Full Text Tesis Febi Damisti Ramadhani

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 162

ANALISIS FAKTOR RISIKO STUNTING PADA 1000 HARI

PERTAMA KEHIDUPAN DI PUSKESMAS SEBERANG


PADANG KOTA PADANG TAHUN 2019

Tesis

FEBI DAMISTI RAMADHANI


1720322006

Pembimbing I : Prof. Dr. dr. Delmi Sulastri, MS, SpGK


Pembimbing II : dr. Husna Yetti, PhD

PROGRAM STUDI PASCASARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2020
ANALISIS FAKTOR RISIKO STUNTING PADA 1000 HARI
PERTAMA KEHIDUPAN DI PUSKESMAS SEBERANG
PADANG KOTA PADANG TAHUN 2019

FEBI DAMISTI RAMADHANI


1720322006

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh


Gelar Magister Kesehatan Masyarakat
pada Program Pascasarjana
Universitas Andalas

PROGRAM STUDI PASCASARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2020
HALAMAN PERSEMBAHAN

“Dia memberikan hikmah (ilmu yang berguna) kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Barang siapa yang mendapat hikmah itu Sesungguhnya ia telah mendapat kebajikan yang
banyak.
Dan tiadalah yang menerima peringatan melainkan orang- orang yang berakal”.
(Q.S. Al-Baqarah: 269)
“...Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu beberapa derajat...”
(Q.S Al-Mujadillah 11)
“Tidak ada yang lebih baik dari pada akal yang diperindah dengan ilmu Dan ilmu yang
diperindah dengan kebenaran Dan kebenaran yang diperindah dengan kebaikan
Dan kebaikan yang diperindah dengan taqwa”
(H.R. Abdul Aziz)
Ungkapan hati sebagai rasa Terima Kasihku
Alhamdulllahirabbil’alamin…. Alhamdulllahirabbil ‘alamin…. Alhamdulllahirabbil alamin….
Akhirnya aku sampai ke titik ini,
Sepercik keberhasilan yang Engkau hadiahkan padaku ya Rabb
Tak henti-hentinya aku mengucap syukur pada Mu ya Rabb
Serta shalawat dan salam kepada idola ku Rasulullah SAW dan para sahabat yang mulia
Semoga sebuah karya ini menjadi amal shaleh bagiku dan menjadi kebanggaan
bagi keluargaku tercinta
Ku persembahkan karya ini…
Hasil karyaku ini kupersembahkan sebagai bentuk cinta dan baktiku kepada orang tuaku.
Papaku tersayang Damanhuri, S.Pd dan Mamaku tercinta Ismiati, S.Pd
yang menjadi pelipur lara dalam kehidupan ini,
yang selalu menyebut namaku dalam setiap do’a.
Karya ini tentunya belum dapat membalas semua yang telah diberikan,
setidaknya bisa untuk membahagiakan orang tuaku sayang.
Serta saudara-saudaraku tersayang yang selalu memberikan semangat
terhadap setiap kebaikan yang saya lakukan.
Kepada teman-teman seperjuangan (S2Kesmas 2017) khususnya rekan-rekan MKes yang tak
bisa tersebutkan namanya satu persatu terima kasih yang tiada tara ku ucapakan
Akhir kata, semoga tesis ini membawa kebermanfaatan. Jika hidup bisa kuceritakan di atas
kertas, entah berapa banyak yang dibutuhkan hanya untuk kuucapkan terima kasih... :)

by: Febi Damisti Ramadhani


ANALISIS FAKTOR RISIKO STUNTING PADA 1000 HARI PERTAMA
KEHIDUPAN DI PUSKESMAS SEBERANG PADANG
KOTA PADANG TAHUN 2019

Oleh : FEBI DAMISTI RAMADHANI (1720322006)

(Dibawah bimbingan: Prof. Dr. dr. Delmi Sulastri, MS, SpGK dan dr. Husna Yetti, PhD)

ABSTRAK

Latar Belakang: Tingginya prevalensi stunting menjadi masalah yang bisa mengancam
kesehatan anak. Anak stunting dapat menderita gangguan pertumbuhan linear dan juga
otak selama 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang bersifat irreversible. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat faktor risiko dominan stunting dan evaluasi pelaksanaan program
yang berkaitan dengan faktor dominan pada 1000 HPK untuk mencegah peningkatan
stunting.

Metode: Penelitian Mix Method dengan rancangan Sequential Explanatory dilakukan di


Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang. Penelitian kuantitatif menggunakan Cross-
Sectional Study pada 71 ibu yang mempunyai anak usia 12-24 bulan. Pengukuran TB/U
dan kuesioner untuk data kuantitatif, serta wawancara mendalam untuk data kualitatif. Uji
regresi logistik digunakan untuk menentukan faktor dominan stunting.

Hasil: Terdapat hubungan yang signifikan antara MP-ASI (p-value = 0,027; 8,17) dan
monitoring pertumbuhan (p-value = 0,048; 7,33) terhadap kejadian stunting. Tidak terdapat
hubungan Ante Natal Care (ANC), tablet Fe ibu hamil, ASI eksklusif, imunisasi lengkap
dan suplementasi vitamin A terhadap kejadian stunting. Faktor paling dominan adalah MP-
ASI. Belum optimalnya kegiatan MP-ASI berbasis Pemberian Makan Bayi dan Anak
(PMBA) dari unsur input yaitu belum adanya petunjuk teknis, kader terlatih, SOP
pelaksanaan kegiatan, penganggaran dan sarana yang memadai kegiatan MP-ASI berbasis
PMBA. Proses pelaksanaan konseling belum optimal hingga tidak terlihat output sesuai
dengan yang diharapkan.

Kesimpulan : MP-ASI dan monitoring pertumbuhan berhubungan dengan kejadian


stunting sehingga diharapkan perhatian khusus dari Puskesmas untuk mengoptimalkan
kegiatan MP-ASI berbasis PMBA dan meningkatkan monitoring pertumbuhan. Meskipun
ANC, tablet Fe ibu hamil, dan ASI eksklusif tidak berhubungan secara signifikan, namun
masih menjadi masalah di Puskesmas Seberang Padang tahun 2019.

Kata Kunci : 1000 HPK, MP-ASI, PMBA, Puskesmas, Stunting


Daftar Pustaka : 74 (1990-2019)
RISK FACTOR ANALYSIS OF STUNTING IN THE FIRST 1000 DAYS IN
SEBERANG PADANG PUBLIC HEALTH CENTER
PADANG CITY IN 2019

By : FEBI DAMISTI RAMADHANI (1720322006)

(Supervised by : Prof. Dr. dr. Delmi Sulastri, MS, SpGK dan dr. Husna Yetti, PhD)

Background : High prevalence of stunting is a problem that can threaten the health of
children. Children with stunting have linear growth impact and also has a negative and
irreversible impact on the development of a child's brain in the first 1000 days. This study
determine the dominant risk factor of stunting incidence and evaluation of implementation
program related to the dominant factor in the first 1000 days to prevent stunting.

Method : Mix method study with sequential explanatory design was conducted in Seberang
Padang Public Health Center. Cross-sectional study was conducted among 71 mothers
who have children aged 12-24 months. Measurement of height/age of children and
administered questionnaire for quantitative data, and depth interview for qualitative data.
Logistic regression is used to determine dominant factor.

Result:There were significant relationship between stunting and complementary feeding


practice (p-value = 0.005; 9.71) and growth monitoring (p-value = 0.769; 0.84). There
were no significant relationship between stunting and Ante Natal Care (ANC), Fe tablets
of pregnant women, exclusive breastfeeding, complete immunization, and Vitamin A
supplementation of infants. The most dominant risk factor is complementary feeding
practice. Complementary feeding practice program was non-optimal from the input
elements that are lack of technical guidance, trained cadres, standard operating procedure
for the implementation of activities, budgeting and adequate facilities. The process of
implementing counseling so the output does not look as expected.

Conclusion: Complementary feeding practice and growth monitoring are related to


stunting, thus special attention from Seberang Padang Public Health Center is expected to
optimize infant and young child feeding-based complementary feeding practice program
and improve growth monitoring in order to prevent stunting. Although Ante Natal Care, Fe
tablets of pregnant women, and exclusive breastfeeding are not correlated with stunting,
they are still a problem at the Seberang Padang Public Health Center in 2019.

Keywords : Complementary Feeding Practice, First 1000 Days of Life, Public


Health Center, Stunting
References : 74 (1990-2019)
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul
yaitu “Analisis Faktor Risiko Stunting Pada 1000 Hari Pertama Kehidupan di
Puskesmas Seberang Padang di Kota Padang tahun 2019”. Peneliti banyak
mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak dalam penulisan tesis ini. Peneliti
mengucapkan terimakasih banyak kepada yang terhormat :
1. Ibu Dr. dr. Rika Susanti, SpF selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang.
2. Ibu Dr.dr Yuniar Lestari M.Kes, FISPH, FISCM selaku Ketua Program
Studi Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Padang.
3. Ibu Prof. Dr. dr. Delmi Sulastri, MS, SpGK selaku Pembimbing 1 yang
telah memberikan arahan dan motivasi dalam penulisan hasil tesis ini.
4. Ibu dr. Husna Yetti, PhD selaku Pembimbing 2 yang telah memberikan
arahan dan motivasi dalam penulisan hasil tesis ini.
5. Ibu Dr. dr. Desmawati, M.Gizi selaku Penguji 1 yang telah memberikan
arahan dan motivasi dalam penulisan hasil tesis ini.
6. Ibu dr. Firdawati, M.Kes, PhD selaku Penguji 2 yang telah memberikan
arahan dan motivasi dalam penulisan hasil tesis ini.
7. Bapak Dr. dr. H. Edison, MPH selaku Penguji 3 yang telah memberikan
arahan dan motivasi dalam penulisan hasil tesis ini.
8. Bapak dan Ibu dosen Program Pascasarjana Kesehatan Masyarakat
Universitas Andalas Padang.
9. Keluarga, sahabat, serta teman-teman Program Pascasarjana Kesehatan
Masyarakat Universitas Andalas 2017 atas kerjasama serta dukungannya
Akhir kata, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu. Penulis berharap semoga penelitian tesis ini diterima dan
dimanfaatkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan ke depannya.
Padang, Juni 2020

Febi Damisti Ramadhani

i
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PENGESAHAN

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

HALAMAN PERSEMBAHAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

ABSTRAK

ABCTRACT

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi

DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN ...................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah Penelitian ...................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 9
E. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 12

A. Stunting ..................................................................................................... 12
B. Periode 1000 HPK .................................................................................... 14
C. Faktor Risiko Stunting .............................................................................. 16
D. Model Evaluasi.......................................................................................... 29
E. Telaah Sistematis ...................................................................................... 32
F. Alur Penelitian .......................................................................................... 37

ii
BAB III KERANGKA TEORITIS ....................................................................... 38

A. Kerangka Teori Penelitian......................................................................... 38


B. Kerangka Konsep Penelitian ..................................................................... 39

BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 40

A. Jenis Penelitian .......................................................................................... 40


B. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 40
C. Populasi dan Sampel ................................................................................. 41
D. Definisi Operasional (Kuantitatif)............................................................. 44
E. Definisi Operasional (Kualitatif)............................................................... 48
F. Pengumpulan Data .................................................................................... 54
G. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ....................................................... 56

BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 62

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ......................................................... 62


B. Analisis Univariat...................................................................................... 63
C. Analisis Bivariat ........................................................................................ 68
D. Analisis Multivariat................................................................................... 69
E. Hasil Kualitatif Program MP-ASI............................................................. 72

BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN ............................................................ 99

A. Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 99


B. Penelitian Kuantitatif ................................................................................ 99
C. Penelitian Kualitatif Program MP-ASI ................................................... 119

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 133

A. Kesimpulan ............................................................................................. 133


B. Saran ........................................................................................................ 134

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1 Kunjungan Pemeriksaan Antenatal .................................................... 19
Tabel 2 Jadwal Imunisasi Dasar ...................................................................... 25
Tabel 3 Jadwal Imunisasi Lanjutan Baduta ..................................................... 26
Tabel 4 Dosis Pemberian Kapsul Vit A Pada Baduta ..................................... 27
Tabel 5 Telaah Sistematis Penelitian............................................................... 32
Tabel 6 Definisi Operasional ........................................................................... 44
Tabel 7 Tabel 2x2 Crossectional Study ........................................................... 58
Tabel 8 Distribusi Karakteristik Orangtua ...................................................... 64
Tabel 9 Distribusi Karakteristik dan Faktor Risiko ........................................ 65
Tabel 10 Distribusi Jumlah Faktor Risiko......................................................... 66
Tabel 11 Distribusi Anak Stunting berdasarkan Jumlah Faktor Risiko ............ 67
Tabel 12 Persentase Faktor Risiko pada Anak Stunting.................................... 67
Tabel 13 Hubungan Variabel Independen dengan Kejadian Stunting
di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang 2019 ........................ 68
Tabel 14 Hasil Seleksi Bivariat ......................................................................... 70
Tabel 15 Model Awal Multivariat ..................................................................... 70
Tabel 16 Model Analisis Multivariat tanpa Suplementasi Vitamin A .............. 71
Tabel 17 Model Akhir Analisis Multivariat ...................................................... 71
Tabel 18 Karakteristik Informan Penelitian ...................................................... 73
Tabel 19 Kondisi Kebijakan Kegiatan MP-ASI ................................................ 74
Tabel 20 Matriks Triangulasi Metode Kebijakan Program
MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019 .................................. 75
Tabel 21 Jumlah Petugas Pelaksana Gizi (MP-ASI) di Puskesmas
Seberang Padang 2019 ....................................................................... 77
Tabel 22 Data Petugas Pelaksana Gizi di Puskesmas Seberang
Padang tahun 2019 ............................................................................. 77
Tabel 23 Matriks Triangulasi Metode Ketenagaan untuk Pelaksanaan
Program MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019 ................... 78
Tabel 24 Metode Pelaksanaan MP-ASI ............................................................ 80

iv
Tabel 25 Matriks Triangulasi Metode untuk Pelaksanaan Program
MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019 .................................. 81
Tabel 26 Anggaran Pelaksanaan MP-ASI ......................................................... 83
Tabel 27 Matriks Triangulasi Metode Anggaran untuk Pelaksanaan
Program MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019 ................... 84
Tabel 28 Sarana Pelaksanaan MP-ASI.............................................................. 85
Tabel 29 Matriks Triangulasi Metode Sarana untuk Pelaksanaan
Program MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019 ................... 86
Tabel 30 Matriks Triangulasi Perencanaan untuk Pelaksanaan
Program MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019 ................... 88
Tabel 31 Matriks Triangulasi Pengorganisasian untuk Pelaksanaan
Program MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019 ................... 90
Tabel 32 Matriks Triangulasi Pelaksanaan Program MP-ASI
di Puskesmas Seberang Padang 2019................................................. 94
Tabel 33 Matriks Triangulasi Pengawasan dan Evaluasi Program
MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019 .................................. 96
Tabel 34 Matriks Triangulasi Output Program MP-ASI di Puskesmas
Seberang Padang 2019 ....................................................................... 98
Tabel 35 Tabel Plan Of Action ........................................................................ 136

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1 Perkembangan Otak Manusia (B.J. Casey .2005) .............................. 15
Gambar 2 Kecepatan Pertumbuhan Linear Pada Masa Prenatal Dan
Postnatal (Sumber : J.M. Tenner, 1966) ............................................ 15
Gambar 3 Kecepatan Pertumbuhan Tinggi Badan
(Sumber: J.M. Tenner, 1966) ............................................................. 16
Gambar 4 Kerangka Konsep Pelayanan ANC Komprehensif ............................ 21
Gambar 5 Model Evaluasi Sistem ....................................................................... 30
Gambar 6 Alur Penelitian.................................................................................... 37
Gambar 7 Kerangka Teori Penelitian (Modifikasi Kerangka
teori Lancet (SUN) dan Unicef,1990) ................................................ 38
Gambar 8 Kerangka Konsep Penelitian .............................................................. 39

vi
DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN

1. ADD : Anggaran Dana Desa


2. APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
3. ASI : Air Susu Ibu
4. ANC : Ante Natal Care
5. Baduta : Bawah Dua Tahun
6. BB/U : Berat Badan Menurut Umur
7. BB/TB : Berat Badan Menurut Tinggi Badan
8. BLUD : Badan Layanan Umum Daerah
9. BOK : Biaya Operasional Kegiatan
10. CIPP : Context Input Process dan Product
11. DPT : Difteri Pertusis Tetanus
12. D/S : Ditimbang per Seluruhnya
13. GHD : Global Health Data
14. HPK : Hari Pertama Kehidupan
15. IMD : Inisiasi Menyusui Dini
16. ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut
17. KEP : Kekurangan Energi Protein
18. KIA : Kesehatan Ibu Anak
19. KIE : Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
20. KMS : Kartu Menuju Sehat
21. LILA : Lingkar Lengan Atas
22. LPMM : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
23. MP-ASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu
24. PMBA : Pemberian Makan Bayi dan Anak
25. PMK : Peraturan Menteri Kesehatan
26. PSG : Pemantauan Status Gizi
27. PUS : Pasangan Usia Subur
28. Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
29. RUK : Rencana Usulan Kegiatan

vii
30. SUN : Scaling Up Nutrition
31. TB/U : Tinggi Badan Menurut Umur
32. TPG : Tenaga Pelaksana Gizi
33. UNICEF : United Nations Children’s Fund
34. WHO : World Health Organization
35. WUS : Wanita Usia Subur
36. WHAN : World Health Assembly Nutrition

viii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan gizi masih menjadi sorotan di Indonesia terutama masalah


gizi pada balita. Kondisi kesehatan dan status gizi balita merupakan indikator
keadaan gizi kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan kasus gizi buruk atau gizi
kurang, stunting/pendek dan permasalahan gizi lainnya akan menjadi beban baik
keluarga dan masyarakat maupun negara (UNICEF, 2012). Stunting merupakan
masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu
cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
World Health Organization (WHO) mengartikan stunting adalah keadaan tubuh
yang sangat pendek hingga melampaui defisit 2 SD di bawah median panjang atau
tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional (Trihono,dkk., 2015).
Berdasarkan target World Health Assembly Nutrition (WHAN) tahun 2025
memiliki target penurunan proporsi stunting pada balita sebesar 40% (IFPRI,
2014).
Stunting memiliki dampak pada anak mulai dari awal kehidupan anak dan
akan berlanjut pada siklus hidup manusia. Stunting berdampak buruk terhadap
perkembangan otak anak. Pada awal kehidupan menyebabkan perlambatan dan
pengurangan jumlah dan pengembangan sel otak dan organ lainnya. Stunting pada
usia sekolah akan mengakibatkan anak menjadi lemah secara kognitif dan
kecerdasan fisik maupun mental. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya
menyangkut pertumbuhan linear tetapi juga perkembangan otak anak. Dampak
stunting terlihat dari adanya penurunan skor tes IQ sebesar 10-13 poin
(Supriasa,dkk., 2014). Hal ini juga didukung oleh penelitian Arfines dan
Puspitasari (2017) di Jakarta yang menyebutkan bahwa anak stunting memiliki
hubungan dengan prestasi belajar anak. Semakin tinggi Z-score semakin tinggi
pula prestasi belajarnya. Semakin normal pertumbuhan tinggi anak semakin tinggi
pula prestasi belajar anak. Tidak hanya dapat berpengaruh pada penurunan
kecerdasan pada anak tetapi juga dapat mempengaruhi peningkatan risiko terjadi
berbagai penyakit tidak menular seperti hipertensi, penyakit jantung koroner dan
2

diabetes dan lain-lain pada usia dewasa (Kemenkes, 2013a). Stunting merupakan
masalah kekurangan gizi yang dapat menurunkan pendapatan tingkat individu,
keluarga, komunitas maupun nasional. Hal ini secara signifikan mempengaruhi
produktivitas global, perdagangan international, layanan kesehatan sehingga
menghambat pertumbuhan ekonomi dunia sebanyak 5% yang setara dengan
beberapa triliun dolar dalam kegiatan ekonomi disia-siakan setiap tahun (Thurow,
2016). Penurunan pendapatan nasional (GNP) sebesar 2-4% tiap tahunnya karena
masalah stunting di Bangladesh dan Pakistan (Kemenkes, 2013a).
Stunting erat kaitannya dengan periode 1000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK). Periode 1000 HPK merupakan periode penting atau periode emas untuk
pertumbuhan dan perkembangan. 1000 HPK dimulai dari kehamilan hingga anak
berumur 2 tahun. 1000 HPK disebut dengan Window of Opportunity karena
periode ini sistem organ mengalami peningkatan pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat cepat. Periode ini menjadi periode yang tepat untuk peningkatan
nutrisi dan memperhatikan tumbuh kembang anak sehingga akan memiliki
dampak yang besar pada populasi dengan gizi buruk. Apabila anak menderita
malnutrisi selama 1000 HPK, maka anak dapat menderita gangguan pertumbuhan
seperti stunting yang bersifat irreversible. Artinya adalah apabila anak sudah
mengalami stunting maka tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengejar
ketertinggalan pertumbuhan dan perkembangan di masa depan (Thurow, 2016).
Periode 1000 HPK ini sudah ada sejak dahulu namun tidak pernah menjadi
pusat perhatian kebijakan kesehatan masyarakat. Namun sekarang pada tataran
global terdapat gerakan perbaikan gizi dengan fokus pada kelompok 1000 HPK
yang disebut dengan Scaling Up Nutrition (SUN) dan di Indonesia disebut dengan
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam rangka 1000 HPK
(Kemenkes, 2013a).
Menurut UNICEF (1990) faktor yang menyebabkan stunting terdiri
immediate causes atau penyebab langsung yaitu kurangnya asupan gizi, dan
penyakit infeksi. Underlaying causes atau penyebab tidak langsung tingkat
keluarga yaitu kebersihan lingkungan dan akses terhadap layanan kesehatan, pola
asuh, ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga. Basic causes atau penyebab
dasar tingkat masyarakat yaitu pendidikan, politik dan pemerintahan,
3

kepemimpinan sumber daya dan keuangan serta sosial ekonomi politik dan
lingkungan (Martorell, 2017).
UNICEF pada tahun 2014 mengeluarkan hasil bahwa lebih dari 162 juta
anak di bawah 5 tahun di dunia mengalami stunting. Berdasarkan data WHO di
Wilayah Afrika prevalensi stunting tahun 2010 sebesar (37,2%), tahun 2015
(34,6%) dan tahun 2017 (33,6%). Prevalensi stunting di Afrika tidak jauh berbeda
dengan prevalensi stunting di Asia Tenggara. Prevalensi stunting di Asia
Tenggara yaitu tahun 2010 sebesar (39,5%), tahun 2015 (34,8%) dan tahun 2017
(33,0%). Namun, jika dibandingkan dengan negara maju di wilayah bagian
Amerika terlihat perbedaan yang sangat signifikan. Pada tahun 2010 prevalensi
stunting di Amerika sebesar 7,9% dan tahun 2017 sebesar 6,3%. Besaran masalah
di Asia Tenggara hampir sama dengan besaran masalah stunting di wilayah bagian
Afrika namun jauh berbeda dengan negara maju seperti di wilayah bagian
Amerika (WHO, 2018).
Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi
stunting di Indonesia berfluktuasi yaitu tahun 2007 sebesar 36,8%, sebesar 35,6%
(2010), 37,2% (2013), dan 30,8% (2018). Berdasarkan Riskesdas, prevalensi
stunting di Sumatera Barat berfluktuasi yaitu tahun 2007 sebesar 36,5%, 32,7%
(2010), 39,2% (2013), dan 29,9% (2018). Meskipun prevalensi stunting
mengalami kecenderungan menurun di Indonesia dan Sumatera Barat pada tahun
2018 namun masih menjadi masalah karena angka prevalensi lebih dari 20%.
Menurut WHO, wilayah dikatakan baik apabila di suatu wilayah memiliki
prevalensi balita stunting kurang dari 20%. Sedangkan apabila suatu wilayah
memiliki angka 20% atau lebih maka dapat dikatakan sebuah wilayah memiliki
masalah gizi akut dan kronik (Kemenkes, 2007; Kemenkes, 2010; Kemenkes,
2013b; Kemenkes, 2018).
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) prevalensi stunting di
Sumatera Barat pada balita meningkat sangat signifikan yaitu dari sebesar 25,5%
tahun 2016 menjadi sebesar 30,6% tahun 2017. Prevalensi stunting pada balita di
Kota Padang meningkat dari tahun 2016 sebesar 21,1% menjadi sebesar 22,6 %
pada tahun 2017 (Direktorat Gizi Masyarakat, 2017).
4

Laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Padang dari tahun 2011 hingga
tahun 2013 terjadi peningkatan prevalensi stunting. Peningkatan prevalensi
stunting menjadi sebesar 28,3% pada tahun 2013 dari tahun 2012 (27,93%), tahun
2011 (17,83%) (Dinkes Padang, 2013).
Berdasarkan data Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Padang tahun
2018 Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang merupakan Puskesmas yang
memiliki prevalensi balita pendek tertinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya
yaitu sebesar 23,04%. Puskesmas prevalensi tertinggi setelah Puskesmas Seberang
Padang adalah Puskesmas Pemancungan (18,19%), Puskesmas Ikur Koto
(17,93%), dan Puskesmas Pauh (17,91%) (Dinkes Padang, 2018).
Faktor penyebab stunting yang juga menjadi bagian dalam program
spesifik untuk mencegah stunting pada 1000 HPK terdiri dari Inisiasi Menyusui
Dini (IMD), pemberian ASI eksklusif, MP-ASI, akses layanan kesehatan seperti
Ante Natal Care (ANC), pemberian tablet Fe ibu hamil, pemberian suplementasi
vitamin A pada bayi, Imunisasi Dasar, pemberian makanan tambahan, dan
monitoring pertumbuhan (Maternal dan Group, 2013). Faktor yang akan diteliti
adalah faktor risiko yang menyebabkan stunting selama 1000 HPK serta
merupakan bagian dari program intervensi spesifik yaitu ANC, pemberian tablet
Fe ibu hamil, ASI eksklusif, MP-ASI, imunisasi lengkap, suplementasi vitamin A
pada bayi, dan monitoring pertumbuhan. Faktor tersebut merupakan faktor yang
berkaitan dengan program yang telah dijalankan oleh Puskesmas sebagai
intervensi atau usaha untuk mengatasi penyebab langsung stunting pada 1000
HPK.
Selama periode 1000 HPK terdapat 270 hari selama kehamilan ibu yang
merupakan periode mempengaruhi pertumbuhan, dan perkembangan baik fisik,
mental, dan kecerdasan bayi. Selama kehamilan faktor ANC ibu hamil
berpengaruh terhadap kejadian stunting. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Di
Cesare dan Sabates (2013) bahwa ANC memiliki potensi untuk mencegah
dampak negatif kekurangan gizi selama masa kehamilan di Peru dan Vietnam.
Menurut penelitian Najahah (2013) di Nusa Tenggara Barat bahwa ibu yang
melakukan kunjungan ANC tidak sesuai dengan standar akan berisiko memiliki
balita stunting 2,4 kali dibandingkan dengan ibu yang melakukan ANC sesuai
5

standar. Kunjungan ANC sesuai standar dapat dilihat dari capaian K4 yang
didapatkan oleh ibu hamil. Capaian K4 di Puskesmas Seberang Padang menurun
dari tahun 2016 sebesar 93,42% menjadi sebesar 92,31% tahun 2017 dan 70,99%
tahun 2018. Jika dibandingkan dengan target capaian tahun 2018 masih di bawah
target yaitu sebesar 96% (Dinkes Padang, 2018).
Layanan ANC, mulai dari kontak pertama hingga lengkap ibu hamil wajib
mendapatkan tablet penambah darah atau tablet Fe. Gizi ibu pada waktu hamil
berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin dari konsepsi hingga lahir. Apabila
gizi ibu pada saat kehamilan tidak dijaga dengan baik maka akan berakibat
melahirkan bayi dengan BBLR dan berisiko mengalami stunting. Salah satu
penyebab bayi dengan BBLR adalah kadar Hb ibu saat hamil (Adriani dan
Wirajatmadi, 2014). Berdasarkan penelitian Sumiaty (2017) didapatkan bahwa
asupan Fe pada ibu hamil memiliki hubungan dengan kejadian stunting. Capaian
pemberian tablet Fe pada ibu hamil di Puskesmas Seberang Padang menurun dari
tahun 2016 sebesar 93,42% menjadi sebesar 92,31% pada 2017 dan 70,99% tahun
2018. Jika dibandingkan dengan target pemberian tablet Fe tahun 2018 masih di
bawah target yaitu sebesar 100% (Dinkes Padang, 2018).
Periode setelah kehamilan adalah terdapatnya periode kehidupan pertama
dilahirkan atau 730 hari pada kehidupan pertama bayi dilahirkan yang juga
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Berdasarkan penelitian
Paramashanti,dkk. (2016) ditemukan hubungan antara ASI eksklusif dengan
kejadian stunting pada anak bawah dua tahun. Sejalan dengan penelitian
Lestari,dkk. (2014) bahwa ditemukan anak baduta yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif berisiko 6,54 kali dibandingkan dengan anak yang mendapatkan ASI
eksklusif. Hal ini disebabkan karena bayi mengalami kekurangan nutrisi atau
asupan gizi. Capaian pemberian ASI eksklusif pada ibu hamil di Puskesmas
Seberang Padang berfluktuasi tahun 2016 sebesar 93,10%, tahun 2017 (86,51%)
dan tahun 2018 (94,02%). Jika dibandingkan dengan target maka capaian pada
tahun 2018 sudah mencapai target yaitu 80%. Oleh karena ASI eksklusif sudah
tidak menjadi masalah di tingkat puskesmas namun stunting masih menjadi
masalah di tingkat masyarakat, maka ASI eksklusif perlu diteliti lebih lanjut
(Dinkes Padang, 2018).
6

Setelah mendapatkan ASI eksklusif asupan nutrisi bagi baduta masih


berlanjut. MP-ASI memiliki peran penting terhadap kejadian stunting.
Berdasarkan penelitian Al-Rahmad,dkk. (2013) menemukan bahwa MP-ASI
berhubungan dengan kejadian stunting. Baduta yang mendapatkan MP-ASI
kurang baik berisiko 3,4 kali untuk terkena stunting dibandingkan dengan baduta
yang mendapatkan MP-ASI dengan baik. Berdasarkan penelitian ini juga
ditemukan hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan kejadian stunting.
Anak yang tidak mendapatkan imunisasi yang lengkap berisiko terkena kejadian
stunting 3,5 kali dibandingkan dengan anak yang mendapatkan imunisasi lengkap
di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang capaian imunisasi lengkap
menurun dari 88,28% tahun 2015 menjadi 81,10% tahun 2016 dan menurun dari
99,42% tahun 2017 menjadi 80,90% tahun 2018. Jika dibandingkan dengan target
maka capaian pada tahun 2018 belum mencapai target yaitu 95% (Dinkes Padang,
2018).
Penyakit infeksi tidak hanya dipengaruhi oleh status imunisasi pada anak
tetapi juga kekurangan vitamin A akan merusak fungsi kekebalan tubuh bayi.
Berdasarkan penelitian Pramod Singh,dkk. (2009) menemukan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kecukupan konsumsi vitamin A dengan kejadian
stunting di Nepal. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatimah dan Wirjatmadi
(2018) menyebutkan bahwa asupan vitamin A memiliki hubungan dengan
kejadian stunting. Berdasarkan PMK No. 23 tentang Upaya Perbaikan Gizi bayi
berumur 6-11 bulan perlu mendapatkan kapsul vitamin A untuk mendukung
pertumbuhan dan perkembangannya. Capaian pemberian vitamin A pada bayi di
Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang menurun dari 79.02% tahun 2017
menjadi sebesar 69,15% pada tahun 2018. Jika dibandingkan dengan target maka
capaian pada tahun 2018 belum mencapai target yaitu 100% (Kemenkes, 2014d).
Selain adanya program imunisasi, monitoring pertumbuhan baduta perlu
dilakukan secara dini. Selama masa pertumbuhan dan perkembangan baduta untuk
deteksi dini perlu monitoring menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat).
Monitoring pada bayi dan baduta ini tidak hanya pemantauan berat badan saja
tetapi juga memonitoring tinggi badan per umur. Berdasarkan penelitian
Marume,dkk. (2017) mendapatkan masih rendahnya pengukuran TB/U di
7

Zimbabwe yaitu sebesar 97% bayi yang tidak terisi lengkap pengukuran TB/U.
Sementara itu, stunting dapat diestimasi dari indikator TB/U. Pemantauan
pertumbuhan balita di posyandu merupakan salah satu upaya yang sangat strategis
untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan. Pencegahan secara dini ini tentu akan
berpengaruh terhadap mengurangi prevalensi stunting. Screening rutin dan follow
up tinggi badan balita yang persisten sangat penting dalam usaha pencegahan
stunting setelah masa kehamilan (Kemenkes, 2013a). Salah satu indikator capaian
mengenai monitoring pertumbuhan adalah capaian D/S. Capaian D/S di
Puskesmas Seberang Padang menurun dari 60,51% tahun 2017 menjadi 49,44%
pada tahun 2018. Jika dibandingkan dengan target maka capaian pada tahun 2018
belum mencapai target yaitu 85%. Capaian pengukuran TB/U pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang pada tahun 2018 masih rendah yaitu
sebesar 64,80% (Dinkes Padang, 2018).
Faktor risiko stunting yang berkaitan dengan 1000 HPK terdiri dari
beberapa faktor risiko. Oleh karena itu perlu dilihat faktor risiko yang paling
dominan di antara beberapa faktor risiko tersebut. Diharapkan dengan
diketahuinya faktor risiko paling dominan atau yang paling signifikan di antara
beberapa faktor risiko di tingkat masyarakat maka dapat dieksplorasi lebih lanjut
secara mendalam terhadap dua sudut pandang yaitu sudut pandang puskesmas
sebagai pelaksana program tentang bagaimana pelaksanaan program pencegahan
stunting pada 1000 HPK dan sudut pandang ibu sebagai penerima layanan. Oleh
karena Kota Padang mengalami peningkatan prevalensi stunting dari tahun
sebelumnya, serta Puskesmas Seberang Padang yang memiliki angka kejadian
stunting tertinggi se-Kota Padang maka peneliti tertarik untuk meneliti analisis
pelaksanaan program pencegahan stunting pada 1000 HPK di Puskesmas
Seberang Padang Kota Padang 2019.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang meningkatnya prevalensi stunting dari tahun


sebelumnya di Kota Padang dan Puskesmas Seberang Padang yang memiliki
angka kejadian stunting tertinggi se-Kota Padang serta capaian program yang
8

berkaitan dengan 1000 HPK bermasalah maka rumusan masalah dalam penelitian
ini sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik responden kejadian stunting pada 1000 HPK
di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang Kota Padang tahun
2019?
2. Bagaimana distribusi frekuensi faktor risiko kejadian stunting pada
1000 HPK di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang Kota
Padang tahun 2019 ?
3. Apakah ada hubungan faktor risiko terhadap kejadian stunting pada
1000 HPK di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang Kota
Padang tahun 2019?
4. Apa faktor determinan atau faktor yang paling dominan yang
mempengaruhi kejadian stunting pada 1000 HPK di Wilayah Kerja
Puskesmas Seberang Padang Kota Padang tahun 2019?
5. Bagaimana informasi mendalam mengenai faktor risiko paling
dominan yang menyebabkan kejadian stunting pada ibu responden?
6. Bagaimana komponen (input, process dan output) program
pencegahan stunting paling dominan pada 1000 HPK di Puskesmas
Seberang Padang Kota Padang tahun 2019?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor
determinan yang mempengaruhi terjadi stunting dan mengetahui pelaksanaan
program pencegahan stunting 1000 HPK di Puskesmas Seberang Padang
Kota Padang tahun 2019.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Diketahui karakteristik responden kejadian stunting pada 1000
HPK di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang Kota
Padang tahun 2019.
9

b. Diketahui distribusi frekuensi faktor risiko kejadian stunting


pada 1000 HPK di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang
Kota Padang tahun 2019
c. Diketahui hubungan faktor risiko terhadap kejadian stunting
pada 1000 HPK di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang
Kota Padang tahun 2019.
d. Diketahui faktor determinan atau faktor yang paling dominan
yang mempengaruhi kejadian stunting pada 1000 HPK di
Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang Kota Padang tahun
2019.
e. Diketahui informasi mendalam mengenai faktor risiko paling
dominan yang menyebabkan kejadian stunting pada ibu
responden.
f. Diketahui komponen (input, process dan output) program
pencegahan stunting paling dominan pada 1000 HPK di
Puskesmas Seberang Padang Kota Padang tahun 2019.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Adapun manfaat teoritis penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk pengkayaan literatur sebagai sumbangan ilmiah tentang
kejadian stunting bagi Fakultas Kedokteran dan juga bagi
peneliti selanjutnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Untuk menambah pengetahuan peneliti dalam menemukan
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting dan evaluasi
program yang berkaitan dengan faktor determinan kejadian
stunting pada 1000 HPK di Wilayah Kerja Seberang Padang.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Dinas Kesehatan
Diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan bagi
pemegang program Gizi khususnya kejadian stunting dalam mengetahui
10

faktor determinan atau faktor yang paling dominan yang mempengaruhi


kejadian stunting dan evaluasi program pencegahan kejadian stunting di
Puskesmas Seberang Padang Kota Padang tahun 2019. Adanya hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
mengambil keputusan untuk menyusun rencana strategis yang tepat
dalam usaha pengurangan prevalensi stunting di Wilayah Kerja Dinas
Kesehatan Kota Padang khususnya di Wilayah Kerja Puskesmas
Seberang Padang.

b. Bagi Masyarakat
Diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sebagai informasi
tambahan mengenai faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
stunting. Adanya informasi ini, masyarakat dapat lebih memperhatikan
dan merawat kondisi fisik dari masa kehamilan sampai dengan anak lahir
dan tumbuh agar pertumbuhan dan perkembangan anak berjalan optimal
sehingga anak tidak mengalami stunting.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang.


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor determinan atau faktor yang
paling dominan yang mempengaruhi kejadian stunting dan mengetahui evaluasi
program (input, process dan output) dari program pencegahan kejadian stunting
pada 1000 HPK di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang Kota Padang.
Pendekatan penelitian dengan Mix Method Study bersifat Sequential Explanatory.
Pada penelitian kuantitatif variabel independennya terdiri dari ANC, tablet Fe ibu
hamil, ASI eksklusif, MP-ASI, imunisasi lengkap, suplementasi vitamin A bayi
dan status monitoring pertumbuhan. Variabel dependen adalah kejadian stunting.
Populasi penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki anak usia 12-24 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang pada tahun 2019. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling.
Setelah diketahui faktor determinan dari beberapa faktor risiko kejadian
stunting maka perlu dilakukan analisa secara kualitatif bagaimana pelaksanaan
program pencegahan stunting pada 1000 HPK Puskesmas Seberang Padang.
11

Program yang dievaluasi adalah program yang berkaitan dengan faktor


determinan kejadian stunting atau faktor yang paling signifikan. Evaluasi
dilakukan dengan pendekatan sistem yaitu terdiri dari unsur input, process dan
output. Pendekatan kualitatif ini tidak hanya dilakukan pada tingkat puskesmas
sebagai pelaksana program tetapi juga perlu dilakukan pada tingkat masyarakat
yaitu ibu yang memiliki anak stunting sebagai penerima layanan kesehatan dari
Puskesmas.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Stunting

1. Pengertian

Stunting merupakan masalah kekurangan gizi kronis yang


diidentifikasi dengan membandingkan tinggi anak dengan standar tinggi anak
pada populasi normal sesuai dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Anak
dikatakan stunting adalah jika tinggi anak berada di bawah -2 SD dari standar
WHO. Stunting terjadi mulai dari janin masih dalam kandungan dan baru
nampak saat anak berusia dua tahun. Anak stunting akan mudah terinfeksi
penyakit dan memiliki postur tubuh tidak optimal saat dewasa. Tidak hanya
berpengaruh kepada keadaan tubuh anak, tetapi kemampuan kognitif anak
dengan stunting akan berkurang dan mengakibatkan timbulnya masalah
ekonomi baik di tingkat keluarga maupun jangka panjang bagi Indonesia
(Trihono, dkk., 2015).

2. Dampak Stunting

Prevalensi stunting yang tinggi mempengaruhi kesehatan, tidak hanya


menurunkan resistensi terhadap penyakit infeksi seperti pneumonia dan diare
tetapi juga memicu untuk pemulihan kesehatan anak yang jelek, rata-rata
kematian anak yang meningkat dan beberapa konsekuensi serius lainnya
(Wang,dkk., 2009). Adapun beberapa dampak stunting pada anak sebagai
berikut (Gibney,dkk., 2010; Trihono, dkk., 2015) :
a) Anak dengan stunting lebih awal yaitu sebelum usia 6 bulan, akan
mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting
yang parah pada anak maka akan berpengaruh pada jangka panjang
seperti anak mengalami kesulitan belajar sehingga terjadi penurunan
prestasi di sekolah. Hal ini tentu akan mempengaruhi keberhasilan
anak di masa yang akan datang.
13

b) Anak dengan stunting akan menimbulkan kerugian negara di masa


yang akan datang karena akan berpotensi untuk tidak mendapatkan
pendidikan yang baik, miskin, serta lebih rentan terkena penyakit
tidak menular seperti obesitas berpotensi penyakit kardiovaskuler,
dsb.
c) Anak dengan stunting lebih banyak menderita penyakit infeksi seperti
ISPA dibandingkan dengan anak tidak stunting. Hampir pada tiap
umur prevalensi ISPA lebih banyak terjadi pada anak yang pendek
dibandingkan anak yang normal tinggi badannya.

3. Penilaian Status Gizi secara Antropometri

Antropometri berasal dari bahasa latin antropos dan metros. Antropos


adalah tubuh sedangkan metros adalah ukuran. Jadi antropometri adalah
ukuran dari tubuh. Antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi yang
mencerminkan adanya perubahan karena pertumbuhan. Metode antropometri
dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengukur fisik atau bagian tubuh
manusia (Thamaria, 2017).
Penilaian status gizi dapat dilakukan melalui metode antropometri
yang menjadikan ukuran tubuh manusia sebagai metode untuk menentukan
status. Penilaian status gizi dapat diukur berdasarkan umur, berat badan (BB)
dan tinggi badan/panjang badan (TB/PB). Ada tiga bentuk indeks
antropometri yaitu BB/U, TB/U dan BB/TB. Untuk menilai status gizi balita,
maka hasil indeks antropometri ini akan dikonversikan ke dalam nilai
terstandar (Zscore) (Thamaria, 2017).
Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini atau
saat diukur karena mudah diubah. Indikator BB/U tidak spesifik karena berat
badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan.
Indikator TB/U menunjukkan status gizi masa lalu. Indikator BB/TB
menunjukkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Thamaria, 2017).
14

4. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)


Keadaan pertumbuhan skeletal dapat dilihat dari tinggi badan. Pada
kondisi normal tinggi badan tumbuh seiring dengan pertumbuhan umur.
Tinggi badan berbeda dengan berat badan yang relatif tidak sensitif terhadap
permasalahan kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh
kekurangan gizi terhadap tinggi badan akan nampak pada waktu yang relatif
lama. Oleh karena itu tinggi badan atau indeks TB/U merupakan indeks yang
menggambarkan status gizi masa lalu atau yang dapat memberikan gambaran
status gizi masa lampau (Supriasa, dkk., 2014). Indikasi masalah gizi yang
bersifat kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti
kekurangan asupan makanan sejak usia bayi bahkan semenjak janin sehingga
mengakibatkan anak pendek (Trihono, dkk., 2015).
Indeks TB/U baik digunakan untuk melihat status gizi masa lampau
yang mudah dilakukan. Namun tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak
mungkin turun. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri
tegak sehingga perlu dua orang melakukannya. Penentuan status gizi
berdasarkan indeks tersebut, maka terdapat batasan atau klasifikasi status gizi
sebagai berikut (Supriasa, dkk., 2014) :
a. Sangat Pendek : Zscore < -3,0
b. Pendek : Zscore ≤-3,0 s/d Zscore < -2,0
c. Normal : Zscore ≥ -2,0
Anak pendek merupakan istilah untuk gabungan dari anak yang
memiliki status sangat pendek dan pendek atau yang disebut dengan stunting.

B. Periode 1000 HPK

Kejadian stunting merupakan masalah gizi kronik yang disebabkan oleh


banyak penyebab atau multi faktor atau multi dimensi. Intervensi yang paling
menentukan adalah intervensi yang dilakukan pada 1000 HPK. Hal ini sebabkan
karena masa 1000 HPK merupakan masa yang tepat dalam usaha peningkatan
nutrisi. Masa ini disebut dengan window of opportunity yang yang memiliki
dampak yang cukup besar. Apabila terjadi malnutrisi pada masa tersebut maka
akan berdampak permanen dan jangka panjang. Pada 1000 HPK ini sistem organ
15

mengalami peningkatan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat.


Pertumbuhan dan perkembangan otak terjadi pada periode ini. Hal ini dapat
dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 1 Perkembangan Otak Manusia (B.J. Casey .2005)

Pertumbuhan linear tampak pada pertumbuhan tulang, otot, dan lemak.


Selama kehamilan janin mengalami pertumbuhan linear hingga kecepatan
pertumbuhan maksimum sampai pada 20 minggu pertama masa kehamilan yaitu
10 cm per 4 minggu. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 2 Kecepatan Pertumbuhan Linear Pada Masa Prenatal Dan


Postnatal (Sumber : J.M. Tenner, 1966)
16

Pertumbuhan linear ini akan berlanjut pada masa setelah bayi dilahirkan
yaitu pada usia 1-2 tahun dan kembali meningkat pada umur 11 tahun pada anak
perempuan dan 13 tahun pada anak laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:

Gambar 3 Kecepatan Pertumbuhan Tinggi Badan (Sumber: J.M.


Tenner, 1966)

C. Faktor Risiko Stunting

Stunting merupakan permasalahan yang terjadi secara tersembunyi. Hal ini


dikarenakan bahwa pendek terjadi karena dampak kekurangan gizi kronis selama
1000 HPK anak. Apabila anak sudah mengalami stunting maka kerusakan
perkembangan anak tidak bisa diubah atau bersifat irreversible. Menurut UNICEF
(1990) faktor yang menyebabkan stunting terdiri immediate causes atau penyebab
langsung yaitu kurangnya asupan gizi, dan penyakit infeksi. Underlaying causes
atau penyebab tidak langsung tingkat keluarga yaitu, kebersihan lingkungan dan
akses terhadap layanan kesehatan, pola asuh, ketersediaan dan pola konsumsi
rumah tangga. Basic causes atau penyebab dasar tingkat masyarakat yaitu
pendidikan, politik dan pemerintahan, kepemimpinan sumber daya dan keuangan
serta sosial ekonomi politik dan lingkungan (Martorell, 2017). Faktor penyebab
17

stunting yang juga menjadi bagian dalam program spesifik untuk mencegah
stunting pada 1000 HPK adalah pemberian ASI eksklusif, Inisiasi Menyusui Dini
(IMD), MP-ASI, akses layanan kesehatan seperti Ante Natal Care (ANC),
pemberian tablet Fe ibu hamil, pemberian suplementasi vitamin A pada bayi,
imunisasi dasar, pemberian makanan tambahan, dan monitoring pertumbuhan
(Kemenkes, 2013a)
Berikut faktor risiko langsung dan tidak langsung stunting serta faktor
risiko stunting yang juga menjadi bagian dalam program spesifik untuk mencegah
stunting pada 1000 HPK:

1. Asupan Makanan dan Pola Asuh


Stunting merupakan akibat dari akumulasi tidak tercukupinya
asupan makanan yang bergizi secara terus menerus baik disertai atau
tidak oleh kondisi kesehatan yang buruk dan pengasuhan yang kurang
dari orang tua. Asupan makanan merupakan penyebab langsung
terjadinya stunting. Asupan zat gizi yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan linear adalah zat gizi mikro yaitu zat gizi vitamin A, seng
dan zat besi. Selain itu asupan energi dan asupan protein juga di
butuhkan balita untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Apabila zat
gizi tidak terpenuhi maka akan menderita malnutrisi. Asupan makanan
yang kurang juga dapat mengakibatkan lemahnya daya tahan tubuh
yang dapat menimbulkan penyakit infeksi (Fatimah dan Wirjatmadi,
2018). Pola asuh orang tua juga dapat menyebabkan stunting pada anak.
Pola asuh ibu sangat erat kaitannya dengan bagaimana ibu memberikan
makanan, praktek kebersihan dan pengobatan terhadap anak. Sebagian
besar orang tua memiliki masalah dalam pola asuh yang kurang dalam
pemberian praktek makanan. Di Aceh orang tua dengan pola asuh yang
kurang dalam pemberian makanan pada anak memiliki risiko 4,59 kali
untuk mengalami stunting (Lestari, dkk., 2014).
18

2. Penyakit Infeksi dan Kebersihan Lingkungan


Penyakit infeksi merupakan penyebab langsung terjadinya
stunting. Penyakit infeksi berhubungan dengan tingginya kejadian
penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Penyakit infeksi
ini terdiri dari diare, cacingan dan penyakit pernapasan akut (ISPA).
Faktor ini berkaitan dengan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh pelayan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan
dan perilaku hidup bersih dan sehat. Imunisasi yang terkait pada balita
adalah imunisasi lengkap yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Selain
itu, penyakit infeksi juga erat kaitannya dengan ketersediaan air bersih,
sarana sanitasi, dan perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan
dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok, sirkulasi
udara dalam rumah dan sebagainya (Kemenkes, 2013a). Anak yang
menderita diare selama 2 bulan terakhir penelitian dilakukan, memiliki
risiko 5,04 kali untuk terkena stunting dibandingkan anak yang tidak
pernah mengalami diare. Sedangkan anak yang terkena ISPA memiliki
risiko sebesar 5,71 kali untuk menjadi stunting dibandingkan dengan
anak yang tidak pernah mengalami ISPA 1 bulan terakhir (Lestari, dkk.,
2014).

3. Status Ekonomi
Status ekonomi merupakan faktor risiko terjadinya stunting.
Berdasarkan penelitian di Aceh ditemukan hubungan antara pendapatan
keluarga dengan kejadian stunting. Keluarga yang memiliki pendapatan
rendah akan berisiko sebesar 8,5 kali untuk memiliki anak stunting
dibandingkan dengan pendapatan yang tinggi. Hal ini tentu berkaitan
dengan daya beli untuk peningkatan konsumsi energi keluarga serta
peningkatan status gizi juga rendah (Lestari, dkk., 2014).
19

4. Akses layanan kesehatan


Akses terhadap layanan kesehatan juga menjadi penyebab anak
stunting. Hal ini terlihat bahwa cakupan pelayanan baik ketersediaan,
akses layanan, dan kualitas yang diberikan masih menjadi kendala.
Cakupan pelayanan yang masih rendah seperti imunisasi lengkap,
suplementasi tablet besi-folat pada ibu hamil, pemantauan KMS dan
SKDN, promosi IMD, ASI Eksklusif, cakupan garam beryodium dan
sebagainya (Kemenkes, 2013a). Berdasarkan penelitian perbaikan
indeks pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kecukupan dokter,
bidan, posyandu, persalinan oleh nakes, dan jaminan pelayanan
kesehatan di setiap kabupaten/kota dapat mengurangi masalah pendek
pada balita dan anak pendek (Trihono, dkk., 2015).

5. Ante Natal Care (ANC)


a. Standar Pelayanan Antenatal Care
Asuhan antenatal atau yang disebut dengan ANC bertujuan
untuk menghindari risiko komplikasi pada kehamilan dan persalinan.
Dianjurkan untuk setiap ibu hamil untuk melakukan kunjungan
antenatal komprehensif yang berkualitas minimal 4 kali, termasuk 1 kali
kunjungan diantar suami atau pasangan atau anggota keluarga dengan
rincian kunjungan pada gambar di bawah ini (Kemenkes, 2014f) :
Tabel 1 Kunjungan Pemeriksaan Antenatal
Trisemester Jumlah Kunjungan Waktu Kunjungan yang di
Minimal anjurkan
I 1x 0-12 minggu
II 1x >12 -24 minggu
III 2x >24 minggu-kelahiran

Adapun beberapa tujuan ANC adalah sebagai berikut: (Jannah, 2012)


1) Mempromosikan dan menjaga kesehatan fisik dan mental ibu
dan bayi dengan pendidikan, nutrisi, kebersihan diri, serta
proses kelahiran bayi.
2) Mendeteksi dan menatalaksana komplikasi selama kehamilan.
20

3) Memantau kemajuan kehamilan, memastikan kesehatan ibu


dan tumbuh kembang janin.
4) Memastikan adanya persiapan persalinan serta kesiapan
menghadapi komplikasi.
5) Membantu ibu dalam persiapan untuk menyusui dengan
sukses, menjalankan nifas normal, serta merawat anak baik
secara fisik, psikologis, dan sosial.
6) Mempersiapkan ibu dan keluarga dapat berperan dengan baik
dalam memelihara bayi agar dapat tumbuh dan berkembang
normal.

b. ANC Komprehensif
ANC komprehensif adalah ibu mendapatkan pemeriksaan
kehamilan dengan kontak lengkap atau yang disebut dengan K4
lengkap. K4 lengkap adalah ibu hamil dengan kontak 4 kali atau lebih
dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi, untuk
mendapatkan pelayanan terpadu dan komprehensif sesuai standar (1-1-
2). Kontak 4 kali dilakukan minimal satu kali pada trimester I (0-12
minggu), minimal satu kali pada trimester ke-2 (>12-24 minggu), dan
minimal 2 kali pada trimester ke-3 (>24 minggu sampai dengan
kelahiran). Kunjungan antenatal bisa lebih dari 4 kali sesuai kebutuhan
dan jika ada keluhan, penyakit atau gangguan kehamilan (Kemenkes,
2014f). Berikut kerangka konsep pelayanan ANC komprehensif dapat
dilihat dari gambar di bawah ini (Kemenkes, 2014f) :
21

Gambar 4 Kerangka Konsep Pelayanan ANC Komprehensif

c. Hubungan ANC dan Stunting


Berdasarkan studi kohor tumbuh kembang anak oleh
Balitbangkes membuktikan bahwa faktor ibu selama masa kehamilan
menentukan panjang lahir bayi. Kondisi ibu selama kehamilan sangat
berpengaruh kepada pertumbuhan janin di kandungan. Jika
pertumbuhan bayi di dalam kandungan terhambat maka akan berisiko
pada panjang lahir bayi. Menurut penelitian Fitrah Ernawati dalam
Trihono, dkk. (2015) di Bogor membuktikan bahwa panjang bayi lahir
akan berpengaruh kepada anak dengan stunting.
Selama masa kehamilan layanan ANC mempengaruhi anak
menjadi stunting. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Najahah
(2013) di Nusa Tenggara Barat bahwa kunjungan ANC pada ibu hamil
merupakan faktor dominan meningkatkan risiko stunting. Kunjungan
ANC yang tidak sesuai standar berperan terhadap kejadian stunting
sebesar 40% ANC yang sesuai dengan standar pada ibu hamil
berhubungan dengan anak yang stunting. Ibu yang melahirkan anak
kecil saat lahir atau BBLR signifikan memiliki anak dengan status
stunting (Pramod Singh, dkk., 2009). Berdasarkan penelitian
Torlesse,dkk. (2016) menyatakan bahwa ibu mendapatkan layanan
ANC minimal 4 kali selama kehamilan. Prevalensi stunting juga
signifikan rendah pada anak-anak dengan ibu yang memiliki akses yang
22

baik dengan fasilitas kesehatan. Hal ini berkaitan dengan ibu yang
mendapatkan layanan ANC yang layak baik itu ke dokter, bidan
maupun fasilitas kesehatan seperti puskesmas.

6. Tablet Fe ibu Hamil

a. Pengertian
Pemberian tablet Fe ibu hamil merupakan salah satu pencegahan
anemia yang akan terjadi pada ibu hamil selain upaya dari sumber
makanan. Tablet Fe diberikan pada ibu hamil minimal sebanyak 90
tablet selama kehamilan yang berguna untuk mencegah kekurangan
darah saat kehamilan. Apabila terjadi anemia pada ibu akan
mengakibatkan pendarahan, penyakit darah dan kelainan tubuh. Tablet
Fe diberikan kepada ibu dan dikonsumsi 1 tablet per hari selama 90
hari. Diharapkan dengan adanya pemberian tablet Fe kepada ibu hamil
dapat terhindar dari anemia (Kemenkes, 2014b).

b. Hubungan Tablet Fe dan Stunting

Berdasarkan penelitian Sumiaty (2017) asupan tablet Fe pada ibu


hamil berhubungan kejadian stunting pada anak di bawah usia dua
tahun. Anemia pada ibu hamil dapat mengakibatkan komplikasi, partus
lama, kontraksi tidak bagus, keguguran dan kelahiran prematur hingga
pendarahan. Selain itu, anemia juga dapat mengakibatkan pertumbuhan
janin terhambat, BBLR, lahir dengan cadangan zat besi yang kurang,
serta cacat bawaan (Kemenkes, 2014b). Berdasarkan penelitian
Wellina,dkk. (2016) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara kejadian BBLR dengan stunting. Anak yang lahir
dengan BBLR maka berisiko 3,63 kali menjadi stunting dibandingkan
dengan anak yang lahir tidak BBLR.
23

7. IMD, ASI Eksklusif dan MP-ASI

a. Pengertian
Inisiasi Menyusui Dini adalah proses penting bagi bayi setelah
lahir untuk disusui segera dengan cara meletakkan bayi di dada ibu agar
berusaha mencari puting susu ibunya. Upaya menyusui dalam 1 jam
pertama kelahiran ini sangat penting selain untuk mendapatkan asupan
paling bernutrisi bagi bayi tetapi juga untuk keberhasilan proses
menyusui selanjutnya. Hal ini disebabkan bahwa proses IMD akan
merangsang produksi ASI dan memperkuat reflek menghisap bayi
hingga ASI Eksklusif (Kemenkes, 2014b).
Menurut Peraturan Pemerintah No 33 tahun 2012 tentang
Pemberian ASI Eksklusif menyebutkan bahwa ASI Eksklusif
merupakan ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan hingga
usia 6 bulan tanpa memberikan atau mengganti atau menambahkan
dengan makanan atau minuman lain. ASI Eksklusif dianjurkan untuk
terus diberikan kepada bayi dengan tujuan tumbuh kembang bayi
terjamin (Peraturan Pemerintah, 2012)
MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat
gizi yang diberikan kepada anak mulai dari usia 6 bulan hingga anak
berusia 2 tahun. MP-ASI berguna untuk memenuhi kebutuhan gizi
selain ASI. MP-ASI diberikan secara bertahap kepada anak sesuai
dengan usianya. MP-ASI sangat berguna untuk baduta karena di usia
anak 6-12 bulan, ASI hanya memenuhi 1/2 dari kebutuhan bayi,
sedangkan di usia 12-24 bulan ASI hanya memenuhi 1/3 dari kebutuhan
baduta (Kemenkes, 2014e).

b. Hubungan IMD, ASI Eksklusif , MP-ASI dan Stunting

Berdasarkan penelitian Sumiaty (2017) IMD berhubungan dengan


kejadian stunting. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Permadi,dkk.
(2016) mendapatkan hasil penelitian bahwa IMD memiliki hubungan
signifikan dengan kejadian stunting. Bayi yang tidak mendapatkan IMD
24

berisiko 3,6 kali mengalami stunting dibandingkan dengan bayi yang


mendapatkan IMD
Berdasarkan penelitian Ni’mah dan Nadhiroh (2016) menemukan
bahwa balita dengan riwayat tidak ASI Eksklusif berisiko mengalami
stunting sebesar 4,6 kali dibandingkan dengan balita dengan riwayat
ASI Eksklusif. ASI memiliki banyak manfaat, misalnya dapat
meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit infeksi.
Di Ethiopia ditemukan bahwa anak yang mendapatkan ASI
Eksklusif lebih sedikit kemungkinan untuk terkena stunting
dibandingkan non-ASI Eksklusif. WHO merekomendasi untuk
memberikan ASI Eksklusif selama 6 bulan tanpa tambahan apapun dan
dilanjutkan hingga anak 2 tahun disertai dengan makanan pendamping.
Pemberian ASI Eksklusif yang optimal secara konsisten berhubungan
dengan pengurangan atau penurunan kematian dan kesakitan pada balita
(Wirth,dkk., 2017).
MP-ASI memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian
stunting. Berdasarkan penelitian Al-Rahmad, dkk. (2013) di Banda
Aceh MP-ASI berhubungan dengan kejadian stunting. Anak yang tidak
mendapatkan MP-ASI dengan baik berisiko 3,4 kali untuk terkena
stunting dibandingkan dengan anak yang tidak mendapatkan MP-ASI
dengan baik.

8. Imunisasi

a. Pengertian
Imunisasi adalah suatu upaya yang dilakukan untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan tubuh manusia sehingga apabila
terpajan oleh penyakit tersebut tidak akan menderita sakit atau hanya
mengalami sakit ringan. Imunisasi rutin terdiri dari imunisasi dasar dan
imunisasi lanjutan. Imunisasi dasar diberikan pada bayi sebelum berusia
1 tahun. Imunisasi dasar terdiri dari (Kemenkes, 2017) :
1) Hepatitis B;
2) Poliomyelitis;
25

3) Tuberkulosis;
4) Difteri;
5) Pertusis;
6) Tetanus;
7) Pneumonia dan meningitis yang disebabkan oleh Hemophilus
Influenza tipe b (Hib); dan
8) Campak.
Sedangkan imunisasi lanjutan adalah imunisasi ulangan imunisasi
dasar untuk mempertahankan tingkat kekebalan dan untuk
memperpanjang masa perlindungan anak yang sudah mendapatkan
imunisasi dasar. Imunisasi lanjutan diberikan kepada baduta, anak usia
sekolah dasar dan wanita usia subuh. Imunisasi lanjutan yang diberikan
pada baduta terdiri dari imunisasi terhadap penyakit:
1) Difteri, pertusis, tetanus,
2) Hepatitis b, pneumonia dan meningitis yang disebabkan oleh
hemophilus influenza tipe b (hib),
3) Serta campak
b. Jadwal Imunisasi
Adapun jadwal imunisasi dasar dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel 2 Jadwal Imunisasi Dasar

Interval Minimal untuk Jenis


Umur Jenis
Imunisasi yang sama
0-24 jam Hepatitis B <24 jam pasca persalinan dengan
didahului suntikan vitamin K1 2-3
jam sebelumnya. Untuk akses sulit <7
hari
1 bulan BCG. Polio 1 Sebelum dipulangkan dari RS, Klinik
dll. Optimal hingga usia 2 bulan, dan
<1 tahun tanpa perlu uji tes mantoux
2 bulan DPT-HB-Hib1, Polio 2
3 bulan DPT-HB-Hib2, Polio 3
1 bulan
4 bulan DPT-HB-Hib3, Polio 4,
IPV
9 bulan Campak
26

Catatan :

1) Bayi yang telah mendapatkan Imunisasi dasar DPT-HB-Hib 1, DPT-


HB-Hib 2, dan DPT-HB-Hib 3 dengan jadwal dan interval
sebagaimana yang tercantum dalam tabel di atas, maka dinyatakan
mempunyai status Imunisasi T2. Jadwal imunisasi lanjutan bagi anak
baduta adalah sebagai berikut :

Tabel 3 Jadwal Imunisasi Lanjutan Baduta

Umur Jenis Imunisasi Interval minimal setelah Imunisasi dasar


DPT-HB-Hib 12 bulan dari DPT-HB-Hib3
18 bulan
Campak 6 bulan dari campak dosis pertama

Catatan:

1) Pemberian Imunisasi lanjutan pada baduta DPT-HB-Hib dan


Campak dapat diberikan dalam rentang usia 18-24 bulan
2) Baduta yang telah lengkap Imunisasi dasar dan mendapatkan
Imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib dinyatakan mempunyai status
Imunisasi T3.

c. Hubungan Imunisasi dan Stunting


Imunisasi dasar yang diberikan kepada anak baduta mempengaruhi
perkembangan tubuh anak. Anak baduta yang tidak mendapatkan
imunisasi lengkap berhubungan dengan kejadian stunting. Berdasarkan
penelitian di Sulawesi Tengah pada anak baduta tahun 2018 ditemukan
bahwa kelengkapan imunisasi dasar berhubungan dengan kejadian
stunting pada anak baduta. Faktor yang dapat meningkatkan risiko untuk
terjadi stunting pada periode 1000 HPK adalah tidak melakukan
imunisasi. Hal ini disebabkan bahwa anak yang tidak mendapatkan
imunitas pasif ini akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi (Nasrul,
2018). Hal ini terbukti dalam sebuah penelitian di Moramanga dan
Morondava di Madagascar bahwa anak stunting lebih banyak pada anak
yang terkena infeksi dibandingkan yang tidak. Penyakit infeksi ini
27

selanjutnya dapat mengakibatkan kegagalan pertumbuhan pada anak dan


berkontribusi untuk mengalami stunting (Rabaoarisoa,dkk., 2017).

9. Suplementasi Vit A

a. Pengertian dan standar


Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI pemberian kapsul vitamin
A diberikan sebanyak 2 kali hingga berumur 1 tahun. Umur bayi dan
dosis kapsul vitamin A yang harus didapatkan oleh anak baduta dapat
dilihat pada tabel di bawah ini (Kemenkes, 2016) :

Tabel 4 Dosis Pemberian Kapsul Vit A Pada Baduta

No Umur Dosis Vitamin A


1 6-8 bulan Kapsul Vit A Biru (100.000 SI)
2 9-11 bulan Kapsul Vit A Biru (100.000 SI)
3 12-23 bulan Kapsul Vitamin A Merah (200.000 SI), bila tidak
ada maka dapat diganti dengan 2 kapsul Vitamin
A Biru

10. Monitoring Pertumbuhan


a. Pengertian dan Standar
Berdasarkan PMK No. 25 tentang Upaya Kesehatan Anak
menyebutkan pada pasal 21 tentang pelayanan yang harus dilakukan
untuk bayi salah satunya adalah pemantauan pertumbuhan. Pemantauan
pertumbuhan ini dilakukan pada anak usia 0 hingga 72 bulan melalui
penimbangan berat badan setiap bulan dan pengukuran tinggi setiap 3
bulan serta pengukuran lingkar kepala sesuai jadwal (Kemenkes, 2014c).
Pengukuran tinggi badan anak usia di bawah dua tahun harus sudah
dilakukan sebanyak 8 kali. Jika kecil dari 8 kali pengukuran tinggi badan
melalui kunjungan posyandu maka dapat dikatakan kegiatan monitoring
pertumbuhan anak tidak berjalan optimal sesuai standar yang sudah di
tetapkan (Kemenkes, 2014c).
Berdasarkan penelitian Destiadi,dkk. (2016) menyebutkan bahwa
terdapat hubungan frekuensi kunjungan ke posyandu <8 kali terhadap
kejadian stunting. Ditemukan bahwa terdapat risiko 3 kali pada anak
yang mendapatkan kunjungan ke posyandu <8 kali terkena stunting
28

dibandingkan dengan anak yang mendapatkan kunjungan ke posyandu


>8 kali. Faktor risiko ini menjadi penyebab kejadian stunting adalah
bahwa anak yang melakukan kunjungan ke posyandu secara rutin maka
pertumbuhan anak menjadi lebih terpantau lebih cepat apabila
mengalami gangguan.

b. Cara Pengukuran Tinggi Badan


Pengukuran tinggi badan terbagi menjadi 2 cara yaitu :
1) Cara mengukur dengan posisi berbaring
Pengukuran tinggi badan pada anak di bawah dua tahun
dengan posisi berbaring ini dapat dilakukan dengan langkah-
langkah berikut :
a) Pengukuran dengan cara ini sebaiknya dilakukan
oleh 2 orang.
b) Setelah itu bayi dibaringkan telentang pada alas
yang datar.
c) Kepala bayi menempel pada pembatas angka 0.
d) Petugas 1 memegang kepala bayi dengan kedua
tangan agar tetap menempel pada pembatas angka 0
(pembatas kepala).
e) Petugas 2 menekan lutut bayi agar lurus dengan
tangan kiri sementara tangan kanan menekan batas
kaki ke telapak kaki.
f) Petugas 2 membaca angka di tepi di luar pengukur.

2) Cara mengukur dengan posisi berdiri


Pengukuran tinggi badan pada anak di bawah dua tahun
dengan posisi berdiri ini dapat dilakukan dengan langkah-
langkah berikut :
a) Anak tidak memakai sandal atau sepatu.
b) Anak berdiri tegak menghadap ke depan.
c) Punggung, pantat dan tumit menempel pada tiang
pengukur.
29

d) Batas atas pengukur diturunkan sampai menempel di


ubun-ubun anak.
e) Baca angka pada batas tersebut.

D. Model Evaluasi

1. Pengertian

Model evaluasi merupakan bentuk penjabaran teori evaluasi dalam


praktek melaksanakan evaluasi. Suatu model evaluasi merupakan pengertian
mengenai sebuah evaluasi dan bagaimana proses melaksanakan nya. Terdapat
beberapa model evaluasi yaitu (Wirawan, 2011) :
a. Model evaluasi berbasis tujuan
b. Model evaluasi bebas tujuan
c. Model evaluasi formatif dan sumatif
d. Model evaluasi Context Input Process dan Product (CIPP)
e. Model evaluasi sistem analisis
Pada penelitian ini menggunakan evaluasi sistem analisis maka perlu
dibahas lebih lanjut mengenai model evaluasi sistem analisis.

2. Model Evaluasi Sistem Analisis

Model evaluasi sistem merupakan model yang sering dan banyak


dipakai yang biasanya disebut dengan model evaluasi sistem analisis (System
Analisis Evaluation Model). Ilmuwan yang pertama kali menemukan teori
umum sistem adalah Karl Luwig Von Bertaalanffy (1951) seorang biolog
Jerman. Teori ini menyebutkan bahwa untuk memahami sesuatu perlu
memahami secara keseluruhan (Wirawan, 2011).
Sistem diformulasikan ke dalam model linear proses produksi yang
terdiri dari masukan (input), proses (process), keluaran (output), akibat
(outcome) dan pengaruh (impact). Model evaluasi sistem analisis ini terdapat
5 jenis yaitu : evaluasi masukan (input evaluation), evaluasi proses (process
evaluation), evaluasi keluaran (output evaluation), evaluasi akibat (outcome
30

evaluation) dan evaluasi pengaruh (impact evaluation). Model evaluasi sistem


analisis dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

INPUT PROCESS OUTPUT OUTCOME IMPACT

 Rencana  SOP  Produk  Penurunan  Perubahan


 Man  Proses program prevalensi kesehatan
 Money aktivitas  Capaian stunting  Perubahan
 Material  Sinergi program ekonomi
 Metode  Human
Developm
ent Index
(HDI)

Gambar 5 Model Evaluasi Sistem


Di bawah ini akan dibahas kelima jenis evaluasi tersebut sebagai
berikut:
a. Evaluasi masukan (Input Evaluation)
Evaluasi masukan merupakan evaluasi yang bertujuan untuk
menjaring, menganalisis, dan menilai kecukupan kuantitas dan
kualitas masukan yang diperlukan untuk merencanakan dan
melakukan program. Contohnya adalah program pencegahan
stunting khususnya di program pengukuran panjang badan baduta
rutin. Hal yang menjadi masukan adalah rencana, manusia atau
pemimpin, staf, alat, anggaran, fasilitas dan lain-lain.
b. Evaluasi proses (Process Evaluation)
Evaluasi proses merupakan evaluasi yang memfokuskan pada
pelaksanaan program apakah sudah sesuai dengan standar
operasional prosedur. Evaluasi ini juga perlu menjawab apakah input
program sudah berjalan saling bersinergi.
c. Evaluasi keluaran (Output Evaluation)
Evaluasi keluaran adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur
dan menilai keluaran dari program. Evaluasi ini menjawab
pertanyaan seberapa baik masyarakat mendapatkan layanan. Output
31

yang dievaluasi dalam program di puskesmas juga dapat dilihat dari


capaian program.
d. Evaluasi akibat (Outcome Evaluation)
Evaluasi akibat ini adalah evaluasi yang dilakukan untuk melihat
adanya perubahan yang didapatkan akibat adanya program tersebut.
Evaluasi ini adalah mencari jawaban dari pertanyaan seperti : apakah
program ini dapat mengubah masyarakat seperti yang diharapkan?.
Evaluasi ini juga menjawab pertanyaan tentang : Apakah terdapat
perbaikan gizi atau penurunan stunting akibat dijalankannya program
tersebut?.
e. Evaluasi pengaruh (Impact Evaluation)
Evaluasi pengaruh ini adalah evaluasi yang dilakukan untuk melihat
pengaruh program sebagai hasil program dalam jangka panjang.
Adanya program pencegahan stunting maka akan mempengaruhi
kualitas sumberdaya manusia serta peningkatan ekonomi hingga
Human Development Index (HDI).
E. Telaah Sistematis

Adapun telaah sistematis penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5 Telaah Sistematis Penelitian

No Penulis Tahun Judul Desain Variabel Kesimpulan

1. Nasrul 2018 Pengendalian Faktor Cross Sectional a. Berat Badan Lahir Berat Badan Lahir,
Risiko Stunting Anak Study b. Kelompok Usia Kelompok Usia, Umur
Baduta di Sulawesi c. Jenis Kelamin Ibu, Jarak Kelahiran, Usia
Tengah d. Tinggi Badan Ibu Kehamilan, Lama
e. Umur Ibu Pendidikan Ibu, Mencuci
f. Jarak Kelahiran Tangan, Riwayat Penyakit
g. Paritas Diare, Kelengkapan
h. Usia Kehamilan Imunisasi Dasar Anak,
i. Lama Pendidikan Ibu Keterpaparan Asap Rokok,
j. Jumlah ART Kepemilikan Jamban Dan
k. Pemberian MP-ASI Sumber Air Bersih
l. Asupan Snack Berhubungan dengan
m. Inisiasi Menyusui Dini Kejadian Stunting
n. Pemberian Kolostrum
o. Pemberian Makanan Pre-lakteal
p. Mencuci Tangan
q. Riwayat Penyakit Diare
r. Kelengkapan Imunisasi Dasar
Anak
s. Keterpaparan Asap Rokok
t. Partisipasi Ke posyandu
u. Kepemilikan Jamban
v. Sumber Air

32
No Penulis Tahun Judul Desain Variabel Kesimpulan

2 Sumiaty 2017 Pengaruh Faktor Ibu Dan Retrospectiv a. Status Gizi Ibu IMD, Makanan Pralakteal
Pola Menyusui Terhadap Cohort Study b. Pendidikan Ibu Status Menyusui Kini,
Stunting Baduta 6-23 c. ASI Eksklusif Durasi Menyusui, Lama
Bulan Di Kota Palu d. Tinggi Badan Ibu Menyusui, ANC, PNC,
Propinsi Sulawesi Tengah e. Usia Melahirkan Asupan Fe berhubungan
f. Usia Kehamilan dengan Kejadian Stunting
g. Jarak Kelahiran
h. Hipertensi Kehamilan
i. Diabetes Kehamilan
j. Paritas
k. IMD
l. Kolostrum
m. Makanan Pralakteal
n. Status Menyusui kini
o. Durasi Menyusui
p. Lama Menyusui
q. ANC
r. PNC
s. Kelas Ibu Hamil
t. Asupan Fe
u. Asupan Tablet Kalsium
3. M Rizal Permadi, 2016 Risiko Inisiasi Menyusui Cross Sectional a. IMD IMD dan ASI Eksklusif
Diffah Hanim, Dini dan Praktek ASI Study b. ASI Eksklusif berhubungan dengan
Kusnandar, dan Eksklusif terhadap c. Penyakit Infeksi kejadian stunting
Dono Indarto Kejadian Stunting pada d. Praktik Pemberian MP-ASI
Anak 6-24 bulan e. Pendapatan Keluarga
4. Nasrul, Fahmi 2015 Faktor Risiko Stunting Cross Sectional a. Usia Baduta Usia Baduta, BBLR, TB
Hafid, A. Razak Usia 6-23 Bulan di Study b. Jenis Kelamin ibu, Asupan mie Instan,
Thaha, Suriah Kecamatan Bontoramba c. Berat Badan Lahir (gr) Asupan Snack, Perilaku

33
No Penulis Tahun Judul Desain Variabel Kesimpulan

Kabupaten Jeneponto d. Lama Pendidikan Ibu Mencuci Tangan, dan


e. Jumlah ART Imunisasi berhubungan
f. Tinggi Badan Ibu dengan kejadian stunting.
g. Kategori Umur Ibu
h. Jarak Kelahiran
i. Paritas
j. Inisiasi Menyusui Dini
k. Kolostrom
l. Pemberian MP-ASI
m. Asupan Mie Instan
n. Asupan Snack
o. Perilaku Mencuci Tangan
p. Kepemilikan Jamban
q. Sumber Air
r. Riwayat Diare
s. Kunjungan Posyandu
t. Imunisasi
u. Keterpaparan Asap Rokok
5. Alfian Destiadi, 2015 Frekuensi Kunjungan Case Control a. Jumlah Anggota Keluarga Frekuensi Kunjungan
Triska Susila Posyandu dan Riwayat Study b. Pendapatan Keluarga Posyandu dan Riwayat
Nindya dan Sri Kenaikan Berat Badan c. Pekerjaan Ibu Kenaikan Berat Badan
Sumarmi Sebagai Faktor Risiko d. Frekuensi kunjungan Posyandu berhubungan dengan
Kejadian Stunting Pada e. Riwayat Kenaikan Berat Badan kejadian stunting.
Anak Usia 3 – 5 Tahun
6. Nadiyah, Dodik 2014 Faktor Risiko Stunting Cross Sectional a. Inisiasi menyusui dini BBLR, Sanitasi
Briawan, dan Pada Anak Usia 0-23 Study b. Pemberian Kolostrum Lingkungan, Kebiasaan
Drajat Martianto Bulan Di Provinsi Bali, c. Permulaan MP-ASI Bapak Merokok,
Jawa Barat, Dan Nusa d. Pemberian makanan pre-lakteal Pendidikan Ibu,
Tenggara Timur e. Berat Badan Lahir Pendidikan Bapak,

34
No Penulis Tahun Judul Desain Variabel Kesimpulan

f. Imunisasi Dasar Pendapatan, dan TB ibu


g. ANC berhubungan dengan
h. Sanitasi Lingkungan kejadian stunting.
i. Status Merokok Ibu
j. Kebiasaan Bapak Merokok dalam
Rumah
k. Pendidikan Ibu
l. Pendidikan Bapak
m. Paritas
n. Jarak Kelahiran
o. Umur Ibu saat Melahirkan
p. Pendapatan
q. Tinggi Badan Ibu
r. Konsumsi Pangan Hewani
7. Imtihanatun 2013 Faktor risiko balita Cross Sectional a. Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi,
Najahah, Kadek stunting usia 12-36 bulan Study b. Tinggi Badan Ibu tinggi badan ibu,
Tresna Adhi, GN di Puskesmas Dasan c. Usia Ibu Pertama Menikah kunjungan ANC, BBLR<
Indraguna Pinatih Agung, Mataram, Provinsi d. Tingkat Pendidikan Ibu ASI Eksklusif dan
Nusa Tenggara Barat e. Kunjungan ANC pemberian MPASI
f. Berat Badan Lahir berhubungan dengan
g. ASI Eksklusif kejadian stunting.
h. Pemberian MPASI
i. Urutan Anak
j. Pengasuh Anak

35
36

Kriteria yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang lain adalah :
1. Penelitian ini berfokus pada 1000 HPK yang memiliki peran terhadap
kejadian stunting.
2. Penelitian ini merupakan penelitian Mix Method Study bersifat
Sequentional Explanatory yang didahului dengan pendekatan kuantitatif
dan dilanjutkan dengan pendekatan kualitatif.
3. Variabel penelitian ini terdiri dari kejadian stunting sebagai variabel
dependen. ANC, tablet Fe Ibu Hamil, ASI Eksklusif, MP-ASI, imunisasi
lengkap, suplementasi Vit A bayi dan status monitoring pertumbuhan
sebagai variabel independen.
4. Analisis data dalam penelitian dengan pendekatan kuantitatif terdiri dari
analisis univariat, bivariat dan multivariat. Hasil akhir penelitian dengan
pendekatan kuantitatif didapatkan faktor risiko stunting yang dominan
dan paling signifikan pada periode 1000 HPK.
5. Sedangkan analisa data dengan pendekatan kualitatif dilanjutkan setelah
pendekatan kuantitatif yang bertujuan untuk diketahui lebih dalam
mengenai pelaksanaan program pencegahan stunting (yang dominan dan
paling signifikan pada periode 1000 HPK) di tingkat Puskesmas sebagai
pelaksana program dan di tingkat masyarakat yaitu ibu sebagai penerima
program.
6. Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang
Padang di Kota Padang pada tahun 2019
37

F. Alur Penelitian

Menentukan populasi target

Menentukan kriteria sampel dan


teknik pengambilan sampel
secara random sampling

Wawancara dan pengisian


Kuesioner

Analisa Data Kuantitatif

Faktor Risiko Paling


Dominan/Paling Signifikan

Melakukan penelitian Melakukan penelitian


kualitatif Pada Ibu dengan kualitatif di Puskesmas
anak Stunting (Input- Process-Output)

Gambar 6 Alur Penelitian


BAB III KERANGKA TEORITIS

A. Kerangka Teori Penelitian

Berdasarkan teori yang di uraikan maka dikembangkan suatu kerangka


teori seperti di bawah ini :

Stunting

Program
Spesifik Asupan Gizi Penyakit Infeksi

Ibu Hamil :
 (K4) Ketersediaan dan Kebersihan lingkungan
 Suplementasi pola konsumsi Pola Asuh dan Akses terhadap
Fe rumah tangga Layanan Kesehatan

Ibu menyusui
 IMD
 ASI Eksklusif
 KIE Gizi

Anak 0-23 bulan


 Imunisasi Pendidikan
Dasar Politik dan Pemerintah
 MP-ASI Kepemimpinan sumber daya dan keuangan
 Suplementasi Social Ekonomi Politik dan Lingkungan (Nasional dan Global)
Vit A
 Penanganan
Gizi Buruk Program
 Monitoring Sensitif
Pertumbuhan

Catt :
Tulisan bercetak tebal dan bergaris bawahi adalah faktor risiko yang diteliti.

Gambar 7 Kerangka Teori Penelitian (Modifikasi Kerangka teori Lancet (SUN)


dan Unicef,1990)
39

B. Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan kerangka teori yang merupakan modifikasi UNICEF (1990),
Lancet SUN (2013). Determinan stunting merupakan multifaktor yang sangat
kompleks. Namun, karena adanya keterbatasan peneliti, maka peneliti melakukan
penyederhanaan dengan meneliti beberapa variabel penelitian. Variabel penelitian
yang dipilih tersebut merupakan faktor risiko yang menyebabkan stunting selama
1000 HPK serta merupakan bagian dari program intervensi spesifik. Faktor
tersebut merupakan faktor yang berkaitan dengan program yang telah dijalankan
oleh Puskesmas Seberang Padang sebagai intervensi atau usaha untuk mengatasi
penyebab langsung stunting pada 1000 HPK. Berikut faktor risiko yang akan
diteliti dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

T ANC K
A U
H Tablet Fe Ibu Hamil A
A N
P ASI Eksklusif T
Stunting I
I MP-ASI T
Imunisasi Lengkap A
T
Suplementasi Vit A Bayi I
F
Monitoring Pertumbuhan

Faktor paling dominan atau paling signifikan

T K
A Mengeksplorasi Mengeksplorasi U
H penyebab yang berkaitan program yang berkaitan A
A dengan faktor paling dengan faktor paling L
P dominan secara kualitatif dominan di Puskesmas I
kepada Ibu yang secara kualitatif dengan T
II memiliki anak stunting pendekatan sistem A
T
Input-Proses-Output I
F

Gambar 8 Kerangka Konsep Penelitian


BAB IV METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan Mix Method Study (penelitian
metode campuran) yang bersifat observasional. Pendekatan Mix Method Study
merupakan penelitian dengan melakukan kombinasi dua jenis penelitian yaitu
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Jenis rancangan Mix Method Study yang
digunakan adalah Sequential Explanatory. Tujuan dilakukan pendekatan
kuantitatif mendahului kualitatif adalah untuk mengeksplorasi sampel yang besar
dengan maksud pertama kali menguji variabel yang paling menjadi masalah
terhadap kejadian stunting dan kemudian mengeksplorasi secara mendalam
dengan pendekatan kualitatif (Teddlie, 2003).
Pendekatan kuantitatif pada penelitian ini menggunakan desain penelitian
Crossectional Study yang mengukur variabel penelitian pada satu saat atau
simultan. Biasa disebut dengan desain penelitian potong lintang atau studi
prevalens. Tahap selanjutnya adalah menggali informasi secara mendalam
mengenai pelaksanaan pencegahan stunting di Wilayah Kerja Puskesmas pada dua
sisi (ibu penderita stunting dan puskesmas) menggunakan pendekatan kualitatif
khususnya terkait dengan faktor risiko yang paling dominan (Sastroasmoro dan
Ismael, 2011).

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Seberang Padang Kota Padang
tahun 2019. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2019 sampai Januari
2020. Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data pemantauan status gizi dari
Dinas Kesehatan Kota Padang dan Puskesmas Seberang Padang .
41

C. Populasi dan Sampel

1. Penelitian Kuantitatif
a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki
anak usia 12-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang
pada tahun 2019 berjumlah 170 anak.
b. Sampel
Pada penelitian ini, peneliti melakukan perhitungan jumlah
sampel dengan menggunakan rumus Lemeshow (1990) untuk estimasi
proporsi untuk pendugaan proporsi populasi tunggal dengan
mempertimbangkan nilai N atau populasi:

n = Z²1-α/₂ P(1-P ) N
d²(N-1)+ Z²1-α/₂ P(1-P)

Keterangan :
N : Ukuran sampel/jumlah responden
Z²1-α/2 : Tingkat kepercayaan yaitu 95 % (1,96)

Z1−β : Nilai sebaran normal baku yang besarnya tergantung 𝛽


(1,28)
P : Proporsi responden, yaitu sebesar 23,04% (0,2304)
(1-P ) : 1-0,2304= 0,7696
N : Jumlah populasi = 170 anak
D : Derajat akurasi ( presisi ) yang diinginkan yaitu 8% =
0,08

Jadi besar sampel minimum yang dibutuhkan dalam penelitian ini


adalah sebesar :

n= 1,962 x 0,2304 (1-0,2304) x 170


0,082 (170-1)+1,962 x 0,2304 (1-0,2304)

n = 3,84 x 0,177x173
0,082 (169) + 3,84 x 0,177
42

n = 115,54/1,75 = 67

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas


diperoleh sampel minimum yang dibutuhkan adalah 67 sampel. Untuk
menghindari dropout sampel ditambah sebesar 10% dari sampel yang
dibutuhkan. Jadi sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 74
sampel baduta di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang tahun 2019.

c. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah


pengambilan sampel secara Probability Sampling dengan teknik Simple
Random Sampling. Teknik Simple Random Sampling merupakan teknik
pengambilan sampel secara acak sederhana tanpa memperhatikan strata
yang ada dalam populasi (Sugiyono, 2017).
Kriteria inklusi dan ekslusi sampel penelitian sebagai berikut :
1) Kriteria inklusi
a) Responden adalah orang tua (ibu) kandung dari anak usia
12-24 bulan yang berada dan menetap minimal satu tahun
di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang
b) Responden bersedia berpartisipasi dalam penelitian.
2) Kriteria eksklusi
a) Responden tidak berada di tempat sewaktu penelitian
setelah 3 kali kunjungan berturut-turut.
b) Baduta memiliki kelainan seperti cacat fisik, gangguan
mental, dan penyakit kongenital.

2. Penelitian Kualitatif

a. Informan Penelitian
Pemilihan informan penelitian ditentukan berdasarkan dengan
purposive sampling dan dilakukan berdasarkan yaitu
1) Pertimbangan atas tujuan tertentu
2) Kesesuaian dengan topik penelitian
43

3) Kecukupan jumlah informan dianggap cukup jika data yang


didapatkan telah menggambarkan seluruh fenomena yang
dieksplorasi berkaitan dengan topik penelitian.

Informan pada penelitian ini adalah


1. Kepala Puskesmas Seberang Padang, dipilih sebagai
informan karena merupakan penentu kebijakan atau
pengambil keputusan di Puskesmas.
2. Pengelola program kesehatan ibu dan gizi, dipilih sebagai
informan karena merupakan penanggung jawab manajemen
program ibu dan gizi di Puskesmas Seberang Padang untuk
data ANC, ASI eksklusif, MP-ASI, Fe Ibu hamil,
Suplementasi Vit A dan monitoring pertumbuhan
3. Pengelola Program Imunisasi dipilih sebagai informan
merupakan penanggung jawab manajemen program imunisasi
di Puskesmas Seberang Padang untuk data imunisasi lengkap
4. Bidan Koordinator dipilih sebagai informan karena
merupakan koordinator untuk seluruh pelayanan kesehatan
ibu dan anak di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang
baik secara teknis maupun manajemen.
5. Bidan dan Kader di Posyandu dipilih sebagai informan yang
memahami dan melaksanakan program di lapangan dan
mengetahui teknis pelaksanaan program baik Program ibu
dan gizi.
6. Ibu yang memiliki anak baduta dengan stunting, dipilih
sebagai informan karena sebagai penerima pelayanan.
D. Definisi Operasional (Kuantitatif)
Adapun definisi operasional penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 6 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Kejadian Retardasi pertumbuhan linier dengan Pengukuran Microtoise 1= Anak yang Stunting (< -2 SD) Nominal
Stunting defisit pada tinggi badan sebesar < -2 Z 2= Anak yang tidak Stunting (> -2
score. SD).
(Trihono, dkk., 2015)

Pendidikan Tingkat pendidikan formal terakhir yang Wawancara Kuesioner 1= Rendah (jika tidak tamat SD dan Nominal
Ayah ditamatkan ayah tamat SMP)
2=Tinggi (jika tamat SMA,
Akademi/PT)
(Arikunto, 2010)

Pendidikan Tingkat pendidikan formal terakhir yang Wawancara Kuesioner 1= Rendah (jika tidak tamat SD dan Nominal
Ibu ditamatkan ibu tamat SMP)
2=Tinggi (jika tamat SMA,
Akademi/PT)
(Arikunto, 2010)

Berat badan Bayi yang lahir dengan berat badan Wawancara, Kuesioner 1= BBLR (<2500 gr) Nominal
lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang telaah buku KIA 2= Normal (≥2500 gr)
status kehamilan dan Akte (WHO, 2004)
Kelahiran Anak

44
Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Penyakit Anak yang menderita penyakit infeksi Wawancara Kuesioner 1= Pernah terinfeksi (jika terdapat Nominal
Infeksi seperti ISPA, campak, diare, TB dan satu atau lebih penyakit
penyakit infeksi lainnya pada 1 bulan infeksi pada anak selama 1
terakhir sampai wawancara dilakukan. bulan terakhir)
2 = Tidak pernah terinfeksi (jika
tidak terdapat penyakit infeksi
pada anak selama 1 bulan
terakhir)
(Kemenkes RI, 2015)

Keterpaparan Paparan asap rokok yang menyertai anak Wawancara Kuesioner 1= Terpapar asap rokok (jika
Asap rokok baduta (yang terpaksa menghirup atau terdapat anggota keluarga
menghisap asap rokok) dari perokok aktif yang tinggal bersama yang
di dalam rumah. memiliki kebiasaan merokok
di dalam rumah)
2= Tidak terpapar asap rokok (jika
tidak terdapat anggota
keluarga yang tinggal bersama
yang memiliki kebiasaan
merokok di dalam rumah)
(DHHS, 2007)

Pendapatan Besar penghasilan (upah/gaji) yang Wawancara Kuesioner 1= Miskin (Pendapatan perkapita Nominal
perkapita diperoleh rumah tangga dibagi dengan <garis kemiskinan Kota
jumlah anggota rumah tangga untuk Padang 2019)
memenuhi kebutuhan pangan maupun 2= Tidak Miskin (Pendapatan
non-pangan selama sebulan. perkapita ≥ garis kemiskinan
Kota Padang 2019)
(BPS, 2011)

45
Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Alat Ukur Hasil Ukur Skala

ANC Riwayat pemeriksaan kehamilan K4 Wawancara, dan Kuesioner 1 = Tidak Lengkap (<4 (1-1-2)) Nominal
dengan jumlah 1 kali pada trisemester I, 1 telaah buku KIA 2 = Lengkap ( ≥ 4 kali (1-1-2))
kali pada trisemester II dan 2 kali pada (Kemenkes, 2014f)
trisemester III

Tablet Fe Ibu Ibu Hamil mendapatkan dan Wawancara, dan Kuesioner 1= Tidak lengkap (<90 tablet Nominal
Hamil mengkonsumsi 90 tablet Fe selama masa telaah buku KIA selama kehamilan)
kehamilan 2= Lengkap (90 tablet atau >
selama kehamilan)
(Kemenkes, 2014b)

Pemberian ASI kepada bayi sejak lahir Wawancara, dan Kuesioner 1 = Tidak ASI eksklusif
ASI Eksklusif Nominal
hingga usia 6 bulan tanpa menambahkan, telaah buku KIA 2 = ASI eksklusif selama 6 bulan
memberikan dan mengganti ASI dengan (Peraturan Pemerintah, 2012)
makanan dan minuman lain.

Makanan pendamping yang diberikan Wawancara Kuesioner 1 = MP-ASI Kurang Baik


MP-ASI Nominal
kepada baduta selain ASI atau Pengganti 2 = MP-ASI Baik
Air Susu Ibu (PASI) untuk memenuhi (Kemenkes, 2014e)
kebutuhan anak akan berbagai zat gizi
sesuai dengan umur, frekuensi, jumlah
dan tekstur makanan.

Imunisasi Imunisasi lengkap adalah anak Wawancara, dan Kuesioner 1 = Imunisasi Tidak Lengkap Nominal
Lengkap mendapatkan imunisasi dasar rutin telaah buku KIA 2 = Imunisasi Lengkap
(Kemenkes, 2017)

46
Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Suplementasi Pemberian dan mengkonsumsi kapsul Wawancara, dan Kuesioner 1=Tidak mendapatkan suplementasi Nominal
Vit A Bayi vitamin A pada bayi sebanyak 3 kali telaah buku KIA Vit A sesuai dengan tingkat
hingga berusia 24 bulan (sesuai dengan umur.
tingkat umur anak baduta) 2=Mendapatkan suplementasi Vit A
sesuai dengan tingkat umur.
(Kemenkes, 2016)

Monitoring Monitoring pertumbuhan adalah anak Wawancara, dan


Kuesioner 1=Monitoring pertumbuhan tidak Nominal
Pertumbuhan yang mendapatkan pemantauan telaah buku KIA
rutin
Rutin pertumbuhan dengan pengukuran tinggi
2=Monitoring pertumbuhan rutin
badan sekali 3 bulan.
setiap bulan 3 bulan sekali
(Kemenkes, 2014c)

47
48

E. Definisi Operasional (Kualitatif)

1. Masukan (Input)

Semua sumber daya yang diperlukan dalam pelaksanaan program


pencegahan stunting oleh Puskesmas Seberang Padang di Kota Padang
a) Kebijakan adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi pedoman
pelaksanaan program pencegahan stunting oleh Puskesmas Seberang
Padang di Kota Padang
Informan : Kepala Puskesmas Seberang Padang, Pengelola
program ibu untuk ANC, Pengelola program anak
untuk ASI eksklusif, Pengelola program Gizi untuk
tablet Fe Ibu hamil, MP-ASI, monitoring
pertumbuhan, dan suplementasi Vit A, Pemegang
Program Imunisasi untuk Imunisasi, dan bidan
koordinator.
Cara Ukur : Observasi, Wawancara Mendalam, Telaah Dokumen.
Alat ukur : Checklist, Pedoman Wawancara.
Hasil Ukur Informasi mengenai kebijakan yang menjadi
pedoman pelaksanaan kegiatan pencegahan yang
berkaitan dengan faktor dominan kejadian stunting di
Puskesmas Seberang Padang.

b) Tenaga adalah sumber daya manusia yang mengetahui dan mempunyai


peranan dalam pelaksanaan program pencegahan stunting oleh
Puskesmas Seberang Padang di Kota Padang
Informan : Kepala Puskesmas Seberang Padang, Pengelola
program ibu untuk ANC, Pengelola program anak
untuk ASI eksklusif, Pengelola program Gizi untuk
tablet Fe Ibu hamil, MP-ASI, monitoring
pertumbuhan, dan suplementasi Vit A, Pemegang
Program Imunisasi untuk Imunisasi, dan bidan
koordinator.
49

Cara Ukur : Observasi, Wawancara Mendalam, Telaah Dokumen.


Alat ukur : Checklist, Pedoman Wawancara.
Hasil Ukur : Informasi mengenai pihak yang terlibat dalam
pembagian tugas dalam upaya pelaksanaan kegiatan
pencegahan di Puskesmas Seberang Padang yang
berkaitan dengan faktor dominan kejadian stunting.

c) Metode adalah suatu tata cara pelaksanaan kegiatan yang bertujuan


untuk memperlancar pelaksanaan program pencegahan stunting oleh
Puskesmas Seberang Padang di Kota Padang.
Informan : Kepala Puskesmas Seberang Padang, Pengelola
program ibu untuk ANC, Pengelola program anak
untuk ASI eksklusif, Pengelola program Gizi untuk
tablet Fe Ibu hamil, MP-ASI, monitoring
pertumbuhan, dan suplementasi Vit A, Pemegang
Program Imunisasi untuk Imunisasi, dan bidan
koordinator.
Cara Ukur : Wawancara Mendalam, Telaah Dokumen.
Alat ukur : Checklist, Pedoman Wawancara.
Hasil Ukur : Informasi mengenai metode atau tata cara
pelaksanaan kegiatan yang bertujuan untuk
memperlancar kegiatan pencegahan stunting yang
berkaitan dengan faktor dominan kejadian stunting di
Puskesmas Seberang Padang.

d) Dana adalah anggaran yang diperuntukkan untuk pelaksanaan program


pencegahan stunting oleh Puskesmas Seberang Padang di Kota
Padang
Informan : Kepala Puskesmas Seberang Padang, Pengelola
program ibu untuk ANC, Pengelola program anak
untuk ASI eksklusif, Pengelola program Gizi untuk
tablet Fe Ibu hamil, MP-ASI, monitoring
50

pertumbuhan, dan suplementasi Vit A, Pemegang


Program Imunisasi untuk Imunisasi, dan bidan
koordinator.
Cara Ukur : Wawancara Mendalam, Telaah Dokumen.
Alat ukur : Pedoman Wawancara, Checklist.
Hasil Ukur : Informasi mengenai dana atau anggaran yang
diperuntukkan untuk pelaksanaan kegiatan
pencegahan yang berkaitan dengan faktor dominan
kejadian stunting di Puskesmas Seberang Padang.

e) Sarana prasarana adalah alat dan bahan yang digunakan sebagai


penunjang dalam pelaksanaan program pencegahan stunting oleh
Puskesmas Seberang Padang di Kota Padang
Informan : Kepala Puskesmas Seberang Padang, Pengelola
program ibu untuk ANC, Pengelola program anak
untuk ASI eksklusif, Pengelola program Gizi untuk
tablet Fe Ibu hamil, MP-ASI, monitoring
pertumbuhan, dan suplementasi Vit A, Pemegang
Program Imunisasi untuk Imunisasi, dan bidan
koordinator.
Cara Ukur : Observasi, Wawancara Mendalam, Telaah Dokumen.
Alat ukur : Checklist, Pedoman Wawancara.
Hasil Ukur : Informasi mengenai sarana prasarana alat atau bahan
yang digunakan untuk kegiatan pencegahan stunting
yang berkaitan dengan faktor dominan kejadian
stunting di Puskesmas Seberang Padang.

2. Proses (Process)
Semua kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan program
pencegahan stunting oleh Puskesmas Seberang Padang di Kota Padang.
51

a) Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah suatu kegiatan atau proses analisa dan memahami
sistem, sehingga dapat melakukan penyusunan konsep dan kegiatan
yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Informan : Kepala Puskesmas Seberang Padang, Pengelola
program ibu untuk ANC, Pengelola program anak
untuk ASI eksklusif, Pengelola program Gizi untuk
tablet Fe Ibu hamil, MP-ASI, monitoring
pertumbuhan, dan suplementasi Vit A, Pemegang
Program Imunisasi untuk Imunisasi, dan bidan
koordinator.
Cara Ukur : Wawancara Mendalam, Telaah Dokumen.
Alat ukur : Checklist, Pedoman Wawancara.
Hasil Ukur : Informasi mengenai proses perencanaan kegiatan
pencegahan stunting yang berkaitan dengan faktor
dominan kejadian stunting di Puskesmas Seberang
Padang.

b) Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian adalah mengatur petugas atau staf yang ada dalam
puskesmas agar semua kegiatan yang telah ditetapkan dalam rencana
dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diinginkan
Informan : Kepala Puskesmas Seberang Padang, Pengelola
program ibu untuk ANC, Pengelola program anak
untuk ASI eksklusif, Pengelola program Gizi untuk
tablet Fe Ibu hamil, MP-ASI, monitoring
pertumbuhan, dan suplementasi Vit A, Pemegang
Program Imunisasi untuk Imunisasi, dan bidan
koordinator.
Cara Ukur : Observasi, Wawancara Mendalam, Telaah Dokumen.
Alat ukur : Checklist, Pedoman Wawancara.
Hasil Ukur : Informasi mengenai pengorganisasian/pembagian
52

tugas bagi staf gizi untuk kegiatan pencegahan


stunting yang berkaitan dengan faktor dominan
kejadian stunting di Puskesmas Seberang Padang.

c) Pelaksanaan (Actuating)
Suatu proses untuk melaksanakan kegiatan termasuk melakukan
pengarahan, pengkoordinasian bimbingan, penggerakan dan
pengawasan.
Informan : Pengelola program ibu untuk ANC, Pengelola
program anak untuk ASI eksklusif, Pengelola
program Gizi untuk tablet Fe Ibu hamil, MP-ASI,
monitoring pertumbuhan, dan suplementasi Vit A,
Pemegang Program Imunisasi untuk Imunisasi, bidan
koordinator, bidan di posyandu, kader dan Ibu
Baduta.
Cara Ukur : Observasi, Wawancara Mendalam, Telaah Dokumen.
Alat ukur : Checklist, Pedoman Wawancara.
Hasil Ukur : Informasi mengenai proses pelaksanaan kegiatan
pencegahan stunting yang berkaitan dengan faktor
dominan kejadian stunting di Puskesmas Seberang
Padang.

d) Pengawasan (Controling)
Suatu proses untuk menilai kinerja suatu program yang kemudian
dilanjutkan dengan memberikan arahan sedemikian rupa sehingga
tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Informan : Kepala Puskesmas Seberang Padang, Pengelola
program ibu untuk ANC, Pengelola program anak
untuk ASI eksklusif, Pengelola program Gizi untuk
tablet Fe Ibu hamil, MP-ASI, monitoring
pertumbuhan, dan suplementasi Vit A, Pemegang
Program Imunisasi untuk Imunisasi, dan bidan
53

koordinator.
Cara Ukur : Wawancara Mendalam, Telaah Dokumen.
Alat ukur : Checklist, Pedoman Wawancara.
Hasil Ukur : Informasi mengenai proses pengawasan pelaksanaan
kegiatan pencegahan stunting yang berkaitan dengan
faktor dominan kejadian stunting di Puskesmas
Seberang Padang.

3. Keluaran (Output)
Hasil dari pelaksanaan program pencegahan stunting adalah
cakupan program pencegahan stunting seperti cakupan program ANC,
Tablet Fe Ibu Hamil, ASI Eksklusif, MP-ASI, Imunisasi, Suplementasi Vit
A, dan cakupan atau persentase baduta yang diukur TB secara rutin.
Informan : Kepala Puskesmas Seberang Padang, Pengelola
program ibu untuk ANC, Pengelola program anak
untuk ASI Eksklusif, Pengelola program Gizi untuk
tablet Fe Ibu hamil, MP-ASI, monitoring
pertumbuhan, dan suplementasi Vit A, Pemegang
Program Imunisasi untuk Imunisasi, dan bidan
koordinator.
Cara Ukur : Wawancara Mendalam, Telaah Dokumen.
Alat ukur : Pedoman Wawancara, Checklist.
Hasil Ukur : Informasi mengenai hasil dari pelaksanaan untuk
kegiatan pencegahan stunting yang berkaitan dengan
faktor dominan kejadian stunting di Puskesmas
Seberang Padang.
54

F. Pengumpulan Data
1. Penelitian Kuantitatif
a. Teknik Pengumpulan Data
1) Data Primer
Data Primer diperoleh secara langsung melalui
wawancara dengan menggunakan kuesioner dan
pengukuran langsung kepada responden penelitian.
Pengukuran langsung kepada responden penelitian
yaitu pengukuran status gizi TB/U baduta dengan
melakukan pengukuran antropometri menggunakan
microtoise. Data primer lainnya meliputi data variabel
ANC, tablet Fe ibu hamil, ASI eksklusif, MP-ASI,
imunisasi lengkap, suplementasi vitamin A bayi dan
status monitoring pertumbuhan baduta.
2) Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh
dari data yang telah tersedia yaitu data diperoleh dari
Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2017 mengenai
laporan kejadian stunting di Kota Padang tahun 2017.

b. Alat Pengumpulan Data


Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
adalah:
1) Microtoise, digunakan untuk mengukur tinggi badan
dengan ketelitian 0,1 cm. Hasil pengukuran tinggi
badan yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis
untuk mendapatkan status gizi responden berdasarkan
indikator TB/U dengan menggunakan standar baku
WHO antro 2005.
2) Kuesioner mencakup pertanyaan mengenai identitas
rumah tangga, pendapatan, sosial ekonomi,
keterpaparan asap rokok, penyakit infeksi, ANC, tablet
55

Fe ibu hamil, ASI eksklusif, MP-ASI, imunisasi


lengkap, suplementasi vitamin A bayi dan status
monitoring pertumbuhan baduta.
Kuesioner ini merupakan modifikasi dari kuesioner
Survei Demografi Kesehatan Indonesia BKKBN RI
(2018), tesis Meiriza (2018) dan kuesioner tesis
Sihombing (2012).

2. Penelitian Kualitatif

a. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data penelitian kualitatif dilakukan dengan
menggunakan teknik wawancara mendalam. Wawancara
mendalam adalah metode untuk mendapatkan atau
mengumpulkan data secara mendalam dari narasumber. Ketika
menggunakan metode ini pewawancara perlu menjalin hubungan
akrab dan menanyakan deret pertanyaan kepada narasumber.
Selain itu teknik pengumpulan data juga dilakukan dengan
cara studi dokumen. Pengumpulan data sekunder dilakukan
dengan studi dokumentasi. Studi dokumentasi merupakan metoda
pengumpulan data kualitas dengan melihat dan menganalisa
dokumen. Studi dokumentasi ini dapat dilihat dari buku KIA,
kohort ibu san sumber lain yang relevan.
Teknik pengumpulan data penelitian ini juga
menggunakan teknik observasi di lapangan. Observasi perlu
dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih lengkap, dan tajam
(Sugiyono, 2017).

b. Alat Pengumpulan Data


Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
adalah:
1) Pedoman wawancara yaitu garis besar pertanyaan yang
berhubungan dengan objek penelitian.
56

2) Buku catatan, digunakan untuk mencatat setiap hasil


wawancara dan diskusi dengan informan dan objek
penelitian.
3) Alat Perekam, berfungsi untuk merekam wawancara
dengan informan atau sumber data sehubungan dengan
objek penelitian.
4) Kamera, berfungsi untuk memotret pada saat peneliti
sedang melakukan wawancara dengan informan dan untuk
mendokumentasikan dengan objek lain.
5) Pedoman observasi, yaitu daftar pertanyaan yang
menggambarkan kondisi objek yang diobservasi, dapat
berupa checklist

G. Teknik Pengolahan dan Analisa Data


1. Penelitian Kuantitatif
1. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan melalui beberapa proses. Data diolah
secara manual dan komputerisasi dengan tahapan sebagai berikut:
a) Editing (Proses Penyuntingan)
Pada tahap editing, dilakukan kegiatan untuk perbaikan data yang
salah sebelum dilakukan pemasukan data. Secara umum editing
adalah kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir
atau kuesioner tersebut apakah lengkap (pertanyaan sudah terisi),
jelas, (terbaca), relevan dengan pertanyaannya, dan konsisten
dengan jawaban pertanyaan lainnya.
b) Coding (Mengkode data)
Pada tahap coding merupakan kegiatan kegiatan mengklasifikasi
data dan memberi kode pada jawaban pertanyaan kuesioner.
c) Entry (memasukkan data)
Merupakan kegiatan memasukan (entry) data dan untuk dianalisis
lebih lanjut menggunakan software komputer.
57

d) Cleaning (pembersihan data)


Setelah semua data dientri ke dalam komputer, dilakukan
pengecekan kembali terhadap semua data yang telah dientri untuk
memastikan bahwa data tersebut telah bersih dari kesalahan.

2. Analisa Data
Analisa data penelitian kuantitatif terdiri dari :
a) Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis terhadap satu variabel yang
dimaksudkan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi dari
variabel yang diteliti. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari setiap
variabel. Sehingga analisis univariat dalam penelitian ini dapat
menegetahui pola distribusi frekuensi masing-masing variabel.
b) Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan. Analisis ini hanya akan menghasilkan hubungan
antara dua variabel yang berhubungan atau bersangkutan (variabel
independen dan dependen). Analisis bivariat yang digunakan
bertujuan untuk melihat ANC, tablet Fe ibu hamil, ASI eksklusif,
MP-ASI, imunisasi lengkap, suplementasi vitamin A bayi dan
status monitoring pertumbuhan terhadap kejadian stunting.
Penelitian ini menggunakan desain crossectional. Analisis dalam
penelitian ini menggunakan software SPSS dengan uji statistik
Chi-Square dengan derajat kepercayaan 95% (α=0,05). Apabila p-
value yang diperoleh kecil dari 0,05 maka terdapat hubungan
yang bermakna. Pengelompokan dilakukan seperti tabel di bawah
ini (Sastroasmoro dan Ismael, 2011):
58

Tabel 7 Tabel 2x2 Crossectional Study


Efek (Stunting)
Efek (ya) Efek (tidak)
Faktor Risiko (+) a B
Risiko Risiko (-) c D

Susunan hasil pengamatan dalam table 2x2 dilakukan sebagai


berikut :
Sel a : subyek dengan faktor risiko yang mengalami efek
Sel b : subyek dengan faktor risiko yang tidak mengalami efek
Sel c : subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek
Sel d : subyek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami efek
Prevalens Odds Ratio (POR) merupakan prevalens efek pada
kelompok dengan risiko dibagi dengan prevalens efek pada
kelompok tanpa risiko yaitu POR = a/d : b/c
Interpretasi dari nilai POR ini adalah
a) POR > 1 : Berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko
merupakan faktor risiko timbulnya penyakit
b) POR = 1 : Berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko
tidak ada pengaruhnya dengan terjadinya efek atau bersifat
netral
c) POR < 1 : Berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko
merupakan faktor protektif bukan faktor risiko
c) Analisis Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui variabel mana
yang paling dominan terhadap variabel dependen. Sebelum
dilakukan analisis multivariat akan dilakukan seleksi bivariat. Uji
yang digunakan adalah uji Regression Logistic. Variabel-variabel
yang akan masuk dalam analisa multivariat adalah variabel ketika
seleksi bivariat memiliki nilai p<0,25.
59

2. Penelitian Kualitatif
a. Pengolahan dan Analisa Data
Adapun tahap pengolahan dan analisa data kualitatif sebagai
berikut (Sugiyono, 2017) :
1) Transkrip data
Menyalin informasi yang direkam menjadi bentuk catatan.
Setiap sumber diberikan kode sumber agar data dapat
ditelusuri kembali jika terdapat kekurangan.
2) Reduksi data
Analisa data kualitatif diawali dengan tahap reduksi data.
Cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan
penulisan ringkasan, pengkodean, penulisan memo,
penyusunan klaster dan pembentukan partisi. Mereduksi data
ini merupakan kegiatan mempertajam, memilah,
memusatkan, membuang, dan mengorganisasikan data
sedemikian rupa sehingga dapat menarik kesimpulan akhir.
Proses analisa melalui reduksi data ini perlu mempertahankan
konteks tempat munculnya data.
3) Peragaan Data
Tahap ini merupakan tahap yang dilakukan setelah tahap
reduksi data yang meliputi reduksi informasi. Peragaan data
ini meliputi penyusunan matriks, bagan, grafik, jaringan,
daftar dan diagram venn.
4) Kesimpulan dan verifikasi
Membuat kesimpulan dan menafsirkan data hasil wawancara
menemukan pola dan hubungan serta membuat temuan-
temuan umum.

b. Keabsahan Data
Validitas data penelitian dilakukan dengan empat kriteria
yang merupakan tingkat kepercayaan hasil penelitian kualitatif yang
meliputi (Sugiyono, 2017) :
60

1) Uji kredibilitas
Yaitu uji kepercayaan terhadap hasil penelitian yang
meliputi:
a) Perpanjangan pengamatan
Peneliti memfokuskan pada pengujian terhadap data
yang telah diperoleh. Melihat kebenaran data setelah
dilakukan ulang. Bila data telah benar maka waktu
perpanjangan pengamatan diakhiri.
b) Meningkatkan ketekunan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan
pengamatan secara lebih cermat dan
berkesinambungan sehingga kepastian data dan
urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan
sistematis.
c) Triangulasi
Melakukan pengecekan data dari berbagai sumber
(trangulasi sumber) kemudian mengecek data
dengan tehnik yang berbeda (trangulasi metode).
Jika tiga metode pengujian kredibilitas data tersebut
menghasilkan data yang berbeda-beda, maka
peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada
sumber data yang bersangkutan atau yang lain,
untuk memastikan data mana yang dianggap benar,
atau mungkin semuanya benar, karena sudut
pandangnya berbeda-beda. Waktu juga
mempengaruhi kredibilitas data. Untuk itu penulis
nantinya akan melakukan pengecekan dalam waktu
dan situasi yang berbeda (triangulasi waktu).
d) Analisa kasus negatif
Peneliti mencari data yang berbeda atau
bertentangan dengan data yang telah ditemukan.
61

Bila tidak ada lagi data yang berbeda dengan temuan


berarti data yang sudah ditemukan dapat dipercaya.
e) Menggunakan bahan referensi
Adanya pendukung untuk membuktikan data yang
telah ditemukan oleh peneliti misalnya rekaman
wawancara, kamera sehingga data menjadi lebih
dipercaya.
f) Mengadakan member check
Proses pengecekan data yang diperoleh peneliti
kepada pemberi data, tujaunnya adalah untuk
megetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai
dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.
2) Transferabilitas
Validitas eksternal dilakukan dengan berupaya membuat
laporan yang memberikan uraian yang rinci, jelas,
sistematis dan dapat dipercaya sehingga pembaca menjadi
jelas dengan hasil yang dibuat.
3) Dependabilitas
Peneliti melakukan audit terhadap keseluruhan proses
penelitian melalui pembimbingan selama penelitian
berlangsung.
4) Konfirmabilitas
Uji objektivitas menyatakan penelitian bersifat objektif bila
hasil penelitian telah disepakati oleh banyak orang.
Objektivitas penelitian bergantung pada persetujuan
pendapat, pandangan dan penemuan seseorang yaitu
tergantung kesepakatan antar subjek.
BAB V HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


1. Keadaan Geografi
Puskesmas Seberang Padang merupakan 1 dari 3 puskesmas yang
berada di Kecamatan Padang Selatan. Puskesmas Seberang Padang berdiri
pada tahun 1970 yang merupakan puskesmas tertua di Kota Padang.
Wilayah kerja Puskesmas Seberang Padang mencakup 4 kelurahan yaitu :
a. Kelurahan Seberang Padang
b. Kelurahan Alang Laweh
c. Kelurahan Ranah Parak Rumbio
d. Kelurahan Belakang Pondok
Kelurahan tersebut dapat dilalui dengan jalan darat. Luas wilayah nya
±2,37km2. Wilayah ini terletak lebih kurang 4 meter di atas permukaan laut,
dan merupakan zona merah bencana tsunami. Batas Wilayah Kerja
Puskesmas Seberang Padang adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Parak Gadang Timur
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Wilayah Kerja Puskesmas
Rawang kelurahan Mata Air
c. Sebelah barat berbatasan dengan Wilayah Kerja Puskesmas
Pemancungan Kelurahan Pasa Gadang
d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Lubuk Begalung.

3. Kondisi Sosial, Budaya dan Ekonomi Penduduk


Adapun kondisi sosial, budaya dan ekonomi penduduk terdiri dari :
a. Kondisi sosial
Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang sebagian
besar beragama Islam. Warga non-muslim, umumnya adalah kaum
pendatang dari luar provinsi.
b. Kondisi Ekonomi
Kondisi ekonomi yang dilihat dari pekerjaan dan pendapatan
penduduk di wilayah kerja Puskesmas Seberang Padang bervariasi.
63

Mulai dari nelayan, buruh, pedagang, wiraswasta, pegawai swasta,


pegawai negeri, ABRI dan lain-lain. Pekerjaan sebagai nelayan
umumnya terdapat di pesisir pantai di dua kelurahan.
c. Kondisi Budaya
Kondisi budaya di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang
bervariasi karena memiliki perbedaan suku. Meskipun terjadi
perbedaan suku, agama dan budaya, aktifitas sosial dan peribadatan
berjalan dengan baik. Wilayah Kerja Puskesmas juga terdapat
berbagai sarana pendidikan dari berbagai jenjang mulai dari
pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Diharapkan semakin
banyak penduduk yang dapat mengenyam pendidikan sehingga
terjadi peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik.

4. Sarana Prasarana
Puskesmas dalam menjangkau sasaran untuk pelaksanaan berbagai
program yang ada memiliki satu puskesmas pembantu, dan tiga poskeskel.
Selain itu, juga terdapat sarana lainnya yang dibantu oleh peran institusi
yang ada berbagai tatanan yang ada seperti 23 posyandu balita, enam
posyandu lansia, dan dua posbindu. Puskesmas dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat dalam wilayah kerja, Puskesmas
Seberang Padang mempunyai sarana dan prasarana yang cukup. Sarana dan
prasarana lainnya terdiri dari gedung, sarana transportasi, sarana pelayanan
dan penunjang layanan, sarana penunjang administrasi dan sistem informasi.

B. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis yang bertujuan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian yang menghasilkan
frekuensi dan persentase. Jumlah sampel terpilih secara acak sebanyak 74 sampel
termasuk 10% dari sampel minimal untuk mengatasi adanya DO. Jumlah sampel
yang dianalisa adalah sebanyak 71 sampel. Hal ini terjadi karena terdapat sampel
yang drop out saat penelitian dilakukan. Namun, sampel yang dianalisa sudah
memenuhi sampel minimal yaitu 67 sampel.
64

1. Gambaran Karakteristik Orang tua


Karakteristik orang tua sampel pada penelitian ini meliputi tingkat
pendidikan ayah dan ibu, jenis pekerjaan ayah, dan pendapatan keluarga.
Adapun distribusi frekuensinya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 8 Distribusi Karakteristik Orangtua
Karakteristik Kategori Frekuensi Persentase (%)
Tingkat Pendidikan Rendah 21 29,6
Ayah Tinggi 50 70,4

Tingkat Pendidikan Rendah 58 28,2


Ibu Tinggi 13 71,8

Jenis Pekerjaan Tidak Bekerja 0 0


Ayah Sekolah 0 0
Jasa(ojek/supir)/ 29 40,8
Bangunan/buruh
PNS/TNI/Polri 1 1,4
Pegawai swasta 16 22,5
Dagang/wiraswasta 25 35,2

Pendapatan perkapita Miskin 38 53,5


Tidak Miskin 33 46,5

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa lebih dari separuh


sampel memiliki ayah dengan tingkat pendidikan tinggi (70,4%) dan ibu
dengan tingkat pendidikan tinggi (71,8%). Pekerjaan ayah sampel paling
banyak sebagai jasa (ojek/supir/bangunan/buruh) yaitu sebesar 40,8%.
Berdasarkan pendapatan perkapita perbulan terlihat keluarga miskin
(53,5%) lebih banyak dari pada keluarga tidak miskin (46,5%).

2. Gambaran Karakteristik Anak dan Faktor Risiko


Karakteristik sampel pada penelitian ini meliputi jenis kelamin, dan
berat badan lahir. Distribusi faktor risiko terdiri dari penyakit infeksi,
keterpaparan asap rokok, ANC, tablet Fe ibu hamil, ASI eksklusif, MP-ASI,
imunisasi lengkap, suplementasi vit A, dan monitoring pertumbuhan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
65

Tabel 9 Distribusi Karakteristik dan Faktor Risiko


Karakteristik dan Faktor Kategori Frekuensi Persentase (%)
risiko
Status Gizi Stunting 23 32,4
Normal 48 67,6

Jenis Kelamin Perempuan 38 53,5


Laki-laki 33 46,5

Berat Badan Lahir <2500 4 5,6


≥2500 67 94,4

Penyakit infeksi Pernah ter infeksi 51 71,8


Tidak pernah 20 28,2
terinfeksi

Keterpaparan Asap Terpapar 30 42,3


Rokok Tidak Terpapar 41 57,7

ANC Tidak Lengkap 40 56,3


Lengkap 31 43,7

Tablet Fe Ibu Hamil Tidak Lengkap 46 64,8


Lengkap 25 35,2

ASI Eksklusif Tidak 41 57,7


Ya 30 42,3

MP-ASI Kurang Baik 57 80,3


Baik 14 19,7

Imunisasi Lengkap Tidak Lengkap 34 47,9


Lengkap 37 52,1

Suplementasi Vitamin A Tidak Lengkap 28 39,4


Lengkap 43 60,6

Monitoring Pertumbuhan Tidak Rutin 58 81,7


Rutin 13 18,3

Berdasarkan tabel 9 di atas ditemukan bahwa terdapat 32,4% anak


stunting pada usia 12-24 bulan. Pada umumnya anak usia 12-24 bulan
memiliki berat badan lahir normal yaitu sebesar 94,4%. Anak lebih banyak
terinfeksi penyakit menular (71,8%) dibandingkan dengan yang tidak
terinfeksi penyakit menular (28,2%). Selain itu juga ditemukan bahwa
sebagian besar anak mendapatkan MP-ASI yang kurang baik (80,3%) dan
tidak mendapatkan monitoring pertumbuhan secara rutin (81,7%).
66

3. Gambaran Faktor Risiko pada Seluruh Anak


Gambaran faktor risiko pada seluruh anak meliputi distribusi faktor
risiko pada anak normal dan anak stunting yang terdiri dari 7 faktor risiko.
Faktor risiko tersebut adalah ANC tidak lengkap, tablet Fe ibu hamil tidak
lengkap, tidak ASI eksklusif, MP-ASI buruk, imunisasi tidak lengkap,
suplementasi vitamin A tidak lengkap dan monitoring pertumbuhan tidak
rutin. Distribusi jumlah faktor risiko berdasarkan anak normal dan stunting
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 10 Distribusi Jumlah Faktor Risiko

Kejadian Stunting Total


Jumlah Faktor
Risiko Stunting Normal
f %
f % f %
1 faktor risiko 0 0 3 100 3 100
2 faktor risiko 0 0 5 100 5 100
3 faktor risiko 3 25,0 9 75,0 12 100
4 faktor risiko 6 26,1 17 73,9 23 100
5 faktor risiko 4 40,0 6 60,0 10 100
6 faktor risiko 8 61,5 5 38,5 13 100
7 faktor risiko 2 40,0 3 60,0 5 100

Berdasarkan tabel 10 di atas maka dapat dilihat bahwa anak stunting


paling banyak memiliki 6 faktor risiko yaitu sebesar 61,5% serta paling
sedikit dengan 1 dan 2 faktor risiko yaitu sebesar 0%. Sebaliknya, anak
normal paling banyak memiliki 1 dan 2 faktor risiko yaitu sebesar 100%
dan paling sedikit memiliki 6 faktor risiko yaitu sebesar 38,5%.

4. Gambaran Faktor Risiko pada anak Stunting


Gambaran faktor risiko pada stunting meliputi distribusi faktor risiko
terhadap stunting yang terdiri dari 7 faktor risiko. Faktor risiko tersebut
adalah ANC tidak lengkap, tablet Fe ibu hamil tidak lengkap, tidak ASI
eksklusif, MP-ASI buruk, imunisasi tidak lengkap, suplementasi vitamin A
67

tidak lengkap dan monitoring pertumbuhan tidak rutin. Distribusi tersebut


dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 11 Distribusi Anak Stunting berdasarkan Jumlah Faktor Risiko


Jumlah Faktor Risiko Frekuensi Persentase (%)
3 faktor risiko 3 13,0
4 faktor risiko 6 26,1
5 faktor risiko 4 17,4
6 faktor risiko 8 34,8
7 faktor risiko 2 8,7

Berdasarkan data tabel 11 di atas maka didapatkan bahwa anak


stunting paling banyak memiliki 6 faktor risiko yaitu sebesar 34,8% dan
paling sedikit memiliki 7 faktor risiko yaitu sebesar 8,7%. Tabel ini
menjelaskan tentang jumlah faktor risiko pada anak stunting. Selain jumlah
faktor risiko, hasil penelitian ini juga menemukan faktor risiko apa yang
paling banyak serta paling sedikit yang terdapat pada anak stunting. Hasil
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 12 Persentase Faktor Risiko pada Anak Stunting


Faktor risiko Frekuensi Persentase (%)
ANC Tidak Lengkap 14 60,86
Tablet Fe Ibu Hamil Tidak Lengkap 18 78,26
Tidak ASI Eksklusif 14 60,86
MP-ASI Kurang Baik, 22 95,65
Imunisasi Tidak Lengkap 12 52,17
Suplementasi Vitamin A Tidak Lengkap 13 56,52
Monitoring Pertumbuhan Tidak Rutin 22 95,65

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan bahwa faktor risiko yang


paling banyak terdapat pada anak stunting adalah anak yang mendapatkan
MP-ASI kurang baik dan monitoring pertumbuhan tidak rutin yaitu sebesar
95,65% dari seluruh anak stunting. Sebaliknya, faktor risiko yang paling
sedikit terdapat pada anak stunting adalah imunisasi tidak lengkap yaitu
sebesar 52,17%
68

C. Analisis Bivariat
Analisa bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel
(variabel independen dan dependen). Variabel independen adalah ANC, tablet Fe
Ibu hamil, ASI eksklusif, MP-ASI, imunisasi lengkap, suplementasi vitamin A
dan monitoring pertumbuhan. Sedangkan variabel dependen adalah kejadian
stunting. Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah Chi-Square Test.
Hasil analisis bivariat yaitu hubungan antara variabel independen (ANC, tablet Fe
ibu hamil, ASI eksklusif, MP-ASI, imunisasi lengkap, suplementasi vitamin A
dan monitoring pertumbuhan) dan dependen (kejadian stunting) dapat dilihat pada
tabel di bawah ini :
Tabel 13 Hubungan Variabel Independen dengan Kejadian Stunting di Wilayah
Kerja Puskesmas Seberang Padang 2019
Kejadian Stunting
Total POR
Stunting Normal P-value
Variabel (95% CI)
f % f % f %
ANC
Tidak Lengkap 14 35,0 26 65,0 40 100 1,31
0,782
Lengkap 9 29,0 22 71,0 31 100 (0,47-3,62)

Tablet Fe Ibu
Hamil
Tidak Lengkap 18 39,1 28 60,9 46 100 2,571
0,168
Lengkap 5 20,0 20 80,0 25 100 (0,81-8,08)

ASI Eksklusif
Tidak 14 34,1 27 65,9 41 100 1,21
0,911
Ya 9 30,0 21 70,0 30 100 (0,43-3,33)

MP-ASI
Kurang Baik 22 38,6 35 61,4 57 100 8,17
0,027
Baik 1 7,1 13 92,9 14 100 (0,99-66,9)

Imunisasi Lengkap
Tidak Lengkap 12 35,3 22 64,7 34 100 1,28
0,805
Lengkap 11 29,7 26 70,3 37 100 (0,47-3,49)

Suplementasi
Vitamin A
Tidak Lengkap 13 46,4 15 53,6 28 100 2,86
0,075
Lengkap 10 23,3 33 76,7 43 100 (1,02-7,97)

Monitoring
Pertumbuhan
Tidak Rutin 22 37,9 36 62,1 58 100 7,33
0,048
Rutin 1 7,7 12 92,3 13 100 (0,89-60,3)
69

Berdasarkan tabel 13 di atas didapatkan bahwa anak stunting lebih banyak


terdapat pada ibu dengan ANC tidak lengkap (35%) dan tablet Fe tidak lengkap
(39,1%) dibandingkan dengan ibu dengan ANC lengkap (29%) dan tablet Fe
lengkap (20%). Anak stunting lebih banyak terdapat pada anak yang tidak ASI
eksklusif (34,1%), MP-ASI kurang baik (38,6%), imunisasi tidak lengkap
(35,3%), suplementasi vitamin A tidak lengkap (46,4%) dan monitoring
pertumbuhan tidak rutin (37,9%) dibandingkan anak ASI eksklusif (30%), MP-
ASI baik (7,1%), imunisasi lengkap (29,7%), suplementasi vitamin A lengkap
(23,3%), dan monitoring pertumbuhan rutin (7,7%).
Uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara MP-ASI dan monitoring pertumbuhan terhadap kejadian
stunting. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji statistik yaitu diperoleh nilai p<0,05.
Selain itu, didapatkan juga bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
variabel ANC, tablet Fe ibu hamil, ASI eksklusif, imunisasi lengkap, dan
suplementasi vitamin A terhadap kejadian stunting. Hal ini dapat dilihat dari hasil
uji statistik yaitu diperoleh nilai p >0,05.
Hasil analisis bivariat juga didapatkan bahwa nilai POR = 8,17 yang
artinya anak yang tidak mendapatkan MP-ASI yang baik berisiko akan mengalami
kejadian stunting sebesar 8,17 kali dibandingkan dengan anak yang mendapatkan
MP-ASI baik. Hasil analisis bivariat juga memperlihatkan bahwa nilai POR =
7,33 yang artinya anak yang tidak mendapatkan monitoring pertumbuhan rutin
berisiko akan mengalami kejadian stunting sebesar 7,33 kali dibandingkan dengan
anak yang mendapatkan monitoring pertumbuhan rutin.

D. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk melihat hubungan beberapa variabel
independen dengan variabel dependen sehingga dapat diperkirakan hubungan
variabel setelah dikontrol dengan beberapa variabel lainnya. Analisa ini akan
mendapatkan variabel yang paling dominan mempengaruhi kejadian stunting.
Analisis multivariat diawali dengan melakukan penjaringan variabel. Berikut
langkah-langkah dalam analisis multivariat menggunakan Uji Regresi Logistik.
Hasilnya didapatkan seperti di bawah ini :
70

1. Seleksi Bivariat
Penelitian ini terdapat satu variabel dependen yaitu kejadian stunting
dan tujuh variabel independen yaitu ANC, tablet Fe Ibu Hamil, ASI
eksklusif, MP-ASI, imunisasi lengkap, suplementasi vitamin A, dan
monitoring pertumbuhan. Untuk menjadikan variabel multivariat terlebih
dahulu dilakukan seleksi bivariat. Variabel yang dimasukkan ke dalam
analisis berpedoman pada hasil bivariat. Variabel yang akan dimasukkan ke
dalam analisis multivariat adalah variabel dari hasil bivariat yang memiliki
p-value <0,25. Berikut hasil seleksi bivariat:

Tabel 14 Hasil Seleksi Bivariat


95% CI
Stunting POR P-Value
Lower Upper
Tablet Fe Ibu Hamil 2,70 0,81 8,08 0,168
MP-ASI 8,17 0,99 66,9 0,027
Suplementasi Vit A 2,86 1,02 7,97 0,075
Monitoring Pertumbuhan 7,33 0,89 60,3 0,048

Pada tabel di atas menunjukkan ada 4 variabel yang nilai p-value


<0,25 yaitu tablet Fe ibu hamil, MP-ASI, suplementasi vitamin A dan
monitoring pertumbuhan. Keempat variabel tersebut bisa diteruskan ke
dalam tahap pemodelan multivariat. Sedangkan hasil uji yang p-value >0,25
tidak dapat dilanjutkan ke multivariat.

2. Pemodelan Multivariat
Langkah selanjutnya adalah pemodelan multivariat dengan
memasukkan secara bersamaan semua variabel kandidat hasil dari seleksi
bivariat. Adapun model awal multivariat pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Tabel 15 Model Awal Multivariat
95% CI
Stunting POR P-Value
Lower Upper
MP-ASI 22,8 2,37 219,6 0,007
Tablet Fe Ibu hamil 4,96 1,33 18,50 0,017
Suplementasi Vit A 2,85 0,83 9,769 0,096
Monitoring Pertumbuhan 9,70 1,04 90,58 0,046
71

Hasil uji statistik pada tabel di atas merupakan model awal untuk
analisis multivariat selanjutnya. Untuk mengetahui faktor risiko paling
dominan maka perlu dilakukan analisis tahap selanjutnya yaitu
mengeluarkan variabel yang memiliki p-value paling besar. Variabel yang
dikeluarkan adalah variabel suplementasi vitamin A. Model analisis
multivariat tanpa suplementasi vitamin A dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:

Tabel 16 Model Analisis Multivariat tanpa Suplementasi Vitamin A


95% CI
Stunting POR Lower Upper P-Value

MP-ASI 17,2 1,952 152,7 0,010


Tablet Fe ibu hamil 4,77 1,346 16,91 0,016
Monitoring pertumbuhan 13,0 1,473 116,2 0,021

Berdasarkan hasil uji statistik tabel di atas, maka variabel selanjutnya


yang dikeluarkan adalah variabel monitoring pertumbuhan. Berikut hasil
analisis nya:

Tabel 17 Model Akhir Analisis Multivariat


95% CI
Stunting POR P-Value
Lower Upper
MP-ASI 11,64 1,37 98,7 0,024
Tablet Fe ibu hamil 3,66 1,11 12,0 0,033

Berdasarkan hasil analisis di atas, maka didapatkan bahwa variabel


MP-ASI merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan
kejadian stunting pada 1000 HPK di Puskesmas Seberang Padang dengan
nilai POR terbesar yaitu 11,64 (95% CI : 1,37-98,7).
72

3. Analisis Faktor yang Paling Dominan dengan Kejadian Stunting


pada 1000 HPK tahun 2019
Analisis kualitatif dilakukan pada faktor yang paling dominan yang
mempengaruhi stunting di Puskesmas Seberang Padang tahun 2019. Oleh
karena keterbatasan peneliti baik tenaga, dana dan waktu, maka peneliti
mengevaluasi program hanya berfokus kepada program pencegahan stunting
pada faktor paling dominan. MP-ASI merupakan faktor paling dominan
yang berhubungan dengan kejadian stunting. Penelitian ini dilanjutkan
dengan melihat akar penyebab masalah mengapa ibu tidak memberikan MP-
ASI yang baik terhadap anak sehingga mengakibatkan stunting pada 1000
hari pertama kehidupan di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang.
Penelitian ini dilanjutkan dengan metode kualitatif untuk
mengevaluasi program MP-ASI sesuai PMK No. 40 tentang Pedoman Gizi
Seimbang yang diikuti oleh pedoman PMBA (Pemberian Makan Bayi dan
Anak) di tingkat Puskesmas. Pedoman PMBA menjadi acuan dari
Kemenkes RI untuk Puskesmas dalam menjalankan kegiatan MP-ASI.
Evaluasi ini dilakukan melalui pendekatan sistem. Pendekatan sistem yang
digunakan pada penelitian ini meliputi : unsur input, yaitu kebijakan, tenaga,
metode, anggaran dan sarana, unsur proses yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi; dan unsur output
yaitu jumlah tenaga yang terlatih, kader yang terlatih dalam pemberian
konseling PMBA.

E. Hasil Kualitatif Program MP-ASI


Pengambilan data primer kualitatif dilakukan melalui wawancara
mendalam kepada 7 informan dan dilakukan observasi pada 1 informan yang
berobat di Puskesmas Seberang Padang. Adapun karakteristik dari informan pada
wawancara mendalam dan observasi ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
73

Tabel 18 Karakteristik Informan Penelitian


Teknik
Jenis
No Umur Pendidikan Jabatan Pengumpulan
Kelamin
data
1 Perempuan 34 Dokter Kepala Puskesmas Wawancara
Mendalam
2 Perempuan 57 D3 Kebidanan Penanggung Jawab Wawancara
Gizi Mendalam
3 Perempuan 40 S2 Gizi dan Staff Bagian Gizi Wawancara
Kesehatan (Petugas Pelaksana Mendalam
Gizi dan
Koordinator
Promosi
Kesehatan)
4 Perempuan 44 D3 Kebidanan Bidan Kelurahan Wawancara
Mendalam
5 Perempuan 55 SMA Kader Wawancara
Mendalam
6 Perempuan 47 SMA Kader Wawancara
Mendalam
7 Perempuan 28 SMA Ibu baduta yang Wawancara
pernah Mendalam
mendapatkan
layanan di
Puskesmas
Seberang Padang
8 Perempuan 1tahun - Baduta yang Observasi
7 bln berobat ke Poli
KIA (HAZ = -
2,28)

1. Input
a. Sosialisasi Kebijakan dan Petunjuk Teknis Belum Ada
Berdasarkan PMK No 41 tahun 2014 tentang pedoman gizi
seimbang disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan gizi seimbang
termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan pemberian MP-ASI yang baik
dan benar. PMK ini menyebutkan bahwa terdapat beberapa kegiatan yang
perlu dilakukan seperti sosialisasi, pelatihan, penyuluhan, konseling dan
demo percontohan dan praktik. PMK ini juga mengatur mengenai gizi
seimbang untuk anak usia 6-24 bulan seperti pemberian MP-ASI yang baik.
PMK ini diikuti oleh dikeluarkan nya panduan penyelenggaraan PMBA baik
untuk petugas kesehatan khusus nya petugas gizi, bidan kelurahan maupun
kader (Kemenkes, 2014a). Berdasarkan wawancara yang dilakukan
74

diperoleh informasi bahwa seluruh petugas pelaksana gizi dan staf


mengetahui bahwa dasar pelaksanaan program MP-ASI adalah mengacu
pada pedoman PMBA yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan,
namun seluruh informan belum mengetahui tentang kebijakan yang
mendasari pelaksanaan kegiatan MP-ASI. Sesuai dengan hasil wawancara
mendalam dengan informan di bawah ini :
“Kebijakan atau pedoman yang kami gunakan untuk program MP-
ASI ini apa ya, ya adalah peraturan atau PMK nya ..”(Inf-1)

“Kebijakan atau pedoman yang kami gunakan untuk pelaksanaan


program MP-ASI khusus untuk konseling MP-ASI kami menggunakan
buku atau modul konseling PMBA ufrejutek (usia frekuensi jumlah
dan tekstur)..”(Inf -2)

“Untuk kebijakan yang kami gunakan adalah standard PMBA, seperti


yang ada pada modul PMBA dan juga lembar bolak balik standard
PMBA ..” (Inf- 3)

“Untuk Program MP-ASI kebijakan atau pedoman yang kami pegang


adalah PMBA ( Inf- 4.)

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diatas disebutkan


bahwa informan mengetahui adanya petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan
MP-ASI berdasarkan pedoman penyelenggaraan PMBA yang dikeluarkan
oleh Kementerian Kesehatan. Namun setelah dilakukan telaah dokumen
bahwa tidak ditemukan petunjuk teknis pelaksanaan tersebut di Puskesmas.
Berikut hasil tabel telaah dokumen kebijakan dan petunjuk teknis yang
terdapat di Puskesmas Seberang Padang :
Tabel 19 Kondisi Kebijakan Kegiatan MP-ASI
Standar Kondisi Keterangan
Saat ini
1. PMK No 41 tentang Pedoman Gizi Ada Kebijakan yang
2. Modul MP-ASI berbasis PMBA - mendasari ada
3. Petunjuk Teknis namun tidak
- Sosialisasi - diketahui oleh
- Pelatihan PMBA Kader - petugas
- Penyelenggaraan MP-ASI berbasis -
PMBA

Berdasarkan hasil telaah dokumen di Puskesmas Seberang Padang


tidak ditemukan petunjuk teknis pelaksanaan sosialisasi maupun pelatihan
75

PMBA kepada kader dari petugas gizi. Selain itu, petugas tidak mengetahui
tentang kebijakan berupa PMK yang mendasari pelaksanaan kegiatan MP-
ASI namun ditemukan adanya PMK No. 40 tahun 2014 tentang Pedoman
Gizi Seimbang di Puskesmas melalui telaah dokumen. Berikut disajikan
matriks yang merupakan reduksi dari hasil wawancara mendalam mengenai
komponen input yaitu kebijakan.

Tabel 20 Matriks Triangulasi Metode Kebijakan Program MP-ASI di


Puskesmas Seberang Padang 2019
Wawancara
Topik Telaah Dokumen Kesimpulan
Mendalam
Kebijakan - Ditemukan PMK - Kebijakan - Seluruh petugas belum
No 41 tahun pemerintahan mengetahui tentang
2014 mengenai berupa PMK kebijakan yang
Pedoman Gizi yang mendasari mendasari kegiatan
Seimbang serta kegiatan MP- MP-ASI berbasis
ASI belum PMBA.
- Tidak di temukan diketahui oleh
modul PMBA seluruh - Seluruh petugas
informan. mengetahui bentuk
pedoman (petunjuk
- Tidak di temukan - Pedoman dari teknis) pelaksanaan
petunjuk teknis kemenkes kegiatan MP-ASI dari
(sosialisasi, mengenai Kementerian
pelatihan serta pelaksanaan Kesehatan RI namun
penyelenggaraan) kegiatan MP- tidak ditemukan
kegiatan MP-ASI ASI sudah petunjuk teknis
berbasis PMBA diketahui oleh tersebut di Puskesmas
petugas
pelaksana gizi
dan bidan.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan telaah dokumen dapat


disimpulkan bahwa seluruh informan belum mengetahui kebijakan yang
mendasari pelaksanaan kegiatan MP-ASI meskipun terdapat peraturan yang
terdokumentasikan di ruang gizi. Pedoman yang mengatur mengenai
pelaksanaan kegiatan MP-ASI berbasis PMBA di Puskesmas Seberang
Padang sudah diketahui oleh semua petugas puskesmas maupun bidan
kelurahan, namun tidak ditemukan petunjuk teknis pelaksanaan nya di
Puskesmas.
76

b. Tenaga Kader Terlatih PMBA Belum Ada


Berdasarkan PMK No 75 tentang Puskesmas tahun 2014 disebutkan
bahwa dalam upaya pelaksanaan pelayanan gizi maka diperlukan tenaga gizi
yang memiliki kompetensi dan kewenangan. Tenaga pelaksana gizi (TPG)
di Puskesmas yang terlatih menjadi input tenaga yang sangat penting.
Berdasarkan PMK tersebut disebutkan bahwa minimal atau paling sedikit
terdapat 2 tenaga gizi di setiap Puskesmas jenis rawatan di lingkungan
perkotaan. Berdasarkan hasil wawancara mendalam bahwa jumlah TPG di
Puskesmas Seberang Padang tahun 2019 mencukupi yaitu berjumlah 3
orang. Namun, 1 orang TPG merupakan tenaga baru dipindahkan ke
Puskesmas karena ada salah satu TPG yang akan pensiun. Mengenai tenaga
gizi yang terlatih, puskesmas sudah memiliki TPG terlatih PMBA namun,
pelatihan diberikan terakhir pada tahun 2017. Sesuai dengan hasil
wawancara mendalam dengan informan di bawah ini :
“Menurut saya tenaga gizi sudah cukupya, baik sebagai pelaksana
dan juga penanggung jawab program di Puskesmas…”(Inf 1)

“Untuk tenaga dari puskesmas kami punya 3 tenaga yang sudah


mendapatkan pelatihan PMBA.. bidan kelurahan dan juga kader
sudah mencukupi, namun mungkin yang kurang adalah sosialisasi
dari petugas ke kader dan dari kader atau bidan kelurahan ke
masyarakatnya yang kurang...Untuk kualifikasinya bahwa petugas
puskesmas 3 orang sudah mendapatkan pelatihan PMBA beserta
bidan kelurahan...”(inf 2)

“Kalo menurut saya untuk pelaksana MP-ASI sudah mencukupi ya, di


Puskesmas terdapat 2 tenaga pelaksana gizi yang sudah mendapatkan
pelatihan, juga bidan kelurahan ke empat-empatnya sudah
mendapatkan pelatihan PMBA, kader dll.. dulu gizi 2 orang sekarang
ada 3 orang baru pindah ke Puskesmas Seberang Padang..Namun
menurut saya seluruh petugas puskesmas sebagai pelaksana posyandu
harus terpapar dengan PMBA. Hal ini tentu akan membantu, karena
jika dilihat jumlah petugas gizi hanya 3 orang sedangkan posyandu
ada 23 jika hanya mengandalkan petugas gizi mungkin tidak akan
tercover....”(Inf 3)

“Kalo menurut saya tenaga sudah mencukupi ya, kader pun sudah
cukup..” (inf 4)
77

Berdasarkan wawancara dengan informan didapatkan bahwa untuk


kecukupan jumlah tenaga gizi sebagai tenaga pelaksana gizi di Puskesmas
dibandingkan peraturan yang ada sudah mencukupi. Untuk pelatihan
PMBA, semua tenaga pelaksana gizi sudah mendapatkan pelatihan, namun
pelatihan terakhir dilakukan pada tahun 2017. Selanjutnya triangulasi
sumber dari beberapa informan berdasarkan wawancara mendalam tentang
kecukupan ketenagaan untuk pelaksanaan program gizi khusus untuk
pelaksanaan program MP-ASI sudah mencukupi Berdasarkan observasi
yang dilakukan terkait dengan tenaga terlatih konseling PMBA sudah
mencukupi hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 21 Jumlah Petugas Pelaksana Gizi (MP-ASI) di Puskesmas


Seberang Padang 2019
Tenaga Standar Jumlah Saat ini Status Keterangan
Tenaga Pelaksana 2 orang 3 orang Pernah ikut Tidak ada
Gizi pelatihan sertifikat

Kader terlatih 2 Kader - 31 kader -


Per-desa posyandu
belum
pernah ikut
pelatihan
Bidan Desa 1 Bidan 4 orang Sudah Tidak ada
Per-desa mengikuti sertifikat
pelatihan

Selanjutnya, berdasarkan telaah dokumen yang dilakukan diketahui


staf gizi di Puskesmas Seberang Padang dapat dilihat pada tabel di bawah
ini :

Tabel 22 Data Petugas Pelaksana Gizi di Puskesmas Seberang Padang


tahun 2019
Pendidikan Jabatan
Nama
Fatma Wasita D3 Gizi Penanggung Jawab Gizi
Rahmawati S2 Gizi dan Kesehatan Pelaksana Gizi dan
Koordinator Promosi
Kesehatan
Nadiyah S1 Gizi Pelaksana Gizi
78

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa Puskesmas Seberang


Padang sudah memiliki petugas pelaksana gizi dengan kualifikasi
pendidikan yang sudah sesuai dengan kualifikasi serta terlatih PMBA,
namun dari hasil observasi petugas tidak dapat menunjukkan sertifikat
pelatihan PMBA yang pernah diikuti. Selain itu untuk tenaga kader terlatih
PMBA yang diharapkan dapat meneruskan informasi mengenai MP-ASI ke
masyarakat belum memadai. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan
sebelumnya bahwa sosialisasi PMBA yang pernah dilakukan di Puskesmas
dilakukan terakhir kali pada tahun 2017. Berikut matriks triangulasi metode
tentang ketenagaan dalam pelaksanaan program MP-ASI di Puskesmas
Seberang Padang berdasarkan wawancara mendalam dan telaah dokumen
dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 23 Matriks Triangulasi Metode Ketenagaan untuk Pelaksanaan


Program MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019
Topik Telaah Observasi Wawancara Kesimpulan
Dokumen Mendalam
Tenaga Tenaga - Tidak di Puskesmas Jumlah tenaga
pelaksana temukan Seberang pelaksana gizi
gizi ada 3 sertifikat Padang sudah sudah mencukupi
orang petugas memiliki sesuai dengan
dengan terlatih tenaga PMK No 75
kualifikasi konseling pelaksana gizi tentang
D3 Gizi, S1 PMBA yang sesuai Puskesmas 2017,
Gizi, S2 petugas dengan PMK serta sudah
Gizi dan pelaksana gizi. No 75 tentang mendapatkan
Kesehatan. Puskesmas pelatihan PMBA
2017 meskipun tidak
- Tidak terdapat memiliki
kader terlatih Semua tenaga sertifikat PMBA.
PMBA dari 31 kerja terlibat
kader dalam
posyandu. pelaksanaan Belum terdapat
MP-ASI kader terlatih
berupa PMBA.
penyuluhan
dan konseling
di Puskesmas.

Berdasarkan telaah dokumen, wawancara mendalam dan observasi


didapatkan hasil bahwa tenaga pelaksana gizi di Puskesmas Seberang
Padang pada tahun 2019 sudah mencukupi dan sudah terlatih PMBA.
79

Namun untuk ketenagaan kader belum ada kader yang mendapatkan


pelatihan PMBA sesuai dengan yang dianjurkan oleh pedoman
penyelenggaraan kegiatan MP-ASI berbasis PMBA.

c. Metode Pelaksanaan Belum sesuai dengan Pedoman


Metode adalah suatu tata cara pelaksanaan kegiatan yang bertujuan
untuk memperlancar pelaksanaan program MP-ASI untuk mencegah terjadi
stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang. Berdasarkan PMK
No 41 tahun 2014 tentang pedoman gizi seimbang disebutkan bahwa dalam
penyelenggaraan gizi seimbang terdapat beberapa kegiatan yang perlu
dilakukan seperti sosialisasi, pelatihan, penyuluhan, konseling dan demo
percontohan dan praktik. Berdasarkan pedoman PMBA dari Kementerian
Kesehatan, perlu diperlihatkan kepada ibu secara langsung jenis, tekstur,
frekuensi, dan jumlah makanan yang harus di makan bayi sesuai dengan
tingkat umurnya. Metode yang disebutkan dalam pedoman adalah kader
mampu memberikan konseling PMBA dengan menggunakan kartu
konseling (lembar bolak-balik PMBA yang terdiri dari 17 lembar).
Berdasarkan wawancara mendalam dengan informan didapatkan bahwa
metode pelaksanaan program MP-ASI berupa pemberian informasi kepada
ibu baduta mengenai PMBA menggunakan metode konseling di bagian gizi
puskesmas, ceramah di kelas ibu bayi balita, dan metode tanya jawab di
Posyandu. Berdasarkan wawancara mendalam dengan informan didapatkan
bahwa pelaksanaan MP-ASI di Puskesmas belum terealisasi sesuai dengan
metode yang dianjurkan tersebut di Puskesmas Seberang Padang. Sesuai
dengan hasil wawancara mendalam dengan informan di bawah ini :
“Metode pelaksanaan program MP-ASI selama ini ya ceramah saat
ada kelas ibu hamil dan balita, dan itupun tidak setiap bulan ada
materi itu, itu materi bergilir setiap bulannya. Selain itu juga kami
lakukan melalui metode konseling di Bagian Gizi di
Puskesmas...Untuk demo atau praktek melihat langsung tekstur dll itu
belum ada, maupun dalam bentuk video juga belum...” (Inf 3)
Kalo untuk MP-ASI PMBA belum ada di dalam RUK… sehingga
susunan atau SOP kegiatan PMBA sendiri tidak ada termasuk
pelatihan ke kader, namun pelaksanaan nya di Puskesmas ada kami
lakukan seperti di Konseling MP-ASI di bagian Gizi dan kegiatan di
Posyandu, kelas ibu hamil, kelas ibu bayi dan balita….”-(Inf3)
80

“Pelaksanaan MP-ASI ini ya kami dengan cara konseling di


Puskesmas atau Pustu, lalu sistem tanya jawab antara kader atau
petugas dengan ibu yang berkunjung, lalu di saat pertemuan kelas ibu
bayi dan balita kami informasikan melalui metode ceramah....”(Inf-4)

Hal ini senada dengan apa yang sampaikan oleh ibu baduta yang
berada di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang bahwa memang
pemberian informasi mengenai PMBA di Posyandu hanya berupa tanya
jawab saja. Pemberian informasi mengenai pemberian MP-ASI untuk anak
yang baik kepada ibu yang berkunjung ke posyandu belum berjalan optimal.
Sesuai dengan hasil wawancara mendalam dengan informan di bawah ini :

“Ya kami saat posyandu, sesekali di tanya oleh kader atau petugas
kesehatannya, saat ini anak sedang makan apa, ? kalo umur segini
makan ini ya .. gitu.. Cuma tanya jawab ini juga sesekali dan di kasih
informasi seperti itu juga jarang karena pada sibuk juga kan ngurus
ibu ini lah, anak ini lah …yaudah kalo udah selesai posyandu
langsung pulang aja lagi..Pemberian informasi itu jika ibu yang
berkunjung ke posyandu lagi sepi, nah dapat informasi itu…”-(Inf-5)

Berdasarkan hasil penelitian hasil observasi metode pelaksanaan


dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 24 Metode Pelaksanaan MP-ASI


Standar Kondisi Keterangan
Saat ini
1. Sosialisasi MP-ASI berbasis PMBA - Penyuluhan MP-
2. Pelatihan MP-ASI berbasis PMBA - ASI tidak tepat
kepada kader sasaran
3. Penyuluhan MP-ASI kepada Ibu Ada
4. Konseling MP-ASI PMBA Konseling MP-ASI
- Di Puskesmas Ada di Posyandu belum
- Di Luar Puskesmas (posyandu) - optimal
5. Demo Percontohan MP-ASI -

Selanjutnya triangulasi sumber dari beberapa informan berdasarkan


wawancara mendalam tentang metode pelaksanaan program MP-ASI di
Puskesmas Seberang Padang dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
program MP-ASI sudah dilakukan dengan beberapa metode namun belum
dilaksanakan dengan metode seperti adanya demo percontohan MP-ASI
yaitu dengan memperlihatkan langsung jenis makanan, konseling dari kader,
81

dan pelatihan ke kader sesuai dengan yang disebutkan dalam pedoman


PMBA dari Kementerian Kesehatan RI. Pelaksanaan MP-ASI bagi ibu
baduta lebih berfokus kepada penyuluhan dan bukan konseling. Berikut
matriks triangulasi mengenai metode pelaksanaan program MP-ASI di
Puskesmas Seberang Padang berdasarkan telaah dokumen dan wawancara
mendalam dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 25 Matriks Triangulasi Metode untuk Pelaksanaan Program MP-


ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019
Topik Telaah Wawancara Mendalam Kesimpulan
Dokumen
Metode Tidak di Puskesmas Seberang SOP khusus mengenai
temukan SOP Padang sudah PMBA belum ada di
untuk program melaksanakan program Puskesmas Seberang
MP-ASI khusus MP-ASI baik dalam Padang.
untuk PMBA bentuk konseling
PMBA di Puskesmas, Metode konseling, tanya
Terdapat tanya jawab di jawab di posyandu dan
dokumen Posyandu, serta penyuluhan pemberian
konseling MP- ceramah di pertemuan informasi mengenai
ASI dan 1 set kelas ibu hamil, kelas PMBA baik di
lembar bolak ibu bayi dan balita pertemuan kelas ibu
balik PMBA namun belum berjalan bayi balita belum
untuk konseling optimal. berjalan optimal.

Tidak Untuk SOP termasuk Metode masih berfokus


ditemukan pelatihan ke kader kepada penyuluhan
lembar bolak mengenai kegiatan bukan bersifat konseling
balik PMBA MP-ASI berbasis dari kader sesuai yang
kader di PMBA tidak ada anjurkan pedoman
Posyandu. karena tidak menjadi PMBA
program dalam RUK
Puskesmas di tahun Metode pelatihan ke
2019 kader serta demo
percontohan MP-ASI
belum ada di lakukan
sesuai dengan petunjuk
teknis yang dikeluarkan
Kementerian Kesehatan

Berdasarkan telaah dokumen tidak ditemukan SOP untuk


pelaksanaan program MP-ASI berbasis PMBA karena tidak menjadi
rencana kegiatan atau program di Puskesmas Seberang Padang tahun 2019.
Berdasarkan wawancara mendalam dan telaah dokumen maka dapat
disimpulkan metode pelaksanaan kegiatan yang dilakukan belum sesuai
82

dengan pedoman PMBA. Program MP-ASI belum berfokus kepada


konseling yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Metode yang
belum dilakukan adalah metode pengenalan MP-ASI dengan presentasi atau
demo langsung memperlihatkan makanan sesuai dengan frekuensi, jumlah,
tekstur berdasarkan umur anak, konseling yang dilakukan oleh kader, serta
pelatihan ke kader mengenai tata cara konseling yang harus dilakukan.

d. Belum Ada Penganggaran MP-ASI Berbasis PMBA


Anggaran merupakan segala bentuk dana atau biaya yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan program MP-ASI khusus mengenai PMBA.
Ketersediaan dana atau anggaran untuk mendukung kegiatan berasal dari
anggaran puskesmas. Berdasarkan wawancara mendalam ditemukan bahwa
sumber dana untuk pelaksanaan kegiatan tidak ada dalam anggaran RUK
tahun 2019. Pelaksanaan konseling MP-ASI berupa konseling PMBA
kepada ibu yang berkunjung ke Puskesmas tidak diperlukan biaya apapun.
Pelaksanaan kegiatan MP-ASI berbasis PMBA tidak hanya
melakukan konseling di Puskesmas saja tetapi juga perlu melakukan
pelatihan kepada kader mengenai tata cara konseling MP-ASI berbasis
PMBA. Selanjutnya kader perlu memberikan konseling kepada ibu dengan
media konseling seperti kartu konseling PMBA. Pelaksanaan kegiatan
tersebut disebutkan dalam panduan penyelenggaraan PMBA. Untuk
melaksanakan kegiatan tersebut perlu adanya anggaran. Berdasarkan
wawancara mendalam dengan informan penelitian menyebutkan bahwa
anggaran pelatihan PMBA belum ada sehingga belum pernah terlaksana di
Puskesmas Seberang Padang hingga saat ini.
Pelaksanaan penyuluhan mengenai MP-ASI di pertemuan kelas ibu
hamil menggunakan biaya program promosi kesehatan di luar gedung.
Biaya tersebut berasal dari dana BOK. Sesuai dengan hasil wawancara
mendalam dengan informan di bawah ini :
“Anggaran pelaksanaan konseling MP-ASI berbasis PMBA yang
dilakukan di bagian Pojok Gizi tidak ada, karena ini pelayanan kan,
ga perlu ada dana untuk konseling di Puskesmas,.” Inf 2
“Untuk pendanaan sesuai dengan RUK ya tidak ada dana khusus
untuk PMBA, karena ga ada dalam rencana program tahun ini kan ?,
83

Kalo untuk sosialisasi PMBA di tahun 2017 lalu itu juga ga ada
pendanaan khusus itu pake dana lain, dana untuk pelatihan ke kader
juga ngga ada sehingga ga terlaksana di puskesmas.”-Inf 3

“Untuk pendanaan PMBA sendiri tidak ada, namun pemberian


informasi mengenai PMBA sendiri kami selipkan di pertemuan kelas
bayi dan balita, dimana dari 5 pertemuan terdapat 1 pertemuan yang
membahas mengenai pemberian makanan pada anak. Dana nya
berasal dari BOK”-inf 4

Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian hasil telaah dokumen


mengenai anggaran pelaksanaan MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 26 Anggaran Pelaksanaan MP-ASI
Standar Kondisi Keterangan
Saat ini
1. Anggaran pelatihan MP-ASI berbasis - BOK dari program
PMBA kepada kader promosi kesehatan
2. Anggaran pelaksanaan konseling MP- di luar gedung.
ASI berbasis PMBA
- Di Puskesmas -
- Di Posyandu (kader) -
3. Anggaran pengadaan lembar bolak- -
balik PMBA
4. Anggaran penyuluhan MP-ASI Ada

Berdasarkan telaah dokumen disebutkan bahwa hanya terdapat


anggaran penyuluhan MP-ASI di luar gedung. Dana yang tersedia adalah
dana BOK dari kegiatan promosi kesehatan di luar gedung. Pelaksanaan
kegiatan konseling di Puskesmas tidak memerlukan biaya. Namun terdapat
beberapa kegiatan yang memerlukan biaya tetapi belum ada tersedia.
Berdasarkan Berdasarkan triangulasi metode dengan wawancara mendalam
dan telaah dokumen bahwa dapat disimpulkan anggaran pelaksanaan PMBA
di Puskesmas Seberang Padang belum ada penganggaran karena tidak ada
program PMBA dalam RUK. Berikut matriks triangulasi anggaran
pelaksanaan kegiatan MP-ASI berbasis PMBA:
84

Tabel 27 Matriks Triangulasi Metode Anggaran untuk Pelaksanaan


Program MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019
Topik Telaah Dokumen Wawancara Mendalam Kesimpulan
Anggaran Tidak terdapat Belum terdapat anggaran Belum terdapat
anggaran atau untuk pelaksanaan penganggaran
pendanaan untuk program MP-ASI khusus mengenai
pelaksanaan berbasis PMBA karena kegiatan MP-ASI
program MP-ASI bukan menjadi salah satu berbasis PMBA
(PMBA) termasuk program gizi di (termasuk
di dalamnya Puskesmas Seberang anggaran
pelatihan kader dan Padang sosialisasi,
pelaksanaan pelatihan kader,
konseling. Konseling MP-ASI di pengadaan alat
Puskesmas tidak atau media
Ditemukan dana membutuhkan biaya. konseling MP-
penyelenggaraan Namun konseling dari ASI) di
penyuluhan MP- kader memerlukan biaya Puskesmas
ASI sebagai pelatihan yang belum Seberang Padang
kegiatan dianggarkan hingga saat tahun 2019.
penyuluhan di luar ini.
gedung menjadi
bagian dalam
Untuk penyuluhan di luar
program promkes.
gedung mengenai MP-
ASI menggunakan dana
program promkes
penyuluhan di luar
gedung

Berdasarkan matriks triangulasi anggaran untuk pelaksanaan


program MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang tahun 2019 dapat
disimpulkan bahwa belum terdapat penganggaran khusus untuk pelaksanaan
kegiatan MP-ASI berbasis PMBA termasuk anggaran sosialisasi, pelatihan
kader, pengadaan alat atau media konseling kegiatan MP-ASI.

e. Sarana Belum Memadai


Sarana dan prasarana merupakan unsur yang sangat penting dalam
pelaksanaan program MP-ASI karena dapat mendukung kelancaran
pelaksanaan program. Berdasarkan panduan penyelenggaraan PMBA
disebutkan bahwa kader perlu melakukan konseling kepada ibu dengan
menggunakan kartu konseling atau lembar bolak balik. Selain itu juga perlu
adanya media sosialisasi, pelatihan serta penyuluhan MP-ASI yang sesuai
dengan PMK No. 40 tentang Pedoman Gizi Seimbang. Media tersebut
85

berupa brosur, leaflet, video dan lain-lain. Berdasarkan wawancara


mendalam dengan informan maka didapatkan bahwa untuk sarana prasarana
masih belum lengkap. Sesuai dengan hasil wawancara mendalam dengan
informan di bawah ini :
“Kami hanya punya lembar bolak balik PMBA saja 1 buah...”-(Inf- 3)

“Untuk sarana atau alat yang kami gunakan untuk pemberian


konseling PMBA kepada anak menggunakan lembar bolak balik
PMBA namun, hanya ada 1 buah di Puskesmas dan Pustu, jadi
kebetulan kemarin ada acara ya di pinjam dulu ke Puskesmas,,..nanti
di kembalikan lagi ke Puskesmas...untuk Leaflet poster dll belum ada”
(inf 4)

“Selama saya Posyandu di sini ya ga ada di berikan leaflet atau


brosur,..”(Inf-5)

Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian hasil observasi mengenai


sarana dan prasarana pelaksanaan MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 28 Sarana Pelaksanaan MP-ASI
Standar Kondisi Saat Keterangan
ini
1. Ketersediaan Lembar Bolak Balik (hanya 1 psc) Pemakaian Lembar
2. Modul pelatihan MP-ASI berbasis bolak balik secara
PMBA kepada kader - bergantian.
3. Media promosi MP-ASI seperti - Seharusnya setiap
(leaflet, brosur, video dll) posyandu dan bidan
desa ada

Berdasarkan triangulasi metode dengan wawancara mendalam dan


telaah dokumen bahwa dapat disimpulkan sarana dan prasarana untuk
pelaksanaan PMBA di Puskesmas Seberang Padang masih belum lengkap.
Tidak terdapat media sosialisasi, modul pelatihan PMBA untuk kader.
Media lainnya seperti brosur, leaflet, video dan lain-lain tidak ditemukan di
Puskesmas. Berikut matriks triangulasi metode sarana pelaksanaan kegiatan
MP-ASI berbasis PMBA di Puskesmas Seberang Padang :
86

Tabel 29 Matriks Triangulasi Metode Sarana untuk Pelaksanaan Program


MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019
Topik Telaah Observasi Wawancara Kesimpulan
Dokumen Mendalam
Sarana Tidak Hanya terdapat 1 Untuk peralatan Belum
terdapat lembar bolak yang diperlukan lengkapnya
sarana dan balik PMBA untuk PMBA ketersediaan
prasarana yang digunakan tidak ada baik sarana dan
untuk untuk Pustu, dan itu leaflet, prasarana
sosialisasi, Puskemas brosur, sebagai untuk
pelatihan media promosi mendukung
kader, media yang digunakan. pelaksanaan
konseling Tidak terdapat PMBA atau
PMBA dari brosur, leaflet, Hanya terdapat MP-ASI
kader di spanduk atau 1 lembar bolak
dalam poster di balik PMBA.
dokumen Puskesmas.
anggaran
RUK

Berdasarkan matriks triangulasi untuk pelaksanaan program MP-ASI


di Puskesmas Seberang Padang tahun 2019 dapat disimpulkan bahwa belum
terdapat ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap untuk program
MP-ASI baik seperti lembar bolak-balik PMBA, sarana pelatihan dan
sosialisasi maupun media promosi PMBA lainnya.

2. Process
a. Perencanaan (Planning)
Perencanaan merupakan proses bagaimana melaksanakan kegiatan
sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan melalui pengaturan
pemanfaatan sumber daya yang ada secara jelas. Kegiatan melaksanakan
perencanaan terdiri dari analisa situasi, identifikasi masalah, prioritas
masalah, akar penyebab masalah, penyelesaian masalah dan penyusunan
rencana 5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas.
Berdasarkan wawancara mendalam dengan informan mengenai
perencanaan disebutkan bahwa perencanaan program di Puskesmas
dilakukan berdasarkan data yang ada di tahun lalu, serta melanjutkan
program yang menjadi program tetap dari Dinas Kesehatan Kota Padang.
Informan juga menjelaskan bahwa perencanaan program gizi yang
87

dilakukan berdasarkan permasalahan yang terjadi di masyarakat serta


menggali akar penyebab permasalahan belum berjalan optimal. Sesuai
dengan hasil wawancara mendalam dengan informan di bawah ini :
“Saya rasa kendala di perencanaan … untuk perencanaan belum
tergali akar permasalahan yang sebenarnya yang terjadi di
masyarakat, ... mungkin itu kendalanya ya, bahwa petugas belum
begitu memahami mengenai tentang perencanaan..”-(Inf 1)

“Kami membuat perencanaan untuk tahun berikutnya berdasarkan


masalah tahun lalu, laporan-laporan, seperti laporan harian,
bulanan, dan laporan tahunan sebelumnya. Selain itu, juga ada
program yang menjadi program rutin dari DKK...Untuk perencanaan
yang melibatkan lintas sektor mungkin yang masih kurang..untuk
keterlibatan kader memang tidak ada terlibat kader dalam
perencanaan..(Inf 2)

Dalam proses merencanakan program kami lakukan berdasarkan


kasus, seperti terdapat kasus gizi buruk, ya kami lakukan pos gizi,
namun untuk perencanaan yang berbasis pemberian kuesioner ke
masyarakat, menganalisa berdasarkan penyebab permasalahan itu
terjadi secara detail kami belum sampai kesana, iya memang ada
terlihat penyebab nya pola asuh dari program pos gizi tersebut,
namun belum menggali pola asuh yang mana seperti apakah pola
asuh karena ibu sibuk bekerja atau pola asuh kerena MP-ASI tidak
baik..sehingga belum tergali dengan maksimal...” (inf 3)

Selain itu pernyataan dari informan juga mendukung bahwa


perencanaan program gizi di Puskesmas Seberang Padang belum optimal
dilakukan. Hal ini disebutkan oleh salah satu informan bahwa kegiatan yang
akan direncanakan tidak berasal dari survei mawas diri. Survei mawas diri
yang dilakukan khusus untuk program gizi ini belum ada dilaksanakan.
Sesuai dengan hasil wawancara mendalam dengan informan di bawah ini :
“Survei mawas diri untuk kita gizi ga ada, kami menggunakan survei
kadarzi yang kami lakukan ke 80 KK, apabila masih bermasalah
maka, masuk dalam kegiatan yang akan di prioritaskan, kalo sudah
memenuhi target dan tidak bermasalah selama 2 tahun, maka tidak
dimasukkan lagi sebagai kegiatan dalam RUK…”-Inf 2

Berdasarkan triangulasi metode dengan wawancara mendalam dan


telaah dokumen bahwa dapat disimpulkan perencanaan untuk pelaksanaan
PMBA di Puskesmas Seberang Padang belum sesuai dengan PMK No 44
tahun 2016. Hal ini disebabkan bahwa perencanaan belum dapat menggali
88

permasalahan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Khususnya untuk


rencana program MP-ASI tahun 2019 berbasis PMBA tidak ada dalam
RUK. Selain itu perencanaan juga rujuk dari hasil evaluasi program bulanan
yang belum memenuhi target. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
dokumen identifikasi masalah bulanan yang dipaparkan saat lokmin lengkap
beserta dengan fishbone penyebab masalah. Identifikasi masalah dan
penyebab masalah yang dibuat berdasarkan identifikasi program yang ada
yang tidak memenuhi target. Keterlibatan seluruh anggota atau elemen
seperti kader, lintas sektor, bidan pustu/kelurahan dalam penentuan
penyebab masalah atau fishbone belum optimal. Sehingga tidak didapatkan
akar penyebab masalah. Hasil dari evaluasi program gizi bulanan ini
menjadi pertimbangan untuk rencana program di Puskesmas. Oleh karena
itu, perencanaan program puskesmas belum dapat menggali permasalahan
yang sebenarnya terjadi di Puskesmas. Berikut matriks triangulasi
perencanaan :
Tabel 30 Matriks Triangulasi Perencanaan untuk Pelaksanaan Program
MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019
Topik Telaah Dokumen Wawancara Mendalam Kesimpulan
Perencanaan Terdapat Penyusunan perencanaan Proses
dokumen di Program Gizi dilihat penyusunan
perencanaan berdasarkan data-data perencanaan
program Gizi di laporan hasil pencapaian program gizi
Puskesmas program tahun lalu. belum optimal
Seberang Padang dilakukan sesuai
(Tidak untuk Penyusunan perencanaan dengan PMK
perencanaan MP- belum optimal dilakukan No 44 tahun
ASI berbasis sesuai dengan PMK No. 2016 karena
PMBA 44 tahun 2016 seperti belum optimal
identifikasi masalah, melakukan
Terdapat prioritas masalah, SMD gizi serta
dokumen berisi penentuan penyebab keterlibatan staf.
tabel identifikasi masalah, dan penentuan
masalah, solusi masalah berbasis Program MP-
fishbone program yang ada. ASI khususnya
penyebab PMBA tidak
masalah gizi Untuk program MP-ASI menjadi
berbasis PMBA belum prioritas
Tidak ditemukan ada dalam RUK tahun program dalam
dokumen SMD 2019 karena tidak rencana usulan
tentang program menjadi prioritas program kegiatan 2019.
gizi. gizi.
89

Berdasarkan telaah dokumen dan wawancara mendalam didapatkan


hasil bahwa Puskesmas Seberang Padang merumuskan perencanaan
program belum sepenuhnya sesuai dengan PMK No 44 tahun 2016 tentang
Manajemen Puskesmas. Masih terdapat langkah dalam perencanaan yang
belum dilakukan oleh Puskesmas khusus program gizi yaitu survei mawas
diri serta keterlibatan seluruh staff yang terlibat dalam program gizi. Khusus
untuk program MP-ASI berbasis PMBA belum terdapat di dalam
perencanaan Puskesmas sejak tahun 2017 hingga 2019 padahal panduan
PMBA sudah dikeluarkan Kementerian Kesehatan RI sejak tahun 2014.

b. Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian merupakan bagian dari manajemen yang sangat
penting untuk pelaksanaan program agar dapat berjalan sesuai dengan yang
diinginkan. Pengorganisasian program ini termasuk di dalamnya adalah
pembagian tugas yang akan dilakukan oleh setiap staff atau petugas.
Berdasarkan wawancara mendalam didapatkan bahwa pengorganisasian
untuk program MP-ASI khususnya PMBA sudah ditentukan. Pembagian
tugas atau tanggung jawab di Program gizi dibagi berdasarkan wilayah kerja
puskesmas. Pembagian tugas selain untuk petugas gizi yaitu petugas sebagai
penanggung jawab posyandu belum ada pembagian tugas mengenai
pemberian informasi MP-ASI berbasis PMBA. Sesuai dengan hasil
wawancara mendalam dengan informan di bawah ini :
“Untuk pengorganisasian petugas gizi dalam melaksanakan program
MP-ASI, kami berbagi tugas seperti ada salah satu petugas yang
bertugas di bagian konseling MP-ASI, jika ada rujukan dari bagian
KIA ke gizi ya kami beri konseling, petugas gizi lainnya melaksanakan
kegiatan seperti posyandu, atau kelas ibu hamil dan balita. Untuk
petugas selain gizi yang bertugas ke posyandu ya kami belum ada
pembagian tugas pemberian informasi MP-ASI berbasis PMBA,
namun biasanya juga ada di kasih tau ke ibu, buk, makannya di
perbanyak ya begitu…”(Inf-2)

“Wilayah kerja puskesmas seberang padang memiliki 4 wilayah,


Untuk Kel Seberang Padang itu 1 petugas gizi, untuk Alang Laweh itu
ada lagi 1 petugas gizi, dan untuk Ranah dan Belakang Pondok juga
ada 1 lagi petugas yang bertanggung jawab. Jadi ketika ada kelas ibu
90

balita di bagian Ranah, maka yang menjadi penanggung jawab itulah


yang akan ikut kegiatan tersebut. Apapun permasalahan gizi
buruk,gizi kurang di Wilayah tersebut,maka penanggung jawab
wilayah lah yang akan turun ke lapangan....” (Inf-3)

Berdasarkan triangulasi metode yang digunakan untuk menggali


informasi yaitu dengan telaah dokumen bahwa didapatkan tidak
ditemukannya dokumen pembagian kerja petugas gizi khusus untuk
program MP-ASI karena memang tidak menjadi bagian program Puskesmas
di tahun 2019. Berikut matriks triangulasi pengorganisasiannya :
Tabel 31 Matriks Triangulasi Pengorganisasian untuk Pelaksanaan
Program MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang 2019
Topik Telaah Dokumen Wawancara Kesimpulan
Mendalam
Pengorganisasian Tidak di temukan Puskesmas Pengorganisasian
dokumen Seberang Padang atau pembagian
pembagian kerja membagi kerja kerja sudah
petugas gizi berdasarkan ditentukan untuk
mengenai wilayah kerja program MP-ASI
program MP-ASI puskesmas. khusus PMBA di
Puskesmas, serta
Di temukan Khusus kegiatan
struktur MP-ASI tugas Pengorganisasian
organisasi di dibagi berdasarkan staff gizi
program gizi. staff yang tidak berdasarkan
melakukan kegiatan Wilayah Kerja
di luar lapangan Puskesmas untuk
bertugas sebagai kegiatan gizi
konselor di pojok lainnya.
gizi.

Pembagian tugas
MP-ASI berbasis
PMBA untuk staf
yang bertugas
sebagai
penanggung jawab
posyandu belum
diberikan atau di
sosialisasikan

Berdasarkan telaah dokumen dan wawancara mendalam didapatkan


bahwa Puskesmas Seberang Padang sudah memiliki pengorganisasian atau
pembagian kerja khusus untuk kegiatan MP-ASI berbasis PMBA serta
untuk program gizi di Puskesmas sudah ada pembagian kerja atau
91

pengorganisasian sesuai Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang


beranggotakan 3 orang. Namun belum ada pembagian tanggung jawab
untuk staf bukan gizi yang menjadi penanggung jawab posyandu mengenai
pemberian informasi MP-ASI berbasis PMBA.

c. Pelaksanaan (Actuating)
Pelaksanaan adalah kegiatan yang dilakukan berdasarkan rencana
yang telah ditetapkan sebelumnya dalam hal ini kegiatan atau program MP-
ASI khusus PMBA pada ibu baduta agar dapat memberikan MP-ASI sesuai
dengan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Pelaksanaan
kegiatan MP-ASI berbasis PMBA belum optimal dilaksanakan. Pelaksanaan
MP-ASI atau konseling PMBA di Puskesmas belum optimal karena terdapat
anak yang wajib mendapatkan PMBA tetapi tidak dirujuk untuk menerima
informasi. Pelaksanaan kegiatan MP-ASI berbasis PMBA juga diberikan di
luar puskesmas melalui penyuluhan kepada ibu. Materi PMBA juga di
sampaikan di kelas ibu bayi dan balita, kelas ibu hamil. Namun
penyampaian materi tersebut masih belum dilakukan secara terus menerus,
terstruktur serta terencana. Hal ini disebabkan karena banyak materi yang
akan tersampaikan sehingga penyampaian mengenai MP-ASI hanya
dilakukan 10 bulan sekali. Selain itu penyampaian materi tidak efektif
dilakukan karena sasaran yang heterogen. Sesuai dengan hasil wawancara
mendalam dengan informan di bawah ini :
“Untuk pelaksanaan MP-ASI kami lakukan melalui pemberian
konseling MP-ASI di Puskesmas,bagi pasien yang di rujuk dari KIA,
selain juga kami berikan informasi MP-ASI melalui posyandu atau
saat kelas ibu hamil balita.” (inf 2)

“Untuk konseling MP-ASI di Puskesmas itu apabila terdapat masalah


pada anak nya seperti gizi kurang atau gizi buruk,maka di rujuk ke
bagian gizi, atau ada keluhan dari ibu bahwa anak susah makan atau
permintaan orang tua. Namun apabila anaknya sehat-sehat saja ya
tidak di rujuk ke bagian gizi untuk di berikan konseling...ada juga
kasus yang dilaporkan dari kader pposyandu misalnya, lalu kami ada
kunjugan rumah,saat kunjungan rumah kami lakukan bersama lintas
program seperti petugas kesling untuk turun ke lapangan, dokter
tergantung masalahnya...”(Inf 3)
92

“Pelaksanakan lintas program di Puskesmas sudah baik ya, namun


secara khusus penekanan mengenai MP-ASI belum optimal. Seperti
kita jika tahu bahwa MP-ASI menjadi penyebab masalah bisa kami
lebih tekankan pada bidan wilayah, PKK dll …”(Inf 3)

Untuk pelaksanaan nya di Posyandu biasanya sistem tanya jawab,


antara kader dengan ibu, karena kalo di kumpulkan ibu saat
posyandu itu susah, ..namun ada pertemuan kelas ibu bayi balita,
sekali 2 minggu. juga ada di sampaikan MP-ASI pada pertemuan ke 2
dari 5 pertemuan, artinya materi MP-ASI diberikan 10 bulan sekali.
Untuk kelas ibu hamil ada juga namun tidak banyak membahas
mengenai MP-ASI...Oleh karena kelas ibu bayi dan balita digabung
sehingga penyampaian materi pun menjadi tidak efektif atau tidak
tepat sasaran, karena kan ada balita dan ada bayi, jadi ibu yang
memiliki juga sibuk menyusui, dan balita juga sibuk dan rebut lari2
dan main ke luar ,, shingga dengan tidak sama sasaran menjadi tidak
efektif,..” (Inf 4)

Sosialisasi PMBA baru dilakukan kepada petugas dan kader.


Sosialisasi mengenai pelaksanaan PMBA kepada kader belum optimal
diberikan oleh petugas gizi yang sudah mendapatkan pelatihan PMBA
sebelumnya. Hal ini dibuktikan bahwa hanya satu kali dilaksanakan
sosialisasi dan pelatihan yaitu pada tahun 2017. Pelaksanaan pelatihan
PMBA kepada kader dikatakan belum pernah dilakukan di Puskesmas
Seberang Padang disebabkan bahwa MP-ASI berbasis PMBA tidak menjadi
kegiatan tahunan puskesmas. Berdasarkan panduan, pelaksanaan pelatihan
kader tidak hanya diberikan materi dan demo praktek MP-ASI dalam satu
hari saja tetapi juga dilaksanaan dengan beberapa sesi selama 6 hari (48
jam) yang diakui secara international. Petunjuk teknik pelaksanaan
pelatihan PMBA ini dijabarkan di dalam panduan penyelenggaraan PMBA
yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA pada tahun
2014. Sesuai dengan hasil wawancara mendalam dengan informan di bawah
ini :
“Untuk sosialisasi kami sudah sosialisasikan saat pertemuan kader,
namun itu memang sekali baru kami laksanakan sampai sekarang,
terakhir diberikan sosialisasi adalah pada tahun 2017. Pada saat
pertemuan kader pun kan yang dibahas berbeda-beda, kadang
tentang DBD, tentang ASI dll. Pada saat sosialisasi kami demo kan
langsung ke kader dengan memperlihatkan tekstur, dan jumlah MP-
ASI sesuai umur anak...namun mungkin sosialisasi kader/petugas ke
masyarakat nya lagi yang kurang, sosialisasi mengenai PMBA juga
93

belum dilakukan ke kawan-kawan atau petugas seperti petugas


pelaksana posyandu.”(Inf- 2)

“Sebenernya kita sudah pernah sosialisasi PMBA ke kader, tapi


sayangnya kita sebatas sosialisasi ke kader, seharusnya kan memang
ke ibu-ibu nya juga dan juga ke petugas puskesmas khusus pelaksana
posyandu. Sosialisasi terakhir PMBA ini dilakukan pada tahun 2017
cuma baru ke kader. Sosialisasi ini sayangnya terputus di 2018 dan
2019. Untuk ke ibu kami hanya baru melaksanakan sosialisasi atau
pengenalan PMBA ke ibu melalui Konseling di bagian Gizi, kelas ibu
hamil dan balita, namun untuk sosialisasi khusus ke ibu belum....”-
(inf 3)

“Untuk sosialisasi kami sudah sosialisasikan ke kader, bahkan tahun


2015 pernah bagian dari kementerian kesehatan melakukan
sosialisasi langsung untuk TOT PMBA serta datang ke PKK untuk di
sosialisasikan. Namun setelah kegiatan ini sudah mulai longgar
lakukan sosialisasi tentang PMBA ini...(inf 4)

Berdasarkan triangulasi metode yang digunakan untuk menggali


informasi yaitu dengan telaah dokumen bahwa didapatkan lembar bolak-
balik konseling PMBA, buku konseling MP-ASI di Puskesmas, dan Pustu,
namun tidak ditemukan buku pedoman atau modul PMBA. Observasi juga
dilakukan di Puskesmas yaitu pada baduta yang berobat ke poli KIA. Hal ini
dilakukan karena sasaran konseling MP-ASI berbasis PMBA dilakukan di
Puskesmas merupakan baduta yang dirujuk dari poli KIA maupun dari
kader posyandu. Rekomendasi rujukan dari KIA ke pojok gizi untuk
mendapatkan konseling MP-ASI belum optimal karena ditemukan anak
yang stunting, namun tidak dibandingkan TB/U dengan standar WHO serta
tidak dirujuk untuk mendapatkan informasi PMBA dari petugas gizi.
Selain itu, observasi juga dilakukan di posyandu, bahwa kader tidak
melakukan penilaian TB/U, namun melakukan penilaian BB/U. Berdasarkan
hasil penilaian itulah anak dirujuk ke poli Gizi untuk mendapatkan
konseling MP-ASI berbasis PMBA. Selain itu tidak terdapat pelaksanaan
konseling kader ke ibu mengenai MP-ASI berbasis PMBA. Berdasarkan
panduan penyelenggaraan PMBA, kader memberikan informasi mengenai
MP-ASI sesuai dengan informasi yang ada di kartu konseling. Kartu
konseling MP-ASI berada pada no ke 12-16. Berikut matriks triangulasi
pelaksanaan kegiatan MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang :
94

Tabel 32 Matriks Triangulasi Pelaksanaan Program MP-ASI di


Puskesmas Seberang Padang 2019
Telaah Observasi Wawancara Kesimpulan
Topik Dokumen Mendalam
Pelaksanaan Tidak Rekomendasi Pelaksanaan Pelaksanaan
terdapat rujuk dari KIA kegiatan MP- kegiatan MP-
dokumen ke pojok gizi ASI dilakukan ASI belum
pedoman untuk melalui optimal baik
pelaksanaan mendapatkan pemberian di luar
PMBA di konseling MP- konseling Gizi puskesmas,
Puskesmas ASI belum di bagian Gizi. di Puskesmas
optimal maupun oleh
Terdapat Materi kader dan
lembar bolak Rujukan dari MP-ASI petugas
balik kader PMBA juga di puskesmas.
konseling posyandu sampaikan di
PMBA, dan adalah rujukan kelas ibu bayi Sosialisasi
buku baduta dengan dan balita, dari petugas
konseling masalah gizi kelas ibu gizi ke kader
MP-ASI di seperti gizi hamil namun belum
Puskesmas buruk, bukan belum optimal optimal
stunting. dilakukan
sementara
Sosialisasi dari Pelatihan
petugas gizi ke dari petugas
kader belum gizi ke kader
optimal belum
dilakukan. pernah
dilakukan.
Pelatihan dari
petugas gizi ke
kader belum
pernah
dilakukan.

Berdasarkan telaah dokumen, observasi dan wawancara mendalam


didapatkan bahwa pelaksanaan program MP-ASI berbasis PMBA di
Puskesmas Seberang Padang belum berjalan optimal, baik pelaksanaan di
luar gedung, di Puskesmas maupun pelaksanaan oleh kader posyandu dan
petugas di Puskesmas Seberang Padang. Di Puskesmas Seberang Padang
sudah melakukan sosialisasi kepada kader namun pelaksanaan belum
optimal dilakukan karena baru dilakukan satu kali yaitu pada tahun 2017.
Sementara pelatihan belum pernah dilakukan kepada kader posyandu.
95

d. Pengawasan dan Evaluasi (Controlling and Evaluation)

Pengawasan adalah proses yang dilakukan untuk memastikan bahwa


seluruh kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana. Pemantauan di
program MP-ASI berbasis PMBA dilakukan oleh PJ Gizi dan Staff Gizi
terhadap pelaksanaan yang dilakukan oleh bidan kelurahan. Berikut hasil
wawancara mendalam dengan informan berkaitan dengan pengawasan dan
evaluasi :
“Untuk evaluasi, kami merasa evaluasi masih kurang, seperti
program pojok gizi, kami berikan makanan kepada anak gizi kurang,
gizi buruk, tidak naik berturut-turut 2 bulan selama 12 hari. Kami
melakukan evaluasinya ya melalui hasil timbangan berat badan anak.
Jika berat badan anak naik ya barrti sudah berhasil,..ternyata apa,
pola asuh ibu yang tidak bagus, pola asuh ibu dalam memberikan
makanan pendamping pada anak, seperti anak baru bangun tidur
langsung diberikan jajan dari luar....nah untuk selanjutnya ya ga ada.
Kan udah berhasil berat badan naik.” (Inf 2)

“Untuk pelaksanaan konseling MP-ASI berbasis PMBA di Puskesmas


belum ada evaluasi serta petugas posyandu yang bukan petugas gizi,
belum ada evaluasi khusus dalam pemberian informasi mengenai MP-
ASI saat posyandu...(Inf 2)

“Selama ini kita kurang dalam pengawasan dan evaluasi yang khusus
mengenai PMBA ya karena tidak ada dalam RUK, namun untuk
penilaian kegiatan gizi lainnya ya sekedar penilaian dan pengawasan
berdasarkan kasus saja, seperti program di Pos Gizi kita tahu bahwa
setelah melakukan program itu salah satu penyebabnya adalah pola
asuh atau MP-ASI, namun itu tadi tidak ada tindak lanjut nya menuju
sana,…”-Inf 3

“Pengawasan dan evaluasi dari atas ada, sudah berjalan baik, setiap
ada kegiatan selalu di tanyakan bagaimana hasil pelaksanaan, ada
atau tidak kasus di Wilayah yang bersangkutan... dan setiap setelah
melaksanakan tugas ya memberikan laporan, misalnya jika ada gizi
buruk rujuk ke puskesmas untuk tindak lanjut ya ga ada....”(Inf 4)

Berdasarkan triangulasi metode yang digunakan untuk menggali


informasi yaitu dengan telaah dokumen bahwa didapatkan Puskesmas
Seberang Padang tidak melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap
program PMBA karena program PMBA bukan menjadi program prioritas di
tahun 2019. Namun pengawasan dan evaluasi program gizi dilakukan setiap
96

setelah kegiatan dilakukan melalui pertanyaan yang diberikan kepada


pelaksana kegiatan dan setelah itu tidak terlihat ada rencana tindak lanjut
(RTL) yang dilakukan terhadap hasil evaluasi. Berikut matriks triangulasi
pelaksanaan program MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang :

Tabel 33 Matriks Triangulasi Pengawasan dan Evaluasi Program MP-ASI


di Puskesmas Seberang Padang 2019
Topik Telaah Dokumen Wawancara Kesimpulan
Mendalam
Pengawasan Tidak di temukan Tidak ada Pengawasan dan
dan dokumen pengawasan dan evaluasi khusus pada
Evaluasi pengawasan dan evaluasi kegiatan program PMBA
evaluasi kegiatan MP-ASI berbasis tidak dilakukan
MP-ASI berbasis PMBA. disebabkan bahwa
PMBA. PMBA bukan
Namun pengawasan merupakan kegiatan
dan evaluasi program program gizi untuk
gizi dilakukan setiap tahun 2019 maupun
setelah kegiatan 2 tahun sebelumnya.
dilakukan melalui
pertanyaan kepada Namun terdapat
pelaksana kegiatan pengawasan dan
dan setelah itu tidak evaluasi yang
terlihat ada rencana dilakukan untuk
tindak lanjut (RTL) program gizi lainnya
yang dilakukan
terhadap hasil
evaluasi.

3. Output
Berdasarkan hasil penelitian program MP-ASI di Puskesmas
Seberang Padang khususnya pemberian informasi mengenai PMBA belum
optimal. Pemberian informasi mengenai MP-ASI sesuai dengan pedoman
PMBA menekankan kepada pelaksanaan konseling MP-ASI berbasis
PMBA kepada ibu. Namun di Puskesmas Seberang Padang lebih berfokus
kepada penyuluhan. Penyuluhan mengenai MP-ASI yang dilakukan terbagi
menjadi 2 yaitu penyuluhan di luar gedung dan dalam gedung. Penyuluhan
dalam gedung adalah konseling yang diberikan kepada pasien yang dirujuk
dari poli KIA dan ibu. Untuk penyuluhan luar gedung diberikan saat adanya
pertemuan seperti kelas ibu hamil, dan kelas ibu bayi dan balita. Sesuai
dengan hasil wawancara mendalam dengan informan di bawah ini :
97

“Untuk pelaksanaan konsultasi PMBA hanya dilakukan di Puskesmas,


pencapaian atau target nya kami tidak ada, namun kami melakukan
pencatatan tiap kali kunjungan di buku konseling gizi..untuk rekapan
bulanan atau tahunan khusus MP-ASI pada baduta ini tidak ada item
khusus MP-ASI atau PMBA tetapi kami mengkategorikannya ke
dalam kategori KEP (kurang energi protein)”-Inf 3

“Iyaa untuk ouput pelaksanaan konseling kami lakukan pencatatam di


buku konseling,.. nanti dilakukan rekapan..”-Inf 2

Berdasarkan triangulasi metode yang digunakan untuk menggali


informasi yaitu dengan telaah dokumen bahwa didapatkan Puskesmas
Seberang Padang melakukan penyuluhan MP-ASI di luar gedung dengan
frekuensi 60 kali sebanyak 126 orang. Sementara itu, untuk output
penyuluhan dalam gedung yaitu saat konsultasi di Puskesmas dilakukan
pencatatan dalam buku konseling gizi namun tidak ditemukan dokumen
akumulasi konsultasi MP-ASI kepada baduta. Kategori yang
diakumulasikan dalam laporan hanya kategori ibu hamil (236 orang), catin
(73 orang) kasus hipertensi (17 orang) dan kunjungan lainnya sebanyak 376
orang di tahun 2018. Artinya konsultasi MP-ASI termasuk kedalam kategori
lainnya. Pada tahun 2019 akumulasi bulanan konsultasi MP-ASI ini
dimasukkan ke dalam kategori KEP. Berikut matrik triangulasi metodenya :
98

Tabel 34 Matriks Triangulasi Output Program MP-ASI di Puskesmas


Seberang Padang 2019
Topik Telaah Wawancara Mendalam Kesimpulan
Dokumen
Output - Ditemukan Perhitungan pencapaian Output pelaksanaan
buku konseling atau output pelaksanaan program MP-ASI
MP-ASI bagi program MP-ASI lebih berbasis PMBA
baduta (harian) kepada MP-ASI belum berfokus
penyuluhan. kepada penilaian
- Tidak konseling PMBA
ditemukan Output yang dihitung yang efektif baik
rekapan adalah frekuensi dilakukan di
konseling pelaksanaan di luar Puskesmas maupun
khusus MP- gedung. kader.
ASI bulanan
atau tahunan. Kategori MP-ASI di luar Untuk konsultasi
gedung terdapat 60 kali PMBA di Pojok
dalam setahun di tahun Gizi tidak dilihat
sebelumnya, dan dalam keluarannya per
gedung berupa konsultasi bulan atau
tidak dievaluasi. pertahun.
BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Keterbatasan Penelitian
Adapun beberapa kesulitan dan kendala yang ditemui dalam penelitian ini
diantaranya yang menjadi keterbatasan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis banyak faktor risiko stunting lainnya yang memiliki
hubungan atau keterkaitan pada 1000 HPK. Namun, dikarenakan
keterbatasan peneliti maka peneliti hanya meneliti variabel seperti
ANC, tablet Fe ibu hamil, ASI eksklusif, MP-ASI, imunisasi lengkap,
suplementasi vitamin A, dan monitoring pertumbuhan.
2. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan 2 faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian stunting. Namun, dikarenakan
keterbatasan peneliti maka peneliti hanya menggali secara kualitatif
hanya pada faktor risiko paling dominan yaitu MP-ASI.

B. Penelitian Kuantitatif
1. Gambaran Karakteristik Orang Tua
Berdasarkan hasil penelitian lebih banyak sampel memiliki ayah
dengan tingkat pendidikan tinggi (70,4%) dibandingkan dengan pendidikan
rendah (29,6%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Lestari, dkk. (2014) di Aceh bahwa ditemukan lebih besar
sampel memiliki ayah dengan tingkat pendidikan tinggi (64,5%). Penelitian
sejalan dengan penelitian Rukmana, dkk. (2016) didapatkan bahwa anak
lebih banyak pada ayah dengan pendidikan tinggi (62,5%) dibandingkan
pendidikan rendah (37,5%). Berbeda dengan penelitian Ernawati, dkk.
(2013) bahwa pada umumnya anak memiliki ayah dengan tingkat
pendidikan rendah (97,3%). Namun, pada penelitian ini ditemukan bahwa
ayah sampel paling banyak menamatkan SMA yaitu 60,6%.
Sejalan dengan data BPS di Sumatera Barat bahwa persentase
pendidikan tertinggi yang ditamatkan pada tahun 2017 di Wilayah
Perkotaan berturut-turut adalah tidak atau belum menamatkan sekolah dasar
yaitu sebesar (11,39%), tamat SD (15,23%) dan tamat SMP (16,21%) dan
100

SMA (37,56%). Oleh karena itu, sampel penelitian tersebut mewakili


tingkat pendidikan di Wilayah penelitian yaitu Wilayah Kerja Puskesmas
Seberang Padang Kota Padang. Tingkat pendidikan ayah menentukan jenis
pekerjaan ayah sehingga dapat mempengaruhi pendapatan keluarga.
Pendapatan keluarga akan mendorong pemenuhan kebutuhan pangan dan
non pangan keluarga secara stabil (Nadiyah,dkk., 2014).
Begitu juga dengan tingkat pendidikan ibu, didapatkan lebih banyak
sampel memiliki ibu dengan tingkat pendidikan tinggi (71,8%). Hasil
penelitian ini berbeda dengan Rukmana, dkk. (2016) mendapatkan lebih dari
separuh sampel memiliki ibu dengan pendidikan rendah (53,6%). Tingkat
pendidikan ibu akan mempengaruhi kesehatan dan keadaan gizi anak. Ibu
yang memiliki pendidikan tinggi maka mempunyai kesempatan yang lebih
besar dalam menyerap informasi jika dibandingkan dengan ibu
berpendidikan kurang. Pemahaman ibu mengenai edukasi yang diberikan
oleh puskesmas akan mudah diserap oleh ibu yang memiliki pendidikan
yang tinggi dibandingkan dengan ibu dengan pendidikan yang rendah.
Berdasarkan hasil yang didapatkan bahwa jenis pekerjaan ayah
sampel yang paling banyak adalah jasa (ojek/supir/bangunan/buruh) yaitu
sebesar 40,8%. Sejalan dengan penelitian Ernawati, dkk (2013) di Bogor
bahwa buruh adalah pekerjaan ayah paling banyak. Berbeda dengan
penelitian Rukmana, dkk. (2016) bahwa jenis pekerjaan ayah paling banyak
adalah pedagang atau wiraswasta sebesar 36,1%. Penelitian Siahaan, dkk.
(2013) di Medan mendapatkan pekerjaan ayah paling banyak adalah
nelayan, sedangkan dagang dan wiraswasta urutan kedua terbanyak.
Distribusi pekerjaan kepala keluarga di setiap wilayah berbeda. Pada
wilayah penelitian ini didapatkan bahwa pekerjaan ayah paling banyak
adalah jasa (ojek/supir/bangunan/buruh). Berkaitan dengan pendapatan
perkapita keluarga sampel.
Hasil penelitian mendapatkan bahwa sampel lebih banyak terdapat
pada keluarga miskin (53,5%) dibandingkan pada keluarga tidak miskin
(46,5%). Sejalan dengan penelitian yang didapatkan oleh Sulastri (2012)
yang mendapatkan bahwa sampel lebih banyak terdapat pada status
101

ekonomi rendah (51%) dari pada ekonomi tinggi (49%). Berbeda dengan
penelitian Permadi, dkk. (2016) yang mendapakan bahwa sampel lebih
banyak pada keluarga tidak miskin (68%) dibandingkan pada keluarga
miskin (32%). Jenis pekerjaan menentukan stabilitas perekonomian
keluarga. Berdasarkan hasil penelitian responden menyebutkan bahwa
pendapatan yang didapatkan terkadang tidak menentu. Responden
menyebutkan terkadang dalam satu bulan mendapatkan penghasilan yang
sedikit terkadang juga menguntungkan.
Berdasarkan hasil penelitian lebih banyak pendapatan perkapita
miskin. Artinya adalah lebih banyak sampel berada di bawah garis
kemiskinan. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa banyak ayah
dengan pekerjaan tidak tetap. Sebagian besar kepala keluarga memiliki
pekerjaan dengan penghasilan tidak tetap sebanyak 76%. Hal inilah yang
menyebabkan lebih dari separuh sampel memiliki pendapatan perkapita
miskin. Responden dengan kepala keluarga sebagai jasa (ojek/supir
/bangunan/buruh) menyebutkan bahwa terkadang dalam satu bulan kepala
keluarga tidak mendapatkan panggilan dari perusahaan sebagai buruh atau
tukang bangunan. Hal ini tentu mempengaruhi terhadap kejadian stunting di
Puskesmas Seberang Padang. Pekerjaan ayah merupakan sebuah jembatan
untuk memperoleh uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan juga
akses terhadap layanan kesehatan secara stabil. Apabila pendapatan tidak
mencukupi maka kebutuhan pangan tidak terpenuhi secara optimal.

2. Gambaran Karakteristik Anak dan Faktor Risiko


Berdasarkan hasil penelitian bahwa terdapat 32,4% anak usia 12-24
bulan terkena stunting. Terdapat lebih dari separuh anak jenis kelamin
perempuan yaitu 53,3%. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rukmana,dkk. (2016) di Bogor yaitu persentase anak
perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Sejalan dengan penelitian
Nasrul (2018) yang menemukan anak perempuan lebih banyak dari pada
anak laki-laki. Namun, berbeda dengan penelitian Lestari, dkk. (2014) yang
mendapatkan anak laki-laki lebih banyak dari pada anak perempuan. Pada
102

penelitian ini ditemukan bahwa anak perempuan lebih banyak dari pada
laki-laki. Namun perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan
hanya 7%. Jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan sama-sama
berisiko untuk terkena stunting. Jenis kelamin juga tidak membedakan
kebutuhan gizi atau energi di usia 12-24 bulan. Jenis kelamin digunakan
untuk menentukan status gizi berdasarkan standar WHO (Rukmana, dkk.,
2016).
Karakteristik sampel lainnya adalah berat badan lahir. Berdasarkan
hasil penelitian pada umumnya baduta memiliki berat badan lahir normal
yaitu sebesar (94,4%). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian
sebelumnya yaitu penelitian Rukmana, dkk. (2016) di Bogor pada umumnya
memiliki berat badan lahir normal (91,7%). Sejalan dengan Nasrul (2018)
bahwa ditemukan sebagian besar sampel dengan berat badan lahir normal
(84,4%). Berat badan lahir pada bayi dipengaruhi oleh keadaan kesehatan
ibu selama kehamilan. Pertumbuhan dan perkembangan janin yang tidak
baik akan mempengaruhi berat badan lahir rendah. Pada penelitian ini hanya
terdapat 5,6 % anak yang memiliki permasalahan berat badan lahir. Artinya
berat badan lahir anak tidak menjadi masalah yang sangat signifikan di
Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang.
Penyakit infeksi juga merupakan kondisi baduta yang pernah
terinfeksi penyakit menular dalam 1 bulan terakhir saat dilakukan penelitian.
Sampel penelitian lebih banyak pernah terinfeksi penyakit menular (71,8%)
dibandingkan dengan tidak pernah terinfeksi (28,2%). Berbeda dengan
penelitian Paramashanti, dkk (2016) yang menemukan bahwa sampel
penelitian lebih banyak tidak terinfeksi penyakit menular dibandingkan
dengan sampel yang terinfeksi seperti penyakit diare, ISPA, pneumonia dan
TB paru. Begitu juga penelitian Wellina, dkk. (2016) yang menemukan anak
jarang terinfeksi penyakit menular seperti diare dan ISPA. Namun, sejalan
dengan penelitian Permadi, dkk. (2016) bahwa sebagian besar sampel
pernah terinfeksi penyakit menular. Penyakit menular merupakan faktor
penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi pada anak. Hal ini
disebabkan bahwa anak yang menderita penyakit infeksi akan
103

mempengaruhi asupan makanan. Apabila asupan makanan dan penyerapan


nutrisi tidak optimal bahkan dapat menghabiskan sumber energi di dalam
tubuh maka dapat mengakibatkan anak menderita stunting (Udoh dan
Amodu, 2016).
Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa baduta lebih banyak
tidak terpapar asap rokok daripada terpapar asap rokok. Berbeda dengan
penelitian Nasrul, dkk (2015) mendapatkan bahwa sebagian besar sampel
terpapar asap rokok (81,1%). Namun sejalan dengan penelitian Nasrul
(2018) yang menemukan hasil berbeda dengan penelitian sebelumya bahwa
sebagian besar sampel tidak terpapar asap rokok (77,1%). Hasil penelitian
ini memperlihatkan bahwa hampir sebagian besar kepala keluarga anak usia
12-24 bulan menggunakan pendapatannya untuk merokok (71,8%). Artinya
adalah meskipun lebih dari separuh baduta tidak terpapar asap rokok, tetapi
hampir sebagian besar kepala keluarga menggunakan pendapatan untuk
merokok. Pendapatan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup baik pangan maupun non-pangan bagi baduta dan keluarga namun
digunakan untuk merokok.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa anak usia 12-24
bulan lebih banyak memiliki status ANC tidak lengkap (56,3%)
dibandingkan dengan ANC lengkap (43,7%). Tidak sejalan dengan
penelitian Sumiaty (2017) yang mendapatkan sebagian besar sampel
memiliki ANC lengkap (84,61%). Begitu juga dengan penelitian Nadiyah,
dkk. (2014) lebih banyak sampel yang mendapatkan ANC lengkap (72,8%)
dibandingkan dengan ANC tidak lengkap (27,2%). Meskipun demikian,
data hasil penelitian menunjukkan bahwa terbukti anak stunting lebih
banyak memiliki ibu dengan status ANC tidak lengkap dibandingkan
dengan ANC lengkap.
Sejalan dengan tablet Fe bahwa penelitian ini mendapatkan bahwa
ibu lebih banyak tidak mengkonsumsi tablet Fe ketika hamil (64,8%)
dibandingkan dengan mengkonsumsi tablet Fe (35,2%). Namun, penelitian
ini tidak sejalan dengan penelitian Sumiaty (2017) di Sulawesi Tengah
104

bahwa sebagian besar ibu anak yang berumur 6-23 mengkonsumsi asupan
Fe (87,69%) ketika ibu hamil.
Adapun faktor risiko pada anak ditemukan lebih banyak anak yang
tidak mendapatkan ASI eksklusif (57,7%) dibandingan dengan anak yang
mendapatkan ASI eksklusif (42,3%). Sejalan dengan penelitian Lestari, dkk
(2014) yang menemukan bahwa lebih banyak anak yang tidak ASI eksklusif
dibandingkan dengan ASI eksklusif. Sejalan juga dengan Permadi, dkk
(2016) yang menemukan 58% anak tidak mendapatkan ASI eksklusif.
Berbeda dengan Sumiaty (2017) yang menemukan sebagian besar anak
yang mendapat ASI eksklusif yaitu sebesar 80%. Berdasarkan data di
lapangan didapatkan bahwa terdapat ibu yang memberikan anak makanan
sebelum waktunya seperti buah pisang meskipun anak masih berumur di
bawah 6 bulan. Hal ini berkaitan dengan pemberian MP-ASI. Anak yang
diberi makanan sebelum usianya juga mempengaruhi pemberian MP-ASI
yang baik.
Hasil penelitian menemukan bahwa sebagian besar anak
mendapatkan MP-ASI kurang baik (80,3%). Sejalan dengan Permadi, dkk
(2016) yang mendapatkan anak lebih banyak mendapatkan MP-ASI kurang
baik (57%) dibandingkan MP-ASI baik (43%). Begitu juga dengan
penelitian Nasrul, dkk. (2018) yang menemukan bahwa lebih banyak
pemberian MP-ASI tidak sesuai standar (55,2%) dibandingkan sesuai
standar (44,8%). Sejalan dengan penelitian Najahah, dkk. (2013) yang
mendapatkan bahwa lebih banyak anak dengan praktek pemberian MP-ASI
yang tidak sesuai standar (51,3%) dibandingkan dengan pemberian MP-ASI
yang sesuai standar (49,9%). Sejalan dengan penelitian sebelumnya, hasil
penelitian ini menemukan ibu yang memberikan MP-ASI terlalu dini. Selain
itu juga ditemukan baduta yang diberikan MP-ASI dengan tekstur yang
lunak (seperti nasi tim) dimana seharusnya mendapatkan makanan dengan
tekstur lumat seperti bubur susu dll. Berdasarkan hasil yang didapatkan juga
ditemukan ibu yang sudah memberikan makanan padat pada usia yang
seharusnya mendapatkan makanan dengan tekstur lunak.
105

Imunisasi lengkap juga menjadi faktor risiko stunting. Terdapat lebih


banyak anak yang mendapatkan imunisasi lengkap (52,1%) dibandingkan
anak yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap (47,9%). Sejalan dengan
Nasrul (2018) yang menemukan bahwa sebagian besar anak mendapatkan
imunisasi lengkap (80,9%). Namun tidak sejalan dengan penelitian Nadiyah,
dkk (2014) yang menemukan lebih banyak anak yang tidak mendapatkan
imunisasi lengkap (64,77%) dibandingkan anak yang mendapatkan
imunisasi lengkap (35,23%). Begitu juga dengan Nasrul, dkk. (2015) yang
menemukan lebih banyak anak dengan imunisasi tidak lengkap (53,7%)
dibandingkan imunisasi lengkap (46,3%). Selain imunisasi suplementasi
vitamin A juga merupakan faktor risiko stunting.
Anak yang mendapatkan suplementasi vitamin A lengkap lebih
banyak (60,6%) dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan
suplementasi vitamin A lengkap (39,4%). Sejalan dengan penelitian Nabilla
(2018) yang menemukan lebih banyak anak yang mengkonsumsi vitamin A
lengkap dengan kategori baik dan sedang (64,8%) dibandingkan dengan
anak yang tidak mendapatkan vitamin A lengkap (35,2%). Hasil penelitian
juga memperlihatkan sebagian besar anak tidak mendapatkan monitoring
pertumbuhan secara rutin (81,7%). Berbeda dengan penelitian Destiadi, dkk.
(2016) yang menemukan bahwa pemantauan pertumbuhan melalui
kunjungan posyandu lebih banyak yang rutin (51,76%) dibandingkan
dengan yang tidak rutin (48, 24%). Penelitian Welasasih dan Wirjatmadi
(2012) tidak sejalan bahwa sebagian besar anak melakukan pemantauan
pertumbuhan rutin melalui posyandu (75%). Diharapkan dengan adanya
monitoring pertumbuhan maka dapat mendeteksi stunting secara dini.
Monitoring pertumbuhan tidak berjalan sendiri tetapi juga disertai dengan
adanya edukasi kesehatan berupa pemberian informasi kepada orang tua
untuk meningkatkan asupan gizi anak.
106

3. Gambaran Faktor Risiko pada Anak Stunting


Berdasarkan tabel distribusi jumlah faktor risiko ditemukan bahwa
anak stunting paling banyak memiliki 6 faktor risiko yaitu sebesar 61,5%
serta paling sedikit memiliki 1 dan 2 faktor risiko (0%). Sebaliknya pada
anak normal paling banyak memiliki 1 dan 2 faktor risiko (100%) dan
paling sedikit memiliki 6 faktor risiko (38,5%). Faktor risiko yang paling
banyak terjadi pada anak stunting adalah pemberian MP-ASI kurang baik
dan monitoring pertumbuhan yaitu sebesar 95,65%. Sedangkan faktor risiko
paling sedikit terjadi pada anak stunting adalah imunisasi tidak lengkap
(52,17%).
Berdasarkan hasil penelitian bahwa faktor risiko yang dimiliki oleh
anak stunting beragam. Hasil penelitian menemukan bahwa anak stunting
paling banyak memiliki 6 faktor risiko. Artinya adalah diantara seluruh anak
stunting paling banyak memiliki 6 faktor risiko seperti tidak mendapatkan
ASI eksklusif, imunisasi lengkap, MP-ASI yang baik, suplementasi vitamin
A, monitoring pertumbuhan, dan ANC lengkap. Anak stunting dengan 6
faktor risiko seperti ini terdapat 34,8% dari seluruh anak stunting.
Sebaliknya anak stunting paling sedikit memiliki 7 faktor risiko. Artinya
adalah diantara seluruh anak stunting paling sedikit memiliki semua faktor
risiko seperti tidak mendapatkan ASI eksklusif, imunisasi lengkap, MP-ASI
yang baik, suplementasi vitamin A, monitoring pertumbuhan, ANC lengkap
serta tablet Fe lengkap. Anak stunting dengan 7 faktor risiko seperti ini
hanya terdapat 8,7%.
Hasil penelitian ini juga dapat melihat dua faktor risiko seperti ANC
dan tablet Fe ibu hamil pada anak stunting. Terdapat sebanyak 11,1% anak
stunting yang memiliki ibu yang tidak mendapatkan ANC lengkap namun
mendapatkan tablet Fe ibu hamil lengkap. Terdapat sebanyak 33,3% anak
stunting yang mendapatkan ANC lengkap tetapi tidak mendapatkan Fe
lengkap. Terdapat sebanyak 41,9% anak stunting yang memiliki ibu yang
tidak mendapatkan ANC dan tidak mendapat tablet ibu hamil. Artinya
adalah meskipun ibu tidak mendapatkan ANC tetapi apabila ibu
mendapatkan tablet Fe lengkap maka lebih sedikit distribusi anak stunting.
107

Apabila ibu hamil tidak mendapatkan ANC lengkap dan juga Fe tidak
lengkap maka semakin tinggi distribusi anak stunting.
Hasil penelitian ini juga dapat melihat dua faktor risiko seperti ASI
dan MP-ASI pada anak stunting. Tidak terdapat anak stunting (0%) yang
tidak mendapatkan ASI eksklusif pada masa lalu namun mendapatkan MP-
ASI baik pada saat ini. Namun, terdapat sebanyak 40% anak stunting yang
mendapatkan ASI eksklusif pada masa lalu namun tidak mendapatkan MP-
ASI yang baik pada saat sekarang. Artinya adalah meskipun anak tidak
mendapatkan ASI eksklusif di masa lalu tetapi apabila saat sekarang anak
mendapatkan MP-ASI yang baik sesuai dengan tingkat umur anak maka
sedikit bahkan 0% distribusi anak stunting.
Hasil penelitian ini juga dapat melihat dua faktor risiko seperti
suplementasi vitamin A dan imunisasi lengkap. Terdapat sebanyak 26,3%
anak stunting yang mendapatkan suplementasi vitamin A namun tidak
mendapatkan imunisasi lengkap. Terdapat sebanyak 46,2% anak stunting
yang mendapatkan imunisasi lengkap namun tidak mendapatkan
suplementasi vitamin A. Artinya adalah meskipun anak tidak mendapatkan
imunisasi lengkap tetapi apabila mendapatkan suplementasi vitamin A
lengkap maka sedikit distribusi anak stunting yang ditemukan.

4. ANC Tidak Berhubungan dengan Stunting


Berdasarkan hasil penelitian antara variabel ANC terhadap kejadian
stunting didapatkan p-value 0,782 dan POR sebesar 1,31. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ANC
dengan kejadian stunting pada 1000 HPK di Wilayah Kerja Puskesmas
Seberang Padang tahun 2019. Penelitian ini sejalan dengan penelitian
Nadiyah, dkk. (2014) di Bali yang menemukan bahwa ANC tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan stunting. Sebaliknya penelitian ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Najahah (2013) di Nusa
Tenggara Barat, yang menyatakan bahwa ANC merupakan faktor dominan
yang menyebabkan terjadinya stunting. Begitu juga dengan penelitian
108

Sumiaty (2017) yang menemukan bahwa ANC berhubungan dengan


stunting.
ANC merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stunting.
Menurut Torlesse, dkk. (2016) bahwa ibu yang mempunyai kelengkapan
dalam pemeriksaan ANC akan mempengaruhi akses terhadap layanan
kesehatan dan dapat menjamin dan mendeteksi segala kemungkinan buruk
terhadap kondisi kehamilan ibu. Menurut Jannah (2012) menyebutkan
bahwa tujuan ANC diberikan kepada ibu adalah untuk dapat mengontrol
kemajuan kehamilan termasuk kesehatan ibu dan juga tumbuh kembang
janin. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ANC dan stunting
disebabkan karena perhitungan ANC yang dilakukan adalah perhitungan
kuantitas ANC. ANC dihitung berdasarkan standar minimal melakukan
kunjungan ANC yaitu 1-1-2 (satu kali pada triwulan 1, satu kali pada
triwulan 2 dan dua kali pada triwulan 3). Keberhasilan ANC terhadap
pencegahan stunting juga didukung oleh kualitas ANC. Kualitas ANC dapat
dilihat dari salah satu indikator yaitu pemberian 90 tablet Fe pada ibu hamil.
Puskesmas Seberang Padang pada tahun 2018 diantara 4 kelurahan
tidak terdapat satupun kelurahan memenuhi target nasional diberikannya
tablet Fe lengkap pada ibu hamil. Hal ini diperkuat dengan temuan yang ada
di lapangan. Responden yang mengkonsumsi tablet Fe lengkap adalah
sebesar 35,2%. Sementara kunjungan ANC lengkap sebesar 43,7%. Artinya
adalah terdapat ibu yang tidak mengkonsumsi tablet Fe meskipun
mendapatkan tablet Fe selama layanan ANC.
Selain itu, data penelitian menunjukkan pada ibu dengan status ANC
tidak lengkap tetapi konsumsi tablet Fe lengkap distribusi stunting nya lebih
rendah dibandingkan dengan ibu yang tidak konsumsi tablet Fe lengkap.
Artinya adalah faktor ANC tidak hanya dilihat berdasarkan kuantitas
kunjungan saja tetapi juga perlu dilihat kualitas ANC. Hal ini lah yang
menyebabkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ANC dan
stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang.
ANC dilakukan untuk memantau kemajuan kehamilan, memastikan
kesehatan ibu dan tumbuh kembang janin agar tumbuh dengan normal.
109

Perkembangan janin saat masa kehamilan juga dapat dilihat dari berat lahir
anak. Berdasarkan data yang didapatkan di lapangan bahwa diantara semua
responden pada umumnya memiliki anak dengan berat lahir normal (94,4%)
meskipun lebih banyak ibu dengan ANC tidak lengkap (56,3%). Artinya
adalah ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan janin selama masa kehamilan yang tidak diteliti oleh peneliti.
Namun ibu yang memiliki ANC tidak lengkap dan melahirkan anak BBLR
memiliki angka stunting yang lebih tinggi (66,7%) dibandingkan dengan ibu
yang memiliki ANC lengkap dan melahirkan anak normal (30%). Artinya
adalah meskipun di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang tidak
terlihat hubungan yang signifikan antara ANC dan stunting namun pada ibu
yang tidak mendapatkan ANC lengkap dan melahirkan anak BBLR
memiliki distribusi stunting yang tinggi.
Mengenai faktor lain yang dapat mempengaruhi gizi ibu hamil
selama kehamilan adalah kemampuan ibu dalam memenuhi kebutuhan
pangan. Salah satunya adalah kemampuan ekonomi keluarga. Berdasarkan
data di lapangan bahwa pada ibu yang memiliki ANC lengkap tetapi tidak
memiliki kemampuan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup seperti
makan angka stunting nya lebih tinggi (37,5%) dari pada ibu yang mampu
secara ekonomi (20%). Jika ANC ibu tidak lengkap tetapi mampu secara
ekonomi angka stunting nya lebih kecil (16,7%) dibandingkan dengan ANC
tidak lengkap dan tidak mampu secara ekonomi (50%). Artinya adalah
meskipun ibu mendapatkan ANC lengkap tetapi tidak diimbangi dengan
kemampuan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan pangan maka akan tinggi
distribusi anak stunting yang ditemukan.

5. Tablet Fe Tidak Berhubungan dengan Stunting


Berdasarkan hasil penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang
Padang antara mengkonsumsi tablet Fe pada ibu hamil terhadap kejadian
stunting didapatkan p-value 0,168 dan POR sebesar 2,57. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tablet
Fe ibu hamil dengan kejadian stunting pada 1000 HPK di Wilayah Kerja
Puskesmas Seberang Padang tahun 2019. Sejalan dengan penelitian yang
110

dilakukan oleh Hairunis,dkk. (2016) yang menyebutkan bahwa tidak


terdapat hubungan asupan Fe terhadap stunting di Nusa Tenggara Barat.
Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sumiaty (2017)
di Sulawesi Tengah bahwa tablet Fe ibu hamil memiliki hubungan yang
signifikan terhadap stunting. Sumiaty mendapatkan bahwa terlihat
perbedaan secara signifikan antara ibu anak yang berumur 6-23
mengkonsumsi asupan Fe (87,69%) dan tidak mengkonsumsi Fe (12,30%)
baik pada anak stunting maupun anak normal (Sumiaty, 2017). Berdasarkan
temuan di lapangan bahwa terlihat perbedaan yang signifikan antara ibu
mengkonsumsi tablet Fe (35,2%) dan tidak mengkonsumsi tablet Fe
(64,8%) pada masa kehamilan. Konsumsi tablet Fe saat ibu hamil
diharapkan dapat mencegah ibu hamil mengalami anemia. Hal ini
disebabkan bahwa ibu yang memiliki riwayat anemia berisiko untuk
memiliki anak stunting. Secara statistik konsumsi tablet Fe ibu hamil tidak
memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting.
Peneliti berasumsi konsumsi tablet Fe tidak berhubungan signifikan
terhadap kejadian stunting disebabkan oleh kemampuan ekonomi keluarga
untuk memenuhi asupan Fe dari sumber makanan. Hal ini terbukti dari data
penelitian menunjukkan pada ibu yang mengkonsumsi tablet Fe secara
lengkap tetapi tidak memiliki kemampuan ekonomi yang melebihi
kemampuan minimal untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan
distribusi stunting lebih tinggi (33,3%) dibandingkan dengan yang memiliki
kemampuan ekonomi yang melebihi kemampuan minimal untuk memenuhi
kebutuhan pangan dan non-pangan (0%). Tingginya angka stunting terlihat
apabila ibu tidak mendapatkan tablet Fe secara lengkap dan tidak mampu
secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan pangan yaitu sebesar 52,2%
anak stunting. Asumsi peneliti adalah ibu yang memiliki kemampuan
ekonomi mencukupi memiliki kesempatan untuk mendapatkan asupan Fe
dari makanan lainnya. Oleh karena itu tablet Fe tidak berhubungan dengan
kejadian stunting. Artinya adalah apabila ibu mengkonsumsi Fe dari
makanan alami dengan cukup dan ditambah dengan mengkonsumsi tablet
111

Fe secara lengkap akan lebih sedikit distribusi anak stunting yang


ditemukan.
Selain itu tablet Fe juga memiliki kaitan dengan ANC. Salah satu
layanan dalam ANC adalah melakukan pengecekan Hb. Berdasarkan data
yang didapatkan menunjukkan pada ibu yang tidak mengkonsumsi tablet Fe
lengkap tetapi kunjungan ANC lengkap distribusi stunting rendah. Peneliti
berasumsi bahwa meskipun konsumsi tablet Fe tidak lengkap namun apabila
ibu memiliki kunjungan ANC lengkap, ibu mendapatkan edukasi dari
petugas setelah dilakukan pengecekan Hb darah di Puskesmas. Ketika ibu
mengetahui hasil pemeriksaan Hb darah dan mendapatkan edukasi, ibu akan
mengkonsumsi makanan yang bergizi dan mengandung Fe.

6. ASI Eksklusif Tidak Berhubungan dengan Stunting


Berdasarkan hasil penelitian antara variabel ASI eksklusif terhadap
kejadian stunting didapatkan p-value 0,911 dan POR sebesar 1,21. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ASI
eksklusif dengan kejadian stunting pada 1000 HPK di Wilayah Kerja
Puskesmas Seberang Padang tahun 2019. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Sumiaty (2017) yang mendapatkan bahwa ASI eksklusif tidak
berhubungan dengan kejadian stunting.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian Paramashanti, dkk. (2016)
yang menyatakan bahwa ASI eksklusif memiliki hubungan terhadap
kejadian stunting. Penelitian lainnya memiliki hasil yang sama dilakukan
oleh Permadi dkk. (2016) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara ASI eksklusif terhadap kejadian stunting. Anak yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif berisiko 9,5 kali berisiko mengalami stunting
(Permadi, dkk., 2016). Permadi menyebutkan bahwa anak usia 12-24 bulan
yang tidak mendapatkan ASI eksklusif lebih berisiko untuk terkena stunting
dibandingkan dengan anak yang mendapatkan ASI eksklusif hingga 6 bulan.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan bahwa lebih dari separuh
anak tidak mendapatkan ASI eksklusif. Hal ini dikarenakan bahwa terdapat
ibu bekerja sehingga sulit untuk memberikan ASI eksklusif. Selain itu juga
112

terdapat permasalahan ASI sulit keluar serta ibu sakit saat setelah
melahirkan sehingga anak usia 12-24 bulan diberikan susu formula sebagai
pengganti ASI. ASI eksklusif merupakan faktor yang memiliki peran
penting terhadap kejadian stunting. Hal ini disebutkan bahwa ASI
merupakan sumber nutrisi yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak
terlebih di usia periode emas. Anak yang diberikan ASI selama 6 bulan
secara eksklusif akan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang
optimal.
Berdasarkan data yang didapatkan bahwa meskipun ASI eksklusif
tidak berhubungan dengan stunting tetapi anak stunting lebih banyak
terdapat pada anak yang tidak diberikan ASI eksklusif yaitu sebesar 34,1%.
Kaitan ASI eksklusif dan stunting menurut WHO dalam Ni’mah dan
Nadhiroh (2016) menyebutkan anak yang tidak diberikan ASI eksklusif
selama 6 bulan penuh akan mempengaruhi imunitas anak terhadap penyakit
infeksi. Anak yang tidak mendapatkan asupan gizi yang mencukupi dan
terinfeksi penyakit kronis seperti diare dan ispa yang berulang akan
mengakibatkan anak stunting. Hal ini diperkuat dengan informasi yang
didapatkan dari lapangan bahwa anak yang mendapatkan ASI eksklusif dan
tidak terinfeksi distribusi stunting lebih kecil bahkan 0% dibandingkan
dengan anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dan terinfeksi yaitu
sebesar 44,4% anak stunting.
Adapun hal yang mengakibatkan ASI eksklusif tidak berhubungan
dengan kejadian stunting adalah terdapat faktor lain yang mempengaruhi
anak untuk terkena penyakit infeksi seperti sanitasi, hygiene dll yang tidak
diteliti oleh peneliti. Hal ini diketahui dari data yang didapatkan dilapangan
bahwa anak yang diberikan ASI eksklusif maupun tidak ASI eksklusif sama
sama memiliki angka infeksi lebih tinggi dari pada anak yang tidak
terinfeksi. Artinya adalah ASI eksklusif yang diharapkan dapat mencegah
anak untuk terkena penyakit infeksi tidak berjalan optimal.
113

7. MP-ASI Berhubungan dengan Stunting


Berdasarkan hasil penelitian antara variabel MP-ASI terhadap
kejadian stunting didapatkan p-value 0,027 dan POR sebesar 8,17. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara MP-ASI
dengan kejadian stunting pada 1000 HPK di Wilayah Kerja Puskesmas
Seberang Padang tahun 2019. Hasil ini juga menunjukkan bahwa anak usia
12-24 bulan yang mendapatkan MP-ASI kurang baik berisiko 8,17 kali
untuk menderita stunting.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Al-Rahmad, dkk. (2013).
menemukan bahwa variabel MP-ASI memiliki hubungan yang signifikan
terhadap stunting. Agus menemukan bahwa anak yang tidak mendapatkan
MP-ASI dengan baik memiliki risiko 3,4 kali untuk menderita stunting.
Penelitian ini juga sejalan dengan (Najahah, 2013) yang menemukan bahwa
pemberian MP-ASI yang tidak sesuai memiliki risiko 6,38 kali untuk
terkena stunting dibandingkan dengan anak yang mendapatkan MP-ASI
yang sesuai.
Berdasarkan hasil multivariat bahwa variabel MP-ASI merupakan
faktor dominan terhadap stunting pada 1000 HPK di tahun 2019.
Berdasarkan uji regresi logistik, terbukti bahwa MP-ASI memiliki POR
sebesar 11,64. Hal ini dapat disimpulkan bahwa perlu dilakukan evaluasi
terhadap program gizi khususnya kegiatan MP-ASI di Puskesmas Seberang
Padang tahun 2019.
Pemberian MP-ASI yang sesuai atau pemberian MP-ASI yang baik
adalah pemberian makanan pendamping ASI dengan frekuensi, jumlah, dan
tekstur sesuai umur anak. Anak harus diberikan MP-ASI sesuai dengan
syarat yang telah ditentukan. Hal ini disebabkan bahwa organ-organ tubuh
anak belum terbentuk dan berfungsi sempurna sehingga anak belum dapat
mencerna dengan baik. Oleh karena itu, perlu diberikan MP-ASI dengan
frekuensi, tekstur, dan jumlah yang sesuai dengan tingkatan umur anak
(Kemenkes, 2014e).
Berdasarkan data hasil penelitian bahwa ditemukan 45,1%
responden yang tidak memberikan MP-ASI sesuai umur yang seharusnya.
114

Sebanyak 29,6% sampel terlalu dini diberikan MP-ASI dan 15,5%


responden yang terlambat memberikan MP-ASI kepada anak. Selain itu
juga ditemukan responden yang memberikan frekuensi MP-ASI tidak sesuai
umur yaitu sebesar 49,3% dari seluruh responden. Sedangkan tekstur
pemberian MP-ASI tidak sesuai dengan umur sebesar 31% dari seluruh
responden. Untuk pemberian jumlah MP-ASI tidak sesuai umur sebesar
60,6% dari seluruh responden. Saat bayi belum siap untuk menerima
makanan dari luar dimana kematangan fungsi-fungsi organ belum optimal,
ibu telah memberikan MP-ASI kepada bayi. Penelitian lain menyebutkan
bahwa anak yang terlalu dini dikenalkan dengan MP-ASI maka akan
berisiko terkena penyakit infeksi. Berdasarkan hasil penelitian Lestari, dkk.
(2014) menemukan bahwa anak yang diberikan MP-ASI terlalu dini
memiliki risiko menjadi stunting sebesar 6,54 kali dibandingkan dengan
anak yang mendapatkan MP-ASI sesuai umur. Hasil penelitian ini
menemukan bahwa ibu yang gagal memberikan ASI eksklusif karena ibu
memberikan MP-ASI secara dini. Begitu juga dengan anak yang terlambat
diberikan MP-ASI. Anak yang terlambat diberikan MP-ASI maka akan
mengalami kekurangan nutrisi bahkan tidak mendapatkan nutrisi yang
seharusnya mereka dapatkan pada usianya tersebut.

8. Imunisasi Lengkap Tidak Berhubungan dengan Stunting


Berdasarkan hasil penelitian antara variabel imunisasi lengkap
terhadap kejadian stunting didapatkan p-value 0,805 dan POR sebesar 1,28.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
imunisasi lengkap dengan kejadian stunting pada 1000 HPK di Wilayah
Kerja Puskesmas Seberang Padang tahun 2019. Penelitian ini sejalan
dengan Nadiyah, dkk. (2014) yang menemukan bahwa imunisasi lengkap
tidak berhubungan dengan stunting. Namun berbeda dengan penelitian
Nasrul,dkk. (2016) yang menemukan bahwa variabel imunisasi lengkap
memiliki hubungan yang signifikan terhadap stunting. Penelitian Al-
Rahmad, dkk. (2013) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
terhadap stunting. Penelitian Al-Rahmad, dkk. (2013) juga mendapatkan
115

bahwa anak yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap berisiko 3,5 kali
untuk terkena stunting dibandingkan dengan anak yang mendapatkan
imunisasi lengkap.
Pemberian imunisasi lengkap kepada anak penting untuk mencegah
terjadinya stunting. Seperti yang disebutkan oleh Al-Rahmad, dkk. (2013)
bahwa memang anak yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap akan
terdapat gangguan kekebalan tubuh terhadap penyakit menular. Anak yang
tidak mendapatkan imunisasi yang lengkap akan mengalami produksi
antibodi yang tidak optimal sehingga mudahnya bibit penyakit masuk ke
dalam tubuh. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan
antara imunisasi lengkap dengan stunting. Namun, hubungan imunisasi
lengkap dapat dijelaskan melalui analisa masing-masing imunisasi. Diantara
beberapa imunisasi lengkap terdapat satu imunisasi yang berhubungan
signifikan terhadap kejadian stunting. Imunisasi tersebut adalah imunisasi
BCG. Pemberian imunisasi BCG berhubungan terhadap kejadian stunting
dengan p-value 0,012 dan POR sebesar 8,1. Artinya adalah anak yang tidak
mendapatkan imunisasi BCG berisiko 8,1 kali terkena stunting
dibandingkan dengan anak yang mendapatkan imunisasi BCG.
Tidak semua penyakit infeksi yang umum terjadi pada anak dapat
dicegah oleh imunisasi lengkap. Penyakit infeksi yang paling banyak
menyerang anak pada penelitian ini adalah ISPA (infeksi saluran pernapasan
atas) yaitu sebesar 52,1%. Penyakit ISPA menjadi urutan pertama
dibandingkan dengan penyakit lainnya. Sejalan dengan data yang
disebutkan di dalam laporan tahunan puskesmas bahwa ISPA menjadi
penyakit dengan urutan teratas dari 10 penyakit terbanyak tahun 2018.
Penyakit infeksi lainnya yang diderita anak usia 12-24 bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Seberang Padang secara berturut-turut diare (14,1%),
campak (4,2%), dan TB anak (1,4%).
116

9. Suplementasi Vitamin A Tidak Berhubungan dengan Stunting


Berdasarkan hasil penelitian antara variabel suplementasi vitamin A
terhadap kejadian stunting didapatkan p-value 0,075 dan POR sebesar 2,86.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
suplementasi vitamin A dengan kejadian stunting pada 1000 HPK di
Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang tahun 2019. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati,dkk. (2010)
menemukan bahwa asupan vitamin A tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan stunting. Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian Nabilla (2018) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara asupan vitamin A terhadap stunting.
Kecukupan vitamin A memiliki dampak terhadap penglihatan,
diferensiasi sel serta pertumbuhan dan perkembangan anak (Fatimah dan
Wirjatmadi, 2018). Selain penelitian yang dilakukan di Indonesia terdapat
penelitian yang dilakukan oleh Tariku,dkk. (2017) di Ethiopia menyebutkan
bahwa suplementasi vitamin A merupakan determinan penyebab stunting.
Tariku, dkk. (2017) menyebutkan bahwa ibu yang tidak memberikan
suplementasi vitamin A pada anak berisiko menderita stunting parah
dibandingkan dengan yang mendapatkan. Peningkatan status pemberian
suplementasi vitamin A merupakan salah satu bukti strategis yang dapat
mempertahankan kondisi kesehatan anak khususnya mengurangi risiko
kematian dan kesakitan akibat penyakit infeksi.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa lebih banyak responden yang
mendapatkan suplementasi vitamin A lengkap dibandingkan dengan tidak
mendapatkan suplementasi vitamin A lengkap sesuai umur. Data hasil
penelitian juga memperlihatkan bahwa anak stunting lebih banyak tidak
mendapatkan suplementasi vitamin A lengkap dibandingkan dengan yang
mendapatkan secara lengkap. Begitu sebaliknya, bahwa didapatkan anak
yang normal lebih banyak mendapatkan suplementasi vitamin A lengkap
dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan suplementasi vitamin A
lengkap.
117

Sumber vitamin A yang didapatkan anak tidak hanya dari


suplementasi vitamin A. Asupan vitamin A juga berasal dari sumber
makanan yang seimbang yang diberikan oleh orang tua berupa ASI dan
makanan beragam lainnya. Hal ini tentu menjadi perancu hubungan
suplementasi vitamin A dan stunting yang tidak terukur pada penelitian ini.
Pernyataan ini didukung oleh data pada anak yang tidak mengkonsumsi
suplementasi vitamin A tetapi mendapatkan MP-ASI yang baik distribusi
stunting nya rendah (14,3%). Anak yang mengkonsumsi suplementasi
vitamin A lengkap tetapi mendapatkan MP-ASI yang buruk distribusi
stunting nya lebih tinggi (27,8%). Artinya adalah suplementasi vitamin A
juga harus diiringi oleh pemberian MP-ASI yang baik.
Suplementasi vitamin A diberikan kepada anak bertujuan untuk
mengurangi risiko kesakitan akibat penyakit infeksi. Hal ini diperkuat
dengan data yang didapatkan di lapangan bahwa anak yang terinfeksi namun
tidak diberikan suplementasi vitamin A secara lengkap memiliki distribusi
stunting yang tinggi (57,1%). Sebaliknya anak yang terinfeksi tetapi
mendapatkan suplementasi vitamin A lengkap distribusi stunting nya rendah
(30%). Artinya adalah meskipun suplementasi vitamin A tidak
berhubungan, namun pemberian vitamin juga memiliki kaitan dengan
stunting dengan tidak memperparah keadaan anak saat terinfeksi.

10. Monitoring Pertumbuhan Berhubungan Stunting


Berdasarkan hasil penelitian antara variabel monitoring pertumbuhan
terhadap kejadian stunting didapatkan p-value 0,048 dan POR sebesar 7,33.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
monitoring pertumbuhan dengan kejadian stunting pada 1000 HPK di
Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang tahun 2019. Anak yang tidak
mendapatkan monitoring pertumbuhan secara rutin berisiko 7,33 kali untuk
terkena stunting dibandingkan dengan anak yang mendapatkan monitoring
pertumbuhan secara rutin.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Marume, dkk. (2017) menyatakan bahwa monitoring pertumbuhan yang
118

dilakukan secara rutin dapat menurunkan kejadian malnutrisi khususnya


stunting. Hal ini dipaparkan di dalam penelitian Marume, dkk (2017)
bahwa dengan dilakukannya monitoring pertumbuhan maka dapat
mendeteksi kejadian stunting. Penelitian yang dilakukan di Zimbabwe ini
menyebutkan bahwa hasil dari monitoring pertumbuhan yang rutin
dilakukan dapat menentukan data apakah anak memiliki status gizi yang
baik atau tidak. Apabila anak mengalami atau terdeteksi stunting maka
orang tua akan mendapatkan edukasi kesehatan. Edukasi kesehatan yang
dilakukan adalah berupa konseling dan menasehati dengan pendekatan gizi
dan intervensi untuk memperbaiki kondisi kesehatan anak yang
bersangkutan.
Hal ini juga sesuai dengan yang direkomendasi oleh PMK No. 25
tentang upaya kesehatan anak tahun 2014 menyebutkan bahwa salah satu
pelayanan yang harus didapatkan oleh anak adalah monitoring
pertumbuhan. Monitoring pertumbuhan yang berkaitan dengan kejadian
stunting adalah monitoring TB/U. Monitoring pertumbuhan yang diatur oleh
PMK ini adalah minimal dilakukan pengukuran 3 bulan sekali. Pada
penelitian ini ditemukan hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting
(Kemenkes, 2014c).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja
Puskesmas Seberang Padang pada tahun 2019 didapatkan bahwa terdapat
sebanyak 81,7% responden penelitian tidak melakukan monitoring
pertumbuhan secara rutin. Sebesar 18,3% responden yang memiliki riwayat
monitoring pertumbuhan secara rutin. Pada umumnya anak tidak
mendapatkan monitoring pertumbuhan secara rutin.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa
proporsi anak yang stunting lebih banyak pada anak yang melakukan
monitoring pertumbuhan secara tidak rutin. Berdasarkan PMK bahwa
monitoring pertumbuhan tidak hanya berdiri sendiri, akan tetapi perlu
adanya KIE (komunikasi informasi dan edukasi) kepada ibu atau orang tua
mengenai kondisi anak pada saat itu. Artinya monitoring pertumbuhan dapat
menjadi media deteksi dini pertumbuhan anak. Anak yang mengalami
119

gangguan pertumbuhan yang belum mencapai pertumbuhan optimal sesuai


usia dapat diberitahukan kepada orang tua. Selanjutnya ibu mengetahui apa
yang seharusnya ibu lakukan apabila pertumbuhan anak tidak sesuai dengan
tingkat umur. Oleh karena itu monitoring pertumbuhan penting dilakukan
kepada anak usia 12-24 bulan untuk mencegah terjadinya stunting.

C. Penelitian Kualitatif Program MP-ASI


1. Input
a. Sosialisasi Kebijakan dan Petunjuk Teknis Belum Ada
Kebijakan dari pemerintah yang mendasari tentang pelaksanaan
kegiatan MP-ASI diatur di dalam PMK No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman
Gizi Seimbang yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI.
Kebijakan dari pemerintah yang mendasari tentang pelaksanaan kegiatan
MP-ASI belum diketahui oleh seluruh informan. Namun berdasarkan telaah
dokumen ditemukan PMK tersebut di Puskesmas. Berdasarkan PMK No 41
tahun 2014 tentang pedoman gizi seimbang disebutkan bahwa dalam
penyelenggaraan gizi seimbang terdapat beberapa kegiatan yang perlu
dilakukan seperti sosialisasi, pelatihan, penyuluhan, konseling dan demo
percontohan dan praktik. PMK ini juga mengatur mengenai gizi seimbang
untuk anak usia 6-24 bulan seperti pemberian MP-ASI yang baik.
PMK ini diikuti oleh dikeluarkan nya panduan penyelenggaraan
PMBA baik untuk petugas kesehatan khusus nya petugas gizi, bidan
kelurahan maupun kader. Salah satu yang juga dicantumkan di dalam
pedoman atau petunjuk teknis PMBA adalah petugas yang sudah
mendapatkan pelatihan PMBA harus memberikan pelatihan kepada kader
sebagai salah satu unsur yang paling dekat dengan masyarakat atau sasaran
(Kemenkes, 2014e).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pedoman
(petunjuk teknis) yang mengatur mengenai pelaksanaan kegiatan MP-ASI
berbasis PMBA yang menjadi rujukan bagi Puskesmas sudah cukup jelas
dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Petugas puskesmas khususnya
petugas gizi mengetahui tentang petunjuk teknis tersebut. Namun, tidak
120

ditemukan petunjuk teknis tersebut di Puskesmas Seberang Padang.


Petunjuk teknis yang dimaksud adalah petunjuk teknis sosialisasi PMBA,
petunjuk teknis penyelenggaraan kegiatan MP-ASI berbasis PMBA
termasuk di dalamnya petunjuk teknis pelatihan kepada kader. Hal ini
disebabkan bahwa MP-ASI berbasis PMBA tidak pernah menjadi kegiatan
tahunan di Puskesmas Seberang Padang sebelumnya dan sampai saat ini.
Hal ini senada dengan penelitian Nurbaiti (2017) yang menyebutkan bahwa
kegiatan MP-ASI berbasis PMBA belum menjadi salah satu prioritas
kegiatan di Wilayah Kerja Puskesmas. Puskesmas Seberang Padang
menyebutkan bahwa dengan adanya program POS Gizi sudah memberikan
kontribusi terhadap permasalahan stunting. Petugas menyebutkan bahwa
kegiatan ini tidak perlu dilakukan karena menganggap dengan sosialisasi
yang dilakukan di tahun 2017 sudah cukup memberikan informasi kepada
kader mengenai MP-ASI.

b. Tenaga Kader Terlatih PMBA Belum Ada


Tenaga merupakan salah satu unsur input untuk menjalankan
program MP-ASI. Tenaga merupakan unsur penting dalam kesuksesan
program yang dijalankan. Tenaga adalah orang yang menjalankan dan
bertanggung jawab mengenai kegiatan MP-ASI di Puskesmas. Tenaga
pelaksana MP-ASI adalah petugas gizi di Puskesmas. Berdasarkan hasil
penelitian yang didapatkan bahwa tenaga gizi di Puskesmas berjumlah 3
orang. Semua tenaga gizi di Puskesmas sudah mendapatkan pelatihan
mengenai kegiatan MP-ASI. Berbeda dengan penelitian Istianah,dkk. (2015)
yang menemukan bahwa hanya terdapat 1 petugas gizi yang mendapatkan
pelatihan. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan
petugas gizi dibantu oleh kader tiap-tiap posyandu di Wilayah Kerja
Puskesmas. Begitu juga dengan penelitian ini yang menemukan bahwa
petugas gizi dibantu oleh kader. Tenaga gizi di Puskesmas juga menjadi
konselor MP-ASI untuk baduta bermasalah gizi yang dirujuk oleh kader di
Posyandu dan dokter di Poli KIA. Kader sebagai konselor MP-ASI ke
masyarakat baru mendapatkan sosialisasi MP-ASI berbasis PMBA 2 tahun
121

yang lalu dan belum mendapatkan pelatihan. Artinya Puskesmas Seberang


Padang masih kekurangan sumber daya manusia yang di dalamnya adalah
kader terlatih PMBA.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurbaiti
(2017) yang mendapatkan bahwa Puskesmas di Lombok masih mengalami
kekurangan kader terlatih PMBA. Kader di Puskesmas tersebut belum
memiliki keterampilan konseling PMBA yang memadai. Begitu juga pada
penelitian ini. Berdasarkan data di lapangan, di antara semua kader
posyandu belum ada satupun kader yang mendapatkan pelatihan PMBA
hingga saat ini. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya kader yang
diwawancarai tidak mengetahui tentang MP-ASI yang baik untuk anak usia
12-24 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari dua orang kader
yang ditanyakan, tidak satupun kader yang mengetahui tentang unsur
esensial MP-ASI yang baik dengan lengkap. Hanya 1 kader yang
mengetahui kapan usia pertama kali harus di beri MP-ASI, satu orang yang
mengetahui tentang frekuensi per-hari diberi MP-ASI, tidak ada satupun
yang mengetahui tentang tekstur dan kuantitas MP-ASI sesuai umur. Oleh
karena itu perlu adanya kader terlatih PMBA sehingga dapat menjadi
fasilitator MP-ASI kepada ibu dan masyarakat.

c. Metode Pelaksanaan Belum sesuai Pedoman


Metode merupakan cara kerja yang dapat mempermudah tenaga
untuk melaksanakan program dengan efektif dan efisien dalam mencapai
tujuan. Metode pelaksanaan program MP-ASI ini berpedoman kepada
pedoman PMBA dari Kementerian Kesehatan RI. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa metode yang digunakan oleh Puskesmas
Seberang Padang dalam menjalankan kegiatan MP-ASI berbasis PMBA
berdasarkan SOP secara tertulis belum ada. Puskesmas Seberang Padang
belum memiliki SOP kerja kegiatan MP-ASI berbasis PMBA seperti SOP
pelatihan, SOP sosialisasi, SOP monitoring, dan evaluasi kegiatan. Hal ini
disebabkan bahwa kegiatan MP-ASI berbasis PMBA di Puskesmas tidak
menjadi kegiatan yang direncanakan untuk tahun 2019. Namun, pelaksanaan
122

MP-ASI berbasis PMBA tetap ada di dalam pelayanan di puskesmas.


Metode yang digunakan oleh puskesmas adalah konseling di Puskesmas,
tanya jawab di Posyandu, serta ceramah di pertemuan kelas ibu hamil, kelas
ibu bayi dan balita namun belum berjalan optimal. Hal ini dikarenakan
bahwa konseling diberikan hanya kepada ibu dari anak yang bermasalah gizi
yang dirujuk dari poli KIA dan Posyandu. Sementara tanya jawab tidak
rutin diberikan saat posyandu dan ceramah di beberapa pertemuan kelas ibu
hamil, kelas ibu bayi dan balita tidak rutin membahas mengenai PMBA
serta sasaran yang heterogen (tidak tepat sasaran).
Berdasarkan pedoman pelaksanaan PMBA bahwa metode yang
penting dilakukan adalah memberikan informasi dengan metode konseling
serta melibatkan masyarakat dengan memperlihatkan tekstur, jumlah, jenis
serta frekuensi MP-ASI sesuai dengan tingkat umur anak (Kemenkes,
2014a). Demo langsung dengan memperlihatkan menjadi salah satu metode
yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Metode ini belum pernah
dilakukan kepada ibu baik dari petugas puskesmas maupun dari kader.
Selain itu metode pelaksanaan MP-ASI belum berfokus kepada konseling.
Artinya adalah perlu adanya peningkatan konseling MP-ASI. Berdasarkan
penelitian Rahmawati,dkk. (2019) yang menemukan bahwa terdapat
peningkatan praktik pemberian makan pada baduta setelah diberikan
konseling oleh kader. Menurut pedoman pelaksanaan atau petunjuk teknis
pelaksanaan kegiatan ini menyebutkan bahwa petugas puskesmas yang
sudah mendapatkan pelatihan harus melatih kader untuk bisa memberikan
konseling kepada ibu. Sosialisasi yang diberikan dari petugas puskesmas ke
kader pernah dilakukan di tahun 2017 dan tidak dilanjutkan hingga saat ini.
Oleh karena itu perlu peningkatan sosialisasi serta pelaksanaan
pelatihan dari petugas puskesmas ke kader agar memiliki pemahaman yang
baik sehingga dapat berjalan konseling MP-ASI yang optimal sehingga ibu
memahami dengan baik tentang MP-ASI. Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wahyuningsih dan Handayani (2016) di Klaten, bahwa perlu
adanya sosialisasi yang efektif kepada ibu khususnya ibu yang memiliki
123

bayi 0-24 bulan agar mau dan mampu melaksanakan PMBA yang sesuai
kepada anak.

d. Belum Ada Penganggaran MP-ASI Berbasis PMBA


Anggaran adalah segala bentuk pendanaan yang diperlukan untuk
melaksanakan program PMBA di Puskesmas Seberang Padang.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa anggaran program PMBA
di Puskesmas Seberang Padang tahun 2019 belum ada. Hal ini sebabkan
bahwa PMBA bukan menjadi kegiatan prioritas dalam rencana kegiatan di
Puskesmas Seberang Padang. Meskipun terdapat kegiatan sosialisasi PMBA
dari petugas Puskesmas khususnya petugas gizi kepada kader pada tahun
2017, namun juga tidak terdapat anggaran khusus karena tidak ada dalam
RUK 2017. Dana yang digunakan adalah dana dari program lain. Pelatihan
yang menjadi agenda wajib yang perlu dilakukan oleh Puskesmas
berdasarkan petunjuk teknis yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan
belum ada anggaran. Anggaran untuk pengadaan lembar bolak-balik PMBA
yang menjadi unsur utama dalam pelaksanaan konseling belum ada juga.
Penganggaran tidak dilakukan oleh karena kegiatan MP-ASI berbasis
PMBA tidak menjadi RUK Puskesmas.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa meskipun tidak terdapat dalam
RUK, pemberian informasi PMBA juga dilakukan di beberapa pertemuan
kelas ibu bayi dan balita. Disampaikan pada materi pertama atau kedua dari
lima pertemuan. Pertemuan kelas ibu bayi dan balita ini dilakukan 2 minggu
sekali. Artinya penyampaian PMBA dilakukan 1 kali 10 minggu kepada ibu
bayi dan balita yang menghadiri kelas. Dana yang digunakan untuk
pertemuan kelas ibu bayi dan balita tersebut adalah dana BOK dari promosi
kesehatan. Dana khusus untuk pelaksanaan kegiatan MP-ASI berbasis
PMBA belum ada. Kegiatan MP-ASI berbasis PMBA lainnya terdiri dari
sosialisasi, pelatihan kader, dan pengadaan lembar bolak balik tidak dapat
dilaksanakan karena tidak ada dana khusus. Penggunaan dana BOK maupun
BLUD yang ada di Puskesmas dapat digunakan untuk pelaksanaan kegiatan
tersebut apabila dianggap sebagai kegiatan prioritas atau penting selain
124

dianggarkan dari awal di dalam RUK. Menurut Permendagri No.79 tahun


2018 tentang BLUD yang menyebutkan rencana bisnis anggaran menganut
pola anggaran fleksibel dengan suatu presentase ambang batas tertentu yang
dapat diubah setiap bulan apabila memang dibutuhkan. Artinya adalah
apabila kegiatan MP-ASI tidak ada dianggarkan dari awal, namun dianggap
penting untuk dilaksanakan maka dapat menggunakan dana dari BLUD.
Diharapkan kepada puskesmas untuk dapat menganggarkan dana untuk
pelaksanaan sosialisasi, pelatihan kepada kader dan pengadaan lembar
bolak-balik PMBA dari sumber dana puskesmas maupun integrasi dengan
LPMM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Mandiri).
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurbaiti
(2017) bahwa didapatkan kegiatan PMBA di Lombok memiliki pendanaan
khusus Puskesmas di Lombok melaksanakan program PMBA menggunakan
dana BOK dari puskesmas dan juga dana ADD (Anggaran Dana Desa) dari
dana desa. Oleh karena itu perlu adanya penganggaran baik dari dana
puskesmas, BOK, dana anggaran desa maupun swadaya masyarakat untuk
terlaksananya kegiatan MP-ASI berbasis PMBA.

e. Sarana Belum Memadai


Sarana dan prasarana merupakan unsur input yang penting untuk
mendukung terlaksananya program PMBA di Puskesmas Seberang Padang.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Puskesmas Seberang
Padang belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk
melaksanakan program PMBA baik di tingkat Puskesmas, maupun di
Posyandu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa
sarana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program PMBA masih belum
optimal.
Hal ini terbukti bahwa hanya terdapat satu lembar bolak balik
PMBA di Puskesmas. Penggunaan lembar bolak balik ini juga digunakan
secara bergantian di Puskesmas dan Pustu. Begitu juga dengan media yang
diperlukan di Posyandu. Belum terdapat lembar bolak balik PMBA sebagai
media konseling bagi kader ke ibu baduta. Berdasarkan hasil penelitian
125

bahwa kegiatan PMBA di posyandu belum melakukan konseling PMBA


dengan optimal. Kenyataannya dalam modul panduan pelaksanaan PMBA
menekankan kepada konseling dengan media lembar bolak balik konseling
PMBA. Selain itu, modul panduan PMBA belum ada di puskesmas maupun
kader. Modul merupakan media yang penting untuk membantu kader
memahami dengan baik mengenai materi MP-ASI. Selain itu sarana lainnya
seperti leaflet, brosur dan video penyuluhan yang komunikatif belum ada.
Hal ini terjadi karena kegiatan MP-ASI berbasis PMBA belum pernah
menjadi kegiatan tahunan di Puskesmas.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lina
Nurbaiti (2017) yang menyebutkan bahwa sarana penunjang program
PMBA masih belum memadai termasuk di dalamnya adalah buku panduan
kader, media konseling, dan alat memasak. Di Puskesmas Lombok program
PMBA masih belum optimal berjalan dikarenakan masih berfokus kepada
penyuluhan saja dan belum berfokus pada konseling PMBA.

2. Process
a. Perencanaan (Planning)
Perencanaan merupakan bagian dari proses pelaksanaan program
dengan membuat strategi untuk mencapai tujuan serta mengembangkan
rencana kerja sehingga mudah dan dapat dijalankan secara sistematis dan
terstruktur. Perencanaan merupakan proses penting dalam fungsi
manajemen karena tanpa perencanaan maka fungsi manajemen lainnya tidak
dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian bahwa ditemukan
Puskesmas Seberang Padang merumuskan perencanaan program belum
sepenuhnya sesuai dengan PMK No 44 tahun 2016 tentang Manajemen
Puskesmas. Masih terdapat langkah dalam perencanaan yang belum
dilakukan oleh Puskesmas. Khusus untuk kegiatan MP-ASI berbasis PMBA
belum ada dalam perencanaan Puskesmas di tahun 2019.
Proses perencanaan program gizi di Puskesmas belum optimal sesuai
dengan aturan disebabkan bahwa pada langkah analisis situasi dilihat hanya
berdasarkan data bulanan, data laporan tahunan sebelumnya. Pada langkah
126

ini petugas belum optimal melakukan analisa situasi komparatif dari segi
perbandingan dengan lintas kegiatan dan program lain serta perbandingan
demografi atau karakteristik wilayah. Selain itu analisa situasi juga melihat
peluang atau dukungan yang dapat diberikan dari lintas sektor atau dinas
kesehatan. Pada langkah identifikasi masalah berdasarkan survei mawas diri
untuk menggali permasalahan yang ada di masyarakat belum dilakukan
dengan optimal oleh Puskesmas. Pada proses ini menghasilkan masalah
yang belum sepenuhnya mewakili keresahan atau permasalahan di
masyarakat. Untuk proses perencanaan program gizi khusus kegiatan MP-
ASI berbasis PMBA tidak menjadi kegiatan yang diusulkan untuk tahun
2019. Meskipun terdapat sosialisasi PMBA pada kader tahun 2017 namun,
kegiatan MP-ASI berbasis PMBA juga tidak terdapat di dalam RUK 2017.
Kegiatan ini dilakukan dengan beberapa dukungan dana lainnya. Oleh
karena itu berdasarkan telaah dokumen tidak ditemukan POA kegiatan MP-
ASI di Puskesmas Seberang Padang.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nurbaiti, (2017) bahwa ditemukan perencanaan yang dilakukan di tingkat
Puskesmas terdiri dari 4 tahap yaitu persiapan, analisis situasi, penyusunan
RUK, dan tahap pelaksanaan kegiatan. Perencanaan program PMBA yang
dilakukan seperti hal tersebut di Puskesmas Lombok disimpulkan belum
berjalan optimal sesuai dengan perencanaan tingkat puskesmas.

b. Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian adalah salah satu fungsi manajemen untuk
mengontrol terlaksananya program yang akan dilaksanakan.
Pengorganisasian ini adalah pembagian tugas dan fungsi serta dilengkapi
dengan adanya susunan organisasi. Puskesmas Seberang Padang memiliki
penanggung jawab program gizi yang dibantu oleh 3 orang staff gizi.
Masing-masing staff begitu juga penanggung jawab gizi memiliki tugas dan
tanggung jawab masing-masing. Pembagian tanggung jawab dan kerja staff
dan penanggung jawab gizi dibagi berdasarkan wilayah kerja puskesmas.
Satu staff gizi memiliki 1 wilayah tanggung jawab untuk melaksanakan
127

apapun kegiatan atau program yang akan dijalankan di wilayah tersebut


khususnya program gizi.
Pengorganisasian program khusus kegiatan MP-ASI berbasis PMBA
belum ada pembagian tugas dan tanggung jawab oleh karena PMBA bukan
menjadi program prioritas di tahun 2019 maupun tahun sebelumnya.
Pengorganisasian yang dilakukan adalah pembagian tugas saat konseling di
puskesmas. Pengorganisasian ini berupa pembagian tugas apabila staff gizi
memiliki tugas di luar puskesmas, maka salah satu petugas gizi harus berada
di Puskesmas untuk memberikan layanan.
Pelaksanaan kegiatan MP-ASI berbasis PMBA tidak hanya
dilakukan oleh petugas gizi puskesmas saja tetapi juga dilaksanakan oleh
bidan desa serta kader yang sudah mendapatkan pelatihan PMBA. Namun
kenyataan yang didapatkan di lapangan bahwa pembagian tugas untuk bidan
dan kader belum ada. Namun kenyataannya pengorganisasian yang ada
hanya untuk petugas gizi puskesmas saja.

