik dan sebaliknya yang dilarang Tuhan
adalah buruk. Namun, tidak ada baik dan buruk secara mutlak, karena
semua itu dari Allah.
Keadilan Tuhan adalah kekuasaan mutlak dari Tuhan yang tanpa batas. Adil
adalah apabila Tuhan mensurgakan dan menerakakan semua orang.
(Bashori dan Mulyono, 2010:138).
23
apa yang dibawa oleh Nabi, baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk,
tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin.
Definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari definisi Salaf. Salaf ialah
mereka yang mengenalkan Al-Qur’an dan berpegang teguh dengan As-Sunnah.
Jadi Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh Nabi SAW. Dan ahlus
sunnah adalah Salafush Shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka.
Ahlus Sunnah Wal Jamah dikodifikasikan dengan lebih jelas oleh Imam Abdul
Qahir bin Thahir al-Baghdadi (wafat 429 H) dalam bukunya Al Farq Bain
Al Firaq (perbedaan diantara aliran-aliran), beliau merumuskan ada delapan
kelompok yang termasuk golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah yaitu:
a. Mutakallimin (ulama kalam/theolog) yaitu orang yang memahami secara
tepat masalah-masalah keesaan Tuhan, kenabian, hukum-hukum, janji dan
ancaman, pahala dan ganjaran, syarat ijtihad, Imamah, dan pimpinan
ummat, dengan mengikuti metodologi aliran as-Shifatiah (menetapkan sifat-
sifat Tuhan) yang tidak terseret ke dalam faham antropomorfis (tasybih)
dan ta’thil (meniadakan sifat-sifat Allah), serta bid’ah kaum Syi’ah, Khawarij
dan sederet golongan bid’ah lainnya.
b. Fuqaha (ulama fiqih) yaitu para Imam Mazhab Fiqih, baik dari ahlur ra’yi
maupun ahlul Hadits, yang menganut aliran al-Shifatiah (menerima sifat-
sifat Allah) dalam masalah teologi menyangkut Tuhan dan sifat-sifat yang
azali, membersihkan diri dari faham Qadariah dan Mu’tazilah. Menetapkan
adanya ru’yah (melihat Tuhan di hari kemudian), kebangkitan, pertanyaan
kubur, telaga, jembatan, syafa’at dan pengampunan dosa selain syirik,
serta menetapkan kekekalan nikmat bagi ahli surga dan kekekalan siksa,
terhadap orang-orang kafir dalam neraka. Di samping itu, ia mengakui
kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, dan tetap menghormati
Salaf, menetapkan wajibnya shalat Jum’at di belakang para Imam yang
tidak terkena bid’ah dan wajibnya menetapkan hukum dari Qur’an, hadits
dan Ijma’. Dan mengatakan sahnya menyapu dua khuf (sejenis sepatu),
jatuhnya thalaq tiga, mengharamkan mut’ah, dan memandang wajib
mentaati seorang pemimpin selama bukan maksiat.
24
c. Muhaditsin (ulama hadits) yaitu mereka yang ahli dalam melacak jalur-
jalur Hadits dan Atsar dari Nabi, mampu membedakan antara yang shahih
dan tidak, menguasai al-Jahr wat-Ta’dil (sebab-sebab kebaikan dan
kelemahan seorang perawi Hadits) dan tidak terlibat dalam perilaku bid’ah
yang sesat.
d. Ahlul Lughot (ulama bahasa Arab) yaitu mereka yang ahli di bidang
kesusasteraan, Nahwu, Sharaf, dan mengikuti jejak pakar bahasa semisal
al-Khalil, Abu Amr bin Al-‘Ala, Sibawaihi, al-Farra’, al-Akhfasy, al-Ashma’i, al-
Muzany, Abu Ubaid dan sederet tokoh-tokoh lainnya dari Kufah dan Basrah,
yang tidak tercampur ilmunya dengan bid’ah kaum Qadariah atau Rafidah
atau Khawarij.
e. Mufassirin (ulama tafsir) yaitu mereka yang mengetahui aneka ragam
Qira’at Al-Qur’an dan orientasi penafsirannya dan pena’wilannya, sesuai
dengan aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, tanpa terpengaruh kepada
pena’wilan para pengikut hawa nafsu yang sesat.
f. Mutasawwifin (ulama tasawuf) yaitu para Zuhad Sufi yang giat beramal
dengan tulus ikhlas dan menyadari sepenuhnya, bahwasanya baik
pendengaran, penglihatan dan hati semuanya dipertanggungjawabkan di
depan sang Khaliq, yang takkan bisa lalai sebiji atom pun dari
pandangannya. Olehnya itu, mereka giat beramal tanpa banyak bicara,
konsisten dalam ketauhidan, menafikan tasybih serta menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Tuhan.
g. Mujahidin yaitu mereka yang bertempat di pos-pos pertahanan kaum
Muslimin untuk menjaga kemanan negara dari serangan musuh, menjaga
kehormatan umat Islam, baik materil maupun moril, dengan berupaya
menumbuhkan di pos-pos pertahanan mereka aliran Ahlussunnah wal
Jama’ah.
h. Semua orang di semua negara yang di dalamnya dikuasai oleh syi’ar
Ahlussunnah wal Jama’ah dan yang mengikuti ketujuh kelompok diatas.
(Ahmad Faruq @Yahoo.Com)
25
G. Perbandingan Antara Aliran Mu’tazilah dengan Asy’riyah (Ahlu Sunnah
wal Jama’ah)
Di bawah ini perbandingan Ahlu Sunnah wal Jama’ah dengan aliran Mu’tazilah
tentang:
1. Perbuatan Tuhan
Aliran Mu’tazilah sebagai aliran kalam berpendapat, bahwa perbuatan Tuhan
hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Ini bukan berarti, bahwa
Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Perbuatan buruk tidak
dilakukan-Nya, karena Ia mengetahui keburukan perbuatan buruk itu. Dasar
pemikiran serta konsep tentang keadilan Tuhan, berjalan sejajar dengan
faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan,
mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat, bahwa Tuhan
mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia.
Sedangkan bagi aliran Asy’ariah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan
terbaik bagi manusia, tidak dapat diterima oleh aliran ini, karena
bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Dengan demikian, aliran Asy’ariah tidak menerima faham Tuhan mempunyai
kewajiban. Faham mereka, bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya
terhadap makhluk, mengandung arti bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban apa-apa. (Rozak dan Rosihon. 2016:184).
2. Perbuatan Manusia
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan
bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will.
Perbuatan manusia bukan diciptakan Tuhan pada diri manusia, melainkan
manusia yang mewujudkan perbuatan. Dengan faham tersebut, aliran
Mu’tazilah masih mengakui Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan
manusia berperan sebagai pihak yang mempunyai kreasi untuk mengubah
bentuknya.
Dalam faham Asy’ariah, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia
diibaratkan anak kecil yang tidak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Oleh
karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham Jabariyah daripada dengan
26
faham Mu’tazilah. Pada prinsipnya, aliran Asy’ariyah berpendapat, bahwa
perbuatan manusia diciptakan Allah. Daya manusia tidak mempunyai efek
untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan
menciptakan pula – pada diri manusia – daya untuk melahirkan perbuatan
tersebut. Jadi, perbuatan adalah ciptaan Allah dan kasab (perolehan) bagi
manusia. (Rozak dan Rosihon. 2016:193).
3. Sifat-sifat Tuhan
Aliran Mu’tazilah yang memberikan daya yang besar pada akal berpendapat,
bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat jasmani. Apabila
Tuhan dikatakan mempunyai sifat jasmani, tentu Tuhan mempunyai ukuran
panjang, lebar, dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai kemestian dari
sesuatu yang bersifat jasmani. Selanjutnya, Mu’tazilah berpendapat, bahwa
Tuhan bersifat immateri, sehingga tidak dapat dilihat dengan mata kepala.
Dua argumen pokok yang diajukan oleh Mu’tazilah untuk menjelaskannya,
bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata jasmani. Pertama, Tuhan tidak
mengambil tempat, oleh karena itu tidak dapat dilihat. Kedua, apabila Tuhan
dapat dilihat dengan mata kepala, berarti Tuhan dapat dilihat sekarang di
dunia ini.
Bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah di atas, aliran Asy’ariah
mengatakan, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Al-Asy’ari, tidak dapat
diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya, di
samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa,
dan sebagainya, juga menyatakan bahwa Ia mempunyai pengetahuan,
kemauan, dan daya. Al-Asy’ari lebih jauh berpendapat bahwa Allah memiliki
sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti
mempunyai tangan dan kaki. (Rozak dan Rosihon. 2016:213).
4. Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan
Aliran Mu’tazilah berprinsip keadilah Tuhan, mengatakan bahwa Tuhan itu
adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada
hamba-Nya, kemudian hambalah yang harus menanggung akibat perbuatan-
Nya. Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan
27
perbuatannya, tanpa ada paksaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan
itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidak
adil, jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya, jika tanpa
diiringi dengan pemberian kebebasan terlebih dahulu.
Sedangkan menurut kaum Asy’ariah, perbuatan-perbuatan Tuhan tidak
mempunyai tujuan. Sebab, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu,
semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Mereka mengartikan keadilan
dengan menempatkan sesuatu di tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai
kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki, serta mempergunakannya
sesuai dengan kehendaknya. (Rozak dan Rosihon. 2016:235).
28
Pertanyaan:
1. Jelaskan pengertian Mu’tazilah dan tokohnya?
2. Jelaskan yang melatarbelakangi lahirnya aliran Mu’tazilah?
3. Terangkan ajaran-ajaran yang dikembangkan aliran Mu’tazilah?
4. Jelaskan Latar belakang munculnya aliran Ahlu sunnah wal jama’ah?
5. Jelaskan ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh ahlu sunnah wal jama’ah?
29
30
BAB II
A. Pendahuluan
Pemikiran politik Islam berkembang secara luas, tak lain karena berbagai
peristiwa penting sejak Rasulullah hijrah ke Madinah. Setelah wafatnya
Rasullullah Saw, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok
Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah di Saqifah,
yang pada akhirnya menjadi perdebatan sengit dikalangan para sahabat, tentang
siapa yang berhak menggantikan Rasulullah dalam kepemimpinan agama dan
politik. Permasalahan awal setelah wafatnya Rasulullah tentang siapa pengganti
Rasulullah, membuktikan bahwa sejak awal karakter yang diperlihatkan umat
Islam begitu serius dalam membicarakan persoalan politik.
Yang paling menegangkan dalam sejarah Islam adalah peristiwa tahkim yang
terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang menjadi
puncak perdebatan politik di kalangan umat Islam. Perebutan kekuasaan antara
Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, telah melahirkan persoalan
teologis yang sangat kuat (kafir dan mengkafirkan). Lahirlah aliran-aliran teologi
yang sebelumnya tidak pernah ada di masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin,
31
seperti Khawarij, Mu’tazilah, Ahlussunnah Wal Jamaah, dan Syi’ah. (Mujar Ibnu
Syarif & Khamami Zada, 2008: 26-27).
Dengan memahami petunjuk Nabi Saw dan berpegang teguh kepadanya, insya
Allah akan mendapat petunjuk dan mengetahui agamanya. Oleh karena itu akan
terjauhkan dari perpecahan dan pertentangan, yang menuju pada perpecahan
atau terjerumus ke dalamnya tanpa disadari. Sementara sebab khusus yang
dapat menjaga dari perpecahan adalah megikuti jalan Salafush Shalih, yaitu
sahabat, tabi’in, dan imam agama dari kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Naser
Abdulkarim al-Aql, 1994 :8).
B. Sunni
1. Pengertian Sunni
Sunni adalah sebutan pendek Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu sebuah aliran
pemikiran yang mengklaim dirinya sebagai pengikut sunnah (the follower of
the sunnah), yaitu sebuah jalan keagamaan yang mengikuti Rasulullah dan
sahabat-sahabatnya, sebagaimana dilukiskan dalam Hadits Ma ana ‘alaihi wa
ashâbi (Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal III hal. 145; Abu
Dawud, “Sunnah”, bab Syarh al Sunnah; dan Tirmidzi, “Iman” bab terpecah
belahnya Umat Islam. Menurut Tirmidzi hadits ini hasan shahih).
32
Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran Sadr al-Sharih, al-Mahbubi
yaitu ‘ammah al-Muslimun (umumnya umat Islam) dan al-jama’ah al-katsir
wa al-sawad al-a‘zam (jumlah besar dan khalayak ramai). (Harun Nasution,
1986: 64)
Penjelasan mengenai politik Sunni diwakili antara lain oleh al-Mawardi (W.
1058) dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah yang memuat penjelasan
mengenai sistem Politik dalam Islam.
Komunitas Sunni dikenal juga dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Fondasi pemikiran politik mereka, dibentuk selama periode akhir pemerintah
Umayyah hingga periode awal Abbasiyyah. Sebuah teori politik yang cukup
artikulatif dari kalangan Ahli Sunnah, pada akhirnya muncul di paruh pertama
abad ke 11, doktrinnya mengenai kekhalifahan, memuaskan dahaga
komunitas agama yang sedang galau, karena menurutnya harapan mereka
secara drastis kepada lembaga kekhalifahan, seraya tetap memelihara
legitimasi Abbasiyyah sebagai pemimpin umat Islam.
33
Ahli Sunnah, siapapun mereka, tetapi bisa meliputi ulama senior. (Mujar Ibnu
Syarif & Khamami Zada, 2008: 62-63).
Selain itu, untuk menjadi imam, seseorang tidak perlu terbebas dari
kemungkinan melakukan kesalahan, yang terpenting ia memiliki pandangan
yang tegas tentang perang dan mampu menengahi perselisihan. Karakteristik
umum dari pemikiran Sunni adalah bahwa tak ada prosedur baku untuk
memecat khalifah. Pandangan Ahli sunnah mengenai khalifah dikembangkan
oleh Abu Hasan Ali Al-Mawardi, menurut beliau lembaga negara dan
pemerintah diadakan sebagai fungsi kenabian dalam menjaga agama dan
mengatur dunia.
Menurutnya, kepemimpinan negara adalah wajib kifayah, jadi jika ada orang
yang menjalankannya dari kalangan orang yang berkompeten, maka
kewajiban itu gugur atas orang lain, dan jika tidak ada yang menjabatnya,
maka kewajiban ini dibebankan kepada dua kelompok manusia, yaitu orang-
orang yang mempunyai wewenang memilih kepala negara dan orang-orang
yang mempunyai kompetensi untuk memimpin negara, sehingga mereka
ditunjuk dari mereka untuk memangku jabatan. (Mujar Ibnu Syarif &
Khamami Zada, 2008: 64-65).
C. Syi’ah
1. Pengertian
34
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna pembela dan pengikut
seseorang. Selain itu juga bermakna Setiap kaum yang berkumpul di atas
suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat, bermakna mereka yang
menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara para sahabat
dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum Muslimin,
demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau. Kelompok ini sangat
mengagungkan Ali bin Abi Thalib. (Ahmad Rifa’i Zen, 2011: 71).
2. Sejarah
35
sikap Ali disebut Khawarij. (W. Montgomery Watt, Terj Umar Basalim,
1987:10).
Bukti utama tentang sahnya ‘Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa
Ghadir Khum. (Hadits tentang Ghadir Khum ini terdapat dalam versi sunni
ataupun Syi’ah dan semuanya merupakan hadits shahih). Lebih dari seratus
sahabat telah meriwayatkan hadits ini dalam berbagai sanad dan ungkapan.
(Thabathaba’i, 1989: 72)
Diceritakan, bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari
Mekah ke Madinah, di padang pasir yang bernama Ghadir Khum, Nabi
memilih Ali sebagai penggantinya di hadapan massa yang penuh sesak
menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menempatkan Ali
sebagai pemimpin umum umat (wilayat-imamah), tetapi juga menjadikan Ali
sebagai Nabi, sebagai pelindung (wali) mereka. (Thabathaba’i, 1989: 38).
Berlawanan dengan harapan mereka, ketika Nabi wafat dan jasadnya masih
terbaring belum dikuburkan, anggota keluarganya dan beberapa orang
sahabat sibuk dengan persiapan penguburan dan upacara
pemakamannya. Teman-teman dan pengikut-pengikut Ali mendengar kabar
36
adanya kegiatan kelompok lain, yang telah pergi ke masjid tempat umat
berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini
kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, dan dengan sangat
tergesa-gesa memilih kaum Muslim dengan maksud menjaga kesejahteraan
umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu,
tanpa berunding dengan ahl al-bait, keluarganya ataupun sahabatnya yang
sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikitpun tidak memberi
tahu mereka. Dengan demikian kawan-kawan Ali dihadapkan pada suatu
keadaan yang sudah tidak dapat berubah lagi (faith accompli). (Thabathaba’i,
1989: 39-40).
Inilah yang kemudian disebut dengan Syi’ah. Akan tetapi lebih dari itu,
seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada
kenyataan, bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu Islam sehingga harus
diwujudkan.
37
kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-hadits yang mereka terima dari ahl al-bait,
berpendapat bahwa perpecahan itu mulai, ketika Nabi Muhammad Saw wafat
dan kekhalifahannya jatuh ke tangan Abu Bakar. Setelah itu terbentuklah
Syi’ah. Bagi mereka, pada masa kepemimpinan Khulafaur rasyidin, kelompok
Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak kepermukaan mengajarkan dan
menyebarkan doktrin-doktrin Syi’ah kepada masyarakat. Tampaknya, Syi’ah
sebagai salah satu faksi politik Islam yang bergerak secara terang-terangan,
muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, Syi’ah sebagai
doktrin yang diajarkan diam-diam oleh ahl al-bait muncul setelah wafatnya
Nabi.
Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah, perpecahan memang mulai
mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh
38
momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib
tepatnya setelah perang Siffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-
hadits yang mereka terima dari ahli bait, berpendapat bahwa perpecahan itu
sudah mulai ketika Nabi Saw wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu
Bakar. Segara setelah itu terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin sekalipun, kelompok Syi’ah sudah ada.
Mereka bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan
doktrin-doktrin Syi’ah pada masyarakat. Tampaknya Syi’ah sebagai salah satu
faksi Islam yang bergerak secara terang-terangan, memang baru muncul
pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sedangkan Syi’ah sebagai doktrin
yang diajarkan secara diam-diam oleh ahli bait muncul setelah wafat Nabi
Saw (Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, 2012:114).
Aliran Syi’ah mempunyai lima prinsip utama yang wajib dipercayai oleh para
pengikutnya, (Irhamdi Nasda, 2016) yaitu:
a. Al-Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa Allah itu Ada, Maha Esa,
Tunggal, Tempat bergantung segala makhluk, Tidak beranak dan tidak
diperanakan dan tidak seorangpun yang menyamai-Nya.
39
b. Al-Adl
c. Al-Nubuwwah
d. Al-Imamah
e. Al-Ma’ad
Ma'ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya
sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti
terjadi.
Secara garis besar pemikiran dan keyakinan aliran ini, (Vini Zikra, 2016)
yaitu:
c. Abu Bakar, Umar dan Utsman dituduh telah merampas hak Ali untuk
menjadi khalifah.
d. Khalifah adalah orang yang ma’shum yaitu orang yang terbebas dari
dosa dan kesalahan.
40
e. Taqiyah yaitu ajaran yang membolehkan seseorang menyembunyikan
keyakinannya dan melakukan atau menampakkan sesuatu yang
berlawanan dengan keyakinannya, demi menjaga keselamatannya dari
ancaman.
41
Bagi Syi’ah Itsna ‘Asyariah, Al-ausiya yang telah dikultuskan setelah
Husein adalah Ali Zainal Abidin, kemudian serta berturut-turut;
Muhammad Al-Baqir (w. 115H/733 M), Abdullah Ja’far Ash-Shadiq
(w.148 H/765 M), Musa Al-Khazim (w. 220 H/835 M), Ali Ar-Rida (w.
183 H/799 M), Muhammad Al-Jawwad (w.220 H/835 M), Ali Al-Hadi
(w. 254 H/874 M), Hasan Al-Askari dan terakhir adalah Muhammad
Al-Mahdi sebagai imam kedua belas. (Abu Zahrah, 1996:52).
42
b) Keadilan (The Devine Justice)
c) Nubuwwah (Apostleship)
43
d) Ma’ad (The Last Day)
Tujuh imam itu ialah Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin,
Muhammad Al-Baqir, Ja’far As-shadiq, dan Ismail bin Ja’far. (Ahmad
Imam Salabi, Terj, Mukhtar Yahya, 1992 : 208)
44
Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq,
Syi’ah Sab’iah disebut juga Syi’ah Ismailiyah. (Harun Nasution, 1985
:100).
45
sekte Sunni dan Syi’ah itsna ‘Asyariah, tetapi tidak mencantumkan
imam zaman. (Sami Nasib Makareem, 1972 :13),
46
Mengenai sifat Allah. Sab’iah sebagaimana halnya Mu’tazilah
meniadakan sifat dari Dzat Allah. Penetapan sifat menurut Sab’iah
merupakan penyerupaan dengan makhluk. (Syahrastani, tt.: 193).
c. Syi’ah Zaidiah
1) Asal- Usul Penamaan Syi’ah Zaidiah
Sekte ini mengakui Zaid bin Ali Zainal Abidin, sebagai imam kelima,
putra Imam keempat, Ali Zainal Abidin. Ini berbeda dengan sekte
Syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-Baqir, anak Zainal Abidin
yang lain, sebagai imam kelima, dari nama Zaid bin Ali Zainal Abidin
inilah nama Zaidiah diambil. (Ignaz Gotziher, Terj. Heri setiawan,
1991:121). Syi’ah Zaidiah merupakan sekte Syi’ah yang
moderat. (Abu Zahrah, Ter. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib,
1996: 45). Bahkan Abu Zahrah mengatakan bahwa Syi’ah Zaidiah
merupakan sekte yang paling dekat dengan Sunni.
47
Dengan doktrin imamah seperti itu, tidak heran jika Syi’ah Zaidiah
sering mengalami krisis dalam keimaman. Hal ini, karena terbukanya
kesempatan bagi setiap keturunan ahl al-bait untuk
memproklamasikan dirinya sebagai imam. Ini berbeda dengan Syi’ah
itsna Asyariah yang hanya mengakui keturunan Husen sebagai
imam. (Golziher, :212).
“Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling utama.
Kekhalifahannya diserahkan kepada Abu Bakar karena
mempertimbangkan kemaslahatan dan kaidah agama yang mereka
48
pelihara, yaitu untuk meredam timbulnya fitnah dan menenangkan
rakyat. Era peperangan yang terjadi pada masa kenabian baru
berlalu. Pedang Amir Al-Mu’minin Ali belum lagi kering dari darah
orang-orang kafir. Begitu pula, kedengkian suku tertentu untuk
menuntut balas dendam belum surut. Sedikitpun, hati kita tidak
pantas untuk cenderung ke sana. Jangan sampai ada lagi leher yang
terputus, hanya karena masalah itu. Melaksanakan pandangan inilah,
yang dinamakan kemaslahatan bagi orang yang mengenal dengan
kelemahlembutan dan kasih sayang, juga bagi orang yang lebih tua
lebih dahulu memeluk Islam, serta yang dekat dengan Rasulullah.”
(Abu Zahrah, 1996: 42).
d. Syi’ah Ghulat
1) Asal-Usul Penamaan Syi’ah Ghulat
49
pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat
kenabian, bahkan lebih tinggi dari Muhammad. (Zahrah, 1996: 39).
50
Syahrastani menjelaskan bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah
Ghulat mempunyai beberapa arti, apabila berkaitan dengan ilmu,
artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang
diketahui Allah. Apabila berkaitan dengan kehendak, artinya
memperlihatkan yang benar, dengan menyalahi yang dikehendaki
dan hukum yang diterapkan-Nya. Apabila berkaitan dengan perintah,
artinya memerintahkan hal lain yang bertentangan dengan perintah
sebelumnya. (Syahrastani, 1996 :148-149).
51
Ghaiba artinya menghilangnya imam Mahdi. Ghaiba merupakan
kepercayaan Syi’ah, bahwa Imam Mahdi ada di dalam negeri ini dan
tidak dapat dilihat oleh mata biasa. (Abdorahim Gavahi, 1988: 253).
Konsep ghaiba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar ats-Tsaqafi
tahun 66 H/686 M di Kufah ketika mempropagandakan Muhammad
bin Hanafiah sebagai Imam Mahdi.
Para pembela Sayyidina Ali pada mulanya disebut sebagai “Syi’ah Ali” atau
Pengikut Ali, kemudian istilah itu berubah menjadi “Syi’ah” saja. Walaupun
beberapa orang Bani Hasyim dan sebagian sahabat Nabi beranggapan,
bahwa Sayyidina Ali adalah orang yang paling berhak menduduki jabatan
khalifah sepeninggal Rasulullah Saw, sebagiannya lagi berpendapat, bahwa ia
lebih utama dari para sahabat lainnya, terutama dari Sayyidina Utsman r.a.
Akan tetapi pada masa kekhalifahan Sayyidina Utsman, mereka belum
memiliki bentuk aqidah atau mazhab, dan mereka juga tidak tidak
menentang kekhalifahan Utsman, tapi sebaliknya mereka mengakui
kekhalifahan ketiga yang pertama.
52
menetapkan seorang imam dengan ketetapan yang jelas, sebagai ganti
membiarkan masalah imamah sebagai objek pemilihan oleh umat.
b. Seorang yang dipilih jadi Imam harus ma’shum, yakni seorang yang suci,
terjaga dan terpelihara dari perbuatan dosa besar dan kecil.
c. Sayyidina Ali adalah imam yang telah ditetapkan oleh Nabi Saw.
d. Kelompok-kelompok Syi’ah bersepakat bahwa imâmah adalah hak milik
anak cucu Ali saja. (Abul A’la Al-Maududi, 1996 : 271-273)
53
Pertanyaan
5. Apa hikmah yang saudara petik dari adanya keragaman alirah Syi’ah ?
54
BAB III
A. Pendahuluan
Ketika Rasulullah Saw masih hidup, semua persoalan yang dihadapi para sahabat
dapat diselesaikan bersama Rasul melalui sunahnya, dan wahyu yang masih
terus turun kepada beliau. Maka ketika beliau wafat berhentilah wahyu yang
selama 23 tahun disampaikan kepadanya. Wahyu Al-Quran yang berjumlah 30
juz ini kemudian disusun menjadi sebuah mushaf ketika masa Khalifah pertama,
Abu Bakar ash-Shiddiq, sementara Hadits yang menjadi sumber kedua setelah Al-
Quran baru dibukukan pada masa Umar bin Abdul Aziz sekitar abad ke 2 H., yang
merupakan salah seorang penguasa Dinasti Umayyah.
Rasulullah Saw wafat pada tahun 571 M/10 H., dan kehidupan manusia terus
berlangsung dengan diiringi permasalahan kehidupan yang semakin beragam.
Dalam menghadapi dinamika permasalahan kehidupan yang terus bertambah dan
beragam, maka diperlukan metode-metode pengambilan hukum Islam yang
sesuai dengan syarak (ajaran Islam) dan tuntutan zaman.
Sering kita mendengar istilah al-Wahyu qad intaha wa al-masalatu lam yantahi,
wahyu sudah selesai (dengan wafatnya Rasul), sedangkan masalah tidak pernah
selesai. Artinya, dengan wafatnya Rasul, tidak berarti tidak ada masalah yang
tidak dapat diselesaikan, karena Rasulullah telah meninggalkan pedoman bagi
umat Islam, yakni Al-Quran dan Al-Hadits. Maka lahirlah berbagai disiplin ilmu
dalam usaha untuk memahami ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan
Al-Hadits.
55
Tim Karya Ilmiah Purnasiswa (2006: 3-6), menjelaskan bahwa legalisasi Islam
(Tasyri’) dalam perjalanan sejarahnya dihasilkan, melalui beberapa tahap serta
melewati proses yang berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Dimulai dari masa pembinaan (periode Nabi 1-10 H), pertumbuhan (periode
Khulafaur Rasyidin, 11-40 H/620-660 M), perkembangan (periode Dinasti
Umayyah 41-132 H/661–750 M), pematangan (periode Abbasiyah pertama 132
334 H/750-945 M), taklid dan konsolidasi Mazhab (periode pertengahan
Abbasiyah hingga runtuhnya Baghdad, 334-656 H/945 – 1256 M), sampai masa
stagnasi dan kebangkitan (periode pasca Abbasiyah).
Penerapan syari’ah ini mulai tumbuh dan terus berkembang melalui beberapa
periode. Pertama, Masa pembinaan yang berlangsung ± 22 tahun, semuanya
masih memusat, karena sepenuhnya diserahkan kepada Rasulullah Muhammad
Saw sebagai pengemban Wahyu dan penyebar Sunnah. Pada periode ini, syari’ah
Islam mulai dibangun dan benar-benar berlaku secara efektif dalam semua
bidang: aqidah, hukum, dan akhlak atau etika dalam Islam. Kedua,
pengkodifikasian Al-Quran sebagai sumber rujukan utama hukum Islam dan
tumbuhnya sumber hukum lainnya, yakni ijma’ dan qiyas. Ketiga, diwarnai
dengan semangat ijtihad oleh para intelektual Muslim, dan aktifitas tasyri’ yang
paling penting adalah kodifikasi Sunnah (Hadits), sehingga para Mujtahid terbagi
dalam dua kelompok, Ahlul al-Hadits dan Ahlu ar-Ra’yi. Keempat, banyak terjadi
perdebatan seputar keabsahan dalil-dalil hukum dan metodologi penggaliannya,
maka muncullah teori ushul fikih yang menjadi acuan dasar mazhab-mazhab fikih
dalam proses penggalian hukum, dan periode ini disebut periode terbaik dalam
perjalanan tasyri’. Periode ini berjalan kurang lebih 1 abad. Kelima, periode ini
hanya berkutat pada area taklid dan pensyarahan hasil ijtihad para mujtahid
pada periode sebelumnya. Pada periode ini juga terjadi peperangan dalam kurun
waktu dua abad, yaitu Perang Salib. Pada periode ini tumbuh kesadaran umat
Islam atas ketertinggalannya sejak abad XII. Di antara disiplin ilmu yang lahir
berkaitan dengan ibadah atau syariah adalah Fiqih dan Ushul Fiqih.
56
B. Pembentukan Hukum Islam
1. Pengertian Fiqih
Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman yang mendalam
terhadap suatu hal. Beberapa ulama memberikan penguraian, bahwa arti
fikih secara terminologi yaitu merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum
Islam yang diperoleh melalui dalil Al-Quran dan Sunnah.
