Makalah Larangan Penguasaan Tanah Absentee

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

LARANGAN PEMILIKAN TANAH SECARA ABSENTEE

Oleh:

NIM:

PROGRAM STUDI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SATYAGAMA
JAKARTA
2022
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian di bidang pertanian (Agraris), baik sebagai pemilik tanah pertanian,
petani penggarap maupun buruh tani.Tanah merupakan faktor yang sangat penting
bagi kelangsungan hidup masyarakat dan pembangunan suatu bangsa. Pentingnya
tanah untuk kehidupan manusia merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan
sebab kelangsungan hidup manusia untuk memperoleh suatu bahan makanan
sebagian besar berasal dari pengelolaan tanah.
Eratnya hubungan antara manusia dan tanah dapat dilihat dalam
ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”4Disini dapat dilihat negara sebagai
organisasi kekuasaan rakyat memiliki wewenang untuk mengatur tentang
pendayagunaan tanah, penguasaan serta kepemilikannya. Tanah sebagai bagian
dari bumi dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat dan
menghindari segala bentuk yang merugikan kepentingan umum.
Setelah kemerdekaan, Indonesia telah memiliki pertauran khusus yang
mengatur tentang pertanahan yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria atau yang disebut juga UUPA. Pada Pasal
2 ayat 3 UUPA memberikan wewenang kepada Negara untuk mendapatkan hak
menguasai dengan memperhatikan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya dan
dapat memberikan kebahagiaan, kesejahteraan, adil dan makmur. Akan tetapi,
sampai saat ini di bidang pertanahan terdapat 5 (lima) permasalahan yaitu yang
terdapat pada Pasal 6 yang mengatur tentang fungsi sosial tanah, Pasal 7 mengatur
tentang batas maksimun pemilikan tanah, Pasal 10 mengatur pemilikan tanah
Absentee, Pasal 13 mengatur tentang Monopoli pemilikan tanah, dan Pasal 18
yang mengatur tentang penetapan ganti rugi tanah untuk kepentingan umum.
Adanya pembentukan UUPA tentunya mempunyai aspek-aspek penting
yang ingin disampaikan, salah satunya yaitu “Program Landreform.”5 Landreform
di Indonesia bertujuan untuk dapat meningkatkan penghasilan dan taraf hidup
bagi para petani khususnya bagi penggarap sawah, karena hal ini merupakan
landasan pembagunan di sektor ekonomi untuk mencapai masyarakat yang adil
dan makmur yang berlandaskan pancasila. Adanya tujuan dari Landerfrom yaitu
peningkatan produktifitas tanah pertanian sangatlah jelas, degan adanya
kepemilikan tanah pertanian yang luasnya melampaui batas dapat mengakibatkan
produktifitas pertanian akan menjadi rendah, dan apabila pemilikannya berstatus
Absentesee, maka secara otomatis pemiliknya tidak menggarap sendiri tanah
pertanian miliknya, tetapi hanya memberikan penggelolaan dan penjagaan pada
orang-orang yang ada didaerah itu, sehingga pengolahan tanah pertaniannya tidak
secara intensif dilakukan dan mengakibatkan produktifitas hasil pertanian tidak
baik.
Ketentuan larangan dari Landerform yang diatur dalam pasal 7, 10, 17
UUPA dan sebagai pelaksanaannya, telah dibentuk Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata
Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 Tentang
Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian, yang mana tujuannya untuk
mendapatkan kepastian hukum, tidak merugikan kepentingan umum, mengurangi
kesenjangan sosial, menjamin ketahanan pangan dan memeratakan kesejahteraan
masyarakat sehingga pemilikan tanah yang melampaui batas tidak diperbolehkan.
Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pengendalian Penguasaan Tanah
Pertanian memberikan batasan penguasan dan pemilikan tanah pertanian untuk
perorangan dengan ketentuan sebgai berikut:
1. Tidak padat, paling luas 20 (dua puluh) hektar.
2. Kurang padat, paling luas 12 (dua belas) hektar.
3. Cukup padat, paling luas 9 (sembilan) hektar.
4. Sangat padat, paling luas 6 (enam) hektar.

