184-Article Text-266-1-10-20191105

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 18

Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...

PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN ISLAM


MENURUT PERSPEKTIF NURCHOLISH MADJID DI
INDONESIA

Rifki Ahda Sumantri


Dosen Agama Islam Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
[email protected]

Abstrak
Tulisan ini akan menjelaskan tentang simpul pemikiran Cak Nur yaitu
monoteisme radikal dan kemordernan. Variannya antara lain gagasan tentang
sekularisasi serta inklusivisme dan universalisme Islam. Sekularisasi versi Cak
Nur adalah menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengakhiratkannya.
Cak Nur menawarkan sebuah pandangan yaitu memelihara nilai lama
yang baik, menggali nilai baru yang lebih baik. Akan tetapi dia mengatakan
bahwa kita harus waspada. Kita tidak bisa mengharapkan seseorang yang tidak
mengimani agama kita mampu menampilkan Islam tanpa bias. Jangankan
yang tidak beriman, orang yang beriman saja masih bisa salah, buktinya Abduh
mengkritik berbagai kitab tafsir lama.
Sejak tahun 70-an sampai sekarang, Cak Nur sudah melakukan usaha-usaha
yang menggoncangkan tradisi yang otoritarian, dengan cara mengemukakan
pikiran-pikiran yang oleh orang lain dipandang aneh, nyleneh, edan dan
sebagainya. Seperti isu sekularisasi, yang berusaha mendevaluasi kesakralan
yang lain selain Allah, penerjemahan Allah dengan Tuhan yang berusaha
mempribumikan konsep Allah dalam konteks keindonesiaan, dan sekarang
pengertian Islam yang dia aplikasikan secara lebih luas sehingga meliputi
“Abrahamic millat” yang hanif itu. Usaha-usaha reinterpretasi terhadap hal-hal
yang sudah baku tersebut harus dipandang sebagai pembatasan tradisi yang
diharapkan dapat meratakan jalan bagi usaha pembeharuannya.

Kata Kunci: Sekulerisme, monoteisme, inklusivisme

19
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019

A. Pendahuluan
Perspektif gerakan modernis Islam menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur)
sebelum tahun 70-an adalah mewakili pandangan neo-revivalis, atau biasa juga
disebut dengan neo-fundamentalisme, dengan tokoh-tokohnya seperti Abul
‘Ala Maulana Maududi, Khursyid Ahmad (Pakistan), dan di Indonesia M. Natsir.
Tetapi, setelah masuk tahun 70-an, pemikiran Cak Nur berubah atau ia melihat
Islam dan umatnya dari perspektif lain. Tidak berarti pandangan-pandangan
terdahulunya terhapus, melainkan pandangan-pandangan itu tetap dianggap
sebagai sebuah pemikiran yang dinamis bagi umat dan generasi muda Islam.
Di tahun 70-an, Cak Nur menganut pemikiran neo-modernis. Pemikir Islam
terkemuka yang mewakili kelompok neo-modernis adalah Fazlur Rahman
(almarhum), ketika sebelum berangkat ke Chicago, Cak Nur mengenal Rahman
hanya melalui buku-bukunya, setelah ia mengikuti program doctoral di sana,
ia berhadapan langsung dengan Rahman sebagai profesornya. Peran Rahman,
sudah barang tentu ikut mempengaruhi pandangan-pandangan Cak Nur1.
Simpul pemikiran Cak Nur adalah monoteisme radikal dan kemordernan.
Variannya antara lain gagasan tentang sekularisasi serta inklusivisme dan
universalisme Islam. Sekularisasi versi Cak Nur adalah menduniawikan nilai-
nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari
kecenderungan mengakhiratkannya. Gagasan inklusivisme dan universalisme
Islam dalam pendapatnya Cak Nur bahwa, Islam tidak identik dengan
ideologi. Sedangkan gagasan kemordernan terartikulasikan dengan jargon
“moderninasi adalah rasionalisasi, bukan westernisasi”2. Dalam makalah ini
akan dibahas mengenai biografi Nurcholish Madjid (Cak Nur), pemikiran
beliau tentang modernisme, analisis pemakalah dan hal lain yang kemudian
menjadi sub pembahasan. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsi
terhadap dinamisasi pemikiran Islam.

B. Biografi Nurcholish Madjid


Nurcholish Madjid (Cak Nur) lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur,
pada tanggal 17 Maret 1939. Ayah Cak Nur adalah H. Abdul Madjid, memiliki

1
Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi, & Musdah Mulia Tetap Berjilbab
“Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islam di Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara,
2005), hlm viii-ix.
2
Sukandi, Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm ix.

20
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...

hubungan yang baik dan akrab dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri dan
pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ketika Masyumi (Majelis
Syuro Muslimin Indonesia) dibentuk dan jabatan ketua umumnya dipercayakan
kepada KH. Hasyim Asy’ari, Abdul Madjid menyertai Masyumi. Bersama
keluarganya, Cak Nur menjalani dan menikmati masa kanak-kanaknya di
Jombang. Masa muda Cak Nur banyak dihabiskan di tempat dia menuntut
ilmu. Dia menikahi Omi Komariah dan dikaruniai dua orang anak: Nadila dan
Ahmad Mikail. Tinggal di Jakarta, keluarga ini hidup berbahagia, rukun dan
harmonis menjalani kehidupan rumah tangganya3.
Dalam atmosfir pendidikan dan lingkungan intelektual yang kondusif,
Cak Nur bersama teman sebayanya Gus Dur tumbuh dan berkembang dan
kemudian muncul ke pentas nasional sebagai sosok intelektual yang berbobot
dan bervisi akademis yang luas. Bibit, bebet, dan bobot intelektualitas Cak Nur
tumbuh dan berkembang dengan baik dalam suasana yang saling mendukung
yaitu kehidupan sosial yang agamis dan lingkungan pendidikan yang kondusif.
Cak Nur menyelesaikan pendidikannya di Pondok Darul Ulum (Rejoso, Jombang,
1955) dan Darussalam Pondok Modern Gontor (Ponorogo, 1960). Di pondok
inilah, dia mulai membangun fondasi dan basis intelektualnya sehingga dia
menguasai bahasa Arab dan Inggris. Kemudian Cak Nur melanjutkan studinya
ke Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (dahulu bernama IAIN Syarif
Hidayatullah), tamat tahun 1965 (B.A) dan 1968 (doktorandus). Program
doktornya dia selesaikan pada tahun 1984 di Universitas Chicago, Amerika
Serikat. Dia menulis disertasi berjudul: Ibn Taimiyyah on Kalam and Falsafah:
Problem of Reason and Revelation in Islam di bawah bimbingan Prof. Fazlur
Rahman, guru besar Pemikiran Islam di universitas Chicago. Cak Nur, sebagai
mahasiswa, tidak hanya serius menekuni studinya di fakultas, akan tetapi ia
terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan dan diskusi di luar kampus
dan berkecimpung pula dalam berbagai kancah aktivitas ekstra kurikuler4.
Cak Nur pernah menjadi ketua umum PB HMI (Pengurus Besar Himpunan
Mahasiswa Islam) selama dua periode (1967-1969 dan 1969-1971). Antara
tahun 1967-1969, dia menjabat sebagai Presiden Persatuan Mahasiswa Islam
se-Asia Tenggara (Permiat). Salah satu wakilnya adalah Anwar Ibrahim (yang
kemudian pernah menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia). Cak
3
Faisal Ismail, Sekularisasi: Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid,
(Yogyakarta: Pesantren Newsea Press, 2008), hlm 9-10.
4
Ibid, hlm 11-12.

