184-Article Text-266-1-10-20191105
184-Article Text-266-1-10-20191105
184-Article Text-266-1-10-20191105
Abstrak
Tulisan ini akan menjelaskan tentang simpul pemikiran Cak Nur yaitu
monoteisme radikal dan kemordernan. Variannya antara lain gagasan tentang
sekularisasi serta inklusivisme dan universalisme Islam. Sekularisasi versi Cak
Nur adalah menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengakhiratkannya.
Cak Nur menawarkan sebuah pandangan yaitu memelihara nilai lama
yang baik, menggali nilai baru yang lebih baik. Akan tetapi dia mengatakan
bahwa kita harus waspada. Kita tidak bisa mengharapkan seseorang yang tidak
mengimani agama kita mampu menampilkan Islam tanpa bias. Jangankan
yang tidak beriman, orang yang beriman saja masih bisa salah, buktinya Abduh
mengkritik berbagai kitab tafsir lama.
Sejak tahun 70-an sampai sekarang, Cak Nur sudah melakukan usaha-usaha
yang menggoncangkan tradisi yang otoritarian, dengan cara mengemukakan
pikiran-pikiran yang oleh orang lain dipandang aneh, nyleneh, edan dan
sebagainya. Seperti isu sekularisasi, yang berusaha mendevaluasi kesakralan
yang lain selain Allah, penerjemahan Allah dengan Tuhan yang berusaha
mempribumikan konsep Allah dalam konteks keindonesiaan, dan sekarang
pengertian Islam yang dia aplikasikan secara lebih luas sehingga meliputi
“Abrahamic millat” yang hanif itu. Usaha-usaha reinterpretasi terhadap hal-hal
yang sudah baku tersebut harus dipandang sebagai pembatasan tradisi yang
diharapkan dapat meratakan jalan bagi usaha pembeharuannya.
19
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019
A. Pendahuluan
Perspektif gerakan modernis Islam menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur)
sebelum tahun 70-an adalah mewakili pandangan neo-revivalis, atau biasa juga
disebut dengan neo-fundamentalisme, dengan tokoh-tokohnya seperti Abul
‘Ala Maulana Maududi, Khursyid Ahmad (Pakistan), dan di Indonesia M. Natsir.
Tetapi, setelah masuk tahun 70-an, pemikiran Cak Nur berubah atau ia melihat
Islam dan umatnya dari perspektif lain. Tidak berarti pandangan-pandangan
terdahulunya terhapus, melainkan pandangan-pandangan itu tetap dianggap
sebagai sebuah pemikiran yang dinamis bagi umat dan generasi muda Islam.
Di tahun 70-an, Cak Nur menganut pemikiran neo-modernis. Pemikir Islam
terkemuka yang mewakili kelompok neo-modernis adalah Fazlur Rahman
(almarhum), ketika sebelum berangkat ke Chicago, Cak Nur mengenal Rahman
hanya melalui buku-bukunya, setelah ia mengikuti program doctoral di sana,
ia berhadapan langsung dengan Rahman sebagai profesornya. Peran Rahman,
sudah barang tentu ikut mempengaruhi pandangan-pandangan Cak Nur1.
Simpul pemikiran Cak Nur adalah monoteisme radikal dan kemordernan.
Variannya antara lain gagasan tentang sekularisasi serta inklusivisme dan
universalisme Islam. Sekularisasi versi Cak Nur adalah menduniawikan nilai-
nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari
kecenderungan mengakhiratkannya. Gagasan inklusivisme dan universalisme
Islam dalam pendapatnya Cak Nur bahwa, Islam tidak identik dengan
ideologi. Sedangkan gagasan kemordernan terartikulasikan dengan jargon
“moderninasi adalah rasionalisasi, bukan westernisasi”2. Dalam makalah ini
akan dibahas mengenai biografi Nurcholish Madjid (Cak Nur), pemikiran
beliau tentang modernisme, analisis pemakalah dan hal lain yang kemudian
menjadi sub pembahasan. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsi
terhadap dinamisasi pemikiran Islam.
1
Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi, & Musdah Mulia Tetap Berjilbab
“Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islam di Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara,
2005), hlm viii-ix.
2
Sukandi, Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm ix.
20
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...
hubungan yang baik dan akrab dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri dan
pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ketika Masyumi (Majelis
Syuro Muslimin Indonesia) dibentuk dan jabatan ketua umumnya dipercayakan
kepada KH. Hasyim Asy’ari, Abdul Madjid menyertai Masyumi. Bersama
keluarganya, Cak Nur menjalani dan menikmati masa kanak-kanaknya di
Jombang. Masa muda Cak Nur banyak dihabiskan di tempat dia menuntut
ilmu. Dia menikahi Omi Komariah dan dikaruniai dua orang anak: Nadila dan
Ahmad Mikail. Tinggal di Jakarta, keluarga ini hidup berbahagia, rukun dan
harmonis menjalani kehidupan rumah tangganya3.
Dalam atmosfir pendidikan dan lingkungan intelektual yang kondusif,
Cak Nur bersama teman sebayanya Gus Dur tumbuh dan berkembang dan
kemudian muncul ke pentas nasional sebagai sosok intelektual yang berbobot
dan bervisi akademis yang luas. Bibit, bebet, dan bobot intelektualitas Cak Nur
tumbuh dan berkembang dengan baik dalam suasana yang saling mendukung
yaitu kehidupan sosial yang agamis dan lingkungan pendidikan yang kondusif.
Cak Nur menyelesaikan pendidikannya di Pondok Darul Ulum (Rejoso, Jombang,
1955) dan Darussalam Pondok Modern Gontor (Ponorogo, 1960). Di pondok
inilah, dia mulai membangun fondasi dan basis intelektualnya sehingga dia
menguasai bahasa Arab dan Inggris. Kemudian Cak Nur melanjutkan studinya
ke Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (dahulu bernama IAIN Syarif
Hidayatullah), tamat tahun 1965 (B.A) dan 1968 (doktorandus). Program
doktornya dia selesaikan pada tahun 1984 di Universitas Chicago, Amerika
Serikat. Dia menulis disertasi berjudul: Ibn Taimiyyah on Kalam and Falsafah:
Problem of Reason and Revelation in Islam di bawah bimbingan Prof. Fazlur
Rahman, guru besar Pemikiran Islam di universitas Chicago. Cak Nur, sebagai
mahasiswa, tidak hanya serius menekuni studinya di fakultas, akan tetapi ia
terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan dan diskusi di luar kampus
dan berkecimpung pula dalam berbagai kancah aktivitas ekstra kurikuler4.
Cak Nur pernah menjadi ketua umum PB HMI (Pengurus Besar Himpunan
Mahasiswa Islam) selama dua periode (1967-1969 dan 1969-1971). Antara
tahun 1967-1969, dia menjabat sebagai Presiden Persatuan Mahasiswa Islam
se-Asia Tenggara (Permiat). Salah satu wakilnya adalah Anwar Ibrahim (yang
kemudian pernah menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia). Cak
3
Faisal Ismail, Sekularisasi: Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid,
(Yogyakarta: Pesantren Newsea Press, 2008), hlm 9-10.
4
Ibid, hlm 11-12.
21
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019
Nur pernah bekerja sebagai peneliti di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial
(Leknas LIPI, 1978-1984), peneliti senior LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, 1984-2005), menjadi anggota MPR selama dua periode (10 tahun) di
masa pemerintahan Orde Baru (1987-1992 dan 1992-1997). Dia juga tercatat
pula sebagai pakar dan anggota Dewan Riset Nasional dan dikenal sebagai
penggagas pendirian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Karena
jasa-jasanya kepada negara dan bangsa, dia pada tahun 1998 dianugerahi
Bintang Mahaputra oleh pemerintah RI. Cak Nur juga aktif sebagai anggota
Komnas HAM (1993-2005). Dia adalah penyeru ulung kerukunan antar umat
beragama, baik dalam ide maupun dalam praktik. Pluralisme, inklusivisme,
harmoni dan toleransi antar umat beragama sudah menjadi bentangan benang
merah visi humanitasnya dan menjadi bagian penting yang mencuat dalam
tema-tema besar pemikiran Cak Nur, disamping tema neo-modernisme Islam5.
