E-Book Pemikiran Islam

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 246

Seri Penerbitan Lembaga Studi Islam dan

Pengembangan Kepribadian (LSIPK)


Penulisan buku Pemikiran Islam sebagai Buku Panduan Pendidikan Agama
Islam di Universitas Islam Bandung ini, di bidang Pemikiran Islam bertujuan
untuk mewarisi khazanah pemikiran yang telah dihasilkan dari ijtihad para
ulama/kaum intelektual terdahulu dan untuk mengetahui prinsip-prinsip

PK
iijtihad di dalam Islam. Selain itu, supaya terbangun standar referensi yang
sama pada seluruh dosen PAI Unisba. Kesamaan rujukan akan
memudahkan proses evaluasi perkuliahan dalam keselarasannya dengan
kurikulum dan syllabi. Demikian juga, tatkala hendak dievaluasi capaian
mahasiswa dalam proses perkuliahaannya mudah dilakukan.

SEJARAH PERADABAN ISLAM


Kehadiran buku PAI semacam ini sesungguhnya sudah lama diharapkan
oleh mahasiswa dan fakultas di lingkungan Unisba. Harapan tersebut

PEMIKIRAN ISLAM
terdorong oleh keinginan sebuah buku pedoman yang dapat dijadikan
pegangan bersama dan sesuai dengan bahan perkuliahan. Selain itu, sesuai
dengan Peraturan Presiden RI N0. 8 tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang mengatur perlunya penyediaan
materi pembelajaran, maka kehadiran buku ini merupakan wujud konkrit
untuk memenuhi target KKNI. Dalam kaitannya dengan pengabdian pada
masyarakat Tridharma Perguruan Tinggi, maka kami berharap agar buku ini
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas di dalam mendalami nilai-nilai ke-
Islaman.

ISBN: 978-602-50123-0-3

LSIPK
978- 602- 50123- 0- 3 UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
Seri Penerbitan Lembaga Studi Islam
dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK)

PEMIKIRAN ISLAM
BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI VI)

Universitas Islam Bandung


ii
iii
iv

PEMIKIRAN ISLAM
BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
@ Tim Penyusun Buku Panduan PAI

Hak cipta dilindungi undang-undang


All rights reserved

Cetakan pertama 19 Shafar 1439 H / 8 November 2017 M

Diterbitkan oleh:
Lembaga Studi Islam dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK) Universitas Islam Bandung
Anggota IKAPI Nomor: 219/JBA/2012

Gedung Rektorat Unisba


Jl. Tamansari No. 20 Lt. 4 Bandung 40116
Telp: 022-4203368; Fax : 022-4263895; e-mail : [email protected]

Desain Sampul dan Tata Letak :


Ayip Saiful Bahri, S.Kom.I
Hendriyana Jatnika, S.ST

Tim Penyusun Buku Panduan Pendidikan Agama Islam (PAI)

Bandung; LSIPK Unisba, 2017

Diterbitkan LSIPK Unisba


Anggota IKAPI Nomor: 219/JBA/2012

ISBN 978-602-50123-0-3
I. Buku Panduan – PAI 1 Judul
II. Seri.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Pasal 72


(1) : Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat
1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) : Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu
Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
v

Seri Penerbitan Lembaga Studi Islam


dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK)

PEMIKIRAN ISLAM
BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI VI)
vi
vii

Tim Penyusun

PEMIKIRAN ISLAM
BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

Penanggung jawab: Rektor Universitas Islam Bandung


Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H. (Ex Officio)

Anggota:
Wakil Rektor I (Ex Officio).
Wakil Rektor II (Ex Officio).
Wakil Rektor III (Ex Officio).

Ketua Tim: Dr. H.M. Wildan Yahya, Drs., M.Pd


Wakil Ketua: H. Asep Ahmad Siddiq, Drs., M.Si
Sekretaris I: H. Aep Saepudin, Drs., M.Ag
Sekretaris II: Iyan Bachtiar, Ir. MT.

Bendahara: Ayip Saiful Bahri, S.Kom.I

Penulis:
Koordinator Merangkap Penyunting:
Dr. H. M. Wildan Yahya, Drs., M.Pd

Anggota:
Dr. H. Irfan Safrudin, Drs., M.Ag
Dr. Hj. Rodliyah Khuza’i, Dra., M.Ag
A. Mujahid Rasyid, Drs., M.Ag
H. Agus Halimi, Drs., M.Ag
Ivan Chovyan, Ir., MT
Hj. N. Hendarsyah, Dra., MH
Dr. Teguh Ratmanto, MA.COMMS

Desain Cover dan Layout:


Ayip Saiful Bahri, S.Kom.I
Hendriyana Jatnika, S.ST

Sekretariat:
Endang Kadarusman
Hendar, S.Sos
Rahmadi Huda, Amd
viii
ix

Pedoman Transliterasi Arab-Latin


1. Konsonan

No Arab Latin No Arab Latin

1 ‫ء‬ ` 16 ‫ط‬ th

2 ‫ب‬ b 17 ‫ظ‬ zh

3 ‫ت‬ t 18 ‫ع‬ '

4 ‫ث‬ ts 19 ‫غ‬ gh

5 ‫ج‬ j 20 ‫ف‬ f

6 ‫ح‬ h 21 ‫ق‬ q

7 ‫خ‬ kh 22 ‫ك‬ k

8 ‫د‬ d 23 ‫ل‬ l

9 ‫ذ‬ dz 24 ‫م‬ m

10 ‫ر‬ r 25 ‫ن‬ n

11 ‫ز‬ z 26 ‫و‬ w

12 ‫س‬ s 27 ‫ه‬ h

13 ‫ش‬ sy 28 ‫ي‬ y

14 ‫ص‬ sh 29 ‫ة‬ t

15 ‫ض‬ dh 30 ‫( ة‬waqaf) h

2. Vocal Pendek 3. Vocal Panjang 4. Diptong 5. Pembauran


Arab Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin

‫ﹷ‬ = a ‫آ‬ = â ‫اَ ْي‬ = ai ‫اَ ْل‬ = l-

‫ﹻ‬ = i ‫اِي‬ = î ‫اَْو‬ = au ‫اﻟﺶ‬


ّ = l-sysy

‫ﹹ‬ = u ‫اُو‬ = û ‫( ي‬nisbah) i

Contoh:

∩⊄∪ Zοt£γsÜ•Β $Z çtྠ(#θè=÷Gtƒ «!$# zÏiΒ ×Αθß™u‘


Rasûlu mmina l-llâhi yatlû shuhufa mmuthahharah (QS Al-Bayyinah [98]: 2)

∩⊂∪ ÂÏΒF{$# Ï$s#t7ø9$# #x‹≈yδuρ


Wa hâdza l-baladi l-amîn (QS Al-Tîn [95]: 3)
x
xi

KATA PENGANTAR

5
Segala puji hanya milik Allah Swt, Dzat Yang Maha Kasih Sayang, Penabur rahmat -
Pelimpah karunia kepada hamba-Nya. Setelah melalui pengerjaan yang tidak
sebentar, kesulitan yang tidak sedikit dan pengorbanan yang tidak kecil, pada
akhirnya dengan ungkapan alhamdulillâh Buku Pemikiran Islam yang merupakan
Panduan Pendidikan Agama Islam PAI VI Unisba pada akhirnya dapat diselesaikan
penulisannya.
Salam serta shalawat dipanjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw yang
telah berjuang penuh dengan pengorbanan mengantarkan ummatnya kepada jalan
hidup yang penuh hidayah dan taufiq Allah Swt. Hanya berkat perjuangan dan
pengorbanannyalah Islam dapat dinikmati hari ini dengan taburan rahmat-Nya.
Penulisan buku Pemikiran Islam sebagai Buku Panduan Pendidikan Agama Islam di
Universitas Islam Bandung ini, bertujuan untuk mewarisi khazanah pemikiran yang
telah dihasilkan dari ijtihad para ulama/kaum intelektual terdahulu dan untuk
mengetahui prinsip-prinsip iijtihad di dalam Islam. Selain itu, supaya terbangun
standar referensi yang sama pada seluruh dosen PAI Unisba. Kesamaan rujukan
akan memudahkan proses evaluasi perkuliahan dalam keselarasannya dengan
kurikulum dan syllabi. Demikian juga, tatkala hendak dievaluasi capaian mahasiswa
dalam proses perkuliahannya mudah dilakukan.
Kehadiran buku PAI semacam ini sesungguhnya sudah lama diharapkan oleh
mahasiswa dan fakultas di lingkungan Unisba. Harapan tersebut terdorong oleh
keinginan sebuah buku pedoman yang dapat dijadikan pegangan bersama dan sesuai
dengan bahan perkuliahan. Selain itu, sesuai dengan Peraturan Presiden RI N0. 8
tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang mengatur
perlunya penyediaan materi pembelajaran, maka kehadiran buku ini merupakan
wujud konkrit untuk memenuhi target KKNI. Dalam kaitannya dengan pengabdian
pada masyarakat Tridharma Perguruan Tinggi, maka kami berharap agar buku ini
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas di dalam mendalami nilai-nilai ke-Islaman.
Seperti kata pepatah: ‘Tiada gading yang tidak retak’, demikian juga buku ini tidak
menutup kemungkinan masih perlu disempurnakan. Untuk itu, sumbang saran dan
kritik yang membangun demi kesempurnaan buku ini kami buka selebar-lebarnya.
Pada kesempatan yang baik ini, kami sampaikan ungkapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah ikut membantu dan mendorong
terbitnya buku ini. Secara khusus ungkapan terimakasih dan penghargaan kami
sampaikan kepada jajaran pimpinan Unisba dan Fakultas, Ketua LSIPK dan
xii

jajarannya, serta para penulis Buku Panduan PAI VI Pemikiran Islam yang dengan
penuh ketekunannya dapat menerbitkan buku ini. Mudah-mudahan dengan terbitnya
buku ini menjadi “ilmun yuntafa’u bihi”, ilmu yang bermanfaat dan menjadi amal
jariyyah

Bi l-lâhi taufîq wa l-hidâyah

Bandung, 19 Shafar 1439 H / 8 Nopember 2017


Rektor,

Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H.


xiii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………….......... xi


Daftar Isi …………………………………………………………………..…..…..….. xiii

BAB I ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI DALAM ISLAM ................... 1


A. Pendahuluan........................................................................... 1
B. Aliran Khawarij ....................................................................... 6
C. Aliran Murji’ah ........................................................................ 8
D. Aliran Qadariyah dan Jabariyah ............................................... 8
E. Aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah Waljama’ah .......................... 10
F. Ahli Sunnah Waljama’ah ……................................................ 20
G. Perbandingan Antara Aliran Mu’tazilah dengan Asy’riyah (Ahlu
Sunnah wal Jama’ah) …………………………………………………………… 26
Pertanyaan ................................................................................. 29

BAB II PEMIKIRAN POLITIK SUNNI DAN SYI’AH ................. 31


A. Pendahuluan .......................................................................... 31
B. Sunni ..................................................................................... 32
C. Syi’ah ..................................................................................... 34
Pertanyaan ................................................................................. 54

BAB III PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM


ISLAM ........................................................................ 55
A. Pendahuluan .......................................................................... 55
B. Pembentukan Hukum Islam ..................................................... 57
C. Tujuan Utama Syari’ah (Maqashid al-Syariah) ........................... 63
D. Fiqih sebagai Metode Pembentuk Hukum Islam (Tasyri’) ........... 68
E. Pengertian Ushul Fiqih ............................................................. 72
F. Mengenal Biografi 4 Imam Madzhab ......................................... 77
Pertanyaan ................................................................................. 88

BAB IV FILSAFAT ISLAM ........................................................ 89


A. Pendahuluan .......................................................................... 89
B. Lapangan Filsafat Islam ........................................................... 90
C. Hakikat Filsafat Islam .............................................................. 91
D. Pemikiran Para Filosof Muslim .................................................. 93
E. Perbandingan ........................................................................ 148
Pertanyaan ................................................................................. 155
xiv

BAB V ASPEK TASAWUF DALAM ISLAM ................................. 157


A. Pendahuluan .......................................................................... 157
B. Pengertian Tasawuf dan Asal Usulnya ...................................... 159
C. Faktor-faktor yang Mendorong Timbulnya Tasawuf ................... 160
D. Stasiun-stasiun atau Maqamat yang Dilalui Sufi ....................... 163
E. Pembagian Isi Tasawuf : Akhlaki, Amali, dan Falsafi .................. 167
Pertanyaan ................................................................................. 170

BAB VI PEMBAHARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM:


MAKNA DAN LATAR BELAKANGNYA ......................... 171
A. Pendahuluan .......................................................................... 171
B. Latar Belakang Pembaharuan dalam Islam ................................ 178
C. Landasan Pembaharuan dalam Islam ....................................... 181
Pertanyaan ................................................................................. 188

BAB VII PEMBAHARUAN PEMIKIRAN DI DUNIA ISLAM


DAN PENGARUHNYA DI INDONESIA ...................... 189
A. Pendahuluan .......................................................................... 189
B. Latar Belakang Munculnya Gerakan Pembaharuan (Tajdid) dalam
Islam …………………………………………………………………………………. 190
C. Tujuan Pembaharuan dalam Islam ........................................... 192
D. Ijtihad Sebagai Kunci Pembaharuan dalam Islam ..................... 193
E. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam ............... 193
F. Pengaruhnya Terhadap Pembaharuan di Indonesia ................... 198
G. Gerakan Pembaharuan di Indonesia ........................................ 200
Pertanyaan ................................................................................. 203

BAB VIII GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM


DI INDONESIA ....................................................... 205
A. Pendahuluan .......................................................................... 205
B. Sebelum Abad ke-20 ............................................................... 206
C. Abad ke-20 ............................................................................. 210
D. Beberapa Aspek Pembaharuan ................................................ 211
E. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kontemporer ................ 220
Pertanyaan ................................................................................. 223

Daftar Pustaka .......................................................................... 225


BAB I

ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI DALAM ISLAM

A. Pendahuluan

Latar belakang munculnya aliran teologi dalam Islam awal mulanya, disebabkan
karena masalah politik, bukan dalam masalah teologi. Permasalahan theologi
tumbuh dan menguat justru dimulai dari permasalahan politik. Hal ini semakin
terang apabila disusur dari sejarahnya yang bersumber dari sejarah Islam, yaitu
awal mula pertumbuhan Islam setelah Nabi wafat.

Sewaktu Nabi Muhammad Saw mengawali penyebaran tuntunan yang diterima


dari Allah Swt di kota Mekah, tatanan kemasyarakatan yang terdapat di dalamnya
berada dalam kekuasaan pimpinan kabilah Quraisy. Kemudian pada
perkembangan selanjutnya, gerakan perdagangan Timur dan Barat berpindah
dari: Teluk Persia-Eufrat, Laut Merah-Sungai Nil; ke Yaman, Hijaz dan Syria.
Pertempuran yang terjadi antara Byzantium dan Persia sepanjang tahun tidak
menguntungkan bagi perdagangan di bagian Utara. Demikian juga di Mesir
mengalami perlemahan perdagangan yang disebabkan oleh pertempuran yang
terjadi antara Byzantium dan Persia. Jalan perdagangan di Lembah Neil
mengalami kekacauan, praktek perekonomian tidak tumbuh dan mengalami
gangguan.

Jalur perdagangan Timur-Barat berpindah ke Semananjung Arabia, kota Mekah


menempati posisi yang strategis, berada di tengah-tengah jalur perdagangan itu.
Para pedagang berjalan ke Selatan (Yaman) untuk membeli barang dagangan
yang datang dari Timur, lalu menjauhinya ke Utara yaitu ke Syria. Kondisi ini
sesuai dengan bunyi QS. Al-Quraisy (106): 2.

∩⊄∪ É#ø‹¢Á9$#uρ Ï!$tGÏe±9$# s's#ômÍ‘ ö….


Posisi Mekah yang menjadi lintasan perdagangan, maka menjadi kaya. Di kota
Mekah perdagangan dikuasai oleh Suku Quraisy sebab kekuasaan dan

1
pemerintahan di tangan mereka. Tata pemerintahan dikendalikan oleh Majelis
Suku yang terdiri dari para kepala suku, dipilih berdasarkan kekayaan dan
pengaruhnya di masyarakat.

Realitanya, kekayaan menempati posisi yang paling dominan di masyarakat


Mekah. Para pedagang yang kaya memiliki posisi yang tinggi, mereka memilihara
kepentingan-kepentingan mereka. Ikatan sosial di antara mereka sangat kuat,
pengaruh ini terlihat di dalam kesatuan mereka melawan Nabi Muhammad Saw.
Kondisi ini menyebabkan Nabi Saw beserta para pengikutnya terpaksa terusir dari
kota Mekah pergi ke Yatsrib pada tahun 622 M. Nabi Muhammad Saw dikenal
orang yang tidak kaya, termasuk suku Quraisy, sederhana sekali dalam hidupnya,
di masa kecilnya menggembala domba.

Kondisi masyrakat Yatsrib (Madinah) berbeda dengan masyarakat Mekah. Sebab,


kota Yatsrib bukanlah kota dagang, tapi kota pertanian. Masyarakatnya beraneka
ragam, terdiri dari suku Arab dan suku Yahudi. Suku Arabnya terdiri dari suku Aus
dan Khajraj. Kedua suku tersebut selalu terjadi persaingan dan perselisihan dalam
perebutan sebagai kepala masyarakat Madinah. Kondisi ini menjadikan mereka
dalam perselisihan dan pergesekan terus-menerus, sehingga mereka
mengharapkan adanya seorang hakam, yaitu perantara dan penengah yang tidak
berat sebelah.

Pada waktu pemimpin kedua suku Aus dan Khajraj berziarah haji ke Mekah,
mereka tahu kedudukan Nabi Muhammad Saw dalam satu pertemuan dengan
beliau, dan memohon agar beliau pindah ke Yatsrib. Begitu kerasnya perlawanan
yang dilakukan para pedagang Mekah, Nabi Saw akhirnya berhijrah ke Yatsrib.
Setelah Nabi Saw pindah ke Yatsrib, maka kota ini diberi nama Madinah Nabi.
Beliau sebagai penengah antara suku Aus dan Khajraj yang berselisih itu. Secara
bertahap kehadiran Nab Saw dapat mempersatukan kedua suku tersebut, lebih-
lebih setelah mereka masuk Islam, kecuali bangsa Yahudi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa posisi Nabi Muhammad Saw
ketika di Mekah bagi para pengikutnya, hanya sebagai pemimpin agama, bukan
sebagai pemimpin politik (kepala pemerintahan). Sebaliknya, di Madinah fungsi

2
Nabi Saw mempunyai dua posisi, pertama sebagai pemimpin keagamaan sebagai
nabi, kedua adalah sebagai pemimpin kenegaraan, kepala pemerintahan. Nabi
Saw lah yang memulai menegakkan kekuasaan pilitik yang berkuasa di Madinah.
Sebelum itu, tidak ada kesatuan pemerintahan yang mengatur politik di kota itu.

Tatkala beliau meninggal dunia pada tahun 632 M, wilayah kekuasaan Madinah
meliputi daerah yang luas, yaitu hampir seluruh Semenanjung Arabia.
Pemerintahan Islam ketika itu, sebagaimana yang digambarkan oleh W.M. Watt,
meliputi kumpulan suku-suku bangsa Arab, berada di bawah ikatan dan
persekutuan dengan Nabi Saw dalam berbagai bidang. Ikatan itu bukan saja
dengan masyarakat Madinah, tetapi juga lebih inti lagi dengan masyarakat Mekah.
(Muhammad Propeht and Statesmen, Oxford University Press, 1986: 222).

Menurut R. Strothman, Islam sendiri di samping menjadi sistem agama juga


merupakan sistem politik. Sementara itu, Nabi Muhammad bukan sekedar
pemimpin Negara, tapi juga sebagai Rasul. (Shorter Encyclipedia of Islam, Leiden,
E.J. Brill, 1961: 543).

Oleh karena itu, sepeninggalnya Nabi Saw pada masyarakat Madinah harus
memikirkan pengganti beliau sebagai kepala pemerintahan yang baru terbentuk
di kota itu. Perhatian utama mereka adalah memikirkan penggantinya, sebelum
jenazah Nabi Saw dikuburkan. Kemudian muncullah permasalahan tentang
pengganti Nabi Saw sebagai kepala pemerintahan, yaitu persoalan khilafah.
Fungsinya sebagai Nabi dan Rasul, tidak bisa digantikan, tetapi sebagai kepala
Negara mesti segera di gantikan untuk menjaga keutuhan Negara Madinah.

Abu Bakar-lah yang disetujui masyarakat Islam waktu itu pengganti atau khalifah
Nabi Saw sebagai pemimpin Negara. Secara berturut-turut kemudian Abu Bakar
digantikan oleh Umar bin Khathab dan Umar bin Khathab digantikan oleh Utsman
bin Affan.

Latar belakang Utsman adalah seorang pedagang Quraisy yang kaya raya.
Kerabat Utsman adalah kaum bangsawan yang kaya di Mekah, sebab pengalaman
mereka dalam berdagang. Mereka ahli di bidang administrasi. Pada saat menjadi

3
khalifah pengetahuan mereka sangat berguna untuk mengatur administrasi
daerah-daerah di luar Arabia di bawah kekuasaan Islam yang bertambah luas.
Karakter Utsman menurut ahli sejarah adalah lemah, kurang tegas dan tidak
mampu menentang ambisi keluarganya. Lebih-lebih mereka pada umumnya kaya
dan berpengaruh. Beberapa wilayah diangkat gubernur dari keluarganya, yang
tunduk pada kekuasaan Islam. Para gubernur yang diangkat oleh Umar bin Al-
Khathab yang dikenal kuat dan tidak mendahulukan kepentingan keluarganya,
diganti oleh Utsman bin Affan.

Kebijakan-kebijakan politik yang diputuskan Ustman ini, menimbulkan


penentangan yang merugikan bagi dirinya. Para sahabat Nabi Saw yang awalnya
mendukung kepemimpinan Utsman secara bertahap meninggalkannya. Sebab,
tindakan Utsman dianggap kurang tepat. Waktu itu timbul motivasi untuk
mereguk keuntungan di air keruh, khususnya dari kelompok yang ingin menguasai
kekuasaan atau ingin tokohnya menjadi Khalifah. Gejolak mulai muncul di daerah-
daerah. Dari Mesir, sebagai reaksi terhadap digantinya ‘Umar Ibnu ‘As oleh
Abdullah bin Sa’ad Ibnu Sarah, salah satu dari kerabat ‘Utsman bin ‘Affan sebagai
Gubernur, timbullah gejolak. Lima ratus pemberontak berkumpul, kemudian
bergerak menuju ke Madinah. Selanjutnya, berkembang suasana di Madinah yang
mengakibatkan terbunuhnya Utsman bin ‘Affan oleh para pemberontak dari Mesir.

Terbunuhnya Utsman bin ‘Affan memunculkan pengganti khalifah selanjutnya,


maka diangkatlah Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah keempat, sebagai calon
terkuat. Kondisi itu mendapatkan tantangan dari pemuka-pemuka umat, terutama
Thalhah dan Zubeir dari Mekah yang mendapat dukungan dari ‘Aisyah. Tantangan
ini dapat dipatahkan oleh Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran Jamal yang terjadi
di Irak pada tahun 656 M. Thalhah dan Zubair terbunuh sedangkan ‘Aisyah dikirim
kembali ke Mekah.

Tantangan selanjutnya datang dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan Keluarga


yang dekat dengan ‘Utsman. Seperti halnya Thalhah dan Zubeir, ia pun tidak
mengakui ‘Ali sebagai Khalifah. Ia menuntut kepada ‘Ali bin Abi Thalib agar
menghukum pembunuh-pembunuh Utsman, bahkan ia menuduh Ali bin Abi Thalib

4
ikut campur tangan dalam soal pembunuhan tersebut. Menurut Al-Thabari dalam
Tarikh al-Thabari (1963: 7) salah seorang pemuka pemberontak dari Mesir yang
datang ke Madinah adalah Muhammad Ibnu Abi Bakar, adalah anak angkat Ali bin
Abi Thalib, yang kemudian diduga mempunyai andil yang besar terhadap
terbunuhnya Utsman bin ‘Affan. Ali bin Abi Thalib tidak mengambil tindakan tegas
terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad ibnu Abi Bakar
diangkat menjadi Gubernur Mesir.

Pertempuran pun terjadi antara dua golongan ini di Siffin. Tentara Ali bin Abi
Thalib dapat mematahkan kekuatan tentara Mu’awiyah sehingga lari dari medan
tempur. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah, Amr bin ‘Ash yang terkenal sebagai
orang yang licik, minta berdamai dengan mengangkatkan Al-Quran ke atas.
Qurra` yang berada di pihak Ali mendesak Ali, supaya menerima tawaran itu, dan
dicarilah jalan damai dengan mengadakan arbitrase. Jalan yang dipilih untuk
melaksanakan arbitrase (usaha perantara dalam menyelesaikan sengketa) adalah
mengutus dua orang perwakilan dari masing-masing pihak yang bersengketa, Amr
bin ‘Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali bin Abi
Thalib. Dalam pertemuan keduanya, kelicikan Amr bin ‘Ash mengalahkan
keshalehan Abu Musa Al-Asy’ari.

Sejarah mengungkapkan, bahwa antara keduanya terdapat kesepakatan untuk


mencopot sumber dari sengketa itu. Kedua-duanya sepakat untuk mencopot Ali
bin Abi Thalib dan Mu’awiyah terlebih dahulu, sebagai penyebab terjadinya
perpecahan ummat, setelah itu pengangkatan Khalifah diserahkan kepada pilihan
ummat. Sebuah riwayat menyebutkan Abu Musa Al-Asy’ari didaulat terlebih dahulu
untuk mengumumkannya, sebagai orang yang tertua untuk mencopot kedua
tokoh yang bertentangan itu kepada orang ramai. Berbeda dengan kesepakatan
awal, kemudian Abu Musa Al-Asy’ari mencopot Ali bin Abi Thalib saja, kemudian
pada gilirannya Amr bin ‘Ash hanya mengangkat Mu’awiyah dan menolak untuk
menjatuhkannya.

Peristiwa ini, bagaimanapun merugikan pihak Ali bin Abi Thalib dan
menguntungkan bagi Mu’awiyah. Sebenarnya, yang legal sebagai Khalifah,

5
hanyalah Ali bin Abi Thalib, sedangkan Mu’awiyah bukanlah Khalifah, tetapi
Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah.
Kesepakatan tersebut seakan-akan mendudukkan Mu’awiyah sebagai Khalifah
yang sah, setingkat dengan kedudukan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang
sah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukan Mu’awiyah telah menjadi Khalifah
yang resmi menggantikan kedudukan Ali bin Abi Thalib. Keputusan arbitrase ini
tidak mengherankan, kalau ditolak oleh Ali bin Abi Thalib, bahkan beliau tidak mau
meletakkan jabatan sampai mati terbunuh di tahun 661M.

Sikap Ali bin Abi Thalib untuk menerima arbitrase merupakan “kelicikan” Amr bin
‘Ash. Dalam kondisi terpaksa dan tidak disetujui, sebagian dari tentara Ali bin Abi
Thalib menyetujuinya. Mereka yang tidak setuju berpendapat bahwa kekhalifahan
tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah
dengan hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran. Semboyan mereka lâ hukma
illâ lillâh (tidak ada hukum kecuali dari hukum Allah Swt), atau lâ hakama illâ l-llâh
(tidak ada perantara selain dari Allah Swt).

B. Aliran Khawarij

Kaum Khawarij adalah terdiri dari pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang
meninggalkan barisannya. Sebab, tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib
yang menerima arbitrase, sebagai jalan untuk menyelesaikan sengketa
kekhalifahan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Nama Khawarij berasal
dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu disandangkan kepada mereka,
karena mereka keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Sekalipun demikian, ada yang
berpendapat bahwa pemberian nama itu didasarkan pada ayat 100 QS. Al-
Nisa`(4), yang menyebutkan: “… keluar dari rumah lari kepada Allah Swt dan
rasul-Nya…”. Oleh karena itu, kaum Khawarij memandang diri mereka, sebagai
orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya, untuk mengabdikan
diri kepada Allah Swt dan rasul-Nya. (Harun Nasution, 1986: 11).

6
Lebih lanjut mereka menyebut kelompoknya dengan nama “Surah”. Nama ini
berasal dari kata yasri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-
Baqarah (2): 207, yang artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang
mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah...”. Maksudnya, mereka
adalah orang yang bersedia mengorbankan diri untuk Allah Swt. Kemudian nama
lain yang disandarkan kepada mereka ialah Haruriyah, dari kata Harura, suatu
desa yang berada di dekat kota Kufah, di Irak. Di lokasi inilah, mereka memilih
Abdullah Ibnu Abi Wahb Al-Rasibi menjadi imam mereka sebagai ganti dari Ali bin
Ibn Abi Thalib. Orang-orang yang pada waktu itu berkumpul untuk memilih
pimpinan mereka berjumlah dua belas ribu orang. Kekuatan mereka tatkala
bertempur dengan kekuatan Ali, mengalami kekalahan besar. Akan tetapi akhirnya
seorang khawarij bernama Abdur Rahman Ibn Muljam dapat membunuh Ali.

Sekalipun telah mengalami kekalahan besar, kaum Khawarij menyusun barisan


kembali dan melanjutkan perlawan terhadap pemerintahan Islam yang resmi, baik
di zaman Dinasti Bani Umayyah ataupun di zaman Dinasti Abbasiyyah. Para
penguasa pada saat itu, mereka anggap telah menyimpang dari Islam dan oleh
karena itu harus dilawan dan dijatuhkan.

Dalam aspek politik mereka mempunyai faham yang berlawanan dengan faham
yang berkembang pada waktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, sebab
menurut mereka kepala negara, imam atau khalifah harus dipilih secara bebas
oleh seluruh ummat Islam. Orang yang berhak menjadi khalifah, imam atau
kepala negara, bukanlah anggota suku bangsa Quraisy saja, bahkan bukan hanya
orang Arab saja, tetapi siapa saja yang memiliki kemampuan asal orang Islam,
meskipun ia hamba sahaya yang berasal dari Afrika. Pemimpin atau khalifah yang
terpilih mengemban terus jabatannya selama ia bersikap adil dan menjalankan
syari’at Islam. Akan tetapi, andaikata ia menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, ia
wajib dijatuhkan atau dibunuh.

7
C. Aliran Murji`ah

Persoalan utama lahirnya aliran Murji`ah adalah persoalan politik, tegasnya


persoalah khilafah yang membawa perpecahan di kalangan ummat Islam setelah
Usman bin ‘Affan mati terbunuh. Kondisi ini sama seperti halnya lahirnya Aliran
Khawarij karena masalah politik. Kaum Khawarij pada mulanya adalah penyokong
Ali bin Abi Thalib, akan tetapi berbalik menjadi musuhnya. Pendukung Ali bin Abi
Thalib pun bertambah keras dan kuat membela Ali, kelompok ini dikenal dengan
nama Syi’ah. Kaum Khawarij dan Syi’ah sekalipun merupakan dua golongan yang
bermusuhan, tetapi sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah dengan
motif yang berlainan. Kalau kelompok Khawarij menentang Dinasti Bani Umayyah
karena mereka memandang menyimpang dari ajaran Islam. Sedangkan golongan
Syi’ah melawan mereka, karena memandang mereka telah merampas kekuasaan
Ali dan keturunannya.

Suasana pertikaian semacam di atas, telah menimbulkan inspirasi timbulnya suatu


golongan yang baru yang ingin bersikap netral tidak ingin ikut campur dalam
praktik kafir mengkafirkan. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertikai itu
merupakan orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang
benar. Sebab itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar
atau siapa yang salah. Golongan Murji`ah memandang lebih baik menunda
(arja`a) penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan (kiamat) di depan Tuhan.

Arja`a selanjutnya, juga mengandung arti memberi pengharapan. Dengan


demikian arti lain dari Murji`ah adalah golongan yang berpendapat bahwa orang
Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir, tetapi tetap Mukmin dan tidak
akan kekal dalam neraka, memberi pengharapan bagi mereka yang berbuat dosa
besar untuk mendapat rahmat Allah Swt.

D. Aliran Qadariyah dan Jabariyah

Allah Swt adalah pencipta dan pengatur alam semesta, termasuk di dalamnya
manusia. Selanjutnya Allah Swt bersifat Mahakuasa dan memiliki Kehendak yang

8
bersifat mutlak. Kemudian timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai
ciptaan Allah Swt, bergantung pada kehendak dan kekuasaan-Nya yang mutlak
dalam menentukan perjalanan hidupnya ? Ataukah menusia terikat sepenuhnya
pada kehendak dan kekuasaan-Nya yang mutlak ?

Tanggapan-tanggapan yang muncul dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di


atas, kaum Qadariyah berpendapat, bahwa manusia mempunyai kemerdekaan
dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut aliran Qadariyah
manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah (kekuatan) untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar (kadar) atau ketentuan Allah, tetapi diberi keleluasan untuk berbuat
dan memilih. Oleh karena itu istilah Inggrisnya, faham ini dikenal dengan nama
free will dan free act.

Sebaliknya, kaum Jabariyah berpendapat, bahwa manusia tidak memiliki


kemerdekaan untuk menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam
faham ini terikat pada kehendak Allah Swt yang mutlak. Nama Jabariyah berasal
dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Aliran ini berpendapat, bahwa
manusia mengerjakan perbuatannya dan menentukan pilihannya dalam keadaan
terpaksa. Dalam istilah Inggris aliran ini disebut fatalisme atau predestination.
Perbuatan dan pilihan manusia telah ditetapkan di lauh mahfuz oleh qadha dan
qadar Allah Swt. Kehidupan manusia tak pelak bagaikan wayang, yang
menentukan pilihan dan perbuatan adalah Allah Swt.

Aliran Qadariyah tidak dapat diketahui dengan pasti kapan timbul dalam sejarah
dan teologi Islam. Akan tetapi menurut keterangan ahli teologi Islam, faham
Qadariyah tampaknya dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhaini. Ia terbunuh dalam
pertempuran dengan Al-Hajaj pada tahun 80 H.

Sebaliknya, Aliran Jabariyah kelihatannya diprakarsai buat yang pertama kali


dalam sejarah teologi Islam oleh Ja’d Ibn Dirham. Orang yang berjasa besar untuk
menyiarkannya adalah Al-Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Menurut Jahm,

9
manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa, manusia tidak
mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai
pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada
kekuasan, kemauan, dan pilihan sendiri. Pada masa Bani Umayah perlawanan
Jahm dipatahkan, ditangkap dan kemudian dihukum mati pada tahun 131 H.

E. Aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah Waljama’ah


1. Sejarah dan Latar Belakangnya
Aliran Mu’tazilah adalah aliran yang membawa persoalan persoalan teologi
lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang
dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak
memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum Rasionalitas Islam”.
(Harun Nasution, 1986:38)
Berbagai analisa diajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka.
Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘Ilm Al-Kalam berpusat pada peristiwa
yang terjadi antara Wasil Ibn Atha serta temanya ‘Amr Ibn Ubaid dan Hasan
Al-Basri di Basrah. Waasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan
Hasan Al-Basri di Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seseorang bertanya
mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana
diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir, sedangkan kaum Murji’ah
memandang mereka Mukmin. Ketika Hasan Al-Basri masih berfikir, Wasil
mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “saya berpendapat
bahwa orang berdosa besar, bukanlah mukmin dan bukan pula kafir”.
Kemudian berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri pergi ke tempat lain
di Masjid, disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan
Al-Basri mengatakan: Wasil menjauhkan diri dari kita (‘itazala’ anna).” Dengan
demikian ia dan teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum
Mu’tazilah. (Lihat al-Milal, 1/48)
Menurut Al-Bagdadi, Wasil dan temannya, ‘Amr ibn ‘Ubaid diusir oleh Hasan Al-
Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai
persoalan qodar dan orang-orang yang berdosa besar. (al-farq, 20-21)

10
Al-Mas’ud memberikan keterangan lain yaitu Mu’tazilah mengambil
posisi antara kedua posisi itu (mukmin dan kafir) yakni Al-Manzilah bainal
Manzilatain. (Ibid,76)
karena kaum Mu’tazilah membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam
arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir. (fajr al-Islam, hlm. 290 )
Jadi kata “I’tazala” dan “Mu’tazilah” telah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum
peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri, dalam arti golongan yang tidak mau
ikut campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka. (golongan
Murji’ah. supra, hlm. 20)
C.A.Nallino, seorang orientalias Italia mempunyai pendapat bahwa golongan
Mu’tazilah kedua memiliki hubungan erat dengan golongan Mu’tazilah pertama.
(‘Adb al-Rahman Badawi, 1965 :185)
Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang
sulit. Berbagai pendapat diajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat
antara meraka. Yang jelas ialah bahwa nama Mu’tazilah,
sebagai designate bagi aliran teologi rasional dan liberal Islam timbul sesudah
peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri di Basrah dan bahwa lama sebelum
terjadinya peristiwa Basrah itu, telah pula terdapat kata-kata I’tazala al-
Mu’tazilah. Tetapi kalau kita kembali ke ucapan-ucapan kaum Mu’tazilah itu
sendiri, akan kita jumpai keterangan-keterangan yang dapat memberi
kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada
golongan mereka. (Nasy’ah, hlm. 430/6)
Selanjutnya mereka menerangkan adanya hadist Nabi yang mengatakan
bahwa umat akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan
terbaik seluruhnya dari golongan Mu’tazilah. Bahkan menurut Al-Murtada kaum
Mu’tazilah sendirilah, dan bukan orang yang memberikan nama itu kepada
golongan mereka. (fi ‘ilm al-kalam, 75/6)

2. Lahirnya Aliran Mu’tazilah


Persoalan teologis yang cukup hangat diperbincangkan oleh para ulama pada
penghujung abad I Hijriah ialah tentang status orang mukmin yang melakukan

11
dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau menjadi kafir. Persoalan tersebut
kemudian muncul pula di majelis taklim yang dipimpin oleh Hasan Al-Basri
(21-110 H/642-728 M) di masjid Basrah.
Masalah status mukmin yang berdosa besar tersebut muncul di forum ketika
dipertanyakan oleh seorang peserta kepada Hasan Al-Basri di pengajiannya. Di
saat Hasan Al-Basri masih berfikir untuk menjawab, secara spontan salah
seorang peserta pengajian yang bernama Washil ibn Atha (80-131 H/699-749
M) memberikan jawaban. Menurut pendapat saya katanya, orang mukmin
yang berbuat dosa besar, maka statusnya tidak lagi mukmin sempurna, namun
juga tidak kafir sempurna. Dia berada di antara dua posisi yang disebutnya al-
Manzilah bain al-Manzilatain (tempat di antara dua tempat). Sesudah
mengemukakan pendapat tersebut, Wasil ibn Atha langsung meninggalkan
forum pengajian Hasan Al-Basri dan diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr
ibn Ubaid. Mereka langsung menuju salah satu tempat lain di dalam masjid
tersebut.
Melihat tindakan Wasil dan temannya itu, Hasan Al-Basri pun berkomentar
dengan kata : I’tazala ‘Anna Washil, (Wasil telah memisahkan diri dari kita).
Semenjak itulah Wasil dan kawannya-kawannya dinamai dengan sebutan
Mu’tazilah. Peristiwa yang diceritakan di atas, dinilai oleh banyak ahli sejarah
sebagai faktor utama penyebab lahirnya aliran Mu’tazilah. (Al-Syahrastani,
1961:48).
Ada pula versi lain, sebagaimana dijelaskan oleh al-Baghdadi bahwa Wasil dan
temannya ‘Amr ibn ‘Ubaid diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya, karena
adanya perbedaan pendapat antara mereka tentang masalah qadar dan orang
mukmin yang berdosa besar. Keduanya kemudian menjauhkan diri dari Hasan
Al-Basri dan mereka pun disebut Aliran Mu’tazilah. karena pendapat mereka
memisahkan diri dari pendapat umat Islam pada umumnya tentang mukmin
yang berdosa besar. (Al-Baghdadi, tt.:20).
Istilah Mu’tazilah sebenarnya sudah pernah muncul satu abad sebelum
munculnya Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil ibn Atha. Sebutan Mu’tazilah
ketika itu merupakan julukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat dengan

12
urusan politik, dan hanya menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata.
(Ahmad Amin, 1975:7).
Secara khusus sebutan Mu’tazilah itu ditujukan kepada mereka yang tidak mau
ikut peperangan, baik perang Jamal antara pasukan Khalifah Ali ibn Abi Thalib
dengan pasukan Siti Aisyah, maupun perang Siffin antara pasukan Khalifah Ali
ibn Abi Thalib melawan pasukan Mu’awiyah. Kedua peperangan ini terjadi
karena persoalan politik. (Ahmad Amin, 1969:290).
Mengenai sebab-sebab dinamakan Mu’tazilah, Ahmad Amin mengemukakan
tiga pendapat yaitu :
a. Dinamakan Mu’tazilah karena Wasil ibn Atha dan Amr ibn Ubaid
memisahkan diri dari majelis taklim yang dipimpin oleh Hasan Al-Basri di
masjid Basrah. Wasil ibn Atha memisahkan diri secara fisik (I’tazala) dari
pengajian Hasan Al-Basri. Orang yang memisahkan diri dinamakan
Mu’tazilah.
b. Dinamakan Mu’tazilah karena pendapat mereka menjauhi pendapat lain
yang berkembang waktu itu. Pendapat Wasil ibn Atha, bahwa pelaku dosa
besar tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir (al-manzilah bain al-
manzilatain) telah menjauhi atau memisahkan dengan pendapat golongan-
golongan lainnya. Jumhur ulama mengatakan tetap mukmin, Khawarij
mengatakan kafir, dan Hasan Al-Basri berpendapat tetap mukmin, namun
fasik. (Ilmu Ushuluddin Vol. 12, No. 1 92)
c. Dinamakan Mu’tazilah adalah karena pelaku dosa besar berada antara
mukmin dan kafir, sama halnya memisahkan diri atau menjauhkan diri dari
orang mukmin yang sempurna.
Ketiga pendapat di atas mengacu kepada sebuah peristiwa yang melibatkan
Wasil ibn Atha dan Hasan Al-Basri dalam pengajian di masjid Basrah. Peristiwa
tersebut menurut Ahmad Amin semata-mata bertema agama, bukan bertema
politik. (Ahmad Amin, 288-289).
Dari paparan di atas, jika Mu’tazilah pertama muncul berkaitan dengan
masalah politik, maka Mu’tazilah yang kedua, yang muncul satu abad

13
kemudian, lebih disebabkan karena persoalan agama. Mu’tazilah inilah yang
kemudian menjadi salah satu aliran Kalam dalam pemikiran Islam.

3. Tokoh-tokok Pendukung Aliran Mu’tazilah


Dalam perkembangannya, aliran Mu’tazilah tidak hanya berpusat di kota
Basrah sebagai kota kelahirannya, tetapi juga berpusat di kota Bagdad, yang
merupakan ibu kota pemerintahan. Karena itu, jika berbicara tentang tokoh
pendukungnya maka kita harus melihatnya dari kedua kota tersebut.
Tokoh-tokoh yang ada di Basrah :
a. Wasil ibn Atha (80-131 H). Ia dilahirkan di Madinah dan kemudian
menetap di Basrah. Ia merupakan tokoh pertama yang melahirkan aliran
Mu’tazilah. Karenanya, ia diberi gelar kehormatan dengan sebutan Syaikh
al-Mu’tazilah wa Qadimuha, yang berarti pimpinan sekaligus orang tertua
dalam Mu’tazilah. (Muhammad Ali Shabih, 1958:74-76).
b. Abu Huzail Muhammad ibn Huzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al-
Allaf. Ia lahir di Basrah tahun 135 dan wafat tahun 235 H. Ia lebih populer
dengan panggilan al-Allaf karena rumahnya dekat dengan tempat penjualan
makanan ternak. Gurunya bernama Usman al-Tawil salah seorang murid
Washil ibn Atha. (Ali Mushthafa al-Ghuraby: 148).
c. Ibrahim ibn Sayyar ibn Hani al-Nazham. Tahun kelahirannya tidak
diketahui, dan wafat tahun 231 H. Ia lebih populer dengan sebutan Al-
Nazham.
d. Abu Ali Muhammad ibn Ali al-Jubba’i. Dilahirkan di Jubba sebuah kota
kecil di propinsi Chuzestan Iran tahun 135 H dan wafat tahun 267 H.
Panggilan akrabnya ialah Al-Jubba’i dinisbahkan kepada daerah
kelahirannya di Jubba. Ia adalah ayah tiri dan juga guru dari pemuka
Ahlussunnah Wal Jamaah Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
Selanjutnya tokoh-tokoh yang berdomisili di Bagdad adalah :
a. Bisyir ibn al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M). Ia merupakan pendiri
Mu’tazilah di Bagdad.

14
b. Abu al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H/912 M). Ia pemuka yang
mengarang buku Al-Intishar yang berisi pembelaan terhadap serangan ibn
Al-Rawandy.
c. Jarullah Abul Qasim Muhammad ibn Umar (467-538 H/1075-1144 M).
Ia lebih dikenal dengan panggilan al-Zamakhsyari. Ia lahir di Khawarazm
(sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Ia tokoh yang telah menelorkan
karya tulis yang monumental yaitu Tafsir Al-Kasysyaf.
d. Abul Hasan Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn Abdullah al-Hamazani al-
Asadi. (325-425 H). Ia lahir di Hamazan Khurasan dan wafat di Ray
Teheran. Ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Qadi Abdul Jabbar. Ia hidup
pada masa kemunduran Mu’tazilah. Kendati demikian ia tetap berusaha
mengembangkan dan menghidupkan faham-faham Mu’tazilah melalui karya
tulisnya yang sangat banyak. Di antaranya yang cukup populer dan
berpengaruh adalah Syarah Ushul al-Khamsah dan Al-Mughni fi Ahwali Wa
al-Tauhid..
Menurut analisis Yoesoef Sou’yb, antara kedua daerah tersebut terdapat
beberapa perbedaan karakteristik, yaitu :
a. Pemuka Mu’tazilah di Basrah cenderung menghindari jabatan birokrasi di
pemerintahan maupun di pengadilan. Dengan demikian mereka dapat lebih
fokus pada bidang agama dan keilmuan dan dapat mengemukakan
pemikiran secara leluasa, tanpa terikat dengan kepentingan pemerintah
atau pihak lainnya. Sedangkan di Bagdad, mereka menggunakan
kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan dengan tujuan untuk
mendapat dukungan sekaligus perlindungan.
b. Pemuka di Basrah menyebarkan faham tanpa pemaksaan dan kekerasan,
melainkan lebih banyak menanti kesadaran umat untuk mengikutinya.
Sedangkan di Bagdad, terkadang berusaha secara sungguh-sungguh dan
melakukan kekerasan agar masyarakat mengikuti aliran Mu’tazilah. (Joesoef
Sou’yb, 1982:265).

15
c. Pemuka di Basrah tidak begitu dipengaruhi oleh filsafat. Sedangkan pemuka
di Bagdad lebih banyak dipengaruhi filsafat, sehingga mempengaruhi pola
pikir mereka ke arah rasional dan liberal. (A. Hanafi:70).
Walaupun terdapat perbedaan karakteristik antara kedua daerah tersebut,
namun secara umum, teologi Mu’tazilah telah memperlihatkan corak rasional
dan liberal. Hal ini tidak terlepas dari metode pemikiran yang mereka gunakan
dalam memahami serta memecahkan masalah-masalah teologi.

4. Doktrin-Doktrin Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah mempunyai lima doktrin pokok yang populer dengan sebutan
al-Ushul al-Khamsah. Kelima doktrin itu adalah al-Tauhid, al-Adl, al-Wa’d wa al-
Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an
al-Munkar.
a. Al-Tauhid (Kemaha Esa-an Tuhan).
Tuhan dalam faham mereka, akan betul-betul Maha Esa, hanya kalau
Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia.
Oleh karena itu mereka menolak faham anthropomorphisme. Seperti yang
diketahui faham ini menggambarkan Tuhan dekat menyerupai Mahluk-Nya.
(‘Abd al-Jabbar Ahmad, tt. : 196). Karena sifat ini yang betul-betul hanya
ada pada tuhan, maka ‘Abdul al-Jabbar senantiasa memakai kata al-Qodim,
dan bukan kata-kata lain separti designatie Tuhan).
Faham ini mendorong kaum Mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan,
yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiri diluar zat Tuhan. Ini tidak
berarti bahwa Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh kaum Mu’tazilah. Kemudian
kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan kedalam 2 golongan :
1) Sifat-sifat yang merupakan Esensi Tuhan dan disebut sifat Zatiah. Sifat-
sifat ini seperti wujud, kekekalan dimasa lampau (Al-qidam), hidup (al-
hayat), kekuasaan (al-qudroh).
2) Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan yang disebut sifat
fi’liyah. sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti

16
hubungan antara Tuhan dengan Mahluk-Nya, seperti kehendak (Al-
Iradah), sabda (kalam), keadilan (Al-‘Adl), dst.
b. Al-‘Adl (keadilan Tuhan)
ada hubungannya dengan At-Tauhid, kalau dengan At-Tauhid kaum
Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan dengan mahluk,
maka dengan Al-‘Adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari
persamaan dengan perbuatan mahluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil,
Tuhan tidak bisa berbuat Zalim. Pada mahluk terdapat perbuatan zalim.
c. Al-Wa’d wa Al-Wai’d (Janji dan Ancaman)
Tuhan dapat disebut adil, jika Dia tidak memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik dan tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan
menghendaki supaya orang yang berbuat salah diberi hukuman dan orang
yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan tuhan.
d. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain
Posisi diantara dua posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini,
orang yang berdosa besar bukan kafir, bukan pula mukmin. Kata mukmin
dalam pendapat Wasil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak
dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat
kafir, tidak pula dapat diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besar, dia
masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik.
Orang serupa ini jika meninggal tanpa tobat, akan kekal dalam neraka,
hanya siksaan yang di terimanya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
e. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap sebagai
kewajiban, bukan hanya oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi oleh golongan
umat Islam lainnya. Perbedaan yang terdapat antara golongan-golongan itu
adalah pelaksanaannya. Kaum Mu’tazilah berpendapat, kalau dapat, cukup
dengan seruan, tetapi kalau tidak dapat dengan seruan, dengan
menggunakan kekerasan. Sejarah membuktikan, bahwa Mu’tazilah pernah
memakai kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka.

17
Ahmad Amin sendiri berpendapat, bahwa kaum Mu’tazilah adalah golongan
Islam yang pertama, memakai senjata (argumentasi logika) yang dipergunakan
lawan-lawan Islam dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan materialistis,
dalam menangkis serangan-serangan terhadap Islam pada awal pemerintahan
kerajaan Daulah Abbasiyah.
Ahmad Amin mengatakan, bahwa sebenarnya hanya merekalah yang memikul
beban itu. (Jilid III. Tt.:206).
Hanya Allah yang mengetahui bahaya apa yang akan menimpa umat Islam,
jika sekiranya kaum Mu’tazilah tidak membela Islam diwaktu itu dan
malapetaka terbesar yang menimpa umat Islam adalah lenyapnya Kaum
Mu’tazilah.
Menurut Al-Khayyat, orang yang diakui menjadi pengikut Mu’tazilah, hanyalah
orang yang mengakui dan menerima kelima dasar itu. Orang yang menerima
hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang
Mu’tazilah.

5. Perkembangan Mu’tazilah
Menurut Al-Malatti, Wasil mempunyai dua murid penting yaitu Bisyr Ibn Sa’id
dan Abu Usman Al-Za’farani. Dari kedua murid inilah dua pemimpin lainnya,
Abu Al-Huzail Al-‘Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar menerima ajaran-ajaran Wasil.
Bisyr sendiri kemudian menjadi pemimpim Mu’tazilah cabang Bagdad.
Al-Huzail tetap di Basrah dan menjadi pemimpin ke-2 dari cabang Basrah
setelah Wasil. Ia lahir pada tahun 135 H dan wafat pada tahun 235 H dan
banyak berhubungan dengan filsafat Yunani. Pengetahuannya tentang filsafat
melapangkan jalan baginya untuk menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara
teratur. (lihat al-milal, 1/46)
Salah seorang dari murid Al-Huzail, yang kemudian menjadi pemuka
Mu’tazilah, bernama Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani Al-Nazzam. Literatur
mengenai beliau, memberikan gambaran tentang dirinya yang memiliki
kecerdasan yang lebih tinggi daripada gurunya Abu Al-Huzail. (Al-Milal, 1/54)

18
di zaman modern dan kemajuan Ilmu pengetahuan serta teknologi sekarang,
ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional itu telah, mulai timbul kembali
di kalangan umat Islam, terutama di kalangan kaum terpelajar. Secara tidak
sadar, mereka telah mempunyai faham-faham yang sama atau dekat dengan
ajaran-ajaran Mu’tazilah. Mempunyai faham-faham yang demikian, tidaklah
membuat mereka keluar dari Islam.
Aliran Mu’tazilah masih dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari Islam,
dan dengan demikian, tidak disenangi oleh sebagian umat Islam terutama di
Indonesia. Pandangan tersebut timbul, karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak
percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh dengan
perantara rasio (akal).

6. Corak Pemikiran Mu’tazilah


Mu’tazilah lahir pada akhir masa kekuasaan Bani Umayyah, ketika Hasan Al-
Basri, ditanya untuk memberikan pendapat, tentang suatu masalah yang
menjadi pertentangan antara Khawarij dan Mur’jiah. Kontroversi ini
berhubungan dengan dosa besar yang dilakukan oleh seorang mukmin. Murid
Hasan Al-Basri yang berasal dari Persia, Wasil Ibn Atha al-Gazal, menjawab
bahwa orang yang semacam ini tidak termasuk orang kafir, tetapi akan berada
di derajat antara keduanya (al-manzilah bain al-manzilatain). Wasil menolak
pendapat Hasan Al-Basri, bahwa orang tersebut adalah seorang munafik.
Karena ketidaksetujuannya dengan Hasan Al-Basri, ia kemudian
menghindarkan (diri) di salah satu ujung masjid, dan mulai menerangkan
tentang pendapatnya kepada kelompok teman-temannya yang berkumpul di
sekelilingnya. Ketika mendengar tentang hal ini Hasan Al-Basri berkata, “Wasil
sudah melarikan diri dari kita (I’tazala ‘anna).” Sejak saat itu, pengikut-
pengikut Wasil dinamakan Mu’tazilah atau separatis. (Mujar Ibnu Syarif &
Khamami Zada : 59).
Adapun intisari pandangan-pandangan politis mereka ialah:
a. Menunjuk dan menetapkan seorang imam (menegakkan suatu negara)
menurut mereka, adalah wajib menurut syari’at. Tapi ada pula sebagian

19
dari mereka menganggap, bahwa secara mutlak tidak harus ada seorang
imam, sehingga apabila umat sendiri dapat menegakkan dasar-dasar
keadilan, maka penunjukkan seorang imam adalah perbuatan yang sia-sia
dan tidak perlu.
b. Pemilihan umum diserahkan kepada umat, dan imamah tidak sah kecuali
dengan pemilihan umat.
c. Umat dapat memilih seseorang dari kalangan kaum muslimin yang
dianggap paling baik dan paling memiliki keahlian, tanpa terikat dengan
persyaratan, apakah ia seorang Quraisy atau bukan, atau apakah ia
seorang Arab atau seorang Ajam.
d. Tidak dibolehkan bershalat di belakang seorang imam yang fajir (yang
melakukan dosa keji terutama zina)
e. Amr bil-ma’ruf dan nahi ‘anil munkar termasuk diantara prinsip-prinsip asasi
mereka juga. ( Abul A’la Al-Maududi, 1916: 281-283).

F. Ahli Sunnah Waljama’ah


1. Sejarah dan Latar Belakang
Aliran Ahlu Sunnah Wal Jamaah didirikan oleh Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il
Al-Asy’ari (lahir di Basrah 873 M-935 M wafat di bagdad) dan Abu Mansur
Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidi (lahir di
samarkand .....-944 M). Maka aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah disebut juga
aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiyah, dan sekarang banyak di sebut dengan
golongan Sunni yang artinya yaitu aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Al-Asy’ari adalah penganut aliran Mu’tazilah selama 40 tahun, Al-Asy’ari
kemudian memutuskan untuk keluar karena berbeda faham. Didasarkan atas
mimpinya bertemu dengan nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya,
bahwa mazhab Ahli Hadist-lah yang benar dan mazhab aliran Mu’tazilah yang
salah. Atas ketidak puasannya dengan aliran Mu’tazilah, Al-Asy’ari memutuskan
untuk keluar dari aliran Mu’tazilah.
Nama Asy’ariyah diambil dari seorang tokoh yang nama lengkapnya Abu Hasan
Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin

20
Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Beliau dilahirkan di Basrah, Irak pada tahun
260 H/875 M. Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad dan
wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn ‘Asakir (w. 571 H), ayah Al-Asy’ari adalah seorang berfaham
Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum
wafat ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria
bin Yahya As-Saji untuk mendidik anaknya. Ibunya menikah lagi dengan
seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w. 303 H/915 M),
ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i.
Pada suatu waktu Abu Hasan Al-Asy’ari berdialog dengan gurunya, Al-Jubba’i,
seorang tokoh Mu’tazilah sebagai berikut:
Al-Asy’ari: Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut, mukmin, kafir, dan anak
kecil di akhirat?
Al-Jubba’i: Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surge, yang kafir masuk
neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari: Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di
surga, mungkinkah itu?
Al-Jubba’i: Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena
kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai
kepatuhan yang serupa itu.
Al-Asy’ari: Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan, itu bukanlah
salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan
orang mukmin itu.
Al-Jubba’i: Allah akan menjawab, “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup,
engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu, akan kena
hukuman. Maka, untuk kepentinganmu, Aku cabut nyawamu
sebelum engkau sampai kepada umur tanggungjawab”.
Al-Asy’ari: Sekiranya yang kafir mengatakan, “Engkau ketahui masa depanku,
sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya
Engkau tidak jaga kepentinganku?

