Proposal Penelitian Ikan Asin

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 31

PROPOSAL PENELITIAN IKAN ASIN

SMA ALQONA-AH

Disusun Oleh :
Nursyifa Afria Sri Khufairoh
Rena Sapta Amelia
Sumi Susanti

SMA ALQONA-AH BALEENDAH


JL. GIRIHARJA NO. 41, KEL JELEKONG, KEC
BALEENDAH, KAB BANDUNG, JAWA BARAT 40375
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peranan perikanan dalam pembangunan ekonomi cukup besar, baik
sebagai penghasil bahan pangan sumber protein maupun sebagai penghasil devisa
negara. Kebutuhan atas komoditi perikanan, yang diketahui sampai saat ini yaitu
masih rendahnya konsumsi ikan penduduk Indonesia rata-rata per tahun mencapai
19 kg/kapita pada tahun 2003. Dengan harapan konsumsi ikan rata-rata nasional
akhir tahun 2004 adalah 22 kg/kapita dan meningkat menjadi 22,7 kg/kapita pada
tahun 2005. Apabila nilai ini tercapai maka dalam tahun 2004 diperkirakan
dibutuhkan 4,4 juta ton ikan (Marwan Syaukani, 2004 dan Dirjen Pengolahan &
Pemasaran Hasil Perikanan, 2006).
Hasil perikanan merupakan komoditas yang mudah mengalami proses
kemunduran mutu dan pembusukan, dimana hal ini terjadi setelah ikan ditangkap.
Dengan demikian perlu penanganan yang cepat, tepat dan benar untuk menjaga
kualitasnya sebelum dipasarkan dan sampai ke tangan konsumen. Selain itu dari
segi ekonomi akan memberikan nilai tambah (value added) terhadap harga jual
produk. Hal ini diperlukan saat-saat musim ikan, dimana musim panen ikan
sangat murah tetapi permintaan konsumen cenderung stabil / tidak meningkat,
sehingga ikan tidak habis dipasarkan dalam keadaan segar. Sehingga masyarakat
nelayan mengupayakan dengan usaha pengolahan dan pengawetan ikan dengan
berbagai cara perlakuan yaitu pengeringan/pengasinan, pemindangan dan
pengasapan. 2 Produk-produk tersebut biasanya untuk memenuhi kebutuhan pasar
lokal di luar daerah. Akan tetapi kualitas produk-produk akhir olahan tradisional
masih relatif rendah dalam arti belum memenuhi Standar Nasional Indonesia.
Jenis usaha pengolahan dan pengawetan ikan yang banyak didominasi di
Kabupaten Aceh Jaya adalah pengeringan/pengasinan. Dimana sentra-sentra
olahan ikan asin kering ini berada di Desa Patek, Desa Lagen dan Desa Krueng
Sabee. Beberapa olahan ikan asin kering yang biasa di lakukan daerah tersebut
masih tradisional dan bahan baku yang didapat berasal dari nelayan setempat
melalui hasil lelang ikan di TPI/PPI dengan frekuensi lelang yang rutin.
Jenis produksi ikan asin kering di Kabupaten Aceh Jaya sepintas terlihat
cukup baik dengan kondisi di lokasi biasanya pengolahan melakukan produksi
menurut pesanan, dipasarkan sendiri serta sudah ada yang menampung/disetor ke
pengepul besar/dijual diopingir jalan raya dan dari hasil survey ke lokasi setiap
pengolah memproduksi sekitar 1 kwintal sampai 3 ton ikan setiap produksi.
Dalam melakukan proses pengolahan di setiap pengolah mempunyai ciri
tersendiri, tetapi pada prinsipnya sama.
Namun masalah sanitasi di seluruh unit pengolah ikan asin kering di
Kabupaten Aceh Jaya belum sepenuhnya menerapkan program sanitasi, karena
masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaannya seperti bangunan
masih memiliki ruang pengolahan berlantai tanah dan tidak berdinding sehingga
harus segera diperbaiki. Hal ini dikarenakan lokasi pengolahan memiliki sanitasi
yang buruk yaitu dijumpai bahwa tingkat kebersihan lingkungan pengolahan yang
berdekatan dengan lahan untuk pembenihan/budidaya, pemukiman penduduk,
berbatasan dengan sendang, sungai maupun pantai dan lingkungan sekitarnya
yang dapat terjadi limbah sampah.
Sehingga untuk meningkatkan mutu produk ikan asin kering yang aman
untuk di konsumsi dan terjamin perlu dilakukan upaya perbaikan sanitasi dan
hygiene yaitu dengan melakukan tindakan perbaikan dan rekaman pengendalian
sanitasi secara rutin dan periodik.
Dengan demikian, usaha produksi olahan perikanan tradisional yang
kebanyakan usahanya di kawasan pesisir dengan kondisi lingkungan yang ditinjau
secara hygiene dan sanitasi kurang memenuhi syarat perlu adanya penelitian yang
mengkaji tentang penerapan kelayakan dasar pengolah terutama pada produk ikan
asin kering, khususnya di Kabupaten Aceh Jaya untuk peningkatan mutu produk
dalam menjamin keamanan produk yaitu apakah di pengolah tradisional terutama
ikan asin kering telah melaksanakan pengolahan yang benar sesuai GMP (Good
Manufacturing Practise) dan telah melaksanakan sanitasi hygiene sesuai prosedur
operasionalnya (SSOP/ Sanitation Standard Operating Prosedures) serta
pengkajian peningkatan mutu untuk menjamin keamanan pangan khususnya
produk ikan asin kering yang dilakukan untuk memenuhi standar SNI yang dapat
dipahami sebagai produk yang berkualitas dan hygiene, tidak tercemar bahan
kimia serta aman dikonsumsi konsumen.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Menganalisis dan mengidentifikasi produk ikan asin kering yang
dihasilkan oleh pengolah untuk kemudian membandingkannya dengan
persyaratan SNI.
2. Mengetahui tingkat penerapan kelayakan dasar (GMP, SSOP) pengolah
ikan asin kering di Kabupaten Aceh Jaya.
3. Menganalisa hubungan sosial ekonomi antara pengolah ikan asin kering
dengan penerapan kelayakan dasar.
C. Hipotesis Penelitian
Penerapan sanitasi pada produk ikan asin kering diduga belum dapat
meningkatkan keamanan pangan dan mutu yang sesuai dengan SNI dan kelayakan
dasar (GMP dan SSOP).
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai :
1) Referensi dan bahan acuan dalam upaya meningkatkan kualitas produk
olahan terutama ikan asin kering sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan terhadap konsumen.
2) Informasi tentang penerapan GMP dan SSOP ikan asin kering
khususnya di Kabupaten Aceh Jaya
3) Masukan kepada pengolah ikan asin kering agar dapat melaksanakan
GMP dan SSOP sehingga dapat meningkatkan jaminan keamanan bagi
konsumen dan
4) Sebagai informasi penting yang mengungkap salah satu masalah mutu
ikan asin tradisional sehingga dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan bagi orang yang membutuhkan termasuk stake holder dan
pemerintah.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pengeringan dan Pengaruhnya Terhadap Bahan


Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan pangan dengan cara menguapkan air
tersebut. Pada umunya kadar air bahan dikurangi sampai batas tertentu supaya
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dapat dihentikan (Winarno et. al, 1982).
Proses pengeringan didasarkan pada penguapan air, karena adanya
perbedaan kandungan uap air antara udara dan produk yang dikeringkan.
Kandungan uap air udara lebih rendah dibandingkan dengan kadar air dalam
tubuh ikan sehingga terjadi proses penguapan. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan pengeringan ikan adalah kecepatan udara (angin),
kelembaban udara, suhu udara, serta keadaan fisik dan kimia ikan (Moeljanto,
1982).
Icho (2001) lebih lanjut memberi penjelasan untuk mendapatkan mutu
ikan asin yang baik memerlukan persyaratan bahan yang digunakan (ikan dan
garam) serta cara pengolahannya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
kesegaran, kandungan dan ketebalan ikan serta kehalusan, kemurnian dan
kepekatan garam.
Keuntungan dari pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet artinya
kadar air mempunyai kaitan erat dengan keawetan bahan pangan yaitu bahan 10
pangan yang berkadar air rendah akan lebih awet dibandingkan yang berkadar air
tinggi . Hal ini terjadi karena dalam proses enzimatis dan kimiawi serta
pertumbuhan bakteri diperlukan sejumlah air. Turunnya kadar air yang ada dalam
suatu bahan akan memberi kemungkinan berkurangnya kebusukan dari makanan
tersebut. Sedangkan kerugiannya bahan mengalami kerusakan karena serangga,
reaksi pencoklatan/browning dan jamur (Indriati et.al, 1991).
Selanjutnya Winarno et.al (1980) menjelaskan bahwa pengeringan akan
menyebabkan turunnya nilai nutrisi bahan, karena biasanya produk yang
dihasilkan telah mengalami proses pendahuluan seperti pencucian dan
penggaraman.
Bahan yang dikeringkan akan memiliki nilai gizi yang relatif lebih rendah
dibandingkan bahan segarnya. Menurut Poernomo et.al (1984) menyebutkan
komposisi kimia ikan mengandung air 42,96%, abu 18,27%, garam 14.51%,
protein 33.11%, lemak 5.36%, karbohidrat 3.07% dan kalori/gram 1.52%.
Sedangkan komposisi kimia produk perikanan asin kering mengandung air42%,
abu 17.14%, garam 13.43%, protein 35.58%, lemak 4.60%, karbohidrat 4.41%
dan kalori/gram 1.61%. Selain itu selama pengeringan, bahan akan mengalami
perubahan tekstur, aroma dan warna. Perubahan warna yang dimaksud adalah
perubahan warna menjadi coklat akibat reaksi pencoklatan non enzimatis. Reaksi
pencoklatan ini akan terus berlangsung selama penyimpanan produk dalam waktu
yang lama. Subroto et.al (1990) dalam Indriati et.al (1991) memperkirakan reaksi
pencoklatan terjadi karena reaksi antara protein, peptida dan asam amino dengan
hasil dekomposisi 11 lemak. Reaksi ini diketahui menurunkan nilai gizi protein
yang bersangkutan dengan cara menurunkan nilai cernanya dan menurunkan
ketersediaan asam amino essensial terutama lysin.
Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa dari 18 sampel ikan asin
yang mengalami perubahan pencoklatan dengan nilai kadar air antara 25,04 –
59,61% dan kadar garam antara 7,69 – 16,93% (Indriati et.al, 1991). Selanjutnya
menurut Nambury (1980) dalam Indriati et.al (1991) menjelaskan bahwa garam
mempunyai kemampuan sebagai penghambat reaksi oksidasi lemak, yang oleh
karena itu semakin tinggi kadar garam, tingkat pencoklatannya semakin rendah.

B. Proses Pengolahan Ikan Asin Kering


Pengolahan ikan asin dimulai dari penyiangan atau langsung pencucian,
diikuti dengan penggaraman dan penjemuran atau pengeringan. Dalam proses
tersebut yang dapat dibedakan adalah dalam proses penyiangan (yaitu ikan di
belah dan ikan dalam bentuk utuh) dan pada proses penggaraman, jumlah garam
yang digunakan, jangka waktu penggaraman dan penjemurannya. Hal tersebut
disebabkan perbedaan jenis dan ukuran ikan atau cara pengolahan selanjutnya
serta rasa asin yang diinginkan.
Prosedur pembuatan ikan asin kering menurut Djarijah Siregar (2004)
dapat dilihat pada skema berikut :

Illustrasi 2. Prosedur Pembuatan Ikan Asin Kering

Proses pengolahan ikan asin kering adalah :