Pembatasan pemilikan untuk Badan Hukum ditentukan berdasarkan


keputusan pemberian haknya. Peraturan pemerintah nomor 24 Tahun 1961 yang
tambahan dan perubahannya terdapat pada peraturan pemerintah Nomor 41 Tahun
1964 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Ganti Kerugian, pada pasal 3
ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 Tentang Pelaksanaan
pembagian Tanah Dan Ganti Kerugian, menyebutkan bahwa: “Pemilik tanah yang
bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya, dalamjangka waktu 6
bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain dikecamatan
tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”. Hal ini
ditegaskan kembali dalam pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata
Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 Tentang
Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian.
Pemilik Tanah harus bertempat tinggal di kecamatan letak tanah, dengan
tujuan agar pemilik tanah pertanian dapat mengerjakan tanahnya sesuai dengan
asas yang terdapat dalam pasal 10 UUPA.6 Pengaturan dalam pasal 10 UUPA
merupakan landasan dari larangan pemilikan secara Absentee. Pemilikan dan
penguasaan tanah baik secara Absentee atau melampaui batas luas tanah pertanian
dapat menciptakan hal-hal yang kurang baik sepertinya produktifitas yang kurang
maksimal, harga sewa bagi petani penggarap yang sangat besar di banding hasil
pertaniannya, disisi lain pemilik tanah yang berada jauh dari letak tanah menerima
keuntungan tanpa mengerjakan tanahnya dan mendapatkan keuntungan yang lebih
besar. Hal ini membuat kesejahteraan sosial sudah merosot, tuan tanah terus
bertambah kaya dan para petani ataupun masyarakat miskin akan terus menjadi
sengsara dan tidak dapat terelakkan lagi.
Meskipun larangan pemilikan tanah secara Absentee sudah ditegaskan
dalam peraturan perundangan pasal 4 ayat 1 Peraturan 18 Tahun 2016 Tentang
Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian, di beberapa wilayah di Indonesia
kepemilikan tanah secara Absentee masih terus berlangsung dikarenakan sebagian
wilayah yang memiliki daerah Agropolitan dan memiliki tanah yang sangat subur
karena tanahnya mendapatkan irigasi dari aliran waduk yang sangat cukup untuk
berbagai macam keperluan. Melihat kondisi demikian banyak tanah-tanah
pertanian di wilayah yang potensial dengan nilai manfaat tinggi diminati oleh
pengusaha-pengusaha, dimana tujuan untuk memilik tanah tersebut bukan untuk
digunakan sebagaimana peruntukkan tanahnya itu, tetapi untuk digunakan sebagai
sarana investasi yang nantinya akan dijual kembali setelah mendapatkan tawaran
dengan harga yang tinggi. Hal ini menyebabkan banyaknya tanah pertanian yang
dijadikan obyek spekulasi yang mengakibatkan luas tanah pertanian yang semakin
berkurang karena telah berahli fungsinya.
Masyarakat di wilayah yang potensial ini sebagian besar merupakan
petani, namun dengan adanya pembangunan daerah sehingga pola pikir
masyarakat setempat dan tata cara memenuhi kehidupan sehari-hari semakin
berubah. Dengan adanya kemajuan daerah khususnya di bidang pendidikan
membuat masyarakat mengganggap bekerja sebagai petani bukanlah pekerjaan
yang dapat merubah perekonomiannya, oleh karena itu banyak masyarakat yang
telah memiliki pendidikan yang tinggi memilih sebagai pegawai, pedagang, buruh
pabrik, dan sebagainya dibandingkan menjadi seorang petani.
Kepemilikan tanah secara Absentee terus terjadi kebanyakan tanahnya
belum terdaftar di Kantor Pertanahan Kabupaten Boalemo karena pemilik
sebelumnya belum mendaftarkan tanahnya dan jual belinya pun tidak didepan
pejabat umum/ PPAT melainkan hanya di ketahui oleh pejabat desa setempat. Hal
ini disebabkan ketidaktahuan masyarakat akan hal itu dan bisa dijadikan peluang
untuk memiliki tanah secara Absentee.
Permasalahan Peraturan ini dibutuhkan adanya peran dari penegak hukum,
dalam hal ini (BPN) Badan Pertanahan Nasional yang di beri wewenang dan
Tanggung Jawab untuk segala urusan Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional
mempunyai peranan penting untuk melaksanakan hak dan kewajiban dalam
menjalankan tugas pemerintah dibidang pertanahan. Sebagaimana dijelaskan
dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2015 Pasal 2
tentang Badan Pertanahan Nasional bahwa “Badan Pertanahan Nasional
mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan
dengan ketentuan perundang-undangan”. Dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2015 pasal 1 tentang Badan Pertanahan Nasional
“Badan Pertanahan Nasional adalah lembaga pemerintah non kementerian yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden”.
Tanggung jawab yang di bebankan kepada Badan Pertanahan Nasional
untuk dapat memecahkan berbagai macam persoalan yang muncul di bidang
pertanahan tentu sangatlah berat. Berbagai persoalan dibidang pertanahan yang
terjadi di wilayah hukum Kabupaten Boalemo tentunya membutuhkan peran yang
cukup besar dari lembaga ini untuk mengatasi setiap persoalan yang muncul setiap
saat. Salah satu Peran Badan Pentanahan Nasional (BPN) dalam menyelesaikan
permasalahan tanah pertanian yang dimiliki orang luar daerah atau yang sering
disebut dengan Absentee. Berdasarkan paparan latar belakang diatas, maka dapat
ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut: Apakah yang menyebabkan
terjadinya pemilikan tanah pertanian oleh orang yang berdomisili diluar wilayah
tersebut dan Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban hukum Kantor
Pertanahan Nasional dalam mengatasi terjadinya pemilikan tanah pertanian secara
Absentee atas sertifikat yang diterbitkannya ?

Pembahasan
A. Larangan Pemilikan Tanah Secara Absentee
Pembentukan Landerform di Indonesia pada umumnya untuk
membebaskan diri dari sisa-sisa penjajahan, dan pada khususnya bagi para
petani dari pemerasan tanah modal asing pada zaman penjajahan, dan
memberikan para petani penggarap tanah dengan penghasilan dan taraf hidup
yang lebih layak, serta tercapainya syarat dalam pembangunan ekonomi
sehingga terciptannya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk
mencapai itu semua “Tujuan Landerform”7 di Indonesia itu harus segera
terlaksana agar taraf hidup masyarakat pertanian bisa terjamin.