Cak Nur adalah sosok intelektual yang dikenal luas, terutama di kalangan
sarjana dan ilmuan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pada tahun
1991, Cak Nur menjadi dosen tamu di Institute of Islamic Studies, Universitas
McGill, Montreal, Kanada. Pengalaman akademis ini semakin mengukuhkan
dirinya sebagai akademikus yang bertaraf internasional. Sebagai profesor
tamu di Universitas McGill, dia menempatkan diri sejajar dengan profesor yang
telah mempunyai nama dan reputasi internasional. Di McGill dia memberikan
kuliah tentang pemikiran Ibnu Taimiyyah dan langsung mengacu kepada buku-
buku karya Ibnu Taimiyyah dalam bahasa Arab klasik yang pelik. Sepanjang
karir intelektualnya yang panjang, tak kurang dari 24 seminar/konferensi
internasional yang telah Cak Nur hadiri, baik sebagai peserta maupun sebagai
penyaji makalah dalam bahasa Inggris, mencakup kawasan Amerika Serikat,
Eropa, Asia dan Afrika. Cak Nur kemudian dikukuhkan sebagai guru besar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tahun 1998, dan pada tahun 1999 dia
dikukuhkan sebagai ahli peneliti utama (APU) LIPI. Dengan demikian, predikat
akademisi dan peneliti melekat pada sosok dirinya6.
Keterlibatan dan dedikasi Cak Nur yang besar terhadap pengembangan
dunia keilmuan, kependidikan dan pembaharuan pemikiran dalam Islam telah
dia tunjukkan secara konkret dengan mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina
pada tahun 1986. Dengan mendirikan yayasan tersebut, Cak Nur sudah pasti
5
Ibid, hlm 12-13.
6
Ibid, hlm 13-14.
22
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...
memiliki tujuan dan misi, baik jangka pendek maupun jangka panjang, dalam
upayanya dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas kehidupan
intelektual Muslim dan untuk lebih mempercepat pembumian gagasan-gagasan
pembaharuannya yang lebih strategis dan komprehensif. Tujuan utama Cak
Nur adalah untuk menghadirkan sosok Islam sebagai bingkai bangunan
spiritualitas ideal universal dalam rangka mempertemukan pilar-pilar
dimensi transendental agama-agama di tengah-tengah kehidupan masyarakat
plural. Bagi Cak Nur, Paramadina merupakan media untuk membangun suatu
tatanan “masyarakat madani” yang mengacu ke masyarakat Madinah yang
dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Di Paramadina, orang-orang (Islam)
kelas menengah kota berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan dan
kekinian. Cak Nur ingin menghadirkan Islam yang bersifat spiritual dan
menghadirkannya sebagai spiritualitas universal untuk mempertemukan
dimensi transendental agama-agama di tengah masyarakat plural7.
Karya-karya ilmiah Cak Nur, yang menggambarkan perjalanan gerak
kebangkitan dan riak perkembangan intelektualnya, yang selama ini
dipublikasikan terpisah-pisah dalam berbagai media cetak dan buku-buku,
telah dihimpun secara lengkap dan utuh dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid
Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban. Dimata pengamat perkembangan
pemikiran Islam, Cak Nur ditempatkan di barisan terdepan sebagai pemikir
“neo-modernisme Islam” . Penguasaan Cak Nur yang luas, baik tentang
pemikiran Islam klasik maupun tentang pemikiran Islam modern. Dia juga
sebagai peletak dasar neo-sufisme yang menekankan pentingnya aktualisasi
etika Islam bagi manusia Muslim dalam menggumuli kompleksitas tantangan
modernitas. Dalam kerangka pemikiran Cak Nur, neo-modernisme adalah
perkembangan modernisme Islam yang memadukan kesarjanaan Islam klasik
dengan metode-metode analisis modern (Barat). Cak Nur ingin menggali
welstanchauung Alqur’an dan mengambil dari kitab suci ini sari pati dan
prinsip-prinsip etikanya, kemudian dia berupaya melakukan interpretasi
untuk dipakai sebagai landasan masyarakat madani. Tujuannya adalah
mendorong agar umat Islam tidak canggung terhadap dunia modern. Di mata
Cak Nur, salah satu masalah besar umat Islam adalah mereka merasa minder
dan gamang terhadap modernitas dan takut menerima kemajuan Barat8.
7
Ibid, hlm 14-15.
8
Ibid, hlm 17-18.
