Pikih Istihsan
Pikih Istihsan
Pikih Istihsan
ISTINBATH
Presented by : kelompok 7
Pengertian Istihsan
• Istihsan menurut bahasa atau secara etimologi adalah menganggap baik atau mecari yang baik atau
istihsan dapat diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni manghitung-hitung sesuatu dan
menganggapya kabaikan. Jadi dapat disimpulkan istihsan secara kebahasaan adalah berarti
menganggap baik terhadap sesuatu dan atau mencari jalan yang terbaik.
• Sedangkan istihsan secara istilah, menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju
(menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga karena ada suatu dalil yang terakhir
disebut sandaran istihsan.
Dasar Hukum Istihsan
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa dasar hukum istihsan yang dipegang oleh Mazhab Hanafi
adalah:
ٰۤل ٰۤل
اَّلِذ ْيَن َيْسَتِم ُعْو َن اْلَقْو َل َفَيَّتِبُعْو َن َاْح َس َنٗه ۗ ُاو ِٕىَك اَّلِذ ْيَن َهٰد ىُهُم ُهّٰللا َو ُاو ِٕىَك ُهْم ُاوُلوا اَاْلْلَباِب
Artinya: yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal(Q.S.
39:18).
1. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz I : 137, “Istihsan adalah semua hal yang
dianggap hukum, yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
2. Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, “Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan
hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang
membutuhkan keadilan.”
3. Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam mazhab Al-Maliki berkata, “Isihsan dalah pengambilan suatu
kemaslahatan yang bersifat juz’I dalam menanggapi dalil yang bersifat global.”
Macam-macam Istihsan
Apabila ditlusuri sejarah munculnya Istihsan sebagai dalil hukum, makai a berawal dari
persoalan penerapan Qiyas sebagai dalil hukum. Kenyataannya, dalam beberapa hal
Qiyas tidak dapat difungsikan karena tidak relevan dengan masalah yang dimaksud.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Qiyas harus dikesampingkan dan mencari
cara lain yang lebih mendekati tujuan syara’. Penyelesaian dengan metode tersebut
yang kemudian disebut dengan Istihsan.
Yang setuju untuk mendukung kehujjahan itihsan, ulama hanafiyah, malikiyah,dan
hanabilah mengemukakan alasan, sebagai berikut:
1. Istihsan bukanlah metode yang dilandasi Al-Quran dan Hadits meliankan suatu
upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu. Apabila boleh berdalil salain
nash dan qiyas, itu berarti memberikan peluang kepada seseorang yang tidak
memiliki pengetahuan tentang nash dan qiyas untuk menetapkan hukum berdasarkan
istihsan dengan alasan mereka juga berakal. Yang nantinya akan bermunculan
istinbath hukum yang mengada-ngada, bahkan imam Syafi’I menegaskan bahwa
orang yang menerapkan istihsan sebagai istinbath hukum berarti dia telah membuat
hukum syara’ yang baru.
2. Nabi Muhammad SAW tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan,
apalagi umatnya sudah sepantasnya menghindari penggunaan istihsan tersebut.
Contohnya seperti pada saat nabi ditanya tentang li’an dan zihan, beliau tidak
menggunakan istihsan melainkan beliau menunggu turunnya wahyu.
3. Istihsan tidak memiliki kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian secara syar’I tidak dapat diajdikan dalil
dalam menetapkan hukum.
Istihsan dan Aplikasinya Terhadap Produk Hukum (Fiqh)
Setelah mengemukakan pembagian dan kehujjahan istihsan, maka akan tampak eksistensi istihsan yang
kontroversial dikalangan fuqaha dapat berpengaruh pada hasil ijtihad mereka, seperti dalam kasus berikut ini: