Modul Ajar 5
Modul Ajar 5
Modul Ajar 5
A. Informasi Umum
B. Tujuan Pembelajaran
Capaian Pembelajaran Alur Tujuan Pembelajaran
D. Sarana Prasarana
1. Jaringan internet yang memadai
2. Komputer/laptop
3. Perpustakaan, buku-buku sejarah sebagai referensi
4. Peta hasil perundingan Linggarjati
G. Ketersediaan materi:
1. Materi pengayaan
2. Materi remedial
H. Model Pembelajaran:
PJJ daring dan luring
mata uang yang beredar di Indonesia ada tiga, yakni 1) mata uang rupiah Jepang, 2) mata
uang pemerintah Hindia Belanda, dan 3) mata uang NICA.
Sementara itu, Belanda (NICA) terus menekan pemerintah Indonesia sehingga
Jakarta dirasakan tidak aman lagi. Kekacauan secara ekonomi dan politik di Jakarta inilah
yang menyebabkan pada 4 Januari 1946 ibu kota RI yang ada di Jakarta pindah ke
Yogyakarta.
Baru setelah 1 Oktober 1946, Indonesia mengeluarkan mata uang resmi yang
dikenal dengan nama uang ORI sehingga uang NICA dinyatakan sebagai alat tukar yang
tidak sah
Belanda, Australia, dan Amerika Serikat merupakan negara yang membentuk
koalisi dalam Perang Dunia II. Mereka saling melindungi. Untuk itulah, tidak
mengherankan jika setelah Jepang membuat Belanda bertekuk lutut, tentara Belanda
bukannya dikembalikan ke negara asal, tetapi mereka melarikan diri ke Australia.
Ketika Jepang menyerah, maka Indonesia dinyatakan sebagai vacuum of power
atau kekosongan kekuasaan. Setelah Jepang kalah, maka tentara Belanda yang melarikan
diri ke Australia kembali ke Indonesia untuk berusaha menguasai lagi. Karena Indonesia
sudah menyatakan dirinya merdeka, maka terjadi benturan antara mempertahankan
kemerdekaan dengan keinginan untuk menguasai lagi.
Sekutu masuk ke Indonesia melalui beberapa pintu, terutama daerah yang
merupakan pusat pemerintahan pendudukan Jepang seperti Jakarta, Semarang, dan
Surabaya. Setelah Perang Dunia II selesai, terjadi perundingan antara Belanda dengan
Inggris yang menghasilkan Civil Affairs Agreement.
Isi dari perundingan itu adalah tentang pengaturan penyerahan kembali Indonesia
dari pihak Inggris kepada pihak Belanda, terutama daerah Sumatra, sebagai daerah di
bawah pengawasan. SEAC (South East Asia Command). Dalam perundingan itu, diatur
langkah-langkah sebagai berikut. a. Tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer
untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. b. Setelah keadaan normal, pejabat-pejabat
NICA akan mengambil alih tanggung jawab koloni dari pihak Inggris yang mewakili
Sekutu.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, pemerintah
Belanda mendesak kepada Inggris agar segera mengesahkan perjanjian itu. Akhirnya,
perjanjian disahkan pada 24 Agutus 1945. Berdasarkan Perjanjian Postdam, Civil Affairs
Agreement diperluas, yakni Inggris bertanggung jawab untuk seluruh Indonesia,
termasuk daerah yang berada di bawah pengawasan SWPAC (South West Pasific Areas
Command).
Untuk melaksanakan Perjanjian Postdam, maka SWPAC yang dipimpin Lord
Louis Mountbatten di Singapura segera mengatur pendaratan Sekutu di Indonesia.
Kemudian, pada 16 September 1945, wakil Mountbatten, yakni Laksamana Muda W.R.
Patterson, mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Di dalam rombongan W.R.
Patterson ikut serta Van Der Plass, seorang Belanda yang mewakili H.J. Van Mook
(pemimpin NICA).
Kemudian, Lord Louis Mountbatten membentuk pasukan komando khusus yang
diberi nama AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indiers) di bawah komando Letnan
Jenderal Sir Philip Christison.
6
(sekarang Istana Negara). Satu hari setelah perebutan Gedung Cokan Kantai, para
pejuang Yogyakarta ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di
Kotabaru. Untuk itu, pada 6 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak
Indonesia dengan Jepang.
Perundingan itu diadakan di dalam markas Osha Butai di Kotabaru. Hadir dari
pihak Indonesia antara lain Mohammad Saleh (KNI) dengan didampingi Oemar Djoy,
Soendjojo, R.P. Sudarsono, dan Bardosono atas nama BKR. Dari pihak Jepang
diwakili antara lain oleh Butaico Mayor Otsuka, Kempetai Sasaki, serta Kapten Ito
(Kiambuco). Sementara itu, sejak sore hari banyak rakyat dan pemuda yang hadir di
sekitar markas Kotabaru.
Dalam perundingan itu, utusan Indonesia mendesak agar Jepang secara sukarela
menyerahkan senjata dan kekuasaannya. Mayor Otsuka dan tentara Jepang tetap
bertahan. Mayor Otsuka kemudian menyatakan bahwa untuk menyerahkan senjata
harus menunggu perintah dari Jenderal Nakamura di Magelang. Untuk itu, Jepang
mengusulkan agar perundingan dilanjutkan esok hari sekitar pukul 10.00 WIB.
Perundingan itu menemui jalan buntu. Dentuman granat kemudian terdengar pada
pukul 20.00 WIB, memberi tanda bahwa perundingan akhirnya gagal Rakyat dan para
pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru. Bahkan di kampung-
kampung pada malam itu dilakukan persiapan pengerahan massa pemuda dengan
suara siap-siap secara estafet.
Dalam waktu singkat telah berkumpul banyak pemuda dan terus bergerak menuju
Kotabaru. Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR,
Polisi, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) yang sudah bertekad untuk menyerbu
markas Jepang di Kotabaru.
Rakyat dan Pemuda dengan senjata seperti parang dan bambu runcing sudah siap,
tinggal menunggu komando. Selain itu, ada kekuatan inti yang menggunakan senjata
api, yaitu pasukan Polisi yang dipimpin oleh Oni Satroatmojo dan pasukan TKR di
bawah komando Soeharto. Sebagai bagian dari strategi penyerbuan, para pemuda
telah memutuskan sambungan telepon, kemudian sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan, sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terdengar lagi
dentuman granat, menandakan aliran listrik pagar berduri yang mengelilingi markas
Jepang sudah dipadamkan.
Para pemuda segera menyerbu markas itu dan dimulailah pertempuran di
Kotabaru. Dengan demikian, terjadilah pertempuran antara rakyat, pemuda, dan
kesatuan di Yogyakarta melawan tentara Jepang.
Mendengar bahwa rakyat melancarkan serangan di Kotabaru, maka Butaico
Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah dengan syarat anak
buahnya tidak disiksa. Hal ini diterima baik oleh TKR. Kemudian, TKR minta agar
Butaico Pingit dapat memengaruhi Butaico Kotabaru agar menyerah. Ternyata,
Butaico Kotabaru menolak untuk menyerah. Akibatnya, serangan para pejuang
Indonesia semakin ditingkatkan.
Jepang yang mulai kewalahan kemudian mengadakan kontak kepada pihak para
pejuang Indonesia untuk berdamai. Para pejuang Indonesia boleh memasuki markas.
Setelah pintu itu dibuka, para pemuda pejuang pun memasukinya. Ternyata, di tempat
10
itu telah disambut tembakan gencar senapan mesin yang sudah disiapkan tentara
Jepang sehingga banyak pejuang kita gugur.
Dalam Penyerbuan Kotabaru tersebut, sebanyak 21 pejuang gugur dan sekitar 32
orang mengalami luka-luka. Sedangkan dari pihak tentara Jepang, 9 orang tewas dan
15 orang luka-luka.
Mereka yang gugur adalah 1) Sareh, 2) Sadjiyono, 3) Sabirin, 4) Soenaryo, 5)
Soeroto, 6) Soepadi, 7) Soehodo, 8) Soehartono, 9) Trimo, 10). Mohammad Wardani,
11) Atmosukarto, 12) Ahmad Djazuli, 13) Achmad Zakir, 14) Abu Bakar Ali, 15)
Djoemadi, 16) Djuhar Nurhadi, 17) Faridan M. Noto, 18) Hadi Darsono, 19) I Dewa
Nyoman Oka, 20) Oemoem Kalipan, dan 21) Bagong Ngadikan.
Akhirnya, pada 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, markas Jepang (Butaico)
Kotabaru secara resmi diserahkan ke tangan pejuang Yogyakarta. Setelah Butaico
Kotabaru jatuh, usaha perebutan kekuasaan meluas. R.P. Sudarsono kemudian
memimpin pelucutan senjata Kaigun di Maguwo. Dengan berakhirnya pertempuran
Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka Yogyakarta di bawah kekuasaan Republik
Indonesia.
3. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
Melawan Sekutu Setelah proklamasi kemerdekaan, para pemuda Surabaya
berhasil memperoleh senjata dari tentara Jepang yang dilucuti setelah Jepang
menyerah kepada Sekutu. Para pemuda Surabaya sudah terorganisasi sehingga
mereka sudah siap menghadapi segala ancaman yang datang dari manapun.
Pada 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi 23 Sekutu yang berkekuatan
sekitar 5.000 tentara mendarat di Surabaya di bawah pimpinan Brigadir Jenderal
Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Setibanya di Surabaya, mereka segera masuk ke
dalam kota dan mendirikan pos pertahanan di delapan tempat.
Pemerintah dan rakyat Indonesia awalnya menyambut kedatangan tentara Sekutu
tersebut dengan tangan terbuka. Ketika tentara Sekutu ingin segera melucuti semua
persenjataan yang telah dikuasai rakyat, Sekutu memperoleh tentangan keras dari
pemimpin Indonesia di Surabaya sehingga akhirnya Sekutu mengalah.
Tanggal 26 Oktober 1945, dicapai kesepakatan antara pimpinan Indonesia dengan
Brigadir Mallaby, yang isinya antara lain sebagai berikut. a. Senjata-senjatanya yang
dilucuti hanya senjata tentara Jepang. b. Tentara Inggris selaku wakil Sekutu akan
membantu Indonesia dalam pemeliharaan keamanan dan perdamaian. c. Setelah
semua senjata tentara Jepang dilucuti, mereka akan diangkut melalui laut.
Meskipun kesepakatan baru saja tercapai, Sekutu justru mengingkarinya. Pada
malam hari, 26 Oktober 1945, Sekutu menyerang Penjara Kalisosok. Tentara Sekutu
membebaskan Kolonel Huiyer, seorang perwira Belanda beserta beberapa tentara
Belanda yang ditawan pasukan Indonesia.
Pada 27 Oktober 1945, pukul 11.00, sebuah pesawat Dakota melintas dari
Jakarta. Atas perintah Mayjend. Hawthorn, pesawat itu menyebarkan pamflet yang
berisi perintah penyerahan senjata yang dimiliki rakyat Indonesia kepada tentara
Sekutu. Dalam waktu 2 kali 24 jam, seluruh senjata harus sudah diserahkan dan bagi
yang masih membawa senjata melewati batas waktu itu akan ditembak di tempat. Hal
11
ini jelas bertentangan dengan kesepakatan sehari sebelumnya yang telah disetujui
Mallaby.
Dikabarkan Mallaby sempat terkejut dengan adanya pamflet tersebut, tetapi ia
tetap mematuhi perintah pimpinannya di Jakarta dan segera memerintahkan
pasukannya untuk melucuti senjata rakyat Surabaya. Rakyat Surabaya menilai pihak
Inggris telah melanggar perjanjian. Akhirnya, pimpinan militer di Surabaya
memberikan perintah untuk menyerbu seluruh pos pertahanan Inggris.
Pada saat yang hampir bersamaan para pemimpin (NU) Nahdlatul Ulama dan
Masyumi menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah
Perang Sabil sehingga menjadi suatu kewajiban yang melekat pada semua muslim.
Para kiai dan santri kemudian mulai bergerak dari pesantren pesantren di Jawa
Timur menuju ke Surabaya.
Serangan total dilakukan pada 28 Oktober 1945 pukul 04.30. Delapan pos
pertahanan Sekutu diserbu sekitar 30.000 rakyat bersenjata api dan ditambah sekitar
100.000 rakyat bersenjata tajam. Setelah digempur secara total, tentara Sekutu yang
tidak siap bertempur mengibarkan bendera putih dan memohon untuk berunding.
Dari pertempuran yang berlangsung pada 28-29 Oktober 1945, Inggris mencatat
18 perwira dan 374 tentara Sekutu tewas, luka-luka, dan hilang. Sementara di pihak
Indonesia, sekitar 6.000 orang gugur, luka-luka, dan hilang. Kapten R.C Smith
menulis, Mallaby saat itu menyadari apabila petempuran dilanjutkan mereka akan
disapu bersih. Dalam posisi yang terdesak, Inggris menghubungi pimpinan Indonesia
di Jakarta. Mereka sadar, tidak ada jalan lain selain meminta bantuan pimpinan
Indonesia di Jakarta untuk menyelamatkan nyawa ribuan tentara Inggris yang sudah
terkepung.
Sore hari, 29 Oktober 1945, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan
Menteri Penerangan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat
militer Inggris. Hari itu juga, Presiden bertemu dengan Mallaby di gubernuran.
Malam itu dicapai kesepakatan yang tertuang dalam Armistice Agreement regarding
the Surabaya-incident: a provisional agreement between President Soekarno of the
Republic Indonesia and Brigadie Mallaby, Concluded on the 29 October 1945.
Mengenai hal lain dirundingkan dengan Mayjend. Hawthorn, yang datang ke
Surabaya pada 30 Oktober 1945. Berikut beberapa hasil kesepakatan yang diperoleh
pada tanggal 30 Oktober 1945 antara pemimpin Indonesia dan pemimpin pasukan
Sekutu di Indonesia. a. Pamflet yang ditandatangani Mayjend. Hawthorn dinyatakan
tidak berlaku. b. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan polisi diakui oleh Sekutu. c.
Seluruh Kota Surabaya tidak dijaga lagi oleh Sekutu, kecuali kamp-kamp tawanan
dijaga tentara Sekutu bersama TKR. d. Untuk sementara waktu, Tanjung Perak dijaga
bersama TKR, polisi, dan tentara Sekutu untuk menyelesaikan tugas menerima obat-
obatan untuk tawanan perang.
Hasil perundingan untuk menyelamatkan pasukan Mallaby dari kekalahan total
dipertegas oleh menteri penerangan sebagai berikut. a. Pembentukan suatu Kontak
Biro yang terdiri dari unsur pemerintah RI di Surabaya bersama-sama tentara Inggris.
b. Daerah pelabuhan dijaga bersama, yang ditentukan kedudukan masing-masing oleh
Kontak Biro. c. Daerah Darmo, daerah kamp interniran orang-orang Eropa dijaga
12
oleh sekutu. Hubungan antara daerah Darmo dan pelabuhan Tanjung Perak
diamankan untuk mempercepat proses pemindahan tawanan. d. Tawanan dari kedua
belah pihak harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.
Pukul 17.00, tanggal 30 Oktober 1945, seluruh anggota Kontak Biro pergi
bersama-sama menuju satu lokasi pertempuran. Tempat terakhir ini adalah Gedung
Bank Internasional di Jembatan Merah. Gedung ini masih diduduki pasukan Inggris
dan pemuda-pemuda masih mengepungnya. Setibanya di lokasi pertempuran,
pemuda pemuda menuntut supaya pasukan Mallaby menyerah.
Mallaby tidak bisa menerima tuntutan itu. Setelah penolakan tersebut, terjadi
insiden baku tembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby, Komadan Brigade 49,
di Surabaya. Inggris menyalahkan pihak Indonesia yang telah melanggar gencatan
senjata dan membunuh Mallaby.
Dari berbagai kesaksian mantan perwira Inggris di tempat kejadian, ternyata yang
memulai tembakan adalah pihak Inggris, sesuai kesaksian Mayor Gopal tahun 1974.
Penyebab tewasnya Mallaby sendiri masih menjadi misteri. Ada yang mengatakan
tertusuk bayonet dan bambu runcing pemuda. Namun, berdasarkan surat dari Kapten
Smith kepada Parrot tahun 1973-1974, kemungkinan besar Mallaby terbunuh karena
ledakan granat yang dilempar pengawalnya sendiri.
Setelah tewasnya Mallaby, baik Letnan Jenderal Christison, panglima AFNEI,
atau pun Mayor Jenderal Mansergh menyatakan, pihak Indonesia telah melanggar
gencatan senjata dan secara licik membunuh Brigjend. Mallaby. Dengan tuduhan
tersebut, Inggris memperoleh alasan untuk memenuhi perjanjiannya dengan Belanda,
yaitu membersihkan kekuatan bersenjata Indonesia.
Pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban pihak Indonesia. Pada 31 Oktober
1945, Letnan Jenderal Christison memperingatkan kepada rakyat Surabaya untuk
menyerah. Apabila tidak, mereka akan dihancurkan. Rakyat Surabaya tidak mau
memenuhi tuntutan tersebut. Kontak Biro Indonesia pun mengumumkan bahwa
kematian Mallaby merupakan suatu kecelakaan.
Letjen Sir Philip Christison yang marah besar mendengar kabar kematian
Brigjend. Mallaby mengerahkan 24.000 pasukan tambahan untuk menguasai
Surabaya. Secara diam-diam, Sekutu memperkuat posisinya. Tanggal 1 November
1945, pukul 08.00, Laksamana Muda Patterson dengan Kapal Perang HMS Sussex
tiba di Surabaya. Sejumlah 1.500 pasukan didaratkan dengan Kapal Carron dan
Cavallier.
Tanggal 3 November 1945, menyusul pula Mayor Jendral E.C. Manseergh,
Panglima Divisi ke-5 Infanteri India, yang tiba di Surabaya dengan membawa 24.000
pasukan, lengkap dengan panser, satu divisi artileri dilindungi dari Tanjung Perak dan
Ujung oleh satu cruiser dan empat destroyer dengan meriam jarak jauh yang lengkap,
ditambah 21 sherman tank dan meriam yang dilindungi 24 pesawat terbang jenis
Mosquito (pemburu) dan Thunderbolts (pelempar bom).
Pesawat-pesawat ini berpangkalan di kapal-kapal perusak yang mengadakan
straffing serta menjatuhkan bom-bom di Surabaya. Kekuatan laut yang dikerahkan
oleh Inggris terdiri dari jenis kapal LST destroyer. Kapal itu dibawah komando Naval
Commander Force 64 yang dipimpin oleh Captain R.C.S. Carwood. Beberapa buah
13
kapal ini sudah beroperasi sejak kedatangan Inggris pada 25 Oktober 1945. Masih
banyak lagi kekuatan Inggris dari laut, udara, dan darat untuk menyerbu Surabaya
pada 10 November 1945.
Kemudian, pada 7 November 1945, Mayor Jendral E.C. Mansergh menulis surat
kepada Gubernur Suryo yang isinya menuduh gubernur tidak mampu menguasai
keadaan. Akibatnya, seluruh kota dikuasai oleh perampok. Mereka dianggap
menghalangi tugas Sekutu. Untuk itu, Sekutu mengancam akan menduduki Kota
Surabaya serta memanggil Gubernur Suryo untuk menghadap.
Dalam surat jawabannya, tertanggal 9 November 1945, Gubernur Suryo
membantah semua tuduhan Mayor Jendral E.C. Mansergh. Gubernur Suryo mengutus
Residen Sudirman dan Roeslan Abdulgani untuk menyampaikan surat balasan
tersebut. Pada hari yang sama, pukul 14.00, Mayor Jendral E.C. Mansergh
menyerahkan 2 surat kepada Gubernur Suryo. Surat yang pertama berupa ultimatum
yang ditujukan kepada “All Indonesians of Surabaya” lengkap dengan “Instructions”.
Surat yang kedua merupakan perincian dari ultimatum tersebut.