23
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019
24
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...
dunia (world view) yang member referensi kepada arah transformasi social
sebagaimana dicita-citakan Al-Qur’an dan apa yang dicontohkan Nabi.
Komitmen golongan santri terhadap Islam itu muncul setelah melewati proses
penyadaran intelektual dan kultural yang sangat panjang, baik lewat jalur
pendidikan formal, non formal, otodidak, maupun akibat pengaruh kekuatan-
kekuatan eksternal: kolonialisme dan gerakan-gerakan Islam di negara-negara
lain, misalnya. Dengan modal itu, mereka berusaha kembali menelaah doktrin-
doktrin Islam dan sejarah sosial umat secara kritis, dan berusaha merefleksikan
dengan problem dengan dalam latar belakang historis (historical setting) dan
latar kontemporer (contemporary setting) gerakan pembaharuan Islam di
Indonesia11.
Di sisi lain, golongan santri semakin menguat ketika Islam mengalami
proses “ideologisasi”, yaitu perumusan kembali arti Islam dalam menghadapi
situasi sosial politik tertentu, pada zaman tertentu pula. Pada masa Orde
Lama, bahkan sebelumnya, proses melahirkan Islam sebagai kekuatan sosial
politik yang hampir identik dengan ormas atau partai politik tertentu. Definisi
tentang umat Islam saat itu selalu dikonotasikan dengan gerakan Islam, baik
yang berbentuk ormas maupun partai, sebuah pemaknaan yang cenderung
menyempit. Akibatnya, semua analisis tentang gerakan modern Islam di
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sepak terjang golongan santri dalam
keterlibatannya dengan ormas atau partai politik tertentu yang secara formal
berlabelkan Islam. Derasnya intelektualisme baru yang dipelopori golongan
santri tadi mengakibatkan pola kepemimpinan mereka bergeser secara
mendasar: dari corak kepemimpinan ideologi ke kepemimpinan intelektual.
Mereka mengubah wacana-wacana keagamaan yang lebih dekat dengan
persoalan sosial, budaya dan ekonomi. Selain itu tumbuh pula kecenderungan
sikap inklusif dan realistis, yang akhirnya membawa dampak pada munculnya
semangat intelektual yang dinamis. Hubungan-hubungan baru yang menggejala
dan berkembang, baik antar sesama mereka maupun dengan penguasa adalah
sistem budaya yang lebih bersifat rasional dan profan12.
Dengan cara yang demikian, mereka telah sampai pada perspektif Islam
yang konkret. Artinya, alur pemikiran yang berkembang telah menyentuh
pelbagai dimensi kehidupan dengan menggunakan pendekatan empiris.
Persoalan sosial politik yang sedang dihadapi bangsa tentu saja menjadi
11
M. Deden Ridwan, Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam dalam Wacana
Tempo dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2002), hlm 2-3.
12
Ibid, hlm 4-5.
25
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019
13
Ibid, hlm 8-9.
26
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...
Islam Orde Baru hanya dipahami sebagai wacana khas politik-budaya golongan
santri14.
Cak Nur berkeyakinan bahwa jika umat Islam, khususnya mereka
yang menganut atau diilhami oleh pikiran-pikiran Ibn Taimiyyah, mewarisi
dan mengembangkan tradisi intelektualnya itu, dapat digarap dan akan
diketemukan jalan keluar dari berbagai kemacetan berpikir zaman sekarang
ini. Jalan keluar itu, dari berbagai segi, akan memiliki tingkat keotentikan
yang tinggi, yang bakal membawa umat Islam memasuki abad modern dan
berpartisipasi di dalamnya secara mantap tanpa banyak halangan doktrinal.
Sebab modernisme yang dihasilkannya merupakan suatu genius agama Islam
sendiri, yang pendekatannya bersifat menyeluruh dan prinsipal, tanpa harus
memberi konsesi parsial dan ad hoc kepada desakan-desakan luar. Inilah
segi yang mendorong Cak Nur menjadikan Ibn Taimiyyah sebagai sasaran
kajiannya. Jadi meskipun Tesis Cak Nur berada dalam kawasan pemikiran
murni (dengan gondo klasisisme), tapi ia memiliki implikasi untuk bidang
pemikiran politik. Cak Nur berusaha memanfaatkan studi ini untuk seberapa
dapat ambil bagian dalam usaha umat menemukan suatu bentuk penyelesaian
bagi berbagai persoalan dasar mereka di zaman mutakhir ini15.