21
Di sini Al-Jubba’i terpaksa diam. (Harun Nasution, 1986:66-67).
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu,
secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid Basrah, bahwa
dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan akan menunjukkan
keburukan-keburukannya.
Penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari Mu’tazilah antara lain:
a. Pengakuan Al-Asy’ari yang telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW
sebanyak 3 kali yakni pada malam ke-10, 20, dan 30 pada bulan
Ramadhan. Dalam mimpinya Rasulullah mengingatkannya agar beliau
meninggalkan Mu’tazilah;
b. Al-Asy’ari merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran Mu’tazilah dalam soal
“Al-Salah wa Al-Aslah” yang artinya Tuhan wajib mewujudkan yang baik,
bahkan terbaik untuk kemaslahatan manusia;
c. Menurut Ahmad Mahmud Subhi yang mendorong Al-Asy’ari meninggalkan
Mu’tazilah, disebabkan karena Al-Asy’ari menganut madzhab Imam Syafi’i,
yang konsep teologinya berlainan dengan ajaran Mu’tazilah;
d. Kalau seandainya Al-Asy’ari tidak meninggalkan aliran tersebut, maka akan
terjadi perpecahan di kalangan muslimin yang bisa melemahkan mereka
dan ia khawatir, kalau Al-Qur’an dan Hadits-hadits nabi menjadi korban
faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya itu tidak dibenarkan,
karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran.
Maka melihat keadaan seperti itu, Al-‘Asy’ari mengambil jalan tengah antara
golongan rasionalis dan tekstualis yang ternyata bisa diterima oleh mayoritas
kaum muslimin. Secara ringkas, penggambaran perkembangan aliran Asy’ariah,
setelah abad ke-3 dan ke-4 Hijriah, Mu’tazilah semakin melemah. Maka, ketika
itulah Al-‘Asy’ari dalam waktu singkat mendapat kepercayaan dari kaum
muslimin dengan memiliki banyak pengikut. (Bashori dan Mulyono, 2010:114)

2. Ajaran-Ajaran Pokok
a. Tentang pelaku dosa besar tidak menjadi kafir, ia tetap mukmin.

22
Sebagai orang berdosa masih terbuka baginya pintu tobat untuk
memperoleh ampunan dari Allah.
b. Soal Imamah.
Tidak jauh berbeda dengan Khawarij dan Mu’tazilah. Karena Islam sesudah
Rasulullah, maka menunjuk imam, harus didasarkan azas musyawarah dan
pilihan sah.
c. Al-Qur’an bukan diciptakan.
Al-Qur’an sebagai kalamullah adalah Qadim bukan Hadis atau diciptakan.
Sedangkan Al-Qur’an yang terdiri dari huruf-huruf dan suara adalah baru.
d. Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat.
Dasarnya firman Allah surat Al-Qiyamah ayat 22-23 yang artinya “Wajah-
wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-Nyalah
mereka melihat”.
e. Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan Tuhan.
Menurut Al-Asy’ari Tuhan adalah pencipta alam raya ini, termasuk manusia
dengan segala perbuatannya. Seperti contoh, patung hasil pahatan tukang
pahat. Kerja mereka memahat itu, Allahlah yang menciptakan. Adapun batu
atau kayu yang menjadi bahan pembuatan itu jelas ciptaan Allah, bukan
hasil dari tukang tersebut. (Nukman Abbas, 2002 :125)
f. Semua yang diperintahkan adalah baik dan sebaliknya yang dilarang Tuhan
adalah buruk. Namun, tidak ada baik dan buruk secara mutlak, karena
semua itu dari Allah.
Keadilan Tuhan adalah kekuasaan mutlak dari Tuhan yang tanpa batas. Adil
adalah apabila Tuhan mensurgakan dan menerakakan semua orang.
(Bashori dan Mulyono, 2010:138).

3. Macam-macam Aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah


Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah suatu golongan yang telah Rasulullah SAW
janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan
mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti

23
apa yang dibawa oleh Nabi, baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk,
tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin.
Definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari definisi Salaf. Salaf ialah
mereka yang mengenalkan Al-Qur’an dan berpegang teguh dengan As-Sunnah.
Jadi Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh Nabi SAW. Dan ahlus
sunnah adalah Salafush Shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka.
Ahlus Sunnah Wal Jamah dikodifikasikan dengan lebih jelas oleh Imam Abdul
Qahir bin Thahir al-Baghdadi (wafat 429 H) dalam bukunya Al Farq Bain
Al Firaq (perbedaan diantara aliran-aliran), beliau merumuskan ada delapan
kelompok yang termasuk golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah yaitu:
a. Mutakallimin (ulama kalam/theolog) yaitu orang yang memahami secara
tepat masalah-masalah keesaan Tuhan, kenabian, hukum-hukum, janji dan
ancaman, pahala dan ganjaran, syarat ijtihad, Imamah, dan pimpinan
ummat, dengan mengikuti metodologi aliran as-Shifatiah (menetapkan sifat-
sifat Tuhan) yang tidak terseret ke dalam faham antropomorfis (tasybih)
dan ta’thil (meniadakan sifat-sifat Allah), serta bid’ah kaum Syi’ah, Khawarij
dan sederet golongan bid’ah lainnya.
b. Fuqaha (ulama fiqih) yaitu para Imam Mazhab Fiqih, baik dari ahlur ra’yi
maupun ahlul Hadits, yang menganut aliran al-Shifatiah (menerima sifat-
sifat Allah) dalam masalah teologi menyangkut Tuhan dan sifat-sifat yang
azali, membersihkan diri dari faham Qadariah dan Mu’tazilah. Menetapkan
adanya ru’yah (melihat Tuhan di hari kemudian), kebangkitan, pertanyaan
kubur, telaga, jembatan, syafa’at dan pengampunan dosa selain syirik,
serta menetapkan kekekalan nikmat bagi ahli surga dan kekekalan siksa,
terhadap orang-orang kafir dalam neraka. Di samping itu, ia mengakui
kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, dan tetap menghormati
Salaf, menetapkan wajibnya shalat Jum’at di belakang para Imam yang
tidak terkena bid’ah dan wajibnya menetapkan hukum dari Qur’an, hadits
dan Ijma’. Dan mengatakan sahnya menyapu dua khuf (sejenis sepatu),
jatuhnya thalaq tiga, mengharamkan mut’ah, dan memandang wajib
mentaati seorang pemimpin selama bukan maksiat.

24
c. Muhaditsin (ulama hadits) yaitu mereka yang ahli dalam melacak jalur-
jalur Hadits dan Atsar dari Nabi, mampu membedakan antara yang shahih
dan tidak, menguasai al-Jahr wat-Ta’dil (sebab-sebab kebaikan dan
kelemahan seorang perawi Hadits) dan tidak terlibat dalam perilaku bid’ah
yang sesat.
d. Ahlul Lughot (ulama bahasa Arab) yaitu mereka yang ahli di bidang
kesusasteraan, Nahwu, Sharaf, dan mengikuti jejak pakar bahasa semisal
al-Khalil, Abu Amr bin Al-‘Ala, Sibawaihi, al-Farra’, al-Akhfasy, al-Ashma’i, al-
Muzany, Abu Ubaid dan sederet tokoh-tokoh lainnya dari Kufah dan Basrah,
yang tidak tercampur ilmunya dengan bid’ah kaum Qadariah atau Rafidah
atau Khawarij.
e. Mufassirin (ulama tafsir) yaitu mereka yang mengetahui aneka ragam
Qira’at Al-Qur’an dan orientasi penafsirannya dan pena’wilannya, sesuai
dengan aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, tanpa terpengaruh kepada
pena’wilan para pengikut hawa nafsu yang sesat.
f. Mutasawwifin (ulama tasawuf) yaitu para Zuhad Sufi yang giat beramal
dengan tulus ikhlas dan menyadari sepenuhnya, bahwasanya baik
pendengaran, penglihatan dan hati semuanya dipertanggungjawabkan di
depan sang Khaliq, yang takkan bisa lalai sebiji atom pun dari
pandangannya. Olehnya itu, mereka giat beramal tanpa banyak bicara,
konsisten dalam ketauhidan, menafikan tasybih serta menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Tuhan.
g. Mujahidin yaitu mereka yang bertempat di pos-pos pertahanan kaum
Muslimin untuk menjaga kemanan negara dari serangan musuh, menjaga
kehormatan umat Islam, baik materil maupun moril, dengan berupaya
menumbuhkan di pos-pos pertahanan mereka aliran Ahlussunnah wal
Jama’ah.
h. Semua orang di semua negara yang di dalamnya dikuasai oleh syi’ar
Ahlussunnah wal Jama’ah dan yang mengikuti ketujuh kelompok diatas.
(Ahmad Faruq @Yahoo.Com)

25
G. Perbandingan Antara Aliran Mu’tazilah dengan Asy’riyah (Ahlu Sunnah
wal Jama’ah)
Di bawah ini perbandingan Ahlu Sunnah wal Jama’ah dengan aliran Mu’tazilah
tentang:
1. Perbuatan Tuhan
Aliran Mu’tazilah sebagai aliran kalam berpendapat, bahwa perbuatan Tuhan
hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Ini bukan berarti, bahwa
Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Perbuatan buruk tidak
dilakukan-Nya, karena Ia mengetahui keburukan perbuatan buruk itu. Dasar
pemikiran serta konsep tentang keadilan Tuhan, berjalan sejajar dengan
faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan,
mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat, bahwa Tuhan
mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia.
Sedangkan bagi aliran Asy’ariah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan
terbaik bagi manusia, tidak dapat diterima oleh aliran ini, karena
bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Dengan demikian, aliran Asy’ariah tidak menerima faham Tuhan mempunyai
kewajiban. Faham mereka, bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya
terhadap makhluk, mengandung arti bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban apa-apa. (Rozak dan Rosihon. 2016:184).
2. Perbuatan Manusia
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan
bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will.
Perbuatan manusia bukan diciptakan Tuhan pada diri manusia, melainkan
manusia yang mewujudkan perbuatan. Dengan faham tersebut, aliran
Mu’tazilah masih mengakui Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan
manusia berperan sebagai pihak yang mempunyai kreasi untuk mengubah
bentuknya.
Dalam faham Asy’ariah, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia
diibaratkan anak kecil yang tidak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Oleh
karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham Jabariyah daripada dengan

26
faham Mu’tazilah. Pada prinsipnya, aliran Asy’ariyah berpendapat, bahwa
perbuatan manusia diciptakan Allah. Daya manusia tidak mempunyai efek
untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan
menciptakan pula – pada diri manusia – daya untuk melahirkan perbuatan
tersebut. Jadi, perbuatan adalah ciptaan Allah dan kasab (perolehan) bagi
manusia. (Rozak dan Rosihon. 2016:193).
3. Sifat-sifat Tuhan
Aliran Mu’tazilah yang memberikan daya yang besar pada akal berpendapat,
bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat jasmani. Apabila
Tuhan dikatakan mempunyai sifat jasmani, tentu Tuhan mempunyai ukuran
panjang, lebar, dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai kemestian dari
sesuatu yang bersifat jasmani. Selanjutnya, Mu’tazilah berpendapat, bahwa
Tuhan bersifat immateri, sehingga tidak dapat dilihat dengan mata kepala.
Dua argumen pokok yang diajukan oleh Mu’tazilah untuk menjelaskannya,
bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata jasmani. Pertama, Tuhan tidak
mengambil tempat, oleh karena itu tidak dapat dilihat. Kedua, apabila Tuhan
dapat dilihat dengan mata kepala, berarti Tuhan dapat dilihat sekarang di
dunia ini.
Bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah di atas, aliran Asy’ariah
mengatakan, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Al-Asy’ari, tidak dapat
diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya, di
samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa,
dan sebagainya, juga menyatakan bahwa Ia mempunyai pengetahuan,
kemauan, dan daya. Al-Asy’ari lebih jauh berpendapat bahwa Allah memiliki
sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti
mempunyai tangan dan kaki. (Rozak dan Rosihon. 2016:213).
4. Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan
Aliran Mu’tazilah berprinsip keadilah Tuhan, mengatakan bahwa Tuhan itu
adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada
hamba-Nya, kemudian hambalah yang harus menanggung akibat perbuatan-
Nya. Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan

27
perbuatannya, tanpa ada paksaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan
itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidak
adil, jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya, jika tanpa
diiringi dengan pemberian kebebasan terlebih dahulu.
Sedangkan menurut kaum Asy’ariah, perbuatan-perbuatan Tuhan tidak
mempunyai tujuan. Sebab, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu,
semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Mereka mengartikan keadilan
dengan menempatkan sesuatu di tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai
kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki, serta mempergunakannya
sesuai dengan kehendaknya. (Rozak dan Rosihon. 2016:235).

28
Pertanyaan:
1. Jelaskan pengertian Mu’tazilah dan tokohnya?
2. Jelaskan yang melatarbelakangi lahirnya aliran Mu’tazilah?
3. Terangkan ajaran-ajaran yang dikembangkan aliran Mu’tazilah?
4. Jelaskan Latar belakang munculnya aliran Ahlu sunnah wal jama’ah?
5. Jelaskan ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh ahlu sunnah wal jama’ah?

29
30
BAB II

PEMIKIRAN POLITIK SUNNI DAN SYI’AH

A. Pendahuluan

Peristiwa terbunuhnya ‘Utsman bin Affan, khalifah ketiga, pada 656 M. di


Madinah dalam pertentangan yang terjadi dengan tentara yang datang dari
Mesir, selain membawa masalah politik, juga menimbulkan masalah teologi dalam
Islam. Dalam bidang politik, peristiwa itu memecah ummat Islam menjadi dua
golongan: Sunni dan Syi’ah. Perkembangan sejarah Islam, bukan dalam bidang
politik saja tetapi juga dalam bidang agama dan pemikiran, banyak dipengaruhi
dan ditentukan arahnya oleh pertentangan antara kedua golongan besar ini.
Pertentangan itu mulai mereda pada abad kedua puluh. (Harun Nasution,
1998:126)

Pemikiran politik Islam berkembang secara luas, tak lain karena berbagai
peristiwa penting sejak Rasulullah hijrah ke Madinah. Setelah wafatnya
Rasullullah Saw, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok
Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah di Saqifah,
yang pada akhirnya menjadi perdebatan sengit dikalangan para sahabat, tentang
siapa yang berhak menggantikan Rasulullah dalam kepemimpinan agama dan
politik. Permasalahan awal setelah wafatnya Rasulullah tentang siapa pengganti
Rasulullah, membuktikan bahwa sejak awal karakter yang diperlihatkan umat
Islam begitu serius dalam membicarakan persoalan politik.

Yang paling menegangkan dalam sejarah Islam adalah peristiwa tahkim yang
terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang menjadi
puncak perdebatan politik di kalangan umat Islam. Perebutan kekuasaan antara
Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, telah melahirkan persoalan
teologis yang sangat kuat (kafir dan mengkafirkan). Lahirlah aliran-aliran teologi
yang sebelumnya tidak pernah ada di masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin,

31
seperti Khawarij, Mu’tazilah, Ahlussunnah Wal Jamaah, dan Syi’ah. (Mujar Ibnu
Syarif & Khamami Zada, 2008: 26-27).

Perkembangan Sunni dan Syi’ah -- Perpecahan di dalam tubuh umat Islam --


adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, tetapi yang perlu diingat adalah, orang
sering kali tidak tahu sebab-sebab terjadinya perpecahan. Di kalangan umat
Islam sekarang ini terkadang terjadi, perpecahan dalam hal-hal yang sebenarnya
tidak boleh terjadi. Kita sering berpendapat, bahwa menghindari perpecahan dan
membendung bahayanya sebelum hal itu terjadi, jauh lebih baik daripada
pengobatan setelah terjadi. Memang pendapat ini merupakan ijma’ yang
disepakati. Namun, sebaiknya kita mengerti bahwa menjaga dari perpecahan
caranya adalah dengan jalan menghindari penyebabnya. Ada beberapa masalah
lain yang bisa menjadi faktor terhindarnya perpecahan, yaitu dalam bentuk
umum maupun khusus. Sebab-sebab umumnya adalah: Berpegang teguh pada
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. (Naser Abdulkarim al-Aql, 1994 :7)

Dengan memahami petunjuk Nabi Saw dan berpegang teguh kepadanya, insya
Allah akan mendapat petunjuk dan mengetahui agamanya. Oleh karena itu akan
terjauhkan dari perpecahan dan pertentangan, yang menuju pada perpecahan
atau terjerumus ke dalamnya tanpa disadari. Sementara sebab khusus yang
dapat menjaga dari perpecahan adalah megikuti jalan Salafush Shalih, yaitu
sahabat, tabi’in, dan imam agama dari kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Naser
Abdulkarim al-Aql, 1994 :8).

B. Sunni
1. Pengertian Sunni

Sunni adalah sebutan pendek Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu sebuah aliran
pemikiran yang mengklaim dirinya sebagai pengikut sunnah (the follower of
the sunnah), yaitu sebuah jalan keagamaan yang mengikuti Rasulullah dan
sahabat-sahabatnya, sebagaimana dilukiskan dalam Hadits Ma ana ‘alaihi wa
ashâbi (Ahmad ibn Hambal, Musnad Ahmad ibn Hambal III hal. 145; Abu
Dawud, “Sunnah”, bab Syarh al Sunnah; dan Tirmidzi, “Iman” bab terpecah
belahnya Umat Islam. Menurut Tirmidzi hadits ini hasan shahih).

32
Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran Sadr al-Sharih, al-Mahbubi
yaitu ‘ammah al-Muslimun (umumnya umat Islam) dan al-jama’ah al-katsir
wa al-sawad al-a‘zam (jumlah besar dan khalayak ramai). (Harun Nasution,
1986: 64)

Term “Sunni” mulai digunakan oleh para tokohnya untuk menyebut


kelompoknya pada abad ke-sepuluh, dan sebelumnya term ini tidak dikenal.
Sunni tidak hanya terbatas pada bidang teologi/kalam saja, akan tetapi
mencakup fiqh/hukum, tasawuf, dan politik. Dalam pembahasan ini
penekanannya pada masalah Sunni kaitannya dengan pemikiran politik.

Penjelasan mengenai politik Sunni diwakili antara lain oleh al-Mawardi (W.
1058) dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah yang memuat penjelasan
mengenai sistem Politik dalam Islam.

2. Pemikiran Politik Sunni

Komunitas Sunni dikenal juga dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Fondasi pemikiran politik mereka, dibentuk selama periode akhir pemerintah
Umayyah hingga periode awal Abbasiyyah. Sebuah teori politik yang cukup
artikulatif dari kalangan Ahli Sunnah, pada akhirnya muncul di paruh pertama
abad ke 11, doktrinnya mengenai kekhalifahan, memuaskan dahaga
komunitas agama yang sedang galau, karena menurutnya harapan mereka
secara drastis kepada lembaga kekhalifahan, seraya tetap memelihara
legitimasi Abbasiyyah sebagai pemimpin umat Islam.

Secara khusus, para fuqaha membicarakan cara-cara penetapan khalifah dan


dasar-dasar untuk memecat atau membatalkan kekuasaannya. Menurut Al-
Baqilani (Seorang pengikut Asy’ariyah), pengetahuan seorang khalifah
tentang keistimewaan sifat-sifat pribadi seorang calon penggantinya, tidak
bisa dijadikan dasar untuk mengangkatnya sebagai khalifah. Namun,
pengangkatannya bisa dilakukan melalui penunjukkan yang disertai
perjanjian. Sebagai langkah alternatif, khalifah dapat dipilih oleh kelompok
yang melepas dan mengikat (ahl al-halli wa al-aqdi) terdiri atas para imam

33
Ahli Sunnah, siapapun mereka, tetapi bisa meliputi ulama senior. (Mujar Ibnu
Syarif & Khamami Zada, 2008: 62-63).

Selain itu, untuk menjadi imam, seseorang tidak perlu terbebas dari
kemungkinan melakukan kesalahan, yang terpenting ia memiliki pandangan
yang tegas tentang perang dan mampu menengahi perselisihan. Karakteristik
umum dari pemikiran Sunni adalah bahwa tak ada prosedur baku untuk
memecat khalifah. Pandangan Ahli sunnah mengenai khalifah dikembangkan
oleh Abu Hasan Ali Al-Mawardi, menurut beliau lembaga negara dan
pemerintah diadakan sebagai fungsi kenabian dalam menjaga agama dan
mengatur dunia.

Menurutnya, kepemimpinan negara adalah wajib kifayah, jadi jika ada orang
yang menjalankannya dari kalangan orang yang berkompeten, maka
kewajiban itu gugur atas orang lain, dan jika tidak ada yang menjabatnya,
maka kewajiban ini dibebankan kepada dua kelompok manusia, yaitu orang-
orang yang mempunyai wewenang memilih kepala negara dan orang-orang
yang mempunyai kompetensi untuk memimpin negara, sehingga mereka
ditunjuk dari mereka untuk memangku jabatan. (Mujar Ibnu Syarif &
Khamami Zada, 2008: 64-65).

C. Syi’ah
1. Pengertian

Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau


“kelompok”, sedangkan secara terminologis istilah ini dikaitkan dengan
sebagian kaum Muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk
pada keturunan Nabi Muhammad Saw, atau di sebut sebagai Ahl al-bait. Poin
penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk
agama bersumber dari Ahl al-bait, mereka menolak petunjuk-petunjuk
keagamaan dari para sahabat yang bukan Ahl al-bait atau para pengikutnya.
(Hamid Dabashi’ 1995: 55).

34
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna pembela dan pengikut
seseorang. Selain itu juga bermakna Setiap kaum yang berkumpul di atas
suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat, bermakna mereka yang
menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara para sahabat
dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum Muslimin,
demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau. Kelompok ini sangat
mengagungkan Ali bin Abi Thalib. (Ahmad Rifa’i Zen, 2011: 71).

2. Sejarah

Menurut Ath-Thabathaba’i (1903-1981 M), istilah ‘’Syi’ah’’ untuk pertama


kalinya ditujukan pada para pengikut Ali ( Syi’ah Ali), pemimpin pertama Ahl
al-bait pada masa Nabi Muhammad. Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah, di
antaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqdad bin Al-Aswad, dan Ammar bin
Yasir. (M.H. Thabathaba’i, 1989: 37,71).

Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat


dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul ke
permukaan pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan, selanjutnya
Aliran ini tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib. (Muhammad Abu Zahrah, 1996 :34).

Sebagian berpendapat, bahwa kelompok Syi’ah lahir setelah Nabi Muhammad


Saw meninggal dunia. Ketika itu terjadi perebutan kekuasaan antara kaum
muhajirin dan anshar di balai pertemuan Bani Saidah. Sebagian lain
menyebutkan, bahwa Syi’ah lahir semenjak Utsman bin affan meninggal
dunia (35H/656M) atau ketika Ali bin Abi Thalib naik tahta sebagai khalifah.
(Aceng Zakaria dan Irfan N.H.:181)

Watt menyatakan bahwa Syi’ah muncul, ketika berlangsung peperangan


antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Siffin. Dalam
peperangan ini, sebagai respons atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang
ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali diceritakan pecah menjadi dua, satu
kelompok mendukung sikap Ali disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak

35
sikap Ali disebut Khawarij. (W. Montgomery Watt, Terj Umar Basalim,
1987:10).

Berbeda dengan pandangan di atas, kalangan Syi’ah berpendapat bahwa


kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khalifah) Nabi
Muhammad Saw. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin
Khattab, dan Utsman bin Affan, karena dalam pandangan mereka hanya Ali
bin Abi Thalib yang berhak menggantikan Nabi. Ketokohan Ali dalam
pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi
Muhammad Saw pada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika
Muhammad diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang
pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Pada saat Nabi
mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan
menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian
Muhammad, Ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan
pengabdian yang luar biasa besar. (Harun Nasution, 1992 :904).

Bukti utama tentang sahnya ‘Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa
Ghadir Khum. (Hadits tentang Ghadir Khum ini terdapat dalam versi sunni
ataupun Syi’ah dan semuanya merupakan hadits shahih). Lebih dari seratus
sahabat telah meriwayatkan hadits ini dalam berbagai sanad dan ungkapan.
(Thabathaba’i, 1989: 72)

Diceritakan, bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari
Mekah ke Madinah, di padang pasir yang bernama Ghadir Khum, Nabi
memilih Ali sebagai penggantinya di hadapan massa yang penuh sesak
menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menempatkan Ali
sebagai pemimpin umum umat (wilayat-imamah), tetapi juga menjadikan Ali
sebagai Nabi, sebagai pelindung (wali) mereka. (Thabathaba’i, 1989: 38).

Berlawanan dengan harapan mereka, ketika Nabi wafat dan jasadnya masih
terbaring belum dikuburkan, anggota keluarganya dan beberapa orang
sahabat sibuk dengan persiapan penguburan dan upacara
pemakamannya. Teman-teman dan pengikut-pengikut Ali mendengar kabar

36
adanya kegiatan kelompok lain, yang telah pergi ke masjid tempat umat
berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini
kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, dan dengan sangat
tergesa-gesa memilih kaum Muslim dengan maksud menjaga kesejahteraan
umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu,
tanpa berunding dengan ahl al-bait, keluarganya ataupun sahabatnya yang
sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikitpun tidak memberi
tahu mereka. Dengan demikian kawan-kawan Ali dihadapkan pada suatu
keadaan yang sudah tidak dapat berubah lagi (faith accompli). (Thabathaba’i,
1989: 39-40).

Berdasarkan realitas itulah, pandangan kaum Syi’ah, tetap berpendapat


bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. (Ada
riwayat yang menceritakan bahwa pada saat-saat akan meninggal, Nabi
berkata “sediakanlah tinta sehingga aku mempunyai sehelai surat tertulis
untuk kalian yang akan menyebabkan kalian mendapat bimbingan dan
terhindar dari kesesatan”). Umar mencegah perbuatan itu dengan alasan
sakit beliau gawat. (Riwayat ini terdapat dalam Tarikh Al-Thabari, jilid II:
436, Shahih Al-Bukhari, jilid II, dan Shahih Muslim, Jilid V. lihat Ibid,: 72).

Mereka berkeyakinan, bahwa persoalan kerohanian dan keagamaan harus


merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya.
(Thabathaba’i, 1989: 41)

Inilah yang kemudian disebut dengan Syi’ah. Akan tetapi lebih dari itu,
seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada
kenyataan, bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu Islam sehingga harus
diwujudkan.

Perbedaan pendapat dikalangan para ahli mengenai golongan Syi’ah


merupakan suatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah
“perpecahan” dalam Islam yang mulai mencolok pada masa pemerintahan
Utsman bin Affan, dan memeroleh momentumnya yang paling kuat pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah perang Siffin. Adapun

37
kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-hadits yang mereka terima dari ahl al-bait,
berpendapat bahwa perpecahan itu mulai, ketika Nabi Muhammad Saw wafat
dan kekhalifahannya jatuh ke tangan Abu Bakar. Setelah itu terbentuklah
Syi’ah. Bagi mereka, pada masa kepemimpinan Khulafaur rasyidin, kelompok
Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak kepermukaan mengajarkan dan
menyebarkan doktrin-doktrin Syi’ah kepada masyarakat. Tampaknya, Syi’ah
sebagai salah satu faksi politik Islam yang bergerak secara terang-terangan,
muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, Syi’ah sebagai
doktrin yang diajarkan diam-diam oleh ahl al-bait muncul setelah wafatnya
Nabi.

Dalam perkembangannya, selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl al-


bait dihadapan dinasti Ummayyah dan Abbasiyyah, Syi’ah juga
mengembangkan doktrin-doktrinnya. Berkaitan dengan teologi, mereka
mempunyai lima rukun iman yaitu: tauhid (kepercayaan kepada keesaan
Allah); nubuwwah (kepercayaan kepada kenabian); ma’ad (kepercayaan akan
adanya hidup di akhirat); imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah
yang merupakan hak ahl al-bait); dan adl (keadilan ilahi). Dalam Ensklopedi
Islam Indonesia, ditulis bahwa perbedaan Sunni dan Syi’ah terletak pada
doktrin imamah. (Harun Nasution, 1992: 904).

Selanjutnya, meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, Syi’ah


tidak bisa mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah,
kelompok ini akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan yang
terjadi dikalangan Syi’ah, terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah. Di
antara sekte-sekte Syi’ah adalah Itsna Asyariah, Sab’iah, Zaidiah, Ghullat.

Pendapat lain menyatakan, bahwa Syi’ah lahir bersamaan dengan Khawarij


lahir, yaitu pada saat peperangan antara kelompok Ali yang dikalahkan
secara diplomatik oleh kelompok Mu’awiyah. Dengan demikian pada awalnya
Syi’ah adalah kelompok gerakan politik untuk mendukung Ali bin Abi Thalib.

Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah, perpecahan memang mulai
mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh

38
momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib
tepatnya setelah perang Siffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-
hadits yang mereka terima dari ahli bait, berpendapat bahwa perpecahan itu
sudah mulai ketika Nabi Saw wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu
Bakar. Segara setelah itu terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin sekalipun, kelompok Syi’ah sudah ada.
Mereka bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan
doktrin-doktrin Syi’ah pada masyarakat. Tampaknya Syi’ah sebagai salah satu
faksi Islam yang bergerak secara terang-terangan, memang baru muncul
pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sedangkan Syi’ah sebagai doktrin
yang diajarkan secara diam-diam oleh ahli bait muncul setelah wafat Nabi
Saw (Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, 2012:114).

Syi’ah mendapatkan pengikut yang besar terutama pada masa dinasti


Umayyah. Hal ini, menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan
kejam dan kasar dinasti ini terhadap ahli bait, di antara bentuk kekerasan itu
adalah apa yang dilakukan penguasa bani Umayah. Misalnya, Yazid bin
Muawiyah yang memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ibnu Ziyad
untuk memenggal kepala Husen bin Ali di Karbala. Diceritakan bahwa setelah
dipenggal, kepala Husain dibawa ke hadapan Yazid, kemudian oleh Yazid
kepala tersebut dipukul-pukul dengan tongkatnya, padahal kepala yang ia
pukul pada waktu kecilnya sering diciumi oleh Rasulullah. Kekejaman
semacam ini menyebabkan sebagian kaum Muslimin tertarik dan mengikuti
madzhab Syi’ah.

3. Pemikiran dan Doktrin-Doktrin Syi’ah

Aliran Syi’ah mempunyai lima prinsip utama yang wajib dipercayai oleh para
pengikutnya, (Irhamdi Nasda, 2016) yaitu:

a. Al-Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa Allah itu Ada, Maha Esa,
Tunggal, Tempat bergantung segala makhluk, Tidak beranak dan tidak
diperanakan dan tidak seorangpun yang menyamai-Nya.

39
b. Al-Adl

Aliran Syi’ah berkeyakinan Allah Maha Adil, Allah tidak melakukan


perbuatan zalim/buruk.

c. Al-Nubuwwah

Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-Nabi, tidak berbeda dengan


keyakinan umat Muslim lainnya. Nabi diutus untuk membimbing manusia.

d. Al-Imamah

Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan Agama dan


dunia sekaligus, Imam adalah pengganti Rasul dalam memelihara syariat,
melaksanakan hudud, dan mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.

e. Al-Ma’ad

Ma'ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya
sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti
terjadi.

Secara garis besar pemikiran dan keyakinan aliran ini, (Vini Zikra, 2016)
yaitu:

a. Persoalan imamah/khalifah adalah bagian dari pokok-pokok agama. Allah


memberitahukan kepada Nabi, siapa yang akan menggantikannya kelak,
sehingga khalifah harus orang yang ditunjuk langsung oleh Nabi dan
yang berhak adalah Ali.

b. Khalifah secara turun temurun diangkat dari keturunan Ali.

c. Abu Bakar, Umar dan Utsman dituduh telah merampas hak Ali untuk
menjadi khalifah.

d. Khalifah adalah orang yang ma’shum yaitu orang yang terbebas dari
dosa dan kesalahan.

40
e. Taqiyah yaitu ajaran yang membolehkan seseorang menyembunyikan
keyakinannya dan melakukan atau menampakkan sesuatu yang
berlawanan dengan keyakinannya, demi menjaga keselamatannya dari
ancaman.

f. Al-Bada’ yaitu Allah boleh mengubah keputusanNya, ketika melihat


sesuatu kemashlahatan yang tidak diketahuiNya sebelumnya.

g. Raj’ah yaitu Allah akan menghidupkan kembali manusia yang telah


meninggal. Maka, pada saat itu akan diutus Imam Mahdi untuk
memimpin dipermukaan bumi ini dengan penuh keadilan di saat
kezaliman merajalela.

h. Nikah Mut’ah yaitu ajaran yang membolehkan nikah dilaksanakan untuk


batas waktu tertentu (nikah kontrak atau berjangka).
4. Aliran dalam golongan Syi’ah dan Tokoh-tokoh Syi’ah

Syi’ah terpecah menjadi beberapa bagian, perpecahan tersebut dipicu oleh


masalah doktrin imamah. Di antara sekte-sekte tersebut, yaitu : (Abdul Rozak
dan Rosihon Anwar, 2012:130).

a. Syi’ah Itsna ‘Asyariah (Syi’ah Dua Belas/Syi’ah Imamiah)


1. Asal-Usul Penyebutan Imamiah dan Syi’ah Itsna ‘Asyariah

Dinamakan Syi’ah Imamiah karena yang menjadi dasar aqidahnya


adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio-politik, (H.M
Rasyidi, 11). Yaitu bahwa Ali berhak menjadi khalifah bukan hanya
kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi ia telah ditunjuk dan
pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad
Saw (W. Montgomery Watt, 1968 :43).

Syi’ah Itsna ‘Asyariah sepakat, bahwa Ali adalah penerima wasiat


Nabi Muhammad Saw, seperti yang ditunjukkan Nash. Al-
Ausiya (penerima wasiat), selain Ali bin Abi Thalib adalah keturunan
dari garis Fatimah, yaitu Hasan bin Ali dan Husen bin Ali
sebagaimana yang disepakati. (Heinz Halm, 1991: 29).

41
Bagi Syi’ah Itsna ‘Asyariah, Al-ausiya yang telah dikultuskan setelah
Husein adalah Ali Zainal Abidin, kemudian serta berturut-turut;
Muhammad Al-Baqir (w. 115H/733 M), Abdullah Ja’far Ash-Shadiq
(w.148 H/765 M), Musa Al-Khazim (w. 220 H/835 M), Ali Ar-Rida (w.
183 H/799 M), Muhammad Al-Jawwad (w.220 H/835 M), Ali Al-Hadi
(w. 254 H/874 M), Hasan Al-Askari dan terakhir adalah Muhammad
Al-Mahdi sebagai imam kedua belas. (Abu Zahrah, 1996:52).

Karena pengikut sekte Syi’ah, telah berba’iat di bawah imamah dua


belas imam, mereka dikenal dengan sebutan Syi’ah Itsna ‘Asyariah.

Nama dua belas (Syi’ah Itsna ‘Asyariah) ini mengandung pesan


penting dalam tinjauan sejarah, yaitu bahwa golongan ini terbentuk
setelah lahirnya semua imam yang berjumlah dua belas, kira-kira
pada tahun 260 H/878 M. (Ahmad Syalabi, 1988 : 220; Salman
Ghaffari, 1967:147).

2. Doktrin- Doktrin Syi’ah Itsna ‘Asyariah

Di dalam sekte Syi’ah Itsna ‘Asyariah dikenal konsep Ushuluddin.


Konsep ini menjadi akar atau fondasi pragmatisme agama. Konsep
Ushuluddin mempunyai lima akar (Ghaffari, 1967:41-42), yaitu
sebagai berikut:

a) Tauhid (The Devine Unity)

Tuhan adalah Esa. Keesaan Tuhan adalah Mutlak. Ia


bereksistensi dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah Qadim. Tuhan
maha tahu, maha mendengar, selalu hidup, mengerti semua
bahasa, selalu benar, dan bebas berkehendak. Tuhan tidak
membutuhkan sesuatu, Ia berdiri sendiri, tidak dibatasi oleh
ciptaan-Nya. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata biasa.
(Ghaffari, 1967: 42-52).

42
b) Keadilan (The Devine Justice)

Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta merupakan


keadilan. Ia tidak pernah menghiasi ciptaan-Nya dengan
ketidakadilan. Sebab, ketidakadilan dan kezaliman terhadap yang
lain, merupakan tanda kebodohan dan ketidak mampuan,
sementara Tuhan adalah maha tahu dan maha kuasa. Segala
macam keburukan dan ketidak mampuan adalah jauh dari
keabsolutan dan kehendak Tuhan.

Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui


benar dan salah melalui perasaan. Manusia dapat menggunakan
penglihatan, pendengaran dan indera lainnya untuk melakukan
perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi,
manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak, sebagai
anugerah Tuhan untuk mewujudkan dan bertanggung jawab
atas perbuatannya. (Ghaffari, 1967: 53)

c) Nubuwwah (Apostleship)

Makhluk telah diberi insting, secara alami juga masih


membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun
manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang
secara transenden diutus memberikan acuan untuk membedakan
antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam
keyakinan Syi’ah Itsna ‘Asyariah, Tuhan telah mengutus 124.000
Rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia.
(Ghaffari, 1967: 58-59)

Syi’ah Itsna ‘Asyariah, percaya tentang ajaran tauhid dengan


kerasulan sejak Adam hingga Muhammad, dan tidak ada Nabi
atau Rasul setelah Muhammad. Mereka percaya dengan kiamat.
Kemurnian dan keaslian Al-Quran jauh dari tahrif, perubahan
atau tambahan. (Ghaffari, 1967: 4-5)

43
d) Ma’ad (The Last Day)

Ma’ad adalah hari terakhir (kiamat) untuk menghadap pengadilan


Tuhan di akhirat, setiap Muslim harus yakin keberadaan hari
kiamat dan kehidupan suci, setelah dinyatakan bersih dan lurus
dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit dari
kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat. (Ghaffari, 1967: 67-
68)

e) Imamah (The Devine Guidance)

Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan, untuk


memberikan petunjuk manusia yang dipilih, dari keturunan
Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan Muhammad
sebagai Nabi dan Rasul Terakhir. (Ghaffari, 1967: 71-74)

Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat mahdhah, Syi’ah Itsna


‘Asyariah berpihak pada delapan cabang agama yang disebut
dengan furu’ ad-din. Delapan cabang tersebut terdiri atas shalat,
puasa, haji, zakat, khumus atau pajak sebesar seperlima dari
penghasilan, jihad, al-amr bi al-ma’ruf dan an-nahyu ‘an al-
munkar.

b. Syi’ah Sab’iah (Syi’ah Tujuh)


1) Asal-Usul Penyebutan Syi’ah Sab’iah

Istilah Syi’ah Sab’iah “Syi’ah tujuh” dianalogikan dengan Syi’ah Itsna


Asyariah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte Syi’ah yang
ini hanya mengakui tujuh imam. (Ghaffari, 1967: 162).

Tujuh imam itu ialah Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin,
Muhammad Al-Baqir, Ja’far As-shadiq, dan Ismail bin Ja’far. (Ahmad
Imam Salabi, Terj, Mukhtar Yahya, 1992 : 208)

44
Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq,
Syi’ah Sab’iah disebut juga Syi’ah Ismailiyah. (Harun Nasution, 1985
:100).

Berbeda dengan Syi’ah Sab’iah, Syi’ah Itsna Asyariah membatalkan


Ismail bin Ja’far sebagai imam ketujuh, karena di samping Ismail
berkebiasaan tidak terpuji, juga karena dia wafat (143 H/760 M)
mendahului ayahnya, Ja’far (w.756). Sebagai gantinya adalah Musa
Al-Kazhim, adik Ismail. (Nasution, 1992:450).

Syi’ah sab’iah menolak pembatalan di atas, berdasarkan sistem


pengangkatan imam dalam Syi’ah dan menganggap Ismail tetap
sebagai imam ketujuh dan sepeninggalnya diganti oleh putranya
yang tertua, Muhammad bin Ismail. (Nasution, 1992:450).

2) Doktrin Imamah dalam pandangan Syi’ah Sab’iah

Para pengikut Syi’ah Sab’iah percaya, bahwa Islam dibangun oleh


tujuh pilar, seperti dijelaskan Al-Qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-
Islam. Tujuh pilar tersebut adalah: a) Iman, b) Thaharah, c) Shalat,
d) Zakat, e) Shaum (puasa), f) Haji, dan g) Jihad.

Berkaitan dengan pilar (rukun) pertama yaitu iman, Qadhi An-


Nu’man (974 M) memerincinya sebagai berikut: iman kepada Allah,
tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah; iman kepada
surga; iman kepada neraka; iman kepada hari kebangkitan; iman
kepada hari pengadilan; iman kepada para Nabi dan Rasul; iman
kepada imam, percaya, mengetahui, dan membenarkan imam
zaman. (Sami Nasib Makareem, 1972 :13)

Tentang imam zaman, Syi’ah Sab’iah mendasarkan pada sebuah


Hadits Nabi Muhammad Saw, yang terjemahan bahasa inggrisnya
“He who dies without knowing of time when still alive dies in
ignorance” (ia telah wafat dan waktu wafatnya masih belum
diketahui sampai kini). Hadits yang seperti ini juga terdapat dalam

45
sekte Sunni dan Syi’ah itsna ‘Asyariah, tetapi tidak mencantumkan
imam zaman. (Sami Nasib Makareem, 1972 :13),

Dalam pandangan kelompok Syi’ah Sab’iah, keimanan hanya bisa


diterima apabila sesuai dengan keyakinan mereka, yaitu dengan
melalui walayah (kesetiaan) kepada imam zaman. Imam adalah
seorang yang menuntun pada pengetahuan (ma’rifat) dan dengan
pengetahuan tersebut seseorang Muslim akan menjadi seorang
mukmin yang sebenar-benarnya. Sab’iah – berbeda dengan Syi’ah
dua belas yang meyakini adanya imam al-Mahdi Al-Muntadzar –
berkeyakinan, bahwa di bumi akan selalu ada imam. Hanya imam itu
adakalanya tersembunyi (batin) dan ada kalanya menampakan diri
(dzahir). (Ibrahim Madkour, 1995 :95)

Ketika imam bersembunyi, para dainya harus dzahir (nampak).


Sebaliknya apabila imamnya Dzahir, dainya dapat
tersembunyi. (Muhammad Syahrastani, tt. :192)

3) Ajaran Syi’ah Sab’iah lainnya

Ajaran Sab’iah yang lain pada dasarnya sama dengan ajaran-ajaran


sekte-sekte Syi’ah lainnya. Perbedaannya terletak pada konsep
kemaksuman imam, adanya aspek batin pada setiap yang lahir dan
penolakannya terhadap Al-Mahdi Al-Muntazhar.

Menurut Sab’iah, Al-Quran memiliki makna batin selain yang lahir.


Dikatakan bahwa segi-segi lahir atau tersurat dari Syari’at itu,
diperuntukan bagi orang awam yang kecerdasannya terbatas dan
tidak memiliki kesempurnaan rohani. Bagi orang-orang tertentu,
mungkin terjadi ubahan dan peralihan, bahkan penolakan terhadap
pelaksanaan syari’at tersebut, karena mendasarkan pada yang batin
tersebut. Yang dimaksud dengan orang-orang tertentu adalah para
imam yang memiliki ilmu Dzahir dan ilmu batin.
(Thabathaba’i, 1989:79-83)

46
Mengenai sifat Allah. Sab’iah sebagaimana halnya Mu’tazilah
meniadakan sifat dari Dzat Allah. Penetapan sifat menurut Sab’iah
merupakan penyerupaan dengan makhluk. (Syahrastani, tt.: 193).

c. Syi’ah Zaidiah
1) Asal- Usul Penamaan Syi’ah Zaidiah

Sekte ini mengakui Zaid bin Ali Zainal Abidin, sebagai imam kelima,
putra Imam keempat, Ali Zainal Abidin. Ini berbeda dengan sekte
Syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-Baqir, anak Zainal Abidin
yang lain, sebagai imam kelima, dari nama Zaid bin Ali Zainal Abidin
inilah nama Zaidiah diambil. (Ignaz Gotziher, Terj. Heri setiawan,
1991:121). Syi’ah Zaidiah merupakan sekte Syi’ah yang
moderat. (Abu Zahrah, Ter. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib,
1996: 45). Bahkan Abu Zahrah mengatakan bahwa Syi’ah Zaidiah
merupakan sekte yang paling dekat dengan Sunni.

2) Doktrin Imamah menurut Syi’ah Zaidiah

Imamah sebagaimana telah disebutkan, merupakan doktrin


fundamental dalam Syi’ah secara umum. Berbeda dengan doktrin
imamah yang dikembangkan Syi’ah lain, Syi’ah Zaidiah
mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Kaum Zaidiah
menolak pandangan yang menyatakan, bahwa seorang imam yang
mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, telah ditentukan
Nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya ditentukan sifat-sifatnya.
Ini jelas berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang percaya, bahwa Nabi
Muhammad Saw, telah menunjuk Ali sebagai orang yang pantas
sebagai imam, setelah Nabi wafat, karena sifat-sifat itu tidak dimiliki
oleh orang lain, selain Ali. Sifat-sifat itu adalah keturunan Bani
Hasyim, wara’ (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertaqwa,
baik dan membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka, hingga
mengakuinya sebagai imam.

47
Dengan doktrin imamah seperti itu, tidak heran jika Syi’ah Zaidiah
sering mengalami krisis dalam keimaman. Hal ini, karena terbukanya
kesempatan bagi setiap keturunan ahl al-bait untuk
memproklamasikan dirinya sebagai imam. Ini berbeda dengan Syi’ah
itsna Asyariah yang hanya mengakui keturunan Husen sebagai
imam. (Golziher, :212).

Dalam sejarahnya, krisis dalam Syi’ah Zaidiah, disebabkan oleh dua


hal. Pertama, terdapat pemimpin yang memproklamasikan dirinya
sebagai imam. Kedua, tidak seorangpun yang memproklamasikan diri
atau pantas diangkat sebagai imam. Dalam menghadapi krisis ini,
Zaidiah telah mengembangkan mekanisme pemecahannya, di
antaranya dengan membagi tugas imam pada dua individu, yaitu
dalam bidang politik dan dalam bidang ilmu, serta keagamaan.
(Nasution, 1992: 998)

3) Doktrin-doktrin Syi’ah Zaidiah lainnya

Bertolak dari Doktrin tentang imam al-mafdhul, Syi’ah Zaidiah


berpendapat, bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab
adalah sah dari sudut pandang Islam. Dalam pandangan Zaidiah,
mereka tidak merampas kekuasaan dari Ali bin Abi Thalib. Dalam
pandangan merekapun, jika ahl al-halli wa al-aqdi telah memilih
seorang imam dari kalangan kaum muslim, meskipun orang yang
dipilih itu, tidak memenuhi sifat-sifat keimanan yang ditetapkan oleh
Zaidiah, padahal mereka telah membaiatnya, keimanannya menjadi
sah dan rakyat wajib berbaiat kepadanya. (Abu Zahrah, 1996: 47).

Selain itu, mereka juga tidak mengkafirkan seorang pun sahabat.


Mengenai ini, Zaid sebagaimana dikutip Abu Zahrah mengatakan:

“Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling utama.
Kekhalifahannya diserahkan kepada Abu Bakar karena
mempertimbangkan kemaslahatan dan kaidah agama yang mereka

48
pelihara, yaitu untuk meredam timbulnya fitnah dan menenangkan
rakyat. Era peperangan yang terjadi pada masa kenabian baru
berlalu. Pedang Amir Al-Mu’minin Ali belum lagi kering dari darah
orang-orang kafir. Begitu pula, kedengkian suku tertentu untuk
menuntut balas dendam belum surut. Sedikitpun, hati kita tidak
pantas untuk cenderung ke sana. Jangan sampai ada lagi leher yang
terputus, hanya karena masalah itu. Melaksanakan pandangan inilah,
yang dinamakan kemaslahatan bagi orang yang mengenal dengan
kelemahlembutan dan kasih sayang, juga bagi orang yang lebih tua
lebih dahulu memeluk Islam, serta yang dekat dengan Rasulullah.”
(Abu Zahrah, 1996: 42).

Prinsip inilah yang menurut Abu Zahrah, menyebabkan banyak orang


keluar dari Syi’ah Zaidiah. Salah satu implikasinya adalah
mengendornya dukungan terhadap Zaid ketika berperang melawan
pasukan Hisyam bin Abdul Malik (691-743). Hal ini wajar, mengingat
salah satu doktrin Syi’ah yang cukup mendasar adalah menolak
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar serta menuduh mereka sebagai
perampas hak kekhalifahan dari tangan Ali.

Meskipun demikian dalam bidang ibadah, Zaidiah tetap cenderung


menunjukkan simbol dan amalan Syi’ah pada umumnya.

d. Syi’ah Ghulat
1) Asal-Usul Penamaan Syi’ah Ghulat

Istilah “ghulat” berasal dari kata ghalâ-yaghlû-ghuluw, artinya


“bertambah” dan “naik”. Ghala bi ad-din artinya memperkuat dan
menjadi ekstrem sehingga melampaui batas (Louis Ma’luf, 1935:
586).

Syi’ah Ghulat berarti, kelompok pendukung Ali yang memiliki sifat


berlebihan atau ekstrem. Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa
Syi’ah ekstrem (Ghulat) adalah kelompok yang menempatkan Ali

49
pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat
kenabian, bahkan lebih tinggi dari Muhammad. (Zahrah, 1996: 39).

Gelar ekstrem (ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini,


berkaitan dengan pendapatnya yang ganjil, yaitu ada beberapa
orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan ada beberapa orang
yang dianggap rasul setelah Nabi Muhammad Saw. (Zahrah, 1996,:
45).

Selain itu mereka mengembangkan doktrin-doktrin ekstrem lainnya,


seperti tanâsukh, hulûl, tasbîh, dan ibaha. (Heinz Halm, 1991:156).

2) Doktrin-Doktrin Syi’ah Ghulat

Menurut Syahrastani ada empat doktrin yang membuat mereka


ekstrem, yaitu tanasukh, bada’, raj’ah, dan tasbih. (Syahrastani,
tt. :173). Moojan momen menambahkannya dengan hulûl dan
ghaiba. (Momen., op.cit., :66)

Tanâsukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil


tempat pada jasad lain. Paham ini diambil dari falsafah Hindu.
Penganut agama Hindu berkeyakinan, bahwa roh disiksa dengan
cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah, dan diberi pahala
dengan cara berpindah, dari satu kehidupan pada kehidupan yang
lebih tinggi. (Abu Zahrah, 1996 :45).

Syi’ah Ghulat menerapkan paham ini dalam konsep imamahnya,


sehingga ada yang menyatakan -- seperti Abdullah bin Mu’awiyah bin
Abdullah bin Ja’far -- bahwa roh Allah berpindah ke pada Adam,
kemudian kepada imam secara turun-temurun. (Al-Ghurabi, tt. :
228).

Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya


sejalan dengan perubahan ilmu-Nya. Serta dapat memerintahkan
perbuatan kemudian memerintahkan yang sebaliknya. (Zahrah, 1996
:44).

50
Syahrastani menjelaskan bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah
Ghulat mempunyai beberapa arti, apabila berkaitan dengan ilmu,
artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang
diketahui Allah. Apabila berkaitan dengan kehendak, artinya
memperlihatkan yang benar, dengan menyalahi yang dikehendaki
dan hukum yang diterapkan-Nya. Apabila berkaitan dengan perintah,
artinya memerintahkan hal lain yang bertentangan dengan perintah
sebelumnya. (Syahrastani, 1996 :148-149).

Faham ini dipilih oleh Al-Mukthar ketika mendakwahkan dirinya


mengetahui hal-hal yang akan terjadi, baik melalui wahyu yang
diturunkan kepadanya maupun surat dari imam. Jika ia menjanjikan
kepada pengikutnya akan terjadi sesuatu, lalu hal itu benar-benar
terjadi seperti apa yang diucapkannya, dijustifikasi sebagai bukti
kebenaran ucapannya. Jika terjadi sebaliknya, ia mengatakan bahwa
Tuhan menghendaki bada’.

Raj’ah ada hubungannya dengan Mahdiyah. Syi’ah Ghulat


mempercayai, bahwa imam Mahdi akan datang ke bumi. Faham
raj’ah dan mahdiyah merupakan ajaran seluruh Syi’ah. Akan tetapi,
mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali.
Sebagian menyatakan, bahwa Ali yang akan kembali. Sedangkan
sebagian lainnya menyatakan Ja’far ash-Shadiq, Muhammad bin Al-
Hanafiah, bahkan ada yang mengatakan Mukhtar ats-Tsaqafi.

Tasbîh artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat


menyerupakan salah seorang imam mereka dengan Tuhan atau
menyerupakan Tuhan dengan Makhluk. Tasbih diambil dari paham
hulûliyah, dan tanâsukh dengan khalik. (Syahrastani, 1996 : 173)

Hulûl artinya Tuhan berada disetiap tempat. Berbicara dengan semua


bahasa dan ada pada setiap individu manusia. (Syahrastani, 1996 :
175). Hulul bagi Syi’ah Ghulât berarti Tuhan menjelma dalam diri
imam sehingga imam harus disembah.

51
Ghaiba artinya menghilangnya imam Mahdi. Ghaiba merupakan
kepercayaan Syi’ah, bahwa Imam Mahdi ada di dalam negeri ini dan
tidak dapat dilihat oleh mata biasa. (Abdorahim Gavahi, 1988: 253).
Konsep ghaiba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar ats-Tsaqafi
tahun 66 H/686 M di Kufah ketika mempropagandakan Muhammad
bin Hanafiah sebagai Imam Mahdi.

5. Corak Pemikiran Politik Syi’ah

Para pembela Sayyidina Ali pada mulanya disebut sebagai “Syi’ah Ali” atau
Pengikut Ali, kemudian istilah itu berubah menjadi “Syi’ah” saja. Walaupun
beberapa orang Bani Hasyim dan sebagian sahabat Nabi beranggapan,
bahwa Sayyidina Ali adalah orang yang paling berhak menduduki jabatan
khalifah sepeninggal Rasulullah Saw, sebagiannya lagi berpendapat, bahwa ia
lebih utama dari para sahabat lainnya, terutama dari Sayyidina Utsman r.a.
Akan tetapi pada masa kekhalifahan Sayyidina Utsman, mereka belum
memiliki bentuk aqidah atau mazhab, dan mereka juga tidak tidak
menentang kekhalifahan Utsman, tapi sebaliknya mereka mengakui
kekhalifahan ketiga yang pertama.

Pada saat terjadinya peperangan-peperangan yang dihadapi oleh Sayyidina


Ali, seperti perang Jamal dan perang Siffin, kemudian melawan kaum
Khawarij. Pembunuhan atas Al-Husen bin Abi Thalib, telah mempersatukan
kaum Syi’ah dan menciptakan sikap yang keras dan tajam, sehingga mereka
menuangkan ideologi-ideologi mereka dalam suatu acuan yang jelas. Selain
itu, rasa simpati yang timbul dari kebanyakan kaum Muslimin terhadap anak-
cucu Sayyidina Ali akibat perlakuan kekejaman dan kezaliman, telah
membangkitkan kekuatan yang luar biasa bagi gerakan Syi’ah.

Adapun pandangan-pandangan mereka yang khas ialah:

a. Bahwasannya imâmah, merupakan salah satu rukun agama dan amat


penting dalam Islam. Adalah kewajiban Nabi Saw untuk menunjuk dan

52
menetapkan seorang imam dengan ketetapan yang jelas, sebagai ganti
membiarkan masalah imamah sebagai objek pemilihan oleh umat.
b. Seorang yang dipilih jadi Imam harus ma’shum, yakni seorang yang suci,
terjaga dan terpelihara dari perbuatan dosa besar dan kecil.
c. Sayyidina Ali adalah imam yang telah ditetapkan oleh Nabi Saw.
d. Kelompok-kelompok Syi’ah bersepakat bahwa imâmah adalah hak milik
anak cucu Ali saja. (Abul A’la Al-Maududi, 1996 : 271-273)

53
Pertanyaan

1. Jelaskan latar belakang lahirnya Sunni dan Syi’ah!

2. Jelaskan corak pemikiran politik Suni dan Syi’ah!

3. Jelaskan ajaran pokok/doktrin Syi’ah dan tokohnya!

4. Coba ungkapkan aliran/macamnya Syi’ah menurut para ahli ?

5. Apa hikmah yang saudara petik dari adanya keragaman alirah Syi’ah ?

54
BAB III

PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A. Pendahuluan

Allah meletakkan dan menetapkan pedoman untuk kehidupan manusia melalui


firman-firman-Nya kepada Nabi Muhammad Saw, yaitu berupa Al-Quran. Selain
itu, semua perilaku, perbuatan, dan perkataan Rasulullah Saw menjadi pedoman
kedua setelah Al-Quran bagi seluruh umat manusia.

Ketika Rasulullah Saw masih hidup, semua persoalan yang dihadapi para sahabat
dapat diselesaikan bersama Rasul melalui sunahnya, dan wahyu yang masih
terus turun kepada beliau. Maka ketika beliau wafat berhentilah wahyu yang
selama 23 tahun disampaikan kepadanya. Wahyu Al-Quran yang berjumlah 30
juz ini kemudian disusun menjadi sebuah mushaf ketika masa Khalifah pertama,
Abu Bakar ash-Shiddiq, sementara Hadits yang menjadi sumber kedua setelah Al-
Quran baru dibukukan pada masa Umar bin Abdul Aziz sekitar abad ke 2 H., yang
merupakan salah seorang penguasa Dinasti Umayyah.

Rasulullah Saw wafat pada tahun 571 M/10 H., dan kehidupan manusia terus
berlangsung dengan diiringi permasalahan kehidupan yang semakin beragam.
Dalam menghadapi dinamika permasalahan kehidupan yang terus bertambah dan
beragam, maka diperlukan metode-metode pengambilan hukum Islam yang
sesuai dengan syarak (ajaran Islam) dan tuntutan zaman.

Sering kita mendengar istilah al-Wahyu qad intaha wa al-masalatu lam yantahi,
wahyu sudah selesai (dengan wafatnya Rasul), sedangkan masalah tidak pernah
selesai. Artinya, dengan wafatnya Rasul, tidak berarti tidak ada masalah yang
tidak dapat diselesaikan, karena Rasulullah telah meninggalkan pedoman bagi
umat Islam, yakni Al-Quran dan Al-Hadits. Maka lahirlah berbagai disiplin ilmu
dalam usaha untuk memahami ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan
Al-Hadits.

55
Tim Karya Ilmiah Purnasiswa (2006: 3-6), menjelaskan bahwa legalisasi Islam
(Tasyri’) dalam perjalanan sejarahnya dihasilkan, melalui beberapa tahap serta
melewati proses yang berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Dimulai dari masa pembinaan (periode Nabi 1-10 H), pertumbuhan (periode
Khulafaur Rasyidin, 11-40 H/620-660 M), perkembangan (periode Dinasti
Umayyah 41-132 H/661–750 M), pematangan (periode Abbasiyah pertama 132
334 H/750-945 M), taklid dan konsolidasi Mazhab (periode pertengahan
Abbasiyah hingga runtuhnya Baghdad, 334-656 H/945 – 1256 M), sampai masa
stagnasi dan kebangkitan (periode pasca Abbasiyah).

Penerapan syari’ah ini mulai tumbuh dan terus berkembang melalui beberapa
periode. Pertama, Masa pembinaan yang berlangsung ± 22 tahun, semuanya
masih memusat, karena sepenuhnya diserahkan kepada Rasulullah Muhammad
Saw sebagai pengemban Wahyu dan penyebar Sunnah. Pada periode ini, syari’ah
Islam mulai dibangun dan benar-benar berlaku secara efektif dalam semua
bidang: aqidah, hukum, dan akhlak atau etika dalam Islam. Kedua,
pengkodifikasian Al-Quran sebagai sumber rujukan utama hukum Islam dan
tumbuhnya sumber hukum lainnya, yakni ijma’ dan qiyas. Ketiga, diwarnai
dengan semangat ijtihad oleh para intelektual Muslim, dan aktifitas tasyri’ yang
paling penting adalah kodifikasi Sunnah (Hadits), sehingga para Mujtahid terbagi
dalam dua kelompok, Ahlul al-Hadits dan Ahlu ar-Ra’yi. Keempat, banyak terjadi
perdebatan seputar keabsahan dalil-dalil hukum dan metodologi penggaliannya,
maka muncullah teori ushul fikih yang menjadi acuan dasar mazhab-mazhab fikih
dalam proses penggalian hukum, dan periode ini disebut periode terbaik dalam
perjalanan tasyri’. Periode ini berjalan kurang lebih 1 abad. Kelima, periode ini
hanya berkutat pada area taklid dan pensyarahan hasil ijtihad para mujtahid
pada periode sebelumnya. Pada periode ini juga terjadi peperangan dalam kurun
waktu dua abad, yaitu Perang Salib. Pada periode ini tumbuh kesadaran umat
Islam atas ketertinggalannya sejak abad XII. Di antara disiplin ilmu yang lahir
berkaitan dengan ibadah atau syariah adalah Fiqih dan Ushul Fiqih.

56
B. Pembentukan Hukum Islam

1. Pengertian Fiqih

Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman yang mendalam
terhadap suatu hal. Beberapa ulama memberikan penguraian, bahwa arti
fikih secara terminologi yaitu merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum
Islam yang diperoleh melalui dalil Al-Quran dan Sunnah.

Menurut bahasa, fikih berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fikih berarti
ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syarak yang berkenaan
dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).
Orang yang mendalami fikih disebut dengan faqih. Jamaknya adalah fuqaha,
yakni orang-orang yang mendalami fikih.