Menurut bahasa, fikih berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fikih berarti
ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syarak yang berkenaan
dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).
Orang yang mendalami fikih disebut dengan faqih. Jamaknya adalah fuqaha,
yakni orang-orang yang mendalami fikih.
Dalam kitab Durr al-Mukhtar disebutkan, bahwa fikih mempunyai dua makna,
yakni menurut ahli usul dan ahli fikih. Masing-masing memiliki pengertian dan
dasar sendiri-sendiri dalam memaknai fikih.
Menurut ahli usul, fikih adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syarak
yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil yang tafsil
(khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul mengartikan fikih adalah
mengetahui fikih, yakni mengetahui hukum dan dalilnya.
57
Ahlu Al-Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam
menetapkan fikih, lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad
ketimbang hadits, dan Ahlu hadits merupakan kelompok di masa tabi’in yang
dalam pelegislasian hukum Islam, lebih dominan menggunakan hadits
ketimbang ra’yu. Ahl Ra’yi muncul lebih banyak di wilayah Irak, khususnya di
Basrah dan Kufah.
2. Ahl Ra’yu
a) Latar Belakang Kemunculan.
Ahl Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam
menetapkan fikih lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad
ketimbang hadits. Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Irak,
khususnya di Basrah dan Kufah. Menurut Muhammad Ali as-Sayis bahwa
munculnya aliran ini, sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni:
58
1) Keterikatan yang sangat kuat terhadap guru pertama mereka yaitu
Abdullah bin Mas’ud yang dalam metode ijtihadnya banyak
dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang sering
menggunakan ra’yu.
2) Minimnya mereka menerima hadits Nabi. Ini dikarenakan, mereka
hanya mengandalkan hadits yang disampaikan oleh para sahabat
yang datang ke Irak, seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas,
Ammar bin Yasir, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping
itu, mereka juga minim menggunakan hadits, sehingga mendorong
mereka untuk menggunakan ra’yu, juga dipengaruhi oleh ketatnya
proses seleksi mereka terhadap hadits dengan cara memberikan
kriteria-kriteria yang sangat sulit. Seleksi yang sungguh ketat yang
mereka terapkan, berpengaruh terhadap minimnya hadits yang dapat
diterima sebagai dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat yang
mereka lakukan ini, termotivasi oleh munculnya pemalsu-pemalsu
hadits yang kala itu jumlahnya tidak sedikit.
3) Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi
hukum. Masalah-masalah ini muncul, dikarenakan pesatnya
perkembangan budaya yang terjadi di Irak kala itu, terutama yang
berasal dari Persia, Yunani, Babilonia, dan Romawi dan ketika
budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran
Islam, maka harus dicari solusi hukumnya. Minimnya hadits yang
mereka peroleh menggiring mereka untuk menggunakan ra’yu.
b) Keistimewaan Ahl Ra’yu
59
Munculnya masalah-masalah baru ini memberikan dampak terhadap
produktifitas kegiatan ilmiah mereka di bidang fikih, termasuk dalam
melahirkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap masalah yang belum
terjadi.
Beberapa tokoh yang termasuk dalam kelompok ahl ra’yu adalah sebagai
berikut:
60
4) Sa’id bin Jubair (w. 95 H).
5) Al-Sya’bi Abu Amr bin Syarhil al-Hamadzani (w. 114).
3. Ahl Al-Hadits
a) Latar Belakang Kemunculan.
Banyaknya hadits yang mereka peroleh, sebab para sahabat yang hidup
pada zaman Nabi banyak yang tinggal di Hijaz, terutama di Mekah dan
Madinah.
Gaya hidup orang Hijaz yang sangat eksklusif dan tidak se-dinamis dan
se-heterogen di wilayah Irak. Masalah-masalah baru yang memerlukan
fatwa sangat minim sekali, hal ini, di samping karena penduduknya
cukup homogen dan juga jarang terjadi pergolakan seperti di Irak.
b) Keistimewaan.
61
memberikan kriteria yang sangat ketat dalam penukilan hadits, sebab
mereka berpandangan, bahwa riwayat yang berasal dari penduduk Hijaz
adalah tsiqat. Kedua, tidak suka mempersoalkan atau mendiskusikan
masalah-masalah yang belum muncul karena akan mendorong
penggunaan ra’yu. Ketiga, dalam memahami suatu nash, sangat
berpatokan kepada makna zahir nash (tekstual) dan tidak mendiskusikan
lebih lanjut tentang alasan dan hikmah yang terkandung di dalam nash
tersebut. Keempat, tidak menggunakan ra’yu, kecuali pada saat
terpaksa.
c) Tokoh-Tokohnya.
a. Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin Haris bin Hisyam (w. 94 H).
b. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H.)
c. Urwah bin Zubeir bin Awwam (w. 94 H.)
d. Sa’id bin al-Musayyab (w. 94 H.).
e. Sulaiman bin Yasar (w. 107 H).
f. Kharij bin Zaid bin Tsabit (w. 100 H.).
g. Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H.).
d) Metode Legislasi Hukum.
62
pendapat yang lebih mendekati pemahaman mereka. Dengan demikian,
terlihatlah bahwa ra’yu digunakan dalam keadaan terpaksa, bila pada
sumber-sumber hukum utama tidak diketemukan keterangannya.
Ahlu al-Hadits dan Ahl Ra’yi adalah dua kecenderungan dalam metode
pelegislasian hukum Islam. Hal ini, dikarenakan faktor sumber hadits,
homogenitas dan heterogenitas penduduk yang mendiami tempat
tersebut. Ahlu Hadits yang berkembang di Hijaz, mempunyai banyak
sumber hadits, karena sahabat yang mendengar Nabi lebih banyak
tinggal di wilayah ini. Di samping itu, penduduknya juga termasuk
homogen yang tentu tidak akan melahirkan terlalu banyak persoalan.
Sedangkan Ahlu Ra’yi yang berkembang di Irak lebih sedikit
mendapatkan hadits, baik karena sumbernya atau kehati-hatian mereka
dalam menseleksi hadits karena banyaknya hadits maudhu’. Irak juga
dikenal dengan masyarakat yang heterogen dan berlatar berbagai
peradaban, percampuran peradaban inilah yang melahirkan berbagai
masalah yang membutuhkan pemecahan hukum.
a. Al-Quran.
b. Hadits.
c. Ijma’ (konsep ijma’ pada abad II).
d. Hadits Âhâd
63
untuk kemaslahatan umat manusia, agar mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Dengan demikian, ketetapan syariah itu untuk kepentingan umat
manusia, bukan untuk Allah, karena Allah tidak akan dirugikan, ketika manusia
tidak menjalankan pedoman hidup tersebut.
64
Ketiga kebutuhan (maslahat) di muka, memiliki urutan dan tingkat yang
tetap, di mana kebutuhan primer (dharury), berada dalam tingkat tertinggi
dan tidak bisa digeser oleh kebutuhan sekunder (hâjiy), atau kebutuhan
tersier (tahsiniy). Kebutuhan tahsiniy bersifat penyempurnaan (mukamalah)
dari kedua kebutuhan sebelumnya, maka kebutuhan tersier ini tidak bisa
didahulukan atau dikedepankan, sebelum kebutuhan dharury dan Hâjiy
terpenuhi.
Yang menjadi inti dari tujuan syariah ialah adanya kemaslahatan dharury
bagi setiap umat manusia. Para ulama hukum Islam menyebutnya dengan
istilah ad-dharuriyyat al-khams (lima hal yang bersifat penting dan
mendasar). Maka, ketika seseorang telah terpenuhi oleh lima kebutuhan
primer tersebut, dia telah mendapatkan kemaslahatan dalam hidupnya.
65
∩⊇∠∪ tβθà)−Gs? öΝà6¯=yès9 É=≈t6ø9F{$# ’Í<'ρé'¯≈tƒ ×ο4θuŠym ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ’Îû öΝä3s9uρ
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
Dalam ayat ini, Allah Swt menjadikan qishash sebagai salah satu sebab
kelestarian kehidupan, padahal qishash itu sendiri merupakan kematian.
Dengan keberadaan hukum qishash, maka para perilaku kriminal menjadi
jera, dan kehidupan pun menjadi aman.
Untuk menjaga jiwa, agar jiwa ini tetap sehat, selain diberlakukan hukum
qishash, juga hendaklah dibiasakan dengan dzikir (mengingat Allah) dan
membaca Al-Quran QS Al-Anfâl, (8):2
öΝÍκön=tã ôMu‹Î=è? #sŒÎ)uρ öΝåκæ5θè=è% ôMn=Å_uρ ª!$# tÏ.èŒ #sŒÎ) tÏ%©!$# šχθãΖÏΒ÷σßϑø9$# $yϑ¯ΡÎ)
66
Ilmu ini wajib diiringi dengan amal perbuatan. Ilmu bukan sekedar untuk
diketahui, namun dengan ilmu agar bertakwa, beramal shalih, juga
menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Misalnya dengan minum
minuman keras atau sejenis narkoba, karena kedua jenis perbuatan ini
dapat merusak akal dan tidak dapat menjaga kemurnian akal.
d) Menjaga keturunan (hifzhu an-nasl)
QS. Al-Isrâ`(17): 32
QS. Al-Nisâ`(4): 3
Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù 4‘uΚ≈tGu‹ø9$# ’Îû (#θäÜÅ¡ø)è? āωr& ÷Λäø%Åz ÷βÎ)uρ
ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? āωr& óΟçFø%Åz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, maka
67
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
e) Menjaga harta (hifzhu al-mal)
$pκÏù öΝèδθè%ã—ö‘$#uρ $Vϑ≈uŠÏ% ö/ä3s9 ª!$# Ÿ≅yèy_ ÉL©9$# ãΝä3s9≡uθøΒr& u!$yγx%¡9$# (#θè?÷σè? Ÿωuρ
Syari’ah adalah konsep substansial dari seluruh ajaran Islam, meliputi aspek
keyakinan, moral dan hukum, sedangkan fiqih merupakan upaya untuk
memahami ajaran Islam. Jadi, fiqih cenderung sebagai konsep fungsional, akan
tetapi dalam perkembangan terakhir, fiqih difahami oleh ahli ushul fiqih
(ushuliyyun), sebagai hukum praktis hasil ijtihad, sementara fuqaha (ahli fiqih)
umumnya mengartikan fiqih, sebagai kumpulan hukum Islam yang mencakup
semua hukum syar’i, baik yang tertuang secara tekstual, maupun hasil penalaran
atas teks. Dengan demikian, terdapat pergeseran konsep fungsional menuju
konsep institusional. Terlepas dari dua konsep tersebut, pada dasarnya fiqih
merupakan mata rantai dengan syari’ah yang berdimensi teologis. (Supriadi,
2007: 26)
68
merupakan bagian dari syari’ah, karena syari’ah – seperti yang telah dijelaskan di
awal – mengatur aktivitas batin (i’tiqad), dan lahir (ibadah dan mu’amalah).
Orang yang pertama kali membuat teori ushul fiqih adalah Abu Yusuf, sahabat
Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, tidak terdapat satu pun karya beliau yang
sampai kepada generasi setelahnya. Maka, para ulama sependapat bahwa Imam
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i yang meninggal tahun 204 H. adalah yang
pertama kali menyusun teori ushul fiqih sebagai pengantar, yakni Al-Risalah.
(Syaikh Muhammad al-Khudhori Bik, 2007: 5).
Fiqih adalah metode dan upaya manusia untuk memahami syari’ah atau hukum-
hukum Allah Swt, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Fiqih sifatnya
berubah-ubah, sesuai dengan konteks zaman yang dijalani oleh manusia itu
sendiri dan tempat mereka tinggal. Maka, wajar sekali ketika ketentuan fiqih
yang dikeluarkan fuqaha itu memiliki perbedaan, dan fiqih pun bukanlah
ketetapan Allah Swt yang bersifat kekal.
Sumber-sumber yang menjadi landasan fiqih terdiri dari nash-nash Al-Quran, As-
Sunnah, dan ar-Ra’yu (akal). Landasan tersebut diambil dari cerita Rasulullah
Saw ketika akan mengirimkan sahabatnya yang bernama Mu’adz bin Jabal
berangkat dari Madinah untuk menyampaikan surat kepada Gubernur di Yaman
untuk perang.
69
ﷲ َﺻ ّﲇ ِ ﲱ ِﺎب ُﻣ َﻌﺎ ٍذ ْ ِﻦ َﺟ َ ٍﻞ ن َر ُﺳ ْﻮ َل َ ْ َﻋ ْﻦ َ ٍﺲ ِﻣ ْﻦ ﻫ ِْﻞ َ ْﲪﺺ ِﻣ ْﻦ
َﻛ ْﻴ َﻒ ﺗَ ْﻘ ِﴤ اذ َا: ﷲ (َﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳ ّ َﲅ ﻟَﻤﺎ َرا َد ْن ﻳ َ ْﺒ َﻌ َﺚ ُﻣ ًﻌﺎ ًذا ا َﱄ اﻟْ َﻴ َﻤ ِﻦ ﻗَﺎ َل ُ
4 ِ 4
ِ َ ِﺎبCُﻋ ِﺮ َض َ َ> ﻗَﻀَ ﺎ ٌء ؟ ﻗَﺎ َل ْﻗ ِﴤ ِ ِﻜ
ﻓَ ْٕﺎ ْن ﻟَ ْﻢ َﲡ ِْﺪ ِﰲ ﻛ َﺘ ِﺎب: ﻗَﺎ َل،ﷲ
ﷲ ِ ﻮل ِ ﻨ ِﺔ َر ُﺳO ﻓَﺎ ْن ﻟَﻢ َﲡ ِْﺪ ِﰲ ُﺳ: ﻗَﺎ َل،ﷲ ِ ﻨّ ِﺔ َر ُﺳ ْﻮ ِلO ُﺴQِ َ ﻓ: ﷲ ؟ ﻗَﺎ َل ِ
4
ﷲ َﺻ ّﲇ ِ ﴬ َب َر ُﺳ ْﻮ ُل ََ َ ﻓ. ِ ْﱚ َو َﻻ ﻟُﻮU ْﺟﳤَ ِ ﺪُ َر: ﷲ؟ ﻓَﺎ َل ِ َو َﻻ ِ ْﰲ ِﻛ َﺘ ِﺎب
ﷲ ِﻟ َﻤﺎِ ّ ِا\ي َوﻓَ َﻖ َر ُﺳ ْﻮ ُل َر ُﺳ ْﻮ ِلZِ ّ ِ ُ َاﻟْ َﺤ ْﻤﺪ:ﷲ (َﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳ ّ َﲅ َﺻ ْﺪ َر ُﻩ َوﻗَﺎ َل ُ
( )رواﻩ ٔﺑﻮ داود. ﷲ ِ _َ ْﺮ َﴈ َر ُﺳ ْﻮ ُل
Dari Unas penduduk Hams sahabat Mu’adz ibn Jabal, sesungguhnya Rasulullah
Saw bermaksud mengutus Mu’adz (untuk memimpin perang) ke Yaman, ia
bertanya:’ Bagaimana engkau akan memutuskan apabila menghadapi suatu
perkara?’. (Mu’adz) menjawab:” Aku akan memutuskan dengan Kitabullah (Al-
Quran)”. Nabi bertanya (kembali):” Apabila engkau tidak menemukan
Kitabullah?”. Mu’adz menjawab: ’Dengan Sunnah Rasulullah Saw. Nabi bertanya
(kembali): ”Jika kamu tidak menemukan dalam Sunnah Rasul maupun
Kitabullah”. (Mu’adz) menjawab: ’Aku akan bersungguh-sungguh (ijtihad) dengan
(menggunakan) akalku”. Maka, Rasulullah Saw menepuk dadanya dan bersabda:
”Segala puji bagi Allah, karena sesuai pandangan Rasulullah dengan utusan
Rasulullah.
Dari hadits di atas, Rasulullah Saw sudah mengisyaratkan akan hal-hal atau
masalah yang hukumnya belum terdapat dalam Al-Quran dan as-Sunnah, maka
akal memilih tempat untuk pengambilan hukum dalam Islam. Dalam Ash-
Shiddieqy (1997:23) dan Ali (2007:76) disebutkan, bahwa sumber hukum Islam
itu tidak hanya tiga hal di atas, melainkan Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan ar-
Ra’yu atau dalil akal (Ijtihad), menurut pendapat Imam Syafi’i dalam bukunya
yang fenomenal, ar-Risalah.
Untuk mendapatkan sebuah hukum fiqih harus melewati sebuah proses yang
disebut ijtihad, dan yang melakukan hal tersebut disebut Mujtahid. Ash-Shiddieqy
(1997: 50-53), ijtihad ialah kesanggupan mengistimbatkan atau mengeluarkan
hukum syarak dari dalil syarak yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, seperti yang
70
dikatakan al-‘Alamah al-Khudlari al-Ijtihadu huwa badzlu al-juhdi fi istimbati al-
hukmi asy-syar’i min ma i’tibaru asy-syari’u dalilan”. Batasan ijtihad adalah hal-
hal yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan AS-Sunnah.
4. Istishab, ialah menegakkan apa yang telah ada, terhadap keadaan yang telah
ada, karena tidak ada yang merubah hukum, atau karena sesuatu yang
belum diyakini. Contohnya, ketika seseorang mempunyai wudhu, kemudian
ada keraguan dalam hatinya kalau wudhunya batal. Maka, hendaklah ia
menetapkan hukum semula, yakni ada wudhu. (Abdul Karim Amrullah; 1985:
119)
71
6. Al-‘Adah al-‘Urf, ialah sesuatu yang dikehendaki manusia dan mereka kembali
terus menerus melakukannya. Al-‘Adah tersebut lama kelamaan, menjadi
sebuah hukum tak tertulis yang terjadi di masyarakat.
Ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang digunakan sebagai alat untuk merumuskan
hukum-hukum syarak dari dalil-dalilnya. Sedangkan objek ushul fiqih adalah dalil
sama’i (yang di dengar langsung dari sutu teks, Al-Quran dan Al-Hadits), dimana
ilmu ini, dengan berbagai kondisinya sampai pada kemampuan, untuk
menetapkan berbagai hukum yang mengatur perbuatan mukallaf. Objek ini pada
hakikatnya mengandung unsur antara lain : dalil, karakter (sifat), dan berbagai
jenisnya. (Muhammad al-Khudhori Beik, 2007: 18, 20)
Hukum.
Definisi hukum menurut ahli ushul fiqih (Ushuliyyin) adalah Khitab (kalam, titah)
Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan
atau penetapan. Sedangkan menurut ahli fiqih (fuqaha), hukum adalah suatu
karakter (sifat) yang merupakan implikasi dari khitab tersebut.
72
QS. Al-Jumu`ah (62): 9
«!$# Ìø.ÏŒ 4’n<Î) (#öθyèó™$$sù Ïπyèßϑàfø9$# ÏΘöθtƒ ÏΒ Íο4θn=¢Á=Ï9 š”ÏŠθçΡ #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ
y‰Íׯ≈n=s)ø9$# Ÿωuρ y“ô‰oλù;$# Ÿωuρ tΠ#tptø:$# töꤶ9$# Ÿωuρ «!$# uÈ∝¯≈yèx© (#θ/=ÏtéB Ÿω (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ
(#ρߊ$sÜô¹$$sù ÷Λäù=n=ym #sŒÎ)uρ 4 $ZΡ≡uθôÊÍ‘uρ öΝÍκÍh5§‘ ÏiΒ WξôÒsù tβθäótGö6tƒ tΠ#tptø:$# |MøŠt7ø9$# tÏiΒ!#u Iωuρ
¢ (#ρ߉tG÷ès? βr& ÏΘ#tptø:$# ωÉfó¡yϑø9$# Çtã öΝà2ρ‘‰|¹ βr& BΘöθs% ãβ$t↔oΨx© öΝä3¨ΖtΒÌøgs† Ÿωuρ 4
¨βÎ) ( ©!$# (#θà)¨?$#uρ 4 Èβ≡uρô‰ãèø9$#uρ ÉΟøOM}$# ’n?tã (#θçΡuρ$yès? Ÿωuρ ( 3“uθø)−G9$#uρ ÎhÉ9ø9$# ’n?tã (#θçΡuρ$yès?uρ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang hadyu (hewan-hewan kurban), dan binatang-binatang qalâ’id
(hewan-hewan kurban yang diberi tanda) , dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitullah, sedang mereka mencari karunia dan
keridhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
Maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum, karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
QS. Al-Isrâ’ (17) :78
Ìôfx%ø9$# tβ#uöè% ¨βÎ) ( Ìôfx%ø9$# tβ#uöè%uρ È≅ø‹©9$# È,|¡xî 4’n<Î) ħôϑ¤±9$# Ï8θä9à$Î! nο4θn=¢Á9$# ÉΟÏ%r&
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).
73
Semua teks ayat tersebut di atas, menurut ahli ushul fiqih merupakan ketetapan
hukum. Sedangkan menurut ahli fiqih, hukum itu adalah sifat yang merupakan
implikasi dari khitab tersebut, seperti kewajiban shalat, petunjuk untuk mencatat
hutang, keharaman zina, kemakruhan jual beli di waktu adzan dikumandangkan,
pembolehan berburu setelah melakukan ihram, penyebab wajibnya shalat,
karena tergelincirnya matahari (dari titik kulminasi) dan menjadikan penghalang
bagi seorang pembunuh terhadap penerimaan harta waris.
Dari definisi di atas, menjadi jelas, bahwa hukum terbagi dua: hukum taklifi dan
hukum wadh’i.
1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi ada lima macam: Ijab (Wajib), Nadab (Sunnat), Tahrim
(Haram), Karhah (Makruh), dan Takhyir (pilihah).
a. Ijab, yaitu tuntutan atas suatu perbuatan secara pasti dan tegas.
4’n1öà)ø9$# “É‹Î/uρ $YΖ≈|¡ômÎ) Èøt$Î!≡uθø9$$Î/uρ ( $\↔ø‹x© ϵÎ/ (#θä.Îô³è@ Ÿωuρ ©!$# (#ρ߉ç6ôã$#uρ
tβ%Ÿ2 tΒ =Ïtä† Ÿω ©!$# ¨βÎ) 3 öΝä3ãΖ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒuρ È≅‹Î6¡¡9$# Èø⌠$#uρ É=/Ζyfø9$$Î/
74
Pengaruh ijab pada perbuatan adalah wajib.
b. Tahrim, yaitu tuntutan untuk meninggalkan perbuatan secara pasti
Contoh:
QS Al-Isrâ’ (17): 23
x8y‰ΨÏã £tóè=ö7tƒ $¨ΒÎ) 4 $·Ζ≈|¡ômÎ) Èøt$Î!≡uθø9$$Î/uρ çν$−ƒÎ) HωÎ) (#ÿρ߉ç7÷ès? āωr& y7•/u‘ 4|Ós%uρ
Zωöθs% $yϑßγ©9 ≅è%uρ $yϑèδöpκ÷]s? Ÿωuρ 7e∃é& !$yϑçλ°; ≅à)s? Ÿξsù $yϑèδŸξÏ. ÷ρr& !$yϑèδ߉tnr& uy9Å6ø9$#
∩⊄⊂∪ $VϑƒÌŸ2
Contoh:
… 4 çνθç7çFò2$$sù ‘wΚ|¡•Β 9≅y_r& #’n<Î) Aøy‰Î/ ΛäΖtƒ#y‰s? #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'¯≈tƒ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Firman Allah ini dialihkan dari pengertian wajib oleh firman Allah yang
lain QS Al-Baqarah (2): 283
zÏΒr& ÷βÎ*sù ( ×π|Êθç7ø)¨Β Ö≈yδÌsù $Y6Ï?%x. (#ρ߉Éfs? öΝs9uρ 9x%y™ 4’n?tã óΟçFΖä. βÎ)uρ *
(#θßϑçGõ3s? Ÿωuρ 3 …çµ−/u‘ ©!$# È,−Gu‹ø9uρ …çµtFuΖ≈tΒr& zÏϑè?øτ$# “Ï%©!$# ÏjŠxσã‹ù=sù $VÒ÷èt/ Νä3àÒ÷èt/
∩⊄∇⊂∪ ÒΟŠÎ=tæ tβθè=yϑ÷ès? $yϑÎ/ ª!$#uρ 3 …çµç6ù=s% ÖΝÏO#u ÿ…絯ΡÎ*sù $yγôϑçGò6tƒ tΒuρ 4 nοy‰≈y㤱9$#
75
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai),
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah
ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. Dan Barangsiapa yang menyembunyikan-
nya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Mereka menamakan hukum ini nadab (Sunnah) dan menamakan sifat
perbuatan yang merupakan pengaruh khitab juga nadab (sunnah).
d. Karahah, yaitu tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara tidak
pasti. Ketidakpastian itu juga diambil dari indikator yang mengurangi
tuntutan, sehingga beralih dari pengertian haram.
Contoh:
4’n<Î) (#öθyèó™$$sù Ïπyèßϑàfø9$# ÏΘöθtƒ ÏΒ Íο4θn=¢Á=Ï9 š”ÏŠθçΡ #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ
∩∪ tβθßϑn=÷ès? óΟçGΨä. βÎ) öΝä3©9 ×öyz öΝä3Ï9≡sŒ 4 yìø‹t7ø9$# (#ρâ‘sŒuρ «!$# Ìø.ÏŒ
Berbicara tentang fiqih tidak bisa lepas dari kontribusi pemikiran dan
ijtihad Imam Mazhab yang sangat fenomenal pada masanya dan terus
76
menjadi pegangan umat Islam sampai saat ini, mereka adalah Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal,
maka pada bagian berikutnya akan diuraikan biografi Imam Mazhab
empat tersebut secara singkat.
1. Abu Hanifah
Abu Hanifah lahir di Kufah tahun 80 H. berasal dan wafat sekitar tahun 150 H
atau 153 H. Beliau dari keturunan Nu’man bin Tsabit bin Marzaban, seorang
penguasa keturunan Persia. Ada juga yang mengatakan nasabnya adalah
Nu’man bin Tsabit az-Zauthi al-Farisi, artinya Abu Hanifah adalah seorang
Persia. Sejak masa kanak-kanak Abu Hanifah yang sering disebut Tsabit telah
menghafal Al-Quran, dan belajar ilmu Qira’ah, mempelajari fatwa para
sahabat yang berasal dari murid-muridnya, seperti al-Auza’i dan Sufyan ats-
Tsauri, belajar ilmu adab (satra) dan nahwu, ilmu kalam, dan ilmu-ilmu yang
berkembang pada masanya.
Pada awalnya, Abu Hanifah berprofesi sebagai pedagang, tetapi atas nasihat
seorang ulama yang melihat kecerdasannya, mendorong Abu Hanifah untuk
sering menuntut ilmu, karena kesibukannya di pasar, hingga ia berhenti ke
pasar dan terus menekuni ilmu dari para ulama di masanya. Di antara
gurunya adalah Hammad bin Abu Sulaiman, ia belajar dengan gurunya
selama 18 tahun, hingga wafat gurunya. Imam Hanafi juga berguru kepada
ahlul bait seperti Zaid bin Ali, Muhammad al-Baqir, dan Abu Ja’far ash-
shiddiq. Sementara Murid Abu Hanifah yang cukup terkenal adalah Abu Yusuf
dan Muhammad bin Hasan.
Abu Hanifah hidup di antara masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah.
Beliau lahir, tumbuh, dan belajar di Irak di akhir kekuasaan Umawiyyah dan
awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah dihuni oleh beragam ras, seperti Persia,
Romawi, India, dan Arab, maka lahirlah berbagai persoalan sosial. Setiap
77
masalah punya hukumnya tersendiri menurut Islam. Karena Islam adalah
syari’ah universal yang memberikan hukum “boleh” dan “tidak boleh” untuk
setiap kejadian. Syari’ah Islam juga membahas masalah-masalah seperti ini
dan memperluas cakrawala berpikir seorang fuqaha, serta mempertajam
kemampuannya dalam menyimpulkan hukum.
Selain masyarakatnya yang heterogen, Irak juga memiliki kelebihan lain. Irak
adalah tempat tumbuh dan lahirnya berbagai firqah dan mazhab yang saling
bertentangan, seperti Syi’ah moderat dan ekstrim, Muktazilah, Jahmiyah,
Qadariyah, dan Murji’ah. Dan kedudukannya sebagai pusat pertarungan
intelektual telah dimulai sejak zaman pra Islam. Maka tidak jarang terjadi
perdebatan antara ulama Hijaz dan ulama Kufah/Irak. Abu Hanifah sering
berdebat dengan al-Auzai dan Imam Malik pada musim haji di Hijaz.
Para Ulama Kufah termasuk Abu Hanifah lebih memilih untuk memutuskan
hukum dengan ra’yu/akal, ketika beliau tidak menemukan dalam Al-Quran
atau Hadits yang shahih sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Ibnu
Mas’ud yang tinggal di Irak, karena jika menggunakan hadits yang tidak
shahih ada kekhawatiran termasuk golongan yang berdusta atas nama
Rasulullah Saw, maka para ulama yang ada di Kufah, baik sahabat maupun
tabi’in dikenal sebagai ahlu ra’yu.
Dalam kitab al-Fihris karya Ibnu Nadim disebutkan, Abu Hanifah menulis
empat kitab: al-Fiqh al-Akbar, al-‘Alim wa Muta’allim, Risalah ila Utsman bin
Muslim al-Batti tentang kaitan iman dan amal, serta ar-Rad ‘ala al-Qadariyah,
tentang ilmu kalam. (Syaikh Abdul aziz asy-Syinawi, 2015: 121)
78
Khatib dan al-Intiqa’ ialah al-Kitab, as-Sunnah, Ija’, dan fatwa Sahabat.
Dalam Nash lain dijelaskan bahwa dalil fiqih Imam Abu Hanifah ialah : Al-
Kitab, as-Sunnah, al-Ijma’, al-Qiyas, al-Istihsan, dan al-‘Urf.
Para Ulama berselisih pendapat mengenai kelahiran Imam Malik bin Anas.
Ada yang berpendapat beliau lahir tahun 90 H., ada yang berpendapat 93 H,
94 H, 95 H, 96, dan 98 H. Beliau sendiri mengatakan lahir pada tahun 93 H.
Beliau memiliki banyak keistimewaan, di antaranya beliau lahir setelah
berada dalam kandungan ibunya selama 3 tahun. Imam Malik wafat pada 14
Rabi’ul Awal 179 H. pada masa Khalifah Abbasiyah, Harun ar-Rasyid. (Abdul
Aziz asy-Syanawi, 2015: 382)
Imam Malik bin Anas berasal dari keturunan kabilah Yaman, yaitu Dhul
Ashbahy. Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik Abi Amir
Ashbahy al-Yamany. Kunyah atau panggilan Malik bin Anas adalah Abu
Abdillah.
Malik tumbuh besar di keluarga yang disibukkan dengan ilmu atsar, serta
lingkungan yang seluruhya adalah atsar dan hadits. Adapun rumahnya
sendiri, merupakan rumah yang disibukkan dengan ilmu hadits, telaah atsar-
atsar, kabar-kabar serta fatwa para sahabat. Kakeknya, Malik bin Abi Amir
termasuk salah seorang pemuka dan ulama Tabi’in. Ia pernah meriwayatkan
hadits dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Umul
Mukminin Aisyah. Sedangkan orang-orang yang pernah meriwayatkan hadits
darinya adalah Anas, ayahanda Malik, Rabi’, dan Nafi’ yang digelari Abu Sahl.
Mayoritas dari mereka sangat perhatian terhadap periwayatan hadits. Oleh
sebab itulah, mereka termasuk dari guru-guru Ibnu Shihab az-Zuhri.
Lingkungan tempat Malik bin Anas tumbuh besar adalah kota dan tempat
hijrah Rasulullah Saw, Negeri Syari’ah, tempat terpancarnya cahaya, basis
hukum Islam yang pertama, serta kubah Islam di masa Khalifah Abu Bakar,
Umar, dan Utsman. Pada masa kekhalifahan Bani Umayyah, Madinah tetap
79
menjadi tempat sandaran syari’ah dan rujukan para ulama, hingga para
sahabat Rasulullah.
Pada masa pertumbuhan Malik bin Anas, kota Madinah berada dalam periode
Sunnah (pengumpulan hadits-hadits Nabi Saw) dan tempat lahirnya (fatwa
yang berasal dari para sahabat Nabi). Pada masa itu terhimpun generasi
pertama dari kalangan para ulama dan fuqaha sahabat Nabi, sampai akhirnya
datang masa Imam Malik. Imam Malik pun mendapatkan harta peninggalan
dan warisan yang paling berharga sepanjang masa, yakni ilmu.
Malik bin Anas berhasil menghafalkan Al-Quran pada masa usia masih belia.
Setelah berhasil menghafal Al-Quran beliau beralih menghafal hadits. Ia
mendapat dukungan secara khusus dari lingkungan keluarga, dan secara
umum dari masyarakat Madinah. Malik bin Anas begitu bersemangat untuk
mengambil periwayatan dari az-Zuhri, sebagaimana ia telah belajar hadits
dari Ibnu Hurmuz dan periwayatan Nafi’, serta Ibnu Syihab. Beliau juga
berguru kepada para sahabat, di antaranya Abdullah bin Umar dan Ummul
Mukminin Aisyah.
Setelah Malik, selesai mempelajari atsar dan fatwa, maka, mulailah beliau
diserahi sebuah majelis di Masjid Nabawi, untuk memberikan pengajaran dan
fatwa, atas izin guru yang sebelumnya mengajar di Masjid Nabawi, Ibnu
Syihab dan Rabi’ah ar-Ra’yi. Imam Malik dikenal sebagai orang yang sangat
‘alim di bidang hadits.
Mayoritas ahlu hadits termasuk Imam Malik tinggal di Hijaz, yakni tempat
pertama para sahabat dan tempat turunnya wahyu. Selain itu para tabi’in
yang tinggal di sana adalah murid generasi sahabat yang tidak suka
80
menggunakan ra’yu. Bahkan, tabi’in murid sahabat yang suka berijtihad juga
membatasi diri hanya dengan meriwayatkan pendapat gurunya tersebut.
Jurang pemisah antara ahlu ra’yu dan hadits demikian melebar di zaman
tabi’in. Maka, Ahlu hadits berusaha untuk: menyeleksi riwayat hadits yang
jujur dan memisahkannya dari percampuran, untuk membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk. Mereka mempelajari ihwal para perawi dan
mengelompokkannya dalam beberapa kelompok berdasarkan tingkat
kejujurannya. Mereka juga, mempelajari ihwal hadits dan mengecek
kebenarannya, dengan membandingkannya dengan ajaran agama yang jelas,
hadits yang jelas keshahihannya, serta ayat Al-Quran, jika bertentangan
dengan Al-Quran, maka mereka menolaknya. Selanjutnya, ulama-ulama
besar membukukan hadits-hadits yang shahih. Imam Malik menulis
Muwatha’, Sufyan bin Uyainah menulis Al-Jawami’ fi As-Sunan wa Al-Adab,
dan Sufyan Ats-Tsauri menulis Al-Jami’ Al-Akbar tentang hadits dan fikih,
begitu pula ulama-ulama lainnya. (Abdul Aziz asy-Syinawi, 2015: 75)
81
3. Imam asy-Syafi’i
Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. di mana Imam Hanafi wafat.
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin
Ubaid bin Abi Yazid bin Hasyim bin Abdil Muthalib bin Abdi Manaf al-Quraisy
(berkebangsaan Quraisy) al-Muthalib (keturunan Abdul Muthalib) asy-Syafi’i.
Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah Saw pada kakek beliau,
Abdu Manaf, dan silsilah nasab beliau selanjutnya sampai kepada Adnan.
Beliau dikenal dengan gelar Abu Abdillah. Imam Syafi’i wafat di Mesir pada
tahun 204 H. di Mesir.
Muhammad bin Idris tumbuh dari keluarga fakir yang tidak memiliki rumah di
Palestina. Bapaknya meninggal dunia ketika beliau masih kecil. ibunya
membawa Syafi’i kecil, pindah ke Mekah agar nasabnya yang mulia tidak
hilang (terputus). Imam Syafi’i hidup dalam keaadan fakir, tetapi dengan
nasab yang mulia. Ibu beliau bersungguh-sungguh mendidik beliau, sehingga
di usia yang sangat muda, 7 tahun beliau telah hafal al-Quran, kemudian
beliau menuntut ilmu hadits dan menekuninya, lalu menghafal kitab
Muwaththa’ Imam Malik, setelah beliau belajar cukup lama dengan Imam
Malik, sehingga tampaklah kecerdasan dan kepiawaian beliau.
82
‘Ajam (non Arab) di berbagai kota dan daerah. Beliau juga, sebagai seorang
pemanah yang mahir, di samping ahli syair. Karena kecerdasan beliau dan
ketakwaannya terhadap Allah, maka Imam Malik mengizinkan orang-orang
untuk belajar kepada Imam Syafi’i, ketika beliau berada di Masjid Rasulullah
Saw (masjid Nabawi). (Abdul Aziz asy-Synawi, 2015: 409). Beliau sempat
tinggal di Baghdad untuk beberapa tahun dan mempelajari pendapat para
ulama ahlu Ra’yu, kemudian kembali ke Mekah dan mengajar di Masjidil
Haram.
Wafatnya Imam Malik sebagai tokoh ahlu hadits, membuat banyak orang
lebih bisa menerima fatwa Imam Malik daripada hadits Rasulullah. Di sinilah
Imam Syafi’i mulai berseberangan dengan gurunya. Pada waktu itu
masyarakat berpendapat, bahwa Imam Malik memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari hadits-hadits Rasulullah. Sebab itulah Imam Syafi’I, pada masa itu
dijuluki oleh para ulama sebagai “Penyebar Hadits”, menolong hadits-hadits
Rasulullah Saw dengan cara mengkritisi pendapat-pendapat Imam Malik dan
mengumumkan ketidak-cocokannya. Beliau juga mengkritisi pendapat Abu
Hanifah.
Kitab Imam Syafi’i tentang Ushul Fiqih dikenal dengan nama ar-Risalah,
sedangkan kitabnya yang membahas tentang Fiqih dikenal dengan al-Umm.
Kitab al-Umm pada awalnya bernama kitab al-Mabsuth, yang beliau tulis
ketika berada di Baghdad yang dikenal sebagai Qaulul Qadim. Kitab ini
kemudian disempurnakan menjadi al-Umm, atau dikenal sebagai Qaulul
Jadid, ketika beliau tinggal di Mesir. (Abdul Aziz asy-Syinawi, 2015: 519-521)
83
4. Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal lahir ± 171 H di Baghdad di dalam buku ini (Abdul
Aziz Asy-syinawi) tidak dijelaskan nama keturunannya, hanya diceritakan
beliau menjadi yatim dan hidup bersama ibunya, Shafiyah binti Maimunah
hingga dewasa.
Sejak kecil, Ahmad bin Hanbali mengerti, bahwa ibunya rela hidup dalam
penderitaan, hanya untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan, sang ibu
menolak pinangan lelaki lain demi untuk Ahmad. Oleh karenanya, Ahmad
berusaha membalas jasa ibunya dengan mencurahkan segenap tenaga,
untuk belajar hingga mendapatkan banyak sekali ilmu di usianya yang masih
belia.
Sejak kecil, sang ibunda selalu menuturkan berbagai kisah, peristiwa, dan
aksi-aksi heroik yang ia hafal, hingga nilai-nilai Islam yang luhur, telah
tertanam kuat, dalam memori Ahmad sejak kecil sama dengan ayahnya, dari
Bani Syaiban. Dia selalu nengingat kebanggaan-kebanggaan kaumnya, kisah-
kisah bangsa Arab, keutamaan-keutamaan Rasulullah Saw sang pemilik
akhlak mulia, dan para sahabat. Semua kisah dan peristiwa yang dia ingat ia
ceritakan kepada anak semata wayangnya.
Meski masih sangat belia, Ahmad bin Hanbal sering mendatangi majelis al-
Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah. Ia menjadi hakim ada masa khalifah
Harun ar-Rasyid. Abu Yusuf adalah hakimnya para hakim, ia memiliki halaqah
untuk mengajarkan ilmu. Saat pertama kali belajar, Ahmad bin Hanbal
berguru hadits kepada Ya’qub bin Ibrahim.
Meskipun, Ahmad bin Hanbal sangat mengagumi Ya’qub bin Ibrahim, tapi
Ahmad tidak mendapat semua hadits yang ia cari. Beliau menghafal semua
hadits dari para perawi yang tsiqah setelah ia berhasil menghafal Al-Quran.
84
187 H, saat ia berusia 16 tahun. Beliau terus menimba hadits dari para
gurunya di Baghdad selama 7 tahun., setelah itu ia berkelana menuntut
hadits dari guru-guru di Basrah.
Ahmad bin Hanbal juga berguru kepada Abdullah bin al-Mubarak, seorang
faqih yang luas ilmunya dan kaya. Ia mengagumi gurunya yang luas ilmunya
dan kaya, tetapi beliau hidup sebagai zuhud. Melalui pengalaman-
pengalaman ini, Ahmad bin Hanbal mendapatkan ketajaman berpikir.
Sementara beban berat yang ia pikul menuntunnya untuk menguasai kaidah-
kaidah fiqih dan hukum-hukum fatwa. Saat mencari hadits, Ahmad bin
Hanbal menempuh jarak jauh dengan berjalan kaki, untuk mengagungkan
hadits yang ia cari, atau karena tidak memiliki dana. Beliau dapat
mengumpulkan beribu hadits, dan dalam perjalanannya ia memikul seluruh
barang bawaannya hingga kurus badannya.
Saat bepergian ke Umm al-Qura, Mekah, Ahmad bin Hanbal bertemu dengan
Imam Syafi’i di Masjidil Haram. Usianya lebih tua 16 tahun dari Ahmad bin
Hanbal. Ia menimba ilmu dari Imam Syafi’i terkait dengan nasab-nasab
Quraisy, fiqih yang masyhur, dan beberapa riwayat hadits yang jumlahnya
tidak lebih dari dua puluh.
85
Imam Ahmad senantiasa mengikuti Sunnah dan tidak menyimpang darinya.
Beliau melakukan perbuatan yang dilakukan Rasulullah Saw dan
meninggalkan perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah. Ketika beliau
berbekam kepada seorang ahli bekam, kemudian beliau memberi beberapa
dinar seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Imam Ahmad memilih jalan hidup, sebagaimana yang ditempuh oleh para
sahabat, Tabi’in, dan generasi berikutnya yang menempuh manhaj dan jalan
hidup salafus shalih. Oleh karena itu, pemahaman Ahmad bin Hanbal selaras
dengan Sunnah dan pemahaman para salafus shalih, beliau jauh dari hiruk
pikuk zaman. Jauh dari persaingan pemikiran, politik, sosial, dan peperangan.
86
Dalam Ash-Shiddiqiy (1997:274), menurut Ibnul Qyyim, bahwa dasar Tasyri’
Imam Ahmad bin Hanbal ada lima: Pertama, Nash, Kedua, Sahabat,
Ketiga, pendapat salah seorang Sahabat, Keempat, hadits Mursal dan
hadits dhaif, jika tidak ada hadits yang shahih, Kelima, adalah qiyas.
Kemudian dari lima dasar tersebut disimpulkan menjadi empat: Kitabullah,
Sunnatur Rasul, Fatwa Shahabi, dan Qiyas.
87
Pertanyaan:
1. Kajian Pemikiran Islam cukup banyak: Ilmu Kalam, Fiqh, Filsafat, dan Tasawuf.
Salah satu satunya adalah Fiqh. Di dalam kajian Fiqih di antaranya adalah Fiqh
dan Ushul Fiqh, coba anda jelaskan pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh !
2. Di dalam kajian Fiqh ada yang dikenal dengan madzhab hadits dan madzhab
ra’yu, apa maksudnya, perbedaannya, dan siapa tokoh-tokohnya ?
3. Semua hukum Islam memiliki tujuan untuk kebaikan umat manusia di dunia dan
akhirat. Jelaskan tujuan hukum Islam (maqashidu asy-Syar’i) !
4. Apa yang dimaksud dengan hukum Taklif ? berikan contohnya
5. Di dalam kaidah Fiqh ada yang dikenal dengan istilah Istishab dan Saddudz
Dzari’ah. Coba anda jelaskan !
88
BAB IV
FILSAFAT ISLAM
A. Pendahuluan
Pada abad ke 6 H/12 M, sewaktu filsafat Ibnu Sina tengah dikritik oleh para
teolog, didirikan sebuah perspektif intelektual oleh Syaikh al-Isyraq Syihabuddin
Suhrawardi, yang menyatakan diri sebagai pembangkit filsafat berusia panjang
yang telah ada baik di Yunani maupun di Persia, mendirikan madzhab Iluminasi
(al-Isyraq), menurut mana pengetahuan diturunkan dari cahaya dan, sungguh,
substansi Semesta pada akhirnya merupakan spektrum cahaya dan bayangan
(Sayyed Hossein Nasr, 1994: 135).
Pada abad-abad selanjutnya, di sebagian besar dunia Arab filsafat sebagai satu
disiplin tersendiri terpadu ke dalam sufisme atau- kalau tidak - ke dalam aspek
intelektual atau teologi filosofikal (kalam)nya, di Persia dan sekitarnya yang
meliputi India, Irak dan Turki, bermacam-macam aliran filsafat terus tumbuh
subur. Pada saat yang sama, aneka disiplin intelektual, seperti filsafat Peripatetik,
Iluminasionisme, teologi, dan metafisika sufi sama-sama saling mendekati (Sayyed
Hossein Nasr, 1994: 135). Puncaknya lahir madzhab Isfahan yang mencoba
mensintesiskan berbagai aliran filsafat.
Lahirnya berbagai aliran filsafat dalam Islam sebagai salah satu bentuk ekspresi
pemahaman terhadap berbagai persoalan dalam bidang filsafat dan juga adanya
89
pergesekan paham diantara berbagai aliran filsafat tersebut, sudah barang tentu,
eksponen aliran-aliran tersebut mencoba untuk mempertahankan diri sambil
membangun argumentasi untuk dipresentasikan di hadapan lawannya.
Al-Kindi
Contoh: Fisika
90
Al-Farabi :
Filsafat
- Filsafat Politik
Filsafat
Filsafat Islam dapatlah diartikan sebagai kegiatan pemikiran yang bercorak islami.
Islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat, disebut Islami
bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama
Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang
membahas mengenai pokok-pokok keislaman.
91
Hakikat filsafat Islam adalah akal dan Al-Quran, filsafat Islam tidak mungkin tanpa
akal dan Al-Quran. Akal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas
kefilsafatan dan Al-Quran yang menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat
ditinggalkan Al-Quran dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual (Sumber),
sehingga Al-Quran tidak membatasi akal bekerja, akal tetap bekerja dengan
otonomi penuh.
Struktural - aqal dan Al-Quran di sini tidak dapat
dipahami secara struktural – hubungan atas bawah
(subordinatif dan reduktif) – tidak adanya otonomi akal
dan sempitnya objek filsafat (Al-Quran saja).
Hubungan
Akal dengan otonomi penuh bekerja dengan semangat
Al-Quran
Qur‟ani dan Akal sebagai subjek mempunyai komitmen
dengan Akal
wawasan moralitas yang bersumber pada Al-Quran.
Objek Kajian
Allah
Manusia
Kebudayaan
92
D. Pemikiran Para Filosof Muslim
1. Al-Kindi
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn
Imran ibn Isma`il ibn Muhammad ibn al-Asy‟ath ibn Qais al-Kindi. Tahun
kelahiran dan kematian al-Kindi tidak diketahui secara jelas. Yang dapat
dipastikan tentang hal ini adalah bahwa ia hidup pada masa kekhalifahan al-
Amin (809-813), al-Ma‟mun (813-833), al-Mu‟tasim (833-842), al-Wathiq (842-
847), dan al-Mutawakkil (847-861).
93
atau aritmatika karena jika bilangan tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu
apapun. Di sini kita bisa melihat samar-samar pengaruh filsafat Pitagoras.
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya
pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana
Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya
berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu)
sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat
berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan
dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan
nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang
bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan
sebagai raja.
2. Ar-Razi
94
berjilid-jilid. Tulisannya tentang jiwa manusia terurai paling sedikit dalam tiga
karyanya. Pertama, tentunya dalam Tafsir Besar-nya (al-Tafsir al-Kabir).
Kedua, bukunya yang berjudul Kitab al-Nafs wa al-Ruh wa Syarh Quwahuma.
(Buku Jiwa dan Ruh dan Komentar Terhadap Kedua Potensinya). Ketiga,
tulisannya yang lebih menukik, terdapat dalam magnum opus-nya (karya
besar), yang berjudul al-Matalib al-‟Aliyah fi al-‟Ilm al-Ilahi (Kesimpulan-
Kesimpulan Puncak dalam Ilmu Ketuhanan).
Manusia menurut ar-Razi adalah makhluk ciptaan Allah yang unik. Keunikannya
ada pada karakteristiknya yang khas. Manusia memang beda dengan makhluk
ciptaan Allah yang lain. Bagi Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk yang
memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu. Ini membedakan manusia
bukan hanya dengan binatang dan tumbuhan, tapi juga dengan malaikat.
Dalam kajian Psikologi barat, perbandingan manusia dengan malaikat dan
setan tentunya tidak ditemukan. Menurut Al-Razi malaikat hanya memiliki akal
dan hikmah, tanpa tabiat dan hawa nafsu. Karena itu, malaikat selalu
bertasbih, bertahmid, dan melakukan taqdis (QS. Al-Nahl [16]:50; QS. Al-
Tahrîm [66]:6; QS. Al-Anbiya [21]:21).
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (QS. Al-Tahrîm [66]: 6)
95
Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat menghidupkan
(orang-orang mati)? (QS. Al-Anbiyâ` [21] :21)
Malaikat juga tidak akan mengingkari perintah Allah ta‟ala karena memang
tidak memiliki hawa nafsu. Sebaliknya, binatang dan tumbuhan memiliki tabiat
dan nafsu, namun tidak memiliki akal dan hikmah. Berbeda dengan malaikat,
binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia memiliki kesemua karakteristik
tersebut, yaitu akal, hikmah, tabiat, dan hawa nafsu. Karena ke-empat
karakteristik tersebut, maka manusia memiliki sifat kekurangan dan kelebihan.
Jika manusia menggunakan akal dan hikmah untuk mengatur hawa nafsu dan
tabiatnya, maka manusia akan memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk
ciptaan Allah lainnya, dengan menggunakan akal dan hikmah yang bersumber
dari ajaran agama untuk menundukkan hawa nafsu dan tabiatnya, maka
manusia akan menjadi khalifah Allah di bumi, sekaligus akan menjadi makhluk
yang paling mulia. Sebaliknya, jika tabiat dan hawa nafsu yang menguasai diri
dan akalnya, maka ia akan lebih hina dari binatang, yang memang tidak punya
akal dan hikmah.
96
Fakhruddin al-Razi juga menyatakan bahwa ada tiga jenis jiwa manusia.
Pertama, al-Nafs al-Muthmainnah (QS. Al-Fajr [89]: 27) yaitu jiwa yang
tenang, jiwa yang penuh dengan kehidupan spiritualitas dan kedekatan dengan
Tuhan.
Kedua adalah al-Nafs al-lawwamah (QS. Al-Qiyamah [75]: 2). dan aku
bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).
Ketiga adalah al-Nafs al-Ammarah bi al-su‟ (QS. Yusuf [12]: 53), “Dan Aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.
b. Jiwa juga tidak identik dengan bagian dari tubuh karena tidak ada dari
bagian tubuh yang meliputi semua kerja tubuh,
97
saya mengetahui. Jadi, esensi dari penglihatan dan pengetahuan adalah
satu.
d. Semua bagian tubuh adalah alat untuk jiwa. Jiwa melihat dengan mata,
berfikir dengan otak, berbuat dengan hati, merasa dengan kulit, dan
seterusnya.
Lalu, apa ”jiwa” itu? Fakhruddin Al-Razi menggambarkan hakikat jiwa sebagai
substansi yang berbeda dengan tubuh, Jiwa juga terpisah secara esensial
dengan tubuh, Namun jiwa terhubungkan dengan tubuh dengan hubungan
kerja dan administrasi (dzat al-nafs jawhar mughayir laha mufariq „anha bi al-
dhat muta‟alliq biha tasarruf wa al-tadbir).
Begitu juga disebutkan dalam Al-Quran Surah Al-Mu‟min (40): 46; “Kepada
mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya
kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke
dalam azab yang sangat keras".
Surah Al-An‟âm (6): 93; “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan
kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan
orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan
Allah." alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang
yang zalim berada dalam tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat
memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" di
98
hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, Karena kamu
selalu mengatakan terhadap Allah (Perkataan) yang tidak benar dan (karena)
kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.
3. Al-Farabi (870-950).
Salah seorang tokoh filsafat Islam, mempunyai konsep tersendiri tentang jiwa.
Ia tidak sekedar berbicara tentang nafs, aql (rasio), dan qalb, tetapi juga
potensi-potensi yang lain, bahkan tentang intelek (al-aql al-kullî), sebuah
fakultas dalam diri manusia yang lebih dari sekedar rasio ( al-aql al-juz‟I).
Tulisan ini akan menguraikan pandangan al-Farabi tentang masalah
tersebut,tidak secara menyeluruh tetapi hanya difokuskan pada elemen-elemen
yangberkaitan dengan proses pencapaian keilmuan berarti telah menjadi
objek-objek intelek aktual dan intelek yang bertindak untuk mengabstraksikan
objek-objek tersebut disebut intelek aktual. Pada tingkat ini, subjek dan objek
pemikiran sudah tidak terpisah lagi. Keduanya adalah satu adanya, sehingga
adalah inteleksi (proses pemahaman) sekaligus subjek dan objek pengetahuan
itu sendiri dan pada saat itu, ia mempunyai status ontologis baru dalam
totalitas wujud (al-maujûdât).
99
murni (intellegibles) yang bebas dari materi, maka itulah yang disebut intelek
perolehan (al-`aql al-mustafâd)”.
Intelek aktif (al-„aql al-fa‟âl), adalah intelek terpisah dan yang tertinggi dari
semua intelegensi. Intelek ini merupakan perantara adi-kodrati (super
mundane agency) yang memberdayakan intelek manusia agar dapat
mengaktualkan pemahamannya. Dalam hubungannya dengan intelek potensial,
al-Farabi menganalogkan intelek aktif ini dengan matahari pada mata dalam
kegelapan. Mata hanyalah penglihatan potensial selama dalam kegelapan.
Mataharilah selama ia memberikan penyinaran pada mata yang menyebabkan
mata menjadi sebuah penglihatan yang aktual, sehingga objek-objek yang
berpotensi untuk dilihat mata menjadi benar-benar tampak. Seterusnya,
cahaya matahari memungkinkan mata melihat bukan hanya objek-objek
penglihatan belaka tetapi juga cahaya itu sendiri dan juga matahari yang
merupakan sumber cahaya tersebut. Dengan cara yang kurang lebih sama,
“cahaya” intelek aktif menyebabkan intelek potensial menjadi intelek aktual,
menangkap “cahaya”sekaligus memahami intelek aktif itu sendiri.
Al-Farabi mengidentifikasi intelek aktif dengan “ruh suci” (rûh al-quds) atau
Jibril, malaikat pembawa wahyu. Intelek aktif adalah “gudang” sempurna
bentuk-bentuk pengetahuan. Dia berfungsi sebagai model kesempurnaan
100
intelektual. Manusia dapat mencapai tingkat wujud tertinggi yang
dimungkinkan baginya ketika dalam dirinya mewujud sosok manusia hakiki ( al-
insân `alâ al-haqîqah). Yaitu, ketika intelek manusia dapat bersatu dan
menyerupai intelek aktif. Konsepsi al-Farabi tentang intelek aktif ini
memperlihatkan usahanya menyelaraskan antara filsafat (Yunani) dengan
keyakinan Islam.
101
oleh Islam dinilai dan diakui mempunyai unsur-unsur kejiwaan yang mulia dan
sempurna seperti malaikat, tetapi di abad 20 ia oleh Barat justru dianggap
hanya mempunyai unsur nafsu yang tidak lebih dari binatang (Irma Fatimah,
1992: 20-21).
Karena itu pulalah, diskursus psikologi Islam, (termasuk juga sosiologi Islam,
ekonomi Islam, bank Islam, pendidikan Islam, dan yang lain yang berlabel
Islam) sesungguhnya tidak bisa berangkat dari konsep-konsep psikologi dan
keilmuan Barat yang kemudian diberi justifikasi teks (ayat maupun hadits),
tetapi harus berdasarkan dari khazanah Islam sendiri. Kita mempunyai ajaran,
peradaban, budaya, dan world view sendiri yang berbeda dengan budaya dan
peradaban orang lain.
4. Ibnu Sina
“Nafs (jiwa) dalam jasad itu bagaikan burung yang terkurung dalam sangkar,
merindukan kebebasannya di alam lepas, menyatu kembali dengan alam
ruhani,yaitu alam asalnya. Setiap kali ia mengingat alam asalnya, ia pun
menangis karena rindu ingin kembali.”
Kata jiwa berasal dari bahasa Arab ( )النفسatau nafs‟ merupakan satu kata
yang memiliki banyak makna (lafzh al-Musytaraq) dan dipahami sesuai dengan
penggunaanya. Hakikat jiwa yaitu terdiri dari tubuh dan ruh, sebagaimana
tampak dalam Al-Quran, ”Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan
berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk.” Dan “Allah tidak membebani (jiwa)
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”Selain itu juga ditujukan
maknanya kepada diri manusia yang memiliki kecenderungan, seperti ayat
“Maka, hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh
saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang
yang merugi.” Dan beberapa makna lain yang secara umum dijelaskan dalam
Al-Quran.
Menurut Ibn Sina, manusia pada tahap fenomenal terdiri dari jasad dan nafs
yang bersifat interaksionis (saling memerlukan). Hanya saja jika nafs telah
102
menjadi sedemikian kuat, ia dapat mempengaruhi jasad dengan sangat luar
biasa. Dalam tahap transendental, nafs dengan segala potensinya tetap kekal
abadi biarpun jasad mengalami kehancuran ketika tahap ini dimulai. Manusia
menjadi suatu entitas yang tak terbagi yang tidak lagi memerlukan jasad
materi dalam tahap transendentalnya. Penolakan Ibn Sina terhadap adanya
kebangkitan jasmani menimbulkan pertentangan pemikiran filosofis.
Pertentangan ini memperoleh dimensi baru dalam perspektif kajian fisika
moderen yang telah membuktikan tidak adanya perbedaan substansial antara
materi dan immateri.
Sekalipun Ibn Sina menggolongkan kajian nafs kedalam bidang fisika ( thabi‟iy),
tetapi tampaknya terbatas ketika ia mengkajinya dari segi macam-macamnya
(al-nafs al-nabatiyah, al-nafs al-hayawaniyah, al-nafs al-insaniyah), pembagian
fungsionalnya, dan sepanjang mengenai manusia, sekarang dikenal dengan
sebutan ilmu jiwa (psychology). Ketika ia mengkaji nafs dari segi wujud dan
hakikat, pertaliannya dengan jasad, serta keabadiannya, sebenarnya ia telah
melangkah ke bidang metafisika. Bahkan segi metafisika inilah yang lebih
menonjol dalam pembahasan-pembahasannya, lebih dalam, sekaligus baru,
serta mendekati kajian sebagian filosof modern. Lebih dari itu kajian metafisis
tentang nafs insani tersebut memperoleh spirit baru dengan adanya
kecenderungan yang amat kuat dewasa ini yang ditunjukkan oleh pemikiran
filosofis modern yang menempatkan manusia sebagai pusat analisis.
103
Berdasarkan uraian di atas, mempertanyakan korelasi antara nafs dan jasad
untuk mememukan kejelasan tentang manusia dalam perspektif pemikiran
filosofis Ibn Sina, tetap saja dapat dipandang sebagai pertanyaan yang relevan
dengan kajian falsafat moderen.
Asal usul nafs dan jasad adalah bahwa manusia tersusun dari jasad dan nafs.
Jasad manusia sebagaimana jasad tumbuh-tumbuhan dan jasad hayawan
terdiri dari empat unsur : api, udara, air, dan tanah kering. Perbedaan proses
formulasi dan perbedaan pengaruh potensi astronomik (al-quwa al-falakiyat)
menyebabkan perbedaan antara jasad manusia, hewan, dan tumbuh-
tumbuhan, dan sekaligus menyebabkan perbedaan tingkat nafs yang memberi
kesempurnaan primer pada masing-masing jasad tersebut. Nafs itu sendiri
bukan muncul dari proses formulasi unsur-unsur jasad, tetapi berasal dari
sumber luar.
