Makalah Pengantar Tata Hukum Indonesia Asas Hukum Acara Perdata

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

Makalah Pengantar Tata Hukum Indonesia

ASAS HUKUM ACARA PERDATA

Disusun
Oleh:

Riski Hamdani : 22111029


Rini Gustini : 22111024
Nelva : 22111021

Dosen Pengampu:
Asih Winarti, M.Pd

PROGRAM STUDI PANCASILA dan KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ABULYATAMA
ACEH BESAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya


sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Lampoh Keude, Oktober 2022


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A.  Latar Belakang................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
A. Pengertian, Tujuan, Fungsi dan Asas Hukum Acara Perdata..........................2
B. Pihak-pihak dalam Proses Hukum Acara Perdata...........................................5
C. Proses Beracara di Pengadilan.........................................................................6
D. Rekonvensi (Gugatan Balasan).......................................................................6
E. Intervensi Terhadap Perkara yang Diperiksa...................................................7
F. Gugatan Dengan Prodeo (Cuma-cuma)...........................................................9
G. Pembuktian....................................................................................................10
I. Putusan Hakim................................................................................................11
J. Upaya Hukum.................................................................................................11

BAB III PENUTUP...............................................................................................13


A. Kesimpulan....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN 
 
 A.  Latar Belakang
Sengketa perdata merupakan perselisihan kepentingan yang terjadi antar
subjek hukum, baik orang pribadi (naturlijk person) maupun badan hukum (recht
person), yaitu: Antar orang pribadi, antara individu dan badan hukum dan antar
badan hukum.
Namun, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum, dalam hal ini
hukum perdata menyebabkan mereka kesulitan menyelesaikan perkara perdata
yang dihadapi. Belum lagi rumitnya bahasa hukum yang sulit dicerna oleh
masyarakat awam, minimnya sosialisasi pemerintah perihal peraturan perundang-
undangan, adanya makelar kasus, dan penyimpangan yang mungkin dilakukan
oleh aparat penegak hukum menjadi kendala.
Seringkali, walaupun pokok perkaranya benar namun apabila cara
membuat gugatannya tidak tepat atau keliru, hal tersebut akan membuat gugatan
menjadi kandas di tengah jalan. Demikian pula dalam kasus tertentu bila tidak
dapat memberikan analisa hukum yang tepat atau keliru sehingga dalam membuat
gugatan atau jawabannya tidak sempurna atau keliru, hal ini tentunya merugikan
kepentingan penggugat.
Diperlukan pengetahuan mengenai hukum acara perdata, baik secara teori
maupun pengalaman dalam praktik di pengadilan. Penulis mencoba memberikan
suatu pemahaman bagi pembaca untuk lebih mematangkan wawasan dalam
menganalisa serta memahami secara matang permasalahan hukum yang akan
dihadapinya.
Untuk menanggulangi hal tersebut, diperlukan pengetahuan terhadap
masalah-masalah dasar yang akan sering dijumpai dalam melakukan praktik
beracara perdata di pengadilan dan cara menghadapi permasalahan tersebut.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, Tujuan, Fungsi dan Asas Hukum Acara Perdata


1. Pengertian Azas Hukum Acara Perdata
Pengertian hukum acara perdata terdapat beberapa pakar yang memberikan
definisi, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Menurut J.B. Daliyo, bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum
yang mengatur bagaimana menjamin ditaatinya hukum perdata materiil
dengan perantaraan hakim.
b. Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan-
peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka
pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama
lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
c. C.S.T. Kansil, hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan-peraturan
hukum tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata
materiil.
d. H. Abdul Manan, hukum acara perdata merupakan hukum yang mengatur
tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana
pihak Tergugat mempertahankan diri dari gugatan Penggugat, bagaimana
para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan
dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh
Penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut
sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak
dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur Hukum Perdata dapat
berjalan sebagaimana mestinya.
e. Abdulkadir Muhammad, hukum acara perdata adalah peraturan hukum
yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata.
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan oleh pakar hukum
sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa hukum acara
perdata atau disebut juga hukum perdata formal merupakan peraturan hukum yang