1. Bahan baku
Hal yang paling pokok dalam mempertahankan mutu kesegaran ikan
adalah cara penanganannya. Umumnya dipergunakan es untuk menurunkan suhu
dan mempertahankan kesegaran ikan. Hasil penelitian Murniyati et.al (1985)
menerangkan bahwa untuk mempertahankan mutu udang segar adalah direndam
dalam air PAM dan larutan NaOCl (Sodium Hypochlorit) dengan konsentrasi 100
mg/L dalam waktu 10 menit. Dan oleh Hobbs (1968) dalam Murniyati et.al (1985)
dengan perendaman dalam larutan chlor 100 mg/L selama 5 – 10 menit dapat
mengurangi jumlah bakteri pada ikan. Hal ini tergantung pada beberapa faktor
antara lain jenis ikan, umur atau kesegaran ikan sebelum di es, banyaknya es
(perbandingan ikan dan es) dan cara pengesan, mutu wadah (berinsulasi atau
tidak) dan lainlain. Menurut Junianto (2003) media yang digunakan untuk
penanganan ikan diantaranya es, es ditambah garam, es ditambah es kering, air
laut yang didinginkan dengan es, air laut yang didinginkan secara mekanis dan
udara dingin.
2. Penyiangan dan pencucian
Pencucian setelah penerimaan bahan baku di pengolahan adalah untuk
membersihkan lagi sisa-sisa kotoran yang masih ada sekaligus mengurangi
bakteri.
Wibowo (1995) menjelaskan bahwa penyiangan dan pencucian bertujuan
untuk menghilangkan kotoran, sisik dan lendir dengan membelah bagian perut
sampai dekat anus, menghilangkan sisa kotoran, darah dan lapisan dinding yang
berwarna .
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 21/MEN/2004
menjelaskan air yang digunakan untuk pencucian dan atau kontak langsung
dengan produk harus memenuhi persyaratan air minum atau air laut bersih.
Menurut Setijo Pitojo dan Eling Purwantoyo (2003), bahwa dalam peraturan
Menkes RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 menyebutkan air bersih adalah air
yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum setelah dimasak. Kualitas air bersih apabila ditinjau
berdasarkan kandungan bakterinya menurut SK. Dirjen PPM & PLP No.
1/PO.03.04.PA.91 dan SK JUKLAK PKA Tahun 1991/1992 dapat dibedakan
dalam 5 (lima) kategori sebagai berikut :
1) Air bersih kelas A kategori baik mengandung total coliform kurang dari 50
MPN/mL.
2) Air bersih kelas B kategori kurang baik mengandung total coliform 51 –
100 MPN/mL.
3) Air bersih kelas C kategori jelek mengandung coliform 101 – 1000
MPN/mL.
4) Air bersih kelas D kategori amat jelek mengandung coliform 1001 – 2400
MPN/mL.
5) Air bersih kelas E kategori sangat amat jelek mengandung coliform lebih
2400 MPN/mL.
3. Penggaraman
Menurut Moeljanto (1982); Djarijah Siregar (2004), Afrianto dan
Liviawaty (1989) penggaraman dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
a. Penggaraman kering (dry salting)
Digunakan untuk ikan-ikan berukuran besar maupun kecil yang dilumuri
garam dan bagian dasar wadah dilapisi garam setebal 3 cm disusun berlapis
dengan ikan. Diatas lapisan ikan ditaburkan garam secukupnya demikian
seterusnya sampai wadah penuh ikan, dan pada lapisan paling atas ditebari garam
setebal 5 cm. Terakhir adalah penutupan wadah dengan dibebani pemberat.
b. Penggaraman basah (brine salting)
Ikan yang telah dicuci diatur dalam bak/bejana yang diisi larutan garam
dengan konsentrasi sesuai keperluan. Bila perendaman lebih dari 24 jam, larutan
garam harus jenuh, kalau tidak pada waktu tertentu ditambahkan garam supaya
konsentrasinya cukup tinggi. Setelah semua ikan dimasukkan dalam wadah
kemudian ditutup dan diberi pemberat.
c. Pelumuran garam (Kench salting)
Ikan yang disiangi, dicuci dan dilumuri garam ditumpuk tanpa wadah
kedap air, sehingga brine yang terbentuk tidak tertampung. Dalam proses
penggaraman ini ikan ditaruh diatas lantai yang bersih kemudian ditaburi garam
sambil dibolak-balik agar seluruh permukaan tubuh ikan tertutup kristal – kristal
garam, kemudian ditampung dalam keranjang bambu dan ditutup papan dan
dibebani pemberat.

4. Pencucian ikan setelah penggaraman


Setelah dilakukan proses penggaraman, sebelum ikan dijemur dilakukan
pencucian ulang dengan cara ikan ditaruh dalam keranjang lalu dicuci dengan air
bersih dengan tujuan untuk membersihkan sisasisa kotoran, sisik-sisik ikan yang
melekat, kemudian ikan ditiriskan sebentar sebelum dijemur. Pencucian bisa
dilakukan beberapa kali untuk mendapatkan hasil ikan yang bersih.
5. Pengeringan
Pengeringan dengan sinar matahari banyak dilakukan karena energi panas
yang digunakan murah dan berlimpah, namun akan menyebabkan hasil yang
kurang baik, walaupun prosesnya relatif lebih cepat dibandingkan dengan
pengeringan yang tidak langsung. Pengeringan dengan sinar matahari lebih baik
dilakukan dengan meletakkan bahan di rak-rak yang sekurang-kurangnya setinggi
0,5 meter dari permukaan tanah (Winarno et.al, 1980). Di daerah yang intensitas
sinar matahari mencapai 8 jam/hari atau lebih, diperlukan waktu pengeringan
selama 3 hari berturut-turut. Untuk mengukur tingkat kekeringan ikan dapat
dilakukan dengan cara yaitu ditekan dengan ibu jari dan telunjuk tangan pada
tubuh ikan yang tidak akan menimbulkan bekas dan dilakukan dengan melipat
tubuh ikan asin yang telah kering tidak akan patah (Djarijah Siregar, 2004).
Keuntungannya dari pengeringan dengan sinar matahari adalah biaya relatif lebih
murah, pelaksanaan mudah, sedangkan kelemahannya adalah waktu pengeringan
sukar untuk ditentukan serta kebersihannya sukar dikontrol (Winarno et.al, 1980).
Djarijah Siregar (2004) menyebutkan pengeringan model lain adalah
secara mekanis, yaitu menggunakan alat pemanas. Bentuk alat pengering yang
sudah dikenal adalah bentuk terowongan (tunnel dryer) dan bentuk almari (cabinet
dryer), vacum dryer dan rotary dryer. Alat ini dibuat dari kerangka kayu yang
diberi bingkai seperti para – para tetapi diselubungi plastik bening dan transparan.
Bentuknya bermacam-macam seperti bentuk kotak atau bentuk tenda atau bentuk
rumah lengkap dengan para-para bertingkat. Winarno et.al (1980) mengatakan
bahwa pengeringan dengan menggunakan alat pengering memerlukan biaya yang
mahal, walaupun mempunyai kelebihan karena suhu dan aliran udara dapat diatur
sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dengan tepat dan kondisi sanitasi
lebih terkontrol.
Djarijah Siregar (2004) menerangkan bahwa pengeringan yang dilakukan
pada suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya “case hardening”
yaitu proses pengeringan yang menyebabkan permukaan mengering lebih cepat
dibandingkan bagian dalamnya. Terjadinya “case hardening” dapat menyebabkan
proses pengeringan selanjutnya menjadi lambat dan terhambat.
Oleh karena itu harus diusahakan agar suhu pengeringan selama proses tidak
terlalu tinggi (tidak melebihi 40oC) atau proses pengeringan awal tidak
berlangsung terlalu cepat.

6. Pengepakan dan penyimpanan


Ikan asin yang telah dikeringkan disusun rapi di dalam packing dengan
kotak kayu (peti) atau keranjang yang dilapisi kertas dan ditaruh dalam ruangan
(gudang) yang sejuk dan kering serta memiliki ventilasi yang baik. Tumpukan
peti/keranjang dalam gudang tersebut diatur sedemikian rupa agar sirkulasi udara
didalamnya tidak terhambat. Ikan asin kering harus disimpan dengan cara yang
benar agar tidak cepat rusak (Djarijah Siregar, 2004).

