Pedoman Pelayanan TB Dots Rsud Ajibarang
Pedoman Pelayanan TB Dots Rsud Ajibarang
Pedoman Pelayanan TB Dots Rsud Ajibarang
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1. SEKILAS TENTANG TUBERKULOSIS
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian
besar kuman tuberkulosis (TB) menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Sumber penularan adalah dahak yang
mengandung kuman TB. Gejala umum TB pada orang dewasa adalah
batuk yang terus-menerus dan berdahak, selama 2-3 minggu atau
lebih.
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif, yaitu
pasien yang pada dahaknya ditemukan kuman TB. Daya penularan
seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman TB yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Kemungkinan
seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam
udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah; di antaranya karena gizi buruk,
HIV/AIDS atau penyakit lain, misalnya diabetes melitus.
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari pasien TB
akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh
tinggi dan 25% sebagai kasus kronis yang tetap menular (WHO, 1996),
saat ini Indonesia menduduki peringkat ke 2 di dunia setelah India.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling
produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Seorang pasien TB dewasa,
akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal
tersebut berakibat kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya
sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis,
TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial-stigma
bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara
lain adalah:
1. Kemiskinan;
2. TB terlantar (karena tidak memadainya penemuan kasus,
diagnosis dan penyembuhan);
3. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang
mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat;
4. Dampak pandemi HIV.
Sementara itu, upaya penanggulangan TB, meskipun
kuman TB telah ditemukan pada tahun 1882 dan obat anti
tuberkulosis telah ditemukan sejak tahun 1944, secara umum
dikatakan mengalami kegagalan. Sebab utama kegagalan tersebut,
antara lain:
1. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan;
2. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak terstandar,
obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan,
pencatatan dan pelaporan yang tidak terstandar, dsb.);
3. Tidak memadainya tatalaksana pasien (diagnosis dan paduan obat
yang tidak terstandar, gagal menyembuhkan pasien yang telah
diobati);
4. Terlalu percaya dan tergantung (over-reliance) kepada kemampuan
hasil vaksinasi BCG. Beberapa studi menunjukkan vaksinasi BCG
tidak dapat mencegah terjadinya TB postprimer. Vaksinasi BCG
tidak memberikan dampak terhadap transmisi TB. Dengan
demikian vaksinasi BCG tidak dapat menurunkan insidensi TB
BTA positif. Namun vaksinasi BCG dapat menurunkan kejadian
(insidensi) TB tipe berat pada anak (misalnya meningitis
tuberkulosa).
Situasi TB di dunia semakin memburuk, sebagian besar
negara di dunia yang dikategorikan sebagai high burden countries,
jumlah pasien TB semakin tidak terkendali dengan banyaknya pasien
TB yang tidak berhasil disembuhkan. Menyikapi hal tersebut, pada
tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia
(global emergency).
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia akan menambah
permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan secara
signifikan risiko berkembangnya TB. Negara-negara dengan prevalensi
HIV yang tinggi, terutama pada negara negara sub-sahara Afrika
telah menyaksikan peningkatan jumlah TB yang tajam dengan
peningkatan insidensi dua sampai tiga kali lipat pada tahun 1990 an.
Pada saat yang sama, resistensi ganda kuman TB terhadap
obat anti TB (MDR = Multi Drug Resistance), semakin menjadi masalah
yang serius pada banyak negara di dunia. Resistensi kuman ini
terutama disebabkan tatalaksana pengobatan yang buruk, karena
banyak diciptakan oleh petugas kesehatan, a man made problem.
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat. Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab
kematian nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit
saluran napas pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari
golongan penyakit infeksi.
Tahun 2006, di Indonesia ditemukan dan diobati sekitar
534.000 pasien baru untuk semua pasien TB dengan kematian sekitar
88.000 (Laporan WHO tahun 2008). Dari Survei Prevalensi
Tuberkulosis pada tahun 2004 diperkirakan setiap 100.000 penduduk
Indonesia terdapat 110 pasien baru TB paru BTA positif.
Program Nasional Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS di
Indonesia dimulai pada tahun 1995. Sampai akhir 2007, program
Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS telah menjangkau 98%
dari jumlah Puskesmas yang ada, namun untuk rumah sakit baru
sekitar 38%, sedangkan BP4/BKPM/BBKPM sekitar 97%.
