LAPORAN PENDAHULUAN Fraktur Antebrachii

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR ANTEBRACHII

A. Pengertian

Fraktur antebrachii adalah terputusnya kontinuitas tulang radius ulna. Yang

dimaksud dengan antebrachii adalah batang (shaft) tulang radius dan ulna. (andi,

2012).

Fraktur antebrachi adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan

luasnya meskipun tulang patah jaringan sekitarnya akan terpengaruhi, mengakibatkan

edema jaringan lunak pendarahan otot dan sendi, dislokasi sendi, kesurakan saraf dan

kerusakan pembuluh darah. (Jurnal, 2019)

Fraktur antebrachii merupakan suatu perpatahan pada lengan bawah yaitu

pada tulang radius dan ulna dimana kedua tulang tersebut mengalami perpatahan.

Dibagi atas tiga bagian perpatahan yaitu bagian proksimal, medial , serta distal dari

kedua corpus tulang tersebut. (Putri, 2008)

B. Klasifikasi

Klasifikasi fraktur antebrachii :

1. Fraktur antebrachii, yaitu fraktur pada kedua tulang radius dan ulna
2. Fraktur ulna (nightstick fractur), yaitu fraktur hanya pada tulang ulna

3. Fraktur Montegia, yaitu fraktur ulna proksimal yang disertai dengan

dislokasi sendi radioulna proksimal

4. Fraktur radius, yaitu fraktur hanya pada tulang radius

5. Fraktur Galeazzi, yaitu fraktur radius distal disertai dengan dislokasi sendi

radioulna distal
C. Etiologi

1. Trauma langsung/ direct trauma

Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda

paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).

2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma

Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi

fraktur pada pegelangan tangan.

3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri

rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan

fraktur patologis.

4. Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa

pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,

dan penarikan.

D. Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas

untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang

dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan

rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan

pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang

membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan

terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan

ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi
terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan

leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari

proses penyembuhan tulang nantinya 

Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur:

a.   Faktor Ekstrinsik

Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung

terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

b. Faktor Intrinsik

Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk

timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,

kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

E. Pathway

Cedera Traumatik Faktor Patologis Secara Spontan

Terjadi pada daerah


ulna dan radius

Fraktur Antebrachii

Tindakan Operasi
(Pemasangan ORIF)
3 4

Terpapar suhu lingkungan yang Intake nutrisi klien Efek Anastesi


2 Suhu Ruangan OK Kurang Dianggap sebagai Operasi pemasangan terlalu dingin dalam jangka yang tidak adekuat
yang ekstrem informasi pengalaman yang orif dengan GA waktu lama
mengenai menakutkan
prosedur Lingkungan
Intake nutrisi klien
Diterima oleh reseptor sensitif eksternal tidak
yang tidak adekuat,
Robeknya jaringan suhu lingkungan pada kulit dirasakan
puasa, stress operasi,
Resiko Ketidak kulit dan tulang (efferent) dan peningkatan
seimbangan suhu akibat perlukaan metabolisme yang
tubuh Kurang untuk tindakan terjadi post operasi Resiko Cidera
Ansietas invasif yang Impuls ini akan dibawa ke spinal
pengetahuan cord kemudian dibawa ke pusat Perioperatif
menyebabkan
terpotongnya pengaturan suhu (Hipotalamus) Penurunan BB
/terlukanya free atau BB klien
nerve ending kurang dari BB
Pemberian obat anastesi ideal
menghambat kerja
hipotalamus
Ketidakseimbanga
nutrisi kurang dari
↑pengeluaran suhu tubuh & ↓ kebutuhan tubuh.
Menimbulkan produksi suhu
rasa nyeri berat

