Makalah Charine

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PENYAKIT YANG

DISEBABKAN OLEH BAKTERI DAN


JAMUR

DISUSUN OLEH :
NAMA : CHARINE GIZELLA NOTANUBUN
NIM : 20210311138
MATKUL : MIKROBIOLOGI

PROGRAM STUDI ILMU ILMU KESEHATAN


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
2022
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat
dan berkat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Penyakit Infeksi Yang Disebabkan Oleh Bakteri Dan Jamur” tepat
pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pertemuan 10 dari bapak Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed, Apt. Selaku
dosen pengampu mata kuliah Mikrobiologi, Universitas Esa Unggul. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis mengenai penyakit apa saja yang disebabkan oleh bakteri dan
jamur dalam lingkup kesehatan.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Maksum Radji,
M.Biomed, Apt. Selaku dosen pengampu mata kuliah Mikrobiologi, yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
saya terhadap Penyakit Infeksi Yang Disebabkan Oleh Bakteri Dan Jamur.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya
menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Terima kasih.

Jakarta, 19 Juni 2022


Charine Gizella Notanubun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen,


dan bersifat sangat dinamis. Secara umum proses terjadinya penyakit
melibatkan tiga faktor yang sering berinteraksi yaitu : faktor penyebab penyakit
(agen), faktor manusia atau penjamu (host), dan faktor lingkungan (Marzni
R,2008). Penyakit infeksi dari waktu ke waktu terus berkembang. Infeksi
merupakan penyakit yang dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain atau
dari hewan ke manusia yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme :
bakteri, virus, dan jamur. Organisme-organisme ini dapat menyerang seluruh
tubuh atau sebagian organ saja (Gibson, 1996).
Mikroorganisme patogen berkembang biak dan menyebabkan tanda dan gejala
klinis maka infeksi tersebut bersifat simptomatis. Leptospirosis adalah penyakit
zoonosis yang disebabkan oleh infeksi Leptospira interrogans semua serotipe.
Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena
sering menyebabkan terjadinya wabah pada saat banjir. Menurut International
Leptospirosis Society (ILS), Indonesia merupakan negara dengan insiden
leptospirosis yang tinggi, serta menempati peringkat ketiga di dunia untuk
tingkat mortalitas.1 Penyakit ini ditemukan pertama kali oleh Weil pada tahun
1886, tetapi pada tahun 1915 Inada menemukan penyebabnya yaitu spirochaeta
dari genus leptospira. Di antara genus leptospira, hanya spesies interogans yang
patogen untuk binatang dan manusia. Sekurangkurangnya terdapat 180 serotipe
dan 18 serogrup. Satu jenis serotipe dapat menimbulkan gambaran klinis yang
berbeda, sebaliknya, suatu gambaran klinis, misalnya meningitis aseptik, dapat
disebabkan oleh berbagai serotipe. Leptospirosis memiliki manifestasi klinis
yang luas dan bervariasi. Pada leptospirosis ringan dapat terjadi gejala seperti
influenza dengan nueri kepala dan mialgia. Leptospirosis berat ditandai oleh
ikterus, gangguan ginjal, dan perdarahan, dikenal sebagai sindrom Weil. Ada
juga penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur merupakan salah satu masalah
kesehatan yang ada di Indonesia. Penyebab penyakit kulit lainnya juga
dikarenakan menggunakan air yang tidak bersih dan tidak menjaga kebersihan
seperti pada lingkungan, tubuh, serta pada rongga mulut (Amaliah, 2013).
Infeksi jamur terdapat lebih dari 50% atau sekitar 80% berada pada dalam
rongga mulut, dan juga ditemukan pada bagian tubuh lainnya seperti pada
vagina. Kandidiasis merupakan salah satu infeksi pada rongga mulut yang
disebabkan oleh infeksi jamur Candida albicans (Suryaningsih, 2013).
Candida albicans adalah flora normal yang terdapat pada rongga mulut
yang bersifat opurtunistik. Jamur Candida albicans ini dapat menginfeksi
pada kulit, vagina, rongga mulut maupun pada tubuh lainnya apabila terjadi
ketidakseimbangan pada flora, tidak menjaga oral hygine dengan baik dan
saat daya tahan pada tubuh lemah (Kandoli dan Leman, 2016). Jamur Candida
albicans dapat menyerang tidak hanya pada orang yang sistem imunnya
sedang lemah tetapi juga pada orang yang shat atau sistem imunnya tidak
terganggu. Jamur dapat menyerang tidak pada orang dewasa saja tetapi juga
menyerang pada anak-anak. Terdapat sekitar 30-40% jamur Candida albicans
pada rongga mulut orang dewasa shat, pada anak-anak sehat sekitar 45-65%,
pada neonatus sekitar 45%, pada orang dewasa yang mengkonsumsi obat-
obatan dalam jangka panjang sekitar 65-88%, pengguna gigi tiruan lepasan
sekitar 50-65%, pasien leukemia akut yang menjalani kemoterapi sekitar
kurang lebih 90%, penderita HIV/AIDS sekitar 95%. Infeksi jamur pada
penderita HIV/AIDS yang paling tinggi yang disebabkan karena sitem imun
pada penderita HIV/AIDS mudah terganggu shingga jamur sangat mudah
untuk menyerang (Indah, 2014). Penyebab dari jamur Candida albicans antara
lain seperti stomatitis, lesi pada kulit, kandidura atau candida pada urin,
vulvavaginistis, gastrointestinal kandidiasis yang dapat menyebabkan gastric
user, serta dapat menjadikan komplikasi kanker kalau sistem imun dalam
tubuh sangat lemah sehingga sistem imun dalam tubuh harus dijaga dengan
baik serta makan-makanan yang sehat, menjaga lingkungan dan menjaga
kesehatan gigi dan mulut (Pangalinan dan yamlean 2016; Kurniawan, 2009;
Mutschler, 1991)

B. Idektifikasi Masalah

Indentifikasi masalah pada makalah ini, yaitu mengetauhi apa saja penyakit
infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan jamur, bagaimana penyebab dari suatu
penyakit tersebut, bagaimana mekanisme infeksi dan penularannya, dll.
Adapun penyakit yang disebabkan oleh bakteri, yaitu penyakit leptospirosis.
Penyakit ini merupakan masalah bagi seluruh tenaga farmasi di dunia,
khususnya pada negara yang beriklim tropis dan sub tropis yang memiliki curah
hujan yang tinggi. Penyakit leptospirosis sendiri retan kepada segala umur, hasil
penelitian menjabarkan bahwa penderita terbanyak berada di umur lebih 40
tahun. WHO (World Health Organization) tahun 2010 menyatakan bahwa
angka pelaporan kasus Leptospirosis di seluruh dunia sangat rendah. Penyebab
dari hal tersebut dikarenakan terdapatnya kesulitan dalam melakukan diagnosis
klinis dan ketidak tersediaan alat untuk mendiagnosis penyakit tersebut (WHO,
2013). Daerah tropik yang memiliki iklim lembab memiliki kejadian
Leptospirosis mencapai >10 kasus per 100.000 penduduk pertahunnya. Daerah
di Indonesia yang ikut menjadi tempat persebaran penyakit ini adalah Pulau
Bali, Jawa, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Kalimantan
Timur, Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Barat (Kemenkes R1, 2018).
Penyakit leptospirosis disebabkan oleh bakteri patogen yang disebut leptospira
sp.
Adapun penyakit yang disebabkan oleh jamur, yaitu candidiasis.
Candidiasis merupakan penyakit infeksi jamur yang disebabkan oleh candida
albicans. yang menyebabkan septikemia, endocarditis atau meningitis.

C. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan penyakit Leptospirosis?
2. Bakteri apa yang dapat menyebabkan penyakit Leptospirosis?
3. Bagaimana mekanisme penularan Leptospirosis?
4. Apa saja faktor risiko untuk penyakit Leptospirosis?
5. Apa yang di maksud dengan penyakit Candidiasis?
6. Apa saja gelaja atau tanda-tanda penyakit Candidiasis?
7. Apa saja faktor risiko penyakit Candidiasis?
8. Bagaimana cara pengobatan dan pencegahan dari penyakit Candidiasis?
D. Tujuan Masalah
1. Mengetauhi apa sebenernya penyakit Leptospirosis tersebut.
2. Mengetauhi bakteri yang menyebabkan penyakit Leptospirosis.
3. Mengetauhi faktor risiko penyakit Leptospirosis.
4. Mengetauhi apa sebenarnya penyakit Candidiasis.
5. Mengetauhi apa saja gejala,faktor resiko, cara pengobatan,serta
pencegahan dari penyakit Candidiasis

BAB II
PEMBAHASAN

1. PENYAKIT LEPTOSPIROSIS ( Bakteri Leptospira sp.)


1.1 Pengertian Penyakit Leptospirosis
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri
Leptospira dan ditularkan oleh tikus.
Penyakit ini kebanyakan ditemukan di wilayah tropis dan sub tropis pada
musim penghujan. Leptospirosis terjadi karena adanya interaksi yang
kompleks antara pembawa penyakit, tuan rumah/pejamu dan lingkungan.
Bakteri Leptospira dapat menginfeksi manusia melalui luka yang ada di
kulit dan mukosa tubuhnya. Manusia dengan perilaku kesehatan yang
buruk berpotensi untuk terinfeksi bakteri ini. Demikian juga dengan
sanitasi yang buruk mendukung terjadinya kasus leptospirosis pada
manusia. Diagnosis leptospirosis dilakukan dengan Rapid Diagnostic
Test, Polymerase Chain Reaction, Microscopic Agglutination Test, dan
lainnya. Pengobatan leptospirosis berupa doksisiklin dan penisilin G
intravena. Hemodialisis dan pemberian ventilasi pernafasan mekanis
diberikan jika terjadi gagal ginjal dan perdarahan pada paru-paru.
Pencegahan leptospirosis dilakukan dengan pencegahan pada hewan
sebagai sumber infeksi, jalur penularan dan manusia.

1.2 Penyebab Penyakit Leptospirosis


Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang merupakan
gram negatif, bentuknya berkerut-kerut, berukuran panjang 6-20 µm dan
diameter 0,1-0,2 µm. Tikus merupakan hewan yang sering menularkan
penyakit ini kepada manusia .
Kerajaan : Bacteria
Filum : Spirochaetota
Kelas : Spirochaetia
Ordo : Leptospirales
Famili : Leptospiraceae
Genus : Leptospira
Spesies : L. Alexanderi
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil
dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta
pembesaran hati dan limpa. Leptospira memiliki ciri umum yang
membedakannya dengan bakteri lainnya. Sel bakteri ini dibungkus oleh
membran luar yang terdiri dari 3-5 lapis. Di bawah membran luar,
terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helikal, serta membran
sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini adalah lokasi flagelnya, yang
terletak diantara membran luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini
disebut flagela periplasmik. Leptospira memiliki dua flagel periplasmik,
masing-masing berpangkal pada setiap ujung sel. Kuman ini bergerak
aktif, paling baik dilihat dengan menggunakan mikroskop lapangan
gelap.

Gambar 1. Leptospira interrogans


Gambar 2. Bakteri Leptospira sp. menggunakan mikroskop elektron tipe scanning

Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan,


tumbuh paling baik pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC dan pada pH
7,4. Media yang bisa digunakan adalah media semisolid yang kaya
protein, misalnya media Fletch atau Stuart. Lingkungan yang sesuai
untuk hidup leptospira adalah lingkungan lembab seperti kondisi pada
daerah tropis. Berdasarkan spesifisitas biokimia dan serologi, Leptospira
sp. dibagi menjadi Leptospira interrogans yang merupakan spesies yang
patogen dan Leptospira biflexa yang bersifat tidak patogen (saprofit).
Sampai saat ini telah diidentifikasi lebih dari 200 serotipe pada
L.interrogans. Serotipe yang paling besar prevalensinya adalah canicola,
grippotyphosa, hardjo, icterohaemorrhagiae, dan pomona.

1.3 Penularan Penyakit Leptospirosis


Penularan terjadi karena Transmisi bakteri leptospira ke manusia dapat
terjadi karena ada kontak dengan air atau tanah yang tercemar urin
hewan yang mengandung leptospira. Selain itu penularan bisa juga
terjadi karena manusia mengkonsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi dengan bakteri leptospira.

Gambar 3. Siklus penularan leptospirosis


Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara,
yang tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang
tercemar bakteri leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui
kulit yang lecet atau luka dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan
bahwa penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat
(intak) terutama bila kontak lama dengan air. Selain melalui kulit atau
mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk melalui konjungtiva. Bakteri
leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak menimbulkan lesi
pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang
menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme
masuknya leptospira ke dalam tubuh.

1.4 Gejala Penyakit Leptospirosis


Fase akut atau disebut pula sebagai fase septik dimulai setelah masa
inkubasi yang berkisar antara 2–20 hari. Timbulnya lesi jaringan akibat
invasi langsung leptospira dan toksin yang secara teoritis belum dapat
dijelaskan, menandakan fase akut. Manifestasi klinik akan berkurang
bersamaan dengan berhentinya proliferasi organisme di dalam darah.
Fase kedua atau fase imun ditandai dengan meningkatnya titer antibodi
dan inflamasi organ yang terinfeksi. Secara garis besar manifestasi klinis
dapat dibagi menjadi leptospirosis an-ikterik dan ikterik.
1. Leptospirosis an-ikterik. Fase septik dengan gejala demam, nyeri
kepala, mialgia, nyeri perut, mual. Dan muntah. Fase imun terdiri dari
demam yang tidak begitu tinggi, nyeri kepla hebat, meningitis
aseptik, konjungtiva hiperemis, uveitis, hepatospenomegali, kelainan
paru, dan ruam kulit.
2. Leptospirosis ikterik. Fase septik sama dengan fase an-ikterik.
Manifestasi yang mencolok terjadi pada fase imun, ditandai dengan
disfungsi hepatorenal disertai diastesis hemoragik.
a. Mata
Pada fase akut dapat ditemukan dilatasi pembuluh darah konjungtiva,
perdarahan subkonjungtiva, dan retinal vasculitis. Sedangkan pada fase
imun, sering ditemukan iridosiklitis.
b. Saluran cerna
Gejala klinik pada saluran cerna termasuk ikterus, hepatitis, kolesistitis,
pankreatitis, dan perdarahan saluran cerna. Terdapat peningkatan ringan
kadar enzim transaminase dan gamma-GT, namun pada anak yang
menderita ikterus kadar enzim transaminase dapat normal; sedangkan
bilirubin pada Weil disease dapat mencapai 30 mg/dl. Pada leptospirosis
yang disertai keluhan nyeri perut, mual dan muntah perlu dipikirkan
adanya pankreatitis.
c. Paru
Gejala klinik dapat berupa batuk, hemoptisis, dan pneumonia. Pada
pemeriksaan foto toraks dapat ditemukan infiltrat unilateral atau bilateral,
dan efusi pleura. Gangguan pernafasan dapat berkembang menjadi adult
respiratory distress syndrome (ARDS) yang memerlukan tindakan
intubasi dan ventilator.
d. Sistem saraf pusat
Meningitis pada leptospirosis mempunyai hubungan yang klasik dengan
fase imun. Nyeri kepala merupakan gejala awal. Leptospira dapat
ditemukan pada likuor serebrospinal pada fase leptospiremia. Limfosit
predominan terjadi pada hari ke-4. Hitung jenis mencapai puncak antara
hari ke-5 sampai hari ke-10. Meskipun lebih dari 80% ditemukan
organisme pada biakan likuor serebrospinal pada kasus meningitis, hanya
setengah dari kasus tersebut terdapat tanda rangsang meningeal.
e. Ginjal
Kelainan ginjal dapat bervariasi selama perjalanan penyakit. Pada
urinalisis dapat ditemukan piuria, hematuria, dan proteinuia yang steril.
Nekrosis tubulus akut dan nefritis interstisial merupakan 2 kelainan ginjal
klasik pada leptospirosis. Nekrosis tubulus akut dapat disebabkan
langsung oleh leptospira, sedangkan nefritis terjadi lebih lambat yang
diduga berhubungan dengan komplek antigenantibodi pada fase imun.
Fungsi ginjal yang semula normal dapat menjadi gagal ginjal yang
memerlukan dialisis. Hipokalemia sekunder dapat terjadi akibat rusaknya
tubulus. Hiperkalemia yang berhubungan dengan asidosis metabolik dan
hiponatremia telah dilaporkan pada kasus leptospirosis. Gagal ginjal akut
yang ditandai oleh oliguria atau poliuria dapat timbul 4–10 hari setelah
gejala timbul.
f. Kulit
Ruam pada kulit dapat timbul dalam bentuk makulopapular dengan
eritema, urtikaria, petekie, atau lesi deskuamasi.
g. Otot
Miositis sering timbul pada minggu pertama dan berakhir hingga minggu
ketiga atau keempat dari perjalanan penyakit. Perdarahan pada otot,
sebagian pada dinding abdomen dan ekstremitas bawah menyebabkan
nyeri yang hebat dan diyakini sebagai penyebab akut abdomen.
h. Pendarahan
Perdarahan Perdarahan dapat terjadi pada 39% pasien yang berupa
epistaksis, perdarahan gusi, hematuria, hemoptisis, dan perdarahan paru.
i. Sistem kardio-vaskular
Vaskulitis akibat leptospira dapat menimbulkan syok hipovolemik dan
pembuluh darah yang kolaps. Komplikasi pada jantung terjadi pada kasus
berat. Dapat timbul miokarditis, arteritis koroner, dan pada beberapa
pasien ditemukan friction rubs. Pada pemeriksaan EKG dapat dijumpai
kelainan berupa blok AV derajat 1, inversi gelombang T, elevasi segmen
ST, dan disritmia.
j. Kelenjar getah bening
Limfadenopati pada kelenjar ketah bening leher, aksila, dan mediastium
dapat timbul dan berkembang selama perjalanan penyakit.
k. Pemeriksaan penunjang
Pada kasus leptospirosisi an-ikterik dijumpai jumlah leukosit normal
dengan neutrofilia, peningkatan laju endap darah, dan protein dalam
likuor serebrospinal. Kelainan pada paru dan jantung, peningkatan kadar
bilirubin serum, fosfatase alkali, enzim amino- transferase, kreatin
fosfokinase, kreatinin dan ureum darah, serta trombositopenia oada
umumnya terdapat pada leptospira ikterik. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan isolasi dari organisme dari berbagai spesimen
atau serokonversi antibodi 4 kali lipat antara akut dan konvalesens.
Namun reaksi silang dengan penyakit spirokheta lainnya sering dijumpai.
Bakteria dapat diisolasi dari darah atau likuor serebrospinal pada 10 hari
pertama. Leptospira dapat diidentifikasi secara langsung dari jarigan yang
terinfeksi dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap atau dengan
direct fluorescentantibody assay. Biakan darah, lijuor serebrospinal, urin,
dan jaringan yang terkena (seperti ginjal) dapat memberikan hasil positif.
Pengambilan sampel harus dikoordinasikan dengan petugas mikrobiologi
setempat karena sampel memerlukan teknik khusus pada pemrosesannya.
Leptospira dapat dibiak pada media tertentu (seperti Fletcher, Stuart,
Ellinghausen) yang dikombinasikan dengan neomisin atau 5-fluorouracil.
Selama 7-10 hari pertama setelah timbul gejala, sampel diambil dari
darah dan likuor serebrospinal. Setelah itu dapat diambil dari urin dapat
bertahan lebih lama sekitar beberapa minggu sampai bulan. Konsultasi
dengan laboratorium mikrobiologi setempat sangat dibutuhkan
Pemeriksaan serologis leptospira lebih berguna secara klinis jika
diperiksa pada awal penyakit, akan tetapi kebanyakan uji serologis hanya
dapat dilakukan oleh laboratorium tertentu. Microscopic agglutination
test (MAT) dan indirect hemagglutination assay (IHA) adalah dua uji
yang biasanya tersedia. Microscopic agglutination test menggunakan
antigen yang diperoleh dari serovar leptospira yang umum ditemukan.
Hasil positif didefinisikan sebagai peningkatan titer 4 kali antara fase akut
dan konvalesens. Titer tunggal yang melebihi 1:200 atau titer serial yang
melampaui 1:100 menunjukkan dugaan kearah infeksi leptospira, tapi
keduanya tidak diagnostik. Sensitivitas and spesifisitas MAT
berturutturut adalah 92% dan 95%, sedangkan nilai prediktif positif 95%
dan nilai prediktif negatif 100%. Hasil negatif palsu MAT dapat terjadi
pada sampel tunggal yang diambil sebelum fase imun penyakit. Akurasi
uji juga ditentukan oleh pemilihan antigen, yang memerlukan diskusi
dengan laboratorium setempat mengenai serovar yang sering ditemukan
di daerah tersebut. Hasil positif palsu MAT dapat terjadi pada kasus
Legionella, penyakit Lyme, serta sifilis. Uji IHA lebih cepat dan mudah
dilakukan dan berdasarkan atas antibodi spesifik genus, dengan
sensitivitas 92- 100% dan spesifisitas 94-95%. Uji tambahan yang sedang
dalam penelitian adalah enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),
polymerase chain reaction (PCR), dan dipstick assays.

