LP CKD On Hipoglikemia (Islamanda)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 77

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA NY. G DENGAN DIAGNOSA MEDIS CKD ON HD


DENGAN HIPOGLIKEMIA DI RUANG HEMODIALISA
RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

DISUSUN OLEH :
Nama : Islamanda
Nim : 2019. C.11a.1012

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan Ini Disusun Oleh:


Nama : Islamanda
NIM : 2019.C.11a.1012
Program Studi : S1 Keperawatan
Judul : “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Ny. G
dengan diagnosa medis CKD on HD dengan Hipoglikemia di
Ruangan Hemodialisis Rumah Sakit dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya”.

Telah melaksanakan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk


menempuh Praktik Praklinik Keperawatan IV (PPK IV) Pada Program Studi S-1
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

Pembimbing akademik Pembimbing Lahan

Isnawiranti, S.Kep., Ners Evimira Sukanti, S.Kep,. Ners

Mengetahui,
Ketua Program Studi Ners,

Meilitha Carolina, Ners, M.Kep.

ii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Pendahuluan yang berjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan
Pada Tn. A dengan diagnosa medis CKD on HD dengan Hipoglikemia di
Ruangan Hemodialisis RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya”. Laporan
pendahuluan ini disusun guna melengkapi tugas (PPK 4).
Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners
STIKes Eka Harap Palangka Raya
3. Ibu Ika Paskaria S. Kep.,Ners selaku koordinator praktik pra klinik
keperawatan IV Program Studi Sarjana Keperawatan.
4. Ibu Isnawiranti, S.Kep., Ners selaku pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian
asuhan keperawatan ini.
5. Ibu Evimira Sukanti S.Kep,. Ners selaku pembimbing lahan yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian
asuhan keperawatan ini.
6. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan
ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Palangka Raya, 12 Oktober 2022

Islamanda

iii
DAFTAR ISI

SAMPUL ..................................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................ii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................iii
DAFTAR ISI .........................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................6
1.1 Latar Belakang .................................................................................................7
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................7
1.3 Tujuan Penulisan ..............................................................................................8
1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................................8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................10
2.1 Konsep Teori Chronic Kidney Disease (CKD) ..................................................
2.1.1 Definisi Chronic Kidney Disease (CKD) .................................................
2.1.2 Etiologi Chronic Kidney Disease (CKD) .................................................
2.1.3 Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) .............................................
2.1.4 Manifestasi Klinis Chronic Kidney Disease (CKD) ................................
2.1.5 Komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD) ...........................................
2.1.6 Pemerikasaan Penunjang Chronic Kidney Disease (CKD) ......................
2.1.7 Penatalaksanaan Medis Chronic Kidney Disease (CKD) ........................
2.2 Konsep Teori Hipoglikemia.........................................................................................
2.2.1 Definisi Hipoglikemia...............................................................................
2.2.2 Etiologi Hipoglikemia...............................................................................
2.2.3 Klasifikasi Hipoglikemia...........................................................................
2.2.4 Manifestasi Hipoglikemia.........................................................................
2.2.5 Komplikasi Hipoglikemia.........................................................................
2.2.6 Pemerikasaan Hipoglikemia......................................................................
2.2.7 Penatalaksanaan Hipoglikemia..................................................................
2.3 Konsep Teori Hemodialisis ................................................................................
2.4 Manajemen Asuhan Keperawatan ......................................................................
2.4.1 Pengkajian Keperawatan ............................................................................
2.4.2 Diagnosa Keperawatan ...............................................................................
2.4.3 Intervensi Keperawatan ..............................................................................
2.4.4 Implementasi Keperawatan ........................................................................

iv
2.4.5 Evaluasi ......................................................................................................
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN .....................................................................
BAB 4 PENUTUP ....................................................................................................
4.1 Kesimpulan ....................................................................................................
4.2 Saran ...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

v
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) saat ini merupakan
masalah kesehatan yang penting mengingat selain insidens dan pravelensinya
yang semakin meningkat, pengobatan pengganti ginjal yang harus di jalani oleh
penderita gagal ginjal merupakan pengobatan yang sangat mahal. Dialisa adalah
suatu tindakan terapi pada perawatan penderita gagal ginjal terminal. Tindakan ini
sering juga disebut sebagai terapi pengganti karena berfungsi menggantikan
sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang sering di lakukan adalah
hemodialisis dan peritonealialisa. Diantara kedua jenis tersebut, yang menjadi
pilihan utama dan metode perawatan yang umum untuk penderita gagal ginjal
adalah hemodialisis (Arliza dalam Nita Permanasari, 2018).
Estiminasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan
jumlah penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari
tahun sebelumnya. Di amerika Serikat, kejadian dan prevalensi gagal
ginjal meningkat 50% ditahun 2014. Data menunjukkan bahwa setiap
tahun 200.000 orang amerika menjalani hemodialisa karena gangguan
ginjal kronis, yang artinya 1.140 dalam satu juta orang Amerika adalah
pasien dialisis (Widyastuti dalam Elisa, 2017).
Indonesia Renal Registry (IRR) menyatakan bahwa penderita gagal ginjal
di Indonesia data yang didapatkan tahun 2007-2014 tercatat 28.882
pasien, dimana pasien sebanyak 17.193 pasien dan pasien lama sebanyak
11.689 pasien. Di Jawa Tengah terdapat 3.363 pasien, dimana 2.192
pasien baru dan 1.171 pasien aktif.
Terapi penggantian ginjal yang tersedia untuk pasien dengan stadiun akhir
adalah dialisis dan transplantasi ginjal (Kallenbach, 2015). Hemodialisis
merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dipilih oleh pasien PGK.
Meskipun demikian, tidak semua toksik dapat dikeluarkan dari tubuh. Tujuan
utama hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu mengendalikan uremia,
kelebihan cairan, dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien PGK.
Hemodialisis efektif mengeluarkan cairan elektrolit dan sisa metabolisme tubuh,

6
sehingga secara tidak langsung bertujuan untuk memperpanjang umur pasien
(Kallenbach, 2015).

Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit


ginjal karena tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik penyakit
ginjal, oleh karena itu pasien yang menderita gagal ginjal kronik harus menjalani
dialisa sepanjang hidupnya (Smeltzer & Bare, 2013). Pasien yang menjalani
hemodialisis mengalami penurunan perfusi yang diakibatkan oleh
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang ada dalam tubuhnya karena proses
hemodialisis sehingga mengakibatkan munculnya beberapa komplikasi
intradialisis (Armiyati, 2016). Komplikasi intradialisis merupakan kondisi
abnormal yang terjadi pada saat menjalani hemodialisis. Komplikasi umum
intradialisis adalah hipotensi, kram, mual dan muntah, nyeri kepala, nyeri dada,
nyeri punggung, gatal, demam dan menggigil (Holley, 2017).
Komplikasi lainnya salah satunya adalah Hipoglikemi adalah suatu
keadaan dimana kondisi seseorang mengalami penurunan pada kadar gula dalam
darah dibawah normal. Dapat dikatakan jumlah gula dalam darah mengalami
penurunan saat dilakukannya cek GDS dimana didapatkan jumlah dibawah 60
mg/dl atau dibawah 80 mg/dl dengan gejala klinis. Insiden hipoglikemi Sangat
sering pada pasien diabetic dan Pasien malnutrisi. Resiko pada pasien diabetic
meningkat jika memakai beta bloker (memperburuk toleransi glukosa,
mengganggu respon metabolic). Dan pada saat dialysis perawat harus dapat
mengetahui dan dapat memberi perawatan dengan tepat pada setiap komplikasi
intradialisis terutama hipoglikemia.
Berdasarkan masih tingginya prevalensi angka kejadian CKD on
Hd dengan Hipoglikemia, khususnya di Indonesia, dan juga melihat dari
segi sebab akibat yang dapat di timbulkan, maka saya tertarik untuk
membahas lebih lanjut tentang CKD on Hd dengan Hipoglikemia dan
asuhan keperawatan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan
masalah dalam laporan pendahuluan ini adalah: Bagaimana pemberian asuhan
keperawatan dengan CKD on Hd dengan asidosis metabolik pada Ny.G

7
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan pengalaman
langsung tentang bagaimana menerapkan Asuhan Keperawatan dengan diagnose
medis CKD on HD dengan Hipoglikemia di Ruangan Hemodialisis RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mahasiswa dapat melengkapi Asuhan Keperawatan dengan CKD on HD
dengan Hipoglikemia.
1.3.2.2 Mahasiswa dapat melakukan pengkajian pada pasien dengan CKD on
HD
1.3.2.3 Mahasiswa dapat menganalisa kasus dan merumuskan masalah
keperawatan pada pasien dengan CKD on HD dengan Hipoglikemia.
1.3.2.4 Mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan yang mencakup
intervensi pada pasien dengan CKD on HD dengan Hipoglikemia.
1.3.2.5 Mahasiswa dapat melakukan implementasi atau pelaksanaan tindakan
keperawatan pada pasien dengan CKD on HD dengan Hipoglikemia.
1.3.2.6 Mahasiswa dapat mengevaluasi hasil dari asuhan keperawatan yang
diberikan kepada pasien dengan CKD on HD dengan Hipoglikemia.
1.3.2.7 Mahasiswa dapat mendokumentasikan hasil dari asuhan keperawatan
yang telah dilaksanakan pada pasien dengan CKD on HD dengan
Hipoglikemia.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dengan menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan
ilmu pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan di
Program Studi S1 Keperawatan Stikes Eka Harap Palangka Raya.
1.4.2 Bagi Klien dan Keluarga
Klien dan keluarga mengerti cara perawatan pada penyakit dengan CKD
on HD secara benar dan bisa melakukan keperawatan di rumah dengan
mandiri.

8
1.4.3 Bagi Institusi
3.4.3.1 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan tentang CKD on HD dengan Hipoglikemia dan
Asuhan Keperawatannya.
3.4.3.1 Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan dan
Meningkatkan mutu pelayanan perawatan di Rumah Sakit kepada pasien
dengan CKD on HD dengan Hipoglikemia melalui Asuhan Keperawatan
yang dilaksanakan secara komprehensif.
1.4.3 Bagi IPTEK
Sebagai sumber ilmu pengetahuan teknologi, apa saja alat-alat yang dapat
membantu serta menunjang pelayanan perawatan CKD on HD
Hipoglikemia yang berguna bagi status kesembuhan klien.

9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori


2.1.1 Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)

Gambar 2.1 Chronic Kidney Disease


Penyakit ginjal kronik stadium awal sering tidak terdiagnosis, sementara
PGK stadium akhir yang disebut juga gagal ginjal memerlukan biaya perawatan
dan penanganan yang sangat tinggi untuk hemodialisis atau transplantasi ginjal.
Penyakit ini baik pada stadium awal maupun akhir memerlukan perhatian.
Penyakit ginjal kronik juga merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler.
Kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada PGK lebih tinggi daripada kejadian
berlanjutnya PGK stadium awal menjadi stadium akhir (Delima, 2014).
Gagal Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) saat ini
merupakan masalah kesehatan yang penting mengingat selain insidens dan
pravelensinya yang semakin meningkat, pengobatan pengganti ginjal yang harus
di jalani oleh penderita gagal ginjal merupakan pengobatan yang sangat mahal.
Dialisa adalah suatu tindakan terapi pada perawatan penderita gagal ginjal
terminal. Tindakan ini sering juga di sebut sebagai terapi pengganti karena
berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang sering di
lakukan adalah hemodialisis dan peritonealialisa. Diantara kedua jenis tersebut,
yang menjadi pilihan utama dan metode perawatan yang umum untuk penderita
gagal ginjal adalah hemodialisis (Arliza dalam Nita Permanasari, 2018).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan

10
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel
dan progresif dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan
uremia (Black & Hawk dalam Dwy Retno Sulystianingsih, 2018).
Dari beberapa definisi di atas maka penulis menyimpulkan definisi CKD on
Hd dengan Hipotensi adalah Penyakit ginjal yang telah berlangsung lama
sehingga menyebabkan gagal ginjal. Ginjal menyaring kotoran dan kelebihan
cairan dari darah. Apabila ginjal tidak berfungsi, kotoran menumpuk.
2.1.2 Anatomi Fisiologi
2.1.2.1 Anatomi Ginjal
Lokasi ginjal berada dibagian belakang dari kavum abdominalis, area
retroperianeal bagian atas pada kedua sisi vertebra lumbalis III, dan melekat
langsung pada dinding abdomen. Bentuknya seperti biji buah kacang merah,
jumlahnya ada 2 buah yang terletak pada bagian kiri dan kanan, ginjal kiri lebih
besar dari ginjal kanan. Pada orang dewasa berat ginjal ±200 gram. Pada umunya
ginjal laki-laki lebih panjang daripada ginjal wanita.