1
Nyeri Akut

1 2 3 4

Rendahnya nilai leukosit dan


Hipotermia
risiko kontaminasi luka
Prodedur operasi operasi pada saat operasi Imobilisasi
maupun pada saat perawatan ekstrimitas bawah
Pemberian cairan infus, di ruang perawatan. yang dilakukan
selimut tebal dan analgetik ↓ pengeluaran suhu tubuh dan operasi
↓ terpaparnya suhu lingkungan
yang ekstrimRisiko infeksi.
↓ pengeluaran suhu tubuh dan ↓ Terdapat jalur invasif Paparan lingkungan dan
terpaparnya suhu lingkungan mikroorganisme penggunaan alat-alat tajam
yang ekstrim saat operasi Suhu kembali normal
axial : 36,4-37,50C Keterbatasan
pergerakan/
Suhu kembali normal axial mobilisasi klien
: 36,4-37,50C Badan terasa panas dingin

Badan terasa panas dingin Kehilangan darah


Resiko Infeksi Termoregulasi
selama tindakantidak efektif Gangguan mobilitas
fisik.

Termoregulasi tidak efektif

Risiko Ketidak
Risiko syok hipovolemia. Seimbangan Volume
Cairan
F. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,

pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang

dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang

diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai

alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung

bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur

lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas

yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal.

Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot

tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot.

3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena

kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering

saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).

4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan

krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji

krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.


5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat

trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah

beberapa jam atau hari setelah cedera.\

Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.

Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi

(permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung

pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien

mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.

G. Pemeriksaan Penunjang

1. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.

2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans

3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.

4. CCT kalau banyak kerusakan otot.

5. Pemeriksaan Darah Lengkap

Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering

rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan

jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah,

traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan

dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
H. Penatalaksanaan Medis

Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :

1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.

Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun

karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk

mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan

juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur).

Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.

a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.

b. Pemasangan gips

Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang

patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan

bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :

1) Immobilisasi dan penyangga fraktur

2)  Istirahatkan dan stabilisasi

3) Koreksi deformitas

4) Mengurangi aktifitas
5) Membuat cetakan tubuh orthotik

Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips

adalah :

1) Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan

2) Gips patah tidak bisa digunakan

3)  Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan

klien

4) Jangan merusak / menekan gips

5) Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk

6) Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama

2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.

Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang

lama. Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti

pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal

tergantung dari jenis frakturnya sendiri.

a. Penarikan (traksi) :

Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali

pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa


sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.

Metode pemasangan traksi antara lain :

1) Traksi manual

Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada

keadaan emergency

2) Traksi mekanik, ada 2 macam :

a) Traksi kulit (skin traction)

Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal

otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.

b) Traksi skeletal

Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang

merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan

luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang /

jaringan metal.

Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :

  Mengurangi nyeri akibat spasme otot

  Memperbaiki & mencegah deformitas

  Immobilisasi

  Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)

  Mengencangkan pada perlekatannya

Prinsip pemasangan traksi :

  Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik


  Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan

pemberat agar reduksi dapat dipertahankan

  Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus

  Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol

  Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai

b. Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam

pada pecahan-pecahan tulang.

Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya

mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi

interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat

yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik

menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-

fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian

direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali.

Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan

alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan paku.

Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :

a) Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah


b) Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada

didekatnya

c) Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai

d) Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain

e) Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada

kasus-kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan

mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama

penatalaksanaan dijalankan.

1. Fiksasi Interna

Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk fraktur lainnya

kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan terhadap panjangnya

dengan nail, tetapi fiksasi mungkin tidak cukup kuat untuk mengontrol

rotasi. Nailing diindikasikan jika hasil pemeriksaan radiologi memberi kesan bahwa

jaringan lunak mengalami interposisi di antara ujung tulang karena hal ini hampir

selalu menyebabkan non-union.

Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat memberikan stabilitas

longitudinal serta kesejajaran (alignment) serta membuat penderita dápat dimobilisasi

cukup cepat untuk meninggalkan rumah sakit dalam waktu 2 minggu setelah fraktur.

Kerugian meliput anestesi, trauma bedah tambahan dan risiko infeksi.

Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang tercepat dengan trauma yang

minimal, tetapi paling sesuai untuk fraktur transversal tanpa

pemendekan. Comminuted fracture paling baik dirawat dengan locking nail yang

dapat mempertahankan panjang dan rotasi.


