0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
23 tayangan

Zubaedah Fu

Skripsi ini membahas penerapan metode Yūsuf al-Qarḍāwi dalam memahami hadis "Ṣallū kamā raitumūnī ūṣallī". Metode ini meliputi memahami hadis berdasarkan konteks, situasi, dan tujuan diucapkan. Penelitian ini bertujuan memperoleh pemahaman esensial tentang makna hadis tersebut dengan menghubungkan riwayat yang setema. Metode analisis yang digunakan adalah studi pust

Diunggah oleh

Lulu Lulu
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
23 tayangan

Zubaedah Fu

Skripsi ini membahas penerapan metode Yūsuf al-Qarḍāwi dalam memahami hadis "Ṣallū kamā raitumūnī ūṣallī". Metode ini meliputi memahami hadis berdasarkan konteks, situasi, dan tujuan diucapkan. Penelitian ini bertujuan memperoleh pemahaman esensial tentang makna hadis tersebut dengan menghubungkan riwayat yang setema. Metode analisis yang digunakan adalah studi pust

Diunggah oleh

Lulu Lulu
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 112

Penerapan Metode Yūsuf Al-Qarḍāwi Terhadap Pemahaman

Hadis ṢALLŪ KAMĀ RAITUMŪNĪ ŪṢALLĪ


Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
ZUBAEDAH
NIM: 1112034000181

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2O17 M
ABSTRAK

ZUBAEDAH
Penerapan Metode Yūsuf Al-Qarḍāwi Terhadap Pemahaman
Hadis ṢALLŪ KAMĀ RAITUMŪNĪ ŪṢALLĪ
Fenomena perbedaan dalam gerakan salat sudah terjadi dari masa para
imam panutan dahulu, seperti Imam Ḥanbāli, Imam Abū Ḥanifah, Imam Mālik,
Imam Syafi’I, dan lainnya. Mereka tidak memandang perbedaan ini sebagai hal
yang buruk. Masing-masing dari mereka bahkan tidak ada yang memaksakan
pendapatnya kepada yang lain atau melecehkan orang yang tidak sependapat
dengannya. Sebagian mereka cenderung “memperketat” dan yang lainnya
cenderung “melunakkan”. Namun, dewasa ini banyak umat akhir zaman yang
sering menggunakan dalil ‫ص ِلي‬ َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬
َ , sebagai hujah dari setiap gerakan
salatnya dan menyalahkan setiap gerakan salat yang berbeda. Seolah-olah gerakan
salat merekalah yang paling benar. Jadi, bagaimanakah makna dari sabda Nabi,
َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬
‫ص ِلي‬ َ itu sendiri?
Penelitian ini memberikan pemahaman, bahwa hadis “‫ص ِلي‬ َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬
َ ”
merupakan sebuah kalimat yang mencakup segala gerakan dan ucapan yang
dilakukan Rasūlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam, dalam melaksanakan salat.
Adapun Sabda Nabi, ‫ص ِلي‬ َ ُ ‫ َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬, mengandung makna bahwa Nabi Ṣallallāhu
‘Alaihi wa Sallam memberi keluasan kepada para sahabat untuk mengikuti salat
sebagaimana mereka melihat salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.Tidak sedikit
sahabat yang berbeda dalam menjelaskan tata cara salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa
Sallam. Karena yang melihat salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam tidak hanya
satu sahabat, melainkan setiap sahabat yang berjama’ah dengan beliau. Dengan
َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬
demikian, “‫ص ِلي‬ َ ” adalah salat dengan mengikuti segala gerakan
dan ucapan ketika Nabi salat, yaitu dengan melihat riwayat-riwayat hadis shahih
yang menjelaskan tata cara salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.
Penelitian dilakukan dengan menerapkan metode Yūsuf al-Qarḍāwi, yaitu
memahami hadis dengan menjalin hadis yang setema dan memahami hadis
berdasarkan latar belakang, situasi dan kondisinya ketika diucapkan, serta
tujuannya.

i
KATA PENAGANTAR

‫من الَّ ِحي ِْم‬


ِ ْ‫ِبس ِْم الّل ِه الَّح‬

Segala puji penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. Yang telah memberi

rahmat dan inayah. Sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Shalawat dan salam penulis haturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Tidak lupa, kepada para sahabat, keluarga dan ulama penerus, yang berjasa

besar menjaga kelestarian sabdanya. Semoga Allah melimpahkan kasih

sayangnya kepada mereka semua.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan ini tidak terlepas dari karunia Allah

serta bantuan, dorongan dan sumbangsih yang tidak ternilai harganya dari berbagai

pihak, baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada:

1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Dede

Rosyada, MA (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansoer, MA (Dekan Fakultas

Ushuluddin), Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Ketua Jurusan Tafsir Hadits), Dra.

Banun Binaningrum, M.Pd (Sekjur Tafsir Hadits).

2. Bapak Dr. Isa HA. Salam, MA., selaku dosen pembimbing yang telah banyak

membantu, membimbing, mengarahkan, dan memberikan motivasi selama

proses penulisan skripsi.

3. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., selaku dosen matakuliah Metode

ii
Pemahaman Hadis, yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan

dalam mendapatkan judul skripsi.

4. Bapak Jauhar Azizy, MA., selaku dosen pembimbing akademik, yang telah

memberikan kemudahan bagi penulis dalam mengurus administrasi

perkuliahan dan penyelesaian skripsi.

5. Segenap dosen fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir

Hadits yang telah mendidik, memberikan ilmu, pengalaman, serta pengarahan

kepada penulis selama masa perkuliahan.

6. Segenap pimpinan dan karyawan, Perpustakaan Utama dan Perpustakaan

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah melayani dan

menyediakan buku-buku yang dapat membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

7. Sembah bakti do’a dan rasa terima kasih kepada kedua orang tua, almarhum

ayahanda Amin Mundir ayah terbaik, yang tidak sempat melihat putrinya lulus

dari perguruan tinggi ini (Allāhummaghfirlahū warḥamhū wa’afihi

wa’fu’anhū) dan ibunda Fatimah tercinta yang telah bersabar dalam mengasuh,

mendidik, memberikan kasih sayang dalam segala keterbatasannya, serta

dalam lelahnya tak pernah lupa berdoa untuk putrinya. Semoga Allah

memberikan kemuliaan dan menempatkan keduanya pada derajat yang tinggi.

(Ᾱmīn)

8. Pimpinan Lembaga Yayasan Permata Islam Ar-Ridha Bpk. Drs. H. Bahron

Fathin, MA. dan Ibu Naziroh Hasan, S.Ag. yang telah sangat berjasa selama

penulis menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau adalah

iii
payung kehidupan bagi penulis, karena tanpa istananya penulis tidak bisa

berlindung dari teriknya matahari dan tanpa petuahnya penulis tidak akan

setegar ini melewati terjalnya kehidupan.

9. Untuk Muhammad Aship, S.Pd.I selaku kakak dan teman seperjuangan yang

tak pernah berhenti memberikan motivasi dan semangat dalam berbagai

kesulitan dan keputusasaan penulis. Dan juga kakak-kakakku tercinta

Solehuddin, Muhaemin, Urifah, Ma’mun, dan Nur’aini yang telah mendukung,

mendoakan dan memberikan semangat selama penulis menempuh studi.

10. Keluarga besar Yayasan Permata Islam Ar-Ridha beserta jajarannya, serta

teman-teman santriwan dan santriwati Ar-ridha yang sedang dan telah sama-

sama berjuang menuntut ilmu di Ibu Kota. Terima kasih atas kebersamaannya,

kalian adalah teman dalam suka dan duka yang telah memberikan banyak

pelajaran dan pengalaman bagi penulis.

11. Seluruh teman-teman TH angkatan 2012, khususnya keluarga besar TH

‘E’xcellent, kepada sahabat-sahabatku Sihah, Zubed, Luluk, Khilda, Sholihah,

Rois, Ka Hikmah, Mba Lis, Yeni, Risma, bang Hirman, Agung, bang Mursyid,

Ziya, kang Huda, Adit, Agus, bang Tohir dan kepada seluruh teman-teman

yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Semoga tali silaturrahmi kita tidak

akan pernah putus.

12. Keluarga besar KKN MUFAKAT 2015 (Sihah, Rubi, Zaza, Erna, Alif, Ira,

Badrus, Firman, Radit, Deni, Aris, Nabil, Qomar, Ridwan) terima kasih atas

kebersamaan dan berbagi pengalaman. Mengenal kalian dengan berbagai latar

belakang yang berbeda menjadi warna tersendiri dalam pertemanan kita.

iv
13. Teman-teman semua yang secara langsung, maupun tidak langsung ikut andil

dalam memacu, memotivasi penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.

Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang

setimpal dari Allah SWT, sebagai amal saleh dan senantiasa berada dalam

ampunan-Nya.

Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan

dalam ikut serta membantu kearah kemajuan pendidikan, khususnya dalam bidang

studi hadis. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi orang banyak dan

membawa keberkahan di dunia dan akhirat. semoga Allah SWT memberikan

petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya kepada

kita sekalian, Aamiin.

Jakarta, 21 September 2017

Penulis

v
DAFTAR ISI

ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI vi
PEDOMAN TRANSLITERASI viii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 10
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penilitian dan Sumber Data 11
2. Metode Analisis 12
E. Kajian Pustaka 14
F. Sistematika Penulisan 17

BAB II METODE PEMAHAMAN HADIS YŪSUF Al-QARḌᾹWI


A. Biografi Yūsuf al-Qarḍāwī
1. Latar Bealakang Kehidupannya 20
2. Pendidikan 22
3. Karya-karyanya 24
4. Pemikirannya Tentang Hadis Nabi Saw. 30
B. Pengertian Metode Pemahaman Hadis 32
C. Metodologi Pemahaman Hadis Yūsuf al-Qarḍāwi 33

BAB III STUDI KUALITAS SANAD HADIS ṢALLŪ KAMĀ RAITUMŪNĪ


ŪṢALLĪ
A. Takhrij Hadis 50
B. I’tibar Sanad 57
C. Kritik Sanad Hadis 59

BAB IV KAJIAN PEMAHAMAN HADIS ṢALLŪ KAMĀ RAAITUMŪNĪ


ŪṢALLĪ
A. Memahami Hadis dengan Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin
dalam Tema-tema yang sama 76
B. Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya,
Situasi dan Kondisinya ketika Diucapkan, serta Tujuannya 82

vi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 89
B. Saran 89

DAFTAR PUSTAKA 91
LAMPIRAN 96

vii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada

Romanisasi Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama kali

diterbitkan pada tahun 1991 dari America Library Association (ALA) dan Library

Congress (LC).

A. Konsonan Tunggal dan Vokal

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

‫ا‬ A A ‫ط‬ Ṭ Ṭ

‫ب‬ B B ‫ظ‬ Ẓ Ẓ

‫ت‬ T T ‫ع‬ ‘ ‘

‫ث‬ Ts Th ‫غ‬ Gh Gh

‫ج‬ J J ‫ف‬ F F

‫ح‬ Ḥ Ḥ ‫ق‬ Q Q

‫خ‬ Kh Kh ‫ك‬ K K

‫د‬ D D ‫ل‬ L L

‫ذ‬ Dz Dh ‫م‬ M M

‫ر‬ R R ‫ن‬ N N

‫ز‬ Z Z ‫و‬ W W

‫س‬ S S ‫ه‬ H H

‫ش‬ Sy Sh ‫ء‬ ’ ’

‫ص‬ Ṣ Ṣ ‫ي‬ Y Y

‫ض‬ Ḍ Ḍ ‫ة‬ H H

viii
Vocal Panjang

َ‫ا‬ Ᾱ Ᾱ ‫أ ُ َو‬ Ū Ū

َ‫إِي‬ Ῑ Ῑ

B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah.

‫مؤسسة‬ Mu‘assasah

‫متعددة‬ Muta’addidah

C. Tā̕ Marbūṭah.

‫صالة‬ Ṣalāh Bila dimatikan

‫مرأةَالزمان‬ Mir̕āt al-zamān Bila Iḍāfah

D. Singkatan.

Swt : SubḥānahŪ wa ta̕ ālā

Saw : Ṣallā Allāhu ̕ alayh wa sallam

M : Masehi

H : Hijriyah

QS : Qur’ān Surat

HR : Hadis Riwayat

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis Nabi Muḥammad Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam selain sebagai sumber

ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, juga berfungsi sebagai sumber

sejarah dakwah (perjuangan) Rasụlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam. Hadis

juga mempunyai fungsi penjelas bagi al-Qur’an, menjelaskan yang global,

mengkhususkan yang umum, dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.1

Pada masa Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam perhatian para sahabat

lebih dikonsentrasikan pada al-Qur’an. Sedangkan kondisi hadis pada waktu

itu tidak tercatat secara resmi bahkan Rasụlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam

secara umum melarang untuk menulisnya. Hadis hanya di ingat di luar kepala

mayoritas sahabat kemudian disampaikan kepada sesamanya.2 Namun begitu,

secara sadar atau tidak para sahabat menjadikan hadis sebagai patokan dalam

berbuat dan menentukan segala hal terutama setelah Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa

Sallam wafat. Hingga kemudian, ada beberapa sahabat mengartikan atau bahkan

mengaplikasikan sabda Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah

perbuatan. Karena memang, sumber pembentukan syari’at pada masa Nabi

Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam selain al-Qur’an adalah Hadis Nabi Ṣallallāhu

‘Alaihi wa Sallam.3

1
Bustamin, M. Isa Salam, Metode Kritik Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2004,
hal. 1
2
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, Jakarta: Ushul Press, 2009, hal. 21-22
3
Muhammad ‘Ajjāj al-Khatib, Ushul al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, Cet. 1, Jakarta:
Penerbit Gaya Media Pratama, 1998, Hal. 72
1
2

Penelitian terhadap hadis sangat diperlukan karena hadis sampai kepada

umat Islam melalui jalur dan jalan periwayatan yang panjang. Sehingga wajar

apabila terdapat kesalahan-kesalahan terhadap pemahaman hadis Nabi

Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam tersebut. Hadis tidak bertambah jumlahnya setelah

wafatnya Rasụlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan permasalahan

yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang sehubungan dengan

perkembangan zaman. Oleh karena itu, di dalam memahami hadis diperlukan

metode pemahaman yang tepat melalui pendekatan yang komprehensif, baik

tekstual maupun kontekstual dengan berbagai bentuk dan kaedah-kaedahnya.4

Dalam hal ini, Yūsuf al-Qarḍāwī di dalam bukunya mengatakan bahwa siapa

saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi) praktis Islam dengan

segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari

secara rinci dan teraktualisasikan dalam sunnah Nabawiyah, yakni ucapan,

perbuatan dan persetujuan Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.

Menurut al-Qarḍāwī, Asbab an-nuzul perlu diketahui oleh siapa saja yang

ingin memahami al-Qur’an atau menafsirkannya, maka asbāb al-wurūd (sebab

atau peristiwa yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis) lebih perlu

lagi untuk diketahui. Karena hadis memang menangani berbagai problem

yang bersifat lokal (mauḍū’iy), partikular (juz’iy) dan temporal (‘aniy). Di

dalamnya juga terdapat berbagai hal yang bersifat khusus dan terinci, yang

tidak terdapat dalam al-Qur’an. Serta dalam memahaminya harus dengan

4
Siti Fatimah, Skripsi: Metode Pemahaman Hadis Nabi dengan Mempertimbangkan
Asbabu al-Wurud (Studi Komparasi Pemikiran Yusuf al-Qardlawi dan M. Syuhudi Isma’il), Fakultas
Ushuluddin, Universiatas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, hal. 4
3

memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta asbāb al-wurūd dari suatu

hadis, sehingga akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus.

Hal ini dilakukan, agar nilai yang terkandung dalam hadis tetap relevan hingga

akhir zaman.5

Pada penelitian ini penulis akan meneliti sebuah hadis yang cukup populer

di masyarakat, yakni hadis yang dijadikan hujah sebagai dalil pembenaran salat

ketika melihat perbedaan bacaan maupun gerakan dalam salat yang terkadang

digunakan untuk menyalahkan gerakan salat yang berbeda. Hadis tersebut

diriwayatkan oleh Imam Bukhāri, bahwasanya Rasūlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa

Sallam bersabda:

َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬


".... ‫ص ِلي‬ َ ‫ َو‬...."
“….. Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat, …..”6

Ketika penulis melakukan kajian pustaka terdapat sebuah buku karangan

Muhammad Nāṣiruddīn al-Albāni yang berjudul Ṣifatu Ṣalāt al-Nabiyyi Saw.

yang di dalamnya memuat tentang tata cara salat berdasarkan hadis-hadis ṣaḥīḥ.

Sebagaimana judul bukunya Albāni mengartikan hadis “Ṣallū Kamā

Raaitumūnī Uṣallī” ialah melihat salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam yakni

dengan melihat hadis-hadis Nabi yang ṣaḥīḥ yang bercerita tentang tata cara

salat.7 Dalam bukunya selain menyuguhkan dalil-dalil tentang salat, Albāni juga

5
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Mesir: Dār al-Syurūq,
1427 H/ 2005 M, hal. 146
6
Al-Imām al-Ḥafiẓ Abī ‘Abdillah Muḥammad ibn Isma’il ibn Ibrahim al-Mughirah al-Ju’fī
al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2006 M/ 1427 H), Kitab Adzan, no.
18, bab Adzan dan Iqamah Bagi Musafir Bila Shalat Berjama'ah Begitu Juga di 'Arafah dan
Mudzdalifah, hal. 90
7
Muhammad Nāṣiruddīn al-Albāni, Sifat Salat Nabi Saw. (Panduan Lengkap Salat
Rasulullah Saw), (Jakarta: Gema Insani, 2008), hal. 118
4

kerap menyuguhkan sanggahan-sanggahannya terhadap ulama Mutaakhkhirīn

seperti para Imam madzhab. Salah satu pendapatnya ialah tentang gerakan

meletakkan jari telunjuk saat takhiyat. Albāni mengatakan bahwa meletakkan

jari telunjuk pada waktu mengucapkan “Lā ilāha illallāh” adalah tidak ada asal

usulnya dalam as-Sunnah, bahkan cara tersebut menyelisihi as-Sunnah.8

Adapun di antara pendapat imam madzhab yaitu Imam Asy-Syāfi’I dan

Hanbali, berpendapat bahwa meletakkan jari telunjuk pada lafaz “Illallāh”

tanpa menggerakkannya. Imam Hānafi berpendapat, jari telunjuk di angkat

ketika lafaz “Lā ilāha” dan menurunkan kembali pada lafaz “Illallāh”.

Mengangkat jari telunjuk sebagai tanda menafikan (tuhan selain Allah) dan

menurunkan jari telunjuk sebagai tanda menetapkan (Allah sebagai Rabb yang

di sembah).9

Fenomena lain juga dapat kita temui di masyarakat akhir-akhir ini. Seiring

pesatnya perkembangan teknologi, berbagai sosial media dapat di akses dengan

mudah. Seperti sosial media www.youtube.com yang di dalamnya menawarkan

berbagai informasi tak terbatas. Salah satu informasinya ialah mengenai

ceramah-ceramah keagamaan yang disampaikan para muballigh kekinian. Yang

tidak sedikit pembahasannya mengenai tata cara salat seperti Nabi Ṣallallāhu

‘Alaihi wa Sallam. Di antara pendapat para muballigh tidak semuanya seragam,

ada yang berbeda bahkan cenderung menjustifikasi yang lain karena perbedaan

gerakan, ialah seperti pendapat Khalid Basalamah, mengenai merapatkan shaf

8
Muhammad Nāṣiruddīn al-Albāni, Sifat Salat Nabi Saw.Seakan-akan Anda
Menyaksikannya, Jakarta: Darul Haq, 2013, hal. 289
9
H. Abdul Somad, Lc., MA. 77 Tanya-Jawab Seputar Shalat, dikutip dari E-book:
www.tafaqquhstreaming.com. Hal. 52
5

ketika salat berjamaah. Menurutnya ketika salat berjamaah antara tumit dengan

tumit harus bertemu sehingga betis dengan betis, pundak dengan pundak pun

bertemu (menempel) dan tidak ada cela. Hal ini berdasarkan sabda Nabi

Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam: “Rapat dan luruskan shaf ketika salat

berjama’ah” (HR. Muslim, Bukhāri, Abū Dawūd). Ia pun menyalahkan gerakan

salat orang yang menempelkan ujung jari kaki dengan ujung jari kaki yang lain

dan orang yang tidak mau menempelkan kakinya sama sekali. Menurutnya

mereka adalah orang-orang yang tidak memahami as-sunnah.10

Pada kenyataannya, praktek salat yang ada di masyarakat memang berbeda-

beda, baik dilatarbelakangi oleh taklid kepada madzhab ataupun keterbatasan

pengetahuan agama. Khususnya negeri ini, dalam konteks di Indonesia,

fenomena di negeri yang warga negaranya merupakan pemeluk Islam terbesar

di dunia, ternyata sangat banyak orang yang mengamalkan ajaran Islam, dengan

hanya melihat dan mendengar ceramah-ceramah atau nasihat dari orang

lain, yakni pemuka agama, guru, kyai, tokoh masyarakat, ataupun orang

tua, tanpa kemudian berusaha menyibukkan diri sejenak untuk mengetahui

bagaimana Nabi Muḥammād Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam mempraktikkan

salat dengan mempelajari dan memahami hadis-hadis Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi

wa Sallam.11 yang pada praktiknya di setiap lapisan masyarakat mengikuti tata

10
Khalid Basalamah, Praktik Shalat Sesuai Sunnah Rasulullah SAW. di kutip dari channel
youtube: IndoMuslim, di akses pada 5 oktober 2017 jam: 8.35 WIB. Dari:
https://www.youtube.comwatchv=dJe8VozINz8
11
As-sunnah (hadis Nabi SAW) merupakan penafsiran al-Qur’an dalam praktik atau
penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi SAW.
merupakan perwujudan dari al-Qur‟an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang
dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. (lih. Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi
SAW. hal. 25)
6

cara salat seperti yang diajarkan para ulama semasa hidupnya. Lalu apakah salat

yang mereka lakukan selama ini tidak sah? Jika semua orang salat harus

mengetahui hadisnya (melihat hadisnya langsung).

Berbagai pendapat itu pada dasarnya mengacu kepada sabda Nabi Ṣallallāhu

‘Alaihi wa Sallam, “Ṣallū Kamā Raaitumūnī Uṣallī”(salatlah kalian

sebagaimana kalian melihatku salat). Jadi, bagaimanakah makna hadis tersebut

secara hakiki? Pesan apakah yang hendak Nabi sampaikan dalam hadis

tersebut?

Secara harfiah hadis tersebut menganjurkan kita untuk mengikuti salat yang

telah dipraktekkan beliau. Namun, bagaimanakah para ulama memahami

hadis tersebut? Dalam Ṣaḥīḥ Ibn al-Ḥibbān, Abū Ḥatīm RA berkata, “Ucapan

Rasūlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam, “salatlah kalian sebagaiamana kalian

melihat aku salat” merupakan sebuah kalimat yang mencakup segala gerakan

dan ucapan yang dilakukan Rasūlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam dalam

melaksanakan salat. Adapun salat ataupun gerakan-gerakannya yang hukumnya

sunnah berdasarkan Ijma’ dan Khabar, maka seseorang boleh meninggalkannya.

Sebaliknya, jika Ijma’ dan Khabar tidak menjadikan bahwa hal itu sunnah, maka

ia merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam secara keseluruhan, dan tidak

boleh ditinggalkan dalam kondisi apa pun.12

Adapun menurut Syaikh Muḥammad bin Ṣālih Al-Utsaimin yang dikutip dalam

bukunya Sifat Shalat Nabi SAW. Bahwasannya sabda Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa

Amir Ala al-dīn Ali bin Balban Al-Fārisi, Ṣaḥīḥ Ibn al-Ḥibbān, Jil. 4, Jakarta: Pustaka
12

Azzam, 2009, hal. 729-230


7

Sallam, “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat” sesungguhnya

di dalam hadis tersebut banyak hal yang tidak wajib dari apa yang dahulu

Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam kerjakan menurut ijma’. Maka, hal ini

menunjukkan bahwa hadits tersebut yaitu sabdanya Rasulullah Ṣallallāhu

‘Alaihi wa Sallam “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat”

menunjukkan perintah yang wajib dalam hal yang diwajibkan dan menunjukkan

yang sunnah dalam hal yang disunnahkan.13

Sedangkan Ibn Khuzaimah dalam Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah mengkategorikan

hadis tersebut ke dalam:

ٌّ ‫ع ٍّام ُم َرادُهَا خ‬
،‫َاص‬ َ ‫ظ ِة ْال ُم ْج َملَ ِة الَّتِي ذَ َك ْرتُ أَنَّ َها لَ ْف‬
َ ُ ‫ظة‬ َ ‫اب ِذ ْك ِر ْال َخبَ ِر ْال ُمفَس ِِر ِللَّ ْف‬
ُ َ‫ب‬
14
‫سلَّ َم إِنَّ َما أ َ َم َر أ َ ْن ي َُؤذِنَ أ َ َحد ُ ُه َما ََل ِك َل ْي ِه َما‬ َ ُ‫صلَّى الله‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ِ‫علَى أ َ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ َ ‫َوالدَّ ِلي ِل‬
Yakni redaksi yang kusebutkan adalah umum tetapi yang dimaksud adalah

khusus, serta dalil bahwa Nabi SAW. hanya memerintahkan salah seorang

saja untuk mengumandangkan Adzan.15 Hal ini masih perlu pengkajian ulang

tentang sifat hadis tersebut apakah bersifat umum ataukah khusus?

Bagaimanakah pemahaman hadis tersebut? 16 Dalam konteks apakah Nabi

Syaikh Muḥammad bin Ṣālih Al-Utsaimin, Sifat Shalat Nabi SAW., Jakarta: Darus
13

Sunnah, 2015, Hal. 648

Al-Imam al-Aimmah Abī Bakr Muḥammad Ibn Isḥāq ibn Khuzaimah as-Salimi an-
14

Naisābūrī, Ṣaḥīḥ ibn Khuzaimah, Beirut: Al-Maktaba al-Islīmiy, 1980, Juz 1, hal. 206

Ibn Khuzaimah, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, penerj. M. Faisol dkk., Jakarta: Pustaka Azzam,
15

2007, hal. 482


16
Sebagaimana di kutip oleh M. Syuhudi Isma‟il bahwa sebagian hadis Nabi
dikemukakan oleh Nabi tanpa di dahului oleh sebab tertentu dan sebagian lagi didahului oleh
sebab tertentu. Bentuk sebab tertentu yang menjadi latar belakang terjadinya hadis itu dapat berupa
peristiwa secara khusus dan dapat berupa suasana atau keadaan yang bersifat umum. (M. Syuhudi
Isma‟il, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang, 2009, hal. 49)
8

mengucapkan ḥadis tersebut? Dan apakah hadis tersebut turun mempunyai

sebab secara khusus atau berupa suasana atau keadaan yang bersifat umum?