2. STRATEGI DOTS
Strategi penanggulangan yang direkomendasikan oleh WHO
adalah Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse
Chemotherapy). Strategi DOTS telah dibuktikan dengan berbagai uji
coba lapangan dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.
Bank Dunia menyatakan Strategi DOTS merupakan strategi
kesehatan yang paling cost effective. Satu studi cost benefit yang
dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa setiap satu
dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB,
akan menghemat sebesar 55 dolar selama 20 tahun.
Strategi DOTS terdiri dari lima komponen, yaitu:
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk
dukungan dana;
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung;
3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO);
4. Kesinambungan persediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka
pendek untuk pasien;
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program TB.
Untuk menjamin keberhasilan penanggulangan TB, kelima
komponen tersebut di atas harus dilaksanakan secara bersamaan.
Pada tahun 1994 Indonesia menguji-cobakan implementasi
Strategi DOTS dengan demonstration area di Provinsi Jambi
(Kabupaten Bungo Tebo) dan Jawa Timur (Kabupaten Sidoarjo). Hasil
uji coba lapangan ini memberi angka kesembuhan yang tinggi lebih
dari 85%. Angka kesembuhan yang tinggi ini penting untuk
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya kekebalan
obat ganda atau Multi Drug Resistance (MDR) yang merupakan
ancaman besar bagi masyarakat.
Sejak tahun 1995, program penanggulangan TB nasional
mengadopsi Strategi DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas
secara bertahap. Sampai tahun 2000 hampir seluruh Puskesmas
telah berkomitmen dan mengadopsi Strategi DOTS yang
diintegrasikan dalam pelayanan primernya.
Pada kenyataannya, pasien TB bukan hanya datang ke
Puskesmas, melainkan juga ke BP4/BKPM/BBKPM, Rumah Sakit,
klinik, DPS dan dokter perusahaan. Dari hasil Survei Prevalensi
Tuberkulosis pada tahun 2004:
untuk kawasan Sumatera: pasien TB datang ke RS dan
BP4/BKPM/BBKPM: 44%, Puskesmas 43% dan DPS 12%,
untuk kawasan Indonesia Timur: pasien TB datang ke RS dan
BP4/BKPM/BBKPM 31%, Puskesmas 53% dan DPS 16%,
untuk kawasan Jawa-Bali: pasien TB datang ke RS dan
BP4/BKPM/BBKPM: 49%, Puskesmas 21% dan DPS 29%.
D. BATASAN OPERASIONAL
1. Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis).
2. Metode DOTS
Metode Directly Observed Treatment Short-coursed (DOTS) adalah
suatu stategi yang ditetapkan pemerintah untuk penanggulangan
tuberkulosis dengan mengutamakan prinsip pengawasan langsung oleh
tenaga kesehatan / keluarga terdekat pasien untuk meningkatkan
angka sesembuhan dan menurunkan angka putus obat dan mortalitas
penderita tuberkulosis.
3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Obat Anti tuberkulosis adalah suatu kombinasi dari empat atau lebih
jenis obat yang ditujukan untuk penyembuhan penderita tuberkulosis.
4. Pengawas Menelan Obat (PMO)
Pihak yang bertanggung-jawab untuk memastikan pasien tidak lupa
dan dapat minum obat secara rutin.
5. Klinik DOTS
Tim di RSUD Ajibarang yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan
program DOTS untuk TB di RS.
E. LANDASAN HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5063);
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan
LembaranNegara Nomor 5072);
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
LembaranNegara Nomor 4431);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
LembaranNegara Nomor 4437);
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2005
tentang pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal ;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/ Menkes/Per/XI/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1295/Menkes/Per/XII/2007;
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar Pelayanan Minimal Di
Rumah Sakit;
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan
Minimal;
11. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007 tentang
Ekspansi TB Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai
Kesehatan/pengobatan Penyakit Paru;
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
JENIS JUMLAH
PENDIDIKAN
KETENAGAAN TENAGA
Penanggung Direktur 1
jawab
Ketua Tim DOTS Dokter Umum yang bersertifikat 1
pelatihan TB DOTS
Sekretaris Perawat 1
Koordinator Dokter Umum yang bersertifikat 1
Jejaring pelatihan TB DOTS
Koordinator Perawat D3 / S1, yang bersertifikat 3
Peawatan pelatihan TB DOTS
Koordinator D3 Analis Laborat 1
Laboratorium
Koordinator Apoteker / Asisten Apoteker 1
Logistik TB
B. PENGATURAN DINAS
Pengaturan jadwal petugas medis maupun non-medis Tim DOTS RSUD
Ajibarangdisesuaikan dengan jam kerja dan jadwal dinas di bagian
masing-masing.
C. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Disesuaikan dengan jadwal jaga masing-masing petugas.
D. URAIAN TUGAS
1. KETUA TIM DOTS
3. KOORDINATOR PERAWATAN
JABATAN PERAWAT
1. Pendidikan : Perawat
KUALIFIKASI/
2. Pelatihan : Pelatihan / sosialisasi DOTS
KRITERIA
3. Masa kerja : -
1. Bertanggung jawab dalam melaksanakan
Pencatatan dan Pelaporan di ruangan
masing-masing
2. Bertanggung melakukan pengawasan
TANGGUNG JAWAB pemberian OAT pada pasien TB yang
dirawat di ruang masing-masing.
3. Bertanggung jawab melaporkan hasil
kegiatan DOTS dari ruangan masing-
masing
1. Berwewenang menggunakan fasilitas yang
WEWENANG
dibutuhkan.
TUGAS POKOK URAIAN TUGAS
1. Melaksanakan 1.1. Melaksanakan pengawasan pemberian
pengawasan OAT pada pasien TB yang dirawat di
pemberian OAT ruang masing-masing
pada pasien TB
yang dirawat di
ruang masing-
masing
4. KOORDINATOR LOGISTIK
A. STANDAR FASILITAS
Fasilitas yang dapat digunakan oleh Tim DOTS RSU Syifa Medina adalah :
1. Ruangan khusus dan tersendiri untuk melayani pasien tuberkulosis
yang disebut sebagai “Ruang DOTS”.
2. Bilik Khusus untuk berdahak ( Ruang Berdahak )
3. Meja Konsultasi 2 buah
4. Kursi 6 buah
5. Kursi tunggu pasien
6. Kalender Jadwal Pasien 1 buah
7. Rak Obat 1 buah
8. Lemari Arsip 1 buah
9. Stetoskop 1 buah
10. Tensimeter 1 buah
11. Timbangan BB 1 buah
12. Kipas Angin 1 buah
13. Masker Bedah 1 dus
14. Masker N95
15. ATK
16. Komputer / Laptop 1 unit
17. Jam dinding
18. Pesawat telpon
19. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. Kategori 1 ( FDC / Kombipak )
b. Kategori 2
c. Kategori Anak
1 3 4
4
4
4 4
5
4
Keterangan :
1. Kursi Tunggu
2. Ruang Berdahak
3. Meja
4. Kursi
5. Lemari Arsip
6. Rak Obat
7. Kipas Angin
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN
A. PENEMUAN PASIEN TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien
merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB.
Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan
dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di
masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB
yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan;
didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan
penemuan tersangka pasien TB.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA
positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan
gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost
efektif.
Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB
khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih
peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan,
biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat
dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
a. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
b. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
c. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami
kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun
sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik
(biakan), radiologik, danpertimbangan medis spesialistik.
3. PENGOBATAN TB
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal
untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat
badan.
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan
khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml.
(1ml = 250mg).
4. TATALAKSANA TB ANAK
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan
merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,
maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem
skor . Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman
NasionalTuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring
system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang
dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program
nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.
Lihat tabel 3.5. tentang sistem pembobotan (scoring system) gejala dan
pemeriksaan penunjang.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem
skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6),
harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal,
pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain
lainnya.
Tabel Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan
penunjang TB
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel
badan badan.
Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya :
kejang, kaku kuduk
penurunan kesadaran
kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis
Keterangan:
• Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
• Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
• Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
• Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
• OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.
Keterangan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama
pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan: lanjutkan pengobatan
dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir
pengobatan harus diperiksa dahak.
d. Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
e. Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03
yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
g. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
a. Jejaring Internal
Jejaring internal adalah jejaring antar semua Gugus tugas yang terkait
dalam menangani pasien TB di dalam RSU Syifa Medina. Koordinasi
kegiatan dilaksanakan oleh Tim DOTS rumah sakit. Tim DOTS RS
adalah tim yg dikukuhkan dengan SK Direktur RS yang bertanggung
jawab atas keberhasilan pelaksanaan DOTS di RS, serta
mengkoordinasikan semua kegiatan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Jejaring Internal RSU Syifa Medina
Fungsi masing-masing Gugus tugas dalam jejaring internal RS :
a. Klinik DOTS berfungsi sebagai tempat penanganan seluruh pasien
tuberkulosis di rumah sakit dan pusat informasi tentang
tuberkulosis. Kegiatannya juga meliputi konseling, penentuan
klasifikasi dan tipe, kategori pengobatan, penentuan PMO, follow up
hasil pengobatan dan pencatatan.
b. Poli umum, IGD, dan poli spesialis berfungsi menjaring tersangka
pasien TB, menegakkan diagnosis, pengobatan serta
menginformasikan dan atau mengirim pasien ke Tim DOTS RS;
c. Rawat Inap berfungsi sebagai pendukung Tim DOTS dalam
melakukan penjaringan tersangka serta perawatan dan pengobatan
pasien TB;
d. Laboratorium (mikrobiologi dan patologi anatomi) berfungsi sebagai
sarana penunjang diagnostik;
e. Radiologi berfungsi sebagai sarana penunjang diagnostik;
f. Farmasi berfungsi sebagai penanggung jawab terhadap manajemen
OAT di RS;
g. Pencatatan dan pelaporan TB dilakukan oleh petugas administrasi
TB di Tim DOTS. Petugas rekam medis berfungsi sebagai
pendukung data TB di RS;
h. HUMAS & PKRS RS berfungsi sebagai pelaksana penyuluhan TB
DOTS di RS.
Alur Penatalaksanaan Pasien Tuberkulosis Di RSU Syifa Medina
A. PENGERTIAN
Keselamatan Pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien yang lebih aman yang meliputi asesmen resiko, identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan
dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
1. Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau
atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif
berupa penguatan dariupaya manajerial bagi program PPI TB yang
meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB.
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk,
alur pelaporan dan surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta
pemeliharaannya sesuai PPI TB.
e. Menyediaakan sumber daya untuk terlaksanananya program PPI TB
(tenaga, anggaran, sarana dan prasarana ).
f. Monitoring dan evaluasi.
g. Melakukan pengkajian diunit terkait penularan TB
h. Melaksanakan promosi melibatkan masyarakat dan organisasi
masyarakat terkait PPI TB.
2. Pengendaliaan administrasi.
Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan
kuman m.tuberkulosis kepada petugas kesehatan , pasie , pengunjung
dan lingkungan dengan menyediakan , mendiseminasikan dan
memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan.
3. Pengendalian Lingkungan.
Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi
dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan
mengurangi/ menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya
pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi
ultraviolet sebagai germisida.
Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:
a. Ventilasi Alamiah
b. Ventilasi Mekanik
c. Ventilasi campuran
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan
keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu
fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim-
cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar
ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara
periodik.
2. Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat
ukur kemajuan program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan
atau keberhasilan program pengendalian TB digunakan beberapa
indikator.
Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu:
Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan
Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator
Nasional tersebut di atas, yaitu:
a. Indikator Penemuan TB
1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara
terduga TB
2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara
semua TB paru diobati.
3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati
diantara pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)
6) Proposi pasien TB yang dites HIV
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif
8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding
perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada.
9) Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi
pemeriksaan ujikepekaan OAT lini kedua.
10) Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien
TB RR/MDR ditemukan.
b. Indikator Pengobatan TB
1) Angka konversi (Conversion Rate)
2) Angka kesembuhan (Cure Rate)
3) Angka putus berobat
4) Angka keberhasilan pengobatan TB anak
5) Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak
yang mendapatkan PP INH
6) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
7) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
8) Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success
Rate
c. Indikator Penunjang TB
1) Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal
(PME) uji silang untuk pemeriksaan mikroskopis
2) Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis
baik diantara peserta PME uji silang
3) Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME empat kali
setahun.
4) Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT
lini
Harapan kami Pedoman Pelayanan ini dapat menjadi acuan dan pedoman bagi
kita, khususnya yang bertugas di tim DOTS. Pedoman pelayanan ini akan
ditinjau ulang secara periodik, oleh sebab itu masukan yang bersifat
membangun sangat kami harapkan.
Akhirnya saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyusunan Buku Pedoman Pelayanan DOTS di RSU .