Kajian Teori Turner: Prioritas Kebutuhan Permukiman Dan Tingkat Pendapatan
Kajian Teori Turner: Prioritas Kebutuhan Permukiman Dan Tingkat Pendapatan
Kajian Teori Turner: Prioritas Kebutuhan Permukiman Dan Tingkat Pendapatan
¹Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Sains
dan Teknologi Jayapura
*e-mail penulis korespondensi: [email protected],
ABSTRAK
Permukiman adalah sekumpulan rumah yang mencakup aspek fisik dan non fisik. Aspek fisik yaitu:
lokasi, lingkungan dan sarana prasarana, sedangkan aspek non fisik yaitu: politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Menurut Turner, perumahan bukan kata benda tetapi kata kerja tentang proses berlanjut
dan terkait dengan mobilitas sosial-ekonomi penghuninya. Perubahan pola lokasi perumahan pada
golongan tertentu merupakan konsepsi segregasi (pemisahan) tingkat sosial yang dapat diukur pada
perubahan lokasi. Hal ini terutama dilakukan oleh penduduk yang mempunyai tingkat ekonomi tinggi,
yang memilih lokasi rumah dengan standar modern dan memberikan identitas. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui penerapan Teori Turner tentang prioritas kebutuhan perumahan terkait
dengan tingkat pendapatan masyarakat di kawasan permukiman Suku Bajo di Pantai Bajoe,
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Teori Turner tentang
prioritas kebutuhan perumahan yaitu bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang mana lokasi di
sekitar tempat pekerjaan sangat penting, namun bagi Suku Bajo di Pantai Bajoe walaupun level
income mereka sudah berubah dari sangat rendah menjadi rendah dan rendah-menengah, lokasi
permukiman mereka tetap diprioritaskan dekat dengan tempat kerja. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari
budaya Suku Bajo yang dikenal dengan manusia bahari. Teori Turner lebih cocok diterapkan pada
masyarakat di perkotaan padat dengan harga lahan yang mahal serta kondisi masyarakat yang
memiliki pekerjaan yang berbeda-beda. .
Kata kunci : Teori Turner, Permukiman Pesisir, Suku Bajo, Pantai Bajoe, Kabupaten Bone
bertahan sampai saat ini. Di Filipina, suku Bone Sulawesi Selatan, apakah terdapat
Bajau merupakan orang-orang yang kesamaan, perbedaan atau pengembangan
bertempat tinggal di perahu (Boat-dwelling) mengenai teori tersebut.
masih mengembara di laut Sulu, Filipina
Selatan”. II. KAJIAN TEORITIS
Di permukiman Suku Bajo, Kelurahan Proses Bermukim Suku Bajo di Bajoe
Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Kampoh Bajo merupakan bagian dari
terjadi kontak antara Suku Bajo dengan Kelurahan Bajoe yang terletak sekitar 6 km
Suku Bugis di sekitar Teluk Bone. Menurut dari Watampone ibukota Kabupaten Bone.
Salipu (2000:I-1), kontak antara kedua suku Pada mulanya daerah ini tidak berpenduduk,
ini menyebabkan akulturasi budaya dari baru ketika orang Bajo pertama kali datang di
budaya pendatang (Bajo) dengan budaya daerah Bone, mereka membuat Kampoh di
lokal (Bugis), yaitu berubahnya budaya Suku sekitar perbatasan daerah Cellu yang pada
Bajo yang dapat dilihat dari perubahan waktu itu masih merupakan pantai. Kampoh ini
tempat tinggal dari babaroh ke papondok lalu ditandai dengan adanya patok yang mereka
rumak (rumah panggung) di atas laut dan sebut sambuah yang dipancangkan dengan
saat ini sebagian besar rumah mereka sebutan sambungan taguk pulih yang artinya
menjadi rumah panggung di atas daratan. patok tetap atau patok mati yang tidak dapat
Perubahan bentuk tempat tinggal seperti dicabut lagi. Kampoh ini tidak mempunyai
dikemukakan di atas diakibatkan oleh rumah karena pada waktu itu orang Bajo
adanya perubahan budaya pada Suku Bajo, belum mengenal rumah, mereka tinggal
yang dipengaruhi oleh budaya Bugis, bersama keluarganya dalam perahu yang juga
sebagaimana yang dijelaskan Lauer dalam digunakan sebagai rumah.
Salipu (2000:I-2): Kampoh ini dipimpin oleh seorang kepala
“Akulturasi adalah satu pola perubahan di suku yang mereka sebut Atowe Kampoh dan
mana terdapat tingkat penyatuan antara dua dibantu oleh pelaksana tugas yang mereka
kebudayaan. Penyatuan itu dapat sebut Sariah. Segala urusan keagamaan
menimbulkan perubahan dalam kebudayaan dipimpin oleh seorang imam yang mereka
atau terutama dalam salah satu di antara sebut Guru Same. Pada mulanya Guru Same
kedua kebudayaan itu. Penyatuan di sini ini berasal dari lapisan Lolo Same, semua
tidak berarti bahwa kesamaannya lebih anggota kampoh disebut anak parenta.
banyak daripada perbedaanya, tetapi hanya Menurut Syahbandi (1996) dalam Salipu
bahwa kedua kebudayaan menjadi semakin (2000:II-16), ada 5 lapisan masyarakat yang
serupa dibanding keadaan sebelum dikenal oleh Suku Bajo, yaitu:
terjadinya kontak antara keduanya”. Namun 1. Lolo Same, atau bangsawan Bajo;
perubahan yang terjadi tidak menghilangkan 2. Ponggawa Same, golongan bangsawan
semua ciri budaya Suku Bajo di Kelurahan akan tetapi sudah mempunyai
Bajoe, ada bagian-bagian tertentu yang percampuran darah dengan strata di
masih dipertahankan, misalnya kepercayaan bawah atau adanya perkawinan campuran
terhadap penguasa di laut dan di darat yang dengan suku lainnya;
perlu dihormati. 3. Gallarang, yaitu golongan bangsawan yang
mempunyai banyak campuran darah
1.2 Rumusan Masalah dengan strata di bawahnya;
Pada penelitian ini adalah bagaimana 4. Same, artinya orang biasa;
implementasi Teori Turner mengenai prioritas 5. Ate, atau hamba sahaya.
kebutuhan perumahan terkait dengan tingkat Khusus mengenai lapisan ate (budak) ini
pendapatan dalam buku Freedom to Build diungkapkan oleh Mattulada dalam karyanya
pada permukiman Suku Bajo di Kelurahan bertajuk Latoa (1995), bahwa terjadinya strata
Bajoe Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, hamba ini karena adanya peristiwa jual beli
apakah terdapat kesamaan, perbedaan atau atau kalah dalam perang, perampasan perang
pengembangan dari teori tersebut. dan karena adanya putusan pengadilan.
seperti yang terdapat dalam Teori Turner, mereka adalah membuat bentukan yang
karena prioritas kebutuhan mereka berbeda. menyerupai bangunan lain di sekitarnya, yaitu
Bagi Suku Bajo yang hidupnya terbiasa di laut, membuat rumah yang serupa dengan rumah
maka permukiman yang dekat dengan tempat orang Bugis yang ada disekitar mereka.
pekerjaan adalah hal yang paling esensial
Dengan kondisi yang diuraikan di atas,
dalam hidup mereka. Walaupun kondisi sosial
maka apabila Teori Turner akan digunakan
mereka berubah dari sangat rendah ke
untuk menjelaskan perubahan prioritas
rendah-menengah, prioritas kebutuhan
kebutuhan perumahan Suku Bajo, perlu ada
perumahan tetap memilih lokasi perumahan
penyesuaian level income dan prioritas
yang dekat dengan tempat kerja (laut dan
kebutuhan yang perlu dikoreksi karena bentuk
perahu).
kebutuhan Suku Bajo tersebut tidak sama
Kondisi sejarah masa lalu Suku Bajo dengan kriteria yang diungkapkan dalam Teori
sebagai manusia bahari dan lokasi Turner. Dengan kata lain bisa saja muncul
permukiman mereka yang tersebar di prioritas kebutuhan baik vital maupun
beberapa kawasan pesisir pantai Sulawesi, perumahan yang lebih sesuai dengan sistem
Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan pengetahuan dan makna dari kebudayaan
kawasan Asia Tenggara, tidak bisa dipisahkan tersebut.
dari kawasan pantai dan lautan. Hal ini sesuai
Teori permukiman Turner lebih banyak
dengan penjelasan Hasrawaty dkk (2017:33),
menguraikan perubahan pada prioritas
bagi masyarakat Suku Bajo yang tersebar di
kebutuhan vital dan perumahan pada level
Kabupaten Wakatobi, laut bagi mereka adalah
income tertentu dengan memberikan tiga
berkah alam sebagai modal untuk kepentingan
kategori perubahan sedangkan kategori
social.
tingkat pendapatan pada kajian ini dibagi
Berkaitan dengan uraian di atas, maka menjadi lima. Turner berpendapat bahwa
perubahan prioritas tersebut pada Teori antara level pendapatan rendah dan
Turner, hanya dilihat dari segi kebutuhan yang menengah-rendah terdapat kesamaan
umum bagi golongan yang tinggal di daerah prioritas kebutuhan, demikian pula pada level
perkotaan, di mana tanah bagi golongan pendapatan menengah dan tinggi, ada
berpenghasilan rendah sulit didapat dengan kesesuaian prioritas kebutuhan. Menurut
harga yang rendah sedangkan pada kasus pendapat penulis, kategori prioritas Turner
Suku Bajo, masyarakatnya berada pada lebih cocok diterapkan pada konteks
daerah kota (dalam pengertian administratif), perkotaan padat, di mana tanah merupakan
tetapi kehidupan warganya masih diwarnai sumber daya alam yang langka dengan tipe
dengan suasana desa. Prioritas untuk perumahan yang sesuai standar modern dan
mendapatkan rumah modern sebenarnya lebih kepemilikan yang dibangun oleh swasta, serta
merupakan usaha untuk mendapatkan rumah kondisi masyarakat yang memiliki bidang
yang luas agar dapat digunakan untuk pekerjaan yang bervariasi.
kegiatan usaha.
VI. KESIMPULAN
Pembuatan rumah “modern” dalam uraian
1. Prioritas kebutuhan vital dan perumahan,
Turner lebih tepat disebut sebagai usaha
walaupun dapat menjelaskan kondisi
untuk mengatasi kondisi alam (air laut, angin,
permukiman Suku Bajo di Kelurahan Bajoe
tapak dan iklim) sebagaimana yang dijelaskan
tentang pemilihan lokasi yang dekat
Juhana (2000) dalam Nurmaningtyas
dengan tempat kerja bagi masyarakat
(2012:34), faktor fisik seperti karakteristik
berpenghasilan sangat rendah, namun
wilayah pesisir ini dibentuk oleh parameter
masyarakat yang telah memiliki
lingkungan fisik seperti pasang surut, arus
pendapatan menengah dan tinggi (para
laut, gelombang, angin, salinitas, suhu dan
pemilik usaha), lokasi rumah mereka tetap
perubahan muka air laut. Kondisi lingkungan
berada di tempat awal yang dekat dengan
kawasan pesisir yang demikian itu
tempat pekerjaan.
menyebabkan adanya kesulitan bagi penghuni
2. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah
untuk menikmati ketenangan lingkungan
dan menengah-rendah, dapat dijelaskan
karena adanya perubahan lingkungan yang
bahwa mereka memprioritaskan
terjadi setiap saat. Oleh karena itu, untuk
kepemilikan lahan dan rumah, dengan
meningkatkan keamanan dalam permukiman
adanya perubahan rumah mereka yang
Suku Bajo, diperlukan upaya mengatasi
dulunya di atas laut (tidak ada kepemilikan
permasalahan lingkungan yang terus berubah.
pribadi), saat ini mereka telah menghuni
Di samping itu, modern dalam pengertian
rumah secara permanen di darat maupun
di atas air (kepemilikan pribadi dan jaminan Rapoport, Amos (1969). House Form and
keamanan). Culture. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice
3. Kelompok yang berpenghasilan menengah Hall.
dan tinggi di permukiman Suku Bajo, tidak Salipu, Amir (2000). Transformasi Permu-
meninggalkan lokasi permukiman mereka, kiman Suku Bajo di Kelurahan Bajoe, Kota
sebagaimana terjadi pada suku Bugis yang Administratif Watampone, Sulawesi Selatan.
cenderung memilih lokasi rumah yang Tesis Program Studi Arsitektur, Program
modern dengan fasilitas yang memenuhi Pasca Sarjana ITS Surabaya.
aspek bangunan modern dari segi sarana Soesangobeng, Herman (1977).
dan prasarana. Namun bagi Suku Bajo, Perkampungan Bajo di BajoE Suatu Rintisan
keterikatan dalam kelompok mereka sangat Studi Tentang Orang Bajo dan Konsep
kuat, termasuk bahasa yang dipergunakan Permukimannya di Pesisir Teluk Bone dan
oleh Suku Bajo yang jarang dimengerti Sekitarnya. Penelitian Pusat Latihan
oleh masyarakat yang ada disekitarnya Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Ujung Pandang.
(Bugis), hal ini berbeda dengan Suku Bajo Swanendri, Ni Made (2000). Eksistensi Rumah
yang juga dapat berbahasa Bugis. Mereka Bali sebagai Basis Ekonomi Keluarga; Studi
telah merasa menyatu dengan lingkungan Kasus Desa Belega dan Desa Bona,
permukiman mereka saat ini. Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar
4. Teori Turner tentang prioritas kebutuhan Bali. Tesis Program Studi Arsitektur.
vital dan perumahan terkait dengan level Program Pasca Sarjana ITS Surabaya.
income, lebih sesuai untuk menjelaskan Turner, John, FC (1972). Freedom to Build.
fenomena perubahan kebutuhan tersebut New York: The Macmillan Company.
pada wilayah kota, di mana harga tanah Ward, Barbara (1976). The Home of Man.
sangat mahal dan lokasi pekerjaan pada Pinguin Books Ltd., Harmondsworth,
masing-masing kelompok berbeda-beda, Middlesex, England.
sedangkan untuk lokasi penelitian ini lebih
menyerupai desa yang secara administratif
termasuk wilayah kota (kelurahan).
DAFTAR PUSTAKA
Altman, Irwin and Chemer, Martins (1989).
Culture and Environment. New York,
Cambridge University Press, 1984 reprinted
1989
Hasrawaty, Esti, Anas, Pigoselpi, Wisudo,
Sugeng, Hari (2017). Peran Kearifan Lokal
Suku Bajo dalam Mendukung Pengelolaan
Kawasan Konservasi di Kabupaten
Wakatobi. Jurnal Penyuluhan Perikanan dan
Kelautan, 11 (1): 25-34.
Mattulada (1995). LATOA: Satu Lukisan
Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang
Bugis, Cet.2. Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press.
Mukramin, Sam’un (2018). Strategi Bertahan
Hidup: Masyarakat Pesisir Suku Bajo di
Kabupaten Kolaka Utara. Jurnal Walasuji, 9
(1), Juni 2018: 175-185. Balai Pelestarian
Nilai Budaya Makassar.
Nemwark, Norma L. & Thomson, Patricia J.
(1977). Self, Space and Shleter An
Introduction to Housing. San Fransisco:
Canfield Press.
Nurmaningtyas, Anggia R. (2012). Teknologi
Perlindungan Rumah Kayu Pada Arsitektur
Rumah Kayu Suku Tobati di Teluk Yotefa,
Papua. Tesis Program Studi Teknik
Arsitektur. Program Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.