(Gambar Struktur Ginjal)


1) Struktur Makroskopis Ginjal
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian kulit
(korteks), sumsum ginjal (medula), dan bagian rongga ginjal (pelvis

11
renalis).
2) Kulit Ginjal (Korteks)
Pada kulit ginjal terdapat bagian yang bertugas melaksanakan penyaringan
darah yang disebut nefron. Pada tempat penyaringan darah ini banyak
mengandung kapiler darah yang tersusun bergumpal-gumpal disebut
glomerolus. Tiap glomerolus dikelilingi oleh simpai bowman, dan
gabungan antara glomerolus dengan simpai bowman disebut badan
malpighi. Penyaringan darah terjadi pada bagian malpighi, yaitu diantara
glomerolus dan simpai bowman. Zat-zat yang terlarut dalam darah akan
masuk kedalam simpai bowman. Dari sini maka zat-zat tersebut akan
menuju ke pembuluh yang merupakan lanjutan dari simpai bowman yang
terdapat di dalam sumsum ginjal.
3) Sumsum Ginjal (Medula)
Sumsum ginjal terdiri beberapa badan berbentuk kerucut yang disebut
piramid renal. Dengan dasarnya menghadap korteks dan puncaknya
disebut apeks atau papila renis mengarah ke bagian dalam ginjal. satu
piramid dengan jaringan korteks di dalamnya disebut lobus ginjal. Piramid
antara 8 hingga 18 buah tampak bergaris-garis karena terdiri atas berkas
saluran paralel (tubuli dan duktus kolingentes). Diantara piramid terdapat
jaringan korteks yang disebut kolumna renal. Pada bagian ini berkumpul
ribuan pembuluh halus yang merupakan lanjutan dari simpai bowman. Di
dalam pembuluh halus ini terngkut urine yang merupakan hasil
penyaringan darah dalam badan malpighi setelah mengalami berbagai
proses.
4) Rongga Ginjal (Pelvis Renalis)
Pelvis renalis adalah ujung ureter yang berpangkal di ginjal, berbentuk
corong lebar. Sebelum berbatasan dengan jaringan ginjal, pelvis renalis
bercabang dua atau tiga disebut kaliks mayor, yang masing-masing
bercabang membentuk beberapa kaliks minor yang langsung menutupi
papila renis dari piramid. Kaliks minor ini menampung urine yang terus
keluar dari papila. Dari kaliks minor, urine masuk ke kaliks mayor, ke
pelvis renis, ke ureter, hingga ditampung dalam kandung kemih (vesika

12
urinaria). (Nuari dan Widayati, 2017)
5) Struktur Mikroskopis Ginjal
Satuan struktur dan fungsional ginjal yang terkecil disebut nefron. Tiap-
tiap nefron terdiri atas komponen vaskuler dan tubuler. Komponen
vaskuler terdiri atas pembuluh-pembuluh darah yaitu glomerulus dan
kapiler peritubuler yang mengitari tubuli. Dalam komponen tubuler
terdapat kapsula bowman, serta tubulus-tubulus, yaitu tubulus kontortus
proksimal, tubulus kontortus distal, tubulus kontortus pengumpul dan
lengkung henle. Henle yang terdapat pada medula. Kapsula Bowman
terdiri atas lapisan parietal (luar) berbentuk gepeng dan lapis viseral
(langsung membungkus kapiler glomerulus) yang bentuknya besar dengan
banyak juluran mirip jari disebut podosit (sel berkaki) atau pedikel yang
memeluk kapiler secara teratur sehingga celah-celah antara pedikel itu
sangat teratur. Kapsula bowman bersama glomerulus disebut korpuskel
renal, bagian tubulus yang keluar dari korpuskel renal disebut dengan
tubulus kontortus proksimal karena jalannya berkelok-kelok, kemudian
menjadi saluran yang lurus yang semula tebal kemudian menjadi tipis
disebut ansa henle atau loop of henle, karena mebuat lengkungan tajam
berbalik kembali ke korpuskel renal asal, kemudian berlanjut sebagai
tubulus kontortus distal. (Nuari dan Widayati, 2017).
6) Vaskularisasi Ginjal
Ginjal mendapat darah dari aorta abdominalis yang mempunyai
percabangan arteria renalis, yang berpasangan kiri dan kanan dan
bercabang menjadi arteria interlobaris kemudian menjadi arteri akuata,
arteria interlobularis yang berada di tepi ginjal bercabang menjadi kapiler
membentuk gumpalan yang disebut dengan glomerulus dan dikelilingi
oleh alat yang disebut dengan simpai bowman, didalamnya terjadi
penyadangan pertama dan kapiler darah yang meninggalkan simpai
bowman kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena kava inferior.
(Nuari dan Widayati, 2017)
2.1.2.2 Fisiologi Ginjal
Ginjal memainkan peran penting dalam mengatur volume dan komposisi

13
cairan tubuh, mengeluarkan racun, dan menghasilkan hormon seperti renin,
eritroprotein, dan bagian aktif vitamin D. Sebelum menjadi urin, didalam ginjal
akan terjadi tiga macam proses, yaitu:
1) Penyaringan (filtrasi)
Proses pembentukan urin diawali dengan penyaringan darah yang terjadi
di kapiler glomerolus. Sel-sel kapiler glomerolus yang berpori (podosit),
tekanan dan permeabilitas yang tinggi pada glomerolus mempermudah
proses penyaringan. Selain penyaringan, di glomerolus juga terjadi
penyerapan kembali sel-sel darah, keping darah, dan sebagian besar
protein plasma. Bahan-bahan kecil yang terlarut di dalam plasma darah,
seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat dan urea
dapat melewati filter dan menjadi bagian dari endapan. Hasil penyaringan
di glomerolus disebut filtrat glomerolus atau urin primer, mengandung
asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam-garam lainnya.
2) Penyerapan Kembali (reabsorbsi)
Bahan-bahan yang masih diperlukan di dalam urin primer akan diserap
kembali di tubulus kontortus proksimal, sedangkan di tubulus distal terjadi
penambahan zat-zat sisa dan urea. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui
dua cara. Gula dan asam amino meresap melalui peristiwa difusi,
sedangkan air melalui peristiwa osmosis. Penyerapan air terjadi di tubulus
proksimal dan tubulus distal. Subtansi yang masih diperlukan seperti
glukosa dan asam amino dikembalikan ke dalam darah. Zat amonia,
obatobatan seperti penisilin, kelebihan garam dan bahan lain pada filtrat
dikeluarkan bersama urin. Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan
menghasilkan urin sekunder, zat-zat yang masih diperlukan tidak
ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang
bersifat racun bertambah, misalnya urea.
3) Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai
terjadi di tubulus kontortus distal. Dari tubulus-tubulus ginjal, urin akan
menuju ke rongga ginjal, selanjutnya menuju kantong kemih melalui
saluran ginjal. jika kantong kemih telah terisi urin, dinding kantong kemih

14
akan tertekan sehingga timbul rasa ingin berkemih. Urin akan keluar
melalui uretra. Komposisi urin yang dikeluarkan melalui uretara adalah
air, garam, urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang
berfungsi memberi warna dan bau pada urin. (Nuari dan Widayati, 2017).
2.1.3 Etiologi CKD
Chronic Kidney Deases (CKD) seringkali menjadi penyakit komplikasi
dari penyakit lainnya sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary illness).
Penyebab yang sering adalah diabetes mellitus dan hipertensi. Selain itu ada
beberapa penyebab lainnya, yaitu:
1) Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2) Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3) Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
4) Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik
(SLE), poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5) Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
6) Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7) Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
8) Nefropati obstruktif
1. Saluran Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis,
netroperitoneal.
2. Saluran Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra,
anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra
Menurut IRR (Indonesian Renal Registry) pada tahun 2017 ini proporsi
etiologi CKD, urutan pertama ditempati oleh hipertensi sebanyak 36% dan
nefropati diabetic atau diabetic kidney deases menempati urutan kedua.
Penyebab Jumlah
Hipertensi 10482
DM 4394
Peny. Kardiovaskuler 1424
Peny. Serebrovaskuler 365
Peny. Saluran Pencernaan 374
Peny. Sakuran kencing lain 617

15
Tuberkulosis 184
Hepatitis B 366
Hepatitis C 679
Keganasan 123
Lain-lain 1240

2.1.4 Klasifikasi CKD


Pada penderita chronic kindey disease, klasifikasi stadium ditentukan dua
hal, yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas asar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault (Suwitra, 2017). Stadium yang
lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah
(K/DOQI, 2019).
LFG ((ml/mnt/ 1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan tingkat LFG, yaitu :
1. Stadium I : Kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminuria persisten
dan LFG nya yang masih normal yaitu > 90 ml/menit/1,72 m3
2. Stadium II : Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG antara
60-89 ml/menit/1,73 m3 c.
3. Stadium III : Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 ml/menit/1,73 m3
4. Stadium IV : Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 ml/menit/1,73 m3
5. Stadium V : Kelainan ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m3
Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure
(CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk
membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5
grade, dengan harapan klien datang/ merasa masih dalam stage – stage awal yaitu
1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage) menggunakan
terminology CCT (clearance creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5.
sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3 stage.
Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang
dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.
a. Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :

16
1. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
a. Kreatinin serum dan kadar BUN normal
b. Asimptomatik
c. Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
2. Stadium II : Insufisiensi ginjal
a. Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet)
b. Kadar kreatinin serum meningkat
c. Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan) Ada 3 derajat
insufisiensi ginjal :
1. Ringan : 40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2. Sedang : 15% - 40% fungsi ginjal normal
3. Kondisi berat :2 % - 20% fungsi ginjal normal
3. Stadium III : gagal ginjal stadium akhir atau uremia
a. Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
b. Ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan elektrolit
c. Air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010.
b. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan
pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju
Filtrasi Glomerolus) :
1. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten
dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2) 2)
2. Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara
60 -89 mL/menit/1,73 m2)
3. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2)
4. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15- 29mL/menit/1,73m2)
5. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal.
2.1.5 Patofisiologi CKD
2.1.5.1 Penurunan GFR
Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk
pemeriksaan klirens kreatini. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens
kreatinin akan menurun, kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea

17
darah (BUN) juga akan meningkat.
2.1.5.2 Gangguan klirens renal
Banyak masalah muncul pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glumeruli yang berfungsi, menyebabkan penurunan klirens (subtansi darah
yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal).
2.1.5.3 Retensi cairan dan natrium
Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsetrasi atau mengencerkan
urin secara normal. Terjadi penahan cairan dan natrium, sehingga
meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan
hipertensi.
2.1.5.4 Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritroprotein yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defiensi nutrisi, dan
kecenderungan untuk terjadi pendarahan akibat status uremik pasien,
terutama dari saluran GI.
2.1.5.5 Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan yang saling
timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain akan turun. Dengan
menurunnya GFR maka tejadi peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar kalsium. Penurunan kadar kalsium ini akan
memicu sekresi paratormon, namun dalam kondisi gagal ginjal, tubuh
tidak berespon terhadap peningkatan sekresi parathormon, akibatnya
kalsium di dalam tulang menurun menyebabkan perubahan pada tulang
dan penyakit tulang.
2.1.5.6 Penyakit tulang uremik (osteodiostrofi)
Terjadi perubahan kompleks kalsium fosfat dan keseimbangan
parathormon.

18
WOC CKD Etiologi : Pemeriksaan penunjang:
Penyakit ginjal kronik bisa disebabkan oleh penyakit ginjal hipertensi, nefropati 1. Pemeriksaan Laboratorium
diabetika, glomerulopati primer, nefropati obstruktif, pielonefritis kronik, nefropati 2. Biopsi ginjal
asam urat, ginjal polikistik dan nefropati lupus / SLE, tidak diketahui dan lain - lain.
3. Radiologi
Faktor terbanyak penyebab penyakit ginjal kronik adalah penyakit ginjal hipertensi
dengan presentase 37% (PENEFRI, 2014). 4. USG
5. EKG

Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit Manifestasi klinis:


ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan Tanda gejala yang sering terjadi pada gagal ginjal
ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau Jaringan ginjal kurang O2 dan nutrisi Kemungkinan akan mengalami Edema atau pembengkakan
tanpa penurunan glomerulus filtration rate
pada mata kaki, tungkai, atau tangan akibat penumpukan
(GFR) (Nahas & Levin,2010).
cairan, nyeri dada, terutama jika ada penumpukan cairan
pada jaringan jantung. sesak napas, jika ada penumpukan
Chronic Kidney Disease (CKD) cairan diparu-paru.