Diperlukan pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud oleh Rasūlullāh

Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam, tanpa berlebihan ataupun berkurangan. Maka

janganlah ucapan beliau diperluas artinya lebih dari apa yang dimaksud, atau

dipersempit sehingga tidak memenuhi tujuannya dalam memberikan

petunjuk dan penjelasan.

Dalam memahami suatu hadis diperlukan seperangkat instrument, seperti

pengetahuan bahasa, informasi tentang situasi yang berkaitan dengan

munculnya suatu hadis, serta setting sosial budaya pada masa itu. Memahami

teks hadis merupakan suatu persoalan yang urgen untuk dikedepankan.

Oleh karena itu, Yūsuf al-Qarḍāwī memberikan delapan metode untuk

memahami as-Sunnah an-Nabawiyyah dengan baik, diantaranya adalah

memahami hadis sesuai petunjuk al-Qur’an, menggabungkan hadis-hadis yang

terjalin dalam tema yang sama, menggabungkan atau men-tarjīḥ-kan antara

hadis-hadis yang saling bertentangan, memahami hadis sesuai dengan latar

belakang, situasi dan kondisi, serta tujuannya, membedakan antara sarana yang

berubah-ubah dan tujuan yang tetap, membedakan antara fakta dan metafora

dalam memahami hadis, membedakan antara yang gaib dan yang nyata, dan

memastikan makna kata-kata dalam hadis.17 Delapan metode tersebut tertuang

dalam karyanya yang berjudul “Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-

17
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Mesir: Dār al-Syurūq,
1427 H/ 2005 M, hal. 111
9

Nabawiyyah: Ma’ālim wa Ḍawābiṭ”.

Dari berbagai metode yang ditawarkan Yūsuf al-Qarḍāwī di atas, akan

sangat menarik sekali jika diterapkan dalam memahami hadis “Ṣallū Kamā

Raitumūnī Uṣallī”. Dengan memperhatikan latar belakang, situasi, kondisi

serta tujuannya hadis tersebut diucapkan atau yang berkaitan dengan sebab atau

alasan tertentu yang dikemukakan dalam meriwayatkan hadis. Maka, maksud

hadis benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang

menyimpang.

Berdasarkan beberapa permasalahan dan pertanyaan tersebut, penulis

tertarik untuk mengkaji lebih dalam kandungan makna yang terdapat dalam

ḥadīs tersebut. Yang akan tertuang dalam skripsi yang berjudul “Penerapan

Metode Yūsuf al-Qarḍāwī Terhadap Pemahaman Hadis Ṣallū Kamā Raitumūnī

Uṣallī.”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, penulis dapat mengidentifikasi beberapa

permasalahan, antara lain:

a. Penggunaan hadis Ṣallū Kamā Raitumūnī Uṣallī sebagai hujjah

pembenaran salat.

b. Perbedaan praktik salat di zaman sekarang

c. Banyaknya riwayat hadis tentang tata cara salat

d. Pemahaman terhadap hadis perintah mengikuti salat Nabi Muhammad

Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.


10

2. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini tersusun dengan baik dan ada kolerasi antara

latar belakang masalah dengan judul atau tema yang di buat, maka

perlu dijelaskan pula pembatasan masalahnya. Dari delapan m e t o d e

m e m a h a m i H a d i s ya n g d i t a w a r k a n Yūsuf al-Qarḍāwī, Penulis

tidak menggunakan seluruh metodenya, namun membatasinya dengan

menggunakan dua metode yang paling tepat terhadap penelitian ini, yaitu

memahami hadis dengan menjalin hadis yang setema dan memahami

hadis berdasarkan latar belakang, situasi dan kondisinya ketika diucapkan,

serta tujuannya. 18

Dari uraian di atas, penulis hanya mengkaji seputar: “Pemahaman

terhadap hadis Ṣallū Kamā Raitumūnī Uṣallī berdasarkan metode Yūsuf

al-Qarḍāwī”

3. Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan diteliti pada penelitian ini adalah

Bagaimanakah pemahaman hadis Ṣallū Kamā Raitumūnī Uṣallī dengan

menggunakan metode Yūsuf al-Qarḍāwī ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai

oleh penulis dalam penelitian ini adalah untuk memahami makna ḥadīs

18
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Mesir: Dār al-Syurūq,
1427 H/ 2005 M, hal. 123 & 125
11

Ṣallū Kamā Raaitumūnī Uṣallī. Sehingga dapat memahami salat yang

di maksud oleh Nabi Muḥammad dalam kandungan hadis tersebut.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya dibidang Hadis. Selain itu, diharapkan pula dapat

memberikan informasi kepada peneliti yang berkeinginan untuk

melakukan kajian mendalam tentangḥadith salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi

wa Sallam. Serta dapat menjadi bahan informasi bagi masyarakat luas

tentang praktik salat Nabi Muḥammad Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam yang

sebenarnya.

Selain itu hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi kepada

masyarakat luas tentang pentingnya mempelajari dan memahami hadis.

Agar mendapatkan pemahaman ḥadis secara utuh (tekstual-kontekstual) dan

tidak lagi memahami hadis secara setengah-setengah atau secara

tekstualnya saja. Supaya dapat dipraktekkan dalam perilaku sehari-hari

sebagaimana mestinya.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penilitian dan Sumber Data

Dalam melakukan penelitian ini metode yang dipakai adalah

metode pengumpulan data yaitu, penelitian yang bersifat kepustakaan

(Library Research), Penelitian skripsi ini merupakan penelitian

kepustakaan, karena data-data penelitian ini hampir keseluruhannya

adalah data-data kepustakaan. Karena fokus penelitian ini ada pada


12

hadis Nabi sebagai kunci persoalan, maka sumber primer penelitian ini

adalah kitab-kitab hadis Nabi. Yakni, kitab-kitab induk seperti al-

Kutūb al-Tis’ah (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Muslīm, Sunan Abū

Dawūd, Sunan al- Tīrmidzy, Sunan An-Nasā’I, Sunan Ibn Mājah,

Musnad Aḥmad, Muwaṭṭa’ Mālik, dan Sunan Ad-Dārimī). Adapun

sumber-sumber sekunder yang dapat digunakan dalam memahami hadis

secara tekstual maupun kontekstual, maka digunakanlah kitab-kitab

syarḥ hadis juga kitab-kitab yang terkait dengan pembahasan ṣalat.

2. Metode Analisis

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode

pemahaman hadis Yūsuf al-Qarḍāwī yaitu memahami hadis dengan

menjalin hadis yang setema dan memahami hadis berdasarkan latar

belakang, situasi dan kondisinya ketika diucapkan, serta tujuannya.19

Pertama, melakukan kegiatan takhrij untuk menganalisa kedudukan

sanad dan matan yaitu dengan melakukan penelusuran melalui sanad

dan matan hadis, untuk mengumpulkan hadis-hadis yang bersangkutan

dengan penelusuran kata, yang merujuk kepada al-Mu’jām al-Mufaḥras

li Al-fādz al-Ḥadīs al- Nabāwī, juga menggunakan kitab kamus

Miftāh Al-Kunūz Al-Sunnat, lewat penelusuran tema hadis.20 Setelah

dilakukan kegiatan takhrij sebagai langkah awal penelitian untuk hadis

yang diteliti, maka seluruh sanad hadis dicatat dan dihimpun untuk

19
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Mesir: Dār al-Syurūq,
1427 H/ 2005 M, hal. 123 & 125
20
Bustamin, Dasar-dasar Ilmu Hadis, (Jakarta: Ushul Press, 2009), hal. 184 & 186
13

kemudian dilakukan kegiatan al-i’tibar. Untuk melakukan kegiatan

kritik sanad penulis menggunakan kitab, diantaranya yaitu Al-Jarḥu wa

al-Ta’dīl karya Ibn Abi Hatim Al-Razi, Tahẓib al-Kamal karya Abu Al-

Ḥajjāj Yusuf bin al-Ẓaki al-Mizzi, dan Tahẓib al-Tahẓib karya

Muhammad bin Ahmad al-Ẓahabi.21

Kedua, untuk menganalisa hadis yang telah ditakhrij, penulis

menggunakan metode Yūsuf al-Qarḍāwī dengan merujuk kepada kitab-

kitab syarḥ dari hadis-hadis yang terkumpul, seperti menggunakan

Syarḥ dari al-Kutūb al-Tis’ah yaitu kitab Ṣahīh Bukhārī yaitu Fatḥ

al-Bārī karya Ibnu Hajar al-Astqalanī, Syarh kitab Ṣahīh Muslim

karya Imām Nawāwi, Syarh kitab al-Turmūdzi yaitu Tuhfah al- Ahwādzi

karya Abū al-Ulā Muḥammad ‘Abd al-Rahman, Syarh kitab Sunan

Abū Dawūd yaitu Awn al-Ma’būd karya Muḥammad bin ‘ Abd al-

Rahman, Syarh kitab Sunan al-Nasa’I karya Imām al-Sandy, Syarh

Sunan Ibn Majah karya Imām al-Sandy, kitab Lisysyarkh Tsulātsiyyāt

Musnad Imam Aḥmad karya Muḥammad ibn Aḥmad ibn Sālim Al-Saffārīnī

AL-Ḥanbalī, kitab Muwaṭṭa’ Mālik yaitu Al-Tamhīd wa Al-Istidzkār

karya Ibn ‘Abd al-Bār.22 Peneliti berusaha menafsirkan sebuah hadis

tidak saja secara harfiah melainkan dengan memperhatikan segala aspek

yang melingkupi data (hadis) tersebut yakni dengan melihat konteks

kesejarahan di mana dan kapan data (hadis) tersebut diproduksi. Serta

21
M. Syuhudi Isma‟il, Metode Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 2007, hal.
87
22
Arif Wahyudi, Mengurai Peta Kitab-Kitab Hadis (Jurnal al-Ihkam, 08, 01, 2013)
14

melakukan kegiatan takhrij untuk menghasilkan pemahaman yang

akurat.

E. Kajian Pustaka

Setelah melakukan kajian pustaka penulis tidak menemukan karya

ilmiah seperti thesis, skripsi, maupun jurnal yang membahas secara

langsung atau secara khusus hadis “Ṣallū Kamā Raaitumūnī Uṣallī”.

Namun, penulis hanya menemukan beberapa buku dan cermah-ceramah

keagamaan yang sudah dituliskan dalam sebuah artikel. diantaranya:

Buku yang ditulis oleh Albani yang berjudul “Sifat Salat Nabi Saw.

(Panduan Lengkap Salat Rasulullah Saw).23 Dalam buku tersebut Ia

banyak membantah dan menganggap lemah (tidak kuat) dalil-dalil yang

digunakan oleh orang yang berbeda salatnya atau orang yang buruk salatnya

(al-Musī’ Ṣalātuhū). Hal ini berdasarkan hadis Ṣallū Kamā Raitumūnī

Uṣallī. Secara tidak langsung Albani banyak menyalahkan praktek salat

yang diajarkan oleh para ulama terdahulu.

Hal ini dikomentari oleh Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa yang di

kutip dari Kajian al- Kahfi dalam tausiyahnya, bahwa hadis ini sering di

bahas oleh para ulama kita dan juga mereka banyak yang bertentangan

di dalam permasalahan akidah dengan kita, hingga mereka mengatakan:

“Jangan kamu salat kecuali kamu mengetahui hadis-hadis sahihnya”.

Menurutnya, hal itu betul namun tentunya kita mempunyai guru dan

23
Muhammad Nāṣiruddīn Albāni, Sifat Salat Nabi Saw. (Panduan Lengkap Salat
Rasulullah Saw), (Jakarta: Gema Insani, 2008)
15

madzhab. Imam madzab dan guru lebih berhak dipanut daripada melihat

hanya dari buku. Orang yang hanya belajar dari buku saja tidak akan

mengetahui letak kesalahannya karena buku tidak bisa menegur ketika

salah.24 Tentunya kita pun sudah meyakini bahwa para ulama yang kita

ikuti sanadnya sudah sampai kepada Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam

dalam arti bahwa ilmu yang diajarkan para ulama adalah ilmu diajarkan oleh

Nabi juga kepada para sahabat yang sanadnya terus bersambung hingga

sekarang.

Sebagaiamana dikatakan dalam jurnal al-Ihkam yang berjudul Hadits

Sebagai Landasan Pembentukan Tradisi Islam bahwa shalat merupakan

ibadah utama yang disampaikan langsung kepada Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi

wa Sallam ketika Isra’ Mi’raj. Kemudian beliau mengajarkan kayfiyah

shalat kepada pengikutnya, serta ibadah lainnya setelah diperintahkan oleh

Allah Swt. Pelaksanaan semua ibadah oleh Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa

Sallam diperhatikan secara cermat, diriwayatkan, dicoba dan diulangi dalam

praktek para sahabat. Sahabat melaksanakannya di bawah pengawasan Nabi

Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam yang membetulkan setiap penyimpangan

ibadah.25 Dalam hal ini Nabi Bersabda:

‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أُص َِلي‬


َ ‫َو‬

Hadis ini tidak hanya digunakan sebagai dalil pembenaran shalat, seperti

24
Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa yang di kutip dari Kajian al-Kahfi, diakses pada
hari Selasa, 22 Nopember 2016, dari: http://kajianal-kahf.blogspot.co.id/2012/06/shalatlah-kalian-
sebagaimana-kalian.html
25
Karimullah, Hadits Sebagai Landasan Pembentukan Tradisi Islami, Jurnal Al-Ihkam,
Vol. VI, No. 1, Juni 2011
16

yang dikemukakan oleh Nurul Hidayat dalam jurnalnya berjudul Metode

Keteladanan dalam Pendidikan Islam26 bahwa Rasulullah Saw. telah

banyak memberikan contoh agar diikuti oleh para sahabat, terutama

berkaitan dengan urusan agama. Seperti hadis “Shalatlah kalian

sebagaimana kalian melihatku shalat” (H.R. Bukhari) dan hadis “Ambillah

dariku cara-cara mengerjakan ibadah haji kalian.” Berdasarkan hal ini

menunjukkan bahwa beliau telah memberi contoh terhadap segala yang

berkaitan dengan urusan agama untuk dijadikan panutan bagi seluruh umat

Islam.

Adapun skripsi yang berjudul Praktik Shalat Menurut NU dan

Muhammadiyah (Sebuah Studi Komparatif Dalam Bacaan Shalat). Yang

ditulis oleh M. Rifqi Rizani, Mahasiswa Fakultas Syari’ah Dan Ekonomi

Islam, Universitas Antasari Banjarmasin, 2010. Menurutnya ṣalat

merupakan salah satu rukun dari rukun Islam yang lima, bahkan Rasulullah

Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam mengibaratkannya sebagai tiang agama, yaitu

barang siapa yang mendirikan ṣalat sama dengan mendirikan agama dan

barang siapa yang meninggalkannya sama dengan menghancurkan agama,

itulah urgensi ṣalat dalam syariat Islam. Dalam tata cara salat tersebut

langsung dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.

Namun realitanya, pada praktik salat terdapat khilafiyah karena banyak

periwayatan dari hadis Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.

26
Nurul Hidayat, Metode Keteladanan dalam Pendidikan Islam, Jurnal Ta’allum, Vol. 03,
No. 02, November 2015
17

Kenyataannya, para fuqaha pun berbeda pendapat dalam menyikapi hadits

tersebut, sehingga timbul perbedaan pendapat dalam masalah praktik shalat.

Tulisan dari Siti Fatimah27 dalam Skripsinya : Metode Pemahaman

Hadis Nabi dengan Mempertimbangkan Asbabu al-Wurud (Studi

Komparasi Pemikiran Yusuf al-Qardlawi dan M. Syuhudi Isma’il).

Mencoba menjelaskan dalam skripsinya, bahwa Yūsuf al-Qarḍāwī

berpendapat apabila ingin memahami sunnah nabawy dengan baik, harus

mengetahui latar belakang serta mempertimbangkan situasi kondisinya,

ketika hadis diucapkan beserta tujuannya (asbāb al-wūrud). Sedangkan,

menurut M. Syuhudi Ismail memahami hadis dengan mempertimbangkan

asbāb al-wūrud, itu dapat berupa peristiwa secara khusus dan dapat berupa

suasana atau kejadian yang bersifat umum. Sehingga, dengan cara ini maka

kita akan mengetahui bahwa hadis atau sunnah adakalanya harus dipahami

secara lokal, partikular atau temporal sesuai dengan keadaan yang sedang

terjadi.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mencapai sasaran seperti yang diharapkan, maka sistematika

pembahasan ini di bagi menjadi lima bab. Teknik penulisan yang

digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada Buku Pedoman Akademik

Program Strata 1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2012/2013. Untuk transliterasi penulis menggunakan pedoman transliterasi

27
Siti Fatimah, Skripsi : Metode Pemahaman Hadis Nabi dengan Mempertimbangkan
Asbabu al-Wurud (Studi Komparasi Pemikiran Yusuf al-Qardlawi dan M. Syuhudi Isma’il), Fakultas
Ushuluddin, Universiatas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
18

Romanisasi Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama

kali diterbitkan pada tahun 1991 dari America Library Association (ALA)

dan Library Congress (LC). Adapun sistematika pembahasan sebagai

berikut:

Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan atau berisikan

pengantar, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika

penulisan. Dimaksudkan dengan pendahuluan, agar para pembaca sudah

dapat mengetahui garis besar penelitian. Bab pertama ini adalah sebagai

pengantar. Bab kedua, berisi pengenalan seorang tokoh yaitu biografi Yūsuf

al-Qarḍāwī mengenai latar belakang kehidupannya, pendidikan, karya-

karyanya serta seputar pemikirannya tentang hadis Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi

wa Sallam. Agar lebih terarah penelitian ini juga disertai dengan pengertian

metode pemahaman hadis dan metodologi pemahaman hadisnya. Bab

ketiga, akan memaparkan keontentikan sanad hadis dengan melakukan

kegiatan takhrij serta penelitian sanad hadis. Bab keempat, merupakan inti

dari penelitian ini yakni kajian tentang hadis Ṣallū Kamā Raitumūnī Uṣallī

dengan menerapkan metode pemahaman hadis Yusuf al-Qarḍāwi, yaitu

memahami hadis dengan menjalin hadis yang setema dan memahami

hadis berdasarkan latar belakang, situasi dan kondisinya ketika diucapkan,

serta tujuannya dengan merujuk kepada kitab-kitab syarḥ. Bagian terakhir

yaitu bab kelima, berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan

yang didasarkan pada bacaan deskriptif terhadap masalah dan hasil


19

penelitian pustaka, serta dilengkapi dengan saran-saran.


BAB II

METODE PEMAHAMAN HADIS YŪSUF Al-QARḌᾹWI

A. Biografi Yūsuf al-Qarḍāwī

Yūsuf Qarḍāwī dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik dan

istimewa. Keunikan dan keistimewaannya itu tidak lain karena dia memiliki

cara atau metodologi khas dalam menyampaikan risalah Islam. Karena

metodologinya itulah ia mudah diterima di kalangan dunia Barat sebagai

seorang pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun dan

moderat. Kapasitasnya itulah yang selalu membuat Qarḍāwī kerap

menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama di Eropa maupun di

Amerika sebagai wakil dari kelompok Islam.1

1. Latar Bealakang Kehidupannya

Yūsuf al-Qarḍāwī lahir di sebuah kampung kecil di Mesir bernama

Shafth Turab, 9 September 1926.2 Merupakan sebuah perkampungan asli

Mesir yang terdapat di provinsi Gharbiyah, dengan ibu kotanya Ṭanṭa. Beliau

dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, sejak kecil Qarḍāwī sarat

akan didikan keagamaan.

Qarḍāwī tidak berkesempatan mengenal ayah kandungnya dengan baik,

karena saat usianya baru mencapai 2 tahun ayahnya dipanggil oleh sang

Khaliq. Setelah ayahnya meninggal dunia, beliau diasuh dan dibesarkan oleh

ibundanya, kakek dan pamannya. Beruntung sebelum ibu tercintanya

1
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi,
Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika), 2003, Cet. 1, hal. 360
2
Yūsuf al-Qarḍāwī, Fiqih Jihad Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad
Menurut al-Qur’an dan Sunnah, Cet. 1, hal. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010, hal. xxvii

20
21

meninggal dunia, beliau masih sempat menyaksikan putra tunggalnya hafal

al-Qur’an dengan bacaan yang sangat fasih, pada usia 9 tahun 10 bulan.3

Qarḍāwī juga telah mengimami orang banyak, berkhutbah, dan mengajar

mereka ketika beliau menjadi mahasiswa tingkat permulaan (persiapan) di Al-

Azhar Asy-Syarif (Mesir).

Dalam perjalanan kehidupannya Qarḍāwī pernah mengenyam

“pendidikan” penjara sejak dari mudanya. Pada 1949 beliau dipenjarakan

oleh Raja Farouk, karena keterlibatannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin

saat usianya baru 23 tahun. Pada April 1956 beliau ditangkap lagi saat terjadi

Revolusi Juni di Mesir.

Bahkan, akibat kejamnya rezim yang berkuasa pada saat itu, pada 1961

Qarḍāwī meninggalkan Mesir menuju Qatar. Qarḍāwī terkenal dengan

khutbah-khutbahnya yang berani. Karena keberaniannya, beliau pernah

dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalek, Kairo.

Alasannya adalah karena khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini

umum tentang ketidakadilan rezim pada saat itu.4

Qarḍāwī memiliki tujuh orang anak, empat putri dan tiga putra. Sebagai

seorang ulama yang sangat terbuka, beliau membebaskan anak-anaknya untuk

menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan

masing-masing. Beliau tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh

anak perempuannya dan anak laki-lakinya.

3
Siti Fatimah, Skripsi: Metode Pemahaman Hadis Nabi dengan Mempertimbangkan
Asbabu al-Wurud (Studi Komparasi Pemikiran Yusuf al-Qardlawi dan M. Syuhudi Isma’il),
Fakultas Ushuluddin, Universiatas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, hal. 20-21
4
Yūsuf al-Qarḍāwī, Fiqih Jihad Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad
Menurut al-Qur’an dan Sunnah, Cet. 1, hal.. xxvii
22

Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang

nuklir di Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doctor dalam bidang

kimia juga di Inggris. Sedangkan yang ketiga masih menempuh program S-3.

Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas

Texas, Amerika. Anak laki-laki yang pertama di Universitas Dar Al-Ulum,

Mesir. Sedangkan anak yang paling bungsu telah menyelesaikan kuliahnya

pada Fakultas Teknik jurusan listrik.

Dilihat dari ragam pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap

dan pandangan Qarḍāwī terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya,

hanya satu yang belajar di Universitas Dar Al-Ulum, Mesir dan mengambil

pendidikan agama. Sedangkan yang lain mengambil pendidikan umum dan

semuanya di tempuh di Barat. Hal tersebut karena Qarḍāwī merupakan

seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu

bisa islami dan tidak islami, bergantung pada orang yang memandang dan

menggunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurut Qarḍāwī,

telah menghambat kemajuan umat Islam.5

2. Pendidikan

Kecintaannya terhadap lembaga pendidikan Islam ternama, Al-Azhar,

membuat tekad bulatnya menempuh pendidikan dasar sampai atasnya di

Ma’had Ṭanṭa al-Azhar. Setelah lulus beliau melanjutkan studinya ke

5
Yūsuf al-Qarḍāwī, Fiqih Jihad Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad
Menurut al-Qur’an dan Sunnah, Cet. 1, hal. xxviii
23

Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, hingga selesai pada 1952 dengan

predikat summa cum laude.6

Qarḍāwī memperoleh gelar doctor pada 1972 dengan disertasi berjudul

Zakat dan Dampaknya dalam Penanggulangan Kemiskinan. Disertasi

tersebut kemudian beliau sempurnakan menjadi Fiqh Al-Zakāh. Karya ini

merupakan buku komprehensif yang membahas persoalan zakat dengan

nuansa modern.

Di Qatar, Qarḍāwī mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar

dan mendirikan pusat kajian sejarah dan Sunnah Nabi. Qarḍāwī mendapat

kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.7

Beliau lulusan Fakultas Ushuluddin (Universitas Al-Azhar) yang menekuni

bidang aqidah, falsafah, tafsir, dan hadis. Beliau bukanlah lulusan Fakultas

Syari’ah yang lebih mengkhususkan pengkajian pada bidang fiqih dan ushul

fiqh. Namun, demikian, Qarḍāwī senantiasa mempelajari fiqih, baik

sejarahnya, ushul, maupun qawa’idnya. Sebaliknya, mempelajari semua itu

dapat menambah semangatnya dalam belajar filsafat kebudayaan dan sejarah,

di samping juga kebudayaan Islam.