104
Persoalan ini menjadi jelas dalam pemikiran filosofis al-Farabi ketika ia
mengatakan: “anna ruhak min amr rabbik wa badanak min khalq rabbik” . Di
samping pernyataan ini, al-Farabi juga menyatakan bahwa jiwa-jiwa di bumi
(al-anfus al-ardliyat) itu berasal dari pancaran akal aktif (al-„aql al-fa‟‟al), akal
ke sepuluh yaitu pemberi forma (wahib al-suwar). Dalam hal ini tampak bahwa
al-Farabi memakai dua istilah untuk jiwa : ruh dan nafs. Mungkin ia
menyamakan antara kedua istilah tersebut, sehingga kedua pernyataannya di
atas harus dipahami dengan jalan mengkompromikan sebagai berikut. Bahwa
jiwa itu berasal dari Allah melalui pancaran akal ke sepuluh, Jika ia tidak
menyamakan kedua istilah tersebut, tentunya ia bermaksud menyatakan
bahwa ruh berasal dari Allah, sedang nafs berasal dari akal ke sepuluh,
Ibn Sina memiliki dua pendapat. Bahwa nafs baru terjadi setelah jasad siap
menerimanya. Jasad itu sendiri merupakan alat bagi nafs. Dengan demikian
nafs itu tidak terdapat dalam keadaan terpisah dari jasad, lalu bertempat
padanya. Dan tercipta bagi suatu jasad tertentu, sehingga setiap jasad
memiliki nafs yang memang spesifik baginya. Akan tetapi ia juga memiliki
pendapat yang berlawanan dengan pendirian ini. Dalam hal ini ia menyebut
bahwa nafs itu “habatat ilayk min al-mahall al-arfa‟”, suatu pendirian yang
mirip dengan teori dunia ide Plato. Menurut Ibn Sina nafs dalam jasad itu
bagaikan burung yang terkurung dalam sangkar, merindukan kebebasannya di
alam lepas, menyatu kembali dengan alam rohani, alam asalnya. Setiap kali ia
mengingat alam asalnya, ia pun menangis karena rindu ingin kembali.
105
Sedang sudut pandang yang lain ialah dari segi tasawuf: badan kasar manusia
adalah belenggu bagi kebebasan nafs menuju alam kerohaniannya.
Nafs: Hakikat, Fungsi, dan Alasan Pembedaannya dengan Jasad Ibn Sina
menyatakan bahwa nafs al-insan ialah kesempurnaan primer bagi jasad alami
yang organis dari segi melakukan berbagai aktifitas yang ada dengan dasar
ikhtiar fikri dan mengambil kesimpulan dengan nalar, serta dari segi
mengetahui hal-hal yang universal (kamal awwal li jism thabi‟iy „alamiy min
jihat ma yaf‟al al-af‟al al-kainat bi al-ikhtiyar al-fikriy wa al-istimbat bi al-ra‟y wa
min jihat ma yudrik al-umur al-kulliyat).
Nafs sebagai kesempurnaan sebagai kamal dari segi sebagai potensi yang
memberikan kesempurnaan pada persepsi serta sebagai sumber berbagai
aktifitas. Demikian pula nafs yang terpisah juga disebut kamal, seperti juga
nafs yang tidak terpisah, Adapun nafs disebut sebagai kesempurnaan primer
dimaksudkan sebagai kausal bagi spesies menjadi spesies, sedang
kesempurnaan sekunder merupakan atribut pengikat pada spesies. Sementara
itu istilah jism digunakan dalam arti genusnya bukan fisik materialnya, sedang
kata thabi‟iy dipakai untuk membedakan dari jisim sinaiy (artifisial), demikian
penjelasan Rayyan dalam kajiannya terhadap Ibn Sina.
Ibn Sina menafsirkan kesempurnaan tidak dalam arti sebagai forma seperti
konsep Aristoteles yang tidak dapat dipisahkan dari materi. Ia menjelaskan
forma itu merupakan kesempurnaan bagi jasad tetapi tidak berarti semua
kesempurnaan itu adalah forma. Raja adalah kesempurnaan atau kelengkapan
negara, tetapi jelas bukan merupakan forma negara. Jadi nafs sebagai
kesempurnaan jisim.
106
berjalan, burung terbang. Gerak demikian menghendaki adanya penggerak
khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang bergerak, yakni nafs. Idrak
tidak dimiliki semua makhluk, tetapi hanya dimiliki oleh sebagiannya saja. Ini
menunjukkan adanya kekuatan pembeda antara sebagian dan sebagian yang
lain. Kekuatan pembeda tersebut ialah nafs.
Kedua Dalil Istimrar (continuity) suatu dalil yang menyatakan bahwa berbeda
dengan jasad yang mengalami perubahan (dengan kematian serta lahirnya sel-
sel baru, menurut bahasa kajian modern), nafs tidak pernah mengalami
perubahan dan pergantian seperti itu. Demikian Ibn Sina dalam risalahnya
yang disebut oleh Ahwani. Ketiga Manusia Terbang, suatu dalil bahwa
andaikata orang yang secara organik sempurna berada di angkasa dalam
keadaan mata tertutup tidak mengetahui apa-apa, tidak merasakan sentuhan
apapun termasuk dengan anggota badan sendiri ia tetap yakin terhadap
eksistensi dirinya. Ini membuktikan bahwa wujud nafs itu berbeda dengan,
bahkan bukan jasad. Selain dalam al-Isyarat, (Juz I : 121) Ibn Sina
mengemukakan versi lain dalam al-Syifa‟ sebagaimana didapati dalam
Avecinna‟s Psychology.
107
secara logis tak dapat dipisahkan. Sedangkan Ibn Sina memandang unsur
kesadaran itu ada sejak seseorang dapat mengukuhkan eksistensinya sendiri
yang betatapun ada hanyalah sebagai cara menempati diri, ia adalah
kenyataan yang mungkin, dan bukan suatu kemestian yang logis.
Sesungguhnya Ibn Sina berada di antara Descartes dan Plotinus; karena bagi
Plotinus kesadaran sebagai suatu hubungan menandakan bukan identitas diri
yang jelas, tetapi semacam kelainan; dalam identitas diri yang penuh,
kesadaran mesti berhenti. Mengenai keorisinalan dalil cogito Descartes di atas,
para pembahas berbeda-beda pendapat. Namun terlepas dari perbedaan ini,
yang jelas Ibn Sina dengan Manusia Terbangnya telah mendahului cogito
Descartes.
Nafs tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya jasad. Begitu
tahap ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi jasad,
bagaikan nakhoda (al-rubban) menjadi pusat penggerak, pengatur dan potensi
bagi kapal itu. Tidak mungkin terdapat nafs kecuali jika telah terdapat materi
fisik yang tersedia untuknya. Nafs memerlukan, tergantung, dan diciptakan
karena jasad. Nafs mempergunakan dan memerlukan jasad, misalnya berpikir
merupakan fungsi spesifiknya tak akan sempurna kecuali jika indera turut
membantu dengan efeknya.
108
Ibn Sina menekankan pengaruh pikiran yang merupakan fungsi primer nafs
terhadap jasad yang begitu luar biasa. Menurut Rahman, inilah salah satu dari
segi paling orisinal filsafat Ibn Sina yang tidak mengurangi kedudukannya
sebagai ahli medis yang telah merekam kajian empirisnya tentang ilmu
kedokteran dalam al-Qanun fi al-Thibnya. Bahkan pengaruh yang luar biasa
terhadap fisik telah mengantarkan Ibn Sina sebagai ilmuan peletak dasar
psychosomatic yang menjadi perhatian bagi upaya penyembuhan, termasuk
juga di dunia kedokteran sendiri. Ibn Sina menyatakan secara fisik orang sakit,
hanya dengan kekuatan kemauannyalah dapat sembuh, Begitu juga orang
yang sehat, dapat menjadi sakit bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia
sakit. Ini disebabkan kekuatan alamiah jasadnya menjadi seperti yang
digambarkan itu. Demikian Ibn Sina dalam al-Shifa‟nya.
Korelasi antara nafs dan jasad, menurut Ibn Sina tidak terdapat pada satu
individu saja. Nafs yang cukup kuat, dapat menyembuhkan dan menyakitkan
badan lain tanpa mempergunakan sarana apapun. Menunjukkan bukti
fenomena hipnotis dan sugesti (al-wahm al‟amil) serta sihir. Ibn Sina mampu
mengkaji secara ilmiah dengan cara mendeskripsikan nafs kuat mampu
mempengaruhi fenomena yang bersifat fisik. Ia telah berlepas diri dari
kecenderungan Yunani yang menganggap sebagai gejala paranatural, pada
campur tangan dewa-dewa.
109
potensinya merupakan substansi immateri yang kekal abadi, tak mengalami
kerusakan sama sekali.
Pemikiran Ibn Sina tentang kekal abadinya nafs tampaknya terkait dengan
ajaran Islam tentang kekekalabadiannya surga dan neraka, dan tentu saja
pemikiran skolastik merupakan upaya filosof ini membangun pemahaman
terhadap Islam di atas dasar pemikiran yang sangat mendalam. Ia menolak
adanya kebangkitan jasmani. Al-Ghazali menggugat pendirian Ibn Sina dengan
Tahafut al-Falasifah, Ibn Rushd juga mengkritik Ibn Sina dengan Tahafut al-
Tahafutnya.
110
problematika yang menyulut perdebatan panjang di kalangan Mutakallimin.
Filsafat Islam berupaya memadukan antara antara wahyu dengan akal, antara
akaidah dengan hikmah, antara agama dengan filsafat dan berusaha
menjelaskan kepada manusia bahwa wahyu tidak bertentangan dengan akal
akaidah jika diterangi dengan sinar filsafat akan menetap di dalam jiwa dan
akan kokoh di hadapan lawan, agama jika bersaudara dengan filsafat akan
menjadi filosofis sebagaimana filsafat menjadi religius.”
5. Ibnu Rusyd
Melihat sifat filsafatnya yang religius, namun bukan berarti filsafat Islam
mengabaikan topik-topik besar yang ada dalam filsafat. Filsafat Islam juga
mengulas tema tentang ada (ontologi), logika, epistemologi, moral, dan politik.
Hidup dan Karya Ibn Rush (Averroes) Abdul Walid Muhammad bin Ahmad Ibnu
Rusyd lahir di Cordova pada tahun 1126 (520 H) dari keluarga pengacara. Di
Barat (Eropa) ia lebih dikenal dengan nama Averroes. Ayahnya adalah seorang
hakim terkemuka.
Ibn Rusyd hidup pada masa yang disebut-sebut sebagai zaman keemasan
Islam. Pada masa ini agama Islam sungguh penuh dengan pendasaran rasional
akibat pengaruh dari filsafat. Penghayatan agama yang didasarkan oleh
rasionalitas yang kritis, membuat agama Islam mengalami perkembangan
pesat. Salah satu buktinya adalah banyak lahir pemikir di dalamnya, yang juga
turut mengembangkan aspek hidup lainnya. Walaupun demikian, pada masa
Ibn Rusyd hidup itu pula lah mulai banyak pihak, terutama para ulama
111
konservatif yang mengecam adanya filsafat dalam agama Islam. Ia pun banyak
mendapatkan tekanan, karena filsafatnya dianggap sangat bertentangan
dengan ajaran agama. Bahkan ia pernah dibuang oleh Khalifah Abu Yusuf,
diasingkan ke Lucena.
Karya Ibn Rusyd lebih cenderung dan tampak dalam menterjemahkan teks-
teks filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, terutama karya-karya Aristoteles.
Bahkan Eropa mampu mengenal Aristoteles secara lebih luas adalah karena
karya-karyanya. Ia membuat berbagai tulisan komentar tentang ilmu
kesehatan dan astronomi yang ditulis oleh Aristoteles. Kemudian ia menulis
juga tulisan komentar terhadap buku Republic dari Plato. Latar Belakang
Filsafat Ibn Rusyd Filsafat Ibn Rusyd banyak mengacu pada ajaran-ajaran
Aristoteles, khususnya dalam kaitannya dengan konsep "materi" dan "bentuk".
Tema-tema yang menarik Ibn Rusyd adalah seperti pengetahuan Tuhan
terhadap soal-soal juziat, tentang terjadinya alam maujudat dan perbuatannya,
tentang kezaliman dan keabadian alam, dan tentang gerak dan keazaliannya,
serta akal yang universal dan satu.
Sebuah sumber mengatakan bahwa Ibn Rusyd pernah berguru pada Ibnu
Thufail. Bahkan, seorang filsuf terkenal di Eropa bernama Musa Ibnu Maimun
yang lebih dikenal dengan Ibn Rusyd (Mozes Maimonides) adalah murid dari
Ibn Rusyd. Dalam pemikiran, Ibn Rusyd lebih banyak bertentangan dengan
filsafat Al-Ghazali. Hal tersebut dapat terlihat jelas dalam bukunya yang
berjudul Tahafutul-Tahafut. Ibn Rusyd menjadi seorang pembela mati-matian
filsafat Yunani Kuno yang ditolak oleh Al-Ghazali. Ibn Rusyd mengatakan
bahwa mereka yang menghakimi ahli-ahli filsafat, disebabkan karena mereka
tidak memahami maksud para filsuf tersebut. Al-Ghazali bermaksud menjaga
kemurnian agama, sedangkan Ibn Rusyd bermaksud mengadakan sebuah
perpaduan antara filsafat dan agama.
Jiwa, dualisme mengenal dua jenis yang ada dalam diri manusia. Pertama
adalah apa yang digerakkan (bendanya) dan apa yang menjadi penyebab
penggerak benda tersebut. Dengan kata lain juga bisa kita definiskan sebagai
112
sesuatu yang jasmani dan spiritual. Bagi Ibn Rusyd, unsur spiritual dalam diri
manusia mempunyai kesatuan dan kesempurnaan yang lebih tinggi dari semua
yang ada. Namun tetap yang materi pun mempunyai peran yang besar dalam
proses rasio. Artinya dalam diri manusia bukan lagi terdapat dua substansi
melainkan satu "materi" dan "bentuk" sebagai kesatuan dan mempunyai
korelasi.
Ibn Rusyd dalam tulisannya yang berjudul Fil Nafsi menegaskan bahwa antara
nyawa (al-Ruh) dengan jiwa (al Nafis) merupakan dua realitas yang berbeda.
Namun yang menarik adalah Ibn Rusyd bahwa ketika berbicara tentang ruh,
Ibn Rusyd menggunakan ayat dalam Al Quran di dalam Surat al-Isra ayat 85.
Isinya kurang lebih mengatakan bahwa ruh itu urusan Tuhanku. Manusia tidak
diberika ilmu sedikitpun tentang itu. Kutipan penjelasn di bawah ini bisa
langsung menghantar kita untuk semakin jelas mengenali apa itu jiwa :
"Jiwa berbeda dengan nyawa, dan juga dengan akal. Jiwa itu suatu zat, dan
bukan suatu tubuh, Jiwa adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi
manusia. Syailul lazi yashbahu bihil insanu insianan, artinya jiwa itu sesuatu
yang hidup dan berilmu dan berkodrat."
Kutipan paragraf di atas seolah ingin menekankan bahwa kegiatan jiwa lebih
pada seputar kegiatan berpikir. Hal tersebut yang kemudian membuat Ibn
Rusyd mendeskripsikan jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi tubuh
yang bersifat alamiah dan mekanis. Disebut alamiah dan mekanistik dengan
tujuan ingin membedakan dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang berasal
dari perilaku dan emosi. Makna kesempurnaan ini pun ingin juga mengarahkan
113
pada keberagaman dari bagian jiwa, seperti jiwa nutrisi, jiwa sensorik, jiwa
khayalan, jiwa hasrat, dan jiwa rasional. Definisi tersebut sebenarnya sudah
dipakai oleh Aristoteles dalam mendeskripsikan jiwa. Jiwa itu hakikatnya adalah
satu. Ibn Rusyd sering menyebut kesatuan jiwa itu sebagai jiwa umum.
Akal Sebagai Wujud Jiwa, menurut Ibn Rusyd wujud jiwa paling nyata tampak
dalam akal yang dipunyai manusia. Akal manusia itu adalah satu dan universal.
Lebih dalam "akal yang aktif" yang dimaksud bukan saja akal yang esa dan
universal, melainkan juga menyangkut "akal kemungkinan" (reseptif). Akhirnya
Poerwantana dalam bukunya menyimpulkan bahwa akal yang dimaksud Ibn
Rusyd ini dianggap sebagai monopsikisme. Akal kemungkinan lah yang
membuat manusia sungguh menjadi individu ketika ia berhubungan dengan
tubuh masing-masing manusia. Melihat sifat akal yang ada dalam individu
tersebut sifatnya reseptif, resikonya bahwa ketika manusia meninggal, maka
akal kemungkinan pun akan lenyap. Akal yang dimiliki seseorang sifatnya tidak
abadi, yang abadi adalah akal yang esa dan universal, sesuatu yang menjadi
sumber dan tempat kembalinya akal masing-masing manusia.
Penjelasan mengenai akal universal dan akal reseptif tidak bisa lantas
membuat kita langsung menyimpulkan bahwa Ibn Rusyd menolak kehidupan
setelah kematian. Dalam filsafatnya, Ibn Rusyd juga berbicara mengenai
kebangkitan jasmani. Ibn Rusyd menyangkal apa yang dikatakan oleh Al-
Ghazali bahwa filsuf-filsuf mengingkari kebangkitan jasmani.
Tubuh menurut Ibnu Rusyd, melihat latar belakang filsafat Ibn Rusyd yang
banyak mendasarkan diri pada pemikiran Aristoteles, hal itu juga terungkap
114
dalam ajaran Ibn Rusyd dalam memandang tubuh. Berbeda dengan Plato yang
menganggap bahwa tubuh hanya menjadi penjara bagi jiwa. Antara tubuh dan
jiwa mempunyai sebuah korelasi. Korelasi tersebut secara jelas bisa terlihat
dalam proses pengenalan rational. Secara khusus, saya sulit untuk menemukan
definisi Ibn Rusyd tentang apa itu tubuh? Ibn Rusyd lebih banyak menjabarkan
tentang aktivitas jiwa yang berkorelasi dengan tubuh. Salah satu konsep yang
akan kita jabarkan adalah pancaindra. Karena di dalamnya kita bisa langsung
menangkap bagaimana tubuh pun mempunyai peran dan berkorelasi dengan
jiwa.
Ketiga indra Penciuman. Bagian dari fungsi tubuh yang berfungsi sebagai alat
untuk menangkap bau. Indra ini membutuhkan air dan udara sebagai
perantaranya. Seperti halnya Aristoteles, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa
penciuman manusia lebih lemah daripada hewan. Keempat, indra pengecapan
(perasa). Sebuah daya untuk menangkap rasa sesuatu. Kerjanya dengan
meletakkan objek di atasnya. Kelima, indera peraba. Sebuah daya jiwa yang
menggunakan tubuh untuk mengenali objek. Daya yang mengalami
kesempurnaan karena berbagai hal yang diraba.
115
ini banyak mendasarkan diri pada ajaran-ajaran agamanya. Bagi Ibn Rusyd
keimanan mengenai kebangkitan jasmani merupakan sebuah keharusan.
Pendasaran untuk hal ini menyangkut ajaran agamanya mengenai amal dan
keutamaan-keutamaan dari seseorang sepanjang masa hidupnya. Seseorang
yang selama hidupnya mempunyai keutamaan dengan menjalankan ajaran-
ajaran agama, salat, berkurban akan memperoleh balasan saat di akhirat
nantinya. Dalam hal ini filsafat membantu seseorang untuk memberikan cara
mencapai kebahagiaan kepada manusia yang berpikiran tinggi. Manusia
sebagai kesatuan tubuh dan jiwa menurut Ibn Rusyd bisa membantu kita
dalam melihat realitas yang terjadi saat ini. Salah satu fenomena yang relevan
adalah fenomena terorisme yang merenggut banyak nyawa manusia.
Sebenarnya Ibn Rusyd sudah memberikan dasar yang baik (filosofis) dalam
melihat manusia. Lantas mengapa terorisme dengan mudah meledakkan bom
yang merenggut banyak nyawa. Sebuah kontradiksi memang.
Satu hal yang saya bisa temukan, hal tersebut terjadi karena para pelaku
terorisme menginggalkan pendasaran rasional dalam melihat manusia, seperti
yang dijabarkan Ibn Rusyd. Meninggalkan dan meniadakan filsafat dalam
korelasi dengan agama. Akhirnya, Fundametalisme dalam agamalah yang
membuat para pelaku terorisme melakukakannya. Terlalu harfiah dalam
menghayati ajaran agamanya. Pandangan sempit bahwa manusia adalah
ciptaan Tuhan dan harus mematuhi segala perintah-Nya yang ada dalam
agamanya. Jika ada yang melanggarnya berarti menjadi sah untuk dihabisi
nyawanya. Akhirnya meninggalkan apa yang dikatakan oleh Ibn Rusyd, bahwa
harusnya sebagai manusia yang mempunyai jiwa mereka mampu berpikir dan
kritis tentang kebenaran. Lantas kalau tidak berpikir apakah para pelaku masih
bisa disebut manusia? Sungguh disayangkan, namun kiranya itulah yang
terjadi dalam negara kita.
6. Ibnu Bajjah
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakan begitu saja bahwa pemikiran
filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filosof Islam banyak
116
mengambil pemikiran aristoteles dan banyak tertarik terhadap pemikiran
platinus. Sehingga banyak teori filosof yunani diambil oleh filosof lslam. Salah
satu diantara para filosof Islam tersebut adalah Ibn Bajjah pada masa kejayaan
Islam di Spanyol. Ibn Bajjah adalah ahli yang menyadarkan pada teori dan
praktik dalam ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu
pengobatan, dan studi-studi spektakulatif seperti logika, filsafat alam dan
metafisika, sebagaimana yang dikatakan oleh De Boer dalam the history of
philosophi in Islam, bahwa dia benar-benar sesuai dengan al-Farabi dengan
tulisan-tulisannya logika dan secara umum setuju dengannya, bahkan dengan
doktrin-doktrin fisika dan metafisikanya.
Filsafat berasal dari kata arab falsafah, yang berasal dari Bahasa Yunani,
philosophia, yang berarti philos=cinta, dan Sophia=pengetahuan jadi
philosophia cinta kepada kebijaksanaan kebenaran. Jadi setiap orang yang
berfilsafat maka dia akan bijaksana. Filsafat juga berarti alam pikiran atau alam
berpikir. Berfilsafat artinya berpikir, namun tidak semua berpikir berarti
berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.
Sebuah semboyan mengatakan semua manusia itu filsuf, semboyan ini benar
juga, sebab semua manusia itu berpikir. Akan tetapi, secara umum semboyan
itu tidak benar, sebab tidak semua orang yang berpikir itu adalah filsuf. Filsuf
hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-
sungguh dan mendalam. Tegasnya: filsafat adalah ilmu yang mempelajari
dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. Adapun
117
pembentukan kata filsafat menjadi kata Indonesia diambil dari kata barat yaitu
fil dan safat dari kata arab sehingga terjadilah gabungan antara keduanya dan
menimbulkan kata filsafat.
118
pun diangkat menjadi menteri Yahya ibnu Yusuf Ibnu Tashufin. Dan didaerah
itulah akhir kehidupan Ibnu Bajjah yang bertepatan pada bulan Ramadhan
tahun 533 H (1138 M), yang telah diracun oleh “Ibn Zuhr” dokter termasyhur
pada zaman itu.
a. Kitab tadbir al-mutawahhid, ini adalah kitab yang paling popular dan
penting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini berisikan akhlak dan politik
serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan
dalam masyarakat Negara, yang disebutnya insan muwahhid (manusia
penyendiri).
b. Risalat Al-Wada‟, risalah ini membahas penggerak pertama (tuhan),
manusia, alam, dan kedokteran.
c. Risalat al-ittishal, risalah ini menguraikan manusia dengan akal fa‟al.
d. Kitab al-nafs, kitab yang menjelaskan jiwa. (sirojuddin zar)
e. Tardiyyah yang mana kitab ini membahas tentang sya‟ir pujian.
a. Epistimologis
Sebagai tokoh pemula filsafat Islam di Dunia Islam barat, Ibnu Bajjah tidak
lepas dari pengaruh saudara-saudaranya, filsuf dari Islam timur. Terutama
pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina. Dalam bukunya yang terkenal tadbir al-
mutawahhid, Ibn Bajjah mengemukakan teori al-ittishal, yaitu bahwa
manusia mampu berhubungan dan meleburkan diri dengan akal fa‟al atas
bantuan ilmu dan pertumbuhan kekuatan insani.
Berkaitan dengan teori al-ittishal tersebut, Ibn Bajjah juga mengajukan satu
bentuk epistimologi yang berbeda dengan corak yang dikemukakan Al-
Ghazali di Dunia Islam timur. di Dunia Islam timur. Al-Ghazali berpendapat
bahwa ilham adalah sumber pengetahuan yang lebih penting dan lebih
dipercaya, maka Ibn Bajjah mengkritik pendapat itu, dan menetapkan
bahwa sesungguhnya perseorangan mampu sampai pada puncak
119
pengetahuan dan dan melebur kedalam akal fa‟al, bila ia bersih dari
kerendahan dan keburukan masyarakat. Karena masyarakat bisa
melumpuhkan daya kemampuan berpikir perseorangan dan
menghalanginya untuk mencapai kesempurnaan, hal ini disebabkan
masyarakat itu berlumuran dengan perbuatan-perbuatan rendah dan
keinginan hawa nafsu yang kuat. Jadi, dengan kekuatan dirinya manusia
bisa sampai kepada martabat yang tinggi, melalui pikiran dan perbuatan.
Pemikiran tentang epistimologi ini disebut ibn bajjah dalam bukunya, tadbir
al-mutawahhid yang berisi delapan pasal, dapat disarikan sebagai berikut:
Pasal pertama: penjelasan kata tadbir, Ibnu Bajjah menjelaskan arti kata
tadbir dipakai terhadap setiap kumpulan peraturan yang mengenai dengan
perbuatan menuju suatu tujuan, seperti mengatur keluarga atau Negara.
Manakalah perbuatan-perbuatan seorang yang bertujuan kepada maksud
yang tinggi, haruslah perbuatan itu timbul dari pemikiran yang luas, jauh
sekali dari pengaruh luar.
2) suatu perbuatan yang timbul dan bersifat insting hewani yang tunduk
kepada jiwa manusia yang berpikir. Perbuatan ini dinilai tingkatan akhlak
yang paling tinggi. Tetapi, manakalah seseorang yang kekuatan
hewaninya bisa mengalahkan kekuatan berpikirnya, maka ia lebih hina
daripada hewan.
120
1) perbuatan yang tujuannya berpa bentuk jasmani, seperti minum,
makan, pakaian, dan yang serupa seperti itu.
b. Metafisika
Menurut Ibnu Bajjah segala yang wujud terbagi dua: bergerak dan tidak
bergerak. Yang bergerak itu adalah materi yang sifatnya terbatas dan sebab
gerakannya berasal dari kekuatan yang tidak terbatas, yaitu akal. Untuk
mencapai kedekatan dengan Tuhan, Ibnu Bajjah menganjurkan untuk
melakukan tiga hal, yaitu: (1) membuat lidah kita selalu mengingat Tuhan
dan memuliakan-Nya, (2) membuat organ-organ tubuh kita bertindak
sesuai dengan wawasan hati, (3) menghindari segala yang membuat kita
lalai mengingat Tuhan.
c. Etika
121
Pertama, tindakan hewani, timbul karena ada motif naluri atau hal-hal lain
yang berhubungan dengannya, baik dekat maupun jauh.
d. Politik
122
seseorang yang terkucil, menarik diri dari pergaulan manusia, didalam
Negara semacam ini untuk apolitik.
e. Tasawuf
7. Al-Ghazali
123
serupa dengan hukum sebab dan akibat itu hanyalah kebiasaan (adat)
semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal ini jelas Al-Ghazali
menyokong pendapat Ijraul-„adat dari Al Asy‟ari.
a. Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia ini
berasal dari iradat (kemauan) Tuhan semata-mata, tidak bisa terjadinya
dengan sendirinya. Iradat Tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu
menghasilkan ciptaan yang berganda, disatu pihak merupakan zarah-zarah
(atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian yang konkret antara zarah-
zarah abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan
kebiasaannya yang kita lihat ini. Iradat Tuhan itu sendiri adalah mutlak,
bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti
yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas
124
dalam pengertian ruang dan waktu, dan telah masuk ke dalam pengertian
materialis. Al-Ghazali menganggap bahwa Tuhan adalah transenden, tetapi
kemauan iradat-Nya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki
dari segala kejadian.
1) Qadimnya alam
Alasan ketiga hal itu disertai bantahnnya dari Al-Ghazali, seperti di bawah
ini:
Qadimnya Alam
Alasan Pertama, tidak mungkin wujud yang dulu, yaitu alam, keluar dari
yang qadim (Tuhan), sebab dengan demikian berarti kita bisa
125
membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedang alam belum lagi
ada. Tentang mengapa alam ini belum wujud, disebutkan bahwa pada
waktu itu hal-hal yang menyebabkan wujudnya belum lagi ada. Jadi, pada
waktu itu alam ini baru merupakan suatu kemungkinan murni (bisa wujud
dan bisa tidak wujud). Sesudah waktu tersebut datang, maka alam ini
menjadi wujud, dan wujud ini disebabkan karena faktor-faktor yang
menyebabkan wujudnya. Akan tetapi timbul pertanyaan, mengapa faktor-
faktor tersebut baru timbul pada waktu itu, dan tidak timbul sebelumnya.
Kalau dikatakan Tuhan mula-mula tidak berkuasa mengadakan alam,
kemudian menjadi kuasa untuk mengadakannya, maka timbul pula
pertanyaan, mengapa kekuasaan itu baru timbul pada masa itu, bukan
pada masa sebelumnya. Atau kalau dikatakan, Tuhan sebelumnya tidak
mempunyai tujuan (maksud) bagi wujudnya alam, kemudian maksud ini
timbul, maka pertanyaan yang muncul juga sama, yaitu mengapa tujuan itu
timbul. Atau kalau dikatakan bahwa Tuhan mula-mula tidak menghendaki
adanya, maka timbul pertanyaan mengapa kehendak tersebut timbul, dan
di mana pula timbulnya. Apakah pada zat-Nya, ataukah pada selain zat-
Nya. Kalau pada zat-Nya, tidak mungkin, sebab zat Tuhan tidak menjadi
tempat perkara yang baru. Timbulnya kehendak Tuhan pada selain zat-Nya
juga tidak mungkin karena kalau demikian, berarti bukan Dia yang
mempunyai kehendak, melainkan zat lain itu.
