Urbanisasi Dan Migrasi Pedesaan - Perkotaan Teori Dan Kebijakan
Urbanisasi Dan Migrasi Pedesaan - Perkotaan Teori Dan Kebijakan
Urbanisasi Dan Migrasi Pedesaan - Perkotaan Teori Dan Kebijakan
Disusun Oleh:
Kelompok 6
i
URBANISASI DAN MIGRASI DESA-KOTA:
TEORI DAN KEBIJAKAN
Peraga 1.1 Penduduk Perkotaan dan Pendapatan Per Kapita di Beberapa Negara
Terpilih per tahun 2018
1
Faktanya, urbanisasi dan pendapatan per kapita memiliki hubungan yang
positif. Umumnya, semakin maju suatu negara berdasarkan pendapatan per kapita,
semakin besar jumlah penduduk yang mendiami kawasan perkotaan. Namun,
meskipun suatu negara menjadi lebih urban ketika berkembang, Negara-negara
termiskin sekarang lebih urban daripada negara-negara maju sekarang ketika dahulu
berada pada tingkat pembangunan yang setara sebagaimana yang diukur dengan
pendapatan per kapita; dan rata-rata negara berkembang sekarang mengalami
urbanisasi lebih cepat.
Urbanisasi terjadi di semua negara serta tidak jadi soal apakah negara itu
berpendapatan tinggi atau rendah dan apakah pertumbuhan itu positif atau negatif.
Bahkan ketika garis-garis itu mengarah ke kiri, yang menunjukkan adanya penurunan
pendapatan per kapita dalam periode tersebut, semua garis itu umumnya mengarah ke
atas, mengindikasikan masih berlanjutnya urbanisasi.
Laju urbanisasi negara-negara berkembang pada akhir abad kedua puluh dan
awal abad kedua puluh satu menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan semakin
besar pada tingkat pendapatan per kapita yang lebih rendah dibandingkan dengan yang
dahulu terjadi di negara-negara maju pada tahap yang setara. Contohnya, urbanisasi di
Afrika yang tidak berkaitan dengan industrialisasi seperti dahulu dialami negara-negara
yang sekarang maju.
2
Peraga 1.2 Proporsi Penduduk Perkotaan Menurut Wilayah, 1950 – 2020
Informasi di atas menunjukkan bahwa penduduk dunia akan terus tumbuh dari
waktu ke waktu. Dengan tingkat pertumbuhan terbesar terjadi di daerah Asia dan
Amerika Latin.
Meski mayoritas pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan negara
berkembang akan ditemukan di kota-kota yang jumlah penduduknya kurang dari 5 juta
orang, pertumbuhan penduduk di kota-kota yang berpenduduk lebih dari 5 juta orang
berlangsung lebih cepat ketimbang pertumbuhan penduduk di kota-kota yang lebih
kecil (berpenduduk di bawah 500.000 orang) di negara berkembang. Bahkan, menurut
3
perkiraan PBB, pada tahun 2025 hanya separuh dari penduduk perkotaan yang tinggal
di kota-kota yang berpenduduk kurang dari setengah juta orang, yang merupakan
jumlah terendah yang pernah terjadi.
Ukuran aglomerasi perkotaan ini memunculkan pertanyaan: bagaimana semua
kota ini akan mengelola konsentrasi penduduk sebesar itu secara ekonomi, lingkungan,
dan politik. Sekalipun benar bahwa kota besar dapat memberikan keunggulan efisiensi
biaya yang disebabkan ekonomi aglomerasi serta skala ekonomi dan kedekatan
(proximity) serta berbagai eksternalitas ekonomi dan sosial, beban biaya sosial
penyediaan perumahan dan layanan sosial yang terus membengkak serta meningkatnya
kejahatan, polusi, dan kepadatan mungkin akan melebihi manfaat yang selama ini
menjadi keunggulan kawasan perkotaan. Pernyataan ini didukung oleh Mantan
Presiden Bank Dunia, Rob McNamara.
Urbanisasi yang berlangsung cepat dan bias perkotaan (urban bias) dalam
strategi pembangunan telah menyuburkan pertumbuhan perkampungan miskin dan
kumuh yang besar. Bias perkotaan merupakan suatu gagasan bahwa hampir semua
pemerintah negara berkembang menerapkan kebijakan pembangunan yang lebih
berpihak pada sektor perkotaan, sehingga menimbulkan kesenjangan besar antara
perekonomian perkotaan dan perekonomian pedesaan.
4
Peraga 1.4 Pertumbuhan Penduduk Perkotaan dan Pemukiman Kumuh per tahun 2015
2. Peranan Kota
Secara umum, kota terbentuk karena memberikan keunggulan atau keuntungan
efisiensi biaya bagi para produsen dan konsumen melalui ekonomi aglomerasi
(agglomeration economy). Ekonomi alomerasi merupakan keunggulan atau efisiensi
5
biaya yang diperoleh produsen dan konsumen dari lokasi dalam kota besar atau sedang,
yang berwujud ekonomi urbanisasi dan ekonomi lokalisasi.
Walter Isard mengemukakan bahwa ekonomi aglomerasi ini memiliki dua wujud,
yaitu:
1. Ekonomi urbanisasi (urbanization economy)
Ekonomi urbanisasi adalah akibat aglomerasi yang berkaitan dengan
pertumbuhan umum wilayah geografi yang terkonsentrasi.
2. Ekonomi lokalisasi (localization economy)
Ekonomi lokalisasi adalah akibat aglomerasi yang diperoleh sektor-sektor
ekonomi, seperti pembiayaan dan kendaraan bermotor, ketika sektor itu tumbuh
dan berkembang dalam satu kawasan. Ekonomi lokalisasi sering berkaitan ke
hulu dan ke hilir.
6
pembagian kerja lebih rinci. Akhirnya, kelompok usaha itu memungkinkan akan
memperluas cakupan usahanya dan berkembang menjadi sebuah distrik industri.
Dorothy McCormick dalam studinya terhadap enam kelompok usaha
representatif di Afrika menyimpulkan bahwa kelompok usaha dasar menyiapkan jalan;
kelompok industrialisasi memprakarsai proses spesialisasi, diferensiasi, dan
pengembangan teknologi; dan kelompok industri canggih menghasilkan produk
kompetitif di pasar yang lebih luas. Akan tetapi, perlu dikemukakan bahwa tidak semua
keuntungan efisiensi kolektif dari adanya distrik industri dapat terwujud melalui lokasi
pasif. Keuntungan lainnya tercipta melalui investasi patungan dan aktivitas promosi
perusahaan-perusahaan dalam distrik tersebut. Salah satu faktor yang menentukan
dinamisme sebuah distrik adalah kemampuan semua perusahaan di distrik itu untuk
menemukan mekanisme tindakan kolektif tersebut. Meski pemerintah menyediakan
bantuan keuangan dan layanan penting lainnya untuk memfasilitasi pengembangan
kelompok usaha, faktor yang juga penting adalah modal sosial.
Modal sosial merupakan nilai-nilai produktif dalam norma dan lembaga sosial
– mencakup kepercayaan kelompok, perilaku kooperatif yang diharapkan berikut
dengan sanksi atas penyimpangan yang terjadi, serta berbagai pengalaman tindakan
kolektif yang berhasil – yang memperbesar harapan akan partisipasi dalam upaya
bersama di masa depan.
7
Kekuatan memusat atau sentripetal dari ekonomi aglomerasi perkotaan
ditentang oleh kekuatan menjauh dari pusat atau setrifugal dari disekonomi yang
menampilkan biaya yang semakin tinggi ketika pemusatan semakin besar, karena
beberapa faktor produksi, seperti lahan, bersifat tidak bergerak. Lahan dapat diciptakan
lebih banyak di pusat kota dengan membangun gedung pencakar langit, tetapi hanya
sampai skala tertentu dan dengan biaya yang cukup besar. Oleh sebab itu, biasanya
suatu negara memiliki kota yang ukurannya bergantung pada skala industri yang
ditopangnya dan cakupan ekonomi aglomerasi yang didapatkan bagi industri atau
kelompok industri tersebut.
