Makalah Larangan Penguasaan Tanah Absentee
Makalah Larangan Penguasaan Tanah Absentee
Makalah Larangan Penguasaan Tanah Absentee
Oleh:
NIM:
PROGRAM STUDI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SATYAGAMA
JAKARTA
2022
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian di bidang pertanian (Agraris), baik sebagai pemilik tanah pertanian,
petani penggarap maupun buruh tani.Tanah merupakan faktor yang sangat penting
bagi kelangsungan hidup masyarakat dan pembangunan suatu bangsa. Pentingnya
tanah untuk kehidupan manusia merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan
sebab kelangsungan hidup manusia untuk memperoleh suatu bahan makanan
sebagian besar berasal dari pengelolaan tanah.
Eratnya hubungan antara manusia dan tanah dapat dilihat dalam
ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”4Disini dapat dilihat negara sebagai
organisasi kekuasaan rakyat memiliki wewenang untuk mengatur tentang
pendayagunaan tanah, penguasaan serta kepemilikannya. Tanah sebagai bagian
dari bumi dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat dan
menghindari segala bentuk yang merugikan kepentingan umum.
Setelah kemerdekaan, Indonesia telah memiliki pertauran khusus yang
mengatur tentang pertanahan yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria atau yang disebut juga UUPA. Pada Pasal
2 ayat 3 UUPA memberikan wewenang kepada Negara untuk mendapatkan hak
menguasai dengan memperhatikan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya dan
dapat memberikan kebahagiaan, kesejahteraan, adil dan makmur. Akan tetapi,
sampai saat ini di bidang pertanahan terdapat 5 (lima) permasalahan yaitu yang
terdapat pada Pasal 6 yang mengatur tentang fungsi sosial tanah, Pasal 7 mengatur
tentang batas maksimun pemilikan tanah, Pasal 10 mengatur pemilikan tanah
Absentee, Pasal 13 mengatur tentang Monopoli pemilikan tanah, dan Pasal 18
yang mengatur tentang penetapan ganti rugi tanah untuk kepentingan umum.
Adanya pembentukan UUPA tentunya mempunyai aspek-aspek penting
yang ingin disampaikan, salah satunya yaitu “Program Landreform.”5 Landreform
di Indonesia bertujuan untuk dapat meningkatkan penghasilan dan taraf hidup
bagi para petani khususnya bagi penggarap sawah, karena hal ini merupakan
landasan pembagunan di sektor ekonomi untuk mencapai masyarakat yang adil
dan makmur yang berlandaskan pancasila. Adanya tujuan dari Landerfrom yaitu
peningkatan produktifitas tanah pertanian sangatlah jelas, degan adanya
kepemilikan tanah pertanian yang luasnya melampaui batas dapat mengakibatkan
produktifitas pertanian akan menjadi rendah, dan apabila pemilikannya berstatus
Absentesee, maka secara otomatis pemiliknya tidak menggarap sendiri tanah
pertanian miliknya, tetapi hanya memberikan penggelolaan dan penjagaan pada
orang-orang yang ada didaerah itu, sehingga pengolahan tanah pertaniannya tidak
secara intensif dilakukan dan mengakibatkan produktifitas hasil pertanian tidak
baik.
Ketentuan larangan dari Landerform yang diatur dalam pasal 7, 10, 17
UUPA dan sebagai pelaksanaannya, telah dibentuk Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata
Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 Tentang
Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian, yang mana tujuannya untuk
mendapatkan kepastian hukum, tidak merugikan kepentingan umum, mengurangi
kesenjangan sosial, menjamin ketahanan pangan dan memeratakan kesejahteraan
masyarakat sehingga pemilikan tanah yang melampaui batas tidak diperbolehkan.
Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pengendalian Penguasaan Tanah
Pertanian memberikan batasan penguasan dan pemilikan tanah pertanian untuk
perorangan dengan ketentuan sebgai berikut:
1. Tidak padat, paling luas 20 (dua puluh) hektar.
2. Kurang padat, paling luas 12 (dua belas) hektar.
3. Cukup padat, paling luas 9 (sembilan) hektar.
4. Sangat padat, paling luas 6 (enam) hektar.
Pembahasan
A. Larangan Pemilikan Tanah Secara Absentee
Pembentukan Landerform di Indonesia pada umumnya untuk
membebaskan diri dari sisa-sisa penjajahan, dan pada khususnya bagi para
petani dari pemerasan tanah modal asing pada zaman penjajahan, dan
memberikan para petani penggarap tanah dengan penghasilan dan taraf hidup
yang lebih layak, serta tercapainya syarat dalam pembangunan ekonomi
sehingga terciptannya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk
mencapai itu semua “Tujuan Landerform”7 di Indonesia itu harus segera
terlaksana agar taraf hidup masyarakat pertanian bisa terjamin.