21
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019

Nur pernah bekerja sebagai peneliti di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial
(Leknas LIPI, 1978-1984), peneliti senior LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, 1984-2005), menjadi anggota MPR selama dua periode (10 tahun) di
masa pemerintahan Orde Baru (1987-1992 dan 1992-1997). Dia juga tercatat
pula sebagai pakar dan anggota Dewan Riset Nasional dan dikenal sebagai
penggagas pendirian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Karena
jasa-jasanya kepada negara dan bangsa, dia pada tahun 1998 dianugerahi
Bintang Mahaputra oleh pemerintah RI. Cak Nur juga aktif sebagai anggota
Komnas HAM (1993-2005). Dia adalah penyeru ulung kerukunan antar umat
beragama, baik dalam ide maupun dalam praktik. Pluralisme, inklusivisme,
harmoni dan toleransi antar umat beragama sudah menjadi bentangan benang
merah visi humanitasnya dan menjadi bagian penting yang mencuat dalam
tema-tema besar pemikiran Cak Nur, disamping tema neo-modernisme Islam5.
Cak Nur adalah sosok intelektual yang dikenal luas, terutama di kalangan
sarjana dan ilmuan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pada tahun
1991, Cak Nur menjadi dosen tamu di Institute of Islamic Studies, Universitas
McGill, Montreal, Kanada. Pengalaman akademis ini semakin mengukuhkan
dirinya sebagai akademikus yang bertaraf internasional. Sebagai profesor
tamu di Universitas McGill, dia menempatkan diri sejajar dengan profesor yang
telah mempunyai nama dan reputasi internasional. Di McGill dia memberikan
kuliah tentang pemikiran Ibnu Taimiyyah dan langsung mengacu kepada buku-
buku karya Ibnu Taimiyyah dalam bahasa Arab klasik yang pelik. Sepanjang
karir intelektualnya yang panjang, tak kurang dari 24 seminar/konferensi
internasional yang telah Cak Nur hadiri, baik sebagai peserta maupun sebagai
penyaji makalah dalam bahasa Inggris, mencakup kawasan Amerika Serikat,
Eropa, Asia dan Afrika. Cak Nur kemudian dikukuhkan sebagai guru besar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tahun 1998, dan pada tahun 1999 dia
dikukuhkan sebagai ahli peneliti utama (APU) LIPI. Dengan demikian, predikat
akademisi dan peneliti melekat pada sosok dirinya6.
Keterlibatan dan dedikasi Cak Nur yang besar terhadap pengembangan
dunia keilmuan, kependidikan dan pembaharuan pemikiran dalam Islam telah
dia tunjukkan secara konkret dengan mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina
pada tahun 1986. Dengan mendirikan yayasan tersebut, Cak Nur sudah pasti

5
Ibid, hlm 12-13.
6
Ibid, hlm 13-14.

22
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...

memiliki tujuan dan misi, baik jangka pendek maupun jangka panjang, dalam
upayanya dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas kehidupan
intelektual Muslim dan untuk lebih mempercepat pembumian gagasan-gagasan
pembaharuannya yang lebih strategis dan komprehensif. Tujuan utama Cak
Nur adalah untuk menghadirkan sosok Islam sebagai bingkai bangunan
spiritualitas ideal universal dalam rangka mempertemukan pilar-pilar
dimensi transendental agama-agama di tengah-tengah kehidupan masyarakat
plural. Bagi Cak Nur, Paramadina merupakan media untuk membangun suatu
tatanan “masyarakat madani” yang mengacu ke masyarakat Madinah yang
dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Di Paramadina, orang-orang (Islam)
kelas menengah kota berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan dan
kekinian. Cak Nur ingin menghadirkan Islam yang bersifat spiritual dan
menghadirkannya sebagai spiritualitas universal untuk mempertemukan
dimensi transendental agama-agama di tengah masyarakat plural7.
Karya-karya ilmiah Cak Nur, yang menggambarkan perjalanan gerak
kebangkitan dan riak perkembangan intelektualnya, yang selama ini
dipublikasikan terpisah-pisah dalam berbagai media cetak dan buku-buku,
telah dihimpun secara lengkap dan utuh dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid
Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban. Dimata pengamat perkembangan
pemikiran Islam, Cak Nur ditempatkan di barisan terdepan sebagai pemikir
“neo-modernisme Islam” . Penguasaan Cak Nur yang luas, baik tentang
pemikiran Islam klasik maupun tentang pemikiran Islam modern. Dia juga
sebagai peletak dasar neo-sufisme yang menekankan pentingnya aktualisasi
etika Islam bagi manusia Muslim dalam menggumuli kompleksitas tantangan
modernitas. Dalam kerangka pemikiran Cak Nur, neo-modernisme adalah
perkembangan modernisme Islam yang memadukan kesarjanaan Islam klasik
dengan metode-metode analisis modern (Barat). Cak Nur ingin menggali
welstanchauung Alqur’an dan mengambil dari kitab suci ini sari pati dan
prinsip-prinsip etikanya, kemudian dia berupaya melakukan interpretasi
untuk dipakai sebagai landasan masyarakat madani. Tujuannya adalah
mendorong agar umat Islam tidak canggung terhadap dunia modern. Di mata
Cak Nur, salah satu masalah besar umat Islam adalah mereka merasa minder
dan gamang terhadap modernitas dan takut menerima kemajuan Barat8.