Sasaran dari tujuan Landerform yaitu untuk memberikan kepastian


hukum akan hak milik tanah yang telah digarapnya sebagai suatu pengakuan
hak milik perorangan dan apabila tanahnya diambil oleh negara dapat
diberikan ganti rugi. Di dalam prakteknya, pelaksanaan landreform membuat
perubahan dari tekanan politik terhadap sosial ekonomi, sehingga membuat
perubahan seperti pertambahan penduduk disuatu daerah, dan juga distribusi
tanah maupun pendapatan yang di dapat oleh masyarakat. Tanah-tanah yang
menjadi objek landerfrom meliputi:8
1. Tanah-tanah yang melebihi batas maksimum dan tanah-tanah
yang jatuh pada Negara.
2. Tanah-tanah yang pemiliknya bertempat tinggal diluar daerah
sehingga membuat penguasaan tanahnya dinilai tidak ekonomis,
menimbulkan sistem penghisapan, dan juga ditelantarkan, oleh
karena peraturan perundang-undangan tanahnya diambil oleh
Pemerintah.
3. Tanah-tanah milik Swapraja dan bekas Swapraja yang telah
beralih kepada Negara,
4. Tanah-tanah dikuasai langsung oleh Negara selain yang telah
disebut diatas, seperti tanah partikiler, tanah-tanah Hak Guna
Usaha yang telah berakhir masa waktunya, dan tanah-tanah lain
tetapi tidak termasuk di dalamnya tanah wakaf dan tanah untuk
peribadatan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria merupakan sebuah peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar pembaharuan hukum dibidang Agraria, yang dibuat guna
memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan
kesejahteraan secara adil, dimana banyak masyarakat yang telah
memanfaatkan fungsi bumi, air dan ruang angkasa dan juga kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya untuk kelangsungkan kehidupan mereka. Pasal
19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria merupakan ketentuan yang
memberikan Kepastian Hukum di dalamnya, dimana dalam Pasal ini
menyebutkan “Untuk Menjamin kepastian hukum hak atas tanah oleh
Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Sesuai dengan kondisi keagrarian dan tujuannya negara Indonesia,
sehingga tebentuklah Agrarian reform Indonesia yang meliputi 5 program
(Panca Program).9 5 program ini merupakan hal dasar yang mejadi acuan
perubahan peraturan tanah yang ada di Indonesia yang dinilai akan mencapai
tujuan keadilan berdasarkan pancasila.
Ketentuan yang terdapat dalam pasal 10 UUPA mengatakan bahwa
tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri oleh pemiliknya sehingga muncul
ketentuan yang namanya Absentte. Kata Absentee berasal dari Bahasa inggris
yang berarti yang tidak ada atau yang tidak hadir ditempatnya. 10 Peraturan
Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
18 Tahun 2016 Tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian
menyebutkan larangan pemilikan tanah absentee yang terdapat padal pasal 7
ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan
tempat letak tanah dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal perolehan hak,
harus:
a. mengalihkan hak atas tanahnya kepada pihak lain yangberdomisili
di kecamatan tempat letak tanah tersebut; atau
b. pindah ke kecamatan letak tanah tersebut.”11

Larangan dari pemilikan tanah Absentee tentunya mempunyai


tujuan. Hal ini dikemukakan oleh Boedi Harsono, yang mengatakan ”tujuan
adanya larangan ini untuk memberikan hasil dari tanah pertanian untuk
sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah
pertanian, karena dengan pemilik tanah bertempat tinggal di daerah tanah
tersebut maka hasil dari tanah pertanian itu lebih maksimal.”12 Pasal 2 ayat
(1) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pengendalian Penguasaan Tanah
Pertanian juga menyebutkan Maksud dan tujuan adanya larangan pemilikan
tanah pertanian secara absentee yaitu ”untuk mengurangi kesenjangan sosial,
memeratakan kesejahteraan masyarakat dan menjamin ketahanan pangan.”13
Larangan pemilikan tanah secara Absentee ”tidak berlaku bagi
pemilik tanah yang tempat tinggalnya berbatasan langsung dengan kecamatan
tempat letak tanah pertaniannya, dengan syarat jarak tempat pemilik tanah
pertanian itu masih memungkinkannya untuk dapat mengerjakan tanah
pertaniannya dengan baik danefisien.”14 Ketentuan dalam pasal 10 UUPA ini
secara yuridis merupakan “Dwingend Recht” atau sifatnya memaksa karena
menyangkut kepentingan umum.
Larangan Pemilikan Tanah Pertanian secara Absentee dimuat secara
tegas oleh UUPA yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan Landerfrom
yang diatur dalam Pasal 7, Pasal 10, Pasal 17 UUPA. Pasal 7 UUPA berbunyi
“Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Maksud dari pasal ini
yaitu untuk mencegah terjadinya pemilikan tanah yang melampaui batas dari
hak perorangan.
Peraturan larangan mengenai Pemilikan Tanah Pertanian secara
Absentee sudah sangat jelas dilarang, akan tetapi berdasarkan hasil peneltian
dilapangan masih banyak pemilikan tanah secara Absentee dengan bukti
bahwa pemilik tanah pertanian tersebut berdomisili atau bertempat tinggal
diluar wilayah objek tanah tersebut. Faktor-faktor terjadinya Pemilikan Tanah
pertanian secara Absentee disebabkan oleh:
1. Faktor Masyarakat di wilayah itu sendiri yang masih kurang
memahami dan melaksanakan peraturan hukum yang ada. Untuk
menciptakan suatu ketertiban serta kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat tentunya perlu adanya suatu peraturan dalam
masyarakat, dengan adanya peraturan ini maka kehidupan dalam
masyarakat bisa diatur dengan baik. Ada beberapa kesadaran
hukum yang perlu dilakukan serta dipahami oleh masyakat yaitu:
Pengetahuan Hukum, Pemahaman Hukum, Sikap Hukum, dan
Perilaku Hukum.
2. Faktor Budaya, pewarisan adalah suatu faktor budaya dimana hal
ini merupakan pola hidup dari manusia itu sendiri. Pewarisan
merupakan peristiwa hukum yang bisaa terjadi dalam setiap
keluarga, namun dalam pemilikan tanah pertanian Absentee perlu
diketahui oleh masyarakat bahwa adanya larangan dalam peristiwa
hukum ini. Para pewaris seharusnya memperhatikan terlebih dahulu
dimana ahli waris bertempat tinggal, jika si ahli waris bertempat
tinggal diluar kecamatan letak tanah tersebut. Apabila si ahli waris
berada diluar kecamatan, pewaris seharusnya menyarankan terlebih
dahulu kepada ahli waris untuk pindah ke kecamatan letak tanah itu
berada, sehingga ahli waris dapat memilik tanah itu tidak secara
Absentee, ataupun warisan tersebut dialihkan kepada penduduk
yang setempat. Konsep tanah pertanian untuk para petani dan
diolah oleh petani seharusnya berjalan dengan baik dan dapat
ditegakkan, karena banyaknya tanah-tanah pertanian yang terlantar
karena pemilikannya secara Absentee bukan bekerja sebagai petani
melainkan mempunyai sumber penghidupan yang lain.
3. Faktor Hukum, dalam hal ini termasuk larangan pemilikan tanah
secara Absentee dan peraturan dalam pasal 10 UUPA merupakan
peraturan-peraturan yang tidak boleh di kesampingkan dan sifatnya
memaksa. Secara umum peraturan undang-undang yang bentuk dan
isinya dibuat oleh pejabat yang berwenang dibuat untuk mengatur
kehidupan dalam bermasyarakat, sehingga peraturan ini dibuat
untuk dipatuhi oleh masyarakat, Seperti halnya peraturan mengenai
Pemilikan Tanah Pertanian secara Absentee. Peraturan ini
merupakan produk undang-undang yang dibuat sekitar tahun 60-an,
sehingga jika disesuaikan dengan kondisi pada saat ini sudah tidak
sesuai lagi.
4. Faktor Sarana dan Prasarana, tidak mempunyai data yang akurat
tentang pemilikan tanah secara Absentee oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Boalemo dan juga kerja sama atau laporan-laporan yang
bersifat membantu dari aparat Kelurahan/Desa dan Kecamatan
seperti apa yang diutarakan oleh Bapak Budi Taringan Kurangnya
koordinasi merupakan faktor yang sangat besar dapat menimbulkan
pemilikan tanah secara Absentee. Beliau menambah bahwa Kantor
Pertanahan Kabupaten Boalemo memerlukan suatu alat yang dapat
mendeteksi data pemilikan tanah yang terkoneksi dengan seluruh
wilayah Indonesia dan juga kantor catatan sipil yang diharapakan
dapat memberikan data domisili dari masyarakat.
5. Faktor Aparat dan Penegak Hukum, tidak adanya koordinasi antara
aparat desa dan Kantor Pertanahan memberi peluang untuk
memiliki tanah secara Absentee. Seperti yang dikatakan oleh Bapak
Budi Taringan16, bahwa kepala desa tidak mempunyai kewajiban
untuk memberitahukan adanya pemilikan tanah yang sudah
Absentee baik pemiliknya sudah tidak tinggal diwilayah tersebut
ataupun menjual tanah kepada orang di luar kecamatan letak tanah
itu berada, Sehingga Kantor Pertanahan tidak dapat mendeteksi
keberadaan tanah yang dimiliki secara Absentee.
Pemilikan tanah secara absentee terjadi akibat kurangnya
pengetahuan tentang larangan tersebut oleh aparat desa dan juga
PPAT sementara (Camat) yang latar belakang pendidikannya
bukan dari Sarjana Hukum. contohnya, ketika membuat akta, mau
itu jual beli, hibah dan persoalan lain yang berhubungan dengan
tanah hanya bisa mengisi ketentuan baku yang sudah ada tanpa
melihat larangan atau ketentuan yang berlaku.
6. Faktor Ekonomi, dengan adanya pencanangan pemerintah Provinsi
untuk memajukan pertanian yang berada di wilayah potensial nilai
manfaatnya mengundang banyak masyarakat untuk menjadikan
tanah pertanian yang berada di wilayah tersebut sebagai Investasi
masa depan, karena dengan adanya pencanangan dari pemerintah
tersebut, banyak masyarakat berharap hasil dari pertanian tersebut
sangatlah menjanjikan untuk menjamin perekonomian mereka
ataupun di kemudian hari harga tanah tersebut bila dijual akan
mempunyai nilai yang sangat tinggi.

Tanah pertanian merupakan sumber kehidupan bagi para petani


yang merupakan masyarakat agraris. Oleh karena itu, hal yang tidak
mungkin bagi para petani untuk meninggalkan tanah pertaniannya untuk
diterlantarkan ataupun di biarkan jual kepada orang lain baik yang masih
disekitar daerah tanah pertaniannya ataupun kepada orang diluar
kecamatan. Tanah pertanian yang dimiliki secara Absentee pemiliknya
tentunya bukanlah para pertani, tetapi dimiliki orang-orang yang berada
diluar kecamatan letak tanah tersebut yang pekerjaannya bukan sebagai
petani. Tanah itu dibeli bukan dimanfaatkan sesuai dengan
peruntukkannya, tetapi hanya sebagai investasi masa depan bagi mereka.

13
Ketidaktahuan tentang adanya larangan kepemilikan tanah secara
Absentee oleh para petani ini yang membuat terjadinya pemilikan tanah
secara Absentee, hal ini disebabkan oleh adat istiadat serta nilai budaya
yang tertanam dalam masyarakat tani itu sendiri. Contohnya, banyak
keluarga petani yang telah berhasil mendapatkan penghasilan yang dapat
merubah kehidupannya di luar daerahnya, seiringnya waktu akan menetap
di daerah tersebut, sehingga mereka akan menjual tanahnya kepada orang
lain ataupun sanak keluarganya. Ada pula pemilik tanah tersebut tidak
menyerahkan atau mengalihkan tanahnya kepada siapapun dengan alasan
tanah tersebut akan dijadikan investasi masa depan mereka ketika mereka
kembali lagi ke daerahnya bahkan dengan keberhasilannya di luar daerah
yang mendapatkan penghasilan yang banyak, ingin membeli tanah-tanah
pertanian yang ada di daerahnya. hal ini akan berdampak kepada
permasalahan baru yaitu pemilikan tanah yang melampaui batas
maksimum dari seluruh anggota keluarga.
Dalam konteks pembangunan, perencanaan penataan ruang dapat
dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah
untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan sumber daya ruang khususnya
penataan lahan pertanian. Rencana tata ruang yang disusun tersebut
mengandung pengertian perspektif yaitu menuju kepada keadaan ruang
dan masa mendatang.
Rencana pemanfaatan ruang yang telah disusun dalam rencana
tata ruang hanya dapat diwujudkan melalui sejumlah kebijaksanaan yang
bersifat koordinasi pula, antara lain dibidang pertanahan. Hal ini
merupakan suatu keharusan mengingat bahwa sepanjang menyangkut
tanah, maka rencana pemanfaatan ruang pada dasarnya adalah rencana
pemanfaatan tanah. Artinya kegiatan penatagunaan tanah merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan penataan ruang. Dalam
konteks ini, maka penatagunaan tanah mempunyai esensi mendasar yakni
sebagai subsistem penataan ruang.

14
Mengingat pada kenyataannya tanah-tanah telah dikuasai oleh
masyarakat dengan berbagai bentuk hubungan hukum dan dengan
berbagai ragam dan jenis penggunaan serta pemanfaatan tanah, maka
dalam perencanaan tata ruang tersebut, kondisi-kondisi pertanahan
tersebut merupakan faktor yang perlu diperhatikan. Aspek-aspek
pertanahan yang harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
proses perencanaan tata ruang antara lain adalah keadaan penggunaan
tanah saat sekarang, kondisi fisik kemampuan tanah, potensi tanah serta
status penguasaan tanah tersebut.
Dasar kebijaksanaan pertanahan adalah pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 5 tahun 1960 (UUPA).
Pada pasal 2 ayat (1) UUPA ditegaskan lagi bahwa bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Pemerintah telah membuat Pedoman kawasan sentra produksi
pangan (agropolitan) sebagai suatu upaya untuk mengatasi permasalahan
yang dihadapi dalam pengelolaan dan penataan ruang pertanian di
pedesaan. Pengelolaan ruang kawasan sentra produksi pangan nasional dan
daerah merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang bagi
peruntukan pertanian tanaman pangan. Namun demikian, penataan ruang
tersebut belum optimal dirasakan fungsinya terutama dalam rangka
menunjang ketahanan pangan nasional. Hal ini terjadi karena implementasi
penataan ruang seringkali dipandang sebagai wujud peta buta. Harusnya
informasi yang terkandung dalam strategi penataan ruang dapat menjadi
batu pijakan bagi perencanaan pembangunan antar sektor perekonomian.
Penataan ruang yang terjadi saat ini seringkali terjadi konflik
kepentingan antar-sektor. Seperti konflik yang sering terjadi di bidang
pertambangan dengan persoalan lingkungan hidup, lahan pertanian,
kehutanan, prasarana wilayah, hingga konflik dengan masyarakat lokal.
Konflik yang terjadi lebih banyak disebabkan karena perencanaan
penataan ruang yang tidak tepat. Pemanfaatan ruang masih dihadapkan
pada berbagai penyimpangan dari ketentuan dan norma yang seharusnya

15
ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap rencana
tata ruang. Suatu wilayah yang sudah direncanakan sebagai wilayah
peruntukan sebagai lahan pertanian seringkali dikorbankan demi
mendapatkan pemasukan devisa. Padahal sektor pertanian merupakan
leading sektor dalam menunjang ketahanan pangan nasional.
Ketidakselarasan pemanfaatan ruang antara manusia dengan
alam maupun antara kepentingan ekonomi dengan pelestarian lingkungan,
telah berdampak pada berbagai fenomena bencana (water-related disaster)
seperti banjir, longsor dan kekeringan. Hal ini pada dasarnya merupakan
indikasi yang kuat terjadinya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang,
antara kepentingan ekonomi dengan pelestarian lingkungan.
Konversi lahan yang terus terjadi saat ini merupakan realitas
lemahnya penegakan hukum dalam pengimplementasian RTRW yang
telah ditetapkan. Kekurang mampuan menahan diri dari keinginan
membela kepentingan masing-masing secara berlebihan seringkali
menafikan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Seringkali
pula, Pemerintah daerah pun kerap memberikan ijin penggunaan lahan
seperti dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya guna
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

B. Tanggung Jawab Kantor Pertanahan Kabupaten Boalemo Dalam


Mengatasi Terjadinya Pemilikan Tanah Secara Absentee di
Kecamatan Paguyaman.
Kewenangan pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum baik
itu berhubungan dengan hukum publik maupun dengan hukum privat,
harus bersumber dari peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu
sendiri memiliki arti sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, atau juga
memerintah. Menurut Philipus M. Hadjon sendiri membagi cara

16
memperoleh wewenang atas dua cara, yaitu: “atribusi; dan delegasi dan
juga mandat”.17
Badan Pertanahan Nasional mendapatkan wewenang dari
pemerintah melalui peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan
Presiden Nomor 20 Tahun 2015 Tentang Badan Pertanahan Nasional,
sehingga segala sesuatu permasalahan mengenai pertanahan merupakan
tanggung jawab dari Badan Pertanahan Nasional. Pertanggungjawaban ini
juga termasuk dalam hal pemilikan tanah pertaniaan secara Absentee.
Penyelesaian masalah Pemilikan Tanah secara Absentee
merupakan bentuk tanggung jawab dari badan pemerintah yaitu Badan
Pertanahan Nasional dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten
Boalemo. Perbuatan hukum ini merupakan wewenang yang diberikan oleh
pemerintah kepada Badan Pertanahan Nasional yang dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan, dimana dikenal dengan asas
legalitas dalam suatu konsep Negara Hukum. Konsep Negara hukum ini
harus memberikan suatu alat sebagai jaminan bagi organ pemerintah
dalam menjalankan tugasnya. Sehingga tindakan hukum yang dilakukan
pemerintah dilakukan berdasarkan wewenang yang sah dan tanggung
jawab dari wewenang yang dilakukannya.
Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee walaupun
sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang
dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi dan ditegaskan
kembali dalam Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pengendalian
Penguasaan Tanah Pertanian, berdasarkan penelitian dilapangan di
Kecamatan Paguyaman masih terdapat tanah yang pemilikannya dimiliki
secara absentee, sejauh ini Kantor Badan Pertanahanan Kabupaten
Boalemo belum banyak melakukan tindakan untuk menanggulangi
masalah ini, hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya pemilikan tanah
secara absentee di Kecamatan Paguyaman. Menurut Kepala Kantor

17 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, (Surabaya:


Bina Ilmu, 1987), hlm. 2.

17
Pertanahan Kabupaten Boalemo, Bapak Budi Taringan18 mengatakan
bahwa tertib administrasi khusus pemilikan Tanah Pertanian secara
Absentee, apabila memohon untuk hak milik atas tanah tesebut akan dilihat
terlebih dahulu domisili dari pemilik tanah tersebut, dan apabila berada
diluar Kecamatan letak tanah itu akan langsung ditolak oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Boalemo.
Ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada
Pasal 6 ayat (1) Peraturan Meteri Negara Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian
Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, yang
menyebutkan “Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum
administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan
yang berkepentingan atau oleh Pejabat yang berwenang tanpa
19
permohonan.” Cacad hukum administratif yang disebutkan dalam Pasal
106 ayat (1) antara lain:
a. Kesalahan prosedur;
b. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
c. Kesalahan subjek hak;
d. Kesalahan objek hak;
e. Kesalahan jenis hak;
f. Kesalahan perhitungan luas;
g. Terdapat tumpang tindis hak atas tanah;
h. Data yuridis atau data fisik tidak benar; atau
20
i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukun administratif.
Penyelesaian masalah pertanahan merupakan kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh Badan Pertanahan nasional karena telah diberikan
kewenangan oleh pemerintah melalui Pertauran Pemerintah Nomor 20
tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional dan kemudian dijabarkan

18 Wawancara dengan Bapak Budi Taringan, Op.cit.


19 Pasal 6 ayat (1) Peraturan Meteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara Dan Hak Pengelolaan.
20 Pasal 107 Peraturan Meteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara
Dan Hak Pengelolaan.

18
dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penagganan
Kasus Pertanahan. Kantor Pertanahan Kabupaten Boalemo bertannggung
jawab dalam mengatasi kepemilkan tanah secara Absentee yang
merupakan tindak lanjut dari wewenang yang dimiliki oleh Badan
Pertanahan Nasional yang berdasarkan Pasal 2 ayat (1b) Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian Dan Penagganan Kasus Pertanahan yang menyatakan Badan
Pertanahan harus “Meyelesaikan kasus pertanahan yang disampaikan
kepada kepala Badan Pertanahan Nasional agar tanah dapat dikuasai,
dimiliki, dipergunakan dan dimanfaatkan oleh pemiliknya serta dalam
rangka kepastian dan perlindungan hukum”.21
Badan pertanahan Nasional juga bertanggung jawab atas segala
persoalan menganai tanah dan tentu juga mengenai pemilikan tanah
Pertanian Absentee yang telah dimiliki oleh orang diluar Wilayah
Kecamatan letak tanah itu berada. Kantor Pertanahan Kabupaten Boalemo
telah melakukan upaya untuk terciptanya tertib hukum dengan cara
melakukan penyuluhan di setiap Kecamatan yang berada di kabupaten
Boalemo yang dilakukan 3 (tiga) kali dalam setahun dan juga himbauan
yang terakhir dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Kabupaten Boalemo
berupa surat pemberitahuan Nomor 230/ 300-75.02/VII/2015 tanggal 28
Juli 2015 yang ditujukan kepada PPAT/ PPAT sementara (camat) untuk
memperhatikan ketentuan pemilikan tanah secara Absentee dalam
pembuatan permohonan pemindahan hak yang pemegang hak-nya
berstatus absentee atau mengakibatkan pemegang hak-nya menjadi
pemegang hak yang absentee.
Penyuluhan dan himbau ini bertujuan untuk mengumpulkan
informasi dan mencegah terjadi pemilikan tanah pertanian secara absentee.
Upaya yang dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten Boalemo ini
diharapkan agar masyarakat dan aparat yang terkait dapat menerapkan dan
mematuhi hukum pertanahan yang berlaku, serta khusus bagi masyarakat

21 Pasal 2 ayat (1b) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penagganan Kasus Pertanahan.

19
agar selalu menerapkan displin terhadap hukum dan tidak menyimpang
dari peraturan yang ada.
Bapak Budi Taringan juga berharap adanya suatu alat yang dapat
mendeteksi secara terus menerus mengenai pemilikan tanah diseluruh
Indonesia, misalnya bisa bekerja sama dengan Kantor Catatan Sipil untuk
dapat mengetahui domisili pemilik tanah dengan cepat dan tepat, serta
dapat diakses dan terkoneksi dengan seluruh Kantor Pertanahan seluruh
Indonesia. Tidak hanya itu, dia juga mengatakan bahwa tertib permasalah
pemilikan tanah ini tidak akan terselesaikan apabila tidak ada kerjasama
dari masyarakat untuk memberitahukan/ melaporkan tentang adanya
pemilik tanah yang berstatus absentee.
Berdasarkan hasil Penelitian di Lapangan, penerapan ini belum bisa
diterapkan dengan tegas kepada pemilik tanah pertanian secara absentee
karena terdapat berbagai hambatan yang terjadi dilapangan, meskipun
peraturannya sudah sangatlah jelas. Sehingga penegakan terhadap larangan
pemilikan tanah pertanian secara absentee tidak tegas. Dengan keadaan saat
ini saksi yang diberikan sudah tidak relevan lagi karena di anggap terlalu
ringan sehingga cenderung mudah dilanggar, hal ini disebabkan pembuatan
Peraturannya belum menyesuaikan keadaan pada saat itu dan sangatlah
berbeda jauh dengan keadaan saat ini dan meskipun sudah dikeluarkan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian Dan Penagganan Kasus Pertanahan sebagai
penegasan dari peraturan sebelumnya, namun ketentuan ini tidak memberikan
sanksi hukum bagi pemilik tanah Absentee yang seharusnyadisesuaikan
dengan keadaan saat ini, melainkan penerapan sanksi hukumannya masih
mengikuti penerapan peraturan yang lama.

Simpulan
Larangan pemilikan tanah Pertanian secara absentee ternyata belum
dapat dilaksanakan secara efektif khususnya di Kabupaten Boalemo meskipun
laangan ini sudah diatur dalam Pasal 7, 10, 17, dan 18 Undang-Undang Pokok
Agraria yang kemudian diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 224

20
Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Rugi.
Peraturan untuk larangan ini juga diatur dalam peraturan tambahanya yang
terdapat dalam pasal 3a sampai dengan 3e tentang peraturan yang sama nomor 41
tahun 1964 dan selanjutnya ditegaskan kembali dengan Peraturan Menteri Agraria
Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016
Tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian. Hal ini dapat dibuktikan
dengan masih adanya pemilikan tanah pertanian secara absentee di desa
Molombulahe, Bonggo Nol dan Bonggo Tua yang berada di Kecamatan
Paguyaman. Penyebab terjadinya pemilikan tanah pertanian secara absentee yaitu
dengan beberapa faktor-faktor sebagai berikut:
1. Kurangnya kesadaran Hukum dari masyarakat, khusunya masayrakat
pedesaan yang beradaa di Kecamatan Paguyaman yang kurang
memahami dan tidak mengetahui Hukum yang berlaku, sehingga
melakukan jual beli tanah pertanian yang dilakukan dengan jual beli
dibawah tangan dan tidak dilakukan dihadapan PPAT/ PPAT sementara
(Camat) serta peralihannya tidak bisa di daftarkan di Kantor Pertanahan,
hal ini membuat banyaknya pemilikan tanah yang pemiliknya memiliki
secara absentee tidak diketahui oleh Badan Pertanahan Kabupaten,
Khususnya Badan Pertanahan Kabupaten Boalemo.
2. Budaya juga dapa menimbulkan pemilikan tanah pertanian secara
absentee yang berada di Kecamatan Paguyaman, seperti adanya
pewarisan yang tidak melihat ketentuan yang ada, khususnya dalam
pewarisan tanah. Pemilik yang merasa memiliki seutuhnya tanah
miliknya yang dimiliknya secara turun temurun, sehingga dia berprinsip
tanahnya mau di jual atau diperuntukkan untuk apa tanahnya
merupakkan hak yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa saja.
3. Faktor selanjutnya yaitu faktor sarana dan prasarana yang dimiliki oleh
Kantor Pertanahan, Khususnya Kantor Pertanahan Kabupaten Boalemo,
seperti data yang akurat atau alat yang dapat mendeteksi secara dini dan
terkoneksi secara nasional data-data pemilikan tanah pertanian yang
dimiliki secara absentee.

21
4. Faktor Aparat dan Penegak Hukum khusunya bagi PPAT sementara
(Camat) yang latar belakang pendidikannya bukan dari Sarjana Hukum,
sehingga kurang mengetahui peraturan ataupun laranagn pemilikan tanah
pertanian secara Absentee.
5. Nilai Ekonomi dari suatu tanah yang dapat membuat masyarakat atau
pemilik tanah mendapatkan jaminan hidup di kemudian hari bukan hanya
untuk diri sendiri melainkan juga untuk keturunan keluarganya. Sehingga
banyak masyarakat yang menginginkan tanah yang cukup luas dan tidak
jarang tanah-tanah pertanian yang berahli fungsi menjadi perumahan atau
menjadi tempat industri.

Peran dan Tanggung Jawab Kantor Badan Pertanahan Kabupaten


Boalemo dalam mengatasi pemilikan tanah pertanian secara absentee yaitu
dengan jalan:
1. Penertiban administrasi melalui kerja sama dengan aparat setempat yaitu
Kepala Desa, PPAT/ PPAT Sementara (Camat) mengenai sertifikat atas
tanah, pemberian hak atas tanah dan hal lain dalam pemberian hak
penguasaan atas tanah agar tidak terjadi cacad hukum administrasi baik
itu kesalahan prosedur, kesalahan objek hak, kesalahan subjek hak,
kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan atau kesalahan
lainnya yang bersifat hukun administratif.
2. Melakukan penyuluhan hukum demi terciptanya tertib hukum yang
dilakukan secara terus menerus kepada masyarakat dan aparat setempat
yang berkaitan dengan permasalahan tanah. Timbulnya pemilikan tanah
pertanian absentee di Kecamatan Paguyaman bukan karena tidak adanya
peran dan tanggung jawab dari Kantor Pertanahan Kabupaten Boalemo,
akan tetapi Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Boalemo tidak memiliki
kewenangan uji materiil atas suatu pemilikan hak atas tanah dan
pembatalan hak atas tanah tanpa ada laporan atau permohonan terlebih
dahulu dari yang berkepentingan atau pejabat setempat, karena Kantor
Badan Pertanahan Kabupaten Boalemo berpedoman pada Peraturan
Meteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9

22
Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian Dan Penagganan Kasus Pertanahan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Echols, dkk. Kamus Inggris-Indonesia (an English-Indonesian Dictionary).
Jakarta: Gramedia, 2012.
Gautama, Sudargo. Pengertian Tentang Negara Hukum. Bandung: Alumni, 1973.
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. Surabaya:
Bina Ilmu, 1987.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Nasional (sejarah pembentukan undang-undang
pokok agrarian, isi dan pelaksanaanya). Jakarta: Jambatan, 2008.
Hutagalung, Arie Sukanti. Hukum Pertanahan Di Belanda Dan Indonesia.
Jakarta: Pustaka Larasan, 2012.
Muchsin, H. dkk. Hukum Agraria Indonesia Dalam Presfektif Sejara. Bandung:
Refika Aditama, 2010.
Supriadi. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian Dan Penagganan Kasus Pertanahan.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9
Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak
Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.

24

Anda mungkin juga menyukai