Cak Nur menawarkan sebuah pandangan yaitu memelihara nilai lama
yang baik, menggali nilai baru yang lebih baik. Akan tetapi dia mengatakan
bahwa kita harus waspada. Kita tidak bisa mengharapkan seseorang yang tidak
mengimani agama kita mampu menampilkan Islam tanpa bias. Jangankan
yang tidak beriman, orang yang beriman saja masih bisa salah, buktinya Abduh
mengkritik berbagai kitab tafsir lama. Oleh karena itu, menurut Cak Nur al-
muhafadhatu al-qadimi al-shalih wa akhdu tajdidu al-aslah menjadi problem di
era sekarang. Kemudian Cak Nur sepakat dengan apa yang dikatakan H.R. Gibb,
yang mengatakan bahwa kalau kaum modernis Islam seperti sekarang ini, yaitu
tidak dilakukan al-muhafadhatu al-qadimi al-shalih, meraka akan mengalami
pemiskinan intelektual, dan mereka akan macet pada suatu saat. Karena apa?
Karena masa lampau tidak menyambung ke depan, karena tercegat oleh Barat,
dan tidak akan bisa mengalahkan orang Barat jika tidak ada pembaharuan16.
Menurut Cak Nur, keluhan dan kritik tentang pendidikan/pengajaran
agama di sekolah-sekolah dari semua jenjang, negeri maupun swasta, “umum”
maupun “agama” (madrasah) telah menjadi kesadaran dalam masyarakat
14
Ibid, hlm 11-12.
15
Agus Edi Santoso, Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid – Mohamad
Roem, (Jakarta: Djambatan, 1997), hlm 13-14.
16
Achmad Sanusi, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1993), hlm 104-105.
27
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019
luas. Sudah tentu sebabnya banyak sekali. Salah satunya adalah kurangnya
tenaga pengajar yang memadai. Sejak Menteri Agama Wahid Hasyim dan
Menteri Pendidikan Bahder Djohan dalam kabinet Natsir (1955) menetapkan
diberikannya pelajaran umum di madrasah-madrasah dan pelajaran agama
di sekolah-sekolah, kekurangan tenaga pengajar itu disampaikan sampai hari
ini. Untuk memenuhinya dibuat program mendesak Pendidikan Guru Agama
(PGA). Tetapi dengan membludaknya tuntutan untuk adanya pendidikan
agama segera setelah lahir Orde Baru, jumlah lulusan PGA itu sangat jauh dari
mencukupi, kemudian diusahakan menutup kekurangan dengan mengadakan
“ujian guru agama” dengan segala segi positif dan negatifnya17.
Ternyata setelah lewat tiga dasawarsa keluhan tentang pendidikan agama
itu masih santer terdengar. Tidak lagi berkenaan dengan langkanya tenaga
sebagai masalah utama (meskipun jelas belum juga sepenuhnya teratasi),
keluhan itu semakin mengarah pada mutu pendidikan agama itu sendiri dan
isinya. Semakin banyak penilaian bahwa mutu dan isi itu tidak memadai.
Ini dapat dilihat secara positif sebagai tanda peningkatan tuntutan, karena
peningkatan kemajuan masyarakat, tetapi juga dapat dipandang secara negatif
sebagai tanda ketidakmampuan kita melakukan perbaikan mutu dan isi
tersebut. Mengenai mutu, menurut Cak Nur rendahnya tingkat kemampuan
tenaga pengajar dan tidak mengenanya metodologi pengejarannya merupakan
masalah pokok. Dengan sendirinya termasuk tingkat penguasaanya pada bahan
atau isi pengajaran itu. Dan isi itu, menyangkut tema-tema yang dipilih sebagai
bahan pengajaran dan tujuannya. Tema-tema itu dalam pandangan banyak orang
dianggap tidak lagi memadai, dan tidak relevan. Penyelenggaraan pendidikan
agama harus dibedakan antara program dengan tujuan. Pertama, pendidikan
agama dengan tujuan mencetak para ahli agama (ulama) dalam semua tingkat
(desa, lokal, sampai nasional). Pendidikan ini mendorong munculnya para
“produsen” (melalui kepemimpinan keagamaan). Pendidikan agama jenis
ini adalah suatu bentuk spesialisasi dan profesionalisme, memenuhi ajaran
Al-Qur’an bahwa tidak sepatutnya semua pemeluk ikut serta dalam kegiatan
hidup “umum”, melainkan hendaknya dalam setiap golongan masyarakat ada
suatu kelompok yang mendalami pemahaman agama (tafaqquh fi al-din)18.