7
Ibid, hlm 14-15.
8
Ibid, hlm 17-18.

23
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019

Gelar-gelar keilmuan dan sebutan-sebutan kehormatan yang masyarakat


berikan kepada Cak Nur: Pemikir, Tokoh Muslim, Mujahid, Sang Begawan dan
Guru Bangsa. Cak Nur meninggal dunia pada tanggal 29 Agustus 2005 pukul
14.05 WIB di Jakarta karena penyakit sirosis. Karena dinilai berjasa kepada
bangsa dan negara, jenazah Cak Nur dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta. Sapaan Cak Nur sudah melekat pada diri Nurcholish,
walaupun rekan, teman, sahabat, dan kenalan yang memanggilnya lebih tua
daripada Cak Nur itu sendiri9.

C. Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Pembaharuan


Islam
Dilihat dari sudut pandang agama, Indonesia adalah bangsa Muslim
terbesar di dunia. Tetapi secara religio-politis dan ideologis, Indonesia
bukanlah “Negara Islam”. Indonesia adalah negara yang didasarkan kepada
ideologi resmi yang disebut dengan pancasila. Meskipun merupakan salah
satu bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia adalah bangsa yang paling
sedikit mengalami Arabisasi dibandingkan dengan negara-negara Muslim
lainnya. Itulah sebabnya, dua ciri paling utama kesenian Islam yaitu arabesk
dan kaligrafi, hampir sepenuhnya tidak dikenal dalam arsitektur Islam kecuali
baru-baru ini saja. Indonesia merupakan satu diantara sedikit negara dimana
Islam tidak menggantikan agama-agama yang ada sebelumnya terutama
dengan menggunakan kekuatan militer. Itu disebabkan karena proses
Islamisasi di Indonesia berlangsung dengan cara yang sering disebut dengan
penetration pasifique (penetrasi secara damai). Perkembangan kebudayaan
Islam di Indonesia sebagian besarnya merupakan hasil dialog antara nilai-nilai
Islam yang universal dengan ciri-ciri kultural Nusantara10.
Islam di Indonesia, dari pra-kemerdekaan hingga Orde Baru, golongan
santri selalu berada dalam posisi paling depan sebagai pelopor. Di satu sisi
lain, hal ini terjadi secara kultural karena golongan santri dianggap memiliki
komitmen besar terhadap Islam, sehingga ada semacam orientasi khusus dari
hidupnya yang tidak bisa dipisahkan dari Islam. Pergulatan hidup mereka sejak
lahir hingga dewasa tidak lepas dari lingkungan dan genre tradisi Islam. Bagi
mereka, di samping sebagai sistem kepercayaan, Islam merupakan pandangan
9
Ibid, hlm 19-20.
10
Ihsan Ali Fauzi, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 1998), hlm 94.

24
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...

dunia (world view) yang member referensi kepada arah transformasi social
sebagaimana dicita-citakan Al-Qur’an dan apa yang dicontohkan Nabi.
Komitmen golongan santri terhadap Islam itu muncul setelah melewati proses
penyadaran intelektual dan kultural yang sangat panjang, baik lewat jalur
pendidikan formal, non formal, otodidak, maupun akibat pengaruh kekuatan-
kekuatan eksternal: kolonialisme dan gerakan-gerakan Islam di negara-negara
lain, misalnya. Dengan modal itu, mereka berusaha kembali menelaah doktrin-
doktrin Islam dan sejarah sosial umat secara kritis, dan berusaha merefleksikan
dengan problem dengan dalam latar belakang historis (historical setting) dan
latar kontemporer (contemporary setting) gerakan pembaharuan Islam di
Indonesia11.
Di sisi lain, golongan santri semakin menguat ketika Islam mengalami
proses “ideologisasi”, yaitu perumusan kembali arti Islam dalam menghadapi
situasi sosial politik tertentu, pada zaman tertentu pula. Pada masa Orde
Lama, bahkan sebelumnya, proses melahirkan Islam sebagai kekuatan sosial
politik yang hampir identik dengan ormas atau partai politik tertentu. Definisi
tentang umat Islam saat itu selalu dikonotasikan dengan gerakan Islam, baik
yang berbentuk ormas maupun partai, sebuah pemaknaan yang cenderung
menyempit. Akibatnya, semua analisis tentang gerakan modern Islam di
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sepak terjang golongan santri dalam
keterlibatannya dengan ormas atau partai politik tertentu yang secara formal
berlabelkan Islam. Derasnya intelektualisme baru yang dipelopori golongan
santri tadi mengakibatkan pola kepemimpinan mereka bergeser secara
mendasar: dari corak kepemimpinan ideologi ke kepemimpinan intelektual.
Mereka mengubah wacana-wacana keagamaan yang lebih dekat dengan
persoalan sosial, budaya dan ekonomi. Selain itu tumbuh pula kecenderungan
sikap inklusif dan realistis, yang akhirnya membawa dampak pada munculnya
semangat intelektual yang dinamis. Hubungan-hubungan baru yang menggejala
dan berkembang, baik antar sesama mereka maupun dengan penguasa adalah
sistem budaya yang lebih bersifat rasional dan profan12.
Dengan cara yang demikian, mereka telah sampai pada perspektif Islam
yang konkret. Artinya, alur pemikiran yang berkembang telah menyentuh
pelbagai dimensi kehidupan dengan menggunakan pendekatan empiris.
Persoalan sosial politik yang sedang dihadapi bangsa tentu saja menjadi
11
M. Deden Ridwan, Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam dalam Wacana
Tempo dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2002), hlm 2-3.
12
Ibid, hlm 4-5.