B1 B2 B3 B4 B5 B6

Ginjal tidak dapat Kerusakan sistem Peningkatan Penumpukan Penurunan


Penimbunan Penurunan
membuang kalium saraf aktivitas system zat-zat toksin perfusi jaringan
sampah metabolit kemampuan ginjal
melalui urine RAA
mengekskresi H+
Penurunan produksi urine Gangguan Tirah baring
Ureum menumpuk di Retensi air
PePh, HCO3, BE Hiperkalemia metabolism protein lama
rongga paru & pleura dan Na dan Foetoruremik
Iritasi saluran kencing
Asidosis respiratorik Gangguan Kelemahan
Gangguan prosesdifusi Penurunan Anoreksia,
konduksi jantung
Respon hipotalamus, produksi urine nausea, vomitus
pelapasan mediator Intoleransi
Sesak nafas, nyeri dada Pernafasan kusmaul kimiawi (sitokinin,
Aritmia Aktivitas
bradikinin.) Oliguri, anuri, edema Kurangnya
asupan makanan
Gangguan Kesulitan bernafas
Penurunan Resiko
Pertukaran Gas Curah Jantung Nyeri Akut
Ketikseimbangan Defisit Nutrisi
Pola Napas Tidak Elektrolit
Efektif
19
2.1.6 Manifestasi Klinis CKD
2.1.6.1 Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
1. Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa sal.cerna,
gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum
meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah retikulosit normal.
2. Defisiensi hormone eritropoetin Ginjal sumber ESF (Eritropoetic
Stimulating Factor) → def. H eritropoetin → Depresi sumsum tulang →
sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap proses
hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.
2.1.6.2 Kelainan Saluran cerna
1. Mual, muntah, hicthcup dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia
(NH3) → iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.
2. Stomatitis uremia Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan
saliva banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
3. Pankreatitis Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.
2.1.6.3 Kelainan mata
2.1.6.4 Kardiovaskuler :
1. Hipertensi
2. Pitting edema
3. Edema periorbital
4. Pembesaran vena leher
5. Friction Rub Pericardial
2.1.6.5 Kelainan kulit
1. Gatal Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena :
a. Toksik uremia yang kurang terdialisis
b. Peningkatan kadar kalium phosphor
c. Alergi bahan-bahan dalam proses HD
2. Kering bersisik Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan
kristal urea di bawah kulit.
3. Kulit mudah memar
4. Kulit kering dan bersisik

20
5. Rambut tipis dan kasar
2.1.6.6 Neuropsikiatri
2.1.6.7 Kelainan selaput serosa
2.1.6.8 Neurologi :
1. Kelemahan dan keletihan
2. Konfusi
3. Disorientasi
4. Kejang
5. Kelemahan pada tungkai
6. Rasa panas pada telapak kaki
7. Perubahan Perilaku
2.1.6.9 Kardiomegali. Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian
perubahan fungsi ginjal yang serupa yang disebabkan oleh desstruksi
nefron progresif. Rangkaian perubahan tersebut biasanya menimbulkan
efek berikut pada pasien : bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal
dan terus mendekati nol, maka pasien menderita apa yang disebut Sindrom
Uremik
2.1.7 Komplikasi CKD
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronis
adalah (Prabowo, 2014) :
2.1.7.1 Penyakit Tulang.
Penurunan kadar kalsium secara langsung akan mengakibatkan
dekalsifikasimatriks tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh dan jika
berlangsung lama akan menyebabkan fraktur pathologis.
2.1.7.2 Penyakit Kardiovaskuler.
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara sistemik
berupa hipertensi, kelainan lifid, intoleransi glukosa, dan kelainan
hemodinamik (sering terjadi hipertrofi ventrikel kiri).
2.1.7.3 Anemia.
Selain berfungsi dalam sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam rangkaian
hormonal (endokrin). Sekresi eritropoeitin yang mengalami defiensi di
ginjal akan mengakibatkan penurunan hemoglobin.

21
2.1.7.4 Disfungsi seksual.
Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami
penurunan dan terjadi impoten pada pria. Pada wanita dapat terjadi
hiperprolaktinemia.
2.1.6.1 Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme
dan masukan diet berlebih.
2.1.6.2 Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
2.1.6.3 Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiotensin aldosteron
2.1.6.4 Asidosis metabolic
2.1.6.5 Osteodistropi ginjal
2.1.6.6 Sepsis
2.1.6.7 Neuropati perifer
2.1.6.8 Hiperuremia
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang CKD
2.1.8.1 Urin
1) Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tidak ada (anuria)
2) Warna: secara abnnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porifin.
3) Berat jenis: kurang dari 1.105 (menetap pada 1.010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
4) Osmolalitas: kurang dari 350mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,
dan rasio urine/serum sering 1:1.
5) Klirens kreatinin: mungkin agak menurun.
6) Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorpsi natrium.
7) Protein: derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
2.1.8.2 Darah
1) BUN/kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir.

22
2) Ht: menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7 – 8 gr/dl.
3) SDM menurun, defisiensi eritropoitin dan GDA: asidosis metabolik, pH
kurang dari 7, 2.
4) Natrium serum: rendah, kalium meningkat, magnesium meningkat,
Kalsium menurun dan Protein (albumin) menurun.
2.1.8.3 Osmolaritas serum lebih dari 285 mOsm/kg.
2.1.8.4 Pelogram retrogad: abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
2.1.8.5 Ultrasono ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2.1.8.6 Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menetukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan peningkatan tumor selektif.
2.1.8.7 Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler, masa.
2.1.8.8 EKG: ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa (Haryono, 2013)
2.1.9 Penatalaksanaan CKD
2.1.9.1 Konservatif
1) Dilakukan pemeriksaan lab darah dan urin
2) Observasi balance cairan
3) Observasi adanya edema
4) Batasi cairan yang masuk
2.1.9.2 Dialisis
1) Peritoneal dialysis Biasanya dilakukan pada kasus-kasus emergensi.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat
akut adalah CPAD (Continues Ambulatiry Peritonial Dialysis).
2) Hemodialisis Yaitu dialysis yang dilakukan melalui tindakan invasif vena
dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodilis dilakukan melalui
daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan : AV 23 23
fistule (menggabungkan vena dan arteri) dan double lumen (langsung pada
daerah jantung atau vaskularisasi ke jantung).
2.1.9.3 Operasi
1) Pengambilan batu
2) Transplantasi ginjal (Muttaqin, 2011)

23
2.2 Konsep Teori Hipoglikemia
2.2.1 Definisi Hipoglikemia
Hipoglikemi adalah suatu keadaan dimana kondisi seseorang mengalami
penurunan pada kadar gula dalam darah dibawah normal. Dapat dikatakan
jumlah gula dalam darah mengalami penurunan saat dilakukannya cek GDS
dimana didapatkan jumlah dibawah 60 mg/dl atau dibawah 80 mg/dl dengan
gejala klinis. Saat tubuh mengalami penurunan gula darah, tubuh akan merespon
yang dimana ditandai dengan gejala klinis diantaranya klien akan merasakan
pusing, tubuh lemas dan gemetaran, pandangan menjadi kabur dan gelap,
berkeringat dingin, detak jantung meningkat dan terkadang klien bisa sampai
hilang kesadaran. Keadaan seperti ini akan dapat terjadi apabila dalam pemberian
obat dan insulin diberikan dalam jumlah yang tidak tepat atau tidak sesuai
dengan kebutuhan tubuh, mengkonsumsi makanan yang terlalu sedikit ataupun
karena sering melalukan aktivitas yang berat. Pada keadaan hipoglikemi berat
dimana jumlah kadar gula dalam darah berada dibawah 10 mg/dl, akibat yang
akan dialami oleh tubuh dapat mengalami kejang hingga dapat terjadinya koma.
(Bauduceau B et.al, 2010)
2.2.2 Etiologi Hipoglikemia
Penyebab terjadinya Hipoglikemi menurut (Kedia, 2011) :
1. Dosis pemberian insulin yang kurang tepat Pengobatan diabetes di
pergunakan untuk mengatur kadar gula darah tetap baik sehingga
membuat pasien akan merasa nyaman dan menghindari terjadinya
Hipoglikemi, di perlukan kerja sama yang baik antara pasien dan dokter
dalam menurunkan resiko terjadinya komplikasi diabetes. Kombinasi
yang di lakukan dalam pemberian penyediaan insulin sangatlah penting
untuk kita dapat lebih memperhatikan ketepatan dalam pemberian
insulin sesuai dengan kebutuhan yang sesuai dengan kondisi gula darah
yang di alami.
2. Kurangnya asupan karbohidrat karena menunda atau melewatkan makan
Menunda sarapan bagi penderita diabetes dalam jangka waktu yang lama
di pagi hari dapat menyebabkan terjadinya Hipoglikemi atau kadar
glukosa darah menjadi terlalu rendah. Lupa atau membiarkan diri terlalu
sibuk hingga melewatkan waktu makan bisa berbahaya bagi penderita

24
diabetes. Lupa makan akan menyebabkan kadar glukosa dalam darah
menjadi terlalu rendah, jika di biarkan tanpa penanganan lebih lanjut
pada keadaan Hipoglikemi maka kondisi ini akan menjadi parah,
menyebabkan rasa linglung dan pingsan. Hipoglikemi yang semakin
parah dapat menimbulkan terjadinya kejang, koma, hingga kematian.
Kadar insulin yang di dapatkan untuk gula dalam darah haruslah
seimbang dengan makanan yang akan di konsumsi, namun jika makanan
yang di konsumsi kurang dan tidak bisa menyeimbangi dosis insulin
yang di dapatkan maka akan terjadi keadaan dimana ke seimbangan di
dalam tubuh akan terganggu dan mengakibatkan kadar gula semakin
rendah.
3. Konsumsi alkohol Pada kondisi tubuh yang normal, lever merupakan
bagian organ yang menyimpan dan mensekresi glukosa ke dalam sel-sel
tubuh sebagai penopang saat seseorang sedang tidak makan. Lever juga
berfungsi dalam membersihkan tubuh dari racun (detoksifikasi). Lever
tidak bisa mensekresi glukosa dan membersihkan racun secara
bersamaan. Jadi ketika keadaan lever melakukan detoksifikasi, organ
tersebut akan berhenti mensekresi glukosa. Organ lain seperti pankreas
di dalam tubuh kita juga dapat memproduksi hormon insulin, hormon
yang dimana dapat mengendalikan kadar gula darah dan mengubahnya
menjadi sumber energi bagi tubuh. Jika fungsi kegunaan pada pankreas
terganggu, maka produksi insulin bisa tidak maksimal dan membuat
kadar gula darah menjadi kacau.
4. Peningkatan pemanfaatan karbohidrat karena latihan atau penurunan
berat badan Aktivitas fisik dan olahraga sangat penting dalam
mengontrol diabetes. Namun, jika olahraga yang di lakukan terlalu
berlebihan, olahraga juga dapat menurunkan kadar gula darah hingga di
bawah batas normal. Olahraga sedang hingga berat bisa menyebabkan
kadar gula darah turun selama 24 jam setelah olahraga. Tubuh
menggunakan dua bahan bakar, yaitu gula dan lemak dalam memperoleh
energi, gula yang di gunakan berasal dari darah, hati dan otot. Gula
tersimpan di dalam hati dan otot dalam bentuk glikogen. Olahraga bisa

25
menurunkan kadar gula darah dan glikogen yang tersimpan, tubuh
memang dapat mengisi kembali penyimpanan glikogen tersebut. Namun,
prosesnya membutuhkan waktu yang tidak singkat 4 - 6 jam, bahkan 12 -
24 jam jika aktivitas yang di lakukan terlalu berat. Selama pengisian atau
pengembalian penyimpanan glikogen tersebut klien diabetes memiliki
risiko tinggi mengalami penurunan kadar gula dalam darah.
2.2.3 Klasifikasi hipoglikemia
Hipoglikemia akut diklasifikasikan menjadi ringan, sedang dan berat
menurut gejala klinis yang dialami oleh pasien (Soeatmadji DW, 2008).

Tabel 1.4 Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut


Ringan Simtomatik, dapat diatasi sendiri,
tidak ada gangguan aktivitas sehari-
hari yang nyata
Sedang Simtomatik, dapat diatasi sendiri,
menimbulkan gangguan aktivitas
seharihari yang nyata
Berat Sering tidak simtomatik, pasien tidak
dapat mengatasi sendiri karena adanya
gangguan kognitif 1. Membutuhkan
pihak ketiga tetapi tidak membutuhkan
terapi parenteral 2. Membutuhkan
terapi parenteral (glukagon
intramuskuler atau intravena) 3.
Disertai kejang atau koma
Sumber : Soeatmadji DW, 2008
2.2.4 Manifestasi Klinis Hipoglikemia
Gejala dan tanda dari hipoglikemia merupakan akibat dari aktivasisistem
saraf otonom dan neuroglikopenia. Pada pasien dengan usia lanjut dan pasien
yang mengalami hipoglikemia berulang, respon sistem saraf otonom dapat
berkurang, sehingga pasien yang mengalami hipoglikemia tidak menyadari kalau
kadar gula darahnya rendah (hypoglycemia unawareness). Kejadian ini dapat

26
memperberat akibat dari hipoglikemia karena penderita terlambat untuk
mengkonsumsi glukosa untuk meningkatkan kadar gula darahnya(Kushner P,
2011).

Tabel 1.6 Gejala dan Tanda yang Muncul pada Keadaan Hipoglikemia
Kadar Gula Darah Gejala Neurogenik Gejala Neuroglikopenik
79,2 mg/dL Gemetar, goyah, gelisah Irritabilitas, kebingungan
70,2 mg/dL Gugup, berdebar-debar Sulit berpikir, sulit
berbicara
59,4 mg/dL Berkeringat Ataxia, paresthesia
50,4 mg/dL Mulut kering, rasa Sakit kepala, stupor
keleparan
39,6 mg/dL Pucat, midriasis Kejang, koma, kematian

2.2.5 Komplikasi Hipoglikemia


Menurut teori (Jevon,2010) Hipoglikemia merupakan gangguan tingkat
kesadaran yang dapat berubah kapan saja yang dimana dapat menyebabkan
gangguan pernafasan, selain itu Hipoglikemia juga dapat mengakibatkan
kerusakan otak akut. Hipoglikemia yang berkepanjangan parah bahkan dapat
menyebabkan gangguan neuropsikologis, sampai dengan terjadinya gangguan
neuropsikologis berat karena efek Hipoglikemi berkaitan dengan system saraf
pusat yang biasanya di tandai oleh perilaku dan pola bicara yang abnormal dan
menurut Hipoglikemi yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak
yang permanen, Hipoglikemi juga dapat menyebabkan koma sampai kematian.
2.2.6 Pemerikasaan Penunjang Hipoglikemia
a. Gula darah puasa (GDO) 70-110 mg/dl kriteria diagnostik untuk DM >
140 mg/dl paling sedikit dalam 2 kali pemeriksaan, atau > 140 mg/dl di
sertai gejala klasik Hiperglikemia atau IGT 115-140 mg/dl.
b. Gula darah 2 jam post prondial <140 mg/dl digunakan untuk skrining
atau evaluasi pengobatan bukan diagnostik
c. Gula darah sewaktu < 140 mg/dl di gunakan untuk skrining bukan
diagnostik.

27
d. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). GD < 115 mg/dl ½ jam, 1 jam, 1 ½
jam < 200 mg/dl, 2 jam < 140 mg/dl
e. Tes toleransi glukosa intravena (TTGI) di lakukan jika TTGO merupakan
kontraindikasi atau terdapat kelainan gastrointestinal yang mempengaruhi
absorbsi glukosa.
f. Tes toleransi kortison glukosa, di gunakan jika TTGO tidak bermakna.
Kortison menyebabkan peningkatan kadar glukosa abnormal dan
menurunkan penggunaan gula darah perifer pada orang yang
berpredisposisi menjadi DM kadar glukosa darah 140 mg/dl pada akhir 2
jam di anggap sebagai hasil positif
g. Glycosetat hemoglobin, memantau glukosa darah selama lebih dari 3
bulan.
h. C-Pepticle 1-2 mg/dl (puasa) 5-6 kali meningkat setelah pemberian
glukosa.
2.2.7 Penatalaksanaan Hipoglikemia
Menurut (Kedia, 2011) pengobatan yang dapat di berikan pada pasien
dengan penyakit Hipoglikemi tergantung pada keparahan dari Hipoglikemi.
Hipoglikemi ringan mudah di obati dengan asupan karbohidrat seperti minuman
yang mengandung glukosa, tablet glukosa, atau dengan mengkonsumsi makanan
ringan. Sedangkan pada Hipoglikemi berat di butuhkannya bantuan eksternal,
antara lain :
1. Dekstrosa Pada keadaan pasien yang tidak mampu menelan glukosa karena
pingsan, kejang, atau adanya perubahan status mental, pada keadaan darurat dapat
di berikannya dekstrosa dalam air dengan konsentrasi 50% dimana dosis biasanya
yang di berikan kepada orang dewasa, sedangkan pemberian konsentrasi 25%
yang biasanya akan di berikan kepada anak-anak.
2. Glukogen Tidak seperti dekstrosa, yang dalam pemberiannya harus di berikan
melalui intravena, glukogen dapat di berikan pada klien dengan melalui subkutan
(SC) atau intramuskular (IM) yang dimana akan di lakukan oleh perawat yang
memang sudah pengalaman dalam memberikan glokugen. Dalam hal ini tentunya
akan dapat mencegah terjadinya ke terlambatan dalam memulai pengobatan yang
dapat di lakukan secara darurat.

28
Menurut (Soelistijo 2015) penatalaksanaan hipoglikemia dibedakan
menurut klasifikasinya yaitu :
1. Terapi Hipoglikemia Ringan Pada hipoglikemia ringan dapat dilakukan :
- Pemberian gula 2-3 sendok makan yang dilarutkan dalam air (setara
dengan 15- 20g glukosa)
- Setelah 15 menit lakukan tes glukosa, bila gula darah sudah naik atau
gejala hipoglikemia sudah hilang maka dapat dilanjutkan dengan makan
makanan berat untuk mencegah terjadinya hipoglikemia berulang.
- Apabila gejala masih ada atau glukosa darah tidak naik maka dianjurkan
untuk segera mendatangi fasilitas Kesehatan tedekat.
2. Terapi Hipoglikemia Berat Hipoglikemia berat yang ditandai dengan
munculnya gejala neuroglikopeni memerlukan terapi sebagai berikut :
- Diawali dengan pemberian Dextrose 40% 25ml yang dilanjutkan dengan
pemberian infua D5% atau D10% (Rumus 3-2-1-1)
- Setelah 1-2 jam lakukan pemeriksaan kadargula darah, bila masih terjadi
hipoglikemia dapat diulang untuk pemberian Dextrose 40% lagi.

2.3 Konsep Hemodialisa

2.3.1 Definisi Hemodialisa

Hemodialisa berasal dari kata hemo yang berarti darah, dan dialysis yang
berarti pemisahan atau filtrasi. Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh
akumulasi sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap
akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu
singkat.

29
Hemodialisa adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser
yang terjadi secara difusi dan ultrafikasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam
tubuh pasien.
Hemodialisis adalah tindakan mengeluarkan air yang berlebih ; zat sisa
nitrogen yang terdiri atas ureum, kreatinin, serta asam urat ; dan elektrolit seperti
kalium, fosfor, dan lain-lain yang berlebihan pada klien gagal ginjal kronik,
khususnya pada gagal ginjal terminal (GGT).
2.3.2 Tujuan

1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam


urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara
darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus
darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses
ultrafiltrasi).
3. Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
Ada 2 metode dialisa, yaitu hemodialisa dan dialisa peritoneal.
1. Pada hemodialisa, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan dipompa ke
dalam mesin yang akan menyaring zat-zat racun keluar dari darah dan
kemudian darah yang sudah bersih dikembalikan lagi ke dalam tubuh
penderita. Jumlah total cairan yang dikembalikan dapat disesuaikan.
2. Pada dialisa peritoneal, cairan yang mengandung campuran gula dan
garam khusus dimasukkan ke dalam rongga perut dan akan menyerap zat-
zat racun dari jaringan. Cairan tersebut kemudian dikeluarkan lagi dan
dibuang.
2.3.3 Indikasi Hemodialisa

Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih. Pasien-pasien tersebut dinyatakan
memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi:
1. Hiperkalemia ( K > 6 mEq/l)
2. Asidosis
3. Kegagalan terapi konservatif

30
4. Kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah
5. Kelebihan cairan
6. Perikarditis dan konfusi berat
7. Hiperkalsemia dan hipertensi
2.3.4 Proses Hemodialisa
Darah dari arteri pasien Arterial Blood Line→(Merah)Dializer terjadi
→proses pencucian (Difusi dan Ultrafiltrasi )→Venous Blood Line (Biru)
→kembali ke vena pasien
a. Difusi: Perpindahan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah melewati
membrane semipermeable
b. Ultrafiltrasi: Perpindahan cairan dari tekanan tinggi ke tekanan rendah
melewati membrane semi permiable
2.3.5 Prinsip Hemodialisis

1. Akses Vaskuler
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien.Kronik
biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf
sementara.Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.
2. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan
kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
3. Difusi
Dalam dialisat yang konvensional, prinsip mayor yang menyebabkan
pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi.Berpindah dari area yang
konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah.Gradien konsentrasi
tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat
pelarut yang diinginkan.Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.
4. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan
akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan
tersebut.
5. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai

31
ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk
tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada membrane :
a. Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat
cairan dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan
dialiser dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula
tekanan positip “mendorong” cairan menyeberangi membrane.
b. Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar
membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan
negative “menarik” cairan keluar darah.
c. Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan
yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan
tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik
cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang
menyebabkan membrane permeable terhadap air.
2.3.6 Kontraindikasi Hemodialisa
1. Umur : dulu ditetapkan usia maksimum adalah 50 tahun, tetapi belakangan
ini batas tersebut sudah dinaikkan. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya tenologi HD dan bertambahnya pengalaman-pengalaman.
2. Adanya penyakit-penyakit di luar ginjal yang tidak dapat disembuhkan
misalnya : keganasan.
3. Adanya penyakit kardiovaskular yang berat, misalnya : adanya infark dan
lainnya.
4. Keadaan umum yang terlalu buruk.
5. Sirkulasi pada haemodilisis
6. Extra coly oreal blood carculation → untuk sekali pakai.
7. Dialysat circulation, Dialisat terbentuk dari 2 bahan : cairan dialisat pekat
dan air.
2.3.7 Peralatan
1. Dialiser atau Ginjal Buatan
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan
kompartemen darah dan dialisat.Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur
fisik dan tipe membran yang digunakan untuk membentuk kompartemen

32
darah.Semua factor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang
mengacu pada kemampuannya untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan
produk-produk sisa (klirens).

2. Dialisat atau Cairan dialisis


Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama
dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air
keran dan bahan kimia disaring.Bukan merupakan system yang steril,
karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan potensial
terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk
sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada
membran permeable yang besar, air untuk dialisat harus aman secara
bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik
komersial.Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, namun
dapat dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
3. Sistem Pemberian Dialisat
Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien: system
pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada
kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur
serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.
4. Asesori Peralatan
Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi
pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk
pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat,
perubahan tekanan, udaara, dan kebocoran darah.

33
5. Komponen manusia
6. Pengkajian dan penatalaksanaan

2.3.8 Lama Terapi Hemodialisa


Efektifitas hemodialisis tercapai bila dilakukan 2-3 kali dalam seminggu
selama 4-5 jam atau paling sedikit 10 -12 jam seminggu (Australia and New
Zealand Dialysis and Transplant Registry, 2015; Black & Hawk, 2015).
Hemodialisis diindonesia biasanya dilakukan 2 kali seminggu dengan lama
hemodialisis 5 jam, atau dilakukan 3 kali dalam seminggu dengan lama
hemodialisis 4 jam (Raharjo, Susalit & Suharjono, 2016). Berdasarkan Standar
Prosedur Operasional (SPO) yang berlaku di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya
Ruang Hemodialisis waktu tindakan hemodialisis dalam seminggu dilakukan 2
kali dengan lama hemodialisis 5 jam (RSU Haji, 2019).
2.4 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.4.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada klien Chronic Kidney Disease (CKD) lebih menekankan
pada support system untuk mempertahankan kondisi keseimbangan dalam tubuh
(hemodynamically process). Dengan tidak optimalnya/gagalnya fungsi ginjal,
maka tubuh akan melakukan upaya kompensasi selagi dalam batas ambang
kewajaran. Tetapi, jika kondisi ini berlanjut (kronis), maka akan menimbulkan
berbagai manifestasi klinis yang menandakan gangguan sistem tersebut. Berikut
ini adalah pengkajian keperawatan pada klien dengan CKD :
2.4.1.1 Biodata
Tidak ada spesisfikasi khusus untuk kejadian CKD, namun laki-laki sering
mengalami resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan pola hidup
sehat.

34
2.4.1.2 Keluhan utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder yang
menyertai. Keluhan bisa berupa urine output yang menurun (oliguria)
sampai pada anuria, penurunan kesadaran karena komplikasi pada sistem
sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan muntah, diaforesis, fatigue, napas
berbau urea, dan pruritus. Kondisi ini dipicu oleh karena penumpukan
(akumulasi) zat sisa metabolisme/toksin dalam tubuh karena ginjal
mengalami kegagalan filtrasi.
2.4.1.3 Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang dikemukakan sampai dibawa ke RS dan masuk ke ruang
perawatan, komponen ini terdiri dari PQRST yaitu:
P : Palliative merupakan faktor yang mencetus terjadinya penyakit, hal
yang meringankan atau memperberat gejala, klien dengan gagal ginjal
mengeluh sesak, mual dan muntah.
Q : Qualitative suatu keluhan atau penyakit yang dirasakan. Rasa sesak
akan membuat lelah atau letih sehingga sulit beraktivitas.
R : Region sejauh mana lokasi penyebaran daerah keluhan. Sesak akan
membuat kepala terasa sakit, nyeri dada di bagian kiri, mual-mual,
dan anoreksia.
S : Serverity/Scale derajat keganasan atau intensitas dari keluhan tersebut.
Sesak akan membuat freukensi napas menjadi cepat, lambat dan
dalam.
T :Time waktu dimana keluhan yang dirasakan, lamanya dan
freukensinya, waktu tidak menentu, biasanya dirasakan secara terus-
menerus.
2.4.1.4 Riwayat penyakit dahulu
Chronic Kidney Disease (CKD) dimulai dengan periode gagal ginjal akut
dengan berbagai penyebab (multikausa). Oleh karena itu, informasi penyakit
terdahulu akan menegaskan untuk penegakan masalah. Kaji riwayat ISK, payah
jantung, penggunaan obat yang bersifat nefrotoksis, BPH dan lain sebagainya
yang mampu mempengaruhi kerja ginjal. Selain itu, ada beberapa penyakit yang
langsung mempengaruhi/menyebabkan gagal ginjal yaitu diabetes mellitus,

35
hipetensi, batu saluran kemih (urolithiasis).
2.4.1.5 Riwayat kesehatan keluarga
Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun, sehingga
silsilah keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun, pencetus
sekunder seperti DM dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap kejadian
penyakit gagal ginjal kronis, karena penyakit tersebut herediter. Kaji pola
kesehatan keluarga yang diterapkan jika ada anggota keluarga yang sakit,
misalnya minum jamu saat sakit.
2.4.1.6 Riwayat Psikososial
Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika klien memiliki koping adaptif
yang baik. Pada klien gagal ginjal kronis, biasanya perubahan psikososial terjadi
pada waktu klien mengalami perubahan struktur fungsi tubuh dan menjalani
proses dialisa. Klien akan mengurung diri dan lebih banyak berdiam diri
(murung). Selain itu, kondisi ini juga dipicu oleh biaya yang dikeluarkan selama
proses pengobatan, sehingga klien mengalami kecemasan.
2.4.1.7 Pola aktivitas sehari
1) Polanutrisi
Kaji kebiasaan makan, minum sehari-hari, adakah pantangan makanan
atau tidak, frekuensi jumlah makan dan minum dalam sehari. Pada pasien
gagal ginjal kronik akan ditemukan perubahan pola makan atau nutrisi
kurang dari kebutuhan karena klien mengalami anoreksia dan
mual/muntah.
2) Pola Eliminasi
Kaji kebiasaan BAB dan BAK, frekuensinya, jumlah, konsistensi, serta
warna feses dan urine. Apakah ada masalah yang berhubungan dengan
pola eleminasi atau tidak, akan ditemukan pola eleminasi penurunan urin,
anuria, oliguria, abdomen kembung, diare atau konstipasi.
3) Pola istirahat tidur
Kaji kebiasaan tidur, berapa lama tidur siang dan malam, apakah ada
masalah yang berhubungan dengan pola istirahat tidur, akan ditemukan
gangguan pola tidur akibat dari manifestasi gagal ginjal kronik seperti
nyeri panggul, kram otot, nyeri kaki, demam, dan lain-lain.

36
4) Personal Hygiene
Kaji kebersihan diri klien seperti mandi, gosok gigi, cuci rambut, dan
memotong kuku. Pada pasien gagal ginjal kronik akan dianjurkan untuk
tirah baring sehingga memerlukan bantuan dalam kebersihan diri.
5) Aktifitas
Kaji kebiasaan klien sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Apakah klien mandiri atau masih tergantung dengan orang lain. Pada
pasien gagal ginjal kronik biasanya akan terjadi kelemahan otot,
kehilangantonus, penurunan rentang gerak. (Prabowo dan Pranata, 2014)
2.4.1.8 Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum dan tanda-tanda vital
Kondisi klien gagal ginjal kronis biasanya lemah (fatigue), tingkat
kesadaran menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat
mempengaruhi system saraf pusat. Pada pemeriksaan TTV sering dipakai
RR meningkat (tachypneu), hipertensi/hipotensi sesuai dengan kondisi
fluktuatif.
2) Sistem pernafasan
Adanya bau urea pada bau napas. Jika terjadi komplikasi asidosis/alkalosis
respiratorik maka kondisi pernapasan akan mengalami patologis
gangguan. Pola napas akan semakin cepat dan dalam sebagai bentuk
kompensasi tubuh mempertahankan ventilasi (Kussmaull).
3) Sistem kardiovaskuler
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kejadian gagal ginjal kronis
salah satunya adalah hipertensi. Tekanan darah yang tinggi di atas ambang
kewajaran akan mempengaruhi volume vaskuler. Stagnansi ini akan
memicu retensi natrium dan air sehingga akan meningkatkan beban
jantung.
4) Sistem pencernanaan
Gangguan sistem pencernaan lebih dikarenakan efek dari penyakit (stress
effect), sering ditemukan anoreksia, nausea, vomit, dan diare.
5) Sistem hematologi
Biasanya terjadi TD meningkat, akral dingin, CRT>3 detik, palpitasi

37
jantung,gangguan irama jantung, dan gangguan sirkulasi lainnya. Kondisi
ini akan semakin parah jika zat sisa metabolisme semakin tinggi dalam
tubuh karena tidak efektif dalam ekresinya. Selain itu, pada fisiologis
darah sendiri sering ada gangguan anemia karena penurunan eritropoetin.
6) Sistem Endokrin
Berhubungan dengan pola seksualitas, klien dengan gagal ginjal kronis
akan mengalami disfungsi seksualitas karena penurunan hormon
reproduksi. Selain itu, jika kondisi gagal ginjal kronis berhubungan
dengan penyakit diabetes mellitus, maka akan ada gangguan dalam sekresi
insulin yang berdampak pada proses metabolisme.
7) Sistem neuromuskuler
Penurunan kesadaran terjadi jika telah mengalami hiperkarbic dan
sirkulasi cerebral terganggu. Oleh karena itu, penurunan kognitif dan
terjadinya disorientasi akan dialami klien gagal ginjal kronis.
8) Sistem perkemihan
Dengan gangguan/kegagalan fungsi ginjal secara kompleks (filtrasi,
sekresi, reabsorpsi dan ekskresi), maka manifestasi yang paling menonjol
adalah penurunan urine output
B1 Penilaian :
B1 (Breathing) Sistem Pernafasan
Inspeksi: Bentuk dada (Normochest, Barellchest, Pigeonchest atau
Punelchest). Pola nafas: Normalnya = 12-24 x/ menit, Bradipnea/ nafas
lambat (Abnormal), frekuensinya = < 12 x/menit, Takipnea/ nafas cepat
dan dangkal (Abnormal) frekuensinya = > 24 x/ menit. Cek penggunaan
otot bantu nafas (otot sternokleidomastoideus)  Normalnya tidak
terlihat. Cek Pernafasan cuping hidung  Normalnya tidak ada. Cek
penggunaan alat bantu nafas (Nasal kanul, masker, ventilator).

Palpasi: Vocal premitus (pasien mengatakan 77) Normal (Teraba


getaran di seluruh lapang paru)

Perkusi dada: sonor (normal), hipersonor (abnormal, biasanya pada


pasien PPOK/ Pneumothoraks)

Auskultasi: Suara nafas (Normal: Vesikuler, Bronchovesikuler,


Bronchial dan Trakeal). Suara nafas tambahan (abnormal): wheezing 
suara pernafasan frekuensi tinggi yang terdengar diakhir ekspirasi,
disebabkan penyempitan pada saluran pernafasan distal). Stridor 

38
suara pernafasan frekuensi tinggi yang terdengar diawal inspirasi.
Gargling  suara nafas seperti berkumur, disebabkan karena adanya
muntahan isi lambung.
B2 Penilaian :
B2 (Circulation) Sistem Peredaran Darah

Inspeksi: CRT (Capillary Refill Time) tekniknya dengan cara menekan


salah satu jari kuku klien  Normal < 2 detik, Abnormal  > 2 detik.
Adakah sianosis (warna kebiruan) di sekitar bibir klien, cek konjungtiva
klien, apakah konjungtiva klien anemis (pucat) atau tidak  normalnya
konjungtiva berwarna merah muda.

Palpasi: Akral klien - Normalnya Hangat, kering, merah, frekuensi nadi


- Normalnya 60 - 100x/ menit, tekanan darah Normalnya 100/ 80
mmHg – 130/90 mmHg.

B3 Penilaian :
B3 (Neurologi) Sistem Persyarafan
Cek tingkat kesadaran klien, untuk menilai tingkat kesadaran dapat
digunakan suatu skala (secara kuantitatif) pengukuran yang disebut
dengan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS memungkinkan untuk
menilai secara obyektif respon pasien terhadap lingkungan. Komponen
yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata, respon verbal, dan
respon motorik (E-V-M). Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-
nilai dari ketiga komponen tersebut. Tingkat kesadaran adalah ukuran
dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari
lingkungan, tingkat kesadaran (secara kualitatif) dibedakan menjadi:
a. Compos Mentis (Conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya.
b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh
c. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
e. Stupor, yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap
nyeri
f. Coma, yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

Pemeriksaan Reflek:
a. Reflek bisep: ketukan jari pemeriksa pada tendon muskulus biceps

39
brachii, posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku.
Respon: fleksi lengan pada sendi siku
b. Reflek patella: ketukan pada tendon patella.
Respon: ekstensi tungkai bawah karena kontraksi muskulus quadriceps
femoris
Nervus 1(Olfaktorius): Tes fungsi penciuman (pasien mampu mencium
bebauan di kedua lubang hidung)
Nervus 2 (Optikus): Tes fungsi penglihatan (pasien mampu membaca
dengan jarak 30 cm (normal)
Nervus 3, Nervus 4, Nervus 6 (Okulomotorius, Trokhlearis, Abdusen):
Pasien mampu melihat ke segala arah (Normal)
Nervus 5 (Trigeminus):
a. Sensorik : pasien mampu merasakan rangsangan di dahi, pipi dan
dagu (normal)
b. Motorik : pasien mampu mengunyah (menggeretakan gigi) dan otot
masseter (normal)
Nervus 7 (Facialis):
a. Sensorik : pasien mampu merasakan rasa makanan (normal)
b. Motorik : pasien mampu tersenyum simetris dan mengerutkan dahi
(normal)
Nervus 8 (Akustikus): Tes fungsi pendengaran (rine dan weber)
Nervus 9 (Glososfaringeus) dan N10 (Vagus): pasien mampu menelan
dan ada refleks muntah (Normal)
Nervus 11 (Aksesorius): pasien mampu mengangkat bahu (normal)
Nervus 12 (Hipoglosus): pasien mampu menggerakan lidah ke segala
arah (normal)
B4 Penilaian :
B4 (Bladder) Sistem Perkemihan

Inspeksi: integritas kulit alat kelamin (penis/ vagina)  Normalnya


warna merah muda, tidak ada Fluor Albus/ Leukorea (keputihan
patologis pada perempuan), tidak ada Hidrokel (kantung yang berisi
cairan yang mengelilingi testis yang menyebabkan pembengkakan
skrotum.

Palpasi: Tidak ada distensi kandung kemih. Tidak ada distensi kandung
kemih
B5 Penilaian :
B5 (Bowel) Sistem Pencernaan

Inspeksi: bentuk abdomen simetris, tidak ada distensi abdomen, tidak


accites, tidak ada muntah,

Auskultasi: peristaltik usus Normal 10-30x/menit


B6 Penilaian :

40
B6 (Bone) Sistem Muskuluskeletal dan Integumen
Skala Kekuatan Otot :
0 (0) Kontraksi otot tidak terdeteksi (paralisis sempurna)
1 (10) Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat di palpasi atau
dilihat
2 (25) Gerakan otot penuh melawan gravitasi, dengan topangan
3 (50) Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 (75) Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan
tahanan minimal
5 (100) Kekuatan otot normal, gerakan penuh yang normal
melawan gravitasi dan melawan tahanan penuh

Inspeksi: warna kulit sawo matang, pergerakan sendi bebas dan


kekuatan otot penuh, tidak ada fraktur, tidak ada lesi

Palpasi: turgor kulit elastis, 3 turgor kulit ( kekenyalan, elastisitas


kulit) : dengan cara dicubit didaerah perut dengan cubitan agak lebar,
sekitar 3 cm, dipertahankan selama 30 detik, kemudian dilepas. Bila
kulit kembali normal dalam waktu kurang 1 detik; turgor baik, bila 2-5
detik ; turgor agak kurang, bila 5-10 detik; turgor kurang dan bila lebih
10 detik: turgor jelek.

Skala Penilaian Pitting Edema


1+ = Pitting ringan, tidak ada distorsi (perubahan) yang terlihat, cepat
menghilang
2+ = Lebih dalam dari 1+, tidak ada distorsi (perubahan) yang langsung
terdeteksi, menghilang dalam 10-15 detik
3+ = Cukup dalam, dapat berlangsung lebih dari 1 menit, ekstremitas
yang terkena tampak lebih lebar dan membengkak
4+ = Sangat dalam, berlangsung 2-5 menit, ektremitas yang terkena
telihat sangat mengalami perubahan.

2.4.1.9 Data Psikososial


1) Body image
Persepsi atau perasaan tentang penampilan diri dari segi ukuran dan
bentuk.
2) Ideal diri
Persepsi individu tentang bagaimana dia harus berperilaku berdasarkan
standar, tujuan, keinginan, atau nilai pribadi.
3) Identitas diri
Kesadaran akan diri sendiri yang sumber dari observasi dan penilaian diri

41
sendiri.
4) Peran diri
Perilaku yang diharapkan secara social yang berhubungan dengan fungsi
individu pada berbagai kelompok.
2.4.1.10 Data sosial dan budaya
Pada aspek ini perlu dikaji pola komunikasi dan interaksi
interpersonal,gaya hidup, faktor sosio kultur serta keadaan lingkungan sekitar dan
rumah.
2.4.1.11 Data spiritual
Mengenai keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penerimaan
terhadap penyakitnya, keyakinan akan kesembuhan dan pelaksanaan sebelum atau
selama dirawat.
2.4.1.12 Data penunjang
Pemeriksaan laboratorium atau radiologi perlu dilakukan untuk
memvalidasi dalam menegakkan diagnose sebagai pemeriksaan penunjang.
Menurut Padila, 2012 data penunjang pada pasien CKD adalah sebagai berikut:
1) Laboratorium
Ureum kreatinin biasanya meninggi biasanya perabandingan antara ureum
dan kreatinin kurang 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, pengobatan steroid, dan obstruksi saluraan
kemih. Perbandingan ini berkurang, ureum lebih kecil dari kreatinin, pada
diet rendah protein dan tes klirens kreatinin yang menurun. Terjadi
asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukan pH menurun,
BE yang menurun, HCO3 yang menurun, semuanya disebabkan retensi
asam-asam organik pada gagal ginjal.
2) Radiologi
Foto polos abdomen untuk melihat bentuk dan besar ginjal (adanya batu
atau adanya suatu obstuksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal,
oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
3) Ultrasonografi (USG)
Gambaran dari ultrasonografi akan memberikan informasi yang
mendukung untuk menegakkan diagnosis gagal ginjal. Pada klien gagal

42
ginjal biasanya menunjukkan adanya obstruksi atau jaringan parut pada
ginjal. Selain itu, ukuran dari ginjal pun akan terlihat
4) Renogram
Untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan (vascular,
parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
5) EKG
Untuk melihat kemungkinan : hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
2.4.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. diagnosis
keperawatan dibagi menjadi dua jenis, yaitu diagnosis negatif dan diagnosis
positif . diagnosis negatif menunjukkan bahwa pasien dalam kondisi sakit atau
beresiko mengalami sakit sehingga penegakan diagnosis ini akan mengarahkan
pemberian intervensi keperawatan yang bersifat penyembuhan, pemulihan dan
pencegahan.
Pada diagnosis aktual, indikator diagnostiknya terdiri atas penyebab dan
tanda/gejala. Pada diagnosis resiko tidak memiliki penyebab dan tanda/gejala,
hanya memiliki faktor resiko.
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien gagal ginjal kronis
(CKD), menurut SDKI (2018) antara lain:
2.4.2.1 Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
dan kerusakan alveoli.
2.4.2.2 Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan gangguan neurologis.
2.4.2.3 Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan perubahan irama jantung.
2.4.2.4 Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik.
2.4.2.5 Defisit nutrisi berhubungan dengan mual/muntah.
2.4.2.6 Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan kelebihan
volume cairan.
2.4.2.7 Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan

43
44
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
Kriteria Hasil
Gangguan Pertukaran Gas Setelah diberikan asuhan keperawatan Pemantauan Respirasi
selama 1 x 4 jam diharapkan masalah Observasi :
Gangguan Pertukaran Gas dapat teratasi.
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
Kriteria Hasil upaya nafas
- Tingkat kesadaran meningkat 2. Monitor pola nafas (seperti bradypnea,
- Dyspnea menurun takipnea, hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-
- Bunyi nafas tambahan menurun stokes, biot, ataksik)
- Pusing menurun 3. Monitor kemampuan batuk efektif
- Penglihatan kabur menurun 4. Monitor adanya produksi sputum
- Diaphoresis menurun 5. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
- Gelisah menurun 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
- Nafas cuping hidung menurun 7. Auskultasi bunyi nafas
- PCO2 membaik 8. Monitor saturasi oksigen
- PO2 membaik 9. Monitor nilai AGD
- Takikardi membaik 10. Monitor hasil x-ray toraks
- pH arteri membaik Teraupetik :
- Sianosis membaik
- Pola nafas membaik 11. Atur interval pemantauan respirasi sesuai
- Warna kulit membaik kondisi klien
12. Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi :
13. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
14. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Pola Napas Tidak Efektif Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen jalan nafas

45
selama 1 x 4 jam diharapkan masalah Pola Observasi :
Napas Tidak Efektif dapat teratasi. 1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman,
Kriteria Hasil usaha nafas,)
2. Monitor bunyi nafas tambahan (mis.
- Ventilasi semenit meningkat
gurgling, mengi, wheezhing, ronkhi kering)
- Kapasitas vital meningkat
- Diameter thorak anterior posterior 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
meningkat Terapeutik :
- Tekanan ekspirasi meningkat 4. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan
- Tekanan inspirasi meningkat head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga
- Dispnea menurun trauma servikal)
- Penggunaan otot bantu nafas 5. Posisikan semi-fowler atau fowler
menurun 6. Berikan minum hangat
- Pemanjangan fase ekspirasi menurun 7. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Ortopnea menurun 8. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
- Pernapasan pursed-lip menurun detik
- Pernapasan cuping hidung menurun 9. Melakukan hiperoksigenasi sebelum
- Frekuensi nafas membaik penghisapan endotrakeal
- Kedalaman nafas membaik 10. Keluarkan sumbatan benda padat dengan
- Ekskursi dada membaik forsep McGill
11. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi :
12. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari jika
tidak kontraindikasi
13. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
14. Kolaborasi pemberian bronkodilator

46
ekspektoran mukolitik, Jika perlu
Penurunan Curah Jantung Setelah diberikan asuhan keperawatan Perawatan Jantung
selama 1 x 4 jam diharapkan masalah Observasi :
Penurunan Curah Jantung dapat teratasi.
1. Identifikasi tanda/gejala primer Penurunan
Kriteria Hasil curah jantung (meliputi dispenea, kelelahan,
- Kekuatan nadi perifer meningkat adema ortopnea paroxysmal nocturnal
- Ejection fraction (EF) meningkat dyspenea, peningkatan CPV)
- Cardiac todec (Ci) meningkat 2. Identifikasi tanda/gejala sekunder
- Left ventricular stroke work index penurunan curah jantung (meliputi
(LVSW) meningkat peningkatan berat badan, hepatomegali
- Stroke volume index (SVI) ditensi vena jugularis, palpitasi, ronkhi
meningkat basah, oliguria, batuk, kulit pucat)
- Palpitasi menurun 3. Monitor tekanan darah (termasuk tekanan
- Bradikardia menurun darah ortostatik, jika perlu)
- Takikardia menurun 4. Monitor intake dan output cairan
- Gambaran EKG aritmia menurun 5. Monitor berat badan setiap hari pada waktu
- Lelah menurun yang sama
- Edema menurun 6. Monitor saturasi oksigen
- Distensi vena jugularis menurun 7. Monitor keluhan nyeri dada (mis.
- Dyspnea menurun Intensitas, lokasi, radiasi, durasi, presivitasi
- Oliguria menurun yang mengurangi nyeri)
- Pucat/sianosis menurun 8. Monitor EKG 12 sadapoan
- Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) 9. Monitor aritmia (kelainan irama dan
menurun frekwensi)
- Ortopnea menurun 10. Monitor nilai laboratorium jantung (mis.
- Batuk menurun Elektrolit, enzim jantung, BNP, Ntpro-
- Suara jantung S3 menurun BNP)
- Suara jantung S4 menurun 11. Monitor fungsi alat pacu jantung
12. Periksa tekanan darah dan frekuensi

47
- Murmur jantung menurun nadisebelum dan sesudah aktifitas
- Berat badan menurun 13. Periksa tekanan darah dan frekwensi nadi
- Hepatomegali menurun sebelum pemberian obat (mis. Betablocker,
- Pulmonary vascular resintace (PVR) ACEinhibitor, calcium channel blocker,
menurun digoksin)
- Systemic vascular resitance menurun Terapeutik :
- Tekanan darah membaik
- Capillary refill time (CPT) membaik 14. Posisikan pasien semi-fowler atau fowler
- Pulmonary artery wedge pressure dengan kaki kebawah atau posisi nyaman
(PAWP) membaik 15. Berikan diet jantung yang sesuai (mis.
- Central venous pressure membaik Batasi asupan kafein, natrium, kolestrol,
dan makanan tinggi lemak)
16. Gunakan stocking elastis atau pneumatik
intermiten, sesuai indikasi
17. Fasilitasi pasien dan keluarga untuk
modifikasi hidup sehat
18. Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi
stres, jika perlu
19. Berikan dukungan emosional dan spiritual
20. Berikan oksigen untuk memepertahankan
saturasi oksigen >94%
Edukasi
21. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
22. Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
23. Anjurkan berhenti merokok
24. Ajarkan pasien dan keluarga mengukur
berat badan harian
25. Ajarkan pasien dan keluarga mengukur
intake dan output cairan harian

48
Kolaborasi :
26. Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika
perlu
27. Rujuk ke program rehabilitasi jantung
Nyeri Akut Tujuan : Manajemen nyeri (I.08238. Hal.201)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x1 Observasi :
jam diharapkan tingkat nyeri menurun 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durrasi,
frekuensi, kualitas, insensitas nyeri
Kriteria hasil : 2. Identifikasi sekala nyeri
1. Frekuensi nadi membaik (5) 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan
2. Pola nafas membaik (5) memperingan nyeri
3. Keluhan nyeri menurun (5)
4. Meringis menurun (5) Terapeutik :
5. Gelisah menurun (5) 4. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
6. Kesulitan tidur menurun (5) mengirangi rasa nyeri ( mis. TENS,
hipnosis,akupresur, trapi musik,
biofeedback, trapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
5. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri ( mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan )
6. Pasilitasi istirahat dan tidur
7. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi :

49
8. Jelasksan penyebab, periode,dan pemicu
nyeri
9. Jelaskan strategi meredakan nyeri
10. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
11. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
12. Ajarkan tekniknonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi :
13. Kolaborasi pemberian analgetik,jika perlu
Defisit nutrisi Tujuuan : Manajemen Nutrisi SLKI (I. 03119.hal 200)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x4 Observasi :
jam diharapkan tingkat nyeri menurun 1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
Kriteria hasil : 3. Identifikasi makanana yang disukai
1) Porsi makan yang dihabiskan meningkat 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
(5) nutrien
2) Nafsu makan membaik (5) 5. Identifikasi perlunya penggunan selang
3) Frekuensi makan membaik (5) nasogastritik
4) Perasaan cepat kenyang menurun (5) 6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil pemeriksaan labarotarium
Terapeutik :
9. Lakukan oral hygiene sebelum makan,jika
perlu
10. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis,
piramida makanan)
11. Sajikan makanan secara menarik dan suhu

50
yang sesuai
12. Berikan makanan yang tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
13. Berikan makanan yang tinggi kalori dan
tinggi protein
14. Berikan suplemen makanan, jika perlu
15. Hentikan pemberian makanan melalui
selang nasogatrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi :
16. Anjurkan posisi duduk, jika perlu
17. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi :
18. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan (mis,pereda nyeri,antiemetik),jika
perlu
19. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhkan, jika perlu

51
2.4.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi atau pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi di mulai setelah rencana
tindakan di susun dan di tujukan pada rencana strategi untuk membantu mencapai
tujuan yang di harapkan. Oleh sebab itu, rencana tindakan yang spesifik di
laksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah
kesehatan. Tujuan dari implementasi adalah membantu dalam mencapai tujuan
yang telah di tetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping (Harahap, 2019).
2.4.5 Evaluasi
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga
kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam
mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan
(Harahap, 2019).
Evaluasi dapat dilakukan menggunakan SOAP sebagai pola pikirnya.
S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A : Analisa ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah
teratasi, masalah teratasi sebagian, masalah tidak teratasi atau muncul masalah
baru.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon pasien

52
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Nama Mahasiswa : Islamanda


NIM : 2019.C.11a.1012
Ruang Praktek : Hemodialisa
Tanggal Praktek : 10 Oktober – 15 Oktober 2022
Tanggal & Jam Pengkajian : 22 September 2022

3.1 Pengkajian
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Umur : 44 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Sunda/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jl. Pasir Panjang
Diagnosa Medis : Chronic Kidney Disease On Hd dengan
Anemia
RIWAYAT KESEHATAN /PERAWATAN PRE HD
1. Keluhan Utama /Alasan HD :
Klien mengatakan nyeri perut, kembung, sering cape dan tidak BAB 3
hari.

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pada tanggal 11 Oktober 2022 pukul 12.00 WIB klien diantar oleh perawat
dari ruang Eldeweis dan keluarganya untuk melakukan cuci darah
diruangan Hemodialisa, Pada saat pengkajian didapatkan hasil klien
dengan kesadaran GCS : E4 –V5 – M6 = 15 (kesadaran composmentis),
pasien tampak lemah, klien terpasang NGT, pasien dipasangkan Bed Site

53
Monitor dan dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital TD : 123/71, N :
78x/m, RR : 22x/m, SPO2 : 98%, S : 36,40C.
3. Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi)
Anak klien mengatakan klien baru perrtama kali melakukan treatment cuci
darah pada saat ini.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan bahwa di keluarganya tidak ada yang memiliki riwayat
penyakit yang sama dengan klien.

GENOGRAM KELUARGA :
Susunan genogram 3 (tiga) generasi

Keterangan :
: Hubungan keluarga
: Tinggal serumah
: Laki-laki
: Perempuan
: Meninggal
: Klien (Tn. A)

54
PEMERIKASAAN FISIK
1. Keadaan Umum :
Klien diantar oleh perawat dari ruang Eldewis menggunakan bed
dengan kesadaran GCS : E4 –V5 – M6 = 15 (kesadaran
composmentis), pasien tampak lemah, pasien dipasangkan Bed Site
Monitor dan dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital TD : 123/71, N :
78x/m, RR : 22x/m, SPO2 : 98%, S : 36,40C, dan terpasang AV fistula
yang tersambung dengan selang AVBL dan terhubung ke dialiser.
2. Tanda-tanda Vital :
a. Suhu/T : 36,40C  Axilla  Rektal  Oral
b. Nadi/HR : 78 x/mt
c. Pernapasan/RR : 22 x/tm
d. Tekanan Darah/BP : 123/71 mm Hg
e. Tinggi Badan/TB : 147
f. BB Pre HD : 55 kg
INTRA HD
a. Suhu/ T : 36,40C  Axilla  Rektal  Oral
b. Nadi/HR : 80 x/menit
c. Pernapasan/RR : 24 x/menit
d. Tekanan Darah/BP : 127/80 mm Hg
e. Keluhan selama HD : -
f. Nutrisi
a. Jenis Makanan : Bubur
Jumlah : ½ porsi
b. Jenis Minuman : Air putih
Jumlah : 200 ml
g. Catatan Lain :-

POST HD
1. Keadaan Umum :
Klien tampak lemah, kilen terpasang NGT, akral teraba hangat.
2. Tanda-tanda Vital :

55
a. Suhu/T : 36,4.0C  Axilla  Rektal  Oral
b. Nadi/HR : 84 x/mt
c. Pernapasan/RR : 22 x/mt
d. Tekanan Darah/BP : 130/75 mm Hg
e. BB Post HD : 53 kg
f. Jumlah cairan yang dikeluarkan : 100 cc

Perencanaan Pulang (Discharge Planning) :


1. Obat-obatan yang disarankan/dibawa pulang:
Tidak ada
2. Makanan/ Minuman yang dianjurkan (jumlah):
Makanan diberikan porsi kecil, padat kalori dan sering, misal 5x sehari.
Pilih makanan sumber protein hewani sesuai jumlah yang telah
ditentukan. Batasi asupan cairan.
3. Rencana HD/ Kontrol selanjutnya:
Tanggal 15 Oktober 2022
4. Catatan lain : -

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


No. Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
1. Natrium ( Na ) 126 mmol/l 135 – 148 mmol/l
2. Hemoglobin 9,1 g% 13,5 – 18,0 g%
3. Ureum 362 21 – 53 mg/l
4. Kreatinin 19,79 0,17 – 1,5 mg/dl

Palangka Raya, 13 Oktober 2022


Mahasiswa

Islamanda

56
ANALISIS DATA
DATA SUBYEKTIF
KEMUNGKINAN
DAN MASALAH
PENYEBAB
DATA OBYEKTIF
DS : Hb Menurun Intoleransi Aktivitas
Klien mengatakan sering SDKI D.0056
mudah lelah, capek Penurunan kadar oksigen dalam
DO : darah
- Klien tampak Lelah
- Hb 9,1 g% Kelelahan
- TTV
Suhu : 36,4 0C
Nadi/HR : 78 x/mnt
RR : 22 x/tm
TD : 123/71 mm Hg
Peningkatan cairan Risiko Ketidakstabilan
DS : Klien mengatakan Cairan
perutnya kembung Ansites SDKI D.0036
DO :
- Tampak perut klien Daya tahan tubuh menurun
membesar
- Kreatin 19,79 mg/dl Keadaan umum lemah
- Ureum 362 mg/dl
- Natrium 126 mmol/l Kekurangan volume cairan
- TTV
Suhu : 36,4 0C
Nadi/HR : 78 x/mnt
RR : 22 x/tm
TD : 123/71 mm Hg

57
PRIORITAS MASALAH

1. Risiko Ketidakseimbangan Cairan b/d penyakit ginjal ditandai dengan perut klien
tambang membesar, TTV : Suhu : 36,4 0C, Nadi/HR : 78 x/mnt, RR : 22 x/tm, TD :
123/71 mm Hg, Kreatin 19,79 mg/dl, Ureum 362 mg/dl dan Natrium 126 mmol/l
2. Intoleransi Aktivitas b/d kelemahan ditandai dengan klien tampak lelah, Hb 9,1 g
%,TTV : Suhu : 36,4 0C, Nadi/HR : 78 x/mnt, RR : 22 x/tm, TD : 123/71 mm Hg

58
RENCANA KEPERAWATAN

Nama Pasien : Tn. A

Ruang Rawat : Hemodialisa

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi

Manajemen Energi
Risiko Ketidakseimbangan Cairan Keseimbangan cairan ( SLKI L.03020
b/d penyakit ginjal ditandai HAL. 41 )
dengan perut klien tambang
membesar, Kreatin 19,79 mg/dl,
Setelah dilakukan
keperawatan selama
tindakan
1x6
asuhan
jam
Observasi:
Ureum 362 mg/dl dan Natrium
126 mmol/l
diharapkan volume cairan membaik
dengan kriteria hasil :
 Identifikasi gangguan
1. Asites menurun (5) fungsi tubuh yang
mengakibatkan kelelahan
 Monitor pola dan jam
tidur
 Monitor kelelahan fisik
59
dan emosional
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
Terapeutik:
 Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus
 Lakukan latihan rentang
gerak pasif dan/atau
60
aktif
 Berikan aktivitas distraksi
yang menenangkan
 Fasilitasi duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau berjalan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
PEMANTAUAN CAIRAN (I.03121)
Observasi
1. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi

61
2.Monitor frekuensi nafas
3.Monitor tekanan darah
4.Monitor berat badan
5.Monitor waktu pengisian kapiler
6.Monitor elastisitas atau turgor kulit
7.Monitor jumlah, waktu dan berat jenis urine
8.Monitor kadar albumin dan protein total
9.Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum, hematocrit,
natrium, kalium, BUN)
10. Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat,
nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit,
turgor kulit menurun, membrane mukosa kering, volume urine
menurun, hematocrit meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine
meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat)
11. Identifikasi tanda-tanda hypervolemia 9mis. Dyspnea, edema perifer,
edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks
hepatojogular positif, berat badan menurun dalam waktu singkat)
12. Identifikasi factor resiko ketidakseimbangan cairan (mis. Prosedur
pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis,
obstruksi intestinal, peradangan pankreas, penyakit ginjal dan kelenjar,
disfungsi intestinal)
Terapeutik
1. Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
2. Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

62
Intoleransi Aktivitas b/d Tingkat Keletihan ( SLKI L.05046 Manajemen Energi ( SIKI 1.05178 HAL.176 )
Observasi
Kelemahan ditandai dengan klien Hal 141 )
1. Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
tampak lelah, Hb 9,1 Setelah dilakukan tindakan asuhan
2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
keperawatan selama 1x6 jam
3. Monitor pola dan jam tidur
diharapkan kapasitas kerja fisik
4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
membaik dengan kriteria hasil :
1. Tenaga meningkat (5) Terapeutik

2. Kemampuan melakukan
1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara,
aktivitas rutin meningkat (5)
kunjungan)
3. Vebralisasi Lelah
2. Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
menurun (5)
3. Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
4. Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau
berjalan

Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
63
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

64
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

Tanda
Hari/Tanggal tangan dan
Implementasi Evaluasi (SOAP)
Jam Nama
Perawat
Selasa, 11 1. Memonitor frekuensi dan kekuatan nadi S : Klien mengatakan sedikit pusing
Oktober 2022 2. Memonitor frekuensi pernafasan O:
16.00 WIB 3. Memonitor tekanan darah - Frekuensi Nadi 84 x/menit
Diagnosa I 4. Memonitor berat badan - Frekuensi pernafasan 22x/menit
- Tekanan darah 130/75 Islamanda
- BB post HD 53 kg
A : Masalah belum sepenuhnya teratasi
P : Lanjutkan Intervensi

65
Selasa, 11 1. Mengidentifikasi gangguan fusngi tubuh yang S : Klien mengatakan Lelahnya sudah berkurang
Oktober 2022 mengakibatkan kelelahan O:
16.00 WIB 2. Menganjurkan agar klien melakukan tirah baring - Hasil lab. ureum dan kreatin masih sangat tinggi
Diagnosa II 3. Memonitor pola dan jam tidur - Klien tampak berbaring setelah post HD Islamanda
4. Mengnjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala - Klien paham apa yang harus dilakukan saat tanda dan
kelelahan tidak berkurang gejala kelelahan tidak berkurang
A : Masalah belum sepenuhnya teratasi
P : Lanjutkan intervensi

66
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renalyang progresif
danirreversible. Sebagai catatan, batas penurunan lungsi ginjal dimana
sudahmulai menyebabkan timbulnya gejala adalah sebesar 75-85%,
artinyakeluhan/gejala akan muncul/elas bila lungsi ginlal sudah dibawah
25%.Pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis
danpengobatan terhadap penyakit ginjal spesilik yang merupakan
penyebabpenyakit ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah
teriadigagal ginjal permanen
4.2 Saran
1) Kepada Masyarakat
GGK dapat terkena pada siapa saja. GGK dapat tekena pada siapa pun.
2) Kepada Tenaga Kesehatan
Pasien-pasien dengan GGK dapat memburuk jika tidak ditangani secara
optimal. Berikanlah perawatan yang optimal, cepat, tanggap, dan
komprehensif dengan hati yang tulus.
3) Kepada Akademisi
Semoga akan lebih banyak perawat-perawat yang mengabdikan dirinya
dalam hal riset, karena dunia keperawatan membutuhkan pengembangan
ilmu-ilmu demi kemajuan profesi keperawatan.

67
LAMPIRAN
SATUAN ACARA PENYULUHAN

OLEH :
Islamanda
2019.C.11a.1012

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2022/2023

68
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

Topik : Nutrisi Seimbang Bagi Lansia


Waktu : 20 menit
Hari/Tanggal : Sabtu, 15 Oktober 2022

Tempat : Ruang Hemodialisa RSUD Doris Sylvanus Palangka


Raya

A. Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah diberikan penyuluhan tentang pentingnya nutrisi yang seimbang untuk
lansia maka diharapkan keluarga dan lansia dapat memahami pentingnya nutrisi
yang seimbang bagi lansia.
B. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
1. Keluarga dan lansia dapat mengetahui definisi nutrisi.
2. Keluarga dan lansia kebutuhan uutrisi pada lansia.
3. Keluarga dan lansia dapat memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
kebutuhan gizi pada lansia.
4. Keluarga dan lansia dapat mengetahui menu sehat bagi lansia.
5. Keluarga dan lansia dapat mengetahui pedoman untuk memilih bahan
makanan yang sehat.
6. Keluarga dan lansia dapat memahami cara mengolah makanan.
7. Keluarga dan lansia dapat memahami cara menghidangkan makanan.
8. Keluarga dan lansia dapat mengetahui cara pemantauan status nutrisi.
C. Garis Besar Uraian Materi
1. Definisi
2. Kebutuhan Nutrisi Pada Lansia
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Gizi Pada Lansia
4. Menu Sehat Bagi Lansia
5. Pedoman untuk memilih bahan makanan yang sehat

69
6. Cara mengolah makanan
7. Cara menghidangkan makanan
8. Pemantauan Status Nutrisi
D. Metoda Pembelajaran
Metode yang digunakan dalam penyuluhan ini adalah ceramah, demonstrasi dan
tanya jawab.
E. Media Belajar
Media yang digunakan dalam penyuluhan ini adalah leaflet
F. Langkah-langkah Kegiatan

No. Waktu Kegitan Penyuluh Kegiatan Peserta


1. 5 menit Pembukaan :
 Salam dan  Menyambut salam
memperkenalkan
diri
 Melakukan kontrak  Mendengarkan

waktu
 Menjelaskan tujuan
dari penyuluhan
 Persepsi dengan
memberi pertanyaan
awal tentang nutrisi.
 Menjelaskan
manfaat dari
penyuluhan
2. 30 menit Pelaksanaan :
 Menyampaikan  Mendengarkan
definisi nutrisi dan
 Kebutuhan Nutrisi memperhatikan
Pada Lansia

70
 Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi
Kebutuhan Gizi
Pada Lansia
 Menu Sehat Bagi
Lansia
 Pedoman untuk
memilih bahan
makanan yang sehat
 Cara mengolah
makanan
 Cara
menghidangkan
makanan
 Pemantauan Status
Nutrisi
31 10 menit Penutup :
 Menanyakan  Peserta menjawab
pertanyaan/kuis pertanyaan
mengenai materi
yang telah
diberikan.
 Mendengarkan
 Menyampaikan
dan membalas
simpulan dan uraian
salam
materi yang telah
diberikan
 Mengucapkan
salam penutup

71
G. Kriteria Evaluasi

1. Evaluasi Struktur
a) Rencana kegiatan dan penyaji materi penyuluhan dipersiapkan dari
sebelum kegiatan
b) Kesiapan SAP.
c) Kesiapan media: Leaflet.
2. Evaluasi Proses
a) Klien dan keluarga mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan
secara benar
b) Waktu sesuai dengan rencana (15 menit)
3. Evaluasi Hasil
a) Keluarga dan pasien mengetahui definisi nutrisi
b) Keluarga dan pasien mengetahui Kebutuhan Nutrisi Pada Lansia
c) Keluarga dan pasien mengetahui Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kebutuhan Gizi Pada Lansia
d) Keluarga dan pasien mengetahui Menu Sehat Bagi Lansia
e) Keluarga dan pasien mengetahui Pedoman untuk memilih bahan makanan
yang sehat
f) Keluarga dan pasien mengetahui Cara mengolah makanan
g) Keluarga dan pasien mengetahui Cara menghidangkan makanan

H. Sumber

Kozier, B. (n.d.). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier. Jakarta: EGC.

Maryam, S. (2012). Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya. Jakarta: Salemba


Medika.

Potter & Perry, 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik, Jakarta: EGC

72
Lampiran
A. Definisi
Nutrisi adalah hasil akhir dari semua interaksi antara organisme dan makanan
yang dikonsumsinya. Dengan kata lain nutrisi adalah apa yang dimakan seseorang
dan bagaimana tubuh menggunakannya. Nutrient adalah zat organik, zat
nonorganik, dan zat yang memproduksi energy yang ditemukan dalam makanan
dan dibutuhkan untuk fungsi tubuh. Manusia memerlukan nutrient yang penting
dalam makanan untuk pertumbuhan dan mempertahankan semua jaringan tubuh
serta fungsi normal dari seluruh proses tubuh.
B. Kebutuhan Nutrisi Pada Lansia
Setiap mahkluk hidup membutuhkan makanan untuk mempertahankan
kehidupannya, karena didalam makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan
tubuh untuk melakukan kegiatan metabolismenya. Bagi lansia pemenuhan
kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu dalam proses
beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang
dialaminya selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh
sehingga dapat memperpanjang usia. Kebutuhan kalori pada lansia berkurang
karena berkurangnya kalori dasar dari kebutuhan fisik. Kalori dasar adalah kalori
yang dibutuhkan untuk malakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat,
misalnya : untuk jantung, usus, pernafasan dan ginjal.
Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi dibagi ke dalam tiga kelompok
besar, yaitu:
1. Kelompok zat energi, termasuk ke dalam kelompok ini adalah :
a. Bahan makanan yang mengandung karbohidrat seperti beras, jagung,
gandum, ubi, roti, singkong, selain itu dalam bentuk gula seperti gula,
sirup, madu dan lain-lain.
b. Bahan makanan yang mengandung lemak seperti minyak, santan, mentega,
margarine, susu dan hasil olahannya.
2. Kelompok zat pembangun
Kelompok ini meliputi makanan – makanan yang banyak mengandung

73
protein, baik protein hewani maupun nabati, seperti daging, ikan, susu,
telur, kacangkacangan dan olahannya.
3. Kelompok zat pengatur
Kelompok ini meliputi bahan-bahan yang banyak mengandung vitamin
dan mineral, seperti buah-buahan dan sayuran.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Gizi Pada Lansia
1. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat kerusakan gigi atau
ompong.
2. Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan terhadap cita
rasa manis, asin, asam, dan pahit.
3. Esophagus/kerongkongan mengalami pelebaran.
4. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.
5. Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah dan biasanya menimbulkan
konstipasi.
6. Penyerapan makanan di usus menurun.
D. Menu Sehat Bagi Lansia
1. Perencanaan Makanan untuk Lansia
a. Makanan harus mengandung zat gizi dari makanan yang beraneka
ragam, yang terdiri dari : zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.
Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang. Porsi makan
hendaknya diatur merata dalam satu hari sehingga dapat makan lebih
sering dengan porsi yang kecil.
b. Banyak minum dan kurangi garam, dengan banyak minum dapat
memperlancar pengeluaran sisa makanan, dan menghindari makanan
yang terlalu asin akan memperingan kerja ginjal serta mencegah
kemungkinan terjadinya darah tinggi.
c. Batasi makanan yang manis-manis atau gula, minyak dan makanan yang
berlemak seperti santan, mentega dan lain-lain.
Bagi pasien lansia yang proses penuaannya sudah lebih lanjut perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut : Memakan makanan yang mudah

74
dicerna, menghindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan goring-
gorengan, bila kesulitan mengunyah karena gigi rusak atau gigi palsu
kurang baik, makanan harus lunak/lembek atau dicincang, makan dalam
porsi kecil tetapi sering, makanan selingan atau snack, susu, buah, dan
sari buah sebaiknya diberikan.
d. Batasi minum kopi atau teh, boleh diberikan tetapi harus diencerkan
sebab berguna pula untuk merangsang gerakan usus dan menambah
nafsu makan.
e. Makanan mengandung zat besi seperti : kacang-kacangan, hati, telur,
daging rendah lemak, bayam, dan sayuran hijau.
f. Lebih dianjurkan untuk mengolah makanan dengan cara dikukus,
direbus, atau dipanggang, kurangi makanan yang digoreng.
E. Pedoman Untuk Memilih Bahan Makanan Yang Sehat
1. Makanan yang beraneka ragam dan mengandung gizi yang cukup.
2. Makanan yang mudah dikunyah dan dicerna.
3. Protein yang berkualitas seperti susu, telur, daging, dan ikan.
4. Sumber karbohidrat seperti roti, daging, dan sayur-sayuran berwarna hijau.
5. makanan yang terutama mengandung lemak nabati dikurangi serta kurangi
makanan yang mengandung lemak hewani.
6. Makanan yang mengandung zat besi seperti kacang-kacangan, hati, daging,
bayam, sayuran hijau, dan makanan yang mengandung kalsium seperti ikan
atau sayur-sayuran.
7. Batasi makanan yang diawetkan.
8. Minum air putih 6-8 gelas sehari karena kebutuhan air meningkat serta untuk
memperlancar proses metabolisme. Banyak minum air putih dapat mencegah
terjadinya dehidrasi (kekurangan cairan) serta menurunkan risiko menderita
batu ginjal.
F. Cara Mengolah Makanan
1. Bersihkan sayuran sebelum dimasak.

75
2. Cuci sayuran dalam keadaan utuh, kemudian potong-potong agar zat gizi yang
terkandung di dalamnya tidak hilang.
3. Rebus sayur sesingkat mungkin.
4. Bahan makanan dimasukkan / dikukus setelah air mendidih.
5. Makanan bias di tim atau di tumis.
6. Batasi garam dan bumbu penyedap yang merangsang.
7. Pakailah penyedap rasa alamiah seperti bawang putih, kunyit, jahe, dll.
G. Cara Menghidangkan Makanan
1. Jenis sayura yang dihidangkan hendaknya berganti-ganti.
2. Makanan yang dihidangkan secara menarik agar menimbulkan selera makan.
3. Bila menyajikan sayuran mentah, cucilah sampai bersih.
4. Kurangi minum the, kopi, dan coklat.
5. Hindari minuman yang mengandung alkohol.

H. Pemantauan Status Nutrisi


1. Penimbangan Berat Badan
a. Penimbangan BB dilakukan secara teratur minimal 1 minggu sekali,
waspadai peningkatan BB atau penurunan BB lebih dari 0.5 Kg/minggu.
Peningkatan BB lebih dari 0.5 Kg dalam 1 minggu beresiko terhadap
kelebihan berat badan dan penurunan berat badan lebih dari 0.5 Kg
/minggu menunjukkan kekurangan berat badan.
b. Menghitung berat badan ideal pada dewasa :
IMT = BB
TB x TB
BB = Berat Badan (kg)
TB = Tinggi Badan (m)
Apabila : IMT 25-27 = kegemukan
IMT >27 = Obesitas
2. Kekurangan kalori protein
Waspadai lansia dengan riwayat : Pendapatan yang kurang, kurang

76
bersosialisasi, hidup sendirian, kehilangan pasangan hidup atau teman,
kesulitan mengunyah, pemasangan gigi palsu yang kurang tepat, sulit untuk
menyiapkan makanan, sering mangkonsumsi obat-obatan yang mangganggu
nafsu makan, nafsu makan berkurang, makanan yang ditawarkan tidak
mengundang selera. Karena hal ini dapat menurunkan asupan protein bagi
lansia, akibatnya lansia menjadi lebih mudah sakit dan tidak bersemangat.
3. Kekurangan vitamin D
Biasanya terjadi pada lansia yang kurang mendapatkan paparan sinar
matahari, jarang atau tidak pernah minum susu, dan kurang mengkonsumsi
vitamin D yang banyak terkandung pada ikan, hati, susu dan produk
olahannya.

77

Anda mungkin juga menyukai