C. Program Kelayakan Dasar


1. Good manufacturing practices (GMP)
Cara berproduksi yang baik dan benar terdiri dari berbagai macam
persyaratan yang secara umum meliputi : persyaratan mutu dan keamanan
bahan baku/bahan pembantu, persyaratan penanganan bahan baku/bahan
pembantu, persyaratan pengolahan, persyaratan pengemasan produk,
persyaratan penyimpanan produk dan persyaratan distribusi produk.
Persyaratan-persyaratan tersebut dapat dijabarkan lebih spesifik lagi sesuai
dengan jenis produk yang diolah.
2. Sanitation standard operating procedures (SSOP)
Mengacu pada peraturan dalam Sea Food HACCP Regulation oleh FDA dan
Diskanlut Provinsi Jawa Tengah (2006), ketentuanketentuan dalam penerapan
SSOP terdapat 8 (delapan) kunci SSOP, yaitu :
1). Keamanan air proses dan es yang dipergunakan terutama yang kontak
langsung dengan ikan. Air yang dipergunakan berasal dari air ledeng yang
sumbernya cukup aman dan dikelola dengan sistem yang baik.
2). Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak langsung dengan produk
meliputi alat, sarung tangan dan pakaian kerja.
Pengendalian dan pengawasan :
a). Permukaan yang kontak dengan pangan harus bersih dan diinspeksi oleh
Supervisor sanitasi untuk memastikan bahwa kondisinya cukup bersih.
b). Permukaan yang kontak pangan harus bersih dan disanitasi.
1. Sebelum kegiatan dimulai, permukaan yang kontak dengan pangan
dibersihkan dengan air dingin dan disanitasi dengan jenis sanitizer
Sodium hypoklorite 100 mg/L.
2. Selama istirahat, kotoran dalam bentuk padatan harus dihilangkan
dari lantai, peralatan dan permukaan yang kontak dengan pangan.
Peralatan dan permukaan yang kontak dengan pangan dibersihkan
dengan sikat dengan pembersih alkalin terklorinasi pada air hangat.
Permukaan dan lantai dibersihkan dengan air dingin.
3. Di akhir kegiatan, padatan dibersihkan dari lantai, peralatan dan
permukaan yang kontak dengan pangan.
c). Karyawan memakai sarung tangan dan pakaian luar yang bersih
1. Karyawan yang bekerja di ruang bahan baku dan proses
menggunakan sarung tangan dan pakaian luar yang bersih dan
sepatu yang ditentukan. Pakaian karyawan dibersihkan dan
disanitasi setiap dua hari sekali dan setiap pergantian shift.
2. Karyawan yang bekerja di bagian lainpun apabila akan masuk ke
area proses harus menggunakan baju luar dan sepatu yang
ditentukan.
3). Pencegahan “cross contamination”
Pengendalian dan pengawasan :
a) Kegiatan karyawan tidak boleh menghasilkan kontaminasi pangan.
1. Karyawan menggunakan tutup kepala, sarung tangan (ganti
sesuai kebutuhan) dan tidak diperbolehkan memakai perhiasan.
2. Karyawan harus mencuci tangan dan sarung tangan serta
mensanitasinya sebelum pekerjaan dimulai.
3. Karyawan tidak diperbolehkan memakan makanan dan
minuman serta merokok di area produksi.
4. Karyawan mensanitasi sepatu pada bak yang berisi Ammonium
klorida 800 mg/L sebelum memasuki area proses.
5. Supervisor produksi mengawasi kegiatan karyawan dengan
frekuensi sebelum kegiatan dan setiap 4 jam selama proses
berlangsung.
b). Lantai pabrik harus pada kondisi dimana adanya perlindungan
untuk menghindari kontaminasi pada pangan dengan frekuensi
monitor setiap hari sebelum kegiatan mulai.
c) . Sampah dipindahkan dari area proses selama kegiatan produksi
berlangsung dengan frekuensi monitor setiap 4 jam.
d). Lantai dalam bentuk sudut untuk memudahkan pembersihan
dengan frekuensi monitor setiap hari sebelum kegiatan dimulai.
e). Lay out pabrik di bangun pada kondisi yang baik. Lokasi area
bahan baku dan proses terpisah.
f). Pembersih dan peralatan sanitasi diberi kode setiap area spesifik di
lingkungan pabrik.
4). Perawatan cuci tangan (bak cuci tangan), sanitizer (bahan sanitasi)
dan fasilitas toilet.
Toilet dan fasilitasnya harus dilengkapi dengan pintu yang dapat
tertutup secara otomatis, selalu terpelihara dengan baik dan tetap
bersih, disanitasi setiap hari pada akhir operasional. Bak cuci tangan
dan fasilitasnya harus ada air mengalir, sabun pembersih berbentuk
cair dan penyediaan handuk/lap.
5). Perlindungan produk, bahan packing produk yang berhubungan
dengan permukaan bahan yang memakai minyak, pestisida, solar,
sanitizer, dll.
Pengendalian dan pengawasan :
a. Bahan kimia disimpan secara terpisah di luar area proses dan
pengemasan.
b. Makanan, bahan kemasan makanan dan permukaan yang kontak
langsung dengan pangan harus terlindung dari bahaya biologi, fisik
dan kimia. Lampu yang berpelindung digunakan di area proses dan
pengemasan dengan frekuensi pengawasan setiap sebelum kegiatan
dan setiap 4 jam sekali.
c. Kotoran tidak boleh mengkontaminasi makanan atau bahan
kemasan dengan frekuensi pengawasan setiap 4 dan 8 jam.
6). Pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan-bahan harus
sesuai petunjuk. Pengendalian dan pengawasan bahan-bahan
pembersih, bahan sanitasi, minyak pelumas, bahan kimia/pestisida
dan bahan kimia beracun lainnya harus diberi label dan disimpan
dalam ruangan khusus yang kering dan dapat dikunci, terpisah
dari ruang pengolahan dan pengepakan.
7). Pengawasan kesehatan karyawan. Pada saat bekerja kondisi
karyawan harus bersih dan sehat, karena kondisi kesehatannya
dapat mengkontaminasi bahan makanan.
8). Pengawasan pest/hama, perlu dilakukan pada bagian dalam
bangunan dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang
dianjurkan, lingkungan harus dijaga tetap bersih dan kondisi
yang menjadi daya tarik hama/pest.

D. Keamanan Pangan
Anwar Faisal (2002) menerangkan bahwa pangan yang tidak aman dapat
menyebabkan penyakit (foodborne diseases) yaitu gejala penyakit yang timbul
akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/senyawa beracun/
organisme patogen. Berdasar sifat penularannya, foodborne diseases
dikelompokkan menjadi penyakit menular dan penyakit tidak menular yang
disebut dengan keracunan pangan. Penyakit yang ditimbulkan oleh pangan dapat
digolongkan dalam 2 (dua) kelompok yaitu 1) infeksi, digunakan apabila setelah
mengkonsumsi pangan atau minuman yang mengandung bakteri patogen timbul
gejala-gejala penyakit dan 2) intoksikasi yaitu keracunan yang disebabkan karena
mengkonsumsi pangan yang mengandung senyawa beracun yang mungkin
terdapat secara alami dalam pangan atau diproduksi oleh mikroba yang terdapat
dalam pangan.
Lebih lanjut diterangkan oleh Anwar F. (2002) bahwa suatu pangan
mentah atau olahan menjadi tidak aman dikonsumsi apabila telah tercemari, hal
ini ditinjau dari segi gizi yaitu jika kandungan gizi berlebihan (lemak, gula, garam
natrium) yang dapat menyebabkan berbagai penyakit generatif dan segi
kontaminasi yaitu jika pangan terkontaminasi oleh mikroorganisme atau bahan
kimia (termasuk logam berat dan racun kimia). Terjadinya kontaminasi oleh
mikroba patogen, toksin mikroba atau cemaran logam berat dan bahan kimia
mungkin terjadi selama pangan disimpan, diangkut, didistribusikan atau saat
disajikan kepada konsumen.