25
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019

agenda utama perhatian mereka. Karena dihadapkan pada masalah-masalah


empiris itulah mereka mencoba untuk menengok Islam sebagai salah satu
perspektif. Islam bagaimanapun merupakan variabel penting dalam membaca
masalah-masalah itu. Sehingga, dalam konteks ini, Islam tidak lagi disibukkan
dengan persoalan ibadah, tetapi lebih dihadapkan pada tantangan bagaimana
memberikan makna yang lebih luas dan dinikmati secara maknawi bukan
hanya oleh kalangan Islam sendiri, tetapi Islam diangkat sebagai sumber
etika dan kebaikan universal. Itulah sebabnya, baik golongan “santri lama”
maupun “santri baru” tetap percaya bahwa Islam akan terus memainkan
peranan penting dalam proses sosial politik di Indonesia, kendati peranan itu
ditunjukkan dalam dimensi-dimensi yang berbeda. Bagi golongan santri lama,
peranan itu jelas ditunjukkan dengan dimensi-dimensi sosial politik dengan
wujud riilnya “partai politik Islam”. Sedangkan bagi golongan santri baru,
peranan itu diwujudkan dalam dimensi-dimensi kultural dan moral, meskipun
sama sekali tidak bisa dikatakan “a-politik”13.
Organisasi dan institusi yang dianggap berjasa menyebarkan ide-
ide pembaharuan Islam pada masa Orde Baru selalu dialamatkan kepada
organisasi dan isntitusi yang berhaluan Islam semata, seperti: HMI, Pelajar
Islam Indonesia (PII), dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), sebuah institusi
formal yang didirikan negara. Organisasi dan institusi tersebut lebih berfungsi
sebagai wahana alternatif dari “partai politik Islam” di mana institusi yang
terakhir ini dilarang berdiri selama rezim Orde Baru bercokol. Oleh karena itu,
dalam upaya memahami wacana pembaharuan pemikiran Islam Orde Baru,
para peneliti hampir dipastikan mengabaikan peranan golongan “non- santri”,
“non-aktivis ormas Islam”, dan isntitusi lain yang tidak berhaluan Islam. Padahal
subtansi gerakan kebudayaan atau “tawaran kultural” tadi justru mencairkan
“labelisasi Islam” yang tetap merekat pada ketiga variabel (figur, ormas dan
institusi) tersebut. Dengan demikian, wacana pembaharuan pemikiran Islam
Orde Baru hanya menjadi tanggung jawab intelektual golongan santri dan
ormas serta institusi yang berhaluan Islam saja. Mereka yang secara budaya
tidak memiliki kualifikasi sebagai golongan santri atau ormas serta institusi
secara formal tidak berhaluan Islam kerap diabaikan sebagai faktor penting
atau pendukung wacana pembaharuan pemikiran Islam, sehingga sama sekali
tidak pernah diperhitungkan bagaimana suara dan posisinya di dalam peta
diskursus pembaharuan itu. Akibatnya, wacana pembaharuan pemikiran

13
Ibid, hlm 8-9.

26
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...

Islam Orde Baru hanya dipahami sebagai wacana khas politik-budaya golongan
santri14.
Cak Nur berkeyakinan bahwa jika umat Islam, khususnya mereka
yang menganut atau diilhami oleh pikiran-pikiran Ibn Taimiyyah, mewarisi
dan mengembangkan tradisi intelektualnya itu, dapat digarap dan akan
diketemukan jalan keluar dari berbagai kemacetan berpikir zaman sekarang
ini. Jalan keluar itu, dari berbagai segi, akan memiliki tingkat keotentikan
yang tinggi, yang bakal membawa umat Islam memasuki abad modern dan
berpartisipasi di dalamnya secara mantap tanpa banyak halangan doktrinal.
Sebab modernisme yang dihasilkannya merupakan suatu genius agama Islam
sendiri, yang pendekatannya bersifat menyeluruh dan prinsipal, tanpa harus
memberi konsesi parsial dan ad hoc kepada desakan-desakan luar. Inilah
segi yang mendorong Cak Nur menjadikan Ibn Taimiyyah sebagai sasaran
kajiannya. Jadi meskipun Tesis Cak Nur berada dalam kawasan pemikiran
murni (dengan gondo klasisisme), tapi ia memiliki implikasi untuk bidang
pemikiran politik. Cak Nur berusaha memanfaatkan studi ini untuk seberapa
dapat ambil bagian dalam usaha umat menemukan suatu bentuk penyelesaian
bagi berbagai persoalan dasar mereka di zaman mutakhir ini15.
Cak Nur menawarkan sebuah pandangan yaitu memelihara nilai lama
yang baik, menggali nilai baru yang lebih baik. Akan tetapi dia mengatakan
bahwa kita harus waspada. Kita tidak bisa mengharapkan seseorang yang tidak
mengimani agama kita mampu menampilkan Islam tanpa bias. Jangankan
yang tidak beriman, orang yang beriman saja masih bisa salah, buktinya Abduh
mengkritik berbagai kitab tafsir lama. Oleh karena itu, menurut Cak Nur al-
muhafadhatu al-qadimi al-shalih wa akhdu tajdidu al-aslah menjadi problem di
era sekarang. Kemudian Cak Nur sepakat dengan apa yang dikatakan H.R. Gibb,
yang mengatakan bahwa kalau kaum modernis Islam seperti sekarang ini, yaitu
tidak dilakukan al-muhafadhatu al-qadimi al-shalih, meraka akan mengalami
pemiskinan intelektual, dan mereka akan macet pada suatu saat. Karena apa?
Karena masa lampau tidak menyambung ke depan, karena tercegat oleh Barat,
dan tidak akan bisa mengalahkan orang Barat jika tidak ada pembaharuan16.
Menurut Cak Nur, keluhan dan kritik tentang pendidikan/pengajaran
agama di sekolah-sekolah dari semua jenjang, negeri maupun swasta, “umum”
maupun “agama” (madrasah) telah menjadi kesadaran dalam masyarakat
14
Ibid, hlm 11-12.
15
Agus Edi Santoso, Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid – Mohamad
Roem, (Jakarta: Djambatan, 1997), hlm 13-14.
16
Achmad Sanusi, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1993), hlm 104-105.

