Unsur Dan Syarat Wakaf
Unsur Dan Syarat Wakaf
Unsur Dan Syarat Wakaf
Oleh:
Irham Syarhuddin
Dosen:
Wakaf merupakan pranata hukum yang berasal dari hukum syariah, sehingga dalam
pelaksnaannya diberlakukan rukun dan syarat yang berlaku. Baik bagi yang memberi wakaf
maupun yang bertanggung jawab mengelola wakaf tersebut.
Makalah ini akan membahas mengenai hukum syarat dan unsur wakaf secara legitimasi
syariat, kemudian legitimasi secara undang-undang yang berlaku tentang wakaf.
Penulis menyadari bahwa di antara pembaca memiliki kapasitas yang lebih tinggi dan
mumpuni dibandingkan dengan penulis. Maka dari itu, penulis berharap masukan dan kritik
yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
Penulis
Serang, November 2022
i
Daftar Isi
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai aset, tanah mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan. Tak heran,
banyak sekali kasus-kasus sengketa yang pada umumnya terkait dengan status hak atas tanah.
Hal ini pada dasarnya sudah disadari betul oleh para Pendiri Bangsa sejak awal kemerdekaan
sehingga masalah pertanahan menjadi prime act pada waktu itu. Setelah dibahas dalam jangka
waktu yang cukup panjang kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria atau juga dikenal dengan UUPA sebagai dasar pengaturan pertanahan di
Indonesia.
Wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk
di Indonesia. Selain di Indonesia perkembangan Wakaf di Negara-negara Timur Tengah
juga sangat baik, bahkan disana Wakaf di atur sedemikian rupa sehingga sanat dirasakan
manfaatnya bagi masyarakat di Negara-negara tersebut. Sebagai salah satu Lembaga
keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial ekonomi, wakaf telah banyak
membantu pembangunan secara menyeluruh di Indonesia dan berbagai Negara lainnya,
baik dalam pembangunan sumber daya manusia maupun dalam pembangunan sumber
daya sosial. Karena pada kenyataannya, sebagian besar rumah ibadah, tempat
pemakaman, peguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun
di atas tanah wakaf.
mendekatkan diri kepada Allah yang ganjarannya terbawa sampai wakif meninggal
dunia. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita memahami dan mempelajari
semua hal yang berkitan dengan wakaf, agar tidak terjadi kesalahan pemahaman tentang
wakaf di Masyarakat luas karena, wakaf menyangkut hajat hidup orang banyak. Wakaf
memiliki banyak kelebihan baik bagi wakif yang berupa ganjaran yang tiada henti, bagi
penerima wakaf terebut karena dengan Mauquf beban dan kesusahan hidupnya sedikit
teratasi, dan juga bagi Nadzir.
Dengan adanya hukum positif yang telah diterbitkan oleh pemerintah, sehingga secara
legalitas bahwa wakaf menjadi bagian pranata hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu,
pembahasan mengenai unsur dan syarat wakaf menurut para ulama dan legalitas peraturan
pemerintah di Indonesia.
Menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk
bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta
tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga
menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia
melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa
memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual,
dihibahkan, ataupun diwariskan.
Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas
kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan
manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi
dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf
(wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah
meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang
dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri.
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil
manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi
manfaat tersebut walaupun sesaat.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, “Wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan Ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut Syariah”.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah
satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan
bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah
harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah,
4
5
bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid,
mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.1
Wakaf dinyatakan syah apabila syarat dan rukunya telah terpenuhi. Rukun
wakaf ada empat (yaitu):
1. Wakif (orang yang mewakafkan harta).
2. Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan).
3. Mauquf ‘alaih (pihak yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf).
4. Sighat (pernyataan atau ikhrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan
sebagian harta bendanya).2
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan rukun wakaf. Perbedaan
tersebut merupakan implikasi dari perbedaan mereka memandang substansi wakaf.
Jika pengikut Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan Hanabilah memandang bahwa
rukun wakaf terdiri dari waqif, mauquf alaih, mauquf bih dan sighat, maka hal ini
berbeda dengan pandangan pengikut Hanafi yang mengungkapkan bahwa rukun
wakaf hanyalah sebatas sighat (lafal) yang menunjukkan makna/ substansi wakaf.
a. Wakif;
b. Nadzir;
d. Ikrar wakaf;
1
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2009), hlm.65.
2
Farida Prihatin, Fiqh Wakaf,(Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen RI ,2007),
h. 21.
6
1. Syarat Wakif
Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan
hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan
hartanya. Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria yaitu:
a. Merdeka
Wakif yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak
sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara
memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba
sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki
adalah kepunyaan tuannya. Namun demikian, Abu Zahrah
mengatakan bahwa para fuqaha sepakat, budak itu boleh
mewakafkan hartanya apabila ada izin dari tuannya.
b. Berakal sehat
Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya,
sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan
akad serta tindakan lainnya. Demikian juga wakaf orang lemah
mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau
kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan
tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya.
c. Dewasa (baligh)
Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh),
hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan
akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.
d. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)
Orang yang berad di bawah pengampuan dipandang tidak cakap
untuk berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan
hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan ihtisan, wakaf orang yang
berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama
hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah
untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk
7
sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya supaya tidak
menjadi beban orang lain.
3
Farida Prihatin, ibid, hlm26.
8
4
Farida Prihatin, ibid, hlm.37
10
5
Farida Prihatin, Ibid,hlm. 55.
11
Tata cara Perwakafan Tanah dan Pendaftarannya : (1) calon wakif harus
melengkapi surat-surat yang diperlukan bagi perwakafan tanah yaitu sertifikat
tanah, surat keteranagan dari Kepala desa dan Camat bahwa tanah tersebut benar-
benar milik wakif dan bebas dari sengketa. (2) wakif mengucapkan ijab kepada
nadzir didepan kepala KUA dan dihadiri minimal dua orang saksi. (3) wakif yang
tidak dapat hadir karena sakit parah dapat menuliskan ijabnya lalu di bacakan
didepan nadzir dan kepala KUA. (4) Pejabat membuat Akta Ikrar wakaf. (5) kapala
KUA atas mana nadzir mengajukan permohonan pendaftaran tanah wakaf kepada
Bupati atau Kepala Daerah. (6) dengan telah didaftarkan dan dicatatnya tanah
wakaf tersebut dalam sertifikat tanah milik yang diwakafkan, maka tanah wakaf itu
telah mempunyai pembuktian yang kuat.
6
Tika Mardiana. Rukun dan Syarat Wakaf. 2014. UNY. Yogyakarta: hal:10
BAB III
KESIMPULAN
1. Wakaf adalah menahan harta yang diberikan Allah yang dikelola oleh suatu lembaga dan
hal tersebut sangat dianjurkan oleh ajaran Islam karena sebagai saran mendekatkan diri
kepada Allah yang ganjarannya terbawa sampai si pewakaf meninggal dunia.
2. Rukun wakaf adalah : Pewakaf (wakif) adalah Orang yang mewakafkan hartanya, Harta
yang Diwakafkan (Mauquf), Tujuan Wakaf (Mauquf ‘alaih) dan yang terakhir adalah Lafal
atau pernyataan (sighat) wakif contoh sighat : “saya wakafkan tanah milik saya seluas 200
meter persegi ini, agar dibangun Masjid di atasnya”.
3. Syarat-syarat sahnya perwakafan sesorang adalah sebagai berikut : (a) Perwakafan benda itu
tidak dibatasi oleh waktu tertentu melainkan selamanya. (b) Tujuannya harus jelas dan
disebutkan ketika mengucapkan ijab. (c) Wakaf harus segera dilaksanakan segera setelah
ikrar wakaf dinyatakan oleh wakif. (d) Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar
wakaf oleh wakif berlaku seketika dan selama-lamanya. (e) Perlu dikemukakan syarat yang
dikeluarkan oleh wakif atas harta yang diwakafkannya.
12
Daftar Pustaka
Al Quran. 2017. Alquran Al Karim. Jakarta. Kementerian Agama
Departemen RI.
Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press.
Amin, M., Sam, M. I., AF., H., Hasanuddin, & Sholeh, A. N. (2011). Himpunan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia sejak 1975. Jakarta: Erlangga.
Mahfud, R. (2010). Al-Islam. Jakarta: Erlangga.
Prihatin, Farida. 2007. Fiqh Wakaf. Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf
Suryana, A. T., Alba, C., Syamsudin, E., & Asiyah, U. (1996). Pendidikan Agama Islam untuk
Perguruan Tinggi. Bandung: Tiga Mutiara.
Usman, Rachmadi. 2009. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
13