0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
41 tayangan6 halaman

Cerpen 1

Cerpen ini menceritakan tentang seorang remaja bernama Randy yang mengalami mimpi buruk mengenai kecelakaan yang menimpa keluarganya saat berziarah ke makam. Meskipun awalnya ditertawakan, namun mimpi itu ternyata menjadi kenyataan. Randy mendapat kabar dari polisi bahwa keluarganya mengalami kecelakaan mobil dan dalam keadaan kritis di rumah sakit. Setelah tiba di rumah sakit, Randy men

Diunggah oleh

Tegar Abi Pambayun
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai ODT, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Unduh sebagai odt, pdf, atau txt
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
41 tayangan6 halaman

Cerpen 1

Cerpen ini menceritakan tentang seorang remaja bernama Randy yang mengalami mimpi buruk mengenai kecelakaan yang menimpa keluarganya saat berziarah ke makam. Meskipun awalnya ditertawakan, namun mimpi itu ternyata menjadi kenyataan. Randy mendapat kabar dari polisi bahwa keluarganya mengalami kecelakaan mobil dan dalam keadaan kritis di rumah sakit. Setelah tiba di rumah sakit, Randy men

Diunggah oleh

Tegar Abi Pambayun
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai ODT, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Unduh sebagai odt, pdf, atau txt
Unduh sebagai odt, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 6

Cerpen Sedih – Mimpi Merajut Misteri

Abdul Basit Hasanudin

Gontai kuberjalan. Galau hati tak menentu. Keramaian saat itu di sekeliling, mulai hilang satu per
satu. Kulayangkan pandang pada sebuah tangga berbahan bambu. Kupegang tangga itu lalu
kujadikan tempat bersandar sesaat. Dalam hitungan menit, tangga itu kupeluk bagaikan sahabat
baru yang menemaniku arungi gelombang kehidupan.

Saat anak tangga terakhir kupanjat, dihadapanku tampaklah hamparan genting merah. Kududuk di
atasnya dengan memeluk kedua kaki. Walaupun sentuhan angin malam kencang menyapa lapisan
kulit, tak membuatku bergeming beranjak dari duduk di atap itu.

Indahnya malam itu begitu sempurna. Rembulan tampil bulat dengan bintang-bintang bertebaran
disekelilingnya. Namun, semua itu tak jua menghibur hatiku yang telah padam. Semua karena
peristiwa itu!

Aku seorang remaja yang baru menuju dewasa. Belum mengerti arti kehidupan sebenarnya. “Kau
tidak adil, ya Allah!” teriakku lantang memecah malam. Berharap bulan menjawab dengan sesuatu
yang menenangkan jiwa.Namun, bulan bungkam.Pagi yang cerah di ruang keluarga. Tiga hari yang
lalu.

“Ran… Randy,” panggil Ibu mesra sambil memasak sarapan pagi untuk kami.

“Ada apa, Bu?” jawabku singkat tanpa menoleh sedikit pun.

Hari ini ayah, ibu, kakak, dan adikku berencana berziarah ke makam nenek dan kakek. Hanya aku
yang tidak ikut, mengingat tugas sekolah yang semakin menumpuk sehingga mengambil sebagian
besar waktu luangku. Sekali pun, hari ini libur.Aku memang satu-satunya orang yang tidak
menyetujui kepergian itu. Selain tugas yang menumpuk, aku berpirasat buruk dengan kepergian ini.

“Benar kamu tidak mau ikut?” tanya Ibu menatap mataku sendu.

“Bu, Ibu harus mendengarkan Randy kali ini. Randy benar-benar berpirasat buruk dengan
keberangkatan ini, Bu. Randy mimpi buruk…,” ujar aku lirih sambil menelan ludah. “Randy, tidak
tenang untuk membiarkan ibu berziarah,” lanjut aku lagi memohon ke Ibu sambil memegang kedua
tangan hangatnya.

Namun, Ibu tidak bereaksi apa-apa. Ibu hanya tersenyum dan melanjutkan aktivitasnya kembali.
Tinggallah rasa khawatirku terus menggoda untuk membujuk Ayah dan Ibu untuk membatalkan
keberangkatan itu.Beberapa menit berlalu. Kulihat Ayah, Ibu, Kakak dan Adik berpakaian rapi.
Kurasa, mereka akan tetap berziarah. Aku hanya terdiam dan berharap jika mimpiku tidak benar
adanya. Kalaupun keluargaku berziarah, mereka diberi keselamatan oleh Allah.“Wahai Allah yang
Maha berkehendak, jadikanlah mereka untuk membatalkan keberangkatan ini. Bukanlah Engkau
menjadikan segala yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang tidak terjadi menjadi terjadi?” rintih
hatiku penuh harap semoga Allah yang Maha pengabul itu mengabulkan doaku.Kududuk di sebelah
kiri ayah di meja makan. Kutatap semua wajah yang ada di meja itu. Mereka terlihat lebih rapi,
terutama ibu. Ibu terlihat cantik sekali pagi ini.

Tiba-tiba pirasatku lewat mimpi semalam menari-nari dibenak. Akupun memejamkan mata lama.
“Semua baik-baik saja,” batinku menenangkan.
“Kenapa makanannya dianggurkan, Ran?” tanya Ayah lembut, beda dari biasanya.

Ayah, sebenarnya tidak pernah bertanya seperti itu. Ayah mana peduli denganku. Selama ini, ayah
hanya membanggakan kakak. Kakak berkuliah di Australia. Kakak yang sangat pintar. Kakak yang
mendapatkan banyak prestasi.Semua itu berbeda jauh denganku. Aku memang masuk lima besar di
kelasku, tapi ayah tidak akan menoleh sedikitpun sebelum aku juara kesatu.

“Nggak, Yah. Randy hanya takut terjadi sesuatu di jalan kalau kalian jadi berangkat. Lebih baik
batalkan saja, Yah. Mimpi Randy semalam….” Belum juga selesai kata-kata Randy, kakaknya tiba-tiba
memotong.

“Hei, you!” sambil menunjukku, “lebay banget!” lanjut Kakak lagi ketus. “Tenang saja, Nak. Allah
pasti melindungi hamba-Nya jika mempunyai niat baik,” ucap ayah menenangkanku. Mungkin kata-
kata ayah ada benarnya. Allah pasti melindungi mereka karena mereka mempunyai niat baik.

Mereka menyelesaikan sarapan sedikit lebih cepat dariku. Kemudian mereka bergegas untuk
berangkat. Saat itu, ayah yang keluar terlebih dahulu melihat keadaan mobil. Baru diikuti ibu, kakak,
dan adikku. Setelah sampai di luar rumah, mereka langsung masuk mobil. Mobil melaju perlahan
mulai meninggalkan rumah.Tiba-tiba pirasat itu begitu jelas menghampiri. Kali ini sampai sesak
napas aku mengingatnya. “Stop! Jangan pergi dulu!” teriakku nyaring.

“Duh, Lebay, kenapa lagi sih lu?” tanya kakak sedikit ketus.

“Kalian tetap jadi pergi?” tanyaku memelas.Mereka tersenyum. Hanya kakak yang jengkel
menatapku.

“Kamu itu terlalu sayang kami, Randy,” sahut Ibu lembut.

“Kak, kalau sudah sampai hubungi aku ya?” ucapku untuk menghilangkan rasa cemas.

“Iya, Randy bawel,” sahut kakak masih menampakkan keki.

Tak lama mereka pun berangkat. Tampak kini mobil yang mereka tumpangi menjauh. Aku hanya
terdiam, duduk, kadang mondar mandir, dan tidak semangat mengerjakan pekerjaan sekolah. Aku
hanya berharap sesampainya mereka di tempat tujuan, kakak segera mengabariku.

Dua jam berlalu.