Sejak usia dini Qarḍāwī terbebas dari ikatan mazhab, taqlid, dan

ta’ashshub (fanatik) terhadap pendapat seorang alim tertentu. Meskipun

pelajaran fiqih beliau yang resmi adalah mazhab Abu Hanifah r.a.. Keadaan

dan sikap beliau yang demikian itu disebabkan oleh berbagai factor, antara

6
Yūsuf al-Qarḍāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer, Penerj. As’ad Yasin, Cet. 1, Jakarta:
Gema Insani Press, 1995, hal. 19
7
Yūsuf al-Qarḍāwī, Fiqih Jihad Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad
Menurut al-Qur’an dan Sunnah, Cet. 1, hal. xxvii
24

lain lingkungan harakah Islamiyah tempat Qarḍāwī berorganisasi (baca:

Ikhwanul Muslimin) yang pendirinya adalah Asy-Syahid Hasan Al-Banna

rahimahullah. Dalam risalah induknya Risālah al-Ta’līm, Al-Banna

menyerukan (kepada para muridnya) agar mebebaskan diri dari fanatisme

mazhab serta menimbang perkataan dan pendapat orang-orang terdahulu

berdasarkan al-Qur’an dan As-Sunnah. Artinya, kita hanya menerima

pendapat para salaf dan orang-orang terdahulu yang sesuai dengan al-Qur’an

dan as-Sunnah. Dengan demikian, dalam menentukan suatu hukum, Qarḍāwī

tidak lagi kembali kepada kitab fiqih mazhab tertentu.8

3. Karya-karyanya

Dalam pemikiran dan dakwah, kiprah Yūsuf Qarḍāwī menempati posisi

vital dalam pergerakan Islam Kontemporer. Waktu yang dihabiskan untuk

berkhidmat kepada Islam, ceramah, menyampaikan msalah-masalah aktual

dan keislaman di berbagai tempat dan Negara telah menjadikan pengaruh

sosok Qarḍāwī sebagai sosok bebsar di berbagai belahan dunia, khususnya

dalam pergerakan Islam kontemporer. Karyanya lebih mengilhami

kebangkitan Islam modern. Ada seratus lebih judul buku dalam berbagai

disiplin keislaman yang telah beliau tulis. Banyak karya Qarḍāwī yang telah

diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Setidaknya ada tiga belas tema yang menjadi proyek pemikiran

Qarḍāwī. Ketiga belas tema tersebut adalah: fiqh dan ushul fiqh, ekonomi

islam, ilmu-ilmu al-Qur’an dan sunnah, akidah Islam, akhlak, dakwah dan

8
Yūsuf al-Qarḍāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer, Cet. 1, hal. 16-17
25

tarbiyah, pergerakan Islam, solusi Islam, kesatuan pemikiran aktivis Muslim,

tema-tema keislaman umum, biografi ulama, sastra, serta kebangkitan Islam.9

Adapun buku-buku karangan beliau adalah sebagai berikut:

a. Bidang ‘Ulūm Al-Qur’ān dan As-Sunnah10

1) Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma’ālim wa

Ḍawābiṭ;

2) Al-Madkhal li Dirāsat al-Sunnah al-Nabawiyyah’

3) Al-Muntaqā fi al-Targhib wa al-Targhib (2 juz);

4) Al-Sunnah Maṣdaran li al-Ma’arifah wa al-Ḥaḍārah;

5) Naḥwā Maus’ah li al-Ḥadīts al-Nabawi;

6) Al-Sunnah wa al-Bid’ah;

7) Al-Marja’iyyah al-‘Ulyā fi al-Islām li al-Qur’ān wa al-Sunnah;

8) Aṣ-Ṣabru wa al-‘Ilmu fi al- Qur’ān al-Karīm;

9) ‘Aqlu wa al-‘Ilmu fi al- Qur’ān al- Karīm;

10) Kaifa Nata’āmal ma’a al- Qur’ān al-‘Aẓīm;

11) Tafsir Surat ar-Ra’d;

12) Quṭuf Daniyyah min al-Kitāb wa as-Sunnah.

b. Bidang Fiqih dan Ushul Fiqh

1) Al- Ḥalāl wa Al- Ḥarām fī al-Islām

2) Fatawa Mu’aṣirah Juz 1

3) Fatawa Mu’aṣirah Juz 2

9
Yūsuf al-Qarḍāwī, Fiqih Jihad Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad
Menurut al-Qur’an dan Sunnah, Cet. 1, hal. xxviii
10
Acep komaruddin, Skripsi: Pemahaman Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab
Salam Terhadap Non Muslim Studi Metode Yusuf Al-Qarḍāwī, Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syahid Jakarta, Tahun 2015, hal. 23
26

4) Fatawa Mu’aṣirah Juz 3

5) Taysir al-Fiqh: Fiqih Ṣiyam

6) Al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah

7) Madkhal li Dirasat al-Syari’ah al-Islamiyyah;

8) Min Fiqhi al-Daulah al-Islam;

9) Taysir al-Fiqh li al-Muslim al-Muaṣir 1

10) Al-Fatawa baina al-Inḍibaṭ wa al-Tasayyub;

11) Awamil as-Sa’ah wa al-Murunah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah;

12) Al-Fiqh al-Islami baina al-Aṣalah wa al-Tajdid;

13) Al-Ijtihad al-Mu’aṣ baina al-Inḍibaṭ wa al- Infiraṭ;

14) Ziwaj al-Misyar;

15) aḍ-Ḍawabiṭ al-Syariyyah li binā al-Masājid;

16) Al-Ghina’ wa al-Musiqa fi Ḍau’il wa al-Sunnah

17) Al-Ḥayat al-Rabbaniyah wa al-‘Ilmu

18) An-Niyat wa al-Ikhlaṣ

19) Al- Tawakkul

20) Al-Taubat Ila Allāh

c. Bidang Ekonomi Islam

1) Fiqh Al-Zakāh

2) Musykilat al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha al-Islam

3) Bai’al-Murabahah lil-Amir bisy-Syira’

4) Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Ḥaram

5) Daurul-Qiyam wa-Akhlāq fil-Iqtiṣad al-Islami


27

d. Bidang Akidah

1) Al-Iman wa al-Ḥayat

2) Mauqif al-Islam min Kufr al-Yahud wa al-Naṣāra

3) Al-Iman bil-Qadar

4) Wujudullāh

5) Ḥaqiqat at-Tauḥīd

e. Bidang Dakwah dan Tarbiyah

1) Tsaqafat al-Da’iyyah

2) Al-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Darasatu Hasan al-Banna

3) Al-Ikhwan al-Muslimin 70 ‘Aaman fi al-Qa’wah wa al-Tarbiyah

4) Ar-Rasul wa al-‘Ilmu

5) Riṣafahat al-Azhar baina al-Amsi wa al-Yaum wa al-Ghad

6) Al-Waqtu fi Ḥayat al-Muslim

f. Bidang Gerakan dan Kebangkitan Islam

1) Aṣ-Ṣaḥwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa at-Taṭarruf

2) Aṣ-Ṣaḥwah al-Islamiyah wa Humum al-Waṭan al-‘Arabi wa al-Islami

3) Aṣ-Ṣaḥwah al-Islamiyah baina al-Ikhṭilaf al-Masyru’ wa al-Tafarruq

al-Madzmum

4) Min Ajli Ṣaḥwah Rasyidah Tujaddid ad-Dīn wa Tanhad bi al-Dunya

5) Ayna al-Ḥalāl?

6) Awlawiyyat al-Ḥarakah al-Islamiyah fi al-Marḥalah al-Qadimah

7) Al-Islam wa al-‘Alamaniyyah Wajhan bi Wajhin

8) Fi Fiqh al-Awlawiyyat (Fiqh Prioritas)


28

9) Al-Tsaqafah al-Arabiyyah al-Islamiyyah baina al-Aṣalah wa al-

Muaṣarah

10) Malamih al-Mujtama’ al-Islami Alladzdzi Nunsyiduhi

11) Ghayr al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islami

12) Syari’at al-Islam Ṣaliḥah lil-Taṭbiq fi Kulli Zamanin wa Makanin

13) Al-Ummat al-Islamiyyah Ḥaqiqat la Wahn

14) Ẓahirah al-Ghuluw fi at-Tafkir

15) Al-Hulul al-Musrawridah wa Kayfa Janat ‘Ala Ummatina

16) Al-Hill al-Islami Fariḍah wa Ḍarurah

17) Bayyin al-Hill al-Islami wa Syubhat al-‘Ilmaniyyin wa al-

Mutagharribin

18) A’da’ al-Hill al-Islami

19) Dars an-Nakbah al-Tsaniyyah

20) Jailun-Naṣr al-Mansyud

21) An-Nās wa al-Ḥaq

22) Ummatuna bain al-Qarnayn

g. Bidang Penyatuan Pemikiran Islam

1) Syumul al-Islam

2) Al-Marji’iyyah al-‘Ulya fi al-Islam li al-Qur’an wa as-Sunnah

3) Al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ḍau’ Nuṣūṣ al-Syari’ah wa Maqaṣidiha

h. Bidang Pengetahuan Islam Yang Umum

1) Al-‘Ibadah fi al-Islam

2) Al-Khaṣaiṣ al-‘Ammah fi al-Islam


29

3) Madkhal li Ma’rifat al-Islam

4) Al-Islam Haḍarat al-Ghad

5) Khuṭab al-Syaikh al-Qarḍāwi Juz 1

6) Khuṭab al-Syaikh al-Qarḍāwi Juz 2

7) Liqāt wa Muhawarat Ḥawla Qaḍaya al-Islam wa al-‘Aṣr

8) Tsaqafatuna baina al-Infitah wa al-Inghilaq

9) qaḍaya Mu’aṣirah ‘Ala Bisaṭ al-Bahts

i. Tentang Tokoh-tokoh Islam

1) Al-Iman al-Ghazali baina Madiḥihi wa Naqidihi

2) Asy-Syaikh al-Ghazali kama ‘Araftuhu: Rihlah Niṣfu Qarn

3) Nisā’ Mu’mināt

4) Al-Imam al-Juwaini al-Ḥaramain

5) ‘Umar bin Abd al-Aziz Khamis al-Khulafa’ al-Rasyidin

j. Bidang Sastra

1) Nafahat wa Lafahat (Kumpulan Puisi)

2) Al-Muslimin Qadimum (Kumpulan Puisi)

3) Yusuf al-Ṣiddiq (Naskah Drama dalam bentuk Prosa)

4) ‘Alim wa Ṭaghiyah

k. Buku-buku Kecil Tentang Kebangkitan Islam

1) Al-Dīn fi ‘Aṣr al-‘Ilmi

2) Al-Islam wa al-Fann

3) Al-Niqāb lil-Mar’ah baina al-Qawl bi Bid’atihi wa al-Qawl bi

Wujubihi
30

4) Markaz al-Mar’ah fi al-Ḥayah al-Islamiyyah

5) Fatawa li al-Mar’ah al-Muslimah

6) Jarimah ar-Riddah wa ‘Uqububat al-Murtad fi Ḍau’ al-Qur’an wa

as-Sunnah

7) Al-Aqliyat ad-Diniyyah wal-Hill al-Islami

8) Al-Mubasyyirat bi Intiṣar al-Islam

9) Mustaqbal al-Uṣuliyyah al-Islamiyyah

10) Al-Quds Qaḍiyat kulli Muslim

11) Al-Muslimun wa al-‘Awlamah

Selain produktif menulis buku-buku, Qarḍāwī menulis artikel-artikel di

berbagai media massa Mesir, di antaranya beliau menulis di majalah Mimbar

Al-Islam yang diterbitkan oleh Kementrian Waqaf Mesir. Kemudian majalah

Nurul Islam yang diterbitkan oleh para ulama Al-Wa’zh wal Irsyad di Al-

Azhar. Qarḍāwī juga memiliki acara tersendiri di sebuah stasiun radio dan

Televisi. Acara dalam siaran radio tersebut diberi nama “Nur wa Hidayah”

dan di telivisi diberi nama “Hadyul Islam”.11

4. Pemikirannya Tentang Hadis Nabi Saw.

Menurut Qarḍāwī, sunnah Nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu

komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan

memudahkan (manhaj muyassar).12 Ketiga karakteristik ini akan

mendatangkaan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.

11
Yūsuf al-Qarḍāwī, Fatwa-fatwa Kontemporer, Cet. 1, hal. 19
12
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, hal. 35
31

Atas dasar inilah maka Qarḍāwī menetapkan tiga hal juga yang harus

dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan

kaum ekstrim. Kedua, manipulasi orang-orang sesat, (Intihal al-Mubthilin),

yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai

macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah. Dan

ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu,

pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat

(wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok

sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.13

Dalam rangka memahami makna hadis dan menemukan signifikansi

kontekstual hadis, Qarḍāwī menawarkan delapan prinsip dasar pemahaman

terhadap hadis Nabi Saw., yaitu: (1) memahami hadis sesuai petunjuk al-

Qur’an, (2) menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama,

(3) menggabungkan atau men-tarjīḥ-kan antara hadis-hadis yang saling

bertentangan, (4) memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan

kondisi, serta tujuannya, (5) membedakan antara sarana yang berubah-ubah

dan tujuan yang tetap, (6) membedakan antara fakta dan metafora dalam

memahami hadis, (7) membedakan antara yang gaib dan yang nyata, dan (8)

memastikan makna kata-kata dalam hadis.14 Kedelapan prinsip dasar ini

terangkum dalam karyanya yang berjudul Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah

al-Nabawiyah: Ma’ālim wa Ḍawābīt.

13
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, hal. 236-41
14
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, hal. 111
32

Untuk merealisasikan metodenya, Qarḍāwī menerapkan metode

pemahaman hadis dengan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya

ketika berinteraksi dengan sunnah, yaitu;

1) Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan oleh

pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad maupun matan.

2) Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-

wurud teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis yang sebenarnya.

3) Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-

nash yang lebih kuat.15

B. Pengertian Metode Pemahaman Hadis

Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau

jalan,16 dalam bahasa Inggris kata ini ditulis method, dan bangsa Arab

menerjemahkannya dengan ṭarīqah dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia kata

tersebut mengandung arti cara teratur yang digunakan untuk melakasanakan

suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; dan cara kerja

yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan agar

mencapai tujuan yang ditentukan.17

Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, kata pemahaman memiliki

arti suatu proses, perbuatan memahami atau memahamkan.18 Kata ini

merupakan serapan dari bahasa Arab, al-Fahm (‫ )الفهم‬yang berarti mengenali

15
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, hal. 43-45
16
Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, “Beberapa Asas Metodologi Ilmiah” dalam
Koentjaraningrat, ed, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 2014, hal. 16
17
Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, ed. Ke-4, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 910
18
Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, hal. 998
33

suatu objek dengan hati. Kata Al-Fahm (‫ )الفهم‬semakna dengan kata

comprehension, understanding, conception, opinion, dan view dalam bahasa

Inggris19 yang berarti menafsirkan, memahami, penggambaran, pendapat, dan

pandangan.

Meskipun pengertian pemahaman di atas memberikan penekanan yang

berbeda, seluruh kata di atas memiliki kesamaan makna yaitu timbulnya

informasi/pengertian dalam kesadaran manusia. Proses timbul bisa jadi

melalui usaha yang keras atau muncul tiba-tiba tanpa diupayakan. Baik

informasi tersebut bersifat lengkap ataupun mengandung kekurangan.

Informasi itu pastinya didahului oleh ketidakadaan kemudian menjadi ada.

Dengan demikian pemahaman berarti timbulnya informasi dalam benak

setelah sebelumnya tidak wujud. Dapat disimpulkan bahwa metode

pemahaman hadis ialah suatu cara yang teratur yang digunakan untuk

memahami atau menafsirkan hadis sesuai dengan yang dikehendaki Nabi

Muhammad Saw. Pemahaman hadis mengarah pada proses, cara serta

perbuatan memahami atau memahamkan hadis Nabi saw.

C. Metodologi Pemahaman Hadis Yūsuf al-Qarḍāwi

Pemahaman hadis mengarah pada proses, cara serta perbuatan

memahami atau memahamkan hadis Nabi saw. Pemahaman terhadap masing-

masing jenis hadis tentu saja berbeda. Hadis-hadis yang disampaikan dalam

bentuk oral misalnya, memiliki banyak alat bantu untuk lebih memahamkan

pendengarnya. Berbeda dengan hadis jenis tulisan yang seringkali karena

19
Alan M Steven, A Comprehensive Indonesian-English Dictionary, Jakarta: PT Mizan
Pustaka, 2008, hal. 691
34

tidak disertai tanda baca, susunan spasi yang kurang tepat, maupun proses

penyalinan yang tidak sempurna, menyebabkan munculnya masalah

pemahaman. Belum lagi dengan ketiadaan pengetahuan akan konteks hadis.

Hal ini lebih menyulitkan proses pemahaman. Walaupun demikian,

pemaknaan terhadap hadis terus berkembang terbukti dengan adanya dialog

dikalangan ulama hadis khususnya dikalangan ulama mutaakhirīn mengenai

metodologi pemaknaan hadis. misalnya apa yang telah dilakukan oleh Imam

M. Al-Ghazali, Yusuf Qardawi, M syuhudi Isma’il, dan Fazlur Rahman.

Muhammad al-Ghazali tidak memberikan penjelasan langsung langkah-

langkah konkrit yang berupa tahapan-tahapan dalam memahami hadis Nabi.

Namun dari berbagai pernyataannya dalam buku al-Sunnah al-Nabawiyyah

baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīts dapat ditarik kesimpulan tentang tolak

ukur yang dipakai Muhammad al-Ghazali dalam kritik matan (otentitas matan

dan pemahaman matan). Secara garis besar metode yang digunakan oleh

Muhammad al-Ghazali ada 4 macam, yaitu: pertama: mengkomparasikan

hadis dengan al-Qur’an. Sehingga hadis-hadis yang bertentangan langsung

atau tidak langsung dengan al-Qur’an, baik itu dari segi periwayatan hadis

yang shahih tetap ditolaknya dan dinyatakan sebagai suatu hadis yang tidak

shahih.20

Kedua, Pengujian dengan hadis. Pengujian ini memiliki pengertian

bahwa matan hadis yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan dengan

hadis mutawattir dan hadis lainnya yang lebih shahih. Menurut Muḥammad

20
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis Studi Kritik atas Kajian Hadis Kontemporer,
Bandung: PT. Rosda Karya, 2004, hal. 275
35

al-Ghazali suatu hukum yang berdasarkan agama tidak boleh diambil hanya

dari sebuah hadis yang terpisah dari yang lainnya. Tetapi, setiap hadis harus

dikaitkan dengan hadis lainnya. Kemudian hadis-hadis yang tergabung itu

dikomparasikan dengan apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an.21

Ketiga, Pengujian dengan fakta historis. Sesuatu hal yang tak bisa

dipungkiri bahwa hadis muncul dalam historisitas tertentu, oleh karenanya

antara hadis dan sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan

satu sama lain. Adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan

menjadikan hadis memiliki sandaran validitas yang kokoh. Demikian pula

bila terjadi penyimpangan antara hadis dengan sejarah maka salah satu di

antara keduanya diragukan kebenarannya.22

Keempat, Pengujian dengan kebenaran ilmiah. Pengujian ini bisa

diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak boleh bertentangan

dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah dan juga memenuhi

rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh sebab

itu, tidak masuk akal bila ada hadis Nabi mengabaikan rasa keadilan, dan

menurutnya, bagaimana pun ṣaḥīḥ-nya sanad sebuah hadis, jika muatan

informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan prinsip-

prinsip hak asasi manusia maka hadis tersebut tidak layak pakai.23

21
Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw. Antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual, hal. 67
22
Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw. Antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual, hal. 67
23
Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw. Antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual, hal. 86
36

Dari uraian di atas, menurut al Ghazali, kandungan suatu matan hadis

harus memiliki kriteria-kriteria: pertama, tidak bertentangan dengan al-

Qur’an, karena kedudukan hadis sebagai sumber otoritatif setelah al-Qur’an.

Kedua, tidak bertentangan dengan hadis yang lainya. Ketiga, sejalan dengan

fakta historis dan keempat, sejalan dengan kebenaran ilmiah.

Menurut Yūsuf al-Qarḍāwī, untuk dapat keluar dari krisis pemahaman

dan pemikiran umat Islam pada zaman sekarang, maka umat Islam harus

kembali kepada sumber-sumber Islam yang permanen yaitu al-Qur’an dan al-

Sunnah. Untuk dapat memberikan pemahaman yang benar tanpa

menghilangkan maksud dan tujuan dari al-Qur’an dan al-Sunnah, yang tetap

mampu memenuhi tuntunan perkembangan zaman.24

Dalam konteks demikian, seorang intelektual mesir, Yūsuf al-Qarḍāwī,

menyusun sebuah metodologi memahami hadis secara benar. Ia menulis

sebuah buku Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah: Ma’ālim wa

Ḍawābīt yang berkaitan dengan langkah-langkah memahami hadis. Di

dalamnya ia berusaha mengemukakan langkah-langkah yang utuh dalam

memahami hadis, yaitu: (1) memahami hadis sesuai petunjuk al-Qur’an, (2)

menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama, (3)

menggabungkan atau men-tarjīḥ-kan antara hadis-hadis yang saling

bertentangan, (4) memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan

kondisi, serta tujuannya, (5) membedakan antara sarana yang berubah-ubah

dan tujuan yang tetap, (6) membedakan antara fakta dan metafora dalam

24
Yūsuf al-Qarḍāwī, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, (Jakarta: Media
Da’wah, 1994), hal. 20
37

memahami hadis, (7) membedakan antara yang gaib dan yang nyata, dan (8)

memastikan makna kata-kata dalam hadis.25 Inilah usaha yang di tempuh

Yūsuf Al-Qarḍāwī untuk mendapatkan pemahaman hadis yang benar. Sebuah

metodologi yang komprehensif dan akurat.

Sementara itu titik tekan pemahaman hadis Syuhudi Ismail lebih

diarahkan pada pembedaan makna tekstual dan kontekstual hadis. Perbedaan

ini dapat dilakukan dengan memperhatikan sisi-sisi linguistik hadis yang

menyangkut style bahasa, seperti jawami’ al-kalim (ungkapan-ungkapan

singkat tapi padat makna), tamsīl (perumpamaan), ungkapan simbolik

(ramzi), bahasa percakapan (dialog) dan ungkapan analogi (qiyāṣi).26 Di

samping itu, pemahaman hadis juga harus melibatkan studi historis

menyangkut peran dan fungsi Nabi serta latar situasional yang turun

melahirkan sebuah hadis.27

Sedangkan, menurut Fazlur Rahman, sunnah Nabi lebih tepat jika

dipandang sebagai sebuah konsep pengayoman (a general umbrella concept)

dari pada bahwa ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat

spesifik secara mutlak. Alasannya adalah bahwa secara teoritik dapat

disimpulkan langsung dari kenyataan bahwa sunnah adalah sebuah terma

perilaku (behavioral term), oleh karena di dalam prakteknya tidak ada dua

buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya secara

25
Yūsuf al-Qarḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., Penerj. Muḥammad al-
Bāqir, (Bandung: Penerbit Karisma, 1993), hal. 92 (lih. Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-
Sunnah Al-Nabawiyyah, hal. 111)
26
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, Cet. Ke-2, Jakarta:
Bulan Bintang, 2009, hal.9
27
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, hal. 33
38

moral, psikologis dan material, maka sunnah tersebut harus dapat

diinterpretasikan dan diadaptasikan. Sunnah Nabi, demikian tegas Rahman,

merupakan petunjuk arah (pointer in the direction) dari pada serangkaian

peraturan-peraturan yang telah ditetapkan secara pasti (an exactly laid-out

series of rulers).28

Berbagai usaha yang dilakukan para pemikir Islam, pada hakikatnya

ialah untuk mendapatkan pemahaman hadis yang benar, tidak menyimpang

dari tujuan sebenarnya hadis tersebut diucapkan. Namun, tetap relevan

dengan keadaan sekarang.

Dalam penelitian ini penulis hanya memfokuskan pada metode

pemahaman hadis menurut Yūsuf Al-Qarḍāwī. Berikut adalah penjelasan

tentang pandangan serta metodologi Yūsuf Al-Qarḍāwī dalam memahami

hadis secara benar.

Yūsuf Al-Qarḍāwī berpendapat bahwa, setiap orang yang berinteraksi

dengan sunnah atau yang akan menggunakan hadis untuk berbagai

kepentingan agama harus berpegang teguh kepada tiga prinsip dasar, yaitu:

1) Memastikan kesahihan hadis

Prinsip pertama dalam berinteraksi dengan al-sunnah adalah dengan cara

memastikan keotentikan hadis (ṣaḥīḥ atau ḥasan) sesuai dengan criteria

hasil kerja para ahli hadis kemudian menerimanya sebagai hujjah. Yakni

yang meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa ucapan Nabi Saw.,

perbuatannya, ataupun persetujuannya.

28
Umma Farida, Studi Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Sunnah dan Hadis, diakses
dari Jurnal Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013,Hal. 237-238
39

2) Memahami hadis dengan seksama

Pada prinsip kedua ini, memahami hadis-hadis Nabi Saw. harus dilakukan

secara seksama dan cermat. Yakni menurut Qarḍāwī:

Sesuai dengan pengertian bahasa (Arab), dan dalam rangka konteks


hadis tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau. Juga
dalam kaitannya dengan naṣ-naṣ al-Qur’an dan sunnah yang lain
dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan
universal Islam. Semua itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah
antara hadis yang diucapkan demi penyampaian risalah ( misi Nabi
Saw.) dan yang bukan itu. Atau dengan kata lain, antara sunnah
yang dimaksudkan untuk tasyri’ (penetapan hukum agama) dan
yang bukan itu. Dan juga tasyri’ yang memiliki sifat umum dan
permanen, dengan yang bersifat khusus atau sementara. Sebab, di
antara “penyakit” terburuk dalam hal pemahaman sunnah, adalah
pencampuradukkan antara bagian yang satu dengan yang lainnya.
(lih. Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah,
Mesir: Dār al-Syurūq, 1427 H/ 2005 M, hal. 44)29

3) Menyelesaikan dan menyelaraskan pertentangan dalam hadis. Terkait

prinsip ketiga Al- Qarḍāwī mengatakan:

Memastikan bahwa naṣ tersebut tidak bertentangan dengan naṣ


lainnya yang lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari al-
Qur’an atau hadis-hadis lain yang lebih banyak jumlahnya, atau
lebih ṣaḥīḥ darinya, atau lebih sejalan dengan uṣūl. Dan juga tidak
dianggap berlawanan dengan naṣ yang lebih layak dengan hikmah
tasyri’, atau berbagai tujuan umum syariat yang di nilai telah
mencapai tingkat qath’i karena disimpulkan bukan hanya dari satu
atau dua naṣ saja, tetapi dari sekumpulan naṣ yang setelah
digabungkan satu sama lain mendatangkan keyakinan serta
kepastian tsubut-nya (atau keberadaannya sebagai naṣ). (lih. Yūsuf
al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Mesir: Dār al-
Syurūq, 1427 H/ 2005 M, hal.45)30

Al- Qarḍāwī mengemukakan delapan cara untuk memahami hadis Nabi

Saw. Kebanyakan cara tersebut diadopsi dari teori-teori uṣūl al-fiqh, ‘ulum al-

ḥadīṣ, serta ‘ilm al-kalām. Dari teri-teori tersebut, pada titik tertentu ia

29
Yūsuf al-Qarḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., hal. 27
30
Yūsuf al-Qarḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., hal. 27
40

mengadopsinya secara persis, mengembangkannya, serta mengemukakan hal

lain yang bisa dikatakan masih baru.31 Secara lebih detail, langkah-langkah

tersebut akan diuraikan dalam penjelasan sebagai berikut.

1. ‫( فهم السنة في ضوء القرأن الكريم‬Memahami Al-Sunnah Dengan

Berpedoman Al-Qur’ān Al-Karīm)

Menurut Yūsuf Al-Qarḍāwī yang di kutip oleh Bustamin dan M.

Isa H. A. Salam dalam bukunya “Metodologi Kritik Hadis”, bahwa

memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Qur’an didasarkan pada

argument bahwa al-Qur’an adalah sumber utama yang menempati tempat

tertinggi dalam kesuluruhan sistem doktrinal Islam. Sedangkan, hadis

adalah penjelas atas prinsip-prinsip al-Qur’an. Oleh karena itu, makna

hadis dan kontekstualitasnya tidak bisa berseberangan dengan al-Qur’an.32

Berdasarkan hal di atas, menurut Al- Qarḍāwī, dapat dipastikan

bahwa tidak mungkin sebuah hadis yang ṣaḥīḥ bertentangan dengan ayat-

ayat al-Qur’an yang maknanya jelas (al-muḥkamat). Kalaupun ada orang

yang menyangka akan hal tersebut, maka hadis itu pasti tidak ṣaḥīḥ atau

pemahaman orang yang salah, ataupun apa yang diperkirakan sebagai

“pertentangan” itu hanyalah bersifat semu dan bukan pertentangan

hakiki.33

31
Muh. Tasrif, Metodologi Fiqh Al-Ḥadīṣ, Jurnal Dialogia: Vol. 10 No. 2, Desember
2012, hal. 206
32
Bustamin, Isa salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hal.
90
33
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Mesir: Dār al-Syurūq,
1427 H/ 2005 M, hal. 113
41

Hal ini berarti bahwa hadis harus dipahami dalam kerangka

petunjuk al-Qur’an. Ketentuan yang dikemukakan oleh Al- Qarḍāwī ini,

menurut penulis, merupakan ungkapan lain dari teori tentang fungsi hadis

terhadap al-Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam ulumul ḥadīṣ.