E. Penyebab Bahaya Selama Pengolahan


Sumber bahaya yang dapat mengkontaminasi bahan pangan selama proses
pengolahan dikelompokkan dalam 3 (tiga) jenis yaitu penyebab fisik,
mikrobiologi dan kimia.
1. Penyebab fisik
Penyebab fisik dapat berupa kotoran-kotoran atau benda asing
yang biasanya terdapat pada lambung ikan yang tidak dibersihkan sebelum
proses pengeringan. Oleh Badan Standardisasi Nasional (2005) dijelaskan
ada beberapa benda asing yang tidak diharapkan terdapat pada suatu
produk yang disebabkan oleh kontaminasi binatang seperti potongan
serangga, bulu burung, rambut manusia dan binatang pengerat serta
beberapa bahan lain yang disebabkan kondisi yang tidak memenuhi
persyaratan sanitasi (insanitary). Ikan asin kering akan berubah menjadi
coklat dan orange.
Nurrochyani (1994) menerangkan bahwa secara fisik pembusukan
ikan akan menyebabkan daging ikan menjadi hancur, kehilangan tekstur
dan berair. Hancurnya daging disebabkan karena komponen penyusun
jaringan dan benang-benang dagingnya telah rusak, putus sehingga tidak
ada kekuatan lagi untuk menopang struktur penyusun daging terutama
protein, dapat menyebabkan terlepasnya ikatan-ikatan airnya sehingga
daging akan kehilangan daya mengikat air, maka air akan keluar dari sel-
sel berupa tetes-tetes sehingga menyebabkan daging ikan menjadi berair.

2. Penyebab mikrobiologi
Penyebab mikrobiologi selama pengolahan pangan antara lain
adanya mikroba patogen. Menurut Icho (2001) mengatakan bahwa
penyimpanan ikan asin setelah beberapa lama sering timbul warna
kemerahan pada permukaan ikan atau timbulnya bintik-bintik putih yang
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang tahan terhadap garam. Hal ini
dapat dijumpai dengan penentuan jumlah mikroba dengan uji TPC (Total
Plate Count) dan uji-uji seperti Coliform dan Escherichia coli, Salmonella,
Vibrio cholerae dan uji Staphylococcus aureus yang kesemuanya
ditentukan berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh SNI pada
produk-produk olahan.
Penelitian Subroto et.al (1990). menjelaskan bahwa kandungan
TPC pada ikan asin berubah selama penyimpanan dengan berubahnya pola
ketersediaan air dapat mengubah pola pertumbuhan mikrobia. Faktor yang
mempengaruhi adanya mikroba adalah factor instriksik dan faktor
ekstrinsik. Faktor instrinsik adalah faktor yang tidak dapat dikendalikan
oleh usaha apapun juga dari manusia, artinya factor yang berasal dari
individu ikan itu sendiri misalnya adanya komponen zat makanan yang
diperlukan oleh mikroba, pH daging ikan. Sedangkan faktor ekstrinsik
merupakan faktor yang dapat dikendalikan oleh manusia di dalam
mempelajari kedua aspek tersebut, misalnya cara-cara penangkapan,
pengambilan contoh, media pertumbuhan yang digunakan, suhu inkubasi
(Nurrochyani, 1994).
Total Plate Count (TPC)
Badan Standardisasi Nasional (1994) menyatakan bahwa angka
lempeng total (ALT) dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah
mikroorganisme dalam suatu produk, yang pada prinsipnya jika sel
mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel
mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang
dapat dilihat langsung dengan mata. Ditambahkan juga oleh Fardiaz
(1989) bahwa metoda yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah
mikroba dalam bahan pangan terdiri dari metoda hitungan cawan, Most
Probable Number (MPN) dan metoda hitungan mikroskopik langsung. Hal
ini dibuktikan dengan hasil penelitian.
Subroto et. al (1990) yang didapatkan hasil kandungan TPC teri
kering dengan metode pour plate selama penyimpanan (bulan 0 – bulan 3)
naik dari 14 x 105 menjadi 14 x 108 naik sampai tiga skala log dan hasil
analisa mikrobiologi (TPC) produk perikanan asin kering oleh Poernomo
et. al (1984) menunjukkan angka yang cukup beragam dengan kandungan
TPC yang cukup tinggi (> 105 per gram) yaitu untuk jenis teri 178.5 x 105
, layang 1685 x 105, ebi 84.75 x 105, cumi 36.1 x 105 , tawes 1.2 x 105 ,
sepat 0.39 x 105 dan tembang 3.7 x 105 per gram.
Jutono, et.al (1980) menjelaskan bahwa jumlah mikroba pada suatu
bahan dapat ditentukan dengan bermacam-macam cara tergantung pada
bahan dan jenis mikroba yang ditentukan. Pertumbuhan jamur akan
menyebabkan naiknya kelembaban di permukaan produk sehingga
memungkinkan tumbuhnya mikroorganisme seperti bakteri halophilik
untuk mengadakan pembusukan dan kemungkinan menyebabkan racun
(Subroto et.a l, 1990). Selanjutnya cara perhitungan jumlah mikroba yaitu
dengan perhitungan secara langsung dan secara tidak langsung.
Perhitungan secara langsung dipakai untuk menentukan jumlah mikroba
keseluruhan baik yang mati maupun yang hidup yaitu dengan
mempergunakan counting chamber yang dasar perhitungannya dengan
menempatkan 1 tetes suspensi bahan atau biakan mikroba pada alat
tersebut; dengan cara pengecatan dan pengamatan mikrokospik dan
menggunakan filter membran. Sedangkan perhitungan secara tidak
langsung dipakai untuk menentukan jumlah mikroba keseluruhan baik
yang hidup maupun yang mati atau hanya untuk menentukan jumlah
mikroba yang hidup saja tergantung pada cara yang dipergunakan.
Diantaranya berdasarkan jumlah koloni (plate count) yaitu dengan
membuat suatu pengenceran bahan dengan kelipatan 10.

Coliform dan Echerichia coli


Murtiningsih (1997) memberikan informasi bahwa bakteri
Coliform, terutama Escherichia coli sering digunakan sebagai indicator
kebersihan karena habitatnya yang berada dalam saluran pencernaan
manusia atau hewan berdarah panas. Karsinah et. al. (1994) berpendapat,
E. coli adalah kuman yang banyak ditemukan di dalam usus besar manusia
sebagai flora normal.
Ditambahkan oleh Supardi dan Sukamto (1999) bahwa kuman
tersebut dapat berubah menjadi oportunis patogen bila hidup di luar usus,
misalnya pada infeksi saluran kemih, infeksi luka. Sedangkan Dewan
Standardisasi Nasional (1998) berpendapat coliform sebagai
mikroorganisme indikator pada kontrol sanitasi, yang sebagian besar tidak
berbahaya kecuali pada beberapa strain E. coli yang mempunyai sifat
patogenik terutama pada orang-orang tua dan anak-anak dan secara normal
hidup dalam usus manusia dan hewan berdarah panas dan air atau
makanan yang menunjukkan adanya kontaminasi kotoran.
Fardiaz (1989) berpendapat bahwa E. coli adalah bakteri gram
negatif berbentuk batang, bersifat anaerobik fakultatif dan mempunyai
flagella dan dibedakan atas sifat serologi antigen O (somatic), K (kapsul)
dan H (flagella). Ditambahkan DSN (1998) bahwa mikroorganisme
coliform berbentuk bulat, tidak membentuk spora, dapat
memfermentasikan laktosa dengan dihasilkannya asam dan gas pada suhu
32 – 35 °C selama 48 jam.
Dijelaskan oleh Supardi dan Sukamto (1999), E. coli mempunyai
sifat-sifat hidup aerobik/fakultatif anaerobik, bakteri gram negatif, tidak
berkapsul, mampu meragi laktosa dengan cepat sehingga pada media L-
EMB membentuk koloni merah muda sampai tua dengan kilat logam yang
spesifik, tumbuh pada suhu antara 10 – 40 °C, dengan suhu optimum 37
°C, pH optimum 7 – 7,5 dengan pH minimum 4 dan pH maximum 9. Hasil
penelitian Peranginangin et. al (1984) membuktikan bahwa cahaya ultra
violet 60 watt efektif membunuh bakteri E. coli dalam waktu 18 jam dapat
dihilangkan sebanyak 82% dan setelah 24 jam seluruh E. coli tidak
ditemukan lagi dan dengan penggunaan sinar ultra violet 90 watt kematian
E. coli dicapai 88% dalam waktu 12 jam dan setelah 18 jam E. coli tidak
ditemukan lagi yang berarti efektivitas lampu ultra violet mencapai 100%
membunuh E. coli.

F. Gambaran Umum Lokasi


Ruang lingkup daerah lokasi pengolahan hasil ikan secara tradisional ini
meliputi 3 (tiga) desa di Kabupaten Aceh Jaya, yaitu Desa Petek, Desa Lageun
dan Desa Krueng Sabee.
Usaha perikanan yang terdapat di Aceh Jaya meliputi usaha pengolahan,
usaha penangkapan dan usaha pemasaran (bakul ikan olahan dan ikan basah). Dari
hasil survey dan wawancara diperoleh bahwa masyarakat belum tertarik
melakukan usaha penangkapan, sebagian besar mereka lebih tertarik pada usaha
pengolahan ikan (ikan asin) dengan kapasitas rata-rata berkisar 150 – 500 kg per
hari ikan basah, disamping karena fasilitas penangkapan kurang memadai. Usaha
penangkapan ikan dibedakan berdasarkan jenis alat tangkapnya yaitu : Mini Purse
Seine, Lampara (Payang), Dogol, Arad, Cantrang dan Pancing. Sedangkan jenis
usaha pengolahan yang dihasilkan adalah ikan segar, ikan asin, ikan pindang dan
ikan panggang.
Bahan baku ikan basah yang biasa diperoleh di daerah lokasi adalah : Ikan kering
asin : 1. Ikan layur
2. Ikan Petek
3. Ikan kapasan
4. Ikan teri
5. Ikan tiga waja/kuniran
6. Ikan kadalan
III. METODE PENELITIAN

A. Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Ikan
Ikan yang digunakan dalam penelitian adalah ikan tembang
(Sardinella brachysoma (Bleeker, 1852)) (Pusat Informasi Pelabuhan
Perikanan, 2006). Dalam penelitian pendahuluan ikan yang dipergunakan
diperoleh dari tangkapan nelayan sekitar Aceh jaya, Sedangkan dalam
penelitian utama produk olahan ikan asin kering yang dihasilkan oleh unit
pengolahan di desa petek, lageun, dan krueng sabee.
Adapun gambar ikan yang akan di amati adalah sebagai berikut:.

Gambar 2. Ikan Tembang (Sardinella brachysoma, (Bleeker, 1852)

2. Air
Air yang digunakan untuk mencuci ikan berasal dari air sumur artetis yang
biasa dipergunakan untuk keperluan masak atau minum sehari-hari dan air
sumur biasa di setiap pengolah.
3. Garam
Garam yang digunakan adalah garam krosok.
4. Bahan – bahan Kimia
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini tercantum
dalam tabel 5.
Tabel 5.
BAHAN-BAHAN KIMIA YANG DIPERGUNAKAN

No Media dan Reagensia Kegunaan


Penentuan ALT/TPC
1. Larutan butterfield’s buffered Larutan stok dan larutan pengencer
Phosphate
2. PCA Media agar yang dituangkan dalam
Petridish
Penentuan Coliform dan E.
Coli
1. Larutan butterfield’s buffered Larutan stok dan larutan pengencer
Phosphate
2. Lauryl tryptose broth / LTB Media cair berisi tabung durham
dalam uji pendugaan untuk
mikroorganisme coliform.
3. Brilliant green lactose bile Media cair berisi tabung durham
broth / BGLB dalam uji penegasan coliform
4. EC broth Media cair berisi tabung durham
dalam uji pendugaan E. coli
5. LEMB Agar Media agar dalam petridish yang
dibuat goresan dalam uji
penegasan
E. coli
6. PCA Media agar miring yang digunakan
untuk uji biokimia
7. Tryptone broth Media cair untuk uji indol dengan
menambahkan reagen kovac’s
Lanjut
Alphanapthol Media tambahan untuk uji VP
KOH Media tambahan untuk uji VP
Kristal keratin Media tambahan untuk uji VP
Indikator Metyhl red Media tambahan dalam uji MR
Koser’s citrat broth Media cair yang menunjukkan
terjadinya pertumbuhan pada
tabung
Crytal violet Media cair untuk pewarnaan gram
Gram iodine Media cair untuk pewarnaan gram
Alkohol Media cair untuk pewarnaan gram
Safranin Media cair untuk pewarnaan gram