“Ring-ring-ring…,” bunyi telepon masuk membuat jantungku berdegub kencang. Aku bimbang
memutuskan antara diangkat atau tidak. Kekhawatiranku memuncak. Jangan-jangan mimpi itu
terbukti. Air mata pun tak dapat terbendung. Aku nyaris roboh.

“Jangan, ya Allah. Tolong…,” dengan suara yang nyaris tak terdengar, aku berdoa. Namun, deringan
telepon semakin lantang memanggil-manggil untuk diangkat. Dengan tangan bergetar dan langkah
tertatih, perlahan kuhampiri gagang telepon.

Aku menelan ludah, “Ha-halo?” tanyaku terbata-bata.


“Hei, lebay! Lama amat diangkatnya? Lagi ngapain sih?” suara kakakku nyata terdengar.

“Kak, ini Kakak?” tanyaku nyaris histeris.

“Ya iyalah. Kamu pikir ini siapa?”

Senyum gembira pun terlukis di wajahku. Tak terbayangkan betapa bahagianya aku saat itu. “Jadi
Kakak dan yang lain sudah sampai?”

“Iya. Kami sudah sampai lebay. Sudah puas? Beres dari sini kami langsung pulang,” ucap kakakku
dengan ciri khasnya yaitu agak ketus.

“He-he-he, iya. Adikmu yang tampan ini setia menunggu kalian pulang. Jangan lupa bawa oleh-oleh,
ya,” jawabku senang bukan kepalang.

“Ya, sudah. Kita mau ke makam dulu ya, Bye. Tunggu telepon dari kakak lagi.”

“Baik.” Jawabku bersemangat.

Tut-tut-tut. Telepon pun diputus.

Mungkin memang benar adanya. Aku terlalu sayang mereka. Sampai mimpi buruk semalam
kusimpulkan menjadi sebuah pirasat. Padahal hal itu tak mendasar sekali.

Aku pun melanjutkan aktivitas kembali. Dengan tenang kududuk di depan laptop yang setiap hari
kupakai mengerjakan tugas. Kunyalakan musik. Taklama terdengarlah lagu Ebiet mengalun.

Tuhan pasti telah memperhitungkan

Amal dan Dosa yang kita perbuat

Kemanakah lagi kita kan sembunyi

Hanya kepadaNya kita kembali


Tak ada yang bakal bisa menjawab

Mari hanyalah sujud padaNya

Du du du du du

Dududu….Oo..Ooo..Oo…ho

Tak lama terdengar lagi telepon berbunyi. Dengan perasaan riang akupun mendekati. Aku sudah siap
jika nanti ditanya oleh-oleh. Hatiku pun tertawa bahagia.

“Halo, Kak?”

“Halo, selamat siang. Ini rumah kediaman Bapak Harianto?” tanya yang di sana.

Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. “Iya, saya putra Bapak Harianto,”

“Kami dari kepolisian. Bapak Hariato sekeluarga mengalami kecelakaan. Mobil yang dikendarainya
masuk jurang. Sekarang mereka ada di Rumah Sakit Harapan Jaya. Mereka semua dalam keadaan
kritis…,” ucap Pak polisi panjang lebar.

Aku bungkam. Sekelebat teringat lagi mimpiku semalam. Aku tidak tahu tepatnya daerah itu. Hal
pasti, daerah itu banyak ditumbuhi tanaman liar, pohon bambu yang gelap, dengan pohon yang ku
tak tahu namanya menjulang tinggi. Sementara tak jauh dari situ, terdapat sungai deras. Saat itu,
semua anggota keluargaku berlumuran darah, terutama kakak dan adikku. Antar anggota yang satu
dengan yang lain pun berjauhan jaraknya. Tampaknya terpental. Kusadari kini, ternyata itu jurang.

Akhirnya, aku pun tak kuasa. Gagang telepon pun jatuh dari genggaman. Kusandarkan tubuhku ke
dinding lalu duduk di lantai. Tangan, kaki, dan badanku terasa berat. Begitu pula, kepalaku serasa
dihantam jutaan ton batu kali. Kurasakan hanya air mata yang menetes satu per satu.