Gambaran Klinis penting pada penyakit Leptospirosis :


 Nyeri otot (mialgia) hebat
 demam dengan hepatitis
 Gangguan ginjal
 Meningitis limfositik
 Konjungtivitis
 Ruam kulit, kadang-kadang hemoragis
 Terdapat darah, protein dan atau bilirubin dalam urin
 Jarang, pneumonitis nodular

1.5 Pengobatan Leptospirosis


Pengobatan Leptospirosis pada dasarnya dibagi menjadi leptospirosis an-
ikterik dan leptospirosis ikterik (leptospira berat), seperti tertera pada
tabel di bawah ini.
1.6 Pencegahan Leptospirosis
Pemberian doksisiklin dengan dosis 200 mg/minggu dapat memberikan
pencegahan sekitar 95% pada orang dewasa yang berisiko tinggi, namun
profilaksis pada anak belum ditemukan. Pengontrolan lingkungan rumah
terutama daerah endemik dapat memberikan pencegahan pada penduduk
berisiko tinggi walaupun hanya sedikit manfaatnya. Imunisasi hanya
memberikan sedikit perlindungan pada masyarakat karena terdapat
serotipe kuman yang berbeda.

2. PENYAKIT CANDIDIASIS ( Jamur Candida Albigans )


2.2 Pengertian Penyakit Candidiasis
Kandidiasis/yeast infection adalah infeksi jamur yang terjadi karena
adanya pembiakan jamur secara berlebihan, dimana dalam kondisi
normal muncul dalam jumlah yang kecil. Perubahan aktivitas vagina
atau ketidakseimbangan hormonal menyebabkan jumlah Candida
berlipat ganda (muncul gejala Kandidiasis). Keadaan lain yang
menyebabkan Kandidiasis adalah karena penyakit menahun,
gangguan imun yang berat, AIDS, diabetes, dan gangguan tiroid,
pemberian obat kortikosteroid dan sitostatika. Paparan terhadap air
yang terus menerus seperti yang terjadi pada tukang cuci, kencing
pada pantat bayi, keringat berlebihan terutama pada orang gemuk.
Faktor lokal atau sistemik dapat memengaruhi invasi Kandida ke
dalam jaringan tubuh. Usia merupakan faktor penting yang sering
kali menyebabkan kandidiasis oral/oral thrush terutama pada
neonatus. Perempuan dengan kehamilan trimester ketiga cenderung
untuk mengalami kandidiasis vulvovaginal. Keutuhan kulit atau
membran mukosa yang terganggu dapat memberikan jalan kepada
Kandida untuk masuk ke dalam jaringan tubuh yang lebih dalam
dapat menyebabkan kandidemia seperti perforasi traktus
gastrointestinalis oleh trauma, pembedahan serta ulserasi peptikum,
pemasangan kateter indwelling, internal feeding, dialisis peritoneal,
drainase traktus urinarius, luka bakar yang berat, dan penyalahgunaan
obat bius intravena. Kandidiasis viseral akan menimbulkan
neutropenia yang menunjukkan peran neutrofil dalam mekanisme
pertahanan pejamu terhadap jamur ini. Lesi viseral ditandai oleh
nekrosis dan respons inflamatorik neutrofilik. Sel neutrofil
membunuh sel jamur Candida serta merusak segmen pseudohifa
secara in vitro. Kandida dalam sirkulasi darah dapat menimbulkan
berbagai infeksi pada ginjal, hepar, menempel pada katup jantung
buatan, meningitis, arthritis, dan endopthalmitis.