126
Jawab Al-Ghazali ialah bahwa perkataan tersebut tidak lebih kuat daripada
perkataan mereka yang mempercayai kebaruan alam karena kehendak
yang qadim. Timbul pula pertanyaan lain, yaitu bahwa nilai semua waktu
dalam pertaliannya dengan kehendak adalah sama, tetapi mengapa satu
waktu dipilih untuk mewujudkan alam, dan waktu yang sebelumnya atau
sesudahnya tidak dipilih?
Alasan kedua, Tuhan lebih dahulu daripada alam, bukan dari segi zaman,
malainkan dari segi pribadi (tingkatan, zat) seperti lebih dahulunya bilangan
1 atas 2 atau dari segi kausalitas, seperti lebih dahulunya gerakan
seseorang daripada gerakan bayangannya, sedangkan kedua gerakan
tersebut sebenarnya sama-sama mulai atau sama-sama berhentinya.
Artinya sama dari segi zaman. Kalau yang dimaksud dengan terlebih
dahulunya Tuhan atau alam ini ialah dari segi zaman, maka kelanjutannya
ialah :
127
satu masa yang terbatas pada ujungnya yang satu, yaitu dengan adanya
alam, tetapi tidak terbatas pada ujungnya yang lain karena permulaan
wujud Tuhan tidak ada batasnya.
Dengan perkataan lain, sebelum terdapat zaman ketika alam wujud sudah
terdapat zaman yang tidak ada ujungnya, dan ini adalah suatu perlawanan
sebab, kalau ada batas pada salah satu ujungnya, maka harus ada batas
pula pada ujungnya yang lain, begitupun sebaliknya. Karena alasan-alasan
tersebut di atas, maka tidak mungkin untuk mengatakan barunya alam.
Alasan ketiga, Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya untuk dapat
dikatakan bahwa benda itu baru. Jadi, yang baru tidak bisa lepas dari
benda, dan benda itu sendiri tidak baru. Yang baru hanyalah surah ( form),
ardl (sifat-sifat), dan cara-cara atau peristiwa-peristiwa yang mendatangkan
benda. Pikiran ini masih perlu dijelaskan.
Tiap-tiap yang baru, sebelum terjadinya, tidak lepas dari tiga sifat :
Sifat yang kedua tidak bisa dibenarkan karena yang tidak mungkin wujud
tidak akan terdapat selamanya, sebab alam ini telah menjadi wujud yang
128
nyata. Sifat yang ketiga juga tidak dapat dibenarkan, karena yang wajib
wujudnya tidak akan lenyap, sedangkan alam ini dan peristiwa-peristiwa
yang terjadi didalamnya asalnya ada, kemudian tidak ada, dan sebaliknya.
Jadi, kedua sifat tersebut di atas tidak mungkin terdapat pada alam, dan
karena itu, satu-satunya sifat alam ialah bahwa alam itu mungkin wujudnya
yang sudah terdapat pada alam sebelum wujudnya.
Akan tetapi, mumkin al-wujud adalah suatu sifat yang tidak dapat berdiri
sendiri, tetapi membutuhkan perkara yang lain sebagai tempatnya. Yang
lain ini, sebagai tempat sifat tersebut, tidak lain adalah materi, sehingga
kita dapat mengatakan materi ini bisa (mungkin) wujud, seperti kita
mengatakan benda ini bisa panas atau bisa dingin, bisa putih atau bisa
hitam, bisa bergerak atau bisa diam. Artinya, sifat-sifat tersebut dan
perubahan tersebut dapat terjadi (mungkin) pada benda.
129
sehingga kita dapat mengatakan “benda ini dapat diputihkan atau
dihitamkan”, maka artinya putih atau hitam itu sendiri tidak mungkin
dan tidak mempunyai sifat mungkin, sebab yang mungkin adalah
bendanya, dan sifat mungkin menjadi sifatnya.
130
1) Keadaan ketika gerhana tidak ada, dan baru kemudian akan terjadi.
a) Kita mengetahui bahwa gerhana itu tidak ada, dan baru kemudian
akan terjadi.
131
Demikian pula ilmu Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi
karena sebab-sebabnya dan sebab-sebab ini mempunyai sebab-sebab yang
lain sebelumnya, sampai pada gerakan-gerakan benda angkasa.
132
disebabkan oleh kesibukan-kesibukan benda, dan baru dicapai di akhirat
nanti, ketika kesibukan-kesibukan benda ini tidak lagi jadi penghalangnya.
Orang yang tidak merasakan kelezatan berpikir dalam dunia ini tidak akan
merasakan keadaan tersebut sebagai penderitaan, sebab, karena
kesibukan-kesibukan materinya itu, sebagaimana halnya dengan orang
yang sedang takut, ia tidak akan merasakan kepedihan penyakit yang
dideritanya. Agar sesuai dengan suasana kerohanian, maka kebangkitan di
akhirat nanti bersifat rohniah pula. Jadi, kebangkitan jasmani, yang berarti
badan kita akan dibangkitkan lagi, tidak perlu terjadi.
1) Manusia terdiri atas badan dan kehidupan, seperti yang dikatakan oleh
sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa yang berdiri sendiri dan yang
mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati adalah
terputusnya hidup, yakni Tuhan tidak lagi menciptakan hidup, dan
karena itu hidup ini tidak ada, dan badan juga tidak ada. Jadi, arti
kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah
tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya
yang sudah tidak ada. Dengan perkataan lain, badan manusia setelah
menjadi mati tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk
manusia dan diberikan hidup kepadanya.
133
2) Atau dikatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi
badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan
lagi dengan anggota-anggota badannnya sendiri dengan lengkap.
134
Jawaban Al-Ghazali, Jawaban Al-Ghazali lebih banyak ditujukan kepada
kemungkinan ketiga yang dikemukakan oleh filosuf-filosuf, dan lebih banyak
didasarkan atas alasan-alasan syara‟ daripada atas argumentasi pikiran. Dia
mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah
dengan badan) karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri.
Pendirian ini tidak berlawanan dengan syara‟, bahkan ditunjukannya seperti
yang disebutkan dalam Al-Quran Surah Âli „Imrân (3):169:
“Jangan engkau Kira bahwa mereka yang terbunuh pada jalan Allah itu
mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannnya, mendapat rizki dan
gembira”. (QS. Âli „Imrân (3): 169)
Hal yang penting ialah kembalinya suatu alat kepada manusia, yang
memungkinkan dia merasakan kelezatan atau kepedihan jasmani. Kalau alat
itu sudah dikembalikan seperti semula, yaitu badan, bagaimanapun
macamnya alat itu, maka itu artinya ia benar-benar kembali (kebangkitan).
Tentang terbatasnya benda dan tidak terbatasnya jiwa, tidak dapat
dibenarkan, sebab, menurut golongan filosof, alam itu qadim, sedangkan
jiwa manusia itu baru, jadi jiwa tidak mungkin lebih banyak daripada
benda-benda itu. Kalau sekiranya jiwa itu lebih banyak, apakah mustahil
135
bagi Tuhan untuk membuat lagi benda yang baru untuk menjadi tempat
jiwa?
Tentang perpindahan jiwa dari satu badan ke badan lain, memang tidak
dibenarkan oleh Al-Ghazali. Akan tetapi tentang kebangkitan jasmani di
akhirat, yang berarti bahwa jiwa bertempat pada badan yang lain, itu
dipercayainya, baik disebut transmigrasi jiwa atau bukan selama hal itu
disebut oleh agama.
b) Etika
Filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam bukunya Ihya „Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika
Al-Ghazali adalah teori Tasawufnya. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-
Ghazali kita temui dalam semboyan tasawuf yang terkenal: al-takhalluq bi-
akhlaqillahi „ala thaqatil basyariyah, atau pada semboyannya yang lain, al-
shifatirrahman ala thaqalil-basyariyahal., Maksud semboyan itu adalah agar
manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat
ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun, pemaaf, dan sifat-
sifat yang disukai Tuhan, sabar, Jujur, taqwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan
sebagai nya.
136
(kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia tidak cocok samasekali
dengan prinsif filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai
kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan
diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan
sama sekali. Al-Ghazali, sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa
kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya
yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
137
argumentasi. Dalam memperkuat iman orang-orang biasa, menurut Al-
Ghazali tidak diperlukan argumen-argumen pemikiran yang dalam. Ia
menyayangkan adanya pertentangan pendapat dalam beberapa persoalan
dan tuduhan telah menjadi kafir yang dikeluarkan oleh pengikut beberapa
aliran terhadap orang lain yang tidak sependapat dengan mereka, karena
dirasa perlu untuk memberikan batas pemisah antara iman dengan kufur
dan atau antara Islam dengan non Islam.
138
menyusul orang-orang agama dualisme, orang-orang zindiq dan orang-
orang materialis. Mereka semuanya adalah orang-orang musyrik, karena
mendustakan Rasul. Setiap orang kafir mendustakan (tiada mempercayai)
Rasul, dan setiap orang yang mendustakan Rasul adalah orang kafir, ini
adalah garis pemisah yang berlaku terus.
Wasiat itu adalah: Tutup mulutmu (jangan menuduh) terhadap ahli kiblat
(orang Islam) sedapat-dapatnya, selama mereka mengatakan Tidak ada
Tuhan kecuali Allah, dan Muhammad saw, adalah Rasulullah. Satu aturan
pokok ialah bahwa ilmu tentang kepercayaan ada dua bagian, yaitu bagian
yang bertalian dengan dasar-dasar pokok dan bagian lain yang bertalian
dengan soal-soal cabang. Dasar-dasar iman ada tiga, yaitu iman kepada
Tuhan, kepada Rasul-Nya dan kepada hari akhir (akhirat), selain ketiga soal
ini, termasuk soal-soal cabang. Dalam soal-soal cabang tidak ada
pengkafiran sama sekali, kecuali dalam satu hal saja, yaitu mengingkari
dasar agama yang telah diketahui dari Rasul saw. Dengan jalan yang pasti
(mutawatir).
139
pengertian bahwa ia telah mengadakan suatu pendapat yang tidak pernah
dijelaskan oleh ulama-ulama salaf.
Hal yang disebut dengan iman tidak hanya cukup dengan mengetahui
syariat, tetapi harus dengan mengamalkan perintah-perinyahnya. Menurut
Al-Ghazali, meskipun seorang membaca seratus ribu kali masalah keilmuan
dan mengkajinya pula, tetapi tidak mengamalkannya, maka tidak akan
berguna baginya, kecuali dengan amalnya itu. Islam bukan hanya membaca
Al Quran, shalat berjamaah dan mengagungkan syariat dengan lisan, tetapi
juga pembersihan, keperwiraan dan taqwa lepada Allah Swt.
140
Dalam buku Tahafutu Al Falasifah Al-Ghazali menerangkan tentang
keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat
justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali
menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk
menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap
filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan
filsafat disebut sebagai seorang filosuf?
Apabila ditinjau dari segi lain pendapat tersebut masih dapat dikaji lagi.
Terutama dari segi pengertian filsafat Islam. Namun apabila filsafat Islam
hanya merupakan kumpulan dari pemikiran-pemikiran Al Farabi, Ibnu Sina
dan tokoh-tokoh pikiran yang sejenis semata-mata, tentang persoalan
ketuhanan dan jiwa manusia, tanpa melihat metode atau sumber pikiran
tersebut, maka buku Tahafutu Al Falasifah, tidak termasuk buku filsafat,
dan pengarangnya juga bukan seorang filosuf. Karena buku itu berisi
hantaman terhadap pikiran-pikiran kedua filosuf tersebut di atas. Tetapi apa
dasar memasukkan karya-karya kedua filosuf dan yang sejenis semata-
mata dalam lapangan filsafat Islam, sehingga harus mengeluarkan karya-
karya tokoh pikiran lainnya? Pengertian filsafat harus lebih luas daripada
itu, sehingga mencakup semua usaha-usaha pikiran yang dipakai sebagai
jalan untuk mencapai kebenaran, sebagaimana yang dikatakan oleh Frost.
Pengertian tersebut tepat sekali untuk diterapkan pada filsafat, dan dengan
demikian, maka buku Tahafutu Al Falasifah termasuk buku filsafat.
Kedua, ilmu logika (mantiq) yakni ilmu yang membahas cara menyusun
suatu dalil dan syarat-syaratnya, menyusun batas dalil dan syarat-
syaratnya. Ilmu ini masuk dalam ilmu kalam.
141
Ketiga, ilmu metafisika (Ketuhanan) yakni ilmu yang membahas tentang zat
Allah Swt dan sifat-sifatNya. Ilmu ini juga termasuk ilmu kalam. Para filosuf
tidak menyadari mengenai ilmu ketuhanan dengan bentuk suatu ilmu lain,
tetapi menyendiri dengan bentuk aliran (madzhab) yang mana sebagian
daripadanya menjadi kafir dan sebagian lainnya menjadi bid‟ah.
Sebagaimana aliran Mu‟tazilah bukan merupakan ilmu yang berdiri sendiri,
tetapi penganut-penganutnya adalah suatu golongan dari para ulama
mutkallimin dan para ahli pengkajian, penyelidikan yang menyendiri dengan
aliran-aliran yang batal. Maka seperti itu pulalah para filosuf.
Keempat, ilmu alam sebagian dari padanya menyalahi syariat dan ajaran
agama yang benar. Ini sebenarnya merupakan kebodohan, bukan ilmu
pengetahuan yang pantas dimasukkan ke dalam bagian-bagian ilmu.
Sebagian yang lain lagi membahas tentang sifat-sifat jism (benda yang
bertubuh) dan kegunaannya, cara berubah dan bertukar bentuknya.
Dalam pengertian filsafat Islam secara luas, kajian Al-Ghazali tersebut telah
memasuki filsafat, meskipun harus mencemooh para filosuf. Sebenarnya
yang dicemooh bukan para filosuf, tetapi setiap orang yang mempunyai
jalan pemikiran yang tidak sesuai dengan ajaran agama ia mengecamnya.
Karena Al-Ghazali selalu merujuk dan senantiasa mencari kebenaran, meski
berlandaskan Al-Quran dan Al-Hadits, ia telah memasuki alam pikiran
filsafat. Dengan demikian ia seorang filosuf.
b. Sikap Al-Ghazali
Dalam buku Maqashid Al Falasifah berisi tiga persoalan filsafat yaitu ilmu
mantiq, metafisika dan fisika yang diuraikan dengan sejujur-jujurnya.
Seolah-olah ia seorang filosuf yang menulis tentang kefilsafatan, sesudah
itu ia menulis sebuah buku Tahafutu Al Falasifah dimana ia bertindak bukan
sebagai seorang filosuf, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang
hendak mengkritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahannnya
serta kejanggalan-kejanggalannya yaitu dengan hal-hal yang berlawanan
dengan agama. Dengan demikian dia seorang filosuf yang sanggup
142
menggugat dirinya sendiri. Ia jujur, konsekuen, dan tegas dalam pendirian.
Selalu mengacu pada kebenaran yang didasarkan pada ajaran Islam.
2) Sikap yang timbul dari pemeluk Islam yang bodoh yaitu menduga bahwa
untuk menegakkan agama, harus mengingkari semua ilmu yang berasal
dari filosuf-filosuf, dan mengatakan bahwa mereka bodoh semua,
sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus
diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara‟.
143
anggota-anggota badannya dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi
didalamnya. Sebagaimana untuk agama tidak diisyaratkan mengingkari ilmu
kedokteran, maka demikian pula fisika juga tidak perlu diingkari, kecuali
beberapa hal yang disebutkan dalam buku Tahafutu Al Falasifah, yang
disimpulkan bahwa alam semesta ini dikuasai (tunduk) lepada Tuhan, tidak
bekerja dengan dirinya sendiri, tetapi bekerja karena Tuhan zat pencipta.
Ibnu Thufail berasal dari kawasan Islam belahan barat. Ibnu Tufail
yang hidup pada Masa pemerintahan Daulah Muwahhidun. Nama
lengkapnya ialah Abu Bakr Muhammad Ibnu Abd al-Malik Ibnu Thufail. Lahir
di Wadi Asy (Guandix), dekat Granada sekitar tahun 500 H/1106 M. Ia
menguasai Kedokteran, antronomi, dan filsafat. Tidak diketahui secara pasti
kepada siapa ia pernah Berguru dalam menimba ilmu pengetahuan. Dalam
kisah Hayy Ibnu Yaqzhan yang ditulisnya ia mengatakan tidak pernah
berjumpa dengan Ibnu Bajjah. Pada mulanya Ibnu Thufail aktif bekerja
sebagai dokter dan pengajar, lalu alih profesi sebagai sekretaris pribadi
penguasa Granada. Pada tahun 549 H/1154 M, ia dipercaya sebagai
sekretaris gubernur wilayah Ceuta dan Tangier (Maroko). Sedang gubernur
itu merupakan putra Abl al-Mukmin, seorang pendiri Daulah Muwahhidun
yang berpusat di Marakesy, Maroko. Pada tahun 558 H/1163 M, ia ditarik ke
Marakesy dan diangkat sebagai hakim sekaligus dokter untuk keluarga
istana Abu Yaqub Yusuf (memerintah) pada tahun 1163 – 1184 M).
Ibnu Thufail sempat memperkenalkan Ibnu Rusyd kepada Abu Yaqub Yusuf
pada tahun 1169 M. Bermula dari perkenalan itu, Abu Yaqub Menyarankan
via Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd agar mengulas karya-karya Aristoteles. Pada
tahun 1182 M, Ibnu Thufail mengundurkan diri dari jabatannya karena
sudah merasa tua dan lemahal., Dan jabatan sebagai dokter istana
diserahkan kepada Ibnu Rusyd. Tepatnya tahun 581 H/1158 M, Ibnu Thufail
wafat. Kesibukan di pemerintahan yang sedemikian padat membuatnya
144
kurang produktif dalam dunia tulis-menulis. Namun, beberapa tema sempat
ditulisnya, misalnya kedokteran, astronomi, dan filsafat. Dari sekian buah
karyanya, Risalah Hayy Ibnu Yaqzhan fi Asrar al-Himah al- Masyriqiyah
adalah yang termashur. Kitab ini mempresentasikan pemikiran inti Ibnu
Thufail dalam ranah filsafat.
Terdapat dua tulisan dengan judul Hayy Ibnu Yaqzhan, yakni versi Ibnu
Sina dan Ibnu Thafail. Namun, Ibnu Sina yang lebih dulu memakai judul
tersebut, kendati Versinya berbeda. Risalah Hayy Ibnu Yaqzhan versi Ibnu
Yaqzhan dilukiskan sebagai seorang syeikh tua yang ditangannya
tergenggam kunci-kunci segenap pengetahuan yang ia terima dari ayahnya.
Syeikh tua itu seorang pengembara yang menjelajahi penjuru bumi.
Dalam suatu perjalanan, Hayy berjumpa dengan Syeikh tua tersebut,
sehingga perkenalan pun tak terhindarkan dan terjadilah dialog. Syeikh
dengan nama Ibnu Yaqzhan itu merupakan simbolisasi dari Akal Aktif yang
melangsungkan komunikasi dengan para nabi dan filsuf. Ibnu Yaqzhan
mungkin juga merupakan simbolisasi bagi akal manusia yang dituntut untuk
selalu berkembang mencapai tahap kematangan dalam menguasai
pengetahua, baik yang praktis maupun teoritis, dan harus pula mampu
mengendalikan potensi-potensi jiwa nabati/hewani yang bersarang dalam
jiwa insani.
Risalah Hayy Ibnu Yaqzhan versi Ibnu Thufail berbeda dengan versi Ibnu
Sina. Ibnu Thufail melukiskan Ibnu Yaqzhan sebagai sesosok bayi laki-laki
yang terbuang di sebuah pulau yang belum pernah dihuni manusia. Pulau
itu merupakan salah satu pulau Hindi yang terletak di bawah garis
khatulistiwa. Alkisah, bayi yang diberi nama Hayy Ibnu Yaqzhan itu
merupakan hasil perkawinan sah seornag wanita dan laki-laki kerajaan.
Mula-mula, karena takut diketahui raja, bayi itu diletakkan di sebuah peti
oleh ibunya, dan kemudian diapngkan ke laut dengan harapan dapat
dihanyutkan olah arus laut ke tempat lain. Arus dan pasang naik laut
145
menyebabkan peti tersebut terhempas ke pulau seberang yang tidak dihuni
manusia. Tangis bayi yang merobek keheningan pulau itu mengundang
rasa iba seekor unta yang belum lama kehilangan anak, dan bahkan
menyangka bayi itu adalah anaknya. Bayi mungil itu pun dirawat dan
disusui di kandang unta. Uniknya, bayi itu tumbuh sehat menjadi manusia
dewasa yang berbeda dari binatang. Akal sehatnya tumbuh sedemikian
rupa, sehingga ia tidak saja mampu berpikir tentang Dunia fenomen,
melainkan juga menangkap hal-hal abstrak dan mengetahui adanya Tuhan
dengan mata hatinya dan merasa dekat dengan-Nya.
Tidak jauh dari pulau itu terdapat sebuah pulau yang dihuni oleh suatu
masyarakat. Absal dan Salaman yang termasuk pemuka dalam masyarakat
itu merupakan penganut agama wahyu, tapi dengan kecenderungan yang
berbeda. Absal banyak tertarik pada pengertian-pengertian metaforis dari
teks-teks wahyu, sedangkan Salaman lebih gemar pada makna-makna
literalis. Sementara masyarakat memiliki pandangan serupa dengan
Salaman, sehingga Absal merasa tidak mendapat dukungan dan
memutuskan untuk hengkang dari masyarakatnya untuk beberapa waktu.
Pada suatu hari, pengasingan Absal tiba di pulau yang dihuni Ibnu Yaqzhan.
Perjumpaan antara keduanya pun tak terelakkan. Absal melatih Ibnu
Yaqzhan berbicara Dan akhirnya mereka saling berdialog. Ternyata Yaqzhan
dapat dengan mudah memahami dan menyetujui pikiran-pikiran Absal
tentang Tuhan, surga, neraka, hari kebangkitan, timbangan, jalan lurus dan
lain sebagainya. Sedangkan Absal juga dengan mudah memahami
keterangan Ibnu Yaqzhan mengenai hasil renungan dan pengalaman
spiritualnya dengan Tuhan. Lalu keduanya sepakat untuk hijrah ke pulau
dimana Salaman dan masyarakatnya menetap di sana. Kedatangan Absal
dan Ibnu Yaqzhan ialah mengajak Salaman beserta masyarakatnya
beragama seseuai pemahaman mereka berdua. Tapi, ajakan tersebut tidak
mendapat respon positif, hingga keduanya sadar bahwa masyarakat harus
dibiarkan beragama dengan pemahaman masing-masing. Akhirnya, mereka
146
berdua kembali ke pulau tak berpenghuni itu untuk melanjutkan ibadah dan
tafakur pada Tuhan sebagaimana mestinya.
Sosok Hayy Ibnu Yaqzhan dalam novel Ibnu Thufail tidak digunakan
sebagai simbol Akal Aktif, melainkan simbol akan manusia tanpa bimbingan
wahyu mampu mencapai Kebenaran tentang Tuhan, dunia, dan alam
rohaniah yang tidak kontradiktif dengan kebenaran wahyu. Sementara
Absal dan Salaman dapat dipandang sebagai simbol wahyu yang dipahami
secara berbeda: Absal adalah representasi dari pemahaman metaforis
terhadap wahyu, sebagaimana lazim terjadi pada kalangan rasionalis (filsuf)
dan esoteris (sufi), sedangkan Salaman merupakan representasi dari
pemahaman literalis, sebagaimana lazim terjadi pada kalangan teolog dan
fuhaka.
Dari kisah simbolis ini dapat ditarik benang merah pemikiran Ibnu Thufail
bahwa Manusia memiliki potensi yang amat besar untuk tumbuh dengan
kualitas akalnya. Andai potensi akal itu diasah secara tajam akan
mengantarkan seseorang menjadi filsuf atau sufi. Akal yang dimilikinya
tidak saja mampu menguak alam empiris, melainkan juga mampu
memahami alam metafisis. Bahkan, hatinya juga dapat dikembangkan
sedemikian rupa hingga dapat mengalami musyahadah (persaksian)
keindahan cahaya Ilahi dan alam metafisik lainnya. Kebahagiaan tertinggi
dan sejati dirasakan manusia manakala hatinya tenggelam dalam
musyahadah tersebut. Pemikiran Ibnu Thufail menunjukkan bahwa seorang
filsuf, sufi, atau teolog tidak perlu mengajak atau memaksa kaum awam
untuk menangkap kebenaran agama sebagaimana mereka pahami. Karena
upaya demikian tidak akan berarti apa-apa buat kaum awam untuk
menangkapkebenaran agama sebagaimana mereka pahami. Karena upaya
demikian tidak akan berarti apa-apa buat kaum awam yang tidak suka
bersusah payah memahami agama secara metaforis. Kalangan penganut
metaforis lebih baik mendorong masyarakat awam untuk tidak melanggar
147
batas-batas agama, komitmen menunaikan amal-amal lahiriah,
membenarkan dan menerima hal-hal yang mutasyabihat, menjauhkan diri
dari perilaku bidah, tidak menumbar hawa nafsu, dan meneladani para salaf
al-Salih. Intinya, kaum awan harus dinasehati agar tidak mengabaikan
syariat.
Ibnu Thufail juga menyinggung persoalan apakah ala mini hadits (bersifat
baru, Bermula). Ia menyadari keberatan pihak lain terhadap pandangan
bahwa ala mini hadits, dan juga keberatan pihak lain kalu ala mini qadim.
Tanpa memperlihatkan keberpihakan Kepada salah satu paham ini. Ibnu
Thufail menyatakan bahwa kedua paham ini masih Mengakui adanya Tuhan
sebagai pencipta alam semesta. Jika ala mini pernah tidak ada, tentu ia
membutuhkan sesuatu yang lain yang menciptakan alam itu dari tiada
menjadi ada, dan pencipta tiu adalah Tuhan. Bila ala mini qadim, maka ia
merupakan akibat dari penciptaan karena qidam. Alam yang terbatas ini
tdak mungkin selamanya bergerak, ia hanya bergerak dengan tenaganya
sendiri yang terbatas. Oleh karena itu, alam yang terbatas tetap butuh pada
sesuatu yang tidak terbatas yang wajib bersifat imateri dan menjadi
penggerak ala mini. Jadi, ke-hadist-an atau ke-qadim-an alam sepenuhnya
bergantung pada Tuhan selaku pecipta dan penggeraknya.
E. Perbandingan
Menurut Umar Khayyan ada perbedaan tegas antara dua aliran pemikiran
“filosofis”, yang kedua-duanya mengaku pengikut Grika. Yang pertama, aliran
peripatetik, yang punya doktrin, gabungan ide Aristoteles dan beberapa ide
Neoplatonik (Sayyed Hossein Nasr, 1986: 16-17). Tendensi utama aliran
Peripatetik, yang eksponen Islam terbesar adalah Ibnu Sina, mengarah ke suatu
filsafat yang berdasarkan penggunaan logika dan bertumpu hakikatnya pada
metoda silogistis. Aspek rasionalistis aliran ini mencapai puncaknya pada Ibnu
148
Rusd, yang merupakan tokoh paling berpaham Aristoteles di kalangan Peripatetik
Muslim dan yang menolak, sebagai aspek eksplisit filsafat, unsur-unsur
Neoplatonik dan Muslim yang merasuk ke dalam paham duniawi Peripatetik Timur,
seperti Ibnu Sina (Sayyed Hossein Nasr, 1986: 270).
Dalam kalangan Peripatetik sendiri terjadi perbedaan antar Ibnu Rusyd di lain
pihak dengan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Ibnu Rusyd mengkritik Ibnu Sina dan al-
Farabi, ia mengatakan karena keasyikannya yang penuh dengan masalah
keserasian, kedua pengikut Neo-Platonis Muslim tersebut telah salah paham atau
mengecilkan perbedaan-perbedaan yang sangat lebar antara Aristoteles dan
gurunya (Plato), dan terutama kritikannya yang bertubi-tubi terhadap teori idea
Platonik. Selain itu semua ajaran emanasionis yang membentuk landasan
kosmologi dan metafisika mereka sama sekali tidak Aristotelian. Kedua filosof
Muslim itu menganggap ajaran itu berasal dari Aristoteles, padahal mereka telah
mengubah semua bentuk ajarannya (Majid Fakhry, 1986: 395).
Kritikan lain Ibnu Rusyd kepada Ibnu Sina khususnya dan Neo-Platonisme Arab
pada Umumnya, banyak sekali, seperti tentang konsep wujud dalam hubungannya
dengan esensi, juga secara diam-diam Ibnu Sina menerima metafisika Asy‟ariyah
tentang kemungkinan (contingensi) dan dengan begitu menolak hubungan kausal
dan konsep tentang adanya sebuah kecakapan terpisah dari jiwa yang disebut
estimatif (al-wahimah), dan berkat iu hewan-hewan yang lebih tinggi dapat
membedakan antara mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat (Majid
Fakhry, 1986: 397-400).
Dengan begitu bisa dijelaskan bahwa Ibnu Sina dan al-Farabi sebagai pengikut
Platonik sedangkan Ibnu Rusyd (M.M. Syarif, 1993: 202) sebagai Aristotelian (dan
seterusnya menjadi berkembang di Barat). Filsafat Ibnu Sina, khususnya dalam
aspek simbolis dan kosmologis, terus dikaji dan dibangunan di dunia Syi‟ah,
sedangkan di kalangan Sunni pandangan rasionalistis yang inheren pada filsafat
Peripatetik disanggah berdasarkan dalil Wahyu Islam. Teologi Sunni - seperti
semua teologi, yang tujuan utamanya ialah melindungi nalar agar jangan
149
menyeleweng berusaha melawan unsur tertentu filsafat rasional Grika dengan
menggunakan nalar itu sendiri.
Aliran Teologi Skolastik dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan Kalam -
berbeda dari aliran-aliran filsafat, membahas setiap masalah yang timbul dalam
pikiran manusia, tetapi membatasi diri pada masalah yang spesifik agama. Akan
tetapi ia - tidak berusaha mengikuti ajaran aliran Grika yang mana pun, sehingga
para ahli teologi itu dapat mengemukakan berbagai tesa yang original. Mereka
memakai logika yang dikembangkan oleh Aristoteles dan alirannya, tetapi untuk
tujuan yang berbeda: “filsafat Alam” mereka spekulasi mereka tentang sifat
cahaya dan panas, makna kausalitas dan “penjelasan” peristiwa alam sangat
berbeda sekali dengan pandang golongan Peripatetik (Sayyed Hossein Nasr, 1986:
282).