2
mengatur tentang bagaimana cara-cara mempertahankan hukum perdata materiil
di persidangan.
2. Tujuan dan Fungsi Azas Hukum Acara Perdata
Adapun tujuan hukum acara perdata adalah untuk melindungi atau
memulihkan hak-hak seseorang. Pemulihan terhadap hak seseorang diberikan oleh
hukum acara perdata melalui peradilan perdata. Dalam peradilan perdata hakim
akan menentukan mana yang benar dan mana yang salah setelah pemeriksaan dan
pembuktian selesai.
Sedangkan fungsi hukum acara perdata adalah untuk mengatur bagaimana
cara-caranya seseorang mengajukan tuntutan haknya, bagaimana negara melalui
alat perlengkapannya (hakimnya) memeriksa dan memutuskan kasus perdata yang
diajukan kepadanya. Atau dapat juga dikatakan bahwa fungsi hukum acara
perdata adalah untuk sebagai sarana dalam menuntut dan mempertahankan hak-
hak seseorang yang telah dilanggar/hilang.
3. Azas Hukum Acara Hukum Perdata
Kemudian asas hukum acara perdata dapat dilihat di bawah ini, yaitu:
a. Asas Hakim Bersifat Menunggu
Dalam beracara pada pengadilan perdata tergantung pada pihak yang
berkepentingan. Inisiatif untuk mengajukan perkara ada pada pihak yang
berkepentingan. Hakim hanya menunggu datangnya perkara atau gugatan dari
pihak atau masyarakat yang merasa dirugikan. Jika sudah ada tuntutan/ gugatan,
maka yang menyelenggarakan proses itu adalah negara. Hakim tidak boleh
menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya.
b. Asas Hakim Bersifat Pasif
Dalam pemeriksaan perkara perdata, hakim bersifat pasif, maksudnya
ruang lingkup pokok perkara yang diajukan kepada hakim ditentukan oleh pihak-
pihak yang berkepentingan, bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para
pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan untuk tercapainya
peradilan. Hal ini telah disebutkan di dalam Pasal 15 Undang- Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan wajib saling
memberi bantuan yang diminta untuk kepentingan peradilan.

3
c. Asas Persidangan Bersifat Terbuka
Pada prinsipnya, bahwa setiap persidangan harus terbuka untuk umum.
Hal ini disebutkan di dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan, bahwa semua sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang- undang
menentukan lain.
Maksud pemeriksaan persidangan terbuka untuk umum adalah terbuka
setiap orang boleh mendengarkan, menyaksikan dan mengikuti jalannya
persidangan, asalkan tidak mengganggu jalannya persidangan dan senantiasa
menjaga ketertiban. Tujuan persidangan terbuka untuk umum adalah:
(1) dapat menjamin adanya sosial kontrol atas tugas-tugas yang dilaksanakan
oleh hakim tersebut, sehingga dengan demikian hakim dapat
mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair serta tidak memihak
kepada salah satu pihak yang berperkara,
(2) untuk memberikan edukasi dan prepensi kepada masyarakat tentang sutu
peristiwa. Dari peristiwa yang sedang diperiksa itu akan memberikan
pelajaran kepada masyarakat agar beringkah laku yang sebaik-baiknya
supaya tidak terporosok kepada hal-hal yang tidak baik,
(3) masyarakat dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga
akan membentuk daya tangkal prepensi dalam hati, dan pikiran mereka
untuk melakukannya.
d. Asas Beracara Dikenakan Biaya
Pada dasarnya setiap orang yang mengajukan perkara di muka pengadilan
dikenai biaya perkara, yang rinciannya telah diperkirakan oleh pengadilan,
sehingga sejumlah uang yang dibayar akan diperhitungkan kemudian.7 Dasar
hukum tentang biaya perkara adalah ketentuan Pasal 121 ayat (4) HIR/145 R.Bg.
e. Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
Pada prinsipnya, bahwa berperkara di pengadilan tidak harus ada yang
mewakilkan kepada orang lain. Para pihak secara langsung menghadap di muka
hakim. Akan tetapi, para pihak boleh didampingi oleh wakilnya atau
pengacaranya secara penuh.

4
f. Asas Prinsip Persidangan Harus Majelis
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa pengadilan memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.
g. Asas Prinsip Hakim Aktif Memberi Bantuan
Menurut ketentuan Pasal 119 HIR dan Pasal 143 R.Bg disebutkan bahwa,
ketua pengadilan negeri berwenang untuk memberi nasihat dan bantuan kepada
Penggugat atau kepada kuasanya dalam hal mengajukan gugatannya itu.11
h. Asas Peradilan Dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa
Asasini menunjukkan bahwa hakim dalam membuat suatu keputusan
selalu adil dengan mengingat tanggung jawab diri sendiri, dan tanggung
i. Seperti masih kekurangan hakim, sedangkan perkara harus dilaksanakan
dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan.

B. Pihak-pihak dalam Proses Hukum Acara Perdata


Pihak-pihak dalam proses hukum acara perdata sekurang-kurangnya hanya
dua pihak, yaitu: Penggugat12 dan Tergugat.13 Cara mengajukan gugatan dan
penerimaan perkara menurut Pasal 118 HIR/142 R.Bg adalah sebagai berikut:
1. Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan
Negeri, harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani oleh
Penggugat atau oleh orang yang dikuasakan menurut Pasal 147 R.Bg/123
HIR, kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya
terletak tempat tinggal Tergugat atau jika tidak diketahui tempat
tinggalnya tempat Tergugat sebenarnya berdiam.
2. Jika Tergugat lebih dari seorang, sedangkan mereka tinggal di dalam satu
daerah hukum Pengadilan Negeri, maka gugatan diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri tempat tinggal salah seorang Tergugat menurut pilihan
Penggugat. Kalau antara para Tergugat dalam hubungan satu dengan
lainnya masing-masing sebagai pihak yang “berutang” dan pihak yang

5
“menanggung”. Maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan tempat
tinggal yang “berutang”.
3. Jika tempat tinggal Tergugat tidak diketahui, begitu pula sebenarnya ia
berdiam tidak diketahui atau kalau ia tidak dikenal, maka gugatan itu
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal Penggugat atau
salah seorang Penggugat.
4. Kalau gugatan itu tentang benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak
benda tidak bergerak itu.
5. Apabila ada suatu tempat tinggal yang dipilih dan ditentukan bersama
dalam satu akta, maka Penggugat kalau ia mau dapat mengajukan
gugatanya kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal yang telah dipilih itu.
6. Dalam hal gugatan tentang benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak
benda tidak bergerak itu.

C. Proses Beracara di Pengadilan


Setelah perkara masuk dan didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri,
Panitera wajib secepatnya menyampaikan berkas perkara itu kepada Ketua
Pengadilan Negeri. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri mempelajari berkas
perkara, dan kemudian membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang akan
memeriksa dan menyelidiki perkara tersebut.
Kemudian Ketua Majelis, setelah ia menerima Penetapan Majelis Hakim
(PMH) dari ketua Pengadilan Negeri tersebut, kepadanya diserahkan berkas
perkara yang bersangkutan dan selanjutnya membuat Penetapan Hari Sidang
(PHS), dan membuat perintah memanggil para pihak oleh jurusita untuk diperiksa
di muka persidangan.

D. Rekonvensi (Gugatan Balasan)


Gugatan asal disebut “gugatan dalam konvensi”. Tergugat dalam konvensi
(tergugat asal) adakalanya ia akan menggunakan sekaligus dalam kesempatan

6
berperkara itu untuk menggugat kembali kepada penggugat asal (penggugat dalam
konvensi), sehingga tergugat asal (dalam konvensi) sekaligus bertindak menjadi
penggugat dalam rekonvensi (penggugat balik).
Rekonvensi (gugatan balasan) diatur dalam Pasal 132 a dan 132 b HIR.
Kedua pasal tersebut memberi kemungkinan bagi tergugat atau para tergugat,
apabila ia atau mereka kehendaki, dalam semua perkara untuk mengajukan gugat
balasan terhadap penggugat. Karena gugat adalah balasan terhadap gugat yang
telah diajukan oleh penggugat, maka tidak dibenarkan apabila tergugat ke I
misalnya, lalu menggugat tergugat yang lainnya, melainkan gugat balasan harus
ditujukan kepada penggugat atau para penggugat, atau salah seorang/beberapa
orang dari penggugat saja dan diajukan oleh tergugat/ para tergugat atau turut
tergugat.
Gugat balasan diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat, baik itu
merupakan jawaban lisan atau tertulis. Dalam praktik gugat balasan dapat
diajukan selama belum dimulai dengan pemeriksaan bukti, artinya belum pula
dimulai dengan pendengaran para saksi. Pengajuan gugat balasan merupakan
suatu hak istimewa yang diberikan oleh hukum acara perdata kepada tergugat
untuk mengajukan gugatannya terhadap pihak penggugat secara bersama- sama
dengan gugat asal.

E. Intervensi Terhadap Perkara yang Diperiksa


Istilah intervensi dalam bahasa Belanda adalah interventie, artinya turut
campur tangannya pihak ketiga. Dalam suatu proses pemeriksaan perkara perdata
sangat dimungkinkan masuknya pihak ketiga ke dalam proses pemeriksaan.
Masuknya pihak ke tiga ini disebut dengan intervensi. Dengan demikian menurut
H.A. Mukti Arto, bahwa yang dimaksud dengan intervensi adalah suatu aksi
hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan melibatkan diri atau
dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang
berlangsung antara dua pihak yang sedang berperkara.
Intervensi dalam bentuk voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga menjadi
pihak dalam perkara dengan jalan menggabungkan diri dengan salah satu pihak
untuk membela kepentingannya.

7
Adapun ciri-ciri voeging adalah sebagai berikut:
1. Sebagai pihak yang berkepentingan dan berpihak kepada salah satu pihak
dari penggugat atau tergugat.
2. Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya sendiri dengan jalan
membela salah satu yang bersangkutan.
3. Memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara. Kemudian
syarat-syarat voeging yaitu sebagai berikut:
a. Merupakan tuntutan hak.
b. Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya dengan jalan
berpihak kepada salah satu pihak.
c. Kepentingan tersebut harus ada hubungannya dengan pokok sengketa
yang sedang berlangsung.
Adapun ciri-ciri tussenkomst adalah sebagai berikut:
1. Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dan berdiri sendiri.
2. Adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian, atau kehilangan
haknya yang terancam.
3. Melawan kepentingan kedua belah pihak yang berperkara.
4. Dengan memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara
(penggabungan tuntutan).

Kemudian syarat-syarat tussenkomst, yaitu:


1. Merupakan tuntutan hak.
2. Adanya kepentingan hukum dalam sengketa yang sedang berlangsung.
3. Kepentingan tersebut haruslah ada hubungannya dengan pokok sengketa
yang sedang berlangsung.
4. Kepentingan mana untuk mencegah kerugian atau mempertahankan hak
pihak ketiga.

Sedangkan keuntungan tussenkomst itu adalah:


1. Prosedur beracara dipermudah dan disederhanakan.
2. Proses berperkara dipersingkat.
3. Terjadi penggabungan tuntutan.

8
4. Mencegah timbulnya putusan yang saling bertentangan.
Prosedur acara tussenkomst itu dilakukan oleh pihak ketiga yang
bersangkutan mengajukan gugatan kepada ketua pengadilan negeri/agama dengan
melawan pihak yang sedang berperkara yakni penggugat dan tergugat dengan
menunjuk nomor dan tanggal perkara yang dilawan tersebut.