“Ibu…!” jeritku nyaring. Aku harus melihat ibu.

Aku bergegas pergi ke rumah sakit tanpa mengusap satu pun air mata yang mengalir diwajah.
Sesampainya di rumah sakit, sekencang mungkin kuberlari menghampiri meja receptionist untuk
menanyakan keberadaan keluargaku. Ternyata mereka dalam satu ruangan yang sama dan hanya
dipisah oleh selembar kain.

Tampak di mataku, mereka sedang diperiksa oleh dokter. Aku memaksa masuk. Kudapati Ibu yang
tergeletak parah dengan bercucuran darah. Ia terlihat sangat tidak berdaya.

Kulirik kesampingnya, kudapati ayah yang lebih parah dari ibuku. Kepala dan kakinya diperban,
tetapi tampaknya tak dapat membendung darah segar yang keluar dari tubuhnya.

Di samping Ayah, terlihat dua orang pasien yang sudah ditutup oleh selebar kain putih tipis. Aku
melangkah perlahan mendekati salah satu pasien itu. Jantungku berdegup kencang. Ku tidak bisa
menghentikan tangisan ini. Kubuka sedikit demi sedikit kain yang menutupi wajahnya itu. Kulihat
seorang pria muda yang sangat tampan, Kakakku. “Innalillahi…” tangisku dalam hati. Kakakku sudah
meninggal.

“Kakak…!” teriakku kencang, “bangun, Kak. Katakan aku lebay lagi, bawel, atau apapun. Tapi jangan
tinggalkan Randy….” Ucapku tertatih.

Akupun teringat satu pasien lagi. Dengan cepat kusibakkan penutup wajahnya. Memang dia adikku.
“Innalillahi….” Adikku pun meninggal.

Tangisku pun memecah. Histeris kupeluk mayat adikku yang sudah kaku terbujur dan tidak
kurasakan hangat ditubuhnya. Saat kumemeluk mayat adikku itulah, sekilas kumendengar suara
suster berbisik, “Dok, Dokter. Kedua pasien ini sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”

“Ayah… Ibu….!” Panggilku sambil menangis.

“Aaa….!” Akupun menjerit sejadi-jadinya.

Aku limbung.

“Prakkk” tiba-tiba suara genting jatuh membangunkanku dari bayangan tiga hari lalu.

Tidak terasa sudah tiga jam aku berada di atas genting belakang rumahku. Ku tatap bulan dan
bintang dalam heningnya malam dengan hampa hati. Kini aku hanya bisa berdoa.
“Ya Allah, aku tetap percaya pada-Mu. Kau memang mempunyai rencana lain untukku. Aku mohon
kali ini kabulkan doaku. Berikan mereka ketenangan di surga sana. Berikan mereka satu per satu
bintang yang sedang kulihat ini agar bintang ini menyampaikan rasa rinduku dan agar mereka
mengingatku selalu. Ya Allah, berikanlah aku ketabahan menerima semua ini. Akan aku buktikan
pada keluargaku kelak, aku bisa menjadi orang kebanggaan ayah. Aku bisa berprestasi seperti kakak.
Satu lagi mohonku, berikan aku orang-orang yang akan menemaniku dari pagi sampai malam, dari
hidup sampai mati, dari sendiri sampai penuh kebersamaan. Kuyakin Kau Maha pengabul doa ya
Allah. Amin.”

Setahun telah berlalu. Memang benar. Allah Maha pengabul doa yang tiada tertandingi. Aku
mempunyai banyak sahabat. Sekarang ada paman dan bibiku yang menemaniku di rumah. Aku pun
menjadi juara umum di sekolah sehingga aku dibebaskan dari semua biaya sekolah. Walaupun setiap
saat setiap waktu aku mengingat ayah, ibu, kakak dan adikku, tapi aku yakin mereka bahagia di surga
sana.

Sesungguhnya hanya kepada Allah lah tempat kita kembali.

Anda mungkin juga menyukai