2. Fiksasi Eksterna

Bila fraktur yang dirawat dengan traksi stabil dan massa kalus terlihat pada

pemeriksaan radiologis, yang biasanya pada minggu ke enam, cast brace dapat

dipasang. Fraktur dengan intramedullary nail yang tidak memberi fiksasi

yang rigid juga cocok untuk tindakan ini.

3. Agar terjadi penyatuan tulang kembali

Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan

menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat

gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang.

4. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula


Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya

sendi. Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.

I. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,

untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien

sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses

keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

1. Pengumpulan Data

a. Anamnesa

1) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,

status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.

register, tanggal MRS, diagnosa medis.

2) Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri

tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk

memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi

faktor presipitasi nyeri.

b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan

klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.

c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit

menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.


d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,

bisa berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa

sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.

e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk

pada malam hari atau siang hari.

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,

yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.

Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa

ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.

Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa

diketahui luka kecelakaan yang lain.

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi

petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit

tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan

fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit

diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut

maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.

5) Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan

salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,


osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang

yang cenderung diturunkan secara genetic.

6) Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan

peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya

dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam

masyarakat.

7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan

a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan

pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk

membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi

kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat

mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa

mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga

atau tidak.

b) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan

sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk

membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi

klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal

dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama

kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang


merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada

lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan

mobilitas klien.

c) Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,

tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna

serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi

uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua

pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.

d) Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal

ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,

pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,

kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.

e) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk

kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak

dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk

aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk

pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang

lain

f) Pola Hubungan dan Peran


Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam

masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.

g) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan

kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk

melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya

yang salah (gangguan body image).

h) Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal

fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga

pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa

nyeri akibat fraktur.

i) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan

seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta

rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status

perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.

j) Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu

ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme

koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.

k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan


Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah

dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan

karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

.   b.   Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk

mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini

perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan

dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi

lebih mendalam.

1) Kepala

Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada

penonjolan, tidak ada nyeri kepala.

2) Leher

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek

menelan ada.

3) Muka

Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi

maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.

4) Mata

Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)

5) Telinga

Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau

nyeri tekan.
6) Hidung

Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

7) Mulut dan Faring

Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut

tidak pucat.

8) Thoraks

Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

9) Paru

a) Inspeksi

Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada

riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.

b) Palpasi

Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

c) Perkusi

Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.

d) Auskultasi

Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya

seperti stridor dan ronchi.

10) Jantung

a) Inspeksi

Tidak tampak iktus jantung.

b) Palpasi

Nadi meningkat, iktus tidak teraba.


c) Auskultasi

Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

11) Abdomen

a) Inspeksi

Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

b) Palpasi

Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

c) Perkusi

Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

d) Auskultasi

Peristaltik usus normal  20 kali/menit.

12) Inguinal-Genetalia-Anus

Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

2. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan

sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan

kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan

lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi

untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu

disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi  kegunaan pemeriksaan

penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada

x-ray:
J. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan

lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.

2. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi

restriktif (imobilisasi)

3. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma

jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

K. Intervensi Keperawatan

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan

lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.

Tujuan:    Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan

tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan

tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik

sesuai indikasi untuk situasi individual

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1.  Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah

yang sakit dengan tirah baring, malformasi.

gips, bebat dan atau traksi

2.  Tinggikan posisi ekstremitas yang Meningkatkan aliran balik vena,

terkena.
mengurangi edema/nyeri.

3.  Lakukan dan awasi latihan gerak

pasif/aktif. Mempertahankan kekuatan otot dan

meningkatkan sirkulasi vaskuler.

4.  Lakukan tindakan untuk

meningkatkan kenyamanan Meningkatkan sirkulasi umum,

(masase, perubahan posisi) menurunakan area tekanan lokal dan

kelelahan otot.