B. Peralatan Penelitian
Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6.
PERALATAN PENELITIAN
No Nama Alat Kegunaan
1. Timbangan Untuk menimbang ikan segar yang
baru dibeli dari nelayan.
2. Ember Untuk wadah ikan yang baru dibeli
dari nelayan. Untuk mencuci ikan segar
yang baru dibeli. Untuk tempat
penggaraman ikan. Untuk mencuci ikan
yang akan dijemur
3. Karung Untuk menutup ikan yang digarami
4. Batu/pemberat Untuk menekan ikan yang ditutup
Karung
5. Keranjang Untuk menaruh ikan yang akan dicuci
selesai digarami
6. Kassa Untuk menutup ikan yang dijemur
7. Para-para Untuk menjemur ikan
8. Bambu ukuran ± 2.5 m Untuk tempat para-para
9. Kertas + plastik + kertas Untuk membungkus ikan asin kering
Label yang selesai dijemur
10. Kerdus Untuk kemasan ikan asin kering dan
akan dikirim untuk diuji ke laborat
11. Botol steril Untuk tempat sampling air
Lanjut
12. Termos Untuk tempat botol steril yang digunakan
untuk sampling air dan akan dikirim untuk
diuji ke laborat

Keterangan : Peralatan penelitian berdasarkan survey dan pengamatan yang


dilakukan di lapangan.

1. Peralatan pengujian
Peralatan pengujian yang digunakan di laboratorium adalah :
a. Peralatan uji organoleptik (SNI 01-2345-1991)
Peralatan pengujian organoleptik yang dipergunakan dapat
dilihat pada adalah pada tabel 7.
Tabel 7.
PERALATAN PENGUJIAN ORGANOLEPTIK
No Nama Alat Kegunaan
1. Meja pengujian yang Untuk tempat penilaian panelis
dilengkapi kursi pengujian
2. Wastafel dan kran air Untuk tempat pencucian
dilengkapi lap tangan dan
sabun pembersih
3. Nampan Untuk tempat ikan asin kering yang akan
diuji
4. Tissue Untuk lap tangan dalam penilaian
organoleptik
5. Mangkok berisi air Untuk mencuci tangan dalam penilaian
organoleptik
6. Piring Untuk tempat ikan asin kering yang akan
dinilai oleh panelis
7. Pisau pengujian Untuk alat pelengkap apabila diperlukan
dalam penilaian organoleptik
8. Score sheet Lembar pertanyaan yang dicantumkan
spesifikasi dari produk sebagai informasi,
instruksi dan responsi panelis dalam
menentukan hasil penilaian secara
organoleptik

b. Peralatan uji kadar air (SNI 01-2356-1991)

Tabel 8.
PERALATAN UJI KADAR AIR

No Nama Alat Kegunaan


1. Timbangan analitik Untuk menimbang sampel
2. Sendok contoh stainless steel Untuk menyendok
3. Botol timbangan tutup Untuk tempat sampel yang
ditimbang
4. Blender Untuk menghomogenkan sampel
5. Oven vakum Untuk mengeringkan sampel
6. Penjepit Alat untuk menjepit
7. Desikator Untuk pendingin hasil ekstraksi

C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah :
a. Metode diskriptif
Penelitian diskriptif yaitu pencarian fakta dengan interpretasi yang
tepat. Tujuan dari penelitian diskriptif adalah untuk membuat deskripsi,
gambaran dan tulisan secara sistematis, faktual dan akuran mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki (Withney,
1960 dalam Nazir, 1983).
Sedangkan menurut Danim (2004) penelitian dengan metode
deskriptif yaitu suatu bentuk metode yang pelaksanaannya dengan
carapendekatan sistematis dan subyektif oleh peneliti ke responden dengan
cara survey, observasi dan wawancara yang di tulis dalam bentuk kalimat
yang akan disortir diidentifikasi data ke dalam makna, sehingga
temuannya dapat digeneralisir dalam populasi yang lebih besar.
Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan kegiatan survey,
observasi yaitu pengamatan dan penyelidikan untuk mendapatkan
keterangan atau informasi yang jelas terhadap subyek (pengolah) untuk
mengkaji tingkat penerapan kelayakan dasar dengan wawancara pada
sebagian subyek yang kemudian digunakan sebagai sampel data dalam
penelitian.
b. Metode Studi Kasus
Studi kasus adalah meneliti secara mendalam yang mencakup
segala aspek pada waktu dan tempat tertentu (Wasito, 1993 dan
Surakhmad, 1994). Hasil penelitian yang diperoleh tidak dapat
digeneralisasikan, tetapi merupakan nilai khusus dari penelitian itu sendiri.
Dalam penelitian ini sebagai kasusnya adalah unit pengolahan ikan
asin kering dengan jenis ikan tembang dilakukan secara Stratified Random
Sampling. Stratifikasi atau pembagian kelas dilakukan terhadap populasi
unit pengolah ikan terpilih sebagai sampel yang dibagi menjadi :
1. Kelompok pengolah besar dengan kapasitas lebih dari 5 kwintal
setiap produksi (terdiri 8 pengolah)
2. Kelompok pengolah kecil dengan kapasitas kurang dari 5 kwintal
setiap produksi (terdiri 34 pengolah)
Menurut Sudjana (1995) menyebutkan bahwa jika anggota
populasi kurang dari atau sama dengan 30, maka seluruh anggotapopulasi
dijadikan sampel. Selanjutnya dapat diambil sampel minimum 20% jika
anggota populasi lebih dari 30. Mengacu pada pendapat tersebut, maka
pada penelitian ini, sampel yang diambil ditetapkan sebesar 35% dari
populasi yang ada.
Marzuki (2003) berpendapat pengambilan sampel secara Stratified,
sebelum diambil sampel populasi dibagi-bagi menjadi subsub
populasi/strata/lapisan/kelompok yang lebih kecil yang diharapkan
menjadi relatif homogen. Dari hasil survey didapat 8 pengolah besar dan
34 pengolah kecil. Dengan mengambil sampel sebanyak 35% dari populasi
(15 pengolah) maka penarikan sampel dilakukan terhadap 3 pengolah
besar dan 12 pengolah kecil. Rumus perhitungannya adalah sebagai
berikut : n/N x N1 dan n/N x N2 . Keterangan : n : sampel (15 pengolah)
N : populasi (42 pengolah)
N1 : populasi pengolah besar (8 pengolah)
N2 : populasi pengolah kecil (34 pengolah)
Danim S. (2004) juga memberikan penarikan sampel secara
Berstrata dengan pertimbangan rasional dengan membuat rasio mengenai
besarnya anggota yang dijadikan sampel untuk masing – masing strata
adalah 1 : 4 (1 berbanding 4) dengan anggota 15 pengolah, maka
perhitungan besarnya anggota sampel untuk pengolah besar adalah 1/5 x
15 = 3 pengolah dan sampel untuk pengolah kecil adalah 4/5 x 15 = 12
pengolah.
Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berupa pengambilan sampel air
sumber dan produk ikan asin kering di tempat pengolah ikan asin kering
untuk dianalisa secara laboratorium. Uji laboratorium untuk air sumber
yang digunakan pengolah dilakukan uji TPC, Coliform dan E. coli.
Sedangkan produk ikan asin kering diuji TPC, Coliform, E. coli, kadar air
dan organoleptik. Dalam pengujian ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.
c. Metode eksperimental
Untuk hasil kelayakan produk olahan ikan asin kering dilakukan
penelitian pendahuluan berupa pembuatan ikan asin kering dengan
perlakuan konsentrasi garam yang berbeda ( 10%, 20%, 30%, 35%) dan
membandingkan diantara perlakuan yang diteliti dengan uji laboratorium
(TPC, Coliform, E. coli, kadar air dan organoleptik). Dalam kegiatan ini
dilakukan pengambilan sampel air sumber dari sumur artetis, garam yang
digunakan dan pengambilan sampel pada kontrol penelitian untuk diuji
secara laboratorium.
Dalam uji laboratorium dilakukan ulangan 2 kali. Untuk pengujian
Coliform dan E. coli dilakukan secara komposit yaitu menggabungkan 2
bagian sampel untuk menjadi 1 (satu) komposit. Hasil uji mutu ikan asin
kering yang sesuai dengan standar SNI akan dipergunakan sebagai control
dalam penelitian di lapangan/pengolahan ikan asin kering. Sedangkan
pengujian garam yang digunakan dilakukan uji pemurnian garam dengan
cara :
a. Persiapan alat : Erlenmeyer 2000 mL, 500 mL ; glass ukur 250
mL;
b. beaker glas 100 mL dan 200 mL; batang pengaduk, mikroskop dan
timbangan.
c. Dibuat larutan garam dengan konsentrasi 50%, kemudian diaduk
sampai terjadi endapan konstan.
d. Endapan dipisahkan kemudian dilakukan penimbangan endapan
yang ada dan dinyatakan dalam persen.
Adapun prosedur pembuatan ikan asin kering adalah sebagai
berikut :
1. Perolehan bahan baku ikan segar diperoleh dari nelayan sekitar PPI
Aceh jaya dengan jumlah pembelian ikan segar sebanyak 8 kg.
2. Ikan langsung dibawa ke tempat pembuatan, langsung dilakukan
pencucian dengan air tandon yang berasal dari sumur artetis.
Pencucian dilakukan sampai ikan bersih.
3. Setelah pencucian, ikan ditimbang dan dibagi 4 (empat) ditampung
dalam keranjang untuk dilakukan penggaraman. Metode
penggaraman yang dilakukan adalah penggaraman kering.
4. Setiap 2 kg ikan, jumlah garam yang dibutuhkan masing – masing
dengan perlakuan A / garam 10% (20 gr), perlakuan B / 20% (40
gr), perlakuan C / 30% (60 gr) dan perlakuan D / 35% (70 gr).
5. Penggaraman dilakukan dengan cara wadah dan penutup
yangdigunakan sudah terlebih dulu dibersihkan. Di bagian dasar
wadahdiberi garam, kemudian ikan dimasukkan dalam wadah dan
disusun berlapis dengan garam. Pada lapisan atas ditaburi garam.
Terakhir dilakukan penutupan wadah dengan plastik dan diatasnya
dibebani pemberat.
6. Waktu penggaraman dilakukan selama ± 22 jam. Setelah
penggaraman selesai, ikan dibongkar dan ditaruh dalam keranjang
lalu dicuci dengan air bersih. Kemudian ikan ditiriskan dalam
keranjang yang sama untuk kemudian dijemur (dikeringkan) diatas
para-para yang dilapisi kain kassa dan ditutup dengan kain kassa
pula. Dalam penjemuran dilakukan pembalikan ikan.
7. Setelah ikan dinyatakan kering, ikan diatas para-para diangkat
ditaruh ke tempat teduh, kemudian dikemas untuk dilakukan uji
secara laboratorium.

