Makalah Penerapan Hukum Dihubungkan Dengan Perkembangan Sosial
Makalah Penerapan Hukum Dihubungkan Dengan Perkembangan Sosial
Makalah Penerapan Hukum Dihubungkan Dengan Perkembangan Sosial
SOSIAL
Makalah
Dosen pengampu : Dr. Ria Delta, S.H.,M.H.
Disusun Oleh :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmatnya
makalah “Kedudukan Hukum Tanah Adat Dalam Era Reformasi” dapat diselesaikan
tepat waktu. Kami mengharapkan agar makalah ini, dapat memberikan informasi
kepada kita semua. Kami menyadari bahwa, makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
sangat diperlukan untuk memperbaiki atau demi menyempurnakan makalah ini. Dalam
kesempatan kami selaku penulis, mengucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah berperan serta telah memberi dukungan berupa moril ataupun materi
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
ii
DAFTAR ISI
Cover ......................................................................................................................
i
Kata Pengantar .....................................................................................................
ii
Daftar Isi ....................................................................................................................
iii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 2
C. Tujuan ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.
A. Pengertian Hukum, Perkembangan Hukum, dan Penegakan
Hukum .................................................................................................... 3
B. Penerapan Hukum di Indonesia .......................................................... 7
C. Penerapan Hukum Dihubungkan Dengan Perkembangan Sosial..... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................16
Daftar Pustaka......................................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat dalam kehidupan sosialnya akan selalu terjadi dinamika, hal ini juga
sangat berpengaruh dalam berjalannya suatu peraturan-peraturan dalam masyarakat
tersebut. Perubahan sosial tersebut mampu mengantarkan masyarakat untuk terus
berkembang mengikuti perkembangan zaman. Bukan hanya hukum yang menerima
dampak dari perubahan sosial, tapi dari segala segi kehidupan seperti lingkungan hidup,
ekonomi, budaya, dan teknologi. Perubahan itu dapat mengenai lingkungan hidup dalam
arti lebih luas lagi, mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola
keperilakuan, strukturstruktur, organisasi, lembaga-lembaga, lapisan-lapisan masyarakat,
relasi-relasi sosial, sistem-sistem komunikasi itu sendiri. Juga perihal kekuasaan dan
wewenang, interaksi sosial, kemajuan teknologi dan seterusnya.
Hukum merupakan salah satu bentuk norma. Norma hukum sendiri memiliki
kekuatan yang kuat dikarenakan adanya lembaga pelaksana hukum yang sah dan
dibentuk oleh pemerintah yaitu aparat penegak hukum (missal kepolisian). Hukum seperti
halnya di Indonesia berasal atau bersumber dari sesuatu yang kuat seperti halnya hukum
di Indonesia yang mengacu pada Undang-undang Dasar. Selain itu, sanksi yang diberikan
dalam pelanggaran norma hukum juga tegas serta bersifat mengikat pelakunya. Oleh
sebab itu, hukum merupakan norma tertinggi dalam masyarakat.Berbicara mengenai
hukum, tentunya tidak akan lepas dari aparat penegak hukum yang menjalankan hukum
itu sendiri. Karena sejatinya proses pelaksanaan hukum akan dijalankan oleh aparat
penegak hukum.
Pelaksanaan hukum sendiri lebih menekankan pada bagaimana sebuah hukum yang
dibuat dapat dijalankan atau diaplikasikan dalam masyarakat. Mengapa membicarakan
bagaimana hukum dijalankan dalam masyarakat, karena memang sejatinya hukum dibuat
untuk mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Selain untuk mengatur
kehidupan masyarakat, hukum juga dibuat sebagai pedoman bertingkah laku manusia
agar menciptakan kehidupan yang aman dan tenteram. Hukum sendiri berlaku apabila
terjadi pelanggaran terhadap hukum yang sudah ada. Hukum bersifat mengikat setiap
anggota masyarakat. Ketika berumur 17/18 tahun, maka seseorang dianggap sudah sadar
1
hukum sehingga hukum sudah mengikat individu tersebut. Dengan demikian, maka
pelaksanaan hukum dapat dijalankan dengan baik pada anggota masyarakat.
1
Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi hukum di Indonesia saat ini semakin
memprihatinkan, begitu banyak tangis dan ratapan rakyat-rakyat kecil yang tertindas
dan terluka oleh hukum, bahkan tidak jarang emosi rakyat semakin berkobar tatkala ada
pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan hukum didalam mencapai suatu hasrat tertentu
yang tanpa menggunakan sedikitpun hati nurani. Dalam makalah ini, kita akan
membahas mengenai bagaimana Penerapan hukum dihubungan dengan Perkembangan
Sosial.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum
4
mendasarinya. Dimulai dari embrio pemahaman ilmu sosial dari para filsuf
terkemuka di dunia sampai pada ahli-ahli hukum yang mencetuskan
perkembangannya di abad ke-21 ini. Satu hal yang perlu kita pahami pula bahwa
ilmu hukum bukanlah ilmu statis yang tidak berkembang, karena perkembangannya
senantiasa ada sejalan dengan perkembangan masyarakat yang melingkupinya.
Perkembangan hukum di Indonesia tidak terlepas dari Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum di Indonesia. Perlu cita-cita etis yang menyemangati
seluruh bangsa dan yang cukup kuat untuk mempertahankan kita masing-masing,
menurut kedudukan masing-masing, dalam fokus pada pemajuan bangsa. Pancasila
adalah konsensus agung bangsa Indonesia bahwa kita semua bersatu, bahwa tidak
boleh ada diskriminasi di antara kita, dan konsensus itu mendapat kekuatannya dari
lima sila, yaitu nilai-nilai yang amat berakar dalam hati bangsa Indonesia, yang
sekaligus merupakan cita-cita untuk diwujudkan, seperti yang terungkap dalam
lima sila Pancasila, yang menjadi roh dalam penegakan hukum dan perkembangan
ilmu hukum di Indonesia.1
Perkembangan Sistem Hukum Nasional semestinya tidak meninggalkan
sumber hukum materiil sebagai dasar pembentukan sistem hukum yang
mencerminkan semangat ke-Indonesia-an. Sumber hukum materiil yang
dicerminkan dengan Pancasila, cita masyarakat Indonesia, nilai-nilai, norma-
norma, kekeluargaan, musyawarah, gotong royong, toleransi dan sebagainya yang
menjadi ciri dari masyarakat Indonesia harus menjadi skala prioritas dalam
melakukan penataan terhadap sistem hukum Indonesia ke depannya. Semangat ke-
Indonesia-an tentunya harus terpancar dari perkembangan sistem hukum nasional.
Dalam artian, tidak dibenarkan meninggalkan semangat di atas dengan cara
menggunakan konsep-konsep yang lainnya yang secara nyata bertentangan
sehingga menyebabkan sistem hukum nasional menjadi terganggu. Hal tersebut
khususnya tercermin dalam Pasal 24 F yang menentukan bahwa negara menata dan
mengembangkan sistem hukum nasional dengan memelihara dan menghormati
keberagaman nilai-nilai hukum dan sumber-sumber hukum yang hidup dalam
masyarakat.2
1
Laurensius Arliman, “Peranan Metodologi Penelitian Hukum Di Dalam Perkembangan Ilmu Hukum
Di Indonesia,” Soumatera Law Review 1, no. 1 (2018): hlm 124-125.
2
Soetanto Soepiadhy, Undang-Undang Dasar 1945: Kekosongan Politik Hukum Makro (Kepel Press,
2004), hlm 20.
5
Oleh karenanya, perkembangan sistem hukum nasional harus berorientasi
kepada kebijakan berupa pilihan hukum yang berlaku, sistem hukum yang akan
dianut, dasar filosofis yang digunakan dalam pembentukan hukum, termasuk
kebijakan agar mendasarkan hukum nasional dari asas-asas umum yang berlaku.
Selanjutnya, pembangunan sistem hukum Indonesia seharusnya mengarah kepada
cita negara (staatsidee) Indonesia yang sejauh mungkin harus dibangun secara khas
dalam arti tidak meniru paham individualisme liberalisme yang justru telah
melahirkan kolonialisme dan imperialisme yang harus ditentang, ataupun paham
kolektivisme ekstrim seperti yang diperlihatkan dalam praktek di lingkungan
negara-negara sosialis-komunis. Dengan kata lain, semangat yang melandasi
pemikiran para pendiri Republik Indonesia adalah semangat sintesis, semangat
untuk melakukan kombinasi atau semangat untuk menciptakan suatu paham baru.3
Patut juga untuk dipahami, bahwa sistem hukum itu merupakan sistem abstrak
(konseptual) karena terdiri dari unsur-unsur yang tidak konkret, yang tidak
menunjukkan kesatuan yang dapat dilihat. Unsur-unsur dalam sistem hukum
mempunyai hubungan yang khusus dengan unsur-unsur lingkungannya. Selain itu
juga dikatakan, bahwa sistem hukum merupakan sistem yang terbuka, karena
peraturan-peraturan hukum dengan istilah-istilahnya yang bersifat umum, terbuka
untuk penafsiran yang berbeda dan untuk penafsiran yang luas.
5
Andi Hamzah, “Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana,” FH Universitas Surabaya, Surabaya,
2005, hlm 2.
6
Ahmad Jazuli, “Penegakan Hukum Penataan Ruang Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan
Berkelanjutan,” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 6, no. 2 (2017): hlm 273-
274
7
Meskipun secara normatif dan ideal-konstitusional Indonesia adalah negara hukum
yang berasaskan kedaulatan rakyat, implementasinya dalam praktik, baik pada masa
kini maupun masa depan, tergantung pada budaya hukum dan politik yang berkembang
di masyarakat. Memang, ada semacam mitos konstitusionalisme yang berkembang di
banyak negara, termasuk di Indonesia, bahwa dengan memiliki sebuah dokumen
konstitusi yang menjamin tegaknya negara hukum, maka segala persoalan akan selesai
dengan sendirinya. Sebuah negara hukum menghendaki orientasi kepada ketentuan-
ketentuan hukum dan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya.
Namun di Indonesia sendiri, orientasi kepada hukum sering diabaikan. Karena
lemahnya orientasi kepada hukum, maka konstitusi dan aturan-aturan hukum yang
dilahirkan cenderung berubah menjadi alat pengabsah suatu tindakan, entah itu tindakan
penyelenggara negara maupun rakyat itu sendiri. Tentu, yang lebih banyak terjadi
adalah hukum dijadikan pengabsah bagi penguasa untuk membenarkan tindakannya,
bukan sarana efektif mengubah menjadi wewenang yang sah. Tidak ada warisan budaya
hukum yang kuat dari masa lalu, baik dari kerajaan-kerajaan nusantara, apalagi dari
pemerintah kolonial yang memang tidak diharapkan akan sungguh-sungguh
menerapkan hukum secara adil dan fair, kecuali sebagai sarana untuk melestarikan
kolonialismenya. Sementara itu pada zaman revolusi, hukum cenderung diabaikan. Hal-
hal tersebut merupakan faktor yang secara kualitatif ikut mempengaruhi lemahnya
orientassi masyarakat Indonesia kepada negara hukum.7
Pemerintah orde baru, yang pada awal kelahirannya menegaskan akan melakukan
koreksi total terhadap penyelewengan-penyelewengan di masa orde lama, kemudian
bertekad melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, semakin
lama semakin bergerak ke arah yang konservativ. Konstitualisme, yang semula
dijunjung tinggi, berubah menjadi mitos. Konstitusi kurang dilihat dengan cara pandang
rasional sebagi aturan-aturan dasar yang bercorak negatif tentang cara penyelenggaraan
negara, tapi lebih dilihat sebagai dokumen sakral yang seolah-olah “disucikan”.
Demikian “sakralnya” dan “suci” sehingga jarang “disentuh”, kecuali hanya disebut di
dalam pidato-pidato para pejabat, baik resmi maupun tidak resmi. Dan semakin ia
disebut-disebut, terdapat kecenderungan bahwa orang semakin melupakan
kandungannya. Pancasila dan UUD 1945 kemudian cenderung berubah fungsi sebagai
7
Yusril Ihza Mahendra “Dinamika Tata Negara Indonesia” (1996) hlm. 44
8
mitos sakral pengabsahan kekuasaan, bukan merupakan suatu tuntutan moral politik
yang membimbing perjalanan politik menuju arah tertentu, dan bukan pula sebagai roh
dasar membatasi kekuasaan. Oleh karena itu produk-produk legislatif cenderung justru
menjadi sarana rekayasa politik untuk menjamin stabilitas kekuasaan seperti terlihat di
dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR dan DPRD, UU Pemilu dan
undang-undang tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Kecenderungan orientasi kepada negara kekuasaan, ketika kewajiban-kewajiban
rakyat lebih dituntut dan hak-haknya dikurangi, sebaliknya kewajiban-kewajiban
penyelenggara nega diperkecil dan hak-haknya diperbesar, merupakan salah satu
kendala mencapai tegaknya cita-cita negara hukum di masa sekarang dan masa depan.8
Hukum (konstitusi), dibuat adalah untuk membatasi kekuasaan dalam negara.
Perkataan kekuasaan di sini sama dengan power, masalah kekuasaan dalam negara (the
power of the state) banyak dibicarakan oleh sarjana-sarjana ilmu politik, dan kekuasaan
itu sendiri cenderung dengan politik.9
Politik pada umumnya diberi berbagai arti seperti: (1) kebijakan, (2) seni
memanage kekuasaan dan (3) cara, akal dan taktik. Intinya adalah mempengaruhi orang
lain agar dapat bertingkah laku sesuai dengan kehendak mempengaruhi yakni orang
mempunyai kekuasaan. Sumber kekuasaan meliputi ilmu, ekonomi, dan wibawa. Atau
dalam arti lain, bahwa kekuasaan adalah perjuangan memperoleh kekuasaan biasanya
terkait erat atau terkait atau disertai ideologi agar menjadi dasar di bidang politik.
Maksudnya agar ideologinya menjadi dasar kekuasaan. Atau minimal tafsir menurut
versinya untuk dipergunakan dan manajemen kekuasaan (Moh. Mahfud, 1998: 1).10
Oleh karena kekuasaan identik dengan politik, atau setidaknya karena politik atau
setiap aktivitas politik selalu bertujuan untuk mencapai kekuasaan, maka dapat dibuat
satu analogi: Politik Tends to Corupt. Politik itu punya kecenderungan untuk
korup/disalah gunakan. Oleh karena itu, agar kekuasaan itu tidak liar dan tidak disalah
gunakan, maka hukum harus mengendalikan kekuasaan itu. Suatu hal yang tidak dapat
disangkal betapapun ketatnya hukum, dengan segala macam aturan permainan, etika
dan semacamnya, namun akhirnya, hukum tidak berdaya apabila menghadapi power
play yang tidak mengindahkan hukum. Salah satu contoh kasus yang dapat dipetik dari
8
Ibid
9
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi “Teori Hukum dan Konstitusi” (1998) hlm. 77
10
Moh. Mahfud Md “Politik Hukum di Indonesia” (1998) hlm.1
9
fenomena ini adalah dengan melihat kasus dalam menjatuhkan presiden Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), melalui sidang istimewa.
Kasus tersebut terlihat jelas bahwa bagaimana permainan politik (power play)
sangat mendominasi dalam prosesi hukum. Atau dalam pandangan Prof. Dr. Mahfud
MD kasus tersebut memberi kesan mempermainkan prosedural-konstitusional. Sebab,
menurut Tap MPR No. III/MPR/1978, untuk mengeluarkan memorandum I saja
syaratnya adalah bahwa presiden telah sungguh-sungguh melanggar haluan negara.
Sedangkan dalam memorandum I dari DPR hanya menyebut Presiden “patut diduga
ikut berperan” dalam kasus Yanatera Bulog maupun dana bantuan Sulatan Brunai.
Kalau kesimpulannya hanya “patut diduga ikut berperan”, berarti belum ada bukti dan
kesimpulan bahwa presiden “sungguh-sungguh melanggar haluan negara”. Istilah
“patut diduga ikut berperan”, menurut Dr. Mahfud MD, bisa saja diartikan melakukan
kelalaian teknis-administratif, bukan melakukan kesalahan yuridis.