5.  Ajarkan penggunaan teknik

manajemen nyeri (latihan napas Mengalihkan perhatian terhadap

dalam, imajinasi visual, aktivitas nyeri, meningkatkan kontrol terhadap

dipersional) nyeri yang mungkin berlangsung

lama.

6.  Lakukan kompres dingin selama

fase akut (24-48 jam pertama) Menurunkan edema dan mengurangi

sesuai keperluan. rasa nyeri.

7.  Kolaborasi pemberian analgetik

sesuai indikasi. Menurunkan nyeri melalui

mekanisme penghambatan rangsang

nyeri baik secara sentral maupun

perifer.
8.  Evaluasi keluhan nyeri (skala,

petunjuk verbal dan non verval, Menilai perkembangan masalah

perubahan tanda-tanda vital) klien.

2. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi

restriktif (imobilisasi)

Tujuan     :   Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat

paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional

meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh

menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1.    Pertahankan pelaksanaan aktivitas Memfokuskan perhatian,

rekreasi terapeutik (radio, koran, meningkatakan rasa kontrol

kunjungan teman/keluarga) sesuai diri/harga diri, membantu

keadaan klien. menurunkan isolasi sosial.

2.    Bantu latihan rentang gerak pasif Meningkatkan sirkulasi darah

aktif pada ekstremitas yang sakit muskuloskeletal, mempertahankan

maupun yang sehat sesuai keadaan tonus otot, mempertahakan gerak

klien. sendi, mencegah kontraktur/atrofi

dan mencegah reabsorbsi kalsium

karena imobilisasi.
3.    Berikan papan penyangga kaki, Mempertahankan posis fungsional

gulungan trokanter/tangan sesuai ekstremitas.

indikasi.

4.    Bantu dan dorong perawatan diri Meningkatkan kemandirian klien

(kebersihan/eliminasi) sesuai dalam perawatan diri sesuai kondisi

keadaan klien. keterbatasan klien.

5.    Ubah posisi secara periodik sesuai Menurunkan insiden komplikasi kulit

keadaan klien. dan pernapasan (dekubitus,

atelektasis, penumonia)

6.    Dorong/pertahankan asupan cairan Mempertahankan hidrasi adekuat,

2000-3000 ml/hari. men-cegah komplikasi urinarius dan

konstipasi.

7.    Berikan diet TKTP. Kalori dan protein yang cukup

diperlukan untuk proses

penyembuhan dan mem-pertahankan

fungsi fisiologis tubuh.


8.    Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi Kerjasama dengan fisioterapis perlu

sesuai indikasi. untuk menyusun program aktivitas

fisik secara individual.

9.    Evaluasi kemampuan mobilisasi Menilai perkembangan masalah

klien dan program imobilisasi. klien.

3. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma

jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang

Tujuan :   Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase

purulen atau eritema dan demam       

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1.    Lakukan perawatan pen steril dan Mencegah infeksi sekunderdan

perawatan luka sesuai protokol mempercepat penyembuhan luka.

2.    Ajarkan klien untuk Meminimalkan kontaminasi.

mempertahankan sterilitas insersi

pen.

3.    Kolaborasi pemberian antibiotika Antibiotika spektrum luas atau

dan toksoid tetanus sesuai indikasi. spesifik dapat digunakan secara


profilaksis, mencegah atau

mengatasi infeksi. Toksoid tetanus

untuk mencegah infeksi tetanus.

4.    Analisa hasil pemeriksaan

laboratorium (Hitung darah lengkap, Leukositosis biasanya terjadi pada

LED, Kultur dan sensitivitas proses infeksi, anemia dan

luka/serum/tulang) peningkatan LED dapat terjadi pada

osteomielitis. Kultur untuk

mengidentifikasi organisme

penyebab infeksi.

5.      Observasi tanda-tanda vital dan 

tanda-tanda peradangan lokal pada Mengevaluasi perkembangan

luka. masalah klien.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.

Jakarta

Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC

Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.

Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di

Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition.

New Jersey: Upper Saddle River

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media

Aesculapius

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second

Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:

Prima Medika

Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai