Artikel Sejarah Indonesia Masa Kolonial
Artikel Sejarah Indonesia Masa Kolonial
Artikel Sejarah Indonesia Masa Kolonial
TERHADAP BELANDA)
DISUSUN OLEH :
UNIVRSITAS TADULAKO
2022
DEPRESI EKONOMI DUNIA 1930 DAN DAMPAKNYA
TERHADAP BELANDA
PENDAHULUAN
Praktik kolonisasi oleh pemerintah kolonial pada periode awal abad 20 memberi
keuntungan bagi sebagian pihak yang berkepentingan.Wujud kolonisasi yang meliputi
edukasi, irigasi, dan emigrasi merupakan pengejawan tahan dari kebijakan politik etis.
(Sudarno, 2019) menyebut kebijakan tersebut dengan I stilah politik kolonialisasi baru,
dimana politik etis bertujuan untuk menguasai dan menjaga kekuasaan di Hindia Belanda
oleh pemerintah kolonial. Masuknya kritikan kepada pemerintah kolonial atas praktik
kolonialisme yang buruk pada abad 19 turut mendoron dilakukannya reorientasi politik tersebut.
Perkembangan pada sektor ekonomi menunjukkan hasil signifikan. Politik etis telah
menumbuhkan perekonomian di Sumatera melalui program transmigrasi untuk memenuhi
kebutuhan buruh, yang sebagian besar berasal dari Jawa. Perkebunan menjadi sektor
utama dalam pengembangan ekonomi di Sumatera.
Sejak awal abad 20, bersamaan dengan politik etis, perkembangan modal swasta di luar
Jawa muncul secara berkelanjutan, kecuali Sumatera Timur yang sudah berkembang sejak tahun
1860an (Leirissa, 1996: 74). Selain itu, muncul komoditas baru yang dikembangkan seperti karet
dengan nilai ekonomis tinggi. Politik etis secara umum menunjukkan kemajuan dalam sektor
ekonomi yang dapat dilihat melalui perkembangan perkebunan dan penyerapan tenaga kerja dari
Jawa ke Sumatera. Di balik meningkatnya nilai perekonomian, pemerintah kolonial
dihadapkan pada konstelasi politik global. Perang Dunia I membawa dampak yang besar, tidak
hanya pada sektor politik, tetapi juga pada sektor ekonomi. Pada awal tahun 1920an
setelah berakhirnya Perang Dunia I, terjadi krisis ekonomi yang menghantam dunia, dan
tentunya juga Hindia Belanda. Perang mengakibatkan berkurangnya barang-barang
untuk kebutuhan sehari-hari karena telah memusnahkan faktor-faktor produksi dalam
jumlah signifikan (Sulistyo, 1995: 54). Minimnya barang yang tidak sebanding dengan
permintaan menjadikan instabilitas harga barang. Rakyat yang menderita menyuarakan
protes, di samping meluasnya organisasi pergerakan pada tahun 1920an. Namun secara umum,
krisis ekonomi mereda memasuki pertengahan 1920an.
Menjelang tahun 1930, perekonomian dunia kembali diguncang krisis yang lebih
besar.Peristiwa tersebut dikenal sebagai depresi ekonomi yang meluas pada tahun 1930an dalam
tempo yang lebih lama dan dampak yang lebih hebat dari krisis sebelumnya. Susanto Zuhdi
(2002: 67) menerangkan bahwa konsep resesi dan depresi memiliki perbedaan, di mana resesi
berlangsung lebih pendek dari depresi. Sedangkan Ingleson (2013: 211) menyebutkan
bahwa tahun 1930an adalah dekade depresi ekonomi yang panjang, yang terjadi di seluruh
dunia dengan dampak pengangguran yang sebelumnya belum pernah terjadi. Depresi
ekonomi dikenal pula dengan sebutan zaman meleset atau malaise. Istilah tersebut banyak
digunakan oleh pers bumiputra pada tahun 1930an untuk menyebut masa depresi ekonomi yang
serba sulit.
