File 5 Bab Ii

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 22

BAB II

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KESETARAAN GENDER DAN


METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA DINI

A. Deskripsi Pustaka
1. Implementasi
a. Pengertian Implementasi
Implementasi dapat diartikan sebagai pelaksanaan atau
penerapan. Bahwa kata implementasi bermuara pada aktivitas, adanya
aksi, tindakan atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme
berarti bahwa implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi sesuatu
kegiatan terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh
berdasarkan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.1 Oleh
karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh
objek berikutnya yaitu Implementasi Pendidikan Kesetaraan Gender.
2. Pendidikan Kesetaraan Gender
a. Pengertian Pendidikan Kesetaraan Gender
Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran tetapi
merupakan salah satu “narasumber” bagi segala pengetahuan karena
pendidikan merupakan instrument efektif transfer nilai, termasuk nilai
yang berkaitan dengan isu gender. Pendidikan juga sarana sosialisasi
kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.2
Daryo Sumanto dalam Elvi Muawanah mengungkapkan
bahwa:
“Departemen Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu
gender tersebut melalui perubahan kurikulum dan rupanya
sudah terakomodasi dalam kurikulum 2004 tinggal bagaimana
mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender
meskipun pada kenyataannya membawa dampak bias gender
dalam masyarakat yang berakibat pada kurang optimalnya

1
Syafruddinnurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Ciputat Press,
Jakarta, 2002, hlm. 70.
2
Elfi Muawanah, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, Teras, Yogyakarta, 2009,
hlm. 53.

9
10

pembangunan sumber daya manusia yang unggul disegala


bidang tanpa memandang jenis kelamin.”3

Bias gender dapat dilihat dalam buku bacaan disekolah, yang


sebagian besar mentransfer nilai atau norma gender yang berlangsung
dalam kebudayaan masyarakat. Hal ini berarti sistem nilai gender akan
berpengaruh pada kehidpan sistem sosial di sekolah. Sebagai contoh
dalam buku ajar telah dikonstruksi peran gender perempuan dan laki-
laki secara segresi, ayah/laki-laki digambarkan bekerja di kantor, di
kebun (sektor publik), sementara perempuan/ibu digambarkan di
dapur, memasak, mencuci, dan mengasuh adik (domestik).4 Segresi
gender banyak memberikan pelajaran dimana lingkungan turut
menstimulus pembelajaran tersebut sehingga perilaku khas laki-laki
dan perempuan dapat dipahami melalui segresi gender tersebut oleh
anak-anak. Hal yang menjadi patokan dalam berperilaku sesuai dengan
segresi tersebut adalah tuntutkan lingkungan, identitas sosial dan
konsep diri yang kesemuanya akan berinteraksi membentuk sebuah
pemahaman, kesadaran, sikap bahkan perilaku yang berwarna khas
gender laki-laki ataupun perempuan.5
Kesetaraan dan keadilan gender adalah dasar, tujuan dan misi
utama peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun
keharmonisan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan membangun
keluarga yang berkualitas. Setara berarti sejajar, sama tingkatannya,
sepadan atau seimbang. Jadi, keadilan dan kesetaraan mempunyai
kemiripan makna yaitu sebuah sikap yang sama dan sejajar.
Pendidikan gender pada anak usia dini akan tercapai apabila
memberikan pendidikan adil gender sedini mungkin kepada anak-anak
yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan fisik maupun
psikologisnya termasuk didalamnya perkembangan kognitif anak.

3
Ibid., hlm. 54.
4
Ibid., hlm. 54.
5
Haris Herdiansyah, Gender dalam Perspektif Psikologi, Salemba Humanika, Jakarta,
2016, hlm. 25.
11

Pendidikan adil gender memuat nilai-nilai dan konsep keadilan yang


diperlukan proses internalisasi atas nilai-nilai dan konsep tersebut.6
Kesetaraan gender seperti sebuah frase (istilah) “suci” yang
sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politisi,
bahkan oleh para pejabat Negara. Istilah kesetaraan gender dalam
tatanan praksis hampir selalu diartikan sebagai kondisi
“ketidaksetaraan” yang dialami oleh para wanita. Istilah kesetaraan
gender sering terkait dengan istilah diskriminasi terhadap perempuan,
subordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil, dan semacamnya.7
Kesetaraan gender dapat juga berarti adanya kesamaan kondisi
bagi laki-laki maupun perempuan dalam memperoleh kesempatan
sehingga serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta
kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Terwujudnya
kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki sehingga dengan demikian
antara perempuan dan laki-laki memiliki akses, kesempatan
berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Keadilan gender
merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap kaum laki-laki
dan perempuan. Melalui keadilan gender berarti tidak ada lagi
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi dan
kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.8
Pendidikan kesetaraan gender merupakan pemberian perlakuan
sama kepada seluruh peserta didik yang menunjukkan adanya
pengelolaan pendidikan yang baik, sehingga tujuan negara dalam

6
Ibid., hlm. 21.
7
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender,
Mizan, Bandung, 1999, hlm. 19.
8
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2008. hlm. 29.
12

mencerdaskan kehidupan bangsa akan tercapai. Perlakuan yang sama


bagi perempuan dan laki-laki dapat menunjukkan adanya kesetaraan
gender dalam pendidikan.9
b. Ketidakadilan Gender dalam Pendidikan
Ketidakadilan Gender (Gender Uneqiunlities) merupakan
sistem dan struktur yang mana kaum laki-laki dan perempuan menjadi
korban dari sistem tersebut. Perbedaan gender dapat dipahami apabila
dapat mengetahui penyebab ketidakadilan gender maka dapat dilihat
dari berbagai manifestasinya yaitu : 10
1) Marginalisasi
Marginalisasi dapat terjadi akibat adanya diskriminasi
terhadap pembagian kerja menurut gender. Ada jenis pekerjaan
yang dianggap cocok untu perempuan karena keyakinan gender.
Perempuan dianggap tekun, sabar, dan ramah, maka pekerjaan
yang cocok bagi mereka adalah sekretaris, perawat, suster,
pramugari, guru TK dan penerima tamu.
2) Subordinasi
Perempuan adalah makhluk yang emosional, maka
perempuan dipandang tidak bisa memimpin dan karena itu
ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Hal ini mengakibatkan
subordinasi terhadap perempuan. Perempuan dipatok bekerja di
dapur untuk melayani keluarganya atau suaminya, dari sini
menjadikan perempuan tersurbodinasi dibawah bayang laki-laki,
terutama jika secara ekonomi tergantung pada suaminya.
Stereotip Jenis Kelamin
Stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu
kelompok tertentu yang merugikan dan menimbulkan
ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip itu adalah sumber dari

9
Yana Suryana, Gender dalam Pendidikan, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015,
hlm. 3.
10
Achmad Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta, 2001, hlm. 32-40.
13

pandangan yang bias gender. Salah satu pelabelan yang dimaksud


adalah bahwa perempuan sebagai ibu rumah tangga, bahwa
perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi.
3) Beban Kerja Lebih Berat
Asumsi teori hukum alam (teori natur) menyatakan bahwa
perempuan secara alami memiliki sifat keibuan, penyabar,
penyayang, lemah lembut, pemelihara dan rajin. Sifat seperti ini
akan sangat cocok untuk menjadi ibu rumah tangga dan sekaligus
bukan kepala keluarga. Akibatnya, semua pekerjaan domestik
menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Ketidakadilan sangat
ketara meski beban kerjanya lebih berat, paling tidak waktu yang
digunakan lebih lama, tetapi curahan waktu dan tenaga untuk
menyelesaikan sama sekali tidak dihargai secara ekonomi.
4) Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan mengenai perempuan pada umumnya
disebabkan karena adanya pandangan gender (Gender Related
Violence). Bentuk kekerasannya bisa kekerasan fisik maupun
nonfisik yang berlau ditingkat rumah tangga, tingkat negara,
bahkan sampai pada tafsir agama.
Ketidakadilan gender dalam bidang pendidikan dapat disiasati
dengan konsep Androgini. Pendidikan Androgini adalah pendidikan
yang memperkenalkan konsep bebas gender pada anak laki-laki dan
perempuan. Konsep pendidikan ini berbeda dengan konsep pendidikan
konvensional yang berasumsi bahwa anak laki-laki dan perempuan
adalah berbeda. Oleh karena itu, perlu diperlakukan berbeda, anak
laki-laki diberikan baju warna biru, mainan mobil-mobilan, perang-
perangan, sedangkan anak perempuan diberikan baju warna merah
jambu, mainan boneka. Hal-hal tersebut dapat melanggengkan
perbedaan peran gender. Sedangkan konsep androgini berasumsi
bahwa anak laki-laki dan perempuan mempunyai potensi yang sama
untuk menjadi maskulin ataupun feminine, oleh karena itu
14

diperlakukan sama. Apabila anak perempuan dan laki-laki sudah


menginternalisasi peran-peran sama, maka diharapkan tidak ada lagi
peran-peran stereotip gender.11
Konsep Androgini ternyata banyak menuai kritik dan kurang
setuju, karena teori androgini dianggap menentang alam, karena jenis
kelamin tertentu mempunyai sesuatu kecenderungan alami yang tidak
dapat dihindari. Seorang anak perempuan yang telah dibesarkan secara
androgini akan dianggap meyimpang, karena masyarakat masih
mengharapkan perempuan untuk bersifat feminine, begitu dengan laki-
laki dianggap aneh kalau terlalu bersifat feminine dan lembek.12
Apabila guru memiliki sensitivitas gender maka akan memiliki itikat
untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan gender dengan sendirinya,
melalui pembelajaran di kelas, dalam pembuatan soal dan dalam
perlakuan di kelas.13
c. Pandangan Islam tentang Kesetaraan Gender
Pandangan islam tentang kesetaraan gender yang dapat dilihat
dari ayat AL Qur’an, karena Al Qur’an merupakan pedoman bagi umat
muslim dan rujukan bagi agama Islam. Al Qur’an sebagai rujukan
prinsip masyarakat islam, pada dasarnya mengakui kedudukan laki-
laki dan perempuan itu sama.14 Penafsiran yang meletakkan kaum
perempuan dalam kedudukan atau martabat yang tidak subordinatif
pada laki-laki. Pada dasarnya terkandung semangat hubungan laki-laki
dan perempuan yang bersifat adil (equal). Oleh karena itu, subordinasi
kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang di
masyarakat yang tidak sesuai dengan semangat keadilan seperti ayat
Al-Qur’an, surat An-Nahl ayat 97 yang berbunyi:

11
Ratna Megawangi, Op.Cit., hlm. 114.
12
Ibid., hlm. 115-116.
13
Elfi Muawanah, Op.Cit., hlm. 57.
14
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1996, hlm. 129.
15

            

      


“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya aan kami beri balasan kepada mereka
denga pahala yang lebih baik dari yang telah merekan kerjakan”
(QS. Al-Qur’an 16:97)15

Al Qur’an banyak menunjukkan ayat yang bersifat adil tentang


kedudukan perempuan dan laki-laki yang sama, misalnya pada surat Al
Hujarat:14 dan At Taubah:71. Selain itu juga terdapt ayat Al Quran
yang lain tentang kesetaraan gender pada Al Qur’an surat An
Nisa:124,16 yang berbunyi:

          

     


“Dan siapa yang mengerjakan sesuatu dari amal saleh, baik laki-
laki atau wanita dan dia beriman, maka mereka itu akan masuk
ke dalam surga dan tidak akan dianiaya walau sedikit pun” (QS.
Annisa’ 4:124)17

Kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara


laki-laki dan perempuan. Namun, keduanya mempunyai potensi dan
peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal, yaitu dalam Al-
Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa, dan
untuk mencapai derajat bertaqwa ini tidak dikenal adanya perbedaan
jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu, dalam

15
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta, 1990, hlm. 278.
16
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, Paramadina,
Jakarta, 1999, hlm. 248.
17
Departemen Agama RI, Al-Quran, hlm. 98.
16

kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempua masing-masing akan


mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai kadar pengabdiannya.18
d. Indikator Kesetaraan Gender
Adapun indikator kesetaraan gender adalah sebagai berikut : 19
1) Akses
Aspek akses adalah peluang atau kesempatan dalam
memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu.
Mempertimbangkan bagaimana memperoleh akses yang adil dan
setara antara perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan laki-
laki terhadap sumberdaya yang akan dibuat. Adapun contoh dalam
hal pendidikan bagi guru adalah akses memperoleh beasiswa
melanjutkan pendidikan untuk guru perempuan dan laki-laki
diberikan secara adil dan setara atau tidak.
2) Partisipasi
Aspek partisipasi merupakan keikutsertaan atau partisipasi
seseorang atau kelompok dalam kegiatan dan atau dalam
pengambilan keputusan. Guru perempuan dan laki-laki apakah
mempunyai peran yang sama dalam pengambilan keputusan di
sekolah atau tidak.
3) Kontrol
Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan
untuk mengambil keputusan. Pemegang jabatan sekolah sebagai
pengambil keputusan apakah didominasi oleh gender tertentu atau
tidak.
4) Manfaat
Manfaat adalah kegunaan yang dapat dinikmati secara
optimal. Keputusan yang diambil oleh sekolah memberikan
manfaat yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki atau
tidak.

18
Nasaruddin Umar, Op.Cit., hlm. 247.
19
Riant Nugroho, Op.Cit., hlm. 29.
17

e. Ciri-ciri Kesetaraan Gender dalam Pendidikan


Kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan harus
tepenuhi. Maka pendidikan perlu memenuhi dasar pendidikan yaitu
menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan
sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. 20
Ciri-ciri kesetaraan gender dalam pendidikan adalah sebagai
berikut : 21
1) Perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap
jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi
geografis publik.
2) Adanya pemerataan pendidikan yang tidak mengalami bias gender.
3) Memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat
setiap individu.
4) Pendidikan harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan
tuntutan zaman.
5) Individu dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapat
kualitas sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
3. Metode Bermain Peran
a. Pengertian Metode Bermain Peran
Metode merupakan bagian dari strategi kegiatan. Metode
dipilih berdasarkan strategi kegiatan yang sudah dipilih dan diterapkan.
Metode merupakan cara yang digunakan dalam bekerjanya sebagai alat
untuk mencapai tujuan kegiatan.22
Bermain peran adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
mana peserta didik ikut terlibat aktif memainkan peran-peran tertentu.
Bermain peran merupakan sesuatu yang bersifat sandiwara dimana
pemain memainkan peran tertentu sesuai dengan lakon yang sudah
ditulis dan memainkannya untuk tujuan hiburan. Sesuatu yang

20
Moh. Roqib, Pendidikan Perempuan, Gama Media, Yogyakarta, 2003, hlm. 46.
21
Ibid., hlm. 46-49.
22
Moeslichatoen, Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, PT Rineka Cipta, Jakarta,
2008, hlm. 7.
18

berkaitan dengan pendidikan dimana individu memerankan situasi


yang imajinatif dengan tujuan untuk membantu tercapainya
pemahaman diri, meningkatkan ketrampian, menunjukkan perilaku
kepada orang lain bagaimana perilaku seseorang atau bagaimana
seseorang harus bertingkah laku. Bermain peran adalah salah satu alat
belajar yang mengembangkan ketrampilan dan pengertian mengenai
hubungan antar manusia dengan jalan memerankan situasi yang pararel
dengan yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya.23
Bermain peran disebut juga bermain simbolik, main pura-pura,
make-believe, imajinasi. Permainan ini sangat penting untuk
perkembangan kognisi, sosial dan emosi pada anak. Bermain peran,
membolehkan anak untuk membayangkan dirinya ke masa depan dan
menciptakan kondisi masa lalu.24 Metode bermain peran ini dapat
memberikan kesempatan kepada anak untuk praktik menempatkan diri
mereka dalam peran-peran dan situasi-situasi yang akan meningkatkan
kesadaran terhadap nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan mereka sendiri
dan orang lain.25
b. Jenis-jenis Bermain Peran
Jenis-jenis bermain peran terbagi menjadi 2 yaitu bermain
peran makro dan bermain peran mikro yaitu : 26
1) Bermain Peran Makro
Anak berperan sesungguhnya dan menjadi seseorang atau
sesuatu. Anak memiliki pengalaman sehari-hari dengan main peran
makro anak belajar banyak keterampilan pra-akademis, seperti:
menyelesaikan masalah dan bermain kerja sama.

23
Corsini, Model – model Mengajar, Diponegoro, Bandung, 2001, hlm. 99.
24
Lilis Madyawati, Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak, Kencana, Jakarta, 2016,
hlm. 156.
25
Aris Shoimin, 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013, Ar-Ruzz
Media, Yogyakarta, 2014, hlm. 161.
26
Ibid., hlm. 157.
19

2) Bermain Peran Mikro


Anak memegang atau menggerak-gerakkan benda
berukuran kecil untuk menyusun adegan. Saat anak bermain peran
mikro, anak belajar untuk menghubungkan dan mengambil sudut
pandang dari orang lain.
c. Prosedur Bermain Peran
Adapun prosedur atau tata cara dalam bermain peran, yaitu : 27
1) Pemanasan (Warming Up)
Guru berupaya memperkenalkan anak pada permasalahan
yang mereka sadari sebagai suatu hal yang bagi semua orang perlu
mempelajari dan menguasainya. Bagian berikutnya dari proses
pemanasan adalah menggambarkan permasalahan yang jelas
disertai contoh.
2) Memilih Pemain
Anak dan guru membahas karakter setiap pemain dan
menentukan siapa yang akan memainkannya. Pemilihan pemain
dalam permainan ini, guru dapat memilih anak atau anak sendiri
yang mengusulkan akan memainkan siapa dan mendeskripsikan
perannya.
3) Menata Panggung
Guru mendiskusikan dengan anak dimana dan bagaimana
peran itu dan apa saja kebutuhan yang diperlukan. Konsep
sederhana memungkinkan untuk dilakukan karena intinya bukan
kemewahan panggung, tetapi proses bermain peran.
4) Menyiapkan Pengamat
Guru menunjuk beberapa anak sebagai pengamat.
Walaupun anak ditugaskan sebagai pengamat, guru sebaiknya
memberikan tugas peran terhadap mereka agar dapat terlibat aktif
dalam bermain peran.

27
Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang
Kreatif dan Efektif, Bumi Aksara, Jakarta, 2014, hlm. 26-27.
20

5) Memainkan Peran (Manggung)


Permainan peran dilaksanakan secara spontan. Pada
awalnya akan banyak anak yang bingung memainkan perannya
atau bahkan tidak sesuai dengan peran yang seharusnya anak
lakukan.
6) Diskusi dan Evaluasi
Guru bersama anak-anak mendiskusikan permainan yang
dimainkan dan melakuan evaluasi terhadap peran-peran yang
dilakukan. Usulan dalam kegiatan evaluasi pasti akan muncul
mungkin ada anak yang meminta untuk ganti peran bahkan alur
sedikit berubah.
7) Memainkan Peran Ulang
Diharapkan pada permainan peran kedua ini akan berjalan
lebih baik. Saat bermain peran ulang ini anak dapat memainkan
perannya lebih sesuai dengan skenario.
8) Diskusi dan Evaluasi kedua
Pembahasan dan evaluasi lebih diarahkan pada realitas.
Contoh seorang anak memerankan seseorang yang galak,
kegalakan yang dilakukan orang ini dapat dijadikan bahan diskusi
pada anak-anak.
9) Berbagi Pengalaman dan Kesimpulan
Anak-anak diajak untuk berbagi pengalaman tentang tema
permainan peran dan dilanjutkan dengan membuat kesimpulan.
Saat mengambil kesimpulan ini anak-anak akan belajar tentang
kehidupan.
21

d. Manfaat Bermain Peran


Berikut ini adalah manfaat bermain peran pada anak usia dini,
yakni :28
1) Membangun Kepercayaan Diri pada Anak
Berpura-pura menjadi apapun yang anak inginkan, dapat
membuat anak merasakan sensasi menjadi karakter-karakter tadi
sehingga dapat meningkatkan kepercayaan dirinya. Melalui
bermain peran ini rasa kepercayaan diri pada anak dapat dibangun.
2) Mengembangkan Kemampuan Berbahasa
Pada saat bermain peran, anak akan berbicara seperti
karakter atau orang yang diperankannya. Hal ini dapat memperluas
kosakata anak. Anak sering mengulangi dialog yang pernah dia
dengar dari sebuah adegan dapat membuat anak lebih percaya diri
dalam berkomunikasi dan mengekspresikan diri.
3) Meningkatkan Kreativitas dan Akal
Pada saat bermain peran, kreativitas anak akan terbawa
keluar, sehingga anak menjadi banyak akal saat mencoba
membangun dunia impiannya. Misalnya, kardus-kardus dibuat
menjadi istana, bayangan dari jari-jarinya yang bermain menjadi
bentuk hewan.
4) Membuka Kesempatan untuk Memecahkan Masalah
Pada situasi tertentu saat bermain peran, pikiran anak akan
terlatih untuk menemukan solusi jika ada masalah yang terjadi.
Sebagai contoh, ketika boneka bayinya ditidurkan, anak akan
menyadari bahwa bayi memerlukan selimut agar hangat. Dengan
memecahkan masalah saat bermain dapat membantu anak
mengatasi masalah di kehidupan nyata kemudian hari.
5) Membangun Kemampuan Sosial dan Empati
Anak sedang menempatkan dirinya dalam pengalaman
menjadi orang lain. Menghidupkan kembali sebuah adegan dapat

28
Lilis Madyawati, Op.Cit., Hlm. 158-159.
22

membantu anak menghargai perasaan orang lain sehingga dapat


membantu mengembangkan empatinya. Bermain peran akan lebih
menyenangkan dilakukan bersama teman, karenanya anak dapat
belajar komunikasi, bergiliran, belajar berbagai peralatan atau
mainan bersama temannya.
6) Memberi Anak Pandangan Positif
Anak memiliki imajinasi yang tidak terbatas. Bermain
peran dapat membantu anak berusaha mencapai mimpi dan cita-
citanya.
e. Kelebihan dan Kelemahan Bermain Peran
Bermain peran memiliki kelemahan dan kelebihan, adapun
beberapa kelemahan dan kelebihannya sebagai berikut: 29
1) Kelebihan Bermain Peran
a) Anak bebas berekspresi dan mengambil keputusan.
b) Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat
digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.
c) Guru dapat mengevaluasi pengalaman anak melalui pengamatan
saat permainan.
d) Dapat membuat kesan bagi anak dan tahan lama dalam ingatan.
e) Sangat menarik bagi anak sehingga memungkinkan kelas
menjadi dinamis dan penuh antusias.
f) Membangkitkan gairah dan semangat optimis dalam diri anak,
serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan
sosial.
g) Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah
dan memetik butir-butir hikmah yang terkandung didalamnya.
2) Kekurangan Bermain Peran
a) Metode bermain peran memerlukan waktu yang relatif panjang.
b) Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak
guru maupun murid.

29
Aris Shoimin, Op.Cit., hlm.162-163.
23

c) Kebanyakan anak yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu


untuk melakukan suatu adegan.
d) Apabila permainan sosiodrama dan bermain peran mengalami
kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi
sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai.
e) Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode
bermain peran.
4. Anak Usia Dini
a. Pengertian Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah anak yang berada pada usia 0-6 tahun.
Usia dari kelahiran hingga enam tahun merupkan usia kritis bagi
perkembangan semua anak, tanpa memandang dari suku atau budaya
anak berasal. Stimulasi yang diberikan pada anak usia dini akan
mempengaruhi laju pertumbuhan dan perekembangan anak serta sikap
dan perilaku sepanjang rentang kehidupannya.30
Anak usia dini merupakan sekelompok anak yang berada dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, artinya
memiliki karakteristik pertumbuhan dan perkembangan fisik, motorik,
kognitif atau intelektual, sosial-emosional, serta bahasa.31
b. Karakteristik Anak Usia Dini
Anak usia dini memiliki karakteristik yang khas, baik secara
fisik, sosial, moral. Karakteristik anak usia dini antara lain : 32
1) Memiliki Rasa Ingin Tahu yang Besar
Pada usia ini anak paling peka dan potensial untuk
mempelajari sesuatu, rasa ingin tahu anak sangat besar. Hal ini
dapat kita lihat dari anak sering bertanya tentang apa yang mereka

30
Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2004, hlm.14.
31
Masitoh, Strategi Pembelajaran TK, Universitas Terbuka, Jakarta, 2009, hlm. 1.16.
32
Siti Aisyah, dkk, Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini,
Universitas Terbuka, Jakarta, 2010, hlm. 1.4-1.9.
24

lihat. Apabila pertanyaan anak belum terjawab, maka mereka akan


terus bertanya sampai anak mengetahui maksudnya.
2) Merupakan Pribadi yang Unik
Setiap anak memiliki keunikan sendiri-sendiri yang berasal
dari faktor genetik atau bisa juga dari faktor lingkungan. Faktor
genetik misalnya dalam hal kecerdasan anak, sedangkan faktor
lingkungan bisa dalam hal gaya belajar anak.
3) Suka Berfantasi dan Berimajinasi
Anak usia dini suka berfantasi dan berimajinasi. Hal ini
penting bagi pengembangan kreativitas dan bahasanya. Anak usia
dini suka membayangkan dan mengembangkan suatu hal melebihi
kondisi yang nyata. Salah satu khayalan anak misalnya kardus,
dapat dijadikan anak sebagai mobil-mobilan.
4) Masa Paling Potensial untuk Belajar
Usia dini merupakan masa emas, masa ketika anak
pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Maka dari itu pada
usia ini anak perkembangan dan pertumbuhannya perlu
dikembangkan secara optimal.
5) Menunjukkan Sikap Egosentris
Anak yang egosentris biasanya lebih banyak berpikir dan
berbicara tentang diri sendiri dan tindakannya yang bertujuan
untuk menguntungkan dirinya, misalnya anak masih suka berebut
mainan dan menangis ketika keinginannya tidak dipenuhi.
6) Memiliki Rentang Daya Konsentrasi yang Pendek
Rentang perhatian anak usia 5 tahun untuk dapat duduk
tenang memperhatikan sesuatu adalah sekitar 10 menit, kecuali hal-
hal yang biasa membuatnya senang. Anak sering merasa bosan
dengan satu kegiatan saja. Bahkan anak mudah sekali mengalihkan
perhatiannya pada kegiatan lain yang dianggapnya lebih menarik.
25

7) Bagian Dari Makhluk Sosial


Anak sering bermain dengan teman-teman di lingkungan
sekitarnya. Melalui bermain ini anak belajar bersosialisasi. Apabila
anak belum dapat beradaptasi dengan teman lingkungannya, maka
anak anak akan dijauhi oleh teman-temannya.
Pendidik perlu memahami karakteristik anak untuk
mengoptimalkan kegiatan pembelajaran. Pendidik dapat memberikan
materi pembelajaran sesuai dengan perkembangan anak. Pendapat lain
tentang karakteristik anak usia dini adalah sebagai berikut: 33
1) Usia 0–1 tahun
Perkembangan fisik pada masa bayi mengalami pertumbuhan
yang paling cepat dibanding dengan usia selanjutnya karena
kemampuan dan keterampilan dasar dipelajari pada usia ini.
Kemampuan dan keterampilan dasar tersebut merupakan modal bagi
anak untuk proses perkembangan selanjutnya. Karakteristik anak usia
bayi adalah sebagai berikut: keterampilan motorik antara lain anak
mulai berguling, merangkak, duduk, berdiri dan berjalan,
keterampilan menggunakan panca indera yaitu anak melihat atau
mengamati, meraba, mendengar, mencium, dan mengecap dengan
memasukkan setiap benda ke mulut, komunikasi sosial anak yaitu
komunikasi dari orang dewasa akan mendorong dan memperluas
respon verbal dan non verbal bayi.
2) Anak Usia 2–3 tahun
Usia ini anak masih mengalami pertumbuhan yang pesat pada
perkembangan fisiknya. Karakteristik yang dilalui anak usia 2-3 tahun
antara lain: anak sangat aktif untuk mengeksplorasi benda-benda yang
ada di sekitarnya. Eksplorasi yang dilakukan anak terhadap benda
yang ditemui merupakan proses belajar yang sangat efektif, anak
mulai belajar mengembangkan kemampuan berbahasa yaitu dengan

33
Hibama S Rahman, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Galah, Yogyakarta,
2002, hlm. 43-44.
26

berceloteh. Anak belajar berkomunikasi, memahami pembicaraan


orang lain dan belajar mengungkapkan isi hati dan pikiran, anak
belajar mengembangkan emosi yang didasarkan pada faktor
lingkungan karena emosi lebih banyak ditemui pada lingkungan.
3) Anak usia 4–6 tahun
Anak pada usia ini kebanyakan sudah memasuki Taman
Kanak-kanak. Karakteristik anak 4-6 tahun adalah: perkembangan
fisik, anak sangat aktif dalam berbagai kegiatan sehingga dapat
membantu mengembangkan otot-otot anak, perkembangan bahasa
semakin baik anak mampu memahami pembicaraan orang lain dan
mampu mengungkapkan pikirannya, perkembangan kognitif (daya
pikir) sangat pesat ditunjukkan dengan rasa keingintahuan anak
terhadap lingkungan sekitarnya. Anak sering bertanya tentang apa
yang dilihatnya, bentuk permainan anak masih bersifat individu
walaupun dilakukan anak secara bersama-sama.
4) Anak usia 7–8 tahun
Karakteristik anak usia 7-8 tahun adalah: dalam perkembangan
kognitif, anak mampu berpikir secara analisis dan sintesis, deduktif
dan induktif (mampu berpikir bagian per bagian), perkembangan
sosial, anak mulai ingin melepaskan diri dari orangtuanya. Anak
sering bermain di luar rumah bergaul dengan teman sebayanya, anak
mulai menyukai permainan yang melibatkan banyak orang dengan
saling berinteraksi.
c. Prinsip-prinsip Perkembangan Anak Usia Dini
Menurut Yusuf dalam Masitoh Prinsip-prinsip perkembangan
adalah sebagai berikut: 34
1) Perkembangan merupakan proses yang tidak pernah
berubah. Manusia secara terus menerus berkembang atau
berubah yang dipengaruhi oleh pengalaman atau belajar
sepanjang hidup. Perkembangan berlangsung secara terus
menerus.

34
Masitoh, Op.Cit, hlm. 2.4-2.5.
27

2) Semua aspek perkembangan saling mempengaruhi. Setiap


perkembangan aspek individu, fisik, emosi, intelegensi,
sosial semuanya saling mempengaruhi.
3) Perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu.
Perkembangan terjadi secara teratur mengikuti pola atau
arah tertentu. Setiap tahap perkembangan merupakan hasil
perkembangan dari tahap sebelumnya dan merupakan
prasyarat bagi perkembangan selanjutnya.
4) Perkembangan terjadi pada tempat yang berlainan.
Perkembangan fisik dan mental mencapai kematangan
terjadi pada waktu dan tempo yang berbeda (ada yang lebih
cepat dan ada yang lebih lambat.
5) Setiap fase perkembangan individu memiliki ciri khas.
Prinsip ini dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut.
Sampai usia dua tahun, perkembangan anak terpusat pada
pengenalan lingkungan, penguasaan gerak fisik, dan belajar
bicara. Pada usia tiga sampai enam tahun, perkembangan
dipusatkan pada perkembangan kemampuan menjadi
manusia sosial.
6) Setiap individu yang normal akan mengalami tahapan/fase
perkembangan. Prinsip ini berarti bahwa dalam menjalani
hidup yang normal dan berusia panjang, individu akan
mengalami fase-fase perkembangan bayi, kanak-kanak,
anak, remaja, dewasa dan masa tua.

B. Hasil Penelitian Terdahulu


Berdasarkan pada penelusuran terhadap beberapa skripsi, jurnal dan
buku, penulis sadar bahwa sudah banyak yang meneliti tentang kesetaraan
gender maupun tentang anak di PAUD sebagai obyek penelitan. Namun,
penulis belum menemukan dari tulisan-tulisan tersebut yang mencoba
Mengimplementasikan Pendidikan Kesateraan Gender melalui Metode
Bermain Peran pada Anak Usia Dini di RA NU Banat Kudus. Meskipun
demikian dapat beberapa tulisan skripsi dan jurnal yang penulis anggap
sedikit menggambarkan tentang apa yang penulis paparkan diantaranya
meliputi:
28

1. Jurnal penelitian dari Siti Malaiha Dewi, yang berjudul “Pengembangan


Model Pembelajaran Responsif Gender di PAUD AININA Mejobo
Kudus”.35
Hasil dari penelitian ini yaitu Merekayasa pembelajaran menjadi
responsif gender dengan cara mengembangkan materi pelajaran dengan
cara menganalisis setiap pesan terdapat dalam materi pelajaran yang akan
disampaikan kepada siswa secara adil gender dan mengembangkan proses
kegiatan belajar mengajar dilakukan sejak merancang desain model
pembelajaran sampai pada proses implementasi pembelajaran dikemas
sedemikian rupa agar keterterapan parameter keadilan dan kesetaraan
gender dapat diwujudakan. PAUD AININA sudah memulai upaya
mewujudkan kesetaraan gender melalui mencantumkan secara tersurat
tentang jenis kelamin pada brosur yang mengandung maksud bahwa baik
anak laki-laki dan perempuan akan diperlakukan secara seimbang dalam
berbagai kegiatan pembelajaran.
2. Jurnal dari Sri Hartati dan Pitria Gusliati, yang berjudul “Penerapan
Pendidikan Kesetaraan Gender di Taman Kanak-kanak Mutiara Ananda
Tabing Padang”.36
Hasil penelitian ini mendeskripsikan tentang penerapan kesetaraan
pendidikan kesetaraan gender di TK Mutiara Ananda Tabing Padang.
Peneliti menemukan bahwa guru di TK Mutiara Ananda sudah
menerapkan pendidikan kesetaraan gender hal ini dapat dilihat mulai dari
upaya guru dalam mempersiapkan kesetaraan gender hingga ke kegiatan
penerapan pendidikan kesetaraan gender. Upaya yang dilakukan guru
dalam menerapkan pendidikan kesetaraan gender dapat dilihat dari

35
Siti Malaiha Dewi, Pengembangan Model Pembelajaran Responsif Gender di PAUD
AININA Mejobo Kudus, Jurnal Thufula, Program Pendidikan Guru Raudlatul Athfal, Jurusan
Tarbiyah, STAIN Kudus, 2013. (online). Tersedia: http://dx.doi.org./10.21043/thufula.v1i1.26
(10 Januari 2017).
36
Sri Hartati dan Pitria Gusliati, Penerapan Pendidikan Kesetaraan Gender di Taman
Kanak-kanak Mutiara Ananda Tabing Padang, Jurnal Pedagogi, Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Padang, 2013. (online):
Tersedia:http://ejournal.unp.ac.id/indeks.php/pedagogi/article/download/4283/pdf&sa=u&ved=oah
UKEwihpY7v9JXSAhUEKo8KHSutA5wQFggPMAA&usg=AFQJCNGYsm-t1H8PVIoRP287sF-
r6GRNA (10 Januari 2017).
29

rancangan pembelajaran, metode dan media yang digunakan di TK


Mutiara Ananda Tabing Padang.
3. Skripsi dari Syarifa Aulia Mardiyah, yang berjudul “Kesetaraan Gender
dan Dampaknya Bagi Perilaku Sosial Anak di Pusat Pendidikan dan
Pengasuhan Anak Usia Dini Warna-warni Yogyakarta”.37
Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa peran PPPAUD Warna-
warni dalam membentuk perilaku sosial yang adil gender menggunakan
materi yang diterapkan dalam kesetaraan gender. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa anak yang masih berusia dini membutuhkan nilai-nilai
kesetaraan gender karena melihat dampak positif terhadap sikap sosial
anak di PPPAUD Warna-warni setelah diterapkannya kesetaraan gender.
Penelitian diatas mempunyai titik singgung yang sama dengan
penelitian ini seperti pada subjek penelitian yaitu anak usia dini dan kesetaraan
gender dan ketiga penelitian tersebut sebagin besar mempunyai kesamaan
dalam menerapkan pendidikan gender, meskipun tidak semuanya
menggunakan metode bermain peran. Ketiga penelitian tersebut mempunyai
perbedaan, pada penelitian pertama tentang bagaimana guru menerapkan
pembelajaran yang responsif gender dengan cara merekayasa pembelajaran
menjadi responsif gender di PAUD Ainina Mejobo Kudus. Sedangkan
penelitian yang kedua tentang pelaksanaan pendidikan kesetaraan gender yang
dilaksanakan di TK Mutiara Ananda Tabing Padang. Penelitian yang ketiga
menjelaskan kesetaraan gender dan dampaknya yang dilihat dari perilaku
sosial anak di PPPAUD Warna-warni Yogyakarta. Penelitian ini memiliki
obyek tempat yang berbeda, karena penelitian ini mencoba untuk menjelaskan
Implementasi Pendidikan Kesetaraan Gender melalui Metode Bermain Peran
yang ada di RA NU Banat Kudus.

37
Syarifa Aulia Mardiyah, Kesetaraan Gender dan Dampaknya Bagi Perilaku Sosial
Anak di Pusat Pendidikan dan Pengasuhan Anak Usia Dini Warna-warni Yogyakarta, Skripsi
Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2016, hlm. 99.
30

C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan kajian pustaka yang telah dipaparkan dalam bagian
terdahulu. Maka desain penelitian yang akan dilakukan dalam digambarkan
dalam suatu kerangka berpikir pada skema penelitian sebagai berikut:
Gambar 2.1
Skema Kerangka Berpikir
Pembelajaran

Pendidikan Kesetaraan Gender

Keadaan Siswa setelah


Metode Bermain Peran mendapat Pendidikan
Kesetaraan Gender melalui
Bermain Peran

Kerangka berpikir Implementasi Pendidikan Kesetaraan Gender


Melalui Metode Bermain Peran pada Anak Usia Dini Di RA NU Banat
Kudus mempunyai beberapa tujuan yang harus dicapai. Ditinjau dari aspek
kompetensi yang hendak dicapai, dalam pembelajaran guru menekankan pada
penguasaan konsep dan penerapan di samping penguasaan materi.
Implementasi pendidikan kesetaraan gender pada anak didik RA akan
berlangsung secara optimal dan efektif bila direncanakan dengan baik dan
metode yang tepat. Keaktifan siswa merupakan syarat utama bagi terjadinya
pendidikan kesetaraan gender dengan baik. Proses implementasi pendidikan
kesetaraan gender guru hendaknya menggunakan metode yang melibatkan
keaktifan siswa yaitu melalui bermain peran, karena dengan keaktifan ini
siswa akan mengalami, menghayati dan mengambil pelajaran didalamnya.
Selain penekanan strategi penyampaian dalam proses implementasi
pendidikan kesetaraan gender, guru juga harus memiliki pemahaman tentang
gender dan strategi dalam menghubungkan dengan realita agar kesetaraan
gender dapat tercapai.

Anda mungkin juga menyukai