c. Pelaksanaan (Actuating)
Pelaksanaan merupakan unsur manajemen terpenting yang
menentukan kesuksesan pelaksanaan program. Salah satu unsur esensial
yang menjadi fokus pelaksana sebagai proses implementasi program untuk
tercapainya tujuan yang diinginkan. Pelaksanaan juga merupakan pusat
yang menjadi perhatian khusus bagi semua elemen pelaksana agar secara
penuh kesadaran dan produktifitas tinggi menjalankan program tersebut.
Pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan apabila terdapat
penjelasan secara jelas mengenai definisi kegiatan di dalam perencanaan.
Program gizi khususnya kegiatan MP-ASI yang digali pada
penelitian ini adalah kegiatan yang berhubungan dengan faktor risiko
dominan stunting yaitu kegiatan pemberian informasi mengenai MP-ASI
yang baik yang bisa disebut dengan kegiatan MP-ASI berbasis PMBA.
Kegiatan MP-ASI berbasis PMBA di Puskesmas Seberang Padang tidak
menjadi kegiatan yang disusun secara detail dan jelas dalam RUK tahun
2018. Program MP-ASI di Puskesmas yang menjadi program yang tersusun
128

sistematis di RUK adalah berupa MP-ASI pemulihan berupa pembagian


biskuit untuk balita yang bermasalah gizi. Namun, meskipun tidak menjadi
rencana dalam program puskesmas, penyampaian informasi MP-ASI
berbasis PMBA yang baik kepada sasaran juga tetap dilakukan di berbagai
layanan seperti layanan konseling di Puskesmas, layanan di Posyandu, serta
juga diberikan informasi pada saat pertemuan kelas ibu hamil, dan kelas ibu
bayi dan balita.
Pelaksanaan konseling MP-ASI di Puskesmas diberikan oleh tenaga
gizi atau PJ gizi yang sedang bertugas di ruang gizi. Konseling ini diberikan
kepada anak yang bermasalah gizi yang dirujuk oleh dokter di Poli KIA dan
kader di Posyandu. Pada saat observasi yang dilakukan di Poli KIA
ditemukan bahwa terdapat pasien baduta dengan status stunting, namun
tidak dirujuk ke Poli Gizi untuk mendapatkan penyuluhan atau konseling
pemberian makan pada anak dan bayi. Artinya adalah layanan konseling
MP-ASI untuk anak yang bermasalah gizi pun masih belum optimal, mulai
dari layanan dari KIA bahwa tidak melakukan perbandingan TB/U anak
dengan standar WHO. Rujukan yang diberikan oleh kader dari Posyandu
juga belum optimal. Anak yang dirujuk oleh kader dari posyandu ke
Puskesmas adalah anak dengan gizi buruk dan gizi kurang. Anak stunting
tidak diukur di tingkat Posyandu. Tabel antropomentri TB/U tidak ditemui
di Posyandu. Pengukuran TB/U diukur di bagian gizi. Sehingga anak
stunting belum terdeteksi di tingkat posyandu oleh kader.Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Nurbaiti, (2017) yang juga menemukan bahwa
pelaksanaan pemberian makan pada anak dan bayi di Puskesmas Lombok
belum maksimal dilakukan baik pada saat konseling gizi bagi balita yang
dirujuk oleh kader posyandu.
Pelaksanaan kegiatan MP-ASI di Posyandu belum berjalan optimal.
Hal ini paparkan bahwa pada saat posyandu dijalankan penyuluhan tentang
MP-ASI belum berjalan optimal karena hanya berupa tanya jawab serta
saran untuk memberikan makan lebih baik lagi dari kader. Informasi
esensial mengenai MP-ASI secara jelas dan detail sesuai dengan pemberian
makan pada anak dan bayi belum optimal diberikan. Hal tersebut juga
129

diperkuat dengan informasi yang didapatkan dari seorang ibu yang rutin
datang ke salah satu posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang
Padang. Informan tersebut menyebutkan bahwa terkadang ditanya dan
diberikan saran tentang MP-ASI namun terkadang tidak diberikan informasi
ataupun ditanya karena sudah sibuk dengan ibu lainnya.
Informan penelitian ini juga menyebutkan meskipun tidak ada dalam
perencanaan, pemberian informasi MP-ASI juga diberikan saat pertemuan
kelas ibu bayi dan balita serta kelas ibu hamil. Namun diakui bahwa
pelaksanaan program tersebut masih belum optimal. Materi yang diberikan
beragam, sehingga tidak rutin dan berkala diberikan. Selain itu juga
disebutkan pada saat pelaksanaan di kelas ibu bayi dan balita tidak optimal
karena sasaran atau target terlalu heterogen (tidak tepat sasaran).
Penyuluhan yang dilakukan dianggap tidak tepat sasaran disebabkan oleh
penyuluhan diberikan dengan menggabungkan kelas ibu bayi dan balita
secara keseluruhan. Berdasarkan pedoman kelas ibu balita tahun 2019
disebutkan mengenai sasaran yang tepat. Kelas ibu bayi balita harus
dipisahkan antara anak kelompok umur 0-1 tahun, 1-2 tahun, dan 2-5 tahun.
Penyuluhan tepat sasaran yang dimaksud adalah penyuluhan gizi seimbang
termasuk didalamnya pemberian MP-ASI yang diajurkan oleh kementerian
kesehatan sesuai kelompok umur. Kelompok umur penyuluhan gizi kepada
anak umur 12-24 bulan dipisah dengan anak yang masih harus ASI eksklusif
atau bayi. Pada periode 0-1 tahun terdapat masa anak masih ASI eksklusif
hingga 6 bulan dan lebih dari 6 bulan anak mendapatkan MP-ASI. Artinya
adalah diharapkan penyuluhan diberikan sesuai kelompok umur agar
informasi tersampaikan dengan baik dan optimal.
Hal ini juga diperkuat dengan adanya penelitian sebelumnya oleh
Kostania dan Rahayu (2018) yang menemukan bahwa penyuluhan MP-ASI
dapat meningkatkan pengetahuan ibu dalam pemberian makan anak.
Penyelenggaraan penyuluhan MP-ASI pada penelitian ini diberikan kepada
kelompok umur 6-12 bulan. Usia 6-12 bulan adalah masa awal pemberian
makanan pendamping ASI bagi anak. Penyelenggaraan dinilai sebagai
sarana yang efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan perilaku ibu
130

mengenai MP-ASI disebabkan bahwa fasilitator tidak hanya memberikan


informasi verbal melalui metode ceramah, tetapi juga diberikan informasi
non verbal yaitu metode demonstrasi. Berbeda dengan penyuluhan yang
dilakukan di Puskesmas hanya berupa metode ceramah saja.
Kegiatan MP-ASI yang sudah dilakukan oleh Puskesmas selain
penyuluhan adalah sosialisasi kepada kader. Berdasarkan hasil penelitian
kader mendapatkan sosialisasi terakhir di tahun 2017. Sosialisasi yang
dilakukan juga tidak dilakukan evaluasi dan berkelanjutan. Untuk
pelaksanaan pelatihan kader sesuai yang dianjurkan oleh Kementerian
kesehatan belum pernah dilakukan oleh Puskesmas. Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nurbaiti, (2017) yang menyebutkan bahwa
pelatihan kader masih belum maksimal dilakukan. Penelitian di Lombok ini
juga menjelaskan bahwa di tingkat desa hanya terdapat satu kader yang
telah mengikuti pelatihan pemberian makanan pada bayi dan anak. Di
Puskesmas Seberang Padang belum pernah dilakukan pelatihan kepada
kader. Namun hanya diberikan sosialisasi 2 tahun yang lalu dengan formasi
kader yang tidak sama dengan saat sekarang ini. Sosialisasi mengenai MP-
ASI kepada kader merupakan salah satu komponen penting bagi kelancaran
pemberian informasi mengenai MP-ASI.
Sosialisasi tidak berlanjut hingga saat ini. Sosialisasi hanya
dilakukan satu kali saja. Hal ini tentu menjadi salah satu penyebab masih
terdapatnya ibu baduta yang memberikan MP-ASI tidak sesuai dengan
standar. Oleh karena pelaksanaan kegiatan MP-ASI belum maksimal
diterapkan oleh Puskesmas Seberang Padang serta diharapkan dapat
memperbaiki program MP-ASI untuk masa yang akan datang.
Panduan pelaksanaan kegiatan MP-ASI menyebutkan bahwa
fasilitator PMBA dari provinsi dan kabupaten akan melatih petugas
puskesmas sebagai fasilitator PMBA. Selanjutnya fasilitator puskesmas
akan melatih PMBA bagi kader dan bidan di desa. Hal ini dilakukan untuk
dapat meneruskan informasi kepada masyarakat secara menyeluruh. Namun,
kenyataan di lapangan baru dilakukan sekali dalam tiga tahun. Artinya
adalah selama periode tiga tahun tersebut terdapat pergantian kader, terdapat
131

ibu baru lagi yang memiliki bayi yang akan melewati masa 1000 hari
pertama kehidupan yang belum terpapar dengan cara pemberian MP-ASI
yang benar. Oleh karena itu diharapkan memberikan pelatihan kepada kader
serta melakukan sosialisasi setiap 6 bulan sekali minimal kepada kader dan
petugas penyelenggara posyandu dan masyarakat sesuai dengan yang
disebutkan oleh Kementerian Kesehatan RI sebagai tindak lanjut
(Kemenkes, 2014a).

d. Pengawasan dan Evaluasi (Controlling and Evaluation)


Pengawasan adalah proses yang dilakukan untuk memastikan
seluruh rangkaian kegiatan yang telah direncanakan, diorganisasikan,
diimplementasikan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan
hasil penelitian ini ditemukan bahwa Puskesmas Seberang Padang tidak
melakukan pengawasan dan evaluasi program PMBA dikarenakan bahwa
PMBA bukan menjadi kegiatan dalam rencana puskesmas dalam tahun 2019
maupun 2 tahun sebelumnya. Namun pengawasan dan evaluasi program gizi
yang lainnya dilakukan setiap kegiatan selesai dilakukan. Pengawasan yang
dimaksud adalah penanggung jawab program bertanya kepada pelaksana
kegiatan mengenai kelancaran pelaksanaan saat kegiatan dilakukan dan
kasus gizi buruk.
Pengawasan dan evaluasi yang dilakukan di Puskesmas sudah sesuai
dengan apa yang disebutkan dalam PMK No 44 tentang Manajemen
Puskesmas, bahwa pengawasan internal dapat dilakukan berupa pengawasan
aspek administratif, sumber daya, cakupan kinerja program dan teknis
pelayanan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa puskesmas sudah melakukan
pengawasan teknis pelayanan, serta administratif setiap setelah kegiatan
selesai dilakukan. Pengawasan berupa cakupan kinerja program juga
dilakukan oleh puskesmas melalui lokmin bulanan dan tahunan. Namun,
setelah dilakukan pengawasan dan evaluasi informan menyebutkan bahwa
masih belum optimalnya rencana tindak lanjut terhadap hasil evaluasi dari
kegiatan yang dilakukan.
132

Pedoman penilaian atau evaluasi untuk kegiatan MP-ASI berbasis


PMBA belum ada karena kegiatan ini tidak menjadi kegiatan dalam
perencanaan di Puskesmas Seberang Padang tahun 2019. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurbaiti, (2017) bahwa ditemukan
pengawasan dan evaluasi yang dilakukan hanya dengan pemantauan saat
posyandu dan melihat buku atau laporan yang diberikan. Selain itu juga
dilakukan pemantauan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan dengan
menanyakan proses pelaksanaan dan hasil kegiatan. Namun, tidak
ditemukan evaluasi mengenai pengetahuan dan keterampilan ahli gizi
terlatih dan kader mengenai MP-ASI berbasis PMBA secara berkala.

3. Output
Output adalah hasil dari suatu pekerjaan dalam hal ini adalah
program MP-ASI di Puskesmas Seberang Padang. Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan bahwa output untuk program MP-ASI dinilai dari MP-
ASI penyuluhan yang dilakukan baik dalam gedung maupun luar gedung.
Penyuluhan dalam gedung adalah penyuluhan saat konsultasi pasien yang
dirujuk dari KIA dan ibu.
Berdasarkan penelitian, untuk penyuluhan luar gedung diberikan saat
adanya pertemuan seperti kelas ibu hamil, dan kelas ibu bayi dan balita.
Puskesmas Seberang Padang melakukan penyuluhan MP-ASI di luar
gedung dengan frekuensi 60 kali sebanyak 126 orang. Sementara itu, untuk
output penyuluhan dalam gedung yaitu saat konsultasi di Puskesmas
dilakukan pencatatan dalam pelaporan namun tidak ditemukan dokumen
akumulasi konsultasi MP-ASI kepada baduta. Untuk akumulasi output
pelaksanaan konsultasi MP-ASI di Puskesmas pada baduta tidak ada item
khusus MP-ASI maupun PMBA tetapi dikelompokkan ke dalam Kurang
Energi Protein (KEP). Rekapan konseling di pojok gizi dihitung berkala
bulanan dan tahunan. Namun tidak terdapat item khusus MP-ASI atau
PMBA namun dimasukkan ke dalam kategori KEP.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian di Wilayah Kerja
Puskesmas Seberang Padang tahun 2019 adalah sebagai berikut :
1. Pada umumnya baduta memiliki berat lahir normal. Baduta lebih
banyak pernah terinfeksi penyakit, pendidikan ayah dan ibu yang tinggi,
tidak terpapar asap rokok dan ekonomi miskin. Paling banyak pekerjaan
KK dengan jasa (ojek/supir/bangunan/buruh).
2. MP-ASI dan monitoring pertumbuhan berhubungan dengan kejadian
stunting. ANC, tablet Fe Ibu hamil, ASI eksklusif, suplementasi vitamin
A, dan imunisasi lengkap tidak berhubungan dengan kejadian stunting.
3. Distribusi stunting lebih sedikit jika ibu memberikan MP-ASI yang baik
meskipun di masa lalu tidak memberikan ASI Eksklusif, mengkonsumsi
tablet Fe lengkap meskipun tidak mendapatkan ANC lengkap, serta
memberikan suplementasi vitamin A meskipun tidak memiliki status
imunisasi yang lengkap.
4. Variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian stunting
pada 1000 HPK adalah pemberian MP-ASI yang tidak baik terhadap
baduta. Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan MP-ASI baik
penyuluhan dan konseling MP-ASI belum optimal. Petunjuk teknis
pelaksanaan, kader terlatih, lembar bolak balik PMBA serta
penganggaran belum ada.
5. Perencanaan kegiatan tidak disertai dengan survei mawas diri dalam
identifikasi masalah serta belum optimal melibatkan unsur terkait
seperti kader, lintas sektor, bidan pustu dalam penentuan penyebab
masalah. Pengorganisasian kegiatan MP-ASI dengan melibatkan kader
dan penanggung jawab posyandu belum optimal serta pengawasan dan
evaluasi yang belum disertai dengan adanya rencana tindak lanjut.
6. Pengukuran output dari kegiatan MP-ASI belum optimal karena hanya
berfokus kepada program MP-ASI penyuluhan, namun belum berfokus
kepada MP-ASI berbasis PMBA.
134

B. Saran
1. Bagi Puskesmas Seberang Padang

Adapun saran yang didapatkan dari hasil penelitian ini kepada


Puskesmas Seberang Padang adalah sebagai berikut :
a. Melaksanakan sosialisasi kepada bidan pelaksana untuk
melakukan penyuluhan MP-ASI dalam pertemuan kelas bayi
dan balita pada kelompok umur 6-24 bulan pada perencanaan
kegiatan di tahun selanjutnya.
b. Melaksanakan sosialiasi kepada petugas puskesmas yang
bertanggung jawab di Poli KIA dan kader di Posyandu bahwa
harus melakukan deteksi dini dengan membandingkan TB/U
dengan standar WHO.
c. Melaksanakan pelatihan kader oleh petugas puskesmas yang
sudah mendapatkan pelatihan khususnya mengenai pemberian
MP-ASI minimal 1 kader per posyandu.
d. Melaksanakan penyegaran kembali atau sosialisasi MP-ASI
berbasis PMBA kepada bidan desa dan kader yang sudah
mendapatkan pelatihan MP-ASI berbasis PMBA sebelumnya
secara berkala minimal 6 bulan sekali.
e. Melaksanakan pengadaan sarana pendukung pelaksanaan
kegiatan MP-ASI berbasis PMBA berupa lembar bolak-balik
PMBA di setiap posyandu dan pustu melalui penganggaran dari
dana BLUD pada rencana usulan kegiatan tahun selanjutnya.

2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Padang


Adapun saran yang didapatkan dari hasil penelitian ini kepada
Dinas Kesehatan Kota Padang adalah sebagai berikut :
a. Melaksanakan sosialisasi kebijakan beserta dengan SOP yang
jelas mengenai pelaksanaan pemberian makan bayi dan anak
kepada puskesmas.
b. Membuat SOP yang jelas dan tegas untuk dilaksanakan oleh
puskesmas mengenai monitoring pertumbuhan anak sebagai
135

deteksi dini berfokus kepada pengukuran TB/U anak 3 bulan


sekali serta membandingkan dengan standar WHO.
c. Melaksanakan monitoring dan supervisi mengenai sasaran
dalam pelaksanaan kelas bayi, dan balita sesuai dengan SOP
Dinas Kesehatan Kota Padang.
Tabel 35 Tabel Plan Of Action
No Kegiatan Tujuan Sasaran Waktu Tempat Biaya Penanggung Jawab
1. Sosialisasi kepada bidan Meningkatkan Bidan Dilakukan pada Di Puskesmas Dana dari BOK Kepala Puskesmas dan
pelaksana untuk efektifitas pelaksana perencanaan Seberang untuk Penanggung Jawab
melakukan penyuluhan kegiatan Kader kegiatan Padang penyelenggaraan program Gizi
MP-ASI dalam penyuluhan MP- Staf Gizi puskesmas sosialisasi.
pertemuan kelas bayi dan ASI berikutnya.
balita sesuai kelompok
umur. Terlaksananya
penyuluhan MP-
Penyuluhan MP-ASI bisa ASI yang
dilaksanakan pada terjadwal dan
kelompok umur (<6 berkala.
bulan, 6-24 bulan, dan
>24 bulan)/ tidak
menggabungkan baduta
dan balita.

2. Sosialisasi kepada Terdeteksinya Dokter dan Dilakukan pada Di Puskesmas Dana dari BOK, Kepala Puskesmas dan
petugas puskesmas yang anak yang petugas KIA perencanaan Seberang BLUD untuk Penanggung Jawab
bertanggung jawab di berobat ke Poli Kader kegiatan Padang pengadaan program Gizi
Poli KIA dan kader di KIA dan anak Staf Gizi puskesmas mikrotoa dan
Posyandu bahwa harus yang berkunjung berikutnya. infantometer
melakukan deteksi dini ke posyandu untuk posyandu
dengan membandingkan apakah stunting dan poli KIA
TB/U dengan standar atau tidak serta standar
WHO sehingga dapat Z-score TB/U
di rujuk ke Poli WHO
Gizi agar

136
No Kegiatan Tujuan Sasaran Waktu Tempat Biaya Penanggung Jawab
mendapatkan
konseling MP-
ASI yang baik.

3. Pelatihan kader oleh Kader Kader Dilakukan pada Di Puskesmas Dana dari BOK Kepala Puskesmas dan
petugas puskesmas yang menguasai cara posyandu perencanaan Seberang dan BLUD untuk Penanggung Jawab
sudah mendapatkan pemberian minimal 1 kegiatan Padang penyediaan modul program Gizi
pelatihan mengenai konseling MP- kader tiap puskesmas MP-ASI untuk
pemberian MP-ASI ASI berbasis posyandu berikutnya. kader.
berbasis PMBA PMBA, Petugas gizi
terlatih
PMBA

4. Penyegaran kembali atau Bidan Desa dan Bidan desa Dilakukan pada Di Puskesmas Dana dari BOK Kepala Puskesmas dan
sosialisasi MP-ASI kader yang Kader perencanaan Seberang untuk Penanggung Jawab
berbasis PMBA kepada sudah Staf Gizi kegiatan Padang penyelenggaraan program Gizi
bidan desa dan kader mendapatkan puskesmas sosialisasi
yang sudah mendapatkan pelatihan dapat berikutnya.
pelatihan MP-ASI mengingat dan
berbasis PMBA lebih memahami
sebelumnya secara kembali
berkala minimal 6 bulan mengenai
sekali. pelaksanaan
konseling MP-
ASI berbasis
PMBA.

137
No Kegiatan Tujuan Sasaran Waktu Tempat Biaya Penanggung Jawab
5. Pengadaan sarana Tersedianya PJ Gizi Dilakukan pada Di Puskesmas Dana ADD Kepala Puskesmas,
pendukung pelaksanaan lembar bolak- Staf Gizi perencanaan Seberang (anggaran dana Ketua PKK, dan
kegiatan MP-ASI balik PMBA/ kegiatan Padang desa ) dan BLUD Penanggung Jawab
berbasis PMBA berupa kartu konseling puskesmas program Gizi
lembar bolak-balik MP-ASI berikutnya.
PMBA di setiap
posyandu dan pustu
melalui penganggaran
dari dana BLUD pada
rencana usulan kegiatan
tahun selanjutnya

6. Melaksanakan sosialisasi Puskesmas Kepala Dilakukan pada Di Puskesmas Dana dari BOK Dinas Kesehatan Kota
kebijakan beserta dengan mengetahui Puskesmas perencanaan Seberang untuk Padang khususnya
SOP yang jelas mengenai mengenai dan kegiatan tahun Padang penyelenggaraan Bagian Kesehatan
pelaksanaan pemberian kebijakan yang Penanggung berikutnya. sosialisasi Keluarga dan Gizi
makan bayi dan anak mengatur Jawab
kepada puskesmas. pemberian MP- Program Gizi
ASI, serta serta Staff
prosedur Gizi
operasional
pelaksanaan nya.

138
No Kegiatan Tujuan Sasaran Waktu Tempat Biaya Penanggung Jawab

7 Membuat SOP yang jelas Penguatan Kepala Dilakukan pada Di Puskesmas Dana dari BOK Dinas Kesehatan Kota
dan tegas untuk pelaksanaan Puskesmas, perencanaan Seberang Padang khususnya
dilaksanakan oleh pemantauan Penanggung kegiatan tahun Padang Bagian Kesehatan
puskesmas mengenai pertumbuhan jawab berikutnya Keluarga dan Gizi
monitoring pertumbuhan anak sehingga program gizi
anak sebagai deteksi dini dapat dideteksi serta kader
berfokus kepada secara dini
pengukuran TB/U anak 3
bulan sekali serta
membandingkan dengan
standar WHO.

8. Melaksanakan Untuk Pelaksana Dilakukan pada Di Puskesmas Dana dari BOK Dinas Kesehatan Kota
monitoring dan supervisi meningkatkan kegiatan MP- perencanaan Seberang untuk Padang khususnya
mengenai pelaksanaan pengawasan baik ASI di kegiatan tahun Padang pelaksanaan Bagian Kesehatan
kegiatan MP-ASI di secara terang- Puskesmas berikutnya monitoring dan Keluarga dan Gizi
Puskesmas Seberang terangan maupun Seberang supervisi.
Padang dengan tidak (supervisi) Padang
menyesuaikan sehingga
pelaksanaan dan SOP diketahui kinerja
Dinas Kesehatan Kota yang terjadi di
Padang. lapangan.

139
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adriani, M. dan B. Wirajatmadi.2014. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan.


Jakarta: Kencana.
Al-Rahmad, A. H., A. Miko dan A. Hadi. 2013. Kajian stunting pada anak balita
ditinjau dari pemberian ASI eksklusif, MP-ASI, status imunisasi dan
karakteristik keluarga di Kota Banda Aceh. Jurnal Kesehatan Ilmiah
Nasuwakes.6 (2): 169-184.
http://repository.digilib.poltekkesaceh.ac.id/repository/jurnal-pdf-
8j3ofmBubGZcnDrd.pdf [diakses 17 Februari 2019]
Arfines, P. P. dan F. D. Puspitasari. 2017. Hubungan Stunting dengan Prestasi
Belajar Anak Sekolah Dasar di Daerah Kumuh, Kotamadya Jakarta Pusat.
Buletin Penelitian Kesehatan.45 (1): 45-52.
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/view/5798
[diakses 9 Maret 2019]
Arikunto, S.2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
[BKKBN RI]. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
2018.Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI). Jakarta
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2011.Analisis dan Penghitungan Tingkat
Kemiskinan 2011.Publikasi Badan Pusat Statistik
Destiadi, A., T. S. Nindya dan S. Sumarmi. 2016. Frekuensi Kunjungan Posyandu
Dan Riwayat Kenaikan Berat Badan Sebagai Faktor Risiko Kejadian
Stunting Pada Anak Usia 3–5 Tahun. Media Gizi Indonesia.10 (1): 71-75.
https://e-journal.unair.ac.id/MGI/article/view/3129 [diakses 3 Mei 2019]
[DHHS]. Department of Health and Human Service 2007.Children and
Secondhand Smoke Exposure Pittsburgh:U.S. Government Printing Office
Di Cesare, M. dan R. Sabates. 2013. Access To Antenatal Care And Children’s
Cognitive Development: A Comparative Analysis in Ethiopia, Peru,
Vietnam and India. International Journal of Public Health.58 (3): 459-
467. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23111369 [diakses 12
January 2019]
[Dinkes Padang]. 2013.Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Padang dari
tahun 2011 hingga tahun 2013. Padang:Dinas Kesehatan Kota Padang
[Dinkes Padang]. Dinas Kesehatan Kota Padang. 2018.Profil Kesehatan Tahun
2018 Dinas Kesehatan Kota Padang. Padang:Dinas Kesehatan Kota
Padang
Direktorat Gizi Masyarakat.2017. Buku Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Fatimah, N. S. H. dan B. Wirjatmadi. 2018. Tingkat Kecukupan Vitamin A, Seng
Dan Zat Besi Serta Frekuensi Infeksi Pada Balita Stunting dan Non
Stunting [Adequacy Levels of Vitamin A, Zinc, Iron, and Frequency of
Infections among Stunting and Non Stunting Children Under Five]. Media
Gizi Indonesia.13 (2): 168-175. https://e-
journal.unair.ac.id/MGI/article/view/7062 [diakses 11 Februari 2019]
Gibney, M. J., B. M. Margetts, J. M. Kearney dan L. Arab.2010. Gizi Kesehatan
Masyarakat, terjemahan Andry Hartono.
Hairunis, M. N., N. Rohmawati dan L. Y. Ratnawati. 2016. Determinan Kejadian
Stunting pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Soromandi
Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat (Determinan Incidence of Stunting
in Children Under Five Year at Puskesmas Soromandi Bima district of
West Nusa Tenggara). Pustaka Kesehatan.4 (2): 323-329.
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JPK/article/view/3237/2555 [diakses 18
Maret 2019]
Hidayati, L., H. Hadi dan A. Kumara.2010. Kekurangan Energi Dan Zat Gizi
merupakan Faktor Risiko Kejadian Stunted Pada Anak Usia 1-3 Tahun
Yang Tinggal Di Wilayah Kumuh Perkotaan Surakarta.
[IFPRI]. International Food Policy Research Institute. 2014.Global Nutrition
Report (Actions and Acountability to Accelerate the World's Progres on
Nutrition). Washington DC:International Food Policy Research Institute
Istianah, I., Y. Hartriyanti dan T. Siswani. 2015. Evaluasi Pelaksanaan Program
Makanan Pendamping air Susu Ibu (Mp-Asi Di Puskesmas Kelurahan
Kayumanis Jakarta Timur. Jurnal Impuls Universitas Binawan.1 (2): 66-
70. http://journal.binawan.ac.id/index.php/impuls/article/view/11 [diakses
12 Desember 2019]
Jannah, N.2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan-Kehamilan. Yogyakarta: ANDI
OFFSITE.
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan. 2007.Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2007. Jakarta:Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan RI. 2010.Riset kesehatan dasar
(RISKESDAS) 2010. Jakarta:Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan RI. 2013a.Kerangka Kebijakan Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka 1000 HPK. Jakarta
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan. 2013b.Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Jakarta:Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan. 2014a.Modul Pelatihan Konseling PMBA
(Pemberian Makan Bayi dan Anak). Jakarta:Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan Anak
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan. 2014b.Pegangan Fasilitator Kelas Ibu
Hamil. Jakarta:Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan. 2014c.Peraturan Menteri Kesehatan No 25
tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak Jakarta:Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan. 2014d.Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No 23 Tentang Upaya Perbaikan Gizi tahun 2014.
Jakarta:Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan. 2014e.Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 41 Tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi Seimbang.
Jakarta:Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan. 2014f.PMK RI No 97 Tahun 2014 Tentang
Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan
Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta
Pelayanan Kesehatan Seksual.
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan. 2016.Petunjuk Teknis Pemberian Vitamin
A Terintegrasi Program Kecacingan dan Crash Program Campak.
Jakarta:Kementerian Kesehatan RI
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan. 2017.Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan
Imunisasi. Jakarta
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan. 2018.Riset kesehatan dasar (RISKESDAS)
2018. Jakarta:Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
[Kemenkes RI]. Kementerian Kesehatan RI. 2015.Jendela Epidemiologi
Pneumonia Balita. Jakarta:Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI
Kostania, G. dan R. Rahayu. 2018. Efektifitas Penyelenggaraan Kelas Ibu Balita
terhadap Pengetahuan dan Perilaku Ibu tentang MP-ASI Usia 6-12 Bulan.
Jurnal Ilmiah Bidan.3 (3): 11-19. https://www.e-
journal.ibi.or.id/index.php/jib/article/view/71 [diakses 2 Januari 2020]
Lemeshow, S.1990. Adequacy of sampel Size in health studies. New York: WHO.
Lestari, W., A. Margawati dan Z. Rahfiludin. 2014. Faktor risiko stunting pada
anak umur 6-24 bulan di kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam
Provinsi Aceh. Jurnal Gizi Indonesia (The Indonesian Journal of
Nutrition).3 (1): 37-45.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jgi/article/view/8752 [diakses 7 Juni
2019]
Martorell, R. 2017. Improved Nutrition In The First 1000 Days And Adult Human
Capital And Health. American Journal of Human Biology.29 (2): 1-24.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28117514 [diakses 15 Februari
2019]
Marume, A., P. Mafaune, J. Maradzika dan J. January. 2017. Evaluation of the
child-growth-monitoring programme in a rural district in Zimbabwe. Early
Child Development and Care.1-10.
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/03004430.2017.1320784?sc
roll=top&needAccess=true [diakses 28 Maret 2019]
Maternal dan C. N. S. Group.2013. Maternal and Child Nutrition: Executive
Summary of The Lancet Maternal and Child Nutrition Series. The Lancet.
Meiriza, W. (2018) Hubungan Faktor Maternal dan Kualitas Pelayanan Antenatal
Care Dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di Fasilitas Kesehatan
Tingkat I Pascasarjana Kebidanan. Padang: Universitas Andalas.
Nadiyah, N., D. Briawan dan D. Martianto. 2014. Faktor Risiko Stunting Pada
Anak Usia 0—23 Bulan Di Provinsi Bali, Jawa Barat, Dan Nusa Tenggara
Timur. Jurnal Gizi dan Pangan.9 (2).
http://jurnal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/article/view/8731 [diakses 16
Februari 2019]
Najahah, I. 2013. Faktor risiko balita stunting usia 12-36 bulan di puskesmas
Dasan Agung, Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Public Health and
Preventive Medicine Archive.1 (2): 134-141.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/phpma/article/view/7869 [diakses 15
April 2019]
Nasrul, N. 2018. Pengendalian Faktor Risiko Stunting Anak Baduta Di Sulawesi
Tengah. PROMOTIF: Jurnal Kesehatan Masyarakat.8 (2): 131-146.
https://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/PJKM/article/view/495
[diakses 11 Januari 2019]
Nasrul, N., F. Hafid, A. R. Thaha dan S. Suriah. 2016. Faktor Risiko Stunting
Usia 6-23 Bulan di Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto. Media
Kesehatan Masyarakat Indonesia.11 (3): 139-146.
http://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/article/view/518 [diakses 1
April 2019]
Ni’mah, K. dan S. R. Nadhiroh. 2016. Faktor Yang Berhubungan dengan
Kejadian Stunting Pada Balita. Media Gizi Indonesia.10 (1): 13-19.
https://e-journal.unair.ac.id/MGI/article/view/3117 [diakses 18 Februari
2019]
Nurbaiti, L. 2017. Studi Kasus Kualitatif Pelaksanaan Program Pemberian Makan
Bayi dan Anak Lima Puskesmas di Lombok Tengah. Jurnal Kedokteran
Umum.6 (4): 1-6. http://jku.unram.ac.id/article/view/150/109 [diakses 6
Februari 2019]
Paramashanti, B. A., H. Hadi dan I. M. A. Gunawan. 2016. Pemberian ASI
eksklusif tidak berhubungan dengan stunting pada anak usia 6–23 bulan di
Indonesia. Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia (Indonesian Journal of
Nutrition and Dietetics).3 (3): 162-174.
http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/IJND/article/view/312 [diakses 1
April 2019]
[Peraturan Pemerintah]. 2012.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 33
tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif.
Permadi, M. R., D. Hanim, Kusnandar dan D. Indarto. 2016. Risiko Inisiasi
Menyusu Dini dan Praktek Asi Eksklusif terhadap Kejadian Stunting pada
Anak 6-24 Bulan (Early Breastfeeding Initiation And Exclusive
Breastfeeding AS Risk Factors Of Stunting Children 6-24 Months-old).
Nutrition and Food Research.39 (1): 9-14.
https://www.neliti.com/id/publications/223582/risiko-inisiasi-menyusu-
dini-dan-praktek-asi-eksklusif-terhadap-kejadian-stuntin [diakses 4
Januari 2019]
Pramod Singh, G., M. Nair, R. B. Grubesic dan F. A. Connell. 2009. Factors
associated with underweight and stunting among children in rural Terai of
eastern Nepal. Asia Pacific Journal of Public Health.21 (2): 144-152.
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1010539509332063
[diakses 30 Maret 2019]
Rabaoarisoa, C. R., R. Rakotoarison, N. H. Rakotonirainy, R. T.
Mangahasimbola, A. B. Randrianarisoa, R. Jambou, I. Vigan-Womas, P.
Piola dan R. V. Randremanana. 2017. The Importance of public health,
poverty reduction programs and women’s empowerment in the reduction
of child stunting in rural areas of Moramanga and Morondava,
Madagascar. PLoS One.12 (10): 1-18.
https://journals.plos.org/plosone/article/file?id=10.1371/journal.pone.0186
493&type=printable [diakses 19 Maret 2019]
Rahmawati, S. M., S. Madanijah, F. Anwar dan R. Kolopaking. 2019. Konseling
Oleh Kader Posyandu Meningkatkan Praktik Ibu dalam Pemberian Makan
Bayi Dan Anak Usia 6-24 Bulan di Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas,
Bogor, Indonesia. GIZI INDONESIA.42 (1): 11-22.
https://persagi.org/ejournal/index.php/Gizi_Indon/article/view/379
[diakses 12 Desember 2019]
Rukmana, E., D. Briawan dan I. Ekayanti. 2016. Faktor Risiko Stunting Pada
Anak Usia 6-24 Bulan Di Kota Bogor. Media Kesehatan Masyarakat
Indonesia.12 (3): 192-199.
http://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/article/view/1081 [diakses 3
Maret 2019]
Sastroasmoro, S. dan S. Ismael.2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Jakarta: Sagung Seto.
Sihombing, F. (2012) Pengaruh Faktor Predisposisi,Kebutuhandan Pemungkin
Ibu Hamil Terhadap Pemanfaatan Antenatal Care (ANC) di Wilayah
Kerja Puskesmas Simpang Limun Kota Medan Pascasarjana Kesehatan
Masyarakat. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sugiyono.2017. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfa Beta Bandung.
Sumiaty, S. 2017. Pengaruh Faktor Ibu dan Pola Menyusui terhadap Stunting
Baduta 6-23 Bulan. Jurnal Ilmiah Bidan.2 (2): 1-8.
https://media.neliti.com/media/publications/227222-pengaruh-faktor-ibu-
dan-pola-menyusui-te-000b271e.pdf [diakses 9 Desember 2019]
Supriasa, I. D. N., B. Bakri dan I. Fajar.2014. Penilaian Status Gizi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Tariku, A., G. A. Biks, T. Derso, M. M. Wassie dan S. M. Abebe. 2017. Stunting
and its determinant factors among children aged 6–59 months in Ethiopia.
Italian journal of pediatrics.43 (1): 112.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5735819/pdf/13052_2017
_Article_433.pdf [diakses 12 Juli 2019]
Teddlie, T.2003. Handbook Of Mixed Methods In Social And Behavioral
Research. California: Sage Publicatioan.
Thamaria, N.2017. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan
Thurow, R. 2016. The First 1,000 days: A crucial Time for Mothers and
Children—and The World. Breastfeeding Medicine.11 (8): 416-418.
https://www.liebertpub.com/doi/abs/10.1089/bfm.2016.0114?journalCode
=bfm [diakses 17 Juni 2019]
Torlesse, H., A. A. Cronin, S. K. Sebayang dan R. Nandy. 2016. Determinants of
Stunting in Indonesian Children: Evidence From A Cross-Sectional
Survey Indicate A Prominent Role For The Water, Sanitation and Hygiene
Sector In Stunting Reduction. BMC Public Health.16 (1): 1-11.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4966764/pdf/12889_2016
_Article_3339.pdf [diakses 4 Juni 2019]
Trihono, Atmarita, D. H. Tjandarini, A. Irawati, N. H. Utamai, T. Tejayanti dan I.
Nurlinawati.2015. Pendek (Stunting) di Indonesia, Masalah dan Solusinya.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Udoh, E. E. dan O. K. Amodu. 2016. Complementary feeding practices among


mothers and nutritional status of infants in Akpabuyo Area, Cross River
State Nigeria. SpringerPlus.5 (1): 1-19.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5138178/pdf/40064_2016
_Article_3751.pdf [diakses 19 Agustus 2019]
[UNICEF]. United Nations Children's Fund. 2012.Ringkasan Kajian Gizi.
Jakarta:Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Wahyuningsih, E. dan S. Handayani. 2016. Pengaruh Pelatihan Pemberian Makan
pada Bayi dan Anak terhadap Pengetahuan Kader di WIlayah Puskesmas
Klaten Tengah Kabupaten Klaten. MOTORIK Jurnal Ilmu Kesehatan.10
(21). https://docplayer.info/43378245-Pengaruh-pelatihan-pemberian-
makan-pada-bayi-dan-anak-terhadap-pengetahuan-kader-di-wilayah-
puskesmas-klaten-tengah-kabupaten-klaten.html [diakses 19 Maret 2019]
Wang, X., B. Höjer, S. Guo, S. Luo, W. Zhou dan Y. Wang. 2009. Stunting and
‘overweight’in the WHO Child Growth Standards–malnutrition among
children in a poor area of China. Public health nutrition.12 (11): 1991-
1998. https://www.cambridge.org/core/journals/public-health-
nutrition/article/stunting-and-overweight-in-the-who-child-growth-
standards-malnutrition-among-children-in-a-poor-area-of-
china/AFE310A7688CE3C6C11BB6FA923FC92C [diakses 4 Maret
2019]
Welasasih, B. D. dan R. B. Wirjatmadi. 2012. Beberapa Faktor Yang
Berhubungan dengan Status Gizi Balita Stunting. Public Health.8 (3): 15-
20. http://www.journal.unair.ac.id/download-fullpapers-
2.%20Beberapa%20Faktor%20yang%20Berhubungan%20dengan.pdf
[diakses 17 Februari 2019]
Wellina, W. F., M. I. Kartasurya dan M. Z. Rahfiludin. 2016. Faktor risiko
stunting pada anak umur 12-24 bulan. Jurnal Gizi Indonesia (The
Indonesian Journal of Nutrition).5 (1): 55-61.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jgi/article/view/16323 [diakses 13
Maret 2019]
[WHO]. World Health Organization. 2004.Low Birthweight: Country,Regional
and Global Estimates. New York:WHO
[WHO]. World Health Organization. 2018.Prevalence Stunting (Regional Trend)
edition 2018. http://apps.who.int/gho/tableau-public/tpc-
frame.jsp?id=402:Global Health Observatory (GHO) data
Wirawan.2011. Evaluasi :Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi. Jakarta:
Raja Grafindo Perasada.
Wirth, J. P., F. Rohner, N. Petry, A. W. Onyango, J. Matji, A. Bailes, M. de Onis
dan B. A. Woodruff. 2017. Assessment of the WHO Stunting Framework
using Ethiopia as a case study. Maternal & child nutrition.13 (2).
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27126511 [diakses 23 Januari
2019]

Anda mungkin juga menyukai