d. Analisis Data
Untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka
dilakukan analisa data pada : Analisa data uji organoleptik, uji TPC, Coliform, uji
E. Coli, dan uji Kada Air, tingkat penerpan kelayakan dasar, analisa hubungan
social ekonomi dengan tingkat penerpan kelayakan dasar,

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan E. Liviawaty, 1989, Pengawetan dan Pengolahan Ikan, Penerbit


Kanisius, Yogyakarta.
Anwar F., 2002, Keamanan Pangan, Bab 11 Buku Pengantar Pangan dan Gizi.
Cetakan 1 Th 2004, Penerbit Swadaya Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional, 1992, Standar Produk Perikanan, Standar Ikan
Asin Kering, SNI 01-2721-1992, BBPMHP Jakarta 1993/1994
BPPMHP, 2005, Materi Pelatihan Pengujian Mikrobiologi Bagi Analisis
LPPMHP. (Escherichia coli, Salmonella dan Filth), BPPMHP, Jakarta
Dewan Standardisasi Nasional, 1995, Rancangan Standar Nasional Indonesia
(SNI) Es Balok Untuk Penanganan Ikan.
Dinas Perikanan dan Kelautan Prov. Jawa Tengah, 2005, Statistik Perikanan
Tangkap Jawa Tengah 2004.
Direktorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil, 1998, Konsep Penerapan
PMMT Berdasarkan Konsepsi HACCP, Dirjen Perikanan, Subdit
Pengolahan Hasil.
Direktorat Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan, 2003, Petunjuk Teknik Operasi
Sanitasi di UPI pada Usaha SKM, Dirjen Perikanan Tangkap, Jakarta.
Dirjen Perikanan Tangkap, 2005, Panduan Temu Koordinasi Pengawas Mutu
(Wastu) Seluruh Indonesia, Direktorat Mutu dan Pengolahan Hasil,
Jakarta.
Djarijah Siregar, 2004, Ikan Asin, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Fardiaz, 1989, Analisis Mikrobiologi Pangan, Departemen P dan K Dirjen
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. ITB, Bogor.
Hadiwiyoto, 1993, Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1, Fakultas
Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta.
Imam Ghozali, 2001, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS,
Badan Penerbit UNDIP, ISBN 979.704.015.1.

Indriati,S., Tazwir dan Endang Sri Heruwati, 1991, Penyebab Kerusakan Pada
Ikan Asin Pasar pengecer dan Grosir di Jakarta, Jurnal Penelitian Pasca
Panen Perikanan No. 71 Th. 1991 hal 49 - 55.
Ismanadji, 1999, Kemunduran Mutu Produk Perikanan Secara Mikrobiologi,
Disampaikan pada Pelatihan Analis Pengawas Mutu Laboratorium pada
tanggal 1 – 10 November 1999 di Jakarta.
Junianto, 2003, Teknik Penanganan Ikan, Seri Agriwawasan. Penebar Swadaya.
LAMPIRAN

Penyediaan bahan baku Pencucian ikan mentah

Pengaraman Pencucian ikan setelah penggaraman

Pengeringan Packing

Penyimpanan

Anda mungkin juga menyukai