Aliran Dominan teologi Sunni, yang bangkit pada abad ke-4 H/ ke-10 M sebagai
tanggapan terhadap berbagai aliran pemikiran rasionalistis yang berdasarkan
filsafat Grika, adalah aliran Asy‟ariyah, dinamakan demikian menurut nama
pendirinya Abu al-Hasan al-Asy‟ari. Aliran ini berkembang dan mendominasi di
kalangan Sunni. Doktrin Asy‟ari, khususnya dalam bidang filsafat alam
dikembangkan dsan diperluas oleh Abu Bakar al-Baqillani, seorang musid Asy‟ari.
Gagasan inti yang mendominasi banyak aspek teologi Sunni ialah suatu “atomisme
konseptual” yang memotong kontinuitas nyata dunia dan matriksnya - waktu dan
ruang - dan menempatkan Tuhan sebagai pelaku langsung dalam segala
peristiwa. “Atomisme” ini bersumber dari watak khas Islam, yang menegaskan
transendensi mutlak Asasi Ilahi dan “ketakberartian” semua makhluk mulai dari
hewan paling hina hingga makhluk berpikir yang paling tinggi, di hadapan asas
tersebut. Tambahan lagi, “atomisme” ini, yang menegaskan diskontiunitas antara
yang terbatas dengan yang Tak Terbatas, ada hubungannya dengan struktur
spiritual dan psikologis bahasa Arab dan pemikiran Arab, di mana aspek
diskontuitas abstrak sebab dan akibat, sebagai hasil penelaahan tentang kaitan
yang ada antara semua hal (Sayyed Hossein Nasr, 1986: 283).
150
Sebab itu paham Asy‟ariyah menolak paham kausalitas Aristoteles. Bagi mereka,
segala sesuatu disebabkan langsung oleh Tuhan; setiap sebab adalah sebab
Transenden. Api itu panas, bukan karena “secara alami” ia panas, tapi karena
Tuhan berkehendak demikian. Sangkut paut dunia bukan disebabkan oleh
hubungan “horizontal” antar benda atau oleh berbagai sebab dan akibat, tapi
karena ikatan “vertikal” yang menghubungkan setiap wujud yang kongkrit atau
“atom” dengan sebab ontologisnya. Berbeda dengan beberapa filsafat dan
madzhab-madzhab teologi lain (termasuk aliran syi‟ah), paham Asy‟ariyah
menitikberatkan diskontinuitas dunia dengan Tuhan dan ketidakberartian segala
sesuatu yang ada di alam ini di hadapan al-Khalik. Bagi mereka segala sebab dan
keadaan antara terserap ke dalam Asas Ilahi. Orang dapat mengatakan suatu
makhluk tertentu “tidak ada” di hadapan yang Abadi, tapi ia juga nyata, dalam
batasan bahwa makhluk tersebut ada dan karena itu memiliki sesuatu derajat
realitas. Golongan Asy‟ariyah mendasarkan paham mereka pada aspek
“ketidakadaan” ini, sedangkan para filosof aliran Neoplatonik berlandaskan pada
kontinuitas antara alam dan sebab ontologisnya (Sayyed Hossein Nasr, 1986: 283-
284).
Aliran kedua dari daftar Umar Kahyyan yaitu yang mengaku mengikuti paham
Grika lebih bersimpati kepada Tradisi Pythagoras-Platonik ketimbang tradisi
Aristoteles. Aliran ini, yang dalam abad-abad selanjutnya dinamakan aliran
Iluminatis (isyraqi), mereka menyatakan bahwa mereka menurunkan doktrin
mereka, bukan hanya dari golongan Pythagoras dan pengikutnya, tapi dari nabi-
nabi kuno, tradisi Hermetik, dan bahkan dari orang-orang bijak Zoroatria kuno.
Filosof terbesar Iluminasi ialah Suhrawardi (Sayyed Hossein Nasr, 1986: 59-60).
yang mengambil simbolismenya dari semua sumber yang banyak tadi (Sayyed
Hossein Nasr, 1986: 17).
151
wahyu Islam sendiri, memandang intuisi intelektual dan iluminasi (pencerahan/
penerangan) sebagai metoda dasar yang harus di turut secara bersamaan dengan
penggunaan nalar. Meski mereka meninggalkan bekas yang tak terhapuskan pada
terminologi teologi Muslim sesudahnya, para filosof rasionalis kian lama kian
terasing dari unsur-unsur ortodoks, dari segi teologi dan juga gnostik, sehingga
setelah mereka “disalahkan” oleh al-Ghazali, sedikit sekali pengaruh mereka pada
paham kaum Muslimin yang pokok. Tapi aliran Iluminasionis, yang
menggabungkan metoda penalaran dengan metoda intuisi intelektual dan
iluminasi tampil ke depan pada masa itu, yang meskipun secara salah, umumnya
dianggap sebagai akhir filsafat Islam. Kenyataannya, di samping gnosis; ia berada
di posisi tengah kehidupan intelektual Islam. Pada saat ketika di Barat, Platonisme
aliran Augustinus (yang menganggap pengetahuan sebagai buah dari iluminasi)
sedang di geser oleh Aristotelianisme aliran Thomas (yang berpaling dari doktrin
iluminasi ini), proses kebalikannya sedang terjadi di dunia Islam (Sayyed Hossein
Nasr, 1986: 271).
152
yang hanya diputus-putus oleh “lebih atau kurang” atau “tingkat-tingkat Wujud”:
“Keseluruhan Tuhan adalah Wujud dan keseluruhan Wujud adalah Tuhan”.
Dengan demikian prinsip filsafat Iluminasi ialah bahwa Tuhan adalah cahaya dan
sumber bagi segala entitas, maka dari cahaya-Nyalah cahaya-cahaya lain keluar
sebagai fondasi alam material dan spiritual. Al-‟Uqul al-Mufariqoh (akal yang tidak
ada benda), hanyalah merupakan satuan-satuan dari cahaya yang menggerakkan
dan mengawasi falak-falak ini sesuai dengan aturannya (Ibrahim Madkour, 1988:
59). Jadi, filsafat Iluminasi berlandaskan pada teori akal sepuluh dari al-Farabi
yang bercampur dengan unsur-unsur Mazdakiah dan Manikiahal.
Jika alam, secara global, timbul dari pancaran emanasi Allah, maka demikian pula
jiwa bisa sampai kepada keindahannya dengan perantaraan emanasi dan
pancaran. Jika kita melepaskan diri dari kelezatan-kelezatan fisik maka tampaklah
kepada kita nur Ilahi yang bantuannya tidak terputus dari diri kita. Cahaya ini
keluar dari suatu realitas yang kedudukannya terhadap kita adalah kedudukan
ayah dan tuan yang Maha-Agung bagi spesies manusia. Dia adalah pemberi bagi
semua bentuk dan merupakan sumber semua jiwa dengan berbagai macam
perbedaannya. Ia disebut ruh suci atau dengan bahasa filosof, akal fa‟al. Manakala
kita berhubungan dengannya maka kita bisa mempersepsi berbagai macam
153
pengetahuan dan ruh kita bisa berhubungan dengan jiwa-jiwa samawi yang akan
menolong kita dalam menyingkap kebaikan baik dalam kondisi berjaga maupun
dalam keadaan tidur.
Aliran Iluminasi ini, tidak merasa puas hanya berhubungan dengan akal fa‟al saja,
tetapi juga mengharapkan bisa bersatu dengan Allah secara langsung dan
bercampur dengan Cahaya segala Cahaya. Artinya disini menyatukan al-Ittisol al-
Farabi dan al-Ittihad al-Hallaj secara simultan (Ibrahim Madkour, 1988: 60-61).
Dalam membahas tentang “ilmu cahaya”, yang menggambarkan intisari filsafat
kaum iluminasi ini, al-Suhrawardi tidak menuntut keorsinilan apa pun. Ilmu ini
selalu mempunyai banyak juru bicara, Palto, Hermes, Empedoclek, Pythagoras,
Agathadaimon, Aristoteles, Jamasp, Farashaustra, Buzurjumhr, Zoroaster, dan
lain-lain (Ibrahim Madkour, 1988: 408). Walaupun berkebangsaan berbeda-beda,
tetapi secara primer dan secara esensial, mereka adalah anak-anak manusia
bahkan duta-duta perdamaian dan reformasi (Ibrahim Madkour, 1988: 59) kata
al-Suhrawardi, bijaksanawan-bijaksanawan ini semuanya telah memberikan
sahamnya dalam satu kebijakan universal dan perenial, yang pada mulanya
diwahyukan kepada Hermes (Idris atau Nuh), Para Pendeta Persia, Kayumarth,
Faridun, Kai Khusraw, Abu Yazid al-Bastami, Mansur al-Hallaj, abu al-Hasan al-
Kharraqani (Sayyed Hossein Nasr, 1986: 62).
154
Pertanyaan:
155
156
BAB V
A. Pendahuluan
Manusia terdiri atas jasmani dan ruhani (QS Al-Hijr [15]: 28-29). Jasmani akan
tunduk kepada dan menuntut kebutuhan jasmaninya, seperti makan, minum, dan
bernafas. Sementara itu, ruhaninya tunduk dan menuntut kebutuhan ruhaninya.
Kedua unsur manusia tadi perlu dipenuhi kebutuhannya secara seimbang.
Banyak kesenangan dan fasilitas hidup dan kehidupan dapat dinikmati oleh
manusia dengan bertambahnya setiap penemuan baru dalam bidang ilmu dan
teknologi. Kita dapat menyaksikan, melihat, dan merasakan sendiri secara
langsung kemajuan-kemajuan dan kemudahan tersebut. Umpamanya, pada
sarana pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti alat transportasi, dan
komunikasi, tempat dan sarana hiburan dan lain sebagainya. Dengan demikian,
hidup terasa bertambah mudah, enak, dan nyaman.
Berikut ini beberapa pandangan para tokoh tentang situasi dan kondisi batin
manusia moderen di zaman sekarang:
Pertama, Hosen Nasr (dalam Asmaran AS, 1994: 1-3), tokoh ilmuwan
kontemporer Iran, mengatakan:
157
diraihnya. Mereka sudah menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa
disadari integritas kemanusiaannya tereduksi, lalu terperangkap pada jaringan
sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak manusiawi. Kritik Nasr terhadap
manusia moderen adalah mereka dinilai telah dilanda kehampaan spiritual.
Kemajuan yang pesat dalam lapangan ilmu dan filsafat rasionalisme sejak abad
ke-18, kini dirasakan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam
aspek nilai-nilai transendental, suatu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari
sumber wahyu Ilahi.”
“Ada beberapa pertanyaan mendasar yang tidak dapat dijawab oleh ilmu dan
teknologi. Ilmu dan teknologi sekarang ini, berhadapan dengan berbagai
pertanyaan pokok tentang jalan yang harus ditempuh dan yang tidak dapat
dijawabnya sendiri. Pertanyaan itu berkisar pada masalah sampai di mana umat
manusia bisa mengendalikan kembali ilmu dan teknologi, sehingga jalannya tidak
menurut kemauannya dan momentumnya sendiri saja, melainkan melayani
keperluan dan keselamatan manusia.” (dalam Asmaran, 1994: 2)
158
B. Pengertian Tasawuf dan Asal Usulnya
Ada segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri
kepada Tuhan melalui ibadah salat, puasa, dan haji. Mereka ingin merasa lebih
dekat lagi dengan Tuhan. Jalan untuk itu diberikan oleh al-tasawwuf. Al-
Tasawwuf atau sufisme ialah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan
mistisisme dalam Islam. (Nasution, 1986: 71).
Tasawuf secara etimologi, sebagai bentuk mashdar dari tashawwafa, diambil dari
kata dasar shuf yang diartikan kain wol. Makna ini diambil untuk menunjukkan
pakaian wol yang sering digunakan oleh orang yang mengamalkan ajaran
tasawuf. Seseorang yang mempraktekkan ajaran tawasuf atau kehidupan mistik
untuk menjadi orang yang kemudian disebut Shufi. (HAR Gibbb and JH Kramers,
tt: 579)
Definisi lain menyebutkan bahwa shufi itu berasal dari kata ahli shuffah (shuffah
adalah emperan/selasar Masjid Nabawi di masa Nabi Saw masih hidup). Ada
pengertian lain, bahwa shuff berasal dari dari barisan pertama dalam shalat; bani
Shafa (anak keturunan dari salah satu suku bangsa Arab yang asli/badwi).
Ada beberpa pendapat lain tentang asal-usul dari kata Tasawuf, sebagaimana
ditulis oleh Yusran Asmuni (1996: 123), antara lain:
1. Berasal dari kata shopia (bahasa Yunani) yang berarti hikmah, kemudian kata
itu dijadikan atau dianggap bahasa Arab, sebagaimana halnya kata
philosophia menjadi kata filsafat. Dan memang orang sufi ada hubungannya
dengan hikmah.
2. Berasal dari kata shafaa (bahasa Arab) yang berarti bersih, karena tujuan
hidup dari orang sufi itu adalah kebersihan lahir dan batin.
3. Berasal dari kata Shuffah (bahasa Arab) yang berarti tempat atau sofa di
serambi Mesjid (Nabawi) di Madinah, yang didiami oleh para sahabat yang
hijrah dari Mekah ke Madinah. Mereka berada dalam keadaan miskin, namun
mereka berhati baik dan mukhlis/ikhlas, serta tidak merenungkan keduniaan.
Memang demikian sifat-sifat sufi.
159
4. Berasal dari kata shufanah yaitu tumbuh-tumbuhan berbulu yang hidup di
padang pasir. Hal ini dihubungkan dengan orang sufi yang memakai pakaian
berbulu dan hidup dalam kesederhanaan seperti pohon safanah.
Walaupun dari mana pengambilan perkataan itu, apakah dari bahasa Arab atau
bahasa Yunani, tulis Hamka (tt: 3), namun, dari asal-asul pengambilan itu sudah
nyata, bahwa yang dimaksud dengan kaum tasawuf atau kaum Sufi adalah kaum
yang telah menyusun kumpulan, menyisihkan diri dari orang banyak, dengan
maksud membersihkan hati, laksana kilat kaca terhadap Tuhan. Sufi juga
memakai pakaian sederhana, jangan menyerupai pakaian orang dunia, biar hidup
kelihatan kurus kering bagai kayu di padang pasir; atau memperdalam
penyelidikan tentang hubungan makhluk dengan Khaliqnya.
1. Pengaruh dari ajaran filsafat mistik Pythagoras. Menurut mistik ini, sifat roh
manusia adalah kekal yang seolah-olah terpenjara dalam jasad. Oleh karena
itu, ia selalu ingin keluar dari jasadnya, ingin memperoleh kesenangan dalam
alam samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam samawi, manusia
harus membersihkan roh, meninggalkan hidup materi, dan berkontemplasi.
Ajaran meninggalkan hidup materi dan berkontemplasi, inilah yang
mempengaruhi timbulnya zuhud.
2. Pengaruh dari cara hidup pendeta Kristen. Dalam literatur Arab terdapat
tulisan-tulisan tentang pendeta yang mengasingkan diri di tengah padang
pasir, namun selalu berhati-hati dan berbuat baik, serta selalu bermurah hati
bagi orang musafir yang kelaparan. Dikatakan bahwa zahid yang memilih
hidup sederhana dan mengasingkan diri, serta meninggalkan keduniaan itu
merupakan ajaran dari pendeta Kristen di atas.
160
3. Pengaruh filsafat Imanasi Plotinus. Menurut filsafat ini, roh berasal dari
Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Akan tetapi, dengan masuknya roh
ke dalam materi, maka ia menjadi kotor, dan untuk dapat kembali pada
asalnya, roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Adapun cara membersihkan
roh itu adalah dengan jalan meninggalkan keduniaan dan mendekatkan diri
dengan Tuhan sedekat mungkin, bahkan “bersatu” dengan Tuhan. Cara ini
yang dikatakan mempengaruhi zahid dalam Islam.
4. Pengaruh ajaran Nirwana dari ajaran agama Budha. Menurut ajaran ini,
untuk mencapai Nirwana harus meninggalkan keduniaan dan memasuki
kontemplasi. Hal ini sejalan dengan paham Fana’ yang terdapat dalam
Sufisme.
Apakah keberadaan Sufisme dan aliran-alirannya itu dipengaruhi oleh faktor luar,
suatu hal yang sukar dibuktikan, namun kenyataannya memang ada
persamaannya. Namun, jika ditelaah ayat-ayat Al-Quran, maka akan ditemukan
indikator/faktor yang dapat mendorong sufisme tersebut. Salah satunya termuat
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 186 sebagai berikut:
(#θç6‹ÉftGó¡uŠù=sù ( Èβ$tãyŠ #sŒÎ) Æí#¤$!$# nοuθôãyŠ Ü=‹Å_é& ( ë=ƒÌs% ’ÎoΤÎ*sù Íh_tã “ÏŠ$t6Ïã y7s9r'y™ #sŒÎ)uρ
∩⊇⊇∈∪ ÒΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ©!$# āχÎ) 4 «!$# çµô_uρ §ΝsVsù (#θ—9uθè? $yϑuΖ÷ƒr'sù 4 Ü>ÌøópRùQ$#uρ ä−Ìô±pRùQ$# ¬!uρ
161
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 115)
Demikian pula, dari sabda-sabda Nabi Saw dapat ditemukan hal-hal yang dapat
mendorong sufisme, seperti tampak pada hadits-hadits berikut:
ﷲ َﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳ َﲅُ َﰏ اﻟﻨ ِﱯ َﺻﲆ: ﻗَﺎ َل،َﻋ ْﻦ َﺳﻬ ِْﻞ ْ ِﻦ َﺳ ْﻌ ٍﺪ اﻟﺴﺎ ِ ِﺪ ِ ّي
(اُ َ َ ِﲻﻠْ ُﺘ ُﻪ َﺣ* ِﲏ. ا( دُﻟ ِﲏ َ َﲆ َ َﲻ ٍﻞ ا َذاِ َر ُﺳﻮ َل4َ : ﻓَ َﻘﺎ َل، ٌﻞ8ُ َر
0
» ْازﻫ َْﺪ ِﰲ ا>= ﻧْ َﻴﺎ:ﷲ َﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳ َﲅ ِ َو َﺣ* ِﲏ اﻟﻨ ُﺎس؟ ﻓَ َﻘﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل
ُ ا( َﺻﲆ
2) ﻪ8 َو ْازﻫ َْﺪ ِﻓﳰَﺎ ِﰲ ﻳْ ِﺪي اﻟﻨ ِﺎس ُ ِﳛ =ﺒ َﻚ اﻟﻨ ُﺎس »ﺳﲍ ا ﻦ ﻣﺎ،(ا ُ ُ ِﳛﺒ َﻚ
(1373 /
Dari Sahal Ibnu Sa’ad al-Saidi, ia berkata bahwa dia menghadap kepada
Rasulullah Saw, seraya berkata:”Ya Rasulullah Saw, tunjukkanlah kepadaku suatu
amal yang jika aku amalkan, niscaya Allah mencintai aku dan demikian pula
manusia mencintai aku. Rasulullah Saw bersabda:”Berzuhudlah di
dunia/terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu; dan berzuhudlah
terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia akan mencintaimu. (HR
Ibnu Majah)
162
(اَ " ان:ﷲ َﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳ َﲅ ُ ا( َﺻﲆ ِ ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل: ﻗَﺎ َل،ََﻋ ْﻦ ِﰊ ﻫ َُﺮْ} َﺮة
0
َْ ‚ َو َﻣﺎ ﺗَ َﻘﺮ َب ا َﱄ َﻋ ْﺒ ِﺪي، َﻣ ْﻦ َﺎدَى ِﱄ َو ِﻟ ‡ﻴﺎ ﻓَ َﻘ ْﺪ ٓ َذﻧْ ُﺘ ُﻪ ِ…ﳊ َْﺮ ِب:ﻗَﺎ َل
ِﴚ ٍء
0
َو َﻣﺎ }َ َﺰا ُل َﻋ ْﺒ ِﺪي ﻳ َ َﺘ َﻘﺮ ُب ا َﱄ ِ…ﻟﻨ َﻮا ِﻓ ِﻞ َﺣﱴ،َﺣﺐ ا َﱄ ِﻣﻤﺎ اﻓْ َ َﱰﺿْ ُﺖ َﻠَ ْﻴ ِﻪ
،ﴫ ِﺑ ِﻪ ُِ ﻩ ِا•ي ﻳُ ْﺒ0 ُ ﴫ 0
ََ َ َوﺑ، ُﻛ ْﻨ ُﺖ َ ْﲰ َﻌ ُﻪ ِا•ي ’ َْﺴ َﻤ ُﻊ ِﺑ ِﻪ:ُ ﻓَﺎ َذا ْﺣ َ* ْﺒ ُﺘﻪ،ُ ِﺣ*ﻪŒ
0
َوﻟَ ِ ِﱧ،ُ–ﻋ ِْﻄ َﻴﻨﻪŒ َ َوا ْن َﺳ—ﻟَ ِﲏ، اﻟ ِﱵ ﻳ َ ْﻤ ِﴚ ﲠِ َﺎšُ َ 8ْ َو ِر،َوﻳَﺪَ ُﻩ اﻟ ِﱵ ﻳ َ ْﺒ ِﻄ ُﺶ ﲠِ َﺎ
َ َﺮ =د ِدي َﻋ ْﻦ ﻧ َ ْﻔ ِﺲh šُ ُ ِ ﻓَﺎ0 َ. ﳾ ٍء ْ َ َ َﺮدد ُْت َﻋ ْﻦh َو َﻣﺎ،ُ– ِﻋﻴ َﺬﻧﻪŒ َ َﺘ َﻌﺎ َذ ِﱐoا ْﺳ
(105 / 8) َ ْﻛ َﺮ ُﻩ َﻣ َﺴ َﺎءﺗَ ُﻪ " ﲱﻴﺢ اﻟﺒ ﺎري. }َ ْﻜ َﺮ ُﻩ اﳌ َ ْﻮ َت َو،اﳌ ُ ْﺆ ِﻣ ِﻦ
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah
berfirman: “Barang siapa memusuhi salah seorang hamba-Ku, maka berarti ia
mengumandangkan perang kepada-Ku. Tidaklah seorang hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan sesuatu yang Aku sukai dari apa
yang Kuwajibkan atasnya; dan masih terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan
mengerjakan yang sunah-sunah, sehingga Aku jatuh cinta kepadanya. Jika Aku
telah mencintainya, niscaya Aku akan menjadi pendengarannya yang digunakan
untuk mendengar; Aku yang akan menjadi matanya yang digunakan untuk
melihat; Aku yang akan menjadi tangannya yang digunakan untuk memegang;
Aku akan menjadi kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta
kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya; jika dia meminta perlindungan
kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya perlindungan. Tidak ada perbuatan
yang Aku ragu-ragu melakukannya, selain keraguan-Ku ketika akan mencabut
nyawa orang Mukmin: dia tidak ingin mati, sementara Aku tidak kuasa melihat
sakitnya (sakaratul maut), namun harus dilewatinya.
Tujuan pertama dari sufi, sebagaimana disinggung di atas adalah berada sedekat
mungkin dengan Tuhan, sehingga tercapai persatuan. Jalan untuk mencapai
tujuan itu panjang dan berisi stasiun-stasiun yang disebut dalam bahasa Arab al-
Maqamat.
Untuk mencapai derajat sufi, seorang salik (yang berjalan menuju tingkatan yang
tinggi) menapaki stasiun demi stasiun. Apabila gagal menempuh satu stasiun,
maka ia akan turun kembali ke tingkat dasar. Adapun berapa stasiun yang harus
163
ditempuh untuk mencapai derajat tertinggi, maka setiap tokoh sufi/mazhab
tasawuf memiliki pandangan masing-masing yang berbeda.
Jalan yang harus ditempuh seorang sufi tidaklah licin, tetapi sulit dan penuh
dengan duri. Untuk pindah dari satu stasiun ke satu stasiun, itu menghendaki
164
usaha sungguh-sungguh dan waktu yang bukan singkat. Terkadang seorang sufi
harus tinggal bertahun-tahun pada suatu stasiun.
Sebagai ilustrasi, kita dapat mengambil contoh nomor 4, karya Abul Qasim Abdul
Karim: Tobat zuhud sabar tawakkal ridha.
Langkah pertama yang harus ditempuh oleh calon seorang sufi adalah tobat,
tobat dari segala dosa, besar dan kecil. Tobat yang dilakukannya ini harus tobat
yang sebenar-benarnya.
Langkah kedua, seorang calon sufi hendaknya menjalani kehidupan zuhud. Ini
merupakan stasiun terpenting. Sebab, seorang tidak akan menjadi sufi apabila
belum mencapai tingkat zuhud. Dengan kata lain, seorang sufi adalah zahid,
tetapi tidak setiap zahid adalah sufi. Seorang zahid hidup sesedehana-sederhana
mungkin. Ia berpakaian, makan, minum, dan tidur, hanya sekedar perlu untuk
menjaga supaya badan tidak sakit.
Langkah ketiga, setelah mencapai stasiun kedua, zuhud, seorang sufi harus
bersifat sabar dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-
Nya; sabar menerima berbagai cobaan yang ditimpakan kepada dirinya; sabar
menunggu pertolongan dari Tuhan; sabar dalam menderita kesabaran.
Langkah kelima, seorang sufi harus selalu dalam keadaan ridha, tidak marah dan
tidak benci, tetapi senantiasa dalam keadaan suka dan senang. Segala perasaan
benci dikeluarkan dari hati, sehingga yang tertinggal di dalamnya hanyalah
perasaan senang dan gembira.
Demikian gambaran tahapan atau stasiun yang harus ditempuh secara bertahap,
satu stasiun ke stasiun di atasnya.
165
Beberapa Istilah
Baqa’ : kekal, abadi, dan lestari. Di dalam ajaran tasawuf, kata ini
menunjukkan keadaan kehidupan rohani yang kekal, yakni
kembali kepada wujudnya Yang Kekal setelah melewati fana'.
Faqar : Kefakiran; berarti: (1) tidak meminta lebih daripada apa yang
telah ada pada diri kita, (2) tidak meminta rezeki kecuali hanya
untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban, dan (3) tidak
meminta, sungguhpun tidak ada pada diri kita; kalau diberi
diterima, tidak meminta tapi tidak menolak.
Mahabbah : Artinya cinta dan yang dimaksud adalah cinta kepada Allah.
Pengertian yang diberikan kepada Mahabbah ini antara lain:
(1) menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi/dicintai, (2)
166
mengosongkan dari segala-galanya, kecuali diri yang dicintai.
Wara’ : Mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik; dan dalam
pengertian sufi, wara’ adalah juga meninggalkan segala
sesuatu yang di dalamnya terdapat syubhat.
Para ahli membagi isi pokok ajaran tasawuf itu kepada tiga bagian, yaitu tasawuf
akhlaki, falsafi, dan amali, dengan penjelasan singkat sebagai berikut:
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk
menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb.
Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang
dibantu oleh syaithan.
167
Sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran, surah Al-Syams (91): 7-8
sebagai berikut :
Para sufi yang mengembangkan tasawuf akhlaki antara lain : Hasan Al-Basri
(21 H – 110 H), Al-Muhasibi (165 H – 243 H), Al-Qusyairi (376 H – 465 H),
Syaikh Al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jailani (470 – 561 H), Hujjatul
Islam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari dan
lain-lain. (dalam Salsa Akbar, 2013, diunduh 17 Juli 2017)
2. Tasawuf Falsafi
a. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul
dari dirinya.
b. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, misalnya sifat-sifat
rabbani, ‘arasy, kursi, malaikat, wahyu kenabian, ruh, hakikat realitas
segala yang wujud, yang gaib maupun yang nampak, dan susunan yang
kosmos, terutama tentang penciptanya serta penciptaannya.
c. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh
terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
d. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-
samar (syatahiyyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyara-
kat berupa mengingkarinya, menyetujui atau menginterpretasikannya.
Tokoh-tokoh penting yang termasuk kelompok sufi falsafi antara lain adalah
al-Hallaj (244 – 309 H/ 858 – 922 M), Ibnu’ Arabi (560 H – 638 H), al-Jili
168
(767 H – 805 H), Ibnu Sab’in (lahir tahun 614 H), as-Sukhrawardi dan yang
lainnya.
3. Tasawuf ‘Amali
169
Pertanyaan:
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan singkat, padat, dan
jelas!
(1) Coba Saudara lukiskan suasana batin manusia moderen saat ini, menurut para
pakar/tokoh Islam, sekurang-kurang dua tokoh yang Saudara kenal?
(2) Apa yang Saudara ketahui tentang pengertian Tasawwuf, baik secara etimologis
maupun terminologis, menurut para ahli?
(3) Bagaimana latar belakang atau asul usul lahirnya Tasawwuf dalam ajaran Islam,
baik intern maupun eksteren?
(4) Jelaskan isi pokok ajaran Tasawuf dan beberapa tokohnya dari jenis Tasawwuf
berikut ini: Tasawuf akhlaki, amali, dan Falsafi!
(5) Apa yang Saudara ketahui dengan isitilah-istilah berikut ini, yang menjadi topik
bahasan dalam ilmu akhlak dan tasawuf:
a) Al-Mahabbah
b) Al-Fana dan al-Baqa’
c) Al-Maqamat
d) Al-Ittihad
e) Rabi’ah Al-‘Adawiyyah
f) Tawadhu’
g) Taqwa
h) Wara’
i) Tawakkal
j) Sufi
170
BAB VI
A. Pendahuluan
Banyak sekali peristilahan yang digunakan para ahli yang dalam bahasa Indonesia
berkonotasi pembaharuan, seperti tajdid, ishlah, reformasi, ‘ashriyah, modernisasi,
revivalisasi, resurgensi (resurgence), reassersi (reassertion), renaisans, dan
fundamentalis. Peristilahan seperti ini timbul, bukan sekedar perbedaan semantik
belaka, akan tetapi dilihat dari isi pembaharuan itu sendiri.
Secara bahasa kata tajdid berarti mengembalikan sesuatu kepada kondisi yang
seharusnya. Sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih
erat menyatu dan masih jelas. Tajdid sering diartikan sebagai ishlah dan
reformasi, karena itu, gerakannya disebut gerakan tajdid, gerakan ishlah, dan
gerakan reformasi. Upaya tajdid seharusnya merupakan upaya untuk
mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Dengan demikian
pembaharuan harus direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di
dunia, baik dari sisi pemikiran keagamaannya dengan upaya mengembalikan
pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dan dari sisi
pengamalan keagamaannya dengan mereformasi amalan-amalannya, serta
dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.
Istilah tajdid adalah istilah syar’i yang bersumber dari hadits Nabi Muhammad
Saw, yang berbunyi (artinya): Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini
setiap awal seratus tahun orang yang memperbaharui agamanya. (HR Abu
Daud). Dalam perkembangan selanjutnya para pemikir muslim menggunakan
istilah tajdid untuk sebuah pergerakan ishlah, dan gerakan reformasi. Tajdid
menurut bahasa al-i’adah wa al-ihya’ mengembalikan dan menghidupkan.
171
Tajdid al-din berarti mengembalikannya kepada apa yang pernah ada pada
masa salaf, generasi muslim awal. Tajdid al-din menurut istilah ialah
menghidupkan dan membangkitkan ilmu dan amal yang telah diterangkan oleh
Al-Quran dan Al-Sunnah.
Dari definisi di atas nampak, bahwa tajdid tersebut mendorong umat Islam
agar kembali kepada Al-Quran dan Sunnah serta mengembangkan ijtihad.
Inilah makna tajdid yang dianut oleh kaum puritan yang selama ini suaranya
masih bergema. Tajdid seperti ini pula yang dikatakan sebagai ishlah atau
reformasi dalam Islam. Reformasi itu sendiri, berdasarkan sejarahnya, muncul
sebagai reaksi atas modernisasi. Reformasi muncul sebagai akibat adanya
penyimpangan agama dan teologi yang disebabkan oleh adanya sekularisme
modern (reformation as a religious and theological and the cauce of modern
secularism). Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti
mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits,
melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya.
172
modern. Pikiran dan aliran ini segera memasuki lapangan agama, dan
modernisme dalam hidup keagamaan di Barat mempunyai tujuan untuk
menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katholik dan
Protestan dengan ilmu pengetahuan dan falsafat modern. Aliran ini akhirnya
membawa kepada timbulnya sekularisme di masyarakat Barat.
a. Kebangkitan yang datang dari dalam Islam sendiri dan Islam dianggap
penting karena dianggap mendapatkan kembali prestisenya;
173
b. ia kembali kepada masa jayanya yang lalu yang pernah terjadi sebelumnya;
174
sesuatu yang telah menyatu dengan sistem Islam dalam sejarah (Nurcholis
Madjid, 1994). Dari sudut tinjauan ini adalah suatu kejadian wajar saja bahwa
pada abad ke 18 Jazirah Arab telah menyaksikan suatu usaha pembaharuan
yang militan, yang dilakukan oleh Syeikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, yang
melahirkan apa yang dinamakan gerakan Wahabi. Gerakan ini merupakan
satu-satunya gerakan pembaharuan keagamaan yang paling sukses secara
politik, yaitu setelah bergabung dengan kekuatan dinasti Sa’ud, pembaharuan
di jazirah ini juga sangat menarik karena ia dilancarkan tanpa sedikit pun ada
persinggungan dengan kemodernan dari Barat. Oleh karena itu pandangan
tentang perlunya pembaharuan di kalangan umat ketika dunia Islam
berhadapan dengan Abad Modern dapat dinilai sebagai keharusan lebih
mendesak disebabkan keseriusan tantangan yang ditimbulkan oleh dampak
modernisasi.
Menurut Achmad Jainuri (1995) pembaharuan Islam memiliki misi ganda, yaitu
misi purifikasi dan dan misi implementasi ajaran Islam di tengah tantangan
jaman. Purifikasi ajaran Islam ialah mengembalikan semua bentuk kehidupan
keagamaan pada jaman awal Islam sebagaimana dipraktekkan pada jaman
Nabi. Jaman Nabi sebagaimana digambarkan oleh Sayyid Qutb sebagai periode
yang hebat, suatu puncak yang luar biasa dan cemerlang dan merupakan
jaman yang dapat terulang. Terjadinya banyak penyimpangan dari ajaran
pokok Islam pasca Nabi bukan karena ajaran Islam yang kurang sempurna,
tetapi karena kurang mampu menangkap ajaran Islam sesuai dengan
semangat jaman. Selain itu banyaknya unsur-unsur luar yang masuk dan
bertentangan dengan Islam sehingga sehingga diperlukan adanya upaya untuk
mengembalikan atau memurnikan kembali sesuai dengan orisinalitas Islam.
175
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam sesuai
dengan tantangan perkembangan kehidupan umat manusia.
176
hadits-hadits). Mereka pada umumnya skeptis terhadap hadits, tetapi
skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.
177
gagasan-gagasannya secara objektif, demikian pula halnya dengan gagasan-
gagasan dan ajaran-ajaran dalam sejarah keagamaannya sendiri. Bila kedua
hal ini tidak dikaji secara objektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi
dunia modern merupakan suatu hal yang mustahil, bahkan kelangsungan
hidupnya sebagai seorang Muslim pun akan sangat meragukan.
Abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam. Abad inilah
daerah-daerah Islam meluas di barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di
Timur melalui Persia sampai India. Daerah-daerah ini tunduk kepada kekuasaan
khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus,
dan terakhir di Baghdad. Di abad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti
Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Dengan lahirnya pemikiran para ulama besar
itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang dengan pesat sampai ke
puncaknya, baik dalam bidang agama, non-agama maupun dalam bidang
kebudayaan lainnya.
Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan
kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap
orang-orang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran. Kedua, sifat
jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha. Umat Islam maju di
zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
selama ummat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad,
tidak mungkin mengalami kemajuan, dan untuk itu perlu adanya pembaharuan
yang berusaha memberantas kejumudan. Ketiga, umat Islam selalu berpecah
belah, maka umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan. Umat Islam maju
karena adanya persatuan dan kesatuan, karena adanya persaudaran yang diikat
oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan kembali umat Islam bangkitlah
178
suatu gerakan pembaharuan. Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia
Islam dengan Barat. Dengan adanya kontak ini umat Islam sadar bahwa mereka
mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat, terutama sekali ketika
terjadinya peperangan antara kerajaan Usmani dengan negara-negara Eropa,
yang biasanya tentara kerajaan Usmani selalu memperoleh kemenangan dalam
peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat. Hal ini
membuat pembesar-pembesar Usmani untuk menyelidiki rahasia kekuatan militer
Eropa yang baru muncul.
Periode klasik (650-1250 M) merupakan jaman kemajuan dan dibagi ke dalam dua
fase. Pertama, fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M). Di
jaman ini daerah Islam melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat, dan
melalui Persia sampai ke India Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada
kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di
Damsyik dan terakhir di baghdad. Di masa ini berkembang dan memuncak ilmu
pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang non agama, dan
kebudayaan Islam. Zaman ini menghasilkan ulama-ulama besar seperti Imam Abu
Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum;
Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn
‘Ata, Abu Al-Huzail, Al-Nazzam dan Al-Jubba’i dalam bidang teologi; Zunnun Al-
Misri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf; Al-
Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Miskawaih dalam bidang filsafat; dan Ibn Al-
Haysam, Ibn Hayyan, Al-Khawarizmi, Al-Mas’udi, dan Al-Razi dalam bidang ilmu
pengetahuan. Kedua, fase disintegrasi (1000-1250 M). Pada jaman ini keutuhan
179
umat Islam dalam bidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah menurun dan
akhirnya Baghdad dapat dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu di Tahun 1258 M.
Khilafah sebagai lambang kesatuan politik umat Islam, hilang.
Kedua, fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1800 M) yang dimulai dengan Jaman
Kemajuan (1500-1700 M) dan Zaman Kemunduran (1700-1800 M). Tiga kerajaan
besar yang dimaksud adalah Kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki,
Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India. Di masa kemajuan, ketiga
kerajaan besar ini mempunyai kejayaan masing-masing terutama dalam bentuk
literatur dan arsitek. Mesjid-mesjid dan gedung-gedung indah yang didirikan di
jaman ini masih dapat dilihat di Istanbul, Tibriz, dan Isfahan serta kota-kota lain di
Iran dan di Delhi. Kemajuan ummat Islam di jaman ini lebih banyak merupakan
kemajuan di Periode Klasik. Perhatian pada ilmu pengetahuan masih kurang
sekali.
Pada jaman kemunduran Kerajaan Usmani terpukul oleh Eropa, Kerajaan Safawi
dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afghan, sedangkan daerah
kekuasaan Kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raja India.
Kekuatan politik dan kekuatan militer umat Islam menurun. Ummat Islam dalam
keadaan mundur dan statis. Sementara Eropa dengan kekayaan-kekayaan yang
diangkut dari Amerika dan Timur Jauh, bertambah kaya dan maju. Penetrasi Barat
180
yang kekuatannya meningkat ke dunia Islam kian mendalam dan kian meluas.
Akhirnya pada Tahun 1798 Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat
Islam yang terpenting.
1. Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri (1995), ide tajdid berakar pada warisan pengalaman
sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis yang
181
mendorong munculnya berbagai gerakan pembaharuan Islam. Landasan
teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu:
182
Islam dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari
upaya menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat zaman.
Hakikat Islam yang rahmah li al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan
semangat zaman, yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa pencapaian cita-cita kerahmatan dan
kesemestaan sangat tergantung kepada penemuan-penemuan baru akan
metode dan teknik untuk mendorong kehidupan yang lebih baik dan lebih
maju. Din Samsudin mengatakan bahwa keuniversalan mengandung muatan
kemodernan. Islam menjadi universal justru karena mampu menampilkan ide
dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah
Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul
Allah. Menurut Maulana Muhammad Ali, dalam keyakinan umat Islam, terpatri
suatu doktrin bahwa Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan
bagi ummat manusia; yang berarti pasca Islam sudah tidak ada lagi agama
yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa
yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling sempurna dan lengkap yang
melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama yang diturunkan
sebelumnya. Al-Quran adalah kitab yang lengkap, sempurna, dan mencakup
segala-galanya; tidak ada satupun persoalan yang terlupakan dalam Al-Quran.
Keyakinan yang sama juga terhadap keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai
Nabi akhir zaman (khatam al-anbiya’), yang tidak akan lahir (diutus) lagi
seorang pun Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan risalah yang dibawa Nabi
Muhammad diyakini sebagai risalah yang lengkap dan sempurna.
183
pewaris para nabi (al’ulama’ waratsah al-anbiya’). Dari kalangan ulama itulah
muncul para mujaddid yang secara fungsional memelihara dinamika ajaran
Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw sebagai pengemban risalah terakhir
dari Tuhan. Dengan perkataan lain bahwa kontinuitas petunjuk agama Wahyu
dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad melalui para Nabi, sedangkan dari
Nabi Muhammad ke penerusnya melalui para mujaddid yang secara
institusional dimanifestasikan dalam berbagai ragam pemikiran serta gerakan
tajdid.
2. Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang
diperoleh dari teks-teks nash, baik Al-Quran maupun al-Hadits. Banyak ayat Al-
Quran yang dapat dijadikan pijakan bagi pelaksanaan tajdid dalam Islam
karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan melakukan
pembaruan. Di antaranya surat adl-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang kemudian
itu lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah surat ar-Ra’d: 11,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum
sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri….”. Dari
ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari situasi
rendah menjadi mulia dan terhormat, ummat Islam sendiri harus berinisiatif
dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya maupun
perilakunya. Dengan demikian, maka kekuatan-kekuatan pembaharu dalam
masyarakat harus selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat
melakukan mekanisme penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.
Sementara itu, dalam hadits Nabi dapat kita temukan adanya teks hadits yang
menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal
abad seseorang yang akan memperbarui (pemahaman) agamanya”. Menurut
Achmad Jainuri, di kalangan para pakar terdapat perbedaan interpretasi
mengenai kata ‘ala ra’si kulli mi’ati sanah (setiap awal abad) ini berkaitan
dengan saat munculnya sang mujaddid. Sebagian lain mengaitkan dengan
tanggal kematian. Hal ini sesuai dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam
184
yang biasanya hanya menunjuk tanggal kematian seseorang. Jika arti kata
tersebut dikaitkan dengan tanggal kelahiran, maka sulit dipahami karena
sebagian mereka —yang disebutkan dalam daftar literatur sejarah Islam—
telah meninggal dunia pada awal abad, yang berarti bahwa mereka belum
melakukan pembaruan. Atas dasar ini, maka sebagian lagi memahami dalam
pengertian yang lebih longgar dan menyatakan bahwa yang penting mujaddid
yang bersangkutan hidup dalam abad yang dimaksud. Terlepas dari adanya
perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai awal abad), yang jelas
bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif dalam teks hadis
Nabi.
3. Landasan Historis
Setelah melalui kurun waktu lebih kurang lima abad sampai ke puncak
kejayaannya, sejarah kemajuan Islam mengalami kemandekan; Islam menjadi
statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Masa demi masa
185
kemundurannya semakin terasa. Pintu ijtihad dinyatakan tertutup digantikan
dengan taklid yang merajalela sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk
yang terdalam pada abad ke 18. Meskipun demikian, upaya pembaruan
senantiasa terjadi, di mana dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu
sejak abad 13 M (peralihan ke abad 14 M) Ibnu Taimiyah tampil melakukan
pembaharuan. Pembaharuan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan
kepada tiga sasaran utama yaitu, sufisme, filosof yang mendewakan
rasionalisme, teologi asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak
Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari ajaran
Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada
umat Islam agar kembali kepada Al-Quran dan Sunnah serta memahaminya
(Amin Rais, 1993).
Walaupun gerakan pembaruan Islam secara garis besarnya terbagi dalam dua
batasan dekade yaitu pra-modern (Abad 17 dan 18 M) dan modern (mulai
abad 19 M), tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman, bahwa
gerakan pembaruan yang dilancarkan pada abad tersebut pada dasarnya
menunjukkan karakteristik yang sama dengan gagasan pokok Ibnu Taimiyah
yang dipandang sebagai bapak tajdid, yaitu gerakan-gerakan pembaharuan
tersebut mengedepankan rekonstruksi sosio-moral masyarakat Islam sekaligus
melakukan koreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan
mengabaikan masyarakat.
186
Adanya karakteristik yang sama pada gerakan-gerakan pembaruan Islam, baik
pra-modern maupun modern tersebut, dapat dilihat misalnya pada abad 17 M.
Syaikh Ahmad Sirhindi telah meletakan dasar teori reformasi yang sama
dengan Ibnu Taimiyah, juga menekankan pelaksanaan ajaran syariah dalam
kehidupan sehari-hari. Kemudian gerakan wahabiah pada abad 18 M yang
dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab dipandang lebih radikal dan tidak
mengenal kompromi terhadap semua pengaruh yang “non Islam” terhadap
amal ibadah. Gerakan-gerakan serupa juga muncul di kawasan dunia Islam
lainnya. Shah Waliyullah di India abad 18 M, juga melakukan hal yang sama
dengan apa yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad Sirhindi dalam sikapnya
terhadap ajaran sufi yang menyimpang. Namun, yang membedakannya
dengan pendahulunya, gerakan Shah Waliyullah juga memasuki dunia
kehidupan sosial politik, di mana ia menentang ketidakadilan sosial ekonomi
yang menimpa rakyat, mengkritik beban pajak yang ditanggung oleh kaum
petani, serta menyerukan kaum muslimin untuk menegakkan sebuah negara
teritorial di India yang menyatu ke dalam bentuk sebuah kekaisaran yang
bersifat internasional.
187
Berkaitan dengan kesinambungan karakteristik gerakan pembaruan Islam baik
pra-modern dan modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga bidang
atau tema yang digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali kepada
penerapan ketat Al-Quran dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan adanya ijtihad;
ketiga, penegasan kembali keaslian dan keunikan pengalaman Qur’an yang
berbeda dengan cara-cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya.
Pertanyaan:
188
BAB VII
A. Pendahuluan
Pembaharuan dalam istilah lain adalah tajdid, reformasi dan atau modernisasi.
Adapun tajdid menurut bahasa adalah mengembalikan dan menghidupkan. Tajdid
al-din berarti mengembalikannya kepada yang pernah ada pada masa salaf,
generasi awal atau menghidupkan dan membangkitkan ilmu dan amal yang telah
diterangkan oleh Al-Quran dan Al-Sunnah. Selanjutnya tajdid dikatakan sebagai
penyebaran ilmu, meletakkan pemecahan secara Islami terhadap setiap problem
yang muncul dalam kehidupan manusia, dan menentang segala bentuk bid’ah.
Dengan ini nampak bahwa tajdid mendorong umat Islam agar kembali kepada Al-
Quran dan as-Sunnah serta mengembangkan ijtihad, atau reformasi dalam Islam.
Menurut Harun Nasution dan E. Saefuddin Anshari, yang dikutip oleh Rahmat
Effendi, 2016, tajdid dalam arti pembaharuan mengandung banyak arti, antara
189
lain gerakan dan usaha untuk merubah paham–paham, adat istiadat, institusi
lama untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Istilah ini pun dimaksudkan pada pengertian
yang positif. Jadi pembaharuan dalam Islam tidak dimaksudkan memperbaharui
agama, dan juga tidak sama dengan Enlight-men atau The Age of Reason yang
bersifat pemujaan akal dan ilmu.
Awal abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam, Islam
tersebar di barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di timur melalui Persia
sampai India. Daerah-daerah ini dibawah kekhalifahan yang berkedudukan di
Madinah, Damaskus, terakhir di Baghdad. Pada abad ini lahirlah pemikir dan
ulama besar seperti: Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Dengan lahirnya
pemikiran ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan berkembang dalam bidang
ilmu agama maupun ilmu pengetahuan lainnya.
Interaksi pemikiran dan budaya dengan masyarakat menjadi tantangan bagi orang
Islam, terlebih dengan berjatuhannya daerah yang ada dalam kepemimpinan
Islam satu persatu lepas dan menjadi wilayah jajahan bangsa lain. Yang lebih
mendasar adalah dorongan dari dalam ajaran Islam sendiri, QS. Al-Nisâ` (4): 59;
Al-Nûr (24): 55.
1. Paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan tradisi yang
dipengaruhi macam-macam tarekat dan memuja orang yang dianggap suci,
dan segala bentuk kekufuran.
2. Sifat jumud umat Islam sendiri, membuat umat Islam berhenti berfikir dan
berusaha. Kemajuan di zaman klasik karena mereka bekerja keras untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, oleh sebab itu selama umat Islam tidak
190
mau berpikir untuk berijtihad, maka sulit untuk memperoleh kemajuan,
karenanya perlu adanya pembaharuan untuk memberantas kejumudan.
3. Umat Islam yang tepecah belah. Dengan terpecah belah tentu sulit untuk
memperoleh kemajuan, kemajuan umat Islam akan diperoleh dengan jalan
persaudaraan dan persatuan yang bersumber kepada ajaran Islam. Untuk itu
perlu adanya gerakan pembaharuan pemikiran dalam Islam.
4. Akibat dari adanya interaksi orang-orang Islam dengan dunia Barat,
menghasilkan adanya kesadaran akan terjadinya kemunduran dibandingkan
dengan negara-negara di Eropa, diketahui kemajuan tersebut karena memiliki
kekuatan militer yang modern dan ilmu pengetahuan yang lainnya.
Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaisans barat, kalau renaisans Barat
muncul dengan menjauhi agama, akan tetapi pembaharuan dalam Islam adalah
sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip-prinsip ajaran Islam kepada
pemeluknya. Oleh karena itu pembaharuan dalam Islam bukan hanya mengajak
kepada kemajuan melawan kebodohan dan kemiskinan, akan tetapi untuk
memperkuat ajaran Islam.
2. Adanya kekuatan Barat terhadap kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam
dengan melalui monopoli perdagangan dan berlanjut dengan penjajahan.
Ketiga faktor tersebut ini memberikan pengaruh pada pemikiran politik Islam,
terutama pada konsep perjuangan politik umat Islam dari kezaliman penguasa,
terutama terhadap imperialis dan kolonialis Barat.
Gerakan pembaharuan politik dalam Islam di Turki melahirkan Negara Turki yang
sekuler, gerakan pembaharuan Islam di India melahirkan Negara Pakistan yang
mempunyai dasar negara yaitu agama Islam. Gerakan pembaharuan sebelumnya
191
yang diusung oleh tiga tokoh terkemuka, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, Muhamad
Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, dikenal dengan gerakan Salafiyah; yaitu
suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk memulihkan kejayaan
Islam, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti
yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam. (Rahmat Effendi, Pemikiran
Islam, 2016, 195).
Jauh sebelum itu telah muncul pemikir-pemikir pembaharu ajaran Islam yang
ingin mengembalikan Islam kepada ajaran yang sebenarnya, yaitu kembali kepada
Qur’an dan Sunnah, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (1262-1318),
yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Ibnu Qayyim al-Jawziyah (1292-1350).
Kedua, menjawab tantangan jaman, bahwa Islam sebagai agama universal yang
memberikan tuntunan hidup dan kehidupan manusia sepanjang masa dan seluruh
alam. Karenanya gerakan pembaharuan sebagai upaya mengimplementasikan
ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan manusia.
192
D. Ijtihad Sebagai Kunci Pembaharuan dalam Islam
Salah satu sumbangan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin Al-
Afgani. Pemikiran Jamaluddin al-Afghani, gagasannya mengilhami kaum
muslimin di Turki, Iran, Mesir, dan India. Meskipun sangat anti imperialisme
Eropa, ia mengagumi kemajuan ilmu pengetahuan Barat. Ia tidak melihat
adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun gagasan untuk
membuat sebuah Universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan
modern di Turki menghadapi tantangan yang kuat dari para ulama. Pada
akhirnya diusir dari negara tersebut.
193
Jamaliddin al-Afgani selalu membakar semangat untuk mengusir penjajahan
Barat meskipun dimusuhi penguasa Barat, akibatnya ia terpaksa harus
berpindah-pindah dari Mesir ke India, Iran, Hijaz, Yaman, Turki, Rusia, Jerman,
Perancis, dan Inggris. Jamaluddin melakukan semua ini bagi umat Islam walau
mereka berbeda mazhab atau aliran. Ia tidak suka dengan istilah Sunni dan
Syi’ah, atau fanatisme pada sekte tertentu. Jamaluddin al-Afghani sangat gigih
memperjuangkan penolakannya terhadap paham sekterianisme dan
nasionalisme menurut konsep Barat. Kedua paham ini terbukti merongrong
ajaran dasar Islam. Oleh karena itu ia berusaha mempersatukan dengan satu
tali pengikat yaitu agama Islam (Pan Islamisme).
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha memiliki hubungan yang sangat erat
sebagai guru dan murid, keduanya mengunjungi beberapa negara di Eropa,
dan keduanya sangat terkesan dengan pengalaman mereka disana. Rasyid
Ridha mendapat pendidikan Islam tradisional dan menguasai bahasa asing
(Francis dan Turki) yang menjadi jalan masuknya untuk mempelajari ilmu
pengetahuan secara umum. Oleh karena itu, tidak sulit bagi Rasyid Ridha
untuk bergabung dengan gerakan pembaharuan al-Afghani dan Muhammad
Abduh, diantara gerakannya yaitu Al Urwah Al Wustta yang diterbitkan di Faris
dan di sebarkan di Mesir. Muhammad ‘Abduh sebagaimana Muhammad Abdul
Wahab dan Jamaluddin al-Afghani, berpendapat bahwa masuknya bermacam-
macam bid’ah kedalam ajaran Islam, menjadikan umat Islam lupa dan jauh
dari ajaran Islam yang sebenarnya.
a. Penghapusan paham jumud yang berkembang di dunia Islam pada saat itu;
194
c. Kekuasaan negara harus dibatasi konstitusi yang telah dibuat negara yang
bersangkutan;
Beliau adalah seorang sejarawan dan filusuf yang sangat mendukung gagasan
Muhammad Ali Pasya. Ia pendukung modernism yang gigih. Pengadopsian ilmu
pengetahuan modern tidak hanya penting dari sudut nilai praktis (kegunaan)
nya saja, akan tetapi sebagai perwujudan suatu kebudayaan yang amat tinggi.
Pandangnnya dianggap sekuler karena mengunggulkan ilmu pengetahuan.
Beliau dilahirkan di desa Aswan, Mesir. Pada mulanya dia dikenal sebagai
seorang rasionalis, kemudian terpengaruh oleh pemikiran Barat, karena pernah
memperoleh pendidikan di Amerika. Kemudian berangsur-angsur berubah
karena tidak puas terhadap pemikiran Barat, yang tidak mampu memberikan
pengertian identitas dan tujuan moral yang dikehendaki dunia Islam. Kemudian
ia masuk dalam Partai Ikhwanul Muslimin dan menghabiskan sisa hidupnya
sebagai aktivis Islam, dipenjarakan bertahun-tahun dan akhirnya dihukum mati
oleh Nasser, atas tuduhan menentang pemerintah, pada tahun 1966. Sejak itu
ia dikenal sebagai syahid kebangkitan Islam. Karya tulisnya, Tafsir Al-Qur’an, Fi
Zilalil-Qur’an yang disusun dalam penjara, tolok ukur untuk pelajaran tafsir di
banyak mesjid dan angkatan muda seluruh dunia. Selain itu banyak menulis
tentang masalah sosial, politik, ekonomi, intelektual, kultural, dan etika
masyarakat.
195
Yusuf Qardawi seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis,
semua ilmu bisa Islami dan tidak Islami, tergantung kepada orang yang
memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu
telah menghambat kemajuan umat Islam.
Muhammad Ali Jinna, adalah arsitek dan pendiri Negara Islam Pakistan,
belajar ilmu Hukum di Inggis. Ali Jinnah aktif di Liga Muslim, pada tahun 1916,
Ali Jinnah merupakan pelanjut dari pejuang sebelumnya yaitu Muhammad
Iqbal, nama Ali Jinnah menjadi jaminan bagi kaum muslimin, baik secara
individual maupun keseluruhan dalam bidang politik. Dalam mengatasi
perpecahan antara Hindu dan Muslim, dia menciptakan dua undang-undang:
The Delhi Muslim Proposais (Usul-usul Umat Islam Delhi) 1927 dan The
Fourteen Points (Butir-butir Empat Belas) 1929. sebagi upaya meraih
tujuannya dengan mengerahkan segala kemampuannya dengan sungguh-
sungguh untuk memperjuangkan hak-hak kaum Muslimin dan berjuang
membangun strategi politik kenegaraan dan pemerintahan Islam. Pada tahun
1938 ia memainkan peran sejarahnya sebagai Quaid-i-Azam (memiliki niat
yang kuat), sampai terlaksananya pemilihan umum terpisah dan berdirinya
Negara Islam Pakistan.
196
memiliki latar belakang pendidikan bercorak Islam tradisional. Kedua hal ini
sangat berpengaruh terhadap pemikiran dan tulisannya, karya yang terkenal di
tahun 1930 yang berjudul Recontruktion Of Religious Thught In Islam
(pembangunan kembali pemikiran keagamaan dalam Islam).
197
F. Pengaruhnya Terhadap Pembaharuan di Indonesia
1. Abad ke-7
Diduga keras para musafir dan pedagang muslim dari Arab, Persia, dan India
(Gujarat) telah memperkenalkan Islam di Nusantara. Hal ini dimungkinkan
karena sejak abad ke-5, Samudra Hindia telah menjadi kawasan yang
berbahasa Arab dan jalan dagang Teluk Persia-Tiongkok yang terus berlanjut
sampai beberapa abad kemudian.
2. Abad ke-10
Malaka telah menjadi pelabuhan penting bagi pedagang muslim di Asia. Islam
datang ke Negeri ini dengan jalan damai. Para mubaligh melangsungkan
perkawinan dengan penduduk setempat dan Islam berkembang secara turun-
temurun. J.C. Van Leur dalam bukunya Indonesian Trade and Scsiety (Den
Haag: W. van Hoeve Publisher Ltd., 1967), berpendapat bahwa karena yang
membawanya adalah para pedagang maka agama Islam lebih menarik dari
pada agama penduduk sebelumnya (Hindu dan Budha).
3. Abad ke-11
4. Abad ke-13
198
mengenai masalah-masalah keagamaan dengan para ulama terkemuka yang
berdatangan dari pusat-pusat peradaban Islam.
6. Abad ke-17
199
7. Abad ke-17 sampai abad ke-20
Pembaharuan di era modern dikalangan umat Islam dimulai dengan sosok Jamal
Al-Afghani (1839-1897) yang melakukan perjalanan panjang semasa hidupnya
sejak dari Afganistan, India, Mesir, Syiria, Paris, Turki, dan Iran. Pembaharuan
memperoleh jalan licin setelah dikembangkan oleh murid Al-Afghani yang menjadi
bapak pembaharu di Mesir yaitu Muhammad ‘Abduh (1845-1905) dan dilanjutkan
oleh murid yang lain yaitu Rasyid Ridha (1856-1935) yang menitik beratkan pada
reformasi ajaran-ajaran agama Islam yang murni serta mengharmonisasikan
dalam kehidupan kemasyarakatan dan politik.
200
maka Wahhabisme pun disebarkan di Minangkabau Oleh Haji Miskin dan kawan-
kawannya yang terkenal dengan julukan Harimau nan Salapan. Mereka adalah
Tuanku Haji Miskin, Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Kota Ambalau, tuanku di
Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Lubuk Alur,
Tuanku Nan Renceh. Mereka juga dikenal sebagai tokoh-tokoh Paderi, yaitu
sebutan bagi yang tidak mengenal ajaran ini, karena berpakaian mereka selalu
berpakaian serba putih.
Meskipun dalam perang Paderi ini, Belanda mampu menangkis habis perlawanan
kaum Paderi. Namun paham pembaharuan yang disebarkannya tidak lenyap.
Bahkan timbul tokoh-tokoh baru, mereka terus menyebarkan ide pembaharuan.
Tercatat misalnya Syekh Muhammad Abdullah Ahmad (1878-1933), Syekh Abdul
Karim Amrullah (1879-1945), Syekh Muhammad Jamil Jmbek (1860-1947), Syekh
Muhammad Ibrahim Musa Parabek (1884-1963), Syekh Haji Muhammad Thalib
Umar (1874-1920) dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1918, atas inisiatif murid-
murud Syekh Abdul Karim Amrullah, didirikan sebuah perkumpulan yang bernama
“Sumatra Tha-walib” setahun kemudian yaitu pada tahun 1919, atas inisiatif
Zainudin Labai didirikan pula sebuah organisasi khusus untuk kalangan guru yang
diberi nama Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI).
Menurut Hamka, tokoh reformis Indonesia adalah pembaca setia majalah al-
‘Urwah al-Wutsqa dan al-Manar yang dipimpin tokoh-tokoh reformis dunia Islam
Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh dan muridnya Muhammad Rasid
Ridha. Bahkan KH. Ahmad Dahlan sebelum mendirikan Muhammadiyah, pada
tahun 1912, beliau adalah pembaca setia majalah al-Munir, surat kabar kaum
Wahhabi di Padang, yang terbit pertama kali pada tanggal 1 April 1911, senada
201
dengan pernyataan Hamka di atas, Delia Noer (1982:64) menyatakan pula bahwa
munculnya golongan Islam modern di Indonesia bersamaan dengan bangkitnya
semangat nasional dikalangan bangsa Indonesia dan sekaligus pula merupakan
sumbangan terhadap gerakan nasionalis pada tahun 1920-an dan 1930-an.
Misalnya Syarikat Islam berdiri pada tahun 1912 yang secara umum memberikan
sumbangan pada ide-ide dasar golongan Islam modernis dan dapat disebut pula
sebagai wahana pertama bagi aspirasi politik nasional sampai tahun 1920an.
Namun sayangnya, kehancuran Syarikat Islam disebabkan gagalnya memutuskan
perbedaan antara agama di satu pihak dan nasionalisme dan komunisme di pihak
lain. Perbedaan ini pulalah yang menyebabkan perpecahan di tubuh Syarikat Islam
pada tahun 1925, dan hal ini ditandaskan dengan permulaan gerakan
nasionalisme sekuler dan muslim nasionalis yang berada pada posisi terpisah,
seperti adanya golongan kaum muda dan kaum tua.
Adapun gerakan pembaharuan di tanah jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan
dengan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta. Organisasi ini
bertujuan ingin memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia
berdasarkan ajaran Islam serta meningkatkan kehidupan beragama di kalangan
anggotanya. Selain KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyahnya, ada tokoh lain
yang cukup berperan dalam pembaharuan Islam di pulau Jawa yaitu Syekh
Ahmad Soorkati berasal dari Sudan, ia melancarkan pembaharuannya dalam
organisasi Jamiat Khoir, yang kemudian pada tahun 1913 mendirikan organisasi
baru dengan diberi nama al-Irsyad. Kemudian di Bandung H. Zamzam bersama H.
202
Muhammad Yunus pada tahun 1923 mendirikan Persatuan Islam (GF. Pijper,
1984: 108).
Pertanyaan:
203
204
BAB VIII
A. Pendahuluan
Kurang dari satu abad setelah Nabi Muhammad Saw wafat, pada masa khalifah Al-
Walid (705-715M), Islam telah menduduki Spanyol. Pada saat yang hampir
bersamaan Islam juga telah mulai memasuki wilayah Indonesia. “Cikal bakal
kekuasan Islam telah dirintis pada periode abad ke-1 H (7 atau M), tetapi
semuanya tenggelam dalam hegemoni maritime Sriwijaya yang berpusat di
Palembang dan kerajaan Hindu Jawa seperti Singasari dan majapahit di jawa
Timur.” (Yatim, 1993:194).
205
Kemiskinan dan kebodohan umat Islam ini telah menimbulkan munculnya
penyakit masyarakat seperti kepercayaan kepada tahayul, bid’ah, dan khurafat.
Hal ini senada dengan pendapat Ali dan Effendi yang mengatakan bahwa,
“Gerakan pembaharuan di dunia Islam, pada umumnya dilatarbelakangi oleh
kondisi global umat Islam yang mengecewakan, dimana umat Islam tenggelam
dalam kejumudan, terperosok dalam kehidupan mistisme berlebihan, dan lebih
dari itu, dijajah oleh kekuasaan kolonialisme Barat.” (Ali dan Effendi, 1985:65).
Gerakan Pembaharuan ini dibawa oleh para Jemaah Haji dan orang-orang
Indonesia yang telah bermukim di Mekah.
206
Barat juga gerakan pembaharuan ini di bawa oleh tokoh-tokoh yang pulang dari
Mekah seperti Muhammad Syahab, yang kemudian terkenal dengan sebutan
Imam Bonjol.
Nama aslinya adalah Ahmad Rifa’i, tetapi Rifa’i dalam pengucapan bahasa Jawa
menjadi Rifangi sehingga beliau terkenal dengan nama Ahmad Rifangi. Beliau
lahir pada tahun 1786 di Kendal dari kalangan terhormat, dimana ayahnya
bekerja sebagai penghulu. Setelah belajar pada beberapa tokoh seperti Syaikh
Abdurrahman, Syaikh Abu Ubaidah, Syaikh Abdul Aziz, Syaikh Usman, dan
Syaikh Abdul Malik di beberapa pesantren di tanah air, Ahmad Rifangi
melanjutkan pendidikan agamanya di Mekah selama delapan tahun dari tahun
1833-1841. “Sepulang dari pengembaraannya tersebut ia menetap di wilayah
Kendal, akan tetapi karena sejak awal telah dikenal sebagai tokoh agama yang
207
tidak kompromis dengan pemerintah (kolonial Belanda), maka ia pindah ke
wilayah terpencil di pedalaman kota Batang, yaitu Kalisalak.” (Djamil, 1999: 3)
Syekh Abdul Karim adalah pengikut setia Syekh Ahmad Khatib Sambas.
Demikian besar kepercayaan Syekh Ahmad Sambas kepada Abdul Karim
sehingga sebelum meninggalnya, Syekh Abdul Karim ditunjuk sebagai
pengganti pimpinan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dari pusatnya di
Mekah. Sebelumnya ia ditunjuk oleh gurunya memimpin cabang tarekat di
Singapura, kemudian di Cilegon Banten. Di Banten ia juga mendirikan sebuah
pesantren yang kemudian berkembang pesat. (Dhofier, 1985: 89)
208
Sejak masa mudanya ia mendalami ajaran-ajaran Khatib Sambas, pemimpin
tarekat Qodiriyyah, dan kemudian menjadi seorang ulama besar yang sangat
terkenal. Ia memperlihatkan hasrat yang sangat mendalam untuk menimba
ilmu dan perhatian yang besar terhadap ajaran-ajaran Islam. Karena sifat-
sifatnya yang luar biasa, ia dianggap cocok sekali untuk berdakwah bagi
tarekat Qodiriyyah. (Kartodirjo, 1984: 17)
Syekh Abdul Karim dalam mengembangkan ajaran Islam mengajak umat Islam
untuk untuk memperbaharui kehidupan beragama dengan jalan taat
menunaikan ibadah yang diperintahkan Allah Swt, beliau juga menganjurkan
untuk menjalankan praktek ibadah itu dengan proses pemurnian ajaran Islam
dengan penekanan pada aspek shalat, puasa, dan zakat. Hal ini dimulai pada
tahun 1872 ketika beliau kembali ke desa asalnya di Banten. Hal ini dapat
dipahami karena gerakan pembaharuan Syek Abdul Karim ini sangat
mementingkan pelaksanaan syariat Islam. Sebagai pemimpin terekat
Qodiriyyah wa Naqsabandiyyah, Syekh Abdul Karim hanya mau menerima
anggota tarekat yang sudah melaksanakan ajaran Islam dan memahami dasar
ajaran ajaran Islam. Untuk mewujudkan tujuan itu beliau banyak melakukan
kunjungan ke berbagai daerah. Syekh Abdul Karim memiliki pengaruh yang
luas di Jawa, tetapi beliau memiliki pengaruh yang sangat kuat di Banten.
Karena merasa tidak tahan dengan ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda,
Syekh Abdul Karim bersama Haji Wasid dan KH Tubagus Ismail melakukan
pemberontakan terhadap Belanda pada tahun 1888.
Nama asli Syekh Nawawi Banten adalah Muhammad Nawawi. Beliau lahir di
kampung Tanara, Tirtaya, kabupaten Serang, wilayah karesidenan Banten
pada tahun 1813. Syekh Nawawi pertama kali belajar agama di bawah
bimbingan ayahnya, Umar Ibnu Arabi. Setelah belajar di bawah bimbingan
ayahandanya, melanjutkan pendidikan agamanya di Purwokerto. “Setelah itu ia
melanjutkan pelajarannya lagi di Purwokerto kepada Kyai Yusuf, seorang kyai
yang menarik santri-santrinya dari daerah-daerah di seluruh Jawa, terutama
209
dari daerah Jawa Barat. Ketika Nawawi berusia 15 tahun, ia melakukan ibadah
haji dengan kedua saudaranya dan tinggal di Mekah selama tiga tahun.”
(Dhofier, 1985: 87). Sepulangnya dari Mekah, Syekh Nawawi memperdalam
ilmu agamanya lagi dengan belajar kepada para ulama di tanah air. “Akan
tetapi karena kondisi tanah air ketika itu masih berada di bawah jajahan
Belanda, dan setiap gerak-gerik ulama diawasi, termasuk kegiatan Syekh
Nawawi, beliau kembali ke Mekah untuk mengajarkan ilmu yang dimilikinya
kepada para mahasiswa yang berdatangan ke sana dari berbagai negara.”
(Hafiduddin, 1987: 41). Hal tampaknya menyebabkab kehidupan intelektual di
Tanah Suci lebih menarik bagi Syekh Nawawi ketimbang kondisi di tanah air
sehingga ia kembali ke Mekah untuk mengamalkan ilmunya di sana, dimana ia
menjadi perantara bagi gerakan pembaharuan di dunia Islam dengan para
ulama dan intelektual Indonesia yang pergi haji dan belajar agama di Mekah.
C. Abad ke-20
210
yang perlu disebutkan diantaranya Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir
Sadzali, dan Abdurrahman Wahid.” (Asyari, 2011: 301-302)
Munculnya Kesadaran
Abad ke-20 dinilai sebagai awal terjadinya gerakan untuk menegakkan Islam
demi kemuliaan agama Islam sebagai idealita dan kejayaan umat sebagai
realita dapat diwujudkan secara konkret dengan menggunakan organisasi
sebagai alat perjuangannya. Disadari pula bahwa gagasan baru itu hanya akan
tersebar luas jika menggunakan media yaitu majalah. (Padmo, 2007: 153)
Kira-kira pada pergantian abad ini (abad XIX ke Abad XX) banyak orang-orang
Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin
berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak
kolonialisme Belanda. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan,
apakah ini dengan menggali mutiara-mutiara Islam dari masa lalu yang telah
memberi kesanggupan kepada kawan-kawan mereka seagama di Abad Tengah
untuk mengatasi Barat dalam ilmu pengetahuan serta dalam memperluas
daerah pengaruh. (Noer, 1995:37)
Salah satu hal yang penting untuk dicatat dari Gerakan Pembaharuan Islam di
Indonesia adalah dalam aspek keberagamaan. Hal ini dilandasi oleh kondisi
keberagamaan umat Islam yang pada umumnya masih memiliki pemahaman
keagamaan yang sangat terbatas. Hal ini menyebabkan banyaknya
pemahaman dan praktek keagamaan yang oleh kelompok pembaharu ini tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, kelompok pembaharu ini
berusaha memurnikan pemahaman praktek ajaran Islam dengan mengusung
jargon kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah dimana hal ini berarti bahwa
pemahaman dan praktek ibadah harus dilandasi oleh penjelasan yang ada di
dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
211
Pemahaman dan praktek keberagamaan yang tidak dilandasi oleh prinsip ini
dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dan dianggap Bid’ah
(menciptakan hal baru dalam beribadah). Salah satu perhatian kaum
pembaharu adalah dalam Fiqh (hukum) yang menjadi panduan dalam
kehidupan sehari-hari umat Islam. Mereka menolak praktek-praktek
keagamaan yang tidak sesuai menurut aturan Islam. Selain fiqh hal yang
menjadi perhatian kelompok pembaru ini adalah tasawuf. Sebagaimana dalam
hal fiqh, mereka juga menolak praktek-praktek keagamaan tasawuf yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Kaum pembaharu ini mengingatkan bahwa yang
wajib disembah hanyalah Allah Swt, dan praktek tasawuf yang diperbolehkan
adalah praktek tasawuf yang tidak meninggalkan dan melalaikan syariat Islam.
Menurut Dhofier, kaum pembaharu ini, “sangat keras dalam memberantas hal-
hal yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.” (Dhofier, 1985: 89)
a. Al-Jam’iyat Al-Khoiriyah
Organisasi ini pertama didirikan di Jakarta pada tahun 1905 dengan prinsip
terbuka untuk setiap muslim dengan tidak melihat asal-usulnya. Pada
umumnya anggota organisasi ini, atau sering dikenal dengan nama Jami’at
Khair, adalah orang-orang Arab. Sebagian besar anggota dan pengurus
Jami’at Khair ini adalah orang-orang kaya sehingga memungkinkan mereka
untuk mengurus dan mengembangkan organisasi ini dengan tidak
mengganggu usaha mereka untuk mencari nafkah. “Perkumpulan al-Jami’at
Khairiyah (JK) di Jawa dapat dikatakan sebagai penggerakan Islam Baru
yang pertama kali di pulau yang padat penduduknya itu dari tempat itu pula
KH. A. Dahlan (1912), pemimpin pertama perkumpulan Muhammadiyah dan
orang-orang yang terpelajar lainnya mengenal bacaan-bacaan kaum reform
yang didatangkan dari luar negeri.” (Stoddard, 1966: 309). Fokus kegiatan
Jami’at Khair ini adalah dalam bidang pendidikan. Mereka melihat bahwa
212
pendidikan merupakan sarana yang strategis untuk memajukan umat Islam.
“Dua bidang kegiatan diperhatikan sangat oleh organisasi ini. Yang pertama,
pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar, yang kedua,
pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan pelajaran. Bidang
kedua ini segera terhambat oleh kekurangan biaya dan juga oleh karena
kemunduran khilafah. (Noer, 1995: 68)
Pada tahun 1905, Jami’at Khair, mendirikan sekolah dasarnya yang pertama.
Sekolah dasar ini selain mengajarkan pelajaran agama, juga mengajarkan
pelajaran lain seperti sejarah, berhitung, dan ilmu bumi dan bahasa
pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu (Bahasa Indonesia).
Bahasa Belanda tidak diajarkan di sekolah ini, sebagai gantinya diajarkan
Bahasa Inggris. Untuk meningkatkan kualitas pengajaran di sekolah dasar
ini, guru-gurunya didatangkan dari luar negeri. Bibit pembaharuan terlihat
dari materi yang diajarkan di sekolah ini. Hal ini terlihat dari penekanan
yang diberikan kepada pelajaran ilmu alat terutama bahasa Arab untuk
memahami sumber-sumber ajaran Islam, selain itu, dalam upaya untuk
mengembangkan jalan pikirannya murid-murid sekolah Jami’at Khair dilatih
untuk berpikir kritis dan bukan menghafal. Menurut Deliar Noer,
Pentingnya Jami’at Khair terletak pada kenyataan bahwa ialah yang
memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam
(dengan anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, dan rapat-rapat
berkala), dan yang mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang
banyak sedikitnya telah modern (kurikulum, kelas-kelas dan pemakaian
bangku-bangku, papan tulis, dan sebagainya. (Noer, 1995:71)
b. Al Irsyad
213
Indonesia pada Oktober 1911 atas undangan untuk mengajar di sekolah
dasar yang dikelola oleh Jami’at Khair kemudian bergabung dengan al-
Irsyad dan menjadi tokoh penting al-Irsyad hingga akhir hayatnya.
c. Muhammadiyyah
214
Organisasi Muhammadiyah ini didirikan pada tahun 1912 dengan tujuan
untuk “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad Saw. kepada
penduduk “Bumi Putera” dan “memajukan hal agama Islam kepada para
anggotanya”. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, Muhammadiyah
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan
tabligh di mana dibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf,
masjid dan menerbitkan buku dan majalah.
215
1) Muhammadiyah sebagai purifikasi aqidah Islam
2) Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid
3) Muhammadiyah sebagai gerakan mobilisasi amal saleh
4) Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan (al-Tarbiyah)
5) Muhammadiyah sebagai gerakan non-politik praktis. (Rais, 1995:28-49)
“Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri
yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok
yang berasal dari Sumatera, tetapi mereka telah lama tinggal di Bandung.”
(Noer, 1995:95). Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada
tanggal 12 September 1923. Persis berawal dari kelompok tadarussan
(pengajian) di kota Bandung yang diasuh oleh H. Muhammad Zamzam dan
H. Muhammad Yunus. Kelompok pengajian ini pada awalnya hanya diikuti
oleh sekitar 20 orang. Mereka berusaha untuk melakukan gerakan tajdid
(pembaharuan) dan pemurnian ajaran Islam dari paham-paham yang sesat
dan menyesatkan. Kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, dan
berimarah, dalam menyebarkan syari’at Islam membawa mereka kepada
kesadaran akan perlunya suatu organisasi.
216
Sejak awal berdirinya, Persis lebih menitikberatkan perjuangannya pada
penyebaran paham Al-Quran dan As-Sunnah kepada masyarakat muslim
dan bukan untuk memperbesar atau memperluas jumlah anggota dalam
organisasi. “Persis pada umumnya kurang memberikan tekanan pada
organisasinya sendiri. Persis tidak terlalu berminat untuk membentuk
banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota. Pembentukan
cabang tergantung pada inisiatif peminat semata dan bukan didasarkan
kepada suatu rencana yang dilakukan oleh pimpinan pusat” (Muslim,
2000:18). Oleh karena itu, pada tahun pertama berdirinya, Persis hanya
memiliki 20 anggota yang setia mengikuti pengajian-pengajian yang
membahas masalah-masalah keagamaan.
217
Timur dengan munculnya ide untuk mengubah format Persis dari organisasi
Massa menjadi organisasi politik yang bernama Jama’ah Muslimin. Tetapi
gagasan itu tidak berkembang karena sebagian besar peserta muktamar
menghendaki agar Persis tetap menjadi organisasi massa Islam yang
bergerak di bidang dakwah dan pendidikan.
218
ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran secara teologis
mengikuti Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahabi) yang
menekankan wawasan Islam dengan berpegang kepada jargon kembali
kepada Al-Quran dan As-Sunnah sehingga tersebar berita bahwa penguasa
baru ini akan menghilangkan madzhab-madzhab yang ada. “Kalangan
pesantren sangat tidak menerima sikap penguasa Mekah pada waktu itu
yang anti kebebasan bermadzhab, anti ziarah ke makam ulama, anti
kegiatan membaca kitab barzanji, dan sebagainya” (Sodik,2004:41)
219
E. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kontemporer
Pada masa Orde baru muncul kebijakan pemerintah yang mengharuskan semua
organisasi harus menjadikan Pancasila sebagai landasan dasarnya. Kebijakan
pemerintah pada awalnya memicu gejolak di kalangan organisasi-organisasi
keislaman, tetapi pada akhirnya hampir semua organisasi-organisasi tersebut
menyetujuinya dan menjadikan Pancasila sebagai asas dasar organisasi mereka.
Kondisi ini memunculkan Islam sebagai gerakan kultural dan tidak lagi
memunculkan Islam sebagai gerakan politis yang bertujuan mendirikan negara
Islam di Indonesia. Gerakan ini dipelopori oleh Nurcholis Madjid yang pada tahun
1977 mengemukakan ide pembaharuan melalui tulisannya yang berjudul
“Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah integrasi umat.” Gagasan
pembaharuan yang diusung oleh Nurcholish Madjid didasarkan pada konsep
tauhid dan gagasan bahwa manusia adalah khalifah Allah di muka bumi.
220
khazanah pemikiran islam di Indonesia. Gus menawarkan dua konsep Pribumisasi
Islam dan Humanitarianisme Universal. Menurut Gus Dur agama dan kebudayaan
adalah dua wilayah otonom yang masing-masing memiliki titik temu sehingga
keduanya tidak harus dipertentangkan tetapi harus disinergikan.
Agama islam bersumberkan wahyu dan memiliki normanya sendiri. Karena bersifat
normatif, maka ia cenderung permanen, sedangkan budaya adalah buatan
manusia, karena ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan
cenderung untuk selalu berubah. Perbedaaan ini tidak menghalangi kemungkinan
manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Disinilah adanya
akomodasi dan rekonsiliasi. Proses itu harus dilakukan secara alami, bukan
terpaksa dan itulah terjadinya pribumisasi. (Hamidah, 2011:87)
Gus Dur menjelaskan bahwa prinsip ajaran Islam demikian luas, khususnya yang
berkaitan dengan masalah kemanusiaan, keadilan, dan penegakan kebenaran.
Dalam hal ini, ajaran Islam berlaku lintas kelompok, etnis, bahkan lintas iman.
221
Hanya masalah keimanan dan ketuhanan Islam memberikan penekanan spesifik
kelompok Muslim. Oleh karena itu, berjuang menegakkan kebenaran, keadilan,
dan kemanusiaan, Islam tidak memandang kelompok dan golongan, tetapi melihat
esensi masalahnya. Pemikiran ini melandasi Gus Dur dalam bersikap dan berbuat
baik kepada non muslim dan melindungi kelompok minoritas. (Hamidah, 2011: 90)
Peristiwa pemboman gedung World Trade Centre pada tahun 2001 di New York
Amerika telah mengubah perspektif masyarakat Barat, khususnya masyarakat
Amerika, terhadap Islam. Islam menurut kacamata Barat telah dianggap sebagai
agama yang mengandung radikalisme. Para cendekiawan muda Islam bangkit
menjelaskan fenomena munculnya gerakan radikalisme di kalangan umat Islam
dengan menyebutkan bahwa fenomena itu adalah pemahaman dan penafsiran
kelompok tertentu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad Saw, yang mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang
rahmatan lil alamin.
222
Pertanyaan:
223
224
DAFTAR PUSTAKA
A. Hasan Ridwan & Irfan Safrudin. 2011. Dasar-dasar Epistemologi Islam, Bandung :
Pustaka Setia.
Ahwani, Ahmad Fuad. 1991. Filsafat Islam, Terj. Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta :
Pustaka Firdaus.
Ahmad Daudy. 1984. Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta : Bulan
Bintang.
Al-Ghurabi. t.t. Tarikh al- firaq Al-islamiyyah wa Nasy’h ‘ilm kalam ‘Inda almuslimin,
Maktabah Muhammad ‘Ali shabih wa Auladah.
Al-Maududi, Abul A’la. 1996. Khilafah dan Kerajaan, terj. Muhammad Al-Baqir,
Bandung: Mizan.
Ali, Maulana Muhammad, The Religion Of Islam, Cairo: The Arab Writer Publisher &
Printers.
225
------------. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia
Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Asy-Syinawi, Abdul Aziz. 2016. Biografi Empat Imam Mazhab. Alih Bahasa: Abdul
Majid et al. Jakarta: Ummul Qura, Cet. III
Arkoun, Mohammed. 1994.Nalar Islami dan Nalar Modern : Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: INIS,
Azyumardi Azra. 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah, Wacana, dan
Kekuasaan, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Badri Yatim, 1993, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta:
RajaGrafindo Perkasa.
Bahi, Muhammad. t.t. Al-Janib al-Ilahi min al-Tafkir al-Islami.
Endang Saefuddin Anshari. 1986. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan Ummatnya,
Bandung: Rajawali Pers.
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, 1985, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan.
Fakhry, Madjid. 1987. Sejarah Filsafat Islam, terj. R. Mulyadhy Kartanegara, Jakarta:
Pustaka Jaya.
226
Harun Nasution. 1975. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang.
-----------. 1978. Filsafat dan Misticisme Dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang
-----------. 1985. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid I, Jakarta: UI Press.
-----------. 1986.Teologi Islam, Jakarta: UI Press.
-----------. 1998. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan.
Heinz Halm, shi’ism, 1991. Edinburg: Edinburg University Press.
Hoodbhoy, Pervez. 1996. Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas Antara Sains dan Ortodoksi
Islam, terj. Sari Meutia, Bandung: Mizan.
Haris Muslim, 2000, ‘Persis dari Masa ke Masa: Sebuah Refleksi Sejarah’, dalam
Siapkah Persis Menjadi Mujadid Lagi, editor, Yusup Burhanuddin, Bandung:
Alqoprint.
Ibrahim Madkour. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi aksara.
Ignaz Gotziher. 1991. Pengantar Teologi dan Hukum Islam, Ter. Heri setiawan,
Jakarta: INIS,
Iqbal, Muhammad. Metafisika Persia Suatu Sumbangan Untuk Sejarah Filsafat Islam,
terj. Joebaar Ayoeb, Bandung : Mizan, 1990.
227
Louis Ma’luf. 1935. Al-Munjid fi Al-Lughaha wa Al-A’lam, Beirut: Al-Matba’ah Al-
katsulikiah Lil Abi Al-Yasulin.
M. Amin Abdullah. 1996. Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta
Pustaka Pelajar.
May, Lini S. Iqbal His Life and Times, Lahore SH. : Muhammad Ashtaf, Kashmiri,
1974.
Morewedge, Parviz. 1981. Islamic Philosophy and Mysticism, New York : caravan
Books,
Muhammas Syahrastani. t.t. Al-milal wa An-nihal , Beirut: Dar al-Fikr.
Mujar Ibnu Syarif & Khamami Zada. 2008. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Islam,
Musya Asy'ary dkk. 1992. Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis,
Historis Prospektif, Yogyakarta : LESFI.
Muhammad Daud Ali. 2007. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Muhammad Sodik. 2004. Dinamika Kepemimpinan NU, Surabaya: Lajnah Ta’lif wa
Nasyr.
Musyrifah Sunanto. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Perkasa.
Mujar Ibnu Syarif & Khamami Zada. 2008. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Islam,
Jakarta: Erlangga.
Nurcholis Madjid. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina.
228
Nasr, Seyyed Hossein. 1996. “Evolusi : Sebuah Kemustahilan Metafisika”, dalam
Osman Bakar (ed,).Evolusi Ruhani Kritik Perenialis atas Teori Darwin ,terj.
Eva Y. Nukman, Bandung : Mizan,
Nugroho,Notosusanto, dkk, 1975, Sejarah nasional Indonesia jilid IV, Jakarta: Balai
Pustaka.
Porwantara dkk. 1988. Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : Rosda.
Peacock, James L. 1983. Pembaharu dan Pembaharuan dalam Agama, Jogjakarta:
Handita.
Qadir, C.A. 1991. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari,
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,
Rahman, Fazlur, The Philosophy of Mulla Sadra.
Rahman, Fazlur. 1993. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam. Bandung:
Penerbit Mizan.
Razi, Abu Bakar. Ar- Al-Thibb Al-Ruham.
Sami Nasib Makareem. 1972. The Doctrine of Ismailis, Beirut: the Arab Institute
for reseach and publishing,
Sarwar, H.G. 1994. Filsafat al-Qur’an, terj. Z. Muhtadin Mursyid, Jakarta : Rajawali,
Schmitt, Charles B. 1996. Ferenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, terj. Ahmad
Norma Permana, Yogyakarta : Tiara Wacana,
Scholars, Eminent. 1991. Iqbal as A Thinker, Lahore : SH. Muhammad Ashraf,
Stoddard, L. 1966, Dunia Baru Islam terj. Panitia Penerbit, Jakarta.
Syarif MM. 1963. History of Muslim Philosophy II, Weisbanden : Otto Harrassowitz,
(terjemahannya : Para Filosof Muslim , Bandung : Mizan)
Syalabi, Ahmad. 1992. Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid II , Terj Mukhtar Yahya,
Jakarta: Pustaka al-Husna,
Sartono Kartodirjo, 1984, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pustaka Jaya.
Shahih bukhori, jilid II,
Shahih muslim, jilid V.
Thabathaba’i, M.H. 1989. Islam Syi’ah , asal-usul dan perkembanganya, Terj. Djohan
Effendi, Grafiti Press, Jakarta,
Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 1957. Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah, Qairo :
Maktabah al-Qohirah al-Haditsah.
Tarikh ath-Thabari, jilid II,
229
Tengku M.H. Ash-Shiddieqy. 1997. Pengantar Hukum Islam.. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra.
Tim Karya Ilmiah Purnasisma. 2006. Sejarah Tasyri’ Islam (Periodesasi Legislasi Islam
dalam Bingkai Sejarah). Lirboyo: FPII
W. Montgomery watt, 1968. Islamic political Thought, Edinburg: Edinburg University
Press.
-----------. 1998. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Terj Umar Basalim, Jakarta:
P3M,
Walzer Richard, 1985. Al-Farabi on The Perfect State, Oxford : Clarendon Press.
Yazdi, Mehdi Hairi. 1992. The Principles of Epistemology In Islamic Philosophy, New
York : State University of New York Press.
Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta : Bui
Aksara,
Zahrah, Muhammad Abu. 1996.Aliran politik dan Aqidah dalam islam, terj Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos,
Zamachsyari Dhofier. 1985, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES.
Sumber lain:
Ahmad Jainuri. 1995. Landasan Teologis Gerakan Pembaharuan Islam, dalam Jurnal
‘Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. VI. Tahun 1995.
Asyari, Suaidi, 2011, ‘Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia’, jurnal
MIQOT vol. XXXV, No.2, Juli-Desember 2011, IAIN Sulthan Thaha,
Saifuddin, Jambi.
Bruinessen, Martin van, 1990, ‘Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci:Orang
Nusantara Naik Haji’, Ulumul Quran No. 5 tahun 1990.
Djamil, Abdul, 1999, ‘KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak: Studi tentang Pemikiran dan
Gerakan Islam Abad Sembilanbelas (1786-1876)’, Disertasi pada IAIN
Sunan Kalijaga Jogjakarta.
Hamidah, 2011, ‘Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid-KH Abdurrahman
wahid: memahami Perkembangan Intelektual Islam’, jurnal MIQOT vol.
XXXV, No.1, JAnuari-Juni 2011, IAIN Sulthan Thaha, Saifuddin, Jambi.
Kuntowijoyo, 1990, ‘Serat Cebolek dan Mitos tentang Pembangkangan Islam’, Ulumul
Quran No. 5 tahun 1990.
Padmo, Soegijanto, 2007, ‘Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia dari
Waktu ke Waktu: Sebuah Pengantar’, Humaniora, Vol. 19, No. 2 Juni 2007.
230
Sumber online:
http://mylizi.blogspot.co.id/2015/06/pemikiran-politik-khawarij-syiah.html
http://duniakampus45.blogspot.co.id/2015/02/mutazilah-dan-syiah.html
(Irhamdi Nasda, Ilmu Kalam, aliran-aliran, diakses dari Error! Hyperlink reference
not valid., pada tanggal 30 maret 2016, pukul 19.45)
(Vini Zikra, Syi’ah dan Sekte-Sektenya, vinizikra, diakses dari Error! Hyperlink
reference not valid., pada tanggal 30 maret, pukul 21.30)
231