Seperti Muhammad ‘Ajaj al-Khatib34 dalam bukunya menjelaskan bahwa

posisi hadis terhadap al-Qur’an adalah menjelaskan yang mubham, merinci

yang mujmal, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, dan

menguraikan hukum-hukum dan tujuan-tujuannya.

Walaupun demikian, menurut Al- Qarḍāwī mengenai hadis-hadis

ṣaḥīḥ (yang maknanya masih diragukan) agar tidak cepat-cepat mengambil

keputusan dan tidak menolaknya secara mutlak. Sebab ada kemungkinan

hadis-hadis tersebut mengandung makna tertentu yang masih belum

tersingkap.35

Al- Qarḍāwī juga mengingatkan bahwa untuk melakukan konklusi

adanya “kontradiksi” antara hadis dan ayat al-Qur’an, perlu kehati-hatian

dan perlu adanya sebuah landasan kuat. Hal ini untuk menghindarkan

sikap subjektif dan semena-mena dalam menilai hadis.36 Kewajiban setiap

muslim untuk tidak menerima begitu saja hadis yang dilihatnya

bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang muhkam, selama tidak ada

penafsiran yang dapat diterima.

34
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits- Pokok-pokok Ilmu Hadis, Penerj. H.M.
Nur Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), Hal. 34
35
Yūsuf al-Qarḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., hal. 99
36
Yūsuf al-Qarḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., hal. 101
42

2. ‫( جمع األحاديث الواردة فى الموضوع الواحد‬Mengumpulkan Hadis-Hadis

Dalam Satu Tema)

Hal berikutnya yang harus dilakukan adalah agar pemahaman hadis

tidak parsial, menurut al-Qarḍāwī, adalah penerapan metode tematik

(mauḍū’i). Al-Qarḍāwī menyatakan bahwa pendekatan tematik dilakukan

dengan cara mengumpulkan seluruh hadis dalam suatu tema, lalu

diklasifikasikan mana yang memiliki makna jelas (muhkam) dan mana

pula yang maknanya masih samar-samar (mutasyabih), mana makna

muṭlaq (umum tak terikat) dan muqayyad (khusus tertentu sifatnya), mana

yang cakupan maknanya umum (‘amm) dan mana yang khusus (Khaṣ).

Dengan demikian, maka jelaslah maksud dari hadis yang dimaksud. Bila

mana hadis merupakan penjelas dan penafsir ayat al-Qur’an, maka suatu

keharusan pula menjaga koherensi antar hadis. Bila tidak, tentu

pemahaman hadis akan cenderung sempit dan parsial.37

Mencukupkan diri dengan pengertian lahiriah (zahir) suatu hadis

saja tanpa memperhitungkan hadis-hadis lainnya, serta nash-nash lain

yang berkaitan dengan topik tertentu. Seringkali menjerumuskan orang ke

dalam kesalahan dan menjauhkannya dari kebenaran, serta maksud

sebenarnya dari konteks hadis tersebut.38

3. ‫( الجمع أو الترجيح بين مختلف الحديث‬Memadukan atau Mentarjih Antara

Hadis-Hadis yang Kontradiktif)

37
Afwan faizin, Metode Fuqaha dalam Memahami Hadis (Studi Pendekatan Yusuf al-
Qardhawi) V 8, No. (2 September 2006): hal. 138-139
38
Yūsuf al-Qarḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., hal. 113
43

Dalam hal ini Yūsuf Al-Qarḍāwī sependapat dengan Imam al-

Syāfi’ī, bahwa nash-nash syariat tidak mungkin bertentangan, baik dalil-

dalil hadis maupun dalil-dalil al-Qur’an. Sebab, kebenaran tidak akan

bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, jikalau diandaikan adanya

pertentangan, maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja, bukan dalam

kenyataannya yang hakiki.39

Yūsuf Al-Qarḍāwī dalam menyelesaikan hadis-hadis yang nampak

kontradiktif, langkah pertama yang dilakukan yaitu menggabungkan atau

mengkompromikan antara kedua naṣ yang dianggap kontradiktif (al-jam’u

wa al-taufiq). Namun perlu dicatat bahwa kompromi ini hanya dilakukan

terhadap hadis-hadis yang ṣaḥīḥ saja, tidak termasuk ḍā’if dan diragukan

validitasnya.

Masih berkaitan dengan hadis-hadis yang paradoks, Al-Qarḍāwī

nampaknya kurang memilih alternatif selanjutnya yakni naskh, karena

menurutnya medan naskh dalam hadis lebih sempit dibandingkan

pendekatan kompromi (al-jam’u wa al-taufiq) maupun komparasi (tarjiḥ).

Menurut Al-Qarḍāwī, hal ini disebabkan karena sebagian hadis hanya

bersifat parsial dan temporal.40

4. ‫( فهم األحاديث فى ضوء أسبابها ومالبستها ومقاصدها‬Memahami Hadis dengan

Memperhatikan Latar Belakang, Situasi dan Kondisinya Ketika

Diucapkan, serta Tujuannya)

39
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Mesir: Dār al-Syurūq,
1427 H/ 2005 M, hal. 133
40
Afwan faizin, Metode Fuqaha dalam Memahami Hadis (Studi Pendekatan Yusuf al-
Qardhawi) V 8, No. (2 September 2006): hal. 143
44

Salah satu cara untuk memahami hadis Nabi Muhammad Saw.

adalah dengan pendekatan sosio-historis, yaitu dengan mengetahui latar

belakang diucapkannya atau kaitannya dengan sebab tertentu yang

ditemukan dalam riwayat atau dari pengkajian suatu hadis. Selain itu,

untuk memahami hadis harus diketahui kondisi yang meliputinya serta di

mana dan untuk tujuan apa ia diucapkan. Dengan demikian, maksud hadis

benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang

menyimpang.41

Ini berarti hukum yang terkandung dalam hadis terkadang tampak

bersifat umum dan berlaku selamanya, akan tetapi setelah dipelajari

dengan teliti ternyata berdasarkan suatu alasan di mana hukum tersebut

menjadi tidak berlaku lagi bila alasannya sudah tidak ada dan tetap berlaku

selama alasan tersebut masih ada.

Pendekatan ini berusaha mengetahui situasi Nabi Muhammad Saw.

dan menyelusuri segala peristiwa yang melingkupinya serta masyarakat

pada masa tersebut secara umum. Sebenarnya pendekatan serupa ini telah

dilakukan oleh para ulama, yang mereka sebut asbāb wurud al-ḥadīṣ.

Namun, ilmu asbāb wurud al-ḥadīṣ hanya terikat dengan data yang

disebutkan dalam hadis, baik yang terdapat pada sanad maupun pada

matan hadis.42

5. ‫( التمييزبين الوسيلة المغيرة والهدف الثابت للحديث‬Membedakan antara Sarana

yang Berubah-Ubah dan Tujuan yang Tetap dari Setiap Hadis)

41
Yūsuf al-Qarḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., hal. 131
42
Bustamin, Isa salam, Metodologi Kritik Hadis, hal. 97
45

Menurut Al-Qarḍāwī, salah satu faktor yang menyebabkan

kekeliruan dalam memahami hadis karena seseorang seringkali

mencampuradukkan antara prinsip yang permanen (al-Ahdaf al-tsabitah)

dengan sarana dan prasarana yang berubah (al-wasail al-mutaghayyirah).

Padahal yang paling penting adalah apa yang menjadi tujuan sebenarnya.

Sedangkan, yang berupa prasana (wasilah) adakalanya berubah seiring

perubahan lingkungan, zaman, adat, kebiasaan, dan sebagainya.43

Al-Qarḍāwī meyakini bahwa penentuan siwak (sepotong kayu

lunak dari pohon tertentu) untuk membersihkan gigi hanya sebuah alat

yang bertujuan untuk mendapatkan kebersihan mulut sehingga

mendatangkan keridhaan Allah Swt. Sebagaimana disebutkan dalam hadis:

‫الرحْ َم ِن‬ َّ ُ ‫ َحدَّث َ ِني َع ْبد‬:‫ قَا َل‬،ٍ‫ َع ْن َي ِزيدَ َوه َُو ا ْبنُ ُز َريْع‬،‫أ َ ْخ َب َرنَا ُح َم ْيد ُ ْبنُ َم ْس َعدَة َ َو ُم َح َّمد ُ ْبنُ َع ْب ِد ْاأل َ ْعلَى‬
ْ ْ ‫ " الس َِواكُ َم‬:‫ َع ِن النَّبِي ِ ص م قَا َل‬،َ‫شة‬
‫ط َه َرة ٌ ِللفَ ِم‬ َ ِ‫س ِم ْعتُ َعائ‬َ :‫ قَا َل‬،‫ َحدَّثَنِي أَبِي‬:‫ قَا َل‬،‫ق‬ ٍ ‫ْبنُ أَبِي َعتِي‬
"‫ب‬ ِ ‫لر‬ َّ ‫ضاة ٌ ِل‬
َ ‫َم ْر‬
“Siwak menyebabkan kesucian mulut serta keridhaan Tuhan.”
Adakah penggunaan siwāk itu merupakan suatu tujuan tersendiri?

Ataukah ia hanya suatu alat yang cocok dan mudah di peroleh di jazirah

Arab, sehingga Rasulullah menganjurkan penggunaannya, demi

memanfaatkan sesuatu yang mudah didapat oleh mereka?

Menurut Qarḍāwī, tidak ada salahnya, bagi masyarakat-masyarakat

lainnya yang tidak mudah memperoleh kayu siwāk itu, menggantikannya

dengan alat lainnya yang dapat diproduksi secara besar-besaran sehingga

dapat digunakan oleh jutaan orang. Seperti, sikat gigi yang kita kenal

sekarang. Begitu pulalah yang dinyatakan oleh para Fuqaha’. (lih. Yūsuf

43
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Mesir: Dār al-Syurūq,
1427 H/ 2005 M, hal. 159
46

al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Mesir: Dār al-Syurūq,

1427 H/ 2005 M, hal. 44

6. ‫( التفريق بين الحقيقة والمجاز فى فهم الحاديث‬Membedakan Antara Hakekat

dan Majaz dalam Memahami Hadis)

Menurut Al-Qarḍāwī ada hadis Nabi yang jelas maknanya dan

singkat bahasanya, sehingga si pembaca hadis tidak memerlukan

penafsiran atau takwilan untuk memahami makna dan tujuan Nabi. Selain

itu, ada juga redaksi Nabi yang menggunakan majazi, sehingga tidak

mudah dipahami dan tidak semua orang dapat mengetahui secara pasti

tujuan Nabi. Hadis dalam kategori kedua biasanya menggunakan

ungkapan-ungkapan yang sarat dengan simbolisasi. Ungkapan-ungkapan

semacam itu sering dipergunakan Nabi karena bangsa Arab pada masa itu

sudah terbiasa dengan menggunakan kiasan atau metafora dan mempunyai

rasa bahasa yang tinggi terhadap bahasa Arab.45

Seperti firman Allah Swt. Dalam hadis qudsi:

ُ‫ َو ِإ ْن أَت َانِي َي ْمشِي أَت َ ْيتُه‬،‫ي ذ َِراعًا تَقَ َّربْتُ ِإلَ ْي ِه َباعًا‬
َّ َ‫ب ِإل‬
َ ‫ َو ِإ ْن تَقَ َّر‬،‫ي ِب ِشب ٍْر تَقَ َّربْتُ ِإلَ ْي ِه ذ َِراعًا‬
َّ َ‫ب ِإل‬
َ ‫ِإ ْن تَقَ َّر‬
ً‫ه َْر َولَة‬
“...Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat
kepadanya sehasta dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan
mendekat kepadanya sedepa dan jika ia datang kepada-Ku sambil
berjalan, Aku akan datang kepadanya sambil berlari.”46
Menurut kaum Mu’tazilah, hadis di atas telah menyerupakan Allah

dengan makhluk-Nya dalam kedekatan fisik serta dalam berjalan dan

berlari. Dan tentunya semua ini tidak layak bagi kesempurnaan Ilahiah.

Tentang hal tersebut, Al-Qarḍāwī mengutip Ibnu Qutaibah dalam bukunya


44
Yūsuf al-Qarḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., hal. 150
45
Bustamin, Isa salam, Metodologi Kritik Hadis, hal. 98
46
Bukhari dan Muslim. Lihat, Al-Lu’ lu’ wa Al-Marjān (1721,1746)
47

Ta’wil Mukhtalif al-Ḥadīṣ, bahwa hal itu hanyalah tamsilan belaka.

Sedangkan yang dimaksud adalah “Barangsiapa bergegas datang kepada-

Ku dengan amal ketaatan, maka Aku akan bergegas pula dalam

memberinya pahala, lebih cepat daripada kedatangannya.” Untuk itu,

hadis tersebut menggunakan kata-kata kiasan, yakni berjalan dan berlari.

7. ‫( التفريق بين الغيب و الشهادة‬Membedakan Antara yang Gaib dan yang

Nyata)

Sebagaimana dikutip oleh Acep Komaruddin dalam skripsinya,

bahwa kesalahan pokok dalam memahami hadis yang terkait dengan hal-

hal gaib adalah menganalogikannya dengan hal-hal nyata. Sebuah analogi

yang keliru (al-qiyas maa al-fariq bathil) karena hal-hal nyata memiliki

perebedaan dengan hal-hal gaib. Oleh karena itu, seharusnya hal-hal

bersifat gaib tidak perlu diperdebatkan. Hadis-hadis tentang keadaan

surga, neraka, siraṭ, mīzan, siksa kubur dan sebagainya tidak pelru

dianalogikan dengan kondisi alam nyata. Pendekatan al- Qarḍāwī nampak

cenderung kepada Ahlu al-sunnah yang menolak takwil terhadap eksistensi

hal-hal gaib.47

Oleh karena itu, para Ulama kita menetapkan bahwa adakalanya

agama membawa sesuatu yang membingungkan akal, namun tak mungkin

ia akan membawa sesuatu yang akan dimustahilkan oleh akal. Atas dasar

itu pula, segala sesuatu yang dinukilkan (dari sumber agama) yang saḥīḥ,

47
Acep komaruddin, Skripsi: Pemahaman Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab
Salam Terhadap Non Muslim Studi Metode Yusuf Al-Qarḍāwī, Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syahid Jakarta, Tahun 2015, hal. 45
48

tidak sekali-kali akan bertentangan dengan apa yang dapat dicerna oleh

akal secara lurus dan gamblang.

8. ‫( التأكد من مدلوالت ألفاظ الحديث‬Memastikan Makna Kata-Kata dalam Hadis)

Menurut Al-Qarḍāwī, hal yang sangat penting dalam memahami

hadis dengan benar adalah memahami makna kata perkata dari teks hadis,

karena seringkali kata-kata tersebut berubah makna dari suatu masa ke

masa lainnya, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya. Al-

Qarḍāwī mengutip perkataan al-Ghāzali tentang perbedaan kalangan salaf

dan khalaf tentang pergeseran penggunaan kata dalam ilmu agama yang

menyebabkan pencampuradukkan istilah.48

Sebagai contoh adalah pendapat sebagian ulama yang

mengharamkan lukisan dalam bentuk apapun termasuk photografi.

Padahal orang Arab tentu tidak akan berpikir ketika menggunakan kata al-

taṣwir termasuk photografi. Oleh karena itu, kesimpulannya bahwa kata

al-tashwir bukanlah sebutan kebahasaan, tapi sebuah bahasa hukum.

Sehingga photografi tidak terwakili dalam kata al-tashwir. Jadi photografi

adalah suatu yang mubah.49

Namun, pada penelitian ini penulis akan lebih mengerucut lagi untuk

memfokuskan hanya pada dua metode Yūsuf al-Qarḍāwī, yaitu memahami

hadis dengan menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang

48
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, Mesir: Dār al-Syurūq,
1427 H/ 2005 M, hal. 198
49
Afwan faizin, Metode Fuqaha dalam Memahami Hadis (Studi Pendekatan Yusuf al-
Qardhawi) V 8, No. (2 September 2006): hal. 144
49

sama, serta memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan

kondisi, serta tujuannya.


BAB III

STUDI KUALITAS SANAD HADIS ṢALLŪ KAMĀ RAITUMŪNĪ ŪṢALLĪ

A. Takhrij Hadis

Takhrij hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai

sumber asli dari kitab hadis yang bersangkutan, yang di dalamnya disebutkan

secara lengkap sanad dan matan hadisnya.1 Bagi seorang peneliti hadis,

kegiatan takhrīj al-ḥadīts sangatlah penting. Ada tiga hal yang menyebabkan

pentingnya kegiatan takhrīj al-ḥadīts dalam melaksanakan penelitian hadis.2

Berikut dikemukakan ketiga hal tersebut.

a. Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti

b. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti

c. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan muttabi’3.

Hadis yang akan diteliti adalah hadis yang berisi tentang “Perintah untuk

mengikuti salat seperti Nabi Muhammad Saw.” Adapun teks dan terjemahan

lengkap hadis tersebut adalah sebagai berikut:

‫ع ْن أَبِي قِ ََلبَةَ قَا َل َحدَّثَنَا‬ ِ ‫ع ْبدُ ْال َو َّها‬


ُ ‫ب قَا َل َحدَّثَنَا أَي‬
َ ‫ُّوب‬ َ ‫َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ ب ُْن ْال ُمثَنَّى قَا َل َحدَّثَنَا‬
‫اربُونَ فَأَقَ ْمنَا ِع ْندَهُ ِع ْش ِرينَ يَ ْو ًما‬ َ ‫سلَّ َم َونَحْ ُن‬
ِ َ‫شبَبَة ُمتَق‬ َ ُ‫صلَّى اللَّه‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫َما ِلك أَت َ ْينَا إِلَى النَّبِي‬
‫ظ َّن أَنَّا قَ ْد ا ْشت َ َه ْينَا أ َ ْهلَنَا أ َ ْو قَ ْد‬
َ ‫سلَّ َم َر ِحي ًما َرفِيقًا فَلَ َّما‬ َ ُ‫صلَّى اللَّه‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫سو ُل اللَّ ِه‬
ُ ‫َولَ ْيلَةً َو َكانَ َر‬
َ ‫ار ِجعُوا إِلَى أ َ ْه ِلي ُك ْم فَأَقِي ُموا فِي ِه ْم َو‬
‫ع ِل ُمو ُه ْم‬ ْ ‫ع َّم ْن ت ََر ْكنَا بَ ْعدَنَا فَأ َ ْخبَ ْرنَاهُ قَا َل‬
َ ‫سأَلَنَا‬
َ ‫ا ْشت َ ْقنَا‬

1
Bustamin, M. Isa Salam, Metode Kritik Hadis, Jakrta: PT Raja Grafindo Persada 2004,
hal. 29
2
Bustamin, Dasar-dasar Ilmu Hadis, Jakarta: Ushul Press, 2009, hal.182
Syahid atau muttabi’ adalah adanya kesesuaian makna dalam periwayatan para perawi
3

hadis fard/gharib, baik sumber sahabatnya sama atau tidak. Menurut al-Ḥafiẓ Ibnu Ḥājar, syahid
atau muttabi’ keduanya bertujuan untuk menguatkan suatu hadis dengan menelusuri atau
memeriksanya melalui riwayat lain. (lih. Intisari Ilmu Hadis karangan Dr. Maḥmūd Ṭahhān, hal.
155)
50
51

‫ت‬ َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬


َ ‫ص ِلي فَإِذَا َح‬
ْ ‫ض َر‬ ُ َ‫ظ َها أ َ ْو ََل أَحْ ف‬
َ ‫ظ َها َو‬ ُ َ‫َو ُم ُرو ُه ْم َوذَ َك َر أ َ ْشيَا َء أَحْ ف‬
4
‫ص ََلة ُ فَ ْلي َُؤذ ِْن لَ ُك ْم أ َ َحدُ ُك ْم َو ْليَؤُ َّم ُك ْم أ َ ْكبَ ُر ُك ْم‬
َّ ‫ال‬
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata,
telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahhab berkata, telah
menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah berkata, telah
menceritakan kepada kami Malik, "Kami datang menemui Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, saat itu kami adalah para pemuda yang usianya sebaya.
Maka kami tinggal bersama beliau selama dua puluh hari dua puluh
malam. Beliau adalah seorang yang sangat penuh kasih dan lembut. Ketika
beliau menganggap bahwa kami telah ingin, atau merindukan keluarga
kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggalkan.
Maka kami pun mengabarkannya kepada beliau. Kemudian beliau
bersabda: "Kembalilah kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama
mereka, ajarilah mereka dan perintahkan (untuk salat)." Beliau lantas
menyebutkan sesuatu yang aku pernah ingat lalu lupa. Beliau mengatakan:
"Salatlah kalian seperti kalian melihat aku salat. Maka jika waktu shalat
sudah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan,
dan hendaklah yang menjadi Imam adalah yang paling tua di antara
kalian."
Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pembahasan pada pernyataan

hadis yang berbunyi sebagai berikut:

َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬


".... ‫ص ِلي‬ َ ‫ َو‬...."

“….. Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat, …..”

Penelitian ini difokuskan kepada beberapa redaksi hadis yang

memungkinkan memuat maksud yang saling berkaitan. Hal ini dimaksudkan

untuk memfokuskan bahasan pada aspek pemahaman materi hadis bukan

semata-mata aspek sanad hadis, sekalipun aspek yang terakhir ini menjadi

bagian tak terpisahkan dari hadis itu sendiri. Karena objek penelitiannya adalah

4
Al-Imām al-Ḥafiẓ Abī ‘Abdillah Muḥammad ibn Isma’il ibn Ibrahim al-Mughirah al-
Ju’fī al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2006 M/ 1427 H), Kitab Adzan,
no. 18, bab Adzan dan Iqamah Bagi Musafir Bila Shalat Berjama'ah Begitu Juga di 'Arafah dan
Mudzdalifah, hal. 90
52

hadis-hadis yang tercantum dalam kitab-kitab hadis, maka dalam proses

pengumpulan data dilakukan kegiatan takhrīj al-ḥadīts.

Ada empat metode dalam melakukan takhrīj al-ḥadīts, yaitu: takhrīj al-

ḥadīts melalui kata/ lafal pada matan hadis, takhrīj al-ḥadīts melalui tema,

takhrīj al-ḥadīts melalui awal matan hadis, dan takhrīj al-ḥadīts melalui

sahabat Nabi/ periwayat pertama.5 Namun, penulis hanya menggunakan tiga

metode dari empat tersebut.

1. Takhrīj al-̕Ḥadīts Melalui Kata/ Lafal Pada Matan Hadis

Pada matan hadis di atas ada beberapa lafal yang dapat ditelusuri untuk

men-takhrij hadis itu, diantaranya: ‫رجع – صلى – رأى‬

Adapun kitab kamus hadis yang penulis gunakan adalah kitab Mu’jam al-

Mufaḥras li alfāẓ al-Ḥadīts al-Nabawī karangan A.J. Wensinck. Namun,

peneliti hanya menemukan pada lafal ‫صلى‬, maka hadis yang ditemukan

hanya terdapat dalam tiga kitab hadis, yakni:

8 ‫ احاد‬,72 ‫ أدب‬,81 ‫ اذان‬: ‫خ‬


27 ‫ صَلة‬: ‫در‬
6
27 ,2 : ‫حم‬
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh di atas, jelas bahwa matan hadis

tersebut terdapat pada:

a. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, kitab adzan, nomor hadis 18; kitab adab nomor hadis

27; dan kitab aḥad nomor hadis 1.

b. Sunan al-Dārimī, kitab salat, nomor hadis 42.

c. Musnad Aḥmad bin Ḥanbāl, juz V, halaman 52.

5
Bustamin, Dasar-dasar Ilmu Hadis, Jakarta: Ushul Press, 2009, hal. 184-190
6
A.J. Wensinck, Mu’jam al-Mufahras li alfāẓ al-Ḥadīts al-Nabawī (Breil: Leidan, 1936)
Juz 3, hal 284
53

2. Takhrīj al-Ḥadīts Melalui Awal Matan

Dalam melakukan penelitian awal matan, penulis menggunakan referensi

kitab Mausū’at Aṭrāf al-Ḥadīts al-Nabawī al-Syarīf karya Abū Hājr

Muḥammad al-Sa’īd ibn Basyūnī Zaghlūl. Dari kitab tersebut penulis

dapatkan informasi sebagai berikut:

‫ار ِجعُوا إِلَى أ َ ْه ِلي ُك ْم فَعَ ِل ُمو ُه ْم‬


ْ
7
١:٨٨ ,٨::١ – ‫خ‬
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh pada keterangan di atas, penulis

hanya menemukan pada kitab hadis: Ṣaḥīḥ al-Bukhārī terdapat pada juz 1,

nomor hadis 32; dan juz 8, nomor hadis 11.