Bunyi ultimatum yang disebarkan sebagai pamflet melalui pesawat udara pada 9
November 1945 pukul 14.00 yakni, “Seluruh pimpinan Indonesia, termasuk pimpinan
gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala radio Surabaya harus melapor ke
Bataviaweg tanggal 9 November pukul 18.00. Mereka harus berbaris satu per satu
membawa segala jenis senjata yang mereka miliki. Senjata tersebut harus diletakkan
di tempat yang berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang
Indonesia harus datang dengan tangan di atas kepala mereka, dan akan ditahan, dan
harus siap untuk menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Bagi pemuda-
pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya dengan berbaris dan
membawa bendera putih. Batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 pagi
tanggal 10 November 1945. Apabila tidak diindahkan, Inggris akan mengerahkan
seluruh kekuatan darat, laut, dan udara untuk menghancurkan Surabaya.”
Dengan adanya ultimatum ini, pemimpin Surabaya mengadakan pertemuan.
Mereka melaporkan kepada presiden, tetapi hanya diterima oleh Menteri Luar Negeri
Ahmad Subardjo. Menteri luar negeri menyerahkan keputusan kepada rakyat
Surabaya. Secara resmi pada pukul 22.00, Gubernur Soeryo melalui radio,
menyatakan menolak ultimatum Inggris.
Tanggal 10 November 1945, pukul 06.00, setelah habisnya waktu ultimatum,
Inggris mulai menggempur Surabaya dengan seluruh armada darat, laut, dan udara.
Pemboman secara brutal pada hari pertama telah menimbulkan korban yang sangat
besar. Di pasar Turi, ratusan orang tewas dan luka-luka. Inggris juga berhasil
menguasai garis pertama pertahanan rakyat Surabaya.
Rakyat Surabaya tidak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan atas serangan
tersebut. Pertempuran yang tidak seimbang selama tiga minggu telah mengakibatkan
sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil.
Selain itu, diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan Kota Surabaya yang
hampir hancur total terkena serangan Sekutu. Sementara di pihak Inggris tercatat 1.500
tentara Inggris tewas, hilang, dan luka-luka.
14
Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu. Seluruh kota telah jatuh ke
tangan Sekutu. Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan
dalam tempo tiga hari. Namun, para tokoh masyarakat, seperti pelopor muda Bung Tomo
yang berpengaruh besar di masyarakat, terus menggerakkan semangat perlawanan
pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala
besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kiai-kiai pondok Jawa
seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, serta kiai-kiai pesantren lainnya
juga mengerahkan santri santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan
(pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan, tetapi mereka lebih
patuh dan taat kepada para kiai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama,
dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu
sampai tiga minggu sebelum seluruh Kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak
Inggris tanggal 28 November 1945.
Pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan pihak Indonesia. Akan tetapi,
perang tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia rela berkorban demi
mempertahankan kemerdekaan mereka meskipun harus dibayar dengan nyawa. Sebagai
penghormatan atas jasa para pahlawan yang berperang dengan gigih melawan Sekutu di
Surabaya, Sukarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
4. Pertempuran Palagan Ambarawa
Melawan Sekutu Pertempuran Ambarawa terjadi pada 29 November 1945 dan
berakhir pada 15 Desember 1945. Pada 20 Oktober 1945, pasukan Sekutu di bawah
komando Brigadir Jenderal Bethell mendarat di Semarang untuk melucuti senjata
pasukan Jepang dan membebaskan tahanan perang yang masih ditahan di kamp-kamp
konsentrasi di Jawa Tengah.
Awalnya, pasukan disambut di daerah itu. Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro
setuju untuk memberi mereka makanan dan kebutuhan lainnya sebagai imbalan janji
Sekutu untuk menghormati kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Ternyata, mereka
diboncengi oleh NICA.
Pada 26 Oktober 1945, pecah insiden di Magelang yang berkembang menjadi
pertempuran antara TKR dengan tentara Sekutu. Insiden itu berhenti setelah kedatangan
Presiden Sukarno dengan Brigadir Jenderal Bethell di Magelang pada 2 November 1945.
Mereka mengadakan perundingan gencatan senjata dan tercapai kata sepakat berikut ini.
a. Pihak Sekutu tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan
kewajibannya melindungi dan mengurus tawanan perang Jepang dan interniran Sekutu. b.
Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia-Sekutu. c. Sekutu
tidak mengakui aktifitas NICA dan badan-badan yang berada di bawah NICA.
Ternyata, Sekutu ingkar janji. Pada 20 November 1945, di Ambarawa pecah
pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara
Sekutu. Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke
Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur.
15
Ketika pasukan Sekutu dan NICA tiba di Ambarawa, mereka membebaskan sekitar
28.000 tahanan Belanda termasuk wanita dan anak-anak dari kamp konsentrasi di
dalamnya. Mereka mempersenjatai kembali para tahanan interniran Belanda untuk
memperkuat pasukan mereka melawan TKR.
Tanggal 22 November 1945, pertempuran terjadi di dalam kota dan pasukan Sekutu
melakukan pengeboman di kampung-kampung sekitar Ambarawa. Karena di dukung oleh
tank dan pesawat tempur, Sekutu terus bergerak ke Magelang.
Di bawah kepemimpinan Letnan Kolonel Sarbini, pemimpin Resimen Magelang,
didukung oleh pasukan gabungan dari Ambarawa dan Surakarta yang dipimpin oleh Oni
Sastrodihardjo, tentara Republik dapat mengepung dan hendak menghancurkan pasukan
Sekutu. Menghindar dari ancaman besar seperti itu, Sekutu mundur dari Magelang dan
kembali ke Ambarawa. Mereka mendirikan benteng di dua desa di dekat kota. Tempat
mereka kemudian diserang oleh pasukan Indonesia.
Tanggal 26 November 1945, komandan sektor itu, Letnan Kolonel Isdiman, tidak
dapat sepenuhnya menyelesaikan misi karena meninggal dalam serangan udara Sekutu
yang diserang peluru senapan mesin Mustang. Gugurnya Letnan Kolonel Isdiman seolah
membakar semangat juang pasukan TKR di Palagan Ambarawa.
Kolonel Sudirman, Panglima Divisi 5 Banyumas, yang kehilangan salah satu perwira
terbaiknya, memutuskan untuk mengambil alih kepemimpinan pertempuran itu sendiri.
Dia mengoordinasikan komandan sektor untuk memperketat pengepungan. Kehadiran
Sudirman ini semakin menambah semangat tempur TKR dan para pejuang yang sedang
bertempur di Ambarawa.
Tanggal 12 Desember 1945, Sudirman mengoordinasikan bawahannya untuk
mengusir Sekutu dari Ambarawa dengan segala cara. Saat itu, ia menggunakan teknik
yang disebut Supit Urang (menjepit dari dua sisi), yang berasal dari kisah perang Bharata
Yudha. Taktik ini segera diterapkan sehingga musuh mulai terjepit dan situasi
pertempuran semakin menguntungkan pasukan TKR.
Selama empat hari, pertempuran berlangsung terus-menerus sehingga pasukan
Sekutu benar-benar terputus dari markas mereka di Semarang. Tentara-tentara Indonesia
yang didukung oleh orang-orang sipil yang direkrut bertempur dengan sengit melawan
pasukan Sekutu yang terdiri dari pasukan Inggris, NICA, dan para tahanan Jepang yang
dipersenjatai kembali.
Angkatan Udara Kerajaan Inggris secara intensif membombardir Ungaran untuk
membuka jalan ke Semarang yang kemudian dipegang oleh pasukan Indonesia dan
memberondong Ambarawa dari udara berulang kali. Sekutu juga melancarkan serangan
udara ke Solo dan Yogyakarta yang bertujuan untuk menghancurkan stasiun radio lokal
tempat semangat juang dipertahankan.
Tanggal 15 Desember 1945, pertempuran yang dimulai oleh pasukan Sekutu berakhir
dengan sebuah bencana. Ambarawa menjadi lautan api ketika pasukan Sekutu membakar
rumah-rumah lokal sebelum mereka mundur ke Semarang. Dalam pertempuran itu,
pasukan TKR mengalami kemenangan karena bisa memukul mundur Sekutu dari
Ambarawa menuju Semarang. Kolonel Sudirman masih dalam pakaian seragamnya
mengambil air wudhu dan kemudian bersimpuh salat sujud syukur. Tidak banyak yang
tahu bahwa orang yang bersujud syukur itu baru saja menyelesaikan tugasnya
16
mengukuhkan akar kemerdekaan bangsanya. Tidak banyak pula yang mengetahui bahwa
pria yang bersimpuh itu pada konferensi besar TKR tanggal 12 November 1945 terpilih
menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia yang masih sangat muda.
Pada 15 Desember 1974, hari ketika Sekutu diusir dari Ambarawa, Presiden Suharto
meresmikan Monumen Nasional Ambarawa Battlefield untuk memperingati peristiwa
heroik. Kemenangan pertempuran itu kini diabadikan dengan berdirinya Monumen
Ambarawa dan diperingati sebagai Hari Tentara Juang Kartika.
kalangan pemuda. Patroli diadakan Inggris karena mereka merasa tidak aman dan
pemerintah Indonesia tidak memberikan jaminan keamanan. Meningkatnya korban di
pihak Inggris di beberapa insiden membuat mereka memperkuat kedudukannya dan
menentukan sendiri secara sepihak batas kekuasaannya.
Pada 1 Desember 1945, Sekutu memperkuat dan menegaskan kedudukannya dengan
memasang patok-patok di sudut kota. Pemasangan patok-patok tersebut disertai dengan
pemasangan papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area (Batas Resmi
Wilayah Medan). Tentara Sekutu kemudian melakukan pembersihan terhadap orang-
orang Indonesia yang berada di wilayah Medan Area.
Sekutu juga mendesak agar pemerintahan Indonesia yang ada di Medan segera keluar
dari wilayah tersebut. Tindakan Sekutu tersebut mendapat balasan dari rakyat Medan
dengan perlawanan bersenjata. Pada 10 Desember 1945, pasukan Sekutu melakukan
serangan terhadap kedudukan TKR di Trepes. Para pejuang menculik seorang perwira
Inggris dan menghancurkan beberapa truk.
Dengan adanya peristiwa itu Brigadir Jenderal T.E.D Kelly pada 13 Desember 1945
mengeluarkan ultimatum kedua. Bangsa Indonesia dilarang untuk membawa senjata di
dalam daerah Medan atau 8,5 kilometer sekitar Medan. Bagi yang membantah akan di
tembak mati. Setelah keluarnya ultimatum kedua, tentara Sekutu dengan aktif melakukan
razia dan sering mendapatkan serangan balik dari pemuda Indonesia. Saling serang ini
mengakibatkan kondisi Medan menjadi tidak kondusif.
Pertempuran setelah ancaman kedua berlanjut sampai April 1946 dan mengakibatkan
kerusakan parah. Akhirnya, kantor gubernur, markas divisi TKR, serta kantor wali kota,
dipindahkan ke Pematang Siantar. Dengan demikian, Sekutu menguasai Kota Medan.
Karena serangan yang tidak terkordinasi, maka pada 10 Agustus 1946 di Tebing
Tinggi seluruh pemuda di bawah Napindo dari PNI, Pesindo, Barisan Merah dari PKI,
Hizbullah dari Masyumi, dan Pemuda Parkindo membentuk Komando Resimen Laskar
Rakyat Medan Area (K.R.L.R.M.A.). Kapten Nip Karim dan Marzuki Lubis dipilih
sebagai Komandan dan Kepala Staf Umum. Di bawah komando inilah mereka
meneruskan perjuangan di Medan Area.
6. Pertempuran Bandung Lautan Api Melawan Sekutu
Latar belakang Peristiwa Bandung Lautan Api berawal dari peristiwa ketika pasukan
Sekutu mendarat di Bandung. Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di
Bandung pada 17 Oktober 1945. Para pejuang Bandung sedang gencar-gencarnya
merebut senjata dan kekuasaan dari tangan Jepang. Pertempuran diawali oleh usaha para
pemuda untuk merebut Pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie
Constructie Winkel (ACW) - sekarang Pindad.
Seperti halnya di kota-kota besar lain, di Bandung pasukan Sekutu dan NICA
melakukan teror terhadap rakyat sehingga terjadi pertempuran-pertempuran. Menjelang
November 1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. NICA memanfaatkan
kedatangan pasukan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia.
Tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan Indonesia
melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di wilayah Bandung
bagian Utara. Hotel Homann dan Hotel Preanger yang digunakan Sekutu sebagai markas
18
juga tak luput dari serangan. Menanggapi serangan ini, tiga hari kemudian, MacDonald
menyampaikan ultimatum pertama kepada Gubernur Jawa Barat.
Ultimatum ini berisi perintah agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk
Indonesia, termasuk dari pasukan bersenjata dengan alasan untuk menjaga keamanan.
Sekutu menuntut agar Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat-
lambatnya tanggal 29 November 1945.
Sejak saat itu sering terjadi insiden antara pasukan Sekutu dengan pejuang.
Masyarakat Indonesia yang mendengar ultimatum ini tidak mengindahkannya. Sehingga
pecah pertempuran antara Sekutu dan pejuang Bandung pada 6 Desember 1945.
Tanggal 23 Maret 1946, Sekutu kembali mengulang ultimatumnya. Sekutu
memerintahkan agar TRI (Tentara Republik Indonesia) segera meninggalkan Kota
Bandung. TRI diperintahkan untuk mundur sejauh 11 kilometer dari pusat kota paling
lambat pada tengah malam tanggal 24 Maret 1946.
Mendengar ultimatum tersebut, pemerintah Indonesia di Jakarta lalu menginstrusikan
agar TRI mengosongkan Kota Bandung demi keamanan rakyat. Akan tetapi, perintah ini
berlainan dengan yang diberikan dari markas TRI di Yogyakarta. Dari Yogyakarta, keluar
instruksi agar tetap bertahan di Bandung. Sekutu membagi Bandung dalam dua sektor,
yakni Bandung Utara dan Bandung Selatan. Sekutu meminta orang-orang Indonesia
untuk meninggalkan Bandung Utara.
Para pejuang Bandung memilih membakar Bandung dan meninggalkannya dengan
alasan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda memakai Kota
Bandung sebagai markas strategi militer mereka dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Operasi pembakaran Bandung ini disebut sebagai operasi “Bumi Hangus”.
Keputusan untuk membumihanguskan Kota Bandung diambil lewat musyawarah
Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) yang dilakukan di depan seluruh
kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, tanggal 24 Maret 1946. Kolonel Abdul
Haris Nasution selaku Komandan Divisi III memutuskan dan memerintahkan untuk
segera mengevakuasi seluruh penduduk Bandung dan membumihanguskan semua
bangunan yang ada di kota tersebut.
Keputusan pada musyawarah tersebut dipertanyakan oleh sejumlah petinggi militer
Indonesia karena dianggap tidak berupaya mempertahankan Kota Bandung hingga titik
darah penghabisan. Nasution memiliki alasan yang kuat. Jumlah pasukan RI tidak
seimbang dengan kekuatan militer Sekutu. Jika TRI mempertahankan Bandung dengan
melawan Sekutu, lambat laun Bandung tetap akan diduduki. Dari segi persenjataan dan
jumlah personel, Inggris bukan lawan yang seimbang bagi TRI meskipun dibantu pejuang
atau laskar.
Saat itu, TRI Bandung hanya memiliki 100 pucuk senjata, kebanyakan memakai
bambu runcing dan senjata tajam lainnya. Sedangkan Inggris memiliki 12.000 pasukan
yang bersenjata lengkap dan modern. Belum lagi dibantu pasukan bayaran Gurkha dan
NICA. Nasution tidak mau mengorbankan empat divisi yang ada. Dengan membakar kota
Bandung, Sekutu akan menerima puing-puing, mereka akan sulit membangun markas,
dan pergerakannya pun akan melambat. Pada saat itu, empat divisi yang ada masih tetap
utuh dan mereka akan ditempatkan di kantung-kantung gerilya di dalam kota untuk
tindakan perlawanan selanjutnya. Hasil musyawarah itu lalu diumumkan kepada rakyat.
19
Kebakaran hebat justru muncul dari rumah-rumah warga yang sengaja dibakar, baik
oleh pejuang maupun oleh pemilik rumah yang sukarela membakar rumahnya sebelum
berangkat mengungsi. Rumah-rumah warga yang dibakar membentang dari Jalan Buah
Batu, Cicadas, Cimindi, Cibadak, Pagarsih, Cigereleng, Jalan Sudirman, serta Jalan
Kopo. Kobaran api terbesar ada di daerah Cicadas dan Tegalega, di sekitar Ciroyom,
Jalan Pangeran Sumedang (Oto Iskandar Dinata), Cikudapateuh, dan lain-lain.
Peristiwa pembakaran ini menjadikan Bandung lautan api dikenang hingga kini.
Mars Halo-halo Bandung sekarang menjadi lagu wajib nasional. Monumen untuk
mengenang peristiwa itu didirikan di Lapangan Tegalega
7. Pertempuran Margarana di Bali Melawan Belanda
Pertempuran Margarana atau dikenal dengan Puputan Margarana terjadi di sebelah
utara Tabanan, Bali. Pertempuran ini sebenarnya dipicu oleh hasil Perundingan
Linggarjati. Salah satu klausul dari hasil perundingan itu adalah bahwa pengakuan secara
de facto atas wilayah kekuasaan Indonesia hanya meliputi Jawa, 220 Madura, dan
Sumatra. Selanjutnya, Belanda harus meninggalkan wilayah de facto itu paling lambat 1
Januari 1949.
Jika menelaah klausul tersebut, maka Bali tidak menjadi bagian dari Indonesia. Tidak
masuknya Bali sebagai satu kesatuan wilayah Indonesia menimbulkan perlawanan rakyat
Bali. Tanggal 2 dan 3 Maret 1946, Belanda mendarat di Pulau Bali dengan membawa
2.000 tentara. Pada saat yang sama, Letkol. I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen
Sunda Kecil (saat ini Nusa Tenggara), sedang berada di Yogyakarta untuk melakukan
konsultasi kepada Markas Besar TRI.
Saat itu, Belanda ingin menjadikan Bali bergabung dengan Negara Indonesia Timur
(NIT) yang sudah dibuatnya. Belanda membujuk Letkol. I Gusti Ngurah Rai agar Bali
bergabung dengan NIT dan mengangkatnya menjadi Kepala Divisi Sunda Kecil. Ajakan
Belanda tersebut ditolak Letkol. I Gusti Ngurah Rai yang lebih memilih tanah airnya,
Indonesia. Letkol. I Gusti Ngurah Rai lebih suka melawan Belanda daripada menjadi
pengkhianat Bangsa.
Kemudian, Letkol. I Gusti Ngurah Rai selaku Komandan Resimen Sunda Kecil
memerintahkan pasukannya yang bernama Ciung Wanara untuk melucuti polisi NICA
yang menduduki Kota Tabanan. Pada 18 November 1946, pasukan Ciung Wanara dapat
menduduki detasemen polisi NICA di Tabanan dan merebut puluhan senjata lengkap
dengan artilerinya (senjata berat).
Peristiwa ini memicu kemarahan pasukan Belanda. Pada 20 November 1946, Belanda
mengerahkan seluruh pasukannya di Bali dan Lombok. Tidak hanya itu, Belanda Juga
meminta bantuan pasukan dan pesawat pengebom dari Makassar untuk menghadapi
Letkol. I Gusti Ngurah Rai. Pada hari yang sama, pukul 09.00- 10.00 WIT, Belanda
mengepung Margarana sebagai basis pasukan Ngurah Rai.
Perang di Margarana ini juga dikenal sebagai perang puputan, yakni perang yang
dilakukan sampai titik darah penghabisan. Setelah bertempur dengan kekuatan militer
yang tidak seimbang, Letkol. I Gusti Ngurah Rai dan anak buahnya yang berjumlah 96
gugur dan di pihak Belanda 400 orang tewas.
Gugurnya Letkol. I Gusti Ngurah Rai telah melicinkan jalan usaha Belanda untuk
membentuk apa yang dinamakan Negara Indonesia Timur. Untuk mengenang peristiwa
20
itu, kini di lokasi kejadian dibangun Tugu Pahlawan Pujaan Bangsa dan setiap tanggal 20
November juga diperingati sebagai hari Puputan Margarana.
8. Peristiwa Westerling Di Makassar
Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi Selatan (Makassar), membentuk Pusat Pemuda
Nasional Indonesia (PPNI) dan Manai Shopian ditunjuk sebagai ketuanya. Organisasi ini
bertugas menampung aspirasi masyarakat Makassar, termasuk diantaranya menentang
Belanda (NICA) membentuk Negara Indonesia Timur (NIT).
Tanggal 5 Desember 1946, Belanda mengirimkan pasukan ke Sulawesi Selatan di
bawah pimpinan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling. Ketika mendarat di Makassar,
Westerling membawa 120 orang pasukan khusus (pasukan berkemampuan istimewa).
Misi utama Westerling adalah menumpas pemberontakan para pejuang dari Makassar
yang menentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT).
Westerling adalah orang Belanda kelahiran Turki. Westerling dilahirkan dari
keluarga campuran Belanda dan Yunani. Ayahnya, Paul Westerling, adalah keturunan
Belanda, sedangkan ibunya keturunan Yunani. Westerling lahir tanggal 31 Agustus 1919
di Istanbul, ibu kota Turki, dengan nama Raymond Paul Pierre Westerling.
Di dinas militer, temannya memanggil dengan julukan Turk, de Turk, atau Turco.
Karena kekejamannya di Sulawesi Selatan, dia mendapat julukan The Master Killer. Dia
sengaja membangun citra kejam sehingga terkesan menakutkan di mata masyarakat.
Sebagai contoh, jika pejuang Republik tertangkap, biasanya Westerling menyuruh
pejuang itu berlari sekencang-kencangnya lalu menembaknya dari jarak 20-30 meter.
Para pejuang itu mati tertembak tepat di kepala.
Para pemuda seperti Robert Wolter Monginsidi, Rivai, dan Paersi yang tergabung
dalam organisasi PPNI mengangkat senjata melakukan perlawanan. Mereka berhasil
merebut tempat-tempat strategis yang dikuasai NICA. Selanjutnya, Wolter Monginsidi
dan kawan-kawan membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi
(LAPRIS) dengan tujuan mengerakkan rakyat melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Untuk menumpas gerakan yang dipelopori Wolter Monginsidi dan beberapa pejuang
wanita seperti Emmy Sailan yang rela meninggal untuk mengusir Belanda, Westerling
menerapkan metode Gestapo. Metode ini biasa diterapkan polisi rahasia Jerman yang
terkenal kejam pada zaman Adolf Hitler. Pada masa Nazi berkuasa di Jerman para polisi
rahasia menangkap dan membantai orang-orang yang mereka curigai sebagai musuh.
Pada zaman pendudukan Jepang, dikenal dengan nama Kempetai (polisi rahasia Jepang).
Belanda melakukan tindakan brutal itu sejak tanggal 7 sampai 25 Desember 1946.
Akibatnya, dalam waktu kurang dari satu bulan, sekitar 40.000 ribu orang warga sipil
dibunuh oleh pasukan Westerling. Hasil penelitian dari Angkatan Darat tahun 1951,
korban keganasan Westerling sekitar 1.700 orang.
Monginsidi juga tertangkap oleh pasukan Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi ia
dapat melarikan diri pada 27 Oktober 1947. Tidak lama kemudian, Monginsidi tertangkap
kembali dan kali ini dia dihukum mati dengan cara ditembak oleh regu tembak pada 5
September 1949. Untuk mengenang kepahlawanan Monginsidi, pemerintah
memindahkan makamnya ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November
1950.
21
D. Perjanjian Linggarjati
Terpilihnya Sutan Syahrir sebagai perdana menteri menandakan berlakunya
sistem Kabinet Parlementer yang bermaksud untuk menjadikan Republik Indonesia
memiliki kedudukan yang kuat. Hal ini disebabkan pemerintahannya dipimpin oleh
seorang tokoh pejuang demokrasi dan bebas dari fasisme. Walaupun cara kepemimpinan
melalui diplomasi banyak mendapatkan pertentangan dari tokoh revolusi lainnya, tetapi
perundingan menjadi salah satu cara untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan
mendapat pengakuan dari negara-negara lainnya di dunia.
Pemerintah Inggris yang ditunjuk sebagai penanggung jawab untuk
menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia segera menyelesaikan tugasnya.
Pemerintah Inggris menugaskan Sir Archibald Clark Kerr, sedangkan pihak Belanda
mengutus H.J. Van Mook.
22
Butir-butir perjanjian ini jika dilihat secara sepintas merupakan sebuah kerugian,
karena wilayah Indonesia hanya Sumatra, Jawa, dan Madura. Hal ini berbeda jauh
dengan hasil sidang PPKI yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia mencakup delapan
provinsi. Namun, jika ditelaah lebih jauh lagi, isi perjanjian ini merupakan keunggulan
kita secara politik, karena dengan adanya perundingan ini berarti nama Republik
Indonesia sudah tercatat dalam hukum perjanjian internasional dan tidak akan bisa
dihapus lagi.
Setelah Perjanjian Linggarjati, beberapa negara telah memberikan pengakuan
terhadap kekuasaan RI, misalnya Inggris, Amerika Serikat, Mesir, Afganistan, Myanmar,
Saudi Arabia, India, dan Pakistan. Perjanjian Linggarjati mengandung prinsip-prinsip
pokok yang harus disetujui oleh kedua belah pihak.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatra Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan
25
tembakau. Di Jawa Tengah, mereka menguasai seluruh pantai utara dan di Jawa Timur,
sasaran utamanya adalah wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan
khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Raymond Westerling yang saat itu
berpangkat Kapten dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C.
Sisselaar.
Pasukan KST merupakan pengembangan dari pasukan DST, pasukan yang
melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan (Pembantaian Westerling) dan ditugaskan
kembali untuk melancarkan agresi militer di Pulau Jawa dan di wilayah Sumatra Barat.
Dalam agresi tersebut, Belanda berhasil menaklukan daerah-daerah penting Republik
Indonesia seperti kota, pelabuhan, perkebunan, dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota VT-CLA milik Patnaik dari Singapura
dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari
Singapura sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan
mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto, Komodor Muda
Udara dr. Abdulrahman Saleh, dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo.
Pasukan TNI belum siap menghadang serangan yang datang secara tiba-tiba itu.
Serangan tersebut mengakibatkan pasukan TNI terpencar-pencar. Dalam keadaan seperti
itu, pasukan TNI berusaha untuk membangun daerah pertahanan baru. Pasukan TNI
kemudian melancarkan taktik perang gerilya. Dengan taktik ini, ruang gerak pasukan
Belanda berhasil dibatasi. Gerakan pasukan Belanda hanya berada di kota besar dan jalan
raya, sedangkan di luar kota, kekuasaan berada di tangan pasukan TNI. Tanggal 30 Juli
1947, pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah
Indonesia dengan Belanda dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan PBB.
Permintaan itu diterima baik dan dimasukkan agenda dalam sidang Dewan Keamanan
PBB.
Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian
permusuhan kedua belah pihak dan mulai berlaku sejak tanggal 4 Agustus 1947.
Sementara itu, untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, Dewan Keamanan PBB
membentuk komisi Konsuler dengan angota-anggotanya yang terdiri dari para Konsul
Jenderal yang berada di wilayah Indonesia. Komisi Konsuler diketuai oleh Konsul
Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan beranggotakan Konsul Jenderal Cina,
Belgia, Perancis, Inggris, dan Australia.
Tanggal 3 Agustus 1947, Belanda menerima resolusi Dewan Keamanan PBB dan
memerintahkan kepada Van Mook untuk menghentikan tembak-menembak.
Pelaksanaannya dimulai pada malam hari pada 4 Agustus 1947. Kemudian, pada 14
Agustus 1947, dibuka sidang Dewan Keamanan PBB. Sutan Syahrir hadir dari Indonesia.
Dalam pidatonya di DK PBB, Syahrir menegaskan bahwa untuk mengakhiri berbagai
pelanggaran dan penghentian pertempuran, perlu dibentuk komisi pengawas.
Pada 25 Agustus 1947, DK PBB menerima usul Amerika Serikat tentang
pembentukan suatu Committee of Good Offices (Komisi Jasa-jasa Baik) atau yang lebih
dikenal Komisi Tiga Negara (KTN). Belanda menunjuk Belgia sebagai anggota,
sedangkan Indonesia memilih Australia. Kemudian, antara Indonesia dan Belanda
memilih negara pihak ketiga, yakni Amerika Serikat. Akhirnya, terbentuk Komisi Tiga
26
Negara tanggal 18 September 1947. Australia dipimpin oleh Richard Kirby, Belgia
dipimpin oleh Paul van Zeelland, dan Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Graham.
H. Perjanjian Renvile
Komisi Tiga Negara (KTN) tiba di Indonesia pada 27 Oktober 1947 dan segera
melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Indonesia dan Belanda tidak mau
mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu pihak. Oleh karena itu,
Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan di geladak Kapal USS
Renville.
Perundingan Renville dilaksanakan pada 8 Desember 1947 di atas Kapal Renville
yang tengah berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perjanjian dihadiri oleh
beberapa tokoh penting berikut. a). Delegasi Indonesia diwakili oleh Amir Syarifudin
(ketua), Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.
b). Delegasi Belanda diwakili oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo Gambar 6.e. Kapal
Renville. Tempat terjadinya Perjanjian Renville. (ketua), Mr. H.A.L. Van Vredenburg,
Dr. P.J. Koets, dan Mr. Dr. Chr. Soumokil. c). PBB sebagai mediator diwakili oleh Frank
Graham (ketua), Paul Van Zeeland, dan Richard Kirby.
Perjanjian ini menghasilkan saran-saran KTN dengan pokok pokoknya, yaitu
pemberhentian tembak-menembak di sepanjang Garis Van Mook serta perjanjian
peletakan senjata dan pembentukan daerah kosong militer.
Berikut adalah isi dari Perjanjian Renville. a). Belanda hanya mengakui Jawa
Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. b).
Disetujuinya sebuah Garis Demarkasi Van Mook yang memisahkan wilayah Indonesia
dan daerah pendudukan Belanda. c). TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah
kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Pada akhirnya, Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 dan
disusul intruksi untuk menghentikan aksi tembak menembak pada 19 Januari 1948.
Selain itu, masih ada enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai
penyelesaian politik yang meliputi hal-hal berikut. a). Belanda tetap memegang
27
dijalankan oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis
kawakan, Musso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke Indonesia
dari Uni Soviet.
Musso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal dan dialah yang
mendorong PKI untuk memberontak pada tahun 1926. Oposisi terhadap Kabinet Hatta
mencapai pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia),
mengumumkan pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun, 18 September 1948.
Untuk mengajak rakyat agar bersatu melawan pemberontakan PKI Madiun 1948
yang mencoba menohok dari belakang sementara Republik Indonesia menghadapi
Belanda, Sukarno dengan nada tinggi mengatakan, “Pada saat yang genting ini kita
mengalami cobaan yang besar untuk menentukan nasib kita sendiri. Silakan pilih di
antara dua, yaitu ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita
Indonesia merdeka atau ikut Sukarno-Hatta yang akan memimpin Negara RI yang
merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun juga!”
TNI bertindak cepat. Kolonel Sungkono segera mengerahkan brigade operasi di
bawah komando Mayor Jonosewojo. Tentara Indonesia melakukan pukulan balasan
terhadap PKI Madiun dengan bantuan dari batalion-batalion Mudjajin, Sabirin Muhtar,
Sabaruddin, dan Sunaryadi. Gubernur Militer Gatot Subroto juga mengerahkan Brigade
Sadikin Siliwangi dari arah Barat. Batalion batalion yang dikerahkan adalah Achmad
Wiranatakusumah, Umar, Daeng, Nasuhi, Kusno Utomo, Sambas, Kosasih, dan Kemal
Idris.
Dalam tempo sepuluh hari saja pasukan TNI telah merebut Madiun. Akhirnya,
pemberontakan PKI Madiun dapat dipadamkan TNI dan pemimpinnya, Musso, ditembak
mati pada 31 Oktober 1948.
Sebelum pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah beroperasi terus-
menerus melawan PKI Madiun, Belanda menyerang lagi. Dini hari, 19 Desember 1948,
pesawat terbang Belanda membombardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan
sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali Agresi Militer
Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara.
Setelah mengetahui Belanda menyerang, Sultan Hamengkubuwono IX kemudian
pergi ke Gedung Negara (sekarang Gedung Agung, Istana Negara Yogyakarta) untuk
bertemu dengan Presiden Sukarno dan beberapa menteri seperti Juanda, Ali
Sastroamijoyo, Rh. Kusnan, serta Laksamana Udara Suryadarma, sedangkan Wakil
Presiden-Perdana Menteri Moh. Hatta tidak ada.
Ternyata, saat itu Hatta sedang berada di Kaliurang untuk menghadiri pertemuan
dengan perwakilan Australia, Critchley, anggota Komisi Tiga Negara. Karena kabinet
akan segera mengadakan sidang darurat, sementara perdana menteri tidak ada, maka
Sultan Hamengkubuwono IX menyanggupi untuk menjemput Hatta di Kaliurang.
Sementara itu, pesawat terbang Belanda menjatuhkan granat, bom, dan tembakan
mitraliur ke Benteng Vredenburg yang terletak di depan Gedung Negara. Sultan
Hamengkubuwono IX langsung menuju mobilnya. Namun, sebelum sampai
meninggalkan halaman Gedung Negara, Sultan Hamengkubuwono IX bertemu dengan
Sutan Syahrir, mantan perdana menteri yang juga akan menjemput Hatta ke Kaliurang.
29
rangka Marshall Palan (di Eropa). Adanya tekanan politik dan militer - dengan makin
besarnya kemampuan TNI untuk melaksanakan perang gerilya - itulah akhirnya Belanda
menerima perintah Dewan 241 Keamanan PBB untuk menghentikan agresinya dan
memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.
K. Berdirinya PDRI
Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda II, sebelum pasukan Belanda di bawah
pimpinan Kolonel van Langen sampai ke Gedung Agung, Sukarno beserta para
pemimpin negara melakukan rapat yang antara lain memutuskan agar presiden membuat
mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang saat itu berada di Bukittinggi untuk
membentuk pemerintahan darurat.
31
Sukarno juga mengirim mandat serupa kepada Mr. A.A. Maramis dan Dr.
Sudarsono yang berada di New Delhi, India, apabila pembentukan pemerintah darurat di
Bukittinggi mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin Prawiranegara berhasil
mendeklarasikan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Kabupaten Lima Puluh Kota pada 19 Desember 1948.
PDRI ternyata aktif menjalankan pemeritahannya dan pemerintahan di
Yogyakarta untuk sementara tidak aktif. Peranan PDRI antara lain sebagai berikut. a).
PDRI dapat sebagai mandataris kekuasaan pemerintah RI dan berperan sebagai
pemerintah pusat. b). PDRI berperan sebagai kunci dalam mengatur arus informasi
sehingga mata rantai komunikasi tidak terputus dari daerah yang satu ke daerah yang lain.
Radiogram mengenai masih berdirinya PDRI dikirim kepada ketua Konferensi Asia,
Pandit Jawaharlal Nehru, oleh Radio Rimba Raya yang berada di Aceh Tengah. c). PDRI
berhasil menjalin hubungan dan membagi tugas dengan perwakilan RI di India. Dari
India inilah informasi-informasi tentang keberadaan dan perjuangan bangsa (misalnya
serangan 1 Maret 1949) dan negara RI dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia.
Maka, terbukalah mata dunia mengenai keadaan RI yang sesungguhnya.
Syafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat kepada Presiden RI di
Yogyakarta pada 13 Juli 1949. Dengan demikian, PDRI yang bekerja selama delapan
bulan telah berhasil menggantikan pemerintahan RI meskipun dalam beberapa hal harus
dikonsultasikan dengan para pemimpin RI yang sedang dalam pembuangan.
berbagai arah, tetapi jangan menyerang dari arah selatan karena di selatan ada keraton
yang akan menjadi sasaran mortir dan merusak keraton.
Akhirnya, strategi pengepungan disepakati untuk dibagi menjadi enam sektor,
yakni keraton bagian barat, keraton bagian timur, barat Jalan Malioboro, timur Jalan
Malioboro, barat Stasiun Tugu ke utara, dan timur Stasiun Tugu ke utara. Penyerangan
terhadap Belanda dijadwalkan tanggal 1 Maret 1949 dini hari.
Tanggal 1 Maret 1949, sekitar pukul 06.00 WIB, sewaktu sirine berbunyi
sebagaimana berakhirnya jam malam yang dibuat Belanda, serangan umum dilancarkan
dari berbagai arah. Letkol. Suharto memimpin langsung penyerangan dan berjalan
dengan sukses. Selama enam jam (mulai dari pukul 06.00 sampai dengan pukul 12.00),
Yogyakarta dapat diduduki TNI. Setelah mendatangkan bantuan tentara dari Gombong
dan Magelang, Belanda baru bisa memukul mundur para pejuang.
Keberhasilan gerilya kota adalah berkat bantuan Sultan Hamengkubuwono IX
yang melindungi para gerilyawan di dalam keraton, termasuk perbekalan uang ratusan
gulden dan sebagainya. Keteguhan hati untuk berpihak kepada rakyat terlihat ketika
terjadi perdebatan antara Sultan Hamengkubuwono IX dengan Jenderal Meyer,
Komandan pasukan Belanda.
Sultan Hamengkubuwono IX dituduh melindungi gerilyawan dan Belanda ingin
mengejarnya ke dalam keraton. Namun, Sultan Hamengkubuwono IX menjawab dengan
memakai bahasa Belanda yang fasih, “Kalau Tuan-tuan ingin menyerang keraton, maka
silakan Tuan lakukan. Tetapi sebelum itu, Tuan harus melangkahi mayat saya dulu.”
Karena kewibawaan Sultan, akhirnya Jenderal Meyer tidak mencari lagi gerilyawan di
dalam keraton.
Bagi masyarakat Indonesia, kejadian Serangan Umum 1 Maret 1949 memberikan
teladan bagaimana kuatnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di samping itu,
dampak internasionalnya adalah meyakinkan dunia bahwa Indonesia masih ada dan
masih punya kekuatan. Oleh karena itu, DK PBB mencarikan jalan terbaik untuk
mengatasi persengketaan lewat perundingan.
bahkan keraton memberikan 1.440 pucuk senjata api kepada pasukan Republik Indonesia.
Selain senjata api, Keraton Yogyakarta juga menyumbangkan senjata-senjata tajam
seperti tombak. Sukarno menceritakan bahwa saat itu pemerintahan Republik Indonesia
bekerja seadanya sehingga tidak mirip dengan pemerintahan selayaknya.
Sukarno berujar “Kami tidak mempunyai apa-apa, tidak ada mesin ketik, alat
kantor, pesawat terbang, dan kami juga tidak mempunyai uang.” Melihat kondisi
pemerintahan yang memprihatinkan itulah kemudian Sultan menyumbangkan beberapa
uang gulden milik keraton sekaligus uang pribadinya untuk biaya operasional pemerintah
Republik Indonesia. Menurut Rahendra Koeman, seorang menteri yang menjabat bidang
perburuhan dan sosial dalam kabinet Hatta, pemberian bantuan uang Belanda (gulden)
dalam jumlah sangat besar yang disimpan di keraton kepada pejabat dan pegawai-
pegawai pemerintah pusat adalah agar tidak menyeberang kepada pihak Belanda karena
tergiur uang Belanda.
Sebelum para pemimpin bangsa bertolak dari Bangka (pengasingan) menuju
Yogyakarta mereka berkumpul dalam sebuah pertemuan. Dalam perbincangan itu, tiba-
tiba Sukarno dan Moh. Hatta berbicara dengan nada yang menunjukkan kesedihan karena
pemerintah republik tidak punya ongkos dan biaya operasional untuk menggerakkan roda
pemerintahan jika kembali ke Yogyakarta dan kemudian dilanjutkan di Jakarta.
Para tokoh yang ada di sana seperti H. Agus Salim, Komisaris Besar Polisi
Sumarto, Mr. Assaat, Mr. Gafar Pringgodigdo, dr. Halim, dr. Darmasetiawan, RH.
Koesnan, dan lainnya telah memberikan saran, tetapi tidak ada keputusan yang
disepakati. Sultan berbicara di hadapan para pemimpin republik itu untuk
menyumbangkan dana dalam bentuk cheque Javache Bank (sekarang Bank Indonesia)
sebesar f 6.000.000 (6 juta gulden) untuk membantu kepulangan para pemimpin Republik
dan memulai menggerakkan roda pemerintahan.
Dengan uang sebanyak itu, Indonesia kala itu dapat memperbaiki pelayanan
rakyat dalam bidang kesehatan, pendidikan, militer, sampai pada penggajian pejabat dan
pegawai negara. Tahun 1949, negara diibaratkan sebagai bayi yang belum punya
pendapatan, sedangkan negara membutuhkan uang untuk pemerintahan minimal untuk
gaji pegawai dan pimpinan Republik.
Sukarno menerima selembar kertas cheque tersebut dengan wajah terharu dan
menyambutnya dengan kata singkat dengan suara rendah: “Terima kasih” sambil
mengulurkan tangannya kepada Sultan. Dua anak manusia dan dua putra bangsa terbesar
saling berjabat tangan. Oleh karena merasa terharu dengan kebaikan Sultan, tanpa
canggung Sukarno langsung merangkul Sultan.
Suasana ruangan menjadi hening dan haru. Air mata tidak terbendung dari semua
yang hadir. Oleh karena Sukarno sangat terkesan dan merasa begitu pentingnya
Yogyakarta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Sukarno sebelum kembali
ke Jakarta, menuliskan pesan, “Djogjakarta mendjadi termasjhur oleh karena djiwa
kemerdekaannya. Hidupkanlah terus djiwa kemerdekaan itu!
tidak benar. Walaupun didesak oleh dunia internasional, Belanda masih saja tidak
menaati resolusi DK PBB tanggal 24 Januari 1949 (Indonesia dan Belanda segera
menghentikan permusuhan dan membebaskan presiden RI dan pemimpin politik yang
ditawan Belanda). Melihat kenyataan itu, Amerika Serikat bersikap tegas, jika Belanda
tetap membandel, maka bantuan ekonomi akan dihentikan. Dengan adanya ancaman
seperti itu, akhirnya Belanda melunak.
Tanggal 14 April 1949, atas inisiasi komisi PBB, diadakan perundingan di Jakarta
di bawah pimpinan Mrele Cochran, anggota komisi dari AS. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Moh. Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh H.J. Van Royen. Dalam
perundingan itu, RI tetap menuntut tidak melakukan perundingan jika tidak ada
kesepakatan pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta. Sebaliknya, Belanda
menuntut agar Indonesia menyetujui tentang perintah penghentian perang gerilya yang
dilakukan TNI.
Perundingan menjadi sangat alot sehingga Amerika mendesak Indonesia agar
melanjutkan perundingan. Jika tetap pada pendirian, maka Amerika tidak memberikan
bantuan dalam bentuk apa pun. Akhirnya, perundingan dilanjutkan pada 1 Mei 1949 dan
7 Mei 1949 dengan menghasilkan kesepakatan Roem-Royen yang isinya sebagai berikut.
a. Pihak Indonesia bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata
untuk menghentikan perang gerilya. RI juga akan ikut serta dalam Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag guna mempercepat penyerahan kedaulatan kepada
Negara Indonesia Serikat tanpa syarat.
b. Pihak Belanda menyetujui adanya pengembalian RI ke Yogyakarta dan menjamin
penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
Belanda juga tidak akan mendirikan dan mengakui negara-negara yang ada di wilayah
kekuasaan RI sebelum Desember 1948 serta menyetujui RI sebagai bagian dari NIS.
Kemudian, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatra memerintahkan
Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari
pihak Belanda. Setelah pemerintahan kembali ke Yogyakarta, pada 13 Juli 1949
diselenggarakan Sidang Kabinet RI yang pertama. Dalam sidang itu, Syafruddin
Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden Moh. Hatta. Sidang itu
juga memutuskan untuk mengangkat Sultan Hamengkubuwono IX sebagai menteri
pertahanan merangkap ketua koordinator pertahanan.
untuk kembali ke Yogyakarta, yakni: a). Kelompok pimpinan Republik Indonesia yang
diasingkan di Bangka. b). Kelompok PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin
Parwiranegara. c). Kelompok angkatan perang yang melakukan gerilya pimpinan
Jenderal Sudirman.
Setibanya di Gedung Negara, Sukarno memberikan sambutan, “… Kembalinya
pemerintahan RI ke Yogyakarta adalah nyata bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia
harus dilanjutkan. Dua faktor utama yang memungkinkan kembalinya pemerintahan RI
ke Yogya adalah pertama, kekuatan dan keuletan rakyat, kedua bantuan dunia
internasional.”
Dengan demikian menjadi kenyataan bahwa pemerintahan RI telah kembali.
Wakil-wakil dari UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan BFO
(Bijeenkomst voor Federal Overleg) turut serta menerima kedatangan pemimpin-
pemimpin RI di Yogyakarta. Sementara itu, wakil ketua BFO (negara-negara bagian)
menemui presiden dan wakil presiden untuk membicarakan rencana Konferensi Antar-
Indonesia dan sekaligus menyampaikan undangan untuk hadir dalam konferensi itu.
Tanggal 10 Juli 1949, Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba di ibu kota RI
Yogyakarta. Sudirman datang ke Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta dengan
pasukannya setelah memimpin gerilya. Sudirman dijemput Letkol. Suharto di bagian
selatan kota Yogyakarta. Sudirman dipikul dengan tandu karena menderita sakit paru-
paru dan sukar untuk berjalan.
Tandu diletakkan pelan-pelan dan keluarlah Sudirman dengan pelan tetapi berdiri
tegak walaupun berjalan dibantu tongkat. Panglima Besar menggunakan pakaian Jawa,
baju lurik, kain kehitam-hitaman, ikat kepala wulung, serta berjas panjang dan terselip
keris pusaka di bagian muka sabuk.
Setibanya di Alun-alun Utara, Sudirman melakukan parade dan disambut Sukarno
dengan hangat. Keduanya berpelukan erat sebagai tanda kerinduan masing-masing.
Ketika melakukan parade, para komandan satu per satu mendapat tepukan pada bahu dari
panglima besar dan para komandan itu tidak dapat menahan perasaannya melihat wajah
panglimanya dan menitikkan air mata karena haru.
Selesai melakukan parade, Sudirman bersalaman dengan Syafruddin
Parwiranegara yang berpakaian hitam dan memakai peci hitam yang baru tiba pada hari
itu, Minggu, 10 Juli 1949. Lengkaplah sudah semua pimpinan negara di Yogyakarta, baik
yang dari Bangka, dari Pemerintah Darurat RI di Sumatera, maupun Pimpinan Angkatan
Perang. Jalan yang akan ditempuh kini dapat dibicarakan bersama.
Strategi perang Jenderal Sudirman kemudian dikenal sebagai “Perang Gerilya”.
Strategi perang ini kemudian ditulis dalam sebuah buku oleh A.H. Nasution dengan judul
Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa yang Lalu dan yang
Akan Datang. Ternyata buku ini dijadikan acuan atau panduan tentara Vietnam di bawah
pimpinan Jenderal Nguyen Giap dan berhasil mengalahkan tentara Amerika Serikat
dalam Perang Vietnam. Hingga kini, buku A.H. Nasution tersebut menjadi bacaan wajib
bagi Taruna Akademi Militer Amerika.
36
Negara RIS yang berbentuk federasi itu meliputi seluruh Indonesia dan RI
menjadi salah satu bagiannya. Sebenarnya bagi RI, pembentukan RIS sangat merugikan,
tetapi mengingat sebagai strategi para pemimpin agar Belanda segera mengakui
kedaulatan Indonesia walaupun dalam bentuk RIS, tetap diterima.
Dalam konstitusi RIS juga ditentukan bahwa ada presiden dan perdana menteri
(pemimpin menteri-menteri) secara bersama-sama sebagai pemerintah. Kemudian,
dibentuk lembaga perwakilan yang terdiri dari dua kamar, yakni Senat dan DPR. Senat
merupakan perwakilan negara bagian yang masing-masing diwakili dua orang, sedangkan
DPR beranggotakan 150 orang yang merupakan wakil wakil seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan konstitusi, negara berbentuk federal dan meliputi seluruh daerah
Indonesia, yaitu: a. Negara Bagian. 1) Negara RI menurut status quo seperti dalam
Persetujuan Renville. 2) Negara Indonesia Timur. 3) Negara Pasundan (Jawa Barat). 4)
Negara Jawa Timur. 5) Negara Madura. 6) Negara Sumatera Timur. 7) Negara Sumatera
Selatan. b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri: Jawa Tengah, Bangka,
Belitung, Riau, Daerah Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan
Tenggara, dan Kalimantan Timur. 255 c. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang
bukan negara-negara bagian.
Tanggal 16 Desember 1949, Sukarno dipilih sebagai Presiden RIS dan dilantik
pada 17 Agustus 1949 di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Moh. Hatta diangkat sebagai
Perdana Menteri dan pada 20 Desember 1949, Kabinet Hatta dilantik. Dengan
terbentuknya pemerintahan, maka terbentuklah pemerintahan RIS.
Sudah diketahui bahwa RIS beranggotakan RI dan negara negara federasi.
Setelah Sukarno diangkat menjadi presiden RIS, maka presiden RI mengalami
kekosongan jabatan. Untuk itu ketua KNIP, Mr. Assat, ditunjuk sebagai pejabat presiden
RI dan dilantik pada 27 Desember 1949. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi
apabila sewaktu-waktu RIS bubar, RI tetap ada.
K. Asesmen:
Individu Berkelompok
- Test tertulis PG atau Essay - Diskusi kelompok
- Sikap peserta didik selama - Presentasi
mengikuti kegiatan pembelajaran - Produk hasil diskusi kelompok dalam
bentuk tulisan/tulisan/ media lain)
L. Persiapan Pembelajaran:
Pertemuan ke-1
Pertemuan ke-2
No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu
Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa bersama-sama dipimpin
salah satu peserta didik
- Kesepakatan aturan dalam
kegiatan pembelajaran pada hari
ini
- Apersepsi tentang pembelajaran
hari ini
Pertemuan ke-3
No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu
Pendahuluan - Presensi tentang kehadiran peserta 10 menit
didik hari ini
- Berdoa secara bersama-sama
sesuai agama dipimpin satu orang
peserta didik
- Kesepakatan aturan dalam
kegiatan pembelajaran pada hari
ini
- Apersepsi tentang materi yang
dipelajari hari ini
Pertemuan ke-4
No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu
Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa sesuai agama dan
keyakinan
- Mengingatkan kembali
kesepakatan aturan dalam kegiatan
pembelajaran pada hari ini
Pertemuan ke-5
Pertemuan ke-6
Pertemuan ke-7
Pertemuan ke-8
N. Refleksi guru
- Apakah guru menyampaikan value (nilai-nilai) materi ini untuk menumbuhkan
nasionalisme?
- Penanaman karakter dari guru pada materi ini sangat diperluhkan untuk cinta tanah air.
- Guru harus selalu memberi semangat kepada peserta didik untuk selalu semangat belajar
sejarah
- Perlu adanya media yang mempermudah peserta didik dalam memahami pelajaran.
- Apakah peserta didik senang belajar sejarah dengan metode yang diberikan guru?
2. Penilain Berkelompok
a. Penilaian Diskusi Kelompok/ debat
Rubrik Penilaian:
No Aspek Penilaian Skor
0 1 2 3
1 Keaktifan diskusi/ debat
a. Aktif memberi masukan
pemikiran
b. mendengarkan pendapat
orang lain
No Indikator Rubrik
1 Aktif memberi masukan 2 = aktif berpendapat
pemikiran 1.= kurang aktif
0 = tidak aktif
0 1 2 3
1 Kelengkapan
materi
2 Penulisan materi
3 Kemampuan
presentasi
4 Keaktifan selama
kegiatan presentasi
5 Sikap menghargai
dan menghormati
pendapat orang lain
No Indikator Rubrik
1 Kelengkapan materi 2 = lengkap
1 = kurang lengkap
0 = tidak ada
2 Penulisan materi 2 = sesuai dengan rambu-
rambu yang diberikan
1 = tidak sesuai rambu-rambu
yang diberikan
0 = tidak ada
3 Kemampuan presentasi 2 = Komunikatif
1 = Kurang komunikatif
0 =Tidak Komunikatif
Keaktifan selama kegiatan 3 = Sangat aktif
presentasi 2 = Cukup aktif
1 = Kurang aktif
0 = Tidak aktif
4 Kreatifitas media presentasi 2 = Menggunakan kreasi
digital lebih dari
1(animasi/paint/ video/ dll)
1 = Menggunakan 1 kreasi
digital (animasi/paint/ video/
dll)
0 = Tidak menggunakan kreasi
digital
No Indikator Rubrik
0 = Tidak Sikap menghargai
dan menghormati pendapat
orang lain
Jumlah Skor 20
Q. Daftar Pustaka
Adi Sudirman. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia Dari Era Klasik Hingga Terkini,
Yogyakarta: Diva Press
Kahin, George Mc Turnan. 2013. Nasionalisme Dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Komunitas
Bambu
Lilik Suharmaji. 2018. Sejarah Indonesia Modern, Dari Imperialisme Kuno Sampai
Pengakuan Kedaulatan RI, Yogyakarta: Lingkar Antarnusa
Lilik Suharmaji. 2019. Sultan Hamengku Buwono IX Keteladanan Sang Penjaga Gawang.
Yogyakarta: Ombak.
Nugroho Notosusanto. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949 Jilid I. Jakarta: Tira
Pustaka
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2016. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Link Literasi
https://tirto.id/sejarah-pertempuran-lima-hari-di-semarang-kronologi-tokoh-akhir-ga6i
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/22/161749679/pertempuran-ambarawa-latar-
belakang-tokoh-akibat-dan-akhir
https://www.dosenpendidikan.co.id/perang-ambarawa/
https://tirto.id/sejarah-pindahnya-ibu-kota-ri-dari-jakarta-ke-yogyakarta-pada-1946-efr4
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/10/090000769/perjanjian-linggarjati-latar-
belakang-isi-dan-dampaknya
https://tirto.id/sejarah-agresi-militer-belanda-i-latar-belakang-kronologi-dampak-f9BS
https://www.gurupendidikan.co.id/agresi-militer-belanda-2/
https://www.gurupendidikan.co.id/serangan-umum-1-maret/
54
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/100000169/konferensi-meja-bundar-latar-
belakang-tujuan-hasil-dan-dampaknya
Adi Sudirman. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia Dari Era Klasik Hingga Terkini,
Yogyakarta: Diva Press
Kahin, George Mc Turnan. 2013. Nasionalisme Dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Komunitas
Bambu
Lilik Suharmaji. 2018. Sejarah Indonesia Modern, Dari Imperialisme Kuno Sampai
Pengakuan Kedaulatan RI, Yogyakarta: Lingkar Antarnusa
Lilik Suharmaji. 2019. Sultan Hamengku Buwono IX Keteladanan Sang Penjaga Gawang.
Yogyakarta: Ombak.
Nugroho Notosusanto. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949 Jilid I. Jakarta: Tira
Pustaka
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2016. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Link Literasi:
https://tirto.id/sejarah-pertempuran-lima-hari-di-semarang-kronologi-tokoh-akhir-ga6i
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/22/161749679/pertempuran-ambarawa-latar-
belakang-tokoh-akibat-dan-akhir
https://www.dosenpendidikan.co.id/perang-ambarawa/
https://tirto.id/sejarah-pindahnya-ibu-kota-ri-dari-jakarta-ke-yogyakarta-pada-1946-efr4
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/10/090000769/perjanjian-linggarjati-latar-
belakang-isi-dan-dampaknya
https://tirto.id/sejarah-agresi-militer-belanda-i-latar-belakang-kronologi-dampak-f9BS
https://www.gurupendidikan.co.id/agresi-militer-belanda-2/
https://www.gurupendidikan.co.id/serangan-umum-1-maret/
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/100000169/konferensi-meja-bundar-latar-
belakang-tujuan-hasil-dan-dampaknya
Buku-buku:
Adi Sudirman. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia Dari Era Klasik Hingga Terkini,
Yogyakarta: Diva Press
Kahin, George Mc Turnan. 2013. Nasionalisme Dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Komunitas
Bambu
Lilik Suharmaji. 2018. Sejarah Indonesia Modern, Dari Imperialisme Kuno Sampai
Pengakuan Kedaulatan RI, Yogyakarta: Lingkar Antarnusa
Lilik Suharmaji. 2019. Sultan Hamengku Buwono IX Keteladanan Sang Penjaga Gawang.
Yogyakarta: Ombak.
Nugroho Notosusanto. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949 Jilid I. Jakarta: Tira
Pustaka
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
56
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2016. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Link Literasi:
https://tirto.id/sejarah-pertempuran-lima-hari-di-semarang-kronologi-tokoh-akhir-ga6i
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/22/161749679/pertempuran-ambarawa-latar-
belakang-tokoh-akibat-dan-akhir
https://www.dosenpendidikan.co.id/perang-ambarawa/
https://tirto.id/sejarah-pindahnya-ibu-kota-ri-dari-jakarta-ke-yogyakarta-pada-1946-efr4
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/10/090000769/perjanjian-linggarjati-latar-
belakang-isi-dan-dampaknya
https://tirto.id/sejarah-agresi-militer-belanda-i-latar-belakang-kronologi-dampak-f9BS
https://www.gurupendidikan.co.id/agresi-militer-belanda-2/
https://www.gurupendidikan.co.id/serangan-umum-1-maret/
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/100000169/konferensi-meja-bundar-latar-
belakang-tujuan-hasil-dan-dampaknya
Materi pengayaan
Link literasi;
https://tirto.id/sejarah-pertempuran-lima-hari-di-semarang-kronologi-tokoh-akhir-ga6i
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/22/161749679/pertempuran-ambarawa-latar-
belakang-tokoh-akibat-dan-akhir
https://www.dosenpendidikan.co.id/perang-ambarawa/
https://tirto.id/sejarah-pindahnya-ibu-kota-ri-dari-jakarta-ke-yogyakarta-pada-1946-efr4
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/10/090000769/perjanjian-linggarjati-latar-
belakang-isi-dan-dampaknya
Tugas Pengayaan :
- Hanya untuk peserta didik yang memiliki nilai formatif individu minimal = 85
- Setelah membaca link literasi siswa dapat lebih memahami pertempuran 5 hari di Semarang,
pertempuran Ambarawa, perpindahan ibukota ke Yogyakarta, dan perjanjian Linggarjati.
- berdasarkan informasi-informasi lain yang relevan
- Tugas bisa tertulis atau lisan dengan media digital atau non digital
https://www.gurupendidikan.co.id/serangan-umum-1-maret/
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/100000169/konferensi-meja-bundar-latar-
belakang-tujuan-hasil-dan-dampaknya
Tugas Remedial :
- Hanya untuk peserta didik yang nilainya kurang dari Kriteria Minimal
- Setelah melihat link yang diberikan, peserta didik dapat memahami Agresi militer Belanda 1
dan 2, serangan umum 1 Maret 1949, Konferensi Meja Bundar (KMB).
- Tugas bisa tertulis atau lisan dengan media digital atau non digital