27
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019

luas. Sudah tentu sebabnya banyak sekali. Salah satunya adalah kurangnya
tenaga pengajar yang memadai. Sejak Menteri Agama Wahid Hasyim dan
Menteri Pendidikan Bahder Djohan dalam kabinet Natsir (1955) menetapkan
diberikannya pelajaran umum di madrasah-madrasah dan pelajaran agama
di sekolah-sekolah, kekurangan tenaga pengajar itu disampaikan sampai hari
ini. Untuk memenuhinya dibuat program mendesak Pendidikan Guru Agama
(PGA). Tetapi dengan membludaknya tuntutan untuk adanya pendidikan
agama segera setelah lahir Orde Baru, jumlah lulusan PGA itu sangat jauh dari
mencukupi, kemudian diusahakan menutup kekurangan dengan mengadakan
“ujian guru agama” dengan segala segi positif dan negatifnya17.
Ternyata setelah lewat tiga dasawarsa keluhan tentang pendidikan agama
itu masih santer terdengar. Tidak lagi berkenaan dengan langkanya tenaga
sebagai masalah utama (meskipun jelas belum juga sepenuhnya teratasi),
keluhan itu semakin mengarah pada mutu pendidikan agama itu sendiri dan
isinya. Semakin banyak penilaian bahwa mutu dan isi itu tidak memadai.
Ini dapat dilihat secara positif sebagai tanda peningkatan tuntutan, karena
peningkatan kemajuan masyarakat, tetapi juga dapat dipandang secara negatif
sebagai tanda ketidakmampuan kita melakukan perbaikan mutu dan isi
tersebut. Mengenai mutu, menurut Cak Nur rendahnya tingkat kemampuan
tenaga pengajar dan tidak mengenanya metodologi pengejarannya merupakan
masalah pokok. Dengan sendirinya termasuk tingkat penguasaanya pada bahan
atau isi pengajaran itu. Dan isi itu, menyangkut tema-tema yang dipilih sebagai
bahan pengajaran dan tujuannya. Tema-tema itu dalam pandangan banyak orang
dianggap tidak lagi memadai, dan tidak relevan. Penyelenggaraan pendidikan
agama harus dibedakan antara program dengan tujuan. Pertama, pendidikan
agama dengan tujuan mencetak para ahli agama (ulama) dalam semua tingkat
(desa, lokal, sampai nasional). Pendidikan ini mendorong munculnya para
“produsen” (melalui kepemimpinan keagamaan). Pendidikan agama jenis
ini adalah suatu bentuk spesialisasi dan profesionalisme, memenuhi ajaran
Al-Qur’an bahwa tidak sepatutnya semua pemeluk ikut serta dalam kegiatan
hidup “umum”, melainkan hendaknya dalam setiap golongan masyarakat ada
suatu kelompok yang mendalami pemahaman agama (tafaqquh fi al-din)18.
Kedua, pendidikan agama dengan maksud memenuhi kewajiban setiap
orang mengetahui dasar-dasar ajaran agamanya sebagai seorang pemeluk.
Berkenaan dengan hal itu, pertanyaan paling penting yang harus dijawab
17
Fuaduddin & Cik Hasan Basri, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi: Wacana
tentang Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm 39.
18
Ibid, hlm 40.

28
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...

adalah, apa yang membuat seseorang menjadi pemeluk yang baik, sehingga
mampu mewujudkan tuntutan ajaran agamanya dalam hidup nyata di dunia
dan memberinya kebahagiaan di dunia itu sendiri dan di akherat kelak?
Dalam bahasa logo-sentrik yang lebih absah, apa yang membuat orang itu
beriman dan beramal shaleh? Karena pertanyaan serupa itu biasa diajukan
orang sehari-hari, ada bahaya kita menghadapinya sebagai pernyataan jamak/
lumrah dengan perasaan seolah-olah kita semua tahu jawabannya secara taken
for granted. Padahal dalam telaah lebih mendalam dan meluas sebetulnya
pertanyaan itu amat asasi, dan persoalan bagaimana menjawabnya pun amat
asasi, sehingga salah dan benar dengan sendirinya juga asasi19.

D. Sekularisasi Dalam Perspektif Nurcholish Madjid


Setelah makalah “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam” tersebar
luas, muncul reaksi dimana-mana. Perorangan kelompok, diskusi dan
pengajian melancarkan kritik, melalui tulisan, pidato, dan di mimbar-mimbar
khotbah. Dari kalangan alumni dan anggota HMI sendiri, juga menyampaikan
tanggapan dan sanggahan. Redaksi Panji Masyarakat, yang ikut menyiarkan
makalah itu menerima berpuluh-puluh tulisan yang berisi koreksi dan
sanggahan terhadap tesis dan pernyataan Cak Nur. Beberapa penjelasan
tambahan Cak Nur tentang pengertian sekularisasi sebagai tidak identik
dengan paham sekularisme, yang antara lain disiarkan melalui buletin “Arena”,
yang sengaja diterbitkan untuk mensosialisasikan ide-ide pembaharuan itu di
bawah kendali sidang redaksi Utomo Dananjaya, Usep Fathuddin, dan Cak Nur
sendiri, tidak banyak menolong untuk meredakan reaksi masyarakat. Ceramah
Cak Nur di forum terbuka di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 1972, dengan
topik: Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam.
Di satu pihak semakin mempopulerkan ide-ide pembaharuan (ceramah itu
diliput secara luas oleh mass media). Tetapi di sisi lain, isi ceramah itu semakin
luas memancing reaksi dari pemikir dan kalangan umat Islam yang menolak
pemikiran Cak Nur20.
Beberapa tulisan kelompok pendukung Cak Nur yang disiarkan Arena
seperti tulisan Ir. Wassil yang berpendapat bahwa rukun iman itu bukan enam
tapi hanya lima, menambah meluas munculnya reaksi dari tokoh-tokoh Islam.

19
Ibid, hlm 41.
20
Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi, & Musdah Mulia Tetap Berjilbab
“Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islam di Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara,
2005), hlm 28-29.