PEMBAHASAN
Depresi ekonomi memberi dampak besar bagi Hindia Belanda. Keadaan Hindia
Belanda pada masa depresi ekonomi merupakan suatu perekonomian yang sangat
kompleks (Wibowo, 2012: 23). Berbagai sektor usaha mengalami kemerosotan, yang dapat
dilihat dari berkurangnya jumlah pabrik di Hindia Belanda pada tahun 1935 jika dibandingkan
dengan tahun 1930, yang meliputi pabrik gula, pabrik pengolahan kayu, pabrik metal dan
mesin, serta pabrik yang memproduksi makanan, minuman dan tembakau (Wibowo, 2012:
23). Kemerosotan yang dialami oleh berbagai sektor usaha berdampak pada kehidupan
penduduk Hindia Belanda. Hal tersebut menggambarkan bahwa dampak depresi ekonomi
menerjang kehidupan ekonomi dan sosial di Hindia Belanda. Oleh sebab itu, pada bagian
ini akan dibahas bagaimana depresi ekonomi berdampak pada bidang usaha dan kehidupan
sosial penduduk Hindia Belanda.
Gula sebagai komoditas menguntungkan sejak abad 19 turut mengalami kemerosotan harga
dan jumlah ekspor selama masa depresi ekonomi. Hal tersebut berdampak pada eksistensi
pabrik gula di Hinda Belanda. Dalam kurun waktu empat tahun sejak depresi ekonomi
melanda Hindia Belanda pada 1930, jumlah pabrik gula yang beroperasi di Jawa mengalami
penurunan, dari 179 menjadi 54 pabrik (Schaik, 1996: 49). Tidak hanya sampai di situ,
industri gula yang terhubung dengan perkebunan tebu turut mengikis jumlah lahan yang
ditanami tebu. Menurut O’malley, luas lahan tanaman tebu terus mengalami penurunan pada
tahun 1930-1933, meskipun mengalami sedikit kenaikan pada 1934 (Prisma 8 Agustus 1983:
44). Dalam hal ini menunjukkan, bahwa industri gula merupakan bidang usaha yang
terintegrasi dengan sektor perkebunan yang memiliki pengaruh besar bagi perekonomian Hindia
Belanda.
Pada bidang usaha mandiri yang digerakan oleh bumiputra seperti sektor perikanan,
mendapat tekanan dari rendahnya nilai jual ikan. Sedikit dari nelayan yang melaut memengaruhi
sepinya los-los penggaraman ikan. Berdasar laporan Residen Rembang yang dikeluarkan
pada tahun 1931, menyebutkan bahwa terjadi penurunan penjualan ikan asin, yakni 158.650
Kg pada 1929 menurun pada 1930 menjadi 62.027 Kg (Warto, 2010: 101). Masalah lain
yang dihadapi nelayan adalah sulitnya mendapat kayu berukuran panjang yang digunakan
sebagai bahan pembuatan perahu Mayang yang digunakan untuk melaut. Nelayan pun
bergerser menggunakan perahu model baru untuk tetap dapat melaut.
Toko kelontong yang dikelola oleh kalangan menengah-bawah harus menaikkan harga
dagangan guna menyelamatkan usaha mereka. Hal tersebut terjadi pada toko kelontong
milik sebagian pedagang Tionghoa di Cirebon. Mereka tidak sepenuhnya menerima
kebijakan pemerintah tentang batas keuntungan setiap barang yang boleh diambil (Wahid,
2009: 135). Oleh karena itu, menaikkan harga merupakan sebuah keharusan, meskipun
dihadapkan pada ancaman hukuman bagi para pedagang yang diketahui melanggar. Apa
yang terjadi pada toko kelontong dan nelayan selama masa depresi ekonomi telah
menunjukkan bahwa dampak depresi ekonomi melanda hingga bidang usaha kecil yang
digerakan oleh kelas menengah dan bawah dalam struktur sosial masa itu.
Selama tahun 1930-1937, jumlah pegawai Jawatan Kereta Api Negara berkurang dari
44.089 orang menjadi 28.532 orang (Ingleson, 2015: 258). Hal serupa juga terjadi pada pegawai
pegadaian. Sejak awal 1930an, pegawai pegadaian mengalami pemecatan secara bertahap. Tidak
semua pegawai mengalami pemecatan, tetapi bagi mereka yang dipertahankan akan mengalami
pemotongan upah. Sedangkan pada sektor swasta, buruh secara signifikan kehilangan
pekerjaan mereka, terutama buruh perkebunan yang tersebar di Jawa dan Sumatera. Politik
kolonisasi yang dilakukan sejak awal abad 20 memperparah tingkat pengangguran. Hal ini tidak
terlepas dari kebijakan emigrasi, di mana tercatat pada tahun 1905-1930 dilakukan
pengiriman penduduk Jawa ke Lampung sebanyak 30.000 jiwa dan 7.000 jiwa ke daerah
lainnya di Sumatera (Sudarno, 2019: 124). Pengiriman tersebut didorong oleh
pengembangan perkebunan di Sumatera yang membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga
ketika depresi ekonomi pengangguran tersebar di daerah-daerah perkebunan di Sumatera
sebagai dampak pemecatan.
Kriminalitas pada masa depresi ekonomi bertambah (Daulat Ra’jat, 20 Juli 1932, 3).
Meningkatnya kriminalitas dalam bentuk pencurian dan pembegalan didorong oleh kesulitan
akibat kemiskinan dan kelaparan. Daulat Ra’jat (20 Juli 1932: 3) mewartakan bahwa sebagian
bumiputra yang kelaparan melakukan kejahatan, sebagian masuk hutan untuk mencari
makanan, dan sebagian lagi diam menerima keadaan. Pada tahun 1930-1932, kriminalitas di
sejumlah daerah di pantai utara Jawa meningkat. Kabupaten Pati, Rembang, Jepara, Kudus, dan
Blora menunjukkan peningkatan kriminalitas secara umum, baik kejahatan kategori biasa
maupun berat. Pada tahun 1930 total kejahatan di lima kabupaten tersebut sebanyak 4123
kasus, kemudian meningkat menjadi 5003 kasus pada 1931, dan 5488 kasus pada 1932
(Warto, 2010: 121).
Bentuk protes yang lebih keras dilakukan oleh para kelasi bumiputra di kapal De Zeven
Provincien pada tahun 1933. Pengurangan gaji pada masa depresi dan cara pengurangan
itu diumumkan menjadi salah satu faktor pendorong gerakan protes yang diejawantahkan
melalui pemberontakkan di kapal (Blom, 2015: 33). Pada Februari 1933, pemberontakkan
tersebut terjadi dan pada akhirnya berhasil dipadamkan. Para kelasi yang terlibat dalam
pemberontakan mendapat hukuman. Bagaimanapun juga, apa yang terjadi di De Zeven
Provincien merupakan tindakan yang merepresentasikan ketidaksukaan buruh pada kebijakan
pemerintah kolonial pada masa depresi dengan pemotongan gaji. Aksi tersebut juga
menunjukkan melunturnya relasi antara bumiputra dengan pihak kolonial yang tidak dapat
menjamin kehidupan kelasi.
Depresi ekonomi yang disebabkan oleh faktor eksternal dan diperparah oleh faktor
internal tidak hanya berdampak pada perekonomian Hindia Belanda, tetapi juga berdampak
pada kehidupan sosial dan politik. Buruknya penanganan pemerintah kolonial dalam
mengatasi dampak depresi ekonomi yang ditunjukkan dengan sikap diskriminatif,
pemecatan dan pemotongan gaji, serta abai terhadap masukan rakyat memicu menurunnya
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Krisis kepercayaan yang tumbuh di kalangan
bumiputra ditunjukkan melalui aksi protes oleh serikat buruh dan organisasi pergerakan
berasas nonkooperasi guna menentang kebijakan pemerintah kolonial. Meski aksi protes
melalui serikat kerja dan pergerakan organisasi nonkooperasi tidak dilakukan oleh
keseluruhan bumiputra karena mayoritas pergerakan dilakukan di kota-kota besar, akan
tetapi hal tersebut merepresentasikan sikap bumiputra secara umum terkait kekecewaan
mereka terhadap pemerintah kolonial. Hal ini semakin mempertegas perbedaan kelas dalam
struktur sosial Hindia Belanda, yakni pertentangan antara bumiputra dan bangsa Barat
sebagai pemegang kekuasaan. Oleh karena itu, yang terjadi pada periode awal 1930an telah
menunjukkan bahwa depresi ekonomi bukan sekadar peristiwa ekonomi, tetapi juga
menyangkut kehidupan sosial khusu bumiputra. Depresi telah menimbulkan ekses-ekses
sosial berupa pengangguran dan kemiskinan, dan memicu adanya aksi protes bumiputra
karena turunnya kepercayaan terhadap pemerintah kolonial yang cenderung diskriminatif dalam
penanganan dampak depresi ekonomi, sehingga terlihat polarisasi antara bumiputra yang
ditempatkan pada struktur sosial bawah dan bangsa Barat yang menempati struktur sosial atas.
bumiputra. Depresi telah menimbulkan ekses-ekses sosial berupa pengangguran dan
kemiskinan, dan memicu adanya aksi protes bumiputra karena turunnya kepercayaan
terhadap pemerintah kolonial yang cenderung diskriminatif dalam penanganan dampak depresi
ekonomi, sehingga terlihat polarisasi antara bumiputra yang ditempatkan pada struktur sosial
bawah dan bangsa Barat yang menempati struktur sosial atas. snya relasi antarstruktur, yakni
pemerintah kolonial dan bumiputra. Depresi telah menimbulkan ekses-ekses sobumiputra.
Depresi telah menimbulkan ekses-ekses sosial berupa pengangguran dan kemiskinan, dan
memicu adanya aksi protes bumiputra karena turunnya kepercayaan terhadap pemerintah
kolonial yang cenderung diskriminatif dalam penanganan dampak depresi ekonomi, sehingga
terlihat polarisasi antara bumiputra yang ditempatkan pada struktur sosial bawah dan bangsa
Barat yang menempati struktur sosial atas.
DAFTRA PUSTAKA
Blom 1943-, J. C. H. (2015). De Zeven Provincien : ketika kelasi Indonesia berontak (1933) /
J.C.H. Blom, E. Touwen-Bouwsma ; pengantar, Taufik Abdullah (E. Touwen-
Bouwsma, Ed.). Menteng, Jakarta: LIPI Press.
Gottschalk, L., & Notosusanto, N. (1975). Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah.
Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Hudiyanto, R. (2009). Yang Tersisa di Tengah Kemajuan: Kaum Miskin di Kota Malang
1916-1950. In S. Margana & M. Nursam (Eds.), Kota-kota di Jawa: Identitas, Gaya
Hidup dan Permasalahan Sosial (pp. 133–142). Yogyakarta: Ombak.
Ingleson, J. (2013). Perkotaan, masalah sosial dan perburuhan di Jawa masa kolonial.
Komunitas Bambu.
Ingleson, J. (2015). Buruh, serikat dan politik: Indonesia pada 1920an-1930an. Marjin Kiri.
Kartodirdjo, S. (1967). Politik Kolonial Belanda Antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Lembaran Sejarah, IV(8), 30–50.
Kuntowijoyo, M. S. (2003). Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Leirissa, R. Z. (1996). Sejarah Perekonomian Indonesia. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Lindblad, T. (2016). Krisis Ekonomi dalam Sejarah Indonesia Abad ke-20: Tinjauan
Ekonomi Makro. In B. White & P. Boomgaard (Eds.), Dari Krisis ke Krisis:
Masyarakat Indonesia Menghadapi Resesi Ekonomi Selama Abad 20 (pp. 20–45).
Yogyakarta: Gadjah mada University Press.
Lucas, A. (1989). Peristiwa TIga Daerah (1st ed.). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Miftahuddin. (2002). Surakarta pada Masa Depresi Ekonomi 1930an. Lembaran Sejarah,
IV(2), 51–68.
Neytzell de Wilde, A., Moll, J. T., & Gooszen, A. J. (1936). The Netherlands Indies durinq the
Depression, a Brief Economic Survey. Amsterdam, Meulenhoff.