REFLEKSI AKHIR TAHUN Sindhu Poecis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

REFLEKSI AKHIR TAHUN

KELAS SYNTAXIS

W. Sindhu Aji Gangga Rahmanto


Poecis
18
Paroki Santa Maria Tak Bernoda

Seminari Menengah St. Paulus


Jl. Bangau Palembang
2017/2018
REFLEKSI AKHIR TAHUN KELAS POECIS
TAHUN AJARAN 2018/2019
Seminari Menengah Santo Paulus Palembang

1. Mengenal Identitas Diri dan Keluarga


Namaku Wilfried Sindhu Aji Gangga Rahmanto. Aku biasa dipanggil Sindhu atau
Gangga. Nama ini adalah pemberian dari kedua orang tuaku. Nama Wilfried dipakai
sebagai nama baptisku, kebetulan itu pulalah nama seorang Magister yang bapak kagumi
dahulu. Sindhu mempunyai arti juga yakni seorang romo tegas yang bapak kagumi juga
sewaktu jadi frater dahulu. Nama Aji mempunyai yang berarti aku adalah anak yang
berharga, begitu juga kakakku dan adikku. Sedangkan Gangga merupakan sungai suci
yang ada di India, dengan harapan bahwa kelak aku menjadi pribadi yang suci, dan bila
bisa lebih, yakni menyucikan orang lain, yakni dengan menjadi Imam. Dan yang terakhir,
Rahmanto. Nama ini memiliki arti semoga aku selalu diberikan rahmat oleh Tuhan; dari
kata Rah, dapat mengartikan bahwa ketika aku lahir, ibuku mengalami pendarahan hebat
yang membuatnya hampir tak bernyawa, namun Tuhan sungguh baik dengan
menyelamatkan ibuku. Aku adalah pemuda tambun berkulit sawo matang, dengan tinggi
174 cm dan berat badan 80 kg.
Aku sungguh bersyukur mempunyai keluarga yang seperti ini adanya. Aku
bersyukur dengan segala kondisi ekonominya, cara mendidiknya, serta dalam kehidupan
sehari-hari, yang membuat aku tumbuh menjadi pribadi yang tangguh. Aku mempunyai
seorang kakak laki laki yang bernama Laurentius Krisna Aji Dwi Setyanto, yang
sekarang menjalani pendidikan di Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran
(BP2IP) Tangerang, dan memasuki tahun kedua. Aku juga memiliki seorang adik
perempuan yang bernama Vincentia Galuh Candra Kirana, yang masih duduk dibangku
SD kelas 4 di SD Charitas 1. Banyak yang bilang bahwa aku adalah anak yang beruntung
karena mempunyai kakak dan adik (anak tengahan). Diantara kedua saudaraku ini, aku
paling dekat dengan kakakku. Selain karena usia kami yang hanya terpaut 1 setengah
tahun, kami juga sering bermain bersama, dihukum bapak bersama, berkelahi dan
akhirnya kami saling berdamai yang membuat kami sadar. Kakakku juga sering bercerita
tentang kehidupan di asramanya, begitu pula aku juga sering cerita. Namun untuk saat
ini, kami jarang berkomunikasi karena kakakku juga dibatasi dalam penggunaan ponsel.
Berbeda dengan adikku, kami memang dekat dan aku juga berusaha membantu bapak
dan ibuk dalam mendidik adik supaya menjadi pribadi yang matang dalam menghadapi
kehidupan yang berubah ubah, meskipun kadang caraku agak kasar, namun aku yakin
adikku akan siap.
Aku mempunyai seorang bapak yang sangat kusayangi, beliau bernama Ignatius
Pratikto. Bapak adalah orang dengan kepribadian yang humoris dan tegas. Beliau
mendidik anak-anaknya dengan tanpa membedakan, dari kakakku, aku maupun adikku.
Bapak bekerja sebagai seorang guru di SMK Xaverius 1 Belitang. Cara mendidik bapak
cukup keras dan tegas, hal ini juga yang mempengaruhi kepribadianku di seminari ini.