29
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019

Pernyataan Cak Nur yang banyak memancing reaksi pula adalah


pernyataannya bahwa sikap apologi umat Islam yang kadang-kadang dirasakan
sangat vulgar atau kasar, dinilai akan mendangkalkan pengertian agama
itu sendiri. Ada lagi mengenai pernyataan Cak Nur, bahwa gagasan “Negara
Islam” yang pernah diperjuangkan oleh Masyumi dalam forum Konstituante
1959, adalah sebuah apologi. Pertama, apologi kepada ideologi-ideologi Barat
(modern), kedua cita-cita legalisme yang membawa sebagian kaum muslimin
kepikiran apologistis “Negara Islam”. Menurut Cak Nur, konsep atau gagasan
“Negara Islam” adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara negara
dan agama. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya
rasional dan kolektif. Sedangkan agama aspek kehidupan lain yang dimensinya
adalah spiritual dan pribadi. Panji Masyarakat ikut meliput ceramah di TIM
dan mengajukan pertanyaan: kalau dulu 1968 Nurcholish mengatakan bahwa
Islam adalah “total way of life” dan pandangan yang memisahkan agama
dengan dimensi kehidupan adalah pandangan kaum sekuler atau penerapan
paham sekulerisme. Kenapa sekarang Anda membantah pandangan Anda
sendiri? Dan memvonis usaha-usaha partai Islam seperti Masyumi yang
memperjuangkan “Negara Islam” sebagai tindakan distorsi?21.
Prof. Dr. H. Faisal Ismail, MA mengoreksi kerancuan berpikir Cak
Nur tentang sekularisasi, koreksi beliau tentang sekularisasi Cak Nur adalah
sebagai berikut:

“Sekularisasi merupakan proses pengaplikasian dan praktik-praktik


penerapan sekularisme. Atau, proses dan praktik-praktik penerapan
sekularisme dalam kehidupan masyarakat disebut sekularisasi.
Tingkat intensitas sekularisasi dalam tatanan kehidupan masyarakat
akan mempengaruhi tingkat intensitas perkembangan sekularisme.
Semakin intensif proses penerapan dan pelaksanaan sekularisasi dalam
masyarakat, semakin intensif pula perkembangan sekulerisme dalam
kehidupan mereka. Sebaliknya, jika pelaksanaan sekularisasi kurang
intensif dalam kehidupan masyarakat, maka perkembangan sekularisme
kurang intensif pula. Tetapi, apa pun dan bagaimana pun hasilnya,
sekularisme dalam kehidupan masyarakat tadi sudah mulai berakar,
bersemi dan berkembang. Dengan demikian, menurut saya sekularisasi
menuju ke sekularisme. Sekularisasi seperti yang telah saya jelaskan
21
Ibid, hlm 29-30.

30
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...

itulah yang dikenal dalam wacana ilmiah dan dunia akademis, tidak
ada sekularisasi dengan jenis kelamin lain. Sebagaimana akan kita lihat
nanti, Nurcholish membagi sekularisasi menjadi dua macam: sekularisasi
yang dilarang dan sekularisasi yang diperintahkan (oleh Islam). Menurut
pendapat saya, pembagian sekularisasi menurut Nurcholish menjadi
dua jenis kelamin ini (sekularisasi yang dilarang dan sekularisasi yang
diperintahkan), sangat terasa dipaksakan dan sekaligus direkayasa
sedemikian rupa sebagai cara dan upaya untuk mendukung, menjustifikasi
atau membenarkan idenya yang dia klaim sebagai sekularisasi itu dan
sekaligus dia jadikan landasan pacu gerakan pembaharuan pemikiran
Islam yang dia gulirkan dengan semangat. Menjadi lebih kontroversial
lagi karena Nurcholish menisbatkan ide sekularisasinya dengan Islam.
Nurcholish secara meyakinkan mengatakan bahwa Islam sebenarnya
dimulai dengan proses sekularisasi dan ajaran tauhid merupakan pangkal
tolak sekularisasi secara besar-besaran. Cara berpikir dan muatan
pemikiran Nurcholish yang seperti itu terasa sangat kontroversial di
telinga kebanyakan umat Islam. Dari sinilah kita dibawa oleh Nurcholish
ke pengembaraan yang jauh dan masuk ke dalam rimba semantic confusion
dan belantara scientific confusion dengan idenya yang dia klaim sebagai
sekularisasi yang diperintahkan oleh Islam itu”22.

Dua buah buku yang sengaja ditulis untuk membantah dan mengoreksi
Nurcholish, pertama dari Prof. Dr. H.M. Rasjidi dengan judul: Koreksi terhadap
Nurkholish Madjid tentang Sekularisasi. Kedua dari Endang Saifuddin Anshari
(teman dekat Cak Nur) berjudul: Kritik atas Faham dan Gerakan “Pembaharuan”
Nurcholih Madjid. Prof Rasjidi keberatan dan menolak dengan keras pendapat
Cak Nur bahwa istilah sekularisasi tidak identik dengan (faham) “sekularisme”.
“kalau soalnya sebagai yang dituturkan oleh Nurcholish, maka segala sesuatu
telah menjadi arbitrer atau semau gue, tegas Prof. Rasjidi. Sedangkan Endang
Saifuddin, selain mengalamatkan kritikannya kepada Nurcholish Madjid, juga
menunjuk beberapa kaum “pembaharu” yang dipelopori oleh Cak Nur itu telah
“melenceng”. Dalam bukunya pun ia mengutip ucapan Utomo Dananjaya dan
Usep Fathuddin yang menyebut bahwa Al-Qur’an adalah tafsiran Muhammad
terhadap apa yang diwahyukan kepadanya yang dibuat cocok dengan situasi

22
Faisal Ismail, Sekularisasi: Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid,
(Yogyakarta: Pesantren Newsea Press, 2008), 40-41.

