Makalah Hukum Agraria.a4
Makalah Hukum Agraria.a4
Makalah Hukum Agraria.a4
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan tugas makalah ini dapat diselesaikan. Tugas makalah ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata kuliah Humas Pemerintahan dengan judul Kasus Cilacap, Landreform Terbesar Era Reformasi Demikianlah tugas makalah ini disusun semuga bermanfaat, agar dapat memenuhi tugas mata kuliah Hukum Agraria.
Penyusun
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris, tanah merupakan hal yang mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat agraris. Karena Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagian besar rakyatnya menggantungkan kehidupannya pada tanah, dalam hal ini berada pada bidang pertanian. Masalah tanah, terutama penguasaan tanah merupakan masalah klasik yang terjadi dalam masyarakat agraris. Dalam permasalahan tersebut salah satu pemecahannya adalah Landreform. Landreform dianggap mampu memecahkan masalah agrarian yang ada. Landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu land dan reform. Land artinya tanah, sedang reform artinya perombakan atau perubahan untuk membangun atau membentuk atau menata kembali struktur pertanian baru. Untuk pelaksanaan prinsip-prinsip landreform yang sudah digariskan dalam UUPA diperlukan peraturan palaksanaan, baik yang berupa Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah. Atas dasar ketentuan UUPA diterbitkan peraturan perundangan landreform yang bertujuan untuk mengadakan penataan penguasaan tanah dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan rakyat khususnya para petani kecil secara adil dan merata, sehingga terbuka kesempatan untuk mengembangkan diri mencapai kemakmuran sebagai bagian dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam pengertian lain landreform berarti program untuk melakukan tindakan-tindakan yang saling berhubungan satu sama lain, yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang-penghalang di bidang sosial, ekonomi yang timbul dari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan. Banyaknya
penghalang-penghalang sosial di bidang pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat, mendorong perlunya dilakukan pembaruan agraria di negeri ini. Seiring dengan perkembangan zaman, pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam masalah agraria di Indonesia sudah mulai meninggalkan makna dari diundangkannya UUPA. Sebagaimana negara diwajibkan untuk mengatur pemilikan tanah dan
memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Namun, dalam kenyataannya tujuan tersebut sudah dilupakan, banyak masyarakat kita khususnya petani, tidak merasakan kemakmuran di bumi Indonesia. Masih banyak petani yang menggarap tanah yang bukan miliknya sendiri. Sangat miris melihat pada dasarnya bumi Indonesia merupakan Negara agraris yang mempunyai lahan yang luas, subur dan seharusnya diperuntukkan, diolah dan digarap oleh para petani Indonesia. Sehingga penulis tergerak untuk mengangkat masalah ini menjadi karya tulis yang nantinya diharapkan dapat membantu perkembangan agraria di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan serta penjelasan yang dikemukakan dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut : 1. Apa sajakah obyek tanah dalam landreform di Indonesia? 2. Apa sajakah organisasi pelaksana dari program Landreform? 3. Mengapa landreform mengalami berbagai kendala dalam implementasinya? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui obyek tanah dalam landreform di Indonesia 2. Untuk mengetahui organisasi pelaksana dari program Landreform 3. Untuk mengetahui mengapa landreform mengalami berbagai kendala dalam implementasinya
BAB 2 . PEMBAHASAN
3.1
Obyek Tanah Dalam Landreform di Indonesia Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa landreform
merupakan suatu program pemerintah dalam rangka pemerataan kehidupan masyarakat, baik itu dalam hal pendapatan maupun penguasaan tanah. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, dinyatakan bahwa tanah-tanah yang akan dibagikan dalam rangka landreform adalah : 1. Tanah kelebihan dari batas maksimum : Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum, karena berhubungan dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya di daerah-daerah yang padat penduduknya, hal itu menyebabkan sempitnya, kalau tidak dapat dikatakan hilangnya sama sekali kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri. Pasal 17 merupakan pelaksanaan dari ketentuan asas dalam pasal 7 ayat 1 dan 2. kemudian pada ayat 3 bahwa tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut akan diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. 2. Tanah-tanah absentee (guntai) : Pemilikan tanah secara absentee dipahami sebagai pemilikan tanah pertanian yang pemiliknya berada diluar kecamatan yang berbeda dengan lokasi tanah pertanian yang dimaksud. Pemilikan tanah yang seperti ini dilarang oleh undang-undang, karena pemilikan tanah secara absentee tersebut dianggap tidak efektif sebab pemilk tanah tersebut berada jauh di luar kecamatan yang berbeda dengan pemiliknya, dan pemiliknya tidak dapat mengerjakan tanah tersebut secara aktif. Larangan absentee tidak berlaku apabila tempat tinggal pemilik berbatasan langsung dengan kecamatan tempat letak tanah walaupun
berbeda kecamatan, karena walaupun berbeda kecamatan masih dimungkinkan untuk mengerjakan tanahnya secara efisien. Kemudian juga larangan tersebut tidak berlaku bagi pemilik tanah yang sedang melaksanakan tugas Negara. Materi yang terkandung dalam larangan tersebut ialah diharapkan agar penguasaan tanah itu dapat dimanfaatkan secara aktif agar tidak ada tanah yang tersia-siakan, karena masih banyak petani yang benar-benar membutuhkan tanah untuk penghidupannya. 3. Tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada Negara : Yang dimaksudkan tanah swapraja atau bekas swapraja yang beralih kepada Negara adalah selain domein swapraja dan bekas swapraja yang dengan berlakunya UUPA menjadi hapus dan beralih ke Negara, juga tanah-tanah yang benar-benar dimiliki oleh swapraja, baik yang diusahakan dengan cara sewamenyewa, bagi hasil dan lain-lain sebagainya ataupun diperuntukkan tanah jabatan dan lain-lainnya. 4. Tanah lain yang dikuasai langsung oleh Negara. Tanah-tanah lain dalam hal ini seperti bekas tanah-tanah partikelir, tanah-tanah dengan HGU yang telah berakhir waktunya, dihentikan atau dibatalkan, tanahtanah kehutanan yang diserahkan kembali kepada Negara dan lain-lain.
3.1
Organisasi pelaksana dari program Landreform Gunawan Wiradi menyatakan bahwa landreform mengacu pada penataan
kembali susunan penguasaan tanah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruh tani tak bertanah. Demi terselenggaranya program Landreform dibutuhkan pihak-pihak pelaksana untuk menjamin terlaksananya serta terwujudnya tujuan yang telah ditentukan. Berikut merupakan organisasi pelaksana Landreform, yakni : 1) Panitia Pertimbangan Landreform Penyelenggaraan landreform menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah (semua departemen). Dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugasnya, pemerintah pada permulaan pelaksanaan landreform membentuk Panitia Landreform di Tingkat Pusat, Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat Il, Kecamatan dan Desa. Panitia ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No.
131 Tahun 1961 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1964 dengan Keputusan Presiden No. 263 Tahun 1964. Dalam perkembangannya kepanitiaan ini tidak memenuhi harapan, sehingga dicabut dan sekaligus diganti dengan organisasi baru yang disebut Organisasi dan Tata Kerja. Penyelenggaraan Landreform, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1980. Perubahan penting dalam Keputusan Presiden ini adalah mengenai semua dan wewenang Panitia Landreform beralih dan dilaksanakan masing-masing oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur Kepala Daerah Propinsi, Bupati/Walikota Kepala Daerah Kabupaten/Kota, Camat dan Kepala Desa/Lurah yang bersangkutan. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, mereka dibantu oleh sebuah panitia yang disebut Panitia Pertimbangan Landreform. Panitia ini dibentuk di tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota. Tugas panitia ini adalah memberi saran dan pertimbangan mengenai segala yang berhubungan dengan penyelenggaraan landreform. Anggota panitia ini terdiri dari unsur/wakil instansi pemerintah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan landreform ditambah wakil dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). 2) Pengadilan Landreform Untuk menyelesaikan perkara-perkara yang timbul sebagai akibat
pelaksanaan landreform dibentuklah Pengadilan Landreform berdasarkan UU No. 1 Tahun 1964. Tetapi kenyataannya pengadilan ini tidak dapat bekerja secara efektif. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1970 Pengadilan Landreform ini dihapus. Apabila terjadi sengketa yang berkenaan dengan Landreform, maka penyelesaiannya dilakukan melalui: (a) Peradilan Umum, berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 apabila sengketa itu bersifat perdata atau pidana. (b) Aparat pelaksana landreform apabila mengenai sengketa administrasi. 3) Yayasan Dana Landreform Yayasan dana landreform merupakan badan otonom yang bertujuan untuk memperlancar pengurusan keuangan dalam rangka pelaksanaan landreform. Yayasan ini dibentuk berdasarkan Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun
1961 dan telah diambil alih oleh Departemen Keuangan sejak tahun 1984. Selanjutnya sumber keuangan yayasan landreform ini adalah: (a) Dana pemerintah (b) Pungutan 10% biaya administrasi dari harga tanah yang harus dibayar oleh petani yang menerima hak milik atas tanah redistribusi (c) Hasil sewa dan penjualan tanah dalam rangka pelaksanaan landreform (d) Lain-lain sumber yang sah yang menjadi wewenang Direktorat Agraria (sekarang Kantor BPN).
3.1
Kendala landreform dalam implementasinya Menurut buku Politik Hukum Agraria, yang disusun oleh Dr. Herawan
Sauni.,S.H.,M.S., pada asasnya yang menjadi akar permasalahan penyebab tidak berjalannya ketentuan landreform di Indonesia adalah factor politis, baik yang berkaitan dengan kondisi politik yang terjadi di Indonesia, maupun perubahan strategi pembangunan yang terjadi di Indonesia pasca UUPA. Situasi dan kondisi politik yang terjadi di Indonesia khususnya setelah terjadinya pemberontakan G.30 S PKI tahun 1965 sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan UUPA khususnya program landreform, yang pada saat itu telah berjalan lebih kurang 3 tahun. Sejak 1965 sampai dengan 1967 praktis program landreform tersebut tidak berjalan karena ada semacam stigma bahwa program landreform identik dengan Partai Komunis Indonesia. Pengaruh peristiwa G.30 S PKI 1965 yang kemudian memunculkan stigma bahwa landreform dan UUPA sebagai produk komunis menyebabkan program landreform Indonesia tidak dapat berjalan dengan baik. Sedangkan pada perubahan strategi pembangunan agraria, adanya PJP I (Pambangunan Jangka Panjang Pertama) yang dalam implementasinya dijabarkan melalui pembangunan jangka menengah (lima tahunan) dan jangka pendek (tahunan).
Kasus Cilacap, Landreform Terbesar Era Reformasi JUMLAH sengketa tanah yang tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) sampai Januari 2010, totalnya ada 9.471 kasus konflik. Menurut Kepala BPN RI Joyo Winoto, dari jumlah tersebut, 4.578 kasus terselesaikan. Sisanya, 2.913 kasus konflik dan perkara pertanahan, masih menunggu penyelesaian.
Di antara sengketa itu, BPN menargetkan 210.500 bidang dengan luas total 142.159 ha siap didistribusikan di 21 provinsi, tersebar di 389 desa. Diredistribusi adalah dinyatakan sebagai reforma agraria. Inti dari reforma agraria adalah landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah. Pada masa pemerintahan SBY-Boediono, khusus di Jawa Tengah sendiri, ada dua kabupaten yang tanah landreform itu sudah diredistribusikan, yakni Kabupaten Batang dan Kabupaten Cilacap. Di Batang, melalui pendampingan pegiat landreform Omah Tani Kabupaten dan BPN, akhirnya terdistribusi tanah 32,7 ha ke 144 keluarga di Desa Kuripan, Kecamatan Subah,Semula tanah itu diklaim milik PT Perkebunan Nusantara IX. Proses sengketa tanah sampai penentuan reforma agraria di Kuripan ini terjadi setelah antara PTPN IX dan warga bersengketa selama 20. BPN menerbitkan sertifikat gratis. Program redistribusi lahan landreform di Batang dikukuhkan dalam peringatan 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono. Bertepatan dengan 50 Tahun Puncak Peringatan Agraria Nasional di halaman Istana Bogor, Jabar, 21 Oktober lalu, Presiden SBY secara simbolik menyerahkan sertifikat lahan seluas 291 ha untuk 5.141 keluarga di Kecapatan Cipari Cilacap yang ada di Desa Mekarsari, Sidasari, Caruy, Kutasari, dan Desa Karangreja. Luas rata-rata lahan garapan yang diterima warga adalah 500 m2. Penentuan reforma agraria di Cilacap terjadi setelah sengketa warga dengan PT Rumpun Sari Antan (RSA) selama 20-an, merupakan terbesar sepanjang sejarah Indonesia pascareformasi. Keberhasilan sampai ke arah itu, merupakan kerja barang kalangan pegiat, BPN, dan Komisi II DPR. Termasuk perjuangan penduduk sendiri serta kerelaan perusahaan perkebunan itu melepaskan sebagian hak guna usahanya (HGU), dan pihak terkait lainnya. Landreform tidak diartikan hanya sebatas bagi-bagi tanah. Namun, dalam penggarapan lahan tersebut, masing-masing warga secara berkelompok diberi pemberdayaan akses-akses ekonomi terhadap lahan garapannya. Bahkan
pemberdayaannya sampai melibatkan pihak ketiga, misalnya dalam hal pembibitan sampai distribusi hasil pertanian/perkebunannya. Menurut Boedi Harsono (dalam Hukum Agraria Indonesia: Sejarah
landreform di Indonesia meliputi enam hal penting. Yakni 1) pembatasan luas maksimum penguasaan tanah, (2) larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai. Ketiga, redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja, dan tanah-tanah negara. Berikutnya, pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan, (5) pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian. Terakhir, penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
Riwayat Landreform Dalam konteks Indonesia, di era Orde Baru istilah reforma agraria selalu dihubungkan dengan stigma komunis. Menurut anggota Komisi II DPR Budiman Sudjatmiko MSc MPhil, itu merupakan salah kaprah sehingga tidak berdasar. Hal itu sengaja disebarkan Orde Baru untuk mencegah pelaksanaan reforma agraria karena strategi pembangunan yang berorientasi modalisme di mana pembangunan
membutuhkan lahan-lahan itu untuk perkebunan-perkebunan modal besar, asing maupun dalam negeri. Padahal di sejumlah negara nonkomunis, kata tokoh demokrasi ini, reforma agraria pun dilakukan, seperti Jepang dan Taiwan. Di Tanah Air, reforma agraria secara substansial dimuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang lahir di masa Orde Lama. UUPA mengakui secara nyata kepemilikan pribadi, ini menunjukkan bahwa UUPA jelas tidak identik dengan komunis. Reforma agraria era mutakhir, jelas Budiman, telah menghadapi empat problem mendasar. Pertama, tumpang-tindih peraturan yang disebabkan sektoralisme peraturan perundang-undangan. Satu sama lain saling bertolak belakang dan bahkan bertentangan baik terhadap UUD 45 maupun UUPA dan UU lain. Kedua, orientasi pemerintah, baik pusat maupun daerah yang menggenjot kemanfaatan dan distribusi agraria tanpa bicara soal pemerataan dan penyelesaian konflik. Ketiga, egoisme dalam sektor-sektor birokrasi yang luar biasa, sehingga menyebabkan satu sama lain tidak sinergis bahkan juga sabotase terhadap program yang tidak berkenan di sektornya. Keempat, problem kekuasaan riil dan konkret di tingkat
bawah, di desa-desa, di mana praktik reforma agraria dilakukan. Mereka boleh jadi elite desa, partai di tingkat lokal, makelar tanah, dan seterusnya yang siap menyabotase praktik penyelenggaraan reforma agraria. Menurut pegiat landreform Handoko Wibowo SH dari Divisi Hukum Omah Tani Kabupaten Batang, dalam konteks peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat, dapat dikatakan hampir semua negara industri maju telah melakukan reforma agraria sebelum melaksanakan industrialisasinya. Pengalaman pelaksanaan reforma agraria di sejumlah negara Asia (seperti Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan China), Afrika, dan Amerika Latin, menunjukkan setidaknya ada 10 aspek utama yang perlu diurus kelengkapannya oleh penyelenggara negara bila reforma agraria mau berhasil, yakni mandat konstitusional, hukum agraria dan penegakannya, organisasi pelaksana, sistem administrasi agraria, pengadilan, desain rencana dan evaluasi, pendidikan dan latihan, pembiayaan, pemerintahan lokal, dan partisipasi organisasi petani. (Yunantyo Adi S-20)
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan Landreform di Indonesia memberikan ganti rugi yang layak di Indonesia. Di Indonesia tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah diredistribusikan kepada para petani penggarap dengan Hak Milik yang dipungut uang pemasukan. Landreform Indonesia bertujuan untuk memperluas pemilikan tanah para petani kecil, petani penggarap dan buruh tani. Dalam perkembangan pelaksanaan Landreform di Indonesia mengalami stagnasi, tersendat-sendat dan tidak tuntas, dimana hambatan utama pelaksanaan Landreform adalah lemahnya kemauan politik dari Pemerintah, yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijakan ini kurang memberikan keberpihakan pada masyarakat golongan ekonomi lemah, termasuk petani yang memang membutuhkan tanah. Fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan masih terjadinya penumpukan tanah oleh pihak tertentu. Kelangkaan tanah menyebabkan tanah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
3.2 Saran Perkembangan masyarakat pada saat ini serta kebutuhan akan tanah yang meningkat, program Landreform harus dituntaskan pelaksanaannya yang tentu harus didukung oleh kemauan politik Permerintah, oleh karena itu kebijakan pertanahan perlu untuk diperbaharui sesuai konsep pembaharuan agraria dan paradigma baru yang mendukung ekonomi kerakyatan, demokratis dan partisipatif. Agar dapat dicapai hasil sebagaimana yang diharapkan, maka usaha itu perlu disertai tindakan-tindakan lainnya, misalnya pembukuan tanah, pembukaan tanah pertanian baru, industrialisasi, transmigrasi, usaha untuk mempertinggi produktivitas, ketersediaan yang cukup dan dapat diperoleh pada waktunya dengan mudah dan murah
serta tindakan-tindakan lainnya. Selain itu juga diperlukan adanya penegakan hukum yang pasti dan kesadaran akan aturan yang berlaku dari masing-masing anggota masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Berry, David.1995. Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Boedi, Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, isi dan pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan. Cangara,Hafied. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cutlip, Scott. Center, Allen. Broom, Glen. 2006. Effective Public Relations. Jakarta: Persada Media. Herawan, Sauni. 2006. Politik Hukum Agraria Kajian Atas Landreform Dalam rangka Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia. Bengkulu : Pustaka Bangsa Press.