13
Ketidaktahuan tentang adanya larangan kepemilikan tanah secara
Absentee oleh para petani ini yang membuat terjadinya pemilikan tanah
secara Absentee, hal ini disebabkan oleh adat istiadat serta nilai budaya
yang tertanam dalam masyarakat tani itu sendiri. Contohnya, banyak
keluarga petani yang telah berhasil mendapatkan penghasilan yang dapat
merubah kehidupannya di luar daerahnya, seiringnya waktu akan menetap
di daerah tersebut, sehingga mereka akan menjual tanahnya kepada orang
lain ataupun sanak keluarganya. Ada pula pemilik tanah tersebut tidak
menyerahkan atau mengalihkan tanahnya kepada siapapun dengan alasan
tanah tersebut akan dijadikan investasi masa depan mereka ketika mereka
kembali lagi ke daerahnya bahkan dengan keberhasilannya di luar daerah
yang mendapatkan penghasilan yang banyak, ingin membeli tanah-tanah
pertanian yang ada di daerahnya. hal ini akan berdampak kepada
permasalahan baru yaitu pemilikan tanah yang melampaui batas
maksimum dari seluruh anggota keluarga.
Dalam konteks pembangunan, perencanaan penataan ruang dapat
dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah
untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan sumber daya ruang khususnya
penataan lahan pertanian. Rencana tata ruang yang disusun tersebut
mengandung pengertian perspektif yaitu menuju kepada keadaan ruang
dan masa mendatang.
Rencana pemanfaatan ruang yang telah disusun dalam rencana
tata ruang hanya dapat diwujudkan melalui sejumlah kebijaksanaan yang
bersifat koordinasi pula, antara lain dibidang pertanahan. Hal ini
merupakan suatu keharusan mengingat bahwa sepanjang menyangkut
tanah, maka rencana pemanfaatan ruang pada dasarnya adalah rencana
pemanfaatan tanah. Artinya kegiatan penatagunaan tanah merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan penataan ruang. Dalam
konteks ini, maka penatagunaan tanah mempunyai esensi mendasar yakni
sebagai subsistem penataan ruang.
14
Mengingat pada kenyataannya tanah-tanah telah dikuasai oleh
masyarakat dengan berbagai bentuk hubungan hukum dan dengan
berbagai ragam dan jenis penggunaan serta pemanfaatan tanah, maka
dalam perencanaan tata ruang tersebut, kondisi-kondisi pertanahan
tersebut merupakan faktor yang perlu diperhatikan. Aspek-aspek
pertanahan yang harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
proses perencanaan tata ruang antara lain adalah keadaan penggunaan
tanah saat sekarang, kondisi fisik kemampuan tanah, potensi tanah serta
status penguasaan tanah tersebut.
Dasar kebijaksanaan pertanahan adalah pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 5 tahun 1960 (UUPA).
Pada pasal 2 ayat (1) UUPA ditegaskan lagi bahwa bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Pemerintah telah membuat Pedoman kawasan sentra produksi
pangan (agropolitan) sebagai suatu upaya untuk mengatasi permasalahan
yang dihadapi dalam pengelolaan dan penataan ruang pertanian di
pedesaan. Pengelolaan ruang kawasan sentra produksi pangan nasional dan
daerah merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang bagi
peruntukan pertanian tanaman pangan. Namun demikian, penataan ruang
tersebut belum optimal dirasakan fungsinya terutama dalam rangka
menunjang ketahanan pangan nasional. Hal ini terjadi karena implementasi
penataan ruang seringkali dipandang sebagai wujud peta buta. Harusnya
informasi yang terkandung dalam strategi penataan ruang dapat menjadi
batu pijakan bagi perencanaan pembangunan antar sektor perekonomian.
Penataan ruang yang terjadi saat ini seringkali terjadi konflik
kepentingan antar-sektor. Seperti konflik yang sering terjadi di bidang
pertambangan dengan persoalan lingkungan hidup, lahan pertanian,
kehutanan, prasarana wilayah, hingga konflik dengan masyarakat lokal.
Konflik yang terjadi lebih banyak disebabkan karena perencanaan
penataan ruang yang tidak tepat. Pemanfaatan ruang masih dihadapkan
pada berbagai penyimpangan dari ketentuan dan norma yang seharusnya
15
ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap rencana
tata ruang. Suatu wilayah yang sudah direncanakan sebagai wilayah
peruntukan sebagai lahan pertanian seringkali dikorbankan demi
mendapatkan pemasukan devisa. Padahal sektor pertanian merupakan
leading sektor dalam menunjang ketahanan pangan nasional.
Ketidakselarasan pemanfaatan ruang antara manusia dengan
alam maupun antara kepentingan ekonomi dengan pelestarian lingkungan,
telah berdampak pada berbagai fenomena bencana (water-related disaster)
seperti banjir, longsor dan kekeringan. Hal ini pada dasarnya merupakan
indikasi yang kuat terjadinya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang,
antara kepentingan ekonomi dengan pelestarian lingkungan.
Konversi lahan yang terus terjadi saat ini merupakan realitas
lemahnya penegakan hukum dalam pengimplementasian RTRW yang
telah ditetapkan. Kekurang mampuan menahan diri dari keinginan
membela kepentingan masing-masing secara berlebihan seringkali
menafikan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Seringkali
pula, Pemerintah daerah pun kerap memberikan ijin penggunaan lahan
seperti dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya guna
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
16
memperoleh wewenang atas dua cara, yaitu: “atribusi; dan delegasi dan
juga mandat”.17
Badan Pertanahan Nasional mendapatkan wewenang dari
pemerintah melalui peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan
Presiden Nomor 20 Tahun 2015 Tentang Badan Pertanahan Nasional,
sehingga segala sesuatu permasalahan mengenai pertanahan merupakan
tanggung jawab dari Badan Pertanahan Nasional. Pertanggungjawaban ini
juga termasuk dalam hal pemilikan tanah pertaniaan secara Absentee.
Penyelesaian masalah Pemilikan Tanah secara Absentee
merupakan bentuk tanggung jawab dari badan pemerintah yaitu Badan
Pertanahan Nasional dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten
Boalemo. Perbuatan hukum ini merupakan wewenang yang diberikan oleh
pemerintah kepada Badan Pertanahan Nasional yang dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan, dimana dikenal dengan asas
legalitas dalam suatu konsep Negara Hukum. Konsep Negara hukum ini
harus memberikan suatu alat sebagai jaminan bagi organ pemerintah
dalam menjalankan tugasnya. Sehingga tindakan hukum yang dilakukan
pemerintah dilakukan berdasarkan wewenang yang sah dan tanggung
jawab dari wewenang yang dilakukannya.
Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee walaupun
sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang
dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi dan ditegaskan
kembali dalam Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pengendalian
Penguasaan Tanah Pertanian, berdasarkan penelitian dilapangan di
Kecamatan Paguyaman masih terdapat tanah yang pemilikannya dimiliki
secara absentee, sejauh ini Kantor Badan Pertanahanan Kabupaten
Boalemo belum banyak melakukan tindakan untuk menanggulangi
masalah ini, hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya pemilikan tanah
secara absentee di Kecamatan Paguyaman. Menurut Kepala Kantor
17
Pertanahan Kabupaten Boalemo, Bapak Budi Taringan18 mengatakan
bahwa tertib administrasi khusus pemilikan Tanah Pertanian secara
Absentee, apabila memohon untuk hak milik atas tanah tesebut akan dilihat
terlebih dahulu domisili dari pemilik tanah tersebut, dan apabila berada
diluar Kecamatan letak tanah itu akan langsung ditolak oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Boalemo.
Ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada
Pasal 6 ayat (1) Peraturan Meteri Negara Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian
Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, yang
menyebutkan “Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum
administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan
yang berkepentingan atau oleh Pejabat yang berwenang tanpa
19
permohonan.” Cacad hukum administratif yang disebutkan dalam Pasal
106 ayat (1) antara lain:
a. Kesalahan prosedur;
b. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
c. Kesalahan subjek hak;
d. Kesalahan objek hak;
e. Kesalahan jenis hak;
f. Kesalahan perhitungan luas;
g. Terdapat tumpang tindis hak atas tanah;
h. Data yuridis atau data fisik tidak benar; atau
20
i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukun administratif.
Penyelesaian masalah pertanahan merupakan kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh Badan Pertanahan nasional karena telah diberikan
kewenangan oleh pemerintah melalui Pertauran Pemerintah Nomor 20
tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional dan kemudian dijabarkan
18
dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penagganan
Kasus Pertanahan. Kantor Pertanahan Kabupaten Boalemo bertannggung
jawab dalam mengatasi kepemilkan tanah secara Absentee yang
merupakan tindak lanjut dari wewenang yang dimiliki oleh Badan
Pertanahan Nasional yang berdasarkan Pasal 2 ayat (1b) Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian Dan Penagganan Kasus Pertanahan yang menyatakan Badan
Pertanahan harus “Meyelesaikan kasus pertanahan yang disampaikan
kepada kepala Badan Pertanahan Nasional agar tanah dapat dikuasai,
dimiliki, dipergunakan dan dimanfaatkan oleh pemiliknya serta dalam
rangka kepastian dan perlindungan hukum”.21
Badan pertanahan Nasional juga bertanggung jawab atas segala
persoalan menganai tanah dan tentu juga mengenai pemilikan tanah
Pertanian Absentee yang telah dimiliki oleh orang diluar Wilayah
Kecamatan letak tanah itu berada. Kantor Pertanahan Kabupaten Boalemo
telah melakukan upaya untuk terciptanya tertib hukum dengan cara
melakukan penyuluhan di setiap Kecamatan yang berada di kabupaten
Boalemo yang dilakukan 3 (tiga) kali dalam setahun dan juga himbauan
yang terakhir dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Kabupaten Boalemo
berupa surat pemberitahuan Nomor 230/ 300-75.02/VII/2015 tanggal 28
Juli 2015 yang ditujukan kepada PPAT/ PPAT sementara (camat) untuk
memperhatikan ketentuan pemilikan tanah secara Absentee dalam
pembuatan permohonan pemindahan hak yang pemegang hak-nya
berstatus absentee atau mengakibatkan pemegang hak-nya menjadi
pemegang hak yang absentee.
Penyuluhan dan himbau ini bertujuan untuk mengumpulkan
informasi dan mencegah terjadi pemilikan tanah pertanian secara absentee.
Upaya yang dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten Boalemo ini
diharapkan agar masyarakat dan aparat yang terkait dapat menerapkan dan
mematuhi hukum pertanahan yang berlaku, serta khusus bagi masyarakat
21 Pasal 2 ayat (1b) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penagganan Kasus Pertanahan.
19
agar selalu menerapkan displin terhadap hukum dan tidak menyimpang
dari peraturan yang ada.
Bapak Budi Taringan juga berharap adanya suatu alat yang dapat
mendeteksi secara terus menerus mengenai pemilikan tanah diseluruh
Indonesia, misalnya bisa bekerja sama dengan Kantor Catatan Sipil untuk
dapat mengetahui domisili pemilik tanah dengan cepat dan tepat, serta
dapat diakses dan terkoneksi dengan seluruh Kantor Pertanahan seluruh
Indonesia. Tidak hanya itu, dia juga mengatakan bahwa tertib permasalah
pemilikan tanah ini tidak akan terselesaikan apabila tidak ada kerjasama
dari masyarakat untuk memberitahukan/ melaporkan tentang adanya
pemilik tanah yang berstatus absentee.
Berdasarkan hasil Penelitian di Lapangan, penerapan ini belum bisa
diterapkan dengan tegas kepada pemilik tanah pertanian secara absentee
karena terdapat berbagai hambatan yang terjadi dilapangan, meskipun
peraturannya sudah sangatlah jelas. Sehingga penegakan terhadap larangan
pemilikan tanah pertanian secara absentee tidak tegas. Dengan keadaan saat
ini saksi yang diberikan sudah tidak relevan lagi karena di anggap terlalu
ringan sehingga cenderung mudah dilanggar, hal ini disebabkan pembuatan
Peraturannya belum menyesuaikan keadaan pada saat itu dan sangatlah
berbeda jauh dengan keadaan saat ini dan meskipun sudah dikeluarkan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian Dan Penagganan Kasus Pertanahan sebagai
penegasan dari peraturan sebelumnya, namun ketentuan ini tidak memberikan
sanksi hukum bagi pemilik tanah Absentee yang seharusnyadisesuaikan
dengan keadaan saat ini, melainkan penerapan sanksi hukumannya masih
mengikuti penerapan peraturan yang lama.
Simpulan
Larangan pemilikan tanah Pertanian secara absentee ternyata belum
dapat dilaksanakan secara efektif khususnya di Kabupaten Boalemo meskipun
laangan ini sudah diatur dalam Pasal 7, 10, 17, dan 18 Undang-Undang Pokok
Agraria yang kemudian diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 224
20
Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Rugi.
Peraturan untuk larangan ini juga diatur dalam peraturan tambahanya yang
terdapat dalam pasal 3a sampai dengan 3e tentang peraturan yang sama nomor 41
tahun 1964 dan selanjutnya ditegaskan kembali dengan Peraturan Menteri Agraria
Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016
Tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian. Hal ini dapat dibuktikan
dengan masih adanya pemilikan tanah pertanian secara absentee di desa
Molombulahe, Bonggo Nol dan Bonggo Tua yang berada di Kecamatan
Paguyaman. Penyebab terjadinya pemilikan tanah pertanian secara absentee yaitu
dengan beberapa faktor-faktor sebagai berikut:
1. Kurangnya kesadaran Hukum dari masyarakat, khusunya masayrakat
pedesaan yang beradaa di Kecamatan Paguyaman yang kurang
memahami dan tidak mengetahui Hukum yang berlaku, sehingga
melakukan jual beli tanah pertanian yang dilakukan dengan jual beli
dibawah tangan dan tidak dilakukan dihadapan PPAT/ PPAT sementara
(Camat) serta peralihannya tidak bisa di daftarkan di Kantor Pertanahan,
hal ini membuat banyaknya pemilikan tanah yang pemiliknya memiliki
secara absentee tidak diketahui oleh Badan Pertanahan Kabupaten,
Khususnya Badan Pertanahan Kabupaten Boalemo.
2. Budaya juga dapa menimbulkan pemilikan tanah pertanian secara
absentee yang berada di Kecamatan Paguyaman, seperti adanya
pewarisan yang tidak melihat ketentuan yang ada, khususnya dalam
pewarisan tanah. Pemilik yang merasa memiliki seutuhnya tanah
miliknya yang dimiliknya secara turun temurun, sehingga dia berprinsip
tanahnya mau di jual atau diperuntukkan untuk apa tanahnya
merupakkan hak yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa saja.
3. Faktor selanjutnya yaitu faktor sarana dan prasarana yang dimiliki oleh
Kantor Pertanahan, Khususnya Kantor Pertanahan Kabupaten Boalemo,
seperti data yang akurat atau alat yang dapat mendeteksi secara dini dan
terkoneksi secara nasional data-data pemilikan tanah pertanian yang
dimiliki secara absentee.
21
4. Faktor Aparat dan Penegak Hukum khusunya bagi PPAT sementara
(Camat) yang latar belakang pendidikannya bukan dari Sarjana Hukum,
sehingga kurang mengetahui peraturan ataupun laranagn pemilikan tanah
pertanian secara Absentee.
5. Nilai Ekonomi dari suatu tanah yang dapat membuat masyarakat atau
pemilik tanah mendapatkan jaminan hidup di kemudian hari bukan hanya
untuk diri sendiri melainkan juga untuk keturunan keluarganya. Sehingga
banyak masyarakat yang menginginkan tanah yang cukup luas dan tidak
jarang tanah-tanah pertanian yang berahli fungsi menjadi perumahan atau
menjadi tempat industri.
22
Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian Dan Penagganan Kasus Pertanahan.
23
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Echols, dkk. Kamus Inggris-Indonesia (an English-Indonesian Dictionary).
Jakarta: Gramedia, 2012.
Gautama, Sudargo. Pengertian Tentang Negara Hukum. Bandung: Alumni, 1973.
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. Surabaya:
Bina Ilmu, 1987.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Nasional (sejarah pembentukan undang-undang
pokok agrarian, isi dan pelaksanaanya). Jakarta: Jambatan, 2008.
Hutagalung, Arie Sukanti. Hukum Pertanahan Di Belanda Dan Indonesia.
Jakarta: Pustaka Larasan, 2012.
Muchsin, H. dkk. Hukum Agraria Indonesia Dalam Presfektif Sejara. Bandung:
Refika Aditama, 2010.
Supriadi. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian Dan Penagganan Kasus Pertanahan.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9
Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak
Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
24