3. Takhrīj al-Ḥadīts Melalui Tema

Dalam metode ini kamus hadis yang digunakan adalah kitab Kanz Al-

‘Ummal Fī Sunan Al-Aqwal wa al-Af’al susunan ‘Ali ibn Hisyam al-Dīn

Abd al-Mālik ibn Qāḍi Khān, terkenal dengan sebutan al-Muttaqi al-

Syādzily al-Madany al-Burhan Faury al-Hindy, yang kitab rujukannya lebih

dari dua puluh macam kitab. Data yang didapatkan dari kitab hadis tersebut

adalah: Kanz al-‘Ummāl, juz 7, hal. 281,

‫ ارجعوا إلى أهليكم فكونوا فيهم وعلموهم ومروهم وصلوا كما‬-81121


.‫ فليؤذن لكم أحدكم وليؤمكم أكبركم‬،‫ فإذا حضرت الصَلة‬،‫رأيتموني أصلي‬
8
."‫ ك عن مالك بن الحويرث‬8‫"حم ق‬
Keterangan di atas jelas bahwa hadis ini disebut dalam Kanz al-‘Ummāl

juz 7 halaman 281 hadis nomor 18879 dan dinisbatkan kepada Imam

Aḥmad bīn Ḥanbāl dalam musnad-nya, juga oleh Imam al-Bukhārī dan

7
Abū Hājr Muḥammad al-Sa’īd ibn Basyūnī Zaghlūl, Mausū’at Atraf al-Ḥadīs al-
Nabawī al-Syarīf , (Beiruut: Daar al-Fikr, 1989) Juz 1, hal 472
8
‘Ali ibn Hisyam al-Din Abd al-Malik ibn Qadhi Khaan, Kanz Al-‘Ummal Fii Sunan Al-
Aqwal wa al-Af’al, (Beiruut: Mu’assasah al-Risaalah, 1981) cet ke 5, juz 7, hal. 281
54

Muslim, kemudian terdapat pada Mustadrak al-Ḥākim, dan perawi

pertamanya adalah Malik ibn al-Ḥuwairits.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, berikut adalah hadis-hadis yang

terkumpul, diantaranya:

Ṣaḥīḥ al-Bukhārī

‫ع ْن أ َ ِبي‬َ ‫ُّوب‬ُ ‫ب قَا َل َحدَّثَنَا أَي‬ ِ ‫ع ْبدُ ْال َو َّها‬َ ‫ َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ ب ُْن ْال ُمثَنَّى قَا َل َحدَّثَنَا‬-٨
َ‫اربُون‬ ِ َ‫ش َببَة ُمتَق‬َ ‫سلَّ َم َون َْح ُن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلَّى اللَّه‬ َ ِ ‫قِ ََلبَةَ قَا َل َحدَّثَنَا َما ِلك أَت َ ْينَا إِلَى النَّبِي‬
‫سلَّ َم َر ِحي ًما‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫صلَّى اللَّه‬ َ ‫سو ُل اللَّ ِه‬ ُ ‫فَأَقَ ْمنَا ِع ْندَهُ ِع ْش ِرينَ َي ْو ًما َولَ ْيلَةً َو َكانَ َر‬
ُ‫ع َّم ْن ت َ َر ْكنَا َب ْعدَنَا فَأ َ ْخبَ ْرنَاه‬َ ‫سأَلَنَا‬ َ ‫ظ َّن أَنَّا قَ ْد ا ْشتَ َه ْينَا أ َ ْهلَنَا أ َ ْو قَ ْد ا ْشت َ ْقنَا‬
َ ‫َرفِيقًا فَلَ َّما‬
‫ظ َها أ َ ْو‬ُ َ‫ع ِل ُمو ُه ْم َو ُم ُرو ُه ْم َوذَ َك َر أ َ ْش َيا َء أ َ ْحف‬ َ ‫ار ِجعُوا ِإلَى أ َ ْه ِلي ُك ْم فَأ َ ِقي ُموا ِفي ِه ْم َو‬ ْ ‫قَا َل‬
‫ص ََلة ُ فَ ْلي َُؤ ِذ ْن لَ ُك ْم أ َ َحد ُ ُك ْم‬
َّ ‫ت ال‬ ْ ‫ض َر‬ َ ‫ص ِلي فَإِذَا َح‬ َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأَ ْيت ُ ُمونِي أ‬ َ ‫ظ َها َو‬ ُ ‫ََل أ َ ْح َف‬
9 ُ
‫َو ْليَؤُ َّم ُك ْم أ َ ْكبَ ُرك ْم‬
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata,
telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahhab berkata, telah
menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah berkata, telah
menceritakan kepada kami Malik, "Kami datang menemui Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, saat itu kami adalah para pemuda yang usianya sebaya.
Maka kami tinggal bersama beliau selama dua puluh hari dua puluh
malam. Beliau adalah seorang yang sangat penuh kasih dan lembut. Ketika
beliau menganggap bahwa kami telah ingin, atau merindukan keluarga
kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggalkan.
Maka kami pun mengabarkannya kepada beliau. Kemudian beliau
bersabda: "Kembalilah kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama
mereka, ajarilah mereka dan perintahkan (untuk shalat)." Beliau lantas
menyebutkan sesuatu yang aku pernah ingat lalu lupa. Beliau mengatakan:
"Salatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat. Maka jika waktu salat
sudah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan,
dan hendaklah yang menjadi Imam adalah yang paling tua di antara
kalian."
َ‫سلَ ْي َمان‬ُ ‫ع ْن أ َ ِبي‬ َ َ‫ع ْن أ َ ِبي قِ ََلبَة‬ ُ ‫سدَّد َحدَّثَنَا ِإ ْس َما ِعي ُل َحدَّثَنَا أَي‬
َ ‫ُّوب‬ َ ‫ َحدَّثَنَا ُم‬-١
‫ش َب َبة‬َ ‫سلَّ َم َون َْح ُن‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫صلَّى اللَّه‬ َ ‫ي‬ ِ ‫َما ِل ِك ب ِْن ْال ُح َوي ِْر‬
َّ ‫ث قَا َل أَتَ ْينَا النَّ ِب‬
َ ‫سأَلَنَا‬
‫ع َّم ْن ت َ َر ْكنَا‬ َ ‫ظ َّن أَنَّا ا ْشت َ ْقنَا أ َ ْهلَنَا َو‬
َ ‫اربُونَ فَأَقَ ْمنَا ِع ْندَهُ ِع ْش ِرينَ لَ ْيلَةً َف‬ ِ َ‫ُمتَق‬

9
Al-Imām al-Ḥafiẓ Abī ‘Abdillah Muḥammad ibn Isma’il ibn Ibrahim al-Mughirah al-
Ju’fī al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2006 M/ 1427 H), Kitab Adzan,
no. 18, bab Adzan dan Iqamah Bagi Musafir Bila Shalat Berjama'ah Begitu Juga di 'Arafah dan
Mudzdalifah, hal. 90
55

‫ار ِجعُوا ِإلَى أ َ ْه ِلي ُك ْم فَ َع ِل ُمو ُه ْم‬


ْ ‫ِفي أ َ ْه ِلنَا َفأ َ ْخ َب ْرنَاهُ َو َكانَ َر ِفيقًا َر ِحي ًما فَقَا َل‬
‫ص ََلة ُ فَ ْلي َُؤذ ِْن لَ ُك ْم‬ َّ ‫ت ال‬ َ ‫ص ِلي َو ِإذَا َح‬
ْ ‫ض َر‬ َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬ َ ‫َو ُم ُرو ُه ْم َو‬
10 ُ
‫أ َ َحد ُ ُك ْم ث ُ َّم ِل َي ُؤ َّم ُك ْم أَ ْكبَ ُرك ْم‬
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada
kami Isma'il telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari
Abu Sulaiman Malik bin Al Huwairits dia berkata; "Kami datang kepada
Nabi Shallallahu'alaihi wasallam sedangkan waktu itu kami adalah pemuda
yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama dua puluh malam. Beliau
mengira kalau kami merindukan keluarga kami, maka beliau bertanya
tentang keluarga kami yang kami tinggalkan. Kami pun
memberitahukannya, beliau adalah seorang yang sangat penyayang dan
sangat lembut. Beliau bersabda: "Pulanglah ke keluarga kalian, dan ajari
mereka serta perintahkan mereka dan salatlah kalian sebagaimana kalian
melihatku shalat. Jika telah datang waktu salat, maka hendaklah salah
seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan yang paling tua dari
kalian hendaknya menjadi imam kalian'."
َ‫ع ْن أ َ ِبي قِ ََل َبة‬ َ ‫ُّوب‬ُ ‫ب َحدَّثَنَا أ َي‬ ِ ‫ع ْبد ُ ْال َو َّها‬َ ‫ َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ ب ُْن ْال ُمثَنَّى َحدَّثَنَا‬-:
‫شبَبَة‬ َ ‫سلَّ َم َو َن ْح ُن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلَّى اللَّه‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ث قَا َل أَت َ ْينَا النَّب‬ ِ ‫َحدَّثَنَا َما ِلكُ ب ُْن ْال ُح َوي ِْر‬
‫سلَّ َم‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلَّى اللَّه‬ َ ‫سو ُل اللَّ ِه‬ ُ ‫اربُونَ فَأَقَ ْمنَا ِع ْندَهُ ِع ْش ِرينَ لَ ْيلَةً َو َكانَ َر‬ ِ َ‫ُمتَق‬
َ ‫سأَلَنَا‬
‫ع َّم ْن ت َ َر ْكنَا َب ْعدَنَا‬ َ ‫ظ َّن أَنَّا قَ ْد ا ْشتَ َه ْينَا أ َ ْهلَنَا أ َ ْو قَ ْد ا ْشت َ ْقنَا‬ َ ‫َرفِيقًا فَلَ َّما‬
‫ع ِل ُمو ُه ْم َو ُم ُرو ُه ْم َوذَ َك َر أ َ ْش َيا َء‬ َ ‫ار ِجعُوا إِلَى أ َ ْه ِلي ُك ْم فَأَقِي ُموا فِي ِه ْم َو‬ ْ ‫فَأ َ ْخبَ ْرنَاهُ قَا َل‬
ُ ‫ص ََلة‬َّ ‫ت ال‬ ْ ‫ض َر‬ َ ‫ص ِلي فَإِذَا َح‬ َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬ َ ‫ظ َها َو‬ ُ ‫ظ َها أَ ْو ََل أ َ ْح َف‬ ُ َ‫أ َ ْحف‬
11 ُ
‫فَ ْلي َُؤذ ِْن لَ ُك ْم أَ َحد ُ ُك ْم َو ْل َيؤُ َّم ُك ْم أ َ ْكبَ ُرك ْم‬
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah
menceritakan kepada kami 'Abdul Wahhab telah menceritakan kepada kami
Ayyub dari Abu Qilabah telah menceritakan kepada kami Malik bin Al
Huwairits berkata, "Kami mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
yang ketika itu kami masih muda sejajar umurnya, kemudian kami
bermukim di sisi beliau selama dua puluh malam. Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam adalah seorang pribadi yang lembut. Maka ketika beliau
menaksir bahwa kami sudah rindu dan selera terhadap isteri-isteri kami,
beliau bersabda: "Kembalilah kalian untuk menemui isteri-isteri kalian,
berdiamlah bersama mereka, ajari dan suruhlah mereka, " dan beliau
menyebut beberapa perkara yang sebagian kami ingat dan sebagiannya
tidak, "dan salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat. Jika shalat telah
tiba, hendaklah salah seorang di antara kalian melakukan adzan dan yang
paling dewasa menjadi imam."

10
Al-Imām al-Ḥafiẓ Abī ‘Abdillah Muḥammad ibn Isma’il ibn Ibrahim al-Mughirah al-
Ju’fī al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2006 M/ 1427 H), Kitab Adab
no. 27; Bab Menyayangi Manusia Juga Hewan, hal 839-840
11
Al-Imām al-Ḥafiẓ Abī ‘Abdillah Muḥammad ibn Isma’il ibn Ibrahim al-Mughirah al-
Ju’fī al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2006 M/ 1427 H), Kitab Ahad
No. 1, Bab Dibolehkan Berita Satu Orang Dijadikan Hujjah (argumentasi), hal. 996
56

Sunan al-Dārimī

‫ع ْن‬ َ َ‫ع ْن أ َ ِبي ِق ََل َبة‬ ُ ‫ْب ب ُْن خَا ِل ٍد َحدَّثَنَا أَي‬
َ ‫ُّوب‬ ُ ‫أ َ ْخ َب َرنَا َي ْح َيى ب ُْن َحسَّانَ َحدَّثَنَا ُو َهي‬
‫سلَّ َم فِي نَ َف ٍر ِم ْن‬ َ ُ‫صلَّى اللَّه‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫سو َل اللَّ ِه‬ ُ ‫ث قَا َل أَتَيْتُ َر‬ ِ ‫َما ِل ِك ب ِْن ْال ُح َوي ِْر‬
‫علَ ْي ِه‬َ ُ‫صلَّى اللَّه‬ َ ‫سو ُل اللَّ ِه‬ ُ ‫ش َببَة فَأَقَ ْمنَا ِع ْندَهُ ِع ْش ِرينَ لَ ْيلَةً َو َكانَ َر‬ َ ‫قَ ْو ِمي َون َْح ُن‬
‫ار ِجعُوا ِإلَى أ َ ْه ِلي ُك ْم فَ ُكونُوا فِي ِه ْم‬ْ ‫سلَّ َم َرفِيقًا فَلَ َّما َرأَى ش َْو َقنَا ِإلَى أ َ ْه ِلينَا قَا َل‬ َ ‫َو‬
ُ ‫ص ََلة‬
َّ ‫ت ال‬ْ ‫ض َر‬ َ ‫ص ِلي َوإِذَا َح‬ َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬ َ ‫ع ِل ُمو ُه ْم َو‬ َ ‫فَ ُم ُرو ُه ْم َو‬
12 ُ
‫فَ ْلي َُؤذ ِْن لَ ُك ْم أَ َحد ُ ُك ْم ث ُ َّم ِل َيؤُ َّم ُك ْم أ َ ْك َب ُرك ْم‬
Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Hassan telah menceritakan
kepada kami Wuhaib bin Khalid telah menceritakan kepada kami Ayyub
dari Abu Qilabah dari Malik bin Al Huwairits ia berkata, "Saya datang
menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di antara beberapa orang
dari kaumku, dan kami adalah para pemuda. Kami tinggal bersama beliau
selama dua puluh malam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah
orang yang sangat lembut. Tatkala beliau melihat rasa rindu kami kepada
keluarga, maka beliau bersabda: "Kembalilah kepada keluarga kalian, dan
tinggallah bersama mereka, perintahkan dan ajarilah mereka, serta
lakukanlah salat sebagaimana kalian melihatku melakukan salat. Apabila
telah datang waktu shalat, maka hendaknya salah seorang di antara kalian
mengumandangkan adzan, kemudian orang tertua di antara kalian menjadi
imam bagi kalian."
Musnad Aḥmad bin Ḥanbāl

‫ع ْن َما ِل ِك ب ِْن‬َ َ‫ع ْن أ َ ِبي قِ ََلبَة‬


َ ‫ش ْعبَةُ َع ْن خَا ِل ٍد‬ ُ ‫َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ ب ُْن َج ْعفَ ٍر َحدَّثَنَا‬
ُ‫احب لَه‬ ِ ‫ص‬َ ‫سلَّ َم ُه َو َو‬ َ ُ‫صلَّى اللَّه‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َّ ‫سلَ ْي َمانَ أَنَّ ُه ْم أَت َ ْوا النَّ ِب‬
ُ ‫ث َو ُه َو أَبُو‬ِ ‫ْال ُح َوي ِْر‬
ْ ‫ض َر‬
‫ت‬ َ ‫وب أَ ْو خَا ِلد فَقَا َل لَ ُه َما ِإذَا َح‬ ُ ُّ‫اح َبي ِْن لَهُ أَي‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ان لَهُ فَقَا َل أَ َحد ُ ُه َما‬ ِ َ‫احب‬
ِ ‫ص‬ َ ‫أ َ ْو‬
13
َ ُ ‫صلُّوا َك َما ت َ َر ْو ِني أ‬
‫ص ِلي‬ َ ‫ص ََلة ُ فَأ َ ِذنَا َوأَقِي َما َو ْليَؤُ َّم ُك َما أ َ ْكبَ ُر ُك َما َو‬
َّ ‫ال‬
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far, telah menceritakan
kepada kami Syu'bah dari Khalid dari Abu Qilabah dari Malik bin
Huwairits yaitu Abu Sulaiman bahwa mereka datang menemui Nabi
Shalallahu 'Alaihi Wasallam, ketika itu disamping beliau ada seorang
sahabat, -atau dua orang sahabat, lalu salah satu dari keduanya berkata -
Ayyub atau Khalid-, lalu beliau bersabda kepada keduanya: "Apabila
datang waktu salat, maka kumandangkanlah, dan dirikanlah salat,
hendaklah orang yang lebih tua diantara kalian menjadi imam, lalu
shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat."

12
Al-Imām al-Ḥafiẓ Abū Muḥammad ‘Abdullāh ibn ‘Abd al-Rahman, Sunan al-Darimi,
(Riyadh: Dār al-Mughnī, 1431 H) Kitab Sholat, No. 42, Bab Yang Paling Berhak jadi Imam, hal.
796
13
Al-Imam Al-Ḥafīẓ Abī ‘Abdillāh Aḥmad Ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad Ibn Ḥanbal,
(Riyadh: Bait Al-Afkar al-Dauliah, 1889) Juz V, Hal. 1504
57

Skema sanad:
‫سو َل اللَّه ص م‬
ُ ‫َر‬

‫قال‬
‫َما ِل ِك ب ِْن ْال ُح َوي ِْرث‬

‫عن‬
‫أ َ ِبي قِ ََلبَة‬

‫عن خَا ِلد‬ ‫عن‬


‫أَيُّوب‬

ُ‫ش ْع َبة‬
‫عن‬ ُ ُ ‫ُو َهيثنا‬
‫ْب ب ُْن خَا ِلد‬ ‫ِإ ْس َماثنا ِعي ُل‬ ‫ع ْبدُ ْال َو‬
ِ ‫ثنا َّها‬
‫ب‬ َ

‫ُم َح َّمدُ ب ُْن َج ْعفَر‬ َّ ‫يَحْ يَى ب ُْن َح‬


َ ‫سا‬ ‫سدَّد‬
َ ‫ُم‬ ‫ُم َح َّمد ُ ْبنُ ْال ُمثَنَّى‬
‫ثنا‬ ‫ثنا‬ ‫ثنا‬
‫ثنا‬
‫أحمد بن حنبال‬ ‫الدارمى‬ ‫البخارى‬
‫ثنا‬ ‫اخبرنا‬ ‫ثنا‬

B. I’tibar Sanad

Setelah dilakukan kegiatan takhrij sebagai langkah awal penelitian

untuk hadis yang diteliti, maka seluruh sanad hadis dicatat dan dihimpun untuk

kemudian dilakukan kegiatan i’tibar. I’tibar berarti menyertakan sanad-sanad

yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanad-nya

tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan

sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat

yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang

dimaksud. Dengan dilakukannya i’tibar, maka akan terlihat dengan jelas


58

seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya

dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang

bersangkutan. Jadi, kegunaan i’tibar adalah untuk mengetahui apakah ada

periwayatan pendukung lain yaitu dengan melihat adanya mutabi’ atau

syahid.14

Pada skema di atas dapat diketahui bahwa periwayat yang berstatus

syahid tidak ada, karena ternyata Malik ibn al-Ḥuwairits merupakan satu-

satunya sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis tentang perintah mengikuti

salat seperti Nabi. Kemudian dari Malik ibn al-Ḥuwairits disampaikan kepada

Abū Qilābah, melalui Abū Qilābah inilah bercabang kepada Ayyūb dan Khālid.

Khālid merupakan muttabi’ dari Ayyūb. Sedangkan Wuhaib ibn Khālid, Abd

al-Wahāb, dan Syu’bah merupakan muttabi’ dari Ismā’il. Dan muttabi’ dari

Musaddad yang mukharrij-nya adalah Imam al-Bukhāri adalah Muḥammad ibn

al-Mutsannā ibn Ubaid, Yaḥya ibn Ḥisān, Muḥammad ibn Ja’far.

Lambang-lambang metode periwayatan yang dapat dicatat dari kutipan-

kutipan riwayat hadis di atas adalah ḥaddatsanā, akhbarana, ‘an, dan qāla. Itu

berarti, terdapat perbedaan metode periwayatan yang digunakan oleh para

periwayat dalam sanad hadis di atas. Dari gambaran tersebut, terlihat hadis ini

diriwayatkan oleh Malik Ibn Ḥuwairits dari Nabi Muhammad Saw. Secara

marfu’ qaulī haqīqī.15

14
Syuhud Isma’il, Metode Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 2007, hal. 49-
50
15
Ialah apa yang disandarkan oleh sahabat kepada Nabi, tentang sabdanya, bukan
perbuatannya atau ikrarnya, yang dikatakan dengan tegas bahwa Nabi bersabda. Lih. Ikhtishar
Musthalahul Hadits, karangan fatchurrahman, hal. 160
59

C. Kritik Sanad Hadis

Setelah melakukan penelusuran hadis, penulis melakukan identifikasi

sanad yang berasal dari tiga jalur mukharrij yaitu Imam al-Bukhārī, al-Dārimī,

dan Aḥmad ibn Ḥanbāl. Adapun keterangan sanadnya sebagai berikut:

a. Jalur Periwayatan yang Mukhrrijnya Imam al- Bukhārī

1) Imam al-Bukhāri

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī, nama lengkapnya

Abū ‘Abdullāh Muḥammad ibn Ismā’il ibn Ibrāhim ibn al-Mughīrah ibn

Bardizbah al-Ja’fī al-Bukhārī dan kuniyah16-nya adalah Abū Abdillāh.

Imam al-Bukhārī dilahirkan pada malam Jum’at, tanggal 13 Syawāl 194

H/810 M di kota Bukhārā17 dan wafat di Samarkand pada malam ‘Idul

Fitri tahun 256 H = 31 Agustus 870 M.18

Imam al-Bukhārī belajar hadis semenjak remaja,19 bahkan beliau

belum berusia sepuluh tahun. Sebelum mencapai usia enam belas tahun,

Imam al-Bukhārī telah menghafalkan beberapa kitab hadis, di antaranya

karangan Ibnu al-Mubarak dan Wakī’. Beliau hafal 100.000 hadis ṣaḥīḥ

dan 200.000 hadis yang tidak ṣaḥīḥ.20 Beliau tidak hanya menghafalkan

matan hadis dan buku ulama terdahulu, tetapi beliau juga mengenal betul

16
Kuniyah adalah suatu julukan yang diberikan kepada seseorang.
17
Muhammad ‘Ajjāj al-Khatīb, Uṣūl al-Ḥadīts ‘Ulūmuhu wa Muṣṭalāḥuhū, (Bairut: Dar al-
Fikr, 1989), h. 310.
18
Muhammad ‘Ajjāj al-Khatīb, Uṣūl al-Ḥadīts ‘Ulūmuhu wa Muṣṭalāḥuhū, h. 311.
19
Muhammad ‘Ajjāj al-Khatīb, Uṣūl al-Ḥadīts ‘Ulūmuhu wa Muṣṭalāḥuhū, h. 311
20
Subḥi al-Ṣāliḥ, ‘Ulūm al-Hadīts wa Muṣṭalāḥuhū, (Bairut: Dar al-‘Ilmi Lilmayin, 1988), h.
396.
60

biografi para periwayat yang mengambil bagian dan penukilan sejumlah

hadis, data tanggal lahir, meninggal, dan tempat lahir.21

Rihlah ilmiah beliau dimulai pada tahun 210 H, saat berusia 16

tahun. Diantaranya adalah Makkah, Madinah, Baṣrah, Kufah, Baghdad,

Syam, Mesir, Jazirah, Khurasan dan daerah sekitarnya yaitu Marwa,

Balkh, dan Harah. Adapun di tanah kelahirannya yaitu Bukhara,

Samarkand, dan Taskent.

Imam al-Bukhārī belajar hadis dari ulama hadis termasyhur, di antaranya;

Mālik ibn Anas, Ḥammad ibn Zayd, Ibn Mubārak, ’Alī ibn al-Madīnī,

Aḥmad ibn Ḥanbal, Yahyā ibn Ma´īn, Muhammad ibn Yusuf al-Fiyabi,

Ibn Rawaih dan banyak lainnya.22

Di antara murid-murid Imam al-Bukhārī adalah Muslim bin al-

Hajjaj, Imam Abu Isa at-Tirmīdzī, Imam an-Nasā’ī, Imam ad-Dārimī,

Muhammad bin Nashr al- Marwazi, Imam Abu Ḥātim ar-Rāzi, Imam Ibnu

Khuzaimah, Imam Abu Abdillah Ḥusain bin Ismā’il al-Muhaimili, Imam

Ibrāhim al-Ḥarbī, Al-Ḥāfiẓ Abu Bakār bin Abu Aṣim, Imam al-Farabi,

Imam Ṣalih bin Muḥammad bin Jazarah, Imam Abu Isḥaq bin Maqil an-

Nasafi, dan banyak lainyya.23

Banyak sekali para ulama yang memberikan kesaksian atas

keilmuan Imam al-Bukhārī, di antara mereka ada yang dari kalangan guru-

21
Muhammad Mustafa Azami, Studies Haditsh Methodology and Literature, (Indianapolis:
American Trust Publication, Indianapolis, 1977), h. 87.
22
Abū Syuhbah, Fī Rihāb al-Sunnah al-Kutub al-Sihāh al-Sittah, h. 43.
23
Syaikh Ahmad Farid, Biografi 60 Ulama Ahlussunnah yang Paling Berpengaruh dan
Fenomenal dalam Sejarah Islam, Terj. Ahmad Syaikhu, Cet ke 1, Jakarta: Darul Haq, 2012,
hal.564-567
61

gurunya dan teman-teman seperiode dengannya. Adapun periode setelah

meninggalnya Imam al-Bukhārī sampai saat ini, kedudukan Imam al-

Bukhārī selalu bersemayam di dalam relung hati kaum muslimin, baik

yang berkecimpung dalam masalah hadis, bahkan dari kalangan awwam

kaum muslimin sekali pun memberikan persaksian atas keagungan beliau.

Di antara para Ulama yang memberikan persaksian terhadap beliau

adalah:

Qutaibah bin Sa’id mengatakan, “Aku telah duduk di majelis

fuqaha, ahli zuhud, dan ahli ibadah, tapi aku tidak pernah melihat, sejak

aku berakal, seperti Muḥammad bin Isma’īl. Dia di zamannya adalah

seperti Umar di tengah para sahabat, yakni dalam hal akal, pengetahuan,

dan lantang dengan kebenaran.

Abu Ḥātim ar-Rāzi berkata: "Khurasan belum pernah melahirkan

seorang putra yang hafal hadis melebihi Muḥammad bin Isma'īl, juga

belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Irak yang

melebihi kealimannya."24

2) Musaddad (w. 228 H)

Al-Bukhārī meriwayatkan hadis dari musaddad dan Muḥammad

ibn al-Mutsannā. Musaddad merupakan jalur sanad pertama dari Imam al-

Bukhārī, memiliki nama asli Musaddad ibn Musrihadi ibn Musribal al-

Asadi Abu al-Ḥasan al-Baṣri. Kuniyahnya adalah Abu al-Ḥasan, beliau

wafat pada tahun 228 H.

24
Syaikh Ahmad Farid, Biografi 60 Ulama Ahlussunnah yang Paling Berpengaruh dan
Fenomenal dalam Sejarah Islam, Terj. Ahmad Syaikhu, Cet ke 1, Jakarta: Darul Haq, 2012, hal.
559-560
62

Beberapa gurunya di antaranya adalah Ismā’il ibn ‘Uliah, Khālid

ibn al-Ḥāris, Khālid ibn Abdullāh al-Wasiṭī, Sufyan ibn ‘Uyainah, Abd al-

Wahāb al-Tsaqafī, Fuḍail ibn ‘Iyāsy, Abī Syihāb Muḥammad ibn Ibrāhīm

al-Kanānī, Waki’ ibn al-Jarāḥ, Yūsuf ibn Ya’qūb.

Sedangkan, muridnya adalah Al-Bukhārī, Abū Dawūd, Ismā’il ibn

Isḥāq, Mu’adz ibn al-Mutsannā, Ya’qūb ibn Syaibah, Yusuf ibn Ya’qūb

al-Qādhī, Abū Ḥātim. Diriwayatkan oleh al-Nasā’i dan Tirmidzī bahwa

Musaddaad dinilai tsiqah (terpercaya), sebagaimana dikatakan pula oleh

Imamal- Bukhārī dan Abū Ḥātim. Sedangkan menurut Ahmad bin Hanbal,

Musaddad dinilai shaduq (jujur).25

3) Ismā’il (w. 193 H)

Musaddad meriwayatkan hadis dari Ismā’il. Yang memiliki nama

asli Ismā’il ibn Ibrāhim ibn Muqsim, lahir pada tahun 110 H dan wafat

pada tahun 193 H. Beliau masyhur dengan sebutan Ismā’il ibn Aliyah al-

Asdī.