Berbeda dengan ibuk yang memang tegas namun dengan kelembutan hati seorang ibu.
Ibuku bernama Yustina Indarti, seorang ibu dengan kepribadian tegas dan lembut yang
sangat kusayangi pula. Ibuk bekerja di RSUD OkuTimur dibagian Unit Tranfusi Darah.
Aku sungguh bersyukur dengan segala kondisi yang ku alami selama berada di
tengah keluarga ini. Dulu, ketika aku belum masuk ke seminari, keluarga kami jarang
sekali makan bersama, bahkan masih sering adu mulut dan ribut. Namun perubahan besar
dapat kurasakan ketika aku pertama kali berlibur ke rumah pada libur Natal. Kami jadi
sering makan bersama, mengobrol dengan canda tawa lepas dan bahkan kami berdoa
bersama. Aktivitas ini pun berlanjut terus sampai libur Natal kemarin. Kami terus
memperteguh hidup doa dan persaudaraan.
Dari kedua orang tuaku ini, aku paling dekat dengan ibuk. Kelembutan ibuk itulah
yang membuat aku merasa nyaman dengan ibuk. Aku merasa canggung bila ngobrol
dengan bapak. Tapi hal ini tak membuatku lupa untuk menjalin komunikasi yang erat
dengan bapak. Bahkan saat ada kesempatan menelpon “orang rumah”, aku dan bapak
selalu mengobrolkan tentang kehidupanku di seminari. Bertanya tentang kabar dan
panggilan.
Aku lahir di RS Charitas Belitang pada 14 Juni 2001 dengan proses kelahiran
biasa, tanpa sesar. Aku berasal dari desa Tegal Rejo, tepatnya di Jl. Kapasan, no.567
kecamatan Belitang, OKU Timur. Tempat dimana aku secara tidak langsung dididik oleh
lingkungan yang kental dengan kekatholikannya namun juga tak sedikit teman teman
sebayaku yang mbeling yang turut membentuk kepribadianku. Berbicara mengenai
rumah, keluargaku mempunyai satu rumah dengan isi yang sama dengan keluarga lain
pada umumnya. Seperti kulkas, tv, perabotan rumah lainnya dan juga 2 motor yang
dipakai kerja orang tuaku. Di dalam rumah itu terdapat 3 kamar tidur, 1 untuk tamu
(termasuk ketika aku berlibur) 1 untuk orang tuaku dan satu untuk diisi ketika liburan
tiba. Disisi lain, keluargaku mempunyai tempat kost untuk perempuan, sekitar 6 kamar
untuk berdua-dua. Di depan ada 1 kolam ikan, di belakang ada 3 kolam dan juga yang
sekarang menjadi pekerjaan sampingan bapak yakni kami mempunyai peternakan kecil
ayam. Orang tuaku kini sudah keren, beliau mengikuti zaman dengan mulai memakai
gadget dan mempergunakannya dengan baik namun tetap tidak lupa akan budaya dan jati
diri.
Jika berbicara mengenai kondisi ekonomi keluarga, aku mengutip kata kata Mgr.
Al, yakni “keluarga kami itu dibilang miskin ya tidak, dibilang kaya ya tidak”. Nah aku
sangat bersyukur dengan segala kondisi yang diberikan Tuhan pada keluargaku. Bapak
dapat mengatakan dengan terbuka bahwa keluarga mempunyai hutang dengan orang
inilah, itulah, dan memang kata orang hal itu adalah privasi orang tua. Namun bagiku,
anak memang perlu tahu tentang perekonomian keluarga, supaya anak dapat menjadi uga
hari dan paham akaan kondisi keluarga sedang bagaimana.
Beralih ke segi sosialitas. Orang tuaku merupakan orang yang cukup dikenal
orang banyak. Bukan karena apa-apa, melainkan karena bapakku adalah seorang guru
yang tentu dikenal banyak orang dan ibuk dengan relasi dengan orang banyak yang
membuat orang tuaku dikenal. Di lingkungan sekitar, orang tuaku berhubungan baik
dengan keluarga lain, tanpa pandang agama, suku, pendatang atau orang lama. Bapak