Dalam kitab Durr al-Mukhtar disebutkan, bahwa fikih mempunyai dua makna,
yakni menurut ahli usul dan ahli fikih. Masing-masing memiliki pengertian dan
dasar sendiri-sendiri dalam memaknai fikih.

Menurut ahli usul, fikih adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syarak
yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil yang tafsil
(khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul mengartikan fikih adalah
mengetahui fikih, yakni mengetahui hukum dan dalilnya.

Menurut para ahli fikih (fuqaha), fikih adalah mengetahui hukum-hukum


syarak yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu:
wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Lebih lanjut, Hasan Ahmad
Khatib mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fikih Islam ialah
sekumpulan hukum syarak yang sudah dibukukan dari berbagai mazhab yang
empat atau mazhab lainnya, dan dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan
tabi’in, baik dari fuqaha yang tujuh di Madinah maupun fuqaha Mekah,
fuqaha Syam, fuqaha Mesir, fuqaha Irak, fuqaha Basrah, dan lain-lain.

Ulama lain mendefinisikan fiqih sebagai kemampuan untuk mengetahui


hukum-hukum syari’ah yang dihasilkan dengan metode ijtihad. (M. Maftuhin
ar-Raudi, 2015: 3)

57
Ahlu Al-Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam
menetapkan fikih, lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad
ketimbang hadits, dan Ahlu hadits merupakan kelompok di masa tabi’in yang
dalam pelegislasian hukum Islam, lebih dominan menggunakan hadits
ketimbang ra’yu. Ahl Ra’yi muncul lebih banyak di wilayah Irak, khususnya di
Basrah dan Kufah.

Menurut Muhammad al-Husein al-Hanafi, pada masa tabi’in diperkirakan


muncul pada masa awal berdirinya Bani Umayyah dan berakhir pada abad ke
II H. Dengan demikian, periode ini merupakan masa transisi antara sahabat
dengan masa timbulnya Imam-imam mazhab, baik dari kalangan Sunni atau
dari kalangan Syi’ah.

Pada priode ini dikenal dua kecenderungan dalam metode pelegislasian


hukum Islam. Pertama, aliran yang cenderung memberikan kelonggaran,
ketika menetapkan hukum suatu masalah dan metode ijtihadnya banyak
berorientasi kepada penalaran (ra’yi), qiyas serta kajian terhadap maksud
dan tujuan diturunkannya syari’ah Islam. Kedua aliran yang cenderung
bersifat ketat, ketika menetapkan hukum suatu masalah, sebab lebih
mengedepankan hadits ketimbang penalaran. Kedua kelompok yang berbeda
ini dikenal dengan ahlul ra’yi dan ahlul hadits. Bab ini akan mencoba
memaparkan lebih lanjut tentang faktor-faktor yang melatar belakangi
munculnya kedua aliran tersebut, metode istinbat hukum serta tokoh-
tokohnya dan sebagainya.

2. Ahl Ra’yu
a) Latar Belakang Kemunculan.

Ahl Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam
menetapkan fikih lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad
ketimbang hadits. Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Irak,
khususnya di Basrah dan Kufah. Menurut Muhammad Ali as-Sayis bahwa
munculnya aliran ini, sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni:

58
1) Keterikatan yang sangat kuat terhadap guru pertama mereka yaitu
Abdullah bin Mas’ud yang dalam metode ijtihadnya banyak
dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang sering
menggunakan ra’yu.
2) Minimnya mereka menerima hadits Nabi. Ini dikarenakan, mereka
hanya mengandalkan hadits yang disampaikan oleh para sahabat
yang datang ke Irak, seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas,
Ammar bin Yasir, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping
itu, mereka juga minim menggunakan hadits, sehingga mendorong
mereka untuk menggunakan ra’yu, juga dipengaruhi oleh ketatnya
proses seleksi mereka terhadap hadits dengan cara memberikan
kriteria-kriteria yang sangat sulit. Seleksi yang sungguh ketat yang
mereka terapkan, berpengaruh terhadap minimnya hadits yang dapat
diterima sebagai dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat yang
mereka lakukan ini, termotivasi oleh munculnya pemalsu-pemalsu
hadits yang kala itu jumlahnya tidak sedikit.
3) Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi
hukum. Masalah-masalah ini muncul, dikarenakan pesatnya
perkembangan budaya yang terjadi di Irak kala itu, terutama yang
berasal dari Persia, Yunani, Babilonia, dan Romawi dan ketika
budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran
Islam, maka harus dicari solusi hukumnya. Minimnya hadits yang
mereka peroleh menggiring mereka untuk menggunakan ra’yu.
b) Keistimewaan Ahl Ra’yu

Para ulama menyebutkan bahwa Ahl Ra’yu memiliki beberapa


keistimewaan tertentu, di antaranya: banyaknya hukum-hukum furu’iyah
yang mereka tetapkan, termasuk yang bercorak taqdiri yaitu hukum-
hukum yang bersifat kemungkinan. Sebab, masalahnya belum muncul
ketika itu. Ini sangat dimungkinkan, karena banyaknya peristiwa-
peristiwa baru yang mereka temukan, terutama yang berasal dari
budaya-budaya lokal yang lebih dahulu maju ketimbang Islam.

59
Munculnya masalah-masalah baru ini memberikan dampak terhadap
produktifitas kegiatan ilmiah mereka di bidang fikih, termasuk dalam
melahirkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap masalah yang belum
terjadi.

Dalam pelegislasian hukum, mereka tidak hanya memakai makna


tekstual saja, akan tetapi mereka juga memperhatikan apa yang menjadi
sebab (illat), hikmah dan relevansi syari’ah dengan peristiwa konkrit. Hal
ini dilakukan, karena syari’ah dipandang sangat cocok dengan akal
(ma’qul ma’na) dan diturunkan untuk memberikan maslahat kepada
manusia.

Selektifnya mereka dalam menerima suatu hadits, dengan memberikan


kriteria-kriteria yang ketat dalam penukilan suatu hadits, sehingga hanya
sedikit yang mampu selamat dari kriteria yang ketat dalam penukilan
suatu hadits. Hal ini, dilakukan agar sunnah Nabi dapat terpelihara
dengan baik, sebab pada saat itu banyak sekali muncul-muncul hadits
dha’if dan maudhu’. Ahlu Ra’yu lebih memilih untuk menggunakan akal
dalam mengambil hukum, karena: (1) Keyakinan akan keharusan
berfatwa; (2) Mereka tidak takut bertanya dan menjawab pertanyaan;
(3) Mereka bersemangat untuk menjawab masalah-masalah yang belum
terjadi; (4) Mereka meyakini fikih sebagai bangunan agama; (5) Mereka
merasa segan untuk menyampaikan hadits Rasulullah Saw; (6) Mereka
enggan untuk menerima pendapat ulama daerah lain. (7) Mereka fanatik
terhadap imamnya; dan (8) Mereka mampu menyimpulkan jawaban dari
perkataan imam-imam mereka. (Muhammad al-Khudhari Beik, 2007: ).
c) Tokoh-Tokohnya.

Beberapa tokoh yang termasuk dalam kelompok ahl ra’yu adalah sebagai
berikut:

1) Alqamah bin Qais an-Nakha’i (w. 62 H).


2) Masruq bin Hajda al-Hamadzani (w. 63).
3) Al-Qadi Syuraih bin Haris bin Qais (w. 78).

60
4) Sa’id bin Jubair (w. 95 H).
5) Al-Sya’bi Abu Amr bin Syarhil al-Hamadzani (w. 114).

Khulafaur Rasyidin yang dipandang cenderung kepada ra’yu adalah


Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan dari Imam Mazhab
yang empat Abu Hanifah terkenal sebagai Ahlu Ra’yu karena beliau
berada di Irak, yang jauh dari Hijaz, tempat para Muhadditsin.

3. Ahl Al-Hadits
a) Latar Belakang Kemunculan.

Sesuai dengan namanya, maka ahl al-hadits merupakan kelompok di


masa tabi’in yang dalam pelegislasian hukum Islam lebih dominan
menggunakan hadits ketimbang ra’yu. Kelompok ini merupakan kebalikan
dari ahl ra’yu. Kelompok ini berkembang di Hijaz (Mekah, Madinah dan
Thaif) dan memperoleh fikih dari Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abdullah bin
Abbas, dan Abdullah bin Umar.

Menurut para ulama, munculnya kelompok ini di wilayah Hijaz karena


dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya, adanya ketertarikan
terhadap metode yang digunakan guru-guru mereka terutama Abdullah
bin Umar yang sangat kuat berpegang pada hadits.

Banyaknya hadits yang mereka peroleh, sebab para sahabat yang hidup
pada zaman Nabi banyak yang tinggal di Hijaz, terutama di Mekah dan
Madinah.

Gaya hidup orang Hijaz yang sangat eksklusif dan tidak se-dinamis dan
se-heterogen di wilayah Irak. Masalah-masalah baru yang memerlukan
fatwa sangat minim sekali, hal ini, di samping karena penduduknya
cukup homogen dan juga jarang terjadi pergolakan seperti di Irak.

b) Keistimewaan.

Di antara bentuk-bentuk keistimewaan yang dimiliki kelompok ahl hadits


adalah: Pertama, sangat kuat berpegang terhadap hadits dan tidak

61
memberikan kriteria yang sangat ketat dalam penukilan hadits, sebab
mereka berpandangan, bahwa riwayat yang berasal dari penduduk Hijaz
adalah tsiqat. Kedua, tidak suka mempersoalkan atau mendiskusikan
masalah-masalah yang belum muncul karena akan mendorong
penggunaan ra’yu. Ketiga, dalam memahami suatu nash, sangat
berpatokan kepada makna zahir nash (tekstual) dan tidak mendiskusikan
lebih lanjut tentang alasan dan hikmah yang terkandung di dalam nash
tersebut. Keempat, tidak menggunakan ra’yu, kecuali pada saat
terpaksa.

c) Tokoh-Tokohnya.

Di antara tokoh-tokoh terkemuka dari kelompok ahl al-hadits adalah para


fuqaha yang tujuh, yaitu:

a. Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin Haris bin Hisyam (w. 94 H).
b. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H.)
c. Urwah bin Zubeir bin Awwam (w. 94 H.)
d. Sa’id bin al-Musayyab (w. 94 H.).
e. Sulaiman bin Yasar (w. 107 H).
f. Kharij bin Zaid bin Tsabit (w. 100 H.).
g. Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H.).
d) Metode Legislasi Hukum.

Ahlu al-Hadits, sesuai dengan namanya, sangat mengutamakan


penggunaan hadits ketimbang ra’yu. Setiap permasalahan yang muncul,
mereka mencari jawabannya di dalam Al-Quran, bila tidak diketemukan,
lalu mereka mencarinya di dalam hadits, meskipun berupa hadits âhâd.
Bila juga tidak diketemukan, maka mereka tidak mengeluarkan fatwa,
akan tetapi mereka tunda dan mencarinya dalam ucapan jama’ah
sahabat dan tabi’in, terutama pendapat para Khalifah Rasyidun dan para
fuqaha lainnya. Apabila terdapat perbedaan pendapat di kalangan
fuqaha, maka dilihat siapa yang paling wara’ dan paling banyak ilmunya.
Bila masih ada juga perbedaan pendapat, maka mereka memilih

62
pendapat yang lebih mendekati pemahaman mereka. Dengan demikian,
terlihatlah bahwa ra’yu digunakan dalam keadaan terpaksa, bila pada
sumber-sumber hukum utama tidak diketemukan keterangannya.

Ahlu al-Hadits dan Ahl Ra’yi adalah dua kecenderungan dalam metode
pelegislasian hukum Islam. Hal ini, dikarenakan faktor sumber hadits,
homogenitas dan heterogenitas penduduk yang mendiami tempat
tersebut. Ahlu Hadits yang berkembang di Hijaz, mempunyai banyak
sumber hadits, karena sahabat yang mendengar Nabi lebih banyak
tinggal di wilayah ini. Di samping itu, penduduknya juga termasuk
homogen yang tentu tidak akan melahirkan terlalu banyak persoalan.
Sedangkan Ahlu Ra’yi yang berkembang di Irak lebih sedikit
mendapatkan hadits, baik karena sumbernya atau kehati-hatian mereka
dalam menseleksi hadits karena banyaknya hadits maudhu’. Irak juga
dikenal dengan masyarakat yang heterogen dan berlatar berbagai
peradaban, percampuran peradaban inilah yang melahirkan berbagai
masalah yang membutuhkan pemecahan hukum.

Meski dikatakan sebagai Ahlu Ra’yi, mereka masih menggunakan hadits,


perbedaannya dengan Ahlu Hadits adalah dalam mendahulukan ra’yu
ketimbang hadits âhâd yang oleh Ahlu Hadits, hadits âhâd didahulukan
ketimbang ra’yu.

Urutan sumber hukum yang dipakai oleh Ahlu Hadits adalah:

a. Al-Quran.
b. Hadits.
c. Ijma’ (konsep ijma’ pada abad II).
d. Hadits Âhâd

C. Tujuan Utama Syari’ah (Maqashid al-Syariah)

Manusia dalam menjalani kehidupan ini memerlukan pedoman dan petunjuk


dalam upaya memaknai hakikat kehidupan mereka. Maka, Allah Swt menurunkan
pedoman berupa syariah. Tujuan utama dari syariah Allah Swt tersebut, tidak lain

63
untuk kemaslahatan umat manusia, agar mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Dengan demikian, ketetapan syariah itu untuk kepentingan umat
manusia, bukan untuk Allah, karena Allah tidak akan dirugikan, ketika manusia
tidak menjalankan pedoman hidup tersebut.

Lajnah pentashhihan Mushaf Al-Quran Kemenag RI (2013:18-25), menyatakan


tujuan pokok Allah sebagai pembuat syariah dalam mensyariatkan aturan hukum
adalah merealisasikan kemashlahatan manusia dalam kehidupan ini (tahqiq
masalihin-nas fi hadzihil hayah) dengan mendatangkan manfaat dan menolak
mahdarat dari mereka. Dalam kemaslahatan manusia dalam hidup ini terdiri dari
tiga macam, yaitu:
1. Mashlahat Dharury

Mashlahat dharury ialah kebutuhan yang menjadi dasar pijakan kehidupan


manusia, yang tidak boleh tidak harus terpenuhi, agar kemaslahatan mereka
berjalan dengan baik. Persoalan dharury ini mencakup lima hal, yaitu
kemaslahatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kebutuhan ini
diterjemahkan sebagai kebutuhan primer.
2. Mashlahat Hâjiy

Mashlahat Hâjiy ialah apa yang dibutuhkan manusia untuk memperoleh


kemudahan dan kelapangan dalam menaggung beratnya beban kehidupan.
Kebutuhan Hâjiy ini diartikan sebagai kebutuhan sekunder, yang mengacu
kepada upaya menghilangkan kesulitan dan meringankan beban hidup
manusia, serta mempermudah pergaulan dan transaksi di antara mereka.
3. Mashlahat Tahsiniy

Mashlahat Tahsiniy ialah sesuatu yang menjadi tuntunan tata krama


kehidupan yang nyaman menurut cara yang paling baik. Ini mengacu
kepada budi pekerti yang mulia, adat istiadat yang baik dan segala hal yang
dapat membawa kehidupan manusia, berjalan pada bentuk dan caranya yang
terbaik. Kebutuhan ini diterjemahkan sebagai kebutuhan tersier.

64
Ketiga kebutuhan (maslahat) di muka, memiliki urutan dan tingkat yang
tetap, di mana kebutuhan primer (dharury), berada dalam tingkat tertinggi
dan tidak bisa digeser oleh kebutuhan sekunder (hâjiy), atau kebutuhan
tersier (tahsiniy). Kebutuhan tahsiniy bersifat penyempurnaan (mukamalah)
dari kedua kebutuhan sebelumnya, maka kebutuhan tersier ini tidak bisa
didahulukan atau dikedepankan, sebelum kebutuhan dharury dan Hâjiy
terpenuhi.

Yang menjadi inti dari tujuan syariah ialah adanya kemaslahatan dharury
bagi setiap umat manusia. Para ulama hukum Islam menyebutnya dengan
istilah ad-dharuriyyat al-khams (lima hal yang bersifat penting dan
mendasar). Maka, ketika seseorang telah terpenuhi oleh lima kebutuhan
primer tersebut, dia telah mendapatkan kemaslahatan dalam hidupnya.

Ad-Dlaruriyyat al-khams (M. Maftuhin ar-Raudli, 2015: 172-179) ini dapat


dijelaskan sebagai berikut:
a) Menjaga agama (hifdzu ad-dien)

Menjaga agama merupakan dlaruriyyat yang terpenting dan berada pada


urutan tertinggi. Dengan agama, manusia dapat membedakan mana
yang benar-benar hak dan mana yang benar-benar batil, karena akal
manusia tidak cukup untuk digunakan mencari kebenaran tanpa petunjuk
wahyu. Dengan agamalah, seorang manusia bisa beribadah kepada
Rabbnya dengan benar. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-
Dzâriyât, (51): 56

∩∈∉∪ Èβρ߉ç7÷èu‹Ï9 āωÎ) }§ΡM}$#uρ £Ågø:$# àMø)n=yz $tΒuρ


Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.
b) Menjaga jiwa (hifdhun an-nafs)
Ad-dien tidak akan bisa tegak, jika tidak ada jiwa-jiwa yang
menegakkannya. Untuk menjaga dan memuliakan jiwa-jiwa itu, maka
Allah Swt, berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 179

65
∩⊇∠∪ tβθà)−Gs? öΝà6¯=yès9 É=≈t6ø9F{$# ’Í<'ρé'¯≈tƒ ×ο4θuŠym ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ’Îû öΝä3s9uρ
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
Dalam ayat ini, Allah Swt menjadikan qishash sebagai salah satu sebab
kelestarian kehidupan, padahal qishash itu sendiri merupakan kematian.
Dengan keberadaan hukum qishash, maka para perilaku kriminal menjadi
jera, dan kehidupan pun menjadi aman.

Untuk menjaga jiwa, agar jiwa ini tetap sehat, selain diberlakukan hukum
qishash, juga hendaklah dibiasakan dengan dzikir (mengingat Allah) dan
membaca Al-Quran QS Al-Anfâl, (8):2

öΝÍκöŽn=tã ôMu‹Î=è? #sŒÎ)uρ öΝåκæ5θè=è% ôMn=Å_uρ ª!$# tÏ.èŒ #sŒÎ) tÏ%©!$# šχθãΖÏΒ÷σßϑø9$# $yϑ¯ΡÎ)

∩⊄∪ tβθè=©.uθtGtƒ óΟÎγÎn/u‘ 4’n?tãuρ $YΖ≈yϑƒÎ) öΝåκøEyŠ#y— …çµçG≈tƒ#u

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut


nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah
mereka bertawakkal.
Lihat pula QS. Al-Baqarah, (2): 2-5, 277; QS. Al-An’âm, (6): 48; QS. Al-
Fath, (48):2-5; QS. Al-Ikhlash (112):1-5.
c) Menjaga akal (hifzhu al-‘aql)

Allah telah memuliakan manusia dengan akal. Dengan akal manusia


menjadi paling mulia, dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain.
Dengan akal, manusia dapat beribadah kepada Allah dengan benar.
Untuk menjaga akal, manusia perlu terus menuntut ilmu, bukankah
wahyu yang pertama kali turun, memerintahkan kepada kita untuk
membaca (iqra’), karena dengan membaca, merupakan jalan untuk
mendapatkan ilmu, meskipun bukan jalan satu-satunya. Dengan akal
manusia mampu menjalankan tugasnya sebagai seorang khalifah, yakni
imaratul ardli, yakni mengelola bumi dengan sebaik-baiknya.

66
Ilmu ini wajib diiringi dengan amal perbuatan. Ilmu bukan sekedar untuk
diketahui, namun dengan ilmu agar bertakwa, beramal shalih, juga
menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Misalnya dengan minum
minuman keras atau sejenis narkoba, karena kedua jenis perbuatan ini
dapat merusak akal dan tidak dapat menjaga kemurnian akal.
d) Menjaga keturunan (hifzhu an-nasl)

Menjaga keturunan merupakan hal yang sangat penting, karena sebagai


sarana untuk melanjutkan generasi penerus yang akan datang. Maka,
Islam mengharamkan perbuatan zina, sebaliknya menganjurkan nikah
dengan cara yang benar.

QS. Al-Isrâ`(17): 32

∩⊂⊄∪ Wξ‹Î6y™ u!$y™uρ Zπt±Ås≈sù tβ%x. …絯ΡÎ) ( #’oΤÌh“9$# (#θç/tø)s? Ÿωuρ


Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.
Dengan diharamkannya zina, maka umat manusia akan terjaga dari
ketidakjelasan garis keturunan. Dengan diharamkannya zina pula,
manusia dapat dibedakan dari hewan dalam perilakunya.

Dengan penjagaan syari’ah, agar manusia menjauhkan diri dari


perbuatan zina, adalah disyari’ahkannya pernikahan dan membolehkan
poligami (bagi yang mampu berbuat adil bagi istri-istrinya).

QS. Al-Nisâ`(4): 3

Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù 4‘uΚ≈tGu‹ø9$# ’Îû (#θäÜÅ¡ø)è? āωr& ÷Λäø%Åz ÷βÎ)uρ

ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? āωr& óΟçFø%Åz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ

∩⊂∪ (#θä9θãès? āωr& #’oΤ÷Šr& y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr&

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, maka

67
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
e) Menjaga harta (hifzhu al-mal)

Bagian terakhir dari al-dharuriyyat al-khams adalah menjaga harta,


sesuatu yang menjadi penopang hidup, kesejahteraan dan kebahagiaan.
Di antara upaya Syari’ menjaga harta adalah firman-Nya dalam QS. Al-
Nisâ`(4): 5

$pκŽÏù öΝèδθè%ã—ö‘$#uρ $Vϑ≈uŠÏ% ö/ä3s9 ª!$# Ÿ≅yèy_ ÉL©9$# ãΝä3s9≡uθøΒr& u!$yγx%¡9$# (#θè?÷σè? Ÿωuρ

∩∈∪ $]ùρâ÷÷ê¨Β Zωöθs% öΝçλm; (#θä9θè%uρ öΝèδθÝ¡ø.$#uρ


Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik.
Lihat QS Al-Mâ`idah, (5): 38; QS Al-Isrâ`(17): 27-27
D. Fiqih sebagai Metode Pembentuk Hukum Islam (Tasyri’)

Syari’ah adalah konsep substansial dari seluruh ajaran Islam, meliputi aspek
keyakinan, moral dan hukum, sedangkan fiqih merupakan upaya untuk
memahami ajaran Islam. Jadi, fiqih cenderung sebagai konsep fungsional, akan
tetapi dalam perkembangan terakhir, fiqih difahami oleh ahli ushul fiqih
(ushuliyyun), sebagai hukum praktis hasil ijtihad, sementara fuqaha (ahli fiqih)
umumnya mengartikan fiqih, sebagai kumpulan hukum Islam yang mencakup
semua hukum syar’i, baik yang tertuang secara tekstual, maupun hasil penalaran
atas teks. Dengan demikian, terdapat pergeseran konsep fungsional menuju
konsep institusional. Terlepas dari dua konsep tersebut, pada dasarnya fiqih
merupakan mata rantai dengan syari’ah yang berdimensi teologis. (Supriadi,
2007: 26)

Fiqih diartikan sebagai upaya pemahaman atas hukum-hukum syariah yang


bersifat ‘amali (praktis), yang digali melalui dalilnya yang terperinci. Dalil-dalil
fiqih tetap bersumber dari dua landasan syari’ah, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah,
serta melalui metode penggalian hukum yang disebut Ushul Fiqih. Maka, fiqih

68
merupakan bagian dari syari’ah, karena syari’ah – seperti yang telah dijelaskan di
awal – mengatur aktivitas batin (i’tiqad), dan lahir (ibadah dan mu’amalah).

Orang yang pertama kali membuat teori ushul fiqih adalah Abu Yusuf, sahabat
Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, tidak terdapat satu pun karya beliau yang
sampai kepada generasi setelahnya. Maka, para ulama sependapat bahwa Imam
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i yang meninggal tahun 204 H. adalah yang
pertama kali menyusun teori ushul fiqih sebagai pengantar, yakni Al-Risalah.
(Syaikh Muhammad al-Khudhori Bik, 2007: 5).

Fiqih adalah metode dan upaya manusia untuk memahami syari’ah atau hukum-
hukum Allah Swt, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Fiqih sifatnya
berubah-ubah, sesuai dengan konteks zaman yang dijalani oleh manusia itu
sendiri dan tempat mereka tinggal. Maka, wajar sekali ketika ketentuan fiqih
yang dikeluarkan fuqaha itu memiliki perbedaan, dan fiqih pun bukanlah
ketetapan Allah Swt yang bersifat kekal.

Proses pembentukan fiqih atau peraturan perundang-undangan disebut dengan


al-Tasyri’ secara istilah atau terminologi adalah penerapan peraturan, penjelasan
hukum-hukum, dan penyusunan perundang-undangan. Oleh karena itu, ia
mencakup produk dan proses pembentukan fiqih atau perundang-undangan.
(Supriadi, 2007: 32).

Sumber-sumber yang menjadi landasan fiqih terdiri dari nash-nash Al-Quran, As-
Sunnah, dan ar-Ra’yu (akal). Landasan tersebut diambil dari cerita Rasulullah
Saw ketika akan mengirimkan sahabatnya yang bernama Mu’adz bin Jabal
berangkat dari Madinah untuk menyampaikan surat kepada Gubernur di Yaman
untuk perang.

69
‫ﷲ َﺻ ّﲇ‬ ِ ‫ﲱ ِﺎب ُﻣ َﻌﺎ ٍذ ْ ِﻦ َﺟ َ ٍﻞ ن َر ُﺳ ْﻮ َل‬ َ ْ ‫َﻋ ْﻦ َ ٍﺲ ِﻣ ْﻦ ﻫ ِْﻞ َ ْﲪﺺ ِﻣ ْﻦ‬
‫ َﻛ ْﻴ َﻒ ﺗَ ْﻘ ِﴤ اذ َا‬: ‫ﷲ (َﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳ ّ َﲅ ﻟَﻤﺎ َرا َد ْن ﻳ َ ْﺒ َﻌ َﺚ ُﻣ ًﻌﺎ ًذا ا َﱄ اﻟْ َﻴ َﻤ ِﻦ ﻗَﺎ َل‬ ُ
4 ِ 4
ِ ‫َ ِﺎب‬C‫ُﻋ ِﺮ َض َ َ> ﻗَﻀَ ﺎ ٌء ؟ ﻗَﺎ َل ْﻗ ِﴤ ِ ِﻜ‬
‫ ﻓَ ْٕﺎ ْن ﻟَ ْﻢ َﲡ ِْﺪ ِﰲ ﻛ َﺘ ِﺎب‬: ‫ ﻗَﺎ َل‬،‫ﷲ‬
‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮل‬ ِ ‫ﻨ ِﺔ َر ُﺳ‬O‫ ﻓَﺎ ْن ﻟَﻢ َﲡ ِْﺪ ِﰲ ُﺳ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬،‫ﷲ‬ ِ ‫ﻨّ ِﺔ َر ُﺳ ْﻮ ِل‬O‫ ُﺴ‬Qِ َ‫ ﻓ‬: ‫ﷲ ؟ ﻗَﺎ َل‬ ِ
4
‫ﷲ َﺻ ّﲇ‬ ِ ‫ﴬ َب َر ُﺳ ْﻮ ُل‬ ََ َ‫ ﻓ‬.‫ ِ ْﱚ َو َﻻ ﻟُﻮ‬U ‫ ْﺟﳤَ ِ ﺪُ َر‬: ‫ﷲ؟ ﻓَﺎ َل‬ ِ ‫َو َﻻ ِ ْﰲ ِﻛ َﺘ ِﺎب‬
‫ﷲ ِﻟ َﻤﺎ‬ِ ‫ ّ ِا\ي َوﻓَ َﻖ َر ُﺳ ْﻮ ُل َر ُﺳ ْﻮ ِل‬Zِ ّ ِ ُ‫ َاﻟْ َﺤ ْﻤﺪ‬:‫ﷲ (َﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳ ّ َﲅ َﺻ ْﺪ َر ُﻩ َوﻗَﺎ َل‬ ُ
(‫ )رواﻩ ٔﺑﻮ داود‬. ‫ﷲ‬ ِ ‫_َ ْﺮ َﴈ َر ُﺳ ْﻮ ُل‬
Dari Unas penduduk Hams sahabat Mu’adz ibn Jabal, sesungguhnya Rasulullah
Saw bermaksud mengutus Mu’adz (untuk memimpin perang) ke Yaman, ia
bertanya:’ Bagaimana engkau akan memutuskan apabila menghadapi suatu
perkara?’. (Mu’adz) menjawab:” Aku akan memutuskan dengan Kitabullah (Al-
Quran)”. Nabi bertanya (kembali):” Apabila engkau tidak menemukan
Kitabullah?”. Mu’adz menjawab: ’Dengan Sunnah Rasulullah Saw. Nabi bertanya
(kembali): ”Jika kamu tidak menemukan dalam Sunnah Rasul maupun
Kitabullah”. (Mu’adz) menjawab: ’Aku akan bersungguh-sungguh (ijtihad) dengan
(menggunakan) akalku”. Maka, Rasulullah Saw menepuk dadanya dan bersabda:
”Segala puji bagi Allah, karena sesuai pandangan Rasulullah dengan utusan
Rasulullah.
Dari hadits di atas, Rasulullah Saw sudah mengisyaratkan akan hal-hal atau
masalah yang hukumnya belum terdapat dalam Al-Quran dan as-Sunnah, maka
akal memilih tempat untuk pengambilan hukum dalam Islam. Dalam Ash-
Shiddieqy (1997:23) dan Ali (2007:76) disebutkan, bahwa sumber hukum Islam
itu tidak hanya tiga hal di atas, melainkan Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan ar-
Ra’yu atau dalil akal (Ijtihad), menurut pendapat Imam Syafi’i dalam bukunya
yang fenomenal, ar-Risalah.

Untuk mendapatkan sebuah hukum fiqih harus melewati sebuah proses yang
disebut ijtihad, dan yang melakukan hal tersebut disebut Mujtahid. Ash-Shiddieqy
(1997: 50-53), ijtihad ialah kesanggupan mengistimbatkan atau mengeluarkan
hukum syarak dari dalil syarak yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, seperti yang

70
dikatakan al-‘Alamah al-Khudlari al-Ijtihadu huwa badzlu al-juhdi fi istimbati al-
hukmi asy-syar’i min ma i’tibaru asy-syari’u dalilan”. Batasan ijtihad adalah hal-
hal yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan AS-Sunnah.

Terdapat banyak sekali metode atau jalan dalam mengistimbathkan hukum


(ijtihad) yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Berikut ini beberapa
contoh dari metode mengistimbatkan hukum:

1. Al-Ijma’, ialah perkumpulan para ulama untuk merundingkan suatu masalah


yang telah terjadi, tetapi tidak terdapat hukumnya dalam Al-Quran dan As-
Sunnah untuk mendapatkan kesepakatan hukum.

2. Al-Qiyas, adalah mengembalikan sesuatu kepada maksud Syarak. Misalnya,


Allah Swt mengharamkan arak (khamr), karena merusakkan akal,
membinasakan badan, dan menghabiskan harta. Maka, segala minuman atau
sesuatu yang keadaannya seperti itu, tentunya mendapatkan hukum yang
sama. Misalnya: narkoba, miras, dan lain-lain.

3. Istibdal ialah menggunakan sesuatu sebagai dalil, atau menegakkan dalil


untuk suatu hukum. Istibdal tujuannya untuk mencari dalil tanpa
menentukan ‘illat, karena kalau menentukan ‘illat disebut sebagai qiyas.
Contohnya apabila seseorang mengeluarkan angin dari duburnya, maka
wudhunya gugur, dan dengan sendirinya shalatnya juga gugur.

4. Istishab, ialah menegakkan apa yang telah ada, terhadap keadaan yang telah
ada, karena tidak ada yang merubah hukum, atau karena sesuatu yang
belum diyakini. Contohnya, ketika seseorang mempunyai wudhu, kemudian
ada keraguan dalam hatinya kalau wudhunya batal. Maka, hendaklah ia
menetapkan hukum semula, yakni ada wudhu. (Abdul Karim Amrullah; 1985:
119)

5. Saddudz Dzâri’ah, ialah mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan,


atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan.
Saddudz Dzâri’ah adalah tindakan untuk pencegahan atau tindakan preventif.

71
6. Al-‘Adah al-‘Urf, ialah sesuatu yang dikehendaki manusia dan mereka kembali
terus menerus melakukannya. Al-‘Adah tersebut lama kelamaan, menjadi
sebuah hukum tak tertulis yang terjadi di masyarakat.

E. Pengertian Ushul Fiqih

Ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang digunakan sebagai alat untuk merumuskan
hukum-hukum syarak dari dalil-dalilnya. Sedangkan objek ushul fiqih adalah dalil
sama’i (yang di dengar langsung dari sutu teks, Al-Quran dan Al-Hadits), dimana
ilmu ini, dengan berbagai kondisinya sampai pada kemampuan, untuk
menetapkan berbagai hukum yang mengatur perbuatan mukallaf. Objek ini pada
hakikatnya mengandung unsur antara lain : dalil, karakter (sifat), dan berbagai
jenisnya. (Muhammad al-Khudhori Beik, 2007: 18, 20)

Hukum.

Definisi hukum menurut ahli ushul fiqih (Ushuliyyin) adalah Khitab (kalam, titah)
Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan
atau penetapan. Sedangkan menurut ahli fiqih (fuqaha), hukum adalah suatu
karakter (sifat) yang merupakan implikasi dari khitab tersebut.

Dalam pengertian hukum, terdapat perbedaan terminologi, para ahli ushul


menjadikan hukum sebagai ilmu tentang khitab asy-Syar’i, yang menuntut
mukallaf untuk berbuat atau menyuruh memilih antara berbuat atau tidak, atau
khitab itu menjadi suatu sebab, syarat atau penghalang atas suatu perbuatannya.
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 43

∩⊆⊂∪ tÏèÏ.≡§9$# yìtΒ (#θãèx.ö‘$#uρ nο4θx.¨“9$# (#θè?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ


Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'
QS. Ali Isrâ` (17): 32

∩⊂⊄∪ Wξ‹Î6y™ u!$y™uρ Zπt±Ås≈sù tβ%x. …絯ΡÎ) ( #’oΤÌh“9$# (#θç/tø)s? Ÿωuρ


Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.

72
QS. Al-Jumu`ah (62): 9

«!$# ̍ø.ÏŒ 4’n<Î) (#öθyèó™$$sù Ïπyèßϑàfø9$# ÏΘöθtƒ ÏΒ Íο4θn=¢Á=Ï9 š”ÏŠθçΡ #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ

∩∪ tβθßϑn=÷ès? óΟçGΨä. βÎ) öΝä3©9 ׎öyz öΝä3Ï9≡sŒ 4 yìø‹t7ø9$# (#ρâ‘sŒuρ


Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang
demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
QS. Al-Mâidah (5): 2

y‰Íׯ≈n=s)ø9$# Ÿωuρ y“ô‰oλù;$# Ÿωuρ tΠ#tptø:$# töꤶ9$# Ÿωuρ «!$# uŽÈ∝¯≈yèx© (#θ/=ÏtéB Ÿω (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ

(#ρߊ$sÜô¹$$sù ÷Λäù=n=ym #sŒÎ)uρ 4 $ZΡ≡uθôÊÍ‘uρ öΝÍκÍh5§‘ ÏiΒ WξôÒsù tβθäótGö6tƒ tΠ#tptø:$# |MøŠt7ø9$# tÏiΒ!#u Iωuρ

¢ (#ρ߉tG÷ès? βr& ÏΘ#tptø:$# ωÉfó¡yϑø9$# Çtã öΝà2ρ‘‰|¹ βr& BΘöθs% ãβ$t↔oΨx© öΝä3¨ΖtΒ̍øgs† Ÿωuρ 4

¨βÎ) ( ©!$# (#θà)¨?$#uρ 4 Èβ≡uρô‰ãèø9$#uρ ÉΟøOM}$# ’n?tã (#θçΡuρ$yès? Ÿωuρ ( 3“uθø)−G9$#uρ ÎhŽÉ9ø9$# ’n?tã (#θçΡuρ$yès?uρ

∩⊄∪ É>$s)Ïèø9$# ߉ƒÏ‰x© ©!$#

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang hadyu (hewan-hewan kurban), dan binatang-binatang qalâ’id
(hewan-hewan kurban yang diberi tanda) , dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitullah, sedang mereka mencari karunia dan
keridhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
Maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum, karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
QS. Al-Isrâ’ (17) :78

̍ôfx%ø9$# tβ#uöè% ¨βÎ) ( ̍ôfx%ø9$# tβ#uöè%uρ È≅ø‹©9$# È,|¡xî 4’n<Î) ħôϑ¤±9$# Ï8θä9à$Î! nο4θn=¢Á9$# ÉΟÏ%r&

∩∠∇∪ #YŠθåκô¶tΒ šχ%x.

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).

73
Semua teks ayat tersebut di atas, menurut ahli ushul fiqih merupakan ketetapan
hukum. Sedangkan menurut ahli fiqih, hukum itu adalah sifat yang merupakan
implikasi dari khitab tersebut, seperti kewajiban shalat, petunjuk untuk mencatat
hutang, keharaman zina, kemakruhan jual beli di waktu adzan dikumandangkan,
pembolehan berburu setelah melakukan ihram, penyebab wajibnya shalat,
karena tergelincirnya matahari (dari titik kulminasi) dan menjadikan penghalang
bagi seorang pembunuh terhadap penerimaan harta waris.

Dari definisi di atas, menjadi jelas, bahwa hukum terbagi dua: hukum taklifi dan
hukum wadh’i.
1. Hukum Taklifi

Hukum taklifi ada lima macam: Ijab (Wajib), Nadab (Sunnat), Tahrim
(Haram), Karhah (Makruh), dan Takhyir (pilihah).

Setelah ahli ushul fiqih memperhatikan dan menyelidiki berbagai macam


khitab syarak, mereka menemukan bahwa khitab itu ada lima:

a. Ijab, yaitu tuntutan atas suatu perbuatan secara pasti dan tegas.

Contoh: QS Al-Nisâ` (4): 36

4’n1öà)ø9$# “É‹Î/uρ $YΖ≈|¡ômÎ) Èøt$Î!≡uθø9$$Î/uρ ( $\↔ø‹x© ϵÎ/ (#θä.Ύô³è@ Ÿωuρ ©!$# (#ρ߉ç6ôã$#uρ

É=Ïm$¢Á9$#uρ É=ãΨàfø9$# Í‘$pgø:$#uρ 4’n1öà)ø9$# “ÏŒ Í‘$pgø:$#uρ ÈÅ3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ

tβ%Ÿ2 tΒ =Ïtä† Ÿω ©!$# ¨βÎ) 3 öΝä3ãΖ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒuρ È≅‹Î6¡¡9$# Èø⌠$#uρ É=/Ζyfø9$$Î/

∩⊂∉∪ #·‘θã‚sù Zω$tFøƒèΧ

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan


sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil, dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri,

74
Pengaruh ijab pada perbuatan adalah wajib.
b. Tahrim, yaitu tuntutan untuk meninggalkan perbuatan secara pasti

Contoh:

QS Al-Isrâ’ (17): 23

x8y‰ΨÏã £tóè=ö7tƒ $¨ΒÎ) 4 $·Ζ≈|¡ômÎ) Èøt$Î!≡uθø9$$Î/uρ çν$−ƒÎ) HωÎ) (#ÿρ߉ç7÷ès? āωr& y7•/u‘ 4|Ós%uρ

Zωöθs% $yϑßγ©9 ≅è%uρ $yϑèδöpκ÷]s? Ÿωuρ 7e∃é& !$yϑçλ°; ≅à)s? Ÿξsù $yϑèδŸξÏ. ÷ρr& !$yϑèδ߉tnr& uŽy9Å6ø9$#

∩⊄⊂∪ $VϑƒÌŸ2

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah


selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya, perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.
c. Nadab, yaitu tuntutan melakukan suatu perbuatan secara tidak pasti, dan
ketidakpastian itu diambil dari qarinah-qarinah (indakator-indikator) yang
mengurangi tuntutan sehingga beralih dari pengertian wajib

Contoh:

QS. Al-Baqarah (2): 282

… 4 çνθç7çFò2$$sù ‘wΚ|¡•Β 9≅y_r& #’n<Î) Aøy‰Î/ ΛäΖtƒ#y‰s? #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'¯≈tƒ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Firman Allah ini dialihkan dari pengertian wajib oleh firman Allah yang
lain QS Al-Baqarah (2): 283

zÏΒr& ÷βÎ*sù ( ×π|Êθç7ø)¨Β Ö≈yδ̍sù $Y6Ï?%x. (#ρ߉Éfs? öΝs9uρ 9x%y™ 4’n?tã óΟçFΖä. βÎ)uρ *

(#θßϑçGõ3s? Ÿωuρ 3 …çµ−/u‘ ©!$# È,−Gu‹ø9uρ …çµtFuΖ≈tΒr& zÏϑè?øτ$# “Ï%©!$# ÏjŠxσã‹ù=sù $VÒ÷èt/ Νä3àÒ÷èt/

∩⊄∇⊂∪ ÒΟŠÎ=tæ tβθè=yϑ÷ès? $yϑÎ/ ª!$#uρ 3 …çµç6ù=s% ÖΝÏO#u ÿ…絯ΡÎ*sù $yγôϑçGò6tƒ tΒuρ 4 nοy‰≈y㤱9$#

75
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai),
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah
ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. Dan Barangsiapa yang menyembunyikan-
nya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Mereka menamakan hukum ini nadab (Sunnah) dan menamakan sifat
perbuatan yang merupakan pengaruh khitab juga nadab (sunnah).
d. Karahah, yaitu tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara tidak
pasti. Ketidakpastian itu juga diambil dari indikator yang mengurangi
tuntutan, sehingga beralih dari pengertian haram.

Contoh:

QS. Al-Jumu`ah (62): 9

4’n<Î) (#öθyèó™$$sù Ïπyèßϑàfø9$# ÏΘöθtƒ ÏΒ Íο4θn=¢Á=Ï9 š”ÏŠθçΡ #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ

∩∪ tβθßϑn=÷ès? óΟçGΨä. βÎ) öΝä3©9 ׎öyz öΝä3Ï9≡sŒ 4 yìø‹t7ø9$# (#ρâ‘sŒuρ «!$# ̍ø.ÏŒ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat


Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
Tuntutan ini sama dengan ucapan “jangan melakukan jual beli,” dan
telah dialihkan dari pengertian haram. Larangan itu adalah karena suatu
hal di luar konteks yang dilarang. Para ulama menamakan hukum ini
karahah, sehingga dikenal dengan pengertian makruh.
e. Takhyir, yaitu perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Swt untuk
memilih antara melakukan atau tidak. Mereka menamakan khitab ini
ibahah (mubah), dan demikian pula sifat perbuatan itu. (Syaikh
Muhammad al-Khudhari Beik, 2007: 60-63).

Berbicara tentang fiqih tidak bisa lepas dari kontribusi pemikiran dan
ijtihad Imam Mazhab yang sangat fenomenal pada masanya dan terus

76
menjadi pegangan umat Islam sampai saat ini, mereka adalah Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal,
maka pada bagian berikutnya akan diuraikan biografi Imam Mazhab
empat tersebut secara singkat.

F. Mengenal Biografi 4 Imam Mazhab

1. Abu Hanifah

Abu Hanifah lahir di Kufah tahun 80 H. berasal dan wafat sekitar tahun 150 H
atau 153 H. Beliau dari keturunan Nu’man bin Tsabit bin Marzaban, seorang
penguasa keturunan Persia. Ada juga yang mengatakan nasabnya adalah
Nu’man bin Tsabit az-Zauthi al-Farisi, artinya Abu Hanifah adalah seorang
Persia. Sejak masa kanak-kanak Abu Hanifah yang sering disebut Tsabit telah
menghafal Al-Quran, dan belajar ilmu Qira’ah, mempelajari fatwa para
sahabat yang berasal dari murid-muridnya, seperti al-Auza’i dan Sufyan ats-
Tsauri, belajar ilmu adab (satra) dan nahwu, ilmu kalam, dan ilmu-ilmu yang
berkembang pada masanya.

Pada awalnya, Abu Hanifah berprofesi sebagai pedagang, tetapi atas nasihat
seorang ulama yang melihat kecerdasannya, mendorong Abu Hanifah untuk
sering menuntut ilmu, karena kesibukannya di pasar, hingga ia berhenti ke
pasar dan terus menekuni ilmu dari para ulama di masanya. Di antara
gurunya adalah Hammad bin Abu Sulaiman, ia belajar dengan gurunya
selama 18 tahun, hingga wafat gurunya. Imam Hanafi juga berguru kepada
ahlul bait seperti Zaid bin Ali, Muhammad al-Baqir, dan Abu Ja’far ash-
shiddiq. Sementara Murid Abu Hanifah yang cukup terkenal adalah Abu Yusuf
dan Muhammad bin Hasan.

Abu Hanifah hidup di antara masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah.
Beliau lahir, tumbuh, dan belajar di Irak di akhir kekuasaan Umawiyyah dan
awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah dihuni oleh beragam ras, seperti Persia,
Romawi, India, dan Arab, maka lahirlah berbagai persoalan sosial. Setiap

77
masalah punya hukumnya tersendiri menurut Islam. Karena Islam adalah
syari’ah universal yang memberikan hukum “boleh” dan “tidak boleh” untuk
setiap kejadian. Syari’ah Islam juga membahas masalah-masalah seperti ini
dan memperluas cakrawala berpikir seorang fuqaha, serta mempertajam
kemampuannya dalam menyimpulkan hukum.

Selain masyarakatnya yang heterogen, Irak juga memiliki kelebihan lain. Irak
adalah tempat tumbuh dan lahirnya berbagai firqah dan mazhab yang saling
bertentangan, seperti Syi’ah moderat dan ekstrim, Muktazilah, Jahmiyah,
Qadariyah, dan Murji’ah. Dan kedudukannya sebagai pusat pertarungan
intelektual telah dimulai sejak zaman pra Islam. Maka tidak jarang terjadi
perdebatan antara ulama Hijaz dan ulama Kufah/Irak. Abu Hanifah sering
berdebat dengan al-Auzai dan Imam Malik pada musim haji di Hijaz.

Para Ulama Kufah termasuk Abu Hanifah lebih memilih untuk memutuskan
hukum dengan ra’yu/akal, ketika beliau tidak menemukan dalam Al-Quran
atau Hadits yang shahih sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Ibnu
Mas’ud yang tinggal di Irak, karena jika menggunakan hadits yang tidak
shahih ada kekhawatiran termasuk golongan yang berdusta atas nama
Rasulullah Saw, maka para ulama yang ada di Kufah, baik sahabat maupun
tabi’in dikenal sebagai ahlu ra’yu.

Dalam kitab al-Fihris karya Ibnu Nadim disebutkan, Abu Hanifah menulis
empat kitab: al-Fiqh al-Akbar, al-‘Alim wa Muta’allim, Risalah ila Utsman bin
Muslim al-Batti tentang kaitan iman dan amal, serta ar-Rad ‘ala al-Qadariyah,
tentang ilmu kalam. (Syaikh Abdul aziz asy-Syinawi, 2015: 121)

Karya Imam Abu Hanifah (Abdul Aziz asy-Syinawi, 2016: 21-60), di


antararanya yang dituliskan oleh muridnya, Imam Abu Yusuf: Al-Kharraj, al-
Khilaf baina Abi Hanifah wa Ibnu Abi Laila, dan ar-Rad ‘ala Siyar al-Auza’i,
(Abdul Aziz asy-Syinawi, 2015: 441)

Ash-Shiddieqy (1997:442) menjelaskan tentang metode pengambilan dalil


yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang dikumpulkan dalam Tarikh al-

78
Khatib dan al-Intiqa’ ialah al-Kitab, as-Sunnah, Ija’, dan fatwa Sahabat.
Dalam Nash lain dijelaskan bahwa dalil fiqih Imam Abu Hanifah ialah : Al-
Kitab, as-Sunnah, al-Ijma’, al-Qiyas, al-Istihsan, dan al-‘Urf.

2. Imam Malik bin Anas

Para Ulama berselisih pendapat mengenai kelahiran Imam Malik bin Anas.
Ada yang berpendapat beliau lahir tahun 90 H., ada yang berpendapat 93 H,
94 H, 95 H, 96, dan 98 H. Beliau sendiri mengatakan lahir pada tahun 93 H.
Beliau memiliki banyak keistimewaan, di antaranya beliau lahir setelah
berada dalam kandungan ibunya selama 3 tahun. Imam Malik wafat pada 14
Rabi’ul Awal 179 H. pada masa Khalifah Abbasiyah, Harun ar-Rasyid. (Abdul
Aziz asy-Syanawi, 2015: 382)

Imam Malik bin Anas berasal dari keturunan kabilah Yaman, yaitu Dhul
Ashbahy. Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik Abi Amir
Ashbahy al-Yamany. Kunyah atau panggilan Malik bin Anas adalah Abu
Abdillah.

Malik tumbuh besar di keluarga yang disibukkan dengan ilmu atsar, serta
lingkungan yang seluruhya adalah atsar dan hadits. Adapun rumahnya
sendiri, merupakan rumah yang disibukkan dengan ilmu hadits, telaah atsar-
atsar, kabar-kabar serta fatwa para sahabat. Kakeknya, Malik bin Abi Amir
termasuk salah seorang pemuka dan ulama Tabi’in. Ia pernah meriwayatkan
hadits dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Umul
Mukminin Aisyah. Sedangkan orang-orang yang pernah meriwayatkan hadits
darinya adalah Anas, ayahanda Malik, Rabi’, dan Nafi’ yang digelari Abu Sahl.
Mayoritas dari mereka sangat perhatian terhadap periwayatan hadits. Oleh
sebab itulah, mereka termasuk dari guru-guru Ibnu Shihab az-Zuhri.

Lingkungan tempat Malik bin Anas tumbuh besar adalah kota dan tempat
hijrah Rasulullah Saw, Negeri Syari’ah, tempat terpancarnya cahaya, basis
hukum Islam yang pertama, serta kubah Islam di masa Khalifah Abu Bakar,
Umar, dan Utsman. Pada masa kekhalifahan Bani Umayyah, Madinah tetap

79
menjadi tempat sandaran syari’ah dan rujukan para ulama, hingga para
sahabat Rasulullah.

Pada masa pertumbuhan Malik bin Anas, kota Madinah berada dalam periode
Sunnah (pengumpulan hadits-hadits Nabi Saw) dan tempat lahirnya (fatwa
yang berasal dari para sahabat Nabi). Pada masa itu terhimpun generasi
pertama dari kalangan para ulama dan fuqaha sahabat Nabi, sampai akhirnya
datang masa Imam Malik. Imam Malik pun mendapatkan harta peninggalan
dan warisan yang paling berharga sepanjang masa, yakni ilmu.

Malik bin Anas berhasil menghafalkan Al-Quran pada masa usia masih belia.
Setelah berhasil menghafal Al-Quran beliau beralih menghafal hadits. Ia
mendapat dukungan secara khusus dari lingkungan keluarga, dan secara
umum dari masyarakat Madinah. Malik bin Anas begitu bersemangat untuk
mengambil periwayatan dari az-Zuhri, sebagaimana ia telah belajar hadits
dari Ibnu Hurmuz dan periwayatan Nafi’, serta Ibnu Syihab. Beliau juga
berguru kepada para sahabat, di antaranya Abdullah bin Umar dan Ummul
Mukminin Aisyah.

Beliau mempelajari hadits-hadits Rasulullah, menelusuri jalur–jalur


periwayatannya, serta menyelekasi riwayat-riwayat tsiqah yang telah
disepakati oleh mereka. Beliau juga dianugerahi suatu firasat yang kuat
dalam memahami para Rijalul Hadits (perawi hadits), serta mengetahui
kekuatan akal dan pemahaman mereka.

Setelah Malik, selesai mempelajari atsar dan fatwa, maka, mulailah beliau
diserahi sebuah majelis di Masjid Nabawi, untuk memberikan pengajaran dan
fatwa, atas izin guru yang sebelumnya mengajar di Masjid Nabawi, Ibnu
Syihab dan Rabi’ah ar-Ra’yi. Imam Malik dikenal sebagai orang yang sangat
‘alim di bidang hadits.

Mayoritas ahlu hadits termasuk Imam Malik tinggal di Hijaz, yakni tempat
pertama para sahabat dan tempat turunnya wahyu. Selain itu para tabi’in
yang tinggal di sana adalah murid generasi sahabat yang tidak suka

80
menggunakan ra’yu. Bahkan, tabi’in murid sahabat yang suka berijtihad juga
membatasi diri hanya dengan meriwayatkan pendapat gurunya tersebut.

Jurang pemisah antara ahlu ra’yu dan hadits demikian melebar di zaman
tabi’in. Maka, Ahlu hadits berusaha untuk: menyeleksi riwayat hadits yang
jujur dan memisahkannya dari percampuran, untuk membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk. Mereka mempelajari ihwal para perawi dan
mengelompokkannya dalam beberapa kelompok berdasarkan tingkat
kejujurannya. Mereka juga, mempelajari ihwal hadits dan mengecek
kebenarannya, dengan membandingkannya dengan ajaran agama yang jelas,
hadits yang jelas keshahihannya, serta ayat Al-Quran, jika bertentangan
dengan Al-Quran, maka mereka menolaknya. Selanjutnya, ulama-ulama
besar membukukan hadits-hadits yang shahih. Imam Malik menulis
Muwatha’, Sufyan bin Uyainah menulis Al-Jawami’ fi As-Sunan wa Al-Adab,
dan Sufyan Ats-Tsauri menulis Al-Jami’ Al-Akbar tentang hadits dan fikih,
begitu pula ulama-ulama lainnya. (Abdul Aziz asy-Syinawi, 2015: 75)

Pernah suatu saat, Amirul Mukminin Harun ar-Rasyid menunaikan ibadah


haji. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, beliau pergi ke Madinah untuk
bertemu dengan Imam Malik, ia meminta Imam Malik untuk mendengarkan
ilmunya. Tetapi Imam Malik menolak, dan menyampaikan pesan bahwa
orang yang ingin belajar ilmu harus mendatanginya, bukan ilmu yang
menghampirinya.

Menurut ash-Shiddieqy (1997:184), bahwa dasar pemikiran Imam Malik,


berdasarkan keterangan yang terdapat pada syarah al-Bahjah, ialah Nashul
Kitab, Dhahirul Kitab, Dalil Kitab (Mafhumul Mukhalafah), Mafhum
Muwafaqah, Tanbih al-Kitab terhadap ‘illat, Nushusus Sunnah, Dhahirus
Sunnah, Dalilus Sunnah, Mafhum Sunnah, Tanbihus Sunnah, Ija’, Qiyas,
‘Amal Ahli Madinah, Qaulus Shahabi, Istihsan, Mura’atul Khilaf, dan Saddudz
Dzari’at.

81
3. Imam asy-Syafi’i

Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. di mana Imam Hanafi wafat.
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin
Ubaid bin Abi Yazid bin Hasyim bin Abdil Muthalib bin Abdi Manaf al-Quraisy
(berkebangsaan Quraisy) al-Muthalib (keturunan Abdul Muthalib) asy-Syafi’i.
Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah Saw pada kakek beliau,
Abdu Manaf, dan silsilah nasab beliau selanjutnya sampai kepada Adnan.
Beliau dikenal dengan gelar Abu Abdillah. Imam Syafi’i wafat di Mesir pada
tahun 204 H. di Mesir.

Muhammad bin Idris tumbuh dari keluarga fakir yang tidak memiliki rumah di
Palestina. Bapaknya meninggal dunia ketika beliau masih kecil. ibunya
membawa Syafi’i kecil, pindah ke Mekah agar nasabnya yang mulia tidak
hilang (terputus). Imam Syafi’i hidup dalam keaadan fakir, tetapi dengan
nasab yang mulia. Ibu beliau bersungguh-sungguh mendidik beliau, sehingga
di usia yang sangat muda, 7 tahun beliau telah hafal al-Quran, kemudian
beliau menuntut ilmu hadits dan menekuninya, lalu menghafal kitab
Muwaththa’ Imam Malik, setelah beliau belajar cukup lama dengan Imam
Malik, sehingga tampaklah kecerdasan dan kepiawaian beliau.

Kecerdasan beliau yang tinggi, mulai tampak ketika mampu menghafal


hadits-hadits Rasulullah Saw dengan cepat. Beliau sangat bersemangat
dalam mempelajari hadits dan memperhatikan para Muhaddits (penyampai
hadits), lalu menghafal hadits-hadits tersebut dengan cara mendengar.
Terkadang beliau menuliskannya di atas porselen dan kadang kala beliau
menulis di atas lembaran kulit.

Semua riwayat, menunjukkan bahwa Imam Syafi’i sangat gandrung pada


ilmu dan beliau juga diprediksi menjadi orang yang sangat mencintai hadits
Nabi. Penjagaan beliau terhadap hadts-hadit Nabi dan hafalannya terhadap
al-Quran, telah menuntun beliau menjadi fasih berbahasa Arab. Hal itu juga,
menjauhkannya dari bahasa asing dan hapalannya yang merusak lisan
orang-orang Arab, karena mereka telah bercampur dengan orang-orang

82
‘Ajam (non Arab) di berbagai kota dan daerah. Beliau juga, sebagai seorang
pemanah yang mahir, di samping ahli syair. Karena kecerdasan beliau dan
ketakwaannya terhadap Allah, maka Imam Malik mengizinkan orang-orang
untuk belajar kepada Imam Syafi’i, ketika beliau berada di Masjid Rasulullah
Saw (masjid Nabawi). (Abdul Aziz asy-Synawi, 2015: 409). Beliau sempat
tinggal di Baghdad untuk beberapa tahun dan mempelajari pendapat para
ulama ahlu Ra’yu, kemudian kembali ke Mekah dan mengajar di Masjidil
Haram.

Wafatnya Imam Malik sebagai tokoh ahlu hadits, membuat banyak orang
lebih bisa menerima fatwa Imam Malik daripada hadits Rasulullah. Di sinilah
Imam Syafi’i mulai berseberangan dengan gurunya. Pada waktu itu
masyarakat berpendapat, bahwa Imam Malik memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari hadits-hadits Rasulullah. Sebab itulah Imam Syafi’I, pada masa itu
dijuluki oleh para ulama sebagai “Penyebar Hadits”, menolong hadits-hadits
Rasulullah Saw dengan cara mengkritisi pendapat-pendapat Imam Malik dan
mengumumkan ketidak-cocokannya. Beliau juga mengkritisi pendapat Abu
Hanifah.

Kitab Imam Syafi’i tentang Ushul Fiqih dikenal dengan nama ar-Risalah,
sedangkan kitabnya yang membahas tentang Fiqih dikenal dengan al-Umm.
Kitab al-Umm pada awalnya bernama kitab al-Mabsuth, yang beliau tulis
ketika berada di Baghdad yang dikenal sebagai Qaulul Qadim. Kitab ini
kemudian disempurnakan menjadi al-Umm, atau dikenal sebagai Qaulul
Jadid, ketika beliau tinggal di Mesir. (Abdul Aziz asy-Syinawi, 2015: 519-521)

Imam asy-Syafi’i membagi dalil-dalil hukumnya menjadi lima martabat, yaitu:


Pertama, Kitab dan Sunnah; Kedua, Ijma’; Ketiga, pendapat sebagian
sahabat; Keempat, pendapat sebagian sahabat yang ditolak oleh sahabat
juga, dan Qiyas. (Ash-Shiddieqy, 1977: 238)

83
4. Imam Ahmad bin Hanbal

Imam Ahmad bin Hanbal lahir ± 171 H di Baghdad di dalam buku ini (Abdul
Aziz Asy-syinawi) tidak dijelaskan nama keturunannya, hanya diceritakan
beliau menjadi yatim dan hidup bersama ibunya, Shafiyah binti Maimunah
hingga dewasa.