Kedua, pendidikan agama dengan maksud memenuhi kewajiban setiap
orang mengetahui dasar-dasar ajaran agamanya sebagai seorang pemeluk.
Berkenaan dengan hal itu, pertanyaan paling penting yang harus dijawab
17
Fuaduddin & Cik Hasan Basri, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi: Wacana
tentang Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm 39.
18
Ibid, hlm 40.
28
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...
adalah, apa yang membuat seseorang menjadi pemeluk yang baik, sehingga
mampu mewujudkan tuntutan ajaran agamanya dalam hidup nyata di dunia
dan memberinya kebahagiaan di dunia itu sendiri dan di akherat kelak?
Dalam bahasa logo-sentrik yang lebih absah, apa yang membuat orang itu
beriman dan beramal shaleh? Karena pertanyaan serupa itu biasa diajukan
orang sehari-hari, ada bahaya kita menghadapinya sebagai pernyataan jamak/
lumrah dengan perasaan seolah-olah kita semua tahu jawabannya secara taken
for granted. Padahal dalam telaah lebih mendalam dan meluas sebetulnya
pertanyaan itu amat asasi, dan persoalan bagaimana menjawabnya pun amat
asasi, sehingga salah dan benar dengan sendirinya juga asasi19.
19
Ibid, hlm 41.
20
Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi, & Musdah Mulia Tetap Berjilbab
“Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islam di Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara,
2005), hlm 28-29.
29
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019
30
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...
itulah yang dikenal dalam wacana ilmiah dan dunia akademis, tidak
ada sekularisasi dengan jenis kelamin lain. Sebagaimana akan kita lihat
nanti, Nurcholish membagi sekularisasi menjadi dua macam: sekularisasi
yang dilarang dan sekularisasi yang diperintahkan (oleh Islam). Menurut
pendapat saya, pembagian sekularisasi menurut Nurcholish menjadi
dua jenis kelamin ini (sekularisasi yang dilarang dan sekularisasi yang
diperintahkan), sangat terasa dipaksakan dan sekaligus direkayasa
sedemikian rupa sebagai cara dan upaya untuk mendukung, menjustifikasi
atau membenarkan idenya yang dia klaim sebagai sekularisasi itu dan
sekaligus dia jadikan landasan pacu gerakan pembaharuan pemikiran
Islam yang dia gulirkan dengan semangat. Menjadi lebih kontroversial
lagi karena Nurcholish menisbatkan ide sekularisasinya dengan Islam.
Nurcholish secara meyakinkan mengatakan bahwa Islam sebenarnya
dimulai dengan proses sekularisasi dan ajaran tauhid merupakan pangkal
tolak sekularisasi secara besar-besaran. Cara berpikir dan muatan
pemikiran Nurcholish yang seperti itu terasa sangat kontroversial di
telinga kebanyakan umat Islam. Dari sinilah kita dibawa oleh Nurcholish
ke pengembaraan yang jauh dan masuk ke dalam rimba semantic confusion
dan belantara scientific confusion dengan idenya yang dia klaim sebagai
sekularisasi yang diperintahkan oleh Islam itu”22.
Dua buah buku yang sengaja ditulis untuk membantah dan mengoreksi
Nurcholish, pertama dari Prof. Dr. H.M. Rasjidi dengan judul: Koreksi terhadap
Nurkholish Madjid tentang Sekularisasi. Kedua dari Endang Saifuddin Anshari
(teman dekat Cak Nur) berjudul: Kritik atas Faham dan Gerakan “Pembaharuan”
Nurcholih Madjid. Prof Rasjidi keberatan dan menolak dengan keras pendapat
Cak Nur bahwa istilah sekularisasi tidak identik dengan (faham) “sekularisme”.
“kalau soalnya sebagai yang dituturkan oleh Nurcholish, maka segala sesuatu
telah menjadi arbitrer atau semau gue, tegas Prof. Rasjidi. Sedangkan Endang
Saifuddin, selain mengalamatkan kritikannya kepada Nurcholish Madjid, juga
menunjuk beberapa kaum “pembaharu” yang dipelopori oleh Cak Nur itu telah
“melenceng”. Dalam bukunya pun ia mengutip ucapan Utomo Dananjaya dan
Usep Fathuddin yang menyebut bahwa Al-Qur’an adalah tafsiran Muhammad
terhadap apa yang diwahyukan kepadanya yang dibuat cocok dengan situasi
22
Faisal Ismail, Sekularisasi: Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid,
(Yogyakarta: Pesantren Newsea Press, 2008), 40-41.
31
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019
yang berlaku di lingkungan Arab. Validitas Qur’an, adalah relatif dan karenanya,
demikian kata Usep Fathuddin “sebagian isi (isi Al-Qur’an) dapat berlaku pada
masa kini dan sebagian lagi tidak”23.
Sejak tahun 70-an sampai sekarang, Cak Nur sudah melakukan
usaha-usaha yang menggoncangkan tradisi yang otoritarian, dengan cara
mengemukakan pikiran-pikiran yang oleh orang lain dipandang aneh, nyleneh,
edan dan sebagainya. Seperti isu sekularisasi, yang berusaha mendevaluasi
kesakralan yang lain selain Allah, penerjemahan Allah dengan Tuhan yang
berusaha mempribumikan konsep Allah dalam konteks keindonesiaan, dan
sekarang pengertian Islam yang dia aplikasikan secara lebih luas sehingga
meliputi “Abrahamic millat” yang hanif itu. Usaha-usaha reinterpretasi terhadap
hal-hal yang sudah baku tersebut harus dipandang sebagai pembatasan tradisi
yang diharapkan dapat meratakan jalan bagi usaha pembeharuannya24.
Neo-modernisme merupakan gerakan pembaharuan Islam yang
muncul sebagai jawaban terhadap kekurangan atau kelemahan yang terdapat
pada gerakan-gerakan Islam yang muncul sebelumnya, yaitu revivalisme
pra-modernis, modernisme klasik, dan neo-revivalis25. Demikian pula,
pemikiran ini hadir untuk mengkritisi dan sekaligus mengapresiasi aliran-
aliran pemikiran Islam yang lain yang timbul sepanjang sejarah perjalanan
umat Islam, serta pemikiran yang berkembang di Barat26. Gerakan revivalis
terlalu menyederhanakan kurikulum pendidikan dan mengurangi penekanan
perhatian (de-emphasizing) terhadap warisan intelektual abad pertengahan
sehingga terjadi pemiskinan intelektual. Akibatnya, mereka tidak berhasil
merumuskan secara tepat persoalan yang dihadapi umat Islam yang pada
gilirannya menyebabkan mereka tidak mampu memberikan solusi yang
memadai bagi penyelesaian persoalan umat secara tuntas27. . Pembaharuan
umat Islam yang berorientasi kepada kemajuan harus bermula dari pendidikan.
23
Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi, & Musdah Mulia Tetap Berjilbab
“Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islam di Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara,
2005), hlm 30-31.
24
Sukandi, Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm 232-233.
25
Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities”, (Edinburg: Edinburg University
Press, 1979), hlm 315.
26
Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), hlm 1.
27
Fazlur Rahman, Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity, (New
York: Cross Road, 1987), hlm 8.
32
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...
33
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019
instrument yang digunakan belum lengkap dan tepat. Kemudian Cak Nur
berpendapat bahwa Indonesia bukan “Negara Islam”, ini juga menandakan
bahwa dia bersebrangan pemikiran dengan orang-orang Masyumi pada waktu
itu. Dalam pandangan pemakalah, sebenarnya Cak Nur ingin memberikan suatu
pemahaman bahwa yang namanya pembaharuan pemikiran Islam diperlukan
agar kita tidak ketinggalan dan minder dengan bangsa Barat. Tetapi, lagi-lagi
yang menjadi permasalahan adalah, konsep modernisme yang ditawarkan di
Indonesia itu belum mampu menyentuh umat Islam secara holistik dari sisi
produk dan hasil pemikiran secara riil.
Pembaharuan pemikiran Islam diperlukan, dan saya sebagai pemakalah
pun sepakat. Tetapi yang menjadi pokok dan subtansi pembahasan adalah
mengenai koridor atau batasan-batasan yang digunakan sebagai wahana
untuk meletakkan dasar-dasar modernisme pemikiran Islam. Jika koridor
tersebut diterobos maka akan mengakibatkan kegaduhan intelektual, agama
dan organisasi kemasyarakatan. Bijaksana dalam mengambil keputusan
merupakan sarana yang wajib ditempuh demi tercapainya efektivitas dan
efisiensi pencapain tujuan yang telah dirancang. Tetapi apa yang terjadi, Cak
Nur dinilai oleh sebagian orang telah menerobos koridor yang ada, pakem
yang sudah ada pun diterjang demi adanya pembaharuan pemikiran. Hal yang
seperti inilah kemudian menimbulkan konflik horizontal antar umat Islam
itu sendiri. Pemahaman yang berbeda tersebut jika tidak dikelola dengan
baik, maka akan mengakibatkan tergerusnya sendi-sendi ajaran Islam yang
merupakan pondasi mengenai masalah Tauhid. Ini tentunya akan menjadi
sebuah permasalahan yang berkembang di masyarakat, apalagi sekarang
kesan Islam tercoreng dengan adanya aksi-aksi teror yang mengatasnamakan
Islam sebagai garda terdepan pengeboman dan penyerangan tempat ibadah
atau sarana umum. Maka dari itulah, pembaharuan pemikiran yang masih
jumud harus mulai pelan-pelan dikikis dan digantikan dengan aksi nyata.
Cak Nur sebagai akademisi juga memandang bahwa peran Perguruan
Tinggi sangat urgen. Perguruan Tinggi dapat dijadikan sebagai media untuk
menyampaikan pemikiran dan menciptakan pembaharuan pemikiran melalui
metode ilmiah dan dapat pula dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dalam
perkembangan pembaharuan pemikiran di Indonesia, pemakalah memandang
bahwa upaya yang dilakukan sudah cukup nyata. Usaha-usaha yang dilakukan
Cak Nur dalam meformulasikan gagasan-gagasan yang ada tersebut sedikit
banyak akan berimplikasi terhadap keberlangsungan agama serta umatnya.
Pendidikan tidak terpisah dari kebudayaan dan peradaban, pendidikan
34
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...
F. Penutup
Menurut Cak Nur secara religio-politis dan ideologis, Indonesia bukanlah
“Negara Islam”. Indonesia adalah negara yang didasarkan kepada ideologi
resmi yang disebut dengan pancasila. Meskipun merupakan salah satu
bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia adalah bangsa yang paling sedikit
mengalami Arabisasi dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya.
Islam di Indonesia, dari pra-kemerdekaan hingga Orde Baru, golongan
santri selalu berada dalam posisi paling depan sebagai pelopor. Di satu sisi
lain, hal ini terjadi secara kultural karena golongan santri dianggap memiliki
komitmen besar terhadap Islam, sehingga ada semacam orientasi khusus dari
hidupnya yang tidak bisa dipisahkan dari Islam. Pergulatan hidup mereka
sejak lahir hingga dewasa tidak lepas dari lingkungan dan genre tradisi Islam.
Neo-modernisme merupakan gerakan pembaharuan Islam yang muncul
sebagai jawaban terhadap kekurangan atau kelemahan yang terdapat pada
35
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019
DAFTAR PUSTAKA
Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009).
Achmad Sanusi, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993).
Agus Edi Santoso, Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish
Madjid – Mohamad Roem, (Jakarta: Djambatan, 1997).
Faisal Ismail, Sekularisasi: Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish
Madjid, (Yogyakarta: Pesantren Newsea Press, 2008).
Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities”, (Edinburg: Edinburg
University Press, 1979).
_____________, Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and
Identity, (New York: Cross Road, 1987).
Fuaduddin & Cik Hasan Basri, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi:
Wacana tentang Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2002).
Ihsan Ali Fauzi, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).
M. Deden Ridwan, Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam dalam
Wacana Tempo dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2002).
Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi, & Musdah Mulia Tetap
Berjilbab “Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islam di Indonesia”,
(Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005).
Sukandi, Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru
Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Fadilatama, 2011).
36