Buku Ajar Kewarganegaraan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 145

P age |1

P age |2

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

(Nasionalitas, Demokrasi, Integrasi Kebangsaan)

Disusun oleh

Fuad Noorzeha, S.Fil.I, M.Phil

John Abraham Ziswan Suryosumunar, S.Fil.,M.Phil


P age |3

MOTTO

“Meskipun kalian mengetahui dan secara teoritis tahu caranya melakukan,

tentu kalian akan salah mengamalkannya, sebab kalian masih hanyut

tenggelam dalam kesesatan. Melihat barang berupa permata dan emas yang

berkilauan, harta kekayaan serta makanan yang beraneka warna, kalian

menjadi terpikat, jelas bahwa perilaku kalian itu salah. Sudah banyak

ilmu yang kalian tuntut, bahkan kadang-kadang kalian bermimpi dalam

Alam Ilmu. Tetapi dasarnya kalian santri gundul yang memburu hasil

akal yang busuk”.

Syeikh Siti Jenar

“janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan

tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya

itu akan diminta pertanggungjawabannya”

QS Al-Isra’ 17: 36
P age |4

PRAKATA

Assalamu’alaikum Wr Wb
Alhamdulillah, segala puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat
Allah SWT, karena rahmat dan karunia Nya saya dapat menyelesaikan
buku ajar kewarganegaraan ini. Buku ajar ini memuat uraian dari hasil
penelitian penulis mengenai pengetahuan seputar kesadaran
berbangsa dan bernegara yang berlandaskan ideologi Pancasila dan
lebih tepatnya memahami tanah air dalam perspektif filsafat Pancasila
untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa dalam memahami cita-cita
dan worldview bangsa Indonesia, kemudian terwujud dalam kerangka
nasionalitas, demokrasi dan integrasi kebangsaan.
Adapun buku ajar ini tidak akan selesai tanpa bantuan, diskusi
dan dorongan serta motivasi dari beberapa pihak, walaupun tidak
dapat disebutkan satu per satu, penulis ucapkan terima kasih yang
sebanyak-banyaknya.
Ahirnya, penulis menyadari bahwa buku ajar ini masih jauh dari
sempurna. Dengan demikian, penulis mengharapkan usul, saran, kritik
dan masukan demi perbaikan serta perkembangan lebih lanjut pada
buku ajar ini.
Wassalamu’alaikumsalam, Wr Wb

Surakarta, 13 Februari 2020

Fuad Noorzeha
DAFTAR ISI
P age |5

KATA PENGANTAR ....................................................... 8


BAGIAN 1: PENDAHULUAN.............................................. 10
A. Historisasi Pendidikan Kewarganegaraan ....................... 14

B. Penguatan Paradigm Bangsa dalam Menghadapi Dinamika dan


Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan....................... 22

C. Mendiskripsikan Urgensi dan Esensi Pendidikan


Kewarganegaraan untuk Tantangan Global 4.0 .................. 23

D. Memahami Hakikat Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan . 27

BAGIAN II: MENGENAL IDENTITAS NASIONAL ......................... 29


A. Pengertian Identitas Nasional .................................... 29
B. Identitas Nasional Sebuah Kepribadian Bangsa Negara ....... 32
1. Bendera Negara Sang Merah Putih .......................... 32
2. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Negara ................. 32
3. Garuda Pancasila ............................................. 33
4. Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan ................. 33
C. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat............................... 34
D. Memahami Pancasila ................................................... 37

1. Makna Ideologi ................................................ 38


2. Refleksi Pancasila dalam Konteks Kewarganegaraan....... 42
a. Ketuhanan Yang Maha Esa ............................... 42
b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ................... 45
c. Persatuan Indonesia ....................................... 48
1) Relevansi Kebhinekaan dalam “Kekerasan atas Nama
Agama” ................................................. 66
P age |6

d. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dan


Dalam Permusyawaratan/Perwakilan ........................ 69
e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia ............. 70
E. Aktualitas Dasar Falsafah Negara Pancasila ................... 80
F. Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia ............ 81
1. Era Pra Kemerdekaan ......................................... 81
2. Era Kemerdekaan ............................................. 83

G. Politik Identitas dan Kontrak Sosial Sebagai Tinjauan Kritis Dalam


Memahami Makna Kewarganegaraan ........................... 88
BAGIAN III: MEMAHAMI INTEGRASI NASIONAL BERNEGARA SEBAGAI
ALAT UKUR KUALITAS DAN KUANTITAS KEBHINEKAAN DI INDONESIA
............................................................................. 94
A. Integrasi Nasional Dalam Sejarah ............................... 94
1. Makna Integrasi Nasional ...................................... 95
2. Sektor-sektor Integrasi Nasional .............................. 98
3. Urgensi Integrasi Nasional ..................................... 102
B. Beberapa Tantangan dalam Membangun Integrasi ............ 103
1. Multikultural .................................................... 103
2. Pluralisme agama ............................................. 105
3. Krisis Sosial .................................................... 114
4. Geopolitik ...................................................... 119
BAGIAN IV: NEGARA DAN PERMASALAHAN KEWARGANEGARAAN 122
A. Konstitusi dan Demokrasi di Indonesia.......................... 122
1. Konstitusi ....................................................... 122
a. Perlunya Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara .................................................. 125
P age |7

2. Demokrasi...................................................... 126
a. Mengenal secara Singkat Demokrasi ................... 126
b. Konsep Demokrasi di Indonesia ......................... 129
c. Mendeskripsikan secara Filosofis Demokrasi Pancasila
............................................................. 131
3. Hukum dan HAM .............................................. 132
a. Pengertian Hukum ....................................... 132
b. Pengertian HAM .......................................... 134
c. Sejarah HAM ............................................. 135
d. HAM dalam Pandangan Agama ........................ 138
BAGIAN V: PENUTUP .................................................... 140
A. Kesimpulan ....................................................... 140

DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 142

KATA PENGANTAR
P age |8

Mata kuliah wajib umum (MKWU) pada perguruan tinggi


memiliki posisi strategis terkusus mata kuliah agama,
kewarganegaraan, Pancasila dalam melakukan transmisi ilmu
pengetahuan dan transformasi moral serta etik terkait perilaku
mahasiswa. Mengapa demikian kerena melihat posisi strategis
tersebut dengan melalui beberapa proses pembelajaran maupun
proses pendidikan pada semua jurusan atau program studi. Oleh
karena itu, guna meningkatkan mutu lulusan dan pembentukan
karakter bangsa perlu dilakukan peningkatan dan perbaikan kualitas
dan kuantitas materi yang secara dinamis mengikuti perkembangan
dan perubahan era maupun zaman yang secara terus menerus
berkembang, terlebih pada era 4.0 ini.

Pendidikan karakter sudah banyak dilakukan pada sekolah-


sekolah negeri maupun swasta agar mendapatkan out-put unggul
serta berkarakter. Upaya Penerapan dan penanaman pendidikan
karakter mulai dalam membuat kurikulum pendidikan tinggi yang
sesuai standar nasional pendidikan tinggi dan mengacu pada
kerangka kualifikasi nasional Indonesia.

Tujuan pembuatan buku ajar ini secara universal agar


mahasiswa dapat menguasai kompetensi rasa syukur atas pemberian
Tuhan yang Maha Esa dalam karunia kemerdekaan dan memberikan
usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran mahasiswa secara aktif dalam improvement potensi diri
untuk mendapatkan pengetahuan, kepribadian serta keahlian sesuai
dengan program studinya masing-masing. Secara kusus mampu
berkontribusi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
P age |9

tentunya berlandaskan nilai-nilai Pancasila terlebih kusus pada


masyarakat Indonesia yang notabene masyarakat dengan komplesitas
ragam budaya tradisi dan kearifan local yang masih mengakar pada
setiap masyarakat.

Pokok pembahasan dalam bahan ajar ini sengaja disajikan


dengan pendekatan filosofi “philosophy approach” dengan mahasiswa
sebagai “student centered learning”. Pembelajaran yang diharapkan
menghasilkan proses kritis, analisis, radikal, serta menimbulkan
coriousity yang tinggi memicu mahasiswa melalui dialog, diskusi
kreatif untuk mendapatkan pemahaman tentang kebenaran yang
substansial.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih


dan penghargaan kepada rekan-rekan dosen yang membantu dalam
penyusunan bahan ajar ini. Akhirnya, semoga bahan ajar ini
bermanfaat dalam upaya mewujudkan cita-cita pembentukan karakter
bangsa. Buku ini masih harus disempurnakan, untuk itu kami
mengharapkan masukan dan kritik dari pada pembaca untuk
perbaikan buku ajar ini.

Surakarta, 29 Januari 2020

Fuad Noorzeha, S.Fil.I.,M.Phil


P a g e | 10

BAGIAN 1: PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia di dunia,
dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya, manusia
memiliki kelebihan dalam akal dan pikiran, dengan semua itu manusia
bisa membedakan mana yang benar dan yang salah. Maka, manusia
dalam konsep hablum minallah, hablum minan nas, dan hablum
minal alam diberikan tiga tugas yang harus diemban dalam kehidupan
manusia yang tidak hanya melakukan dan menjaga hubungan erat
dengan Allah SWT melainkan juga dengan manusia dan alam.
Hubungan itu tercerminkan dalam kepatuhannya menjalankan perintah
dan menjauhi larangannya, manusia harus mempercayai seluruh
sistem keimanan agamanya, menjalankan seluruh ritual
peribadatannya, dan juga bermoral yang relevan dengan misi
agamanya (Nursyam, 2009:196).

Manusia dalam upaya menjaga hubungan baik dengan sesama


manusia hendaklah memelihara tali hubungan kemesraan
bersandarkan pada humanitas yang menjadi bagian penting di dalam
perjalanan hidup manusia. Manusia dapat melaksanakan peran yang
sangat penting agar hubungan antar manusia tidak terdistorsi oleh
kepentingan atas nama kelompok, golongan, dan lain sebagainya. Inti
dari kemanusiaan adalah equalitas, keadilan, kemerdekaan, dan
keselamatan yang didasari oleh ajaran agama. Maka, hubungan antar
manusia tersebut akan membentuk sebuah kebudayaan yang saling
menjaga toleransi dalam bernegara maupun berbangsa. Oleh karena
itu, founding father Indonesia telah berupaya membangun negara
P a g e | 11

yang merdeka ini dengan dasar dan landasan Pancasila. Mengapa


demikian?

Indonesia dalam sebuah proses pembangunannya tentu tidak


terlepas dalam melihat usaha dan upaya para founding father dalam
persiapan kemerdekaan Indonesia sangatlah sulit, pertama melihat
bagaimana membentuk kesepakatan bersama dalam sebuah
komitmen kebangsaan dari pelbagai identitas kultural dan tercermin
dalam sejarah perumusan konstitusi dan Pancasila. Proses
kemerdekaan tersebut meskipun dalam pembentukannya, BPUPKI
tidak memberikan hasil yang memuaskan kepada semua pihak
terutama karena biasnya terhadap pihak-pihak tertentu yang
berpendidikan modern serta dianggap mampu memimpin negara
modern. Namun komposisi dari keanggotaan BPUPKI sedikit banyak
merepresentasikan pelbagai keragaman unsur kebangsaan Indonesia
pada masanya.

Perlu kita cermati bahwa dalam pembentukan Negara Indonesia


mencakup satu hasrat, yaitu hasrat persatuan yang kemudian menjadi
sebuah dasar fundamentalis dari negara Indonesia itu sendiri. Maka,
Soekarno menyatakan bahwa hasrat-hasrat persatuan tersebut harus
tertanam dalam kerangka kebangsaan. Natie Indonesia yang
dimaksud bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan
“le desir d’etre ensemble” diatas daerah kecil kepulauan-kepulauan
kecil, akan tetapi kata “Indonesia” mencakup seluruh manusia-
manusia yang telah ditentukan oleh Allah SWT, sehingga terwujudkan
pada setiap pulau-pulau di Indonesia dari ujung Utara Sumatra
sampai ke Irian Jaya. Dengan demikian, inilah hasrat persatuan yang
P a g e | 12

kemudian menjadi sebuah satu kesatuan yang Soekarno sebut


sebagai nasionale staat.

Indonesia dalam tinjauan nasionale staat berada pada posisi


krisis akan nilai budaya dan nilai falsafah negara, hal ini bisa jadi
dikarenakan kejenuhan masyarakat Indonesia pasca menghayati Orde
Baru. Sehingga nilai-nilai keluhuran secara praktis tidak ditemui.
Sebenarnya kondisi tersebut dapat diatasi secara mendasar jika
dikembalikan kepada landasan Pancasila. Misalnya implementasi
Pancasila dapat diterapkan pada dunia pendidikan. Mengapa? karena
dalam dunia pendidikan tidak bersifat doktriner atau indoktrinasi.
Untuk itu, untuk sebuah ungkapan nasionale staat konteks
kebhinekaan dapat kita amati dari nilai-nilai yang sudah tercerminkan
pada lambang negara yaitu Garuda Pancasila (Sadjad, 2013:7)

Penggalian nilai-nilai kebhinekaan tersebut, salah satunya


dapat melalui tradisi lisan Nusantara, seperti halnya pantun. Nugroho
(dalam Sudikan, 2013:153) mengatakan bahwasanya pantun sebagai
bahasa tutur sesungguhya mensyaratkan bahwa menjadi penutur di
masyarakat tidak mudah. Artinya tidak hanya terampil dalam
komunikasi saja namun juga dalam kemampuan berbahasa, ber-
etika, berfilsafat sehingga diperlukan masyarakat untuk memahami
sejarah dan ruang sosial politik. Pada masanya, pantun sebagai
tradisi lisan Nusantara yang mengandung berbagai hal menyangkut
hidup dan kehidupan sebuah komunitas. Namun isi dari pantun tidak
hanya mencangkup peristiwa, sejarah, pengumuman, dalam tontonan
upacara tertentu saja melainkan terdapat pengetahuan tentang alam,
tata ruang maupun kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, dapat
P a g e | 13

kita simpulkan bahwa tradisi lisan mengandung nilai-nilai kearifan


local, sistem nilai, pengetahuan lokal, sistem kepercayaan dan religi,
kaidah sosial, etos kerja, sistem pengobatan, serta mitologi hingga
sejarah.

Selain nilai-nilai yang tertuang dalam kebhinekaan masyarakat


memerlukan semangat nasionalisme yang menunjukan suatu
kecintaan. Sebuah cinta yang hadir untuk mendatangkan jiwa
nasionalisme dalam satu kesatuan Indonesia. Artinya, cinta terhadap
budaya, cinta terhadap keanekaragaman, cinta terhadap sesama
yang membawa masyarakat Indonesia dalam satu simbol yaitu
Bhineka Tunggal Ika. Untuk itu, pluralitas di Indonesia dipahami
sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban,
atau yang biasa disebut oleh Nurcholis Madjid sebagai genuine
engagement of diversities within the bond of civility.

Untuk memahami bahan ajar ini akan dibicarakan terlebih


dahulu yang menjadi dasar tinjauan sumber historis, sosiologi dan
politik tentang kewarganegaraan. Pertama pengelompokan mata
kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi, terutama kelompok mata
kuliah pengembangan kepribadian (MPK) tertuang dalam mata kuliah
agama, Pancasila dan kewarganegaraan yang di dalam kelompok
tersebut salah satunya mata kuliah pendidikan kewarganegaraan yang
kemudian akan ditinjau pula perkembangan/perubahan yang terjadi
pada mata kuliah pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi.

Setelah mempelajari bagian pertama ini, diharapkan mahasiswa


mampu:
P a g e | 14

1. Menjelaskan esensi dan hakikat pendidikan


kewarganegaraan
2. Menjelaskan identitas nasional dengan melihat beberapa
simbol-simbol yang digunakan dalam negara Indonesia
3. Memahami Pancasila secara filosofis dengan
merefleksikan ke lima sila, kemudian melihat aktualisasi
falsafah pada jiwa negara, jiwa bangsa menjadi manusia
yang berkarakter.

4. Memahami integritas nasional bernegara sebagai alat


ukur kualitas dan kuantitas dan kuantitas kebhinekaan di
Indonesia serta melihat berbagai tantangan terkait
dengan integritas nasional.
Untuk membantu mahasiswa agar menguasai kemampuan di atas
dalam bahan ajar ini akan disajikan pembahasan tentang:
A. Historisasi Pendidikan Kewarganegaraan

Menggali sumber-sumber pendidikan kewarganegaraan di


Indonesia baik secara historis, sosiologis, maupun politis yang
tumbuh, berkembang dan berkontribusi dalam pembangunan serta
pencerdasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
hingga dapat disadari bahwa bangsa Indonesia memerlukan
pendidikan kewarganegaraan. Dalam melihat perkembangan
pentingnya kewarganegaraan istilah PKn terutama pada generasi awal
tertuang dalam mata pelajaran pendidikan moral Pancasila disingkat
PMP dan hal tersebut terjadi pada kurikulum tahun 1975, begitu pula
pada kurikulum tahun 1960 awal, istilah atau sebutan pendidikan
kearganegaraan lebih dikenal sebagai Civic.
P a g e | 15

Berdasarkan kurikulum 2013, pendidikan kewarganegaraan


jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan nama mata
pelajaran PPKn, sedangkan dalam perguruan tinggi
menyelenggarakan mata kuliah pendidikan Pancasila dan pendidikan
kewaganegaraan. Pertanyaannya adalah bagaimana memahami
pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, tentu dengan pengkajian
tersebut dapat dilakukan secara historis, sosiologis, dan politis.

Pertama, secara historis pendidikan kewarganegaraan dalam


arti substansi telah dimulai jauh sebelum Indonesia diproklamasikan
sebagai negara merdeka. Secara historis perlu kita tilik terlebih dahulu
dalam perkembangan sejarah kebangsaan Indonesia, yang dimulai
dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo tahun 1908 kemudian
disepakati sebagai hari kebangkitan nasional karena pada saat itulah
dalam diri bangsa Indonesia mulai tumbuh serta memiliki kesadaran
sebagai bangsa. Boedi Oetomo didirikan oleh anak-anak STOVIA
pada tahun 1908 di negeri Belanda, dimulai oleh Abdul Rivai (lulusan
Stovia) yang merintis gerakan kemadjoean melalui tulisan-tulisannya
sebagai editor di majalah Bintang Hindia, dengan menunjukkan watak
kosmopolitannya serta melibatkan diri dalam “Vereeniging Oost en
West” sehingga bermetamorfosis menjadi perhimpunan Indonesia (PI)
pada tahun 1924. Gerakan-gerakan kemadjoean inilah yang kemudian
membuka jalan bagi kebangkitan nasional.

Setelah berdirinya Boedi Oetomo, berdiri pula organisasi-


organisasi pergerakan kebangsaan lain seperti Syarikat Islam,
Muhammadiyah, Indische Party, PSII, PKI, NU dan organisasi lainnya
yang tujuan akhirnya ingin melepaskan diri dari penjajahan Belanda
P a g e | 16

pada tahun 1928, para pemuda yang berasal dari wilayah Nusantara
berikrar menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia, bertanah air dan
berbahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Kemudian pada tahun
1930-an, organisasi kebangsaan baik yang berjuang secara terang-
terangan maupun secara diam-diam, baik di dalam negeri maupun di
luar negeri tumbuh secara pesat. Secara umum organisasi- organisasi
tersebut bergerak dan bertujuan membangun rasa kebangsaan dan
mencita-citakan Indonesia merdeka.

Indonesia sebagai negara merdeka merupakan perwujudan


cita-cita sebagai negara yang mandiri dan lepas dari penjajahan serta
tidak ketergantungan terhadap kekuatan asing. Cita-cita tersebut yang
dapat dikaji dari maha karya para pendiri Negara Bangsa (Soekarno-
Hatta) sehingga akhirnya Indonesia merdeka setelah melalui
perjuangan panjang serta pengorbanan jiwa dan raga, pada tanggal
17 Agustus 1945. (Soekarno dan Hatta). Negara yang mandiri dan
bebas dari penjajahan tersebut melahirkan identitas warga negara
yang bebas yang independent.

Maka, setelah Indonesia memasuki era kemerdekaan dan era


modern, ada istilah yang perlu kita tinjau sebagai awal mula istilah
warga negara hadir, istilah tersebut adalah kawula negara. Dalam
perkembangannya istilah kawula negara telah mengalami pergeseran,
dan kemudian istilah kawula negara sudah tidak digunakan lagi dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini.
Istilah warga negara dalam bahasa inggris “civic”, citizen atau civicus.
Civic mendapat imbuhan s menjadi civics yang artinya disiplin ilmu
kewarganegaraan. Dalam Yunani kuno istilah warga negara tersebut
P a g e | 17

berbeda dalam istilah warga negara dalam arti Modern. Sehingga


menurut rumusan Civic Internasional 1995 bahwa “pendidikan
demokrasi penting bagi pemeliharaan pemerintahan, inilah yang akan
menjadi satu tujuan penting dalam pendidikan “civic” maupun
“citizenship” (Azumardi Azra, 2002: 12).

Warga negara diartikan dengan melihat istilah bahasa belanda


“staatsburger” dan “onderdaan”. Menurut Soetoprawiro (1996) istilah
onderdaan memiliki arti tidak sama dengan warga negara melainkan
bersifat semi warga negara atau kawula negara melihat konteks
Indonesia ketika itu memiliki budaya kerajaan yang bersifat feudal
sehingga dikenal istilah kawula negara sebagai terjemahan dari
onderdaan.
Hampir dari semua negara yang formal menganut sistem
demokrasi menerapkan pendidikan kewarganegaraan dengan
berbagai macam muatan, demokrasi, rule of law, HAM dan
perdamaian, dan selalu mengaitkan dengan kondisi situasional negara
dan bangsa masing-masing. Pada ahirnya memang kita melihat
bahwa pendidikan kewarganegaraan di Indonesia merupakan sebuah
tanggung jawab semua pihak atau komponen bangsa, pemerintah,
lembaga masyarakat, lembaga keagamaan dan masyarakat industri
(Hamdan Mansoer, 2004: 4). Guna menumbuh kembangkan jiwa dan
semangat nasionalisme, dan rasa cinta pada tanah air tanggung
jawab tersebut menjadi tugas wajib sebagai warga negara yang baik.

Pendidikan kewarganegaraan dalam misi untuk mencerdaskan


kehidupan bangsa perlu kita perhatikan dua hal terkait dengan istilah
PKn, konsep PKn secara etimologis dibentuk dua kata “pendidikan”
P a g e | 18

dan kata “kewarganegaraan”. Pendidikan sendiri dalam kamus besar


bahasa Indonesia sesuai dengan UU no 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional pasal 1 ayat 1 yaitu:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagaman, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU
No. 20 Tahun 2003 Pasal 1).

Menurut Imam Abu Zahra arti pendidikan yang diharuskan untuk


memposisikan kepada posisinya diseluruh aspek kepribadian
manusia, yang meliputi ruuhiyyah “aspek ruh”, jasmaniyah “aspek
badan”, aqliyah “aspek rasio” maka ketika manusia memenuhi
beberapa aspek dan faktor ini, sehingga menjadikan sebuah
pendidikan yang sempurna “tarbiyyatul mutakamil”.
Pendidikan adalah solusi yang paling tepat untuk manusia
dalam menghadapi masalah-masalahnya. Jadi, pendidikan dimulai
dari pertama adanya manusia tersebut, dalam artian dilahirkan atau
sebelum dilahirkan sampai ahir hayat manusia. Pendidikan seperti apa
yang dijelaskan Imam Abu Zahra diatas bahwa memiliki indikasi
dengan sesuatu kegiatan yang didalamnya mengandung peningkatan,
perbaikan, dengan disiplin yang selalu dilakukan dengan istiqomah.
Pendidikan didalamnya harus terdapat seorang pembimbing yang bisa
melakukan perbaikan dan peningkatan, seperti apa yang dijelaskan
Imam Abu Zahra bahwa pembimbing “guru, ustad, atau sebagainya”
yang bisa menjadikan pendidikan sebagai perbaikan dan
perkembangan bagi anak didiknya (Abu Zahra, 1976: 58).
P a g e | 19

Oleh karena itu, Pendidikan yang di dalamnya mencakup


pengembangan, perbaikan, pembimbingan yang diterapkan dalam
mata kuliah kewarganegaraan tersebut bertujuan untuk mendapatkan
output sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai nilai kejuangan,
cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa. Melihat
lebih jauh bahwa, pendidikan kewarganegaraan merupakan upaya
pemerintah dengan dimulainya pendidikan kewiraan pada tahun
1973/1974, sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional,
dengan tujuan untuk menumbuhkan kecintaan pada tanah air dalam
bentuk PPBN yang dilaksanakan dalam dua tahap, tahap pertama
diberikan kepada peserta didik tingkat dasar sampai tingkat
menengah.
Pendidikan kewiraan sebagai bentuk lebih aplikatif tidak hanya
teori di dalam kelas melainkan juga luar kelas yang terwujudkan dalam
bentuk pendidikan kepramukaan. Sedangkan PPBN tahap lanjut
diberikan di PT dalam bentuk kewiraan yang merupakan cikal bakal
dari mata kuliah PKn berdasarkan SK Mendikbud dan Menhamkam
tahun 1973, yang merupakan realisasi pembelaan negara melalui jalur
pengajaran khusus di Perguruan tinggi.
Berdasarkan UU No. 20 tahun 1982 tentang pokok-pokok
penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara, bahwa
pendidikan kewiraan adalah PPBN tahap lanjutan pada perguruan
tinggi, yang terintegrasi pada sistem pendidikan nasional. Oleh karena
itu, mata kuliah wajib tersebut diikuti oleh seluruh mahasiswa terlebih
setiap warga negara. Sedangkan UU No 2 tahun 1989 terkait sistem
P a g e | 20

pendidikan nasional kewiraan tersendiri masuk dalam bagian dari


pendidikan kewarganegaraan.
Melihat peran sertaan dalam program pendidikan di Indonesia
maka SK Dirjen tahun 1993 menentukan pendidikan kewiraan
termasuk dalam kurikulum MKDU bersama dengan pendidikan agama,
pendidikan Pancasila, IAD, dan lain sebagainya. Kemudian MPK pada
kurikulum inti wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi
maupun kelompok program studi yang terdiri dari bahasa Indonesia,
pendidikan Pancasila, pendidikan agama, dan pendidikan
kewarganegaraan hal tersebut sesuai UU No. 20 Tahun 2003.
Awal tahun 1979, materi kewarganegaraan yang disusun oleh
Lemhanmas dan Dirjen Dikti terdiri dari pembahasan wawasan
Nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi Nasional, politik
dan strategi pertahanan dan keamanan nasional sistem Hankamrata.
Mata kuliah ini disebut kewiraan, kemudian pada tahun 1995 nama
mata kuliah kewiraan berubah menjadi pendidikan kewarganegaraan
yang bahan ajarnya disusun kembali oleh Lemhanmas dan Dirjen
Dikti. Pada tahun tahun 2001 kemudian materi disusun oleh
lemhannas dengan materi pengantar tambahan seperti Demokrasi,
HAM, lingkungan hidup, bela negara, wawasan nusantara, ketahanan
nasional, politik dan strategi nasional.
Menurut para ahli, PKn didefinisikan sebagai program
pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan
sumber-sumber pengetahuan yang lainnya. Program pendidikan
tersebut yang memberikan pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan
sekolah, masyarakat, dan orang tua yang semua hal tersebut diproses
P a g e | 21

guna melatih para siswa untuk berfikir kritis, analitis serta bersikap
demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sebenarnya pendidikan
kewarganegaraan tidak hanya program pendidikan yang didasarkan
pada konstitusi negara yang bersangkutan saja, melainkan juga
bergantung pada perkembangan zaman.
Pkn pada masa awal kemerdekaan dapat lebih banyak dilihat
pada tataran sosial kultural yang dilakukan oleh para pemimpin
negara-bangsa. Para pemimpin mengajak seluruh rakyat melalui
pidato-pidatonya untuk mencintai tanah air dan bangsa Indonesia,
dengan cara membakar semangat rakyat dalam mengusir para
penjajah dari Indonesia. Pidato dan ceramah tidak hanya dilakukan
oleh para pemimpin saja, melainkan juga dilakukan oleh para
pejuang, para kyai di pondok pesantren dalam mengajak umat untuk
berjuang mempertahankan NKRI.
Hal tersebut merupakan cerminan dasar dari PKn dalam
dimensi sosiologis, sosio kultural yang sangat diperlukan oleh
masyarakat dan akhirnya negara-bangsa saling menjaga,
memelihara, dan mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa
yang merdeka. Pasca kemerdekaan tahun 1945 belum dilaksanakan
dalam penerapannya belum dilaksanakan di sekolah-sekolah hingga
terbitnya buku civics pertama di Indonesia yang berjudul Manusia dan
Masyarakat. Buku ini disusun oleh Mr. Soepardo, Mr. Hoetaoeroek,
Warsid, Soemardjo, dll.
Kesimpulannya bahwa dalam pendidikan kewarganegaraan
secara historis, sosiologis maupun secara kontekstual tercerminkan
P a g e | 22

nilai-nilai pendidikan yang penting untuk setiap bangsa dalam


mencerminkan semangat cinta tanah air, bela negara dan bangga
akan produk dalam negeri serta memberikan pengaruh yang besar
pada pembentukan karakter bangsa dan identitas nasional.
B. Penguatan Paradigm Bangsa dalam Menghadapi Dinamika dan
Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan

Kita harus memahami bahwa pendidikan kewarganegaraan


sejak masa proklamasi kemerdekaan sebagai mata kuliah “PKn” telah
mengalami beberapa kali perubahan, baik tujuan maupun orientasinya
serta substansi materi dan metode pembelajaran bahkan sistem
evaluasi. Mengapa demikian selalu mengalami perubahan, karena
menimbang periodisasi perjalanan sejarah tentang praktik kenegaraan
maupun pemerintahan republik Indonesia sejak Indonesia
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai negara yang
merdeka sampai dengan periode saat ini yang dikenal Indonesia
sebagai era reformasi.

Mengapa PKn selalu berkaitan dengan sejarah praktik


kenegaraan, dan sejarah perkembangan proklamasi? hal inilah yang
menjadi ciri khas PKn sebagai mata kuliah dibandingkan dengan mata
kuliah lain. Secara ontologis PKn mencerminkan sikap dan perilaku
warga negara dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, yang terus
berkembang mengikuti sikap dan perilaku yang secara dinamis
berubah dan berbeda-beda. Tentu hal ini berkaitan secara langsung
dengan perubahan status sosial dan perubahan serta pengembangan
zaman. Materi kewarganegaraan dapat digunakan sebagai perspektif
maupun pisau analisis dalam mengatasi permasalahan kenegaraan.
P a g e | 23

C. Mendiskripsikan Urgensi dan Esensi Pendidikan


Kewarganegaraan untuk Tantangan Global 4.0

Era globalisasi yang sudah berlangsung selama ini akan terus


berjalan sebagai tantangan dan PR bersama bagi seluruh warga
negara Indonesia, yang mau tidak mau harus kita hadapi. Arus
globalisasi ditandai dengan tiga ciri utama yaitu liberalisasi
perdagangan, keterbukaan arus informasi, serta tingkat persaingan
yang tinggi. Pengaruh terbesar pertama yang saat ini selalu menjadi
pengaruh pada setiap negara adalah arus informasi dari negara-
negara maju. Arus informasi dari negara maju tersebut dikarekankan
sudah menguasai dan mengendalikan informasi tersebut. Kemudian,
jika kita melihat pada sektor perdagangan dalam hal keunggulan
kompetitif dan komparatif tidak dimiliki jika produk-produk yang kita
hasilkan memiliki kualitas rendah. Jangankan bersaing di pasar global,
di pasar dalam negeri saja akan tersisih jika daya kualitas rendah.

Selanjutnya pada bidang ketenaga kerjaan, persaingan antara


pendaftar satu dengan yang lain dapat dilihat ketika berjubel dalam
mendaftarkan diri ingin menjadi pengawai negeri. Pada pendaftar
dengan melihat kuota formasi sangat terbatas, hanya yang memiliki
keunggulan kompetitif yang dapat memasuki lapangan kerja tersebut.
artinya bahwa tuntutan akan tenaga kerja yang berkualitas dan
professional juga berlaku dalam pendaftaran pegawai. Bahkan ingin
menjadi pegawai tetap saja dapat diperoleh melalui sistem kontrak
dengan mempertimbangkan kebutuhan pegawai yang berkompeten
dan berkualitas. Memang semua permasalahan ini tentu tidak tanpa
dasar tertentu, akan tetapi dengan tujuan ingin memenuhi kemajuan
P a g e | 24

teknologi dan globalisasi informasi yang telah merubah arus informasi


menyebar mempengaruhi standart dan kualitas baik dalam segala
bidang.

Dalam era globalisasi tersebut banyak tantangan akan


menghadang dihadapan kita, bukan saja pada bidang ekonomi,
politik, hankam, social- budaya, dan Pendidikan. Arus globalisasi ini
merasuk ke dalam semua lini masyarakat terutama di kalangan anak
muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda begitu kuat dengan
membuat sebagian anak muda meniru budaya dan tradisi barat.
Jikalau hal tersebut terus terjadi serta tidak menjadi perhatian yang
serius sehingga dikawatirkan akan berdampak pada kepribadian diri
sebagai bangsa Indonesia. Era globalisasi tentu terdapat berbagai
masalah dis orientasi dalam kerangka bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang plural yang terdiri berbagai macam suku bangsa, bahasa
dan agama serta kepercayaan dan keyakinan yang beragam.

Kerangka bangsa Indonesia yang beragam tersebut


mencerminkan keinginan suatu kelompok yang beragam, kemudian
menerapkan suatu keinginan kelompok saja sama artinya dengan
meniadakan keberadaan kelompok lain yang sama-sama membentuk
Indonesia sebagai suatu negara dan bangsa. Hal tersebut merupakan
sebuah kenyataan yang harus disikapi secara dewasa dan bijak.
Artinya bahwa wawasan nusantasa dalam konteks keragaman
Indoenesia sangatlah penting guna penyeragaman maupun kegiatan
politik sebagai konsep membangun berdasarkan identitas Indonesia
yang majemuk. Revitalisasi wawasan nusantara sebagai suatu visi dan
P a g e | 25

misi penanaman nilai bersama bangsa Indonesia yang dapat diterima


oleh semua golongan kepentingan (Suryono, 1956 :161).

Bagaimana upaya kita sebagai warga negara yang baik dalam


meminimalisasi pengaruh negatif globalisasi yang terus berjalan ini?
perlu kita pahami, dalam menumbuhkan sikap setia bangsa atau
negara tentu mempunyai suatu cara tersendiri untuk menangkis
pengaruh dari luar yang dapat berdampak negatif terhadap
bangsanya. Maka, dalam hal ini bangsa Indonesia memiliki caranya
tersendiri dengan menanamkan jiwa nasionalisme pada setiap warga
negara sebagai kualitas dan integritas suatu bangsa, kesadaran
nasional warga negara atau bangsa yang berupa wawasan nasional
sebagai manusia dalam arti subjek moral maupun sumber etik.
Kedudukan manusia baik sebagai pribadi dan sebagai bangsa secara
natural memiliki kesadaran harga diri kesadaran nasional sebagai
kesadaran diri kolektif yang menunjukkan integritas dan kualitas
bahkan martabat manusia dan martabat bangsa (Suryono: 1956).

Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi pengaruh negatif


globalisasi pada nilai budaya bangsa Indonesia dirumuskan sebagai
berikut;

1. Peningkatkan pemahaman dan analisis terhadap


informasi dari media massa, sebagai filter nilai-nilai
budaya asli Indonesia.

2. Mengembangkan budaya nasional melalui pendekatan


multi kulturalisme berdasarkan nilai ketuhanan,
kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan dan keadilan.
P a g e | 26

3. Mengetahui dan memahami pada sejarah dan perjuangan


bangsa Indonesia.

4. Meningkatkan pemahaman dan analisis informasi


didasarkan pada nilai-nilai budaya asli Indonesia dengan
peningkatan kemampuan logika, analisis bahasa dan
analisis wacana terhadap budaya Barat.

5. Meningkatkan pembinaan terhadap Pendidikan agama,


Pancasila dan Pendidikan kewarganegaraan dengan
meningkatkan pemahaman dan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari.

6. Pemahaman dan pengalaman budaya kepemimpinan


yang berdasarkan pada Pancasila

7. Menyelengarakan Pendidikan dan pelatihan dalam rangka


internalisasi nilai-nilai budaya nasional.

Kemudian, bagaimana langkah-langkah dalam mengantisipasi


selain adanya upaya-upaya yang sudah disebutkan di atas dalam
mengurangi arus globalisasi. Hidayatullah (2007: 107-108)
mengatakan bahwa nilai-nilai nasionalisme antara lain yaitu; 1)
Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh yaitu semangat
kebangsaan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara
disamping kepentingan bangsa dan negara disamping kepentingan
individu dan golongan 2) Menumbuhkan semangat bela negara
dengan ciri khas cinta tanah air, sadar berbangsa Indonesia sadar
bernegara dan kesaktian Pancasila, serta rela berkorban.

Catatan yang perlu kita perhatikan bersama adalah dalam hal


ini berkaitan dengan tantangan globalisasi tentu akan memberi
P a g e | 27

jawaban nasib sebuah bangsa tidak ditentukan oleh bangsa lain,


melainkan akan bergantung pada kemampuan bangsa sendiri.
Pernyataannya adalah Indonesia akan berjaya menjadi bangsa yang
bermartabat dan dihormati oleh bangsa lain jika bangsa tersebut tetap
dapat merubahnya.

Pendidikan kewarganegaraan dalam hal ini khususnya sangat


berperan penting guna memberikan Pendidikan demokrasi politik,
kemudian senantiasa menghadapi dinamika perubahan dalam system
ketatanegaraan dan pemerintahan serta tantangan kehidupan
berbangsa dan bernegara.

D. Memahami Hakikat Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan menjadi penting dalam hal ini


guna menunjang berbagai upaya menanggulangi globalisasi tantangan
global. Melalui Pendidikan karakter yang dirasakan amat perlu
pengembangannya bila mengingat makin meningkatnya tawuran antar
pelajar, serta bentuk kenakalan remaja lainnya. Permasalahan yang
sangat complex terkait tantangan pendidikan di negara kita menjadi
pembicaraan yang tidak akan ada habisnya. Penyebabnya tentu
beragam mulai dari pergaulan yang negatif, masuk dan keluarnya
budaya luar yang memberikan dampak buruk kemudian
mempengaruhi karakter bangsa, terutama pada karakter dan
kepribadian generasi muda. Maka, perlunya membangun kembali
karakter generasi muda bangsa khususnya melalui dunia pendidikan.

Pendidikan kewarganegaraan di dunia dengan berbagai nama


seperti civic education, citizenship education, democracy education,
semua istilah tersebut tetap mempunyai peran strategis dalam
P a g e | 28

mempersiapkan warga negara yang cerdas, bertanggung jawab serta


beradab. Sehingga pendidikan kewarganegaraan di Indonesia
kemudian menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa yaitu
pemerintah, lembaga kemasyarakatan, lembaga keagamaan,
perguruan tinggi serta masyarakat industri secara menyeluruh (Syahri,
2009).

Pendidikan kewarganegaraan yang merupakan suatu hal yang


mendasar yang akan membawa peserta didik untuk mengetahui nilai-
nilai, peranan, sistem aturan dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Pendidikan
kewarganegaraan dalam proses pembelajaran menggunakan metode
kearifan local yang sering dianggap dapat memberikan nilai-nilai
positif bagi setiap peserta didik dengan selalu mengetahui pentingnya
kearifan lokal pada daerah tempat tinggal peserta didik. Peserta didik
kemudian mampu melestarikan kearifan lokal dan penggunaan nilai-
nilai yang ada dalam kearifan lokal pada konteks Pendidikan.

Kearifan lokal merupakan suatu bagian dari budaya masyarakat


yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat itu sendiri, artinya kearifan
lokal adalah ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal
itu sendiri. Pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu mata
pelajaran yang mengemban dan membangun karakter peserta didi.
Implementasi dari pendidikan kewarganegaraan yang berbasis
kearifan lokal yang sangat diharapkan untuk pembentukan karakter
peserta didik sesuai dengan cita-cita bangsa dan Pancasila. Kearifan
lokal yang tertuang pada pendidikan kewarganegaraan terdapat dalam
P a g e | 29

sekolah memberikan pengaruh kepada peserta didik dalam


membangun karakter generasi muda bangsa (Sulianti, dkk :2019).

Imam Suyitno (2012) menyatakan bahwa karakter dapat


diartikan sebagai bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti,
perilaku, personalitas, sifat, tabiat, tempramen dan watak. Maka
Syahri (2009) menyatakan bahwa melalui pembelajaran pendidikan
kewarganegaraan di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi yang
substansi kajian dan materi instruksionalnya menunjang dan relevan
dengan pembangunan masyarakat demokrasi keberadaban,
diharapkan generasi muda bangsa khususnya peserta didik disengaja
jenjang Pendidikan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

BAGIAN II: MENGENAL IDENTITAS NASIONAL


A. Pengertian Identitas Nasional
Identitas nasional secara etimologis berasal dari dua kata
“identitas” dan “nasional”. Identitas nasional dibentuk oleh dua kata
“identity” dalam bahasa inggris yang artinya characteristics, feelings,
ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang yang berarti jadi diri, dengan
demikian identitas merujuk pada ciri atau penanda yang dimiliki oleh
seseorang, pribadi tersebut dapat pula berbentuk kelompok,
golongan. Penanda pribadi tersebut dapat diwujudkan dalam
beberapa bentuk identitas diri seperti KTP, ID card, SIM, KTA, Kartu
pelajar, Kartu Mahasiswa, kartu anggota dan lain sebagainya.
Kata nasional berasal dari kata “national” dalam bahasa inggris
yang artinya government, connected with particular national yang
berarti bersifat kebangsaan, berkenaan atau berasal dari bangsa
P a g e | 30

sendiri meliputi suatu bangsa. Dalam konteks pendidikan


kewarganegaraan, identitas lebih dekat dengan arti jati diri ataupun
karakteristik, perasaan maupun keyakinan tentang kebangsaan yang
membedakan negara Indonesia dengan negara lain. Artinya jika
negara Indonesia memiliki ciri khas sebagai sebuah identitasnya
sehingga dapat dibedakan dari identitas atau ciri khas yang dimiliki
negara lain.
Identitas nasional merupakan pengertian secara utuh untuk kita
memahami ke-khasan yang dimiliki Indonesia sehingga dengan
identitas tersebut negara Indonesia akan berbeda dengan negara lain.
Jika masyarakat sudah mengetahui hal tersebut maka artinya
seseorang di dalam masyarakat tidak akan memiliki arti jika identitas
dari masyarakat tidak dimiliki oleh seseorang tersebut. Bagaimana jika
dengan negara? Negara memiliki identitasnya masing-masing, jika
tanpa identitas tersebut maka negara tersebut tidak akan mudah
dikenali.
Indonesia memiliki banyak identitas yang dapat kita temukan
dalam UUD yaitu bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu
kebangsaan. Identitas tersebut merupakan suatu konsep untuk
memaknai atau sebagai tanda untuk menunjukkan ciri khas Indonesia.
Soedarsono (2002) mengatakan bahwa “jati diri adalah siapa diri
anda sesungguhnya”. Jadi diri merupakan lapis pertama yang
nantinya menentukan karakter seseorang dan kepribadian seseorang.
Identitas bagi bangsa Indonesia akan sangat ditentukan oleh ideologi
yang dianut dan norma dasar yang dijadikan pedoman untuk
P a g e | 31

berperilaku. Identitas akan menjadi ciri yang membedakan bangsa


Indonesia dari bangsa lain baik sifat lahiriah maupun sifat batiniah.
Konsep jadi diri atau identitas bangsa terkait dengan
kesepakatan bersama tentang masa depan bangsa berdasarkan
pengalaman pahit masa lalu yang dialami bangsa yaitu penjajahan
maka jati diri bangsa perlu dan selalu mengalami proses pembinaan
melalui pendidikan demi terbentuknya solidaritas dan perbaikan nasib
di masa depan. Jati diri bangsa Indonesia menurut Kaelan (2002)
adalah nilai-nilai yang merupakan hasil buah pikiran dan gagasan
dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik yang
memberikan watak, corak dan ciri masyarakat Indonesia. Corak dan
watak tersebut yaitu sifat religious, sifat menghormati bangsa dan
manusia lain, persatuan gotong royong, musyawarah serta ide tentang
keadilan sosial. Nilai-nilai dasar tersebut tertuang dalam nilai-nilai
Pancasila sehingga Pancasila disebut identitas nasional sekaligus
sebagai jati diri bangsa Indonesia.
Hardono Hadi (2002) mengatakan bahwa jati diri mencakup tiga
unsur yaitu kepribadian, identitas, dan keunikan. Pancasila sebagai
identitas nasional yang merupakan jati diri yang dimaknai sebagai
kepribadian yang tercerminkan pada lima sila Pancasila yang memiliki
nilai-nilai luhur, pandangan hidup, worldview yang disepakati sebagai
sikap dan perilaku dalam kehidupan. Pancasila sebagai dasar falsafah
negara, way of life memiliki pembeda bila dibandingkan dengan
bangsa lain. Artinya kekhasan positif, yakni ciri bangsa yang beradab,
unggul, dan terpuji dsb.
B. Identitas Nasional Sebuah Kepribadian Bangsa Negara
P a g e | 32

1. Bendera Negara Sang Merah Putih


Beberapa bentuk identitas negara yang dapat menjadi ciri atau
pembangun jati diri bangsa Indonesia salah satunya adalah bendera
merah putih, ketentuan ini sudah diatur dalam UU No.24 Tahun 2009.
Bendera merah putih dikibarkan pertama kali pada tanggal 17 agustus
1945, namun sudah ditunjukkan dalam peristiwa sumpah pemuda
tahun 1928, bendera merah putih disebut sebagai pusaka negara
sang saka merah putih dan sampai sekarang bendera merah putih
dijaga dalam monument nasional Jakarta. Identitas yang kedua yaitu
bahasa Indonesia yang sudah menjadi bahasa nasional atau bahasa
persatuan.
2. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Negara
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah diatur dalam
UU No. 24 tahun 2009, bahasa Indonesia merupakan bahasa hasil
kesepakatan pada pendiri NKRI sebagai bahasa persatuan. Bahasa
Indonesia berasal dari rumpun bahasa melayu yang digunakan
sebagai bahasa pergaulan kemudian diikrarkan dan diangkat sebagai
bahasa persatuan pada kongres pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Bangsa Indonesia sepakat bahwa bahasa Indonesia merupakan
bahasa nasional dan juga sebagai jati diri bangsa Indonesia.
Kemudian, selain sang saka merah putih dan bahasa persatuan
bahasa Indonesia identitas negara yang dapat menjadi jati diri sebuah
bangsa adalah lambang negara. Lambang negara pada setiap negara
memiliki lambang yang berbeda-beda dan masing-masing dari setiap
lambang maupun simbol menunjukkan karakteristik yang berbeda.
P a g e | 33

Indonesia sendiri memiliki lambang negara yaitu burung garuda yang


menjadi ciri khas.
3. Garuda Pancasila
Ketentuan tentang lambang negara diatur dalam UU No 24
tahun 2009 mulai pasal 46 sampai pasal 57. Garuda adalah burung
khas Indonesia yang dijadikan lambang negara. Di tengah-tengah
perisai burung garuda terdapat sebuah garis hitam tebal yang
melukiskan khatulistiwa. Pada perisai terdapat lima buah ruang yang
mewujudkan dasar Pancasila yang pertama dasar ketuhanan, dasar
kemanusiaan, dasar persatuan Indonesia, dasar kerakyatan, dan
dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lambang negara
garuda Pancasila mengandung makna dan sila-sila Pancasila.
4. Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan
Ketentuan tentang lagu kebangsaan Indonesia raya diatur
dalam UU no 24 tahun 2009 bahwa Indonesia raya sebagai lagu
kebangsaan pertama kali dinyayikan pada kongres pemuda II tanggal
28 Oktober 1928, lagu Indonesia raya selanjutnya menjadi lagu
kebangsaan yang diperdengarkan pada setiap upacara kenegaraan.

C. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Pancasila memiliki fungsi sebagai dasar negara, ideologi


Pancasila, falsafah negara, pandangan hidup bangsa, way of life dan
lain sebagainya. Pancasila memiliki kedudukan dalam ketatanegaraan
Indonesia (Kebangsaan, 2016). Rakyat Indonesia menganggap
Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan merupakan sebagai
identitas nasional. Pancasila sebagai identitas dikarenakan Pancasila
P a g e | 34

merupakan ciri khas bangsa Indonesia dan tidak akan kita temui di
negera lain yang memiliki ideologi Pancasila. Maka, sebagai warga
negara Indonesia seyogyanya Pancasila dapat diterapkan pada
kehidupan dalam wujud pemahaman, bersikap dan berprilaku harus
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Dengan kata lain, Pancasila sebagai identitas nasional memiliki


hubungan erat antara warga negara dengan kehidupan bernegara,
sehingga Pancasila sebagai pembeda landasan cara berpikir,
bersikap, berperilaku dengan negara lain. Pancasila sebagai identitas
nasional tidak hanya berupa ciri fisik maupun simbol visual atau
lambang tertentu pada negara Indonesia, melainkan Pancasila juga
sebagai jati diri bangsa Indonesia sehingga akan menampakkan
kepribadian, identitas dan keunikan serta dapat mencari karakteristik
bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai sebuah sistem tersebut dapat mengacu pada


benda-benda konkrit maupun benda-benda abstrak. Menurut Fowler
(1964) yang dimaksud dengan sistem adalah “Complex whoke, set of
connected things or parts, originized body of material or immaterial
things”, menurut Webster’s New American Dictionary sistem adalah “A
combination of parts into whole, as the bodity system, the digestive
system a railrood system, the solar system”. Hornby (1973)
mengartikan system sebagai Group of things or parts working together
in a regular relation: the nervous system the digestive system, the
railway system. Second ordered set of ideas, theories, principles etc.
a system of philosophy, a system of gevornment….” Suatu sistem
filsafat adalah kumpulan ajaran yang terkondinasikan suatu sistem
P a g e | 35

filsafat haruslah memiliki ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan sistem


lain misalnya sistem ilmiah. Suatu sistem filsafat harus comprehensive
dalam arti tidak ada sesuatu hal di luar jangkauannya. Suatu sistem
filsafat dikatakan memadai kalau di dalam sistem tersebut mencakup
suatu penjelasan terhadap semua gejala (Kattsoff, 1964).

Kemudian bagaimana menjaga identitas atau jati diri bangsa


dengan menelusuri dinamika dan tantangan yang merusak identitas
nasional. Melihat bagaimana lunturnya nilai-nilai luhur dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai Pancasila belum
menjadi dasar sikap dalam berprilaku sehari-hari, rasa nasionalisme
dan patriotisme lambat laun semakin memudar dikarenakan akulturasi
budaya asing yang masuk ke negara kita, menggunakan bendera
negara lain sebagai simbol-simbol yang tercerminkan dalam aktivitas
sehari-hari masyarakat, lebih menyukai simbol-simbol negara lain
untuk keuntungan wisata maupun tempat keramaian lainnya
(Kebudayaan, 2013).

Sehingga ketika kita melihat bahwa tantangan tersebut dapat


melunturkan jiwa nasionalisme. Maka, perlunya dihadapi bersama
sebagai wujud rasa syukur atas kemerdekaan bangsa Indonesia.
Azyumardi azra mengatakan bahwa Pancasila saat ini telah
dimarginalkan di dalam semua lini kehidupan masyarakat Indonesia
karena beberapa faktor, yang pertama Pancasila hanya dijadikan
sebagai kendaraan politik, terdapat paham liberalism politik, lahirnya
desentralisasi atau otonomi daerah. Artinya Pancasila dewasa ini
sudah mulai terpojokkan peran serta fungsi jika melihat dari para
politikus berpolitik dengan menyalahgunakan nilai-nilai Pancasila.
P a g e | 36

Hal tersebut tercermin dalam beberapa ormas yang hanya


menggunakan Pancasila sebagai alat untuk berpolitik sehingga tujuan
negatif atau tujuan yang menyimpang dari ormas tersebut tertutupi
dengan nilai nilai Pancasila yang luhur. Yang kedua adanya
kebebasan berpolitik sehingga lupa diri bahwa di negara kita Indonesia
Pancasila tidak hanya diterapkan dalam kepribadian akan tetapi juga
sebagai pembatas hukum. Politik yang berlandaskan Pancasila akan
selalu memperhatikan nilai nilai luhur yang tertanam di dalamnya.
Yang ketiga adanya proses peng-kotak-an keputusan daerah
dikarenakan beberapa oknum yang lebih mementingkan kepentingan
pribadi di atas kepentingan rakyat.

Pancasila sebagai kesadaran sudah tercemar dengan akulturasi


budaya asing yang semakin menggerus dan bagaimana menyadarkan
kembali nilai-nilai Pancasila pada diri bangsa Indonesia dengan selalu
mendorong warga agar selalu memperkuat identitas nasional. Kita
mengetahui bahwa bangsa Indonesia telah memiliki nilai-nilai luhur di
dalam Pancasila yang dapat dijadikan pengangan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila merupakan
pemberian dari pada pendiri negara sebagai warisan agung yang tidak
ternilai harganya. Akan tetapi rasa nasionalisme dan patriotisme telah
luntur bersamaan dengan hilangnya makna suci ideologi Pancasila
(Alfaqi, 2015).

Orang Indonesia seharusnya lebih mencintai produk, bangga


dengan prestasi bangsa agar bangsa Indonesia mampu mendorong
semangat berkompetisi, sehingga akan selalu terdorong untuk
menjadi bangsa yang beretos, ulet, rajin, tekun dan tidak malas serta
P a g e | 37

menjunjung tinggi nilai kejujuran yang nilai-nilai tersebut terdapat pada


Pancasila sehingga semua permasalahan akan terjawab apabila
bangsa Indonesia mampu dan berkomitmen untuk mengamalkan
Pancasila.

D. Memahami Pancasila
Proses sejarah konseptualisasi Pancasila yang melalui beberapa
fase adalah meurupakan hasil karya panitia Sembilan merupakan
perumusan pidato Soekarno. Setiap fase konseptualisasi Pancasila itu
melibatkan partisipasi pelbagai unsur dan golongan. Maka oleh karena
itu Pancasila benar-benar merupakan karya bersama milik bangsa
akan tetapi setiap individu yang memainkan perannya sendiri untuk
memaknai Pancasila dalam kehidupan berbangsa bernegara (Latif,
2002: 39-40).
Pancasila merupakan alat pemersatu serta sebagai dasar
negara republik Indonesia tetapi juga sebagai alat pemersatu
perjuangan bangsa dalam melawan imperialism atau penjajahan
sehingga dari hal tersebut terbentuklah corak, watak kepribadian
bangsa yang kuat (Soekarno, 1958: 3). Dengan demikian negara
Indonesia memiliki landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang
jelas dan juga visioner. Melihat pentingnya konsepsi dan cita-cita
ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa, maka
perlunya memahami basis moralitas dan haluan kebangsaan-
kenegaraan Pancasila dengan melihat landasan ontologis,
epistemologis dan aksiologis yang kuat sehingga aktualisasi dalam
setiap kehidupan menjadi lebih baik.
1. Makna Ideologi
P a g e | 38

Ideologi adalah salah satu istilah yang sangat banyak sekali


dipergunakan dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi makna dan arti
tersebut masih tergolong kabur atau samar. Di Indonesia sendiri
makna ideologi mengindikasikan kepada membangun kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara mendasarkan diri pada
Pancasila yang sering disebut sebagai ideologi negara. Maka,
timbulah pertanyaan bahwa ideologi Pancasila merupakan ideologi
terbuka atau tertutup?
Istilah ideologi dimasukkan dalam khasanah ilmu-ilmu sosial
oleh S.L.C Destutt de Tracy (1754-1836) yang merupakan seorang
politisi dan filsuf. Destutt memaknai ideologi sebagai ilmu tentang
idea-idea gagaran progresif. Berbeda dengan Karl Marx pada tahun
(1818-1883) yang mengatakan bahwa ideologi merupakan cara
manusia berpikir dan menilai terhadap pandangan-pandangan
agama, nilai budaya, moral dan pandangan dunia. Ungkapan Marx
tersebut kemudian disimpulkan sebagai pandangan-pandangan yang
disebut ideologi. Ideologi bagi Marx adalah sebuah kesadaran palsu
yang mengacu pada nilai-nilai moral tinggi dengan sekaligus menutup
kenyataan bahwa terdapat nilai-nilai luhur yang disembunyikan oleh
egoism kelas-kelas atas (Suseno, 1992: 228).
Pengertian yang paling umum dan paling sederhana mengenai
ideologi adalah pengertian dari kalangan ilmuan sosial, yang
mengatakan bahwa ideologi sebagai istilah bagi segala macam
sistem nilai, moralitas, interpretasi dunia, dan apa saja yang berupa
“nilai”. Maka, ada sekiranya tiga arti kata ideologi yang pertama
ideologi sebagai kesadaran palsu, hal ini merupakan sebuah konotasi
P a g e | 39

negatif dalam sebuah claim yang tidak wajar, atau sebagai teori yang
tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak
yang mempropagandakannya. Ideologi sehingga dilihat sebagai
sarana kelas atau kelompok yang berkuasa untuk melegitimasi
kekuasaannya secara wajar.
Istilah ideologi dipergunakan dalam banyak arti, namun pada
hakikatnya semua arti tersebut dapat dikembalikan pada salah satu
dari tiga arti, yang pertama ideologi sebagai kesadaran palsu. Ideologi
yang paling umum dipergunakan dalam arti “kesadaran palsu” dengan
kata yang memiliki konotasi negatif, lalu sebagai claim yang tidak
wajar, atau sebagai teori yang berorientasi pada kebenaran, akan
tetapi di sisi lain ada sebuah kepentingan satu atau dua pihak yang
mempropagandakan. Idologi dalam arti tersebut dapat menjadi
sebuah sarana kelas atau kelompok yang berkuasa untuk melindungi
legitimasi kekuasaannya dengan cara tidak wajar. Artinya bahwa
manusia untuk kepentingannya menggunakan makna ideologi sebagai
sebuah cita-citanya.
Ideologi dalam arti yang kedua adalah ideologi netral, dalam
ideologi ini sering dilakukan pada negara-negara komunis, artinya
ideologi secara keseluruhan sistem berikir, nilai-nilai dan sikap-sikap
dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan.
Fungsi Ideologi netral ini terletak pada bagaimana arti dan nilai
ideologi tersebut jika isinya baik maka ideologi itu baik dan sebaliknya
(Suseno, 1992).
Ideologi yang ketiga bagaimana filsafat dan ilmu-ilmu sosial
yang berhalauan positivistic, segala pemikiran yang tidak dapat diuji
P a g e | 40

secara matematis logis atau empiris disebut ideologi. Penilaian etis


dan moral, serta anggapan-anggapan normatif begitu juga dengan
teori dan paham-paham metafisik dan keagamaan atau filsafat
sejarah termasuk dalam ideologi. Artinya bahwa ideologi dalam arti
yang ketiga ini lebih kepada ideologi yang masuk akal yang bisa
ditest, diukur, diuji dengan metode positivistic. Jika suatu ideologi
yang tidak rasional di luar nalar serta tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara objektif maka ideologi tersebut tidak
dianggap.
Tiga macam “ideologi”, akan lebih mudah dipahami untuk
melihat nilai-nilai terhadap masing-masing dari ideologi. Tiga macam
tipe ideologi yaitu ideologi dalam arti penuh, sebagai contoh ideologi
dalam arti penuh atau lengkap dapat diambil contoh dari paham
Marxisme dan Leninisme yang memiliki arti ideologi secara penuh.
Ajaran atau pandangan dunia atau filsafat sejarah yang menentukan
tujuan-tujuan dan norma-norma politik serta sosial yang di claim oleh
penganutnya maka dapat disebut juga dengan ideologi tertutup.
Ideologi tersebut tidak boleh ditanya lagi tentang isi, kebenaran
sehingga ideologi tertutup tersebut tidak mungkin toleran terhadap
pandangan dunia atau nilai-nilai lain. Ciri dari ideologi tertutup bahwa
claim nya tidak hanya memuat nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar
saja, melainkan bersifat konkret operasional sehingga ideologi ini tidak
mengakui hak masing-masing orang untuk mempertimbangkan
sendiri, namun harus berdasarkan suara hatinya yang menuntut
ketaatan tanpa serve.
P a g e | 41

Ideologi tertutup tidak didapatkan dari masyarakat secara


langsung, melainkan merupakan pikiran sebuah elit yang harus
dipropagandakan dan disebarkan kepada masyarakat. Ideologi ini
tidak mendasarkan diri pada nilai-nilai dan pandangan moral
masyarakat, melainkan sebaliknya baik-buruknya nilai dan moral
masyakarat tersebut dinilai dari sesuai tidaknya dengan ideologi.
Beberapa contoh ideologi ini adalah seperti Marxisme, Fasisme,
Kapitalisme, Liberalism dan sikap konservatif yang memiliki dogmatis,
eksklusif, intoleran dan totalitas serta dapat dipergunakan untuk
melegitimasi kekuasaan sebuah elit ideologis yang tidak menghargai
suara hati dan tidak bersedia untuk mengakhirkan tuntutan pada
prinsip-prinsp moral.
Yang kedua adalah ideologi terbuka seperti halnya merupakan
sebuah falsafah negara hakekat Pancasila sebagai ideologi terbuka
pertama kali dikemukakan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1985.
Kemudian menegaskan bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka
harus kita kembangkan secara kreatif dan dinamis. Maka, Pancasila
tidak akan dapat menjawab tantangan zaman yang terus berubah dan
bertambah maju kemudian presiden mengemukakan bahwa Pancasila
sebagai ideologi terbuka memberi kesempatan kepada semua
warganegara untuk terus menerus mengembangkanya melalui
konsensus-konsensus nasional (Sudharmo: 1995).
Kemudian dengan konsensus-konsesus nasional itulah kita
dapat memiliki P-4 (pedoman penghayatan dan pengamalan
Pancasila), kemudian kita memandang pembangunan nasional
sebagai pengamalan Pancasila dan menerima Pancasila sebagai
P a g e | 42

satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarat, berbangsa, dan


bernegara. Pada tanggal 16 Agustus 1989 presiden menegaskan
kembali keterbukaan ideologi Pancasila yang memungkinkan kita
untuk dapat mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang segar
dan kreatif dalam rangka mengamalkan Pancasila untuk menjawab
perubahan dan tantangan zaman yang terus bergerak dinamis. Artinya
bahwa apa yang dijelaskan pengertian keterbukaan Pancasila tersebut
merupakan nilai-nilai dasar Pancasila tidak boleh berubah,
keterbukaan Pancasila tersebut tidak boleh berubah menyangkut
pelaksanaannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan nyata kita
hadapi dalam kurun waktu tertentu (Sudharmono, 1995).
2. Refleksi Pancasila dalam Konteks Kewarganegaraan
a. Ketuhanan Yang Maha Esa
Kemerdekaan Indonesia merupakan anugrah yang perlu
disyukuri karena dengan pengakuan tersebut, pemenuhan cita-cita
kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan suatu kehidupan bangsa
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta
mengandung moral. Masyarakat Indonesia memiliki kewajiban etis
yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan bukan hanya sesama
melainkan juga tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
(Latif, 2002:55).
Kemerdekaan ada, tentu dengan bantuan Tuhan yang hadir
dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia, sejarah nusantara
agama tidak pernah sekedar mengurusi urusan pribadi, tetapi juga
terlibat dalam urusan publik. Secara historis hidup religious dengan
kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran
P a g e | 43

oleh penduduk nusantara. Sejak zaman kerajaan Majapahit, doktrin


agama sipil untuk mensenyawakan keragamaan sudah ditanamkan
dalam buku Mpu Tantular dalam sotasoma, “bhineka tunggal ika tan
hana dharma mangrwa” (Tantular, 2009: 505).
Indonesia merupakan saham keagamaan dalam formasi
kebangsanaan Indonesia, nasionalisme bangsa sebagai hal yang
perlu diperhatikan karena sebagian besar masalah yang ditimbulkan
oleh kekaburan dalam melihat hubungan antara agama, Pancasila
dan negara. Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang
“kemerdekaan” negara Indonesia telah melewati ribuan tahun
pengaruh agama-agama lokal, 14 abad pengaruh dari Hinduisme dan
Budisme, kemudian 7 abad pengaruh dari agama Islam, kemudian
sekitar 4 abad dari agama Kristen ( Latif, 2002: 57).
Sistem keagamaan di Indonesia dari penyembahan serta
kepercayaan terus berkembang dengan mengikuti berbagai macam
cara hidup manusia. Yang semula manusia bergantung pada alam
kemudian berkembang kebergantungan manusia pada Tuhan.
Penyebaran sistem terkait kepercayaan agama-agama dalam sejarah
besaral dari peradaban lain. Sistem keagamaan yang disebut sebagai
politeistik masyarakat prasejarah Nusantara yang terus bertahan dan
mengalami proses sinkretik dengan agama-agama di pelbagai
daerah, unsur-unsur kepercayaan dan keagamaan yang diwariskan
dari zaman prasejarah. Kemudian berbagai kaum atau kelompok
dengan kemampuan untuk menyentuh pluralitas kondisi manusia
contohnya serikat Islam yang mempersatukan ragam imaginasi sosio
politik. Pada perkembangannya kemudian meningkatnya radikalisme
P a g e | 44

SI sebutan bagi kelompok serikat Islam yang menjadi penghimpun


golongan pribumi pertama yang menjangkau gugusan kepulauan
Nusantara dengan berlandaskan ideologi nasionalis berwarna agama
(Bahrum, 2017).
Serikat Islam membuka kran baru bagi radikalisme sebagai
akibat dari konflik dan membuka ruang baru serta sebuah proses
belajar sosial bagi gerakan sosial dalam konteks sosio historis yang
berbeda. Dengan demikian ideologi dan pergerakan sarekat Islam
menjadi landasan bagi pengembangan “ide nasionalisme baru”
bersama kemunculan pergerakan dan partai politik sejak tahun 1920-
an, di bawah kepemimpinan intelegensia.. Pada fase awal
kemunculan partai-partai politik apapun ideologi dukungan dari
komunitas agama-agama sangat diperlukan sehingga dapat
disimpulkan bahwa agama sering digunakan sebagai mobilisasi
politik.
Bagaimana ketuhanan dijadikan sebagai tolok ukur dasar
pembeda antara nasionalisme. Kemudian ada beberapa golongan
yang menyatakan beberapa argumennya guna menyelaraskan agama
dan Pancasila. Golongan kebangsaan dan golongan Islam bersepakat
dalam memandang pentingnya nilai-nilai ketuhanan dalam negara
Indonesia merdeka meskipun ada sedikit perdebatan pada hubungan
anatara negara dan agama. Golongan Islam mengatakan bahwa
negara tidak dapat dipisahkan dari agama, sebaliknya golongan
kebangsaan berpandangan bahwa negara hendaknya memiliki sikap
netral terhadap agama. Perbedaan dua kubu tersebut dikarenakan
P a g e | 45

latar belakang lingkungan pengetahuan yaitu epistemic community


dan civic nationalism (Nasional, 2017).
Epistemic community yang merujuk pada sejarah kejayaan
Islam kemudian dalih-dalih yang digunakan terutama dalam al-Qur’an
dan hadist, sedangkan civic nationalism yang merujuk pada
lingkungan pendidikan barat yang sangat terpengaruh pada
sekularisasi ilmu pengetahuan abad ke-16 yang dipelopori oleh Rene
Descartes dengan “cogito ergo sum” sehingga rasionalisme saat itu
berkembang menerobos dinding gereja serta kurang memahami alam
keagamaan.
b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Nusantara ibarat folder name yang menyimpan memori tentang
kejayaan kita sebagai bangsa bahari di muka bumi, nusantara
mencapai kesatuan maritim yang megah dengan kekuatan laut yang
jaya. Pada masa keemasan nusantara sebagai negeri bahari lautan
merupakan faktor utama sebagai penghubung komunikasi sosial
antara pulau maupun benua. Para penjelajah nusantara sebagai
katalis perniagaan seperti rempah-rempah, kayu manis, dan cassia
antara Romawi, India dan Timur. Mohammad Hatta memiliki catatan
tersendiri yang berarti bahwa nusantara memiliki letak dan keadaan
geografisnya, sudah sejak awal millennium masehi, nenek moyang
bangsa Indonesia mempunyai hubungan dengan China, India dan
Arab. Hubungan tersebut sudah dilakukan selama berabad-abad
sehingga mengangkat tiga suku bangsa sebagai pemimpin, suku
tersebut adalah Melayu, Bugis dan Jawa. Diantara tiga suku tersebut
memiliki keunggulannya masing-masing orang melayu contohnya
P a g e | 46

adalah pedagang yang giat dan pemukim-pemukim tangguh, orang


bugis mewakili kepahlawannnya, sedangkang orang jawa memiliki
keistimewaan dari bangsa lain dalam menciptakan pertanian.
Melihat hal tersebut perlu kita perhatikan bahwa arus-arus
peradaban yang diciptakan tidak bergerak dalam satu arah saja
artinya perjumaan dengan antar peradaban membawa proses saling
belajar atau bisa kita sebut sebagai akulturasi budaya, dari segi
teknologi pelayaran nusantara dipelajari dan dikembangkan oleh
komunitas-komunitas peradaban lain dengan mengambil dan
mengembangkan nilai-nilai dan pengetahuan dari peradaban lain.
Karena Samudra Hindia bukan merupakan pusat transaksi saja
melainkan juga pusat persilangan pengetahuan. Maka kita dapat
simpulkan bahwa melalui proses persilangan pengetahuan, budaya
serta perdagangan tersebut yang banyak berdampak pada sejarah
pasar global dan globalisasi.
Adam Smith mengatakan bahwa dalam sejarah peradaban
umat manusia disebutkan tentang dua pertemuan agung yang
berdampak besar terdapat pasar global yaitu pertemuan jalur ke
nusantara melalui tanjung harapan oleh suatu ekspedisi Portugis di
bawah pimpinan Bartolomeu Dias pada 1488, kedua penemuan
benua Amerika oleh Colombus yang disponsori Spanyol pada tahun
1492 yang sesungguhnya juga berniat menemukan nusantara. Hal
tersebut merujuk pada peristiwa sebagai titik mangsa dari awal “ proto”
globalisasi (Max Gilivray, 2006), berbeda menurut Lombart (1996, I: 1)
“sungguh tidak ada satupun tempat di dunia ini kecuali mungkin asia
tengah yang seperti nusantara menjadi tempat kehadiran hampir
P a g e | 47

semua kebudayaan besar dunia. Berdampingan atau lebur menjadi


satu”, Lombart mengambarkan adanya beberapa nebula sosial
budaya yang secara kuat mempengaruhi peradaban nusantara
“secara khusus jawa” Indianisasi jaringan asia “Islam dan China, serta
arus kebaratan (Latif, 2002: 134)
Pengaruh lain adalah pengaruh Islamisasi yang mulai dirasakan
secara kuat pada abad ke-13 dengan munculnya kerajaan-kerajaan
Islam awal seperti kerajaan Samudra Pasai di sekitar Aceh, hal
tersebut menjadikan salah satu faktor pengaruh Islam yang sangat
cepat meluas ke bagian Timur yang lebih dahulu dipengaruhi oleh
agama Hindu dan Budha. Hal ini menjadikan akselerasi penetrasi
kekuatan-kekuatan Eropa di nusantara sejak abad ke-16. Kehadiran
Islam di nusantara membawa perubahan penting dalam pandangan
dunia serta etos masyarakat nusantara terutama bagi wilayah pesisir.
Islam meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan
masyarakat perkotaan dengan konsepsi “kesetaraan” dalam
hubungan antar manusia, konsep “persone/nafs” dengan konsep
sejarah yang linier (Lombart, 1996: II, 149-242)
c. Persatuan Indonesia
Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia di dunia,
dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya, manusia
memiliki kelebihan dalam akal dan pikiran. Dengan semua kelebihan
itu manusia bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.
Maka, manusia diberikan tiga tugas yang harus diemban dalam
kehidupannya. Yaitu yang tersurat dalam konsep hablum minallah,
hablum minan nas, dan hablum minal alam, manusia harus
P a g e | 48

melakukan dan menjaga hubungan erat dengan Allah SWT. Hubungan


itu tercerminkan dalam kepatuhannya menjalankan perintah dan
menjauhi larangannya, manusia harus mempercayai seluruh sistem
keimanan agamanya, menjalankan seluruh ritual peribadatannya, dan
juga bermoral yang relevan dengan misi agamanya. (Nursyam,
2009:196).

Manusia juga harus bisa menjaga hubungan baik dengan


sesama manusia. Memelihara tali hubungan kemesraan bersandarkan
humanitas adalah bagian yang penting di dalam perjalanan hidup
manusia. Manusia dapat melaksanakan peran yang sangat penting
agar hubungan antar manusia tidak terdistorsi oleh kepentingan atas
nama kelompok, golongan, dan lain sebagainya. Inti dari
kemanusiaan adalah equality, keadilan, kemerdekaan, dan
keselamatan yang didasari oleh ajaran agama. Maka, hubungan antar
manusia ini membentuk sebuah kebudayaan yang saling menjaga
toleransi dalam bernegara maupun berbangsa. Oleh karena itu,
founding father Indonesia telah berupaya membangun negara yang
merdeka dengan dasar dan landasan Pancasila.

Tentu dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia


sangatlah sulit, melihat bagaimana pengikatan bersama komitmen
kebangsaan dari pelbagai identitas kultural itu tercermin dalam sejarah
perumusan konstitusi dan Pancasila. Dalam sejarah pembentukan
BPUPKI, mesti tidak memuaskan semua pihak terutama karena
biasnya terhadap mereka yang berpendidikan modern yang dianggap
mampu memimpin negara modern, komposisi keanggotaan BPUPKI
P a g e | 49

sedikit banyak merepresentasikan pelbagai keragaman unsur


kebangsaan Indonesia pada masanya.

Negara Indonesia yang akan dibentuk di dalamnya mencakup


hasrat persatuan yang dijadikan dasar yang fundamentalis dari negara
Indonesia. Maka, Soekarno menyatakan bahwa hasrat-hasrat
persatuan tersebut ke dalam kerangka kebangsaan. Natie Indonesia
bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “ le desir
d’etre ensemble” di atas daerah kecil kepulauan-kepulauan kecil,
akan tetapi, Indonesia adalah seluruh manusia-manusia yang telah
ditentukan oleh Allah SWT, tinggal dikesatukannya semua pulau-pulau
Indonesia dari ujung utara Sumatra sampai ke Irian Jaya. Dengan
demikian, inilah yang akan mendirikan satu kesatuan nasionale staat.

Melihat kerangka kebangsaan tersebut Indonesia berada pada


posisi krisis nilai budaya dan nilai falsafah negara. Bisa jadi
dikarenakan kejenuhan masyarakat Indonesia pasca menghayati Orde
Baru. Sehingga nilai-nilai keluhuran secara praktis tidak ditemui.
Sebenarnya kondisi tersebut dapat diatasi secara mendasar jika
dikembalikan kepada Pancasila. Misalnya implementasi Pancasila
diterapkan dalam dunia pendidikan. Sebab dalam dunia pendidikan
tidak bersifat doktriner atau indoktrinasi. Untuk itu, khusus dalam
mengisi ruang kebhinekaan perlu kita kembalikan pada lambang
negara, yaitu Garuda Pancasila (Sadjad, 2013: 7).

Penggalian nilai-nilai kebhinekaan tersebut, salah satunya


melalui tradisi lisan Nusantara, seperti pantun. Nugroho (dalam
Sudikan, 2013:153) mengatakan bahwa pantun sebagai bahasa tutur
P a g e | 50

sesungguhya mensyaratkan bahwa menjadi penutur di masyarakat


tidak mudah. Artinya tidak hanya terampil dalam komunikasi namun
juga berbahasa, ber-etika, berfilsafat sehingga diperlukan
pemahaman sejarah dan ruang sosial politik masyarakat. Pada
masanya, pantun sebagai tradisi lisan Nusantara mengandung
berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan sebuah
komunitas. Sebab isi dari pantun tidak hanya mencangkup peristiwa,
sejarah, pengumuman, dalam tontonan upacara tertentu melainkan
terdapat pengetahuan tentang alam, tata ruang maupun kehidupan
masyarakat. Dengan demikian, tradisi lisan mengandung nilai-nilai
kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan lokal, sistem kepercayaan
dan religi, kaidah sosial, etos kerja, sistem pengobatan, mitologi
hingga sejarah.

Kebhinekkan mencerminkan semangat nasionalisme serta


menunjukan sebuah kecintaan. Ada cinta yang hadir untuk
mendatangkan jiwa nasionalisme dalam satu kesatuan Indonesia.
Artinya, cinta terhadap budaya, cinta terhadap keanekaragaman, cinta
terhadap sesama yang membawa masyarakat Indonesia dalam satu
simbol yaitu Bhineka Tunggal Ika. Untuk itu, pluralisme di Indonesia
dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan
keadaban, atau yang disebut oleh Nurcholis Madjid sebagai genuine
engagement of diversities within the bond of civility.

Kondisi keanekaragaman ibarat pedang bermata dua. Di satu


sisi kondisi tersebut sebagai moralitas yang dapat menghasilkan
energi positif. Akan tetapi, disisi lain manakala keragaman tersebut
tidak dapat dikelola dengan baik, ia dapat menjadi ledakan yang
P a g e | 51

destruktif. Artinya bisa menghancurkan struktur dan pilar-pilar


kebangsaan. Contoh saja negara yang berhasil membangun
multikulturalisme adalah Amerika dan Kanada. Kedua negara tersebut
menggunakan konsep melting pot society yang mengandaikan
terjadinya peleburan berbagai elemen sosial budaya ke dalam
campuran homogen, menjadi pijakan konseptual praktis (Yuwana,
2013:176).

Multikulturalisme adalah sebuah konsep dari sebuah komunitas


dalam konteks kebangsaan yang dapat mengakui keberagaman,
perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, agama
dan lain sebagainya (Sudikan, 2013:168). Hal itu menandakan bahwa
bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang dipenuhi
dengan keberagaman budaya “multikultural”. Itu artinya, bangsa yang
multikultural adalah bangsa yang kelompok etnik bisa berdampingan
secara damai dengan prinsip co existensi yang ditandai dalam
penghormatan kepada budaya lain. Untuk itu, posisi Pancasila
sebagai ideologi negara merupakan bukti terciptanya sistem sosial
dalam kedamaian sebuah bangsa.

Membahas mengenai keanekaragaman tentu menyangkut


masyarakat pluralis. Pluralisme sendiri adalah konsep yang digunakan
untuk mengartikan keberagaman sosial dalam suatu masyarakat.
Pluralisme di Indonesia tidak bisa dipahami sebagai masyakat yang
majemuk, beraneka ragam, terdiri atas berbagai suku dan agama
saja, sebab jika pemahaman hanya ada pada batas ini sekadar
menggambarkan kesan fragmentaris. Selain itu, pemahaman seperti
ini masih dalam tahap meminimalisasi makna keberagaman belum
P a g e | 52

sampai pada taraf pembangunan pluralisme yang hakiki. Misalnya


saja dalam memahami pluralisme agama, bukan sebatas pengakuan
terhadap agama lain melainkan juga sampai pada taraf terlibat dalam
perbedaan dan persamaan antar agama. Dengan kata lain, pluralisme
agama adalah bahwa tiap pemeluk agama bukan saja dituntut untuk
mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga dituntut untuk
terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan dan kebhinekaan (Ritaudin, 2010).

Menurut Sudikan (2013: 174) sejak awal kemerdekaan,


Indonesia cenderung kuat pada penerapan politik monokulturalisme.
Sehingga terjadi pergeseran nilai-nilai budaya-budaya lokal. Menurut
Sudikan, politik monokultural berhasil meruntuhkan local genius
sehingga mengakibatkan terjadinya kerentanan dan disintegrasi sosia-
budaya lokal. Termasuk pada tahun 1996 terjadi konflik dan kekerasan
yang bernuansa etnis dan agama karena terkikisnya local genius.

Runtuhnya rezim Orde Baru sejak tahun 1998 telah mengubah


kontemplasi politik kebudayaan di Indonesia. Hasil dari reformasi ini
adalah pergeseran dari masyarakat Indonesia di bawah tekanan
kekuatan primordial yang otoriter materialistik menjadi ideologi
keanekaragaman kebudayaan. Sehingga hal ini menunjukan
pergerakan masyarakat Indonesia yang lebih demokratis dan
produktif. Penegakan hukum, terwujudnya keteraturan sosial,
terciptanya suasana dan rasa aman adalah transformasi yang
dirasakan masyarakat Indonesia setelah demokrasi ditegakkan.
Dengan demikian, ciri-ciri spirit reformasi ini adalah terbentuk
masyarakat yang demokratis.
P a g e | 53

Bagi masyarakat Indonesia yang telah melewati reformasi,


multikulturallisme bukan hanya wacana. Multikulturalisme atau
kesadaran akan keanekaragaman perwujudan dari sebuah ideologi
yang harus diperjuangkan. Untuk itu, kesadaran semangat dari
keanekaragaman ini terbentuk atas satu simbol yaitu Kebhinekaan.
“Berbeda-beda tapi tetap satu juga” yang mengimplikasikan
perbedaan yang termanifestasi dalam keragaman itu adalah
semangat persatuan dan kebersamaan sehingga menimbulkan jiwa
nasionalisme. Rasa cinta terhadap bangsa justru lahir dari keragaman
tersebut untuk bersatu menjadi satu kesatuan yaitu Indonesia (Latif,
2011).

Aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus


mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan dunia yang lebih jauh.
Dalam ungkapan bung Karno “internasionalisme tidak dapat hidup
subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.” Aktualisasi
nilai-nilai etis kesetaraan dan persaudaraan kemanusiaan dalam
konteks kebangsaan bisa menjadi semen perekat dari kemajemukan
ke-Indonesiaan, sebagai taman sari kemajemukan dunia (Yudi Latif,
2011: 250).

Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam


keragaman serta kebaruan dalam kesilaman. Dalam ungkapan
Clifford Geertz, Indonesia ibarat anggur tua dalam botol baru, artinya
gugusan masyarakat lama dalam negara baru. Nama Indonesia
sebagai proyek nasionalisme politik memang baru diperkenalkan
sekitar 1920 an, akan tetapi, nasionalisme tidaklah muncul dari ruang
hampa, melainkan berakar pada tanah air beserta elemen-elemen
P a g e | 54

sosial budaya yang telah ribuan bahkan jutaan tahun lamanya lahir di
nusantara (Yudi Latif, 2011: 250).

Persatuan Indonesia berarti menunjukkan bahwa sifat dan


keadaan negara Indonesia, harus koheren dengan hakikat satu. Sifat
dan keadaan negara Indonesia yang sesuai dengan hakikat satu
berarti mutlak tidak dapat dibagi, sehingga bangsa dan negara
Indonesia yang menempati suatu wilayah tertentu merupakan suatu
negara yang berdiri sendiri memiliki sifat dan keadaannya sendiri yang
terpisah dari negara lain di dunia ini, sehingga negara Indonesia
merupakan suatu pribadi yang memiliki ciri khas, sifat, personalitas
dan karakter secara mandiri dan khas sehingga memiliki suatu satu
kesatuan dan tidak terbagi-bagi (Kaelan, 2013: 258).

Secara geopolitik, negara republik Indonesia, yang dikatakan


Soekarno “Indonesia adalah negara lautan yang ditaburi oleh pulau-
pulau, atau dalam sebutan umum dikenal sebagai “ negara
kepulauan”, sebagai “negara kepulauan”terbesar di dunia, Indonesia
terdiri sekitar 17.508 pulau. (Yudi Latif, 2011: 251) Indonesia adalah
bangsa majemuk paripurna “par excellence”, sungguh menakjubkan,
bagaimana kemajemukan sosial, kultural, dan teritorial ini bisa
menyatu kedalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia.

Secara historis sebelum menjadi kepulauan, pada saat era


pleistosen berahir dan bumi memasuki zaman es. Gunung es di kutub
Utara dan Selatan yang masih sangat luas membeku, lantas meyerap
air lautan di daerah tropis, menurunkan permukaan air laut hingga
seratus meter dibawah permukaan yang ada saat ini. Di daerah yang
P a g e | 55

sekarang merupakan kepulauan antara benua asia dan australia,


terbentanglah dua daratan luas. Dataran yang satu merupakan
eksistensi dari benua asia yang disebut daratan sunda “ sundaland”,
yang di atasnya terdapat perbagai daratan pegunungan yang
merupakan rangkaian dari pegunungan himalaya. Sedangkan, daratan
lain merupakan eksistensi dari benua Australia yang disebut daratan
sahul “sahulland”, yang menyatukan New Guinea “papua” dan
australia (Koentjaraningrat, 1971: 1)

Pada bagian Barat, daratan Sunda membentuk daratan tunggal


yang meliputi pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan ribuan pulau
kecil yang berinduk pada dataran Asia Tenggara. Sebagian besar
daratan ini memiliki kesamaan kekayaan hayati dan hewani dengan
induknya. Di sebelah Timur daratan Sunda, kesatuan daratan itu
seperti terpisah oleh palung laut yang dalam, yang membujur antara
Kalimantan dan Sulawesi di Utara, serta Bali dan Lombok di selatan.
Palung pemisah tersebut yang kemudian dikenal sebagai garis huxley
atau garis “wallace”. Palung tersebut bukan merupakan satu daratan
tunggal, meskipun tinggi permukaan laut menurun pada titik terendah
pada awal zaman es. Di bagian Timur garis ini, terbentanglah wilayah
wallacea yang meliputi Sulawesi, Pilipina, Timor, Flores, Sumba,
Sumbawa, Lombok, Maluku, serta pulau-pulau kecil yang banyak
jumlahnya (Latif, 2011:253).

Oleh karena itu, Nusantara bisa dikatakan sebagai produk


penyerbukan maupun silang budaya yang menghadirkan arsiran-
arsiran persamaan dalam perbedaan. Secara genetik, kemungkinan
manusia nusantara berinduk ganda yakni ras austro-melanesoid
P a g e | 56

berkulit hitam dan ras austro mongoloid berkulit putih, kemungkinan,


perkawinan silang antara kedua ras tersebut melahirkan manusia
berkulit sawo matang yang lazim disebut ras Melayu. Meski demikian,
perbedaan lingkungan alam, persilangan baru, dan arus masuk para
pendatang baru menimbulkan kerumitan corak rasial yang melahirkan
ratusan kelompok suku bangsa di tanah air.

Alam nusantara juga beraneka ragam dari daratan pantai


hingga pegunungan, namun merupakan rangkaian dari gugusan
kepulauan yang pada masanya pernah menjadi bagian integral dari
benua Asia dan Australia. Menurut ekosistemnya, Geertz membagi
corak kebudayaan nusantara ke dalam tiga ketegori; kebudayaan
petani beririgrasi, kebudayaan pantai yang diwarnai kebudayaan
Islam, dan kebudayaan masyarakat peladang dan pemburu (Yudi
Latif, 2011: 265). Meski menunjukkan keragaman dan perubahan,
sebagai dampak kehadiran aneka budaya dan peradaban besar
dalam jangka waktu panjang, baik yang hadir serentak maupun
beruntun, yang kuat maupun yang lemah. Nusantara dalam
pandangan Lombard, masih mampu mempertahankan keasliannya
yang mendalam.

Hal ini terwujudkan dalam kenyataan bahwa nyaris semua


bahasa yang kini digunakan dikawasan nusantara tergolong ke dalam
satu kerabat bahasa austronesia, yang biasa dikenal sebagai bahasa
melayu-polineisa. Struktur-struktur bahasa lokal tidak berubah,
meskipun kata-kata baru pinjaman dari bahasa-bahasa Indo Eropa,
Dravida, Semit, dan China tidak terhitung banyaknya. Selain kesatuan
rumpun kebahasaan, pertautan antarsuku bangsa dimungkinkan oleh
P a g e | 57

jaringan perdagangan antar pulau yang menjadikan lautan sebagai


faktor penghubung, bukan pemisah. Pertautan antar suku bangsa juga
dimungkinkan oleh entitas kekuasaan yang melampaui batas-batas
kesukuan, baik oleh kerajaan-kerajaan besar hindu budha maupun
oleh jaringan kerajaan Islam. Meski wilayah kekuasaan negara-negara
nusantara lama itu tidak pernah sebangun dengan wilayah negara
republik Indonesia pasca kolonial.

Sebagai masyarakat kepulauan yang berada di titik strategis


persilangan antar samudra dan antar benua, masyarakat dan
penguasa di nusantara juga terbiasa menyerap unsur-unsur baru
untuk disenyawakan dengan unsur-unsur lama sehingga menjadikan
kepulauan ini sebagai kuali penyerbukan silang budaya (Yudi Latif,
2011: 267). Oleh karena itu, pentingnya persatuan sebagai landasan
berbangsa dan bernegara Indonesia bukan hanya bertumpu pada
perangkat keras seperti kesatuan politik “pemerintahan” yang
merupakan kesatuan teritorial, dan juga insklusivitas warga. Akan
tetapi, persatuan yang diharapkan tentu sangat memerlukan
perangkat lunak berupa eksistensi kebudayaan nasional. Artinya
bahwa, persatuan nasional memerlukan apa yang disebut oleh
Soekarno sebagai “identitas nasional” atau “kepribadian nasional”.

Soepomo menyatakan bahwa “karena kita (warga negara


Indonesia) menghendaki persatuan, maka kita mengajak lahirnya
kebudayaan nasional”. Persoalannya adalah bagaimana merumuskan
kebudayaan nasional dari suatu masyarakat majemuk? karena
masyarakat hanya mengenal kebudayaan dan tradisinya masing-
masing. Maka, kebudayaan asli harus dibuang dan digantikan
P a g e | 58

sepenuhnya dengan kebudayaan baru yang diadopsi dari luar (Yudi


Latif, 2011: 354). Menurut Heddy Shri, identitas tersebut adalah
Pancasila, dan agar dapat menjadi identitas yang empiris, yang tidak
mengawang-awang, maka Pancasila perlu di bumikan (Saksono,
2007: 134).

Pancasila sebagai dasar Negara yang mana menurut Heddy


sebagai identitas. Maka, untuk itu berbincang ke-Indonesiaan berarti
berbicara pula Pancasila. Sebab Pancasila memuat nilai-nilai yang
syarat dengan jiwa kebangsaan. Hal tersebut didukung oleh pendapat
Wagiyo (2015) yang mengatakan bahwa Pancasila memuat nilai
kebenaran, kebaikan, keindahan dan nilai religius. Sehingga peran
Pancasila membentuk kepribadian rakyat Indonesia untuk hidup
bersama.

Meninggalkan nasionalisme bagi negara-negara yang belum


lama merdeka akan memudahkan neokolonialisme dan
neoimperealisme masuk dibelakang neokolonialisme. Untuk
mengambil manfaat dari globalisme, sebuah negara harus kuat dalam
ekonomi, politik dan militer, serta kecerdasan rakyat. Membuka
seluas-luasnya batas-batas negara terhadap arus bebas uang,
barang, orang “tenaga kerja” dan informasi akan menimbulkan
kesenjangan dalam ekonomi, pembagian, kerja, dan impor, tidak
selektif besar-besaran nilai-nilai barat terutama Amerika (Alfaqi,
2015).

Sehingga dari pihak lain, lenyapnya nasionalisme akan


menimbulkan etnisisme. Bagi Indonesia etnisisme dibiarkan hidup,
P a g e | 59

sehingga terus menerus akan mencerai beraikan daerah-daerah


menjadi beberapa puluh atau ratus negara mini. Karena ciri bangsa
Indonesia yang multikultural, multilingual dan arkipelagik dengan
individualisme yang kuat, karena pulau-pulau autartik (Saksono, 2007:
89).

Persatuan Indonesia, yang terdiri atas dua kata yaitu “persatuan


(sub) dan Indonesia (ket), menjadi inti pokok sila ketiga kata
“persatuan” yang terdiri dari akar kata satu + per/an. Maka,
“persatuan” secara morfologis berarti suatu hasil dari perbuatan, yang
merupakan nomena. Ditinjau dari sudut dinamikanya pengertian
“persatuan” yaitu suatu proses yang dinamis berdirinya bangsa dan
negara “Indonesia”, sehingga merupakan suatu proses persatuan
untuk wilayah, bangsa dan negara Indonesia (Kaelan, 2013: 256-
257).

Kunci pokok mempersatukan bangsa Indonesia bukanlah


kesamaan budaya, agama, dan etnisitas tertentu saja, melainkan
karena adanya negara persatuan yang menampung cita-cita politik
bersama, mengatasi segala salah paham golongan dan
perseorangan. Jika negara merupakan faktor pemersatu bangsa,
negara pula yang menjadi faktor pemecah belah bangsa. Maka,
dengan demikian, politik kenegaraan bagi Indonesia sangatlah vital
untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan bangsa. Meskipun
Indonesia menganut political nationalis dengan menempatkan negara
sebagai unsur pemersatu, konsepsi kebangsaan Indonesia juga
mengandung unsur-unsur cultural nationalism dengan kehendaknya
untuk mempertahankan warisan historis tradisi kekuasaan dan
P a g e | 60

kebudayaan sebelumnya dari pelbagai kemajemukan etnis, budaya,


dan agama. Kesadaran ini jelas tergambarkan dalam bayangan para
pendiri bangsa tentang batas-batas teritorial negara Indonesia
merdeka.

Prinsip ketiga Pancasila meletakkan dasar kebangsaan sebagai


simbol persatuan Indonesia, suatu konsepsi kebangsaan yang meng
ekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam
persatuan “unity in deversity, diversity in unity” atau biasa disebutkan
dalam slogan “bhineka tunggal ika” artinya kebangsaan Indonesia
adalah satu tubuh dengan banyak kaki, setiap kaki tidak ingin
diringkus dan ditebas, melainkan tetap dipertahankan untuk
memperkokoh rumah kebangsaan Indonesia jangan terjadi antarkaki
saling menendang yang bisa menimbulkan keretakan dan akhirnya
bisa membawa roboh bangunan ke-Indonesiaan (Latif, 2011: 369).

Cinta membawa masyarakat Indonesia hidup dalam


keanekaragaman. Artinya semangat ke-Bhineka-an terlahir atas dasar
cinta. Menurut Marcell (2005:127) manusia tanpa cinta adalah
manusia tanpa dinamika kehidupan yang damai dan bersahabat, yang
toleran dan bersatu. Penghayatan mendalam dan pengalaman yang
penuh kesadaran akan melahirkan dinamika kestabilan kebersamaan
dalam kebhinekaan. Oleh karena itu, “ada” selalu berarti mencintai:
“Etre, c’est aimer”.

Paradigma Bhineka Tunggal Ika juga memuat ajaran kosmos.


Di dalam ke-Bhineka-an termuat cinta suatu dunia dengan panaroma
kebhinekaan yang tanpa cinta akan mustahil akan terjadi keteraturan.
P a g e | 61

Sebaliknya yang terjadi adalah kekacuan “chaos” yang selanjutnya


menjadi bagian dari manusia. Suatu keteraturan dalam simbol bangsa
ini juga sebagai tanda bahwasanya Indonesia ada bukan untuk
berbeda melainkan Indonesia “ada” karena keteraturan dari
keberagaman. Artinya Indonesia menjujung rasa toleransi yang tinggi.
Hal tersebut termaktub dalam semangat UUD 1945 yang menyatakan
“bagi segenap bangsa Indonesia” tanpa merinci asal usul etnis,
konfesional maupun sosial ekonomis.

Bhineka Tunggal Ika merupakan konstatasi yang padat


mengenai suatu konstelasi yang kompleks (Kusumohamidjojo, 2000:
146). Bhineka tunggal ika Sebagai perlambang negara, terkadang
rakyat Indonesia lupa akan esensi dasar dari simbol tersebut. Sejarah
menunjukan bahwa simbol tersebut menunjukan keanekaragaman
yang dimiliki Indonesia dalam wadah persatuan. Itu artinya, ada
tugas yang tidak ringan dalam simbol ini. Sebab dalam simbol
tersebut mengisyaratkan bagaimana besarnya tantangan yang harus
diatasi dalam rangka menegakkan kesatuan dalam keanekaragaman.

Secara sejarah, Bhineka Tunggal Ika adalah misi nasional.


Artinya, dalam negara yang didirikan berdasarkan Bhineka Tunggal Ika
terdapat pengakuan konstelasi yang historis dan nyata, yaitu adanya
sebuah kehendak untuk menekan segala bentuk perbedaan sampai
pada tingkat yang minimal. Sejarah juga membuktikan bahwa terjadi
penindasan itu dikarenakan muara konflik yang timbul dari proses
akulturasi yang tidak mulus. Sebagai suatu yang ideal, Bhineka
Tunggal Ika hadir sebagai penengah atas perbedaan dan kebedaan
menjadi suatu keanekaragaman.
P a g e | 62

Mengupayakan persatuan masyarakat plural bukanlah hal yang


mudah, sepenuhnya proses pembangunan merupakan salah satu
agenda penting yang harus dibawa dan ditumbuhkan. Bung Karno
misalnya, membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan
sentimen nasionalisme yang menggerakkan suatu itikad, suatu
keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu
bangsa (Latif, 2011: 370). Usaha untuk merajut karakter bersama,
kehendak bersama, dan komitmen bersama dari suatu kebangsaan
yang majemuk. Pertama-tama, dengan mensyaratkan hadirnya suatu
negara persatuan. Dengan demikian sila persatuan Indonesia adalah
berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, berkerakyatan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia (Kaelan, 2013: 257).

Keanekaragaman di Indonesia menunjukan kekayaan budaya,


daerah, agama, dan sebagainya. Hal itu menunjukan bahwa
Indonesia adalah negara dengan kekayaan perikemanusiaaan
berbangsa. Penting untuk menganalisa dan mengungkapkan nilai-nilai
dalam keanekaragaman. Bukan tidak mungkin, jika keanekaragaman
yang sejatinya adalah kekayaan lalu menyempitkan diri dalam
pengkotakan atau sekratinisme. Seperti yang dikatakan oleh Achmad
(2001: 96) keanekaragaman juga berpeluang menjadi keragaman
yang mudah tersulut hanya karena dibelok-belokkan jika tidak
diimbangi kesadaran sosial yang berwatak terbuka dan demokratis.

Bhineka Tunggal Ika merupakan simbol negara bangsa


Indonesia. Tidak sebatas simbol, Bhineka Tunggal Ika juga
mengandung falsafah. Artinya, bahwa Bhineka Tunggal Ika
P a g e | 63

mengandung semangat persatuan dari keanekaragaman yang dimiliki


bangsa Indonesia. Maka dari itu, keanekaragaman dan ke-
Indonesiaan dalam makalah ini dibungkus oleh simbol Indonesia yaitu
Bhineka Tunggal Ika. Sejarah perumusan Bhineka Tunggal Ika sangat
diperlukan untuk digali untuk menemukan esensi dasar dari simbol ini.

Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang


demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai
kemajemukan masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai
suatu keniscahyaan. Hal itu terimplementasi dalam khazanah budaya
nusantara dan keanekaragaman perbedaan yang selanjutnya
dipersatukan oleh simbol negara, Bhineka Tunggal Ika. Sehingga,
Bhineka Tunggal Ika tidak sebatas simbol negara namun di dalamnya
menyimpan jati diri bangsa Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh
Muniatmo (2000: 1) budaya suku-suku bangsa yang tersebar dari
Sabang sampai Merauke merupakan kekayaan budaya Indonesia.

Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang


hidup dalam lingkup budaya masing-masing (Murniatmo, 2000: 1).
Itu artinya budaya yang beraneka ragam ini menunjukan bahwa
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa Indonesia berada pada situasi yang secara
struktural memiliki sub kehidupan yang bersifat diverse. Di sisi lain,
negara yang majemuk memiliki potensi untuk silang keyakinan
sehingga dapat memicu konflik. Akan tetapi, keberagaman di
Indonesia adalah kekayaan bukan sebagai permasalahan. Hal tersebut
dibuktikan dengan persatuan ideologi yang dibangun dalam dasar
negara yaitu Pancasila.
P a g e | 64

Keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia dilindungi oleh


Negara dalam pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
“Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Hal itu
berarti bahwa setiap anggota warga negara wajib memajukan budaya
bangsa yang bernilai luhur. Selain itu, juga dipertegas dalam pasal
yang mengemukakan bahwa budaya lama dan asli adalah puncak
kebudayaan di daerah seluruh Indonesia dan diperhitungkan sebagai
kebudayaan bangsa.

Selain itu, pengakuan keanekaragaman di Indonesia juga diatur


dalam Tap MPR No.II/MPR/1993 yang berisi garis-garis besar haluan
negara menyebutkan bahwa kebudayaan Indonesia yang
mencerminkan nilai-nilai luhur harus dipelihara, dibina dan
dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan
Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian
bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebanggan nasional,
memperkokoh jiwa persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu
menjadi penggerak bagi perwujudan cita-cita bangsa di masa depan.

Keanekaragam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah


kekayaan nusantara yang terdiri dari Budaya, Suku, Agama, dan
Ras. Secara geografis, Indonesia memiliki 13.000 lebih pulau,
berpenduduk 370 suku bangsa, lebih dari 67 bahasa daerah,
beberapa etnis, keanekaragaman agama, dan beberapa kepercayaan.
Kekayaan yang juga dimiliki oleh bangsa adalah cara pandang serta
kesadaran masyarakat Indonesia tentang yang hendak dicita-citakan
bangsa. Indonesia dengan keragamannya memiliki rakyat yang
P a g e | 65

bersifat konstruktif, toleran dan terbuka. Dengan demikian, ini adalah


warisan budaya hasil dari semangat nasionalisme untuk bersatu.

Dalam kerangka budaya, Indonesia memiliki warisan budaya


lokal. Tlassinurat (2008: 18) menyebut warisan budaya sebagai
kebermaknaan pencapaian dalam sejarah kebudayaan bangsa,
keunggulan mutu dan pengakuan nasional. Meskipun terbatas pada
etnik tertentu, khazanah budaya ini mendapat pengakuan secara
nasional dan saling mendukung antara lokal satu dengan lokal lain.
seperti ada masakan Padang, batik dari setiap daerah masing-
masing, sulam khas Tasikmalaya, tarian Bali dan lain sebagainya.
Warisan dari budaya local tersebut sebagai sebuah kebudayaan
bangsa yang terceminkan di dalamnya nilai-nilai kebhinekaan serja
jiwa nasionalis yang selalu tertanam dalam segala kondisi.

1) Relevansi Kebhinekaan dalam “Kekerasan atas Nama Agama”

Dalam diskursus agama-agama, teks suci selalu mengajarkan


tentang agama yang memiliki wajah ramah terhadap manusia. teks
suci yang diyakini berasal dari Tuhan selalu berbasis keramahan
terhadap manusia. Agama memang untuk manusia, oleh karena itu
ketika agama berada dalam teks suci juga menggambarkan wajahnya
yang ramah dan penuh kasih sayang. Teks Islam mengonsepsikannya
sebagai agama rahmatan lil alamin. Namun demikian, ketika agama
itu telah berada di tangan manusia, maka wajah agama sering kali
hadir dalam personalitas diri manusia. Ambivalensi wajah agama itu
tampak ketika agama menampilkan potretnya yang keras di satu sisi,
P a g e | 66

akan tetapi juga disisi lain menampakkan wajahnya yang anggun,


ramah, dan eksis di dalamnya wajah kasih sayang.

Dalam sejarah kemanusiaan, tidak dapat dipungkiri bahwa


tampilan wajah agama selalu berurusan dengan tafsir manusia
tentang agama. Karena ketika agama berada di tangan manusia
adalah tafsir manusia tentang teks agama, maka di sana sini akan
muncul tafsir yang berbeda. Oleh karena itu, sahlah kiranya jika antara
satu dengan yang lainnya menjadi berbeda dan bahkan bertentangan.
Perbedaan antara satu dengan yang lain adalah perbedaan tafsir dan
bukan perbedaan teks agama perbedaan teks agama bisa terjadi,
misalnya al Qur an versi ahlu sunah wal jamaah dengan versi syiah.
Yang lebih banyak berbeda adalah teks di dalam agama Nasrani,
seperti teks injil yang satu dengan yang lain sangat lah berbeda.
Hanya saja, ketika perbedaan atau pertentangan itu telah memasuki
hal-hal yang krusial. Maka, agama akan berubah menjadi ideologi
yang seringkali berbeda didalam posisi saling menihilkan atau
sekurang-kurangnya menguasai satu atas lainnya.

Ketika agama telah memasuki ranah ideologi, maka ketika itu


agama telah menjadi bagian dari kebenaran yang harus dipertahankan
dan diperjuangkan dengan berbagai cara termasuk cara-cara
hakikatnya “melawan” teks agama itu sendiri. Perusakan,
pembakaran, penghancuran, dan pengeboman atas nama agama
yang dilakukan dengan mengucapkan takbir “Allahu Akbar” adalah
sekelumit kisah tentang wajah agama dengan tafsirnya yang keras,
radikal atau fundamental.
P a g e | 67

Di berbagai tempat kekerasan atas nama agama sudah terjadi


dalam kurun waktu lama. Dalam sejarah kekerasan atas nama agama
diperoleh gambaran telah terjadi semenjak tahun 1980-an. Tahun
1983, 240 marinir Amerika tewas di Lebanon, sejumlah warga
Amerika disandera kelompok Syiah di Lebanon, pembajakan pesawat
TWA di Beirut 14-30 juni 1985, dan beberapa kekejaman bom
Perancis, peledakan penerbangan pan Am nomor 109 di Lockerbie,
Skotlandia 1988, pengeboman WTC 1993, kemudian fatwa Imam
Khomeini tentang Salman Rushdi (Zada, 2003: 65) yang selanjutnya
sangat menggemparkan dunia adalah pengemoban terhadap WTC,
11 September 2001 dan tragedi bom bali 11 Oktober 2002, tragedi
Poso perang antara Kristen dan Islam, di Ambon konflik Islam dan
Kristen yang terbaru dekat-dekat ini adalah teror di Prancis.

Penggunaan sentimen agama dan etnik muncul sangat kuat


dalam konflik kekerasan antar warga yang terjadi di berbagai wilayah
di dunia secara umum dan Indonesia khususnya. Sehingga wilayah-
wilayah berlangsungnya proses negosiasi batas-batas yang kemudian
menjelma menjadi wilayah-wilayah konflik. Ketika tidak di temukan
cara untuk mengelola konflik maka, dengan cepat wilayah konflik itu
menjadi wilayah-wilayah kekerasan (Dwipayana, dkk, 2011: 152).

Sangat sulit membayangkan adanya konstitusi yang lebih


berkuasa ketimbang institusi agama dan negara. Keduanya bisa
dikatakan kalau ibarat ini dapat dipakai maka semacam kutub-kutub
yang membentuk pusat-pusat kekuasaan dalam kehidupan manusia.
sebagai pusat kekuasaan, keduanya memiliki kewenangan yang
bersifat absolut: tidak ada institusi lain, kecuali agama dan negara,
P a g e | 68

yang mampu meminta ketundukan total dari anggota atau warganya.


Bukan hanya atas nama agama dan nama negara manusia rela
mengorbankan nyawanya, atau membunuh sesamanya, entah demi
tanah air atau demi membela tuhan.

d. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dan


Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Negara persatuan dari bangsa yang multikultural bisa bertahan
lebih kokoh jika selalu memperhatikan landasan dan sanggung
menjamin keseimbangan antara beberapa pemenuhan prinsip-prinsip
kebangsaan, kesetaraan dan persaudaraan yang berlaku bagi semua
elemen bangsa. Dalam hal ini bukan saja hak-hak individu maupun
hak-hak kelompok saja melainkan kewajiban untuk mengembangkan
solidaritas sosial seperti gotong-royong dalam rangka kemaslahatan
dan kebahagiaan hidup bersama.
Pemerintahan yang selalu menghormati hak-hak minoritas
syarat akan kedaulatan rakyat yang berlandaskan semangat
kekeluargaan. Pengakuan hak terhadap golongan minoritas maupun
kelompok etnis merupakan bentuk dan wujud semangat berdaulat.
Cita-cita kedaulatan rakyat dalam semangat kekeluargaan yang
memberi ruang bagi multikulturalisme dalam sanubari Indonesia
sebagai pantulan dari pengalaman pahit bersama tentang penindasan
kolonialisme dan semangat gotong royong menuju kemerdekaan
masyarakat Indonesia.
Cita-cita persaudaraan dalam kesederajatan kewargaan ini
memiliki akar yang kuat dalam pergaulan hidup bangsa Indonesia.
Secara historis sosiologis, kerelaan menerima keragaman telah lama
P a g e | 69

diterima sebagai kewajaran oleh penduduk kepulauan nusantara


menjadi kewajaran oleh penduduk kepulauan nusantara menjadi
tempat persilangan antar budaya. Tradisi musyawarah dalam
semangat kekeluargaan telah lama melekat dalam masyarakat
nusantara. Perjuangan kemerdekaan menjadi sebuah harapan
bersama, yang memberikan pengalaman bagi para pelopor
kebangsaan dari pelbagai latar budaya untuk menjalin kerjasama.
Bangsa Indonesia mengidealkan suatu bentuk demokrasi yang tepat
guna, selaras dengan karakter dan cita-cita kemerdekaan bangsa.
Negara yang harus dibentuk berdasarkan kedaulatan rakyat
dipahamkan kepada masyarakat guna mencari tujuan bersama yaitu
kemerdekaan Indonesia.
e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Indonesia memiliki cita-cita demokrasi yang tidak hanya
memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi, yang
dimaksud dalam hal ini adalah berkaitan dengan sila keempat yaitu
kerakyatan dan sila ke lima yaitu keadilan dalam Pancasila merupakan
suatu rangkaian yang tidak terpisahkan oleh Soekarno menyebutnya
dengan rangkaian dari prinsip “sosio demokrasi”. Istilah sosio
demokrasi berasal dari seorang teoretikus Marxis Austria, Fritz Adler
yang mendefenisikan “sosio demokrasi” sebagai “politiek
ekonomische democratie” Soekarno sering mengkutip ungkapan Adler
“demokrasi yang kita kejar janganlah hanya demokrasi politik saja,
tetapi kita harus mengejar pula demokrasi ekonomi.
Berbeda dengan bung Hatta yang menulis “Di atas sendi” cita-
cita tolong seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai
P a g e | 70

penghidupan orang banyak harus menjadi pedoman perusahaan


politik dan demokrasi ekonomi yang tidak terpisahkan dan saling
terkait satu sama lain (Soekarno 1965: 587). Secara sadar bahwa
para pendiri republik Indonesia banyak menganut pendirian revolusi
kebangkitan bangsa sebagai bangsa yang telah hidup dalam alam
feodalisme ratusan tahun lamanya. Sehingga Indonesia memiliki dua
wajah yaitu revolusi politik dan revolusi sosial artinya bahwa revolusi
politik menghilangkan kolonialisme dan imperialisme serta untuk
mengoreksi struktur sosial ekonomi dalam rangkan mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur (Latif, 2004: 492).
Cita cita keadilan dan kemakmuran menjadi tujuan akhir dari
revolusi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dengan jalan
demokrasi politik dengan demokrasi ekonomi yang berorientasikan
untuk kebijakan sosial kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan.
Masyarakat yang adil dan makmur adalah impian kebahagiaan yang
telah berkobar ratusan tahun lamanya, ungkapan tersebut terwujudkan
dalam pribahasa “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”
dalam istilah tersebut tersirat bahwa masyarakat memiliki impian yang
adil dan makmur yang merupakan cita-cita murni dengan penuh
pengorbanan dan perjuangan sekian lamanya. Masyarakat adil dan
makmur merupakan suatu harapan panjang atas pengalaman yang
sudah dirasakan masyarakat selama berpuluh-puluh tahun akibat
penjajahan (Soekarno, 1959/2002: 213-214).
Historiografi terbaru tentang wawasan nusantara
memperlihatkan konsensus bahwa pada masa pra kolonial “pra
modern” pertumbuhan ekonomi yang cepat merupakan gambaran
P a g e | 71

tetap dari kawasan nusantara. Pandangan kolonial yang biasanya


melukiskan perekonomian pra modern dari kawasan ini sebagai
sesuatu cara intristik bersifat statis tidak lagi valid (Houben, 2002:
35). Akar kemakmuran Indonesia bisa dilacak hingga zaman
prasejarah, dengan bukti-bukti terbaru kemudian sebelum zaman es
berahir sekitar 8000 tahun lalu, dataran Sunda menyatukan Jawa,
Sumatra dan Kalimantan dengan kawasan Asia lainnya. Setelah
zaman es berahir berkembang jaringan perdagangan maritim pulau
dan pesisir di seluruh cincin plastik dan kepulauan Asia Tenggara.
Sebagian besar berdampak pada penuturan bahasa-bahasa
Austronesia, sebuah keluarga bahasa yang dituturkan di seluruh
kepulauan Asia Tenggara hingga saat ini. Dalam pergerakan ke arah
Timur jaringan perdagangan nusantara menjangkau kepulauan pasifik
dan sejak sekitar 6000 tahun yang lalu mulai melakukan perdagangan
obsidian “batu kaca” jarak jauh (Oppenheimer, 2010: 121-122).
Sedangkan pergerakan ke arah Barat jaringan perdagangan nusantara
memelopori perdagangan di jalur Samudra Hindia beberapa
millennium sebelum masehi, jauh sebelum wilayah itu dijelajahi oleh
para pelaut Mesir, India, Yunani, Romawi dan China.
Oppenheimer mengatakan bahwa ada tiga kelompok pedagang
maritim yang berbeda, dari hilir mudik samudera Hindia sejak 2000
tahun lalu yaitu Arab India Asia Tenggara (Oppenheimer, 2010: xxix).
Jaringan nusantara tersebut selama berabad-abad kemudian mampu
mencapai pantai Timur Afrika, menjadi katalis dalam hubungan
perdagangan antara Romawi dan India dengan Timur terutama dalam
P a g e | 72

hal perdagangan rempah-rempah seperti kayu manis dan acasia


(Dick Read, 2005: 9).
Memasuki abad ke-15, perekonomian nusantara dinggap
bagian integral dari dinamika perkonomian dunia dalam konteks
globalisasi. Anthony reid mengatakan bahwa selama periode 1400-
1650 disebut sebagai “the age of commerce”, suatu revolusi
komersial melanda kepulauan asia tenggara yang memainkan peran
penting dalam ledakan perekonomian dunia secara tetap selama abad
ke-16, produksi perdagangan jarak jauh yang terpenting pada masa
tersebut yaitu lada, cengkeh dan pala datang membawa serta
pertumbuhan pedagang, pemerintahan dan kota serta mendorong
pertumbuhan cepat di segala sektor perkonomian. Meskipun di sana
ada banyak kerajaan dan kota-kota, perdagangan bersifat
internasioanal sebagaimana lautan mempersatukan kepulauan (Reid,
1993: II, 1-133).
Dinamika perkonomian global tersebut tertuang dalam arus
pertukaran barang serta memperlihatkan jaringan komersial yang
padat dan luas, terutama sejak abad ke-13 sampai abad-17.
Bermula dari pelabuhan-pelabuhan dengan berkembangnya sistem
pasar yang kompleks membentuk struktur yang menyerupai jaring
laba-laba dengan hierarki antara pelabuhan pusat dan regional,
terutama dengan China dan Arab yang berkembang sangat signifikan.
Majapahit yang berkembang ketika itu menjadi kebangkitan kawasan
pesisir 200 tahun kemudian, sedangkan Jawa berkembang menjadi
kekuatan maritim. Sampai abad ke-16 tumbuh kota-kota dengan
P a g e | 73

pedagang dan penduduknya yang bersifat cosmopolitan (Lombard,


1996: II, 29-67).
Terlihat bahwa perkembangan tersebut sangat gemilang dalam
perekonomian nusantara Pra Modern ini terjadi dan mengalami
gangguan oleh penetrasi kekuatan dari luar, terutama dari Eropa, yang
tertarik oleh kekayaan alam nusantara sebagai komoditi perdagangan
di pasar global. Sejak abad-15 diketahui bahwa kerajaan-kerajaan di
nusantara mulai lebih sering menghadapi penetrasi dari pihak luar.
Kekuatan China misalnya, yang mulai mengirim ekspedisi angkatan
lautnya sejak abad ke-14, kemudian Portugis yang menaklukkan
Malaka sehingga mengantikan peran Sriwijaya, kemudian tragedi
jatuhnya Malaka berdampak pada kewenangan politik dan kebudayaan
maupun perdagangan (Latif, 2004: 500-501).
Kekuatan Eropa yang paling kuat menancapkan pengaruhnya di
Indonesia adalah Belanda, yang dipimpin langsung oleh Cornelis de
Houtman yang disambut baik oleh kerajaan Banten. Belanda
memberikan pengaruh pada sebuah hegemoni dagang di Nusantara,
VOC memanfaatkan perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis
sebagai pintu masuk untuk menguasai pusat rempah-rempah pada
tahun 1605, kekuatan gabungan VOC dan Belanda mampu memaksa
Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven
van Der Hagen dan kepada Cornelisz Sebastiansz di Tidore.
Sementara itu tahun 1619 VOC menaklukkan Jayakarta setelah
mereka membangun sebuah pos perdagangan di pantai Barat laut
Jawa yang kemudian disebut dengan BATAVIA yang dijadikan sebagai
pusat pemerintahannya lalu berkembang menjadi kota Hindia
P a g e | 74

Belanda. Maka, kita ketahui bahwa penguasaan VOC atas kerajaan


sejak abad ke-17 memiliki kewenangan politik (Latif, 2004: 503).
Hegemoni kekuatan dagang Eropa yang membuka pintu bagi
kolonialisme-imperialisme tersebut berkombinasi dengan kemudian
munculnya negara-negara absolutis pribumi sebagai awal bangkitnya
kapitalisme monarki. Hegemoni memunculkan beberapa kerajaan-
kerajaan feodalistis yang eksploitatif sehingga pedagang-pedagang
lokal secara terus-menerus diperas oleh kekuatan-kekuatan monopoli
kerajaan (Houben, 2002: 53).
Belanda mengkontrol ketat sumber daya Indonesia selama
paruh pertama abad ke-20, baik aspek agrikultur maupun mineral.
Dalam hal ini Belanda meraup keuntungan sangat melimpah dari
koloninya di Hindia Timur, kebanyakan uang yang mengalir dari
Indonesia ke Belanda untuk menindas pemberontak kususnya di Aceh
dan Bali. Dengan demikian perusahaan dan perkebunan karet milik
belanda membawa keuntungan yang sangat besar. Barang-barang
agrikultur hampir sepenuhnya digantikan oleh karet dan minyak
sebagai sumber utama pemasukan pemerintah. Kemudian Belanda
membuka perusahaan asing di Indonesia kususnya pada sejumlah
perusahaan Eropa yang menjalankan perkebunan dan bisnis serta
membayar pajak ke pemerintahan kolonial Belanda kemudian
dikompensasikan oleh ongkos sewa tanah yang rendah, upah buruh
yang rendah, serta jam kerja yang berkebihan (Lamoureux, 2003: 57).
Maka kita bisa melihat bahwa sejak munculnya kapitalisme
liberal sesudah tahun 1870, Indonesia dipandang semata-mata
sebagai suatu onderneming besar untuk menghasilkan barang-barang
P a g e | 75

bagi pasar dunia. Sebagai dasar ekonominya adalah export economy.


Pasar dalam negeri diabaikan semata-mata, sebab tidak
mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Maka, Indonesia
dianggap sebagai onderneming dengan masyarakat semata-mata
sebagai daerah persediaan buruh yang murah dengan tenaga beli
rakyat tersingkir dari perhitungan. Sehingga hal ini yang menjadi
sistem kapitalisme yang mendasarkan perekonomian Indonesia
kepada export economy (Hatta, 1946).
Perkonomian kolonial melahirkan dualism economy, artinya
bahwa kolonial membawa kesenjangan yang lebar antara sektor
ekonomi modern dan ekonomi tradisional yang berpusat di Jawa dan
Sumatra. Sehingga bertumpu pada para penjajah pada perkebunan
modern dengan sektor tradisional ekonomi rakyat, yang menjadikan
rakyat tidak hanya sebagai rakyat biasa melainkan juga kuli miskin,
serta pada pedagang lokal yang dulu pernah berjaya setelah lama
mengalami kemunduran sepanjang periode kolonial Belanda. Struktur
yang memarjinalkan pedagang bumi putera yang tanpa perlindungan
negara tetap terkunci dalam usaha dagang dan produksi komoditi
skala kecil di daerah-daerah pedesaan dan kota-kota kecil (Robison,
1978: 19).
Bagaimana kesadaran keadilan ekonomis dalam pergerakan
kebangsaan Indonesia?. Pertama-tama tumbuh kesadaran ekonomis
di lingkungan pedagang “pribumi” serta kalangan intelegensia
independen sebagai strata sosial baru yang sedang tumbuh membuat
satu mechanism pertahanan diri. Yang kedua tumbuh “kebencian
politik” sebagai sebuah perasaan bahwa telah mendapatkan
P a g e | 76

keuntungan yang tidak fair kemudian melahirkan apa yang disebut


sebagai kaum mardhika “vrije burgers” yaitu kelompok orang-orang
yang mata pencahariannya tidak bergantung pada pemerintah dan
ekonomi kolonial. Hal tersebut dapat dilihat Pada ahirnya awal abad-
20 muncul pelbagai perkumpulan kaum mardhika yang berusaha
memperjuangkan perbaikan dan keadilan ekonomi, salah satu nya
sarekat dagang Islam atau biasa disebut SDI. SDI pertama didirikan di
Bogor sekitar 1905 secara legal formal pada tahun 1909 oleh Tirto
Adhi Surjo bersama ulama pedagang serta aktor intelegenstia lainnya
(Toer, 1985: 120-121).
Beberapa tujuan dari SDI adalah untuk memperbaiki kondisi-
kondisi buruk yang dialami oleh para pengusaha maupun pedagang
pribumi sehingga dapat mengejar paling tidak kemajuan yang dicapai
para pedagang keturunan China. Tetapi, SDI tidak melihat orang-
orang Eropa terkait urgensi pendirian perhimpunan dagang tersebut
sehingga pendirian SDI memicu kelahiran perhimpunan-perhimpunan
sejenis di pelbagai daerah Indonesia lainnya. Tujuan utama dari
perhimpunan-perhimpunan tersebut adalah untuk memajukan
kesejahteraan, pendidikan dan solidaritas pribumi.
Perlu kita pahami bahwa, perkembangan perhimpunan tersebut
yang paling penting adalah dari bangkitnya kesadaran pro to
nasionalis yang berbasis keadilan dan kesejahteraan ekonomi dengan
munculnya sarekat Islam pada tahun 1912. Kemudian dalam usaha
memperbaiki kehidupan ekonomi yang pertama merintis pendirian
kooperasi dan melakukan advokasi untuk pemberdayaan ekonomi
rakyat. Kedua, mengurangi lahan penanaman tebu dan memberikan
P a g e | 77

tempat bagi penanaman padi untuk mengatasi bahaya kelaparan.


Ketiga, Serikat Islam aktif terlibat dalam advokasi kepentingan kaum
buruh. Dengan demikian kesadaran akan keadilan ekonomi tidaklah
surut, artinya kesadaran keadilan bahwa kolonialisme yang
menghadirkan proses pemiskinan merupakan perpanjangan dari
kapitalisme mulai menemukan bentuk perlawanan baru dalam formula
kritik ideologi, setelah ruang publik Indonesia mendapat asupan
pengaruh dari para penganjur Marxisme-Komunisme.
SI dalam memperjuangkan keadilan dan kemakmuran, dalam
pandangan bung Hatta, meniscayakan adanya semangat kerja sama,
tolong menolong sesama rakyat dalam suasana kesederajatan. Hatta
kemudian menuliskan gagasan- gagasannya tentang kemerdekaan
ekonomi dan keadilan sosial dalam daulat ra’jat. Hatta mengkritik
tajam ketidakadilan ekonomi yang ditimbulkan oleh sistem
perekonomian kapitalisme colonial yang membuat rakyat Indonesia
merugi dua kali, sebagai produsen yang menjual dengan harga
semurah-murahnya dan sebagai konsumen yang membeli dengan
harga semahal-mahalnya (Hatta, 1960).
Dari pelbagai pandangan para pendiri bangsa, terdapat titik
temu bahwa perjuangan keadilan ekonomi dan cita-cita kesederajatan
itu memerlukan pertautan antara demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi. Cita-cita demokrasi Indonesia lebih luas tidak saja
demokrasi politik tetapi juga demokrasi ekonomi. Dengan semangat
musyawarah dan kerjasama pengelolaan tanah bersama dalam tradisi
desa dapat ditransfomasikan ke dalam semangat gotong royong
dalam demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik
P a g e | 78

harus pula berlaku demokrasi ekonomi, jika tidak maka manusia


belum merdeka persamaan dan persaudaraan belum ada (Hatta,
1960).
Melihat visi keadilan dan kesejahteraan rakyat yang
diidealisasikan oleh para pemimpin pergerakan kebangsaan itu mudah
mewarnai diskusi tentang dasar falsafah negara dalam persidangan
BPUPKI sebelum ditanyakan Soekarno dalam pidatonya pada 1 juni
1945 tentang gagasan keadilan dan kesejahteraan. Pentingnya
kesejahteraan rakyat adalah perubahan besar tentang kesejahteraan
yang mengenai kehidupan ekonomi dan sosial sehari-hari dari putra-
putra negeri ungkap Muhammad yamin pada pidatonya tanggal 29
Mei (Latif, 2004: 528). Kemudian Supomo menguraikan gagasan
tentang keadilan sosial secara lebih elaborative kaitannya dengan
“perhubungan antara negara dan perekonomian” dalam lapangan
ekonomi akan dipakai sistem sosialisme negara “ staatssocialisme”
dia menguraikan tentang bagaimana perekonomian disusun dalam
sistem sosialisme negara. Sehingga pada ahirnya Supomo
menyimpulkan bahwa keadilan merupakan sebuah konsekuensi dari
negara integralistik yang merefleksikan keinsafan akan keadilan rakyat
seluruhnya. Artinya bahwa, negara sebagai persatuan bangsa
Indonesia yang tersusun atas sistem hukum yang bersifat integralistik
di mana negara akan berwujud dan bertindak sebagai penyelenggara
keinsafan keadilan rakyat seluruhnya, negara Indonesia yang bersatu
dan adil seperti yang termuat dalam Panca Dharma. Prinsip keadilan
juga diungkapkan oleh Hadikoesoemo yang mementingkan
P a g e | 79

perekonomian dan membangun pemerintahan yang adil dan


menegakkan keadilan.
E. Aktualitas Dasar Falsafah Negara Pancasila
Aktualisasi Pancasila yang tertuang dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara menjadikan Pancasila sebagai falsafah
yang harus dipegang dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian timbul pertanyaan bahwa bagaimana menghadirkan
kembali nilai-nilai Pancasila ?. Dimana tentu dalam berbagai macam
situasi tertentu akan merasa kehilangan dua arti penting. Arti penting
tersebut adalah kebijakan dalam hal ini wisdom dan yang kedua yaitu
nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Sehingga dua hal tersebut dianggap
perlu dikaji dalam suatu model pembelajaran bidang filsafat sehingga
kemudian kehadiran kembali Pancasila sebagai falsafah sebagai
bagian dari kehidupan warga yang secara fungsional memandu setiap
langkah keseharian atau kegiatan berpolitik di Indonesia. Semua nilai-
nilai Pancasila didapatkan dan digali pada bumi pertiwi. Nilai-nilai
tersebut didapatkan mulai dari tradisi masyarakat yang sudah hidup di
tengah gejolak keseharian yang mengendap dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Maka, proses pencapaian nilai-nilai tersebut
tentu melalui proses Panjang lahirnya Pancasila itu sendiri.
Kemudian para founding father sepakat bahwa, dalam
konsensus nasional yang secara formal berlangsung pada tahun
1945, Pancasila berubah sebagai ideologi dan dasar negara.
Pancasila dalam hal ini tidak secara sempit membatasi garak-gerik
masyarakat dalam berorganisasi akan tetapi, Pancasila justru
memberi ruang bagi semua pandangan di dalam sistem yang
P a g e | 80

fungsional dan kompetisi sehat dalam berorientasi kebaikan hidup


masyarakat luas. Namun perkembangan zaman membangun
pemahaman dan pengertian Pancasila sebagai falsafah negara telah
berkurang dengan banyak hegemoni tafsir akan makna Pancasila itu
sendiri.
Pemahaman dan penerapan yang salah tersebut berakibat
kematian atau pembekuan Pancasila sebagai ideologi yang
fungsional. Perlu kita pahami bersama bahwa, di masa depan
Indonesia sebagai bangsa dan negara akan ditentukan bagaimana
bangsa menerjemahkan, mengartikan, memahami serta memaknai
Pancasila dalam suatu tata laku keseharian bernegara dan
bermasyarakat. Sehingga, Pancasila bukan hanya sebagai filsafati
maupun dasar negara, melainkan Pancasila dapat menjadi sebuah ruh
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Akan tetapi, jika masyarakat
tidak memahami ruh tersebut sebagai sesuatu hal yang penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Maka, pudarlah
Indonesia sebagai bangsa yang memiliki ciri khas dan segala macam
identitas nasionalnya.
F. Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia
1. Era pra kemerdekaan

Pada tanggal 17 agustus 1945 sudah kita ketahui bersama


bahwa, waktu tersebut merupakan suatu momentum bersejarah
sebagai lahirnya kembali bangsa dan dan negara Indonesia.
momentum tersebut kemudian melahirkan ratusan suku yang
mendiami wilayah yang sangat luas terbentang dari sabang sampai
Merauke. Ratusan suku tersebut hidup di atas ratusan kepulauan
P a g e | 81

dengan bahasa dan juga dialeknya masing masing, serta berbagai


multi religi atau kepercayaan yang sangat beragam dalam sebuah
adat istiadat dan kebudayaan yang menyertainya.

Koento Wibisono dalam jurnal filsafat halaman 23 tahun 1995


mengatakan bahwa, latar belakang kemerdekaan tersebut tentu
melewati berbagai proses penjajahan selama 3,5 abad yang dilakukan
oleh kolonialisme Belanda dan 3,5 tahun oleh militerisme Jepang.
Maka, untuk mempersatukan kembali keanekaragaman suku dalam
wadah satu kesatuan bangsa ditetapkanlah Pancasila yang berisikan
nilai-nilai yang menyatukan semua unsur kebudayaan yang
berkembang di Indonesia. kemudian, Pancasila dalam undang-
undang ditetapkan sebagai dasar negara yang secara utuh maupun
komprehensif menjadi sebuah satu pengertian filsafat dan disahkan
pada tanggal 18 Agustus 1945.

Pernyataan di atas membawa kita untuk melihat kembali


rentetan peristiwa yang dimulai pada tanggal 12 agustus 1945 ketika
Soekarno, Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat dipanggil oleh
penguasa militer Jepang di Asia Selatan ke Saigon dan pada tanggal
14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu tanpa syarat.
Kemudian, pada tanggal 15 agustus 1945 Soekarno Hatta beserta
Rajiman kembali ke Indonesia dan disambut oleh para pemuda yang
mendesak untuk segera memprolamasikan kemerdekaan Indonesia.
Tentu perubahan situasi tersebut menimbulkan kesalahpahaman
antara kelompok pemuda dengan Soekarno tindakan pemuda itu
berdasarkan keputusan rapat yang diadakan pada pukul 24.00 WIB
P a g e | 82

menjelang tanggal 16 Agustus 1945 di Cikini no. 71 Jakarta. Sehingga


pada tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan moment proklamasi
yang digagas dan ditulis oleh Hatta dan Soekarno. Sehingga kedua
tokoh tersebut dianggap sebagai dua tokoh proklamator dan mereka
dinamakan Dwitunggal (Kartodirdjo, dkk, 1975: 26).

Era demi era telah merubah pola pikir mobilisasi masyarakat


Indonesia hingga saat ini. Sehingga proses arus globalisasi yang
begitu cepat merupakan tantangan dan berpengaruh secara signifikan
terhadap masyarakat pola pikir bangsa diberbagai negara termasuk
Indonesia. Meminjam perkataan (Rousseau: 1990) dampak tersebut
terjadi dengan adanya intensivikasi dan mobilitas manusia serta
teknologi yang mempengaruhi terjadinya pergeseran dalam kehidupan
kebangsaan. Begitu juga pandangan (Kenichi Ohmae: 1995) bahwa
dalam globalisasi akan membawa kehancuran negara-negara
kebangsaan. Oleh karena itu perlu kita pahami bahwa pengaruh
globalisasi yang sangat cepat tersebut sangat berpengaruh pada
kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia. Perubahan ini
menurut Francis Fukuyuma (1989: 48) membawa ke arah satu
perubahan ideologi yaitu dari ideologi particular menjadi ideologi
global.

2. Era Kemerdekaan

Pada era globalisasi dewasa ini berlangsung secara cepat


dengan menimbulkan perubahan-perubahan baru bagi eksistensi
sebuah negara kebangsaan. Proses globalisasi yang begitu cepat
mengerus dan berpengaruh secara signifikan terhadap semua
P a g e | 83

manusia di berbagai belahan dunia. Era global yang melanda seluruh


bangsa di dunia ini membawa bangsa Indonesia ke arah runtuhnya
negara kebangsaan “nation state”, lunturnya nasionalisme, persatuan
dan kesatuan, dan kepribadian Indonesia yang merupakan local
wisdom atau karya besar bangsa. Hal tersebut dianggap sebagai
sebuah tantangan yang serius yang perlu dan harus dihadapi
bersama. Maka, dengan seharusnya kita memberikan perhatian
terhadap masalah globalisasi tersebut jika tidak ingin sebuah
kehancuran pada negara kita.

Perhatian terhadap masalah globalisasi dapat dihadapi dengan


melihat konsep pemikiran para pendiri negara yang tertuang dalam
Pancasila. Pancasila merupakan karya yang khas yang secara
antropologis merupakan “local genius” bangsa Indonesia
(Ayatrohaedi, 1986). Pemikiran tentang kenegaraan dan kebangsaan
yang dikembangkan oleh para pendiri republik ini merupakan satu
hasil proses pemikiran menurut Notonagoro disebut dengan istilah
ekletik inkorporasi. Toynbee dalam a Study of History memperingatkan
kepada kita bahwa satu karya besar budaya dari satu bangsa dalam
proses perubahan akan berkembang dengan baik dengan melihat
keseimbangan antara challenge dan response (Toynbee, 1984). Hal
tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa proses perubahan dapat
selalu dikontrol dengan kembali menjaga Pancasila sebagai local
genius bangsa Indonesia.

Menjadi sebuah negara yang dapat selalu mengikuti tekanan


globalisasi atau dapat kita sebut sebagai negara modern selalu
P a g e | 84

melakukan pembaharuan dalam menegakkan demokrasi dengan


memperhatikan pengembangan prinsip konstitusionalisme.
(Assiddiqie, 2005: 25) mengatakan bahwa basis pokok dalam suatu
pemerintahan negara melalui undang-undang adalah kesepakatan
umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat,
tentang bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Maka,
kunci dari sebuah organisasi negara oleh masyarakat agar
mendapatkan kepentingan bersama dengan consensus atau general
agreement.

Bagi negara Indonesia consensus terjadi disepakati oleh


Piagam Jakarta, melalui sebuah kesepakatan yang menjamin
tegaknya konstitusionalisme negara modern pada proses reformasi
untuk mewujudkan demokrasi. Secara singkat consensus tersebut
memiliki 3 elemen kesepakatan yaitu: 1. Kesepakatan tentang tujuan
dan cita-cita Bersama “the general goal of society of general
acceptance of the same philosophy of government , 2. Kesepakatan
tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau
penyelenggaraan negara (the basis of government, 3. Kesepakatan
tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form of
institutions and procedures) (Andrews, 1968: 12).

Oleh karena itu, negara Indonesia membuat kesepakatan untuk


menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, serta
diperlukan perumusan tentang tujuan atau cita-cita bersama yang
biasa juga disebut sebagai filsafat kenegaraan atau staatside “cita
negara”. Staatside berfungsi sebagai filosofischegrondslag dan
P a g e | 85

common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga


masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara (Assiddiqie, 2005:
26). Kemudian bagi negara dan bangsa Indonesia dasar filsafat
dalam kehidupan bersama tersebut adalah Pancasila. Pancasila
sebagai core philosophy negara Indonesia, sehingga bagamana
konsekuensi tersebut menjadi sebuah esensi staatsfundamentalnorm
bagi reformasi konstitusionalisme.

Pancasila mengandung nilai-nilai dasar sebagai filsafat negara,


yang kemudian menjadi sebuah dasar dan menjadi sebuah makna
filosofis ideologis untuk mewujudkan cita-cita negara, baik dalam arti
tujuan prinsipil konstitusionalisme sebagai satu negara hukum formal,
maupun empat cita-cita kenegaraan yang terkandung dalam
pembukaan undang-undang dasar 45. Proses reformasi dewasa ini
pertama dilakukan dengan melakukan reformasi dalam bidang politik
dan hukum, sebagai upaya untuk mewujudkan satu negara demokrasi
modern. Kemudian timbul pertanyaan bahwa dasar filsafat negara
adalah Pancasila yang seharusnya meletakkan sebagai basic
philosophy justru pada era reformasi tidak menjadi eksistensi dasar
filsafat negara?. Diketahui setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru,
muncul berbagai argument politis yang berkaitan dengan pemahaman
atas Pancasila sebagai satu sistem pengetahuan. Menurut
(Notonegoro, 1975: 52).

Tatkala bangsa ini menjadi sebuah negara, Pancasila


merupakan satu sistem nilai yang merupakan satu kesatuan yang
utuh. Bangsa Indonesia adalah sebagai “causa materialis” dasar
P a g e | 86

filsafat negara. Melihat hal tersebut kemudian founding father kita


pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan bahwa Pancasila adalah
sebagai dasar filsafat negara, sebagai filsafat bangsa dan negara
Indonesia dan tercantum dalam tertib hukum Indonesia, yang
merupakan salah satu unsur kesepakatan bersama, (Kaelan, 2002).

Menurut Notonagoro pembukaan yang memuat Pancasila itu


sebagai dasar negara secara yuridis harus diderivasikan ke dalam
UUD dan seluruh peraturan perundangan lainnya. Pancasila telah
memiliki legitimasi filosofis, yuridis dan politik. Dalam kapasitas ini
dasar filsafat negara yang telah diderivikasikan dalam satu norma
tertuang dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan (Kaelan:
2004). Hal ini mengartikan bahwa, pentingnya menetapkan kesakralan
serta karakter Pancasila. Sehingga dalam urusan keyakinan dan
kepercayaan pada sebuah agama Pancasila mengisyaratkan sebuah
kesadaran akan Tuhan itupun bukan milik siapapun secara khusus
(Chaidar, 1998: 36).

Jika kita melihat bahwa, Pancasila pada proses sejarah di era


kemerdekaan menjadikan sebuah kesepakatan bersama untuk
menyatukan keragaman masyarakat dari berbagai macam ras, suku
dan agama. Maka, masyarakat berkewajiban secara terus menerus
menjadikan Pancasila sebagai core philosophy dan basic philosophy
guna kepentingan bersama yaitu menjadikan negara Indonesia adil,
makmur dan sejahtera.

G. Politik Identitas dan Kontrak Sosial Sebagai Tinjauan Kritis Dalam


Memahami Makna Kewarganegaraan
P a g e | 87

Hegel dan Karl Marx mengatakan bahwa dalam evolusi sebuah


kelompok masyarakat akan berunjung pada keinginan untuk
membentuk suatu kelompok masyarakat yang didasarkan pada
ikatan-ikatan identitas yang paling dalam dan fundamental seperti
budaya, etnis dan agama dan bahkan mereka siap menggunakan
berbagai tindakan kekerasan untuk meraih politik identitas ini
(Perwitam, 2008). Politik identitas merupakan sebuah wacana politik
tentang kehidupan sehari-hari yang kategori utamanya adalah
perbedaan, di dalamnya terjadi permainan dan pergaulan identitas-
identitas perbedaan (Abdillah, 2003).
Politik identitas pada masa kolonial hingga rezim orde baru
mengalami pasang surut. Rezim kolonial yang sangat sentralistik dan
otoriter dalam mengubur terjadinya sentiment identitas. Hal tersebut
dapat yang berujung terjadinya konflik dan kekerasan komunal
sehingga dapat merugikan kepentingan penjajah. Selanjutnya, pada
masa Belanda terdapat beberapa klasterisasi masyarakat berdasarkan
ekonomi dan sosial. Klaster pertama yaitu ditempati oleh bangsa
Eropa yang tidak lain adalah bangsa penjajah serta berperan sebagai
penguasa utama dalam mengendalikan pusat pemerintah. Klaster
kedua ditempati oleh etnis China yang menjalankan fungsi
perdagangan. Klaster selanjutnya ditempati oleh masyarakat pribumi.
Ketiga Klaster tersebut hidup berdampingan menempati suatu
wilayah tertentu akan tetapi mereka hidup dalam masing-masing
kepentingan tanpa mengasilkan kesepakatan bersama. Dengan
melihat beberapa pembagian klaster di atas, gejolak pada masyarakat
muncul dan tertuang dalam sebuah kerusuhan. Sejarah kerusuhan
P a g e | 88

pertama yang terjadi antara entnis China dengan Belanda pada tahun
1740 dan seterusnya menyebabkan tidak kurang dari 10.000 ribu
warga China meninggal. Kemudian peristiwa ini dikenal dengan
sebutan geger pecinan (Tirto, 2017).
Pada umumnya pemerintah kolonial sangat menghindari terjadi
konflik identitas. Faktanya masyarakat yang menjemuk tersebut rawan
terjadi bentrokan yang berujung Tindakan anarki. Diketahui rezim
kolonial berusaha untuk mengintegrasikan kelompok yang berbeda
dengan dokrin isu nasionalisme. Akibatnya, masyarakat Indonesia
saat itu mengalami pergeseran dari populasi rasial berdasarkan
identitas tertentu ke populasi nasional. Selain itu, masyarkat yang
majemuk tersebut membuat rezim kolonial menggunakan cara-cara
otoriter dan sentralistik. Tindakan tersebut menyebabkan nilai-nilai
lokalitas mengalami pengikisan serta represivitas rezim kolonial pada
akhirnya mampu meredam munculnya konflik berdasarkan politik
identitas (Furnival, 2009)
Awal kemerdekaan sampai pada saat rezim orde lama isu
tentang politik identitas terus mengalami keterpinggiran. Isu identitas
pada dasarnya menjadi kajian para pengamat tahun 1950 an, akan
tetapi isu yang paling dominan lebih banyak memfokukan pada kajian
tentang partai politik, politik aliran dan nation building (Nordholt dan
Klinken, 2009). Politik aliran kemudian muncul ke permukaan
disebabkan oleh politik identitas. Politik aliran yang dipopulerkan oleh
Clifort Geertz (1983) pada masyarakat Jawa terbagi ke dalam tiga
varian yaitu abangan, santri dan priyayi. Perbedaan identitas ini
banyak menimbulkan konflik komunal berdasarkan sentiment
P a g e | 89

kepercayaan atau agama. Hal ini terjadi karena adanya benturan


ideologis dan ketidaksenangan dengan kelompok lain, serta
menimbulkan stratifikasi social atau strata sosial. Politik identitas
tersebut justru merupakan hasil perjuangan kekuasaan politik yang
cenderung mempertajam perbedaan agama dan kepentingan politik
(Geertz, 1983).
Namun, memasuki orde baru dengan kehadiran rezim
otoritarian Soeharto, ketegangan komunal yang berdasarkan identitas
banyak tidak bermunculan atau bahkan berkurang kepermukaan. Orde
baru berhasil mengubur sentiment berbau identitas melalui represivitas
rezim dengan menggunakan militer (Nordholt dan Klinken, 2009).
Transisi dari rezim orde lama ke orde baru ditandai dengan
pergeseran ketegangan “konflik” dari bersifat horizontal ke vertikal.
Ketegangan politik aliran tersebut dapat didasari oleh sentiment
agama luntur, meski demikian tidak sepenuhnya pada masa rezim
Soeharto hal tersebut terjadi. Hal ini di latar belakangi oleh beberapa
faktor yaitu: pemberantasan PKI, diperkenalkannya kebijakan masa
mengambang “depolitisasi massa”, dan kebijakan asas tunggal
“Pancasila” serta hadirnya dominasi Golkar pada masa itu (Geertz,
1983).
Berahirnya orde baru Soeharto pada tahun 1998 telah
membawa angin segar perubahan politik Indonesia ke ranah yang
lebih terbuka dan liberal. Rezim otoritarianisme kini berubah menjadi
rezim demokratis. Perubahan politik tersebut ditandai dengan
dibukanya kran kebebasan masyarakat dalam berpolitik, reformasi
kelembagaan, kemudian diperkenalkannya konsep desentralisasi
P a g e | 90

melalui pintu ekonomi daerah. Artinya bahwa, semula kekusaan yang


semula tersentralisasi di pemerintah pusat, pada masa pasca orde
baru kekuasaan atau wewenang tersebar ke berbagai daerah dengan
beragam aktor politik. Baik aktor lama maupun aktor baru saling
berkontestasi memperebutkan kekuasaan serta sumber daya ekonomi
politik melalui peluang yang ditawarkan dalam setting demokrasi
liberal (Haryanto, 2009).
Di lain pihak, tumbangnya rezim orde baru diikuti oleh kondisi
negara yang lemah. Menurut Nordholt dan Klinken (2009) dalam
sebuah praktik politik secara empiris menunjukkan bahwa, pergeseran
dari pemerintah otoriter ke demokratis berdampak pada lemahnya
regulasi kontrol negara sehingga membuat para elit politik dan
masyarakat sipil berebut kekuasaan. Perebutan kekuasasn
tercerminkan dalam kegiatan politik pada masa pasca Soeharto
menjadi sangat kental dengan unsur politik identitas. Sehingga
pergulatan mencari identitas etnis dan keagamaan menjadi ciri khas
landskap politik Indonesia pasca orde baru. Sebagai contoh pada
tahun 1999 jumlah kabupaten di Indonesia sebanyak 300 kemudian
pada tahun 2004 meningkat pesat menjadi 440 (Nordholt dan Klinken,
2009).
Sebagai contoh berikutnya kita melihat apa yang terjadi pada
kasus pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017. Contoh
tersebut memberikan penjelasan yang berbeda dimana politik identitas
berakhir pada praktik pengeksklusian, diskriminasi terhadap kelompok
lain, intoleransi dan konflik berdasarkan identitas agama (Hamid,
2019; Ubaid dan Habibisiband, 2017). Konflik dan kekerasan komunal
P a g e | 91

serta tuntatan pemekaran daerah serta kasus pemilihan Gubernur DKI


tersebut menunjukkan bahwa, pada masa transisi mengggambarkan
bagaimana repetoar etnis dan agama digunakan untuk
mengekspresikan ambisi politik dan memobilisasi dukungan rakyat.
Bangkitnya politik identitas dapat dilihat dari dua hal (Romli,
2019): pertama, pemilihan kepada daerah, calon kandidat dan
pendukungnya cenderung menggunakan sentiment etinisitas dan
agama. Kedua, munculnya tuntutan di beberapa daerah untuk
menerapkan peraturan daerah untuk menerapkan peratuan daerah
berdasarkan agama (perda Syariah). Hal ini menunjukkan bahwa
regulasi politik dengan memberikan wewenang kepada kepala daerah
dalam membuat peraturan daerah yang kemudian sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal.
Sebagai contoh lain yang terjadi pada sebuah negara dengan
mayoritas penduduk muslim, pertarungan berebut suara dari pemilih
muslim menjadi sebuah pilihan logis dan selalu terjadi dalam setiap
perhelatan pesta demokrasi. Kendati demikian dikotomi antara santri,
abangan semakin kabur, akan tetapi strategi politik yang menekankan
pada pentingnya pasangan calon yang merepresentasikan santri
abangan atau nasionalis sekuler dan Islam masih sangat kuat (Zuhro,
2019). Kebangkitan politik identitas di Indonesia pasca Soekarno
menyebabkan perjalanan demokrasi di Indonesia selama dua decade
tidak berjalan maju ke arah demokrasi substansial. Demokrasi di
Indonesia pada akhirnya masih terjebak pada demokrasi procedural
yang hanya berputar-putar pada persoalan dan urusan pemilu serta
proses pergantian kaum elit (Tornquist dan Savirani, 2016).
P a g e | 92

Nilai-nilai demokrasi substansial terciderai oleh praktik politik


identitas dan diperparah oleh kegagalan kelompok masyarakat sipil
untuk membangun alternatif politik. Hal tersebut justru menjadi sebuah
kehadiran akan kekuatan masyarakat sipil pasca orde baru yang
masih lemah, karena tetap terjebak pada cara-cara tradisional dalam
mencari jalan menuju kekuasaan. Kelompok masyarakat sipil
begitupun dengan elit politik memobilisasi massa dengan
memanfaatkan sentiment identitas yang dibalut dengan gaya
populisme dan patronase (Tornquist dan Savirani, 2016).
Sejatinya dalam negara demokrasi, kontrak sosial merupakan
suatu hal yang dibutuhkan. Kontrak sosial tersebut berupa perjanjian
antara rakyat dengan negara atau perjanjian sesama warga negara
yang merupakan ciri utama. Jean Jacques Rousseau dalam (contract
sosiale, 1762), rakyat memiliki kehendak umum General will karena
“kehendak umum biasane dianggap selalu benar dan cenderung
digunakan untuk kepentingan umum juga.....“. Kontrak sosial
berlangsung saat, setiap orang menyerahkan pribadinya dan
keseluruhan kekuatannya bersama-sama dengan yang lain di bawah
pedoman tertinggi dari kehendak umum dalam sebuah badan.
Perjanjian sesama warga tersebut akan menganggap setiap anggota
sebagai bagian tak terpisahkan dari suatu keseluruhan (Rousseau,
Sosial contract, 1968).
BAGIAN III: MEMAHAMI INTEGRASI NASIONAL BERNEGARA SEBAGAI
ALAT UKUR KUALITAS DAN KUANTITAS KEBHINEKAAN DI INDONESIA
A. Integrasi Nasional Dalam Sejarah
P a g e | 93

Indonesia lahir dari proses perjuangan yang panjang, sehingga


tidak diragukan lagi bahwa mayarakat dan bangsa Indonesia
sesungguhnya memiliki nilai-nilai intergritas dan identitas nasional
yang sangat kuat. Bahkan, nilai-nilai integritas dan nilai-nilai identitas
bangsa tersebut dengan sangat cerdas oleh the founding father
diangkat dan mengkristal menjadi dasar negara yaitu Pancasila.
Pancasila disepakati karena menampung kemajemukan bangsa.
Integrasi dapat dipahami sebagai penggabungan dari beberapa
kelompok yang terpusat menjadi satu kesatuan yang mempunyai
tujuan dan cita-cita yang sama (Andi Suhandi, 2008).
Indonesia merdeka sudah 65 tahun, dan waktu tersebut tidak
sebentar. Maka perlunya kita sebagai warga negara yang baik melihat
perubahan dunia. Perubahan dunia yang demikian cepat dan dinamis
ditandai pada revolusi teknologi informasi komunikasi yang kemudian
membawa dampak pada perubahan sosial yang luar biasa. Sebagai
contoh perubahan sosial tersebut dapat dirasakan pada sebuah
tatanan kehidupan antar bangsa dan goyahnya tatanan value atau
nilai-nilai masyarakat. Sehingga future shock yang
menggambarkankan situasi sekarang serta kondisi di mana
masyarakat mengalami tekanan-tekanan yang menyebabkan
masyarakat dihadapkan pada banyak perubahan dalam waktu yang
terlalu singkat. Perubahan-perubahan berskala besar tersebut dan
cepat ternyata direspon secara lambat (Soyomukti, 2008: 41). Oleh
karena itu, perlunya kesadaran dan keteguhan kembali pada semua
lini masyarakat.
P a g e | 94

Hal tersebut mengundang realitas global yang kemudian dikenal


baik dengan istilah “globalisasi” mau tidak mau, suka tidak suka kita
semua masyarakat harus menghadapi hal tersebut. Arus besar yang
dibawa oleh globalisasi merupakan kunci utama dalam membawa
dampak maupun pengaruh terhadap ruang dan waktu, sehingga arus
tersebut memberikan perubahan yang sangat cepat. Menurut Anthony
Giddens dalam time space distenziation bahwa interaksi manusia
dengan teknologi, manusia dan manusia lain semakin intensif.
Interaksi tersebut sehingga menimbulkan pemaknaan baru yang
didapat dari objektivitas rasional maupun irasional dari sebuah
perkembangan baris material, IPTEK yang terus berubah (Soyomukti,
2008: 43).
Bagaimana kita menghadapi perubahan dengan nilai-nilai
integrasi dan identitas nasional Indonesia? maka untuk menjawab
tantangan tersebut alangkah baiknya kita mempelajari makna dari
integrasi nasional terlebih dahulu.
1. Makna Integrasi Nasional
Secara etimologi integrasi nasional terdiri atas dua kata yaitu;
integritas dan nasional. Secara terminologi integrasi nasional dapat
diartikan dalam penggunaan kata maupun suatu istilah yang telah
dihubungkan dengan konteks tertentu pada umumnya dikemukakan
oleh para ahlinya. Istilah integrasi nasional dalam bahasa Inggris
adalah “national integration”, “integration” yang berarti kesempurnaan
atau keseluruhan. Kata ini berasal dari bahasa Latin integer, yang
berarti utuh atau menyeluruh. Berdasarkan arti etimologis, integrasi
dapat diartikan sebagai pembauran hingga menjadi kesatuan yang
P a g e | 95

utuh atau bulat. Tersusun dari integrasi “menyeluruh” dan “nation”


yang artinya bangsa sebagai bentuk persekutuan dari orang-orang
yang berbeda dalam suatu wilayah dan dan di bawah satu kekuasaan
politik (Ristek Dikti, 2016).
“National integration is the awareness of a common identity
amongst the citizens of a country. It means that though we belong to
different castes. Religions and religions and speak different
languages we recognize the fact that we are all one. This kind of
integration is very important in the building of a strong and
prosperous nation” (Kurana, 2010)

Menurut Suroyo (2002), integrasi nasional mencerminkan


sebuah proses persatuan orang-orang dari berbagai wilayah yang
berbeda, atau memiliki berbagai perbedaan baik etnisitas, sosial
budaya maupun latar belakang ekonomi. Perbedaan tersebut
disatukan menjadi satu bangsa “nation” dalam pengalaman sejarah
dan politik yang relatif sama. Pada realitas nasional, integrasi dapat
dilihat dari beberapa aspek yang meliputi aspek politik, ekonomi, dan
social dan budaya. Kemudian aspek politik lazim disebutkan sebagai
“integrasi politik”, aspek ekonomi “integrasi ekonomi”, yakni saling
tergantung ranah ekonomi antar daerah yang bekerjasama secara
sinergi dan yang terahir adalah aspek sosial budaya disebut sebagai
“integrasi sosial budaya” yang merupakan hubungan antara suku,
lapisan dan galongan. Berdasar pendapat ini, integrasi nasional
meliputi: yang pertama integrasi politik, kedua integrasi ekonomi, dan
yang ketiga integrasi sosial budaya (Ristek Dikti, 2016).
Integrasi adalah masalah sosial yang tidak pernah selesai,
masalah tersebut tentu selalu dikaitkan dengan adanya disintegritas.
P a g e | 96

Selain disintegritas, integrasi juga selalu mengajak kita untuk meninjau


kembali kebertujuan “dimensi teologis”. Artinya bahwa pada setiap
prestasi pencapaian hanyalah menjadi salah satu titik dari sebuah
proses berkelanjutan yang masih Panjang. Kesimpulannya bahwa,
masih ada pencapaian-pencapaian lain yang harus diwujudkan dalam
konteks integrasi nasional. Sehingga, dengan berbagai macam
pencapaian tersebut integrasi nasional dapat mempunyai makna yang
berbeda bergantung pada kepentingan yang melingkupinya
(Kuntowijoyo, 2006: 153).
Istilah integrasi di Indonesia sendiri masih sering dikacaukan
atau tertukar dengan istilah pembauran atau asimilasi. Sehingga,
sebelum membicarakan integrasi secara panjang lebar, perlu kiranya
dijernihkan terlebihan dahulu perbedaan antara integritas dan asimilasi
atau pembauran. Integrasi dapat diartikan pula sebagai integrasi
kebudayaan, integrasi sosial, dan pluralisme sosial. Adapun
pembauran dapat berarti asimilasi atau amalgamasi (Ubaidillah, 2000:
24).
Integrasi nasional sering kali menemui beberapa permasalahan
yang dianggap berbenturan dalam upaya menuju integrasi bangsa,
diketahui bahwa di Indonesia permasalahan terkait sangatlah
kompleks serta multidimensional. Artinya bahwa, dalam mewujudkan
nilai integrasi nasional perlu berbagai upaya dengan strategi yang kuat
dalam semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Integrasi nasional
sebagai satu kondisi di mana menjadi sebuah mimpi maupun harapan
yang tentu memerlukan prasyarat yang mendukung terhadap
pluralisme maupun multikulturalisme, serta nilai-nilai kebangsaan.
P a g e | 97

Pendidikan kewarganegaraan khususnya dan disiplin keilmuan lain


secara umum dapat menjadi jembatan dalam mewujudkan upaya-
upaya menuju integrasi nasional.
2. Sektor-sektor Integrasi Nasional
Sebelum mengetahui beberapa jenis dari beberapa sektor
integrasi alangkah baiknya, kita memahami terlebih dahulu nilai atau
kualitas dari integrasi itu sendiri. Sehingga ketika mengetahui berbagai
macam jenis dari integrasi tersebut, kita mengetahui esensi dari setiap
macam integrasi. Dalam dictionary of sociology and rekted seiences,
dikemukakan bahwa dalam sebuah integrasi dan identitas nasional
terdapat nilai-nilai yang menjadi sebuah kemampuan yang dipercayai
pada suatu benda yang dapat memberikan kepuasan pada diri
manusia.
Arti nilai-nilai di atas adalah kualitas dari suatu kriteria baik lahir
maupun batin yang tercerminkan dalam kehidupan manusia. Nilai
tersebut kemudian dijadikan sebagai landasan, alasan atau motivasi
dalam bersikap maupun tidak bersikap. Nilai berbeda dengan fakta
dimana fakta dapat diobservasi melalui verifikasi empiris, sedangkan
nilai bersifat abstrak yang harus dapat dipahami, dipikirkan dan
dimengerti dan dihayati oleh manusia (Kaelan, 2001: 179).
Sektor yang pertama, yaitu sektor sosial dan budaya. Sektor
merupakan sektor utama dalam meningkatkan integrasi nasional.
Secara historis ada beberapa faktor-faktor penting terkait ranah sosial
dan budaya bagi pembentukan bangsa Indonesia; adanya persamaan
nasib, penderitaan yang sama ketika penjajahan bangsa asing
terhadap rakyat Indonesia yang terjadi kurang lebih 350 tahun
P a g e | 98

lamanya. Kemudian, adanya keinginan bersama untuk bebas dari


penjajahan. Artinya keinginan bersama untuk merdeka, adanya
kesatuan tempat tinggal yaitu wilayah nusantara, adanya cita-cita
bersama untuk kemakmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa.
Beberapa faktor tersebut merupakan faktor pendukung pada sektor
sosial dan budaya untuk kemerdekaan bangsa. Kesimpulannya bahwa
keragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sangatlah
majemuk dengan berbagai adat istiadat, suku, ras, agama serta
bahasa daerah sehingga sangat mempengaruhi terjadinya atau
terbentuknya kesatuan identitas dan integritas nasional (Parji, 2011).
Sektor yang kedua, yaitu sektor ekonomi. Sektor ini termasuk
sektor yang paling sensitif, dikarenakan berkaitan dengan
ketimpangan ekonomi, baik kemiskinan, pengganguran. Faktor
ketimpangan modal menjadi salah satu titik rawan yang dapat
merusak integrasi nasional. Oleh karena itu, faktor ekonomi selalu
menjadi tolak ukur yang dapat menjadi pemicu kecemburuan sosial di
dalam masyarakat (Modjo, 2020).
Sektor yang ketiga, yaitu sektor politik. Sektor tersebut yang
sering mengalami berbagai pasang surut dalam perkembangannya
secara dinamis. Perubahan tersebut dapat dilihat pada masa orde
maupun era Indonesia mengalami lompatan yang sering terjadi,
sehingga kurang lebihnya justru malah menjadikan masyarakat tidak
siap menjalankan demokrasi yang dilandasi etika politik. Perubahan
tersebut perlu kita perhatikan, karena perubahan politik tersebut sering
menjadi sebuah jalan bagi politik identitas yang justru berdampak
merusak kesatuan dan keutuhan bangsa.
P a g e | 99

Sektor yang terahir adalah sektor keamanan. Sektor keamanan


merupakan salah satu faktor yang cukup penting, dikarenakan faktor
tersebut berguna menjaga kedaulatan bangsa dan negara serta faktor
keamanan menciptakan stabilitas bangsa dan negara. Dalam
menjaga stabilitas bangsa dan negara merupakan bagian dari TNI dan
POLRI meskipun, masyarakat dewasa ini sudah ditanamkan semangat
bela negara. Namun sektor keamanan sangat dipengaruhi dan sangat
tergantung pada peran dua elemen masyarakat, yaitu TNI dan POLRI.
Selain faktor-faktor di atas, ada beberapa bentuk integrasi
nasional yang terus dipelihara dan ditingkatkan, yang pertama adalah
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia berawal dari rumpun bahasa
melayu yang dipergunakan sebagai bahasa pergaulan yang kemudian
diangkat sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928.
Bahasa Indonesia disepakati menjadi bahasa nasional sekaligus
sebagai identitas nasional. Yang kedua adalah Pancasila sebagai
dasar falsafah negara yang berisi lima nilai-nilai dasar yang dijadikan
sebagai dasar filsafat dan ideologi dari negara Indonesia. Pancasila
merupakan identitas nasional yang berkedudukan sebagai dasar
negara dan ideologi nasional Indonesia. Yang ketiga adalah lagu
kebangsaan yaitu lagu Indonesia raya. Lagu Indonesia raya sebagai
lagu kebangsaan yang ditetapkan pada tanggal 28 oktober 1928, dan
dinyayikan untuk pertama kali sebagai lagu kebangsaan negara (Parji,
2011).
Yang ke empat yaitu lambang negara, lambang bersimbolkan
burung garuda di dalamnya terdapat beberapa simbol sehingga
Indonesia memiliki semboyan negara yaitu bhineka tunggal ika.
P a g e | 100

Semboyan yang berartikan sebagai berbeda-beda tetapi tetap satu


jua tersebut menunjukkan sebuah kenyataan bahwa, bangsa Indonesia
bersifat heterogen namun tetap berkeinginan untuk menjadi satu
bangsa yaitu bangsa Indonesia. Ke lima adalah bendera merah putih
sang saka merah putih sebagai bendera negara yang memiliki makna,
merah berarti berani putih berarti suci. Bentuk negara kesatuan
republik indonesia yang berkedaulatan rakyat, bentuk negara adalah
kesatuan sedang bentuk pemerintah adalah republik. Sistem politik
yang digunakan adalah sistem demokrasi “kedaulatan rakyat” (Khoiri,
2019).
Identitas negara kesatuan republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat disepakati untuk tidak ada perubahan.
Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan dari
kelompok-kelompok bangsa Indonesia yang dimiliki cita rasa tinggi,
dapat dinikmati dan diterima oleh masyarakat luas serta menjadi
kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional pada dasarnya adalah
puncak dari kebudayaan daerah. Nilai integrasi yang terahir kita dapat
melihatnya melalui konsepsi wawasan nusantara sebagai cara
pandang bangsa Indonesia mengenal diri dan lingkungannya yang
serba beragam serta memiliki nilai strategis dengan mengutamakan
persatuan beserta kesatuan bangsa. Kesatuan wilayah tersebut
tercerminkan dalam penyelengaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional
3. Urgensi Integrasi Nasional
Urgensi dalam memahami integrasi nasional dapat terwujudkan
berupa sebuah integrasi masyarakat yang sepenuhnya memang
P a g e | 101

sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan. Mengapa demikian, karena


setiap masyarakat di samping membawa potensi integrasi juga
menyimpan potensi konflik atau pertentangan, persamaan
kepentingan, kebutuhan untuk kerjasama serta consensus tentang
nilai-nilai tertentu dalam masyarakat yang merupakan potensi yang
mengintregrasikan.
Urgensi pemahaman tentang integrasi nasional yang terdapat
nilai-nilai integritas dan identitas nasional Indonesia dewasa ini perlu
ditanamkan sejak dini dengan melihat segala tantangan, baik
tantangan internal maupun ekternal. Pengembangan nilai nilai
integritas dan identitas perlu dikembangkan kembali melalui strategi-
strategi pendidikan karena apa? Dalam pendidikan memiliki fungsi
enkultural dan sosialisasi nilai kepada peserta didik agar mampu
membangun dirinya dan bersama-sama dengan lingkungan dalam
membangun kehidupan bangsa dan negara. Strategi yang paling tepat
adalah melalui pendidikan kewarganegaraan, meskipun pendidikan
Pancasila dan Pendidikan agama memiliki peran yang sama, akan
tetapi Pendidikan kewarganegaraan lebih kepada aplikatif dan
implementatif pada kehidupan bernegara. Pendidikan
kewarganegaraan terlebih dapat mengembangkan paradigma yang
sudah lama luntur dalam menyikapi indentitas dan sikap integritas
pada bangsa dan negara.
B. Beberapa Tantangan dalam Membangun Integrasi
A. Multikultural
Memahami konsep multikultural agar memudahkan kita untuk
memahami Pendidikan multikultural. Kerangka konseptual tentang
P a g e | 102

masyarakat multikultural tidak terlalu baru di Indonesia, sebab prinsip


Indonesia adalah sebagai negara “bhineka tunggal ika” yang
mencerminkan Indonesia adalah negara terdiri dari berbagai suku
bangsa, etnis dan agama, tetapi terintegrasi dalam keikaan, kesatuan
(Azra, 2005). Masyarakat dan negara beserta bangsa Indonesia
secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”.
konsep multikultural tidak dapat disamakan dengan konsep
“keanekaragaman”, mengapa ? secara suku bangsa atau kebudayaan
suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat mejemuk dalam kerangka
“keanekaragaman”, sedangkan multikultural menekan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesetaraan.
Konsep multikultural mengulas berbagai permasalahan yang
mendukung ideologi, politik, demokrasi, keadilan, penegakan hukum,
kesempatan kerja dan usaha, hak asasi manusia, hak budaya
komuniti dan golongan mayoritas beserta minoritas, prinsip-prinsip
etika dan moral, tingkat serta mutu produktivitas serta berbagai
konsep lainnya yang lebih relevan. Multikultural meliputi sebuah
pemahaman, penghargaan serta penilaian atas suatu budaya
seseorang lalu sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang
budaya etnis orang lain. Multikultural sebagai sebuah penelitian
terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti
menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut,
melainkan mencoba melihat begaimana kebudayaan tertentu dapat
mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri (Sanaky,
2003).
P a g e | 103

Spradely dalam Suparlan (2002) “menitikberatkan multikultural


pada proses transaksi pengetahuan dan pengalaman yang digunakan
oleh anggota masyarakat untuk menginterpretasikan pandangan dunia
mereka yang berbeda untuk menuju kearah kebutuhan kultur. Kata
multikultural menjadi pengertian yang sangat luas “multi discursive”
tergantung dari konteks pendefinisian dan manfaat apa yang
diharapkan dari pendefinisian tersebut. Kebudayaan multikultural
setiap individu mempunyai kemampuan berinteraksi, meskipun latar
belakang kultur masing-masing berbeda, karena sifat manusia antara
adalah pertama adalah akomodatif, asosiatif, adaptable, flexible, dan
kemuan untuk saling berbagi.
Tatanan kehidupan sosial masyarakat yang multikultural akan
tercerminkan dalam suatu kehidupan masyarakat dalam perilaku
saling menghormati, menghargai perbedaan dan keanekaragamaan
kesamaan kebudayaan dalam kesederajatan dan menjaga satu
dengan yang lainnya dalam prinsip-prinsip perbedaan tersebut.
Sehingga bagaimana masyarakat dapat mengeliminasi potensi
timbulnya konflik, yaitu yang pertama prasangka historis, yang kedua
diskriminasi dan perasaan superioritas in group feeling yang
berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain “out group”
(Purwasito, 2003)
B. Pluralisme agama
Sarjana-sarjana alumni Barat yang belajar studi agama
membawa pemikiran pluralisme sehingga kemudian di pasarkan di
Indonesia, kemudian masuk dalam wacana-wacana keagamaan. Di
latar belakangi oleh kondisi trauma Barat kepada dogma sehingga
P a g e | 104

membuat doktrin agama menjadi kabur serta berimplikasi pada


pemikiran teologinya. Oleh karena itu, kerangka pikir pluralis Barat
merasuk dalam pikiran pelajar Indonesia baik dari cara berfikir
ataupun berbudaya. Pada akhirnya para pelajar Indonesia
mengadopsi, modifikasi dan justifikasi. Pluralisme agama kemudian
diwacanakan di masyarakat dengan jalan pengkaburan makna
pluralitas dengan pluralisme. Artinya bahwa makna pluralitas pada
permasalahan sosiologis menimbulkan anggapan bahwa pluralitas
teologis adalah sunnatullah.
Di Indonesia kehidupan masyarakat telah bercampur baur
karena berbagai macam alasan perkembangan kemudahan
komunikasi, transportasi, pernikahan, pekerjaan dan lain sebagainya.
Fakta ini memungkinkan terjadinya proses pluralisasi dalam
kehidupan sosial, budaya, agama, yang tidak dapat dihindari lagi.
Namun demikian, tidak berarti bahwa “yang ada” menjadi kabur dan
relatif, melainkan terjadi variasi kehidupan, yang tadinya homogen,
sekarang menjadi semakin heterogen.
Pluralisme agama, tidak saja mengenai kuantitas, atau
keadaan penduduk Indonesia yang terdiri dari latar belakang agama
atau etnis yang berbeda, akan tetapi mengandung makna, nilai
spiritulitas kehidupan, sehingga bila menyebut (pluralisme agama), di
sana selalu ada sesuatu yang dimaknai secara substansial.
Pluralisme Agama merambah begitu halus memasuki
kehidupan. Paham Pluralisme agama bisa menyusup dalam berbagai
peristiwa. Toleransi ialah jalur yang cukup sering digunakan para
pluralis guna menyebarkan paham pluralisme agama. Bahwa
P a g e | 105

manusia bersaudara dan perbedaan agama tidak pasti membuat


manusia saling bertentangan, sebab meskipun agama kita berbeda
kebaikan tetaplah abadi dan Tuhan umat manusia tetap satu. Suatu
propaganda yang menarik dan kadang dikemas begitu menyentuh
sisi kemanusiaan kita.
Pluralisme agama bisa disimpulkan bahwa dimunculkan oleh
kaum pluralis dan diharapkan Pluralisme agama untuk menangani
konflik antar umat beragama dan permasalahan sosial masyarakat
khususnya masalah kerukunan antar umat beragama. Siti Musdah
Mulia, mengatakan bahwa persoalan terbesar yang dihadapi umat
beragama adalah konflik agama, baik intern pemeluk agama
maupun antar agama. Hal tersebut untuk mencegah timbulnya
konflik tersebut diperlukan suatu dialog sehingga akan melahirkan
komitmen toleransi dan pluralisme.
Pluralitas adalah bentuk sikap dari pluralisme (Madjid, 2000:
IXXV). Padahal pluralitas adalah sebuah keniscayaan bahwa di
negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang
hidup secara berdampingan, hal ini tertulis dalam fatwa MUI no 7
tentang pluralisme 2005 sehingga kehadirannya tidak dapat dihindari
dan sudah menjadi sunnatullah.
Pluralitas agama semakin tampil sebagai sebuah kehendak
sejarah yang hadir sebagai bangunan teologis tentang pengalaman
baru pluralitas agama dimasa sekarang. Maka, pluralisme agama
juga menjadi sebuah konsekuensi logis yang sehat, dan fungsi serta
makna agama menjadi konkrit dan relevan dalam kehidupan
masyarakat. Pluralitas (kemajemukan) dengan kata lain maknanya
P a g e | 106

telah dikaburkan (Ma’arif, 2010) oleh kaum liberal dan pluralisme


agama dijadikan sebagai bentuk konkrit dalam menjalankan
kerukunan beragama (Subkhan, 2007: 29).
Padahal jika untuk suatu bentuk kerukunan umat beragama
terdapat sikap toleransi antar umat beragama, sedangkan pluralisme
tidak bermaksud mendamaikan umat beragama dari konflik antar
umat beragama, melainkan pluralisme merupakan paham yang
bertujuan menghilangkan identitas umum agama-agama. Paham
pluralism akan mereduksi keistimewaan, kekhasan maupun
karakteristik tertentu terkait klaim kebenaran “Truth Claim” di antara
agama. Reduksi yang dilakukan merubah image masyarakat tentang
kebenaran agama banyak, bukan hanya satu kebenaran saja.
Kemudian, reduksi tersebut bertambah dengan meruncingkan
pemahaman menjadi seluruh agama menyembah Tuhan yang sama,
yaitu “the real”, dialah yang menjadi pusat dari agama-agama di
dunia ini.
Pluralisme agama acapkali juga diartikan sebagai paham yang
mentoleransi adanya keragaman pemikiran keagamaan. Seluruh
pemeluk agama kemudian diharapkan bersifat inklusif (terbuka)
terhadap pemeluk agama lain. Menurut para pluralis kerukunan umat
beragama tidak mungkin terjadi jika tidak adanya sikap “inklusif”
pada pemeluk agama lain (Rahardjo, 2005). Pluralisme bukan hanya
memberikan pemahaman terkait adanya keragaman agama.
Pluralisme lebih pada pengakuan kebenaran masing-masing
pemahaman serta menghilangkan klaim kebenaran dalam
agamanya, pernyataan ini dikutip dari artikel yang ditulis oleh
P a g e | 107

Abdallah dan diterbitkan koran harian Kompas pada tanggal 18-11-


2002 dalam tema Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.
Pluralisme agama dianggap harus mampu mengatasi segala
bentuk eksklusivitas keagamaan yang merupakan kendala utama
bagi penciptaan pemikiran teologi baru yang bercorak pluralis. Kaum
liberalis mendefinisikan dan menyamakan pluralisme dengan
pluralitas, sehingga pluralisme dianggap sebagai sunnatullah.
Padahal, pluralitas merupakan sebuah wujud keragamaan sedangkan
pluralisme adalah penyeragaman agama-agama. Frans Magnis
Suseno berpendapat bahwa menghormati agama orang lain tidak
ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama adalah
sama. Agama-agama jelas berbeda satu sama lain (Suseno, 1995:
471).
Maka, pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang
memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif
sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan
“sunnatullah” dan berupaya agar berbuat sebaik mungkin
berdasarkan itu (Madjid, 2001: xxv).
“Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap
agama adalah relatif. oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak
boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar
sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga
mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di surga” (Fatwa MUI/II/ no 7 tentang pluralisme,
liberalisme 2005).

Para pengusung pluralisme agama seringkali mencari


pembenaran bagi pendapatnya melalui bermacam-macam sumber,
P a g e | 108

termasuk yang berasal dari ajaran agama Islam. Salah satu sumber
tokoh pluralis yang digunakan pada kajian tasawuf, terutama pada
pemikiran Ibn Arabi dan Jalaluddin Ar Rumi. Kedua tokoh sufi
tersebut dijadikan pintu gerbang gagasan pluralism agama beserta
acuan untuk memberi pembenaran bagi gagasan semua agama
adalah sama dan benar (Armas, 2013: xiv).
Paham pluralisme Inilah yang kemudian menimbulkan paham
relativisme agama dan nihilisme kebenaran pada semua agama.
Paham tersebut menjadi tema penting dalam disiplin ilmu sosiologi,
teologi dan filsafat keagamaan yang berkembang di Barat serta
menjadi agenda penting globalisasi (Fahmy, 2004: 5-6). Pluralitas
agama dalam buku prospek pluralisme tertuliskan bahwa pluralitas
semakin tampil sebagai sebuah kehendak sejarah, sehingga
pluralisme agama menjadi sebuah konsekuensi logis yang sehat,
serta punya fungsi makna agama menjadi konkrit dan relevan dalam
kehidupan masyarakat (2009: xxvii).
Paham pluralisme agama berangkat dari tradisi yang berbeda,
namun sama dalam masing-masing agama. Sehingga “a common
ground” kesamaan tersebut disebut dengan religio perennis “agama
abadi”. Sedangkan pemahaman agama di Indonesia dewasa ini
mengacu pada sebuah kesimpulan dari pemahaman tentang
puralisme agama yang merujuk pada dua aliran yang berkembang.
Dua aliran yang berkembang yang pertama adalah konsep
teologi global (global theology) John Harwood Hick, atau yang biasa
dikenal dengan nama John Hick. Hick adalah seorang teolog dan
filsuf agama, Hick menjadi seorang pendiri, serta orang pertama
P a g e | 109

yang menduduki kelompok All Faiths for One Race (AFFOR). Hick
menjabat sebagai pemimpin di agama dan budaya panel, serta
berasal dari divisi Birmingham Komite Hubungan Masyarakat. Hick
merupakan pimpinan komite koordinasi untuk konferensi tahun 1944
diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang pendidikan baru
dengan tujuan menciptakan silabus baru untuk pengajaran agama di
sekolah-sekolah kota yang terpengaruhi oleh Wilfred Cantwell Smith
dengan world theology (Thoha, 2005: 52-53).
Menurut Hick, upaya untuk mencapai teologi global tentu saja
tidak mudah, tapi juga tidak mustahil. Hick kemudian menggulirkan
sebuah tesis tentang tranformasi dari pemusatan agama menuju
pemusatan Tuhan. Terminologi Hick menggunakan (diri) sebagai
pengganti “religion” agama dalam melihat fenomena agama. Hick
memakai kaca mata Smith yang menggantikan (agama dengan
iman). Hick memahami bahwa iman sebagai the exercise of
cognitive freedom “latihan kebebasan” (Hick, 1986: 160). Artinya
bahwa semua manusia sama, yaitu mulai dari respons negatif,
tertutup, dan eksklusif, sampai respon yang positif, terbuka terhadap
eksistensi ketuhanan yang dapat menggeser dan menaikan derajat
level spiritual seseorang yang gradual menuju eksistensi Tuhan (Hick,
1984: 148).
Hick menginterpretasikan fenomena pluralisme agama
berdasarkan kesimpulan Smith bahwasanya kehidupan spiritual
keagamaan manusia tidaklah berhenti dan tetap “static”, melainkan
senantiasa baru, berkembang dan berubah- ubah secara terus
menerus sesuai dengan perubahan masa dan perkembangan akal
P a g e | 110

manusia. John Hick kemudian membangun faham pluralisme yang


relevan dengan era globalisasi dewasa ini, dengan Global Theology
“teologi global” sebagai wacana keagamaan lintas kultural, menurut
Hick teologi global akan relevan dengan fenomena pluralisme agama
yang dijadikan sebagai bentuk kehidupan beragama yang realitis
(Hick, 1980: 8).
John Hick memberikan doktrin penting dalam teorinya teologi
global dengan keselamatan tidak monolitik, oleh karena itu
diperlukan konsep tentang Tuhan yang sesuai. Sehingga jalan Hick
tentang teologi global akan semakin terbuka jika pemahaman
terhadap konsep tuhan direvolusi. Konsep teologi global John Hick
sebagai konsep pluralisme agama mempersempit makna agama
sebagai (kumpulan tradisi) yang selalu berkembang seiring dengan
perkembangan zaman (Hick, 1963: 118-121).
Aliran kedua adalah kesatuan transenden agama-agama
“Transendent Unity of Religions” yang digagas oleh Fritjhof Schuon.
Schoun mengatakan bahwa jika masing-masing “form” agama
meyakini bahwa sesuatu “form” itu lebih hebat dibanding dengan
“form” yang lain. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masing-
masing agama adalah benar karena setiap “form” adalah relatif dan
terbatas (2013: 15). Menurut Schoun perpindahan agama terjadi
justru karena adanya superioritas sebuah “form”, artinya bahwa
semua “form” agama relatif (Schoun, 2005: 19).
Kedua aliran pluralisme tersebut berkembang dan membangun
konsep yang berbeda. Perbedaan konsep di antara dua aliran ini
dipicu oleh latar belakang yang berbeda, meskipun kedua aliran
P a g e | 111

pluralisme tersebut sama-sama muncul dari dunia Barat. Namun jika


melihat latar belakang dunia Barat yang memiliki traumatik dengan
sikap agama. Traumatik tersebut yang menyebabkan image orang
Barat adalah kekerasan, inkuisisi, siksaan, kekakuan, merasa benar
sendiri. Selain itu, agama dianggap semakin tidak bisa menjawab
tantangan kehidupan yang semakin rumit. Kondisi Barat tersebut
kemudian menjadikan Barat melihat agama dan kepercayaan perlu di
modernisasikan serta disesuaikan perkembangan zaman untuk
menjawab perubahan-perubahan yang terjadi.
Paham Pluralisme diperlukan suatu sikap hidup keagamaan
yang relatif atau nisbi sebagai jalan keluar dari kemelut perpecahan
dan pertentangan agama. Semua agama jika mengambil sikap
seperti ini maka agama bukanlah sebagai faktor pemecah belah
melainkan perekat yang akan menebar rahmat bagi manusia, sebab
kebenaran agama tidak hanya satu melainkan banyak. Cara berpikir
seperti ini pemeluk-pemeluk agama akan mendapatkan kerukunan
umat beragama dalam kemajemukan agama. Umat beragama selain
berani mengakui eksistensi dan hak agama lain juga bersedia aktif
dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan berbagai
agama menuju terciptanya suatu kerukunan dalam kemajemukan
agama (Mulia, 2005: 227-235).
Pluralisme agama dapat dipahami masuk ke Indonesia pada di
saat cendekiawan Muslim membuka kran liberalisasi yang digagas
oleh Nurcholish Madjid (Mulia, 2005: 227-235). Berawal dari sinilah
pluralisme dijadikan tren kehidupan umat beragama, dengan dalil
mencegah dan meredam konflik antar umat beragama. Tetapi,
P a g e | 112

pluralisme agama bukanlah sekedar toleransi antar umat beragama


yang sering disuarakan oleh para pendukung pluralisme agama.
Pluralisme agama adalah sebuah bentuk untuk menuntut kesamaan
dan kesetaraan “equality” dalam segala hal antar agama. Faham
tersebut jika diterapkan dalam agama sehingga akan menghilangkan
istilah iman-kufur, tauhid-musyrik dan lain sebagainya. Konsekuensi
paham ini adalah perubahan ajaran pada tingkatan akidah.
Wacana pluralisme di tanah air tampak begitu ramai setelah
MUI menerbitkan fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005. Ketika
Fatwa tersebut keluar pendukung pluralisme agama di Indonesia
dipukul dengan telak oleh fatwa MUI. Tetapi para pendukung
pluralisme agama tidak berhenti begitu saja, ada kencenderungan
para pluralis merubah kulit dengan istilah Abrahamic faith dan
multikulturalisme dalam hal ini dapat ditinjau dari “……sebutan lama
“pluralisme” pun meredup. Namun ada yang memprotes bahwa
sebutan “multikulturalisme” terlalu bias, berbau Eropa dan Amerika
Utara (Baso, 2005: 27) Tetapi tujuannya tetap sama dengan
pluralisme atau kesetaraan.
Uraian di atas, bahwa paham pluralisme agama jelas bukan
lahir dari kazanah keindonesiaan, walaupun Indonesia memiliki
kebinnekaan. Kaum pluralisme mengklaim bahwa pluralisme agama
adalah bentuk menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tetapi
kenyataannya adalah memaksakan kehendaknya terhadap umat
beragama. Sekilas, pandangan ini ingin menawarkan pandangan
yang ramah terhadap pluralitas atau keberagaman agama, namun
apabila dicermati secara seksama pandangan di atas mempunyai
P a g e | 113

implikasi terhadap agama-agama untuk merevolusi doktrin


teologisnya dan pada akhirnya menghilangkan jadi diri agama itu
sendiri. Hal tersebut disebabkan adanya kesalahan dalam
memandang agama baik secara metodologis, epistemologis dan
aksiologis (Thoha, 2005: 123-141).
C. Krisis Sosial
Indonesia setelah pasca penetapan hasil pemilihan Umum
(Pemilu Presiden dan Legislatif) 2019 tanggal 21 Mei lalu mengalami
ketegangan. Kericuhan tersebut berdasarkan berita penolakan Badan
Penetapan Nasional (BPN) oleh Prabowo Subianto dan Sandiago Uno
pasangan capres dan cawapres terhadap penetapan hasil pemilu
2019 oleh KPU yang diberitakan lewat media elektronik dan media
massa pada tanggal 21 dan 22 Mei 2019. Hal sama dilakukan oleh
masyarakat yang menyerukan sebuah protes perihal adanya
kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2019 muncul di beberapa
tempat.
Protes tersebut tidak hanya berasal dari elit-elit politik,
melainkan juga dari masyarakat luas, terutama dari para pendukung
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianti dan
Sandiaga Uno. Ekspresi Sebagian besar akan ketidakpuasan sebagai
wujud protes terhadap hasil pemilu ditampilkan melalui media sosial
seperti facebook, twitter, whatapps, dll. Sebagian kelompok yang
melakukan protes tersebut mendatangi kantor KPU (komisi pemilihan
umum) dan Bawaslu (badan Pengawas Pemilu) untuk menolak hasil
pemilihan 2019. Hal tersebut diyakini bahwa kecurangan yang
P a g e | 114

dilakukan oleh KPU dan pemerintah saat itu secara sistematif dan
massif.
Protes yang dilakukan sebagian masyarakat tersebut
mengindikasikan adanya ketidakpercayaan politik (political distrust)
terhadap kedua lembaga Pemilu yaitu KPU dan Bawaslu. Seharusnya
kepercayaan politik (political trust) terhadap lembaga-lembaga politik
dan negara adalah fondasi bagi keberlangsungan demokrasi. Sikap
percaya dalam sebuah kegiatan politik ini merupakan bagian dari
modal sosial (Saiful Mujani, 2009: 575-590).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap kegiatan politik, sehingga akan menimbulkan
krisis politik. Yang pertama, perasaan menjadi kelompok sosial yang
mengalami marjinalisasi bisa menyebabkan munculnya ketidak
percayaan terhadap lembaga politik (Robert Wuthnow, 1999). Hal ini
terjadi karena asumsi yang didapat oleh masyarakat berangkat dari
sebuah kebijakan negara yang hanya menguntungkan suatu kelompok
sosial atau etnis dan golongan elit tertentu.
Salah satu contoh kebijakan yang terjadi pada tahun 2020
terjadi aktivitas politik yang melibatkan semua partai politik. Peristiwa
tersebut bermula dari RUU HIP yang diduga berasal dari satu partai
yang akan merubah ideologi Pancasila. Perubahan RUU tersebut
dengan tujuan mengembalikan lima sila menjadi eka sila. Perumusan
eka sila ditetapkan oleh Soekarno kala itu dengan memeras lima sila
menjadi satu yaitu gotong royong. Akan tetapi, hal tersebut
menimbulkan banyak pro dan kontra dari beberapa partai politik
maupun partai keagamaan, bahkan segala pihak hangat
P a g e | 115

membincangkan hal tersebut. Kegiatan politik tersebut merupakan


krisis politik saat ini ditimbulkan bukan karena ketidakpercayaan
masyarakat pada kegiatan politik pemerintah tetapi krisis politik ini
timbul dari oknum-oknum yang tidak paham akan ideologi Pancasila
yang sudah sempurna disepakati oleh segara latar belakang politik.
Yang kedua adalah interaksi sosial yang kurang luas tidak
melintas batas identitas primordialnya seperti suku, agama dan ras
sehingga menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan tersebut
(Robert Putnam). Hal ini disebabkan oleh minimnya pengalaman
berinteraksi dan bekerjasama dengan kelompok lain yang
menyebabkan ketidakmampuan dalam memahami dan bersikap
toleran terhadap nilai-nilai serta ideologi yang berkembang di partai
politik maupun ormas lain yang berbeda dengan partai atau ormas
yang didukungnya.
Yang ketiga aktivitas berada dalam organisasi keagamaan yang
menyuarakan kebencian dan kecurigaan terhadap kelompok lain
(Saiful Mujani). Artinya bahwa, ada oknum yang akan merusak citra
agama dalam sebuah kepentingan politik. Dua point terahir
menegaskan kembali tentang pentingnya civic engagement dan civic
virtue dalam menguatkan sikap percaya (trust) terhadap kebijakan
negara maupun terhadap Lembaga negara.
Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap berbagai
lembaga negara dapat tercerminkan dalam beberapa sikap, di
antaranya; yang pertama adalah keinginan mendukung partai politik
(parpol) yang sesuai dengan kepentingan politiknya, tetapi tersebut
sekaligus dalam rangka menghargai parpol-parpol lain dan para
P a g e | 116

pendukungnya yang memiliki langkah dan pilihan politik yang berbeda.


Yang kedua adalah berpartisipasi dalam pemilihan umum (pilpres dan
pileg), karena mempercayai otoritas dan netralitas lembaga pelaksana
pemilu. Yang ketiga percaya terhadap otoritas profesionalitas polri,
TNI, MK (mahkamah Konstitusi, dan lembaga-lembaga negara
lainnya.
Sikap percaya masyarakat pada sebuah lembaga politik dan
negara tidak dapat timbul dengan sendirinya. Maka, perlunya
menumbuhkan sikap percaya dengan melihat keterlibatan masyarakat
dalam suatu organisasi yang berorientasi pada persoalan kebangsaan
dan organisasi masyarakat (Putnam, 2002). Organisasi masyarakat
yang dimaksud seperti organisasi profesi, organisasi kepemudaan,
organisasi yang memfokuskan pada nilai-nilai hak asasi manusia,
hukum, politik dan komunitas antar agama. Aktivitas yang dilakukan
masyarakat dalam organisasi tersebut merupakan sebuah relasi sosial
yang akan bertambah luas sehingga kebajikan dalam orientasi untuk
sebuah masyarakat umum akan menguat pula.
Organisasi masyarakat tidak hanya ranah sosial melainkan juga
keikutsertaan dalam organisasi keagamaan, misalnya NU dan
Muhammadiyah. Kedua organisasi tersebut merupakan dua contoh
yang diambil dari beberapa oraganisasi keagamaan yang ada. Kedua
organisasi yang berlandaskan sudut pandang yang berbeda, namun
secara visi kedua organisasi tersebut sama-sama memiliki orientasi
pada kebangsaan, kemajemukan bangsa serta pengakuan atas
kesetaraan semua warga negara Indonesia. Masyarakat yang
cenderung terlibat dalam organisasi tersebut lebih besar
P a g e | 117

kemungkinannya untuk memiliki rasa percaya baik dalam hal


interpersonal trust maupun political trust (Saiful Mujani, 2009).
Kesimpulannya bahwa, dengan menumbuhkan rasa percaya terhadap
lembaga politik secara tidak langsung mengindikasikan berjalannya
civic engagement dan adanya orientasi civic virtue dalam kehidupan
masyarakat.
Negara Indonesia yang notabene negara demokrasi seharusnya
memberikan pemahamaan kepada masyarakat dalam urusan politik.
Pemahaman tersebut ditanamkan dengan mengikuti organisasi sosial
maupun organisasi keagamaan seperti di atas. Hal tersebut akan
menguatkan kepercayaan masyarakat terhadap kegiatan politik yang
dilakukan oleh negara.

D. Geopolitik
Ilmu geopolitik adalah pengetahuan yang mempelajari tentang
potensi yang dimiliki oleh suatu bangsa atas dasar jatidirinya, dan
merupakan kekuatan serta kemampuan untuk ketahanan nasional.
Pada hakikatnya geopolitik mengajarkan agar dapat selalu
menciptakan persatuan bangsa dan keutuhan wilayah NKRI,
berdasarkan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Semangat tersebut
berupa kesetaraan, keadilan dan kebersamaan serta kepentingan
nasional, agar persatuan bangsa dan keutuhan wilayah terancam oleh
berbagai gerakan separatis, baik yang sudah memiliki kekuatan
bersenjata maupun yang masih dalam bentuk wacana.
P a g e | 118

Geopolitik berasal dari dua kata yaitu geo dan politic. Geo
artinya bumi atau planet bumi, sedangkan politik selalu berhubungan
dengan kekuasaan dan pemerintahan. Dalam studi hubungan
internasional, geopolitik merupakan suatu kajian yang melihat
masalah/hubungan internasional dari sudut pandang ruang atau
geosentrik. Pengertian geopolitik kemudian dapat disederhanakan lagi
yaitu dengan sebuah studi yang mengkaji masalah geografi, sejarah,
dan ilmu sosial dengan merujuk pada politik internasional. Sehingga
geopolitik diperlukan oleh setiap negara untuk memperkuat posisinya
di antara negara lain serta untuk memperoleh kedudukan penting di
antara bangsa atau lebih tegas lagi untuk menempatkan diri pada
posisi yang sejajar dengan negara maju. Indonesia membuat konsep
geopolitik yang kemudian dinamakan dengan wawasan nusantara
(UNY, 2005: 4). Wawasan nusantara menjadi landasan penentu
kebijaksanaan politik negara. Politik negara yang dapat diisi oleh
kepentingan pribadi, golongan dan kelompok cenderung lebih
dominan daripada kepentingan nasional.
Konsepsi dasar dari geostrategi Indonesia adalah ketahanan
nasional terkait dimensi astagatra yang artinya segenap kehidupan
nasional yang sangat kompleks dipetakan secara sederhana, namun
tetap dapat mencerminkan kehidupan nasional yang nyata. Astagatra
meliputi trigatra alamiah dan pancagatra sosial. Trigatra alamiah
terdiri dari geografi (wilayah), sumber kenyataan alam dan
kependudukan. Sedangkan pancagatra social terdiri dari ideologi,
politik, ekonomi, social dan budaya, pertahanan dan keamanan
P a g e | 119

disingkat ipoleksosbudhankam (“Geopolit. Dan Geostrategi Dalam


Mewujudkan Integritas Negara Kesatuan Republik Indones.,” 2016).
Geostrategi pada hakikatnya sangat tergantung dari
kemampuan bangsa dalam mengelola dan memanfaatkan trigatra
alamiah guna meningkatkan ketahanan pada pancagatra. Telaah
aspek astagatra secara garis besar adalah sebagai berikut. Yang
pertama, pemanfaatan trigatra alamiah sampai saat ini cenderung
berkurang memperhatikan kelestarikan lingkungan hidup ( ekosistem).
Perhatian tersebut diakibatkan oleh berbagai bencana alam seperti
banjir, longsor, dan kebakaran hutan, kemudian akibat yang
ditimbulkan dari bencana tersebut adalah pencemaran air lahan dan
udara.
Kedua kesadaran geografis masyarakat Indonesia yang memilih
tanah air nusantara yang luas dan memilih posisi strategis masih
sangat kurang. Ketiga Pancasila tetap diakui oleh MPR sebagai
falsafah hidup bangsa, dasar negara dan ideologi nasional. Yang
keempat merupakan salah satu sasaran reformasi nasional adalah
demokratisasi yang antara lain mengubah system pemerintahan yang
sentralistik cenderung otoriter dan tertutup menjadi sistem
pemerintahan yang desentralistik, demokratis dalam keterbukaan serta
menunjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) (Pancasila & Yassa,
2018).
Kelima adalah reformasi nasional di bidang ekonomi yang
belum mampu mengatasi kritis ekonomi dan moneter. Keenam adalah
dalam rangka menjaga stabilitas keamanan, aparat keamanan
menghadapi berbagai kendala seperti; pertama trauma terhadap
P a g e | 120

tuduhan pelanggaran HAM, kedua peraturan hukum dan perundangan


yang kurang kondusif bagi upaya pembinaan stabilitas keamanan bagi
Polri dan TNI, di mana Polri dan TNI harus dipisahkan secara hitam
putih. Ketiga, alat peralatan Polri dan TNI beserta dukungan logistik
dan kesejahteraan anggotanya sangat tidak memadai. Yang terahir
merupakan kesadaran bela negara dan disiplin dari warga bangsa
Indonesia pada umumnya cenderung menurun.
Ketujuh merupakan langkah yang sangat mungkin ditingkatkan
yaitu melalui sistem pendidikan nasional. Pemerintah dalam sistem
pendidikan berusaha meningkatkan kesadaran kebangsaan Indonesia
yang berdasarkan semangat Bhinneka Tungkal Ika (Depdiknas,
2009). Dari ketujuh langkang tersebut.

BAGIAN IV: NEGARA DAN PERMASALAHAN KEWARGANEGARAAN


A. Konstitusi dan Demokrasi di Indonesia
1. Konstitusi
Negara Indonesia merupakan negara hukum “rechtsstaat“,
sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat 3 Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut menunjukkan
bahwa Indonesia dalam aturan ketatanegaraan yang berdasarkan
pada hukum yang berlaku. Konstitusi berperan penting mengatur
aspek ketatanegaraan Pancasila sebagai sebuah sistem filsafat dalam
penerapan konsep negara hukum di Indonesia (Winarno, 2015).
Konstitusi merupakan suatu dokumen atau seperangkat dokumen
P a g e | 121

yang berisi aturan-aturan dasar untuk menyelenggarakan negara,


sedangkan dalam arti luas konstitusi merupakan sebuah aturan baik
tertulis maupun tidak tertulis.
Konstitusi dari segi bahasa atau asal kata (etimologi) dikenal
dengan istilah dari sejumlah bahasa Prancis constituer, bahasa Latin
constitution, bahasa Inggris constitution, kemudian dalam bahasa
Belanda dengan sebutan constitutie, dalam bahasa Jerman dikenal
dengan sebutan verfassung, sedangkan dalam bahasa Arab
menggunakan istilah masyrutiyah (Riyanto, 2009). Secara singkat kita
pahami konstitusi sebagai bentuk peraturan atau segala aturan
mengenai suatu negara artinya konstitusi mengandung permulaan dari
segala peraturan mengenai negara (Prodjodikoro, 1970).
(Lubis: 1976) menegaskan bahwa istilah konstitusi digunakan
sebagai pembentukan suatu negara atau menyusun serta menyatakan
makna hukum pada suatu negara. Singkat cerita jika kita membahas
tentang konstitusi, pasti akan menyinggung di dalamnya urusan
hukum yang menetapkan sebuah lembaga-lembaga dalam sebuah
negara. Urusan hukum tersebut kemudian dirangkum dalam berbagai
macam istilah tersebut.
Terlepas itu semua konstitusi berfungsi sebagai landasan
konstitusional yang memberikan pembatasan pada kekuasaan
pemerintah, beserta memberikan suatu kerangka dasar hukum bagi
perubahan masyarakat, kemudian konstitusi berperan sebagai
landasan penyelenggaraan negara menurut suatu sistem
ketatanegaraan tertentu dan menjamin hak-hak asasi warga negara
(Dikti, 2016). Jika berbicara tentang hukum pada suatu negara, maka
P a g e | 122

kita melihat terlebih dahulu terkait pembagian kekuasaan negara, yang


secara khusus pada pembahasan tersebut di Indonesia. Karena,
penyelenggaraan kekuasaan pada negara hingga perwujudan suatu
wewenang hukum akan tujuan pada tercapainya cita-cita bernegara.
Konstitusi bertujuan untuk menjamin kepastian hukum pada
warga negara serta hukum harus dan wajib bertumpu pada sebuah
keadilan “justice”, asas- asas keadilan dari masyarakat sebagai
tujuan dari hukum (Kansil, 1986, 40-41). Hukum sebagai koridor yang
memberi batasan dan arah dalam penyelenggaraan kehidupan pada
sebuah negara. Indonesia merupakan negara hukum yang di
dalamnya terdapat organisasi bangsa Indonesia. Hal tersebut
berdasarkan atas Rahmat Allah Yang Maha Esa serta dorongan
keinginan luhur bangsa untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas
berdasarkan suatu ketertiban menuju suatu kesejahteraan sosial
(Wahyono, 1991: 132). Ditegaskan kembalin oleh Oemar Seno Aji
bahwa Negara Hukum di Indonesia memiliki ciri-ciri khas tersendiri.
Ciri khas tersebut ditandai karena adannya Pancasila sebagai
landasan pokok dan sumber hukum utama. Maka, Indonesia sebagai
negara hukum yang berlandaskan Pancasila menjadi sebuah konsep
negara di Indonesia serta menjadi pembeda dari negara hukum
lainnya.
Padmo Wahyono menjelaskan bahwa negara hukum Pancasila
bersumber pada asas kekeluargaan yang tertuliskan dalam UUD 1945.
Dalam hal ini Padmo Wahyono menuturkan bahwa ada tiga fungsi
hukum dalam sebuah negara hukum yang pertama adalah
penegakkan sistem demokrasi yang sesuai dengan rumusan tujuh
P a g e | 123

pokok sistem pemerintahan negara dalam penjelasan UUD 1945,


yang kedua mewujudkan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945, dan
yang ketiga menegakkan perikemanusiaan yang adil dan beradab
yang dilandasi dengan Ketuhanan yang Masa Esa (Wahyono: 1988).
Padmo Wahyono memberikan sebutan fungsi hukum di
Indonesia sebagai sumber payung hukum. Hukum sebagai Dewi
Yustitia yang memegang pedang dengan matanya yang tertutup,
sehingga memperlihatkan secara jelas suatu citra bahwa keadilan
yang tertinggi adalah suatu ketidakadilan yang paling besar.
Sedangkan lambang hukum di negara Indonesia digambarkan dengan
“pohon pengayoman” (Wahyono, 1988: 5-6).
Konsep negara hukum di Indonesia adalah konstitusional dapat
diartikan sebagai setiap penyelenggaraan aspek hukum
ketatanegaraan hukum apapun di Indonesia yang selalu berdarkan
pada konstitusi undang-undang dasar negara. Konstitusi merupakan
dasar paling utama dan hasil dari representive kemauan dan
dukungan dari rakyat, hal ini seharusnya dijalankan dengan seyakin-
yakinnya dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai sistem filsafat yang merupakan sumber atau
kaidah dasar dalam kerangka pembentukan dan implementasi negara
hukum di Indonesia yang sudah tercantum dalam undang-undang
dasar. Kemudian Pancasila adalah manisfestasi nilai-nilai
kebhinakaan masyarakat Indonesia yang diangkat menjadi kaidah
dasar negara sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Maka, negara hukum yang dikembalikan di Indonesia adalah negara
P a g e | 124

hukum Pancasila yang berkarakter kebhinekaan masyarakat Indonesia


dengan nilai-nilai luhurnya, budi pekertinya, moral dan etika serta
watak keIndonesiaan serta keragaman dari kearifan local yang ada di
Nusantara. Oleh karena itu, Indonesia menjadi negara hukum yang
berlandaskan ideologi Pancasila terdapat salah satu ciri pokok yaitu
kebebasan beragama “freedom of religion”. Yang dimaksud dengan
kebebasan dalam konotasi positif artinya bahwa tidak ada
propaganda anti agama (Azhary, 1991: 69).
a. Perlunya Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara
Setelah kita mengetahui bagaimana kontitusi dengan hukum
pada suatu negara. Maka, perlunya kita melihat bagaimana konstitusi
menjadi penting dalam kehidupan terutama dalam negara modern.
Pada pembahasan sebelumnya sudah kita ketahui bahwa
penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan berdasarkan dasar
hukum (konstitusi). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
konstitusi mempunyai kedudukan maupun derajat supremesi dalam
suatu negara (Tambunan, 2008). Apa yang dimaksud dengan
supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi merupakan konstitusi yang
mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum pada suatu
negara. Konstitusi negara Indonesia misalnya, memiliki kedudukan
sebagai hukum tertinggi dan hukum dasar negara yaitu UUD NRI
1945. Hukum dasar tersebut yang menduduki posisi paling tinggi
dalam jenjang norma hukum di Indonesia sebagai hukum dasar yang
memberikan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-
undangan di bawahnya.
P a g e | 125

Perlunya sebuah konstitusi dalam sebuah negara adalah dalam


rangka mengatur tata kelola pemerintahan sehingga menjadi sebuah
pemerintahan yang baik, tertib dan damai. Indonesia sebagai negara
yang menganut sistem tata kelola pemerintahan yang baik seharusnya
menerapkan prinsip-prinsip transparansi serta akuntabilitas, yang
kemudian sebuah konstitusi diperlukan untuk membatasi kekuasaan
pemerintah atau penguasa negara, membagi kekuasaan negara dan
memberi jaminan HAM bagi warga negara.
2. Demokrasi
a. Mengenal secara Singkat Demokrasi
Istilah demokrasi menjadi panglima di negeri ini setelah rezim
otoriter Soeharto lengser dari tahta kekuasaannya pada Mei 1998.
Namun, istilah yang tepat dan netral untuk menggambarkan Indonesia
saat ini adalah Indonesia pasca Soeharto bukan Indonesia pasca Orde
baru ataupun era reformasi maupun demokrasi. Secara etimologis
demokrasi berasal dari bahasa Yunani uno yang terdiri dari kata
demos yang berarti rakyat dan kratos atau kratein berarti kekuasaan
atau berkuasa. Maka demokrasi menurut asal kata berarti “rakyat
berkuasa” atau government or rule by the people” (Budiardjo, 1998:
50). Dengan kata lain demokrasi adalah pemerintah oleh rakyat atau
kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat
(Kusnardi, 1995: 165).
Demokrasi pertama kali diciptakan oleh sejarawan Yunani
Herodotus, pada abad ke 5 SM (Ma’arif, 1996: 196). Demokrasi
berasal dari kata “demos” masyarakat dan “krateria” (aturan atau
kekuasaan) (Fachruddin, 2006: 25). Sedangkan Lane dan Errsson
P a g e | 126

mengartikan demokrasi dengan sebuah kekuasaan di tangan rakyat


atau pemerintahan oleh untuk mayoritas.
Istilah dan pemaknaan tersebut bermula dari kasus pada abad
431 SM. Seseorang negarawan bernama Pericles ternama dari Athena
yang mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa
kriteria. Kriteria yang pertama yaitu pemerintah oleh rakyat dengan
partisipasi rakyat yang penuh dan langsung, yang kedua adalah
kesamaan di depan hukum, serta yang terahir adalah pluralisme.
Pluralisme yang dimaksud oleh Pericles bukan keragaman seperti
yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pluralisme yang
dimaksud artinya penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan
dan pedagang, yang keempat penghargaan terhadap suatu
pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan
mengekspretasikan kepribadian individual (Fatah, 2000: 6)
Secara terminologis, menurut Joseph A. Schmeter demokrasi
merupakan suatu perencanaan institusional untuk menyampaikan
keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan
untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara
rakyat. Sydney Hook menanggapi bahwa demokrasi adalah bentuk
pemerintahan yang mana keputusan-keputusan pemerintah yang
penting secara langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada
kesempatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat yang
sudah dewasa (Thaha, 2005).
Dalam studi demokrasi sendiri dikenal dua macam
pemahaman, pemahaman yang pertama secara normatif dan secara
empirik. Pemahaman normatif berkenaan dengan demokrasi sebagai
P a g e | 127

tujuan mengajarkan tentang nilai-nilai ideal bagaimana seharusnya


demokrasi diwujudkan. Sedangkan dalam pemahaman empirik atau
demokrasi prosedural adalah rumusan demokrasi yang telah
dilaksanakan (Thaha, 2005: 29).
Maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, demokrasi
adalah pemerintahan oleh rakyat, yang merupakan sistem yang tegak
di atas prinsip kedaulatan rakyat dengan dua nilai pokok yang melekat
padanya: kebebasan “liberty” dan kesederajatan “equality”. Dalam hal
ini kebebasan secara otomatis dan natural berarti kebebasan yang
bertanggung jawab serta bergerak dalam batas-batas konstitusi,
hukum dan etika. Kesederajatan mencakup lapangan hukum,
ekonomi, sosial dan politik. Lawan dari sebuah kebebesan adalah
pengekangan, dominasi dan kesewenang-wenangan. Lawan dari
kesederajatan adalah diskriminasi dan ketidakadilan (Lyman, 1987:
32-43).
b. Konsep Demokrasi di Indonesia
Setelah singkat kita mengetahui makna dan beberapa istilah
dalam memahami demokrasi di atas. Maka, tidak kalah pentingnya
kita mengetahui bahwa demokrasi mengandung dua elemen penting,
yaitu kemerdekaan atau kebebasan dan kesetaraan. Kebebasan oleh
Roshwald diartikan sebagai suatu kemampuan untuk bertindak
berdasarkan keinganan seseorang. Kebebasan individu meliputi
kebebasan berbicara atau berekspresi, kebebasan beragam bebas
dari bahaya dan rasa takut, bebas dari kekurangan, bebas dalam
berfikir, bebas dalam berserikat, termasuk kebebasan bagi setiap
P a g e | 128

individu untuk berpartisipasi dalam pembentukan pemerintah sebagai


hak dasar dari manusia.
Dengan melihat latar belakang manusia yang berbeda seperti
Ras, etnik, agama atau status ekonomi seharusnya memiliki hak yang
sama, artinya tidak ada perbedaan dan mereka harus diperlakukan
secara adil di hadapan hukum. Di Indonesia sendiri seharusnya makna
demokrasi dapat sesuai dengan koridor yang jelas, tentang
kebebasan dan kesetaraan.
Demokrasi menurut keyakinan Bung Hatta di Indonesia sudah
cukup solid karena didukung kombinasi organik ketiga kekuatan sosio
religius (Muhammad Hatta, 1960: 6). Yang bertama sosialisme Barat,
hal ini yang membela prinsip-prinsip kemanusiaan yang sekaligus
dipandang sebagai tujuan dari demokrasi, yang kedua ajaran Islam
yang memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan pada
masyarakat. Kekuatan yang terahir adalah pola hidup dalam bentuk
kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa di Indonesia. Lebih
lanjut Bung Hatta berujar “Demokrasi tidak akan lenyap dari
Indonesia, bila demokrasi lenyap maka lenyap pulalah Indonesia
Merdeka (Muhammad Hatta, 1960: 6).
Melihat konsep demokrasi di Indonesia yang tumbuh dan
berkembang dengan semangat dan cita rasa jauh berbeda dengan
style demokrasi Barat. Perlu diketahui bahwa, Barat identik dengan
watak kolonialisme yang berusaha menuntun negara-negara Timur
agar menganut demokrasi sesuai dengan yang Barat pahami. Perlu
dipahami bahwa pada setiap bangsa mempunyai sejarah dan
kebudayaannya sendiri, yang unik dan berbeda dengan bangsa lain.
P a g e | 129

Hak setiap bangsa untuk menggali dan menumbuh kembangkan


kebudayaannya. Menjalankan demokrasi di Indonesia seharusnya para
aktor yang bermain di dalamnya menjadikan Pancasila sebagai asas
dasar yang menuntun dan mengarahkan mekanisme demokrasi.
Konsep demokrasi di Indonesia bercirikan ke-Indonesia-an
yang harus hadir sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang memiliki
watak religius, ramah, santun, dan menunjung tinggi harkat
kemanusiaan serta kebersamaan. Demokrasi yang tidak memihak
pada suara mayoritas, akan tetapi demokrasi dalam corak
keindonesiaan memihak pada suara bersama atau kepentingan
bersama yang dihasilkan melalui mekanisme
musyawarah/permusyawaratan berazas perwakilan. Musyawarah yang
merupakan perilaku yang bersifat indigenous bagi penduduk
Nusantara yang sudah dikenal dan diperbincangkan banyak orang.
Tentu hal tersebut merupakan benang merah yang membedakan
dengan konsep demokrasi yang berkembang atau dikembangkan di
negara lain terutama di Barat yang bercirikan pemihakan pada “suara
mayoritas” maupun suatu kepentingan individu.
c. Mendeskripsikan secara Filosofis Demokrasi Pancasila
Nilai-nilai demokrasi yang bercirikan keindonesiaan dapat
dilihat secara nyata pada nilai-nilai yang tertuang dalam ideologi
Pancasila terutama pada sila keempat. Dalam setiap sila Pancasila
terdapat karakter inti “core characterisc” dari nilai-nilai kultur budaya
setiap etnis yang ada di Indonesia. Dengan demikian, Pancasila
sebagai jiwa bangsa yang seharusnya dijadikan patokan dasar dalam
menata kehidupan bangsa, termasuk mencerminkan kehidupan
P a g e | 130

berdemokrasi. Pancasila dengan semua sila merupakan suatu


kesatuan yang utuh, yang tidak boleh dan tidak bisa dipisahkan
unsur-unsurnya (Madjid, 1997: 239). Maka pelaksanaan Pancasila
harus dilakukan utuh tanpa ada tekanan pada salah satu silanya,
artinya bahwa setiap sila pada Pancasila saling berkaitan dan saling
berkesinambungan. Hal ini dilakukan agar Pancasila bisa hidup dan
menghidupkan seluruh anak bangsa.
Memahami sila pertama yang merupakan ruh atau spirit
kebangsaan, yang memproklamirkan bahwa manusia harapannya
memiliki watak religius, dengan percaya kepada Tuhan yang maha
esa, menjadikan tuhan sebagai idola, sebagai sandaran hati atau
tempat bergantung manusia. Hal ini merupakan sifat naluriah dalam
diri setiap manusia. Kepercayaan pada Tuhan memberikan spirit bagi
manusia untuk memaknai hidup. Secara singkat bahwa kehidupan
manusia di dunia ini hanya dihabiskan untuk Tuhan bahkan manusia
rela berkorban dan tahan menderita demi mengagungkan kebesaran
Tuhannya.
Akan tetapi, Pancasila memandang berbeda bahwa
kepercayaan selain kepada Tuhan yang maha esa adalah palsu,
karena menjadikan jiwa manusia tertekan dan terbelenggu tidak bisa
merasakan ketenangan, ketentraman dan kedamaian hidup. Manusia
religius yang diharapkan senantiasa menghadirkan Tuhan yang maha
esa dalam hatinya, locus paling private dari dirinya. Hati adalah
tempat paling rahasia dan tersembunyi yang dimiliki manusia.
3. Hukum dan HAM
a. Pengertian Hukum
P a g e | 131

Hukum menurut Notohamidjojo (1975: 21) merupakan


keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya
bersifat memaksa untuk kelakukan manusia dalam masyarakat negara
sert antar negara yang berorientasi pada dua asas, yang pertama
yaitu keadilan dan daya guna, demi tata dan damai dalam
masyarakat. Hukum dalam pengertian Notohamidjojo mempunyai
kategori “kategori hukum” atau unsur-unsur yang merupakan
keterangan dari hukum itu sendiri, yang pertama ordeningssubject
“subjek yang membuatnya” hal ini terkait tentang kewibawaan atau
otoritas. Yang kedua substraat “dasar” dari sebuah tata hukum atau
objek yang diatur tata hukum yang bersangkutan, yaitu masyarakat
yang diorganisasikan”. Maka hukum dapat kita simpulkan hukum
merupakan suatu perintah, izin, janji dan disposisi “peraturan yang
disediakan”
Berbeda dengan Satjipto Rahardjo (2010: 7-8) mengungkapkan
tentang hukum sebagai “teks dan perilaku”, hukum sebagai skema
sebagaimana hukum yang dijumpai dalam teks atau undang-undang
atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional. Jika
melihat pernyataan Rahardjo makna hukum mengalami pergeseran
bentuk, dari hukum yang muncul secara serta merta “ interactional
law” menjadi hukum yang dibuat dan diundangkan “legislated law”.
Hukum juga merupakan sesuatu yang abstraksi, pengandaian
tentang “yang ada” dalam bentuk teks-teks peraturan perundang-
undangan dan lembaga-lembaga serta orang-orang yang terkait
dengan rumusan hukum. Hukum dalam hal ini memposisikan diri “di
luar” sebagai sesuatu yang diberi nama “hukum”. Hukum dapat
P a g e | 132

berupa “otoritas” tidak terlihat, yang berwujudkan sebuah keyakinan


terpaksa yang dilembagakan dan disebut “hukum” sehingga kemudian
muncul istilah keadilan, kebenaran, kepastian sebagai sesuatu “yang
lain” untuk mewujudkan bentuk dari hukum itu sendiri (Rhiti, 2011:
11). Sejak zaman kuno sampai kini permasalahan terkait istilah
“hukum” tidak terlepas dari pertanyaan mengenai hakikat hukum,
karena dengan melihat hakikat hukum manusia akan paham persoalan
substansi dan aksidensi tentang makna hukum. Maka perlunya di sini
memahami hakikat hukum dari beberapa pandangan para filsuf.
Menurut Aristoteles hakikat hukum dapat diketahui dengan
melihat empat kausa atau empat sebab dalam realitas, sebab yang
berupa bahan “causa materialis”, sebab yang berupa bentuk “causa
formalis”, sebab yang berupa pembuat “causa efisien” dan yang
terahir sebab yang berupa tujuan “causa finalis” dari empat sumber
kausalitas tersebut Aristoteles menyatakan bahwa hukum itu ada
karena kausalitas daripada bertanya tentang apa itu hukum dan
mencari tahu hakikatnya (Russell, 1992: 10-11).
Hakikat hukum dapat diketahui dari melihat definisi tentang
hukum, yang hal ini tidak boleh dianggap sepele karena justru dengan
bahasalah yang memungkinkan hukum itu ada dan dapat dipahami
(Bruggink, 1996: 45-53). Kemudian hakikat hukum dapat kita lihat
dari dalam berbagai aliran filsafat hukum. Oleh karena itu hakikat
hukum mungkin saja berada dalam hakikat ke-manusia-an dari yang
disebut manusia. Jika membahas mengenai manusia sebagai
makhluk yang tidak tuntas, bahkan manusia makhluk yang tidak dapat
dimengerti dan merupakan sebuah misteri yang tidak dapat diketahui
P a g e | 133

oleh manusia itu sendiri. Maka, hukum adalah salah satu bagian kecil
dari keseluruhan misteri manusia dan dunianya.
b. Pengertian HAM
Hak Asasi Manusia “HAM” merupakan hak yang fundamental
setiap warga dan setiap individu yang mencakup hak-hak atas hidup
dalam bidang politik, hukum, ekonomi, social dan budaya. Hak
tersebut merupakan kebutuhan mendasar yang harus dimiliki setiap
individu dan kelompok masyarakat tanapa membedakan suku,
agama, jenis kelamin (Didu, 2008: 17). Jika melihat apa yang sudah
tertuang dalam pasal 2 pada Universal declaration of Human Right
1948, bahwa setiap orang-orang berhak atas semua hak dan
kebebesan-kebebesan yang tercantum di dalam deklarasi tersebut
tidak ada pengecualian apa pun, dalam hal ini pembedaan ras, warna
kulit, jenis kelamin, Bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal
usul kebangsaan atau kemasyarakat, hak milik, kelahiran ataupun
kedudukan lain.
Hak asasi manusia dikatakan “melekat” atau “inheren” karena
dalam hak-hak tersebut dimiliki siapapun manusia, berkat kodrat
kelahirannya sebagai manusia bukan karena pemberian oleh suatu
organisasi kekuasaan. Melekat dengan dasar hak hak ini yang tidak
dapat dicabut maupun dirampas oleh siapapun (Soetandyo, 2006: 2).
Bahkan hak ini tidak dapat dicabut oleh penguasa yang dipandang
sebagai pejabat-pejabat yang mempunyai kewenangan yang sah
dalam sebuah keputusan konstitusi negara.
Hak asasi manusia secara kontemporer tidak hanya memiliki
ruang lingkup internasional, hak ini lebih bersifat egalitarian dan
P a g e | 134

kurang individualis, hak ini berfungsi sebagai norma tingkat menengah


diderivasikan dari pertimbangan-pertimbangan moral dan politik yang
lebih pokok dan bersifat abstrak. Pertimbangan di dalamnya secara
kuat menuntut individu maupun institusi sosial dan politik agar setiap
orang diberi jaminan suatu kehidupan yang setidaknya baik secara
minimal.
c. Sejarah HAM
Sejarah perkembangan hak asasi manusia ada tiga aspek
dalam keberadaan manusia yang harus dipertahankan atau
diselamatkan, yaitu integritas, kebebasan dan kesetaraan, di mana
untuk mencapai tiga aspek ini diperlukan adannya penghormatan
terhadap martabat setiap manusia (Elsam, 2001: 10). Pada suatu
negara karena banyaknya etnis dalam suatu negara merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan beberapa etnis yang tergolong
minoritas dalam negara tersebut menjadi komunitas yang
terdiskriminasi. Hal lain yang sering kali jumpai adalah ketika negera
tidak mau mengakui suatu komunitas yang lahir dan bertempat tinggal
di negara itu sebagai warga negaranya (Saraswati, 2004: 187).
Dalam sejarah Hak Asasi Manusia dalam dilihat melalui
beberapa kejadian yang dapat menjadi acuan untuk memahami HAM
itu sendiri dengan melihat dari asal muasal konstitusi di dunia , yang
pertama dari Piagam Madinah, piagam ini berasal dari Baginda Nabi
Muhammad SAW. Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah yang
termasuk salah satu konstitusi tertua didunia memiliki kata kunci yaitu
kata damai untuk menjaga kerukunan dan keutuhan umat manusia
serta melindungi hak asasi manusia. Ketentuan dalam piagam
P a g e | 135

Madinah menjadikan para para pendukung konstitusi akan hidup


dalam kerukunan dan perdamaian. Hidup berdampingan secara
damai yang akarnya ada pada keluarga-keluarga, atau rumah tangga
akan menjadikan masyarakat atau warga negara merasakan
ketentraman, kedamaian dan kenyamanan hidup (Madjid, 1992: 164).
Pada lingkup lebih luas lagi dalam pergaulan antar negara, tiap-tiap
negara diharuskan hidup berdampingan secara damai (Suparmin,
2012: 61).
Selain hak asasi perlu kita memperhatikan dalam sejarah
konsep hukum sebagai sebuah kesepakatan yang serta merta datang
memberikan sebuah penyelesaian dalam sebuah konflik. Hal ini kita
melihat sejarah ketika Raja John dari inggris dengan para baron dalam
sebuah alisiansi. Kesepakatan yang dicapai antara keduanya tertuang
dalam suatu piagam atau charter di Runnymede pada tahun 1215
yang biasa disebut dengan magna carta sebagai sebuah konstitusi
yang berfungsi membatasi kekuasaan raja (Wignyosoebroto, 2006).
Magna carta lahir sebagai wujud desakan para bangsawan
terhadap kebijakan raja yang ketika itu memunggut pajak secara tidak
wajar dan hal tersebut mengucilkan para bangsawan. Magna carta
terbentuk dimaksudkan untuk menjamin hak-hak feudal para baron,
kemudian menjamin dihormati dan dilindunginya kelestarian berbagai
hak yang dituntut untuk tegak atas dasar tradisi gereja akan tetapi
berlaku sebagai tradisi para freemen yang berstatus sebagai warga
kota. Kekuasaan para raja dibatasi dan para ulama gereja yang
masing-masing mengklaim bahwa kekuasaannya bersifat mutlak dan
P a g e | 136

segala titah-titahnya bersifat universal , mengikat pada siapapun


namun tidak pernah mengikat dirinya sendiri.
Tahun 1776 terjadi sebuah proklamasi sebuah deklarasi
kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Thomas Jefferson yang
berisikan tentang doktrin manusia tentang transcendental di dalam
dekralasi kemerdekaan Amerika Serikat, inti dari sebuah deklarasi ini
merupakan keagamaan kedalam transcendental. Dalam deklarasi ini
mengartikan bahwa semua manusia diciptakan sederajat, manusia
diberikan hak-hak tertentu oleh penciptanya yang tercerminkan
sebuah kehidupan, kebebasan dan sebuah tujuan kebahagiaan.
Amandemen yang diperkenalkan sebagai The American Bill of Right
tahun 1791 sehingga tujuan dari amandemen tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa upaya dalam menjamin kebebasan pers dan hak
untuk memperoleh perlindungan ketentuan ini tercantum dalam pasal
1 ayat 6 undang undang nomor 13 tahun 2006 tentang saksi dan
korban.
Prancis pada tahun 1789 dicetuskan deklarasi dengan sebutan
Decaration des Droits de l’home et du Citoyen, deklarasi ini menjamin
persamaan hak dan penghormatan terhadap harkat dan martabat
kemanusiaan yang tentu bertitik tolak pada egalite, fraternite dan
liberte. Decaration ini bersamaan dengan the bill of right di amerika
yang keduanya dipahami sebagai konkretisasi kemauan masyarakat
“volente gerale” untuk membentuk peraturan hukum secara formal
yang melindungi hak asasi manusia (Paul dan Harman, 1998: 5).
d. HAM dalam Pandangan Agama
P a g e | 137

Masyarakat Arab kala itu ketika dipimpin langsung oleh


Rasulullah Muhammad SAW terlihat telah mengalami loncatan yang
sangat luar biasa, dari terbentuknya struktur yang mulai terbentuk
dibawah kepemimpinan Nabi kemudian dilakukan estafet
kepemimpinan oleh Khalifah pertama hingga Khalifah keempat. Abu
Bakar As Shidiq sebagai khalifah pertama menyediakan dasar
penyusunan emperium dunia, hasilnya adalah sesuatu untuk waktu
dan tempatnya sangat luar biasa modern. Perubahan ini berkenaan
dengan prinsip kebersamaan, toleransi, atau yang menganut doktrin
persamaan hak warganegara di bidang politik, ekonomi, hukum dan
HAM (Madjid, 1992: 114-115).
Hal ini berdasarkan Firman Allah yang tertuang dalam Al Qur’an
QS 49 Al Hujurat ayat 13 yang artinya “ hai manusia, sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling
bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”
Ditegaskan Kembali pada surat Al Baqorah ayat 190 yang
artinya “dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas” (Chodjim, 2003:
301). yang perlu dimaksud melampaui/melanggar batas misalnya
seperti membunuh orang yang sudah menyerah, membunuh tawanan,
membunuh orang yang sudah tidak berdaya, membunuh anggota
P a g e | 138

keluarga musuh yang tidak ikut perang, memeras atau korupsi dan
atau menerima suapan. Allah SWT dalam hal ini benar-benar
memberikan penekanan dengan memancam dengan siksaan yang
pedih kepada orang-orang yang melampaui batas.
Riwayat Ibnu Umar r.a dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:
“kebaikan itu tidak akan rusak dan dosa tidak akan dilupakan. Tuhan
tidak akan mati dan jadikanlah kamu sebagaimana yang kamu
kehendaki, yakni sebagaimana yang kamu amalkan, maka kamu akan
dibalas”, karena itu sungguh berbahagia orang yang sewaktu hidupnya
di dunia ini dapat bertindak adil dalam hak-hak orang lain, dan
sungguh celaka orang yang curang dalam hak-hak orang lain.
Ditegaskan lagi dari Riwayat Nabi Muhammad SAW beliau bersabda:
“Orang yang paling besar pahalanya di sisi Allah Ta’ala nanti pada
hari kiamat adalah orang yang paling bermanfaat bagi sesame
manusia sewaktu di dunia, dan orang-orang yang nanti pada hari
kiamat dekat dengan Allah adalah orang-orang yang mendamaikan di
antara sesama manusia “yang bertengkar”.
Dalam agama Kristen perdamaian dilandasi, “kasih”, kasih
yang diartikan di dalam agama Kristen merupakan sabar dan murah
hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong juga
tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari seuntungan
sendiri. Dia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain
dan tidak bersuka cita karena adanya ketidakadilan, tetapi karena
kebenaran (I Korintus 13: 4-7).
BAGIAN V: PENUTUP
A. Kesimpulan
P a g e | 139

Nasionalisme, demokrasi serta integrasi kebangsaan


merupakan tema garis beras dalam penulisan buku ajar ini, harapan
dari penulis tidak jauh dan tidak lebih dari pada pemahaman para
pembaca, baik peserta didik maupun mahasiswa, atau bagi
masyarakat umum yang ingin mengetahui pengetahuan tentang
negara dan bangsa. Dewasa ini pemahaman kembali tentang nilai
nilai yang terkandung dalam karakteristik negara perlu tanamkan
sebagai wujud kecintaan terhadap negara dan menumbuhkan jiwa
patriotism.

Kebebasan dalam berpendapat, serta kesetaraan dalam hak


dan kewajiban perlu ditegakkan dalam kehidupan bernegara agar
timbul sebuah keadilan berdemokrasi. Keadilan berdemokrasi
diperlukan sebagai pendukung proses konstitusi di Indonesia,
sehingga jiwa nasionalisme terwujudkan sebagai integrasi nasional
yang kuat dan berkarakter. Buku ajar ini banyak sekali ditemukan
kesalahan baik dalam penulisan maupun susunan kata, sehingga
perlu adanya masukan dan kritikan dari para pembaca sekalian. Kata
maaf tidaklah cukup untuk mewakili banyaknya kesalahan yang ada.
Pada ahirnya penulis berharap dapat memperbaiki buku ajar ini
dikemudian hari dan dapat menambah kekurangan-kekurangan yang
ada.
P a g e | 140

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, 2005, Identitas dan Kritis Budaya, Membangun Multikultural


Indonesia.http://kongres.budpar.go.id/agenda/precongress/makalah/ab
strak/58%20azyumardi%20azra.htm
Asshiddiqie, 2005, J. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
Azhari, M. Tahir, 1992. Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya,
Implementasinya pada periode Negara Madinah dan Masa Kini,
Jakarta: bulan Bintang
Budiarjo, Miriam. 1998. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Baso, Ahmad dalam Sururin (editors), 2006, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam,
Bandung: Kerjasama Fatayat NU dan The Ford Foundation
Depdiknas, 2009. Peta Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa
Hatta, M. 1982. Ke Arah Indonesia Merdeka. Dalam Miriam Budiarjo (ed).
Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia
____________, 1960, Mohammad, Demokrasi Kita, dalam Panji Masyarakat, Th.
Ke 2, No. 22 (5 Dzulhijjah 1379/1 Mei 1960)
P a g e | 141

Hadi, Hardono. 1994. Hakekat dan Muatan Filsafat Pancasila. Yogyakarta:


Penerbit Kanisius
Hakim G. Nusantara A, 1998, Politik Hukum Indonesia. Cetakan Pertama,
YLBHI, Jakarta.
Hick, John. 1986, An Interpretation of Religion, Gifford Lecture
____________, 1984, Religious Pluralism, in Frank Whaling, (ed), The World’s
Religious Traditions: Current Perspectives in Religious Studies,
Edinburgh
____________,1980, God Has Many Names, London: Macmillan.
____________, Philosophy of Religion, New Delhi: Prentice Hall.
Kaelan, 2001, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma
____________, 2002. Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Yogyakarta: Paradigma
____________, dkk, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan
Tinggi, Edisi Pertama, Yogyakarta: Paradigma.
____________, 2012. Problem Epistemologis Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara. Yogyakarta: Paradigma
Koentjaraningrat. 1972. Metode Antropologi, Ichtisar dari Metode-metode
Antropologi dalam penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan
Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas.
____________, 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi dan Etika.
Yogyakarta: Tiara Wacana
____________, 2001, “Radikalisasi Pancasila”. Makalah Untuk Diskusi di
PPSK, Yogyakarta, 18 Januari
Kurana, S. 2010. National Integration: Complate information on the meaning,
features and promotion of national integration in India.
P a g e | 142

Kusumohamidjojo, Budiono, 2000, Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia: Suatu


Problematik Filsafat Kebudayaan, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia
Latif, Yudi, dkk. 2011. Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan
Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT Gramedia
LEMHANNAS, Wawasan Nusantara, Naskah Akademis, Lemhanas, Jakarta
LEMHANNAS, Teori Dasar Geopolitik dan Geostrategi, Naskah Akademis
Lemhannas, Jakarta
Madjid, Nurcholish, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan
dan Kemungkinan“, Republika, 10 Agustus 1999, 4-5
___________, 1992, 2000, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
___________, 1997. Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina.
___________, 2001, Pluralisme Agama, Kerukunan dan Keberagaman, Cetakan
Pertama, Jakarta: Penerbit Kompas
Marcel, Gabriel, 2005. Menjadi Manusia Eksistensi dalam Kebhinekaan Menurut
Gabriel Marcel, Yogyakarta: Yayasan Pustakan Nusatama
Muniatmo, Gatut dkk. 2000. Khazanah Budaya Lokal Sebuah Pengantar untuk
Memahami Kebudayaan Nusantara. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Puwasito, Andrik, 2003, Komunikasi Multikultural, Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
Sanaky, Hujair AH. 2003, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun
Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insania Press
Saksono, Gatut, 2007, Pancasila Soekarno, Ideologi alternatif terhadap
Globalisasi dan Syariat Islam, Yogyakarta: Rumah Belajar
Yabinkas.
Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.
Jakarta: Gramedia.
Soedarsono, S. 2003. Membangun Kembali Karakter Bangsa. Tim sosialisasi
Penyemaian Jati Diri. Jakarta: PT elex Media Komputindo.
P a g e | 143

Soekarno, Presiden RI, Pertahanan Nasional dapat Berhasil Maksimal jika


Berdasarkan Geopolitik, Sari Amanat pada Peresmian Lemhannas di
Istana Negara, Jakarta, 20 Mei 1965
_________, Pantja-Sila sebagai Dasar Negara, Jilid 1. Jakarta: Kementrian
Penerangan RI, 1958a
_________, Pantja-Sila sebagai Dasar Negara, Jilid 2. Jakarta: Kementrian
Penerangan RI, 1958b
_________, Pantja-Sila sebagai Dasar Negara, Jilid 3&4. Jakarta: Kementrian
Penerangan RI, 1958c
Sunardi, R.M., Ketahanan Nasional Indonesia, Lemhannas, Jakarta, 2001.
Sutiyono,2010, Benturan Budaya Islam Puritan dan Singkritisme, Jakarta,
November, Kompas.
Sudikan, Setya Yuwana. 2013. Kearifan Budaya Lokal, Sidoarjo: Damar Ilmu
Syam, Nur, 2009, Tantangan Multikulturalisme Indonesia, dari Radikalisme
Menuju Kebangsaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Smith, Wilfred Cantwell, 2004, Islam Modern di India Sebuah Analisis Sosial,
diterj oleh Karsisi Diningrat, Bandung: Penerbit Pustaka.
Schoun, Frithjof, 2005, Esoterism. As Principle And As Way, William Stoddart,
Pakistan: Suhail Academy Lahore
Tantular, M. 2009, Kakawin Sutasoma. Depok: Komunitas Bambu
Thoha, Anis Malik, 2005, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis, Jakarta:
Kelompok Gema Insani
Zarkasyi, Hamid Fahmy, 2004, Peradaban Islam, Makna dan Strategi, Ponorogo:
Centre Islamic Oriental dan Occidental Studies.
Zahra, Imam Abu, 1976, Zahra At-tafasir, cetakan pertama, Qohirah: Darul fikrul
Arabi
P a g e | 144
P a g e | 145

Anda mungkin juga menyukai