0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
96 tayangan8 halaman

Sumber - Sumber Qawaid Fiqhiyyah: A. Al Quran

Dokumen tersebut membahas sumber-sumber qawaid fiqhiyyah yang terdiri dari Al-Quran, sunnah, ijma', ijtihad, qiyas, istihsan, istishab, mashlahah mursalah, 'urf, dan sadduz zari'ah. Kaidah pertama yang disebutkan adalah bahwa semua perkara ditentukan berdasarkan tujuannya.

Diunggah oleh

Bayu andhika
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
96 tayangan8 halaman

Sumber - Sumber Qawaid Fiqhiyyah: A. Al Quran

Dokumen tersebut membahas sumber-sumber qawaid fiqhiyyah yang terdiri dari Al-Quran, sunnah, ijma', ijtihad, qiyas, istihsan, istishab, mashlahah mursalah, 'urf, dan sadduz zari'ah. Kaidah pertama yang disebutkan adalah bahwa semua perkara ditentukan berdasarkan tujuannya.

Diunggah oleh

Bayu andhika
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 8

SUMBER – SUMBER QAWAID FIQHIYYAH

Qawaid Fiqhiyyah adalah sebuah disiplin ilmu yang menjadi dasar memberikan alasan terhadap para
ulama dalam memberikan alasan dari hukum yang mereka perpegangi. Terbentuknya Qawaid
Fiqhiyyah sebagai sebuah ilmu, tidak terlepas dari sumber – sumber yang menjadi dasar sehingga
menjadi sebuah Qawaid Fiqhiyyah. Adapun sumber-sumber Qawaid Fiqhiyyah di antaranya :

A.    Al quran

Al Quranul Karim merupakan sumber pokok dan dalil utama bagi hukum syariat Islam. Kumpulan
firman – firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan dinukilkan dengan jalan
mutawatir.

Ayat – ayat Al quran Allah turunkan dengan cara yang terpisah – pisah menurut kejadian dan
peristiwa dalam masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu peristiwa tersebut di dalam istilah
hukum Islam di sebut asbabun nuzul.

Aturan – aturan hukum syariat ini berlakunya berangsur – angsur menurut situasi sebab – sebab
turunnya ayat, disesuaikan dengan kemampuan umat pada masa dahulu. Membutuhkan stategi
tepat untuk pendekatan kepada masyarakat jahiliyyah untuk meninggalkan kebiasaan yang dilarang
oleh syariat Islam dan mengubah hukum mereka yang sudah kuno dengan hukum  baru. Hal itu
dapat dilihat dengan jelas seperti aturan larangan minum khamar dan maisir.

Kebanyakan hukum yang ada dalam Al quran bersifat umum dan tidak membicarakan soal – soal
juz’i, dengan artian tidak satu persatu dijelaskan secara rinci dalam Al quran. Karena itu,  Al quran
membutuhkan penjelasan – penjelasan. Di antaranya melalui Hadits. Dapat diketahui bahwa ayat Al
quran yang umum seperti masalah shalat, zakat, jihad dan urusan – urasan lainnya, dijelaskan
dengan Hadits. Selain itu, untuk menyingkapi persoalan kekinian yang membutuhkan jawaban untuk
persoalan ini, maka para ulama menggunakan ijma’ dan qiyas dalam mengambil suatu hukum.

Qawaid Fiqhiyyah bersumber dari teks Al quran untuk menyusun suatu kaidah, seperti kaidah  ‫ت‬ ‫التيسير‬
‫المشقة‬ ‫جلب‬ (Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan). Dalil yang menjadi patokan dari kaidah ini
yaitu dalam surat AlBaqarah ayat 185

...  ‫يريد‬ ‫هللا‬ ‫بكم‬ ‫العسر‬ ‫و‬ ‫ال‬ ‫يريد‬ ‫بكم‬ ‫العسر‬ ...

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu . . .

Surat Al-Baqarah ayat 286

‫ال‬ ‫يكلف‬ ‫هللا‬ ‫نفسا‬ ‫اال‬ ‫وسعها‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”

Dari prinsip-prinsip yang termuat dalam teks ayat di atas memberikan isyarat bahwa dalam hukum
syar’i tidak didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hambanya. Pada hakikatnya
bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan.[2]

Dan contoh kaidah lain yaitu   ‫الضرر‬ ‫يزال‬ ( Kemudharatan itu harus dihilangkan), ayat Al quran yang
senada dengan kaidah ini adalah surat Al-Baqarah ayat 231:

‫وال تمسكوهن ضراراً لتعتدوا‬


“janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka”
B.     Sunnah

Sunnah merupakan segala yang dinukilkan atau diberitakan dari Nabi saw, baik berupa perkataan,
perbuatan ataupun ketetapan nabi. Melihat dari pengertian di atas, sunnah dapat dibagi atas :
Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah, dan Sunnah Taqririyyah.

Sunnah ada kalanya mutawatir dan ada kalanya ahad. Ulama sepakat bahwa hadits mutawatir dapat 
menjadi hujjah. Berkenaan hadits ahad, para ulama berbeda pendapat dalam menjadi kan hadits
ahad sebagai hujjah. Namun hadits yang shahih yang dapat diterima untuk dijadikan hujjah, dan
menjadi sumber kaidah.

Rasulullah saw selalu menyampaikan segala sesuatu dengan cara singkat, padat, lugas dan mudah
dipahami. Dengan demikian, ucapan beliau banyak menjadi inspirasi dalam lahirnya qawaid fihiyyah.
Contoh kaidah yang merujuk kepada sunnah atau hadits yaitu :

‫األمور بمقاصدها‬    ( hukum semua perkara itu sesuai dengan tujuan atau niatnya)
Kaidah ini berkaitan dengan dalil hadits yang disampaikan oleh Rasulullah yang berbunyi,  ‫انما االعمال‬
‫بالنيات‬  “sesungguhnya amal perbuatan bergantung pada niatnya”[3].
Contoh lain seperti kaidah   ‫الضرر يزال‬   ( kemudharatan itu harus dihilangkan).

Kaidah ini sama dengan hadits Nabi sawyang isinya:

)‫(رواه ابن ما جه‬   ‫ال ضرر وال ضرار‬

“Tidak boleh membuat mudharat terhadap diri sendiri dan tidak b oleh memudharatkan orang lain”

C.    Ijma’

Setelah Al Quran dan Sunnah, maka Ijma’ sebagai sumber ketiga menurut para ulama sebagai
sumber hukum syari’at Islam. Ijma’ merupakan suatu kemufakatan atau kesatuan pendapat para ahli
muslim yang mujtahid dalam segala zaman mengenai sesuatu ketentuan hukum syari’at.[4]

Ijma’ sebagai hujjah dengan berdasarkan dalil Al quran yaitu dalam potongan ayat surat An nisa ayat
115
‫ياايها‬ ‫الذين‬ ‫امنوا‬ ‫اطيعوا‬ ‫هللا‬ ‫و‬ ‫اطيعوا‬ ‫الرسول‬ ‫و‬ ‫اولي‬ ‫األمر‬ ‫منكم‬
“wahai orang – orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan
ulil amri dari kamu sekalian...”

 Adapun kaidah yang berdasarkan pada ijma’ yaitu :

  (Tidak ada ijtihad jika sudah ada nash)  ‫ال‬ ‫اجتهاد‬ ‫مع‬ ‫النص‬

D.    Ijtihad

Ijtihad dalam pengertian bahasa yaitu meluangkan kesempatan dan mencurahakan kesungguhan.
Adapun dalam pengertian istilah yaitu meluangkan kesempatan dalam usaha untuk mengetahui
ketentuan – ketentuan hukum dalam dalil Syari’at

Segala persoalan hukum ulama – ulama mujtgahid selalu memakai ketentuan – ketentuan nash
kecuali jika pada suatu persoalan tidak terdapat dalil nash mengungkapkan, maka disini mereka
mengqiyaskan perkara ini kepada perkara lain yang memiliki sama illatnya.[5]
Dalam ijtihad, adapun contoh kaidah yang digunakan yaitu “ijtihad yang lalu, tidak bisa dibatalkan
ijtihad yang baru”

Hal ini berdasarkan perkataan dari Umar Bin Kattab :

“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”

Dari kaidah di atas maksudnya yaitu ijihat yang satu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, tidak
dapat diganggu gugat, selagi tidak ada ijtihad yang lebih kuat yang dapat membantah.

E.     Qiyas

Qiyas dari segi bahasa merupakan mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya.

Secara istilah ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya,
berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.

Adapun rukun qiyas ada empat macam

1.      Asal (pokok) yaitu yang menjadi ukuran (maqis ‘alaih)

2.      Far’un (cabang) yaitu yang diukur (maqis) atau yang diserupakan

3.      Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabang

4.      Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok[6]

Salah satu kaidah yang mirip dengan qiyas yaitu

‫الحوادث تضاف الي اقرب األوقاف‬

 “sesuatu yang baru terjadi disandarkan pada waktu terdekatnya”[7]

F.     Istihsan

Istihsan ialah meninggalkan hukum sesuatu hal/peristiwa yang bersandar kepada dalil syara’ menuju
kepada hukum lain yang bersandar kepada dalil syara’ pula, karena ada suatu dalil syara’ yang
mengharuskan peninggalan tersebut.

Dalam istihsan, ada dua dalil untuk menetapkan hukum sesuatu hal, kemudian seseorang mujtahid
meninggalkan salah satu dalil yang jelas/ kuat untuk menuju kepada dalil yang lain, karena ada
sesuatu hal.[8]

Salah satu kaidah yang menjadikan istihsan sebagai sumber qawaid yaitu

“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan
dikerjakan lebih ringan kepada mudaratnya”

G.    Istishab

Dari segi bahasa perkataan Istishab diambil dari perkataan  “istishabtu ma kaana fil maadhi” artinya
saya membawa serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang.

Secara istilah, melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena
sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut. [9]
Contoh kaidah yang  merujuk kepada istishab:

‫االصل بقاء ما كان علي ما كان ما لم يكن ما يغيره‬

“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya”

H.    Mashlahah Mursalah

Merupakan kebaikan (mashlahah) yang tidak disinggung-singgung syara’, untuk mengerjakan atau
meninggalkannya, sedangkan kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari
keburukan.[10]

Salah satu kaidahnya

‫أنه يقدم في كل والية من هو‬

“Sesuatu yang lebih mampu mewujudkan kemaslahatan dalam tiap wilayah lebih didahulukan”[11]

I.       Urf

‘Urf ialah apa yang biasa dijalankan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan kata
lain ialah adat istiadat.

Alasan pengambilan ‘Urf diantaranya

1.      Syari’at Islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan urf yang berlaku padda
bangsa Arab, seperti syarat kafaah dalam perkawinan dan urut-urutan perwalian dalam nikah dan
pewarisan harta pusaka atas dasar ashabah.

2.      Apa yang dibiasakan orang, baik kata-kata maupun perbuatan, menjadi pedoman hidup mereka
yang membutuhkan.

Salah satu contoh kaidah yang menjadikan Urf sebagai sumber qawaidnya

‫العادة محكمة‬
“adat istiadat itu ditentukan sebagai hukum”[12]

J.      Sadduz Zari’ah

Yaitu menumbat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.

Salah satu rujukan kaidah yaitu

“Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan”[13]

kaidah fikih yang utama, yaitu :

KAIDAH PERTAMA
ِ َ‫ أُال ُم ْو ُر بِ ِمق‬.١
‫اص ِد َها‬

Setiap sesuatu bergantung pada maksud/niat pelakunya

Dalil kaidah ini antara lain adalah firman Allah SWT :

ۡ‫اح فِي َمٓا َأ ۡخطَ ۡأتُم ِب ِۦه َولَ ٰـ ِكن َّما تَ َع َّمد َۡت قُلُوبُ ُكم‬
ٌ ۬ َ‫س َعلَ ۡيڪُمۡ ُجن‬
َ ‫َولَ ۡي‬

Artinya : "Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu". (QS. Al Ahzab : 5)

Hadist Rasulullah dari Umar bin Khattab r.a :

‫ِإنَّ َما اَأْل ْع َما ُل ِبالنِّيَّ ِة َولِ ُك ِّل ا ْمرٍِئ َما نَ َوى‬

Artinya : "Sesungguhnya amal tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai
niatnya".

Contoh : 

Apabila seseorang berkata : "saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta
uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hiba, tapi dengan permintaan uang, maka akad
tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual-beli

KAIDAH KEDUA

َّ ‫ اليَقِ ْي ُن اَل يُ َزا ُل بِال‬.٢


‫ش ِّك‬

Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan


Dasar kaidah ini Hadist Rasulullah SAW :

‫ ٕان الشيطان لئاتى احدكم وهو فى صالته فيقول له ٔاحدثت فال ينصرف حتى يسمع صوتا ٔاو يجد ريحا‬.
‫ رواه ٕابن ماجه و ٔاحمد‬.

Artinya : "Sesungguhnya Setan akan mendatangi salah satu dari kalian yang sedang
melaksanakan shalat, lalu berkata kepadanya "Engkau telah hadats". (Jika itu terjadi) Maka
janganlah berpindah (membatalkan shalatnya) sampai dia (orang yang shalat) mendengar suara
atau mencium bau." (H.R. Ibnu Majah & Ahmad).

Contoh :

Terjadi perselisihan penjual dan pembeli, pembeli ingin mengembalikan barangnya dan berkata
bahwa barang tersebut seharga 15 ribu, sedang penjual berkata harga tersebut adalah 20 ribu.
Maka yang dianggap yakin adalah harga penjual.

KAIDAH KETIGA

‫س ْي َر‬ ُ ِ‫شقَّةُ تَ ْجل‬


ِ ‫ب التَّ ْي‬ َ ‫ ال َم‬.٣

Kesukaran/kesulitan itu dapat mendatangkan/ menarik kemudahan

Al-masyaqqah  berarti al-ta'ab  yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran. sedang al-
taysir  berarti kemudahan.

Hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf,
maka syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannyan tanpa kesulitan
dan kesukaran.

Kesulitan yang membawa kepada kemudahan antara lain dalam perjalanan (safar), sakit
(maridh), terpaksa yang membahayakan kehidupan, lupa, tidaktahu, kekurangmampuan
bertindak hukum (al-naqsh)

Dasar kaidah ini adalah QS Al Baqarah : 286 dan Al Hajj : 78


Contoh :

Seseorang yang meminjam barang kepunyaan orang yang dikenalnya, kemudian barang
tersebut telah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka
penggantinya adalah barang yang sama mereknya, ukurannya atau diganti dengan harga
barang tersebut dengan harga di  pasaran.

KAIDAH KEEMPAT

‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
َ ‫ ال‬.٤
Kemadaratan harus dihilangkan

Dasar kaidah ini adalah firman Allah dalam QS Al Baqarah ayat 231 dan hadist Rasulullah :

‫ رواه ٔاحمد و ابن ماجه و الطبراني‬. ‫ ال ضرر وال ضرار‬.

"Tidak boleh (ada) bahaya dan menimbulkan bahaya." (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, dan Thabrani)

Contoh :

Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut


mengakibatkan kemudharatan bagi rakyat

KAIDAH KELIMA

ٌ‫ ال َعا َدةُـ ُم َح َّك َمة‬.٥

"Adat kebiasaan dapat dijadikan rujukan hukum."

Dasar kaidah ini adalah firman Allah SWT 


ِ ‫َاش ُروهُنَّ ِب ۡٱل َم ۡع ُر‬
‫وف‬ ِ ‫َوع‬

Artinya : "dan pergaulilah mereka secara patut"

Hadist Rasulullah SAW :

‫ رواه ٔاحمد‬. ‫سيى‬


ٔ ‫ ـ ـ ـ فما رٔاى المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن و ما رٔاوا سي ٔىا فهو عند هللا‬.

Artinya : ".... apa yang kaum muslim anggap baik, maka baik pula menurut Allah. Dan apa yang
kaum muslim anggap buruk, maka buruk pula menurut Allah." (H.R. Ahmad).

Contoh :

Transaksi kurs mata uang (sharf), penyelesaian transaksi tersebut diadministrasikan sampai 2
hari kemudian setelah transaksi, hal tersebut dibenarkan.

Anda mungkin juga menyukai