Sejak kecil, Ahmad bin Hanbali mengerti, bahwa ibunya rela hidup dalam
penderitaan, hanya untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan, sang ibu
menolak pinangan lelaki lain demi untuk Ahmad. Oleh karenanya, Ahmad
berusaha membalas jasa ibunya dengan mencurahkan segenap tenaga,
untuk belajar hingga mendapatkan banyak sekali ilmu di usianya yang masih
belia.

Sejak kecil, sang ibunda selalu menuturkan berbagai kisah, peristiwa, dan
aksi-aksi heroik yang ia hafal, hingga nilai-nilai Islam yang luhur, telah
tertanam kuat, dalam memori Ahmad sejak kecil sama dengan ayahnya, dari
Bani Syaiban. Dia selalu nengingat kebanggaan-kebanggaan kaumnya, kisah-
kisah bangsa Arab, keutamaan-keutamaan Rasulullah Saw sang pemilik
akhlak mulia, dan para sahabat. Semua kisah dan peristiwa yang dia ingat ia
ceritakan kepada anak semata wayangnya.

Meski masih sangat belia, Ahmad bin Hanbal sering mendatangi majelis al-
Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah. Ia menjadi hakim ada masa khalifah
Harun ar-Rasyid. Abu Yusuf adalah hakimnya para hakim, ia memiliki halaqah
untuk mengajarkan ilmu. Saat pertama kali belajar, Ahmad bin Hanbal
berguru hadits kepada Ya’qub bin Ibrahim.

Meskipun, Ahmad bin Hanbal sangat mengagumi Ya’qub bin Ibrahim, tapi
Ahmad tidak mendapat semua hadits yang ia cari. Beliau menghafal semua
hadits dari para perawi yang tsiqah setelah ia berhasil menghafal Al-Quran.

Ahmad bin Hanbal, meninggalkan Ya’qub bin Ibrahim, kemudian ia beralih


untuk mendengarkan hadits. Pertama kali Ahmad bin Hanbal menyimak
hadits adalah dari Hasyim bin Basyir Abu Mu’awiyah al-Wasithi pada tahun

84
187 H, saat ia berusia 16 tahun. Beliau terus menimba hadits dari para
gurunya di Baghdad selama 7 tahun., setelah itu ia berkelana menuntut
hadits dari guru-guru di Basrah.

Ahmad bin Hanbal juga berguru kepada Abdullah bin al-Mubarak, seorang
faqih yang luas ilmunya dan kaya. Ia mengagumi gurunya yang luas ilmunya
dan kaya, tetapi beliau hidup sebagai zuhud. Melalui pengalaman-
pengalaman ini, Ahmad bin Hanbal mendapatkan ketajaman berpikir.
Sementara beban berat yang ia pikul menuntunnya untuk menguasai kaidah-
kaidah fiqih dan hukum-hukum fatwa. Saat mencari hadits, Ahmad bin
Hanbal menempuh jarak jauh dengan berjalan kaki, untuk mengagungkan
hadits yang ia cari, atau karena tidak memiliki dana. Beliau dapat
mengumpulkan beribu hadits, dan dalam perjalanannya ia memikul seluruh
barang bawaannya hingga kurus badannya.

Saat bepergian ke Umm al-Qura, Mekah, Ahmad bin Hanbal bertemu dengan
Imam Syafi’i di Masjidil Haram. Usianya lebih tua 16 tahun dari Ahmad bin
Hanbal. Ia menimba ilmu dari Imam Syafi’i terkait dengan nasab-nasab
Quraisy, fiqih yang masyhur, dan beberapa riwayat hadits yang jumlahnya
tidak lebih dari dua puluh.

Ahmad bin Hanbal menempatkan gurunya, Imam Syafi’i, di posisi paling


ujung dengan menyatakan :”Sungguh, di setiap penghujung satu abad, Allah
mengutus seorang saleh di antara hamba-hamba-Nya. Dengannya Allah
menghidupkan sunah-sunah dan mengangkat tinggi harkat umat. Umar bin
abdul Aziz berada di penghujung abad pertama. Semoga Imam Syafi’i yang
berada di penghujung abad kedua”. (Abdul Aziz Asy-Syinawi, 2015:656)

Al-Muzanny meriwayatkan: ”Imam Syafi’i berkata: ”Ada tiga keajaiban


zaman; orang yang tidak bisa mengi’rab satu kalimat pun yaitu Abu Tsaur;
orang ajam yang tidak pernah salah dalam satu kalimat pun, yaitu Hasan az-
Za’farani; dan anak muda yang setiap kali mengatakan sesuatu, selalu
dibenarkan oleh orang-orang tua, dialah Ahmad bin Hanbal”.

85
Imam Ahmad senantiasa mengikuti Sunnah dan tidak menyimpang darinya.
Beliau melakukan perbuatan yang dilakukan Rasulullah Saw dan
meninggalkan perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah. Ketika beliau
berbekam kepada seorang ahli bekam, kemudian beliau memberi beberapa
dinar seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.

Imam Ahmad tidak menyampaikan pelajaran dan fatwa, kecuali jika


masyarakat menemuinya dan bertanya tentang sebuah hadits. Dengan
kondisi seperti itu, maka Imam Ahmad terpaksa duduk di masjid untuk
menjawab pertanyaan mereka. Setelah itu, Imam Ahmad dikenal dalam
menyampaikan hadits dan fatwa, dan semakin terkenal. Beliau
menyampaikan hadits dan fatwanya pada usia 40 tahun, meneladani
Rasulullah ketika diangkat menjadi Rasulullah pada usia 40 tahun juga.

Imam Ahmad senantiasa memperhatikan dua hal dalam majlisnya:

a. Dalam meriwayatkan dan menyampaikan hadits, beliau senantiasa


mendiktekan kepada murid-muridnya melalui kitab, beliau tidak
mengandalkan dari hafalannya.

b. Fatwa-fatwa tentang fiqih yang menuntut segera ada hasil istinbath,


tidak diperbolehkan bagi murid-muridnya untuk menulisnya ataupun
menyebutkannya dari beliau. Sebab, beliau tidak memperbolehkan
menulis, kecuali hanya hadits Rasulullah Saw saja, karena ilmu Dîn itu
hanya bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Dan termasuk dari
perkara bid’ah adalah menulis pendapat-pendapat manusia tentang Dîn
dengan menyamakannya dengan Al-Quran dan As-Sunnah.

Imam Ahmad memilih jalan hidup, sebagaimana yang ditempuh oleh para
sahabat, Tabi’in, dan generasi berikutnya yang menempuh manhaj dan jalan
hidup salafus shalih. Oleh karena itu, pemahaman Ahmad bin Hanbal selaras
dengan Sunnah dan pemahaman para salafus shalih, beliau jauh dari hiruk
pikuk zaman. Jauh dari persaingan pemikiran, politik, sosial, dan peperangan.

86
Dalam Ash-Shiddiqiy (1997:274), menurut Ibnul Qyyim, bahwa dasar Tasyri’
Imam Ahmad bin Hanbal ada lima: Pertama, Nash, Kedua, Sahabat,
Ketiga, pendapat salah seorang Sahabat, Keempat, hadits Mursal dan
hadits dhaif, jika tidak ada hadits yang shahih, Kelima, adalah qiyas.
Kemudian dari lima dasar tersebut disimpulkan menjadi empat: Kitabullah,
Sunnatur Rasul, Fatwa Shahabi, dan Qiyas.

87
Pertanyaan:
1. Kajian Pemikiran Islam cukup banyak: Ilmu Kalam, Fiqh, Filsafat, dan Tasawuf.
Salah satu satunya adalah Fiqh. Di dalam kajian Fiqih di antaranya adalah Fiqh
dan Ushul Fiqh, coba anda jelaskan pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh !
2. Di dalam kajian Fiqh ada yang dikenal dengan madzhab hadits dan madzhab
ra’yu, apa maksudnya, perbedaannya, dan siapa tokoh-tokohnya ?
3. Semua hukum Islam memiliki tujuan untuk kebaikan umat manusia di dunia dan
akhirat. Jelaskan tujuan hukum Islam (maqashidu asy-Syar’i) !
4. Apa yang dimaksud dengan hukum Taklif ? berikan contohnya
5. Di dalam kaidah Fiqh ada yang dikenal dengan istilah Istishab dan Saddudz
Dzari’ah. Coba anda jelaskan !

88
BAB IV

FILSAFAT ISLAM

A. Pendahuluan

Filsafat Islam sebagai filsafat tradisional didasarkan pada akal supra-individual


tinimbang opini individualistik, filsafat Islam menumbuhkan aliran-aliran dan
perspektif-perspektif yang dianut selama ratusan tahun. Pada abad ke 3H/9M,
filsafat Peripatetik (masyasya‟i), yang mempresentasikan sintesis Plato, Aristoteles
dan Plotinus dalam konteks pandangan dunia Islam, dimulai oleh al-Kindi, al-
Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd selanjutnya dibangkitkan kembali
oleh Nashiruddin Thusi (Sayyed Hossein Nasr, 1994: 134).

Pada abad ke 6 H/12 M, sewaktu filsafat Ibnu Sina tengah dikritik oleh para
teolog, didirikan sebuah perspektif intelektual oleh Syaikh al-Isyraq Syihabuddin
Suhrawardi, yang menyatakan diri sebagai pembangkit filsafat berusia panjang
yang telah ada baik di Yunani maupun di Persia, mendirikan madzhab Iluminasi
(al-Isyraq), menurut mana pengetahuan diturunkan dari cahaya dan, sungguh,
substansi Semesta pada akhirnya merupakan spektrum cahaya dan bayangan
(Sayyed Hossein Nasr, 1994: 135).

Pada abad-abad selanjutnya, di sebagian besar dunia Arab filsafat sebagai satu
disiplin tersendiri terpadu ke dalam sufisme atau- kalau tidak - ke dalam aspek
intelektual atau teologi filosofikal (kalam)nya, di Persia dan sekitarnya yang
meliputi India, Irak dan Turki, bermacam-macam aliran filsafat terus tumbuh
subur. Pada saat yang sama, aneka disiplin intelektual, seperti filsafat Peripatetik,
Iluminasionisme, teologi, dan metafisika sufi sama-sama saling mendekati (Sayyed
Hossein Nasr, 1994: 135). Puncaknya lahir madzhab Isfahan yang mencoba
mensintesiskan berbagai aliran filsafat.

Lahirnya berbagai aliran filsafat dalam Islam sebagai salah satu bentuk ekspresi
pemahaman terhadap berbagai persoalan dalam bidang filsafat dan juga adanya

89
pergesekan paham diantara berbagai aliran filsafat tersebut, sudah barang tentu,
eksponen aliran-aliran tersebut mencoba untuk mempertahankan diri sambil
membangun argumentasi untuk dipresentasikan di hadapan lawannya.

B. Lapangan Filsafat Islam

Al-Kindi

a. Ilmu Fisika (Ilmu al-Tabîyyat)

(berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindra-


empiris)

Contoh: Fisika

Filsafat Islam b. Ilmu Matematika (Ilmu –al- Riyadhî)

(Berhubungan dengan benda tetapi mempunyai


wujud sendiri)

Contoh: Matematika : ilmu hitung, teknik,


astronomi, dan musik

c. Ilmu Ketuhanan (Ilmu al-Rububiyyah)

(tidak berhubungan dengan benda)

Contoh: Ilmu yang berkenaan dengan masalah


ketuhanan

90
Al-Farabi :

a. Filsafat teori, yaitu mengetahui sesuatu yang ada, yang


tidak bisa (tidak perlu) diwujudkan dalam perbuatan :
Ilmu matematika, Filsafat Metafisika.

Filsafat

b. Filsafat Praktis, yaitu mengetahui sesuatu yang


seharusnya diwujudkan dalam perbuatan dan yang
menimbulkan kekuatan untuk mengerjakan bagian-
bagiannya yang baik.

- Ilmu Akhlak (etika)

- Filsafat Politik

- Hukum, dan lain-lain

Proses – Filsafat Islam : merupakan kegiatan berpikir


Islami yang radiks (mendalam) dan berusaha secara
kritis untuk menelusuri segala persoalan ke akar-
akarnya.

Filsafat

Produk - sebagai produk pikir biasanya berbentuk


pokok-pokok pikiran filosof-filosof Muslim

C. Hakikat Filsafat Islam

Filsafat Islam dapatlah diartikan sebagai kegiatan pemikiran yang bercorak islami.
Islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat, disebut Islami
bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama
Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang
membahas mengenai pokok-pokok keislaman.

91
Hakikat filsafat Islam adalah akal dan Al-Quran, filsafat Islam tidak mungkin tanpa
akal dan Al-Quran. Akal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas
kefilsafatan dan Al-Quran yang menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat
ditinggalkan Al-Quran dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual (Sumber),
sehingga Al-Quran tidak membatasi akal bekerja, akal tetap bekerja dengan
otonomi penuh.
Struktural - aqal dan Al-Quran di sini tidak dapat
dipahami secara struktural – hubungan atas bawah
(subordinatif dan reduktif) – tidak adanya otonomi akal
dan sempitnya objek filsafat (Al-Quran saja).

Hubungan
Akal dengan otonomi penuh bekerja dengan semangat
Al-Quran
Qur‟ani dan Akal sebagai subjek mempunyai komitmen
dengan Akal
wawasan moralitas yang bersumber pada Al-Quran.

Akal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan


masalah sedangkan Al-Quran memberikan wawasan
moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh
akal. Hubungan dialektika akal dan Al-Quran bersifat
fungsional.

Dengan meletakkan akal dan Al-Quran dalam hubungan dialektika fungsional,


maka objek kajian filsafat adalah objek kajian pada umumnya yaitu realitas, baik
yang material maupun yang gaib (abstrak). Perbedaanya terletak pada subjek
yang mempunyai komitmen Qur‟anik.

Objek Kajian

Allah

Filsafat Islam Alam

Manusia

Kebudayaan

92
D. Pemikiran Para Filosof Muslim

1. Al-Kindi

Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn
Imran ibn Isma`il ibn Muhammad ibn al-Asy‟ath ibn Qais al-Kindi. Tahun
kelahiran dan kematian al-Kindi tidak diketahui secara jelas. Yang dapat
dipastikan tentang hal ini adalah bahwa ia hidup pada masa kekhalifahan al-
Amin (809-813), al-Ma‟mun (813-833), al-Mu‟tasim (833-842), al-Wathiq (842-
847), dan al-Mutawakkil (847-861).

Al-Kindi hidup pada masa penerjemahan besar-besaran karya-karya Yunani ke


dalam bahasa Arab. Dan memang, sejak didirikannya Bayt al-Hikmah oleh al-
Ma‟mun, al-Kindi sendiri turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini. Di
samping menerjemah, al-Kindi juga memperbaiki terjemahan-terjemahan
sebelumnya. Karena keahlian dan keluasan pandangannya, ia diangkat sebagai
ahli di istana dan menjadi guru putra Khalifah al-Mu‟tasim, Ahmad.

Ia adalah filosof berbangsa Arab dan dipandang sebagai filosof Muslim


pertama. Memang, secara etnis, al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang
berasal dari suku Kindah, salah satu suku besar daerah Jazirah Arab Selatan.
Salah satu kelebihan al-Kindi adalah menghadirkan filsafat Yunani kepada
kaum Muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing
tersebut.

Al-Kindi telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang


pada saat itu. Tetapi, di antara sekian banyak ilmu, ia sangat menghargai
matematika. Hal ini disebabkan karena matematika, bagi al-Kindi, adalah
mukadimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukadimah ini
begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai
keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai matematika. Matematika
di sini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geometri, dan astronomi yang
paling utama dari seluruh cakupan matematika di sini adalah ilmu bilangan

93
atau aritmatika karena jika bilangan tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu
apapun. Di sini kita bisa melihat samar-samar pengaruh filsafat Pitagoras.

Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya
pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana
Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya
berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu)
sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat
berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan
dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan
nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang
bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan
sebagai raja.

Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat


kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau
menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak
mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau
merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu. Ia mendefinisikan filsafat
sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan
manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki
keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi masalah semisal mukjizat,
surga, neraka, dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi
mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio, kebangkitan jasmani, mukjizat,
keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia oleh Tuhan
(Poerwantana, 1988: 128-130).

2. Ar-Razi

Fakhrudin Al-Razi dilahirkan di Rayy, yang berada di Taheran, India. Beliau


lahir pada bulan Ramadhan 544 H bertepatan dengan tahun 1149 M. Beliau
mendapat julukan Ibn al-Khalib (anaknya da‟i) atau Ibn Khalib al-Rayy
(anaknya da‟i dari Rayy) kerana ayahnya adalah penceramah ulung di Mesjid
Rayy. Ia menulis kurang lebih dari dua ratus judul buku. Beberapa judul pun

94
berjilid-jilid. Tulisannya tentang jiwa manusia terurai paling sedikit dalam tiga
karyanya. Pertama, tentunya dalam Tafsir Besar-nya (al-Tafsir al-Kabir).
Kedua, bukunya yang berjudul Kitab al-Nafs wa al-Ruh wa Syarh Quwahuma.
(Buku Jiwa dan Ruh dan Komentar Terhadap Kedua Potensinya). Ketiga,
tulisannya yang lebih menukik, terdapat dalam magnum opus-nya (karya
besar), yang berjudul al-Matalib al-‟Aliyah fi al-‟Ilm al-Ilahi (Kesimpulan-
Kesimpulan Puncak dalam Ilmu Ketuhanan).

Manusia menurut ar-Razi adalah makhluk ciptaan Allah yang unik. Keunikannya
ada pada karakteristiknya yang khas. Manusia memang beda dengan makhluk
ciptaan Allah yang lain. Bagi Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk yang
memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu. Ini membedakan manusia
bukan hanya dengan binatang dan tumbuhan, tapi juga dengan malaikat.
Dalam kajian Psikologi barat, perbandingan manusia dengan malaikat dan
setan tentunya tidak ditemukan. Menurut Al-Razi malaikat hanya memiliki akal
dan hikmah, tanpa tabiat dan hawa nafsu. Karena itu, malaikat selalu
bertasbih, bertahmid, dan melakukan taqdis (QS. Al-Nahl [16]:50; QS. Al-
Tahrîm [66]:6; QS. Al-Anbiya [21]:21).

        


Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan
apa yang diperintahkan (kepada mereka)” (QS Al-Nahl [16]: 50).

          

           

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (QS. Al-Tahrîm [66]: 6)

95
       
Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat menghidupkan
(orang-orang mati)? (QS. Al-Anbiyâ` [21] :21)

Malaikat juga tidak akan mengingkari perintah Allah ta‟ala karena memang
tidak memiliki hawa nafsu. Sebaliknya, binatang dan tumbuhan memiliki tabiat
dan nafsu, namun tidak memiliki akal dan hikmah. Berbeda dengan malaikat,
binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia memiliki kesemua karakteristik
tersebut, yaitu akal, hikmah, tabiat, dan hawa nafsu. Karena ke-empat
karakteristik tersebut, maka manusia memiliki sifat kekurangan dan kelebihan.
Jika manusia menggunakan akal dan hikmah untuk mengatur hawa nafsu dan
tabiatnya, maka manusia akan memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk
ciptaan Allah lainnya, dengan menggunakan akal dan hikmah yang bersumber
dari ajaran agama untuk menundukkan hawa nafsu dan tabiatnya, maka
manusia akan menjadi khalifah Allah di bumi, sekaligus akan menjadi makhluk
yang paling mulia. Sebaliknya, jika tabiat dan hawa nafsu yang menguasai diri
dan akalnya, maka ia akan lebih hina dari binatang, yang memang tidak punya
akal dan hikmah.

Jiwa Manusia Menurut Fakhruddin al-Razi, jiwa manusia memiliki beberapa


tingkatan.

a. Tingkatan tertinggi adalah tingkat yang menghadap ke alam ilahi ( al-


sabiqun, al-muqarrabun). Tingkatan ini dapat diraih hanya jika manusia
mau melakukan praktek spiritual (al-riyadiyah al-ruhaniah) dengan
istiqamah.

b. Tingkatan berikutnya adalah tingkatan pertengahan (ashab al-maymanah,


al-muqtasidun). Untuk mencapai tingkat kedua ini, diperlukan ilmu akhlak
(„ilm al-akhlaq).

c. Tingkatan paling rendah adalah jiwa manusia yang sibuk mencari


kesenangan kehidupan duniawi (ashab al-shimal, al-dhalimun).

96
Fakhruddin al-Razi juga menyatakan bahwa ada tiga jenis jiwa manusia.

Pertama, al-Nafs al-Muthmainnah (QS. Al-Fajr [89]: 27) yaitu jiwa yang
tenang, jiwa yang penuh dengan kehidupan spiritualitas dan kedekatan dengan
Tuhan.

Kedua adalah al-Nafs al-lawwamah (QS. Al-Qiyamah [75]: 2). dan aku
bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).

Ketiga adalah al-Nafs al-Ammarah bi al-su‟ (QS. Yusuf [12]: 53), “Dan Aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.

Fakhruddin al-Razi membedakan jiwa dengan tubuh. Menurutnya, jiwa


bukanlah struktur lahiriah yang bisa dilihat secara inderawi (Ghayr al-bunyah
al-zahirah al-mahshushah). Fakhruddin al-Razi membuktikan pendapatnya
dengan akal dan wahyu. Adapun bukti akal sebagai berikut. Pertama, jiwa
adalah satu. Oleh sebab itu, jiwa berbeda dengan tubuh dan bagian-
bagiannya. Bahwa jiwa adalah satu, dapat dibuktikan secara spontan dan
intuitif dan bisa juga dengan bukti empiris. Spontan, karena ketika seorang
mengatakan “aku/saya”, maka “aku/saya” merujuk kepada satu esensi (zat)
yang khusus, dan tidak Jiwa bisa juga dibuktikan secara empiris, yang
berbeda dengan tubuh dan bagian-bagian tubuh:

a. Jiwa bukanlah himpunan bagian-bagian tubuh karena penglihatan tidak


menghimpun seluruh kerja tubuh,

b. Jiwa juga tidak identik dengan bagian dari tubuh karena tidak ada dari
bagian tubuh yang meliputi semua kerja tubuh,

c. Jika kita melihat sesuatu, kita mengetahuinya, setelah itu menyukainya


ataupun membencinya, mendekatinya ataupun menjauhinya. Jika
penglihatan adalah sesuatu, dan pengetahuan adalah sesuatu yang lain,
maka yang melihat tidak akan mengetahui. Padahal, ketika saya melihat,

97
saya mengetahui. Jadi, esensi dari penglihatan dan pengetahuan adalah
satu.

d. Semua bagian tubuh adalah alat untuk jiwa. Jiwa melihat dengan mata,
berfikir dengan otak, berbuat dengan hati, merasa dengan kulit, dan
seterusnya.

Lalu, apa ”jiwa” itu? Fakhruddin Al-Razi menggambarkan hakikat jiwa sebagai
substansi yang berbeda dengan tubuh, Jiwa juga terpisah secara esensial
dengan tubuh, Namun jiwa terhubungkan dengan tubuh dengan hubungan
kerja dan administrasi (dzat al-nafs jawhar mughayir laha mufariq „anha bi al-
dhat muta‟alliq biha tasarruf wa al-tadbir).

Setelah menyebutkan bukti-bukti akal, Fakhruddin al-Razi menyebutkan


banyak ayat dalam Al-Quran yang menunjukkan bahwa jiwa bukanlah tubuh.
Firman Allah, misalnya, dalam Surah Âli „Imrân (3): 169. “Janganlah kamu
mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka
itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”.

Begitu juga disebutkan dalam Al-Quran Surah Al-Mu‟min (40): 46; “Kepada
mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya
kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke
dalam azab yang sangat keras".

Surah Nuh (71): 25; “Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka


ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, Maka mereka tidak mendapat
penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah”

Surah Al-An‟âm (6): 93; “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan
kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan
orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan
Allah." alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang
yang zalim berada dalam tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat
memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" di

98
hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, Karena kamu
selalu mengatakan terhadap Allah (Perkataan) yang tidak benar dan (karena)
kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.

3. Al-Farabi (870-950).

Salah seorang tokoh filsafat Islam, mempunyai konsep tersendiri tentang jiwa.
Ia tidak sekedar berbicara tentang nafs, aql (rasio), dan qalb, tetapi juga
potensi-potensi yang lain, bahkan tentang intelek (al-aql al-kullî), sebuah
fakultas dalam diri manusia yang lebih dari sekedar rasio ( al-aql al-juz‟I).
Tulisan ini akan menguraikan pandangan al-Farabi tentang masalah
tersebut,tidak secara menyeluruh tetapi hanya difokuskan pada elemen-elemen
yangberkaitan dengan proses pencapaian keilmuan berarti telah menjadi
objek-objek intelek aktual dan intelek yang bertindak untuk mengabstraksikan
objek-objek tersebut disebut intelek aktual. Pada tingkat ini, subjek dan objek
pemikiran sudah tidak terpisah lagi. Keduanya adalah satu adanya, sehingga
adalah inteleksi (proses pemahaman) sekaligus subjek dan objek pengetahuan
itu sendiri dan pada saat itu, ia mempunyai status ontologis baru dalam
totalitas wujud (al-maujûdât).

Intelek perolehan (al-`aql al-mustafâd), merupakan proses lebih lanjut dari


kerjaintelek aktual. Menurut al-Farabi, ketika intelek potensial telah
mengabstraksi menjadi bentuk-bentuk pengetahuan aktual yang mandiri bebas
dari materi, maka pada tahap kedua ia berpikir tentang dirinya sendiri.
Kemampuan untuk berpikir inilah yang disebut “intelek perolehan”. Intelek ini
lebih tinggi dibanding intelek aktual, karena objeknya adalah bentuk-bentuk
murni yang bebas dari materi dan dilakukan tanpa bantuan imajinasi serta
daya indera.Dengan demikian, intelek perolehan adalah “bentuk lebih lanjut”
dari intelekaktual, yaitu ketika intelek aktual telah mampu memposisikan
dirinya menjadi pengetahuan (self-integeble) dan dapat melakukan proses
pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-intellevtive). Al-Farabi menulis,
“ketika intelek aktual pada tahap berikutnya berpikir tentang wujud dan
kandungan dirinya sendiri, di mana ia berupa bentuk-bentuk pengetahuan

99
murni (intellegibles) yang bebas dari materi, maka itulah yang disebut intelek
perolehan (al-`aql al-mustafâd)”.

Menurut al-Farabi, intelek perolehan ini menandai puncak kemampuan


intelektual manusia sekaligus merupakan garis pembatas antara alam
materialdan intelegensi. Ia adalah wujud spiritual murni yang tidak butuh raga
bagi kehidupannya, juga tidak butuh kekuatan fisik untuk aktivitas berpikirnya.
Intelek ini mirip dengan intelek aktif (al-`aql al-fa`âl). Perbedaan keduanya
terletak pada kenyataan, (1) intelek aktif adalah mutlak intelek terpisah
sekaligus merupakan gudang sepurna bentuk-bentuk pengetahuan, sedang
intelek perolehan adalah wujud yang lahir dari “kerja” lebih lanjut dari
intelekaktual; (2) kandungan intelek aktif senantiasa tidak pernah berhenti
mengaktualkan diri sedang kandungan intelek perolehan hanya menunjukkan
tahap perolehan aktualitas lewat intelek potensial.

Intelek aktif (al-„aql al-fa‟âl), adalah intelek terpisah dan yang tertinggi dari
semua intelegensi. Intelek ini merupakan perantara adi-kodrati (super
mundane agency) yang memberdayakan intelek manusia agar dapat
mengaktualkan pemahamannya. Dalam hubungannya dengan intelek potensial,
al-Farabi menganalogkan intelek aktif ini dengan matahari pada mata dalam
kegelapan. Mata hanyalah penglihatan potensial selama dalam kegelapan.
Mataharilah selama ia memberikan penyinaran pada mata yang menyebabkan
mata menjadi sebuah penglihatan yang aktual, sehingga objek-objek yang
berpotensi untuk dilihat mata menjadi benar-benar tampak. Seterusnya,
cahaya matahari memungkinkan mata melihat bukan hanya objek-objek
penglihatan belaka tetapi juga cahaya itu sendiri dan juga matahari yang
merupakan sumber cahaya tersebut. Dengan cara yang kurang lebih sama,
“cahaya” intelek aktif menyebabkan intelek potensial menjadi intelek aktual,
menangkap “cahaya”sekaligus memahami intelek aktif itu sendiri.

Al-Farabi mengidentifikasi intelek aktif dengan “ruh suci” (rûh al-quds) atau
Jibril, malaikat pembawa wahyu. Intelek aktif adalah “gudang” sempurna
bentuk-bentuk pengetahuan. Dia berfungsi sebagai model kesempurnaan

100
intelektual. Manusia dapat mencapai tingkat wujud tertinggi yang
dimungkinkan baginya ketika dalam dirinya mewujud sosok manusia hakiki ( al-
insân `alâ al-haqîqah). Yaitu, ketika intelek manusia dapat bersatu dan
menyerupai intelek aktif. Konsepsi al-Farabi tentang intelek aktif ini
memperlihatkan usahanya menyelaraskan antara filsafat (Yunani) dengan
keyakinan Islam.

Intelek yang disebut Aristoteles dalam Kitâb Mâ Ba`d al-Thabî`ah (Metafisika)


sebagai intelek yang berpikir dan berswacita mengenai dirinya sendiri. Dalam
teologi Islam, inilah yang disebut Tuhan. Menurut al-Farabi, intelek ini
sepenuhnya bebas dari segala kenistaan dan ketidaksempurnaan. Tidak ada
intelek yang tidak berasal dari-Nya, tidak terkecuali intelek aktif yang mampu
mengaktualkan pemahaman manusia.

Konsep psikologi al-Farabi, jika diistilahkan demikian, sungguh sangat modern


dan “manusiawi”. Menurutnya, manusia tidak hanya merangkum potensi-
potensi tumbuhan (vegetatif) dan binatang (animal) sehingga ia dapat
tumbuhdan berkembang, tetapi yang terpenting adalah potensi-potensi nalar
(rasional). Lebih dari itu, manusia juga mempunyai potensi intelek ( al-aql al-
kulli) sehingga mampu melepaskan diri dari kungkungan dunia material untuk
selanjutnya menjangkau realitas-realitas metafisis non-material. Bahkan,
intelek ini pulalah yang mampu mengantarkan manusia “bertemu” dengan
Tuhannya. Disinilah nilai utama seorang manusia dibanding makhluk lain.

Konsep-konsep psikologi yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi nilai-


nilai manusia seperti itu jelas berbeda dengan psikologi Barat seperti Freud
yang menganggap dan menempatkan manusia tidak berbeda dengan seekor
binatang, dimana potensi dasar dan utamanya adalah seks. Bahkan, pemikiran
psikologi al-Farabi ini masih lebih manusiawi dibanding Maslow yang humanis
sekalipun, karena Maslow baru “mengangkat” manusia pada tingkat nalar
kognisi, tidak lebih dari itu. Sedemikian, sehingga secara kronologis, dapat
dikatakan bahwa potensi-potensi dan nilai-nilai manusia dalam kajian psikologi
berarti telah mengalami degradasi. Pada abad-abad pertengahan, manusia

101
oleh Islam dinilai dan diakui mempunyai unsur-unsur kejiwaan yang mulia dan
sempurna seperti malaikat, tetapi di abad 20 ia oleh Barat justru dianggap
hanya mempunyai unsur nafsu yang tidak lebih dari binatang (Irma Fatimah,
1992: 20-21).

Karena itu pulalah, diskursus psikologi Islam, (termasuk juga sosiologi Islam,
ekonomi Islam, bank Islam, pendidikan Islam, dan yang lain yang berlabel
Islam) sesungguhnya tidak bisa berangkat dari konsep-konsep psikologi dan
keilmuan Barat yang kemudian diberi justifikasi teks (ayat maupun hadits),
tetapi harus berdasarkan dari khazanah Islam sendiri. Kita mempunyai ajaran,
peradaban, budaya, dan world view sendiri yang berbeda dengan budaya dan
peradaban orang lain.

4. Ibnu Sina

“Nafs (jiwa) dalam jasad itu bagaikan burung yang terkurung dalam sangkar,
merindukan kebebasannya di alam lepas, menyatu kembali dengan alam
ruhani,yaitu alam asalnya. Setiap kali ia mengingat alam asalnya, ia pun
menangis karena rindu ingin kembali.”

Kata jiwa berasal dari bahasa Arab (‫ )النفس‬atau nafs‟ merupakan satu kata
yang memiliki banyak makna (lafzh al-Musytaraq) dan dipahami sesuai dengan
penggunaanya. Hakikat jiwa yaitu terdiri dari tubuh dan ruh, sebagaimana
tampak dalam Al-Quran, ”Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan
berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk.” Dan “Allah tidak membebani (jiwa)
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”Selain itu juga ditujukan
maknanya kepada diri manusia yang memiliki kecenderungan, seperti ayat
“Maka, hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh
saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang
yang merugi.” Dan beberapa makna lain yang secara umum dijelaskan dalam
Al-Quran.

Menurut Ibn Sina, manusia pada tahap fenomenal terdiri dari jasad dan nafs
yang bersifat interaksionis (saling memerlukan). Hanya saja jika nafs telah

102
menjadi sedemikian kuat, ia dapat mempengaruhi jasad dengan sangat luar
biasa. Dalam tahap transendental, nafs dengan segala potensinya tetap kekal
abadi biarpun jasad mengalami kehancuran ketika tahap ini dimulai. Manusia
menjadi suatu entitas yang tak terbagi yang tidak lagi memerlukan jasad
materi dalam tahap transendentalnya. Penolakan Ibn Sina terhadap adanya
kebangkitan jasmani menimbulkan pertentangan pemikiran filosofis.
Pertentangan ini memperoleh dimensi baru dalam perspektif kajian fisika
moderen yang telah membuktikan tidak adanya perbedaan substansial antara
materi dan immateri.

Puncak kemajuan pemikiran filsafat Islam telah dicapai dengan sangat


cemerlang oleh sosok Abu „Ali al-Husain Ibn “Abdillah Ibn Sina (370/980-
428/1037). Gelar al-Shaikh al-Rais yang diberikan kepadanya menjadi bukti
akuan pencapaian tersebut. Rahman dalam buku A History of Moslem
Philosophy menyatakan bahwa Ibn Sina merupakan satu-satunya filosof besar
Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat secara lengkap dan
terperinci suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim selama
beberapa abad, sekalipun terdapat serangan-serangan dari al-Ghazali, al-Razi
dan sebagainya.

Sekalipun Ibn Sina menggolongkan kajian nafs kedalam bidang fisika ( thabi‟iy),
tetapi tampaknya terbatas ketika ia mengkajinya dari segi macam-macamnya
(al-nafs al-nabatiyah, al-nafs al-hayawaniyah, al-nafs al-insaniyah), pembagian
fungsionalnya, dan sepanjang mengenai manusia, sekarang dikenal dengan
sebutan ilmu jiwa (psychology). Ketika ia mengkaji nafs dari segi wujud dan
hakikat, pertaliannya dengan jasad, serta keabadiannya, sebenarnya ia telah
melangkah ke bidang metafisika. Bahkan segi metafisika inilah yang lebih
menonjol dalam pembahasan-pembahasannya, lebih dalam, sekaligus baru,
serta mendekati kajian sebagian filosof modern. Lebih dari itu kajian metafisis
tentang nafs insani tersebut memperoleh spirit baru dengan adanya
kecenderungan yang amat kuat dewasa ini yang ditunjukkan oleh pemikiran
filosofis modern yang menempatkan manusia sebagai pusat analisis.

103
Berdasarkan uraian di atas, mempertanyakan korelasi antara nafs dan jasad
untuk mememukan kejelasan tentang manusia dalam perspektif pemikiran
filosofis Ibn Sina, tetap saja dapat dipandang sebagai pertanyaan yang relevan
dengan kajian falsafat moderen.

Asal usul nafs dan jasad adalah bahwa manusia tersusun dari jasad dan nafs.
Jasad manusia sebagaimana jasad tumbuh-tumbuhan dan jasad hayawan
terdiri dari empat unsur : api, udara, air, dan tanah kering. Perbedaan proses
formulasi dan perbedaan pengaruh potensi astronomik (al-quwa al-falakiyat)
menyebabkan perbedaan antara jasad manusia, hewan, dan tumbuh-
tumbuhan, dan sekaligus menyebabkan perbedaan tingkat nafs yang memberi
kesempurnaan primer pada masing-masing jasad tersebut. Nafs itu sendiri
bukan muncul dari proses formulasi unsur-unsur jasad, tetapi berasal dari
sumber luar.

Ia tergolong pengikut paham dualisme (ithnainiy), sebagaimana Aristoteles,


Plato, al-Kindi, dan al-Farabi. Terdapat perbedaan di antara mereka. Bagi
Plato, nafs berasal dari dunia ide yang oleh karena itu merupakan substansi
immateri yang berbeda dengan jisim. Aristoteles menyatakan bahwa the soul
…cannot be separated from the body is quite clear . Baginya nafs adalah forma
bagi jisim yang keduanya membentuk kesatuan esensial yang tidak dapat
dipisahkan. Sementara itu al-Kindi sebagaimana dikemukakan oleh Fakhuri
menyatakan bahwa kita datang di alam ini bagaikan penyeberang titian atau
jembatan, tidak mempunyai tempat permanen. Pernyataan al-Kindi ini jelas
tidak memberikan jawaban darimana nafs itu datang, walaupun pernyataannya
menunjuk alam tinggi lagi luhur (al-„alam al-a‟la al-sharif) sebagai tempat jiwa
kita berpindah sesudah mati. Pernyataan tersebut menunjuk adanya
keterasingan ketika kita berada di dunia ini, tetapi sekali lagi tetap tampak
tidak jelas darimana berasal. Tampaknya dalam hal ini, al-Kindi tidak dapat
menentukan sikap berhadapan dengan pemikiran filosofis Plato atau Aristoteles
seperti dikemukakan di atas.

104
Persoalan ini menjadi jelas dalam pemikiran filosofis al-Farabi ketika ia
mengatakan: “anna ruhak min amr rabbik wa badanak min khalq rabbik” . Di
samping pernyataan ini, al-Farabi juga menyatakan bahwa jiwa-jiwa di bumi
(al-anfus al-ardliyat) itu berasal dari pancaran akal aktif (al-„aql al-fa‟‟al), akal
ke sepuluh yaitu pemberi forma (wahib al-suwar). Dalam hal ini tampak bahwa
al-Farabi memakai dua istilah untuk jiwa : ruh dan nafs. Mungkin ia
menyamakan antara kedua istilah tersebut, sehingga kedua pernyataannya di
atas harus dipahami dengan jalan mengkompromikan sebagai berikut. Bahwa
jiwa itu berasal dari Allah melalui pancaran akal ke sepuluh, Jika ia tidak
menyamakan kedua istilah tersebut, tentunya ia bermaksud menyatakan
bahwa ruh berasal dari Allah, sedang nafs berasal dari akal ke sepuluh,

Ibn Sina memiliki dua pendapat. Bahwa nafs baru terjadi setelah jasad siap
menerimanya. Jasad itu sendiri merupakan alat bagi nafs. Dengan demikian
nafs itu tidak terdapat dalam keadaan terpisah dari jasad, lalu bertempat
padanya. Dan tercipta bagi suatu jasad tertentu, sehingga setiap jasad
memiliki nafs yang memang spesifik baginya. Akan tetapi ia juga memiliki
pendapat yang berlawanan dengan pendirian ini. Dalam hal ini ia menyebut
bahwa nafs itu “habatat ilayk min al-mahall al-arfa‟”, suatu pendirian yang
mirip dengan teori dunia ide Plato. Menurut Ibn Sina nafs dalam jasad itu
bagaikan burung yang terkurung dalam sangkar, merindukan kebebasannya di
alam lepas, menyatu kembali dengan alam rohani, alam asalnya. Setiap kali ia
mengingat alam asalnya, ia pun menangis karena rindu ingin kembali.

Dua pendapat Ibn Sina yang berlawanan didapati upaya pengkompromian


sebagai berikut. Bahwa nafs parsial terpancar dari nafs universal, akan tetapi
tidak mengaktualisasikan diri, sampai tercipta suatu jasad tertentu baginya.
Nafs itu turun dalam keadaan enggan untuk kemudian terbelenggu oleh jasad.
Dua pendapat tersebut sulit untuk diupayakan pengkompromiannya. Ia
berusaha menyempurnakan teori Aristoteles dengan cara melepaskan nafs dari
sebagai forma menjadi sebagai kamal (penyempurna) bagi badan jasmani.

105
Sedang sudut pandang yang lain ialah dari segi tasawuf: badan kasar manusia
adalah belenggu bagi kebebasan nafs menuju alam kerohaniannya.

Nafs: Hakikat, Fungsi, dan Alasan Pembedaannya dengan Jasad Ibn Sina
menyatakan bahwa nafs al-insan ialah kesempurnaan primer bagi jasad alami
yang organis dari segi melakukan berbagai aktifitas yang ada dengan dasar
ikhtiar fikri dan mengambil kesimpulan dengan nalar, serta dari segi
mengetahui hal-hal yang universal (kamal awwal li jism thabi‟iy „alamiy min
jihat ma yaf‟al al-af‟al al-kainat bi al-ikhtiyar al-fikriy wa al-istimbat bi al-ra‟y wa
min jihat ma yudrik al-umur al-kulliyat).

Nafs sebagai kesempurnaan sebagai kamal dari segi sebagai potensi yang
memberikan kesempurnaan pada persepsi serta sebagai sumber berbagai
aktifitas. Demikian pula nafs yang terpisah juga disebut kamal, seperti juga
nafs yang tidak terpisah, Adapun nafs disebut sebagai kesempurnaan primer
dimaksudkan sebagai kausal bagi spesies menjadi spesies, sedang
kesempurnaan sekunder merupakan atribut pengikat pada spesies. Sementara
itu istilah jism digunakan dalam arti genusnya bukan fisik materialnya, sedang
kata thabi‟iy dipakai untuk membedakan dari jisim sinaiy (artifisial), demikian
penjelasan Rayyan dalam kajiannya terhadap Ibn Sina.

Ibn Sina menafsirkan kesempurnaan tidak dalam arti sebagai forma seperti
konsep Aristoteles yang tidak dapat dipisahkan dari materi. Ia menjelaskan
forma itu merupakan kesempurnaan bagi jasad tetapi tidak berarti semua
kesempurnaan itu adalah forma. Raja adalah kesempurnaan atau kelengkapan
negara, tetapi jelas bukan merupakan forma negara. Jadi nafs sebagai
kesempurnaan jisim.

Ibn Sina mengemukakan beberapa alasan untuk mendukung pendiriannya


bahwa nafs memiliki eksistensi sendiri, tidak inheren dan sebentuk dengan
jasad. Pertama Dalil Natural-Psychology, suatu dalil yang berpijak pada
perlawanan terhadap gerak natural, dan dalil berikutnya yang berpijak pada
capaian pengetahuan (idrak). Di antara berbagai gerak, terdapat suatu gerak
yang melawan hukum alam (kajian moderen menyebut gravitasi): manusia

106
berjalan, burung terbang. Gerak demikian menghendaki adanya penggerak
khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang bergerak, yakni nafs. Idrak
tidak dimiliki semua makhluk, tetapi hanya dimiliki oleh sebagiannya saja. Ini
menunjukkan adanya kekuatan pembeda antara sebagian dan sebagian yang
lain. Kekuatan pembeda tersebut ialah nafs.

Kedua Dalil Istimrar (continuity) suatu dalil yang menyatakan bahwa berbeda
dengan jasad yang mengalami perubahan (dengan kematian serta lahirnya sel-
sel baru, menurut bahasa kajian modern), nafs tidak pernah mengalami
perubahan dan pergantian seperti itu. Demikian Ibn Sina dalam risalahnya
yang disebut oleh Ahwani. Ketiga Manusia Terbang, suatu dalil bahwa
andaikata orang yang secara organik sempurna berada di angkasa dalam
keadaan mata tertutup tidak mengetahui apa-apa, tidak merasakan sentuhan
apapun termasuk dengan anggota badan sendiri ia tetap yakin terhadap
eksistensi dirinya. Ini membuktikan bahwa wujud nafs itu berbeda dengan,
bahkan bukan jasad. Selain dalam al-Isyarat, (Juz I : 121) Ibn Sina
mengemukakan versi lain dalam al-Syifa‟ sebagaimana didapati dalam
Avecinna‟s Psychology.

Keempat Dalil ke Akuan dan Penyatuan Gejala Kejiwaan bahwa pemilikan


dengan formulasi “..ku” ketika suatu aktifitas terjadi, misalnya mengambil
dengan tanganku menunjukkan bahwa aku, ku atau pribadi bukanlah kadar
atau peristiwa-peristiwanya yang dimaksudkan, melainkan nafs dan
keuatannya. Terdapat suatu pengikat yang menyatukan keseluruhannya
(ribath yajma‟ baynaha kullaha). Pengikat tersebut ialah nafs.

Secara tidak langsung ia menolak pendekatan materialisme dalam memahami


nafs manusia. Bukti di atas terdapat kemiripan dengan kajian modern,
khususnya di bidang filsafat. Dalil orang terbang misalnya, mirip dengan
“cogito ergosum” (Descartes), sekalipun terdapat perbedaan. Rahman
menjelaskan Ibn Sina maupun Descartes diilhami oleh pemikiran Plotinus
tentang keterpisahan jiwa dari tubuh, Bagi Descartes antara „ I think “ dan I
am” mempunyai kesamaan makna. Bahwa kesadaran diri dan keberadaannya

107
secara logis tak dapat dipisahkan. Sedangkan Ibn Sina memandang unsur
kesadaran itu ada sejak seseorang dapat mengukuhkan eksistensinya sendiri
yang betatapun ada hanyalah sebagai cara menempati diri, ia adalah
kenyataan yang mungkin, dan bukan suatu kemestian yang logis.
Sesungguhnya Ibn Sina berada di antara Descartes dan Plotinus; karena bagi
Plotinus kesadaran sebagai suatu hubungan menandakan bukan identitas diri
yang jelas, tetapi semacam kelainan; dalam identitas diri yang penuh,
kesadaran mesti berhenti. Mengenai keorisinalan dalil cogito Descartes di atas,
para pembahas berbeda-beda pendapat. Namun terlepas dari perbedaan ini,
yang jelas Ibn Sina dengan Manusia Terbangnya telah mendahului cogito
Descartes.

Nafs: Hubungannya dengan Jasad di Alam Fenomenal dan Alam Transendental


Kemunculan suatu nafs bersifat sedemikian spesifik diperuntukkan bagi tubuh
tertentu. Ia adalah substansi immateri yang independen bagi jasad yang
diasuhsempurnakan berhadapan dengan nafs lain bagi tubuh lain pula. Ibn
Sina menolak paham reinkarnasi (al-tanasûkh) sebagaimana dikemukakan
dalam al-Shifa‟. Demikian itu karena pada taraf fenomenal di antara nafs dan
jasad terdapat suatu mystique yang secara eksklusif menjadikan keduanya
serasi, sehingga reinkarnasi tidak mungkin terjadi. Mystique ini merupakan
sebab dan akibat dari individualitas diri. Ibn Sina menolak sepenuhnya
pandangan tentang identitas yang mungkin dari dua jiwa/ego yang terlebur
dengan ego Ilahi, bahwa kelanjutan hidupnya mestilah bersifat individual.

Nafs tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya jasad. Begitu
tahap ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi jasad,
bagaikan nakhoda (al-rubban) menjadi pusat penggerak, pengatur dan potensi
bagi kapal itu. Tidak mungkin terdapat nafs kecuali jika telah terdapat materi
fisik yang tersedia untuknya. Nafs memerlukan, tergantung, dan diciptakan
karena jasad. Nafs mempergunakan dan memerlukan jasad, misalnya berpikir
merupakan fungsi spesifiknya tak akan sempurna kecuali jika indera turut
membantu dengan efeknya.

108
Ibn Sina menekankan pengaruh pikiran yang merupakan fungsi primer nafs
terhadap jasad yang begitu luar biasa. Menurut Rahman, inilah salah satu dari
segi paling orisinal filsafat Ibn Sina yang tidak mengurangi kedudukannya
sebagai ahli medis yang telah merekam kajian empirisnya tentang ilmu
kedokteran dalam al-Qanun fi al-Thibnya. Bahkan pengaruh yang luar biasa
terhadap fisik telah mengantarkan Ibn Sina sebagai ilmuan peletak dasar
psychosomatic yang menjadi perhatian bagi upaya penyembuhan, termasuk
juga di dunia kedokteran sendiri. Ibn Sina menyatakan secara fisik orang sakit,
hanya dengan kekuatan kemauannyalah dapat sembuh, Begitu juga orang
yang sehat, dapat menjadi sakit bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia
sakit. Ini disebabkan kekuatan alamiah jasadnya menjadi seperti yang
digambarkan itu. Demikian Ibn Sina dalam al-Shifa‟nya.

Korelasi antara nafs dan jasad, menurut Ibn Sina tidak terdapat pada satu
individu saja. Nafs yang cukup kuat, dapat menyembuhkan dan menyakitkan
badan lain tanpa mempergunakan sarana apapun. Menunjukkan bukti
fenomena hipnotis dan sugesti (al-wahm al‟amil) serta sihir. Ibn Sina mampu
mengkaji secara ilmiah dengan cara mendeskripsikan nafs kuat mampu
mempengaruhi fenomena yang bersifat fisik. Ia telah berlepas diri dari
kecenderungan Yunani yang menganggap sebagai gejala paranatural, pada
campur tangan dewa-dewa.

Dalam mengaktualisasikan keindividualannya nafs memerlukan bantuan fisik


sekaligus berdampak balik sebagai kesempurnaan bagi fisik itu sendiri. Dalam
tahap transendental yang dimulai dengan peristiwa kematian, nafs tidak lagi
menghajatkan jasad. Jasad bukanlah causa prima („illlat) bagi nafs karena nafs
itu sendiri bersifat immateri lagi halus (basitah), suatu entitas tak tersusun.
Nafs tidak turut hancur bersama kematian jasad, bahkan pada tahap
transendental itu nafs berada pada alam kekalnya. Ibn Sina memiliki pemikiran
filosofis yang berbeda dengan pendirian baik Aristoteles maupun al-Farabi. Ia
berpendirian bahwa nafs manusia yakni al-nafs al-natiqah dengan semua

109
potensinya merupakan substansi immateri yang kekal abadi, tak mengalami
kerusakan sama sekali.

Pemikiran Ibn Sina tentang kekal abadinya nafs tampaknya terkait dengan
ajaran Islam tentang kekekalabadiannya surga dan neraka, dan tentu saja
pemikiran skolastik merupakan upaya filosof ini membangun pemahaman
terhadap Islam di atas dasar pemikiran yang sangat mendalam. Ia menolak
adanya kebangkitan jasmani. Al-Ghazali menggugat pendirian Ibn Sina dengan
Tahafut al-Falasifah, Ibn Rushd juga mengkritik Ibn Sina dengan Tahafut al-
Tahafutnya.

Pertentangan pemikiran filosofis tentang kebangkitan jasmani memperoleh


dimensi baru dalam perspektif fisika moderen. Bahwa fisika moderen
membuktikan materi dapat berubah menjadi energi, logikanya demikian pula
sebaliknya. Keduanya dibedakan oleh tingkat kepadatjarangan belaka.
Sekarang tidak lagi dibedakan secara substansial antara materi dan immateri.
Begitu tahap fenomenal mulai dialami oleh wujud immateri kejasadan tersebut,
terjadilah perubahan ke arah perwujudan materi. Persoalan materi-immateri
hanyalah persoalan perubahan kuantitas dan forma belaka, bukan persoalan
perubahan kualitas substansial.

Konsekuensi kajian seperti ini tentulah menjadikan dualisme kejasad-nafsan


manusia terbatas semata-mata pada tahap fenomenal. Sedangkan pada tahap
transendental, dualisme itu mengalami perubahan yang sangat mendasar,
sebab tidak lagi dalam arti manusia tersusun dari jasad material dan nafs
immaterial, tetapi dalam arti manusia yang sekalipun bermula dari dua unsur
tersebut, telah berubah menjadi suatu entitas yang tak terbagi. Topik-topik
yang dibahas dalam filsafat Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa
yang menjadi topik filsafat barat (Eropa), khususnya pada masa Abad
Pertengahan. Berikut sebuah kutipan penjelasan tentang topik-topik bahasan
dalam filsafat Islam :

"Filsafat Islam meneliti problematika Yang Satu dan Yang-Banyak,


menyelesaikan korelasi antara Allah dengan para makhluk-Nya, sebagai

110
problematika yang menyulut perdebatan panjang di kalangan Mutakallimin.
Filsafat Islam berupaya memadukan antara antara wahyu dengan akal, antara
akaidah dengan hikmah, antara agama dengan filsafat dan berusaha
menjelaskan kepada manusia bahwa wahyu tidak bertentangan dengan akal
akaidah jika diterangi dengan sinar filsafat akan menetap di dalam jiwa dan
akan kokoh di hadapan lawan, agama jika bersaudara dengan filsafat akan
menjadi filosofis sebagaimana filsafat menjadi religius.”

Membaca kutipan di atas kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa topik-topik


yang dibahas dalam filsafat Islam khas sekali dengan latar belakang filsafat
Abad Pertengahan. Filsafat banyak digunakan untuk menjelaskan iman akan
agama yang mereka anut. Para filsuf Islam menggunakan filsafat untuk
memberikan pendasaran rasional untuk menjelaskan berbagai ajaran agama
mereka, terutama yang terdapat dalam Al-Quran. Akhirnya tidak bisa di
sangkali lagi, filsafat yang ada dalam filsafat Islam sifatnya filsafat religius-
spiritual.

5. Ibnu Rusyd

Melihat sifat filsafatnya yang religius, namun bukan berarti filsafat Islam
mengabaikan topik-topik besar yang ada dalam filsafat. Filsafat Islam juga
mengulas tema tentang ada (ontologi), logika, epistemologi, moral, dan politik.
Hidup dan Karya Ibn Rush (Averroes) Abdul Walid Muhammad bin Ahmad Ibnu
Rusyd lahir di Cordova pada tahun 1126 (520 H) dari keluarga pengacara. Di
Barat (Eropa) ia lebih dikenal dengan nama Averroes. Ayahnya adalah seorang
hakim terkemuka.

Ibn Rusyd hidup pada masa yang disebut-sebut sebagai zaman keemasan
Islam. Pada masa ini agama Islam sungguh penuh dengan pendasaran rasional
akibat pengaruh dari filsafat. Penghayatan agama yang didasarkan oleh
rasionalitas yang kritis, membuat agama Islam mengalami perkembangan
pesat. Salah satu buktinya adalah banyak lahir pemikir di dalamnya, yang juga
turut mengembangkan aspek hidup lainnya. Walaupun demikian, pada masa
Ibn Rusyd hidup itu pula lah mulai banyak pihak, terutama para ulama

111
konservatif yang mengecam adanya filsafat dalam agama Islam. Ia pun banyak
mendapatkan tekanan, karena filsafatnya dianggap sangat bertentangan
dengan ajaran agama. Bahkan ia pernah dibuang oleh Khalifah Abu Yusuf,
diasingkan ke Lucena.

Karya Ibn Rusyd lebih cenderung dan tampak dalam menterjemahkan teks-
teks filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, terutama karya-karya Aristoteles.
Bahkan Eropa mampu mengenal Aristoteles secara lebih luas adalah karena
karya-karyanya. Ia membuat berbagai tulisan komentar tentang ilmu
kesehatan dan astronomi yang ditulis oleh Aristoteles. Kemudian ia menulis
juga tulisan komentar terhadap buku Republic dari Plato. Latar Belakang
Filsafat Ibn Rusyd Filsafat Ibn Rusyd banyak mengacu pada ajaran-ajaran
Aristoteles, khususnya dalam kaitannya dengan konsep "materi" dan "bentuk".
Tema-tema yang menarik Ibn Rusyd adalah seperti pengetahuan Tuhan
terhadap soal-soal juziat, tentang terjadinya alam maujudat dan perbuatannya,
tentang kezaliman dan keabadian alam, dan tentang gerak dan keazaliannya,
serta akal yang universal dan satu.

Sebuah sumber mengatakan bahwa Ibn Rusyd pernah berguru pada Ibnu
Thufail. Bahkan, seorang filsuf terkenal di Eropa bernama Musa Ibnu Maimun
yang lebih dikenal dengan Ibn Rusyd (Mozes Maimonides) adalah murid dari
Ibn Rusyd. Dalam pemikiran, Ibn Rusyd lebih banyak bertentangan dengan
filsafat Al-Ghazali. Hal tersebut dapat terlihat jelas dalam bukunya yang
berjudul Tahafutul-Tahafut. Ibn Rusyd menjadi seorang pembela mati-matian
filsafat Yunani Kuno yang ditolak oleh Al-Ghazali. Ibn Rusyd mengatakan
bahwa mereka yang menghakimi ahli-ahli filsafat, disebabkan karena mereka
tidak memahami maksud para filsuf tersebut. Al-Ghazali bermaksud menjaga
kemurnian agama, sedangkan Ibn Rusyd bermaksud mengadakan sebuah
perpaduan antara filsafat dan agama.

Jiwa, dualisme mengenal dua jenis yang ada dalam diri manusia. Pertama
adalah apa yang digerakkan (bendanya) dan apa yang menjadi penyebab
penggerak benda tersebut. Dengan kata lain juga bisa kita definiskan sebagai

112
sesuatu yang jasmani dan spiritual. Bagi Ibn Rusyd, unsur spiritual dalam diri
manusia mempunyai kesatuan dan kesempurnaan yang lebih tinggi dari semua
yang ada. Namun tetap yang materi pun mempunyai peran yang besar dalam
proses rasio. Artinya dalam diri manusia bukan lagi terdapat dua substansi
melainkan satu "materi" dan "bentuk" sebagai kesatuan dan mempunyai
korelasi.

Ibn Rusyd dengan tegas mengatakan bahwa jiwa manusia berhubungan


dengan tubuh, seperti Form dan Matter. Ia menolak argumen Ibn Sina yang
mengatakan bahwa jiwa yang abadi sifatnya banyak. Lebih dalam menurut De
Boer "The soul has an existence only as a completion of the body with which it
is associated". Maksudnya kurang lebih bahwa jiwa mempunyai eksistensi
hanya sebagai sebuah pelengkap dari tubuh, yang dengannya dipersatukan
juga oleh jiwa.

Ibn Rusyd dalam tulisannya yang berjudul Fil Nafsi menegaskan bahwa antara
nyawa (al-Ruh) dengan jiwa (al Nafis) merupakan dua realitas yang berbeda.
Namun yang menarik adalah Ibn Rusyd bahwa ketika berbicara tentang ruh,
Ibn Rusyd menggunakan ayat dalam Al Quran di dalam Surat al-Isra ayat 85.
Isinya kurang lebih mengatakan bahwa ruh itu urusan Tuhanku. Manusia tidak
diberika ilmu sedikitpun tentang itu. Kutipan penjelasn di bawah ini bisa
langsung menghantar kita untuk semakin jelas mengenali apa itu jiwa :

"Jiwa berbeda dengan nyawa, dan juga dengan akal. Jiwa itu suatu zat, dan
bukan suatu tubuh, Jiwa adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi
manusia. Syailul lazi yashbahu bihil insanu insianan, artinya jiwa itu sesuatu
yang hidup dan berilmu dan berkodrat."

Kutipan paragraf di atas seolah ingin menekankan bahwa kegiatan jiwa lebih
pada seputar kegiatan berpikir. Hal tersebut yang kemudian membuat Ibn
Rusyd mendeskripsikan jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi tubuh
yang bersifat alamiah dan mekanis. Disebut alamiah dan mekanistik dengan
tujuan ingin membedakan dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang berasal
dari perilaku dan emosi. Makna kesempurnaan ini pun ingin juga mengarahkan

113
pada keberagaman dari bagian jiwa, seperti jiwa nutrisi, jiwa sensorik, jiwa
khayalan, jiwa hasrat, dan jiwa rasional. Definisi tersebut sebenarnya sudah
dipakai oleh Aristoteles dalam mendeskripsikan jiwa. Jiwa itu hakikatnya adalah
satu. Ibn Rusyd sering menyebut kesatuan jiwa itu sebagai jiwa umum.

Akal Sebagai Wujud Jiwa, menurut Ibn Rusyd wujud jiwa paling nyata tampak
dalam akal yang dipunyai manusia. Akal manusia itu adalah satu dan universal.
Lebih dalam "akal yang aktif" yang dimaksud bukan saja akal yang esa dan
universal, melainkan juga menyangkut "akal kemungkinan" (reseptif). Akhirnya
Poerwantana dalam bukunya menyimpulkan bahwa akal yang dimaksud Ibn
Rusyd ini dianggap sebagai monopsikisme. Akal kemungkinan lah yang
membuat manusia sungguh menjadi individu ketika ia berhubungan dengan
tubuh masing-masing manusia. Melihat sifat akal yang ada dalam individu
tersebut sifatnya reseptif, resikonya bahwa ketika manusia meninggal, maka
akal kemungkinan pun akan lenyap. Akal yang dimiliki seseorang sifatnya tidak
abadi, yang abadi adalah akal yang esa dan universal, sesuatu yang menjadi
sumber dan tempat kembalinya akal masing-masing manusia.

"...pengakuan Ibn Rusyd tentang akal yang bersatu dimaksudkan sebagai


pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang bersatu, sebab akal adalah
mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu
di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) manusia
atau mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala
jiwa). Maksud Ibn Rusyd roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal).”

Penjelasan mengenai akal universal dan akal reseptif tidak bisa lantas
membuat kita langsung menyimpulkan bahwa Ibn Rusyd menolak kehidupan
setelah kematian. Dalam filsafatnya, Ibn Rusyd juga berbicara mengenai
kebangkitan jasmani. Ibn Rusyd menyangkal apa yang dikatakan oleh Al-
Ghazali bahwa filsuf-filsuf mengingkari kebangkitan jasmani.

Tubuh menurut Ibnu Rusyd, melihat latar belakang filsafat Ibn Rusyd yang
banyak mendasarkan diri pada pemikiran Aristoteles, hal itu juga terungkap

114
dalam ajaran Ibn Rusyd dalam memandang tubuh. Berbeda dengan Plato yang
menganggap bahwa tubuh hanya menjadi penjara bagi jiwa. Antara tubuh dan
jiwa mempunyai sebuah korelasi. Korelasi tersebut secara jelas bisa terlihat
dalam proses pengenalan rational. Secara khusus, saya sulit untuk menemukan
definisi Ibn Rusyd tentang apa itu tubuh? Ibn Rusyd lebih banyak menjabarkan
tentang aktivitas jiwa yang berkorelasi dengan tubuh. Salah satu konsep yang
akan kita jabarkan adalah pancaindra. Karena di dalamnya kita bisa langsung
menangkap bagaimana tubuh pun mempunyai peran dan berkorelasi dengan
jiwa.

Pancaindra, Ibn Rusyd menjabarkan bahwa pancaindra itu adalah indra


pengelihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan terakhir peraba.
Pengelihatan berfungsi menerima makna secara bebas dari akal potensial,
yang bagaimanapun merupakan makna-makna yang bersifat individual. Daya
pengelihatan mempersepsi dengan menggunakan perantara transparansi.
Pendengaran. Intinya bahwa dengan menggunakan penedengaran manusia
mampu menangkap suara-suara yang muncul akibat benturan dari benda-
benda keras. Udara yang bergerak akibat benturan dari benda keras sampai
ketelinga. Udara tersebut kemudian menggerakkan udara yang ada dalam
telinga sebagai bagian dari tubuh yang berfungsi sebagai alat pendengaran.

Ketiga indra Penciuman. Bagian dari fungsi tubuh yang berfungsi sebagai alat
untuk menangkap bau. Indra ini membutuhkan air dan udara sebagai
perantaranya. Seperti halnya Aristoteles, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa
penciuman manusia lebih lemah daripada hewan. Keempat, indra pengecapan
(perasa). Sebuah daya untuk menangkap rasa sesuatu. Kerjanya dengan
meletakkan objek di atasnya. Kelima, indera peraba. Sebuah daya jiwa yang
menggunakan tubuh untuk mengenali objek. Daya yang mengalami
kesempurnaan karena berbagai hal yang diraba.

Kebangkitan Jasmani (Hidup Setelah Kematian), Ibn Rusyd berpendapat bahwa


tidaklah benar apa yang dikatakan oleh Al-Ghazali bahwa para filsuf menolak
kebangkitan jasmani. Pandangan Ibn Rusyd mengeai hidup setelah kematian

115
ini banyak mendasarkan diri pada ajaran-ajaran agamanya. Bagi Ibn Rusyd
keimanan mengenai kebangkitan jasmani merupakan sebuah keharusan.
Pendasaran untuk hal ini menyangkut ajaran agamanya mengenai amal dan
keutamaan-keutamaan dari seseorang sepanjang masa hidupnya. Seseorang
yang selama hidupnya mempunyai keutamaan dengan menjalankan ajaran-
ajaran agama, salat, berkurban akan memperoleh balasan saat di akhirat
nantinya. Dalam hal ini filsafat membantu seseorang untuk memberikan cara
mencapai kebahagiaan kepada manusia yang berpikiran tinggi. Manusia
sebagai kesatuan tubuh dan jiwa menurut Ibn Rusyd bisa membantu kita
dalam melihat realitas yang terjadi saat ini. Salah satu fenomena yang relevan
adalah fenomena terorisme yang merenggut banyak nyawa manusia.
Sebenarnya Ibn Rusyd sudah memberikan dasar yang baik (filosofis) dalam
melihat manusia. Lantas mengapa terorisme dengan mudah meledakkan bom
yang merenggut banyak nyawa. Sebuah kontradiksi memang.

Satu hal yang saya bisa temukan, hal tersebut terjadi karena para pelaku
terorisme menginggalkan pendasaran rasional dalam melihat manusia, seperti
yang dijabarkan Ibn Rusyd. Meninggalkan dan meniadakan filsafat dalam
korelasi dengan agama. Akhirnya, Fundametalisme dalam agamalah yang
membuat para pelaku terorisme melakukakannya. Terlalu harfiah dalam
menghayati ajaran agamanya. Pandangan sempit bahwa manusia adalah
ciptaan Tuhan dan harus mematuhi segala perintah-Nya yang ada dalam
agamanya. Jika ada yang melanggarnya berarti menjadi sah untuk dihabisi
nyawanya. Akhirnya meninggalkan apa yang dikatakan oleh Ibn Rusyd, bahwa
harusnya sebagai manusia yang mempunyai jiwa mereka mampu berpikir dan
kritis tentang kebenaran. Lantas kalau tidak berpikir apakah para pelaku masih
bisa disebut manusia? Sungguh disayangkan, namun kiranya itulah yang
terjadi dalam negara kita.

6. Ibnu Bajjah

Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakan begitu saja bahwa pemikiran
filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Para filosof Islam banyak

116
mengambil pemikiran aristoteles dan banyak tertarik terhadap pemikiran
platinus. Sehingga banyak teori filosof yunani diambil oleh filosof lslam. Salah
satu diantara para filosof Islam tersebut adalah Ibn Bajjah pada masa kejayaan
Islam di Spanyol. Ibn Bajjah adalah ahli yang menyadarkan pada teori dan
praktik dalam ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu
pengobatan, dan studi-studi spektakulatif seperti logika, filsafat alam dan
metafisika, sebagaimana yang dikatakan oleh De Boer dalam the history of
philosophi in Islam, bahwa dia benar-benar sesuai dengan al-Farabi dengan
tulisan-tulisannya logika dan secara umum setuju dengannya, bahkan dengan
doktrin-doktrin fisika dan metafisikanya.

Ibnu bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya al-Farabi,


dan dia telah memberikan sejumlah besar tambahan-tambahan dalam karya-
karya itu. Dan dia telah menggunakan metode penelitian filsafat yang benar-
benar lain. Tidak seperti al-Farabi, dia berurusan segala masalah hanya
berdasarkan nalar semata. Dia mengagumi filsafat Aristoteles, yang di atasnya
dia membangun sistemnya sendiri. Tapi dia berusaha untuk memahami lebih
dulu filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya Ibn Bajjah menulis uraian-uraian
sendiri atas karya-karyanya Aristoteles.

Filsafat berasal dari kata arab falsafah, yang berasal dari Bahasa Yunani,
philosophia, yang berarti philos=cinta, dan Sophia=pengetahuan jadi
philosophia cinta kepada kebijaksanaan kebenaran. Jadi setiap orang yang
berfilsafat maka dia akan bijaksana. Filsafat juga berarti alam pikiran atau alam
berpikir. Berfilsafat artinya berpikir, namun tidak semua berpikir berarti
berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.
Sebuah semboyan mengatakan semua manusia itu filsuf, semboyan ini benar
juga, sebab semua manusia itu berpikir. Akan tetapi, secara umum semboyan
itu tidak benar, sebab tidak semua orang yang berpikir itu adalah filsuf. Filsuf
hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-
sungguh dan mendalam. Tegasnya: filsafat adalah ilmu yang mempelajari
dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. Adapun

117
pembentukan kata filsafat menjadi kata Indonesia diambil dari kata barat yaitu
fil dan safat dari kata arab sehingga terjadilah gabungan antara keduanya dan
menimbulkan kata filsafat.

Umat Islam telah sampai ke tanah Spanyol (Andalusia) semenjak zaman


sahabat Rasul. Kedatangan mereka telah berhasil mempengaruhi kehidupan
masyarakat di sana khususnya dalam bidang keilmuan. Sepanjang
pemerintahan Islam di Spanyol, telah lahir sejumlah cendikiawan dan sarjana
dalam pelbagai bidang ilmu. Sebagian mereka ialah ahli sains, matematika,
astronomi, perobatan, filsafat, sastra, dan sebagainya. Abu Bakar Muhammad
Ibnu Yahya al-Saigh atau lebih terkenal sebagai Ibnu Bajjah adalah salah
seorang diantara para cendekiawan Muslim tersebut,dia berasal dari keluarga
al-Tujib karena itu ia dikenal sebagai al-Tujibi yang bekerja sebagai pedagang
emas (bajjah=emas). Tetapi di Barat ia lebih dikenal dengan nama Avempace.
Ziaduddin Sardar dalam bukunya Science in Islamic Philosopy menabalkan
Ibnu Bajjah sebagai sarjana Muslim multi-talenta. Ibnu Bajjah dikenal sebagai
seorang astronom, musisi, dokter, fisika, psikologi, pujangga, filsuf dan ahli
logika, dan matematikus. Sang ilmuwan agung ini terlahir di Saragosa, Spanyol
tahun 1082 M. Ibnu Bajjah mengembangkan beragam ilmu pengetahuan di
zaman kekuasaan Dinasti Murabbitun. Ibnu Bajjah dikenal sebagai penyair
yang hebat. Pamornya sebagai seorang sastrawan dan ahli bahasa begitu
mengkilap. Salah satu bukti kehebatannya dalam bidang sastra dibuktikannya
dengan meraih kemenangan dalam kompetisi puisi bergengsi di zamannya.
Emilio Gracia Gomes dalam esainya bertajuk Moorish Spain mencatat Ibnu
Bajjah sebagai seorang sastrawan hebat. Menurut seorang penulis
kontemporer, Ibnu Khaqan, selain dikenal sebagai seorang penyair, Ibn Bajjah
juga dikenal sebagai musisi. Ia piawai bermain musik terutama gambus. Yang
lebih mengesankan lagi, Ibnu Bajjah adalah ilmuwan yang hafal Alquran.
Selain menguasai beragam ilmu, Ibnu Bajjah pun dikenal pula sebagai politikus
ulung. Kehebatannya dalam berpolitik mendapat perhatian dari Abu Bakar
Ibrahim, gubernur Saragosa. Ia pun diangkat sebagai menteri semasa Abu
Bakr Ibrahim berkuasa di Saragosa. Setelah itu, selama 20 tahun, Ibnu Bajjah

118
pun diangkat menjadi menteri Yahya ibnu Yusuf Ibnu Tashufin. Dan didaerah
itulah akhir kehidupan Ibnu Bajjah yang bertepatan pada bulan Ramadhan
tahun 533 H (1138 M), yang telah diracun oleh “Ibn Zuhr” dokter termasyhur
pada zaman itu.

Karya tulis Ibnu Bajjah

a. Kitab tadbir al-mutawahhid, ini adalah kitab yang paling popular dan
penting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini berisikan akhlak dan politik
serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan
dalam masyarakat Negara, yang disebutnya insan muwahhid (manusia
penyendiri).
b. Risalat Al-Wada‟, risalah ini membahas penggerak pertama (tuhan),
manusia, alam, dan kedokteran.
c. Risalat al-ittishal, risalah ini menguraikan manusia dengan akal fa‟al.
d. Kitab al-nafs, kitab yang menjelaskan jiwa. (sirojuddin zar)
e. Tardiyyah yang mana kitab ini membahas tentang sya‟ir pujian.

a. Epistimologis

Sebagai tokoh pemula filsafat Islam di Dunia Islam barat, Ibnu Bajjah tidak
lepas dari pengaruh saudara-saudaranya, filsuf dari Islam timur. Terutama
pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina. Dalam bukunya yang terkenal tadbir al-
mutawahhid, Ibn Bajjah mengemukakan teori al-ittishal, yaitu bahwa
manusia mampu berhubungan dan meleburkan diri dengan akal fa‟al atas
bantuan ilmu dan pertumbuhan kekuatan insani.

Berkaitan dengan teori al-ittishal tersebut, Ibn Bajjah juga mengajukan satu
bentuk epistimologi yang berbeda dengan corak yang dikemukakan Al-
Ghazali di Dunia Islam timur. di Dunia Islam timur. Al-Ghazali berpendapat
bahwa ilham adalah sumber pengetahuan yang lebih penting dan lebih
dipercaya, maka Ibn Bajjah mengkritik pendapat itu, dan menetapkan
bahwa sesungguhnya perseorangan mampu sampai pada puncak

119
pengetahuan dan dan melebur kedalam akal fa‟al, bila ia bersih dari
kerendahan dan keburukan masyarakat. Karena masyarakat bisa
melumpuhkan daya kemampuan berpikir perseorangan dan
menghalanginya untuk mencapai kesempurnaan, hal ini disebabkan
masyarakat itu berlumuran dengan perbuatan-perbuatan rendah dan
keinginan hawa nafsu yang kuat. Jadi, dengan kekuatan dirinya manusia
bisa sampai kepada martabat yang tinggi, melalui pikiran dan perbuatan.

Pemikiran tentang epistimologi ini disebut ibn bajjah dalam bukunya, tadbir
al-mutawahhid yang berisi delapan pasal, dapat disarikan sebagai berikut:

Pasal pertama: penjelasan kata tadbir, Ibnu Bajjah menjelaskan arti kata
tadbir dipakai terhadap setiap kumpulan peraturan yang mengenai dengan
perbuatan menuju suatu tujuan, seperti mengatur keluarga atau Negara.
Manakalah perbuatan-perbuatan seorang yang bertujuan kepada maksud
yang tinggi, haruslah perbuatan itu timbul dari pemikiran yang luas, jauh
sekali dari pengaruh luar.

Pasal kedua: berisi penjelasan tentang perbuatan-perbuatan yang bersifat


kemanusiaan, untuk menjelaskan yang mungkin membuktikan tujuan
“orang yang menyendiri” dibaginya perbuatan kepada dua bagihan:

1) perbuatan yang timbul dari kehendak mereka, sesudah memperhatikan


dan mempertimbangkan.

2) suatu perbuatan yang timbul dan bersifat insting hewani yang tunduk
kepada jiwa manusia yang berpikir. Perbuatan ini dinilai tingkatan akhlak
yang paling tinggi. Tetapi, manakalah seseorang yang kekuatan
hewaninya bisa mengalahkan kekuatan berpikirnya, maka ia lebih hina
daripada hewan.

Pasal ketiga: yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan menyendiri,


yaitu memperoleh urusan yang bersifat pemikiran, maka wajiblah
mengetahui urusan-urusan ini.

Pasal keempat: pembagian perbuatan manusia kepada tiga macam:

120
1) perbuatan yang tujuannya berpa bentuk jasmani, seperti minum,
makan, pakaian, dan yang serupa seperti itu.

2) Perbuatan yang tujuannya adalah bentuk rohaniah perseorangan,


bukanlah kelezatan hewani yang menjadi tujuan daripada bahagian ini,
tapi yang dituju adalah menyempurnakan bentuk rohani, sehingga
seseorang memperoleh ketentraman pikiran dan kesenangan
perasaan.

3) Perbuatan yang bertujuan bentuk rohaniah umum. Perbuatan ini


adalah perbuatan rohaniah yang lebih sempurna, yang berhubungan
dengan akal aktif (akal fa‟al).

Pasal kelima: berisi bahwa seorang mutawahhid (penyendiri) harus memilih


perbuatan yang paling tinggi, sehingga sampai kepada tujuan akhir.

Pasal enam dan pasal tujuh: kembali memperpanjang uraian mengenai


bentuk-bentuk rohaniah dan perbuatan-perbuatan yang bertalian
dengannya serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai.

Pasal kedelapan: menjelaskan apa yang dimaksud dengan tujuan akhir.

b. Metafisika

Menurut Ibnu Bajjah segala yang wujud terbagi dua: bergerak dan tidak
bergerak. Yang bergerak itu adalah materi yang sifatnya terbatas dan sebab
gerakannya berasal dari kekuatan yang tidak terbatas, yaitu akal. Untuk
mencapai kedekatan dengan Tuhan, Ibnu Bajjah menganjurkan untuk
melakukan tiga hal, yaitu: (1) membuat lidah kita selalu mengingat Tuhan
dan memuliakan-Nya, (2) membuat organ-organ tubuh kita bertindak
sesuai dengan wawasan hati, (3) menghindari segala yang membuat kita
lalai mengingat Tuhan.

c. Etika

Tindakan manusia menurut Ibn Bajjah ada dua yaitu:

121
Pertama, tindakan hewani, timbul karena ada motif naluri atau hal-hal lain
yang berhubungan dengannya, baik dekat maupun jauh.

Kedua, tindakan manusiawi, timbul dikarenakan adanya pemikiran yang


lurus dan keamanan yang bersih dan tinggi.

Apabila tindakan seseorang itu bisa dihargai, maka ia harus berbuat


dibawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada
hubungannya sama sekali dengan segi hewani. Seseorang yang hendak
menunjukkan segi hewani itu pada dirinya maka ia harus memulai dengan
melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah maka
segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan dan
seseorang menjadi manusia tidak ada kekurangannya, karena kekurangan
ini timbul disebabkan ketundukannya kepada naluri.

d. Politik

Dari pengertian mutawahhid, banyak orang mengira bahwa Ibn Bajjah


menginginkan supaya seseorang menjauhkan diri dari masyarakat ramai.
Tetapi sebenarnya Ibn Bajjah bermaksud bahwa seorang mutawahhid
sekalipun harus senantiasa berhubungan dengan masyarakat. Tetapi
hendaklah seseorang itu mampu menguasai diri dan sanggup
mengendalikan hawa nafsu, tidak terseret ke dalam arus perbuatan rendah
masyarakat. Dengan perkataan lain ia harus berpusat pada dirinya dan
merasa selalu bahwa dirinya menjadi contoh ikutan orang lain, serta
sebagai penyusun perundang-undangan bagi masyarakat, bukan malah
tenggelam dalam masyarakat itu.

Tindakan-tindakan mulia itu kemungkinan bisa diterapkan di Negara utama


dalam bentuk-bentuk Negara Daerah yang rusak, semua tindakan dilakukan
secara terpaksa dan impulsif. karena penduduknya tidak bertindak secara
rasional, dan sukarela tetapi didorong, misalnya pencaharian kebutuhan
hidup, kesenangan pujian, atau kejayaan. Dalam kehidupan rezim yang
tidak sempurna ini, dimana aspirasi intelektual dirintangi, maka tindakan

122
seseorang yang terkucil, menarik diri dari pergaulan manusia, didalam
Negara semacam ini untuk apolitik.

e. Tasawuf

Ibnu Bajjah mengagumi Al-Ghazali dan menyatakan bahwa metode al-


Ghazali memampukan orang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, dan
bahwa metode ini didasarkan pada ajaran-ajaran Nabi suci. Sang Sufi
menerima cahaya di dalam hatinya. Ibnu Bajjah menjunjung tinggi para
wali Allah (Auliya‟ Allah) dan menempatkan mereka di bawah para Nabi.
Menurutnya, sebagian orang dikuasai oleh keinginan jasmaniyah belaka,
mereka berada di tingkat paling bawah, dan sebagian lagi dikuasai oleh
spiritualitas, kelompok ini sangat langka.

7. Al-Ghazali

Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, di antaranya juga


Ibnu Sina dkk., dalam dua puluh masalah. Diantaranya yang terpenting ialah:

a. Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam


(dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.

b. Al-Ghazali menyerang kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian


alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada
Tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus menerus tanpa akhir
andaikata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi, bukanlah suatu kepastian
harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar iradat
Tuhan.

c. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya


mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal
yang kecil (juz‟iyat).

d. Al-Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi


dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada
penyelewengan dari hukum itu. Bagi Al-Ghazali segala peristiwa yang

123
serupa dengan hukum sebab dan akibat itu hanyalah kebiasaan (adat)
semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal ini jelas Al-Ghazali
menyokong pendapat Ijraul-„adat dari Al Asy‟ari.

Argumen-argumen (hujjah) Al-Ghazali dalam Tahafut Al-Falasifah itu


dilancarkannya dengan cara polemik yang logis, ilmiah dan teratur baik, seperti
kita maklum. Al-Ghazali juga terkenal sebagai seorang ulama mantiq dan
pemberi tuntunan dalam cara bermujadalah yang teratur. Misalnya dalam
menjatuhkan prinsip kaum filsafat, Ia yas duruminal-wahid illah syaiun wahid
Al-Ghazali mengemukakan contoh-contoh kaum filsafat sendiri. Jisim tersusun
dari „bentuk‟ dan materi pertama. Dan susunan yang dualitis inilah (jadi bukan
wahid lagi) yang menjadikannya benda yang satu (satu jisim). Manusia
tersusun dari jisim (yang dualistis itu) dan jiwa, sedangkan kedua unsur ini
tidak pula menjadi illat satu sama lain. Dan dalam keadaan dualistis ini pula,
yaitu dua unsur bersama-sama, dia merupakan illat bagi wujud yang lain.

Al-Ghazali menyanggah: “bukankah kejadian ini telah menyeleweng dari


prinsip-prinsip mereka (kaum filsafat) sendiri?” Mengenai teori emanasi kaum
filsafat (nadzariatul faidl), bahwa tiap-tiap akal dari al-uqulul-mufarikah
mengeluarkan tiga benda lain bersama-sama, yaitu akal, jiwa falak, dengan
panjang lebar Al-Ghazali menampiknya. Sama seperti nampik mereka dari
prinsipnya bahwa yang satu hanya keluar dari yang satu.

a. Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia ini
berasal dari iradat (kemauan) Tuhan semata-mata, tidak bisa terjadinya
dengan sendirinya. Iradat Tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu
menghasilkan ciptaan yang berganda, disatu pihak merupakan zarah-zarah
(atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian yang konkret antara zarah-
zarah abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan
kebiasaannya yang kita lihat ini. Iradat Tuhan itu sendiri adalah mutlak,
bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti
yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas

124
dalam pengertian ruang dan waktu, dan telah masuk ke dalam pengertian
materialis. Al-Ghazali menganggap bahwa Tuhan adalah transenden, tetapi
kemauan iradat-Nya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki
dari segala kejadian.

Pengikut Aristoteles menanamkan sebab dan peristiwa itu sebagai hukum


pasti sebab dan akibat (hukum kausal), tetapi Al-Ghazali, seperti juga Al
Asy‟ari, menamakannya hanya ijra‟ul-adat saja. Tuhan tetap berkuasa
mutlak untuk menyimpang dari kebiasaan sebab dan akibat itu. Tuhan
bukan memindahkan soal yang satu (faktor sebab) kepada soal yang lain
(faktor akibat), melainkan menciptakan dan menghancurkannya, dan
akhirnya menciptakan hal yang baru sama sekali dalam mengartikan sebab
kepada akibat itu. (Dalam hal ini agar dilihat filsafat alam Al Asy‟ari).

Ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut Al-Ghazali Sangat


berlawanan dengan Islam, dan yang karenanya pada filosuf harus
dinyatakan sebagai orang atheis, ialah :

1) Qadimnya alam

2) Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal kecil, dan

3) Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.

Alasan ketiga hal itu disertai bantahnnya dari Al-Ghazali, seperti di bawah
ini:

Qadimnya Alam

Filosuf-filosuf mengatakan bahwa alam ini qadim, Qadimnya Tuhan atas


alam sama dengan qadimnya illat atas ma‟lulnya (sebab atas akibat), yaitu
dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Berikut ini kami sebutkan
alasan-alasan mereka, dan untuk tiap-tiap alasan kami sebutkan pula
bantahan Al-Ghazali.

Alasan Pertama, tidak mungkin wujud yang dulu, yaitu alam, keluar dari
yang qadim (Tuhan), sebab dengan demikian berarti kita bisa

125
membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedang alam belum lagi
ada. Tentang mengapa alam ini belum wujud, disebutkan bahwa pada
waktu itu hal-hal yang menyebabkan wujudnya belum lagi ada. Jadi, pada
waktu itu alam ini baru merupakan suatu kemungkinan murni (bisa wujud
dan bisa tidak wujud). Sesudah waktu tersebut datang, maka alam ini
menjadi wujud, dan wujud ini disebabkan karena faktor-faktor yang
menyebabkan wujudnya. Akan tetapi timbul pertanyaan, mengapa faktor-
faktor tersebut baru timbul pada waktu itu, dan tidak timbul sebelumnya.
Kalau dikatakan Tuhan mula-mula tidak berkuasa mengadakan alam,
kemudian menjadi kuasa untuk mengadakannya, maka timbul pula
pertanyaan, mengapa kekuasaan itu baru timbul pada masa itu, bukan
pada masa sebelumnya. Atau kalau dikatakan, Tuhan sebelumnya tidak
mempunyai tujuan (maksud) bagi wujudnya alam, kemudian maksud ini
timbul, maka pertanyaan yang muncul juga sama, yaitu mengapa tujuan itu
timbul. Atau kalau dikatakan bahwa Tuhan mula-mula tidak menghendaki
adanya, maka timbul pertanyaan mengapa kehendak tersebut timbul, dan
di mana pula timbulnya. Apakah pada zat-Nya, ataukah pada selain zat-
Nya. Kalau pada zat-Nya, tidak mungkin, sebab zat Tuhan tidak menjadi
tempat perkara yang baru. Timbulnya kehendak Tuhan pada selain zat-Nya
juga tidak mungkin karena kalau demikian, berarti bukan Dia yang
mempunyai kehendak, melainkan zat lain itu.

Jawaban Al-Ghazali, Apa keberatannya kalau dikatakan bahwa iradat


(kehendak Tuhan) yang qadim itu menghendaki wujud alam pada waktu
diwujudkannya? Boleh jadi timbul pertanyaan kalau yang dimaksud dengan
iradat yang qadim itu seperti niat kita untuk mengadakan suatu perbuatan,
maka perbuatan tersebut tidak mungkin terlambat kecuali karena adanya
halangan. Sedangkan pada Tuhan sebagai Zat yang mengadakan
pembuatan, sudah lengkap syarat-syaratnya, dan tidak ada hal-hal yang
perlu dinantikan lagi, tetapi perbuatannya terlambat juga.

126
Jawab Al-Ghazali ialah bahwa perkataan tersebut tidak lebih kuat daripada
perkataan mereka yang mempercayai kebaruan alam karena kehendak
yang qadim. Timbul pula pertanyaan lain, yaitu bahwa nilai semua waktu
dalam pertaliannya dengan kehendak adalah sama, tetapi mengapa satu
waktu dipilih untuk mewujudkan alam, dan waktu yang sebelumnya atau
sesudahnya tidak dipilih?

Jawab Al-Ghazali ialah bahwa arti kehendak (iradat) ialah yang


memungkinkan untuk membedakan sesuatu dari yang lainnya. Kehendak
Tuhan adalah mutlak, artinya Dia bisa memilih waktu tertentu, bukan waktu
lainnya, tanpa ditanyakan sebab karena sebab tersebut adalah kehendak-
Nya itu sendiri. Kalau masih ditanyakan sebabnya, maka artinya kehendak
Tuhan itu terbatas, tidak lagi bebas, sedangkan kehendak itu bersifat bebas
mutlak.

Alasan kedua, Tuhan lebih dahulu daripada alam, bukan dari segi zaman,
malainkan dari segi pribadi (tingkatan, zat) seperti lebih dahulunya bilangan
1 atas 2 atau dari segi kausalitas, seperti lebih dahulunya gerakan
seseorang daripada gerakan bayangannya, sedangkan kedua gerakan
tersebut sebenarnya sama-sama mulai atau sama-sama berhentinya.
Artinya sama dari segi zaman. Kalau yang dimaksud dengan terlebih
dahulunya Tuhan atau alam ini ialah dari segi zaman, maka kelanjutannya
ialah :

1) Tuhan dan alam baru kedua-duanya, atau

2) Tuhan dan alam qadim kedua-duanya, dan mustahil salah satunya


qadim, sedangkan yang lain baru.

Kalau yang dikehendakinya dengan perkataan Tuhan lebih dahulu daripada


alam dan zaman itu dari segi zaman, bukan dari segi zat, maka artinya,
sebelum wujud alam dan zaman tersebut sudah terdapat suatu zaman,
ketika „adam (tidak ada) murni terdapat didalamnya sebagai hal yang
mendahului wujud alam. Jadi, Tuhan telah mendahului wujud alam dengan

127
satu masa yang terbatas pada ujungnya yang satu, yaitu dengan adanya
alam, tetapi tidak terbatas pada ujungnya yang lain karena permulaan
wujud Tuhan tidak ada batasnya.

Dengan perkataan lain, sebelum terdapat zaman ketika alam wujud sudah
terdapat zaman yang tidak ada ujungnya, dan ini adalah suatu perlawanan
sebab, kalau ada batas pada salah satu ujungnya, maka harus ada batas
pula pada ujungnya yang lain, begitupun sebaliknya. Karena alasan-alasan
tersebut di atas, maka tidak mungkin untuk mengatakan barunya alam.

Jawaban Al-Ghazali, Perkataan Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam


dan zaman ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum
lagi ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama alam. Dalam keadaan
pertama kita membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan,
dan dalam keadaan kedua kita membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan
dan zat alam. Kita tidak perlu membayangkan ada zat (wujud) yang ketiga
yaitu zaman, apabila diingat bahwa apa yang dimaksud dengan jaman ialah
gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam)
sudah barang tentu belum ada zaman.

Alasan ketiga, Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya untuk dapat
dikatakan bahwa benda itu baru. Jadi, yang baru tidak bisa lepas dari
benda, dan benda itu sendiri tidak baru. Yang baru hanyalah surah ( form),
ardl (sifat-sifat), dan cara-cara atau peristiwa-peristiwa yang mendatangkan
benda. Pikiran ini masih perlu dijelaskan.

Tiap-tiap yang baru, sebelum terjadinya, tidak lepas dari tiga sifat :

1) Mungkin (bisa) wujud,

2) Tidak mungkin bisa wujud, dan

3) Wajib (mesti) wujudnya,

Sifat yang kedua tidak bisa dibenarkan karena yang tidak mungkin wujud
tidak akan terdapat selamanya, sebab alam ini telah menjadi wujud yang

128
nyata. Sifat yang ketiga juga tidak dapat dibenarkan, karena yang wajib
wujudnya tidak akan lenyap, sedangkan alam ini dan peristiwa-peristiwa
yang terjadi didalamnya asalnya ada, kemudian tidak ada, dan sebaliknya.
Jadi, kedua sifat tersebut di atas tidak mungkin terdapat pada alam, dan
karena itu, satu-satunya sifat alam ialah bahwa alam itu mungkin wujudnya
yang sudah terdapat pada alam sebelum wujudnya.

Akan tetapi, mumkin al-wujud adalah suatu sifat yang tidak dapat berdiri
sendiri, tetapi membutuhkan perkara yang lain sebagai tempatnya. Yang
lain ini, sebagai tempat sifat tersebut, tidak lain adalah materi, sehingga
kita dapat mengatakan materi ini bisa (mungkin) wujud, seperti kita
mengatakan benda ini bisa panas atau bisa dingin, bisa putih atau bisa
hitam, bisa bergerak atau bisa diam. Artinya, sifat-sifat tersebut dan
perubahan tersebut dapat terjadi (mungkin) pada benda.

Jawaban Al-Ghazali, Sifat mungkin yang disebutkan di atas merupakan


pekerjaan pikiran (proposisi pikiran). Sesuatu yang dikirakan oleh akal
dapat wujud, dan pikiran ini tidak mustahil. Maka sesuatu itu disebut
perkara yang mungkin. Kalau pikiran itu mustahil, maka perkara itu dinamai
perkara yang mustahil, kalau tidak dapat dikirakan tidak adanya, maka
disebut perkara yang wajib (yang mesti dan selamanya ada). Ketiga perkara
tersebut adalah pekerjaan (proposisi) pikiran yang tidak memerlukan suatu
wujud tersendiri diluar pikiran untuk dapat disifati dengan sifat-sifat
tersebut. Untuk menguatkan ini, Al-Ghazali mengemukakan dua alasan:

1) Kalau sifat-sifat mungkin memerlukan suatu wujud untuk menjadi


tempatnya (disifatinya), maka sifat tidak mungkin wujud juga
memerlukan suatu perkara untuk dapat dikatakan bahwa perkara ini
tidak mungkin wujud, sedangkan perkara yang tidak mungkin wujud
tidak perlu ada wujudnya atau bendanya yang ditempati sifat tersebut.

2) Akal pikiran memutuskan tentang warna hitam dan putih sebelum


wujudnya, bahwa kedua warna ini mungkin (bisa jadi). Kalau sifat
mungkin ini dipertalikan dengan benda yang ditempati kedua warna itu

129
sehingga kita dapat mengatakan “benda ini dapat diputihkan atau
dihitamkan”, maka artinya putih atau hitam itu sendiri tidak mungkin
dan tidak mempunyai sifat mungkin, sebab yang mungkin adalah
bendanya, dan sifat mungkin menjadi sifatnya.

Kalau demikian, maka kita akan bertanya : Bagaimana kedudukan warna


putih atau hitam itu sendiri? Apakah mungkin, wajib (mesti wujud), ataukah
tidak mungkin? Tentunya kita akan menjawab bahwa warna itu mungkin.
Jadi, akal pikiran kita, mengatakan sifat mungkinnya sesuatu tidak
memerlukan sesuatu zat yang wujud yang bisa ditempati sifat tersebut.

Jawaban Al-Ghazali itu mengingatkan kita kepada aliran nominalisme yang


mengatakan bahwa soal universalitas (abstrak) hanya terdapat didalam akal
pikiran, sedangkan diluar akal pikiran tidak ada kenyataannya. Pendirian
filosuf-filosuf yang ditentang Al-Ghazali itu mengingatkan kita kepada
aliran-aliran realisme yang mengatakan bahwa apa yang terdapat di dalam
pikiran, juga terdapat benar-benar diluar pikiran. Kedua aliran tersebut
ramai dibicarakan orang pada akhir Abad pertengahan di Eropahal.,

Golongan filosuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal


(peristiwa-peristiwa) kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka
ialah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah,
sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan perkataan
lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu.
Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya,
berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan
tidak mungkin terjadi (mustahil).

Untuk memperjelas pendirian filosuf-filosuf itu, Al-Ghazali memberikan


contoh tentang gerhana matahari. Matahari mengalami gerhana, sedangkan
sebelumnya tidak, dan gerhana akan hilang. Jadi, pada matahari ada tiga
keadaan:

130
1) Keadaan ketika gerhana tidak ada, dan baru kemudian akan terjadi.

2) Keadaan ketika terjadi gerhana, artinya gerhana sedang berlangsung

3) Keadaan ketika gerhana tidak ada, tetapi sebelumnya telah terjadi.


Mengenai tiga keadaan tersebut terdapat pula tiga pengetahuan yang
berbeda-beda :

a) Kita mengetahui bahwa gerhana itu tidak ada, dan baru kemudian
akan terjadi.

b) Kita mengetahui bahwa gerhana itu sedang terjadi.

c) Kita mengetahui bahwa gerhana sudah terjadi, dan sekarang tidak


ada lagi.

Ketiga pengetahuan tersebut terbilang dan berbeda-beda, dan


penggantiannya (urutannya) pada sesuatu tempat menimbulkan perubahan
pada zat (diri) orang yang mengetahui. Kalau sekiranya ia mengatakan
bahwa gerhana terdapat sekarang seperti juga terdapat sebelumnya,
tentunya dikatakan kebodohan, bukan pengetahuan (ilmu). Kalau ia
mengetahui pada waktu terjadinya gerhana bahwa gerhana itu tidak ada,
tentunya dikatakan kebodohan pula, sebab pengetahuan yang satu tidak
bisa menggantikan pengetahuan yang lain.

Filosuf-filosuf beranggapan bahwa keadaan Tuhan pada ketiga peristiwa


(keadaan) tersebut tidak berbeda-beda, sebab perbedaan keadaan
menunjukkan perubahan. Bagi zat yang tidak berubah keadaannya, tidak
akan terbayang bahwa ia mengetahui ketiga peristiwa tersebut, sebab
pengetahuan mengikuti obyeknya. Kalau obyek-obyek berubah, maka
berubahlah pengetahuan, dan akalu ilmu itu berubah, maka zat yang
mengetahui (Yang mempunyai ilmu) juga berubah, sedangkan perubahan
pada zat Tuhan mustahil terjadi. Meskipun demikian, filosuf-filosuf
menganggap bahwa Tuhan mengetahui adanya gerhana dengan segala
sifat-sifatnya, tetapi dengan pengetahuan yang azali, abadi, yang tidak
berubah-ubah, seperti hukum alam yang menguasai terjadinya gerhana.

131
Demikian pula ilmu Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi
karena sebab-sebabnya dan sebab-sebab ini mempunyai sebab-sebab yang
lain sebelumnya, sampai pada gerakan-gerakan benda angkasa.

Jawaban Al-Ghazali, Menurut Al-Ghazali, kalau terjadi perubahan pada


tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaannya yang biasa,
sebagaimana halnya kalau ada orang yang berdiri di sebelah kanan kita,
kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya
dia, bukan kita. Lagi pula kalau perubahan ilmu biasa menimbulkan suatu
perubahan pada zat (diri) yang mengetahui sebagaimana yang dipanggil
oleh golongan filosuf, apakah mereka akan mengatakan bahwa
berbilangnya ilmu juga menimbulkan bilangan pada zat Tuhan? Sebab objek
ilmu itu banyak, seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, sifat yang
tidak ada batas hitungnya, yang berarti juga ilmu itu banyak. Akan tetapi,
bagaimana ilmu-ilmu yang banyak tertampung dalam ilmu yang satu,
kemudian ilmu ini juga adalah zat-Nya yang mengetahui sendiri, bukan
sebagai tambahan pada-Nya? Lagi pula, golongan filosuf mengatakan
bahwa alam ini qadim dan mengakui adanya perubahan-perubahan pada
yang qadim. Akan tetapi mengapa mereka tidak membolehkan perubahan
pada zat Tuhan yang qadim pula?

Kebangkitan jasmani, menurut tinjauan filosuf-filosuf dari segi pikiran, alam


akhirat adalah alam kerohanian, bukan alam material (alam kebendaan),
sebab perkara kerohanian itu lebih tinggi nilainya. Oleh karena itu, menurut
mereka pikiran tidak mengherankan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan
atau siksaan jasmani, surga atau neraka serta segala isinya.

Kesemua ini memang disebutkan di dalam Al-Quran, tetapi dengan maksud


untuk memudahkan pemahaman terhadap alam kerohanian bagi orang-
orang biasa. Keunggulan alam kerohanian sebenarnya juga berlaku dalam
dunia ini, yang didasarkan atas kekuatan berfikir dan kelezatan
mendapatkan objek-objek pikiran. Akan tetapi, hal ini tidak bisa dicapai

132
disebabkan oleh kesibukan-kesibukan benda, dan baru dicapai di akhirat
nanti, ketika kesibukan-kesibukan benda ini tidak lagi jadi penghalangnya.

Orang yang tidak merasakan kelezatan berpikir dalam dunia ini tidak akan
merasakan keadaan tersebut sebagai penderitaan, sebab, karena
kesibukan-kesibukan materinya itu, sebagaimana halnya dengan orang
yang sedang takut, ia tidak akan merasakan kepedihan penyakit yang
dideritanya. Agar sesuai dengan suasana kerohanian, maka kebangkitan di
akhirat nanti bersifat rohniah pula. Jadi, kebangkitan jasmani, yang berarti
badan kita akan dibangkitkan lagi, tidak perlu terjadi.

Dalam mengemukakan alasan-alasan, mereka mengemukakan, bahwa


pengembalian badan memiliki tiga kemungkinan:

1) Manusia terdiri atas badan dan kehidupan, seperti yang dikatakan oleh
sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa yang berdiri sendiri dan yang
mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati adalah
terputusnya hidup, yakni Tuhan tidak lagi menciptakan hidup, dan
karena itu hidup ini tidak ada, dan badan juga tidak ada. Jadi, arti
kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah
tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya
yang sudah tidak ada. Dengan perkataan lain, badan manusia setelah
menjadi mati tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk
manusia dan diberikan hidup kepadanya.

Kemungkinan pertama ini tidak dapat dibenarkan karena pengertian


menjadikan Kembali adalah membuat seperti apa yang sudah ada,
bukan membuat apa yang sudah ada itu sendiri , sebab apa yang sudah
tidak ada tidak akan menjadi wujud kembali. Manusia bukan menjadi
manusia karena badannya, sebab dalam keadaan tubuh sapi menjadi
makanan manusia, lalu dari manusia keluar sperma yang kemudian
menjadi manusia lain, kita tidak akan mengatakan bahwa sapi menjadi
manusia, sebab sapi dikatakan sapi karena surah(form)nya, bukan
karena maddah (substansi)-nya.

133
2) Atau dikatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi
badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan
lagi dengan anggota-anggota badannnya sendiri dengan lengkap.

Kemungkinan kedua ini juga tidak dapat dibenarkan karena anggota


badan sesudah mati terpisah-pisah atau dimakan ulan-ulat atau burung-
burung, atau menjadi uap dan sebagainya, yang berarti sukar untuk
mengumpulkan kembali semua bagian tersebut. Kalau kita mengatakan
bahwa pengumpulan bagian-bagian tersebut bisa terjadi karena
kekuasaan Tuhan tidak terbatas, maka timbul pertanyaan, bagaimana
halnya dengan orang yang makan daging orang lain, yang berarti
badannya (bendanya) satu, tetapi manusianya dua. Dalam keadaan ini
makna tidak mungkin mengembalikan dua jiwa kepada satu benda. Lagi
pula, benda yang satu bisa menjadi tumbuhan, kemudian kita makan
binatang tersebut dan binatang ini menjadi badan kita, kemudian
dengan silih berganti menjadi tanah, tumbuhan, hewan, dan manusia.
Jadi, benda yang satu, sesudah berada pada kita, menjadi badan
(benda) orang banyak.

3) Atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan


dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain
sama sekali. Jadi yang dikembalikan adalah manusianya, sebab
badannya (bendanya) bukan terpenting, sedangkan manusia disebut
manusia karena jiwanya, bukan karena bendanya (badannya).

Kemungkinan ini juga tidak dibenarkan karena benda-bendanya itu terbatas


banyaknya, sedangkan jiwa yang berpisah dengan badan tidak terbatas,
dan karena itu tidak mencukupinya. Lagi pula, apabila kita menerima pikiran
ini, berarti kita mengakui adanya transmigrasi jiwa (reinkarnasi), yaitu
bahwa jiwa manusia sesudah lepas dari suatu badan akan kembali kepada
badan lain, dan dari sini ke badan lain lagi, begitu seterusnya, sedangkan
transmigrasi jiwa ini ditentang oleh Ibnu Sina.

134
Jawaban Al-Ghazali, Jawaban Al-Ghazali lebih banyak ditujukan kepada
kemungkinan ketiga yang dikemukakan oleh filosuf-filosuf, dan lebih banyak
didasarkan atas alasan-alasan syara‟ daripada atas argumentasi pikiran. Dia
mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah
dengan badan) karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri.
Pendirian ini tidak berlawanan dengan syara‟, bahkan ditunjukannya seperti
yang disebutkan dalam Al-Quran Surah Âli „Imrân (3):169:

“Jangan engkau Kira bahwa mereka yang terbunuh pada jalan Allah itu
mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannnya, mendapat rizki dan
gembira”. (QS. Âli „Imrân (3): 169)

Juga disebutkan dalam hadits-hadits, antara lain yang menyatakan bahwa


roh-roh itu merasakan adanya kebaikan dan sedekah, pertanyaan Malaikat
Munkar dan Nakir, siksa kubur dan hadits-hadits lain yang semuanya
menunjukan adanya keabadian. Kemudian ada nas-nas lain yang
menyatakan adanya kebangkitan, yaitu kebangkitan badan. Kebangkitan ini
suatu hal yang mungkin, yaitu dengan jalan mengembalikan jiwa kepada
badan, badan apapun, baik dari bahan badan yang pertama ataupun badan
lainnya, atau bahan badan yang baru dijadikan sama sekali. Sebab manusia
disebut manusia karena jiwanya, bukan karena badannya. Bagian-bagian
badan manusia dapat berganti-ganti dari kecil menjadi besar, sebab kurus
atau gemuk, karena pergantian makan atau karena perubahan susunan
kimia badannya, ia tetap manusia juga.

Hal yang penting ialah kembalinya suatu alat kepada manusia, yang
memungkinkan dia merasakan kelezatan atau kepedihan jasmani. Kalau alat
itu sudah dikembalikan seperti semula, yaitu badan, bagaimanapun
macamnya alat itu, maka itu artinya ia benar-benar kembali (kebangkitan).
Tentang terbatasnya benda dan tidak terbatasnya jiwa, tidak dapat
dibenarkan, sebab, menurut golongan filosof, alam itu qadim, sedangkan
jiwa manusia itu baru, jadi jiwa tidak mungkin lebih banyak daripada
benda-benda itu. Kalau sekiranya jiwa itu lebih banyak, apakah mustahil

135
bagi Tuhan untuk membuat lagi benda yang baru untuk menjadi tempat
jiwa?

Tentang perpindahan jiwa dari satu badan ke badan lain, memang tidak
dibenarkan oleh Al-Ghazali. Akan tetapi tentang kebangkitan jasmani di
akhirat, yang berarti bahwa jiwa bertempat pada badan yang lain, itu
dipercayainya, baik disebut transmigrasi jiwa atau bukan selama hal itu
disebut oleh agama.

b) Etika

Filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam bukunya Ihya „Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika
Al-Ghazali adalah teori Tasawufnya. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-
Ghazali kita temui dalam semboyan tasawuf yang terkenal: al-takhalluq bi-
akhlaqillahi „ala thaqatil basyariyah, atau pada semboyannya yang lain, al-
shifatirrahman ala thaqalil-basyariyahal., Maksud semboyan itu adalah agar
manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat
ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun, pemaaf, dan sifat-
sifat yang disukai Tuhan, sabar, Jujur, taqwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan
sebagai nya.

Dalam ihya „Ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dari


tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal at-
thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga
kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang-lebar tentang shalat,
puasa, dan haji, Kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua
amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan
pembersihan rohani. Al-Ghazali melihat melihat sumber kebaikan manusia
itu terletak pada kebersihan

Rohaninya dan rasa akrabnya (taqarub) terhadap Tuhan.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menanggap Tuhan. Sebagai pencita


yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan ramat

136
(kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia tidak cocok samasekali
dengan prinsif filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai
kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan
diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan
sama sekali. Al-Ghazali, sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa
kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya
yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allah itu, Al-Ghazali memberikan


beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Diantaranya
yang terpenting adalah muraqabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan,
dan almuhasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri. Menurut Al-
Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yakni kepuasan dan
kebahagiaan (lazzat dan sa‟adah). Kepuasan adalah apabila kita
mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran
itu, bertambah banyak orang merasakan kebahagiaan.

Akhirnya kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui kebenaran


sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan
ma‟rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikitpun juga, dan
dengan penyaksian hati yang sangat yakin (musyahadatul-qalbi). Apabila
sampai kepada penyaksian itu, manusia akan merasakan suatu kebahagiaan
yang begitu memuaskan sehingga sukar dilukiskan. Al-Ghazali menyatakan
dengan terus terang bahwa ia telah beberapa kali mengalami sendiri
penyaksian itu.

d) Konsep Iman dan Kufur

Al-Ghazali dalam pemikirannya, menentang ilmu kalam dan para ulama


kalam, meski ia sendiri tetap menjadi seorang tokoh ilmu kalam.
Sebagaimana penyerangannya terhadap argumen-argumen para filosuf,
tetapi tetap ia menjadi tokoh filosuf. Kritikan Al-Ghazali terhadap para
ulama kalam hanya ditujukan kepada tingkah laku mereka dan kejauhan
hati mereka dari agama yang dipertahankannya oleh mereka melalui

137
argumentasi. Dalam memperkuat iman orang-orang biasa, menurut Al-
Ghazali tidak diperlukan argumen-argumen pemikiran yang dalam. Ia
menyayangkan adanya pertentangan pendapat dalam beberapa persoalan
dan tuduhan telah menjadi kafir yang dikeluarkan oleh pengikut beberapa
aliran terhadap orang lain yang tidak sependapat dengan mereka, karena
dirasa perlu untuk memberikan batas pemisah antara iman dengan kufur
dan atau antara Islam dengan non Islam.

Menurut Al-Ghazali: Siapa yang menganggap bahwa yang dinamakan kufur


ialah yang menyalahi pendapat imam Al Asy‟ari atau menyalahi pendapat
aliran Mu‟tazilah atau madzhab Hambali atau madzhab lainnya, maka ia
benar-benar bodoh. Pengikut aliran Hambaliah mengkafirkan pengikut Al
Asy‟ariah karena ia menganggap telah mendustakan Rasul, ketika ia
(Asy‟ariah) menetapkan atas bagi Tuhan dan bertempat di Arsy. Sebaliknya
pengikut pengikut aliran Asy‟ariah tidak membenarkan pengikut aliran
Hambaliah, karena mereka dianggap orang anthropomorph (musyabbih).

Pengikut aliran Asy‟ariah menentang seorang Mu‟tazilah, karena ia


(Mu‟tazilah) dianggap telah mengingkari perkataan Rasul tentang
penetapan ru‟yat (menyaksikan Tuhan), dan tentang penetapan sifat ilmu,
qudrat dan sifat. Sebaliknya orang mu‟tazilah mengkafirkan pengikut aliran
Asy‟ariah, karena yang terakhir ini ketika menetapkan sifat-sifat untuk
Tuhan, benar-benar telah mengkafirkan orang-orang terdahulu dan
mendustakan Rasul dalam pengesaan. Menurut Al-Ghazali sikap mereka
semuanya itu salah, karena kebenaran tidak hanya dimiliki oleh sesuatu
aliaran saja.

Al-Ghazali membuat garis pemisah antara iman dan kufur, dengan


mengatakan: “Kufur adalah mendustakan Rasul tentang apa yang
dibawanya, sedang iman adalah mempercayai semua yang dibawanya.
Orang Yahudi dan Masehi adalah orang kafir, karena kedua-duanya
mendustakan Rasul. Orang-orang agama Brahmana lebih-lebih lagi, karena
mengingkari semua Rasul-rasul termasuk Rasul Muhammad saw. Kemudian

138
menyusul orang-orang agama dualisme, orang-orang zindiq dan orang-
orang materialis. Mereka semuanya adalah orang-orang musyrik, karena
mendustakan Rasul. Setiap orang kafir mendustakan (tiada mempercayai)
Rasul, dan setiap orang yang mendustakan Rasul adalah orang kafir, ini
adalah garis pemisah yang berlaku terus.

Ia mengatakan lagi:“Orang yang mentakwilkan tidak boleh dikafirkan,


selama mereka berjalan di atas aturan ta‟wil. Bagaimana karena
penta‟wilan semata-mata sudah menjadi kafir, sedang semua pihak dalam
Islam mesti memakai ta‟wil”. Oleh karena itu, tidaklah mudah mengatakan
golongan ini kafir, aliran iman, melainkan diperlukan keterangan yang
panjang, segi-segi mana yang membawa kekufuran dan segi-segi mana
yang tidak membawa kekufuran. Dalam hal ini Al-Ghazali mengungkapkan
dua masalah yakni bentuk wasiat dan satu aturan pokok dengan suatu
ringkasan sebagai berikut:

Wasiat itu adalah: Tutup mulutmu (jangan menuduh) terhadap ahli kiblat
(orang Islam) sedapat-dapatnya, selama mereka mengatakan Tidak ada
Tuhan kecuali Allah, dan Muhammad saw, adalah Rasulullah. Satu aturan
pokok ialah bahwa ilmu tentang kepercayaan ada dua bagian, yaitu bagian
yang bertalian dengan dasar-dasar pokok dan bagian lain yang bertalian
dengan soal-soal cabang. Dasar-dasar iman ada tiga, yaitu iman kepada
Tuhan, kepada Rasul-Nya dan kepada hari akhir (akhirat), selain ketiga soal
ini, termasuk soal-soal cabang. Dalam soal-soal cabang tidak ada
pengkafiran sama sekali, kecuali dalam satu hal saja, yaitu mengingkari
dasar agama yang telah diketahui dari Rasul saw. Dengan jalan yang pasti
(mutawatir).

Seorang tidak boleh mengkafirkan lawannya, hanya karena bahwa lawan


tersebut memakai alasan pikiran (burhan). Paling banyak hanya dapat
dikatakan bahwa ia telah sesat dan telah bidat, dengan pengertian sesat
dari jalan yang ditempuh olehnya (seseorang tersebut), dan dengan

139
pengertian bahwa ia telah mengadakan suatu pendapat yang tidak pernah
dijelaskan oleh ulama-ulama salaf.

Al-Ghazali sendiri memang tidak mengingkari kemungkinan tercapainya


pengetahuan akal. Sebagaimana aliran Mu‟tazilah yang mengutamakan
penggunaan akal pikiran dibandingkan yang lainnya. Apa yang diingkarinya
adalah suatu anggapan mereka bahwa ilmu dalam dan penyelidikan pikiran
bisa mengantarkan pada keyakinan, dan bisa menyalakan api iman pada
hati orang bukan muslim. Jadi iman sebenarnya bukan kepuasan rasio
(pikiran) melainkan soal perasaan dan hati. Karena itu Al-Ghazali
bermaksud mengambilkan Islam kepada tradisi ulama salaf, dan
menganjurkan kepada setiap muslim untuk mencari kebenaran di dalam
Quran sendiri, sebagai sumber imannya, bukan dari proses pemikiran dan
alasan-alasan pemikiran mereka.

Hal yang disebut dengan iman tidak hanya cukup dengan mengetahui
syariat, tetapi harus dengan mengamalkan perintah-perinyahnya. Menurut
Al-Ghazali, meskipun seorang membaca seratus ribu kali masalah keilmuan
dan mengkajinya pula, tetapi tidak mengamalkannya, maka tidak akan
berguna baginya, kecuali dengan amalnya itu. Islam bukan hanya membaca
Al Quran, shalat berjamaah dan mengagungkan syariat dengan lisan, tetapi
juga pembersihan, keperwiraan dan taqwa lepada Allah Swt.

a. Tinjauan terhadap Al-Ghazali

Ada ilmuwan yang mengatakan bahwa Al-Ghazali bukanlah seorang filosuf,


karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya.
Sebagaimana yang tercermin dalam Tahafutu Al-Falasifah. Ia lebih tepat
digolongkan dalam kelompok pembangun agama yang jalan pemikirannya
di dasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Apabila
memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan
sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk
membantu menerangi jalan menuju Allah Swt. Hal ini dikuatkan dengan
kitabnya Ihya „Ulumu Ad Din.

140
Dalam buku Tahafutu Al Falasifah Al-Ghazali menerangkan tentang
keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat
justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali
menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk
menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap
filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan
filsafat disebut sebagai seorang filosuf?

Apabila ditinjau dari segi lain pendapat tersebut masih dapat dikaji lagi.
Terutama dari segi pengertian filsafat Islam. Namun apabila filsafat Islam
hanya merupakan kumpulan dari pemikiran-pemikiran Al Farabi, Ibnu Sina
dan tokoh-tokoh pikiran yang sejenis semata-mata, tentang persoalan
ketuhanan dan jiwa manusia, tanpa melihat metode atau sumber pikiran
tersebut, maka buku Tahafutu Al Falasifah, tidak termasuk buku filsafat,
dan pengarangnya juga bukan seorang filosuf. Karena buku itu berisi
hantaman terhadap pikiran-pikiran kedua filosuf tersebut di atas. Tetapi apa
dasar memasukkan karya-karya kedua filosuf dan yang sejenis semata-
mata dalam lapangan filsafat Islam, sehingga harus mengeluarkan karya-
karya tokoh pikiran lainnya? Pengertian filsafat harus lebih luas daripada
itu, sehingga mencakup semua usaha-usaha pikiran yang dipakai sebagai
jalan untuk mencapai kebenaran, sebagaimana yang dikatakan oleh Frost.
Pengertian tersebut tepat sekali untuk diterapkan pada filsafat, dan dengan
demikian, maka buku Tahafutu Al Falasifah termasuk buku filsafat.

Di dalam Ihya „Ulum Ad Din, Al-Ghazali juga mengatakan bahwa filsafat


adalah bukan ilmu yang berdiri sendiri, tetapi terdiri dari empat bagian:

Pertama, Ilmu dan matematika (berhitung). Keduanya boleh dipelajari


kecuali terhadap orang yang takut akan terseleweng kepada suatu ilmu
yang tercela.

Kedua, ilmu logika (mantiq) yakni ilmu yang membahas cara menyusun
suatu dalil dan syarat-syaratnya, menyusun batas dalil dan syarat-
syaratnya. Ilmu ini masuk dalam ilmu kalam.

141
Ketiga, ilmu metafisika (Ketuhanan) yakni ilmu yang membahas tentang zat
Allah Swt dan sifat-sifatNya. Ilmu ini juga termasuk ilmu kalam. Para filosuf
tidak menyadari mengenai ilmu ketuhanan dengan bentuk suatu ilmu lain,
tetapi menyendiri dengan bentuk aliran (madzhab) yang mana sebagian
daripadanya menjadi kafir dan sebagian lainnya menjadi bid‟ah.
Sebagaimana aliran Mu‟tazilah bukan merupakan ilmu yang berdiri sendiri,
tetapi penganut-penganutnya adalah suatu golongan dari para ulama
mutkallimin dan para ahli pengkajian, penyelidikan yang menyendiri dengan
aliran-aliran yang batal. Maka seperti itu pulalah para filosuf.

Keempat, ilmu alam sebagian dari padanya menyalahi syariat dan ajaran
agama yang benar. Ini sebenarnya merupakan kebodohan, bukan ilmu
pengetahuan yang pantas dimasukkan ke dalam bagian-bagian ilmu.
Sebagian yang lain lagi membahas tentang sifat-sifat jism (benda yang
bertubuh) dan kegunaannya, cara berubah dan bertukar bentuknya.

Dalam pengertian filsafat Islam secara luas, kajian Al-Ghazali tersebut telah
memasuki filsafat, meskipun harus mencemooh para filosuf. Sebenarnya
yang dicemooh bukan para filosuf, tetapi setiap orang yang mempunyai
jalan pemikiran yang tidak sesuai dengan ajaran agama ia mengecamnya.
Karena Al-Ghazali selalu merujuk dan senantiasa mencari kebenaran, meski
berlandaskan Al-Quran dan Al-Hadits, ia telah memasuki alam pikiran
filsafat. Dengan demikian ia seorang filosuf.

b. Sikap Al-Ghazali

Dalam buku Maqashid Al Falasifah berisi tiga persoalan filsafat yaitu ilmu
mantiq, metafisika dan fisika yang diuraikan dengan sejujur-jujurnya.
Seolah-olah ia seorang filosuf yang menulis tentang kefilsafatan, sesudah
itu ia menulis sebuah buku Tahafutu Al Falasifah dimana ia bertindak bukan
sebagai seorang filosuf, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang
hendak mengkritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahannnya
serta kejanggalan-kejanggalannya yaitu dengan hal-hal yang berlawanan
dengan agama. Dengan demikian dia seorang filosuf yang sanggup

142
menggugat dirinya sendiri. Ia jujur, konsekuen, dan tegas dalam pendirian.
Selalu mengacu pada kebenaran yang didasarkan pada ajaran Islam.

Menurut Al-Ghazali agama tidak melarang ataupun memerintahkan ilmu


matematika, karena ilmu adalah hasil pembuktian pikiran orang yang tidak
bisa diingkari, sesudah dipahami dan dimengerti. Tetapi ilmu tersebut
menimbulkan 2 keberatan:

1) Karena keberatan dan ketelitian ilmu-ilmu matematika, maka boleh jadi


orang ada yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula
keadaannya, sampaipun dalam lapangan ketuhanan.

2) Sikap yang timbul dari pemeluk Islam yang bodoh yaitu menduga bahwa
untuk menegakkan agama, harus mengingkari semua ilmu yang berasal
dari filosuf-filosuf, dan mengatakan bahwa mereka bodoh semua,
sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus
diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara‟.

Lapangan logika menurut Al-Ghazali, juga tidak ada sangkut pautnya


dengan agama, atau dengan kata lain agama tidak memerintahkan atau
melarang logika. Logika berisi tentang penyelidikan dalil-dalil pembuktian,
qiyas-qiyas (silogisme), syarat-syarat pembuktian (burhan), definisi-definisi
dan sebagainya. Semua persoalan ini tidak perlu diingkari, sebab masih
sejenis dengan yang dipakai oleh ulama-ulama theologi Islam meskipun
kadang-kadang berbeda istilah dan kata-katanya. Bahasa yang ditimbulkan
oleh logika dari filosuf-filosuf, ialah karena syarat-syarat pembuktian
tersebut juga menjadi pendahuluan dalam soal-soal ketuhanan (metafisika),
sedang sebenarnya tidak demikian.

Ilmu físika, menurut Al-Ghazali, membicarakan tentang planet-planet,


unsur-unsur (benda-benda) tunggal, seperti air, hawa, tanah, dan api:
kemudian benda-benda tersusun seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, logam,
sebab-sebab perubahan dan pelarutannya. Pembahasan tersebut sejenis
dengan pembahasan lapangan kedokteran, yaitu menyelidiki tubuh orang,

143
anggota-anggota badannya dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi
didalamnya. Sebagaimana untuk agama tidak diisyaratkan mengingkari ilmu
kedokteran, maka demikian pula fisika juga tidak perlu diingkari, kecuali
beberapa hal yang disebutkan dalam buku Tahafutu Al Falasifah, yang
disimpulkan bahwa alam semesta ini dikuasai (tunduk) lepada Tuhan, tidak
bekerja dengan dirinya sendiri, tetapi bekerja karena Tuhan zat pencipta.

8. Ibnu Tufail (500 – 581 H / 1105 – 1185 M)

a. Riwayat Hidup dan Karyanya

Ibnu Thufail berasal dari kawasan Islam belahan barat. Ibnu Tufail
yang hidup pada Masa pemerintahan Daulah Muwahhidun. Nama
lengkapnya ialah Abu Bakr Muhammad Ibnu Abd al-Malik Ibnu Thufail. Lahir
di Wadi Asy (Guandix), dekat Granada sekitar tahun 500 H/1106 M. Ia
menguasai Kedokteran, antronomi, dan filsafat. Tidak diketahui secara pasti
kepada siapa ia pernah Berguru dalam menimba ilmu pengetahuan. Dalam
kisah Hayy Ibnu Yaqzhan yang ditulisnya ia mengatakan tidak pernah
berjumpa dengan Ibnu Bajjah. Pada mulanya Ibnu Thufail aktif bekerja
sebagai dokter dan pengajar, lalu alih profesi sebagai sekretaris pribadi
penguasa Granada. Pada tahun 549 H/1154 M, ia dipercaya sebagai
sekretaris gubernur wilayah Ceuta dan Tangier (Maroko). Sedang gubernur
itu merupakan putra Abl al-Mukmin, seorang pendiri Daulah Muwahhidun
yang berpusat di Marakesy, Maroko. Pada tahun 558 H/1163 M, ia ditarik ke
Marakesy dan diangkat sebagai hakim sekaligus dokter untuk keluarga
istana Abu Yaqub Yusuf (memerintah) pada tahun 1163 – 1184 M).

Ibnu Thufail sempat memperkenalkan Ibnu Rusyd kepada Abu Yaqub Yusuf
pada tahun 1169 M. Bermula dari perkenalan itu, Abu Yaqub Menyarankan
via Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd agar mengulas karya-karya Aristoteles. Pada
tahun 1182 M, Ibnu Thufail mengundurkan diri dari jabatannya karena
sudah merasa tua dan lemahal., Dan jabatan sebagai dokter istana
diserahkan kepada Ibnu Rusyd. Tepatnya tahun 581 H/1158 M, Ibnu Thufail
wafat. Kesibukan di pemerintahan yang sedemikian padat membuatnya

144
kurang produktif dalam dunia tulis-menulis. Namun, beberapa tema sempat
ditulisnya, misalnya kedokteran, astronomi, dan filsafat. Dari sekian buah
karyanya, Risalah Hayy Ibnu Yaqzhan fi Asrar al-Himah al- Masyriqiyah
adalah yang termashur. Kitab ini mempresentasikan pemikiran inti Ibnu
Thufail dalam ranah filsafat.

b. Hayy Ibnu Yaqzhan

Terdapat dua tulisan dengan judul Hayy Ibnu Yaqzhan, yakni versi Ibnu
Sina dan Ibnu Thafail. Namun, Ibnu Sina yang lebih dulu memakai judul
tersebut, kendati Versinya berbeda. Risalah Hayy Ibnu Yaqzhan versi Ibnu
Yaqzhan dilukiskan sebagai seorang syeikh tua yang ditangannya
tergenggam kunci-kunci segenap pengetahuan yang ia terima dari ayahnya.
Syeikh tua itu seorang pengembara yang menjelajahi penjuru bumi.
Dalam suatu perjalanan, Hayy berjumpa dengan Syeikh tua tersebut,
sehingga perkenalan pun tak terhindarkan dan terjadilah dialog. Syeikh
dengan nama Ibnu Yaqzhan itu merupakan simbolisasi dari Akal Aktif yang
melangsungkan komunikasi dengan para nabi dan filsuf. Ibnu Yaqzhan
mungkin juga merupakan simbolisasi bagi akal manusia yang dituntut untuk
selalu berkembang mencapai tahap kematangan dalam menguasai
pengetahua, baik yang praktis maupun teoritis, dan harus pula mampu
mengendalikan potensi-potensi jiwa nabati/hewani yang bersarang dalam
jiwa insani.

Risalah Hayy Ibnu Yaqzhan versi Ibnu Thufail berbeda dengan versi Ibnu
Sina. Ibnu Thufail melukiskan Ibnu Yaqzhan sebagai sesosok bayi laki-laki
yang terbuang di sebuah pulau yang belum pernah dihuni manusia. Pulau
itu merupakan salah satu pulau Hindi yang terletak di bawah garis
khatulistiwa. Alkisah, bayi yang diberi nama Hayy Ibnu Yaqzhan itu
merupakan hasil perkawinan sah seornag wanita dan laki-laki kerajaan.
Mula-mula, karena takut diketahui raja, bayi itu diletakkan di sebuah peti
oleh ibunya, dan kemudian diapngkan ke laut dengan harapan dapat
dihanyutkan olah arus laut ke tempat lain. Arus dan pasang naik laut

145
menyebabkan peti tersebut terhempas ke pulau seberang yang tidak dihuni
manusia. Tangis bayi yang merobek keheningan pulau itu mengundang
rasa iba seekor unta yang belum lama kehilangan anak, dan bahkan
menyangka bayi itu adalah anaknya. Bayi mungil itu pun dirawat dan
disusui di kandang unta. Uniknya, bayi itu tumbuh sehat menjadi manusia
dewasa yang berbeda dari binatang. Akal sehatnya tumbuh sedemikian
rupa, sehingga ia tidak saja mampu berpikir tentang Dunia fenomen,
melainkan juga menangkap hal-hal abstrak dan mengetahui adanya Tuhan
dengan mata hatinya dan merasa dekat dengan-Nya.

Tidak jauh dari pulau itu terdapat sebuah pulau yang dihuni oleh suatu
masyarakat. Absal dan Salaman yang termasuk pemuka dalam masyarakat
itu merupakan penganut agama wahyu, tapi dengan kecenderungan yang
berbeda. Absal banyak tertarik pada pengertian-pengertian metaforis dari
teks-teks wahyu, sedangkan Salaman lebih gemar pada makna-makna
literalis. Sementara masyarakat memiliki pandangan serupa dengan
Salaman, sehingga Absal merasa tidak mendapat dukungan dan
memutuskan untuk hengkang dari masyarakatnya untuk beberapa waktu.
Pada suatu hari, pengasingan Absal tiba di pulau yang dihuni Ibnu Yaqzhan.
Perjumpaan antara keduanya pun tak terelakkan. Absal melatih Ibnu
Yaqzhan berbicara Dan akhirnya mereka saling berdialog. Ternyata Yaqzhan
dapat dengan mudah memahami dan menyetujui pikiran-pikiran Absal
tentang Tuhan, surga, neraka, hari kebangkitan, timbangan, jalan lurus dan
lain sebagainya. Sedangkan Absal juga dengan mudah memahami
keterangan Ibnu Yaqzhan mengenai hasil renungan dan pengalaman
spiritualnya dengan Tuhan. Lalu keduanya sepakat untuk hijrah ke pulau
dimana Salaman dan masyarakatnya menetap di sana. Kedatangan Absal
dan Ibnu Yaqzhan ialah mengajak Salaman beserta masyarakatnya
beragama seseuai pemahaman mereka berdua. Tapi, ajakan tersebut tidak
mendapat respon positif, hingga keduanya sadar bahwa masyarakat harus
dibiarkan beragama dengan pemahaman masing-masing. Akhirnya, mereka

146
berdua kembali ke pulau tak berpenghuni itu untuk melanjutkan ibadah dan
tafakur pada Tuhan sebagaimana mestinya.

c. Makna-Makna Kisah Simbolik

Sosok Hayy Ibnu Yaqzhan dalam novel Ibnu Thufail tidak digunakan
sebagai simbol Akal Aktif, melainkan simbol akan manusia tanpa bimbingan
wahyu mampu mencapai Kebenaran tentang Tuhan, dunia, dan alam
rohaniah yang tidak kontradiktif dengan kebenaran wahyu. Sementara
Absal dan Salaman dapat dipandang sebagai simbol wahyu yang dipahami
secara berbeda: Absal adalah representasi dari pemahaman metaforis
terhadap wahyu, sebagaimana lazim terjadi pada kalangan rasionalis (filsuf)
dan esoteris (sufi), sedangkan Salaman merupakan representasi dari
pemahaman literalis, sebagaimana lazim terjadi pada kalangan teolog dan
fuhaka.

Dari kisah simbolis ini dapat ditarik benang merah pemikiran Ibnu Thufail
bahwa Manusia memiliki potensi yang amat besar untuk tumbuh dengan
kualitas akalnya. Andai potensi akal itu diasah secara tajam akan
mengantarkan seseorang menjadi filsuf atau sufi. Akal yang dimilikinya
tidak saja mampu menguak alam empiris, melainkan juga mampu
memahami alam metafisis. Bahkan, hatinya juga dapat dikembangkan
sedemikian rupa hingga dapat mengalami musyahadah (persaksian)
keindahan cahaya Ilahi dan alam metafisik lainnya. Kebahagiaan tertinggi
dan sejati dirasakan manusia manakala hatinya tenggelam dalam
musyahadah tersebut. Pemikiran Ibnu Thufail menunjukkan bahwa seorang
filsuf, sufi, atau teolog tidak perlu mengajak atau memaksa kaum awam
untuk menangkap kebenaran agama sebagaimana mereka pahami. Karena
upaya demikian tidak akan berarti apa-apa buat kaum awam untuk
menangkapkebenaran agama sebagaimana mereka pahami. Karena upaya
demikian tidak akan berarti apa-apa buat kaum awam yang tidak suka
bersusah payah memahami agama secara metaforis. Kalangan penganut
metaforis lebih baik mendorong masyarakat awam untuk tidak melanggar

147
batas-batas agama, komitmen menunaikan amal-amal lahiriah,
membenarkan dan menerima hal-hal yang mutasyabihat, menjauhkan diri
dari perilaku bidah, tidak menumbar hawa nafsu, dan meneladani para salaf
al-Salih. Intinya, kaum awan harus dinasehati agar tidak mengabaikan
syariat.

d. Qadim atau Hadisnya Alam

Ibnu Thufail juga menyinggung persoalan apakah ala mini hadits (bersifat
baru, Bermula). Ia menyadari keberatan pihak lain terhadap pandangan
bahwa ala mini hadits, dan juga keberatan pihak lain kalu ala mini qadim.
Tanpa memperlihatkan keberpihakan Kepada salah satu paham ini. Ibnu
Thufail menyatakan bahwa kedua paham ini masih Mengakui adanya Tuhan
sebagai pencipta alam semesta. Jika ala mini pernah tidak ada, tentu ia
membutuhkan sesuatu yang lain yang menciptakan alam itu dari tiada
menjadi ada, dan pencipta tiu adalah Tuhan. Bila ala mini qadim, maka ia
merupakan akibat dari penciptaan karena qidam. Alam yang terbatas ini
tdak mungkin selamanya bergerak, ia hanya bergerak dengan tenaganya
sendiri yang terbatas. Oleh karena itu, alam yang terbatas tetap butuh pada
sesuatu yang tidak terbatas yang wajib bersifat imateri dan menjadi
penggerak ala mini. Jadi, ke-hadist-an atau ke-qadim-an alam sepenuhnya
bergantung pada Tuhan selaku pecipta dan penggeraknya.

E. Perbandingan

Menurut Umar Khayyan ada perbedaan tegas antara dua aliran pemikiran
“filosofis”, yang kedua-duanya mengaku pengikut Grika. Yang pertama, aliran
peripatetik, yang punya doktrin, gabungan ide Aristoteles dan beberapa ide
Neoplatonik (Sayyed Hossein Nasr, 1986: 16-17). Tendensi utama aliran
Peripatetik, yang eksponen Islam terbesar adalah Ibnu Sina, mengarah ke suatu
filsafat yang berdasarkan penggunaan logika dan bertumpu hakikatnya pada
metoda silogistis. Aspek rasionalistis aliran ini mencapai puncaknya pada Ibnu

148
Rusd, yang merupakan tokoh paling berpaham Aristoteles di kalangan Peripatetik
Muslim dan yang menolak, sebagai aspek eksplisit filsafat, unsur-unsur
Neoplatonik dan Muslim yang merasuk ke dalam paham duniawi Peripatetik Timur,
seperti Ibnu Sina (Sayyed Hossein Nasr, 1986: 270).

Dalam kalangan Peripatetik sendiri terjadi perbedaan antar Ibnu Rusyd di lain
pihak dengan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Ibnu Rusyd mengkritik Ibnu Sina dan al-
Farabi, ia mengatakan karena keasyikannya yang penuh dengan masalah
keserasian, kedua pengikut Neo-Platonis Muslim tersebut telah salah paham atau
mengecilkan perbedaan-perbedaan yang sangat lebar antara Aristoteles dan
gurunya (Plato), dan terutama kritikannya yang bertubi-tubi terhadap teori idea
Platonik. Selain itu semua ajaran emanasionis yang membentuk landasan
kosmologi dan metafisika mereka sama sekali tidak Aristotelian. Kedua filosof
Muslim itu menganggap ajaran itu berasal dari Aristoteles, padahal mereka telah
mengubah semua bentuk ajarannya (Majid Fakhry, 1986: 395).

Kritikan lain Ibnu Rusyd kepada Ibnu Sina khususnya dan Neo-Platonisme Arab
pada Umumnya, banyak sekali, seperti tentang konsep wujud dalam hubungannya
dengan esensi, juga secara diam-diam Ibnu Sina menerima metafisika Asy‟ariyah
tentang kemungkinan (contingensi) dan dengan begitu menolak hubungan kausal
dan konsep tentang adanya sebuah kecakapan terpisah dari jiwa yang disebut
estimatif (al-wahimah), dan berkat iu hewan-hewan yang lebih tinggi dapat
membedakan antara mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat (Majid
Fakhry, 1986: 397-400).

Dengan begitu bisa dijelaskan bahwa Ibnu Sina dan al-Farabi sebagai pengikut
Platonik sedangkan Ibnu Rusyd (M.M. Syarif, 1993: 202) sebagai Aristotelian (dan
seterusnya menjadi berkembang di Barat). Filsafat Ibnu Sina, khususnya dalam
aspek simbolis dan kosmologis, terus dikaji dan dibangunan di dunia Syi‟ah,
sedangkan di kalangan Sunni pandangan rasionalistis yang inheren pada filsafat
Peripatetik disanggah berdasarkan dalil Wahyu Islam. Teologi Sunni - seperti
semua teologi, yang tujuan utamanya ialah melindungi nalar agar jangan

149
menyeleweng berusaha melawan unsur tertentu filsafat rasional Grika dengan
menggunakan nalar itu sendiri.

Aliran Teologi Skolastik dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan Kalam -
berbeda dari aliran-aliran filsafat, membahas setiap masalah yang timbul dalam
pikiran manusia, tetapi membatasi diri pada masalah yang spesifik agama. Akan
tetapi ia - tidak berusaha mengikuti ajaran aliran Grika yang mana pun, sehingga
para ahli teologi itu dapat mengemukakan berbagai tesa yang original. Mereka
memakai logika yang dikembangkan oleh Aristoteles dan alirannya, tetapi untuk
tujuan yang berbeda: “filsafat Alam” mereka spekulasi mereka tentang sifat
cahaya dan panas, makna kausalitas dan “penjelasan” peristiwa alam sangat
berbeda sekali dengan pandang golongan Peripatetik (Sayyed Hossein Nasr, 1986:
282).

Aliran Dominan teologi Sunni, yang bangkit pada abad ke-4 H/ ke-10 M sebagai
tanggapan terhadap berbagai aliran pemikiran rasionalistis yang berdasarkan
filsafat Grika, adalah aliran Asy‟ariyah, dinamakan demikian menurut nama
pendirinya Abu al-Hasan al-Asy‟ari. Aliran ini berkembang dan mendominasi di
kalangan Sunni. Doktrin Asy‟ari, khususnya dalam bidang filsafat alam
dikembangkan dsan diperluas oleh Abu Bakar al-Baqillani, seorang musid Asy‟ari.

Gagasan inti yang mendominasi banyak aspek teologi Sunni ialah suatu “atomisme
konseptual” yang memotong kontinuitas nyata dunia dan matriksnya - waktu dan
ruang - dan menempatkan Tuhan sebagai pelaku langsung dalam segala
peristiwa. “Atomisme” ini bersumber dari watak khas Islam, yang menegaskan
transendensi mutlak Asasi Ilahi dan “ketakberartian” semua makhluk mulai dari
hewan paling hina hingga makhluk berpikir yang paling tinggi, di hadapan asas
tersebut. Tambahan lagi, “atomisme” ini, yang menegaskan diskontiunitas antara
yang terbatas dengan yang Tak Terbatas, ada hubungannya dengan struktur
spiritual dan psikologis bahasa Arab dan pemikiran Arab, di mana aspek
diskontuitas abstrak sebab dan akibat, sebagai hasil penelaahan tentang kaitan
yang ada antara semua hal (Sayyed Hossein Nasr, 1986: 283).

150
Sebab itu paham Asy‟ariyah menolak paham kausalitas Aristoteles. Bagi mereka,
segala sesuatu disebabkan langsung oleh Tuhan; setiap sebab adalah sebab
Transenden. Api itu panas, bukan karena “secara alami” ia panas, tapi karena
Tuhan berkehendak demikian. Sangkut paut dunia bukan disebabkan oleh
hubungan “horizontal” antar benda atau oleh berbagai sebab dan akibat, tapi
karena ikatan “vertikal” yang menghubungkan setiap wujud yang kongkrit atau
“atom” dengan sebab ontologisnya. Berbeda dengan beberapa filsafat dan
madzhab-madzhab teologi lain (termasuk aliran syi‟ah), paham Asy‟ariyah
menitikberatkan diskontinuitas dunia dengan Tuhan dan ketidakberartian segala
sesuatu yang ada di alam ini di hadapan al-Khalik. Bagi mereka segala sebab dan
keadaan antara terserap ke dalam Asas Ilahi. Orang dapat mengatakan suatu
makhluk tertentu “tidak ada” di hadapan yang Abadi, tapi ia juga nyata, dalam
batasan bahwa makhluk tersebut ada dan karena itu memiliki sesuatu derajat
realitas. Golongan Asy‟ariyah mendasarkan paham mereka pada aspek
“ketidakadaan” ini, sedangkan para filosof aliran Neoplatonik berlandaskan pada
kontinuitas antara alam dan sebab ontologisnya (Sayyed Hossein Nasr, 1986: 283-
284).

Aliran kedua dari daftar Umar Kahyyan yaitu yang mengaku mengikuti paham
Grika lebih bersimpati kepada Tradisi Pythagoras-Platonik ketimbang tradisi
Aristoteles. Aliran ini, yang dalam abad-abad selanjutnya dinamakan aliran
Iluminatis (isyraqi), mereka menyatakan bahwa mereka menurunkan doktrin
mereka, bukan hanya dari golongan Pythagoras dan pengikutnya, tapi dari nabi-
nabi kuno, tradisi Hermetik, dan bahkan dari orang-orang bijak Zoroatria kuno.
Filosof terbesar Iluminasi ialah Suhrawardi (Sayyed Hossein Nasr, 1986: 59-60).
yang mengambil simbolismenya dari semua sumber yang banyak tadi (Sayyed
Hossein Nasr, 1986: 17).

Aliran Iluminasi (isyraqi) yang berbeda dengan aliran Peripatetik (masysya‟i).


Kaum Peripatetik bertumpu kuat pada metoda syllogis Aristoteles dan berupaya
mencapai kebenaran dengan cara argumen berdasarkan nalar, sedangkan kaum
iluminasionis yang mengambil doktrinnya dari ajaran Plato dan Parsi kuno maupun

151
wahyu Islam sendiri, memandang intuisi intelektual dan iluminasi (pencerahan/
penerangan) sebagai metoda dasar yang harus di turut secara bersamaan dengan
penggunaan nalar. Meski mereka meninggalkan bekas yang tak terhapuskan pada
terminologi teologi Muslim sesudahnya, para filosof rasionalis kian lama kian
terasing dari unsur-unsur ortodoks, dari segi teologi dan juga gnostik, sehingga
setelah mereka “disalahkan” oleh al-Ghazali, sedikit sekali pengaruh mereka pada
paham kaum Muslimin yang pokok. Tapi aliran Iluminasionis, yang
menggabungkan metoda penalaran dengan metoda intuisi intelektual dan
iluminasi tampil ke depan pada masa itu, yang meskipun secara salah, umumnya
dianggap sebagai akhir filsafat Islam. Kenyataannya, di samping gnosis; ia berada
di posisi tengah kehidupan intelektual Islam. Pada saat ketika di Barat, Platonisme
aliran Augustinus (yang menganggap pengetahuan sebagai buah dari iluminasi)
sedang di geser oleh Aristotelianisme aliran Thomas (yang berpaling dari doktrin
iluminasi ini), proses kebalikannya sedang terjadi di dunia Islam (Sayyed Hossein
Nasr, 1986: 271).

Seperti halnya Peripatetik, diskusi tentang wujud membawa al-Suhrawardi secara


logis ke dalam diskusi Metafisik. Mengkritik thesis Ibnu Sina mengenai pembedaan
antara esensi dan eksistensi, dan menyingkirkan dasar pembedaan yang dibuat
para filosof antara Tuhan dan manusia. Sejajar dengan itu, ia menyangkal
pembedaan antara kemungkinan dan kemustian dan menyatakan pembedaan-
pembedaan ini sebagai semata-mata bersifat mental dan subyektif. Lebih lanjut, ia
menyerang ide dualitas antara materi dan bentuk dan merumuskan suatu doktrin
tentang eksistensi murni yang hanya mentoleril pembedaan satu-satunya dalam
eksistensi itu sendiri yang menyangkut “lebih atau kurang” atau “lebih sempurna
dan kurang sempurna”. Sesungguhnya, as-Suhrawardi menolak semua kategori-
kategori Aristoteles sebagai mitos-mitos subyektif. Keseluruhan kecenderungan
pemikirannya membawa ketidakmungkinan definisi apa pun juga, karena definisi
mengandung praduga adanya pembedaan-pembedaan mutlak dalam realita, dan
atas dasar fungsi definisi-definisi inilah sistem Aristoteles- Ibnu Sina dibangun.
Konsekuensinya, bagi as-Suhrawardi, realita adalah satu, continuum homogen

152
yang hanya diputus-putus oleh “lebih atau kurang” atau “tingkat-tingkat Wujud”:
“Keseluruhan Tuhan adalah Wujud dan keseluruhan Wujud adalah Tuhan”.

Di samping gambaran realita monistik ini, as-Suhrawardi juga mengembangkan


suatu teori pengetahuan menurut mana kognisi terjadi tidak melalui “abstraksi”
bentuk-bentuk, sebagaimana diajarkan oleh para filosof, tetapi melalui kesadaran
langsung atau kehadiran yang dekat [immediate presence] dari obyek. Ia
memandang fenomena kesadaran diri sebagai ciri primordial dari semua
pengetahuan, dan mengatakan kesadaran ini, dengan membangkitkan kembali
konsep kuno Zoroaster tentang “Cahaya”, sebagai pencahayaan-sendiri [self
luminosity] yang fundamental dari Wujud. Jadi, sebagaimana aliran Wujud
berproses dari realita hakiki melalui emanasi, maka demikian pula aliran Cahaya
atau kesadaran yang dekat berproses dari sumber hakikinya. Karena itu,
kesadaran itu sendiri adalah continuum yang dibedakan pada berbagai tingkatan?
oleh satu-satunya kategori “lebih atau kurang” (Fazlur Rahman, 1984: 178-179).

Dengan demikian prinsip filsafat Iluminasi ialah bahwa Tuhan adalah cahaya dan
sumber bagi segala entitas, maka dari cahaya-Nyalah cahaya-cahaya lain keluar
sebagai fondasi alam material dan spiritual. Al-‟Uqul al-Mufariqoh (akal yang tidak
ada benda), hanyalah merupakan satuan-satuan dari cahaya yang menggerakkan
dan mengawasi falak-falak ini sesuai dengan aturannya (Ibrahim Madkour, 1988:
59). Jadi, filsafat Iluminasi berlandaskan pada teori akal sepuluh dari al-Farabi
yang bercampur dengan unsur-unsur Mazdakiah dan Manikiahal.

Jika alam, secara global, timbul dari pancaran emanasi Allah, maka demikian pula
jiwa bisa sampai kepada keindahannya dengan perantaraan emanasi dan
pancaran. Jika kita melepaskan diri dari kelezatan-kelezatan fisik maka tampaklah
kepada kita nur Ilahi yang bantuannya tidak terputus dari diri kita. Cahaya ini
keluar dari suatu realitas yang kedudukannya terhadap kita adalah kedudukan
ayah dan tuan yang Maha-Agung bagi spesies manusia. Dia adalah pemberi bagi
semua bentuk dan merupakan sumber semua jiwa dengan berbagai macam
perbedaannya. Ia disebut ruh suci atau dengan bahasa filosof, akal fa‟al. Manakala
kita berhubungan dengannya maka kita bisa mempersepsi berbagai macam

153
pengetahuan dan ruh kita bisa berhubungan dengan jiwa-jiwa samawi yang akan
menolong kita dalam menyingkap kebaikan baik dalam kondisi berjaga maupun
dalam keadaan tidur.

Aliran Iluminasi ini, tidak merasa puas hanya berhubungan dengan akal fa‟al saja,
tetapi juga mengharapkan bisa bersatu dengan Allah secara langsung dan
bercampur dengan Cahaya segala Cahaya. Artinya disini menyatukan al-Ittisol al-
Farabi dan al-Ittihad al-Hallaj secara simultan (Ibrahim Madkour, 1988: 60-61).
Dalam membahas tentang “ilmu cahaya”, yang menggambarkan intisari filsafat
kaum iluminasi ini, al-Suhrawardi tidak menuntut keorsinilan apa pun. Ilmu ini
selalu mempunyai banyak juru bicara, Palto, Hermes, Empedoclek, Pythagoras,
Agathadaimon, Aristoteles, Jamasp, Farashaustra, Buzurjumhr, Zoroaster, dan
lain-lain (Ibrahim Madkour, 1988: 408). Walaupun berkebangsaan berbeda-beda,
tetapi secara primer dan secara esensial, mereka adalah anak-anak manusia
bahkan duta-duta perdamaian dan reformasi (Ibrahim Madkour, 1988: 59) kata
al-Suhrawardi, bijaksanawan-bijaksanawan ini semuanya telah memberikan
sahamnya dalam satu kebijakan universal dan perenial, yang pada mulanya
diwahyukan kepada Hermes (Idris atau Nuh), Para Pendeta Persia, Kayumarth,
Faridun, Kai Khusraw, Abu Yazid al-Bastami, Mansur al-Hallaj, abu al-Hasan al-
Kharraqani (Sayyed Hossein Nasr, 1986: 62).

154
Pertanyaan:

155
156
BAB V

ASPEK TASAWUF DALAM ISLAM

A. Pendahuluan

Manusia terdiri atas jasmani dan ruhani (QS Al-Hijr [15]: 28-29). Jasmani akan
tunduk kepada dan menuntut kebutuhan jasmaninya, seperti makan, minum, dan
bernafas. Sementara itu, ruhaninya tunduk dan menuntut kebutuhan ruhaninya.
Kedua unsur manusia tadi perlu dipenuhi kebutuhannya secara seimbang.

Banyak kesenangan dan fasilitas hidup dan kehidupan dapat dinikmati oleh
manusia dengan bertambahnya setiap penemuan baru dalam bidang ilmu dan
teknologi. Kita dapat menyaksikan, melihat, dan merasakan sendiri secara
langsung kemajuan-kemajuan dan kemudahan tersebut. Umpamanya, pada
sarana pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti alat transportasi, dan
komunikasi, tempat dan sarana hiburan dan lain sebagainya. Dengan demikian,
hidup terasa bertambah mudah, enak, dan nyaman.

Tetapi kenyataannya, bahwa kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan lahiriah


yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak selalu
membahagiakan umat manusia. Bahkan, ada yang memandangnya sebagai
pembawa banyak bencana daripada rahmat.

Berikut ini beberapa pandangan para tokoh tentang situasi dan kondisi batin
manusia moderen di zaman sekarang:

Pertama, Hosen Nasr (dalam Asmaran AS, 1994: 1-3), tokoh ilmuwan
kontemporer Iran, mengatakan:

“Masyarakat moderen yang sering digolongkan sebagai the post industrial


society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran material
sedemikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanik dan otomatis.
Tetapi, itu bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup, melainkan
sebaliknya kian dihinggapi rasa cemas, karena akibat kemewahan hidup yang

157
diraihnya. Mereka sudah menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa
disadari integritas kemanusiaannya tereduksi, lalu terperangkap pada jaringan
sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak manusiawi. Kritik Nasr terhadap
manusia moderen adalah mereka dinilai telah dilanda kehampaan spiritual.
Kemajuan yang pesat dalam lapangan ilmu dan filsafat rasionalisme sejak abad
ke-18, kini dirasakan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam
aspek nilai-nilai transendental, suatu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari
sumber wahyu Ilahi.”

Kedua, Menurut Soedjatmoko, mantan Rektor United Nations University di


Tokyo:

“Ada beberapa pertanyaan mendasar yang tidak dapat dijawab oleh ilmu dan
teknologi. Ilmu dan teknologi sekarang ini, berhadapan dengan berbagai
pertanyaan pokok tentang jalan yang harus ditempuh dan yang tidak dapat
dijawabnya sendiri. Pertanyaan itu berkisar pada masalah sampai di mana umat
manusia bisa mengendalikan kembali ilmu dan teknologi, sehingga jalannya tidak
menurut kemauannya dan momentumnya sendiri saja, melainkan melayani
keperluan dan keselamatan manusia.” (dalam Asmaran, 1994: 2)

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas hanya ada dalam agama.


Menurut Soedjatmoko lebih lanjut,”kalau dulu agama dengan susah payah, sering
mencoba mengejar dan menyesuaikan diri terhadap tantangan-tantangan yang
terus menerus dilontarkan oleh ilmu pengetahuan, sekarang ilmu dan teknologi
sendiri tidak bisa lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya dan
memerlukan patokan-patokan dari lingkungan agama dan etika.” (dalam
Asmaran, 1994: 2-3)

Ketiga, menurut Harun Nasution, dalam menghadapi materialisme yang


melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Di sini tasawuf
dengan ajaran kerohaniaan dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan
penting.

158
B. Pengertian Tasawuf dan Asal Usulnya

Ada segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri
kepada Tuhan melalui ibadah salat, puasa, dan haji. Mereka ingin merasa lebih
dekat lagi dengan Tuhan. Jalan untuk itu diberikan oleh al-tasawwuf. Al-
Tasawwuf atau sufisme ialah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan
mistisisme dalam Islam. (Nasution, 1986: 71).

Tasawuf secara etimologi, sebagai bentuk mashdar dari tashawwafa, diambil dari
kata dasar shuf yang diartikan kain wol. Makna ini diambil untuk menunjukkan
pakaian wol yang sering digunakan oleh orang yang mengamalkan ajaran
tasawuf. Seseorang yang mempraktekkan ajaran tawasuf atau kehidupan mistik
untuk menjadi orang yang kemudian disebut Shufi. (HAR Gibbb and JH Kramers,
tt: 579)

Definisi lain menyebutkan bahwa shufi itu berasal dari kata ahli shuffah (shuffah
adalah emperan/selasar Masjid Nabawi di masa Nabi Saw masih hidup). Ada
pengertian lain, bahwa shuff berasal dari dari barisan pertama dalam shalat; bani
Shafa (anak keturunan dari salah satu suku bangsa Arab yang asli/badwi).

Ada beberpa pendapat lain tentang asal-usul dari kata Tasawuf, sebagaimana
ditulis oleh Yusran Asmuni (1996: 123), antara lain:

1. Berasal dari kata shopia (bahasa Yunani) yang berarti hikmah, kemudian kata
itu dijadikan atau dianggap bahasa Arab, sebagaimana halnya kata
philosophia menjadi kata filsafat. Dan memang orang sufi ada hubungannya
dengan hikmah.

2. Berasal dari kata shafaa (bahasa Arab) yang berarti bersih, karena tujuan
hidup dari orang sufi itu adalah kebersihan lahir dan batin.

3. Berasal dari kata Shuffah (bahasa Arab) yang berarti tempat atau sofa di
serambi Mesjid (Nabawi) di Madinah, yang didiami oleh para sahabat yang
hijrah dari Mekah ke Madinah. Mereka berada dalam keadaan miskin, namun
mereka berhati baik dan mukhlis/ikhlas, serta tidak merenungkan keduniaan.
Memang demikian sifat-sifat sufi.

159
4. Berasal dari kata shufanah yaitu tumbuh-tumbuhan berbulu yang hidup di
padang pasir. Hal ini dihubungkan dengan orang sufi yang memakai pakaian
berbulu dan hidup dalam kesederhanaan seperti pohon safanah.

Walaupun dari mana pengambilan perkataan itu, apakah dari bahasa Arab atau
bahasa Yunani, tulis Hamka (tt: 3), namun, dari asal-asul pengambilan itu sudah
nyata, bahwa yang dimaksud dengan kaum tasawuf atau kaum Sufi adalah kaum
yang telah menyusun kumpulan, menyisihkan diri dari orang banyak, dengan
maksud membersihkan hati, laksana kilat kaca terhadap Tuhan. Sufi juga
memakai pakaian sederhana, jangan menyerupai pakaian orang dunia, biar hidup
kelihatan kurus kering bagai kayu di padang pasir; atau memperdalam
penyelidikan tentang hubungan makhluk dengan Khaliqnya.

C. Faktor-faktor yang Mendorong Timbulnya Tasawuf

Mengenai faktor yang mendorong timbulnya Tawasuf dan aliran-alirannya,


ternyata para ahli berbeda pendapat, di antaranya:

1. Pengaruh dari ajaran filsafat mistik Pythagoras. Menurut mistik ini, sifat roh
manusia adalah kekal yang seolah-olah terpenjara dalam jasad. Oleh karena
itu, ia selalu ingin keluar dari jasadnya, ingin memperoleh kesenangan dalam
alam samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam samawi, manusia
harus membersihkan roh, meninggalkan hidup materi, dan berkontemplasi.
Ajaran meninggalkan hidup materi dan berkontemplasi, inilah yang
mempengaruhi timbulnya zuhud.

2. Pengaruh dari cara hidup pendeta Kristen. Dalam literatur Arab terdapat
tulisan-tulisan tentang pendeta yang mengasingkan diri di tengah padang
pasir, namun selalu berhati-hati dan berbuat baik, serta selalu bermurah hati
bagi orang musafir yang kelaparan. Dikatakan bahwa zahid yang memilih
hidup sederhana dan mengasingkan diri, serta meninggalkan keduniaan itu
merupakan ajaran dari pendeta Kristen di atas.

160
3. Pengaruh filsafat Imanasi Plotinus. Menurut filsafat ini, roh berasal dari
Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Akan tetapi, dengan masuknya roh
ke dalam materi, maka ia menjadi kotor, dan untuk dapat kembali pada
asalnya, roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Adapun cara membersihkan
roh itu adalah dengan jalan meninggalkan keduniaan dan mendekatkan diri
dengan Tuhan sedekat mungkin, bahkan “bersatu” dengan Tuhan. Cara ini
yang dikatakan mempengaruhi zahid dalam Islam.

4. Pengaruh ajaran Nirwana dari ajaran agama Budha. Menurut ajaran ini,
untuk mencapai Nirwana harus meninggalkan keduniaan dan memasuki
kontemplasi. Hal ini sejalan dengan paham Fana’ yang terdapat dalam
Sufisme.

5. Pengaruh ajaran agama Hindu tentang bersatunya Atman dan Brahman.


Untuk mencapai persatuan itu, manusia harus meninggalkan keduniaan dan
mendekati Tuhan. (1996: 124)

Apakah keberadaan Sufisme dan aliran-alirannya itu dipengaruhi oleh faktor luar,
suatu hal yang sukar dibuktikan, namun kenyataannya memang ada
persamaannya. Namun, jika ditelaah ayat-ayat Al-Quran, maka akan ditemukan
indikator/faktor yang dapat mendorong sufisme tersebut. Salah satunya termuat
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 186 sebagai berikut:

(#θç6‹ÉftGó¡uŠù=sù ( Èβ$tãyŠ #sŒÎ) Æí#¤$!$# nοuθôãyŠ Ü=‹Å_é& ( ë=ƒÌs% ’ÎoΤÎ*sù Íh_tã “ÏŠ$t6Ïã y7s9r'y™ #sŒÎ)uρ

∩⊇∇∉∪ šχρ߉ä©ötƒ öΝßγ¯=yès9 ’Î1 (#θãΖÏΒ÷σã‹ø9uρ ’Í<

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka


(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.

∩⊇⊇∈∪ ÒΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ©!$# āχÎ) 4 «!$# çµô_uρ §ΝsVsù (#θ—9uθè? $yϑuΖ÷ƒr'sù 4 Ü>̍øópRùQ$#uρ ä−̍ô±pRùQ$# ¬!uρ

161
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 115)
Demikian pula, dari sabda-sabda Nabi Saw dapat ditemukan hal-hal yang dapat
mendorong sufisme, seperti tampak pada hadits-hadits berikut:

‫ﷲ َﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳ َﲅ‬ُ ‫ َﰏ اﻟﻨ ِﱯ َﺻﲆ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬،‫َﻋ ْﻦ َﺳﻬ ِْﻞ ْ ِﻦ َﺳ ْﻌ ٍﺪ اﻟﺴﺎ ِ ِﺪ ِ ّي‬
(‫ا‬ُ ‫َ َ ِﲻﻠْ ُﺘ ُﻪ َﺣ* ِﲏ‬. ‫ا( دُﻟ ِﲏ َ َﲆ َ َﲻ ٍﻞ ا َذا‬ِ ‫ َر ُﺳﻮ َل‬4َ :‫ ﻓَ َﻘﺎ َل‬،‫ ٌﻞ‬8ُ ‫َر‬
0
‫ » ْازﻫ َْﺪ ِﰲ ا>= ﻧْ َﻴﺎ‬:‫ﷲ َﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳ َﲅ‬ ِ ‫َو َﺣ* ِﲏ اﻟﻨ ُﺎس؟ ﻓَ َﻘﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬
ُ ‫ا( َﺻﲆ‬
2) ‫ﻪ‬8‫ َو ْازﻫ َْﺪ ِﻓﳰَﺎ ِﰲ ﻳْ ِﺪي اﻟﻨ ِﺎس ُ ِﳛ =ﺒ َﻚ اﻟﻨ ُﺎس »ﺳﲍ ا ﻦ ﻣﺎ‬،(‫ا‬ ُ ‫ُ ِﳛﺒ َﻚ‬
(1373 /
Dari Sahal Ibnu Sa’ad al-Saidi, ia berkata bahwa dia menghadap kepada
Rasulullah Saw, seraya berkata:”Ya Rasulullah Saw, tunjukkanlah kepadaku suatu
amal yang jika aku amalkan, niscaya Allah mencintai aku dan demikian pula
manusia mencintai aku. Rasulullah Saw bersabda:”Berzuhudlah di
dunia/terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu; dan berzuhudlah
terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia akan mencintaimu. (HR
Ibnu Majah)

ِ ‫ َﻋ ْﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ‬،‫ َﻋ ْﻦ َﻠْ َﻘ َﻤ َﺔ‬،‫ َﻋ ْﻦ ا ْ َﺮا ِﻫ َﲓ‬،َ‫ﺪﺛَﻨَﺎ َ ْﲻ ُﺮو ْ ُﻦ ُﻣﺮة‬Vَ


‫َ َم‬. :‫ ﻗَﺎ َل‬،(‫ا‬
0
،‫ْ ِﺒ ِﻪ‬X‫ﺮ ِﰲ َﺟ‬Zَ ‫ا( َﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳ َﲅ َ َﲆ َﺣ ِﺼ ٍﲑ ﻓَ َﻘﺎ َم َوﻗَ ْﺪ‬ ُ ‫ا( َﺻﲆ‬ ِ ‫َر ُﺳﻮ ُل‬
ِ ‫ َر ُﺳﻮ َل‬4َ :‫ﻓَ ُﻘﻠْﻨَﺎ‬
‫َ ِﰲ‬. ‫ َﻣﺎ‬،‫ﻧْ َﻴﺎ‬c= dِ ‫ » َﻣﺎ ِﱄ َو‬:‫ ﻓَ َﻘﺎ َل‬،‫َ َ َ` ِو َﻃ ًﺎء‬.‫ا( ﻟَ ِﻮ َاﲣ ْﺬ‬
‫َ َﺮ َﻛﻬَﺎ« َو ِﰲ اﻟ َﺒﺎب َﻋ ْﻦ‬h‫ َﺘ َﻈﻞ َ ْﲢ َﺖ َﴭ ََﺮ ٍة ُﰒ َر َاح َو‬o‫ا>= ﻧْ َﻴﺎ اﻻ َﻛ َﺮا ِﻛ ٍﺐ ا ْﺳ‬
‫ﲱ ٌﻴﺢ« ﺳﲍ اﻟﱰﻣﺬي ت‬ ِ َ ‫ﻳﺚ َﺣ َﺴ ٌﻦ‬ ٌ ‫ ِﺪ‬Vَ ‫ » َﻫ َﺬا‬:‫ َوا ْ ِﻦ ﻋَﺒ ٍﺎس‬،‫ َﺮ‬0‫ا ْ ِﻦ ُ َﲻ‬
(588 / 4) ‫ﺮ‬x‫ﺷﺎ‬
Dari Abdullah, dia mengatakan: Rasulullah Saw tidur di atas sehelai tikar. Ketika
beliau bangun dari tidurnya, maka alas tidurnya telah meninggalkan bekas pada
badannya. Kami (para sahabat) mengatakan kepada beliau: Ya Rasulullah,
bolehkah aku memberimu sebuah kasur yang empuk? Rasulullah bersabda:”Aku
dan dunia itu tak lebih dari seorang musafir yang berteduh di bawah pohon,
kemudian pergi lagi dan meninggalkan pohon tersebut. (Al-Tirmidzi).

162
(‫ا‬َ ‫ " ان‬:‫ﷲ َﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳ َﲅ‬ ُ ‫ا( َﺻﲆ‬ ِ ‫ ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮ ُل‬:‫ ﻗَﺎ َل‬،َ‫َﻋ ْﻦ ِﰊ ﻫ َُﺮْ} َﺮة‬
0
َْ ‚ ‫ َو َﻣﺎ ﺗَ َﻘﺮ َب ا َﱄ َﻋ ْﺒ ِﺪي‬،‫ َﻣ ْﻦ َﺎدَى ِﱄ َو ِﻟ ‡ﻴﺎ ﻓَ َﻘ ْﺪ ٓ َذﻧْ ُﺘ ُﻪ ِ…ﳊ َْﺮ ِب‬:‫ﻗَﺎ َل‬
‫ِﴚ ٍء‬
0
‫ َو َﻣﺎ }َ َﺰا ُل َﻋ ْﺒ ِﺪي ﻳ َ َﺘ َﻘﺮ ُب ا َﱄ ِ…ﻟﻨ َﻮا ِﻓ ِﻞ َﺣﱴ‬،‫َﺣﺐ ا َﱄ ِﻣﻤﺎ اﻓْ َ َﱰﺿْ ُﺖ َﻠَ ْﻴ ِﻪ‬
،‫ﴫ ِﺑ ِﻪ‬ ُِ ‫ﻩ ِا•ي ﻳُ ْﺒ‬0 ُ ‫ﴫ‬ 0
ََ َ ‫ َوﺑ‬،‫ ُﻛ ْﻨ ُﺖ َ ْﲰ َﻌ ُﻪ ِا•ي ’ َْﺴ َﻤ ُﻊ ِﺑ ِﻪ‬:ُ‫ ﻓَﺎ َذا ْﺣ َ* ْﺒ ُﺘﻪ‬،ُ‫ ِﺣ*ﻪ‬Œ
0
‫ َوﻟَ ِ ِﱧ‬،ُ‫–ﻋ ِْﻄ َﻴﻨﻪ‬Œ َ ‫ َوا ْن َﺳ—ﻟَ ِﲏ‬،‫ اﻟ ِﱵ ﻳ َ ْﻤ ِﴚ ﲠِ َﺎ‬šُ َ 8ْ ‫ َو ِر‬،‫َوﻳَﺪَ ُﻩ اﻟ ِﱵ ﻳ َ ْﺒ ِﻄ ُﺶ ﲠِ َﺎ‬
‫َ َﺮ =د ِدي َﻋ ْﻦ ﻧ َ ْﻔ ِﺲ‬h šُ ُ ِ ‫ ﻓَﺎ‬0 َ. ‫ﳾ ٍء‬ ْ َ ‫َ َﺮدد ُْت َﻋ ْﻦ‬h ‫ َو َﻣﺎ‬،ُ‫– ِﻋﻴ َﺬﻧﻪ‬Œ َ ‫ َﺘ َﻌﺎ َذ ِﱐ‬o‫ا ْﺳ‬
(105 / 8) ‫َ ْﻛ َﺮ ُﻩ َﻣ َﺴ َﺎءﺗَ ُﻪ " ﲱﻴﺢ اﻟﺒ ﺎري‬. ‫ }َ ْﻜ َﺮ ُﻩ اﳌ َ ْﻮ َت َو‬،‫اﳌ ُ ْﺆ ِﻣ ِﻦ‬
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah
berfirman: “Barang siapa memusuhi salah seorang hamba-Ku, maka berarti ia
mengumandangkan perang kepada-Ku. Tidaklah seorang hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan sesuatu yang Aku sukai dari apa
yang Kuwajibkan atasnya; dan masih terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan
mengerjakan yang sunah-sunah, sehingga Aku jatuh cinta kepadanya. Jika Aku
telah mencintainya, niscaya Aku akan menjadi pendengarannya yang digunakan
untuk mendengar; Aku yang akan menjadi matanya yang digunakan untuk
melihat; Aku yang akan menjadi tangannya yang digunakan untuk memegang;
Aku akan menjadi kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta
kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya; jika dia meminta perlindungan
kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya perlindungan. Tidak ada perbuatan
yang Aku ragu-ragu melakukannya, selain keraguan-Ku ketika akan mencabut
nyawa orang Mukmin: dia tidak ingin mati, sementara Aku tidak kuasa melihat
sakitnya (sakaratul maut), namun harus dilewatinya.

D. Stasiun-stasiun atau Maqamat yang Dilalui Sufi

Tujuan pertama dari sufi, sebagaimana disinggung di atas adalah berada sedekat
mungkin dengan Tuhan, sehingga tercapai persatuan. Jalan untuk mencapai
tujuan itu panjang dan berisi stasiun-stasiun yang disebut dalam bahasa Arab al-
Maqamat.

Untuk mencapai derajat sufi, seorang salik (yang berjalan menuju tingkatan yang
tinggi) menapaki stasiun demi stasiun. Apabila gagal menempuh satu stasiun,
maka ia akan turun kembali ke tingkat dasar. Adapun berapa stasiun yang harus

163
ditempuh untuk mencapai derajat tertinggi, maka setiap tokoh sufi/mazhab
tasawuf memiliki pandangan masing-masing yang berbeda.

No. Maqamat atau Stasiun yang Harus Tokoh Pencetus/Penulis


Dilampau oleh Sufi

1 Tobat zuhud sabar faqar Muhammad Al-Kalabadzi


tawadhu’ taqwa tawakkal ridha
mahabbah ma’rifah

2 Tobat wara’ zuhud faqar Abu Nashr al-Sarraj Al-


sabar tawakkal ridha Thusi

3 Tobat sabar faqar zuhud Abu Hamid Al-Ghazali


tawakkal mahabbah ma’rifat ridha

4 Tobat zuhud sabar tawakkal Abul Qasim Abdul Karim


ridha

Di atas stasiun-stasiun ini ada lagi al-Mahabbah (cinta), al-ma’rifat


(pengetahuan), al-fana’ dan al-baqa’ (kehancuran dan kelanjutan), dan al-ittihad
(persatuan). Al-Ittihad dapat mengambil bentuk al-hulul (pengambilan tempat)
dan wahdah al-wujud (kesatuan wujud).

Di samping, al-maqamat ada lagi al-hal. Al-hal merupakan keadaan mental,


seperti al-khauf (perasaan takut), al-tawadhu’ (rasa rendah diri), al-taqwa
(takwa), al-ikhlkash (keikhlasan), al-uns (rasa berteman), al-wajd (gembira hati),
dan al-syukr (syukur). Al-hal berlainan dengan al-maqam, tidak diperoleh atas
usaha manusia, tetapi didapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan (Allah).
Dan berlainan pula dengan al-mawam, al-hal bersifat sementara, datang dan
pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
(Nasution, 1986: 79)

Jalan yang harus ditempuh seorang sufi tidaklah licin, tetapi sulit dan penuh
dengan duri. Untuk pindah dari satu stasiun ke satu stasiun, itu menghendaki

164
usaha sungguh-sungguh dan waktu yang bukan singkat. Terkadang seorang sufi
harus tinggal bertahun-tahun pada suatu stasiun.

Sebagai ilustrasi, kita dapat mengambil contoh nomor 4, karya Abul Qasim Abdul
Karim: Tobat zuhud sabar tawakkal ridha.

Langkah pertama yang harus ditempuh oleh calon seorang sufi adalah tobat,
tobat dari segala dosa, besar dan kecil. Tobat yang dilakukannya ini harus tobat
yang sebenar-benarnya.

Langkah kedua, seorang calon sufi hendaknya menjalani kehidupan zuhud. Ini
merupakan stasiun terpenting. Sebab, seorang tidak akan menjadi sufi apabila
belum mencapai tingkat zuhud. Dengan kata lain, seorang sufi adalah zahid,
tetapi tidak setiap zahid adalah sufi. Seorang zahid hidup sesedehana-sederhana
mungkin. Ia berpakaian, makan, minum, dan tidur, hanya sekedar perlu untuk
menjaga supaya badan tidak sakit.

Langkah ketiga, setelah mencapai stasiun kedua, zuhud, seorang sufi harus
bersifat sabar dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-
Nya; sabar menerima berbagai cobaan yang ditimpakan kepada dirinya; sabar
menunggu pertolongan dari Tuhan; sabar dalam menderita kesabaran.

Langkah keempat, seorang sufi harus bertawakkal; selamanya berada dalam


keadaan tenteram, tidak memikirkan hari esok, merasa cukup dengan apa yang
diberikan Tuhan untuk hari ini.

Langkah kelima, seorang sufi harus selalu dalam keadaan ridha, tidak marah dan
tidak benci, tetapi senantiasa dalam keadaan suka dan senang. Segala perasaan
benci dikeluarkan dari hati, sehingga yang tertinggal di dalamnya hanyalah
perasaan senang dan gembira.

Demikian gambaran tahapan atau stasiun yang harus ditempuh secara bertahap,
satu stasiun ke stasiun di atasnya.

165
Beberapa Istilah

Sehubungan terjadi perbedaan mazhab tentang stasiun-stasiun yang ditempuh


oleh calon sufi, maka di bawah ini akan dijelaskan beberapa istilah yang biasa
digunakan oleh para pencetus teorinya.

Baqa’ : kekal, abadi, dan lestari. Di dalam ajaran tasawuf, kata ini
menunjukkan keadaan kehidupan rohani yang kekal, yakni
kembali kepada wujudnya Yang Kekal setelah melewati fana'.

Fana’ : Lenyap, hilang, sirna atau lebur. Maksudnya, menurut kaum


sufi, ialah hilangnya kesadaran seseorang terhadap
keberadaan dirinya dan alam sekelilingnya. Hal ini dapat
terjadi, karena latihan yang berat dan perjuangan yang cukup
panjang dalam pendakian rohani.

Faqar : Kefakiran; berarti: (1) tidak meminta lebih daripada apa yang
telah ada pada diri kita, (2) tidak meminta rezeki kecuali hanya
untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban, dan (3) tidak
meminta, sungguhpun tidak ada pada diri kita; kalau diberi
diterima, tidak meminta tapi tidak menolak.

Hulul Persatuan dengan Tuhan, yang dalam ilmu tasawuf, terjadi


juga dalam bentuk hulul; faham yang mengatakan bahwa
Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya.

Ittihad Berarti kesatuan. Yang dimaksud dengan ittihad adalah satu


tingkatan dalam tasawwuf dimana seorang sufi, setelah
mencapai tingkat kefanaan, merasa dirinya bersatu dengan
Tuhan.

Mahabbah : Artinya cinta dan yang dimaksud adalah cinta kepada Allah.
Pengertian yang diberikan kepada Mahabbah ini antara lain:
(1) menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi/dicintai, (2)

166
mengosongkan dari segala-galanya, kecuali diri yang dicintai.

Ma’rifat : Gnosis berarti pengetahuan atau pengenalan yang


meyakinkan. Pengertian makrifat, antara lain, adalah
mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat
melihat-Nya (al-ma’rifat)

Tawadhu’ : Merendahkan diri, yaitu suatu sikap merendahkan diri, baik


kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Berbeda
dengan khusyuk, yang hanya digunakan untuk menyatakan
sikap merendahkan diri kepada Allah saja.

Taqwa : menjunjung tinggi segala perintah Allah dan menjauhi segala


larangan-Nya.

Wara’ : Mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik; dan dalam
pengertian sufi, wara’ adalah juga meninggalkan segala
sesuatu yang di dalamnya terdapat syubhat.

E. Pembagian Isi Tasawuf : Akhlaki, Amali, dan Falsafi

Para ahli membagi isi pokok ajaran tasawuf itu kepada tiga bagian, yaitu tasawuf
akhlaki, falsafi, dan amali, dengan penjelasan singkat sebagai berikut:

1. Tasawuf Akhlaki (Tasawuf Sunni)

Tasawuf Akhlaki adalah tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak,


mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan manusia yang dapat ma’rifah
kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan.
Tasawuf Akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf
Akhlaki ini dikembangkan oleh ulama salaf as-salih.

Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk
menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb.
Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang
dibantu oleh syaithan.

167
Sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran, surah Al-Syams (91): 7-8
sebagai berikut :

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan


kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.

Para sufi yang mengembangkan tasawuf akhlaki antara lain : Hasan Al-Basri
(21 H – 110 H), Al-Muhasibi (165 H – 243 H), Al-Qusyairi (376 H – 465 H),
Syaikh Al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jailani (470 – 561 H), Hujjatul
Islam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari dan
lain-lain. (dalam Salsa Akbar, 2013, diunduh 17 Juli 2017)

2. Tasawuf Falsafi

Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-


teori tasawuf dan falsafah. Tasawuf falsafi ini, tentu saja dikembangkan oleh
para sufi yang filosof.

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa objek utama yang menjadi perhatian


tasawuf falsafi ada empat perkara. Keempat perkara itu adalah sebagai
berikut:

a. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul
dari dirinya.
b. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, misalnya sifat-sifat
rabbani, ‘arasy, kursi, malaikat, wahyu kenabian, ruh, hakikat realitas
segala yang wujud, yang gaib maupun yang nampak, dan susunan yang
kosmos, terutama tentang penciptanya serta penciptaannya.
c. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh
terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
d. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-
samar (syatahiyyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyara-
kat berupa mengingkarinya, menyetujui atau menginterpretasikannya.

Tokoh-tokoh penting yang termasuk kelompok sufi falsafi antara lain adalah
al-Hallaj (244 – 309 H/ 858 – 922 M), Ibnu’ Arabi (560 H – 638 H), al-Jili

168
(767 H – 805 H), Ibnu Sab’in (lahir tahun 614 H), as-Sukhrawardi dan yang
lainnya.

3. Tasawuf ‘Amali

Tasawuf amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara


mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf amali adalah tasawuf yang
dipraktekkan di dalam kelompok tarekat. Dalam kelompok ini terdapat
sejumlah sufi yang mendapat bimbingan dan petujuk dari seorang guru,
tentang bacaan dan amalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam
mencapai kesempurnaan rohani, agar dapat berhubungan langsung dengan
Allah. Setiap kelompok tarekat memiliki metode, cara dan amalan yang
berbeda satu sama lain.