Kasus ini menjadi salah satu contoh dari banyaknya kasus-kasus yang terjadi dalam
praktik ketatanegaraan kita di Indonesia, dalam bingkai bagaimana sesungguhnya kita
melihat hukum disalahgunakan dalam praktik-praktik pengambilan keputusan politik.
Oleh karenanya, maka demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita negara
hukum dan demokrasi yang selaras dengan tujuan negara kita, maka tegasnya, dalam
praktik penyelenggaraan negara, ketentuan-ketentuan hukum harus dihormati, harus
ditegakan oleh pemerintah atau penyelenggara negara.11
Menurut Prof. Dr. Dahlan Thaib, dalam negara hukum Indonesia, tidak boleh
terjadi hukum berdiri pada sisi lain, sementara kekuasaan dengan angkuhnya seolah-
olah menantang hukum di sisi lain. Menurutnya hal demikian itu tentu tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip negara hukum, yang diamanatkan dalam konstitusi kita UUD
1945. Karena itu, komitmen yang telah disepakati pada awal Orde Baru hendaknya
selalu diusahakan untuk dipatuhi dalam praktik ketatanegaraan, sehingga dengan
demikian prinsip rule of law dapat benar-benar ditegakkan. Jadi, bukan rule of law yang
dipertahankan.
11
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi “Teori Hukum dan Konstitusi” (1998) hlm. 78
10
Hukum harus terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, seperti dalam
teori relativitas Albert Einstein, bahwa “tidak ada sesuatu yang bergerak melebihi
kecepatan cahaya, kecepatan cahaya adalah batas kecepatan dalam alam semesta, diluar
kecepatan cahaya semuanya bergerak relatif, kerelatifitasan gerak itu berpengaruh
terhadap kerelatifitasan ruang, waktu, dan massa”. Dari argumentasi inilah kemudian
dalam memandang hukum juga harus berubah, hukum tidak lagi dipandang sebagai
tatanan yang mutlak dan konstan.12
Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan kemampuan
penyediaan fasilitas-fasilitas guna melayaninya mendorong perlunya dilakukan
reorganisasi kehidupan sosial atau kelembagaannya. Semakin banyaknya penggunaan
teknologi modern, maka manusia dihadapkan pada keharusan-keharusan untuk
melakukan penyesuaian-penyesuaian termasuk dalam penerapan hukumnya.
Dalam sejarah perkembangan Hukum, hukum alam yang berkembang pertama kali
dengan doktrin hukum alam yang selalu memuliakan “hukum dalam pengertian yang
sesungguhnya” atau biasa di sebut dengan “The Real Law” yang tak sekalipun dapat
berevolusi atau terganggu oleh gerak perubahan sebagai konsekuensi dari berjalannya
waktu kekal dan selalu akan tetap begitu dari sejak pertama kali dimunculkan dalam
mitologi-mitologi Yunani, hingga berakhirnya peradaban spesies manusia nanti. System
ini diasumsikan memiliki keberlakuan yang kekal, universal, dan tak tergantikan oleh
apa pun dan siapapun, tak ada dicabut oleh siapapun atau otoritas apa pun, dari sejak
pertama Sang Pencipta menetapkannya. Hukum yang sebenar-benarnya hukum adalah
hukum yang selaras dengan alam, yang memantulkan kebenaran dan keadilan yang
bersemayam di lubuk hati nurani tiap-tiap insan.
Dengan dilibatkannya unsur ketuhanan semacam itu, serta tingkat abstraksi yang
diperlihatkan olehnya, orang akan berkesimpulan bahwa : doktrin hukum alam bermain
dalam “dunia yang tidak tampak” atau dunia “intellegibel”. Sehingga munculah
positivisme hukum, positivisme hukum menyatakan bahwa “ hukum alam itu bukanlah
hukum dalam pengertian sesungguhnya. Hal yang akan disebut sebagai hukum itu
semata-mata adalah “hukum positif” yang senantiasa berevolusi dan menyesuaikan diri
ke dalam gerak perubahan sebagai konsekuensi dari berjalannya waktu, sebagaimana
masyarakat manusia berevolusi dan menyesuaikan diri pada perubahan. Hukum dengan
12
Ibid hlm. 371
11
demikianbukan lagi “unit-unit atau konsep-konsep dalam dalam derajat abstrak”, atau
sebagai “hasil dari kegiatan orang mengabstraksi” ataupun ataupun sesuatu yang berada
di “dunia intelligible, melainkan sesuatu yang dihasilkan lewat pengalaman yang indra
manusia, yang dalam keluasan dan kedalamannya semata-mata memperlihatkan
karakter yang “positif”, “formal”, “jelas”, “pasti”, serta yang dapat mendatangkan
“kehasilgunaan”secara praktikal. Pada keadaan itu, orang bisa meluncurkan analisis dan
kritik terhadap hukum, artinya hukum bukan lagis sesuatu yang absolut, melainkan
relatif. Dalam karateristik ini, umumnya suatu definisi tentang hukum menunjuk pada
dua kriteria : “legalitas dan Otoritas”.
Dari pandangan positivisme diatas jelaslah bahwa hukum itu harus berubah, seperti
yang dikatakan oleh penganut positivisme walaupun ada pertentangan antara perubahan
hukum yang dipengaruhi oleh perubahan sosial dengan hukum yang merupakan alat
untuk merubah masyarakat. Kedua faham tersebut bolehlah dikatakan masing-masing
diwakili oleh Von Savigny dan Bentham. Bagi Von Savigny yang dengan gigihnya
membendung datangnya hukum Romawi, maka hukum tidaklah dibentuk akan tetapi
harus diketemukan. Apabila adat istiadat telah berlaku secara mantap, maka barulah
pejabat-pejabat hukum mensyahkannya sebagai hukum. Suatu teori yang sejalan dengan
pendapat Von Savigny, penah dikembangkan oleh seorang yuris Austria yang bernama
Eugen Ehrlich. Ehrlich membedakan antara hukum yang hidup yang didasarkan pada
perilaku sosial, dengan hukum memaksa yang berasal dari negara. Dia menekankan
bahwa hukum yang hidup lebih penting daripada hukum negara yang ruang lingkupnya
terbatas pada tugas-tugas negara. Padahal hukum yang hidup mempunyai ruang lingkup
yang hampir mengatur semua aspek kehidupan bersama dari masyarakat. Dari
penjelasannnya di atas jelas terlihat bahwa Ehrlich pun menganut faham bahwa
perubahan-perubahan hukum selalu mengikuti perubahan-perubahan sosial lainnya.
Sebaliknya, Bentham adalah seorang penganut dari faham yang menyatakan bahwa
mempergunakan hukum yang telah dikonstruksikan secara rasionil, akan dapat
diadakan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Dari positivisme yang mengantarkan kita pada pada tataran hukum positif yang
dimana hukum itu harus merupakan norma yang dipositifkan menjadi peraturan tertulis.
Akhirnya hukum pun berkembang menjadi hukum Post modernisme yang lebih
mengutamakan paandangan bahwa berbagai lapangan dan spesialisasi ilmu merupakan
12
strategi utama atau kesepatakan dimana realitas dapat dibagi, terutama sebagai upaya
serius untuk mencapai kebenaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial
dalam mencari kekuasaan. Pandangan ini sekaligus menjelaskan sentralitas tesis
Nietzsche “kehendak untuk kuasa” dalam epistimologis kontemporer dimana pencarian
kebenaran selalu berarti membangun kekuasaan. Penekanannya terhadap sifat arbiter
dari struktur argument dan retorika bahasa tetap merupakan bagian yang penting
sebagai senjata kritik dekosntruksi postmodernisme. Menurut Lyotard, postmodernis
lebih kepada gagasan untuk meruntuhkan atau menolak metanarasi.13
Dalam perkembangannya, hukum terus berkembang hingga pada akhirnya lahir
lagi teori hukum responsive dengan tokohnya Nonet dan Selznick yang mencoba
memasukkan teori ilmu-ilmu sosial dalam menjawab permasalahan-permasalahan
hukum. Hukum responsive menghendaki agar hukum senantuasa peka terhadap
perkembangan masyarakat, dengan karakternya yang menonjol yaitu menawarkan lebih
dari sekedar procedural justice berorientasi pada keadilan, memperhatikan kepentingan
publik, dan lebih daripada itu mengedepankan pada subtancial juctice. Hukum responsif
berorientasi pada tujuan-tujuan yang akan dicapai diluar hukum dan menolak otonomi
hukum yang bersifat final dan tak dapat di gugat. Hukum tidak hanya rules yang
dibangun dengan logika, tetapi dengan logika-logika lain. Produk hukum yang
berkarakter responsif prosesnya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-
banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat baik segi individu ataupun kelompok
masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau
kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum terssebut bukan kehendak dari
penguasa untuk meligitimasi kekuasaannya.
Perkembangan hukum pada akhirnya bersinggungan pada perubahan sosial,
perubahan sosial dapat mengubah dasar-dasar nilai hukum. Perubahan sosial dapat
bersumber dari dalam maupun luar. Sumber perubahan sosial dari dalam misalnya
pertambahan penduduk, berkuranya penduduk, penemuan teknologi baru, adanya
konflik, atau mungkin dengan terjadinya revolusi. Perubahan dari luar misalnya terjadi
bencana alam, adanya pengaruh kebudayaan, perang, dan lain sebagainya.
Max Weber dengan analisisnya tentang evolusi hukum dari bentuknya yang
kharismatik ke bentuk yang rasional adalah hasil dari perkembangan masyarakat akibat
13
Otje Salman and Anthon Susanto, Teori Hukum “mengingat, Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali"
(Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm 119
13
adanya modernisasi. Hukum menurut Webber pada akhirnya juga sesuai dengan
perekembangan social. Karl Renner juga melihat hal yang sama, yaitu hukum berubah
akibat masyarakat baru, masyarakat kapitalis, telah tercipta. Hak milik yang sifatnya
privat dengan akumulasi modal pada akhirnya mempunyai kekuatan signifikan untuk
memerintah. Jadi dengan adanya perubahan social kita harus mengadakan perubahan
hukum, dalam artian kita harus menyelaraskan hukum dengan perubahan social.
Perubahan hukum bukan hanya terjadi pada perubahan Undang-undang saja, namun
sifatnya menyeluruh samapai pada wilayah pendukung bekerja hukum, termasuk
didalamnya pendidikan hukum.
Dalam konteks Indoenesia, kita sudah berada terlalu lama terjebak dalam
lingkungan postivistik-legalistik, peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh para
legislator atau penguasa Negara ini masih banyak yang belum sesuai dengan keinginan
masyarakat bahkan ada peraturan yang masih berlaku puluhan tahun yang lalu padahal
masyarakat Indonesia terus berkembang seiring berjalannya waktu. Dengan terlalu
positivis nya hukum kita, maka perlu ada suatu paradigma baru yang harus bisa
menyempurnakan hukum untuk mencapai suatu tujuannya yaitu keadilan. Keadilan
menurut masyarakat dan bukan keadilan menurut para penguasa. Menurut Prof. Satjipto
Rahardjo, Indonesia tidak bisa lebih lama berlarut-larut dalam cara penegakan hukum
sebagaimana selama ini dijalankan, Indonesia kini membutuhkan suatu tipe penegakan
hukum yang ingin disebut Progresif.14
Dengan pernyataan tersebut, hukum progresif kini ingin dikembangkan dalam
system hukum di Indonesia, dengan diperkenalkannya hukum progresif, system hukum
di Indonesia dapat berubah menjadi hukum yang menarik hukum dari ranah estetorik
dan menjadikannya sebuah institusi yang bermakna sosial untuk mencapai suatu
keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Dalam hukum progresif, hukum dikenal
sebagai bukan untuk hukum, maka hukum progresif meninggalkan paradigma hukum
rechtsdogmatiek. Ketika paradigma hukum positif bertumpu pada peraturan perundang-
undangan, maka hukum progresif lebih menekankan pada faktor prilaku diatas undang-
undang. Faktor manusia inilah yang mempunyai unsur greget seperti compession
(perasaan haru), empathy, sincerety (ketulusan), education, commitment, dare,
determination. Mengutamakan manusia daripada peraturan perundang-undangan
14
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya
Penegakan Hukum Indonesia (Yogyakarta: AntonyLib-Indonesia, 2009), hlm 12.
14
sebagai titik tolak paradigma membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses
dan proyek kemanusiaan.
Hukum progresif sebenarnya tidak bertentangan dengan konsep hukum yang
diterapkan oleh Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga sekarang, karena dalam
hukum progresif kita hanya diajak untuk lebih meningkatkan kreatifitasan dalam
berpikir hukum. Positivism juga berperan dalam perkembangan hukm progresif, karena
dengan adanya hukum postif kita bisa membandingkan teks dan konteks sehingga kita
bisa lebih kreatif dalam mengambil suatu keputusan dalam menyelasaikan problema
hukum. Para penganut positivis di indonesia berpikir bahwa hukum dari Negara lain
tidak bisa di masukkan dalam hukum yang ada di Indonesia dan hukum itu merupakan
suatu norma yang sifatnya tetap atau statis di positifkan ke dalam hukum tertulis dan
menjadi dinamika dalam pelaksanaannya. Menurut penulis, hukum itu seharusnya
hidup dalam kehidupan social masyarakat yang dinamis dan peran norma yang statis
mampu mengikuti perkembangan sosial tersebut, karena perubahan sosial akan
menentukan akan dibawa kemana hukum kita ini. Dan tidak ada salahnya juga jika kita
ngin menerapkan konsep hukum Negara lain dengan Negara kita, karena itu hanya
sebagai pembanding saja untuk menuju suatu hukum yang bisa membahagiakan
masyarakatnya.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum: Edisi Revisi, Prenada Media, 2017.
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Teori Hukum dan Konstitus, 1998.
Salman, Otje, and Anthon Susanto. Teori Hukum ,mengingat, Mengumpulkan, Dan
Membuka Kembali,. Bandung: Refika Aditama, 2004.
17
Kusuma, Mahmud. Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi Paradigmatik Bagi
Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia. Yogyakarta: AntonyLib-Indonesia, 2009
18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Semakin banyaknya penggunaan teknologi modern, maka manusia dihadapkan pada
keharusan-keharusan untuk melakukan penyesuaianpenyesuaia, sekedar teknologi itu dapat
menjalankan fungsinya denagn semestinya di dalam masyarakat, sebagaimana kita melihat modus
berlakunya hukum dalam masyarakat.
1. Bahwa berubahnya masyarakat akan mempengaruhi perkembangan dasar-dasar nilai hukum.
2. Bahwa postivisme yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu mengatasi problem-
problem hukum yang terjadi di masyarakat.
3. Bahwa perlu ada pembenahan konesep hukum di Indonesia, dengan menerapkan konsep hukum
progresif, karena dengan hukum progresif maka hukum Indonesia akan mencapai suatu tujuan
hukum yang mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang kompleks yang tidak diatur
dalam hukum tertulis.
4. Hukum positif Indonesia seharusnya tidak diberlakukan secara sempit, akan tetapi hukum
positif ditempatkan pada suatu permasalahan yang bisa diselesaikan dengan peraturan seperti
dalam bidang hukum pidana, hukum bisnis, dan hukum dagang. Dalam pengambilan
keputusannya perlu ada watak progresif agar para penegak hukum tidak dengan sewenang-
wenang menggunakan peraturan perundang-undangan untuk kepentingan pribadi. Karena
hukum itu diciptakan untu mencapai keadilan bagi semua bukan keadilan bagi dirinya sendiri.
5. Perbaikan dalam hal stuktur/aparatur penegak hukum, diperlukan adanya pendekatan dalam
pembentukan character building (pembinaan ESQ) dan keagamaan serta peningkatan SDM,
sehingga aparatur penegak hukum di Indonesia memiliki mental yang kuat dan mampu
mengemban amanat sesuai rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam perbaikan legal culture
dalam masyarakat, apabila secara substance dan struktur sudah berjalan dengan baik, maka
legal culture pun akan mengikuti dengan sendirinya.
19
DAFTAR PUSTAKA
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum: Edisi Revisi, Prenada Media, 2017.
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Teori Hukum dan Konstitus, 1998.
Salman, Otje, and Anthon Susanto. Teori Hukum ,mengingat, Mengumpulkan, Dan
Membuka Kembali,. Bandung: Refika Aditama, 2004.
20