Gurunya adalah Ayyūb ibn Abī Tamīmah Al-Sakhaṭiyani, Abī

Yunus Ḥātim ibn Abī Ṣoghiroh, Ḥajjaaj ibn Abī Usman al-Ṣawaf, Khalid

al-Khudzai, Sa’id ibn Iyās, Abi Salmah Sa’id ibn Yazīd, Sufyan al-Tsaurī,

Syu’bah ibn al-Ḥajjāj, Abdullāh ibn Ḥasan ibn Ḥusen ibn Ali ibn Abī

Thalib, Abdullāh ibn ‘Aun, Abd al-Raḥman ibn Isḥāq al-Madiny, Ali ibn

Al-Mubarak, Malik ibn Anas, al-Matsnā ibn Sa’id.

25
Yusūf ibn Abd al-Raḥmān bin Yusūf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl,
(Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980), juz 27, hal. 446-447
63

Beberapa muridnya di antaranya adalah Ibrāhim ibn Dīnar, Aḥmad

ibn Ḥanbāl, Sufyān ibn Waqī’, Syu’bah ibn al-Ḥajjāj, ‘Abd al-Raḥman ibn

Mahdī, Utsman ibn Muḥammad ibn Abī Syaibah, Qutaibah ibn Sa’id,

Musaddad ibn Musrihad, Yaḥya ibn Ma’in. Isma’il dinilai tsiqah tsubut

(orang yang tsiqah dan teguh) oleh Imam an-Nasā’i. 26

4) Muḥammad ibn al-Mutsannā (w.252 H)

Imam Al-Bukhārī juga meriwayatkan hadis dari Muāammad ibn al-

Mutsannā yang mana sebagai jalur sanad keduanya. Nama aslinya adalah

Muḥammad ibn al-Mutsannā ibn Ubaid ibn Qais ibn Dīnar al-‘Anazī

Kuniyahnya adalah Abū Mūsa. Lahir pada tahun 167 H dan wafat pada

tahun 252 H.

Beliau meriwayatkan hadis dari gurunya yakni, Abī Isḥāq Ibrāhim

ibn Isḥāq,Ibrāhim ibn Ṣāliḥ ibn Dirham, al-Bāhalī, Ibrāhm ibn ‘Umar ibn

Abī al-Wazīr, Abī Usāmah Ḥammad ibn Usāmah, Sa’id ibn Sufyan al-

Jaḥdarī, Sufyān ibn ‘Uyainah, Sahl ibn Yūsuf, Safwan Ibn ‘Isā, Abdullāh

ibn Idrīs, Abd al-Wahhāb ibn Abd al-Majīd al-Tsaqafī, Ubaidillāh ibn

Mūsā, ‘Utsmān ibn ‘Utsmān al-Ghatafānī, ‘Utsmān ibn ‘Umar ibn fāris,

dst.

Muridnya adalah Abū Ya’lā Aḥmad ibn ‘Alī ibn al-Mutsannā, Baqī ibn

Maḥlad al-Andalusī, Abū Bākar Abdullāh ibn Abī Dawūd, Muḥammad ibn

26
Yusūf ibn Abd al-Raḥmān bin Yusūf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl,
(Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980), juz 26, hal. 23-30
64

Isḥāq ibn Khuzaimah, Abū Ḥātim.27 Ia dinilai tsiqah oleh Yahya ibn

Ma’in, Shaduq oleh Abu Hatim, dan laba’tsabih oleh An-Nasā’i.

5) ‘Abd al-Wahhāb

Muḥammad ibn al-Mutsannā meriwayatkan hadis dari ‘Abd al-

Wahhāb. Memiliki nama asli ‘Abd al-Wahhāb ibn ‘Abd al-Majīd ibn Ṣilti

ibn Ubaidillāh ibn al-Ḥākim ibn Abi al-‘Ash al-Tsaqafī.

Gurunya adalah Isḥāq ibn Suwaid al-‘Adawi, Ayyūb al-Sakhtiyani,

Ja’far ibn Muḥammad ibn ‘Alī, Ḥātim ibn Abī Ṣaghirah, Khalid al-

Khadzdzā’i, Dawūd ibn Abī Hindun, Rāsyid ibn Muḥammad al-Himmānī,

Sa’id ibn Iyās al-Jurairī, Abdullāh ibn ‘Aun, Abd al-Malik ibn Abd al-

‘Azīz ibn Juraij, ‘Auf al-‘Arābī, Mālik ibn Dīnār, Muhajir ibn Makhlad,

Hisyam ibn Ḥissān, Yahya ibn Sa’id al-Anshārī, Yūnus ibn ‘Ubaid, dan

Abī Hārūn al-‘Abd.

Muridnya adalah Ibrāhim ibn Sa’id al-Jauharī, Ibrāhim ibn

Muḥammad, Aḥmad Ibn Ḥanbāl, Bisyr ibn Hilāl al-Shawāf, Jamīl ibn

Ḥasān, Ḥasān ibn ‘Arafah, Ḥafs ibn Umar al-Rabālī, Khumaid ibn

Mas’adah, Ṣāliḥ ibn Ḥātim, Al-‘Abbās ibn Yazīd al-Baḥrānī, ‘Abdullāh

ibn ‘Abd al-Wahhāb al-Ḥajabī, ‘Abdullāh ibn Muḥammad ibn Abd al-

Raḥmān al-Zuhrī, ‘Abd al-Raḥmān ibn ‘Umar, ‘Alī ibn al-Madīny, Alī ibn

Ma’bad ibn Syaddād al-Raqī, Muhammad ibn Abdullah al-Ruzzī, Abuu

Muusaa Muḥammad ibn Al-Mutsannā, Muḥammad ibn Yaḥya ibn Ayyūb

Al-Tsaqafī, Muḥammad ibn Yaḥya ibn Abī Umar al-‘Adnī, dst. ‘Ustmān

27
Yusūf ibn Abd al-Raḥmān bin Yusūf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl,
(Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980), juz 26, hal. 359-362
65

ibn Sa’id al-Dārimī berkata bahwa ‘Abd al-Wahhāb al-Tsaqāfi adalah

tsiqah begitu juga menurut Ayyūb.28

6) Ayyūb Ibn Abī Tamimah (66-131. W)

Ismā’il dan Abd al-Wahhāb meriwayatkan hadis dari Ayyūb. Nama

aslinya adalah Ayyūb Ibn Abī Tamimah, lahir pada tahun 66 H dan wafat

pada tahun 131 H. Kuniyahnya adalah Abū Bakar atau Abū ‘Utsmān

Gurunya adalah Ibrāhīm ibn Maisaroh al-Thaifī, Ḥasan al-Baṣrī,

Zaid ibn Aslam, Sālim ibn ‘Abdullāh ibn ‘Amr, Sa’id ibn Jabīr, Abī

Qilābah ‘Abdullāh ibn Zaid al-Jaramī, ‘Abdullāh ibn Ubaidillāh,

‘Abdullāh ibn Katsīr al-Qāri, Ikrimah ibn Khālid al-Aḥzāmī, Amr ibn

Dīnar, Amr ibn ibn Sa’id al-Tsaqafī, Muḥammad ibn Sirrīn, Nāfi’ Maula

ibn ‘Amr, Yaḥya ibn ‘Urwah al-Zabīr.

Muridnya adalah Ismā’il ibn ‘Aliyah, Al-Ḥasan ibn Abī Ja’far,

Sufyan al-Tasauri, Sufyan ibn ‘Uyainah, Sulaiman al-A’Masy, Syu’bah

ibn al-Ḥajjāj, ‘Abd al-Wahhāb ibn ‘Abd al-Majīd al-Tsaqafī, Alī ibn al-

Mubarak, Amr ibn Dīnar, Amr ibn Abī Qais al-Rāzī, Qatadah, Mālik ibn

Anas, Muḥammad ibn Sirrīn, Wuhaib ibn Khālid, Yaḥya ibn Abī Katsīr,

Abū Ja’far al-Rāzī. An-Nasā’i menilainya tsiqah tsubut.29

7) Abū Qilābah (W. 104 H)

Ayyūb meriwayatkan hadis dari Abu Qilābah. Memiliki nama asli

‘Abdullāh ibn Zaid ibn ‘Umar, waat pada tahun 104 H.

28
Yusūf ibn Abd al-Raḥmān bin Yusūf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl,
(Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980), juz.18, hal. 503-506
29
Yusūf ibn Abd al-Raḥmān bin Yusūf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl,
(Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980), juz. 3, hal. 457
66

Gurunya adalah Anas ibn Mālik al-Anṣārī, Anas ibn Malik al-

Ka’ab, Tsābīt ibn Al-Ḍāḥāk al-Anṣārī, Ja’far ibn ‘Umar ibn Umayyah al-

Ḍāmirī, Ḥudzaifah ibn al-Yamān, Khālid ibn Al-Lajlaj, Samrah ibn

Jundub, ‘Abdullāh ibn ‘Abbās, ‘Abd al-Raḥmān ibn Syaibah ibn Utsman

al-‘Abdarī, Umar ibn Al-Khattāb, Mālik ibn al-Khuwairits al-Laits,

Muḥammad ibn Abī Aisyah, Mu’awiyah ibn Abī Sufyan, Abī Idrīs al-

Khaulānī, Abī Tsa’labah Al-Khusyanī, ‘Aisyah Ummul Mu’minin.

Muridnya adalah Asy’ats ibn Abd al-Raḥmān al-Jaramī, Ayyūb al-

Syakhtiyānī, Tsābit al-Bunānī, Ḥissān ibn ‘Aṭiyah, Dawūd ibn Abī

Hindun, Sulaimān ibn Dāwud al-Khaulānī, Qatādah, Maimuun al-Qannād,

Yaḥya ibn Abi Katsīr, Yazīd ibn Abī Maryam al-Anṣārī. Muḥammad ibn

Sa’d dari thabaqah kedua berkata bahwa Abū Qilābah dinilai tsiqah dan

banyak hadisnya.30

8) Mālik Ibn al-Ḥuwairīts Ibn Ḥusyaisy ibn ‘Auf ibn Junda’. (w. 74

H)

Abū Qilābah meriwayatkan hadis dari sahabat Mālik Ibn al-

Ḥuwairīts. Nama aslinya adalah Mālik Ibn al- Ḥuwairīts Ibn Ḥusyaisy ibn

‘Auf ibn Junda’. Kuniyahnya adalah Abū Sulaimān. Gurunya adalah Nabi

Muḥammad Saw. Muridnya adalah Ṣawwār al-Ḥaramiy, Naṣr ibn ‘Āshim

al-Laits, Abū ‘Aṭiyah dan Abū Qilābah al-Jaramiy. Menurut ibn Ḥājar al-

‘Aṣqālāni beliau adalah seorang sahabat.31

30
Yusūf ibn Abd al-Raḥmān bin Yusūf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl,
(Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980), juz. 14, hal. 542-544
31
Yusūf ibn Abd al-Raḥmān bin Yusūf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl,
(Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980), juz 27, hal. 132-133
67

b. Jalur Periwayatan dari al-Dārimī

1) Imam al-Dārimī

Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Raḥmān ibn Abd al-Raḥmān ibn

al-Faḍl ibn Bahram ibn ‘Abd al-Ṣamad. Kuniyahnya adalah Abū

Muḥammad. beliau dilahirkan pada tahun wafatnya Ibn al-Mubarak, yaitu

pada tahun 181 H di kota Samarqandi. Imam Al-Dārimī sejak kecil telah

dikarunia kecerdasan otak sehingga ia mudah untuk memahami dan

menghafalkan setiap apa yang didengar. Imam al-Dārimī wafat pada hari

tarwiyah tahun 255 H setelah shalat ‘Ashar.

Imam al-Dārimi mengadakan rihlah berkeliling dari satu negara ke

negara yang lain, sebagaimana yang juga dilakukan oleh para ulama hadis

pada masa itu. Beliau mengunjungi Khurasan, kemudian ke Irak. Di Irak

beliau belajar kepada para ahli hadis yang ada di Baghdad, Kufah, Wasith,

dan Basrah. Beliau juga mengunjungi Syam dan belajar kepada para ulama

yang berdomisili di Damasqus, Hims, dan Shuwar. Beliau juga pergi ke

Jazirah dan Hijaz. Setelah pengembarannya itu beliau kemudian kembali

ke kota Samarqand, kota kelahirannya.

Guru-gurunya

Imam Al-Dārimī belajar hadis dari Yazīd ibn Harun, Ya’la ibn

‘Ubaid, Ja’far ibn ‘Aun, Basyar ibn ‘Umar al-Zahrani, Abu ‘Alī

‘Ubaidillāh ibn ‘Abd al-Majīd al-Ḥanafy, dan Abu Bakar ‘Abd al-Kabīr.

Di samping itu, beliau juga berguru kepada Muḥammad ibn Bakar al-

Barsany, Wahab ibn ‘Amir, Aḥmad Iṣḥak al-Hadrami, Abū ‘Aṣim, Abū
68

Nur’aim. ‘Affan, Abū al-Walid, Muslīm, Jakaria ibn ‘Adiy, Yahya ibn

Ḥissan, Khalia ibn Khayyat ibn Ma’in, Aḥmad ibn Ḥanbāl, ‘Alī ibn al-

Madiniy, dan Duḥaim.

Murid-muridnya

Muslīm, Abū Dāwūd, Tirmidzi, ‘Abd ibn Ḥumaid, Raja’ ibn

Marjah, Ḥasan ibn al-Syabbah al-Bazzar, Muammad ibn Basyar Bandar,

Muḥammad ibn Yaḥya. Selain mereka, juga terdapat nama-nama Baqiy

ibn Makhlaf, Abū Zur’ah, Abū Ḥaām, Ṣālih ibn Muḥammad Jazrah,

Ibrāhim ibn Abī Thalib, Ja’far ibn Aḥmad ibn Faris, Ja’far al-Farabiy,

‘Abdullāh ibn Aḥmad, ‘Umar ibn Muḥammad ibn Bujair, Muḥammad ibn

al-Naḍar al-Jarudiy, dan ‘Isa ibn ‘Umar al-Samarqandi.

Kredibilitas al-Dārimī sebagai imam di bidang hadis, hafiz, dan

‘arif diakui oleh para koleganya. Sebagaimana dikatakan Ibn Ḥibbān,

bahwa beliau termasuk Ḥuffādz yang kokoh. Beliau orang yang wara’

dalam agama. Beliau mengahafal, mengumpulkan, mendalami, menyusun

kitab, dan menyebarkan sunnah dinegerinya dan mengajak orang lain

untuk mengikutinya. Hal ini juga disampaikan oleh al-Dāruqutni, al-

Ḥākim dan al-Khaṭib al-Baghdadi.32

2) Yaḥya ibn Ḥasān ibn Ḥayyān al-Tunīsī (144-188 w)

Imam Al-Dārimī meriwayatkan hadis dari Yaḥya ibn Ḥasān, yang

meimliki nama asli Yaḥya ibn Ḥasān ibn Ḥayyān al-Tunīsī. Kuniyahnya

adalah Abū Zakariya. Wafat pada tahun 188 H.

32
Bustamin dan Hasanuddin, Membahas Kitab Hadis, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah, 2010, Cet ke 1, Hal. 78-82
69

Gurunya adalah Ibrāhim ibn ‘Uyainah, Ismā’il ibn Ja’far al-

Madiny, Abd al-Raḥmān ibn Abī al-Zinād, Isa ibn Yūnus, Quraiys ibn

Ḥayyān, al-Laits ibn Sa’d, Muḥammad ibn Muhājir, Mu’awiyah ibn Silā,

Manṣur ibn Abī al-Aswad, Hisyam ibn Basyīr, Wuhaib ibn Khālid, Yaḥya

ibn Ya’qūb.

Muridnya adalah Ibrāhim ibn ‘Isā ibn Abī Ayyūb al-Mishry,

Aḥmad ibn Ṣāliḥ al-Mishry, al-Ḥasan ibn Abd al-‘Azīz, Abdullāh ibn Abd

al-Raḥmān al-Dārī, Abd al-Raḥmān ibn Ibrāhīm, Muḥammad ibn Idrīs al-

Syāfi’i, Muḥammad ibn Dāwud ibn Sufyān, Muḥammad ibn Sahl ibn

‘Asakir al-Tamīmy al-Bukhārī, Yūnus ibn Abd al-a’lā

Dari Imaman-Nasā’i bahwa ia dinilai tsiqat, ibn Ḥibbān juga

menyebutkan di dalam kitab al-tisqah.

3) Wuhaib ibn Kholid ibn ‘Ajilan al-Bahalii (W. 165 H)

Yahya ibn Khasaan meriwayatkan hadis dari Wuhaib ibn Khālid.

Nama aslinya adalah Wuhaib ibn Khālid ibn ‘Ajilan al-Bahalī (W. 165 H).

Beliau memiliki kuniyah yaitu Abū Bākar. Guru: Ayūb al-Saḥtianī, Ja’fār

ibn Muḥammad al-Ṣādiq, Hamid al-Ṭawīl, Khālid al-Khudzā’i, Dāwūd ibn

Abī Hindun, ‘Abdullah ibn ‘Aun, Musa ibn ‘Uqbah, Hisyām ibn ‘Urwah,

Yahya ibn Abī Ishaaq al-Khadlromii, Yahya Ibn Sa’id Al-Anshūnī, Abī

Khayyān Al-Taimi.

Murid: Ibrāhīm Ibn al-Khajjāj, Ahmad ibn Ishāq al-Ḥadlrāmi,

Sulaiman ibn Kharb, Abū Dāwūd Sulaiman ibn Dāwud al-Ṭayālasī, Sahl

ibn Bakār, ‘Abdullāh ibn al-Mubārok, ‘Abd al-Waḥīd ibn Ghiyāts,


70

Muḥammad ibn Abī Nu’aim al-Wāsiṭī, Yahya ibn Khasan al-Tunīsī, Abū

Sa’id Maula banī Hāsyim. Menurut abu dawud al-Thayalasī, ia dinilai

tsiqah tsubut. Wuhaib juga meriwayatkan hadis dari Ayyub, dari Abu

qilaabah dari Malik ibn al-Khuwairits. Dan Abu Ḥātim menilainya

tsiqah.33

c. Jalur Periwayatan dari Aḥmad ibn Ḥanbal

1) Aḥmad ibn Ḥanbāl

Nama aslinya adalah Imam Abū ‘Abdillāh Aḥmad bin Muḥammad

bin Ḥanbāl bin Hilal bin Asad bin Idris bin ‘Abdullāh bin Hayyan bin

Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl

bin Tsa’labah bin Ukabah bin Sha’b bin Ali bin Bakr bin Wa’il bin Qasith

bin Hinb bin Qushai bin Du’mi bin Judailah bin Asad bin Rabi’ah bin

Nizar bin Ma’d bin Adnan. 34

Lahir di Baghdad, pada bulan Rabiul Awwal, tahun 164 H. Sebagai

anak yatim. Karena itu dia diasuh oleh ibunya di bawah tanggung jawab

pamannya. Wafat pada waktu Duha hari jum’at, 12 Rabiul awwal 241 H.

Sejak kecil sudah sangat menggemari ilmu, dan mulai belajar dari syekh-

syekh setempat. Pada tahun 179 H, saat berusia 15 tahun, beliau mulai

serius mempelajari dan menelusuri hadis-hadis. Perjalanan ilmiahnya

untuk mengumpulkan hadis-hadis dimulai pada tahun 186 H. Beliau pergi

ke Kuffah, Bashrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, dan seluruh

33
Yusūf ibn Abd al-Raḥmān bin Yusūf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl,
(Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980), juz 31, hal. 164-167
34
Syaikh Ahmad Farid, Biografi 60 Ulama Ahlussunnah yang Paling Berpengaruh dan
Fenomenal dalam Sejarah Islam, Terj. Ahmad Syaikhu, Cet ke 1, Jakarta: Darul Haq, 2012, hal.
492
71

pelososk Jazirah Arab. Semua yang diperolehnya dari para Ulama’ di tiap

kota yang dikunjunginya, dia catat dan pelajari dengan seksama.35

Guru-gurunya:

Sebagaimana di kutip Syaikh Ahmad Farid, Al-khathib

mengatakan, “Dia mendengar dari Isma’il bin Ulayyah, Husyaim bin

Basyir, Hammad bin Khalid al-Khayyath, Manshur in Salamah al-Khuza’i,

Al- Muzhaffar bin Mudrik, Utsman bin Umar bin Faris, Abu an-Nadhr

Hasyim bin al-Qasim, Abu Sa;id maula Bani Hasyim, Muhammad bin

Yazid al-Wasithi, Yazid bin Harun al-Wasithi, Muhammad bin Abu Adi,

Muhammad bin Ja’far Ghundar, Yahya bin Sa’id al-Qaththan,

Abdurrahman bin Mahdi, Bisyr bin al-Mufadhdhal, Muhammad bin Bakar

al-Barsani, Abu Dawud ath-Thayalisi, Rauh bin Ubadah, Waki’ bin al-

Jarrah, Abu Mu’awiyah adh-Dharir, Abdullah bin Numair, Abu Usamah,

Suyan bin Uyainah, Yahya bin Sulaiman ath-Tha’ifi, Muhammad bin Idris

asy-Syafi’i, Ibrahim bin Sa’d az-Zuhri, Abdurrazaq bin Hammam, Abu

Qurrah Musa bin Thariq, al-Walid bin Muslim, Abu Mushir ad-Dimasqi,

Abu al-Yaman, Ali bin Ayyasy al-Himshi, Bisyr bin Syu’aib bin Abu

Hamzah al-Himshi, dan banyak lainnya. Al-Mizzi menyebutkan dalam

Tahdzībnya sebanyak 104 orang dari gurunya. Namun itu juga bukan

untuk menyebutkan secara keseluruhannya.36

35
Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal. Hadits-hadits Imam Ahmad. (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya). 2009, h. 372
36
Syaikh Ahmad Farid, Biografi 60 Ulama Ahlussunnah yang Paling Berpengaruh dan
Fenomenal dalam Sejarah Islam, Terj. Ahmad Syaikhu, Cet ke 1, Jakarta: Darul Haq, 2012, hal.
518
72

Murud-muridnya:

Sedangkan yang meriwayatkan dari Imam Aḥmad bin Ḥanbāl

adalah Isḥāq, Al-Hasan bin ash-Ṣabbah al-Bazzar, Muhammad bin Isḥāq

Aṣ-Ṣaghani, Abbas bin Muḥammad ad-Duri, Muḥammad bin Ubaidillāh

al-Munadā, Muḥammad bin Ismā’il al-Bukhari, Muslim bin al-Ḥajjāj an-

Naisabūri, Abū Zur’ah ar-Rāzi, Abū Ḥātim ar-Rāzi, Abū Dāwūd as-

Sijistāni, Abū Bākar al-Atsrām, Abū Bākar al-Marwazi, Ya’qūb bin Abū

Syaibah, Aḥmad bin Abū Ḥaitsamah, Abū Zur’ah ad-Dimasyqī, Ibrāhim

al-Ḥarbi, Mūsa bin Harūn, ‘Abdullāh bin Muḥammad al-Baghawi, kedua

putranya yaitu Ṣalih dan ‘Abdullāh, dan banyak lainnya.37

Imam Aḥmad merupakan teladan dalam hapalan dan kecermatan,

sampai-sampai Abu Zahrah berkata tentangnya: “Ia hapal sejuta hadis,

yang sanggup ia diktekan lewat hapalannya”. Tidak aneh bila ia termasuk

“Amirul mukminin dalam hadis”. Tentang dirinya Ibnu Hibban berkata:

“Dia adalah ahli fiqh, penghapal hadis yang meyakinkan, selalu menjauhi

perbuatan haram, senantiasa menjaga ibadah sekalipun harus menerima

cambukkan. Sehingga Allah melindunginya dari bid’ah dan

menjadikannya sebagai imam yang diikuti dan tempat berlindung.”38

37
Syaikh Ahmad Farid, Biografi 60 Ulama Ahlussunnah yang Paling Berpengaruh dan
Fenomenal dalam Sejarah Islam, Terj. Ahmad Syaikhu, Cet ke 1, Jakarta: Darul Haq, 2012, hal.
519
38
Dikutip dari buku Membahas Ilmu-ilmu Hadis karya Subhi As-Shalih yang bersumber
dari kitab Tarikh al-Baghdad; Al-Wafayat; dan Al-Hilyah. (lih. Membahas Ilmu-ilmu Hadis karya
Subhi As-Shalih, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2013, hal. 364)
73

2) Muḥammad ibn Ja’fār al-Hadzali (w. 193 H)

Nama lengkapnya adalah Muḥammad ibn Ja’fār al-Hadzali,

memiliki kuniyah Abū ‘Abdullāh. Beliau merupakan tabi’ut tabi’in

kalangan biasa. Guru beliau adalah Sufyān al-Tsaury, Sufyān ibn

‘Uyainah, Syu’bah ibn al-Ḥajjāj, ‘Abdullāh ibn Auf al-A’raby, Ma’mar

ibn Rāsyd, Hisyām ibn Ḥisan. Sedangkan muridnya adalah Ibrāhim ibn

Muḥammad, Aḥmad ibn Ḥanbāl, Aḥmad ibn ‘Abdullāh ibn al-Ḥakam,

Bisyr ibn khālid, Abu Khaitsumah ibn Zahir ibn Ḥarb, ‘Abās ibn Yazid al-

Bakhrāni, ‘Abdullāh ibn Muḥammad, Utsman ibn Muḥammad, ‘Uqbah

ibn Makārim, ‘Alī ibn al-Madiny, Qutaibah ibn Sa’id, Muḥammad ibn

Basyar Bundār, Muḥammad ibn Umar. Muḥammad bin Sa’d menilainya

tsiqah, dan disebutkan oleh Ibnu Ḥibbān dalam Ats-Tsiqat.

3) Syu’bah ibn al-Ḥajjāj ibn al-Warad (83-160 H)

Syu’bah ibn al-Ḥajjāj ibn al-Warad merupakan tabi’ut tabi’in

kalangan tua. Kuniyahnya adalah Abu Bistham. Guru: Ibrāhim ibn

Maisaroh, Isma’il ibn Abī Khālid, Anas ibn Sirrīn, Ayyub ibn Abī

Tamimah al-Sakhatiyani, Bukair ibn ‘Atha, Ja’far ibn Muhammad al-

Ṣādiq, al-Ḥātim ibn Abī Ṣaghīrah, Khālid al-Khudza’i, Sufyan al-Tsaurī,

Sulaiman al-A’masy, ‘Abdullāh ibn ‘Aun, Laits ibn Salīm, Mālik ibn

Anas, Abi ‘Aun al-Tsaqafi.

Muridnya adalah Adam ibn Abi Iyās, Sulaiman ibn Kharb, Abu

‘Āshim Al-Dhākhak, Abdullah ibn Idris, ‘Abdullāh ibn al-Mubarak, Abu

Na’im al-Fadhl, Muhammad ibn Ishaq, Muhammad ibn Ja’far, Abu Daud
74

al-Thayalasi. Beliau dinilai tsiqah tsubut oleh Al-‘Ajli dan Al-Tsauri

mengatakan ia adalah amiru al-mukminin fi al-ḥadīts.

4) Khālid ibn Mihrān al-Khudzā’i (w.144 H)

Khālid ibn Mihrān al-Khudzā’I merupakan tabi’ut tabi’in kalangan

biasa, kuniyahnya adalah Abu al-Manazil. Gurunya adalah Anas ibn Sirrin,

Khasan al-Bashri, Rafi’ abi al-‘Aaliyah, Abi Tamimah Tharif ibn Majalid,

Abī Qilābah ‘Abdullāh ibn ibn Zaid, Abd al-A’la ibn ‘Abdullāh ibn ‘Amir,

‘Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakrah, Ikrimah, Ḥafṣah Binti Sirrin.

Muridnya adalah Isama’il ibn Hakim, Ḥafṣ ibn Ghiyāts, Khālid ibn

‘Abdullāh, Sufyān al-Tsauri, Syu’bah ibn al-Ḥajjāj, ‘Abdullāh ibn al-

Mubarak, ‘Abd al-Mālik ibn Abd al-‘Azīz, ‘Abd al-Wahhāb al-Tsaqafī,

‘Ubaidillāh ibn Tamam, Qudamah ibn Syihāb, Muḥammad ibn Ja’fār,

Muḥammad ibn Dīnār, Wuhaib ibn Khālid, Abū Ja’fār al-Rāzi. Beliau

dinilai tsiqah oleh an-Nasā’i, Aḥmad ibn Ḥanbāl dan al-Dārimī.39

Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat setelah melakukan penelitian di atas,

bahwa hadis “Ṣallū kamā raaitumūnī uṣallī” diriwayatkan secara marfu’,

yakni semua hadis disandarkan kepada Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.

dan temasuk ke dalam hadis Ᾱḥād.40 Jika ditinjau dari jumlah perawinya

yang meriwayatkan hadis di atas, dari kalangan sahabat hanya memiliki

39
Kitab Sembilan Imam, diakses dari Aplikasi Hadis Digital: Lidwa Puska I-Software
40
Hadis Ᾱḥād adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau
lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadis Mutawāttir.
Yakni, hadis ahad adalah hadis yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawāttir.
Lih. Antologi Ilmu Hadis, karangan M. Noor Sulaiman, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008, hal.
90
75

satu periwayat, yaitu Mālik bin Ḥuwairīts. Begitu juga dari kalangan tabi’-

tabi’in diriwayatkan oleh satu orang perawi saja, oleh karena itu hadis

tersebut dinilai sebagai hadis gharib41.

Dalam periwayatan Imam al-Bukhārī terdapat seorang perawi

yakni Musaddad yang dinilai masih bersifat ṣadūq sū’ al-ḥifzh yaitu jujur

namun jelek hafalannya (keḍabitannya belum sempurna) menurut Imam

Aḥmad ibn Ḥanbal, walaupun Imam al-Nasā’i dan Tirmīdzi menilainya

tsiqah. Sehingga menjadikan hadis yang berasal dari jalur periwayatan

Imam al-Bukhārī berstatus Ḥasan lī dzātihi.42 Namun, terdapat sanad yang

menguatkan dari jalur periwayatan lain yaitu dari jalur periwayatan Imam

al-Dārimī dan Imam Aḥmad ibn Ḥanbal. Hal ini menjadikan hadis Ḥasan

lī dzātihi naik tingkatannya menjadi Ṣaḥīḥ li ghairih43. Dapat disimpulkan

bahwa hadis ini adalah hadis gharib yang berkualitas Ṣaḥīḥ.

41
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan hadis gharib secara
istilah adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri. Hadis gharib
dilihat dari segi letak sendiriannya terbagi menjadi dua, yaitu: Pertama, Gharib Muthlaq (al-
Fardul mutlaq), ialah bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanadnya
(sahabat). Kedua, Gharib Nisbi (al-Fardu an-Nisbi), ialah apabila keghariban terjadi pada
pertengahan sanadnya bukan pada asal sanadnya. (lih. Pengantar Studi Ilmu Hadits, karangan
Syaikh Manna Al-Qaththan, hal. 115-116)
42
Menurut Ibnu Ḥājar al-‘Aṣqalānī dalam Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīts, hadis Ḥasan lī
dzātihi adalah hadis Ᾱḥād yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, ke-ḍabitan-nya sempurna,
sanadnya bersambung, hadisnya tidak ada ‘illal maupun syadz. Dikatakan Ḥasan lī dzātihi jika
derajat ke-ḍabitan-nya lebih rendah. (lih. Pengantar Studi Ilmu Hadits, karangan Syaikh Manna
Al-Qaththan, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005, hal. 52)
43
Hadis Ṣaḥīḥ li ghairihi adalah hadis hasan lidzatihi yang dikuatkan oleh periwayatan
lain yang semisalnya atau yang lebih kuat darinya. Dinamakan Ṣaḥīḥ li ghairihi karena ke- Ṣaḥīḥ-
annya tidak berasal dari sanad awalnya sendiri, melainkan dari masuknya sanad lain yang
menguatkannya.
BAB IV

KAJIAN PEMAHAMAN HADIS ṢALLŪ KAMĀ RAAITUMŪNĪ ŪṢALLĪ

A. Memahami Hadis dengan Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin dalam

Tema-tema yang sama

Memahami sebuah dalil baik al-Qur’an maupun hadis haruslah secara

menyeluruh baik mafhum manṭuqnya atau makna kandungannya, tidak boleh

hanya memahami makna lafzinya saja. Qarḍāwi dalam bukunya ‘Kaifa

Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah: Ma’ālim wa Ḍawābīt’ memberikan

delapan cara (manhaj) untuk memahami hadis secara benar. Salah satu

manhajnya ialah dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema-

tema yang sama.

Qarḍāwi, menyatakan bahwa pendekatan tematik dilakukan dengan cara

mengumpulkan seluruh hadis dalam satu tema. Lalu diklasifikasikan mana yang

memiliki makna jelas (muhkam) dan manapula yang maknanya masih samar-

samar (mutasyabih), mana makna umum tak terikat (muṭlaq) dan khusus

tertentu sifatnya (muqayyad), mana yang cakupan maknanya umum (‘amm) dan

yang khusus (Khaṣ). Maka dengan demikian jelaslah makna dari hadis yang

dimaksud, tanpa dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lainnya.1

Sebagaimana telah ditetapkan bersama, bahwa salah satu fungsi as-

Sunnah adalah sebagai penafsir terhadap al-Qur’an. Yakni menjelaskan yang

mubham, merinci yang mujmal, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang

1
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah: Ma’ālim wa
Ḍawābīt, Mesir: Dār al-Syurūq, 1427 H/ 2005 M, Hal. 123

76
77

umum, dan menguraikan hukum-hukum dan tujuan-tujuannya.2 Maka sudah

semestinya, ketentuan-ketentuan seperti itu harus pula diterapkan terhadap

hadis satu dengan hadis yang lainnya.

Oleh karenanya, hadis yang diriwayatkan oleh Mālik bin al-Ḥuwairits,

tentang perintah mengikuti salat seperti Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam,

harus pula dimaknai sebagaimana ketentuan-ketentuan dalam metode yang

ditawarkan Yusuf al-Qardhawi. Adapun hadisnya ialah, Sabda Nabi Ṣallallāhu

‘Alaihi wa Sallam:

‫ار ِجعُوا ِإلَى‬ ْ « :َ‫سلَّ َم قَال‬ َ ُ‫صلَّى الله‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َّ ‫ قَا َل النَّ ِب‬،ِ‫س َل ْي َمانَ َما ِل ِك ب ِْن ال ُح َوي ِْرث‬ ُ ‫ع ْن أَبِي‬ َ
‫ فَ ْلي َُؤذ ِْن‬،ُ‫صالَة‬
َّ ‫ت ال‬
ِ ‫ض َر‬َ َ َِ‫ح‬ ‫ا‬ َ ‫ذ‬‫إ‬ ‫و‬ ،‫ي‬ ‫ل‬
ِ ‫ص‬
َ ُ ‫أ‬ ‫ي‬ ‫ن‬
ِ ‫و‬ ‫م‬ ُ ‫ت‬
ُ َ َ ‫ي‬
ْ َ ‫أ‬‫ر‬ ‫ا‬‫م‬ َ
‫ك‬ ‫وا‬ُّ ‫ل‬‫ص‬َ ‫و‬ ، ‫م‬ ُ
‫ه‬ ‫و‬ ‫ر‬
َ ْ ُ ُ َ ْ ُ َ ْ ‫م‬ ‫و‬ ‫م‬ ُ
‫ه‬ ‫و‬ ‫م‬‫ل‬ِ ‫ع‬َ ‫ف‬ ،‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ي‬ ‫ل‬
ِ ْ
‫ه‬ َ‫أ‬
3 ُ
»‫ ث ُ َّم ِليَؤُ َّم ُك ْم أ َ ْك َب ُرك ْم‬،‫لَ ُك ْم أ َ َحدُ ُك ْم‬
Artinya:
‘Dari Abu Sulaiman Malik bin Al Ḥuwairits dia berkata, Nabi
Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Pulanglah ke keluarga kalian.
Tinggallah bersama mereka dan ajari mereka serta perintahkan mereka dan
salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat. Jika telah datang waktu
salat, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan,
dan yang paling tua dari kalian hendaknya menjadi imam kalian”.

Hadis ini adalah kutipan dari hadis yang panjang, diriwayatkan oleh al-

Bukhāri dengan berbagai macam lafaz atau ungkapan. Salah satunya adalah,

Mālik berkata, “Aku mendatangi Rasūlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam

bersama beberapa orang dari kaumku, lalu kami tinggal didekatnya selama dua

puluh hari. Beliau Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang penyayang

dan lemah lembut, ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami,

2
Muḥammad ‘Ajāj al-Khaṭib, Ushul al-Hadits (Pokok-pokok Ilmu Hadits), terj. H.M. Nur
& Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013, hal. 35
3
Abū ‘Abdullāh Muḥammad ibn Isma’īl ibn Ibrahīm ibn al-Mughīrah ibn Bardizbah al-
Ja’fi al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari, kitab adab nomor hadis 27; bab menyayangi manusia juga
hewan, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2006) hal 839-840.
78

beliau berkata, ‘Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah

mereka, serta perintahkan mereka dan salatlah kalian sebagaimana kalian

melihatku salat. Jika telah datang waktu salat, maka hendaklah salah seorang

dari kalian mengumandangkan adzan, dan yang paling tua dari kalian

hendaknya menjadi imam kalian'. Hadis ini mengisyaratkan bahwa kita

diperintahkan untuk salat seperti yang diajarkan oleh Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi

َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمو ِني أ‬


wa Sallam, berdasarkan ungkapan ‫ص ِلي‬ َ (salatlah

sebagaimana kalian melihatku salat).

Hadis ini disampaikan Nabi kepada Mālik bin al-Ḥuwairits dan

sahabatnya, ketika mereka tinggal bersama Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.

Mālik bin al-Ḥuwairits adalah Abū Sulaiman Mālik bin Al-Ḥuwairits Al-Laitsi,

ia pernah bertamu kepada Rasūlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam dan tinggal

bersama beliau selama dua puluh malam. Ia tinggal di Baṣrah dan wafat pada

tahun 94 H.4 Sabda Nabi tersebut menyuruh sahabat Mālik untuk salat seperti

ia melihat Nabi salat. Dalam sabdanya Nabi menggunakan kalimat ‫ َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي‬,

seperti kalian melihatku. Hal ini menggambarkan bahwa Nabi tidak

mengajarkan tata cara salat secara langsung kepada Mālik, Nabi hanya

menyuruh melakukan seperti yang mereka lihat Nabi melakukannya selama

mereka bersama Nabi. Dengan begitu sahabat Mālik dapat melakukan seperti ia

melihat salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.

4
Muḥammad bin Isma’īl Al-Amir Aṣ-Ṣan’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram,
Cet. Ke-12, Jakarta: Darus sunnah, 2015, hal. 425
79

Hadis “Ṣallū kama raitumūnī uṣallī” ini masih bersifat mujmal, sehingga

isi dan perintah yang terkandung di dalamnya tidak dapat dimakanai secara

langsung, harus ada hadis lain yang dapat mendukungnya. Oleh karena itu,

menurut Qarḍāwi agar dapat memberikan pemahaman secara benar, maka salah

satu langkah yang harus ditempuh adalah mengumpulkan hadis yang setema

dengan pembahasan tersebut. Berikut adalah beberapa hadis yang telah penulis

kumpulkan.

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī :

" :َ‫ قَال‬،َ‫ع ْن أ َ ِبي قِ َالبَة‬ ُ ‫ َحدَّثَنَا أَي‬:َ‫ َقال‬، ٌ‫ َحدَّثَنَا ُو َهيْب‬:َ‫ َقال‬،َ‫سى ب ُْن ِإ ْس َما ِعيل‬
َ ،‫ُّوب‬ َ ‫َحدَّثَنَا ُمو‬
ُ ُ
َّ ‫ َو َما أ ِريدُ ال‬،‫ص ِلي ِب ُك ْم‬
َ ‫ص َالة َ أ‬
،‫ص ِلي‬ ُ
َ ‫ ِإنِي ََل‬:َ‫ فَقَال‬،‫ث فِي َمس ِْج ِدنَا َهذَا‬ ِ ‫َجا َءنَا َما ِلكُ بْن ْال ُح َوي ِْر‬
. ‫ص ِلي‬
5
َ ُ‫سلَّ َم ي‬ َ ُ‫صلَّى الله‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َّ ‫ْف َرأَيْتُ النَّ ِب‬
َ ‫َكي‬
Dari Abu Qilabah, dia berkata, “Mālik bin al-Ḥuwairits mendatangi kami di
masjid dan berkata, “Sesungguhnya aku akan shalat dengan kalian, dan
tidaklah aku bermaksud salat. Aku salat sebagaimana aku melihat Nabi Saw
salat.”
Dalam Fatḥ al-Bārī, Ibn Ḥajr al-‘Aṣqālāny6 menjelaskan yakni Imam al-

Bukhārī mencoba menerangkan bahwa salatnya Mālik bin al-Ḥuwairits

bukanlah penafian kepada Allah Swt. Melainkan hal tersebut didorong oleh

faktor bahwa beliau adalah salah seorang sahabat yang ditunjukkan oleh sabda

َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬


Nabi, “‫ص ِلي‬ َ “. Sehingga hal tersebut mejadi suatu keharusan

bagi Mālik bin al-Ḥuwairits untuk mengajari mereka, sebagaimana sabda

َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬


Nabi, ‫ص ِلي‬ َ ‫( فَعَ ِل ُمو ُه ْم َو ُم ُرو ُه ْم َو‬Maka ajarilah mereka serta

perintahkan mereka, dan salatlah sebagaimana kalian melihatku salat). Imam

5
Abū ‘Abdullāh Muḥammad ibn Isma’īl ibn Ibrahīm ibn al-Mughīrah ibn Bardizbah al-
Ja’fi al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari, kitab Adzan nomor hadis 677, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd,
2006) hal. 96
6
Al-Imam Al-Ḥafiẓ Ibnu Ḥājar al-‘Asqālany, Fatḥul Bāri Syaraḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhāri, terj.
Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, Jil. 4. Hal. 249
80

al-Bukhārī juga berpendapat bahwa mengajar dengan praktik lebih jelas

daripada melalui perkataan.

Setelah Mālik bin al-Ḥuwairits pulang ke desanya yaitu Bashrah. Beliau

mulai mengajari mereka (sahabatnya) salat seperti Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa

Sallam, sebagaimana pesan Nabi kepadanya. Adapun riwayat yang

menerangkan bagaimana salat seperti Nabi Saw, sebagai berikut:

َ‫ع ْن أَبِي ِق َال َبةَ أ َ َّن َمالِكَ بْن‬ َ ،‫ُّوب‬َ ‫ع ْن أَي‬ َ ،ٍ‫ َحدَّثَنَا َح َّمادُ ب ُْن زَ ْيد‬:َ‫ َقال‬،‫ان‬ ِ ‫َحدَّثَنَا أَبُو النُّ ْع َم‬
َ‫ " َوذَاك‬:َ‫سلَّ َم قَال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلَّى الله‬ َ ‫سو ِل اللَّ ِه‬ َ ‫ أ َ ََل أُن َِبئ ُ ُك ْم‬:‫ص َحا ِب ِه‬
ُ ‫ص َالة َ َر‬ ْ َ ‫ث قَا َل َِل‬ ِ ‫ْال ُح َوي ِْر‬
ْ
َ ‫ ث ُ َّم َرفَ َع َرأ‬،َ‫س َجد‬ َ ‫ ث ُ َّم‬،ً‫ام ُهنَيَّة‬ ْ
َ ‫ ث ُ َّم َرفَ َع َرأ‬،‫ام ث ُ َّم َر َك َع فَ َكب ََّر‬
ُ‫سه‬ َ َ‫سهُ فَق‬ َ َ‫ فَق‬،ٍ‫ص َالة‬َ ‫ين‬ ِ ‫غي ِْر ِح‬ َ ‫ِفي‬
،ُ‫ش ْيئًا لَ ْم أ َ َر ُه ْم يَ ْفعَلُونَه‬
َ ‫ َكانَ يَ ْفعَ ُل‬:‫ُّوب‬ُ ‫ قَا َل أَي‬،‫شي ِْخنَا َهذَا‬ َ َ‫س ِل َمة‬َ ‫ع ْم ِرو ب ِْن‬ َ َ ‫ص َالة‬ َ ‫صلَّى‬ َ َ‫ُهنَيَّةً ف‬
7
َّ ‫َكانَ يَ ْقعُدُ فِي الثَّا ِلث َ ِة َو‬
‫الرابِعَ ِة‬
Telah menceritakan kepada kami Abu An Nu'man berkata, telah menceritakan kepada
kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Mālik bin al-Ḥuwairits ia
berkata kepada para sahabatnya, "Maukah kalian aku sampaikan cara shalat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" padahal saat itu bukan pada waktu shalat.
Malik kemudian berdiri lalu rukuk dan bertakbir, kemudian mengangkat kepalanya
lalu berdiri dan berdiam sejenak. Kemudian dia sujud, lalu mengangkat kepalanya,
lalu (duduk) sejenak. Dia shalat seperti shalatnya 'Amru bin Salamah, guru kita ini."
Ayyub berkata, "Dia mengerjakan sesuatu yang tidak pernah aku lihat orang-orang
melakukannya, dia duduk pada setiap akan berdiri ke rakaat ketiga dan keempat.

Dalam riwayat Imam Muslim menerangkan:

َ‫ع ْن أَبِي قِ َالبَةَ أَنَّهُ َرأَى َما ِلكَ بْن‬ َ ‫ع ْن خَا ِل ٍد‬ َ ‫ع ْب ِد اللَّ ِه‬
َ ‫َحدَّثَنَا يَحْ يَى ب ُْن يَحْ يَى أ َ ْخبَ َرنَا خَا ِلدُ ب ُْن‬
ِ ‫الر ُكوعِ ْال ُح َوي ِْر‬
‫ث‬ ُّ ‫سهُ ِم ْن‬ َ ْ‫صلَّى َكب ََّر ث ُ َّم َرفَ َع يَدَ ْي ِه َوإِذَا أ َ َرادَ أ َ ْن يَ ْر َك َع َرفَ َع يَدَ ْي ِه َوإِذَا َرفَ َع َرأ‬
َ ‫إِذَا‬
‫سلَّ َم َكانَ يَ ْفعَ ُل َه َكذَا‬ َ ُ‫صلَّى اللَّه‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫سو َل اللَّ ِه‬ ُ ‫َّث أ َ َّن َر‬
َ ‫َرفَ َع يَدَ ْي ِه َو َحد‬
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami
Khalid bin Abdullah dari Khalid dari Abu Qilabah bahwa dia melihat Mālik bin al-
Ḥuwairits, “apabila shalat maka dia bertakbir kemudian mengangkat kedua
tangannya, dan apabila berkehendak untuk rukuk maka dia mengangkat kedua
tangannya, dan apabila mengangkat kepalanya dari rukuk maka dia mengangkat
kedua tangannya, dan dia menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam dahulu melakukan hal tersebut.

7
Abū ‘Abdullāh Muḥammad ibn Isma’īl ibn Ibrahīm ibn al-Mughīrah ibn Bardizbah al-
Ja’fi al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari, kitab Adzan nomor hadis 819, bab Diam Diantara Dua Sujud,
(Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2006) hal. 114
81

Hal ini sebagaimana perintah Nabi kepada Mālik bin al-Ḥuwairits dan sahabatnya

ketika masih tinggal bersama Nabi.

َ ‫ص َالة‬ َ ‫صلُّوا‬ َ ‫ لَ ْو َر َج ْعت ُ ْم إِلَى أ َ ْه ِلي ُك ْم‬:َ‫ فَقَال‬،ُ‫سلَّ َم فَأَقَ ْمنَا ِع ْندَه‬ َ ُ‫صلَّى الله‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬َّ ِ‫ فَأَت َ ْينَا النَّب‬:َ‫قَال‬
‫ص َالة ُ فَ ْلي َُؤذ ِْن أ َ َحدُ ُك ْم َو ْليَ ُؤ َّم ُك ْم‬
َّ ‫ت ال‬ َ ‫ين َكذَا فَإِذَا َح‬
ِ ‫ض َر‬ ِ ‫ فِي ِح‬،‫ص َالة َ َكذَا‬ َ ‫صلُّوا‬َ ‫ين َكذَا‬ ِ ‫ فِي ِح‬،‫َكذَا‬
8
" ‫أ َ ْكبَ ُر ُك ْم‬
Maka kami menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berdiam di sisi beliau.
Beliau kemudian bersabda: "Jika kalian kembali kepada keluarga kalian, maka
salatlah dengan cara ini pada waktu begini, dan shalat ini pada waktu begini. Jika
telah datang waktu salat maka hendaklah seseorang dari kalian adzan, dan hendaklah
yang mengimami shalat adalah yang paling tua di antara kalian."

Hadis Nabi Ṣallallāhu Alaihi wa Sallam, “Salatlah kalian sebagaimana

kalian melihatku salat” merupakan perintah untuk para sahabat Raḍiyallāhu

‘Anhum yaitu mereka yang ada di depan beliau. Akan tetapi, sebagaimana yang

diriwayatkan ulama, “Sabda Nabi Saw ketika berkata kepada salah seorang

sahabat, berarti merupakan perintah beliau kepada mereka dan seluruh umat.9

َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬


Jika demikian, lafadz “‫ص ِلي‬ َ “ tidak hanya ditujukan kepada

Mālik bin al-Ḥuwairits. Akan tetapi, ditujukan kepada semua sahabat yang

pernah melihat salatnya Nabi serta kepada seluruh umat Islam.

Sabda Nabi ini juga berkaitan dengan sifat umum dari firman Allah

Ta’ala,

‫ض ََل ِإ ٰلهَ ِإ ََّل ُه َو‬ ِۚ ِ ‫ت َو ْاَل َ ْر‬ِ ‫ِي لَه ُم ْلكُ السَّمٰ ٰو‬ ْ ‫س ْو ُل اللّٰ ِه ِإلَ ْي ُك ْم َج ِم ْيعًا الَّذ‬
ُ ‫اس إِ ِن ْي َر‬ ُ َّ‫قُ ْل ٰيأَيُّ َها الن‬
‫ِي يُؤْ ِم ُن ِباللّٰ ِه َو َكلِمٰ تِه َوات َّ ِبعُ ْوهُ لَ َعلَّ ُك ْم‬ ُ
ْ ‫س ْو ِل ِه النَّبِي ِ ْاَل ِمي ِ الَّذ‬ ُۖ ‫يُحْ ي وي ُِمي‬
ُ ‫ْتُ فَ ٰا ِمنُ ْوا بِاللّٰ ِه َو َر‬ َ
﴾٨٥١﴿ َ‫ت َ ْهتَد ُْون‬
“Katakanlah (Muhammad), "Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini
utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak
ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan
mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi

8
Abū ‘Abdullāh Muḥammad ibn Isma’īl ibn Ibrahīm ibn al-Mughīrah ibn Bardizbah al-
Ja’fi al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari, kitab Adzan nomor hadis 819, bab Diam Diantara Dua Sujud,
(Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2006) hal. 114
9
Syaikh Muḥammad bin Ṣālih Al-utsaimin, Sifat Shalat Nabi SAW., Jakarta: Darus
Sunnah, 2015, Hal. 645
82

yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-


Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Al-A’rāf: 158)

َ‫اخ َر َوذَ َك َر ٱللَّه‬


ِ ‫ٱل َء‬ َ ‫سو ِل ٱللَّ ِه أُس َْوة ٌ َح‬
۟ ‫سنَةٌ ِل َمن َكانَ َي ْر ُج‬
ْ ‫وا ٱللَّهَ َو ْٱل َي ْو َم‬ ُ ‫لَّقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم ِفى َر‬
﴾١٨﴿ ‫يرا‬ ً ‫َك ِث‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Aḥzāb:
21)

Allah swt. Berfirman,

‫اس َما نُ ِز َل إِلَ ْي ِه ْم‬ ِ َ‫َوأ َ ْنزَ ْلنَا إِلَيْك‬


ِ َّ‫الذ ْك َر ِلتُبَيِنَ ِللن‬
“Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka,” (QS. aL-Naḥl:
44).
Kemudian, Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan kepada kita

tentang tata cara salat dengan sabdanya dan menyempurnakan dengan

mencontohkannya. Sebagaimana sabada Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam,

“Salatlah sebagaimana kalian melihatku salat.”

B. Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya,

Situasi dan Kondisinya ketika Diucapkan, serta Tujuannya

Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar dan tepat,

haruslah diketahui kondisi yang meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa

ia diucapkan. Sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas

dan terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang dan terhindar dari

pengertian yang jauh dari tujuan sebenarnya.

Qarḍāwi berpendapat bahwa suatu hukum yang di bawa oleh suatu

hadis, adakalnya tampak bersifat umum dan untuk waktu terbatas, namun jika

diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan


83

dengan suatu ‘illah tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika

hilang ‘illah-nya dan tetap berlaku jika masih berlaku ‘illah-nya.10

Dewasa ini banyak umat akhir zaman yang suka meminjam dalil ‫صلُّوا‬
َ

َ ُ ‫ َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬, sebagai hujah dari setiap gerakan salatnya dan menyalahkan
‫ص ِلي‬

setiap gerakan salat yang berbeda. Hal ini menimbulkan pertanyaan, lalu

pemahaman seperti apakah yang dimaksud dalam sabda Nabi ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي‬
َ

َ ُ ‫ أ‬ini?
‫ص ِلي‬

Menurut Qarḍāwi, memahami hadis haruslah dengan memperhatikan

konteks, kondisi lingkungan serta asbabul wurudnya. Agar mendapatkan

pemahaman hadis yang tepat dan lurus.

Sabda Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam, 11


‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أُص َِلي‬
َ ini

disampaikan Nabi kepada Mālik bin al-Ḥuwairits dan sahabatnya, ketika

mereka datang kerumah Nabi. Mālik bin al-Ḥuwairits adalah Abū Sulaiman

Mālik bin Al-Ḥuwairits Al-Laitsi, ia pernah bertamu kepada Rasulullah

Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam dan tinggal bersama beliau selama dua puluh

malam.12

10
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah: Ma’ālim wa
Ḍawābīt (Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW.), terj. Muhammad Al-Bāqir, Cet. Ke-5,
Bandung: Kharisma, 1997, hal 131
11
HR. Al-Bukhāri, pembahasan tentang Adzan, bab (17), hadis no. (628) dan bab (18) hadis
no. (631); Muslim, pembahasan tentang shalat, bab: pembahasan tentang tempat sujud, bab (53)
hadis no. (674) 1/465-466; Abū Daud, pembahasan tentang shalat, bab: siapa yang lebih berhak
menjadi Imam, hadis no. (589); At-Tirmidzī, pembahasan tentang shalat, bab (37), hadis no. (205);
An-Nasā’I, pembahasan tentang Imamah, bab (8); dan Aḥmad, dalam kitab Musnad 3/436 dan 5/53.
(Dikutip dari Sunan Ad-Dārimī, yang ditakhrij oleh: Syaikh Muḥammad Abdul Aziz Al-Khalidi,
jilid 1, hal. 678)
12
Muḥammad bin Isma’il Al-Amir Aṣ-Ṣan’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram,
Cet. Ke-12, Jakarta: Darus sunnah, 2015, hal. 425
84

Ibnu Sa’ad menyebutkan keterangan yang menunjukkan bahwa tahun

kedatangan utusan bani Laits (marga Mālik bin al-Ḥuwairits) terjadi sebelum

perang Tabuk, sementara perang Tabuk terjadi pada bulan Rajab tahun ke-9 H.13

Ketika itu Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam ditemui Mālik bin al-

Ḥuwairits dan bersamanya 20 orang laki-laki dari kalangan sahabat yang masih

muda, mereka bersama Rasūlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam selama 20

malam mereka menyaksikan beliau dan yang dilakukannya serta bagaimana

beliau memperlakukan orang-orang agar mereka mengambilnya sebagai

contoh. Demikianlah rombongan yang datang menemui Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi

wa Sallam mereka mengambil dan belajar sunnah serta praktiknya dan

bagaimana beliau berinteraksi dengan orang-orang dan berdialog dengan

mereka. Mereka pulang kepada kaumnya dengan sunnah ini yang telah mereka

lihat dari Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.14

Ibnu Ḥājar al-‘Asqālānī mengatakan di dalam kitabnya, Fatḥ al-Bārī bahwa

sebelum Nabi berpesan kepada Malik dan sahabatnya, sebagaimana hadis Nabi,

‫ت‬
ِ ‫ض َر‬ َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬
َ ‫ َوإِذَا َح‬،‫ص ِلي‬ َ ‫ َو‬،‫ فَعَ ِل ُمو ُه ْم َو ُم ُرو ُه ْم‬،‫ار ِجعُوا إِلَى أ َ ْه ِلي ُك ْم‬ْ «
ُ ْ َ ُ ُ ُ َ ُ َ ْ ْ َ
»‫ ث َّم ِليَؤُ َّمك ْم أكبَ ُرك ْم‬،‫ فلي َُؤذِن لك ْم أ َحدُك ْم‬،‫صالة‬ ُ َ َّ ‫ال‬
Pulanglah ke keluarga kalian. Tinggallah bersama mereka dan ajari
mereka serta perintahkan mereka dan salatlah kalian sebagaimana kalian
melihatku salat. Jika telah datang waktu salat, maka hendaklah salah seorang
dari kalian mengumandangkan adzan, dan yang paling tua dari kalian
hendaknya menjadi imam kalian.
Nabi pernah mengatakan dalam bentuk saran berdasarkan hadis,

َ ‫ َو‬،‫ين َكذَا‬
َ ‫صالَة‬ ِ ‫صالَة َ َكذَا فِي ِح‬ َ ‫صلُّوا‬ َ ُ‫ فَ ْلي‬،‫ فَعَلَّ ْمت ُ ُمو ُه ْم ُم ُرو ُه ْم‬،‫«لَ ْو َر َج ْعت ُ ْم إِلَى بِالَ ِد ُك ْم‬
»‫ فَ ْلي َُؤذ ِْن لَ ُك ْم أ َ َحدُ ُك ْم َو ْليَؤُ َّم ُك ْم أ َ ْكبَ ُر ُك ْم‬،ُ‫صالَة‬
َّ ‫ت ال‬
ِ ‫ض َر‬ َ ‫ َوإِذَا َح‬،‫ين َكذَا‬ ِ ‫َكذَا فِي ِح‬

13
Al-Imam Al-Ḥafiẓ Ibnu Ḥājar al-‘Asqālany, Fatḥul Bāri Syaraḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhāri, terj.
Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, Hal. 816
14
Syaikh Muḥammad bin Ṣālih Al-utsaimin, Sifat Shalat Nabi SAW., Jakarta: Darus
Sunnah, 2015, Hal. 646
85

Jika kalian kembali ke negeri kalian, maka ajarilah mereka, dan


perintahkanlah mereka shalat ini pada waktu begini, shalat ini pada waktu
begini. Dan apabila telah datang waktu shalat, maka hendaklah seseorang dari
kalian adzan dan hendaklah yang mengimami shalat adalah yang paling tua di
antara kalian.
Sebab bila sejak awal beliau Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan

mereka untuk kembali, niscaya akan menimbulkan kesan pengusiran. Lalu

kemungkinan mereka merespon saran Nabi, maka kemudian beliau bersabda,

‫ار ِجعُوا‬
ْ (kembalilah/pulanglah).15

Dalam keterangan lain Imam An-Nasa’I meriwayatkan dari Ibrahim bin

Ya’qub, dia (Amr bin Salamah) berkata, “Setelah penakluklan (Fathu) Makkah,

setiap kabilah bergegas memeluk Islam. Ayahku mengajak kaumnya masuk

Islam. Ketika dia datang kami menyambutnya, dia berkata, 'Demi Allah, aku

datang dari sisi Rasūlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam membawa kebenaran

kepada kalian, beliau bersabda, "Salatlah kalian begini pada waktu tertentu dan

salat tertentu pada waktu tertentu pula. Bila telah tiba waktu shalat, maka

hendaklah salah seorang dari kalian adzan, lalu yang paling banyak hapalan

Al Qur'annya menjadi imam bagi kalian.16

Kedatangan Malik adalah pada tahun ke-9 H pada saat Nabi bersiap-siap

akan melakukan perang Tabuk, tahun ini sendiri dikatakan “Tahun delegasi”

karena orang-orang usai fathu Makkah yang terjadi pada tahun ke-8 H. 17 Ibnu

Ishaq mengatakan di dalam Sirah Nabawiyah, bahwa seusai Rasulullah

15
Al-Imam Al-Ḥafiẓ Ibnu Ḥajar al-‘Asqālany, Fatḥul Bāri Syaraḥ Ṣaḥīī Al-Bukhāri, terj.
Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, Hal. 271
16
Abū ‘Abd al-Raḥman Aḥmad ibn Syu’aib ibn ‘Alī al-Khurāsānī An-nasā’ī, Al-Sunan
al-Kubrā, Beirut: Muassasah al-Risālah, 2001, juz. 2, hal. 236
17
Syaikh Muḥammad bin Ṣālih Al-utsaimin, Sifat Shalat Nabi SAW., Jakarta: Darus
Sunnah, 2015, Hal. 646
86

Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam menaklukkan Makkah datanglah utusan-utusan

dari berbagai kabilah kepada beliau.18 Rombongan Malik sendiri adalah salah

satu dari sekian banyak delegasi yang datang kepada Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa

Sallam, yakni utusan dari Bani Laits. Dengan tujuan untuk memperdalam

keagamaannya serta mempelajari sunnah Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.

Dapat disimpulkan bahwa perintah “salatlah seperti kalian melihat Nabi

Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam salat” adalah diperintahkan setelah terjadinya

Fathu Makkah, yakni ketika keadaan mereka baru memeluk Islam sehingga

pengetahuan tentang agama Islam masih sangatlah kurang. Pada tahun delegasi

(sanah al-Wufd) Mālik bin al-Ḥuwairits datang beserta rombongannya bertamu

kepada Nabi dan tinggal bersamanya selama dua puluh hari dua puluh malam

untuk belajar sunnah serta praktiknya. Saat Nabi melihat kerinduan sahabat

kepada keluarganya, Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan mereka

untuk pulang. Dengan pengetahuan yang telah didapat selama tinggal bersama

Nabi, para sahabat pun pulang dengan membawa pesan dari Nabi Ṣallallāhu

‘Alaihi wa Sallam, bersabda: “Pergilah kalian kepada keluarga kalian

kemudian ajari dan tuntunlah mereka dan salatlah sebagaimana kalian

melihatku salat.”

َ ُ ‫َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬


Sabda Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam, ‫ص ِلي‬

“Sebagaimana kalian melihatku shalat” kaf di sini adalah huruf jar dan ma bisa

berarti maṣdariyyah yang artinya sebagaimana kalian melihat salatku dan

18
Ibnu Ishaq, Sirah NAbawiyah Tahqiq dan Syarkh Ibnu Hisyam, terj. Samson Rahman,
Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2015, hal. 713
87

kemungkinan tergolong isim maushul maksudnya seperti kalian melihat cara

salatku. Akan tetapi, makna yang pertama lebih utama dengan menjadikannya

maṣdariyyah maksudnya sebagaimana penglihatan kalian terhadap salatku

yaitu salat yang aku kerjakan.19 Penulis berpendapat pengertian “sebagaimana

penglihatan kalian terhadap salatku” dapat dipahami bahwa Nabi memberi

keluasan kepada para sahabat untuk mengikuti salat sebagaimana mereka

melihat salat Nabi. Sehingga, tidak sedikit sahabat yang berbeda dalam

menjelaskan tata cara salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam. Karena beliau

tidak hanya mencontohkan kepada salah satu sahabat, melainkan kepada setiap

sahabat yang berjama’ah dengan beliau. Maka, sudah barang tentu banyak pula

keberagaman dalam mengikuti sifat shalat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.

Fenomena perbedaan dalam gerakan salat menjadikan mereka saling

menyalahkan salat satu sama lain dan membenarkan salatnya masing-masing.

Padahal, mengikuti gerakan salat Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam, tidak

mungkin bisa dilaksanakan kecuali bila kita mengetahui bagaimana beliau

melakukannya. Sedangkan, kita adalah umat Nabi di akhir zaman yang

hidupnya jauh dari para sahabat 14 abad yang lalu. Lalu, bagaimana kita bisa

melihat salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam dan mengikutinya secara

sempurna. Untuk memahami hadis “Ṣallū kamā raaitumūnī” maka harus ada

dalil-dalil lain yang menopangnya. Karena dalil tersebut masih bersifat umum

sehingga dapatlah kita pahami bahwa salat seperti Nabi ialah sebagaimana yang

19
Syaikh Muḥammad bin Ṣālih Al-Utsaimin, Sifat Shalat Nabi SAW., Jakarta: Darus
Sunnah, 2015, Hal. 645
88

telah diajarkan nabi kepada para sahabatnya. Yakni, dengan melihat riwayat-

riwayat para sahabat yang shahih yang menjelaskan tentang tata cara salat

seperti Nabi.

Sebagaimana diterangkan dalam Ṣaḥīḥ Ibn al-Ḥibbān, Abū Ḥatīm RA

berkata, “Ucapan Rasūlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam, “salatlah kalian

sebagaiamana kalian melihat aku salat” merupakan sebuah kalimat yang

mencakup segala gerakan dan ucapan yang dilakukan Rasūlullāh Ṣallallāhu

‘Alaihi wa Sallam, dalam melaksanakan salat. Adapun salat ataupun gerakan-

gerakannya yang hukumnya sunnah berdasarkan Ijma’ dan Khabar, maka

seseorang boleh meninggalkannya. Sebaliknya, jika Ijma’ dan Khabar tidak

menjadikan bahwa hal itu sunnah, maka ia merupakan suatu kewajiban bagi

umat Islam secara keseluruhan, dan tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apa

pun.20

‘Amir Ala’uddīn ‘Alī bin Balban Al-Farisi, Shahih Ibnu Hibban, penerj. Mujahidin
20

Muhayan dkk., Jilid 4, Cet. 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, Hal. 727-730
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian dengan menggunakan metode Yūsuf al-

Qarḍāwi, dengan mengumpulkan hadis setema dan memperhatikan konteks,

kondisi lingkungan serta asbabul wurudnya, dapat disimpulkan bahwa hadis

َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬


“‫ص ِلي‬ َ ” merupakan sebuah kalimat yang mencakup segala

gerakan dan ucapan yang dilakukan Rasūlullāh Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam,

َ ُ ‫ َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬,


dalam melaksanakan salat. Adapun Sabda Nabi, ‫ص ِلي‬

memberikan pemahaman bahwa Nabi memberi keluasan kepada para sahabat

untuk mengikuti salat sebagaimana mereka melihat salat Nabi. Tidak sedikit

sahabat yang berbeda dalam menjelaskan tata cara salat Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi

wa Sallam. Karena yang melihat salat Nabi tidak hanya satu sahabat, melainkan

setiap sahabat yang berjama’ah dengan beliau.

َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِي أ‬


Dengan demikian, “‫ص ِلي‬ َ ” adalah salat dengan mengikuti

segala gerakan dan ucapan ketika Nabi salat, yaitu dengan melihat riwayat-

riwayat hadis shahih yang menjelaskan tata cara salat Nabi.

B. Saran dan Rekomendasi

Pembahasan dalam skripsi ini masih sebatas deskripsi atas pemahaman

hadis “Ṣallū kama raitumūnī uṣallī” dengan menggunakan metode pemahaman

hadis Yūsuf al-Qarḍāwi, yakni dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin

dalam tema-tema yang sama dan dengan mempertimbangkan latar belakangnya,

89
90

situasi dan kondisi ketika diucapkan, serta tujuannya. Pendeskripsian yang

penulis lakukan hanya sebatas pemaknaan hadis saja. Maka akan lebih menarik

lagi dan lebih luas lagi pembahasannya, jika dilakukan penelitian dari segi Fiqh

al-Ḥadits nya. Agar supaya dapat memberikan pemahaman yang utuh mengenai

salat seperti Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.

Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kata

sempurna. Oleh karena itu, penulis masih membutuhkan kritik konstruktif dari

berbagai pihak yang memiliki konsen di bidang kajian tafsir dan hadis Nabi.

Lebih dari itu penulis berharap penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat

khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca sekalian.


DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dārimī. Sunan Ad-Dārimī. ditakhrij oleh: Syaikh Muhammad Abdul Aziz Al-
Khalidi. Penj. Abdul Syukur dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
jilid 1

Ala al-Dīn ‘Ali ibn Balban Al-Fārisi, Amir. Ṣaḥīḥ Ibn al-Ḥibbān. Jil. 4, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.

Al-‘Aṣqālani, Ibnu Ḥajar. Fatḥul Bāri Syaraḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī. terj. Amiruddin.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Al-Bāni, Muḥammad Naṣiruddīn. Sifat Shalat Nabi SAW Seakan-akan Anda


Menyaksikannya. Jakarta: Dār al-Hāq, 2013.

Al-Bukhārī, Abū ‘Abdullāh Muḥammad ibn Isma’īl ibn Ibrāhim ibn al-Mughīrah
ibn Bardizbah al-Ja’fī. Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī. Riyadh: Maktabah al-
Rusyd, 2006.

Al-Farisi, Amir Ala’uddin Ali bin Balban. Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibbān. penerj. Mujahidin
Muhayan dkk. Jilid 1. Cet. 1. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Al-Ghazali, Muḥammad ibn Muḥammad. Studi Kritis Atas Hadis
Nabi Saw. Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Jakarta:
Penerbit Mizan, 1991.

Al-Khāṭib, Muḥammad ‘Ajaj. Uṣūl al-Ḥadīts (Pokok-pokok Ilmu Hadits). terj.


H.M. Nur & Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013.

Al-Mizzī, Yusūf ibn Abd al-Raḥmān bin Yusūf. Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-
Rijāl. Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980.

Al-Mutaali, M. Afwan.Skripsi: Ṣalat Tasbih Dalam Perspektif Ḥadith (Studi


Analisis Sanad dan Matan). Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Negeri Jakarta, 2014.

Al-Qarḍāwī, Yūsuf. Fatwa-fatwa Kontemporer, Penerj. As’ad Yasin. Cet. 1.


Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

. Fiqih Jihad Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad


Menurut al-Qur’an dan Sunnah. Cet. 1. Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2010.

91
92

. Gerakan Islam Antara Perbedaan Yang Diperbolehkan dan


Perbeadaan Yang Dilarang (Fiqdhul Ikhtilaf). terj. Aunur Rafiq
Shaleh Tamhid. Jakarta: Rabbani Press, 1991.

. Kaifa Nata’āmal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah. Mesir: Dār al-Syurūq,


1427 H/ 2005 M.

. Kaifa Nata’mal Ma’a Sunnah Al-Nabawi (Bagaimana Memahami


Hadis Nabi SAW.). terj. Muhammad Al-Baqir. Cet. Ke-5. Bandung:
Kharisma, 1993.

Al-Qāri, ‘Ali ibn Sultan Muḥammad. Mirqāt Al-Mafātih Syarḥ Misykat Al-
Maṣābiḥ. Beirut: Darl el-Fikr, 2002.

Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2005.

Al-Ṣāliḥ, Subḥi. ‘Ulūm al-Hadīts wa Muṣṭalāḥuhū. Bairut: Dar al-‘Ilmi Lilmayin,


1988.

Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. Sifat Shalat Nabi SAW. Jakarta:
Darus Sunnah, 2015.

An-Nasā’ī, Abū ‘Abd al-Raḥman Aḥmad ibn Syu’aib ibn ‘Alī al-Khurāsānī. Al-
Sunan al-Kubrā. Beirut: Muassasah al-Risālah, 2001.

AS., Afiyah. Pembenahan Tata Cara Salat Bagi Jamaah Wanita (Studi Kasus
Masjid Al-Manar Banguntapan Bantul), (Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu
Agama, Vol. 4, No.1 Juni 2003)

Ash-Shan’ani, Muhammad bin Isma’il Al-Amir. Subulus Salam Syarah Bulughul


Maram. Cet. Ke-12. Jakarta: Darus sunnah, 2015.

AW, Lilik Channa. Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual.
Ulumuna Jurnal Studi Keislaman. Volume XV. No. 2, Desember
2011.

Azami, Muhammad Mustafa. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Penerj.


Ali Mustafa Yaqub. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.

Basalamah, Khalid. Praktik Shalat Sesuai Sunnah Rasulullah SAW. Di kutip dari
channel youtube: IndoMuslim. Di akses pada 5 oktober 2017 jam:
8.35 WIB. Dari: https://www.youtube.comwatchv=dJe8VozINz8

Bustamin. Dasar-dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Ushul Press, 2009.


93

, dan Hasanuddin. Membahas Kitab Hadis. Cet ke 1. Jakarta: Lembaga


Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.

, dan Isa salam. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo,


2004.

El-Fikri, Syahruddin. Sejarah Ibadah. Jakarta: Republika, 2014.

Faizin, Afwan. Metode Fuqaha dalam Memahami Hadis (Studi Pendekatan Yusuf
al-Qardhawi). Vol. 8, No. 12, 2 September 2006.

Farid, Syaikh Ahmad. Biografi 60 Ulama Ahlussunnah yang Paling Berpengaruh


dan Fenomenal dalam Sejarah Islam. Penrj. Ahmad Syaikhu. Cet
ke 1. Jakarta: Darul Haq, 2012.

Hasan, Fuad dan Koentjaraningrat. “Beberapa Asas Metodologi Ilmiah” dalam


Koentjaraningrat, ed, Metode-metode Penelitian Masyarakat.
Jakarta: Gramedia, 2014.

Huda, M. Khoirul. Jurnal Ulumul Hadis: Metode Pemahaman Hadis dalam


Lintasan Sejarah. Di akses pada Senin, 2 oktober 2017 jam: 11.35
WIB. dari: http://jurnalulumulhadis.blogspot.co.id/2014/01/metode-
pemahaman-hadis-dalam-lintasan.html

Ibn ‘Abd al-Rahman, Al-Imām al-Ḥafiẓ Abū Muḥammad ‘Abdullāh. Sunan al-
Darimi. Riyadh: Dār al-Mughnī, 1431 H.

Ibn Ḥanbal, Al-Imam Al-Ḥafīẓ Abī ‘Abdillāh Aḥmad. Musnad Aḥmad Ibn
Ḥanbal. Juz V. Riyadh: Bait Al-Afkar al-Dauliah, 1889.

Ishaq, Ibnu. Sirah NAbawiyah Tahqiq dan Syarkh Ibnu Hisyam. terj. Samson
Rahman. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2015.

Isma’il, M. Syuhudi. Metode Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,


2007.

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. Sifat Wudhu dan Shalat Nabi SAW. Jakarta:
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2014.

Kafilah. Ma’anil Hadis dan Problem Pemahaman Hadis. Di akses pada: Senin, 27
Januari 17, jam: 12.07. dari:
http://naibienk23.blogspot.co.id/2014/03/maanil-hadis-dan-problem-
pemahaman-hadis.html/m=1

Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis Studi Kritik atas Kajian Hadis


Kontemporer. Bandung: PT. Rosda Karya, 2004.
94

Khān, ‘Ali ibn Hisyam al-Din Abd al-Mālik ibn Qadhi. Kanz Al-‘Ummal Fii
Sunan Al-Aqwal wa al-Af’al. Cet ke 5. juz 7. Beirūt: Mu’assasah al-
Risālah, 1981.

Khuzaimah, Ibnu. Sahih Ibnu Khuzaimah. Penj. M Faishol, Thorin Saputra.


Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. jilid 1

Komaruddin, Acep. Pemahaman Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab


Salam Terhadap Non Muslim Studi Metode Yusuf Al-Qarḍāwī.
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syahid
Jakarta, Tahun 2015.

Nashiruddin al-Bani, Muhammad, Panduan Shalat Menurut Sunnah Yang shahih.


Jakarta: Gadika Putra, 2009.

Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri Syarif


Hidayatullah Jakarta 2012/2013

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 1. Bandung: PT Al-Ma’arif, 1973.

Shobrina, Lina. Identitas Penampilan Muslim dalam Hadis: Pemahaman Hadis


Memelihara Jenggot dalam Konteks Kekinian. Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin Uin Syarif Hidayatullah Negeri Jakarta, 2017.

Somad, Abdul. 77 Tanya-Jawab Seputar Shalat. Di kutip dari E-book:


www.tafaqquhstreaming.com.

Steven, Alan M. A Comprehensive Indonesian-English Dictionary. Jakarta: PT


Mizan Pustaka, 2008.

Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr hingga Nasr dan
Qardhawi. Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika), 2003, Cet. 1.

Sugono, Dendy. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. ed. Ke-4. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Syuhudi Isma’il, M. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan
Bintang, 2009.

Tasrif, Muhammad. Metodologi Fiqh Al-Ḥadīṣ. Jurnal Dialogia: Vol. 10 No. 2,


Desember 2012.

Wensinck, A.J. Mu’jam al-Mufahras li alfāẓ al-Ḥadīts al-Nabawī. Juz 3. Breil:


Leidan, 1936.
95

Zaghlūl, Abū Hājr Muḥammad al-Sa’īd ibn Basyūnī. Mausū’at Atraf al-Ḥadīs al-
Nabawī al-Syarīf. Juz 1. Beiruut: Daar al-Fikr, 1989.
‫‪LAMPIRAN‬‬

‫‪Lampiran 1‬‬
‫‪Skema Sanad Hadis Riwayat Imam al-Bukhari‬‬

‫سو َل اللَّه ص م‬
‫َر ُ‬

‫قال‬
‫َما ِل ِك ب ِْن ْال ُح َوي ِْرث‬
‫ثنا‬

‫أ َ ِبي قِ ََلبَة‬

‫عن‬

‫أَيُّوب‬

‫ثنا‬ ‫ثنا‬

‫إِ ْس َما ِعي ُل‬ ‫ع ْب ُد ا ْل َو َّهاب‬


‫َ‬

‫ثنا‬ ‫ثنا‬
‫سدَّد‬
‫ُم َ‬ ‫ُم َح َّم ُد ْبنُ ا ْل ُمثَنَّى‬

‫ثنا‬ ‫ثنا‬

‫البخارى‬

‫‪96‬‬
‫‪97‬‬

‫‪Lampiran II‬‬
‫‪Skema Sanad Hadis Riwayat Imam Ad-Darimi‬‬

‫سو َل اللَّه ص م‬
‫َر ُ‬

‫قال‬

‫َما ِل ِك ب ِْن ْال ُح َوي ِْرث‬

‫ثنا‬
‫أ َ ِبي ِق ََل َبة‬
‫ثنا‬

‫أَيُّوب‬

‫ثنا‬

‫ْب ب ُْن خَا ِلد‬


‫ُو َهي ُ‬

‫ثنا‬
‫يَحْ يَى ب ُْن َحسَّانَ‬

‫اخبرنا‬
‫الدارمى‬
‫‪98‬‬

‫‪Lampiran III‬‬
‫‪Skema Sanad Hadis Riwayat Imam Ahmad bin Hanbal‬‬

‫سو َل اللَّه ص م‬
‫َر ُ‬
‫قال‬
‫َما ِل ِك ب ِْن ْال ُح َوي ِْرث‬
‫عن‬
‫أ َ ِبي قِ ََل َبة‬
‫عن‬
‫خَا ِلد‬
‫عن‬
‫ش ْع َبةُ‬
‫ُ‬
‫ثنا‬

‫ُم َح َّمدُ ب ُْن َج ْعفَر‬


‫ثنا‬

‫أحمد بن حنبال‬
‫‪99‬‬

‫‪Lampiran IV‬‬
‫‪Skema Seluruh Sanad Hadis‬‬

‫سو َل اللَّه ص م‬
‫َر ُ‬

‫قال‬

‫َما ِل ِك ب ِْن ْال ُح َوي ِْرث‬


‫عن‬

‫أَبِي قِ ََلبَة‬
‫عن‬ ‫عن‬

‫خَا ِلد‬ ‫أَيُّوب‬


‫عن‬ ‫ثنا‬ ‫ثنا‬ ‫ثنا‬

‫ش ْعبَةُ‬
‫ُ‬ ‫ْب ب ُْن خَا ِلد‬
‫ُو َهي ُ‬ ‫إِ ْس َما ِعي ُل‬ ‫ع ْب ُد ا ْل َو َّهاب‬
‫َ‬

‫ثنا‬ ‫ثنا‬ ‫ثنا‬


‫ُثنا‬
‫ُم َح َّمدُ بْن َج ْعفَر‬ ‫َيحْ يَى ب ُْن َحسَّانَ‬ ‫سدَّد‬
‫ُم َ‬ ‫ُم َح َّم ُد ْبنُ‬
‫ا ْل ُمثَنَّى‬
‫ثنا‬ ‫اخبرنا‬ ‫ثنا‬
‫أحمد بن حنبال‬ ‫الدارمى‬ ‫البخارى‬

Anda mungkin juga menyukai