adalah orang yang cakap dalam berbicara, maka tak heran ia berteman dengan banyak
orang. Bahkan dengan keluarga tetangga sebelah, Pak Jumali. Kami berhubungan erat
dan saling membantu. Ketika salah satu dari kami akan ada acara, pastilah akan datang
paling awal dan pulang terakhir, kami sering berbincang di teras depan rumah dan saling
berbagi makanan.
Dari segi kerohanian, keluargaku sangatlah aktif menggereja. Sejak aku SD kami
sudah sering pergi ke gereja bersama untuk misa harian, karena memang rumah kami
dekat dengan paroki. Ibuk aktif diorganisasi WK dan kegiatan lainnya. Sayangnya, bapak
jarang dan terlihat agak malas bila membahas tentang organisasi di gereja, tetapi bapak
juga pernah menjabat sebagai ketua PGK. Kedua orang tuaku aktif di Karya Kerasulan
Keluarga paroki. Beliau sering mengikuti retret pasutri di Palembang, juga sering
memberikan Kuperper (kursus persiapan perkawinan) bagi calon pasutri. Aku merasa
senang jika orang tuaku terlibat aktif dalam kegiatan menggereja. Hal itulah juga yang
membuat aku tetap semangat menjalani hidup panggilan diseminari ini.
Dari banyaknya rangkaian peristiwa yang terjadi selama ini, ada satu hal yang
menurutku mengesankan. Yakni pada setiap malam minggu, kami dapat merayakan
ekaristi bersama, duduk berjejeran, setelah itu pulang dan makan malam bersama dengan
sajian nasi goreng buatan bapak. Aku merasa sangat tenteram saat itu. Aku benar-benar
merasakan persaudaraan dan kasih sayang antar anggota keluarga. Kami bercerita
panjang-lebar, bapak dengan cerita leluconnya, ibuk dengan cerita di Rumah Sakitnya,
aku dengan cerita seminariku, kakakku dengan cerita kerasnya hidup menjadi seorang
taruna. Kami saling melengkapi dan memberi saran yang berguna.
2. Riwayat Panggilan
Membahas mengenai panggilan memang menarik dan misterius. Aku sadar bahwa
aku adalah pribadi yang terpanggil. Munculnya panggilan ini pada saat aku duduk
dibangku SD kelas 5. Saat itu aku sering-seringnya mengikuti misa harian di paroki dan
menjadi misdinar. Saat itu, romo yang melayani yakni, alm.Rm Endrakaryanta, SCJ; rm
Lilo, dan rm Suryo. Aku sebagai anak kecil pada waktu itu hanya tertarik melihat romo
Endra yang sudah tua namun masih semangat dan kuat dalam menjalani pelayanan. Aku
sungguh salut engan pengorbanannya, ketulusannya dan kecakapannya dalam berkotbah.
Pada 27 September 2001, aku dibaptis dengan nama Wilfred, oleh rm Yoseph
Kurkowski, SCJ. Sebelum aku masuk seminari, aku tidak tahu siapa itu Wilfred. Namun
ketika aku Gramatica, aku mencari tahu nama santo. Aku menemukan nama santo yang
kurasa cocok, yakni Santo Wilfridus. Dan semenjak itu pula aku mulai sadar dan
mengarahkan diriku perlahan mulai meneladan St. Wilfridus. Hingga kini aku mencapai
akhir kelas Poecis, yang berarti akhir masa SMA ku, panggilanku berdinamika dengan
baik dan enjoy. Dukungan dari keluarga yang sangat besar menjadikanku semangat terus
dalam menjalaninya. Kini aku semakin memperteguh panggilan dan menjadikan Matius
22:14 sebagai motto yang mendukungku. Aku akan semakin berusaha untuk membentuk
diriku sebagai pribadi yang tidak hanya terpanggil namun kelak terpilih. Aku akan
berusaha keras dan berjuang dengan tekun untuk mencapainya.

3. Proyek di kelas Poecis


 Membentuk diri semakin teguh dalam doa, dengan meningkatkan intensitas
berdoa. Kini aku telah menjadikan Doa Penyerahan Pribadi kepada Hati Kudus
(buku Satu Hati dalam Tuhan, hal.308) sebagai doa pokok setiap pagi.
 Terus mengolah talenta yang ada dalam diriku seperti memperdalam cara bermain
gitar, organ, biola dan alat musik lainnya yang kubisa. Talenta itu akan terus
kupupuk agar semakin berkembang dan dapat kubagikan pada orang lain.
 Mengurangi cara hidup yang kurang sehat dengan rutin berolah raga dan lebih
mengarahkan diri pada olah raga futsal.
 Memperbaiki kesalahan dalam bersosialitas di seminari terhadap seminaris
maupun staf yang ada, sehingga dapat terjalin komunikasi yang sehat dan bersifat
positif.
4. Situasi Terakhir Panggilanku
a. Sanctitas
Di kelas Poecis ini, aku merasa bahwa hidup doaku lebih meningkat. Aku
memilih buku Satu Hati dalam Tuhan sebagai buku doa favoritku dengan doa-doa
yang meurutku pas dan dapat kujalani dengan tekun. Aku sadar bahwa seorang
seminaris haruslah dekat dengan Tuhan dan membiarkan-Nya masuk untuk
membantu hidup panggilanku berjalan.
b. Scientia
Dari segi pengetahuan, aku sadar bahwa aku tidak sepintar dan secerdas
teman-teman lainnya. Bahkan aku tetap saja tidak minat dalam mempelajari
Matematika. Nilai matematika ku diraport pun jarang tuntas. Namun aku berfikir
bahwa aku belajar bukan hanya dari pelajaran matematika saja. Aku
mengoptimalkan belajarku untuk pelajaran yang aku sukai dan aku mampui,
seperti nilai-nilai sejarah yang memuaskan, PKN dan mapel lainnya yang bagus.
Melihat nilai MTK yang segitu-gitu saja, bukan berarti aku tidak pernah berjuang.
Tentu aku berusaha keras untuk belajar, memahami materi yang ada dengan
susah, dan ketika hasil ulangan atau hasil raport tiba, aku selalu merasa sia-sia
dalam mempelajari matematika. Bagaimanapun, Sindhu adalah seorang yang
tangguh dan tidak mudah menyerah, maka aku akan terus setia berjuang demi
nilai nilai yang baik.
Di kelas Poecis ini, aku memang lebih sering memanfaatkan waktu untuk
menulis. Entah membuat pemikiran-pemikiran yang bersifat humanis, humor,
kumpulan puisi yang kubuat untuk terus memupuk diri dibidang sastra, juga
mengasah talenta dalam menggambar dan membuat kerajinan tangan lainnya.
c. Sanitas
Harta sejati adalah kesehatan, bukan emas dan perak. Begitulah kata
Mahatma Gandhi. Aku sepikiran dengan beliau. Menurutku, ketika aku sehat, aku
akan dapat melakukan hal yang kusuka dan aktivitas sehari-hari dengan baik.
Aku yang gemuk ini sebenarnya sudah mengurangi dan memperbaiki pola
makan. Namun, aku sadar itu butuh proses. Terkadang aku juga merasakan sesak
nafas (karena aku memang juga seorang perokok) saat berolah raga. Sebenarnya
aku sudah mengurangi intensitas merokok, namun tentu butuh waktu lama untuk
memulihkan. Jadi, aku sadar bahwa aku harus kembali ke hidup sehat dengan
rutin berolah raga dan makan cukup, serta berhenti melakukan hal yang menyakiti
diri sendiri dan terbilang ceroboh, agar aku tumbuh dan berkembang menjadi
seorang calon Imam yang sehat jasmani dan rohani.
d. Sosialitas
Aku dikenal teman-teman seminaris sebagai pribadi yang dinamis, enjoy,
suka guyon, tegas dan mampu berteman baik dengan siapapun. Akupun
mengamini penilaian teman-temanku itu. Mungkin sebenarnya Tuhan memang
telah merancangku dengan kepribadianku yang seperti ini, agar sesuai dengan
cita-citaku yakni menjadi seorang Imam yang berkarya di bidang Kepemudaan.
Aku membentuk cara bersosialku ini sebaik mungkin, dengan menyesuaikan diri
dengan siapa yang kuhadapi. Memang aku merasa memiliki kemampuan baik
dalam bersosialitas, sehingga aku mempunyai banyak teman, dan juga beberapa
sahabat.
***KEPUTUSAN***

Anda mungkin juga menyukai