Laporan Penelitian Suku Dayak Bulusu Di Kalimantan Utara
Laporan Penelitian Suku Dayak Bulusu Di Kalimantan Utara
Laporan Penelitian Suku Dayak Bulusu Di Kalimantan Utara
Disusun Oleh:
1. Arnita (2140501004)
2. Mona Anjelina (2140501017)
3. Monika (2140501018)
4. Nurul Kholisah (2140501024)
5. Rahmani (2140501026)
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
serta shalawat dan salam tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, keluarga
dan sahabatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan ini dengan
judul “Identifikasi Hukum Adat Suku Dayak Bulusu di Kalimantan Utara dengan
Tinjauan Teori Receptie”.
Penyusunan laporan ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan
program pendidikan Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Marthen B Salinding, S.H., M.H. selaku
dosen pengampu Mata Kuliah Hukum Adat yang sudah mempercayakan tugas ini
kepada penulis, sehingga sangat membantu penulis untuk memperdalam pengetahuan
pada bidang studi yang sedang ditekuni.
Penulis menyadari laporan ini terdapat banyak kekurangan, untuk ini penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik dari banyak pihak yang bersifat membangun
demi perbaikan laporan ini dimasa yang akan datang. Penulis berharap semoga laporan
ini bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan ilmu hukum adat.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
1. Masyarakat Suku Dayak Bulusu .................................................................. 12
2. Sejarah Suku Dayak Bulusu ......................................................................... 13
3. Lembaga Adat Suku Dayak Bulusu ............................................................. 13
4. Budaya dan Adat Istiadat Suku Dayak Bulusu ................................................ 15
1) Pakaian Adat Dayak Bulusu ......................................................................... 15
2) Tarian Adat Dayak Bulusu ........................................................................... 16
3) Bahasa Adat Dayak Bulusu .......................................................................... 18
4) Mata Pencaharian Masyarakat Dayak Bulusu .............................................. 18
5) Sistem Kepercayaan Masyarakat Dayak Bulusu .......................................... 19
5. Ritual Kebudayaan Masyarakat Dayak Bulusu................................................ 20
1) Upacara Perkawinan – Tradisi Minuman Pengasih Dayak Bulusu .............. 20
2) Upacara Kematian – Ulun Ondot ................................................................. 23
3) Ritual Penyembuhan Penyakit – Gantu ........................................................ 24
B. Keberadaan Hukum Adat Dayak Bulusu Berdasarkan Pasal 18B Ayat (2)
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ..................................... 25
1. Dayak Bulusu Masih Hidup ......................................................................... 25
2. Dayak Bulusu Sesuai dengan Perkembangan Masyarakat ........................... 25
3. Dayak Bulusu Sesuai dengan Prinsip NKRI ................................................ 26
4. Dayak Bulusu Diatur dalam Undang-Undang .............................................. 26
C. Tinjauan Teori Receptie terhadap Suku Dayak Bulusu di Kalimantan Utara . 27
BAB V......................................................................................................................... 28
PENUTUP .................................................................................................................. 28
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 28
B. Saran ................................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 30
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam proses perkembangan peradaban, suatu bangsa memiliki adat
kebiasaan yang masing-masing memiliki ciri khas antara satu dengan yang
lainnya. Perbedaan adat tersebut merupakan suatu nilai yang penting dan dapat
memberikan ciri serta identitas diri bangsa yang bersangkutan. Adat kebiasaan
yang hidup dalam masyarakat tidak bisa begitu saja terhapus dengan
perkembangan peradaban, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kehidupan modern, namun di sisi lain proses kemajuan zaman memberikan
pengaruh pada adat kebiasaan agar dapat menyesuaikan dengan tuntutan
perkembangan zaman sehingga adat kebiasaan tersebut tetap eksis di tengah
kemajuan zaman.
Keberadaan suatu hukum adat dilihat berdasarkan pasal 18B ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”.
Suku Dayak Bulusu merupakan salah satu sub suku Dayak yang
terdapat di Kalimantan Utara. Keberadaan Hukum Adat Suku Dayak Bulusu
ditentukan berdasarkan pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Kriteria keberadaan
hukum adat harus ditinjau berdasarkan pasal ini, sehingga dapat diketahui
bahwa hukum adat pada Suku Dayak Bulusu berada dalam kondisi yang sudah
mati atau masih hidup. Pasal ini juga menjadi landasan konstitusional bagi
pihak penyelenggara negara, bagaimana seharusnya komunitas hukum adat
khususnya Hukum Adat Dayak Bulusu diperlakukan.
Suku Dayak Bulusu memiliki masyarakat dengan mayoritas beragama
katolik. M asuknya agama-agama di Indonesia yang cukup banyak memberikan
1
pengaruh terhadap perkembangan hukum adat misalnya, agama hindu,
agama Islam, agama katolik, dan agama Kristen. Pada laporan ini, penulis akan
meninjau teori receptie terhadap keberadaan suku Dayak Bulusu di Kalimantan
Utara. Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya
berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi jika norma
hukum Islam tersebut telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka
penulis tertarik untuk mengangkat penelitian hukum adat dengan judul
“Identifikasi Hukum Adat Suku Dayak Bulusu di Kalimantan Utara” dengan
harapan setelah dilakukan penelitian ini, pembaca dapat mengerti tentang
hukum adat pada suku Dayak Bulusu serta dapat dijadikan referensi bagi
peneliti lain yang akan mengangkat tema yang sama namun dengan sudut
pandang yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana corak kebudayaan masyarakat hukum adat Dayak Bulusu di
Kalimantan Utara?
2) Bagaimana keberadaan hukum adat Dayak Bulusu berdasarkan pasal 18B
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
3) Bagaimana tinjauan Teori Receptie terhadap suku Dayak Bulusu di
Kalimantan Utara?
C. Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui corak kebudayaan masyarakat hukum adat Dayak
Bulusu di Kalimantan Utara.
2) Untuk mengetahui keberadaan hukum adat Dayak Bulusu berdasarkan
pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3) Untuk mengetahui tinjauan Teori Receptie terhadap suku Dayak Bulusu di
Kalimantan Utara.
2
D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:
1) Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
dalam memperkaya kajian perpustakaan mengenai Hukum Adat Suku Dayak
Bulusu di Kalimantan Utara.
2) Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan
pengetahuan bagi masyarakat untuk mengetahui Hukum Adat Suku Dayak
Bulusu di Kalimantan Utara dan diharapkan dapat dijadikan referensi bagi
peneliti lain yang akan mengangkat tema yang sama namun dengan sudut
pandang yang berbeda.
3
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Uraian Teoretis
1. Masyarakat Suku Dayak Bulusu
Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah ‘society’ yang berasal dari
kata Latin ‘socius’ yang berarti kawan. Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab
‘syaraka’ yang berarti ikut serta dan berpartisipasi. Masyarakat adalah sekumpulan
manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi.
Definisi lain, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa
identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki
keempat ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga-warganya; 2). Adat istiadat; 3)
Kontinuitas waktu; dan 4) Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga
(Koentjaraningrat, 2009: 115-118).
Suku Bulusu merupakan bagian dari Suku Dayak yang memiliki keturunan
dan budaya yang sama, yang sejak dahulu kala hidup dan berdomisili di pedalaman
hulu Sungai Malinau (Langap/Langop, Gong Sulok), Sungai Bengalun (Kab.
Malinau), Sungai Seputuk, Sungai Rian, Sungai Sedulun, Sungai Sebawang, dan
Sungai Betayau/Penciangan (Kab. Tana Tidung) dan Sungai Sekatak/Mogong,
Sungai Bengara, dan dari Sungai Pimping (Kab. Bulungan). Sama halnya dengan
suku lain, suku Dayak Bulusu juga memiliki banyak tradisi yang kerap di lakukan
dalam berbagai kesempatan, seperti buang pantang. Buang pantang terbagi menjadi
dua, yang pertama yaitu simpor yg singkat, biasanya pada hari ke-7 atau setelah di
kuburkan maka langsung dilakukan buang pantang, kemudian simpor kedua yang
besar-besaran namanya pundok temalau-malau, tradisinya lama dan memakan
waktu banyak.
Selanjutnya, tradisi kematian hanya biasa saja, biasanya jenazah
dikebumikan 3 hari kemudian, fungsi dari buang pantang adalah untuk yang telah
meninggal bisa jalan lurus menuju sang pencipta. Jika belum melakukan buang
4
pantang, maka ada banyak jenis pantangan yang tidak boleh dilakukan seperti, tidak
boleh menginjak bekas tapak hewan di hutan mkasudnya ketika kita menginjak hal
itu maka kita diibaratkan sama dengan hewan tersebut, dll.
Kemudian, tradisi Gantu (sebutan orang zaman dulu) yaitu penyembuhan
penyakit, menyembuhkan penyakit melalui hal-hal gaib, seperti ketika ada orang
yg mengalami kesurupan maka akan diobati dengan minyak yang telah diberi doa-
doa, dan ketika dioleskan maka orang yang kesurupan tersebut langsung tersadar,
dan yang boleh melakukan hal tersebut hanya orang-orang tertentu. Namun, pada
saat ini, sudah tidak ditemukan orang yang dapat melakukan hal tersebut, karena
bahasa yang digunakan hanya dipahami oleh orang-orang terdahulu yaitu bahasa
jin.
Selanjutnya adalah tradisi bercocok tanam, di suku Dayak Bulusu juga
memiliki tradisi tersebut. Orang-orang terdahulu sebelum menanam padi mereka
menebas dan setelah itu membabat. Selain itu, sebelum menugal mereka membuat
bonsubon sawat, yaitu mengundang orang dari salah satu dari desa lain,
dikarenakan dulu belum ada desa, maka yang diundang seperti orang sukuwat
meminta bantuan membuat bonsubon sawat seperti rumah-rumah di tengah ladang,
di bonsubon, mereka melakukan pesta seperti minum-minum dan menari-nari yang
dilakukan selama satu malam, pada keesokan hari mereka menugal, berbuah padi,
dan ia harus memotong serta buang hampa itu kemudian dimasak ketupat
inanyukuk (ina = mamak) membuat ketupat besar, dari ketan di beri santan, setelah
buang hampa mereka memberi kijang makan di rumah itu, kemudian, dibaginya
ketupat besar-besar tersebut pada setiap kepala keluarga yang ikut buang hampa
biasa di sebut gabing.
2. Teori Receptie dalam Hukum Adat
Teori Receptie diperkenalkan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai
oleh Corenlis Van Vallonhoven sebagai penggagas utama. Menurut teori ini, bagi
rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi
rakyat pribumi apabila norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat
sebagai hukum adat. Penganut Teori Receptie ini mengemukakan bahwa sebenarnya
5
yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Dalam hukum adat ini memang
ada masuk sedikit-sedikit pengaruh hukum Islam. Pengaruh hukum Islam itu baru
memiliki kekuatan apabila telah diterima hukum adat dan lahirlah sebagai hukum
adat bukan sebagai hukum Islam.
B. Uraian Hipotesis
Berdasarkan dugaan dan pemikiran terhadap corak perkembangan
kehidupan masyarakat suku Dayak Bulusu di Desa Sedulun Kabupaten Tana
Tidung, hubungan masyarakat suku Dayak Bulusu dengan Teori Receptie, maka
dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1) Kehidupan masyarakat suku adat Dayak Bulusu yang masih menerapkan
berbagai macam tradisi adat sehingga menunjukkan masih hidupnya hukum
adat pada suku Dayak Bulusu.
2) Kehidupan masyarakat suku Dayak Bulusu kebanyakan memeluk agama non-
Muslim walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-
penyimpangan. Walaupun begitu, hukum adat mereka mengikuti hukum agama
yang dipeluk oleh masyarakat adatnya.
6
BAB III
METODE PENELITIAN
7
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1) Tempat Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan melalui via telepon dengan narasumber yang berada di
lokasi Desa Sedulun, Jalan Wisma RT. 01 RW. 0 NO 0 Kode Pos 77152,
Kecamatan Sesayap, No Telp 081256599203.
2) Waktu pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan Penelitian berlangsung selama 32 menit pada 25 Oktober 2022.
C. Populasi Penelitian
Menurut Sugiyono (2019:126) populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas: objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Pendapat di atas menjadi acuan bagi penulis untuk menentukan populasi.
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat suku Dayak Bulusu yang
merupakan masyarakat suku Dayak asli Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan
Utara. Hal ini dikarenakan sesuai dengan rumusan masalah yang penulis bahas
yaitu mengenai bagaimana corak kebudayaan masyarakat hukum adat Dayak
Bulusu dan bagaimana keberadaan hukum adat Dayak Bulusu, serta bagaimana
tinjauan Teori Receptie terhadap suku Dayak Bulusu.
D. Sampel Penelitian
Menurut Arikunto (2006: 131), Sampel adalah sebagian atau sebagai wakil
populasi yang akan diteliti. Jika penelitian yang dilakukan sebagian dari populasi
maka bisa dikatakan bahwa penelitian tersebut adalah penelitian sampel. Sehingga
dalam penelitian ini, penulis hanya memilih salah seorang yang memiliki
pengetahuan mengenai masyarakat suku Dayak Bulusu sebagai narasumber yaitu
Bapak Yarui.
E. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara yang dilakukan secara mendalam dengan subjek penelitian. Menurut
Sugiyono (2017, 194) cara atau teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan
interview (wawancara), kuesioner (angket), observasi (pengamatan), dan gabungan
8
ketiganya. Dan menurut Djaman Satori dan Aan Komariah (2011: 103)
pengumpulan data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur sistematis untuk
memperoleh data yang diperlukan.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis memilih teknik pengumpulan data
dengan cara interview atau wawancara di mana dilakukan dengan mengajukan
beberapa pertanyaan kepada narasumber terkait dengan penelitian masyarakat suku
Dayak Bulusu. Pengertian wawancara sendiri menurut Moelang (2012: 186)
menjelaskan wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Tujuan wawancara
menurut Frankel dan Wallen (2000) yaitu untuk menemukan sesuatu yang ada
dalam pikiran seseorang, apa yang mereka pikirkan, dan bagaimana seseorang.
Oleh karena itu tujuan dari dilakukannya pengumpulan data ini adalah demi
mendapatkan data-data yang akurat yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Agar
dapat dilakukannya penarikan kesimpulan berdasarkan data yang ada.
Pada penelitian ini, wawancara yang digunakan adalah wawancara semi
terstruktur. Sugiyono (2010: 233) mengemukakan bahwa wawancara semi
terstruktur adalah untuk menemukakan permasalahan secara lebih terbuka, di mana
pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, ide-idenya. Pada wawancara yang
dilakukan oleh peneliti menggunakan rangkaian pertanyaan terbuka dan
memberikan kebebasan kepada narasumber untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan secara mendalam, sehingga wawancara yang digunakan pada penelitian
ini adalah wawancara semi terstruktur.
Pada wawancara ini dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan
yang telah disiapkan kepada narasumber yaitu Bapak Yarui selaku salah satu
anggota masyarakat asli suku Dayak Bulusu. Wawancara dilakukan melalui via
telepon dikarenakan narasumber tinggal dan sedang berada di luar pulau Tarakan
dan penulis tidak dapat meninggalkan Kota Tarakan dikarenakan masih dalam
masa perkuliahan.
9
F. Metode Analisis Data
Menurut Komaruddin, analisis data merupakan kegiatan yang meliputi
proses berpikir untuk merinci dan menguraikan suatu keseluruhan yang dijadikan
komponen lebih mudah dimengerti, baik itu hubungan antar komponen, serta fungsi
dari masing-masing komponen ataupun fungsi secara keseluruhan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Menurut Raco (2018: 7) bahwa
metode penelitian kualitatif adalah pendekatan atau penelusuran untuk
mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral yang memperlakukan
partisipan benar-benar sebagai subjek dan bukan objek.
Adapun langkah-langkah untuk menganalisis data dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1) Reduksi Data
Menurut Daymon dan Holloway (2008), reduksi data adalah proses memilah-
milah data yang tidak beraturan menjadi potongan-potongan yang lebih teratur
dengan mengoding, menyusunnya menjadi kategori atau memoing, dan
merangkumnya menjadi pola dan susunan yang sederhana. Sehingga data yang
direduksi dapat memberikan gambaran yang lebih spesifik dan peneliti menjadi
lebih mudah dalam melakukan penarikan kesimpulan di akhir, sehingga proses
penelitian ini bisa berlangsung dengan lancar dan baik, dan disertai dengan
data-data yang lengkap.
2) Penyajian Data
Menurut Yuni (2011), penyajian data adalah rangkaian kegiatan dalam
proses penyelesaian hasil penelitian dengan mempergunakan metode analisis
sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Hal ini digunakan guna mempermudah
data-data yang telah dikumpulkan.
Penyajian data dilakukan dengan peneliti yang menyajikan data-data
yang telah direduksi ke dalam laporan yang tersusun secara sistematis.
Berdasarkan pendapat dari Miles dan Huberman (Sugiyono, 2013, hlm.249)
menyatakan “yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam
10
penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif”. Sehingga peneliti
melakukan penyajian data dalam bentuk narasi yang sesuai dengan penjelasan
dari tema ataupun judul dari penelitian ini yaitu mengenai Identifikasi Hukum
Adat Suku Dayak Bulusu di Kalimantan Utara dengan Tinjauan Teori Receptie.
3) Penarikan Kesimpulan
Menurut Sugiyono (2018: 252-253) kesimpulan dalam penelitian
kualitatif dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi
mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan
perumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan
akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan.
Pada tahap penarikan kesimpulan ini, penulis akan memaparkan hasil
akhir yang menjelaskan hasil yang telah dicapai atau didapatkan berdasarkan
data-data yang telah diperoleh selama penelitian serta telah dilakukan
pengolahan data.
11
BAB IV
PEMBAHASAN
Suku Dayak Bulusu merupakan bagian dari Suku Dayak yang memiliki
keturunan dan budaya yang sama, yang sejak dahulu kala hidup dan berdomisili di
pedalaman hulu sungai Malinau (Langap/Longob, Gong Sulok), Sungai Bengalun
(Kab. Malinau), Sungai Seputuk, Sungai Rian, Sungai Sedulun, Sungai Sebawang
dan Sungai Betayau/Penciangan (Kab. Tana Tidung) dan Sungai Sekatak/Mogong,
Sungai Bengara dan Sungai Pimping (Kab. Bulungan).
Mayoritas mata pencarian masyarakat Dayak Bulusu adalah petani dan
nelayan. Masyarakat Bulusu juga bercocok tanam padi di sawah dengan irigasi,
tetapi masih banyak juga yang masih bercocok tanam di ladang yang dibuka di
hutan dengan cara menebang dan membakar. Masyarakat Dayak Bulusu untuk
sebagian besar masih menggarap tanahnya menurut adat kuno. Di ladang maupun
di sawah-sawah pada umunya ditanam dan dipanen hanya setahun sekali, hanya di
beberapa tempat saja orang mulai memakai cara-cara yang memungkinkan panen
dua kali setahun. Selain bercocok tanam, peternakan juga menjadi salah satu mata
pencaharian yang penting bagi masyarakat Bulusu seperti beternak babi, ayam,
bebek dan lainnya.
12
2. Sejarah Suku Dayak Bulusu
Asal usul suku Dayak Bulusu menurut literatur lisan yang diturunkan
secara turun temurun adalah dari Dagas Sebengawang yang merupakan sebuah
tempat di hulu Kabupaten Malinau tepatnya di Gong Solok. Dari sana suku Dayak
Bulusu bermigrasi ke beberapa daerah yaitu Desa Sesua, Kecamatan Malinau
Barat, Kabupaten Malinau, Kecamatan Sesayap dan Sesayap Hilir, Kabupaten
Tana Tidung, Kecamatan Sekatak dan Kecamatan Tanjung Palas Utara, Kabupaten
Bulungan di Malaysia, negara bagian Sabah dan negara Brunei Darussalam.
Populasi suku Bulusu saat ini kurang lebih 25.000 jiwa. Suku Dayak
Bulusu memiliki ragam budaya yang menarik dan unik, terutama dalam hal ritual
kepercayaan terhadap arwah orang yang sudah meninggal.
3. Lembaga Adat Suku Dayak Bulusu
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007
Tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga Adat adalah
Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar
telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu
masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta
kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk
mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang
berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.
Masyarakat suku Dayak Bulusu memiliki lembaga adat yang dinamakan
Lembaga Adat Dayak Bulusu, atau yang disingkat LADB. Lembaga Adat Dayak
Bulusu memiliki beberapa kedudukan yang dipisahkan sesuai tingkatannya,
sebagai berikut:
1) Lembaga adat tingkat desa/berkantor di wilayah desa yang bersangkutan.
2) Lembaga adat tingkat kecamatan, berkedudukan/berkantor di wilayah
kecamatan yang bersangkutan.
3) Lembaga adat tingkat kabupaten, berkedudukan/berkantor di wilayah
kabupaten yang bersangkutan.
13
4) Lembaga adat tingkat provinsi, berkedudukan/berkantor di wilayah
provinsi yang bersangkutan.
Lembaga Adat Dayak Bulusu didirikan dengan dasar musyawarah dan
mufakat secara kekeluargaan sesuai dengan asas Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Lembaga Adat Dayak Bulusu didirikan dengan status sebagai
Lembaga Swadaya Masyarakat (swasta) dalam upaya pelestarian, pembinaan dan
pengembangan masyarakat serta secara mandiri menyelesaikan masalah-masalah
adat/budaya dalam masyarakat. Dalam pelaksanaannya, Lembaga Adat Dayak
Bulusu dibentuk untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Artinya, selama suku
Dayak Bulusu masih ada, maka lembaga adatnya pun masih ada.
Dalam melaksanakan tugasnya, Lembaga Adat Dayak Bulusu memiliki
beberapa tujuan, sebagai berikut:
1) Memelihara dan mengembangkan sifat-sifat kekeluargaan di kalangan seluruh
masyarakat demi terciptanya masyarakat aman, damai, dan sejahtera, serta
menanamkan sikap-sikap kejujuran, bergotong royong, saling menghormati
dan memiliki kejujuran dan keadilan yang tinggi.
2) Pelestarian, pembinaan dan pengembangan unsur-unsur adat/budaya positif
demi menunjang dan memperkaya Seni Budaya Nasional.
3) Menata secara baik pelaksanaan ritual adat/budaya menyangkut soal
perkawinan, kematian, dan hukum adat denda, dan pesta adat Bulusu lainnya,
seperti Irau.
4) Penyelesaian terhadap masalah-masalah pelanggaran adat, konflik antar
anggota masyarakat, antar anggota keluarga, antar etnis/suku, dsb.
Keanggotaan dari Lembaga Adat Dayak Bulusu adalah seluruh warga
Dayak Bulusu, atau suku lain yang mempunyai hubungan perkawinan dengan suku
Dayak Bulusu, atau warga suku lain yang mengakui dan menerima tujuan
didirikannya lembaga ini seperti yang dituangkan dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga lembaga ini. Adapun kepengurusan Lembaga Adat
Dayak Bulusu terdiri dari:
14
1) Lembaga Adat Desa dipimpin oleh 5 orang yang terdiri dari: ketua, wakil
ketua, sekretaris, bendahara, dan anggota yang dipilih dalam rapat desa.
2) Lembaga Adat Kecamatan dipimpin oleh 5 orang yang terdiri: ketua besar,
wakil ketua besar, sekretaris, bendahara, dan anggota yang dipilih dalam rapat
seluruh pengurus adat tingkat desa dalam kecamatan.
3) Lembaga Adat Kabupaten dipimpin oleh 5 orang yang terdiri dari: kepala adat,
wakil kepala adat, sekretaris, bendahara, dan anggota yang dipilih melalui
rapat seluruh pengurus adat tingkat kecamatan dan desa se-kabupaten.
4) Lembaga Adat Tingkat Provinsi dipimpin oleh 5 orang yang terdiri dari:
kepala adat besar, wakil kepala adat besar, sekretaris, bendahara, dan anggota
yang dipilih dalam Musyawarah Besar Adat Bulusu.
4. Budaya dan Adat Istiadat Suku Dayak Bulusu
1) Pakaian Adat Dayak Bulusu
15
pernikahan, kematian, serta hari-hari besar keagamaan. Sebagai simbol, pakaian
adat memang dijadikan penanda dalam suatu kegiatan.
Dayak Bulusu memiliki pakaian adat yang tidak jauh berbeda dengan
suku Dayak lainnya. Pakaian adat tersebut digolongkan menjadi dua hal yaitu
pakaian adat laki-laki dan pakaian adat perempuan. Pakaian adat perempuan
Dayak Bulusu disebut bayang. Bayang biasa digunakan untuk pakaian tari serta
upacara adat lainnya.
2) Tarian Adat Dayak Bulusu
Suku Dayak Bulusu adalah salah satu suku Dayak yang ada di
Kalimantan Utara. Beberapa peneliti sempat beranggapan, bahwa suku Dayak
Bulusu masih bagian dari suku Dayak Punan, namun orang Dayak Bulusu menolak
anggapan ini. Asal usul suku Dayak Bulusu menurut sastra lisan yang diwariskan
turun temurun adalah berasal dari Dagas Samangawang yaitu suatu tempat di hulu
Kabupaten Malinau tepatnya di Gong Solok, dari tempat itu kemudian suku Dayak
Bulusu bermigrasi ke beberapa daerah yaitu desa Sesua, kecamatan Malinau Barat
kabupaten Malinau, kecamatan Sesayap dan Sesayap Hilir kabupaten Tana
Tidung, kecamatan Sekatak dan kecamatan Tanjung Palas Utara kabupaten
Bulungan. Populasi suku Dayak Bulusu saat ini kurang lebih 25.000 jiwa.
Suku Dayak Bulusu memiliki beraneka ragam budaya yang menarik dan
unik terutama dalam hal ritual kepercayaan terhadap roh-roh orang mati. Tarian
yang populer pada suku Dayak Bulusu adalah “Tari Panjang”, disebut sebagai tari
panjang, karena tarian ini dilakukan oleh puluhan penari yang menari sambil
16
berjalan berkeliling. Setiap kaki menarinya dililitkan gelang kaki yang mampu
menimbulkan suara gemirincing. Gemerincing gelang itu terdengar saat kaki
penari bersama dihentakkan di lantai seirama dengan alunan musik yang
mengiringinya.
Suku Dayak Bulusu sampai saat ini merupakan salah suku Dayak yang
terus melestarikan budaya yang mereka miliki. Hal ini dilakukan dengan
membangun balai adat di beberapa perkampungan, serta mempertahankan tradisi
asli suku Dayak Bulusu yang telah turun temurun mereka amalkan sejak beratus-
ratus tahun yang lalu. Selain itu, Dayak Bulusu ini masih memiliki kekerabatan
dengan Suku Tidung, karena dari segi fonologi kebahasaan memiliki kesamaan
yang begitu dekat. Perbedaannya terletak pada agama yang dianut, Dayak Bulusu
menganut agama Nasrani sementara Suku Tidung mayoritas menganut agama
Islam. Dalam perkembangannya, tarian panjang ini tidak hanya digunakan dalam
memperingati sebagai pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang saja tetapi juga
telah digunakan dalam berbagai event kegiatan kemasyarakatan sebagai bentuk
pelestarian kebudayaan lokal.
Tari ini menunjukkan kebersamaan dan kekompakkan bahwa seni tari
dapat memberi kekuatan ketika dilakukan secara bersamaan dalam pemujaan
kepada roh-roh yang mati. Pemujaan terhadap roh-roh orang yang sudah mati ini
merupakan penghormatan kepada roh-roh nenek moyang. Dayak Bulusu masih
sangat kental akan nuansa mistiknya, mereka meyakini roh-roh orang yang telah
mati itu masih senantiasa mengiringi setiap langkah anak keturunannya.
Suasana tarian bertambah meriah oleh suara khas gemerincing gelang di
kaki para penari, gemerincing gelang itu terdengar merdu saat hentakan kaki para
penari di lantai, seirama mengiringi alunan musiknya. Tari panjang dilakukan oleh
puluhan orang dengan cara berbaris ke belakang sambil mengikuti irama lagu.
Tarian ini biasa dilakukan di lapangan yang luas karena dapat melibatkan banyak
orang yang berbaris sambil memegang pundak penari di depannya. Sambil
berbaris, para penari sambil berpegangan pundak dan berkeliling sambil mengikuti
irama musik. Para penari tidak hanya dari kalangan perempuan, tetapi juga dari
17
kaum laki-laki, atau bisa juga melibatkan para pejabat pemerintah ketika
ditampilkan dalam kegiatan kemasyarakatan. Tentunya dalam upacara tarian ini
para penari mengenakan pakaian khas Dayak Bulusu dengan motif khas mayoritas
suku Dayak yaitu manik-manik dengan menggunakan topi dan selempang khas
milik mereka.
3) Bahasa Adat Dayak Bulusu
Bahasa termasuk salah satu unsur kebudayaan yang sangat dinamis.
Kedinamisannya dapat berkembang, bertahan, dan punah. Semua bergantung pada
penuturnya. Jika penutur satu bahasa mampu membedakan dan mengimbangi
fungsi-fungsi bahasa, bahasa tersebut akan tetap bertahan. Demikian sebaliknya,
bahasa akan punah jika fungsinya sebagai salah satu unsur budaya tidak digunakan
lagi. Hal ini akan mengancam kondisi kebahasaan di Indonesia yang dikenal
dengan ratusan bahasa dan dialeknya.
Masyarakat Dayak Bulusu merupakan masyarakat yang masih
melestarikan bahasa adatnya. Bahasa adat yang sering digunakan suku Dayak
Bulusu disebut Bahasa Bulusu. Bahasa Bulusu kerap digunakan dalam kehidupan
sehari-hari sebagai sarana komunikasi selain Bahasa Indonesia. Sama seperti
bahasa-bahasa adat lainnya, Bahasa Bulusu sering kali digunakan dalam
perbincangan baik di rumah, lingkungan masyarakat, maupun di sekolah.
Sebagai salah satu kekayaan budaya, Bahasa Bulusu perlu
didokumentasikan dan dilestarikan. Untuk melestarikan suatu bahasa, perlu
menyusun langkah-langkah ilmiah dan sistematis agar prosesnya berjalan tepat.
Biasanya, langkah pertama yang perlu dilakukan dalam pelestarian bahasa adat
adalah dengan menggunakan bahasa adat tersebut dalam kehidupan sehari-hari,
seperti yang dilakukan oleh masyarakat suku Dayak Bulusu.
4) Mata Pencaharian Masyarakat Dayak Bulusu
Mayoritas mata pencarian masyarakat Dayak Bulusu adalah petani dan
nelayan. Masyarakat Bulusu bercocok tanam padi di sawah dengan irigasi, tetapi
masih banyak juga yang masih bercocok tanam di ladang yang dibuka di hutan
dengan cara menebang dan membakar. Masyarakat Dayak Bulusu untuk sebagian
18
besar masih menggarap tanahnya menurut adat kuno. Di ladang maupun disawah-
sawah pada umunya ditanam dan dipanen hanya setahun sekali, hanya di beberapa
tempat saja orang mulai memakai cara-cara yang memungkinkan panen dua kali
setahun. Selain bercocok tanam, peternakan juga menjadi salah satu mata
pencaharian yang penting bagi masyarakat Bulusu seperti beternak babi, ayam,
bebek dan lainnya.
Masyarakat Dayak Bulusu juga mengenal sistem gotong royong dalam
hal bercocok tanam, alat-alat utama untuk bercocok tanam adalah seperti cangkul
dan tongkat tugal. Selain bercocok tanam, mata pencaharian masyarakat Dayak
Bulusu ialah sebagai nelayan atau menangkap ikan. Pekerjaan dilakukan orang
laki-laki dengan menggunakan perahu, jala, pukat, pancing dan penangkap-
penangkap ikan lainnya.
5) Sistem Kepercayaan Masyarakat Dayak Bulusu
Sebagian besar masyarakat Dayak Bulusu menganut agama Kristen
Protestan dan Katolik. Oleh karena itu, seiring masuknya agama dalam kehidupan
masyarakat Bulusu, maka ada beberapa rangkaian proses acara di dalam suatu adat
budaya Bulusu yang hilang karena bertentangan dengan ajaran agama yang
mereka anut. Hal ini terjadi karena budaya tersebut bertentangan dengan ajaran
agama dan juga bertentangan dengan hukum. Maka tradisi-tradisi budaya Bulusu
yang bertentangan dengan hukum negara dan agama tersebut mulai ditinggalkan
oleh masyarakat Bulusu.
19
5. Ritual Kebudayaan Masyarakat Dayak Bulusu
1) Upacara Perkawinan – Tradisi Minuman Pengasih Dayak Bulusu
20
mempererat tali persaudaraan. Setelah itu mempelai laki-laki beserta rombongan
naik ke rumah mempelai perempuan yang disebut “masak ngandu” (naik untuk
menikah). Sesudah mempelai laki-laki naik ke rumah mempelai perempuan untuk
melakukan “masak ngandu”, rombongan mempelai laki-laki menuju ke “balai”
(rumah adat) semua keluarga pihak perempuan berbaris untuk menyambut
rombongan laki-laki, biasanya disambut dengan tarian perang. Dan setiap orang
yang mengikuti rombongan mempelai laki-laki setelah memasuki balai wajib
meminum pengasih yang telah disuguhkan oleh pihak perempuan, walaupun
minuman ini masih mengandung alkohol akan tetapi, masyarakat Dayak Bulusu
tetap menyuguhkan minuman pengasih sebagai minuman utamanya karena
minuman ini merupakan salah satu minuman yang sakral. Sebelum disuguhkan
kepada masyarakat atau para tamu minuman pengasih akan diucapkan mantra
(doa) dalam bahasa Bulusunya “ngangkab”, yang merupakan mantra (doa) kepada
roh-roh nenek moyang agar masyarakat Bulusu tetap rukun dalam menjalankan
sebuah upacara pernikahan dan tidak ada hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam
mengucapkan mantra (doa) tidak sembarang orang dapat mengucapkannya. Akan
tetapi, hanya orang-orang tertentu saja seperti; kepala adat, maupun tokoh
masyarakat Bulusu yang sudah lanjut usia biasanya lebih mengerti dan mengetahui
maksud dan fungsi dari mantra tersebut.
Setelah itu dapat dilakukan acara puncak yaitu “Pegurungan” (makan
bersama) kedua mempelai duduk di atas gong dengan memakai pakaian adat
Bulusu, dan di tengah kedua mempelai juga telah disiapkan makanan panjang yang
sudah ditata rapi sepanjang “balai” (rumah adat). Di sinilah puncak dari acara,
kedua mempelai makan bersama, sambil mendengar nasehat-nasehat dari orang
tua untuk bekal berumah tangga, setelah makan kedua mempelai juga disuguhkan
minuman pengasih yang wajib diminum tidak hanya tamu undangan, tetapi kedua
mempelai juga diharuskan untuk mengikuti tradisi budaya Bulusu yang sudah
ditetapkan, dan sambil membicarakan kapan mempelai perempuan akan dibawa
ke rumah mempelai laki-laki yang disebut (ngatod giwan). Biasanya kesepakatan
mengantar pengantin (ngatod giwan), berlangsung tidak lama setelah acara
21
pernikahan, paling lama 1 minggu. Dengan berakhirnya acara (ngatod giwan),
maka secara resmi perempuan ikut bersama suaminya dan membangun keluarga
baru.
Sampai saat ini masyarakat Bulusu masih mempertahankan adat istiadat
yang sudah menjadi sebuah karakteristik khas dan mengakar dalam budaya
masyarakat Bulusu yaitu tradisi “Minuman Pengasih”, minuman ini merupakan
minuman yang sakral, dengan mengonsumsi pengasih timbul perasaan senang, dan
lebih berani dalam mengungkapkan kata-kata yang ingin disampaikan, serta
mengakrabkan dan mempererat hubungan dengan sanak saudara sehingga
minuman ini juga biasa disebut sebagai simbol minuman “persahabatan”.
Tradisi minuman pengasih ini dilakukan hanya acara adat tradisional
tertentu seperti; pernikahan, kelahiran, pesta panen, penyambutan tamu. Dalam
menyuguhkan minuman pengasih ini juga sangat unik dengan cara di tempatkan
di sebuah Belanai (tempayan). Cara meminumnya juga unik tidak seperti cara pada
umumnya dengan menggunakan bambu secara bergantian, dan harus berpasangan
seperti: pasangan suami istri, bisa juga berpasangan dengan sesama teman
perempuan yang lainnya. Tidak diperkenankan bagi pasangan yang belum sah,
karena untuk mencegah sesuatu hal yang tidak diinginkan. Larangan keras
meminum pengasih ini untuk anak berusia 17 tahun ke bawah, karena masih
mengandung alkohol dan dampak dari minuman ini akan membuat seseorang
mabuk. Akan tetapi, mereka tetap menjalankan tradisi yang sudah turun-temurun
dilakukan oleh leluhur, karena bagi masyarakat Bulusu minuman pengasih
merupakan minuman yang sakral.
22
2) Upacara Kematian – Ulun Ondot
23
setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa
sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti ayam, beras,
uang, kelapa, sayur, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Bulusu disebut
“sukung”.
3) Ritual Penyembuhan Penyakit – Gantu
24
B. Keberadaan Hukum Adat Dayak Bulusu Berdasarkan Pasal 18B Ayat (2)
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Eksistensi masyarakat hukum adat diakui oleh negara. Hal ini dibuktikan
dengan rumusan Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Berdasarkan isi pasal tersebut, dapat diuraikan bukti bahwa suku Dayak Bulusu
adalah suku yang masyarakat hukum adatnya masih ada dan diakui oleh negara,
yaitu sebagai berikut:
1. Dayak Bulusu Masih Hidup
Syarat pertama pengakuan masyarakat hukum adat sesuai Pasal 18B
Ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu
“sepanjang masih hidup”. Sepanjang masih hidup artinya, masyarakat hukum
adat tersebut masih ada dan lestari di masyarakat (tidak punah). Dalam hal ini,
masyarakat hukum adat Dayak Bulusu masih ada. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya masyarakat Kalimantan Utara yang menganut suku Dayak Bulusu.
Masyarakat hukum adat tidak hanya sekedar pengakuan identitas saja,
namun juga pengamalan budayanya. Hingga saat ini, masyarakat Dayak Bulusu
masih mengamalkan budaya-budaya seperti ritual-ritual adatnya. Ritual adat
tersebut seperti ritual perkawinan, ritual kematian, hingga ritual penyembuhan
penyakit.
2. Dayak Bulusu Sesuai dengan Perkembangan Masyarakat
Syarat kedua pengakuan masyarakat hukum adat sesuai Pasal 18B Ayat
(2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “sesuai dengan
perkembangan masyarakat”. Tidak dapat dipungkiri bahwa arus Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sangat berdampak bagi segala aspek
kehidupan, salah satunya ialah aspek kebudayaan. Agar tidak ditinggalkan oleh
masyarakat, budaya harus mengikuti perkembangan zaman yang terjadi.
25
Dayak Bulusu adalah suku yang sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Hal ini terlihat dari ritual-ritual kebudayaannya yang mengatur segala
aspek kehidupan. Ritual-ritual tersebut dibentuk dengan memperhatikan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
3. Dayak Bulusu Sesuai dengan Prinsip NKRI
Syarat ketiga pengakuan masyarakat hukum adat sesuai Pasal 18B Ayat
(2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “sesuai dengan
prinsip NKRI”. Salah satu prinsip NKRI adalah kesatuan (unity). Kesatuan atau
persatuan merupakan jati diri dari masyarakat yang ideal. Dengan adanya
persatuan yang sesuai dengan pedoman hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila,
maka masyarakat tersebut akan menjadi masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Persatuan tercermin dalam kehidupan masyarakat Dayak Bulusu.
Selayaknya masyarakat adat lainnya, masyarakat Dayak Bulusu sangat
menjunjung tinggi sifat gotong royong dan membantu sesama. Hal ini bisa dilihat
dari upacara-upacara adatnya yang melibatkan seluruh elemen masyarakat tanpa
membedakan status sosialnya.
4. Dayak Bulusu Diatur dalam Undang-Undang
Syarat keempat pengakuan masyarakat hukum adat sesuai Pasal 18B
Ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “diatur
dalam undang-undang”. Mayoritas masyarakat Dayak Bulusu mendiami
pedesaan yang ada di Kalimantan Utara. Implementasi diaturnya hukum adat di
dalam undang-undang adalah dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga
Adat Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri ini atau yang disingkat Permendagri,
merupakan peraturan yang membahas secara spesifik mengenai lembaga adat.
Lembaga adat yang dimaksud ialah semua lembaga adat yang ada di Indonesia,
salah satunya adalah Lembaga Adat Dayak Bulusu (LADB).
26
C. Tinjauan Teori Receptie terhadap Suku Dayak Bulusu di Kalimantan Utara
Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat. yang dikenal
dengan Teori Receptie, adalah periode di mana hukum Islam baru diberlakukan
apabila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Sehingga dapat dikatakan
bahwa teori ini menentang teori yang telah berlaku sebelumnya, yaitu Teori
Receptie In Complexu. Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgranje
(1857-1936). Yakni penasihat pemerintah Hindia Belanda dalam Urusan Islam dan
bukan dan Bumi Putera. Menurut Snouck hukum Islam dapat diterapkan jika telah
menjadi bagian dari hukum adat. Bagi Snouck sikap pemerintah Hindia Belanda
sebelumnya menerima Teori Receptie In Compexu bersumber dari
ketidaktahuannya terhadap situasi masyarakat pribumi, khususnya masyarakat
muslim.
Dalam Teori receptie, yang ada adalah hukum adat sementara hukum
Islam dianggap tidak ada. Hukum Islam diangap eksis apabila telah diresepsi oleh
hukum adat. Receptie artinya penerimaan atau pertemuan, yakni pertemuan antara
hukum adat dan hukum agama (Islam). Menurut teori ini, hukum yang berlaku
sesungguhnya adalah hukum yang telah dipraktekkan di tengah-tengah kehidupan
masyarakat setempat. Dengan kata lain, hukum adat setempat adalah patokan
terhadap keabsahan hukum yang berlaku. Jadi, hukum adatlah yang menentukan
ada tidaknya hukum Islam di suatu masyarakat.
Masyarakat Dayak Bulusu adalah masyarakat yang mayoritas
penganutnya beragama Katolik dan Kristen Protestan. Oleh karena itu, dalam
praktik kehidupannya, masyarakat Dayak Bulusu tidak mengikuti ajaran Islam.
Hukum Islam tidak bisa eksis dikarenakan banyaknya ritual-ritual adat Dayak
Bulusu yang tidak sejalan dengan ajaran agama Islam. Sehingga hukum yang
berlaku di dalam masyarakat Dayak Bulusu adalah adat Dayak Bulusu itu sendiri,
yang tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan agama Katolik dan Kristen Protestan,
bukan ajaran agama Islam.
27
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengumpul semua data terkait pembahasan laporan, maka
kesimpulan yang bisa didapatkan bahwa suku Dayak Bulusu memiliki corak
tradisi dan kebudayaan yang ada dan dijalankan secara turun temurun. Suku ini
banyak tersebar hampir di berbagai daerah kalimantan utara. Seiring
berkembangnya zaman tak membuat adat dan kebudayaan suku Dayak Bulusu
berubah, corak dan keberagaman tradisi suku ini masih kental dan dijunjung tinggi
oleh masyarakat adat suku Dayak Bulusu. Sekalipun banyak anak muda yang pergi
merantau tak membuat mereka melupakan adat istiadat yang telah diajarkan pada
mereka.
Salah satu tradisi yang sampai saat ini masih dijalankan adalah tradisi
bercocok tanam. Namun, ada juga tradisi suku Dayak Bulusu yang hampir jarang
ditemui, yaitu tradisi penyembuhan penyakit atau biasa disebut Gantu. Tradisi ini
merupakan tradisi penyembuhan penyakit dengan metode bantuan roh halus
menurut kepercayaan mereka. Hanya saja pada saat ini sudah sulit untuk
menemukan orang yang bisa melakukan hal ini lagi dikarenakan kesulitan mereka
memahami bahasa jin dan yang dapat memahami bahasa tersebut hanya orang tua
terdahulu.
B. Saran
Pengenalan suku-suku yang ada di Kalimantan Utara menjadi sebuah
tugas penting untuk kami generasi muda yang ada di Kalimantan Utara, hal ini
dikarenakan agar suku-suku yang ada di Kalimantan Utara bisa dikenal baik di
nasional mau internasional. Hal ini juga bertujuan untuk menjaga kelestarian dan
keberagaman suku-suku yang ada di Indonesia.
Melalui laporan yang ditelah dirangkum oleh penulis diharapkan
mampu untuk memperkenalkan suku Dayak Bulusu dengan berbagai sejarah, seni,
kebudayaan, adat istiadat, serta filosofis suku Dayak Bulusu. Kemudian,
28
diharapkan pula nilai-nilai dalam suku Dayak Bulusu bisa selalu diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, baik masyarakat adat suku Dayak Bulusu, maupun seluruh
masyarakat Indonesia.
29
DAFTAR PUSTAKA
Infokum, Sie, and Ditama Binbangkum, ‘Sie Infokum – Ditama Binbangkum’, 2007,
1–11
Sulistriani, Jenny, and Dahri Dahlan, ‘Mantra Pada Tradisi Minuman Pengasih Dalam
Pernikahan Suku Dayak Bulusu: Kajian Folklor’, Jurnal Bahasa, Seni, Sastra Dan
Budaya , 5.1 (2021), 185–200 <http://e-
journals.unmul.ac.id/index.php/JBSSB/article/view/4629/pdf>
Widjojanto, Bambang, ‘Negara Hukum, Korupsi Dan Hak Asasi Manusia: Suatu
Kajian Awal’, Jurnal Hukum PRIORIS, 3.1 (2016), 27–45
<https://doi.org/10.25105/prio.v3i1.355>
30