8
3. Masalah Raksasaisme Perkotaan
Kota inti yang menjadi terlalu besar akan menimbulkan kesulitan
mempertahankan biaya industry pada tingkat minimum di lokasi tersebut. Kemudia,
rute transportasi utama di negara-negara berkembang umumnya adalah warisan zaman
kolonial yang dalam banyak kasus, ibu kota berlokasi dekat pintu keluar sistem
pengurasan sumber daya yaitu di tepi pantai laut. Jenis sistem ini diacu sebagai sistem
hub-and-spoke. Pendekatan bidang datar terdiferensiasi mengedepankan dampak
warisan sejarah ini sehingga dapat menjelaskan cara menemukan kota-kita yang terlalu
besar di negara berkembang dan menyarankan kebijakan desentralisasi perkotaan yang
dapat diterapkan untuk membantu memecahkan masalahnya.
Di negara-negara berkembang, pemerintah cenderung kurang terlibat dalam
penyebaran aktivitas ekonomi dengan ukurang yang lebih dapat dikelola atau
pemerintah mungkin berupaya menyebarkan industri tanpa mempertimbangkan sifat
aglomerasi ekonomi; dengan memberikan insetif untuk mewujudkan penyebaran,
tetapi tidak ada upaya mengelompokkan sejumlah industri yang berkaitan.
9
3. Faktor ekonomi politik di mana perusahaan akan lebih diuntungkan untuk
berada pada lokasi di mana mereka memiliki akses yang mudah kepada pejabat
pemerintah, untuk memperoleh keistimewaan politik dari rezim penguasa yang
dapat digunakan untuk mendapatkan bantuan khusus dengen memberikan
imbalan atau dengan menyuap pejabat pemerintah agar dapat beroperasi
10
Daerah perlu melakukan sejumlah langkah strategis yang harus ditempuh demi
peningkatan sektor informal. Langkah-langkah tersebut adalah:
a) Sumber daya lokal (local resources) harus dijadikan basis utama,
Salah satu karakter sektor informal adalah melakukan proses efisiensi dengan
”mendekatkan” sumber bahan baku.
11
- Sektor informal lebih mungkin menggunakan teknologi yang sesuai dan
sumber daya lokal.
- Sektor informal berperan penting dalam daur ulang sampah.
Namun, disamping faktor pendukung, ada juga kelemahan dari upaya peningkatan
sektor informal, yaitu kuatnya hubungan antara migrasi dari desa ke kota dengan
penyerapan tenaga kerja sektor informal.
12
bersifat paradoks mengenai adanya migrasi desa-kota dalam konteks meningkatnya
jumlah pengangguran di perkotaan, yaitu model migrasi Todaro.
1) Ketimpangan kesempatan kerja antara kota dan desa harus dikurangi karena
para migran diasumsikan akan tanggap terhadap adanya selisih-selisih
13
pendapatan,maka ketimpangan kesempatan ekonomi antara segenap sektor
perkotaan dan pedesaan harus dikurangi
2) Pemecahan masalah pengangguran di perkotaan tidak cukup hanya dengan
penciptaan lapangan kerja di kota. Meskipun lapangan kerja di daerah
perkotaan telah ditambah, tingkat pengaggurannya tetap saja meningkat
3) Perluasan pendidikan yang dilakukan secara serampangan akan mendorong
lebih banyak orang yang bermigrasi dan membengkaknya pengangguran
4) Subsidi upah dan penetapan harga tradisional atas faktor yang langka boleh jadi
akan kontraproduktif.
5) Program-program pembangunan di pedesaan harus didorong.
14