31
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019

yang berlaku di lingkungan Arab. Validitas Qur’an, adalah relatif dan karenanya,
demikian kata Usep Fathuddin “sebagian isi (isi Al-Qur’an) dapat berlaku pada
masa kini dan sebagian lagi tidak”23.
Sejak tahun 70-an sampai sekarang, Cak Nur sudah melakukan
usaha-usaha yang menggoncangkan tradisi yang otoritarian, dengan cara
mengemukakan pikiran-pikiran yang oleh orang lain dipandang aneh, nyleneh,
edan dan sebagainya. Seperti isu sekularisasi, yang berusaha mendevaluasi
kesakralan yang lain selain Allah, penerjemahan Allah dengan Tuhan yang
berusaha mempribumikan konsep Allah dalam konteks keindonesiaan, dan
sekarang pengertian Islam yang dia aplikasikan secara lebih luas sehingga
meliputi “Abrahamic millat” yang hanif itu. Usaha-usaha reinterpretasi terhadap
hal-hal yang sudah baku tersebut harus dipandang sebagai pembatasan tradisi
yang diharapkan dapat meratakan jalan bagi usaha pembeharuannya24.
Neo-modernisme merupakan gerakan pembaharuan Islam yang
muncul sebagai jawaban terhadap kekurangan atau kelemahan yang terdapat
pada gerakan-gerakan Islam yang muncul sebelumnya, yaitu revivalisme
pra-modernis, modernisme klasik, dan neo-revivalis25. Demikian pula,
pemikiran ini hadir untuk mengkritisi dan sekaligus mengapresiasi aliran-
aliran pemikiran Islam yang lain yang timbul sepanjang sejarah perjalanan
umat Islam, serta pemikiran yang berkembang di Barat26. Gerakan revivalis
terlalu menyederhanakan kurikulum pendidikan dan mengurangi penekanan
perhatian (de-emphasizing) terhadap warisan intelektual abad pertengahan
sehingga terjadi pemiskinan intelektual. Akibatnya, mereka tidak berhasil
merumuskan secara tepat persoalan yang dihadapi umat Islam yang pada
gilirannya menyebabkan mereka tidak mampu memberikan solusi yang
memadai bagi penyelesaian persoalan umat secara tuntas27. . Pembaharuan
umat Islam yang berorientasi kepada kemajuan harus bermula dari pendidikan.

23
Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi, & Musdah Mulia Tetap Berjilbab
“Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islam di Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara,
2005), hlm 30-31.
24
Sukandi, Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm 232-233.
25
Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities”, (Edinburg: Edinburg University
Press, 1979), hlm 315.
26
Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), hlm 1.
27
Fazlur Rahman, Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity, (New
York: Cross Road, 1987), hlm 8.

32
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...

Perguruan Tinggi Islam sangat strategis untuk mengembangkan tradisi ilmiah


umat Islam yang peduli terhadap persoalan-persoalan bangsa28.

E. Analisis tentang Pemikiran dan Pembaharuan Islam


Menurut Perspektif Nurcholish Madjid di Indonesia
Berbicara mengenai pemikiran dan pembaharuan Islam khususnya yang
ada di Indonesia, banyak sekali tokoh dan intelektual Islam yang bergelut di
dalamnya. Tokoh itu antara lain Nurcholish Madjid atau sering disapa Cak Nur.
Lelaki kelahiran Jombang, Jawa Timur ini memang sudah malang melintang
di tingkat nasional maupun internasional. Cak Nur dibesarkan dalam iklim
pesantren, sehingga tidak diragukan lagi sendi-sendi nalar kritisnya mulai
diasah semenjak dia “mondok” di Pondok Modern Gontor. Cak Nur merupakan
cendekiawan muslim, peneliti, akademisi, guru bangsa dan mungkin salah satu
orang yang berjasa membangun dan mengembangkan dakwah Islam dilihat
dari sisi pluralisme, toleransi, humanis dan anti sektarian. Cak Nur mengalami
pergeseran paradigma semenjak tahun 70-an, dari neo-fundamentalis
menjadi neo-modernisme (dipopulerkan oleh Fazlur Rahman). Paradigma ini
berpijak kepada episentrum pembaharuan Islam, baik dari sisi sosial, politik,
kepemimpinan dan berbagai hal lain yang berkaitan dengan Islam secara
komprehensif.
Cak Nur dari segi pemikiran secara langsung terilhami oleh pemikiran
Fazlur Rahman. Dalam perkembangannya, sepak terjang Car Nur di Indonesia
salah satu hal yang fenomenal dan kontroversial adalah konsep sekularisasi.
Cak Nur menawarkan gagasan yang membuat masyarakat luas tidak bisa
menerima, karena Cak Nur mengatakan bahwa sekularisasi tidak identik
dengan sekularisme. Padahal yang namanya sebuah doktrin dalam sebuah
ideologi pastinya akan berimbas kepada bagaimana sikap, perilaku, tindakan
dan pola pikir seseorang jika mengenal paham tertentu. Jadi saya sebagai
pemakalah memandang bahwa, masalah sekularisasi di Indonesia memang
sangat tabu, apalagi dengan adanya paham tersebut dihadapkan dengan Islam.
Masyarakat di Indonesia masih sangat tradisionalis dalam sisi paradigma
beragama, artinya masih memegang teguh prinsip-prinsip Islam secara kuat
dan mendasar. Makanya akan sulit jika sekularisasi di aplikasikan di sini, jika
28
Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Fadilatama,
2011), hlm 93.

33
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019

instrument yang digunakan belum lengkap dan tepat. Kemudian Cak Nur
berpendapat bahwa Indonesia bukan “Negara Islam”, ini juga menandakan
bahwa dia bersebrangan pemikiran dengan orang-orang Masyumi pada waktu
itu. Dalam pandangan pemakalah, sebenarnya Cak Nur ingin memberikan suatu
pemahaman bahwa yang namanya pembaharuan pemikiran Islam diperlukan
agar kita tidak ketinggalan dan minder dengan bangsa Barat. Tetapi, lagi-lagi
yang menjadi permasalahan adalah, konsep modernisme yang ditawarkan di
Indonesia itu belum mampu menyentuh umat Islam secara holistik dari sisi
produk dan hasil pemikiran secara riil.
Pembaharuan pemikiran Islam diperlukan, dan saya sebagai pemakalah
pun sepakat. Tetapi yang menjadi pokok dan subtansi pembahasan adalah
mengenai koridor atau batasan-batasan yang digunakan sebagai wahana
untuk meletakkan dasar-dasar modernisme pemikiran Islam. Jika koridor
tersebut diterobos maka akan mengakibatkan kegaduhan intelektual, agama
dan organisasi kemasyarakatan. Bijaksana dalam mengambil keputusan
merupakan sarana yang wajib ditempuh demi tercapainya efektivitas dan
efisiensi pencapain tujuan yang telah dirancang. Tetapi apa yang terjadi, Cak
Nur dinilai oleh sebagian orang telah menerobos koridor yang ada, pakem
yang sudah ada pun diterjang demi adanya pembaharuan pemikiran. Hal yang
seperti inilah kemudian menimbulkan konflik horizontal antar umat Islam
itu sendiri. Pemahaman yang berbeda tersebut jika tidak dikelola dengan
baik, maka akan mengakibatkan tergerusnya sendi-sendi ajaran Islam yang
merupakan pondasi mengenai masalah Tauhid. Ini tentunya akan menjadi
sebuah permasalahan yang berkembang di masyarakat, apalagi sekarang
kesan Islam tercoreng dengan adanya aksi-aksi teror yang mengatasnamakan
Islam sebagai garda terdepan pengeboman dan penyerangan tempat ibadah
atau sarana umum. Maka dari itulah, pembaharuan pemikiran yang masih
jumud harus mulai pelan-pelan dikikis dan digantikan dengan aksi nyata.
Cak Nur sebagai akademisi juga memandang bahwa peran Perguruan
Tinggi sangat urgen. Perguruan Tinggi dapat dijadikan sebagai media untuk
menyampaikan pemikiran dan menciptakan pembaharuan pemikiran melalui
metode ilmiah dan dapat pula dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dalam
perkembangan pembaharuan pemikiran di Indonesia, pemakalah memandang
bahwa upaya yang dilakukan sudah cukup nyata. Usaha-usaha yang dilakukan
Cak Nur dalam meformulasikan gagasan-gagasan yang ada tersebut sedikit
banyak akan berimplikasi terhadap keberlangsungan agama serta umatnya.
Pendidikan tidak terpisah dari kebudayaan dan peradaban, pendidikan

34
Pemikiran dan Pembaharuan Islam ...

menjadi alat yang digunakan untuk memajukan kualitas manusianya melalui


pemikiran yang konkret. Cak Nur benar-benar telah mencoba mengaplikasikan
pemaharuan pemikiran Islam melalui Perguruan Tinggi. Salah satu bentuk
nyata adalah dibentuknya yayasan Paramadina, yang endingnya pun memiliki
Perguruan Tinggi sendiri.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan Cak Nur, positif atau negatifnya,
pemakalah memandang bahwa Cak Nur telah berbuat banyak untuk bangsa
ini termasuk terhadap Islam itu sendiri. Cak Nur akan tetap dikenang baik
oleh orang yang pro atau yang kontra terhadap gagasan dan pemikiran beliau.
Kontribusi Cak Nur layak diapresiasi oleh masyarakat di Indonesia, karena
Cak Nur sebagai peletak dasar toleransi, humanities, dan berbagai hal yang
berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Nurkholish Madjid adalah sosok
yang dikagumi banyak orang serta sering pula dihujat akibat pemikiran beliau
yang liberal. Konsistensi pemikiran beliau sejak tahun 70-an telah membawa
beliau ke dalam sebuah situasi dinama dia dikenal sebagai tokoh yang berkiblat
terhadap neo-modernisme. Semoga saja, kita sebagai generasi penerus dapat
melahirkan ide dan gagasan yang dapat memberikan sumbangsi yang riil
terhadap Islam, bangsa dan negara.tidak ada yang tidak mungkin, jika Allah
sudah berhendak maka terjadilah. Mudah-mudahan kita selalu konsisten
dalam menapaki hidup ini, dan mudah-mudahan pemikiran-pemikiran yang
terbaharukan akan menjadi “oase” di padang pasir yang tandus.

F. Penutup
Menurut Cak Nur secara religio-politis dan ideologis, Indonesia bukanlah
“Negara Islam”. Indonesia adalah negara yang didasarkan kepada ideologi
resmi yang disebut dengan pancasila. Meskipun merupakan salah satu
bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia adalah bangsa yang paling sedikit
mengalami Arabisasi dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya.
Islam di Indonesia, dari pra-kemerdekaan hingga Orde Baru, golongan
santri selalu berada dalam posisi paling depan sebagai pelopor. Di satu sisi
lain, hal ini terjadi secara kultural karena golongan santri dianggap memiliki
komitmen besar terhadap Islam, sehingga ada semacam orientasi khusus dari
hidupnya yang tidak bisa dipisahkan dari Islam. Pergulatan hidup mereka
sejak lahir hingga dewasa tidak lepas dari lingkungan dan genre tradisi Islam.
Neo-modernisme merupakan gerakan pembaharuan Islam yang muncul
sebagai jawaban terhadap kekurangan atau kelemahan yang terdapat pada

35
An-Nidzam Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2019

gerakan-gerakan Islam yang muncul sebelumnya, yaitu revivalisme pra-


modernis, modernisme klasik, dan neo-revivalis. Demikian pula pemikiran
ini juga hadir untuk mengkritisi dan sekaligus mengapresiasi aliran-aliran
pemikiran Islam yang lain yang timbul sepanjang sejarah perjalanan umat
Islam, serta pemikiran yang berkembang di Barat.

DAFTAR PUSTAKA
Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009).
Achmad Sanusi, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993).
Agus Edi Santoso, Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish
Madjid – Mohamad Roem, (Jakarta: Djambatan, 1997).
Faisal Ismail, Sekularisasi: Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish
Madjid, (Yogyakarta: Pesantren Newsea Press, 2008).
Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities”, (Edinburg: Edinburg
University Press, 1979).
­­­_____________, Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and
Identity, (New York: Cross Road, 1987).
Fuaduddin & Cik Hasan Basri, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi:
Wacana tentang Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2002).
Ihsan Ali Fauzi, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).
M. Deden Ridwan, Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam dalam
Wacana Tempo dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2002).
Marwan Saridjo, Cak Nur: Diantara Sarung dan Dasi, & Musdah Mulia Tetap
Berjilbab “Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islam di Indonesia”,
(Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005).
Sukandi, Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru
Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Fadilatama, 2011).

36

Anda mungkin juga menyukai