2.3Penyebab Penyakit Candidiasis


Candidiasis disebabkan oleh jamur Candida albigans yang termasuk
jamur dimorfik yang dapat menginfeksi bagian tubuh seperti mulut,
kulit, dan kelamin dan jika dibiarkan semakin lama dan tidak segera
diobati infeksi bisa menyebar di otak, ginjal, usus, dan jantung.
Kerajaan : Fungi
Filum : Ascomycota
Sub filum : Saccharomycotina
kelas : Saccharomycetes
Ordo : Saccharomycetales
Family : Saccharomycetaceae
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans
Sinonim : Candida stellatoidea dan Oidium albicans
Candida albicans adalah suatu jamur yang berbentuk sel ragi lonjong,
bertunas, berukuran 2-3×4-6 μm yang menghasilkan pseudomiselium
baik dalam biakan maupun dalam jaringan dan eksudat. Ragi ini
sebenarnya adalah anggota flora normal kulit, membran mukosa
saluran pernafasan, pencernaan, dan genitalia wanita. Di tempat-
tempat ini, ragi dapat menjadi dominan dan menyebabkan keadaan-
keadaan patologik (Jawetz, Melnick and Adelberg’s, 2013). C.
albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan
terus memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan
banyak kelompok blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar
septum. Dinding sel C. albicans berfungsi sebagai pelindung dan juga
sebagai target dari beberapa antimikotik. Dinding sel berperan pula
dalam proses penempelan dan kolonisasi serta bersifat antigenik.
Membran sel C. albicans seperti sel eukariotik lainnya terdiri dari
lapisan fosfolipid ganda. Membran protein ini memiliki aktifitas
enzim seperti manan sintase, khitin sintase, glukan sintase, ATPase
dan protein yang mentransport fosfat (Hasanah, 2012). C. albicans
seringkali dideskripsikan sebagai jamur dimorfik yang terdapat dalam
bentuk sel ragi (blastospora) dan hifa semu (pesudohifa). Sebenarnya
C. albicans bersifat polimorfik dikarenakan kemampuannya untuk
tumbuh dalam beberapa macam bentuk yang berbeda, sebab selain
blastospora dan pseudohifa, C. Albicans juga bisa menghasilkan hifa
sejati (Jawetz, Melnick and Adelberg’s, 2013). Sel-sel ragi berbentuk
bulat sampai oval dan mudah terpisah dari satu sama lain. Pseudohifa
tersusun memanjang, berbentuk elips yang tetap menempel satu sama
lain pada bagian septa yang berkonstriksi dan biasanya tumbuh dalam
pola bercabang yang berfungsi untuk mengambil nutrisi yang jauh
dari sel induk atau koloni. Hifa sejati berbentuk panjang dengan sisi
paralel dan tidak ada konstriksi yang jelas antar sel. Perbedaan antara
ketiganya adalah pada derajat polarisasi pertumbuhan, posisi
dariseptin, derajat pergerakan nukleus serta derajat kemampuan
melepas selanak dari sel induk secara individual (Maharani, 2012).
Organisme Candida tumbuh dengan mudah dalam botol kultur darah
dan pada media agar. Dalam kebanyakan situasi, mereka tidak
memerlukan kondisi khusus untuk pertumbuhan. Pada media kultur,
spesies Candida terbentuk halus, berwarna putih krem, berkilau.
Spesies Candida dapat diidentifikasi berdasarkan karakteristik
pertumbuhan, asimilasi karbohidrat, reaksi fermentasi dan
karakteristik isolat Candida dalam 2-4 hari. Identifikasi C. albicans
yang cepat namun nonspesifik dapat dilakukan dengan menguji
produksi germ tube (Jawetz, Melnick and Adelberg’s, 2013). Pada
Sabouraud Dextrose Agar (SDA) yang diinkubasi selama 24 jam pada
suhu kamar, berbentuk koloni-koloni lunak berwarna coklat yang
mempunyai bau seperti ragi. Pertumbuhan permukaan terdiri atas sel-
sel bertunas lonjong. Pertumbuhan di bawahnya terdiri atas
pseudomiselium (massa pseudohifa) yang membentuk blastospora
pada nodus-nodus dan kadang-kadang klamidospora pada ujung-
ujungnya (Jawetz, Melnick and Adelberg’s, 2013).

2.4 Faktor Risiko


Tempat paling umum terdapat jamur C. albicans yaitu bagian mulut,
saluran anorektal, saluran kelamin dan kuku. C. albicans adalah
spesies penyebab pada lebih 80% kasus infeksi kandida pada
genetalia. Cara penularan terutama adalah kontak langsung manusia
ke manusia, khususnya tinggi pada kelompok aktif seksual (Hasanah,
2012). Kandidiasis superfisial (kulit atau mukosa) ditetapkan oleh
peningkatan jumlah Candida dan kerusakan pada kulit atau epitel yang
memungkinkan invasi lokal oleh ragi dan pseudohifa. Kandidiasis
sistemik terjadi saat Candida memasuki aliran darah dan pertahanan
host fagosit tidak mencukupi untuk menahan pertumbuhan dan
penyebaran ragi. Dari sirkulasi, Candida dapat menginfeksi ginjal,
menempel pada katup jantung buatan, atau menghasilkan infeksi
hampir di mana saja (misalnya, artritis, meningitis, endophthalmitis).
Histologi lokal lesi kutaneous atau mucocutaneous ditandai oleh
reaksi inflamasi yang bervariasi dari abses pyogenik sampai
granuloma kronis. Lesi ini mengandung sel-sel ragi dan pseudohifa
yang melimpah (Jawetz, Melnick and Adelberg’s, 2013). Mengikuti
pemberian antibiotik antibakteri oral, dan ragi bisa masuk sirkulasi
dengan melintasi mukosa intestinal. Invasi sel inang oleh Candida
melibatkan penetrasi dan pengerasan selubung sel luar. Transmigrasi
kemungkinan besar dimediasi oleh proses fisik dan atau enzimatik.
Fosfolipid dan protein mewakili unsur kimia utama membran sel
inang. Fosfolipase, dengan membelah fosfolipid, menginduksi
terjadinya lisis sel dan dengan demikian memudahkan invasi jaringan.
Aktivitas fosfolipase terkonsentrasi pada ujung tumbuh hifa dan
fosfolipase ekstraselular dianggap perlu untuk invasi jaringan
(Dismukes, Pappas and Sobel, 2003). Spesies Candida merupakan
jamur patogen oportunistik yang penting karena kemampuan mereka
untuk menginfeksi host yang sakit parah. Candida menyumbang
sekitar 15% dari semua infeksi yang didapat di rumah sakit dan lebih
dari 72% dari semua infeksi jamur nosokomial (Dismukes, Pappas
and Sobel, 2003). Pada penyuntikan intravena terhadap tikus atau
kelinci, supensi padat C. albicans menyebabkan abses yang tersebar
luas, khususnya di ginjal, dan menyebabkan kematian kurang dari satu
minggu. Secara histologik, berbagai lesi kulit pada manusia
menunjukkan peradangan. Beberapa menyerupai pembentukan abses
lainnya menyerupai granuloma menahun (Jawetz, Melnick and
Adelberg’s, 2013)

Bagian Klinis :
Beberapa faktor berikut dapat meningkatkan risiko terjadinya
candidiasis pada kulit dan area kelamin:
 Cuaca yang hangat dan lembab
 Kebiasaan jarang mengganti pakaian dalam
 Kebiasaan menggunakan pakaian yang tidak menyerap keringat
 Kebersihan pribadi yang buruk

2.5Gejala Penyakit Candidiasis


Kandidiasis oral memberikan gejala bercak berwarna putih yang
konfluen dan melekat pada mukosa oral serta faring, khususnya di
dalam mulut dan lidah. Kandidiasis kulit ditemukan pada daerah
intertriginosa yang mengalami maserasi serta menjadi merah,
paronikia, balanitis, ataupun pruritus ani, di daerah perineum dan
skrotum dapat disertai dengan lesi pustuler yang diskrit pada
permukaan dalam paha. Kandidiasis vulvovagina biasanya
menyebabkan keluhan gatal, keputihan, kemerahan di vagina,
disparenia, disuria, pruritus, terkadang nyeri ketika berhubungan
seksual atau buang air kecil, pembengkakan vulva dan labia dengan
lesi pustulopapuler diskrit, dan biasanya gejala memburuk sebelum
menstruasi. Pemeriksaan dengan spekulum memperlihatkan mukosa
yang mengalami inflamasi dan eksudat cair berwarna putih.
Kandidiasis mukokutaneus kronik atau kandidiasis granulomatous
secara khas ditemukan sebagai lesi kulit sirkumkripta yang mengalami
hiperkeratosis, kuku jari mengalami distrofi serta hancur, atau
alopesia parsial pada kulit kepala. Gejala lain meliputi epidermofitosis
kronik, displasia gigi, hipofungsi kelenjar paratiroid, adrenal, serta
tiroid. Kandidiasis esofagus memberikan gejala ulserasi kecil,
dangkal, soliter hingga multipel cenderung terdapat pada bagian
sepertiga distal yang menyebabkan keluhan disfagia atau nyeri
substernal. Lesi yang bersifat asimtomatik dapat terjadi pada pasien
leukemia sebagai port d’entre untuk kandidiasis diseminata. Lesi
asimtomatik dan benigna juga terjadi pada traktus urinarius berupa
abses renal atau kandidiasis kandung kemih. Kandida yang menyebar
secara hematogen disertai gejala demam tinggi disebabkan oleh abses
retina yang meluas ke vitreus. Pasien dapat mengeluh nyeri orbital,
penglihatan kabur, skotoma, atau opasitas yang melayang dan
menghalangi lapang pandang penglihatan. Kandidiasis pulmonalis
dapat terlihat dengan foto toraks dengan gambaran infiltrat noduler
yang samar atau difus.

2.6Pengobatan Penyakit Candidiasis


Pengobatan dengan antifungi merupakan cara utama dalam menangani
sebagian besar infeksi yang disebabkan oleh jamur. Pengobatan ini
bergantung pada kapasitas dari berbagai antifungi dalam menghambat
sintesis atau mengganggu integritas dinding sel, membran plasma,
metabolisme sel dan aktivitas mitosis. Agen antifungi yang saat ini
tersedia untuk penggunaan klinis infeksi jamur terdiri atas empat kelas
utama, yaitu poliena, azol, 5-fluorocytosine dan echinocandin.
Allylamines, thiocarbamates, nikkomycin, aureobasidin, sordarin dan
lainnya juga tersedia untuk mengobati bentuk tertentu dari mikosis.
Antifungi memiliki perbedaan dalam struktur, kelarutan, cara kerja,
profil farmakokinetik, spektrum, efek terapeutik (fungistatik atau
fungisidal), tingkat toksisitas dan kemampuan untuk menginduksi
resistensi. Antifungi dapat diberikan secara topikal (mengobati infeksi
lokal) atau sistemik dan dapat dihasilkan secara alami atau disintesis
secara kimia (Kavanagh, 2011). Antifungi turunan azol merupakan
salah satu kelompok antifungi utama yang digunakan dalam praktek
klinis untuk mengobati infeksi jamur pada manusia. Azol umumnya
digunakan untuk infeksi jamur pada kulit, vagina dan mikosis yang
lebih serius pada pasien immunokompromais. Turunan azol pertama
yang tersedia untuk pengobatan oral infeksi jamur sistemik adalah
ketokonazol yang dirilis pada awal tahun 1980an (Mayers, 2009a).
Antifungi imidazol (misalnya ketokonazol) dan triazol (flukonazol,
vorikonazol, dan itrakonazol) adalah obat oral yang digunakan untuk
mengobati berbagai macam infeksi baik sistemik ataupun lokal.
Indikasi untuk penggunaannya masih dievaluasi, namun mereka telah
menggantikan amfoterisin B dalam banyak mikosis yang kurang parah
karena dapat diberikan secara oral dan kurang beracun (Mayers,
2009b). Azol mengandung dua atau tiga nitrogen dalam peringkat
azol, oleh karena itu digolongkan sebagai imidazol (ketokonazol,
mikonazol, klotrimazol, ekonazol dan butokonazol) atau triazol
(itrakonazol, flukonazol, terconazol). Agen azol yang lebih baru
meliputi vorikonazol, posasonazol, ravukonazol dan albakonazol.
Perbedaan antara berbagai azol berhubungan terutama dengan
farmakokinetik mereka dan juga tingkat afinitasnya untuk enzim
target. Ada juga beberapa perbedaan dalam spektrum anti jamur.
Triazol terbaru seperti vorikonazol dan posasonazol memiliki aktivitas
melawan banyak ragi dan jamur (Mayers, 2009b). Mekanisme aksi
dari azol yaitu mengganggu sintesis ergosterol dengan cara memblokir
sitokrom P450-dependent 14α-demethylation dari lanosterol, yang
merupakan pendahulu ergosterol dalam jamur dan kolesterol dalam
sel mamalia. Sitokrom P450s jamur kira-kira 100-1000 kali lebih
sensitif terhadap azol daripada sistem mamalia. Berbagai azol
dirancang untuk meningkatkan efikasi, ketersediaan, dan
farmakokinetik mereka dan mengurangi efek sampingnya (Jawetz,
Melnick and Adelberg’s, 2013). Azol memiliki spektrum aktivitas
yang luas, termasuk aktivitas melawan spesies Candida, Criptococcus
neoformans, jamur dimorfik, dan jamur pada umumnya. Azol adalah
kelas penting obat antijamur yang telah ditemukan dengan kegunaan
luas dalam praktik klinis untuk pengobatan infeksi jamur. Namun,
dengan meningkatnya penggunaan, kemunculan resistensi telah
menjadi masalah, terutama pada pasien yang membutuhkan
pengobatan jangka panjang dan mereka yang menerima profilaksis
azol. Karena potensi meningkat dan spektrum yang lebih luas, azol
generasi baru merupakan tambahan yang berharga bagi obat
antijamur, dan mungkin memiliki kegunaan tertentu dalam
pengobatan infeksi jamur yang sulit diatasi (Mayers, 2009a). Efek
samping dari azol terutama terkait dengan kemampuan mereka untuk
menghambat enzim sitokrom P450 mamalia. Semua antifungi
golongan azol dapat menyebabkan peningkatan asimptomatik dalam
tes fungsi hati dan kasus hepatitis yang jarang terjadi. Karena
antifungal azol berinteraksi dengan enzim P450 yang juga
bertanggung jawab atas metabolisme obat, beberapa interaksi obat
penting dapat terjadi. Peningkatan konsentrasi antifungi azol dapat
dilihat saat isoniazid, fenitoin, atau rifampisin digunakan. Terapi azol
juga dapat menyebabkan tingkat siklosporin serum, fenitoin,
hipoglikemik oral, antikoagulan, digoksin, dan mungkin masih banyak
lainnya. Pemantauan serum kedua obat mungkin diperlukan untuk
mencapai kisaran terapeutik yang tepat (Jawetz, Melnick and
Adelberg’s, 2013).

 AntiFungi Flukonazol
Flukonazol merupakan senyawa sintetik bis-triazol yang
mampu menghambat sintesis ergosterol melalui aktivitasnya
pada enzim yang tergantung sitokrom P-450, yaitu lanosterol 14
a-demethylase. Adanya deplesi pada ergosterol, sterol pada
membran sel jamur, dan akumulasi sterol yang termetilasi pada
membran menyebabkan perubahan pada struktur dan fungsi
membrane (Richardson and Warnock, 2003). Flukonazol
merupakan antifungi yang paling efektif pada spesies Candida,
Criptococcus neoformans, dan Criptococcus immitis. Namun
memiliki aktivitas yang terbatas terhadap Blastmyces
dermatitidis, Histoplasma capsulatum dan Sporothrix schenckii
sehingga digunakan sebagai antifungi lini kedua untuk
pengobatan terhadap infeksi oleh jamur-jamur tersebut.
Flukonazol aktif terhadap jamur dermatofit seperti
Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton tetapi tidak
terlalu efektif terhadap kapang seperti Aspergillus dan
Zygomycetes. Meskipun flukonazol efektif terhadap banyak
spesies Candida, namun C. krusei secara intrinsik resisten
terhadap flukonazol. Isolat C. glabrata juga diketahui kurang
sensitif terhadap flukonazol, dan 10% isolat Candida yang
diisolasi dari darah resisten terhadap flukonazol (Richardson
and Warnock, 2003). Flukonazol digunakan sebagai antifungi
utama untuk mengobati meningitis yang disebabkan oleh
Criptococus, kandisiasis esophageal vaginal, dan
oropharyngeal. Antifungi ini juga digunakan dalam terapi
profilaksis untuk menurunkan insidensi kandisiasis pada pasien
yang menerima kemoterapi atau radiasi yang bersifat sitotoksik.
Selain itu, flukonazol digunakan juga untuk pengobatan
beberapa infeksi dermatofit dan infeksi jamur lain yang tidak
merespon pengobatan topikal. Flukonazol termasasuk kelas
triazol yang pemberiaannya dapat melalui injeksi intravena,
suspensi oral, dan kapsul (El-Garhy, 2015). Beberapa laporan
telah menunjukkan perkembangan resistensi C. albicans atau C.
tropicalis selama pengobatan flukonazol jangka pendek untuk
pasien penderita Candidosis mukosa. Pada penderita AIDS
dengan infeksi oral atau oesophageal, strain C. albicans yang
resisten didapatkan setelah pengobatan berulang dengan
flukonazol dosis rendah. Banyak strain C. albicans yang
resisten terhadap flukonazol menunjukkan resistensi silang
dengan antifungi golongan azol lainnya (Richardson and
Warnock, 2003). Beberapa mekanisme molekuler yang
menjelaskan resistensi C. albicans terhadap antifungi azol telah
dilaporkan. Mekanisme tersebut meliputi adanya peningkatan
ekspresi sejumlah gen terkait transportasi zat seperti gen CDRl
dan CDR2, serta gen MDR1. Peningkatan ekspresi gen-gen
tersebut menyebabkan berkurangnya akumulasi obat pada strain
yang resisten. Mekanisme resistensi yang lain adalah adanya
mutasi pada gen ERG11 yang mengkode target enzim utama
obat, yaitu lanosterol 14 a-demethylase. Mutasi tersebut
menyebabkan perubahan struktur pada enzim dan menyebabkan
berkurangnya ikatan antara obat dengan antifungi azol.
Mekanisme resistensi selanjutnya adalah adanya peningkatan
ekspresi gen ERG11 yang menyebabkan peningkatan produksi
enzim target. Selain itu, adanya perubahan pada enzim yang
terlibat pada biosintesis ergosterol, seperti sterol desaturase juga
berkontribusi pada resistensi terhadap antifungi azol
(Richardson and Warnock, 2003). Flukonazol dapat digunakan
untuk pengobatan Kandidosis mukosa dan kutaneus, serta
efektif pada berbagai bentuk dermatofitosis dan Pityriasis
versicolor. Flukonazol juga efektif untuk pengobatan dalam
oleh infeksi yang disebabkan C. albicans, C. tropicalis dan C.
parapsilosis. Saat ini. dipandang bahwa flukonazol sebaiknya
digunakan untuk infeksi yang disebabkan C. glabrata, namun
sebaiknya tidak digunakan untuk pengobatan infeksi oleh C.
krusei. Flukonazol juga merupakan antifungi penting untuk
infeksi akut cryptococcal meningitis, namun sebaiknya tidak
digunakan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien AIDS
kecuali untuk alasan tertentu seperti tidak dapat digunakannya
amphotericin B dalam pengobatan. Flukonazol lebih efektif dan
ditoleransi lebih baik dibandingkan dengan amphotericin B
untuk mencegah cryptococcosis berulang pada pasien AIDS
(Richardson and Warnock, 2003). Flukonazol juga diabsorpsi
dangan baik saat diberikan secara oral dan dapat berpenetrasi
sangat baik pada system saraf pusat (Kumar et al., 2016).

Di bagian klinisnya :
Pada keadaan normal, jamur Candida memang hidup di kulit
dan beberapa bagian tubuh, seperti mulut, tenggorokan, saluran
cerna, dan vagina, tanpa menyebabkan gangguan kesehatan.
Namun, jamur ini bisa membahayakan tubuh bila berkembang
biak tidak terkendali atau masuk ke aliran darah, ginjal, jantung,
dan otak.
Pertumbuhan dan perkembangan yang tidak terkendali dari
jamur Candida paling sering disebabkan oleh daya tahan tubuh
yang lemah. Beberapa faktor yang bisa melemahkan daya tahan
tubuh adalah:
 Menderita diabetes, HIV/AIDS, kanker, atau
menjalani kemoterapi
 Menggunakan obat kortikosteroid dalam jangka waktu yang
lama
 Menggunakan antibiotik dalam jangka waktu yang lama
 Menderita obesitas atau malnutrisi

2.7Pencegahan Candidiasis
Candidiasis dapat dicegah dengan menjaga kebersihan pribadi dan
daya tahan tubuh. Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah:
 Jaga kebersihan mulut dan gigi, dengan rutin menggosok gigi
dan melakukan pemeriksaan ke dokter gigi minimal 6 bulan
sekali.
 Hentikan kebiasaan merokok.
 Gunakan pakaian yang nyaman, tidak ketat, dan menyerap
keringat.
 Ganti pakaian, pakaian dalam, dan kaos kaki, secara teratur.
 Ganti pembalut secara rutin saat menstruasi.
 Konsumsilah makanan bergizi seimbang dan probiotik.
 Bersihkan area vagina dengan air mengalir, serta hindari
penggunaan panty liner dan sabun pembersih kewanitaan tanpa
anjuran dokter.
 Lakukan kontrol rutin ke dokter jika Anda menderita penyakit
yang bisa melemahkan daya tahan tubuh, seperti diabetes,
kanker, atau HIV/AIDS.
 Lakukan kontrol rutin bila Anda menjalani kemoterapi atau
menggunakan obat kortikosteroid untuk waktu yang lama.
 Jangan menggunakan obat kortikosteroid dan antibiotik di luar
anjuran dokter.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Leptospirosis merupakan penyakit yang ditularkan oleh bakteri
Leptospira baik kepada manusia maupun hewan. Penyakit ini terjadi
karena adanya interaksi yang kompleks antara pembawa penyakit, tuan
rumah/pejamu dan lingkungan. Bakteri Leptospira bersifat komensal
pada ginjal mamalia, termasuk tikus. Manusia dapat terkena leptospirosis
jika ada bakteri Leptospira yang masuk ke dalam tubuhnya melalui luka
pada kulit maupun mukosa tubuh. Lingkungan dengan sanitasi yang
buruk mendukung terjadinya leptospirosis. Pencegahan leptospirosis
dilakukan dengan meminimalisir masuknya bakteri ini ke tubuh manusia
dengan memiliki perilaku hidup bersih dan sehat dan juga menjaga
kesehatan lingkungan sekitar.
Candidiasis merupakan salah satu penyakit infeksi pada kulit, mulut,
serta kelamin. Pada penyakit ini menjaga kebersihan tubuh sangatlah
penting. Gejala candidas ada pada oral thrush, volvovaginal, dan
cutaneous candidiasis.
DAFTAR PUSTAKA
file:///C:/Users/chari/Downloads/174-Article%20Text-19483-1-10-
20200207%20(1).pdf
http://erepository.unsyiah.ac.id/JKS/article/viewFile/
5013/4444#:~:text=Kandidiasis%2Fyeast%20infection%20adalah
%20infeksi,muncul%20dalam%20jumlah%20yang%20kecil.
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/413/3/KTI%20Adi%20Darmada
%20027%20bab%202.pdf
https://www.google.com/search?
q=candida+albicans+dapat+menginfeksi+apa&sxsrf=ALiCzsZJPQL-
uyLhPyC08xyLvnfEvnLW4A
%3A1655649687127&ei=lzWvYtOKB9GhseMP9N6vgAE&ved=0ahUKEwiTs
uTb37n4AhXRUGwGHXTvCxAQ4dUDCA0&uact=5&oq=candida+albicans+
dapat+menginfeksi+apa&gs_lcp=Cgdnd3Mtd2l6EAMyBQghEKABMgUIIRCg
AToHCAAQRxCwAzoECCMQJzoGCAAQHhAWOgUIABCABDoICCEQHh
AWEB06BAghEBU6BwghEAoQoAFKBAhBGABKBAhGGABQdViLT2DlU
GgBcAF4AIABswGIAYoZkgEFMTkuMTOYAQCgAQHIAQjAAQE&sclient
=gws-wiz
http://repository2.unw.ac.id/1075/7/S1_020116A001_BAB%20I%20-
%20Abdul%20Khohar.pdf
file:///C:/Users/chari/Downloads/17187-Article%20Text-44409-2-10-
20180402.pdf
https://www.lifebuoy.co.id/semua-artikel/berita-kesehatan/waspada-inilah-
bakteri-bakteri-penyebab-diare.html
http://repository.unimus.ac.id/1264/3/BAB%20II.pdf
https://www.alodokter.com/candidiasis

Anda mungkin juga menyukai