Aliran Muatazillah Dan Syi'ah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

Makalah

ALIRAN MUATAZILLAH DAN SYI’AH

Dosen pembimbing:
Irwan Idris. MPD,

Disusun Oleh :

Kelompok : 6

PUTRI SIMAH BENGI


TIKA ASRIAH
WAHYUNI
RISKA RAHMATINA

UNIVERSITAS ISLAM KEBANGSAAN INDONESIA


BIREUEN - ACEH
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT, oleh karena berkat
izin-Nya, karunia-Nya, dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini penyusun banyak mengalami kesulitan dan
hambatan, tetapi karena adanya niat dan usaha serta tujuan untuk membangun diri
sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekeliruan. Oleh sebab itu, penyusun mengharapkan saran
dan kritikan yang membangun demi kesempurnaan dalam penulisan makalah
selanjutnya.
Akhirnya, penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penulisan makalah ini, khususnya kepada dosen mata
kuliah ini yang telah memberikan petunjuk untuk mengerjakan makalah ini.

Bireuen, 29 September 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN................................................................................................................6
2.1 Mu’tazilah................................................................................................................6
2.2 Usulul Khamsah.................................................................................................9
2.3 Syi’ah...............................................................................................................12
2.4 Masalah Khalifah...................................................................................................12
BAB III............................................................................................................................16
PENUTUP.......................................................................................................................16
3.1 Kesimpulan......................................................................................................16
3.2 Saran................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan sunnah Nabi, diyakini
oleh umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh
perputaran zaman. Pada dasarnya Islam itu satu, tetapi pada kenyataanya bahwa
tampilan Islam itu beragam, karena lokasi penampilannya mempunyai budaya
yang beragam serta pandangan oleh beberapa tokoh yang membuat statemen
tentang apa itu islam.

Awal mula tumbuhnya aliran-aliran dalam Islam adalah karena masalah


politik yang terus meningkat dan menjadi persoalan teologi. Hal ini sebenarnya
sudah terjadi pada saat wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu mengenai
permasalahan siapakah yang nantinya pantas menjadi pengganti beliau. Disinilah
awal mulanya benih aliran Syi’ah itu muncul dan masalah ini mencapai
puncaknya pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, tepatnya pada
saat perang Shiffin. Syi’ah mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad dan ahl bait-nya. Menurut terminologi Syi’ah berarti, mereka
menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara para sahabat dan
lebih baik berhak untuk memegang kepemimpinan kaum muslimim, demikian
anak cucu sepeninggal beliau.

Persoalan lain tentang seseorang yang berbuat dosa pun memicu


tumbuhnya aliran-aliran teologi lainnya. Aliran Mu’tazilah yang berpendapat
bahwa orang yang berbuat dosa besar itu bukanlah kafir tetapi bukan pula
mukmin.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu aliran Mu’tazilah ?
2. Apa itu aliran Syi’ah ?
3. Bagaimana latar belakang kemunculan aliran Mu’tazilah dan aliran
Syi’ah?

4
4. Apa sajakah bentuk pemikiran dari aliran-aliran tersebut ?

1.3 Tujuan
1. Dapat memahami dan mengerti apa yang di maksud aliran Mu’tazilah dan
aliran Syi’ah.
2. Dapat mengetahui pengertian dan sejarah perkembangan aliran
Mu’tazilah dan Syi’ah.
3. Dapat mengetahui pokok-pokok dasar Pemikiran Mu’tazilah dan Syi’ah

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mu’tazilah
Kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tizal yang artinya memisahkan diri.
Sedangkan Mu’tazilah adalah orang-orang yang memisahkan diri. Mu’tazilah
yang lahir abad ke-2 Hijrah membawa dimensi baru dalam pemikiran Islam. Ia
membawa masalah-masalah teologi lebih mendalam bila dibanding dengan
teologi lain. Pembahasan teologis yang dilakukan Mu’tazilah lebih banyak
menggunakan rasional, karena kaum Mu’tazilah lebih banyak menggunakan akal
dalam pembahasannya. Jika arti ayat yang tidak dapat ditangkap oleh akal, maka
mereka melakukan ta’wil hingga ada kesejajaran antara arti ayat Al-Quran dengan
akal. Sehingga golongan ini disebut dengan “Kaum rasionalis Islam”(Harun
Nasution,1972:36).
Aliran ini lahir kurang lebih tahun 120 H, di kota Basrah. Aliran
Mu’tazilah pernah menjadi mazhab penguasa pada beberapa masa, yakni pada
zaman khalifah Al-Ma’mun dan Mu’tazim.
Nama Mu’tazilah adalah suatu nama yang di berikan oleh orang di luar
golongan Mu’tazilah karena orang-orang Mu’tazilah mengklaim dirinya dengan
sebutan Ahlut Tauhid wal’Adl. Istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.

Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai


respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya
bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Ali Thalib dan
lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut
penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral
politik tanpa sigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh
dikemudian hari.

6
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai
respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawariz dan Murjiah
akibat adanya peristiwa takhim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda
pendapat dengan golongan Khawarij dan Murjiah tentang pemberian kasus kafir
kepada orang yang berbuat dosa besar. Berikut ini adalah penjelasan mengapa
mereka dinamai dengan sebutan Mu’tazilah.

Pertama, di Baghdad terdapat seorang ulama besar bernama Syekh Hasan


Basri (wafat 110 H). Orang-orang sesat banyak berguru kepadanya dan diantara
muridnya adalah Wasil bin ‘Ata (8-131 H). Pada suatu hari Hasan Basri (699-748)
menerangkan masalah kedudukan mukmin dan kafir di akhirat nanti, dan
mengatakan, ”Setiap orang Islam yang telah beriman dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat, tetapi mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap sebagai
muslim, tetapi tergolong muslim yang durhaka. Kalau ia wafat sebelum bertobat
dari dosanya, ia di akhirat nanti akan dimasukkan ke dalam neraka untuk
menerima hukuman atas perbuatan dosanya, tetapi sesudah menjalankan hukuman
ia akan dikeluarakan lagi dari neraka dan kemudian dimasukkan ke dalam surga
sebagai mukmin.

Mendengar pendapat tersebut, Wasil bin ‘Ata menjawab dengan dengan


suara keras, “Tidak….tidak demikian” hal itu dikatakannya sambil keluar dari
majelis lain yang bertempat di Basrah. Dia ditemani oleh Umar bin Ubaid (145
H), karena itulah Wasil bin ‘Ata dinamai Kaum Mu’tazilah karena ia
mengasingkan diri atau memisahkan diri dari gurunya. Sedangkan berkuasa pada
saat itu adalah Kalifah Hisyam bin Abdul Muluk dari Bani Ummayah, yaitu tahun
100-125 H.

Kedua, ada orang yang mengatakan bahwa penyebab mereka dinamakan


Mu’tazilah karena mereka mengasingkan diri dari masyarakat. Pada asalnya
mereka adalah penganut Syi’ah yang putus asa akibat menyerahnya Khalifah
Mu’awiyyah dari Bani Ummayah.

Ketiga, ada juga yang menyatakan bahwa ini adalah kaum yang suka
memakai pakaian jelek-jelek dan kasar-kasar yang hidupnya minta-minta
(Darawisy) dan bertempat tinggal jauh dari keramaian orang.

7
Adapun para tokoh aliran Mu’tazilah dan pemikiran-pemikirannya adalah
sebagai berikut:

a. Wasil bin ‘Ata


Wasil bin ‘Ata dilahirkan di Madinah tahun 70 H. Ia pindah ke Basrah
untuk belajar. Di sana ia berguru kepada seorang tokoh dan ulama besar yang
masyhur yaitu Hasan Al-Basri.

Wasil bin ‘Ata termasuk murid yang pandai, cerdas tekun belajar. Ia berani
mengeluarkan pendapatnya yang berbeda dengan gurunya sehingga ia kemudian
bersama pengikutnya dinamakan golongan Mu’tazilah.

Pemikiran-pemikiran beliau bahwa seorang muslim yang berbuat dosa


besar dihukumi tidak mukmin dan tidak pula kafir, tapi fasik. Keberadaan orang
tersebut di antara kafir dan mukmin.

Mengenai perbuatan manusia, Wasil berpendapat, manusia memiliki


kebebasan, kemampuan, dan kekuasaan untuk melakukan suatu perbuatan.
Kebebasan memilih, kekuasaan, dan kemampuan berbuat yang ada pada manusia
itu merupakan pemberian Tuhan kepada-Nya. Karena itu, manusialah yang
menciptakan perbuatannya dan harus bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan itu. Jika perbuatannya baik, di akhirat akan mendapatkan pahala.
Sebaliknya, jika jahat, ia akan mendapat siksa.

Tentang sifat Allah, Wasil menolak paham bahwa Tuhan memiliki sifat.
Menurut Wasil, Tuhan tidak mempunyai sifat. Apa yang dianggap orang sebagai
sifat tidak lain Zat Allah SWT itu sendiri. Tuhan mengetahui dengan
pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya itu adalah Zat-Nya. Tuhan mendengar
dengan pendengaan-Nya, dan seterusnya. Jadi, Tuhan mendengar bukan dengan
sifat sama-Nya, Tuhan melihat bukan dengan dengan sifat bashar-Nya, dan
seterusnya; tapi dengan Zat-Nya.

b. Abu Huzailah Al-Allaf


Abu Huzaillah dilahirkan tahun 135 H/751 M. Ia berguru kepada Usman
At-Tawil (murid Wail bin‘Ata). Ia hidup dimana zaman pengetahuan seperti

8
filsafat dan ilmu-ilmu lain dari Yunani telah berkembang pesat di bagian dunia
Arab. Ia wafat tahun 235 H/849 M.

Pengaruh ilmu-ilmu tauhid sedikit banyak mempengaruhi pemikiran-


pemikirannya dalam masalah teologi. Abu Huzailah merupakan generasi kedua
Mu’tazilah yang disebut Usulul Khambah.

c. Al –Jubai
Ia mempunyai nama Abu Ali bin Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir
tahun 25 H/849 M di Jubai. Al-Jubai berguru kepada Al-Syahham, salah seorang
murid Abu Huzailah.

Ia hidup dam situasi yang kedaan politiknya tidak stabil. Namun demikian,
ilmu pengetahuan tetap berkembang pesat karena para ilmuwan tidak banyak tutur
campur dalam pergolakan politik yang waktu itu terjadi. Ia wafat pada tahun 303
H/915 M di Basrah.

Ia mempunyai pola pikir yang tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh


Mu’tazilah lainnya, yakni mereka mengutamakan akal dalam memahami dan
memecahkan persoalan teologi.

d. Az-Zamakhsyari
Az-Zamakhsyari lahir pada tahun 467 H. Ia belajar di beberapa negeri. Az-
Zamakhsyari pernah bermukin di tanah suci dalam rangka belajar agama.

Selama di tanah suci, ia menggunakan waktunya untuk menyusun kitab


tafsir Al-Kasysyaf yang berorientasi pada paham Mu’tazilah. Namun demikian,
kitab tafsir karya beliau tidak digunakan oleh kalangan Mu’tazilah saja. Di
samping menyusun kitab tafsir Al-Kasysyaf beliau banyak menyusun buku tentang
balagah, bahasa, dan lainnya. Az-Zamakhsyari wafat tahun 538 H.

2.2 Usulul Khamsah


Aliran Mu’tazilah mempunyai lima pokok ajaran yang disebut dengan
Usulul Khamsah.
a. Tauhid (Ke-Esaan)
Tauhid di sini artinya meng-Esa-Kan Tuhan dari segala sifat yang menjadi
pegangan bagi akidah Islam. Orang-orang Mu’tazilah dikatakan ahli Tauhid

9
karena mereka berusaha semaksimal mungkin mempertahankan prinsip
ketauhidannya dari serangan Syi’ah Rafidiyah yang menggambarkan Tuhan dalam
bentuk Jisim dan bisa menghindari juga dari serangan agama Dualisme dan
Trinitas.