F. Gugatan Dengan Prodeo (Cuma-cuma)


Pada hakikatnya beracara di pengadilan dalam hal gugatan perdata mesti
dikenai biaya sesuai dengan ketentuan dalam HIR, yaitu Pasal 182, Pasal 121 ayat
(4), dan Pasal 145 ayat (4), dan R.Bg, yaitu Pasal 192-194, serta
Oleh karena itu, jika ingin mengajukan perkara kepada pengadilan mesti
harus ada biayanya, kecuali jika tidak mampu membayar maka beracara di muka
pengadilan dapat dilakukan dengan cuma-cuma setelah mendapat izin terlebih
dahulu dari pengadilan yang berwenang memeriksa perkara tersebut. Di dalam hal
pihak penggugat maupun tergugat tidak mampu membayar biaya perkara, maka
boleh dilakukan dengan cuma-cuma. Dalam hal ini telah dijelaskan di dalam Pasal
237 HIR/273 R.Bg, yang berbunyi: “barangsiapa hendak berperkara, baik sebagai
penggugat maupun tergugat, tetapi tidak mampu membayar ongkos perkara, dapat
mengajukan perkara dengan izin tidak membayar ongkos.”
Permintaan berperkara secara cuma-cuma ini harus dimintakan sebelum
perkara pokok diperiksa oleh pengadilan. Permintaan untuk berperkara secara
cuma-cuma ini harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari instansi
yang berwenang, dewasa ini dikeluarkan oleh Kepala Desa dan diketahui oleh
Camat.
Menurut Pasal 238 HIR dan Pasal 274 R.Bg menyebutkan bahwa:
1. Jika penggugat menghendaki izin itu, maka ia minta izin pada waktu ia
mengajukan surat gugatan atau pada waktu ia menyatakan gugatan dengan
lisan sebagai dimaksud pada Pasal 142 dan 144 R.Bg./118 dan 120 HIR.
2. Jika izin itu dikehendaki oleh tergugat, maka izin itu dimintanya pada
waktu ia mengajukan jawabannya, yang tersebut pada Pasal 145 R.Bg/123
HIR, atau dalam persidangan, jika ia belum minta lebih dahulu, asal saja
sebelum perkara tersebut mulai diperiksa.

9
3. Dalam kedua hal itu haruslah permintaan itu disertai dengan surat
keterangan tidak mampu dari seorang kepala polisi di tempat tinggal si
peminta, yang menerangkan bahwa sesudah diperiksanya ternyata benar
kepadanya bahwa orang itu tidak mampu.
4. Jika surat keterangan tidak dapat diadakan, maka terserah kepada
pertimbangan Pengadilan Negeri untuk meyakinkan dari keterangan orang
itu, baik dengan lisan maupun dengan cara lain, bahwa ia tidak mampu.

G. Pembuktian
Seorang advokat harus tahu bukti-bukti apa saja yang dapat diajukan
setelah acara gugatan dari pihak penggugat, jawaban dari pihak tergugat, replik
dari pihak penggugat, dan duplik dari pihak tergugat.
Pembuktian menurut Bachtiar Effendie dan A. Chodari, ADP, adalah:
Penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada
hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil
tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh
kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.
Merupakan suatu asas bahwa siapa mendalilkan sesuatu dia harus
membuktikannya, maka Advokat harus tahu ada berapa macam alat-alat bukti dan
bagaimana cara harus membuktikannya. Alat-alat bukti menurut Bachtiar
Effendie, dkk., ialah bahan-bahan yang dipakai untuk pembuktian dalam suatu
perkara perdata di depan persidangan pengadilan.36 Alat-alat menurut ketentuan
undang-undang (Pasal 164 HIR/284 R.Bg/1866 KUH Perdata terdiri atas:
1. Bukti tulisan,
2. Bukti dengan saksi-saksi,
3. Persangkaan-persangkaan,
4. Pengakuan,
5. Sumpah.37
Selanjutnya juga pihak tergugat membuat kesimpulan akhir dan
mempertahankan dalil yang telah dikemukakan pada jawaban duplik upaya
berperkara ditempuh oleh para pihak. Gugatan dari penggugat–jawaban dari
tergugat–replik dari penggugat (penjelasan dari gugatan)–duplik dari tergugat

10
(penjelasan dari jawaban)–pembuktian dari penggugat–pembuktian dari tergugat,
kesimpulan terakhir dari para pihak, selanjutnya tibalah giliran dari Majelis untuk
menjatuhkan keputusannya.
Setelah keputusan diucapkan oleh Majelis Hakim, maka pihak yang kalah
dalam perkara dan ia tidak puas atas keputusan pengadilan tersebut sebaiknya
menempuh upaya hukum.