Adapun tokoh-tokoh tasawuf amali dapat diungkapkan sebagian mereka


adalah sebagai berikut: Pertama, Rabiah Al-Adawiah (95 H -185 H/713-
801 M), dalam perkembangan mistisisme dalam Islam tercatat sebagai
peletak dasar tasawuf berasaskan cinta kepada Allah; kedua, Dzu Al-Nun
Al-Mishri, bernama lengkap Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Lahir di
Ikhkim, daratan tinggi Mesir tahun 180 H (796 M) dan wafat tahun 246 H
(856 M). Ketiga, Abu Yazid Al-Bustami, nama lengkap beliau adalah Abu
Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Syarusan Al-Bustami. Lahir di daerah Bustam
(Persia) tahun 874 M dan wafat tahun 947 M. Ajaran tasawuf terpenting Abu
Yazid adalah fana’ dan baqa’. (Annisa Zuhro, diunduh 17 Juli 2017)

169
Pertanyaan:
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan singkat, padat, dan
jelas!
(1) Coba Saudara lukiskan suasana batin manusia moderen saat ini, menurut para
pakar/tokoh Islam, sekurang-kurang dua tokoh yang Saudara kenal?
(2) Apa yang Saudara ketahui tentang pengertian Tasawwuf, baik secara etimologis
maupun terminologis, menurut para ahli?
(3) Bagaimana latar belakang atau asul usul lahirnya Tasawwuf dalam ajaran Islam,
baik intern maupun eksteren?
(4) Jelaskan isi pokok ajaran Tasawuf dan beberapa tokohnya dari jenis Tasawwuf
berikut ini: Tasawuf akhlaki, amali, dan Falsafi!
(5) Apa yang Saudara ketahui dengan isitilah-istilah berikut ini, yang menjadi topik
bahasan dalam ilmu akhlak dan tasawuf:
a) Al-Mahabbah
b) Al-Fana dan al-Baqa’
c) Al-Maqamat
d) Al-Ittihad
e) Rabi’ah Al-‘Adawiyyah
f) Tawadhu’
g) Taqwa
h) Wara’
i) Tawakkal
j) Sufi

170
BAB VI

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM:

MAKNA DAN LATAR BELAKANGNYA

A. Pendahuluan

Banyak sekali peristilahan yang digunakan para ahli yang dalam bahasa Indonesia
berkonotasi pembaharuan, seperti tajdid, ishlah, reformasi, ‘ashriyah, modernisasi,
revivalisasi, resurgensi (resurgence), reassersi (reassertion), renaisans, dan
fundamentalis. Peristilahan seperti ini timbul, bukan sekedar perbedaan semantik
belaka, akan tetapi dilihat dari isi pembaharuan itu sendiri.

1. Tajdid, Ishlah, dan Reformasi

Secara bahasa kata tajdid berarti mengembalikan sesuatu kepada kondisi yang
seharusnya. Sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih
erat menyatu dan masih jelas. Tajdid sering diartikan sebagai ishlah dan
reformasi, karena itu, gerakannya disebut gerakan tajdid, gerakan ishlah, dan
gerakan reformasi. Upaya tajdid seharusnya merupakan upaya untuk
mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Dengan demikian
pembaharuan harus direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di
dunia, baik dari sisi pemikiran keagamaannya dengan upaya mengembalikan
pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dan dari sisi
pengamalan keagamaannya dengan mereformasi amalan-amalannya, serta
dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.

Istilah tajdid adalah istilah syar’i yang bersumber dari hadits Nabi Muhammad
Saw, yang berbunyi (artinya): Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini
setiap awal seratus tahun orang yang memperbaharui agamanya. (HR Abu
Daud). Dalam perkembangan selanjutnya para pemikir muslim menggunakan
istilah tajdid untuk sebuah pergerakan ishlah, dan gerakan reformasi. Tajdid
menurut bahasa al-i’adah wa al-ihya’ mengembalikan dan menghidupkan.

171
Tajdid al-din berarti mengembalikannya kepada apa yang pernah ada pada
masa salaf, generasi muslim awal. Tajdid al-din menurut istilah ialah
menghidupkan dan membangkitkan ilmu dan amal yang telah diterangkan oleh
Al-Quran dan Al-Sunnah.

Ulama salaf memberikan ta’rif tajdid sebagai berikut, yaitu menerangkan/


membersihkan Sunnah dari bid’ah, memperbanyak ilmu dan memuliakannya,
membenci bid’ah dan menghilangkannya. Selanjutnya tajdid dikatakan sebagai
penyebaran ilmu, meletakkan pemecahan secara Islami terhadap setiap
problem yang muncul dalam kehidupan manusia, dan menentang segala yang
bid’ah. Tajdid tersebut di atas dapat pula diartikan sebagaimana dikatakan oleh
ulama salaf menghidupkan kembali ajaran salaf al-shaleh, memelihara nash-
nash, dan meletakkan kaidah-kaidah yang disusun untuknya serta meletakkan
metode yang benar untuk memahami nash tersebut dalam mengambil makna
yang benar yang sudah diberikan oleh ulama.

Dari definisi di atas nampak, bahwa tajdid tersebut mendorong umat Islam
agar kembali kepada Al-Quran dan Sunnah serta mengembangkan ijtihad.
Inilah makna tajdid yang dianut oleh kaum puritan yang selama ini suaranya
masih bergema. Tajdid seperti ini pula yang dikatakan sebagai ishlah atau
reformasi dalam Islam. Reformasi itu sendiri, berdasarkan sejarahnya, muncul
sebagai reaksi atas modernisasi. Reformasi muncul sebagai akibat adanya
penyimpangan agama dan teologi yang disebabkan oleh adanya sekularisme
modern (reformation as a religious and theological and the cauce of modern
secularism). Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti
mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits,
melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya.

2. ‘Ashriyah dan Modernisme

Menurut Harun Nasution, modernisasi di masyarakat Barat, mengandung arti


fikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat
istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan
suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

172
modern. Pikiran dan aliran ini segera memasuki lapangan agama, dan
modernisme dalam hidup keagamaan di Barat mempunyai tujuan untuk
menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katholik dan
Protestan dengan ilmu pengetahuan dan falsafat modern. Aliran ini akhirnya
membawa kepada timbulnya sekularisme di masyarakat Barat.

Pembaharuan dalam Islam adalah upaya untuk menyesuaikan paham


keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Tatkala umat Islam kontak
dengan Barat, maka modernisasi dari Barat membawa kepada ide-ide baru ke
dunia Islam, seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya.
Seperti halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk
menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru
tersebut. Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern
mengharap akan dapat melepaskan ummat Islam dari suasana kemunduran
untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan. Kata modernisme dianggap
mengandung arti-arti negatif disamping arti-arti positif. Oleh karena itu Harun
Nasution menyarankan agar menggunakan istilah dalam Bahasa Indonesia
saja, yaitu pembaharuan.

3. Revivalisasi, Resurgensi, Renaisans, Reasersi

Kesemua peristilahan di atas mengandung arti tegak kembali atau bangkit


kembali. Peristilahan revivalisasi, pada dasarnya, banyak sekali digunakan oleh
para penulis. Fazlurrahman misalnya, menggunakan istilah ini, bahkan ia
membaginya kepada dua bagian yaitu revivalis pra-modernis dan revivalis neo
modernis. Penulis lain mengungkapkan kebangkitan kembali dengan kata
resurgensi, yang mempunyai perbedaan makna dengan istilah revivalis.
Resurgence adalah tindakan bangkit kembali yang di dalamnya mengandung
unsur:

a. Kebangkitan yang datang dari dalam Islam sendiri dan Islam dianggap
penting karena dianggap mendapatkan kembali prestisenya;

173
b. ia kembali kepada masa jayanya yang lalu yang pernah terjadi sebelumnya;

c. Bangkit kembali untuk menghadapi tantangan, bahkan ancaman dari


mereka yang berpengalaman lain.

Revivalisme juga berati bangkit kembali, tetapi kembali ke masa lampau,


bahkan berkeinginan untuk menghidupkan kembali yang sudah usang.
Renaisans, jika hanya diartikan secara umum nampaknya membangkitkan
kembali ke masa-masa yang sudah ketinggalan zaman, bahkan ada konotasi
menghidupkan kembali masa jahiliyah, sebagaimana renaisans di Eropa yang
berarti menghidupkan kembali peradaban Yunani. Jika istilah ini terpaksa
digunakan, maka Renaisans Islam harus berarti tajdid.

Karena itu, barangkali mengapa banyak para penulis menggunakan Renaisans


dalam menerangkan tajdid atau pembaharuan dalam Islam. Fazlurrahman,
misalnya dalam bukunya “Islam: Challenges and Opportunities”, menulis
tentang “Renaisans Islam: Neo Modernis”. Istilah ini pun digunakan pula oleh
editor buku A History of Islamic Phillosophy, M.M. Sharif, tatkala menerangkan
tokoh-tokoh pembaharuan dunia Islam, seperti Muhammad ibn Abd al-Wahab,
Muhammad Abduh dan lainnya di bawah judul Modern Renaissans. Sementara
itu reassersi berarti tegak kembali tetapi tidak mengandung tantangan
terhadap masalah sosial yang ada.

Demikianlah istilah pembaharuan yang dikemukakan oleh para ahli, bukan


hanya sekedar berbeda pendapat dalam hal istilah yang digunakan, akan tetapi
juga dalam makna dan isi pembaharuan itu sendiri. Karena adanya perbedaan
pendapat tersebut, Harun Nasution tidak banyak menggunakan peristilahan
yang banyak itu, kecuali menggunakan istilah pembaharuan, modernisasi dan
tajdid sewaktu-waktu. Karena, yang penting adalah isi dan tujuan dari
pembaharuan itu sendiri kembali kepada ajaran-ajaran dasar dan memelihara
ijtihad.

Bahwa dari waktu ke waktu senantiasa ada usaha pembaharuan, atau


penyegaran, atau pemurnian pemahaman umat kepada agamanya, adalah

174
sesuatu yang telah menyatu dengan sistem Islam dalam sejarah (Nurcholis
Madjid, 1994). Dari sudut tinjauan ini adalah suatu kejadian wajar saja bahwa
pada abad ke 18 Jazirah Arab telah menyaksikan suatu usaha pembaharuan
yang militan, yang dilakukan oleh Syeikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, yang
melahirkan apa yang dinamakan gerakan Wahabi. Gerakan ini merupakan
satu-satunya gerakan pembaharuan keagamaan yang paling sukses secara
politik, yaitu setelah bergabung dengan kekuatan dinasti Sa’ud, pembaharuan
di jazirah ini juga sangat menarik karena ia dilancarkan tanpa sedikit pun ada
persinggungan dengan kemodernan dari Barat. Oleh karena itu pandangan
tentang perlunya pembaharuan di kalangan umat ketika dunia Islam
berhadapan dengan Abad Modern dapat dinilai sebagai keharusan lebih
mendesak disebabkan keseriusan tantangan yang ditimbulkan oleh dampak
modernisasi.

Menurut Achmad Jainuri (1995) pembaharuan Islam memiliki misi ganda, yaitu
misi purifikasi dan dan misi implementasi ajaran Islam di tengah tantangan
jaman. Purifikasi ajaran Islam ialah mengembalikan semua bentuk kehidupan
keagamaan pada jaman awal Islam sebagaimana dipraktekkan pada jaman
Nabi. Jaman Nabi sebagaimana digambarkan oleh Sayyid Qutb sebagai periode
yang hebat, suatu puncak yang luar biasa dan cemerlang dan merupakan
jaman yang dapat terulang. Terjadinya banyak penyimpangan dari ajaran
pokok Islam pasca Nabi bukan karena ajaran Islam yang kurang sempurna,
tetapi karena kurang mampu menangkap ajaran Islam sesuai dengan
semangat jaman. Selain itu banyaknya unsur-unsur luar yang masuk dan
bertentangan dengan Islam sehingga sehingga diperlukan adanya upaya untuk
mengembalikan atau memurnikan kembali sesuai dengan orisinalitas Islam.

Implementasi ajaran Islam di tengah tantangan jaman karena Islam diyakini


sebagai agama universal, yaitu agama yang di dalamnya terkandung berbagai
konsep tuntutan dan pedoman bagi segala aspek kehidupan umat manusia,
sekaligus bahwa Islam senantiasa sesuai dengan semangat jaman. Dengan
berlandaskan pada universalitas ajaran Islam itu, maka gerakan pembaharuan

175
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam sesuai
dengan tantangan perkembangan kehidupan umat manusia.

Fazlur Rahman (1993) membagi dialektika perkembangan pembaharuan yang


muncul di dunia Islam ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah
revivalisme pramodernis yang muncul pada abad ke 18 dan 19 di Arabia, India
dan Afrika. Gerakan yang tidak terkena sentuhan Barat ini memperlihatkan ciri-
ciri umum:

a. Keprihatinan yang mendalam terhadap degenerasi sosio-moral ummat


Islam dan usaha untuk mengubahnya;

b. Himbauan untuk kembali kepada Islam sejati dan mengenyahkan tahayul-


tahayul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer,
meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab
hukum serta berusaha untuk melaksanakan ijtihad;

c. Himbauan untuk mengenyahkan corak predeterministik; dan

d. Himbauan untuk melaksanakan pembaharuan ini lewat kekuatan bersenjata


(jihad) jika perlu.

Dasar pembaharuan revivalisme pramodernis kemudian diambil alih oleh


gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada pertengahan abad ke-
19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Ciri yang baru pada
gerakan ini adalah perluasannya terhadap “isi” ijtihad, seperti hubungan akal
dan wahyu, pembaharuan sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan
status wanita, serta pembaruan politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang
representatif serta konstitusional. Usaha modernisme klasik dalam menciptakan
kaitan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui
sumber Al-Quran dan Sunnah Nabi merupakan suatu prestasi besar yang tidak
bersifat artifisial atau terpaksa. Hakikat penafsiran Islam gerakan ini
didasarkan pada Al-Quran dan “Sunnah historis” (yakni biografi Nabi)
sebagaimana dibedakan dengan “Sunnah teknis” (yakni yang terdapat di dalam

176
hadits-hadits). Mereka pada umumnya skeptis terhadap hadits, tetapi
skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.

Modernisme klasik telah memberikan pengaruh terhadap gerakan ketiga,


neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, seperti dalam mendukung
gagasan demokrasi dan percaya serta mempraktekkan bentuk pendidikan
Islam yang relatif telah dimodernisasi. Bahkan gerakan ketiga ini mendasari
dirinya pada basis pemikiran modernisme klasik bahwa Islam itu mencakup
segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Namun
karena usahanya untuk membedakan diri dari Barat, maka neorevivalisme
merupakan reaksi terhadap modernisme klasik. Neorevivalisme tidak menerima
metode atau semangat modernisme klasik, tetapi sayangnya, neorevivalisme
tidak mampu mengembangkan metodologi apa pun untuk menegaskan
posisinya, selain berusaha membedakan Islam dan Barat.

Di bawah pengaruh neorevivalisme, tetapi juga merupakan tantangan


terhadapnya, neomodernisme muncul. Menurut Fazlur Rahman, walaupun
modernisme klasik telah benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua
kelemahan mendasar yang menyebabkan timbulnya reaksi dalam bentuk
neorevivalisme. Kelemahan pertama, ia tidak menguraikan secara tuntas
metodenya yang secara semi-implisit terletak dalam menangani masalah-
masalah khusus dan implikasi dari prinsip-prinsip dasarnya. Mungkin karena
perannya selaku reformis terhadap masyarakat muslim dan sekaligus sebagai
kontroversialis-apologetik terhadap Barat, sehingga ia terhalang untuk
melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam, serta
menyebabkannya menangani secara ad hoc beberapa masalah penting di
Barat, misalnya demokrasi dan status wanita. Kelemahan kedua, terdapat
kesan yang kuat bahwa modernisme klasik telah terbaratkan serta merupakan
agen-agen westernisasi.

Selanjutnya Fazlur Rahman mengatakan bahwa neomodernisme harus


mengembangkan sikap kritis terhadap Barat maupun terhadap warisan-warisan
kesejarahannya sendiri. Kaum Muslimin harus mengkaji dunia Barat beserta

177
gagasan-gagasannya secara objektif, demikian pula halnya dengan gagasan-
gagasan dan ajaran-ajaran dalam sejarah keagamaannya sendiri. Bila kedua
hal ini tidak dikaji secara objektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi
dunia modern merupakan suatu hal yang mustahil, bahkan kelangsungan
hidupnya sebagai seorang Muslim pun akan sangat meragukan.

B. Latar Belakang Pembaharuan dalam Islam

Abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam. Abad inilah
daerah-daerah Islam meluas di barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di
Timur melalui Persia sampai India. Daerah-daerah ini tunduk kepada kekuasaan
khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus,
dan terakhir di Baghdad. Di abad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti
Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Dengan lahirnya pemikiran para ulama besar
itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang dengan pesat sampai ke
puncaknya, baik dalam bidang agama, non-agama maupun dalam bidang
kebudayaan lainnya.

Di antara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam


adalah:

Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan
kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap
orang-orang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran. Kedua, sifat
jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha. Umat Islam maju di
zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
selama ummat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad,
tidak mungkin mengalami kemajuan, dan untuk itu perlu adanya pembaharuan
yang berusaha memberantas kejumudan. Ketiga, umat Islam selalu berpecah
belah, maka umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan. Umat Islam maju
karena adanya persatuan dan kesatuan, karena adanya persaudaran yang diikat
oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan kembali umat Islam bangkitlah

178
suatu gerakan pembaharuan. Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia
Islam dengan Barat. Dengan adanya kontak ini umat Islam sadar bahwa mereka
mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat, terutama sekali ketika
terjadinya peperangan antara kerajaan Usmani dengan negara-negara Eropa,
yang biasanya tentara kerajaan Usmani selalu memperoleh kemenangan dalam
peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat. Hal ini
membuat pembesar-pembesar Usmani untuk menyelidiki rahasia kekuatan militer
Eropa yang baru muncul.

Menurut Harun Nasution (1996) pembaharuan dalam Islam timbul di periode


sejarah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk membawa
ummat Islam kepada kemajuan. Selanjutnya Harun Nasution (1996) menguraikan
sejarah Islam secara ringkas untuk menggambarkan perkembangan maju
mundurnya umat Islam yang terjadi dalam sejarah. Secara garis besar sejarah
Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu klasik, pertengahan, dan
modern.

Periode klasik (650-1250 M) merupakan jaman kemajuan dan dibagi ke dalam dua
fase. Pertama, fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M). Di
jaman ini daerah Islam melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat, dan
melalui Persia sampai ke India Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada
kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di
Damsyik dan terakhir di baghdad. Di masa ini berkembang dan memuncak ilmu
pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang non agama, dan
kebudayaan Islam. Zaman ini menghasilkan ulama-ulama besar seperti Imam Abu
Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum;
Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn
‘Ata, Abu Al-Huzail, Al-Nazzam dan Al-Jubba’i dalam bidang teologi; Zunnun Al-
Misri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf; Al-
Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Miskawaih dalam bidang filsafat; dan Ibn Al-
Haysam, Ibn Hayyan, Al-Khawarizmi, Al-Mas’udi, dan Al-Razi dalam bidang ilmu
pengetahuan. Kedua, fase disintegrasi (1000-1250 M). Pada jaman ini keutuhan

179
umat Islam dalam bidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah menurun dan
akhirnya Baghdad dapat dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu di Tahun 1258 M.
Khilafah sebagai lambang kesatuan politik umat Islam, hilang.

Periode Pertengahan (1250-1800 M) juga dibagi ke dalam 2 fase. Pertama, fase


kemunduran (1250-1500 M), dimana pada jaman ini desentralisasi dan
disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan
demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan. Dunia Islam
terbagi menjadi dua; bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Irak, Suriah, Palestina,
Mesir, dan Afrika Utara, dengan Mesir sebagai pusat; dan bagian Persia yang
terdiri dari Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.
Kebudayaan Persia mengambil bentuk Internasional dan dengan demikian
mendesak lapangan kebudayaan Arab. Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup
makin meluas di kalangan dunia Islam. Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang
sekali. Umat Islam di Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu.

Kedua, fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1800 M) yang dimulai dengan Jaman
Kemajuan (1500-1700 M) dan Zaman Kemunduran (1700-1800 M). Tiga kerajaan
besar yang dimaksud adalah Kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki,
Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India. Di masa kemajuan, ketiga
kerajaan besar ini mempunyai kejayaan masing-masing terutama dalam bentuk
literatur dan arsitek. Mesjid-mesjid dan gedung-gedung indah yang didirikan di
jaman ini masih dapat dilihat di Istanbul, Tibriz, dan Isfahan serta kota-kota lain di
Iran dan di Delhi. Kemajuan ummat Islam di jaman ini lebih banyak merupakan
kemajuan di Periode Klasik. Perhatian pada ilmu pengetahuan masih kurang
sekali.

Pada jaman kemunduran Kerajaan Usmani terpukul oleh Eropa, Kerajaan Safawi
dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afghan, sedangkan daerah
kekuasaan Kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raja India.
Kekuatan politik dan kekuatan militer umat Islam menurun. Ummat Islam dalam
keadaan mundur dan statis. Sementara Eropa dengan kekayaan-kekayaan yang
diangkut dari Amerika dan Timur Jauh, bertambah kaya dan maju. Penetrasi Barat

180
yang kekuatannya meningkat ke dunia Islam kian mendalam dan kian meluas.
Akhirnya pada Tahun 1798 Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat
Islam yang terpenting.

Periode Modern (1800 dan seterusnya) merupakan jaman kebangkitan ummat


Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia Islam akan
kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul
peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja
dan pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan
kekuatan umat Islam kembali. Di periode modern inilah timbulnya ide-ide
pembaharuan dalam Islam.

Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaisans Barat. Kalau renaisans


Barat muncul dengan menyingkirkan agama, maka pembaharuan dalam Islam
adalah sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran Islam
kepada pemeluknya. Memperbaharui dan menghidupkan kembali prinsip-prinsip
Islam yang dilalaikan umatnya. Oleh karena itu pembaharuan dalam Islam bukan
hanya mengajak maju ke depan untuk melawan segala kebodohan dan
kemelaratan tetapi juga untuk kemajuan ajaran-ajaran agama Islam itu.

C. Landasan Pembaharuan dalam Islam

Pembaharuan dalam Islam merupakan keharusan bagi suatu upaya aktualisasi


dan kontekstualisasi Islam. Maka, berkaitan dengan hal ini persoalan yang perlu
dijawab adalah hal-hal apa saja yang dapat dijadikan pijakan (landasan) atau
pemberi legitimasi bagi gerakan pembaruan Islam. Di antara landasan dasar yang
dapat dijadikan pijakan bagi upaya pembaruan Islam adalah landasan teologis,
landasan normatif, dan landasan historis.

1. Landasan Teologis

Menurut Achmad Jainuri (1995), ide tajdid berakar pada warisan pengalaman
sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis yang

181
mendorong munculnya berbagai gerakan pembaharuan Islam. Landasan
teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu:

Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (universalisme


Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki misi rahmatan li al-‘alamin,
memberikan rahmat bagi seluruh alam. Universalitas Islam ini dipahami
sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan, mengatur seluruh
ranah kehidupan umat manusia, baik berhubungan dengan Allah (hablu min
Allah), berhubungan dengan sesama umat manusia (hablu min al-nas), serta
berhubungan dengan alam lingkungan (hablu min al-‘alam). Dengan
terciptanya harmoni pada ketiga wilayah hubungan tersebut, maka akan
tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di akhirat, karena Islam bukan
hanya berorientasi duniawi semata, melainkan duniawi dan ukhrawi secara
bersama-sama.

Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku


pada setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia, baik bagi bangsa Arab,
maupun non Arab dalam tingkat yang sama, dengan tidak membatasi diri pada
suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain
bahwa nilai universalisme itu tidak bisa dibatasi oleh formalisme dalam bentuk
apapun (Nurcholis Madjid, 1992). Universalisme Islam juga memiliki makna
bahwa Islam telah memberikan dasar-dasar yang sesuai dengan
perkembangan umat manusia. Namun demikian, tidak semua ajaran yang
sifatnya universal itu diformulasikan secara rinci dalam Al-Quran dan Al-
Sunnah. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk menginterpretasikannya agar
sesuai dengan segala tuntutan perkembangan sehingga konsep universalitas
Islam yang mencakup semua bidang kehidupan dan semua jaman dapat
diwujudkan, atau diperlukan upaya rasionalisasi ajaran Islam.

Senada dengan hal di atas, Din Syamsudin mengatakan bahwa watak


universalisme Islam meniscayakan adanya pemahaman selalu baru untuk
menyikapi perkembangan kehidupan manusia yang selalu berubah. Islam yang
universal —shalih li kulli zaman wa makan— menuntut aktualisasi nilai-nilai

182
Islam dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari
upaya menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat zaman.
Hakikat Islam yang rahmah li al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan
semangat zaman, yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa pencapaian cita-cita kerahmatan dan
kesemestaan sangat tergantung kepada penemuan-penemuan baru akan
metode dan teknik untuk mendorong kehidupan yang lebih baik dan lebih
maju. Din Samsudin mengatakan bahwa keuniversalan mengandung muatan
kemodernan. Islam menjadi universal justru karena mampu menampilkan ide
dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.

Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah
Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul
Allah. Menurut Maulana Muhammad Ali, dalam keyakinan umat Islam, terpatri
suatu doktrin bahwa Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan
bagi ummat manusia; yang berarti pasca Islam sudah tidak ada lagi agama
yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa
yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling sempurna dan lengkap yang
melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama yang diturunkan
sebelumnya. Al-Quran adalah kitab yang lengkap, sempurna, dan mencakup
segala-galanya; tidak ada satupun persoalan yang terlupakan dalam Al-Quran.
Keyakinan yang sama juga terhadap keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai
Nabi akhir zaman (khatam al-anbiya’), yang tidak akan lahir (diutus) lagi
seorang pun Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan risalah yang dibawa Nabi
Muhammad diyakini sebagai risalah yang lengkap dan sempurna.

Menurut Achmad Jainuri bahwa keyakinan akan Muhammad sebagai Nabi


penutup hendaknya dipahami bahwa berhentinya fungsi kenabian bukan
berarti terputusnya petunjuk Tuhan kepada umat manusia. Kondisi ini
mengacu pada ide bahwa setelah fungsi kenabian Muhammad selesai, secara
fungsional, peran ulama dipandang sangat penting untuk memelihara dinamika
ajaran Islam. Hal ini dipandang tidaklah berlebihan karena ulama adalah

183
pewaris para nabi (al’ulama’ waratsah al-anbiya’). Dari kalangan ulama itulah
muncul para mujaddid yang secara fungsional memelihara dinamika ajaran
Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw sebagai pengemban risalah terakhir
dari Tuhan. Dengan perkataan lain bahwa kontinuitas petunjuk agama Wahyu
dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad melalui para Nabi, sedangkan dari
Nabi Muhammad ke penerusnya melalui para mujaddid yang secara
institusional dimanifestasikan dalam berbagai ragam pemikiran serta gerakan
tajdid.

2. Landasan Normatif

Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang
diperoleh dari teks-teks nash, baik Al-Quran maupun al-Hadits. Banyak ayat Al-
Quran yang dapat dijadikan pijakan bagi pelaksanaan tajdid dalam Islam
karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan melakukan
pembaruan. Di antaranya surat adl-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang kemudian
itu lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah surat ar-Ra’d: 11,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum
sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri….”. Dari
ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari situasi
rendah menjadi mulia dan terhormat, ummat Islam sendiri harus berinisiatif
dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya maupun
perilakunya. Dengan demikian, maka kekuatan-kekuatan pembaharu dalam
masyarakat harus selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat
melakukan mekanisme penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.

Sementara itu, dalam hadits Nabi dapat kita temukan adanya teks hadits yang
menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal
abad seseorang yang akan memperbarui (pemahaman) agamanya”. Menurut
Achmad Jainuri, di kalangan para pakar terdapat perbedaan interpretasi
mengenai kata ‘ala ra’si kulli mi’ati sanah (setiap awal abad) ini berkaitan
dengan saat munculnya sang mujaddid. Sebagian lain mengaitkan dengan
tanggal kematian. Hal ini sesuai dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam

184
yang biasanya hanya menunjuk tanggal kematian seseorang. Jika arti kata
tersebut dikaitkan dengan tanggal kelahiran, maka sulit dipahami karena
sebagian mereka —yang disebutkan dalam daftar literatur sejarah Islam—
telah meninggal dunia pada awal abad, yang berarti bahwa mereka belum
melakukan pembaruan. Atas dasar ini, maka sebagian lagi memahami dalam
pengertian yang lebih longgar dan menyatakan bahwa yang penting mujaddid
yang bersangkutan hidup dalam abad yang dimaksud. Terlepas dari adanya
perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai awal abad), yang jelas
bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif dalam teks hadis
Nabi.

3. Landasan Historis

Di awal perkembangannya, sewaktu Nabi Muhammad masih ada dan


pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Mekah dan
Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya
berkata: “sami’na wa atha’na”. Dalam perkembangannya, Islam baik secara
etnografis maupun geografis menyebar luas, dari segi intelektual pun
membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi
berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadits, ilmu fikih, ilmu
tafsir, filsafat, tasawwuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad
semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan
segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia
yang cemerlang, sampai mencapai puncaknya di Abad 12-13 M. Pada masa
inilah, ilmu pengetahuan ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik
dalam bidang agama maupun dalam bidang non agama. Di zaman itu pula
para pemikir muslim dihasilkan. Mereka telah bekerja sekuat-kuatnya
melakukan ijtihad sehingga terbina apa yang kemudian dikenal sebagai
kebudayaan Islam.

Setelah melalui kurun waktu lebih kurang lima abad sampai ke puncak
kejayaannya, sejarah kemajuan Islam mengalami kemandekan; Islam menjadi
statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Masa demi masa

185
kemundurannya semakin terasa. Pintu ijtihad dinyatakan tertutup digantikan
dengan taklid yang merajalela sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk
yang terdalam pada abad ke 18. Meskipun demikian, upaya pembaruan
senantiasa terjadi, di mana dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu
sejak abad 13 M (peralihan ke abad 14 M) Ibnu Taimiyah tampil melakukan
pembaharuan. Pembaharuan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan
kepada tiga sasaran utama yaitu, sufisme, filosof yang mendewakan
rasionalisme, teologi asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak
Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari ajaran
Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada
umat Islam agar kembali kepada Al-Quran dan Sunnah serta memahaminya
(Amin Rais, 1993).

Dalam perkembangan sejarahnya gerakan pembaharuan pasca Ibnu Taimiyah


terus mengalami dinamisasi dan kontinuitasnya, serta mengalami beberapa
variasi corak dan penekanannya masing-masing sesuai dengan konteks waktu,
tempat, dan masalah yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu sendiri
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-modern
dan gerakan pembaharuan pada masa modern. Gerakan pembaharuan pra-
modern (pasca Ibnu Taimiyah), mengambil bentuknya terutama pada abad 17
dan 18 M. Sementara itu, gerakan modern terutama dimulai pada saat
jatuhnya Mesir di tangan Napoleon Bonaparte (1798-1801 M).

Walaupun gerakan pembaruan Islam secara garis besarnya terbagi dalam dua
batasan dekade yaitu pra-modern (Abad 17 dan 18 M) dan modern (mulai
abad 19 M), tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman, bahwa
gerakan pembaruan yang dilancarkan pada abad tersebut pada dasarnya
menunjukkan karakteristik yang sama dengan gagasan pokok Ibnu Taimiyah
yang dipandang sebagai bapak tajdid, yaitu gerakan-gerakan pembaharuan
tersebut mengedepankan rekonstruksi sosio-moral masyarakat Islam sekaligus
melakukan koreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan
mengabaikan masyarakat.

186
Adanya karakteristik yang sama pada gerakan-gerakan pembaruan Islam, baik
pra-modern maupun modern tersebut, dapat dilihat misalnya pada abad 17 M.
Syaikh Ahmad Sirhindi telah meletakan dasar teori reformasi yang sama
dengan Ibnu Taimiyah, juga menekankan pelaksanaan ajaran syariah dalam
kehidupan sehari-hari. Kemudian gerakan wahabiah pada abad 18 M yang
dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab dipandang lebih radikal dan tidak
mengenal kompromi terhadap semua pengaruh yang “non Islam” terhadap
amal ibadah. Gerakan-gerakan serupa juga muncul di kawasan dunia Islam
lainnya. Shah Waliyullah di India abad 18 M, juga melakukan hal yang sama
dengan apa yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad Sirhindi dalam sikapnya
terhadap ajaran sufi yang menyimpang. Namun, yang membedakannya
dengan pendahulunya, gerakan Shah Waliyullah juga memasuki dunia
kehidupan sosial politik, di mana ia menentang ketidakadilan sosial ekonomi
yang menimpa rakyat, mengkritik beban pajak yang ditanggung oleh kaum
petani, serta menyerukan kaum muslimin untuk menegakkan sebuah negara
teritorial di India yang menyatu ke dalam bentuk sebuah kekaisaran yang
bersifat internasional.

Gerakan pembaruan pra-modern dengan dasar “kembali kepada Al-Quran dan


al-Sunnah serta Ijtihad” sebagaimana di atas, juga mewarnai gerakan
pembaruan pada era modern (Abad 19 dan 20 M). Sebagai misal, gerakan
pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh Muhammad Abduh, yang
dirumuskan dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian Islam dari berbagai
pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan khufarat);
kedua, pembaruan sistem pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan kembali
doktrin Islam sejalan dengan semangat pemikiran modern; keempat,
pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh dan serangan-serangan Eropa.
Apa yang dilakukan oleh Abduh di atas, menunjukan adanya karakteristik yang
sama dengan Era sebelumnya, yaitu adanya purifikasionis-reformis. Apa yang
dilakukan Abduh hanya sebagai salah satu contoh, tentunya dapat ditemukan
juga dalam gerakan dan pemikiran yang dilakukan oleh tokoh lainnya.

187
Berkaitan dengan kesinambungan karakteristik gerakan pembaruan Islam baik
pra-modern dan modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga bidang
atau tema yang digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali kepada
penerapan ketat Al-Quran dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan adanya ijtihad;
ketiga, penegasan kembali keaslian dan keunikan pengalaman Qur’an yang
berbeda dengan cara-cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya.

Uraian di atas menunjukan bahwa ide pembaruan Islam yang berlandaskan


teologis dan normatif, secara historis menunjukkan relevansi dengan kedua
landasan tersebut (teologis dan normatif). Oleh karenanya, gerakan tajdid
(pembaruan Islam) memiliki akar historis yang kuat sebagai pijakan bagi
kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.

Pertanyaan:

1. Jelaskan Pengertian Tajdid, Islah, dan Reformasi!


2. Jelaskan Unsur-unsur Resurgensi!
3. Fazlur Rahman membagi dialektika perkembangan pembaharuan di dunia
Islam kedalam 4 gerakan. Jelaskan ke-empat gerakan tersebut!
4. Jelaskan Latar belakang pembaharuan dalam Islam!
5. Jelaskan Landasan pembaharuan dalam Islam!

188
BAB VII

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN DI DUNIA ISLAM

DAN PENGARUHNYA DI INDONESIA

A. Pendahuluan

Pembaharuan dalam istilah lain adalah tajdid, reformasi dan atau modernisasi.
Adapun tajdid menurut bahasa adalah mengembalikan dan menghidupkan. Tajdid
al-din berarti mengembalikannya kepada yang pernah ada pada masa salaf,
generasi awal atau menghidupkan dan membangkitkan ilmu dan amal yang telah
diterangkan oleh Al-Quran dan Al-Sunnah. Selanjutnya tajdid dikatakan sebagai
penyebaran ilmu, meletakkan pemecahan secara Islami terhadap setiap problem
yang muncul dalam kehidupan manusia, dan menentang segala bentuk bid’ah.
Dengan ini nampak bahwa tajdid mendorong umat Islam agar kembali kepada Al-
Quran dan as-Sunnah serta mengembangkan ijtihad, atau reformasi dalam Islam.

Reformasi itu sendiri muncul akibatnya penyimpangan agama, teologi sekularisasi


dan modernisasi, adapun sekulerisasi menururut E. Saefuddin Anshari (1986:
234), adalah proses penyisihan agama, wahyu dan Tuhan dari perikehidupan dan
penghidupan manusia.

Adapun modernisasi menurut E. Saefuddin Anshari, (1986: 231), Suatu proses


aktivitas yang membawa kemajuan (perubahan dan perombakan secara asasi
susunan dan corak) suatu masyarakat:

1. dari statis ke dinamis,


2. dari tradisional ke rasional,
3. dari feodal ke kerakyatan, dan lain selanjutnya, dengan jalan mengubah cara
berpikir masyarakat sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi
segala syarat dan tata cara semaksimal mungkin.

Menurut Harun Nasution dan E. Saefuddin Anshari, yang dikutip oleh Rahmat
Effendi, 2016, tajdid dalam arti pembaharuan mengandung banyak arti, antara

189
lain gerakan dan usaha untuk merubah paham–paham, adat istiadat, institusi
lama untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Istilah ini pun dimaksudkan pada pengertian
yang positif. Jadi pembaharuan dalam Islam tidak dimaksudkan memperbaharui
agama, dan juga tidak sama dengan Enlight-men atau The Age of Reason yang
bersifat pemujaan akal dan ilmu.

B. Latar Belakang Munculnya Gerakan Pembaharuan (Tajdid) dalam Islam

Awal abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam, Islam
tersebar di barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di timur melalui Persia
sampai India. Daerah-daerah ini dibawah kekhalifahan yang berkedudukan di
Madinah, Damaskus, terakhir di Baghdad. Pada abad ini lahirlah pemikir dan
ulama besar seperti: Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Dengan lahirnya
pemikiran ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan berkembang dalam bidang
ilmu agama maupun ilmu pengetahuan lainnya.

Interaksi pemikiran dan budaya dengan masyarakat menjadi tantangan bagi orang
Islam, terlebih dengan berjatuhannya daerah yang ada dalam kepemimpinan
Islam satu persatu lepas dan menjadi wilayah jajahan bangsa lain. Yang lebih
mendasar adalah dorongan dari dalam ajaran Islam sendiri, QS. Al-Nisâ` (4): 59;
Al-Nûr (24): 55.

Beberapa faktor yang mendorong munculnya pembaharuan dan kebangkitan


Islam, diantaranya adalah:

1. Paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan tradisi yang
dipengaruhi macam-macam tarekat dan memuja orang yang dianggap suci,
dan segala bentuk kekufuran.
2. Sifat jumud umat Islam sendiri, membuat umat Islam berhenti berfikir dan
berusaha. Kemajuan di zaman klasik karena mereka bekerja keras untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, oleh sebab itu selama umat Islam tidak

190
mau berpikir untuk berijtihad, maka sulit untuk memperoleh kemajuan,
karenanya perlu adanya pembaharuan untuk memberantas kejumudan.
3. Umat Islam yang tepecah belah. Dengan terpecah belah tentu sulit untuk
memperoleh kemajuan, kemajuan umat Islam akan diperoleh dengan jalan
persaudaraan dan persatuan yang bersumber kepada ajaran Islam. Untuk itu
perlu adanya gerakan pembaharuan pemikiran dalam Islam.
4. Akibat dari adanya interaksi orang-orang Islam dengan dunia Barat,
menghasilkan adanya kesadaran akan terjadinya kemunduran dibandingkan
dengan negara-negara di Eropa, diketahui kemajuan tersebut karena memiliki
kekuatan militer yang modern dan ilmu pengetahuan yang lainnya.

Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaisans barat, kalau renaisans Barat
muncul dengan menjauhi agama, akan tetapi pembaharuan dalam Islam adalah
sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip-prinsip ajaran Islam kepada
pemeluknya. Oleh karena itu pembaharuan dalam Islam bukan hanya mengajak
kepada kemajuan melawan kebodohan dan kemiskinan, akan tetapi untuk
memperkuat ajaran Islam.

Pembaharuan pemikiran dalam Islam di bidang politik dilatarbelangi oleh:

1. Munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam,


berpengaruh terhadap adanya perpecahan intern yang mengakibatkan
kemunduran dan kerapuhan dunia Islam.

2. Adanya kekuatan Barat terhadap kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam
dengan melalui monopoli perdagangan dan berlanjut dengan penjajahan.

3. Keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.

Ketiga faktor tersebut ini memberikan pengaruh pada pemikiran politik Islam,
terutama pada konsep perjuangan politik umat Islam dari kezaliman penguasa,
terutama terhadap imperialis dan kolonialis Barat.

Gerakan pembaharuan politik dalam Islam di Turki melahirkan Negara Turki yang
sekuler, gerakan pembaharuan Islam di India melahirkan Negara Pakistan yang
mempunyai dasar negara yaitu agama Islam. Gerakan pembaharuan sebelumnya

191
yang diusung oleh tiga tokoh terkemuka, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, Muhamad
Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, dikenal dengan gerakan Salafiyah; yaitu
suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk memulihkan kejayaan
Islam, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti
yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam. (Rahmat Effendi, Pemikiran
Islam, 2016, 195).

Jauh sebelum itu telah muncul pemikir-pemikir pembaharu ajaran Islam yang
ingin mengembalikan Islam kepada ajaran yang sebenarnya, yaitu kembali kepada
Qur’an dan Sunnah, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (1262-1318),
yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Ibnu Qayyim al-Jawziyah (1292-1350).

C. Tujuan Pembaharuan dalam Islam

Tujuan pokok dari pembaharuan Islam adalah:

Pertama, mengembalikan segala bentuk keagamaan kepada masa awal Islam


sebagaimana dipraktekkan pada masa Nabi. Karena terjadinya banyak
penyimpangan dari ajaran pokok Islam pasca Nabi bukan karena kurang
sempurnanya Islam, tetapi karena kurang mampu manangkap ajaran Islam sesuai
dengan semangat jaman; serta banyak unsur luar yang masuk dan bertentangan
dengan ajaran Islam, sekingga sehingga diperlukan adanya upaya untuk
mengembalikan ajaran Islam kepada ajaran yang murni dengan upaya melakukan
gerakan pembaharuan dalam bidang akidah dan ibadah dari pengaruh
pemahaman yang sesat.

Kedua, menjawab tantangan jaman, bahwa Islam sebagai agama universal yang
memberikan tuntunan hidup dan kehidupan manusia sepanjang masa dan seluruh
alam. Karenanya gerakan pembaharuan sebagai upaya mengimplementasikan
ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan manusia.

192
D. Ijtihad Sebagai Kunci Pembaharuan dalam Islam

Untuk mewujudkan tujuan pembaharuan yang dimaksudkan, maka ijtihad adalah


menjadi sangat penting untuk melaksanakan gerakan pembaharuan Islam
(tajdid). Ijtihad menjadi kunci terbukanya pembaharuan Islam yang akan
mengarah kepada aktualisasi, rasionalisasi, dan kontekstualisasi ajaran Islam
ditengah kehidupan sosial, yang semuanya memerlukan upaya ijtihadi.

Aktualisasi yang dimaksudkan adalah bagaimana agar pelaksanaan kehidupan


umat Islam tidak menyimpang dari ajaran Islam, dan bagaimana agar ajaran
Islam dapat terwujud dan teraktualisasikan dalam kehidupan keseharian baik
bidang politik, sosial, budaya, ekonomi, sains, dan teknologi.

Dalam sejarah, ijtihad telah memberikan sumbangan besar dalam perkembangan


pemikiran umat Islam, khususnya dalam upaya menghadapi kehidupan sosial.
Penggunaan ijtihad tidak saja terbatas pada masalah hukum (syari’ah) semata,
akan tetapi digunakan juga untuk menilai “ulang” terhadap berbagai warisan
keagamaan yang ada, serta adanya kebebasan untuk menafsirkan kembali sesuai
dengan pemikiran modern. Semangat untuk terus menghidupkan ijtihad sebagi
tema pokok yang selalu digelorakan para pembaharu (mujahidun) Muslim.

E. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pemikiran Di Dunia Islam

1. Jamaluddin Al-Afgani (Iran, 1838 - Turki, 1897)

Salah satu sumbangan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin Al-
Afgani. Pemikiran Jamaluddin al-Afghani, gagasannya mengilhami kaum
muslimin di Turki, Iran, Mesir, dan India. Meskipun sangat anti imperialisme
Eropa, ia mengagumi kemajuan ilmu pengetahuan Barat. Ia tidak melihat
adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun gagasan untuk
membuat sebuah Universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan
modern di Turki menghadapi tantangan yang kuat dari para ulama. Pada
akhirnya diusir dari negara tersebut.

193
Jamaliddin al-Afgani selalu membakar semangat untuk mengusir penjajahan
Barat meskipun dimusuhi penguasa Barat, akibatnya ia terpaksa harus
berpindah-pindah dari Mesir ke India, Iran, Hijaz, Yaman, Turki, Rusia, Jerman,
Perancis, dan Inggris. Jamaluddin melakukan semua ini bagi umat Islam walau
mereka berbeda mazhab atau aliran. Ia tidak suka dengan istilah Sunni dan
Syi’ah, atau fanatisme pada sekte tertentu. Jamaluddin al-Afghani sangat gigih
memperjuangkan penolakannya terhadap paham sekterianisme dan
nasionalisme menurut konsep Barat. Kedua paham ini terbukti merongrong
ajaran dasar Islam. Oleh karena itu ia berusaha mempersatukan dengan satu
tali pengikat yaitu agama Islam (Pan Islamisme).

2. Muhammad Abduh (Mesir 1849-1905) dan Muhammad Rasyid Ridha


(Suriah, 1865-1935)

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha memiliki hubungan yang sangat erat
sebagai guru dan murid, keduanya mengunjungi beberapa negara di Eropa,
dan keduanya sangat terkesan dengan pengalaman mereka disana. Rasyid
Ridha mendapat pendidikan Islam tradisional dan menguasai bahasa asing
(Francis dan Turki) yang menjadi jalan masuknya untuk mempelajari ilmu
pengetahuan secara umum. Oleh karena itu, tidak sulit bagi Rasyid Ridha
untuk bergabung dengan gerakan pembaharuan al-Afghani dan Muhammad
Abduh, diantara gerakannya yaitu Al Urwah Al Wustta yang diterbitkan di Faris
dan di sebarkan di Mesir. Muhammad ‘Abduh sebagaimana Muhammad Abdul
Wahab dan Jamaluddin al-Afghani, berpendapat bahwa masuknya bermacam-
macam bid’ah kedalam ajaran Islam, menjadikan umat Islam lupa dan jauh
dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Di antara ide-ide pembaharuan yang dicanangkan Muhammad Abuh adalah:

a. Penghapusan paham jumud yang berkembang di dunia Islam pada saat itu;

b. Pembukaan pintu ijtihad sebagai dasar yang penting dalam


menginterpretasikan kembali ajaran Islam;

194
c. Kekuasaan negara harus dibatasi konstitusi yang telah dibuat negara yang
bersangkutan;

d. Memodernisasikan sistem pendidikan Islam di Al-Azhar di Kairo.

3. Thaha Husain (Mesir selatan 1889-1973)

Beliau adalah seorang sejarawan dan filusuf yang sangat mendukung gagasan
Muhammad Ali Pasya. Ia pendukung modernism yang gigih. Pengadopsian ilmu
pengetahuan modern tidak hanya penting dari sudut nilai praktis (kegunaan)
nya saja, akan tetapi sebagai perwujudan suatu kebudayaan yang amat tinggi.
Pandangnnya dianggap sekuler karena mengunggulkan ilmu pengetahuan.

4. Sayyid Qutub (Mesir 1906-1966)

Beliau dilahirkan di desa Aswan, Mesir. Pada mulanya dia dikenal sebagai
seorang rasionalis, kemudian terpengaruh oleh pemikiran Barat, karena pernah
memperoleh pendidikan di Amerika. Kemudian berangsur-angsur berubah
karena tidak puas terhadap pemikiran Barat, yang tidak mampu memberikan
pengertian identitas dan tujuan moral yang dikehendaki dunia Islam. Kemudian
ia masuk dalam Partai Ikhwanul Muslimin dan menghabiskan sisa hidupnya
sebagai aktivis Islam, dipenjarakan bertahun-tahun dan akhirnya dihukum mati
oleh Nasser, atas tuduhan menentang pemerintah, pada tahun 1966. Sejak itu
ia dikenal sebagai syahid kebangkitan Islam. Karya tulisnya, Tafsir Al-Qur’an, Fi
Zilalil-Qur’an yang disusun dalam penjara, tolok ukur untuk pelajaran tafsir di
banyak mesjid dan angkatan muda seluruh dunia. Selain itu banyak menulis
tentang masalah sosial, politik, ekonomi, intelektual, kultural, dan etika
masyarakat.

5. Yusuf Al-Qardawi (Mesir, 1926)

Beliau dikenal sebagai seorang cendikiawan muslim, mujtahid pada era


Modern ini, beliau dipercaya sebagai ketua majelis fatwa, yang fatwa-fatwanya
banyak digunakan sebagai referensi. Diantara bukunya adalah, Fiqh Zakat
sebuah buku yang sangat komperhensif membahas persoalan zakat dengan
nuansa modern.

195
Yusuf Qardawi seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis,
semua ilmu bisa Islami dan tidak Islami, tergantung kepada orang yang
memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu
telah menghambat kemajuan umat Islam.

6. Sir Sayyid Ahmad Khan (India, 1871-1906)

Ahmad Khan hidup dan meninggal di Delhi, pendiri Lembaga Pendidikan


Muhammaden Anglo Oriental College di Aligarh, pelopor Gerakan Aligarh yaitu
gerakan pembaharuan Islam di India dan Pakistan. Seperti al-Afghani dan
Muhammad Abduh, ia pun menyerukan kaum muslimin untuk meraih ilmu
pengetahuan modern, keduanya sama-sama menghargai akal manusia, sama-
sama membuka pintu ijtihad dan menentang taktid.

7. Ali Jinnah ( Pakistan, 1876-1948)

Muhammad Ali Jinna, adalah arsitek dan pendiri Negara Islam Pakistan,
belajar ilmu Hukum di Inggis. Ali Jinnah aktif di Liga Muslim, pada tahun 1916,
Ali Jinnah merupakan pelanjut dari pejuang sebelumnya yaitu Muhammad
Iqbal, nama Ali Jinnah menjadi jaminan bagi kaum muslimin, baik secara
individual maupun keseluruhan dalam bidang politik. Dalam mengatasi
perpecahan antara Hindu dan Muslim, dia menciptakan dua undang-undang:
The Delhi Muslim Proposais (Usul-usul Umat Islam Delhi) 1927 dan The
Fourteen Points (Butir-butir Empat Belas) 1929. sebagi upaya meraih
tujuannya dengan mengerahkan segala kemampuannya dengan sungguh-
sungguh untuk memperjuangkan hak-hak kaum Muslimin dan berjuang
membangun strategi politik kenegaraan dan pemerintahan Islam. Pada tahun
1938 ia memainkan peran sejarahnya sebagai Quaid-i-Azam (memiliki niat
yang kuat), sampai terlaksananya pemilihan umum terpisah dan berdirinya
Negara Islam Pakistan.

8. Muhammad Iqbal (Punjab, 1873-1938)

Generasi pada awal abad ke 20 adalah Muhamm Iqbal merupakan muslim


pertama di India yang sempat mendalami pemikiran Barat modern dan

196
memiliki latar belakang pendidikan bercorak Islam tradisional. Kedua hal ini
sangat berpengaruh terhadap pemikiran dan tulisannya, karya yang terkenal di
tahun 1930 yang berjudul Recontruktion Of Religious Thught In Islam
(pembangunan kembali pemikiran keagamaan dalam Islam).

Pemikiran pembaharuan Muhammad Iqbal secara garis besar terdiri dari 3


bidang yaitu:

a. Keagamaan, Muhammad Iqbal memandang bahwa kemunduran umat Islam


disebabkan oleh kebekuan umat Islam dalam pemikiran dan ditutupnya
pintu ijtihad. Islam menutut Iqbal mengajarkan dinamisme, Al-Quran
senantiasa menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau tanda-tanda
yang terdapat alam seperti matahari, bulan, pertukaran siang menjadi
malam, dan sebagainya. Oleh karenanya, ijtihad dianggap sebagai prinsip
yang dipakai dalam soal gerak dan perubahan dalam hidup sosial manusia
sebagai ijtihad mempunyai kedudukan yang penting dalam pembaharuan
dalam Islam.

b. Pendidikan, Muhammad Iqbal tidak menjadikan Barat sebagai model


pembaharuannya karena dia menolak kapitalisme dan imperialisme yang
dipengaruhi oleh materialisme dan telah mulai meninggalkan agama. Yang
harus diambil umat Islam dari Barat hanyalah ilmu pengetahuannya.

c. Politik, Muhammad Iqbal memandang bahwa India pada hakekatnya


tersusun dari dua bangsa, Islam dan Hindu. Umat Islam India harus menuju
pada pembentukan negara tersendiri, terpisah dari negara hindu di India
sehingga beliau dipandang sebagi bapak Pakistan.

Pemikiran–pemikiran Muhammad Iqbal mempengaruhi dunia Islam pada


umumnya, terutama dalam pembaharuan di India, Ia menimbulkan paham
dinamisme di kalangan Umat Islam India dan menunjukkan jalan yang harus
ditempuh untuk masa depan agar umat Islam minoritas di benua India agar
dapat bertahan hidup dari tekanan luar dengan mewujudkan republik Pakistan.

197
F. Pengaruhnya Terhadap Pembaharuan di Indonesia

1. Abad ke-7

Diduga keras para musafir dan pedagang muslim dari Arab, Persia, dan India
(Gujarat) telah memperkenalkan Islam di Nusantara. Hal ini dimungkinkan
karena sejak abad ke-5, Samudra Hindia telah menjadi kawasan yang
berbahasa Arab dan jalan dagang Teluk Persia-Tiongkok yang terus berlanjut
sampai beberapa abad kemudian.

2. Abad ke-10

Malaka telah menjadi pelabuhan penting bagi pedagang muslim di Asia. Islam
datang ke Negeri ini dengan jalan damai. Para mubaligh melangsungkan
perkawinan dengan penduduk setempat dan Islam berkembang secara turun-
temurun. J.C. Van Leur dalam bukunya Indonesian Trade and Scsiety (Den
Haag: W. van Hoeve Publisher Ltd., 1967), berpendapat bahwa karena yang
membawanya adalah para pedagang maka agama Islam lebih menarik dari
pada agama penduduk sebelumnya (Hindu dan Budha).

3. Abad ke-11

Telah ditemukan pemukiman-pemukiman Islam di kota-kota pantai Nusantara.


Hal ini antara lain terbukti dengan ditemukannya Batu Nisan dengan nama
Fatimah binti Maimun (w. 475 H/1082 M) di Leran, Gresik. Demikian pula
makam sultan Malikush Shaleh (1270-1297), raja pertama kerajaan Samudra
Pasai di Aceh, dan makam wanita Islam, Tuhar Amisuri (602 H) di Barus,
pantai Barat pulau Sumatra.

4. Abad ke-13

Kerajaan-kerajaan Islam telah dikenal secara pasti, misalnya kerajaan Samudra


Pasai di Aceh Utara. Kerajaan Samudra Pasai dikunjungi Ibnu Batutah pada
tahun 1325, dan ternyata ia menemukan Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-
1326), putra Sultan Malikush Shaleh, sebagai seorang yang alim dan saleh. Di
istana dan masjid yang dibangunnya sering diadakan pertemuan dan diskusi

198
mengenai masalah-masalah keagamaan dengan para ulama terkemuka yang
berdatangan dari pusat-pusat peradaban Islam.

5. Abad ke-13 sampai abad ke-17

Pada abad ini merupakan fase berdirinya pusat-pusat kekuasaan Islam di


Nusantara dan merupakan masa kemajuan Islam. Pada masa inilah Aceh,
Demak, Giri, Ternate/Tidore, Gowa dan Tallo (di Makasar kini Ujungpandang)
muncul sebagai pusat kekuasaan, perdagangan dan pengajian Islam, dan
berdiri sebagai kesultanan Islam, dari pusat-pusat inilah Islam tersebar ke
seluruh Nusantara. Kelompok yang memiliki peran penting dalam penyebaran
Islam adalah para wali, terutama yang dikenal di daerah jawa dengan istilah
Walisongo (Sembilan wali). Ulama dan mubalig yang telah dibina di pusat-
pusat pendidikan Islam seperti pesantren dan surau. Pusat-pusat tersebut
telah berfungsi sebagai tempat pendidikan dan tempat kaum cendikiawan,
pusat penyebaran Islam dan media komunikasi dan informasi. Pada sisi lain
peran pedagang dan penguasa kerajaan-kerajaan Islam itu sangat besar dalam
penyebaran agama Islam. Sejak abad ke-13 pengembangan Islam telah
terlihat dengan jelas dari samudra pasai dan Aceh Darussalam, Islam antara
lain menyebar ke Minangkabau, dari Minangkabau ke Gowa dan Tallo di
Sulawesi Selatan, dari Gowa dan Tallo menyebar kembali terus ke Bima dan
Kutai. Darki Demak, Cirebon, dan Giri, Islam menyebar ke Lombok, Sumbawa,
Ternate/Tidore dari Ternate menyebar kembali ke Sulawesi Utara, Irian Jaya,
dan Nusa Tenggara Timur.

6. Abad ke-17

Islam telah menyebar keseluruh Nusantara melalui perdagangan, perkawinan,


birokrasi pemerintahan, pendidikan (pesantren) mistik, cabang-cabang seni,
dan lain-lain. Namun demikian, sampai abad tersebut belum ada organisasi
Islam yang teratur yang mengutamakan dakwah.

199
7. Abad ke-17 sampai abad ke-20

Umat Islam dibawah para pemimpinnya menghadapi berbagai corak tantangan


dari kekuasan Barat dan mengadakan perlawanan dari setiap fase penjajahan.
Sehingga dari sini melahirkan gerakan-gerakan pembaharuan-pembaharuan
dengan terbentuknya organisasi-organisasi keagamaan.

G. Gerakan Pembaharuan Di Indonesia

Penelusuran sejarah pembaharuan Islam di Indonesia, secara sosiologis berkaitan


erat dengan gerakan pembaharuan Islam yang telah terjadi di dunia Islam
sebelumnya, terutama yang terjadi di Timur Tengah. Tetapi adanya gerakan ini
secara filosofis sesungguhnya bertolak dari ajaran Islam. Antara lain pengertian
reformasi dan keharusan menggunakan modernisasi pemikiran Islam sebagai
konsekuensi logis yang tak bisa dipisah antara keduanya. Tidak mungkin adanya
modernisasi masyarakat tanpa adanya reformasi. Sebaliknya reformasi merupakan
prasyarat untuk modernisasi, dengan demikian dengan reformasi dikehendaki
adanya restrukturisasi ajaran, nilai-nilai kemasyarakatan dan cara berpikir umat
Islam sesuai pola pemikiran semula.

Pembaharuan di era modern dikalangan umat Islam dimulai dengan sosok Jamal
Al-Afghani (1839-1897) yang melakukan perjalanan panjang semasa hidupnya
sejak dari Afganistan, India, Mesir, Syiria, Paris, Turki, dan Iran. Pembaharuan
memperoleh jalan licin setelah dikembangkan oleh murid Al-Afghani yang menjadi
bapak pembaharu di Mesir yaitu Muhammad ‘Abduh (1845-1905) dan dilanjutkan
oleh murid yang lain yaitu Rasyid Ridha (1856-1935) yang menitik beratkan pada
reformasi ajaran-ajaran agama Islam yang murni serta mengharmonisasikan
dalam kehidupan kemasyarakatan dan politik.

Gagasan pembaharuan Islam telah masuk ke Indonesia sekitar tahun 1802


menurut M. Muljadi Djojomartono dkk. (1966: 302-303), dalam “Dunia Baru
Islam” dinyatakan bahwa bersamaan dengan pulangnya Haji Miskin dan teman-
temannya dari menunaikan haji dan setelah bermukim beberapa tahun di Mekah,

200
maka Wahhabisme pun disebarkan di Minangkabau Oleh Haji Miskin dan kawan-
kawannya yang terkenal dengan julukan Harimau nan Salapan. Mereka adalah
Tuanku Haji Miskin, Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Kota Ambalau, tuanku di
Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Lubuk Alur,
Tuanku Nan Renceh. Mereka juga dikenal sebagai tokoh-tokoh Paderi, yaitu
sebutan bagi yang tidak mengenal ajaran ini, karena berpakaian mereka selalu
berpakaian serba putih.

Paham ini mendapat tantangan keras dari masyarakat setempat yang


berpandangan Islam tradisional, sehingga menimbulkan pertikaian diantara
mereka, sehingga timbul perang Paderi (1786-1838) setelah Belanda ikut campur
dalam pertikaian tersebut, bentuk peperangan pun berubah, yang tadinya antara
golongan Paderi yang dikenal dengan kaum muda, dengan golongan tradisional,
dikenal dengan kaum tua, kemudian bersatu melawan penguasa kolonial.

Meskipun dalam perang Paderi ini, Belanda mampu menangkis habis perlawanan
kaum Paderi. Namun paham pembaharuan yang disebarkannya tidak lenyap.
Bahkan timbul tokoh-tokoh baru, mereka terus menyebarkan ide pembaharuan.
Tercatat misalnya Syekh Muhammad Abdullah Ahmad (1878-1933), Syekh Abdul
Karim Amrullah (1879-1945), Syekh Muhammad Jamil Jmbek (1860-1947), Syekh
Muhammad Ibrahim Musa Parabek (1884-1963), Syekh Haji Muhammad Thalib
Umar (1874-1920) dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1918, atas inisiatif murid-
murud Syekh Abdul Karim Amrullah, didirikan sebuah perkumpulan yang bernama
“Sumatra Tha-walib” setahun kemudian yaitu pada tahun 1919, atas inisiatif
Zainudin Labai didirikan pula sebuah organisasi khusus untuk kalangan guru yang
diberi nama Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI).

Menurut Hamka, tokoh reformis Indonesia adalah pembaca setia majalah al-
‘Urwah al-Wutsqa dan al-Manar yang dipimpin tokoh-tokoh reformis dunia Islam
Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh dan muridnya Muhammad Rasid
Ridha. Bahkan KH. Ahmad Dahlan sebelum mendirikan Muhammadiyah, pada
tahun 1912, beliau adalah pembaca setia majalah al-Munir, surat kabar kaum
Wahhabi di Padang, yang terbit pertama kali pada tanggal 1 April 1911, senada

201
dengan pernyataan Hamka di atas, Delia Noer (1982:64) menyatakan pula bahwa
munculnya golongan Islam modern di Indonesia bersamaan dengan bangkitnya
semangat nasional dikalangan bangsa Indonesia dan sekaligus pula merupakan
sumbangan terhadap gerakan nasionalis pada tahun 1920-an dan 1930-an.
Misalnya Syarikat Islam berdiri pada tahun 1912 yang secara umum memberikan
sumbangan pada ide-ide dasar golongan Islam modernis dan dapat disebut pula
sebagai wahana pertama bagi aspirasi politik nasional sampai tahun 1920an.
Namun sayangnya, kehancuran Syarikat Islam disebabkan gagalnya memutuskan
perbedaan antara agama di satu pihak dan nasionalisme dan komunisme di pihak
lain. Perbedaan ini pulalah yang menyebabkan perpecahan di tubuh Syarikat Islam
pada tahun 1925, dan hal ini ditandaskan dengan permulaan gerakan
nasionalisme sekuler dan muslim nasionalis yang berada pada posisi terpisah,
seperti adanya golongan kaum muda dan kaum tua.

Sejarah pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia berbeda dengan


pembaharuan di dunia Islam lainnya. Pembaharuan di Indonesia lebih merupakan
sejarah organisasi sosial keagamaan. Sedangkan di negeri lain lebih terpusat
kepada pribadi-pribadi tertentu. Semangat kaum pembaharu ini muncul karena
dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaharuan yang telah berkembang di dunia
Islam, khususnya yang terjadi di Timur Tengah, seperti gerakan wahhabi di Arabia
dan gerakan pembaharuan Muhammad ‘Abduh di Mesir.

Adapun gerakan pembaharuan di tanah jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan
dengan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta. Organisasi ini
bertujuan ingin memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia
berdasarkan ajaran Islam serta meningkatkan kehidupan beragama di kalangan
anggotanya. Selain KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyahnya, ada tokoh lain
yang cukup berperan dalam pembaharuan Islam di pulau Jawa yaitu Syekh
Ahmad Soorkati berasal dari Sudan, ia melancarkan pembaharuannya dalam
organisasi Jamiat Khoir, yang kemudian pada tahun 1913 mendirikan organisasi
baru dengan diberi nama al-Irsyad. Kemudian di Bandung H. Zamzam bersama H.

202
Muhammad Yunus pada tahun 1923 mendirikan Persatuan Islam (GF. Pijper,
1984: 108).

Pertanyaan:

1. Apa yang dimaksud dengan pembaharuan pemikiran dalam Islam?

2. Apa persamaan dan perbedaan Tajdid, Reformasi, dan Modernisasi?

3. Apa yang melatar belakangi munculnya pembaharuan utkan pemikiran dalam


Islam?

4. Mengapa ijtihad menjadi kata kunci tercapainya kemajuan umat Islam?

5. Sebutkan minimal lima tokoh pembaharuan di dunia Islam dan idenya!

6. Kemukakan siapa saja tokoh yang sangat berpengaruh terhadap gerakan


pembaharuan di Indonesia?, dan kemukakan beberapa gerakan pembaharuan di
Indonesia dan tokoh–tokohnya!

203
204
BAB VIII

GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

A. Pendahuluan

Kurang dari satu abad setelah Nabi Muhammad Saw wafat, pada masa khalifah Al-
Walid (705-715M), Islam telah menduduki Spanyol. Pada saat yang hampir
bersamaan Islam juga telah mulai memasuki wilayah Indonesia. “Cikal bakal
kekuasan Islam telah dirintis pada periode abad ke-1 H (7 atau M), tetapi
semuanya tenggelam dalam hegemoni maritime Sriwijaya yang berpusat di
Palembang dan kerajaan Hindu Jawa seperti Singasari dan majapahit di jawa
Timur.” (Yatim, 1993:194).

Lebih lanjut Yatim menyebutkan bahwa, “berdasarkan berbagai cerita perjalanan


dapat diperkirakan bahwa sejak 674 M ada koloni-koloni arab di barat laut
sumatera, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur barus yang terkenal.” (Leur
dalam Yatim, 1993: 192).“ Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah
yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer
muslim” (Sunanto, 2005:7-8).

Islam di Indonesia masuk dengan jalan damai (pacifique penetration). Azra


(1999:8) menyebutkan, ”suatu kenyataan bahwa kedatangan Islam di Indonesia
dilakukan secara damai.” Islam masuk ke Indonesia ketika di Indonesia pada
masa Kerajaan Budha-Hindu abad ke-6 hingga abad ke-16M (Sriwijaya, Mataram
Kuno, Kahuripan, Singasari, dan Majapahit) yang disusul dengan masuknya
kekuatan asing (dari masa VOC sampai berakhirnya era kolonialisme Belanda
tahun 1945) di Indonesia. Latar belakang sosial dan budaya yang seperti ini yang
telah berlangsung selama berabad-abad dianggap sebagai penyebab
keterbelakangan dan kemiskinan yang melanda sebagian besar umat Islam di
Indonesia.

205
Kemiskinan dan kebodohan umat Islam ini telah menimbulkan munculnya
penyakit masyarakat seperti kepercayaan kepada tahayul, bid’ah, dan khurafat.
Hal ini senada dengan pendapat Ali dan Effendi yang mengatakan bahwa,
“Gerakan pembaharuan di dunia Islam, pada umumnya dilatarbelakangi oleh
kondisi global umat Islam yang mengecewakan, dimana umat Islam tenggelam
dalam kejumudan, terperosok dalam kehidupan mistisme berlebihan, dan lebih
dari itu, dijajah oleh kekuasaan kolonialisme Barat.” (Ali dan Effendi, 1985:65).
Gerakan Pembaharuan ini dibawa oleh para Jemaah Haji dan orang-orang
Indonesia yang telah bermukim di Mekah.

B. Sebelum Abad ke-20

Gerakan Pembaharuan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh gerakan


pembaharuan yang terjadi di dunia yang kemudian dibawa oleh para jemaah haji
Indonesia yang menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekah dan Madinah
untuk menimba Ilmu agama. Sekembalinya ke Indonesia mereka melihat betapa
umat Islam di Indonesia masih terbelakang dalam bidang ekonomi, sosial, politik,
dan keagamaan. Hal ini jauh dari gambaran Umat Islam sebagai umat yang ideal,
khairron ummah yang tinggal di negeri (baldatun) yang, Thoyyibatun wa Rabbun
Ghafur. Deliar Noer menyebutkan bahwa Minangkabau merupakan tempat yang
penting untuk disebut sebagai tempat tumbuhnya gerakan pembaharuan
pemikiran islam di Indonesia. Lebih lanjut Noer menyebutkan, “di daerah inilah
tanda-tanda pertama dari pada pembaharuan itu dapat diamati pada waktu
daerah-daerah lain seakan-akan masih merasa puas dengan praktek tradisional
mereka.” (Noer,1995:37).

Sebagaimana di Sumatera, Notosusanto menyebutkan bahwa gerakan


Pembaharuan Pemikiran Islam di Jawa dibawa oleh mereka yang baru pulang atau
pernah belajar di Mekah. “Gelombang pembaharuan Islam di Jawa di bawa oleh
tokoh ulama yang pernah naik haji dan bermukim di Mekah untuk memperdalam
agama Islam. Diantara tokoh ulama tersebut adalah Haji Ahmad Rifangi dari Kali
Sasak (1786-1875)” (Notosusanto, dkk, 1975:292). Seperti Jawa, di Sumatera

206
Barat juga gerakan pembaharuan ini di bawa oleh tokoh-tokoh yang pulang dari
Mekah seperti Muhammad Syahab, yang kemudian terkenal dengan sebutan
Imam Bonjol.

Gerakan pembaharuan pemikiran Islam tersebut telah membuka babak baru


dalam sejarah Indonesia. Keinginan untuk melakukan pembaharuan, tepatnya
pemurnian faham atau praktek keagamaan Islam, jika dihadapkan pada
persoalan bid’ah, tahayul, dan khurafat, semakin mungkin untuk dilaksanakan
pada abad ke-19, ketika banyak kalangan terpelajar Islam yang kembali dari
Mekkah. Kepulangan mereka tidak saja membawa faham-faham keagamaan
yang bersemangat wahabiyyah, melainkan faham lain yang berasal dari tokoh
pembaharu Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rassyid
Ridho, dan lain-lain. (Ali dan Effendi, 1985:66)
Beberapa tokoh penting pada era sebelum abad ke-20 yang dapat disebutkan
adalah Haji Ahmad Rifangai, Syekh Abdul Karim, dan Syekh Nawawi Banten.

Perjalanan haji mulai berfungsi sebagai pemersatu Nusantara dan perangsang


anti-kolonialisme. Dan masyarakat Jawah mukim punya peranan penting sebagai
perantara antara orang Nusantara dan gerakan agama maupun politik di bagian
dunia Islam lainnya. Ulama seperti Nawawi Banten, Mahfudz Termas, dan Ahmad
Khatib Minangkabau, yang mengaar di Mekah pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20, mengilhami gerakan agama di Indonesia dan mendidik banyak ulama
yang kemudian berperan penting di tanah air. (Bruinessen, 1990:48)

1. Ahmad Rifangi (1786-1876)

Nama aslinya adalah Ahmad Rifa’i, tetapi Rifa’i dalam pengucapan bahasa Jawa
menjadi Rifangi sehingga beliau terkenal dengan nama Ahmad Rifangi. Beliau
lahir pada tahun 1786 di Kendal dari kalangan terhormat, dimana ayahnya
bekerja sebagai penghulu. Setelah belajar pada beberapa tokoh seperti Syaikh
Abdurrahman, Syaikh Abu Ubaidah, Syaikh Abdul Aziz, Syaikh Usman, dan
Syaikh Abdul Malik di beberapa pesantren di tanah air, Ahmad Rifangi
melanjutkan pendidikan agamanya di Mekah selama delapan tahun dari tahun
1833-1841. “Sepulang dari pengembaraannya tersebut ia menetap di wilayah
Kendal, akan tetapi karena sejak awal telah dikenal sebagai tokoh agama yang

207
tidak kompromis dengan pemerintah (kolonial Belanda), maka ia pindah ke
wilayah terpencil di pedalaman kota Batang, yaitu Kalisalak.” (Djamil, 1999: 3)

Ahmad Ripangi menyerukan umat Islam untuk mempelajari agama Islam


langsung kepada sumbernya, yaitu Al-Quran dan Hadits, sementara pada masa
itu umat Islam belajar agama melalui perantaraan kyai atau ulama karena
pada umumnya umat Islam tidak memahami bahasa Arab. Untuk mewujudkan
itu, Ahmad Ripangi menulis berbagai buku agama. Sepanjang hidupnya Ahmad
Ripangi telah menulis banyak buku. “Ia menulis 55 buku tentang hampir setiap
bidang studi Islam, seperti fiqh, ushuluddin, tasawuf dan sebaginya, yang
semuanya itu ditulis dalam bahasa Jawa dalam bentuk puisi dan prosa.
Kumpulan dari karya-karya itu disebut kitab Tarjumah.” (Notosusanto, l975:
293)

“Dalam buku-bukunya, memperlihatkan pandangan-pandangan keagamaan


Haji Ripangi sejalan dengan pandangan madzhab Syafi’i dan “ahlus sunnah wal
jama’ah”, suatu madzhab yang sesuai dengan keyakinan dan praktek
keagamaan umat pada umumnya.” (Kuntowijoyo, 1990: 67). Dari segi
pemahaman keagamaan Ahmad Ripangi tidak berbeda dengan pemahaman
keagamaan para ulama pada umumnya, hanya saja sikap anti kompromi
dengan penguasa kolonial menyebabkan beliau dianggap sebagai ancaman
bagi pemerintah kolonial Belanda sehingga akhirnya beliau diasingkan ke
Ambon.

2. Syekh Abdul Karim

Syekh Abdul Karim adalah pengikut setia Syekh Ahmad Khatib Sambas.
Demikian besar kepercayaan Syekh Ahmad Sambas kepada Abdul Karim
sehingga sebelum meninggalnya, Syekh Abdul Karim ditunjuk sebagai
pengganti pimpinan tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dari pusatnya di
Mekah. Sebelumnya ia ditunjuk oleh gurunya memimpin cabang tarekat di
Singapura, kemudian di Cilegon Banten. Di Banten ia juga mendirikan sebuah
pesantren yang kemudian berkembang pesat. (Dhofier, 1985: 89)

208
Sejak masa mudanya ia mendalami ajaran-ajaran Khatib Sambas, pemimpin
tarekat Qodiriyyah, dan kemudian menjadi seorang ulama besar yang sangat
terkenal. Ia memperlihatkan hasrat yang sangat mendalam untuk menimba
ilmu dan perhatian yang besar terhadap ajaran-ajaran Islam. Karena sifat-
sifatnya yang luar biasa, ia dianggap cocok sekali untuk berdakwah bagi
tarekat Qodiriyyah. (Kartodirjo, 1984: 17)

Syekh Abdul Karim dalam mengembangkan ajaran Islam mengajak umat Islam
untuk untuk memperbaharui kehidupan beragama dengan jalan taat
menunaikan ibadah yang diperintahkan Allah Swt, beliau juga menganjurkan
untuk menjalankan praktek ibadah itu dengan proses pemurnian ajaran Islam
dengan penekanan pada aspek shalat, puasa, dan zakat. Hal ini dimulai pada
tahun 1872 ketika beliau kembali ke desa asalnya di Banten. Hal ini dapat
dipahami karena gerakan pembaharuan Syek Abdul Karim ini sangat
mementingkan pelaksanaan syariat Islam. Sebagai pemimpin terekat
Qodiriyyah wa Naqsabandiyyah, Syekh Abdul Karim hanya mau menerima
anggota tarekat yang sudah melaksanakan ajaran Islam dan memahami dasar
ajaran ajaran Islam. Untuk mewujudkan tujuan itu beliau banyak melakukan
kunjungan ke berbagai daerah. Syekh Abdul Karim memiliki pengaruh yang
luas di Jawa, tetapi beliau memiliki pengaruh yang sangat kuat di Banten.
Karena merasa tidak tahan dengan ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda,
Syekh Abdul Karim bersama Haji Wasid dan KH Tubagus Ismail melakukan
pemberontakan terhadap Belanda pada tahun 1888.

3. Syekh Nawawi Banten

Nama asli Syekh Nawawi Banten adalah Muhammad Nawawi. Beliau lahir di
kampung Tanara, Tirtaya, kabupaten Serang, wilayah karesidenan Banten
pada tahun 1813. Syekh Nawawi pertama kali belajar agama di bawah
bimbingan ayahnya, Umar Ibnu Arabi. Setelah belajar di bawah bimbingan
ayahandanya, melanjutkan pendidikan agamanya di Purwokerto. “Setelah itu ia
melanjutkan pelajarannya lagi di Purwokerto kepada Kyai Yusuf, seorang kyai
yang menarik santri-santrinya dari daerah-daerah di seluruh Jawa, terutama

209
dari daerah Jawa Barat. Ketika Nawawi berusia 15 tahun, ia melakukan ibadah
haji dengan kedua saudaranya dan tinggal di Mekah selama tiga tahun.”
(Dhofier, 1985: 87). Sepulangnya dari Mekah, Syekh Nawawi memperdalam
ilmu agamanya lagi dengan belajar kepada para ulama di tanah air. “Akan
tetapi karena kondisi tanah air ketika itu masih berada di bawah jajahan
Belanda, dan setiap gerak-gerik ulama diawasi, termasuk kegiatan Syekh
Nawawi, beliau kembali ke Mekah untuk mengajarkan ilmu yang dimilikinya
kepada para mahasiswa yang berdatangan ke sana dari berbagai negara.”
(Hafiduddin, 1987: 41). Hal tampaknya menyebabkab kehidupan intelektual di
Tanah Suci lebih menarik bagi Syekh Nawawi ketimbang kondisi di tanah air
sehingga ia kembali ke Mekah untuk mengamalkan ilmunya di sana, dimana ia
menjadi perantara bagi gerakan pembaharuan di dunia Islam dengan para
ulama dan intelektual Indonesia yang pergi haji dan belajar agama di Mekah.

Di Indonesia Syekh Nawawi tentu saja sangat terkenal. Ia menjadi kebanggaan


sebagai seorang putra Indonesia yang kealimannya diakui di dunia Arab.
Semua buku-buku … (yang ditulis oleh Syekh Nawawi) … secara luas dipelajari
di pesantren-pesantren di Jawa. Perlu ditekankan di sini, walaupun Syekh
Nawawi tidak mengikuti Syekh Sambas memimpin sebuah organisasi tarekat,
namun ia tidak melepaskan ikatan intelektual dan spiritualnya dengan Syekh
Sambas. Dengan kata lain, Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek
tarekat selama tarekat tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan
ajaran Islam. Sikap Syekh Nawawi inilah yang menyebabkan namanya di Jawa
tetap harum sampai sekarang (Dhofier, 1985:88)

C. Abad ke-20

“Di Indonesia, gerakan pembaharuan Islam secara kelembagaan atau


organisasi keagamaan sudah dimulai sejak pergantian abad 19 ke abad 20
yang lalu. Sedangkan gerakan pembaharuan pemikiran secara perorangan dan
signifikan baru dimulai pada pertengahan kedua dari abad ke 20. Nama-nama

210
yang perlu disebutkan diantaranya Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir
Sadzali, dan Abdurrahman Wahid.” (Asyari, 2011: 301-302)

Munculnya Kesadaran

Abad ke-20 dinilai sebagai awal terjadinya gerakan untuk menegakkan Islam
demi kemuliaan agama Islam sebagai idealita dan kejayaan umat sebagai
realita dapat diwujudkan secara konkret dengan menggunakan organisasi
sebagai alat perjuangannya. Disadari pula bahwa gagasan baru itu hanya akan
tersebar luas jika menggunakan media yaitu majalah. (Padmo, 2007: 153)

Kira-kira pada pergantian abad ini (abad XIX ke Abad XX) banyak orang-orang
Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin
berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak
kolonialisme Belanda. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan,
apakah ini dengan menggali mutiara-mutiara Islam dari masa lalu yang telah
memberi kesanggupan kepada kawan-kawan mereka seagama di Abad Tengah
untuk mengatasi Barat dalam ilmu pengetahuan serta dalam memperluas
daerah pengaruh. (Noer, 1995:37)

D. Beberapa Aspek Pembaharuan

1. Dalam Hal Pemahaman dan Praktek Keagamaan Islam

Salah satu hal yang penting untuk dicatat dari Gerakan Pembaharuan Islam di
Indonesia adalah dalam aspek keberagamaan. Hal ini dilandasi oleh kondisi
keberagamaan umat Islam yang pada umumnya masih memiliki pemahaman
keagamaan yang sangat terbatas. Hal ini menyebabkan banyaknya
pemahaman dan praktek keagamaan yang oleh kelompok pembaharu ini tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, kelompok pembaharu ini
berusaha memurnikan pemahaman praktek ajaran Islam dengan mengusung
jargon kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah dimana hal ini berarti bahwa
pemahaman dan praktek ibadah harus dilandasi oleh penjelasan yang ada di
dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

211
Pemahaman dan praktek keberagamaan yang tidak dilandasi oleh prinsip ini
dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dan dianggap Bid’ah
(menciptakan hal baru dalam beribadah). Salah satu perhatian kaum
pembaharu adalah dalam Fiqh (hukum) yang menjadi panduan dalam
kehidupan sehari-hari umat Islam. Mereka menolak praktek-praktek
keagamaan yang tidak sesuai menurut aturan Islam. Selain fiqh hal yang
menjadi perhatian kelompok pembaru ini adalah tasawuf. Sebagaimana dalam
hal fiqh, mereka juga menolak praktek-praktek keagamaan tasawuf yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Kaum pembaharu ini mengingatkan bahwa yang
wajib disembah hanyalah Allah Swt, dan praktek tasawuf yang diperbolehkan
adalah praktek tasawuf yang tidak meninggalkan dan melalaikan syariat Islam.
Menurut Dhofier, kaum pembaharu ini, “sangat keras dalam memberantas hal-
hal yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.” (Dhofier, 1985: 89)

2. Dalam bidang Sosial dan Budaya

Dalam bidang sosial budaya ditandai dengan berdirinya beberapa organisasi


massa keagamaan yang bertujuan untuk memajukan umat Islam seperti:

a. Al-Jam’iyat Al-Khoiriyah

Organisasi ini pertama didirikan di Jakarta pada tahun 1905 dengan prinsip
terbuka untuk setiap muslim dengan tidak melihat asal-usulnya. Pada
umumnya anggota organisasi ini, atau sering dikenal dengan nama Jami’at
Khair, adalah orang-orang Arab. Sebagian besar anggota dan pengurus
Jami’at Khair ini adalah orang-orang kaya sehingga memungkinkan mereka
untuk mengurus dan mengembangkan organisasi ini dengan tidak
mengganggu usaha mereka untuk mencari nafkah. “Perkumpulan al-Jami’at
Khairiyah (JK) di Jawa dapat dikatakan sebagai penggerakan Islam Baru
yang pertama kali di pulau yang padat penduduknya itu dari tempat itu pula
KH. A. Dahlan (1912), pemimpin pertama perkumpulan Muhammadiyah dan
orang-orang yang terpelajar lainnya mengenal bacaan-bacaan kaum reform
yang didatangkan dari luar negeri.” (Stoddard, 1966: 309). Fokus kegiatan
Jami’at Khair ini adalah dalam bidang pendidikan. Mereka melihat bahwa

212
pendidikan merupakan sarana yang strategis untuk memajukan umat Islam.
“Dua bidang kegiatan diperhatikan sangat oleh organisasi ini. Yang pertama,
pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar, yang kedua,
pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan pelajaran. Bidang
kedua ini segera terhambat oleh kekurangan biaya dan juga oleh karena
kemunduran khilafah. (Noer, 1995: 68)

Pada tahun 1905, Jami’at Khair, mendirikan sekolah dasarnya yang pertama.
Sekolah dasar ini selain mengajarkan pelajaran agama, juga mengajarkan
pelajaran lain seperti sejarah, berhitung, dan ilmu bumi dan bahasa
pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu (Bahasa Indonesia).
Bahasa Belanda tidak diajarkan di sekolah ini, sebagai gantinya diajarkan
Bahasa Inggris. Untuk meningkatkan kualitas pengajaran di sekolah dasar
ini, guru-gurunya didatangkan dari luar negeri. Bibit pembaharuan terlihat
dari materi yang diajarkan di sekolah ini. Hal ini terlihat dari penekanan
yang diberikan kepada pelajaran ilmu alat terutama bahasa Arab untuk
memahami sumber-sumber ajaran Islam, selain itu, dalam upaya untuk
mengembangkan jalan pikirannya murid-murid sekolah Jami’at Khair dilatih
untuk berpikir kritis dan bukan menghafal. Menurut Deliar Noer,
Pentingnya Jami’at Khair terletak pada kenyataan bahwa ialah yang
memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam
(dengan anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, dan rapat-rapat
berkala), dan yang mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang
banyak sedikitnya telah modern (kurikulum, kelas-kelas dan pemakaian
bangku-bangku, papan tulis, dan sebagainya. (Noer, 1995:71)

b. Al Irsyad

Al-Irsyad atau nama resminya adalah Jam’iyat al-Islam wa al-Irsyad al-


Arabia didirikan pada tahun 1913 dan mendapat pengakuan resmi dari
pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 11 Agustus 1915. Al-Irsyad
muncul digagas oleh golongan Arab yang bukan sayid (atau bukan
keturunan nabi Muhammad Saw). Syaikh Ahmad Soorkatti, seorang ulama
yang berasal dari Dunggula, Sudan, yang pada mulanya datang ke

213
Indonesia pada Oktober 1911 atas undangan untuk mengajar di sekolah
dasar yang dikelola oleh Jami’at Khair kemudian bergabung dengan al-
Irsyad dan menjadi tokoh penting al-Irsyad hingga akhir hayatnya.

Dalam melaksakanan kegiatan organisasinya, Al-Irsyad lebih memfokuskan


perhatiannya pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab atau
pun pada permasalahan yang timbul di kalangan masyarakat Arab.
Meskipun banyak didominasi oleh orang-orang keturunan Arab, ada juga
orang-orang Indonesia Islam bukan Arab yang menjadi anggota al-Irsyad.
Al-Irsyad, bekerjasama dengan Muhammadiyah dan Persatuan Islam
(Persis), meluaskan pusat perhatian mereka pada persoalan-persoalan yang
lebih luas, yang mencakup persoalan Islam umumnya di Indonesia dan juga
turut serta dalam berbagai kongres al-Islam pada tahun 1920-an dan
bergabung dalam pada Majelis Islam A’la Indonesia ketika federasi ini
didirikan pada tahun 1937.

c. Muhammadiyyah

KH. A. Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta pada tanggal 18


November 1912. “KH. A. Dahlan lahir pada tahun 1869 dari pasangan Kyai
Haji Abu Bakar bin Kyai Sulaiman khatib di mesjid Sultan di kota itu. Ibunya
adalah anak Haji Ibrahim, penghulu. Tahun … ia pergi ke Mekkah tahun
1890 dimana ia belajar selama setahun. Salah seorang gurunya adalah
Syaikh Ahmad Khatib. Tahun 1903 ia mengunjungi kembali Tanah Suci
dimana ia menetap selama dua tahun.”(Noer, 1995:85).

Pada tahun 1909 KH. A. Dahlan bergabung dengan perkumpulan Budi


Utomo dengan tujuan untuk memberikan pelajaran agama bagi para
anggota-anggotanya. Tampaknya metode dan cara KH. A. Dahlan dalam
memberikan pelajaran agama disukai oleh mereka sehingga atas saran
yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi
Utomo, KH. A. Dahlan untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan Islam
yang bersifat permanen. Hal ini didasari oleh pertimbangan banyaknya
lembaga pendidikan yang tidak berkelanjutan karena kyainya meninggal.

214
Organisasi Muhammadiyah ini didirikan pada tahun 1912 dengan tujuan
untuk “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad Saw. kepada
penduduk “Bumi Putera” dan “memajukan hal agama Islam kepada para
anggotanya”. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, Muhammadiyah
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan
tabligh di mana dibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf,
masjid dan menerbitkan buku dan majalah.

Sampai tahun 1917 kegiatan Muhammadiyah hanya berpusat di Jogjakarta.


Setelah tahun 1917 banyak permintaan dari daerah-daerah untuk membuka
cabang-cabang Muhammdiyah. Pada tahun 1927 Muhammadiyah
mendirikan cabang-cabang di Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai,
sedangkan 1929 pengaruhnya tersebar ke Aceh dan Makassar. Mubaligh-
mubaligh dikirim ke daerah-daerah tersebut dari Jawa atau Minangkabau
untuk menyebarkan cita-cita Muhammadiyah. Dengan perluasan sayap dan
kegiatan yang demikian luas, pimpinan pusat organisasi ini bertambah
banyak pula bagian-bagiannya. Pembagian kerja antar anggota–anggota
dan pimpinannya pun mulai diadakan dan tertata secara teratur. Seiring
dengan perkembangan organisasi maka muncul pula dari dalam
Muhammadiyah organisasi otonom seperti Penolong Kesengsaraan Umum
(PKU) yang mulanya merupakan organisasi yang berdiri sendiri dengan
nama yang sama, didirikan tahun 1918 oleh beberapa orang pimpinan
Muhammadiyah untuk meringankan korban yang jatuh disebabkan oleh
meletusnya Gunung Kelud. Organisasi wanita Muhammadiyah, bernama
‘Aisyiah, adalah juga pada mulanya sebuah organisasi yang berdiri sendiri di
Kauman 1918 dan sejak 1922 organisasi ini secara resmi menjadi bagian
dari Muhammadiyah. Dalam perkembangan berikutnya, Muhammadiyyah
mampu melakukan berbagai terobosan yang telah dilakukan untuk
mencerahkan kehidupan umat dan bangsa ke arah pemahaman Islam yang
lebih baik dan juga berhasil memposisikan diri sebagai organisasi
keagamaan dengan misi dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar. Untuk
mewujudkan hal tersebut, Muhammadiyah memiliki lima pilar, yaitu:

215
1) Muhammadiyah sebagai purifikasi aqidah Islam
2) Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid
3) Muhammadiyah sebagai gerakan mobilisasi amal saleh
4) Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan (al-Tarbiyah)
5) Muhammadiyah sebagai gerakan non-politik praktis. (Rais, 1995:28-49)

Meskipun selama berabad-abad berbagai kegiatan anti-Belanda sudah


mencirikan kehidupan rakyat Indonesia gerakan-gerakan sosial–keagamaan
yang terorganisasikan dengan baik baru benar-benar tumbuh pada dekade
pertama abad ke-20. Salah satu organisasi pembaharu dan sosial Islam
yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan mungkin juga
sampai saat ini adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah menurut Jame
L.Peacock Muhammadiyah telah, “membuktikan dirinya sebagai organisasi
pembaharu Islam yang paling kuat di Asia Tenggara.” (Peacock, 1983:8).
Sebagai sebuah organisasi pembaharu keagamaan, Muhammadiyah
berpandangan bahwa kunci kemajuan dan kemakmuran kaum muslim,
adalah perbaikan pendidikan.

d. Persatuan Islam (Persis)

“Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri
yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok
yang berasal dari Sumatera, tetapi mereka telah lama tinggal di Bandung.”
(Noer, 1995:95). Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada
tanggal 12 September 1923. Persis berawal dari kelompok tadarussan
(pengajian) di kota Bandung yang diasuh oleh H. Muhammad Zamzam dan
H. Muhammad Yunus. Kelompok pengajian ini pada awalnya hanya diikuti
oleh sekitar 20 orang. Mereka berusaha untuk melakukan gerakan tajdid
(pembaharuan) dan pemurnian ajaran Islam dari paham-paham yang sesat
dan menyesatkan. Kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, dan
berimarah, dalam menyebarkan syari’at Islam membawa mereka kepada
kesadaran akan perlunya suatu organisasi.

216
Sejak awal berdirinya, Persis lebih menitikberatkan perjuangannya pada
penyebaran paham Al-Quran dan As-Sunnah kepada masyarakat muslim
dan bukan untuk memperbesar atau memperluas jumlah anggota dalam
organisasi. “Persis pada umumnya kurang memberikan tekanan pada
organisasinya sendiri. Persis tidak terlalu berminat untuk membentuk
banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota. Pembentukan
cabang tergantung pada inisiatif peminat semata dan bukan didasarkan
kepada suatu rencana yang dilakukan oleh pimpinan pusat” (Muslim,
2000:18). Oleh karena itu, pada tahun pertama berdirinya, Persis hanya
memiliki 20 anggota yang setia mengikuti pengajian-pengajian yang
membahas masalah-masalah keagamaan.

Sebagaimana halnya dengan organisasi-organisasi yang lain Persis


memberikan perhatian yang besar pada kegiatan-kegiatan bidang
pendidikan, tabligh, dan publikasi. Persis mendirikan madrasah yang pada
awalnya hanya dirujukan untuk anak-anak anggota Persis besar dalam
perkembangan. Persis semakin berkembang pesat setelah bergabung dua
tokoh yang memiliki peran sangat besar yaitu, Ahmad Hassan pada tahun
1921 atau 1922 dan Muhammad Natsir pada tahun 1927.

Sebuah kegiatan lain yang penting dalam rangka kegiatan pendidikan


Persis ini adalah lembaga pendidikan Islam, sebuah proyek yang
dilancarkan oleh Natsir, dan yang terdiri dari beberapa buah sekolah:
Taman Kanak-kanak, HIS (keduanya tahun 1930), sekolah MULO (1931)
dan sebuah sekolah guru (1932). Inisiatif Natsir ini mulanya merupakan
jawaban terhadap tuntutan dari berbagai pihak … Tuntutan ini
dikemukakan setelah melihat berdirinya beberapa sekolah swasta di
Bandung pada waktu itu, dimana tidak diajarkan pelajaran agama. (Noer,
1995:101)
Sebagai sebuah organisasi, Persis juga mengalamai dinamika organisasi
dalam menyebarkan ide-ide dan gagasannya. Kondisi masyarakat yang
masih belum terdidik dan pemerintahan kolonial yang menindas
menyebabkan Persis mulai tertarik pada aktivitas politik karena politik dapat
digunakan sebagai sarana perjuangan untuk menegakkan ideologi Islam.
Gagasan itu semakin menguat pada muktamar Persis ke-7 di Bangil, Jawa

217
Timur dengan munculnya ide untuk mengubah format Persis dari organisasi
Massa menjadi organisasi politik yang bernama Jama’ah Muslimin. Tetapi
gagasan itu tidak berkembang karena sebagian besar peserta muktamar
menghendaki agar Persis tetap menjadi organisasi massa Islam yang
bergerak di bidang dakwah dan pendidikan.

e. Nahdhotul Ulama (NU)

Pada umumnya bila mendiskusikan tentang gerakan pembaharuan


pemikiran Islam di Indonesia, NU jarang di kelompokkan sebagai kelompok
atau organisasi pembaharu seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, atau Persis.
Hal ini biasanya didasarkan karena pertimbangan karena paham
keberagamaan NU dianggap sebagai tradisionalis dan jumud (stagnan).
Alih-alih sebagai gerakan pembaharuan, NU tampaknya lebih sering
menjadi sasaran kritik dan serangan dari kaum pembaharu. NU lahir pada
tanggal 31 Januari 1926 sebagai representasi dari ulama tradisionalis
dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Menurut K.H. Mustofa
Bisri, yang dimaksud dengan Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah:

1) Dalam bidang-bidang hukum Islam menganut salah satu ajaran dari


empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), yang dalam
praktiknya para kyai NU menganut madzhab Syafi’i.
2) Dalam soal tauhid (Ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan al-
Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidzi.
3) Dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim
al-Junaidi. (Bisri dalam Ida, 2004:7)
Terilhami dari gerakan dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo yang
berhasil menggabungkan lokalitas budaya dan universalitas nilai-nilai Islam
NU berusaha menyebarkan dakwah Islam dengan wajah yang toleran,
ramah, dan moderat sebagai bentuk dari Islam sebagai ajaran yang
rahmatan lil ‘alamin. Tampaknya pendekatan seperti inilah yang telah
berhasil menarik masyarakat Indonesia untuk memeluk ajaran Islam dan
meninggalkan ajaran Hindu dan Budha.

Salah satu alasan pendirian organisasi NU adalah adanya pergeseran


kekuasan di Mekah. Pada tahun 1924 raja Hijaz (Mekah) yaitu Syarif Husen

218
ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran secara teologis
mengikuti Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahabi) yang
menekankan wawasan Islam dengan berpegang kepada jargon kembali
kepada Al-Quran dan As-Sunnah sehingga tersebar berita bahwa penguasa
baru ini akan menghilangkan madzhab-madzhab yang ada. “Kalangan
pesantren sangat tidak menerima sikap penguasa Mekah pada waktu itu
yang anti kebebasan bermadzhab, anti ziarah ke makam ulama, anti
kegiatan membaca kitab barzanji, dan sebagainya” (Sodik,2004:41)

Sejarah perkembangan keorganisasi NU meliputi:

1) Pada masa pra kemerdekaan

NU tampil sebagai organisasi massa Islam terbesar yang bertujuan


untuk menyebarkan Islam menurut pemahaman Ahlus Sunnah wal
Jama’ah dengan mendirikan pesantren-pesantren dan madrasah serta
mendirikan badan-badan untuk memajukan pertanian, perniagaan, dan
perdagangan.

2) Pada Masa Orde Lama

NU mengubah dirinya menjadi partai politik. Hal ini dilakukan NU untuk


menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia yang begitu besar yang
telah menyebar sampai ke desa-desa.

3) Pada Masa Orde baru

Pada masa Orde baru NU kembali kepada posisinya sebagai organisasi


massa dan meninggalkan panggung politik. Fokus perhatian NU kembali
ke bidang dakwah dan pendidikan.

4) Pada Masa Reformasi

NU semakin menguatkan dirinya untuk tidak terlibat dalam politik praktis.


NU mengambil posisi murni sebagai organisasi sosial keagamaan dan
mengambil jarak yang sama dengan semua kelompok politik karena NU
adalah milik bangsa Indonesia.

219
E. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kontemporer

Pada masa Orde baru muncul kebijakan pemerintah yang mengharuskan semua
organisasi harus menjadikan Pancasila sebagai landasan dasarnya. Kebijakan
pemerintah pada awalnya memicu gejolak di kalangan organisasi-organisasi
keislaman, tetapi pada akhirnya hampir semua organisasi-organisasi tersebut
menyetujuinya dan menjadikan Pancasila sebagai asas dasar organisasi mereka.
Kondisi ini memunculkan Islam sebagai gerakan kultural dan tidak lagi
memunculkan Islam sebagai gerakan politis yang bertujuan mendirikan negara
Islam di Indonesia. Gerakan ini dipelopori oleh Nurcholis Madjid yang pada tahun
1977 mengemukakan ide pembaharuan melalui tulisannya yang berjudul
“Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah integrasi umat.” Gagasan
pembaharuan yang diusung oleh Nurcholish Madjid didasarkan pada konsep
tauhid dan gagasan bahwa manusia adalah khalifah Allah di muka bumi.

Dari dua prinsip dasar Islam tersebut dapat dirumuskan premis-premis


teologisnya yang mengaskan bahwa hanya Allah yang memiliki transendensi
dan kebenaran mutlak. Sebagai konsekuensi dari penerimaan terhadap
prinsip monoteistik, maka sudah seharusnya kaum muslim memandang dunia
dan masalahnya yang temporal (sosial, budaya, dan politik) seperti apa
adanya. Memandang dunia dan semua yang ada di dalamnya dengan cara
yang sakral dan transendental secara teologis dapat dianggap bertentangan
dengan inti paham monoteisme islam. (Madjid, 1999:267)
Oleh karena itu Nurcholis menyerukan jargon “Islam Yes Partai Islam No” dan
prinsip sekularisasi. Konsep sekularisasi yang ditawarkan Nurchlish Madjid menuai
banyak kontroversi sehingga banyak yang menuduh Nurcholish Madjid sebagai
tokoh sekuler yang menawarkan paham sekularisme. Menurut Nurcholish Madjid
sekularisme berbeda dengan sekularisasi. Sekularisme adalah paham yang
meyakini bahwa di dunia ini tidak ada yang sakral sehingga Tuhan pun menurut
paham ini dianggap tidak lagi sakral, sedangkan sekularisasi yang ditawarkan oleh
Nurcholish Madjid berarti bahwa yang sakral hanyalah Allah, selain Allah tidak ada
yang bersifat sakral.

Senada dengan pemikiran Nurcholish Madjid, Abdurrahman wahid yang lebih


dikenal dengan nama Gus Dur menawarkan gagasan pemikiran baru dalam

220
khazanah pemikiran islam di Indonesia. Gus menawarkan dua konsep Pribumisasi
Islam dan Humanitarianisme Universal. Menurut Gus Dur agama dan kebudayaan
adalah dua wilayah otonom yang masing-masing memiliki titik temu sehingga
keduanya tidak harus dipertentangkan tetapi harus disinergikan.

Agama islam bersumberkan wahyu dan memiliki normanya sendiri. Karena bersifat
normatif, maka ia cenderung permanen, sedangkan budaya adalah buatan
manusia, karena ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan
cenderung untuk selalu berubah. Perbedaaan ini tidak menghalangi kemungkinan
manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Disinilah adanya
akomodasi dan rekonsiliasi. Proses itu harus dilakukan secara alami, bukan
terpaksa dan itulah terjadinya pribumisasi. (Hamidah, 2011:87)

Hal-hal yang dapat dilakukan pribumisasi adalah aspek-aspek kebudayaan saja


dan tidak boleh menyentuh wilayah ajaran yang menyangkut inti keimanan dan
keibadatan formal. Al-Quran harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam
bacaan shalat, sedangkan terjemahan Al-Quran boleh dalam bahasa Jawa karena
hal itu hanya untuk mempermudah pemahaman masyarakat lokal terhadap ajaran
Islam. Munculnya gagasan tentang Humanitarianisme Universal didasari oleh
keprihatinan Gus Dur yang melihat umat Islam yang cenderung mereduksi nilai-
nilai universalitas Islam menjadi sekedar ritualitas formalistik, Padahal pada
kenyataannya kehidupan manusia penuh dengan kontemplasi dan permenungan
spiritual antara sisi ketuhanan dan sisi kemanusiaan. Dilema atas permasalahan ini
idealnya harus membawa manusia pada kesadaran akan perlunya toleransi
terhadap sesama umat beragama. Gus Dur menawarkan pemahaman Islam yang
lebih substantif dengan wajah Islam yang kritis dan humanis yang peka terhadap
masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat dalam kehidupannya
sehari-hari sehingga umat Islam tidak terjebak ke dalam aktivitas-aktivitas formal
yang bersifat ritualistik.

Gus Dur menjelaskan bahwa prinsip ajaran Islam demikian luas, khususnya yang
berkaitan dengan masalah kemanusiaan, keadilan, dan penegakan kebenaran.
Dalam hal ini, ajaran Islam berlaku lintas kelompok, etnis, bahkan lintas iman.

221
Hanya masalah keimanan dan ketuhanan Islam memberikan penekanan spesifik
kelompok Muslim. Oleh karena itu, berjuang menegakkan kebenaran, keadilan,
dan kemanusiaan, Islam tidak memandang kelompok dan golongan, tetapi melihat
esensi masalahnya. Pemikiran ini melandasi Gus Dur dalam bersikap dan berbuat
baik kepada non muslim dan melindungi kelompok minoritas. (Hamidah, 2011: 90)

Peristiwa pemboman gedung World Trade Centre pada tahun 2001 di New York
Amerika telah mengubah perspektif masyarakat Barat, khususnya masyarakat
Amerika, terhadap Islam. Islam menurut kacamata Barat telah dianggap sebagai
agama yang mengandung radikalisme. Para cendekiawan muda Islam bangkit
menjelaskan fenomena munculnya gerakan radikalisme di kalangan umat Islam
dengan menyebutkan bahwa fenomena itu adalah pemahaman dan penafsiran
kelompok tertentu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad Saw, yang mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang
rahmatan lil alamin.

Gerakan pemikiran yang diusung oleh sejumlah aktivis pemikiran Islam di


Indonesia belakangan ini, seperti Islam progresif, JIL (Jaringan Islam Liberal),
the Wahid Institute, JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyyah) dan
saudara-saudaranya, berawal dari respon terhadap adanya gerakan-gerakan
yang membela Islam dengan mentalitas di atas … (mentalitas sempit yang
hanya senang berdiskusi dan bergaul dengan komunitas terbatas yang hanya
memiliki gagasan tunggal) ... Dorongan untuk melakukan gerakan ini juga
diperkuat oleh faktor eksternal, ketika terjadi kritik terhadap Islam pasca
terjadi pengemboman World Trade Center 2001 di Amerika. (Asyari,
2011:303)
Wallahua’lam

222
Pertanyaan:

1. Tokoh gerakan pembaharuan di Indonesia sebelum abad 20 adalah H. Ahmad


Rifangi dan Syekh Nawawi Banten. Kemukan gagasan pemikiran tokoh-tokoh
tersebut!
2. Sebutkan beberapa aspek pembaharuan Islam di Indonesia!
3. Jelaskan gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammadiyah, Persis, dan
NU!
4. Jelaskan gagasan pembaharuan yang di usung oleh Nurcholish Madjid!
5. Jelaskan gagasan pembaharuan yang di usung oleh KH. Abdurrahman Wahid!

223
224
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahnya. 1994. Departemen Agama Republik Indonesia, Lubuk


Agung, Bandung.
A. Hanafi. 1982. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang.

A. Hasan Ridwan & Irfan Safrudin. 2011. Dasar-dasar Epistemologi Islam, Bandung :
Pustaka Setia.

Abdul Karim Amrullah. 1985. Pengantar Ushul Fiqh. Jakarta: Panjimas.


Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. 2012. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka,
Abdullah Rafi’ dkk. 2011. Ushul Fiqih (Diktat Tholabah Kulliyatul Mu’allimien al-
Islamiyyah). Ponorogo: Darussalam Press.
Aceng Zakaria dan Irfan N. H., Studi Pemikiran Aliran-Aliran Sesat dan Menyesatkan,
Garut: IBN Azka Press.
Aboe Bakar Aceh. 1989. Sejarah Filsafat Islam, Solo : Ramadhani.

Ahwani, Ahmad Fuad. 1991. Filsafat Islam, Terj. Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta :
Pustaka Firdaus.

Ahmad Daudy. 1984. Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta : Bulan
Bintang.

Al-Ghurabi. t.t. Tarikh al- firaq Al-islamiyyah wa Nasy’h ‘ilm kalam ‘Inda almuslimin,
Maktabah Muhammad ‘Ali shabih wa Auladah.
Al-Maududi, Abul A’la. 1996. Khilafah dan Kerajaan, terj. Muhammad Al-Baqir,
Bandung: Mizan.
Ali, Maulana Muhammad, The Religion Of Islam, Cairo: The Arab Writer Publisher &
Printers.

Amin Rais, , 1995, Moralitas Politik Muhammdiyah, Yogyakarta: Yogyakarta Offset.


------------. 1993. “Kata Pengantar”, dalam Jhon J Donohue dan Jhon L. Esposito
(eds), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, terj.
Machnun Husein. Jakarta: Rajawali Press.
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair. 1994.Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius.

Asmuni Yusran. 1994. Pertumbuhan Dan Perkembangan Berpikir Dalam Islam,


Surabaya: Al-ikhlas,

225
------------. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia
Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Asy-Syinawi, Abdul Aziz. 2016. Biografi Empat Imam Mazhab. Alih Bahasa: Abdul
Majid et al. Jakarta: Ummul Qura, Cet. III
Arkoun, Mohammed. 1994.Nalar Islami dan Nalar Modern : Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: INIS,

Azyumardi Azra. 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah, Wacana, dan
Kekuasaan, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Badri Yatim, 1993, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta:
RajaGrafindo Perkasa.
Bahi, Muhammad. t.t. Al-Janib al-Ilahi min al-Tafkir al-Islami.

Biek, Syaikh Muhammad al-Khudlari. 2007. Ushul Fiqih. Penerjemah. Fais el


Muttaqien. Jakarta: Pustaka Amani, Cet.I
Deliar Noer. 1995. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cetakan ke-7
Pebruari, Jakarta: LP3ES
Didin Hafiduddin, 1987, ‘Tinjauan atas Tafsir al Manar Karya Imam Nawawi Tanara’,
dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia, editor A Rifa’i Hasan, Bandung:
Mizan.
Druart, Therese-Anne. 1988. Arabic Philosophy and The West Continuity and
Interaction, Washington : Georgetown University.

Endang Saefuddin Anshari. 1986. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan Ummatnya,
Bandung: Rajawali Pers.
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, 1985, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan.
Fakhry, Madjid. 1987. Sejarah Filsafat Islam, terj. R. Mulyadhy Kartanegara, Jakarta:
Pustaka Jaya.

Farabi.t.t. Al-Madinatul Al-Fadhilah, Beirut: Dar Al-Fikr.

Gavahi, Abdorahim. 1988. Islamic Revolution of Iran, Sweden:upsala University Press


Ghaffari, Salman. 1967. Shia’ism, Teheran: Haidari Press,
Gibb, H.A.R & Bowen Harold. 1951. Islamic Society and the West a Study of the
Impact of Western Civilization on Moslem Culture in the Near East, London :
Oxford University Press.

H.M Rasyidi, Apa itu Syi’ah, Jakarta: Pelita.


Hamid Dabashi. 1995. “Shi’i Islam, Modern Shi’i Thuoght”, dalam John L. Esposito,
(Ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic world, Jilid IV, Oxford
University Press.

226
Harun Nasution. 1975. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang.
-----------. 1978. Filsafat dan Misticisme Dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang

-----------. 1985. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid I, Jakarta: UI Press.
-----------. 1986.Teologi Islam, Jakarta: UI Press.
-----------. 1998. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan.
Heinz Halm, shi’ism, 1991. Edinburg: Edinburg University Press.
Hoodbhoy, Pervez. 1996. Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas Antara Sains dan Ortodoksi
Islam, terj. Sari Meutia, Bandung: Mizan.

Haris Muslim, 2000, ‘Persis dari Masa ke Masa: Sebuah Refleksi Sejarah’, dalam
Siapkah Persis Menjadi Mujadid Lagi, editor, Yusup Burhanuddin, Bandung:
Alqoprint.
Ibrahim Madkour. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi aksara.
Ignaz Gotziher. 1991. Pengantar Teologi dan Hukum Islam, Ter. Heri setiawan,
Jakarta: INIS,
Iqbal, Muhammad. Metafisika Persia Suatu Sumbangan Untuk Sejarah Filsafat Islam,
terj. Joebaar Ayoeb, Bandung : Mizan, 1990.

Jabiri, Muhammad Abid, Al-Aqal al-Siayah al-'Aroby.

-----------, Takwin al-Aqal al-Aroby, Beirut : Markaz Dirasat al-Wahdah al-'Arabiyah

Jaih Mubarok. 2005. Sejarah Peradaban Islam,Bandung: Pustaka Bani Quraisy.


Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis. Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perennial, Jakarta : Yayasan Paramadina, 1995.

-----------. 1963. History of Muslim Philosophy I, Weisbanden : Otto Harrassowitz,

Kementerian Agama RI. 2013. Maqasid Asy-Syari’ah Memahami Tujuan Utama


Syari’ah (tafsir al-Qur’ain Tematik). Jakarta: Lajnah Pentashhihan Mushhaf
al-Qur’an.
Kholaf, Wahhab. 1974. Khulashoh Tarikh Tasyri’ Islam. (Terjemah). Semarang:
Ramadhani
Leaman, Oliver. 1985. An Introduction to Midieval Islamic Philosophy Cambridge :
Cambridge Yniversity Press

Leksikon. 1988.Tim Penyusun Pustaka Azet, Jakarta: PT Penerbit Pustazet Perkasa


Laode Ida. 2004. NU Muda, Jakarta: Erlangga.

227
Louis Ma’luf. 1935. Al-Munjid fi Al-Lughaha wa Al-A’lam, Beirut: Al-Matba’ah Al-
katsulikiah Lil Abi Al-Yasulin.
M. Amin Abdullah. 1996. Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta
Pustaka Pelajar.

-----------. 1995. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta : Pustaka


Pelajar.

M. Maftuhin ar-Raudli. 2015. Kaidah Fiqih: Menjawab Problematika Sepanjang Jaman.


Yogyakarta: Gava Media, Cet. I
M. Rahmat Effendi, Pemikiran Islam: Bahan Ajar Pendidikan Islam, Banandung,
Universitas Islam Bandung, 2016
Mahdi, Muhsin. 1962. Al-farabi's Philosophy of Plato and Aristotle, USA : The Free
Press of Glencoe,

May, Lini S. Iqbal His Life and Times, Lahore SH. : Muhammad Ashtaf, Kashmiri,
1974.
Morewedge, Parviz. 1981. Islamic Philosophy and Mysticism, New York : caravan
Books,
Muhammas Syahrastani. t.t. Al-milal wa An-nihal , Beirut: Dar al-Fikr.
Mujar Ibnu Syarif & Khamami Zada. 2008. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Islam,
Musya Asy'ary dkk. 1992. Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis,
Historis Prospektif, Yogyakarta : LESFI.
Muhammad Daud Ali. 2007. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Muhammad Sodik. 2004. Dinamika Kepemimpinan NU, Surabaya: Lajnah Ta’lif wa
Nasyr.
Musyrifah Sunanto. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Perkasa.
Mujar Ibnu Syarif & Khamami Zada. 2008. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Islam,
Jakarta: Erlangga.
Nurcholis Madjid. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina.

-----------, 1994. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

-----------, 1999, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung:Mizan.


Naser, Abdulkarim. 1994. Perpecahan Umat Islam, alih bahasa A. Adzkia Hanifa, cet.
Ke-1, Solo: CV. Pustaka Mantiq,

228
Nasr, Seyyed Hossein. 1996. “Evolusi : Sebuah Kemustahilan Metafisika”, dalam
Osman Bakar (ed,).Evolusi Ruhani Kritik Perenialis atas Teori Darwin ,terj.
Eva Y. Nukman, Bandung : Mizan,
Nugroho,Notosusanto, dkk, 1975, Sejarah nasional Indonesia jilid IV, Jakarta: Balai
Pustaka.
Porwantara dkk. 1988. Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : Rosda.
Peacock, James L. 1983. Pembaharu dan Pembaharuan dalam Agama, Jogjakarta:
Handita.
Qadir, C.A. 1991. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari,
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,
Rahman, Fazlur, The Philosophy of Mulla Sadra.
Rahman, Fazlur. 1993. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam. Bandung:
Penerbit Mizan.
Razi, Abu Bakar. Ar- Al-Thibb Al-Ruham.
Sami Nasib Makareem. 1972. The Doctrine of Ismailis, Beirut: the Arab Institute
for reseach and publishing,
Sarwar, H.G. 1994. Filsafat al-Qur’an, terj. Z. Muhtadin Mursyid, Jakarta : Rajawali,
Schmitt, Charles B. 1996. Ferenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, terj. Ahmad
Norma Permana, Yogyakarta : Tiara Wacana,
Scholars, Eminent. 1991. Iqbal as A Thinker, Lahore : SH. Muhammad Ashraf,
Stoddard, L. 1966, Dunia Baru Islam terj. Panitia Penerbit, Jakarta.
Syarif MM. 1963. History of Muslim Philosophy II, Weisbanden : Otto Harrassowitz,
(terjemahannya : Para Filosof Muslim , Bandung : Mizan)
Syalabi, Ahmad. 1992. Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid II , Terj Mukhtar Yahya,
Jakarta: Pustaka al-Husna,
Sartono Kartodirjo, 1984, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pustaka Jaya.
Shahih bukhori, jilid II,
Shahih muslim, jilid V.
Thabathaba’i, M.H. 1989. Islam Syi’ah , asal-usul dan perkembanganya, Terj. Djohan
Effendi, Grafiti Press, Jakarta,
Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 1957. Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah, Qairo :
Maktabah al-Qohirah al-Haditsah.
Tarikh ath-Thabari, jilid II,

229
Tengku M.H. Ash-Shiddieqy. 1997. Pengantar Hukum Islam.. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra.
Tim Karya Ilmiah Purnasisma. 2006. Sejarah Tasyri’ Islam (Periodesasi Legislasi Islam
dalam Bingkai Sejarah). Lirboyo: FPII
W. Montgomery watt, 1968. Islamic political Thought, Edinburg: Edinburg University
Press.
-----------. 1998. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Terj Umar Basalim, Jakarta:
P3M,
Walzer Richard, 1985. Al-Farabi on The Perfect State, Oxford : Clarendon Press.
Yazdi, Mehdi Hairi. 1992. The Principles of Epistemology In Islamic Philosophy, New
York : State University of New York Press.
Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta : Bui
Aksara,

Zahrah, Muhammad Abu. 1996.Aliran politik dan Aqidah dalam islam, terj Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos,
Zamachsyari Dhofier. 1985, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES.

Sumber lain:

Ahmad Jainuri. 1995. Landasan Teologis Gerakan Pembaharuan Islam, dalam Jurnal
‘Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. VI. Tahun 1995.
Asyari, Suaidi, 2011, ‘Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia’, jurnal
MIQOT vol. XXXV, No.2, Juli-Desember 2011, IAIN Sulthan Thaha,
Saifuddin, Jambi.
Bruinessen, Martin van, 1990, ‘Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci:Orang
Nusantara Naik Haji’, Ulumul Quran No. 5 tahun 1990.
Djamil, Abdul, 1999, ‘KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak: Studi tentang Pemikiran dan
Gerakan Islam Abad Sembilanbelas (1786-1876)’, Disertasi pada IAIN
Sunan Kalijaga Jogjakarta.
Hamidah, 2011, ‘Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid-KH Abdurrahman
wahid: memahami Perkembangan Intelektual Islam’, jurnal MIQOT vol.
XXXV, No.1, JAnuari-Juni 2011, IAIN Sulthan Thaha, Saifuddin, Jambi.
Kuntowijoyo, 1990, ‘Serat Cebolek dan Mitos tentang Pembangkangan Islam’, Ulumul
Quran No. 5 tahun 1990.
Padmo, Soegijanto, 2007, ‘Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia dari
Waktu ke Waktu: Sebuah Pengantar’, Humaniora, Vol. 19, No. 2 Juni 2007.

230
Sumber online:

http://mylizi.blogspot.co.id/2015/06/pemikiran-politik-khawarij-syiah.html

http://duniakampus45.blogspot.co.id/2015/02/mutazilah-dan-syiah.html

(Irhamdi Nasda, Ilmu Kalam, aliran-aliran, diakses dari Error! Hyperlink reference
not valid., pada tanggal 30 maret 2016, pukul 19.45)

(Vini Zikra, Syi’ah dan Sekte-Sektenya, vinizikra, diakses dari Error! Hyperlink
reference not valid., pada tanggal 30 maret, pukul 21.30)

231

Anda mungkin juga menyukai