Ketauhidan dari golongan Mu’tazilah adalah :


1. Tuhan tidak bersifat Qadim, kalau sifat Tuhan qadim berarti Allah
berbilang-bilang, sebab ada dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya,
padahal Allah adalah Maha Esa.
2. Mereka meniadakan sifat-sifat Allah sebab Allah bersifat dan sifatnya itu
macam-macam pasti Allah itu terbilang.
3. Allah bersifat Aliman, Qodiran, Samanian, Basyiran dan sebagainya
adalah dengan zat-Nya, tetapi ia bukan keluar dari zat Allah yang berdiri
sendiri.
4. Allah tidak dapat di terka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
5. Mereka menolak aliran Mujassimah, Musyabihah, Dualisme, dan Trinitas.
6. Tuhan itu Esa bukan benda dan bukan Arrad serta tidak berlaku tempat
(arah) pada-Nya.

b. Al- ‘Adl (keadilan Tuhan)


Ada hubungannya denga At-Tuuhid, kalau dengan At-Tauhid kaum
Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan mahluk, maka dengan
Al-‘Adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan
perbuatan mahluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, Tuhan tidak bisa berbuat
zalim. Pada mahluk terdapat perbuatan zalim.

c. Al- Wa’d wa Al-Wai’d (Janji dan Ancaman)


Tuhan dapat disebut adil jika Dia tidak memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan
menghendaki supaya orang yang berbuat salah diberi hukuman dan orang yang
berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan Tuhan.

d. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain

10
Posisi diantara 2 posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini,
orang yang berdosa besar bukan kafir bukan pula mukmin. Kata mu’min dalam
pendapat Wasil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan
kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tak pula dapat
diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besar dia masih mengucapkan syahadat
dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Orang serupa ini jika meninggal
tanpa tobat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang di terimanya lebih
ringan dari siksaan orang kafir.

e. Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap sebagai
kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi oleh golongan umat Islam
lainnya. Perbedaan yang terdapat antara golona-golongan itu adalah
pelaksanaannya. Kaum Mu’tazilah berpendapat kalau dapat cukup dengan seruan,
tetapi kalau perlu dengan kekerasan. Sejarah membuktikan bahwa mereka pernah
memakai kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka.
Menurut Al-Khayyat, orang yang diakui menjadi pengikut Mu’tazilah,
hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar itu. Orang yang
menerima hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai
orang Mu’tazilah.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar
ma’ruf nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd
Al-Jabbar, yaitu berikut ini.
a. Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan dilarang
itu memang munkar.
b. Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyatadilakukan orang.
c. Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak
akan membawa madarat yang lebih besar.
d. Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak
akan membahayakan dirinya atau hartanya.

11
2.3 Syi’ah
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau
kelompok, sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang
dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi
Muhammad SAW, atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait. Poin penting
dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu
bersumber dari ahl bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para
sahabat yang bukan ahl-al-bait atau para pengikutnya (Sahilun A Nasir,2010:77).

Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam Islam yang


beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. adalah orang yang berhak
sebagai khalifah pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-
khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan adalah
penggasab (perampas) kedudukan khalifah (A Rozak, R Anwar,2001:78).

2.4 Masalah Khalifah


Nabi Muhammad SAW setelah selesai menunaikan tugas risalah Islam
selama hampir 23 tahun, beliau wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11
Hijriyah, bertepatan dengan 8 Juni 632 M.

Beliau tidak pernah berwasiat siapakah yang menjadi penggantinya


(khalifah) sesudah beliau wafat nanti dan demikian pula tidak memberikan
petunjuk pedoman-pedoman cara pemilihan khalifah. Hal ini tentunya diserahkan
kepada kebijakan umat, sesuai dengan keadaan dan tempat. Dan ternyata kalau
diperhatikan cara pemilihan dari keempat Khulafaur Rasyidin adalah berbeda-
beda (A Rozak, R Anwar,2001:80).

Memang Nabi Muhammad SAW itu menyuruh sahabat Abu Bakar


menjadi imam shalat pada waktu beliau sakit menjelang hari wafatnya. Demikian
pula Nabi Muhammad SAW pernah menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk
menjaga rumahnya ketika beliau pergi berperang. Namun demikian, beliau tidak
pernah menyebut-nyebut penggantinya.

12
Maka tatkala nyata-nyata beliau wafat, pada hari itu juga sahabat-sahabat
terkemuka dari kalangan Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani
Sa’idah, suatu balai pertemuan untuk bermusyawarah tentang khalifah.

Golongan Anshar menghendaki Sa’ad bin Ubadah sebagai Khalifah. Usul


tersebut tidak dapat diterima oleh golongan Muhajirin, maka terjadilah
perdebatan-perdebatan yang cukup sengit, sehingga hampir-hampir saja
menimbulkan perpecahan.

Sedangkan golongan Muhajirin mencalonkan Abu Bakar Ash-Shiddiq.


Sayyidina Ali sendiri waktu itu tidak hadir di balai Saqifah Bani Sa’idah karena
sibuk mengurus jenazah Rasulullah SAW yang belum dimakamkan. Waktu itu
tidak ada pihak yang menyebut-nyebut Sayyidina Ali sebagai calon Khalifah.
Untuk mengakhiri perdebatan, maka sahabat Umar bin Khattab tampil, membaiat
Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama. Baiat Umar itu kemudian
diikuti oleh sahabat-sahabat yang hadir secara aklamasi.

Memang Sayyidina Ali dan istrinya Fatimah Zahroh binti Rasulullah SAW
sedikit kurang enak terhadap musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah. Karena
menurut pendapatnya, pengurusan jenazah Nabi SAW (pemakaman) harus
didahulukan daripada musyawarah pemilihan khalifah. Sedangkan sahabat-
sahabat lain berpendapat bahwa pemilihan khalifah harus didahulukan, karena
menyangkut kepentingan umum. Namun pada akhirnya Sayyidina Ali juga ikut
membaiat (A Rozak, R Anwar,2001:82).

Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintah selama 2 tahun 3 bulan 10


hari (11-13 H/632-634 M). Dia meninggal pada 13 Hijriyah. Ketika beliau mulai
sakit-sakitan, mengusulkan Sayyidina Umar bin Khatab sebagai calon khalifah ke
dua. Usul tersebut disetujui oleh para sahabat termasuk Sayyidina Ali.

Khalifah Umar pernah ke Baitul Maqdis (8 H/639 M) untuk menyaksikan


penyerahan kota tersebut dari kerajaan Romawi Timur kepada orang Islam.
Sebagai pengganti sementara, beliau menunjuk Sayyidina Ali sebagai penguasa
kota Madinah selama bepergian. Kejadian tersebut merupakan bukti kepatuhan
Sayyidina Ali kepada khalifah Umar.

13
Sayyidina Umar bin Khattab berkuasa selama 10 tahun 6 bulan (13-23
H/634-644 M). Dia meninggal 16 Dzul Qa’dah dibunuh oleh Abu Lu’lu’, seorang
sahaya dari Persia, yang amat dendam melihat kerajaan Persia ditaklukan (16
H/636 M). Sebelum wafat, dia telah menunjuk sebuah panitia untuk memilih
khalifah penggantinya, terdiri dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina
Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurahman nin
‘Auf, Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdullah bin Umar. Sayyidina Umar berpesan
agar panitia ini nanti memilih khalifah dan jangan memilih Abdullah bin Umar
putranya sendiri.

Panitia akhirnya memilih Sayyidina Utsman bin Affan sebagai khalifah


ketiga, memerintah selama 13 tahun kurang sehari (23-35 H/644-656 M). Dia
meninggal dibunuh para pemberontak dari negeri yang terkena hasutan Abdullah
bin Saba’.

Kaum muslimin yang tidak terlibat pemberontakan sepakat mengangkat


Sayyidina Ali menjadi khalifah ke empat. Akan tetapi, orang-orang Syi’ah
menganggap Sayyidina Ali itu sebagai khalifah pertama, karena mereka tidak
mengakui khalifah-khalifah sebelumnya yang dianggapnya sebagai penyerobot.

Pada masa pemerintahan Sayyidina Ali ini timbul hal-hal yang


mengecewakan masyarakat sehingga terpecah belah menjadi beberapa golongan :

1. Golongan Syi’ah sendiri sebagai jumhur yang menyokong dan


mengangkat Sayyidina Ali sebagai khalifah.
2. Golongan yang menuntut bela kematian Sayyidina Utsman, dipelopori
oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syiria yang diangkat pada
masa khalifah Utsman. Mu’awiyah tidak mau mengakui khalifah Ali
karena diangkat oleh kaum pemberontak dan menuduhnya sebagai orang
yang terlibat dan harus bertanggung jawab atas terbunuhnya khalifah
Utsman. Disamping itu, Mu’awiyah diangkat oleh penduduknya sebagai
khalifah pengganti khalifah Utsman, berkedudukan di Syiria (Damaskus).
Dengan demikian, ada dua khalifah dalam pemerintahan Islam waktu itu,
yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

14
3. Golongan yang dipimpin oleh Siti Aisyah ra. dan diikuti oleh Thalhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, tidak mengakui khalifah Ali, karena
baiatnya secara terpaksa, karena pedang terhunus di atas kepala mereka.
4. Golongan yang dipimpin oleh Abdullah bin Umar, didukung oleh antara
lain Muhammad bin Salamah, Utsman bin Zaid, Sa’ad bin Abi Waqas,
Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam. Golongan ini bersikap pasif, tidak
ikut mengangkat khalifah Ali, tidak ikut menyalahkannya dalam peristiwa
pembunuhan terhadap khalifah Utsman dan juga tidak ikut menyokong
Mu’awiyah yang menyatakan diri sebagai khalifah di Syiria. Mereka tidak
ingin terlibat masalah-masalah politik.

Peperangan antara kaum muslimin tidak dapat dihindari. Terjadilah perang


Jamal (36 H/657 M) antara pihak khalifah Ali dengan pihak Siti Aisyah, Thalhah,
dan Zubair yang berkedudukan di Makkah. Perang ini dinamakan perang Jamal,
karena Siti Aisyah sebagai pemimpin pasukan dengan mengendarai unta.
Kemenangan peperangan ini di pihak khalifah Ali dengan korban Thalhah dan
Zubair mati terbunuh. Sedangkan Siti Aisyah ditawan yang akhirnya diantar
pulang kembali ke Makkah dengan segala penghormatan sebagai ibu mertua
khalifah Ali.

Orang-orang Syi’ah Imamiyah beranggapan, sekalian orang yang terlibat


dalam perang Jamal melawan khalifah Ali adalah kafir, termasuk Siti Aisyah
(Allahu Yarhamuha) (A Rozak, R Anwar,2001:84).

Sebulan kemudian setelah perang Jamal, terjadilah perang Shiffin (37


H/658 M), antara pihak khalifah Ali dengan pihak Mu’awiyah, di suatu tempat
daerah negeri Irak yang bernama Shiffin. Pertempuran perang Shiffin ini terjadi
90 kali sehinggga menimbulkan banyak korban. Di pihak lasykar Ali, gugur
25.000 orang dan di pihak lasykar Mu’awiyah gugur lebih banyak lagi, 45.000
orang.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Golongan Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan
persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-
persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka
banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “ Kaum Rasionalitas
Islam”.
Adapun doktrin-doktrin Aliran Mu’tazilah ada 5 yang disebut dengan Al-
Usul Al-Khomsah atau pancasila Mu’tazilah yaitu at-Tauhid, al-‘Adl, al-wa’d
wa al-wa’id, al-Manzilah bainal Manzilatain dan al-Ma’ruf wa an-Nahi Munkar.
Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau
“kelompok”, sedangkan secara terminologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian
kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada
keturunan Nabi Muhammad SAW. Atau di sebut sebagai Ahl al-bait. Poin penting
dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama bersumber
dari Ahl al-bait . mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat
yang bukan Ahl al-bait atau para pengikutnya.

3.2 Saran
Perkembangan aliran-aliran seperti Mu’tazilah maupun Syi’ah menuntut
kita untuk selalu berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya doktrin keras yang
mungkin berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasannya
ke negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di
Indonesia. Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus selalu cermat serta
berhati-hati dalam meyakini dan mempelajari suatu aliran baik itu Syi’ah maupun
aliran pemikiran yang lain.

16
DAFTAR PUSTAKA

Nasution Harun, Teologi Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.


Rozak Abdul, Ilmu Kalam, Bandung : Cv. Pustaka Setia 2014

17

Anda mungkin juga menyukai