I. Putusan Hakim
Putusan hakim adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai
hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).38 Dalam Pasal 185 (1) HIR
tentang putusan akhir dan putusan bukan akhir.
Putusan akhir dalam hukum acara perdata dibedakan menjadi 3 (tiga)
macam, yaitu:
1. Putusan condemnatoir (condemnatoir vonnis),
2. Putusan declaratoir (declaratoir vonnis),
3. Putusan constitutif (constitutif vonnis).

J. Upaya Hukum
Dalam perkara perdata upaya hukum yang dipergunakan jika pengadilan
telah memutus perkara penggugat dan tergugat, ternyata pihak yang kurang puas
atas keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Verzet atau perlawanan;
2. Banding;
3. Kasasi;
4. Bantahan pihak ketiga (derden verzet);
5. Peninjauan Kembali (Request Civiel).
Tenggang waktu untuk mengajukan verzet/perlawanan adalah sebagai
berikut:
1. Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan putusan,
jika pemberitahuan itu disampaikan dan diterima sendiri oleh tergugat.
Contoh: Putusan diberitahukan tanggal 1 Januari 2009, maka masa verzet

11
yaitu tanggal 2 sampai dengan 15 Januari 2009, jadi 14 (empat belas) hari.
Pada tanggal 16 Januari putusan telah berkekuatan hukum tetap, dan verzet
tidak boleh diajukan lagi.
2. Jika putusan verstek tersebut tidak dapat secara langsung diberitahukan
kepada orang yang dikalahkan, maka tenggang waktu tersebut pada butir
3. Apabila terjadi seperti tersebut pada angka 2 di atas, dan ternyata pada
waktu dipanggil untuk ditegur tergugat tidak datang menghadap, kemudian
Ketua Pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi. Dalam hal ini maka
batas waktu verzet adalah 8 hari setelah hari tanggal eksekusi (Pasal 197
HIR).

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
hukum acara perdata atau disebut juga hukum perdata formal merupakan
peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara-cara mempertahankan
hukum perdata materiil di persidangan.
Adapun tujuan hukum acara perdata adalah untuk melindungi atau
memulihkan hak-hak seseorang. Pemulihan terhadap hak seseorang diberikan oleh
hukum acara perdata melalui peradilan perdata. Dalam peradilan perdata hakim
akan menentukan mana yang benar dan mana yang salah setelah pemeriksaan dan
pembuktian selesai.
Sedangkan fungsi hukum acara perdata adalah untuk mengatur bagaimana
cara-caranya seseorang mengajukan tuntutan haknya, bagaimana negara melalui
alat perlengkapannya (hakimnya) memeriksa dan memutuskan kasus perdata yang
diajukan kepadanya. Atau dapat juga dikatakan bahwa fungsi hukum acara
perdata adalah untuk sebagai sarana dalam menuntut dan mempertahankan hak-
hak seseorang yang telah dilanggar/hilang.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Alumni,


1982),

Ahmad Mujahidin, Pembaruan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan


Mahkamah Syariáh Di Indonesia, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2008),

Bachtiar Effendie, dkk., Surat Gugat dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991),

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1982),

Dalam M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan


Mahkamah Syariáh Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2003),

H. Abdul Manan, Op.Cit,

H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Perdilan


Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), Cetakan ke 3,

H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, (Jakarta: RajaGrafindo


Persada, 1998), hlm. 106.

H.A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005),

J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, 1995),

Muhammad, Abdulkadir.Hukum acara perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya


bakti, 2005.

Nawawi, Taktik dan Strategi Membela Perkara Perdata, (Jakarta: Fajar Agung,
1987), hlm.150.

Ny. Retnowulan Susantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata


Dalam Teori Dan Praktik, (Bandung: Alumni, 1979),

R.Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional,


1977), hlm.61. Ny. Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata,
Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, (Bandung: Alumni,
1979),

R.Subekti,R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta:


Pradnya Paramita, 1995),

14
Sarwono, HUKUM ACARA PERDATA Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,


1993),

Taufik, Moh.Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur,


1982),

15

Anda mungkin juga menyukai